perubahan konversi non-absorbing analit menjadi absorbing derivatif

Upload: oka-dwicandra

Post on 17-Jul-2015

191 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALISIS PERCOBAAN KONVERSI NON-ABSORBING ANALIT MENJADI ABSORBING DERIVATIVE

Oleh : Kelompok VIII

Ni Made Oka Dwicandra

(0908505071)

A.A.Kt.Sri Trisna Dewi Widhiani (0908505072) Charli Chanjaya Putu Aan Pustiari (0908505073) (0908505074)

JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2011

PERCOBAAN KONVERSI NON-ABSORBING ANALIT MENJADI ABSORBING DERIVATIVE

I.

TUJUAN Menentukan kadar zat bukan kromofor menggunakan metode spektrofotometri uvvisibel.

II.

DASAR TEORI Sinar uv-vis hanya melibatkan transisi elektron dari ke * dan n ke * sehingga senyawa yang dapat menunjukkan sifat absortivitasnya pada daerah ini hanya senyawasenyawa yang memiliki transisi elektron dari ke * dan n ke * saja. Radiasi di daerah uv-vis diserap melalui eksitasi elektron-elektron yang terlibat dalam ikatan antar atom di dalam suatu struktur molekuler menjadi keadaan energi yang lebih tinggi (Watson, 2005). Senyawa-senyawa yang memiliki transisi elektron dari ke * dan n ke * merupakan senyawa-senyawa yang memiliki ikatan rangkap dengan panjang gelombang () >200 nm atau dengan kata lain senyawa tersebut memiliki gugus kromofor. Kromofor semua gugus atau atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak (Gandjar dan Rohman, 2009). Kromofor adalah suatu gugus fungsi, tidak terhubung dengan gugus lain, yang menampakkan spektrum absorpsi karakteristik pada daerah sinar UV-sinar tampak. Ada 3 jenis kromofor sederhana, yaitu : Ikatan ganda antara 2 atom yang tidak memiliki pasangan elektron bebas. Contoh : C=C Ikatan ganda antara 2 atom yang memiliki pasangan elektron bebas Contoh : C=O Cincin Benzena Jika beberapa kromofor berhubungan maka absorpsi menjadi lebih kuat dan berpindah ke panjang gelombang yang lebih panjang (Wiryawan dkk., 2008). Dalam suatu molekul dapat dikandung beberapa kromofor. Jika kromofor dipisahkan satu sama lain paling sedikit oleh 2 atom karbon jenuh, maka tidak ada kemungkinan adanya konjugasi antara gugus kromofor (Roth dan Blaschke, 1985). Pada molekul organik dikenal pula istilah auksokrom yang merupakan gugus fungsional yang mempunyai elektron bebas, seperti -OH, -O, -NH2, dan OCH3. (Gandjar dan Rohman, 2009). Gugus ini akan memperlebar sistem kromofor dan

menggeser maksimum absorpsi kearah panjang gelombang yang lebih panjang (Roth dan Blaschke, 1985). Terikatnya gugus auksokrom pada gugus kromofor akan

