potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

121
TESIS POTENSI FAUNA AKUATIK EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KAWASAN TELUK PANGPANG KABUPATEN BANYUWANGI YANUAR RUSTRIANTO BUWONO PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Upload: lenguyet

Post on 31-Dec-2016

251 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

TESIS

POTENSI FAUNA AKUATIK EKOSISTEM HUTAN

MANGROVE DI KAWASAN TELUK PANGPANG

KABUPATEN BANYUWANGI

YANUAR RUSTRIANTO BUWONO

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 2: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

TESIS

POTENSI FAUNA AKUATIK EKOSISTEM HUTAN

MANGROVE DI KAWASAN TELUK PANGPANG

KABUPATEN BANYUWANGI

YANUAR RUSTRIANTO BUWONO

NIM 1391261001

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 3: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

ii

POTENSI FAUNA AKUATIK EKOSISTEM HUTAN

MANGROVE DI KAWASAN TELUK PANGPANG

KABUPATEN BANYUWANGI

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Lingkungan

Program Pascasarjana Universitas Udayana

YANUAR RUSTRIANTO BUWONO

NIM 1391261001

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 4: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 7 JULI 2015

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister

Ilmu Lingkungan

Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. I Wayan Budiarsa Suyasa, MS.

NIP. 196703031994031002

Direktur

Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K).

NIP.195902151985102001

Pembimbing I,

Prof. Dr. Ir. IPG Ardhana, M.AgrSc, SH.

NIP. 194911021976031001

Pembimbing II,

Dr. Ir. Made Sudarma, MS.

NIP. 196007281986011002

Page 5: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

iv

Penetapan Panitia Penguji

Tesis ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji pada

Program Pascasarjana Universitas Udayana

pada Tanggal 29 Juni 2015

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Nomor : 1925/UN.14.4/HK/2015

Tanggal : 23 Juni 2015

Panitia Penguji Penelitian Tesis adalah :

Ketua : Prof. Dr. Ir. IPG. Ardhana, M.AgrSc, SH.

Anggota :

1. Dr. Ir. Made Sudarma, MS.

2. Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD.

3. Prof. Dr. Ir. Ida Bagus Sudana, M.Rur.Sc.

Page 6: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Yanuar Rustrianto Buwono

NIM : 1391261001

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Judul Tesis : Potensi Fauna Akuatik Ekosistem Hutan Mangrove Di

Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya

bersedia menerima sangsi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, Juni 2015

Yang membuat pernyataan,

Yanuar Rustrianto Buwono

NIM.1391261001

Page 7: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Potensi Fauna

Akuatik Ekosistem Hutan Mangrove Di Kawasan Teluk Pangpang

Kabupaten Banyuwangi” sesuai dengan yang diharapkan.

Dalam penyelesaian Tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan

ucapan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K). Selaku Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang telah diberikan.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. IPG. Ardhana, M.AgrSc, SH. dan Bapak Dr. Ir. Made

Sudarma, MS. selaku dosen pembimbing I dan II, yang telah meluangkan

waktu kepada penulis untuk bimbingan dan masukan dengan penuh

kesabaran.

3. Bapak Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Ida Bagus

Sudana, M.Rur.Sc., yang telah memberikan saran dan masukan pada saat

Seminar Hasil dan Ujian Penelitian Tesis.

4. Ketua Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Bapak Prof. Dr. I Wayan

Budiarsa Suyasa, MS., yang telah mendukung kelancaran studi penulis.

5. Seluruh Dosen dan staff Tata Usaha Program Studi Ilmu Lingkungan yang

telah memberikan arahan dan bimbingan dalam mendalami studi Ilmu

Lingkungan.

6. Bapak Rusdianto dan Ibu Hermin Sri Wahyuni sebagai orangtua penulis. Istri,

Rita Yuliati dan anak, Dika Arsyl Ruswinata tercinta serta seluruh keluarga

yang telah memberikan doa, dukungan, bantuan moral material yang telah

diberikan dalam menempuh studi penulis.

7. Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Balai Diklat Perikanan

Banyuwangi, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melalui Dinas Kelautan

dan Perikanan, Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan, Kecamatan

Page 8: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

vii

Muncar, Kelompok Tani serta masyarakat pesisir Muncar yang telah

memberikan fasilitas sarana dan prasarana serta kemudahan dalam

menyelesaikan tesis ini.

8. Rekan-rekan sejawat Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, yang telah

banyak memberikan semangat, saran, dan dukungan kepada penulis.

9. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu dalam penyusunan Tesis ini.

Penulis menyadari adanya keterbatasan pengalaman dan pengetahuan

sehingga Penelitian Tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu penyempurnaan.

Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar Penelitian

Tesis ini lebih sempurna.

Denpasar, Juni 2015

Penulis

Page 9: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

viii

ABSTRAK

Ekosistem mangrove berada di antara wilayah pesisir daratan dan lautan

yang mengalami perubahan secara terus menerus akibat aktivitas manusia

sehingga mempengaruhi fauna akuatik beberapa spesies ikan dan non ikan.

Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat indeks nilai penting dan

keanekaragaman mangrove, menganalisis kelimpahan, biomassa, keanekaragaman

dan kemerataan, serta penyebaran fauna akuatik ekosistem hutan mangrove. Hasil

penelitian flora mangrove menunjukkan indeks keanekaragaman dalam kategori

sedang dengan indeks nilai penting famili Rhizophoraceae dan Sonneratiaceae

mendominasi pada semua fasenya. Fauna akuatik bernilai ekonomis ditemukan

berjumlah 21 jenis dari 15 famili. Kelompok fauna ikan ditemukan ikan bedul (A.

caninus) mempunyai kelimpahan dan biomassa sebanyak 975 ind sebesar

18.299,56 gr, sedangkan kelompok fauna non ikan ditemukan udang werus

(Metapenaeus sp.) mempunyai kelimpahan sebanyak 1.936 ind dan rajungan (P.

pelagicus) mempunyai biomassa sebesar 13.609,38 gr yang berasosiasi di

kawasan mangrove Teluk Pangpang. Indeks keanekaragaman fauna termasuk

dalam kategori sedang, sedangkan indeks kemerataan fauna tergolong kategori

tinggi. Pola penyebaran di bagian mulut teluk dengan adanya muara aliran sungai

Wagut ditemukan fauna berupa ikan pelagis dan demersal seperti famili

Mugilidae, Clupediae, Leiognatidae, Psettodidae. Pada bagian tengah teluk

berupa tepi tambak budidaya ditemukan kelompok ikan pelagis yaitu famili

Centropomidae, Polynemidae, Sillagidae. Sedangkan, pada bagian ujung teluk

dengan adanya aliran Sungai Setail ditemukan kelompok ikan demersal yaitu

famili Gobidae dan Platycephalidae.

Kata kunci: Keanekaragaman, Flora mangrove, Fauna, Biomassa

Page 10: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

ix

ABSTRACT

Mangrove ecosystem located between terrestrial and marine coastal areas

are changing constantly due to human activities that affect the aquatic fauna

several species of fish and non-fish. The aim of research to determine the level of

importance and biodiversity index value of mangrove, analyze abundance,

biomass, biodiversity and equity, as well as the spread of aquatic fauna mangrove

forest ecosystem. Results of the study showed an index of biodiversity of

mangrove flora in the medium category with a relative importance value index

Rhizophoraceae and Sonneratiaceae dominate in all phases. Economically

valuable aquatic fauna found amounted to 21 species of 15 families. Groups of

fish fauna found bedul fish (A. caninus) have abundance and biomass as much as

975 ind at 18,299.56 gr, meanwhile the non fish fauna found werus shrimp

(Metapenaeus sp.) has an abundance of as much as 1,936 ind and biomass crabs

(P. pelagicus) have amounted to 13,609.38 gr associated in mangrove areas

Pangpang Bay. Fauna biodiversity index included in the medium category,

meanwhile the index of evenness fauna belonging in the high category. Dispersal

patterns at the mouth of the bay with the mouth of the river flow Wagut fauna

found in the form of pelagic and demersal fish such as family Mugilidae,

Clupediae, Leiognatidae, Psettodidae. At the center of the edge of the bay in the

form of aquaculture ponds found that pelagic fish group Centropomidae,

Polynemidae, Sillagidae family. Meanwhile, at the end of the bay with the river

flow Setail what the group found that demersal fish Platycephalidae and Gobidae

family.

Keywords: Biodiversity, Mangrove flora, Fauna, Biomass

Page 11: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

x

RINGKASAN

Yanuar Rustrianto Buwono, Potensi Fauna Akuatik Ekosistem Hutan

Mangrove Di Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi di bawah

bimbingan I Putu Gede Ardhana dan Made Sudarma.

Kawasan Teluk Pangpang yang terletak di Kecamatan Muncar

Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur terdapat pengembangan kegiatan

perikanan, yang bertujuan untuk peningkatan pendapatan perekonomian dan

kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan budidaya tambak, alat

tangkapan ikan, pelabuhan, industri pengolahan ikan. Tekanan lingkungan akibat

aktivitas manusia tersebut dapat mengurangi fungsi ekologis mangrove dan

mengganggu keberadaan fauna akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem

mangrove di Kawasan Teluk Pangpang, sehingga dapat mempengaruhi potensi

fauna akuatik di ekosistem hutan mangrove.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat indeks nilai penting

dan keanekaragaman jenis vegetasi pada ekosistem hutan mangrove, menganalisis

tingkat kelimpahan dan biomassa, keanekaragaman dan kemerataan, serta pola

penyebaran fauna akuatik pada ekosistem hutan mangrove di Kawasan Teluk

Pangpang, Kabupaten Banyuwangi.

Manfaat penelitian, bagi masyarakat sebagai bahan informasi yang

bermanfaat dan bahan masukan dalam upaya konservasi biota laut yaitu fauna

akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Bagi pemerintah sebagai

bahan informasi dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap

potensi fauna akuatik sehingga dapat menjadi masukan dalam mengambil

kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove. Bagi mahasiswa sebagai bahan

literatur dengan kajian-kajian lebih lanjut dalam potensi fauna akuatik kaitannya

dengan keberadaan vegetasi mangrove di masa yang akan datang.

Penelitian dilakukan dengan metode observasi langsung yaitu metoda

pengumpulan data dengan cara menjelajah dan mengidentifikasi lokasi penelitian

melalui pengamatan langsung secara cermat dengan berpedoman pada desain

penelitian di sekitar ekosistem mangrove dengan menentukan 3 (tiga) stasiun

sampling yang terletak di kawasan ekosistem mangrove Teluk Pangpang, yaitu:

Stasiun I berada di kawasan pesisir Tratas Kawang, terletak di bagian mulut teluk

dengan kondisi berupa daerah pemukiman, pelabuhan, area rehabilitasi dan muara

aliran sungai Wagut; Stasiun II berada di kawasan pesisir Muncing Krajan,

terletak di bagian tengah teluk dengan kondisi berupa tambak budidaya ikan,

daerah rehabilitasi dan agak berjauhan dengan muara Sungai Setail; Sedangkan

Stasiun III berada di kawasan pesisir Tegalpare, terletak di bagian ujung teluk

dengan kondisi berupa bekas tambak budidaya ikan dan berdekatan dengan muara

aliran sungai Setail, daerah pertanian yang mengalirkan limbah pertanian dan

limbah budidaya ikan.

Hasil penelitian kondisi mangrove menunjukkan secara keseluruhan pada

pesisir Muncar Kawasan Teluk Pangpang mempunyai kriteria keanekaragaman

jenis yang bervariasi dan didominasi flora mangrove jenis Rhizophora mucronata

dari famili Rhizophoraceae dan Sonneratia alba dari famili Sonneratiaceae. Pada

daerah yang berdekatan dengan pemukiman dan muara aliran sungai Wagut, Jenis

Page 12: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

xi

R. mucronata mendominasi vegetasi mangrove dengan Indeks Nilai Penting pada

fase semai sebesar 231,92%, fase pancang 150,73%, dan fase pohon 133,95%.

Pada daerah yang berada di tepi tambak budidaya, S. alba mendominasi pada fase

semai sebesar 140,89%, fase pancang 168,01, dan fase pohon 192,73%.

Sedangkan, pada daerah yang berdekatan dengan sungai Setail jenis Ceriops tagal

mendominasi pada fase semai sebesar 259,87%, pada fase pancang Bruguiera

gymnorrhiza sebesar 102,10%, dan pada fase pohon S. alba sebesar 109,46%.

Hasil pengamatan kondisi fauna akuatik menunjukkan nilai indeks

keanekaragaman dalam kategori sedang dan nilai indeks kemerataan dalam

kategori tinggi. Fauna akuatik bernilai ekonomis penting di kawasan mangrove

ditemukan berjumlah 21 jenis dari 15 famili. Kelompok fauna ikan ditemukan

ikan bedul (A. caninus) mempunyai kelimpahan dan biomassa sebanyak 975 ind

sebesar 18.299,56 gr, sedangkan kelompok fauna non ikan ditemukan udang

werus (Metapenaeus sp.) mempunyai kelimpahan sebanyak 1.936 ind dan

rajungan (P. pelagicus) mempunyai biomassa sebesar 13.609,38 gr yang

berasosiasi di kawasan mangrove Teluk Pangpang.

Pola penyebaran fauna akuatik di ekosistem mangrove ditemukan daerah

yang berdekatan pemukiman dan muara aliran sungai Wagut, jenis R.mucronata

dan R.apiculata banyak ditemukan kelompok ikan yang mempunyai sifat hidup

pelagis dan demersal yaitu famili Mugilidae, Clupediae, Leiognatidae,

Psettodidae. Pada daerah yang berada di tepi tambak budidaya dan agak

berjauhan dengan muara sungai menyebabkan kondisi salinitas perairan tinggi

sehingga banyak ditemukan tegakan mangrove jenis S. alba dengan kelompok

ikan yang mempunyai sifat hidup pelagis yaitu famili Centropomidae,

Polynemidae, Sillagidae. Sedangkan, pada daerah yang berdekatan dengan sungai

Setail dan berada di ujung teluk didominasi tegakan mangrove jenis C. tagal, B.

gymnorrhiza, Avicennia marina, Acanthus illcifolius dan Xylocarpus moluccensis

yang terletak agak jauh dari garis pantai serta lebih berdekatan dengan daratan

menyebabkan banyak ditemukan kelompok ikan yang mempunyai sifat hidup

demersal yaitu famili Gobidae dan Platycephalidae.

Page 13: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

xii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ............................................................................................. i

LEMBAR PRASYARAT GELAR .................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................ iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................. v

UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... vi

ABSTRAK ...................................................................................................... viii

ABSTRACT ...................................................................................................... ix

RINGKASAN .................................................................................................... x

DAFTAR ISI ................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ........................................................................................... xv

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1

1.1.Latar Belakang ....................................................................................... 1

1.2.Rumusan Masalah .................................................................................. 3

1.3.Tujuan Penelitian ................................................................................... 3

1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 4

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ........................................................................... 5

2.1.Kawasan Teluk Pangpang ...................................................................... 5

2.2.Potensi Biota Laut .................................................................................. 7

2.3.Ekosistem Mangrove............................................................................. 9

2.4. Luas dan Penyebaran Mangrove ......................................................... 10

2.5. Fungsi dan Manfaat Mangrove .......................................................... 12

Page 14: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

xiii

2.6. Fauna Akuatik di Ekosistem Mangrove .............................................. 13

BAB III.KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN .......... 16

3.1.Kerangka Berpikir ................................................................................ 16

3.2.Penelitian Terdahulu ............................................................................ 18

3.3.Konsep Penelitian ................................................................................ 19

BAB IV. METODA PENELITIAN ............................................................... 21

4.1.Rancangan Penelitian ........................................................................... 21

4.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 21

4.3. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 22

4.4. Variabel Penelitian dan Pengukuran Variabel .................................... 23

4.5. Penentuan Sumber Data ...................................................................... 24

4.6. Bahan dan Instrumen Penelitian ......................................................... 24

4.7. Prosedur Penelitian ............................................................................. 25

4.8. Analisa Data ........................................................................................ 29

BAB V. HASIL PENELITIAN ...................................................................... 35

5.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................... 35

5.1.1. Kondisi lokasi penelitian........................................................... 35

5.1.2. Kondisi tekstur tanah ................................................................ 37

5.1.3. Kondisi perairan ........................................................................ 38

5.2. Analisis Kondisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang... 40

5.2.1. Komposisi jenis vegetasi mangrove.......................................... 40

5.2.2. Kerapatan jenis vegetasi mangrove .......................................... 41

5.2.3. Frekuensi jenis vegetasi mangrove ........................................... 43

5.2.4. Luas penutupan jenis vegetasi mangrove ................................. 46

5.2.5. Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi mangrove ........................ 48

5.2.6. Indeks keanekaragaman vegetasi mangrove ............................. 49

Page 15: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

xiv

5.2.7. Tingkat kerusakan vegetasi mangrove ...................................... 50

5.3. Analisis Kondisi Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang .......... 50

5.3.1. Komposisi jenis fauna akuatik .................................................. 50

5.3.2. Kelimpahan dan biomassa jenis fauna akuatik ......................... 52

5.3.3. Indeks keanekaragaman dan kemerataan fauna akuatik ........... 54

5.4. Analisis Pola Penyebaran Jenis Fauna Akuatik .................................. 55

BAB VI. PEMBAHASAN ............................................................................... 59

6.1. Kondisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang ................. 59

6.2. Kondisi Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang ........................ 69

6.3. Pola Penyebaran Jenis Fauna Akuatik ................................................ 75

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 82

6.1. Simpulan ............................................................................................. 82

6.2. Saran ................................................................................................... 83

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 84

LAMPIRAN ..................................................................................................... 89

Page 16: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1. Daftar Jenis Mangrove di Taman Nasional Alas Purwo Teluk Pangpang .... 6

3.1. Penelitian Terdahulu di Kawasan Teluk Pangpang ....................................... 18

4.1. Penentuan Sumber Data Penelitian ................................................................ 24

4.2. Baku Mutu Air untuk Biota Laut ................................................................... 33

5.1. Parameter Suhu, Salinitas, pH dan Tekstur Tanah ......................................... 38

5.2. Identifikasi Jenis Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang ............................ 40

5.3. Jumlah Individu Mangrove per Fase di Kawasan Teluk Pangpang ............... 41

5.4. Kerapatan Jenis Vegetasi Mangrove .............................................................. 41

5.5. Kerapatan Relatif Jenis Vegetasi Mangrove .................................................. 43

5.6. Frekuensi Jenis Vegetasi Mangrove............................................................... 44

5.7. Frekuensi Relatif Jenis Vegetasi Mangrove ................................................... 45

5.8. Luas Penutupan Jenis Vegetasi Mangrove ..................................................... 46

5.9. Luas Penutupan Relatif Jenis Vegetasi Mangrove ......................................... 47

5.10. Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove .................................................... 48

5.11. Indeks Keanekaragaman Vegetasi Mangrove .............................................. 49

5.12. Tingkat Kerusakan mangrove Dilihat dari Kerapatan Vegetasi .................. 50

5.13. Kelimpahan Jenis dan Biomassa Fauna Akuatik ......................................... 53

Page 17: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1. Peta Pengelolaan Aktivitas di Teluk Pangpang ............................................. 5

2.2. Hubungan Keterkaitan Komponen Ekosistem Mangrove.............................. 13

3.1. Alur Pemikiran Penelitian .............................................................................. 17

4.1. Titik Sampling Penelitian di Kawasan Mangrove ......................................... 22

4.2. Desain Penempatan Plot (Petak Contoh) Metoda Transek ............................ 27

4.3. Desain Kombinasi Metoda Jalur dan Metoda Garis Berpetak ....................... 27

5.1. Alat Tangkap Trapped Net di Kawasan Teluk Pangpang .............................. 51

5.2. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Kelompok Ikan ........................... 54

5.3. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Kelompok Non Ikan ................... 55

5.4. Komposisi Famili Fauna Akuatik di Stasiun Pengamatan ............................ 56

5.5. Pola Sebaran Fauna Akuatik di Ekosistem Mangrove .................................. 56

6.1. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan I .................................................. 61

6.2. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan II ................................................. 63

6.3. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan III ................................................ 64

6.4. Kerusakan Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang ...................................... 68

Page 18: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Pengamatan Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang ............89

2. Hasil Pengamatan Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang ....................92

3. Dokumentasi Kondisi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang ....................95

4. Dokumentasi Kondisi Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang ..............96

5. Panduan Pasang Surut Kedalaman Air Laut di Banyuwangi ..........................98

6. Spesies Fauna Akuatik Di Kawasan Teluk Pangpang ....................................100

7. Hasil Pengolahan Analisis Korespondensi Kondisi Famili Fauna Akuatik ....101

8. Rekomendasi Izin Penelitian Badan Kesatuan Bangsa dan Politik ................103

Page 19: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara daratan dan lautan.

Wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air dan

masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan

air asin. Untuk wilayah laut di pesisir mencakup bagian lautan yang masih

dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi seperti sedimentasi dan aliran

air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penggundulan

hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976). Kordi (2012), menjelaskan ekosistem

mangrove berada di antara wilayah pesisir bagian daratan dan lautan yang

mengalami perubahan secara terus menerus, sehingga berbagai biota di kawasan

mangrove memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan beradaptasi secara

berkesinambungan karena merupakan suatu ekosistem yang khas dan unik.

Ekosistem mangrove termasuk dalam ekosistem pantai yang terdapat pada

perairan tropik dan subtropik, serta menjadi penyangga sistem kehidupan fauna

akuatik karena menjadi tempat berasosiasinya sejumlah biota air. Pada ekosistem

ini serasah daun mangrove yang terdekomposisi (detritus) akan menjadi nutrien

yang dimanfaatkan oleh hewan pemakan detritus (detrivorus) seperti species ikan

dan crustacea (Supriharyono, 2007). Pengaruh dan tekanan terhadap habitat

mangrove yang bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal

hutan mangrove menjadi areal pemukiman, industri perikanan dan pertanian

menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove sehingga dapat

Page 20: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

2

mengakibatkan kerusakan ekologi di pesisir, salah satunya di pesisir Muncar

Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi.

Sejak tahun 2000, lembaga pemerintah dan non pemerintah telah banyak

melakukan rehabilitasi dengan penanaman mangrove di sekitar kawasan tersebut

akibat kerusakan hutan mangrove yang cukup parah oleh berbagai hal, seperti

perambahan hutan untuk pembukaan lahan tambak, kayu bakar, bahan bangunan,

pembuatan jangkar perahu dan lain-lain. Hasil penelitian Biswas et al. (2008),

luas ekosistem mangrove di Kawasan Teluk Pangpang menggunakan citra Satelit

Landsat pada tahun 1989 adalah ± 207,5 ha mengalami peningkatan menjadi ±

282,8 ha pada tahun 2011.

Kawasan Teluk Pangpang adalah salah satu pesisir yang menjadi pusat

(central) kegiatan perikanan laut di Kabupaten Banyuwangi. Keberadaan

mangrove di kawasan tersebut memiliki peran penting sebagai habitat fauna,

perlindungan fisik untuk garis pantai, spawning, nursery dan feeding ground bagi

beberapa spesies ikan dan udang-udangan. Selain itu ekosistem mangrove juga

berfungsi sebagai sarana pengolahan air limbah alami, sehingga mencegah

pencemaran pesisir. Pengembangan kegiatan perikanan yang bertujuan untuk

peningkatan pendapatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat melalui

pengembangan budidaya tambak, alat tangkapan ikan, pelabuhan, industri

pengolahan ikan akan mengancam kelestarian ekosistem mangrove.

Tekanan lingkungan akibat aktivitas manusia tersebut dapat mengurangi

fungsi ekologis mangrove dan mengganggu keberadaan fauna akuatik yang

berasosiasi dengan ekosistem mangrove di Kawasan Teluk Pangpang, sehingga

dapat mempengaruhi potensi fauna akuatik di ekosistem hutan mangrove. Dinas

Page 21: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

3

Kelautan dan Perikanan Banyuwangi mencatat bahwa produksi penangkapan ikan

di Muncar dalam 10 tahun terakhir yaitu tahun 2003 sebesar 33.896.220 Kg

mengalami penurunan menjadi 21.466.872 Kg pada tahun 2013. Onu La Ola

(2008), dalam penelitiannya menerangkan kerusakan mangrove di Wakatobi

untuk pemukiman dari tahun 1985-2001 seluas 2,5 ha mengalami penurunan

produksi ikan belanak sebesar 218,75 kg/tahun. Penelitian lainnya, kondisi

mangrove di muara C.A. Leuweng Sancang mempengaruhi tingginya jumlah dan

keragaman ikan sebanyak 6 jenis, dibandingkan muara TNUK sebanyak 43 jenis

karena kerusakan mangrove akibat penebangan, pembukaan lahan pertanian serta

adanya pendangkalan akibat longsoran sungai (Dewantoro, 2009).

Penurunan hasil tangkapan serta keragaman jenis ikan erat kaitannya

dengan keberadaan kondisi ekosistem mangrove dikarenakan biota akuatik

kehilangan daerah untuk reproduksi, pengasuhan dan tempat mencari makan. Atas

dasar hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai potensi fauna akuatik

ekosistem hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dari

penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tingkat indeks nilai penting dan keanekaragaman jenis

vegetasi pada ekosistem hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang,

Kabupaten Banyuwangi?

2. Bagaimanakah tingkat kelimpahan, biomassa, keanekaragaman dan

kemerataan fauna akuatik di Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten

Banyuwangi?

Page 22: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

4

3. Bagaimanakah pola penyebaran fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di

Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten Banyuwangi?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini yaitu :

1. Mengetahui tingkat indeks nilai penting dan keanekaragaman jenis pada

ekosistem hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten

Banyuwangi.

