pikiran rakyat -...

1
I ~ M. RISYAl HIDAYATjANTARA SElUMIAH saniriuxui dari LukmanAI Hakim membentang poster di Surabaya, Rabu (4/8). Aksi tersebut merupakan kegiatan untuk mengingatkan kejahatan yang harus ditinggalkan dalam menyambut bulan suci Ramadan, agar pelaksanaannya berjalan baik untuk mencapai puncak ketaqwaan. * ,

Upload: nguyencong

Post on 14-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pikiran Rakyat• Senin o Selasa o Rabu o Kamis o Jumat o Sabtu 0 Minggu

2 3 4 5 6 7 8 (!) 10 11 12 13 14 1518 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30OJan OPeb oMar OApr OMei OJun OJul .Ags OSep OOkt ONov

Dinamika Kultural FatA KHIR-AKHIR ini fatwa MU! kerap

menimbulkan reaksi masyarakat,baik yang pro maupun kontra. Ke-

lompok "liberal" dengan giat selalu meng-counter beberapa fatwa MUI yang diindikasi-kan bertentangan dengan kebebasan yangnotabene merupakan hak dasar manusia dandijamin UUD 1945. Di seberang itu, kelom-pok yang dengan gigih "menyelamatkan" fat-waMU!.

Di antara dua kelompok itu, tentu yangmenjadi arus utama adalah masyarakat yangtidak tahu menahu tentang produk fatwaMUI. Bagi kelompok ini, ulama di tingkat 10-kal yang langsung bersentuhan dengan mere-ka dijadikan figur otoritatif untuk menjawabhal ihwal mulai dari persoalan agama sampaiurusan politik.

Tentu saja fatwa hakikatnya bukanlah hu-kum positif, dan MU! bukan pula lembagaformal penegak hukum. Fatwa adalah inte-rupsi moral yang dikeluarkan lembaga keaga-maan laiknya NU, Muhammadiyah dan Per-sis. Tingkat keterikatan umat terhadap fatwaitu tergantung dari kredibilitas institusi itu disatu sisi, dan di sisi lain berhubungan denganhal teknis bagaimana fatwa keagamaan itu di-komunikasikan secara simpatik kepada mas-sa yang heterogen.

Hal teknis terakhir ini tampaknya relatifterabaikan MU! sehingga ketika fatwa itu di-keluarkan alih-alih mendapatkan dukunganpublikjustru sering kali kontraproduktif.Tampakjelas MU! tidak eukup paham terha-dap pentingnya humas kaitannya dengan ko-munikasi massa untuk menyampaikan pesankeagamaan. Seperti dikatakan Prof. RaehmatSyafii kepada penulis, bahwa konteks historisturunnya fatwa aeap kali tidak tergambarkanke publik. Padahal, ini justru sangat penting,bukan sekadar kesimpulan fatwanya itu sen-diri, sehingga akhirnya napas kulturalnyamenjaditerkesampingkan.

Dinamika fatwaM.B. Hooker (2002) dalam penelitian ee-

merlangnya membongkar alasan filosofis-so-siologis fatwa, "Fatwa ini selalu sangat pen-ting bagi Islam. Bahkan pada abad ke-15/21sekarang, ia mengemban hal penting yang ja-rang ditemukan pada awal Islam. Dua ratustahun yang lalu bangsa Muslim tunduk terha-dap imperialisme Barat. Periode ini memper-lihatkan formulasi hukum syariat ke dalammodel Barat yang efektif memutuskan hu-bungan dengan masa lampau. Syariat, eks-presi fundamental dari wahyu, tetap dijajaholeh pemikiran Eropa. Hanya fatwalah yangmempertahankan hubungan antara tantang-an modernitas dengan warisan masa lalu ka-rena argumen selalu merujuk kepada Alqu-ran, Sunnah, dan teks klasik tanpa intervensipengaruh pemikiran Eropa".

