tugas ushul fiqh

19
LAFAZH MUTLAQ Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Mata Kuliah Ushul Fiqh II Oleh: 1. Ubaidillah Al-Masyariqi (092321020) 2. Putry Rezky Amalia (092323021) 3. Firdaus Kurniawan (092323024) 4. Mufti Hasan (1123201008) 5. Arif Sulaiman Bakhtiar (1123201018) 6. Muhammad Ishaq (1123201020) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PURWOKERTO 2012

Upload: rina-dwi-suryani-rina

Post on 05-Dec-2014

86 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: tugas ushul fiqh

LAFAZH MUTLAQ

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Mata Kuliah

Ushul Fiqh II

Oleh:

1. Ubaidillah Al-Masyariqi (092321020)

2. Putry Rezky Amalia (092323021)

3. Firdaus Kurniawan (092323024)

4. Mufti Hasan (1123201008)

5. Arif Sulaiman Bakhtiar (1123201018)

6. Muhammad Ishaq (1123201020)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

PURWOKERTO

2012

Page 2: tugas ushul fiqh

1

I. PENDAHULUAN

Perbedaan pendapat antara para imam madzhab merupakan sesuatu yang

lazim dijumpai dalam pembahasan fiqh. Perbedaan pendapat antara mereka dalam

mehamami dan menginterpretasi suatu lafazh merupakan salah satu penyebab utama.

Perbedaan pendapat ini juga dilandasi oleh ketidakjelasan redaksi hukum yang

disampaikan oleh syari’.

Pemahaman mengenai suatu lafazh, dan prosedur aplikasinya dalam

menetapkan suatu hukum, harus dilakukan secara komprehensif, agar para intelektual

muslim dapat memahami, bagaimana metode pengambilan suatu lafazh dalam ayat

dapat menjadi salah satu dasar hukum yang benar.

Pemahaman secara komprehensif mengenai lafazh mutlaq, nampaknya tidak

dapat terjadi jika tidak menyertakan pembahasan lafazh muqayyad. Oleh karena ini

maka dalam pembahasan ini, tidak hanya lafazh mutlaq, lafazh muqayyad juga akan

sedikit disinggung, dengan menjelaskan posisi keduanya dalam penetapan hukum,

khususnya dalam ekstraksi dasar hukum yang akan digunakan.

Page 3: tugas ushul fiqh

2

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian

Secara lughawy, muthlaq berarti :1

Terbebas dari batasan apapun.

Sedangkan dalam kajian ushul fiqh, ada beberapa pendapat ulama tentang

definisi dari lafazh mutlaq, antara lain :

1) Muhammad Abu Zahrah

Lafazh muthlaq adalah lafazh yang menunjukkan kepada sesuatu

permasalahan tanpa memandang pada satu, banyak, atau sifatnya akan tetapi

menunjuk pada hakikat dari sesuatu apa adanya2.

2) Abu Abdillah Badruddin Az-Zarkasy

Lafazh muthlaq adalah lafazh yang menunjukkan makna hakikat (sebenarnya) tanpa

ada batasan ini dan itu.3

Demi memudahkan pembahasan, maka akan diberikan beberapa contoh

lafazh mutlaq sebagai berikut:

1) Lafazh mutlaq yang tidak mengandung sifat (non characteristic)

Contoh dalam kehidupan sehari-hari:

Aku ingin menjadi guru.

Kata ‘guru’ di atas merupakan satu contoh bentuk lafazh muthlaq, karena

‘guru’ yang dimaksud oleh mutakallim (orang yang berbicara) adalah ‘guru’ dalam

pengertian yang sebenarnya, yaitu orang yang mengajar. Namun kata ‘guru’ tersebut

tidak diberi penjelasan apapun, apakah guru PAUD atau SD, apakah guru sekolah

atau madrasah, apakah guru matematika atau guru bahasa Jawa, dsb.

1 Abdul Karim bin Ali bin Muhammad, Al-Muhadzdzab fi ‘Ilmi Ushul al-Fiqh al-Muqaran,

Maktabah Syamilah, versi 3.36, juz 4, hlm. 1703.

2 Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, (Cairo: Dar Al-Fikr Al-Arabiy, tt), hlm. 170.

3 Abu Abdillah Badruddin Az-Zarkasy, Al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Maktabah Syamilah,

versi 3.36, juz 5, hlm. 5.

