catatankuliah ushul fiqih

Upload: mbakasy

Post on 07-Jul-2015

471 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Asy-Syaikh Dr. Mu'inudinillah Bashri, M.A.

1

Dicatat dan dibukukan oleh: Ummu Zahra'

2

Catatan ini hanya seonggok coretan yang kupungut dari lembar tak beraturan Ia hanya setetes air yang kusesah dari lautan luas nan dalam Ia hanya setitik embun yang sempat kucecap dari curah hujan semalam Ibarat padang, ia hanya sejumput ilalang Namun, setetes air kan kujaga Setitik embun kan kutampung jua Sejumput ilalang tak kan kupangkas ia berkembang Meski ku tahu aku bukan seorang Syafi'i, pun tak kumiliki kecerdasan Asy-Sya'bi Mengaku perindu ilmu maharku hanya kertas dan tinta hanya menulis menggores dengan terbata mengais di tengah selaksa kata merangkai demi sekeping makna Kar'na aku tak ingin hilang sebulir intan yang pernah kudulang tak ingin tersia detak waktu yang telah berselang Kar'na aku takut hariku tak kan panjang atau esok tak lagi kujelang3

fi

4

TARIKHUT TASYRI'Tarikhut tasyri' menggambarkan regulasi fikih mulai zaman wahyu hingga masa masa setelahnya.

A.

TASYRI' DI MASA RASULULLAH

Tasyri' di masa Rasulullah selalu kembali kepada wahyu, karena tugas Nabi adalah sebagai penyampai wahyu.

Yang dimaksud dengan wahyu adalah Al-Qur'an dan As- Sunnah.

(15 : )

(115 : )

1.

Al-Qur'an:

(48 : )

Al-Qur'an merupakan sumber hukum syari'at.

Bahkan Allah Ta'ala menegur Rasul-Nya apabila menghukumi dengan sesuatu yang bertentangan dengan idealisme Al-Qur'an. Misalnya, Allah menegur sikap lunak beliau terhadap munafiqin.

2.

(43: ) Begitu pula dalam masalah usara Badr. (67 : ) As-Sunnah:

Sunnah merupakan wahyu sebagaimana Al-Qur'an. Dalilnya:

": " 5

) :132( - ) : 311( ) :43(Dari ketiga ayat di atas dapat diketahui bahwa Al-Qur'an dan al-Hikmah merupakan wahyu yang diturunkan dan dibacakan di rumah Rasulullah. Sedang al-hikmah 1.diterangkan oleh Asy-Syafi'i bahwa dia adalah: as-Sunnah

Semua yang diucapkan Rasulullah berasal dari wahyu. As-Sunnah, salah satunya .berisi ucapan Rasulullah. Maka, dia termasuk wahyu

) : 3 ( 1

87 .Ar-Risalah hlm

6

(

(55 01 /

As-Sunnah juga terpelihara sebagaimana Al-Qur'an. Dalilnya: Sebagian ulama mengatakan bahwa Adz-Dzikr pada ayat ini termasuk di dalamnya adalah as-Sunnah. Jika Sunnah termasuk Adz-Dzikr, berarti As-Sunnah juga terpelihara. Keberadaan hadits-hadits mutawatir, dan hadits-hadits shahih merupakan bukti terpeliharanya as-Sunnah. Sebab, dhaif dan shahihnya dapat dipilahkan.

Rasulullah itu ma'shum. Artinya semua yang beliau sampaikan, jika itu berkaitan dengan syari'at, maka tidak pernah salah. Kalaupun beliau melakukan kesalahan, maka kesalahan itu hanya dalam masalah afdhaliyyah saja, dan bukan menyangkut halalharam. Dan sekali terjadi kesalahan, maka Allah akan langsung menegur beliau. Seperti dalam masalah usara Badr, Allah menegur beliau karena memilih mengambil tebusan, padahal pada akhirnya, Allah juga menurunkan syari'at yang menghalalkan ghanimah dan tawanan. Ini menunjukkan bahwa teguran Allah kepada beliau pada waktu itu, bukan karena sesuatu yang haram. Akan tetapi, hal itu karena beliau telah memutuskan sesuatu sebelum Allah menurunkan syari'at dalam masalah itu.

Dalam segala hal, sunnah Rasulullah harus dijadikan sumber pengambilan hukum. Lalu bagaimana dengan sabda beliau :

? Perkara dunia yang dimaksud dalam ucapan beliau itu adalah yang menyangkut masalah teknis. Sedang yang lain-lain, baik yang berkaitan dengan urusan akhirat maupun dunia, harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah.

3.

Ijtihad & Qiyas di masa Rasulullah:

7

Dalil ijtihad : Hadits Mu'adz bin Jabal ketika diutus Rasul ke Yaman. Dalil qiyas :

Dalam beberapa kejadian Rasulullah juga melakukan ijtihad, seperti pada masalah tawanan Badr yang mendapat teguran dari Allah Ta'ala. Tidak ada dalil bahwa Rasulullah menyimpulkan suatu hukum dengan cara qiyas. Yang terjadi, sebenarnya hukum untuk masalah itu sudah ada, kemudian Rasulullah menjelaskannya dengan mengqiyaskan kepada masalah tertentu, sekedar untuk mengajarkan bahwa sesuatu yang sama, hukumnya juga sama. Contoh: Ketika ditanya tentang hukum qublah lis sha'im, beliau menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hukum berkumur-kumur. Jadi hukumnya boleh2.

Ketika ada yang menanyakan tentang berhaji untuk orang tua, beliau mengqiyaskannya dengan hutang kepada manusia3.

B.

TASYRI' DI MASA SAHABAT

Pada masa ini, kaidah-kaidah dan istilah-istilah ushul fikih belum dibukukan, tetapi pemahaman dan penerapan terhadap kaidah ushuliyyah ini sudah ada dan mengalir dalam diri para sahabat.2

Qala Syaikh Mu'in: "Menurut madzhab Ibnu Hazm, qublah lish shaim bukan sekedar mubah, tetapi sunnah." 3 Qala fadhilatuh: "Bertolak dari sini, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyyah, dan Al-'Utsaimin berpendapat bahwa anak bisa menghadiahkan pahala untuk orangtuanya yang sudah meninggal. Tapi, oleh a'immah yang lain pendapat itu ditolak. Menurut mereka, pahala tidak bisa sampai kepada orang yang sudah meninggal kecuali kalau ada nash yang menunjukkan hal itu."

8

Contoh:

Qiyas, yang diisyaratkan oleh Umar bin Khattab dalam surat yang dikirimkannya kepada gubernurnya, Abu Musa al-Asy'ari. Jam'ul adillah4 yang dilakukan oleh Ibnu 'Abbas dan 'Ali radhiyallahu 'anhuma dalam hal iddahnya wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Walhasil, iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil adalah ab'adul ajalain. Kalau jarak kelahiran dengan meninggalnya suami kurang dari 4 bulan 10 hari, maka iddahnya disempurnakan hingga mencapai 4 bulan 10 hari. Dan jika kehamilannya itu baru memasuki bulan-bulan pertama, maka iddahnya adalah sampai dia melahirkan. Mashlahah mursalah, yang dilakukan Umar dalam hal pembagian ghanimah untuk kaum muslimin. Pada masa pemerintahannya, 'Umar bin Khattab tidak membagikan ghanimah untuk para mujahid, melainkan mengembalikannya ke baitul mal untuk dibagikan kepada kaum muslimin yang membutuhkannya. Keputusan 'Umar ini didasarkan pada pertimbangan supaya tidak terjadi kesenjangan sosial antara mujahidin dengan yang lainnya, karena melimpahnya harta ghanimah pada saat itu. Ini berbeda dengan ketentuan di masa Rasulullah bahwa ghanimah adalah hak bagi prajurit yang turut berperang. Ijtihad yang dilakukan oleh Umar ketika mengqishash sekelompok orang yang bersekongkol dalam pembunuhan satu orang.

C.

TASYRI' DI MASA TABI'IN

Sama seperti masa sahabat, kaidah ushul fikih pada masa tabi'in juga belum dibukukan. Meski demikian, pemahaman tentang kaidah-kaidah ushuliyyah ini sudah tertanam dalam jiwa mereka.

4

Kalau menurut Ibnu Mas'ud, di sini ada hukum nasikh dan mansukh, walaupun beliau tidak secara terang-terangan mengatakan hal itu. Dengan begitu, menurut beliau, masing-masing ayat itu berlaku dalam lingkup yang berbeda. Yang di surat Ath-Thalaq adalah untuk wanita yang hamil, sedang yang di surat Al-Baqarah untuk wanita yang tidak hamil. (Al-Wajiz, hlm. 14)

9

Di kalangan tabi'in, ada yang sangat menonjol di bidang ijtihad, seperti Rabi'ah ar-Ra'yi, guru Imam Malik. Namun ada juga yang sama sekali menolak ijtihad, dan hanya mau mengambil hukum dari al-Kitab dan as-Sunnah.

***

D. TASYRI' DI MASA A'IMMAH MADZHAB

Semua istinbat dan ijtihad yang dilakukan oleh para a'immah selalu didasari kaidah, terlepas dari benar atau tidaknya kaidah tersebut. Meski demikian, belum seorang pun yang membukukan kaidah-kaidah ini hingga masa Imam Syafi'i.

Perbedaan prinsip a'immah dalam menerima kehujjahan suatu hadits (khususnya ahad atau mursal), bukan semata-mata karena mengikuti hawa nafsu. Hal itu sebenarnya berangkat dari keinginan masing-masing untuk menghormati Rasulullah. Hanya saja, penghormatan ini mereka tunjukkan dengan dua cara yang berbeda. Satu pihak menunjukkan penghormatannya dengan cara mengedepankan hadits Rasulullah dalam istidlal, sementara pihak kedua menunjukkan penghormatan dengan berhati-hati dalam menerima semua yang dinisbatkan kepada beliau. Contoh: Dalam menerima hadits ahad : Bagi Imam Malik dan Abu Hanifah, tidak semua hadits ahad bisa diterima sebagai hujjah. Ada beberapa kaidah yang mereka berlakukan dalam menerima kehujjahan hadits ahad. Diantaranya: Kaidah Imam Malik : 'amalu ahlil Madinah lebih didahulukan daripada hadits ahad walaupun sanadnya shahih. Kaidah Abu Hanifah : hadits yang menyangkut urusan orang banyak haruslah mutawatir. Jika hanya ahad, maka tidak bisa diterima sebagai hujjah. Begitu pun jika hadits ahad menyelisihi qiyas, maka hadits itu harus ditinggalkan. Dalam menerima hadits mursal : Sebagian a'immah cukup melihat siapa rawi yang meriwayatkan secara mursal tersebut. Jika dia orang

10

yang tsiqat, maka periwayatannya dapat dipercaya kebenarannya. Sebagian yang lain menolak hadits mursal walaupun rawi-rawinya tsiqat. Mereka beralasan bahwa bisa jadi seorang rawi tsiqat meriwayatkan dari orang yang berdusta, sehingga tidak dapat dipastikan apakah sanad tersebut shahih ataukah tidak.

Ciri khas madzhab Abu Hanifah adalah banyaknya penggunaan ijtihad dan ra'yi dalam berbagai masalah. Hal ini terjadi karena minimnya hadits yang sampai kepada Abu Hanifah, sebab beliau berdomisili di Irak, jauh dari pusat perkembangan ilmu syari'at saat itu. Walaupun demikian, Abu Hanifah tetap berprinsip bahwa yang pertama harus dijadikan sumber hukum secara berturut-turut adalah: al-Kitab, asSunnah, dan fatwa para sahabat. Apabila di kalangan sahabat terdapat perselisihan, prinsip Abu Hanifah di sini adalah tetap mengambil salah satu qaul mereka, dan sedikitpun tidak akan keluar dari ranah fatwa sahabat. Adapun jika ketiga hal tersebut tidak didapatkan, dan hanya didapatkan perkataan dari para tabi'i setingkat dirinya seperti Hasan al-Bashri dll, maka kata Abu Hanifah "Hum rijaal, wa nahnu rijaal."

Madzhab Maliki yang tumbuh dan berkembang di Madinah dikenal sangat beriltizam terhadap Sunnah, tetapi lemah dalam penggunaan ra'yi, sehingga tidak mampu menandingi kemahiran madzhab Abu Hanifah dalam berlogika. Imam Syafi'i, yang belajar dari Imam Malik dan murid Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan, mampu mengumpulkan kelebihan dari kedua madzhab tersebut. Beliau pun menjadi orang pertama yang megajarkan bagaimana berijtihad dan menggunakan ra'yi, namun tetap berittiba' terhadap Sunnah.

