pr ethics & media the old & the new

76
TERJEMAHAN ETIKA PR DAN MEDIA : LAMA DAN BARU Tidak ada aspek komunikasi publik lain yang terkait erat dengan PR seperti media. Kita melakukan segala macam kegiatan teknis sehari-hari yang berkaitan dengan media : kita mengirim media release, membuat media kit dan membuat konferensi pers, memilih berita yang akan diberikan kepada jurnalis yang sinis, menyiapkan diri kita untuk wawancara, menyiapkan divisi yang lain di dalam organisasi untuk wawancara dengan media –dan lainnya. Menambahkan ke fungsi yang lebih strategis terkait dengan rencana jangka panjang untuk memelihara hubungan media dan menggunakan saluran media massa untuk menyampaikan pesan, dan itu dapat dipahami mengapa begitu banyak orang di luar bidang kita tampaknya berpikir bahwa hubungan media ini identik dengan PR. Beberapanya tampak percaya bahwa semua itu yang kita kerjakan : tentu saja wartawan sering lakukan. Kita tahu lebih baik; ini hanyalah satu bagian dari apa yang kita lakukan, tetapi hal ini paling penting dan mungkin yang paling high profile. Untuk alasan itu, pertimbangan etika dari bagaimana kita menstrategikan dan menangani sebuah media tiap harinya sangalah penting. Di samping itu ketika sampai ke sebuah diskusi modern mengenai etika di media kita harus mempertimbangkan tidak hanya media tradisional (cetak, televisi, radio) tapi juga apa yang disebut ‘media baru’. Media baru ini meliputi new media sosial atau seperti yang kita ketahui yang dijuluki sebagai ‘web 2.0’. Jika kita berpikir bahwa hubungan kita dengan media tradisional itu 1

Upload: fajarina-alkautsar

Post on 17-Dec-2015

44 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Komunikasi

TRANSCRIPT

PR ethics and the media: the old and the new

TERJEMAHANETIKA PR DAN MEDIA : LAMA DAN BARU

Tidak ada aspek komunikasi publik lain yang terkait erat dengan PR seperti media. Kita melakukan segala macam kegiatan teknis sehari-hari yang berkaitan dengan media : kita mengirim media release, membuat media kit dan membuat konferensi pers, memilih berita yang akan diberikan kepada jurnalis yang sinis, menyiapkan diri kita untuk wawancara, menyiapkan divisi yang lain di dalam organisasi untuk wawancara dengan media dan lainnya. Menambahkan ke fungsi yang lebih strategis terkait dengan rencana jangka panjang untuk memelihara hubungan media dan menggunakan saluran media massa untuk menyampaikan pesan, dan itu dapat dipahami mengapa begitu banyak orang di luar bidang kita tampaknya berpikir bahwa hubungan media ini identik dengan PR. Beberapanya tampak percaya bahwa semua itu yang kita kerjakan : tentu saja wartawan sering lakukan. Kita tahu lebih baik;inihanyalah satu bagian dari apa yang kita lakukan, tetapi hal ini paling penting dan mungkin yang palinghigh profile. Untuk alasan itu, pertimbangan etika dari bagaimana kita menstrategikan dan menangani sebuahmedia tiap harinya sangalah penting. Di samping itu ketika sampai ke sebuah diskusi modern mengenai etika di media kita harus mempertimbangkan tidak hanya media tradisional (cetak, televisi, radio) tapi juga apa yang disebut media baru. Mediabaru ini meliputi new media sosial atau seperti yang kita ketahui yang dijuluki sebagai web 2.0. Jika kita berpikir bahwa hubungan kita dengan media tradisional itu penuh dengan etika yang mendasar, masalah etika yang melekat pada saatinidan aplikasi masa depan mediasosialuntuk progam PR baru saja mulai muncul. Kita akan memeriksa sejumlah isu etis di tradisional media dan social media.

HUBUNGAN KITA DENGAN JURNALIS

Kenyataannya adalah jurnalis membutuhkan PR sama seperti PR membutuhkan jurnalis. Bahkan faktanya, daftar bacaan jurnalis menyarankan bahwa 40-50% atau lebih dari keseluruhan berita yang dilaporkan berdasarkan dari pemberian resmi dari departemen PR di bisnis, pemerintahan dan organisasi non profit. Maksudnya adalah hubungan praktisi PR dan jurnalis sangat jelas; meskipun demikian terdapat dilema etika yang melekat didalam hubungan tersebut.Sifat dari hubungan antara PR dan media sering berpotensi menjadi inti dari konflik etis. Meskipun kita sudah mengerti bahwa, mungkin sebagian besar, jurnalis menganggap kita sebagai, paling tidak, manipulator kebenaran, mungkin kita dapat memikirkan apa yang ditulis Janet Malcolm dalam the New Yorker yang diterbitkan pada tanggal 13 Maret 1989: Setiap jurnalis yang tidak bodoh atau terlalu angkuh untuk memperhatikan apa yang terjadi pasti tahu apa yang dia lakukan secara moral tidak dapat dipertahankan. Setiap jurnalis adalah semacam penipu yang memangsa kesombongan, ketidaktahuan, atau kesepian orang, dengan memperoleh kepercayaan mereka dan menghianati mereka tanpa rasa penyesalan.Jadi jelas bahwa kedua bidang ini memiliki pijakan yang seimbang ketika menyangkut kualitas moral tinggi (atau kualitas moral rendah). Lalu isu apakah yang mungkin menghalangi sebuah etis?Dua isu besar yang muncul adalah kejujuran dalam komunikasi dan akses kita akses ke media dan akses oleh media. Kedua isu yang berpotensi masalah ini dapat mempengaruhi tidak hanya hubungan antara PR dan media, namun juga hubungan antara organisasi dan masyarakat yang menggunakan media sebagai saluran informasi.Setiap buku pelajaran PR yang ada di pasar saat ini menggembor-gemborkan kejujuran sebagai landasan bagi kebijakan hubungan media Anda. Kenyataan ini mungkin muncul sebagai ilham bagi sebagian besar jurnalis yang saya kenal. Memang, sebutan spin doctor yang dipakai hampir semua orang untuk menyebut agen-agen PR (ada satu lagi sebutan yang memiliki pengertian yang tidak menyenangkan tentang etika dari orang-orang yang terlibat di dalamnya kita), dengan sendirinya menjelaskan tentang pendekatan yang kurang terhormat dalam berkomunikasi dengan media dan kemudian dengan masyarakat yang lebih luas. Memang sebutan tadi tidak jauh dari kebenaran. Sebelum Anda mulai memprotes kejujuran Anda sendiri, kita perlu memikirkan bahwa sebagian besar hal-hal yang paling tidak jujur tentang PR begitu tersembunyi sehingga kita sering tidak melihat ketidakjujuran tersebut.Beberapa tahun yang lalu, sebuah agensi PR di kota kelahiran saya mengirim faks ke media lokal yang mengindikasikan bahwa sepertinya akan ada sebuah konferensi pers penting pada jam 9.30 hari berikutnya di tempat yang akan ditentukan. Pancingan terakhir mengatasnamakan bahwa pada siang harinya mereka akan memberikan informasi lebih lanjut. Ini adalah strategi PR yang aneh meskipun ini tidak mengindikasikan adanya pelanggaran etis. Sepertinya akan ada news conference. Siapapun yang mengeluarkan news release yang mengatakan mungkin akan ada news conference tentu saja juga dapat dengan mudah mengatakan mungkin tidak akan ada news conference.Nampak jelas bahwa ini adalah semacam keisengan, atau Anda lebih suka menyebutnya sebagai unjuk gigi PR. Akan tetapi, release tersebut dilaporkan dalam media lokal, tidak seperti yang diharapkan oleh orang yang mengirim faks tersebut. Dengan pokok berita seperti ini faks misterius membangkitkan ketidakpercayaan media, memungkinkan sang reporter untuk menuliskan hal-hal yang tidak ingin dipublikasikan oleh seorang PR yang mengirimkan faks tersebut, melainkan tentang betapa orang-orang PR dapat begitu licik. Dengan tidak mampu memberikan rincian, yang akan membuat media begitu terpengaruh, media cukup benar dalam kesimpulan mereka bahwa tulisan ini bersifat miring. Oleh karenanya dianggap menunjukkan tipu daya. Strategi PR semacam ini hanyalah jenis pendekatan yang menjauhkan media dan merusak hubungan PR dan media. Ketidakpercayaan yang semakin besar antara orang-orang PR dan media sangat problematis. Namun kenapa ini menjadi isu etis?Seorang pelatih jurnalis dan media, Ed Shiller, mengatakan: Ketika media dan sumber utama informasinya menjauh, hanya kebenaran yang akan menderita. Ini adalah isu tentang penghancuran kebenaran dari komunikasi yang akhirnya sampai ke masyarakat, yang merupakan inti dari masalah etis. Jelasnya, ketika masyarakat tidak menerima informasi yang jujur dan benar, maka masayarakat diperlakukan secara salah disakiti. Etika ketidakpercayaan yang sepertinya tak terpisahkan dalam hubungan antara PR dengan media (atau paling tidak antara para reporter dan para praktisi PR) mempengaruhi proses komunikasi publik yang jujur, maka ini menjadi isu moral.AKSES MEDIA DAN ETIKA

Pembahasan ini berbicara mengenai isu kedua, yang meliputi akses ke media dan akses oleh media, dimana mengharuskan kita memperhatikan isu tentang kurangnya kejujuran dalam media.Terlihat jelas bagi kita semua yang memiliki pengalaman dalam menghadapi media bahwa media yakin mereka memiliki hak-hak untuk mengakses informasi dan sumber informasi. Akan tetapi, tidak jarang keperluan organisasi dan orang-orang yang berada dalam organisasi tersebut bertentangan dengan apa yang disebut hak. Mereka menggunakan segala cara, mulai dari sikap kasar hingga hal-hal yang lebih agresif untuk memeroleh informasi. Perilaku reporter yang semacam ini akan menambah ketidakpercayaan dalam membina hubungan antara PR dan media.Dari sudut pandang kita, yang mencoba mempraktikkan profesi PR secara lebih etis, mungkin yang lebih problematis adalah pertanyaan tentang cara memeroleh akses ke media. Meskipun kita semua tahu bahwa menyuap media untuk menutupi cerita bukan hanya tidak bijaksana namun juga tidak etis, dimana kita akan menarik garis pemisahnya?Pikirkan kasus ini. Seorang mantan presiden sebuah universitas lokal dikenal karena pesta-pesta natal tahunannya. Selama bertahun-tahun ia membuka lebar-lebar pintu rumah mewahnya dan menyelenggarakan pesta untuk menghormati media lokal tidak ada perlakuan khusus bagi reporter. Dia bukannya membatasi pesta tersebut bagi para reporter yang telah membuat liputan positif mengenai aktivitas universitasnya namun justru mengundang semua orang. Bahkan para reporter yang merasa takut karena dianggap memiliki niat buruk, akan menunggu-nunggu pesta ini.Apakah ini sebuah strategi PR yang benar-benar kreatif (strategi yang tidak pernah dilakukan oleh universitas lokal lainnya), atau apakah ini praktek yang secara etis dipertanyakan? Apakah kasus ini merupakan kasus suap yang halus, ataukah sebuah usaha jujur untuk mengembangkan hubungan yang lebih erat antara sebuah organisasi dengan salah satu publiknya yang penting? Meskipun tidak ada pedoman tentang seberapa besar seharusnya sebuah bingkisan untuk dapat dianggap sebagai suap, atau bahkan sebuah undangan ke pesta sudah cukup untuk dikualifikasikan sebagai sebuah bingkisan, akan selalu ada kebutuhan untuk tidak hanya berperilaku secara etis, namun juga untuk dianggap berperilaku secara etis. Akan tetapi, langkah pertama hanyalah menyadari bahwa disini ada potensi isu moral. Dan dalam situasi ini, para praktisi PR harus melakukan satu langkah lagi.