2. Menganalisis tingkat kelimpahan, biomassa, keanekaragaman dan kemerataan

fauna akuatik di Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten Banyuwangi.

3. Menganalisis pola penyebaran fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di

Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten Banyuwangi.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Bagi masyarakat sebagai bahan informasi yang bermanfaat dan bahan

masukan dalam upaya konservasi biota laut yaitu fauna akuatik yang

berasosiasi dengan ekosistem mangrove.

2. Bagi pemerintah sebagai bahan informasi dalam melaksanakan kebijakan-

kebijakan pemerintah terhadap potensi fauna akuatik sehingga dapat menjadi

masukan dalam mengambil kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove.

3. Bagi mahasiswa sebagai bahan literatur dengan kajian-kajian lebih lanjut

dalam potensi fauna akuatik kaitannya dengan keberadaan vegetasi mangrove

di masa yang akan datang.

Page 23: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kawasan Teluk Pangpang

Kawasan Teluk Pangpang adalah salah satu pesisir yang menjadi pusat

(central) kegiatan perikanan laut di Kabupaten Banyuwangi. Kawasan Teluk

Pangpang ini berbatasan dengan Selat Bali di sebelah Timur dan Samudra

Indonesia di sebelah Selatan. Teluk Pangpang berada di Selatan Banyuwangi

dengan panjang ± 8 km, lebar teluk ± 3,5 km dengan luas wilayah perairan ±

3.000 ha, terletak di dua wilayah administrasi yaitu Kecamatan Muncar dan

Kecamatan Tegaldlimo. Teluk Pangpang dikelilingi pesisir yang mempunyai

potensi mangrove yang secara geografis terletak antara 8º27’052’’ - 8º32’098’’

LS dan 114º20’988’’ - 114º21’747’’ BT (Pemkab Banyuwangi, 2014).

Gambar 2.1.

Peta Lokasi Penelitian di Teluk Pangpang

Page 24: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

6

(Pemkab Banyuwangi, 2014)

Ekosistem Mangrove yang terdapat di kawasan Teluk Pangpang terdiri

dari beberapa jenis, yaitu Rhizophora sp, Sonneratia caseolaris, Bruguiera sp

Avicennia sp., dan lain-lain (Erwiantono, 2006). Berdasarkan data laporan

identifikasi mangrove di Taman Nasional Alas Purwo untuk kawasan Teluk

Pangpang tahun 2001, terdapat 12 jenis mangrove yang di temukan (Tabel 2.1).

Tabel 2.1

Daftar Jenis Mangrove di Taman Nasional Alas Purwo Kawasan Teluk Pangpang

No Nama Latin Nama Indonesia Famili

1 Aegiceras floridum Mange Myrsinceae

2 Bruguiera gymnorrhiza Tanjang merah Rhizophoraceae

3 Ceriops decandera Tingi tagal Rhizophoraceae

4 C. tagal Tingi Rhizophoraceae

5 Excoecaria agallocha Pennengen Euphorbiaceae

6 Lumnitzera racemosa Pacar banyu Combretaceae

7 Rhizophora apiculata Bakau merah Rhizophoraceae

8 R. mucronata Tanjang slindur Rhizophoraceae

9 Scyphyphora hydrophyllaceae Perpat lanang Rubiaceae

10 Sonneratia alba Perpat Sonneratiaceae

11 S. caseolaris Perpat Sonneratiaceae

12 Xylocarpus granatum Nyirih agung Meliaceae

Sumber : Laporan Balai Taman Nasional Alas Purwo, 2001

Menurut Raharja et al. (2014), Mangrove dijumpai di Teluk Pangpang

meliputi Kecamatan Muncar dan Kecamatan Tegaldlimo dengan total ± 600 ha,

dengan rincian di Kecamatan Muncar yaitu 226 ha yang terbagi atas Kelurahan

Wringinputih seluas 225 ha dan Kelurahan Kedungringin seluas 1 Ha, sedangkan

sisanya berada di Kecamatan Tegaldlimo. Hutan mangrove Teluk Pangpang

menyusun formasi mengelilingi Teluk sehingga banyak dijumpai mulai batas

Tratas, Kabat Mantren, Tegal Pare, dan Tegaldimo. Sedangkan, menurut Dinas

Kehutanan dan Perkebunan Banyuwangi tahun 2003, potensi mangrove untuk

Desa Wringinputih seluas 375 ha dan Desa Kedungringin seluas 75 ha.

Page 25: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

7

Kawasan Teluk Pangpang di Kecamatan Muncar meliputi dua desa yaitu

Desa Kedungringin dengan satu dusun pesisir yaitu Dusun Tratas, sedangkan

Desa Wringinputih mempunyai tiga dusun pesisir yaitu Dusun Kabatmantren,

Dusun Krajan dan Dusun Tegalpare. Mangrove yang ada di sekitar Teluk

Pangpang sebelah Timur (sepanjang Tanjung Sembulungan) merupakan hutan

mangrove yang dikelola oleh Perhutani. Sedangkan sebelah Barat Teluk Pangpang

sebagian besar areal mangrove telah mengalami alih fungsi untuk kegiatan

tambak. Saat ini, terdapat usaha-usaha rehabilitasi penanaman mangrove di

sebelah Barat Teluk Pangpang seluas ± 200 hektar melalui Proyek Cofish

(Gustiar, 2005). Desa Wringinputih memiliki rata-rata perubahan paling tinggi

yaitu 30 ha/tahun dengan luasan mencapai ± 104 ha pada Tahun 1989, dan

berkembang menjadi ± 226 ha pada Tahun 2011 oleh adanya kegiatan rehabilitasi,

sebaliknya Desa Kedungringin mengalami perubahan yang menurun akibat

berdekatan dengan kawasan industri perikanan Muncar.

2.2. Potensi Biota Laut

Laut Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang besar terutama potensi

perikanan laut dari segi jumlah ataupun keragaman jenis. Luas laut Indonesia

kurang lebih 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Laut

Indonesia yang luas menyediakan sumberdaya ikan laut dengan potensi lestari

sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan

perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Jumlah tangkapan yang

diperbolehkan di Indonesia sebesar 80% dari potensi lestari sumberdaya ikan laut

yaitu sebesar 5,12 juta ton (Nurjanah et al., 2011).

Page 26: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

8

Potensi merupakan sesuatu hal yang dapat dijadikan sebagai bahan atau

sumber yang akan dikelola baik melalui usaha yang dilakukan manusia maupun

yang dilakukan melalui tenaga mesin dimana dalam pengerjaannya potensi dapat

juga diartikan sebagai sumber daya yang ada disekitar. (Kartasapoetra et al.,

1987). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) potensi yaitu kemampuan,

kekuatan, kesanggupan, atau pun daya yang mempunyai kemungkinan untuk

dikembangkan. Biota merupakan makhluk hidup berupa flora maupun fauna,

sedangkan laut adalah sebuah tempat berkumpulnya air asin. Dapat disimpulkan

“Biota Laut” adalah gabungan dari flora dan fauna yang hidup di perairan air asin;

sebuah lingkungan atau ekosistem dimana habitat air asin tersebut tinggal atau

hidup.

Biota laut terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok hewan dan

tumbuhan. Romimohtarto dan Juwana (1999), menyatakan bahwa biota laut

secara umum terbagi menjadi tiga berdasarkan cara atau sifat hidupnya meliputi:

1. Planktonik, yaitu biota yang melayang-layang, mengapung dan bergerak

mengikuti arus. Jenis ini umumnya ditemukan di kolom permukaan air.

Terbagi menjadi 2 yaitu fitoplankton (plankton tumbuhan) seperti alga biru

dan doniflegellata, dan zooplankton (plankton hewan) misalnya lucifer, udang

rebon, ostracoda dan cladocera.

2. Nektonik, yaitu biota yang berenang-renang umumnya dapat melawan arus

(terdiri dari hewan saja). Contohnya adalah ikan, ubur-ubur,cumi-cumi dan

lain-lain.

3. Bentik, yaitu biota yang hidup di dasar atau dalam substrat, baik tumbuhan

maupun hewan. Terbagi menjadi 3 macam yaitu 1) menempel (sponge,

Page 27: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

9

teritip, tiram dan lainnya); 2) merayap (kepiting, udang karang dan lain-lain)

dan 3) meliang (cacing, karang dan lain-lain).

2.3. Ekosistem Mangrove

Menurut Marsoedi et al. (1997), hutan mangrove adalah vegetasi hutan

yang tumbuh di daerah pantai dan disekitar muara sungai, yang selalu atau secara

teratur digenangi oleh air laut serta dipengaruhi pasang surut. Vegetasi hutan

mangrove dicirikan oleh jenis-jenis tanaman bakau, api-api, prepat, dan tunjang.

Areal mangrove tidak hanya sebagai koleksi tanaman, tetapi merupakan salah satu

sumber daya alam yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.

Hutan mangrove juga berperan sebagai tempat hidup jenis udang dan ikan yang

bernilai komersial.

Karakteristik habitat mangrove menurut Bengen (2001), adalah: Menerima

pasokan air tawar yang cukup dari darat; Umumnya tumbuh pada daerah intertidal

yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir; Daerahnya tergenang

air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat

pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan

mangrove; Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; Air

bersalinitas payau (2 – 22 permil) hingga asin mencapai 38 permil; Ditemukan

banyak di pantai - pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai

yang terlindung.

Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang memiliki

produktivitas tinggi dibandingkan ekosistem lain dengan dekomposisi bahan

organik yang tinggi, dan menjadikannya sebagai mata rantai ekologis yang sangat

penting bagi kehidupan mahluk hidup yang berada di perairan sekitarnya. Materi

Page 28: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

10

organik menjadikan hutan mangrove sebagai tempat sumber makanan dan tempat

asuhan berbagai biota seperti ikan, udang dan kepiting. Berbagai kelompok

moluska ekonomis juga sering ditemukan berasosiasi dengan tumbuhan penyusun

hutan mangrove (Bruno et al., 1998). Ekosistem Mangrove merupakan ekosistem

utama penyusun ekosistem wilayah pesisir berupa formasi tumbuhan litoral

dengan kerakteristik terdapat didaerah tropika dan sub tropika, terhampar

disepanjang pesisir (Manan, 1986). Menurut Nybakken (1988), sebutan mangrove

atau bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan, sedangkan mangal

ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan

ini.

Keberadaan hutan mangrove dalam ekosistem pantai merupakan suatu

persekutuan hidup alam hayati dan alam lingkungannya yang terdapat di daerah

pantai dan disekitar muara sungai pada kawasan hutan tropika, yaitu kawasan

hutan yang khas dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove, baik

di dalam maupun di luar kawasan hutan merupakan jalur hijau daerah pantai yang

mempunyai fungsi ekologis dan sosial ekonomis yang memiliki berbagai manfaat

(Farimansyah, 2005).

2.4. Luas dan Penyebaran Mangrove

Luas dan Penyebaran Menurut Santono et al., (2005) terdapat variasi yang

nyata dari luas total ekosistem mangrove Indonesia, yakni berkisar antara 2,5 juta-

4,25 juta ha. Perbedaan jumlah luasan ini lebih banyak disebabkan oleh perbedaan

metodologi pengukuran luas hutan mangrove yang dilakukan oleh berbagai pihak.

Walaupun demikian diakui oleh dunia bahwa Indonesia mempunyai luas

ekosistem mangrove terluas di dunia (21% luas mangrove dunia). Hutan-hutan

Page 29: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

11

mangrove menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di

sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.

Luas hutan mangrove Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar,

merupakan mangrove yang terluas di dunia melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria

(1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha). Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang

luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan

tempat bermuara sungai-sungai besar, yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai

barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama

terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan. Di bagian timur Indonesia,

ditepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai

barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai

luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan mangrove Indonesia (Santono, et

al , 2005).

Beberapa faktor yang menjadi penyebab berkurangnya ekosistem

mangrove antara lain:

1. Konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain, seperti

permukiman, pertanian, tambak, industri, pertambangan, dll.

2. Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaan HPH

(Hak Pengusaha Hutan) serta penebangan liar dan bentuk perambahan

hutan lainnya.

3. Polusi di perairan estuaria, pantai, dan lokasi - lokasi perairan lainnya

dimana tumbuh mangrove.

4. Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses sedimentasi dan

abrasi yang tidak terkendali.

Page 30: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

12

Penambahan hutan mangrove di beberapa provinsi belum diketahui dan

dilaporkan secara pasti, namun ada beberapa faktor yang memungkinkan

bertambahnya areal hutan mangrove dibeberapa provinsi, yaitu:

1. Adanya reboisasi atau penghijauan.

2. Adanya perluasan lahan hutan mangrove secara alami yang berkaitan

dengan adanya proses sedimentasi dan atau penaikan permukaan air laut.

3. Adanya metoda perhitungan luas hutan yang lebih baik dari metoda yang

digunakan sebelumnya (Santono et al., 2005).

2.5. Fungsi Dan Manfaat Mangrove

Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk

menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing

sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat

pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang,

dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman

biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman

anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai

sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan

tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto, 2004).

Ekosistem hutan mangrove mempunyai arti penting karena tidak sedikit

jumlah masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam ini

(Sugiarto dan Willy, 2003). Disamping itu adanya berbagai komponen rantai

makanan yang saling bergantung pada ekosistem mangrove ini, yaitu serasah yang

berasal dari tumbuhan mangrove, yang prosesnya dimulai oleh bakteri dan

cendawan yang mengubah daun-daun menjadi detritus yang disebut sebagai bahan

Page 31: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

13

organik. Selanjutnya bahan organik ini menjadi makanan bagi udang atau rebon,

kemudian binatang pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang, dan

kepiting.

Gambar 2.2. Hubungan Keterkaitan Komponen

Ekosistem Mangrove (Nontji, 1987)

Kordi (2012), menjelaskan hutan mangrove disebut sebagai ekosistem

pesisir yang paling produktif, yang menghasilkan serasah daun dan ranting sekitar

9 ton/ha/tahun. Di Indonesia produksi serasah daun dan ranting hutan mangrove

berkisar antara 78 ton/ha/tahun. Serasah daun dan ranting yang gugur merupakan

sumber bahan organik penting dalam rantai pakan (food chain) di lingkungan

perairan. Daun dan ranting yang gugur kedalam air segera menjadi bahan

makanan bagi berbagai jenis hewan air atau dihancurkan lebih dulu oleh kegiatan

bakteri dan jamur. Pada tingkat berikutnya hewan-hewan inipun menjadi makanan

bagi hewan-hewan lainnya yang lebih besar dan seterusnya (Gambar 2.2).

2.6. Fauna Akuatik di Ekosistem Mangrove

Menurut Bengen (2001), komunitas fauna ekosistem mangrove

membentuk percampuran antara 2 (dua) kelompok:

Page 32: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

14

1. Kelompok fauna daratan / terestrial yang umumnya menempati bagian atas

pohon mangrove, terdiri atas: insekta, ular, primata dan burung. Kelompok ini

tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove,

karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya diluar jangkauan air laut

pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan

makanannya berupa hewan laut pada saat air surut.

2. Kelompok fauna perairan / akuatik, terdiri atas dua tipe yaitu :

a. Yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang.

b. Yang menempati substrat baik keras (akar dan batang mangrove) maupun

lunak (lumpur) terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata

lainnya.

Menurut Nybakken (1988), kelompok hewan lautan yang dominan dalam

hutan mangrove (bakau) adalah moluska, udang-udangan, dan beberapa jenis

ikan. Moluska diwakili oleh sejumlah siput, yang umumnya hidup pada akar dan

batang pohon bakau. Kelompok kedua dari moluska termasuk

pelecypoda/bivalvia, yaitu tiram, mereka melekat pada akar-akar bakau. Selain itu

hewan yang hidup di bakau adalah sejumlah kepiting dan udang. Kawasan bakau

juga berguna sebagai tempat pembesaran udang penaied dan ikan-ikan seperti

belanak, yang melewatkan masa awal hidupnya pada daerah ini sebelum

berpindah ke lepas pantai.

Para ahli mengelompokkan ikan di ekosistem mangrove ke dalam empat

kelompok, yaitu (a) Ikan penetap sejati, yaitu ikan yang seluruh siklus hidupnya

berada di daerah ekosistem mangrove, seperti ikan gelodok; (b) Ikan penetap

sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove selama

Page 33: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

15

periode anakan, tetapi pada saat dewasa cenderung bergerombol di sepanjang

pantai berdekatan dengan ekosistem mangrove, seperti ikan belanak; (c) Ikan

pengunjung pada periode pasang, yaitu ikan yang berkunjung ke ekosistem

mangrove pada saat air pasang untuk mencari makan, seperti ikan gulamah; (d)

Ikan pengunjung musiman, yaitu ikan-ikan yang menggunakan ekosistem

mangrove sebagai tempat memijah dan asuhan, serta tempat perlindungan

musiman dari predator (Nirarita et al., 1996).

Ekosistem mangrove juga merupakan habitat bagi biota crustasea dam

molusca. Menurut Kartawinata et al. (1979) tercatat 80 spesies crustasea yang

hidup di ekosistem mangrove. Spesies penting yang hidup atau terkait dengan

ekosistem mangrove adalah udang (Penaeus, Metapenaeus) dan kepiting bakau

(Syclla). Kemudian, biota molusca yang tercatat sekitar 65 spesies yang terdiri

dari gastropoda dan pelecypoda/bivalvia. Beberapa spesies molusca penting di

ekosistem mangrove yaitu kerang bakau atau tiram bakau (Crassotrea sp.), kerang

hijau (Mytilus sp.), kerang alang (Gelonia sp.), kerang darah (Anadara sp.), dan

popaco atau kerang teleskop (Telescopium sp.).

Page 34: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

16

BAB III

KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir

Perairan Teluk Pangpang di Kecamatan Muncar merupakan kawasan

penghasil biota laut seperti fauna akuatik dan mangrove, kawasan budidaya

tambak, kawasan pemukiman dan kawasan industri perikanan diantara Kecamatan

lainnya yang berada di pesisir Kabupaten Banyuwangi. Kondisi pemanfaatan

ekosistem dengan menghasilkan produksi sebesar-besarnya tanpa memikirkan

lingkungan menyebabkan menipisnya populasi biota laut, pencemaran lingkungan

dan kerusakan lingkungan. Kondisi kawasan pesisir Muncar mengalami situasi

yang mengkuatirkan dikarenakan adanya kerusakan lingkungan terlihat di

sepanjang ekosistem mangrove yang berbatasan dengan kawasan tambak,

pemukiman, pelabuhan dan kondisi di kawasan hulu sampai hilir sungai. Adanya

abrasi laut mengakibatkan terjadinya terkikisnya bangunan tambak pada saat

gelombang pasang datang, pencemaran kualitas perairan akibat adanya limbah

domestik, limbah industri pengolahan serta limbah tambak membuat ekosistem

mangrove mengalami tekanan lingkungan yang membuat terjadinya degradasi

penurunan pertumbuhan mangrove serta terganggunya tingkat keanekaragaman

fauna di kawasan ekosistem mangrove.

Kondisi ekosistem mangrove yang telah mengalami perbaikan pada tahun

2000 oleh lembaga pemerintah dan non pemerintah dengan penghijauan kembali

(rehabilitation), membuat kawasan mangrove cenderung mengalami peningkatan

dan menurunnya luasan mangrove. Pengembangan industri perikanan dengan

kebijakan pemerintah di pesisir Muncar dapat membuat perubahan luasan

Page 35: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

17

mangrove yang dinamis sehingga mengakibatkan dampak pada meningkatnya dan

menurunnya fauna akuatik baik ikan dan non ikan yang berasosiasi di kawasan

mangrove serta kesejahteraan masyarakat di pesisir Muncar.

Berdasarkan dampak yang akan dihasilkan akibat tekanan lingkungan

manusia di sekitar mangrove perlu dilakukan kajian potensi fauna akuatik

terhadap struktur ekosistem mangrove di pesisir Muncar Kawasan Teluk

Pangpang kedepan yang akan berdampak pada masyarakat pesisir.

Kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

Gambar 3.1. Alur Pemikiran Penelitian

Kondisi flora mangrove

Komposisi dan

Struktur Mangrove

0

1. Salinitas (‰)

2. pH

3. Suhu (°C)

4. Substrat

Tanah

Permasalahan :

1. Alih lahan mangrove sebagai pengembangan kegiatan perikanan

2. Kondisi hulu dan hilir sungai

3. Rehabilitasi kawasan mangrove

4. Tekanan lingkungan di pesisir mangrove sehingga mengganggu

keberadaaan fauna akuatik

5. Penurunan produksi perikanan dengan adanya degradasi kawasan

mangrove

Kondisi fauna akuatik

1. Kerapatan mangrove

2. Frekuensi mangrove

3. Penutupan mangrove

4. Indeks Nilai Penting

5. Indeks Keanekaragaman

1. Kelimpahan dan

Biomassa

2. Indeks Keanekaragaman

3. Indeks Kemerataan

4. Pola Penyebaran Fauna

Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang

Kecamatan Muncar

Kondisi lingkungan

mangrove

Potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove

Komposisi dan

Struktur Fauna

0

Metoda Deskriptif Kuantitatif

0

Rekomendasi

Page 36: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

18

3.2. Penelitian Terdahulu

Tabel berikut ini menguraikan tentang penelitian-penelitian terdahulu yang

dilakukan di kawasan mangrove Teluk Pangpang.

Tabel 3.1 Penelitian Terdahulu di Kawasan Teluk Pangpang

No Penulis Tahun Judul

1. Chandra Gustiar Tesis Program Studi

Ilmu Perencanaan

Pembangunan Wilayah

dan Perdesaan, IPB,

2005

Analisis Kelembagaan dan

Peranannya dalam Penataan

Ruang di Teluk Pangpang

Kabupaten Banyuwangi.

2. Erwiantoro Penelitian Akhir

Fakultas Perikanan dan

Kelautan, Universitas

Mulawarman, 2006

Kajian Tingkat partisipasi

Masyarakat dalam Pengelolaan

Ekosistem Mangrove di

Kawasan Teluk Pangpang-

Banyuwangi

3. Kurnia Setyani Penelitian Akhir

Konservasi Sumberdaya

Hutan Fakultas

Kehutanan UGM, 2010

Keanekaragaman Jenis

Burung Di Kawasan Hutan

Mangrove Teluk Pangpang

Taman Nasional Alas Purwo

4. Dian Sulastini Tesis Pascasarjana

Universitas Gajah Mada,

2011

Struktur dan Komposisi Hutan

Mangrove di Teluk Pangpang

Taman Nasional Alas Purwo

5. Lugi Hartanto Tesis Pasca Sarjana

Fakultas Kehutanan

UGM, 2011

Pola Pengelompokan

Vegetasi Mangrove di Teluk

Pangpang Taman Nasional

Alas Purwo

6. Sucipto Tesis, Pascasarjana

Universitas Gajah Mada,

2013

Peranan Ekosistem Mangrove

dalam Peningkatan Ekonomi

Masyarakat di Teluk Pangpang

Taman Nasional Alas Purwo

7. Apriadi Budi

Raharja et al.

Penelitian Akhir

Program Studi PSPL,

Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan IPB,

2014

Kajian Potensi Kawasan

Mangrove di Kawasan Pesisir

Teluk Pangpang, Banyuwangi

Page 37: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

19

3.3. Konsep Penelitian

Konsep penelitian dalam pengambilan topik di Kecamatan Muncar adalah:

1. Kawasan pantai berhutan bakau berupa kawasan pelestarian alam

dimaksudkan untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem

bakau dan tempat berkembang biaknya berbagai biota laut disamping sebagai

pelindung pantai dan pengikisan air laut, serta pelindung usaha budidaya di

belakangnya berada di sekitar pantai tersebut (Perda RTRW Kabupaten

Banyuwangi, 2012).

2. Suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun

di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan

keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga

berfungsi sebagai kawasan penyangga kehidupan (Perda RTRW Kabupaten

Banyuwangi, 2012).

3. Pengembangan kawasan budidaya perikanan dengan menumbuhkan kearifan

lokal dan memperhatikan aspek ekologis, dengan strategi meliputi:

mengembangkan kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan

perikanan, kawasan peruntukan perkebunan, kawasan peruntukan kehutanan,

dan kawasan peruntukan peternakan yang terintegrasi dengan pengembangan

agroindustri dan agrobisnis (Perda RTRW Kabupaten Banyuwangi, 2012).

4. Zonasi kawasan hutan berbakau dengan ketentuan: a. pengelolaan kawasan

pantai berhutan bakau dilakukan melalui penanaman tanaman bakau dan

nipah di pantai; b. diizinkan untuk kegiatan rehabilitasi reboisasi lahan; c.

dilarang pemanfaatan kayu bakau; d. dilarang kegiatan yang mengurangi luas

bakau atau mencemari ekosistem bakau, dan e. dilarang kegiatan yang

Page 38: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

20

mengubah bentang alam dan ekosistem, menganggu kelestarian flora dan

fauna serta keanekaragaman hayati; f. diizinkan untuk kegiatan penelitian,

pendidikan dan wisata alam; g. pengembangan wisata alam disekitar kawasan

bakau dilarang merubah rona alam pantai dan hutan bakau (Perda RTRW

Kabupaten Banyuwangi, 2012).

5. Hutan Mangrove adalah suatu formasi pohon-pohon yang tumbuh pada tanah

alluvial didaerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang

surut air laut dan dicirikan oleh keberadaan jenis-jenis Avicennia spp (Api-

api), Sonneratia spp. (Pedada), Rhizophora spp. (bakau), Bruguiera spp.