mengakibatkan pergeseran pita absorbsi menuju ke panjang gelombang yang lebih besar (pergeseran batokromik) disertai dengan peningkatan intensitas (efek hiperkromik) (Gandjar dan Rohman, 2009). Gugus auksokrom tidak menyerap pada panjang gelombang 200-800 nm, namun mempengaruhi spektrum kromofor dimana auksokrom tersebut terikat (Wiryawan dkk., 2008). Gugus ini akan memperlebar sistem kromofor dan menggeser maksimum absorpsi kearah panjang gelombang yang lebih panjang (Roth dan Blaschke, 1985). Suatu zat atau senyawa yang bukan kromofor dapat direaksikan dengan zat lain yang menghasilkan suatu kromofor sehingga dapat dianalisis dengan spektofotometri uvvisibel (Susanti dkk, 2011). Hanya ada beberapa unsur yang memiliki absortivitas cukup besar untuk dapat ditentukan secara langsung dengan spektrometri molekuler. Sedangkan unsur yang lain dapat dikonversi ke derivativenya yang memiliki absortivitas jauh lebih tinggi (Wiryawan dkk., 2008). Perubahan keadaan oksidasi, atau pembentukan suatu komplek, dapat merubah unsur analit non-absorbing menjadi derivatif absorbing. Sebagai contoh Mn2+ yang berwarna merah muda (sangat) pucat dapat dioksidasi dengan menggunakan periodat atau persulfat menjadi MnO4- yang dapat ditentukan dengan spektrofotometri sinar tampak. Ion Fe2+ akan membentuk senyawa komplek orange-merah dengan 1, 10fenantrolin, sementara Fe3+ dan Co2+ keduanya dapat membentuk senyawa komplek dengan SCN- (Wiryawan dkk., 2008). Larutan analit (baik standar atau yang belum diketahui) direaksikan dengan reagen yang sesuai. Absorbansi dari absorbing derivative inilah yang diukur absorbansinya, bukan larutan analit asal (Wiryawan dkk., 2008). Metode ini memerlukan tiga persyaratan agar diperoleh hasil yang akurat dan teliti: a. Reaksi harus kuantitatif (yakni memiliki konstanta keseimbangan yang besar) sehingga seluruh analit dapat diubah menjadi absorbing derivative, b. Reagen yang digunakan harus tidak menyerap pada panjang gelombang dimana derivative yang dihasilkan menyerap, c. Absorbing derivative yang dihasilkan harus memenuhi Hukum Beer (Wiryawan dkk., 2008).

III. ALAT DAN BAHAN 3.1 Alat : 1. Labu ukur 25 mL 2. Labu ukur 5 mL 3. Gelas beaker 4. Pipet tetes 5. Pipet volume 6. Ball filler 7. Botol vial 8. Spektrofotometer 9. Kuvet 10. Neraca analitik

3.2 Bahan : 1. Larutan stok Fe3+ 2. Asam salisilat 3. Aquadest

IV. PELAKSANAAN PERCOBAAN Dibuat larutan stok FeCl3 1x103 ng/ml Dilarutkan 40 mg asam salisilat dalam aquadest hingga 100 ml

Dibuat 5 larutan kompleks Besi (III) Salisilat dengan berbagai konsentrasi.

Dipipet 1;2;3;4;5 ml larutan stok FeCl3, dimasukkan ke dalam 5 ml larutan salisilat ditambahkan aquadest hingga 25 ml.

Dari 5 variasi kadar larutan stok diambil 1 larutan stok dengan kadar tertentu

Ditentukan panjang gelombang maksimumnya

Diukur nilai absorbansi dari kelima larutan kompleks Besi (III) Salisilat dengan konsentrasi yang berbeda pada panjang gelombang maksimumnya.

Dibuat kurva kalibrasinya dengan persamaan regresi linier y = bx+a, y = nilai absorbansi ; x = kadar dari FeCl3

Penentuan kadar FeCl3 pada sampel : 1 ml larutan sampel FeCl3 ditambahkan ke dalam 5 ml larutan asam salisilat ad 25 ml aquadest.

Diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang maksimum.

Ditentukan kadar sampel dengan memasukkan nilai absorbansinya pada persamaan regresi linier kurva kalibrasi.

V. 1.

DATA PENGAMATAN Pengukuran Absorbansi Larutan FeCl3 0,12 g/ml untuk menentukan panjang gelombang maksimum besi (III) salisilat 200 203 206 209 212 215 218 221 224 227 230 233 236 239 242 245 248 251 254 257 260 263 266 269 272 275 278 A 0,400 0,568 1,072 1,651 1,941 2,025 2,063 2,081 2,136 2,274 2,349 2,332 2,209 1,619 1,098 0,686 0,499 0,346 0,228 0,179 0,190 0,241 0,314 0,398 0,483 0,592 0,748 300 303 306 309 312 315 318 321 324 327 330 333 336 339 342 345 348 351 354 357 360 363 366 369 372 375 378 A 1,852 1,755 1,562 1,229 0,876 0,621 0,447 0,325 0,243 0,182 0,132 0,092 0,068 0,053 0,044 0,040 0,036 0,033 0,031 0,029 0,028 0,027 0,026 0,025 0,025 0,024 0,023

281 284 287 290 293 296 299

0,951 1,211 1,495 1,713 1,833 1,882 1,871

381 384 387 390 393 396 399

0,023 0,022 0,021 0,020 0,020 0,002 0,019

Absorbansi maksimum diberikan pada panjang gelombang 230 nm, sehingga pengukuran absorbansi untuk keempat larutan besi (III) salisilat dilakukan pada panjang gelombang 230 nm.