JURNALIS JUGA MEMILIKI KODE ETIKSebagian besar jurnalis sepertinya memilih profesi ini karena keinginan murni mereka untuk mengungkapkan dan melaporkan kebenaran kepada masyarakat. Akan tetapi, sepeti yang kita lihat di media saat ini, nampaknya sensasionalisme, ketidaktepatan, dan kedangkalan begitu merajalela. Ada sebuah pertanyaan mengenai dari mana sikap skeptis masyarakat mengenai pers muncul. Jurnalis seperti juga para praktisi PR memiliki kode etik. Dengan melihat sekilas apa yang diharuskan oleh kode etik mereka, mungkin mengarahkan kita pada sebuah kesimpulan bahwa kita tidak jauh berbeda atau bahkan memang kita benar-benar menyanyikan lagu yang sama hanya dengan kunci yang berbeda.Melalui akses singkat ke EthicNet, sebuah pusat data online dari European Codes of Journalism Ethics yang menyediakan kode-kode dari 36 negara mulai dari Armenia sampai ke Inggris, kita tahu bahwa apa yang diyakini oleh berbagai asosiasi profesi jurnalis sebagai perilaku etis yang dapat diterima di suatu negara sangat mirip dengan perilaku etis yang dapat diterima di negara-negara lain.Kode-kode tersebut menyerukan kejujuran dan ketepatan dalam pengumpulan dan penyebaran informasi, perlindungan terhadap kerahasiaan apabila perlu, keadilan, dan penghindaran suap (yakni apa saja yang ditujukan untuk keuntungan pribadi). Apa yang ingin dicapai oleh para jurnalis dalam hal komunikasi masyarakat tidak berbeda dari apa yang praktisi PR perjuangkan. Jadi, jika kita memang tidak berbeda sama sekali mungkin hanya masalah waktu untuk kita dapat meningkatkan hubungan sehingga kita dapat bekerja sama demi kebaikan masyarakat.ASPEK-ASPEK DARI HUBUNGAN MEDIA YANG ETISJika sebuah hubungan dengan media merupakan salah satu bagian penting dari PR dan sepertinya hubungan tersebut tidak akan berubah dalam waktu dekat, maka demi kepentingan kita dan masyarakat, ada baiknya kita meningkatkan kualitas etika dalam hubungan media.

Pilar-pilar hubungan media yang etisKejujuran dan ketepatan Kebijaksanaan Kepekaan Rasa Hormat

Jelasnya, demi kepentingan masyarakat dan hubungan kita dengan media, kita harus menggunakan kejujuran dan ketepatan dalam berhubungan dengan media. Jujur bukan berarti kita harus terbuka secara total dalam berhubungan dengan media. Ketika diputuskan menahan informasi, maka keputusan untuk menahan informasi tersebut tidak boleh menyesatkan seseorang. Informasi menyesatkan sama saja dengan informasi yang penuh dengan kebohongan.Bersikap bijaksana adalah tentang kapan dan bagaimana Anda menggunakan media dengan tepat. Seorang praktisi PR yang bijaksana menghindari menyumbat saluran komunikasi masyarakat dengan tidak menutupi informasi atau memberikan berita palsu kepada media. Menyumbat saluran komunikasi memiliki efek yang dapat merusak elemen kepercayaan masyarakat dan hubungan antara PR dan media.Kepekaan terhadap media merupakan salah satu pelumas kepercayaan yang paling penting dalam berhubungan dengan media. Menerima telpon dari media dan membalasnya mungkin terlihat sederhana, namun hal ini memiliki pengaruh penting terhadap kepercayaan.Selalu berperilaku profesional dan terhormat, bahkan ketika mennghadapi sikap kasar yang tidak di harapkan, merupakan aspek yang mendasar dari hubungan yang etis, baik dengan media ataupun dengan semua orang. Memperlakukan orang lain dengan penuh rasa hormat merupakan langkah pertama menuju tingkatan interaksi dengan moral yang lebih tinggi. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mengkaji kembali Bab Tujuh, dimana kita membahas lebih dalam tentang konsep-konsep etis mendasar dari rasa hormat.Jadi Intinya adalah, kurangnya kepercayaan dalam hubungan PR dengan media pada dasarnya adalah sebuah permainan kata-kata etis. Tindakan yang mengakibatkan ketidakpercayaan selalu dipertanyakan secara etis. Nampaknya etika memiliki aspek-aspek strategis yang sangat penting di dalam masyarakat. Sekarang, pertanyaan yang perlu kita teliti adalah : Apa peran PR dalam menjaga transparansi media (keterbukaan informasi pada media) ?

TRANSPARANSI MEDIA DAN ETIKA PR

Apakah sebuah arti bagi media untuk transparan? Jika ada sesuatu yang transparan, kita pada umumnya berfikir dapat melihat menembus-nya. Dengan demikian jika sesuatunya transparan, maka kebohongan didalamnya bisa terlihat. Sebagian besar, ketika mencari kebohongan apa yang ada di media, kita mengikuti sumber dananya. Jejak sumber dana ini melibatkan isu pengaruh dan kontrol kepemilikan. Mereka juga bertanggung jawab atas pemberitaan kepada para pengguna media dengan informasi yang cukup untuk membuat keputusan mereka sendiri mengenai keabsahan informasi yang disajikan kepada mereka, apakah itu berasal dari seorang PR atau dikorek oleh para jurnalis sendiri.Misalnya, pernahkah anda bertanya tentang sejauh mana sebuah artikel di majalah travel bisa dipengaruhi oleh pemberi subsidi dari industri travel? Apakah persepsi anda terhadap keobyektifan dari para wartawan travel yang mengevaluasi tempat peristirahatan di daerah wisata akan berubah jika anda tahu bahwa semua biaya perjalanan mereka ditanggung oleh pemilik tempat peristirahatan itu? Apakah anda akan berubah lagi pendapat jika staff PR tempat peristirahatan tersebut yang mengatur semua pembiayaan? Apakah ini termasuk penyuapan? Apakah tindakan itu terlihat sedikit menyuap jika pembiayaan ini dibeberkan? Itu adalah beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan etika transparansi media dan peran PR, yang mana saling terkait dengan media itu sendiri.Di tahun 2001, International Public Relations Association (IPRA), meluncurkan gerakan transparansi media dengan sebuah studi penelitian untuk menentukan besaran masalah.Dengan 242 responden dari 54 negara, mereka mulai melihat gambar yang muncul. Misalnya, ketika ditanya apakah mereka akan menolak tawaran travel gratis untuk publikasi, dalam bentuk akomodasi atau produk, maka hasilnhya adalah 50% responden yang berasal dari Amerika Utara mereka mengindikasikan bahwa mereka tidak akan menolaknya. Yang lebih mengejutkan adalah, sekitar 87 % responden dari Eropa Timur dan 85% responden dari Eropa Selatan mengatakan bahwa mereka tidak akan menolak tawaran seperti itu. 20% responden dari dari Amerika Utara mengatakan bahwa mereka percaya bahwa iklan di media cetak seringkali diproduksi dengan konten seperti editorial tanpa ada indikasi kepada pembaca bahwa mereka sebenarnya adalah iklan, dan persentasi yang percaya bahwa hal ini sering terjadi semakin banyak di belahan dunia yang lain. Meski demikian, saya puas melihat sebuah realita bahwa tidak seorang responden pun yang berasal dari Kanada atau US percaya bahwa wartawan disana sering mengambil pembayaran untuk publikasi atau rilis berita tertentu. (Meski demikian, laporan yang saya baca tidak mengindikasikan hasil yang lengkap, jadi saya tidak tahu seberapa banyak yang saya pikirkan itu terjadi). Namun, mungkin secara naif saya terkejut ketika melihat bahwa responden yang berasal dari Kanada mengatakan bahwa menukar uang untuk liputan kadang-kadang terjadi (3). Dengan demikian, hal itu memperlihatkan bahwa memang terdapat masalah dengan transparansi media, dan industri PR tampaknya berada di dalam satu tempat tidur dengan media dalam banyak sekali kejadian. (sleeping with the enemies). Melvin Sharpe, Professor PR dari Amerika, dikutip oleh IPRA mengatakan Public Relations mempunyai peran penting dan keseimbangan hubungan dengan para wartawan. Itu adalah tanggungjawab profesi kami untuk menjaga etika media, keterbukaan, tepat dan bertanggung jawab sebagaimana media...... punya [sic] tanggung jawab kepada masyarakat untuk memberi informasi, bertanya, dan menganilsa perilaku dari organisasi dan pemerintah yang kami sarankan (4). Pendapat ini menangkap inti dari apa yang kita butuhkan. Berikut ini adalah beberapa pendekatan praktis dalam melakukan peranmu guna melindungi transparansi media : Pastikan bahwa iklan anda secara jelas mengisyaratkan hal yang anda maksud dan tidak dirancang untuk mengelirukan masyarakat untuk berpikir itu adalah sebuah berita. Tunjukkan kepada wartawan bahwa anda berharap faktanya adalah mereka telah mencoba produk anda, atau tidur di hotel anda secara gratis, dan jelas menunjukkan dalam sebagian pemberitaan. Jangan pernah menawarkan wartawan dengan imbalan apapun untuk peliputan yang menguntungkan mereka Jangan pernah menawarkan wartawan untuk membantu menghapus/menyingkirkan berita negatif Jangan pernah menyarankan rilis dalam bentuk Video News Release (VNR) dengan rekaman tanpa identifikasi fakta yang jelas dalam VNR tersebut.

Keuntungan dalam melakukan pendekatan dengan memainkan peran dalam menjaga keterbukaan media dalam jangka panjang adalah akan benar-benar meningkatkan hubungan anda dengan wartawan, yang hanya bisa kita dapatkan ketika mempunyai hubungan yang strategis. Bagaimana dengan situasi baru dimana media yang anda gunakan sekarang, yang faktanya tidak diolah oleh wartawan? Ini adalah sebuah tantangan baru dalam etika di media sosial.