***

MASA PEMBUKUAN KAIDAH USHUL FIQIH

Imam Syafi'i adalah pelopor dalam penetapan dan pembukuan ushul fiqih. Sebelum itu, para a'immah belum memberikan perhatian khusus terhadap pembukuan kaidah ushuliyyah. Imam Syafi'i lah yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah ushul fiqih dengan kitabnya yang berjudul Ar-

11

Risalah. Kitab ini beliau tulis atas permintaan dari Abdurrahman al-Mahdi, guru Imam Syafi'i dalam hadits, sekaligus murid beliau dalam ilmu ushul.

Selama beberapa abad setelah munculnya kitab ArRisalah , tidak ada kitab lain yang ditulis dalam masalah ushul. Nampaknya, semua orang saat itu merasa ridha dengan kitab Syafi'i ini. Ada klaim bahwa Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) sudah lebih dulu membuat buku tentang kaidah ushuliyah semacam ini, tetapi klaim itu tidak benar. Yang masyhur di kalangan ulama, Imam Syafi'i lah yang pertama membuat buku tentang kaidah ushul fiqih. Setelah itu, barulah madzhab Hanafiyah membuat kitab yang serupa.

Ada dua keistimewaan yang menonjol pada kitab ArRisalah yang ditulis oleh Imam Syafi'i, yaitu: a. Menetapkan kaidah ushuliyyah, dikuatkan dengan dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah. b. Mempebanyak contoh penerapan kaidah dalam masalah-masalah fiqih.

Pembukuan ushul fiqih dalam madzhab Hanafiyah tidakdilakukan oleh Abu Hanifah sendiri, melainkan oleh muridmurid beliau. Metode yang mereka gunakan adalah menyimpulkan kaidah ushul berdasarkan masalah furu'iyyah yang diterangkan oleh Imam mereka. Dalam pembahasannya, madzhab Hanafiyyah banyak memberikan contoh praktis yang berhubungan dengan fiqih, sehingga kitab-kitab mereka lebih mirip kitab fiqih daripada kitab ushul.

***

MANHAJ-MANHAJ DALAM PEMBUKUAN KAIDAH USHUL FIQIH1. Manhaj mutakallimin : Menetapkan kaidah secara umum, dan hanya sedikit memberikan contoh praktisnya dalam penerapan fiqih. Dalam penetapan kaidah-kaidahnya, manhaj ini cenderung netral, tidak mengacu kepada pembelaan madzhab tertentu. Manhaj ini diikuti oleh para a'immah dari madzhab Syafi'iyyah, Malikiyyah, dan para ahli kalam. Karena itulah, manhaj ini disebut manhaj mutakallimin.

12

Sayangnya, ahli kalam banyak yang menambahkan pembahasan ilmu manthiq di dalamnya. Contoh kitab ushul yang ditulis berdasarkan manhaj mutakallimin5: Al-Mu'tamad karya Abu Husain AlBashri (seorang penganut faham mu'tazilah) Al-Burhan karya Imamul Haramain Al-Mustashfa karya Al-Ghazali Al-Ihkam karya Al-Amidi 2. Manhaj Fuqaha'/ manhajul Hanafiyyah: Menyimpulkan kaidah ushul berdasarkan masalah furu'iyyah yang diterangkan oleh Imam madzhab tertentu. Berbeda dengan manhaj mutakallimin, manhaj fuqaha' ini lebih mengarah kepada pembelaan terhadap madzhab. Perbedaan yang lainnya adalah bahwa kitab-kitab ushul yang dikarang di atas manhaj ini umumnya lebih banyak membahas masalah fiqih dan menyertakan contoh praktis dalam penerapannya. Yang paling menonjol sebagai pengikut manhaj ini adalah a'immah madzhab Hanafiyyah. Karenanya disebut manhaj fuqaha'/ manhajul Hanafiyyah, sebagai penisbatan kepada Abu Hanifah yang dianggap pelopor di bidang fiqih. Contoh kitab ushul yang dikarang berdasar manhaj fuqaha'6: Ushulul Bazdawi karya Fakhrul Islam alBazdawi Ushulus Sarkhasi 3. Manhaj yang menyatukan antara manhaj mutakallimin dan manhaj fuqaha': Kitab-kitab yang disusun dengan metode ini merupakan kitab mutaakhkhirin. Contoh 7: Al-Muwafaqat karya Asy-Syathibi Jam'ul Jawami' karya Abdul Wahhab asSabki Musallamuts-Tsubut karya Muhibbullah bin Abdus Syakur Al-Hindi

***

5 6

Ushul Fiqih Abu Zahrah hlm. 22 Ushul Fiqih Abu Zahrah, hlm. 24 7 Ushul Fiqih Abu Zahrah, hlm. 25

13

Materi:

Al-Wajiz,Dr. 'Abdul Karim Zeidan

Diterangkan oleh:

Asy-Syaikh Dr. Mu'inudinillah Bashri, M.A. hafidhahullah

USHUL FIQIHUSHUL8:8

Qala Ustadz Mu'in : Kadang yang dimaksud dengan Ushul adalah vs Furu' . Jika yang dimaksud dengan ushul ini adalah lawan dari furu', maka yang dimaksud dengan ushul adalah jika dalilnya qath'i. Sedang yang dimaksud dengan furu' adalah apabila dalilnya dzanni, dan biasanya terdapat perselisihan padanya.

14

Bentuk jamak dari ashl. Secara etimologi artinya: 1. Ad-dalil: Contoh penggunaannya: (dalil dalam masalah ini adalah ijma') 2. Ar-rajih (yang kuat/ benar):

Contoh penggunaannya: (pendapat yang kuat dalam masalah kalam adalah bahwa dia itu ditakwilkan secara hakiki, bukan secara majazi) 3. Al-qa'idah: Contoh peggunaannya:

( pembolehan bangkai bagi orang yang terpaksa itu menyelisihi kaidah) 4. Al-mustash-hab (suatu kondisi yang menyertai seseorang) :

Contoh penggunaannya: ( kondisi asal seseorang itu adalah bebas dari tanggungan) FIQIH:

Secara etimologi berarti: "Ilmu dan pemahaman terhadapsesuatu".

Di dalam Al-Qur'an, penggunaan kata fiqih menunjukkepada ilmu dalam arti yang lebih khusus, yaitu disertai dengan "pemahaman yang mendetail, pengetahuan yang mendalam, dan kemampuan mengenali maksud dan tujuan pembicara".

Contoh :Tidak benar ta'rif bahwa Ushul adalah semua yang menyangkut masalah I'tiqadiyyah, sedang Furu' adalah semua yang menyangkut masalah 'amaliyyah. Faktanya, dalam I'tiqadiyyah pun ada masalah yang sifatnya furu', seperti dalam ta'wil asma' dan sifat. Oleh sebab itu para a'immah salaf tidak mau mengkafirkan kelompok mu'tazilah. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal tetap mau shalat di belakang mereka. Ini karena, kesesatan I'tiqadiyyah kaum mu'tazilah hanya dalam perkara yang sifatnya furu' saja. Begitu pun dalam masalah 'amaliyyah, banyak juga perkara-perkara yang sifatnya ushul, seperti shalat, haji, dll.

15

: ) (91 : ) (78

Ta'rif menurut Istilah Ulama' :"Ilmu mengenai hukum-hukum syariat yang berkenaan dengan amal perbuatan, yang mana hukum tersebut didapatkan dari dalil-dalil yang sifatnya parsial." Penjelasan ta'rif :

Ilmu yang dimaksud adalah "ilmu yang diperoleh berdasarkan dugaan kuat". Untuk bisa disebut faqih, seseorang tidak disyaratkan harus tahu semua hukum syar'i. Yang penting, ketika dihadapkan padanya suatu masalah, dia bisa mengambil istinbat. Hukum-hukum syari'at yang dimaksud adalah "yang didapatkan dengan usaha tertentu, seperti istinbat dan istidlal", bukan yang diperoleh dengan cara taklid, atau dengan jalan wahyu. Karenanya, seorang muqallid tidak bisa disebut faqih. Demikian juga Rasulullah tidak dinamakan faqih, karena beliau mendapatkan pengetahuan tentang hukum itu dari wahyu. Hukum syari'at ini maksudnya adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan amaliyyah. Jadi, tidak termasuk di dalamnya pembahasan tentang hukumhukum 'aqidah, ataupun akhlaq9. Dalil-dalil parsial maksudnya, dalil yang khusus berlaku untuk masalah tertentu saja, seperti firman Allah ta'ala : . Ayat ini merupakan dalil yang khusus menerangkan hukum menikahi ibu, dan tidak mencakup masalah-masalah lain.

9

Ushul Fiqih:

Menurut Ustadz Mu'in: yang disebut fiqih seharusnya tidak hanya soal amaliyah, tetapi lebih umum. Mestinya ada istilah fiqih akhlaq, fiqih I'tiqadiyyah, dan juga fiqih 'amaliyyah.

16

1. Ilmu tentang kaidah dan dalil-dalil global yang digunakanuntuk pengambilan istinbat dalam fiqih. Atau, 2. Kaidah serta dalil-dalil global yang digunakan untuk pengambilan istinbat dalam fiqih itu sendiri. Contoh kaidah ushul :

"Amr itu menunjukkan adanya keharusan untuk bersegera kecuali jika ada qarinah yang memalingkannya dari hal itu." * Perbedaan antara ahli ushul dengan ahli fiqih * 1. Ahli ushul membahas tentang cara pengambilan dalil dan pembuatan istinbat. 2. Ahli fiqih membahas tentang penggunaan dalil-dalil parsial untuk menyimpulkan hukum dalam masalah tertentu.

* Pentingnya mempelajari ushul fiqih *1. Pengetahuan tentang ushul fiqih sangat penting bagi seorang mujtahid sebagai bekal untuk berijtihad. 2. Apakah sampai sekarang ilmu ini masih diperlukan? Ya, sebab pintu ijtihad masih tetap terbuka sampai akhir zaman, sehingga pengetahuan tentang ushul fiqih mutlak diperlukan bagi para ulama mujtahid di masa ini. 3. Bagi muslimin yang belum sampai pada derajat mujtahid, pengetahuan tentang ushul fiqih ini tetap dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana para a'immah mengambil istinbat dalam suatu masalah. Bisa juga digunakan sebagai bekal untuk melakukan perbandingan dan tarjih di antara pendapat yang ada.

17

HUKUM DAN PEMBAGIANNYA Ta'rif hukum: "Khithab Allah yang berkaitan dengan perbuatan para mukallaf10, baik itu dengan iqtidha', takhyir, maupun wadh'i." Penjelasan ta'rif: Khithab Allah : bisa merupakan khithab Allah langsung, yaitu Al-Qur'an, atau dengan perantara, seperti: as-Sunnah, ijma', begitu pula dalil-dalil syar'i lainnya. Sunnah Rasulullah dikatakan khithab Allah juga, karena sunnah merupakan wahyu dari Allah Ta'ala dan berfungsi sebagai penjelas kitabullah. Begitu pula ijma', dan dalil-dalil syar'i lainnya, disebut sebagai khithab Allah karena semuanya merujuk kepada AlQur'an dan Sunnah. Jadi, dalil-dalil itu tidak menjadi sumber hukum, melainkan hanya sebagai kasyif (penyingkap) bagi hukum-hukum syar'i. Iqtidha' : thalab (perintah/larangan). Thalab ini bisa berupa keharusan (wajib/haram), atau sekedar tarjih (mandub/makruh). Takhyir : hamba bebas memilih. Mengerjakan atau meninggalkan sama-sama dibolehkan. Wadh'i : penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi hukum tertentu. Contohnya: ditetapkannya pencurian sebagai sebab dilaksanakannya hukum potong tangan.

Perbedaan makna "hukum" di kalangan ushuliyyun dan fuqaha': Hukum menurut ushuliyyun adalah khithab Allah atau nash-nash syar'iyyah. Hukum menurut fuqaha' adalah atsar (efek) yang ditimbulkan oleh khithab atau nash itu.

