ushul fiqh iii

28
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip yang universal disebut dengan al-qawanin al-fiqhiyyah (kaidah- kaidah fiqh). Dalam pembahasan kaidah-kaidah fiqh banyak terdapat macam-macam kaidah salah satunya tentang kaidah-kaidah asasi ( al-Qawaid al-Khamsah). Dalam kaidah-kaidah asasi terdapat 5 macam kaidah, sehingga untuk lebih mengetahui macam-macam kaidah dalam al- Qawaid al-Khamsah akan dibahas dalam maklah ini. Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat penting dan menjadi kebutuhan bagi kaum Muslim. Akan tetapi tidak sedikit orang yang kurang memahami tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya bagi kaum muslim untuk mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih seorang muslim akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqih, karena kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih. Selain itu juga akan menjadi lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Dengan mempelajari kaidah fiqih, diharapkan pada akhirnya juga bisa menjadi lebih moderat dalam menyikapi masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, 1

Upload: zulfikar

Post on 16-Jan-2016

47 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

QAWAID KULLIYAH

TRANSCRIPT

Page 1: USHUL FIQH III

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip yang universal disebut dengan al-

qawanin al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh). Dalam pembahasan kaidah-kaidah

fiqh banyak terdapat macam-macam kaidah salah satunya tentang kaidah-kaidah

asasi ( al-Qawaid al-Khamsah). Dalam kaidah-kaidah asasi terdapat 5 macam

kaidah, sehingga untuk lebih mengetahui macam-macam kaidah dalam al-Qawaid

al-Khamsah akan dibahas dalam maklah ini.

Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat penting

dan menjadi kebutuhan bagi kaum Muslim. Akan tetapi tidak sedikit orang yang

kurang memahami tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya bagi kaum muslim

untuk mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan menguasai kaidah-

kaidah fiqih seorang muslim akan mengetahui benang merah yang menguasai

fiqih, karena kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih.

Selain itu juga akan menjadi  lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan

tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan.

Dengan mempelajari kaidah fiqih, diharapkan pada akhirnya juga bisa menjadi

lebih moderat dalam menyikapi masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, budaya

sehingga kaum muslim bisa mencari solusi terhadap problem-problem yang terus

muncul dan berkembang dalam masyarakat dengan lebih baik.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan qawaid kulliyah?

2. Berapa macam qawaid kulliyah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari qawaid kulliyah

2. Untuk mengetahui macam-macam qawaid ku

1

Page 2: USHUL FIQH III

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Qawaid

Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa

indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad

Warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-

Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode

atau cara). 

Qawa’idul fiqiyyah atau kaidah-kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat

umum (kulli) yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi

beberapa kelompok yang pula merupakan kaidah atau pedoman yang

memudahkan dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu

masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan

suatu kaedah.

Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang

bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-

hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk

dalam ruang lingkup kaidah tersebut.

Para fuqoha pada umumnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud

dengan kaidah fiqhiyyah ialah hukum kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku

pada semua bagian-bagiannya atau cabang-cabangnya. Dari pengertian di atas

dapat diketahui bahwa setiap qidah fiqhiyyah telah mengatur dan menghimpun

beberapa banyak masalah fiqh dari berbagai bab dan juga diketahui bahwa para

fuqoha’ telah benar-benar mengembalikan masalah-masalah hukum fiqh kepada

kaidah-kaidahnya.

2. Macam-Macam Qawaid Fiqhiyyah Kulliyah 

Terdapat kontroversi antara asumsi ulama fiqh dalam menjelaskan qawaid-

qawaid kulliyah yang dijadikan rujukan oleh hukum-hukum yang berbau fiqh

dalam al-fiqh al-Islamiy. Maka kemudian ditemukan mayoritas dari mereka

2

Page 3: USHUL FIQH III

berpendapat bahwa hukum-hukum fiqh Islami itu semua kembali kepada qawaid

kulliyah yang berjumlah lima, yaitu : 

a) Kaidah pertama

ص�د�ه�ا �م�ق�ا ب مو�ر األ

Segala urusan tergantung kepada tujuannya

Maksud dari kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya.

