professional ethics (unissula)

23
PROFESSIONAL ETHICS OLEH SOFWAN DAHLAN PROFESI kedokteran atau profesi amalan perobatan merupakan sebuah profesi yang luhur (noble profession), sebab dalam pengabdiannya lebih mengutamakan kepentingan orang lain dan masyarakat (altruistic). Oleh karena itu salah seorang penulis masalah-masalah etika dari Edinburgh (1772) menganjurkan agar profesi yang luhur tersebut dipercayakan hanya kepada orang-orang yang terhormat, sopan, dan memiliki jiwa paternalistik. Profesi itu sendiri menurut Charaka Samhita, seorang dokter pengembara dari benua India yang hidup beberapa ratus tahun sebelum Masehi, merupakan sebuah pekerjaan yang dicirikan memiliki: 1. Knowledge; 2. Cleverness; 3. Devotion; dan 4. Purity (physic and mind). Knowledge merupakan ciri terpenting dari profesi disebabkan knowledge inilah yang akan membimbing para profesional (seperti: dokter, dokter gigi, perawat, dan bidan) menuju ke suatu tingkat kompetensi dan norma tertentu sehingga mereka mampu melaksanakan tugas dan pengabdiannya dengan benar. Sudah barang tentu knowledge yang 1

Upload: wahyu

Post on 16-Feb-2016

227 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

profesional ethics

TRANSCRIPT

Page 1: Professional Ethics (Unissula)

PROFESSIONAL ETHICSOLEH

SOFWAN DAHLAN

PROFESI kedokteran atau profesi amalan perobatan merupakan sebuah profesi

yang luhur (noble profession), sebab dalam pengabdiannya lebih mengutamakan

kepentingan orang lain dan masyarakat (altruistic). Oleh karena itu salah

seorang penulis masalah-masalah etika dari Edinburgh (1772) menganjurkan

agar profesi yang luhur tersebut dipercayakan hanya kepada orang-orang yang

terhormat, sopan, dan memiliki jiwa paternalistik.

Profesi itu sendiri menurut Charaka Samhita, seorang dokter pengembara

dari benua India yang hidup beberapa ratus tahun sebelum Masehi, merupakan

sebuah pekerjaan yang dicirikan memiliki:

1. Knowledge;

2. Cleverness;

3. Devotion; dan

4. Purity (physic and mind).

Knowledge merupakan ciri terpenting dari profesi disebabkan knowledge

inilah yang akan membimbing para profesional (seperti: dokter, dokter gigi,

perawat, dan bidan) menuju ke suatu tingkat kompetensi dan norma tertentu

sehingga mereka mampu melaksanakan tugas dan pengabdiannya dengan

benar. Sudah barang tentu knowledge yang dipersyaratkan pada zaman

Charaka Samhita adalah pengetahuan tentang tetumbuhan (herbal) yang

berkhasiat sebagai obat.

Cleverness merupakan ciri penting lainnya dari profesi di bidang amalan

perobatan sebab dalam mengatasi berbagai macam problem kesehatan

diperlukan kecerdasan, ketrampilan, dan kecekatan.

Devotion juga merupakan ciri profesi yang tidak kalah penting, dan ia

diperlukan sebab dengan jiwa pengabdian yang tulus atas dasar kemanusiaan

maka para profesional di bidang amalan perobatan akan memperoleh arahan

dalam melaksanakan pengabdiannya.

1

Page 2: Professional Ethics (Unissula)

Purity (physic and mind) merupakan ciri terakhir yang dipersyaratkan

dalam profesi, sebab dengan penampilan fisik yang bersih (yang melambangkan

kesucian) disertai jiwa yang jernih pula maka pasien dan masyarakat akan

menaruh kepercayaan.

Menurut Potter dan Perry (2001), profesi merupakan sebuah pekerjaan

dengan ciri sebagai berikut:

1. Memerlukan pendidikan berkelanjutan (extended education); yaitu

keharusan belajar terus-menerus agar para profesional dapat

mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (obat,

metode, teknologi, dan sistem).