10

Menurut Ustadz Mu'in, mestinya bukan hanya perbuatan mukallaf, sebab anakanak kecil pun juga ada hukumnya. Jadi ta'rif yang tepat menurut beliau adalah : "Khithab Allah yang berkaitan dengan perbuatan 'ibad..dst".

18

Contoh: Ayat . Ayat inilah yang disebut hukum menurut ushuliyyun. Sementara menurut fuqaha', yang dinamakan hukum adalah keharaman zina yang termuat di dalam khithab tersebut.

1.

Pembagian hukum: Hukum Taklifi : mencakup iqtidha' dan takhyir. Iqtidha' (thalab) jelas merupakan taklif. Adapun takhyir, yang sama sekali tidak ada unsur thalab di dalamnya juga dimasukkan ke dalam bagian hukum taklifi, sekedar untuk mempermudah dalam istilah. Atau karena sasaran takhyir ini adalah para mukallaf, sehingga dimasukkan ke dalam hukum taklifi11. Sesuatu yang dibebankan di dalam hukum taklifi selalu sesuai dengan kadar kemampuan mukallaf, karena Allah tidak mungkin membebani hamba di luar kemampuannya. 2. Hukum wadh'i : Dinamakan hukum wadh'i karena Allah menetapkan di dalamnya bahwa sesuatu bisa menjadi sebab, syarat, atau penghalang berlakunya suatu hukum tertentu. Dan ini semuadengan ( penetapan) dari Allah Ta'ala. Berbeda halnya dengan hukum taklifi, hukum wadh'i tidak selalu berupa sesuatu yang mampu dilakukan oleh mukallaf. Contohnya seperti terbenamnya matahari sebagai sebab diwajibkannya shalat maghrib. Ini tentu di luar batas kemampuan mukallaf. Adapun yang mampu dilakukan mukallaf, contohnya adalah zina yang ditetapkan sebagai sebab ditegakkannya hukum rajam.

11

Ustadz Mu'in menambahkan: "Atau bisa juga disebut hukum taklifi karena hamba dibebani untuk menerima bahwa takhyir ini hukumnya mubah."Wallahu a'lam.

19

HUKUM TAKLIFIYang disebut hukum-hukum taklifi menurut ushuliyyun adalah : ijab, nadb, tahrim, karahah, dan ibahah. Amalan-amalan yang terkena imbas dari hukum-hukum ini disebut: wajib, mandub, muharram/haram, makruh, dan mubah.

20

WAJIBTa'rif : "Perbuatan yang dituntut oleh Syari' sebagai suatu keharusan ('ala wajhil luzum). Orang yang meninggalkannya akan dicela dan mendapat siksa, sedang yang melakukannya dipuji dan mendapat pahala." Shighat-shighat thalab yang menunjukkan wajib: 1. Perintah mujarrad (yang tidak disertai qarinah apapun). 2. Perintah yang disertai ancaman 'iqab bagi orang yang meninggalkannya.

3.4.

Perintah yang datang dengan shighat atau Perintah yang menyebutkan adanya penekanan.

Kaidah berkaitan dengan wajib:

"Sesuatu yang menjadi syarat sempurnanya suatu amalan yang wajib, hukumnya adalah wajib." Ini termasuk dalam bab Contoh : wudhu sebelum shalat hukumnya wajib, karena shalat tidak sah tanpanya.

"Sesuatu yang menjadi syarat diwajibkannya suatu amalan,

hukumnya tidak wajib." Contoh : sampainya harta kepada batas nishab, merupakan syarat diwajibkannya zakat. Tetapi mencapai nishab harta bukanlah sesuatu yang wajib dilakukan oleh mukallaf. Klassifikasi Wajib 1. Berdasarkan waktu pelaksanaannya: a. Wajib mutlak : kewajiban yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya. Contoh : kewajiban qadha' Ramadhan, kewajiban kifarah bagi orang yang membatalkan sumpahnya, dll. b. Wajib muqayyad : kewajiban yang pelaksanaannya terbatas pada waktu tertentu.

21

Contoh : puasa Ramadhan. Wajib muqayyad dibagi menjadi dua12 : Wajib muwassa' : kewajiban yang waktu pelaksanaannya cukup luas (sehingga bisa diawalkan atau diakhirkan, dan sebagian waktu tersebut bisa digunakan untuk melaksanakan amalan-amalan lain), seperti waktu shalat dhuhur. Wajib mudhayyaq : kewajiban yang waktu pelaksanaannya terbatas seperti puasa Ramadhan yang waktu pelaksanaannya hanya pada bulan Ramadhan saja. 2. Berdasarkan penentuan kadarnya: a. Wajib muhaddad : kewajiban yang kadarnya sudah ditentukan oleh Syari' dalam jumlah tertentu. Contoh : kewajiban zakat, diyat, dsb. b. Wajib ghairu muhaddad : kewajiban yang kadarnya tidak ditentukan oleh Syari'. Contoh : kewajiban infak fi sabilillah, ta'awun dalam kebaikan. 3. Berdasarkan ada-tidaknya opsi pilihan dalam pelaksanaannya: a. Wajib mu'ayyan : kewajiban yang dibebankan kepada mukallaf tanpa bisa memilih yang lainnya. Contoh : kewajiban shalat dan shiyam. b. Wajib ghairu mu'ayyan (wajib mukhayyar) : kewajiban yang dalam pelaksanaannya mukallaf diberi opsi pilihan13. Contoh :

Kifarah dhihar, dimana mukallaf diberikan pilihan antara tiga: membebaskan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin.12

Tambahan ini dari ust. Mu'in sendiri, bukan dari Al-Wajiz. Catatan: walaupun di sini ada pilihan, tetapi pelaksanaannya harus diurutkan sesuai kadar kemampuannya.13

22

Kifarah yamin, yang memberikan pilihan antara memberi makan 10 orang miskin, memberi pakaian untuk mereka, atau memerdekakan budak. 4. Dilihat dari siapa yang diperintahkan: a. Wajib 'aini : kewajiban yang diminta oleh Syari' terhadap mukallaf secara perorangan. Kewajian semacam ini tidak bisa gugur dari seseorang sampai dia melaksanakannya. Contoh : kewajiban shalat, kewajiban menunaikan amanah dll. b. Wajib kifa'i ('alal kifayah) : kewajiban yang dibebankan kepada jama'ah mukallafin dalam jumlah yang cukup14, dan tidak dibebankan kepada perorangan. Karenanya, apabila sebagian muslimin sudah melaksanakannya, kewajiban itu gugur dari yang lainnya. Contoh : kewajiban amar ma'ruf nahi munkar, berdakwah, dll. Catatan : Untuk sebagian mukallaf, wajib kifa'i bisa berubah menjadi wajib 'aini. Ini terjadi apabila pelaksanaan kewajiban itu tidak bisa tegak kecuali dengan bantuan orang tersebut.

***

14

Jumlah yang cukup : artinya, jika jumlah orang-orang yang melaksanakannya belum memenuhi standar, kewajiban itu tidak gugur dari yang lainnya.

23

MANDUBTa'rif: "Amalan yang diperintahkan oleh Syari', tetapi tidak diharuskan. Pelakunya dipuji dan mendapat pahala, sedang yang meninggalkannya tidak dicela ataupun disiksa." Nama lain Mandub:

sesuatu yang biasa dilakukan oleh Rasulullah.

Sunnah = Nafilah = tambahan (bonus) kebaikan / pahala. Mustahabb = baik untuk dilakukan. Tathawwu' = sesuatu yang dilebihkan dari kadar yang diwajibkan. Ihsan/ Fadhilah.

Martabat-martabat mandub: 1. Sunnah muakkadah, yaitu ibadah- ibadah sunnah yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah, baik pada waktu hadlar maupun safar, seperti : shalat fajar qabla shubuh. 2. Sunnah ghairu muakkadah, yaitu ibadah-ibadah sunnah yang tidak selalu dikerjakan oleh Nabi. 3. Fadhilah / adab / sunnah zawa'id: seperti adab-adab makan, buang hajat, dll yang biasa dilakukan Rasulullah. Seseorang tidak dicela karena meninggalkannya. Tanbih!

Ketidakwajiban mandub ini sifatnya juz'iyyah, bukan kulliyyah. Artinya, meski mandub ini tidak wajib, tidak lantas boleh ditinggalkan secara keseluruhan. Maksud "ditinggalkan secara keseluruhan" ini bisa jadi dalam konteks seseorang sama sekali tidak mengerjakan yang mandub, atau umat seluruhnya meninggalkan suatu amalan yang mandub. ***

24

HARAM Ta'rif : "Sesuatu yang diharuskan oleh Syari' untuk ditinggalkan. Orang yang melakukannya berarti bermaksiat dan berdosa, sedang yang meninggalkannya berarti ta'at dan mendapat pahala."

adzhab Hanafi membedakan haram dalam dua tingkatan. Pertama, yang dalilnya qath'i. Ini mereka namakan haram. Kedua, yang dalilnya dzanni. Yang seperti ini mereka sebut makruh. Tapi, yang dimaksud dengan makruh ini adalah makruh lit tahrim, bukan sekedar lit tanzih.

M

Ib nu Qayyim mengatakan bahwa Ulama salaf seperti para a'immah madzhab, seringkali menyebut makruh, tapi maksudnya adalah haram. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian, karena mereka tidak suka mengatakan haram untuk sesuatu yang tidak secara eksplisit dikatakan haram di dalam nash15. Contoh: Imam Syafi'i pernah ditanya tentang hukum "nikahul ma' " (laki-laki menikahi anak hasil zinanya). Beliau mengatakan, "Akrahu dzalika." Makna karahah yang dimaksud dalam ucapan beliau ini tidak lain adalah tahrim.

Di dalam Al-Qur'an, kata makruh ada juga yangmenunjukkan arti haram, yaitu pada ayat:

Te tapi Ulama mutaakhkhirin banyak yang salah mengartikan kata "makruh" yang diucapkan oleh para a'immah salaf ini. Mereka menyangka bahwa kata makruh yang digunakan oleh aimmah tersebut maksudnya hanya lit tanzih saja, sehingga hal ini sering menimbulkan kesalahan fatal16. Tambahan dari Al-Wajiz (tidak diterangkan oleh al-Ustadz):15

Disampaikan oleh Ustadz Mu'in, berdasarkan penjelasan di dalam kitab A'lamul Muwaqqi'in , hlm.50-54 (Maktabah Syamilah)

25

Shighat-Shighat yang menunjukkan haram : 1. Lafadz yang berarti tahrim, atau ketidakhalalan. Contoh:

(23: ) 2. Larangan yang menunjukkan keharusan (jazm).

(30 : ) (90 : )3. Larangan yang diiringi dengan ancaman siksaan.

(4: )

Klassifikasi Haram : Syari' tidak mengharamkan sesuatu kecuali pasti karena ada mafsadat padanya. Mafsadat ini bisa saja terdapat pada perbuatan itu sendiri, atau ada pada hal-hal yang berhubungan dengan perbuatan tersebut. Dari sini, haram dapat diklassifikasikan menjadi dua kelompok. 1. Haram li dzatihi : Sesuatu yang diharamkan oleh Syari' karena ada madlarat dan mafsadat padanya, seperti zina, menikah dengan mahram, mencuri, dsb. Hukumnya: Haram dari jenis ini sama sekali tidak boleh untuk dilakukan kecuali sebatas dalam konteks sebagai rukhshah.

16

Ini juga diterangkan oleh Syaikh dengan merujuk kepada kitab A'lamul Muwaqqi'in.

