perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara. mengandung

12
111 UNDANG-UNDANG PERKAWtNAN NO.1, Tahun 1974 DITINJAU DARt SEGt HUKUM ANTARA TATA HUKUM Oleh: P.H. Sidarta. Unifikasi dibidang Hukum Perkawinan Apabila kita perhatikan dalam konsideran "menimbang" Undang· Undang Republik Indonesia, nomer I, tahun 1974, yang berbunyi: Menimbang: Bahwa sesuai dengan falsafah Pancasiia serta cita-cita untuk pembinaan Hukwn Nasiollal, perlu adanya Undang-Undang wHang Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara. Maka jelaslah dari adanya anak kalimat dalam konsideran tersebut yang berbunyi: " ....... Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua war ganegara" mengandung pengertian niat dan tujuan untuk mencapai suatu kesatuan hukum Perkawinan yan- :,erlaku bagi se luruh rakyat Indonesia. Namun demikian masih timbul peri.auyaan dan pe nehah an lebih jauh sejauh manakah unifikasi yang dieapai oleh Undang-Undang no. I , ta- hun 1974 ten tang Perkawinan sebagai suatu Hukum Perkawinan Nasional yang berlaku bagi seluruh Warganegara Indonesia? Apakah Un dang-Un dang no.1 , tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan hukum tunggal yang berlaku bagi seluruh warganegara Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan'pertanyaan te"ebut diat.s dapat diketemukan jawabannya dalam ketentuan Penutup pasal 66, Un dang-Un dang Republik Indonesia, no.l, tahun 1974 ten tang perkawinan yang berbunyi sebagai berikut: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berJasarkan Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Burgeliyk-Wetboek),Ordonansi Perkawinan Indone- sia Nasrani (Huweliyk Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933, no. 74 ) • Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huweliyken S. 1898, no. 158 ) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur ten tang perkawinan sejauh telah diatur ealam Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku.

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara. mengandung

111

UNDANG-UNDANG PERKAWtNAN NO.1, Tahun 1974

DITINJAU DARt SEGt HUKUM ANTARA TATA HUKUM

Oleh: P.H. Sidarta.

Unifikasi dibidang Hukum Perkawinan

Apabila kita perhatikan dalam konsideran "menimbang" Undang· Undang Republik Indonesia, nomer I , tahun 1974, yang berbunyi:

Menimbang: Bahwa sesuai dengan falsafah Pancasiia serta cita-cita untuk pembinaan Hukwn Nasiollal, perlu adanya Undang-Undang wHang Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara.

Maka jelaslah dari adanya anak kalimat dalam konsideran tersebut yang berbunyi: " ....... Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua war ganegara" mengandung pengertian niat dan tujuan untuk mencapai suatu kesatuan hukum Perkawinan yan- :,erlaku bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun demikian masih timbul peri.auyaan dan penehahan lebih jauh sejauh manakah unifikasi yang dieapai oleh Undang-Undang no. I , ta­hun 1974 ten tang Perkawinan sebagai suatu Hukum Perkawinan Nasional yang berlaku bagi seluruh Warganegara Indonesia? Apakah Un dang-Un dang no.1 , tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan hukum tunggal yang berlaku bagi seluruh warganegara Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan'pertanyaan te"ebut diat.s dapat diketemukan jawabannya dalam ketentuan Penutup pasal 66, Un dang-Un dang Republik Indonesia, no.l, tahun 1974 ten tang perkawinan yang berbunyi sebagai berikut :

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berJasarkan Undang-Undang ini , maka dengan berlakunya Undang-Undang ini , ketentuan -ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang­Undang Hukum Perdata (Burgeliyk-Wetboek),Ordonansi Perkawinan Indone­sia Nasrani (Huweliyk Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933, no. 74 ) • Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huweliyken S. 1898, no. 158 ) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur ten tang perkawinan sejauh telah diatur e alam Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku.