2. Memiliki cabang ilmu (body of knowledge); yaitu ilmu pengetahuan

yang akan menuntun para pengamal perobatan menuju ke tingkat

kompetensi dan norma tertentu sehingga mampu melaksanakan

pekerjaannya dengan baik dan benar;

3. Memberikan layanan khas (specific service); sebab yang dilayani

adalah manusia yang nota bene memiliki harkat dan martabat, hak-

hak (termasuk hak asasi manusia), serta memiliki nilai dan kebutuhan

sendiri-sendiri.

4. Memiliki kemandirian (autonomy); yaitu kebebasan dalam bertindak,

meliputi pembuatan keputusan (decision) dan pelaksanaannya

(execution), ketika melakukan sesuatu amalan perobatan.

5. Memiliki kode etik (a code of ethics for practice); yaitu daftar

ketentuan tertulis berisi pedoman (written list of moral rules) yang

akan membimbing dan sekaligus mengawal prilaku profesional di

bidang amalan perobatan serta dapat dijadikan acuan praktis dalam

menyelesaikan problem etika.

Intinya, profesi dibedakan dari okupasi (pekerjaan pada umumnya)

disebabkan ia memiliki ciri khas. Jika okupasi tidak memerlukan persyaratan

khusus maka profesi mensyaratkan adanya kompetensi (“the condition of being

capable” atau “the capacity to perform task and role”) agar pemangku profesi

dapat melaksanakan peran, tugas, dan tanggungjawabnya dengan baik dan

2

Page 3: Professional Ethics (Unissula)

benar. Dalam kaitannya dengan profesi di bidang amalan perobatan,

kompetensi mutlak dipersyaratkan disebabkan profesi di bidang ini bukan

merupakan hak alami (natural right) yang boleh diamalkan oleh siapa saja. Hak

melakukan amalan perobatan lebih merupakan hak istimewa (privilege) yang

diberikan hanya kepada seseorang yang telah menguasai kompetensi (adequate

minimum level of competence).

. Untuk dapat dikatakan kompeten di bidang amalan perobatan maka

orang harus telah menguasai kelima aspek kompetensi, yaitu:

1. Medical knowledge, yaitu menguasai ilmu kedokteran;

2. Clinical skill, yaitu menguasai ketrampilan klinik;

3. Clinical judgement, yaitu memiliki kemampuan membuat keputusan

klinik atau kebijakan klinik;

4. Humanistic quality, yaitu mampu memperlakukan setiap pesakit dan

pasien secara manusiawi; dan

5. Communication skill, yaitu menguasai ketrampilan berkomunikasi.

Dengan menguasai kelima aspek itu maka kedudukan pengamal

perobatan menjadi lebih superior. Sementara pasien, yang mendambakan

problem kesehatannya teratasi, umumnya tidak memahami ilmu kedokteran dan

oleh karena itu mereka termasuk kelompok rentan (vulnerable group) yang bisa

saja diombang-ambingkan atau dimanfaatkan oleh pengamal perobatan yang

tidak betanggungjawab. Untuk mencegah agar mereka tidak memanfaatkan

superiotasnya secara tidak patut dan pasien juga terlindungi kepentingan dan

nilai-nilainya maka kepada setiap pengamal perobatan perlu dibebani kewajiban

moral, etika, dan hukum.

Guna memastikan agar para profesional mematuhi nilai dan norma dalam

profesi maka apa yang telah dirintis oleh pengikut Pythagoras perlu dilestarikan

dengan mewajibkan kepada setiap lulusan dokter untuk mengucapkan sumpah

atau janji manakala ingin menjadi profesional (pengemban profesi amalan

perobatan). Sumpah profesi (seperti Sumpah Dokter, Sumpah Perawat, atau

Sumpah Bidan) pada hakekatnya merupakan janji kepada masyarakat (social

contract) yang diucapkan atas nama Tuhan Yang Maha Esa, sehingga

3

Page 4: Professional Ethics (Unissula)

konsekuensinya, wajib dilaksanakan guna menjaga hubungan baik dengan Sang

Pencipta (hablum minallah) dan masyarakat (hablum minannas).

