ijtihad-ushul fiqh (miftah'll everafter)

24
Kamis, 08 Mei 2014 Bismillaahirrahmaanirrahiim Assalaamu’al aikum

Upload: miftah-iqtishoduna

Post on 18-Jun-2015

374 views

Category:

Education


10 download

DESCRIPTION

IJtihad-Ushul Fiqh

TRANSCRIPT

Page 1: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Kamis, 08 Mei 2014

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Assalaamu’alaikum

Page 2: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Di susun Oleh :

1. Miftahuddin (2013002009)2. Tri Hadi Susanto (2013002005)

STIE Muhammadiyah pekalongan

USHUL FIQH “IJTIHAD DAN PERANNYA DALAM ISLAM”

Page 3: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Secara etimologis kata “ijtihad” merupakan bentuk masdar dari lafadz “ijtihada-yajtahidu-ijtihadan”, yang diambilkan dari akar kata “jahada-yajhadu-jahdan”, yang berarti: mengarahkan segala kemampuan atau menanggung beban. Oleh karena itu, “ijtihad” menurut bahasa adalah pengarahan seluruh daya upaya yang dimiliki secara optimal dan maksimal.Ijtihad menurut ulama’ ushul ialah usaha seorang yang ahli fiqih yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.

A. PENGERTIAN IJTIHAD

Page 4: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Secara terminologis, para ulama telah memberikan definisi dengan berbagai versinya antara lain:

1. Abdul Wahab Khallaf

@ل< Bي عBيH مBن@ دDل ر@ Dالش B @م BليD الحPك @وPصPو@لB إ Bل @جPه@دB ل Dذ@لP ال BهDادP هPوD ب ت Bج@ اإل

Bةb ي Bع ر@ bالش Bةb DدBل @لBيd مBنD األ Dف@صBي ت“Ijtihad adalah pencurahan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum (berdasarkan) dalil-dalil “syara’” yang detail.”

2. Muhamad Abu ZahrahD Bها bت DدBل DةB مBن@ أ Bي B العDمDل Dم Dح@كا DاطB األ @ب Bن ت عDهP فBي اس@ @هB وPس@ @فDقBي Dذ@لP ال BهDادP هPوD ب ت Bج@ اإل

Bةb Bي @ل bف@صBي الت“Ijtihad adalah pencurahan daya upaya dari seorang faqih (ahli hukum islam) dalam rangka mengistimbatkan hukum yang terkait dengan hukum ‘amaliyyah berdasarkan argumentasi yang detail.”

Page 5: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

3. Al-Amidi DليDع Bةb ي Bع ر@ bالش B Dام Dح@ك األ DنBم @ئ< ي DشB ب Hنbالط BبDلDط فBي Bع الوPس@ Pاغ Dف@رB ت Bس@ ا DوPه PادDهB ت Bج@ اإل

وDج@ه<

Bه@ فBي Bد@ المDزBي BنDع Bف@سb الن DنBم DحPس� ي

“Ijtihad adalah pengarahan segala daya upaya untuk mencari hukum yang bersifat  dzanni, dimana seseorang  tidak mampu lagi untuk berusaha maksimal dari itu.”

4. Asy-Syaukani BاطD @ب Bن ت Bس@ اإل Bق@ BطDرBي ب dيBلDمDع dيBع ر@ Dش @م< حPك Bل@ Dي ن فBي Bع الوPس@ Pذ@لD ب DوPه PادDهB ت Bج@ اإل

“Ijtihad adalah pencurahan segala daya upaya didalam mencari hukum syar’I yang bersifat amaliah (praktis) dengan menggunakan beberapa metode istinbat, (penggalian hukum).”

Page 6: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

B. Kedudukan Ijtihad

Imam Syafii ra dalam bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Alquran menegaskan: ‘maka tidak terjadi suatu peristiwapun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh alquran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya Allah mewajibkan kepada hamba_Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainya.