Page 2: Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara. mengandung

112 MAJALAH FHUI

lelaslah kiranya dari bunyi dan isi pasal 66 Undang-Undang Repuolik Indonesia, no.1, taltun 1974 dapat ditafsirkan secara a "contra rio bahwa ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (lBurgelijk Wetboek) Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen (Huweliyks Ordonantie Ch'cislen Indonesiers S.1933, no.74) Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling 01' de gemcngde Huweliyken S.1898, no. 158) dan peraturan~peraturall lain yang mengatur ten tang Perkawinan dinyatakan masih berlaku sejauh/tidak diatur dalam Undang-Undang ini , dengan demikian dapat kita simpulkan masih ada tempat bagi berlakunya peraturan-peraturan lain tell tang perkawinan yang dikeluarkan sebelum berlakunya Undang-Undang no. I , tahun 1974, dengan pembatasan hanya mengenai hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang no. I , tahun 1974 mcngenai masih berlakunya peraturan lain-lain tcntang perkawinan dis3111-ping Undang-Undang no.l, tahun 1974 sejauh mengenai hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang no. I , tahun 1974, dapat juga kita ketemukan dalam piciato sambutan Menteri Kehakiman atas nama Pemerintah Republik Indonesia, di Dewan Perwakilan Rakyat se telah persetujuan sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Rancangan Undang-Undang tClltang perkawinan mcnjadi Undang-Undang, yang antara lain dikemukakan sebagai berikut;

....... " sebagai suatu Undang-Undang yang Nasional sifatll)'a dan yang meUputi selurull warga !legafa indonesia ia nzefupakan suatu penggaris­an lanjutal1 dari TAP.MPR, No.lV/MPR/1973, ten tang Caris-Garis Sesar Haluall Negara, yang antara lain menentukan, bahwa seluruh kepulauan Nusantara merupakan kesatuan Hukum, da/am arri bahwa hanya ada satu hukum Nasional yang mengabdi kepada kepentil1gal1 Nasional Ketunggal­Ekaan dalam Hukum Perkawinan ini dalam beberapa hal masih memungkin­kan adanya ke-bhinekaan".

Kemudian dibagian lain dalam pidato sambutan tersebut dijumpai

lagi penegasan dengan kalimat sebagai berikut:

.... . . "Undang-Undang Tentang Perkawinan fIJi tidak merupakan klfl1ci penutup dari peraturan Perundang-wldangan.

a didampingi dengan peraturan-peratllran lain, yang masih berlaku sejauh tidak diatur oleh Undang-Undal1g ini. Pula ia menyatakan bahlVa untuk perkawinan sebe/um Undang-Ulldang ini berlaku adalali sah apabila didasarkan atas peraturall-peraturan yang lama . . .

Berlandaskan ketentuan penutup pasal 66 Undang-Undang no. I , tahun 1974, tentang Perkawinan dan diperkuat dengan pid.to sambutan Menteri Kehakiman dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat maka tidak ada keragu-raguan lagi bahwa unifikasi dibidang Hukum Perkawinan yang di­eapai melalui Undang-Undang no_I, tahun 1914, tentang perkawinan adalah

Page 3: Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara. mengandung

UNDANG-UNDANG PERKAWINAN 113

unifikasi yang bersifat terbatas, karena berlakunya Undang-Undang no.1 tahun 1974 ten tang perkawinan masih didampingi· pula oleh Peraturan­Peraturan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Ordonanlii Perka­winan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S .. 1933, no. 74) Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde huewlijken S_1898, no. I 58) dan peraturan lain dengan pembatasan sejauh hanya mengenai hal-hal yang tidak diatur oleh Undang-Undang no. I , tahun 1974 ten tang perkawinan.

[fahwa meskipun Undang-Undang no. I , tahun 1974 ten tang Perkawi' nan hanya mencapai Unifikasi dibidang hukum perkawinan secara terbatas namun demikian tidak dapat disangkal bahwa hasil yang dieapai dengan ler­wujudnya Undang-Undang no_I , tahun 1974 lenlang Perkawinan merupa­kan hasil usaha yang terjangkau seeara maksimal oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pereakilan Rakyat. Tidak dapat disangkal, siapapun mendambakan terwujudnya suatu Unifikasi dibidang hukum secan;. homogeen dan menyeluruh karena hal tersebut memang merupakan dta-dta yang ideal , namun kitapun harus menyadari adanya kenyataan­kenyataan hukum yang hid up dalam masyarakat di Indonesia yang terdiri dari Bhineka Suku Bangsa, terbagi dalam berbagai Iingkungan hukum adat, dan terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan yang diakui secara resmi oleh pemerintah, maka dalam situasi dan kondisi demikian kiranya tidak akan mung kin untuk menghasilkan suatu unifikasi yang bersifat menyeluruh, karena harus kita ingat pula bahwa soal-soal yang menyangkut perkawinan termasuk apa yang disebut Hymans sebagai "Verhittende familierechr yang sukar untuk disatu padukan dan bersifat peka berbeda djbandingkan dengan "koelere zakenrecht" yang relatip lebih mudah .

Hubungan Unifikasi dengan Hukum Antar Tata Hukum.

Timbulnya versoalan Hukum Antar Tata Hukum adalah disebabkan karena berlakunya berbagai mac am hukum yang berbeda satu sarna lain (pluralisme hukum)_

Sehingga menimbulkan persoalan Hukum manakah atau hukum apakah yang berlaku bila dalam suatu peristiwa hukum terdapat berbagai stelsel hukum yang berbeda dipertautkan, dengan perkataan lain pluralisme hukum yang berlaku merupakan syarat mutlak untuk timbulnya persoalan hukum Antar Tata Hukum.

Bahwa karena unifikasi hukum adalah bertujuan justru untuk me­lenyapkan pluralisme hukum yang berlaku maka dengan demikian Unifikasi sekaligus akan mengurangi pula peranan dan ruang lingkup Hukum Antar Tata Hukum, makin banyak dilakukall Ullifikasi dibidang hukum, makin berk~ranglah peranan dan ruallg lingkup bidang Hukum Antar Tata Hukum.

Page 4: Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara. mengandung

114 MAJALAH FHUI

Contoh-contoh Unif1kasi yang tclah dilakukall setclah alam kemerde­kaan dapat dikemukakan antara lain:

a. Unilikasi Da/am Bidang Hllkum Acara

Scbelum terjadi Unifikasi dibidang HlIkum Acara pada masa Hindia Belanda terdapat pula pluralisme J-iukul1l Aeara. Hukum aeara tcrtera dalam "Reg/emen! op de Redllvvrdl'ring" (R. v.) yrrng dipergunakan oleh Raad van Justitie dan Hukum Acara tertera dalam "Rcglemen Indonesia (diperbaharui) yang dipergunakan olel! Lamlraad. Pemakaian masing-masing Hukum Acanl tersehut tergantllng dari pada status tcrgugatnya. Apabila status (ergugatnya adalah orang Eropah maka pengadilan biasa schari-hari ialah Raad van J ustitie yang mempergunakan hllkul11 Aeara R.v. dan apabila status tcrgugatnya golongan bumi putera , maka pcnga­dilan biasa sehari-hari adalah landraad uengan hukum Aeara yang dipergur nakan adalah Reglemen Indonesia (Jibaharui). Kemudian dengan dlkeluarkannya Undang-Undang Darura( no. I , tahun 1951 (kemudian diubah dengan Undang-Undang no. I I , tahun 1953) maka (erjadilah Un ifikasi dibidang hukum acara dan hapuslah dualisme badan peradilan maupun hukum acaranya yang dipergllnakan ole]i masing-masing ba­dan peradilan (ersebut. Kini hanya dikenal Pengadilan Negeri sebagai badan peradilan sehari-hari biasa untuk segala penduduk Republik Indonesia memeriksa dan me­mutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan pida na sipil, dengan Hukum Acara H.I.R. untuk Jawa dan Madura dan Reglement Buitengeesten untuk luar J awa dan Madura.

b. Unifikasi dibidang Hukum Tanah

Sebelum terjadinya unifikasi dibidang hukum tanah dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang no.5, (almn 1960 ten tang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria) yang mulai berlaku tanggal 24 September 1960,di Indonesia terdapat pula pluralisme hukum tanall. Ada tanah Indonesia yang tunduk pada hukum adat dan ada pula tanah Eropah yang tunduk pada hukum perdata Barat (tanah yang ter­daftar menurut ordonansi Balik Nama S 1834/27). Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria pada tanggal 24 September 19.60 mw hapuslah pluralisme Hukum tanah di Indonesia dan sebagai akibat logis menjadi hapus pula fungsi tanah sebagai faklor yang menciptabD persoalan hukum Antar Tata Hukum intern.

Perbedaan isi pengertian istilah "Perkawinan Campuran " menurul G.H.R. (S.1898 no.158) dan Undang-Undang no.l, tahun 1974. AI'" ~ dimaksud dengan istilah "perkawinan campuran" menurut Regeling op de

Page 5: Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara. mengandung

UNDANG-UNDANG PERKAWINAN . 115

gemengde huwe/ijken (G.H.R.) dapat diketemukan perumllsannya dalam pasal I yaitu: "perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan". Istilah "Hukum yang berlainan" ini kalau ditafsir­kan secara luas dapat meliputi pengertian-pengertian sebagai berikut:

(I) Hukum yang berlainan itu dapat terjadi kombinasi antara stelsel Hukum Perdata Barat dan Stelsel Hukum Adat perkawinan campuran demikian disebut perkawinan campuran aotar golongan (intergentil).

(2) Hukum yang berlainan dapat terjadi kombinasi antara stelsel Hukum AdiIt yang lain, perkawinan campuran demikian disebut perkawinan campuran antar tempat (Interlocal).

(3) Hukum yang berlainan dapat terjadi kombinasi antara Stelsel Hukum Islam dan Stelsel Hukum Nasrani, perkawinan campuran demikian discbut perkawinan campuran antara agama.

(4) Hukum yang berlainan dapat terjadi kombinasi antara stelsel Hukum Nasional dan Stelsel Hukum Asing disebut perkawinan campuran internasional.

Pengertian istilah "perkawinan campuran" menurut Undang-Undang nol, tahun 1974, perumusannya te,maktub dalam pasal 57 yang berbunyi sebagai berikut:

"Yang dimaksud Jengan perkawinan campuran dalam Unclllng-Uw}ang ini ialah perkawinan an tara duo orang yang £Ii illdvllesia lunduk pada hukum yang ber/aillan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satli. pihak berkewarganegaraan lildonesia".

lsi pengertian istilah "perkawinan campuran" menu rut Undang­Undang no. 1 , tah un 1974 adalah lcbih sempit jika dibandillgkan dengan isi pengertian istilah perkawinan campuran menurut Regeling op de gemeng­de Huwelijken (C.H. R.S.1898 no. I 58), karen a Kriteria "perkawinan campuran" menurut Undang-Undang no.1 tahun 1974 hanya didasarkan alas adanya hukum yang berlainan karen a perbedaan kewarganegaraan semata-rnata.

Dari perumusan perkawinan campuran menurut pasal 57 tersebut dapaUah ditarik kesimpulan bahwa Yi'ng dimaksud dengan perkawinan campuran disini hanyalah perkawinan campuran Internasional yang dilang­sungkan an tara Warganegara Indonesia dengan Warganegara Asing, disini tersimpul lagi suatu perbedaan terhadap istilah perkawinan internasional menurut pengertian yang umum.

Pengertian yang umum mengenai perkawinan internasional dapat dirumuskan sebagai suatu perkawinan yang dilangsungkan antara orang­orang yang tunduk pad a hukum yang berlainan karena perbedaan

Page 6: Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara. mengandung

116 MAJALAH FHUI

kewarganegaraan, pengertian perbedaan kewarganegaraan dapat terjadi antara warganegara Indonesia dengan warganegara asing (Belanda, Jepang, Inggris dsb) atau dapat juga leqadi antara Warganegara asing yang satu dengan warganegara asing lainnya, misalnya antara warganegara Belanda dengan warganegara Inggris atau warganegara J epang dengan warganegara Malaysia ds.

Timbul persoalan:

Bagaimana jika terjadi perkawinan campuran Internasional yang hendak dilangsungkan di Indonesia antara orang-orang yang berlainan kewarganegaraan dimana para cal on mempelainya tidak ada yang berkewarganegaraan Indonesia?

Misalnya perkawinan yang hendak dilangsungkan di Indonesia antara seorang laki-Iaki berkewarganegaraan Belanda dan seorang wanita berkewarganegaraan Jerman.

Bal,wa karena perkawinan campuran Internasional seperti contoh kasus tersebut diatas tidak termasuk qualifikasi pengertian "perkawinan campuran" menurut perumusan pasal 57 Undang-Undang perkawinan no.l, tahun 1974, apakah perkawinan Internasional yang demikian tidak dapat dilangsungkan dan dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang?

Bahwa kalau kita berpegang teguh pada kwalifikasi Perkawinan campuran menurut pasal 57 Undang-Undang Perkawinan no .. l , tahun 1974 semata-mata, maka timbullah kesan seolah-olah di Indonesia ini tidak mungkin dapat dilangsungkan perkawinan an tar. dua warganegara asing yang berlainan kewarganegaraannya , karena pasal 57 memberi pembatasan pada istilah "perbedaan kewarganegaraan" dengan pengerrian salah sa tu pihak harus warganegara Indonesia. Apabila kita hubungkan dengan pasal sebelumnya yang mengatur perkawinan diluar Indonesia yaitu pasal 56, ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut:

"Perkawinan yang dilangsungkan dilliar Indonesia Qntara duo orang Warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengal

warganegara asing adalail soh bi/amana dilakukan menurut hukum yang berlaku dinegara dimana perkawinan ilU dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang­Undang ini",

Dari bunyi pasal 56, ayat I ini daparlah ditarik kesimpulan bhh· wa Undang-Undang no.l, tahun 1974 mengakui adanya kemungkinan perkawinan yang dilangsungkan dilllar negeri an tara dua orang yang berhinan kewarganegaraannya, diman. salah satu pihak adalah warganegara Indonesia, misalnya scbagai contoh konkrit:

j

Page 7: Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara. mengandung

UN DANG-UN DANG PERKAWINAN 117

- perbwinan antara Warganegara Indonesia dengan warganegara Jerman yang akan dilangsungkan di Negeri Belanda.

Bahwa apabila dilihat dari sudut kaca mata negara Belanda sebagai tempat dimana perkawinan akan dilangsungkan antara seorang warganegara

Indonesia dan seorang warganegara Jerman, hal mana merupakan perka­winan an tara orang-orang asing yang berlainan kewarganegaraan dimana salah salu pihak bukan warganegara Belanda.

Dengan demikian antara pasal 56 ay.t 1 dan pasal 57 terdapat suatu konlradiksi, disatu pihak berdasarkan pasal 56 mengakui adanya kemung­kinan dilangsungkannya perkawinan di luar Negeri antara orang-orang asing yang berlainan kewarganegaraannya dimana salah satu pihak bukan warga­negara dari negara tempal perkawinan dilangsungkan, sedang dilain pihak berdasarkan pasal 57 tidak memungkinkan dilangsungkannya perkawinan antara orang-orang yang berlainan kewarganegaraannya dimana salah satu pihak bukan warganegara dari negara tempat dilangsungkan perkawinan (i.e. Warganegara Indonesia).

Perlu kiranya diulangi keterangan bahwa sekiranya kila berpegang teguh pada qualifikasi pengertian perkawinan campuran yang termaktub dalam pasal 57 semata-mata, maka akan timbuUah kesan seolah-olah di Indonesia tidak mungkin dapat dilangsungkan perkawinan antara dua orang asing yang berlainan kewarganegaraannya.

Namun dcmikian apabila kita bertitik tolak kembali pada kelentuan Penulup termaktub dalam pasa! 66 (sesungguhnya menurut hemat kami lebill tepat dimasukkan dalam ketentuan peralihan) yang berbunyi sebagai

berikut:

"Un/uk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubw'gall dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata I Burgelijk Wetboek) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen I Huwelijks-ordonantie Chris­ten Indonesiers S.I933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran I Regeling op de gemengde Huwelijken S.I898 No. 158 ), dan p eraturan-peraturan lain yang mengatur ten tang perkawinan sejauh t elah diatur dalam Undang- Undang ini, dinyatakan tidak . ber/aku ".

Maka hilanglah kesan terse but diatas karena perkawinan antara orang-orang asing di Indonesia yang berlainan kewarganegaraannya masih dimung­kinkan kelangsungannya menurut peraturan-peraturan yang berlaku sebeIum berlakunya Undang-Undang Perkawinan no. I , tahun 1974 melalui landasan pasal 66 Undang-Undang, no.1 lahun 1974.

Page 8: Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara. mengandung

118 MAJALAH FHUI

Mengenai Perkawinan Campuran Intern-Nasional Bahwa sepcrti telah diuraikan diatas dalam membahas mengcnai

qualifikasi pengertian perkawinan campuran menurut pasa\ 57 terseh ut hanya terbatas pada perkawinan Campuran Internasional (dalam arti sempit) dim ana salah satu pihak adalah Warganegara Indonesia, maka sudah jelas nampaknya Undang-Undang perkawinan no. I , tahun 1974 tidak mengatur perkawinan campuran intern-nasional yang melipuli:

a. Perkawinan campuran antar gulongan (Stelsel Hukum Perdata Barat dan Stelsel Hukum Adat).

b. Perkawinan campuran Antar tempat (Stelsel Hukum Adat yang satu dengan Hukum Adat yang lain).

c. Perkawinan campuran Antar Agama (Stelsel Hukum Islam dengan Stelsel Hukum Nasrani).

Tidaklah dapat disangkal bahwa perkawinan campuran intern-nasional adalah merupakan gejala sosial yang nyata dan hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang bersemboyan "Bhineka Tungga/ Eka" akan tetap terjamin kelestariannya untuk diperlakukan -sebagai pihak yang berkepentingan.

Berhubung dengan hal terse but, maka meskipun Undang-Undang no. l , tahun 1974 tidak mengatur secara tegas mengenai perkawinan campuran intern-nasional (intern dalam arti scsama warganegara).

Namun melalui pasal 66 sebagai landasan yang masih memberi tempat bagi berlakunya Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde huwelijken S.1898 No.IS8) yang mengatur secara lengkap perkawinan campuran intern-national hanya s2ja denganpembatasan se­panjang mengenai hal-hal yang tidak diatur oleh Undang-Undang no. 1 , tahun 1974, maka tidak dapat diragukan lagi persoalan-persoalan yang menyangkut perkawinan campuran intern-nasiona! scbagai gejala sosial yang nyata dan hid up dalam masyarakat telap terjamin kelestariannya.

Mengenai prinsip-prinsip pen ling yang terkandung dalam Undang-Undang Perkawinan No.1, tahun 1974.

Tidak mengurangi akan adanya kelemahan-kelemahan dan kekurangan­kekurangannya yang diketemukan dalam Undang-Undang Perkawinan no. I , tahun 1974 terscbut, karena memang tidak mungkin ada suatu Undang­Undang yang sempurna yang dapat memcnuhi dan menampung semua aspirasi hukum yang berbeda-beda apalagi jika diingat bahwa rakyat Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang menganut pula berbagai agama dan kepercayaan, namun terlepas dari hal tersebut kita harus mengakui terdapatnya prinsip-prinsip pen ling yang tersirat dalam Undang­Undang Perkawinan tersebut, hal mana merupakan langkah maju yang positip dan patut dihargai:

Page 9: Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara. mengandung

UNDANG-UNOANG PERKAWINAN 119

a. Prinsip persamarataan dan sama pel1KllOrgaan atas semua slelsel Hukum yang berlaku.

Dari bunyi pasaJ 2 Undang-Undang no. I. tahun 1974, yang menyata­kan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepcrcayaanJ1ya itu. Kata -kata "Hukum masing-masing agarnanya dan kepercayaannya itu" mengandung arti bahwa semua hukLilll, agama dan kepercayaan yang resmi diakui pemerintah diperlaku!"an sama rata kedudukannya berdiri sam a-sam a tinggi dan dllduk sama rendah, dan hdak mengutamakan yang satu dari yang lain. Dari pasal 2 ayat tersebllt 1.ercermin pula:

b. Prinsip yang menjunjung linggi silo ke- Tuhanan YuilK Maha Esa dari Pancasila.

c. Prinsip yang menjamin kehebasan rakyal Indonesia untuk memeluk agama/kepercayaannya masing-masing sesuai dengan pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

Negara menjamin kemerdekaan hap-tiap penduduk untuk memeluk agam,tilya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

d. Prinsip kebebasan untuk melangsungkan perkawinan. Bahwa keharusan adanya persetujuan ked~a calon mempelai yang hen­dak melangsungkan perkawinan yang dicantumkan sebagai salah satu syarat perkawinan dalam pasaJ 6 Undang-Unclang perkawinan mencer­lllinkan adanya kebebasan bagi para calon mempelai untuk menentu­kan pilihannya terhadap calon yang hendak dijadikan partner sehidup­seillati selaku suami-isteri.

Dan dcngan dibe.rikannya kebebasan bagi baik calon mempelai pria lllaUpUll calon mempelai wanita menunjukkan adanya prinsip sarna peng­hargaan terhadap kedudukan pria dan wanita. Prinsip kebebasan memilih yang tersimpul dalam pasal 6 ayat I Undang­Undang Perkawinan tersebut adalah sejalan dengan aUran modern emansi­pasi wanita Indonesia yang tidak menghendaki adanya kawin-paksa.

e. PrinsijJ batas umur untuk melangsungkan perkawinan. Syarat minimum batas umur yang ditentukan oleh pasal 7 ayat I Undang-Undang Perkawinan no. I, tahun 1974 adalall penting untuk mencegall terjadinya dalam praktek perkawinan anak-anak dan selain itu ketentuan batas umur untuk melangsungkan perkawinan penting pula sebagal salah satu faktor untuk menahan dan menghambat laj\lIlya pertamballan . penduduk Indonesia yang sejalan pula dengan maksud dan tujuan prowarn Nasional mengenai Keluarga Berencana.

Page 10: Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara. mengandung

120 MAJALAH FHUI

f Prinsip sarna penghargaan antara hak dan kedudukan suami,istri. Pengakuan sama penghargaan terhadap Hak dan kedudukan isteri se­i.mbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga seperti yang termaktub dalam pasal 31 Undang-Undang no. · I, tahun 1974 mencerminkan tidak adanya diskriminasi mengenai hak dan kedudukannya dalam hukum an tara pria dan wanita, dan dalam ayat 2 nya dipertegas dan dinyatakan bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Hal ini merupakan langkah yang lebih maju dari pada ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia yang menempatkan kedudukan seorang wan ita bersuami sebagai onbekwaam dan bila hendak melakukan perbuatan hukum selalu harus mendapat bantuan dari suami­nya (Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik In donesia no. 3/1963, tertanggal 5 September 1963 dinyatakan tidak ber/aku lagi pasal-pasal 108 dan 110 BW ten tang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan-hukum dan untuk menghadap dimuka Pengadilan tanpa ijin atau bantuan dari suami. Dengan demikian ten tang hal ini tidak ada lagi perbedaan antara semua warganegara Indonesia). Dalam hal ini B.W. Indonesia yang kini masill ber/aku memang sudah jauh ketinggalan karena di negeri Belanda sendiri sudah sejak lama

. menghapuskan pasal-pasal BW yang menyangkut ketidak mampuannya seorang wanita-bersuami untuk bertindak dalam hukum.