Jadi etika profesi (professional ethics) adalah kaidah etika berlandaskan

moral yang berlaku bagi setiap pemangku profesi. Ia berfungsi mengawal prilaku

profesional agar tidak keluar dari nilai-nilai moralitas dan sekaligus memperindah

peran mereka. Sama halnya dengan etika pada umumnya, etika profesi juga

merupakan kaidah yang keberlakuannya tidak dipaksakan dan demikian pula

sanksinya. Oleh sebab itulah pelaksanaan etika profesi menuntut hati-nurani

berdasarkan bisikan dari dalam (inner voice).

CAKUPAN ETIKA PROFESIBerbeda dengan hukum yang memberikan hak dan kewajiban secara seimbang,

baik kepada dokter maupun pasien, maka etika (termasuk Etika Profesi) hanya

memberikan kewajiban tanpa disertai hak (misalnya: kewajiban dokter untuk

menghormati hak-hak pasien).

Adapun materi etika profesi (professional ethics) di bidang amalan

perobatan mencakup lima aspek, yaitu:

1. Kewajiban terhadap pesakit yang membutuhkan layanan medik

(people who require medical care);

2. Kewajiban terhadap pasien atau klien (yaitu pesakit yang telah

menjalin hubungan terapetik dengan health care provider);

3. Kewajiban terhadap tim atau rekan sejawat (co-workers or health care

team);

4. Kewajiban terhadap masyarakat (social context); dan

5. Kewajiban terhadap profesi itu sendiri (profession).

Etika terhadap pesakit mewajibkan kepada setiap profesional di bidang

amalan perobatan untuk senantiasa bersedia menerima setiap pesakit yang

datang meminta pertolongan dengan rasa hormat serta tidak membeda-bedakan

pesakit berdasarkan warna kulit, etnis, kebangsaan, agama, kepercayaan,

tingkat sosial ekonomi, dan pandangan politiknya.

4

Page 5: Professional Ethics (Unissula)

Etika terhadap pasien (yang berlakunya setelah pesakit menjalin

hubungan terapetik dengan healthcare provider) mewajibkan kepada setiap

pemangku profesi untuk melakukan tindakan yang benar sesuai standar

(standard of care), menjunjung tinggi hak-hak pasien (termasuk HAM),

memperhatikan kebutuhan dan nilai yang berharga baginya, menghormati

otonomi pasien untuk membuat keputusan atas layanan kesehatan yang akan

diterimanya, dan sebagainya.

Etika terhadap tim dan rekan sejawat mewajibkan agar setiap profesional

di bidang amalan perobatan untuk senantiasa bersedia meluruskan kesalahan

yang mungkin dibuat oleh anggota tim atau rekan sejawatnya, tidak saling

menjatuhkan di hadapan pasien, tidak jegal menjegal, tidak saling menyerobot

pasien, dan tidak menafikan jasa mereka.

Etika terhadap masyarakat mewajibkan kepada setiap profesional agar

selalu bersikap jujur, berlaku adil, tidak mengumumkan atau menawarkan

sesuatu metode pengobatan yang belum teruji kebenarannya, tidak curang, dan

tidak menciderai kepercayaan masyarakat.

Etika terhadap profesinya sendiri menghendaki agar setiap pengamal

perobatan selalu meningkatkan kompetensinya melalui berbagai macam cara

(seperti: pendidikan berkelanjutan, lokakarya, seminar, atau simposium),

konsisten menggunakan ilmu pengetahuan yang menjadi landasan profesi serta

tidak menggunakan cara-cara lain diluar ilmu pengetahuan yang telah diajarkan

(misalnya: melakukan upaya diagnosis dengan keris atau mengobati penyakit

dengan membakar kemenyan).

Sudah tentu tidak semua prilaku spesifik dalam profesi yang berkaitan

dengan kelima aspek tersebut diatas dapat dirumuskan dalam kode etik,

mengingat kode etik hanyalah merupakan daftar ketentuan tertulis dari moral

rules. Sementara moral rules itu sendiri baru dapat dirumuskan manakala prilaku

spesifik hampir selalu benar atau hampir selalu salah. Pada kenyataannya,

dalam profesi di bidang amalan perobatan banyak sekali dijumpai hal-hal yang

tidak dapat dipastikan moral rules-nya secara hitam-putih. Oleh sebab itu moral

standards dan moral principles harus dijadikan acuan berikutnya manakala kode

5

Page 6: Professional Ethics (Unissula)

etik tidak mampu menjawab isu-isu etika. Kode Etik Kedokteran Indonesia

(KODEKI) yang hanya berisi 21 pasal mustahil akan mampu menyelesaikan

seluruh isu atau problem etika di bidang amalan perobatan.