ETIKA PR DAN TATANAN SOSIAL BARU

Media sosial baru telah menjadi sebuah kasus yang membiarkan narapidana mengambil alih rumah sakit jiwa, seperti sebuah parafrase dari One Flew Over the Cuckoos Nest. Komunitas pengguna online dan materi-materi telah menambahkan hal baru atau terkadang mendatangkan tambahan dalam arsenal komunikasi PR dan komunikasi korporat. Dan dikutip dari aktor Charlie Chaplin yang terkenal dengan kalimat Manusia adalah hewan dengan insting primer untuk bertahan. Konsekuensinya, kecerdasannya berkembang dahulu diikuti oleh jiwanya. Namun, progres sains lebih berkembang dari ethical behavior. Kecanggihan teknologi diilustrasikan dengan jelas melalui software aplikasi sosial, telah berlangsung lama sebelum bisnis dan masyarakat secara keseluruhuan dianggap sebagai konsekuensi moral dari aktivitas-aktivitas.Pada musim gugur tahun 2006, sebuah blog bernama Wal-Mart Across America populer. Ditulis oleh orang pedesaan, pasangan middle-America bernama Jim dan Laura, menulis perjalanan mereka mengelilingi Amerika dengan sebuah kendaraan rekreasi (RV), menghabiskan waktu malamnya di tempat parkir Wal-Mart dan memasuki toko Wal-Mart di semua jalan. Tulisan di blog mereka penuh dengan pujian terhadap staf dan toko Wal-Mart. Padahal Wal-Mart memiliki reputasi dimana pegawainya pelit, diantara yang lainnya, kecurigaan segera muncul pada kebenaran tulisan, dan bahkan identitas pasangan yang menulis blog seperti bohong. Satu orang yang sangat ingin tahu adalah professor dari Colorado State University bernama Jonatahan Rees, seorang sejarahwan, dia menulis sebuah open letter menuntut bahwa mereka sebaiknya mengungkapkan diri mereka.Professor Rees sangat tertartik dengan sesuatu, sampai sebuah kaleng berisi cacing yang dia buka, praktisi PR di dunia ini harus mampu memprediksi dan mengetahuinya. Kebenarannya bahwa Jim dan Laura, dua orang yang nyata (seorang fotografer dan seorang penulis), yang disubsidi oleh firma kehumasan Edelman, atas nama klien mereka Wal-Mart, sebagai bagian dari strategi untuk melawan kritik dari union-supported groups yang dibentuk untuk memprotes kebijakan ketenagakerjaan Wal-Mart. Meskipun ada beberapa peraturan tentang etika dan etiket dalam dunia blog, satu peraturan tidak tertulis yang telah dilanggar : blogger dan semua orang yang membaca blog dengan jelas mengekspektasikan kebenaran dalam identifkasi penulis. Fakta bahwa blogger ini dibayar oleh Wal-Mart tidak terungkap dan secara materi merubah persepsi dari tulisan blog mereka tentu saja, bisa dikatakan itu merubah kebenaran mereka. Edelman mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan proses etis dalam berurusan dengan teknologi baru.Blogging sebagai bagian dari strategi PR yang lebih luas dengan cepat menjadi sebuah komponen yang penting. Blogs telah digunakan untuk mengembangkan hubungan internal, mengembangkan dan mempertahankan hubungan komunitas dan keterlibatan, mendekatkan publik penting dalam dialog dan menyediakan informasi, itu adalah beberapa contoh. Pastinya, banyak dan lebih banyak PR Profesional dihadapkan dengan klien dan pegawai yang akan meminta dan terkadang menuntut, professional komunikator untuk mengambil alih blog ini.Seperti yang digambarkan oleh kegagaalan Wal-Mart/Edelman, ini tidak tanpa pertimbangan etika.Dan blogs adalaah satu teknologi baru yang berpotensi memiliki dilemma etika yang luar biasa besar. Maupun di 2006, sebuah video clip lelucon mengenai dokumenter linkungan An Inconvenient Truth diposting di video-sharing Youtube. YouTube awalnya dikembangkan sebagai tempat penggemar video amatir untuk dapat memposting hasil kerjanya dan memperbolehkan yang lain untuk berkomentar, tetapi telah bermetamorfosis lebih jauh, termasuk keduanya amatir dan secara profesional menghasilkan video dengan tujuan atau sasaran yang berbeda. Video tersebut konon diproduksi sebagai sebuah karya amatir oleh orang California berumur 29 tahun. Jurnalis di Wall Street Journal, menemukan bahwa produser dari video ini nyatanya sebuah firma lobbying yang kliennya yaitu penghasil minyak bumi. Dua sarjana Amerika memutuskan untuk menentukan apakah terlepas dari pelanggaran yang jelas terhadap penerimaan standar etika mengenai pengungkapan sponsor, hal seperti kegiatan tersembunyi ini akan berdampak pada efek PR seperti alat komunikasi (communication tool). Walaupun hasil penelitian tidak mendukung hipotesis mereka yang menyatakan bahwa inokulasi penonton terhadap pesan video tersebut akan mengubah persepsi mereka, mereka menemukan sebuah efek reaksi pada produsen atau penghasil video mencurigakan secara etis Reaksi ini berlawanan dengan pengirim pesan setelah pelanggaran etika ditemukan tidak lazim dan, walaupun hal tersebut memiliki argumen menarik untuk (kita) di bidang PR dalam mempertahankan standar etika, motivasi untuk keputusan etika selanjutnya moral tersangka. Apa, kemudian, dapatkah kita menangani kemunculan teknologi ini?Pengguna sosial media kemungkinan akan tetap seperti ini dan godaan di kepala pertama kali sangatlah menggoda (the temptations of plunging in head first are very tempting. Ini cara yang bisa sangat efektif untuk manajemen reputasi dan membangun hubungan, landasan strategi PR. Namun, etika perlu menjadi bagian dari strategi pembuatan keputusan. The Canadian Public Relations Society telah mempublikasikan sebuah pernyataan kebijakan dalam Communications in Social Media. Di dalamnya penulis merujuk kembali pada prinsip-prinsip yang relevan dari Kode CPRS Standar Profesional, dengan referensi khusus bagi pernyataan yang mengacu pada kejujuran, akurasi, integritas dan kebenaran. Inggris Chartered Institute of Public Relations (CIPR) juga telah mempertimbangkan atas subjeknya. Pedoman Media Sosial CIPR menyoroti kepentingan umum menjadi prioritas, penulis dan transparansi, dan kompetensi professional. Selain itu, CIPR berfokus pada kebutuhan untuk menjaga kerahasiaan informasi khusus ketika menggunakan media sosial.Media, mau tradisional ataupun baru disebut dengan tipe Web 2.0, tools yang sangat hebat untuk menyampaikan pesan dan memelihara reputasi dan hubungan. Seperti halnya tools atau taktik apapun, keseluruhan strategi yang digunakan harus mempertimbangkan implikasi etikanya. Kita mungkin akan melakukannya dengan baik untuk mempertimbangkan the Word of Mouth Marketing Associations yang disingkat Code of Conduct (kode etik). Walaupun mereka fokus pada media baru, tiga prinsip dinilai penting dalam semua media komunikasi. Tiga peraturan RI sebagai berikut : 1. Kejujuran hubungan : Anda mengatakan kepada siapa Anda berbicara2. Kejujuran opini : Anda mengatakan apa yang Anda yakini3. Kejujuran identitas : Anda tidak pernah menggelapkan identitas Anda.RESUME

ETIKA PR DAN MEDIA : LAMA DAN BARU Aspek komunikasi lain yang berkaitan erat dengan PR adalah media. PR biasanya melakukan hal-hal konvensional seperti memberikan release, membuat media kit, dan membuat konferensi pers. Itu adalah kegiatan yang PR lakukan untuk media. Hubungan media juga harus dijalin dengan baik sebagai bentuk investasi jangka panjang PR. PR juga perlu menstrategikan dalam menangani media per hari menggunakan kode etik PR. Selain itu, PR sekarang sudah memasuki era 2.0 di mana PR tidak hanya mengurusi media massa saja, tetapi juga media online, terutama di sosial media. HUBUNGAN KITA DENGAN JURNALISPR dan Jurnalis memiliki hubungan timbal balik, dua-duanya saling membutuhkan. PR membutuhkan jurnalis untuk menginformasikan berita, dan jurnalis membutuhkan PR sebagai sumber informasi. Di dalam hubungan tersebut terkadang memiliki konflik etis di mana jurnalis menganggap PR sebagai manipulator kebenaran dan PR menganggap jurnalis sebagai pengkhianat, seorang yang sombong dan susah dipercayai. Dua isu yang muncul adalah kejujuran dalam komunikasi dan akses ke media dan akses oleh media. Serinkali adanya kelakuan PR yang membuat media menjadi tidak terlalu menyukai PR, sehinga jurnalis pun akan melaksanakan yang menurut mereka benar tanpa terpengaruh siapa PR tersebut karena treat PR terhadap jurnalis tersebut yang membuat ketidakpercayaan dan kejujuran. Terkadang hal seperti ini tidak hanya berpengaruh pada hubungan media dan jurnalis saja tetapi, masyarakat yang dirugikan sangat besar karena ketidakjujuran informasi dan ini menjadi isu moral.AKSES MEDIA DAN ETIKAIsu lainnya dalam akses media serta akses oleh media adalah kejujuran dan kurangnya kejujuran. Media terkadang melakukan hal yang negative yaitu mengancam dan bersikap agresif kepada PR untuk memberikan informasi karena jurnalis sudah punya kartu mati. Terkadang PR juga melakukan hal yang berlawanan dengan etika di mana PR melakukan penyuapan secara frontal ataupun halus dengan berupa bingkisan kepada jurnalis untuk keperluan publikasi informasi di media massa ataupun media online. Isu seperti ini berpotensi sebagai isu moral. Dalam pekerjaan PR maupun jurnalis akanada selalu kebutuhan untuk tidak hanya berprilaku secara etis, namun juga dianggap berprilaku secara etis.

JURNALIS JUGA MEMILIKI KODE ETIKLayaknya seorang PR, jurnalis juga memiiliki kode etik. Hampir mirip dengan kode etik PR di mana menyuarakan hal yang sama namun dengan cara yang berbeda. Kode-kode etik seperti menyerukan kejujuran dan ketepatan dalam pengumpulan dan penyebaran informasi, perlindungan terhadap kerahasiaan apabila perlu, keadilan, dan penghindaran suap. Kesimpulannya tidak ada yang berbeda antara kode etik jurnalis dan PR namun, hanya butuh waktu untuk meningkatkan hubungan di antara keduanya demi kebaikan masyarakat.ASPEK-ASPEK DARI HUBUNGAN MEDIA YANG ETIS1. Kejujuran dan Ketepatan Tidak harus terbuka secara tortal,, namun ketika diputuskan menahan informasi, maka keputusan untuk menahan informasi ini tidak akan menyesatkan orang. 2. KebijaksanaanKapan dan bagaimana Anda menggunakan media berarti bahwa praktisi PR menghindari menyumbat saluran komunikasi masyarakat dengan tidak memberikan berita atau dengan memberikan berita palsu.3. KepekaanSalah satu pelumas yang penting dalam hubungan media dengan contoh merespon media secara cepat dan langsung.4. Rasa HormatMemperlakukan orang lain dengan rasa hormat merupakan langkah awal dalam interaksi yang bermoral tingi. TRANSPARANSI MEDIA DAN ETIKA PRTransparansi media sangat diperlukan bagi seorang jurnalis dan ini juga seharusnya dilakukan oleh PR dimana harus transparan kepada media maupun masyarakat dalam memberikan informasi. Namun, kebanyakan masih banyak yang menyalahi aturan dari masing-masing etika baik dari jurnalis maupun PR. Di mana PR masih banyak sekali yang melakukan penyuapan halus kepada jurnalis dan menurut survey bahwa dominasi terdapat pada tidak menolak penyuapan tersebut. Hal ini pemicunya adalah PR dan media serinkali berada dalam satu kasur yang sama. ETIKA PR DAN TATANAN SOSIAL BARUPR sekarang menghadapi era digital dan sekarang sudah banyak pengaplikasian PR 2.0. Namun, banyak sekali yang salah penggunaanya. Era digital ini juga membawa perubahan pada tatanan sosial masyarakat sehingga diharapkan PR juga memiliki strategi yang pas untuk masa ini dengan tetap memerhatikan etika PR. Walaupun ada media baru, tiga prinsip yang dinilai penting dalam semua media komuniksi. Tiga peraturan tersebut : 1. Kejujuran hubungan : Anda mengatakan kepada siapa Anda berbicara2. Kejujuran opini : Anda mengatakan apa yang Anda yakini3. Kejujuran Identitas : Anda tidak pernah menggelapkan identitas Anda