Prinsip monogami dengan Polygami sebagai pengeeualian:

Dianutnya azas monogami yang tercantum dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan no. 1, tahun 1974 merupakan langkall maju positip yang patut dillUrgai, karena tersimpul didalamnya adanya persa­maan penghargaan an tara pria dan wanita yang sejajar kedudukannya. Tidak dapat disangkal dan merupakan suatu kenyataan bahwa poligami merupakan masalah yang menusuk perasaan wanita pada umumnya, hidup dimadu dirasakannya sebagai suatu kepedihan yang dapat memba­hayakan hidup rumall tangga yang cenderung dapat menjurus kearah per­ceraian. Mengenai kepedihan dan kecemasan perasaan wanita terhadap poligami telall diutarakan oleh Fraksi Karya Pembangunan (pembicara Sdf. Dan­ciwar, S.H.) ketika membahas Rencana Undang-Undang Perkawinan ter­sebut dengan kata-kata sebagai berikut:

" ..... sehubungan dengan masih adanya kemungkinan "poligami" dalam Rencana Undang-Undang Perkawinan ini Fraksi Karya Pem­bangunan mahan perhatian Anggauta DPR yang terhormat akan apa yang pernall ditulis oleh Ibu Kartini dalam suratnya bulan Agustus 1900 dikirim kepada sahabatnya Ny. Abendanon sebagai berikut: - "Aduh, mengenangkan akan datang nanti masanya nasib untuk

Page 11: Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara. mengandung

UNDANG-UNDANG PERKAWINAN 121

memaksa saya membantu keadaan-keadaan kejam itu yang dina­makan poligami itu. Aku tak mau menjerit mulut dengan ke-rasnya dan hati menggemakan jerit itu ribuan kali ....... Tetapi aduh ........ mau. Adakall manusia mempunyai kemauan? Kiranya jerit itu tidak perlu diulang ribuan kali, sebab dalam RUUP ini poJigami hanya dibolehkan apabila dikehendaki oleh pihak-pihak ybs. dan harus memenuhi syarat-syarat yang ketat dan berat serta harus melalui prosedure pengadilan guna mencegah penya­lahgunaart yang hanya akan menambah de rita kaum ibu dan akan menghancurkan kehidupan keluarga".

Bahwa dengan dimungkinkannya poligami sebagai pengecualian se­perti yang termaktub dalam pasal 3 ayat (2) namun dengan syarat-syarat yang ketat seperti yang tercantum dalam pasal4 dan 5 yang dijadikan pagar­pagar pengaman terhadap kemungkinan timbu} ekses-~kses dan penyaJah gunaan dalam melakukan poligami. Mudah-mudahan apa yang diutarakan oleh Menteri Agama yang menyatakan ballWa poligami hanyalah pintu darurat yang tidak boleh dllalui jika tidak dalam keadaan darurat, betul­betul dipegang teguh sebagai pedoman bagi pelaksana-pelaksana hukum yapg menangani persoalan ini.

Bahwa baik buruknya peraturan Undang-Undang yang berlaku tidak terletak pacta pcnilaian terhadap peraturan-peraturannya semata-mata na­mUll banyak tergantung pada oknum pelaksana-pelaksananya dalam prak­tek penetrapannya, karena betapapun lengkap dan agllngnya tlljuan per­aturan itu, akan menjadi pudar dan turun nilainya kalau terjadi penyele­wengan dan penyalahgunaan dalam praktek penetrapannya.

Hubungan pasal 66, Undang-Undang Perkawinan no. I, tahun 1974 dengan Hukum Antar Tata Hukum.

Bahwa pasal 66 Undang-Undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 yang berbunyi:

"Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan ber­lakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordo­nansi Perkawinan indonesia Kristell (Huwell/ks-ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Re­geling op de gelllengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan peraturall lain yang mengatur ten tang perkawinan sejauh teiah diatur dalam Undang-Undang ini, dillyatakall tidak ber1aku ",

mempunyai arti penting dalam penentuan peranan Hukum Antar Tata Hukum Intern dalam bidang Hukum Perkawinan yang berlaku di Indo­nesia.

Page 12: Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara. mengandung

122 MAJA LAH FHUI

Ketentuan yang tersimpul dalam pasal 66 tersebut merupakan kunci yang masih membuka pintu bagi peranan Hukum Antar Tata Hukum dalam bidang Hukum Perkawinan yang berlaku di Indonesia.

Jakarta, Maret 1975.