(Tanjang), Lumnitzera spp. (Taruntum), Excoecaria spp. (Buta-buta),

Xylocarpus spp. (Nyirih), Anisoptera dan Nypa spp. (Nipah) (Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2009).

6. Rehabilitasi hutan mangrove adalah upaya mengembalikan fungsi hutan

mangrove yang mengalami degradasi pada kondisi yang dianggap baik dan

mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomis (Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2009).

7. Biota laut adalah berbagai jenis organisme hidup di perairan laut (Peraturan

Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004).

Page 39: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

21

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan beberapa tahapan kegiatan yaitu :

1. Studi pendahuluan yang meliputi observasi lapangan dan studi literatur

dengan maksud untuk mengumpulkan data umum mengenai kondisi umum

lokasi penelitian di kawasan mangrove dan mengumpulkan informasi yang

relevan dengan penyusunan proposal penelitian.

2. Persiapan yang meliputi panduan observasi, penelitian, serta alat-alat

penelitian yang akan dipakai untuk mendapatkan data penelitian.

3. Penelitian yang meliputi pengambilan data di lokasi penelitian yang telah

ditetapkan dalam pengambilan sample yang representatif untuk digunakan

dalam pengolahan data.

4. Pembahasan data yang meliputi hasil-hasil penelitian kemudian dipadukan

dengan kajian pustaka yang berkaitan dengan penelitian dan dianalisa

menggunakan metoda deskriptif kuantitatif untuk memperoleh suatu

kesimpulan.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Mangrove Teluk Pangpang

Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur dengan unit

analisis struktur vegetasi mangrove, analisis struktur fauna akuatik dan analisis

korespondensi pada bulan Desember 2014 sampai dengan bulan Februari 2015.

Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Page 40: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

22

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling methode,

dengan dasar pertimbangan bahwa di Kecamatan Muncar mempunyai beberapa

komoditas tingkat fauna laut baik ikan dan non ikan seperti ikan kerapu, ikan

belanak, udang, kepiting, kerang dan tiram serta adanya tingkat ancaman tekanan

lingkungan terhadap ekosistem mangrove yang sangat tinggi berupa kegiatan

industri perikanan, seperti tambak budidaya ikan, pelabuhan, pengolahan ikan,

penangkapan ikan, pemukiman, dan muara aliran sungai.

Gambar 4.1. Titik Sampling Penelitian di Kawasan Mangrove

Sumber: Google Earth (2014)

4.3. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi:

1. Penelitian dilakukan dengan metode observasi langsung yaitu metoda

pengumpulan data melalui pengamatan langsung secara cermat di lokasi

penelitian dengan berpedoman pada desain penelitian di sekitar ekosistem

mangrove.

2. Analisis vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan metode jalur

transek berpetak. Pengambilan contoh untuk analisis vegetasi mangrove

Keterangan:

I= TratasKawang

II = Muncing Krajan

III= Tegalpare

I

II

III

Page 41: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

23

dilakukan di Kawasan Mangrove Teluk Pangpang yaitu di Kecamatan

Muncar dengan membentuk stasiun-stasiun, yaitu stasiun I terletak di pesisir

Tratas Kawang muara Sungai Wagut, stasiun II terletak di pesisir Muncing

Krajan, dan stasiun III terletak di pesisir Tegalpare, kemudian ditabulasi

untuk mengetahui komposisi dan struktur ekosistem hutan mangrove sesuai

dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004.

3. Analisa potensi fauna akuatik dilakukan dengan menggunakan analisa

struktur komunitas meliputi kelimpahan, berat hasil tangkapan (biomassa),

indeks keanekaragaman jenis (H’) dan indeks kemerataan (E).

4. Analisa korespondensi dilakukan untuk mengetahui pola penyebaran fauna

akuatik ekosistem hutan mangrove dengan menggunakan aplikasi SPSS

(Statistical Package for the Social Science).

5. Data pendukung berupa kondisi lingkungan mangrove meliputi tekstur tanah

dan kualitas perairan meliputi fisika (suhu), kimia (pH dan salinitas) sesuai

dengan Lampiran III Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor

51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut.

4.4. Variabel Penelitian Dan Pengukuran Variabel

Variabel-variabel dalam penelitian meliputi :

1. Kondisi flora mangrove dengan parameter komposisi, kerapatan, frekuensi,

penutupan, indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman secara kuantitatif

2. Kondisi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove dengan parameter

komposisi, kelimpahan, biomassa, indeks keanekaragaman, indeks

kemerataan dan pola penyebaran secara kuantitatif.

Page 42: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

24

4.4. Penentuan Sumber Data

Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data primer dan

data sekunder (Tabel 4.1) yang meliputi:

Tabel 4.1

Penentuan Sumber Data Penelitian No Tujuan Jenis Data Instrumen Sumber Parameter

1. Untuk

mengetahui

tingkat

indeks nilai

penting dan

keanekaraga

man vegetasi

mangrove

Kuantitatif

Observasi

langsung

Hasil

penelitian

terdahulu

Primer

Sekunder

Komposisi, Kerapatan

, Frekuensi ,

Penutupan , Indeks

Nilai Penting dan

Indeks

Keanekaragaman

2 Untuk

mengetahui

kelimpahan,

biomassa,

keanekaraga

man dan

kemerataan,

pola

penyebaran

Kuantitatif

Observasi

langsung

Hasil

penelitian

terdahulu

Primer

Sekunder

Komposisi,

Kelimpahan,

Biomassa, Indeks

Keanekaragaman dan

Indeks Kemerataan

Serta pola penyebaran

4.6. Bahan Dan Instrumen Penelitian

Jenis peralatan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah patok kayu

yang berfungsi sebagai tempat mengikat tali transek, meteran/rol meter untuk

mengukur transek, GPS untuk menetukan lokasi titik pengambilan sampel, buku

panduan identifikasi mangrove dan taksonomi ikan, pH meter dan pH indicator

untuk mengukur pH air laut, termometer untuk mengukur suhu, Hand

Refractometer untuk mengukur salinitas, jangka kaliper, wadah keranjang untuk

pengambilan sampel fauna, timbangan digital dan timbangan gantung untuk

mengukur berat hasil tangkapan fauna, kamera digital untuk dokumentasi berupa

foto-foto kawasan lahan mangrove dan biota air laut, alat tulis serta komputer.

Page 43: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

25

4.7. Prosedur Penelitian

Studi pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kondisi mangrove yaitu

dengan pengamatan lapangan terlebih dahulu yang akan dijadikan zona penelitian

pada tegakan mangrove dengan menentukan 3 (tiga) stasiun sampling yang

terletak di kawasan ekosistem mangrove dengan pertimbangan ketebalan

mangrove dan kondisi lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir Muncar

sebagai berikut :

a. Stasiun I, Kawasan pesisir Tratas Kawang merupakan kawasan mangrove

dengan kondisi penelitian berupa tambak budidaya ikan, pemukiman,

pelabuhan, daerah tangkapan ikan, daerah rehabilitasi dan muara aliran sungai

Wagut yang mengalirkan limbah pencemaran berupa limbah domestik,

limbah industri pengolahan ikan dan limbah budidaya ikan.

b. Stasiun II, Kawasan pesisir Muncing Krajan merupakan kawasan mangrove

kondisi berupa tambak budidaya ikan, daerah rehabilitasi mangrove

berdekatan dengan pembuangan limbah budidaya dan muara aliran Sungai

Tojo dan Sungai Setail.

c. Stasiun III, Kawasan pesisir Tegalpare merupakan kawasan mangrove kondisi

berupa tambak budidaya ikan dan muara aliran sungai Setail, daerah pertanian

sehingga mengalirkan bahan pencemar berupa limbah pertanian dan limbah

budidaya ikan.

Prosedur pengambilan data penelitian untuk mengetahui kondisi mangrove

dilakukan dengan metoda pengukuran Transek Garis Berpetak (Line Transect

Plot). Jarak petak di jalur disesuaikan dengan keadaan luasan mangrove di setiap

stasiun yaitu pada stasiun I ketebalan mangrove mencapai 150 meter dibuat 5

Page 44: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

26

petak contoh dengan jarak 30 m, stasiun II ketebalan mangrove mencapai 200 m

dibuat 4 petak contoh dengan jarak 50 m, sedangkan stasiun III ketebalan

mangrove mencapai 300 m dibuat 4 petak contoh dengan jarak contoh dengan

jarak 75 m untuk mencapai intensitas sampling yang dikehendaki pada ketelitian

sampel yang memadai (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Mekanisme

pengukuran untuk pengambilan sampel tersebut, yaitu :

a. Pada setiap stasiun pengamatan ditetapkan transek-transek garis dari arah laut

ke arah darat tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan mangrove

didaerah intertidal.

b. Identifikasi setiap jenis mangrove yang ada dengan referensi dari Buku

Identifikasi Mangrove “Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia”

karangan Noor YR et al (2006).

c. Pada setiap jalur dibuat petak-petak pengamatan sesuai dengan tingkat

pertumbuhannya. Setiap zona mangrove yang berada di sepanjang transek

garis, diletakkan petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan

ukuran 10 m x 10 m seperti pada Gambar 4.2.

d. Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, dilakukan determinasi

setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis

dan ukur lingkaran batang setiap pohon mangrove setinggi dada, setinggi 1,3

meter.

Page 45: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

27

Gambar 4.2. Desain Penempatan Plot (Petak Contoh) Metoda Transek

Sumber: Google Earth (2014)

e. Pada penelitian ini penghitungan data dilakukan dengan metoda jalur dan

permudaan dengan metoda garis berpetak (Kusmana, 1997). Ukuran

permudaan yang digunakan dalam analisis vegetasi hutan mangrove adalah

sebagai berikut (Gambar 4.3):

a) Semai : Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi

kurang dari 1,5 m.

b) Pancang : Permudaaan dengan tinggi ≥ 1,5 m dan diameter anakan

kurang dari 10 cm.

c) Pohon : Pohon berdiameter 10 cm atau lebih.

Gambar 4.3. Desain kombinasi metoda jalur dan metode garis berpetak

10 m

10 m

Arah Rintis 5 m

2 m

Sungai Wagut

Sungai Setail

Page 46: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

28

Selanjutnya ukuran sub-petak untuk setiap tingkat permudaan adalah sebagai

berikut:

a) Petak contoh untuk pengamatan tanaman semai ( 2m x 2 m)

b) Petak contoh untuk pengamatan tanaman pancang ( 5 m x 5 m)

c) Petak contoh untuk pengamatan tanaman pohon ( 10 m x 10 m)

Kondisi potensi jenis fauna akuatik diperoleh dengan metoda observasi

langsung yaitu dengan cara menjelajah dan mengidentifikasi biota yang bernilai

ekonomis tinggi yaitu kelompok fauna akuatik laut di kawasan mangrove dengan

langkah-langkah sebagai berikut:

a. Pengumpulan fauna akuatik dilakukan dengan Trapped Net atau banjang

(bahasa lokal) yaitu alat tangkap yang dipasang secara permanen di tepi

pesisir mangrove dilengkapi tiang yang terbuat dari bambu sebagai penguat

agar tetap di posisinya dengan cara kerja yaitu pada saat air pasang ikan-ikan

masuk mengikuti arus air menuju perangkap, sedangkan pada saat surut ikan-

ikan yang terperangkap diambil sebagai hasil tangkapan di setiap stasiun.

b. Fauna akuatik diperoleh dari nelayan yang mempunyai Trapped Net dan

diambil 10% dari hasil tangkapan sebanyak 18 kali selama 3 bulan secara

acak sebagai sampel penelitian di setiap stasiun. Pengambilan sampel fauna

akuatik dilakukan berdasarkan panduan pasang surut kedalaman air laut dapat

dilihat pada Lampiran 5.

c. Penyortiran fauna akuatik dilakukan untuk menghitung jumlah dan

penimbangan berat untuk mengetahui kelimpahan dan biomassa per individu.

Pengambilan sampel menggunakan wadah keranjang dengan dalam keadaan

air surut dan musim ikan serta tidak terjadi air kundo/konda (kondisi air laut

Page 47: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

29

tidak pasang tinggi dan tidak surut rendah/stagnan) pada jam 05.00-09.00

WIB secara bersamaan.

d. Fauna akuatik tertangkap diidentifikasi dengan mengacu pada referensi dari

buku “Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II ” karangan Saanin

H. (1984).

e. Setiap data yang telah terkumpul dan teridentifikasi langsung dicatat.

Pola penyebaran jenis fauna akuatik bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara vegetasi mangrove dengan spesies fauna akuatik ditentukan

dengan menhitung banyaknya jumlah hasil tangkapan (individu/ekor) berdasarkan

famili fauna akuatik yang ditemukan pada lokasi stasiun. Data pendukung berupa

data kondisi lingkungan di kawasan mangrove, meliputi: Pengambilan data suhu,

pH, salinitas pada saat pasang dan surut air laut serta kondisi tekstur tanah dengan

metoda feeling/perasaan dilapangan dengan cara memijit dan merasakan tanah

dengan menggunakan jari-jari untuk mengetahui kasar/halusnya kondisi substrat

tanah mangrove (Hardjowigeno, 1989).

4.8. Analisis Data

Data kondisi mangrove diinventarisasi kemudian ditabulasi dan dianalisis

untuk mengetahui indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman ekosistem

hutan mangrove sebagai berikut :

1) Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks nilai penting (importance value index) adalah parameter kuantitatif

yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan)

spesies-spesies dalam suatu vegetasi (Soegianto, 1994; Ardhana, 2012)

dengan rumus :

Page 48: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

30

INP = KR + FR + CR

INP-i = KR-i + FR-i + CR-i

Dimana : INP = Indeks Nilai Penting (%)

INP-i = Indeks Nilai Penting Spesies ke-i (%)

KR = Kerapatan relative (%)

FR = Frekuensi relative (%)

CR = Luas Penutupan relatif (%)

INP merupakan penjumlahan dari kerapatan relative, frekuensi relative dan

luas penutupan relative menggunakan metode analisis dengan formula-

formula (Indriyanto, 2006; Ardhana, 2012), sebagai berikut:

a. Densitas/Kerapatan

Densitas merupakan jumlah individu organisme per satuan luas. Untuk

kepentingan analisis komunitas tumbuhan, istilah densitas digunakan

dengan istilah kerapatan dan diberi notasi “K”.

K = jumlah individu

luas seluruh petak contoh

Dengan demikian, densitas ke-i dapat dihitung sebagai K-i dan densitas

relative setiap spesies ke-i terhadap kerapatan total dapat dihitung sebagai

KR-i.

K-i = jumlah individu untuk spesies ke-i

luas seluruh petak contoh

KR-i = kerapatan spesies ke-i

kerapatan seluruh spesies x 100%

Dimana : K = Kerapatan (pohon/ha)

K-i = Kerapatan spesies ke-i (pohon/ha)

KR-i = Kerapatan relatif spesies ke-i (%)

Page 49: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

31

b. Frekuensi jenis

Ardhana (2012) menjelaskan bahwa frekuensi dipergunakan untuk

menyatakan proporsi antara jumlah sampel yang berisi suatu spesies

tertentu terhadap jumlah total sampel. Frekuensi merupakan besarnya

intensitas diketemukannya suatu spesies organisme dalam pengamatan

keberadaan organisme pada suatu komunitas atau ekosistem. Untuk

kepentingan analisis vegetasi, frekuensi spesies (F), frekuensi spesies ke-i

(F-i) dan frekuensi relative spesies ke-i (FR-i) dapat dihitung dengan

rumus:

F = jumlah petak contoh ditemukannya suatu spesies

jumlah seluruh petak contoh

F-i = jumlah petak contoh ditemukannya suatu spesies ke-i

jumlah seluruh petak contoh

FR-i = frekuensi suatu spesies ke-i

frekuensi seluruh spesies x 100%

Dimana : F = Frekuensi (jumlah petak contoh)

F-i = Frekuensi spesies ke i (jumlah petak contoh)

FR-i = Jumlah relative spesies ke-i (%)

c. Penutupan

Luas penutupan (coverage) adalah proporsi antara luas tempat yang

ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Luas penutupan

dapat dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas

bidang dasar (luas basal area)(Ardhana,2012). Luas penutupan dapat

dihitung dengan rumus:

C = luas basal area

luas seluruh petak contoh

Page 50: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

32

C-i = total luas basal area spesies ke-i

luas seluruh petak contoh

CR-i = penutupan spesies ke-i

penutupan seluruh petak contoh x 100%

Dimana : C = Luas penutupan (m2)

C-i = Luas penutupan spesies ke-i (m2)

CR-i = Luas penutupan relative spesies ke-i (%)

2) Indeks Keanekaragaman

Indeks keanekaragaman (H’) digunakan untuk mendapatkan gambaran

populasi organisme secara matematis agar mempermudah menganalisis

informasi jumlah individu masing masing spesies dalam suatu komunitas,

yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil

meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya (Soegianto,1994).

sehingga dapat dihitung dengan rumus indeks keanekaragaman Shannon-

Wienner:

𝐻′ = − 𝑛𝑖

𝑛 𝑙𝑛

𝑛

𝑖=1

𝑛𝑖

𝑛

Dimana : H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner

ni = nilai penting dari setiap spesies

N = total nilai penting

Kategori penilaian indeks keanekaragaman menurut Odum (1971), adalah

sebagai berikut :

a) H’ ≤ 1 = Keanekaragaman rendah, penyebaran rendah, kestabilan

komunitas rendah.

b) 1 ≤ H’ ≤ 3 = Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, kestabilan

komunitas sedang.

Page 51: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

33

c) H’ > 3 = Keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi, kestabilan

komunitas tinggi.

Data kondisi fauna akuatik diinventarisasi kemudian ditabulasi dan

dianalisis untuk mengetahui kelimpahan dan biomassa, keanekaragaman (indeks

keanekaragaman Shannon-Wienner) dan kemerataan, serta pola penyebaran jenis

fauna akuatik sebagai berikut :

1) Kelimpahan dan biomassa

Fauna akuatik yang telah terkumpul, diidentifikasi dan dilakukan perhitungan

jumlah dan berat (berat basah) per individu (ekor) di setiap stasiun penelitian.

Biomassa merupakan keseluruhan materi baik berupa berat basah maupun

berat kering yang berasal dari makhluk hidup, termasuk bahan organik baik

yang hidup maupun yang mati, baik yang ada di atas permukaan tanah

maupun yang ada di bawah permukaan tanah, (Sutaryo, 2009). Hasil

perhitungan dianalisa secara deskriptif.

2) Indeks Kemerataan

Indeks keseragaman atau indeks kemerataan (E’) adalah komposisi jumlah

individu dalam setiap genus yang terdapat dalam komunitas agar dapat

menggambarkan keseimbangan ekosistem. Kemerataan didapat dengan

membandingkan indeks keanekaragaman dengan nilai maksimumnya. untuk

mengetahui indeks kemerataan digunakan rumus Evennes Indeks sebagai

berikut:

E = H'

H' max

Dimana : E = Indeks kemerataan populasi

H’= Indeks keanekaragaman

Page 52: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

34

H’ max = Indeks keanekaragaman maksimum = ln S

S = Jumlah total spesies

Nilai indeks kemerataan berkisar antara 0-1. Bila E mendekati 0 (nol), spesies

penyusun tidak banyak ragamnya, ada dominansi dari spesies tertentu dan

menunjukkan adanya tekanan terhadap ekosistem. Sedangkan, bila E

mendekati 1 (satu), jumlah individu yang dimiliki antar spesies tidak jauh

berbeda, tidak ada dominansi dan tidak ada tekanan terhadap ekosistem.

Kategori kemerataan menurut Brower et al (1990), yaitu sebagai berikut :

a) 0 < E ≤ 0,4 = Kemerataan kecil, komunitas tertekan;

b) 0,4 < E ≤ 0,6 = Kemerataan sedang, komunitas labil;

c) 0,6 < E ≤ 1,0 = Kemerataan tinggi, komunitas stabil.

Data fauna akuatik yang telah ditabulasi kemudian diolah dengan analisis

korespondensi (correspondence analysis) menggunakan software SPSS. Analisis

korespondensi adalah sebuah teknik multivariat secara grafik yang digunakan

untuk eksplorasi data dari sebuah tabulasi silang dua variabel / tabel kontingensi,

berupa tabel frekuensi, dan hasil keluarannya berupa peta (mapping) kategori dari

variabel (Rusgiyono, 2012).

Hasil analisis kondisi flora mangrove dan kondisi fauna akuatik disajikan

dalam bentuk tabel dan gambar (foto) dengan metoda deskriptif kuantitatif.

Metode deskriptif kuantitatif yaitu suatu bentuk penelitian berdasarkan data yang

dikumpulkan selama penelitian secara sistematis mengenai fakta-fakta dan sifat-

sifat dari obyek yang diteliti dengan menggabungkan hubungan antar variabel

yang terlibat didalamnya, kemudian diinterpretasikan berdasarkan teori-teori dan

literatur-literatur yang berhubungan dengan objek tersebut (Sugiyono,2008).

Page 53: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

35

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.1.1. Kondisi lokasi penelitian

Kabupaten Banyuwangi terletak di bagian paling timur Provinsi Jawa Timur

dengan daerah penghasil ikan terbesar berada di Kecamatan Muncar. Potensi

perikanan yang besar berkaitan dengan adanya kawasan yang ditumbuhi mangrove

sebagai kawasan nursery grounds, spawning grounds dan feeding grounds yang

berlokasi di Kawasan Teluk Pangpang, yang bersebelahan dengan perairan Selat

Bali dan Samudera Hindia. Stasiun Penelitian dilakukan di Pesisir Muncar yang

terbagi atas 3 wilayah pengamatan yaitu Stasiun I (Tratas Kawang), Stasiun II

(Muncing Krajan) dan Stasiun III (Tegalpare).

Lokasi pengamatan I terletak di daerah pesisir Tratas Kawang yang terletak

di antara 2 Dusun yaitu Dusun Tratas dan Dusun Kabatmantren dengan batas

Sungai Wagut yang mempunyai panjang aliran sungai ± 44,6 Km. Ekosistem

Mangrove di Stasiun I memiliki ketebalan mencapai 150 meter dan panjang pesisir

mencapai 600 meter yang dibagi menjadi 5 petak contoh penelitian dengan jarak

antar petak contoh 30 meter.

Stasiun II berada dipesisir Muncing Krajan yaitu di Dusun Kabatmantren

dan Dusun Krajan berada didaerah muara aliran Sungai Setail yang mempunyai

panjang aliran sungai ± 73,35 Km. Ekosistem mangrove di Stasiun II memiliki

ketebalan mencapai 200 meter dan panjang pesisir mencapai 250 meter yang dibagi

menjadi 4 petak contoh penelitian dengan jarak antar petak contoh 50 meter.

Sedangkan, Stasiun III terletak di pesisir mangrove Dusun Tegalpare yaitu

Page 54: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

36

memiliki ketebalan mencapai 300 meter dan panjang pesisir mencapai 450 meter

yang dibagi menjadi 4 petak contoh penelitian dengan jarak antar petak contoh 75

meter.

Adanya degradasi lahan dan tekanan lingkungan aktivitas masyarakat

berupa pengembangan tambak budidaya perikanan, pelabuhan, pemukiman,

pencemaran limbah domestik dan industri di pesisir dapat merugikan biota laut

berupa flora mangrove dan fauna akuatik, sehingga Kawasan Teluk Pangpang

ditetapkan sebagai areal rehabilitasi oleh Pemerintah, Swasta dan Kelompok tani

setempat. Terlihat beberapa wilayah hutan mangrove di pesisir Teluk Pangpang

memiliki kerapatan yang relatif sangat tinggi dan tekstur tanah yang berpasir dan

berlumpur sehingga cukup menyulitkan untuk berjalan dan menembus areal

rehabilitasi mangrove di lokasi penelitian.

Pengambilan sampel penelitian berupa fauna akuatik di Kawasan Teluk

Pangpang dilakukan dalam keadaan surut pada saat musim ikan/tidak dalam

keadaan air kundo/konda. Air Konda yaitu keadaan air laut tidak mengalami pasang

tinggi dan surut rendah karena keadaan gelombang dan arus yang stagnan/stabil.

Pasang surut air laut berupa kedalaman air laut bulanan mengacu pada BMKG

Banyuwangi serta nelayan di pesisir yang masih mengacu dengan melihat bulan

dan penanggalan jawa (Hijriah).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nelayan pesisir dalam pengambilan

fauna akuatik menggunakan alat tangkap jaring berupa jebakan (Trapped net) atau

banjang/sero (bahasa lokal) yang banyak terpasang di pesisir pantai dan mangrove.

Pengambilan fauna dilakukan pada saat bulan purnama/penuh dan bulan mati/sabit

yaitu pada saat air laut mengalami pasang/surut besar berkisar tanggal 12-19 dan

Page 55: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

37

27-6. Sedangkan, para nelayan tidak mengambil hasil tangkap pada saat air kunda

karena fauna akuatik yang tertangkap lebih sedikit yaitu berkisar tanggal 20-27 dan

5-10 sehingga mereka lebih memilih memperbaiki atau membersihkan jaring dan

menunggu pada saat air laut mulai pasang maju/besar.

5.1.2. Kondisi tekstur tanah

Karakteristik tekstur tanah menggunakan metoda feeling/perasaan yaitu

sampel tekstur tanah yang telah didapatkan di setiap plot-plot mangrove Stasiun

penelitian dikumpulkan dan diteliti dengan memijit tanah basah diantara jari-jari,

sambil dirasakan halus kasarnya yaitu untuk mengetahui tekstur tanah pasir, debu

dan liat. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan Stasiun I mempunyai tekstur

tanah pasir berlempung dengan ciri-ciri rasa kasar pasir jelas, sedikit sekali melekat

dan dapat dibentuk bola atau gulungan yang mudah sekali hancur. Letaknya yang

berada di pesisir pantai dan berdekatan dengan muara sungai menyebabkan aliran

air yang membawa sedimentasi ke arah laut terjebak pada akar-akar mangrove pada

saat rehabilitasi di Kawasan Teluk Pangpang. Kondisi tekstur tanah di Stasiun I

menyebabkan vegetasi mangrove dapat beradaptasi seperti Rhizophora sp.,

Avicennia marina, dan Sonneratia alba.