26

Seandainya hal itu dilakukan, maka segala akibat yang berhubungan dengannya tidak bisa menjadi sah secara syar'i. Misalnya, pencurian tidak dapat menjadi sebab kepemilikan harta. Zina tidak dapat menjadi sebab adanya hubungan waris antara laki-laki dengan anak yang dihasilkannya. Begitupun nikah dengan mahram, akadnya menjadi batal. 2. Haram li ghairihi : Yaitu sesuatu yang asalnya halal, tetapi berkaitan dengan keadaan tertentu yang membuatnya menjadi haram. Contoh: Shalat di tanah ghashab, nikah dengan tujuan untuk tahlil, jual-beli di waktu Jum'at, dan thalaq bid'i. Hukumnya: Haram li ghairihi memiliki dua sisi halal dan haram. Jika dilihat dari asal dzatnya, hukumnya adalah halal. Akan tetapi jika dilihat dari keterkaitannya dengan sesuatu yang diharamkan, maka hukumnya menjadi haram. Di antara fuqaha' ada yang menguatkan sisi kehalalannya, sehingga mereka memutuskan bahwa haram dari jenis ini bisa menjadi sebab berlakunya suatu hukum syar'i. Alhasil, menurut pendapat ini, akad jual beli yang dilakukan pada waktu Jum'at tetap sah dan tidak harus diulangi. Orang yang melakukannya hanya berdosa karena pelanggarannya, tetapi hal itu tidak menyebabkan batalnya akad tersebut. Begitu pun menikah untuk tujuan tahlil, akadnya tetap sah secara syar'i, meski pelakunya mendapat dosa dengan sebab pelanggarannya tersebut. Ada pula yang menguatkan sisi keharamannya, sehingga membatalkan semua konsekuensi yang dihasilkan dari amalan tersebut. Karena itu, akad nikah yang dilakukan untuk tujuan tahlil menurut pendapat ini adalah batal. Jual beli di saat shalat Jum'at, tidak dianggap sebagai sebab berpindahnya kepemilikan. Begitu pula thalaq bid'ah, tidak dianggap thalaq.

27

MAKRUH

17

Ta'rif: apa yang dithalab oleh Syari' supaya ditinggalkan,tetapi bukan sebagai sesuatu keharusan.

Hukumnya : pelakunya dicela tetapi tidak berdosa.Sedang yang meninggalkannya karena Allah akan mendapat pahala.

Shighat-shighat yang menunjukkan karahah:1. Lafadz yang menyebutkan makna karahah :

" "... "" 2. Lafadz yang menyatakan larangan, dan disertai qarinah yang menunjukkan karahah.

(101 )Qarinah yang menunjukkan bahwa larangan ini adalah untuk karahah ialah kelanjutan ayat ini sendiri yaitu:

Makruh menurut madzhab Hanafi : Hanafiyyah membagi makruh menjadi dua jenis, berdasarkan kekuatan dalilnya. a. Makruh lit tahrim: Sesuatu yang diharuskan oleh Syari' untuk ditinggalkan, dengan dalil dzanni (misalnya hadits ahad). Makruh jenis ini adalah kebalikan wajib menurut madzhab Hanafi. Hukumnya sama seperti haram. Pelakunya mendapat siksa, akan tetapi orang yang mengingkari hukum itu tidak menjadi kufur, karena dalil untuknya hanya dzanni.17

Bab ini sebenarnya diterangkan oleh Ustadz Mu'in bersamaan dengan Haram. Keterangan yang dituliskan di sini hanya diambil berdasarkan apa yang tercantum dalam Al-Wajiz.

28

Contoh : khithbah di atas khithbah saudaranya, yang hukumnya didapatkan dari sunnah ahad. b. Makruh lit tanzih: Makruh jenis ini sama seperti makruh yang dikenal di kalangan jumhur. Hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelakunya tidak dicela ataupun disiksa, meskipun meninggalkannya lebih utama. ***

29

18

MUBAH

Ta'rif : sesuatu yang mukallaf dibebaskan oleh Syari' untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan.

Hukum ibahah dapat diketahui dari: 1. Nash yang menunjukkan arti halal.

2. Nash yang menunjukkan tidak adanya dosa. 3. Perintah yang disertai qarinah yang mengalihkannya dari ijab menjadi ibahah.

4. Istishab Ibahah Ashliyyah, yaitu kaidah bahwa asal hukum segala sesuatu adalah mubah, sampai datang dalil yang menerangkan hukumnya.

Hukum Mubah: Melakukan atau meninggalkan yang mubah sama saja hukumnya. Meski demikian, terkadang sesuatu yang mubah bisa mendatangkan pahala karena niat baik pelakunya. Misalnya, menjaga stamina dan melatih kekuatan fisik dengan niatan agar kuat ketika menghadapi musuh, dsb.

Mubah sifatnya juz'i, bukan kulli. Sesuatu yang dalam keadaan normal bersifat mubah, bisa berubah menjadi wajib atau haram ketika ada faktor eksternal yang berkaitan dengannya. Contohnya seperti makan dan minum. Hukum asalnya mubah, boleh dilakukan boleh tidak. Tapi ketika itu ditinggalkan secara keseluruhan, hukumnya menjadi haram, karena mendatangkan madharat.

***18

Bab ini diterangkan oleh Ustadz Mu'in secara ringkas. Penjabaran ini al-Faqirah dapatkan dari kitab Al-Wajiz.

30

'AZIMAH & RUKHSHAHApakah 'azimah dan rukhshah termasuk bagian hukum taklifi ataukah wadh'i? Ada perbedaan pandangan dalam hal ini. Sebagian menganggap bahwa 'azimah dan rukhshah termasuk hukum taklifi19, sementara yang lain memandang bahwa keduanya merupakan bagian dari hukum wadh'i. Sudut pandang kelompok pertama : " 'Azimah adalah sesuatu yang dithalab atau dimubahkan oleh Syari' secara umum, sedang rukhshah adalah sesuatu yang dimubahkan di saat darurat sebagai keringanan untuk mukallaf. Dari sini jelas sudah kenapa 'azimah dan rukhshsah dianggap sebagai hukum taklifi. Hal itu tak lain karena thalab dan ibahah merupakan bagian dari hukum taklifi." Sudut pandang kelompok kedua : " 'Azimah merujuk kepada pengertian bahwa Syari' menjadikan kondisi-kondisi normal sebagai sebab diberlakukannya hukumhukum syar'i sebagaimana mestinya. Sementara rukhshah merujuk kepada pengertian bahwa Syari' menjadikan kondisikondisi darurat sebagai sebab diringankannya suatu hukum dari mukallaf. Adanya sebab dan akibat inilah yang menjadi alasan mengapa 'azimah dan rukhshah termasuk bagian dari hukum wadh'i." Macam-macam rukhshah : 1.Rukhshah berupa pembolehan sesuatu yang haram di saat darurat, seperti memakan bangkai ketika terpaksa. 2. Rukhshah berupa bolehnya meninggalkan sesuatu yang wajib, seperti dibolehkannya meninggalkan shalat Jum'at karena terpaksa harus menunggui orang sakit.20 Hukum melaksanakan Rukhshah : 1. Mubah. Inilah hukum asal rukhshah. Hukum ini berlaku untuk keadaan di mana menjalankan rukhshah atau 'azimah sama saja maslahatnya bagi mukallaf. Dalam keadaan ini, mukallaf boleh19

Pendapat pertama ini dipilih oleh Dr. Abdul Karim Zeidan (mushannif Al-Wajiz) Di dalam Al-Wajiz ditambah dengan no. 3, yaitu Rukhshah berupa pengesahan sebagian akad yang diperlukan manusia, seperti akad istishna' (pemesanan barang), padahal itu merupakan jual beli dengan sesuatu yang tidak ada.20

31

memilih antara mengambil rukhshah atau mengerjakan 'azimah. Contoh : Rukhshah dalam hal puasa yang diberikan Allah Ta'ala bagi musafir. Selama musafir itu merasa bahwa dia kuat untuk meneruskan puasa, maka dia boleh memilih antara 'azimah dan rukhshah. 2. Boleh mengambil rukhshah, tetapi melaksanakan 'azimah lebih utama: Ini berlaku ketika maslahat yang didapat dari 'azimah jauh lebih besar daripada maslahat yang didapatkan dari menjalankan rukhshah. Contoh : Mengucapkan kalimat kufur dengan lisan karena terpaksa. Ini adalah rukhshah. Tetapi, jika seseorang bertahan dalam melakukan 'azimah (tetap teguh dengan kalimat tauhid), maka itu lebih utama karena dapat menampakkan izzah seorang mukmin, meski sebagai gantinya dia mungkin kehilangan nyawanya.

3.

Wajib mengambil rukhshah: Apabila berpegang pada 'azimah sama sekali tidak membawa maslahat, bahkan justru mendatangkan madlarat, maka mengambil rukhshah menjadi wajib. Contoh:

Ke tika seseorang khawatir akan mati sia-sia karena kelaparan, memakan bangkai pada waktu itu hukumnya wajib untuk menyelamatkan nyawanya. Ini berbeda dengan kondisi orang yang dipaksa melakukan kalimat kufur. Mempertahankan kalimat tauhid mendatangkan maslahat yang nyata untuk Islam dan muslimin, sementara bertahan tidak memakan bangkai pada kasus ini tidak membawa maslahat apa pun bagi diri pelaku maupun orang lain.

Ya ng disebutkan di dalam hadits tentang orang yang nekat berpuasa padahal sedang safar. Karena tidak tahan, akhirnya dia justru merepotkan teman-temannya. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah mengatakan, "Laisa minal birri ash-shiyamu fis safari."

32

***

33

HUKUM WADH'I1. SYARAT : Syarat itu harus datang dari ketentuan Allah ta'ala. 2. SEBAB :

.

Ta'rif: "sesuatu yang dijadikan oleh Syari' sebagai mu'arrif (tanda) untuk berlakunya suatu hukum syar'i, di mana ada dan tidaknya suatu hukum itu tergantung padanya."

Ada yang membedakan sebab dengan 'illah sebagaimana berikut: Kalau korelasinya dengan hukum tidak bisa dipahami, seperti terbenamnya matahari sebagai tanda bolehnya berbuka puasa, maka disebut sebab. Kalau korelasinya dengan hukum bisa dipahami, seperti pencurian sebagai sebab dipotongnya tangan, maka disebut 'illah.

Dalam kondisi normal, "sebab" bisa mengakibatkan berlakunya suatu hukum tertentu. Tapi apabila sebab itu dilakukan sebagai hilah, maka tidak boleh. ***

34

AL-HAKIM1. Hakim yang sebenarnya adalah Allah Ta'ala. Hanya Diayang berhak menentukan al-haq dan al-bathil . 2. Apakah akal bisa mengetahui haq dan batil secara mandiri? Ada tiga pendapat yang berbeda dalam hal ini.

Pendapat Mu'tazilah, dan Sebagian Ja'fariyah:

Akal dapat menentukan baik dan buruknya suatu amalandengan melihat ciri-cirinya serta mafaat dan madharat yang ditimbulkannya, meskipun tanpa melalui tabligh dan risalah. Ketika syari'at menetapkan mana yang baik dan yang buruk, sebenarnya kebaikan itu sejak awal sudah dipandang baik oleh akal, dan keburukan itu juga sudah dipandang buruk oleh akal. Dengan kata lain, setiap yang baik menurut akal, pasti baik pula menurut Allah, dan setiap yang buruk menurut akal, pasti buruk pula menurut Allah Ta'ala. Maka apa yang baik menurut akal, wajib bagi Allah untuk memerintahkannya, dan apa yang buruk menurut akal, wajib bagi Allah untuk mengharamkannya. Dalam hal amalan yang belum diketahui baik-buruknya oleh akal, maka amr atau nahy yang datang dari syari'at menjadi pengungkap kebaikan dan keburukan yang ada padanya.

Konsekwensinya, manusia dikenai taklif, meski ia hidup di masa fatrah, atau belum sampai kepadanya dakwah. Sehingga setiap kebaikan atau keburukan yang dia kerjakan, akan diperhitungkan oleh Allah Ta'ala.

Pendapat Asy'ariyah dan Jumhur Ushuliyyin : Akal tidak bisa mengetahui yang baik dan buruk. Haq dan batil hanya diketahui setelah adanya tabligh dari para Rasul. Konsekwensinya : sebelum orang mendapat tabligh, maka segala yang dia perbuat tidak dihukumi apa pun. Tidak ada pujian atau celaan, dan tidak ada pahala maupun siksa.