ANALISAMembangun Hubungan Humas dan jurnalisHubungan antara humas dan jurnalis merupakan hubungan yang berkaitan dan tak dapat dipisahkan. humas membutuhkan jurnalis yang merupakan jembatan untuk mencapai khalayak sasaran Humas dalam usaha menciptakan pengetahuan dan pengertian khalayak sasaran dan begitu juga dengan jurnalis yang membutuhkan humas sebagai penyedia informasi yang mungkin layak untuk diberitakan. Dari hal tersebut, bisa disimpulkan bahwa hubungan kedua orang tersebut bersifat simbiosis mutualisme (saling membutuhkan) dan juga interpenden (saling bergantung).Agar humas dan jurnalis dapat membangun hubungan yang harmonis, maka sebaiknya tidak ada yang egois dengan menganggap salah satu pihak lebih tinggi. Posisi yang ideal agar hubungan harmonis antara humas dan jurnalis bisa berjalan dengan baik adalah dengan cara menyetarakan posisi Humas dan jurnalis walaupun memang peran atau fungsi, motif dan tujuan kegiatan masing-masingnya berbeda.S. Sahala Tua Saragih menyebutkan bahwa terdapat 5 hal yang harus dilakukan oleh humas untuk bisa menjalin hubungan yang harmonis dan mewujudkan tujuan kedua belah pihak. Pertama, hubungan humas dengan jurnalis bersifat profesional. Humas tidak boleh berhubungan terlalu mesra dengan wartawan. Kedua belah pihak, terutama masyarakat yang mereka layani pasti akan merasa dirugikan apabila tidak ada jarak yang pas antara humas dengan jurnalis. Sebagai ilustrasi, dua sejoli yang sedang bercumbu pastilah tak mampu melihat wajah pasangan dengan cermat yang dikarenakan jarak pandang yang tidak ideal. Mata yang seharusnya mengawasi tidak/kurang difungsikan dikarenakan yang berfungsi hanyalah perasaan (emosi). Celakanya adalah apabila suatu hari humas berselisih atau bertengkar dengan pasangan mesranya (jurnalis), maka akibat buruknya dapat merugikan banyak pihak (terutama jurnalis). Oleh karena itu, hubungan yang terjalin diantara kedua belah pihak haruslah sehat, terhormat dan bermartabat. Tanpa mengurangi hubungan mesra yang terjalin dianatara keduanya, humas harus senantiasa berinisiatif menjaga jarak yang ideal dengan mitra sejajarnya. Dimata jurnalis, humas harus terlihat berwibawa dan humas yang profesional pastilah cerdas, berpengetahuan sangat luas (terpelajar), disiplin, dan benar-benar menguasai bidang pekerjaannya.Kedua, humas harus mengetahui seluk-beluk dunia jurnalis, termasuk irama kerja jurnalis ditiap jenis media massa serta fungsi media massa. Ini berarti humas harus mengetahui nilai-nilai berita, tenggat waktu laporan wartawan, peta media massa baik ditingkat daerah maupun di tingkat nasional, Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik (Pedoman Perilaku) Penyiaran, Undang-undang No. 40/1999 tentang Pers, Undang-undang No. 32/2002 tentang penyiaran, kekuasaan atau kekuatan media massa, visi dan misi media massa yang beredar/beroperasi di wilayahnya, dan sebagainya.Ketiga, humas juga harus/perlu memiliki kemampuan praktik jurnalisme, yakni meliput, wawancara, memotret, menulis berita langsung, berita khas (feature news), dan artikel opini. Selain memperkaya pengetahuan dan praktik melalui bacaan dan pelatihan jurnalisme, humas juga perlu sekali-sekali magang di media massa, terutama di media massa besar.Keempat, humas harus mampu mengenal wartawan dan redaktur secara personal. Ini sangat penting, dikarenakan harus humas mampu berkomunikasi efektif dengan mitranya. Humas harus mengetahui tingkat/jenis komunikasi yang lazim digunakan jurnalis yang sedang berbicara dengannya. Sesuai latar belakang budaya daerah dan tingkat pendidikan, tiap jurnalis pasti memiliki gaya berkomikasi masing-masing. Ada jurnalis yang lazim menerapkan komunikasi konteks rendah (menyatakan sesuatu secara halus atau berputar-putar, tak langsung ke tujuan). Akan tetapi, ada juga jurnalis yang terbiasa untuk menerapkan komunikasi konteks tinggi (berbicara blak-blakan atau berterus terang, langsung ke tujuan). Humas perlu tahu pula riwayat hidup jurnalis yang biasa atau rutin meliput dilingkungan kerjanya.Kelima, humas jangan bersifat diskriminatif terhadap jurnalis atau media massa. Semua jurnalis profesional (muda atau tua, kaya atau miskin, berpenampilan keren atau kumuh) dan media massa (besar atau kecil, lokal atau nasional, baru atau lama, partisan atau independen) harus diperlakukan dengan adil (tidak ada anak emas dan anak tiri). Hal terpenting, humas wajib melayani jurnalis yang benar-benar jurnalis. Maksud dari kata melayani disini adalah memberikan fakta-fakta atau informasi penting yang dibutuhkan oleh khalayak media massa dimana jurnalis itu bekerja.Kreatifitas perlu dimiliki oleh seorang humas untuk bisa diterapkan dalam pembuatan program untuk menjalin hubungan harmonis dengan jurnalis. Sebagai contoh kasus, humas Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) membuat sebuah program yang mengajak ratusan jurnalis untuk mengikuti program tur wisata gratis yang diadakan selama pelaksanaan KTT APEC di Nusa Dua, Bali. Untuk memenuhi hasrat jurnalis yang memiliki banyak pertanyaan, humas kemenparekraf telah menyiagakan 7 orang pemandu wisata yang memiliki tugas untuk melayani para jurnalis tersebut sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Sadar akan aktivitas yang padat yang dimiliki oleh jurnalis, maka humas pun dengan cermat memberikan 2 opsi paket wisata, paket setengah hari dan satu hari penuh. Untuk paket setengah hari, para jurnalis dapat memilih untuk diajak ke sejumlah obyek wisata di antaranya Mengwi-Tanah Lot, Ubud, Garuda Wisnu Kencana-Uluwatu, dan mengunjungi sejumlah rumah tradisional Bali. Sedangkan untuk tur satu hari penuh, wartawan bisa memilih paket perjalanan ke Kintamani, Bedugul-Tanah Lot, Pura Besakih, Karangasem, dan Ubud-Tanah Lot.

Jika melihat contoh kasus tersebut, bisa di simpulkan bahwa humas kemenparekraf telah mengaplikasikan beberapa hal yang harus dilakukan humas untuk bisa menjalin hubungan yang harmonis dan mewujudkan tujuan kedua belah pihak. Dengan melaksanakan program tersebut, terlihat bahwa ada keinginan dari pihak humas Kemenparekraf untuk membangun hubungan yang profesional. Kemudian, dengan dibuatnya paket setengah hari dan satu hari penuh, hal tersebut menunjukkan bahwa humas Kemenparekraf mengetahui tentang seluk beluk dunia jurnalis. Selanjutnya, dengan mengadakan program tur wisata gratis ini, humas Kemenparekraf telah membuka peluang untuk mengenal para jurnalis lebih dekat. Dan yang terakhir, humas Kemenparekraf juga menunjukan untuk tidak diskriminatif terhadap para jurnalis dengan cara memperlakukan pelayanan yang sama kepada seluruh jurnalis.Berdasarkan peran media relations dalam organisasi, kegiatan-kegiatan yang dilakukan bisa berdasarkan tiga pendekatan yaitu reaktif, proaktif, atau interaktif (Caywood, 1997:63 -65). Media relations yang reaktif hanya menjawab dan merespon permintaan. Beberapa pedoman yang perlu dilakukan humas ketika media menghubungi adalah sebagai berikut: Hindari selalu komentar secara serta merta dan ucapan tanpa persiapan Siapkan berkas catatan isu-isu yang mendapat perhatian dari media Pahami deadlines Selalu ada ketika diperlukan dan balas telepon segera Selalu merasa ingin tahu dan bertanya Tempatkan diri pada posisi jurnalis Sediakan keseimbangan atau tahu dimana mendapatkannya Ketahui latar belakang suatu informasi Catat kepada jurnalis yang mana kita bicara dan apa yang dibicarakan Jangan pernah berbohongSedangkan yang proaktif membangun langkah -langkah reaktif dan melangkah lebih jauh untuk mempromosikan dan mempublikasikan organisasi. Hal ini dimulai dari menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Apakah anda tahu pesan ingin Anda sampaikan? Apakah pesan tersebut jelas, ringkas, dan tepat sasaran? Media mana yang menjadi prioritas? Jurnalis atau editor mana yang ingin didekati? Elemen mana dalam pesan tersebut yang laik untuk diberitakan? Bagaimana cara mengemas atau menjual hal tersebut? Siapa yang akan menjadi orang ketiga dan apa yang akan mereka bilang? Apakah Anda mendengar tanda bahwa jurnalis sibuk atau tidak tertarik? Apakah mereka mengerti bahwa anda akan pergi ke yang lain bila mereka tidak berminat?Adapun humas yang menerapkan pendekatan interaktif dalam kegiatan media relationnya melangkah lebih jauh lagi dalam membangun hubungan dengan media. Alasannya adalah minat media dan liputan berikutnya berkembang dari interaksi yang berlangsung positif. Berikut ini adalah beberapa cara untuk mencapai tingkat ini: Diskusikan isu-isu selain berita anda yang sekiranya menarik minat jurnalis Jadilah sumber, buatlah diri anda selalu ada untuk memberikan komentar sebagai seorangyang ahli di industri anda Selalu menmpatkan diri pada kebutuhan ,dan adanya deadlines yang harus dikejar jurnalis Berikan pandangan yang berbeda pada topik berita dan trend industri yang terjadi saat itu Bicara tentang publikasi dan jurnalis lain serta bagaimana pendekatan mereka terhadap isuyang berbeda Berikan pujian terhadap artikel yang mereka tulis, bukan ucapan terima kasih. Telepon untuk membicarakan berita yang relevan dan selalu berhubungan Cari legitimasi alasan yang tidak berkaitan dengan berita untuk berinteraksi dengan media massa Hindari meminta bantuan, hanya seke dar memberi nasehat Sesuaikan pesan dan pembicaraan berdasarkan waktu jurnalis yang terbatas dan tingkat kepentinganMemang tidak mudah dalam pengaplikasiannya untuk bisa menjalin hubungan yang harmonis dan mesra dengan para jurnalis. Namun, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan oleh seorang humas untuk menyerah dalam usahanya membangun hubungan yang baik.

Akses Media dan Etika,Konglomerasi Media, Kini Media Menjalankan Fungsi PRKonglomerasi media merupakan konsentrasi kepemilikan beberapa media oleh satu perusahaan. Hal tersebut menjadi berkah sekaligus bencana. Kepentingan pasar masuk ke ruang kebebasan pers, kebebasan berbicara, dan berekspresi. Sebetulnya, di belakang itu, tujuan pemilik media bukan lagi untuk melayani kepentingan publik., melainkan untuk kepentingan pribadi pemilik media tersebut.Perusahaan media berada di dalam pasar yang turut mengejar keuntungan. Keuntungan media cetak bukan dari oplah atau jumlah cetak melainkan iklan. Semakin besar oplah maka biaya cetak bertambah. Terdapat marjin antara ongkos cetak koran 42 halaman sebesar Rp 7.000 sementara harga jual hanya Rp 4.000. Kekurangan ini ditutupi dari pendapatan iklan.Media yang dikuasai oleh satu pemilik terlihat merujuk kepada satu arah. Pembaca secara cerdas harus dapat mengolah dan memilih dan mampu mengidentifikasi latar belakang termasuk keyakinan politik media tersebut. Konglomerasi terjadi karena pemilik modal bersiap investasi dalam jangka panjang misalnya 10 tahun. Prinsipnya yaitu mengambil untung belakangan karena mendirikan usaha percetakan koran tidak akan mendapat untung dalam lima tahun pertama usaha. Kasus yang terjadi di Indonesia adalah Kampanye Calon Presiden pada Pilpres 2014. Banyak calon yang kebetulan sebagai pemilik suatu grup media, adapula calon presiden yang berkoalisi dengan grup media tersebut. Kepemilikan tunggal seperti RCTI, MNC TV, dan Global TV dalam MNC Group oleh Hari Tanoe yang sekaligus tokoh partai Hanura sangat dimungkinkan adanya penyeragaman informasi media dari pemilik. Hal tersebut dapat menimbulkan penyimpangan. Contoh lain adalah tvOne dari Bakrie Grup Media melakukan pembelaan dan pencitraan kepada pasangan Prabowo Hatta sementara MetroTV melakukan hal serupa pada pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mencatat stasiun televisi milik petinggi partai politik menunjukkan keberpihakan kepada pasangan calon-calon presiden (capres) tertentu. Data KPI, sebagaimana dilansir Koran Tempo pada berita utamanya Senin, 26 Mei 2014 menyebutkan Metro TV menayangkan berita soal Jokowi sebanyak 62 kali pada 6-15 Mei. Pada periode yang sama iklan kampanye di Metro TV mencapai 96 kali. Bahkan usai deklarasi pemberitaan soal Jokowi di Metro TV bisa mencapai 15 kali tiap hari. Hal tersebut melanggar aturan maksimal 10 kali setiap hari dengan durasi masing-masing paling lama 30 detik. Sebaliknya, pemberitaan soal Prabowo di Metro TV hanya 22 kali dan penayangan iklan kampanye Prabowo di Metro TV nihil. Di sisi lain, TV One juga memperlihatkan keberpihakannya dengan menyiarkan secara langsung deklarasi duet Prabowo-Hatta Rajasa dari Taman Makan Pahlawan Kalibata pada Senin, 19 Mei lalu. Sementara pemberitaan Jokowi, TV One sebagaimana diungkap koordinator divisi penelitian Remotivi Muhammad Heychael Jokowi merupakan tokoh politik dengan berita negatif terbanyak di TV One, yaitu 30.7 persen.Melihat hal ini Perlu adanya regulasi yang membatasi kepemilikan stasiun televisi paling banyak dua stasiun karena terbatasnya frekuensi. Akan tetapi selalu ada jalan untuk mengakali kepemilikan media. Pengusaha tidak harus berada dalam jajaran perusahaan, namun dapat menjadi perusahaan investor di media tersebut dengan saham 52 persen. Di lihat dari etika PR maupun Jurnalistik di sini terlihat bahwa informasi oleh media tidak lagi bertindak sebagai pihak yang netral tapi lebih mengarah sebagai alat untuk membentuk opini publik terhadap sesuatu.Sebagaimana pasal 1 Kode Etik Profesi Public Relations menurut Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia yang menyebutkan bahwa : Dalam menjalankan kegiatan profesionalnya, seorang anggota wajib menghargai kepentingan umum dan menjaga harga diri setiap anggota masyarakat. Menjadi tanggung jawab pribadinya untuk bersikap adil dan jujur terhadap klien, baik yang mantan maupun yang sekarang, dan terhadap sesama anggota Asosiasi, anggota media komunikasi serta masyarakat luas.Konglomerasi media tidak hanya di Indonesia namun juga terjadi di luar negeri. Contohnya adalah Trump Media milik Donald Trump di Amerika Serikat. Salah satu programnya yang pernah populer adalah The Apprentice. Program ini merupakan game show series untuk mencari pengusaha-pengusaha yang potensial yang kemudian akan dipekerjakan dalam salah satu perusahaan milik Trump. Dari sisi media ini merupakan acara edukasi yang menghibur, namun sebenarnya hal ini juga salah satu strategi PR dalam melakukan pencitraan Donald Trump sendiri.