Stasiun II mempunyai tekstur tanah lempung berpasir dengan ciri-ciri rasa

pasir agak jelas, agak melekat dan dapat dibuat bola tetapi mudah hancur. Letak

mangrove yang berada pada muara sungai merupakan hasil rehabilitasi di lokasi

tambak yang rusak. Kondisi mangrove yang tumbuh dan berkembang didalam

lokasi tambak menyebabkan aliran sungai yang membawa sedimentasi berupa

tanah lempung masuk ke dalam tambak dan mengendap pada akar-akar mangrove.

Kondisi kerapatan dan penutupan mangrove di Stasiun II yang lebih tebal dan rapat

Page 56: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

38

didominansi oleh jenis S. alba yang terletak di muara sungai Setail dengan

hamparan pesisir yang luas sehingga menyebabkan tekstur tanahnya tersusun oleh

lempung berpasir.

Stasiun III dengan tekstur tanah lempung liat berdebu dengan ciri-ciri rasa

liat agak licin, melekat dan dapat dibentuk gulungan tetap seperti bola yang

mengkilat. Lokasi yang berdekatan dengan sungai merupakan areal rehabilitasi di

tambak yang rusak menyebabkan aliran sungai yang membawa sedimentasi yang

bergerak menuju perairan teluk bagian dalam dan mengalami pendangkalan lumpur

yang tinggi. Adanya kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi dalam mengikat

sedimen (sedimen trapped) menyebabkan kondisi tanah mempunyai tekstur

lempung liat berdebu.

5.1.3. Kondisi perairan

Faktor kondisi perairan di kawasan mangrove menunjukkan terdapat adanya

fluktuasi kenaikan dan penurunan parameter suhu, pH, dan salinitas sehingga biota

laut harus memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis atau

berubah-ubah. Hasil analisis kondisi perairan dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Parameter Suhu, Salinitas, pH dan Tekstur Tanah

Stasiun Suhu (ºC) Salinitas (‰) pH Tekstur tanah

I 30-32 20-35 7,2-7,5 Pasir berlempung

II 32-34 30-35 7,2-7,4 Lempung berpasir

III 27-31 10-30 6,8-7,2 Lempung liat berdebu

Kepmen.LH

No:51/2004 28-32 Alami-34 7,0 - 8,5 -

Keterangan: I = Tratas Kawang, II = Muncing Krajan dan III = Tegal Pare

Hasil pengukuran kondisi lingkungan perairan di Stasiun I, II, III

menunjukkan adanya kesesuaian batasan toleransi suhu untuk mangrove yaitu

Page 57: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

39

berkisar 28-32 ºC, salinitas alami yaitu kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi

setiap saat sampai berkisar 34 ‰ dan pH air laut yaitu 7-8,5 pada peraturan baku

mutu air laut untuk biota laut Kepmen. LH Nomor : 51 Tahun 2004.

Kondisi perairan kawasan Teluk Pangpang dengan adanya muara sungai,

tambak, dan perairan laut menyebabkan suhu lingkungan di stasiun penelitian

berkisar 27 ºC - 34 ºC. Suhu merupakan salah satu pengukuran kondisi lingkungan

yang paling mudah untuk diteliti dan ditentukan dilokasi penelitian, sehingga hasil

penelitian berupa suhu perairan yang didapat masih toleran dan tidak terlalu

ekstrem. Hal ini disebabkan karena kerapatan dan penutupan mangrove yang relatif

tebal dan tinggi, sehingga cahaya matahari tidak terlalu banyak masuk ke lantai

hutan mangrove.

Salinitas perairan didapatkan hasil pengukuran yang berbeda pada setiap

Stasiun yaitu berkisar antara 10 ‰ sampai dengan 35 ‰. Salinitas perairan di

lokasi penelitian mengalami perubahan yang fluktuatif karena adanya aliran air

sungai dari hulu ke hilir ditambah curah hujan yang tinggi serta saluran air keluar

(outlet) tambak ke pesisir menyebabkan pencampuran air tawar sehingga membuat

biota laut beradaptasi dengan kandungan salinitas di pesisir Kawasan Teluk

Pangpang.

Derajat keasaman (pH) perairan di Kawasan Teluk Pangpang mengalami

kondisi yang fluktuatif berkisar 6,8 sampai dengan 7,5. Hal ini tidak terlepas dari

kerapatan dan penutupan mangrove yaitu semakin tebal dan lebat kondisi mangrove

maka semakin tinggi serasah daun mangrove yang dihasilkan. Guguran daun

mangrove yang jatuh ke lantai hutan akan terdekomposisi oleh bakteri dan jamur

Page 58: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

40

sehingga menjadi detritus dan menyebabkan kecenderungan perairan menjadi asam

(pH < 7).

5.2. Analisis Kondisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang

5.2.1. Komposisi jenis vegetasi mangrove

Penelitian kondisi vegetasi mangrove Kawasan Teluk Pangpang ini terletak

di pesisir Muncar, Kawasan Teluk Pangpang. Identifikasi vegetasi mangrove

mengacu pada buku “Panduan Pengenalan Mangrove Di Indonesia” karangan

Noor et.al (2006). Selama penelitian berlangsung didapatkan 5 Famili dan 8 spesies

jenis mangrove di Kawasan Teluk Pangpang. Hasil penelitian dapat dilihat pada

Tabel 5.2.

Tabel 5.2. Identifikasi Jenis Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang

Familia Spesies Nama Lokal Stasiun

Sonneratiaceae Sonneratia alba J.E. Smith.

Pedada, perepat, bogem,

mange-mange.

I, II dan

III

Rhizophoraceae Rhizophora mucronata Lmk.

Rhizophora apiculata Bl.

Ceriops tagal C.B.Rob.

Bruguiera gymnorrhiza (L.)

Bakau korap, bakau hitam,

Tanjang slindur.

Bakau merah, bakau

kacang, slengkreng.

Tingi, tengar, mentigi,

mange darat, wanggo.

Tanjang merah, pertut,

lindur,bako,sarau.

I, II dan

III

I, II dan

III

II dan

III

III

Avicenniaceae Avicennia marina (Forsk.)

Api-api,sie-sie,pejapi,

nyapi,hajusia,pai.

I dan III

Acanthaceae Acanthus ilicifolius L.

Jeruju hitam, daruyu,

darulu.

III

Meliaceae Xylocarpus moluccencis (L)

Roem.

Nyirih batu, siri, jombok,

kabau, raru.

III

Keterangan: I = Tratas Kawang, II = Muncing Krajan dan III = Tegal Pare

Hasil penelitian menunjukkan Stasiun pengamatan I terdapat 3 familia yaitu

Sonneratiaceae, Rhizophoraceae dan Avicenniaceae yang terdiri dari 4 Spesies

seperti Sonneratia alba J.E. Smith., Rhizophora mucronata Lmk., R. apiculata Bl.,

Page 59: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

41

dan Avicennia marina (Forsk.). Stasiun pengamatan II terdapat 2 familia yaitu

Sonneratiaceae dan Rhizophoraceae yang terdiri dari 4 spesies seperti S. alba J.E.

Smith., R. mucronata Lmk., R. apiculata Bl. dan Ceriops tagal C.B. Rob.

Sedangkan, Stasiun III terdapat 5 familia yaitu Sonneratiaceae, Rhizophoraceae,

Avicenniaceae, Acanthaceae dan Meliaceae yang terdiri dari 8 spesies yaitu S. alba

J.E. Smith., R. mucronata Lmk., R. apiculata Bl., C. tagal C.B.Rob., B.

gymnorrhiza (L.), A. marina (Forsk.), Acanthus ilicifolius L., dan Xylocarpus

moluccencis (L) Roem.

Jenis vegetasi mangrove di Kawasan Teluk Pangpang pada masing-masing

Stasiun terlihat dari berbagai jumlah tingkatan pertumbuhan mangrove berupa fase

semai, pancang dan pohon. Pada Stasiun I, fase semai mempunyai jumlah 55

individu, fase pancang berjumlah 47 individu dan fase pohon berjumlah 258

individu. Pada Stasiun II, fase semai mempunyai jumlah 32 individu, fase pancang

berjumlah 50 individu, dan fase pohon berjumlah 276 individu. Sedangkan, pada

Stasiun III fase semai mempunyai jumlah 63 individu, fase pancang berjumlah 35

individu dan fase pohon berjumlah 164 individu (Tabel 5.3).

Tabel 5.3. Jumlah Individu Mangrove per Fase di Kawasan Teluk Pangpang

Stasiun

Pengamatan

Jumlah individu per fase (ind)

Semai Pancang Pohon

Stasiun I 55 47 258

Stasiun II 32 50 276

Stasiun III 63 35 164

jumlah 150 132 698

5.2.2. Kerapatan jenis vegetasi mangrove

Hasil penelitian kerapatan jenis pada seluruh stasiun pengamatan didapatkan

tegakan mangrove > 1.500 ind/ha. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.4.

Page 60: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

42

Tabel 5.4. Kerapatan Jenis Vegetasi Mangrove

Stasiun Kerapatan jenis (Ind/Ha)

Spesies Semai Pancang Pohon

I S. alba J.E. Smith 32.500 700 2.175

R. mucronata Lmk. 105.000 833 2.760

R. apiculata Bl - 100 1.067

A. marina (Forsk.) - - 100

jumlah 137.500 1.633 6.102

II S. alba J.E. Smith 15.000 4.533 3.100

R. mucronata Lmk. 25.000 4.800 1.275

R. apiculata Bl - - 367

C. tagal C.B.Rob - 1.600 -

jumlah 40.000 10.933 4.742

III S. alba J.E. Smith - 2.000 2.033

R. mucronata Lmk. - 400 700

R. apiculata Bl - 1.100

C. tagal C.B.Rob 75.000 2.600 1.133

B. gymnorrhiza (L) - 4.800 800

A. marina (Forsk.) - 1.200 1.000

X. moluccencis (L) - - 500

A. ilicifolius L. 3.750 - -

jumlah 78.750 11.000 7.266

Kerapatan vegetasi di keseluruhan Stasiun pengamatan yaitu fase semai

berkisar 40.000 - 137.500 ind/ha, fase pancang berkisar 1.633 – 11.000 ind/ha, dan

fase pohon berkisar 4.742 – 7.266 ind/ha. Kerapatan vegetasi mangrove pada fase

semai tertinggi ditemukan di Stasiun I sebesar 137.500 ind/ha. Fase pancang dan

fase pohon tertinggi ditemukan di Stasiun III yaitu 11.000 ind/ha dan 7.266 ind/ha.

Sedangkan, kerapatan vegetasi terendah pada fase semai ditemukan di Stasiun II

sebesar 40.000 ind/ha, fase pancang di Stasiun I sebesar 1.633 ind/ha dan fase

pohon di Stasiun II sebesar 4.742 ind/ha.

Hasil pengamatan kerapatan relatif menunjukkan pada fase semai jenis C.

tagal di Stasiun III mempunyai kerapatan relatif tertinggi sebesar 95,24%, fase

pancang jenis R. mucronata di Stasiun I sebesar 51,02% dan fase pohon jenis S.

alba di Stasiun II sebesar 65,38%. Sedangkan, kerapatan relatif terendah pada fase

semai jenis A. ilicifolius sebesar 4,76 % ditemukan di Stasiun III, pada fase pancang

Page 61: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

43

jenis R. mucronata ditemukan di Stasiun III sebesar 3,64 % dan pada fase pohon

jenis A. marina ditemukan di Stasiun I sebesar 1,64 %. Hasil analisis vegetasi

kerapatan relatif dapat dilihat pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5. Kerapatan Relatif Jenis Vegetasi Mangrove

Stasiun Kerapatan relatif (%)

Spesies Semai Pancang Pohon

I S. alba J.E. Smith 23,64 42,86 35,65

R. mucronata Lmk. 76,36 51,02 45,23

R. apiculata Bl. - 6,12 17,48

A. marina (Forsk.) - - 1,64

Jumlah 100,00 100,00 100,00

II S. alba J.E. Smith 37,50 41,46 65,38

R. mucronata Lmk. 62,50 43,90 26,89

R. apiculata Bl - - 7,73

C. tagal C.B.Rob - 14,63 -

Jumlah 100,00 100,00 100,00

III S. alba J.E. Smith - 18,18 27,98

R. mucronata Lmk. - 3,64 9,63

R. apiculata Bl - - 15,14

C. tagal C.B.Rob 95,24 23,64 15,60

B. gymnorrhiza (L) - 43,64 11,01

A. marina (Forsk.) - 10,91 13,76

X. moluccencis (L) - 6,88

A. ilicifolius(L.) 4,76

Jumlah 100,00 100,00 100,00

5.2.3. Frekuensi jenis vegetasi mangrove

Frekuensi vegetasi mangrove pada stasiun penelitian menunjukkan kondisi

yang cukup homogen terutama pada fase semai, fase pancang berkisar 0,14 – 0,67.

Hasil analisis frekuensi vegetasi dapat dilihat pada Tabel 5.6.

Hasil pengamatan di Stasiun I menunjukkan R. mucronata mempunyai

frekuensi tertinggi pada fase semai yaitu 0,67, fase pancang 0,43 dan fase pohon

0,38. Frekuensi terendah pada fase semai diidentifikasi jenis S. alba yaitu 0,33,

pada fase pancang jenis R. apiculata yaitu 0,14 dan pada fase pohon jenis A.

marina yaitu 0,08. Pada Stasiun II, jenis S. alba dan R. mucronata mempunyai

Page 62: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

44

frekuensi tertinggi yang sama pada fase semai sebesar 0,50 dan fase pohon sebesar

0,36, sedangkan fase pancang diidentifikasi jenis S. alba sebesar 0,60. Frekuensi

terendah diidentifikasi jenis R. mucronata dan C. tagal pada fase pancang sebesar

0,20. Sedangkan, pada fase pohon diidentifikasi jenis R. apiculata sebesar 0,27.

Tabel 5.6. Frekuensi Jenis Vegetasi Mangrove

Stasiun Frekuensi Jenis

Spesies Semai Pancang Pohon

I S. alba J.E. Smith 0,33 0,43 0,31

R. mucronata Lmk. 0,67 0,43 0,38

R. apiculata Bl - 0,14 0,23

A. marina (Forsk.) - - 0,08

Jumlah 1,00 1,00 1,00

II S. alba J.E. Smith 0,50 0,60 0,36

R. mucronata Lmk. 0,50 0,20 0,36

R. apiculata Bl - - 0,27

C. tagal C.B.Rob - 0,20 -

Jumlah 1,00 1,00 1,00

III S. alba J.E. Smith - 0,14 0,21

R. mucronata Lmk. - 0,29 0,14

R. apiculata Bl - - 0,14

C. tagal C.B.Rob 0,67 0,29 0,21

B. gymnorrhiza (L) - 0,14 0,07

A. marina (Forsk.) - 0,14 0,14

X. moluccencis (L) - - 0,07

A. ilicifolius L. 0,33 - -

Jumlah 1,00 1,00 1,00

Pada Stasiun III menunjukkan kehadiran frekuensi tertinggi jenis C. tagal

pada fase semai sebesar 0,67, fase pancang diidentifikasi jenis R. mucronata dan C.

tagal sebesar 0,29 dan pada fase pohon diidentifikasi jenis S. alba dan C. tagal

sebesar 0,21. Frekuensi terendah pada fase semai diidentifikasi jenis A. ilicifolius

sebesar 0,33. Fase pancang diidentifikasi Jenis S. alba, B. gymnorrhiza dan A.

marina sebesar 0,14 dan fase pohon diidentifikasi jenis B. gymnorrhiza dan X.

moluccensis sebesar 0,07.

Hasil penelitian menunjukkan frekuensi relatif jenis yang terdapat di Stasiun

I dan II cukup homogen pada fase semai, pancang, dan pohon. Sedangkan, Stasiun

Page 63: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

45

III terdapat perbedaan frekuensi relatif pada masing-masing jenis. Hasil analisis

dapat dilihat pada Tabel 5.7.

Tabel 5.7. Frekuensi Relatif Jenis Vegetasi Mangrove

Stasiun Frekuensi relatif (%)

Spesies Semai Pancang Pohon

I S. alba J.E. Smith 33,33 42,86 30,77

R. mucronata Lmk. 66,67 42,86 38,46

R. apiculata Bl - 14,29 23,08

A. marina (Forsk.) - - 7,69

Jumlah 100,00 100,00 100,00

II S. alba J.E. Smith 50,00 60,00 36,36

R. mucronata Lmk. 50,00 20,00 36,36

R. apiculata Bl - - 27,27

C. tagal C.B.Rob - 20,00 -

Jumlah 100,00 100,00 100,00

III S. alba J.E. Smith - 14,29 21,43

R. mucronata Lmk. - 28,57 14,29

R. apiculata Bl - - 14,29

C. tagal C.B.Rob 66,67 28,57 21,43

B. gymnorrhiza (L) - 14,29 7,14

A. marina (Forsk.) - 14,29 14,29

X. moluccencis (L) - - 7,14

A. ilicifolius L. 33,33 - -

Jumlah 100,00 100,00 100,00

Hasil analisis frekuensi relatif tertinggi pada fase semai menunjukkan jenis

R. mucronata di Stasiun I dan C. tagal di Stasiun III sebesar 66,67%, fase pancang

jenis S. alba mempunyai nilai frekuensi relatif di Stasiun II sebesar 60% dan fase

pohon jenis R. mucronata mempunyai frekuensi relatif di Stasiun I sebesar

38,46%. Sedangkan, nilai frekuensi relatif terendah pada fase semai jenis S. alba di

Stasiun I dan A. ilicifolius di Stasiun III sebesar 33,33%, fase pancang jenis R.

apiculata di Stasiun I, jenis S. alba, B. gymnorrhiza, A. marina di Stasiun III

mempunyai frekuensi relatif sebesar 14,29% dan fase pohon jenis B. gymnorrhiza,

X. moluccencis mempunyai frekuensi relatif sebesar 7,14%.

Page 64: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

46

5.2.4. Luas penutupan jenis vegetasi mangrove

Luas penutupan mangrove pada fase semai pada masing-masing Stasiun

berkisar antara 0,08 m2/ha – 38,75 m

2/ha, fase pancang berkisar antara 0,01 m

2/ha

– 53,03 m2/ha, sedangkan fase pohon berkisar antara 0,10 m

2/ha –1.840,70 m

2/ha.

Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.8.

Tabel 5.8. Luas Penutupan Jenis Vegetasi Mangrove

Stasiun

Luas Penutupan Jenis (m2/Ha)

Spesies Semai Pancang Pohon

I S. alba J.E. Smith 0,08 7,99 743,88

R. mucronata Lmk. 0,64 10,54 906,15

R. apiculata Bl - 0,01 152,93

A. marina (Forsk.) - - 0,10

Jumlah 0,72 18,54 1.803,06

II S. alba J.E. Smith 0,26 53,03 1.840,70

R. mucronata Lmk. 0,08 24,66 181,91

R. apiculata Bl - - 0,33

C. tagal C.B.Rob - 1,99 -

Jumlah 0,34 79,68 2.022,94

III S. alba J.E. Smith - 5,04 582,34

R. mucronata Lmk. - 0,36 18,99

R. apiculata Bl - - 180,31

C. tagal C.B.Rob 38,75 13,98 68,79

B. gymnorrhiza (L) - 16,88 17,23

A. marina (Forsk.) - 1,94 72,86

X. moluccencis (L) - - 29,20

A. ilicifolius L. 0,81 - -

Jumlah 39,56 38,2 969,72

Hasil analisis perhitungan luas penutupan dapat diketahui bahwa Stasiun I

diidentifikasi jenis R. mucronata mempunyai luas penutupan tertinggi pada fase

semai seluas 0,64 m2/ha, fase pancang 10,54 m

2/ha dan fase pohon 906,91 m

2/ha.

Pada Stasiun II, diidentifikasi jenis S. alba mempunyai luas penutupan tertinggi

pada fase semai seluas 0,26 m2/ha, fase pancang seluas 53,03 m

2/ha dan fase pohon

seluas 1.840,70 m2/ha. Pada Stasiun III, luas penutupan tertinggi diidentifikasi pada

Page 65: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

47

fase semai jenis C. tagal seluas 38,75 m2/ha, fase pancang jenis B. gymnorrhiza

seluas 16,88 m2/ha dan fase pohon diidentifikasi jenis S. alba seluas 582,34 m

2/ha.

Luas penutupan relatif menunjukkan bahwa fase semai jenis R. mucronata

di Stasiun I dan C. tagal di Stasiun III terdapat penutupan relatif >70%. Sedangkan,

S. alba di Stasiun II yaitu <50%. Pada fase pancang, Stasiun I dan II mempunyai

luas penutupan ≥ 50%-<75% dibandingkan Stasiun III dengan luas penutupan

relatif <50%. Pada fase pohon di Stasiun I,II, III luas penutupan relatif ≥ 50%-

<75%. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.9.

Tabel 5.9. Luas Penutupan Relatif Jenis Vegetasi Mangrove

Stasiun

Luas Penutupan relatif (%)

Spesies Semai Pancang Pohon

I S. alba J.E. Smith 11,11 43,08 41,26

R. mucronata Lmk. 88,89 56,85 50,26

R. apiculata Bl - 0,07 8,48

A. marina (Forsk.) - - 0,01

Jumlah 100,00 100,00 100,00

II S. alba J.E. Smith 53,39 66,55 90,99

R. mucronata Lmk. 46,61 30,95 8,99

R. apiculata Bl - - 0,22

C. tagal C.B.Rob - 2,50 -

Jumlah 100,00 100,00 100,00

III S. alba J.E. Smith - 13,20 60,05

R. mucronata Lmk. - 0,94 1,96

R. apiculata Bl - - 18,59

C. tagal C.B.Rob 97,26 36,59 7,09

B. gymnorrhiza (L) - 44,18 1,78

A. marina (Forsk.) - 5,09 7,51

X. moluccencis (L) - - 3,01

A. ilicifolius L. 2,04 - -

Jumlah 100,00 100,00 100,00

Luas penutupan relatif tertinggi pada fase semai diidentifikasi jenis C. tagal

di Stasiun III sebesar 97,26%, fase pancang diidentifikasi jenis S. alba di Stasiun II

sebesar 66,55%, dan fase pohon diidentifikasi jenis S. alba di Stasiun II sebesar

90,99%. Sedangkan, luas penutupan relatif terendah pada fase semai diidentifikasi

Page 66: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

48

A. ilicifolius di Stasiun III sebesar 2,04%, fase pancang diidentifikasi jenis R.

apiculata di Stasiun I sebesar 0,07% dan fase pohon diidentifikasi jenis A. marina

di Stasiun I sebesar 0,01%.

5.2.5. Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi mangrove

Hasil analisis Indeks Nilai Penting (INP) jenis mangrove menunjukkan

secara keseluruhan pada pesisir Muncar Kawasan Teluk Pangpang mempunyai

kriteria keanekaragaman jenis yang bervariasi dan didominasi flora mangrove jenis

Rhizophora mucronata dari famili Rhizophoraceae dan Sonneratia alba dari famili

Sonneratiaceae. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.10.

Tabel 5.10. Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove

Stasiun Indeks Nillai Penting (%)

Spesies Semai Pancang Pohon

I S. alba J.E. Smith 68,08 128,80 107,67

R. mucronata Lmk. 231,92 150,73 133,95

R. apiculata Bl - 20,48 49,04

A. marina (Forsk.) - - 9,34

Jumlah 300,00 300,00 300,00

II S. alba J.E. Smith 140,89 168,01 192,73

R. mucronata Lmk. 159,11 94,85 72,25

R. apiculata Bl - - 35,02

C. tagal C.B.Rob - 37,13 -

Jumlah 300,00 300,00 300,00

III S. alba J.E. Smith - 45,67 109,46

R. mucronata Lmk. - 33,15 25,88

R. apiculata Bl - - 48,02

C. tagal C.B.Rob 259,87 88,80 44,12

B. gymnorrhiza (L) - 102,10 19,93

A. marina (Forsk.) - 30,28 35,56

X. moluccencis (L) - - 17,03

A. ilicifolius L. 40,13 - -

Jumlah 300,00 300,00 300,00

Jenis R.mucronata dominan pada semua fase di Stasiun I yaitu fase semai

sebesar 231,92%, fase pancang sebesar 150,73% dan fase pohon sebesar 133,95%

Pada Stasiun II ditemukan jenis S. alba dengan INP tertinggi pada fase pancang

Page 67: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

49

sebesar 168,01% dan fase pohon sebesar 192,73%. Sedangkan, Stasiun III pada

fase semai diidentifikasi jenis C. tagal mempunyai INP tertinggi yaitu 259,87%,

fase pancang diidentifikasi jenis B. gymnorhiza mempunyai INP sebesar 102,10%

dan fase pohon diidentifikasi jenis S. alba mempunyai INP sebesar 109,46%.

5.2.6. Indeks keanekaragaman vegetasi mangrove

Hasil penelitian indeks keanekaragaman pada seluruh stasiun pengamatan

didapatkan H’ berkisar 0,55-1,86. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.11.

