qiyas-ushul fiqh (miftah'll everafter)

29
MAKALAH USHUL FIQH “KEDUDUKAN QIYAS” Dosen Pengampu : Dr. Ali Trigiyatno, M. Ag Disusun oleh : 1. Miftahuddin (2013002009) 2. Tri Hadi Susanto (2013002005) PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM i

Upload: miftah-iqtishoduna

Post on 08-Jun-2015

924 views

Category:

Education


5 download

DESCRIPTION

Pengertian Qiyas, Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas, Penolak dan Penerima Qiyas, Rukun Qiyas serta Macam-macam Qiyas.

TRANSCRIPT

Page 1: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

MAKALAH USHUL FIQH

“KEDUDUKAN QIYAS”

Dosen Pengampu : Dr. Ali Trigiyatno, M. Ag

Disusun oleh :

1. Miftahuddin (2013002009)2. Tri Hadi Susanto (2013002005)

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

STIE MUHAMMADIYAH PEKALONGAN

2013/2014

i

Page 2: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat serta

Hidayah-Nya sehingga Penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“Kedudukan Qiyas” yang mana pembahasannya meliputi : Pengertian Qiyas,

Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas, Penolak dan Penerima Qiyas, Rukun Qiyas

serta Macam-macam Qiyas.

Makalah ini dapat kami susun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi

nilai Mata Kuliah Ushul Fiqh pada salah satu Mata Kuliah Program Studi

Ekonomi Islam di STIE Muhammadiyah Pekalongan. Tak Luput makalah ini

dapat terselesaikan berkat bantuan serta dorongan dari Orangtua, Dosen

Pengampu dan Teman-teman seperjuangan, Dalam Penyusunan Makalah kami

mengambil referensi dari buku-buku Ushul Fiqh seperti Karya Muhammad Abu

Zahrah, Amir Syarifuddin, Rachmat Syafe’i, Drs. H. Moh Rifa’i serta 5% dari

Penelusuran Internet.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini

masih jauh dari kesempurnaan serta masih terdapat kekurangan, Oleh karena itu

semua kritik dan saran yang bersifat membangun sangat Kami harapkan guna

perbaikan selanjutnya. Akhirnya Penyusun berharap kiranya makalah ini dapat

bermanfaat bagi kita semua, Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.,

Pekalongan, Maret 2014

Penyusun

ii

Page 3: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................................... iii

BAB I...................................................................................................................................1

PENDAHULUAN..................................................................................................................1

Latar Belakang................................................................................................................1

Rumusan Masalah..........................................................................................................2

Tujuan Penulisan............................................................................................................2

BAB II..................................................................................................................................3

PEMBAHASAN....................................................................................................................3

Pengertian Qiyas............................................................................................................3

Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas..................................................................................5

Penolak dan Penerima Qiyas........................................................................................11

Rukun Qiyas.................................................................................................................13

Macam-Macam Qiyas...................................................................................................13

BAB III...............................................................................................................................16

PENUTUP..........................................................................................................................16

Kesimpulan...................................................................................................................16

Daftar Pustaka..................................................................................................................17

iii

Page 4: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Sebagai Umat Islam dalam kehidupan sehari-hari ada aturan yang

mengatur segala aktivitas kita. Semua ada batasan-batasan tertentu serta aturan

aturan dalam menjalankannya. Dan semua aturan serta batasan hukum yang

mengatur Umat Islam didasarkan pada Alqur’an dan Sunnah.

Banyak peristiwa atau kejadian yang belum jelas hukumnya, Karena di

dalam Alqur’an dan Sunnah tidak dijumpai atau ditetapkan secara jelas

hukumnya. Oleh sebab itu diperlukanlah sebuah cara atau metode yang dapat

menyingkap dan memperjelas bahkan menentukan suatu Hukum.

Dulu ketika masa Rasulullah semua permasalahan yang timbul mudah

diatasi karena dapat langsung ditanyakan kepada Rasulullah, tetapi dimasa

sekarang jikalau ada permasalahan yang timbul bahkan banyak sekali

permasalahan yang timbul yang tidak kita temukan dalam Alqur’an maupun

Sunnah. Di sini para Ulama’ melakukan pendekatan yang sah yaitu dengan Ijtihad

dan salah satu ijtihad itu adalah dengan Qiyas.

Qiyas merupakan suatu cara penggunaan pendapat untuk menetapkan

suatu hukum terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang belum jelas atau yang

tidak dijelaskan secara jelas dalam Alqur’an dan Sunnah.