2. Pengamatan absorbansi 1 seri larutan standar besi (III) salisilat FeCl3 yang ditambahkan 1 ml 2 ml 3 ml 4 ml 5 ml Absorbansi 2,388 2,378 2,349 2,389 2,390

3. Pengamatan Absorbansi sampel Absorbansi yang diberikan oleh sampel pada panjang gelombang 230 nm adalah 2,384

VI. PERHITUNGAN 1. Pembuatan Larutan FeCl3 103 ng/ml Larutan yang tersedia di laboratorium FeCl3 0,3 10-3 M Dibuat 25 ml larutan FeCl3 1 103 ng/ml Diketahui BM V2 M1 M2 Ditanyakan : = = = = : 162,2 g/mol 25 ml 0,3 10-3 M 1 103 ng/ml = 1 10-3 mg/ml

V1 Jawab M1

= : = = =

? 0,3 10-3 M 0,3 10-3 mol/L 162,2 g/mol 48,66 10-3 mg/ml

V1 M1 V1 48,66 10-3 mg/ml

= =

V2 M2 25 ml 1 10-3 mg/ml

V1

= = 0,51 ml

Jadi, volume yang dipipet dari larutan FeCl3 0,3 10-3 M adalah 0,51 ml

2.

Menentukan konsentrasi besi (III) salisilat dari larutan standar Persamaan Reaksi : Larutan FeCl3 yang berwarna kuning direaksikan dengan asam salisilat akan membentuk komplek Besi (III) salisilat yang berwarna bening kekuningan. Reaksi yang terjadi yaitu :

FeCl3 + 3

+ 3HCl

Konsentrasi asam salisilat dibuat berlebih. Konsentrasi FeCl3 = Konsentrasi Besi (III) Salisilat. a. Konsentrasi Besi (III) Salisilat pada pemipetan 1 ml FeCl3 1 103 ng/ml dalam 25 ml larutan Diketahui V2 V1 M1 Ditanya M2 : = = = : = ? 25 ml 1 ml 1 103 ng/ml

Jawab

: V1 M1 = = = = = 0,04 103 ng/ml 0,04 g/ml V2 M2 25 ml M2

1 ml 1 103 ng/ml M2

Jadi, konsentrasi Besi (III) Salisilat pada pemipetan 1 ml FeCl3 1 103 ng/ml dalam 25 ml larutan adalah 0,04 g/ml. b. Konsentrasi Besi (III) Salisilat pada pemipetan 2 ml FeCl3 1 103 ng/ml Diketahui V2 V1 M1 Ditanya M2 Jawab : = = = : = ? : V1 M1 2 ml 1 103 ng/ml M2 = = = = = 25 ml larutan adalah 0,08 g/ml. c. Konsentrasi Besi (III) Salisilat pada pemipetan 3 ml FeCl3 1 103 ng/ml Diketahui V2 V1 M1 Ditanya M2 : = = = : = ? 25 ml 3 ml 1 103 ng/ml 0,08 103 ng/ml 0,08 g/ml V2 M2 25 ml M2 25 ml 2 ml 1 103 ng/ml

Jadi, konsentrasi Besi (III) Salisilat pada pemipetan 2 ml FeCl3 1 103 ng/ml dalam