Dalam penelitian Hooker juga dikemuka-kan tiga faktor yang menentukan eorak fatwatersebut. Pertama, eorak antropologis terha-dap doktrin Islam di mana ajaran Islam disi-kapi sangat akomodatif terhadap tradisi 10-kal; Kedua, corak fatwa pada masa kolonialis-me hingga kemerdekaan. Artinya saat di ma-na Belanda melakuan kontrol yang kekat ter-hadap muneulnya ajaran Islam; Ketiga, fatwa

dalam konstalasi agama dan peran negaradalam kehidupan khususnya masa Orde Barusampai sekarang.

Penjelasan ini meneguhkan tentang adanyatitik singgung yang erat antara fatwa (dan ijti-had) dengan kebijakan penguasa. Dalam tra-disi Islam tarik menarik antara agama dannegara selalu kental. Hidup dan matinya se-buah mazhab sering ditentukan justru olehpenguasa yang boleh jadi tidak paham terha-dap agama. Sebuah paham keagamaan dapatditerima masyarakat biasanya ketika "umara"ikut andil di dalamnya. Ketika umara tidakberkenan makajangan harapkan sebuahaturan agama dapat berjalan mulus. Dalamungkapan sosiolog Ibn Khaldun, "Agama rak-yat itu tergantung kepada agama penguasa."

Bagaimana misalnya, sebagaimana dieeri-takan K.H. Hafidz Utsman, di Syria ulama se-kaliber Prof. Dr. Wahbah Zuhaili saja untukpenetapan 1 Syawal (dan 1Ramadan) eukupbertanya kepada santrinya, "Anda sudahmendengar berita di radio tentang peng-umuman hari Lebaran dari pemerintah?" Dinegara kita eeritanya lain lagi.

Prosedur fatwaDalam tradisi hukum Islam, fatwa (ifta')

bukanlah hal asing. Ushul Fiqh (epsitemologihukumlslam) dengan eukup utuh telahmemberikan kode etik serta persyaratan ketatberkaitan dengan fatwa sebagaiman dalamyurisprudensi klasik dibuat Al-Bagdadi (wafat429/1037). Ketatnya persyaratan seperti inidiasumsikan agar sampai tidak keluar sebuahfatwa yang liar (walaupun sebenarnya sebuahfatwa bisa berubah di kemudian hari) yangdalam tradisi pembentukan hukum Islam di-sebut dengan tahakkum (membuat-buat hu-kum yang sangat dikeeam Alquran), "Danja-nganlah kamu mengatakan terhadap apayang disebut-sebut oleh lidahmu secara dus-ta. 'Ini halal dan ini haram' untuk mengada-kan kebohongan terhadap Allah. Sesungguh-nya orang yang mengadakan kebohongan ter-hadap Allah tiadalah beruntung." (Q.S. Al-Nahl: 116).Sabda Muhammad saw, "Orangyang paling berani di antara kamu untuk ber-fatwa adalah orang yang paling berani masukneraka" (H.R. Darami).

Kerangka ini yang menjadi latar MU! me-ngeluarkan pedoman yang mengatur prose-dur dan sistem pemberianjawaban keagama-an. Disebutkan empat dasar umum penetap-an hukum, (1) setiap keputusan harus memi-liki dasar dalam Alquran dan Sunnah Nabi;(2) Jika tidak ditemukan dalam Alquran danHadis maka fatwa itu tidak bertentangan de-ngan ijma', qiyas yang mu'tabar, dan metodehukum lain (istihsan, masalihul mursalah,dsb.); 3) sebelum pengambilan keputusanfatwa hendaklah ditinjau pendapat paraimam mazhab terdahulu; 4) pandangan tena-ga ahli dalam bidang masalah yang akan di-ambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.