Dasar pemikiran Qiyas itu adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan

sebab. Hampir setiap Hukum di luar bidang ibadah dapat diketahui alasan rasional

ditetapkannya hukum itu oleh Allah. Illat adalah patokan utama dalam

menetapkan hukum atau permasalahan, Objek masalah adalah sesuatu yang tidak

memiliki Nash. Atas dasar Keyakinan tersebut bahwa tidak ada yang luput dari

Hukum Allah, Maka setiap Muslim meyakini setiap peristiwa atau kasus yang

terjadi pasti ada hukumnya.

1

Page 5: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Dari paparan latar belakang di atas, Serta mengingat banyak mahasiswa yang

masih belum memahami sepenuhnya mengenai Sumber Hukum Qiyas, Maka dari

itu kami akan membahas tentang Qiyas sekaligus memenuhi tugas mata kuliah

Ushul Fiqh.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Qiyas ?

2. Bagaimana Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas ?

3. Siapa Penolak dan Penerima Qiyas ?

4. Apa Saja Rukun-Rukun Qiyas?

5. Apa Saja Macam-Macam Qiyas ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui secara detail mengenai Qiyas.

2. Untuk mengetahui Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas.

3. Untuk mengetahui Penolak dan Penerima Qiyas.

4. Untuk mengetahui Rukun-Rukun Qiyas.

5. Untuk Mengetahui Macam-Macam Qiyas.

2

Page 6: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiyas

Qiyas menurut Ulama’ Ushul fiqh ialah menerangkan hukum sesuatu yang

tidak ada nashnya dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan

dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga

membuat definisi lain : Qiyas ialah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash

hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan

‘illat hukum.1

Ada beberapa definisi menurut para ulama tentang

pengertian qiyas diantaranya yaitu: 2

1.      Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa

Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang

diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya, dalam

penetapan hukum atau peniadaan hukum.

2.      Qadhi Abu Bakar

Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang

diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau

meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang

sama antara keduanya.

1 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 336.2 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm 144-147

3

Page 7: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

3.      Ibnu Subkhi dalam Jam’u al-Jawami’

Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang

diketahui karena kesamaannya dalam ‘illat hukumnya menurut

pihak yang menghubungkan (mujtahid).

4.      Abu Hasan al-Bashri

Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena

keduanya sama dalam ‘illat hukum menurut mujtahid.

5.      Al-Baidhawi

Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada sesuatu lain

yang diketahui karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum

menurut pandangan ulama yang menetapkan.

6.      Shaadru al-Syari’ah

Merentangkan (menjangkaukan) hukum dari ashal kepada furu’

karena ada kesatuan ‘illat yang tidak mungkin dikenal dengan

pemahaman lughowi semata.

Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan

ketentuan hukum sesuatu kepada sumbernya Alqur’an dan Hadits. Sebab hukum

islam, kadang tersurat jelas dalam nash Alqur’an atau Hadits, kadang juga bersifat

implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut. Mengenai Qiyas ini Imam

Syafi’i mengatakan: “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat islam

wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukumnya yang

pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu

adalah Qiyas.”

Jadi Hukum Islam itu ada kalanya dapat diketahui melalui bunyi nash,

yakni Hukum-hukum yang secara tegas tersurat dalam Alqur’an dan Hadits, ada

kalanya harus digali melalui kejelian memahami makna dan kandungan nash.

Yang demikian itu dapat diperoleh melalui pendekatan qiyas.

4

Page 8: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Sebagaimana di terangkan, bahwa qiyas berarti mempertemukan sesuatu

yang tidak ada nash hukumnya dengan hal lain yang yang ada nash hukumnya

karena ada persamaan illat hukum. Dengan demikian qiyas itu hal yang fitri dan

ditetapkan berdasarkan penalaran yang jernih, sebab asas qiyas adalah

menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan

sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan analogis itu menemukan titik

persamaan antara sebab-sebab dan sifat-sifat antara dua masalah tersebut, maka

konsekuensinya harus sama pula hukum yang ditetapkan.3

B. Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas

Sebagian para ulama’ fiqh dan para pengikut madzab yang empat sependapat

bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan

hukum ajaran islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian

atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.

Hanya sebagian kecil para ulama’ yang tidak membolehkan pemakaian qiyas

sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzab Dzahiri dan

Madzab Syi’ah.

Ulama’ Zahiriyah berpendapat bahwa secara logika qiyas memang boleh

tetapi tidak ada satu nashpun dalam ayat Alqur’an yang menyatakan wajib

memakai qiyas.