Tabel 5.11. Indeks Keanekaragaman Vegetasi Mangrove

Stasiun Nilai Keanekaragaman

Spesies Semai Pancang Pohon

I S. alba J.E. Smith 0,34 0,36 0,37

R. mucronata Lmk. 0,21 0,34 0,36

R. apiculata Bl - 0,17 0,30

A. marina (Forsk.) - - 0,08

H’ Jumlah 0,55 0,88 1,11

II S. alba J.E. Smith 0,37 0,37 0,28

R. mucronata Lmk. 0,29 0,36 0,35

R. apiculata Bl - - 0,20

C. tagal C.B.Rob - 0,28 -

H’ Jumlah 0,66 1,01 0,84

III S. alba J.E. Smith - 0,31 0,36

R. mucronata Lmk. - 0,13 0,22

R. apiculata Bl - - 0,28

C. tagal C.B.Rob 0,05 0,34 0,29

B. gymnorrhiza (L) - 0,36 0,24

A. marina (Forsk.) - 0,24 0,28

X. moluccencis (L) - - 0,19

A. ilicifolius L. 0,15 - -

H’ Jumlah 0,20 1,38 1,86

Hasil analisis indeks keanekaragaman mangrove pada seluruh stasiun

pengamatan menunjukkan pada Stasiun I, H’ berkisar antara 0,55 – 1,11, Stasiun II

H’ berkisar antara 0,66 – 1,01 dan Stasiun III H’ berkisar antara 0,20 – 1,86.

H’ tertinggi fase semai terdapat di stasiun II sebesar 0,66, sedangkan H’

terendah terdapat pada stasiun III sebesar 0,20. H’ tertinggi fase pancang terdapat di

Page 68: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

50

stasiun III sebesar 1,38, sedangkan H’ terendah terdapat di stasiun I sebesar 0,88.

H’ tertinggi fase pohon terdapat di stasiun III sebesar 1,86, sedangkan H’ terendah

terdapat di stasiun II sebesar 0,84.

5.2.7. Tingkat kerusakan vegetasi mangrove

Kerusakan vegetasi mangrove berdasarkan hasil pengamatan diperoleh di

tingkat semai kerapatan tertinggi terdapat di Stasiun I yaitu 137.500 semai/ha,

kemudian berturut-turut di Stasiun III 78.750 semai/ha, dan di Stasiun II 40.000

semai/ha. Tingkat pancang kerapatan tertinggi terdapat di Stasiun III yaitu 11.000

pohon/ha, kemudian berturut-turut di Stasiun III 10.933 pohon/ha, dan di Stasiun I

1.633 pohon/ha. Tingkat pohon, kerapatan tertinggi terdapat di Stasiun III yaitu

7.266 pohon/ha, kemudian berturut-turut di Stasiun I yaitu 6.102 pohon/ha, dan di

Stasiun II yaitu 4.742 pohon/ha (Tabel 5.12).

Tabel 5.12. Tingkat Kerusakan Mangrove Dilihat Dari Kerapatan Vegetasi

Stasiun Kerapatan (pohon/ha)

Semai Kriteria Pancang Kriteria Pohon Kriteria

I 137.500 Baik 1.633 Baik 6.102 Baik

II 40.000 Baik 10.933 Baik 4.742 Baik

III 78.750 Baik 11.000 Baik 7.266 Baik

Rata-Rata 85.416 Baik 7.855 Baik 6.036 Baik

5.3. Analisis Kondisi Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang

5.3.1. Komposisi jenis fauna akuatik

Kondisi vegetasi mangrove di Kawasan Teluk Pangpang mempunyai

hubungan yang erat terhadap struktur komunitas fauna yang beradaptasi dengan

lingkungannya salah satunya adalah fauna perairan atau fauna akuatik di kawasan

mangrove. Hasil tangkapan fauna akuatik diperoleh dari nelayan yang berada di

pesisir mangrove berupa alat tangkap jebakan (trapped net) atau banjang/sero.

Hasil pengamatan jumlah ikan yang melimpah ditemukan pada alat tangkap

Page 69: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

51

banjang/sero daripada menggunakan alat tangkap pukat pantai karena dipasang

secara tetap atau permanen didalam air dan hasil tangkapan dilakukan pada waktu

air surut yaitu pagi hari. Alat tangkap Trapped Net dapat dilihat pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1. Alat Tangkap Trapped Net di Kawasan Teluk Pangpang

Hasil pengamatan fauna akuatik kelompok ikan mengacu pada buku

“Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan 1 dan 2” karangan Saanin. H (1984) yaitu

diperoleh fauna akuatik bernilai ekonomis yaitu kelompok ikan berjumlah 14 jenis

dari 12 famili dan kelompok crustacea berjumlah 7 jenis dari 3 famili yang

berasosiasi di kawasan mangrove Teluk Pangpang. Hasil tangkapan fauna akuatik

dapat dilihat pada Lampiran 6.

Kelompok ikan yang diperoleh sebesar 14 spesies ikan, yaitu : Valamugil

seheli, Leiognathus equulus, Acentrogobius caninus, Thryssa baelama, Stolephorus

indicus, Sardinella lemuru, Platycephalus scaber, Ambassis sp, Psettodes erumei,

Therapon jarbua, Polynemus plebeius, Tylosurus strongylurus, Sciaena russeli dan

Sillago sihama. Sedangkan, Kelompok crustacean diperoleh 7 spesies yaitu :

Harpiosquilla raphidea, Penaeus merguiensis, Metapenaeus sp., Panaeus

monodon, Thalamita sima, Scylla serata, dan Portunus pelagicus.

Page 70: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

52

5.3.2. Kelimpahan dan biomassa jenis fauna akuatik

Hasil penelitian di Kawasan Teluk Pangpang didapatkan kelimpahan fauna

akuatik tertinggi untuk kelompok fauna ikan jenis ikan bedul (Acentrogobius

caninus) dengan kelimpahan dan biomassa tertinggi sebanyak 975 ind sebesar

18.299,56 gr. Sedangkan, kelimpahan dan biomassa terendah diidentifikasi jenis

ikan kacangan (T. strongylurus), ikan gulamah (Sciaena russeli), ikan sumbal (P.

plebeius) dan ikan kerong (T. jarbua).

Kelompok fauna non ikan ditemukan Metapenaeus sp. mempunyai

kelimpahan tertinggi sebanyak 1.936 ind dan P. pelagicus mempunyai biomassa

tertinggi sebesar 13.609,38 gr. Sedangkan, kelimpahan dan biomassa terendah

diidentifikasi jenis kepiting bakau (S.serata) dan udang mantis (H.raphidea) yang

berasosiasi di kawasan mangrove Teluk Pangpang. Hasil analisis dapat dilihat pada

Tabel 5.13.

Hasil penelitian di Stasiun I menunjukkan ikan petek (L. equulus)

mempunyai kelimpahan tertinggi sebanyak 332 ind dan ikan kerong (T. jarbua)

mempunyai kelimpahan terendah sebanyak 31 ind. Pada Stasiun II, ikan seriding

(Ambassis sp.) mempunyai kelimpahan tertinggi sebanyak 253 ind

dan ikan

kacangan (T. strongylurus) mempunyai kelimpahan terendah sebanyak 7 ind. Pada

stasiun III, ikan bedul (A. caninus) mempunyai kelimpahan tertinggi sebanyak 552

ind dan ikan kerong (T. jarbua) mempunyai kelimpahan terendah sebanyak 7 ind.

Kelimpahan tertinggi kelompok non ikan diidentifikasi jenis udang werus

(Metapenaeus sp.) di stasiun I, II dan III yaitu sebanyak 684 ind, 577 ind dan 675

ind dan kelimpahan terendah pada Stasiun I, II dan III diidentifikasi jenis udang

mantis (H.raphidea) yaitu sebanyak 41 ind, 98 ind dan 46 ind.

Page 71: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

53

Tabel 5.13. Kelimpahan dan Biomassa Jenis Fauna Akuatik

Spesies Sta.I Sta.II Sta.III Jumlah Total

K B K B K B K B

Fauna Ikan

V. seheli 52,00 1.206,40 38,00 2.555,50 9,00 720,00 99,00 4.481,90

L. equulus 332,00 3.764,88 148,00 476,56 75,00 321,75 555,00 4.563,19

A. caninus 320,00 12.352,00 103,00 1.470,84 552,00 4.476,72 975,00 18.299,56

T. baelama 319,00 5.378,34 136,00 3.332,00 148,00 697,08 603,00 9.407,42

S.indicus 201,00 1.330,62 70,00 970,20 243,00 505,44 514,00 2.806,26

S.lemuru 102,00 1.460,64 112,00 2.038,40 107,00 1.433,80 321,00 4.932,84

P. scaber 31,00 220,10 58,00 3.045,00 74,00 1.600,62 163,00 4.865,72

Ambassis sp 85,00 289,00 253,00 931,04 - - 338,00 1.220,04

P. erumei 137,00 3.068,80 56,00 232,40 52,00 796,64 245,00 4.097,84

T. jarbua 13,00 742,30 21,00 661,50 7,00 381,50 41,00 1.785,30

P. plebeius - - 8,00 173,60 - - 8,00 173,60

T. strongylurus - - 7,00 120,40 20,00 125,00 27,00 245,40

S. russeli - - 17,00 1.499,40 - - 17,00 1.499,40

S.sihama 63,00 2.368,80 75,00 1.032,75 53,00 808,25 191,00 4.209,80

Fauna Non Ikan

H.raphidea 41,00 233,70 98,00 784,00 46,00 139,38 185,00 1.157,08

P.merguiensis 118,00 1.516,30 369,00 3.051,63 98,00 769,30 585,00 5.337,23

Metapenaeus sp. 684,00 1.915,20 577,00 3.542,78 675,00 5.359,50 1936,00 10.817,48

P.monodon 357,00 2.548,98 141,00 549,90 94,00 2.350,00 592,00 5.448,88

T.sima 128,00 1.702,40 88,00 1.714,24 55,00 830,50 271,00 4.247,14

S.serata 82,00 1.052,88 - - 59,00 4.822,07 141,00 5.874,95

P. pelagicus 141,00 5.950,20 104,00 4.898,40 89,00 2.760,78 334,00 13.609,38

Keterangan : Sta = Stasiun ; K = Kelimpahan (individu); B= Biomassa (gram)

Hasil penelitian biomassa kelompok fauna ikan menunjukkan ikan bedul

(A.caninus) mempunyai biomassa tertinggi pada Stasiun I dan III yaitu sebesar

12.352 gr dan 18.299,56 gr. Pada stasiun II, biomassa tertinggi diidentifikasi ikan

liplip (T.baelama) sebesar 3.332 gr. Sedangkan, biomassa terendah pada Stasiun I

diidentifikasi ikan pahat (P. scaber) mempunyai biomassa terendah sebesar 220,10

gr. Pada Stasiun II dan III, ikan kacangan (T.strongylurus) mempunyai biomassa

terendah sebesar 120,4 gr dan 125 gr.

Hasil penelitian biomassa kelompok fauna non ikan menunjukkan kepiting

rajungan (P. pelagicus) mempunyai biomassa tertinggi pada Stasiun I dan II yaitu

Page 72: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

54

sebesar 5.950,2 gr dan 4.898,4 gr. Pada stasiun III, biomassa tertinggi diidentifikasi

udang werus (Metapenaeus sp.) sebesar 5.359,5 gr. Sedangkan, biomassa terendah

pada Stasiun I, III diidentifikasi udang mantis (H. raphidea) sebesar 233,7 gr dan

139,38 gr/m2. Pada Stasiun II, biomassa terendah diidentifikasi udang windu

(P.monodon) sebesar 549,9 gr.

5.3.3. Indeks keanekaragaman dan kemerataan fauna akuatik

Hasil indeks keanekaragaman (H’) fauna akuatik tertinggi menunjukkan di

Stasiun II berkisar 1,51 – 2,31, H’ tertinggi kedua terdapat di stasiun I berkisar

1,57 – 2,09 dan H’ terendah terendah di stasiun III berkisar 1,36 – 1,82. Hasil

indeks kemerataan (E’) fauna akuatik tertinggi menunjukkan di Stasiun II berkisar

0,87 – 0,84, Stasiun I berkisar 0,87 – 0,81 dan Stasiun III berkisar 0,76 – 0,70.

Hasil analisis indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E’) kelompok

fauna ikan menunjukkan di Stasiun II memperoleh nilai indeks tertinggi yaitu nilai

H’ sebesar 2,31 dan nilai E’ sebesar 0,87. Sedangkan, nilai H’ dan E’ terendah

didapatkan di Stasiun III yaitu 1,82 dan 0,76. Indeks Keanekaragaman (H’) dan

Indeks Kemerataan (E’) kelompok fauna ikan dapat dilihat pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan

Kelompok Fauna Ikan

0

0,5

1

1,5

2

2,5

Stasiun I Stasiun II Stasiun III

H'

E'

Page 73: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

55

Hasil analisis indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E’) kelompok

fauna non ikan menunjukkan di Stasiun I dan II memiliki nilai H’ dan E’ yang

tinggi yaitu Stasiun I dengan nilai H’ 1,57 dan E’ 0,81. Sedangkan, Stasiun II

dengan nilai H’ 1,50 dan E’ 0,84. Indeks keanekaragaman dan kemerataan terendah

diidentifikasi terdapat di Stasiun III yaitu nilai H’ 1,17 dan nilai E’ 0,65. Indeks

Keanekaragaman (H’) dan Indeks Kemerataan (E’) kelompok fauna non ikan dapat

dilihat pada Gambar 5.3.

Gambar 5.3. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan

Kelompok Fauna Non Ikan

5.4. Analisis Pola Penyebaran Jenis Fauna Akuatik

Keterkaitan fauna terhadap kondisi Stasiun pengamatan dikumpulkan

berdasarkan jumlah hasil tangkapan famili fauna akuatik bernilai ekonomis penting

yang berjumlah 15 famili yaitu Mugilidae, Leiognathidae, Gobiidae, Clupeidae,

Platycephalidae, Centropomidae, Psettodidae, Theraponidae, Polynemidae,

Belonidae, Sciaenidae, Sillagidae, Squillidae, Penaeidae dan Portunidae

(Lampiran 6). Famili fauna akuatik yang melimpah menunjukkan adanya hubungan

yang erat dengan ekosistem mangrove sehingga ditemukan tingginya jumlah hasil

tangkapan famili Clupeidae dari kelompok ikan dan famili Panaeidae dari

0

0,5

1

1,5

2

Stasiun I Stasiun II Stasiun III

H'

E'

Page 74: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

56

kelompok non ikan. Komposisi hasil tangkapan famili fauna akuatik (individu) di

setiap stasiun penelitian dapat dilihat di Gambar 5.4.

Gambar 5.4. Komposisi Famili Fauna Akuatik di Stasiun pengamatan

Keterangan :

I : Stasiun Pengamatan I

II : Stasiun Pengamatan II

III : Stasiun Pengamatan III

1 : Mugilidae

2 : Leiognathidae

3 : Gobiidae

4 : Clupeidae

5 : Platycephalidae

6 : Centropomidae

7 : Psettodidae

8 : Theraponidae

9 : Polynemidae

10 : Belonidae

11 : Scevinidae

12 : Sillagidae

13: Squillidae

14 : Penaeidae

15: Portunidae

Gambar 5.5. Pola Sebaran Fauna akuatik di Ekosistem Mangrove

0 200 400 600 800 1000 1200

Portunidae

Penaeidae

Squillidae

Sillagidae

Scevinidae

Belonidae

Polynemidae

Theraponidae

Psettodidae

Centropomidae

Platycephalidae

Clupeidae

Gobiidae

Leiognathidae

Mugilidae

Jumlah Hasil Tangkapan Fauna (Ind)

Fa

mil

i fa

un

a a

ku

ati

k

Stasiun III Stasiun II Stasiun I

Page 75: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

57

Kondisi penyebaran famili fauna akuatik yang berasosiasi dengan kawasan

mangrove di Teluk Pangpang dikaji dengan analisis korespondensi. Hasil

pengolahan data correspondence analysis berupa kondisi Stasiun I, II, III dan

kondisi jumlah hasil tangkapan famili fauna akuatik menggunakan software SPSS

(Statistical Package for the Social Science) (Lampiran 7). Sedangkan, hasil

keluaran (output) berupa peta (mapping) kategori dari variabel famili fauna akuatik

di Stasiun penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.5.

Analisis korespondensi digunakan untuk melihat secara visual ada tidaknya

ketergantungan antar kategori dan membantu melihat keterkaitan suatu profil dari

suatu kategori menjadi komponen baris dan kolom. Hasil pengamatan sebaran pola

sebaran menunjukkan pada Stasiun I yang terletak paling atas berdekatan dengan

Stasiun II menandakan adanya keterkaitan fauna yaitu kelimpahan,

keanekaragaman ikan yang cenderung merata. sehingga dominan ditemukan

kelompok ikan yang mempunyai sifat hidup pelagis yaitu famili Mugilidae,

Clupediae dan demersal yaitu famili Leiognatidae, Psettodidae.

Pada Stasiun II, fauna akuatik yang banyak tertangkap menunjukkan famili

kelompok ikan yang mempunyai sifat hidup pelagis yaitu famili Centropomidae,

Polynemidae, Sillagidae dan sifat hidup demersal yaitu Theraponidae, Sciaenidae.

Stasiun III terletak dikiri dengan angka paling kecil menandakan adanya

faktor-faktor lingkungan seperti keadaan mangrove, kualitas perairan dan alat

tangkap yang menyebabkan perbedaan dengan Stasiun lainnya. Kondisi mangrove

Stasiun III menunjukkan dominasi jenis C. tagal, B. gymnorrhiza, A. marina, A.

illcifolius dan X. moluccensis sehingga menyebabkan tingkat adaptasi dan jenis

fauna akuatik yang berasosiasi ditemukan dominan famili ikan yang mempunyai

Page 76: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

58

sifat hidup demersal seperti ikan famili Gobidae, Platycephalidae. Sedangkan, ikan

famili Belonidae termasuk ikan yang mempunyai sifat hidup pelagis.

Pengelompokkan kategori di Stasiun I,II dan III terlihat komposisi famili

fauna akuatik yang merata dan dominan dijumpai kelompok ikan yaitu famili

clupeidae dan silagidae. Sedangkan kelompok non ikan yaitu famili penaidae dan

portunidae.

Page 77: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

59

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1.Kondisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang

Kondisi mangrove didominasi oleh famili Sonneratiaceae dan

Rhizophoraceae, dengan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan

perkembangan vegetasi mangrove serta fauna akuatik yaitu suhu berkisar 27-33 ºC,

Salinitas 10-33 ‰, pH 6,8-7,4 dan tekstur tanah yang berpasir dan berlempung.

Kawasan Teluk Pangpang ditetapkan sebagai areal rehabilitasi oleh Pemerintah,

Swasta dan Kelompok tani setempat. Penelitian oleh Raharja (2012), peningkatan

luasan hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang dipengaruhi oleh adanya

kegiatan rehabilitasi yang tergolong berhasil sehingga dominan ditemukan jenis R.

mucronata oleh lembaga pemerintah dan non pemerintah, diantaranya Dinas

Kehutanan dan Perkebunan, Kementerian Kelautan Perikanan (Co-Fish Project),

OISCA dan Yayasan Mangrove, Lembaga Pemberdayaan Industri Pedesaan (LPIP),

dan Komisi Riset Malang.

Perkembangan jenis mangrove terlihat semakin membaik karena adanya

aliran sungai yang membawa lumpur dan pasir ke dasar laut dan bercampur dengan

ombak dan pasang surut. Hasil penelitian Gustiar (1995) di kawasan Teluk

Pangpang, menerangkan bahwa keberadaan hutan mangrove sebagai daerah transisi

antara daratan DAS yaitu melindungi perairan pantai dan teluk dari sedimentasi

yang berat dari daerah hulu DAS, menstabilkan sedimen yang masuk ke perairan

dan meredam bahan pencemar di kawasan Teluk Pangpang.

Nilai kerapatan tinggi pada fase semai, fase pancang dan fase pohon famili

Rhizophoraceae di keseluruhan stasiun merupakan tegakan hasil penanaman /

Page 78: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

60

rehabilitasi mangrove di pesisir pantai yang berdekatan dengan muara sungai.

Substrat tanah berpasir dan berlumpur menyebabkan pertumbuhan jenis R.

mucronata beradaptasi dengan lingkungannya sehingga penyebaran bijinya dapat

mudah tumbuh dan berkembang di lokasi penelitian. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian Sudarmadji et al. (2011), bahwa di Kabupaten Banyuwangi jenis R.

apiculata, R. mucronata dan S. alba merupakan jenis dominan dan penyebarannya

merata di seluruh wilayah pantai. Hal ini disebabkan dari bentuk propagul yang

besar, memanjang dan dapat disebarkan oleh arus secara lebih luas serta memiliki

cadangan makanan lebih banyak sehingga kesempatan hidup lebih tinggi, serta

jenis S. alba memiliki buah berbentuk bulat dan besar dengan banyak biji, sehingga

memiliki kemungkinan hidup lebih tinggi.

Kawasan Teluk Pangpang ditentukan dengan 3 (tiga) stasiun sampling yang

terletak di kawasan ekosistem mangrove, yaitu: Stasiun I berada di kawasan pesisir

Tratas Kawang, terletak di bagian mulut teluk dengan kondisi berupa daerah

pemukiman, pelabuhan, area rehabilitasi dan muara aliran sungai Wagut; Stasiun II

berada di kawasan pesisir Muncing Krajan, terletak di bagian tengah teluk dengan

kondisi berupa tambak budidaya ikan, daerah rehabilitasi dan agak berjauhan

dengan muara Sungai Setail; Sedangkan Stasiun III berada di kawasan pesisir

Tegalpare, terletak di bagian ujung teluk dengan kondisi berupa bekas tambak

budidaya ikan dan berdekatan dengan muara aliran sungai Setail, daerah pertanian

yang mengalirkan limbah pertanian dan limbah budidaya ikan.

Kondisi pesisir pantai Tratas Kawang, merupakan daerah pemukiman,

pelabuhan, industri perikanan yang menyebabkan kondisi mangrove banyak terlihat

limbah domestik berupa sampah plastik dan non plastik. Penebangan mangrove

Page 79: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

61

masih terjadi yang membuat perkembangan mangrove jenis S. alba cenderung sulit

berkembang yaitu terlihat adanya bekas tebangan pada fase pancang dan fase

pohon. Hal ini dibuktikan dari adanya kerapatan yang rendah pada fase pancang

karena keberadaan mangrove dengan pemukiman menyebabkan beberapa

masyarakat beranggapan bahwa tegakan mangrove hanya jenis Tanjang yang

dilindungin oleh pemerintah, sedangkan jenis Perepat merupakan tumbuhan liar,

hidup secara alami tanpa ditanam dan mengganggu Tanjang, sehingga masyarakat

menduga boleh mengambil batang dan daunnya untuk pakan ternak dan kayu bakar.

Kondisi Stasiun I dapat dilihat pada Gambar 6.1.

Gambar 6.1. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan I

Aliran sungai yang membawa limpasan material lumpur pada saat curah

hujan membuat kondisi substrat tanah berpasir menjadi berlumpur sehingga

mendukung Famili Rhizophoraceae mendominasi dalam setiap petak contoh yang

dibuat karena merupakan hasil penanaman masyarakat bersama dengan pemerintah

dan non pemerintah. Hal ini terlihat dengan tingginya frekuensi relatif pada fase

semai dan fase pohon jenis R. mucronata karena sesuai dengan lokasi yang

mempunyai unsur hara dengan substrat berlumpur yaitu pasir berlempung, serta

kepedulian masyarakat/nelayan terhadap bibit R. mucronata yang jatuh tidak

sempurna dengan menancapkan kembali ke tempat-tempat yang jarang sehingga

dapat ditemukan kemunculannya untuk tumbuh meluas dan berkembang.

Page 80: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

62

Indeks Nilai Penting (INP) jenis mangrove menunjukkan jenis R.mucronata

dominan pada semua fase yaitu fase semai, fase pancang dan fase pohon yang

termasuk kriteria tinggi dalam penguasaannya dibanding jenis mangrove lainnya.

Dominasi vegetasi mangrove tingkat penguasaan fase semai, fase pancang dan fase

pohon jenis R. mucronata karena merupakan lokasi hasil percobaan penanaman

jenis Rhizophora sp. yang mempunyai tekstur tanah pasir berlempung. Dominasi

jenis R. mucronata dan S. alba pada seluruh stasiun karena jenis vegetasi mangrove

yang tumbuh mempunyai daya tahan terhadap berbagai gelombang dan arus laut

yang tinggi dengan didukung keberadaannya di muara sungai sehingga

keberhasilan tanaman semakin membesar dan meluas.

Lokasi penempatan plot yang berdekatan dengan sungai dapat teridentifikasi

keberadaan A. marina. Rendahnya frekuensi A. marina benyak ditemukan di

daerah pinggiran sungai dan tumbuh lebih banyak diantara tumbuhan perepat (S.

alba). Arief (2003), menjelaskan zona A. marina terletak pada lapisan paling luar

dari hutan mangrove, tumbuh pada tanah yang berlumpur lembek dan berkadar

garam tinggi serta banyak ditemui berasosiasi dengan S. alba. Zona ini merupakan

pionner atau perintis karena terjadinya penimbunan sedimen tanah akibat

cengkeraman perakaran tumbuhan jenis ini.