SEJARAH KODE ETIKSejarah kode etik kedokteran tidak dapat dipisahkan dari sejarah ilmu

kedokteran Mesir, yang sudah maju sejak 2000 tahun sebelum Masehi. Pada era

itu konsep layanan kesehatan nasional sudah mulai dikembangkan, dimana

penderita tidak ditarik bayaran oleh petugas kesehatan yang dibiayai oleh

masyarakat. Dari papirus yang ditemukan membuktikan bahwa negeri itu juga

sudah memiliki undang-undang yang cukup bagus. Peraturan ketat diberlakukan

bagi pengobatan yang bersifat eksperimen. Tidak ada hukuman bagi dokter

disebabkan kegagalannya selama buku standar diikuti.

Pada era yang lebih kurang bersamaan, ilmu kedokteran juga sudah maju

di Babylonia, yaitu ketika diperintah oleh raja Hammurabi (2200 SM). Bahkan

pada zaman itu praktek pembedahan sudah mulai dikembangkan. Sistem

imbalan jasa dokter pun diatur berdasarkan hasil pengobatan, status pasien,

serta kemampuan membayar. Justru hukum kesehatan yang pertama

sebenarnya berasal dari negeri ini, bukan dari Mesir.

Dalam Kode Hammurabi yang sangat terkenal dapat dilihat dengan jelas

adanya beberapa ketentuan yang mengatur kelalaian dokter beserta daftar

hukumannya, mulai dari hukuman membayar denda berupa kepingan emas

sampai pada hukuman potong tangan yang mengerikan (paragraf 218). Masalah

perdata yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan pun sudah banyak

dirumuskan. Dalam paragraf 219 misalnya, dapat dilihat adanya ketentuan yang

mengharuskan dokter mengganti budak belian yang meninggal dunia karena

kelalaiannya. Intinya dalam Kode Hammurabi, selain hukum juga dapat dijumpai

kaidah-kaidah mengenai moral dan etika.

Era selanjutnya adalah era dimana ilmu kedokteran mengalami

sekularisasi selepas dibawa dari Mesir dan Babylonia ke Yunani sekitar 500

tahun sebelum Masehi. Di negeri gudangnya filosof itu pengaruh kuat pendeta

mulai meluntur dan kemudian ilmu kedokteran diambil alih oleh para filosof.

6

Page 7: Professional Ethics (Unissula)

Melalui pemikiran logis, pengamatan dan deduksi maka para filosof berhasil

merubah praktek kedokteran yang berbau mistik menjadi lebih rasional. Sekolah

kedokteran pun dibangun dan kode intra-profesional juga dirumuskan. Salah

seorang filosof Yunani yang berhasil meletakkan landasan bagi sumpah dokter

dan etika kedokteran adalah Hippocrates.

Sekurang-kurangnya ada lima buah pemikiran penting dari beliau yang

perlu diketengahkan disini, yaitu:

1. Perlunya kewajiban melindungi masyarakat dari penipuan dan praktek

kedokteran yang bersifat coba-coba.

2. Perlunya kewajiban untuk berusaha semaksimal mungkin bagi

kesembuhan pasien serta adanya larangan untuk melakukan hal-hal

yang merugikan.

3. Perlunya kewajiban menghormati makhluk insani melalui pelarangan

terhadap euthanasia dan aborsi.

4. Perlunya meletakkan hubungan terapetik sebagai hubungan dimana

dokter dilarang mengambil keuntungan.

5. Perlunya kewajiban bagi pengamal perobatan untuk memegang teguh

rahasia pasien.