Pernyataan Imam Syafii diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping alquran dan sunah Rasullah.  Dalam surat an-Nisa ayat 59: 

Page 7: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Page 8: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Surat Al-Hasyr Ayat 2:

Page 9: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.

Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan pada al-Qur’an dan sunnah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasulnya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadist yang barang kali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah

Page 10: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Ijtihad sangat diperlukan sepanjang masa karena manusia terus berkembang dan permasalahan pun semakin kompleks, sehingga perlu adanya tatanan hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman tetapi tetap mengacu pada Al-Qur’an dan As-Sunah. Tentang kedudukan hasil ijtihad dalam masalah fiqih terhadap dua golongan, yaitu: a. Golongan pertama berpendapat bahwa tiap-tiap mujtahid adalah

benar, dengan alasan karena masalah tersebut Allah swt. tidak menentukan hukum tertentu sebeluim diijtihadkan. Oleh karena itu, wajib mengikuti hasil ijtihad para mujtahid. Adapun perselisihan hukum dalam suatu masalah adalah karena berbedanya jangkauan para mujtahid.

b. Golongan kedua berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hukum Allah. Sedangkan yang tidak cocok dengan jangkauan hukum Allah maka dikategorikan salah. Golongan ini beralasan bahwa Allah telah meletakkan hukum tertentu pada salah satu masalah sebelum diijtihadkan, hanya saja terkadang mujtahid dapat menjangkaunya dan terkadang tidak. Demikian pendapat para jumhur ulama, termasuk di dalamnya Imam Syafi’i. Ia berpendapat dengan dikuatkan oleh sabda Nabi saw:

Page 11: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

د� Dم BاحDو Dج@ر� ا PهD فDلD Dخ@طDأ أ وDمDن@ Bان Dج@رD ا PهD فDل DابDاصDف DدDهD ت Bج@ ا ن@

(البخارى رواه

(ومسلم

Artinya: “Siapa yang berijtihad dan ternyata benar maka ia mendapatkan dua pahala, dan barang siapa yang berijtihad tetapi salah maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhari Muslim).

Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadist yang tidak sampai ke tingkat hadist mutawatir seperti hadist ahad atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadist yang tidak tegas pengertianya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam al-quran dan sunah seperti dengam qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam Alquran dan As-sunah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadist hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.

Page 12: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

C. Syarat Mujtahid

Ulama’ ushul berbeda pendapat dalam mnenetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alqur’an, baik menurut bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak disyaratkan menghafalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia membutuhkan

b. Menguasai dan mengetahui hadits-hadits tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak disyaratakan harus menghafalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya.

Page 13: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

c. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Alqur’an dan As-Sunnah supaya tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghafalnya.

d. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama’ sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’.

e. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta menginstinbathnya, karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.

f. Mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Alqur’an dan As-Sunnah ditulis dengan bahasa arab. Namun, tidak disyaratkan betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari Alqur’an dan Al-Hadits (Al-Amidi : 140).

Page 14: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

g. Menegetahui Ilmu Ushul Fiqh yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan menurut Fakhru Ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam berijtihad adalah ilmu Ushul Fiqh.

h. Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan Syari’at) secara umum, karena bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan maqashidu asy-syari’ah atau rahasia disyari’atkannya suatu hukum. Sebaiknya, mengambil rujukan pada istihsan, maslahah mursalah, ‘urf dan sebagainya yang menggunakan maqashidu asy-syari’ah sebagai standarnya.

Maksud dari maqashidu asy-syari’ah, antara lain menjaga kemaslahatan manusia dan menjauhkan dari kemadharatan. Namun standarnya adalah syara’, bukan kehendak manusia, karena manusia tidak jarang menganggap yang haq menjadi tidak haq dan sebaliknya.

Page 15: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

D. Ijtihad Bisa Benar dan Bisa Salah

Bila seorang mujtahid melakukan ijtihad terhadap suatu masalah dalam lapangan ijtihad dan sampai pada suatu kesimpulan berupa hukum, maka secara lahir dapat dikatakan bahwa ia telah menetapkan hukum syara’, namun pada hakikatnya, mujtahid itu bukan menetapkan dan membuat hukum, karena sesuai dengan keyakinan dalam islam, bahwa yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah. Dan tiada hukum kecuali dari Allah.