Page 4: tugas ushul fiqh

3

Contoh yang diambil dari al-Quran :

76

Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu sekalian (Bani Israil) untuk menyembelih

sapi. (QS. Al-Baqarah : 67)

Kata pada ayat di atas tidak disertai dengan penjelasan kriteria sapi yang

dimaksud oleh Mutakallim, dalam hal ini adalah Allah SWT, apakah sapi itu gemuk

atau kurus, apakah sapi itu putih mulus atau bercorak, apakah sapi itu sapi ternak atau

sapi pekerja, dsb. Walaupun pada empat ayat berikutnya disebutkan keterangan

kriteria sapi yang Allah inginkan. Terkadang Allah menyebutkan suatu lafazh dengan

redaksi muthlaq bertujuan untuk mengurangi tuntutan (taqlil al-takalif) kepada umat

manusia, dan inilah salah satu asas pembinaan hukum Islam.4 Bayangkan jika Allah

memberikan batasan-batasan tertentu berkaitan dengan hudud, betapa agama akan

berat dilakukan karena banyaknya tuntutan yang harus dipenuhi.

Contoh dari ayat ahkam (banyak dibahas dalam kajian fiqih):

.... 98

(Maka kiffaratnya) adalah membebaskan budak (QS. Al-Maidah : 89)

Dalam perintah membebaskan budak ini, Syari’ tidak pula menjelaskan

bagaimana bentuk tubuh budak yang harus dibebaskan, yang badannya kekar atau

yang kurus kering, dan tidak menjelaskan pula apa warna kulitnya, bagaimana

rambutnya lurus atau keriting, atau apa jenis kelaminnya, atau dari suku apakah ia,

suku Jawa atau Batak atau yang lainnya, atau bagaimana keyakinannya apakah ia

beriman atau tidak. Pada pokoknya, lafazh mutlaq itu tidak dibatasi dengan sifat

tertentu.

2) Lafazh mutlaq yang tidak ditentukan bilangannya (uncountable).

Contoh dalam kehidupan sehari-hari :

Ibu membeli mangga.

Kata ‘mangga’ tersebut jelas artinya, yaitu satu jenis dari buah-buahan.

Namun kata ‘mangga’ tersebut tidak disertai keterangan apapun. Kaitannya dengan

4 Muhammad Khudory, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, (Al-Haramain), hlm. 18.

Page 5: tugas ushul fiqh

4

bilangan (‘adad) berarti kadar atau jumlah dari mangga tersebut, apakah ibu membeli

1 kg atau lebih, 1 buah atau lebih, 1 bungkus atau lebih,dsb.

Contoh dari al-Quran :

...........116

(Allah) Pencipta langit dan bumi .......... (QS. Al-Baqarah : 117)

Ayat menjelaskan bahwa Dia adalah Pencipta langit dan bumi. Allah dalam

masalah ini tidak menyebutkan secara spesifik berapakah jumlah langit yang Dia

ciptakan. Apakah langit itu satu, tiga, lima, atau sepuluh? Dari ayat lain kemudian

Allah menjelaskan jawabannya, bahwa langit yang dimaksud adalah berjumlah tujuh

tingkatan, yaitu dalam ayat berikut:

...........3

Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis..... (QS. Al-Mulk : 3)

Kata (tujuh langit) itulah yang dimaksud dengan taqyid, sehingga

spesifikasi lafazh “tujuh langit” yang dikandung itulah yang kemudian dikenal dengan

lafazh muqayyad.

Contoh lafadz muthlaq pada ayat ahkam :

.....

187

Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia

bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau

berkorban. (QS. Al-Baqarah : 196)

Ketiga lafadz diatas adalah contoh lafadz muthlaq karena semuanya

menunjukkan makna yang jelas dan tidak dibatasi oleh sifat atau jumlah tertentu. Jika

kita mengambil makna dzahir-nya, maka bisa dipahami tebusan yang harus dibayar

oleh pelaku pelanggaran mencukur rambut saat ihram adalah berpuasa atau shadaqah

atau berkurban.