Ulama’ Syi’ah Imamiyah dan An-Nazzam dari Mu’tazilah menyatakan

bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan

karena mengamalkan qiyas sebagai sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.

Mereka mengambil dalil QS. Al Hujurat: 1

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan

Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. “

3 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 336-337.

5

Page 9: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah,

ialah al-Qur’an dan Al-Hadits serta perbuatan sahabat yaitu:

a. Dalil Alqur’an

Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara

menyamakan dua hal sebagaimana dalam surat Yasin (36), ayat 78-79:

78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada

kejadiannya, ia berkata : “ siapakah yang dapat menghidupkan Tulang

belulang yang telah hancur luluh?”

79. Katakanlah : “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali

yang pertama dan Dia maha mengetahui tentang segala makhluk.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya

menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan dikemudian hari dengan

kemampuan-Nya dalam menciptakan tulang belulang pertama kali. Hal ini

berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang tersebut kepada

penciptaan pertama kali.

Allah menyuruh menggunakan qiyas sebagaimana dipahami dari beberapa

ayat Alqur’an, seperti dalam surat Al-Hasyr (59), ayat 2 :

6

Page 10: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari

kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak

menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-

benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah

mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka

sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka

memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan

tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi

pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”

Pada ayat di atas terdapat perkataan fa’ tabiru ya ulil abshar (maka ambillah

tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan

tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar

membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang

terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan

perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan

memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan

bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan cara melakukan

perbandingan, persamaan atau qiyas.

Firman Allah dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 59:

.

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu

kepada Rasul dan ulil amri (orang-orang yang mengurus urusan) di antaramu.

Jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada

Allah dan Rasul.”

7

Page 11: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Perintah menaati Allah berarti perintah mengikuti hukum Alqu’an,

perintah menaati Rasul berarti perintah untuk melaksanakan hukum yang

terdapat dalam Sunnah dan perintah menaati ulil amri berarti perintah

mengikuti hukum hasil ijma’ ulama. Sedangkan kata-kata akhir (Jika kamu

berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan

Rasul), berarti perintah untuk mengikuti qiyas dalam hal-hal terdapat

perbedaan. Ini memberi penjelasan bahwa pengembalian itu berlaku atas

perintah Allah dan Rasul. Tidak mungkin dikatakan bahwa kata “ruju’” itu

berarti mengembalikan kepada Alqur’an dan Sunnah, karena ruju’ kepada

qiyas itu berlaku setelah adanya perbedaan pendapat sedangkan perintah

mengamalkan Alqur’an dan Sunnah tanpa disangkutkan kepada adanya

perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat di antar umat islam tentang hukum

syara’ jarang terjadi pada sesuatu yang telah ditetapkan dengan nash Alqur’an

dan Sunnah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang dimaksud

perbedaan pendapat dalam ayat di atas adalah tentang hukum yang tidak

terdapat dalam nash syara’.arti ayat itu adalah suruhan untuk menghubungkan

kepada Alqur’an dan Sunnah dengan cara pemikiran mendalam untuk mencari

kesamaannya dengan yang ada pada nash syara’. Kesamaan itu hanya dapat

diketahui melalui penggunann nalar (ra’yu).

b. Dalil Sunnah

Di antara dalil sunnah yang dikemukakan Jumhur Ulama’ sebagai argumentasi

bagi penggunaan qiyas adalah:

Hadits mengenai percakapan Nabi dengan Muaz ibn Jabal, saat ia diutus ke

Yaman untuk menjadi penguasa di sana. Nabi bertanya, “dengan cara apa

engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara?

“Muaz menjawab, “Saya menetapkan hukum berdasarkan kitab Allah”.

Nabi bertanya lagi, “Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam kitab

Allah?” Jawab Muaz, “Dengan sunnah Rasul.” Nabi bertanya lagi, “ kalau

dalm Sunah juga engkau tidak menemukannya?” Muaz menjawab, “Saya

akan menggunakan ijtihad denga nalar (ra’yu) saya.” Nabi bersabda, “segala

8

Page 12: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq kepada utusan Rasul Allah

dengan apa yang diridhoi Rasul Allah.”

Hadits tersebut merupakan dalil sunnah yang kuat, menurut jumhur Ulama’,

tentang kekuatan qiyas sebagai dalil Syara’

Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas

dengan membandingkan antara dua hal, kemudian mengambil keputusan

atas perbandingan tersebut. Dalam Hadits dari Ibnu ‘Abbas menurut riwayat

An-Nasa’i Nabi bersabda: “Bagaimana pendapatmu bila bapakmu berutang,

apakah engkau akan membayarnya?” Dijawab oleh si penanya (al-

Khatasamiyah), “ya, memang.” Nabi Berkata, “Utang terhadap Allah lebih

patut untuk dibayar.”