Jurnalistik Juga Memiliki Kode Etik Suap PR dan Media Profesipublik relationdari awalnya dibuat oleh Ivy Ledbetter Lee, yang sebelumnya adalah seorang mantan jurnalis, sebagai profesi yang membantu memenuhi rasa ingin tahu masyarakat. Kedua bidang (public relation dan jurnalistik) yang tergabung dalam program studi ilmu komunikasi ini sama-sama butuh kredibilitas. Mereka butuh rasa percaya dari masyarakat yang mereka layani. Kedua profesi dibentuk untuk bersinergi. Namun tidak semua individu dapat melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Beberapa praktisipublic relationdan jurnalis ada yang lalai atau dengan sengaja melanggar peraturan keprofesionalitasan mereka yang kebanyakan dikarenakan ketamakkan dan kearogansian manusia. Dimana pelanggaran tersebut tidak mendapatkan beban hukuman negara tetapi akan mendapatkan sanksi dari asosiasi yang bersangkutan. Peraturan tersebut diatur dalam kode etikPublic Relationdan kode etik jurnalistik. Dari sekian banyak kode etikPublic Relationdan jurnalistik yang dibuat oleh berbagai perhimpunan, saya memutuskan untuk menemukan sinkronisasi dari kode etikPublic Relationyang dibuat oleh PerHuMas (Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia) dengan kode etik jurnalistik/wartawan Indonesia yang disusun oleh Dewan Pers. Yang pertama adalah kode etikpublic relationyang dibuat perhumas. Dalam laman resminya, perhumas mengemukakan bahwa landasan formal dari dibuatnya kode etik tersebut adalah UUD 1945, Piagam PBB (1945), dan Deklarasi Asean (8 Agustus 1967). Sedangkan kode etik wartawan Indonesia oleh Dewan Pers menuliskan landasannya yaitu berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB (1948). Di sana dapat kita lihat bahwa PR dan jurnalis mempunyai itikat baik yang sama yaitu untuk mengamalkan profesi mereka untuk negara dan dunia.Pada pasal I nomor 1 di kode etik PR perhumas, dikatakan bahwa anggota perhumas harus mempunyai komitmen pribadi untuk Memiliki dan menerapkan standar moral serta reputasi setinggi mungkin dalam menjalankan profesi kehumasan. Kata reputasi setinggi mungkin layak untuk dijajali lebih lagi. Sesuai dengan pasal-pasal selanjutnya, untuk mendapatkan reputasi yang baik PR harus mempunyai kemampuan untuk menjaga hubungan baik dengan klien, atasan, masyarakat, media massa, dan sejawatnya.Pasal III nomor 1 berbunyi, Menjalankan kegiatan profesi kehumasan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat serta harga diri anggota masyarakat. Hal tersebut akan membantu profesi jurnalis yang menginginkan informasi benar dan akurat demi kepentingan masyarakat, sesuai dengan pasal 1 kode etik jurnalis, Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Terkadang itikad baik yang dilakukan untuk masyarakat oleh jurnalis tidak berlaku untuk praktisi PR yang notabene adalah manusia yang merupakan anggota dari masyarakat juga. Di pasal ini, praktisi PR diharapkan untuk waspada dengan wartawan yang beritikad buruk, yang berarti berniat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain. Bad news is good news, prinsip yang umum dipakai oleh para jurnalis sering disalahartikan dengan mencari-cari kesalahan yang manusiawi dan hanya akan menimbulkan kericuhan dalam masyarakat yang dapat dikurangi dengan Crisis Management dalam studi PR. Untuk menjawab jurnalis iseng tersebut, praktisi PR dapat berpacu pada kata-kata Sophocles, seorang penulis drama Yunani,No one loves the messenger who brings bad news. Disini saya ingin menambahkan kata only atau hanya menjadi tidak ada yang menyukai seseorang yanghanya membawa berita buruk. Jurnalis harus diingatkan bahwa ia juga pihak yang harus berkontribusi untuk memperbaiki situasi yang ada demi pihak yang mereka sama-sama layani yaitu masyarakat.Selanjutnya, pada pasal III nomor 2 dari kode etik perhumas tertulis,Tidak melibatkan diri dalam tindak memanipulasi intergritas sarana maupun jalur komunikasi massa. Pasal ini cocok dengan pasal 6 pada kode etik wartawan Indonesia yang menyebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Suap, dijelaskan pada laman resmi Dewan pers adalah ketika wartawan menerima segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Kejadian tersebut salah satu perusakan profesi yang sering terjadi.Tidak menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau yang menyesatkan sehingga dapat menodai profesi kehumasan. adalah isi pasal III nomor 3 dari kode etik perhumas yang didukung dengan pasal 3 kode etik jurnalistik dimana wartawan harus menguji informasi. Jadi bila wartawan menemukan keganjilan pada press release atau informasi yang diberikan oleh PR, ia harus mengkitisinya. Sebaliknya bila praktisi PR merasa bahwa berita yang ditulis oleh wartawan tidak benar adanya, ia dapat mengajukan hak jawab (hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya) dan hak koreksi (hak setiap orang untuk membetulkan/memmperbaiki kekeliruan informasi yang diberitakan pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain) yang diatur dalam pasal 11 kode etik wartawan Indonesia.Poin terakhir dari pasal yang mengatur perilaku humas/pr terhadap masyarakat dan media massa adalah Senantiasa membantu untuk kepentingan Indonesia. Poin ini juga disadari oleh dewan pers. Seperti yang dikemukakan dalam pembukaan kode etik wartawan Indonesia yang mengklaim bahwa wartawan Indonesia menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Salah satu kepentingan bangsa itu diwujudkan dalam kemerdekaan pers yang merupakan sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.Seperti yang kita baca di atas, kode etik kedua profesi mendukung tujuan keduanya yang mulia. Tujuan mulia yang melambangkan kemuliaan profesi keduanya. Oleh karena itu penting bagi individu yang ingin terjun ke dunia PR/humas ataupun jurnalistik untuk saling mendukung dan mengetahui hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing. Ditambah pula kepekaan dalam bermasyarakat yang dapat membantu mereka mencapai tujuan mulia itu. Namun etika-etika tersebut nyatanya tidak dapat menghilangkan budaya suap-menyuap yang terjadi diantara praktisi PR dengan Jurnalistik. Salah satu kasus yang terjadi adalah sensor pemberitaan yang dilakukan pemerintah Australia. Hal ini berkaitan dengan publikasi Wikileaks.com yang mengatakan bahwa terdapat beberapa pemimpin dunia yang terlibat penggandaan uang kertas dengan dua perusahaan yaitu Reserve Bank of Australia (RBA) dan Note Printing Australia. Menurut dokumen WikiLeaks tanggal 29 Juli 2014, ada kasus dugaan korupsi multi juta dolar yan[footnoteRef:1]g secara eksplisit melibatkan beberapa tokoh di Indonesia, Malaysia dan Vietnam, termasuk kepala atau mantan pejabat negara dan keuangan. Secara khusus disebutkan dalam perintah pengadilan, Perdana Menteri Malaysia Najib Abdul Razak, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden Indonesia Megawati Soekarnoputri, Presiden Vietnam Truong Tan Sang, dan Perdana Menteri Vietnam Nguyen Tan Dung. [1: http://dewanpers.or.id/]

Pemerintah Australia menekan agar tidak ada reporter yang mempublikasikan masalah tentang Wikileaks.com ini lewat berbagai media. Bahkan pemerintah Australia mengamcam dengan hukuman pidana. Ini merupakan pelanggaran etika yang berat karena pemerintah berusaha menutupi sebuah informasi. Setelah ditelisik ternyata dari penyelidikan Polisi Federal dan Jaksa Australia, sudah sejak tahun 1999 Securency dan NPA memang melakukan aksi suap jutaan dolar di luar negeri dalam bisnisnya. Suap tidak hanya terjadi di beberapa negara yang disebutkan oleh Wikileaks, tetapi ternyata jauh lebih luas dan bahkan menyentuh beberapa negara besar. Oleh karena itu agar masalah tidak semakin membesar dalam era keterbukaan serta demi menjaga stabilitasnya, terutama politik, pemerintah Australia memberlakukan sensor berita melalui kekuatan pengadilan. Sensor serupa pernah diberlakukan oleh pemerintah Australia pada Tahun 1995, dimana kasus melibatkan kerjasama intelijen antara Amerika Serikat dengan Australia yang menyadap dan memata-matai Kedutaan Besar China di Canbera. Australia khawatir apabila kasus penyadapan dibuka oleh media, dampaknya akan sangat besar, yaitu berupa kemarahan China sebagai salah satu negara besar dan kuat. Terbukti kini China merupakan ancaman bagi AS dan Australia di kawasan Laut China Selatan. Dampaknya adalah keamanan nasional terhadap Australia.. Jadi alasan keamanan nasional akan terganggu dengan kasus suap ada benarnya juga bagi Australia, dampak sistemik suap dan korupsi akan sangat berbahaya bagi negara itu yang sangat bangga sebagai negara terbersih ke-sembilan dengan skor CPI 81. Apabila media membuka skandal suap secara keseluruhan, maka dampaknya akan terasa bagi pemerintahnya. Pemerintah sangat khawatir dengan dampak politis, citra di dalam dan di luar negeri bisa rusak. Dalam kasus diatas terlihat bahwa PR Pemerintah Australia harus bertindak cepat agar penyebaran masalah dapat segera dihentikan. Namun di sisi lain hal ini kurang sesuai dengan etika, karena PR berusaha menyembunyikan informasi yang penting dari publik. Padahal informasi ini menyangkut banyak negara lain. Etika juga dipertanyakan ketika pemerintah mengancam media dengan hukuman pidana bila menyebarkan informasi, ini bertentangan dengan etika jurnalistik yang mengharuskan media mengungkap kebenaran dan keadilan kepada publik.Di Indonesia sendiri pertentangan etika fungsi dan profesi antara jurnalistik dan PR juga terjadi. Namun berbeda dengan pemerintah Australia yang mengendalikan media dengan terang-terangan mengancam tindak pidana, di Indonesia PR terbiasa mengontrol media dengan memberikan gratifikasi. Dalam forum diskusi online Kompas.com, Kompasiana, S. Hidayat, seorang konsultan Brand MNC Group mengaku bahwa aktivitas suap dan gratifikasi sudah biasa dilakukan antara PR dengan pihak media. Bentuk gratifikasi (dan juga suap) yang biasa kami lakukan sebagai petugas PR adalah memberikan goody bag yang berisi souvenir dan amplop kepada wartawan yang menghadiri acara yang kami lakukan seperti konferensi pers dan product launching. Kenapa itu dilakukan? Karena budayanya begitu! Lebih dari 90 persen wartawan tidak menolak pemberian ini. Biasanya hanya segelintir wartawan yang berani menolak atau mengembalikan amplop. Sebagian besar mau terima. Bahkan ada sebagian wartawan yang kalau tidak diberi bisa ngambek, protes dan marah-marah. Bentuk lainnya adalah mengajak wartawan untuk makan siang atau ngopi. Istilah kami untuk kegiatan ini adalah media entertain. Tujuannya bisa sekedar untuk silaturahmi, namun seringnya adalah karena ada kepentingan, misalnya untuk minta bantuan liputan atau pemuatan artikel mengenai klien yang kami tangani. Disinilah proses suap dan gratifikasi bisa terjadi.Saya ingat, ketika pertama kali terjun di dunia PR saya langsung berkenalan dengan istilah media goodwill, media entertain atau amplop wartawan. Apapun istilahnya, semua orang tahu bahwa itu adalah upaya suap. Namun para pihak terlibat, mulai dari petugas PR, wartawan, hingga klien diam-diam saja, seolah merestui dan tidak merasa berdosa. Sepertinya semua berpikir samaini hanyalah proses bisnis.Tidak dapat dipungkiri pengakuan konsultan diatas memang benar adanya. Budaya suap dan KKN sudah merajalela di Indonesia. Namun sudah jelas-jelas aktivitas ini tidak sesuai dengan etika jurnalistik maupun etika Humas sendiri. Kasus suap, gratifikasi, dan berbagai jenis KKN bisa dikatakan telah melanda media massa. Seharusnya, dengan posisi dan fungsinya, media massa bisa menjadi aktor yang sangat penting dalam mematikan budaya suap atau KKN di tanah air ini. Faktanya, banyak media malah telah menyuburkan praktek KKN. Dari sekian banyak media massa yang ada di negeri ini, saya berani katakan bahwa lebih dari 90 persen media massa terlibat atau setidaknya turut mendorong budaya KKN. Budaya KKN di negeri kita ini memang luar biasa. Tanpa sadar semua masyarakat digiring menjalankan budaya itu.Etika dalam Transparansi Informasi Pada Hubungan MediaPublic Relations Officer (PRO) dan jurnalis media memiliki hubungan spesial dan hampir tidak mungkin untuk dipisahkan, karena saling bergantung satu sama lain. Hubungan yang terjalin antara PRO dan jurnalis media dikategorikan sebagai hubungan mutual dependence atau hubungan yang saling menguntungkan, namun rawan terjadi perselisihan, entah itu masalah akses pemberitaan, dan kepercayaan. Oleh karena itu kita sebagai PRO harus terus meningkatkan dan menjaga etika dalam menjalin hubungan dengan jurnalis media, karena baik PRO dan Jurnalis media mempunyai hak-hak dan kode etik yang hampir sama. Untuk meningkatkan dan menjaga hubungan kita dengan jurnalis media agar menjadi lebih baik, kita harus menerapkan Empat Pilar Hubungan Media yang Etis yang saling berkaitan untuk meningkatkan dan menjaga hubungan kita dengan jurnalis media.