Bersama pemikiran Pythagoras, pemikiran Hyppocrates tersebut diatas

dirangkum dalam sebuah sumpah, yaitu Sumpah Hippocrates yang berisi antara

lain kesanggupan untuk:

a. merawat pesakit dengan sebaik-baiknya;

b. menjaga rahasia pribadi pesakit yang berhubungan dengan

penyakitnya;

c. mengajar ilmu kedokteran dan rahasia pengobatan kepada generasi

penerus;

d. memberikan panduan serta nasehat tentang makanan yang

seimbang;

e. menyadarkan pesakit tentang bahaya yang berpunca dari

penyakitnya;

f. tidak dibenarkan melakukan euthanasia;

7

Page 8: Professional Ethics (Unissula)

g. memberikan pelajaran kepada para siswanya tanpa memungut

bayaran;

h. tidak dibenarkan melakukan pengguguran kandungan;

i. tidak dibenarkan membuat hubungan yang menyulitkan pesakit; dan

j. tidak menggunakan alat-alat tajam untuk melakukan pembedahan.

Pada awalnya sumpah tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan

kembali kepercayaan masyarakat yang sudah mengalami degradasi disebabkan

prilaku para dokter yang lebih suka melakukan euthanasia dengan memberikan

racun ketimbang berupaya dengan sekuat tenaga untuk menyembuhkan

penyakit pasien. Aborsi, penipuan dan pembocoran rahasia pasien juga banyak

dilakukan oleh para dokter pada masa-masa itu.

Adalah pengikut-pengikut Pythagoras yang kemudian berinisiatif merebut

kembali kepercayaan masayarakat yang telah meluntur dengan mengucapkan

sumpah (bahasa Latin: professio) atas nama Dewa-Dewi pelindung manusia,

sehingga tidaklah salah apabila ada sementara ahli menamakan sumpah

tersebut sebagai “Manifesto Pythagorean” dan tidak salah pula apabila sumpah

itu disebut “Sumpah Hipporates” karena beliau memang banyak memberikan

kontribusinya, disamping penamaan tersebut untuk memberikan penghormatan

kepada beliau sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Modern.

Meski sekarang butir-butir dari Sumpah Hippocrates tidak lagi dipatuhi

secara utuh, namun diakui bahwa pengembangan etika profesi di bidang amalan

perobatan bertolak dari sumpah tersebut.

Dalam sidangnya di Geneva (Switzerland) pada tahun 1947, Persatuan

Dokter Seluruh Dunia (World Medical Association) memperbaharui bunyi

sumpah dokter tersebut menjadi lebih sempurna lagi sehingga dapat dijadikan

acuan bagi banyak negara. Berkaitan dengan rahasia pasien misalnya, kalimat

“…..I will not divulge (saya tidak akan membuka rahasia)….” diganti menjadi

“…..I will respect the secrets (saya akan menghormati rahasia).…” sehingga

dengan penggantian itu terbuka peluang untuk ditafsirkan sebab dengan

pernyataan “I will not divulge” tertutup sudah peluang bagi dokter untuk dapat

membuka rahasia pasien meski dengan alasan yang patut sekalipun.

8

Page 9: Professional Ethics (Unissula)

Pada tahun 1949, PBB mengeluarkan pernyataan tentang Hak Asasi

Manusia (the United Nations Universal Declaration of Human Rights) yang

diterima secara luas untuk dijadikan acuan dalam penetapan kebijakan sosial,

politik, ekonomi, dan hukum. Mengacu pada bagian-bagian tertentu dari hak

asasi inilah etika profesi di bidang amalan perobatan dapat lebih dikembangkan,

disamping hak asasi itu sendiri memang merupakan dasar dari prinsip-prinsip

etika (fundamental ethical principles).

Hak asasi itu sendiri dibedakan pengertiannya dari hak-hak lain atas

dasar dua alasan, yaitu:

1. Hak asasi memiliki ciri-ciri:

a. melekat pada diri setiap manusia;

b. tidak dapat dicabut atau dipertukarkan;

c. berlaku sama untuk semua individu.

2. Kewajiban menghormati hak asasi beserta penjabarannya lebih

diamanatkan kepada negara dan otoritas publik daripada kepada

individu-individu.

Mengenai butir-butir dari hak asasi manusia yang terkait dengan bidang

kedokteran antara lain:

1. Hak untuk hidup (the right to life).

2. Bebas dari diskriminasi (freedom from discrimination).

3. Bebas dari penyiksaan dan kekejaman (freedom from torture and

cruel).