Namun pada sebuah hadits, Rasul memberikan keterangan terkait hadd

tersebut :

Page 6: tugas ushul fiqh

5

][

Cukurlah rambutmu dan berpuasalah tiga hari atau berilah makan enam orang

miskin atau berkurbanlah satu ekor kambing. (HR. al-Bukhary)

Hadits tersebut secara jelas memberikan keterangan tentang batasan

ketentuan yang disebutkan dalam surat al-Baqarah : 196, yaitu pembatasan puasa

selama tiga hari, shadaqah makanan kepada orang miskin sejumlah enam orang,

menyembelih hewan kurban sebanyak satu ekor.

B. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan lafazh muthlaq

5

Lafazh yang menunjukkan makna satu, dua, atau banyak tanpa ada batasan adalah

lafazh muthlaq, baik kata benda ataupun kata kerja. Lafadz muthlaq diterapkan

sesuai ke-muthlaq-annya sampai ada yang membatasinya.

6

Apabila yang muthlaq dan yang membatasi (taqyid) bertemu, maka yang muthlaq

diintroduksikan ke yang muqayyad.

Contoh :

/13

Yang dikehendaki dari ayat tersebut adalah ‘menyebut nama Allah’ secara

muthlaq sebagai permulaan shalat.. Pengertian ‘menyebut’ tersebut kemudian

diintroduksikan ke dalam makna ‘menyebut-Nya dengan takbir’ karena ada hadits

Nabi sebagai taqyid:

5 Abdul Hamid Muhammad ash-Shanhajy, Mabadi’ al-Ushul, Maktabah Syamilah, versi 3.36,

hlm. 39.

6 ash-Shanhajy, Mabadi’, hlm. 39.

Page 7: tugas ushul fiqh

6

(Melakukan sesuatu dengan) menggabung dua dalil sekaligus itu lebih utama dari

pada mengaplikasikan yang satu dan meninggalkan yang lain.

8

Mengintoduksikan lafazh muthlaq pada lafazh muqayyad akan menghilangkan hukum

pada yang muthlaq.

. 9

Lafazh muthlaq tetap pada ke-muthlaq-kannya jika terjadi pertentangan antara kedua

muqayyadnya.

10

Lafazh muthlaq dibatasi dengan lafadz muqayyad jika ada qiyas atau dalil lain yang

menunjukkan hal tersebut (taqyid). Peng-introduksi-an didasarkan pada petunjuk

dari qiyas aula’i atau dalil lain yang lebih kuat. C. Macam-macam Lafazh Muthlaq

Menurut Imam Zarkasy, Lafazh muthlaq itu terbagi menjadi dua bagian,

yaitu :11

1. Lafadz muthlaq pada tulisan

7 Abdul Karim, Al-Muhadzdzab, juz 4, hlm. 1709.

8 Abdul Karim, Al-Muhadzdzab, juz 4, hlm. 1713.

9 Abdul Karim, Al-Muhadzdzab, juz 4, hlm. 1715.

10 Abdul Karim, Al-Muhadzdzab, juz 4, hlm. 1715.

11 Az-Zarkasy, Al-Bahr al-Muhith, juz 5, hlm. 7.

Page 8: tugas ushul fiqh

7

2. Lafadz muthlaq pada perkataan

D. Lafazh Muthlaq dan Implikasinya Ketika Bertemu Lafazh Muqayyad.

Kedudukan lafazh mutlaq dan lafazh muqayyad merupakan salah satu sub

pembahasan para ulama ushul fiqh, yaitu kontent hukum dalam lafazh apa yang akan

diaplikasikan, apabila terdapat beberapa redaksi hukum yang berbeda antara lafazh

mutlaq dan muqayyad, sedangkan dalam kedua lafazh tersebut terdapat satu redaksi

hukum yang sama, dan lain sebagainya. Perbedaan redaksi hukum itu, biasanya

terdapat penyebutan jumlah dari suatu redaksi hukum yang uncountable (Ghairu

Wahdiyyah), atau dalam pengkhususan sifat dari non characteristic.