Jawab

: V1 M1 = = = = = 0,12 103 ng/ml 0,12 g/ml V2 M2 25 ml M2

3 ml 1 103 ng/ml M2

Jadi, konsentrasi Besi (III) Salisilat pada pemipetan 3 ml FeCl3 1 103 ng/ml dalam 25 ml larutan adalah 0,12 g/ml. d. Konsentrasi Besi (III) Salisilat pada pemipetan 4 ml FeCl3 1 103 ng/ml Diketahui V2 V1 M1 Ditanya M2 Jawab : = = = : = ? : V1 M1 4 ml 1 103 ng/ml M2 = = = = = 25 ml larutan adalah 0,16 g/ml. e. Konsentrasi Besi (III) Salisilat pada pemipetan 5 ml FeCl3 1 103 ng/ml Diketahui V2 V1 M1 Ditanya M2 : = = = : = ? 25 ml 5 ml 1 103 ng/ml 0,16 103 ng/ml 0,16 g/ml V2 M2 25 ml M2 25 ml 4 ml 1 103 ng/ml

Jadi, konsentrasi Besi (III) Salisilat pada pemipetan 4 ml FeCl3 1 103 ng/ml dalam

Jawab

: V1 M1 = = = = = 0,2 103 ng/ml 0,2 g/ml V2 M2 25 ml M2

5 ml 1 103 ng/ml M2

Jadi, konsentrasi Besi (III) Salisilat pada pemipetan 5 ml FeCl3 1 103 ng/ml dalam 25 ml larutan adalah 0,2 g/ml.

3.

Pengukuran Absorbansi Larutan Kompleks Besi (III) Salisilat Tabel Hasil Pengukuran Absorbansi : Konsentrasi (g/ml) 0,04 0,08 0,12 0,16 0,20 Absorbansi 2,388 2,378 2,349 2,389 2,390

4.

Menentukan Persamaan Regresi Linier Data yang diambil hanya 3 data terakhir agar persamaan dapat memenuhi hukum Lambert Beer) x Konsentrasi (g/ml) 0,12 0,16 0,20 x =0,48 2,349 2,389 2,39 y = 7,128x 0,48 = = 0,16 n 3

y Absorbansi x2 y2 Xy

0,0144 0,0256 0,04 x2 = 0,08

5,517801 5,707321 5,7121 y2 =16,93722

281,88 382,24 478 xy = 1,14212

= =

y 7,128 = = 2,367 n 3

r=

(n xy) (x y) [n x 2 (x) 2 ][n y 2 (y) 2 ] (3 1,14212) (0,48 7,128) [3 0,08 (0,48) 2 ][3 16,93722 (7,128) 2 ]

=

=

3,42636 3,42144 [0,24 0,2304][50,81167 50,80838]0,00492 0,0096 0,0032820,00492 0,00561312 7

=

=

= 0,876516706 r2 = (0,876516706)2 = 0,768 b= =(n xy ) (x y ) (n x 2 ) (x) 2 (3 1,14212 ) (0,48 7,128 ) (3 0,08 ) (0,48 ) 2

= =

3,42636 3,42144 0,24 0,23040,00492 0,0096

= 0,5125

2,367 2,367 a a A

= = = = =

b +a 0,5125 0,16 + a 0,082 + a 2,367 0,082 2,285

= =

0,5125x + 2,285 0,5125c + 2,285 (c dalam g/ml)

5.

Menentukan Kadar FeCl3 pada Sampel Diketahui : Absorbansi larutan sampel (A) Ditanya Jawab : Kadar larutan sampel FeCl3 ? : = 2,384

Seperti persamaan yang telah dijelaskan di atas, kadar FeCl3 akan sama dengan kadar besi (III) salisilat, sehingga didapatkan: A 2,384 0,5125c c = = = = = 0,5125c + 2,285 (c dalam g/ml) 0,5125c + 2,285 2,384-2,2850,099 0,5125