35

Pendapat Abu Manshur al-Maturidi, dan Sebagian Ahli Ushul (pendapat inilah yang mukhtar menurut Sy. 'Abdul Karim Zaidan) : Akal tahu sebagian besar kebaikan dan keburukan, tapi penilaian yang sebenarnya hanya Allah yang menentukan. Bisa saja Allah menetapkan sesuatu itu baik, walaupun akal mengatakan yang sebaliknya. Contohnya seperti jihad. Menurut akal, jihad itu kurh. Tapi menurut Allah dia itu khair. Konsekwensinya, sebelum mendapat tabligh, orang tidak mendapat taklif apa pun. Karena tidak ada taklif, berarti tidak ada siksa ataupun pahala. Efek dari Perbedaan pendapat ini: Dalam perkara yang "tidak ada hukumnya di dalam syari'at"21, kelompok pertama mengatakan bahwa akal bisa menjadi sumber hukum. Artinya, apa yang dipandang baik oleh akal, maka boleh dilakukan sebagai sesuatu yang halal. Dan apa yang buruk menurut akal tidak boleh dilakukan, karena hukumnya adalah haram. Kelompok kedua dan ketiga mengatakan, bahwa akal tidak bisa menjadi sumber hukum. Untuk masalah yang "tidak terdapat hukumnya di dalam syari'at", yang dijadikan rujukan adalah sumber-sumber pengambilan hukum yang sudah ditetapkan di dalam fiqih, dan bukan akal semata. Mimma istafadtuhu min Fadhilatisy Syaikh Ust. Mu'in : Dalam hal-hal tertentu, bisa saja hukum disandarkan kepada akal, seperti mashlahah mursalah, atau dalam masalah yang dikembalikan kepada 'Urf. Sabda Rasulullah kepada Hindun istri Abu Sufyan: "Khudzi bil ma'ruf ma yakfiki wa yakfi baniki". Ma'ruf ini tidak lain ukurannya adalah akal. ***

21

Qala Ustadz Mu'in : "Statemen ini kurang tepat. Sebab, tidak ada satu masalah pun kecuali pasti ada hukumnya di dalam syari'ah baik secara langsung (melalui nash sharih), maupun analogi (melalui jalan ijtihad dan istinbat)".

36

AL-MAHKUM FIHAl-Mahkum fih (sesuatu yang dihukumi) : sesuatu/ perbuatan yang terdapat hukum wadh'i atau taklifi padanya. Syarat Sahnya Taklif : 1.Perbuatan yang dibebankan itu harus diketahui oleh mukallaf, atau setidaknya ada kemungkinan mukallaf tahu hal itu, misalnya karena dia tinggal di darul Islam22, sehingga besar kemungkinan dia tahu hukum-hukum Islam, atau karena adanya media informasi yang memungkinkan dia untuk tahu. 2.Perbuatan yang dibebankan itu harus dalam batas kemampuan mukallaf. Dengan demikian, maka : Tidak ada taklif dalam perkara yang mustahil dilakukan. Tidak ada taklif dalam perkara yang di luar kendali manusia, seperti dalam masalah cinta, dll. Cinta yang di luar kendali manusia ini adalah cinta kepada selain Allah dan Rasul. Adapun cinta kepada Allah dan RasulNya, itu adalah kecintaan yang dapat diusahakan dan setiap mukmin dituntut untuk melakukannya. Masyaqqah dalam Amalan : Fakta membuktikan bahwa tidak ada hukum yang bebas dari masyaqqah. Ini tidak bertentangan dengan syarat yang disebutkan di nomor dua, karena: 1.Selama itu masih dalam batas normal dan bisa ditanggung oleh mukallaf, maka masyaqqah itu tidak bisa menjadi penghalang dibebankannya hukum taklif. 2.Jika sudah melebihi batas normal, maka ada tiga keadaan : Terdapat masyaqqah karena suatu sebab yang tidak biasanya. Dalam hal ini boleh mengambil rukhshah. Terdapat masyaqqah yang sangat berat dilalui, tapi amalan tersebut harus dilaksanakan sebagai fardhu kifayah, seperti jihad fi sabilillah. Dalam hal ini sebagian umat harus menempuh masyaqqah tersebut, walaupun itu sulit.

22

Qala Syaikh Mu'in : Barometer Darul Islam /Darul Kufr ini adalah rakyat. Kalau rakyatnya mayoritas muslim, maka wilayahnya adalah Darul Islam, walaupun sistemnya kafir.

37

Masyaqqah yang datang karena kesengajaan dari mukallaf, bukan dari sebab amalan itu sendiri. Yang seperti ini harus dihindari, karena tidak ada manfaatnya bagi mukallaf. Misalnya, orang yang sengaja berjemur dalam keadaan puasa. Seperti ini tidak boleh dilakukan, karena sedikitpun tidak menambah kebaikan, bahkan justru sebaliknya.

13 Jumadal Akhirah 1430 H 07 Juni 2009

HAK ALLAH DAN HAK MANUSIA DALAM AMALAN (ALMAHKUM FIH ) 1. Sebagian dari hukum yang diberikan Allah Ta'ala ada yangmenyangkut hak-hak manusia secara perorangan. Amalan yang seperti ini, maslahatnya hanya kembali kepada pribadipribadi tertentu saja, yang secara langsung memiliki hak terhadap mukallaf. Contoh : Hukum 2. Sebagian yang lain ada yang hanya menyangkut hak Allah semata, dan tidak terdapat hak-hak manusia padanya. Contoh : Ibadah-ibadah mahdhah, seperti shalat, puasa, kafarat dll. 3. Ada pula amalan yang menyangkut hak Allah sekaligus hak manusia. Di sini, bisa saja hak Allah lebih dominan, seperti pada hukum qadzaf, atau hak manusia yang lebih dominan, seperti dalam hukum qishas untuk orang yang membunuh dengan sengaja. 4. Perbedaan antara hak Allah Ta'ala dengan hak manusia adalah, bahwa hak-hak Allah itu dibangun atas dasar musamahah (sikap toleran), sementara hak-hak manusia dibangun atas asas musyahah (ketidakmauan untuk mengalah).

HAK ALLAH :Yang disebut hak Allah ada dua macam : 1. Hak Allah murni 2. Hak Allah yang berarti hak publik

38

Hak Allah murni : 1. Yang dimaksud dengan hak Allah murni adalah, hak yang semata-mata untuk Allah saja, tanpa terdapat hak-hak publik maupun individu manusia padanya. Contohnya adalah : Ibadah-ibadah mahdhah, seperti shalat, puasa dll. Hukum-hukum kaffarah, seperti kaffarah hintsul yamin, kaffarah membunuh tanpa sengaja, atau kaffarah karena sengaja berbuka pada siang bulan Ramadlan. 2. Hak Allah dibangun atas dasar musamahah (sikap toleran). Salah satunya dengan diberikannya rukhshah kepada mukallaf pada kondisi-kondisi tertentu, seperti rukhshah untuk mengucapkan kalimat kufur dalam keadaan terpaksa dll. Begitu pula apabila ada hak Allah dan hak manusia yang sama-sama harus ditunaikan, sementara tidak mungkin mengerjakan dua-duanya, maka hak manusialah yang didahulukan. Misalnya, ketika seseorang meninggal padahal dia punya tanggungan kaffarat (hak Allah), sekaligus hutang (hak manusia). Ketika tidak mungkin melakukan keduaduanya, maka hak Allah bisa digugurkan, sementara hak manusia harus diprioritaskan. Hak Allah dalam Arti sebagai Hak Publik : 1. Yang dimaksud di sini adalah hak Allah yang berkaitan dengan hak publik. Artinya, manfaat dan maslahat amalan tersebut kembali kepada masyarakat luas, bukan individual. Karena sifat syumuliyah nya ini, maka sebagai pengagungan, dia dinisbatkan kepada Allah, sehingga disebut hak Allah. 2. Karena di sini terdapat hak-hak publik, maka asas yang berlaku adalah musyahah (ketidakmauan untuk mengalah). Karenanya, hak-hak ini tidak bisa digugurkan hanya dengan permintaan syafa'at dari manusia.

39

.Ibadah yang padanya ada unsur mau'nah. Contohnya adalah zakat fitri. Amalan ini merupakan ibadah untuk taqarrub kepada Allah, sehingga ada hak Allah di situ. Tetapi, ibadah ini dibebankan kepada mukallaf karena sebab orang lain (yaitu fuqara'). Maka di situ ada unsur ma'unah kepada orang lain. Mau'nah yang padanya ada unsur ibadah. Contohnya adalah Pajak tanah yang dipungut dari orang-orang non muslim yang berada di dalam wilayah kekuasaan muslimin. Hasil pajak ini dikembalikan kepada kepentingan daulah Islamiyah. 'Uqubat kamilah. Maksudnya hukum had yang ditegakkan semata-mata untuk memberikan hukuman kepada pelaku pidana. Misalnya: hadduz zina, haddus syurb, haddus sariqah, hadd bagi para perampok jalanan (quththa' thariq), atau hukum muharabah. 'Uqubat qashirah, yaitu hukuman bagi orang yang membunuh kerabatnya, bahwa dia tidak mewarisi orang yang terbunuh. Disebut qashirah, karena tidak ada hukuman badan padanya. Hukuman yang mengandung unsur ibadah, yaitu Dikatakan mengandung unsur ibadah karena kaffarah tersebut dilaksanakan dalam bentuk ibadah, yaitu puasa, memerdekakan budak, atau bershadaqah. Hak yang berdiri sendiri, dan tidak menjadi beban bagi mukallaf. Yang masuk jenis ini adalah khumus ghanimah dan harta-harta temuan dari dalam perut bumi.

AL-MAHKUM 'ALAIH1. Al-mahkum 'alaih = mukallaf (menurut ushuliyyun), yaitu orang yang terkena khithab Syari'. 2. Syarat sahnya taklif:

40

Al-Mahkum Fih (ditinjau dari hak-hak yang ada padanya) :

1. Al-mahkum fih ada yang murni menyangkut hak Allah, danada yang murni berkaitan dengan hak 'ibad. Ada pula yang menyangkut hak Allah sekaligus juga hak 'ibad. Untuk yang terakhir ini, bisa jadi hak Allah lebih dominan, atau kebalikannya. 2. Suatu hukum bisa dikatakan menyangkut hak Allah apabila maslahatnya kembali kepada publik secara umum, bukan untuk perorangan. Contoh: Hadduz zina, had bagi pencuri, dan hukuman untuk orang yang melakukan muharabah terhadap jama'ah muslimin. 3. Jika maslahatnya hanya dirasakan oleh pribadi tertentu saja, maka dia dikatakan menyangkut hak 'ibad. 4. Apabila dalam hukum itu terdapat hak individu, tetapi terdapat juga maslahat untuk publik, maka hukum tersebut merupakan campuran antara hak Allah dengan hak 'ibad. Contoh: Qishas bagi orang yang membunuh dengan sengaja. Ini merupakan campuran antara hak publik (karena terdapat maslahat bagi mujtama'), sekaligus juga hak individu (keluarga orang yang terbunuh). 5. Suatu hukum pidana yang menyangkut hak publik, tidak bisa digugurkan dengan permintaan syafaat dari manusia. 6. Hukum yang menyangkut hak 'ibad bisa digugurkan dengan permintaan dari pihak yang memiliki hak.

41

AL-MAHKUM 'ALAIH (MUKALLAF)Batas dimulainya masa taklif: Taklif membutuhkan adanya kesiapan dari mukallaf untuk melaksanakan apa yang dibebankan kepadanya. Karena itu, Syari' memberikan batasan yang sangat jelas kapan dimulainya masa taklif ini, yaitu setelah orang mengalami masa baligh. Pada usia ini, seseorang sudah memiliki kematangan akal untuk mengetahui baik dan buruk, sehingga secara umum dia sudah bisa mengerjakan taklif sesuai yang diminta oleh Syari'.

Perincian tentang Ahliyyah (Kecakapan / Kelayakan untuk Memperoleh dan Menunaikan Hak / Kewajiban)

1. Ahliyyatul Wujub :Ahliyyatul wujub adalah kelayakan untuk memperoleh hak atau kewajiban. Syarat ahliyyatul wujub ini adalah adanya kehidupan pada seseorang. Bahkan janin pun dikatakan memiliki ahliyyatul wujub (meskipun ahliyyahnya naqish, karena dia hanya bisa mendapatkan hak tetapi tidak dibebani kewajiban). Karenanya, dia berhak mendapat warisan, wasiat, dan semua jenis mu'amalat yang tidak memerlukan ijab dan qabul.