Dengan kata lain, bahwa setiap mukallaf dan berbagai bentuknya serta

hubungannya, baik dalam ucapannya, perbuatan, dan lain sebagainya bergantuk

pada niatnya. Oleh karena itu, motif dan niat yang terkandung dalam hati sewaktu

melakukan satu perbuatan menjadi kriteria yang nenentukan nilai dan status

hukum amal yang ia lakukan.1

Niat dikalangan imam syafi’i diartikan dengan: “Bermaksud melakukan

sesuatu deisertai dengan pelaksanaannya”.

Begitupun dikalangan mazhab hambali menyatakan bahwa niat ada di

dalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud, dan tempat dari maksud

tersebut di dalam hati. Jadi apabila menyakini/beriktikad di dalam hatinya, itu pun

sudah cukup, dan wajib niat didahulukan dari perbuatan.

Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan

seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah

kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang

disunahkan atau hal yang dibolehkan oleh agama ataukah dia melakukan

perbuatan tersebut bukan niat karena Allah, tetapi semata-mata karena kebiasaan

saja.2 Misalnya saja seorang duduk-duduk atau tiduran di masjid tanpa ia

melakukan niat I’tikaf, maka apa yang dilakukannya di dalam masjid tidak akan

mendapat pahala, sedangkan apabila ia berniat I’tikaf terlebih dahulu ia akan

mendapatkan pahala I’tikaf.

Pada asalnya niat dilakukan di awal setiap pekerjaan ibadah, kecuali niat

pada awal shaum di bulan Ramadhan yang mendahulukan niat terlebih dahulu,

1Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 274

2 Acep Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 35

3

Page 4: USHUL FIQH III

dan apabila niat dilakukan berbarengan dengan shalat fajar, maka itu tidak sah,

kecuali boleh melakukan niat apabila pada shaum sunnah.

Ada beberapa perbedaan mengenai niat, apakah niat itu termasuk rukun

ataukah syarat. Namun mayoritas ulama mazhab syafii telah memilih bahwa niat

merupakan rukun bukan syarat, karena niat masuk pada juziyyah ibadah.

1. Sumber pengambilannya

Yang menjadi sumber dari kaidah tersebut adalah:

a. Firman Allah Swt (Qs. Ali Imran: 145)

“Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya

pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan

(pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan kami akan memberi balasan kepada

orang-orang yang bersyukur.”

b. Sabda Rasulullah Saw:

– – ول� س� ر� مع�ت� س� ال� ق� عنه الله رضى ال�خ�ط�اب ب�ن� ر� ع�م� عن

– – بالن�ي�ات ال� ع�م�األ� ا ن�م� إ ، ول� ي�ق� وسلم عليه الله صلى  الل�ه

و� � أ ا يب�ه� ي�ص د�ن�ي�ا ل�ى إ ت�ه� ر� هج� ك�ان�ت� م�ن� ف� ، ن�و�ى ا م� ام�رئ5 لك�ل� ا ن�م� إ و�

ل�ي�ه إ ر� اج� ه� ا م� إل�ى ت�ه� ر� ج� ه ف� ا ه� ي�ن�كح� ة5� أ ر� ام� ل�ى إ

Dari Umar bin Khothob berkata : “Saya mendengar Rosululloh bersabda :

“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya

setiap orang itu tergantung terhadap apa yang dia niatkan, maka barang siapa

yang  hijrahnya untuk Allah dan Rasul Nya maka hijrahnya itu untuk Allah dan

Rasul Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia maka dia

akan mendapatkannya atau hijrahnya untuk seorang wanita maka dia akan

menikahinya, maka hijrahnya itu tergantung pada apa yang dia hijrah untuknya.”

(HR. Bukhori dan Muslim)

4

Page 5: USHUL FIQH III

Hadist tentang niat ini bermartabat tinggi dalam syari’at islam.

Kata imam Abu Ubaidah: “tidak ada satu Hadist yang lebih kaya dan banyak

faidahnya dari pada Hadist niat.

Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Daud, Ad-Daruquthni dan lainnya sepakat

menetapkan bahwa hadist niat itu menempati sepertiga dari seluruh ilmu

pengetahuan islam. Pendapat semacam ini diulas oleh Imam Al-Baihaqi sebagai

berikut. “segala aktifitas manusia itu adakalanya berpangkal pada hati sanubari,

pada lisan dan adakalanya pada anggota badan. Niat yang berpangkal pada hati

sanubari adalah aktifitas kejiwaan. Aktifitas itu lebih penting dan kuat ketimbang

aktifitas yang berpangkal pada lisan dan anggota badan. Hal itu disebabkan karena

niat dapat berfungsi sebagai ibadat yang berdiri sendiri sedang aktifitas yang lain

tidak dapat berfungsi ibadat sekiranya tidak didukung oleh niat. Niat sekalipun

tidak dibarengi dengan amal perbuatan masih dianggap lebih baik dari pada

perbuatan yang tidak dibarengi dengan niat.

2. Fungsi niat

Pertama: Membedakan antara adat  dengan ibadah

Karena hampir semua bentuk ibadah mempunyai kemiripan dengan yang

berupa adat. Misalnya :

Puasa, yang hakekatnya adalah menahan diri dari makan, minum dan jima’

serta semua yang membatalkan dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

Perbuatan ini mungkin saja dilakukan oleh seseorang karena sedang berpuasa, tapi

juga mungkin dilakukan oleh seseorang karena sedang diet, atau akan menjalani

operasi atau sebab lainnya, maka untuk membedakan antara keduanya harus

dibedakan dengan niatnya. Kalau dia berniat puasa, maka dia adalah ibadah,

sedangkan kalau diniatkan untuk lainnya maka dia adalah adat dan bukan ibadah.

Kedua :Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya

Hal ini dikarenakan satu jenis ibadah itu bisa bermacam-macam.  Ambil

misal tentang sholat, sholat itu ada yang wajib dan ada yang sunnah, sedangkan

5

Page 6: USHUL FIQH III

yang wajib ada berbagai macam begitu pula dengan yang sunnah, maka untuk

membedakan antara keduanya maka wajib menentukannya dengan niat.

Begitu pula masalah puasa, ada yang wajib dan ada yang sunnah. Kalau ada

seseorang yang puasa pada hari Senin pada bulan Syawal, maka mungkin itu

puasa hari Senin, atau puasa enam hari bulan Syawal atau mungkin puasa qodlo

Ramadhan atau mungkin puasa kaffarah dan masih ada kemungkinan lainnya,

maka untuk menentukan salah satunya harus dengan niat. 

Ketiga  : Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun

kejahatan.

Keempat  : Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan Ibadah tertentu serta

membedakan yang wajib dan yang sunnah.

b) Kaidah kedua

ك� لش� �ا ب ال ز� �ي ال �ن �ق�ي �ي �ل ا

Keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan

Kaidah ini menegaskan sesuatu yang meyakinkan tidak dapat dikalahkan

oleh sesuatu yang meragukan, kecuali yang meragukan meningkat menjadi

meyakinkan. Ini menunjukkan semua tindakan mesti berdasarkan pada yang

diyakini. Yakin adalah puncak pemahaman yang disertai dengan tetapnya hukum.

Kaidah fiqh ini menghimpun sejumlah masalah fiqh. Melalui kaidah ini

tergambar kemudahan dan kelapangan dalam hukum Islam. Kaidah ini

mendorong untuk menghilangkan kesulitan selama didasarkan atas keyakinan. Ini

penting karena keraguan banyak muncul akibat penyakit was-was (bisikan setan),

yang biasa terjadi dalam masalah bersuci dan sholat. Kaidah fiqh tersebut

didasarkan pada dalil yang kuat, diantaranya hadis berikut:

�ذ�ا إ �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه الل ص�ل�ى �ه� الل ول س ر� ق�ال� ق�ال� ة� �ر� ي هر� �ي ب� أ ع�ن�

ال� �م� أ ء* ي� ش� �ه م�ن ج� �خ�ر� أ �ه� �ي ع�ل �ل� ك �ش� ف�أ 4ا �ئ ي ش� �ه� �ط�ن ب ف�ي م� �ح�دك أ و�ج�د�

ا ر�يح4 �ج�د� ي و�� أ 4ا ص�و�ت م�ع� �س� ي �ى ح�ت ج�د� �م�س� ال م�ن� �ج�ن �خ�ر ي ف�ال�

6

Page 7: USHUL FIQH III

Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: apabila seorang dari

kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, kemudian ia ragu apakah telah

keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah ia keluar masjid

sehingga mendengar suara atau mendapatkan bau (memperoleh bukti telah batal

wudhunya). (H.R. Muslim).