Kondisi daerah pesisir Muncing Krajan, merupakan daerah bekas tambak

yang tidak terpakai/terbengkalai. Adanya kerugian budidaya akibat penyakit udang

serta gelombang laut membuat tambak budidaya menjadi rusak sehingga dilakukan

program rehabilitasi/penanaman mangrove. Gangguan aktivitas masyarakat yang

secara terus menerus akan dapat mengurangi luasan hutan mangrove, dengan

ditemukan tingkat kerapatan yang rendah pada fase pohon karena pengambilan

Page 81: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

63

cacing laut yang dilakukan diakar mangrove sehingga menjadi terputus, tumbang

dan mengganggu fungsi ekologis mangrove sehingga perkembangan tidak dapat

berjalan dengan baik. Gunarto (2004), menjelaskan ekosistem mangrove

mempunyai fungsi fisik sebagai pencegah abrasi, perlindungan angin, pencegah

intrusi air laut; fungsi biologis sebagai daerah asuhan berbagai biota; dan fungsi

ekonomis sebagai bahan makanan, minuman, keperluan rumah tangga dan lain-lain.

Kondisi Stasiun II dapat dilihat pada Gambar 6.2.

Gambar 6.2. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan II

Tingkat kerapatan yang rendah ditemukan pada fase semai karena adanya

serangan hama teritip yang hidup di akar mangrove dan menyebabkan sebagian

tegakan semai jenis R. mucronata mengalami kematian. Hasil pengamatan, hama

teritip banyak ditemukan pada tegakan semai yaitu parasit yang menempel pada

batang mangrove yang terbawa oleh perairan laut dan berkembang ke seluruh

bagian tanaman mangrove sehingga daya hidupnya tidak bertahan lama. Dewiyanti

et al. (2013), menyatakan apabila terdapat serangan hama teritip hebat maka dapat

menyebabkan kematian bibit mangrove. Teritip akan merusak kulit batang terutama

jenis Rhizophora sp. karena menyukai daerah yang terendam air laut dibandingkan

bagian atas batang yang kering dan hanya terendam jika air laut pasang.

Page 82: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

64

Kemunculan jenis S. alba pada fase pancang dengan frekuensi relatif tinggi

karena diduga biji-biji S. alba terbawa arus pasang surut ke lahan pinggiran sungai

dan lahan tambak yang tidak terpakai/rusak, ditambah adanya tekstur tanah

lempung berpasir serta aliran muara sungai yang luas dalam mengalirkan unsur

hara menyebabkan tegakan mangrove S. alba dapat tumbuh dan berkembang luas.

Hal ini terlihat dengan adanya luas penutupan mangrove yang tinggi pada fase

pancang dan pohon dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan sehingga

mendukung pertumbuhan dan perkembangan jenis S.alba dengan INP tertinggi

sehingga tergolong sedang dalam penguasaan mangrovenya.

Kondisi pesisir Tegalpare terletak berdekatan dengan sungai Setail dan di

daerah bekas tambak yang hancur akibat limpasan ombak gelombang laut. Hasil

pengamatan menunjukkan fase semai yang lebih sedikit dibandingkan dengan

tingkat pancang dan pohon karena bibit semai yang jatuh dipermukaan tanah tidak

dapat tumbuh dengan baik akibat terlalu rapatnya jenis mangrove dan kondisi

tekstur tanah yang berlumpur semakin padat. Gangguan aktivitas masyarakat yang

letaknya jauh dari pemukiman serta tambak budidaya perikanan yang beroperasi

lebih sedikit menyebabkan keberadaaan mangrove dapat tumbuh dan berkembang

lebih baik. Kondisi Stasiun III dapat dilihat pada Gambar 6.3.

Gambar 6.3. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan III

Page 83: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

65

Hasil pengamatan menunjukkan Jenis C. tagal, R. mucronata dan S. alba

mempunyai kerapatan relatif tinggi karena kondisi substrat tanah yang sesuai yaitu

tekstur tanah lempung, liat dan berdebu serta letak mangrove yang jauh dari garis

pantai sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhannya. Kordi (2012),

menjelaskan hutan yang paling dekat dengan laut lebih banyak ditumbuhi oleh

Avicennia dan Sonneratia. Sonneratia tumbuh pada lumpur lembek dengan sedikit

bahan organik dan kadar garam agak tinggi, serta biasanya berasosiasi dengan jenis

bakau (Rhizophora sp.), Sedangkan C. tagal terletak agak jauh dari laut berdekatan

dengan daratan dengan keadaan tanah yaitu berlumpur agak keras.

Kondisi lingkungan berupa tekstur tanah menyebabkan dominasi pada fase

semai diidentifikasi jenis C. tagal, fase pancang diidentifikasi jenis B. gymnorhiza

dan fase pohon diidentifikasi jenis S. alba sehingga ditemukan INP tergolong tinggi

dalam penguasaan di kawasannya. Kordi (2012), menjelaskan kearah darat

dibelakang zona Rhizophora adalah Zona Bruguierra, tumbuh pada substrat yang

lebih keras, seperti tanah liat. Zona terakhir adalah Zona Ceriops yang bercampur

dengan semak belukar.

Kerapatan relatif menunjukkan jenis A. ilicifolius terlihat rendah karena

merupakan jenis mangrove yang diduga tumbuh secara alami dan berasal dari

tegakan mangrove di Kawasan Taman Nasional Alas Purwo serta terbawa oleh arus

pasang surut air laut. Keadaan lingkungan yang berada di pinggir daratan, jarang

terkena air laut secara langsung serta kualitas perairan yang lebih payau seperti

salinitas yang rendah berkisar 10 – 30 ‰ membentuk zonasi yang ditumbuhi oleh

tipe vegetasi mangrove yang dapat berasosiasi dengan jenis vegetasi lainnya. Kordi

(2012), menerangkan A. marina, S. alba, A. ilicifolius dan Aegiceras corniculatum

Page 84: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

66

termasuk dalam zona air payau ke air laut dengan kisaran salinitas antara 10-30 ppt

dengan daerah genangan pasang satu atau dua kali sehari selama 20 hari per bulan.

Menurut Dahuri (2003), salinitas menjadi faktor pembatas untuk spesies tertentu

karena memiliki mekanisme adaptasi yang tinggi, bila suplai air tawar tidak tersedia

akan menyebabkan kadar garam tanah dan air mencapai kondisi ekstrem sehingga

mengancam kelangsungan hidup ekosistem mangrove.

Frekuensi vegetasi mangrove ditemukan rendah pada fase pohon jenis A.

marina, B. gymnorrhiza dan X. moluccensis karena adanya kesesuaian lahan tekstur

lempung, liat dan berdebu, lokasi yang jauh dari pemukiman dan gangguan

aktivitas masyarakat yang rendah membuat tegakan mangrove tumbuh secara alami

dan dapat dijumpai kemunculannya. Menurut Setiawan (2013), Keberadaan

vegetasi mangrove sangat berpengaruh terhadap pembentukan kelas tekstur tanah.

Tingkat ketebalan mangrove yang tinggi cenderung mempunyai tekstur lempung

liat berdebu. Hal ini disebabkan karena adanya dekomposisi serasah dan bahan

organik yang dibawa oleh aliran sungai yang ikut menentukan tekstur tanah serta

adanya pengikatan partikel debu dan liat oleh akar vegetasi mangrove sehingga

partikel tersebut akan mengendap semakin lama dan membentuk lumpur. Pada

daerah tanpa vegetasi mangrove kelas teksurnya cenderung berpasir karena tidak

adanya vegetasi yang mengikat partikel lumpur.

Frekuensi relatif jenis S. alba, A. ilicifolius pada fase semai, jenis R.

apiculata, S. alba, B. gymnorrhiza, A. marina pada fase pancang terlihat rendah

karena aliran sungai serta serasah daun yang membawa unsur hara menyebabkan

terjadi kompetisi yang tidak seimbang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

Supardjo (2008) di Segara Anak Selatan TNAP bahwa tingkat frekuensi relatif

Page 85: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

67

yang rendah pada S. caseolaris dipengaruhi oleh kompetisi yang tidak seimbang

dengan R. mucronata karena tempat hidup yang berada di tepi sungai sehingga

kurang kompetitif dalam perolehan unsur hara.

Indeks keanekaragaman mangrove menunjukkan di kawasan Teluk

Pangpang secara keseluruhan mempunyai kriteria keanekaragaman jenis tergolong

sedang (H’= 0,55-1,86). Tingkat indeks keanekaragaman tertinggi pada fase semai,

fase pancang dan fase pohon di stasiun penelitian menunjukkan komunitas

mangrove didalamnya memiliki kompleksitas tinggi karena tingginya interaksi

spesies yang terjadi sehingga mempunyai kendali yang lebih besar dalam

mengurangi gangguan-gangguan serta meningkatkan kestabilan dan kemantapan.

Soegianto (1994), menerangkan bahwa keanekaragaman juga dapat digunakan

untuk mengukur stabilitas komunitas yaitu kemampuan suatu komunitas untuk

menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-

komponennya.

Indeks keanekaragaman tertinggi pada fase semai terlihat pada daerah yang

memiliki substrat tanah lempung berpasir sehingga bibit mangrove S. alba dan R.

mucronata dapat cepat dan tumbuh berkembang. Sedangkan, pada fase pancang

dan pohon lebih tinggi karena faktor lingkungan berupa tekstur tanah yang lebih

padat yaitu lempung, liat dan berdebu serta pasang surut air laut menuju daratan

sehingga terbentuk zonasi mangrove yang mendukung perkembangan jenis

mangrove yang beragam. Rendahnya gangguan aktivitas masyarakat serta jarak dari

tempat pemukiman yang jauh menyebabkan perkembangan mangrove lebih stabil

dan mantap dibandingkan dengan lokasi yang mempunyai tekanan lingkungan

Page 86: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

68

seperti pemukiman dan limbah domestik yang masih tergolong tingkat

keanekaragaman mangrove sedang.

Tingkat kerusakan di Kawasan Teluk Pangpang dari hasil penelitian dapat

dikategorikan tidak mengalami kerusakan dengan kondisi baik pada seluruh stasiun

pengamatan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.201 Tahun

2004. Perkembangan dan pertumbuhan yang jauh lebih baik dengan tingkat

kerapatan lebih dari 1.500 pohon/ha dikarenakan adanya rehabilitasi mangrove di

pesisir kawasan oleh pemerintah dan masyarakat. Masyarakat telah mengetahui

pentingnya fungsi mangrove sebagai penahan abrasi pantai, tempat memijah fauna

akuatik, dan penyaring/filter bahan pencemar seperti limbah tambak yang terdapat

diarea pertambakan dengan menanam di sekitar pematang tambak.

Pertumbuhan mangrove yang semakin meluas didukung kesadaran

masyarakat dalam melestarikan hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang serta

adanya Peraturan Desa (Perdes) di Kecamatan Muncar No. 03 Tahun 2003 tentang

Penetapan Pengelolaan Kawasan Lindung Ekosistem Jalur Hijau Hutan Mangrove

Berbasis Pada Masyarakat Setempat. Adanya Perdes di Kawasan Teluk Pangpang

tidak sepenuhnya diterapkan, yaitu dengan masih ditemukan pelanggaran selama

penelitian seperti penebangan pohon dan pengambilan cacing laut di akar mangrove

yang semakin lama dapat merusak keadaan tegakan mangrove pada Gambar 6.4.

Gambar 6.4. Kerusakan Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang

Page 87: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

69

Tingkat pancang yang ditemukan rendah pada lokasi yang berdekatan

dengan pemukiman yaitu jumlah kerapatan sebesar 1.633 pohon/ha dikarenakan

pengambilan batang dan daun jenis S. alba untuk pakan ternak akibat pemahaman

masyarakat jenis mangrove yang masih kurang. Kerapatan rendah pada fase pohon

sebesar 4.742 pohon/ha pada lokasi yang berdekatan dengan tepi tambak budidaya

dan sungai akibat pengambilan cacing laut dapat menyebabkan mangrove menjadi

rusak dan tumbang karena tidak adanya kekuatan pada substrat tanah. Sedangkan

pada lokasi yang jauh dari gangguan aktivitas masyarakat mempunyai keadaan

mangrove tingkat kerapatan yang jauh lebih baik.

6.2. Kondisi Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang

Jenis fauna akuatik di lokasi penelitian Kawasan Teluk Pangpang masih

berukuran kecil (juvenile) dengan biomassa/berat basah rata-rata < 100 gr. Hal ini

terkait karena adanya kawasan mangrove sebagai tempat berkembang biak, tempat

mencari makan dan tempat berlindung sehingga jarang ditemukan fauna akuatik

yang berukuran besar yang lebih mencari lokasi diperairan laut lepas. Kordi (2012),

menjelaskan fauna akuatik menjadikan ekosistem mangrove sebagai tempat untuk

reproduksi, seperti : memijah, bertelur dan beranak, seperti kepiting, ikan dan

udang memijah di ekosistem mangrove dan di perairan agak dalam, namun setelah

menetas larva dan benihnya dibawa oleh arus dan angin ke ekosistem mangrove.

Hasil identifikasi fauna ikan di Kawasan Mangrove Teluk Pangpang

ditemukan kelimpahan dan biomassa yang tinggi pada jenis ikan bedul (A. caninus)

karena merupakan fauna akuatik yang seluruh siklus hidupnya berada di daerah

mangrove sehingga termasuk dalam ikan penetap sejati dari famili Gobidae.

Dewantoro (2011), menjelaskan bahwa Gobidae merupakan kelompok ikan yang

Page 88: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

70

sangat dominan baik keragaman dan kelimpahan di dalam mangrove. Jenis Gobi

akan menyerupai warna dasar perairan dan seringkali membenamkan diri dalam

substrat. Hal serupa dilakukan oleh Viqi (2012) di Kawasan Nasional Alas Purwo

bahwa jenis ikan bedul ditemukan terbanyak dan dominan dijumpai di Segara

Anakan di semua stasiun sehingga menjadi salah satu nama blok di Segara Anak

yaitu Blok Bedul.

Keberadaan sungai besar yaitu Sungai Wagut yang berada di mulut teluk

dan berdekatan dengan laut lepas, serta Sungai Setail yang berjauhan dengan

pemukiman diujung teluk diduga mengalirkan bahan organik dan nutrien berupa

sedimen lumpur dari daratan ke pesisir sehingga mendukung biomassa

pertumbuhan dan perkembangan ikan bedul yang mempunyai sifat hidup demersal.

Hasil penelitian Budiman (2006), Daerah Pantai Barat Korowelang, ikan demersal

mempunyai kepadatan tertinggi pada kedalaman 10-15 m karena adanya muara

sungai besar dan kecil sehingga bahan organik dan nutrien yang berasal dari daratan

sangat berpengaruh terhadap kehidupan ikan demersal.

Hasil identifikasi fauna non ikan di Kawasan Teluk Pangpang ditemukan

kelimpahan udang werus (Metapenaeus sp.) dari famili Panaeidae banyak

tertangkap dalam keadaan fase juvenile karena pengaruh kondisi luas penutupan

mangrove yang terdapat di keseluruhan stasiun penelitian. Luas penutupan

mangrove yang tinggi berdampak pada rendahnya kelimpahan Panaeidae di

Kawasan Teluk Pangpang. Hai ini karena faktor ketersediaan unsur hara berupa

detritus serasah daun yang melimpah didalam ekosistem mangrove. Tjahjo D.W et

al. (2011) dalam penelitiannya di Muara Dua, menunjukkan bahwa tingkat

penutupan vegetasi mangrove yang tinggi mampu memberikan pakan dan

Page 89: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

71

perlindungan yang cukup bagi populasi juvenil ikan dan udang karena mampu

berperan sebagai daerah asuhan.

Hasil pengamatan biomassa yang tinggi pada fauna non ikan diidentifikasi

jenis Kepiting rajungan (P. pelagicus) karena Kawasan Teluk Pangpang

mempunyai substrat tanah berlumpur dan berpasir. Adanya perilaku dan habitat

kepiting rajungan yang hidup dengan membenamkan diri dalam pasir dan pantai

berlumpur menyebabkan fauna beradaptasi di hutan bakau, batu karang atau kadang

dijumpai berenang di permukaan. Hal ini sesuai dengan kondisi tekstur tanah lokasi

yang berdekatan dengan pemukiman yaitu pasir berlempung dan daerah yang

berdekatan dengan tambak budidaya perikanan yaitu lempung berpasir untuk

mencari makan. Rajungan dewasa memakan molusca, crustacea, ikan atau bangkai

pada malam hari. Larva bersifat planktonik pemakan plankton, berkembang

menjadi dewasa melalui stadia zoea, megalopa, dan rajungan muda (Oemarjati dan

Wardhana, 1990).

Kelimpahan dan biomassa fauna ikan terendah diidentifikasi jenis ikan

kacangan (T. strongylurus), ikan gulamah (Sciaena russeli ), ikan sumbal (P.

plebeius) dan ikan kerong (T. jarbua) karena diduga termasuk ikan pengunjung

yaitu pada periode pasang berkunjung ke ekosistem mangrove untuk mencari

makan, sehingga bersifat predator dan menyendiri (solitaire) sehingga ditemukan

dalam keadaan jumlah kelimpahan dan biomassa yang kecil. Kondisi fauna akuatik

ini lebih cenderung menyukai daerah pesisir di sekitar mangrove pada saat musim

ikan dan air pasang untuk mencari makan di pesisir mangrove.

Rendahnya kelimpahan dan biomassa fauna non ikan jenis kepiting bakau

(S.serata) dan udang mantis (H.raphidea) di kawasan mangrove diduga adanya

Page 90: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

72

penangkapan berlebih (over fishing) menggunakan alat tangkap jaring kepiting,

plitur/jebakan kepiting, selodok/pukat dorong yang terlalu banyak oleh masyarakat,

serta kerusakan vegetasi mangrove dengan tekanan lingkungan seperti pencarian

cacing laut di akar mangrove yang menyebabkan rusaknya habitat kepiting bakau

sehingga jarang ditemukan di ekosistem mangrove.

Jenis udang mantis bersifat predator dan hidup di wilayah dasar perairan

yang mempunyai habitat padang lamun dan batu-batu karang namun dapat hidup di

tipe substrat tanah yang berpasir dan berlumpur. Menurut Mashar dan Wardiatno

(2011), habitat yang cocok untuk udang mantis adalah perairan yang bersubstrat

lumpur berpasir dengan arus yang tidak terlalu cepat dan cenderung membenamkan

diri ke dasar perairan untuk berlindung dengan membuat lubang dengan diameter

dan kedalaman lubang yang bervariasi sesuai dengan ukuran udang mantis. Djuwito

et al. (2013), dalam penelitiannya menjelaskan bahwa udang mantis yang

tertangkap di perairan Cilacap relatif masih kecil atau dalam keadaaan belum layak

tangkap sehingga mengakibatkan overfishing, karena tidak cukup tersedianya induk

yang memijah sehingga mengancam kelestarian sumberdaya udang mantis di

perairan Cilacap.

Kelimpahan kelompok ikan diidentifikasi ikan petek (L. equulus) dari famili

Leiognathidae melimpah dilokasi yang berada berdekatan dengan pemukiman dan

terletak di muara Sungai Wagut. Jenis ikan petek merupakan jenis ikan demersal

yang hidup di daerah perairan dangkal, salinitas perairan yang lebih payau berkisar

20-30 ‰ sehingga banyak ditemukan didaerah estuaria dan perairan pantai

berlumpur. L. equulus ditemukan di daerah pasang surut muara sungai berdekatan

laut lepas di mulut teluk diduga memasuki hilir sungai air tawar dan memakan

Page 91: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

73

organisme seperti cacing laut (polychaeta), crustacea dan ikan yang lebih kecil. L.

equulus mempunyai badan yang lebar dan pipih, bentuk punggung yang menonjol,

berwarna putih perak mengkilat dan termasuk ikan ekonomis tinggi. Widodo et.al

(1999) dalam penelitiannya, menjelaskan Ikan petek (Leiognathidae) termasuk

pengelompokan sumberdaya ikan demersal kategori ekonomis penting nomor tiga

selain ikan beloso, kuniran, kerong-kerong, mata besar/merah dan gabus laut di

perairan Arafura dan sekitarnya.

Keadaan lokasi dengan tekanan lingkungan budidaya tambak perikanan

ditemukan ikan siriding (Ambassis sp) yang melimpah karena adanya habitat fauna

yang berdekatan dengan garis pantai dan letaknya berkisar 200 meter dari muara

sungai menyebabkan salinitas perairan rata-rata berkisar 30-35 ‰. Kondisi tekstur

tanah yang berlumpur serta perilakunya menyebabkan fauna cenderung bergerak

secara bergerombol (schooling) dan bermigrasi ke pesisir untuk berkembang biak.

Ikan siriding mempunyai ukuran relatif kecil, berwarna keperakan dan transparan

serta diduga menyukai habitat yang berlumpur sehingga dominan tertangkap pada

saat air laut pasang. Penelitian yang dilakukan Kawaroe (2001) di Kabupaten

Subang menyatakan perbedaan struktur komunitas ikan antar stasiun penelitian

diduga disebabkan karena perbedaan kualitas air dan habitat yang secara tidak

langsung berhubungan dengan karakteristik habitat ikan. Adanya spesies ikan

Ambassis kopsi dan Ambassis nalua mengindikasikan bahwa perairan telah

mengalami pelumpuran.

Kelimpahan tertinggi jenis Ikan bedul (A.caninus) banyak ditemukan di

daerah yang berada lebih dekat dengan muara sungai Setail berkisar 50 meter dan

letaknya yang jauh dari pemukiman serta jauh dari garis pantai menyebabkan

Page 92: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

74

melimpahnya famili Gobiidae dari Ordo Perciformes yang mempunyai sifat hidup

demersal. Ikan bedul merupakan salah satu jenis ikan gabus yang mempunyai sirip

dipunggungnya dan dominan karena diduga kawasan ini lebih dekat dengan daerah

aliran Sungai Setail yang mengalirkan bahan organik ke daerah mangrove sehingga

membentuk kondisi lingkungan seperti tekstur tanah yang berlumpur sebagai

habitat dan tempat mencari makan.

Biomassa tertinggi ditemukan di daerah lokasi yang berdekatan dengan

garis pantai dan salinitas perairan yang lebih tinggi seperti ikan liplip (T. baelama )

karena mempunyai kemampuan mentolerir penurunan salinitas dan mendiami

perairan yang keruh. T. baelama dominan melimpah di daerah kawasan mangrove

Teluk Pangpang karena memanfaatkan untuk memijah dan berkembang biak

sehingga banyak ditemui dalam keadaaan bergerombol (schooling), mencapai

ukuran panjang maksimal 16 cm. Tubuh berbentuk bulat dan lonjong dengan

hampir menyerupai silinder, dan agak meruncing kearah ekor, berwarna gelap biru

kecoklatan pada bagian punggungnya, sedangkan pada bagian sisi tubuh berwarna

keperakan.

Keanekaragaman jenis (H’) fauna akuatik berdasarkan hasil pengamatan

ditemukan pada seluruh Kawasan Teluk Pangpang termasuk kategori sedang yaitu

berkisar 1,36 – 2,31, sehingga dapat diartikan bahwa komunitas fauna akuatik di

keseluruhan stasiun mempunyai kondisi stabilitas dan penyebaran komunitas

sedang. Sedangkan, kemerataan jenis (E’) fauna akuatik termasuk kategori

kemerataan tinggi yaitu berkisar 0,70 – 0,87, sehingga dapat diartikan kondisi

komunitas jenis stabil dan tidak ada yang mendominasi sehingga tidak ada tekanan

fauna akuatik di kawasan mangrove Teluk Pangpang.

Page 93: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

75

Tingkat keanekaragaman dan kemerataan yang rendah pada lokasi yang

jauh dari pemukiman dan terletak di ujung teluk lebih banyak dipengaruhi kondisi

substrat tanahnya yaitu lempung liat dan berdebu serta kecenderungan fauna

akuatik mencari makan di kondisi mangrove yang mempunyai kerapatan dan

penutupan yang lebih rapat dan tebal. Penutupan mangrove yang rendah

berpengaruh terhadap keanekaragaman fauna kelompok non ikan karena

memanfaatkan akar dan substrat tanah sebagai perlindungan dari serangan predator.

Hal ini berdasarkan hasil identifikasi dan sifat hidup fauna akuatik kelompok ikan

dan non ikan yang ditemukan lebih cenderung menyukai kondisi substrat berpasir

dan berlumpur sehingga lebih banyak ditemukan di daerah yang dekat dengan

pemukiman dan daerah yang berada di tepi tambak budidaya perikanan

dibandingkan lokasi yang mempunyai substrat tanah yang lebih padat karena akan

menyulitkan jenis fauna untuk menggali untuk berlindung.

6.3. Pola Penyebaran Jenis Fauna Akuatik

Hasil penelitian famili fauna akuatik yang teridentifikasi di Kawasan Teluk

Pangpang belum pernah dilakukan sebelumnya yang berjumlah 15 famili yang

terdiri dari 14 famili kelompok ikan dan 7 famili kelompok non ikan. Sedangkan,

hasil penelitian serupa yang dilakukan Latupapua (2011) di kawasan segara anakan

TNAP Kabupaten Banyuwangi berjumlah 13 famili berupa 10 famili kelompok

ikan dan 2 famili kelompok non ikan, sehingga lebih banyak tertangkap di Kawasan

Teluk Pangpang. Hal ini tidak terlepas dari fungsi ekologis ekosistem hutan

mangrove untuk kehidupan fauna akuatik sebagai nursery grounds, spawning

grounds dan feeding grounds.

Page 94: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

76

Hasil pengamatan menunjukkan adanya adaptasi fauna akuatik yang dapat

dibagi dalam empat kategori kelompok ikan yang berada di ekosistem hutan

mangrove Kawasan Teluk Pangpang (Nirarita et al. 1996), yaitu diantaranya:

Ikan penetap sejati seperti ikan bedul (A. caninus) dari famili Gobidae karena

seluruh siklus hidupnya berada di daerah mangrove,

Ikan penetap sementara seperti ikan belanak (V. seheli) dari famili Mugilidae

karena selama periode anakan hingga dewasa cenderung bergerombol di

sepanjang pantai,

Ikan pengunjung seperti ikan gulamah (S. russeli) dari famili Scianidae karena

pada periode pasang berkunjung ke ekosistem mangrove untuk mencari makan,

Ikan musiman seperti ikan lemuru (Sardinella sp.) dari famili Clupeidae yang

menggunakan mangrove sebagai perlindungan musiman dari predator.