Page 16: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Bahwa ijtihad itu berlaku dalam hal-hal yang hukumnya tidak terdapat secara dalam Alqur’an maupun Sunnah, ataupun ada Nashnya akan tetapi dalam bentuk yang tidak meyakinkan (dzanni). Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan beberapa orang mujtahid yang sama-sama melakukan ijtihad terhadap suatu masalah yang sama menghasilkan pendapat yang berbeda, maka muncul pertanyaan: “mana di antara pendapat itu yang benar?”. Pertanyaan ini muncul karena hasil yang dicapai mujtahid itu adalah hukum Allah, seandainya semua pendapat yang berbeda itu dinyatakan benar tentu akan beragam hukum Allah dalam suatu masalah tertentu. Karenanya persoalan ini menjadi perbincangan yang tidak ada hentinya di kalangan ulama’, terutama tentang mana di antara pendapat yang berbeda tersebut yang benar, salah satu di antaranya atau semuanya. Kalau hanaya satu yang benar, maka tentu yang lainnya salah. Jika salah dalam berijtihad apakah berdosa atau tidak. Seandainya berdosa apakah hanya sekadar berdosa atau membawa akibat kekafiran.

Dalam menjelaskan persoalan di atas, para ahli ushul memilah-memilah masalah yang menjadi lapangan ijtihad. Dalam hal ini para ahli membaginya pada dua lingkup yang besar, yaitu :

Page 17: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

a. Masalah ‘aqliyah atau nazharriyah; yaitu masalah yang berkaitan dengan ‘aqidah.

Bidang ‘aqliyah dalam kajian ini dibagi dalam dua masalah:

1. Masalah paling dasar dalam agama yang seandainya salah dalam bidang ini, dapat menghilangkan keimanan dan menyimpang dari ketentuan agama. Umpamanya tentang keberadaan Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya dan kerasulan Nabi Muhammad SAW

2. Masalah ‘aqliyah yang seandainya salah dalam hal ini, tidak sampai menghilangkan keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Umpamanya masalah kemungkinan manusia melihat Allah atau tidak, Alqur’an sebagai makhluk atau Bukan, dan sebagainya.Mayoritas Jumhur Ulama’ sependapat dalam bidang ‘aqliyah tersebut, bahwa yang betul hanya satu, yaitu yang mencapai kebenaran Allah, sedangkan yang lainnya adalah salah.

Page 18: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

• Dalam bidang ‘aqliyah bentuk pertama :Mereka juga bersepakat bahwa yang salah dalam ijtihadnya, di samping berdosa juga kafir atau keluar dari islam karena hasil ijtihadnya itu telah menafikan keimanannya.

• Tetapi dalam bidang ‘aqliyah bentuk keduaMereka berbeda pendapat dalam menyatakan kafir (keluar dari islam) terhadap mujtahid yang salah dalam berijtihad.

Page 19: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

b. Masalah Syar’iyyahMengenai Ijtihad dalam bidang Syari’ah ini Jumhur Ulama’ membaginya

kepada dua bentuk:

• Bidang syari’ah yang sudah pasti dan dapat diketahui secara dharurui (tanpa memerlukan pemikiran atau ra’yu) bahwa ia termasuk ketentuan agama; seperti: wajibnya shalat lima waktu, puasa ramadhan, zakat dan haji yang sudah memenuhi syarat, haramnya zina serta minum khamr itu haram, dan lain-lain yang termasuk masalah pokok-pokok dalam agama.Hasil ijtihad dalam bidang ini hanya satu yang benar , yaitu hasil ijtihad dari mujtahid yang sanggup mencapai kebenaran tersebut, dan yang lainnya adalah salah. Kesalahannya itu tidak dapat dimaafkan, sehingga mujtahid tersebut dengan sendirinya menjadi berdosa. Bahkan ada ulama’yang menganggapnya kafir karena si mujtahid itu dianggap telah menyalahi suatu yang bersifat dharuriyat (masalah pokok) dalam agama.