Mengenai hal ini, ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu12

:

1. Ketika terdapat lafazh mutlaq dan muqayyad, yang di dalam keduanya terdapat

suatu kesatuan antara objek hukum yang disebutkan dengan status hukum yang

melekat pada objek itu, contohnya:

Lafadz muthlaq-nya :

3

Lafadz muqayyad-nya :

141

Kedua ayat itu mengandung satu kesatuan antara status hukum yang

diberikan Syari’ yaitu keharaman dari suatu objek makanan, dan objek yang dituju

diantara keduanya sama yaitu darah. Jika terdapat lafazh mutlaq dan muqayyad yang

mengandung kesamaan suatu objek hukum dan kesamaan status hukumnya, seperti

yang terjadi dalam kasus ini, maka menurut kesepakatan seluruh ulama, lafazh yang

12

Kemungkinan-kemungkinan ini merupakan konklusi dari data yang diperoleh dalam kitab

Ushul Fiqh karangan Imam Abu Zahrah sebagai data pokok, dengan Ushul Fiqh karangan Prof. Amir

Syarifuddin sebagai data penunjang. Sedangkan pengarang al-Bahr al-Muhith hanya

mengklasifikasikan kemungkinan-kemungkinan tersebut menjadi 4 kemungkinan saja, yaitu yang

tersebut dalam point 1-4 dalam makalah ini.

Page 9: tugas ushul fiqh

8

mutlaq harus diintroduksikan kepada muqayyad13

. Sehingga, sesuatu yang

dimaksudkan haram oleh syari’ adalah darah “yang mengalir”, dan selain darah yang

mengalir adalah halal (ex. hati, jantung, paru-paru).

2. Antara kedua lafazh mutlaq dan muqayyad, ada satu kesamaan hukum, padahal

sebab yang melatarbelakangi munculnya hukum itu berbeda. Contohnya:

Lafazh muthlaq :

98

3

Lafazh muqayyad :

89

Lafazh mutlaq terdapat dalam ayat pertama dan kedua. Ayat pertama

menjelaskan mengenai kaffarat/denda bagi pelanggaran sumpah dan ayat yang kedua

kiffarat bagi suami yang men-zhihar isterinya. Baik ayat yang pertama maupun yang

kedua, redaksi hukum yang disampaikan syari’ adalah (membebaskan

budak), tanpa ada spesifikasi budak seperti apa yang harus dibebaskan. Sedangkan

dalam ayat yang kedua, berkenaan dengan hukuman pembunuhan culpa causa,

dimana dalam ayat tersebut redaksi hukumnya berbunyi

(membebaskan budak yang mukmin).

Sebab yang melatarbelakangi keduanya berbeda, yang pertama dan yang

kedua karena melanggar sumpah dan zhihar, dan yang ketiga karena membunuh atas

dasar culpa. Akan tetapi terlihat ada bentuk hukum yang sama yaitu membebaskan

budak.

13

Imam Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 171, lihat pula dalam Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid

2, hlm 124.

Page 10: tugas ushul fiqh

9

Mengenai ini, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama, yang paling

signifikan adalah antara Madzhab Syafi’iiyyah dan Madzhab Hanafiyyah. Madzhab

Syafi’iyyah cenderung mengintroduksi lafazh mutlaq kepada Muqayyad14

, sehingga

implikasinya, kaffarat bagi pelanggar sumpah dan suami yang men-zhihar isterinya

adalah “membebaskan budak yang mukmin”15

. Sedangkan Madzhab Hanafiyyah,

menganggap lafazh mutlaq, harus diaplikasikan dalam bentuk sesuai ke-mutlaq-

annya, dan tidak perlu mengintroduksikan kepada Muqayyad 16

.

Menurut Imam Hanafi, setiap ayat yang terkandung, memiliki fungsi sendiri-

sendiri. Demi menunjang statement tersebut, maka akan penulis sajikan sebuah

contoh:

1. Lafazh muthlaq: Mahasiswa yang terlambat masuk kuliah ini akan mendapat

hukuman

2. Lafazh muqayyad: Barangsiapa yang menghilangkan nyawa orang lain secara

sengaja, akan mendapat hukuman penjara 15 tahun.

Sebab yang mendasari timbulnya hukum adalah berbeda, yang pertama

karena terlambat masuk kuliah, dan yang kedua disebabkan membunuh. Hukum yang

ditimbulkan adalah keharusan mendapat hukuman. Jika kita mengikuti alur pemikiran

Imam Hanafi, maka hukuman mahasiswa yang terlambat tidak sama dengan hukuman

pembunuhan, karena setiap statement hanyalah ditujukan untuk apa yang ia sebutkan,

tidak untuk yang lain.

Sedangkan menurut Imam Syafi’i, -untuk kasus ini- lafazh muthlaq

diintroduksikan ke lafazh muqayyad. Statement yang diajukan adalah adanya korelasi

(munasabah) antara bagian-bagian dalam al-Quran, sehingga satu kata pada satu

tempat dalam Al-Quran bisa diterapkan pada tempat yang lain, sekalipun membahas

masalah yang berbeda.

3. Kebalikan dari point ke dua, dalam masalah ini, sebab yang melatarbelakangi

munculnya suatu hukum itu sama, namun hukumnya menjadi berbeda.

Contohnya:

14

Az-Zarkasy, Al-Bahr al-Muhith, juz 4, hlm. 294.

15 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, hlm 126.

16 Imam Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm 171

Page 11: tugas ushul fiqh

10

7

Keterangan :

: lafazh muqayyad

: lafazh muthlaq

Yang menarik, ayat ini adalah salah satu contoh dari suatu ayat yang

mengandung dua lafazh sekaligus, yaitu mutlaq dan muqayyad. Konklusi hukum

yang dapat dipetik dari ayat ini adalah, dalam lafazh mutlaq, Syari’ memerintahkan

untuk membasuh tangan dalam prosesi tayammum, tanpa menyebutkan secara

spesifik batasan tangan. Sedangkan dalam lafazh yang muqayyad, syari’

memerintahkan untuk mencuci kedua tangan sampai siku, dalam prosesi wudhu.

Sebab yang menimbulkan dalam kasus ini adalah sama, yaitu bersuci untuk

mendirikan sholat.

Menurut Abu Zahrah, Para ulama sepakat bahwa lafazh yang muthlaq tidak

boleh diintroduksikan kepada muqayyad, kecuali ada dalil lain yang melegitimasi

bahwa yang muqayyad itulah yang harus diaplikasikan. Jika tidak ada dalil lain yang

melegitimasi penggunaan lafazh muqayyad. Implikasi dari pemikiran ulama itu

adalah bahwa prosesi pembasuhan tangan dalam tayammum tidak harus sampai

kedua siku17

.

Namun faktanya, ada hadist yang menyebutkan bahwa batasan tayammum

adalah sampai kedua siku18

. Hadist inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum

oleh para fuqaha untuk menetapkan batasan tangan saat tayammum yaitu sampai

17

Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm 171-172

18 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm 171-172

Page 12: tugas ushul fiqh

11

siku, sehingga dasar hukumnya bukan dengan ayat yang telah disebutkan di atas.

Hadist tersebut berbunyi:

Terdapat kontradiksi antara data yang disebutkan oleh Imam Abu Zahrah

tadi, dengan data yang disebutkan oleh Prof. Amir Syarifuddin dalam bukunya,

berkenaan dengan sikap para ulama terhadap aplikasi lafazh. Menurut Prof Amir

Syarifuddin, para imam terpecah menjadi dua kelompok19

:

a. Kelompok yang terdiri dari Madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan sebagian

Syafi’iyyah. Mereka menganggap bahwa yang muthlaq diamalkan sesuai

redaksinya, dan yang muqayyad diaplikasikan sesuai dengan lafazhnya.

b. Kelompok yang terdiri dari sebagian besar ulama madzhab Syafi’iyyah. Mereka

menganggap bahwa yang harus diaplikasikan adalah lafazh yang muqayyad saja.

Implikasinya, dalam prosesi tayammum, tangan harus dibasuh sampai ke siku.

4. Adanya mismacht dalam lafazh mutlaq dan muqayyad, sebab yang

melatarbelakangi suatu hukum berbeda, akan tetapi akibat hukumnya sama.

Contohnya:

Lafazh muthlaq :

39

39

Ayat yang pertama menjelaskan tentang hukuman bagi pencuri, baik laki-

laki maupun perempuan. Redaksi hukum berupa “maka potonglah kedua tangannya”,

masih tergolong lafazh mutlaq. Sedangkan dalam ayat yang kedua, berkenaan

dengan perintah berwudhu ketika akan sholat, redaksi hukumnya berbunyi “

....tangan sampai ke siku” merupakan muqayyad karena menjelaskan batasan tangan

wilayah tangan dalam prosesi wudhu.

19

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, hlm 126.

Page 13: tugas ushul fiqh

12

Karena terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara sebab hukum yang

terdapat dalam contoh di atas, para ulama Madzhab Empat, secara bulat berpendapat

bahwa yang mutlaq tidak diintroduksi menjadi muqayyad20

. Implikasinya, memotong

tangan pencuri tidak sampai ke siku.

5. Terdapat dua lafazh muqayyad, yang satu menjadi taqyid atas lafazh muqayyad,

dan satunya “seolah” menjadi lafazh mutlaq, karena ada ayat lain serupa yang

sama-sama spesifik atau lebih spesifik.

Contoh 1

Dalam riwayat lain disebutkan :

.....

Dalam riwayat lain disebutkan :

.....

Keterangan:

: lafazh muthlaq

: lafazh muqayyad

: lafazh muqayyid al-muqayyad

: lafazh muqayyidu muqayyidi al-muqayyad

Untuk mensucikan sesuatu dari najis mughaladlah, Nabi mensyaratkan

membasuh sebanyak tujuh kali, dengan memberi taqyid salah satunya dengan debu,

seperti disebutkan hadits pertama. Pada hadits kedua Nabi menyebutkan yang lebih

spesifik, yaitu pensucian sebanyak tujuh kali cucian, dengan menggunakan debu di

awalnya. Sedangkan pada hadits ketiga juga disebutkan hal yang spesifik, namun

terjadi ta’arudl, karena pada hadits ketiga penggunaaan debu dilakukan di akhir

pensucian. Kaidah yang digunakan untuk kasus ini adalah :

.

20 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh , Jilid 2, hlm. 128. Lihat pula dalam al-Bahr al-Muhith, juz 4,

hlm. 288.

Page 14: tugas ushul fiqh

13

Lafazh muthlaq tetap pada ke-muthlaq-kannya jika terjadi pertentangan antara kedua

muqayyadnya.21

Alasan yang diajukan adalah mengaplikasikan lafazh muthlaq pada salah satu

lafazh muqayyad yang bertentangan tidak berarti lebih baik dari meninggalkan lafazh

muqayyad yang lain. Maka dengan alasan tersebut, maka ia tetap diaplikasikan

dengan lafazh muqayyad yang pertama, artinya pencucian tujuh kali dengan

penggunaan debu pada salah satunya. Pada salah satunya bisa di awal, di tengah, dan

di akhir.

Contoh 2

Lafazh Muthlaq :

194

Ada ketentuan baku yang diberikan Syari’ pada masalah qadha’ puasa

karena alasan sakit dan safar, yaitu dilakukan pada hari-hari diluar Ramadlan.

Ketentuan tersebut ditunjukkan oleh frase . Syari’ tidak menyebutkan ketentuan

tambahan untuk masalah tersebut. Sehingga bisa dipahami kemutlakan waktu qadha’

puasa , bahwa qadha’ puasa bisa dilakukan kapanpun diluar Ramadlan dan dengan

cara bagaimanapun, boleh dilakukan dengan cara berturut-turut (tatabu’) atau tidak

(tafriq).

Lafazh Muqayyad pertama :

187

Berbeda dengan puasa qadha’, puasa yang dilakukan sebagai kaffarat haji

tamattu’ diberikan ketentuan tafriq (tidak dilakukan secara berturut-turut).

Lafazh Muqayyad kedua:

89

4

21

Abdul Karim, Al-Muhadzdzab, juz 4, hlm. 1715.

Page 15: tugas ushul fiqh

14

Ayat tersebut berkenaan dengan kaffarah pembunuh tersalah/khatha’ (QS.

An-Nisa : 92) dan kaffarah dzihar (QS. Al-Mujadalah:4). Frase ‘berturut-turut’

menunjukkan adanya ketentuan harus dilakukan secara istimrar dalam batas waktu

yang ditentukan, yaitu selama dua bulan.

Kaidah yang digunakan untuk masalah ini adalah :

Lafazh muthlaq dibatasi dengan lafadz muqayyad jika ada qiyas atau dalil lain yang

menunjukkan hal tersebut (taqyid). Peng-introduksi-an didasarkan pada petunjuk

dari qiyas aula’i atau dalil lain yang lebih kuat.22

Ketiga dalil tersebut dalam hierarki mashadir al-ahkam terdapat pada satu

taraf, yaitu Al-Quran. Ketiganya memiliki tingkatan yang sama dilihat dari dilalah-

nya, yaitu qath’i. Selain itu tidak ada dalil yang menunjukkan yang satu menjadi

muqayyid yang lain, maka tidak ada yang rajih dan marjuh untuk masalah di atas.23

Kesimpulannya puasa qadha’ tetap diaplikasikan sesuai kemutlakannya, artinya

boleh saja puasa qadha’ dilakukan dengan tafriq ataupun tatabu’ dengan tetap

berpegang pada ketentuan baku, yaitu dilakukan pada har-hari selain bulan

Ramadlan. 24

Dari penjabaran tersebut di atas, terlihat ada perbedaan pendapat para ulama

mengenai aplikasi lafazh dalam suatu perbuatan. Secara umum terdapat dua

kelompok besar, yaitu Kelompok Rasionalis yang direpresentasikan oleh Madzhab

Hanafiyyah, dan Skriptualis-Moderat yang direpresentasikan oleh Malikiyyah,

Hanbaliyyah, Dan Syafi’iyyah.

Menurut Abu Zahrah, reasoning dari Madzhab Hanafiyyah, mengenai sikap

mereka dalam aplikasi lafazh mutlaq dalam suatu perbuatan hukum, dan melarang

mengintroduksikan lafazh mutlaq kepada muqayyad adalah bahwa dalam dimensi

teks syari’at, tiap ayat akan menjadi dasar hukum atas apa yang diatur dalam ayat

22

Abdul Karim, Al-Muhadzdzab, juz 4, hlm. 1715.

23 Muhammad bin Husein bin Hasan al-Jizany, Ma’alim Ushul al-Fiqh inda Ahli as-Sunnah

wa al-Jama’ah, Maktabah Syamilah, versi 3.36, hlm. 439.

24 Abdul Karim, Al-Muhadzdzab, juz 4, hlm. 1716.

Page 16: tugas ushul fiqh

15

itu25

. Legal reasoning semacam ini sama halnya dengan peraturan perundangan, satu

pasal hanya akan mengatur hukuman bagi apa yang disebutkan dalam pasal itu.

Sebagai analogi, hukuman dalam pasal pencabulan tidak boleh diintroduksikan

kepada hukuman pasal pemerkosaan. Karena hukuman pencabulan sudah diatur

tersendiri dalam pasal pencabulan. Rasionaliasi Hanafiyyah tepat. Namun jika kita

bawa pada ranah aqidah –apakah hukum Allah yang termaktub dalam Al-Quran bisa

dianalogikan dengan perundangan buatan manusia?- Pasti ada hal-hal khusus dalam

Al-Quran yang menjadikannya berbeda dengan kitab perundangan lainnya.

Sedangkan menurut madzhab Skriptualis-Moderat, berpendapat bahwa jika

di dalam al-Qur’an dan Hadist, terdapat suatu spesifikasi khusus terhadap suatu

redaksi hukum dalam satu lafazh, maka lafazh yang telah dispesifikkan itulah yang

berlaku pada semua jenis perbuatan hukum. Misalnya, terdapat redaksi hukuman

berupa “berpuasa secara berturut-turut” dalam kasus Kaffarah Zhihar, menurut

Madzhab ini, segala jenis kaffarah yang berupa puasa, harus dilakukan secara

“berturut-turut” agar terjadi suatu integrasi dalam hukuman kaffarah26

.

Seputar perdebatan antara kedua madzhab ini kami ringkas dalam tabel

berikut :

Permasalahan Madzhab

Skriptualis-Moderat (tesis) Rasionalis (antitesis)

Al-Quran adalah

satu kesatuan.

Ya. Sehingga lafazh-lafazh yang

digunakanpun simple.

Ya, tapi kesatuan tersebut

adalah pada ayat-ayat yang

membahas satu

permasalahan.

Lafazh muthlaq

diintroduksikan

ke lafazh

muqayyad

Ya. Karena dalam al-Quran, satu

kata yang digunakan untuk

mensifati suatu kata, juga bisa

diterapkan pada tempat yang lain

yang juga membahas masalah

yang sama.

Setiap ayat menjadi dasar

hukum atas apa yang diatur

dalam ayat itu.

Konsekuensinya satu ayat

harus diartikan natural

(sesuai redaksi).

Sebagai titik temu dari kedua madzhab tersebut, penulis mengajukan

pendapat sebagai sintesis dari keduanya, yaitu : Setiap ayat memang menjadi dasar

hukum atas apa yang diatur, namun penyebutan sifat pada satu redaksi dan

25

Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 173.

26

Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 173.

Page 17: tugas ushul fiqh

16

peniadaannya pada redaksi yang lain setidaknya memberikan kita pengetahuan agar

kita bisa menentukan pilihan dari yang spesifik (muqayyad) atau yang tidak

(muthlaq) dengan mempertimbangkan ke-mashlahatan-nya.

Contoh :

Dalam masalah pembebasan budak tentu yang diutamakan adalah budak se-Iman,

walaupun dalam beberapa kasus boleh saja membebaskan budak non-Islam.

Dalam masalah menghadirkan dua orang saksi, dalam satu redaksi Syari’

menafikan syarat, namun pada redaksi lain, saksi disyaratkan adil. Bagaimanapun

saksi yang adil akan lebih menjamin keabsahan suatu akad.

............... 999

............ 9

Dalam masalah wali nikah, tentu idealnya seorang wali adalah seseorang yang

dapat menuntun seseorang pada jalan kebenaran.

Terlepas dari perdebatan antara kaum Rasioanlis dan Skriputualis-Moderat,

ada pula ulama yang cenderung mempersamakan muthlaq dan muqayyad dengan ‘am

dan khass. Sehingga mereka mendudukkan lafazh muqayyad adalah sebagai

interpreter dari lafazh mutlaq. Bahkan ada sebagian lain yang mengatakan bahwa

jika ayat yang mengandung lafazh muqayyad itu lahir setelah ayat yang mengandung

lafazh mutlaq, maka ayat yang mengandung lafazh muqayyad adalah nasikh dari ayat

yang mengandung lafazh mutlaq.27

27

Taqiyuddin Ibnu An-Najar Al-Hanbaly, Syarh Kaukab al-Munir, Maktabah Syamilah,

versi 3.36, juz 2, hlm. 411.

Page 18: tugas ushul fiqh

17

III. PENUTUP

Dari penjabaran di atas, kita dapat mengetahui bahwa lafazh mutlaq

merupakan lafazh yang tidak dijelaskan secara spesifik mengenai jumlah atau

sifatnya. Spesifikasi jumlah dan sifat yang menjelaskan konten yang sama dengan

yang terdapat dalam lafazh mutlaq, lazimnya disebut sebagai lafazh muqayyad.

Terdapat perbedaan pendapat antara para ulama, mengenai aplikasi suatu

lafazh, apakah lafazh mutlaq ataukah lafazh muqayyad yang akan diaplikasikan

dalam suatu perbuatan hukum, jika terdapat beberapa kesamaan redaksi hukum

antara keduanya.

Implikasi dari perbedaan pendapat para ulama ini menimbulkan signifikansi

perbuatan hukum antara madzhab satu dengan madzhab lain. Perbedaan pendapat

para ulama berbasis pada relevansi suatu redaksi hukum terhadap objek hukum lain

yang pada dasarnya bukan merupakan kompetensi yuridisnya. Dan ulama

Hanafiyyah berpendapat bahwa kompetensi suatu ayat hanya terdapat pada konten

hukum yang dikandungnya saja, sehingga lafazh mutlaq harus diamalkan apa

adanya. Sedangkan ulama lain, secara umum menginginkan adanya relevansi hukum.

Page 19: tugas ushul fiqh

18

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Al-Fiqh, (Cairo: Dar Al-Fikr Al-Arabiy, tt).

Al-Hanbaly, Taqiyuddin Ibnu An-Najar, Syarh Kaukab al-Munir, Maktabah

Syamilah, versi 3.36.

Ibnu Muhammad, Abdul Karim bin Ali, Al-Muhadzdzab fi ‘Ilmi Ushul al-Fiqh al-

Muqaran, Maktabah Syamilah, versi 3.36.

Al-Jizany, Muhammad bin Husein bin Hasan, Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-

Sunnah wa al-Jama’ah, Maktabah Syamilah, versi 3.36.

Khudory, Muhammad, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, (Al-Haramain, tt).

Ash-Shanhajy, Abdul Hamid Muhammad, Mabadi’ al-Ushul, Maktabah Syamilah,

versi 3.36.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh , (Jakarta: Kencana, 2009).

Az-Zarkasy, Abu Abdillah Badruddin Al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Maktabah

Syamilah, versi 3.36.