Tiga hallainnya yang berkaitan denganprosedur penetapan fatwa, Cl) Setiap masa-lah dipelajari dengan seksama; (2) Masalahyang talah jelas hukumnya disampaikan se-bagaimana adanyaj(g) Dalam masalah khi-lafiyah, maka yang difatwakan adalah hasiltarjih setelah memperhatikan fikih muqaran

a(fikih perbandingan) dengan menggunakankaidah ushul fiqh yang ber aku,

Tentu paradigma sebagai sumber aeuannyaadalah prinsip universal ke aslahatan ma-nusia yang menjadi modus tama syariah(maqashid asy-syariah) ya .g meliputi, aga-ma (al-din), jiwa (al-nafs), 'eluarga (al-nasl),nalar (al-'aql), dan harta be da (al-mal). Yu-suf Al-Qardlawi dalam Ri'ayatu al-Bi'ahfi al-Syari.'ati al-Islamiyyah me tambahkan bah-wa memelihara lingkungan erajatnya samadengan prinsip universal itu.

KhilafiahLaiknya sebuah pemikiran apalagi yang

berkaitan dengan masalah ru'iyah (bukanpersoalan ushuluiyah/fund ental agama)selalu menyisakan satu ke ungkinan: khilaf-iyah (diperdebatkan). Fatw yang dikeluar-kan Nahdatul Ulama, Muhamadiyah, Persisdan MU! dalam merespons erkembanganmodernitas dan kompleksi perkembangankebudayaan manusia satu Sf a lain ada per-bedaan. Di samping juga tidak sedikit persa-maan.

Tradisi ijtihad adalah tra isi dengan hete-rogenitas (keragaman) pen apat (aqwal) ter-masuk tampilnya pendapat arus keeil (qil).Perbedaan yang akarnya s gat beragam. Mi-nimal ada tiga. Pertama, faktor eksternalsumber utamanya Alquran yang banyak dike-mas dalam bentuk ayat-ayat simbolik. Risikodari teks simbolik adalah pe bedaan interpre-tasi dalam memaknainya; K ua, faktor eks-ternal yang berhubungan d gan sosio-kultu-ral sang penafsir; Ketiga, pi ihan metodologipenetapan hukum yang ber eda.

Bahkan dalam pribadi se rang mujtahidsekalipun terbuka untuk be eda ketika terja-di perubahan ruang dan w tu. Kasus revisihukum yang dilakukan Imai Syafi'i dari qaulqadim (pendapat klasik keti beliau berdo-misiIi di Irak) menjadi qaul . did (pendapatbaru tatkala bertempat di M ir) merupakanbukti utama adanya perges hukum seba-gaimana terlaeak dalam al- uhadzab fi Fiqhal-Imam asy-Syafi'i (Abu I aq Ibarahimasy-Syirazi) dan kitabAl-Im mAsy-Syafi'ifiMadzahibAl-Qadim waAl-, adid (AhmadNahrawi Abdu Salam). Alq -annya sendirimemberikan eontoh tentang teori amende-men, ayat yang satu diamen emen (man-sukh) oleh ayat yang lainnya [nasikh).

Alhasil, fatwa adalah sesu tu yang bersifatijtihadi. Termasuk penafsir kelompok yangtidak sepakat dengan fatwa i .Justru menja-di tidak proporsional ketika .sikapi sebagaisesuatu yang mutlak. Seandajnya yang ter-akhir yang terjadi, maka ini tragedi yangdisebut Muhammad Arkoun sebagai madani-yawat ol-makna (mitologis si makna). Pe-mahaman seperti ini pada gi irannya akanmelahirkan pemberhalaan terhadap nalar Is-lam (taqdis al-afkar al-Islai iy). Anehnya,ini yangjustru kerap muneul dalam peng-alaman keberagamaan kita. Dialog pun tertu-tup, dan andaipun ada maka sama sekali ti-dak produktif sebagai "rum aspirasi" umat.(Asep Salahudin, Wakil R tor IAILM Pe-santren Suryalaya Tasikma ya. Sedangmeneliti Komunikasi Kultural Tarekat di S-3Unpad Bandung )***

I~

M. RISYAl HIDAYATjANTARA

SElUMIAH saniriuxui dari LukmanAI Hakim membentang poster di Surabaya, Rabu (4/8). Aksi tersebut merupakan kegiatan untuk mengingatkankejahatan yang harus ditinggalkan dalam menyambut bulan suci Ramadan, agar pelaksanaannya berjalan baik untuk mencapai puncak ketaqwaan. *,