(Gambar 1. Empat Pilar Hubungan Media yang Etis)Kepercayaan merupakan sebuah hal yang sangat berharga dalam membina suatu hubungan, terutama hubungan dengan media. Kejujuran dan ketepatan ketika memberikan informasi kepada media sangatlah penting, informasi yang diberikan juga harus bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, karena media akan mempublikasikannya kepada khalayak. Informasi yang diberikan kepada media dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu good news dan bad news. Biasanya yang seringkali menjadi pemicu perselisihan antara media dengan PRO adalah informasi yang mengandung bad news, di satu sisi sebagai PRO perusahaan kita harus tetap mempertahankan citra perusahaan, sedangkan pihak media harus mengungkapkan kebenaran mengenai permasalahan yang ada pada perusahaan tersebut. Kita sebagai PRO tetap harus jujur untuk menginformasikan bad news tersebut dengan cara mengkonfirmasikan kebenaran isu yang beredar kepada media terlebih dahulu, meski demikian bukan berarti kita harus membongkar semuanya. Hal ini dilakukan demi meminimalisir beredarnya informasi-informasi yang menyesatkan di masyarakat dan yang bisa semakin merugikan perusahaan. Selain itu, tindakan itu juga bisa tetap menjaga hubungan baik kita dengan media.Dalam menjaga hubungan dengan media tidak harus selalu dengan sesuatu yang berlebihan seperti menjamunya di restoran mahal, mengakomodasi transportasi dan penginapan. Selain lebih riskan karena bisa dianggap sebagai tindak penyuapan, belum tentu kita mendapat hasil yang sesuai dengan ekspektasi. Menerima telfon dan pesan dari media yang membutuhkan informasi dan kemudian meresponnya dengan cepat, tepat, dan akurat memang terlihat sebagai suatu hal yang biasa, karena merupakan suatu kewajiban bagi seorang PRO. Padahal dari tindakan sederhana seperti itu bisa menjadi salah satu kunci untuk menjaga kedekatan hubungan antara PRO dengan media. Media sudah menganggap kita peka terhadap mereka karena kita sudah memperlancar pekerjaan mereka untuk mencari informasi dan dikejar deadline. Tetapi, dari hal yang sederhana itu juga bisa menjadi awal spekulasi-spekulasi negatif ketika perusahaan kita terjerat masalah dan kita memilih untuk menghindarinya.Kebijaksanaan seorang PRO di nilai dari bagaimana ia dalam bertindak menangani suatu masalah. PRO yang bijak tahu waktu yang tepat untuk menggunakan media, dan bagaimana menggunakan media untuk meng-handle suatu permasalahan. Ketika ada isu mengenai perusahaan, kita harus cepat dan sigap memberikan konfirmasi kepada rekan media agar tidak ada isu-isu negatif lain yang menyebar. PRO yang bijaksana tidak akan menyebarkan informasi palsu kepada media demi menjaga reputasi perusahaan, karena hal itu justru akan memberikan dampak yang lebih buruk, tidak hanya mencemari pemberitaan media kepada masyarakat, berita palsu itu juga akan merusak nama baik perusahaan di mata media dan masyarakat. Salah satu aspek yang menjadi landasan dari hubungan yang etis dengan media ataupun dengan publik adalah dengan bersikap profesional dan terhormat. Seorang PRO harus tetap bersikap profesional dalam segala situasi dan kondisi, sekalipun mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari pihak media seperti, pemaksaan, pemerasan, atau tindak kekerasan. Sebenarnya mungkin saja kita sebagai PRO meminimalisir tindakan tidak menyenangkan tersebut dengan memperlakukan siapa saja dengan rasa hormat. Rasa hormat yang kita berikan kepada media bisa menjadi nilai tambah dan mempererat hubungan antara PRO dan media, yang memberikan keuntungan strategis ketika suatu saat perusahaan kita tersandung pemberitaan negatif, media tersebut tidak ragu-ragu membantu kita karena mereka sudah diperlakukan dengan baik selama berhubungan dengan kita.Ke-empat pilar diatas sangat berkaitan erat dengan transparansi media. Secara tidak langsung media memanfaatkan posisi mereka sebagai pahlawan kebenaran dan karena itu memang merupakan tugas media mengungkap kebenaran dari sebuah isu yang bereda dan mempublikasikannya kepada masyarakat luas, dan kita sebagai PRO mempunyai peranan penting untuk keseimbangan hubungan media dan transparansi informasi kepada media. Itu adalah tanggung jawab profesi kita untuk menjaga etika hubungan media yang meliputi keterbukaan, kejujuran, ketepatan, kepekaan, kebijaksanaan, profesionalisme, dan bertanggung jawab sebagaimana media punya tanggung jawab kepada masyarakat untuk memberi informasi yang tepat, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. (Sharpe, Mervin. Professor PR Amerika)

Berikut ini adalah salah satu contoh kasus dengan tindak penanganan yang sangat baik oleh PRO perusahaan dengan menggunakan empat pilar hubungan media yang etis tersebut :[footnoteRef:2]Pada awal tahun 2013 lalu, masyarakat Eropa dikagetkan dengan pemberitaan isu kontaminasi daging kuda dalam beberapa makanan kaleng yang tersebar di 12 negara. Salah satu produk makanan kaleng tersebut di produksi oleh Nestle. Nestle merupakan raksasa produsen makanan dan minuman terbesar di dunia. Nestle mengambil keputusan yang sangat bijaksana, karena sebelum isu itu beredar terlalu lama, pihak Nestle dengan cepat dan sigap melakukan uji tes DNA dalam produknya dan membenarkan isu tersebut kepada media bahwa ada kontaminasi daging kuda tetapi sangat rendah (diatas 1%) lalu mengambil tindakan dengan menarik produk-produk yang terkontaminasi tersebut dari pasaran. [2: http://www.tempo.co/read/news/2013/02/19/117462244/Nestle-Tarik-Produk-Tercemar-Daging-Kuda]

Meski berada dalam situasi yang kurang menguntungkan karena harus menginformasikan bad news kepada media, Nestle tetap menjaga ke profesionalan dan kredibilitasnya dengan bersikap jujur atas isu tersebut dengan mengambil tindakan tersebut bertujuan untuk meminimalisir isu-isu negatif yang bermunculan, karena jika Nestle tidak segera menanggapi isu tersebut maka akan semakin memperkeruh keadaan. Tindakan tersebut juga menunjukkan bahwa Nestle peka terhadap media yang ingin segera memberitakan kebenaran mengenai isu yang meresahkan masyarakat tersebut dengan sigap melakukan uji tes DNA dan memberi kemudahan akses kepada media dengan mengkonfirmasi kepada media bahwa ada kontaminasi daging kuda dalam produknya, serta juga memberikan informasi bahwa akan ada penarikan produk-produk yang terkonaminasi tersebut dari peredaran demi menjaga kepercayaan masyarakat sebagai perusahaan dengan reputasi yang baik. Kepercayaan masyarakat dan media sangatlah berharga karena masyarakat merupakan salah satu konsumen perusahaan yang berarti menjadi salah satu roda penggerak jalannya suatu perusahaan, dan perusahaan juga membutuhkan media untuk melakukan kegiatan publikasi dan promosi kepada khalayak sasarannya. Selain itu perusahaan juga membutuhkan waktu bertahun-tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun untuk membangun opini publik di media dan masyarakat hingga mendapatkan reputasi sebagai perusahaan yang mempunyai kredibilitas.Dari penyelesaian kasus dengan cara profesional seperti diatas lalu kemudian kita dibandingkan dengan kasus berikut ini, akan terlihat jelas perbandingannya dalam penerapan pilar etika hubungan dengan media dan transparansi informasi media yang tidak lancar[footnoteRef:3]Beberapa bulan lalu, atau lebih tepatnya pada awal tahun 2014, masyarakat Indonesia digemparkan dengan kasus pelecehan seksual pada siswa Jakarta Internasional School (JIS) yang dilakukan oleh cleaning service sekolah tersebut, tetapi karena pihak JIS seolah-olah menutupi pemberitaan kepada media namun sudah terlanjur di blow-up ke media massa, maka munculah serentetan isu-isu negatif mengenai JIS, yang awalnya booming karena kasus pelecehan seksual, mulai merembet ke isu perizinan mendirikan bangunan di JIS yang tidak sah, isu daftar pencarian FBI yang ternyata bekerja dan menjadi tersangka di JIS, orang tua korban yang mencari sensasi dengan menaikan uang ganti rugi dari US$ 12 jt menjadi US$ 125 jt, hingga akhirnya juga ikut melibatkan PT. ISS Indonesia sebagai penyuplai jasa cleaning service kepada JIS yang sekarang menjadi tersangka kasus pelecehan seksual di JIS. [3: http://news.metrotvnews.com/read/2014/04/22/233579/alasan-jis-tertutup-pada-media]

Sejak awal isu mengenai pelecehan seksual ini berhembus seharusnya PRO mengambil tindakan cepat dan profesional untuk segera meng-handle isu dengan memberikan klarifikasi kepada media terlebih dahulu jika memang terjadi kasus seperti itu dan berjanji akan memberi informasi lebih lanjut mengenai perkembangan kasusnya. Tindakan tersebut perlu dilakukan supaya kita bisa terlebih dahulu meng-handle pemberitaan mengenai isu tersebut, dan meminimalisir isu-isu negatif yang mulai menyebar di masyarakat. Tetapi tindakan yang dilakukan oleh JIS malah mengecewakan dan tidak profesional. Ketika isu tersebut berhembus dan terlanjur di blow-up media, pihak JIS malah menutup diri kepada media, dengan alasan memfokuskan diri kepada keluarga korban. Memang tujuannya sudah benar, tetapi cara meng-handle pemberitaannya yang kurang tepat. Hal ini sangat berbeda sekali jika kita bandingkan dengan kasus kontaminasi daging kuda dalam produk Nestle yang mencakup ranah Internasional tetapi dengan penganan cepat, tepat, dan profesional, mereka bisa meng-handle isu yang masih hangat tersebut dengan mengambil tindakan berani jujur untuk mengklarifikasi dan membeberkan hasil uji tes DNA produk makanan mereka kepada media meski itu merupakan bad news bagi perusahaan mereka.Media yang haus akan kebenaran informasi mengenai isu pelecehan seksual tersebut menganggap bahwa pihak JIS tidak peka terhadap media dan malah mempersulit akses media dalam mencari kebenaran dan seolah-olah terlihat menutupi kebenaran yang ada. Pada akhirnya dengan bertindak tertutup kepada media, telah lahir banyak sekali spekulasi yang akhirnya menjadi isu-isu negatif tersebar di masyarakat dan mengakibatkan reputasi JIS semakin rusak di mata masyarakat. Pada akhirnya penyelesaian kasus ini menjadi tidak jelas karena banyak sekali bahwa banyak sekali kejanggalan dan bias karena ada beberapa dugaan baru yang muncul sehingga menyebabkan penyelesaian kasus ini menjadi lamban. Meski demikian, nama dan reputasi JIS sudah terlanjur rusak karena penanggulangan isu yang kurang tepat, dan mungkin butuh waktu yang lama untuk memulihkannya kembali karena sudah melekat di opini publik bahwa ketika masyarakat umum mendengar nama JIS yang ada di pikiran mereka hanyalah sekolah yang punya banyak sekali masalah di dalamnya.Dari penjelasan dan contoh analisa kasus diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan antara PRO dan media pada dasarnya hanyalah sebuah permainan kata-kata etis dan berlandaskan pada kepercayaan. Suatu tindakan yang dapat mengakibatkan ketidakpercayaan akan selalu di kritisi secara etis. Etika memiliki aspek-aspek nilai yang sangat penting bagi media dan masyarakat. Etika-etika tersebut juga ada kaitannya dengan transparansi informasi media dan menjaga hubungan media dengan PRO yang saling bergantung satu sama lain, dengan tetap berpegang teguh pada kode etik profesi masing-masing yang sebenarnya mengarah pada suatu inti dan tujuan yang sama. Dengan ke-empat pilar hubungan media yang etis dan transparansi media, bagaimanakah cara PR menghadapi tantangan baru dalam era globalisasi web 2.0 yang ikut merubah wajah dan tools PR menjadi PR 2.0 yang mengoptimalisasikan internet untuk mempermudah pekerjaan mereka dan bisa meng-handle isu-isu yang beredar, karena arus informasi lebih luas dan cepat tanpa mengenal batas ruang, waktu, dan siapa saja kini bisa menjadi jurnalis dengan media sosial.