Kandungan hadist ini menjelaskan bahwa seseorang yang semula suci,

kemudian ia ragu-ragu apakah ia telah mengeluarkan angin atau belum, maka ia

harus dianggap masih dalam keadaan suci. Karena keadaan inilah yang sudah

meyakinkan tentang kesuciannya sejak semula, sedang keragu-raguan itu baru

timbul kemudian. Suatu keyakinan yang sudah mantap merupakan kekuatan yang

tidak mudah digoyahkan oleh keragu-raguan. Kecuali kalau keraguan itu sudah

berubah sifat menjadi keyakinan.

�ك ش� �ذ�ا إ ق�ال� �ه ن� أ �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه الل ص�ل�ى Cي� �ب الن ع�ن� و�ي� ر و�ق�د�

ف�ي �ك ش� �ذ�ا و�إ و�اح�د�ة4 �هم�ا �ج�ع�ل �ي ف�ل �ن� �ي �ت Cن و�الث �و�اح�د�ة� ال ف�ي م� �ح�دك أ

�ل� ق�ب �ن� �ي د�ت ج� س� �ك� ذ�ل ف�ي جد� �س� و�ي �ن� �ي �ت �ن ث �هم�ا ع�ل �ج� �ي ف�ل ث� �ال� و�الث �ن� �ي �ت Cن الث

Cم� ل س� ي �ن� .أ

Sungguh telah diriwayatkan dari Nabi SAW. bahwa beliau bersabda: apabila

ragu salah seorang kamu dalam shalat, apakah telah satu rakaat atau dua rakaat

shlatnya, maka hendaklah ia menetapkan satu rakaat shalat yang telah dilakukan.

Dan apabila ia ragu antara dua atau tiga rakaat sholat yang telah dilakukan,

maka hendaklah ia menetapkan dua rakaat yang telah dilakukan. Hendaklah ia

melakukan dua kali sujud sebelum salam (H.R. Tirmidzi).

Hadis ini mengisyaratkan orang yang ragu tentang bilangan rakaat shalat,

antara dua dan tiga, maka hendaklah yang bersangkutan memilih bilangan rakat

shalat yang paling sedikit karena itulah yang yakin atau pasti, sementara bilangan

yang tertinggi dari rakaat shalat itu yang dikeragui. Dalam kasus, ini orang yang

7

Page 8: USHUL FIQH III

ragu tentang bilangan rakaat shalat diperintahkan (sunat) untuk melakukan sujud

sahwi sebelum ia salam sebagai penutup shalatnya.

c) Kaidah ketiga

�ر ي �س� �ي الت ل�ب �ج� ت ق�ة الم�ش�

Kesukaran itu menarik kemudahan.

.      Dasar-dasar nash kaidah

Firman Allah SWT:

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak

menghendaki kesulitan bagi kalian”. (QS. al-Baqarah: 185).

Sabda Nabi SAW:

( البخر ( رواه م�ح�ة� الس� �ة� الخف�ي الله� إل�ى �ن� الد�ي اخب ر* س� ي �ن الد�ي

Artinya: “Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama

yang benar dan mudah”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).

Dalam ilmu fikih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu

setidaknya ada tujuh macam yaitu:

1) Sedang dalam perjalanan, misalnya boleh qasar shalat, buka puasa, dan

meninggalkan shalat jum’at.

2) Keadaan sakit, misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air shalat

fardhu sambil duduk.

3) Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya.

4) Lupa, misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa

membayar utang tidak diberi sanksi tetapi bukan pura-pura lupa.

5) Ketidaktahuan, misalnya orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu,

kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai

sanksi.

8

Page 9: USHUL FIQH III

6) Umum al-Balwa, misalnya kebolehan bai al-salam (Uangnya dahulu,

barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan

mahramnya demi untuk mengobati sekadar yang dibutuhkan dalam

pengobatan.

7) Kekurangan mampuan bertindak hukum (al-naqsh), misalnya anak kecil,

orang gila, orang dalam keadaan mabuk.

1. Klasifikasi kesulitan

Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 kategori,

yaitu:

1) Kesulitan Mu’tadah

Kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu

mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan

model ini tidak dapat di hilangkan taklif dan tidak menyulitkan untuk melakukan

ibadah. Misalnya seseorang kesulitan mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang

sangat berat, keberatan ini bukan berarti diperbolehkan keringanan dalam

melakukan shalat atau puasa dan sebagainya, atau karena kesulitan mencari

ma’isah itu menggugurkan hukum qishas.

2) Kesulitan Qhairu Mu’tadah

Kesulitan qhairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan,

dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu. Karena jika ia

melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya, dan

kesulitan-kesulitan ini dapat diukur oleh kriteria akal sehat. Syariat sendiri serta

kepentingan yang dicapainya, kesulitan semacam ini diperbolehkan menggunakan

dispensasi (rukhsah).

2. Tingkatan kesulitan dalam ibadah

Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi tingkatan kesulitan dalam ibadah

menjadi 3 macam, yaitu:

a) Kesulitan Adhimah

Yaitu kesulitan yang dikhawatirkan akan rusaknya jiwa ataupun jasad

manusia.

9

Page 10: USHUL FIQH III

b) Kesulitan Khofifah

Yaitu kesulitan karena sebab yang ringan, seperti kebolehan menggunakan

muza jika sangat dingin menyentuh air.

c) Kesulitan Mutawasithah

Yaitu kesulitan yang tengah-tengah antara yang berat dan yang ringan.

Berat ringannya kesulitan tergantung pada persangkaan manusia, sehingga tidak

diwajibkan memilih rukhshah juga tidak dilarang memilihnya

3. Bentuk-bentuk keringanan dalam kesulitan

Syekh Izzudin bin Abdis salam menyatakan bahwa bentuk-bentuk

keringanan dalam kesulitan itu ada 6 macam, yaitu:

1. Tahfitul isqoth (meringankan dengan menggugurkan)

Misalnya menggugurkan kewajiban shalat jum’at, ibadah haji dan umrah

serta jihad jika ada uzur.

2. Tahfitul tanqish (meringankan dengan mengurangi)

Misalnya bolehnya menggashar shalat dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat.

3. Tahfitul ibdal (meringankan dengan mengganti)

Misalnya dengan mengganti wudhu dengan tayamum, mengganti berdiri

dengan duduk atau berbaring ketika shalat.

4. Tahfitul taqdim (meringankan dengan mendahulukan waktunya)

Misalnya kebolehan jamak taqdim, yakni shalat ashar dilakukan shalat

zuhur, mendahulukan zakat sebelum setahun, mendahulukan zakat fitrah sebelum

akhir ramadhan.

5. Tahfitul ta’khir (meringankan dengan mengakhirkan waktu)

Misalnya jamak takhir, yakni shalat zuhur dapat dilakukan pada waktu

shalat ashar, mengakhiri puasa ramadhan bagi yang bepergian dan yang sakit.

6.       Tahfitul tarkhsih (meringankan dengan kemurahan)

Misalnya kebolehan menggunakan benda najis atau khomr untuk

keperluan berobat.

d) Kaidah keempat

10

Page 11: USHUL FIQH III

الا ز� ي ر لض�ر�

Kemudratan itu harus dilenyapkan

Kaidah ini mengisyaratkan bahwa kemudharatan selalu ada dan terjadi

dalam kehidupan manusia, baik pada saat sekarang maupun akan datang. Islam

menginginkan agar kemudharatan itu dihilangkan dari kehidupan manusia.

Kaidah ini dibangun atas dasar dan dalil yang cukup kuat, diantaranya

firman Allah berikut:

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan

memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu

orang-orang yang beriman". (QS.Al- A’raaf: 85)

Ayat ini melarang muslim berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah

memperbaikinya. Kemampuan mentaati ketentuan ini sebagai bukti kebenaran

iman seorang mukmin. Disamping itu, Allah menegaskan bahwa Ia tidak

mencintai orang-orang yang berbuat kerusakan, seperti pada firman-Nya berikut:

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah

tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(QS.Al-Qashash:77).