4. Bebas dari pengobatan yang tidak manusiawi atau rendah mutunya

(freedom from inhuman or degrading treatment).

5. Bebas berpendapat dan mengungkapkan perasaannya (freedom of

opinion and expression).

6. Hak yang sama untuk mengakses ke pelayanan publik (the right to

equal access to public services).

7. Hak memperoleh layanan kesehatan (the right to medical care).

Malangnya, tidak semua warga dunia memahami hak asasi yang

berkaitan dengan layanan di bidang amalan kesehatan disebabkan kebodohan

9

Page 10: Professional Ethics (Unissula)

dan kemiskinannya. Oleh karena itu pada tahun 1949 Persatuan Dokter Sedunia

(World Medical Association) merasa perlu merumuskan suatu kode etik guna

memastikan agar tatasusila terjaga dengan baik dan citra profesi yang mulia

tidak terjejas.

Intinya, kepada setiap profesional di bidang amalan perobatan diwajibkan

antara lain; tidak memanfaatkan superiotasnya bagi mendapatkan keuntungan

finansial semata, tidak berkongsi dengan perusahaan farmasi atau perusahaan

lain yang dapat membelenggu kebebasan profesional dalam mengambil

keputusan, serta tidak melakukan aborsi kecuali untuk kepentingan perobatan

(seperti menyelamatkan nyawa ibu hamil).

Selanjutnya pada tahun 1970 Persatuan Dokter Sedunia mengeluarkan

Deklarasi Oslo yang menggariskan bahwa aborsi dapat dilakukan sekiranya

faedahnya (benefit) lebih besar ketimbang risikonya serta mendapat restu dari

masyarakat setempat. Deklarasi tersebut menyebabkan Sumpah Hippocrates

sebagai lambang etika perobatan terkikis menyusul sikap tokoh-tokoh

masyarakat yang berubah mengikut angin perubahan.

Selepas perang dunia kedua, penelitian medis yang tidak manusiawi

dianggap sebagai sebuah kejahatan perang oleh pengadilan di Nurenberg.

Namun demikian, menyadari pentingnya penelitian medis bagi kemaslahatan

masyarakat dan keterlibatan manusia sebagai subjek penelitian tidak bisa

dihindari samasekali maka pengadilan Nurenberg pun merasa perlu memberikan

pedoman umum (general rules) bagi pelaksanaan penelitian medis agar tidak

melanggar kaidah etika dan hukum.

Pedoman umum dalam Nurenberg Code (1974) tersebut dapat diringkas

menjadi lima poin, yaitu:

1. Penelitian medis pada subjek manusia (human subjects) memerlukan

persetujuan sukarela (voluntary consent) dari yang bersangkutan.

2. Persetujuan harus diperoleh dari subjek secara bebas berdasarkan

keinginannya sendiri, tidak boleh ada paksaan, tipu-daya atau intimidasi.

10

Page 11: Professional Ethics (Unissula)

Persetujuan tersebut hanya bisa diberikan setelah subjek diberi informasi

mengenai tujuan, metode dan risiko terduga (foreseeable risks) dari

penelitian tersebut.

3. Penelitian dapat dibenarkan jika eksperimen terhadap binatang telah

dilakukan.

4. Kemanfaatan atau keuntungan (benefits) harus lebih besar daripada risiko

terduga (foreseeable risks) dalam kaitannya dengan kontribusi kepada

masyarakat.

5. Subjek penelitian harus diberi kebebasan untuk sewaktu-waktu bisa

menghentikan keikut-sertaannya ketika penelitian sedang berlangsung.

Spirit dari Nurenberg Code sebenarnya telah tercermin dalam Deklarasi

Helsinki (1964), yang secara jelas mensyaratkan adanya informed consent dari

subjek penelitian biomedis.

Mengenai pemanfaatan temuan dari penelitian yang diperoleh di

laboratorium untuk pengembangan pengetahuan ilmiah (humans advances

scientific knowledge) dianggap sangat penting bagi penyelamatan umat manusia

dari kesakitan dan penderitaan. Kendati penting, kontribusi kepada pengetahuan

ilmiah dan kontribusi kepada masyarakat tidak seharusnya lebih diutamakan

daripada untuk kesejahteraan dan kemanfaatan (benefit) bagi individu peserta

penelitian (individual test subject).