Implementasi Baik dan Buruk serta Etika PR tentang PR 2.0PR 2.0 adalah sistem modern yang dianut oleh praktisi PR saat ini, dimana praktisi PR harus dapat mengkombinasikan kinerja atau tugas seorang PR yang diaplikasikan menggunakan new media yaitu internet ataupun jaringan telekomunikasi seperti social media, blog, dan lain-lain. PR 2.0 menggunakan tools komunikasi sosial media yang dapat membuat komunikasi secara professional untuk meraih komunikasi yang lebih baik dengan memengaruhi audiens atau konsumer secara langsung.[footnoteRef:4]Kemudian, internet juga membantu kinerja PR dalam membangun hubungan dengan media, dalam jurnal ilmiah yang ditulis oleh Melanie James mengatakan bahwa, [4: http://www.deirdrebreakenridge.com/pr-20-defined/]

The internet gives public relations practioners a unique opportunity to collect information, monitor public opinion on issues, and engage in direct dialogue with their publics about variety of issues. (James, Melanie p.138)

A recent study of 120 corporate websites from six European countries, the US and Singapore (Alfonso & de Valbuena Miguel, 2006) found that the use of Internet tools to build strong and solid relationships with the media is far from ideal (p.274)(James, Melanie p.138)

Komunikasi secara online ini sangat benar-benar dibutuhkan bagi kondisi zaman yang begitu sangat technological-based. Dengan adanya zaman digital yang menyebar ini diharapkan para praktisi PR dapat menjalankan tugasnya lebih ringkas, cepat, dan hemat. Ringkas berarti PR lebih mudah mempublikasikan informasinya tanpa banyak birokrasi atau jalur yang harus dilalui. Praktisi PR dapat dengan mudah mengetikkan jari ke keypad atau keyboard gadget atau netbooknya dan segera melaporkan informasi yang ingin dipublikasikan kepada publik. Cepat, butuh waktu hitungan detik saja tergantung dengan sinyal dan koneksi jaringan yang ada untuk memeroleh dan menyebarkan informasi, atau berkomunikasi kepada customer. Hemat, butuh biaya yang sangat minim daripada pengaplikasian kegiatan PR dengan model lama, yang perlu dibutuhkan adalah keahlian dan kemampuan untuk mengoperasikan teknologinya saja. Era digital ini juga sangat memengaruhi tatanan sosial masyarkat di dunia terkhusus di Indonesia. Berdasarkan data yang dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, menyatakan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 82 juta orang (peringkat ke-8 di dunia) dengan prediksi mencapai angka 100 juta pada tahun 2015. Survei Data Global Web Index, Indonesia adalah negara yang memiliki pengguna sosial media yang paling aktif di Asia 79,7% mengalahkan Filipina 78%, Malaysia 72% dan Cina 67%.Besarnya pengguna sosial media tersebut diprediksi 90 persen dari jumlah pengguna internet yang ada dengan jumlah 62 juta pengguna facebook dan twitter setelahnya, dan lain-lain. Banyaknya pengguna internet dan pengguna sosial media di Indonesia mengharuskan para praktisi PR juga terjun langsung dan siap untuk melaksanakan PR 2.0 (Digital PR) ini. Deidre Breakenridge, CEO of Pure Performance memberikan beberapa poin yang harus ditempuh oleh seorang PR untuk sukses dalam PR 2.0, 9 Golden Rules of PR 2.0 sebagai berikut : 1. Set Goals (Rumuskan goals)2. Research Audiences ( Teliti Audiens)3. Select Target Audiences (Pilih Target Audiens)4. Define Strategies (Tentukan Strategi5. Chose a convenient platform (Pilih Platform yang pas)6. Design messages (Rumuskan pesan)7. Measure Effectiveness (Ukur Efektivitas)8. Be proactive (Proaktif)9. Monitor (Monitor)Dalam aplikasinya yang menjadi hakim dalam pemberitaan adalah masyarakat karena pemberitaan terkadang langsund didapatkan oleh media-media online perusahaan seperti web dan jejaring sosial lainnya. Tetapi, para jurnalis justru sekarang akan lebih menjadikan media online sebagai salah satu sumber dan referensi dari pemberitaan sehingga diharuskan praktisi PR untuk lebih berhati-hati. Walaupun PRO terlihat sangat dimanja dengan teknologi canggih ini, namun PR juga tetap harus memperhatikan etika-etika PR di mana tidak ada yang boleh memalsukan berita-berita atau dengan sengaja membocorkan informasi yang seharusnya tidak diinformasikan serta memberikan informasi yang tidak sepenuhnya. PR baik itu institusi maupun perusahaan harus lebih peduli terhadap hal ini karena banyak juga kasus-kasus pengguna online yang menjadi pedang tajam bagi perusahaan atau institusi karena keisengan dan opini masyarakat yang bebas. Adapun kasus yang dihadapi perusahaan Sony di mana citra dan reputasi di mata publik dipertaruhkan. Sony Corporation mendapat serangan dari facebooker, blogger, dan kaskuser serta pengguna media sosial lainnya. Hal ini dikarenakan ketika Sony Corp menemukan adanya domain yang menggunakan kata SONY yaitu http://www.sony-ak.com. Nama yang sama ini merupakan sebuah pelanggaran Undang-undang merek di mana menggunakan nama yang sama dan tulisan dalam site tersebut berisikan tentang jenis-jenis jasa yang dilindungi dalam pendaftaran SONY dan SONY sangat khawatir bahwa ini akan menjadikan nama baik dari SONY menjadi tercoreng.Sony AK tersebut merupakan nama dari Sony Arianto Kurniawan yang menuliskan mengenai software dan aplikasi, dan sebagainya. Sony merasa sangat khawatir dan cemas ketika mengetahui dirinya digugat dikarenakan hal tersebut. Namun, pada akhirnya pihak hukum dari Sony Corp tidak jadi membawa ini ke pengadilan dan sudah diselesaikan secara musyawarah. Hal ini menjadi lemparan batu yang keras bagi SONY Corporation di mana Sony AK mendapatkan banyak empati dari masyarkat Indoensia melalui sosial media. PR dari Sony Corporation seharusnya terlebih dahulu melihat titik permasalahannya dan jika bisa diselesaikan secara baik-baik tanpa boomingnya berita seperti ini jauh lebih baik. PR Sony juga seharusnya menjalankan golden rules yang telah dijalankan di atas, di mana para pengguna sosial media ini adalah orang yang memerhatikan produk SONY dan sangat peka terhadap pemberitaan di sosial media, PR harus menjalankan komunikasi dua arah di dalamnya sehingga para pengguna sosial media akan mendapatkan kepercayaannya kembali karena tanggapan langsung dan baik dari PR Officer. Seperti yang dikatakan oleh Humas PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) Anjari pada Talk Show di Banten 25 Januari 2014 yang lalu, bahwa esensi media sosial adalah untuk bercakap-cakap. Bukan hanya bicara tetapi juga mendengarkan. Hal yang sama juga dihadapi oleh Oli Top1 dimana menyebarnya isu negatif di dunia maya yang mengatakan bahwa Oli Top1 bukan merupakan produk bagus, ukuran pabrik yang kecil di Amerika, produk tidak dikenal, jarang digunakan pengguna kendaraan, dan sebagainya. PR Oli Top1 sudah melakukan strategi yang pas yaitu dengan mengaplikasikan PR 2.0 dengan melakukan pembenahan pada media online. Oli Top1 membuat web khusus untuk publik di Indonesia, aktif di media online, memperbanyak publikasi positif di media online, membuka konsultasi online khusususnya tentang sistem pelumasan, serta edukasi mengenai pengetahuan pelumas bagi publik. Top1 membangun komunikasi dua arah dengan pengguna intenet dan isu-isu negatif tersebut pun kandas karena baiknya penggunaan media online tersebut.[footnoteRef:5] Sampai sekarang Oli Top1 membangun citra positif melalui online. [5: http://imultidimensi.wordpress.com/2012/04/11/pr-net-studi-kasus/]

Hal ini diamini oleh Humas PERSI, Anjari Umarjianto pada acara Talk Show Online Marketing to Maximize Branding and Achieve Target di PERSI Banten, Sabtu 25 Januari 2014 kemarin yang mengatakan bahwa untuk menjadikan perusahaan tetap eksis dan diminati oleh publik (pasien) maka kita harus masuk ke dalam dunia customer berada yaitu di dunia maya. Ini berarti bahwa praktisi PR dituntut sekali untuk tetap dan berada di koridor digital walaupun harus tetap mengimbangi dengan penggunaan media massa. Sosial media bukanlah media penjualan yang menggembor-gemborkan produk atau jasa perusahaan tetapi tempat membangun kepercayaan dan hubungan jarak jauh antara customer dan perusahaan atau bisa disebut sebagai investasi jangka panjang. Hal yang baik yang sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan di antaranya adalah Pizza Hut di mana ada customer yang merasa dirugikan oleh perusahaan atau mengklaim atas ketidakpuasan yang didapatkan. Customer di sini hanya menguji kepekaan perusahaan tersebut dan begini hasilnya. Akun sosial media PizzaHut memberikan jawaban secara cepat kepada pelanggannya dengan memberikan pertanggungjawaban perihal klaim yang diberikan. Ini adalah bentuk PR 2.0 yang sangat baik, di mana PR bukan hanya menyuapkan informasi melalui sosial media secara satu arah tetapi, menciptakan iklim kondusif di mana para pelanggan dapat bercengkrama atau berkomunikasi secara tidak langsung dengan pihak perusahaan. Ada pula contoh lain dari perusahaan Head&Shoulders di mana memanfaatkan sosial media sebagai media kampanye baru. Groufie adalah terobosan yang yang dibuat oleh perusahaan. Mereka memanfaatkan foto bersama (grup picture) sebagai pengganti selfie yang terkesan lebih narsis (Survey SelfieCity 2014) karena lebih menyenangkan dan terasa kedekatanya daripada virtual. Didukung oleh Survey lainnya dari TNS (Taylor Nelson Sofres) bahwa 72% orang Indonesia mengaku masih menikmati dan menghargai koneksi secara fisik yang sebenarnya dibandingkan koneksi secara virtual. Alasan tersebut menjadikan pemicu bagi brand Head&Shoulders untuk membuat groufie. Sumber : Twitter (03/10/2014)

Berbagai macam bentuk aktivasi seperti ke kampus, media, perkantoran, dan spot komunitas, Head&Shoulders memperkenalkan tren ini. Apa relevansinya dengan brand profile H&S? 65% orang menyatakan bahwa mereka segan berdekatan dengan orang lain karena adanya ketombe yang membuat mereka kurang percaya diri. H&S ingin membantu para penggemar foto untuk melakukangroufiedengan penuh percaya diri, tanpa ketombe, tutur Febrina Herlambang, Brand Communication Manager P&G Indonesia.[footnoteRef:6] [6: http://mix.co.id/brand-activation/on-ground-activation/groufie-kampanye-baru-headshoulders/]