Kaidah fiqh di atas juga didasarkan pada hadis Nabi berikut:

�م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه الل ص�ل�ى �ه� الل ول� س ر� ��ن أ الص�ام�ت� �ن� ب �اد�ة� عب ع�ن�

ار� ض�ر� و�ال� ر� ض�ر� ال� �ن� أ ق�ض�ى

11

Page 12: USHUL FIQH III

Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah Saw. menetapkan tidak boleh

membuat kemudharatan pada diri sendiri dan membuat kemudharatan pada

orang lain (H.R. Ibn Majah)

Kaidah fiqh ini mencakup banyak masalah fiqh dan dapat dijadikan

sebagai dalil dalam menetapkan hukum, baik bidang muamalat, munakahat,

maupun jinayat. Dalam bidang muamalat, kaidah fiqh ini dapat dijadikan dalil

untuk mengembalikan barang yang dibeli karena ada cacat dan memberlakukan

khiyar dengan berbagai macamnya dalam suatu transaksi jual beli karena terdapat

beberapa sifat yang tidak sesuai dengan yang telah disepakati. Begitu pula dapat

dijadikan sebagai dalil untuk melarang mahjur alaih membelanjakan harta

kekayaannya, membatasi melakukan tindakan hukum bagi muflis (orang yang

jatuh pailit), safih (orang dungu) untuk melakukan transaksi dan hak syuf’ah.

Pertimbangan utama diberlakukan ketentuan-ketentuan ini untuk menghindarkan

semaksimal mungkin kemudharatan yang merugikan pihak-pihak yang terkait

dengan transaksi tersebut.

Selain itu, kaidah fiqh ini menjadi dalil pula dalam menetapkan hukum

masalah jinayah. Misalnya, Islam menetapkan adanya hukum qishash, hudud,

kaffarat, mengganti rugi kerusakan, mengangkat para penguasa untuk membasmi

pemberontak dan memberikan sanksi hukum terhadap pelaku kriminal.

Disamping itu, kaidah fiqh tersebut meliputi persoalan munakahah. Diantaranya,

Islam membolehkan perceraian dalam situasi dan kondisi kehidupan rumah tangga

yang tidak berjalan mulus dan serasi, agar suami-istri tidak selalu berada dalam

tekanan batin, penderitaan dan tidak mungkin dapat mewujudkan rumah tangga

bahagia.

e) Kaidah kelima

�م�ة* مح�ك د�ة �لع�ا ا

Adat kebiasaan itu ditetapkan sebagai hukum

12

Page 13: USHUL FIQH III

Dalam penilaian al-Râghib kata ‘urf yang seakar dengan kata ma’rûf

merupakan nama bagi suatu perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan agama.

Makna ini dapat ditemukan dalam diantaranya dalam firman Allah: (Qs. 3: 104).

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar

merekalah orang-orang yang beruntung.

Kata ‘urf dan ma’rûf dalam Qur’an dipandang sebagai bagian dari sikap

ihsan. Isyarat ini dapat ditemukan dalam firman Allah: (Qs. 7:199).

Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta

berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Menurut Ibn al-Najar kata al-‘urf yang terdapat dalam ayat ini meliputi

segala sesuatu yang disenangi oleh jiwa manusia dan sejalan dengan nilai-nilai

syarî’ah.

Secara istilah, menurut Al-Jurjânî ‘urf adalah semua yang telah tetap

dalam jiwa, didukung akal, dan dapat diterima tabiat. Sementara adat merupakan

segala yang dipraktekkan manusia secara terus menerus yang sejalan dengan akal

sehat dan telah menjadi kebiasaan mereka. Al-Jurjânî membedakan antara ‘urf dan

adat. Sesuatu yang disebut ‘urf bukan semata karena dapat diterima tabiat, tetapi

juga harus sejalan dengan akal manusia. Sementara sesuatu yang disebut adat

bukan semata-mata sejalan dengan akal sehat, tetapi juga telah dipraktekkan

manusia secara terus menerus sehingga menjadi tradisi di kalangan mereka.

13

Page 14: USHUL FIQH III

Abû Zahrah membatasi ‘urf menyangkut kebiasaan manusia dalam

kegiatan muamalah mereka. Muamalah yang dimaksud ulama ini sebagai

bandingan dari bagian hukum Islam yang lain, yaitu aspek ibadah. Pembatasan ini

tentu didasarkan pada pertimbangan bahwa umumnya ‘urf terkait dengan kegiatan

muamalah. Sebab, masalah muamalah cukup banyak diatur dalan bentuk prinsip-

prinsip dasar dalam Qur’an dan Hadis sehingga berpeluang dimasuki unsur ‘urf di

mana umat Islam berada. Sebaliknya, masalah ibadah yang sudah dijelaskan

secara rinci kecil kemungkinan dimasuki unsur ‘urf setelah sumber hukum Islam,

Qur’an dan Hadis lengkap diturunkan.

Mushthafâ Ahmad Zarqâ’ menyimpulkan bahwa ‘urf bersumber dari adat

kebanyakan kaum dalam bentuk perkataan atau perbuatan. Ia tampaknya tidak

mensyaratkan sesuatu yang disebut ‘urf dilakukan oleh semua orang, tetapi cukup

dilakukan oleh mayoritas kaum atau masyarakat. Dalam hal ini, ‘urf tidak hanya

cukup dalam bentuk perbuatan, dapat pula berupa perkataan.

Makna adat dalam kaidah fiqh di atas meliputi ‘urf dalam bentuk

perkataan dan perbuatan atau bersifat umum maupun khusus. Kaidah ini

mengisyaratkan adat dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum

Islam ketika nash tidak ada. Adat atau ‘urf berbentuk umum dapat berlaku dari

masa sahabat hingga masa kini yang diterima oleh para mujtahid dan mereka

beramal dengannya. Sementara ‘urf khusus hanya berlaku pada lingkungan

masyarakat tertentu yang terkait dengan ‘urf itu.

Menurut al-Suyûthî, banyak sekali masalah hukum Islam yang didasarkan

pada kaidah ini, diantaranya penentuan usia haid, lama masa suci dan haid, usia

baligh, lama masa nifas, batasan sedikit najis yang dapat dimaafkan, batasan

berturut-turut (muwalat) dalam wudhu, jarak waktu ijâb dan qabûl, jual beli

salam, jual beli mu’âthah, merawat bumi yang tidak bertuan (ihyâ’ al-mawât),

masalah titipan, memanfaatkan harta sewaan, masalah hidangan yang boleh

dimakan ketika bertamu, keterpeliharaan harta di tempat penyimpanan dalam

masalah pencurian, dan menerima hadiah bagi hakim.

14

Page 15: USHUL FIQH III

Kaidah fiqh tentang urf’ atau adat di atas dapat dijadikan sebagai dalil

yang mengkhususkan keumuman nash. Dalam nash dijelaskan tentang larangan

melakukan jual beli yang diiringi dengan syarat seperti yang ditegaskan Hadis

berikut: 

�ه� �ي ع�ل �ه الل ص�ل�ى �ه� الل ول س ر� ق�ال� ق�ال� ع�م�رVو �ن� ب �ه� الل �د� ع�ب ع�ن�

�م� ل م�ا �ح ر�ب و�ال� Vع� �ي ب ف�ي ط�ان� ر� ش� و�ال� �ع* �ي و�ب ل�ف* س� Zح�ل� ي ال� �م� ل و�س�

�د�ك� ن ع� �س� �ي ل م�ا �ع �ي ب و�ال� ض�م�ن� .ي

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: tidak halal jual

beli salam, dua syarat dalam satu akad jual beli, mengambil keuntungan yang

tidak disertai jaminan, dan jual beli sesuatu yang tidak ada padamu. (H.R.

Ahmad)

Larangan melakukan jual beli yang diiringi dengan syarat dalam Hadis ini

bersifat umum yang kemudian ditakhsis oleh ‘urf. Atas dasar ini, bay’ al-wafâ’,

dimana merupakan jual beli yang diiringi dengan syarat dibolehkan hukum Islam.

Bagi mayoritas ulama mazhab Hanafi pembolehan bay’ al-wafâ’ karena

membawa manfaat yang banyak bagi kehidupan masyarakat dalam kegiatan

muamalah mereka. Jual beli ini sebagai jalan keluar menghindarkan diri dari riba.

Praktek bay’ al-wafâ’ berasal dari tradisi masyarakat Bukhâra dan Balkh

pada pertengahan abad ke 5 H. Hal ini muncul karena para pemilik modal tidak

mau memberi hutang kepada mereka yang membutuhkan dana, apabila mereka

tidak mendapat imbalan. Situasi ini menyulitkan masyarakat yang membutuhkan

dana. Untuk itu, mereka menciptakan transaksi sehingga kebutuhan masyarakat

terpenuhi dan keinginan orang kaya pun tercapai. Ini alasan mereka membolehkan

bay’ al-wafâ’.

Sejalan dengan penjelasan terdahulu, hakim dan mufti tidak boleh

menetapkan putusan dan fatwanya dengan semata-mata berpegang pada al-qawaid

al-fiqhiyyah. Hakim dan mufti tersebut boleh menggunakan al-qawaid al-

15

Page 16: USHUL FIQH III

fiqhiyyah dalam menjalankan tugasnya apabila menemukan dalil (nash) fiqh yang

dapat dijadikan sebagai sandaran dalam menyelesaikan kasus yang dihadapinya.

Apabila suatu kasus tidak ditemukan nash fiqh sebagai dasarnya karena

tidak diketahui bahasan fuqaha tentang hal itu, tetapi ada kaidah fiqh yang dapat

mencakup peristiwa atau kasus itu, dalam situasi demikian dibenarkan

melandaskan fatwa dan putusan hakim di pengadilan menggunakan kaidah fiqh.

Contoh- contoh:

1. Seorang menjahit pakaian kepada tukang jahit atau seorang mahasiwa

hendak memperbanyak naskah skripsinya, maka siapakah yang harus

membelikan benang atau mengusahakan karbonnya adalah tergantung

kebiasaan setempat, bila tidak diperjanjikan terlebih dahulu. Jika menurut

kebiasan tukang jahit yang harus mengusahakan benangnya, maka tukang

jahitlah yang harus membelikan dan jika menurut adat kebiasaan

mahasiswa yang harus mengusahakan karbonnya maka ia harus

mengusahakan.3

2. Menurut kebiasaan yang berlaku makanan yang disuguhkan tamu, boleh

dimakan tanpa membayar, tetapi jika ada ketentuan yang lain, hendaknya

ada keterangan lebih dahulu baik dengan menyodorkan daftar harga,

maupun dengan pengumuman.

3. Pemberian uang muka kepada pegawai sebelum besluit pensiunnya turun

atau sebagian honorium mengajar kepada pengajar yang belum selesai

dalam menjalankan tugasnya adalah diperkenankan, karena memang

demikian adat yang sudah berlaku.

Biarpun suatu perbuatan sudah menjadi adat kebiasaan yang sangat tenar

dimasyarakat, tetapi karena perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan syari’at,

misalnya dalam pesta selalu disajikan minuman keras atau disediakan alat-alat

3 prof. D., Mukhtar Yahya dan Prof. Dr. Fatchrur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: PT Alma’arif. 1986).Hal 519-520.

16

Page 17: USHUL FIQH III

penjudian, maka adat yang demikian itu tidak dapat dioper menjadi ketetapan

syari’at yang dibolehkan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Qawa’idul fiqiyyah yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum (kulli) yang

mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa

kelompok.

1. Macam-macam qaidah fiqhiyah kulliyah itu ada lima:

17

Page 18: USHUL FIQH III

بمقاصدها األمور

بالشك يزول ال اليقين

محكمة العادة

التيسير تجلب المشقة

يزول الضرر

Perannya dalam pengembangan dan penerapan hukum islam ialah: 

1) dengan mempelajari qaidah fiqhiyyah, seseorang telah memiliki

pedoman untuk menetapkan hukum untuk setiap peristiwa fiqhiyyah,

seperti bayi tabung, transplantasi organ tubuh dan sebagainya. 

2) berfungsi sebagai tempat bagi para mujtahid untuk mengembalikan

seluruh seluk beluk masalah fiqhiyyah dan sebagai qoidah (dalil) untuk

menetapkan hukum masalah-masalah baru yang telah ditunjuk oleh nash

yang sharih yang sangat memerlukan untuk ditentukan hukumnya. 

B. SARAN

Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak ditemukan

kekurangan-kekurangan, untuk itu kepada dosen pembimbing kami sangat

berharap kritik dan sarannya demi kesempurnaan makalah kami kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rachmat Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Djazuli Acep, Kaidah-kaidah Fiqih, Jakarta: Kencana, 2007.

Yahya Mukhtar danFatchrur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh

Islami, Bandung: PT Alma’arif. 1986.

18