Pola sebaran fauna akuatik di Kawasan Teluk Pangpang ditemukan adanya

pengelompokan ikan berdasarkan sifat hidupnya yaitu ikan pelagis (permukaan dan

kolom air laut) dan ikan demersal (dasar air laut) yang menetap dan berkembang di

kawasan mangrove sehingga dapat beradaptasi dengan keadaan lingkungannya.

Faktor lingkungan berupa kondisi perairan yang fluktuatif dan tekstur tanah

menyebabkan sifat hidup fauna akuatik yang beradaptasi di Kawasan mangrove

Teluk Pangpang bervariasi, hal ini terkait dengan keberadaan mangrove di stasiun

penelitian dalam menyediakan makanan berupa bahan organik seperti serasah daun

sebagai daerah asuhan (nursery grounds) dan daerah mencari makan (feeding

grounds). Zahid et al. (2011) mengemukakan, bahwa kelimpahan ikan di perairan

mangrove terkait erat dengan kebiasaan makan herbivora dan karnivora sehingga

peran fungsional estuari sebagai daerah pemijahan, pembesaran, perlindungan dan

Page 95: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

77

lumbung makanan, oleh karenanya ikan-ikan ini lebih banyak dijumpai pada daerah

mangrove.

Kondisi mangrove yang berada di dekat pemukiman serta adanya tekanan

lingkungan berupa limbah domestik dan berada di bagian mulut teluk serta muara

Sungai Wagut menyebabkan kondisi perairan lebih stabil dalam mencampur aliran

air tawar dengan air laut, sehingga dominan dijumpai ikan pelagis dan demersal

dalam mencari makanan dan berkembang biak di daerah kawasan mangrove. Hasil

penelitian Kawaroe (2001), ikan famili Leiognatidae, dan Mugilidae banyak

tertangkap di lokasi Blanakan dibandingkan dengan lokasi Mayangan. Kondisi

perairan di Kawasan Blanakan lebih stabil karena cenderung memiliki kualitas

perairan payau (muara) dan laut. Adanya pasang surut yang lebih tinggi serta

sungai yang lebih besar (Sungai Blanakan) menyebabkan pertukaran air menjadi

lebih baik.

Penguasaaan mangrove yang dominan jenis R.mucronata dan R.apiculata

yang mempunyai akar tunjang pada batang dan menggantung kemudian masuk ke

tanah menjadi tempat yang sesuai untuk pemijahan dan pembesaran fauna akuatik.

Sistem perakaran Rhizophora sp. dimanfaatkan untuk bersembunyi dan sangat

efektif dalam meredam gelombang laut dan arus laut sehingga telur dan anak ikan

tidak hanyut terbawa pasang surut air laut. Hal ini ditunjukkan adanya jenis

kelompok ikan yang tertangkap yang mempunyai sifat hidup pelagis yaitu famili

Mugilidae, Clupediae dan demersal yaitu famili Leiognatidae, Psettodidae.

Lingkungan ekosistem mangrove menjadi tempat yang cocok bagi biota

akuatik, keberadaan fauna akuatik yang tinggi banyak ditemukan pada tegakan

mangrove jenis S. alba yang berada paling depan zonasi mangrove yaitu lebih dekat

Page 96: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

78

dengan garis pantai dengan kondisi lingkungan berada di tepi tambak budidaya

perikanan serta letaknya yang agak jauh dari muara sungai menyebabkan salinitas

perairan lebih tinggi. Hal ini menyebabkan famili kelompok ikan dominan

ditemukan jenis fauna yang mempunyai sifat hidup pelagis seperti ikan seriding

(Ambassis sp.) dari famili Centropomidae. Jenis fauna ini termasuk kelompok

pengunjung pada periode pasang yang mempunyai kelimpahan ikan yang tinggi,

sehingga menarik ikan predator untuk mencari makan seperti ikan kerong (T.

jarbua) dari famili Theraponidae dan ikan gulama (S. russeli) dari famili

Sciaenidae.

Letaknya yang berada di bagian tengah Kawasan Teluk Pangpang

menyebabkan kandungan organik lebih tinggi di perairan dengan tekstur tanah

lempung berpasir. Hancuran daun dan ranting dari pohon S. alba yang lebih kecil

dibandingkan Rhizophora sp. pada saat gugur kedalam air diduga lebih cepat terurai

pada salinitas perairan 30-35‰ sehingga serasah daun terdekomposisi dan

dimanfaatkan bagi biota akuatik. Kordi (2012), menjelaskan dekomposisi serasah

daun sangat bervariasi, serasah daun yang jatuh ditempat yang kering dan perairan

yang tawar cenderung lebih lambat dibandingkan dengan perairan yang mempunyai

kadar garam tinggi.

Kondisi mangrove yang hidup dan berkembang dengan tekstur tanah

lempung liat berdebu serta cenderung tidak terdapat gangguan dari aktivitas

masyarakat banyak ditemukan fauna akuatik beradaptasi seperti ikan demersal

dengan kondisi perairan payau yaitu salinitas 10-30 ‰. Kondisi lokasi yang lebih

dekat dengan perairan air tawar seperti Sungai Setail lebih banyak menerima air

tawar dari muara sungai sehingga membuat keadaan lokasi cenderung payau. Fauna

Page 97: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

79

akuatik yang hidup harus mempunyai sifat dan batasan toleransi untuk beradaptasi

sehingga fauna akuatik air laut lebih sedikit ditemukan.

Ikan famili Belonidae bersifat predator sehingga ditemukan hidup di air

payau yaitu bersalinitas 10-30 ‰ dengan berasosiasi pada pantai yang dangkal

sebagai pemakan ikan kecil seperti ikan bedul (Gobidae), ikan pahat

(Platycephalidae), dan ikan kecil lainnya. Menurut Redzeki (2013), Ikan famili

Belonidae melakukan reproduksi dengan meletakkan telurnya pada substrat yang

diduga diletakkan diantara vegetasi mangrove.

Dominasi mangrove jenis C. tagal, B. gymnorrhiza termasuk dalam Zona

Tanjang (Bruguiera) terletak di belakang Zona Bakau (Rhizophora), agak jauh dari

laut dekat dengan daratan dan dalam keadaan tanah berlumpur agak keras diduga

kurang memberikan fungsi ekologis dalam menyediakan makanan bagi ikan

dikarenakan serasah daun yang jatuh lebih lambat terdekomposisi akibat kondisi

tanah yang mempunyai tekstur lempung liat dan berdebu. Redzeki (2013), dalam

penelitiannya menunjukkan komposisi ikan dan distribusinya sangat dipengaruhi

oleh perubahan fisik, kimia dan biologi perairan. Kelimpahan famili ikan di lokasi

Rhizophora sp. lebih tinggi dibandingkan di Cyperus sp. Hal ini diduga sesuai

dengan fungsi ekologis mangrove yang kaitannya dengan menyediakan makanan

bagi ikan yaitu dalam bentuk material organik yang terbentuk dari jatuhan daun

serta berbagai jenis hewan avertebrata seperti kepiting dan serangga.

Faktor penempatan alat tangkap yaitu Trapped Net (banjang) mempunyai

pengaruh terhadap keberadaan fauna akuatik di ekosistem mangrove. Jumlah alat

tangkap yang terlalu banyak dan berada di pesisir mangrove Teluk Pangpang

diduga mengganggu keberadaan fauna akuatik menuju ke daerah mangrove untuk

Page 98: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

80

berkembang dan memijah. Pengembangan alat tangkap ikan yang semakin banyak

dan luas di pesisir mangrove menyebabkan tekanan terhadap fauna akuatik yang

terus menerus dan tidak tertutup kemungkinan akan menyebabkan penurunan

populasi di Kawasan Teluk Pangpang. Menurut Kordi (2012), penangkapan fauna

akuatik di ekosistem mangrove yang tidak dilakukan secara selektif dapat

mengganggu populasi fauna, seperti fauna akuatik yang siap matang gonad untuk

memijah, sehingga tidak mempunyai kesempatan melakukan regenerasi dan

semakin lama menyebabkan kepunahan.

Pengelompokkan kategori sifat hidup fauna akuatik di Kawasan Teluk

Pangpang yaitu kelompok ikan dari jenis Famili Clupeidae dan Silagidae terlihat

lebih melimpah dan merata karena merupakan golongan ikan pelagis yang

mempunyai sifat bergerombol dan mencari jasad renik berupa plankton, cacing laut

(Polychaeta), ikan dan udang kecil, serta memanfaatkan ekosistem mangrove untuk

menghindari predator pada saat musim memijah. Hasil penelitian Zahid et al.

(2011), menjelaskan keberadaan ekosistem mangrove di pesisir Mayangan turut

berperan dalam kelimpahan spesies ikan, karena ikan tertarik memasuki ekosistem

mangrove untuk berlindung dari predator. Struktur perakaran mangrove

menyulitkan pergerakan predator serta tingkat kekeruhan yang tinggi menyebabkan

visibilitas predator berkurang.

Hasil pengamatan kelompok non ikan ditemukan famili Penaideae dan

Portunidae terlihat lebih merata dan melimpah karena adanya kondisi lingkungan

perairan di Kawasan mangrove Teluk Pangpang. Suhu perairan yang didapatkan

masih dalam batasan toleran untuk biota laut yaitu berkisar 27 - 34 ºC sehingga

sesuai dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Menurut Ulqodry et al. (2010),

Page 99: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

81

Aktivitas metabolisme serta penyebaran organisme air banyak dipengaruhi oleh

suhu air sehingga suhu yang baik tidak kurang dari 20 ºC, sedangkan suhu yang

tinggi >40 ºC cenderung mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan biota laut.

Salinitas perairan Kawasan Teluk Pangpang yang didapatkan masih

termasuk batas toleran yaitu berkisar 10 – 35 ‰ sehingga selain suhu, salinitas

perairan merupakan faktor pembatas dalam kesesuaian fauna akuatik hidup dan

berkembang biak seperti famili Panaeidae dan Portunidae yang melimpah di

ekosistem mangrove. Menurut Naamin et al. (1992), Penyesuaian salinitas udang

muda terlihat antara 0-3 ‰, sedangkan udang dewasa pada salinitas 7-10 ‰ yang

hidup di sekitar lantai hutan mangrove. Namun secara umum udang dewasa hidup

pada salinitas 27,5-35 ‰ pada perairan laut lepas. Pratiwi et al. (2013), dalam

penelitiannya di Kepulauan Matasiri juga menyebutkan bahwa kepadatan tertinggi

pada suku Penaeidae dan kepadatan tertinggi kedua pada suku Portunidae didaerah

mangrove karena diduga merupakan daerah spawning ground (berkembang biak)

bagi crustacea tertentu, kondisi lingkungan perairan yang mendukung berupa suhu

optimum yang berkisar antara 25-27 ºC dan salinitas berkisar 24 - 26‰.

Page 100: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

82

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

1. Ekosistem mangrove secara keseluruhan mempunyai tingkat keanekaragaman

bervariasi dan didominasi jenis R. mucronata dari famili Rhizophoraceae dan

S. alba dari famili Sonneratiaceae dengan INP tertinggi pada setiap fasenya.

Hal ini dikarenakan merupakan ekosistem rehabilitasi dan ekosistem alami

yang mengalami konversi seperti pengembangan budidaya perikanan. Kondisi

mangrove tergolong baik, tetapi masih terjadi pelanggaran seperti penebangan

dan pengambilan cacing laut yang semakin lama dapat merusak ekosistem

hutan mangrove.

2. Keanekaragaman dan kemerataan fauna akuatik termasuk kriteria tinggi.

Keberadaan sungai yang membawa bahan organik berupa sedimen lumpur dan

dekomposisi serasah daun menyebabkan kelimpahan dan biomassa yang tinggi

pada jenis A.caninus dan Metapenaeus sp. Sedangkan rendahnya H.raphidea

dan S.serata diduga adanya kerusakan vegetasi sehingga jarang ditemukan di

ekosistem mangrove.

3. Pola penyebaran fauna akuatik erat kaitannya dengan ekosistem hutan

mangrove, sehingga ditemukan pengelompokan ikan berdasarkan sifat

hidupnya yaitu ikan pelagis dan ikan demersal. Adanya pengembangan alat

tangkap ikan yang semakin banyak di pesisir mangrove menyebabkan tekanan

yang terus menerus dan akan menyebabkan penurunan populasi fauna akuatik

di Kawasan Teluk Pangpang.

Page 101: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

83

6.2. Saran

1. Perlu adanya pengawasan dan penegakan pelanggaran seperti penebangan dan

pengambilan fauna cacing laut, sesuai peraturan yang telah disepakati oleh

masyarakat setempat.

2. Perlu adanya pengelolaan pengembangan alat tangkap ikan yang berada

dipesisir mangrove sehingga penggunaannya ramah lingkungan dalam

keberadaan fauna akuatik di kawasan mangrove.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kelimpahan plankton dan laju

dekomposisi serasah daun mangrove sebagai supply makanan bagi kehidupan

fauna akuatik.

Page 102: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

84

DAFTAR PUSTAKA

Ardhana, I.P.G. 2012. Ekologi Tumbuhan. Udayana University Press. Universitas

Udayana. Denpasar.

Arief, A. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta.

Bengen, G.D. 2001. Ekosistem Dan Sumberdaya Pesisir Dan Laut Serta

Pengelolaan Secara Terpadu Dan Berkelanjutan. Prosiding pelatihan

pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Bogor.

Brower, J.E., Jerrold H. Z., Car I.N. V.E., 1990. Field and Laboratory Methods

for General Ecology. Third Edition. Wm. C. Brown Publisher, USA, New

York.

Bruno C, M.B. Cousseau, and C. Bremec. 1998. Contribution Of Polychaetous

Annelid To The Diet Of Cheilodactylus Berghi (Pisces, Cheilodactilidae).

Abstract of 6th International Polychaete Conference. Brazil.

Budiman. 2006. Analisis Sebaran Ikan demersal Sebagai Basis Pengelolaan

Sumberdaya Pesisir di Kabupaten Kendal. Tesis Program Magister

Manajemen Sumberdaya Pantai.Universitas Diponegoro.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan

Indonesia. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Dewantoro, G.W. 2009. Komposisi Jenis Ikan Perairan Mangrove Pada Beberapa

Muara Sungai Di Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang. Banten. Jurnal

Fauna Tropika Vol.18 No.2, November 2009. ISSN 0215-191X.

Dewantoro,G.W. 2011.Ikan Kawasan Mangrove Pada Beberapa Sungai Di Sekitar

Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang: Tinjauan Musim Hujan. Jurnal

Bionatura Vol.13 No.2,November 2011:217-225.

Dewiyanti I, dan Yunita. 2013. Identifikasi dan Kemelimpahan Hama Penyebab

Ketidakberhasilan Rehabilitasi Ekosistem Mangrove. Jurnal : Ilmu Kelautan

September 2013 Vol.18 (3):150-156.ISSN 0853-7291.

Djuwito, Saputra S.W., dan Widyaningtiwi W.A. 2013. Beberapa Aspek Biologi

Udang Mantis Di Perairan Cilacap, Jawa Tengah. Journal Of Management

Of Aquatic Resources. Vol.2 No.2. Tahun 2013. Hal.56-64.

Farimansyah. 2005. Strategi Rehabilitasi Hutan Mangrove dengan Sistem Empang

Parit di Kabupaten Deli Serdang. Pascasarjana, USU, Medan.

Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati

Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian, 23 (1). 15-21.

Page 103: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

85

Gustiar, C. 2005. Analisis Kelembagaan dan Peranannya dalam Penataan Ruang

di Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi.. Tesis Program Studi Ilmu

Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB.

Hardjowigeno, S. 1989. Ilmu Tanah. Cetakan Kedua. Jakarta. PT. Melton Putra.

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Cetakan Kedua. Jakarta. PT. Bumi Aksara.

Kartasapoetra, G., A. G. Kartasapoetra.,dan M. M. Sutedjo., 1987. Teknologi

Konservasi Tanah dan Air. Jakarta. PT. Bina Aksara.

Kawaroe, M. 2001. Kontribusi Ekosistem Mangrove Terhadap Struktur

Komunitas Ikan Di Pantai Utara Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal

Pesisir dan Kelautan Universitas Haluoleo Kendari Vol.02 No. 03.

Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia

Nomor : P.03/Menhut-II/2009 tentang Petunjuk Dana Alokasi Khusus

Bidang Kehutanan.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup Nomor :201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Mutu

dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup Nomor : 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.

Kordi,K.M.G.H. 2012. Ekosistem Mangrove : Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan.

Jakarta. Penerbit: Rineka Cipta, 256 Hal.

Kusmana, C., 1997. Metode Survei Vegetasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Latupapua M.J.J.2011. Keanekaragaman Jenis Nekton di Mangrove Kawasan

Segoro Anak Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Agroforestri Vol.VI No.2.

Marsoedi, dan Samlawi, A. 1997. Panduan Pelatihan Pelestarian dan

Pengembangan Ekosistem Mangrove Secara Terpadu dan Berkelanjutan.

Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-Universitas Brawijaya.

Mashar, A., dan Wardiatno, Y. 2011. Distribusi Spasial Udang Mantis

Harpiosquilla raphidea di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung

Barat, Jambi. Jurnal Pertanian-UMMI.,1(1):2088-8848.

Naamin, N.B. Simiono, S.Ilyas. 1992. Pedoman Teknis Pemanfaatan dan

Pengelolaan Sumberdaya Udang Peneid Bagi Pembangunan Perikanan.

Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.89 hal.

Page 104: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

86

Nirarita, C.H.E., P. Wibowo, S. Susanti, D. Padmawinata, Kusmarini, M. Syarif,

Y. Hendriani, Kusniangsih, L. Sinulingga. 1996. Ekosistem Lahan Basah

Indonesia. Buku Panduan untuk Guru dan Praktisi Pendidikan. Bogor.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara . Jakarta : Djambatan.

Noor, Y.R., Khazali M., Suryadiputra INN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove

di Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor. 220.

Nurjanah, Abdullah A, Kustariyah. 2011. Pengetahuan dan Karakteristik Bahan

Baku Hasil Perairan. IPB Press. Bogor.

Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta: Penerbit

P.T. Gramedia.

Odum, E. P., 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Edisi

ketiga.Yogyakarta.

Oemarjati, B. S. dan Wardhana, W., 1990. Taksonomi Avertebrata : Pengantar

Praktikum Laboratorium. UI-Press. Jakarta.

Ola, O.L. 2008. Kajian Dampak Pemanfaatan Hutan Mangrove Terhadap

Penurunan Biota Laut Pada Ekosistem Lamun Di Kepulauan Wakatobi.

Kendari. Jurnal Agriplus. Vol. 19 No. 2. ISSN 0854-0128.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.2003. Peraturan Desa Wringinputih Nomor:

03 Tahun 2003 tentang Penetapan Pengelolaan Kawasan Lindung

Ekosistem Jalur Hijau Hutan Mangrove Berbasis Pada Masyarakat

Setempat.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. 2012. Peraturan Daerah Kabupaten

Banyuwangi Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) Tahun 2012-2032.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, 2014. Forum Pengelolaan Ekosistem

Esensial Lahan Basah/Kawasan Mangrove Teluk Pangpang Kabupaten

Banyuwangi. Wetlands International dan Balai Besar KSDA Jawa Timur.

Pratiwi, R. dan Wijaya, N. I. 2013. Keanekaragaman Komunitas Krustasea Di

Kepulauan Matasiri Kalimantan Selatan. Jurnal Berita Biologi 12(1)-April.

Raharja, A.P., Widigdo, B., dan Sutrisno, D. 2014. Kajian Potensi Kawasan

Mangrove di Kawasan Pesisir Teluk Pangpang, Banyuwangi. Bogor. Jurnal

: Depik, 3(1) :36-45. ISSN 2089-7790.

Redzeki, S. 2013. Komposisi dan Kelimpahan Ikan di Ekosistem Mangrove di

Kedungmalang, Jepara. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol.18 (1):54-60- Maret.

Page 105: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

87

Romimohtarto, K. dan Juwana, S. 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang

Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI,Jakarta:

527 hal.

Rusgiyono, A. 2010. Analisis Koresponden Untuk Pemetaan Persepsi. Jurnal

Media Statistika, Vol.03,No.2, Desember 2010.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan Jilid II .

Jakarta: Bina Cipta.

Santono, N., Bayu, C.N., Ahmad, F.S, dan Ida, F. 2005. Resep Makanan

Berbahan Baku Mangrove dan Pemanfaatan Nipah. Lembaga

Pengembangan dan Pengkajian Mangrove.

Setiawan, H. 2013. Status Ekologi Hutan Mangrove Pada Berbagai Tingkat

Ketebalan. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. Vol. 02 No.02.:104 -120.

Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan

Komunitas. Jakarta: Penerbit Usaha Nasional.

Soegiarto, A. 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta.

Lembaga Oseanologi Nasional.

Sudarmadji dan Indarto. 2011. Identifikasi Lahan Dan Potensi Hutan Mangrove

Di Bagian Timur Propinsi Jawa Timur. Bonorowo Wetlands, 1(1), 7-13.

Sugiarto dan Willy, E. 2003. Penghijauan Pantai. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.. Jakarta: Alfabeta.

Supardjo, M.N. 2008. Identifikasi Vegetasi mangrove Di Segoro Anak Selatan,

Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi Jawa Timur. Jurnal Saintek

Perikanan Vol.03 No.02 2008 : 9-15

Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumber Daya hayati di Wilayah

Pesisir Tropis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Sutaryo D. 2009. Perhitungan Biomassa: Sebuah Pengantar untuk Studi Karbon

dan Perdagangan Karbon. Wetlands International Indonesia Programme.

Bogor.

Tjahjo D.W dan Riswanto.2011. Peran Laguna Segara Anakan Sebagai Sumber

Rekruitmen Udang Dan Ikan. Prosiding Forum Nasional Pemacuan Sumber

Daya Ikan III.

Page 106: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

88

Ulqodry, T.Z., Bengen, D.G.,Kaswadji, R.F. 2010. Karakteristik Perairan

Mangrove Tanjung Api-Api Sumatera Selatan Berdasarkan Sebaran

Parameter Lingkungan Perairan Dengan Menggunakan Analisis Komponen

Utama (PCA). Maspari Journal 01 (2010) 16-21.

Viqi, A. 2012. Keanekaragaman Jenis Ikan Di Blok Bedul Segoro Anak Taman

Nasional Alas Purwo. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas MIPA. Universitas

Jember.

Widodo, Salim. S., Tapsirin dan Soewito. 1999. Sumberdaya Perikanan Demersal

di Perairan Arafura dan Sekitarnya. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan

Semarang.

Zahid, A., Simanjuntak, C. P. H., M. F. Rahardjo, Sulistiono. 2011. Iktiofauna

Ekosistem Estuari Mayangan, Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia,

11(1):77-85.

Page 107: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

89

Lampiran 1. Hasil Pengamatan Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang

Stasiun I

Jumlah Petak Luas Keliling Diameter LBD (K-i) (KR-i) (F-i) (FR-i) (C-i) (CR-i) INP-i (H')

(Pohon) Contoh

cm cm m (m2) (pohon/ha) (%)

(petak

contoh) (%) (m2) (%) (%)

Semai (2 m x 2 m)

Sonneratia alba J.E.

Smith. 13 1 0,0004 2,00 0,64 0,0064 0,00003 32.500,00 23,64 0,33 33,33 0,08 11,11 68,08 0,34

Rhizophora mucronata

Lmk. 42 2 0,0008 4,00 1,27 0,0127 0,00013 105.000,00 76,36 0,67 66,67 0,64 88,89 231,92 0,21

JUMLAH 55 3 0,0012 6,00 3,00 0,0191 0,00016 137.500,00 100,00 1,00 100,00 0,72 100,00 300,00 0,55

Pancang (5 m x 5 m)

Sonneratia alba J.E.

Smith. 21 3 0,0300 8,26 2,63 0,0263 0,00054 700,00 42,86 0,43 42,86 7,99 43,08 128,80 0,36

Rhizophora mucronata

Lmk. 25 3 0,0300 7,97 2,54 0,0254 0,00051 833,33 51,02 0,43 42,86 10,54 56,85 150,73 0,34

Rhizophora apiculata

Bl. 1 1 0,0100 4,00 1,27 0,0127 0,00013 100,00 6,12 0,14 14,29 0,01 0,07 20,48 0,17

JUMLAH 47 7 0,0700 20,23 6,44 0,0644 0,00118 1.633,33 100,00 1,00 100,00 18,54 100,00 300,00 0,88

Pohon (10 m x 10 m)

Sonneratia alba J.E.

Smith. 87 4 0,0400 22,22 7,08 0,0708 0,00393 2.175,00 35,65 0,31 30,77 743,88 41,26 107,67 0,37

Rhizophora mucronata

Lmk, 138 5 0,0500 17,29 5,51 0,0551 0,00238 2.760,00 45,23 0,38 38,46 906,15 50,26 133,95 0,36

Rhizophora apiculata

Bl. 32 3 0,0300 23,72 7,55 0,0755 0,00448 1.066,67 17,48 0,23 23,08 152,93 8,48 49,04 0,30

Avicennia marina

(Forsk.) 1 1 0,0100 11,40 3,63 0,0363 0,00103 100,00 1,64 0,08 7,69 0,10 0,01 9,34 0,08

JUMLAH 258 13 0,1300 74,63 23,77 0,2377 0,01183 6.101,67 100,00 1,00 100,00 1803,06 100,00 300,00 1,11

Page 108: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

90

Lanjutan Lampiran 1.

