petualangan di indonesia dengan roh elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah...

142
Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia

Upload: hoangdiep

Post on 27-Apr-2019

292 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

��������������������

����������������� ������������������ ������������������ ������������������ ��

�Petualangan di Indonesia

dengan Roh Elia

Page 2: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Bab Satu Mengikuti Jejak Abraham

Mata Chen Suk Mai membelalak seakan hampir lepas dari kepalanya selagi saya dan istri saya, Lucille menatap jauh ke dalamnya untuk menelusuri jejak roh penyiksanya. Bola matanya terlihat besar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya bak orang tak waras. Suaminya, Chen Suk yang cemas duduk bersama kami, “Istri saya sudah menderita penyakit ayan yang parah ini 10 tahun lamanya,” katanya. “Tolong doakan dia.” Saya menatapnya di tempat dia duduk di seberang meja polos sederhana dan saya menangkap sedikit respon darinya. “Bagaimana keadaanmu sekarang Chen Suk Mai?” tanya Lucille, sambil berusaha menenangkan dia. Ia mengerang dengan lemah dari balik kaca mata tebalnya. Tapi firasat saya, serangan rutin epilepsi dahsyat itu telah usai, meninggalkannya terkulai, tak sadar sedikitpun akan apa di sekelilingnya. “Jika serangan ayan datang,” lanjut suaminya, “sekonyong-konyong ia akan mengelepar-gelepar di lantai, tubuhnya akan meringkuk seperti udang dan kejang-kejang. Semua orang di rumah segera memeganginya agar ia tidak melukai dirinya sendiri. Setengah jam kemudian atau setelah kejang-kejangnya berhenti, ia pingsan dan tenaganya benar-benar terkuras habis. Kami mengangkatnya dari lantai dan membaringkannya di tempat tidur. Beberapa jam kemudian ia akan terjaga dalam keletihan luar biasa tanpa mengetahui apa yang telah terjadi padanya.” Bagi saya dan Lucille, cerita ini mirip dengan cerita anak laki-laki penderita ayan yang dibawa oleh ayahnya kepada murid-murid Yesus di kitab Markus pasal 9. Orang-orang pada waktu itu menjuluki siksaan ini sebagai serangan roh najis yang tidak sanggup diusir oleh para murid. “Anehnya,” tambah Chen Suk, “sebelum setiap serangan itu muncul, kami semua merasakan suasana yang tidak enak menerawang ke seluruh isi rumah.” Kami merasakan bahwa suatu kekuatan roh jahat mencengkeram Chen Suk Mai, namun kekuatan tersebut belum pernah dihadapi dengan sungguh-sungguh. Keadaan ini kelihatannya tanpa harapan apabila kami tidak mempercayai dengan tulus nama Yesus, dimana kepadaNya semua lutut harus bertelut. Bersama-sama dengan rekan sekerja kami yang baru, Elias, kami mulai melayani Chen Suk Mai. Walaupun dalam keadaannya yang demikian ia tidak dapat memahami Injil, suaminya pada waktu itu adalah seorang percaya. Di I Korintus 7:14, Paulus menuliskan bahwa istri yang tidak percaya dikuduskan oleh suaminya yang percaya – dan sebaliknya . Berkat dari keselamatan pasangan kita yang percaya juga mengalir bahkan kepada suami/istrinya yang belum percaya – walaupun bukan terbebas dari penghakiman akhir. Jadi, karena iman dan permohonan suaminya, kami mulai memerintahkan roh najis itu untuk meninggalkan dia di dalam nama Yesus Kristus. Selama lima menit, tidak terjadi apa-apa. Ia hanya duduk saja, tidak terkesan sedikitpun akan usaha kami. Kami bertanya kepada Tuhan apa yang harus kami lakukan selanjutnya. Karena Chen Suk adalah petobat baru, saya tanyakan apakah ada sesuatu di rumahnya yang tidak berkenan bagi Tuhan. Mungkin sebelum ia bertobat ia pernah diberikan suatu jimat atau benda bermantera untuk mengobati penyakit istrinya. Sudah lazim bagi para dukun setempat untuk memberikan resep-resep semacam itu kepada para pasiennya sehingga benda-benda bermantera banyak terkumpul di rumah mereka. Jimat-jimat tsb. biasanya digantung di sana sini di dinding rumah atau terlupakan dan terselip di sela-sela laci meja dan di dalam ruangan di rumah. Chen Suk menghilang ke belakang gubuknya dan muncul kembali sesaat kemudian dengan membawa beberapa jimat. Ia memberikan semua benda itu kepada kami lalu kami membakarnya. Lalu kami melanjutkan pelayanan kepada Chen Suk Mai. Pintu depan yang biasanya dibiarkan terbuka di

Page 3: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

tengah terik siang hari di tempat pemotongan kayu yang kotor dan berdebu itu, kini ditutup. “Di dalam nama Yesus aku perintahkan engkau untuk menunjukkan dirimu, roh jahat!” “Tiba-tiba, kepala Chen Suk Mai terkulai. Matanya yang tadinya terbuka, kini tertutup. “Biasanya dia jadi begitu sebelum serangan itu datang,” komentar Chen Suk. Lucille menumpangkan kedua tangannya di kepala Chen Suk Mai dan dengan mata tertutup ia berdoa perlahan. Saya juga menutup mata. “Bill!” jeritan Lucille memecah keheningan. “Tanganku, tanganku! Tadinya saya tempelkan di kepalanya. Lihat! Ada sesuatu yang merenggangkan kedua tangan saya!” Lucille tadinya menempelkan tangannya masing-masing di kedua sisi kepala Chen Suk Mai, tapi sewaktu ia membuka matanya kembali ia melihat tangannya sudah tak menempel lagi pada kepala Chen Suk Mai tapi terpisah jauh satu dengan yang lainnya. Sepertinya ada kekuatan yang tak terlihat memancar keluar dari kepalanya dan mendorong tangan Lucille. Kami datang di dalam nama Yesus Kristus dan penyiksa-penyiksa Chen Suk Mai sedang menantang kami. Saya mengeluarkan senjata. “Aku ikat kamu, setan! Keluar sekarang juga di dalam nama Yesus Kristus! Keluar …. Sekarang!” saya perintahkan. Saya kasihan sekali sebenarnya melihat wanita polos yang rapuh ini. “Kamu tidak apa-apa kan?” tanya saya, sambil menatap wajahnya dengan lembut. Apa yang kemudian saya lihat dan dengar tidak dapat dijelaskan hanya dengan kata-kata. Kepalanya diangkat sambil melihat pada saya. Matanya melotot, dengan penuh kegeraman dan kebencian menatap lekat-lekat kepada saya dengan suara gerungan dari tenggorokannya, bukan hanya menantang, tapi sekarang mengancam. Ketakutan mulai timbul di dalam hati saya; keyakinan diri saya pupus seketika. Elias melihat sekilas saja pada wajah musuh yang menakutkan itu, ia pingin lari ke pintu depan dan menyelamatkan diri. Ketakutan juga mencengkeram saya. Jiwa saya berseru, Lari! Kamu akan diterkam oleh roh ini! Namun ada sesuatu yang lain di dalam diri saya yang tidak mengijinkan saya untuk lari. Bercampur rasa takut, tiba-tiba saya bangkit dengan geram terhadap roh jahat yang berani melawan nama Yesus Kristus itu. Saya berdiri tegak di atas hak saya, dikuatkan oleh Roh Kudus. Dengan sengaja saya lawan rasa takut, saya dekatkan wajah saya sampai mata dengan mata beradu dan wajah menyeramkan itu luluh di depan mata saya. “Di dalam nama Yesus Kristus, keluar!” saya berseru, menolak untuk menunjukkan ketakutan dan mengumpulkan semua keberanian. “Keluar!” Wajah setan itu langsung menyingkir. Chen Suk Mai terkulai jatuh. Setelah beberapa saat ia membuka kembali matanya. Kini ia menjadi dirinya sendiri. Sejak saat itu ia tidak pernah menderita serangan kekerasan itu lagi. Orang kuat itu akhirnya diusir di dalam nama Juruselamat, Yesus Kristus keluar dari kediaman yang telah lama didudukinya. Saya melihat kedamaian mulai terpancar di wajah perempuan yang telah lama menderita itu. Saya melihat bagaimana kekuatan roh jahat menyiksa dirinya, namun saya juga melihat betapa cepatnya orang kuat itu harus bertekuk lutut di dalam hadirat Yesus. Sebenarnya, alasannya saya dan Lucille duduk di hutan yang panas terik dan lengket di Kalimantan Barat pada hari itu ialah karena kami didorong oleh jamahan kuasa Yesus, suatu motivasi yang begitu kuat yang memberi semangat dan membuat kami bersedia melepaskan semua impian dan rancangan masa depan. Saya mengerti mengapa roh-roh jahat harus pergi atas perintah Yesus. Saya juga mendengar suaraNya dan saya tidak bisa tinggal diam di tempat saya berada waktu itu. Dalam waktu kurang dari satu tahun lagi, saya hampir meraih gelar Ph.D. dalam pendidikan formal saya di bidang psikologi eksperimental di University of California. Tetapi ketika Roh Kudus menjamah saya, saya menyerahkan impian akademik saya demi mengejar suatu panggilan yang akan membawa saya ke alam Ilahi yang tidak lazim. Saya bertekad untuk melihat sendiri kuasa ajaib yang menakjubkan para saksi mata pada pencurahan Roh di abad pertama.

Page 4: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Saya pindah ke sekolah Theologia dan pada semester pertama saya di seminari di California, suatu panggilan mendesak bergolak di dalam hati saya. Kapan saja ada kesempatan, biasanya pada akhir pekan, teman sekelas dan sahabat terkasih saya Steve Shepard dan saya, bersama dengan para siswa lainnya, mengadakan “penginjilan radikal”. Traktat Injil dan pengeras suara adalah perlengkapan standar kami. Tikungan jalan dan pinggir jalan kami jadikan mimbar. Sambil membunyikan pengeras suara, kami mendorong orang-orang yang kebetulan lewat pada saat itu – untuk bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Kadang kami menempelkan pengeras suara di atap atau di kap mobil dan dengan mikrofon di satu tangan dan kemudi di tangan yang lain, kami menginjili para pengendara kendaraan bermotor lainnya. Orang-orang awam yang kebetulan mengendarai mobilnya berjumpa dengan pasukan penginjil jalanan yang berparalel sambil memperlambat atau mempercepat laju mobil Fiat hijau kecil menyerukan agar mereka bertobat. Suatu hari, saya membawa pengeras suara ke daerah berbahasa Spanyol di Santa Ana, dekat Anaheim. Saya tidak bisa berbahasa Spanyol, namun saya punya senjata traktat Empat Hukum Rohani terjemahan bahasa Spanyol. Sambil mengintai di sisi jalan tepat di depan sebuah gedung apartemen kecil, Saya setel mikrofon saya keras-keras, mengarah pada gedung tersebut, saya mulai membaca traktat itu, melafalkan setiap kata dalam bahasa Spanyol sesuai dengan tafsiran saya sendiri. Pancaran dari speaker bazooka saya rupanya mengena pada apartemen tersebut, orang-orang mulai membuka pintu dan menjulurkan kepala ke luar jendela. Kebanyakan dari mereka segera beringsut masuk kembali begitu mereka tahu ternyata yang membuat keramaian itu hanya seorang Cina fanatik. Akan tetapi, sekelompok kecil anak-anak keturunan Meksiko mulai berkumpul mengelilingi saya, mendengarkan dengan penuh perhatian. Dengan semangat, saya membaca traktat itu sampai baris terakhir. Kemudian saya tanyakan siapa yang mau percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Semua tangan kecil terangkat dan saya senang sekali. Memang benar Kerajaan Allah adalah milik anak-anak kecil. Sayangnya, karena saya tidak dapat berbahasa Spanyol, saya tidak dapat membimbing para petobat baru ini bagaimana bertumbuh di dalam Kristus. Kemudian pertemuan itu saya bubarkan. Walaupun menarik, penginjilan semacam itu tidak memuaskan. Cara seperti itu tidak seproduktif yang saya harapkan. Bukannya tidak bisa berbuah, penginjilan semacam itu bagi Kerajaan Allah jelas diberkati melalui orang-orang yang dipanggil untuk melayani penginjilan di tempat keramaian seperti di jalan-jalan. Dalam hal ini, di dalam hati saya timbul kerinduan untuk sesuatu yang lebih substansial daripada penginjilan akhir pekan yang telah saya lakukan beberapa waktu ini. Saya rindu dapat memberitakan Injil sepenuh waktu dan melihat kemuliaan Allah dan mujizat-mujizatNya yang meneguhkan FirmanNya. Jadi, ketika saya mulai frustrasi dengan pelajaran, ujian dan buku-buku (walaupun kini tersedia dari beragam pengajaran), saya berpikir untuk keluar dari jalur seminari. Gelar Master of Divinity masih dua tahun lagi lamanya. Saya sudah tak sabar lagi. Haruskah saya meluncur saja dengan iman dan terjun ke dalam pelayanan sepenuh waktu? Seiring berjalannya waktu, gagasan ini memperoleh momentumnya walaupun banyak juga argumen yang menentangnya. Pikiran saya berkecamuk, “Kamu baru jadi orang Kristen kurang dari dua tahun. Bahkan beberapa bagian Perjanjian Lama belum kamu baca! Apa yang dapat kamu lakukan tanpa gelar dari seminari? Kamu tak punya pengalaman dalam pelayanan gereja, maupun sebagai penatua, diaken, guru Sekolah Minggu, pemimpin Kelompok Pendalaman Alkitab atau pekerja kaum muda. Sudah pasti tidak ada gereja yang akan memakai kamu secara serius sekarang ini.” Namun suara di dalam hati saya tidak bisa dibungkam. “Lepaskan semua yang sedang kamu lakukan sekarang, dan pergi, beritakan kekayaan Kristus Yesus kepada bangsa-bangsa.”. Puji Tuhan Roh Kudus akhirnya menyudahi begitu banyaknya argumentasi manusia di dalam pikiran saya.

Page 5: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

PimpinanNya yang akhirnya mendorong sehingga saya terjun ke dalam petualangan hidup saya. Saya harus pergi. Tapi ke mana? Tidak memiliki ijazah pendidikan yang formal rupanya akan menutup banyak pintu bagi kami. Mungkin jika saya pergi ke tempat dimana orang-orangnya tidak mengenal surat-surat resmi, saya dapat melayani di sana. Di mana ada tempat seperti itu? Tentu saja. Ladang misi di negeri asing. Jika saya pergi ke suatu negeri dimana tidak ada orang Kristen di sana, hanya orang kafir, siapa yang akan peduli tentang ijazah pendidikan pelayanan? Logika ini cukup memberi inspirasi pada saya. Tuhan memberi saya seorang istri yang cantik yang lahir di Indonesia. Lucille berbicara bahasa Indonesia dan Cina dengan sempurna dan orang tuanya yang Kristen, tinggal di Jakarta, ibukota Indonesia. Pilihan logis untuk ladang misi kami tentu saja Indonesia. Para missionaris, tentu saja, perlu diutus oleh gereja dan didukung secara finansial oleh gereja yang mengutus mereka itu. Biasanya mereka bergabung dengan badan misi yang memberikan pelatihan dan kesempatan pelayanan di suatu negara target. Tapi justru inilah yang tidak kami miliki. Gereja atau badan misi mana yang mau mengutus seseorang yang kualifikasinya sangat minim? Bahkan uang untuk tiket pesawatpun kami tak punya. Tapi saya tidak khawatir. Pokoknya saya percaya bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Di Lukas 6:38 dikatakan, “Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu.” Kami membutuhkan takaran yang baik tersebut untuk melaksanakan amanat yang Tuhan berikan kepada kami. Kebutuhan kami yang paling mendesak adalah uang untuk tiket pesawat, kira-kira 2.000 dolar Amerika untuk dua orang. Kebutuhan lainnya, seperti biaya hidup sehari-hari di ladang misi, tidak terlalu kami pusingkan. Kami rasa Tuhan pasti akan menyediakannya setelah kami mulai terjun dalam pekerjaanNya. Yang penting kami harus sampai dulu di sana. Menurut ayat tersebut di Lukas, kita harus terlebih dahulu memberi barulah kemudian Tuhan akan menyediakan kebutuhan kita. Selain cara itu kami harus berhemat dan menabung sampai cukup untuk membeli tiket pesawat. Kami putuskan untuk tidak memakai cara itu, karena kami ingin merasakan betapa indahnya gairah diluncurkan dengan iman kepada janji-janji Tuhan. Selain itu, perlu waktu bertahun-tahun untuk menabung uang sebanyak itu. Sebagai siswa sepenuh waktu di seminari, saya tidak menghasilkan uang sama sekali. Sedangkan Lucille menunjang keuangan kami dengan bekerja di toko serba ada sebagai tenaga bagian penjualan. Setiap akhir bulan, setelah semua tagihan lunas dibayar, tidak ada lagi yang tersisa. Salah satu cara yang lebih menarik dan cepat untuk mendapatkan uang ialah dengan memberi, seberapapun sedikitnya yang kami punya, agar dapat menerima kembali dalam jumlah banyak. Jika rencana kami untuk pergi ke Indonesia berasal dari Tuhan, Ia pasti akan menyediakan dananya. Oleh karena itu kami tidak mencari dukungan dana secara aktif. Jika dananya tersedia, maka itu akan menjadi konfirmasi bagi kami bahwa kami berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan. Suatu hari di musim semi kami menerima pengembalian pajak penghasilan kami, jumlahnya beberapa ratus dolar. Jumlah itu masih jauh dari kebutuhan kami untuk membeli tiket pesawat ke Indonesia, namun itu merupakan suatu permulaan. Dengan sukacita kami menyimpan uang tersebut di dalam rekening tabungan kami. Tak lama setelah itu, pada suatu malam, seorang rekan sekelas saya menelpon. Ia dan istrinya serta anak-anaknya diusir dari apartemen mereka karena tidak mampu membayar uang sewa. Saudara kami yang kekasih ini berseru minta tolong. “Berapa yang kamu butuhkan?” tanya saya. Ia perlu seratus dolar lebih, jauh lebih sedikit dibandingkan uang yang baru kami terima dari kantor pajak. Tanpa ragu-ragu saya katakan, “Kami bisa memberikan uang itu untukmu, saudaraku.” Kemudian ia mulai menceritakan kesulitan keuangan lain yang ia hadapi. Saya bisa mendeteksi bahwa ia akan minta tolong lagi, saya jadi mulai tidak sabaran dengannya. Bukankah saya sudah cukup

Page 6: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

murah hati? Tetapi anehnya, di sela percakapan kami, saya bertanya, “Berapa banyak lagi yang kamu butuhkan?” Ternyata yang ia butuhkan seluruhnya tidak jauh dari jumlah pengembalian pajak kami. Jika saya memberikan seluruh uang yang ia minta maka tabungan kami untuk beli tiket ke Indonesia akan ludes. Tapi sepertinya saya tidak bisa lagi mengontrol lidah saya sendiri. “Kami, eh, yah, kami dapat membantu kamu.” Kata-kata itu seolah-olah meluncur sendiri keluar dari mulut saya. Malam itu juga saya menulis cek dan mengirimkan kepadanya. Uang kami ludes sudah. Namun sukacita dan kelegaan menghibur hati saya, karena malam itu Tuhan membebaskan saya dari keegoisan dan membuat saya mampu memberi dengan murah hati. Haleluyah! Melalui ketaatan akan FirmanNya pada perkara itu dan perkara-perkara lainnya, saya memasuki suatu perjalanan yang tak dapat dihentikan di dalam prinsip memberi dan menerima dan melaluinya Tuhan akan menyediakan uang untuk membeli tiket pesawat ke Indonesia. Tak lama kemudian ada sebuah surat yang datang dari kota New York. Surat itu dari kakak perempuan saya, Amy. Sewaktu saya membuka amplopnya, sebuah cek senilai 1.000 dolar jatuh ke tangan saya. Sebelumnya tidak pernah seorangpun mengirimkan uang sebanyak itu kepada kami. Menurut catatan yang menyertai cek itu, uang itu diberikan untuk kebutuhan kami. Tapi kebutuhan yang mana? Apakah dia tahu rencana kami untuk pergi ke Indonesia dan merasa terbeban untuk membantu? Saya menelpon dia untuk mencari tahu apakah uang 1.000 dolar itu dari dia atau dari Tuhan. “Amy, apakah kamu tahu bahwa kami ingin pergi ke Indonesia?” Saya bertanya setelah memberi salam dan mengucapkan terima kasih untuk apa yang ia berikan. “Tidak Bill. Saya hanya merasa Tuhan ingin saya memberikan uang itu kepadamu.” Saya tahu Tuhan sedang meneguhkan kepada kami melalui tanda-tanda ajaib bahwa Ia ingin kami pergi. Ia memberikan tanda ini karena kami mau melepaskan segalanya dan mentaati FirmanNya. “Berilah maka kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu.” Dengan pemberian dari kakak saya ini, kami masih kurang 1.000 dolar lagi. Tetapi kami tidak ragu bahwa Tuhan akan menyediakannya segera. Dengan antusias kami mulai membuat rencana untuk berangkat ke Indonesia pada musim panas setelah kuliah musim semi yang saya jalani selesai. Karena “segala sesuatu mungkin bagi mereka yang percaya.” (Markus 9:23) Jika seseorang sungguh-sungguh percaya, maka ia akan bertindak walaupun tanpa didukung oleh situasi di sekelilingnya. Dua bulan sebelum semester musim semi berakhir, suatu hari Presiden dari Dewan Mahasiswa seminari memanggil kami. Ia berbicara tentang dana tertentu yang telah dialokasikan untuk misi musim panas. Setiap musim panas tiba, dana ini akan dibagi-bagikan kepada para siswa yang ingin melayani misi di negara lain Pada musim semi itu, Dewan Mahasiswa melakukan survey pada beberapa calon yang akan menerima dana ini, mereka memutuskan bahwa seluruh dana yang ada akan diberikan untuk membiayai kami. Kami tidak pernah tahu sebelumnya bahwa ada dana semacam ini dan kami tidak pernah meminta dukungan dana dari Dewan Mahasiswa. Dan jumlahnya? Kurang sedikit dari 1.000 dolar. Allah bekerja bagi orang yang percaya dan rindu melayani Dia! Jadi, pada tanggal 10 Juli, 1978, Saya dan Lucille meninggalkan Amerika Serikat untuk mengejar impian kami. Kami rindu melihat kemuliaan Tuhan. Dahulu Tuhan memberi tantangan kepada seorang bernama Abraham untuk meninggalkan negerinya demi Kerajaan Allah. Demikian juga, kami merasa bahwa Tuhan menantang kami untuk melangkah dari tanah yang datar-datar saja ke air yang penuh iman. Kami menerima tantangan itu dan kami terjun ke dalam petualangan yang menggetarkan di dalam Roh, dimana di dalamnya termasuk pelepasan Suk Mai yang luar biasa itu.

Page 7: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Bab Dua Melepaskan Impian Amerika

Pada tahun 1970, Lucille terbang melesat dengan sayap impian – dengan tujuan yang sama sekali berlawanan dengan arah yang sedang kami tuju sekarang. Ia sebenarnya dibesarkan di Indonesia. Pada usia 17 tahun, dibakar oleh ambisi kaum muda untuk mempengaruhi dunia, ia berangkat ke Amerika. Dengan kecerdasannya, ia berhasil masuk ke Columbia University di New York, di tempat itulah kami bertemu. Kini, Lucille telah mencabut impiannya yang penuh gairah dan kehidupan itu dan meletakkannya di atas mezbah air mata, sebagaimana Abraham juga pernah meletakkan Ishak di sana. Tangannya yang gemetar mencoba manahan tubuh pengharapan miliknya di Amerika, siap dibantai untuk mati selamanya. Salah satu hal yang paling ia idam-idamkan ialah tinggal di Amerika selamanya dan menjadi warga negara Amerika. Namun panggilan Allah yang ia jalani bersama saya memupuskan hasrat manusiawinya, dan kini ia terbang kembali melintasi Samudera Pasifik yang dahulu dianggapnya tidak cukup lebar untuk memisahkannya dari tanah kelahirannya. Hanya sejenak setelah tinggal landas dari Bandara Internasional Los Angeles, ketika para penumpang mulai mengambil posisi untuk penerbangan jauh menuju Hong Kong, jalur pertama perjalanan kami ke Jakarta, saya mulai sadar akan apa yang telah kami lakukan dan itu membuat saya terhenyak. Kami meninggalkan semua orang yang kami kenal dan kami kasihi. Di belakang sana ada keluarga dan saudara seiman kami di Anaheim yang dengan penuh kasih mendorong kami untuk mengejar visi kami. Kami telah menyerahkan semua harta kepunyaan kami. Yang paling menyeramkan adalah meninggalkan negara kami. Amerika Serikat bagi kami adalah kenyamanan, keamanan dan keluarga. Itu adalah rumah kami. Kini semua itu saya tinggalkan untuk pergi ke negeri yang asing dan aneh bagi saya. Bapa kita Abraham meninggalkan negerinya dengan iman untuk pergi ke tanah yang hanya akan ditunjukkan kepadanya apabila ia telah tiba di sana. Demikian juga, kami meninggalkan semua yang kami kenal dan sayangi untuk suatu tujuan akhir yang cuma Allah sendiri yang tahu.Tiba-tiba saya menjadi begitu emosional. Saya menutup muka saya dari penumpang disekitar saya. Air mata menetes di telapak tangan saya ketika sadar apa yang sedang saya lakukan. Kini saya sepenuhnya, tanpa syarat, tanpa dapat dibatalkan lagi telah terjun ke dalam pelayanan Bapa, sepenuhnya di dalam tanganNya, masa depan saya sepenuhnya bergantung padaNya. Tak ada seorangpun di Indonesia, termasuk orang tua Lucille yang menantikan kedatangan kami. Di dalam hati saya ada perasaan bahwa, pada akhirnya, Tuhan adalah Allah saya. Saya mulai menangis tersedu-sedu di hadapanNya. Menurut akal sehat, saya dan Lucille adalah orang bodoh. Apa yang dapat kami capai? Menginjili di jalan-jalan di Jakarta? Kami pernah lakukan itu di jalan-jalan di California Selatan tanpa hasil yang berarti. Jika tidak menginjil di jalan-jalan, lalu apa? Paling-paling, kami hanya dapat memberikan kata-kata dorongan kepada gereja di Indonesia bila kami diundang. Prospek akan pelayanan yang sukses kelihatannya suram sekali. Di pikiran kami tersirat kemungkinan akan pintu yang tertutup dan kembali ke Amerika dalam kegagalan. Namun, kami memilih untuk menjadi petualang bagi Tuhan. Kami tidak akan mendapatkan apa-apa bila kami tidak mengambil resiko apa-apa. Di dalam Tuhan ada begitu banyak hal yang bisa kami dapatkan dan tidak ada hal yang berarti yang kita dapat kehilangan bagi mereka yang mengikuti Dia dengan berani dengan terang yang mereka miliki.

TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya. (Mazmur 37:23-24)

Page 8: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

Apa yang ingin kami capai? Harapan kami ialah memenangkan jiwa untuk Kerajaan Allah. Mungkin Tuhan akan membawa kami ke tempat dimana tidak ada orang Kristen di sana. Di sana kami dapat melayani tanpa ijazah sekolah Theologia. Tetapi ini harus dilakukan dekat dengan orang tua Lucille di Jakarta. Jika kami ditangkap karena memberitakan Injil kepada orang-orang dari agama lain, ayah mertua saya dapat menebus kami dari penjara. Atau, jika kami melayani di desa-desa, kami bisa kembali ke kota pada akhir pekan untuk sedikit memanjakan diri. Singkat kata, kami ingin suatu surga yang nyaman dan aman dekat tempat kami melayani. Jika kami membutukan sesuatu, tidak jauh untuk mencari pertolongan. Kami sudah menunjukkan kepada Tuhan iman kami dengan berangkat ke Indonesia tanpa bersandar pada manusia. Sudah pasti Ia tidak keberatan jika begitu tiba nanti di negeri asing dengan bahasa, kebudayaan dan ilah mereka yang aneh, saya melihat pada manusia untuk mendapatkan keamanan. Kami menginap di Hong Kong, lalu melanjutkan perjalanan kami pada hari berikutnya, terbang ke selatan menuju Indonesia, suatu kepulauan tropis yang terbentang sepanjang 5.000 km dengan penduduk keempat terpadat di dunia. Ketika kami mendarat di Jakarta, sinar mentari mulai ditelan temaram. Ketika pesawat meluncur di jalur pendaratan menuju pintu keluar, lampu kuning yang membanjiri bandara seakan melotot dari balik jendela, memberi peringatan bahwa kami telah tiba di tanah kegelapan. Kami mengambil tas kami dan berjalan perlahan menuju pintu keluar. Begitu kami keluar dari ruangan ber-AC lalu menuruni tangga menuju lorong di bandara, hawa panas segera menyergap sekujur tubuh saya. Inilah Indonesia, seperti oven yang menyala. Kami telah tiba. Ketika kami melangkah ke dalam rumah orang tua Lucille, tanpa pemberitahuan apapun, jauh-jauh mengelilingi separuh dunia, ayah Lucille memandang kami hampir tak percaya bahwa kami berdiri di hadapannya di ruang tamunya. “Pasti sesuatu yang buruk telah terjadi,” pikirnya. “Dari mana pula mereka mendapatkan uang untuk datang ke sini?” Ketika ia pulih dari keterkejutannya, iapun bertanya, “Apa yang kalian berdua sedang lakukan di sini?” “Katakan pada Papimu bahwa kita datang ke sini untuk memberitakan Injil di Indonesia,” kata saya sambil berpaling kepada Lucille. Ia menterjemahkan jawaban saya ke dalam bahasa Cina. Rasa terkejutnya kemudian berubah menjadi kekhawatiran yang mendalam. Ayah Lucille adalah seorang Kristen yang aktif. Ia tahu betul hambatan besar dan frustrasi yang siap menerkam orang-orang yang memberitakan Kristus di negerinya, negeri yang banyak penyembah berhala dan sihir. Menantunya ini sudah tidak waras pikirnya. Lagi pula, ia seorang Amerika, tidak paham sama sekali akan bahasa, hukum, kebudayaan, iklim, makanan, cara hidup di sini dan tidak berpengalaman sama sekali dalam pelayanan. Apa yang dapat ia lakukan di Indonesia kecuali menjadi beban saja? Pada hari itu, di rumah mertua saya kebetulan ada seorang pendeta dari Hong Kong, Dr. Philip Teng yang menginap sebagai tamu. Dr. Teng baru saja menyelesaikan pelayanan misi jangka pendek selama enam bulan di suatu daerah yang bernama Kalimantan Barat, dan ia mampir ke Jakarta untuk sejenak beristirahat. Ketika ada kesempatan saya mendekati beliau dan menceritakan mengapa saya datang ke Indonesia. “Menurut Bapak, apa yang kira-kira dapat saya lakukan di Indonesia? Di mana saya dapat melayani?” “Anak muda,” ia menjawab tanpa sungkan, “Jika kamu ingin melayani Tuhan di sini di Indonesia, kamu harus pergi ke Kalimantan.” “Kalimantan? Saya berpaling pada Lucille dan bertanya, “Dimana Kalimantan itu?” “Bill,” jawabnya, “Kalimantan adalah sebutan orang Indonesia untuk pulau Borneo!” Di dalam benak kebanyakan orang Barat, yang terbayang adalah kanibal pemburu kepala manusia, ular pemangsa manusia, orangutan, buaya dan hutan yang panas dan penuh dengan nyamuk. Tidak, saya tak dapat membayangkan diri saya mengayunkan parang, menebas tanaman di depan saya

Page 9: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

agar dapat menerobos hutan demi mencari penduduk asli yang masih primitif untuk diinjili. Saya sama sekali bukan orang yang biasa di alam bebas. Di samping itu, Lucille adalah seorang gadis sensitif yang dibesarkan di kota, yang jarang keluar rumah sewaktu ia di Jakarta. Pergi keluar rumah saja sudah membuatnya gelisah apalagi pergi ke Kalimantan. Kalimantan? Suatu pulau yang jaraknya beberapa ratus kilometer di seberang lautan jauh dari keberadaban di Jakarta… amat sangat jauh. Dan kami tidak kenal siapapun di sana. Tanpa siapapun yang dapat dikontak di sana, bagaimana kami bisa mulai? Lucille sendiri tidak pernah ke sana. Gagasan untuk pergi ke Kalimantan lebih menakutkan Lucille daripada saya. Kami rasanya sudah cukup berani untuk meninggalkan segala-galanya di Amerika dan datang ke Jakarta dengan iman. Sudah tentu Tuhan tidak akan menarik iman kami melebihi batasnya dan mengutus kami ke hutan belantara di pedalaman Kalimantan! Saya mulai berpuasa dan mencari Tuhan untuk mengetahui pelayanan apa yang Dia inginkan bagi kami. Mudah-mudahan, Ia akan membukakan pintu bagi kami di daerah sekitar Jakarta. Kami mengetuk banyak pintu, mengunjungi gereja-gereja dan melayani di kota. Tetapi tidak ada pintu yang terbuka bagi kami. Lagi pula, kami diberitahu bahwa pihak yang berwajib di Jakarta akan mengambil tindakan tegas terhadap “penginjilan radikal” di tempat terbuka seperti yang kami lakukan di California selatan. Seiring berjalannya waktu, Kalimantan mulai kelihatan semakin baik bagi kami. Suatu kali kami bertemu dengan beberapa missionaris dan hamba Tuhan yang berpengalaman di Jakarta, kami mencoba mencari nasihat mereka mengenai pelayanan di Kalimantan. “Jadi kalian mau pergi ke Kalimantan dan mengabarkan Injil?” Tom dan istrinya yang melayani dengan suatu organisasi misionaris Amerika yang berkantor-pusat di Jakarta, menerima kami dengan sangat baik hati. Sambil makan malam di rumahnya, kami menceritakan bahwa kami merasa dipimpin untuk pergi ke Kalimantan, dan kami jujur saja mengatakan kami kurang dalam hal pelatihan dan dukungan dari badan-badan misi. Namun kami menaruh keyakinan kami pada Tuhan yang dapat mengalahkan segala sesuatu yang mustahil. Tom berbicara sangat jujur, ia ingin menyelamatkan kami dari kegagalan dan keputusasaan. “Saya pernah ke sana, dan keadaannya tidak mudah. Kondisi hidup sangat memprihatinkan. Sarana transportasi buruk, dan kalian tidak tahu apa-apa tentang orang-orang di sana dan cara-cara mereka. Kamu tidak tahu bagaimana cara menghadapi mereka. Saya sarankan kalian jangan pergi.” Kami mendengar nasihat yang serupa ini terus menerus: “Jangan pergi.” Jika kami benar-benar pergi, sudah pasti itu hanya untuk belajar dan mengamati saja. Seseorang tanpa pelatihan formal tidak dapat mengharapkan untuk mencapai pekerjaan serius apapun di Kalimantan. Bahkan misionaris berpengalaman sekalipun mengalami kesulitan di sana. Kami harus kembali ke Amerika untuk mendapatkan pelatihan dan baru beberapa tahun kemudian mencoba kembali untuk melayani. Lagi pula, bagaimana mungkin dua orang yang naif, walaupun iman dan visinya berkobar-kobar, bisa berhasil di Kalimantan? Tidak mungkin!! Begitu mereka merasakan betapa sulitnya melayani di daerah-daerah primitif tersebut, mereka akan terjaga dalam kenyataan. Mereka akan menyerah dan kembali ke tempat asal mereka. Nasihat tersebut memang bijaksana. Tetapi bila Tuhan menginginkan, Ia bisa memilih “yang bodoh dari dunia untuk mempermalukan yang berhikmat… yang lemah dari dunia ini untuk mempermalukan yang kuat.” (I Korintus 1:27) Setelah menunggu selama dua bulan, kami merasa sudah waktunya kami mengambil keputusan. Karena kami tidak merasakan damai sejahtera untuk tetap tinggal di Jakarta, kami dihadapkan hanya pada dua pilihan sekarang. Apakah kami akan terus maju di dalam iman dan pergi ke Kalimantan atau gagal dan kembali ke Amerika. Jika memilih Kalimantan, kami harus mengumpulkan semua sisa iman dan keberanian kami. Untuk terjun ke tanah yang terlupakan dan mistik ini, dimana gambaran prasejarah mereka menempel di dalam imajinasi setiap orang Barat, kami harus menggertakkan gigi kami, menutup mata dan melompat secara buta. Namun untuk menyerah

Page 10: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

dan kembali ke negeri kami kelihatannya kurang menyenangkan.. Tuhan tidak memanggil kami untuk menjadi orang yang menyerah. Di dalam hati kami timbul suatu keteguhan yang pasti sampai-sampai kami tidak mau menerima kata tidak sebagai jawaban. Jika pintu ke Kalimantan tidak terbuka, kami akan terus mengetuk, terus menggedor, terus mendesak pintu itu sampai roboh di kaki kami.

Siapakah engkau, gunung yang besar? Di depan Zerubabel engkau menjadi tanah rata. (Zakharia 4:7)

Lucille dan saya memutuskan untuk terus maju ke tanah Kalimantan. Kami harus melihat kemuliaan Allah tanpa peduli akan apapun lagi. Kami sudah mulai lakukan persiapan, tiket pesawat sudah kami ambil, persedian sudah dibeli : tas punggung, tempat air, pisau yang bagus, alas untuk tidur, kelambu, sepatu bot tinggi, obat anti malaria. Sebuah tenda kecil dijahit menjadi satu. Dengan semua persiapan yang telah dilakukan, hari menjelang keberangkatan seakan tiba cepat sekali. Akhirnya tiba waktunya kami berangkat. Pada hari sebelum keberangkatan kami, segala sesuatu telah kami angkut. Ketika kami sedang sibuk berkemas, kami hanya memusatkan perhatian pada barang-barang apa yang perlu kami bawa. Namun sekarang dengan tas-tas kami yang siap untuk dibawa, pikiran kami terpulang kembali kepada tujuan di balik semua persiapan ini. Dalam beberapa jam lagi kami akan berangkat ke suatu tempat yang tidak dikenal. Tujuan kami adalah Pontianak, ibukota Kalimantan Barat. Siapa yang akan menjemput kami di bandara? Sejauh yang kami tahu, tidak ada seorangpun. Di mana kami akan tinggal? Kami tidak tahu. Berapa banyak uang yang ada pada kami? Kira-kira tiga ratus dolar. Kapan kami akan kembali ke Jakarta? Hanya Tuhan yang tahu. Kami hanya punya tiket satu jalan. Amanat Agung hanya memerintahkan kita untuk “pergi”. Tidak dikatakan untuk kembali. Apa yang akan kami lakukan setibanya kami di sana? Kami tidak tahu. Semua ketidak-pastian yang gelap ini memenuhi pikiran kami. Awan gelap kegelisahan menggumpal di dalam hati kami. Apa yang akan kami lakukan? Apakah kami sudah kehilangan akal sehat? Begitu malam tiba di Jakarta, kami tidak bercakap-cakap lagi satu sama lain. Berbicara tentang Kalimantan hanya akan menambah keresahan kami. Kami merasa sepertinya hukuman mati menanti kami. Malam itu sama sekali kami tidak tidur.

Page 11: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Bab Tiga Melangkah Keluar dari Perahu

Pesawat Fokker F-28 yang mungil itu melambat di landasan pacu lalu tinggal landas dengan cepat. Dari balik jendela saya menatap Jakarta dengan prihatin. Pesawat kami naik dengan cepat menembus awan. Saya kembali melihat pada diri sendiri dan keresahan seakan bergejolak di dalam hati saya. Beberapa saat kemudian, saya menatap kembali ke luar jendela. Saya melihat dari segala arah keindahan langit terpancar di mana-mana. Kemuliaan yang tak terucapkan di hadapan saya seakan membangunkan saya dari suasana hati yang kelabu dan akhirnya saya ingat akan Tuhan. “Tuhan, kali ini saya benar-benar melangkah. Kami berangkat ke Kalimantan tanpa mengenal seorangpun di sana, Kami melompat dari tebing yang terjal tanpa ada yang kelihatan menangkap kami di bawah sana. Tolong kami, Tuhan! Jika tidak, kami akan….” Selama perjalanan itu, saya bergantung pada Tuhan untuk mendapatkan keyakinan. Imajinasi saya menerawang ke mana-mana, membangkitkan skenario yang menyeramkan dimana kami tidak punya tempat tinggal begitu kami tiba di Kalimantan. Pesawat kami terus terbang, membawa kami semakin dekat kepada pertemuan rahasia kami dengan orang-orang yang tak kami kenal. Setiap menit berlalu dan detak jantung saya rasanya semakin cepat dan cepat saja. Tiba-tiba suara speaker memecah keheningan. “Bapak-bapak dan Ibu-ibu, dalam beberapa menit lagi, kita akan mendarat di bandara Supadio di Pontianak. Mohon kencangkan ikat pinggang anda dan kembalikan tempat duduk anda ke posisi tegak.” Pengumuman itu menghentak saya dan membuat jantung saya berdebar-debar semakin kencang. Saya melongok dengan gelisah ke luar jendela. Lautan yang kelihatan monoton kini mulai berakhir karena kami mulai melihat daratan. Daratannya kelihatan berbeda sekali dengan apa yang pernah saya lihat sebelumnya. Sambil pesawat mengitari bandara sebelum sampai di tempat pendaratan, saya melihat-lihat ke sekeliling. Di setiap sudut sepanjang mata memandang, yang saya lihat seperti karpet hijau membentang. “Oh Tuhan,” saya berseru, “memang semuanya seburuk yang saya perkirakan. Semuanya hutan!” Saya berhenti untuk menyerah pada nasib dan saya memberikan diri saya sepenuhnya pada belas kasihan Allah, Yang telah memanggil kami untuk mengikuti jejak Abraham. Adalah satu hal untuk membaca tentang iman Abraham, namun sungguh suatu hal yang benar-benar berbeda untuk mencoba melakukan apa yang ia lakukan. Abraham pada zamannya merupakan satu-satunya orang yang dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi manusia yang lain daripada yang lain, seorang yang hidup dengan iman. Pertama-tama ia dipanggil untuk mendemonstrasikan imannya dengan meninggalkan tanah kelahirannya dan pindah ke negeri asing dimana orang-orangnya tidak ada yang menerima panggilan khusus atau mengenal Allahnya. Sungguh ia menjadi seorang yang asing sama sekali di negeri yang baru, dipaksa untuk bersandar hanya kepada Allah saja. Di zaman modern Amerika, dengan komunikasi dan transportasi abad luar angkasa dan dan kekristenan yang telah menyebar luas, sulit untuk mengalami kondisi Abraham. Allah, tentu saja, tidak menuntut agar kita memaksa untuk menempatkan diri secara fisik di dalam situasi Abraham. Namun untuk dapat memahami kualitas imannya – yang Tuhan ingin juga kita miliki – dalam imajinasi kita, kita dapat melangkah ke dalam posisi Abraham. Saya dan Lucille mendapat kehormatan untuk mengalami suatu petualangan iman yang mengijinkan kami untuk merasakan apa yang telah Abraham rasakan. Pesawat kami berhenti setelah mendarat di landasan tunggal di bandara. Kami menunggu di tempat duduk kami, melihat para pekerja bandara mendorong tangga agar menempel di pintu keluar pesawat. Pintu dibuka, para penumpang yang telah lama antri di lorong dengan tas dan bawaan mereka mendesak ke pintu keluar dan menuruni tangga ke bawah. Saya dan Lucille, masih di tempat duduk

Page 12: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

kami, memandangi sampai penumpang terakhir menghilang di pintu keluar. Tidak ada lagi yang dapat kami lakukan kecuali mengikuti mereka keluar. Begitu menginjak tanah, kami menyeret langkah kami ke gedung terminal yang pada waktu itu sama sekali tidak dicat warna apapun, sesuai dengan kehidupan masyarakat kota kecil Kalimantan yang lamban. Kami berjalan melalui pintu masuk. Seorang Tionghoa setengah baya berperawakan tinggi berdiri tepat di pintu masuk tersebut seperti sedang menyambut tamu yang tiba. Ia tersenyum pada saya, cukup hangat, sewaktu saya berjalan melewatinya. Seketika terbersit harapan di dalam hati saya, lalu pupus lagi. Saya membalas senyumannya tetapi saya terus berjalan. Rasanya tidak mungkin Tuhan mengirimkan orang ini untuk menjemput kami, rasanya terlalu muluk untuk menjadi kenyataan. Tiba-tiba ia berseru di belakang kami. “Po Lan.” Ia tidak berteriak namun kata-kata yang meluncur dari bibirnya cukup jelas untuk dimengerti. Po Lan? Kedengarannya tidak asing. Po Lan? Oh, Po Lan itu nama Tionghoa Lucille! Haleluyah! Puji Tuhan yang tidak pernah mempermalukan orang yang percaya kepadaNya! Allah Abraham itu setia kepada kami. Orang yang datang untuk menjemput kami itu adalah penatua dari salah satu gereja lokal di Pontianak. Ia mendengar dari saudara laki-lakinya bahwa salah seorang anggota gereja bapa mertua saya ada di Jakarta dan bahwa kami akan datang ke sana. Kami diantar dengan mobil dimana gerejanya menerima kami sebagai tamu selama satu minggu. Tuhan itu setia. Selama minggu itu Tuhan membukakan kesempatan bagi kami untuk bertemu para pemimpin suatu denominasi gereja lokal. Salah seorang gembala dari gereja-gerejanya baru saja dipanggil Tuhan. Ketika dia mendengar bahwa saya bersedia melayani, ia mengundang kami untuk mengunjungi gerejanya, ia mengundang kami untuk mengundang gerejanya. Jika kami suka di sana, katanya, kami boleh tinggal sebagai seorang gembala dari gereja. Kami sadar bahwa Tuhan sedang membuka pintu bagi kami, dengan senang hati kami menerima tawarannya. Pagi-pagi sekali suatu hari, kami naik bus dari Pontianak untuk perjalanan delapan jam menuju pedalaman Kalimantan Barat. Gerejanya memang terletak di sebuah kota yang bernama Sanggau-Kapuas. Sanggau tumbuh di sepanjang tepian sungai Kapuas di Kalimantan Barat. Sungai Kapuas yang luar biasa itu adalah jalur nafkah bagi begitu banyak penduduk kota dan desa yang berjejer ratusan kilometer dari hilirnya di pelabuhan Pontianak sampai ke pedalaman Kalimantan Barat. Sungai Kapuas, bagi mereka yang hidup di sepanjang sungai itu, sama seperti sungai Nil bagi orang Mesir kuno. Begitu pentingnya sungai Nil itu sehingga orang-orang Mesir menyembahnya sebagai salah satu dewa mereka. Demikian juga, bagi orang-orang di sepanjang Kapuas, segala sesuatunya bergantung padanya. Transportasi, air minum, air untuk mandi, sumber makanan dan bahkan sebagai tempat pembuangan semuanya disediakan melalui sungai ini. Setelah kami tiba di kota kira-kira sore hari, kami pergi ke gereja yang akan kami layani. Gerejanya berupa gedung bercat putih yang terletak dengan manis di atas bukit kecil. Yang terlihat dari balik gedung itu yakni di bukit yang lebih tinggi terdapat sebuha pekuburan. Seorang saudara dari jemaat itu menyambut kami dan menyediakan kami makanan sederhana. Setelah makan, kami beristirahat sejenak di sebuah ruangan kecil yang disediakan bagi kami. Penginapan kami sangat sederhana, yaitu di bangunan berlantai semen, berdinding semen dengan cat hijau kebiru-biruan yang telah luntur, sebuah lampu pijar dua puluh watt dan sebuah jendela kecil. Jendelanya tidak mempunyai rangka, berupa kaca nako yang berjejer paralel dan bisa dibuka tutup. Panas dan kelembaban udara khatulistiwa di Kalimantan ini memaksa kami untuk membiarkan jendela nako itu terbuka sepanjang malam. Namun segerombol nyamuk juga bebas untuk masuk kekamar kami. Ada beberapa nyamuk yang berhasil menyelinap di balik kelambu kami. Bahkan pada siang hari, nyamuk terus mengganggu kami. Untuk menjaga agar kami kami tidak digigit, kami memakai kaus kaki wol tebal di atas sandal jepit kami.

Page 13: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Gereja itu juga dihuni oleh banyak pasukan semut merah,. Semut ini akan merayap dari lantai tanpa terlihat ke atas tubuh, meja atau kursi dan mengembara secara diam-diam. Tiba-tiba, tanpa peringatan mereka akan menancapkan gigitan mereka yang kecil namun nyelekit ke dalam daging. Rasanya seperti ditusuk oleh jarum yang tajam. Kadang-kadang sejumlah besar semut menyerang tempat tidur kami di waktu malam. Kamar kecil di sini jauh berbeda dari yang kami kenal di barat. Tempat buang air di sini bentuknya seperti bak mandi mini dengan lubang besar di satu ujungnya untuk pembuangan. Di setiap sisi “WC jongkok” ini ada tempat berbentuk kaki untuk menyangga kaki si pengguna sementara mereka berjongkok di atas lubang tersebut. Tidak ada bath tub atau air pancur, melainkan sebuah bak berisi air. Dengan gayung, kita mengambil air dan mengguyur tubuh kita. Di sini tidak ada telepon. Listrik disuplai oleh perusahaan listrik setempat hanya dari magrib hingga waktu tidur malam. Anehnya, kami menetap di rumah baru kami dengan sukacita. Mengapa? Desakan dan dorongan di dalam hati kami akan segera tersalurkan. Kami akan segera memulai, untuk pertama kalinya, pelayanan sepenuh waktu bagi Kerajaan Allah. Saya akan menjadi gembala dari domba-domba yang jumlahnya seratus jiwa lebih! Dengan penuh antusias kami mulai pelayanan kami di Sanggau. Untuk pertama kalinya, Tuhan mempercayakan kami kawanan domba untuk kami gembalai. Pada beberapa hari Minggu pertama, saya berkhotbah dengan sesuatu yang mendesak. Tema yang saya bawakan adalah iman, yang saya pahami lebih dari tema manapun yang lain. Karena, dengan iman inilah kami telah datang jauh-jauh dari Amerika Serikat ke pedalaman Kalimantan Barat ini. Hari Minggu kedua, lagi-lagi saya khotbah tentang iman, tetapi kali ini dari sudut pandang yang berbeda. Selama beberapa Minggu berturut-turut, jemaat kami mendengar tentang iman untuk mendapatkan persediaan Tuhan, iman untuk memberi perpuluhan, iman untuk menerima jawaban doa, iman untuk memindahkan gunung, iman untuk menerima jamahan kesembuhan Allah. Di tengah bulan kedua kami di sana, tak ada lagi yang dapat saya khotbahkan. Saya tahu memang tentang iman, tetapi hal lainnya, hanya sedikit yang saya ketahui! Cukup memalukan bagi seorang gembala jika tidak ada yang dapat ia bagikan, jadi saya mulai berdoa dengan kesungguhan agar Tuhan mengajarkan saya FirmanNya untuk diajarkan kepada kawanan domba ini. Tuhan memberi saya anugerah supranatural untuk mencari wajahNya. Saya terbangun tiba-tiba di tengah malam. Lucille tertidur lelap di sebelah saya. Di kejauhan saya dapat mendengar suara kegelapan; irama gendang yang ditabuh berulang-ulang untuk menyembah arwah orang mati di malam hari, memanggil roh-roh kegelapan atau mungkin mereka sedang berusaha menyantet orang yang menjadi musuh mereka. Suara alunan nada, teriakan dan lolongan yang menyeramkan, seperti erangan arwah penasaran yang tersiksa dari jauh memenuhi udara malam itu. Saya begidik. Namun di dalam hati, saya merasakan sentuhan Roh Kudus yang mendorong saya untuk bangun dan mencari Allah. Saya bangun diam-diam dan menyelinap melalui kelambu. Di dalam gelap – generator listrik kota itu dimatikan setiap malam sebelum tengah malam – saya mengenakan kaus kaki olah raga saya yang tebal, celana panjang dan pelindung di atas baju lengan panjang. Kepala dan leher saya tutup dengan serbet dapur. Pengalaman dengan nyamuk telah mengajarkan saya untuk berpakaian sesuai keadaan sebelum pergi keluar. Yang terakhir saya tutup seluruh lengan saya dengan memasukkan tangan saya ke dalam kaus kaki putih yang tebal. Setelah yakin bahwa seluruh bagian tubuh saya yang terlihat telah ditutupi, saya meninggalkan kamar tidur kami. Begitu dibuka, saya berada di ruangan tengah yang merupakan titik pusat rumah gereja ini yang berfungsi sebagai ruang makan, ruang duduk dan ruang serba guna. Kamar tidur lainnya, dapur, ruang pakaian dan dua pintu keluar semuanya berpusat dari ruangan pusat ini. Dengan lampu senter di tangan saya saya berjalan melalui ruangan pusat ini menuju ke pintu keluar. Sebelum membuka pintu saya terdiam sejenak, melihat-lihat ke atas pada bayangan sinar. Sinar senter itu tidak menampakkan

Page 14: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

laba-laba raksasa yang biasanya keluar pada malam hari. Saya takut pintu yang dibuka secara tiba-tiba akan mengagetkan laba-laba dan membuatnya melompat jatuh menempel di atas orang yang membuka pintu. Sambil menahan nafas saya menapakkan kaki ke kegelapan malam di luar. Di luar pintu saya terdiam sejenak. Suara-suara dan kejadian aneh yang selama ini terjadi di gereja kami telah membuat kami gelisah. Selagi saya berdiri di luar pintu malam itu, kegelisahan itu semakin menjadi-jadi sampai-sampai seperti teror rasanya. Saya melihat-lihat ke setiap sudut, bahkan berpaling ke pintu di belakang saya. Tiba-tiba saya merasa jijik sekali melihat seekor laba-laba hitam hampir sebesar kepalan tangan saya merangkak menuju pintu rumah dengan gerakan lamban. Tiba-tiba laba-laba itu berhenti dan berbalik ke arah saya seolah-olah tahu bahwa saya sedang memandanginya. Matanya bersinar merah membara terpantul dari sinar senter saya. Saya mengambil langkah mundur. Dengan menelusuri sepanjang sisi gedung menuju ke muka, saya tiba di pintu masuk gereja. Di sana ada teras semen yang lebarnya sama dengan lebar gedung itu yang biasanya dipakai untuk menyambut jemaat pada hari Minggu pagi setelah mereka mendaki bukit sampai di bangunan ini. Tapi di malam hari, terpapar dari segala arah di bawah, tempat ini kelihatannya sangat mudah diserang oleh apa yang mengintai di bawah sana yang gelap. Namun pada momen seperti itu, saya tahu inilah tempat dimana saya harus mencari Tuhan. Saya berlutut di atas semen keras yang dingin itu. Dalam kegelapan yang menakutkan saya menunduk dengan muka saya tersungkur di lantai di hadapan Tuhan. Saya memohon padaNya untuk menjauhkan saya dari hadirat roh jahat yang kelihatannya menyelimuti saya. Saya juga mengingatkan Tuhan bahwa saya tak punya apa-apa lagi untuk diajarkan kepada anak-anakNya, saya memohon padaNya untuk memberikan pada saya pengertian yang lebih mendalam akan FirmanNya. Sebentar-sebentar saya mengangkat wajah dan melihat ke sekeliling, takut akan apa yang mungkin menyerang tiba-tiba. Serombongan nyamuk datang menyerang dengan lapar dan ganas. Saya berlutut di sana dalam kegelapan selama lebih dari satu jam berseru kepada Tuhan. Dalam posisi berlutut, dengan wajah tersungkur, mata tertutup dan tidak menaikkan tangan karena tidak mau digigit nyamuk, saya merasa begitu terpapar dan tak berdaya sama sekali. Namun di sinilah saya dapat melihat hikmat Allah.

Ya TUHAN, betapa banyaknya lawanku! Banyak orang yang bangkit menyerang aku; banyak orang yang berkata tentang aku: "Baginya tidak ada pertolongan dari pada Allah." Tetapi Engkau, TUHAN, adalah perisai yang melindungi aku, Engkaulah kemuliaanku dan yang mengangkat kepalaku. Dengan nyaring aku berseru kepada TUHAN, dan Ia menjawab aku dari gunung-Nya yang kudus. Aku tidak takut kepada puluhan ribu orang yang siap mengepung aku. (Mazmur 3:2-5,7)

Kapan Tuhan menjawab dari gunungNya yang kudus? Ia menjawab ketika lawan kita banyak, ketika puluhan ribu musuh mengepung kita dari segala arah, ketika kita tak berdaya dan mudah diserang. Ia menjawab ketika kita percaya kepadaNya dan hanya kepadaNya saja sebagai perisai kita dan ketika kita berseru dengan keras kepadaNya. Di tempat seperti itu Allah menempatkan saya ketika Ia menuntun saya ke posisi puncak bukit terbuka untuk berseru kepadaNya. Sesuai dengan janjiNya, Ia menjawab saya dari gunungNya yang kudus. Pagi demi pagi, setiap jam lima, jam empat, bahkan kadang-kadang setengah empat pagi, Roh Kudus terus membangunkan saya. Pada dasarnya saya ini orang yang suka bangun telat. Tetapi lima atau enam hari seminggu, selama beberapa bulan, Ia terus membangunkan saya dari tidur. Setiap kali saya bangun dengan taat dan mengenakan baju tebal saya. Setiap kali saya meninggalkan rasa aman di

Page 15: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

kamar tidur saya, berjalan ke luar untuk berlutut di atas semen dalam kegelapan. Melalui latihan seperti ini, keberanian saya bertumbuh sampai Tuhan dapat membawa saya ke tanah pekuburan yang menghadap gereja. Jemaat heran akan gembala mereka yang pagi-pagi buta berani pergi ke kuburan untuk berdoa. Hari lepas hari Tuhan terus membangunkan saya beberapa jam sebelum fajar. Saya keluar dan berseru kepada Tuhan dengan segenap hati saya, memohon kepadaNya untuk mengajarkan saya FirmanNya. Saya meraih dalamnya arti Mazmur 119:145-147: “Aku berseru dengan segenap hati; jawablah aku, ya TUHAN! Ketetapan-ketetapan-Mu hendak kupegang. Aku berseru kepada-Mu; selamatkanlah aku! Aku hendak berpegang pada peringatan-peringatan-Mu. Pagi-pagi buta aku bangun dan berteriak minta tolong; aku berharap kepada firman-Mu.” Setiap jam enam pagi, kami bergabung dengan kelompok kecil pasukan pendoa untuk berdoa selama satu jam di tempat kudus. Pada siang hari, kami menghabiskan waktu belajar Alkitab. Di seminari di Amerika, konsentrasi saya dalam mempelajari Firman sangat terbatas. Tetapi kini, setelah sepenuhnya terjun dalam pekerjaan Bapa, hati saya menjadi tenang. Akhirnya saya dapat sungguh-sungguh menerima kemurnian Firman Allah tanpa gangguan. Rasanya begitu nikmat dan memuaskan sehingga berjam-jam saya menikmati FirmanNya tanpa merasa lelah. Saya kini mengerti seruan Pemazmur :

Singkapkanlah mataku, supaya aku memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu. Aku ini orang asing di dunia, janganlah sembunyikan perintah-perintah-Mu terhadap aku. (Mazmur 119:18-19)

Melalui begitu banyaknya waktu yang dihabiskan dalam doa dan menyelam di dalam FirmanNya, Roh Kudus menunjukkan kepada saya perkara-perkara yang indah dan dalam yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Apapun yang Tuhan berikan, saya teruskan kepada domba-dombaNya. Dengan cara ini saya bertumbuh dalam pengetahuan akan FirmanNya seperti yang tak pernah saya alami sebelumnya.

Page 16: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Bab Empat Yang Tuli Mendengar

Pada suatu malam, walaupun saya tidak mendengar suara Roh Kudus yang manis memanggil-manggil, namun saya mendengar suara berderak-derak. Suara ribut ini membangunkan saya dari tidur nyenyak saya di kedamaian malam. Lucille melanjutkan tidurnya, selagi saya berusaha mencari sumber keributan. Telinga saya menangkap suara telapak kaki dan cakar itu berasal dari hewan berkaki empat, makhluk bercakar, mungkin sebesar anjing. Kemudian, saya mendengar suara telapak kaki menginjak-injak perabotan. Kini kedengarannya hewan itu sedang mengacak-acak barang kami, mencakar dan merobek. Saya heran, bagaimana hewan sebesar itu bisa masuk ke dalam kamar tidur kami – yang biasanya saya pastikan sudah dikunci berjam-jam sebelum kami tidur. Saya bangun, mengambil lampu senter dan melihat ke sekeliling ruangan. Tidak ada tanda-tanda hewan apapun dan tidak ada tanda-tanda bahwa ruangan kami telah diacak-acak. Saya kembali ke tempat tidur, agak takut. Hal semacam ini bukan yang pertama kali terjadi. Tak lama kemudian, suara-suara itu mulai terdengar lagi. Saya segera melompat dan memeriksa setiap sudut ruangan, atas dan bawah. Tidak ada apa-apa. Saat itu saya sadar bahwa itu merupakan salah satu manifestasi roh jahat, namun ketakutan saya tidak pupus, malah semakin memuncak. Saya tak dapat berbuat sesuatu apapun kecuali kembali ke tempat tidur saya. Suara itu kembali terdengar. Lalu kami mendengar pintu kamar kami digedor keras sekali. Siapa yang kira-kira berbuat itu? Lalu terdengar lagi gedoran beberapa kali. Setelah itu, pintu keluar di ruang tengah terdengar seperti dibuka, hanya beberapa meter dari pintu kamar tidur kami, terbuka dengan suara mengerit yang biasa kami dengar kemudian ditutup dengan bantingan. Jadi siapapun yang sedang menakut-nakuti kami sekarang sudah pergi rupanya. Pada saat itu, Lucille sudah terbangun. Dalam sekejap saya berlari ke ruang tengah ke pintu keluar. Saya temukan pintu itu terkunci dari dalam, persis keadaannya seperti waktu kami pergi tidur. Kelihatannya ini bukan perbuatan manusia. Saya percaya Allah mengijinkan roh jahat itu menguji kami demikian untuk mempersiapkan kami akan peperangan yang akan kami hadapi nantinya. Untuk berperang melawan musuh, kita perlu mengenali berbagai tipuan yang ia lakukan. Selama bertahun-tahun kemudian, dimulai dari apa yang baru saja saya jelaskan, kami melihat banyak tipuan yang Iblis lakukan untuk menyerang kami. Karena pengalaman ini, kami jadi tidak heran atau takut lagi terhadap dia. Kadang-kdang dia muncul seperti singa yang mengaum-aum, tetapi kenyataannya bagi kami adalah bahwa ia telah dikalahkan oleh kematian Yesus Kristus di salib. Kita tidak perlu takut padanya tak peduli betapa menakutkannya tipuan yang ia tampilkan.

"Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit. Sesungguhnya Aku telah memberikan kuasa kepada kamu untuk menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang akan membahayakan kamu."1

Sejarah panjang sihir dan kuasa gelap yang melekat pada kebudayaan Indonesia telah menodai gereja Kristen di negeri itu. Sementara gereja-gereja Injili mengerti Firman Tuhan mengenai praktek-praktek semacam itu, gereja-gereja lainnya sebenarnya mentoleransi, bahkan menyatukan kepercayaan-kepercayaan okultisme di dalam praktek-praktek keagamaan mereka secara keseluruhan.

����

�� �����������

Page 17: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Banyak yang mengatakan bahwa di dalam denominasi-denominasi tertentu, hamba-hamba Tuhannya dikenal menggunakan jimat-jimat untuk meningkatkan efektivitas pelayanan mereka di mimbar. Kurangnya pengertian akan kebenaran bagi orang-orang tersebut membuat Kekristenan hanya sedikit lebih dari topeng kehormatan dimana mereka sebenarnya menaruh kepercayaan mereka yaitu pada para dukun dan roh-roh. Memang benar ada gereja-gereja di Indonesia yang hidup dan penuh Roh Kudus, namun banyak pula yang mati. Ada pula gereja-gereja, walaupun Injili, namun sudah begitu dilumpuhkan secara rohani oleh iklim kegelapan dimana seharusnya di dalam itulah mereka berfungsi. Begitulah keadaan gereja Injili yang diberikan kepada kami di Sanggau-Kapuas ketika kami tiba di sana pada tahun 1978. Gembala Sidang sebelumnya dari gereja yang kini saya dan Lucille layani adalah seorang wanita lajang, ia pergi dalam keadaan stress berat. Berbagai tekanan dalam pelayanan sebagai seorang wanita lajang dan berbagai kritik yang ia terima dari beberapa kalangan di gereja membuatnya tak tahan lagi. Yang jelas, jemaat ini sejak didirikan pada awal tahun 1970-an telah menderita banyak pertengkaran di dalamnya. Tuduhan, cacian, ancaman dan tuduhan balasan mengenai penyalah-gunaan dana, imoralitas dan bahkan kepercayaan politik bukan hal yang asing di sini. Anggota gereja bahkan pernah menuduh satu sama lain sebagai simpatisan komunis di hadapan polisi – yang mana hal tersebut merupakan pelanggaran berat di era setelah Sukarno di Indonesia. Di dalam gereja semacam ini tidak heran bila kita menemukan kehadiran roh-roh jahat. Memerangi musuh muka dengan muka membuat kita bergerak dari teori ke praktek. Mendengarkan pengajaran Firman dari hamba Tuhan memang penting, namun untuk menjadikannya bagian dari diri kita tidak ada cara lain selain melakukan Firman. Selama saya duduk di kelas mendengarkan orang lain menjelaskan arti Firman Tuhan, Alkitab tetap saja merupakan pengertian teoritis di dalam pikiran saya. Namun ketika saya pergi ke Kalimantan untuk menjalankan Firman, Roh Kudus memberikan kepada saya pengertian berdasarkan pengalaman di dalam hati saya untuk melengkapi apa yang telah saya pahami di dalam teori. Hanya ketika saya harus menghadapi secara langsung kuasa kegelapan atau mengimpartasikan Firman kepada orang, pada saat itulah saya mencarinya dengan segenap hati saya, dan hanya pada saat seperti itulah Firman menjadi bagian dari diri saya. Tidak seorangpun yang melayani dalam situasi seperti itu dapat bersikukuh bahwa pelayanan seperti di Kisah Rasul bukan untuk saat ini. Bahkan, suatu perikop tertentu meresap di dalam diri saya sejak saya belajar bahwa Yesus adalah sama "kemarin, sekarang dan selamanya."2 Ayat yang terus terngiang di dalam pikiran saya adalah Kisah Rasul 3:1-8:

Pada suatu hari menjelang waktu sembahyang, yaitu pukul tiga petang, naiklah Petrus dan Yohanes ke Bait Allah. Di situ ada seorang laki-laki, yang lumpuh sejak lahirnya sehingga ia harus diusung. Tiap-tiap hari orang itu diletakkan dekat pintu gerbang Bait Allah, yang bernama Gerbang Indah, untuk meminta sedekah kepada orang yang masuk ke dalam Bait Allah. Ketika orang itu melihat, bahwa Petrus dan Yohanes hendak masuk ke Bait Allah, ia meminta sedekah. Mereka menatap dia dan Petrus berkata: "Lihatlah kepada kami." Lalu orang itu menatap mereka dengan harapan akan mendapat sesuatu dari mereka. Tetapi Petrus berkata: "Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!" Lalu ia memegang tangan kanan orang itu dan membantu dia berdiri. Seketika itu juga kuatlah kaki dan mata kaki orang itu. Ia melonjak berdiri lalu berjalan kian ke mari dan mengikuti mereka ke dalam Bait Allah, berjalan dan melompat-lompat serta memuji Allah.

����������������

Page 18: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Saya dibangkitkan ketika menyadari bahwa Tuhan melakukan hal semacam itu melalui Petrus di Yerusalem 1900 tahun yang lalu, dan Ia dapat melakukan hal yang serupa melalui saya juga di Sanggau-Kapuas. Saya menantikan kesempatan itu. Suatu hari kami diberitahu mengenai seorang wanita yang sudah lama tidak datang lagi ke gereja. Ia sakit dan miskin dan tidak ada orang yang bisa membawanya ke gereja. Kami pun pergi mengunjunginya. Hujan turun terus menerus hari itu. Untuk sampai ke rumahnya kami harus mengayuh melalui air kotor yang dalamnya beberapa puluh sentimeter. Seorang saudara seiman menjadi penunjuk jalan bagi kami ke rumahnya yang kumuh. Ia sedang duduk ketika kami datang dan tidak dapat bangkit untuk menyambut kami. Cerita yang kami dengar dari bibirnya sungguh memilukan. Melihat keadaannya, kami bisa mempercayai apa yang dia ceritakan. Kulitnya yang kecoklatan terbakar matahari selama bertahun-tahun dia bekerja, mulai terkelupas, menampakkan bercak-bercak merah muda akibat penyakit kulit di seluruh tubuhnya. Kelihatannya seperti sejenis pellagra yang disebabkan oleh kekurangan vitamin. Otaknya juga terpengaruh oleh kurangnya asupan gizi, kata-katanya kadang-kadang lambat dan tidak jelas. Kakinya sangat lemah dan sudah lama ia tidak dapat berdiri dan berjalan sendiri. Kami duduk untuk mengenal dia lebih jauh. Jelas bahwa masalah di dalam tubuhnya mencerminkan kesengsaraan dan kepahitan di dalam hatinya. Hidupnya penuh dengan kesulitan yang luar biasa yang mana untuk itu ia menyalahkan suaminya dan ia lampiaskan kepada anak-anaknya dengan bahasa yang kasar di depan kami. Rumahnya, yang sudah lama tak terurus, selalu digenangi air. Hujan yang turun langsung menggenangi sebagian besar rumahnya akibat atap dan genteng yang berlubang-lubang. Lantai kayunya juga mulai membusuk karena terendam terus menerus. Semuanya dalam keadaan kacau dan terabaikan… rumahnya, keluarganya, tubuhnya dan jiwanya. Sampai seberapa sebenarnya kesengsaraan yang dapat ditanggung oleh seorang anak manusia? Kami memperhadapkan dia dengan Firman Tuhan, agar Firman dapat menerangi jiwanya. Percikan harapan mulai timbul di dalam hatinya. Tetapi bagaimana dengan tubuhnya? Akankah Tuhan menjamah tubuhnya sebagaimana Dia telah menjamah begitu banyak orang seperti yang saya baca di kitab Injil dan Kisah Para Rasul? Saya ingat cerita Petrus dan orang lumpuh di Kisah Rasul pasal tiga. Mungkinkah Tuhan mau…? Saya putuskan untuk mencoba. “Maukah ibu kami doakan untuk kesembuhan penyakit kulit dan kaki ibu supaya ibu dapat berjalan kembali? Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan!” Ia setuju. “Bapa, kami minta Engkau menyembuhkan anak perempuanmu ini dari kutukan penyakit kulit ini dan Bapa kuatkanlah kakinya agar ia dapat berdiri dan berjalan lagi. Melalui Yesus, Engkau telah mengampuni dosa-dosanya. Kini, Bapa melalui Yesus sembuhkan dia dari segala sakit penyakitnya! Oleh karena itu, di dalam nama Yesus Kristus, saya perintahkan kakimu untuk menjadi tegak sekarang. Di dalam nama Yesus Kristus, bangkit dan berjalanlah!” Dengan doa itu, saya lalu mengambil tangan ibu itu, sama seperti yang saya bayangkan Petrus lakukan kepada pengemis yang lumpuh itu, lalu saya bantu dia berdiri. Saya tuntun dia menuruni tangga ke halaman rumah. Kemudian saya lepaskan dia berjalan sendiri. Ibu itu berjalan. Mula-mula, agak gemetar, sepertinya dia bingung karena ia sedang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dapat dia lakukan. Terlebih lagi, sudah lama ia tidak menggunakan indra keseimbangannya untuk berjalan sehingga ia takut terjatuh. Ia merentangkan tangannya ke samping untuk menyeimbangkan tubuhnya dan ia terus berjalan. Setelah berkeliling beberapa kali, ia kembali menaiki tangga ke teras rumahnya lalu duduk kembali. Kami menatapnya dengan tegang, seperti menunggu keputusannya. “Kaki saya terasa lebih kuat,” akhirnya ia berujar.

Page 19: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Di dalam hati kami bersorak, “Puji TUHAN!” Melayani orang sakit tidak terbatas pada kitab Kisah Rasul saja dan para rasul itu sendiri. Pelayanan ini adalah bagi orang yang berani percaya bahwa cara Allah bertindak 2000 tahun yang lalu sama dengan cara Nya sekarang. Jika kita menelaah kejadian antara Petrus dengan pengemis yang lumpuh itu, kita lihat bahwa Petrus tidak berdoa agar Tuhan menyembuhkan pengemis itu. Pertama-tama Petrus memanggil lalu memerintahkan, “Di dalam nama Yesus Kristus dari Nazareth, berjalanlah!” Petrus tidak berdoa lalu berharap agar pengemis itu disembuhkan. Akan tetapi ia memerintahkan kesembuhan dengan keberanian dan pengharapan yang besar. Sudah tentu ia tidak akan memerintahkan pengemis itu berjalan jika ia tidak berharap Allah menyembuhkan kakinya pada saat itu juga. Jika kita melayani orang sakit, kita harus belajar berbicara dengan otoritas di dalam nama Yesus Kristus. Pada kesempatan yang lain, kami dibawa untuk membesuk pasangan suami istri Kristen yang tinggal di tepi hulu cabang sungai Kapuas, yaitu sungai Sekayam. Pasangan ini berserta putra-putra mereka dan keluarganya tinggal sebagai satu keluarga yang baru saja keluar dari hutan di tepian sungai Kalimantan. Ketika kami tiba, mereka menyambut kami dengan hangat. Kami duduk bersama dan berkenalan. “Berapa usia anda, Kakek?” saya bertanya dengan sopan. “Usia saya delapan puluh delapan tahun,” jawabnya. “Tuhan tentu memberkati Kakek dengan umur panjang dan kesehatan!” kami berseru. “Ya, benar,” Kakek setuju. “Tetapi, saya punya masalah dengan pendengaran saya. Telinga kiri saya sama sekali tidak dapat mendengar. Kadang sulit bagi saya mengerti apa yang putra saya katakan pada saya.” Sesuatu mulai menggerakkan hati kami. Kami tahu bahwa Yesus membuat orang tuli dapat mendengar ketika Ia di bumi. Maukah Ia menolong orang tua ini sekarang? “Kakek, Yesus menyembuhkan orang sakit 2000 tahun yang lalu. Kami percaya Ia akan melakukannya juga hari ini. Maukah Kakek kami doakan agar Tuhan membuka telinga Kakek yang tuli?” Kakek itu setuju kami doakan. Di dalam nama Yesus kami minta Tuhan memulihkan pendengaran Kakek di telinga kirinya. Setelah berdoa, saya cucukkan jari saya ke dalam telinganya, dan dengan sebanyak otoritas yang dapat saya ucapkan, saya perintahkan telinga itu terbuka di dalam nama Yesus. “Kakek, bisakah anda dengar apa yang saya katakan sekarang?” tanya saya, sambil menutup telinga yang baik dengan tangan saya. “Apa yang anda katakan? Saya tidak dapat mendengar apa-apa!” jawabnya. Pendengarannya tidak membaik sama sekali. “Kakek, Tuhan akan menyembuhkan anda pada waktuNya sendiri,” kata kami pasrah. Tak ada lagi yang dapat kami katakan. Namun pada larut malam itu setelah kami pulang, sesuatu yang aneh terjadi pada kakek itu. Selagi ia berbaring di tempat tidurnya, telinga kirinya terasa sejuk, sepertinya ada yang meniup-niup telinganya dengan lembut. Semalaman ia merasakan demikian. Pada pagi harinya, kakek itu dengan girang menemukan bahwa ia dapat mendengar dengan telinga kirinya. Ia bahkan dapat menirukan kata-kata yang diucapkan menantunya dengan berbisik di kamar sebelah!

Page 20: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Bab Lima Orang Sakit Sembuh

Saya tiba di Kalimantan seperti anak usia dua tahun yang berpengalaman yang mencoba menerbangkan pesawat terbang. Sebenarnya, saya memang baru berusia dua tahun di dalam “Kelahiran Baru”. Menggembalakan gereja di Sanggau Kapuas sedikit banyak mirip dengan seorang pilot yang berusaha menerbangkan pesawatnya melalui angin kencang di udara. Tuhan adalah guru yang paling hebat. Ia mengajarkan saya sambil saya “menerbangkan” pesawat, dan kami belajar banyak sekali dalam waktu empat bulan itu. Ia mengajarkan kami FirmanNya dan mengurapi kami untuk memberitakan Firman dan mengajarkan domba-dombaNya. Ia mengajarkan kami bagaimana melayani secara efektif kepada orang sakit di dalam nama Yesus Kristus. Setelah empat bulan di dalam Sekolah Roh Kudus di Kalimantan, saya merasa siap untuk bergerak ke tantangan yang lebih besar. Saya ingin memenuhi visi yang telah membawa kami keluar ke Kalimantan pada awalnya: memberitakan nama Yesus Kristus dan memuridkan dimana Injil belum pernah didengar sebelumnya. Di bulan Januari tahun berikutnya, Tuhan melepaskan kami dari gereja Sanggau-Kapuas. Kami mencari pimpinanNya kemana langkah kami selanjutnya, lalu Tuhan membawa kami bersama-sama dengan seorang saudara yang memberitahu kami bahwa ada dua desa yang berjarak tiga jam perjalanan ke hulu tepian sungai Kapuas. Orang ini pernah menggembalakan sebuah gereja di Sanggau-Kapuas dan baru-baru ini saja ia mulai melayani di desa-desa ini. Hanya beberapa anak kecil saja yang menghadiri kebaktian dan sangat sulit mendapatkan kapal untuk perjalanan pulang pergi selama enam jam. Ia sarankan kami pindah ke desa itu dan mengambil alih gereja tersebut. Kami setuju. Pada akhir Januari 1979, bersama sahabat kami, kami menyewa sebuah kapal kayu dan berangkat ke hulu sungai Kapuas. Mesin kapal berkekuatan dua tenaga kuda itu nyaris tidak sanggup melaju melawan arus yang deras. Tiga jam yang sulit kami lewati, akhirnya kami tiba di sebuah desa di tepi sungai dan kami turun di sana. Tempat ini disebut “Biang”, yang secara kasar dapat diterjemahkan artinya “sumber.” Penduduk Biang berjumlah beberapa ratus orang, penduduk Tionghoa berbaur dengan penduduk Muslim pribumi, hidup berdampingan, di tanah yang sempit di sepanjang sisi sungai, di belakang mereka adalah hutan belantara Kalimantan yang luas; di hadapan mereka sungai Kapuas yang perkasa yang menghidupi mereka. Karena tekanan hidup yang pahit yang telah membuang mereka di daerah terpencil ini, banyak dari mereka mencari nafkah dengan bangun pagi-pagi buta jauh sebelum fajar untuk mengambil getah pohon karet yang kemudian dijual kepada salah satu pedagang lokal yang jumlahnya juga hanya beberapa gelintir saja. Ada pula yang mencari ikan dengan jaring dan kail dengan perahu kecil untuk makanan mereka, namun ada pula yang menggarap Kapuas dengan kapal-kapal kecil mereka yang membawa bahan-bahan makanan dari Sanggau yang merupakan kota terdekat untuk dijual kembali di desa dengan mengambil keuntungan. Pada saat itu, Biang merupakan desa yang belum terjamah oleh bantuan pemerintah Indonesia yang harus mengurus ribuan desa seperti Biang yang tersebar di seluruh negeri ini. Tidak ada layanan listrik maupun telepon. Tidak ada kantor pos atau layanan pos. Tidak ada kendaraan bermotor sama sekali; bahkan sepeda yang jumlahnya hanya satu atau dua itu tidak cocok dengan jalan-jalan tanah yang merupakan jalan utama Biang. Kami menemukan sebuah rumah kosong yang pemiliknya bersedia menyewakan kepada kami selama tiga bulan. Uang sewa selama tiga bulan totalnya delapan dolar Amerika. Memang harga tersebut tidak mahal, namun cukup sesuai melihat kondisi rumah yang ditawarkan. Mudah menjelaskannya : Papan kayu dipakukan ke rangka kayu, tanpa tempelan apa-apa lagi. Tanpa panel apapun di dalam, kita bisa mengintip orang-orang yang berjalan di luar rumah atau menangkap

Page 21: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

terangnya sinar matahari melalui celah-celah diantara papan kayu. Berbagai keuntungan di atas juga berlaku pada papan kayu yang dipakai untuk menutupi lantai. Jika menyapu rumah tak perlu memakai penampung debu, karena semua kotorannya langsung menyusup turun ke tanah di bagian bawah rumah melalui celah-celah yang ada. Ternyata jalur ini merupakan jalur dua arah. Serangga, umumnya yang sejenis cacing, seringkali merayap dan mengunjungi kami melalui celah dan lubang-lubang tersebut. Karena rumahnya tidak berperabot, kami harus tidur di atas tikar tipis di lantai. Yang saya pikirkan ialah bagaimana jika ada cacing yang merayap ke tikar kami sewaktu kami tengah tidur di malam hari karena tubuh kami yang hangat merupakan tempat yang nyaman bagi mereka. Jendelanya hanya berupa lubang segi-empat yang dilubangi di dinding dan ditutupi oleh penutup kayu yang bisa dibuka dan ditutup dengan pengganjal. Pada siang hari, ketika jendela dibuka, segala jenis makhluk, dari nyamuk-nyamuk lapar sampai lebah yang berkeliling sampai ayam jago yang nyasar terbang masuk mengunjungi kami. Rumah kami memiliki dua ruangan; area yang kecil yang ditutup dengan partisi di sudut berfungsi sebagai kamar tidur dan sisanya berfungsi sebagai ruang makan dan ruang tamu. Tidak ada dapur. Untuk memasak, kami membeli sebuah kompor minyak tanah. Untuk mencuci piring, kami harus berjalan ke sungai. Para penduduk di Biang, tidak memiliki kamar mandi. Mereka memakai gubuk-gubuk kecil di tepi sungai sebagai tempat untuk melakukan berbagai aktifitas. Gubuk-gubuk kecil ini dibangun di atas panggung kayu yang mengapung persis di tepi sungai. Gubuk yang paling umum, ukurannya sebesar tempat mandi atau lebih besar, memiliki lubang persegi di tengahnya yang mana melalui kita dapat melihat derasnya arus sungai Kapuas yang mengalir beberapa puluh centimeter saja di bawah kita. Lubang ini sama dengan toilet di Barat. Kami segera mengetahui bahwa di Biang, tidak ada yang namanya tissue toilet. Sebagaimana yang umum di dunia, tangan kita sendiri yang dipakai untuk mencebok setelah memakai toilet tersebut. Seringkali, kita tidak sendirian di gubuk panggung itu. Jika kebetulan hari masih pagi atau setelah waktu makan, gubuk panggung itupun menjadi pusat aktifitas. Perempuan-perempuan mencuci baju di sungai sambil berjongkok di tepi panggung. Setelah waktu makan, mereka biasanya mencuci dan membilas piring atau menyikat gigi atau berkumur dengan air sungai. Biasanya mereka tak ambil pusing terhadap orang yang berada di gubuk dekat mereka yang memakai air sungai itu untuk tujuan yang jauh berbeda dari mereka. Yang paling mengagumkan bagi saya adalah urusan mandi. Hal inipun dilakukan di tepi sungai. Untuk memastikan bahwa ini dilakukan secara pribadi, orang bisanya masuk ke gubuk lalu menutup pintunya. Yang diperlukan hanya sebuah ember. Bagaimana dengan air untuk mandi? Dengan ember itu, orang menimba air melalui lubang yang biasanya dipakai juga sebagai toilet, lalu menyiramkan air ke seluruh tubuhnya. Setelah basah, mereka lalu menyabuni tubuhnya. Bilasan yang terakhir dilakukan dengan kembali memakai air yang diambil dari lubang dengan ember. Bukan hanya satu, beberapa gubuk panggung itu berdiri di tepian Biang, di hulu dan hilir. Orang di sana harus benar-benar memperhatikan gubuk yang berada di hulu nya, apalagi kalau gubuk itu dipakai ketika seseorang sedang mandi. Jika tidak, bisa-bisa ia beresiko menemukan benda-benda asing mengambang dari hulu ke dalam air mandi yang bersih itu. Dengan kondisi kehidupan semacam itulah saya dan Lucille menetap. Dari luar kelihatannya suram. Kami berada di desa terpencil di tepi sungai di pedalaman Kalimantan Barat, yang terkenal sebagai daerah yang paling terbelakang di Indonesia. Sama sekali tidak ada yang asyik di desa itu… tidak ada bioskop, rumah makan, taman, pusat belanja atau mal. Tidak ada televisi, yang ada hanya sinyal Voice of America di radio kami. Tidak ada majalah atau koran. Aktifitas yang tersedia kelihatannya hanya memandangi aliran Sungai Kapuas. Terlebih lagi, di mata dunia, saya dan Lucille melarat. Kami sudah menyerahkan semua harta milik kami di Amerika ketika kami berangkat. Tidak ada lagi mobil, tidak ada rumah. Tidak ada tabungan di bank, tidak ada saham, tidak ada investasi bisnis. Penghasilan bulanan kami jumlahnya

Page 22: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

200 dolar per bulan, yang Tuhan sediakan dengan penuh kemuraham melalui kakak saya, Irene Ku di New York. Di mata dunia, kami tak ada harapan. Anehnya, saya tidak pernah merasa tidak berarti sewaktu saya hidup di sepanjang tepian sungai Kapuas. Kami hidup untuk Tuhan dan melakukan pekerjaanNya. Tantangan dan amanat yang Ia tetapkan di depan kami adalah: membawa Kerajaan Allah kepada orang-orang di Biang – di dalam hati saya, terpancar sukacita dan kegairahan sehingga tak ada satupun yang lain di dunia ini yang penting. Setelah kami menetap di rumah kami yang baru, saudara yang membawa kami ke Biang kembali ke Sanggau. Kini kami dilepaskan sendirian untuk mengabarkan Injil Yesus Kristus kepada orang-orang yang tidak pernah mendengar sebelumnya. Suatu hari, sewaktu seorang ibu tua mendatangi kami, kami mendapatkan bahwa orang-orang di sini punya kemauan untuk percaya. “Sudah lama mata saya sakit. Sudah tak tahan rasanya. Bola mata saya seperti ditusuk-tusuk jarum. Dapatkah Tuhanmu menolong saya?” Ibu tua berambut putih itu datang kepada kami selagi kami mengadakan kebaktian di rumah. Beberapa orang juga datang, mereka tertarik mendengar pengajaran baru yang kami bawa ke desa itu. Kami putuskan untuk memulai pelayanan kami dengan membuka rumah kami yang kecil untuk kebaktian. Bagian sudut rumah kami pakai untuk kamar tidur, sedangkan sisa seluruh bagian rumah itu kami disediakan bagi orang-orang untuk duduk dan mendengarkan kabar baik Di dalam Injil, kita membaca bahwa Yesus memberitakan kabar baik Kerajaan Allah dengan kuasa yang lebih besar. Ia melakukan banyak mujizat dan menyembuhkan orang-orang yang datang kepadaNya dan mencari jamahanNya. Oleh karena mujizat yang Ia lakukan dan kata-kata yang Ia ucapkan, para murid yang telah dipilihNya percaya bahwa Ia adalah utusan Allah. Jadi kami memilih untuk memberitakan Kristus, utusan Allah untuk menyelamatkan, menyembuhkan dan melepaskan. Dengan berani kami serukan bahwa barang siapa percaya kepada Yesus Kristus, ia akan diselamatkan dari dosa, disembuhkan dari sakit penyakit dan dilepaskan dari kuasa dan roh-roh jahat. Mereka rupanya belum siap melihat keselamatan dari dosa, namun mereka sangat akrab dengan sakit penyakit dan roh-roh jahat, Di daerah dimana kebersihan dasar diabaikan, sakit penyakit merajalela. Di daerah ini ketakutan akan kuasa gelap mencengkeram orang-orang, mereka tidak akan keluar rumah apapun alasannya – bahkan untuk bekerja- jika mereka mendengar suara burung pertanda buruk dari burung jenis tertentu. Atau jika ular melintasi di depan jalan mereka sewaktu mereka sedang menuju ke suatu tempat, mereka akan segera berbalik dan pulang ke rumah. Orang-orang yang mengabaikan pertanda-pertanda buruk ini di masa lampau tercatat membayar harganya dengan mendapat celaka. Orang di sana tidak dapat mengabaikan roh setempat dan lolos begitu saja. Mereka tahu benar kuasa kegelapan. Di dalam suasana roh seperti itu, kami mulai memberitakan Injil. Jika mereka mau dibuat percaya bahwa Kristus dapat membebaskan mereka dari jahatnya dosa, mereka terlebih dahulu harus melihat bahwa Ia dapat membebaskan mereka dari roh jahat yang jelas-jelas mereka lihat menguasai udara yang mereka hirup. Pada malam itu di kebaktian di rumah kami, ibu tua itu maju ke depan di hadapan semua pendengar yang lain dan dengan penuh harap memohon pertolongan kepada Yesus Kristus. “Dapatkah Yesus menolong saya?” Saya tumpangkan tangan saya ke atas matanya dan meminta Yesus untuk menyembuhkan dia. “Bagaimana, masih sakit?” tanya saya setelah didoakan sambil mengangkat tangan saya dari matanya. Kemudian ia berkata, “Sewaktu bapak menaruh tangan di mata saya dan mulai berdoa, saya merasakan sesuatu yang sejuk di atas kepala saya. Sewaktu bapak terus berdoa, kesejukan itu menyebar dari kepala saya turun ke hati saya. Ketika rasa sejuk itu sampai di hati saya, saya merasa dibebaskan dan kedamaian yang luar biasa. Dan rasa sakit di mata saya? Sudah hilang!” Ia mengambil keputusan unutk percaya kepada Yesus Kristus.

Page 23: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Berita itu menyebar dari mulut ke mulut bahwa Tuhan yang diberitakan oleh misionaris itu memang nyata. Makin banyak orang yang datang untuk mendengar Injil. Di antara mereka yang datang ada dua bersaudara yang bernama Amin dan Akong. Amin yang lebih tua, usianya tiga puluhan akhir atau empat puluhan awal, ia sudah beristri dan punya anak. Walaupun pendidikannya sangat minim di SD, ia pandai dalam hal-hal teknik. Ia dapat memperbaiki mesin kapal, generator disel, bahkan jam tangan. Ia juga seorang tukang kayu dan bisa membangun rumah. Walaupun ia belum pernah belajar elektronik, ia dapat memperbaiki radio dan bahkan mengerti fungsi dari transistor. Akan tetapi, Amin bermasalah dalam hidupnya. Ia kecanduan rokok, ia merokok dua sampai tiga bungkus sehari dan ia senang berjudi dengan tetanggga-tetangganya di malam hari. Kadang ia bekerja, kadang menganggur, dapat penghasilan hanya jika ada orang di desa yang perlu jasa perbaikan atau jika kapal yang lewat ada kerusakan mesin. Jadi apa tujuan hidupnya kalau begitu? Adik Amin, Akong seorang pemuda berusia sembilan belas tahun. Orangnya pendek, tingginya hanya kira-kira 150 cm dan beratnya 45 kilogram. Beberapa tahun yang lalu, ia mulai memberontak terhadap ayahnya yang membenci dirinya. Kebencian terhadap ayahnya begitu memuncak sehingga Akong mengutukinya. Akhirnya ayahnya meninggal dan ibunya sangat hancur hati. Akong sendiri menuai buah kebenciannya ketika ia diserang oleh demam tinggi. Setelah demamnya reda, suaranya hilang. Ketika suaranya kembali, bunyinya tidak seperti suara aslinya dulu melainkan suara tinggi yang tidak wajar yang terus tinggal pada dirinya. Hal itu menjadi pergumulan pribadi bagi Akong ketika ia keluar dari desanya ke tempat lain dimana orang-orang tidak mengenal dia dan masalah dengan suaranya. Ketika ia berbicara, orang akan berpaling dan menatapnya. Kadang, orang yang tidak mengenal dia heran apakah Akong itu wanita atau pria. Bertemu dengan orang baru menjadi pengalaman yang tidak enak baginya. Hidupnya jadi terbatas hanya mengumpulkan getah pohon karet untuk jumlah harian yang sangat terbatas. Dunianya juga terbatas di desa Biang saja dimana orang-orang mengenal dan menerimanya. Kemudian, suatu hari, Kerajaan Allah datang padanya. “Kita semua harus mati terhadap diri kita sendiri, mati terhadap dunia, mati terhadap dosa dan hidup bagi Yesus Kristus. Pada saat itulah kita akan mengetahui apa kehidupan yang sejati itu sebenarnya.” Kami semua duduk di lantai membentuk lingkaran besar di rumah kami. Dengan sungguh-sungguh saya menantang mereka untuk mengikut Yesus Kristus. Akong duduk dengan jarak beberapa orang di sebelah kiri saya. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. “Siapa di sini yang bosan hidup? Siapa di sini yang mau mati terhadap dirinya sendiri dan hidup bagi Yesus Kristus? Siapa dari kalian di sini yang ingin mati, angkat tanganmu!” Sesuatu di dalam hati Akong bergolak. Tangannya diangkat. Tak lama kemudian ia dibaptis di sungai, pertanda bahwa ia ingin mati terhadap hidupnya yang tak berarti, orang pertama yang melakukan hal itu di desa Biang. Akong telah menjadi manusia baru di dalam Kristus. Tak lama kemudian, Amin juga memutuskan untuk menerima Yesus. Setelah dibaptis air, ia datang kepada kami dengan membawa kesaksian. “Saya tadinya kecanduan rokok tanpa harapan sembuh,” katanya “Setiap hari saya harus merokok tiga atau empat bungkus. Jika tidak merokok kepala saya sakit dan perut saya juga sakit. Tetapi setelah saya dibaptis air, saya berhenti merokok sama sekali dan saya merasa sehat-sehat saja.” Sewaktu Tuhan terus bekerja melalui FirmanNya, semakin banyak orang yang menjadi percaya kepada Yesus Kristus. Ada beberapa yang disembuhkan dari tekanan dalam hidup mereka. Sewaktu mereka dilepaskan dari kerajaan gelap masuk ke dalam kerajaan terang, semua mereka dibebaskan dari ketakutan yang telah melumpuhkan mereka. Sebelum Kerajaan Allah datang ke tengah-tengah mereka, kehidupan mereka dikuasai oleh kuasa kegelapan yang dengan leluasa menekan dan memaksa mereka untuk tunduk. Seringkali mereka tidak pergi bekerja , mengurung diri di rumah sepanjang hari karena sebelumnya mereka melihat atau mendengar tanda-tanda dari roh jahat. Bila mereka tidak mendapatkan upah itu berarti kesulitan keuangan mereka semakin menumpuk. Sekarang, mereka bangun setiap pagi dengan rasa syukur di hati mereka terhadap Tuhan yang oleh kematianNya di salib,

Page 24: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

musuh mereka telah dihancurkan. Dengan sukacita dan keyakinan mereka berangkat dari rumah mereka pagi-pagi buta ke ladang dan hutan tempat mereka bekerja, mereka tahu bahwa Tuhan mereka menyertai dan menjauhkan mereka dari mara-bahaya. Kini mereka diberkati dengan gaji yang tetap karena bekerja secara rutin dari hari ke hari. Kami melihat bahwa Tuhan memulihkan tatanan kehidupan mereka, seperti misalnya seorang bocah laki-laki yang ibunya datang kepada kami suatu hari. “Tolong datang dan lihat anak saya,” ia memohon. “Ia sedang sakit luar biasa.” Hari masih pagi sekali waktu itu. Kami kedatangan tamu, seorang ibu dari desa yang pernah kami lihat sebelumnya tetapi belum pernah berkenalan dengannya. “Silahkan masuk ibu. Apa yang terjadi dengan putra ibu?” kata Lucille, menyapanya dengan sopan. “Begini. Kemarin sore, ketika anak saya berjalan pulang dari sekolah, tiba-tiba ia pingsan. Ia tidak tersandung apapun, hanya tiba-tiba saja jatuh pingsan. Kakinya waktu itu sakit sekali. Ia berusaha bangkit, tetapi tidak bisa. Jadi ia merangkak sepanjang jalan sampai ke rumah. Saya panggil dukun ke rumah. Dukun perempuan itu datang untuk melihat dia. Ia memecahkan telur ayam untuk melihat apa yang mengganggunya. Menurut posisi kuning telurnya, ia bilang anak saya telah diserang oleh roh yang sangat kuat. Ia tidak sanggup berbuat apapun lalu ia pergi.” Kami berangkat dengannya dan mengikutinya ke rumahnya. Ia menuntun kami ke suatu ruangan di mana putranya dibaringkan di lantai, hanya memakai celana panjang. Umurnya sekitar enam belas tahun. Rambutnya acak-acakan, di bagian bawah matanya ada lingkaran berwarna gelap. “Saya tak bisa tidur semalaman,” katanya dengan lemah sambil menatap pada kami. “Kaki saya sakit sekali. Saya hanya berbaring saja di lantai sepanjang malam. Saya tak bisa bangun… saya sudah tak tahan lagi.” Rasa sakit dan keletihan terpancar di wajahnya. Saya melihat padanya dan berkata, “Jika kami percaya kepada Yesus Kristus, kamu akan disembuhkan. Maukah kamu percaya kepadaNya?” “Eh.. ya… saya mau percaya kepadaNya,” ia menjawab dengan bibir tertekan menahan rasa sakit. Memang sulit baginya menjawab dalam kondisi seperti itu. “Di dalam nama Yesus Kristus,” saya berkata, “Saya mengikat roh yang menekan kamu. Bangun dan berjalanlah di dalam nama Yesus!” Dengan doa itu saya mengangkat lengannya dan menyeretnya untuk berjalan dengan kakinya. “Ayo jalan!” kata saya sambil menariknya ke depan dan melepaskan dia. Dengan langkah besar ia maju ke depan dan terus berjalan. Ia berjalan mencapai tembok, berhenti dan berbalik, masih dengan kakinya sendiri. “Bagaimana rasanya?” tanya saya. “Kaki saya tidak sakit lagi,” jawabnya dengan ragu-ragu. “Apakah rasa sakitnya sudah hilang?” “Ya.. sakitnya hilang.” “Bisakah kamu berjalan sekarang?” “Ya.” Mukanya kembali cerah dan hidup. “Yesus telah menyembuhkan kamu. Percaya kepadaNya dan ikuti Dia seumur sisa hidupmu.” Anak muda itu, ibunya dan bapaknya serta kakaknya laki-laki dan perempuan semuanya menjadi percaya kepada Yesus Kristus. Allah, di dalam anugerahNya yang tidak terselami, mengunjungi desa Biang yang kecil dengan manifestasi KerajaanNya. Melalui ini, sejumlah kecil jemaat mulai terbentuk, mereka menyebut dirinya Kristen. Untuk pertama kalinya, di daerah terpencil ini sejak Iblis menguasai bumi, orang-orang di sini melihat dan menerima terang dari Penciptanya. Di hulu dari Biang, kira-kira satu mil jaraknya, ada desa lain yang bernama Menjaya. Bahkan dibandingkan dengan Biang, Menjaya bisa dibilang kecil dan primitif. Tak lama setelah kami menetap di Biang, kami menjangkau ke Menjaya juga dengan Firman Allah. Kebaktian pertama kami diadakan

Page 25: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

di rumah seorang yang bernama Su Fong yang punya istri dan beberapa orang anak. Setelah mendengar Injil, Su Fong memberi komentar bahwa ia pernah mendengar tentang agama ini sebelumnya. Bahkan, ia memiliki juga sebuah buku tentang manusia Yesus Kristus. Penasaran, kami minta dia menunjukkan bukunya. Bukunya agak tebal dan sampulnya keras berwarna hijau yang sering kami lihat. Sewaktu Su Fong menyerahkan buku itu kepada saya, saya membuka ke halaman judul. Memang itu Alkitab! Mata saya menelusuri bagian bawah halaman itu dimana saya temukan kata-kata, “Dicetak oleh Watchtower Society” Ternyata itu Alkitab Saksi Yehova, yang dikenal di kalangan orang Kristen penginjil sebagai “Hantu Hijau!” Sewaktu kami memberitakan Firman Allah kepada Su Fong dan yang lainnya yang datang untuk mendengar, Tuhan meneguhkan pemberitaan kami dengan menyembuhkan orang yang sakit, sama seperti yang Ia lakukan di Biang. Su Fong dan keluarganya adalah yang pertama-tama di Menjaya yang menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, diikuti oleh beberapa yang lain yang namanya telah tercatat di Kitab Kehidupan Anak Domba. Sukacita Tuhan dari surga menyebar di antara orang percaya sewaktu Roh Kudus turun ke atas mereka dan memenuhi mereka dengan Kehidupan yang tidak pernah mereka ketahui ada di dunia ini. Ibu-ibu yang tua, yang tidak pernah merasakan kepenuhan hidup oleh karena sulitnya kehidupan yang mereka lalui di desa, datang ke kebaktian di rumah Su Fong dengan wajah yang bersinar-sinar dengan sukacita surgawi. Kebaktian tiga kali mingguan kami di Menjaya berselang-seling dengan kebaktian kami di Biang yang juga diadakan tiga kali seminggu. Untuk pergi ke Menjaya, Su Fong menawarkan kami memakai perahu dayungnya. Kami membeli mesin bekas berkekuatan dua belas tenaga kuda dan kami pasang ke perahu tersebut. Dengan pengaturan seperti ini, Tuhan menyediakan transportasi bagi kami pulang dan pergi antara Biang dan Menjaya. Pada suatu malam setelah kebaktian malam di Menjaya, kami bersiap untuk kembali ke Biang. Setelah Lucille naik ke perahu, saya menyalakan mesin dengan menarik talinya, perahu kami langsung terdorong dari tepian dan meluncur ke hilir. Malam hitam pekat karena awan tebal yang turun lebih awal malam itu. Beberapa saat setelah kami meninggalkan Menjaya, angin mulai bertiup kencang. Lalu hujan turun. Pandangan kami benar-benar nol. Bila cuaca cerah pada malam hari, tak ada masalah bagi saya mengemudikan perahu itu karena saya masih bisa melihat daratan di kedua sisi kami selagi kami melaju ke Biang. Bahkan di bawah langit malam, kami masih bisa sampai ke tujuan dengan dituntun oleh lampu-lampu penghuni rumah di tepi sungai yang dapat terlihat dari kejauhan.Tetapi dengan hujan turun malam itu, saya sama sekali tidak bisa melihat apapun dan tidak tahu apakah kami menuju hilir sungai atau menuju ke daratan. Sungai Kapuas pada waktu itu lebarnya kira-kira setengah mil. Saya memperlambat mesin perahu kami dan membiarkannya hanyut mengikuti arus. Dengan mengatupkan sebagian mata, saya berusaha menahan hujan yang turun dengan deras, saya melihat ke depan, berusaha menangkap secercah sinar di depan kami dari kejauhan yang kami harapkan dapat menuntun kami ke Biang. “Apa yang kami lakukan sebenarnya di perahu kecil di tengah badai di sungai pedalaman Kalimantan Barat… bagaimana kami bisa sampai dalam situasi yang sangat berbahaya ini…?” Bahkan sewaktu genggaman tangan saya pada kemudi dipererat dan mata saya menyapu kegelapan berusaha mencari sinar, pikiran saya mulai berbalik arah ke dalam diri saya sendiri. “Saya tidak seharusnya ada di sini. Sepanjang hidup, saya belum pernah mengemudikan perahu, saya tidak bisa berenang. Kami ada dalam bahaya! Apa yang sedang kami lakukan di sini? Saya seharusnya ada di Amerika yang maju, mengejar kesuksesan karir sebagai ilmuwan atau pengusaha yang terhormat. Saya seharusnya maju di dunia ini, memiliki rumah besar dan punya mobil sport yang mahal…” Tetapi kemudian tiba-tiba semuanya menjadi jelas bagi saya bahkan sewaktu saya dengan gemetar berusaha menerjang angin dan hujan.

Page 26: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

“Ya…benar.. Tuhan telah mencabut saya dari semuanya itu. Ya. Oleh anugerahNya, saya menjadi warganegara suatu dunia lain, kerajaan surgawi dimana saya tidak lagi terikat akan keinginan dalam hidup ini. Allah telah memilih saya untuk menerima panggilan yang tertinggi dari semuanya, menyerahkan segala-galanya dan menjadi hambaNya. Itulah sebabnya kami ada di sini di atas perahu kecil di tengah-tengah belantara. Betapa aneh dan tak terselami jalan-jalan Allah… terpuji namaNya yang ajaib….” Akhirnya saya mengerti. “Bill! Bill! Ada sinar di sana!” Lucille berseru di tengah riuhnya hujan, ombak dan suara mesin perahu. Saya melihat dan di kejauhan di sebelah kiri kami ada secercah sinar. Puji Tuhan. Mudah-mudahan kami belum hanyut terlalu jauh melampaui Biang. Saya menyetir perahu kami mendekati sinar itu sambil berusaha melawan arus yang terus mendorong kami ke hilir. Sewaktu kami semakin mendekat, lebih banyak sinar terlihat. Itulah Biang. Kami mencari sinar yang kami kenal. Hujan mulai reda dan sewaktu kami menepi di sepanjang sisi gubuk panggung dimana untuk sementara kami bisa mengikatkan perahu kami di sana dan melangkah keluar dari perahu, hujan telah berhenti. Badan saya basah kuyup, letih dan kedinginan. Saya ingin cepat-cepat pulang dan mengganti pakaian dengan yang kering dan hangat. Tetapi kami tidak dapat meninggalkan mesin perahu kami di luar semalaman. Tanpa dijaga, mesin itu pasti hilang. Sambil Lucille memegangi lampu senter, saya melepaskan alat-alat yang menempelkan mesin ke perahu dan mengangkatnya dari air ke atas kapal. Kini tinggal bagian yang sulit. Sambil berdiri di atas perahu kecil yang bergoyang-goyang saya memanggul mesin seberat kira-kira 30 kg di bahu saya. Saya mengambil ancang-ancang untuk melangkah ke luar dari kapal ke dermaga sambil berusaha menjaga keseimbangan dengan gugup, saya berpikir, seperti biasanya, bagaimana jadinya jika sewaktu saya melangkah, saya terselip dan jatuh ke sungai dengan mesin kapal di punggung saya. Dengan hati-hati saya melangkah ke luar dari perahu ke tepi sungai yang akan membawa kami kembali ke desa. Hujan telah membasahi tepian sungai sehingga penuh lumpur yang sangat licin. Kalau saja teman-teman saya di Amerika melihat saya sekarang, pikir saya, sambil saya menurunkan mesin kapal dan melepas sepatu dan kaus kaki saya, lalu saya berikan kepada Lucille. Mesin itu kemudian saya panggul kembali. Saya berjalan mengarungi lumpur, menyeret kaki saya dengan susah payah agar dapat melaju. Dengan tertatih-tatih dan hati-hati, saya berjalan ke atas sampai-sampai kaki saya mulai sakit rasanya. Puji Tuhan, rumah kami sangat dekat dengan tepi sungai. Saya sampai ke rumah. Mesin itu serasa 100 kg sekarang beratnya. Saya menaiki empat anak tangga dengan perlahan sampai ke pintu depan rumah kami, saya masuk lalu meletakkan mesin itu di tempat dudukannya di sudut ruang tamu kami. “Akhirnya, kami sampai di rumah,” pikir saya sambil menarik nafas lega. “Sulit dipercaya, kami ada di sini di belantara Kalimantan, mempertaruhkan nyawa dan tubuh kami dan melakukan semuanya ini.” Tetapi Tuhan lagi-lagi telah membawa kami pulang dengan selamat.

Page 27: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Bab Enam Roh Elia

Lucille menangis tersedu. Walaupun pagi begitu indah di rumah kami, tekanan yang berat dan gelap kelihatannya melingkupinya. Matahari tengah hari di khatulistiwa belum lagi naik tinggi, dan hembusan angin sejuk dari Kapuas di bawah sana bertiup melalui pintu depan rumah. Saya duduk di lantai ruang tamu yang kosong dengan Alkitab di tangan saya, menikmati hadirat Tuhan dan bersukacita atas segala hal-hal mulia yang tengah Ia lakukan di Biang dan Menjaya melalui kami. Saya melihat pada Lucille yang duduk dekat meja makan kami, wajahnya terkubur dengan tangannya. Saya bangun dan menghampirinya. “Lucy, ada apa? Kenapa kamu menangis? “Bill, perasaan saya tidak keruan. Semuanya begitu gelap.” “Apa maksudmu?” tanya saya lagi, ingin tahu apa yang kira-kira tidak beres. “Saya merasa sangat tertekan. Hidup saya tidak ada artinya. Semuanya tak berarti, tak ada harapan dan gelap. Saya tidak bahagia sama sekali! Rasanya sudah seperti ini beberapa hari lamanya. Setiap pagi perasaan saya tidak keruan. Selama ini saya takut memberitahu kamu. Saya takut kamu tidak mau mengerti.” Saya terheran-heran. Bagaimana mungkin ia merasa hidup tidak berarti sementara Tuhan memakai kita begitu luar biasa untuk menyelamatkan dan melepaskan jiwa-jiwa bagi Kerajaan Allah? “Apa maksudmu ‘semuanya tak berarti dan gelap’? Kita mendapat kehormatan dipanggil oleh Tuhan untuk melayani Dia sepenuh waktu. Ia telah membuka pintu bagi kita untuk datang ke Indonesia. Kita telah membawa jiwa-jiwa ke dalam Kerajaan Allah, kita melihat mujizat hampir setiap hari! Semuanya begitu indah, bagaimana kamu merasa semuanya tak ada artinya? Apa yang lebih berarti daripada yang kita lakukan sekarang?” Saya jadi tidak sabar dengannya. “Saya tidak tahu Bill, pokoknya saya merasa begitu gelap. Saya tak dapat menahan semua perasaan ini. Saya mohon cobalah mengerti dan hibur saya.” Saya tidak dapat mengerti dan saya tidak dapat menghibur dia. “Kamu seharusnya tahu, Lucy, kamu hamba Tuhan dan kamu seharusnya lebih tahu. Tahukah kamu darimana asalnya semua perasaan itu? Dari Iblis! Kamu harus berhenti mempercayai tipuan iblis dan melawannya di dalam nama Yesus. Ayo, Lucy, sadarlah! Kamu tahu, kamu tak punya cukup iman!” Kini sewaktu saya mengingat kembali, saya tidak dapat mentoleransi kelemahan apapun di dalam Lucille karena ia satu daging dengan saya dan saya menganggap diri saya seorang yang beriman kepada Tuhan. Saya tidak dapat menerima kelemahan di dalam pelayanan dimana saya adalah kepalanya. Bukannya menerima dan menghadapi masalah ini dengan kasih dan kebenaran, saya menyalahkan Lucille atas keadaannya. Bukannya berdoa untuknya agar dilepaskan dari serangan, saya malah menyalahkan dia. Hari lepas hari, setiap pagi, awan gelap itu menghampiri Lucille. Menjelang sore, ketika biasanya kami pergi melayani, awan gelap itu hilang. Di malam hari, setelah kebaktian baik di Biang maupun Menjaya, kami kembali ke rumah dengan hati penuh sekacita karena telah mengerjakan pelayanan bagi Bapa di surga. Namun keesokan paginya, tanpa kecuali, kegelapan itu kembali. Saya merasa malu. Lucille berseru kepada Tuhan agar depresi itu diangkat, tetapi tidak ada hasilnya. Kelihatannya tak ada sesuatupun yang membantu. Kenapa Tuhan tidak menolong kami? Segera kami menemukan bahwa bukannya Tuhan tidak mau menolong kami, tetapi Kristus telah amanatkan murid-muridnya untuk lakukan itu sendiri di dalam namaNya. Markus 16:17 mencatat kata-kata paling terakhir yang Ia ucapkan sebelum meninggalkan dunia ini: “Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku…” Menurut ayat ini, Siapa yang akan mengusir setan-setan? Kita, orang-orang percaya, yang akan melakukan ini di dalam nama Yesus

Page 28: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Kristus. Jika Ia telah memberikan kita otoritas dan amanat, bukankah lebih baik kita melakukannya daripada meminta lagi kepadaNya? Apakah Dia berkewajiban melakukan sesuatu untuk kita padahal Ia telah berikan otoritasnya kepada kita untuk melakukan? Kami tidak mengerti otoritas orang percaya ini sampai jauh hari kemudian. Pada saat itulah Lucille dibebaskan dari depresinya. Setelah melayani dengan intensif selama tiga bulan di Biang dan Menjaya, petualangan luar biasa kami harus diakhiri. Tiket pulang pergi yang kami beli di Los Angeles hampir setahun yang lalu akan segera habis masa berlakunya. Kami merasa inilah waktunya bagi kami untuk pulang dan merefleksikan sebelas bulan yang luar biasa yang baru saja kami alami sambil mencari Tuhan untuk mengetahui kehendakNya bagi masa depan kami. Jika Tuhan menghendaki, kami akan kembali ke Kalimantan! Di setiap desa Allah telah memberikan kami sejumlah jemaat yakni orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Kami menunjuk Amin dan Su Fong untuk mengawasi dua gereja bayi tersebut, kami serahkan mereka ke dalam tangan Tuhan yang telah memanggil mereka. Kemudian kami kembali ke Amerika Serikat. Tidak ada yang mustahil bagi Allah.” Sungguh, Ia telah melakukan hal-hal yang mustahil melalui dua orang yang tidak dikenaldan tidak terlatih. Orang-orang memberitahu kami bahwa semuanya itu tak mungkin dapat dilakukan, tetapi Lucille dan saya adalah dua saksi akan apa yang Roh Kudus mampu lakukan melalui bejana yang diserahkan dan dipenuhi. Sembilan bulan berikutnya kami menantikan Tuhan untuk membuka pintu bagi kami untuk kembali ke Kalimantan. Setelah kunjungan singkat kami di California, kami menyeberang ke Pantai Timur dan tinggal dengan kakak perrempuan saya di New Jersey. Amy mengajak kami beribadah bersamanya di Gereja First Christian Assembly di Plainfield. Gembala dan jemaat di sana membuka hati mereka sewaktu kami membagikan kesaksian kami tentang Kalimantan. Tanpa kami memohon dukungan mereka, seluruh jemaat ini dengan penuh kemurahan memberikan komitmen mereka untuk memberikan dukungan penuh bagi kami untuk kembali dan melanjutkan pelayanan kami di belantara Kalimantan. Tiang awan sekali lagi bergerak maju! Pada bulan Mei 1980, kami kembali ke Kalimantan Barat dan tinggal di Pontianak selama seminggu sebagai tamu di sebuah Gereja Pantekosta yang digembalai oleh Pendeta Luwuk. Kami telah mendengar dari orang yang berbeda di dua acara terpisah mengenai suatu daerah yang disebut Batu Ampar. Orang-orang mengatakan bahwa Batu Ampar adalah tempat kegelapan dimana keduniawian dan imoralitas merajalela. Injil tidak dikenal di sana, dan sulit untuk memenangkan jiwa bagi Kristus. Hal ini menantang kami. Tuhan menyuruh Elia untuk menantang nabi-nabi Baal yang palsu untuk merayakan demonstrasi kuasa Allah di Gunung Karmel. Hal ini terjadi pada suatu masa dimana sebagian besar Israel telah tunduk pada kuasa Baal yang biasa-biasa saja. Kami mencari tantangan seperti itu. Setelah Biang dan Menjaya, kami merasa bahwa Tuhan akan mempercayakan sesuatu yang lebih besar kepada kami, mungkin Batu Ampar adalah tantangan berikutnya. Kami mulai bersiap-siap mengintai daerah tersebut pertama-tama. Lagi-lagi kami berada pada posisi dimana kami tidak mengenal siapapun dan tidak mempunyai orang yang akan dikontak di sana. Kami harus bersandar sepenuhnya kepada Tuhan sekali lagi. Pada pagi hari menjelang siang, kami pergi ke pelabuhan di Sungai Kapuas di Pontianak dan naik kapal yang disebut “bus air” menuju Batu Ampar. Kapal itu berlayar ke selatan di sungai Kapuas dan beberapa jam kemudian pada awal petang kami telah tiba di pantai Kalimantan Barat dimana sungai ini bermuara di Laut Cina Selatan dekat kota yang namanya Kubu. Setelah berhenti di Kubu selama setengah jam agar penumpang dapat turun sejenak dan meregangkan tubuh, kami naik kapal lagi ke sungai yang lain yang berbelok ke daratan dengan tujuan Batu Ampar. Beberapa jam kemudian, sekitar jam 10, saya berjalan-jalan ke bagian belakang bus air dimana, saya sendirian,

Page 29: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

memandang pada langit malam yang luar biasanya indahnya dengan kerlap-kerlipnya dan berbicara kepada Allah. “Bapa, terima kasih Engkau telah membawa kami ke Batu Ampar. Tunjukkan kemuliaanMu di sana. Bapa, tunjukkan kuasa dan kemuliaanMu supaya banyak orang percaya kepada AnakMu, Yesus Kristus. Karena Engkau adalah Allah yang hidup, Yang menciptakan semua yang saya lihat di langit malam ini. Tidak ada yang seperti Engkau; Hanya Engkau yang layak menerima kemuliaan, hormat dan pujian…” saya terus menyembah Dia selama beberapa saat, mata saya hanya tertuju pada langit di atas. Tiba-tiba saya melihat ada kabut keputih-putihan di garis cakrawala di arah yang sedang kami tuju. Saya melihat pada kegelapan di depan kami dan banyak titik-titik terang di kejauhan. Itulah kota Batu Ampar! Saya teruskan berdoa. “Bapa, berikan kami daerah ini. Berikan kami Batu Ampar. Biarlah aku mengambil alih daerah ini untuk KemuliaanMu. Curahkan padaku urapan untuk memberitakan FirmanMu dengan kuasa Roh Kudus disertai tanda-tanda ajaib dan mujizat. Biarlah aku memuliakan namaMu di sini, Bapa!” Dalam waktu setengah jam, kami tiba di dermaga Batu Ampar. Jam menunjukkan pukul 10:30 malam ketika kami merapat di dermaga. Tetapi walaupun hari telah begitu larut, pelabuhan Batu Ampar masih sibuk dengan berbagai aktivitas. Orang dimana-mana. Ada yang berjalan-jalan santai di malam hari. Ada pula yang sibuk melayani pelanggan di kedai-kedai kopi dan rumah makan yang masih buka. Beberapa orang hanya duduk-duduk saja di sudut jalan sambil mengobrol. Kami telah tiba. Tidak tahu harus ke mana, kami menyusuri jalan yang menuju ke kota. Jalan itu ternyata ujungnya bercabang dua ke kanan dan ke kiri. Arus manusia berjalan di kedua arah tersebut. Kami tidak tahu harus ke kanan atau ke kiri, namun entah kenapa kami pilih jalan ke kiri dan hanyut di dalam gelombang pejalan kaki. Tidak ada mobil atau jalan beraspal, hanya jalan satu jalur dari tanah yang mana di sampingnya berbaris rumah-rumah, toko dan kedai kopi, ada yang diterangi dengan lampu petromaks yang terang benderang, ada pula yang memakai lampu listrik. Di sisi sebelah kanan, kami melewati sebuah gedung bioskop yang memutar film kung fu murahan. Banyak orang berkerumun, pria dan wanita, orang tua dengan anak-anak kecil, berjubel di depan gedung bioskop menunggu film berikutnya diputar. Ada speaker besar yang digantung di dinding luar gedung bioskop berpacu dengan bisingnya suara adegan perkelahian di dalam bioskop yang terdengar sampai ke halaman gedung. Di belakang gedung bioskop, ada jalan setapak menurun, melewati rumah penggilingan yang sudah reyot di sisi kiri dan beberapa toko serta kedai kopi di sisi lain jalan tersebut. Kami sampai di sebuah gedung bioskop lain yang mirip dengan gedung yang pertama-tama kami lihat. Di mana-mana, orang-orang tenggelam dalam kesenangan kehidupan malam di Batu Ampar. Selagi kami berjalan, kami tidak tahu hendak ke mana, tapi kami terus berdoa di dalam hati agar Tuhan menuntun langkah kami. Tiba-tiba,ketika kami hampir mendekati bioskop yang kedua, saya kepingin sekali makan es krim. Persis di belakang bioskop ada kedai kopi. Saya menarik Lucille dari jalan itu lalu kami duduk di meja luar. Kami melepaskan tas punggung kami dan meletakkannya. Seorang wanita muda keluar untuk mencatat pesanan kami. Kami memesan es krim dan dia kembali ke dalam untuk menyiapkan pesanan tersebut. Tak lama kemudian, ia kembali dengan “es krim”, yang sebenarnya hanya es batu yang diserut dicampur dengan sirop merah. Sambil menaruh dua piring kecil di depan kami, ia bertanya, “Apakah kalian berdua berasal dari perusahaan pengangkutan laut?” Banyak pengangkutan laut, yang sebagian besar berasal dari negara lain mengunjungi pelabuhan ini untuk mengambil kayu gelondongan yang di hasilkan oleh sepuluh tempat pemotongan kayu yang bermunculan di sekitar Batu Ampar dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini. Sementara kayu-kayu diangkut ke dalam kapal, para awak kapal mengambil cuti singkat sambil berjalan-jalan di Batu Ampar. Pelayan kedai itu tahu dari penampilan kami bahwa kami bukan penduduk asli Batu Ampar, ia mengira kami datang dari salah satu kapal pengangkut yang sedang berlabuh di sana.

Page 30: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Bukan, kami bukan dari sana,” jawab Lucille dalam dialek Hakka orang Tionghoa. “Kami datang ke Batu Ampar untuk memberitakan nama Yesus Kristus.” Ia menatap Lucille dengan heran. “Pernahkah ibu mendengar tentang Yesus Kristus?” lanjut Lucille. “Tidak, saya belum pernah dengar tentang itu,” jawabnya. Lalu hening seketika. “Apakah ada hotel di sini di mana kami bisa bermalam?” tanya Lucille. “Tidak ada. Lima bulan yang lalu hotel yang ada di sini terbakar habis dalam kebakaran besar beberapa bulan yang lalu. Sampai sekarang hotel itu belum dibangun kembali.” Alamak, pikir saya begitu Lucille menterjemahkan jawabannya kepada saya. Tuhan, dimana kami akan tinggal? Berilah kami tempat! “Bagaimana kalau kalian tinggal saja di rumah saya?” ia menawarkan tiba-tiba. “Saya dan suami tinggal dengan mertua saya,” ia menjelaskan. Kedai kopi itu menempati separuh dari lantai dasar rumah bertingkat dua ini. “Saya yakin kami bisa mencarikan tempat untuk kalian tidur. Mungkin di lantai atas. Nanti saya masak sesuatu untuk kalian juga.” “Puji Tuhan,” bisik saya dalam hati. KeajaibanNya tak pernah berakhir. Malam itu kami tinggal dengan sahabat baru kami itu, namanya Akim dan keluarganya. Mereka sangat murah hati kepada kami. Mertuanya bukan hanya menyambut kami di rumahnya, mereka bahkan memberikan tempat tidur mereka untuk kami. Mereka pindah ke ruang tengah di mana mereka tidur di lantai. Perbuatan baik mereka yang luar biasa kepada kami yang tidak pernah mereka kenal sama sekali sebelumnya sungguh merupakan campur tangan Tuhan. Keesokan paginya kami bangun dan sarapan pagi telor goreng yang enak telah disiapkan bagi kami oleh Akim. Kami bicara malam sebelumnya kepada ayah mertua Akim bahwa kami sedang mencari sebuah rumah di Batu Ampar. Setelah sarapan, ia mengajak kami untuk melihat-lihat rumah. Kira-kira 30 meter berjalan, di sebelah sebuah mesjid, ada sebuah rumah yang mau dijual. Rumahnya kecil dan sederhana, terbuat dari kayu dengan halaman depan. Kami masuk ke rumah itu, bicara kepada pemiliknya, lalu kami beli rumahnya seharga 1600 dolar. Keesokan harinya, kami berangkat dari Batu Ampar ke Pontianak. Selama mingu berikutnya di Pontianak, kami mempersiapkan kepindahan kami ke Batu Ampar untuk memberitakan datangnya Kerajaan Allah.

Page 31: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Bab Tujuh

Setan-setan diusir Serbuan Kerajaan kami dihambat bahkan sebelum kami punya kesempatan untuk terjun dalam pertempuran. Kami sebenarnya merencanakan untuk memulai pelayanan di Batu Ampar dengan mengadakan Kebaktian Kebangunan Rohani besar di tempat terbuka. Kami membawa peralatan sound system yang besar dari Pontianak, juga ijin dari pemilik tempat pemotongan kayu untuk memakai lapangan sepak bola sebagai tempat KKR dan juga kami mendapatkan persetujuan dari pemerintah daerah setempat. Selebaran sudah dicetak mengumumkan akan diadakannya “malam mujizat” selama tiga hari berturut-turut. Kami bahkan mempersiapkan pemberitaan dalam bentuk audio-visual yang dapat diputar di bioskop dengan mengundang orang-orang untuk datang dan bertemu Yesus Kristus. Masih segar ingatan kami akan keberhasilan di Biang dan Menjaya dan kami siap untuk sesuatu yang besar: mujizat kesembuhan yang dahsyat dan orang banyak dimenangkan bagi Yesus Kristus. Batu Ampar dalam waktu singkat akan kami rebut. Namun sesuatu mengintervensi dan menggagalkan rencana kami yang menggebu-gebu bagi Kerajaan Allah di Batu Ampar. Dua suku yang bertikai di Batu Ampar mengancam untuk berperang satu sama lain. Pemerintah daerah benar-benar menangani hal ini dengan serius, mereka mengambil setiap langkah apapun yang dapat mereka lakukan untuk menenangkan situasi dan menjaga perdamaian. Setiap acara yang melibatkan masa, yang mereka ketahui, dapat membuka kesempatan pecahnya kekerasan di antara kedua suku tersebut. Kebaktian yang kami rencanakan secara khusus sangat beresiko. Kebaktian itu akan diadakan pada malam hari, di tempat terbuka pula dan pasti akan menarik segala macam orang. Topik kekristenan juga selalu merupakan topik yang sangat sensitif di Indonesia dimana mayoritas penduduknya memeluk agama lain. Oleh sebab itu, pemerintah setempat membatalkan izin kami untuk mengadakan KKR. Kami melakukan segala sesuatu yang dapat kami lakukan agar pembatalan ini dipertimbangkan kembali. Kami meminta, memohon dan bahkan mengambil satu hari khusus mendatangi ibukota propinsi untuk memohon kepada pejabat yang lebih berwenang . Namun semuanya tak membawa hasil. Ini pukulan besar bagi kami. Impian kami akan pemberitaan Injil yang sensasional di Batu Ampar terhempas sudah. Apa yang terjadi sebenarnya? Lama setelah itu baru kami mengerti tentang semua ini. Dua puluh tahun kemudian baru kami melihat lautan manusia datang kepada Kristus dan tanda-tanda ajaib luar biasa dalam kebaktian besar. Ini tidak terjadi di Indonesia. Tuhan berdaulat dan Ia yang mengatur waktuNya bagi kami. Setelah kami pulih dari kekecewaan yang mendalam ini, kami tetapkan bahwa kami akan memulai pelayanan kami dengan apa saja yang Tuhan berikan kepada kami. Tuhan telah berikan kami sebuah rumah di mana di bagian depannya ada sebuah ruangan kecil berukuran tiga kali enam meter. Di sinilah kami akan memulai kebaktian kami. Tentu saja dibandingkan KKR kesembuhan Ilahi, tempat kami sangat sederhana. Tetapi kadang Tuhan lebih tertarik membentuk karakter kita daripada jumlah jiwa yang dapat kita bawa kepadaNya. Hukum di Indonesia melarang orang Kristen mendatangi rumah ke rumah untuk pemberitaan Injil, apalagi kepada pemeluk agama lain yang diakui secara syah. Jadi kami putuskan untuk membuka ruangan kecil di depan rumah kami untuk kebaktian malam dimana kami memberitakan Injil di sana. Orang-orang datang berdua dan bertiga untuk mendengar agama baru apa yang dibawa oleh orang Amerika ini. Setelah mendengar Injil, banyak dari mereka tidak kembali lagi. Kami sedang berhadapan langsung dengan roh politeisme yang menguasai Indonesia.

Page 32: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Di bangsa ini ada lima agama yang diakui oleh pemerintah: Islam, Khatolik Roma, Protestan, Budha dan Hindu. Semua orang yang tidak menjadi pemeluk salah satu dari kelima agama ini, khususnya beberapa juta orang keturunan Tionghoa yang lazimnya menyembah roh nenek moyang, secara resmi didorong untuk memeluk salah satu agama yang diakui ini. Pemerintah dengan bijaksana mengakui bahwa agama tradisi tidak sama dengan komunisme yang diharamkan dan melanggar hukum di Indonesia. Agama, yang kata Lenin adalah candu bagi orang banyak, kini menjadi penyelamat orang banyak dari komunisme. Akan tetapi, warisan spiritual Indonesia bukanlah salah satu agama-agama tradisional tersebut melainkan penyembahan terhadap roh-roh atau politeisme untuk segala maksud yang praktis yang identik dengan penyembahan berhala dan animisme. Sebelum Islam, Buddha dan Kekristenan masuk ke Indonesia, orang mengakui eksistensi roh-roh yang tidak kelihatan yang mendiami dunia mereka, yang baik maupun yang jahat. Banyak dari roh-roh ini dipercaya sebagai roh orang yang sudah meninggal dan menjadi dewa. Dewa-dewa ini harus ditakuti, diberi makan dan disembah, jika tidak mereka tidak akan memberkati orang dengan kesehatan, kemakmuran dan umur panjang. Bukan hanya tidak memberkati, mereka juga akan mengutuk dan menghancurkan orang-orang yang kurang dalam mempersembahkan dupa, teh, rokok, babi, ayam, sapi, buah dan berbagai jenis makanan lainnya sesuai dengan yang ditetapkan. Bagi orang-orang yang mencari kuasa supranatural dengan berapi-api melalui puasa dan ketaatan yang teguh pada tuntutan ritualistik, mereka mendapatkan kemampuan gaib dari roh jahat tersebut. Apabila murid seperti itu mati, ia bisa menjadi dewa setempat yang berkuasa atas daerahnya sendiri di bumi. Terhadap latar belakang ini, para misionaris datang ke Hindia Timur dari Eropa dan wilayah yang jauh lainnya dengan membawa agama-agama mereka. Karena pengajaran yang baru tidak selalu menggantikan kepercayaan yang sebelumnya; dalam banyak hal, pengajaran tersebut hanya sekadar melengkapi yang ada. Roh politeistik yang menyatu dengan warisan nenek moyang mengijinkan mereka untuk menerima agama yang baru namun tidak secara eksklusif. Ilah dari agama baru, singkatnya, ditambahkan dalam parade kuil Hindia Timur. Jadi orang-orang Muslim yang setia di Indonesia, yang menyembah Allah dan hanya dia saja, juga mendatangi para dukun untuk mencari bantuan di kala sakit atau membutuhkan sesuatu, bahkan untuk membalaskan dendam kepada musuh-musuh mereka. Para pemeluk agama Budha, yang kebanyakan orang Tionghoa, meneruskan kepercayaan kuno mereka yaitu menyembah roh orangtua dan leluhur mereka yang sudah meninggal. Mereka berkonsultasi dengan dukun-dukun untuk meramal masa depan mereka, meramal nomor lotere, menyantet orang yang tidak mereka senangi bahkan memakai guna-guna untuk merebut istri orang. Para pemeluk Hindu terlebih lagi tidak memiliki masalah apapun dengan banyaknya dewa-dewa mereka. Konon di India, yang adalah pusat kepercayaan Hindu, dipercaya memiliki 30 juta dewa. Yang terakhir namun bukan yang terkecil adalah orang Kristen di Indonesia. Walaupun jumlah orang yang lahir baru terus meningkat, namun pada tahun 1980 mungkin mayoritas orang Kristen baik Katolik maupun Protestan juga memiliki kecenderungan walaupun kecil untuk mendatangi para dukun jika doa-doa mereka belum dijawab oleh Tuhan Allah mereka. Baru pada tahun 1990 keadaan berubah dengan dramatis sewaktu kebangunan rohani melanda kota-kota besar di Indonesia. Tentu saja para dukun dengan berbagai cara memanggil roh-roh yang dengan kuasanya mereka dapat beroperasi di alam supranatural. Salah satu mantan dukun yang kami kenal pernah membuang sembilan ratus sembilan puluh “roh” dari dirinya. Kita tahu bahwa roh-roh ini pada kenyataannya adalah roh-roh setan. Oleh sebab itu praktek perdukunan memiliki akar politeisme. Injil yang kami beritakan di Batu Ampar, bagi mereka kedengarannya aneh dan asing. “Kamu harus percaya kepada Allah Bapa melalui PutraNya Yesus Kristus dan hanya kepadaNya saja. Terlebih lagi, kamu harus percaya kepadaNya dan hanya kepadaNya saja untuk memenuhi segala kebutuhanmu, baik kebutuhan rohani, keuangan maupun kebutuhan jasmani. Dia harus menjadi

Page 33: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Tuhanmu yang satu dan satu-satunya. Kamu tidak boleh lagi menyembah dan percaya kepada ilah lain. Kamu tidak boleh lagi menyembah leluhurmu yang telah mati,” kami nyatakan. Tetapi sepanjang hidup mereka, orang-orang ini hidup dengan semboyan, “lebih banyak ilah, lebih senang hidup kita.” Mereka tidak dapat memahami pengajaran kami. “Siapakah Yesus Kristus ini sehingga kami harus melepaskan semua ilah bapak moyang kami dan hanya menyembah Dia saja? Jika Yesus Kristus ini dapat hidup berdampingan dengan ilah-ilah kamu, baiklah; mungkin kami dapat menerima Dia dan menyembah Dia juga. Tetapi jika kami harus menyangkal ilah-ilah kami, mereka akan marah terhadap kami dan membalas kami. Kami tidak mau membuat mereka murka, karena mereka berkuasa. Lagi pula orangtua kami akan marah juga jika kami tidak mau lagi menyembah dan mempersembahkan makanan kepada roh mereka setelah mereka meninggal. Mereka akan kelaparan dan marah lalu kembali untuk menghantui kami. Dan bagaimana jika ada orang yang mengguna-gunai kami? Dukun-dukun kami kadang dapat mencari jalan untuk menangkal roh jahat sehingga roh itu pergi. Dapatkah Yesus Kristus melindungi kami dan membebaskan kami dari guna-guna ini? Mungkin ia dapat menyelamatkan kami dari dosa dan membawa kami ke surga tetapi apa yang dapat Ia lakukan bagi kami di dunia ini?” Tidak seperti Biang dan Menjaya, Batu Ampar memiliki lingkungan dukun profesional yang telah berkembang pesat dimana kekuatan mereka telah terbukti pula. Dengan roh-roh mereka, mereka dapat menegosiasikan suatu kesepakatan dengan klien mereka yang sedang mengalami serangan dari roh-roh lain. Kelihatannya mereka dapat menyembuhkan penyakit. Mereka juga tahu bagaimana mengirimkan guna-guna yang dapat hinggap pada seseorang dengan efek yang mengerikan. Sejumput rambut, sebuah foto atau sepotong kain yang pernah dipakai oleh calon korban sudah cukup untuk mengirimkan guna-guna kepada orang tersebut. Seorang penduduk ingat akan kejadian dimana “angin tiba-tiba bertiup kencang, dahan pohon bergetar dan jemuran beterbangan entah kemana. Tiba-tiba, di dalam rumah, ada jeritan histeris yang diikuti oleh tangisan pilu. Guna-guna itu telah mengenai dirinya. Ia menjadi gila; akhirnya rambutnya rontok. Perlu waktu yang lama baginya untuk sembuh.” Jadi, untuk dapat menjangkau jiwa-jiwa bagi Yesus, kami harus menunjukkan sekilas tentang kuasaNya sebagai tanda untuk menyelamatkan dari dosa. Kegelapan yang menyatu di dalam roh mereka entah sejak berapa abad yang lalu tidak dapat diusir hanya dengan kata-kata. Mereka harus menyaksikan sesuatu yang dapat menarik perhatian mereka kepada Yesus Kristus. Pada saat itulah mereka akan memberi perhatian pada pernyataanNya bahwa Ialah satu-satuNya Tuhan dan Juruselamat, dan pada saat mereka melihat dan mendengarkan Firman itulah Roh Kudus dapat menempelak mereka akan dosa-dosa mereka dan membawa mereka kepada kelahiran baru. Jika mereka menyaksikan mujizat dilakukan di dalam nama Yesus Kristus yang tidak dapat dilakukan oleh ilah mereka, mereka akan lebih bersedia mendengarkan kesaksian kami. Tentu saja, Injil itu lebih dari sekadar mempertontonkan kuasa yang lebih hebat daripada yang dapat dilakukan oleh orang kafir. Tetapi ada orang-orang tertentu yang membutuhkan tanda ajaib yang dapat menuntun mereka kepada Yang Maha Kuasa yang dapat mengubahkan mereka dengan firmanNya jika mereka mendengarnya. Untuk itu kami mulai mencari kesempatan mendoakan orang sakit. Kebaktian Kesembuhan Ilahi yang gagal dilaksanakan baru-baru ini telah memadamkan antusiasme kami untuk melayani orang-orang sakit. Tetapi, karena kami melihat bahwa pelayanan kami di Batu Ampar mengalami kemajuan yang sangat lamban, kami merasa bahwa kami harus mendemonstrasikan kuasa Allah kepada orang-orang di sana. Hal ini diteguhkan dalam pembicaraan dengan saudara kami Akwet yang merupakan salah satu dari segelintir orang yang menerima Yesus pada bulan-bulan awal pelayanan kami. “Saudara Akwet, apa yang perlu dilakukan untuk membawa banyak orang percaya kepada Yesus Kristus di sini?” Pada saat itu, ruangan berukuran tiga kali enam meter yang kami gunakan untuk kebaktian tidak sampai separuh terisi. Batu Ampar, daerah berpenduduk 10.000 orang tidak menanggapi kami dengan serius.

Page 34: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

“Saya rasa,” kata Akwet tanpa ragu, “apabila roh-roh jahat diusir dan orang sakit disembuhkan, banyak orang akan datang dan percaya kepada Tuhan.” Sejak itu kami mulai menawarkan untuk mendoakan orang-orang yang bermasalah. Anehnya, tidak seorangpun yang kami doakan sembuh. Kami tidak dapat mengerti akan hal ini. Waktu demi waktu, tidak ada yang terjadi ketika kami berdoa untuk orang sakit. Tuhan bekerja luar biasa di Biang dan Menjaya. Mengapa Ia tidak melakukan hal serupa di sini di Batu Ampar? Dalam frustrasi, kami mencari Tuhan. Suatu hari, Lucille mendapati buku kami yang selama ini tersimpan di rak. Buku itu mengajarkan tentang berbagai cara praktis dalam mengusir roh setan dari orang-orang. Karena saya merasa bahwa saya sudah cukup tahu mengenai pelepasan dan saya telah mempelajari juga bagaimana Yesus dan para rasul mengusir roh jahat di dalam Perjanjian Baru, saya tidak merasa terdorong untuk membaca buku itu. Tetapi ketika kami frustrasi karena kurangnya buah dalam pelayanan kami, kami siap belajar apa saja. Saya baca buku itu dan sungguh-sungguh mempelajarinya. Di dalam buku itu saya menemukan satu hal yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Mengusir setan, tadinya saya pikir, hanya sekadar memerintahkan mereka keluar dari seseorang di dalam nama Yesus Kristus. Begitu selesai kita mengusir, kita percaya dengan iman bahwa orang tersebut telah dilepaskan, walaupun keadaannya kelihatan tidak berubah. Pada waktunya nanti, akan ada perubahan. Sebaliknya, buku ini mengajarkan bahwa cara seperti ini mungkin tidak cukup untuk banyak orang yang membutuhkan kelepasan dari roh-roh jahat. Menurut buku itu, pelayan Tuhan harus terus memerintahkan roh jahat untuk pergi sampai mereka benar-benar pergi sebagaimana dibuktikan oleh tanda-tanda fisik atau perubahan sesungguhnya di dalam kondisi orang tersebut. Sebagai contoh, di Lukas 11:24 setelah Yesus mengusir roh bisu, orang yang bisu itu bisa berbicara. Saya tahu bahwa beberapa aspek dari pengajaran ini telah menjadi titik perdebatan diantara orang Kristen. Kami juga menyadari bahwa banyak orang yang tidak percaya bahwa orang Kristen bisa didiami roh setan. Semua perdebatan teologis pro dan kontra terhadap pengajaran ini tidak terlalu kami risaukan, kami hanya memikirkan sekelompok kecil jemaat kami. Hampir setiap dari mereka memiliki masalah fisik atau masalah “kejiwaan”. Tak peduli bagaimanapun kami melayani mereka, mereka tetap saja tidak membaik keadaannya. Yang terlebih lagi, kerohanian mereka terlihat tumpul sehingga mereka tidak bertumbuh didalam pengertian dan semangat bagi Tuhan. Tak peduli betapapun hebatnya atau berapi-apinya Firman yang kami berikan kepada mereka, mereka sepertinya tidak terjamah oleh Roh Kudus. Ada sesuatu yang menahan mereka. Fukso, seorang saudari dan salah seorang percaya mula-mula, adalah salah satu dari mereka. Fukso hidup bersama kelima anaknya yang masih kecil-kecil, tanpa suami. Ia tinggal di pinggir kota di rumah yang kumuh. Pada saat itu suaminya sedang menjalani masa tahanan di penjara karena menjual tiket lotere yang tidak resmi. Cerita mengenai keluarganya sebelum ia mendengar kabar baik adalah cerita tentang kegelapan dan kesengsaraan yang memilukan. Cerita ini cukup lazim ditemui di keluarga-keluarga di Indonesia yang hidupnya jauh dari terang Yesus Kristus. Ketika ia masih kecil, ayahnya seorang pedagang kaya yang berbarter barang dengan orang-orang Dayak, penduduk asli Kalimantan, ia mendapatkan emas sebagai hasil barterannya. Menurut ayahnya, keberhasilannya merupakan berkat dari patung besar yang ditaruh di rumahnya oleh paman dari istrinya yang merupakan seorang dukun yang berpengalaman. Begitu besar tekadnya untuk tetap mendapatkan rezeki dari patung sembahannya itu, ia rela menghabiskan waktu berjam-jam berlutut di depan patung itu. Kulit lututnya menjadi luka dan pecah-pecah. Dalam waktu yang tidak lama, ia berhasil mengumpulkan kekayaan yang cukup banyak. Namun pada suatu hari, ia mulai merasakan sakit di perutnya. Ia segera dilarikan ke rumah paman istrinya yang telah menjadi dukun dan keluarganya. Setelah diobati, ia merasa lebih baik. Setelah membayar tarif yang sesuai, ia pulang ke rumah. Beberapa hari kemudian, sakitnya kambuh lagi, sakitnya tak tertahankan lagi. Ia kembali ke rumah paman dari istrinya yang pernah

Page 35: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

menyembuhkannya dahulu. Dukun itu kembali mengobati dia dengan meminta nasihat dari roh-roh yang dipanggilnya, dan sakitnya mereda. Ayah Fukso dengan penuh rasa terima kasih membayar dukun itu dengan berlimpah demi membalas pelayanan profesional yang telah diberikan. Tak sampai beberapa hari kemudian, rasa sakitnya kambuh lagi sedemikian dahsyatnya sehingga ayah Fukso mengira ia akan mati. Seperti sebelumnya, ia pergi ke dukun kepercayaannya dan diobati. Dengan cara demikian, dimulailah suatu siklus berulang sakit-diobati-sembuh-bayar-sakit yang pada akhirnya menguras seluruh keuangan yang telah susah payah ia kumpulkan. Mereka akhirnya menyadari bahwa orang yang selama ini menyembuhkan dia juga merupakan orang yang mengerjai dia. Bagi orang yang berkecimpung dalam bisnis ini, adalah hal mudah mengirim roh untuk menyiksa seseorang dengan tujuan untuk menarik si korban agar datang berobat. Pengobatannya juga dapat diatur dimana roh yang menyiksa itu berhenti bekerja sampai nanti ketika pasien yang sekarang “sembuh” kembali ke rumahnya. Pada kesempatan yang lain, roh itu akan mulai bekerja lagi, sakitnya kambuh dan korban segera dilarikan kembali ke dukun dan bersedia membayar berapapun jumlah uang yang diminta agar terlepas dari rasa sakit yang tidak tertahankan. Memang tidak semua dukun di Indonesia melakukan praktek penipuan seperti ini, tetapi tidaklah mengejutkan jika banyak yang melakukan demikian, sesuai dengan karakter tuannya, Iblis. Yesus pernah berkata bahwa “Setan tidak dapat mengusir setan,” menjawab tuduhan orang Farisi bahwa Ia mengusir iblis dengan kuasa Beelzebul, penghulu setan. Memang dukun tidak dapat mengusir roh jahat. Kadang memang kelihatannya seperti itu. Tapi pada kenyataannya, tidak ada kelepasan sejati yang terjadi. Saya akhirnya dapat menyimpulkan bahwa setiap kali seorang penderita datang kepada dukun untuk dibebaskan dari serangan roh setan (tidak semua masalah kesehatan adalah akibat dari tindakan setan), roh setan lainnya dipanggil. Roh setan yang baru akan membujuk roh yang menyiksa untuk mundur seketika lamanya. Roh setan itu bahkan bisa saja dengan diam-diam bergabung dengan setan yang pertama, tinggal di dalam tubuh orang tersebut. Pasien setelah itu mungkin merasa lega dari penderitaannya, imannya terhadap dukun semakin diteguhkan. Sayangnya, tanpa ia ketahui, kesembuhan itu hanya sementara. Sekarang ia punya dua setan , bukan hanya satu (atau paling sedikit lebih dari yang sebelumnya ada) yang nantinya akan menimbulkan gejala yang lebih buruk daripada sebelumnya. Pasien itu segera kembali untuk melapor dan membayar dukunnya sambil mengambil lebih banyak tamu tak diundang ke dalam tubuhnya tanpa ia sadari. Bahkan dalam kasus dimana penyakit tidak kambuh lagi setelah diobati oleh metode-metode okultisme semacam itu, kerusakan telah terjadi. Iman pasien tersebut terhadap dukunnya semakin kuat, setan menempati tubuh, jiwa dan rohnya yang belum diselamatkan hampir pasti akan menumpulkan kepekaan spiritualnya terhadap hal-hal Kerajaan Allah. Sewaktu ia mendengar tentang Injil untuk pertama kalinya, hatinya sudah mengeras seperti batu. Keluarga Fukso menjadi miskin. Uang dan emas yang mereka dapatkan dari patung sembahan mereka kini habis ludes. Kesehatan ayahnya telah semakin parah. Ibunya harus bekerja kasar di luar untuk menghidupi keluarga. Namun kuasa kegelapan belum puas sampai di situ. Karena mereka tidak punya uang lagi, mereka tidak bisa membayar hutang-hutang mereka kepada dukun atas jasa-jasa yang ia berikan sebelumnya. Ibu Fukso harus menanggung rasa malu dan siksaan yang luar biasa di tangan pamannya. Lalu pamannya mulai mengancam untuk membinasakan seluruh keluarganya. Pada suatu malam ketika hari sudah larut, Fukso berada di rumahnya. Ia sedang duduk di ruang tamu, di seberang patung besar itu. Keluarganya sudah tak lagi menyenangi patung itu, tetapi mereka tak dapat berbuat sesuatu apapun. Jika mereka menyingkirkan patung itu, mereka takut sesuatu yang lebih buruk akan menimpa mereka. Tiba-tiba ketakutan menyerang dia. Ia memandang ke atas dan melihat ada benda yang amat menakutkan yang tak penah dilihat sebelumnya seumur hidupnya. Suatu makhluk hitam yang besar berdiri di hadapannya, bentuknya hampir menyerupai manusia. Ia sangat ketakutan dan tidak dapat bergerak. Makhluk itu mendekati dia. Tangannya diulurkan dan mendekati dia. Suatu cengkeraman yang kuat menekan lehernya. Fukso mulai tercekik. Sambil bergumul dengan

Page 36: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

seluruh kekuatannya namun tiada hasil karena yang dilawannya bukanlah darah dan daging, lalu ia mulai tidak sadarkan diri. Dengan sisa nafasnya, ia menjerit panjang sekuat tenaga dengan putus asa. Semenjak malam yang menakutkan itu, Fukso tidak pernah sama lagi. Bukan hanya ketakutan yang terus mengintainya kemanapun ia pergi, tetapi pergi ke luar rumah saja merupakan sesuatu yang sangat susah baginya. Ia menjadi tak dapat lagi mengontrol kakinya. Seperti orang mabuk, ia bergoyang-goyang ke depan dan ke belakang tak keruan ketika ia berjalan. Sesuatu diluar kehendaknya, menggerakkan kakinya ke sana sini. Ia takut suatu hari nanti kekuatan itu akan menuntunnya keluar dari jalan dan masuk ke parit di sepanjang sisi jalan utama di Batu Ampar. Sulit sekali untuk tetap berada di jalan yang ia tempuh, perjalanan singkat saja akan membuatnya sangat letih. Ketika ia hampir berusia delapan belas tahun, ia menikah. Ibunya sangat membenci dirinya dan suaminya sehingga ia menyumpahi mereka di hadapan kelenteng pemujaan patung. Memang kutukan itu berdampak. Ketika kami bertemu dengannya, ia memiliki enam anak. Satu meninggal ketika bayi. Yang lainnya lahir kecil sekali tubuhnya dan tidak dapat hidup melebih sepuluh tahun. Suaminya, walaupun agak berpendidikan, tidak dapat bertahan pada satu pekerjaan. Pada akhirnya, ia terpaksa terlibat dalam judi ilegal, ditangkap polisi dan dihukum penjara satu tahun. Setelah Fukso dan adik perempuannya Asiu percaya kepada Yesus, dengan iman mereka menjadi anak-anak Allah yang mahakuasa dan menerima hidup kekal. Namun sejauh mengenai kondisi fisik Fukso yang memprihatinkan, tidak ada perubahan yang terlihat. Beban kelemahan fisiknya yang semakin merosot, ketakutannya dan kegelisahannya yang terus saja membebani hidupnya. Dimana kemenangan atas iblis yang Kristus telah bayar bagi dia di kayu salib? Dimana hidup yang penuh kebangkitan itu? Fukso bukanlah satu-satunya orang percaya yang berada dalam kondisi ini. Kebanyakan dari orang percaya yang baru berada dalam kondisi yang serupa juga walaupun mungkin tidak separah hidupnya. Dalam konteks inilah kami mulai mencari kunci yang akan melepaskan orang-orang percaya ini dari belenggu mereka. Menurut buku yang kami baca itu, orang Kristen bisa didiami oleh roh setan. Pertanyaannya, “Bisakah seorang Kristen dirasuki setan?” tidak banyak berarti, karena menurut pengetahuan saya kata kerja dalam bahasa Ibrani yang biasanya diterjemahkan “dirasuki setan” secara literal artinya “memiliki roh setan”. Ini bukan hal membelah rambut. Memiliki setan tidak sama dengan setan memiliki anda. Walaupun iblis tidak dapat memiliki atau menguasai seorang Kristen sejati, seorang percaya mungkin saja memiliki setan di suatu tempat di dalam hidupnya. Dalam banyak hal, orang banyak yang menderita yang datang kepada Yesus karena mereka pernah mendengar FirmanNya, melihat karyaNya dan memilih untuk mempercayai Dia. Karena mereka percaya kepadaNya, Yesus melayani mereka. Sesuai perintahNya, roh-roh setan yang ada di dalam orang percaya yang baru itu keluar dari dirinya. Setan-setan memperoleh jalan masuk ke dalam korbannya melalui cara hidup mereka yang lampau. Perhatikan bahwa bahkan setelah mereka memilih untuk mengikut Yesus, dalam banyak kasus mereka tidak dibebaskan dari roh-roh jahat sampai Yesus melayani mereka secara spesifik. Maka kami mulai melihat saudara-saudari seiman di Batu Ampar di dalam terang yang baru. Hampir semua dari mereka pernah terlibat di dalam kuasa gelap dalam taraf tertentu. Bukan hanya dukun dan sihir diwariskan dalam kebudayaan mereka, mereka sendiri secara pribadi telah masuk ke dalamnya. Mereka menyembah roh orangtua mereka yang telah meninggal. Mereka menyembah patung-patung di kuil, mencari pertolongan dari para dukun. Ada pula yang secara pribadi terlibat dalam praktek-praktek kuasa gelap. Bahkan jika mereka tidak pernah melakukan hal-hal ini, paling sedikit ketika sakit, mereka dibawa ke dukun oleh orangtua mereka untuk diobati. Dukun-dukun itu akan menyuruh mereka minum ramuan okultik dan memberikan jimat untuk dipakai untuk

Page 37: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

menjauhkan roh yang menyebabkan penyakit. Tak pelak lagi, kegiatan-kegiatan semacam ini merupakan undangan langsung bagi roh jahat untuk masuk ke dalam orang yang melakukannya. Pertanyaannya adalah, apabila seseorang yang telah lama menjadi tempat kediaman roh-roh setan, bertobat dan berbalik kepada Yesus Kristus, apakah semua roh-roh jahat itu secara otomatis keluar? Mari kita tampilkan sebuah pertanyaan yang paralel. Ketika seseorang yang telah terlibat mendalam dalam suatu dosa, misalnya, melihat-lihat majalah porno, memutuskan untuk berbalik kepada Tuhan untuk diselamatkan dari dosa-dosanya, apakah ia secara otomatis berhenti melihat –lihat majalah semacam itu lagi tanpa usaha apapun dari dirinya sendiri? Jawabnya jelas tidak. Walaupun tindakan dosa nya sudah pasti telah diampuni, akan tetapi ia tetap harus mengambil bagian aktif dalam melawan sifat dosanya yang Iblis akan coba untuk bangkitkan. Adalah tanggung-jawabnya untuk melawan, dengan enugerah Allah, pikiran-pikiran dan keinginan yang najis yang kemungkinan besar akan mendatanginya. Tuhan tidak akan secara otomatis menudungi dirinya. Jika ia tidak secara aktif melawan cobaan untuk berdosa, ada kemungkinan ia akan kembali kepada dosanya. Demikian juga halnya seorang penyembah berhala sudah pasti diampuni dosanya yaitu kekejian karena menyembah ilah lain yang palsu. Tetapi ilah-ilah ini tidak secara sukarela akan meninggalkan tempat kediaman yang telah mereka kuasai selama bertahun-tahun. Walaupun bait itu bukan lagi milik mereka – karena sudah dibeli oleh Allah dengan darah Kristus – mereka ingin tetap di dalam rumah itu selama mereka dapat bertahan, walaupun sebagai penghuni yang tidak syah. Setan-setan tidak akan secara sukarela pergi karena taat kepada peraturan atau kepada hukum Allah, mereka taat hanya ketika mereka dipaksa untuk taat oleh kuasa yang lebih besar daripada mereka sendiri. Di Lukas 11:24-26 Alkitab menjelaskan bahwa tidaklah mudah bagi roh-roh jahat untuk pindah ke luar setelah mereka diusir dari diri seseorang. Mereka lebih suka pergi dengan seseorang ke gereja atau tempat ibadah setiap minggu daripada mencari orang lain untuk didiami. Suatu kali Yesus pernah mengusir setan dari seseorang di tengah-tengah kebaktian di bait suci. Bagaimana roh-roh jahat itu dibuat pergi? Mereka pergi ketika seseorang dengan kuasa yang lebih besar memaksa mereka. Siapa yang dapat melakukan hal ini? Kata Yesus, “Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku…” (Markus 16:17) Kitalah yang diberikan tanggung jawab dan kuasa nama Yesus Kristus untuk mengusir setan-setan. Prinsip yang sama ini dapat diaplikasikan untuk melayani kesembuhan kepada orang-orang yang memiliki kelemahan fisik murni. Dengan dipersenjatai oleh pengertian ini, kami melihat mengapa selama hari-hari awal di Biang dan Menjaya Lucille tidak dapat disembuhkan dari depresinya bahkan setelah ia berseru kepada Tuhan. Kondisinya disebabkan oleh roh setan, walaupun tentu saja tidak semua depresi seperti itu. Ia dibebaskan dari kekuatan kegelapan ketika saya di dalam nama Yesus memerintahkan roh najis untuk meninggalkan dirinya. Oleh sebab itu kami mulai mengajarkan kepada saudara-saudara seiman tentang pelepasan dari roh-roh yang dulu mereka sembah, kami mendorong mereka untuk datang kepada kami untuk dilayani. Fukso datang, meminta kami untuk mendoakan dia. Setelah kami duduk, kami meminta dia untuk berdoa kepada Tuhan, menolak praktek-praktek dan kepercayaannya yang dulu. Lalu saya mulai berbicara kepada roh-roh jahat yang saya percaya masih ada di sana. “Roh-roh penyembahan berhala yang diturunkan kepada Fukso dari orangtua dan nenek moyangnya, sekarang saya patahkan hubungan kamu dengannya dan saya perintahkan kamu untuk keluar di dalam nama Yesus! Roh penyembahan nenek moyang, keluar di dalam nama Yesus! Roh pencari dukun, roh dari jimat-jimat atau benda keramat yang kamu makan dan pakai untuk perlindungan, saya ikat kamu. Keluar di dalam nama Yesus! Roh-roh yang datang dari mandi air yang diberi oleh dukun keluar didalam nama Yesus! Roh-roh dari meramal nasib dan meramal telapak tangan, pergi di dalam nama Yesus!” Daftar roh-roh setan yang saya keluarkan terus berlanjut. Selama

Page 38: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

beberapa menit, saya terus berbicara kepada roh-roh jahat, berulang-ulang saya perintahkan mereka untuk keluar. Tidak terjadi apa-apa. Keraguan mulai bangkit di dalam saya. Apakah saya sedang berlaku bodoh sendiri, hanya berbicara kepada angin? Apakah benar-benar ada roh setan di dalam Fukso? Tak peduli apapun, saya terus memerintahkan roh-roh setan keluar di dalam nama Yesus sambil terus memerangi keragu-raguan. Fukso duduk di hadapan kami dengan mata tertutup. Kami telah memberitahu Fukso agar tidak membuat –buat sesuatu dari dirinya sendiri. Jangan berusaha untuk batuk atau mencoba memuntahkan sesuatu. Tiba-tiba wajahnya tegak dan ia menguap lebar-lebar. Lucy, apakah kamu lihat itu? Ia menguap!” “Ya, saya lihat itu Bill!” Terdorong semangat, saya mulai mengusir lagi roh-roh jahat itu dengan kuasa. “Keluar kamu, setan. Saya tahu kamu sembunyi di dalam sana. Kamu tidak bisa menipu kami lagi. Saya tak peduli berapa lama kamu sudah tinggal di dalam perempuan ini. Ia telah dibeli oleh darah Yesus. Kamu tidak punya hak lagi untuk tinggal di sana. Ini bukan rumahmu lagi; rumah ini milik Tuhan. Keluar di dalam nama Yesus, kamu pelanggar!” Fukso menguap dan menguap lagi. Selama beberapa menit, sewaktu saya terus memerintahkan setan-setan itu, ia menguap. Saya waktu itu tidak begitu mengerti menguapnya itu menandakan apa, namun kenyataannya ia menguap tanpa ia inginkan sendiri. Saya melihat pada daftar roh setan yang akan diusir dan saya melihat ada “roh takut pada kucing”. Sebelum pelepasan, kami bertanya pada Fukso apa yang ia sangat ia takuti. Ia takut pada kucing dan bebek. “Kamu setan yang membuatnya takut pada kucing, keluar di dalam nama Yesus!” Seketika itu juga ada dentuman keras di pintu depan. Kami ada di ruangan depan, beberapa langkah dari pintu. Saya bangkit dan pergi ke pintu untuk membukanya. Di depan pintu kami melihat ada seekor kuving hitam. Kucing itu melihat pada kami, berbalik lalu lari ke dalam kegelapan malam. Kami pernah mendengar bahwa setan-setan pergi melalui pintu. Tetapi apa yang kami alami secara pribadi malam itu terlalu aneh untuk kami pahami. Kebetulan? Atau untuk sesaat kami diijinkan untuk melihat wujud suatu roh? Hari berikutnya, Fukso melaporkan bahwa keadaannya baik. Semenjak hari itu ia dapat berjalan dengan normal. Orang-orang percaya yang lain juga mengalami pelepasan. Kebanyakan, tidak semua dari mereka memanifestasikan tanda-tanda pada waktu pelepasan. Ada yang batuk-batuk, ada yang mengeluarkan cairan, ada juga yang muntah dengan kuat. Pada umumnya, semakin buruk gejala tekanan roh jahat atas seseorang semakin dalam orang itu pernah terlibat di dalam kuasa gelap dan semakin dramatis pula manifestasinya. Tetapi tanda-tanda yang kelihatan tidak selalu muncul. Yang lebih penting daripada manifestasi adalah perubahan di dalam kehidupan orang-orang. Hampir di setiap kasus, orang itu menjadi lebih baik atau dibebaskan dari tekanannya. Bahkan anak-anakpun dibebaskan dari roh jahat. Saudara Akwet memiliki tujuh anak. Sebelum ia mengenal Yesus, ia bekerja dengan keponakannya yang adalah seorang dukun. Dukun-dukun dapat beroperasi dalam berbagai karunia rohani yang merupakan tiruan dari karunia rohani yang Tuhan berikan melalui Roh Kudus. Salah satu karunia kuasa gelap yang dimiliki oleh keponakan Akwet adalah berbicara dalam bahasa iblis. Bahasa setan yang tidak dimengerti ini, seperti bahasa Roh yang tidak kita mengerti dari Roh Kudus perlu diterjemahkan agar dapat dimengerti oleh pendengarnya. Akwet adalah salah seorang yang menterjemahkan bahasa yang tidak dikenal itu. Semenjak ia terlibat secara aktif di dalam kuasa kegelapan, ia menderita tekanan jiwa. Anak-anaknya, khususnya anak perempuannya yang berusia sepuluh tahun yang bernama Ali, membayar mahal akibat pekerjaan ayahnya. Ali selalu sakit-sakitan. Setiap kali sakit, ayahnya membawanya kepada keponakannya yaitu dukun tersebut. Setiap kali pula, Ali menjadi ketakutan karena berbagai

Page 39: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

pengobatan aneh yang diberikan kepadanya. Suatu kali, sakitnya sangat parah, ia harus di”rawat-inap” di “kantor” pamannya dimana di sana ada meja altar patung yang besar segala benda-benda yang berhubungan dengan patung itu ada di sana. Sungguh merupakan mimpi buruk bagi si kecil Ali. Akwet dan anak-anaknya, termasuk Ali, datang untuk didoakan oleh kami. Roh jahat yang telah lama menyiksa ali dengan berbagai penyakit diusir keluar didalam nama Yesus dan Ali tidak lagi menderita serangan setiap minggunya. Pada tahun 1981, ketika menginjak tahun kedua kami di Batu Ampar, kami belajar bagaimana menengking setan, pintu bendungan kini terbuka bagi tuaian yang baru. Tuaian awal ketika kami pertama tiba pada tahun 1980 sangat sedikit, tanah di sana keras. Tetapi ketika orang mendengar bahwa Tuhan kami memiliki kuasa atas roh-roh jahat dan penyakit yang tidak dapat ditandingi oleh para dukun, mereka mulai datang untuk mendengarkan Firman dan disembuhkan dari berbagai penyakit. Beberapa penyakit disebabkan oleh roh setan dan ketika roh setan diusir, seringkali penyakitnya juga sembuh. Tetapi bagaimana dengan penyakit yang murni karena kondisi fisik dan tidak ada hubungannya dengan setan-setan? Dalam kasus yang demikian, pelepasan tidak diperlukan. Kuasa yang dipakai untuk memerintahkan dan mengusir setan-setan adalah kuasa yang sama juga yang mengusir penyakit untuk membawa kesembuhan jasmani. Sewaktu kami bertumbuh di dalam kuasa atas setan-setan, kami juga tumbuh di dalam kuasa atas penyakit jasmani. Ketika melayani pelepasan kepada orang-orang yang tidak pernah terlibat dalam perdukunan, sihir, penyembahan berhala dan sebagainya – baik sebagai pelaku maupun korban –manifestasi-manifestasi yang muncul lebih jarang daripada yang kami lihat di Indonesia. Sebagai contoh, melayani orang yang dibesarkan dalam kebudayaan barat seperti di Amerika Serikat biasanya jarang atau tidak menunjukkan manifestasi apapun. Tetapi yang ingin saya tekankan ialah jangan kita memfokuskan diri pada ada atau tidak adanya manifestasi, melainkan pada kehidupan yang melalui Kristus dibebaskan dari kuasa Iblis untuk melayani dan menyembah Dia.

Page 40: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Bab Delapan Badai Dihardik

Kadang dinding ruangan kecil di rumah kami kelihatannya seperti mengembang karena penuh sesaknya orang yang berkumpul di dalamnya. Pada musim semi tahun 1982, rumah kecil kami yang disesaki dengan tuaian baru seperti gudang penyimpanan rumput pada musim panen gandum dipisah-pisahkan dan digantikan dengan fasilitas yang baru. Di dalam bangunan yang baru terdapat satu ruang kebaktian yang besarnya hampir lima kali lipat dari pada yang dahulu. Ruangan baru ini belum rampung benar, tetapi karena kami tidak memiliki tempat lagi untuk beribadah, kami mengadakan kebaktian di sana. Pelayanan pelepasan telah memberikan kami sudut pandang baru yang cerah dalam pemberitaan Injil di Batu Ampar. Kami dapat melihat bagaiman iblis menghadang saudara-saudara seiman kami pada setiap langkah kehidupan mereka sebagai orang yang ditetapkan bagi Kerajaan Allah. Walaupun seseorang telah membuka hatinya bagi Yesus Kristus, iblis akan terus mencoba menghalanginya untuk bertumbuh dewasa melalui roh-roh setan yang telah lama tertanam di dalam kehidupan mereka yang lampau. Melalui kelemahan fisik dan “kejiwaan”, melalui kekebalan terhadap hal-hal rohani yang dipupuk selama tak terhitung berapa generasi yang lampau dalam kegelapan., iblis akan terus menghalangi pertumbuhan mereka dalam pengertian dan di dalam kebangkitan hidup yang tersedia bagi mereka. Iblis akan menghalangi mereka Dipenuhi Roh Kudus yakni syarat utama untuk menjalani kehidupan yang layak akan panggilan surgawi dan menjadi saksi Yesus Kristus. Kami merasa bahwa apabila saudara seiman kami ingin menjadi pengikut Kristus sama seperti kami mengikut Dia, pertama-tama mereka harus dibebaskan dari roh-roh jahat yang melekat erat pada mereka. Hampir tanpa kecuali, mereka semua memiliki latar belakang kuasa gelap yang panjang, yang artinya mereka semua perlu pelepasan. Di Amerika Serikat, kita dinasehati dengan bijak untuk tidak mencari-cari setan di balik semak. Sebagian besar orang Amerika dibesarkan dalam budaya kristen dan pada umumnya tidak banyak mewariskan akibat-akibat keterlibatan dalam praktek sihir dan kuasa gelap. Akan tetapi, mereka yang dibesarkan di tempat dimana Injil belum pernah diberitakan, dimana roh-roh jahat bahkan disembah, mereka dipenuhi oleh roh-roh tersebut. Demikian juga, kita yang menyembah Allah yang hidup akan dipenuhi oleh Roh Allah. Pada suatu hari Minggu pagi, kami berencana untuk membuka tipuan iblis pada khotbah hari Minggu. Pada akhir khotbah itu, kami akan berdoa pelepasan massal untuk setiap orang dalam kebaktian tersebut. Selama minggu itu, sebelum hari Minggu tiba, saya berdoa dan berpuasa dengan sungguh-sungguh agar kuasa Roh Kudus akan dimanifestasikan di tengah-tengah kami. Kami berdoa agar urapan Tuhan turun atas kami sehingga kami dapat mengusir iblis dari dalam semua orang di kebaktian itu sekaligus. Di Batu Ampar, salah satu faktor yang dapat menyebabkan kekacauan pada kehadiran jemaat di hari Minggu pagi adalah cuaca. Hujan pada hari Minggu pagi akan mengurangi kehadiran jemaat sampai setengah atau lebih. Hujan deras dan angin kencang, yang bisa menyerang tiba-tiba khususnya pada musim hujan, biasanya akan mengacaukan kebaktian bahkan sampai sepersepuluh dari partisipasi normal. Di daerah kami, beberapa jemaat tinggal di tempat pemotongan kayu lepas pantai. Mereka harus naik “taksi air” yang tidak nyaman untuk bisa sampai ke kota. Kendaraan ini lambat, agak mahal dan sulit untuk naik dan turun, apalagi untuk orang tua dan wanita yang membawa bayi dan anak kecil. Selama hujan turun, naik dan turun kapal semacam itu bukan hanya menyusahkan namun juga sangat berbahaya. Orang harus mengangkat payung sambil membawa anak-anak dan berjalan dengan hati-hati sekali agar tidak terpeleset sambil naik ke dermaga dari perahu. Setelah sampai di pelabuhan, masih harus berjalan lagi kira-kira 250 meter di atas lumpur yang licin untuk sampai ke rumah kami.

Page 41: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Hujan di Batu Ampar bisa menjadi alasan yang kuat bagi setiap orang yang berakal sehat untuk tidak ke datang ke gereja. Hari Minggu pagi itu, lapisan awan gelap yang cukup tebal menutup matahari dari cakrawala sampai ke cakrawala. Dua jam sebelum kebaktian dimulai, angin mulai berhembus. Langit menjadi semakin gelap dan hujan rintik-rintik mulai turun di sekujur kota dengan angin yang bertambah kencang pada saat ini. Iblis tidak mau saya mengadakan kebaktian ini, kata saya kepada diri sendiri. Ia tidak mau ditelanjangi di hadapan umatNya, ia tidak mau cengkeramannya yang tersisa di dalam hidup mereka dipatahkan. Iblis berada di balik cuaca buruk ini, kesimpulan saya. Saya meminta Tuhan menghentikan badai demi umatNya yang membutuhkan Firman Tuhan. Yesus pernah menghardik angin, hujan dan ombak dan semuanya menjadi tenang. Di dalam namaNya, saya juga akan melakukan hal serupa. “Di dalam nama Yesus Kristus,” saya berbicara dengan keras sambil memandang langit melalui jendela, “Saya menghardik engkau penguasa Batu Ampar. Saya ikat kamu di dalam nama Yesus Kristus. Kamu tidak dapat menghalangi umat Allah berkumpul dan menyembahNya hari ini.” Dengan terus memandang ke langit, saya melanjutkan, “Hujan, saya perintahkan kamu untuk berhenti membasahi Batu Ampar di dalam nama Yesus Kristus. Angin, saya perintahkan kamu untuk meniup pergi semua awan badai ini, pergi dari Batu Ampar.” Selama beberapa menit, saya terus berbicara kepada angin dan hujan. Tidak terjadi apa-apa. Tidak ada tanda-tanda badai akan mereda. Saya berkata-kata lagi, dan terus berbicara selama beberapa menit. Kemudian, saya berlutut mencari kehendak Tuhan mengenai kebaktian dan Firman yang akan saya bagikan kepada jemaat. Ketika saya melihat ke atas beberapa menit kemudian, angin telah berhenti dan hujan juga telah reda. Masih ada waktu satu jam sebelum kebaktian dimulai dan saya tahu jemaat akan datang. Pada kebaktian pagi itu, Tuhan mencurahkan anugerahNya dan memanifestasikan kuasaNya atas roh-roh jahat. Sewaktu saya berdiri di mimbar dan memerintahkan setan yang berhubungan dengan penyembahan berhala, sihir dan perdukunan agar meninggalkan umat Allah, roh-roh jahat keluar dan pergi. “Ibu Ami, pernahkah kamu mendengar tentang seorang pria dan wanita dari Amerika yang mengajarkan agama asing di sini? Mereka mengatakan bahwa Tuhan mereka tidak suka akan perbuatan jahat dan penyembahan berhala dan ilah-ilah di tempat ini. Mereka bilang hanya Tuhan merekalah Tuhan yang benar dan Ia dapat membawa kita ke surga.” “Omong kosong,” jawab ibu Ami dengan penuh sinis. “Ilah yang benar adalah ilah-ilah yang kita kenal. Kita sudah mengenal mereka sejak jaman leluhur kita. Agama itu tak ada gunanya. Apa sih yang baik dari itu? Tetapi ilah kami itu nyata, mereka dapat memberkati kita, melindungi kita dan menyembuhkan kita apabila kita sakit. Lihat, saya bahkan menyembuhkan orang sakit dengan kuasa mereka.” Saya sebenarnya berharap ilah-ilah saya dapat menyembuhkan saya, keluhnya setelah sahabatnya pergi. Dengan perlahan saudari Ami berbaring di atas kasur usang yang diletakkan di atas lantai kamar tidurnya yang merupakan tempat tidur baginya dan suaminya. Sambil melihat ke langit-langit, ia memandangi kamar mungil yang kosong dimana ia tinggal selama setahun terakhir. Pada malam hari, ia tidur di sana bersama suaminya dan anak perempuannya yang berusia sebelas tahun. Setelah mereka menghabiskan semua harta mereka untuk mengobati penyakitnya, mereka terpaksa tinggal di gubuk yang menyedihkan ini. Tidak lebih dari tiga meter lebarnya, ada “ruang tamu” kecil yang menghadap ke depan, bagian belakang yang sudah kumuh dan usang dipakai untuk memasak dan ruang tidur diapit di tengah. Gubuk itu begitu panas; Seng yang melapisi atap rumah itu banyak sekali menyerap sinar matahari dan meneruskan hawa panas ke bagian bawah, membuat rumah itu seperti tungku panasnya. Tubuhnya… sudah seperti tengkorak berbalut kulit. Penyakitnya, apapun itu namanya, telah menggerogoti tubuhnya. Sulit baginya untuk bangkit dan berbelanja untuk memberi makan keluarganya. Penyakitnya mulai menyerang tubuhnya beberapa tahun yang lalu, dan semakin memburuk. Suaminya telah mencoba setiap jenis dukun yang dapat mereka temui. Kini uang mereka

Page 42: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

sudah ludes. Suaminya sudah menyerah dan tidak berharap lagi akan kesembuhannya. Paling tidak ia tidak meninggalkan istrinya untuk mati sendiri. Dengan sukarela ia mengambil alih semua tugas rumah tangga. Ibu Ami teringat kembali ketiga anaknya yang meninggal karena sakit baru-baru ini. Dimanapun mereka, pikirnya, ia kini akan menyusul mereka. Tidak ada harapan. Kesedihan tiba-tiba melandanya ia menangis tersedu-sedu. Seperti seorang anak yang tangisannya tidak didengar oleh ibu yang mencampakkannya, ia menangisi dirinya sampai tertidur. “Ibu Ami, Ibu Ami, apakah ibu ada di rumah?” Ia terbangun, sayup-sayup ia mendengar namanya dipanggil. “Ibu Ami, Ibu Ami! Halo!” Matanya terbuka. “Ya?” jawabnya dengan lemah. “Ini saya, A Bak So. Bolehkah saya masuk sebentar?” “Ya, silahkan masuk.” “Ibu Ami bangkit dan bersandar di siku tangannya sewaktu A Bak So masuk ke dalam ruangannya. A Bak So adalah saudara jauh ibu Ami; saudara perempuannya menikah dengan kakak dari suami ibu Ami. “Bagaimana kabarmu, ibu Ami?” tanya A Bak So dengan lirih. A Bak So menderita gondok, oleh sebab itu suara normal perempuannya agak terpengaruh. “Tidak terlalu baik, A Bak So. Tubuh saya terasa lemah hari ini…” ia mengerang dengan putus asa. “Ibu Ami, kamu sudah sakit bertahun-tahun. Tidak ada yang sanggup menolong ibu. Ada orang baru di Batu Ampar yang mungkin dapat melakukan sesuatu. Tahukah ibu pasangan yang dari Amerika itu? Mereka mengajarkan tentang Tuhan yang lain yang namaNya Yesus Kristus…” Suatu sore, ketika kami akan memulai kebaktian di rumah Chinso, seorang percaya yang baru, datanglah seorang ibu yang kami tidak pernah lihat sebelumnya. Ia sangat kurus dan lemah. Ia duduk lalu kami mulai kebaktiannya, kami beritakan tentang pengharapan kekal yang Tuhan berikan kepada kita di dalam AnakNya yang kekasih. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Pada akhir kebaktian itu, ia berterima kasih kepada kami lalu pulang. Selama beberapa minggu berikutnya, ia terus datang dengan setia dan mendengarkan Injil. Mingu demi minggu, mulai kelihatan ada perubahan sedikit, matanya mulai bersinar, senyum yang disertai pengharapan. Akhirnya, suatu hari ia datang kepada kami dan memberitahu kami bahwa ia ingin mengikut Yesus Kristus dan dibaptis air. Baptisan di Batu Ampar paling tidak ortodoks. Karena kami tidak memiliki fasilitas sebagaiman gereja-gereja di Barat, terpaksa kami melakukan beberapa improvisasi yang berani dengan mengabaikan tradisi. Tidak ada sungai dekat Batu Ampar, yang ada hanya pelabuhan yang kotor. Kami membutuhkan kolam baptisan. Akan tetapi, pada saat itu kami tidak punya gereja, apalagi kolam baptisan. Kami mencari-cari tempat tampungan besar yang dapat menampung air dan menyelamkan tubuh seorang dewasa dengan aman. Satu-satunya benda yang memenuhi kriteria ini adalah drum berukuran lima puluh lima galon yang lazim kami temui di Batu Ampar. Drum besar itu biasanya dipakai untuk menampung bensin, minyak, solar dan minyak tanah yang dikirim dari Pontianak. Setelah itu, biasanya orang memakainya untuk menampung air. Kami punya beberapa drum ini untuk menampung air mandi dan untuk mencuci. Salah satunya digunakan untuk kebaktian sore itu untuk baptisan ibu Ami di rumah kami. Malam itu, ibu Ami tiba ditemani oleh sahabatnya A Bak So. Setelah memberi instruksi sebentar, ia siap dibaptis ke dalam kematian Yesus Kristus dengan penuh pengharapan akan kebangkitan hidup yang akan menjadi miliknya. Sebuah bangku kecil diletakkan di sebelah drum. Kami membantunya melangkah ke atas bangku itu dan dari sana ia memanjat ke dalam drum yang telah diisi air setinggi dua pertiganya. Airnya dingin, tetapi ibu Ami berdiri dengan tenang sewaktu saya mendoakan dia. Akhirnya tibalah saatnya, “Di dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus…” Saya

Page 43: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

tumpangkan tangan di atas kepalanya dan menekannya dengan ringan ke dalam air. Ibu Ami masuk ke dalam drum dalam posisi jongkok di dalam air. Beberapa detik kemudian saya menepuk bahunya lalu ia bangkit. Selesai sudah. A Bak So membantu ibu Ami ke luar dari drum. Ia masuk ke rumah dan mengganti pakaiannya dengan yang kering yang telah dibawanya. Ketika ia kembali, ia duduk, antusias untuk menerima pelepasan yang tuntas yang telah dijanjikan Tuhan kepadanya. Kami putuskan untuk tidak membuang-buang waktu dalam melayani dia. Dia sudah berpaling dari ilah-ilah yang dia sembah dengan setia sejak masa kanak-kanak, dengan memutuskan untuk mengikut Kristus semenjak saat itu, ia memberi dirinya dibaptis air. Akan tetapi, orang awam sebenarnya sedikit sekali memahami iman Kristen, mereka memang menangkap bahwa begitu seorang melewati baptisan, ia telah membuat ikat janji yang tidak dapat dibatalkan dengan Allah. Dalam pengertian akan hal ini, kami merasa bahwa kami tidak usah menunda-nunda lagi pelepasan bagi saudari kami yang telah diikat oleh iblis selama bertahun-tahun. “Di dalam nama Yesus Kristus, keluar kamu roh-roh jahat!” Biasanya, perlu beberapa menit sebelum manifestasi timbul. Tetapi dalam waktu semenit, ibu Ami mulai memuntahkan sejumlah besar cairan. Cairan itu terus keluar selama beberapa menit sewaktu kami terus berbicara di dalam namaTuhan. Tetapi kelihatannya tidak ada habis-habisnya. Selama kami memerintahkan roh jahat pergi, manifestasi itu terus berlanjut. Hal ini tidaklah mengejutkan karena ibu Ami telah banyak terlibat di dalam penyembahan ilah-ilahnya terdahulu. Kami mulai lelah. Akhirnya, kami selesaikan dan menyuruhnya pulang malam itu. Malam itu memang benar-benar luar biasa bagi ibu Ami. Cairan itu terus keluar bahkan terus menerus keluar sewaktu ia tidur. Yang lebih menarik lagi, ia bermimpi suatu benda seperti kertas melayang-layang di langit dan di kertas itu ia melihat ada namanya tertulis di sana. Mungkinkah itu lambang Kitab Kehidupan Anak Domba di surga? Sepanjang malam itu, ia dipenuhi sukacita yang meluap-luap dan ia mendengar nada-nada pujian yang indah kepada TuhanNya sampai ia tertidur. Mungkinkah itu pujian para malaikat yang bersukacita atas pertobatannya ke dalam hidup dari kematian? Ketika ibu Ami bangun di pagi hari, ia merasa sungguh disegarkan di dalam rohnya. Dan tubuhnya? Kekuatannya telah pulih. Allah telah menyembuhkannya pada malam itu. Di dalam kasihNya yang tidak terselami, Tuhan telah menebus ibu Ami dari kegelapan rohani yang tidak terkira. Semenjak saat itu Tuhah menebus tubuhnya dari segala penyakit. Bukan sampai di situ saja, dalam waktu satu tahun, ibu Ami hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat ia diberi nama Yohanes. Tak lama kemudian, Tuhan memberkati lagi dia dengan bayi laki-laki lagi yang diberi nama Yusuf. Bukan hanya Ia telah menebus tubuh dan jiwanya, Ia bahkan menbus buah kandungannya juga! Dengan bertambahnya pengalaman kami dalam menghadapi roh-roh setan, kami juga semakin dapat membedakan tekanan mana yang disebabkan oleh roh jahat dan yang mana yang disebabkan oleh kondisi fisik semata. Masalah yang disebabkan oleh roh-roh jahat cenderung lebih bersifat “kejiwaan”. Mimpi buruk dan halusinasi, ketakutan yang berlebihan dan kebingungan, bahkan pusing dan sakit kepala kadang merupakan serangan iblis. Hal-hal ini semua merupakan kasus menengah. Di sisi sebaliknya dari spektrum ini, kami mendapati bahwa epilepsi, perilaku yang aneh dan penyakit gila dapat dilacak asalnya dari roh-roh jahat. Menangani hal-hal ini tidaklah mudah. Roh-roh ini berkuasa dan untuk mengusir mereka kita perlu ketekunan dan stamina. Betapa urapan Tuhan yang dibutuhkan oleh hambaNya untuk menengking iblis dengan cepat dan efisien sebagaimana yang Yesus lakukan sewaktu Ia di bumi! Karena waktu dan energi mereka dapat dipakai untuk pelayanan lain Sungguh menarik ketika kami pertama-tama mengusir setan. Ada suatu kegairahan melihat roh-roh jahat tunduk kepada kami secara realistis sewaktu kami mengucapkan nama Tuhan Yesus Kristus. Ada kuasa di dalam nama itu dan terus terang kami menikmati memakai kuasa itu. Mungkin inilah mengapa di Lukas pasal 10 Yesus memperingati murid-muridNya, “Janganlah bersukacita

Page 44: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga.”

Bahkan hikmat dunia mengakui bahayanya memiliki kuasa yang dapat merusak. Bagi kita, manusia, hal ini berlaku bukan hanya di dalam alam politik atau militer namun juga dalam hal kuasa spiritual juga. Setelah dua tahun, pelayanan pelepasan bagi kami menjadi seperti tugas dan bukan sukacita. Kami tidak lagi mendorong orang secara antusias untuk dilayani pelepasan. Pelayanan yang terus menerus seperti ini menguras waktu dan tenaga kami. Hanya jika kami diminta atau jelas-jelas ada kebutuhan untuk pelayanan pelepasan maka kami berusaha mengusir setan-setan. Kami lebih memilih jemaat dibebaskan melalui penyembahan yang diurapi dan pemberitaan Firman. Suatu kali, seorang ibu yang terlibat dalam sihir mulai datang ke kebaktian kami. Pada suatu hari Minggu, roh-roh jahat di dalam dirinya sudah tak tahan lagi dengan hadirat Roh Kudus sewaktu Allah kami ditinggikan. Ia bangkit berdiri dan berlari keluar ke pintu samping. Sambil menaruh tangannya di atas perutnya, ia membungkuk ke tanah dan muntah berkali-kali dengan tekanan yang besar. Roh-roh jahat pasti keluar sewaktu orang mulai bertumbuh dalam iman melalui penyembahan bersama dan mendengarkan Firman Tuhan. Namun seringkali roh setan yang kita lihat di hadapan kita, suka atau tidak suka, harus kita hadapi secara langsung dan harus kita injak-injak. Dalam hal ini Tuhan akan mengirim pertolongan bagi kita. Sewaktu namaNya ditinggikan melalui mujizat, Ia mulai menarik murid-muridNya kepada kami untuk diajarkan melakukan pekerjaan yang serupa. Salah satu muridNya yang bergabung dengan kami adalah saudara Akong dari Biang. Akong tiba di Batu Ampar setelah melalui dua hari perjalanan dengan bus dan perahu dari Biang. Di dalam hatinya ia rindu melayani Tuhan dan sewaktu kami menulis surat kepadanya memintanya untuk bergabung dalam pelayanan di Batu Ampar, ia sangat senang. Kelak Tuhan menyuruhnya melayani berdampingan dengan Asiu yang adalah adik perempuan dari Fukso. Asiu telah memberikan hatinya kepada Yesus. Ibunya, ayahnya dan kakak laki-lakinya juga datang untuk mengakui Yesus sebagai Tuhan. Bagi ibunya, itu merupakan awal yang baru bagi kehidupannya dimana pada ia akhirnya dibebaskan dari ketakutan yang menyiksa dirinya oleh roh-roh yang disembah oleh suaminya dengan tekun selama bertahun-tahun yang lampau. Bagi ayah Asiu, ia ingin bertemu Kristus muka dengan muka Ketika pertama kali mendengar Injil, tubuhnya sudah bertahun-tahun digerogoti oleh penyakit karena kutuk yang ditaruh di atas hidupnya oleh istri pamannya. Ia mengalami stroke yang membuatnya menjadi sangat lemah dan lumpuh sebagian. Ibadahnya yang tekun kepada roh-roh itu telah menghancurkan tubuhnya dan keuangannya. Namun rohnya belum sampai hancur. Saya masih ingat suatu hari pada tahun 1981 ketika Lucille dan saya datang ke rumahnya untuk membagikan tentang Yesus. “Paman, kami datang untuk memberitahu tentang Yesus Kristus, Anak Allah yang diutus ke dunia untuk menyelamatkan kita dari dosa-dosa kita dengan mati di kayu salib,” Lucille memulai percakapan. Ia kemudian meneruskan penjelasan tentang siapa iblis itu, apa yang ia lakukan kepada manusia dan apa yang ia lakukan kepada Paman itu secara pribadi. “Paman sudah menyembah iblis sepanjang hidup paman tanpa menyadarinya dan karena itu iblis dapat melakukan apa saja yang ia kehendaki. Paman sudah setia kepadanya sepanjang hidupmu, tapi lihat apa yang ia lakukan pada paman dan keluarga. Ia menipu dan berusaha menghancurkan hidupmu dengan segala cara yang memungkinkan. Tetapi Yesus dapat menyelamatkan paman dari dia dan Yesus dapat menyembuhkan tubuh paman yang hancur.” Saya melihat padanya dan air mata mulai mengalir deras dari matanya. “Maksud kamu Yesus dapat menyelamatkan saya? Ia dapat menyelamatkan saya dari iblis?” ia bertanya dengan memelas.

Page 45: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

“Ya, Yesus dapat menyelamatkan paman. Paman harus percaya kepadaNya dengan segenap hati dan mengikut Dia selamanya. Tuhan memberi diriNya untuk mati di salib untuk mengambil hukuman yang seharusnya kita tanggung atas dosa-dosa kita.” “Huaaahhhhh!” wajah paman itu mengerut dan ia mulai menangis meraung-raung seperti anak kecil. Air matanya mengalir deras. Saya terkejut. Saya tak pernah sebelumnya reaksi seperti itu terhadap Injil. Pikir saya, mungkin paman ini agak pikun, atau mungkin pikirannya agak terganggu akibat menyembah roh-roh jahat selama bertahun-tahun. “Jangan menangis, paman,” hibur Lucille. “Ada apa? Apa yang paman tangisi?” “Hidup saya sudah tak tertahankan lagi… saya sudah mengalami begitu banyak kesakitan dan kehilangan. Saya tidak dapat ceritakan semuanya kepadamu. Kini kamu katakan bahwa roh yang saya berikan diri saya kepadanya itulah yang menyebabkan saya mengalami semua ini. Oh saya benci dia. Saya benci iblis! Kalau saya bisa pegang lehernya, akan saya cekik dia sampai mati!” Dengan berang paman itu berusaha mencekik sesuatu. Ia berusaha bangkit untuk menyerang si iblis. “Paman tidak bisa melawan iblis dengan cara seperti itu,” Lucille menjelaskan dengan lemah lembut. “Ia bukan darah dan daging. Ia adalah roh. Satu-satunya cara untuk mengalahkannya adalah dengan memberikan diri kita kepada Yesus yang telah menghancurkan dia.” Paman itu menjadi tenang. “Apakah Yesus benar-benar dapat menyelamatkan saya?” “Iya paman, ia dapat menyelamatkanmu jika paman sungguh-sungguh percaya kepadanya,” Lucille meyakinkan dia. Paman kemudian menutup matanya kembali dengan keras seperti menahan sakit. Lagi-lagi dari kedalaman jiwanya keluar tangisan yang sangat memilukan, sangat gamblang sampai-sampai saya ingin berpaling rasnya karena malu. Lalu saya mengerti. Tak ada seorangpun yang dapat memahami siksaan yang telah paman itu derita di dunia ini. Kini dia menyadari bahwa semua kesengsaraan yang ia alami itu sebenarnya tidak perlu ia alami. Kalu saja ia menyembah Tuhan yang benar, kalau saja ia mengikut Yesus sepanjang tahun-tahun itu dan bukannya si penipu, ia seharusnya tidak mengalami kesakitan itu. Tidak perlu. Penyesalan yang pahit atas hidupnya yang sia-sia membuatnya sangat sedih. Akhirnya saya mengerti. “Tapi pak,” Lucille mengingatkan, “Yesus dapat menyelamatkanmu. Tidak terlambat bagimu. Percaya kepada Dia sekarang. Maukah paman menerima Dia sebagai Juruselamat dan Tuhanmu?” “Ya, ya, saya mau percaya kepadaNya. Yesus, Yesus ampuni saya! Yesus selamatkan saya!!” Paman masih menangis, tapi tangisan keputus-asaan telah berubah kini menjadi seruan dan harapan yang sangat dalam di dalam Tuhan Yesus Kristus. Setelah paman menjadi orang percaya, kami mengunjunginya beberapa kali untuk mendoakan agar Tuhan memulihkan kesehatannya. Tuhan menjamah tubuhnya dan ia kemudian dapat bangkit dan berjalan. Agar ia dapat terus membaik, kami sarankan agar istri dan anaknya membawa dia berjalan-jalan setiap hari. Kami mendorong mereka untuk membawanya ke gereja setiap Minggu. Tetapi keluarganya takut ia tidak dapat tahan duduk sepanjang kebaktian atau ia mungkin dapat mengganggu orang lain di kebaktian. Paman tidak lagi dapat mengontrol buang air besar dan kecil. Hal ini bisa mempermalukannya di gereja. Istrinya sangat sibuk mengganti dan mencuci celana dalam dan pakaiannya yang basah. Mungkin karena inilah istrinya sudah tak kuat lagi membawanya untuk berjalan. Akan tetapi, sekali-sekali paman dibawa ke gereja, ia tidak mengganggu siapapun, ia hanya duduk sambil menangis ketika mendengarkan Firman. Mungkinkah ia rindu untuk pergi bersama Yesus? Kondisi paman semakin merosot. Suatu hari kondisinya menjadi kritis. Keluarganya tidak punya sarana maupun dorongan untuk membawanya ke rumah sakit yang jaraknya satu hari perjalanan ke pantai di Pontianak. Jadi diputuskan bahwa paman dibawa ke rumah kami untuk tinggal bersama kami. Ia ditempatkan di pembaringan buatan dan dibawa ke rumah kami. Saat itu, kami tak punya ruangan yang cocok untuknya. Satu-satunya ruangan yang nyaman bagi dia ialah kamar tidur kami

Page 46: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

dan kamar tidur anak kami Esther yang hampir berusia dua tahun waktu itu. Esther pindah dan tidur bersama kami dan kami persiapkan kamarnya untuk menerima paman. Untuk merawat ayahnya, saudari kami Asiu juga pindah dan menginap bersamanya. Selama beberapa hari, kami menyediakan makanan untuknya dan masuk ke kamarnya berkali-kali untuk mendoakan dia. Ibu Asiu datang siang hari untuk memberi makan, memandikan dan menggantikan bajunya. Sementara Asiu tetap berjaga-jaga di malam hari. Walaupun semua usaha ini telah dilakukan, kondisinya semakin hari semakin memburuk. Ia tidak lagi dapat duduk dan berbicara, komunikasinya dengan dunia luar kini hanya bisa dengan mengerang sambil menahan sakit yang merongrong tubuhnya. Baunya adalah bau kematian. Ruangan tempat paman dibaringkan dipisahkan dengan ruangan kami oleh sebuah pintu dan dinding triplek yang tebalnya 0,3 senti. Dekat langit-langit, ada “dinding” yang terbuat dari kawat untuk sirkulasi udara antara kamar kami dan kamar anak kami Esther. Pada malam hari, kami bisa mendengar suara erangan paman. Sebentar-sebentar, jeritan tak berdaya dan pilu memecah keheningan tidur kami. Kami tidak tahu rasa sakit apa yang ia rasakan, ketakutan apa yang mencengkeran dia, kesepian macam apa yang menteror jiwanya di dalam tubuhnya yang kini seakan menjadi penjara baginya; kami hanya tahu bahwa Allahnya tidak akan pernah mencampakkan dia. Selama beberapa malam pertama, Asiu dengan setia tidur di sebelah ayahnya. Tetapi jeritan-jeritan tiba-tiba di tengah kegelapan malam begitu menakutkan dirinya sehingga ia tidak lagi dapat tidur didekat ayahnya. Pada suatu malam, ketika kami sedang melayani kebaktian rumah di sebuah tempat pemotongan kayu, baru separuh kebaktian berjalan, pembantu kami yang kecil, Kit-Chiang berjalan perlahan-lahan dan memberitahukan kami bahwa kondisi paman sudah sangat kritis. Setelah kebaktian itu, kami buru-buru pulang dan langsung masuk ke kamar paman. Seluruh keluarga telah berkumpul bersama-sama di ruangan itu…. Asiu, ibunya, kakak laki-laki, kakak perempuannya dan suaminya. Saya berlutut di sebelah kasur paman dan melihat padanya. Ia memandang saya dengan memelas. Saya mengulurkan tangan dan memegang tangannya. Tiba-tiba genggamannya menjadi keras, tatapannya berubah menjadi ketakutan dan kebingungan seolah-olah ia merasakan bahwa kematian hampir saja merenggut nyawanya. Tubuhnya bergetar seolah ia merasakan kesakitan dan sejenak kemudian menjadi tenang kembali. Lucille dapat merasakan kehadiran roh kematian di dalam ruangan itu. Kemudian, paman menatap lagi pada saya dengan memelas, seolah saya dapat menolong dia atau meyakinkan dia tentang apa yang akan terjadi. Tiba-tiba secara spontan saya berkata, “Roh kematian, aku ikat engkau di dalam nama Yesus Kristus. Saya tidak ijinkan kamu mengambil hidup paman ini. Tinggalkan ruangan ini di dalam nama Yesus Kristus. Pergi! Dan saya perintahkan kebangkitan hidup dimanifestasikan di dalam tubuh paman di dalam nama Yesus.” Saya mengulang-ulang doa ini. Tetapi kondisi paman terus merosot. Pandangan ketakutan dan kebingungan muncul kembali di wajahnya seolah-olah kematian telah berhasil mencengkeram lebih dalam lagi. Matanya menatap saya seolah memohon lagi . Seolah-oleh ia menaruh kepercayaannya kepada saya. Apa? Menaruh kepercayaannya kepada saya? Siapa saya? Atau saya telah membuat diri saya menjadi siapa? Bahkan pada titik itu, dengan bodohnya saya dalam melihat keadaan sebelumnya, saya tidak berusaha untuk menghibur dan menguatkan paman dalam imannya kepada Yesus Juruselamatnya sebelum ia masuk ke dalam kekekalan. Untuk beberapa alasan saya merasa bahwa penghiburan seperti itu sama saja dengan mengakui kekalahan di pihak saya. Bagaimanapun saya merasa bahwa saya harus terus menengking sampai titik penghabisan si perenggut nyawa yang terus menghantui bapak. Mungkin di surga saja saya bisa mengetahui apa yang seharusnya saya lakukan atau apa kehendak sempurna Allah bagi paman pada saat itu. Tuhan bisa saja memilih untuk tidak menyembuhkan di bumi dan membawa umatNya pulang ke pangkuanNya demi maksudNya sendiri untuk mendapatkan kesembuhan yang lengkap dan sempurna. Paman menjadi semakin lemah dan lemah dan tidak dapat lagi memfokuskan matanya pada saya. Saya lepaskan tangannya dan saya rangkul dia dengan lengan saya sambil terus melawan apa

Page 47: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

yang sebenarnya tidak bisa dilawan. Akhirnya saya menyadari bahwa paman akan meninggal. Mengapa saya terus menengking kematian bahkan pada tahap dimana saya tidak mengerti. Mungkin untuk menonjolkan iman saya di hadapan semua sanak keluarganya. Pada saat ini, paman kelihatannya sudah kehilangan kesadarannya. Badannya kejeng-kejang selama beberapa saat. Pada akhirnya tubuhnya bergoncang untuk terakhir kalinya di dalam rangkulan saya dan pergi menuju ke surga di atas. Hening seketika. Istri paman dan anak-anaknya yang telah berkumpul di sekelilingnya selama ini tahu bahwa ia telah meninggal. Akhirnya, Lucille mengumumkan dengan memecah keheningan, “Paman sudah pulang kepada Tuhan.” Asiu dan keluarganya meraung-raung menangisi ayah mereka. Tetapi akhirnya paman hidup dan sehat bersama Yesus. Seorang yang sakit demikian parahnya melewati beberapa hari dan malam di rumah kami selagi tubuhnya hancur perlahan-lahan. Akhirnya, ia mati di ruangan dimana anak gadis kecil kami bermain dan tidur. Tetapi orang ini adalah saudara kami di dalam Yesus Kristus. Dari mulut ke mulut berita tentang kematian paman tersebar kepada orang percaya yang lain. Ada yang langsung datang untuk menghibur keluarganya, ada yang membantu mempersiapkan penguburan. Fukko, menantu laki-laki paman yang menikah dengan Fukso, mengambil tanggung jawab ini. Ia dan saudaranya Chensuk dari tempat pemotongan kayu membantu mengeluarkan jenazah paman dari kamar Esther ke pelataran di bagian depan rumah yang baru selesai separuh. Di sana mereka menempatkan dua kursi gereja berhadapan dan meletakkan jenazah di atasnya lalu menutupnya dengan kain lebar. Lucille menyuruh kamar Esther di sikat dengan cairan antiseptik sampai bersih dan tempat tidurnya dipindahkan kembali ke tempat dimana paman tidur di sana sebelumnya. Di daerah seperti Batu Ampar, tidak ada yayasan yang mengurus kematian dan penguburan. Orang yang meninggal harus diurus secepatnya. Jadi penguburan akan dilakukan keesokan paginya. Peti jenazah yang terbuat dari kayu berwarna gelap mirip dengan peti Mesir kuno di bawa ke dalam rumah. Istri paman dan putra sulungnya telah membeli peti itu beberapa bulan yang lalu. Fukko menemukan sebuah ember plastik dan mengisinya dengan air. Ia membasahi beberapa handuk yang kami berikan padanya lalu ia dan Chensuk melap tubuh paman dari kepala sampai kaki. Kelihatannya ini seperti tindakan penghormatan dan bukannya persiapan penguburan. Kemeja, celana panjang dan sepatu paman yang terbaik dibawa dan dikenakan pada tubuhnya. Sewaktu semuanya telah selesai, jam menunjukkan lewat tengah malam. Fukko dan Chensuk menarik bangku gereja dan segera tertidur pulas di atasnya sambil menunggui jenazah paman. Keesokan paginya, diiringi oleh sekumpulan kecil penduduk kota, kami mengangkat peti jenazah dan membawanya ke pekuburan yang jaraknya kira-kira hampir satu kilometer di luar kota. Di sana kami menguburkan tubuh paman.

Page 48: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Bab Sembilan Panggilan Elisa

Karena mahalnya biaya berobat dengan dukun, A Bak akhirnya menyimpulkan bahwa A Sia, putranya, terpaksa harus hidup dengan penyakit fisiknya. A Bak memutuskan hal ini ketika ia diberitahu oleh istrinya, A Bak So, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar dukun mengobati putranya. “Berapa yang dia minta?” tanya A Bak kepada istrinya, pikirnya ia pasti salah mendengar ucapan istrinya pertama kali. “Dukun itu minta bayaran 250 dolar untuk mengobati dia,” jawab A Bak So dengan lembut. Suaranya perlahan-lahan menghilang karena penyakit gondok yang dideritanya. “Dua ratus lima puluh dolar untuk mengobati A Sia karena guna-guna yang buat dia pingsan?” Dukun-dukun ini memang lintah darat semua, kata A Bak kepada dirinya sendiri. “Kenapa ia meminta bayaran begitu mahal?” “Yaah…,” jelas A Bak So dengan sabar, “katanya ia perlu membawa persembahan kepada roh-roh di kelenteng. Kita harus membeli daging babi, beberapa ayam, buah dan dupa untuk ia persembahkan. Kemudian, tentu saja, ada bayaran yang besar untuk jasa yang ia berikan.” A Bak kehilangan kesabarannya, suatu hal yang sulit ia jaga. “Jika memang begitu caranya,” katanya dengan berang, “lupakan saja! Kita tidak sanggup. Kita harus hidup dengan masalahnya A Sia.” Masalah di dalam putra sulungnya bukanlah satu-satunya kekhawatiran di dalam pikiran A Bak akhir-akhir ini. Lagi pula, hanya beberapa bulan yang lalu, ketika Kebakaran besar melalap seluruh daerah pasar Batu Ampar, pabrik es A Bak yang kecil ikut terbakar sampai menjadi air. Keadaan sangat sulit. Seorang pemilik toko perkakas menderita kerugian karena kehilangan barang-barang senilai 80.000 dolar . Ada orang-orang yang kehilangan segala-galanya: toko, kedai kopi, tabungan tunai bahkan rumah mereka. Sungguh aneh, kenang A Bak, betapa bagusnya keadaan di tahun 1970-an ketika harga kayu gelondongan di pasar dunia meroket dan modal mengalir seperti air ke Batu Ampar untuk membangun dan menjalankan sepuluh tempat pemotongan kayu lokal. Tempat-tempat pemotongan kayu itu menangguk keuntungan besar, para pekerja datang berbondong-bondong ke Batu Ampar dari seluruh Kalimantan Barat dan bahkan dari propinsi-propinsi lain di Indonesia untuk bekerja di pemotongan-pemotongan kayu itu dan menghabiskan upah gaji mereka untuk makan, minum, sandang dan kesenangan setiap malam di kota. Orang-orang menjadi kaya, pikir A Bak dan saya sendiri juga lumayan dari hasil berjualan es kepada nelayan dan kepada kedai-kedai kopi yang menjamur untuk mendinginkan bir dan gadis-gadis muda untuk menghibur para pekerja pemotongan kayu yang haus. Setiap orang merasakan kemakmuran, bahkan demikian juga halnya dengan para germo, pelacur dan rumah judi ilegal. Polisi tidak menghiraukan, mereka bahkan menyewakan senjata untuk mereka jika mereka dibayar dengan berlimpah. Tetapi sekarang tidak seperti masa lalu, ratapnya. A Bak terpaksa menghabiskan hampir semua sisa uangnya untuk membangun pabrik es yang telah hancur dilalap api. Lagi pula harga kayu gelondongan sudah anjlok, hal ini memaksa pemotongan kayu untuk berhemat dan memberhentikan pekerjanya. Dimana-mana uang menjadi sangat ketat. Tetapi A Bak telah melakukan yang terbaik untuk mendapatkan berkat dari Yang Di atas. Dengan murah hati ia mendukung semua agama-agama setempat, memberi sumbangan kepada kuil di Batu Ampar, memberi sumbangan kepada penyembah berhala Tionghoa dan bahkan membeli lampu press untuk tempat kebaktian orang Kristen. Agama Kristen baru-baru ini masuk ke Batu Ampar melalui sepasang suami istri yang kata orang berasal dari Amerika.

Page 49: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Selama ini saya baik kepada semua orang, kata A Bak kepada dirinya sendiri. Saya telah berjuang dan dalam beberapa hal berhasil. Tetapi lihat apa yang terjadi pada saya. Kami masih bergumul untuk dapat hidup. Apa yang luput dari saya? Apakah ada Tuhan yang sejati? Semua agama-agama ini membuat saya bingung! Pada suatu tengah malam. “A Bak, bangun! Tolong, saya takut!” “A Bak bangun dari tidur lelapnya dan melihat pada istrinya. “Ada apa? Apakah kamu diganggu lagi oleh hal-hal itu?” “Ya, bayangan gelap itu datang lagi. Saya lihat tadi ada di langit-langit. Mereka terus mengikuti saya. Saya takut untuk tidur. Malam demi malam…. Sungguh menakutkan. A Bak saya sudah tidak tahan lagi rasanya hidup begini terus.” A Bak berusaha menenangkan istrinya. “Sebenarnya bayangan-bayangan itu tidak ada. Semua itu tidak benar-benar ada; itu hanya di dalam pikiran kamu saja. Kenapa harus takut?” Walaupun sudah berusaha sebisa-bisanya, A Bak So tidak dapat mengusir rasa takut dan kegelisahan yang terus menggerogoti pikirannya yang waras. Ia tidak dapat menutup matanya sampai secercah sinar fajar terpancar di langit-langit di atas kepalanya. Pagi-pagi sekali, A Bak So harus mengurusi sesuatu di luar kota. Sinar pagi hari membawa harapan baginya dan ia merasa jauh lebih baik sewaktu ia menyusuri jalan di kesejukan fajar yang baru menyingsing. Tiba-tiba, ia merasa ada sesuatu yang menyapu wajahnya, sepertinya ia menerpa sarang laba-laba. Dengan spontan tangannya menampik dan mengusir sarang laba-laba itu, tapi tidak ada sarang laba-laba sebenarnya. Ketakutan mulai timbul lagi di dalam hatinya. Dengan putus asa ia melihat-lihat ke sekeliling. Tidak ada pohon atau kabel di atas tubuhnya sehingga tidak mungkin ada sarang laba-laba yang jatuh ke wajahnya. Oh tidak, jangan lagi! A Bak So terus berjalan karena ia tidak mau menarik perhatian orang. Sarang laba-laba yang tidak terlihat itu terus menyapu wajahnya dan menempel di sana. Tangannya secara otomatis berusaha menyingkirkan sarang tipis itu tetapi ia tidak mendapatkan sesuatu apapun. Sia-sia saja, A Bak So memutuskan, ia akan mengabaikannya saja, tetapi tidak bisa. Sarang laba-laba yang tidak nyata itu menjadi semakin tebal dan menumpuk di wajahnya. Rasanya seperti kena sengatan. Apa sih ini, pikirnya dengan putus asa. Apakah saya sudah jadi gila? Apakah seseorang menaruh kutuk atas saya? Ketika A Bak So kembali ke rumah pagi itu, suaminya ada di pemotongan sedang menservis salah satu mesin diselnya. Mesinnya bekerja dijalankan dua puluh empat jam sehari dan perlu terus menerus diawasi. Apabila terjadi kerusakan maka produksi es batu akan berkurang, begitu juga penghasilan mereka. Agar bisa dekat dengan mesin itu, mereka membangun tempat tinggal di gedung yang sama dimana mesin-mesin itu ditempatkan. Suara bising mesin rasanya membuat telinga tuli. Ketika suaminya kembali dari ruang mesin, A Bak So berseru, “Besok saya mau kembali ke Serukam.” Serukam adalah sebuah rumah sakit missionaris yang jaraknya dua hari perjalanan di utara, rumah sakit itu dikelola oleh pelayanan Baptis Konservatif dari Amerika. “Apa kamu bilang?” A Bak berteriak di tengah-tengah deru suara mesin disel beberapa meter darinya. “Saya bilang, besok saya akan kembali menemui dokter-dokter di Serukam. Gondok saya semakin besar, suara saya semakin hilang dan bayangan-bayangan di malam hari itu membuat saya takut setengah mati. Pagi ini saya merasakan sarang laba-laba lagi di wajah saya. Lebih baik mati saja daripada menanggung semua ini!” Pada suatu sore, ibu Asiu tergopoh-gopoh datang melalui pintu depan, ia mencari Lucille. “Bu Guru, menantu perempuan saya sedang mengalami kesulitan bersalin. Bayinya tidak mau keluar. Tolong cepat datang!” “Siapa yang sekarang mengurusi di sana, Bibi?” tanya Lucille meminta informasi.

Page 50: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

“Dukun beranak. Kami tidak bisa mendapatkan bidan; ia sedang sibuk mengurusi persalinan yang lain. Jadi kami tak punya pilihan lain kecuali memanggil ibu dukun itu.” Bagus sekali, keluh Lucille di dalam hatinya. Banyak orang di daerah seperti Batu Ampar lazimnya memanggil dukun beranak untuk membantu persalinan, karena mereka merasa membutuhkan kecakapan khusus. Lucille pernah mendengar cerita-cerita menyeramkan mengenai persalinan dan sambil mengikuti Bibi itu ke luar rumah, ia berpikir apa yang akan di saksikannya di sana. Sepuluh menit kemudian, Bibi menuntun Lucille ke dalam rumahnya dekat pasar. Mereka masuk ke kamar tidur dimana Lucille disambut dengan pemandangan yang tidak biasa. Menantu perempuan Bibi, Asok, sedang berbaring di ranjangnya dalam posisi melahirkan. Seorang ibu tetangga, Chinso, berlutut di samping tempat tidur dekat kepala. Sambil menempelkan kepalanya pada kepala Asok, tangannya diletakkan di perut Asok yang buncit. Seorang ibu lagi yang berwajah gelap berdiri di antara kaki Asok sambil memberikan intruksi sekali-sekali kepada Chinso. Ia adalah dukun beranak itu. “Sekarang dorong. Dorong yang keras. Kita harus mengeluarkan bayi ini dari kandungan sebelum ia hilang di dalam. Ayo dorong!” Lucille tercengang melihat Chinso mulai mendorong bayi yang masih di dalam kandungan, berusaha mendorongnya ke jalan lahir. Tidak! Bukan begitu caranya, ia berseru di dalam hati. Cara seperti itu bisa membunuh ibu dan bayinya. Bayinya belum keluar karena memang belum waktunya keluar! Lucille pernah membaca beberapa buku sewaktu mempersiapkan kelahiran anak pertama kami, Esther. Pengetahuan itu dan pengalamannya sewaktu melahirkan Esther memberinya sedikit pengertian tentang persalinan normal. Apa yang sedang ia saksikan sudah pasti bukan bagian dari persalinan normal! Lucille melihat kain panjang yang diikatkan seperti selempang di tubuh ibunya. Kain itu diikat begitu kuat persis di atas di mana bayi berada. “Bibi, apa itu?” ia berseru. “Itu untuk mencegah agar bayi tidak kembali masuk ke dalam rahim, guru. Bayinya bisa naik dan hilang di sana jika kita tidak mengikatnya dengan kain selempang itu. Malah ikatan itu akan memaksa bayi turun ke bawah.” Lagi-lagi Lucille mengawasi tak berdaya ketika ibu dukun itu memberi perintah untuk mendorong perut Asok. Lagi-lagi Chinso mendorong bayi yang segan itu di dalam. Tidak ada yang terjadi. Lucille tahu tidak ada yang akan terjadi kecuali jalan lahirnya sudah mengalami pembukaan penuh yang membuat bayi dapat keluar melaluinya. Kasihan ibu itu! Kasihan bayi itu! Akhirnya Lucille tak bisa menahan lagi, “Stop! Stop! Bukan begitu caranya. Tolong berhenti. Bayinya tidak mau keluar karena memang belum waktunya keluar!” Jawab bibi, “Guru, harap tenang. Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan. Biar ibu dukun ini yang mengurus. Ia tahu apa yang ia lakukan.” Lucille menelan semua protes selanjutnya dan berdiri saja dengan tenang sambil melihat kesusahan itu terus berlanjut. Tetapi ketika semua dorongan itu gagal mengeluarkan bayi itu dari kandungannya, akhirnya ibu dukun itu menyerah dan meninggalkan kamar tidur itu dan duduk di dapur untuk beristirahat sejenak. Lucille mengikutinya keluar. “Saya sudah membantu persalinan lima ratus bayi,” dengan angkuhnya ia menjelaskan pada Lucille, berusaha memalingkan perhatian dari Asok yang sedang mengerang karena kesakitan di ruangan sebelah. Tetapi ia tidak menceritakan bahwa mungkin separuh dari bayi yang ia bantu lahirkan meninggal dalam waktu beberapa hari. Setelah bayi lahir, ia biasa memotong tali pusar bayi dengan gunting yang berkarat. Tetanus akan segera membunu bayi yang baru lahir itu dalam waktu beberapa hari.

Page 51: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Selama lebih dari satu jam, keduanya menunggu di dapur. Ketika mereka dipanggil kembali ke dalam ruangan, akhirnya tiba waktunya bayi itu lahir. Tanpa didorong dan ditekan, tetapi pada waktu yang ditetapkan oleh Tuhan, bayi itu keluar, bayi laki-laki. Tali pusarnya melilit dan tertarik, dan bayi yang baru lahir itu diletakkan, tanpa dibalut apapun, di atas lantai kayu di sudut ruangan. Ketika plasentanya tidak bisa keluar dengan segera, ibu dukun itu naik ke atas ranjang dan berdiri di atas Asok. Sambil membungkuk ia memegang tali pusar dengan satu tangan dan dengan tangan lain menekan perut Asok yang masih lemah itu, lalu ia mulai menarik tali pusar dengan sekuat tenaga. Asok mulai menjerit karena kesakitan luar biasa. “Bibi, apa yang sedang ia lakukan?” ujar Lucille dalam ketakutan dan prihatin. “Mereka harus mengeluarkan plasentanya dengan cepat sebelum hilang di dalam, guru.” Jawab bibi memberi keterangan. “Ada wanita-wanita yang meninggal karena plasentanya tidak segera keluar. Itulah sebabnya kita harus menariknya keluar dengan paksa.” Lucille menatap dengan penuh ketakutan sewaktu ibu dukun itu memasukkan jari-jarinya ke dalam perut Asok dan mulai meremas dinding perut yang masih rapuh itu sambil terus menarik-narik tali pusar dengan tangan yang satunya. Ia mulai melihat mengapa begitu banyak wanita meninggal ketika melahirkan. Mereka mengalami pendarahan sampai mati ketika plasenta dirobek dengan paksa dari rahimnya oleh penjagal macam ini. Kini tangannya menekan dengan keras perut Asok, seolah menekan benda yang tidak mau keluar. Ia kembali menguras dan meremas daging yang lembut seolah ingin mencopot plasenta dari tempatnya di kandungan. Sementara itu, tangannya yang lain terus menarik-narik tali pusar dengan tekad membuatnya copot. “Guru, Guru, tolong suruh dia berhenti! Tolong! Saya tidak kuat lagi! Tolong suruh dia berhenti!” Kesakitan yang dirasakan Asok sudah di luar batas yang dapat dipahami. Lucille tidak bisa tinggal diam lagi. “STOP! STOP! Dia bisa mati! Jika kamu menarik plasenta dengan paksa seperti itu, rahimnya akan robek dan ia akan mengalami pendarahan di dalam rahim sampai mati! Kamu harus berhenti! Tetapi permohonan Lucille dan teriakan Asok tidak dihiraukan oleh ibu dukun itu yang terus saja melanjutkan pekerjaannya seperti robot yang tak punya perasaan. Akhirnya plasenta itu lepas dan keluar. Tangisan Asok mereda. Lucille meminta permisi keluar dan pergi, hatinya serasa diiris-iris. “Saya tak akan biarkan hal seperti ini terjadi lagi,” ia bersumpah di dalam hatinya dalam perjalanan pulang. Seperti yang diperkirakan Lucille, Asok mulai mengalami pendarahan dahsyat. Tekanan darahnya turun drastis. Ibu dukun itu tentu saja tidak dapat berbuat apa-apa. Ibu bidan yang pada saat ini telah kembali dari persalinan yang lain dipanggil datang. Ia datang dan melihat kondisi Asok yang kritis, ia memanggil tenaga medis. Setelah diinfus beberapa kantong, tekanan darah Asok menjadi normal. Pada akhirnya ia pulih kembali. Puji Tuhan. Suatu sore ketika A Bak So kembali ke Batu Ampar dari rumah sakit missionaris di Serukam, ia sangat lelah. Perjalanan empat jam dari rumah sakit di dalam angkutan kota yang sumpek dan penuh sesak ke Pontianak, dilanjutkan dengan empat jam dengan angkutan perahu. Sewaktu perahu panjang itu merapat di sepanjang sisi pelabuhan, ia memutuskan untuk tidak terburu-buru turun berdesak-desakan. Perahu itu panjang, tidak lebar, tidak stabil dan sering terbalik tanpa banyak diutak-atik. Perahu itu terbuat dari kayu dan memiliki mesin ganda berkekuatan lima puluh tenaga kuda. Kadang-kadang enam puluh orang berjejalan di atas perahu itu, duduk di atas berpuluh-puluh tempat duduk kayu yang berjejer melebar di perahu seperti layaknya penumpang bus. Di tengah-tengahnya tidak ada lorong, tidak ada sandaran untuk punggung, tidak ada busa, hanya papan yang keras dan tidak ada tempat berselonjor kaki di antara penumpang yang satu dengan yang lainnya. Jika kapalnya penuh, perjalanan itu sungguh menyengsarakan. Karena tempat duduknya dipasang kira-kira 35 senti tingginya dari dasar perahu, penumpang seperti jongkok dan bukan duduk. Setelah beberapa jam dalam posisi tubuh seperti itu, lutut, paha, pantat dan punggung akan terasa kaku dan sakit. Yang lebih

Page 52: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

parah lagi, penumpang tidak bisa berdiri untuk merenggangkan tubuhnya karena terpasang tenda plastik beberapa puluh senti di atas kepala mereka untuk menolak hujan dan panas matahari. A Bak So lega ketika ia tiba pada akhirnya dan ia bisa menunggu sedikit lebih lama sambil membiarkan penumpang berdesak-desakan turun ke dermaga. Penumpang yang tidak begitu sabar dan lincah langsung memanjat naik ke luar tepi kapal dan seperti pemain sirkus yang berjalan dia atas tali, mereka turun dari kapal. Akhirnya, tinggal beberapa penumpang di dalam perahu, A Bak So berdiri dengan tasnya, ia melangkah dari dalam tenda plastik,dengan hati-hati ia berjalan ke depan, melangkah melalui barisan bangku-bangku. Dari kejauhan ia dapat mendengar suara bising mesin disel yang mengaung terus menerus di dalam pabrik es. Sewaktu A Bak So melangkah ke dalam halaman rumahnya, ia berhenti sejenak di depan ruang mesin. Di dalam ruangan yang gelap dan kotor itu, A Bak suaminya sedang bekerja dengan hanya memakai celana pendek, ia sedang berlutut dan mengotak-atik salah satu mesinnya. Mesin ini berjalan 24 jam sehari sampai mereka rusak. Selain ganti oli dan perawatan, mesin ini tidak beristirahat sama sekali. Jika salah satu dari mesin itu berhenti bekerja, dan itu cukup sering terjadi, A Bak harus menghentikan semua yang ia sedang lakukan, memeriksa masalahnya apa dan memperbaiki mesin agar bisa bekerja kembali. Mesin yang rusak berarti produksi berkurang dan itu berarti pemasukan juga berkurang. A Bak So menarik nafas panjang dan masuk ke dalam rumah. Satu jam kemudian, A Bak So sudah mandi dan sedang beristirahat dari perjalanannya. A Bak masuk, Tangannya hitam dan muka serta tubuhnya belepotan dengan oli dan kotoran dari mesin. “Saya tidak lihat kamu datang tadi,” katanya, “mesin tua itu rusak lagi. Saya rasa kita harus beli yang baru. Saya tidak tahu dari mana kita bisa mendapatkan uangnya. Semuanya begitu sulit semenjak kebakaran itu. Apa yang dikatakan oleh dokter di Serukam mengenai gondok kamu itu?” “Dokter bilang tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mengobati ini,” jawab A Bak So. “Tapi ia bilang Tuhanlah yang menyembuhkan dan tidak ada yang mustahil bagi Dia.” “Tuhan?” jawab A Bak sambil mengernyitkan alisnya. “Tapi kita kan sudah mencoba banyak tuhan, baik untuk maslaah kamu dan A Sia. Apakah yang dimaksud dokter itu Tuhan yang diajarkan oleh guru Amerika itu kepada orang-orang, Tuhan yang disebut Yesus Kristus? Bagaimana dengan bayangan dan sarang laba-laba yang selama ini mengganggu kamu…. Apa yang dikatakan dokter?” “Ia bilang, ‘Berharaplah kepada Yesus Kristus,’” A Bak So menjawab dengan lembut, berharap agar pengharapan itu timbul di dalam hatinya. “Dialah satu-satunya harapan yang tertinggal, A Bak. Kita sudah coba semuanya yang lain. Saya ingin mencari tahu lebih banyak tentang Yesus Kristus ini.” A Bak So dan A Bak datang kepada kami dan mendengarkan kabar baik. Tuhan membuka hati mereka dan mereka mengakui PutraNya Yesus Kristus sebagai satu-satunya Tuhan dan Juruselamat. Mereka meminta ampun kepada Tuhan atas kepercayaan mereka yang terdahulu kepada ilah-ilah dan mereka menolak semua keterlibatan mereka dalam kepercayaan pada roh-roh. Ketika A Bak So datang untuk didoakan dan dilayani pelepasan dari tekanan fisik dan “kejiwaan”nya, Tuhan menjawab doanya. Gondoknya hilang perlahan-lahan dan suaranya kembali normal. Bayangan-bayangan yang menyiksa di malam hari dan sarang laba-laba yang mengganggunya sudah pergi dan tidak kembali lagi. Tak lama setelah fajar di suatu pagi, A Bak So sudah bangun dan sibuk dengan pekerjaan di rumahnya. Ia melangkah keluar untuk memeriksa pabrik es dimana para pelanggannya akan segera tiba dan mengambil balok-balok es besar. Setelah itu, ia berpikir untuk mampir di pasar dimana ia biasa belanja keperluan sehari-hari. Salah satu petani setempat baru saja memotong sapi malam sebelumnya. A Bak So harus cepat sebelum daging potong pilihan itu habis dibeli orang! Sewaktu ia berjalan di pagi yang sejuk itu, ia merasa sangat bersyukur kepada Bapanya di surga yang telah melepaskan dia dari kegelapan yang pernah ia alami di dalam hidupnya. Ia kini merasakan sukacita

Page 53: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

dan kedamaian di dalam hatinya semenjak mereka memutuskan untuk mengikuti Yesus. A Bak So memandang ke langit dan mengucap syukur kepada Allah di dalam hati. Kota Batu Ampar terletak di antara laut dan tepi gunung yang panjang dan berhutan yang terbentang di sepanjang pantai barat Kalimantan. Gunung Batu Ampar, sebagaimana sebutan kami, mendorong orang-orang untuk membangun rumah dan usaha dekat kakinya karena sumber-sumber mata air pegunungan ada di sana. Air laut asin dan air hujan tidak dapat diandalkan. Akhirnya, kota itu mengembang ke utara dan selatan di sepanjang pantai mengikuti kaki gunung Batu Ampar. Di antara banyak orang yang datang untuk menetap adalah A Bak So dan A Bak. A Bak So memandang ke barat pagi itu ke arah gunung Batu Ampar, ia biasanya melihat di bawah langit suatu pemandangan pegunungan yang tidak asing lagi, ditumbuhi dengan lebat oleh berbagai tanaman dan pepohonan. Tetapi apa yang ia lihat di puncak bukit itu bukanlah pohon-pohon dan semak belantara, melainkan sesuatu yang sangat tidak biasa sehingga ia hampir-hampir tak percaya akan apa yang dilihat oleh matanya. Sesuatu di puncak itu bercahaya dengan cemerlang. Itu bukanlah matahari, pikirnya, karena matahari baru saja terbit di ufuk timur di seberang cakrawala, dan bukan pula pantulan matahari pagi dari sesuatu di puncak dari pegunungan; kelihatannya itu terlalu besar untuk itu. Sewaktu A Bak So memperhatikan, ia melihat bahwa benda itu berbentuk sebuah rumah. Tentu saja bukan rumah yang bangunannya terdiri dari kayu, beton, besi baja atau bahan-bahan bangunan lainnya yang pernah dilihatnya. Rumah itu hanya terdiri dari unsur SINAR saja… itu adalah rumah terang di puncak bukit! Selama beberapa menit ia menatap dengan tercengang. Tiba-tiba ia mendengar suara pegawainya di belakangnya, seorang bernama Ali, yang sedang sibuk mengangkut balok-balok es keluar dari mesin es ke halaman rumah. Ia menghampiri Ali. “Ali, coba lihat itu. Apakah kamu melihat sesuatu di atas sana?” A Bak So menunjuk ke pegunungan. Ali berdiri setelah menaruk balok-balok es dan ia melihat. “Tidak, bu, saya tidak lihat apa-apa.” “Di atas sana, Ali, di puncak bukit. Tidakkah kamu lihat ada benda yang bersinar-sinar di atas sana?” kembali Ali melihat dengan terpaksa. “Tidak, bu, saya hanya lihat bukit, itu saja.” A Bak So berterima kasih kepada Ali, ia mengutusnya kembali bekerja. Ia tidak tahu apa yang harus dipikirkan. Ia melihat sekali lagi. Benda itu masih ada, memancarkan kemuliaan surgawi. Lalu, beberapa saat kemudian, benda itu hilang. Tidak ada apa-apa lagi kecuali pepohonan yang lebat di puncak bukit itu yang masih kelihatan. Selama kira-kira lima menit, A Bak So telah melihat sesuatu yang bukan dari dunia ini. “Guru, apa yang tadi saya lihat itu?” A Bak So yang merasa penasaran atas kejadian itu mampir ke rumah kami sore itu dan menceirtakan apa yang telah dilihatnya. Saya tidak pernah mendengar yang seperti itu sebelumnya. Sepertinya A Bak So telah mendapat suatu penglihatan. Tetapi saya tidak mengerti apa artinya itu sampai tiba-tiba saya diingatkan akan apa yang baru saja saya ajarkan pada kebaktian pagi Minggu sebelumnya. Saya membagikan dari I Petrus 2:4-5.

Dan datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi yang dipilih dan dihormat di hadirat Allah. Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah.

Mungkin Tuhan sedang memberitahukan kita bahwa Ia akan membangun suatu rumah rohani di Batu Ampar dan bahwa rumah itu adalah semua orang percaya di Batu Ampar yang Ia telah panggil

Page 54: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

ke dalam KerajaanNya yang kekal. Kita semua akan menjadi imam-imamNya bagi Batu Ampar, “umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.” (I Petrus 2:9) Tetapi terdiri dari apa terang itu? Dan kenapa terang itu diletakkan di puncak bukit? Setelah merenungkannya sejenak, suatu ayat lain muncul, “Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.” (Matius 5:14)

Puji Tuhan! Kami, orang-orang kudus di Batu Ampar adalah rumah terang di puncak bukit itu. Dan jika penafsiran saya tepat, Tuhan sedang merencanakan untuk memakai kami untuk memancarkan kemuliaanNya ke seluruh Batu Ampar!. Pada suatu pagi menjelang siang di hari Sabtu ketika A Bak duduk di dapurnya yang gelap dan hanya bercahaya remang sambil membaca Alkitabnya. Ia mulai membaca ayat-ayat di dalamnya. Deru mesin disel Yanmar yang tak putus-putusnya di pabrik esnya dekat rumahnya memenuhi ruangan itu tetapi kelihatannya tidak mengganggunya sama sekali. Bertahun-tahun ia terbiasa mendengar suara bising itu sehingga ia kebal dibuatnya. Sesaat kemudian ia menutup Alkitabnya dan menutup matanya. “A Bak, besok pada pukul lima sore kamu akan melihat kuasa Allah.” A Bak membuka matanya. Suara nyata yang didengar telinganya itu begitu jelas di tengah-tengah bisingnya deru mesin di sebelah. Ia melihat-lihat ke sekeliling tetapi tidak melihat siapapun. Siapa yang baru saja berbicara? A Bak mulai menyadari bahwa tidak seorangpun yang berbicara padanya, tetapi suara itu adalah suara supranatural. Apakah Tuhan baru saja berbicara kepadanya? Atau malaikat? Atau suatu makhluk supranatural lainnya? A Bak tidak yakin akan hal itu. Tetapi ia memutuskan untuk melangkah dengan iman kepada Allahnya. “Guru, tolong ceritakan kesaksian ini pada akhir kebaktian untuk dan atas nama saya.” A Bak datang kepada saya keesokan harinya beberapa menit sebelum kebaktian Minggu pagi kami. Ia melanjutkan dengan menceritakan apa yang ia alami pagi sebelumnya. Saya mendengarkan dengan penuh minat. “Kamu ingin saya bersaksi kepada saudara-saudara seiman tentang apa yang kamu dengar? Apa kamu yakin?” Walaupun saya juga antusias mengenai apa yang dialami oleh A Bak, akan tetapi saya juga tahu bahwa hanya berdasarkan suara audibel supranatural saja kita tidak dapat menyimpulkan bahwa suara itu berasal dari Tuhan. Isi dari pesan itu sendiri tidak berlawanan dengan Firman Tuhan, tetapi bukankah lebih aman jika kita menunggu saja sampai jam lima sore itu untuk melihat apa yang akan terjadi? Jika sesuatu benar-benar terjadi, maka kita dapat memberikan kesaksian. Bagaimana jika tidak ada sesuatu yang terjadi? “Ya,” jawab A Bak dengan tenang dan yakin, “tolong bagikan itu dengan saudara-saudara seiman pada akhir kebaktian.” Saya kagum akan keberaniannya dan pada saat itu hatinya merasa lega karena permintaannya dikabulkan. “Saudara-saudara seiman,” saya mengumumkan pada akhir kebaktian pagi itu, “kemarin pagi, saudara kita A Bak mendengar suara yang ia percaya itu suara Tuhan. Suara itu memberitahu padanya bahwa pada pukul lima sore ini ia akan melihat kuasa Allah.” Setelah itu kebaktian dibubarkan. Di tengah-tengah sore hari itu, A Bak dan beberapa jemaat lainnya memutuskan untuk mengunjungi sebuah keluarga. Beberapa saat sebelum jam lima sore, A Bak, A Kong dan beberapa saudara lainnya berkumpul bersama dan menetapkan ke mana tujuan kunjungan mereka. A Bak sudah lupa akan janji temunya dengan Tuhan jam lima sore. Keluarga itu menerima mereka dengan hangat dan mempersilahkan mereka masuk. A Bak sedang membagikan tentang Tuhan Yesus ketika tiba-tiba ada sinar yang terang sekali masuk ke dalam ruangan itu sehingga semua yang lain jadi tidak kelihatan. Karena terang yang luar biasa itu, ia berteriak keras di hadapan pendengarnya yang terheran-heran lalu ia jatuh berlutut menyembah Tuhannya. Teman-temannya yang lain tidak melihat sinar itu namun mereka juga segera berlutut dan berdoa. Sore itu, A Bak seperti rasul Paulus dalam

Page 55: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

perjalanan ke Damaskus dipilih oleh Allah yang Maha Tinggi untuk menjadi hambaNya. Dengan senang hati ia menerima panggilannya yang mulia untuk memberitakan nama Yesus Kristus kepada orang-orang yang hidup dalam kegelapan.

Pada tengah hari bolong aku melihat di tengah jalan itu cahaya yang lebih terang dari pada cahaya matahari, turun dari langit meliputi aku dan teman-teman seperjalananku. Kami semua rebah ke tanah dan aku mendengar suatu suara yang mengatakan kepadaku dalam bahasa Ibrani: Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku? Sukar bagimu menendang ke galah rangsang. Tetapi aku menjawab: Siapa Engkau, Tuhan? Kata Tuhan: Akulah Yesus, yang kauaniaya itu. Tetapi sekarang, bangunlah dan berdirilah. Aku menampakkan diri kepadamu untuk menetapkan engkau menjadi pelayan dan saksi tentang segala sesuatu yang telah kaulihat dari pada-Ku dan tentang apa yang akan Kuperlihatkan kepadamu nanti. Aku akan mengasingkan engkau dari bangsa ini dan dari bangsa-bangsa lain. Dan Aku akan mengutus engkau kepada mereka, untuk membuka mata mereka, supaya mereka berbalik dari kegelapan kepada terang dan dari kuasa Iblis kepada Allah, supaya mereka oleh iman mereka kepada-Ku memperoleh pengampunan dosa dan mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang yang dikuduskan. (Kisah Rasul 26:13-18)

Sewaktu A Bak berlutut dan berdoa di lantai, salah satu temannya melihat makhluk-makhluk seperti malaikat di ruangan itu. Nama temannya itu adalah Karel. Karel berasal dari ujung utara pulau Sulawesi, namun karena ayahnya berada dalam kemiliteran, mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya sewaktu ia bertumbuh dewasa, akhirnya mereka menetap di Jakarta. Karel memberontak terhadap orangtuanya sehingga ayahnya yang hancur hati meninggal dunia. Ia sangat tertarik pada hal-hal mistik, iapun akhirnya mencapai gelar paranormal, ia mengklaim bahwa salah satu pejabat pemerintah yang sangat tinggi adalah kliennya. Karena Karel melalui ilmu hitamnya dapat mempengaruhi pola cuaca di suatu tempat, para pejabat biasanya bertanya dengannya mengenai rencana perjalanannya. Di ujung jarinya ia menyimpan sembilan ratus sembilan puluh sembilan roh, Karel dapat mempertontonkan kemampuan supranatural yang sangat hebat dan menjadi ketua lingkaran kelompok preman. Pernah suatu kali ia ditangkap oleh polisi karena kriminalitas yang ia lakukan. Karel dibawa ke satu ruangan dimana tangan dan kakinya diikat ke meja. Tak lama kemudian, seorang perwira polisi yang tinggi masuk dengan membawa pentungan kayu. Dengan ganasnya ia ingin sekali menyiksa Karel yang terikat tak berdaya di hadapannya. Ia mengayunkan alat pemukulnya itu tinggi-tinggi dan menghantam tubuh Karel dengan sekuat tenaganya. “Aoouuw!!” perwira itu berteriak sambil menjatuhkan alat pemukulnya dan mengerang kesakitan dan terheran-heran. Karel berbaring dengan tenangnya di atas meja. Ia memakai “ilmu kebal” nya yang membuat tubuhnya tidak bisa terluka. Kini kemampuan Karel yang lebih tinggi dipakai, ia mengembalikan serangan kepada musuhnya, suatu jenis ilmu voo-doo. Karena tidak ingin terintimidasi di hadapan rekan-rekannya, perwira itu kembali mengayunkan pemukulnya dan menyerang Karel lagi. Lagi-lagi ia menemukan bahwa ia tidak membuat Karel kesakitan melainkan dirinya sendiri. Setelah mencoba beberapa kali, perwira malang itu menyerah, ia pergi dengan kesakitan dan malu. Karel dilepaskan dari meja itu dan dibawa ke sel yang tidak berjendela. Tidak lama setelah itu, iapun bebas berkeliaran lagi di jalan-jalan di Jakarta. Itu bukan karena polisi memutuskan untuk membebaskan dia, mereka bahkan tidak tahu ia sudah tak lagi berada di dalam selnya. Pintunya masih terkunci. Karel menghilang begitu saja dari selnya.

Page 56: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Demikianlah Petrus ditahan di dalam penjara. Tetapi jemaat dengan tekun mendoakannya kepada Allah. Pada malam sebelum Herodes hendak menghadapkannya kepada orang banyak, Petrus tidur di antara dua orang prajurit, terbelenggu dengan dua rantai. Selain itu prajurit-prajurit pengawal sedang berkawal di muka pintu. Tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan dekat Petrus dan cahaya bersinar dalam ruang itu. Malaikat itu menepuk Petrus untuk membangunkannya, katanya: "Bangunlah segera!" Maka gugurlah rantai itu dari tangan Petrus. Lalu kata malaikat itu kepadanya: "Ikatlah pinggangmu dan kenakanlah sepatumu!" Iapun berbuat demikian. Lalu malaikat itu berkata kepadanya: "Kenakanlah jubahmu dan ikutlah aku!" Lalu ia mengikuti malaikat itu ke luar dan ia tidak tahu, bahwa apa yang dilakukan malaikat itu sungguh-sungguh terjadi, sangkanya ia melihat suatu penglihatan. Setelah mereka melalui tempat kawal pertama dan tempat kawal kedua, sampailah mereka ke pintu gerbang besi yang menuju ke kota. Pintu itu terbuka dengan sendirinya bagi mereka. Sesudah tiba di luar, mereka berjalan sampai ke ujung jalan, dan tiba-tiba malaikat itu meninggalkan dia. Dan setelah sadar akan dirinya, Petrus berkata: "Sekarang tahulah aku benar-benar bahwa Tuhan telah menyuruh malaikat-Nya dan menyelamatkan aku dari tangan Herodes dan dari segala sesuatu yang diharapkan orang Yahudi." (Kisah Rasul 12:5-11)

Seperti ahli-ahli sihir Firaun, para dukun di zaman modern juga meniru mujizat-mujizat Allah sampai pada batas tertentu. Kadang-kadang Karel bisa membeli barang-barang bukan dengan uang tetapi dengan daun pohon. Pedagangnya melihat daun-daun yang diberikan Karel bukan sebagai yang sebenarnya, tetapi sebagai uang rupiah. Setelah Karel pergi, daunnya akan kembali menjadi daun lagi. Sekali lagi, sudah terbukti bahwa iblis adalah pemalsu ulung, karena di Keluaran 4:11 Allah berkata kepada Musa, “TUHAN berfirman kepadanya: ‘Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta; bukankah Aku, yakni TUHAN?’”

Karel memiliki persekutuan yang intim dengan roh-roh yang ia pakai dan juga memakainya. Sering kali, mereka muncul di hadapannya dalam wujud manusia. Mereka muncul baik sebagai perempuan maupun laki-laki dan bercakap-cakap dengannnya sama seperti manusia berbicara satu sama lain. Salah satu roh yang memakai nama seorang wanita yang telah meninggal yang dahulunya menjalani kehidupan sangat berdosa seringkali mendatangi Karel sebagai wanita yang sangat cantik. Ia “mencintai” Karel dan ingin agar Karel menikahinya! Tetapi Karel menolaknya dengan bijak, ia tahu akibat-akibat yang mungkin ia derita dari hubungan semacam itu. Ia tahu bahwa ia bisa dengan mudah muncul di hadapannya dalam bentuk ular atau dalam bentuk wanita penggoda. Ada laki-laki yang tidak begitu pintar. Karel menceritakan kepada kami bahwa ada orang tertentu yang bersetubuh dengan dengan roh, wanita itu mengandung dan melahirkan keturunan. Keturunan ini, tentu saja, tidak memiliki darah dan daging tetapi dapat muncul dalam wujud manusia. Kejadian seperti itu kedengarannya sulit dipercaya. Kejadian pasal 6 mungkin menceritakan hal-hal semacam itu, walaupun ada berbagai penafsiran dari ayat-ayat tersebut.

Ketika manusia itu mulai bertambah banyak jumlahnya di muka bumi, dan bagi mereka lahir anak-anak perempuan, maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka. Berfirmanlah TUHAN: "Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia, karena manusia itu adalah daging, tetapi umurnya akan seratus dua puluh tahun saja." Pada waktu itu orang-orang raksasa ada di bumi, dan juga pada waktu sesudahnya, ketika anak-anak Allah menghampiri anak-anak perempuan manusia, dan perempuan-perempuan itu melahirkan

Page 57: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

anak bagi mereka; inilah orang-orang yang gagah perkasa di zaman purbakala, orang-orang yang kenamaan. Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata. (Kejadian 6:1-5)

Setelah menjalani kehidupan yang sangat bobrok, termasuk melukai orang-orang yang berusaha membagikan Injil dengannya – Karel benci nama Yesus Kristus – ia berjanji ingin bunuh diri. Ia tidak bisa lagi menanggung siksaan yang terus menerus di dalam jiwanya. Tetapi Karel diselamatkan ketika Yesus menampakkan diri kepadanya ketika ia sedang berusaha bunuh diri, Yesus memanggilnya untuk bertobat dan memberitakan kabar baik. Karel tiba di Batu Ampar pada suatu hari di musim semi tahun 1982. Ia membagikan kepada kami mengenai kehidupan masa lampaunya dan menjelaskan betapa besarnya belas kasihan Tuhan kepadanya. Kami bersekutu dengan dia dan mendengarkan ceritanya tentang bagaimana cara-cara sihir di Indonesia. Banyak hal yang ia bagikan mengenai kekuasaan iblis di dalam ilmu hitam membuat kami tercengang. Tetapi kenyataan bahwa Karel yang dahulu adalah murid iblis, kini telah lahir kembali dan menjadi hamba Tuhan yang dahulu ia benci merupakan pernyataan dramatis bahwa kuasa Tuhan jauh lebih besar! Suatu hari Karel berjalan lima kilometer ke pedalaman ke suatu desa yang bernama Selumbuk dimana Injil belum pernah kami bagikan. Di sana ia berhasil menemui orang yang dipilih menjadi menjadi dukun kepala di daerah itu. Karena dia sendiri pernah menjadi dukun, Karel memiliki beban untuk menjangkau mereka yang masih praktek dalam kuasa gelap dan seringkali ia sengaja mencari mereka. Karel memperkenalkan dirinya kepada orang itu, ia bersaksi dengan mulai menceritakan masa lampaunya dan kesaksian pribadinya. Ia menceritakan juga kuasa supranatural , keberhasilan dan pengaruh yang telah ia peroleh di ibu kota Jakarta sebagai seorang dukun. Dukun desa itu sunggguh terkesan akan apa yang dicapai Karel. Karel memberitahu dia juga akan keputus-asaan yang merongrong jiwanya dan bagaimana Yesus Kristus menarik dirinya dari kematian dan kehancuran, Yesus bahkan memberikan dirinya sukacita, kedamaian dan kehidupan kekal. Orang itu memahami keputus-asaan yang diceritakan oleh Karel dan hatinya tersentuh melihat apa yang Tuhan lakukan bagi Karel, namun ia masih memiliki beberapa keraguan tentang beberapa pertanyaan penting. “Bagaimana dengan roh-roh yang dahulu kamu layani? Kamu menyangkali mereka dan beralih melayani Yesus Kristus. Tidakkah mereka marah kepadamu? Tidakkah kamu takut mereka akan membunuh kamu cepat atau lambat?” Karena telah sering mendengar pertanyaan ini, Karel sudah siap dengan jawabannya. “memang roh-roh setan itu sangat tidak senang kepada saya. Mereka sungguh-sungguh ingin membunuh saya. Tetapi Tuhan itu jauh lebih besar dari mereka dan Tuhan yang menjaga agar saya tetap aman. Saya adalah anakNya, hambaNya. Tetapi saya harus jujur bahwa memang keadaannya tidak mudah bagi saya. Karena mereka tidak dapat membunuh saya, mereka selalu mencari kesempatan untuk membuat saya jatuh dan menjadi lebih buruk dari sebelumnya.” Bahkan setelah ia berpaling kepada Kristus, roh-roh setan itu masih mendatanginya dan berusaha sekuat tenaga untuk membujuknya agar kembali kepada mereka. Kadang-kadang cobaannya berat sekali. Karena gagal membuat Karel jatuh, mereka menyerang tubuhnya. Sekali-sekali, Karel merasa didorong, diombang-ambingkan sewaktu ia menyusuri tepi jalan, di sebelah saluran air atau pada kendaraan yang sedang melaju ke arahnya. Tidak ada orang di sekitarnya yang telah menyentuh tubuhnya. Paling tidak tidak ada satu manusiapun. Karel juga kadang melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh mata jasmani. Ia dapat melihat setan dalam bentuk aslinya, seringkali buruk rupa dan makhluk-makhluk menyeramkan yang mengintai di dalam bayangan gelap, menunggu kesempatan untuk melakukan kehendak tuan mereka. Tidak mudah dan enak secara jasmani bagi Karel untuk mengikut Yesus Kristus, namun ia merasakan sukacita yang besar dalam membagikan kesaksiannya, dan dukun desa ini kelihatannya tertarik.

Page 58: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

“Apa yang harus saya lakukan untuk mengikut Yesus Kristus?” tanyanya pada Karel. “Kamu harus berpaling sepenuhnya dari penguasa-penguasa kamu sekarang dan membakar habis semua kepunyaanmu yang adalah milik mereka. Kamu harus percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatmu satu-satunya dan percaya kepadaNya di dalam segala sesuatu.” Karel tidak memiliki waktu dan kesabaran untuk berjalan perlahan-lahan ke dalam Kerajaan Allah. Ia harus memutuskan secara tuntas dan bersih dengan hal-hal sebelumnya. Tidak ada pendekatan secara perlahan dan bertahap untuk menyenangkan orang yang hatinya jauh dari Tuhan. Karel terus mendorong orang itu dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya selama beberapa saat. Akhirnya, ia tiba pada keputusan. “Saya rasa saya mau menjadi pengikut Kristus,” katanya. “Puji Tuhan,” sahut Karel dengan lembut. “Maukah kamu membakar benda-bendamu hari ini?” Ada satu ruangan penuh benda-benda okultisme yang harus dibuang seperti: mezbah, besar dan kecil, tongkat dupa besar, benda-benda keramat besar yang tergantung di tembok, pisau belati pemikat, batu berharga besar yang diukir oleh pengukir ahli, gulungan kertas dengan jampi-jampi, begitulah kira-kira beberapa jenisnya. Suatu bayangan berkelebat di mata orang tersebut ketika mendengar usulan Karel itu. “Eh, begini saja, bagaimana kalau besok saja kita bakar benda-benda itu. Saya merasa lebih enak kalau kita tunggu sampai besok saja. Karel berusaha menyembunyikan kekecewaannya. “Lebih baik kita lakukan segera,” jawab Karel, “tetapi besok juga tidak apa-apa.” “Kamu boleh makan malam dulu bersama saya dan keluarga saya dan menginap di sini. Besok pagi kita akan membakar benda-benda itu.” Karel senang menerima keramah-tamahan orang itu. Setelah selesai makan malam, tikar digelar di lantai kayu untuk Karel. Ia meregangkan tubuhnya di atas permukaan keras itu dan berdoa agar tidak di serang oleh nyamuk yang lapar yang sudah siap menerima pendatang baru. Untungnya, ia cepat sekali tertidur lelap. Pada malam itu, bukan hanya nyamuk yang mendatangi Karel tetapi pemilik jiwa yang akan dibawa oleh Karel kepada Kristus datang dengan kemarahan. Ada sesuatu yang berat yang tidak mau terangkat, suatu kegelapan yang dirasakan dan suara-suara yang menuduh dari roh-roh yang dahulu akrab dengannya mengancam untuk melakukan kekerasan dan ia tidak dapat bangun dari mimpi buruk itu. Dengan kesadaran penuh dalam tidur lelapnya, Karel berusaha membuka mulutnya dan memanggil nama Tuhan, tetapi ia tidak dapat bergerak sedikitpun. Ia bangun sebelum fajar dan ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Mimpi buruk yang ia alami bukanlah sekadar mimpi sebagaimana yang dipahami oleh orang dari Barat. Karel merasakan bahwa telah terjadi suatu pergumulan di malam hari mengenai keputusan tuan rumahnya untuk meninggalkan roh-roh yang telah diakrabinya dan berpaling kepada Kristus. “Selamat pagi, Karel.” Karel menengadah dari Alkitab yang sedang dibacanya dan melihat bahwa si dukun itu sedang berdiri di pintu masuk dengan senyum yang tak bersemangat dan mungkin malu di bibirnya. “Apakah tidurmu enak semalam?” “Saya, eh, tidur cukup enak, terima kasih. Bagaimana kabarmu pagi ini? Apakah kamu siap untuk mengikut Yesus Kristus hari ini?” “Guru-guru saya datang mengunjungi saya kemarin malam, kamu tahu kan, roh-roh dari Thailand yang saya pernah ceritakan padamu kemarin. Mereka datang kepada saya dalam mimpi. Mereka bilang jika saya mau meninggalkan mereka dan mengikut Yesus Kristus, tidak apa-apa buat mereka. Tidak masalah. Tetapi mereka bilang saya seharusnya tidak membakar begitu saja semua benda-benda milik mereka. Itu tidak benar. Mereka sarankan kita mengadakan upacara untuk mereka dengan mempersembahkan binatang-binatang untuk mengembalikan benda-benda mereka dengan cara yang benar dan pantas. Mereka benar-benar tidak suka dengan gagasan membakar benda-benda milik mereka. Bahkan mereka katakan bahwa jika benda-benda itu tidak segera dikembalikan kepada mereka dengan cara yang benar, saya harus berhati-hati. Mereka mengancam saya.”

Page 59: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Oh tidak, kata Karel di dalam hati. Saya tahu seharusnya kami tidak menunggu. Iblis tidak menyerahkan hamba-hambanya dengan begitu mudah. “Jadi apa yang kamu mau lakukan?” tanya Karel dengan sungkan. “Saya rasa saya akan melakukan apa yang mereka katakan. Saya masih ingin percaya kepada Yesus Kristus, tetapi saya harus pergi dengan syarat-syarat yang mereka tetapkan. Jika kita mengadakan upacara yang mereka minta maka mereka akan meninggalkan saya. Mereka tidak akan mengganggu saya lagi dan saya dapat mengikut Yesus Kristus tanpa dihalangi oleh mereka. Tetapi jika saya tidak melakukan apa yang mereka katakan, mereka tidak akan meninggalkan saya. Lagi pula saya harus memikirkan keluarga saya,” Dukun itu tahu apa yang dapat dilakukan oleh tuannya. Melalui voodoo ia telah memakai kuasanya untuk melontarkan guna-guna kepada orang-orang. Ada yang mati dengan cara mengenaskan. Tentu saja ia tidak ingin hal-hal seperti itu terjadi pada dirinya! “Tetapi Yesus akan melindungi kamu! Protes Karel. “Allah menciptakan seluruh alam semesta ini melalui dia. Ia jauh lebih besar dari pada tuan-tuanmu itu. Mereka tidak dapat melukai kamu selama kamu berpegang erat pada Yesus!” “Lagipula,” lanjut Karel, “kita tidak bisa datang kepada Yesus menurut persyaratan iblis! Kita hanya bisa datang kepada Yesus sesuai persyaratannya. Dan itu artinya kita memutuskan hubungan kita dengan iblis tanpa syarat, bahkan kita harus memutuskan semua kesepakatan yang pernah kita buat dengannya. Tidak ada permohonan maaf. Tidak ada pesta perpisahan. Hanya pemutusan yang tuntas. Itulah satu-satunya cara kamu bisa dibebaskan dari dia!” Karel tahu bahwa semua itu benar dari pengalamannya sendiri. “Saya… saya rasa saya tidak bisa melakukan hal itu,” jawab orang itu. “Saya takut akan apa yang mereka akan lakukan pada saya dan keluarga saya. Mungkin lebih baik jika saya tidak percaya kepada Yesus Kristus.” Karel berjalan pulang lima kilometer kembali ke Batu Ampar hari itu dengan kecewa. Waktu dan usahanya terbuang sia-sia katanya pada diri sendiri sambil menghela nafas. Ada peperangan tarik menarik yang terjadi ketika seorang berdosa ingin bertobat dan percaya kepada Yesus. Tentu saja, tidak selalu yang kelihatan begitu grafis seperti kasus sang dukun itu. Di ladang misi di negara-negara yang menyembah ilah, konflik antara Injil dan kekuatan iblis bisa jadi sangat nyata kelihatan.

Apabila seorang yang kuat dan yang lengkap bersenjata menjaga rumahnya sendiri, maka amanlah segala miliknya. Tetapi jika seorang yang lebih kuat dari padanya menyerang dan mengalahkannya, maka orang itu akan merampas perlengkapan senjata, yang diandalkannya, dan akan membagi-bagikan rampasannya. (Lukas 11:21-22)

Setan adalah musuh yang bersenjata dan berbahaya. Ia adalah musuh dunia kita. Kita dapat simpulkan bahwa dengan dia tidak ada kemungkinan adanya pembicaraan damai atau rekonsiliasi. Perbedaan kita dengannya benar-benar tidak sebanding. Oleh sebab itu dalam kita menangani dia, sebagai tentara dari perkemahan musuh, kita menyerang dengan kekuatan penuh untuk menyingkirkannya, dengan otoritas yang penuh kuasa kita menyembuhkan yang sakit dan mengusir setan. Sebagaimana yang dikatakan Firman Tuhan, kita menyerang dan menguasai. Demikian juga jika kita dahulu menjadi milik iblis, dan ingin berubah menjadi pengikut Tuhan, kita harus meninggalkan dan menyangkal dia tanpa memberitahu, meminta maaf atau memikirkan perasaan atau kehendaknya dalam hal ini. Jangan membuka kesempatan untuk berdialog atau berkompromi dengan musuh seumur hidup kita ini.

Page 60: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Jika musuh seperti itu berusaha berdialog dengan kita, pasti maksudnya ialah untuk menipu dan mendustai. Ia akan berusaha berdamai agar dapat menipu kita untuk menurunkan kesiagaan sehingga pasukannya dapat menyelinap masuk untuk melumpuhkan kita dari dalam. Inilah sebabnya Karel tidak menyetujui upacara yang diminta oleh penguasa dukun itu. Pertama-tama, mereka menyetujui dengan syarat keputusan orang yang berada di bawah naungannya meninggalkan mereka dan mengikut Yesus. Kita tahu bahwa ini semua diluar jalur sifat-sifat iblis. “Hal itu tidak usah mengherankan, sebab Iblispun menyamar sebagai malaikat Terang.” (II Kor. 11:14). Betapa lebih lagi para anggota keluarganya! Tipuan ada di balik ijin yang ia berikan. Lagipula, jika tuntutan mereka untuk mendapatkan persembahan dipenuhi mereka akan mendapat kesempatan untuk memperkuat cengkeraman mereka pada dukun itu. Setiap kali seorang terlibat dalam kegiatan kuasa gelap, kontrol iblis terhadap orang tersebut terus bertambah kadarnya. Dengan memberikan persembahan kepada setan-setan itu, ia akan membuat dirinya lebih sulit lagi dilepaskan dari iblis. Pertumbuhannya sebagai orang kristen juga akan sangat terhambat. Lagipula, dukun itu harus mendemonstrasikan bahwa ia tidak mempercayai Tuhan melindunginya dari penguasanya yang terdahulu melainkan ia masih begitu takut kepada mereka sehinga harus memberikan mempersembahkan sesuatu. Ketakutan seperti ini memberikan landasan kepada iblis untuk mengalahkan seseorang bahkan setelah ia mengakui akan Yesus Kristus. Kita lihat jika orang itu tetap bersikukuh ingin mempersembahkan sesajen yang dimintanya maka roh-roh setan ini akan terus mengikat dia bahkan setelah ia berpaling kepada Kristus. Sebagaimana yang diinstruksikan oleh Roh Kudus di II Korintus 2:11, kita ingin pastikan bahwa iblis tidak membodohi kita, “sebab kita tahu apa maksudnya.” Roh-roh setan itu tidak melarang dukun itu mengikut Yesus tetapi ia melarangnya membakar ilah-ilahnya dan benda-benda keramatnya. Kenapa? Pembakaran benda-benda itu menunjukkan dengan meyakinkan bahwa penggunanya telah berpaling dari mereka karena jijik dan tidak mau memiliki hubungan apapun lagi dengan mereka, tak peduli berapa mahalnya benda-benda itu. Pertobatan semacam itu mematahkan kuasa iblis dan benda-benda itu atas dirinya. Lagi pula, karena benda-benda itu sudah jadi debu, tidak ada lagi tempat berdiam atau titik kontak bagi setan-setan untuk menjangkau mantan pemujanya itu. Jika mereka tidak dihancurkan secara total, benda itu menjadi jembatan untuk iblis bekerja di dalam hidup mereka sebagai orang percaya baru. Itulah sebabnya.

Banyak juga di antara mereka, yang pernah melakukan sihir, mengumpulkan kitab-kitabnya lalu membakarnya di depan mata semua orang. Nilai kitab-kitab itu ditaksir lima puluh ribu uang perak. (Kisah Rasul 19:19)

Walaupun kejadian ini mengajarkan banyak hal namun kami kecewa dengan hasil akhirnya. Banyak dukun lain di daerah itu yang membutuhkan Kristus. Akan ada kesempatan lain, tetapi, lagi-lagi kami tidak siap dengan api neraka yang akan kami hadapi.

Page 61: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Bab Sepuluh Menari Dengan Para Dukun

Baru saja selesai hujan – salah satu hujan deras di Asia Tenggara kelihatan seperti memeras kering awan-awan. Namun Fukso ingin lebih banyak hujan lagi, hujan yang berbeda. Ia ingin hujan Roh yang lebat melanda setiap bagian tubuhnya yang perlu pentahiran dan penyegaran.

Fukso terdiam lalu bersyukur pada Tuhan untuk hujan fisik itu. Sebab ia telah cukup menampung dua gentong air hujan untuk mencuci pakaian. Sambil cuciannya tergantung kering, ia duduk di bangku dapur kesayangannya. Anak-anak yang lebih besar masih berada di sekolah, Ju Ju di luar bermain dan Afat sedang tidur. Pikirannya menerawang dan berpusat pada kepahitan hidupnya. Semenjak suaminya dipenjarakan karena menjalankan operasi judi kecil-kecilan, ia dan anak-anaknya hampir tidak memiliki apapun untuk hidup.

Ketika suaminya masih di rumah, situasinya pun telah buruk. Fukko, pria Tionghoa yang bernama Indonesia Elias, tidak pernah mengalami keberhasilan dalam pekerjaannya. Dia memiliki pendidikan lebih baik dari masyarakat umum di Batu Ampar, hampir menyelesaikan sekolah menengahnya. Namun karena beberapa alasan, mereka tidak pernah luput dari cengkeraman kemiskinan. Apakah karena ibunya, pikir Fukso, yang sebelumnya pernah menyumpahi mereka pada kuil berhala di kota? Apakah karena cacat tubuh suaminya? Elias lahir tanpa tangan kanan. Orang-orang yang memaksa berjabat tangan dengannya hanya bersentuhan dengan gumpalan daging yang berubah bentuk dalam genggaman mereka. Rambutnya hampir rontok semua. Kesukaannya pada daging babi berlemak membuat badannya gemuk disertai wajah bulat dan montok. Diatas segalanya, penampilan luar suaminya tidak menolongnya mencapai keberhasilan di dunia. Tetapi ia teringat pada hal-hal indah yang akhir-akhir ini terjadi.

Dia merasa sehat begitu ia bebas dari rasa pusing yang telah begitu lama membelenggunya. Tuhan telah membebaskan dia dalam nama Anak-Nya, Yesus Kristus. Hal yang nyata! Ia rindu sekali lebih dekat pada Tuhan yang begitu banyak didengarnya belakangan ini. Kasih dan belas kasihan-Nya, kemuliaan dan keagungan-Nya dikatakan tak terbayangkan…. Betapa ia merindukan yang lebih akan Dia. Akhir-akhir ini, di gereja, Fukko mendengar mengenai Roh Kudus, satu-satunya yang dapat menyingkapkan hal-hal ini padanya selama di dunia ini. Dia mulai berdoa dalam dialek bahasa Cina. Bahasa Indonesia hampir tidak dipahaminya.

“Tuhan, penuhi aku dengan Roh-Mu sehingga aku dapat mengenal-Mu lebih baik, merasakan hadirat dan kemuliaan-Mu. Aku rindu makin dekat pada-Mu dan mengenal kasih-Mu yang dalam…..” Untuk beberapa menit Fukso terus berdoa dengan keinginan kuat terhadap Dia, setelah mengalami rasa sakit dan kekecewaan seumur hidup, sekarang mencari pengharapan dan rasa aman dalam hal-hal yang rohani. Tuhan mengasihinya dan menjawab doanya.

Melodi yang asing muncul dalam dirinya, dan Fukso mulai bernyanyi lagu yang tidak dikenalnya.”Engkau adalah Allah yang mahatinggi, yang menciptakan langit dan bumi, yang pada hari ini telah menyatakan diri-Mu kepada hamba-Mu yang rendah ini…” Kata-kata mengalir dari mulutnya begitu saja, lahir oleh melodi sorgawi yang meluap dari dalam hatinya. Fukso tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi, tetapi saat itu tidak dipikirkannya, karena belum pernah ia mengalami sukacita, damai sejahtera yang begitu rupa disertai hadirat Tuhan Mahatinggi yang lemah lembut. Tidak juga terganggu bahwasanya ia sedang bernyanyi dalam bahasa yang sungguh asing baginya. Fukso, seorang perempuan Tionghoa berpendidikan sekolah Cina dan dibesarkan dalam budaya Cina, sedang bernyanyi dalam bahasa Indonesia yang fasih.

“Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, Karena anggur menimbulkan hawa nafsu,

tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh, dan berkata-katalah seorang kepada yang lain

Page 62: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan denga segenap hati. Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kritus kepada Allah dan Bapa kita.”(Efesus 5:18-20).

Fukso terus menyanyi lagu puji-pujian dan syukur, terhanyut oleh Roh Kudus yang telah

memenuhinya. Begitu indah dan mempesona, melodi-melodi yang bergema melalui jiwanya dan menggugahnya hingga menangis di hadapan Tuhan. Dia terus bernyanyi.

Tok, tok, tok. Tok, tok, tok. Seseorang di luar rumah mengetuk pintu. Lebih dari satu menit orang itu mengetuk, ia tidak mengerti mengapa tak satu orang pun yang menuju ke pintu. Tambahan rasa heran oleh nyanyian yang didengarnya datang dari dalam. Karena dia tahu bahwa istrinya tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik.

Itulah Elias, suami Fukso, yang telah bebas dari penjara setelah habis masa penahanannya. Dia baru saja tiba di depan pintu!

Pulang ke rumah adalah pengalaman yang asing buat Elias. Istrinya berubah. Bahkan anak-anaknya berubah. Setiap kali salah satu dari anak lelakinya melihat dia menyalakan sebatang rokok, anak kecil itu mengernyitkan kening dan mohon pada ayahnya untuk membuangnya. Elias begitu terperangah. Apakah yang telah terjadi? Istrinya menceritakan tentang Yesus Kristus padanya, yang telah menyembuhkan dan memberikan begitu banyak pengharapan baru. Elias berketetapan dia harus mencari tahu mengenai hal ini. Ia mulai pergi ke gereja bersama istrinya. Melihat dan mendengar mengenai mujizat-mujizat yang terjadi dalam nama Tuhan Yesus, Elias menjadi letih. Tuhan sedang bekerja dalam hatinya, beperkara dengan dosa dalam kehidupannya. Dia telah mengakui dosa-dosanya dan meminta Yesus menjadi Tuhan dan Juruselamatnya. Semenjak pulang ke rumah di Batu Ampar dari penjara, ia menemukan dirinya tidak tertarik untuk mencari pekerjaan. Ia ingin melayani Tuhan yang ajaib.

Suatu hari ia mendengar mengenai istri temannya, Chensuk, yang bekerja pada salah satu tempat pemotongan kayu di sana. Istrinya menderita ayan yang parah. Dia memberitahukan kami, dan kami setuju untuk mengunjungi dia dan melayani istrinya. Di sanalah kami menyaksikan langsung kuasa nama Yesus Kristus ketika roh ayan diusir. Elias sungguh tergugah dan mengundang Chen Suk Mai untuk tinggal bersama dia dan istrinya guna pelayanan lebih lanjut. Dia masih membutuhkan banyak doa pelepasan akibat kunjungannya berkali-kali selama bertahun-tahun ke dukun karena sakit ayannya. Lebih dari seminggu, Elias melayaninya siang dan malam, mendukungnya dalam Tuhan dan mengusir keluar banyak roh penyakit di dalam nama Yesus selagi mereka bermanifestasi. Akhirnya dia sembuh. Dalam pelayanan terhadap Chen Suk Mai, Elias merasakan panggilan yang makin kuat untuk melayani sepenuh waktu.

Dengan pernyataan kuasa Tuhan di tengah-tengah kita, masyarakat yang tidak mendapatkan pertolongan di tempat lain datang pada Yesus. Ketika mereka disembuhkan oleh pelayanan dalam nama Tuhan, hati mereka terbuka untuk menerima Injil. Dengan cara ini Tuhan menambahkan jumlah kami sampai ruangan tempat pertemuan kami menjadi sempit untuk menampung mereka. Kami mulai berpikir untuk membongkar rumah yang ada sekarang dan membuat gedung yang lebih besar dengan kapasitas ruangan bagi seratus orang.

Diwaktu yang bersamaan, beberapa saudara merasakan pangilan untuk menyerahkan diri pada pelayanan. Beberapa diantaranya adalah A Bak, Elias, Asiu dan Akong. Melihat langsung otoritas Tuhan atas kuasa musuh dalam mengusir roh jahat, kami semua merasa bersemangat untuk keluar mengabarkan Injil. Lagi pula, tidak satu pun yang tidak dapat dilakukan dalam nama Yesus Kristus.

Di seberang laut pelabuhan Batu Ampar ada sebuah pulau besar, lokasi dari tiga buah fasilitas pemotongan kayu. Sebuah kota bernama Teluk Air diapit oleh dua pemotongan kayu, yang melayani keperluan para buruh. Di salah satu pemotongan kayu ini tinggallah seorang dukun bernama Lo-Ap.

Page 63: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Lo-Ap, yang berarti Bebek Tua, memiliki praktek terbesar di Pengergajian Kayu Hutan Raya. Kami putuskan bahwa dia perlu mendengar Injil.

Suatu pagi, Karel, A Bak, Elias dan saya mengendarai “taksi air” di pelabuhan, bermaksud mengunjungi Lo-Ap di Hutan Raya. Berjarak kurang dari satu mil, tetapi membutuhkan satu setengah jam untuk sebuah perahu diesel berukuran enam atau tujuh tenaga kuda membawa kami sampai tujuan. Kami menaiki dok pemotongan kayu dari arah taksi, membayar ongkos pada seorang pengemudi muda, dan berjalan ke tempat pemotongan kayu

Tempat itu sempit, dibangun khusus untuk keuntungan pemiliknya tanpa mempedulikan kesejahteraan para buruhnya. Kami berjalan melewati gergaji yang besar yang merupakan pusat dari kompleks tersebut. Berjalan lagi, kami melihat berbaris-baris gudang, di mana bilahan kayu yang telah digergaji digeletakkan dan disimpan setelah keluar dari pemotongan. Setiap gudang hanyalah sebuah tempat teduh yang panjang, beberapa mungkin 100 yard panjangnya, terbentuk dari seng aluminium berkarat yang ditunjang oleh beberapa bilahan kayu yang tinggi. Tidak ada dinding yang menutupil. Hanya atap di atas kepala yang menudungi kayu dari matahari dan hujan.

Keluar dari gudang-gudang, kami tiba di kediaman para buruh dengan kondisi yang tak terbayangkan bagi orang barat. Rumah tanpa ada apa-apa, pondok-pondok kayu primitif yang dibangun dengan pemikiran yang tergesa-gesa dan perhitungan ekonomis. Pada umumnya telah berusia tahunan, mulai membusuk oleh terpaan hujan. Di mana-mana ada papan sempit tempat berjalan yang menghubungkan satu pondok dengan yang lain ke dalam komunitas di atas lumpur dan rawa yang bagian bawahnya berbahaya jika ditapaki. Kayu-kayu yang membusuk diganti hanya setelah patah, mungkin setelah orang yang lewat tak menyadarinya lalu terperosok.

Elias menuntun kami ke tempat di mana Lo-Ap mengobati para pasiennya. Ketika kami menapaki bilahan kayu, Karel menengok ke saya dan berkata seperti kenyataannya, ”seekor naga berdiri di sudut rumah itu.”

Saya menoleh dan melihat padanya, berusaha untuk tidak kelihatan tertarik, tanpa mengatakan apa-apa. Saya melihat ke arah yang ditunjuk Karel dan tidak melihat apa-apa.

Semakin dekat, saya melihat pintu yang terbuka. Melaluinya saya melihat meja yang sempit menempel pada dinding. Di sebelah meja, dengan punggung bersandar pada dinding, ada sebuah kursi dapur. Seorang perempuan duduk di sana, melihat ke langi-langit dengan raut wajah tidak sabar. Duduk di meja yang sempit menghadap ke dinding adalah seorang lelaki. Ia berbicara dengan keras, hampir berteriak beberapa kali, dengan nada tinggi suara lelaki yang tidak wajar. Suaranya terdengar tidak sabar and penuh iritasi. Rasa ingin tahu saya timbul, saya mengamatinya lebih dekat. Di bahunya ada sesuatu yang mirip jubah berwarna merah. Di kepalanya terikat sesuatu mirip topi kerucut.

Beberapa saat, saya memandanginya dan mendengarkan dengan heran dan bingung. Elias, yang telah lebih dulu berada di depan ketika saya berhenti, mendatangi dan menjelaskan pada saya.

“Lo-Ap sedang sibuk, guru. Ia ada pasien dan memanggil salah satu dari roh untuk mendiagnosa dan menuliskan pengobatan untuk kondisi si pasien.”

Berusaha untuk tidak terlihat kaget, saya bertanya, ”Dia bicara pada siapa? Dan apa yang dia bicarakan?” Walaupun Lo-Ap bisa berbicara bahasa Indonesia, yang saya juga mengerti, ia berbicara sangat cepat dan menggunakan bahasa pasar setempat.

“Saya pikir ia sedang berbicara pada seorang perempuan. Sebenarnya bukan dia yang berbicara. Roh jahat yang berbicara melalui dia mengenai penyakit si perempuan pasiennya itu.”

“Ehm ehm.” Saya menggumam, mencoba menjaga mulut saya tidak menganga. Kami berempat menyingkir ke tempat yang lebih lebar dari bilahan papan pijakan di mana

sebuah bangku berada di tepian. Saya memandang ke Karel dan menanyakan beberapa pertanyaan mengenai hal yang telah saya lihat. Elias, yang masuk ke rumah tersebut bergegas keluar dengan wajah tidak enak. Ia bersandar pada papan titian dan muntah. Sesuatu terlintas di dalam pikiran saya. Saya pernah melihat reaksi ini sebelumnya ketika berhadapan dengan roh jahat. Apakah Elias telah

Page 64: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

terpengaruh ketika ia masuk ke ruangan tempat roh jahat? Setelah menunggu beberapa menit, seorang pria muncul di depan pintu dan memanggil kami, menyuruh kami masuk. Saya bangkit dan mengikuti yang lain. Di pintu, kami disambut oleh seorang pria yang ramah mempersilahkan kami masuk dengan senyumnya, menyapa saya dengan bahasa Indonesia yang lamban beraksen seperti umumnya orang Tionghoa Kalimantan. Sewaktu saya balas menyapa, saya lihat bahwa dialah Lo-Ap, dukun berjubah merah dengan bahasa Indonesia yang melengking seperti api.

Dukun-dukun di Kalimantan tidak dapat melakukan apa-apa dari diri mereka sendiri. Tetapi ketika roh yang mereka kenal datang merasuk ke dalam diri mereka, mereka bisa menjadi orang yang berbeda suaranya, bahkan berbicara dengan berbeda. Mereka diberikan pengetahuan supranatural mengenai keadaan dan masa lalu orang tersebut. Melalui mereka, roh akan memberikan pengobatan biasanya terdiri dari abu kertas bermantera yang dilumatkan atau, pasien dimandikan dengan abu tersebut. Jimat dibuat dan diberikan pada orang sakit untuk dikenakan di badan. Korban binatang seperti ayam, kain perca, hio/dupa, bahkan rokok bagi dirinya. Bahkan pasien disuruh membaringkan diri di depan si dukun ketka ia dirasuki roh yang dikenalnya.

Lo-Ap mengundang kami untuk duduk, Karel dan saya mulai membagikan Injil padanya. Sepanjang pembicaraan kami dengan dia, tersingkap bahwa dia memiliki sedikit latar belakang kekristenan semasa mudanya.

“Lalu mengapa kamu ada dalam praktek seperti ini?” saya bertanya dengan heran. “Ini bukan ide saya. Saya tidak pernah diajar menjadi dukun. Roh-roh datang dan memaksa

diri saya menjadi tempat tinggal mereka. Maka jadilah saya dukun. Sekarang inilah penghasilan saya juga. Tetapi jujur kata, saya tidak terlalu mempedulikan. Bahkan jika anak-anak saya sendiri sakit, saya tidak meminta petunjuk roh-roh itu. Saya pergi ke dokter.

Pola pikir yang aneh. “Yesus ingin kamu kembali pada-Nya. Ia mengasihimu dan akan mengampuni segala

perbuatanmu jika kamu bertobat dari dosa-dosamu, meninggalkan perdukunan, dan minta Dia menyelamatkanmu…” Melihat keterbukaan hatinya, kami teruskan penginjilan, mendorong dia untuk bertobat. Lo-Ap mendengarkan dengan seksama, tidak menolak kami dengan cara apapun.

“Maukah kamu untuk menerima Yesus sekarang, Lo-Ap?? “Oh, ya, saya rasa mau.” Puji Tuhan! Hampir terlalu mudah. Dukun ini ingin percaya Yesus! “Lo-Ap, apakah kamu mau berdoa pada Yesus sekarang dan minta Dia mengampunimu?”

Inilah cara kami memimpin orang pada Kristus ketika kami menginjili di jalan-jalan di Aneheim…membawa mereka untuk mengambil keputusan dengan cepat dan menuntun mereka berdoa untuk menerima Kristus di tempat.

“Baik, roh yang sedang mengobati perempuan tadi akan kembali beberapa menit dari sekarang. Ini saat dia bekerja secara aktif. Keberatan tidak?”

“Tidak ada masalah,” saya menyakinkan dia. “Sekali kamu mengundang Yesus ke dalam hati, roh itu tidak ingin kembali lagi. Marilah kita berdoa sekarang.”

“Baikklah,” Lo-Ap menjawab dengan lembut, tanpa ragu-ragu. “Bagus. Mari tutup mata, tundukan kepala dan berdoa. Ikuti saya berdoa.” Lo-Ap mengangguk

dan menundukkan kepala. Karel, A Bak dan Elias semua ikut. “Bapa di Sorga,” saya berdoa, “Saya datang pada-Mu dalam nama Anak-Mu Yesus Kristus.” “Bapa di Sorga,” Lo-Ap mengulangi, “Saya datang pada-Mu dalam nama Anak-Mu Yesus

Kristus. “Saya orang berdosa. Saya telah melakukan banyak kekejian di hadapan-Mu.” Lo-Ap

mengulangi kata-kata saya. “Saya bertobat dari dosa-dosa saya dan saya minta Engkau mengampuni saya.” Sekali lagi, Lo-

Ap mengikuti dengan taat.

Page 65: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

“Saya percaya Yesus Kristus adalah Anak-Mu, yang dari Sorga turun menjadi manusia dan mati untuk …..” Sekali lagi, suara gema iman Lo-Ap. Saya teruskan doa, berhenti setiap kalimat untuk diikutinya.

“Ampuni saya dari segala dosa melalui darah Yesus yang tertumpah.” Saya berhenti. Diam. Berpikir bahwa Lo-Ap tidak mendengarkan kalimat yang terakhir, saya ulangi lagi. Masih juga diam. Saya membuka mata.

Kepalanya masih tertunduk, tetapi sesuatu yang aneh terjadi pada tubuhnya, seolah-olah seluruh tubuhnya menjadi tegang. Kemudian kepalanya dengan perlahan terangkat.

“Lo-Ap? Lo-Ap? Kenapa?” Saya melihat padanya. Tetapi manusia itu bukan lagi Lo-Ap. Yang saya lihat adalah ahli Kung-fu dengan gayanya, tangan terbentang dan ke atas, jari-jari mencengkeram siap untuk menyerang. Wajahnya tidak lagi lembut milik Lo-Ap, tetapi penuh dengan gigi yang berjajar terlihat di antara bibirnya yang tertarik ke belakang, alis mata yang bertemu di tengah di atas mata penuh kemarahan, seperti wajah monyet yang marah. Oh tidak! roh monyet Lo-Ap telah kembali!

Yang terjadi setelah itu adalah adegan dua puluh menit film bela diri. Tetapi ini bukan film. Dari postur kungfunya, Lo-Ap tiba-tiba terbang berbalik di udara, jungkir balik ke belakang dan mendarat dengan kakinya. Ini baru pendahuluan, setelah itu masih ada lagi manifestasi. Sambil mendesis dan berbunyi seperti monyet, ia menyerang kami seperti sebuah kendaraan besar. Kami menyingkir dan membalasnya dengan nama Yesus Kristus.

“Dalam nama Yesus Kristus, kami ikat kamu, roh jahat!” kami berteriak. Tidak ada dampak yang langsung. Dia datang pada kami dengan tangan dan kaki yang menendang berputar di udara dengan gerakan Kungfu yang kami kenal. Kepalanya menanduk kami dan kemudian dengan rahang terbuka lebar, menghancurkan dan menggigit. Perhatiannya tertuju pada saya, mungkin karena saya adalah pemimpin dari kelompok yang mencoba menarik jiwa Lo-Ap pada Tuhan. Saya memperhatikan dengan seksama pada gerakan-gerakannya, tidak ingin terpukul atau tergigit. Pikiran saya kosong. Tidak siap menghadapi hal yang sedang terjadi.

“Dalam nama Yesus Kristus, keluar dari dalam dia, kamu roh jahat!” kami terus meneriakkan. Dia mundur dari kami. Kami berempat mengikutinya, maju selagi dia menarik diri. Dia memandangi kami, satu per satu, ketika kami maju, selalu bergumam dan mengerang pada kami. Kemudian dia mengambil sikap menyerang, memaksa kami unuk menyingkir. Kejadian ini berlangsung terus menerus selama beberapa menit. Selama waktu ini, kami terus meneriakkan nama Yesus Kristus, mengikat dan mencoba mengusir roh jahat keluar, sampai suara kami letih dan habis .

Sesuatu kelihatannya menghalangi dia untuk menyerang kami. Dia tidak menyerang dengan menyeruduk seperti banteng untuk melukai kami. Sebaliknya, ia menyerang dan menarik diri kembali, menyerang dan menarik diri lagi. Ia tidak benar-benar lepas kendali seperti orang yang dirasuk roh jahat yang menyerang anak-anak Skewa di Kisah para Rasul 19:13-16:

Juga beberapa tukang jampi Yahudi, yang berjalan keliling di negeri itu, mencoba menyebut nama Tuhan Yesus atas mereka yang kerasukan roh jahat dengan berseru, katanya: “Aku menyumpahi kamu demi nama Yesus yang diberitakan oleh Paulus.” Mereka yang melakukan hal itu ialah tujuh orang anak dari seorang imam kepala Yahudi yang bernama Skewa. Tetapi roh jahat itu menjawab: “Yesus aku kenal, dan Paulus aku ketahui, tetapi kamu, siapakah kamu?” Dan orang yang dirasuk roh jahat itu menerpa mereka dan menggagahi mereka semua dan mengalahkannya, sehingga mereka lari dari rumah orang itu dengan telanjang dan luka-luka.

Page 66: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Ada sesuatu dalam diri kami – Roh Kudus Tuhan – yang tidak mengizinkah roh jahat untuk melompat mengalahkan kami. Tetapi tidak ada yang segera mampu menguasai roh jahat. Bahkan, jika saya tidak dengan sigap mundur beberapa kali, Lo-Ap akan dapat menyerang saya.

Dengan lompatan yang dahsyat, Lo-Ap tiba-tiba melandas pada meja dalam ruangan. Dengan sapuan kakinya, ia menjatuhkan apa saja yang ada di atas meja. Mengarahkan diri pada kami, dia mulai menggosok dadanya persis seperti monyet, dengan teriakan. Kami maju, mengelilingi meja dan mengikat roh jahat dalam nama Tuhan. Tiba-tiba, ia melempar dirinya dari meja kearah saya. Saya tidak cukup gesit bergerak; roh jahat itu benar menangkap saya. Tetapi Elias bergerak cepat melemparkan dirinya ke antara kami berdua dan menghalangi serangan Lo-Ap dengan punggungnya. Dalam kemurkaannya, Lo-Ap mulai menghancurkan apapun yang ditemukan dalam ruangan. Ia membalikkan meja dan kursi, menghancurkan altar, meremukkan gelas dan kaca serta memecahkan benda-benda perdukunan di atas lantai. Kami tercengang melihatnya..

Beberapa saat kemudian, ia rebah di tengah-tengah lantai yang berantakan dalam kelelahannya setelah menjerit marah. Kami berdiri mengelilinginya, tubuh kami bergetar dan pikiran kami buntu.

“Tolonglah pergi. Tolong tinggalkan rumah kami.” Kami melihat seorang pria berdiri di pintu, bercelana pendek. “Saya teman keluarga,” lanjutnya, “dan istri Lo-Ap meminta kalian pergi sekarang. Kalian telah menyebabkan banyak masalah. Membuatnya menghancurkan seluruh ruangan. Dan lihatlah apa yang telah kalian lakukan padanya.”

Kami membisu. Tentunya kami tidak ingin pergi setalah gagal memimpin Lo-Ap pada Kristus, tetapi juga secara tidak langsung ambil bagian dalam kekacauan yang diperbuatnya. Hal ini bukan saja kesaksian buruk pada kelompok kecil yang berkerumun menonton, tetapi juga bagi mereka di tempat pemotongan kayu pasti mendengarnya. Pergi sekarang berarti meninggalkan sesuatu yang belum selesai dan tidak tuntas dimana kami harus bertanggung jawab. Tetapi keluarganya meminta kami segera pergi. Kami bergegas pergi dengan membisu melewati kerumunan. Dalam perjalanan ke rumah di taksi air, tidak seorang pun yang berkata-kata.

Apa yang salah? Apakah kami kurang hikmat dalam pendekatan membagikan Injil pada Lo-Ap? Haruskah kami melakukannya dengan lamban, membagikan sedikit setiap kali dalam beberapa kesempatan? Dan bagaimana pengalaman Karel dengan dukun dari dalam? Apakah hal itu hanyalah drama tarik-menarik jiwa antara kami yang datang dalam nama Yesus dan tuan dari Lo-Ap? Saya tidak mampu menjawab pertanyaan ini sampai puas. Satu hal yang pasti; tidak mudah membawa seorang dukun pada Kristus. Setan tidak dengan mudah menyerahkan hambanya.

Beberapa hari kemudian, istri Lo-Ap datang menemui kami. Suaminya, katanya, telah dibawa oleh roh jahat ke hutan untuk disiksa. Roh itu marah padanya sebab ingin meninggalkan dia dan percaya pada Yesus. Akibatnya, Lo-Ap tidak akan dilepaskan dari hutan sampai kami, para penyebab kejadian itu menyerahkan korban khusus sebagai pendamaian dengan roh yang tersinggung. Istri Lo-Ap memohon kami menyetujui permohonan itu. Walaupun kami peduli terhadap hilangnya suami perempuan ini di hutan, kami katakan dengan tegas tidak mungkin kami memenuhi permintaan dari roh jahat. Ia pun pulang.

Beberapa waktu kemudian, kami dengan Lo-Ap akhirnya kembali dari hutan. Ketika ia mencoba untuk membuka praktek lagi, ia menemukan bahwa banyak dari kemampuannya telah hilang. Roh jahat itu sedih. Akhirnya, Lo-Ap berkemas dan memindahkan keluarganya ke Jakarta.

Kami menemukan bahwa masih perlu banyak belajar. Memenangkan jiwa di kegelapan Kalimantan tidak mudah seperti yang kami pikirkan ketika pertama kali kami bersemangat untuk memenangkan dunia bagi Kristus. Karena tujuan kami bukan menandingi lawan kami, tetapi memenangkan jiwa mereka untuk masuk kerajaan sorga.

Bagi beberapa orang, seperti Pak Nasir orang Jawa yang lembut, Injil Kerajaan ini tidak masuk akal. Ia meminta kami untuk datang dan melayani istrinya yang sakit. Kami mulai dengan menyanyi pujian bagi Tuhan. Pak Nasir terus berpikir: Untuk apa orang-orang ini menyanyi di sini?

Page 67: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Saya minta mereka datang untuk memohon pada Tuhan mereka untuk menyembuhkan istri saya, dan mereka berkerumun di sekelilingnya sambil menyanyi. Sama sekali tidak ada hormat! Mungkin kesulitannya sama dengan Naaman:

Kemudian datanglah Naaman dengan kudanya dan keretanya, lalu berhenti di depan pintu rumah Elisa. Elisa menyuruh seorang suruhan kepadanya mengatakan: “Pergilah mandi tujuh kali dalam sungai Yordan, maka tubuhmu akan pulih kembali, sehingga engkau menjadi tahir.” Teapi pergilah Naaman dengan gusar sambil berkata:”Aku sangka bahwa setidak-tidaknya ia datang ke luar dan berdiri memanggil nama TUHAN, Allahnya, lalu menggerak-gerakkan tangannya di atas tempat penyakit itu dn dengan demikian menyembuhkan penyakit kustaku! Bukankah Abana dan Parpar, sungai-sungai Damsyik, lebih baik dari segala sungai di Israel? Bukankah aku dapat mandi di sana dan menjadi tahir?” Kemudian berpalinglah ia dan pergi dengan panas hati. (2 Raja-raja 5:9-12).

Pak Nasir tidak begitu suka apa yang orang Kristen dari Batu Ampar ini lakukan. Istrinya yang malang menderita pendarahan berbulan-bulan. Mereka menghabiskan banyak uang ke dukun-dukun, tetapi kondisinya semakin memburuk, sampai pendarahannya, menurut kata-kata Pak Nasir, seperti air. Ia menjadi kurus, tidak sanggup bangun, hanya menunggu kematian.

Anak lelakinya, Kemun, terus mendorongnya memanggil para orang Kristen untuk berdoa bagi dia. Kemun telah mendapatkan pengalaman Injil melalui pekerjaannya pada seorang lelaki Tionghoa bernama Akwang yang telah mengenal Kristus. Ia mengetahui Tuhan dapat menolong orang yang berseru kepada-Nya.

Untuk beberapa saat Pak Nasir menolak usulan Kemun. Mereka adalah orang Jawa yang beberapa tahun sebelumnya meninggalkan kampung halaman di Jawa untuk bertransmigrasi ke Kalimantan Barat. Pulau Jawa, dengan sembilan puluh juta orang tinggal di daerah yang sedikit lebih kecil dari Negara bagian New York, sangat padat dibandingkan propinsi seperti Kalimantan. Pemerintah Indonesia mendorong petani Jawa untuk bertransmigrasi ke Kalimantan dengan memberikan insentif seperti tanah gratis, rumah serta bantuan padi dan gula selama setahun. Pak Nasir dan keluarganya bertempat tinggal lima mil jauhnya di luar Batu Ampar pada sebuah desa komunitas pendatang Jawa. Mereka tinggal di tanah yang subur dan berlimpah.

Ketika Kemun memutuskan untuk percaya Injil, Pak Nasir tidak terlalu mempermasalahkan. Lagi pula kekristenan resmi diakui pemerintah. Anak lelakinya sudah cukup dewasa untuk memutuskan bagi dirinya. Tetapi ketika anaknya mengusulkan beberapa orang dari Batu Ampar datang ke rumah untuk berdoa bagi istrinya, itu bukan hal kecil. Pak Nasir adalah seorang yang pemuka masyarakat di komunitasnya, dan urusan demikian akan membuat banyak alis terangkat. Namun, ketika kondisi istrinya memburuk, ia akhirnya menyerah. Kemun diizinkan pergi ke Batu Ampar untuk mencari pertolongan. Waktu itu, Lucille dan saya sedang libur ke Amerika. Seorang pelayan Tuhan suku Jawa bernama Setyo dan istrinya Maria menggantikan kami selama kepergian kami.

Pak Nasir membiarkan pikirannya melayang tentang orang-orang ini selagi mereka berlutut di sekeliling istrinya dengan tangan terangkat ke atas dan mata tertutup, sambil menyanyi,”di kayu salib, di kayu salib, kemuliaanku selamanya, seluruh dosa dihapuskan, oleh darah Yesus ….”

“Bagaimana nyanyian ini dapat membuat istri saya sembuh?” keluh Pak Nasir pada dirinya. Dengan tidak sabar, matanya memandangi mereka satu per satu selagi bernyanyi, berharap mereka berhenti. A Bak sudah tahu. A Bak adalah pemilik pabrik es di kota. Menurut Kemun, lelaki dengan suara tinggi seperti perempuan yang belum pernah ditemuinya namanya Akong. Perempuan, yang ditemuinya sekali sebelum bertemu istrinya, namanya Asiu. Dan pendeta yang ramah serta istrinya

Page 68: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

dari Jawa telah memperkenalkan diri mereka ketika mereka pertama kali bertemu. Tiba-tiba, mereka berhenti menyanyi.

“Bapa di sorga, kami datang dalam nama Yesus,” salah satu dari mereka berdoa,” dan kami minta Engkau menyembuhkan Ibu Nasir sehingga seluruh keluarganya boleh melihat kemuliaan dan kasih-Mu. Lepaskanlah dia dari sakit penyakit sehingga hati mereka terbuka bagi keselamatan yang Engkau ingin berikan melalui Anak-Mu, Yesus Kristus….”

Pada siapa mereka berbicara, pikir Pak Nasir. Dan mengapa mereka tidak membacakan doa dari Kitab Suci mereka? Dan mereka berbicara seolah-olah kenal pribadi dengan Tuhan mereka!

�Dalam nama Yesus Kristus, kami mengikat roh sakit penyakit di dalam Ibu Nasir. Kami perintahkan pendarahan untuk berhenti. Jadilah sembuh dalam nama Yesus!” Sekarang mereka tidak berbicara pada Tuhan mereka lagi, mereka memerintahkan roh jahat yang menyebabkan sakit istri saya! Betapa sombongnya mereka, pikir Pak Nasir. Mengapa roh itu harus mendengarkan mereka? Satu-satunya cara membuat roh itu pergi adalah menenangkannya!�

“Bagaimana rasanya, Ibu?” tanya Asiu, menyapa “Ibu” yang berarti “Nyonya” dalam sapaan tradisi yang sopan.

Untuk pertama kalinya siang itu, senyuman pucat hadir di bibir Ibu Nasir. “Tahukah kalian, ketika kalian berdoa bagi saya, saya merasakan hembusan angin sejuk pada tubuh saya. Dan saya pikir, saya pikir pendarahan itu berhenti.” Itulah nafas Tuhan, krim kesembuhan dari Roh Kudus.

“Puji Tuhan, Ibu Nasir! Puji Tuhan, Ibu Nasir” Tetapi Asiu belum puas pergi begitu saja. “Bisakah Ibu bangkit dan berjalan?”

“Tidak. Akhir-akhir ini terlalu lemah untuk melakukan sesuatu kecuali berbaring di sini.” “Cobalah bangkit sekarang, jika dapat.” Asiu menekankan. Pak Nasir memperhatikan istrinya pertama kali mengangkat kepalanya dari tikar, lalu dalam

posisi duduk (bahkan sebelumnya sangatlah sulit bagi dia). Ia menahan nafasnya ketika Ibu Nasir berdiri, Asiu menolongnya. Sendirian, ia mulai berjalan, mula-mula sangat lambat, tetapi kemudian makin kuat.

“Haleluya! Puji Tuhan!” mereka berseru dengan gembira. Ibu Nasir terus berjalan tegap ke dapur. Beberapa menit kemudian ia kembali dengan beberapa cangkir kopi di baki, dan melayani setiap orang.

Lalu pergilah Yesus dengan orang itu. Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan berdesak-desak di dekat-Nya. Adalah di situ seorang perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan. Ia telah berulang-ulang diobati oleh berbagai tabib, sehingga telah dihabiskannya semua yang ada padanya, namun sama sekali tidak ada faedahnya malah sebaliknya keadaannya makin buruk. Dia sudah mendengar berita-berita tentang Yesus, maka di tengah-tengah orang banyak itu ia mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jubahNya. Sebab katanya:”Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh.” Ketika itu juga berhentilah pendarahannya dan ia merasa, bahwa badannya sudah sembuh dari penyakitnya.(Markus 5:24-29).

Hari itu kekuatan Ibu Nasir dan nafsu makannya mulai meningkat. Berat badannya naik pesat dan pulih dengan sempurna. Pak Nasir bahkan kuatir kalau ia akan terlalu gemuk.

Melalui tanda ajaib, Tuhan membuka pintu bagi dia dan istrinya untuk mendengarkan Injil Yesus Kristus. Oleh belas kasihan dan kasih karunia Tuhan, mereka menjadi pengikut Kristus. Tak lama, mereka dibaptis dalam air, rumah tangga pertama dari komuntas mereka yang menjadi Kristen. Melalui kuasa mujizat yang dahsyat, Tuhan telah memberikan mereka iman dan keberanian untuk mengakui Kristus pada orang-orang di kampung. Tuhan tahu mereka perlu iman untuk berdiri dalam saat-saat yang sulit di masa mendatang.

Page 69: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Bab Sebelas Roh Elisa Atas Seorang Janda

Rumah lama kami dibongkar. Setelah kembali dari liburan tiga bulan di musim semi tahun

1982, kami membayar saudara Akwet untuk merobohkan rumah tua kami, dan membangun bangunan baru yang lebih panjang dan lebih lebar.

Ada ruang pertemuan di lantai dasar bagian depan serta ruang tidur di atas untuk tamu dan para pekerja. Lucille, Esther dan saya tinggal di lantai satu belakang. Saudara kami Akong juga tinggal bersama kami, disamping Kit-Chiang, anak lelaki tanpa ibu yang kami adopsi secara tak resmi.

Walaupun Elias belum lama jadi pengikut Kristus, ia menunjukkan semangat bagi Tuhan dan kerinduan mengabarkan Injil jadi kami putuskan ia bekerja sepenuh waktu bersama kami. Ia dan Akong bekerja satu tim.

Suatu hari, mereka pergi mengunjungi sebuah keluarga di pemotongan kayu terdekat, dikenal dengan nama Bumi Raya. Seorang anak lelaki, mengalami sakit keras. Seorang tetangga Kristen membagikan pada mereka tentang Tuhan, dan mereka setuju untuk menerima kedatangan orang-orang kami.

Ajin dan Asang membuka toko kelontong di rumah milik mereka di pusat pemotongan kayu untuk tambahan gaji Asang yang diterima sebagai pekerja di pemotongan kayu. Mereka memiliki dua anak kecil, Akian yang perempuan dan Irwan adik lelakinya. Akian anak yang normal, tetapi kesehatan Irwan banyak membawa penderitaan bahkan sejak ia dilahirkan. Ketika masih bayi baru belajar jalan, ia terserang polio. Tidak lama setelah itu, ia mulai kena penyakit kulit yang menyebar ke seluruh tubuhnya bahkan ke kulit kepalanya. Cuaca yang panas dan lembab semakin memperburuk kondisinya, sementara gigitan nyamuk membuatnya terus menerus menggaruk siang dan malam. Ajin sibuk melayani pelanggan dan Asang bekerja di pemotongan, Irwan menghabiskan waktu dalam asuhan ibu Asang, Lanyi yang tinggal bersama mereka.

Lanyi, seorang janda usia empat puluhan, ialah penggerak yang tak lelah dalam kata-kata, pikiran dan tindakan. Ia membawa Irwan berobat ke dokter. Ia mengunjungi para dukun, dan kalau mendengar ada cara pengobatan baru, ia akan mencobanya pada Irwan. Ia membawa Irwan keluar kota ke dukun usulan seseorang. Mezbah, berhala, benda keramat dan jimat pemberian para dukun menghiasi dinding rumah mereka. Ia hampir menghabiskan semua dan sejumlah besar uangnya dipakai untuk pengobatan tanpa hasil. Hidupnya, anak lelakinya dan menantunya berputar sekitar mengurus anak lelaki kecil itu. Setiap malam, Irwan menangis dan merengek sampai subuh. Harus ada yang menemani, kalau tidak ia tidak tidur. Setiap malam mereka bertiga bergantian mengayunnya di tempat tidur gantung. Selama dia diayun, ia tidur. Tetapi ketika ayunan itu berhenti ia bangun dan mulai berteriak. Karena tekanan yang begitu rupa dalam menjaga Irwan kecil, ketegangan dan stress hadir di keluarga tersebut.

Tetapi sekarang betapa indahnya kaki orang yang membawa kabar baik! Setelah Elias dan Akong tiba, mereka menjelaskan Injil pada keluarga tersebut. Lanyi mendengarkan dengan seksama, tetapi memohon satu hal. Jika mereka doakan Irwan dan ia dapat tidur malam itu, ia dan seisi rumah akan percaya pada Yesus Kristus. Elias dan Akong dengan gembira menyetujui, yakin dalam nama Yesus roh jahat yang menyiksa Irwan akan diikat malam ini. Mereka mendoakan Irwan dan kemudian pulang.

Malam itu, Irwan tidur dengan nyaman sampai subuh. Lanyi bersukacita. Paginya Elias dan Akong kembali ke Bumi Raya seperti janji mereka. Lanyi sedang menunggu

mereka, siap menerima Yesus. Walaupun ia tidak memiliki pendidikan formal, Lanyi cukup memiliki hikmat. Oleh kasih karunia Tuhan, ia segera menyadari kebenaran Injil. Lanyi mengerti konsep dosa. Ia mengerti pengharapan pada dukun adalah kekejian bagi Tuhan yang menciptakan langit dan bumi.

Page 70: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Hari itu Lanyi menerima Yesus Kristus diikuti oleh Asang dan Ajin. Mereka kumpulkan semua benda yang diresepkan oleh para dukun bagi Irwan, diserahkan pada Elias dan Akong untuk dibakar.

Iman Lanyi tumbuh dengan ketekunannya menghadiri pertemuan ibadah pada Tuhan barunya dan menerima makanan rohani. Ia mendengarkan Firman Tuhan dengan perhatian dan pengertian yang tak tergoyahkan, yang mengherankan ia tidak pernah belajar membaca dan tulis. Kesembuhan Irwan yang terus terjadi beberapa bulan berikutnya juga menumbuhkan benih imannya, karena kebutuhan Irwanlah maka Lanyi datang pada Yesus Kristus.

Penyakit kulit Irwan kering dan sembuh. Ia bisa bangkit dan berjalan dengan berpegangan pada tepian besi. Malam sungguh damai, roh yang menganggu telah diusir. Senyum dan tawa sekali lagi hadir dalam rumah tangga tersebut. Tuhan sungguh baik. Lanyi mulai memberikan kesaksian di pertemuan mengenai Tuhan yang telah menyembuhkan cucunya setelah ia berpaling dari berhala pada Tuhan yang benar.

Suatu hari ketika perayaan tahun baru Imlek, waktu perayaan meriah dan penyembahan berhala, peserta tarian naga mampir dari Batu Ampar ke Bumi Raya. Tarian naga adalah pertunjukan lazim bagi banyak komunitas pecinan, bahkan beberapa gereja Tionghoa, di Amerika juga merayakan Imlek. Banyak yang berpikir itu cuma perayaan budaya Cina yang biasa, tanpa sadar asalnya dari roh jahat. Di Batu Ampar, untuk melakukan tarian naga, para pria harus menyembah roh-roh jahat dan mendapat kekuatan dari roh tersebut. Hanya ketika roh memasuki tubuh mereka maka mereka dapat menari dengan leluasa.

Setiap tahun para penari naga mulai pada satu titik di Batu Ampar dan berpawai ke bagian lain, berhenti pada setiap rumah keluarga Tionghoa untuk meminta persembahan bagi ilah mereka. Sebagian dari persembahan yang diterima diberikan kepada para anggota penari. Biasanya mereka tidak pusing masuk ke rumah keluarga yang mereka tahu adalah orang Kristen. Seorang Kristen bisa dengan mudah menutup pintu depan ketika mendengarnya datang, Suara genderang yang aneh dari pawai berhala mudah dikenal.

Mungkin tanpa sengaja, mungkin tidak, pawai naga masuk ke rumah Irwan. Asang tidak pusing untuk menutup pintu . Tiba-tiba, mereka sudah berada di dalam toko. Asang merasa muak, tetapi sopan-santunnya tidak mau mengecewakan para pengunjung. Ia cepat-cepat mengambil lima ratus rupiah dan memberikan pada mereka. Mereka pergi, dan Asang lega.

Kebetulan atau tidak, Irwan jatuh sakit hari itu. Ia menjadi sangat lemah dan tidak mau makan. Bebarapa hari dia berada dalam kondisi yang demikian walaupun telah didoakan berkali-kali. Akhirnya, Lucille, Lanyi dan saya membawanya ke rumah sakit di Pontianak di mana dia dirawat. Ia dijagai neneknya siang dan malam, tidur di tikar samping tempat tidurnya. Ketika diakhir minggu ia membaik, dokter mengizinkannya pulang.

Dalam beberapa hari kepulangannya di Bumi Raya, keadaan Irwan menjadi buruk. Lanyi masih yakin bahwa Tuhan dapat menyembuhkan cucunya. Ia membawanya tinggal

beserta kami di gereja. Kami memberikannya ruang belajar yang luas di atas, tetapi dia menolak, ia pilih tinggal di bawah di mana lebih sejuk. Ia memilih tempat kami beribadah, persis di belakang mimbar khotbah. Siang Lanyi menjaganya dan malam ia tidur di sisinya. Banyak doa yang dinaikan untuk dia, khususnya oleh para pekerja yang sering datang berkunjung. Namun, kondisi Irwan makin buruk. Salah satu sisi tubuhnya tidak dapat digerakkan. Sesekali ia kejang. Namun, iman Lanyi tidak pernah goyah.

Akhirnya, Sabtu malam, Lucille merasakan beban berat untuk Irwan. Seolah-olah ada roh kematian yang hadir di atasnya. Rasa kuatir yang menggigit merebak di dalam hati Lucille. Beberapa kali kami membawa orang yang sakit parah tinggal bersama kami. Beberapa dengan ajaib disembuhkan Tuhan. Yang lain, seperti ayah Asiu meninggal. Ada sesuatu yang mengganggu dengan kehadiran jasad di rumah. Jasad orang mati tidak terlalu menakutkan – kami tidak takut akan jasad yang bangun lagi seperti zombie ditengah kegelapan, seperti yang ditakuti orang-orang yang belum

Page 71: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

percaya di Batu Ampar– melainkan, roh kematian yang mengerikan dan menjijikan hadir di rumah, khususnya di malam hari. Tetapi karena mereka tidak ada tempat, kemana lagi orang-orang percaya dapat membawa mereka yang hampir mati dan telah mati, kecuali ke rumah kami? Kami, yang memberitakan kasih Tuhan, Tuhan orang hidup dan mati, tidak menolak mereka.

Yang lebih mengganggu dari roh kematian di rumah kami adalah reaksi masyarakat orang tidak percaya terhadap kematian orang percaya. Injil yang kami beritakan memanggil orang bertobat dari dosa dan perzinahan, dan keselamatan hanya datang melalui Yesus Kristus saja, membuat banyak membenci kami. Mereka mencintai dosa dan tidak suka akan teguran hati nurani melalui pemberitaan kami untuk berpaling pada Tuhan yang Mahakudus serta hidup kudus. Tambahan pula, kami memberitakan Injil kesembuhan dan kelepasan dalam nama Yesus. Orang-orang datang dengan berbagai motif dan rahasia kegelapan yang hanya Tuhan yang tahu. Yang Mahatinggi berdaulat dan dalam beberapa kasus, Ia memilih untuk tidak menyembuhkan. Oleh sebab beberapa hal, orang itu tidak sembuh tetapi meninggal di rumah kami, orang luar tertawa dan mengolok kami bahwa Tuhan kami tidak berkuasa dan kami tak punya iman. Para penyembah berhala tidak bisa menerima penjelasan tentang kedaulatan Tuhan sebagai alasan orang tidak sembuh atau meninggal. Sejauh yang mereka pedulikan, ilah yang melepaskan berkat-berkat jasmani itulah yang menang, itulah yang hebat. Maka saat itu kami rasa kami perlu memberitakan Injil tidak hanya mengenai Kristus yang menyelamatkan, tetapi juga yang menyembuhkan. Tetapi memberitakan Injil yang termasuk kesembuhan fisik bukan hanya banyak hasilnya namun juga tinggi resikonya, membawa tekanan besar bagi yang melayani.

Lucille tersinggung dengan perkataan yang dilemparkan pada kami oleh musuh Injil ketika orang yang kami layani diambil atas seijin Tuhan. Kata-kata itu jahat dan menyebabkan luka yang dalam pada Lucille. Malam itu, keadaan Irwan memburuk, kenangan yang menyakitkan menyiksanya. Dengan susahnya Lucy tidur malam itu.

Setelah beberapa jam, jeritan pilu memecah keheningan malam. Kami berdua terhenyak dari tidur lelap, Lucille turun dari tempat tidur dan lari ke ruang kebaktian di mana Lanyi berada. Mungkin apa yang paling Lucille takutkan telah terjadi dan Lanyi baru temukan bahwa Irwan telah pergi. Beberapa menit kemudian, Lucille kembali, ia kelihatan sedikit lega.

“Itu bukan teriakan Lanyi, katanya. “Irwan masih ok. Pasti ibu sebelah yang menjerit tadi.” Jarak antara ruang kebaktian kami dengan tetangga hanya beberapa meter saja. “Dia pasti mimpi buruk.” Masih sedikit kaget, Lucille naik kembali ke tempat tidur, tetapi sulit tidur sepanjang sisa malam.

Paginya, ia turun dari tempat tidur dan pergi ke ruang kebaktian. Lanyi sedang duduk, memeluk cucunya sambil mengayunnya. Ia menangis dengan perlahan. Lucille melihat pada Irwan. Ia masih bangun, tetapi benar-benar lemah, tidak dapat berbicara. Ia menatap dalam matanya, dan melihat pandangan bening yang berbicara sesuatu yang pasti tapi tak terucap. Ia melihat rasa takut di matanya, sesuatu yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Rupanya, Irwan kecil sendiri, usia empat tahun tahu bahwa ia sedang menuju kematian.

Lucille menahan air matanya dan berusaha bicara dengan tenang. “Irwan” katanya dengan lembut sambil berlutut. “Jangan takut. Kamu akan pergi dengan Yesus sekarang. Ia akan menjagamu.” Air mata mengalir dan tercurah di pipinya. Ia bangkit dan lari keluar.

“Bill, aku pikir Irwan tidak punya banyak waktu lagi,” katanya pada saya waktu masuk ke kamar. Saya keluar dari tempat tidur dan mengenakan pakaian, mengikuti Lucille ke ruang kebaktian.

Elias di sana berdoa sambil berlutut. Dialah yang dipakai Tuhan untuk menjangkau keluarga tersebut. “Bapa, dimanakah Engkau? Mengapa Engkau meninggalkan kami? Tolonglah jangan biarkan Irwan mati, Bapa, tolong biarkan dia hidup!” Elias telah melewati penderitaan kehilangan dua dari anaknya baru-baru ini sebelum dia mengikuti Kristus. “Bapa, saya minta dalam nama Yesus Kristus, tolonglah jangan buat dia mati, tolong!”

Page 72: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Kami berkumpul di sekeliling Lanyi, masih memeluk Irwan dengan keras, seolah-olah mengusir kematian dari dia. Kami tidak dapat melakukan apa-apa. Beberapa waktu kemudian, matanya tertutup dengan lamban dan ia berhenti bernafas. Lanyi memeluknya dengan kuat dan menangis tersedu, menggoyang-goyang badan anak itu maju dan mundur. Kami semua tersentuh dan menangis, melepaskan rasa kuatir yang telah memuncak beberapa hari ini. Lanyi dengan lembut meletakkan tubuh Irwan di atas alas, bangkit dan pergi ke atas ruangan belajar. Ia menutup pintu dan berduka akan cucunya.

Di bawah di ruang kebaktian, tubuh Irwan terbaring di atas pelataran di belakang mimbar khotbah. Tiba-tiba, pintu utama terbuka. Saya menolah dan beberapa anak bergegas masuk ke dalam. Waktu hampir jam delapan pagi di hari Minggu. Anak-anak datang untuk sekolah Minggu.

Saya melangkah dari mimbar dan jalan ke belakang ruang kebaktian. Disana, dengan sulitnya, saya menjelaskan pada anak-anak bahwa ada masalah di dalam dan meminta mereka untuk tunggu di luar beberapa saat. Anak-anak kecil ini tak perlu tahu bahwa ada jasad di ruang kebaktian.

Tubuh Irwan di bawa ke ruang belajar atas di mana neneknya menyendiri dalam kedukaannya. Saya pergi ke ruang tidur di bawah mengumpulkan seluruh pikiran saya. Kebaktian dewasa pagi akan mulai kurang dari dua jam. Sebelum itu saya pergi ke Bumi Raya memberitahukan orangtua Irwan bahwa anak lelaki mereka telah meninggal. Sungguh tidak enak! Tetapi siapa lagi yang akan pergi kecuali mereka yang menggembalakan dalam kehidupan dan kematian? Kemudian, di siang hari, kami mengubur Irwan. Cuaca yang panas tidak mengizinkan adanya penangguhan. Banyak persiapan yang harus di lakuakn, termasuk membuat peti kecil. Saudara kami Akwet yang tukang kayu dapat melakukannya…..

Lucille datang tanpa melihat pada saya dan duduk. “Ada apa sayang?” saya bertanya, merasakan sesuatu yang ia ingin katakan. “Bill, Akwet baru saja datang dan mengatakan bahwa anak menantunya A Ngo baru saja

melahirkan anak lelaki pagi ini, tetapi dalam keadaan mati.” Untuk beberapa waktu saya hanya melihat dia. Oh tidak! Apakah yang terjadi? Kata-kata yang

mengerikan dari Ayub melintas dalam pikiran:

Biarlah kegelapan dan kekelaman menuntun hari itu, awan-gemawan menudunginya, dan gerhana matahari mengejutkannya. Malam itu – biarlah di dicekam oleh kegelapan; janganlah ia bersukaria pada hri-hari dalam setahun; jangalah ia termasuk bilangan bulan-bulan. Ya, biarlah pada malam itu tidak ada yang melahirkan, dan tidak terdengar suara kegirangan. Biarlah ia disumpahi oleh para pengutuk hari, oleh mereka yang padnai membangkitkan marah Lewiatan. Biarlah bintang-bintang senja menjadi gelap; biarlah ia menantikan terang yang tak kunjung datang, janganlah ia melihat merekahnya fajar. (Ayub 3:4-9).

Saya mengerti sekilas apa yang Ayub rasakan ketika dia berbicara mengenai hari kelahirannya. Di penghujung hari itu, setelah melewati dua kematian, kebaktian penyembahan Minggu dan

penguburan kedua anak, kami rebah dalam pelukan masing-masing. Tubuh kami akhirnya menyerah, memberikan kesempatan pada pikiran kami untuk mulai berputar kembali. Di atas ada Lanyi dan keluarganya. Ia telah mempercayai Tuhan untuk kesembuhan cucunya. Beberapa bulan kemajuan membuat mereka gembira. Sekarang ia telah tiada. Tuhan, apa yang terjadi? Apakah mereka akan terus mengikuti Dia? Atau iman mereka bergantung pada Tuhan yang melakukan apa yang Ia katakan sendiri kepada mereka?

Setiap hari selama beberapa hari kemudian, kami mengunjungi Lanyi dan keluarganya, menangis dengan mereka, berduka dengan mereka, meyakinkan mereka bahwa Irwan akhirnya

Page 73: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

sembuh dan bersama Tuhan Yesus. Di hari ketiga, Tuhan menghibur kami. Lanyi mengatakan ia bermimpin tadi malam.

“Guru, saya melihat Irwan di lantai atas rumah ini. Ia kelihatan baik-baik, mampu berdiri dan berjalan sendiri. Senyum lebar ada pada wajahnya. Saya mencoba mendekati dia, tetapi setiap saat ia lari dari saya. Ada seorang pria besar berdiri di sampingnya. Dan ia memakai tas sekolah di belakang.

“Tuhan mengatakan pada saya bahwa Irwan baik-baik saja, tidak menderita lagi. Tuhan ingin dia di sorga. Tempat yang lebih baik. Mungkin sekarang dia pergi ke sekolah di sorga!

“Tahukah, Guru, saya yakin Tuhan mengambil Irwan karena Irwan telah menyelesaikan maksud hidupnya. Melalui sakitnya seluruh keluarga dan saya beriman pada Yesus. Sekarang kami telah menjadi anak-anak Tuhan, Tuhan memanggilnya pulang. Guru, kami akan terus bertekun mengikut Tuhan.”

Mungkin Lanyi betul. Tuhan telah memberikan beberapa bulan pertumbuhan iman sehingga ketika Irwan diambil dari dia, ia tidak jatuh tergeletak. Kematian Irwan adalah ujian terhadap imannya. Apakah dia percaya Tuhan untuk apa yang Tuhan telah lakukan bagi dia di bumi ini? Ataukah Lanyi percaya pada Dia karena ia yakin Dia-lah satu-satunya Tuhan yang benar yang dengan cuma-cuma memberikan dia kehidupan kekal melalui kematian serta kebangkitan Anak-Nya Yesus Kristus? Oleh kasih karunia Tuhan, ia lulus ujian tersebut. Karena inilah, Tuhan mencurahkan kasih karunia atas Lanyi dengan ukuran yang lebih besar lagi. Ia tumbuh makin kuat dalam iman, menjadi berani bersaksi untuk Yesus Kristus. Tuhan memampukan dia melayani yang sakit.

Suatu malam, seorang lelaki muda bernama Ahin yang bekerja di Bumi Raya mampir menemui Lanyi di toko anaknya, Asang.

“Lanyi, saya perlu bantuanmu. Istri saya mengalami masalah. Ia telah melewati tiga hari masa bersalin. Bayinya belum juga keluar.”

“Tiga hari? Lanyi bertanya dengan heran. “Ya, dia mengalami sakit bersalin yang luar biasa selama tiga hari. Semua tetangga di

kompleks kami dapat mendengar jeritannya sepanjang malam. Dukun beranak tidak dapat melakukan apa-apa. Dapatkah kamu datang dan menolong?” Ahin datang ke gereja beberapa kali dan tahu mengenai kuasa Tuhan. Ia pernah mendengar bahwa Tuhan memakai Lanyi melayani orang sakit.

“Tetapi istrimu tidak percaya Tuhan. Tidak hanya itu, dia mencoba menghalangi kamu untuk pecaya pada Dia dan bahkan mengolok-olok dan menertawakan apa yang kamu percayai.” Lanyi telah membagikan Injil pada Afa, istri Ahin sebelumnya, tidak hanya dia menolak Tuhan, dengan sengit ia menolaknya. Orangtua Ahin, saudara lelakinya dan istri semua telah menerima Yesus, tetapi istrinya tidak mau sama sekali terlibat dengan kebenaran dan kehidupan kudus.

“Tolonglah, datang Lanyi, lakukan apa yang kamu dapat lakukan.” Lanyi memakai sepatu dan mengikuti Ahin ke tempat tinggalnya tak jauh, di bagian lain dari

kompleks pemotongan kayu. Di pintu depan, Lanyi menanggalkan sepatunya dan masuk lewat pintu depan ke belakang di mana ia dapat mendengar Afa perlahan mengerang. Ia masuk ke rumah kecil di mana tempat tidur lebar memenuhi hampir seluruh kamar. Kelambu bergantung terbuka pada bingkai besi yang terpasang pada tempat tidur. Lukisan-lukisan bintang film Cina dari sobekan kalender ditempel pada dinding untuk menutupi celah retak antara bilahan papan dan dinding.

“Afa, Afa. Ini saya.” Katanya dengan perlahan. Afa membuka matanya dan melihat dengan lemahnya pada Lanyi. Hari-hari penuh rasa sakit

menguras tenaganya. Ia takut dan putus asa. Namun ia memohon dengan perlahan ketika ia memandang pada Lanyi.

“Afa, saya ingin menolongmu. Saya tahu kamu telah menderita luar biasa selama tiga hari ini. Tetapi saya tidak dapat melakukan apa-apa. Saya hanya manusia biasa. Tetapi Yesus dapat menolong kamu. Dialah Anak Tuhan. Afa, jika kamu sekarang memanggil nama Tuhan dan bertobat dari dosamu, bayimu akan lahir.”

Page 74: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Afa menutup matanya dan memeluk dirinya ketika pukulan rasa sakit meningkat dalam tubuhnya. Beberapa saat ia berbaring dengan diam tanpa membuka matanya.

Akhirnya, ia melihat pada Lanyi dan berkata dengan lemah,”Baiklah. Tolong berdoa pada Tuhan untuk saya.”

“Afa,” jawab Lanyi,”kamu berdoa sendiri pada Dia. Dia mendengarkan kamu. Akui saja dosa-dosamu pada Dia dan minta Dia menyelamatkan kamu.”

Afa mengangguk dan menutup matanya. “Tuhan,” ia mulai,” aku bertobat dari dosa-dosaku. Saya menyesal telah merobek gambar-gambarmu yang suami saya tempelkan. Saya menyesal telah menolakmu. Tolonglah ampuni saya dari dosa-dosa saya. Tolong saya sekarang.”

Setelah diam sebentar Lanyi mulai berdoa. “Tuhan, Engkau telah mendengar doa Afa. Dia telah mengakui dosa-dosanya dan minta Engkau mengampuninya. Sekarang ampunilah dia, Tuhan, dan biarlah bayinya lahir. Saya berdoa dalam nama Yesus Kristus. Amin.” Lanyi membuka matanya dan meletakkan tangannya pda perut Afa yang membengkak. “Dalam nama Yesus Kristus,” saya perintahkan,” bayi, keluar!”

Setengah jam kemudian, seorang bayi sehat telah lahir. Menariknya, kami tidak pernah mengajarkan orang percaya mengenai memerintahkan bayi

untuk keluar. Tetapi kami mengajarkan mereka memakai otoritas mereka atas roh-roh jahat dan penyakit dalam nama Yesus.

Page 75: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Bab Duabelas Dikhianati

Asiu berusia sembilan belas, dan masih duduk dikelas satu SLTP, tetapi dalam hatinya ada

reaktor nuklir yang memancarkan kuasa belas kasihan. Secara khusus ia merasakan kemuliaan Tuhan ketika melayani Ibu Nasir bersama dengan yang lain serta memberi kesaksian akan kuasa Tuhan yang menghentikan pendarahan dan membangunkannya.

Asiu merasakan panggilan Tuhan dalam hidupnya. Sekolah Menengah pertama setempat tidak diperhatikannya lagi karena ia makin tertarik untuk memberitakan Injil sepenuh waktu. Ketika ia membicarakan kemungkinan dengan kami, kami setuju melatihnya dan mengirimnya di bawah pengawasan kami. Dia tinggal bersama kami di rumah.

Asiu dan Akong adalah dua penginjil kami yang pertama. Di mata dunia, mereka kelihatannya menjadi pasangan yang bakal berhasil. Tumbuh sedikit menyimpang, Akong kira-kira 150 cm tingginya – ia murah hati – serta berbicara dengan suara perempuan tinggi, membuat orang tidak yakin akan jenis kelaminnya. Asiu, besar untuk ukuran perempuan Asia, lebih tinggi dari Akong. Akong lebih tua beberapa tahun dan memiliki enam tahun pendidikan resmi. Ia sudah mengenal Yesus selama tiga tahun dan Asiu telah menerima keselamatan selama dua tahun.

Setengah jam perjalanan dari Batu Ampar ada desa Kemuning. Kami ingin Akong dan Asiu membuka daerah Injil di sini.

“Guru, bagaimana kami mendekati orang-orang dengan Injil? Apakah yang perlu kami lakukan?” Mereka bertanya. Kami telah melatih mereka dalam kebenaran Injil, tetapi tidak pernah mendemonstrasikan kepada mereka cara bersaksi. Apa yang bisa dipakai di Barat dalam membagikan Injil di Amerika mungkin tidak dapat dipakai pada orang-orang desa dalam menginjili di Kalimantan. “Pergi saja,” jawab kami pada mereka, ”dan kabarkan Injil pada setiap makhluk, di setiap rumah. Sembuhkan yang sakit, usir roh-roh jahat dalam diri mereka. Dan Tuhan akan memimpinmu.”

Akong dan Asiu berjalan ke Kemuning. Sewaktu sampai di depan sebuah rumah, hati mereka mulai berdebar dengan kencang dan mulut mereka mulai kering. Namun mereka begitu saja berjalan ke arah halaman dan menaiki tangga serta mengetok pintu. Mereka berkunjung dari satu rumah ke rumah lain, hari lepas hari, membawa kabar baik kerajaan pada orang-orang dalam kegelapan. Beberapa keluarga menerima mereka dan pemberitaan mereka; ada yang tidak. Beberapa mengalami kuasa Tuhan atas tubuh yang satkit ketika Akong dan Asiu melayani mereka dan menyambut Yesus dalam hati mereka. Tetapi selalu, ada yang memandang mereka dan tidak senang, yang tidak pernah memberikan waktu mereka untuk mendengarkan. Mereka adalah antek-antek iblis di desa, mereka yang mendedikasikan kepercayaan dan seni rahasia turun temurun dari nenek moyang.

Setiap malam setelah mereka bekerja di Kemuning, Akong dan Asiu pulang ke rumah dengan tubuh lelah tetapi hati puas, membawa buah sulung pelayanan mereka – mungkin setandan pisang dipanggul dengan kayu di atas bahu mereka (seperti anggur besar yang dibawa dari tanah perjanjian oleh duabelas pengintai yang dikirim Musa), beberapa pepaya sebesar bola kaki, sebakul rambutan matang (buah berpenampilan menakutkan dengan bulu-bulu pendek) atau sekantong buah tropis. Keluarga-keluarga yang bersyukur memberkati mereka sebagai balasan membawa berita kasih Tuhan melalui Yesus Kristus. Akhirnya, firman Tuhan menyebar melalui mereka, banyak keluarga menerima Kristus. Beberapa yang lain menjadi musuh salib Kristus.

Satu hari seorang anak lelaki datang di rumah kami. Ia salah seorang anak dari orang percaya di Kemuning, seorang tua bernama Tua-Lau-Bak. Pembantu kami membukakan pintu baginya.

“Apakah guru ada?” Ia mencari Lucille atau saya. “Kami perlu pertolongan. Ayah kami mengalami kejang-kejang.”

Page 76: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

“Guru tidak ada di sini sekarang,” jawab pelayan itu. “Tetapi Asiu ada. Saya akan panggilkan dia.” Beberapa saat kemudian, Asiu datang dan berbicara pada anak Tua-Lau-Bak.

“Ayahmu mengalami kejang?’ Tanya Asiu dengan penuh kuatir. Tua-Lau-Bak pernah mengalami epilepsi grand mal. Setelah menjadi orang Kristen, ayan itu praktis berhenti. Asiu tidak memiliki banyak pengalaman dalam berhadapan dengan manifestasi yang agresif.

“Terjadinya tadi pagi. Ia berada di lantai gemetar dan meringkuk seperti seekor udang. Semua tetangga datang dan mencoba mencari tahu. Mereka mengusahakan segalanya. Mereka menggosok leher dan bahunya dengan bawang putih mentah. Mereka mencoba membangkit roh mereka untuk menolongnya. Mereka meluruskan badannya. Tetapi tak satu yang terjadi. Sekarang banyak orang berkumpul hanya menunggu apa yang akan terjadi kemudian.” Asiu mendengarkan, pikirannya berpacu dengan kuatir akan kemungkinan datang ke Kemuning untuk melayani Tua-Lau-Bak. Tetapi ia harus pergi, ia satu-satunya yang ada di rumah waktu itu.

Asiu kembali ke atas berganti pakaian. Ia kembali ke bawah, memakai sepatu, dan dengan anak lelaki itu pergi ke Kemuning dengan langkah bergegas. Dari jauh, Asiu dapat melihat kerumunan kecil dari orang yang berkumpul di depan rumah Tua-Lau-Bak. Ketika mereka tiba, anak lelaki membawa dia melalui kerumunan pada ayahnya. Asiu dapat mendengar beberapa lelaki mengejek waktu dia lewat.

“Hei, lihat! Anak perempuan Yesus ada di sini. Apa yang dapat ia doakan untuk Tua-Lau-Bak? Bahkan para dukun tidak dapat menolongnya. Lagi pula, ia hanya seorang perempuan!” Asiu pura-pura tidak mendengar sampai dia tiba Tua-Lau-Bak masih kejang-kejang. Ia melihat padanya. Ia tak sadar, tetapi tubuhnya terkunci menggelepar-gelepar seperti seekor ikan segar yang ditangkap di pelabuhan. Asiu menundukkan kepala dan mulai berkata-kata.

“O, Bapa,” ia berdoa, “saya minta Engkau membebaskan Tua-Lau-Bak dari kejang-kejang ini. Ia adalah anakmu, dan Engkau adalah Tuhan Mahakuasa pencipta langit dan bumi. Saya minta, Bapa, dalam nama Yesus Kristus, Amin.” Ia membuka matanya. Setiap orang melihat pada dia. “dalam nama Yesus Kristus,” sambungnya, “Saya ikat roh yang najis, dan saya perintahkan kamu keluar dari padanya!”

Hampir seperti tombol yang ditekan mati, Tua-Lau-Bak berhenti kejang dan tubuhnya lurus dengan sendirinya. Penonton hanya memandangi tanpa berkata apa-apa.

Akhirnya, Tua-Lau-Bak, yang masih tidak sadar, diangkat oleh para lelaki dan diletakkan di tempat tidurnya. Ketika ia bangun, ia tidak mengingat apa yang telah terjadi.

Akong dan Asiu segera membawa Injil dua kilometer ke pedalaman mengendarai skuter, bergoncengan dengan teman-teman yang kami kenal. Perjalanan ke Jeruji Kiri mengambil waktu kurang lebih dua jam, dihalangi oleh beberapa perhentian melewati jalan yang perlu bergantian. Tujuannya membagikan Injil pada seorang perempuan Tionghoa kecil berpengaruh dalam rumpun keluarganya. Kami menyebutnya “nenek.” Sedikit lemah dan berkerut, nenek hampir mencapai delapan puluh tahun dan punya empat generasi yang menghormatinya. Walaupun cucunya Ameng dan beberapa yang lain telah menjadikan Yesus Kristus, Tuhan; anggota keluarga umumnya tidak berani mengikuti. Mereka telah mendengar nama Yesus melalui pelayanan pekerja di Batu Ampar dan tertarik. Kecuali Nenek mengambil langkah pertama, mereka tidak memberi diri mereka. Menghormati keluarga, para sesepuhan dan nenek moyang adalah motivasi utama dibalik budaya dan perilaku orang Cina.

Akong dan Asiu mengunjungi Nenek beberapa kali, dan walaupun ia menerima mereka dengan ramah, ia tidak meninggalkan keyakinan Budha yang ketat. Selama limabelas tahun ia dengan hati-hati tidak makan daging, bahkan membawa peralatan makan sendiri kemanapun dia pergi karena takut tercemar oleh peralatan makan yang terkontaminasi oleh daging. Nenek adalah contoh jarang dari orang Budha yang setia di Batu Ampar, yang tidak mau membuang perbuatan baiknya dengan sesuatu yang tidak jelas seperti “iman.” Tetapi suatu malam dia bermimpi.

Page 77: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Nenek melihat dirinya berdiri di pantai. Sebuah kapal muncul, banyak orang memberi tanda padanya – ia dapat mengenali keluarganya – anak lelakinya, menantu perempuan, cucu dan pasangan, serta anak-anak mereka. Mereka telah mengalami sukacita yang besar dan kesejahteraan di kapal dan memanggilnya bergabung. Seorang pria berjubah putih dalam kapal melempar tali untuk menariknya. Ia ragu-ragu menjangkau tali. Kapal berlayar ke tempat yang jauh. Kemudian dia bangun, menyesal dalam hati karena tertinggal.

Setelah Nenek bermimpi, Lucille dan saya melalui dorongan Akong dan Asiu berkunjung ke rumahnya. Mungkin kami atau mereka dapat membujuknya. Saat itu ia tinggal dengan cucu Akwang yang istrinya menjalankan salah satu toko kelontong milik keluarga. Ketika kami duduk dengan dia di belakang toko yang tersisa sebagai rumah tinggal, ia menceritakan mimpinya pada kami. Apa yang dia lihat tidak sulit menerjemahkannya. Tuhan telah menyiapkan hatinya sehingga ia percaya Injil dan masuk kerajaan Tuhan.

Kapal itu lambang dari keselamatan seperti milik Nuh, dan persis seperti Tuhan ingin menyelamatkan seluruh keluarga, jadi Dia pun mau menyelamatkan keluarga Nenek. Keluarganya, di dalam kapal telah menikmati keselamatan Tuhan dan ingin Nenek menerima kehidupan kekal juga. Kami menjelaskan pada Nenek bahwa Tuhan telah memberikan jalan bagi dia untuk menaiki kapal. Lelaki berjubah putih di dalam mimpinya adalah Yesus Kristus Juruselamat yang dengan kematian di kayu salib dapat mengangkatnya ke dalam kapal keselamatan dari air dosa dan kematian. Dan tidak hanya itu, Yesus sendiri adalah kapal itu, bahtera kehidupan kekal. Ia tidak hanya JALAN dan KEBENARAN, tetapi juga HIDUP.

“Jadi apa yang harus saya lakukan untuk naik ke kapal bersama keluarga saya?” Nenek ingin tahu karena ia sedih merasa tertinggal..

“Nenek, percaya saja pada Tuhan Yesus, dan Nenek akan selamat, Nenek dan seisi keluargamu!” saya menjawab, tersenyum dengan cara Tuhan yang ajaib.

“Saya ingin percaya Yesus!” Dengan kesungguhan iman Nenek menerima kebenaran sempurna yang diusahakannya dengan tidak makan daging. Kemudian, suatu hari ia dibaptis, nenek menunjukkan kesungguhan menerima pengampunan total dari dosa-dosanya. Sewaktu membaptisnya kami menggunakan sumur kecil yang kotor kecil dekat rumah yang dalamnya 1,5 meter di depan rumah anak lelakinya di Kemuning yang biasa digunakan keluarga untuk keperluan mencuci. Pertama saya dulu masuk ke sumur empat kaki garis tengahnya, kemudian Nenek, ditolong oleh anak lelaki dan menantu perempuan yang berdiri untuk menyelam. Saya memberikan instruksi singkat untuk jongkok dalam air baptisan sambil menyelam. Kemudian saya mendorongnya kedalam air lumpur dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus. Saya menariknya dengan lembut sehingga ia dapat berdiri dan keluar dari air. Lagi pula, ia seorang nenek berusia delapan puluh tahun yang lemah dan mungkin tidak dapat menahan nafas terlalu lama. Saya rasa penolakan; ia tidak muncul kembali. Secepatnya saya mencoba menariknya keluar, tetapi ia tetap berjongkok dan berada di bawah air. Karena khawatir baptisannya bukan hanya menjadi simbol keselamatan rohani tetapi menyebabkan kematian fisik juga, saya berkata dengan tegas “Nenek, keluarlah sekarang!”

Saya bersyukur bahwa kemudian Nenek akhirnya muncul. “Mengapa tidak segera keluar, Nenek?”

Jawabannya membuat senyum lebar dan tawa pada kami semua. “Saya tinggal lebih lama di dalam air karena saya ingin SEMUA dosa saya dihapuskan!” iman Nenek, bukan ajaran teologia, menyelamatkan dia.

Menantu perempuan Nenek telah menyiapkan makanan untuk semua orang setelah baptisan. Dalam keadaan yang biasa, karena daging tidak ada dalam menunya, Nenek mendapatkan makan yang disiapkan khusus bagi dia sesuai dengan keyakinan Budha. Tetapi sekarang dia telah menjadi pengikut Kristus, diselamatkan oleh iman dalam Yesus Kristus saja dan tidak lagi dibelunggu oleh ketentuan legalistik agama. Kebenarannya tidak bergantung pada apa yang diusahakannya untuk memenuhi

Page 78: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

peraturan agama, tetapi berdasarkan kebenaran sempurna milik Yesus Kristus Anak Manusia yang selalu taat pada Tuhan, bahkan sampai mati di kayu salib. Semenjak itu ia siap mendeklarasikan kebenaran sempurna dari imannya pada Kristus, Nenek sekarang bebas makan apa saja!

Anak menantu perempuan telah menyediakan diantaranya sepiring masakan babi bagi kami. Bau daging babi, yang Nenek bisa nikmati selama lima belas tahun yang sulit, terlalu berlebihan untuk dilewati. “Guru,” Nenek bicara, “Sekarang saya seorang Kristen, saya dapat makan apa saja selama saya bersyukur untuk itu, benar bukan? Bahkan babi sekalipun?”

“Benar Nenek,” saya meyakininya. “Tetapi Nenek tidak makan daging bertahun-tahun, apakah perutmu dapat mengatasinya? Nenek tidak menjadi sakit?”

“Saya akan mulai dengan porsi kecil, Guru,” Kami mengucap syukur pada Tuhan dan makan. Nenek makan dan makan dan makan. Ia tidak

menjadi sakit. Oleh iman, ia makan dengan semangat sepanjang siang itu dan menikmati berkat Tuhan!

Iman Nenek terhadap Tuhan Bukti paling kuat dari imannya adalah kerinduannya yang luar biasa untuk menyembah Tuhan dan membagikan Firman-Nya. Nenek lemah berusia delapan puluh tahun ini tinggal dengan cucunya Akwang kurang lebih dua kilometer dari Batu Ampar. Ketika saya menengok mereka, saya selalu mengendarai sepeda gunung yang khusus dirancang untuk jalan yang tidak mulus. Selama musim hujan, jalan itu berubah menjadi lumpur yang tak bisa dilalui, jelas ini bukan perjalanan bagi yang lemah jantung. Namun, setiap minggu Nenek dengan setia datang ke gereja. Ia selalu duduk di tempat yang sama di bagian depan ruang kebaktian, berseri-seri ketika mendengarkan firman Tuhan. Bagaimana dia bisa menempuh jalan sepuluh mil pulang pergi setiap minggu? Dengan jalan kaki Nenek melintasi jarak dan jalan yang kotor dan berlumpur.

Karena imannya, seluruh keluarga besar mengenal dan melayani Kristus. Sementara, diantara cucunya ada pelayan-pelayan Tuhan sepenuh waktu.

Ada satu waktu yang menegangkan bagi saya. Baru enam tahun sebagai pengikut Kristus lahir baru, saya telah menghabiskan empat tahun di ladang penginjilan dalam perluasan pelayanan yang kami mulai dari nol. Para murid yang telah dilatih seperti Elias, Akong dan Asiu, bahkan lebih muda dalam Kristus, sedang dikirim keluar untuk memenangkan jiwa dan memuridkan jiwa-jiwa. Akong dan Asiu telah menggarap Kemuning. Akong berkelompok dengan Elias menginjili sepuluh tempat pemotongan kayu di daerah sekitar. Setiap tempat pemotongan kayu adalah tempat praktek kegelapan, keserakahan sudah lazim dan para pemiliknya korup dan memangsa buruh-buruh yang tinggal dalam kegelapan rohani dan fisik. Penyembahan berhala, sihir, kemabukan, perjudian, perzinahan, percabulan, perkelahian, buta huruf, tahayul, penyakit, kegilaan, kesetanan, kemiskinan, keadaan hidup tidak menyenangkan, kotor, tingginya angka kematian – adalah bagian kehidupan mereka. Elias dan Akong pergi ke pusat pemotongan kayu ini tanpa ribut-ribut dan tanpa nama tetapi mereka membawa terang Yesus Kristus. Penyembah berhala diselamatkan, orang yang menyebut Kristen dari tempat lain yang telah pindah ke Batu Ampar guna mencari pekerjaan di pemotongan kayu menemukan Kristus. Kesukaan dan kegembiraan menjadi ciri khas ibadah kami. Gereja kami, dikuatkan oleh kuasa Roh Kudus dengan mujizat terus menerus itu bertumbuh. Dalam surat kami ke pusat di Amerika, kami dengan bangga menceritakan bagaimana Tuhan bekerja di tengah kami, kami berikan kemuliaan kepada Tuhan. Beberapa misionaris, kami dengar, telah bekerja bertahun-tahun di antara orang kafir dan tidak memenangkan satu jiwa pun bagi Kristus.

Tambahan pula, Tuhan telah mulai memberkati kami secara finansial. Ia membangkitkan sebuah gereja yang teguh di New Jersey, First Christian Assembly (Sidang Kristen Pertama) dan beberapa orang untuk mendukung dan mensponsori kami. Dengan dukungan ini, kami membeli sepeda motor gunung untuk keperluan keseharian dan pelayanan ke pedalaman. Sekali seminggu saya berangkat dalam perjalanan ke Jeruju Kiri untuk memimpin Pendalaman Alkitab di rumah Nenek. Ketika jalannya kering, perjalanan tidak sulit. Tetapi selama musim hujan, jalan itu menjadi sangat

Page 79: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

licin berbahaya., Beberapa jalur jalan menjadi rawa panjang yang dapat menelan baik sepeda motor maupun pengendaranya. Walaupun berbahaya, saya menancap gas, bersandar pada saat yang tepat untuk lewat sebelum ban terperangkap dalam lumpur yang tebal. Beberapa kali, rawa lebih dalam dari prasangka saya, dan tidak mungkin melampaui, mesin mati, membuat saya terdampar. Namun saya paling gentar menyeberangi jurang melalui “jembatan” yang terbuat dari satu atau dua papan kayu yang terbentang menghubunginya. Tertempa hujan, kayu-kayunya ada yang menjadi busuk dan siap mengejutkan seorang pengendara motor dengan terputus oleh tekanan dari sepeda motor. Yang paling menegangkan adalah menyeberangi jembatan dalam keadaan hujan. Motor, walaupun memakai ban khusus, dapat terpeleset di atas papan tipis dan jatuh dua meter ke bawah dalam jurang atau selokan. Walaupun penuh rasa takut akan bahaya, saya setia bekerja di pedalaman.

Segalanya – pertumbuhan pelayanan, pemurindan bagi Yesus Kristus, mujizat-mujizat dan keyakinan kami pada pekerjaan ini – menjadi sumber sukacita pada diri saya. Tentu Tuhan akan terus memberkati kami dan bahkan dengan hal yang lebih besar.

“Bill, Pak Leo tadi mampir. Ia ingin bertemu dengan kamu.” Sapa Lucille yang telah menunggu saya ketika saya baru saja tiba.

“Untuk apa?” Tanya saya. Pak Leo adalah pekerja medis di Batu Ampar, dan oleh kebaikannya ia menjadi orang berpengaruh. Ia adalah salah seorang penganut Katolik yang pindah ke Batu Ampar beberapa tahun sebelumnya guna mencari kehidupan. Ketika kami pertama kali tiba di Batu Ampar, ia menerima kami dengan ramah sebagai teman seiman. Setelah kedatangan kami di Batu Ampar untuk memberitakan injil, ia melihat adanya respons positif terhadapa pelayanan kami dan ia terdorong untuk mendirikan kapel modern di mana ia dapat melaksanakan ibadah untuk para penganut Katolik yang tersebar melalui transmigrasi ke Batu Ampar. Belakangan, Pak Leo tidak suka dengan kami. Asiu dan Elias juga dibesarkan sebagai penganut Katolik di daerah mereka sebelum tiba di Batu Ampar. Walaupun di Batu Ampar mereka tidak pernah bersekutu dengan Pak Leo sebagai teman seiman, Pak Leo menolak “pertobatan” mereka menjadi injili melalui kami.

Beberapa bulan lagi Natal. Pak Leo membuat persiapan untuk program Natal di kapelnya. Tahun sebelumnya, ia mempertunjukan perayaan besar dan megah dengan beberapa petinggi muslim, sebagai tamu kehormatan. Bahkan saya mendapat kesempatan berpartisipasi dalam program tersebut sebagai pembicara utama. Namun, kami mencium bahwa maksud perayaan itu bukan merayakan kelahiran Tuhan kita karena seperti membawa aura penerimaan petinggi pada iman Katolik di Batu Ampar. Dengan alasan ini, sangat penting para pemimpin pemerintahan dan pejabatan setempat, walaupun bukan Kristen harus hadir. Kebijakan pemerintah Indonesia juga mendorong para pejabat di semua tingkat untuk menghadiri perayaan agama lain supaya mempromosikan toleransi beragama dan kestabilan nasional. Tetapi sebagai orang asing saya mungkin dengan polos melihat tujuan merayakan Natal dalam terang yang berbeda, itulah saat bergembira orang Kristen dalam perayaan penuh arti rohani. Di Amerika, para politikus tidak biasanya masuk ke dalam territorial seperti natal. Tetapi di Indonesia seperti juga bagian dunia lainnya – dimana saya belajar dengan cara yang sulit – agama dan pemerintah tidak terpisahkan.

“Jadi mengapa Pak Leo datang mencari saya?’ saya bertanya pada Lucille dengan tidak sabar. “Dia ingin menyatukan kebaktian Natal dengan kami. Kapelnya tidak cukup besar untuk apa

yang telah direncanakannya, maka ia bertanya apakah kita bisa melakukan program itu di gereja kita.” “Oh, tidak,” Saya berkata sambil cemberut. Semua perasaan negatif terhadap Pak Leo secara

pribadi dan program Natalnya timbul. Laporan yang saya dengar mengenai orang mabuk di perayaan Natal semakin menguatkan sikap saya. Dan sekarang dia ingin menjangkitkan perayaan duniawi ke dalam gereja kami. Buat saya ini keterlaluan. “Kita tidak dapat lakukan itu. Saya tidak suka pada acara Natal semacam itu!”

Page 80: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Lucille berusaha memberikan alasan pada saya. “Ya, Bill, saya juga tidak suka. Tetapi kita harus hati-hati dengan perkataan kita. Kita tidak ingin menyinggung perasaannya. Ia katakan akan datang kembali malam ini untuk membicarakan dengan kamu.”

“Ia datang kembali malam ini? Saya tidak mau ketemu.” “Bill, kamu harus bertemu dia ketika ia datang. Ia akan datang jam delapan, dan jika kamu

belum tiba ketika dia datang, ia akan tersinggung.” Sambil menyelidiki diri, saya berpikir mungkin Tuhan mencoba berbicara sesuatu pada saya melalui Lucille. Tetapi hal itu tidak saya temukan.

“Sayang, Pak Leo itu sudah dikenal suka mabuk, apalagi setelah perayaan Natal sewaktu orang-orang sudah pulang. Alkitab katakan, kita jangan berteman dengan pemabuk yang menyebut dirinya orang percaya…. Malam itu ketika Pak Leo datang menemui saya, kami tidak ada di rumah. Hubungan kami dengan Pak Leo semakin memburuk dan kami telah menyinggung perasaannya. Yang semakin membakar suasana ini ialah, pelayanan kami semakin diberkati Tuhan sedangkan pelayanannya sedang mengalami pergumulan. Tempat ibadahnya ada di tengah kota, sedangkan tempat ibadah kami berjarak sepuluh menit jalan kaki dari jalan utama. Namun demikian, setiap Minggu Pak Leo menyaksikan arus jemaat yang berjalan melintasi gerejanya menuju ke gereja kami. Pak Leo adalah pekerja medis yang memiliki kedudukan di masyarakat sedangkan kami adalah orang asing yang baru tiba. Iri hati bercampur kebencian mulai membakar niatnya untuk menyerang kami. Desas-desus mulai beredar di masyarakat bahwa saya sebenarnya bukan seorang pendeta, melainkan seorang penipu yang pernah dilucuti di kota Sanggau lalu lari ke kota Batu Ampar. Pak Leo melakukan penyelidikan dan menemukan bahwa kami pernah menggembalakan di Sanggau beberapa tahun yang lalu. Kami dikatakan guru yang mengajarkan aliran sesat. Menurut berita itu, hal ini terbukti dengan banyaknya orang yang meninggal di gereja kami setelah dilayani oleh kami. Tak lama berita ini sampai ke telinga jemaat kami. Pak Leo menikmati popularitasnya sebagai pekerja medis di Batu Ampar. Ia bekerja di puskesmas dan menerima pasien di tempat praktek di rumahnya. Beberapa dari pasiennya adalah jemaat kami. Sewaktu mereka berkunjung ke sana, dilaporkan bahwa ia memfitnah kami dan berusaha membujuk mereka untuk meninggalkan gereja kami dan pindah ke gerejanya. Bukan hanya saya dikatakan sebagai pendeta palsu, gereja kami juga tidak memiliki izin dari pemerintah daerah untuk berdiri. Pemerintah akan segera menutup gereja kami. Lebih baik jemaat yang ada sekarang pindah ke gerejanya. Orang yang telah meninggalkan iman Katoliknya untuk bergabung dengan kami diancam tidak boleh mengikuti ibadahnya. Akhirnya, iri hati yang begitu memuncak di dalam hati Pak Leo membuatnya berdiri di pinggir jalan pada hari Minggu pagi untuk membujuk agar orang-orang yang hendak beribadah di tempat kami berbalik dan pergi ke gerejanya saja. Sewaktu Daud dikejar-kejar oleh Raja Saul, ia menulis banyak Mazmur. Sebelumnya, kami tidak mengerti betapa dalamnya kegelisahan yang Daud rasakan sampai kami sendiri mengalami fitnahan dan aniaya :

Musuhku mengatakan yang jahat tentang aku: "Bilakah ia mati, dan namanya hilang lenyap?" Orang yang datang menjenguk, berkata dusta; hatinya penuh kejahatan, lalu ia keluar menceritakannya di jalan. Semua orang yang benci kepadaku berbisik-bisik bersama-sama tentang aku, mereka merancangkan yang jahat terhadap aku: "Penyakit jahanam telah menimpa dia, sekali ia berbaring, takkan bangun-bangun lagi." Bahkan sahabat karibku yang kupercayai, yang makan rotiku, telah mengangkat tumitnya terhadap aku. (Mazmur 41:6-10)

Page 81: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Ada perbedaan besar antara Daud dan saya. Aniaya yang menyerang saya adalah akibat ketidak-dewasaan dan kesalah-pahaman penafsiran Firman Tuhan di pihak saya sendiri. Firman mengajarkan agar kita berdamai dengan semua orang, sejauh hal itu tergantung pada kita.

Di Amerika, orang yang difitnah dapat mencari perlindungan hukum untuk menghentikan serangan itu dan bahkan mendapat ganti rugi. Tetapi kami ada di Indonesia sebagai orang asing dimana hukum rimba kadang yang berlaku: yang kuat dapat melakukan apapun yang mereka inginkan. Sebagai tokoh masyarakat, Pak Leo dapat terus memfitnah kami dengan keras. Kami adalah orang kristen dan orang asing di dunia ini, kami tidak akan bereaksi seperti orang dunia. Kami tidak akan melawan tuduhannya dengan serangan tuduhan juga, kami hanya mengatakan kebenaran tentang diri kami sendiri. Namun demikian, kami hidup di bawah tekanan dan stres dari hari ke hari, kami gelisah setiap hari menantikan serangan selanjutnya dari Pak Leo. Ketikan laporannya sampai ke telinga kami, kami tak dapat berbuat apa-apa kecuali merintih di dalam hati.

Mungkin hal yang paling mengkhawatirkan mengenai fitnahan Pak Leo adalah unsur kebenaran di dalamnya. Situasi ini bukan hal yang baru bagi banyak gereja-gereja baru di Indonesia – Gereja kami yang belum memiliki izin dari pemerintah, atau surat izin untuk mengadakan kebaktian keagamaan. Menurut hukum Indonesia, sebuah gedung gereja boleh didirikan hanya jika memiliki izin dari pemerintah. Izin demikian sulit diperoleh karena keputusan pemerintah biasanya bergantung dari persetujuan para tetangga di lingkungan tempat gereja akan berdiri. Jika satu keluarga saja tidak setuju di lingkungan tersebut, penolakan itu bisa dipakai pemerintah sebagai alasan yang kuat untuk menolak permohonan tersebut.

Pemerintah Indonesia dengan bijak mencari jalan menghindari pergolakan sekte dan agama. Pemerintah menyaksikan dampak ketidak-stabilan dari penumpahan darah demi nama agama di negara-negara lain di seluruh dunia. Maka pemerintah akan mengendalikan kebebasan-kebebasan tertentu supaya tidak memberikan kesempatan beralasan pada pemeluk satu agama yang fanatik untuk terlibat dalam kebrutalan melawan pemeluk agama lainnya. Di Indonesia, pemeluk agama Islam itu tenang sampai ada yang mengusiknya. Tidak ada yang menakutkan bagi beberapa orang Islam dari pada masuknya gereja Kristen ke lingkungan mereka yang tenang dan penuh penyembahan pada “Allah.” Seorang dapat bayangkan reaksi kemarahan dari jemaat Injili yang bersemangat terhadap pembangunan mesjid berkubah di ujung jalan, lengkap dengan pengajian yang disiarkan melalui pengeras suara di luar mulai pukul empat pagi. Itu hanya ketegangan antar agama yang pemerintah Indonesia hindari karena ketegangan dapat meningkat menjadi kebrutalan. Cara yang termudah menghindari perilaku demikian adalah menolak izin pada orang Kristen untuk membangun gereja.

Dari permulaan di Batu Ampar, kami telah bersekutu tidak sebagai gereja resmi, tetapi hanya sebagai perkumpulan orang percaya yang bertemu di rumah kami. Tetangga sebelah kami adalah macam-macam jenis orang Islam. Di seberang jalan rumah kami tinggal imam kepala dari Batu Ampar. Di jalan kami, satu rumah memisahkan kami dari sebuah surau dan madrasah, bangunan yang digunakan untuk belajar agama dan sembahyang. Semua tetangga kami yang lain beragama Islam juga. Namun mereka dengan ramah mentoleransi keberadaan kami di tengah mereka dan tidak pernah secara umum mengeluh. Pemerintah setempat melihat kami baik-baik saja dengan tetangga maka mereka tidak mengusik kami. Peraturan bisa diterapkan secara fleksibel selama ada keharmonisan. Tetapi sekarang keharmonisan ini terganggu bukan oleh para pemeluk Islam, tetapi oleh salah satu pengikut Kristus. Dalam memberikan ancaman terhadap pertemuan kami yang “tak berizin”, Pak Leo menunjukkan posisi kami yang tidak stabil. Kami perlu memperbaikinya dengan membeli lahan yang cocok untuk mendirikan gedung gereja yang disetujui sebagai tempat pertemuan seizin pemerintah.

Tahun 1982 A Bak, saudara kami dalam Kristus yang memproduksi es dilingkungannya, menawarkan pada gereja sebuah lahan di depan sungai yang tidk jauh dari pasar pusat di mana ia berencana memindahkan pabrik esnya. Penyelidikan pertama terhadap keluarga Islam yang tinggal di sekitarnya ternyata tidak keberatan pada rencana kami. Masalah bisa timbul dari mereka. Bahkan

Page 82: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

mereka tidak memiliki penolakan beralasan karena mereka sendiri tinggal menumpang pada tanah milik A Bak yang ia ingin disumbangkan pada gereja. Terdorong dengan tidak adanya penolakan, kami memasukan aplikasi pada pemerintah lokal untuk izin pembangunan di atas tanah A Bak. Tetapi sebelum pemerintah menjawab aplikasi kami, dengan mengejutkan penduduk bersama-sama menulis pernyataan pada pemerintah menolak pembangunan gereja di lahan tersebut. Kemudian, kami dengar Pak Leo mengunjungi tempat pemukiman tersebut. Keputusan itu datang tak lama setelah itu. Mengetahui bahwa pemerintah akan menolak permohonan kami menggunakan tanah A Bak, kami meninggalkan rencana tersebut dan dengan sukacita meneruskan pertemuan kami di ruang kebaktian besar rumah kami. Tuhan memberikan tempat yang cocok pada waktu-Nya.

Namun, tahun berikutnya, kami terkejut dengan keputusan yang ditandatangani para tetangga kami, orang-orang yang selalu ramah pada kami. Keputusan itu menyatakan orang-orang menolak pertemuan orang Kristen yang diadakan di rumah kami karena melanggar peraturan, yang telah dikirim pada petinggi lokal dan propinsi. Perlawanan dari tetangga Muslim kami terhadap kami dan keputusan mengikuti suatu pola yang dikenal. Ketika keputusan sampai ke petinggi Gubernur Kalimatan Barat, seorang yang secara pribadi ditunjuk dan secara langsung bertanggung jawab pada Presiden Indonesia untuk kelanggengan ketenangan di Kalimantan Barat, sepertinya seluruh neraka menyerang kami.

Perintah dari Gubernur ialah menyelidiki dan menyelesaikan keadaan turun sampai ke bawahannya, saya diperintahkan untuk menghadap komandan militer setempat. Petinggi setempat meminta kami menghadapnya di Padangtikar, tiga jam dengan perahu. Pejabat Departemen Agama dikirim dari Pontianak untuk menyelidiki. Akhirnya, petugas penyidik pemerintah tiba di Batu Ampar. Kami diperintahkan untuk diinterogasi. Waktu yang kirtis bagi kami. Saat untuk bergantung penuh pada Tuhan kami.

“Mari masuk, mari masuk,” Pak Sudi memanggil melalui pintu di hadapan agen intelijen Indonesia yang dikirim dari Mempawah, daerah ibukota. Kami duduk di bangku kayu di seberang meja Pak Sudi, benar-benar merasa kuatir dalam hati. Sebuah mesin tik kuno menghiasi meja kayu. Pak Sudi menyelidiki kami dengan senyum penuh arti. Dari suku Melayu asli Kalimantan, berkulit gelap; rambut hitam yang tipis disisir lurus ke belakang, diimbangi dengan kumis yang memberinya penampilan sinis. Saya gemetar.

“Kami diberitahu mengenai masalah yang timbul dari tugas keagamaan Anda di sini, dan saya datang untuk bertanya.” Suara Pak Sudi ramah dan tenang berlawanan dengan sikapnya dan seriusnya persoalan. Ia terus bertanya mengenai pekerjaan kami di Batu Ampar dan apa yang kami ajarkan. “Apakah ada buku yang menjadi sumber materi pengajaran tersebut?”

“Mengapa, ya, kami punya.” Jawab saya, dengan sedikit kaget. “Apakah Anda membawanya? Bolehkah saya melihatnya?” Saya menarik Alkitab bahasa Indonesia dari tas saya dan menyodorkan pada Pak Sudi. Ia

membukanya dan setelah melihat sebentar ke beberapa halaman, ia meletakkannya di atas meja. “Apakah pendapat Anda mengenai agama Katolik?” ia bertanya. Agama Katolik? Saya

bertanya sendiri. Mengapa bertanya mengenai agama Katolik? Segera terbesit pikiran pada perbedaan dengan Pak Leo yang telah menarik banyak perhatian. Mungkin Pak Leo ada dibelakang ini semua! Saya membahasakan jawaban saya secermat mungkin sehingga tidak menyerang agama Katolik.

“Apakah benar bahwa dulu pernah berada di daerah Biang, dekat Sanggau-Kapuas, dan setelah beberapa saat kalian diusir? Saya ingin mendapatkan rincian dari segala tindak-tanduk kalian dan di mana kalian pernah berada setelah menapakkan kaki di Indonesia.”

Menyatukan ingatan saya akan tanggal dan tempat, saya menyebutkan pada Pak Sudi kegiatan kami mulai dari kedatangan kami di Biang tahun 1979, meyakinkan Pak Sudi kami tidak pernah diusir dari manapun. Dengan hati-hati menggunakan dua jari secara lamban, Pak Sudi mencatat kisah kami

Page 83: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

di mesin tik seperti yang kami perkatakan padanya. Akhirnya, sejam kemudian, catatan kegiatan kami di Indonesia telah ada di atas kertas, Pak Sudi menyandar pada kursinya dan memandang kami.

“Siapakah sponsor kalian di Indonesia?” tanyanya. Setiap orang asing yang berada di Indonesia perlu ada di bawah suatu organisasi yang bertanggung jawab. Saya memberikan nama denominasi injili Indonesia yang murah hati menerima kami beberapa tahun sebelumnya dan memberikan surat pada menteri di Indonesia. Sambil mengambil surat dari dalam tas, saya meletakkannya di meja depan Pak Sudi. Semua surat sah. Saya tidak takut, saya pikir.

Memakai sepasang kacamata berbingkai tanduk hitam, Pak Sudi mengambil surat-surat dan membaca secara teliti satu per satu dengan alis berkernyit. Ia meletakkan di atas meja dan melihat pada kami. “Apakah kalian bersama COG? Ia bertanya terus terang. “COG?” Apa itu COG?” Tanya saya bingung.

“COG singkatan dari Children of God.” Pak Sudi menjawab. Children of God? Tiba-tiba saya mengerti. Saya telah membacanya di surat kabar Indonesia.

Sekte Children of God pimpinan Moses David, mulai membagikan injil bebas di jalan-jalan kota Jakarta. Jeritan timbul, dan Departemen Agama telah mencap mereka sekte yang diluar kekristenan yang dikenal secara resmi. Mereka telah ditolak dan diminta meninggalkan negeri ini. Ketika hal yang sama timbul di Kalimantan Barat, dicurigai bahwa kami adalah orang-orang dari Children of God yang dilarang.

“Tidak, Pak Sudi,” saya jawab dengan lega, sekarang mengerti mengapa pemerintah telah bereaksi demikian keras terhadap masalah di Batu Ampar. Mereka takut jika COG telah menyebar dari Jakarta ke daerah propinsi. “Kami tidak bersama Children of God. Mereka sebuah sekte yang telah dilarang. Kami bekerja pada denominasi gereja yang dikenal pemerintah, seperti surat yang Anda lihat.”

“Ya, saya rasa Anda tidak dari COG. Bagaimana dengan izin tinggal untuk bekerja di Indonesia? Saya ingin melihatnya.” Saya tertegun. Pertanyaan yang paling saya takutkan.

Di Indonesia surat izin kerja hanya diberikan pemerintah setelah proses birokrasi yang melelahkan dan sangat lama. Mereka mengizinkan seseorang pemegang izin hanya bekerja sesuai dengan izin yang dituliskan. Jika seorang memohon izin untuk melakukan pemetaan geologi bagi sebuah perusahaan minyak, izin yang diberikan.mengizinkannya hanya melakukan pekerjaan tersebut. Ia tidak boleh terlibat dalam pekerjaan jenis lain. Izin saya betul membenarkan saya bekerja di Indonesia, tetapi tidak secara khusus menyebutkan tugas penginjilan. Setiap orang yang berusaha mendapat izin misionaris dari menteri di Indonesia akan tahu betapa sulitnya, sesuatu yang hampir mustahil. Sampai saat ini saya tinggal di Indonesia dengan izin pekerjaan sekuler. Jika ini ditemukan oleh pemerintah, saya bisa di keluarkan.

“Izin saya?” Oh, ya, ini izin saya,” jawab saya dengan ketenangan yang menyangkali rasa panik dalam diri saya. Saya memberikan kartu panjang kuning di atas meja Pak Sudi. Inilah titik kelemahan saya; satu kelemahan yang dapat menangkap saya. Seperti pedang berputar di atas saya oleh sebuah tali rapuh, ketidak-pastian ini yang terus menghantui saya: kapan saya ditemukan dan diusir, jemaat gembalaan kami terbengkalai dalam terkaman serigala buas?

Pak Sudi mengambil kartu dan memperhatikannya. Dibagian depan, di bawah nama saya, kebangsaan, tanggal lahir dan nomor passport, jelas tertulis pekerjaan saya. Tidak ada hubungannya dengan misi. Mata Pak Sudi menelusuri kartu ke atas dan ke bawah. Tidak ada reaksi, tidak ada komentar, tidak ada pandangan mengerti maupun menuduh. Ia membalikkan dan memandangnya. Kemudian mengembalikannya pada saya.

Tetapi Tuhan berfirman kepadanya: “Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta; bukankah Aku, yakni Tuhan? (Keluaran 4:11)

Page 84: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Malam itu Pak Sudi menyimpulkan bahwa kami tidak bersalah dalam pelanggaran, kami hanya korban dari rasa iri pesaing kami dalam tugas keagamaan. Itulah inti dari laporan yang akan diberikan pada atasannya di Mempawah. Tetapi masih tetap ada duri masalah dalam pertemuan jemaat Krsiten dalam lingkungan Muslim yang berpotensi menjadi tidak ramah. Ibadah kami mungkin tidak bisa berlangsung terus selamanya. Para orang Kristen harus pindah ke daerah yang netral. Pemerintah menetapkan tanggal diadakannya rapat kota membicarakan masalah ini.

Page 85: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Bab Tiga Belas Peperangan Di Dalam Roh Untuk Seorang Anak

"Guru! Guru!” Suara Akong terdengar dari lorong di luar kamar tidur kami. Waktu sudah lewat jam delapan malam, pikiran kami sudah mulai perlahan, kami sudah hampir tidur. Tidak biasanya Akong memanggil kami selarut itu dan suaranya menyiratkan adanya sesuatu yang mendesak. “Ya, Akong, ada apa?” jawab Lucille sambil melipat popok yang baru selesai dicuci ke dalam keranjangnya. Putri kecil kami Esther sudah tertidur di ruangannya di sebelah. “Om Fun ada di sini, Guru,” jawab Akong melalui pintu. Om adalah panggilan bahasa Belanda untuk kata “Paman.” Ia ingin bertemu dengan guru. Ada bayi yang sedang sakit parah di pemotongan kayu Bamiko dan Om datang untuk meminta paman pergi ke sana dan mendoakan anak itu.” Saya dan Lucille saling memandang dan mengerti. Begini lagi. Tanpa kentara tubuh saya menjadi tegang karena panggilan darurat ini. Kadang-kadang Tuhan menyembuhkan secara dramatis dan kemenangan terasa manis. Kadang pula Ia tidak berbuat demikian dan kami kuatir menghadapi keluarga yang berduka dan komentar pedas dari orang-orang percaya yang sinis yang biasanya muncul setelah kejadian itu. “Katakan padanya bahwa kami akan keluar sebentar lagi, Akong.” “Om Fun datang dari Maluku, suatu kepulauan yang penduduknya sebagian besar Kristen. Ia datang ke Kalimantan Barat untuk mencari nafkah sejak lama, ia menetap di Pontianak sebagai perwira yang suka membuat orang tertawa di kepolisian. Om dibesarkan untuk percaya bahwa walaupun kekristenan adalah agama yang patut dihormati, kekuasaan yang sebenarnya haruslah diambil melalui kuasa gelap. Jadi, kemanapun ia pergi dalam tugas kepolisiannya, ia dipersenjatai sampai ke giginya dengan segala macam jimat dan penolak bala untuk melindunginya dari bahaya. Benda-benda seperti itu ada di sekujur tubuhnya seperti di pergelangan tangan seperti gelang, di leher seperti kalung. Tetapi karena Om punya musuh-musuh yaitu oang-orang bawahannya yang menyimpan dendam kerena gaya kepemimpinannya, sehingga ia mendapat julukan yang tidak populer “Paman Pencetus”, ia membutuhkan lebih dari perlindungan standar. Baginya, paling sedikit perlindungan itu harus setara dengan rompi anti peluru, dua puluh empat jam sehari. Seluruh tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki dipenuhi dengan jimat-jimat bahkan sampai di bawah pakaian dalamnya. Dengan pertolongan dan hadiah-hadiah yang ia terima dari penjaga toko yang berterima-kasih (atau bijak) di kota. Secara keuangan Om cukup mapan. Namun ketika Tuhan ingin membangunkan anaknya yang tersesat, Om dipecat dari kesatuan polisi setelah ia membunuh seseorang secara tidak adil lalu ia menjadi bangkrut. Entah bagaimana ia berputar-putar di sepanjang pantai sampai ke Batu Ampar dan berhasil menemukan pekerjaan di tempat pemotongan kayu sebagai penjaga keamanan (satpam). Ketika Elias dan Akong pertama kali turun dari taksi air dari Batu Ampar untuk membawa Injil ke pemotongan kayu Bamiko, mereka mendatangi Om di posnya. Reasksi Om terhadap mereka pertama-tama adalah kaget dan mengejek, pikirnya: salah satu dari pelawak ini tak punya tangan dan yang satunya bicara seperti perempuan. Lagi pula, siapa kedua orang Tionghoa ini berani-beraninya berkhotbah padanya yang sudah dibaptis dan menjadi kristen sejak lahir! Akhirnya Tuhan meluluhkan hati Om dan ia menjadi pengikut Yesus Kristus yang penuh semangat. Ia membuang semua koleksi benda-benda maksiatnya dan sebagai gantinya ia memutuskan untuk percaya kepada Kristus untuk diselamatkan. Walaupun Om tidak dapat menang atas semua kelemahannya (seperti merokok dengan tak putus-putusnya) dengan melepaskannya, ia bertobat dengan sungguh-sungguh dan menjadi saksi bagi Allah. Kadang-kadang kesaksiannya yang bermacam-macam tentang mujizat yang Tuhan telah lakukan dengan murah hati untuknya membuat seluruh jemaat tertawa terbahak-bahak.

Page 86: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

“Selamat malam Om, “ kata saya sewaktu saya berjumpa dengan wajah akrab yang hitam legam dan berambut ikal pendek. Ia sudah menunggu saya di ruang tamu kami. Inilah seorang yang walaupun banyak kekurangannya, kami tidak dapat berbuat lain kecuali mengasihinya. “Ada apa malam-malam begini?” “Selamat malam, Pendeta,” jawab Om sambil tersenyum. “ada seorang bayi perempuan di pemotongan kayu yang sakit parah. Ia menderita kolera selama tiga hari terakhir ini. Orang tuanya bukan orang percaya. Saya mendatangi mereka dan menceritakan tentang bagaimana Yesus menolong banyak orang dan bahwa Ia sanggup menolong mereka. Saya katakan bahwa saya dapat membawa bapak untuk mendoakan putri mereka.” Om terdiam sejenak dari nafasnya yang terengah-engah sebelum ia melanjutkan, “Tetapi mereka bilang mereka tak mampu membayar 100 dolar untuk memanggil seorang pendeta datang.” “Mereka pikir untuk datang saya ingin dibayar?” sela saya sambil tertawa. “Mereka pasti menyamakan saya dengan dukun!” “Jadi saya katakan pada mereka bahwa bapak pendeta sendiri sudah punya banyak uang dan tidak membutuhkan uang mereka,” lanjut Om. “Kemudian mereka katakan, ‘Ok, pergilah dan mintalah pendeta itu datang.’” “Kami akan datang, Om. Mohon tunggu sebentar sementara saya berganti pakaian. Akong akan ikut dengan saya.” Kira-kira setengah jam kemudian, Om, Akong dan saya telah naik perahu menyusuri pelabuhan. Perahu itu bertolak dari dermaga, berjalan mengikuti batas pantai selama sepuluh menit untuk sampai di pemotongan kayu yang dikenal sebagai Bamiko. Kami memanjat naik ke dermaga dan mengikuti Om, berjalan dengan hati-hati di dalam gelap di atas jalanan dari papan yang mulai reyot sampai ke pondok yang dihuni oleh keluarga dari seorang yang bernama Aliung. Aliung adalah seorang Tionghoa berumur empat puluhan, berpostur tinggi dan banyak uban di rambutnya. Dengan sopan ia mempersilahkan kami masuh ke dalam rumahnya dimana beberapa kerabat dan tetangga telah berkumpul untuk menghibur dirinya dan istrinya. Bayi-bayi sering meninggal di daerah seperti Batu Ampar. Para sahabat dan sanak saudara cepat sekali datang untuk menghibur orang tua yang berduka. Anak Aliung masih hidup namun dari raut wajahnya tidak ada yang yakin bahwa ia akan hidup sampai esok pagi. Mereka sering sekali melihat kasus-kasus tragis seperti yang terjadi pada anak perempuan Aliung sehingga mereka tahu umurnya sudah tak panjang lagi. Kematian seorang anak merupakan suatu kesedihan yang luar biasa. Tetapi apa yang dapat dilakukan? Hidup sangat rapuh. Aliung memimpin kami masuk ke dapur dimana seorang wanita muda sedang duduk menunggui seorang bocah yang dibaringkan di atas sepotong kain yang dipaparkan begitu saja di atas lantai kayu yang keras. Akong dan saya berlutut di samping anak itu. Usianya belum lagi delapan bulan, anak itu sangat menderita. Ia lemah dan nafasnya hampir-hampir tak terdeteksi, bola matanya sudah terbalik. Saya melihat pada Aliung. “Guru,” Aliung memulai ceritanya, “dia sudah muntah-muntah dan mencret selama tiga hari terakhir ini. Kami sudah membawanya ke Batu Ampar untuk diobati di Puskesmas tetapi tidak ada hasilnya.” “Apakah bapak sudah membawanya ke dukun?” tanya saya secara firasat. Orang tidak percaya, khususnya bila mereka keturunan Tionghoa, pada umumnya mencari dukun serta obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit. Setiap pemotongan kayu paling sedikit memiliki satu dukun yang melayani penduduk setempat, mencari makan dengan berkonsultasi dengan roh-roh untuk pelanggannya yaitu para buruh. Untuk beberapa pemotongan kayu yang jauh terpencil dari Batu Ampar dan dipisahkan oleh sungai dan hutan, dukun merupakan alternatif yang banyak dipilih masyarakat setempat karena mudah dijangkau dan tidak mahal daripada mereka mencari pertolongan medis di kota. Dukun penduduk Bamiko adalah seorang pria bernama “Lo Wong” yang diterjemahkan artinya “Pak Tua

Page 87: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Wong.” Aliung merasa sungkan, ia terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan saya. Ia tahu bahwa perdukunan itu dilarang bagi orang kristen. “Yaahh..” kata Aliung terbata, “Saya, eh, ya, saya, eh, iya. Kami membawa bayi kami ke Pak Tua Wong. Tetapi ia tidak sembuh.” “Aliung,” saya menegaskan, “jika seseorang menginginkan pertolongan dari Tuhan, pertama-tama ia harus mengakui bahwa Tuhan adalah sungguh-sungguh Tuhan. Kita tidak boleh lagi percaya kepada ilah atau dukun, kita harus menyerahkan semua itu tanpa syarat. Jika kamu mau meminta Tuhan menyembuhkan bayimu, pertama-tama kamu harus membuang semua ilah-ilahmu, jimat dan segala benda kuasa gelap. Berikan semua itu kepada kami dan kami akan membakarnya di belakang sana. Pada masa awal pelayanan kami, biasanya saya mendorong orang untuk bertobat dan berpaling kepada Tuhan sebagai syarat untuk menerima kesembuhan dariNya. Semakin dalam saya mempelajari pelayanan kesembuhan di dalam Injil, saya mendapati bahwa Yesus tidak mengharuskan syarat seperti itu. Satu-satunya faktor terpenting bagi orang sakit untuk menerima kesembuhan dariNya ialah iman bahwa Yesus sanggup dan akan menyembuhkannya, bukan iman kepada Yesus sebagai Mesias. Setelah menyaksikan mujizat barulah banyak orang memutuskan untuk mengikut Yesus sebagai Mesias mereka. Di dalam pandangan saya, inilah tujuan utama mengapa Yesus membuat mujizat. Ayah dari bayi yang sakit itu setuju dengan persayaratan yang saya berikan setelah ragu beberapa saat lamanya. Tidaklah mudah berpisah dengan hal atau benda yang menurutnya berisikan kuasa tertentu, apalagi melepaskannya untuk dibakar! Ada beberapa benda itu yang dibuat oleh Pak Tua Wong sendiri, yang tinggal hanya beberapa rumah di jalan kayu itu. Apabila Pak Tua Wong sampai tahu bahwa Aliung telah menyerahkan semua benda-benda keramat yang ia berikan untuk dihujat dengan dibakar di dalam api, entah apa yang akan ia lakukan! Tetapi yang dipertaruhkan di sini adalah nyawa anaknya yang kekasih. Ia masuk ke dalam kamar tidurnya. Beberapa saat kemudian, Aliung muncul kembali dengan beberapa benda kecil di tangannya. Sambil menyembunyikan kekecewaan saya akan betapa kecilnya jarahan kami bagi Tuhan, saya mengambil jimat-jimat itu dan memberikannya kepada Akong yang membawanya ke halaman belakang dan membakarnya. Bersama dengan Om Fun, saya mulai berdoa untuk anak itu. Sementara Om berseru kepada Tuhan dengan suaranya yang tulus, meminta belas kasihan, saya menumpangkan tangan di atas dahinya dan menengking kelemahannya di dalam nama Yesus, memerintahkannya untuk menjadi sembuh. Akong kembali dan bergabung dalam doa. Beberapa saat kemudian, mata bayi itu tertutup. Saya menatap wajahnya, begitu cantik dengan bulu matanya yang lentik dan lembut seperti boneka. Ia membuka matanya dan melihat pada saya. Untuk beberapa saat yang begitu menyentuh, matanya yang bening terus menatap saya dengan sangat lembut. Tangan kecilnya menggapai-gapai pakaian saya seakan. Hati saya luluh. Tiba-tiba tubuhnya kejang, bola matanya terbalik lagi sewaktu ia kembali jatuh dalam kondisi kritis. Cepat-cepat kami tumpangkan tangan ke atasnya sekali lagi sambil menengking tekanan penyakit di dalam nama Yesus. Suatu perasaan déjà vu menghampiri saya; saya pernah menghadapi pergumulan hidup dan mati macam ini sebelumnya. Bagaimana akhir dari cerita ini? Oh Tuhan, berikan kami hikmat untuk mengetahui apa yang harus kami lakukan, seru saya di dalam hati. Sambil berlutut di sampingnya, Om Fun terus menerus berseru kepada Tuhan sambil saya menengking roh kematian yang mengelilinginya seperti burung pemakan bangkai diusir dari pantai. Setelah beberapa menit, ia mulai menjadi kuat, matanya kembali normal dan pernafasannya menjadi stabil. Melihat hal ini, kami berhenti sejenak dari peperangan untuk beristirahat. Tetapi begitu kami berhenti, kondisinya kembali jatuh kritis. Pada saat itu, sesuatu terlintas dalam pikiran saya. Saya bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Aliung.

Page 88: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

“Aliung, kamu masih punya beberapa jimat di belakang sana bukan?” tanya saya dengan tiba-tiba. “Jika kamu ingin anakmu sembuh, kamu harus serahkan semuanya. Tuhan melihat segalanya. Kamu tidak bisa menyembunyikan apapun daripadanya!” Aliung bergumam dengan malu dan kembali ke belakang rumahnya. Dalam beberapa detik ia kembali dengan beberapa benda lagi di tangannya. Akong mengambilnya dan membakarnya di luar. Saya kembali kepada bayi itu sambil berlutut sekali lagi. “Di dalam nama Yesus Kristus,” saya melantunkan, “saya katakan kepadamu, anak kecil, sembuhlah!” Pergumulan kembali terjadi dan terus berlanjut. Sewaktu saya mengucapkan nama Tuhan, ia sembuh. Tetapi ketika saya berhenti, ia kembali jatuh kritis. Tapi ada sedikit perbedaan: masa sembuhnya sebelum jatuh kritis lagi berlangsung lebih lama dari sebelumnya. Kami memang sudah mulai mendapatkan sesuatu, tetapi akhir dari semua ini belum terlihat sama sekali. Hari semakin larut. Badan kami mulai letih. Saya bangkit dan menghadapi lagi Aliung seperti sebelumnya. Ia berlari lagi ke belakang dan kembali dengan jimat-jimat lagi. Sekali lagi Akong pergi keluar dengan korek api dan sebotol kecil minyak tanah. Om merasa ia perlu udara segar setelah lebih dari satu jam di dalam tempat yang begitu panas berdoa untuk bayi itu. Ia menyelinap keluar dengan diam-diam pada saat jeda ke ruangan depan yang menghadap jalanan papan itu. Kelihatannya di luar ada keributan. Om mendengar suara hentakan kaki dan suara orang berteriak-teriak. Orang-orang berkumpul di teras di jalanan papan itu untuk menonton sesuatu atau seseorang. Karena penasaran, Om melihat ke luar jendela. Matanya jatuh pada seorang pria setengah telanjang di setiap tangannya ia memegang tongkat dupa atau hio besar yang menyala sambil menari ke depan dan ke belakang di jalanan papan di depan rumah Aliung seperti seorang dukun kesurupan. Om melihat dengan hati-hati. Di bawah terang hio yang menyala-nyala ia dapat mengenali dengan mudah wajah Pak Tua Wong, dukun Bamiko. Apa pula yang sedang ia lakukan sambil mengenakan celana pendek, pusarnya kemana-mana, melompat-lompat dengan hio raksasa itu? Tiba-tiba Om paham. Seseorang yang melihat apa yang terjadi di dalam rumah pergi memberitahukan Pak Tua Wong. Kliennya, keluarga Aliung, sedang direbut oleh orang-orang kristen yang dibencinya. Mereka sedang mengusir “roh-roh jahat” dari anak perempuan Aliung, untuk mana selama beberapa hari terakhir ini, dukun itu telah berkonsultasi dengan roh-rohnya. Ini adalah suatu hujatan baginya! Yang paling buruk dari semuanya, orang-orang kristen membakari jimat-jimat yang dibuat oleh Pak Tua Wong selama bertahun-tahun untuk keluarga Aliung! Dengan geram, Pak Tua Wong mengambil sepasang hio yang paling besar yang ia miliki dan setelah menyalakannya ia langsung berlari tanpa merasa perlu untuk memakai pakaian dan celana dalamnya. Rasanya kepingin sekali ia memberi pelajaran kepada orang-orang kristen ini agar menghormati karya seninya yang sudah terbukti dan ilah-ilahnya. Ia memanggil ilah-ilahnya untuk menghancurkan baik orang –orang kristen ini maupun anak kecil yang mereka ingin tolong. Sudah tentu ilah-ilah itu akan mempertahankan kehormatan dan hamba mereka. Mereka bukanlah makhluk yang tidak punya kuasa. Dengan kesurupan di depan rumah Aliung, Pak Tua Wong berusaha dengan sekuat tenaga memanggil kuasa setan yang tertinggi yang ia tahu untuk menghajar para penyusup ini. Sementara itu, Akong, tanpa sadar akan apa yang sedang terjadi di depan, sedang berada di luar di belakang dekat kamar pembantu, ia sedang bersiap-siap untuk membakar jimat-jimat rombongan ke tiga. Biasanya ia berdoa untuk perlindungan Tuhan sebelum membakar jimat-jimat, tetapi karena ini adalah ketiga kalinya malam itu, Akong karena lelah, memutuskan untuk terus sjaa tanpa berdoa dulu. Setelah menuangkan minyak tanah di atas jimat-jimat itu, ia membuang korek api ke dalamnya dan membakarnya. Akong melihat jimat yang hancur meletus dan memercik di tengah api. Tiba-tiba, lengannya seperti teriris sesuatu. “Aauuww!” ia menjerit sambil melihat ada apa di tangannya. Darah mengucur dari bekas goresan tepat di atas pergelangan tangan. Cepat-cepat ia meletakkan tangan kosongnya ke atas luka tersebut, Akong berseru, “Di dalam nama Yesus!” Ia

Page 89: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

mengangkat tangannya dan melihat ada luka kira-kira lima sentimeter yang menyerupai cakaran kucing. Tetapi siapa yang telah melakukan hal itu? Akong melihat-lihat ke sekeliling namun tidak melihat apa-apa. Lagipula, tidaka da orang atau hewan yang bisa sedekat itu dengannya tanpa ia lihat. Pada saat itu Akong sadar bahwa itu adalah serangan dari alam roh. Di dalam rumah, drama yang lain sedang berlangsung, suatu peperangan untuk kehidupan bayi perempuan itu. Saya tidak mengerti akan hal ini. Aliung jelas-jelas telah melepaskan semua jimatnya. Setiap kali saya mengusir penyakit anak ini di dalam nama Yesus, ia kelihatan pulih. Melihat hal itu saya berhenti melayani. Tetapi dalam beberapa detik, ia kembali kejang-kejang, bola matanya terbalik, sungguh suatu pergumulan yang menyiksa untuk bertahan hidup. Apa yang sedang terjadi? Tuhan tidak akan bermain kucing-kucingan dan meledek kami berulang-ulang dengan sesuatu yang tampak seperti pelepasan tetapi kemudian anak itu kembali tenggelam sekali lagi dalam gigitan maut, bukan? Dapur itu terasa panas membara. Pakaian saya basah kuyup dengan keringat. Butiran-butiran keringat menetes dari wajah saya ke atas lantai sewaktu saya berlutut di samping anak itu sambil menengking penyakitnya dalam nama Yesus. Saya semakin letih, tubuh, kaki, lutut dan suara saya. Sudah dua jam lebih. Setiap kali kondisinya anjlok, saya kembali lagi berseru-seru walaupun dengan suara serak, hampir-hampir seperti mesin, seperti rekaman, “Di dalam nama Yesus….” Pokoknya saya tidak bisa berhenti; anak itu pasti akan mati jika saya berhenti. Saya harus terus bertahan, demi anak ini, demi orangtuanya, demi Kerajaan Allah, tetapi mungkin terutama demi reputasi dan pelayanan saya. Apa yang akan dikatakan orang-orang jika anak ini mati di tangan saya? (Betapa bengkoknya hati manusia!) Tetapi berapa lama lagi semua ini akan berlangsung? Berapa lama lagi saya akan bertahan? Saya tidak tahu betapa hebatnya pergumulan yang sedang saya jalani. Dilihat dari surga, seorang pengamat mungkin sedang menyaksikan suatu kekuatan yang berlawanan terkunci dalam suatu pertempuran sengit. Di dalam rumah itu dua atau tiga orang kristen sedang mengerahkan seluruh kekuatan mereka di dalam Tuhan Yesus Kristus untuk memulihkan kehidupan anak yang sedang sekarat. Sedangkan di luar rumah seorang dukun sedang mengamuk dengan mengerahkan seluruh pasukan setannya untuk menyerang orang yang menghujatnya. Pasukan itu tidak berhasil menembus perisai Yang Maha Tinggi di sekitar hamba-hambaNya kecuali hanya membuat goresan kecil di satu orang. Mungkin mereka melampiaskan kemarahan mereka ke atas bayi yang sekarat itu. Ketika nama Yesus disebutkan, mereka harus mundur dan kuasa Tuhan menguatkan anak itu. Tetapi ketika Nama itu tidak lagi disebutkan, mereka kembali berkumpul menyerang bayi itu seperti sekumpulan burung bangkai yang lapar. Dengan terus bertekun, saya terus berperang. Bak pahlawan mitos Yunani yang berusaha mendorong batu besar ke atas bukit terus menerus gagal setiap kali hampir mencapai puncak, batu besar itu kembali berguling ke dalam lembah, demikian juga saya merasa terjebak di dalam siklus yang tak ada ujungnya. Tetapi sementara waktu berselang, bayi itu kelihatan membaik. Setiap kali ia kelihatannya mendekati puncak dan sewaktu ia jatuh kembali ke dalam lembah, kelihatannya ia tidak jatuh sedalam sebelumnya.Merasakan adanya kemenangan, saya mengumpukan seluruh sisa energi saya untuk mendorong sekuat tenaga ke atas puncak untuk terakhir kalinya. “Di dalam Nama Yesus Kristus, saya ikat kekuatan iblis yang berniat mengambil nyawa anak ini. Bayi kecil, sembuhlah!” Saya melihat ke bawah ke atasnya. Matanya terbuka lebar-lebar. Ia bernafas dengan kuat. Kakinya menendang-nendang, kelihatannya ia memberi tanda pada saya bahwa ia sudah sembuh. Saya menunggu beberapa saat kalau-kalau kondisinya akan anjlok lagi. Tidak lagi! Saya bangkit berdiri dan memberitahu Aliung dan istrinya bahwa nama Yesus Kristus telah menyelamatkan putrinya. Saya mendorong mereka untuk menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan mereka.

Page 90: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Ketika Akong dan saya kembali ke rumah malam itu, waktu itu sudah tengah malam dan kami lelah sekali. Di Bamiko kami bergelut dengan kuasa kegelapan di dalam pergumulan dan peperangan yang berlangsung non stop selama tiga jam. Tuhan memberikan kami kemenangan. Keesokan paginya, Om datang lagi. “Pak pendeta,” serunya, “bayi itu sudah benar-benar sehat. Ornag-orang hapir tak percaya. Begitu banyak orang berkumpul di teras rumah Aliung untuk melihat bayinya sehingga lantai papannya pecah karena tak kuat menanggung beratnya beban!” Dalam beberapa minggu kemudian kami berhasil memulai kebaktian mingguan di Bamiko. Keadaan ini mengingatkan saya akan apa yang Daniel alami:

Pada waktu itu aku, Daniel, berkabung tiga minggu penuh: makanan yang sedap tidak kumakan, daging dan anggur tidak masuk ke dalam mulutku dan aku tidak berurap sampai berlalu tiga minggu penuh. Pada hari kedua puluh empat bulan pertama, ketika aku ada di tepi sungai besar, yakni sungai Tigris, kuangkat mukaku, lalu kulihat, tampak seorang yang berpakaian kain lenan dan berikat pinggang emas dari ufas. Tubuhnya seperti permata Tarsis dan wajahnya seperti cahaya kilat; matanya seperti suluh yang menyala-nyala, lengan dan kakinya seperti kilau tembaga yang digilap, dan suara ucapannya seperti gaduh orang banyak. Tetapi ada suatu tangan menyentuh aku dan membuat aku bangun sambil bertumpu pada lutut dan tanganku. Katanya kepadaku: "Daniel, engkau orang yang dikasihi, camkanlah firman yang kukatakan kepadamu, dan berdirilah pada kakimu, sebab sekarang aku diutus kepadamu." Ketika hal ini dikatakannya kepadaku, berdirilah aku dengan gemetar. Lalu katanya kepadaku: "Janganlah takut, Daniel, sebab telah didengarkan perkataanmu sejak hari pertama engkau berniat untuk mendapat pengertian dan untuk merendahkan dirimu di hadapan Allahmu, dan aku datang oleh karena perkataanmu itu. Pemimpin kerajaan orang Persia berdiri dua puluh satu hari lamanya menentang aku; tetapi kemudian Mikhael, salah seorang dari pemimpin-pemimpin terkemuka, datang menolong aku, dan aku meninggalkan dia di sana berhadapan dengan raja-raja orang Persia. Lalu aku datang untuk membuat engkau mengerti apa yang akan terjadi pada bangsamu pada hari-hari yang terakhir; sebab penglihatan ini juga mengenai hari-hari itu." (Daniel 10:2-6, 10-14)

Pergumulan sengit antara kekuatan Allah dan iblis di dalam kehidupan orang-orang kudus, digambarkan begitu jelas oleh nabi Daniel bahkan sampai saat ini.

Page 91: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Bab Empat Belas Orang Lumpuh Berjalan

Rapat kota untuk membahas hal orang-orang kristen yang bermasalah di Batu Ampar sudah ditetapkan pada tanggal 24 April, 1984. Sebuah bioskop kosong di tengah kota akan dipakai sebagai tempat rapat. Semua tokoh masyarakat telah diundang karena tidak ada yang bisa diputuskan tanpa persetujuan seluruh kota. Pemerintah berniat meminimalisasi peluang terjadinya kekerasan agama di masa yang akan datang. Rapat dimulai oleh Camat, pemimpin masyarakat yang syah di Batu Ampar. Dua orang pejabat pemerintah lainnya juga membantu memimpin jalannya rapat. Duduk di sebelah kanan Camat adalah Danramil, komandan batalion militer setempat. Di sebelah kirinya, duduk Kapolsek, kepala kepolisian wilayah setempat. Di depan mereka berjejer meja-meja kantin yang bisa dilipat di depan bioskop menghadap sekelompok kecil masyarakat kota itu yang telah memenuhi lima ata enam baris pertama tempat duduk. Di antara pengunjung di sana sini ada beberapa orang kristen, termasuk saya dan Lucille. Pak Camat membuka rapat itu dengan pidatonya yang mendorong masyarakat untuk berlaku adil dan toleransi terhadap orang-orang dari agama lain dengan semangat melaksanakan Pancasila, dasar negara Indonesia. Himbauan ini jelas merupakan reaksi masyarakat terhadap kehadiran keristenan di Batu Ampar. Lalu ia meminta penduduk kota yang berkumpul di sana untuk mengungkapkan pendapat mereka tentang di mana seharusnya orang kristen membangun gereja mereka. “Batu Ampar banyak dihuni oleh pemeluk agama Islam,” kata seorang pria, “tidaklah pantas gereja kristen dibangun di sini. Biarlah bapak misionaris dan istrinya itu membangun gerejanya di Tanjung Beringin dimana disana ada orang kristen.” Tanjung Beringin adalah suatu daerah terpencil yang membutukan beberapa jam perjalanan dengan perahu. Beberapa orang lainnya juga memberikan usulan dengan antusias. “Bapak-bapak,” interupsi pak Camat, “Bapak missionaris dan istrinya ini juga memiliki hak untuk memajukan agama kristen di Batu Ampar. Sesuai dengan Pancasila, Indonesia bukanlah negara Islam melainkan negara yang mendukung kelima agama yang diakui, termasuk Islam dan kekristenan, keduanya memiliki hak yang sama untuk melaksanakan agama mereka.” Walaupun pak Camat itu sendiri adalah seorang muslim, dalam peranan sebagai pejabat masyarakat, ia telah dididik untuk menghargai dan menjunjung tinggi hukum tanpa pandang bulu. Setelah ditetapkan demikian oleh pejabat setempat, kami tidak lagi bisa diusir dari Batu Ampar, ia kemudian kembali pada pertanyaan dimana kami seharusnya membangun gereja kami. “Bapak Danramil, Kapolsek dan saya sendiri sekarang ingin mengajukan usulan beberapa lokasi dimana orang kristen bisa membangun gerejanya. Kami, artinya semua yang hadir dalam rapat itu, harus bekerja sama untuk menunjuk suatu lokasi yang dapat diterima oleh setiap orang. Kita harus berkerja sama untuk mencapai perdamaian dan kerukunan untuk memfasilitasi kemajuan kota kita di masa mendatang.” Kedengarannya baik, pikir saya setelah mendengar kata-kata pak Camat. Ia berusaha untuk bersikap adil. “Kami telah mendengar pendapat para penduduk di lingkungan wilayah pabrik es,” lanjut pak Camat, mengenai kesepakatan yang dibentuk oleh warga lingkungan yang langusng terlibat menanggapi usulan untuk dibangunya gerja kami di atas tanah yang disumbangkan oleh saudara A Bak. “Masyarakat sekitar tidak menginginkan didirikannya gereja di atas tanah Bapak A Bak dan para tetangga pak Pendeta juga telah mengindikasikan bahwa mereka keberatan rumah tersebut dipakai untuk ibadah orang kristen. Oleh sebab itu, bapak-bapak yang terhormat, kami mengusulkan lokasi

Page 92: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

yang lain yang kami harap dapat diterima oleh semua dari kita. Kami mengusulkan sebuah lokasi di Jalan Kemuning, dekat Kantor Pusat Danramil.” Sangat adil, pikir saya. Beberapa orang langsung berdiri. “Kami tidak ingin gereja dibangun di sana!” kata yang seorang. “Kami tinggal di daerah itu.” Oh, sukses deh, saya keberatan di dalam hati. “Jika demikian masalahnya,” jawab pak Camat, “Kami usulkan lokasi lain, suatu tanah pemerintah yang belum digarap sekitar tujuh puluh meter di belakang rumah pak pendeta. Tidak ada penduduk yang tinggal di sekitar itu, jadi tidak akan mengganggu siapapun. Hening sejenak. “Tidak, kami keberatan!” seru seseorang dari belakang kami. “Kami memiliki ladang di daerah itu dimana kami bercocok tanam. Kami tidak mau ada gereja di dekat kami sementara kami menggarap ladang kami.” Alis pak Camat sedikit terangkat. Ia mulai tidak sabar dengan penduduk desa ini. Kenapa gereja di seberang ladang dapat mengganggu mereka? Apakah iman mereka kepada Allah begitu lemah sehingga mereka bisa jatuh hanya dengan berjalan melintasi atau melihat pada sebuah gereja, pikirnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Baiklah kalau begitu. Bapak-bapak, kita harus bersikap adil. Cobalah meletakkan diri saudara di posisi orang kristen. Maukah saudara diperlakukan demikian sebagaimana saudara memperlakukan mereka?” “Mari saya usulkan lokasi yang lain,” lanjut pak Camat. “Lokasi ini cukup jauh dari rumah dan ladang saudara-saudara. Kita dapat memberikan orang-orang kristen sebidang tanah diujung dari lapangan umum.” Lapangan umum ini lokasinya di pinggir kota, kira-kira setengah kilometer dari pasar pusat. Biasanya dipakai untuk sarana olah raga dan tempat masyarakat berkumpul untuk upacara Hari Kemerdekaan. Dan lokasi itu jauh terpencil dari rumah-rumah dan tanah pertanian. Para hadirin terdengar berbisik-bisik dan menggerutu. Pak Camat menunggu tanggapan dari mereka. Tidak mungkin mereka keberatan dengan lokasi ini, pikirnya. Seorang pria di barisan depan angkat suara. “Kami tidak setuju dengan lokasi itu karena terlalu dekat dengan pekuburan muslim.” Mendengar alasan itu, pak Camat tak dpat lagi menahan diri. “Apa salahnya dengan gereja yang dibangun dekat pekuburan kami? Apakah menurut saudara roh-roh orang mati itu akan terpengaruh dengan gereja di dekatnya?” Ini konyol, pikirnya. Ia menunggu, walaupun tahu itu akan sia-sia saja. Ia tahu bahwa orang-orang itu tidak berusaha bersikap adil melainkan dengan sengaja mereka menolak usulan-usulannya agar dapat memasksanya mengajukan lokasi yang jauh terpencil. Saya dan Lucille duduk dengan pasif mendengarkan semua proses ini berlangsung. Seolah-olah kami adalah penonton film, melihat orang lain membahas dan menentukan nasib kami. Pak Camat akhirnya mengangkat kedua tangannya dan mengatakan kepada orang banyak itu, “Jadi di mana kalian menginginkan mereka membangun gereja?” Ia tahu bahwa mereka hanya akan puas bila lokasinya dipilih oleh mereka sendiri. Pasti mereka akan memilih tempat yang konyol. Tetapi apa yang dapat ia lakukan? Sebagai pejabat masyarakat, tugasnya adalah menjaga kerukunan dengan cara apapun. Jika harganya adalah orang kristen harus membangun gerejanya di tempat terpencil, itulah yang harus terjadi. “Pak Camat.” Seorang pria berdiri. “Ya?” sahut pak Camat. “Kami mengusulkan suatu tempat di pemotongan kayu Kalimantan Sari, di sepanjang tepi air. Pak Camat berpikir sejenak. Ia berusaha membayangkan lokasi itu tapi tidak berhasil, “Di mana persisnya tempat itu?” tanyanya, “Saya tidak tahu di mana tempat itu.” Pak Danramil yang lebih akrab dengan daerah setempat, berdiri dan menghampiri papan tulis yang dipasang untuk rapat itu. Ia mengambil sepotong kapur dan menggambarkan sketsa dari daerah yang dimaksud. Lalu ia menunjukkan lokasi yang diusulkan tersebut.

Page 93: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Saya tahu tempat itu. Dilihat dari jaraknya memang tidak jauh dari pusat kota, tetapi sulit untuk mencapai tempat itu. Agar dapat sampai ke gereja, kita harus berjuang melalui dataran yang berat. Kita bisa menempuh dengan cara itu atau berjalan melalui lika-liku pemotongan kayu Kalimantan Sari yang besar. Kedua-duanya sangat sulit. Saya mulai menimbang-nimbang kemungkinan menggunakan tanah itu. Kita harus membuka jalan kami sendiri dari jalan utama sampai ke gereja itu… “Pak pendeta, apakah lokasi ini dapat bapak terima?” pak Camat menanyakan saya. “Ya, eh, ya, baiklah.” Jawab saya, walaupun saya belum lagi melihat tanah itu atau memikirkannya secara terperinci. Sudah untung kami tidak diusir, pikir saya. Pak Camat sudah berusaha bersikap adil terhadap kami dengan membela hak-hak kami di hadapan masyarakat. Saya tahu lebih baik kami mengambil apa yang mereka berikan kepada kami. Keadaannya bisa saja lebih buruk dari ini. Kami setuju mengambil tanah itu dan sebagaimana yang diminta oleh pak Camat, kami harus membangun gereja kami segera. Para penduduk kota puas. Mereka tahu bahwa di lokasi yang begitu sulit dijangkau, berita Injil cukup dapat diisolasikan. Pada dasarnya mereka tahu bahwa tanah yang diberikan kepada kami adalah tanah rawa yang ditumbuhi dengan liar oleh tanaman liar. Pada musim hujan yang berlangsung beberapa bulan setiap tahunnya, daerah itu sebenarnya terendam habis. Kemudian kami juga mendapati hal ini. Dengan dibereskannya masalah lokasi gereja kami, kami alihkan perhatian kami sepenuhnya pada pelayanan. Melalui buku-buku dari Amerika Serikat, kami belajar tentang konsep kelompok sel. Kelompok sel menjadi sangat populer di gereja-gereja Amerika. Dalam beberapa kasus, konsep ini telah menyumbangkan pertumbuhan gereja yang pesat secara dramatis. Kami ingin pertumbuhan seperti itu di jemaat kami, jadi kami memulai kelompok-kelompok sel. Harapan kami bukan hanya membawa jiwa-jiwa baru dalam kerajaan Allah, tetapi kami juga ingin melihat orang-orang yang dipilih untuk memimpin kelompok sel pada akhirnya nanti akan bertumbuh dewasa dan menjadi pemimpin jemaat. Keadaan semakin jelas bagi kami bahwa kami tidak akan tinggal di Indonesia selamanya. Sewaktu tiba waktunya bagi kami untuk pergi, harus ada orang-orang yang siap untuk mengambil alih kepemimpinan dan tugas ini. Tuhan telah mempersiapkan beberapa orang untuk memimpin kelompok sel. A Bak dan istrinya A Bak So, Elis, Akong, Asiu dan Lanyi adalah pilihan utama kami. Kami juga menambahkan Chin-kuo, Ameng, Ibu Sri dan Ibu Simon. Chin-kuo adalah pemilik kedai kopi di sebelah rumah A Bak di pasar pusat. Ameng adalah cucu dari Nenek, seorang tua yang adalah Kepala Suku yang saya kunjungi dalam pelayanan setiap minggu dengan mengambil resiko akan hidup dan kaki saya dimana saya harus menaiki sepeda gunung ke desanya yang jauh terpencil di Jeruju Kiri. Ameng yang berusia enam belas tahu adalah anggota pertama dalam keluarga besar itu yang menerima Kristus. Ibu Sri adalah istri seorang tentara yang ditempatkan di Batu Ampar. Ibu Simon tinggal di pemotongan kayu bernama Medang Kerang Djaya atau “MKD” dengan suaminya yang menjadi kapten kapal kecil bagi pemotongan kayu tersebut. Setiap orang dari mereka yang dipilih ini bertemu dengan Allah dengan cara yang sangat menggugah. Setiap dari mereka memiliki kesaksian yang menyentuh hati dan setiap dari mereka siap untuk memberitakan nama Tuhan Yesus yang telah memanggil mereka. Kami kumpulkan mereka dan kami jelaskan apa yang kami rasakan Tuhan inginkan bagi mereka. Mereka menerima panggilan Tuhan untuk melayani dan memberi komitmen untuk dilatih. Setelah dilatih selama beberapa minggu, kelompok sel dimulai dibwah pengawasan kami. Sekali seminggu mereka bertemu dengan kami untuk menerima bahan-bahan yang harus diajarkan di dalam kelompok sel masing-masing. Pada awalnya, program ini berhasil. Dalam waktu dua bulan, pengunjung di kebaktian Minggu naik empat puluh persen. Kami mulai dengan empat belas kelompok sel dan Tuhan memberkati. Kelompok sel Akong dimulai dengan tiga orang. Dalam waktu enam minggu, yang hadir di kelompok

Page 94: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

selnya melonjak sampai sekita dua puluh lima orang. Lanyi yang baru dua tahun di dalam Kristus, berkhorbah dengan begitu semangatnya di kebaktian kelompok selnya sehingga hampir kehilangan suaranya. Seringkali pada akhir kebaktian, orang akan memintanya untuk melayani kesembuhan . Imannya yang dapat memindahkan gunung seringkali menghasilkan kesembuhan langsung. Dengan cara ini, para pemimpin mendapatkan banyak kesempatan untuk melayani di dalam kelompok sel mereka. Sebelumnya, orang biassanya datang kepada kami untuk dilayani kesembuhan atau didoakan untuk masalah lainnya. Dengan cara ini, orang melihat bahwa Tuhan bukan hanya menjawab doa gurunya yang dari Amerika tetapi juga menghargai doa orang-orang lokal di sana. Hal ini membuat perubahan yang berarti di dalam pemikiran merkea. Pengalaman mereka yang terdahulu dengan para dukun menunjukkan bahwa kuasa dari ilah mereka hanya disalurkan melalui para dukun. Ketika para dukun itu berkonsultasi dengan roh-roh untuk mereka, mereka tidak diminta melakukan apa-apa kecuali menunggu dengan pasif atau menjalani ritual pembakaran menyan atau bersujud. Mereka tak harus percaya di dalam hati. Tidak perlu memuji dan menyembah dengan segenap hati, tidak perlu iman yang aktif dan percaya untuk menghampiri ilah mereka. Dukun itu yang melakukan semuanya. Kini orang-orang melihat bahwa Tuhan Allah bukan hanya mendengar doa para missionaris Ia juga mendengar doa para pemimpin kelompok sel. Jika Tuhan mendengarkan doa pemimpin setempat, tidak ada alasan Tuhan tidak mendengar doa mereka juga. Dengan cara ini, orang-orang didorong untuk mencari Tuhan secara langsung melalui PutraNya Yesus Kristus. Inilah permulaan dari keimaman semua orang percaya di Batu Ampar. Pada saat yang sama , hal-hal baru mulai terjadi pada Minggu pagi. Seorang anak muda bernama Aweng menderita demam tinggi selama beberapa hari. Ia datang dari daerah lain bernama Padangtikar untuk mengunjungi adiknya yang tinggal di Batu Ampar. Kami dipanggil untuk melayani dia. Selama beberapa hari, beberapa dari kami membagikan Injil dengannya dan mencoba melayani kesembuhan padanya. Tetapi demamnya terus mengamuk. Akhirnya, Lanyi membawanya ke rumah sakit missionaris Baptis Konservatif di sebelah utara Pontianak, tidak jauh dari perbatasan Malaysia Timur. Perjalanan dua hari menuju ke sana cukup sulit dan hanya seorang dengan anugerah dan kekuatan seperti Lanyi yang dapat membawanya. Para dokter misionaris berhasil mengobati demamnya, tetapi untuk beberapa alasan, ketika demamnya sembuh, ia menjadi lumpuh. Aweng harus digotong kembali ke Batu Ampar, sehat tetapi tidak dapat berjalan. Ia dan saudaranya Aliung kembali pada tengah minggu. Kami mengunjungi Aweng di rumah adik laki-lakinya dan mendorongnya untuk percaya kepada Tuhan. Para dukun tidak berhasil mengobati demamnya. Dokter-dokter yang baik di rumah sakit misionaris berhasil mengatasi demamnya. Ia jadi sembuh. Tetapi kini tidak ada orang lain baginya untuk berpaling kecuali Tuhannya orang kristen. Aweng memastikan ia akan datang ke gereja pada hari Minggu mendatang untuk disembuhkan. Hari-hari sebelum Minggu tiba, saya berdoa untuk Aweng. Saya meminta Tuhan untuk menyembuhkan dia pada kebaktian Minggu mendatang. Khotbahnya akan berfokus pada kuasa Allah. Dmonstrasi kuasa apa lagi yang lebih baik dibandingkan dengan bangkitnya seorang muda yang lumpuh? Beberapa kali setiap hari menjelang hari Minggu, saya meminta Tuhan untuk memberikan demontrasi kuasa untuk menguatkan iman anak-anakNya. Pada hari Minggu pagi itu tak lama setelah jam sembilan, saya berada di mimbar sedang mempersiapkan alat-alat. Suara amplifier harus disambungkan, mikrofon dan speaker harus dicolokkan. Kipas angin tembok harus dihadapkan pada arah yang tepat agar dapat memberikan kesejukan yang maksimal. Orang banyak dan hawa panas tengah hari akan segera membuat ruangan menjadi seperti oven. Barisan bangku-bangku harus disusun agar paralel sempurna…. Tiba-tiba, saya mendengar suara dan langkah kaki yang menghampiri. Saya melihat melalui dua pintu belakang. Aweng dan dua orang laki-laki muncul, kedua orang itu masing-masing

Page 95: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

memegangi lengannya.Mereka membawa Aweng sampai ke lorong, kakinya yang menggantung tidak cukup kuat untuk berdiri. Saya menyambutnya dengan senyuman ketika mereka membawanya ke pelataran dan mendudukkannya di barisan depan. Melihat kakinya dari dekat, iman memindahkan gunung yang ada di hati saya tiba-tiba menguap. Kakinya sungguh parah, saya berkata pada diri sendiri. “lebih buruk dari yang saya bayangkan. Oh Tuhan, saya berseru, tolong saya. Saya tidak dapat berbuat apapun padanya. Jika Engkau tidak menyembuhkannya, ia tidak akan berjalan lagi! Seluruh iman dan keyakinan ‘saya-dapat-melakukan-segala-sesuatu-melalui-Kristus’ yang telah saya bangun di dalam doa untuk Aweng sepanjang minggu lalu hilang lenyap, tinggal saya yang merasa tak berdaya seperti anak anjing yang merengek. Pada jam sepuluh kebaktian dimulai. Sewaktu kami menyembah saya berhasil melepaskan pikiran saya dari Aweng dan memusatkannya kepada Tuhan. Tak lama kemudian penyembahanpun usai, Lucille duduk dan menyerahkan sisa kebaktian itu kepada saya. Saya berdiri dan mulai mengajarkan jemaat tentang kuasa Allah. Saya temukan, mudah untuk berbicara dengan mulut kita tentang kuasa Tuhan. Suatu hal yang berbeda jika yang duduk di barisan depan adalah seorang pendatang baru yang lumpuh yang berharap untuk melihat demonstrasi kuasa yang kita bicarakan dengan ringannya. “Tidak ada yang terlalu sulit bagi Allah,” saya membanggakan. “Tidak ada penyakit yang tidak bisa Ia sembuhkan,” saya menambahkan, “jika itu adalah kehendakNya.” Saya dibesarkan di dalam suasana rohani dimana ada ungkapan bila kita berdoa minta kesembuhan, orang akan menertawakan kita dengan sinis. Saya telah melihat banyak kejadian dimana orang sakit tidak sembuh. Mungkin Tuhan memiliki kehendak rupanya. Saya tidak mengerti akan hal ini sampai jauh hari kemudian. Prinsip-prinsip ini dibahas didalam buku kami yang akan datang tentang kesembuhan ajaib untuk membawa jiwa-jiwa kepada Kristus. Iman harus disuntikkan ke dalam orang-orang pagi itu. Kepada Aweng jika kami ingin menyaksikan suatu mujizat. “Jika Tuhan menghendaki,” walaupun keabsahan teologia mengenai ini dapat diperdebatkan dalam beberapa kasus tertentu, yang pasti ini tidak akan mendorong iman “saya-percaya-saya-mendapatkan” dan iman yang “memindahkan-gunung”. Lagipula, apakah Tuhan akan mempermalukan diriNya sendiri dan saya dengan tidak menyembuhkan Aweng di hadapan jemaat hari Minggu? Terkadang, sewaktu saya berkhotbah, saya melihat pada Aweng. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Tetapi begitu saya melihat padanya, saya ingat akan kakinya. Roh saya lumpuh, iman saya seperti ditawan. Bagaimana caranya nanti saya akan melayani kesembuhan pada Aweng? Tetapi dengan kukuh saya terus berkhotbah tentang kuasa Allah kepada umatnya dan kepada diri saya sendiri. Mudah-mudahan, Firmannya akan mendorong iman kami ke pintu menuju mujizat penuh kemuliaan bagi kaki Aweng. Akhirnya, khotbah itu selesai. “Tetapi kebaktian belum selesai, saudara-saudara,” kata saya. “Karena kita mau melihat manifestasi kuasa yang barus aja saya katakan. Di tengah-tengah kita pagi ini, ada seorang pengunjung. Kalian pernah melihatnya sebelumnya dan kalian tahu bahwa ia tidak dapat berjalan. Kita akan meminta Tuhan menyembuhkannya sekarang.” Sambil berjalan menuruni mimbar, saya menghampiri tempat di mana Aweng duduk. Para pemimpin kelompok sel berdiri dan mengelilinginya, menumpangkan tangan ke atasnya. Saya berdoa, meminta Tuhan menyembuhkan kakinya. Kemudian, “di dalam nama Yesus Kristus,” saya berkata agar semua mendengar, “saya menengking tekanan fisik ini dan saya perintahkan kakimu untuk menjadi kuat!” Saya memegang tangan Aweng dan menariknya agar berdiri. “Di dalam nama Yesus Kristus,” saya berkata, “jalan!” Lalu saya lepaskan dia. Aweng berdiri tegak sebentar seolah menguji kekuatan kakinya. Lalu ia mengambil satu langkah ke depan, dengan cukup takut, lalu ia mengambil langkah berikutnya, dan berikutnya. Ia terus berjalan perlahan mengelilingi ruangan sendiri. Tiba-tiba orang-orang bersorak dan memuji Tuhan

Page 96: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

karena mereka telah melihat mujizat dengan mata kepala mereka sendiri. Orang berdiri untuk bertepuk tangan dan memuji Tuhan karena belas kasihan dan anugerahNya. Sekelompok anak remaja, pengunjung yang baru pertama kali datang dari pemotongan kayu MKD begitu terkesan sampai-sampai mereka berkata, “gereja ini luar biasa, kami mau datang ke sini setiap minggu!” Tetapi tujuan yang sejati dari suatu mujizat tidak ditemukan di dalam suasana yang didorong secara emosional dari suatu kebaktian mujizat. Melainkan tujuan itu dinyatakan di dalam kehidupan orang-orang yang diubahkan berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bertahun-tahun setelah mujizat itu terjadi. Setelah kesembuhan ajaibnya itu, Aweng pulang ke Padangtikar, suatu daerah yang belum terjamah oleh Firman Tuhan, tiga jam perjalanan dengan perahu. Ia tidak berhasil untuk bertekun di dalam imannya. Beberapa tahun kemudian ketika Kerajaan Allah akhirnya sampai di Padangtikar, Aweng telah kehilangan minatnya terhadap hal-hal yang kekal. Ia menikmati kesehatannya dan usaha penangkapan ikannya begitu rupa sehingga ia lupa mengejar hal-hal rohani. Sedangkan orang-orang muda yang begitu tersentuh menyaksikan kesembuhan ajaib Aweng di gereja, beberapa terus bertekun dalam mencari Kerajaan Allah. Untuk mengadakan suatu mujizat jasmani sepenuhnya dapat dilakukan oleh iman satu orang di dalam nama Yesus Kristus. Kehendak Allah di dalam hal ini tidak selalu merupakan hal mutlak di dalam mujizat tersebut. Sebagaimana yang diajarkan oleh beberapa orang, ada hukum-hukum iman yang kadang dapat bekerja di dalam alam jasmani ketika syarat-syarat yang tepat telah terpenuhi. Mujizat yang lebih besar ada di luar yurisdiksi iman memindahkan-gunung seseorang, seseorang dimana Allah yang berdaulat sendiri melakukannya pada waktu dan caraNya sendiri dengan orang-orang yang telah diberikan “kehendak bebas.” Inilah mujizat dimana satu jiwa haus akan kebenaran dan memimpinnya untuk menemukan kelahiran baru melalui Yesus Kristus. Jangan ada seorangpun yang berpikir bahwa mujizat fisik akan selalu menuntun seseorang pada mujizat rohani.

Page 97: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

��

Bab Lima Belas Asiu Pelayan Wanita Allah

Kini kami berada dalam situasi yang luar biasa dimana kami dapat membuat diri kami tidak disibukkan dengan pekerjaan.. Para pemimpin kelompok sel di rumah telah semakin dewasa dalam pengalaman; urapan Allah di atas mereka bertumbuh. Hal-hal yang kami lakukan di dalam kuasa Roh Kudus merekapun sanggup melakukannya. Kami menemukan diri kami tidak disibukkan lagi dengan pelayanan karena mereka mengambil alih pelayanan kepada jemaat. Asiu masih berusia dua puluhan awal, pada tahun 1985 ia memutuskan untuk bekerja di kota Kubu, dimana ia dahulu pernah tinggal sewaktu masih kanak-kanak. Setiap minggu Asiu naik kapal panjang untuk perjalanan dua jam ke Kubu. Di sana ia melayani orang-orang yang hidupnya sangat berakar di dalam penyembahan berhala dan sihir. Kakak laki-laki Asiu, Achun tinggal di Kubu dengan istri dan anak-anaknya. Mereka menerima Asiu dan kabar keselamatan yang dibawanya. Di dekat rumahnya tinggal seorang wanita muda bernama Asuan yang menderita sakit pusing kronis yang membuatnya tidak dapat hidup normal. Asiu membagikan Injil dengan Asuan yang langsung menerima Yesus Kristus sebagai Tuhannya. Setelah doa didoakan dan dilayani, ia terbebas dari sakit pusingnya. Asiu memuridkan Achun dan Asuan. Pada akhirnya, mereka menjadi rekan sekerja yang menemaninya memberitakan Kristus dari rumah ke rumah. Perlawanan mulai muncul dari pengikut setia para dukun dan roh-roh setempat; banyak yang tidak menerima berita yang ia sampaikan. Tetapi Tuhan memberikan anugerah kepada orang-orang tertentu untuk menerima kehidupan kekal. Asiu, Achun dan Asuan membawa Injil ke desa petani Tionghoa yang amat terpencil. Di sana mereka diterima oleh seorang bernama Pak Lie yang memiliki beberapa anak perempuan. Seluruh keluarganya menerima Kristus. Tak lama setelah itu Asiu mulai mengadakan kebaktian di rumah mereka dimana para tetangga berkumpul dengan keluarga itu untuk mendengarkan Firman Tuhan. Mr. Lie bertumbuh cepat di dalam iman. Seringkali ia memimpin kebaktian mingguan ini ketika Asiu tidak dapat datang. Setelah sekitar satu tahu, kira-kira dua puluh keluarga telah mengenal Kristus di daerah Kubu melalui Asiu dan rekan sekerjanya. Setelah dua hari di Kubu setiap minggu, Asiu kembali ke Batu Ampar. Biasanya, dalam waktu beberapa jam setelah ia kembali, saya mendengar pintu kamar belajar saya diketuk. Asiu lalu masuk dan duduk lalu ia mulai menceritakan kepada saya apa yang Tuhan telah lakukan selama dua hari terakhir. Saya terheran bagaimana Tuhan yang Maha Kuasa memakai wanita muda ini. Dengan polos, tanpa keinginan mendapat nama atau mendapat keuntungan finansial, melainkan dengan keinginan yang sederhana untuk taat kepada Dia yang telah menyelamatkannya, ia pergi dan Tuhan menghargainya. Selama hari-harinya di Batu Ampar, Asiu membagikan Injil dengan setia. Ia membawa Injil ke sebagian besar dari sepuluh pemotongan kayu yang tersebar di daerah itu, menabur dan menuai. Pada suatu titik, hampir separuh dari jemaat kami dimenangkan kepada Kristus melalui kesaksian pribadinya. Sewaktu ia berada di rumah bersama kami, ia dengan setia melakukan tugas-tugas rumah tangga, memasak, mencuci dan membersihkan. Tidak pernah saya temukan seorang pelayan Kristus yang begitu penuh dedikasi. Asiu juga menjadi mahir dalam memuridkan orang lain. Beberapa wanita yang lebih tua yang diajarkannya menjadi pemimpin kelompok sel yang berbuah. Ibu Sri adalah istri dari seorang tentara yang ditempatkan di Batu Ampar. Setelah Ibu Sri menerima Kristus, Asiu menemuinya sekali seminggu, mengajarkannya kebenaran tentang iman. Ia akhirnya menjadi salah satu dari sembilan pemimpin kelompok sel yang mula-mula.

Page 98: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

Ibu Lis mengajar di sekolah umum dimana Asiu sebelumnya bersekolah di sana sebelum ia terjun dalam pelayanan sepenuh waktu. Berasal dari Sumatra Utara, Ibu Lis adalah seorang dari suku Batak, yang sudah dikristenkan oleh misionaris dari Jerman beberapa generasi yang lampau. Ketika ia pertama datang ke gereja kami, Ibu Lis tidak pernah mengenal Kristus sebelumnya. Setelah menerima Firman Allah, ia menerima Tuhan dan dilahirkan kembali. Asiu pergi menemui Ibu Lis setiap minggu sekali, mengajarkannya Firman Tuhan. Ia bertumbuh pesat di dalam iman dan menjadi pemimpin kelompok sel menggantikan Ibu Sri yang pindah ke pulau Jawa bersama suaminya. Akan tetapi, suami Ibu Lis, Martin tidaklah begitu cepat dalam mengikuti istrinya di dalam iman. Ia pernah melayani di gerejanya di Sumatra dan sudah tahu banyak tentang Kekristenan. Di samping itu, ia menikmati gaya hidup duniawinya yaitu: merokok. Ibu Lis berdoa dengan tekun untuknya. Kadang-kadang ia menegur suaminya karena merokok. Pada suatu ketika, Martin memutuskan untuk menguji Tuhan yang sangat dibangga-banggakan oleh istrinya. “Lihat,” ia menantang istrinya, “saya tidak dapat berhenti merokok. Saya sudah merokok sejak saya muda. Jika Tuhan begitu besar, biarlah Ia yang membuat saya berhenti merokok!” Jadi sekarang bukan istrinya yang ditantang oleh Martin melainkan Tuhan sendiri. Ibu Lis berdoa kepada Tuhan agar membuat Martin berhenti merokok. Tidak lama setelah itu, ketika Martin sedang duduk di bangku kesayangannya dan mulai ingin merokok, ia merasa rokoknya pahit. Sedikit bingung, ia menaruh rokoknya lalu mematikannya. Apakah ini karena doa istri saya? ia terheran. Mungkinkah Tuhan yang lakukan ini kepada saya? Maksudmu, apakah Tuhan benar-benar ada? Martin membuang pikirannya itu. Lebih baik saya tidak berurusan dengan hal itu dulu, pikirnya. Tetapi kemudian, keinginannya untuk merokok timbul lagi. Kali ini Martin tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan Tuhan. Jika rasanya pahit lagi, ia putuskan, saya percaya bahwa itu Tuhan. Martin menyalakan lagi rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam. Tiba-tiba,ia tersedak dan memuntahkan asap yang pahit. Ini bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Ini pasti Tuhan. Melalui hal ini, Martin berhadapan muka dengan Tuhannya. Ia bertobat dan meminta Kristus masuk ke dalam hatinya. Tuhan menerima dia dan kemudian memanggilnya untuk menggantikan tempat Ibu Lis sebagai pemimpin kelompok sel ketika ia hamil anak kedua. Suatu kali, Asiu mengadakan kunjungan mingguan ke pemotongan kayu Medang Kerang Djaya untuk membagikan Injil. Ibu Simon, salah satu dari jemaat kami, tinggal di sana dengan suaminya. Tak lama kemudian, ia menemani Asiu ke seluruh wilayah pemotongan kayu itu, membagikan Kristus dan melayani orang-orang yang ingin keluar dari kegelapan yang tak terkira. Ketika kelompok sel telah terbentuk, Ibu Simon dipanggil Tuhan untuk menjadi pemimpin kelompok sel Medang Kerang Djaya. Orang kudus lainnya yang hidupnya dijamah oleh Asiu adalah seorang wanita muda bernama Amoy, keluarganya memiliki usaha di pasar pusat. Ia dimenangkan untuk Tuhan oleh istri A Bak. Asiu merasakan bahwa Tuhan memiliki panggilan bagi Amoy, ia mulai sering mengunjunginya. Tak lama kemudian, Amoy sering menemani Asiu menginjili di seputar pasar. Amoy juga menjadi pemimpin kelompok sel yang pada akhirnya membantu dalam membuka daerah baru di Padangtikar. Di Awal tahun 1987, Asiu pergi ke Jawa untuk tinggal bersama saudara laki-laki dan ibunya. Tak lama kemudian, ia mendaftarkan diri di Sekolah Alkitab di Jawa Tengah. Betapa berharganya bagi kami wanita sederhana ini, ia begitu kekurangan dalam harta duniawi, namun hidupnya begitu dipenuhi oleh hal-hal yang menjadi milik mereka yang mewarisi Kerajaan Allah! Pada tahun 1987, setelah Asiu meninggalkan Batu Ampar, Hamba-hamba Tuhan dari Jawa datang melayani di daerah kami. Satu tim dari mereka tinggal di Kubu selama satu bulan untuk menguatkan orang-orang percaya di sana. Tuhan penuh dengan kemurahan. Setelah satu bulan selesai, banyak orang percaya baru serta orang-orang yang telah teguh yang siap untuk melakukan pekerjaan

Page 99: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

pelayanan di sana sendiri. Yang memimpin mereka adalah kakak Asiu, Achun dan Asuan. Karena pengaruh iman kristen mulai menyebar di Kubu, api perlawanan juga semakin berkobar. Achun di dalam semangatnya bagi Tuhan memberikan pernyataan yang menembak langsung pada sifat-sifat alami penyembahan berhala kepada orang-orang di sana. Para dukun dan pembela ilah-ilah setempat tersinggung dan menjadikan ini alasan. Mereka mencoba melenyapkan kepercayaan baru ini dari Kubu. Suatu malam, Achun dan beberapa orang lainnya sedang berdoa di dalam rumah dimana kebaktian gereja diadakan. Ketika mereka sedang berdoa, mata rohani mereka terbuka. Di dalam roh mereka melihat dua makhluk berdiri di luar pintu. Dari penampilan mereka, Achun tahu bahwa makhluk-makhluk ini adalah setan. Dan berdasarkan ancaman-ancaman yang telah mereka terima dari para penyembah berhala, mereka tahu bahwa setan-setan itu diutus untuk mencelakai mereka. Acun dan yang lainnya berseru kepada Tuhan meminta perlindungan. Mereka berdoa melawan roh-roh setan itu dan menengkingnya di dalam nama Yesus Kristus. Lalu penglihatan mengenai langit diberikan kepada mereka. Pada mulanya, semuanya gelap. Tiba-tiba, sinar yang terang bercahaya dari surga dan sebuah salib muncul di tengah-tengah terang cahaya itu. Ketika penglihatan itu menghilang, mereka sadar bahwa setan-setan itu sudah tak lagi menunggu di pintu. Mereka telah lari pergi. Keesokan paginya, beberapa orang percaya menghampiri Achun. Mulanya mereka melihat padanya dengan perasaan ingin tahu, kemudian mereka tersenyum. Tahukah kamu apa yang terjadi semalam?” salah seorang dari mereka bertanya dengan penuh semangat. “Salah satu dukun yang paling hebat di Kubu berusaha menyerang kamu. Ia menaruh kutuk yang menakutkan ke atasmu ketika kamu dan beberapa yang lain sedang menyembah Tuhanmu. Tetapi tidak terjadi apa-apa padamu. Tuhanmu pasti sangat besar dan berkuasa!” Puji Tuhan untuk Lanyi. Ia adalah mata dan telinga kami. Setiap hari dengan tak kenal lelah ia menaiki sepeda buatan Cinanya itu dari pemotongan kayu Bumi Raya untuk menemui kami. Kegiatan rutinnya adalah berhenti di pasar pusat di kota supaya ia tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang. Apa yang lihat dan dengar termasuk pelayanan gereja, ia teruskan kepada kami. Tetapi pada suatu hari, laporannya terlalu sulit untuk dipercaya. “Cinta segitiga di gereja kami, Lanyi?” kata kami dengan ragu. “Ayolah, itu tidak mungkin terjadi!” “Ada seorang anak muda lajang bernama Martin (bukan suami Ibu Lis yang bernama Martin juga) di jemaat kami yang selama ini setia dalam menghadiri kebaktian dan kelihatannya berminat dalam melayani. Ia bahkan membantu menuntun seorang pria Tionghoa dan istrinya kepada Tuhan di Bumi Raya dimana mereka bekerja sebagai buruh. Walaupun ia kurang dalam sopan santun, kami cukup senang dengan pertumbuhan rohaninya. Kami cukup skeptis sore itu ketika Lanyi memberitahu kami ada hubungan gelap antara Martin dengan istri orang Tionghoa itu. Walaupun laporan Lanyi biasanya akurat, kami rasa untuk kasus ini kecurigaannya lebih berperan daripada penilaiannya. Martin adalah seorang yang penuh semangat di usianya yang dua puluhan. Chow-Wong-So, istri orang Tionghoa itu, adalah seorang wanita berparas biasa-biasa saja yang anak sulungnya sudah berusia enam belas tahun. Ucapan Lanyi tidak masuk akal. Tetapi beberapa hari kemudian, kami terpaksa menelan keragu-raguan kami. Lanyi menerobos masuk ke rumah. Ia duduk dengan terengah-engah dan mencopot topi tikarnya yang membuatnya dijuluki “Tante Topi Besar.” “Guru,” ia mengumumkan, “Chow-Wong-So telah meninggalkan suaminya dan kabur dengan Martin.” “Lanyi, kamu bercanda,” Lucille menjawab setengah percaya. “Dia apa…?”

Page 100: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

“Martin dan Chow-Wong-So melarikan diri. Chow-Wong melapor ke polisi. Polisi menemukan dan menangkap mereka. Kini mereka sedang ditahan di kantor polisi di Telok Air.” Satu jam kemudian, saya dan Elias pergi ke Bumi Raya untuk menemui sang suami, Chow-Wong. Masalahnya jadi serius. Sebuah skandal yang melibatkan polisi dan tuduhan perzinahan dan mencuri istri di gereja kami hanya akan menambah kontroversi di seputar gereja kami. Chow-Wong langsung pergi ke polisi tanpa mencari penengah dari kami. Jika tidak ada yang dapat dibereskan di dalam gereja, pelayanan kami akan dipermalukan. Chow-Wong tidak ada di rumah. Tetangga sebelah rumahnya A Sung melihat kami lalu keluar untuk berbicara dengan kami. Seperti Chow-Wong, iapun bekerja di pemotongan kayu tetapi untuk mendapat penghasilan tambahan, ia juga bekerja sebagai seorang dukun. Chow-Wong sudah pergi ke kantor polisi di Teluk Air, Guru,” berbicara kepada saya dengan sopan. “Apakah anda tahu apa yang terjadi?” “Ya, saya tahu,” jawab saya dengan agak kikuk. “Martin itu orang yang jahat.” Ia bicara hampir tergelak. “Ia sering datang ke sini, beberapa kali dalam seminggu. Kadang-kadang ia menginap di rumah mereka. Mereka pikir ia datang untuk membantu, tapi sekarang ia malah lari dengan istri Chow-Wong. “Ia memakai ilmu hitam untuk membuatnya jatuh cinta kepadanya,” kata A Sung. “Ilmu hitam? Mungkin kamu yang punya hubungan dengan hal-hal macam begitu,” kata saya di dalam hati. “Kami akan pergi ke Teluk Air untuk menemui mereka,” kata saya. “Mungkin kami bisa meyakinkan Chow-Wong-So agar kembali kembali kepada suaminya.” “Lupakan itu,” jawab A Sung. “Guna-gunanya sangat kuat. Bapak tak akan bisa mematahkannya.” Orang ini sedang menantang kami. Lebih dari itu, saya merasa ia dengan sengaja menantang Tuhan yang kami layani. “Jika bapak bisa membuat Chow-Wong-So kembali kepada suaminya,” A Sung bersumpah, “Saya janji saya akan berlutut di hadapanmu.” Saya dan Elias berangkat meninggalkan pndok-pondok gelap yang suram dan kumuh milik para pekerja di pemotongan kayu menuju ke dermaga Bumi Raya. Tantangan A Siung terus terngiang di telinga kami. Kami naik taksi air kecil ke Teluk Air. Akankah Tuhan membela kami? Saya tak yakin. Chow-Wong-So sudah membuat pilihannya. Akankah Tuhan melepaskannnya secara paksa melawan kehendaknya? Orang yang telah berpengalaman dalam pelepasan pasti menjawab tidak. Perahu kayu kami melaju menuju pulau besar menyeberangi pelabuhan dari Batu Ampar ke Teluk Air yang diapit antara dua pemotongan kayu besar tersembunyi di sisi belakang dari pulau itu. Dua puluh menit kemudian, kami merapat di dermaga polisi. Saya pergi menemui bapak Kepala Polisi. Pak Kepala Polisi senang bertemu dengan saya. Ia sudah berusaha membujuk Chow-Wong-So agar kembali kepada suaminya. Ia menolak, katanya lebih baik ia tenggelam di laut daripada harus berpisah dari Martin. Ia ingin menikah dengan pria itu. Pak Kepala Polisi memberitahukan kepadanya bahwa masalahnya tidak sesederhana itu. Ia telah melanggar hukum karena lari dengan pria lain. Suaminya telah melapor secara resmi ke polisi. Jika ia terus saja bertindak tidak waras begitu, polisi tidak punya pilihan lain kecuali menjebloskannya ke dalam penjara. Penjara di Indonesia adalah tempat amat mengerikan dimana penghuninya, baik bersalah maupun tidak, tidak dijamin keselamatan fisiknya. Ia tidak akan mau dipenjara. Tetapi, ancaman seperti inipun tidak dapat membujuknya meninggalkan Martin. “Pak Pendeta, jika anda ingin,” kata Pak Kepala, seorang Jawa yang kental dengan kulit gelap, “silahkan berbicara dengan Chow-Wong-So. Jika anda sebagai pimpinan agama dapat membereskan masalah ini dan membuatnya bersatu kembali dengan suaminya, mungkin ia akan membatalkan

Page 101: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

tuntutannya. Lalu kita bisa melupakan semua ini. Jika tidak, keadaan bisa jadi berat.” Itulah yang kami harap dapat dihindari. Kami setuju untuk menemuinya. Elias dan saya dibawa ke suatu ruangan di sebelah kantor Pak Kepala. Chow-Wong-So dibawa ke ruangan itu dan didudukan di kursi kayu. Wajahnya terlihat geram dan keras, ia hanya menunduk, tak bergerak sama sekali. Ia sudah berubah, pikir saya. Ia bukan orang yang sama lagi. Ini pasti karena ia diguna-guna oleh Martin. Elias menghampiri dia. “Chow-Wong-So,” ia berkata dengan lembut. “Pak Gembala datang untuk menemui kamu.” Ia tidak bereaksi. Elias kembali berbicara dengannya, tetapi seolah kami tidak ada di sana. Saya duduk di sebelahnya. “Chow-Wong-So,” kata saya, “kami di sini untuk menolong kamu.” Saya diam sejenak. Tak ada reaksi. “Martin mengguna-gunai kamu sehingga kamu jatuh conta kepadanya. Kamu meninggalkan Chow-Wong, kamu meninggalkan anak-anakmu. Anak kamu yang kecil-kecil itu masih membutuhkan kamu. Kamu tahu ini semua tidak benar.” “Iblis telah melakukan ini kepadamu,” lanjut saya. “Ia ingin menghancurkan keluargamu. Ia ingin menghancurkan kamu. Polisi mengatakan kepada saya bahwa jika kamu tidak kembali kepada suamimu kamu akan dipenjara.” Saya menunggu beberapa saat sampai kata-kata saya mulai meresap. “Saya tahu kamu masih ingin bersama Martin,” lanjut saya, “tetapi boleh kami berdoa untukmu supaya kamu dapat berpikir jernih dan bebas melakukan apa yang benar?” “TIDAK!” ia menolak tiba-tiba, “saya mau pergi dengan Martin. Lebih baik saya mati daripada kembali kepada suami saya. Saya tidak mau didoakan!” Ini akan sulit, pikir saya. Kita bisa berdoa untuk seseorang yang mau dibebaskan, tetapi dia bahkan tidak mau didoakan! “Chow-Wong-So, kami mau menolong kamu. Kamu perlu pertolongan. Iblis sudah membutakan kamu. Setidaknya akuilah bahwa kamu buta dan membutuhkan pertolongan. Paling sedikit biarkan kami berdoa untukmu.” “TIDAK!” “Kamu adalah anak Tuhan dan sekarang kamu sedang berdosa terhadapNya.” “Saya tak peduli,” ia menjawab dengan kemarahan, “saya mau menikah dengan Martin.” Kelihatannya kami sia-sia saja berbicara dengannya, saya simpulkan. Mungkin kita layani saja dia baik dia mau atau tidak. Kita harus bergumul dengan iblis untuk dia. Saya tidak mau menyerah begitu saja. Tindakan Chow-Wong-So akan menjadi senjata bagi orang-orang tak percaya. “Ayo kita layani dia,” kata saya kepada Elias, yang selalu berada di samping saya menterjemahkan ucapan saya dari bahasa Indonesia ke bahasa Cina. Kami menumpangkan tangan ke atasnya. “Di dalam nama Yesus, kami ikat engkau, iblis. Kami menengking setan dari guna-guna yang diberikan oleh Martin. Kami perintahkan kamu untuk pergi! Selagi kami terus berperang melawan guna-guna itu, ia menutup matanya dan menggertakkan giginya. Kelihatannya ia belum segera akan bebas dari jerat iblis. “Di dalam nama Yesus, keluar, setan!” Ia melipat kakinya berusaha menghindari kami. Tetapi kami memojokkan dia dan terus berdoa. “Di dalam nama Yesus, tinggalkan dia, roh najis!” Seperti binatang yang memakai ikat leher, ia bergumul melawan cengkeraman kami, tetapi kami tidak mau melepaskannya. Ia melipat wajahnya, berusaha melawan doa kami dengan segenap kekuatannya.

Page 102: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Selama kira-kira satu jam, satu jam yang lama sekali, pertempuan itu berlanjut. Saya mulai merasa letih. Di dalam pikiran saya terlintas kembali peprangan panjang yang saya alami dengan bayi yang sekarat di Pemotongan kayu Bamiko. Tetapi kali ini berbeda. Wanita ini tidak mau ditolong. Tetapi secara bertahap, tekadnya melemah. Saya perhatikan wajahnya mulai menjadi “lembut. Ia membuka matanya. Pada titik itulah, sewaktu ia berhubungan dengan kami tak lama kemudian, ia merasakan kuasa mengalir di dalam dirinya. Senjata tipuan iblis tiba-tiba rontok. Belum pernah sebelumnya ia merasakan kuasa yang begitu dahsyat. Hal itu meyakinkan dia bahwa Tuhan sungguh-sungguh nyata. “Maukah kamu kembali kepada suamimu sekarang?” Saya bertanya karena merasakan adanya keterbukaan. “Tidak, belum sekarang,” ia menjawab dengan lemah. “Kalau begitu kembalilah ke gereja bersama kami. Kamu boleh tinggal di rumah kami sementara sampai kamu siap untuk pulang ke rumah.” “Saya, saya… baiklah Pak Gembala.” Dengan lemah, walaupun agak segan, ia mengikut kami pulang ke dermaga di mana kami naik taksi air ke Batu Ampar. Setelah Chow-Wong-So tenang di ruangan atas di rumah kami, kami memanggil Chow-Wong dan anak-anaknya untuk datang menemuinya. Kami mengatur agar anak-anak terlebih dahulu masuk. Ketika anak bungsunya , seorang gadis kecil berusia empat atau lima tahun, masuk ke dalam kamarnya, ia bangun dan memeluknya dan menepuk wajahnya dengan lembut. Lalu anak-anaknya yang lain juga masuk ke dalam kamarnya. Akhirnya, Chow-Wong masuk untuk menemuinya, dengan penuh perhatian ia membawakan istrinya bakmi panas dari penjual setempat. Malam itu, setelah Chow-Wong dan anak-anak kembali ke Bumi Raya, istrinya bermimpi. Ia melihat dirinya tenggelam di laut. Seorang tua datang dengan perahu dan menyelamatkan dirinya. Ketika ia terbangun, ia mengerti apa yang nyaris terjadi pada dirinya. Pagi itu, Chow-Wong-So kembali kepada keluarganya. Beberapa minggu kemudian, kami dikejutkan oleh kunjungan seorang pria bernama A Sung, sang dukun. Setelah mengucapkan salam dengan saya, ia meminta segelas air. Saya pergi ke dapur untuk mengambil untuknya. Setelah memberikannya kepadanya, saya duduk. Mungkin ia datang ingin membicarakan tentang sesuatu. Tetapi ia malah berlutut di kaki saya sambil mempersembahkan segelas air itu dengan tangan terulur. Seperti terkejut, saya melompat berdiri. Ketika saya berusaha menariknya dari kakinya, ia berkata, “Saya hanya memenuhi sumpah saya kepada bapak. Ingat, saya berjanji bahwa saya akan berlutut di hadapan bapak jika bapak berhasil membawa Chow-Wong-So kembali kepada suaminya?” “Itu bukan saya,” protes saya. “Yang membebaskan dia adalah nama Tuhan Yesus Kristus. Ini tidak benar, tolong berdiri!” Mungkin begitulah kikuknya rasul Paulus ketika orang-orang berusaha mempersembahkan korban kepadanya setelah Tuhan menyembuhkan orang lumpuh melaluinya.

Ketika orang banyak melihat apa yang telah diperbuat Paulus, mereka itu berseru dalam bahasa Likaonia: "Dewa-dewa telah turun ke tengah-tengah kita dalam rupa manusia." Barnabas mereka sebut Zeus dan Paulus mereka sebut Hermes, karena ia yang berbicara. Maka datanglah imam dewa Zeus, yang kuilnya terletak di luar kota, membawa lembu-lembu jantan dan karangan-karangan bunga ke pintu gerbang kota untuk mempersembahkan korban bersama-sama dengan orang banyak kepada rasul-rasul itu. Mendengar itu Barnabas dan Paulus mengoyakkan pakaian mereka, lalu terjun ke tengah-tengah orang banyak itu sambil berseru: "Hai kamu sekalian, mengapa kamu berbuat demikian? Kami ini adalah manusia biasa sama seperti kamu. Kami ada di sini untuk memberitakan Injil kepada kamu, supaya kamu meninggalkan perbuatan sia-sia ini dan

Page 103: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

berbalik kepada Allah yang hidup, yang telah menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya. (Kisah Rasul 14:11-15)

Page 104: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Bab Enam Belas Seperti Seorang Nabi Perjanjian Lama

“Apakah bapak sudah bosan hidup?” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Lanyi pada seorang pria yang mencemoohnya dan menghempaskan Alkitabnya. Selain membuka toko kelontong kecil di rumahnya, anak Lanyi, Asang juga menjalankan usaha menjual minuman soda di teras depan rumahnya. Para buruh pemotongan kayu, setelah letih bekerja mendorong beban lori kayu tebangan seberat satu ton dari tempat pemotongan ke gudang penyimpanan besar, seringkali mampir di waktu jeda mereka. Asang merubah pagar terasnya menjadi sebuah konter untuk melayani pelanggan-pelanggannya. Pagi itu, Lanyi sedang bersantai di luar di dekat konternya. Alkitabnya terbuka di meja konter di hadapannya. Ia tidak pernah sekolah, walaupun demikian ia pernah belajar beberapa huruf Cina sendiri. Walaupun ia tidak banyak mengerti apa yang ia baca, ia merasa senang dapat menelusuri permukaan Firman Tuhan yang ia kasihi. Terdengar langkah kaki menghampiri. Lanyi menengadah dan melihat seorang tetangganya berjalan melewati menuju ke tempat kerjanya di pemotongan kayu. Ia berjalan persis melewati di depan mesin penjual minuman soda. “Halo,” katanya sambil tersenyum pada Lanyi, “setiap hari, haleluyah, haleluyah, haleluyah!” Lanyi membalas dengan senyuman dan lambaian tangan. Ia sudah terbiasa dengan gurauan orang-orang tentang imannya yang telah diketahui secara luas di pemotongan kayu itu. Masih banyak yang belum percaya kepada Tuhannya, tetapi sebagaimana tetangga yang tadi itu, mereka menghormati dia. Tiba-tiba ada gebrakan keras di meja konternya tepat di depan batang hidungnya. Lanyi terkejut. Sebuah tangan yang kasar telah menghantam Alkitabnya yang terbuka. Ia menengadah dan melihat seorang pria bernama Mahmud. “Setiap hari, haleluyah, haleluyah!” ia mengejek, memandang Lanyi dengan menghina. Pak Mahmud membenci orang kristen, apalagi yang keturunan Tionghoa dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Lanyi adalah seorang wanita tak berdaya. Tetapi kemarahan Lanyi segera tersulut. Pada saat itulah ia mengejutkan Pak Mahmud dengan pertanyaannya itu, lalu berbalik dan pergi. Keesokan harinya, supervisor dari tugas shift Pak Mahmud mencatat bahwa lagi-lagi ia tidak datang bekerja. Aneh, karena kemarin ia tidak muncul dan juga tidak menelpon. Ia juga tidak datang hari ini. Supervisornya ingin tahu, tetapi tidak ada yang tahu di mana ia berada. Pak Mahmud adalah seorang lajang dan tinggal sendiri. Tetapi tidak ada alasan untuk khawatir. Pak Mahmud adalah seorang pria yang kuat dan sehat di usianya yang empat-puluhan awal. Setelah tiga hari, tidak ada yang melihatnya, orang-orang mulai mencarinya. Pencarian itu akhirnya berujung di tempat tinggalnya di kompleks pemotongan kayu. Pintu depan dikunci dari dalam selama tiga hari terakhir. Para pencari itu membongkar pintunya dan masuk ke dalam. Ketika mereka masuk ke dapur di belakang, mereka menemukan Pak Mahmud terlentang di lantai. Ia mati. Sepiring nasi yang baru setengah dimakan dan sudah basi ada di atas meja makannya. Menantu perempuan Lanyi sudah tak sanggup menahan lagi. Kalau badut yang dipanggil Herlip itu datang lagi ke toko dan mengganggu mereka, Ajin akan mengambil sapu dan mengusirnya keluar dari pintu. Beberapa hari kemudian, Herlip datang bertandang lagi dengan bau minuman keras yang menyengat. Ia membeli satu liter minyak tanah dari Ajin lalu berbalik dan pergi. Sewaktu ia berjalan keluar melalui pintu, ia berhenti. “Ajin,” ia berkata, “kamu percaya kepada Yesus Kristus tetapi kamu

Page 105: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

kehilangan putramu Irwan. Jika kamu percaya akan ilah saya, saya akan buatkan meja altar di rumahmu dan ia akan memberimu anak laki-laki.” “Keluar!” Ajin berteriak sambil bergegas mengambil sapu untukmemenuhi sumpahnya. “Keluar dari rumahku! Saya akan membalas kamu karena berkata begitu!” Lanyi bergegas keluar dari dapur. “Jangan pusingkan dia, Ajin,” katanya, berusaha untuk menenangkan menantu perempuannya. “Ia hanya orang mabuk yang bodoh. Jangan hiraukan apa yang ia katakan.” Ajin menyerah dan Hairlip pun pergi. Pada suatu Jum’at sore, Lanyi sedang dalam perjalanan ke Batu Ampar dari tempat tinggalnya di pemotongan kayu. Sewaktu ia sedang mengayuh sepedanya melewati pekuburan di suatu jalur yang sepi, ban belakang sepedanya kempes. Lanyi menepi untuk berhenti. Sedikit kesal, ia mendengar suara seorang pria. Ia berpaling dan melihat Herlip muncul dari balik hutan yang ada di kiri kanan jalan itu. Pria itu kelihatan sedang berguman. “Kamu percaya kepada Yesus Kristus tetapi cucumu mati. Jika kamu kini percaya kepada ilah saya, ia akan memberimu cucu yang lain.” Lanyi terperangkap tanpa pelindung. Ban kempes itu sudah cukup mengganggunya. Sekarang si bodoh ini mulai menembakkan kata-kata dengan mulutnya lagi. “Jika tuhanmu memberi saya anak seperti kamu,” Lanyi membalas, “Nggak usah deh. Anak seperi kamu lebih baik tidak pernah dilahirkan.” Setelah berkata demikian, Lanyi berpaling dan pergi. Malam itu, Hairlip sakit. Perutnya menjadi kembung. Hari berikutnya, pada hari Sabtu, gejalanya semakinmemburuk. Pada hari Minggu, saudara-saudaranya yang khawatir membawanya ke Batu Ampar untuk diperiksa oleh dokter. “Kenapa sudah begitu lama baru dibawa ke sini?” dokter memarahi mereka. “Orang ini jelas sudah sakit lama sekali. Ia sudah tak tertolong lagi. Maafkan saya, tidak ada lagi yang dapat saya lakukan untuknya. Bawa saja dia pulang.” Keluarga Herlip membawanya pulang ke rumah. Dalam waktu beberapa jam, ia meninggal dalam kesakitan luar biasa. Beberapa hari kemudian, keponakan Hairlip datang untuk menemui Lanyi. Ia berkata, “Sebelum ia mati, paman saya bilang semuanya ini terjadi karena ibu memarahinya pada hari itu.” “Piau-So, kenapa kamu selalu berdoa sebelum makan? Sayalah Tuhan Yesusmu! Ha, ha! Sayalah yang memberi kamu makanan untuk dimakan!” Piau-So barus aja menundukkan kepalanya untuk mengucap syukur atas makanannya ketika si Jangkung masuk tanpa diundang. Ia memang tidak perlu diundang. Ia dan suaminya A Piau adalah sahabat, merka bekerja pada shift yang sama di pemotongan kayu di Bumi Raya dimana Lanyi dan keluarganya tinggal. Di lingkungan pemotongan kayu, memang sulit mendapatkan waktu pribadi. Tempat dimana Piau-So tinggal diperuntukkan bagi mereka yang sama tingkatannya di pabri kayu itu, rumah kayu berukuran dua setengah meter kali tujuh meter itulah yang dipakai oleh setiap keluarga untuk memasak, mencuci, makan dan tidur. Seperti rumah-rumah primitif, rumah-rumah itu berdempetan satu dengan lainnya. Temboknya terbuat dari kayu papan yang dipasang secara tegak untuk memisahkan unit satu keluarga dari yang lainnya. Seirngkali rumah mereka dibuat dari kayu-kayu yang baru dipotong, masih basah dengan obat-obatan untuk kayu. Setelah beberapa minggu, kayu-kayu tersebut kering dan mengerut, meninggalkan celah besar yang seharusnya dapat tertutup rapat sekiranya kayunya terpasang dengan pas. Tentu saja, apapun yang mereka katakan dapat didengar oleh tetangga sebelahnya. Jika kamar tidur mereka tidak ingin diintip oleh tetangga, mereka biasanya menutup dinding itu dengan kertas koran, atau kain atau kalender.

Page 106: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Pada setiap kediaman itu ada jalan kayu yang serupa di depan pintu yang menghubungkan unit-unit terpisah itu ke tempat orang lain yang tidak mereka kehendaki. Karena tidak ada orang yang menutup pintu depan rumahnya pada siang hari – dan memang sangat panas – praktis tidak ada tempat pribadi bagi setiap penghuni. Saudara, teman, kenalan, anak-anak tetangga, anjing, kucing dan bahkan orang asing bebas berlalu lalang, bisa mampir di dapur seseorang tanpa memberitahu. Piau-So tidak keberatan si Jangkung mampir, tetapi ia tidak suka akan ucapan-ucapannya tentang imannya yanga baru. Tuhan telah membangkitkan kembali bayinya yang baru lahir melalui Lanyi. Ia sangat berterima-kasih pada Tuhan untuk itu dan untuk kedamaian yang Ia berikan. Tetapi si Jangkung, seorang pria Tionghoa berusia paruh empat-puluhan yang penuh gairah itu suka meledek dirinya. Lagipula ia dapat menjadi sumber pencobaan bagi suaminya. A-Piau seperti istrinya telah dibaptis dan menjadi seorang yang percaya kepada Yesus Kristus. Suatu kali ia me telah berhenti minum alkohol, tetapi teman minumnya si Jangkung kembali menariknya ke dalam jurang itu. Suatu hari si Jangkung muncul di depan toko Lanyi. Entah kenapa ia terburu-buru. “Halo, haleluya, haleluya!” ia meledek. “Cepat! Timbangkan saya satu kilogram sayuran kering!” Tentu saja Lanyi cukup akrab dengan gurauan si Jangkung, tetapi kali ini ia ingin membalasnya. “Kenapa kamu begitu terburu-buru, Jangkung?” ia bertanya. “Apakah kamu tergesa-gesa ingin bertemu dengan ilah di bawah bumi?” (Gurauan orang Tionghoa untuk orang yang meninggal) “Oh, saya tidak akan pergi bertemu ilah di bawah bumi,” jawab si Jangkung. “Saya akan pergi ke tempat haleluyah!” “Tidak, kamu tidak ke sana,” Lanyi menyahut dengan senyuman, “orang seperti kamu tidak bisa ke atas sana; kamu perginya ke tempat ilah di bawah bumi.” “Ayolah Lanyi,” jawab si Jangkung sambil tertawa. “Saya ingin pergi bersamamu ke surgamu.” Guarauan akrab itu terus berlanjut sambil Lanyi menimbang dengan timbangan kuno yang terbuat dari besi untuk jumlah yang diminta oleh si Jangkung. Ia mengambil sayuran itu lalu pergi, mengikuti jalan papan menuju tempat tinggalnya yang hanya semenit jauhnya. Lanyi berpaling dan kembali ke dapur di belakang untuk melanjutkan memasak. Belum lagi ia sempat melanjutkan pekerjaannya, salah seorang tetangganya menerjang masuk melalui pintu depan. “Lanyi, Lanyi!” ia berteriak. “Ada apa? Ada apa?” tanya Lanyi, keluar dari dapur. “Si Jangkung mati! Si Jangkung mati!” “Mati? Semenit yang lalu ia baru saja dari sini. Di mana dia?” “Ia di depan di jalan papan.” Lanyi berpaling dan pergi mengikuti tetangganya. Beberapa meter di jalan papan itu, ia melihat orang berkerumun melihat seseorang yang terbaring di tanah. Dengan segera ia memegangnya dan berlutut di samping si Jangkung. Matanya tertutup. “Jangkung! Jangkung!” ia berseru sambil memegang tangannya. “Kamu benar-benar akan meninggalkan kami?” “Si Jangkung membuka matanya dengan lemah dan menatap Lanyi. Ia tidak berkata apa-apa. Mungkin ia sudah tahu. Matanya tertutup lalu ia meninggal.

Page 107: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Bab Tujuh Belas Petrus

“Guru,” kata Akwet, “pakunya hampir habis. Kita harus membeli lagi.” Kami sedang memperluas ruang kebaktian kami dan menambah satu tingkat untuk mengakomodasi pelayanan kami yang terus bertumbuh. Saudara kami Akwet, yang adalah tukang kayu datang ke rumah kami setiap hari untuk bekerja. Saya agak kesal. Pada dasarnya saya ingin berhemat, saya terus melacak setiap “rupiah” yang dipakai. Kelihatannya uang kami dipakai terlalu banyak membeli paku. Saya mengungkapkan hal itu kepada Lucille. Pada saat itu, saudari kami ibu Ami tinggal bersama kami, membantu menjaga anak kami Esther yang berusia dua tahun. Kami baru saja membeli beberapa kilogram paku berukuran 7,5 cm. Paku-paku itu ditaruh di belakang ruang kebaktian bersama dengan berbagai jenis alat-alat tukang lainnya yang dipakai Akwet untuk bekerja. Tetapi ketika ia hendak mengambil paku-paku itu, banyak yang hilang, mungkin sebanyak satu kilogram. Akwet memperhatikan sepertinya ada yang tidak beres tetapi ia tidak mengatakannya kepada saya sampai ia telah habis memakai semua paku yang ada dan harus meminta kepada saya untuk membeli lagi. Saya heran. Apa yang terjadi dengan paku-paku itu? Siang itu, ibu Ami mendatangi Lucille dan berkata, “Guru, saya tahu apa yang terjadi dengan paku-paku itu.” “Kamu tahu?” kata Lucille. “Katakan pada saya.” “Petrus mengambilnya,” jawabnya. “Tadi pagi ia datang untuk membantu. Ketika dia pulang ia membawa kantong plastik pink yang isinya penuh dengan paku.” (Untuk pembaca: nama saudara Petrus yang sebenarnya telah diganti.) “Kamu yakin, bu Ami?” tanya Lucille. Petrus melayani sepenuh waktu bersama kami. Dibandingkan orang lain, ia pasti tahu bahwa mengambil paku itu salah. Jika memang ia mengambilnya, situasinya akan sulit untuk dibereskan.” “Ya, Guru, saya melihat dia mengambil paku-paku itu,” jawab ibu Ami. “Ibu bisa tanya Akong. Akong pergi bersamanya tadi pagi ke rumahnya.” Kami memanggil Akong dari kamarnya di atas dan menanyakan apakah ia melihat paku-paku yang hilang itu. Akong juga melihat kantong plastik pink yang digantungkan di pegangan sepeda Petrus dalam perjalanan pulang ke rumahnya. “Untuk apa ia butuhkan paku itu, Akong?” “Mungkin untuk membuat kandang untuk ayam-ayam yang Guru belikan untuknya,” ia menjawab. “Ia sudah membuat satu di halaman belakang rumahnya.” “Ya,” kata saya setelah berpikir sejenak, “masuk akal.” Baru-baru ini kami membelikan beberapa puluh anak ayam untuk dipelihara olehnya. Jika ayam-ayam itu sudah dewasa, mereka bisa bertelur dan memberikan penghasilan tambahan buat keluarganya. Kenapa ia tidak minta saja uang kepada saya untuk membeli paku? Saya bertanya. Sore itu kami mengirim pesan kepada Petrus, memintanya untuk mampir ke rumah kami. Kami ingin berbicara dengannya. Setelah ia tiba, kami mengajaknya ke ruangan atas yang besar dimana kami semua bisa duduk melingkari meja besar yang Akwet buatkan untuk kami dari sisa-sisa potongan kayu. Kami dan semua orang yang ingin melayani Tuhan berkumpul di sana untuk belajar Alkitab. Ibu Ami, Akong dan Akwet juga hadir. Saya tanyakan pada Petrus apakah ia mengambil paku dari rumah kami. “Tidak, Guru,” jawabnya, “saya tidak mengambil paku-paku itu.” “Tetapi orang-orang melihat kamu mengambilnya, Petrus!” “Saya tidak mengambil paku sama sekali dari tempat ini.”

Page 108: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Saya melihat pada ibu Ami dan bertanya, “Apakah kamu melihat Petrus mengambil paku-paku itu pagi ini?” “Ya, saya melihatnya, Guru,” jawab ibu Ami. “Ia menaruhnya di dalam kantong plastik pink.” Sambil berpaling kepada Akong saya berkata, “Bagaimana dengan kamu, Akong? Apakah kamu melihat paku-paku yang dibawanya ketika kamu pulang bersamanya tadi?” “Ya. Ada kantong plastik yang menggantung di kemudi sepedanya.” Para saksi telah bersaksi. Pasti, pikir saya, Petrus akan mengakui perbuatannya dan minta maaf. Saya melihat kembali kepada Petrus. “Petrus apakah kamu mengambil paku-paku itu?” Tidak ada jawaban. Saya mengulangi pertanyaan saya kepada Petrus dan menunggu Melalui jendela yang terbuka yang mengarah ke jalan utama Batu Ampar yang melalui depan rumah kami, kami dapat mendengar suara dan keributan dari anak-anak dalam perjalanan mereka pulang dari sekolah. “Petrus, ibu Ami dan Akong melihat kamu mengambil paku-paku itu. Maukah kamu mengakuinya?” “Petrus menatap saya, wajahnya yang bulat kelihatan tanpa ekspresi. “Ya, saya memang mengambilnya.” Kata-kata itu keluar dengan sengaja, dengan suatu sikap yang dingin yang menunjukkan tidak ada penyesalan atas apa yang telah ia lakukan. “Tahukah kamu bahwa perbuatanmu itu salah” tanya saya. “Saya sudah mengakui saya mengambilnya,” jawabnya dengan emosi, “Tidakkah itu cukup?” “Petrus,” saya jelaskan. “Kamu adalah seorang hamba Tuhan. Kamu tahu bahwa jika kita berbuat salah, kita harus bertobat. Kamu tahu bahwa pertobatan bukan hanya berarti mengakui keslaahan kita, tetapi kita sungguh-sungguh menyesal akan perbuatan kita.” “Saya mengakui saya mengambil paku-paku itu.” Tetapi tidak ada pertobatan di dalam nada suaranya. Ia bersedia mengakui bahwa ia telah mengambil paku-paku itu tetapi ia tidak mengakui ia telah berbuat salah. “Petrus,” saya memohon, “Saya tahu paku-paku itu sendiri hanya urusan kecil. Harganya Cuma beberapa ratus rupiah. Tetapi yang jauh lebih penting ialah prinsip kejujuran. Alkitab berkata bahwa siapa saja yang setia dalam perkara kecil akan setia juga dalam perkara besar, dan orang yang tidak jujur dalam hal kecil juga tidak jujur dengan hal besar. Kamu adalah hamba Tuhan. Kamu harus jujur sampai ke rupiah yang terkecil!” Saya tahu bahwa kamu sudah memenangkan banyak jiwa bagi Tuhan, banyak orang sakit telah disembuhkan Tuhan melalui pelayananmu. Tetapi semuanya itu tidak ada artinya jika kamu tidak bersedia mengakui dosamu.” Selama setengah jam kemudian kami berusaha keras untuk meyakinkan Petrus. Namun ia menolak untuk mengakui bahwa ia telah melakukan hal yang salah. Akhirnya, dengan frustrasi saya selesaikan pertemuan itu. Paling tidak, ia mengakui kepada kami bahwa ia telah mengambil paku-paku itu, hibur saya pada diri sendiri sewaktu kami menuruni tangga kayu. Apakah ia bertobat atau tidak di dalam hatinya itu urusan dia dengan Tuhan. Kami sudah mengatakan dan melakukan semua yang dapat kami lakukan. Saya tahu bagaimanapun masalah ini belum tuntas. Lucille dan saya beristirahat di kamar kami di lantai dasar. “Menurut kamu mengapa Petrus seperti itu?” saya menghela nafas dan mengeluh pada Lucille sambil saya duduk di kursi nyaman yang dibuatkan oleh Akwet unutk kami dan menyelonjorkan kaki saya ke ranjang. “Kenapa ia tidak mau mengakui bahwa ia telah berbuat salah?” Lucille memberi saya pandangan bahwa ia tahu. “Bill, cara orang berpikir di Indonesia berbeda dengan cara orang Amerika berpikir,” ia memulai. “Di Amerika, perkara bisa jadi hitam atau putih, bisa sbenar atau salah. Kita diajarkan bahwa kejujuran adalah suatu karakter. Tetapi di sini, jauh lebih sulit untuk jujur. Sebagai contoh, para pejabat pemerintah. Gaji mereka begitu rendah sehingga secara

Page 109: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

manusia mereka perlu menerima apa yang kita sebut suap agar bisa mencukupi. Mereka perlu penghasilan tambahan. Itulah cara hidup di sini – konotasinya tidak senegatif seperti di Amerika – dan cara berpikir seperti ini mempengaruhi Petrus. Ia sudah bekerja keras dan Tuhan memakai dia untuk memenangkan cukup banyak jiwa dan kita belum memberikan padanya gaji yang sesuai dengan yang ia inginkan. Jadi mungkin ia merasa pantas memiliki paku-paku itu. “Saya mau menaikkan gajinya,” jawab saya dengan emosi. “Kamu tahu kan, kinerjanya selalu naik turun. Kadang-kadang ia bagus sekali dan saya baru saja memutuskan untuk menaikkan gajinya tetapi kemudian, tiba-tiba ia melantur lagi dan mengecewakan saya. Saya sebenarnya sudah menaikkan gajinya beberapa kali, adalah salahnya sendiri sehingga gajinya sampai saat ini masih belum naik.” “Apapun kasusnya, bagi Petrus untuk berpikir bahwa ia pantas mendapatkan paku-paku itu adalah salah. Kami membelipaku itu. Jika ia mengambilnya tanpa meminta ijin terlebih dahulu, itu sama dengan mencuri!” Walaupun Petrus tidak mau mengakui kesalahannya, saya tetap berharap bahwa semuanya akan menjadi baik kembali. Mungkin ia akan menyadarinya dan tidak akan melakukannya lagi, mungkin ia tidak bisa mengakuinya di hadapan orang-orang. Mungkin waktu akan menunjukkan bahwa saya tidak salah memilih Petrus untuk melayani bersama-sama kami walaupun ada peringatan di dalam Alkitab agar tidak menaikkan orang-orang yang baru percaya ke posisi kepemimpinan di dalam gereja. Ia sangat potensial dan berapi-api bagi Tuhan. Mengapa ia harus menunggu lama-lama sebelum diinjinkan untuk melayani? Tetapi pada akhirnya, memang Alkitab yang benar. Kinerja Petrus yang tidak konsisten terus berlanjut selama beberapa tahun. Walaupun ada waktunya dimana kami sangat puas dengan pelayanannya kepada Tuhan, kemerosotannya yang sering terjadi tiba-tiba membuat saya sangat frustrasi. Akhirnya sesuatu yang kelihatan sangat remeh membuat saya mencapai titik puncak itu. Kasus yang terakhir ini melibatkan Immanuel. Immanuel adalah perahu panjang yang kami gunakan setiap Minggu untuk membawa orang-orang ke gereja. Perahu itu dibuat melalui dana yang disediakan oleh sebuah gereja di New York. Perahu itu terlihat seperti perahu angkut yang sangat panjang, satu-satunya yang membedakannya ialah mesin berkekuatan empat puluh tenaga kuda Yamaha yang dipasangkan pada buritan. Orang yang ditunjuk untuk mengemudikan dan merawat Immanuel adalah Petrus. Karena dibuat dari kayu biasa, Immanuel membutuhkan penganganan di bagian bawah di mana remis dan karang yang menempel cepat sekali berkembang biak dan memakan kayu secara perlahan. Mesin kapal yang berat itu harus dipindahkan terlebih dahulu, kapal itu dikeringkan di dok dan kayu-kayu yang membusuk diganti dan dicat ulang. Suatu kali kami akan pergi ke luar kota selama beberapa hari. Petrus datang dan memberitahu kami bahwa Immanuel perlu diperbaiki. Tetapi karena baru saja diservis sebelum itu, kami menyuruh Petrus untuk menundanya sampai kami kembali sebelum ia mengeringkan kapal itu. Lalu kami pergi dalam perjalanan kami. Ketika kami kembali ke Batu Ampar, Petrus memberitahu kami bahwa ia telah mencari Immanuel untuk dikeringkan sewaktu kami pergi. Kapalnya bocor sangat parah jadi ia memutuskan untuk tidak menunggu kami kembali untuk memperbaikinya. Keputusannya untuk tidak mendengarkan instruksi saya membuat saya kesal. Ini bukan yang pertama kali. Lagipula, walaupun saya mengerti bahwa Immanuel sudah bocor besar, saya yakin Petrus dapat menunggu dua hari lagi smapai kami kembali tanpa membahayakan kapal itu. Selain urutan beberapa pelanggarannya yang terakhir, kejadian yang terakhir ini meyakinkan saya bahwa Petrus dengan sengaja melawan otoritas saya. Ia bisa berbuat demikian karena pikirnya kami tidak bisa melayani tanpa dia. Setelah berbincang-bincang dengan Lucille, saya mengambil keputusan. Selama beberapa minggu terakhir, saya berbicara kepada A Bak dan Lanyi mengenai kemungkinan untuk melepaskan

Page 110: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Petrus. Mereka juga melihat bahwa ia tidak lagi membantu pekerjaan Tuhan dan mereka setuju dengan saya. Saya putuskan bahwa Petrus tidak akan bekerja lagi untuk kami. Ia boleh tetap berada dalam jemaat tetapi tidak lagi melayani sepenuh waktu. Dengan ditemani A Bak dan Lanyi, kami pergi menemui dia di rumahnya. Pemilik toko di pinggir kota itu hutangnya menumpuk dan ingin pindah untuk memulai yang baru lagi. Ia membutuhkan uang tunai dan meminta pinjaman dari kami. Sebagai jaminan, ia memberikan rumahnya, tanahnya dan kebun buahnya untuk kami gunakan. Karena Petrus sedang mencari-cari rumah, kami pinjamkan uang kepada orang itu dan kami minta Petrus dan keluarganya tinggal di rumah itu. Rumah kayu itu cukup luas , dibangun beberapa tahun lalu di tepi sungai yang oleh orang setempat disebut Teluk Mastora. Waktu dan hujan telah melapukkan dindingnya, beratap sirap dan lantainya, rangka rumah itu terbuat dari kayu besi masih kokoh. Bagian-bagian penting dari rumah itu diperbaiki lalu Petrus, istri dan anak-anaknya pindah ke sana. Ketika kami tiba di rumahnya, baik Petrus maupun isterinya sedang bersantai. Ketika ia mendengar berita iut, ia terkejut. Saya memberikan alasan kepadanya mengapa kami melepaskan dia dan kamintawarkan padanya pesangon sebesar dua setengah bulan. Setelah itu, kami pulang. Keesokan harinya, Lanyi mampir ke rumah sebagaimana biasanya. Setelah memarkir sepedanya di jalan papan yang terpasang di sepanjang sisi rumah kami, ia masuk dari pintu depan sambil mengempit topi tikar yang lebar di satu tangannya. “Guru,” ia berkata sambil duduk di kursi kayu , “saya baru datang dari tempat Petrus. Ia geram dengan apa yang anda lakukan. Ia menuduh anda dan mengatakan bahwa anda tidak berhak memecat dia. Tetapi saya katakan bahwa apa yang guru lakukan itu benar. Guru, ia pernah melakukan hal-hal yang anda tidak ketahui, tetapi sekarang karena dia sudah pergi, saya ingin membuka semuanya.” “Guru, tahukah anda kenapa Immanuel perlu diperbaiki padahal baru saja diservis beberapa minggu yang lalu? Tahukah anda mengapa Immanuel bocor hebat sehingga Elias memutuskan untuk tidak menunggu sampai anda kembali sebelum memperbaikinya?” “Beberapa hari sebelum kapal itu mulai bocor hebat, seorang saudara kita meminta bantuan Petrus untuk membantunya mengangkut sejumlah besar kayu gelondongan yang ia perlu kirimkan kepada pelanggannya. Kayu-kayu itu sudah berada di Teluk Mastora dekat rumah Petrus. Dengan imbalan uang, Petrus membawa Immanuel ke sungai dan mengangkut kayu-kayu itu. Lalu ia mengirimkan seluruh angkutan itu ke pelanggan Ameng. Guru, muatan itu terlalu berat untuk kapal itu. Itulah sebabnya kapal itu mulai bocor. Ketika saya mendengar bahwa Petrus telah memakai Immanuel, kapal gereja untuk mencari keuntungan pribadi dan oleh karenanya ia menyebabkan kerusakan pada kapal, saya terbakar oleh amarah. Andai saja saya tahu ini sebelumnya, saya tidak akan berikan uang pesangon begitu banyak kepadanya! Namun ini juga merupakan konfirmasi bahwa saya mengambil keputusan yang benar untuk melepaskan dia. Tidaka kan lagi terjadi seperti ini. Seseorang harus menggantikan Petrus sebagai pengemudi Immanuel pada hari Minggu pagi untuk membawa orang-orang ke gereja pada hari Minggu. Saudara A Bak setuju untuk mengambil tanggung jawab itu. Beberapa hari kemudian, Lanyi datang dengan suatu laporan yang sulit saya percayai. Ketika Petrus masih mengoperasikan Immanuel untuk gereja, setiap Sabtu malam saya berikan padanya sejumlah uang dari gereja untuk membeli bahan bakar untuk keesokan paginya. Ia menjemput orang pada pagi hari dan mengantarkan merreka kembali pada sore hari. Pada hari Senin atau Selasa berikutnya, Petrus akan memberikan bon buatannya sendiri kepada saya dari pompa bensin yang menunjukkan jumlah uang yang telah saya berikan padanya yang ia pakai untuk membeli bahan bakar. Sistem seperti ini berjalan cukup lancar selama dua tahun ia menangani Immanuel. Lanyi mendengar laporan bahwa Petrus mencuri sebagaian uang bensin yang saya berikan padanya setiap minggu. Desas-desus bahwa penjaga kios bensin membantunya juga membuatkan bon palsu yang angkanya sesuai dengan jumlah uang yang saya berikan padanya setiap minggu untuk

Page 111: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

membeli bahan bakar. Petrus mengambil perbedaan uang yang saya berikan padanya dengan jumlah sebenarnya yang ia pakai untuk membeli bahan bakar. Praktek semacam ini sudah lazim di Batu Ampar, tetapi sungguh tak terpikirkan hal ini dilakukan juga oleh seorang kristen yang melayani Tuhan sepenuh waktu. “Tidak mungkin, Lanyi,” kami menanggapi dengan kesal. “Petrus tidak akan pernah melakukan hal-hal semacam itu. Ia pasti tahu bahwa ia tidak boleh mencuri uangnya Tuhan. Itu tidak mungkin benar!” Suatu hari beberapa minggu kemudian, A Bak datang ke rumah untuk menemui saya. “Guru, berapa yang dibayar oleh gereja setiap Minggu untuk bahan bakar Immanuel?” “Kira-kira Rp. 17.000,-,” jawab saya. Tujuh belas ribu rupiah pada waktu itu hampir senilai sebelas dolar. “Mengapa kamu bertanya begitu? A Bak melihat pada saya dengan tidak enak hati tapi juga geli. “Selama beberapa miggu ini, saya mengemudikan Immanuel setiap Minggu. Saya mencatat berapa banyak bahan bakar yang saya gunakan. Sepertinya Immanuel memakai bahan bakar jauh lebih sedikit daripada sewaktu Petrus mengemudikannya. Bahkan perbedaanya kira-kira separuhnya.” “Hanya separuhnya?” saya berpikir sejenak, terkesima, “Mungkin cara mengemudikan Petrus berbeda dengan cara kamu,” saya berujar. “Yaah..” jawab A Bak, “mesin kapal ini sangat sederhana untuk dikontrol. Sangat sulit bagi seseorang untuk memakai dua kali lipat banyaknya hanya karena berbeda cara mengemudikannya. Bahkan jika saya memaksanya berjalan cepat, pemakaian bahan bakarnya masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang Petrus pakai.” Akhirnya, saya tidak dapat luput dari kesimpulan yang tidak enak ini. Lanyi benar selama ini. Petrus telah menyedot uang gereja ke dalam kantongnya sendiri. Ia telah melakukan hal itu selama dua tahun belakangan ini. Yang lebih buruk lagi adalah selama dua tahun itu, Petrus mengajarkan Firman Tuhan, membawa cukup banyak jiwa kepada Kristus dan menyembuhkan orang sakit secara ajaib melalui pelayanannya. Apa yang Yesus pikirkan ketika Ia berkata:

Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!" (Matius 7:22-23)

Tuhan sangat baik kepada Petrus sebagaiman Ia juga demikian kepada semua dari kita yang percaya kepada Yesus untuk menyelamatkan kita dari dosa-dosa kita. Kehidupan dan lingkungan yang ia wariskan sebelum menerima Kristus cukup untuk menggambarkan bahwa ia berada di bawah kutuk kemiskinan. Walaupun keselamatan kita bisa dianggap instan begitu kita mengakui Kristus dengan iman, pembebasan kita daroi kutuk seumur hidup mungkin terjadi secara bertahap, sebagaimana proses pengudusan kita. Oleh anugerah Tuhan, Petrus di kemudian hari menghadiri seminari. Setelah lulus, Tuhan memberkatinya dengan sebuah lembaga yang beranggotan gembala di Pontianak. Kunci keselamatan kita bukanlah kesempurnaan pribadi, melainkan hati yang rendah dan berseru, “Tuhan Yesus, kasihanilah aku, orang berdosa!”

Page 112: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Bab Delapan Belas Tubuh Kristus Disalibkan Di Batu Ampar

Pada awal tahun 1985, ada sebuah gedung bioskop yang akan dijual. Lokasinya sempurna, tepat di tengah kota. Tempat kebaktian kami sudah tidak memadai lagi untuk menampung jemaat yang terus bertumbuh dan, disamping itu para tetangga kami telah menyatakan dengan jelas melalui petisi kepada pemerintah daerah setempat bahwa mereka tidak lagi dapat bersabar dengan kebaktian-kebaktian kami yang sangat menggugah dan penuh pujian.(Di Batu Ampar, rumah-rumah dan gedung tidak ditutup rapat dengan jendela kaca atau dengan tembok kedap suara sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang di Barat. Suara dari nyanyian dan instrumen yang dikeraskan suaranya selalu terdengar jauh sampai ke luar gedung melalui jendela terbuka dan tembok kayu satu lapis yang tipis. Kami diberkati oleh pujian, tetapi tetangga kami tidak. Jarak bangunan kami dengan tetangga terdekat adalah dua setengah meter. Para gadis yang tinggal di sana seringkali belajar dari pujian kami, mereka memutar kaset lagu-lagu pop Indonesia dengan volume yang memekakkan telinga. (kayaknya musik seperti itu tidak cocok untuk mengiringi khotbah yang diurapi). Pemerintah setempat telah bermurah hati menawarkan kepada kami suatu rencana tanah rawa di tempat terpencil di mana kami dpaat membangun gedung gereja kami, tetapi setelah melakukan inspeksi terhadap tempat itu kami putuskan untuk tidak mengambil tindakan apapun sampai ada sesuatu yang lebih baik. Akhirnya, pemilik dua buah bioskop di Batu Ampar memutuskan untuk menjual salah satu gedungnya. Selama setahun, gedung itu menarik banyak peminat untuk membeli, termasuk kami. Kami sedang mencari alternatif lokasi untuk gereja kami, tetapi kami tak pernah memikirkan gedung bioskop. Sedikit demi sedikit perhatian kami terarah pada kemungkinan untuk membeli gedung bioskop itu. Berkali-kali Tuhan memakai orang untuk menanamkan iman bagi gedung bioskop itu sampai kami yakin bahwa Ia menginginkan gedung itu untuk kami. Gedung itu jauh berbeda dari gedung bioskop mewah yang lazim anda lihat di Barat, yang sama hanyalah bentuk gedung berupa gudang berlantai semen dengan bangku yang disusun dalam bentuk barisan terbuat dari kayu. Bagi kami gedung itu cocok sekali, dapat menampung kira-kira seribu orang bila kapasitas terisi penuh. Lokasinya di pusat kota akan sangat mudah dicapai oleh jemaat kami dan orang-orang yang ingin tahu. Walaupun pengalaman kami sebelumnya dengan penduduk kota yang sangat menentang didirikannya gereja di manapun di tengah kota, kami ingin membeli gedung itu dan merubahnya menjadi gereja. Kami telah berdoa banyak kepada Tuhan mengenai gedung itu dan kami diyakinkan bahwa adalah kehendakNya bagi kami untuk memilikinya. Dari segi hukum, kami mempunyai hak secara teknis untuk menggunakan bioskop, karena satu-satunya penghuni dari tetangga yang berdekatan dengan gedung itu adalah orang-orang Tionghoa yang menyembah patung berhala, yang telah menyatakan bahwa mereka tidak menentang dibangun gereja di tengah-tengah mereka. Orang-orang yang tinggal di daerah lain yang jauh dari bioskop itu tidak mempunyai hak suara secara hukum untuk memutuskan hal ini. Kami menyatakan keinginan kami kepada masyarakat. Reaksi mereka cepat dan pasti. Desas-desus mulai beredar di seputar kota bahwa jika kami berani melaksanakan niat kami, rumah kami akan dibakar. Kami juga mendengar bahwa penguasa militer dan sipil setempat, karena takut akan reaksi kekerasan dari masyarakat, juga menentang gerakan kami. Pada suatu pagi kami bangun dan menemukan seekor anjing mati yang digantung di depan pintu kami, suatu gambaran yang kejam akanapa yang mungkin terjadi pada kami. Ibu Sri, saudari kami di dalam Kristus yang suaminya orang percaya bertugas di batalion militer setempat dan tahu akan perasaan komandannya, gentar akan rencana kami dan menyarankan agar kami membatalkannya. Komandannya telah mencoba menekan dia, seorang pemimpin yang berapi-api di jemaat kami agar tidak melayani Tuhan secara aktif. Akan tetapi, begitu kami berkomitmen kepada

Page 113: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

pemilik gedung itu bahwa kami akan membelinya, saya tidak bisa berpaling lagi, apapun konsekuensinya. Setelah lewat waktu beberapa bulan, kami mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan ijin menggunakan gedung bioskop itu untuk kebaktian gereja kami, kegelisahan dan tekanan atas kami semakinmemuncak seiring dengan meledaknya situasi di Batu Ampar. Berbagai pemimpin dari sleuruh kota, termasuk Pak Leo, bekerja sama dengan penyembah berhala orang Tionghoa memaksa kami untuk membangun gereja di tanah rawa yang telah diberikan oleh Pak Camat. Tekanan bertubi-tubi atas kami mendorong kami untuk mencari Tuhan dengan tak putus-putusnya dan memberi kami pengertian akan kata-kata Yesus di dalam Injil Yohanes:

"Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari pada kamu. Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu. Ingatlah apa yang telah Kukatakan kepadamu: Seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya. Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu; jikalau mereka telah menuruti firman-Ku, mereka juga akan menuruti perkataanmu. (Yohanes 15:18-20)

Berita itu akhirnya sampai ke Gubernur Kalimantan Barat. Di bawah gubernur ada tingkatan pejabat yang membantunya mengurus propinsi-propinsi. Kalimantan Barat, seperti propinsi-propinsi lainnya di Indonesia dibagi dalam beberapa sub-daerah yang disebut kabupaten, masing-masing dipimpin oleh seorang yang bernama bupati. Setiap kabupaten, pada gilirannya nanti, akan dibagi lagi ke dalam beberapa kawasan yang kita kenal sebagai kecamatan. Kepala dari setiap kecamatan adalah camat. Camat tugasnya adalah mengawasi seluruh kota dan desa yang ada di bawah yurisdiksinya. Setiap desa juga memiliki kepala, yang dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai kepala kampung. Pada suatu hari di awal musim semi pada tahun 1985, kami menerima surat panggilan dari kantor bupati yang meminta kehadiran kami pada rapat kota dimana masalah yang berpotensi menyebabkan ledakan di dalam masyarakat akan dibahas dan diputuskan. Pak gubernur telah menugaskan bupati untuk memimpin rapat ini secara langsung. Pak Camat, kepala kampung pimpinan militer daerah dan pejabat polisi akan hadir juga. Semua tokoh masyarakat, pemimpin di masyarakat dan pemimpin agama di Batu Ampar, yang semuanya hampir berjumlah tiga puluh orang, diminta hadir. Terlebih lagi, pendeta dan tiga pemimpin gereja di Batu Ampar juga diminta untuk hadir. Rapat akan diadakan pada tanggal 5 April, 1985. Secara kebetulan – mungkin juga tidak – hari itu adalah hari Jum;at Agung, hari peringatan kematian Yesus Kristus, yang menderita di salib hampir dua ribu tahun yang lalu untuk melahirkan suatu Jemaat dari Allah yang Hidup di bumi. Menjelang sore itu, beberapa jemaat berkumpul di rumah A Bak untuk berdoa bagi rapat kota itu. Pak bupati telah tiba dan menginap di ruang atas di Sarinah, sebuah penginapan kecil plus rumah makan yang menghadap ke pelabuhan. Rapatnya akan diadakan di lantai pertama rumah makan di tempat penginapan itu. Kira-kira jam 7 malam, pak bupati sudah berispa untuk memulai rapat tersebut. Lucille, A Bak, Elias, Pak Martin (suami Ibu Lis) dan saya duduk tidak jauh dari pak bupati, kami sungguh kalah jauh dari jumlah orang-orang penentang kami yang mengelilingi kami. Seorang pria berkulit gelap dari suku Melayu berpakaian gaya safari standar yang disukai oleh pejabat Indonesia, memulai rapat dengan pidato yang mengungkapkan tujuan dari rapat tersebut lalu ia berbicara kepada saya di hadapan orang-orang. “Tuan, kami sungguhmenghargai usaha anda datang jauh-jauh ke negeri kami untuk mengajarkan tentang kekristenan. Anda ada di sini dengan pengorbanan yang sangat besar dan memakan banyak waktu dan usaha. Akan tetapi kehadiran anda di dalam masyarakat di tempat ini telah membawa masalah. Anda adalah tamu di negeri kami, dan seorang tamu harus belajar untuk

Page 114: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

hidup sesuai dengan aturan dari negara yang didiaminya. Tetapi anda, Tuan, telah berkelakuan menyimpang dan menjadi tamu yang membuat masalah. Anda telah menyebabkan adanya tekanan di antara agama-agama di dalam masayarakat dan keresahan bagi warga negara di sini.” Mata orang-orang tersorot dan melotot pada saya dan kepala mereka mengangguk-angguk mendengar kata-kata pak bupati. Ia telah memilih untuk tidak mempertimbangkan kemungkinan yang paling nyata bahwaketegangan itu bukanlah disebabkan oelh kami melainkan oleh pemimpin agama tertentu yang sangat membenci kami karena Tuhan memberkati jerih payah kami. “Anda berhak mengajarkan agama anda kepada pengikut-pengikut anda sendiri, tetapi ntuk bertindak jauh seperti membeli gedung bioskop untuk digunakan sebagai bangunan gereja merupakan usulan yang sulit,” ia melanjutkan. “Masyarakat di sini tidak menginjinkan anda untuk melakukan hal itu.” Sambil berpaling kepada wakil-wakil masyarakat di seputar ruangan itu, ia bertanya, “Bagaimana menurut anda jika orang-orang kristen membuat gedung bioskop menjadi sebuah gereja?” Suara riuh terdengar di seluruh ruangan akhirnya tertumpah dalam kata-kata “TIDAK BISA!” Penduduk kota, didorong dan dibuat berani oleh posisi pak bupati, membuat mereka menjadi massa yang siap menyerang. Mereka mulai meledek dan menertawakan kami karena menginginkan gedung bioskop itu. Pak bupati berpaling kepada kami lagi, senyum tersungging di wajahnya. “Anda lihat, kami tidak bisa memberikan kepada anda ijin untuk memakai gedung bioskop itu sebagai gereja.” “Tetapi bagaimana dengan Pancansila?” suara seorang perempuan bertanya dengan nada tegas. Saya melihat ke sebelah saya dan mendengar bagaimana Lucille menantang pak bupati. Tidak ada yang pernah membela kami atau mengangkat tangan mengajukan keberatan atas keadaan berat sebelah yang telah diatur oleh pak bupati. Saya terlalu terintimidasi untuk membuka mulut saya. A Bak dan Elias juga duduk dengan takut di sebelah saya. Tidak pernah sebelumnya ada orang yang mengatakan sesuatu atas nama kami, kecuali Lucille, yang dipenuhi dengan keberanian yang datang dari Roh Kudus, ia menanyakan tentang hal-hak kami sesuai dengan Pancasila, dokumen konstitusional utama yang menjadi dasar bagi semua hukum di Indonesia. Pancasila memberikan hak kepada Islam, Budha, Hindu dan kekristenan (termasuk Katolik Roma dan Protestan) untuk eksis bersama-sama di Indonesia. Lucille meneruskan kata-katanya, nada bicaranya lembut namun tidak takut. Saya belum pernah mendengar ia berbicara dengan otoritas seperti itu sebelumnya. “Pak Bupati, Pancasila memberi kita orang kristen hak untuk menyembah Tuhan kami di sini di Batu Ampar.” “Pancasila tidak berlaku di sini!” jawab pak bupati dengan emosi. Hampir-hampir saya tak percaya apa yang baru saja saya dengar dari seorang pejabat pemerintah yang sumpah jabatannya ialah untuk menjunjung tinggi Pancasila, suatu dasar negara yang amat dihormati. Pak camat yang dari tadi merekam semua pembicaraan dengan alat perekam mikrokaset, mulai gelisah di tempat duduknya. “Ini bukan Jakarta,” lanjut pak bupati. “Ini adalah desa udik dimana orang-orangnya tidak berpendidikan dan tidak bisa diharapkan untuk mantaati Pancasila.” Sudah jelas pak bupati memang berniat untuk menyinggung setiap orang pada rapat itu. Penduduk kota kelihatannya tidak keberatan selama mereka menang terhadap orang kristen yang merepotkan ini. “Tuan,” ia menyimpulkan, “kami tidak bisa menjamin keselamatan gereja anda di lokasi tersebut. Oleh sebab itu, permohonan anda untuk mendapat ijin menggunakan gedung bioskop sebagai gereja kami tolak. Akan tetapi, kami ingin anda memikirkan untuk membangun gereja anda di lokasi yang diberikan oleh pemerintah secara cuma-cuma. Ada sebidang tanah di luar kota dekat pemotongan kayu Bumi Raya di sebelah tanah pekuburan dimana orang Tionghoa menguburkan kerabat mereka yang meninggal. Kami akan berikan tanah itu untuk anda membangun gereja anda.” Lokasi yang begitu ingin diberikan oleh bupati kepada kami terletak di tempat yang menghubungkan Batu Ampar dengan pemotongan kayu Bumi Raya, jaraknya melebihi satu kilometer. Tanah itu begitu terpencil jauh di dalam tempat yang masih hutan dimana tidak ada manusia yang

Page 115: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

berani tinggal di sana, satu-satunya yang tinggal di sana adalah roh-roh orang mati – jadi itulah yang terpikir oleh orang-orang setempat – karena satu-satunya yang ada di sana adalah kuburan. Pada malam hari, tempat ini sama sekali gelap gulita, satu-satunya yang terlihat hanyalah hantu, roh-roh gentayangan atau apapun makhluk seram lainnya yang dapat dibayangkan oleh orang yang melintasi daerah itu dengan terburu-buru dengan berjalan kaki maupun dengan bersepeda. Yang sama menakutkannya ialah kemungkinan untuk menjumpai perampok atau pemerkosa atau binatang buas dari kedua sisi hutan yang mencegat jalan itu sewaktu seseorang melintasinya. Siapa yang ingin pergi ke kebaktian malam di daerah yang ditinggalkan Tuhan seperti itu? Pada siang hari, keadaannya lebih baik, tetapi bagi beberapa orang, sama saja. Satu kilometer dari pusat Batu Ampar, lokasi itu akan menjadi halangan bagi sebagian besar anggota jemaat yang biasa datang ke gereja dengan berjalan kaki. Ada ibu-ibu yang punya anak kecil yang mungkin harus menggendong anaknya dengan satu tangan dan menuntun anaknya yang lebih besar dengan tangannya yang lain dan setelah menghabiskan waktu setengah jam di taksi air hanya untuk sampai ke Batu Ampar dari pemotongan kayu. Ketika langit cerah, matahari di khatulistiwa Kalimantan bisa membakar seseorang yang berani berjalan di luar selama beberapa menit, apalagi seorang yang harus berjalan satu kilometer ke kebaktian Minggu di lokasi gereja yang diusulkan. Pada musim hujan, situasinya akan jauh lebih buruk. Jalan dari tanah itu akan berubah menjadi lumpur yang sangat mematikan karena sangat licin dan kental bagi mereka yang memilih untuk berjalan ke luar. Seketika itu juga menjadi jelas bagi saya bahwa usulan pak bupati ini akan menghancurkan pekerjaan kami di Batu Ampar yang telah kami rintis selama bertahun-tahun – atau menghadapi kelumpuhan – jika kami memilih untuk menerimanya. Bupati melihat keengganan saya dan terus bergerak untuk memojokkan saya. “Anda harus menerima usulan ini,” ia berkata dengan mendesak. “Anda tak punya pilihan lain.” “Maaf,” saya menjawab dengan lemah. Kekuatan saya sudah terkuras habis oleh suasana yang begitu sengit dan menekan di sepanjang rapat itu. “Saya tidak ingin membangun gereja di tanah itu.” Pak bupati menjadi sangat marah oleh sikap keras kepala saya. “Jika anda tidak mengambil tanah itu,” ia mengancam, “Saya akan laporkan anda ke komandan militer Kalimantan Barat.” Ia menyerahkan kepada kami suatu perjanjian. “Tolong tangani ini di bawah.” Saya berusaha mengulur waktu dengan membaca surat perjanjian di tangan saya itu. Namun saya sudah tak tahan lagi rasanya menahan tekanan yang begitu menghimpit, bukan hanya dari bupati, tetapi dari seluruh penduduk kota yang kini berkumpul seperti untuk melihat hukuman mati. Saya dapat merasakan kuasa kegelapan di ruangan itu berseru-seru meminta darah kami, “Salibkan mereka, salibkan mereka, salibkan mereka!” Roh anti Kristus telah menguasai ruangan itu dan setiap unsur keadilan dan belas kasihan bagi kami telah lenyap. Orang-orang yang biasanya bertukar salam dengan kami di jalan berubah menjadi binatang buas yang menyemprotkan bisa beracun dan kebencian sewaktu rapat itu terus berlanjut menuju penutupan. Di rumah A Bak di mana beberapa orang kudus berkumpul untuk berdoa selama rapat berlangsung, mendapatkan penglihatan. Di dalam penglihatan itu terlihat suatu roh yang kuat di dalam wujud seorang memakai peci putih. Roh ini terlihat menyerang kami dengan ganasnya. Akhirnya saya menyerah pada kemauan pak bupati. Namun tetap saya tidak bisa menanda-tangani kesepakatan itu, saya meminta A Bak untuk menanda-tangani sebagai gantinya. A Bak melakukannya. Sewaktu kami berdiri dari tempat duduk kami untuk meninggalkan arena kekalahan yang telak, gemuruh suara ejekan terdengar dari seluruh penduduk kota di ruangan itu. Di jalan menuju pintu keluar, salah seorang hadirin rapat itu hampir-hampir menyerang saya, tetapi sahabat-sahabatnya menghentikannya. Ketika kami melangkah keluar kami seakan ditelan oleh massa yang telah berkumpul di luar rumah makan untuk melihat tontonan itu melalui jendela. Mereka mengejek-ejek kami dengan kata-kata ejekan yang menghina dan teriakan yang menghujat dalam rasa malu dan

Page 116: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

kekalahan. Kabar baik dibawa oleh angin ke seluruh sudut Batu Ampar malam itu – orang-orang Kristen kafir itu sudah dikalahkan! Mereka seperti sudah mati! Saudara-saudara kami yang mendengar hasil rapat itu tercengang. Mereka sudah berpuasa, berseru kepada Tuhan setiap hari pada jam lima pagi. Mereka percaya bahwa orang yang menaruh kepercayaannya kepada Tuhan tidak akan dipermalukan. Tetapi sepertinya Tuhan sudah menetapkan bahwa pada hari Jum’at malam, pada hari peringatan belas kasihan Tuhan, Tubuh Kristus di Batu Ampar juga mengalami rasa malu yang besar dan “disalibkan” agar kita mengenal kuasa kebangkitanNya.

Page 117: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Bab Sembilan Belas KEBANGKITAN

Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematianNya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitanNya. (Roma 6:5)

Saya tidak dapat tidur dengan nyenyak pada malam setelah kebaktian itu. Seperti Abraham yang telah menyerahkan kembali semua haknya atas Ishak kepada Tuhan, saya menyerahkan kembali “pelayanan saya” kepada Tuhan. Tidak seperti Abraham tentunya, ini bukanlah kasus dimana saya punya banyak pilihan. “Tuhan, saya tidak dapat menangani masalah ini. Hal ini terlalu berat untukku. Ambillah, Tuhan. Bagaimanapun juga, ini adalah gerejaMu.” Dengan penyerahan itu, saya membalikkan tubuh dan tidur dengan nyenyak hingga pagi. Menyerah kepada Tuhan ada manfaatnya. Lucille, sebaliknya, tidak dapat tidur malam itu. Kekuatiran seperti sekumpulan burung pemangsa yang berkerumun mengelilingi ingatan akan pembunuhan secara kejam itu. Bagaimana dengan jemaat yang telah kami rintis? Bagaimana mungkin mereka dapat bertahan hidup? Bagaimana dengan jiwa-jiwa yang berharga yang telah kami asuh dalam lima tahun penuh pengorbanan? Tidakkah mereka akan tercerai berai? Dia memandang sekilas kepada saya yang tidur disebelahnya. Bagaimana dia dapat tidur di masa yang seperti ini? Lucille mengambil Alkitabnya dan membaca Mazmur 37. Dia membaca dengan keras di hadapan Tuhan.

Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang; sebab mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau. Percayalah kepada Tuhan dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena Tuhan: maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu.Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepadaNya, dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang. Berdiam dirilah di hadapan Tuhan dan nantikanlah Dia; Jangan marah karena orang yang berhasil dalam hidupnya karena orang yang melakukan tipu daya. Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan. Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan akan mewarisi negeri. Karena sedikit waktu lagi, maka lenyaplah orang fasik; jika engkau memperhatikan tempatnya, maka ia sudah tidak ada lagi. Tetapi orang-orang yang rendah hati akan mewarisi negeri dan bergembira karena kesejahteraan yang berlimpah-limpah. Orang fasik merencanakan kejahatan terhadap orang benar dan menggertakkan giginya terhadap dia; Tuhan menertawakan orang fasik itu, sebab Ia melihat bahwa harinya sudah dekat. Orang-orang fasik menghunus pedang dan melenturkan busur mereka untuk merobohkan orang-orang sengsara dan orang-orang miskin, untuk membunuh orang-orang yang hidup jujur; tetapi pedang mereka akan menikam dada mereka sendiri dan busur mereka akan dipatahkan. (Maz. 37: 1 – 15)

Firman Tuhan mulai melayani jiwa Lucille yang gundah. Dia membacanya sekali lagi dihadapan Tuhan. “Tuhan, ini yang dikatakan FirmanMu; ini JanjiMu bagi kami!” Sekali lagi dia membacanya dengan keras. Dan sekali lagi. Akhirnya, oleh karena belas kasihan Tuhan diapun tertidur.

Page 118: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Hari Minggu itu, tentu saja, adalah Hari Kebangkitan, atau dikenal juga sebagai Hari Paskah. Beberapa saudara yang telah mengalami penghinaan Jumat malam bersama kami, masih terguncang, menangisi apa yang telah terjadi. Kabar tentang keputusan yang dicapai pada pertemuan tersebut telah menyebar ke seluruh kota. Berita beredar bahwa orang-orang kelompok “haleluya” pada akhirnya setelah sekian lama, ditaruh pada tempatnya dan mendapat pukulan telak dari keputusan pemerintah. Jadi mau apa jika Tuhan mereka dapat menyembuhkan orang sakit? Siapa yang mau datang ke kebaktiannya lagi? Begitu banyak rencana mereka untuk memenangkan Batu Ampar bagi Tuhan mereka! Orang baru seperti apa yang mau datang ke gereja mereka, yang Tuhannya tidak dapat menyelamatkan mereka bahkan dengan tidak berdaya membiarkan mereka dipermalukan dan diasingkan ke tempat terpencil yang jauhnya empat puluh lima menit berjalan kaki dari kota ? Gelak tawa, ejekan dan celaan menyambut orang-orang kami di luar. Lucille memimpin orang-orang kudus dalam pujian dan penyembahan, merayakan kebangkitan Tuhan Yesus. Tetapi kami telah mati pada hari Jumat malam. Apa yang dirayakan? Sambil mengertakkan gigi dan melekatkan senyuman dia memimpin kami dengan lagu Kebangkitan yang terkenal:

“Hidup, hidup, hidup selamanya, Yesusku hidup, hidup selamanya Hidup, hidup, hidup selamanya, Yesusku hidup”

Ya, Yesus hidup. Walaupun kita mati, Dia hidup. Jadi ada pengharapan. Jika Dia hidup, maka kita juga akan hidup. Bukankah itu tujuan KebangkitanNya, untuk mendemonstrasikan kuasaNya atas kematian dan dosa dan si iblis? Saya bangkit untuk berkhotbah dan roh Tuhan yang Bangkit datang atas saya. “Saudara-saudara, seperti yang saudara semua ketahui, Jumat malam lalu gereja kita secara resmi diusir keluar dari kota untuk membangun di tanah yang sesungguhnya masih berupa hutan. Harapan dan impian kita telah dihancurkan semuanya. Kita telah dipermalukan di depan seluruh masyarakat. Kita di hukum mati di depan umum.” “Tetapi umat Tuhan, Jumat lalu adalah Hari Jumat Agung, ketika Yesus mati di kayu salib kira-kira dua ribu tahun yang lalu. Pada hari yang ketiga, Dia mengalahkan maut dan bangkit dari kubur. Hari ini Dia hidup dan ada bersama kita sekarang ini juga. Dialah Tuhan kita dan kita mengikuti jejakNya. Seperti Dia disalibkan, kita juga disalibkan.” Ketika saya menghibur orang-orang itu, saya mengingatkan diri saya dan mereka akan Roma 8:28.

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.

Saya mengingatkan mereka bahwa bagi orang Kristen, kematian bukanlah suatu akhir dan bahwa penyaliban yang kami derita malam itu bukanlah akhir dari masalah yang ada. Karena saya tahu dengan iman bahwa setelah salib datang kebangkitan. Saya mendorong mereka untuk menaikkan syukur kepada Tuhan meskipun apa yang telah terjadi, saya menantang mereka untuk mempercayai Tuhan dalam perkara yang mustahil.. “Saudara-saudara yang kekasih, dimana ada kematian dan penyaliban demi Kristus, di sana akan ada pula kebangkitan, sama seperti Yesus telah bangkit.” Saya dapat merasakan adanya pengharapan dan roh keberanian yang memancar keluar dari dalam hati saya. Yesus sungguh-sungguh HIDUP dan hidup DI DALAM SAYA. Suara saya semakin tinggi dan dipenuhi keyakinan dan mencapai klimaksnya, menyatakan, “Apapun yang telah terjadi, Tuhan akan memberikan gedung bioskop yang telah Dia janjikan bagi kita, HANYA JIKA KAMU PERCAYA. Masa yang penuh dengan kegelapan dan kekalahan adalah waktu untuk berdiri teguh dengan sorak kemenangan dan

Page 119: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

memperbaharui iman seseorang akan Allah yang hidup. Inilah waktunya menghadapi Laut Merah dengan sikap menantang, bergerak maju untuk melihat tangan Tuhan yang berkuasa turun membelah laut!” “SAYA PERCAYA BAHWA GEREJA DI BATU AMPAR AKAN BANGKIT DARI MAUT! HALELUYA! PUJIAN HANYA BAGI NAMA YESUS!” Keesokan harinya adalah hari Senin, hari istirahat bagi seorang pendeta. Namun, istirahat tidak ada dalam benak kami. Kami memikirkan cara pembebasan lain dari Tuhan. Seorang komandan TNI yang baru, baru saja ditunjuk untuk menjaga seluruh Kalimantan Barat. Kolonel ini tidak hanya dikenal karena model kepemimpinannya yang keras dan banyak tuntutan, tetapi juga karena keadilannya. Biasanya, pikiran untuk mencari pertolongan dari pejabat tinggi di Indonesia tidaklah muncul pada kami, teristimewa bila melihat bagaimana bupati dan pejabat-pejabat lainnya telah memperlakukan kami. Siapakah kami, sehingga Kolonel itu harus menyediakan waktu bagi kami ditengah begitu padatnya jadwal kegiatan beliau? Namun kami akrab dengan seorang pendeta di kota besar yang mungkin bersedia menemani kami menemui Kolonel itu. Pak Luwuk, orang Dayak yang baik dan ramah, yang menggembalakan di sebuah gereja Pantekosta mungkin dapat membantu kami. Senin pagi itu kami naik perahu menuju ke kota besar, meletakkan diri kami pada kemurahan Tuhan. Tiba di kota kira-kira tiga jam kemudian, kami naik oplet kecil ke gereja pak Luwuk. Kendaraan umum ini menggunakan mobil pick-up yang diimpor dari Jepang . Di atas dasarnya yang berukuran dua meter dipasang sebuah tudung kecil untuk menciptakan tempat tertutup bagi para penumpang . Bangku-bangku yang dilapisi busa terpasang di sepanjang sisi dasar mobil membentuk dua baris tempat duduk parallel bagi para penumpang, yang duduk berhadapan di bawah tudung yang sesak. Orang-orang yang menderita claustrophobia (takut ruang sempit) mungkin akan berpikir ulang sebelum naik oplet. Pak Luwuk tidak ada di rumah pastori. Bagus. Bagaimana kami dapat menemui Kolonel itu? Haruskah kami mencoba ke Maskas Besarnya, sebuah benteng besar yang terbuat dari besi dan beton yang mengesankan, dijaga oleh satu peleton prajurit yang tampak garang dan sebuah kanon di depan? Tidak. Tampaknya keadaan tidak mengundang kami untuk datang. Sebagai gantinya kami memutuskan untuk singgah ke rumahnya pada malam hari. Dengan harapan Kolonel itu lebih santai dan terbuka di rumahnya. Kami bertanya kepada orang-orang Kristen yang kami kenal dan kami menemukan bahwa, karena Kolonel itu baru di kota ini, tidak seorangpun mengenal dia secara pribadi. (Tuhan memindahkan dia ke propinsi kami pada saat anak-anakNya di Batu Ampar berseru kepadaNya meminta keadilan). Tiap orang, kelihatannya, mengenal dia, karena di Indonesia, dimana tentara memiliki riwayat yang sangat tinggi untuk urusan dalam negeri, tidaklah diperlukan waktu yang lama untuk seorang berpangkat tinggi untuk menjadi tokoh masyarakat. Namun siapa yang dapat memperkenalkan kami kepadanya? Tidak seorangpun. Jadi kami tidak mempunyai pilihan kecuali untuk menanggapi anugerah yang berlimpah yang menjadi milik kami di dalam Yesus Kristus, yang menduduki posisi tertinggi di surga dan di bumi. Kami pergi sendiri untuk menemui Kolonel itu. Kami memanggil becak yang lewat dan berangkat menuju ke daerah pemukiman di kota. Kolonel ini tinggal di rumah model peternakan dengan, tentu saja, prajurit yang berjaga di halaman depan. Ketakutan yang menggelisahkan saya bahwa saya sungguh-sungguh akan bertemu dengan Kolonel itu hampir saja mengalahkan tujuan saya untuk datang ke sana. Ketetapan hati saya yang melemah hampir tidak dapat menahan saya untuk tidak berbalik dan lari.

“Kami ingin bertemu dengan pak Kolonel,” saya berkata kepada kedua prajurit penjaga selembut dan sesopan mungkin. “Pak Kolonel sedang tidak ada di rumah,” demikian jawabnya. Hilanglah semangat kami, berpikir-pikir, sekarang ke mana kami akan pergi? Tetapi bercampur dengan rasa kecewa, ada

Page 120: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

perasaan lega yang ironis bahwa kami tidak perlu bertemu dengan Kolonel itu. Kami berbalik untuk pergi. “Tunggu, jangan pergi!” sebuah suara dari seorang pemuda yang berdiri di sana memberi isayarat. “Istri pak Kolonel ada di rumah. Mari masuk!” Dia memberi isyarat agar kami mengikutinya. Lucille dan saya melongo. Sebelum keberanian kami di depan para penjaga mempunyai kesempatan untuk menurun, kami mengikuti pemuda itu. Namun bukannya membawa kami melalui pintu depan seperti biasanya tamu-tamu resmi Kolonel itu masuk, dia langsung membawa kami masuk melalui pintu samping. Seorang perempuan yang elegan terkejut dan berbalik melihat kami dari tempat cucian di dapur di mana dia sedang merapikan beberapa perlengkapan makan. Senyum sekilas yang ramah tampak di wajahnya ketika dia meletakkan serbetnya dan mempersilakan kami ke ruang tamu. “Silakan duduk,” dia berkata dengan sangat ramah, “saya akan segera menemui anda”. Lucille dan saya hanya saling memandang dengan keheranan. Bagaimana kami dapat masuk ke sini begitu saja. Siapakah pemuda yang membawa kami ke dalam rumah Kolonel ini melalui pintu dapur? Dan siapakah perempuan yang ramah ini? Ruang tamu resmi itu diperlengkapi dengan nyaman setara dengan pangkat tinggi Kolonel ini. Kami duduk diam dalam kekaguman akan keberadaan kami dan apa yang sedang Tuhan kerjakan. Setelah beberapa menit, perempuan itu kembali ke ruang tamu dengan membawa dua gelas minuman dingin. “Bapak sedang pergi. Beliau ke Jakarta untuk perawatan kesehatan. Ada yang dapat saya bantu?” Kami terlibat dalam beberapa pembicaraan ringan selama beberapa menit. Lambat laun kami menyadari bahwa perempuan elegan ini tentunya adalah istri Kolonel itu Secara singkat kami menjelaskan situasi kami kepadanya. Dia mendengarkan cerita kami dengan penuh perhatian dan berkata “Bapak akan kembali minggu depan. Dapatkah kalian datang kembali untuk menemuinya? Saya yakin beliau dapat membantu. Silahkan tinggal di sini sebagai tamu saya sementara kalian ada di kota minggu ini. Dan bila kalian kembali minggu depan, silahkan tinggal bersama kami lagi.” Kami tinggal selama dua hari bersama di tempat Ibu, demikian kami menyebutnya, dan mulai mengenal beliau secara pribadi. Ternyata beliau dibesarkan di gereja, dan ayahnya, yang sekarang telah meninggal, adalah seorang pendeta! Simpatinya kepada kami berasal dari pengalaman pribadinya atas penderitaan yang harus dihadapi seorang hamba Tuhan. Siapakah pemuda yang membawa kami ke dalam rumah Kolonel ini untuk menemui istrinya? Dia adalah Lukas, pembantu di rumah Bapak. Dia pernah menghadiri sebuah KKR di Pontianak dimana Lucille dan saya duduk sebagi tamu di panggung dekat si pembicara. Ketika dia melihat kami lagi di depan rumah Bapak, dengan segera dia mengenali kami sebagai hamba Tuhan dan menduga bahwa kami berteman baik dengan Bapak. Di antara begitu banyaknya teman Bapak ada beberapa pendeta. Hari Senin berikutnya Lucille dan saya datang kembali untuk menemui Bapak dan Ibu di rumah mereka. Bapak adalah seorang dengan temperamen yang lekas naik darah di hadapan para bawahannya, namun sangat murah hati dan ramah dengan teman-temannya. Beliau tidak menerima kami dalam kapasitas jabatannya sebagai komandan militer, tapi sebagai seorang teman. Tuhan telah sangat bermurah hati kepada kami. Beliau mendengarkan dengan penuh perhatian dan kejengkelan yang meningkat ketika kami menceritakan ketidak-adilan yang menyolok yang berkembang atas gereja kami di Batu Ampar. Tampaknya, pikiran militernya yang terlatih telah mempertimbangkan tindakan apa yang harus diambilnya. Jika Pancasila, yang sebagai perwira tinggi beliau bersumpah untuk menegakkannya, telah dilanggar dimanapun diwilayah kekuasaannya-- bahkan di beberapa daerah terpencil—beliau akan mengambil tindakan segera. Setelah kami selesai menceritakan kisah kami, Bapak berdiri dan mengangkat telepon. Beliau membentak dan memberi beberapa perintah kepada bawahannya, memanggil dia untuk menerima tugas-tugas untuk pergi ke Batu Ampar. Keesokan harinya bawahan itu, seorang letnan kolonel, tiba

Page 121: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

di Batu Ampar untuk menyelidiki pernyataan kami dan untuk meluruskan keadaan bila diperlukan. Dan demikianlah, kami melewatkan beberapa hari menikmati keramahan Bapak dan Ibu di rumah mereka, kemudian kembali ke Batu Ampar. Pada waktu kami kembali ke Batu Ampar di pertengahan minggu, Tuhan telah mengangkat gerejaNya dari rasa malu. Dikirim oleh Bapak, Letnan Kolonel tersebut memimpin sekelompok tentara ke Batu Ampar. Dia mencari rincian permasalahan yang telah terjadi, khususnya pertemuan pada tanggal 5 April dan persetujuan yang dipaksakan kepada kami oleh Bupati. Puas karena persetujuan itu telah melanggar semangat Pancasila, dia menarik hal itu kembali dengan kewenangan Kolonel yang pangkatnya lebih tinggi. Kami sekarang bebas untuk menawar gedung bioskop itu! Tuhan telah bergerak dengan ajaib untuk membebaskan umatNya di Batu Ampar. Tidak hanya itu, Dia telah membela kami di hadapan orang-orang di kota itu. Kami baru saja dilingkupi rasa malu. Pertemuan tanggal 5 April adalah sebuah deklarasi terbuka atas semua orang Kristen di Batu Ampar yang tidak memiliki seorangpun untuk membela mereka. Kami malu untuk menunjukkan wajah kami diluar. Namun sekarang, kemanapun kami pergi, orang-orang menunduk kepada kami dengan hormat. Selain itu, Bupati yang menyetujui pelanggaran atas Pancasila di Batu Ampar, mendapat teguran.

Bila ia berseru kepadaKu, Aku akan menjawab, Aku akan menyertai dia dalam kesesakan, Aku akan meluputkannya dan memuliakannya. (Mazmur 91:15)

Seperti komentar seorang pelawak daerah setempat, “Siapapun orang yang mendukung orang-orang Kristen ini, pasti orang berpangkat tinggi”. Dia tidak tahu seberapa tinggi pangkatNya yang sebenarnya.

Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku?Pertolonganku ialah dari Tuhan yang menjadikan langit dan bumi. (Mazmur 121:1-2)

Tuhan kita mati bagi dosa kita dan bangkit pada hari yang ketiga. Boleh dikatakan juga, gerejaNya di Batu Ampar mati pada tanggal 5 April dan bangkit dua belas hari kemudian pada tanggal 17 April. Sesungguhnya, kematian di dalam Kristus diikuti kebangkitan yang pasti pada waktu Tuhan. Tekanan dari masyarakat dan penguasa dan beratnya tekanan alam roh yang terjadi atas kami selama beberapa bulan itu telah—benar-benar—diangkat dan diganti dengan roh kebebasan dan kegembiraan!

Untuk mengaruniakan kepada mereka perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta ganti kain kabung, nyanyian puji-pujian ganti semangat yang pudar, supaya orang menyebutkan mereka”pohon tarbantin kebenaran”,”tanaman Tuhan” untuk memperlihatkan keagunganNya. (Yesaya 61:3)

Akhirnya Tuhan menyediakan bagi gedung gereja kami sebuah tempat yang indah di pinggir kota. Gedung bioskop itu Dia sisihkan untuk tujuan lain.

Pada waktu itu Musa bersama-sama dengan orang Israel menyanyikan nyanyian bagi Tuhan yang berbunyi: “Baiklah aku menyanyi bagi Tuhan sebab Ia tinggi luhur, kuda dan penunggangnya dilemparkankanNya ke dalam laut. (Keluaran 15:1)

Tidak lama setelah Bapak dipakai Tuhan untuk menolong kami dari cengkeraman masyarakat Batu Ampar, beliau naik pangkat dan ditugaskan di posisi yang lebih tinggi yang jauh dari Kalimantan Barat. Beberapa tahun kemudian, beliau sendiri menyatakan kepada kami bahwa beliau ditempatkan

Page 122: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

di Kalimantan Barat hanya untuk mengurus masalah kami. Akhirnya beliau mendapat pangkat yang sangat tinggi di angkatan bersenjata Indonesia.

Page 123: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Bab Dua Puluh Jubah Yang Diberikan Kepada Elisa

Selama beberapa bulan di awal tahun 1986, Lucille dan saya didampingi oleh Esther, yang sekarang berumur lima tahun, dan Sarah, dua tahun, menikmati cuti di Amerika. Sembilan pemimpin lokal kami menangani pelayanan yang ada, sebuah tanda datangnya suatu masa. Ujian-ujian yang tidak dapat dihindari mengajar mereka kesabaran dan ketabahan. Selama ketidak-hadiran kami, beberapa domba yang lemah imannya berhenti ke gereja secara rutin dan lebih suka “menunggu sampai pendeta William kembali dari Amerika” sebelum kembali ke gereja, menunjukkan prinsip Alkitab bahwa nabi-nabi tidak dihargai di tempat asal mereka. Namun pada waktu yang sama, cukup banyak jiwa baru dibawa ke Kerajaan Allah melalui pelayanan kesembilan orang ini. Kesaksian di satu sisi ditegakkan. Padangtikar yang adalah kota nelayan,dengan toko-toko kecil dan petani terletak sekitar tiga jam dari Batu Ampar dengan taksi air. Seorang perempuan penduduk desa itu, mengunjungi Batu Ampar dan berkesempatan untuk mendengar pemberitaan injil. Luar biasanya, dia sudah lima tahun tidak mandi. Karena sakit kepala yang luar biasa yang tidak mempan terhadap berbagai obat yang telah dicobanya, dia tidak berani mandi dengan air dingin, yang merupakan satu-satunya cara mandi yang tersedia baginya. Setelah menerima Yesus sebagai Juru Selamatnya, dia menerima pelayanan untuk keadaan fisiknya. Keesokan harinya dia sembuh dan mandi untuk yang pertama kalinya setelah lima tahun. Dia pulang ke Padangtikar, namun karena sangat bersyukur kepada Tuhan, dia mau melakukan perjalanan enam jam pulang pergi ke Batu Ampar hampir tiap Minggu untuk menyembah Dia. Di dalam hatinya Tuhan menaruh kerinduan agar Injil diberitakan di tempat asalnya. Dia dengan senang hati membuka rumahnya untuk kebaktian dan mengundang teman-teman dan kerabatnya untuk datang dan mendengar. Selama sepuluh hari di akhir bulan Agustus 1986, saya harus pergi dari Kalimantan Barat karena ada tugas mengajar di Jawa Tengah. Tuhan, yang tahu akan masa depan, perlu melakukan sesuatu untuk mempersiapkan orang-orang untuk masa dimana mereka tidak dapat lagi bergantung kepada iman para misionaris. Mereka harus mengalami Tuhan langsung melalui iman mereka. Karena ketidak-hadiran saya untuk dua Jumat yang berurutan, sesi pengajaran kami dengan para pemimpin yang biasanya diadakan pada Jumat malam, ditiadakan. Namun demikian, atas inisiatif mereka sendiri, mereka memutuskan untuk tetap berkumpul seperti biasanya, bukan untuk menerima pelajaran , namun untuk menyembah dan berdoa. Tuhan telah melihat rasa lapar yang besar dalam hati mereka dan mendengar tangis mereka untuk perkara-perkara yang baru. Ketika mereka berkumpul di rumah A Bak, Tuhan mencurahkan Roh Kudus atas mereka. Mereka mendapat penglihatan-penglihatan. Pada suatu malam setelah doa dan melayani Tuhan, ketujuh orang yang hadir mengalami pengalaman roh selama tiga atau empat menit. Akong melihat malaikat berpakaian putih dan memiliki sayap, berjalan di sekeliling mereka, mengitari kelompok ini tiga kali. Saudara Chin-kuo melihat Seorang Pria dengan tongkat gembala berjalan perlahan di padang rumput. Saudari Amoy menceritakan melihat lingkaran cahaya putih. Di dalam lingkaran itu dia melihat dirinya sendiri, tampak sangat kecil di tengah lingkaran itu. Asiu tidak melihat apapun namun merasakan kehadiran sesuatu atau Seseorang yang tidak biasa. Istri A Bak melihat melihat cahaya terang seperti cahaya matahari. A Bak sendiri melihat api yang menyala, seperti dari semak yang terbakar. Lanyi menceritakan melihat api yang menyala juga. Setelah mendengar tentang lawatan ini ketika saya kembali ke Batu Ampar, kami menyimpulkan bahwa Tuhan sedang mempersiapkan hamba-hambaNya dari orang setempat untuk semakin bergantung kepadaNya dan mengurangi ketergantungan kepada kami para misionaris. Deskripsi tugas misionaris mengingatkan kata-kata dan panggilan Yohanes Pembaptis:

Page 124: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Yang empunya mempelai perempuan, ialah mempelai laki-laki; tetapi sahabat mempelai laki-laki yang berdiri dekat dia dan yang mendengarkannya, sangat bersukacita mendengar suara mempelai laki-laki itu. Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh. Ia harus makin besar, tetapi aku harus semakin kecil. (Yohanes 3:29-30).

Tuhan mengangkat A Bak di depan mata para pemimpin yang lain. Selama cuti kami di

Amerika, Tuhan memakai dia di mimbar, memberinya urapan untuk berkotbah. Dia juga diberi karunia untuk melayani dalam nubuat dan kata-kata hikmat bagi jemaat. Berumur sekitar 41 th dan berukuran tubuh 155 cm, A Bak adalah seorang yang pendiam, berhati-hati dan bersuara pelan. Namun di hadapan jemaat, ketika dipenuhi oleh Roh Kudus, dia menyampaikan kata-kata dorongan dengan gagah dan tegas. Yang menarik, baik saya maupun Lucille belum pernah mendapat penglihatan dari Tuhan seperti yang dialami “para pengikut” kami atau melayani dengan karunia nubuat seperti A Bak. Jelas bagi kami bahwa suatu hari Tuhan akan menempatkan A Bak sebagai pemimpin gereja ini. Roh telah membisikkan kepada kami tentang masa depan ketika kami tidak lagi berada di Batu Ampar. Sebagai awal dari masa ini, Roh Kudus menggerakkan para pemimpin kami untuk mengadakan penginjilan ke Padangtikar di bulan Oktober 1986. Kota ini merupakan kubu penyembahan berhala yang terikat dengan kuasa kegelapan yang belum terjangkau injil, sebanding dengan Batu Ampar ketika Injil belum tiba. Tukang-tukang sihir setempat memiliki roh-roh yang kuat; tiap malam anjing-anjing akan melolong dengan mengerikan seperti dihantui penyiksa yang tidak nampak yang menyakitkan hati. Kesembuhan seorang perempuan yang tidak mandi selama lima tahun membuka pintu menuju dua tempat di mana kebaktian penginjilan direncanakan. Lucille dan saya dengan sengaja tidak terlalu banyak turut campur dalam rencana, pelaksanaan dan kelajutannya. Penginjilan ini diprakarsai dan diurus oleh para pemimpin lokal, yang dipimpin A Bak. Sebelum gerakan penginjilan yang dijadwalkan hari Kamis tanggal sembilan Oktober, para pemimpin berkumpul pada hari Senin untuk berdoa. Seperti sebelumnya, Lucille dan saya sedang berada di luar kota. Seperti sebelumnya pula, Roh Kudus melawat mereka dan mereka mendapat penglihatan. A Bak melihat kerumunan orang yang tiba-tiba menjadi sebuah keranjang besar yang dipenuhi buah-buah apel merah yang masak. Seorang saudara baru,yang berasal dari Jawa, bernama Sudir melihat sebuah salib. Ameng mendengar suara hujan lebat, walaupun saat itu tidak sedang hujan. Keesokan harinya Akong berpuasa, mencari Tuhan agar melawat Padangtikar. Saat doa pagi Tuhan memberinya penglihatan. Dia melihat dirinya sendiri berada di Padangtikar memimpin kebaktian bersama anggota tim yang lainnya. Banyak orang mendengarkan Firman Tuhan. Tuhan Yesus hadir di ruang kebaktian dan memerintahkan bagaimana mereka harus melayani yang sakit , kataNya, “begitu banyak orang sakit yang menginginkan kesembuhan jadi kamu jangan menggunakan kebiasaanmu untuk menumpangkan tangan atas mereka. Melainkan angkatlah tanganmu atas orang sakit dan mereka akan disembuhkan”. Setelah penglihatan itu, Akong meminta Tuhan meneguhkannya. Dia mendapat penglihatan itu lagi untuk yang kedua kalinya. Pada hari Kamis pagi tim ini berangkat menuju Padangtikar dengan speedboat kami. Sekitar delapan atau sembilan orang semuanya; kami tidak ikut mendampingi mereka. Dua kebaktian telah dijadwalkan di dua tempat yang berbeda. Pada kebaktian kedua yang bertempat di Kanal Lotai mereka melihat sekelompok orang dan rumah yang sama seperti yang dilihat Akong dalam penglihatannya. A Bak mulai berkhotbah. Di tengah khotbah, seorang perempuan berdiri untuk pulang, menjelaskan bahwa karena dia hampir tuli dia sama sekali tidak dapat memahami apa yang dikatakan A Bak. A Bak memanggilnya ke depan untuk dilayani supaya dia dapat mendengar. Setelah mendapat sedikit bujukan dari pendengar yang lain, dia maju ke depan untuk dilayani. Roh Kudus dengan lemah lembut membuka telinganya dan dia dapat mendengar lagi.

Page 125: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Dia kembali ke kursinya dan tinggal sampai akhir kebaktian. Seusai pelayanan Firman, A Bak mengundang yang sakit untuk mendapat pelayanan kesembuhan. Mereka yang maju dikelilingi oleh anggota tim yang mengangkat tangan mereka kepada Tuhan seperti yang telah diperintahkan dalam penglihatan Akong. Tuhan meneguhkan FirmanNya dengan menyembuhkan orang-orang yang menderita berbagai penyakit, termasuk beberapa yang menderita pusing dan seorang yang menderita eksim. Ini merupakan waktu yang luar biasa bagi para murid!

Pada hari yang sama pula tim ini juga melayani di tempat-tempat lain di desa itu. Mereka melayani seorang perempuan yang tidak mandi selama satu setengah tahun karena air yang menyiram tubuhnya akan menyebabkan sakit kepala, gejala demam dan gemetaran yang tidak terkendali. Beberapa waktu kemudian dia menikmati mandinya yang pertama setelah satu setengah tahun, disembuhkan seluruhnya. Seorang perempuan tua yang menderita lumpuh karena stroke dapat berdiri setelah menerima pelayanan dan akhirnya dapat berjalan kembali. Empat orang yang menderita kesulitan mendengar mulai dapat mendengar lagi hari itu. Sedangkan perempuan yang pendengarannya dipulihkan di tengah kebaktian di Lotai, dapat mendengar dengan jelas kata-kata yang diucapkan menantu perempuannya kepadanya. Sayangnya, dia menasehati ibu mertuanya untuk tidak kembali menghadiri kebaktian-kebaktian! Sebagai kelanjutan dari terobosan awal yang penuh kuasa ini, tim ini mengadakan perjalanan mingguan ke Padangtikar untuk menindaklanjutinya. Sekelompok kecil orang percaya berkumpul, kadang-kadang dikelilingi oleh banyak penonton yang berharap akan melihat mujizat.

Dalam dua bulan setelah kebaktian pertama, orang-orang yang tidak percayapun menyaksikan kuasa Injil. Lolongan anjing dimalam hari telah berhenti. Tampaknya binatang peka terhadap alam roh, bahkan mungkin lebih peka daripada beberapa orang! Yang pertama kali mengikut Tuhan Yesus dalam baptisan air—seorang ibu dengan suaminya—memberi kesaksian yang sangat lucu tentang pernyataan kuasa Nama Yesus . Seorang kerabatnya yang menderita gangguan jiwa (atau mungkin dari kuasa gelap) singgah mengunjunginya sementara dia sedang menyiapkan makan malam. Kerabatnya ini mulai berlaku aneh, menuangkan air ke lantai dan memindahkan piring-piring dari meja makan ke lantai. Ibu ini mencoba untuk bersabar, namun ketika dia sudah tidak dapat menahannya lagi, dia berkata kepada kerabatnya ini,”Kamu roh gila, saya menyebut nama Tuhan Yesus untuk membinasakanmu.” Pada saat itu juga perempuan itu menjadi tidak berdaya, menundukkan kepalanya dan menutupi wajahnya dengan tangannya. Ketika dia sadar, dia melihat sekeliling dapur , merasa malu atas apa yang telah dilakukannya. “Apakah saya yang melakukan semuanya ini?” Dia bertanya dengan malu-malu. Dia mengambil sebuah ember dan kain pel, dan membereskan dapur itu. Kemudian dia pergi dan tidak berani datang lagi. Luar biasa kuasa nama Tuhan Yesus Kristus, bahkan ketika diucapkan oleh seorang bayi di dalam Kristus! Dinah adalah seorang anak perempuan yang berumur lima belas tahun dan telah sepuluh tahun menderita epilepsi yang parah jenis grand mal , kemungkinan hal ini berhubungan dengan ilmu sihir yang dipraktekkan ayah, kakek dan bibinya. Serangan sehari-hari, yang tidak diobati, meninggalkan memar dan pukulan di roh, jiwa, dan tubuhnya. Mantera dan ilmu sihir keluarganya tidak dapat menolongnya; hal-hal ini malah mungkin memperburuk keadaannya. Pada suatu hari Minggu, tim dari Batu Ampar mengunjungi rumah mereka dan memberitakan Injil kepada ibu dan nenek Dinah. Saudara-saudara ini kemudian melayani pelepasan bagi Dinah dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Dalam beberapa minggu di pertengahan bulan Desember dia telah dibebaskan dari serangan grand mal, dan hidup dengan sedikit“guncangan” yang kemudian dapat diatasi. Jauh lebih sadar dan ceria daripada sebelumnya, Dinah menantikan kunjungan pelayanan mingguan dari tim Batu Ampar. Ibunya meninggalkan semua penyembahan roh dan berhala, dan menaruh percayanya kepada Tuhan Yesus Kristus. Kerajaan Surga datang ke Padangtikar melalui mereka yang dianggap dunia ini sebagai orang-orang bodoh –tidak berpendidikan, tidak canggih dan tanpa pendidikan Alkitab yang formal. Seperti

Page 126: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Tuhan Yesus, kita bersyukur karena Bapa memilih untuk merahasiakan perkara ini terhadap mereka yang bijak dan terpelajar, dan membukanya bagi anak-anak kecil.

Page 127: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Bab Dua Puluh Satu

Roh Kudus Dicurahkan Tuhan rindu untuk mendirikan pelayanan di Batu Ampar yang akan hidup lebih lama daripada generasi pertama yang telah mengalami lawatan Tuhan, untuk itu Tuhan bergerak di antara kaum muda kami pada musim semi 1987. Sebelumnya mereka adalah anak-anak yang tidak serius dengan hidup mereka. Namun dalam sebuah retret sehari di puncak bukit yang dipimpin oleh seorang pembicara tamu dari Jawa, Roh Kudus turun atas mereka dalam bentuk seekor burung merpati. Ketika burung itu berada di atas mereka, burung itupun tiba-tiba menyebar menjadi burung-burung merpati yang lebih kecil dan hinggap di atas mereka. Banyak yang mendapat penglihatan, mendengar suara Tuhan, dan mulai bernubuat. Dilaporkan ada sembilan orang yang menerima panggilan khusus dalam hidup mereka. Di antara mereka terdapat Kit-Chiang. Kit-Chiang adalah seorang anak laki-laki kecil berusia empat belas tahun ketika kami pertama kali datang di Batu Ampar. Ibunya telah meninggal tidak lama sebelumnya, hal ini memaksa ayahnya untuk menyerahkan adik perempuan Kit-Chiang yang masih bayi pada sebuah keluarga yang dapat merawatnya. Anak ini, bila tidak sedang menjaga adik laki-lakinya yang berusia sepuluh tahun, menjelajahi Batu Ampar seperti anak terlantar dengan hanya mengenakan celana pendek, karena dia tidak terbiasa mengenakan baju atau sepatu yang akan mengekang kebebasannya. Meskipun dia bersekolah, kebiasaan belajarnya yang buruk membuat dia tidak dapat membaca atau menulis. Kit-Chiang menghadiri kebaktian-kebaktian yang kami adakan dan menjadi pengikut Kristus di Batu Ampar. Tidak lama kemudian, dia tinggal bersama kami karena ayahnya merasa bahwa kami akan dapat mengasuh dia dengan lebih baik. Kit-Chiang menjadi “anak laki-laki” kami, yang tinggal dan makan bersama kami, mengerjakan tugas sehari-hari di rumah dan melakukan apa yang kami suruh. Karena latar belakangnya, dia mengalami masalah kedisiplinan. Dengan sabar kami mengajarnya, sambil percaya bahwa Tuhan akan mendewasakan dia. Namun kebiasaan hidup Kit-Chiang yang tidak menentu menjadi duri dalam daging bagi kami, dan berulang kali kami mempertimbangkan untuk mengeluarkan dia dari rumah kami. Meskipun demikian, kami tidak boleh lupa bahwa anak ini sebenarnya adalah anak yatim, ayahnya telah pindah ke tempat lain dan menikah lagi. Tahun 1987 Kit-Chiang telah tumbuh menjadi seorang pemuda, namun secara rohani dia tidak bertumbuh seperti yang dapat kami harapkan dari seseorang yang telah mendengarkan begitu banyak Firman. Di atas puncak bukit dimana para pemuda mendapat lawatan Tuhan, surga terbuka baginya. Sementara dia berlutut dalam doa dia dihukum karena dosa-dosanya dan mulai menangis. Ketika dia bangun dari doanya, dia telah diubahkan. Tuhan berbicara padanya dengan suara yang dapat didengar, sebelum hari berlalu. Minggu berikutnya Kit-Chiang dan empat pemuda lainnya berjalan sepuluh mil ke pedalaman untuk mengunjungi saudara-saudara yang berasal dari Jawa. Ketika dia mulai berbagi, Roh Kudus melawat mereka dengan kuasa. Roh berbicara kepadanya dalam suara yang dapat didengar dan dia menyampaikan apa yang dia dengar, menggemparkan umat yang hadir. Dia menyampaikan perkara-perkara yang tidak mungkin dia ketahui secara wajar. Dosa-dosa mereka yang tersembunyi dibukakan dihadapannya, dan dia bagikan pada kelompok itu. Enam orang bertobat. Dengan cara yang sama, sakit penyakit yang diderita beberapa orang diantara mereka dibukakan bagi Kit-Chiang oleh Roh, dan, ketika dia menyampaikan hal itu, orang-orang disembuhkan. Melalui Roh Kudus dia menyatakan bahwa ada seseorang di desa itu yang sakit dan akan disembuhkan malam itu jam 9:10. Nubuatannya digenapi. Kebangunan rohani kecil terjadi, sehingga umat yang berasal dari Jawa ini menahan Kit-Chiang dan teman-temannya sehari lagi untuk melayani mereka.

Page 128: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Minggu itu anak laki-laki kecil kami mengambil langkah besar menuju kedewasaan di dalam Kristus.

Pada bulan April Tuhan mempercepat pekerjaan Roh Kudus diantara kami, seolah-olah Dia sedang mempersiapkan umatNya untuk pekerjaan baru. Ternyata memang demikian. Pada suatu hari Minggu yang berkesan kami mengadakan altar call bagi orang-orang yang mau melayani Tuhan sepenuh waktu. Hal ini terjadi pada awal kebaktian, setelah Tuhan ditinggikan dengan penyembahan dari hati yang hancur. Keheningan melingkupi altar ketika orang-orang kudus tenggelam dalam hadirat Yang Maha Kuasa. Terdengar suara seorang pria menembus keheningan. Itu adalah Roh Kudus yang berbicara melalui A Bak. “UmatKu, jangan lewatkan waktu lagi….sekaranglah waktunya untuk melayaniku………” Dari pernyataan itu datang panggilan bagi mereka yang mau melayani Tuhan sepenuh waktu untuk maju ke depan. Seperti digerakkan oleh tangan yang tidak tampak, tiga belas orang bangkit dari kursi mereka dan mengelilingi kami yang berada di panggung. Beberapa dari mereka menangis. Pagi itu Tuhan menuai para pekerja bagi ladangNya. Tuhan memperjelas kehadiran dan urapanNya dalam kebaktian-kebaktian hari Minggu. Penglihatan bukanlah hal yang asing. Di belakang mimbar di altar tergantung sebuah layar putih lebar yang kami pakai untuk overhead projector. Seorang saudari suatu saat melihat Tuhan Yesus melingkupi tempat itu selama kebaktian. Selama lebih dari sepuluh menit yang mempesona dia melihat keindahan dan keagungan Tuhan Yesus Kristus. Pada kesempatan lain seorang saudara melihat sebuah tangan yang terpaku di layar. Beberapa waktu kemudian dia merasa kakinya yang secara tidak sengaja tersiram air mendidih dipagi harinya disembuhkan. Tuhan Yesus menggenapi FirmanNya……

Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul,dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, Dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. (Yesaya 53:4-5)

Selama beberapa bulan di musim dingin dan musim semi 1987 Tuhan dengan lemah lembut melipat-gandakan manifestasi kesembuhan fisik di kebaktian-kebaktian hari Minggu kami. Roh bergerak atas umat Tuhan ketika mereka berdiri menyembahNya, menyembuhkan mereka dari sakit penyakit mereka. Tidak ada tangan manusia yang ditumpangkan atas mereka, tidak ada doa yang dinaikkan untuk kesembuhan mereka. Itu adalah kuasa Tuhan yang menjamah tubuh mereka ketika mereka memujaNya. Bahkan orang-orang yang tidak percaya yang datangpun, mengalami jamahan Tuhan yang sama. Kami merasa bahwa gerakan Tuhan ini sedang mengarah kepada sesuatu yang belum dibukakanNya bagi kami.

Page 129: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Bab Dua Puluh Dua Iman Memindahkan Rumah

Seperti serentetan tembakan, ketukan di pintu rumah A Bak So tidak putus-putus dan terdengar keras. Ketukan pintu yang terjadi di hari Rabu malam bulan Januari 1987, mengejutkan dan membuat jantungnya berhenti berdetak. “Ini pasti orang itu,” pikirnya, sambil meletakkan piring bersih yang terakhir di rak piring. Dia dapat mendengar suara-suara orang yang marah di luar pintu, mungkin empat atau lima orang. Ketukan itu mulai lagi, semakin keras, semakin mendesak dan semakin tidak sabar. Teriakan-teriakan berlanjut dan dia dapat mengenali salah satu suara itu sebagai suara tetangganya di pabrik es yang diopersikannya bersama suaminya. “Buka pintu, Bak, saya akan berurusan dengan kamu!” Jantung A Bak So berdetak kencang. Dia pernah mendengar cerita-cerita yang mengerikan tentang apa yang telah dilakukan orang-orang Dayak terhadap orang-orang Cina di Kalimantan Barat setelah kegagalan gerakan komunis tahun 1965. Ribuan orang Cina dibantai. Dia ke atas untuk memberi tahu suaminya. A Bak sedang berada di kamar membaca Alkitabnya. Dia dapat mendengar langkah yang tergesa-gesa menaiki tangga. Dia menatap A Bak So masuk dan melihat ketakutan yang tertanam di wajahnya. “Dia ada di sini” katanya dengan suara pelan, mencoba untuk tetap tenang, “dan dia membawa teman-temannya, empat atau lima orang. Mereka ada di pintu depan, berteriak minta darah kita.” A Bak menatapnya. Matanya menyempit, kemarahan meluap di dadanya. “Jadi jika itu yang mereka mau, itu yang akan mereka dapat!” Dia melompat berdiri dan mengambil bajunya. Sudah lama kemarahan tidak memuncak dalam dirinya, dan dia tahu bahwa dia harus mengendalikan dirinya. Namun kali ini sudah keterlaluan. Ketika dia sedang mengancingkan bajunya, A Bak So berkata perlahan-lahan,” Tidak, jangan turun sekarang. Mari kita berdoa dulu kepada Tuhan.” A Bak memandangnya dan tahu bahwa istrinya benar. Dia menarik nafas yang dalam dan berlutut di samping ranjangnya. A Bak So berlutut di sampingnya dan mereka berdua berseru dalam nama Yesus. Doanya singkat, karena A Bak mau turun dan menemui orang itu. Ketika mereka berkata “amin,” hati A Bak mulai mereda. Dia bangkit, dan segera mengenakan celana panjangnya lalu turun. Ketika dia membuka pintu depan, dia tidak menemukan seorangpun di sana. Mereka telah pergi ketika tidak ada yang membukakan pintu. A Bak melangkah keluar malam itu untuk mencari mereka. A Bak So tetap tinggal berlutut setelah suaminya pergi. Perasaan takut telah hilang, namun perasaan kuatir muncul. “Jangan ada lagi aniaya,” dia mendesah dalam hati. “Apa yang akan terjadi sekarang? Tuhan tolong kami!” Dia mengambil Alkitabnya dan membukanya di ranjang didepannya. Matanya tertuju pada kitab Mazmur:

Aku mau bersyukur kepada Tuhan dengan segenap hatiku, aku mau menceritakan segala perbuatanMu yang ajaib……sebab musuhku mundur, tersandung jatuh dan binasa di hadapanMu. Sebab Engkau membela perkaraku dan hakku, sebagai Hakim yang adil Engkau duduk di atas tahta. Engkau telah menghardik bangsa-bangsa, telah membinasakan orang-orang fasik; nama mereka telah Kau hapuskan untuk seterusnya dan selama-lamanya. (Mazmur 9:2,4-6)

A Bak So mendapat penghiburan dan menyerahkan persoalannya kepada Tuhan.

Page 130: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Persoalan itu bermula dari sebuah pesawat televisi hitam-putih kecil milik tetangganya. Dia tidak dapat menontonnya karena tidak ada listrik di rumahnya. Sebetulnya, hanya beberapa rumah saja di daerah kota Batu Ampar yang memiliki listrik. Namun pabrik es milik A Bak di sebelah rumahnya memiliki generator sendiri dan banyak tenaga listrik yang tersisa. Menurutnya, A Bak adalah orang Cina yang dapat diintimidasi. Jadi pada suatu hari, dengan diam-diam, tanpa meminta ijin dari A Bak dia menyabot listrik dari kabel di pabrik es itu dan memasang ujung kabel yang lain kerumahnya. Hari Rabu itu, salah seorang pegawai A Bak di pabrik es melihat kabel nyasar itu dan sore itu juga dia pergi ke rumah tuannya di pasar untuk melaporkan hal itu. A Bak merasa terganggu dan jengkel. Ini bukanlah untuk yang pertama kali hal seperti itu terjadi. Tidak ada seorangpun yang suka bila haknya diinjak-injak. Namun dia adalah orang Tionghoa dan dia memiliki pabrik es dan keluarga yang harus dipikirkan. Apa yang dapat dilakukannya? Setelah mempertimbangkan hal itu sejenak , A Bak pergi ke pemotongannya dan mencabut kabel yang mengganggu itu. Ini sudah keterlaluan. Pada malam harinya ketika tetangga A Bak duduk di depan pesawat TV nya untuk bersantai, dia menemukan TV nya mati dan kabelnya tidak tersambung. Ternyata A Bak memiliki keberanian, pikirnya. Dengan geram dia mengumpulkan beberapa temannya dan pergi menuju ke pasar untuk memberi pelajaran pada A Bak. Di pasar, penonton yang ingin tahu berkumpul ketika orang orang ini mengetuk dan menendang pintu depan rumah A Bak sambil meneriakkan ancaman.

Menjelang tengah malam, A Bak pulang ke rumahnya. Dia sangat lelah. A Bak So menunggunya sambil berdoa. A Bak berangkat pada sore hari untuk mencari orang-orang ini, dan menemukan mereka di sekitar pasar. “Aku membawa mereka ke kantor polisi, dan polisi menyelesaikan masalah ini,” katanya lemah. “Bagaimana” A Bak So ingin tahu hasilnya. “Orang ini tidak mau mundur, biarpun di depan polisi. Dia tetap bersikeras bahwa dia diperlakukan tidak benar, seolah-olah dia punya hak untuk mencuri listrik kita. Polisi lebih tahu, tentu saja, namun mereka tidak mau terjadi kekerasan. Jadi mereka meminta apakah aku dapat berkompromi. Jika aku mau menyambungkan kabelnya kembali dan memberinya cukup listrik untuk menyalakan TVnya, tidak lebih dari itu, polisi akan membuatnya menandatangani surat perjanjian bahwa dia tidak akan mengganggu kita lagi dengan urusan listrik.” “Tapi bagaimana caranya kita dapat mengontrol jumlah listrik yang dipakainya. Dia bahkan akan berani menjual listrik kita kepada tetangga-tetangganya!” gerutu A Bak So dengan marah. “Ya, aku tahu, tapi apa yang dapat aku lakukan? Alkitab berkata agar kita mentaati pemerintah di atas kita. Aku akhirnya menyetujui saran polisi itu”. Malam itu A Bak So tidak dapat tidur dengan nyenyak. “Tidak ada keadilan,” pikirnya. “Orang jahat itu melakukan pembunuhan dan dia lolos. Tuhan, bela hamba-hambaMu!” Di sampingnya, A Bak tertidur lelap. Besok hari Kamis dan dia akan pergi ke Padangtikar. Dia dan beberapa saudara yang lain telah memulai sebuah gereja di sana dan A Bak melakukan kunjungan mingguan dari Batu Ampar untuk mengajar orang-orang yang baru percaya ini. Subuh keesokan harinya, A Bak bangun dan mencari Tuhan dalam persiapannya untuk hari pelayanannya. Kira-kira pukul sembilan dia menuju ke dermaga untuk menyiapkan speedboat milik gereja yang akan dipakai ke Padangtikar. Dermaga itu dekat dengan pabrik esnya. Para pelanggannya sering melabuhkan perahu boat mereka ke dermaga itu untuk mengangkut balok-balok es besar yang mereka beli dari A Bak. Ketika speedboatnya telah siap, A Bak menyalakan motor tempel Suzuki 50-hp dan diapun berangkat. Menjelang sorenya, A Bak So pergi ke dermaga untuk menyambut suaminya pulang. Sekitar pukul lima dia bersantai menonton anak-anaknya bermain. Dia merasa nyaman. “Ibu A Bak So.”

Page 131: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Dia menoleh dan melihat Udin, seorang pemuda yang tinggal di pabrik es dan membantu di sana. Dia membawa seutas kabel di tangannya. “Ya,” dia menjawab, “ada apa, Udin?” “Kabel ini bu. Bapak yang di sana,” dia berkata sambil menunjuk ke rumah orang yang kabelnya dicabut A Bak malam sebelumnya, “ memberitahu saya untuk memberikannya kepada ibu. Katanya polisi mau kabel ini disambungkan kembali ke listrik kita. Dia mau kabel ini dipasang sekarang.” Segera saja sukacitanya lenyap. Perasaan frustasi dan terhina yang telah membuatnya tidak dapat tidur semalam datang lagi. Dia menoleh ke tempat yang ditunjuk Udin dan melihat rumah itu. Rumah kayu sederhana yang dibangun di atas tiang-tiang penyangga yang panjang, sama seperti semua rumah-rumah yang berjajar sesak di sepanjang tepian air. Air pasang dapat naik dan turun hingga kira-kira enam sampai sembilan kaki dalam sehari, maka rumah-rumah di sana dibangun di atas tiang-tiang penyangga setinggi 12 kaki agar tetap kering. Ketika A Bak So melihat rumah itu, kemarahannya membara. Dia mengambil kabel itu dari Udin sambil bergumam, “biarlah rumahnya roboh.” Kemudian dia menyambungkan kembali kabel itu. Siang keesokan harinya, Ali, pegawai yang lain di pabrik es itu, datang tergesa-gesa ke rumah A Bak. Dia sangat bersemangat. “Jatuh ke laut! Rumahnya roboh ke air!” A Bak memandangnya kebingungan. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi di pelabuhan kemarin. “Rumah apa? Apa yang sedang kamu bicarakan?” “Rumah orang jahat itu. Rumahnya langsung roboh ke air! Itu karena semua kejahatan yang dia lakukan atas kita!” A Bak bergegas ke dermaga untuk melihatnya sendiri. Benar. Rumah itu jatuh langsung ke air, seperti ada kekuatan yang luar biasa menekannya dari atas, seolah-olah semua tiang-tiang penyangganya lenyap. Perabot rumah dan pesawat TV nya terapung-apung di air. Apa yang dapat menyebabkan hal ini terjadi? Tidak ada angin kencang atau ombak. Tidak ada gempa bumi. Rumah-rumah lain yang berdekatan, yang hanya berjarak beberapa kaki di sebelah kanan kirinya tetap utuh. A Bak belum pernah melihat hal seperti ini. Rumah-rumah model ini, jika roboh, selalu terjadi bertahap sedikit demi sedikit. Tidak ada yang lain kecuali kekuatan yang luar biasa dan mendadak dari atas yang dapat menjatuhkan sebuah rumah dengan begitu tiba-tiba. Seperti tembok-tembok Yerikho, pikir A Bak. Sekembalinya ke rumah, A Bak menceritakan apa yang telah dilihatnya kepada istrinya. A Bak So naik ke kamar tidurnya dan menutup pintu. Dia berlutut di hadapan Tuhan. Dia berkata, Tuhan aku tidak bergembira karena rumah orang jahat ini roboh. Namun aku sekarang menyaksikan mujizat yang luar biasa terjadi karena kuasaMu yang hebat. Aku bersyukur kepadaMu, Tuhan yang maha kuasa.” Orang-orang di pasar mendengar apa yang telah terjadi. Walaupun mereka tidak tahu bahwA Bak So telah berbicara kepada rumah itu dari dermaga sehari sebelumnya, mereka tahu kata-kata yang keluar dari mulutnya. Salah seorang dari mereka, seorang yang gigih menentang Injil, mengakui, “Tuhanmu sungguh ada!” Ada waktu-waktu pada malam hari ketika, jika Lucille dan saya tidak yakin akan keberadaan Tuhan, kami menjadi panik. Suatu hari Minggu pagi misalnya, sekitar pukul dua, Lucille membangunkan saya dengan kata-kata, “Bill, aku rasa ia mau keluar sekarang.” Saya segera bangun dan memahami kata-kata yang diucapkan Lucille dengan tenang. Saat itu dia berada di masa akhir penantian lahirnya anak kami yang ketiga. Tuhan telah memberi kami dua anak-anak perempuan yang cantik dan berani, Esther dan Sarah, yang berusia enam dan tiga tahun. Kami tidak meminta yang ketiga, namun kami tahu bahwa Dia melakukan lebih dari

Page 132: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

apa yang kami minta atau bayangkan. Ketika Lucille hamil untuk yang ketiga kalinya, dia tidak bergairah. Bila kehamilan terjadi sesuai dengan rencana kita, kita akan bergembira. Bila tidak, kita mungkin akan sedikit menggerutu, apalagi selama trisemester pertama yang membuat mual-mual dan yang ketiga dengan beban yang berat. Lucillepun tidak terkecuali Pada suatu hari yang terasa berat di trisemester ketiga ketika Lucille sedang sangat murung, Roh Kudus berbicara kepadanya. Hanya tiga kata, namun setelah itu kelelahan karena menanggung bayi itu hilang dan keluh kesahpun berhenti. “Kamu seharusnya bergembira.” Dia menegurnya dengan cara keibuan. “Ya. Tuhan, terima kasih,” jawab Lucille dalam hatinya ketika beban itu diangkat, dan tidak pernah datang lagi. Firman Allah yang hidup berkuasa dan aktif! Batu Ampar terletak jauh dari rumah sakit misionaris di Serukam tempat Esther dan Sarah dilahirkan, tiap kali perjalanan, pertama kita perlu naik boat, kemudian mobil dan akhirnya terbang dengan pesawat Cessna mesin tunggal milik Missionary Aviation Fellowship untuk tiba di rumah sakitnya. Kami tidak ingin melakukan perjalanan yang memakan waktu lagi, jadi kami menunda hingga hari Senin, 10 Agustus, setelah semua tugas pelayanan hari Minggu dikerjakan. Namun Tuhan dan si kecil punya rencana lain. Ketika Lucille membangunkan saya tengah malam itu, saya tahu bahwa kami tidak mungkin dapat pergi ke rumah sakit itu. Jadi hanya tinggal kami, si kecil dan Tuhan! Saya turun dari ranjang dalam kegelapan kamar tidur kami. Biasanya setelah pukul sepuluh malam kami akan mematikan generator disel kecil di belakang rumah kami yang memberi penerangan di waktu malam, dan menggunakan lampu minyak supaya tidak gelap sekali. Menyalakan disel itu di tengah malam akan membangunkan orang-orang sekitar dan Esther serta Sarah, yang tidur di kamar sebelah. Maka saya menyambungkan lampu pijar empat puluh watt ke batere mobil yang biasanya saya pakai untuk kipas angin listrik yang biasa kami pakai di siang hari yang panas. Lucille menyerahkan sebuah buku besar. “Cepat, baca bab sembilan belas,” dia memerintah saya di antara kontraksi yang menyakitkan. Saya mengambil buku itu---judulnya Bila Tidak Ada Dokter . Siapa lagi yang akan membantu bayi ini lahir kecuali saya? Bab 19 memberikan langkah-langkah ringkas dan praktis untuk kelahiran bayi. Saya duduk dan membacanya mati-matian. Beberapa menit kemudian saya kembali ke kamr tidur dengan membawa gunting yang telah disteril dan kain bersih. (Catatan:jangan mencoba mensterilkan gunting dengan pegangan plastik dalam air panas. Plastiknya meleleh) Lucille sudah hampir melahirkan. “Ambilkan bantal, Bill!” dia berbicara terengah-engah di ranjang. Sambil berpikir bahwa dia ingin membuat dirinya lebih nyaman, saya memberikan bantal kepadanya. Dia mengambilnya dan, menutup wajahnya dengan bantal itu, meredam teriakannya yang keras. Belum pernah saya mendengar dia menjerit seperti itu sebelumnya. Lucille biasanya dapat menahan rasa sakit, namun sakit bersalin sungguh tidak tertahankan sampai dia tidak dapat menahannya. Karena tidak ingin membangunkan tetangga dia meredam jeritannya dengan cara menutup wajahnya dengan bantal. Kekuatiran mulai muncul dalam benak saya. “Ini anak ketiga kami,” saya merasa cemas. “Seharusnya tidak sesakit itu. Apakah ada yang tidak beres?” Saya mulai berdoa dengan penuh ketakutan. “Tuhan,” saya memohon, “jangan ada komplikasi. Tidak ada dokter di sini, dan aku tidak tahu apa yang harus dilakukan kalau tangan atau kakinya keluar lebih dulu. Tolong kami, Tuhan, dan ijinkan bayi itu lahir normal!” Saya duduk menghadap Lucille, dengan tegang melihat apa yang akan terjadi. Semua instruksi, dan peringatan yang saya hapalkan dari Bab 19 buku Bila Tidak Ada Dokter hilang dari pikiran saya. Lucille khususnya mengingatkan saya bahwa kepala bayi akan keluar pertama dan itu bagian yang terbesar dari tubuh yang akan keluar dari jalan lahir. Begitu kepala itu keluar, sisanya akan cepat,

Page 133: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

bahkan kadang-kadang terlalu cepat. Saya harus dengan lembut menahan bayi itu agar tidak terlalu kuat keluar. Satu menit, mungkin lebih, berlalu. Kemudian saya melihatnya. Kepala si kecil perlahan-lahan muncul. Saya duduk terpaku oleh apa yang saya saksikan. Setelah kepalanya keluar, tubuhnya, tidak tertahan oleh saya, ditembakkan keluar seperti peluru kanon. Tubuh yang hangat dan basah meluncur ke tangan saya yang terbuka. Saya melihat ke bawah dan tergagap, “Lucille, dia--- dia---perempuan!” Setelah menghirup nafasnya yang pertama, si kecil melepaskan satu tangisan kuat yang panjang menembus keheningan pagi. Lucille menghela nafas dengan lega. Di kamar sebelah, Esther dan Sarah mulai bergerak-gerak di ranjang mereka. “Mama dan Papa,” suara mereka yang masih mengantuk terdengar dari lubang angin di atas tembok pemisah kamar kami, “apakah bayinya sudah lahir?” “Ya,” saya menjawab pelan. Kami memberinya nama Christina. Puji Tuhan. Benar Firman yang diberikanNya kepada Lucille, Tuhan memberi Christina kecil suatu roh penghibur yang tidak biasa untuk membawa kesukaan yang luar biasa bagi orang-orang sekitar sini.

Page 134: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Bab Dua Puluh Tiga Daftar Hitam

Sebuah kejutan muncul di depan kami di tengah jalan raya di musim panas 1987. Pemerintah pada awalnya menyetujui permohonan saya untuk tinggal di Indonesia satu tahun lagi. Namun pada tanggal 2 September, dengan tiba-tiba mereka berubah pikiran dan hanya memberi kami waktu dua bulan untuk meninggalkan negara ini. Ini merupakan keputusan akhir. Mengapa hal ini terjadi? Kami dengar bahwa seseorang yang marah dengan kehadiran dan pelayanan kami di Batu Ampar telah menulis hal-hal yang tidak baik tentang kami pada pemerintah. Apa yang akan terjadi pada umat kami? Kami adalah orang tua rohani mereka dan mereka memerlukan kami. Akankah tujuh tahun pengorbanan kami di Batu Ampar berakhir sia-sia setelah kepergian kami? Namun di balik ketakutan-ketakutan kami, kami tahu bahwa Firman Tuhan ada.

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. (Roma 8:28)

Mungkin Tuhan memindahkan kami untuk menguji pekerjaan kami.

Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. (I Korintus 3:12-14)

Puji nama Allah Bapa kita! Dia tidak membiarkan hal-hal ini terjadi sampai rencanaNya atas kami di Indonesia tergenapi. Oleh kekuatanNya yang memampukan, kami hampir menyelesaikan pekerjaan yang diberikanNya pada kami di Kalimantan Barat. Kami tiba pada keyakinan bahwa Tuhan telah menyiapkan umat di Batu Ampar atas kepergian kami. A Bak dan pemimpin-pemimpin yang lain telah dewasa dan mereka hampir siap untuk mengambil alih pelayanan, bertekad dalam roh mereka bahwa mereka tidak hanya akan bertahan hidup namun akan bertumbuh ketika kami tidak ada. Kami merasakan keyakinan mereka, menyaksikan Tuhan dalam hidup dan pelayanan mereka. Kata-kata Tuhan Yesus kepada murid-muridNya,”Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi” (Yohanes 16:7) juga diterapkan di sini. Dengan pertolongan Tuhan mereka telah memulai gereja di Kubu dan Padangtikar dan mulai mengadakan pelayanan penginjilan di dekat Teluk Air. Sedangkan bagi kami, kami merasa dalam satu hal seperti yang dilakukan Musa ketika dia hanya melihat tanah perjanjian dari jauh setelah empat puluh tahun di padang gurun. Yang akan memimpin kawanan ini memasuki Kanaan disediakan bagi “Elisa”--- saudara kami A Bak. Yang terpenting Roh Kudus telah membawa para pemimpin kami ke dalam kesatuan yang manis di dalam Kristus dimana saling melayani, kasih dan pengampunan memerintah. Tuhan akan membawa kami pergi untuk menguji kesatuan dan iman mereka. Melalui ketidak hadiran kami mereka akan belajar untuk bergantung kepada Tuhan dan bukannya kepada kami. Kami mengundang kelompok sel pemimpin ini termasuk A Bak, Lanyi, Akong, dan Asiu, dan dalam dua bulan dengan terburu-buru melatih mereka untuk mengambil alaih pelayanan. Bukanlah hal yang mudah untuk mengakhiri dan membereskan tujuh tahun hidup pelayanan di daerah terpencil di Kalimantan Barat. Ketika saya datang pertama kalinya di Kalimantan Barat tahun 1978, saya sepenuhnya bergantung kepada Tuhan dengan tidak ada dukungan dari gereja, organisasi

Page 135: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

misi, tanpa latihan misi formal atau belajar bahasa Indonesia, atau panggilan pelayanan dari gereja setempat di Kalimantan Barat. Namun selama bertahun-tahun Tuhan memberkati kami melalui gerejaNya di Amerika Serikat dengan rumah dua tingkat yang besar dan tanah, lima motor skuter dan sebuah speedboat. Semua ini akan ditinggalkan di tangan kepemimpinan yang baru. Rumah dan tanah merupakan asset pribadi kami yang dapat dijual untuk kami memiliki dana untuk memulai hidup kami dan anak-anak kami di Amerika Serikat. Namun umat di Batu Ampar memerlukan rumah dan tanah untuk pelayanan Injil. Kami mau mempercayai Tuhan dan meninggalkan semuanya itu ke tangan pemimpin-pemimpin yang baru Di bulan September dua pendeta dari Amerika Serikat, sahabat saya Steven Shepard dan Bill Self, datang untuk membantu kami bersiap-siap untuk pindah. Para pemimpin diundang dari gereja-gereja di Kubu, Padangtikar dan Gunung Bongkok untuk bertemu di Batu Ampar untuk pelatihan dan pengobaran semangat dari Steven dan Bill. Ketika malam terakhir, kami saling membasuh kaki, mengikuti teladan Tuhan Yesus di Injil Yohanes Pasal 13 sesaat sebelum Dia diambil dari murid-muridNya untuk disalibkan. Namun tidak seperti malam Paskah hampir dua ribu tahun yang lalu, saudara-saudara di sini malam itu tahu bahwa gembala mereka akan pergi meninggalkan mereka. Air matapun mengalir. Pada pagi hari di bulan Oktober waktu kepergian kami dari Batu Ampar sekelompok saudara berkumpul di pelabuhan untuk melihat kami naik kapal ke Pontianak. Kami saling berpelukan dan memberi salam perpisahan. Kami telah melewatkan tahun-tahun yang paling hebat dalam hidup kami di tengah mereka, dengan rasa sakit dan ketekunan bekerja keras melahirkan mereka ke dalam Kerajaan Allah. Batu Ampar adalah satu-satunya rumah yang anak-anak kami tahu. Ketiganya lahir di Kalimantan Barat, dan Christina kecil, berusia dua bulan, lahir di Batu Ampar. Suka dan duka umat telah kami alami, membawa bayi-bayi mereka ke dunia dan menguburkan orang-orang mati. Bersama-sama kami telah menanggung penganiayaan dan tantangan dalam memberitakan nama Tuhan Yesus Kristus di daerah yang tidak mengenal hal lain selain kegelapan sejak masa penciptaan. Dua pertanyaan menggantung di kepala kami ketika kami menyampaikan salam perpisahan terakhir kami: akankah mereka baik-baik saja sendirian? Akankah kami melihat mereka lagi? Saat kapal kami ditarik keluar dari pelabuhan dan lambaian tangan menghilang di cakrawala, kami hanya dapat menyerahkan saudara-saudara yang kami kasihi ke dalam tangan Tuhan yang memanggil m̀ereka kedalam kerajaanNya yang mulia. Kami meninggalkan Batu Ampar bulan September 1987.

Hari itu adalah hari yang panas di tahun 1992. Di belakang rumahnya yang sederhana yang dibangun di atas tiang-tiang kayu tepat di atas tepian air, A Li berhenti mencuci dan melihat ke atas. Menempel pada bagian belakang rumahnya sebuah dermaga dibangun di atas air, sangat enak untuk mencuci pakaian, mandi dan memasak. Enak tinggal di dekat pelabuhan, pikirnya. Pintu belakang rumahnya menghadap pemandangan indah pelabuhan Batu Ampar dimana dikejauhan pulau Teluk Air yang berhutan tampak menonjol dari teluk. Kadang-kadang sebuah kapal barang besar yang akan mengambil kayu-kayu gergajian dari beberapa perusahaan pemotongan yang masih beroperasi di Batu Ampar akan berlayar ke pelabuhan di tengah malam dan membuang sauh. Suatu hal yang menggetarkan hati bagi A Li yang tinggal di daerah primitif yang terletak di sudut terpencil Kalimantan Barat, untuk melihat keajaiban modernitas dari negara yang tidak terbayangkan jauhnya dari kotanya. Juga merupakan sebuah berkat bagi A Li untuk tinggal bersebelahan dengan Pendeta A Bak. Sejak para misionaris William dan Lucille kembali ke Amerika Serikat tahun 1987, Pendeta A Bak telah dianggap sebagai pimpinan gereja. Dia adalah seorang pendeta yang baik. Di bawah pelayanannya, A Li dan keluarganya telah menjadi Kristen dan tumbuh mempercayai Tuhan Yesus. Tidak hanya itu, sebagai tetangga Pendeta A

Page 136: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Bak, A Li mendapat akses ke air yang berlimpah yang mengalir dari lereng bukit ke pabrik esnya untuk membuat es. Tidak ada kekurangan air untuk mandi dan minum seperti yang dialami banyak tempat yang lain di Batu Ampar! Tiba-tiba gelombang kekuatiran muncul di hati A Li. Di mana si kecil Jimi, anaknya? Apa yang sedang dikerjakannya sekarang? Dia meninggalkannya bermain di kamar tidur sesaat sebelum kembali mencuci pakaian. Namun setelah itu kamar tidur itu sunyi, terlalu sunyi untuk seorang anak usia empat tahun yang sangat aktif. A Li segera bangkit dari bak cuciannya dan masuk ke dalam memeriksa jimi. Jimi tidak ada di kamar tidur. A Li dapat mendengar suara gemerincing mesin disel yang dijalankan nonstop di pabrik es Pendeta A Bak di atas bukit di dekatnya. Mungkin anaknya pergi bermain di pemotongan. A Li mencarinya. Dia tidak ada di sana. Mungkin Jimi sedang bermain dengan A Tong anak Pendeta A Bak.A Li cepat-cepat berjalan menuju rumah pak pendeta dan bertanya. Tidak, Jimi kecil tidak ada di sana. Kekuatiran di hatinya semakin meningkat. A Li pergi ke sebelah rumahnya dan memanggil anaknya. “Jimi, Jimi, kamu di mana?” Hanya tinggal satu tempat lagi untuk mencari, satu tempat dimana para orang tua yang tinggal di tepi pelabuhan lebih suka untuk tidak memikirkannya.Terlalu banyak keluarga yang telah kehilangan anaknya di air. Terlalu banyak anak kecil jatuh dan tenggelam. Dan si kecil Jimi belum belajar berenang. A Li berlari kembali ke tempat cuciannya yang ditinggalkannya di dermaga. Berdiri di ujungnya, dia melihat ke air. Di sebelah kanannya, sebuah perahu nelayan kecil sedang menuju ke dermaga Pendeta A Bak untuk mengambil balok-balok besar es.Tidak ada yang aneh di air. Menoleh ke sebelah kiri dia melihat sebuah tubuh kecil terapung tidak bergerak di air. A Li menjerit. Itu Jimi. “Tolong! Tolong! Anakku tenggelam! Tuhan Yesus, tolong! Selamatkan anakku!” Mimpi buruk A Li dimulai. Teriakan ketakutannya menembus keheningan pagi. Seorang tetangga mendengar teriakan A Li dan datang berlarian. Dia melihat tubuh tak bernyawa di air dan untuk sesaat berdiri terpaku. Jeritan ketakutan A Li membuat dia bertindak. Dia terjun ke air, mengangkat Jimi dan membawanya ke darat. Dia tidak bernafas. Segera dia melakukan bantuan pernafasan dari mulut ke mulut, tetapi tidak berguna. Jimi telah mati. Segera kabar menyebar ke orang-orang Kristen lain di Batu Ampar. Pendeta A Bak datang dan mendoakan Jimi. A Li berlutut dan berseru kepada Tuhan , memohon Tuhan menghidupkan anaknya kembali. Ayah Jimi ada di sana, mencoba mengeluarkan air dari paru-paru anaknya dengan menyedot dari mulutnya. Namun Jimi telah mati. Salah seorang pegawai di pabrik es mengangkat anak itu dan menjungkirkannya dan dengan sia-sia, mencoba untuk mengguncang air keluar darinya. Anehnya, tidak ada tanda-tanda adanya air di dalam tubuhnya. Mereka semua mendoakan Jimi lagi.Tetapi dia telah mati. Akhirnya, Pendeta A Bak lebih baik membawa anak ini ke klinik setempat. Bersama dengan ayah Jimi, A Bak melarikannya dengan sepeda motor ke klinik pemerintah dimana satu-satunya dokter di Batu Ampar bertugas. Dokter melihat anak kecil itu ketika mereka membawanya masuk dan tahu bahwa hal yang terburuk telah terjadi. Dia menggelengkan kepalanya dengan sedih. “Tidak ada harapan untuknya,” kata dokter itu pada A Li. “Dia telah pergi.” Namun A Li telah belajar setidaknya satu hal sejak menjaid orang percaya di dalam Tuhan Yesus Kristus : tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Dia tahu dari pelajaran Alkitab yang disampaikan Pendeta A Bak bahwa Tuhan dapat membangkitkan orang mati. Minta dan teruslah meminta, Alkitab mengajarkan. “Tuhan Yesus, selamatkan anakku! Dia adalah berkat yang Engkau berikan padaku. Selamatkan dia, Tuhan Yesus! Ampunilah segala dosa-dosaku. Kembalikanlah anakku!” dia memohon. Dokter itu, yang tidak asing dengan kematian mendadak pada anak-anak kecil dan ratapan orang tua yang kehilangan di Batu Ampar, tidak dapat membantu kecuali menggelengkan kepalanya

Page 137: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

dengan simpati.Dia tahu dari pengalamannya sebagai seorang dokter bahwa tidak ada yang dapat mengembalikan anak itu hidup lagi. Dia telah mati hampir satu jam sekarang. Untuk menghindarkan A Li dari harapan yang salah dan kedukaan yang lebih dalam lagi, dia harus membuatnya mengerti bahwa semua ini telah berakhir. Dokter itu mengambil alat kedokteran dan memasukkannya ke hidung Jimi. Dia memanggil A Li datang mendekat untuk melihat. “Lihat, tidak ada nafas pada anakmu. Saya minta maaf, tidak ada harapan, tidak ada harapan sama sekali untuk anakmu.” A Li melihatnya namun tidak mau menyerah. Dia terus berdoa pada Tuhan untuk anaknya. Pada waktu itu semua hamba Tuhan di Batu Ampar telah berkumpul di klinik mengelilingi tubuh Jimi dan memanggil nama Tuhan mereka. A Li meletakkan tangan atas anaknya. Pendeta A Bak berdiri di sampingnya, memegang tangannya. Semuanya berlutut dan berdoa kepada Tuhan, Tuhan atas belas kasihan dan penghiburan, Tuhan yang berkuasa yang menciptakan surga dan bumi. Mereka berlutut memanggil Nama yang dipercaya Abraham, Tuhan yang memberi hidup pada yang mati dan menjadikan hal-hal tidak seperti yang seolah-olah terjadi Setelah beberapa saat ayah Jimi membungkuk atas anaknya dan meletakkan mulutnya atas hidung Jimi. Dia menyedot. Jimi bernafas sekali, hanya sedikit. “Saya mendengarnya bernafas!” teriak A Li ditengah hiruk pikuk doa-doa yang dinaikkan ke tahta anugrah. Mereka semua terdiam tiba-tiba. “Jimi bernafas!” kata A Li. Semua orang melihat ke tubuh yang masih tidak bernyawa. Dia tidak bernafas sekarang. Namun Tuhan telah mendengar doa-doa mereka. Dia telah mulai mengembalikan nafas Jimi. Seperti diberi isyarat, orang-orang percaya di ruang itu menaikkan rentetan doa yang kedua ke surga. Minta, dan teruslah meminta, dan kamu akan mendapatkannya. Nafas mulai memasuki paru-paru Jimi dan dia merengek dengan lemah. Hanya sekali. A Li merasakan kemenangan dan meletakkan tangannya atas anaknya. Dengan kuasa yang ada padanya dalam Kristus dia memerintah, “Dalam nama Tuhan Yesus, Jimi, hidup kembali!” Jimi bergerak dan hidup lagi. Saat itu, sekumpulan kecil penonton dan teman-teman yang perduli dan kaum kerabat telah berkumpul di ruangan klinik, termasuk orang-orang yang tidak percaya. Diantara mereka terdapat dukun-dukun dan tukang-tukang tenung yang telah mendengar kabar tentang anak yang tenggelam. Telah lama mereka mendengar cerita-cerita tentang mujizat yang terjadi diantara orang Kristen di masyarakat mereka. Hadir dalam adegan karena rasa ingin tahu dan perhatian, mereka mengamati ketika orang-orang Kristen berlutut di hadapan Allah mereka dan memohon belas kasihan dalam nama Seseorang yang mereka panggil Yesus Kristus. Ini tidak pernah terjadi anak itu hidup lagi, mereka berpikir diantara mereka sendiri. Dia telah mati sekitar satu jam. Tentu saja roh-roh yang mereka layani tidak punya kuasa seperti itu. Keragu-raguan meningkat ketika menit-menit berlalu dan anak itu masih belum bergerak. Namun ketika Jimi mulai menangis, walaupun hampir tidak terlihat, alis mata mereka mengkerut dengan keheranan dan rasa tidak percaya. Ketika dalam nama Yesus anak itu akhirnya kembali hidup, mereka untuk sesaat paling tidak, menjadi orang-orang percaya, mereka bertepuk tangan atas mujziat dramatis yang telah mereka lihat. “Puji Tuhan,” mereka semua setuju ketika mereka semua bangkit untuk pergi, “anakmu diselamatkan!”

Setelah dua puluh empat jam Jimi pulih dari pertempurannya dengan kematian. Dia cukup kuat untuk berbicara pada ayahnya. “Papa,” dia bercerita, “Aku sedang bermain di dermaga. Aku jatuh ke air. Aku berusaha untuk memegang tiang-tiang penyangga di bawah, tapi airnya menghanyutkan aku. Aku menjerit dan berteriak, tapi tidak ada yang mendengar.” Jimi berhenti sejenak untuk menghirup udara yang berharga sebelum melanjutkan. “Setelah aku tenggelam di air, aku tidak bisa bernafas. Tapi kemudian aku merasa seseorang mengangkat aku

Page 138: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

keluar dari air. Aku terapung dengan hidungku diatas air dan tanganku terentang, seperti Tuhan Yesus di atas kayu salib. Papa, itu Tuhan Yesus. Tuhan Yesus yang mengangkat aku sehingga tidak ada air masuk ke aku. Tuhan Yesus menyelamatkan aku, Pa.”

Ya, Tuhan Yesus ada bersama-sama murid-muridNya di Batu Ampar, Kalimantan, lama setelah para misionaris yang mengajarkan Injil kepada mereka pulang ke Amerika Serikat. Tuhan setia kepada umatNya, dengan mengabaikan ras, kebangsaan atau bahasa.

“Dan lagi Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh BapaKu yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam NamaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Matius 18:19-20)

…..Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:20)

Page 139: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

���

Epilog Hari itu tanggal 4 Juli 1995, hampir delapan tahun sejak kami terakhir kali melihat Kalimantan. Di tengah kegelapan malam perahu kami menghantam gelombang teluk ketika kami menuju ke lampu-lampu Batu Ampar dikejauhan.

Tuhan telah membuka pintu bagi kami untuk kembali ke tanah dimana kami telah melewatkan lebih dari delapan tahun kehidupan kami melayani untuk melahirkan orang-orang bagi kemuliaanNya. Gereja yang kami gembalakan, Grace Community Fellowship di Houston, Texas, bersedia mengijinkan kami untuk pergi selama beberapa minggu. Perhentian kami yang pertama di Indonesia adalah Jawa, dimana kami menerima banyak undangan pelayanan kesembuhan dan pelepasan. Roh Kudus bekerja dengan indah. Setelah kebaktian-kebaktian ini kami meninggalkan Jawa, terbang melintasi laut Hindia menuju ke Kalimantan Barat. Pendeta A Bak telah menemui kami di bandara di Pontianak bersama Amoy yang telah menikah dengan seorang pendeta dan mempunyai dua anak. Mereka telah menunggu dengan sabar selama lebih dari empat jam karena keterlambatan kedatangan kami. Saya kagum atas kesetiaan Tuhan ketika saya melangkah keluar melalui pintu terminal untuk menemui A Bak menantikan kami. Terakhir kali saya melihat dia adalah di bandara ini bertahun-tahun yang lalu ketika kami mengucapkan salam perpisahan kepadanya dan kembali ke Amerika Serikat. Secara fisik, dia tidak berubah kecuali munculnya kerutan-kerutan di ujung matanya ketika dia tersenyum. Puji Tuhan. Amoy sibuk dengan anak-anak kami. Esther baru berusia enam tahun, Sarah kurang dari tiga tahun, dan Christina baru dua bulan ketika kami meninggalkan Kalimantan. Sekarang Esther jauh lebih tinggi dari Amoy, Sarah telah melampaui dia, dan Christina anak berusia delapan tahun yang ceria dan bersemangat. Kami telah menyewa sebuah mobil untuk kami dan sebuah truk kecil untuk barang-barang kami dan melaju menuju Sungai Rasau tempat kami akan naik speedboat ke Batu Ampar. Setelah tawar menawar kami mendapatkan seorang pengemudi yang mau mengantar kami dengan harga di atas biasanya karena hari semakin gelap. Saudara-saudara di Batu Ampar sangat gembira dengan berita tentang kedatangan kami. Bertahun-tahun surat-surat datang dan pergi menyeberangi laut Pasifik, permohonan dengan air mata agar kami kembali, dan harapan-harapan yang hancur. Namun sekarang beritanya bagus: Pendeta Willian, Lucille dan seluruh keluarganya datang kembali untuk berkunjung! Karena kami dijadwalkan untuk tiba di Batu Ampar antara pukul empat atau lima sore, sekelompok orang percaya telah berkumpul di rumah A Bak di pelabuhan untuk kebaktian menyambut kedatangan kami. Namun hingga pukul enam kami belum tiba. Pukul tujuh, kemudian pukul delapan dan tidak ada berita. Beberapa saat sebelum pukul sembilan malam itu speedboat kami berputar melengkung di sungai yang bermuara di delta yang menghadap Batu Ampar. Dikejauhan muncul lampu-lampu yang kami kenal yang menyambut kami bertahun-tahun yang lalu ketika pertama kali kami tiba di pulau yang tidak dikenal ini. Berapa lama telah berlalu? Saya menghitung tahun-tahun itu. Telah lewat lima belas tahun yang lalu ketika di belakang bis air yang berjalan lambat menyusuri sungai ke Batu Ampar saya melihat surga malam hari yang semarak dan menyembah. Telah lewat lima belas tahun yang lalu ketika sambil melihat banyak titik lampu di kejauhan saya meminta kepada Tuhan, “Bapa, berikan daerah ini untukku. Berikan Batu Ampar.Ijinkan aku membawa daerah ini bagi KerajaanMu. Berikan pengurapanmu untuk memberitakan FirmanMu dalam kuasa Roh Kudus….” Sudahkah Tuhan memenuhi permohonan saya? Kami akan segera mengetahuinya.

Daratan menyambut kami ketika mesin temple berkekuatan 115 tenaga kuda mendorong kami dengan kuat ke dermaga. Stop, teriak saya dalam hati kepada pengemudinya, benda ini tidak ada remnya. Namun dia tidak memperlambatnya. Pada saat terakhir dia menutup kembali katup penutupnya. Perahu itu miring ke bawah dan menyeruduk air, kehilangan tenaga geraknya. Perahu itu

Page 140: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

menyusuri beberapa kaki terakhir ke dermaga yang menempel di rumah A Bak dan merapat dengan sempurna. Kami berdiri dan meluruskan kaki kami yang kaku. Beberapa pemuda di dermaga yang tidak saya kenal namun sepertinya mereka mengenal saya, menolong kami menaiki dermaga. Di dermaga saya berpikir-pikir siapa yang masih ada di sana untuk menyambut kami. Saya berjalan melalui pintu belakang ke bagian belakang rumah A Bak. Bagian ini dibangun setelah kami pulang tahun 1987, saya tidak mengenalinya. Ketika saya masuk, saya melihat dari gang ke ruangan depan dimana lampu-lampu pijar menerangi ruangan luas yang dipenuhi orang-orang . Saya dapat mendengar suara seseorang di dalam ruangan sedang berdoa. Itu adalah Akong yang memimpin saudara-saudara yang lainnya dalam doa. Saya berjalan memasuki ruangan bersama keluarga saya dan saya melihat saudara-saudara terkasih yang sangat saya rindukan.

Ya Tuhan, kasihMu sampai ke langit, setiaMu sampai ke awan! (Mazmur 36:6)

Ada lebih dari dua puluh saudara yang masih menunggu walaupun kami terlambat empat jam. Kursi-kursi plastik putih ditata berderetan dan bersadar pada dinding ruangan untuk kebaktian penyambutan ini. Ketika kami masuk, A Bak So, yang berdiri di depan memimpin kebaktian itu, mengambil mike dan menaikkan syukur kepada Tuhan dalam bahasa Indonesia.

“Kami bersyukur kepadaMu Tuhan, karena setelah lebih dari tujuh tahun, Engkau membawa kembali Pendeta dan istrinya serta anak-anak mereka. Terima kasih Tuhan, atas kasih dan anugrahMu melalui Tuhan Yesus Kristus…..” A Bak So menyerahkan mike kepada keponakannya Amee yang masih remaja untuk memimpin kami dalam pujian yang penuh urapan kepada Tuhan. Kami merayakan dalam pujian karena Tuhan mempersatukan kami kembali dalam kasih setiaNya. Ambar, yang menerima Tuhan Yesus dalam sebuah acara pernikahan yang saya pimpin beberapa waktu sebelum saya pulang tahun 1987, memainkan keyboard untuk mengiringi. Di samping Ambar, berdiri Mazmur, yang memetik gitar ketika kami bersuka ria dalam kesetiaan Tuhan. Mazmur menjadi orang Kristen yang lahir baru setelah kami pergi. Ameng, salah seorang anggota orang percaya yang pertama di Batu Ampar dan yang pertama menerima Kristus dalam marga besar keluarga neneknya, masih berada di sekolah dasar ketika kami pertama kali datang. Sekarang dia hadir di sana untuk menyambut kami. Dia sekarang telah menikah dan mempunyai anak-anak. Ajan, seorang pemuda yang sedang memulai sebuah usaha ketika dia pertma kali datang untuk mengenal Tuhan, hadir di sana. Tuhan telah memberkatinya dengan sebuah perusahaan yang sedang berkembang, seorang istri dari Padantikar (kakak tertua Dinah) dan dua anak laki-laki. Jimmi, adik muda kami dari Pemotongan Kayu Medang Kerang Djaya, juga hadir. Pak Yakobus yang setia, yang menjadi kapten kapal di Pemotongan Hutan Raya, hadir untuk menyambut kami. Asia, anak tertua A Bak, telah pulang untuk membantu mengelola pabrik es ayahnya, juga hadir di sana malam itu. Dua orang pemudi dari Gunung Bongkok dari anggota marga keluarga Pak Nasir, hadir untuk menyambut kami. Hadir beberapa orang muda yang tidak saya kenal. Mereka, seperti banyak yang lainnya yang akan saya temui, menerima Tuhan Yesus dibawah pelayanan A Bak. Dipimpin oleh A Bak, jemaat ini berkembang baik. Selama dua minggu kami berada di Batu Ampar, kami melihat bukti kesetiaan Tuhan pada mereka selama hampir delapan tahun mereka “ditinggalkan sendiri”. Mereka bertumbuh dewasa. Banyak orang kudus yang awal telah pindah ke daerah lain di Kalimantan Barat dan Indonesia dimana mereka terus melayani dan berjalan dalam iman. Banyak jiwa baru, pada waktu yang sama, masuk dalam kerajaan di Batu Ampar dibawah pelayanan A Bak. Tuhan telah bergerak dalam kuasa melalui dia dan hamba-hambaNya yang lain.

Page 141: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Dia telah memberi sebuah visi untuk membangun sebuah gedung gereja untuk menampung lima ratus orang, dan pada waktu kunjungan kami, pembangunan telah hampir setengahnya selesai. Pemazmur mengekspresikan perasaan saya :

Aku mau menyanyikan syukur bagiMu dengan gambus, atas kesetiaanMu ya Allahku, menyanyikan mazmur bagiMu dengan kecapi ya Yang Kudus Israel. (Mazmur 71:22)

Akong melewatkan beberapa hari setiap minggunya untuk melayani di Padangtikar dimana A Bak dan timnya telah mendirikan sebuah gereja di tahun 1986. Saudara Hotlan, yang berasal dari Sumatera, yang menerima Kristus ketika menjadi pegawai di pemotongan kayu, kini menggembalakan jemaat di Kubu. Asiu yang telah melayani dengan berbuah-buah di Batu Ampar dan daerah sekitarnya, telah kembali untuk melayani di sana setelah bertahun-tahun melayani di daerah-daerah lain di Indonesia yang jauh. Banyak kaum muda yang telah kami bawa kepada Tuhan Yesus bertahun-tahun yang lalu sekarang melayani dengan aktif bagi kerajaan Allah. “Anak laki-laki kecil” kami Kit Chiang telah mendapat gelar sarjana theologi dan menjadi staf gembala di sebuah gereja yang kuat di kota Depok di Jawa. Aki, saudara perempuan Achin-Ko juga telah lulus dari sekolah Alkitab dan sekarang melayani bersama-sama dengan Kit Chiang. Mereka baru saja mengikatkan tali pernikahan. Anak perempuan Akwet, Ali, melayani sebagai staf di sebuah sekolah Alkitab. Asuan dari Kubu melayani di gereja yang digembalakan Amoy dan suaminya Yappi di Pontianak. Saudara Yappi sendiri sebelumnya melayani tugas penggembalaan di Padangtikar. Ameng dan beberapa saudara laki-lakinya telah pindah di daerah pedalaman Putussibau. Sebagai orang awam yang aktif, mereka telah membantu memulai dan mendirikan sebuah gereja di sana. Nenek Ameng, yang imannya tidak menemui kesulitan untuk berjalan sepuluh mil pulang pergi ke gereja hampir tiap akhir minggu, telah meninggalkan dunia ini untuk menikmati hidup baru bersama Tuhan Yesus di surga. Saya hanya dapat membayangkan sukacitanya karena tidak “tertinggal kapal” yang telah dilihatnya dalam mimpinya! Di gereja Padangtikar, Saudara Anen Sukeri menjadi salah satu orang percaya pertama. Dia telah pindah ke Jakarta dimana dia sekarang melayani sebagai seorang diaken yang aktif dan berkomitmen di sebuah gereja setempat. Ada banyak kesaksian-kesaksian seperti itu tentang kesetiaan Tuhan. Syukur bagi Tuhan atas pemberianNya yang tak terlukiskan!

Aku hendak menyanyikan kasih setia Tuhan selama-lamanya, hendak memperkenalkan kesetiaanMu dengan mulutku turun- temurun. Sebab kasih setiaMu dibangun untuk selama-lamanya; kesetiaanMu tegak seperti langit. (Mazmur 89:1-2)

Selama lima minggu perjalanan ke Indonesia di musim panas 1995, kami melayani lebih dari tiga puluh kebaktian di kota-kota besar di Jawa dan juga di desa-desa di Kalimantan. Dalam banyak kebaktian, Roh Kudus bergerak untuk menyembuhkan dan melepaskan dengan ajaib. Ketika kami pulang kami rindu untuk menyaksikan gerakan Roh Kudus yang sama terjadi di Amerika Serikat juga. Apakah benar, seperti yang banyak dipercayai orang, bahwa Tuhan hanya melakukan mujizat di ladang pelayanan di Dunia Ketiga, dan jarang terjadi di negara-negara Barat yang maju? Saya sendiri rindu untuk melihat manifestasi kuasa Tuhan yang ajaib terjadi di Amerika Serikat seperti yang telah saya lihat di Indonesia. Pada bulan September 1995 saya mendapat kesempatan untuk menemukan jawabannya. Beberapa orang Kristen Tionghoa mengundang saya untuk melayani di Massachusetts. Banyak saudara di sana memerlukan kesembuhan fisik dari Tuhan.Yang lain ingin lebih memahami Roh Kudus. Akankah Tuhan melakukan seperti yang telah dilakukanNya melalui saya seperti di Indonesia?

Page 142: Petualangan di Indonesia dengan Roh Elia filebesar karena kacamatanya yang tebal, di matanya itulah tergambar teror yang dialaminya sewaktu ia menggelepar di lantai gubuk rumahnya

����

Dia melakukannya. Banyak saudara yang melaporkan kesembuhan atau perkembangan kondisinya setelah pelayanan dalam nama Yesus. Seorang saudari, yang menderita depresi yang parah, datang ke kebaktian Jumat malam di gereja berbahasa Mandarin dimana saya sedang menceritakan tentang pengalaman pelayanan kami di Kalimantan Barat. Selama berbulan-bulan dia tidak dapat tidur tanpa obat atau berkonsentrasi di pekerjaannya, yang memaksanya untuk mengambil cuti. Dia menghabiskan waktu berjam-jam sehari memandang keluar jendela. Dia bahkan pernah berpikir tentang bunuh diri. Namun setelah kebaktian malam itu dia pulang dan tidur nyenyak sepanjang malam tanpa memakai obat. Sukacita dan keinginan hidupnya kembali. Konsentrasinya kembali dan dia kembali bekerja, lebih produktif dari sebelumnya. Tuhan secara diam-diam namun keseluruhan menyembuhkannya. Seorang tua dari Cina maju ke depan pada sebuah kebaktian di Boston, minta didoakan untuk kakinya. Selama berpuluh-puluh tahun dia tidak dapat merasakan kehangatan pada kakinya, hanya sedingin es. Saya meletakkan tangan atasnya dan meminta Tuhan menyembuhkannya. Dalam beberapa saat, dia menjerit, saya merasakan panas di kaki saya! Terima kasih, Tuhanku! Bulan berikutnya saya kembali ke Massachusetts untuk kebaktian-kebaktian dengan saudara-saudara di sana; Roh Kudus kembali bekerja. Tuhan juga membuka pintu-pintu bagi saya untuk melayani kesembuhan dan pelepasan di gereja-gereja Indonesia di Amerika Utara. Apa yang menjadi dampak pelayanan seperti ini sejauh ini? Mereka yang telah dijamah Roh Kudus dalam kebaktian-kebaktian ini telah diteguhkan dalam iman mereka. Beberapa mengalami bahwa Roh Kudus tidak hanya bergerak dalam kesembuhan fisik, namun juga dalam mengimpartasikan kasih dan pemulihan kehadiran Yesus dalam hati mereka. Mereka telah bertumbuh dalam kesetiaan dan ketaatan pada Tuhan Yesus Kristus dan pada sesamanya dalam tubuh Kristus. Perkara-perkara ini semuanya terjadi oleh kemurahan Tuhan ketika ini menjadi kemauanNya, dan bukan karena saya. Syukur bagi Tuhan Yesus Kristus! Pada musim panas 1996, saya kembali ke Indonesia dimana selama lebih dari empat puluh hari, saya melayani lima puluh kali kebanyakan di kota-kota besar di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Banyak dari kebaktian-kebaktian ini merupakan kebaktian penginjilan dimana Tuhan dengan murah hati memampukan saya untuk menyampaikan Injil disertai dengan tanda-tanda mujizat yang meneguhkan Injil. Sekembalinya ke Amerika Serikat, saya mulai menyadari sebuah panggilan untuk pelayanan pengajaran, pelatihan, dan kebaktian penginjilan di lading misi asing. Pada tahun 2000, saya memulai The Elijah Challenge, dan Tuhan membuka pintu-pintu bagi pelayanan di berbagai negara dunia. Pada Agustus 2002, bersama-sama dengan tim yang terdiri dari 15 orang percaya lainnya, kami mengadakan kebaktian penginjilan terbesar dalam sejarah Mesir dimana 10.000 jiwa menerima Kristus. Dan belum pernah sebelumnya mujizat-mujizat disaksikan di KKR umum di Mesir. Bulan November tahun itu, saya mengadakan KKR penginjilan yang pertama dalam sejarah Nigeria, Afrika Barat. Untuk yang pertama kalinya di negara Muslim ini, orang-orang yang tidak percaya melihat kesembuhan –kesembuhan yang ajaib di sebuah KKR dan datang kepada Kristus. Yang paling penting, mujizat-mujizat yang disaksikan di KKR-KKR ini bukan saya yang melakukannya namun oleh orang-orang percaya yang kami latih.

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:19-20)