Deklarasi Helsinki tersebut terus-menerus dilakukan revisi dan perbaikan

seperlunya, dan yang paling akhir dilakukan amandemen di kota Seoul dalam

tahun 2008.

Dibawah naungan Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 1994

dilakukanlah perundingan di kota Amsterdam mengenai hak-hak pasien

(European Consultation on the Rifhts of Patients) yang dihadiri oleh 36 negara

anggota dari seluruh Eropa. Perundingan tersebut menghasilkan Deklarasi

Amsterdam guna lebih memantapkan lagi pentingnya menghormati hak-hak

pasien, utamanya hak pasien untuk membuat keputusan sehingga setiap upaya

medik yang dilakukan oleh dokter benar-benar merupakan hasil dari keputusan

bersama (a shared decision-making).

11

Page 12: Professional Ethics (Unissula)

KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIASelepas World Medical Association mengeluarkan the WMA Ethics Manual maka

persatuan dokter diberbagai negara di dunia merespon secara positif dengan

menyusun kode etik kedokteran di negaranya masing-masing dengan mengacu

pada manual tersebut. Bahkan kemudian dijadikan bagian dari kurikulum

pendidikan dokter. Sejak saat itulah proses pengembangan the basic teaching

on medical ethics dimulai.

Dalam Musyawarah Kerja Susila Kedokteran yang pertama di Jakarta

tahun 1969 disusunlah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan dalam Musyawarah

yang kedua di Jakarta pada tahun 1983 dilakukan penyempurnaan. Dengan SK

Menteri Kesehatan No. 434/1983 ditetapkan sebagai Kode Etik Kedokteran

Indonesia yang berlaku bagi semua dokter di Indonesia. Selanjutnya melalui

Rapat Kerja Nasional PB IDI di Semarang tahun 1993 Kode Etik Kedokteran

Indonesia lebih disempurnakan lagi.

Kode Etik Kedokteran Indonesia yang telah disempurnakan tersebut 17

pasal yang dikelompokkan menjadi:

1. Kewajiban umum;

2. Kewajiban terhadap pasien;

3. Kewajiban terhadap teman sejawat;

4. Kewajiban terhadap diri sendiri; dan

5. Penutup.

Melalui proses panjang dan berliku pada akhirnya Pengurus Besar Ikatan

Dokter Indonesia menetapkan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia yang

baru, yang dikelompokkan menjadi:

1. Kewajiban Umum;

2. Kewajiban Dokter Terhadap Pasien;

3. Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat; dan

4. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri.

12

Page 13: Professional Ethics (Unissula)

Dari keempat kelompok tersebut kemudian dirumuskan menjadi 21 pasal,

yang bunyi lengakapnya adalah sebagai berikut:

1. Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan

sumpah dan atau janji dokter.

2. Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan

profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku

profesional dalam ukuran yang tertinggi.

3. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak

boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya

kebebasan dan kemandirian profesi.

4. Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat

memuji diri.

5. Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya

tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/

keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan

pasien tersebut.

6. Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan

atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru

yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat

menimbulkan keresahan masyarakat.

7. Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat

yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.

8. Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan

pelayanan secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral

sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan

penghormatan atas martabat manusia.

9. Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan

pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan

sejawatnya pada saat menangani pasien dia ketahui memiliki

kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan

penipuan atau penggelapan.

13

Page 14: Professional Ethics (Unissula)

10. Seorang dokter wajib menghormati hak-hak pasien, teman

sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya, serta wajib menjaga

kepercayaan pasien.

11. Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya

melindungi hidup makhluk insani.

12. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikan

keseluruhan aspek pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif,

dan rehabilitatif ), baik fisik maupun psiko-sosial-kultural pasiennya

serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat.

13. Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat lintas sektoral

di bidang kesehatan, bidang lainnya dan masyarakat, wajib saling

menghormati.

14. Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan

seluruh keilmuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien,

yang ketika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau

pengobatan, atas persetujuan pasien/ keluarganya, ia wajib merujuk

pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk itu.

15. Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar

senantiasa dapat berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya,

termasuk dalam beribadat dan atau penyelesaian masalah pribadi

lainnya.

16. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya

tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal

dunia.

17. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu

wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain

bersedia dan mampu memberikannya.

18. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia

sendiri ingin diperlakukan.

14

Page 15: Professional Ethics (Unissula)

19. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat,

kecuali dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur

yang etis.

20. Setiap dokter wajib selalu memelihara kesehatannya, supaya dapat

bekerja dengan baik.

21. Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi kedokteran/ kesehatan.

Agar lebih mudah difahami dan diaplikasikan oleh setiap dokter yang

bekerja sebagai profesional maka dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia yang

baru telah diberikan penjelasan pasal demi pasal. Namun sayangnya, kode etik

tersebut hanya merumuskan kewajiban dokter terhadap pasien belaka dan

belum merumuskan tentang kewajibannya terhadap pesakit yang datang untuk

berobat. Padahal kewajiban dokter seharusnya sudah muncul ketika pesakit

datang; antara lain wajib menerima mereka dengan rasa hormat sebagai insan

bermartabat dan tidak boleh membeda-bedakan mereka berdasarkan latar-

belakang politik, etnis, sosial, kesukuan, agama, dan lain-lain.

Perlu ditambahkan bahwa kewajiban etik dan kewajiban hukum

merupakan dua hal yang berbeda. Kewajiban etik sudah muncul sejak pesakit

datang dan kewajiban hukum baru muncul setelah pesakit menjalin hubungan

terapetik dengan dokter. Maknanya, status hukum pesakit berubah menjadi

pasien (client) setelah dokter bersetuju untuk mengobati pesakit yang datang

mengingat hubungan terapetik dijalin diatas asas konsensual. Jika dokter tidak

bersetuju menerima pesakit yang datang berobat maka hubungan terapetik tidak

terjadi dan dengan sendirinya kewajiban hukum tidak akan ada.

Intinya, dari sisi etika dokter tidak boleh menolak pesakit tetapi dari sisi

hukum boleh sepanjang pesakit yang datang tidak dalam keadaan emergensi.

Bahkan Morris dan Moritz dalam bukunya "Doctor and Patient and the Law",

mengatakan: “He may arbitrarily refuse to accept any person as a patient, even

though no other physician is available”.

15

Page 16: Professional Ethics (Unissula)

ETIKA DAN SUMPAH DOKTER MUSLIM Meski etika didasarkan pada moral, dan moral itu sendiri dihasilkan oleh proses

hidup bermasyarakat sejak Nabi Adam yang dipengaruhi oleh banyak faktor,

termasuk agama, namun hal itu bagi tokoh-tokoh kedokteran pemeluk sesuatu

agama belum dianggap cukup. Mereka ingin nilai-nilai dan norma-norma agama

mereka lebih dipertimbangkan dalam menentukan keetisan sesuatu sikap dan

prilaku dalam profesi kedokteran, sehingga kemudian muncullah Kode Etik

Kedokteran Muslim atau Kode Etik Kedokteran Katolik.

Dalam kitabnya “Adab at Tabib”, Ibnu Ali al Ruhawi (akhir abad ke IX)

mengatakan: “The physician is an instrument of God’s mercy on earth”. Oleh

sebab itu setiap dokter muslim wajib menempatkan diri sebagai alat Tuhan guna

mewujudkan kesejahteraan bagi sekalian isi alam (rahmatan lil ‘alamin)

sebagaimana difirmankan Allah dalam al Qur’an.

I swear by God….the Great….

To regard God in carrying out my profession….

To protect human life in all stages and under all circumstances, doing my utmost to

rescue it from death, malady, pain and anxiety….

To keep people’s dignity, cover their privacies and lock up their secrets….

To be, all the way, an instrument of God’s mercy, extending my medical care to near

and far, virtuous and sinner and friend and enemy….

To strive in the pursuit of knowledge and harnessing it for the benefit but not the

harm of mankind….

To revere my teacher, teach my junior, and be brother to members of the Medical

Profession…. and to join in piety and charity….

To live my faith in private and in public, avoiding whatever blemishes me in the eye

of God, His apositle and my fellow faithful….

And may God be witness to this Oath.

16