2. Ahliyyatul Ada' (Ahliyyatut Taklif):Ahliyyatul ada' adalah kecakapan untuk melaksanakan hukumhukum syar'i. Syaratnya adalah tamyiz (baligh). 'Awaridhul Ahliyyah (keadaankeadaan yang menyebabkan hilangnya / berubahnya status ahliyyah): Ahliyyatul ada' bisa berubah keadaannya, karena kondisi-kondisi tertentu yang dialamai oleh mukallaf. Dua jenis 'awaridhul ahliyyah: 1. 'Awaridh samawiyyah : 'awaridh yang datang dari Allah Ta'ala, bukan dari pilihan mukallaf, yaitu : sakit, gila, idiot, lupa, ketiduran / pingsan, dan mati. 2. 'Awaridh muktasabah : 'awaridh yang datang karena usaha manusia, sama saja usaha itu merupakan perbuatan orang itu

42

sendiri, ataupun orang lain. 'Awaridh muktasabah yang berasal dari diri sendiri adalah : kebodohan, gurauan, ketidaksengajaan, safah (ketidakcakapan dalam mengelola harta), dan mabuk. Sedang 'awaridh muktasabah yang berasal dari orang lain adalah paksaan.

***

43

DALIL-DALIL SYAR'ITa'rif dalil: Sesuatu yang bilamana kita melihatnya dengan bantuan logika yang benar, memungkinkan kita untuk mengetahui suatu hukum syar'i. Dalil-dalil syar'i tidak mungkin bertentangan dengan akal. Klassifikasi dalil: a) Ditinjau dari segi sepakat dan tidaknya para ulama dalam beristidlal dengannya: Yang disepakati oleh para ulama sebagai dalil syar'i, yaitu AlQur'an dan As-Sunnah. Yang disepakati oleh jumhurul ulama, tetapi tidak disetujui oleh sebagian kecil mereka, yaitu Ijma' dan Qiyas. Jumhur menerima dua hal ini sebagai dalil syar'i. Akan tetapi, oleh sebagian pengikut Mu'tazilah dan Khawarij, ijma' tidak diterima sebagai dalil. Begitu pun dalam masalah qiyas, madzhab Dzahiri23 dan Ja'fari tidak menganggapnya sebagai dalil di dalam syari'at. Yang diperselisihkan oleh mayoritas ulama : 'Urf, Istishab, Istihsan, Maslahah Mursalah, Syari'at umat terdahulu, dan madzhab shahabi. b) Ditinjau dari sumber pengambilannya: Dalil naqli: dalil yang sandarannya adalah naql. Ini mencakup al-Qur'an, as-Sunnah, ijma', madzhab shahabi, dan syari'at umat terdahulu. Dalil 'aqli: dalil yang sandarannya adalah akal dan logika. Dalil-dalil ini ialah qiyas, istihsan, istishab, dan maslahah mursalah. Tetapi, walaupun 'aqli, landasan utamanya tetaplah Al-Qur'an dan AsSunnah, sebab akal tidak mungkin menentukan suatu hukum secara mandiri.

***

23

Qala Ustadz Mu'in: "Ada yang mengatakan, bahwa khilafnya ahli dzahir tidak perlu dianggap."

44

AL-QUR'AN Ta'rif: Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad , yang tertulis di dalam lembaran-lembaran mushaf, yang membacanya merupakan ibadah, dan sampai kepada kita melalui jalur mutawatir, serta mampu membuktikan sendiri kemukjizatannya, dengan surat terpendeknya sekalipun. Penjelasan Ta'rif:

Allah Ta'ala:

Kalam Allah, sebagaimana firman

.

Diturunkan kepada Nabi Muhammad secara munajjaman selama 23 tahun masa kenabian sebagai tatsbit untuk hati beliau. Tetulis di dalam lembaran-lembaran mushaf. Keotentikannya dibuktikan oleh dua hal, yaitu kitabah (dengan tulisan di dalam mushaf), dan qira'ah (melalui hafalan para qurra'). Diriwayatkan melalui jalur mutawatir. Karena itu, semua qira'ah syadzdzah tidak dianggap sebagai Qur'an. Qira'ah tersebut hanya berfungsi sebagai tafsiran saja. Mampu membuktikan kemukjizatannya sendiri, tanpa membutuhkan hal-hal di luar dirinya. Adapun kitab-kitab lainnya, tidak memiliki kemampuan untuk itu, sehingga harus didukung oleh mukjizat-mukjizat lain dari luar. Karenanya, Taurat butuh tongkat Nabi Musa, dan Injil butuh mukjizat Nabi Isa 'alaihimassalam.

24

Khawash (Ciri khas) Al-Qur'an24:

Dalam kitab Al-Wajiz, pada bab ini disebutkan juga tentang kemukjizatan AlQur'an dan jalur periwayatannya yang mutawatir, dengan keterangan seperti yang telah dicantumkan pada "Penjelasan Ta'rif" poin keempat dan kelima.

45

1. Al-Qur'an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Qur'an, karena tidak diturunkan kepada nabi Muhammad . 2. Al-Qur'an adalah kumpulan lafadz dan makna. Maksudnya, secara lafdzi Al-Qur'an merupakan kalam Allah yang disampaikan oleh Rasulullah apa adanya, tanpa pengubahan pada lafadz maupun maknanya. Oleh sebab itulah, tafsir Al-Qur'an atau terjemahnya tidak disebut AlQur'an. Ini berbeda dengan sunnah, yang juga merupakan wahyu Allah, tetapi diwahyukan kepada Rasulullah secara maknawi, dan disampaikan kepada ummat dengan redaksi beliau sendiri. 3. Tanggung jawab penjagaan AL-Qur'an ada pada Allah Ta'ala. Allah berfirman :

. Karena itu, kitab-kitab lain tidak disebut Al-

Ta'ala :

. Dan untuk itu, Allah siapkan sebab-sebab kauniyah demi menjaga keotentikannya. Berbeda dengan Taurat, Injil dan lainnya, tanggung jawab untuk menjaganya dibebankan kepada para ulama mereka, seperti firman Allah

25

1. 2. 3.25

Hukum-hukum di dalam Al-Qur'an: Masalah 'aqidah (ilmu tauhid) Masalah akhlak (ilmu akhlaq/tashawwuf) Masalah 'amaliyyah (fiqih):

Tambahan dari al-faqirah sendiri : di kitab Al-Wajiz, terdapat penjelasan tentang "Wujuhu I'jazil Qur'an" (sisi-sisi kemukjizatan Al-Qur'an), yang belum diterangkan oleh Ustadz Mu'in, yaitu : a. Balaghahnya, yang tak seorang pun bangsa Arab sanggup menandinginya. b. Berita tentang kejadian-kejadian di masa depan, yang sebagiannya sudah terbukti nyata, seperti ayat c. Berita mengenai umat-umat terdahulu, yang sedikit pun tidak diketahui oleh bangsa Arab pada masa itu. d. Isyarat Al-Qur'an terhadap sebagian fenomena alam yang belakangan dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah.

46

a.dll. b.

Ibadah (mahdhah) seperti shalat, puasa, Mu'amalah:

1) Hukum tentang usrah:Termasuk di dalamnya masalah pernikahan, thalaq, nasab, hubungan bapak-anak, perwalian dsb. 2) Hukum perdagangan. 3) Hukum pengadilan, sumpah, dan persaksian. 4) Hukum-hukum pidana. 5) Perundang-undangan Negara. 6) Hubungan internasional. 7) Hukum perekonomian. Metode Al-Qur'an dalam menyampaikan hukum: 1. Menetapkan kaidah / undang-undang umum, dan menjelaskan hukum secara global. Metode ini mencakup perkara yang sifatnya dapat berubah seiring perkembangan zaman. Tujuannya adalah supaya hukum syari'at selalu fleksibel untuk diterapkan dalam setiap kondisi, dan di setiap masa. Kaidah umum yang disebutkan di dalam Al-Qur'an di antaranya adalah tentang : syuro, keadilan, asas bahwa tiap manusia menjadi penanggung dosanya sendiri, haramnya harta orang lain, tolong menolong dalam kebaikan, dll. 2. Menjelaskan hukum secara rinci untuk halhal yang bersifat permanen. Metode seperti ini sedikit sekali di dalam Al-Qur'an. Contoh: Hukum faraidh, batas maksimal hukum hadd, tata cara thalaq, dll.

Uslub (gaya kalimat) yang digunakan Al-Qur'an untuk menunjukkan suatu hukum tertentu:(Al-Wajiz, hal. 158-159)

Penjelasan tentang hukum-hukum di dalam Al-Qur'an tidak monoton dengan satu gaya kalimat tertentu, melainkan dengan uslub yang berbeda-beda. 1. Untuk menunjukkan wajib atau mandub: Dengan menyebutkan perintah yang berarti wajib/ mandub, menyertakan kata pujian, kecintaan, sanjungan, atau adanya pahala dan ganjaran.

47

2.

Untuk menunjukkan haram atau makruh. Dengan menyebutkan larangan yang bermakna haram/ makruh, menyertakan perintah untuk menjauhi/ meninggalkan, mengiringi dengan ancaman siksaan, atau menyatakan bahwa pelakunya seperti binatang dan syaithan. 3. Untuk menunjukkan mubah: Dengan menyatakan kehalalannya, mengatakan bahwa tidak ada dosa bagi pelakunya, atau dengan bentuk pengingkaran terhadap orang yang mengharamkannya. Dilalah ayat-ayat Al-Qur'an terhadap hukum: Mata rantai periwayatan Al-Qur'an semuanya bersifat qath'i karena diriwayatkan dari jalur mutawatir. Demikian pula kebenaran setiap hukum yang ada padanya. Akan tetapi, dilalahnya terhadap hukum-hukum tersebut bisa jadi qath'i atau dzanni. 1. Dilalahnya Qath'i apabila : ayat itu secara jelas menunjukkan hukum tertentu, tanpa adanya takwil, atau ketidakjelasan di situ. Contoh: ayat tentang faraidh, yang secara pasti menyebutkan bagian-bagian warisan. 2. Dilalahnya Dzanni apabila : ayat itu ada kemungkinan ditakwilkan dengan makna yang berbeda-beda, seperti ayat tentang "tsalatsatu quru' " yang bisa diartikan dengan masa suci, atau masa haid. ***

48

SUNNAHTa'rif: 1. Menurut bahasa: Sunnah : sesuatu yang menjadi kebiasaan dan terus dilakukan berulang-ulang, sama saja apakah kebiasaan itu baik atau buruk. 2. Menurut istilah fuqaha': a. Sunnah = mandub. b. Sunnah vs bid'ah. 3. Menurut istilah ushuliyyun: Sunnah : segala sesuatu selain Al-Qur'an yang datang dari Rasulullah berupa ucapan, perbuatan, atau taqrir26. Dengan ta'rif ini, berarti sunnah = hadits. Sunnah sebagai mashdarut tasyri': Sunnah adalah mashdarut tasyri' (sumber pengambilan hukum syari'at). Dalilnya : 1. Dari Al-Qur'an : a. Al-Qur'an menunjukkan bahwa setiap yang diucapkan oleh Nabi selalu didasari wahyu. Berarti, ucapan beliau memiliki kedudukan yang sama dengan Al-Qur'an, karena keduanya merupakan wahyu dari Allah Ta'ala. Bedanya, Al-Qur'an diwahyukan secara lafdzi dan maknawi, sedang sunnah diwahyukan secara maknawi saja.

) )3( ( 4( ) b.Allah Ta'ala telah memberikan tugas kepada Rasulullah untuk menjelaskan isi Al-Qur'an. Karenanya, sunnah beliau merupakan dalil syar'i yang wajib diikuti. c. Nash-nash Al-Qur'an banyak yang secara qath'i menunjukkan wajibnya ittiba' terhadap Rasulullah antaranya dengan pernyataan tentang:26

27

. Di

Qala Ustadz Mu'in: Banyak orang yang tidak memperhatikan dalil yang berupa fi'il atau taqrir. Padahal yang namanya dalil tidak harus dari qaul. Sirah Nabi juga bisa jadi dalil.

49

Kewajiban mentaati Rasulullah , karena ketaatan kepada Rasul adalah ketaatan kepada Allah. 2) Keharusan mengembalikan perkaraperkara yang diperselisihkan kepada Allah dan RasulNya (Al-Qur'an dan Sunnah).

1)

3)Tuntutan untuk mengambil apa yang diperintahkan Rasulullah dan menjauhi apa yang beliau larang. 4) Vonis bahwa orang yang tidak mau berhukum kepada Rasulullah berarti tidak beriman. 5) Penegasan bahwasanya tidak ada pilihan lain bagi seorang mukmin dalam perkara yang sudah ditetapkan oleh Rasul-Nya. 6) Ancaman bagi orang yang menyelisihi perintah beliau, bahwa dia akan mendapat siksa dan akhir kesudahan yang buruk28. Dari ijma' : Seluruh muslimin sejak zaman sahabat hingga kini

2.

sepakat bahwa sunnah Rasulullah wajib diikuti seperti halnya Al-Qur'an, sebab keduanya sama-sama wahyu dari Allah Ta'ala.

3.

Dari ma'qul (logika):

Nabi Muhammad adalah Rasul yang bertugas untuk menyampaikan risalah Allah Ta'ala. Karenanya sangat logis apabila manusia diharuskan patuh kepada beliau, dan mengikuti sunnah-sunnah beliau. Sebab, mustahil seseorang bisa mengikuti risalah yang datang dari Allah Ta'ala tanpa dia mengikuti ajaran Rasul-Nya.27

Qala Ustadz Mu'in : Ini menunjukkan bahwa orang yang mengingkari Sunnah sebenarnya juga mengingkari Al-Qur'an, karena Al-Qur'an sendiri menegaskan bahwa Sunnah merupakan hujjah di dalam syari'at. 28 Qala fadhilatuh : Imam Syafi'i menambah lagi dengan "ancaman bahwa pelakunya akan jatuh ke dalam syirik". Dalilnya:

50

Klassifikasi Sunnah ditinjau dari mahiyyahnya : 1. Sunnah Qauliyyah : Qaul nabi menjadi mashdarut tasyri' apabila maksudnya adalah untuk menjelaskan atau mensyariatkan suatu hukum tertentu. Adapun apabila itu murni dalam perkara duniawi yang tidak ada sangkut pautnya dengan syari'at, maka qaul Nabi bukan mashdarut tasyri'.29

2.

Sunnah Fi'liyyah : Af'al Nabi bisa dipilahkan dalam beberapa kategori. Di antaranya ada yang menjadi mashdarut tasyri' dan ada pula yang tidak30. a. Af'al jibiliyyah: Af'al jibiliyyah yaitu amalan-amalan yang merupakan rutinitas beliau sebagai manusia biasa, seperti: makan, minum, duduk, dsb. Yang seperti ini, tidak termasuk dalam bab tasyri', kecuali sekedar menunjukkan kebolehannya bagi mukallaf. Karenanya, af'al yang semacam ini tidak wajib untuk diikuti31, meskipun ada juga sahabat Nabi yang membiasakan diri untuk turut melakukan semua yang dilakukan oleh Rasulullah . Termasuk dalam jenis ini juga, segala yang dilakukan Nabi atas dasar perhitungan, perkiraan, pengalaman, atau kemampuan beliau sebagai manusia biasa (bukan atas "doktrin" wahyu)32.29

Syaikh Mu'in tidak setuju dengan statemen ini. Menurut beliau, semua ucapan Rasulullah adalah mashdarut tasyri', walaupun itu di dalam urusan duniawi murni. Segala ucapan beliau pasti memuat hukum, minimal menunjukkan ibahah. 30 Ini juga Ustadz Mu'in tidak setuju. Mestinya, kata beliau, klassifikasinya bukan dalam hal apakah perbuatan Nabi itu menjadi mashdarut tasyri' atau tidak, melainkan apakah semua perbuatan Nabi merupakan sunnah yang harus diikuti ataukah tidak. 31 Dari sini, nampak bahwa sebenarnya maksud dari statemen Dr. Abdul Karim Zeidan bahwa sebagian sunnah Nabi itu tidak menjadi mashdarut tasyri' ialah bahwa sunnah dari jenis tersebut tidak harus diikuti. Sama seperti yang dikatakan oleh Ustadz Mu'in. 32 Al-Faqirah pernah bertanya kepada Ustadz Mu'in (tgl. 5 Juli 2009/ 12 Rajab 1430 H) tentang apakah semua yang dilakukan / diucapkan oleh Rasulullah itu selalu didasari wahyu. Jawab beliau, "Jika di situ ada tasyri', maka pasti itu datang dari

51

Contoh :

Strategi Rasulullah

dalam mengatur pasukan. Beliau sendiri, ketika menempatkan pasukan di Badr, pernah menyatakan bahwa posisi yang beliau ambil itu hanya sekedar ra'yi, harb, dan makidah.

Putusan beliau dalam mengadili dua kelompok yangbersengketa. Dalam hal semacam ini, Rasulullah

hanya memutuskan berdasarkan hujjah yang beliau dengar, bukan atas "doktrin" wahyu. Mengenai hal ini, Rasulullah

Ini menunjukkan bahwa vonis apa pun yang beliau jatuhkan terhadap dua kelompok tersebut, hanya didasarkan pada analisa beliau semata33. Karenanya, mungkin saja pihak yang sebetulnya bersalah malah diputuskan benar, gara-gara argumennya lebih kuat daripada rivalnya.

( )

pernah menyatakan:

Af'al yang khusus untuk Rasulullah : Amalan yang diketahui khusus untuk beliau, tidak boleh bagi umat untuk mengikutinya. Contohnya seperti : beristri lebih dari empat, puasa wishal, melakukan qadha' shalat sunnah ba'da dzuhur setelah menunaikan shalat ashar karena tidak sempat melakukannya pada waktunya dll.

b.

wahyu, karena beliau tidak bicara berdasarkan hawa nafsu. Akan tetapi, apabila kita tahu bahwa tidak ada tasyri' padanya, maka itu bukan dari wahyu." Selanjutnya Ustadz Mu'in mencontohkan dengan strategi perang yang dilakukan oleh Rasulullah. 33 Adapun soal asas pemutusan perkara berdasarkan argumentasi, ini jelas dasarnya adalah wahyu (Dr. Abdul Karim Zeidan dalam Al-Wajiz)

52

c.

Af'al Nabi yang menjadi penjelas bagi ayatayat Qur'an yang mujmal: Misalnya, tentang tata cara shalat, manasik haji, bagaimana memotong tangan pencuri, dsb. Sunnah dari jenis ini menjadi tasyri' bagi umat. Af'al yang dilakukan Rasulullah ibtida'an 34 dan diketahui hukumnya secara syar'i: Amalan Nabi yang seperti ini juga menjadi tasyri' bagi ummat. Dengan begitu, ummat mendapat taklif dengan amalan tersebut. Taklif ini bisa jadi mengacu kepada wajib, mandub, maupun mubah. Dasarnya adalah:

d.

(21 :) Af'al Rasulullah yang belum diketahui hukumnya secara syar'i: Dalam konteks ini hendaknya dilihat, apakah amalan tersebut ditujukan untuk qurbah 35 kepada Allah, ataukah tidak? Jika ya, berarti hukum melakukannya bagi ummat adalah mustahabb. Contohnya adalah ibadah yang hanya sesekali

e.

dilakukan oleh Rasulullah . Adapun jika tidak ada unsur qurbah padanya, maka hal itu menunjukkan ibahah. Misalnya dalam soal jual beli, pertanian, dll. 3. Sunnah Taqririyyah : Yang dimaksud dengan sunnah taqririyyah ini adalah diamnya Nabi tanpa adanya pengingkaran tatkala beliau mendengar suatu ucapan, atau mengetahui suatu perbuatan.

34

Atas "inisiatif sendiri", bukan sebagai penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. (Pengartian kata "ibtida'an" ini murni dari pemahaman al-faqirah sendiri, karena Syaikh Mu'in tidak menjelaskannya) 35 Qala Syaikh Mu'in : Yang dimaksud dengan Qurbah (taqarrub) di sini adalah qurbah dalam artian khusus, yang tujuannya semata-mata hanya untuk beribadah. Terlepas dari hal itu, semua yang dilakukan oleh orang beriman,walaupun dalam urusan duniawi, bisa juga diniatkan untuk qurbah kepada Allah Ta'ala.

53

Sikap diam beliau ini menunjukkan mubahnya ucapan atau perbuatan tersebut, sebab tidak mungkin Rasulullah ketika melihat adanya kemungkaran. Contoh :

diam

Diamnya

Rasul ketika melihat budak-budak Habasyah bermain pedang di masjid. Diamnya beliau tatkala ada dua orang jariyah yang menyanyi di kamar Aisyah pada hari 'Ied. Malhudhat: Diamnya Nabi terhadap sesuatu tidak menunjukkan lebih dari sekedar ibahah. Tetapi, bukan berarti amalan yang beliau biarkan tersebut hukumnya selalu mubah. Bisa saja amalan itu wajib, atau mandub. Hanya saja, dalil untuk wujub atau nadbnya itu tidak bisa diambil dari sikap diamnya Rasulullah

ini, tetapi dari dalil-dalil yang lain. Contoh36:

Mengulang takbir Imam untuk memperdengarkan kepada makmum. Perbuatan ini pertama kali dilakukan oleh Abu Bakr asShiddiq, ketika Rasulullah mengimami dalam kondisi sakit. Ini termasuk sunnah taqririyah yang ditunjukkan oleh diamnya Nabi. Tapi, memperdengarkan takbir ini hukumnya tidak sekedar mubah. Di saat Imam tidak bisa mengeraskan suaranya, salah seorang makmum wajib memperdengarkan suara takbir. Hukum wajib ini tidak diambil dari diamnya Rasulullah, melainkan dari dalil bahwa syarat sempurnanya shalat jama'ah itu ialah apabila makmum dapat mendengar suara Imam.

36

Adzan sambil memutar badan ke arah kanan dan kiri. Ini awalnya dilakukan Bilal dengan tujuan agar suaranya dapat Contoh ini diberikan oleh Ustadz Mu'in, pada pertemuan yang ke , tgl. 5 Juli 2009

54

37

didengar dari segala penjuru. Ketika melihatnya, Rasulullah diam tanpa pengingkaran. Ini menjadi sunnah taqririyah yang tiap muadzin dianjurkan untuk melakukannya.

Klassifikasi Sunnah berdasarkan jalan periwayatannya: 1. Sunnah Mutawatir & Sunnah Masyhur38: Semua ulama sepakat bahwa sunnah-sunnah mutawatir dan masyhur wajib dijadikan hujjah. Tidak seorang pun yang mengingkarinya kecuali "munkirus sunnah". 2. Sunnah Ahad:

Dalil yang menunjukkan kehujjahan sunnah-sunnah ahad: a. Firman Allah Ta'ala:

Ayat ini menunjukkan bahwa khabar yang dibawa satu orang dalam urusan dien, juga bisa diterima, sebab aqallut tha'ifah adalah satu. b. Rasulullah biasa mengirimkan da'i, qadhi, atau 'amil ke daerah-daerah seorang diri. Dan wajib bagi penduduk tiap daerah untuk menerima apa pun risalah37

(122)

Mimmas-tafadnaahu minal Ustadz : Syaikh Bin Baz menganggap do'a setiap selesai shalat adalah bid'ah, dengan dalih karena tidak ada satu pun ma'tsur dari Nabi dalam hal ini. Qala Syaikhuna : "Memang benar, tidak ada ma'tsur yang secara sharih menyebutkan bahwa Nabi dan para sahabat berdo'a setiap kali selesai shalat. Tetapi sebenarnya, ada ma'tsur yang mengisyaratkan hal ini, yaitu hadits yang menyebutkan bahwa do'a paling mustajab adalah yang dilakukan dubura kulli shalah." 38 Ustadz Mu'in tidak membacakan ta'rif mutawatir dan masyhur. Di dalam AlWajiz (hlm.168) dijelaskan bahwa pembagian sunnah menjadi mutawatir, masyhur dan Ahad ini adalah menurut madzhab Hanafi. Adapun jumhur, mereka hanya memilahkan sunnah menjadi mutawatir dan ahad saja. Sedang masyhur, termasuk dalam bagian sunnah ahad.

55

yang dibawa kepada mereka, walaupun pembawa risalah itu hanya berjumlah satu orang.

c. d.

39

Dalam Islam, kesaksian dua orang dapat diterima sebagai dasar peradilan, padahal ada ihtimal keduanya berdusta. Jika kesaksian semacam ini saja bisa diterima, maka riwayat ahad yang disandarkan kepada Nabi lebih pantas lagi untuk diamalkan sebagai hujjah. e. Ijma' para sahabat dalam menerima khabar ahad dalam berbagai kejadian. Misalnya: Dalam hal warisan untuk nenek. Abu Bakar menerima persaksian seorang sahabat yang menyatakan bahwa dia melihat Rasulullah memberikan bagian 1/6 warisan kepada nenek. Umar bin Khattab mengambil jizyah dari orang-orang Majusi dengan berpegang pada sunnah ahad.

Syarat diamalkannya sunnah ahad: A. Syarat yang diajukan Syafi'iyyah, Hanabilah, Dzahiriyyah, Ja'fariyyah, dan sebagian fuqaha' madzhab lainnya: Bagi mereka, cukup apabila sunnah tersebut diriwayatkan orang-orang tsiqat dengan sanad yang muttashil. B. Syarat yang diajukan Malikiyyah : a. Diriwayatkan orang-orang tsiqat dengan sanad muttashil. b. Riwayat ahad tersebut harus tidak menyelisihi amalan ahli Madinah, sebab menurut Imam Malik- amalan ahli Madinah itu sebanding dengan sunnah mutawatir. Hal ini didasari oleh pandangan Imam Malik bahwa ahli Madinah mewarisi amalan tersebut dari generasi pendahulu

39

Nomor tiga ini tidak diterangkan oleh Syaikh Mu'in. Di dalam Al-Wajiz, dijelaskan bahwa alasan yang ketiga adalah: "Sesungguhnya setiap orang awam wajib mengikuti apa yang difatwakan oleh mufti, padahal bisa jadi mufti tersebut bicara berdasarkan dzann saja. Jika demikian halnya, maka khabar yang dibawa oleh seseorang yang tidak diragukan lagi sima'nya dari Nabi, lebih pantas untuk diterima sebagai hujjah."

56

mereka, dan generasi pendahulu mewarisinya langsung dari Rasulullah. Contoh hadits ahad yang ditinggalkan Imam Malik karena menyelisihi amalan ahli Madinah: Hadits " ". Imam Malik menolak mengamalkan hadits ini dan mengatakan :

c. Sunnah ahad itu tidak boleh menyelisihi kaidah dan ushul yang telah ditetapkan dalam syari'at. Contoh hadits ahad yang dianggap menyelisihi kaidah ushul dan ditolak oleh Imam Malik : Hadits :

. . , .Alasannya: "Perintah untuk menyerahkan satu sha' tamr sebagai ganti susu yang diperah ini menyelisihi dua kaidah ushuliyah, yaitu :" " dan kaidah bahwasanya orang yang merusak/ menghilangkan sesuatu, hanya diharuskan untuk mengganti rugi dengan barang yang semisal atau seharga."40 Hadits yang menyebutkan suatu kejadian di mana Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat untuk membuang daging kambing dan unta yang saat itu tengah dimasak dan siap disantap. Perintah ini disampaikan Rasul karena binatang yang40

Ustadz Mu'in rahimahullah:

57

disembelih itu merupakan bagian dari ghanimah yang tidak semestinya diambil dan dimanfaatkan sebelum dibagikan. Imam Malik berpendapat bahwa: "Perintah untuk membuang makanan, yang notabene sangat dibutuhkan oleh para sahabat ketika itu, bertentangan dengan kaidah raf'ul haraj dan maslahah mursalah. Kalaupun memang ada larangan memakan daging ghanimah sebelum dibagi, maka sebenarnya cukup mereka diberitahu bahwa itu tidak boleh, tanpa perlu membuang makanan yang sudah terlanjur dimasak itu."41

C.

Syarat yang diajukan Hanafiyyah : a. Sanad riwayat harus muttashil dan diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabith. b. Sunnah ahad itu tidak menyangkut perkara yang sangat penting untuk diketahui orang banyak. Syarat ini didasarkan pada kaidah Abu Hanifah, bahwa sunnah-sunnah yang banyak dibutuhkan oleh umum, haruslah didapat dari jalur mutawatir atau masyhur. Jika jalurnya hanya ahad, itu menjadi bukti tidak shahihnya riwayat tersebut. Contoh hadits ahad yang ditolak oleh Abu Hanifah dengan alasan ini ialah: hadits tentang mengangkat

41

Qala Syaikhuna rahimahullah: "Untuk mendidik jiwa agar tidak tergantung pada hal-hal yang diharamkan, kadang-kadang memang diperlukan sikap tegas seperti yang dilakukan Rasulullah pada peristiwa ini. Beliau tidak sekadar melarang, tetapi juga memerintahkan untuk membuang makanan itu. Padahal ketika itu perut-perut dalam keadaan lapar dan orang-orang sudah membayangkan nikmatnya daging yang akan disantap. Peristiwa lain yang juga mencontohkan ketegasan sikap dalam menghadapi kebatilan, adalah yang dilakukan Nabi Musa terhadap bani Israil ketika mereka menyembah anak sapi. Nabi Musa membakar patung anak sapi yang terbuat dari emas itu lalu membuang abunya ke tengah laut. Beliau tidak memotong-potong dan membaginya untuk kepentingan orang banyak, karena saat itu hati bani Israil sudah sedemikian lekatnya kepada benda tersebut. Maka, sebagai zajr, beliau akhirnya memusnahkan anak sapi itu hingga tak tersisa darinya sedikitpun."

58

tangan ketika shalat. Alasannya, karena shalat adalah amalan yang berulang-ulang dilakukan setiap hari, sehingga dalil-dalil untuknya haruslah mutawatir atau masyhur. c. Sunnah ahad itu tidak boleh menyelisihi qiyas yang shahih, atau kaidah ushul yang telah ditetapkan dalam syari'at, dan rawinya haruslah orang yang faqih. Sebab, jika dia bukan orang yang faqih, akan ada kemungkinan dia salah memahami. Sehingga apabila meriwayatkan hadits secara maknawi, bisa saja dia menyampaikan sesuatu yang salah. Contoh hadits yang ditolak oleh Abu Hanifah dengan alasan ini ialah d. Perawi yang menceritakan riwayat tersebut harus tidak melakukan amalan yang menyelisihi sunnah yang dia bawa. Jika terbukti amalannya tidak sesuai dengan yang dia riwayatkan, maka menurut Hanafiyyah- hal itu menunjukkan adanya kemungkinan bahwa :

Sunnah itu telah dinasakh.

Rawi meninggalkannya karena melihat dalil lain yang lebih kuat darinya. Sunnah itu tidak diamalkan sebagaimana dzahir maknanya. Artinya, terdapat takwil dalam pengamalan sunnah tersebut. Sanggahan terhadap kaidah Malikiyyah dan Hanafiyyah dalam menerima Sunnah ahad :(Al-Wajiz, hlm.175)

1.

Sunnah ahad tidak boleh menyelisihi amalan ahli Madinah : Amalan ahli Madinah bukan ijma' yang mutlak harus diikuti, sebab mereka hanya sebagian dari ummat, bukan keseluruhannya. 2. Sunnah ahad tidak boleh menyelisihi kaidah dan ushul yang telah ditetapkan dalam syari'at:

59

Penyelisihan sunnah shahihah terhadap ushulus syari'ah semacam ini tidak mungkin terjadi, sebab sunnahlah yang menetapkan ushul dalam dien ini. Seandainya ada sebagian sunnah ahad yang nampaknya "bertentangan dengan ushuluddin yang sudah ada", maka sebenarnya ia merupakan ushul yang berdiri sendiri. Tidak ada pertentangan, karena masing-masing sunnah diberlakukan dalam lingkupnya sendiri. Dan penelitian telah membuktikan, bahwa sunnahsunnah ahad shahihah yang ditolak dengan dalih bertentangan dengan ushulus syari'ah ini, semua sebetulnya sejalan dengan syari'at, bukan menyelishinya. Tentang hadits "Musharrah" yang dianggap menyelisihi kaidah "al-kharaj bidh-dhaman" ini sudah dibantah oleh mushannif A'lamul Muwaqqi'in an Rabbil 'Alamin. Anggapan bahwa hadits musharrah itu menyelisihi hadits tentang "al-kharaj bidl-dlaman". Yang disebut kharaj adalah income seperti uang hasil kerja budak (miliknya)

3.

Sunnah ahad tidak bisa diterima apabila itu menyangkut perkara yang sangat penting dan banyak dibutuhkan oleh ummat. Banyak- tidaknya kebutuhan ummat terhadap suatu perkara tidak membawa pengaruh apapun terhadap diterima atau ditolaknya hadits-hadits ahad. jalur periwayatan ahad tidak menunjukkan bahwa hanya satu orang sahabat saja yang mengetahuinya, sementara yang lain tidak. Bisa jadi hal itu dikarenakan masalah tersebut sudah jamak diketahui, sehingga mayoritas sahabat merasa tidak perlu lagi untuk menyampaikannya. Atau karena para sahabat merasa tidak perlu lagi menyampaikan ketika melihat sudah ada salah seorang dari mereka yang menjelaskannya. 4. Sunnah ahad tidak boleh menyelisihi qiyas yang shahih. Anggapan bahwa hadits "musharrah" itu menyelisihi qiyas tidak bisa dibenarkan.

60

5.

Orang (sahabat) yang membawakan hadits itu haruslah orang yang faqih. Semua sahabat yang menyampaikan sunnah pasti faqih terhadap sunnah yang dia bawa, karena banyaknya mereka bergaul bersama Rasul, sehingga tahu betul bagaimana sunnah itu diterapkan. Ditambah lagi, pengetahuan bahasa mereka sangat baik, sehingga kecil kemungkinan mereka salah dalam memahami sunnah tersebut. Andaipun benar bahwa sahabat itu tidak faqih, hal itu tidak berpengaruh terhadap sunnah yang ia bawa, sebab bisa jadi orang yang . Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah:

6.

Perawi yang menceritakan riwayat tersebut harus tidak melakukan amalan yang menyelisihi sunnah yang dia bawa. Perbuatan rawi yang menyelisihi sunnah yang dibawanya tidak bisa menjadi alasan untuk melemahkan sunnah tersebut, sebab bisa saja rawi itu melakukan amalan hal itu karena salah, atau lupa.

Riwayat mursal (dari tabi'i langsung kepada Nabi) : Menurut Dzahiriyyah, riwayat mursal sama sekali tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut Syafi'iyyah, riwayat mursal tidak bisa diterima kecuali jika diriwayatkan oleh kibarut tabi'in, seperti Sa'id bin Muasayyab di Madinah, atau Hasan al-Bashri di Irak42. Itu pun, riwayat tersebut masih harus dikuatkan dengan salah satu syarat berikut ini: Terdapat riwayat musnad dari jalur lain yang semakna dengan riwayat mursal itu. Meskipun, sebenarnya yang menjadi hujjah dalam hal ini bukan riwayat mursal itu, melainkan riwayat yang musnad tersebut.

42

Dr. Abdul Karim Zeidan hanya menjelaskan secara ringkas dalam masalah ini. Tambahan keterangan al-Faqirah ambilkan dari kitab Ushul Fiqih Abu Zahrah.

61

Riwayat tersebut sesuai dengan fatwa sahabat. Dengan demikian, riwayat itu hukumnya seperti marfu'. Jumhur ulama' memfatwakan sesuatu yang sesuai dengan isi riwayat tersebut.

43

Menurut Hanabilah, riwayat mursal tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika tidak didapati riwayat lain dalam bab itu yang sanadnya muttashil. Menurut Malikiyyah dan Hanafiyyah, tidak masalah apakah riwayat itu mursal ataukah musnad, asalkan rawi-rawinya tsiqat.44

43

Tambahan dari Ushul Fiqih Abu Zahrah : riwayat mursal tersebut dikuatkan oleh riwayat mursal lainnya yang diterima oleh para ulama. Dengan demikian, kedua riwayat musal itu saling menguatkan. 44 Bahkan, Imam Malik dan Abu Hanifah tidak sekedar menerima mursal tabi'i (yaitu yang tidak disebutkan di situ nama shahabi) saja. Keduanya juga menerima mursal tabi'ut tabi'i (yang tidak disebutkan nama tabi'i dan shahabi padanya), asalkan rawi-rawinya tsiqat, dengan asumsi bahwa orang yang tsiqat tidak mungkin berdusta. Jika dia mengatakan "Rasulullah bersabda", maka itu berarti, dia benarbenar yakin bahwa memang seperti itulah adanya. Sikap mudah Imam Malik dan Abu Hanifah dalam mengambil hadits-hadits mursal ini disebabkan karena kedua Imam ini hidup di masa tabi'in dan atba'ut tabi'in. Adapun Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal, masa mereka telah jauh dari zaman para tabi'i. Karenanya, keduanya pun melakukan penyaringan yang ketat terhadap riwayat-riwayat mursal seperti ini. (Sumber: Ushul Fiqih Abu Zahrah, hal. 106-107)

62