• Bidang syari’ah yang tidak memiliki dalil yang qath’i dan meyakinkan, seperti: kedudukan wali dalam nikah, hak waris cucu, ijab qabul dalam jual beli, investasi dalam mudharabah dan sebagainya. Para ulama’ berbeda pendapat hasil ijtihad yang berbeda antar para mujtahid, yaitu:

Page 20: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

a. Kebanyakan ulama’ (menurut riwayat Al-Mawardi dan Al-Royani) seperti Abu Hasan Al Asy’ari dan Al-Mu’tazilah(menurut Al-Mawardi) berpendapat bahwa setiap mujtahid yang mengemukakan hasil ijtihadnya terdapat kebenaran. Karena itu, setiap mujtahid itu adalah benar, dalam hal ini berlaku ketentuan bahwa hukum Allah ada pada lisan setiap mujtahid.

b. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam syafi’i dan kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa yang benar hanya terdapat pada satu di antara beberapa pendapat mujtahid yang berbeda itu. Namun mengenai satu pendapat mana yang benar, tidak bisa ditentukan oleh pandangan manusia, hanya Allah yang mengetahuinya.

Page 21: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Jumhur ulama’ (yang mengatakan bahwa yang benar hanya satu dan yang lain salah namun tidak berdosa) mengemukakan argumen dengan dalil dari Alqur’an, Sunnah dan Ijma;

1. Dalil Alqur’an yang di antaranya adalah surat Al-Anbiya’ Ayat 78-79:• 78. dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya

memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu,

• 79. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. dan kamilah yang melakukannya.

Jalan pikiran argumentasi dari ayat di atas bahwa Allah telah memberikan secara khusus kepada Sulaiman pemahaman yang haq tentang kejadian yang dihadapi itu. Berarti dalam hal ini Dawud tidak memiliki pemahaman. Ini mengandung arti bahwa di antara keduanya ada yang betul dan ada yang salah.

 

Page 22: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

2. Dalil dari Sunnah adalah sabda Nabi Muhammad SAW:د� Dم BاحDو Dج@ر� ا PهD فDل

D Dخ@طDأ أ وDمDن@ Bان Dج@رD ا PهD فDل DابDاصDف DدDهD ت Bج@ ا ن@

( ومسلم البخارى (رواه

Artinya: “Siapa yang berijtihad dan ternyata benar maka ia mendapatkan dua pahala, dan barang siapa yang berijtihad tetapi salah maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhari Muslim)

Dari sabda Nabi Muhammad di atas jelaslah bahwa ijtihad itu ada yang salah di samping itu ada pula yang benar. Hal ini berarti bahwa dari sekian banyak pendapat mujtahid yang berbeda tidak mungkin benar semua.

Page 23: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

3. Argumen dalam bentuk ijma’ adalah bahwa para sahabat berijma’ dalam menggunakan kata “salah” dalam berijtihad. Di antaranya apa yang diriwayatkan dari Abu Bakar yang mengatakan:

“Saya berkata tentang hukum kalalah itu berdasarkan pendapat saya. Bila betul, maka itu adalah dari Allah. Bila salah, itu adalah dari saya sendiri dan dari syaithan. Sedangkan Allah dan Rasul-Nya terlepas dan bersih dari kesalahan itu.”

Dari ucapan Abu Bakar itu jelaslah bahwa para sahabat dalam berijtihadnya ada yang mencapai kebenaran dan ada pula yang yang salah. Tidak pernah terjadi seorang sahabat mengingkari pendapat sahabat lain karena kesalahannya. Ini berarti bahwa mereka telah ijma’ bahwa yang benar dari beberapa pendapat yang berbeda itu hanya satu

Page 24: Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)

Sekian dan Terima kasih

Wassalaamu’alaikum