Hadits di atas adalah tanggapan atas persoalan si penanya yang bapaknya

bernazar untuk haji tetapi meninggal dunia sebelum sempat mengerjakan

haji. Ditanyakannya kepada Nabi dengan ucapannya, “Bagaimana kalau

saya yang menghajikan bapak saya itu?” Keluarlah jawaban Nabi seperti

tersebut di atas.

Dalam hadits itu, Nabi memberikan taqrir (pengakuan) kepada sahabatnya

yang menyamakan utang kepada Allah, yaitu haji lebih patut untuk dibayar.

Dalil ini menurut jumhur ulama’ cukup kuat sebagai alasan penggunaan

qiyas.

c. Atsar Shahabi

Adapun argumentasi jumhur ulama’ berdasarkan atsar sahabat dalam

penggunaan qiyas, adalah :

9

Page 13: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Surat Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari sewaktu diutus

menjadi qodhi di Yaman. Umar berkata :

Putuskanlah Hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak

menemukannya, maka putuskan berdasarkan sunnah Rasul. Jika juga kamu

peroleh di dalam sunnah, berijtihadlah dengan menggunakan ra’yu.

Pesan Umar dilanjutkan dengan :

Ketahuilah kesamaan dan keserupaan: Qiyas-kanlah segala urusan waktu

itu.

Bagian pertama atsar ini menjelaskan suruhan menggunakan ra’yu pada

waktu tidak menemukan jawaban dalam Alqur’am maupun Sunnah,

sedangkan bagian akhir atsar shahabi itu secara jelas menyuruh titik

perbandingan dan kesamaan di antara dua hal dan menggunakan qiyas bila

menemukan kesamaan.

Para Sahabat Nabi banyak menetapkan pendapatnya berdasarkan qiyas.

Contoh yang popular adalah kesepakatan sahabat mengangkat Abu bakar

menjadi khalifah pengganti Nabi. Mereka menetapkannya dengan dasar

qiyas, yaitu karena Abu bakar pernah ditunjuk Nabi menggantikan beliau

nmenjadi imam shalat jamaah sewaktu beliau sakit. Hal ini dijadikan alasan

untuk mengangkat abu bakar menjadi khalifah. Para sahabat berkata: “Nabi

telah menunjukkannya menjadi pemimpin urusan agama kita, kenapa kita

tidak memilihnya untuk memimpin urusan dunia kita.”

Kedudukan abu bakar sebagai khalifah diqiyas-kan kepada kedudukannya

sebagai imam shalat jamaah. Ternyata argumen ini dipahami semua sahabat

(yang hadir dalam pertemuan itu), sehingga mereka sepakat untuk

mengangkat abu bakar dengan cara tersebut.4

C. Penolak dan Penerima Qiyas

Berhubung qiyas merupakan aktivitas aqal, maka ada beberapa ulama’ yang

berselisih paham dengan ulama’ jumhur, yakni mereka tidak mempergunakan 4 Prof. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm 177-187.

10

Page 14: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

qiyas. Di kalangan ahli fiqh dalam hal qiyas ini, terdapat tiga kelompok sebagai

berikut :

1. Kelompok Jumhur, yang mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada

hal-hal yang tidak jelas nash baik dalam Alqur’an, Sunnah, Pendapat sahabat

maupun ijma’ ulama. Hal itu dilakukan dengan tidak berlebihan dan

melampaui batas.

Mereka Menggunakan Dalil :

78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada

kejadiannya, ia berkata : “ siapakah yang dapat menghidupkan Tulang

belulang yang telah hancur luluh?”

79. Katakanlah : “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali

yang pertama dan Dia maha mengetahui tentang segala makhluk.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya

menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan

kemampuan-Nya menciptakan tulang belulang pertama kali.

Kelompok Zahiriyah menolak argumentasi ini, mereka mengatakan bahwa

Allah tidak pernah menyatakan bahwa Ia mengembalikan tulang belulang oleh

karena ia menciptakannya pertama kali.

2. Madzab Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah, yang sama sekali tidak

mempergunakan qiyas. Madzab zhahiriyah tidak mengakui adanya ‘illat nash

dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash, termasuk menyingkap

alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan

‘illat. Mereka membuang semua itu jauh-jauh dan sebaliknya, mereka

menetapkan suatu hukum hanya dari teks nash semata. Dengan demikian

mereka mempersempit kandungan lafadz, tidak mau memperluas wawasan

11

Page 15: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

untuk mengenali tujuan legislasi Islam. Mereka terpaku pada bagian “luar” dari

teks semata.

Mereka menggunakan dalil :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan

Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. “

Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu

yang tidak ada dalam al-Qur'an  dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas 

merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul,

dan karenanya dilarang

3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas yang berusaha berbagai

hal karena persamaan ‘illat. Bahkan dalam kodisi dan masalah tertentu,

kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsish dari keumuman dalil

Alqur’an dan Sunnah.5

D. Rukun Qiyas

Berdasarkan definisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu

peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya

karena ‘illat serupa. Maka rukun qiyas ada empat macam, yaitu :

1. Ashl (Pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada Nashnya yang dijadikan

tempat mengqiyaskan, sedangkan menurut hukum teolog adalah suatu Nash

syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain suatu Nash yang

menjadi Dasar Hukum. Ashl disebut Maqis ‘Alaih (yang dijadika tempat

mengqiyaskan), Mahmul ‘Alaih (tempat membandingkan) atau Musyabbah bih

(tempat menyerupakan).

5 Prof Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 339-340

12

Page 16: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

2. Far’u (Cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya. Far’u itulah yang

dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis

(yang dianalogikan) dan musyabbah (yang diserupakan).

3. Hukum Ashl, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu Nash.

4. ‘Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah ashl

mempuyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula terdapat cabang sehingga

hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.6

E. Macam-Macam Qiyas

1. Qiyas Aulawy

Yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum. Dan antara

hukum asal dan hukum yang disamakan (furu’) dan hukum cabang memiliki

hukum yang lebih utama daripada hukum yang ada pada al-asal. Misalnya:

berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “busyet” atau

kata-kata lain yang semakna dan menyakitakan itu hukumnya haram, sesuai

dengan firman allah SWT QS. Al-Isra’ (17) : 23.

Artinya:

“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan, supaya kamu jangan menyembah

selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-

baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai

berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu

mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak

mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (lemah lembut)”.

(QS. Al-Isra’ : 23)

6 Prof. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), hlm 87-88.

13

Page 17: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

2. Qiyas Musawy

Yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan sama

antara hukum yang ada pada al-ashl maupun hukum yang ada pada al-far’u

(cabang). Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman

Allah Surat An-Nisa’ (4):10.

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,

Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke

dalam api yang menyala-nyala (neraka)".

Dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan

atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang

seperti memakan harta anak yatim tersebut.

3. Qiyas Adna

Qiyas adna yaitu adanya hukum far’u lebih lemah bila dirujuk dengan

hukum al-ashlu. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum

dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar

menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah kasus

ini ‘illat hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan

yang bisa dimakan dan ditakar.7

7 Drs. H. Moch Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang : Karya Toha Putra Semarang, 1978), hlm 44-45

14

Page 18: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Qiyas menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam

Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan

hukumnya berdasarkan nash.

Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan

ketentuan hukum sesuatu kepada sumbernya Alqur’an dan Hadits. Sebab hukum

islam, kadang tersurat jelas dalam nash Alqur’an atau Hadits, kadang juga bersifat

implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut.

Sebagian para ulama’ fiqh dan para pengikut madzab yang empat sependapat

bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan

hukum ajaran islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian

atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.

Hanya sebagian kecil para ulama’ yang tidak membolehkan pemakaian qiyas

sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzab Dzahiri dan

Madzab Syi’ah.

15

Page 19: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. 2012. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Rifa’i, Moh. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT Karya Toha Putra

Semarang.

Wikipedia. “Qiyas”. 16 Maret 2104. http://en.wikipedia.org/wiki/Qiyas.

16

Page 20: Qiyas-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Biografi Pemakalah

Nama : Miftahuddin

Tempat dan Tanggal Lahir : Pekalongan, 5 April 1994.

Alamat : Wonoyoso Gg. 3 Buaran Pekalongan.

Motto : Belajarlah!, karena sesungguhnya Ilmu akan menjadi

penghias bagi Ahlinya.

Nama : Tri Hadi Susanto

Tempat dan Tanggal Lahir : Pekalongan, 10 April 1988.

Alamat : Landung Sari Gg. 2 Pekalongan.

Motto : Tiada keyakinanlah yang membuat orang takut

menghadapi tantangan dan Saya percaya pada Saya

sendiri.

17