0,193 g/ml

Jadi konsentrasi FeCl3 dalam sampel adalah 0,193 g/ml

VII. PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan konversi non-absorbing analit menjadi absorbing deritative yang bertujuan untuk menentukan kadar zat bukan kromofor menggunakan metode spektrofotometri uv-visibel. Untuk dapat dideteksi menggunakan spektrofotometer UV-vis suatu senyawa perlu direaksikan dengan zat lain yang dapat menghasilkan suatu kromofor, yaitu gugus-gugus atau atom-atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak, penyerapan tersebut dapat terjadi karena adanya transisi * dan n *. Transisiini sesuai dengan panjang gelombang antara 200-700 nm, sehingga dengan panjang gelombang ini dapat diaplikasikan pada spektrofotometer uv-vis. Dalam praktikum kali ini, sampel yang

digunakan sebagai zat bukan kromofor adalah FeCl3. Sedangkan reagen yang digunakan untuk menghasilkan kromofor adalah asam salisilat. Di laboratorium, tersedia larutan stok FeCl3 0,3 10-3 M dan dibuat larutan stok FeCl3 1 103 ng/ml. Larutan FeCl3 yang sudah dibuat ini direaksikan dengan larutan asam salisilat (40 mg asam salisilat dalam aquadest hingga 100 ml). Dengan adanya asam salisilat yang bereaksi dengan FeCl3, sehingga dapat ditentukan kadar FeCl3 dengan menggunakan metode spektofotometri Uv-vis. Menurut Wiryawan, pembentukan senyawa kompleks hasil reaksi antara zat yang bukan kromofor dengan

zat lain yang bisa menghasilkan kromofor dapat merubah analit non-absorbing menjadi derivatif absorbing. Analit non-absorbing + Reagen Absorbing derivative

Adapun reaksi larutan FeCl3 yang berwarna kuning direaksikan dengan asam salisilat akan membentuk senyawa kompleks Besi (III) salisilat yang berwarna ungu atau violet. Reaksi yang terjadi yaitu :

FeCl3

+ 3

+ 3HCl

Dari reaksi di atas senyawa kompleks Besi (III) Salisilat merupakan absorbing derivatif yang berperan sebagai kromofor. Dalam percobaan yang dilakukan setelah larutan FeCl3 dengan asam salisilat menghasilkan warna bening kekuningan. Untuk dapat membuat kurva kalibrasi, diperlukan beberapa larutan dengan berbagai konsentrasi. Volume larutan FeCl3 1 103 ng/ml yang dipipet 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml, dan 5 ml. Sedangkan volume asam salisilat yang dibutuhkan berlebih sebab diperlukan jumlah asam salisilat 3 kali lebih banyak dari jumlah FeCl3 sehingga semua ion Fe3+ pada larutan dapat membentuk kompleks Besi (III) Salisilat. Dari kelima larutan dengan variasi konsentrasi dipilih salah satu, yaitu larutan dengan volume FeCl3 1 103 ng/ml adalah 3 ml. Tujuannya adalah penentuan panjang gelombang maksimum dari seri larutan tersebut dengan rentang panjang gelombang 200-400 nm. Menurut pustaka, panjang gelombang maksimum kompleks besi (III) salisilat berada pada rentang 570 585 nm (Fessenden dan Fessenden, 1986). Namun rentang yang dicari hanya pada 200-400 nm karena spektrum yang ditunjukkan pada alat spektrofotometer sudah menurun. Sehingga pengukuran dengan rentang panjang gelombang 400-600 nm tidak dilakukan. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang maksimum karena pada panjang gelombang maksimum akan diperoleh kepekaan yang maksimal sehingga perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar. Selain itu, karena disekitar panjang gelombang maksimum bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut Hukum Lambert-Beer akan terpenuhi. Dan juga karena pada penggunaan panjang gelombang maksimum maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil jika dilakukan pengukuran ulang.