Stasiun II

Jumlah Petak Luas Keliling Diameter LBD (K-i) (KR-i) (F-i) (FR-i) (C-i) (CR-i) INP-i (H')

(Pohon) Contoh

cm cm m (m2) (pohon/ha) (%)

(petak

contoh) (%) (m2) (%) (%)

Semai (2 m x 2 m)

Sonneratia alba J.E.

Smith. 12 2 0,0008 61,00 19,43 0,1943 0,02963 15.000,00 37,50 0,5 50,00 37,03 53,39 140,89 0,37

Rhizophora

mucronata Lmk. 20 2 0,0008 57,00 18,15 0,1815 0,02587 25.000,00 62,50 0,5 50,00 32,33 46,61 159,11 0,29

JUMLAH 32,00 4,00 0,0016 118,00 37,58 0,38 0,0555 40.000,00 100,00 1,00 100,00 69,37 100,00 300,00 0,66

Pancang (5 m x 5 m)

Sonneratia alba J.E.

Smith. 34 3 0,0075 223,50 71,18 0,7118 0,39771 4.533,33 41,46 0,60 60,00 53,03 66,55 168,01 0,37

Rhizophora

mucronata Lmk. 12 1 0,0025 88,00 28,03 0,2803 0,06166 4.800,00 43,90 0,20 20,00 24,66 30,95 94,85 0,36

Ceriops tagal (Perr.)

C.B.Rob. 4 1 0,0025 25,00 7,96 0,0796 0,00498 1.600,00 14,63 0,20 20,00 1,99 2,50 37,13 0,28

JUMLAH 50,00 5,00 0,01 336,50 107,17 1,07 0,4643 10.933,33 100,00 1,00 100,00 79,68 100,00 300,00 1,01

Pohon (10 m x 10 m)

Sonneratia alba J.E.

Smith. 124 4 0,0400 3041,00 968,47 9,6847 73,62803 3.100,00 65,38 0,36 36,36 1840,70 90,99 192,73 0,28

Rhizophora

mucronata Lmk. 51 4 0,0400 956,00 304,46 3,0446 7,27656 1.275,00 26,89 0,36 36,36 181,91 8,99 72,25 0,35

Rhizophora apiculata 3 3 0,0300 35,00 11,15 0,1115 0,00975 366,67 7,73 0,27 27,27 0,33 0,02 35,02 0,20

JUMLAH 276 18 0,1800 97,02 48,51 12,8408 80,9143 4.741,67 100,00 1,00 100,00 2,022,94 100,00 300,00 0,84

Page 109: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

91

Lanjutan Lampiran 1.

Stasiun III

Jumlah Petak Luas Keliling Diameter LBD (K-i) (KR-i) (F-i) (FR-i) (C-i) (CR-i) INP-i (H')

(Pohon) Contoh

cm cm m (m2) (pohon/ha) (%)

(petak

contoh) (%) (m2) (%) (%)

Semai (2 m x 2 m)

Ceriops tagal (Perr.)

C.B.Rob. 60 2 0,0008 62,40 19,87 0,1987 0,03100 75000,00 95,24 0,67 66,67 38,75 97,96 259,87 0,05

Acanthus ilicifolius

L. 3 1 0,0008 9,00 2,87 0,0287 0,00064 3750,00 4,76 0,33 33,33 0,81 2,04 40,13 0,15

JUMLAH 63 3 0,0016 4,04 2,02 0,2274 0,03165 78750,00 100,00 1,00 100,00 39,56 100,00 300,00 0,20

Pancang (5 m x 5 m)

Sonneratia alba J.E.

Smith. 5 1 0,0025 39,80 12,68 0,1268 0,01261 2000,00 18,18 0,14 14,29 5,04 13,20 45,67 0,31

Rhizophora

mucronata Lmk. 2 2 0,0050 15,00 4,78 0,0478 0,00179 400,00 3,64 0,29 28,57 0,36 0,94 33,15 0,13

Ceriops tagal (Perr.)

C.B.Rob. 13 2 0,0050 93,70 29,84 0,2984 0,06990 2600,00 23,64 0,29 28,57 13,98 36,59 88,80 0,34

Bruguiera

gymnorrhiza (L.) 12 1 0,0025 72,80 23,18 0,2318 0,04220 4800,00 43,64 0,14 14,29 16,88 44,18 102,10 0,36

Avicennia marina

(Forsk.) 3 1 0,0025 24,70 7,87 0,0787 0,00486 1200,00 10,91 0,14 14,29 1,94 5,09 30,28 0,24

JUMLAH 35 7 0,0175 36,97 18,48 0,7834 0,13136 11000,00 100,00 1,00 100,00 38,20 100,00 300,00 1,38

Pohon (10 m x 10

m)

Sonneratia alba J.E.

Smith. 61 3 0,0300 1481,30 471,75 4,7175 17,47014 2033,00 27,98 0,21 21,43 582,34 60,05 109,46 0,36

Rhizophora

mucronata Lmk. 14 2 0,0200 218,40 69,55 0,6955 0,37977 700,00 9,63 0,14 14,29 18,99 1,96 25,88 0,22

Rhizophora apiculata

Bl. 22 2 0,0200 673,00 214,33 2,1433 3,60612 1100,00 15,14 0,14 14,29 180,31 18,59 48,02 0,28

Ceriops tagal (Perr.)

C.B.Rob. 34 3 0,0300 509,10 162,13 1,6213 2,06356 1133,33 15,60 0,21 21,43 68,79 7,09 44,12 0,29

Bruguiera

gymnorrhiza (L.) 8 1 0,0100 147,10 46,85 0,4685 0,17228 800,00 11,01 0,07 7,14 17,23 1,78 19,93 0,24

Avicennia marina

(Forsk.) 20 2 0,0200 427,80 136,24 1,3624 1,45711 1000,00 13,76 0,14 14,29 72,86 7,51 35,56 0,28

Xylocarpus

moluccencis 5 1 0,0100 191,50 60,99 0,6099 0,29198 500,00 6,88 0,07 7,14 29,20 3,01 17,03 0,19

JUMLAH 164,00 14,00 0,14 3,648,20 1,161,85 11,62 25,44 7,266,33 100,00 1,00 100,00 969,70 100,00 300,00 1,86

Page 110: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

92

Lampiran 2. Hasil Pengamatan Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang

No Stasiun I Bulan Jumlah/kelimpahan Kelimpahan Indeks Indeks Berat/biomassa

Desember Januari Februari (individu) relative (%) Keanekaragaman (H') Kemerataan (E') X (gram)

Kelompok Ikan

1 Valamugil seheli 20,00 15,00 17,00 52,00 3,14 0,11 0,05 23,20 1.206,40

2 Leiognathus equulus 122,00 150,00 60,00 332,00 20,06 0,32 0,13 11,34 3.764,88

3 Acentrogobius caninus 120,00 150,00 50,00 320,00 19,34 0,32 0,13 38,60 12.352,00

4 Thryssa baelama 124,00 145,00 50,00 319,00 19,27 0,32 0,13 16,86 5.378,34

5 Stolephorus indicus 124,00 56,00 21,00 201,00 12,15 0,26 0,11 6,62 1.330,62

6 Sardinella lemuru 68,00 34,00 - 102,00 6,16 0,17 0,07 14,32 1.460,64

7 Platycephalus scaber 9,00 12,00 10,00 31,00 1,87 0,07 0,03 7,10 220,10

8 Ambassis sp 30,00 34,00 21,00 85,00 5,14 0,15 0,06 3,40 289,00

9 Psettodes erumei 62,00 50,00 25,00 137,00 8,28 0,21 0,09 22,40 3.068,80

10 Therapon jarbua 8,00 5,00 - 13,00 0,79 0,04 0,02 57,10 742,30

11 Sillago sihama 16,00 32,00 15,00 63,00 3,81 0,12 0,05 37,60 2.368,80

Jumlah 1.655,00 100,00 2,09 0,87 32.181,88

Kelompok Non Ikan

1 Harpiosquilla raphidea 16,00 15,00 10,00 41,00 2,64 0,10 0,05 5,70 233,70

2 Penaeus merguiensis 53,00 35,00 30,00 118,00 7,61 0,20 0,10 12,85 1.516,30

3 Metapenaeus sp. 380,00 254,00 50,00 684,00 44,10 0,36 0,19 2,80 1.915,20

4 Panaeus monodon 158,00 150,00 49,00 357,00 23,02 0,34 0,17 7,14 2.548,98

5 Thalamita sima 43,00 55,00 30,00 128,00 8,25 0,21 0,11 13,30 1.702,40

6 Scylla serata 47,00 25,00 10,00 82,00 5,29 0,16 0,08 12,84 1.052,88

7 Portunus pelagicus 35,00 56,00 50,00 141,00 9,09 0,22 0,11 42,20 5.950,20

Jumlah 1.551,00 100,00 1,57 0,81 14.919,66

Jumlah Total 1.435,00 1.273,00 498,00 3.206,00 47.101,54

Page 111: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

93

Lanjutan Lampiran 2.

No Stasiun II Bulan Jumlah/kelimpahan Kelimpahan Indeks Indeks Berat/biomassa

Desember Januari Februari (individu) relative (%) Keanekaragaman (H') Kemerataan (E') X (gram)

Kelompok Ikan

1 Valamugil seheli 12,00 18,00 8,00 38,00 3,45 0,12 0,04 67,25 2.555,50

2 Leiognathus equulus 56,00 47,00 45,00 148,00 13,43 0,27 0,10 3,22 476,56

3 Acentrogobius caninus 42,00 19,00 42,00 103,00 9,35 0,22 0,08 14,28 1.470,84

4 Thryssa baelama 56,00 22,00 58,00 136,00 12,34 0,26 0,10 24,50 3.332,00

5 Stolephorus indicus 24,00 12,00 34,00 70,00 6,35 0,18 0,07 13,86 970,20

6 Sardinella lemuru 70,00 42,00 - 112,00 10,16 0,23 0,09 18,20 2.038,40

7 Platycephalus scaber 25,00 28,00 5,00 58,00 5,26 0,15 0,06 52,50 3.045,00

8 Ambassis sp 168,00 35,00 50,00 253,00 22,96 0,34 0,13 3,68 931,04

9 Psettodes erumei 28,00 23,00 5,00 56,00 5,08 0,15 0,06 4,15 232,40

10 Therapon jarbua 2,00 7,00 12,00 21,00 1,91 0,08 0,03 31,50 661,50

11 Polynemus plebeius 3,00 - 5,00 8,00 0,73 0,04 0,01 21,70 173,60

12 Tylosurus strongylurus 4,00 3,00 - 7,00 0,64 0,03 0,01 17,20 120,40

13 Sciaena russeli 8,00 9,00 - 17,00 1,54 0,06 0,02 88,20 1.499,40

14 Sillago sihama 14,00 47,00 14,00 75,00 6,81 0,18 0,07 13,77 1.032,75

Jumlah 1.102,00 100,00 2,31 0,87 18.539,59

Kelompok Non Ikan

1 Harpiosquilla raphidea 26,00 54,00 18,00 98,00 7,12 0,19 0,10 8,00 784,00

2 Penaeus merguiensis 133,00 127,00 109,00 369,00 26,80 0,35 0,20 8,27 3.051,63

3 Metapenaeus sp. 252,00 137,00 188,00 577,00 41,90 0,36 0,20 6,14 3.542,78

4 Panaeus monodon 54,00 47,00 40,00 141,00 10,24 0,23 0,13 3,90 549,90

5 Thalamita sima 24,00 19,00 45,00 88,00 6,39 0,18 0,10 19,48 1.714,24

6 Portunus pelagicus 25,00 45,00 34,00 104,00 7,55 0,20 0,11 47,10 4.898,40

Jumlah 1.377,00 100,00 1,51 0,84

14.540,95

Jumlah Total 1.026,00 741,00 694,00 2.479,00

33.080,54

Page 112: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

94

Lanjutan Lampiran 2.

No Stasiun III Bulan Jumlah/kelimpahan Kelimpahan Indeks Indeks Berat/biomassa

Desember Januari Februari (individu) relative (%) Keanekaragaman (H') Kemerataan (E') X (gram)

Kelompok Ikan

1 Valamugil seheli 5,00 3,00 1,00 9,00 0,67 0,03 0,01 80,00 720,00

2 Leiognathus equulus 13,00 37,00 25,00 75,00 5,60 0,16 0,07 4,29 321,75

3 Acentrogobius caninus 254,00 180,00 118,00 552,00 41,19 0,37 0,15 8,11 4.476,72

4 Thryssa baelama 19,00 105,00 24,00 148,00 11,04 0,24 0,10 4,71 697,08

5 Stolephorus indicus 25,00 168,00 50,00 243,00 18,13 0,31 0,13 2,08 505,44

6 Sardinella lemuru 32,00 75,00 - 107,00 7,99 0,20 0,08 13,40 1.433,80

7 Platycephalus scaber 19,00 30,00 25,00 74,00 5,52 0,16 0,07 21,63 1.600,62

8 Psettodes erumei 22,00 9,00 21,00 52,00 3,88 0,13 0,05 15,32 796,64

9 Therapon jarbua 4,00 3,00 - 7,00 0,52 0,03 0,01 54,50 381,50

10 Tylosurus strongylurus - 5,00 15,00 20,00 1,49 0,06 0,03 6,25 125,00

11 Sillago sihama 9,00 19,00 25,00 53,00 3,96 0,13 0,05 15,25 808,25

Jumlah 1.340,00 100,00 1,82 0,76 11.866,80

Kelompok Non Ikan

1 Harpiosquilla raphidea 15,00 12,00 19,00 46,00 4,12 0,13 0,07 3,03 139,38

2 Penaeus merguiensis 19,00 37,00 42,00 98,00 8,78 0,21 0,11 7,85 769,30

3 Metapenaeus sp. 141,00 280,00 254,00 675,00 60,48 0,30 0,16 7,94 5.359,50

4 Panaeus monodon 21,00 38,00 35,00 94,00 8,42 0,21 0,11 25,00 2.350,00

5 Thalamita sima 25,00 19,00 11,00 55,00 4,93 0,15 0,08 15,10 830,50

6 Scylla serata 12,00 32,00 15,00 59,00 5,29 0,16 0,08 81,73 4.822,07

7 Portunus pelagicus 32,00 40,00 17,00 89,00 7,97 0,20 0,10 31,02 2.760,78

Jumlah 1.116,00 100,00 1,36 0,70 17.031,53

Jumlah Total 667,00 1.092,00 697,00 2.456 545,78 28.898,33

Page 113: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

95

Lampiran 3. Dokumentasi Kondisi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang

Kondisi Lokasi Mangrove Stasiun I

Lokasi Tepi Laut Berbatasan Sungai Bagian Tengah Hasil Rehabilitasi Bagian Tepi yang ditanami Mangrove

Kondisi Lokasi Mangrove Stasiun II

Bagian Tepi Laut Berbatasan Sungai Bagian Tengah Hasil Rehabilitasi Bagian Tepi Pesisir Berdekatan Tambak

Kondisi Lokasi Mangrove Stasiun III

Bagian Tepi Laut Berbatasan Sungai Bagian Tengah di Tambak yang Rusak Bagian Tepi yang ditumbuhi Mangrove

Page 114: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

96

Lampiran 4. Dokumentasi Kondisi Fauna Akuatik dan Perairan di Kawasan Teluk Pangpang

Hasil Tangkapan Fauna Akuatik Penyortiran Fauna Akuatik Pengukuran Suhu Pengukuran Tekstur Tanah

Pengukuran pH Pengukuran Salinitas Leiognathus equulus

Ambassis sp Acentrogobius caninus Polydactylus plebeius

Sillago sihama Psettodes erumei Platycephalus scaber

Page 115: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

97

Lanjutan Lampiran 4.

Valamugil seheli Terapon jarbua Tylosurus strongylurus

Sardinella lemuru Thryssa baelama Metapenaeus sp.

Harpiosquilla raphidea Penaeus monodon Penaeus merguiensis

Portunus pelagicus Scylla serata Thalamita sima

Page 116: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

98

Lampiran 5. Panduan Pasang Surut Kedalaman Air Laut di Banyuwangi

Page 117: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

99

Lanjutan Lampiran 5.

Ket: : Keadaan Air Pasang Tinggi

: Pengambilan Sampel Fauna Akuatik

Page 118: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

100

Lampiran 6. Famili Fauna Akuatik Berdasarkan Hasil Tangkapan

No Familia Spesies Nama Lokal Stasiun Sifat

Hidup I II III

1. Mugilidae Valamugil seheli Ikan Belanak

52 38 9 Pelagis

Jumlah 52 38 9

2. Leiognathidae Leiognathus equulus Ikan Petek 332 148 75 Demersal

Jumlah 332 148 75

3. Gobiidae Acentrogobius caninus Ikan Bedul 320 103 552 Demersal

Jumlah 320 103 552

4. Clupeidae Thryssa baelama Ikan Liplip 319 136 148 Pelagis

Stolephorus indicus Ikan Teri 201 70 243 Pelagis

Sardinella sp. Ikan Lemuru 102 112 107 Pelagis

Jumlah 662 318 498

5. Platycephalidae Platycephalus scaber Ikan Pahat 31 58 74 Demersal

Jumlah 31 58 74

6. Centropomidae Ambassis sp. Ikan Siriding 85 253 - Pelagis

Jumlah 85 253 -

7. Psettodidae Psettodes erumei Mata Sebelah 137 56 52 Demersal

Jumlah 137 56 52

8. Theraponidae Therapon jarbua Ikan Kerong 13 21 7 Demersal

Jumlah 13 21 7

9. Polynemidae Polynemus plebeius Ikan Sumbal - 8 - Pelagis

Jumlah - 8 -

10. Belonidae Tylosurus strongylurus Ikan Kacangan - 7 20 Pelagis

Jumlah - 7 20

11. Sciaenidae Sciaena russeli Ikan Gulamah - 17 - Demersal

Jumlah - 17 -

12. Sillaginidae Sillago sihama Ikan Lojung 63 75 53 Pelagis

Jumlah 63 75 53

13. Squillidae Harpiosquilla raphidea Udang Mantis 41 98 46 -

Jumlah 41 98 46

14. Penaeidae Penaeus merguiensis Udang Manis 118 369 98 -

Metapenaeus sp. Udang Werus 684 577 675 -

Panaeus monodon Udang Windu 357 141 94 -

Jumlah 1159 1069 867

15. Portunidae Thalamita sima Kepiting Batu 128 88 55 -

Scylla serata Kepiting Bakau 82 - 59 -

Portunus pelagicus

Kepiting

Rajungan

141 104 89 -

Jumlah 351 192 203

Page 119: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

101

Lampiran 7. Hasil Pengolahan Analisis Korespondensi Kondisi Famili Fauna Akuatik

Output - 1

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Stasiun * Jenis 8123 100,0% 0 ,0% 8123 100,0%

Output – 2

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1264,465(a) 28 ,000

Likelihood Ratio 1468,723 28 ,000

Linear-by-Linear Association ,011 1 ,918

N of Valid Cases 8123

Interpretsi:

Hasil pengujian independensi untuk mengetahui kebebasan antar kategori berupa uji Pearson Chi-Sguare (uji Chi-kuadrat) didapatkan nilai

signifikansi (Asymp. Sig) sebesar 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Hasil stastistik menunjukkan dengan koefisien taraf nyata 5%

didapatkan adanya hubungan antara variabel kategori stasiun penelitian dengan variabel kategori famili fauna akuatik yang memiliki

kecenderungan untuk saling terkait.

Output – 3

Stasiun * Jenis Crosstabulation

Famili fauna akuatik (individu) Total

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Stasiun 1 Count 52 332 320 622 31 85 137 13 0 0 0 63 41 1159 351 3206

Expected Count

39,1 219,0 384,8 567,6 64,3 133,4 96,7 16,2 3,2 10,7 6,7 75,4 73,0 1221,

5 294,4 3206,0

2 Count 38 223 103 318 58 253 56 21 8 7 17 75 98 1069 192 2536

Expected

Count 30,9 173,3 304,4 448,9 50,9 105,5 76,5 12,8 2,5 8,4 5,3 59,6 57,8 966,3 232,9 2536,0

3 Count 9 0 552 498 74 0 52 7 0 20 0 53 46 867 203 2381

Expected

Count 29,0 162,7 285,8 421,5 47,8 99,1 71,8 12,0 2,3 7,9 5,0 56,0 54,2 907,2 218,7 2381,0

Total Count 99 555 975 1438 163 338 245 41 8 27 17 191 185 3095 746 8123

Expected

Count 99,0 555,0 975,0

1438,

0 163,0 338,0 245,0 41,0 8,0 27,0

17,

0 191,0 185,0

3095,

0 746,0 8123,0

Keterangan :

1 : Mugilidae; 2 : Leiognathidae; 3 : Gobiidae; 4 : Clupeidae; 5 : Platycephalidae; 6 : Centropomidae; 7 : Psettodidae; 8 :

Theraponidae; 9 : Polynemidae; 10 : Belonidae; 11 : Scevinidae;12 : Sillagidae; 13: Squillidae; 14 : Penaeidae; 15: Portunidae

Interpretasi:

Menunjukkan informasi mengenai nilai observasi (count) dan nilai harapan (expected count) dari masing-masing sel. Besaran selisih

antara nilai observasi dengan nilai harapan dalam sel yang sama digunakan sebagai petunjuk profil famili fauna akuatik dan profil stasiun

penelitian yang mana saling terkait.

Output - 4

Correspondence Table

Stasiun Famili fauna akuatik (individu)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Active

Margin

1 52 332 320 622 31 85 137 13 0 0 0 63 41 1159 351 3206

2 38 223 103 318 58 253 56 21 8 7 17 75 98 1069 192 2536

3 9 0 552 498 74 0 52 7 0 20 0 53 46 867 203 2381

Active

Margin 99 555 975 1438 163 338 245 41 8 27 17 191 185 3095 746 8123

Interpretasi:

Page 120: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

102

Menunjukkan data penjumlahan jumlah hasil tangkapan per ekor di setiap stasiun penelitian yang berguna untuk melihat kembali apakah

data yang dimasukkan tidak ada kesalahan.

Output - 5

Overview Row Points(a)

Stasiun Mass Score in Dimension Inertia Contribution

1 2 Of Point to Inertia of

Dimension Of Dimension to Inertia of Point

1 2 1 2 Total

1 ,395 ,060 ,539 ,022 ,004 ,601 ,022 ,978 1,000

2 ,312 ,690 -,396 ,061 ,431 ,257 ,846 ,154 1,000

3 ,293 -,816 -,304 ,073 ,565 ,142 ,929 ,071 1,000

Active

Total 1,000 ,156 1,000 1,000

Interpretasi:

Menunjukan informasi mengenai koefisien profil baris hasil penguraian nilai singular (Singular Value Decomposition). Koefisien baris ini

digunakan untuk menggambarkan masing-masing kategori baris dalam peta (mapping) pola sebaran stasiun penelitian.

Output - 6

Overview Column Points(a)

Famili Mass Score in Dimension Inertia Contribution

1 2

Of Point to Inertia of

Dimension Of Dimension to Inertia of Point

1 2 1 2 Total

1 ,012 ,644 ,542 ,002 ,015 ,019 ,718 ,282 1,000

2 ,068 ,907 ,856 ,029 ,163 ,262 ,670 ,330 1,000

3 ,120 -1,069 -,194 ,048 ,397 ,024 ,982 ,018 1,000

4 ,177 -,301 ,211 ,007 ,046 ,042 ,786 ,214 1,000

5 ,020 -,328 -,925 ,004 ,006 ,090 ,186 ,814 1,000

6 ,042 1,540 -,844 ,040 ,286 ,156 ,858 ,142 1,000

7 ,030 ,052 ,767 ,003 ,000 ,093 ,008 ,992 1,000

8 ,005 ,675 -,440 ,001 ,007 ,005 ,810 ,190 1,000

9 ,001 1,999 -2,077 ,002 ,011 ,022 ,626 ,374 1,000

10 ,003 -1,232 -1,718 ,004 ,015 ,051 ,482 ,518 1,000

11 ,002 1,999 -2,077 ,005 ,024 ,047 ,626 ,374 1,000

12 ,024 ,187 -,326 ,001 ,002 ,013 ,373 ,627 1,000

13 ,023 ,510 -,870 ,005 ,017 ,090 ,383 ,617 1,000

14 ,381 ,094 -,105 ,002 ,010 ,022 ,588 ,412 1,000

15 ,092 -,047 ,362 ,002 ,001 ,063 ,029 ,971 1,000

Active

Total 1,000 ,156 1,000 1,000

Interpretasi:

Menunjukan informasi mengenai koefisien profil kolom hasil penguraian nilai singular (Singular Value Decomposition).

Koefisien kolom ini digunakan untuk menggambarkan masing-masing kategori kolom dalam peta (mapping) pola sebaran

fauna akuatik di setiap stasiun penelitian .

Output - 7

Hasil output peta (mapping) pola sebaran fauna akuatik berdasarkan jumlah hasil tangkapan famili akuatik per ekor di setiap

stasiun penelitian. Berdasarkan hubungan antara variabel dilakukan pengelompokkan di setiap kuadran yang memiliki

kedekatan variabel stasiun penelitian dengan variabel famili fauna akuatik (Gambar 5.8).

Page 121: potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di kawasan teluk

103

Lampiran 8. Rekomendasi Izin Penelitian Badan Kesatuan Bangsa dan Politik