Beberapa media cetak dan juga lainnya menjadi sasaran dari brand pula di mana mereka diajak untuk melakukan groufie. Semua hasil dari groufie tersebut diunduh ke sosial media (twitter) dan sangat memuaskan jumlahnya, 2300 tweets berhasil diunggah konsumen melalui twitter hanya dalam waktu 7 hari. Ini adalah bentuk nyata dari PR 2.0 di mana dengan sekejap sebuah brand dapat berkembang pesat. Pintarnya PR Head&Shoulders diperlihatkan pula dari sasaran tren groufie ini yaitu para pegawai dari media yang sekaligus sebagai bentuk menjalin hubungan baik dengan media melalui media gathering.Beberapa kasus nyata di atas kebanyakan adalah aplikasi PR 2.0 yang sudah baik atau bentuk nyata bagaimana ganasnya para pengguna media online dalam menghakimi sebuah perusahaan ketika ketidakadilan diperlihatkan diperuntukkan untuk pihak konsumen atau pelanggan. Dalam melakukan aktivitas digital, praktisi PR tetap harus memandang atau berpedoman pada etika profesi PR seperti yang tercantum pada pasal III (Perilaku Terhadap Masyarakat dan Media Massa). Pasal ini juga diterapkan pada new media, di mana praktisi PR tidak boleh melibatkan diri dalam tindak manipulasi intergritas sarana maupun jalur komunikasi massa, tidak menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau menyesatkan sehingga dapat menodai profesi kehumasan (Pasal III ayat 2 dan 3).Setiap informasi yang diberikan oleh PR pada media online juga harus benar, faktual, dan aktual. Apabila PR tidak menjalankan hal tersebut maka kode etik PR dilanggar. Berlaku pula aspek-aspek dari hubungan media yang etis di mana adanya kebijaksanan dan kepekaan (Parsons, Patricia p.93). Kebijksanaan dalam hal ini di ana seorang praktisi PR menghindari menyumbat saluran komunikasi masyarakat dengan tidak memberikan berita atau dengan memberikan berita palsu. Kepekaan juga yaitu di mana praktisi PR diwajibkan untuk peka dan merespon semua hal yang berkaitan tentang kepercayaan dan reputasi sebuah perusahaan. Aspek-aspek hubungan media yang etis ini juga dapat diaplikasikan sebagai aspek-aspek yang harus dilakukan oleh PR dalam menggunakan media online. PR harus bijaksana dan peka terhadap apa yang ada di media online seperti dengan memberikan informasi sebenar-benarnya dan menciptakan komunikasi dua arah. Para praktisi PR di Indonesia memang sudah banyak yang menggunakan media online sebagai strategi baru dalam melaksanakan kegiatan dan tujuan PR namun, masih ada yang masih menggunakan sistem konvensional dikarenakan masih banyak yang takut dengan menggunakan teknologi, seperti yang ada di dalam jurnal ilmiah milik Melanie James, Although corporate websites, chat-rooms, email customer response facilities and electronic news release distribution are now viewed as standard aspects of public relations practice (Galloway, 2005) many public relations practioners are struggling with the impact of new media, and especially the Internet. Research has shown that the practitioners are not fully embracing new media, are ill-equipped to do so and have fear of the technology (Alfonso&de Valbuena Miguel, 2006). (James, Melanie p.137) begitu pula di luar negeri seperti di Amerika Serikat. Claire Celsi seorang Public Relations dan Social Media Strategist dan ia pula menjadi Director of Public Relations at Spindustry Digital di Iowa menulis sebuah blog beralamatkan http://www.publicrelationsprincess.com/. Di blognya tersebut ia memaparkan bukti bahwa PR professional di Amerika Serikat masih banyak yang belum menggunakan atau mengaplikasikan PR 2.0. Berikut adalah hasil yang ia dapatkan tiap kali berbicara di grup PR Profesional tentang pendapat mereka atas kehadiran sosial media sekarang. 1. I dont have anything to say2. I dont have time for this3. My company blocks sosial media sites4. My clients dont pay attention to social media5. I am not allowed to express my personal opinion.[footnoteRef:7] [7: http://www.publicrelationsprincess.com/2009/09/pr-practitioners-still-hiding-from-social-media-i-see.html]

Itu adalah alasan-alasan yang terkumpul atas respon pertanyaan Claire. Begitu mirisnya alasan PR Profesional tersebut. Menurut Claire memang tidak semua orang mempunyai waktu untuk blogging atau updating Facebook atau Twitter tiap waktu dan itu dimaklumi namun itu bukanlah hal yang harus dilakukan dalam PR 2.0. Kesuksesan dalam PR 2.0 ini adalah bagaimana PR memandang sosial media sebagai realitas jangka panjang, mereka mempublikasikan pikiran orisinal dan konten-konten fakta. Mereka membagikan pengalaman mereka, mereka bercerita. Thats the real PR 2.0.

KESIMPULANDalam membangun hubungan yang baik antara humas dan jurnalis, humas perlu memperhatikan 5 hal yaitu : membangun hubungan yang professional antara humas dan jurnalis, humas perlu mengetahui seluk-beluk dunia jurnalis, humas perlu memiliki kemampuan pratik jurnalis, humas harus mampu mengenal wartawan dan redaktur secara personal dan humas tidak boleh bersikap diskriminatif terhadap jurnalis atau media massa.Selanjutnya, konglomerasi media merupakan konsentrasi kepemilikan beberapa media oleh satu perusahaan. Sebetulnya, di belakang itu, tujuan pemilik media bukan lagi untuk melayani kepentingan publik melainkan untuk kepentingan pribadi pemilik media tersebut. Kemudian dalam prakteknya beberapa praktisihumasdan jurnalis ada yang lalai atau dengan sengaja melanggar peraturan keprofesionalitasan mereka yang kebanyakan dikarenakan ketamakkan dan kearogansian manusia. Namun sayangnya pelanggaran tersebut tidak mendapatkan beban hukuman negara tetapi akan mendapatkan sanksi dari asosiasi yang bersangkutan. Peraturan tersebut diatur dalam kode etikhumas dan kode etik jurnalistik.Untuk meningkatkan dan menjaga hubungan kita dengan jurnalis media agar menjadi lebih baik, kita harus menerapkan Empat Pilar Hubungan Media yang Etis yang saling berkaitan untuk meningkatkan dan menjaga hubungan kita dengan jurnalis media yaitu, kejujuran dan ketepatan, kebijaksanaan, kepekaan dan rasa hormat.Terakhir, sebagai PR yang profesional kita harus mampu beradaptasi dengan perkembangan sehingga dapat mengkombinasikan kinerja atau tugas seorang PR yang diaplikasikan menggunakan new media yaitu internet ataupun jaringan telekomunikasi seperti social media, blog, dan lain-lain atau yang disebut dengan PR 2.0. PR 2.0 menggunakan tools komunikasi sosial media yang dapat membuat komunikasi secara professional untuk meraih komunikasi yang lebih baik dengan memengaruhi audiens atau konsumer secara langsung. Setiap informasi yang diberikan oleh PR pada media online juga harus benar, faktual, dan aktual. Apabila PR tidak menjalankan hal tersebut maka kode etik PR dilanggar. Berlaku pula aspek-aspek dari hubungan media yang etis di mana adanya kebijaksanan dan kepekaan.

SARANPR dan jurnalis memiliki tujuan yang berbeda, akan tetapi keduanya bersifat simbiosis mutualisme (saling membutuhkan) dan juga interpenden (saling bergantung) sehingga kedua belah perlu membangun hubungan yang baik untuk mencapai tujuannya masing-masing dan setelah terbangun hubungan yang baik dengan jurnalis, seorang humas juga bertanggung jawab untuk menjaga dan meningkatkan hubungan diantara mereka.Akan tetapi pada kenyataannya banyak paraktisi humas dan jurnalis yang melanggar keprofesionalitasan mereka dan tidak mendapatkan beban hukuman negara, akan tetapi kita sebagai PR yang berpendidikan tidak boleh menyepelekan hal tersebut dikarenakan efek pelanggaran tersebut pasti akan dirasakan suatu saat nanti.Sebagai PR yang profesional kita harus mampu beradaptasi dengan perkembangan sehingga dapat mengkombinasikan kinerja atau tugas seorang PR yang diaplikasikan menggunakan new media yaitu internet ataupun jaringan telekomunikasi seperti social media, blog, dan lain-lain atau yang disebut dengan PR 2.0.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2012.PR Net Studi Kasus.(http://imultidimensi.wordpress.com/2012/04/11/pr-net-studi-kasus/, diakses pada 3 Oktober 2014)Anonim.2013.Nestle Tarik Produk Tercemar Daging Kuda. (http://www.tempo.co/read/news/2013/02/19/117462244/Nestle-Tarik-Produk-Tercemar-Daging-Kuda, diakses pada 30 September 2014 pukul 01.56 WIB).Anonim.2013.PR 2.0 Defined.(http://www.deirdrebreakenridge.com/pr-20-defined/, diakses pada 4 Oktober 2014)Antara. 2014. Jurnalis APEC Tertarik Ikut Tur Wisata di Bali. (http://travel.kompas.com/read/2013/10/07/1539409/Jurnalis.APEC.Tertarik.Ikut.Tur.Wisata.di.Bali, diakses pada tanggal 30 September 2014)Armandhanu, Denny dan Santi Dewi.2014. Australia Perintahkan Sensor Media Soal Suap yang Libatkan Indonesia-Hal ini terungkap dalam bocoran terbaru laman WikiLeaks. (http://dunia.news.viva.co.id/news/read/525426-australia-perintahkan-sensor-media-soal-suap-yang-libatkan-indonesia, diakses pada 3 Oktober 2014)Caise, Claire.2009.PR Practicioners Still Hiding From Sosial Media I See. (http://www.publicrelationsprincess.com/2009/09/pr-practitioners-still-hiding-from-social-media-i-see.html, diakses pada 3 Oktober 2014)Diaksari,Lukman.2014.Alasan JIS Tertutup pada Media.(http://news.metrotvnews.com/read/2014/04/22/233579/alasan-jis-tertutup-pada-media, diakses pada 30 September 2014 pukul 00.59 WIB.)Hidayat, Syahrial.2011. Media Juga Rawan Gratifikasi. (http://politik.kompasiana.com/2011/05/25/media-juga-rawan-gratifikasi-365730.html, diakses pada 30 September 2014)Ardiyanti, Handrini.2014. Keberpihakan Televisi Pada Pemilu Presiden 2014 (http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-VI-10-II-P3DI-April-2014-33.pdf, diakses pada 6 Oktober 2014)

IPRA. 2012.The Golden Rules of PR 2.0.(http://www.ipra.org/secciones.php?sec=8&nid=105, diakses pada 3 Oktober 2014)James, Melanie. A review of the impact of new media on public Relations: Challenges for the terrain, practice and education.( http://www.pria.com.au/sitebuilder/forms/forms/file/34174/Melanie%20James%20article%20Asia%20Pacific%20PR%20Journal.pdf, diakses pada 4 Oktober 2014).Kemkominfo.(http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3980/Kemkominfo%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+Capai+82+Juta/0/berita_satker#.VDJr6tyUeN0, diakses pada 30 September 2014).Kurniawati, Rika.2014.Sinergi Profesi antara Jurnalis dan Public Relation.(http://edukasi.kompasiana.com/2014/06/27/sinergi-profesi-antara-jurnalis-dan-public-relation--664836.html, diakses 4 Oktober 2014)

Luthfie, Nukman.2009.Saatnya Public Relations Lebih Berperan di Online Sosial Media.(http://www.virtual.co.id/blog/internet-marketing/saatnya-public-relations-lebih-berperan-di-online-social-media/, diakses pada 3 Oktober 2014).MA, Ahmad. 2014.Statistik:Internet,Sosial Media dan Mobile di Indonesia 2014. (http://bebmen.com/4027/statistik-internet-sosial-media-dan-mobile-di-indonesia.html, diakses pada 30 September 2014).Pujiastuti, Lani.2014.Perkembangan Kebebasan Pers, Independensi, Netralitas dan Keberpihakan di Masa Pemilu (http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2014/04/28/perkembangan-kebebasan-pers-independensi-netralitas-dan-keberpihakan-di-masa-pemilu-651985.html, diakses pada 30 September 2014)R.Bintari, Nurur. 2014.Groufie, Kampanye Baru Head&Shoulders.(http://mix.co.id/brand-activation/on-ground-activation/groufie-kampanye-baru-headshoulders/, diakses pada 3 Oktober 2014).Ramelan, Prayitno.2014.WikiLeaks dan Latar Belakang Australia Menyensor Skandal Suap Pencetakan Uang Polimer (http://ramalanintelijen.net/?p=8669, diakses pada 2 Oktober 2014)Saragih, S. Sahala tua. 2010. Lima Kiat Menjalin Hubungan Wartawan & Humas. (http://sangjurnalissejati.blogspot.com/2010/03/lima-kiat-menjali