Dari proses pengukuran absorbansi, didapatkan hasil bahwa pada panjang gelombang 230 nm memiliki absorbansi paling besar yaitu 2,349. Ini berarti panjang gelombang 230 nm merupakan panjang gelombang maksimum dari kelima seri larutan kompleks (III) salisilat tersebut. Barulah dilakukan pengukuran absorbansi dari keempat seri larutan yang lain pada panjang gelombang 230 nm. Hasil yang didapat dari pengukuran besar absorbansi adalah pada larutan dengan volume FeCl3 1 mL memiliki absorbansi sebesar 2,388, larutan dengan volume FeCl3 2 mL memiliki absorbansi sebesar 2,378, larutan dengan volume FeCl3 3 mL memiliki absorbansi sebesar 2,349, larutan dengan volume FeCl3 4 mL sebesar 2,389 dan larutan dengan volume FeCl3 sebesar 5 mL sebesar 2,390. Selain itu, dilakukan pula pengukuran absorbansi pada sampel dengan panjang gelombang maksimum dan diperoleh nilai absorbansi 2,384. Dari lima nilai absorbansi yang didapatkan dari larutan FeCl3. Kemudian dibuat kurva kalibrasinya dengan persamaan persamaan regresi linear yaitu y = bx + a dimana y adalah nilai absorbansi dan x adalah kadar dari FeCl3. Kurva kalibrasi yang telah dibuat sesuai gambar di bawah ini:Absorbansi 2,400 2,390 2,380 2,370 2,360 2,350 2,340 2,330 2,320 0,04 0,08 0,12 0,16 0,20 Konsentrasi (g/ml)

Absorbansi

Dari kurva tersebut, diperoleh persamaan regresi yang tidak linier dari kompleks Besi (III) salisilat. Maka dari data yang diperoleh, hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi tidak memenuhi hukum Lambert-Beer sehingga tidak dapat dilakukan penentuan kadar FeCl3 pada sampel yang diberikan. Kesalahan yang terjadi mungkin disebabkan oleh beberapa hal. Dilihat dari warna larutan yang dihasilkan antara FeCl3 dengan asam salisilat tidak memberikan warna ungu, melainkan berwarna bening kekuningan. Hal ini mungkin disebabkan

karena asam salisilat yang digunakan kurang murni. Selain itu, karena konsentrasi FeCl3 yang terlalu rendah sehingga tidak bereaksi sempurna dengan asam salisilat dan tidak menghasilkan warna ungu. Dari panjang gelombang maksimum yang diperoleh juga berbeda dengan pustaka yang dikarenakan adanya interaksi ruang antara sisipan isomer orto pada asam salisilat yang secara efektif menurunkan hiperkonjugasi. Sisipan yang besar pada letak orto dari molekul yang ada pada asam salisilat akan menyebabkan suatu geseran hipsokromik (pergeseran kepanjang gelombang yang lebih pendek) di dalam pita E2 selain itu penyimpangan yang terjadi mungkin disebabkan oleh penggantian pita E dari gugus ganti auksokromik pada benzene sehingga menyebabkan kekeliruan dalam menafsirkan spektra ultra ungu. Sedangkan jika dilihat dari nilai absorbansi yang dihasilkan tidak pada rentang absorbansi yang memberikan kesalahan pengukuran minimal, yaitu antara 0,2-0,8. Namun, mencapai absorbansi 2,349 2,390. Hal ini menunjukkan bahwa ada kesalahan pengukuran pada spektrofotometer uv-vis. Selain itu, mungkin disebabkan adanya kesalahan dalam pemipetan larutan, penggojogan yang kurang homogen, kuvet yang digunakan secara bergilir dengan larutan lain, ataupun kondisi percobaan yang berbeda dengan pustaka.

VIII. KESIMPULAN Kadar FeCl3 yang bukan kromofor dapat ditentukan dengan menambahkan reagen asam salisilat, namun kadar FeCl3 pada sampel tidak dapat ditentukan karena hubungan absorbansi dan konsentrasi tidak memenuhi hukum Lambert-Beer.

DAFTAR PUSTAKA

Fessenden,R. dan J. Fessenden. 1986. Kimia Organik edisi ketiga. Jakarta : Erlangga Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2009. Kimia Analisis Kuantitatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Roth, H.J. dan G. Blaschke. 1988. Analisis Farmasis. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Susanti, Pitri, dkk. 2011. Petunjuk Praktikum Analisis Fisiko Kimia. Bukit-Jimbaran : Jurusan Farmasi F.MIPA UNUD Watson , David G. 2005 . Analisis Farmasi .Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. Wiryawan, A., R. Retnowati, dan A. Sabarudin. 2008. Kimia Analitik Untuk SMK. Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menegah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional