peran zink dan faktor psikososial terhadap …
TRANSCRIPT
PERAN ZINK DAN FAKTOR PSIKOSOSIAL TERHADAP KEJADIAN
POSTPARTUM BLUES
THE ROLE OF ZINC AND PSYCHOSOCIAL FACTOR ON POSTPARTUM BLUES
YESSY KURNIATI P1502215401
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
PERAN ZINK DAN FAKTOR PSIKOSOSIAL TERHADAP KEJADIAN POSTPARTUM BLUES
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Biomedik
Disusun dan Diajukan oleh
YESSY KURNIATI
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Yessy Kurniati
Nomor Mahasiswa
: P1502215401
Program Studi
: Biomedik
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau
pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa
sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima
sanksi atas perbuatan tersebut
Makassar, Agustus 2017
Yang Menyatakan
Yessy Kurniati
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim
Pujian dan kesyukuran hanyalah milik Allah Subhanahu wa ta’ala. Tuhan yang
Maha Pemurah dan Penyayang, yang telah memberikan kesempatan, kekuatan
dan ilham kepada hambaNya untuk berkarya
Sholawat dan salam semoga terlimpah kepada Muhammad Rasulullah. Qudwah
terbaik dalam berkarya. Membangun dengan cinta dan keimanan. Mendidik
dengan akhlak dan keilmuan. Sholawat dan salam juga semoga terlimpah
kepada keluarga beliau, para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Generasi terbaik
sepanjang sejarah. Menghiasi kehidupan mereka dengan karya dan kebaikan.
Semoga kelak kita dikumpulkan bersama mereka
Sebuah karya tak mungkin lahir dari usaha seseorang saja, pasti begitu banyak
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Demikian pula tesis ini, hadir tak
semata dari usaha penulis seorang. Karenanya, pada lembaran ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
2. Prof. Dr. dr. A. Wardihan Sinrang, MS, Sp.And sebagai pembimbing 1
atas kesediaannya meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan
terbaik
3. Dr. dr. Sa’idah Syamsuddin, Sp.KJ sebagai pembimbing 2 atas segala
bimbingan, dukungan dan kebaikan yang diberikan
4. Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, MSc, SpGK, sebagai penguji untuk segala
saran dan kritik bagi perbaikan tesis kami
5. Dr. Agussalim Bukhari, MSc, Sp.GK, PhD, sebagai penguji untuk segala
masukan dan saran bagi perbaikan tesis kami
6. Dr. Aryadi, M.Biomed, PhD, sebagai penguji untuk segala masukan dan
diskusi bagi perbaikan tesis kami sekaligus sebagai ketua prodi terbaik
yang telah memberikan dukungan, perhatian dan kebaikan yang tak
terkira
7. Rektor Universitas Hasanuddin, atas kesempatan yang diberikan kepada
kami untuk melanjutkan pendidikan di Universitas terbaik ini
8. Dekan pasca sarjana beserta staf administrasi untuk segala pelayanan
yang diberikan kepada kami saat menempuh pendidikan
9. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas dukungan
beasiswa yang diberikan kepada kami
10. Direktur Akademi Kebidanan Ina U dan Pimpinan Yayasan Sakinah,
Mawadah Warahmah untuk izin studi dan dukungan yang telah diberikan
kepada kami untuk melanjutkan studi
11. Ketua Program Studi Ilmu Gizi FKM Unhas beserta para dosen untuk
segala dukungan bagi penyelesaian studi kami
12. Direktur RSIA St Fatimah, untuk izin penelitian yang diberikan kepada
kami
13. Para ibu yang telah bersedia menjadi responden pada penelitian kami
14. Azizah Sudirman, yang telah menjadi rekan peneliti dan membantu kami
selama penelitian ini berlangsung
15. Sri Rejeki, SAP dan Muh. Rizal, SS untuk segala dukungan dan
permakluman ketika kami tak bisa melaksanakan tugas karena
penyelesaian studi
16. Diah Nadiatul Izzah, Marini Mansyur dan Reskawati untuk segala
bantuan menggantikan kami menjadi pengasuh
17. Makrifat, MPdI, Hilmy, Hisyam dan Hikam, untuk segala dukungan dan
permakluman saat ummi menjalani dan menyelesaikan studi
18. Mama, papa dan adik-adik untuk segala dukungan dan do’a terbaik bagi
kesuksesan kami
19. Semua pihak yang telah mendukung, membantu, memudahkan serta
mendo’akan kami, mohon maaf jika kami tak mampu memyebutnya satu-
persatu, hanya kepada Allah kami mengharapkan balasan terbaik untuk
segala kebaikan itu
Tak ada gading yang tak retak, pun tak ada karya yang sempurna. Semoga karya yang
tak sempurna ini menjadi salah satu karya yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan,
menjadi bacaan yang mencerahkan dan menjadi kebaikan bagi penulis, di dunia dan di
akhirat.
Makassar, Agustus 2017
Yessy Kurniati
Apa yang Fisiologi Ajarkan padaku?
Fisiologi mengajarkan padaku tentang arti kebersamaan. Karena sebuah sel mungkin saja hidup. Tetapi dia tidak dapat membentuk kehidupan tanpa kebersamaan dengan sel lainnya. Karena itu aku harus memupuk kebersamaan dengan orang lain Fisiologi mengajarkan padaku tentang bhineka tunggal ika. Bahwa beragam jenis sel yang berbeda. Tetapi mereka terintegrasi dan saling mendukung untuk membentuk kehidupan yang sempurna. Karena itu, aku harus menghargai perbedaan Fisiologi mengajarkan padaku tentang pergerakan. Bahwa sel-sel menjadi hidup karena adanya pergerakan. Ketika sel-sel menjadi diam, maka kematian menjadi niscaya. Karena itu, aku harus terus bergerak Fisiologi mengajarkan padaku tentang amanah. Seperti jantung, meski dilimpahi oleh aliran darah dari seluruh tubuh, namun sel-selnya hanya mengambil nutrisi sesuai kebutuhannya saja. Karena itu aku harus amanah, pantang untuk berkhianat Fisiologi mengajarkan padaku tentang koneksi. Seperti neuron. Hal pertama yang dilakukannya adalah mencari koneksi. Karena itu, aku harus menjaga hubungan dengan orang lain Fisiologi mengajarkan padaku tentang adaptasi. Seperti sel-sel yang akan selalu menyesuaikan dirinya dengan kondisi sesulit apapun. Karena itu, aku harus menyambut segala perubahan dan beradaptasi dengannya Fisiologi mengajarkan padaku tentang altruistic. Seperti ovum-ovum muda yang rela meluruh demi matangnya ovum yang lain. Karena itu aku harus rela berkorban demi kepentingan lain yang lebih besar dari hasrat pribadiku Fisiologi mengajarkan padaku tentang keseimbangan. Bahwa kehidupan hanya dapat bertahan ketika homeostasis dihadirkan. Karena itu, aku harus berusaha menjaga keseimbangan dalam hidupku. Bahagia sekedarnya, menangis secukupnya Fisiologi mengajarkan padaku tentang kecepatan. Seperti cepatnya semua sel, jaringan dan organ mengantisipasi keadaan yang berbahaya. Akupun harus berpikir dengan cepat dan bekerja dengan cepat pula Fisiologi mengajarkan padaku tentang manajemen. Bahwa organisasi terbaik adalah tubuh manusia. Bahwa tim terbaik adalah tubuh manusia. Mereka terdiri dari sel, jaringan dan organ yang berbeda. Tetapi mampu berkomunikasi dengan beragam bahasa dan bekerja secara efektif dan efisien. Harusnya akupun seperti itu. Mampu berkomunikasi dengan siapa saja dan bekerja secara efektif dan efisien. Fisiologi mengajarkan padaku tentang ilmu dan seni. Ilmu tentang kehidupan yang mengagumkan serta seni untuk menjalani kehidupan itu dengan cara dan pendekatan yang luar biasa Itulah fisiologi…ilmu yang selalu kucintai dan kukagumi sepanjang hidupku… Proud to be a Physiologist (P1502215401)
DAFTAR ISI
Halaman Judul………………………………………………………………… i
Halaman Pengesahan………………………………………………………… ii
Lembar Keaslian Tesis………………………………………………………. iii
Abstrak Indonesia…………………………………………………………….. iv
Abstrak Indonesia…………………………………………………………….. v
Daftar Isi……………………………………………………………………….. vi
Daftar Tabel…………………………………………………………………… vii
Daftar Lampiran………………………………………………………………. viii
Kata Pengantar………………………………………………………………. ix
Lembar Persembahan……………………………………………………….. x
BAB I .......................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ........................................................................................ 6
A. Latar Belakang ................................................................................. 6
B. Rumusan Masalah .........................................................................11
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................12
D. Manfaat Penelitian .........................................................................13
BAB II .......................................................................................................15
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................15
A. Telaah Pustaka ..............................................................................15
1. Tinjauan Umum Tentang Depresi Post Partum (DPP) ................15
1
2. Tinjauan Umum Tentang Postpartum blues ................................ 21
3. Alat Ukur Depresi Postpartum (Edinburgh Postnatal Depresion
Scale (EPDS) .................................................................................... 27
4. Tinjauan Umum Tentang Zink ..................................................... 29
5. Hubungan Zink dan Depresi ....................................................... 36
6. Peran Zink pada Keseimbangan Glutamatergik (Glutamatergic
Theory) ............................................................................................. 43
7. Tinjuan Umum Tentang Perokok Pasif ....................................... 46
8. Tinjauan Tentang Pola Konsumsi ............................................... 48
B. Tabel Sintesa Penelitian ................................................................ 50
C. Kerangka Teori Penelitian .............................................................. 51
D. Kerangka Konsep Penelitian .......................................................... 52
E. Definisi Operasional (DO) dan Kriteria Objektif (KO) ..................... 53
F. Hipotesis Penelitian ........................................................................ 57
BAB III ...................................................................................................... 59
METODE PENELITIAN ............................................................................ 59
A. Jenis dan Desain Penelitian ........................................................... 59
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 60
C. Pengumpulan Data ........................................................................ 62
D. Pengolahan Data ........................................................................... 66
E. Analisis Data .................................................................................. 66
F. Etika Penelitian .............................................................................. 68
BAB IV ..................................................................................................... 69
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 69
A. Hasil Penelitian .............................................................................. 69
2
1. Karakteristik umum responden ................................................... 69
2. Pola Konsumsi Responden ......................................................... 71
3. Hubungan antara Kadar Zink dan kejadian postpartum blues .... 73
4. Hubungan antara Faktor Psikososial dan kejadian postpartum
blues ................................................................................................. 75
5. Korelasi antara kadar zink dan faktor psikososial dengan skor
EPDS ................................................................................................ 76
B. Pembahasan .................................................................................. 76
C. Keterbatasan Penelitian ...............................................................103
D. Saran Bagi Penelitian Selanjutnya ............................................... 103
BAB IV ...................................................................................................105
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................105
A. Kesimpulan ..................................................................................105
B. Saran ...........................................................................................106
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................109
3
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Karakteristik Umum responden berdasarkan faktor psikososial, postpartum blues dan kadar zink……………………………….……………70
Tabel 2. Pola Konsumsi Makanan Sumber Zink pada Responden Berdasarkan Kejadian Postpartum Blues…………………….……………..71
Tabel 3. Pola Konsumsi Tablet Besi pada Responden Berdasarkan Kejadian Postpartum Blues……………………………………..…………….72
Tabel 4. Hubungan Antara Kadar Zink dan Kejadian Postpartum Blues ......................................................................................................................................... ...73
Tabel 5. Hubungan Antara Kadar Zink dan Kejadian Postpartum Blues……………………………………………………………..………………73
Tabel 6. Hubungan Antara Kadar Zink dan Kejadian Postpartum Blues pada Ibu dari Keluarga Perokok dan Non Perokok……...………………….74
Tabel 7. Hubungan Antara Faktor Psikososial dan Kejadian Postpartum Blues……………………………………………………………...………………75
Tabel 8. Korelasi antara kadar zink dan faktor psikososial dengan skor EPDS…………………………………………………………..…………………76
4
DAFTAR LAMPIRAN
Lembar Penjelasan
Kuesioner EPDS
Kuesioner FFQ
Izin Etik
Dokumentasi Penelitian
Hasil SPSS
Riwayat Hidup
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah persalinan, ibu biasanya akan mengalami
perubahan psikologi (Skalkidou A, Sylven SM, Papadopoulus FC,
Olovsson M, Larsson A, Sundstrm-Poromaa I, 2009). Perubahan
psikologis pada masa postpartum tersebut biasanya terdiri dari tiga
bentuk, yaitu postpartum blues, depresi postpartum dan psikosis
postpartum (Sinclair, 2009). Namun, secara umum masalah
psikologis itu disebut sebagai Depresi Postpartum (DPP)
Secara global, prevalensi DPP adalah sekitar 10-15%
(Motcheldt I, Andreasen A, Pedersen AL, Pedersen MC, 2013). Di
negara maju seperti Amerika Serikat berkisar sekitar 15%, tetapi di
negara-negara miskin seperti Afrika Selatan, prevalensinya sekitar
35% (Dietz PM, 2007) (Walker SP, 2007) (Takeda A, et al, 2008).
Di India, sebuah studi menemukan insiden DPP sebesar 11%
(Chandran M, Tharyan P, Mulhilil J, Abraham S, 2002). Di Arab
Saudi prevalensinya adalah sebesar 15,8%, di Afrika Selatan
sebesar 34,7%, di Cina sebesar 11,2% dan di Jepang sebesar 17%
(Motcheldt I, Andreasen A, Pedersen AL, Pedersen MC, 2013). Di
Kanada, ditemukan prevalensinya sebesar 8% (Dennis CL,
Heaman M, Vigods S, 2012). Sedangkan di Denpasar Bali,
ditemukan prevalensi DPP sebesar 20,5% (Dira IKPA, Wahyuni
AAS, 2016). Di Makassar, sebuah studi menemukan bahwa
6
prevalensi DPP pada ibu adalah sebesar 19,7% (Ibrahim F,
Rahma, Iksan M, 2012)
Ibu yang mengalami DPP sering merasa cemas dan
khawatir berlebihan terkait dengan persalinan dan peran baru
sebagai orang tua (Yonkers KA, Vigod S, Ross LE, 2011). Fakta
menunjukkan bahwa depresi pada ibu akan berbahaya tidak hanya
bagi ibu sendiri, namun juga akan berdampak pada bayi dan
keluarganya. DPP dapat mempengaruhi kecerdasan bayi dan
perkembangan sosialnya. Selain itu, pada ibu sendiri bila kondisi
situasi tersebut tidak diatasi, maka bisa jadi menyebabkan
kecendrungan ibu untuk bunuh diri (Green AD, Barr AM, Gale a
LAM, 2009)
Risiko DPP pada ibu meliputi gangguan mental sebelumnya,
stress psikologis, dukungan sosial ekonomi yang tidak memadai
dan pengalaman persalinan yang sulit (Bloch M, Rotenberg N,
Koren D, et al, 2006). Ibu yang mengalami stress secara fisiologi
juga rentan mengalami DPP (Corwin EJ, Johnston N, Pugh L,
2008)
Dalam tinjauan fisiologis, penyebab terjadinya DPP terdiri
dari beberapa faktor. Pertama, defisiensi zat gizi dan
ketidakseimbangan metabolik. Kedua, penurunan kadar hormon
kehamilan yaitu progesterone dan estrogen yang terjadi secara
cepat setelah persalinan. Ketiga, terjadinya alterasi pada
7
mekanisme hipotalamic-pituitary-adernokortikal (HPA axis).
Keempat, terjadinya alterasi kadar neurotransmiter, seperti
serotonin (Etebary S, Nikseresht S, Sadeghipour HR, Zarrindast
MR, 2010)
Salah satu mikronutrient yang berperan penting pada
depresi adalah zink. Zink berperan sebagai neuroreseptor dan
neurotransmisi. (Donaldson JT, St.Pierre JL, Minnich and A.
Barbeau, 1973). Zink berpengaruh secara langsung maupun tidak
langsung pada keseimbangan glutamatergik (Mlyniec, 2015)
Pada tikus coba, perilaku yang lebih agresif dan cemas
ditunjukkan pada subjek yang mengalami defisiensi zink bila
dibandingkan dengan kontrol (Takeda A, et al, 2008). Hewan coba
yang terpapar situasi stress, baik yang kronis maupun akut memiliki
konsentrasi zink yang lebih rendah secara signifikan bila
dibandingkan kelompok kontrol (Teng WF, et al, 2008)
Pada manusia, kadar zink yang rendah berhubungan
dengan gangguan mood. Hubungan tersebut terlihat konsisten
pada berbagai usia, dari usia dewasa muda (Sawada T, Yokoi K,
2010) hingga usia lanjut (Marcellini F, Papa R, Giuli C et al., 2006).
Beberapa studi juga menunjukkan adanya hubungan tentative
antara zink dan pengaturan mood pada bayi dan anak-anak
(DiGirolamo AM, Ramirez-Zea M, 2009)
8
Studi di Itali menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
konsentrasi albumin (sebagai indikator status zink) dan depresi
(Marcellini F, Giuli C, Papa R, Malavolta M, Mocchegiani E, 2006).
Studi yang dilakukan untuk menilai kadar zink dan Cu pada
penderita depresi menunjukkan bahwa mereka yang mengalami
depresi baik yang memiliki kecemasan sekunder maupun tidak
ternyata mempunyai kadar zink yang rendah dan kadar Cu yang
tinggi (Russo, 2011). Meski demikian, studi yang dilakukan di
Eropa, tidak menemukan hubungan antara mood dan status zink
(McConville C, Simpson EEA, Rae G, et al, 2005)
Selain berhubungan dengan depresi secara umum, zink juga
berperan pada terjadinya DPP pada ibu.(Ellsworth-Bowers ER,
Corwin EJ, 2012). Wojcik et al, telah melakukan studi kohort
terhadap 66 wanita yang diberikan suplementasi zink. Serum zink
kemudian diperiksa pada tiga titik waktu, yaitu satu bulan sebelum
melahirkan, 3 hari dan 30 hari setelah melahirkan. Hasilnya
menunjukkan bahwa kadar zink berhubungan dengan keparahan
gejala depresi pada ibu yang mengalami DPP (Wojcik J, Dude D,
Schlegel-Zawadzka M, et al, 2006)
Pada KONAS IAKMI tahun 2016, telah dipresentasikan
perbandingan kadar zink ASI pada ibu dari keluarga perokok dan
non perokok. Studi yang dilakukan secara cross-sectional tersebut
mengukur kadar zink ASI pada ibu yang memiliki bayi usia 0-6
9
bulan di Kota Binjai sebanyak 45 responden. Hasilnya
menunjukkan bahwa kadar zink ASI pada ibu keluarga perokok
jauh lebih rendah dari ibu keluarga non perokok. Nilai rata-rata zink
pada ASI ibu dari keluarga perokok adalah 23,53 mg/l, sedangkan
pada ibu dari keluarga non perokok adalah 29,39 mg/l. Hasil uji
beda menemukan perbedaan yang bermakna, nilai p=0,008 (Etti
Sudaryati, Evawany Aritonang, Ida Yustina, 2016).
Asap rokok yang berasal dari ujung rokok yang terbakar
(sidestream) juga mengandung bahan toksik yang sama seperti
pada asap rokok utama (mainstream), sehingga efek pada perokok
pasif hampir sama dengan efek yang timbul pada perokok aktif
(Sartono, 2005). Dari penelitian yang dilakukan di Binjai tersebut,
dapat diasumsikan bahwa kadar zink pada ibu dari keluarga
perokok lebih rendah dibandingkan kadar zink ibu dari keluarga non
perokok. Karena kadar zink pada ASI tentunya merupakan
gambaran kadar zink pada ibu itu sendiri. Rendahnya kadar zink
pada ibu dari keluarga perokok, karena ibu tersebut menjadi
perokok pasif. Paparan asap rokok pada perokok pasif
menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang membutuhkan lebih
banyak antioksidan untuk menetralisirnya. Salah satu antioksidan
yang dibutuhkan adalah zink (Viroonudompol D, Suwanton L,
Pinyosirikul U, Satsue S, Harnruongroj T, 2016)
10
Di Indonesia, DPP jarang ditinjau dari aspek fisiologis. Studi
tentang zink juga jarang yang dilakukan pada ibu postpartum.
Padahal berdasarkan berbagai literatur ditemukan hubungan antara
zink dan DPP. Selain itu.studi tentang hubungan zink dan DPP
belum pernah dilakukan pada ibu dari keluarga perokok dan non
perokok. Postpartum blues, sebagai salah satu jenis depresi pada
ibu postpartum cukup prevalen di Indonesia. Salah satu penelitian
yang dilakukan pada ibu postpartum di RSUD Pangkep
menemukan prevalensi postpartum blues pada ibu sebesar 80%
(Meilina, 2014)
Berdasarkan berbagai paparan tersebut, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana peran zink dan faktor
psikososial terhadap kejadian postpartum blues pada ibu
B. Rumusan Masalah
DPP terjadi pada separuh ibu yang baru melahirkan.
Dampaknya tidak hanya pada ibu itu sendiri, tapi juga pada anak
dan keluarganya. Salah satu jenis DPP adalah postpartum blues
yang onsetnya berlangsung hingga 10 hari pasca salin. Berbagai
faktor risiko diduga sebagai penyebab terjadinya DPP, diantaranya
adalah faktor psikososial dan faktor fisiologis. Faktor psikososial
yang berperan seperti pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan
dukungan keluarga. Sedangkan faktor fisiologis adalah defisiensi
11
zink. Zink dan DPP ditemukan memiliki hubungan terbalik, dimana
kadar zink yang rendah berhubungan dengan kejadian depresi
yang lebih tinggi. Ibu dari keluarga perokok terpapar oleh asap
rokok yang mengandung berbagai zat berbahaya. Bila
dibandingkan dengan ibu dari keluarga non perokok maka
kebutuhan zink ibu dari keluarga perokok jauh lebih tinggi karena
zink dibutuhkan untuk menetralisir racun dari asap rokok.
Olehnya itu pertanyaan penelitian yang muncul adalah
bagaimanakah peran faktor psikososial dan kadar zink terhadap
kejadian postpartum blues pada ibu dari keluarga perokok dan non
perokok
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui peran zink dan faktor psikososial
terhadap kejadian postpartum blues pada ibu
20. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pola konsumsi makanan sumber zink
dan tablet Fe pada ibu postpartum
b. Untuk mengetahui kadar zink pada ibu yang mengalami
postpartum blues dan tidak
c. Untuk mengetahui kadar zink dan kejadian postpartum
blues pada ibu dari keluarga perokok dan non perokok
12
d. Untuk mengetahui hubungan antara kadar zink dan
kejadian postpartum blues
e. Untuk mengetahui hubungan antara faktor psikososial
(pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dukungan suami dan
dukungan keluarga) dengan kejadian postpartum blues
Untuk mengetahui korelasi antara kadar zink dan faktor
psikososial (pendidikan, pekerjaan, penghasilan,
dukungan suami dan dukungan keluarga) dengan skor
EPDS
Manfaat Penelitian
21. Manfaat Ilmiah
Memberikan sumbangsih bagi masyarakat dengan
menyediakan informasi ilmiah tentang peran zat gizi,
khusunya zink pada pencegahan dan
penanggulangan/terapi DPP
Memberikan tambahan literatur ilmiah terkait peran zat
gizi sebagai pencegahan dan terapi DPP
Mendukung perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
penanggulangan DPP pada ibu di Indonesia
b. Manfaat Institusi
Memberikan informasi tentang masalah defisiensi zink dan
DPP pada ibu di Kota Makassar sehingga penyusun program
13
kesehatan, khususnya kesehatan ibu dan anak, dapat memiliki
data akurat yang bermanfaat untuk mengetahui besaran masalah
sehingga program yang direncanakan akan lebih bermanfaat dan
tepat sasaran
3. Manfaat Praktis
Merupakan pengaplikasian ilmu dan wawasan peneliti dalam
bidang neurosains, khususnya peran zat gizi terhadap kesehatan
mental
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Tinjauan Umum Tentang Depresi Post Partum (DPP)
Setelah persalinan, ibu biasanya mengalami depresi..
Gangguan mood ini apabila tidak ditangani dengan baik, bisa jadi
akan berkembang menjadi lebih buruk lagi, bahkan dapat menjadi
depresi yang menetap pada waktu selanjutnya (Skalkidou A, Sylven
SM, Papadopoulus FC, Olovsson M, Larsson A, Sundstrm-
Poromaa I, 2009). Gejala awal DPP biasanya muncul antara 4
sampai 6 minggu postpartum. Meskipun demikian, DPP sebenarnya
dapat muncul sejak awal persalinan, atau menjadi lanjutan dari
depresi selama kehamilan (Teissedre F, Chatrol H, 2004)
Ibu yang mengalami DPP sering merasa cemas dan
khawatir berlebihan terkait dengan persalinan dan peran baru
sebagai orang tua. Ibu tersebut juga sering berpikir untuk bunuh diri
15
atau menyakiti bayinya. DPP ini dapat berkembang menjadi
psikosis postpartum, dimana ibu dapat menyakiti dirinya sendiri
ataupun bayinya (Yonkers KA, Vigod S, Ross LE, 2011)
Secara umum risiko DPP meliputi beberapa faktor. Pertama,
riwayat gejala sindrom premenstruasi (Payne JI, Palmer JT, Joffe
H, 2009). Kedua, sejumlah faktor sosial seperti tingkat pendidikan
dan pekerjaan, kehidupan yang dipenuhi tekanan dan perkawinan
yang sulit (Marks MN, Wieck A, Checkley SA, Kumar R, 1992).
Ketiga, faktor kepribadian nampaknya juga menjadi faktor yang
penting sebagai risiko DPP (Verkerk GJ, Denollet J, Van Heck GI,
Van Son MJ, Pop VJ, 2005). Terakhir, DPP nampaknya
berhubungan dengan perubahan hormonal setelah persalinan
(Payne JI, Palmer JT, Joffe H, 2009)
Meskipun dalam budaya yang berbeda, fenomena dan risiko
DPP ternyata sangat mirip. Sebagaimana studi yang dilakukan oleh
Tian T yang mengkaji faktor-faktor risiko DPP pada 1970 wanita di
Cina menemukan bahwa risiko DPP yang mereka peroleh mirip
dengan yang ditemukan di negara-negara barat. Risiko itu meliputi
status pekerjaan dan pendidikan rendah yang ternyata
meningkatkan risiko DPP. Pasien yang mengalami DPP juga
biasanya memiliki gangguan rasa cemas, menderita depresi di usia
muda serta memiliki tingkat neurotisme yang tinggi (Tian T, et al,
2012)
16
Risiko DPP pada ibu meliputi gangguan mental sebelumnya,
stress psikologis, dukungan sosial ekonomi yang tidak memadai
dan pengalaman persalinan yang sulit (Bloch M, Rotenberg N,
Koren D, et al, 2006). Ibu yang mengalami stress secara fisiologi
juga rentan mengalami DPP. Namun, meskipun seorang ibu
memiliki risiko-risiko tersebut, dia tidak lantas akan mengalami DPP
(Corwin EJ, Johnston N, Pugh L, 2008)
Fakta menunjukkan bahwa depresi pada ibu akan berbahaya
tidak hanya bagi ibu sendiri, namun juga akan berdampak pada
bayi dan keluarganya. DPP juga dapat mempengaruhi kecerdasan
bayi dan perkembangan sosialnya. Selain itu, pada ibu sendiri
situasi tersebut bisa jadi akan berkembang menjadi kecendrungan
untuk bunuh diri (Green AD, Barr AM, Gale a LAM, 2009).
Setelah persalinan, terjadi perubahan hormonal yang sangat
cepat, khususnya hormon seks. Hormon utama yang diduga
menjadi pemicu utama terjadinya DPP adalah progesterone.
Depresi biasanya diawali dengan peningkatan rasa cemas. Dan
paparan progesterone yang terjadi secara terus menerus ternyata
dapat meningkatkan kecemasan (Becley EH, Finn DA, 2007)
Selain itu, terjadinya DPP juga diduga sebagai interaksi yang
kompleks antara hormon dan neurotransmitter. Penurunan steroid
ovarian berhubungan dengan gangguan psikologis dan neurologis
17
seperti sindrom premenstruasi, migraine premenstruasi, DPP dan
kecemasan (Groer MW, Morgan K, 2007)
Secara global, prevalensi DPP adalah sekitar 10-15%
(Motcheldt I, Andreasen A, Pedersen AL, Pedersen MC, 2013). Di
negara maju seperti Amerika Serikat berkisar sekitar 15%, tetapi di
negara-negara miskin seperti Afrika Selatan, prevalensinya sekitar
35% (Dietz PM, 2007) (Walker SP, 2007) (Takeda A, et al, 2008).
Di India, sebuah studi menemukan insiden DPP sebesar 11%
(Chandran M, Tharyan P, Mulhilil J, Abraham S, 2002). Di Arab
Saudi prevalensinya adalah sebesar 15,8%, di Afrika Selatan
sebesar 34,7%, di Cina sebesar 11,2% dan di Jepang sebesar 17%
(Motcheldt I, Andreasen A, Pedersen AL, Pedersen MC, 2013). Di
Kanada, ditemukan prevalensinya sebesar 8% (Dennis CL,
Heaman M, Vigods S, 2012). Sedangkan di Denpasar Bali,
ditemukan prevalensi DPP sebesar 20,5% (Dira IKPA, Wahyuni
AAS, 2016). Di Makassar, sebuah studi menemukan bahwa DPP
pada ibu adalah sebesar 19,7% (Ibrahim F, Rahma, Iksan M, 2012)
Sebuah studi cross sectional yang menilai DPP dan
hubungannya dengan demografi serta masalah kesehatan ibu dan
anak telah dilakukan pada ibu di Yordania. Peserta berjumlah 315
orang dan dipilih dari 5 pusat kesehatan ibu dan anak serta sebuah
rumah sakit umum di Amman. DPP diukur dengan kuesioner
kesehatan pasien versi 9 setelah 12 minggu persalinan. Hasilnya
18
menunjukkan bahwa 25% ibu postpartum menderita depresi dari
sedang hingga berat dan 50% menderita depresi ringan. Tidak
terdapat satu pun variabel sosial demografi (usia, pendidikan,
pekerjaan dan pendapatan) yang berhubungan secara signifikan
dengan DPP. Tetapi dua dari variabel obstetrik yaitu cara
melahirkan dan menyusui secara signifikan berhubungan dengan
DPP. Terdapat hubungan yang signifikan antara DPP dan 15
masalah kesehatan seperti obstetric, ginekolog dan masalah
kesehatan secara umum (Safadi RR, Abushaikha LA, Ahmad MM,
2016)
Sebuah studi yang dilakukan di Italia, menemukan bahwa
terdapat tipe kepribadian tertentu yang terkait dengan DPP.Tipe
kepribadian ini disebut typus melancholicus (pribadi melankolis).
Ibu-ibu ini berisiko mengalami depresi karena ketidakmampuannya
untuk mengatur situasi konflik secara kreatif. Ibu jenis ini adalah ibu
yang perfectionis. Mereka sangat hati-hati dalam merawat anak
mereka dan merasa sangat bertanggung jawab terhadap
perawatan bayinya. Ibu-ibu ini tidak bisa mendelegasikan tanggung
jawab mereka kepada orang lain serta sulit menceritakan
perasaannya pada orang lain (Abrosini A, Donzelli G, Stanghellini
G, 2012)
Studi yang dilakukan di Chili untutk mengkaji faktor-faktor
yang berhubungan dengan DPP menemukan bahwa sekitar 45%
19
ibu menderita gejala depresi. Gejala-gejala yang dilaporkan adalah
gangguan tidur dan tidak nafsu makan. Studi ini pun menemukan
faktor-faktor tertentu ternyata dapat digunakan untuk memprediksi
kemungkinan seorang ibu akan mengalami DPP. Faktor tersebut
adalah kepedulian ibu pada kehamilannya, dukungan sosial dan
penggunaan tembakau. Skrining DPP secara rutin dapat menjadi
sarana pencegahan, alat diagnosis yang handal serta menjadi
upaya penanggulangan di negara-negara berkembang (Quelopana
AM, Champion JD, Reves-Rubilan T, 2011)
Studi yang dilakukan di Makassar menemukan bahwa faktor
yang berhubungan dengan DPP pada ibu adalah dukungan sosial
suami, dukungan keluarga, pendidikan ibu dan jenis persalinan
(Ibrahim F, Rahma, Iksan M, 2012). Pada studi yang lain
menemukan bahwa faktor yang berhubungan dengan DPP adalah
umur, jenis persalinan dan dukungan keluarga (Tuhulele K, Seweng
A, Sarakeh M, 2016). Sedangkan di Klaten, sebuah studi
menemukan bahwa ibu yang tidak bekerja berisiko menderita DPP
sebesar 10,7 kali dibandingkan ibu yang bekerja. Sedangkan ibu
dengan dukungan keluarga yang kurang baik berisiko menderita
DPP sebesar 15,9 kali dibanding ibu dengan dukungan keluaga
yang baik (Wahyuni S, Marwati, Supiati, 2014)
Penggunaan antidepresan dan depresi berdampak buruk
terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin. Depresi pada ibu
20
berhubungan dengan kelahiran prematur, berat lahir rendah,
gangguan pertumbuhan janin serta komplikasi kognitif dan
emosional pasca lahir. Paparan antidepresan berhubungan dengan
kelahiran prematur, berkurangnya berat lahir, hipertensi pulmonal
yang menetap dan sindrom adaptasi pasca lahir yang terlihat
berkorelasi dengan sindrom autisme. Paroxetine berhubungan
dengan gangguan pembentukan jantung. Sebagian besar
antidepresan juga disekresikan pada kadar rendah ke dalam ASI
(Becker M, Weidenberger T, Chandy A, Schmuklers S, 2016)
Dalam rangka program Scaling Up Nutrition (SUN), maka
kesehatan ibu dan anak menjadi prioritas pembangunan kesehatan.
Melalui gerakan 1000 HPK, pemerintah berusaha memperbaiki
status kesehatan ibu dan anak. Yang paling utama diperhatikan
tentunya adalah kesehatan ibu, karena ibulah yang mengandung
dan merawat anak-anaknya. Sayangnya, perhatian yang diberikan
baru pada kesehatan ibu secara fisik. Sedangkan kesehatan jiwa
ibu masih kurang mendapat perhatian. Padahal fisik dan psikis
adalah dua hal yang saling berkaitan. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa depresi pada ibu tidak hanya akan
membahayakan dirinya, tetapi juga anak dan keluarganya
2. Tinjauan Umum Tentang Postpartum blues
Menurut Diagnostic and Statistical Manual Disorder (DSM
IV), tentang petunjuk resmi untuk pengkajian dan diagnostik
21
penyakit psikiatri, bahwa gangguan yang dikenali selama periode
postpartum adalah :
1. Postpartum blues
Terjadi pada hari 1-10 setelah melahirkan dan hanya
bersifat sementara dengan gejala gangguan mood, rasa
marah, mudah menangis, sedih, nafsu makan menurun,
sulit tidur. Keadaan ini akan terjadi beberapa hari saja
setelah melahirkan dan biasanya akan berangsur-angsur
menghilang dalam beberapa hari dan masih dianggap
sebagai kondisi yang normal terkait dengan adaptasi
psikologis postpartum. Apabila memiliki faktor
predisposisi dan pemicu lainnya maka dapat berlanjut
menjadi depresi postpartum
2. Depresi Postpartum
Gejala yang ditimbulkan antara lain kehilangan harapan
(hopelesness), kesedihan, mudah menangis,
tersinggung, mudah marah, menyalahkan diri sendiri,
kehilangan energi, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, imsomnia, selalu dalam keadaan cemas, sulit
berkonsentrasi, sakit kepala yang hebat, kehilangan
minat untuk melakukan hubungan seks dan ada
keinginan untuk bunuh diri
3. Psikosis Postpartum
22
Mengalami depresi berat seperti gangguan yang dialami
penderita depresi postpartum ditambah adanya gejala
proses piker (delusion, hallucinations and incoherence of
assosiation) yang dapat mengancam dan
membahayakan keselamatan jiwa ibu dan bayinya
Ada 3 fase penyesuaian ibu terhadap perannya sebagai
orang tua, yaitu fase dependen, fase dependen-interdependen dan
fase interdependen. Fase dependen dimulai selama 1-2 hari
pertama setelah melahirkan, ketergantungan ibu terhadap orang
lain sangat menonjol. Ibu sangat mengharapkan segala
kebutuhannya dapat dipenuhi oleh orang lain. Ibu memindahkan
energi psikologisnya kepada anaknya. Rubun menyebut fase ini
sebagai fase taking in. Periode ini adalah suatu waktu yang penuh
kegembiraan dan kebanyakan orang tua sangat suka
mengkomunikasikannya (periode pink) (Bobak IM, 2005)
Mereka merasa perlu menyampaikan pengalaman mereka
tentang kehamilan dan kelahiran dengan kata-kata. Pada fase ini
ibu memerlukan dukungan sosial dari suami, keluarga, teman
maupun tenaga kesehatan. Jika pada fase ini ibu tidak
mendapatkan dukungan, maka periode pink ini akan menjadi
periode blues pada fase berikutnya (fase taking hold)
Fase dependen-mandiri, pada fase ini ibu membutuhkan
perawatan dan penerimaan dari orang lain dan keinginan untuk
23
bisa melakukan segala sesuatu secara mandiri. Ibu berespon
dengan penuh semangat untuk memperoleh kesempatan belajar
dan berlatih tentang cara perawatan bayi. Rabin menjelaskan
keadaan ini sebagai fase taking hold yang berlangsung kira-kira 10
hari
Dalam 6-8 minggu setelah melahirkan, kemampuan ibu
menguasai tugas-tugas sebagai orang tua merupakan hal yang
penting. Beberapa ibu sulit menyesuaikan diri terhadap isolasi yang
dialaminya. Karena ia harus merawat bayi. Ibu yang memerlukan
dukungan tambahan adalah ibu primipara yang belum mempunyai
pengalaman mengasuh bayi, ibu yang bekerja, ibu yang tidak
mempunyai cukup teman atau keluarga untuk berbagi, ibu yang
berusia remaja dan ibu yang tidak mempunyai suami.
Fase independen, yaitu ketika ibu dan keluarga bergerak
maju sebagai sistem dengan anggota yang saling berinteraksi.
Fase ini merupakan fase yang penuh stress bagi orang tua.
Kesenangan dan kebutuhan sering terbagi dalam masa ini. Ibu dan
pasangan harus menyesuaikan perannya masing-masing dalam
mengasuh anak, mengatur rumah dan membina karir
Postpartum blues, maternity blues atau baby blues
merupakan gangguan mood/afek ringan yang bersifat sementara
yang terjadi pada hari pertama sampai hari ke 10 setelah
persalinan yang ditandai dengan tangisan singkat, perasaan
24
kesepian atau ditolak, cemas, bingung, gelisah, pelupa dan tidak
dapat tidur (Pillitery, 2007)
Bobak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
postpartum blues adalah perubahan mood pada ibu postpartum
yang terjadi setiap waktu setelah ibu melahirkan tetapi seringkali
terjadi pada hari ketiga atau keempat postpartum dan memuncak
pada hari ke lima dan ke empat belas postpartum yang ditandai
dengan tangisan singkat, perasaan kesepian atau ditolak, cemas,
bingung, gelisah, letih, pelupa dan tidak dapat tidur
Ibu yang menderita postpartum blues mempunyai gejala
antara lain mudah menangis, murung, sedih, cemas, perubahan
mood, mudah marah, kurang konsentrasi, pelupa (Pillitery, 2007).
Tapi ada pula yang menyebutkan bahwa tanda dan gejala
postpartum blues antara lain mudah menangis (tearfullness),
labilitas emosi, perubahan mood, bingung, cemas dan gangguan
kognitif (Henshow, 2007)
Postpartum blues merupakan tahapan emosi reaktif yang
sangat tinggi. Gangguan ini terjadi pada sekitar 50% wanita yang
baru selesai melahirkan. Istilah blues merupakan misnomer, karena
mood yang awalnya dominan pada sebagian besar wanita ini
adalah “bahagia”. Wanita dengan postpartum blues lebih mudah
menagis dibandingkan biasanya, lebih cemas dan lebih labil secara
emosional dibanding biasanya. Postpartum blues terjadi pada hari
25
ke 3 sampai ke 5 setelah melahirkan. Kejadian postpartum blues
tidak terkait dengan riwayat psikiatrik, stress lingkungan, budaya,
konteks, penyusuan ataupun paritas. Meski faktor-faktor tersebut
bisa jadi mempengaruhi postpartum blues ketika berkembang
menjadi depresi (Miller, 2002)
Terdapat 2 hipotesis yang dapat menjelaskan kejadian
postpartum blues. Pertama, perubahan hormonal. Bukti yang
mendukung hal tersebut meliputi temuan tentang tingkat absolut
dari hormon estrogen dan progesteron tidak terkait dengan
postpartum blues, tetapi perubahan besar pada hormon yang
terkait kehamilan dan persalinan yang menyebabkan terjadinya
postpartum blues . Sebagai tambahan, hasil metabolit progesteron,
yaitu allopregnanolone, sebuah agonis dari asam ϫ-aminobutyric
secara signifikan lebih rendah pada wanita yang menderita
postpartum blues. Hipotesis kedua, adalah postpartum blues terjadi
karena aktivasi dari sistem biological di bawah perilaku pengasuhan
ibu dan anak, yang utamanya diatur oleh hormon oksitosin.
Terdapat bukti langsung efek tersebut pada mamalia nonprimata
(Miller, 2002)
Binatang pengerat yang mengalami penghilangan sel-sel
penghasil hormon oksitosin menunjukkan perilaku keibuan yang
jauh lebih rendah dibandingkan binatang pengerat yang normal.
Bukti tidak langsung menunjukkan hal yang sama. Dibawah kondisi
26
dukungan yang baik dan stress yang rendah, perubahan
neurophysiologic tersebut memicu kelekatan antara ibu dan
bayinya. Meski, dibawah kondisi yang penuh tekanan dan
dukungan yang kurang, kondisi emosional tersebut dapat
berkembang menjadi depresi (Miller, 2002)
3. Alat Ukur Depresi Postpartum (Edinburgh Postnatal Depresion
Scale (EPDS)
EPDS adalah sebuah alat ukur untuk
menilai mood seseorang. Instrument ini terdiri dari 10 item
pengukuran dan sangat mudah digunakan.Waktu yang dibutuhkan
untuk mengisinya hanya sekitar 5 menit saja. EPDS telah divalidasi
dan digunakan secara luas. Memiliki tingkat reliabilitas dari sedang
sampai tinggi juga memiliki korelasi yang baik dengan alat ukur
depresi lainnya (Boid RC, Le HN, Somberg R, 2005)
EPDS dinilai dengan skor, dimana skor
maksimum adalah 30. Skor 10 atau lebih mengindikasikan
kemungkinan adanya depresi. Standarisasi dan validasi EPDS
telah digunakan hampir di seluruh dunia (Navarro P, Aguado J,
Ascaso C, Garcia-Esteve L, Torres A, Martin-Santos R, 2007).
Pada trimester pertama, EPDS memiliki sensitifitas sebesar 79%
dan spesifisitas sebesar 97% serta cut of pointnya adalah 11. Pada
trimester kedua, tingkat sensitifitasnya adalah sebesar 11,70% dan
spesifisitas sebesar 96% dengan nilai cut of point adalah 10.
27
Sedangkan pada trimester ketiga, sensitifitasnya adalah 76% dan
spesifisitas sebesar 94% serta nilai cut of point adalah 10 (Bergink
V, Kooistra L, Den Berg MP, Wijnen H, Bunevidas R, Van Baan A,
Pop V, 2011)
Sebuah studi yang dilakukan untuk mengevaluasi DPP pada
hari ke 3 postpartum dan menentukan skor standar untuk depresi
secara umum. Subjek berasal dari 3 klinik obstetric di Perancis.
Jumlah sampel sebanyak 859 orang. Pada studi tersebut
ditemukan pada hari ke 3 postpartum terdapat 258 (30%) ibu
memiliki skor EPDS 9 dan 164 (19%) ibu memiliki skor EPDS 11.
Setelah 4 sampai 6 minggu postpartum, 18,1% memiliki skor EDPD
11 dan 16,8% memiliki skor EPDS 12. Analisis sensitivitas dan
spesivisitas pada hari ke 3 postpartum menemukan nilai cut of point
9 (sensibilitas 0,88) (spesifisitas 0,5%) dalam memprediksi DPP.
Kesalahan tipe I cukup rendah (5,8%) tapi kesalahan tipe 2 cukup
tinggi (18,9%). Pada minggu ke 4 sampai 6 postpartum, cut of point
12 (sensibilitas 0,91) (sensitivitas 0,74).
EPDS menunjukkan validitas (Mattheys, Henshaw C, Elliot
S, Barnett B, 2006) yang bagus juga cepat dan mudah digunakan
dalam pelayanan obstetric, membantu mendeteksi secara dini ibu-
ibu yang berisko mengalami DPP di minggu-minggu awal
postpartum (Teissedre F, Chatrol H, 2004). EPDS digunakan tidak
hanya untuk kepentingan klinik namun juga bermanfaat dalam
28
kegiatan penelitian. Angkat cut of point yang dihasilkan oleh EPDS
dapat memberikan gambaran kejadian depresi. Hal tersebut sangat
membantu untuk menentukan terapi. EPDS juga dapa melacak
kejadian depresi pada masa kehamilan hingga persalinan
Studi yang dilakukan pada 594 ibu di Italia menunjukkan
bahwa skor EPDS ternyata lebih tinggi setelah melahirkan bila
dibandingkan tiga bulan setelah melahirkan. Sekitar 15,7% wanita
pada hari ke 2 setelah persalinan dan 7,6% pada tiga bulan
setelahnya melaporkan skor EPDS >9. Faktor EPDS yang
dianalisis pada hari ke 2 setelah persalinan menunjukkan bahwa
pada terdapat 3 aspek yang menonjol, yaitu depresi, kecemasan
dan anhedonia. Studi tersebut menunjukkan bahwa pengukuran
EPDS segera setelah melahirkan sangat membantu untuk
memahami spektrum masalah psikologi pada ibu postpartum.
Kemunculan gejala depresi pada saat tersebut menunjukkan risiko
yang lebih tinggi untuk kejadian depresi pada masa setelahnya
(Petrozzi A, Gagliardi L, 2013)
4. Tinjauan Umum Tentang Zink
Zink adalah salah satu logam golongan IIB dengan berat
molekular 65,4. Zink merupakan ion logam katalitik yang paling
sering dijumpai dalam sitoplasma sel. Manusia dewasa mempunyai
kandungan zink antara 1,2 dan 2,3 g yang terdistribusi di semua
29
jaringan (Samir Samman, Sheila Skeaff, Christine Thomson,
Sterward Truswell, 2012)
Zink berperan sebagai kofaktor struktural, katalitik atau
regulator untuk lebih dari 300 enzim-sintesis dan degradasi
karbohidrat, lipid, protein dan asam nukleat. Zink berperan utama
dalam sintesis dan stabilisasi bahan genetik dan diperlukan untuk
pembelahan sel (Grober, 2009)
Angka kecukupan gizi zink untuk wanita hamil adalah 11-12
mg/hari sedangkan wanita menyusui adalah 12-13 mg/hari. Zink
dalam darah lengkap memiliki rantang acuan 4,0-7,5 mg/L.
Sedangkan zink dalam serum normalnya adalah 0,75-1,25 mg/L.
Konsentrasi serum hanya memberikan informasi yang terbatas
karena jumlahnya hanya sekitar 1-2% dari simpanan zink total.
Proporsi utama dalam darah (84%) terdapat dalam eritrosit yang
kandungannya terdiri dari karbonat anhidrase. Kandungan yang
tinggi dalam eritrosit memiliki masa hidup rata-rata 120 hari, berarti
bahwa status zink dapat dipertahankan dalam waktu lama (Grober,
2009)
Banyaknya zink yang diabsorbsi berkisar antara 15-40%.
Absorbsi zink dipengaruhi oleh status zink tubuh. Bila lebih banyak
zink yang dibutuhkan, lebih banyak pula jumlah zink yang
diarbsorbsi. Begitu pula jenis makanan mempengaruhi absorbsi.
Serat dan fitat menghambat ketersediaan biologik zink. Sebaliknya,
30
protein histidin tampaknya membantu absorbsi. Tembaga dalam
jumlah melebihi kebutuhan akan menghambat absorbsi zink. Nilai
albumin dalam plasma merupakan penentu utama absorbsi zink.
Absorbsi zink menurun bila nilai albumin darah menurun, misalnya
dalam keadaan gizi kurang atau ibu hamil (Almatsier, 2009)
Metabolisme vitamin yang normal bergantung pada zink,
sehingga gejala defisiensi zink biasanya mencakup gejala defisiensi
vitamin. Defisiensi zink juga mengganggu fungsi thyroid dan
memperlambat metabolisme energi tubuh, menyebabkan
kehilangan selera makan dan memperlambat penyembuhan luka.
Pada hewan coba, defisensi ringan bisa jadi mengurangi aktifitas
fisik rentang memori dan konsentrasi (Keller, Grider and Coffield,
2001)
Zink diserap terutama dari dalam duodenum, tetapi sebagian
kecil diserap di usus halus. Cara penyerapannya meliputi
mekanisme jenuh maupun pasif. Jalur utama ekskresi zink adalah
melewati usus, kemudian ke ginjal dan ke kulit. Zink yang berada
dalam feses berasal dari sumber makanan yang tidak diserap
seperti zink yang diekskresikan ke dalam usus bersama dengan
getah pencernaan (ekskresi endogen) (Samir Samman, Sheila
Skeaff, Christine Thomson, Sterward Truswell, 2012)
Zink banyak ditemukan pada eritrosit dan leukosit dan akan
ditransport secara diffusi dan proses carier mediated. Proses
31
absorbsi melalui pasif diffusi kedalam mukosa sel melewati
basolateral membran (dari darah ke cairan intertisiel). Absorbsi
dipengaruhi oleh status zink dan jumlah zink dalam makanan.
Ekskresi zink utamanya melalui feses dan urine. Peningkatan
ekskresi melalui urine terjadi pada kelaparan, neprosis, diabetes,
alkoholism dan sirroshis hepatis. Pengeluaran zink melalui keringat
(0,3-0,5 mg), melalui kulit dan rambut (0,5-1 mg), melalui
menstruasi 0,1-0,5 mg) per periode dan melalui semen 1 mg per
ejakulasi (Linder, 1991)
Asupan zink dengan dosis yang sangat tinggi (>1 g)
menyebabkan rasa logam dalam mulut, mual, demam, letargi dan
gangguan lambung. Respon yang akut ini muncul ketika mendapat
suplementasi zink yang disengaja, mengalami pajanan karena
pekerjaan atau keracunan zink dari makanan. Infus cepat larutan
parenteral melalui pembuluh vena dapat menyebabkan gejala yang
sama. Dosis yang sangat besar akan menyebabkan kematian
(Samir Samman, Sheila Skeaff, Christine Thomson, Sterward
Truswell, 2012)
Pada otak mamalia, zink tersebar secara tidak merata. Zink
paling banyak terdapat pada hippocampus dan korteks serebral
.Kadar zink pada hippocampus tikus coba meningkat sejak lahir
sampai dewasa (Crawford I. , 1983). Hasil yang serupa terlihat pula
32
pada otak manusia. Bedanya, pada manusia perubahannya terjadi
dalam waktu yang lebih panjang.
Zink memegang peranan penting sebagai neuroreseptor dan
neurotransmisi. Sebagai neuroreseptor, zink meningkatkan
disosiasi konstan reseptor opioid untuk naloxone. Zink juga
berpengaruh pada reseptor asetilkolin muskarinik pada otak tikus
coba. Reseptor ini banyak terdapat di korteks serebral dan
hippocampus, dimana terdapat konsentrasi zink yang tinggi. Zink
juga diperlukan pada pembentukan protein yang dibutuhkan untuk
pembentukan GABA dan neurotransmitter lainnya (Donaldson JT,
St.Pierre JL, Minnich and A. Barbeau, 1973)
Di otak, ternyata zink bisa ditemukan dalam bentuk ion
bebas (Zn2+
) dan sebagian besar berada pada terminal
glutamatergik (Paoletti P, Vergnano AM, Barbour B, Casado M,
2009)
Zink yang dilepaskan oleh aktivitas synaptik, selama aktivitas
neuronal, mempengaruhi aktivitas N-methyl-D-Aspartate (NMDA)
dan alpha-amino-3-hydroxyl-5-methyl-4-isoxazole-propionate
(AMPA) yang merupakan reseptor glutamate, GABAA dan reseptor
glycine inotropik(Smart TG, Hosie AM, Miller PS, 2004). Terlihat
pula bahwa aktifitas spesifik dari metabotropic Zn2+
mempengaruhi
GPR39 (Bessr L, Chorin E, Sekle I, Silverman, et al, 2009).
33
Dalam kadar normal zink merangsang aktifitas neuroprotektif
namun dalam kadar berlebihan zink bersifat neurotoksik (Plum LM,
Rink L, Haase H, 2010)
Terdapat beberapa jenis protein yang mengatur kadar zink di
tingkat sel. Kelompok pertama terdiri dari transporter membrane
(ZnTs) yang memperantarai keluarnya dari zink dari sell atau
masuknya zink ke dalam kompartemen sel atau organel (Huang L,
Tepaamordech S, 2013). Kelompok kedua adalah anggota keluarga
ZIP (protein transporter yang mengatur zink dan zat besi) yang
memicu transport zink dari ruang ekstraseluler atau intraseluler ke
dalam sitoplasma (Cousin RJ, Liuzzi JP, Lichten LA, 2006). Sejauh
ini telah ditemukan 10 jenis dari ZnT dan 14 jenis protein ZIP
(Lichten LA and Cousin RJ, 2009). Kelompok yang ketiga adalah
metallothionein (MTs), protein pengikat yang memiliki molekul
berukuran kecil dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap zink
(Krezel A, Hao Q, Maret W, 2007). Terdapat 4 jenis MT yang
berhasil teridentifikasi. MT-I dan MT-II ditemukan pada banyak
jaringan, MT-IV secara khusus ditemukan pada sel epitel squamous
bertingkat (Quaife CJ, Findley SD, Erickson JC, Froelick GJ, et al,
1994). Sedangkan MT-III secara khusus ditemukan di sel-sel saraf.
MT-III mRNA ditemukan pada korteks, hippocampus, amigdala dan
cerebellum (Masters BA, Quaife CJ, Erickson JC, et al, 1994). MTs
berperan untuk mengatur zink sitoplasmik dan
34
proses masuknya ke dalam sitoplasma dan sejauh ini juga terlihat
menjadi tempat penyimpanan zink untuk sementara waktu (Krezel
A, Hao Q, Maret W, 2007)
Secara umum, manifestasi klinis dari defisiensi zink sangat
beragam. Pada awal kehidupan, gejala yang biasa ditemukan
adalah terjadinya diare. Defisiensi zink biasanya terkait dengan
gangguan fungsi kognitif, masalah perilaku, penurunan memori,
gangguan belajar dan atrofi neuronal (Brown KH, Rivera JA, Bhutta
Z, Gibson RS, King JC, et al, 2004). Masalah kulit menjadi lebih
sering muncul di usia remaja. Sedangkan alopecia, gangguan
pertumbuhan dan infeksi berulang biasa dijumpai pada anak
sekolah. Luka kronis yang sulit disembuhkan dan infeksi berulang
juga biasa dijumpai pada lansia
Penyebab umum terjadinya defisiensi zink adalah intake
yang tidak adekuat, peningkatan kebutuhan, gangguan absorbsi
dan meningkatnya kehilangan zink (King JC, Cousin RJ, 2006),
namun asupan zink yang tidak adekuat merupakan penyebab
utama. Masalah ketidakcukupan asupan zink biasa dijumpai di
seluruh dunia. Keadaan tersebut biasanya diperparah juga dengan
kondisi fisiologis yang terkait dengan peningkatan kebutuhan zink
(Andriollo_Sanchez M, Hininger-Favier I, Meunier N, et al, 2005)
Malabsorbsi zink biasa terjadi beberapa situasi seperti
acrodermatitis enteropathica, sindrom malarbsorbsi dan penyakit
35
inflamasi pada usus. Penggunaan zink juga meningkat oleh adanya
infeksi. Gangguan pada integritas saluran cerna tidak hanya
mengurangi penyerapan, tetapi juga meningkatkan kehilangan zink.
Ekskresi zink juga meningkat selama diare akut (Maret, 2001)
Konsentrasi zink pada plasma darah atau serum merupakan
biomarker terbaik untuk menilai defisiensi zink pada sebuah
populasi. Meskipun demikian, konsentrasi zink pada serum
mungkin memiliki keterbatasan pada validitas maupun
reliabilitasnya dalam menentukan defisiensi zink pada skala sedang
sampai ringan. Defisiensi zink menjadi perhatian atau masalah gizi
masyarakat tatkala konsentrasi zink serum yang rendah berjumlah
lebih dari 20% populasi. Konsentrasi zink serum berubah–ubah
sekitar 20% selama periode 24 jam, sebagian besar dipengaruhi
oleh pencernaan makanan. Segera setelah makan, kadar zink akan
meningkat secara cepat, lalu menurun pula secara cepat setelah 4
jam untuk kemudian meningkat kembali ketika makanan mulai
dimakan lagi. Sepanjang puasa sepanjang malam, terlihat bahwa
kadar zink meningkat tajam, sehingga kadar tertinggi zink
umumnya terlihat di pagi hari (Couturier E, Van Onderbergen A,
Bosson D, 1991)
5. Hubungan Zink dan Depresi
a. Studi pada Hewan
36
Zink berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung
pada pengaktifan reseptor adenosin A1 dan A2A ataupun
pengaktifan pengaturan perlindungan saraf, sejenis gluthathione
(Franco JL, Posser T, Brocardo PS, et al, 2008)
Pada tikus, perilaku yang lebih agresif ditunjukkan pada
subjek yang mengalami defisiensi zink bila dibandingkan dengan
kontrol (Takeda A, et al, 2008). Perilaku yang menunjukkan
kecemasan ditemukan pada tikus muda dengan konsentrasi zink
serum 50% lebih rendah bila dibandingkan kontrol, setelah
diberikan diet yang rendah zink (Takeda A, 2008). Hewan coba
yang terpapar situasi stress, baik yang kronis maupun akut memiliki
konsentrasi zink yang lebih rendah secara signifikan bila
dibandingkan kelompok kontrol (Teng WF, et al, 2008)
Studi yang dilakukan untuk mengkaji kerja zink sebagai
antidepresan terhadap stress ringan depresi kronis (CMS) dan
kadar BDNF protein serta BDNF mRNA menunjukkan bahwa zink
hidroaspartate (10 mg/kg BB) memiliki efek antidepressant yang
sangat cepat pada CMS. Terapi zink tersebut memiliki efek setelah
1 minggu intervensi. Pada terapi jangka panjang, zink ternyata
dapat meningkatkan kadar BDNF sebesar 17-39% di tingkat mRNA
dan protein hipocampus. Temuan ini menunjukkan bahwa kerja
zink yang menyerupai antidepresan bekerja sangat cepat dalam
mengatasi CMS dan meningkatkan BDNF (Sowa-Kucma M,
37
Legutko B, Szewczyk B, Novak K, Znojek P, Poleszak E, Papp M,
Pilc A, 2008)
Kekurangan zink dapat memicu terjadinya depresi dan
kecemasan, sehingga dengan asupan zink yang adekuat dapat
mengurangi depresi dan kecemasan. Selain itu, zink dapat menjadi
salah satu terapi untuk mengurangi rasa cemas (Partyka A,
Jastrzebska-Wiesek M, Szewczyk B, Stachowicz K, Slawinska A,
2011)
Studi yang dilakukan untuk melihat pemberian suplementasi
jangka pendek pada tikus coba juga menunjukkan bahwa
kombinasi terapi yang menggunakan zink, Mg dan vitamin B1 pada
hari ke 3 post partum memperbaiki gejala depresi dan mengurangi
rasa cemas (Nikseresht S, Etebary S, Karimian, Nabavizadeh F,
Zarrindast MR, 2012)
Zink terbukti dapat berfungsi memberikan perlindungan pada
otak tikus coba yang terpapar lithium. Suplementasi zink selama 4
bulan secara signifikan dapat meningkatkan aktifitas katalase dari
GST di serebelum (Bhalla P, Chadha VD, Dhar R, Dhawan DK,
2007)
Peran zink sebagai agen anti inflamasi menyebabkan
defisiensi pada mikronutrient tersebut dapat memicu terjadinya
depresi dan kecemasan yang berkaitan dengan gangguan imunitas.
Zink berperan sebagai neurotransmitter pada system
38
saraf pusat mellaui reseptor GPR39. Tidak aktifnya resepor tersebut
akan menyebabkan munculnya gejala depresi yang dapat
menyebabkan gangguan kekebalan tubuh. Pada tikus coba yang
mengalami tidak aktifnya reseptor GPR39 menunjukan perilaku
depresi, penurunan berat thymus, berkurangnya viabilitas sel
splenosit, berkurangnya respon proliferasi sel splenosit,
meningkatnya produksi IL-6 dan berkurangnya IL-1b. Hasil tersebut
menunjukkan depresi dapat menyebabkan gangguan kekebalan
karena defisiensi reseptor GPR39 (Mlyniek K, Trojan E, et al, 2016)
Stress dan neurotransmisi glutamatergic yang eksesive
memang berimplikasi pada patofisiologi depresi. Sebuah studi yang
menguji pengaruh pemberian ZnCl2 terhadap depresi yang dipicu
oleh stress tak terduga pada tikus coba menunjukkan bahwa sel
hipokampal yang terpapar pada glutamate akan mengalami
perubahan viabilitas sel secara signifikan. Studi tersebut masih
menguatkan peran zink sebagai antidepresan melalui dampaknya
terhadap mekanisme neurotransmisi glutamatergik (Manos LM,
Moretti M, Colla AR, Ribeiro CM, Dal-cimut, Tosca CI, Rodrigues
AI, 2016)
b. Studi pada Manusia
Kadar Zink yang rendah berhubungan dengan gangguan
mood. Hubungan tersebut terlihat konsisten pada berbagai usia,
dari usia dewasa muda (Sawada T, Yokoi K, 2010), dewasa (Maes
39
M, D'Haese PC, Scharpe S, et al, 1994) hingga usia lanjut
(Marcellini F, Papa R, Giuli C et al., 2006). Beberapa studi juga
menunjukkan adanya hubungan tentative antara zink dan
pengaturan mood pada bayi dan anak-anak (DiGirolamo AM,
Ramirez-Zea M, 2009)
Nowak, et al, melaporkan hasil penelitian dalam sampel kecil
(n=20), yang menunjukkan bahwa gejala depresi berkurang pada
subjek yang menerima suplemen zink. Studi tersebut
membandingkan kelompok yang menerima suplemen zink dan
antidepressan dengan yang menerima placebo dan
antidepressan.(Nowak G, Siwek M, Dudek D, et al, 2003)
Sawada dan Yokoi melakukan studi pada populasi wanita
yang sehat. Studi tersebut menemukan bahwa pemberian zink
dapat menurunkan skor kecendrungan untuk mengalami depresi.
Meskipun pada komponen mood lainnya (seperti kecemasan dan
rasa lelah) tidak terjadi perubahan (Sawada T, Yokoi K, 2010)
Beberapa studi yang mengkaji peran zink pada manula,
menunjukkan bahwa zink berperan penting untuk mengurangi
stress pada lanjut usia. Konsentrasi zink plasma yang lebih rendah
berhubungan dengan beberapa variabel psikologi yang rendah
pula, seperti status kognitif, mood dan stress, khususnya pada
daerah dengan asupan zink yang rendah maupun variasi makanan
kaya zink yang terbatas (Marcellini F, Giuli C, Papa R, et al, 2008)
40
Studi di Itali menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
konsentrasi albumin (sebagai indikator status zink) dan depresi,
71% peserta yang mengalami defisiensi albumin memiliki skor
depresi yang lebih tinggi bila dibandingkan peserta dengan nilai
albumin yang normal (Marcellini F, Giuli C, Papa R, Malavolta M,
Mocchegiani E, 2006)
Studi yang dilakukan untuk menilai kadar zink dan Cu pada
penderita depresi menunjukkan bahwa mereka yang mengalami
depresi baik yang memiliki kecemasan sekunder maupun tidak
ternyata mempunyai kadar zink yang rendah dan kadar Cu yang
tinggi. Setelah diberi intervensi zink, ternyata kadar zink pada
penderita depresi tersebut mengalami peningkatan. Tingkat
keparahan depresi juga mengalami penurunan yang signifikan
setelah peningkatan kadar zink pada individu tersebut (Russo,
2011)
Meski demikian, studi yang dilakukan di Eropa, tidak
menemukan hubungan antara mood dan status zink. Pada peserta
dengan status zink yang normal tidak ditemukan perbedaan mood.
Temuan tersebut mengindikasikan bahwa pada rentang nilai yang
normal, pengaruh zink pada mood mungkin sangat kecil dan tidak
dapat dideteksi (McConville C, Simpson EEA, Rae G, et al, 2005)
Alterasi pada keseimbangan zink berhubungan dengan
gangguan system imun. Peningkatan system respon inflamasi
41
menyebabkan meningkatnya rasio CD4+/CD8+ sel T, nepterin
serum dan IL-6 serta menyebabkan gangguan fungsi pada sel
kekebalan (berkurangnya produksi sitokin sel T) (Nowak G,
Szewzyk B, Pilca, 2005). Rendahnya kadar zink darah merupakan
representasi dari berkurangnya simpanan zink di otak. Mekanisme
antidepresan pada zink diduga karena perannya pada sistem
glutamate (Wojcik J, Dude D, Schlegel-Zawadzka M, et al, 2006).
Zink dapat meningkatkan kerja dari antidepresan, namun di
sisi lain ditemukan pula bahwa antidepresan seperti imipramine
atau citatoplam memicu peningkatan konsentrasi zink sebesar 20%
di area hipokampus maupun bagian otak lainnya (Nowak G,
Zawadzka S, 1999)
4. Hubungan Zink dan Depresi Post Partum
Selain berhubungan dengan depresi secara umum, zink juga
berperan pada terjadinya DPP pada ibu.(Ellsworth-Bowers ER,
Corwin EJ, 2012). Wojcik et al, telah melakukan studi kohort
terhadap 66 wanita yang diberikan suplementasi zink. Serum zink
kemudian diperiksa pada tiga titik waktu, yaitu satu bulan sebelum
melahirkan, 3 hari dan 30 hari setelah melahirkan. Hasilnya
menunjukkan bahwa kadar zink berhubungan dengan keparahan
gejala depresi pada ibu yang mengalami DPP(Wojcik J, Dude D,
Schlegel-Zawadzka M, et al, 2006)
42
Studi-studi terkait zink yang dilakukan di Indonesia, masih
belum ada yang melihat peran zink pada depresi, khususnya
depresi post partum. Bahkan, data tentang kadar zink pada ibu post
partum sepertinya belum tersedia. Padahal berdasarkan review
yang telah dilakukan, sebagian besar studi mendukung adanya
peran zink pada kejadian depresi. Sehingga perlu adanya studi
tentang hubungan zink dan depresi postpartum pada ibu yang
dilakukan di Indonesia, khususnya di Makassar
6. Peran Zink pada Keseimbangan Glutamatergik (Glutamatergic
Theory)
Sebagai masalah psikiatrik yang cukup serius, penelitian
tentang depresi terus dilakukan untuk memahami berbagai
mekanisme yang terlibat. Antidepresan yang tersedia saat ini
bekerja berdasarkan teory monoaminergik, sebuah teori yang
meyakini bahwa terjadinya depresi adalah karena berkurangnya
kadar serotonin dan dopamine di otak (Hollander, 1999). Tetapi
kenyataan menunjukkan bahwa lebih dari 30% pasien tidak
merespon pengobatan tersebut. Karena hal itu maka penelitian
tentang mekanisme terjadinya depresi terus dilakukan. Pada
dekade terakhir ditemukan bahwa depresi memiliki hubungan
dengan hiperaktivitas glutamat
Glutamat merupakan neurotransmitter eksitasi utama pada
system saraf pusat dan berikatan dengan beraneka reseptor
43
ionotropic dan metabotropic. Pada peristiwa eksitasi itu sendiri
terjadi pembukaan kanal natrium yang memungkinkan listrik
bermuatan positif dalam jumlah besar untuk mengalir ke bagian
inferior sel pascasinaptik. Hal ini akan meningkatkan potensial
membrane kearah positif menuju nilai ambang rangsang untuk
menyebabkan eksitasi. Penekanan hantaran melalui kanal klorida
atau kalium atau keduanya. Hal ini akan menurunkan difusi ion
klorida bermuatan negative ke bagian dalam neuron pascasinaptik
atau menurunkan difusi ion kalium bermuatan positif ke bagian luar
(Guyton, 2007)
Glutamat, beberapa diantaranya berada pada membrane pre
atau postsynaptic dan beberapa lagi pada sel-sel glial. Reseptor
ionotropic (ion channels) termasuk N-methyl-D-Aspartate (NMDA),
alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-isoxazole-4-propionicAcid (AMPA)
dan kainite. Sedangkan reseptor metabotropic meliputi 3 kelompok
reseptor protein G berpasangan, yaitu mGluR1 dan mGluR5,
mGluR2 dan mGluR3 dan mGluR4, mGluR6 serta mGluR7 (Pilc A,
Chaki S, Nowak G, Witkin JM, 2008)
Glutamat dilepaskan dari depolarisasi neuron presinaptic
kemudian masuk ke astrosit melalui transporter asam amino
eksitatory (EAATs), yang disebut sebagai siklus glutamate berawal
(Niciu MJ, Kelmendi B, Sanacora G, 2012). Di astrosit, glutamate
diubah menjadi glutamine dengan bantuan glutamine synthetase,
44
yang kemudian keluar dari astrosit menuju neuron melalui
transporter glutamine spesifik. Di neuron, glutamine akan diubah
kembali menjadi glutamate dan GABA (Gamma Amino Butirat Acid)
(Asam Gamma-Aminobutirat) oleh asam glutamic dekarbokxilase.
Untuk menjaga homeostasis otak, pelepasan glutamate dibutuhkan.
Hal tersebut terjadi karena peran mGluR2/3 presinaptic yang
mengatur pelepasan glutamate ataupun melalui inhibisi oleh GABA
(Mlyniec, 2015).
Gangguan keseimbangan antara eksitatorik utama yaitu
neurotransmitter glutamatergic dan inhibitory utama yaitu
neurotransmitter GABA-ergic menyebabkan kerusakan seluler yang
disebut “excitotoxicity”. Fenomena tersebut menjadi penyebab
terjadinya depresi (Mlyniec, 2015)
Zink berperan penting pada otak mamalia.
Keberadaannnya pada pusat pengaturan emosi seperti pada
hippocampus dan korteks frontal.amigdala serta olfactory bulb.
Bagian-bagian tersebut kaya akan zink sehingga disebut neuron
zincergic yang mengandung glutamate dan Zn2+
(Colvin R,
Fontaine CP, Laskowski M, Thomas D, 2003)
Karena lokasinya tersebut, zink dapat memodulasi
eksitabilitas di otak melalui pengaruhnya terhadap reseptor
glutamatergic dan GABAergic. Zink juga berpengaruh pada
reseptor NMDA serta reseptor AMPA dan kainite. Telah ditemukan
45
bahwa konsentrasi zink yang tinggi meningkatkan respon reseptor
AMPA dan kainite, namun pada konsentrasi yang sangat tinggi
justru menghambat respon reseptor tersebut (Nakashima AS, Dyck
RH, 2009)
GPR39-yang merupakan reseptor zink yang berperan
pada keseimbangan glutamatergic. Studi terkini menunjukkan
bahwa zink bertindak sebagai neurotransmitter pada system saraf
pusat melalui reseptor GPR39 (HolstB, et al, 2007). GPR39 itu
sendiri diaktifkan oleh ion zink. GPR39 merupakan reseptor
metabotropic yang tersebar secara luas pada daerah otak yang
memproses emosi, khususnya neuron CA3. Studi menunjukkan
bahwa tikus yang menerima diet rendah zink memiliki ekspresi
reseptor GPR39 yang lebih rendah pada hipokampus dan korteks
frontal (Mlyniec K, Budziszewska B, Reczynski W, Sowa-Kucma,
Nowak G, 2013)
7. Tinjuan Umum Tentang Perokok Pasif
Perokok pasif adalah seseorang yang menghirup asap
rokok (dari orang yang merokok) dan langsung berasal dari sisa
pembakaran rokok (Octavia, 2016). Definisi lain menyatakan bahwa
perokok pasif adalah penduduk yang bukan perokok namun tinggal
serumah dengan perokok aktif yang merokok dalam rumah
(Woodruf TJ, Parker JD, Darrow LA, et al, 2009).
46
Berdasarkan Riskesdas 2013, sebesar 85% rumah tangga
di Indonesia terpapar asap rokok, estimasinya adalah delapan
perokok meninggal karena perokok aktif, satu perokok pasif
meninggal karena terpapar asap rokok orang lain. Berdasarkan
perhitungan rasio tersebut maka sedikitnya 25.000 kematian di
Indonesia terjadi karena asap rokok orang lain (Kemenkes, 2014)
Rokok mengandung nikotin, Tar, gas CO, TSNA,B-a-P,
residu pestisida dan bahan-bahan berbahaya lainnya. Zat-zat
tersebut akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif di dalam
tubuh karena tingginya radikal bebas yang terbentuk tidak mampu
dinetralisir oleh system pertahanan antioksidan tubuh. Dalam
jumlah yang normal, radikal bebas dapat bermanfaat bagi tubuh
misalnya sebagai anti-inflamasi, membunuh bakteri dan
mengendalikan tonus otot polos. Namun radikal bebas dapat
menyebabkan stress oksidatif bila terdapat dalam jumlah yang
besar sehingga dapat menyebabkan terjadinya kematian sel
(Motalebnejad M, et al, 2013)
Pada sebuah studi yang melibatkan 105 orang, yang
terdiri dari 35 orang non perokok, 35 orang perokok aktif dan 35
orang perokok pasif, menemukan bahwa pada perokok aktif
maupun perokok pasif terjadi stress oksidatif serta terjadi
ketidakseimbangan antara oksidasi dan antioksidan (Yokus B, Mete
N, Color UD, Topak G, 2014)
47
Kadar Zn dan albumin pada wanita perokok yang diukur
ada 24 jam serta 48 jam setelah melahirkan juga jauh lebih rendah
dibandingkan ibu yang tidak merokok (Blanusa M, et al, 1985).
Demikian pula yang ditemukan oleh Viroonudomphol, pada
studinya terhadap 150 orang perokok dan 50 orang perokok.
Ternyata ditemukan bahwa kadar Pb dan Cd pada perokok lebih
tinggi bila dibandingkan kontrol. Sebaliknya, kadar Cr, Se dan Zn
lebih rendah secara signifikan pada perokok dibandingkan kontrol
(Viroonudompol D, Suwanton L, Pinyosirikul U, Satsue S,
Harnruongroj T, 2016)
8. Tinjauan Tentang Pola Konsumsi
Pola konsumsi pangan adalah susunan beragam bahan
makanan yang umum dikonsumsi suatu masyarakat. Pola konsumsi
pangan masyarakat merupakan refleksi dari ketersediaan pangan
daerah tersebut, akses, dan preferensi masyarakat terhadap bahan
makanan yang dikonsumsi. Pola konsumsi masyarakat dapat
berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lainnya, karena
pola yang terbentuk merupakan hasil perpaduan dari berbagai faktor
yang mempengaruhinya. Pada dasarnya ada dua faktor yang
mempengaruhi pola konsumsi pangan yaitu faktor ekstrinsik (yang
berasal dari luar diri manusia) dan faktor intrinsik yang berasal dari
dalam diri manusia). Yang termasuk faktor ekstrinsik antara lain
48
lingkungan alam, sosial, budaya, agama, dan ekonomi (Khomsan,
2004)
Konsumsi pangan merupakan salah satu faktor yang secara
langsung berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi
merupakan hasil masukan zat gizi dan pemanfaatannya dalam
tubuh. Untuk mencapai status gizi yang baik diperlukan pangan
yang mengandung cukup zat gizi, aman untuk dikonsumsi dan
dapat memenuhi kebutuhan. Jika konsumsi pangan tercukupi,
maka semua kebutuhan energi, protein, dan zat gizinya diharapkan
dapat menghasilkan status gizi yang baik dan terhindar dari
masalah kesehatan kurang gizi. Sebaliknya, jika zat gizi tidak
tercukupi, maka semua kebutuhan energi, protein dan zat gizinya
akan menghasilkan status gizi kurang dan rawan terhadap masalah
kesehatan kurang gizi. Selain konsumsi pangan, infeksi penyakit
dan kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan juga
dapat mempengaruhi status gizi seseorang (Moehji, 2003).
Food Frequency Questionaire (FFQ)
Metode ini dilakukan dengan memperoleh data tentang frekuensi
konsumsi sumber zat zink selama priode tertentu seperti hari,
minggu, bulan atau tahun serta untuk mengetahui seberapa banyak
sumber zat zink yang dikonsumsi.
Adapun nilai skor untuk metode Food Frequency berdasarkan
Nutritional Epidemilogy adalah sebagai berikut:
49
0 : tidak pernah
0,07 : 1-3 kali/bln
0,14 : 1 kali/minggu
0,43 : 2-4 kali/minggu
0,79 : 5-6kali seminggu
1,0 : 1 kali/hari
2,5 : 2-3 kali/hari
4 : >4 kali/hari
B. Tabel Sintesa Penelitian
Judul
No Tahun Nama Penulis Metode Hasil
Nama Jurnal
Tikus coba dipaparkan pada stress tak terduga kronis (CUS) selama 14 hari. Dari hari ke 8 sampai hari ke 14 tikus diberi zinkchlorida Involvement of (ZnCl2) (10 mg/kg) dan Glutamatergic kontrol menerima Neurotransmission in Fluoxatine (10 mg/kg) The Antidepressant Like
Experimental sekali sehari secara oral.
Effect of Zink in The CUS menyebabkan 1 2016 Study pada tikus
Chronic Unpredictable perilaku spt gejala coba Stress Model of depresi dengan
Depresion, oleh Manoso meningkatkan waktu et al, dimuat pada J perpindahan pada TST Neural Transm (Vienna) (Tail Suspension Test). Sayatan hipocampal yang terpapar secara exvivo pada glutamat (10mM) menyebabkan penurunan viabilitas sel secara signifikan. Zink
50
berperan dalam mengembalikan perubahan perilaku yang dipicu oleh CUS pada tikus coba, dibawah penjelasan peran zink pada neurotransmisi glutamatergic
Kasus kontrol
Effect of Active and terhadap 150
Kadar Pb dan Cd pada orang perokok Passive Smoking on perokok cenderung lebih dan 50 orang non Heavy Metals Toxic and tinggi bila dibanding perokok (kontrol). Antioxidant Trace kelompok kontrol.
Perokok, terdiri
2 2016 Elements, oleh Sebaliknya, kadar Cr, Se dari 50 orang Viroonudomphol, et al, dan Zn lebih rendah perokok kretek dimuat dalam Journal of secara signifikan pada pabrik modrn, 50 Medical and perokok bila perokok kretek
Bioengineering dibandingkan kontrol lokal dan 50
perokok pasif
Depresi terjadi karena ketidakseimbangan antara sistem eksitatory dan inhibitory utama yaitu Glutamatergic dan
Zink in The GABAergic system.
Penggunaan antagonis Glutamatergic Theory of dari sistem
3 2015 Depresion oleh Mlyniec Review Artikel glutamatergic, termasuk K dimuat pada Current
zink, menunjukkan efek Neuropharmacology antidepresan pada studi
preklinis maupun klinis. zink menghambat reseptor NMDA melalui pengikatannya pada sisi di salah satu subunitnya.
51
Cross Sectional
Effect of Active and terhadap 105
orang sampel, Passive Smoking on yang terdiri dari 35 pada perokok aktif dan Antioxidant Enzymes orang tidak pasif terjadi stress and Antioxidan
pernah merokok, oksidatif serta terjadi 4 2014 Micronutrients oleh
35 orang merokok ketidakseimbangan B.Yoku, et al dimuat lebih dari 15 antara oksidasi dan pada Biotecnology and batang perhari, 35 antioksidan Biotechnological orang terpapar Equipment asap rokok 2
batang per hari
Zink neuronal terkonsentrasi pada neuron glutamatergik, berperan sebagai modulator allosteric untuk N-Methyl-D- Aspartate (NMDA) dan reseptor lainnya yang mengatur neurotransmisi eksitatory dan Potential Roles of Zink in neuroplastisity. Neuron The Pathophysiology yang mengandung zink and Treatment of Major
Eksperimental terdapat pada korteks,
5 2013 Depresive Disorder oleh amigdala danpada tikus
Swadfager W, et al, hipocampus, yang
dimuat pada Neurosci merupakan bagian otak Biobehav Rev yang terkait dengan pengaturan mood dan fungsi kognitif. Pada hewan yang mengalami depresi, kadar zink cenderung lebih rendah pada bagian-bagian tersebut. secara klinis, kadar zink serum lebih rendah pada subjek yang mengalami depresi
52
Metaanalisis/Revi Meski kadar n-3 PUFA ew Paper tentang memiliki hubungan status dengan DPP dan
Nutrition and The mikronutrient dan psychoneuroimmunolog
PPD, y, tetapi hasilnya masih Psychoneuroimmunology menganalisis belum konsisten. Status of Postpartum Depresion
masing-masing vitamin B masih belum62012 oleh E.R Ellsworth-
mikronutrient (N-3 jelas kaitannya dengan Bowers and EJ Corwin PUFA, Vitamin DPP. Sedangkan dimuat pada Nutr Res B1, Vitamin D dan vitamin D dan Zn serta Rev Trace mineral Se terlihat berhubungan
pada mekanisme dengan DPP dan psikoneuroimmun psychoneuroimmunolog ology y
Kohort, terhadap wanita hamil di London. Sindrom Depresi diukur
Higher Zink Intake Buffer dengan CES-D,
stress psikososial The Impact of Stress on diukur dengan Depresive Symptoms in
7 2010 kuesioner
Pregnancy oleh Roy A, tervalidasi, Evers SE, Avison WR asupan zink dimuat pada Nutr Res diukur dengan
FFQ dan data suplemen. Data dianalisis dengan uji regresi
Dukungan sosial yang rendah, stress yang tinggi serta asupan zink yang rendah berhubungan dengan skor CES-D yang tinggi. Setiap peningkatan 1 poin pada skor stress berhubungan dengan peningkatan 1 poin pada skor CES-D. sementara kuintil asupan zink yang lebih rendah berhubungan dengan peningkatan 1 poin skor CES-D. Asupan zink menjadi faktor yang memperantarai hubungan antara stress dan gejala depresi, asupan zink pada kuintil yang lebih tinggi menjadi penetralisir dampak stress
53
Kadar serum Cu/ZnSOD
Kasus kontrol, pada individu yang
mengalami depresi dengan sampel 36 (dengan atau tanpa Increased Serum Cu/Zn individu yang kecemasan sekunder) SOD in Individuals With didiagnosis lebih tinggi secara Clinical Depresion mengalami signifikan dibandingkan
Normalizes After Zink depresi klinis dan 8 2010 pada kontrol dengan
and Anti-Oxidant 18 individu sehat usia dan jenis kelamin Therapy oleh Russo AJ sebagai kontrol. yang sama. Setelah dimuat pada Nutr Metab Pemeriksaan terapi antioksidan, kadar Insights kadar Cu/Zn SOD Cu/Zn SOD menjadi dengan metode normal seperti pada ELISA individu kontrol yang
sehat Randomized positive-controlled trial, Jumlah sampel sebanyak 459 wanita yang dibagi menjadi empat kelompok, yang menerima Micronutrient suplemen secara Suplementation May mingguan (5,000 Reduce Symptoms of atau 2,800 gram)
9 2009 Depresion in Guatemala atau harian (400Women, oleh Nguyen et atau 200 gram)
al, dimuat pada Archivos asam folat, Fe, Latino Americano de Zink dan Vitamin Nutricion B 12 selama 12 minggu. Depresi diukur dengan CES-D dengan skor 16 sebagai indikasi terjadinya depresi. Analisis data dilakukan dengan uji regresi
Prevalensi depresi adalah 49,3%. Tidak ditemukan hubungan antara depresi dan folat, homosistein, vitamin B12, Hb, Fe ataupun zink. Meski suplementasi
mikronutrient dapat memperbaiki gejala depresi
54
Prevalensi depresi antenatal sekitar 20%, 12 sampai 16 % berlanjut menjadi depresi postpartum. Terdapat kemungkinan bahwa depresi maternal tidak terlaporkan dan Perinatal Depresion : tidak terdiagnosis. Prevalence, Risk and Faktor risiko terjadinya The Nutrition Link-A depresi meliputi genetik
10 2009 Review of The Literature
Literatur Review dan faktor lingkungan,
oleh Leung BMY dan sosial, psikologi dan
Kaplan BJ, dimuat pada biologi. Salah satu faktor Journal of The Academic biologis yang dapat of Nutrition and Dietetics meningkatkan kejadian depresi adalah gizi yang tidak adekuat. terdapat hubungan antara defisiensi gizi dan mood, seperti folat, vitamin B12, Kalsium, Fe, Selenium, Zn, dan asam lemak Omega 3 Suplementasi zink selama 4 bulan pada Neuroprotective Effects tikus yang diterapi of Zink on Antioxidant Eksperimental dengan lithium secara Defense System in pada tikus betina, signifikan meningkatkan
11 2007 Lithium Treated Rat pemeriksaan aktivitas katalase dan Brain oleh Bahalla P cerebrum dan GST di cerebellum, dimuat oleh Indian J Exp cerebellum menunjukkan bahwa Biol terapi dengan zink dapat memperbaiki depresi yang dipicu oleh lithium
55
Faktor Fisiologis
Monoaminergik
Neurotrophic
HPA Axis
Immunological
Glutamatergic
System
C. Kerangka Teori Penelitian
Riwayat Gejala Pengalaman
PMS Persalinan
Depresi Stress Psikologi
Postpartum
Zat Gizi PUF Faktor Psikososial
Omega
Vitamin D
Selenium Faktor
Kepribadian
Zink
Sumber :(Mlyniec, 2015)(Ellsworth-
Zn2+
Bowers ER, Corwin EJ, 2012)(Payne
KCC2 2AG
JI, Palmer JT, Joffe H, 2009)(Marks
MN, Wieck A, Checkley SA, Kumar
GPR3 R, 1992)(Verkerk GJ, Denollet J, Van 51
Heck GI, Van Son MJ, Pop VJ,
D. Kerangka Konsep Penelitian
Penelitian ini ingin melihat peran faktor psikososial dan kadar zink
terhadap kejadian postpartum blues pada ibu dari keluarga perokok dan
non perokok di RSIA Siti Fatimah Kota Makassar
Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas (independen) adalah
faktor psikososial (pendidikan, pekerjaan, penghasilan keluarga, dukungan
suami, dan dukungan keluarga) serta kadar zink sedangkan sebagai
variabel terikat (dependen) adalah kejadian postpartum blues. Semua
variabel tersebut akan diukur pada ibu untuk melihat perbandingan peran
faktor psikososial dan kadar zink terhadap kejadian postpartum blues
Secara skematik, penelitian ini akan terlihat sebagai berikut :
Kadar Zink
Kejadian
Postpartum Blues
Faktor Psikososial
Keterangan :
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
52
E. Definisi Operasional (DO) dan Kriteria Objektif (KO)
Variabel DO dan KO Alat Ukur Skala Data
Depresi yang dialami ibu setelah Ordinal Postpartum Edinburg
persalinan yang diukur pada saat 3 blues Postnatal
hari post partum, dinyatakan dalam Depresion
skor Scale (EPDS)
Mengalami Postpartum blues skor
>10
Tidak mengalami Postpartum
blues skor < 10
(Meilina, 2014)
Kadar zink dalam plasma serum Rasio Kadar Zink Metode
(Saito M, Makino, et al, 1982), Nominal Colorimetric
diukur pada waktu pagi hari ketika menggunakan
ibu tidak berpuasa QuantiChrom
Defisiensi : <66 µg/dl Zink Assay Kit
Tidak defisiensi : > 66 µg/dl
Karena semua responden memiliki
kadar zink yang defisiensi, maka
dikategorikan lagi :
Sangat rendah: < nilai mean
53
Rendah : > nilai mean
Faktor Faktor psikologi, ekonomi maupun
Psikososial social yang terdiri dari Pendidikan,
pekerjaan, penghasilan, dukungan
suami dan dukungan keluarga
yang berhubungan dengan
terjadinya postpartum blues pada
ibu
Pendidikan Jenjang pendidikan terakhir yang
Kuesioner Nominal
dicapai oleh ibu
Rendah jika pendidikan ibu sampai
tamat SMP
Tinggi jika pendidikan ibu tamat
SMA atau lebih
Pekerjaan Kegiatan yang dilakukan ibu dan
Kuesioner Ordinal
ibu mendapatkan penghasilan dari
hal tersebut
Tidak bekerja jika ibu adalah IRT
Bekerja jika ibu memiliki jenis
pekerjaan lain
54
Penghasilan Jumlah penghasilan yang
Kuesioner Nominal
keluarga diperoleh keluarga
Dibawah UMR, jika penghasilan
keluarga kurang dari 2 juta
perbulan
sesuai UMR, jika penghasilan
keluarga 2 juta atau lebih perbulan Dukungan dan partisipasi suami
Kuesioner Nominal
Dukungan yang diberikan kepada ibu
suami Ya, jika ibu merasa mendapat
dukungan suami
Tidak, jika ibu tidak merasa
mendapat dukungan suami
Dukungan Dukungan dan partisipasi keluarga
Kuesioner Nominal
keluarga yang diberikan kepada ibu
Ya, jika ibu merasa mendapat
dukungan keluarga
Tidak, jika ibu tidak merasa
mendapat dukungan suami
55
Status Status ibu sebagai perokok pasif,
Kuesioner Nominal
Keluarga yang tinggal bersama perokok aktif
sehingga ibu terpapar oleh asap
rokok
Kelurga perokok : Jika ibu tinggal
dengan perokok aktif
Keluarga non perokok : Jika ibu
tidak tinggal dengan perokok aktif
Pola Pola konsumsi yang
FFQ semi Nominal
Konsumsi dimaksud dalam penelitian
kuantitatif
Sumber zink ini adalah jumlah
keseluruhan sumber zat zink
yang dikonsumsi oleh
responden, yang ditinjau
dari segi jenis dan
frekuensinya. Pola konsumsi
makan pada anak diukur
dengan menggunakan
metode food frequency semi
kuantitatif
a. Sering : rata-rata skor
responden ≥ 0,43
b. Jarang : rata-rata skor
56
responden ≤ 0,42
Sumber: Almatsier (2001).
Suplemen Fe yang Suplemen Fe
dikonsumsi oleh responden
a. Sering : rata-rata skor
responden ≥ 0,43
b. Jarang : rata-rata skor
responden ≤ 0,42
Sumber: Almatsier (2001).
F. Hipotesis Penelitian
1. Terdapat hubungan antara kadar zink dengan kejadian
postpartum blues
2. Terdapat hubungan antara faktor psikososial (Pendidikan,
pekerjaan, penghasilan keluarga, dukungan suami dan
dukungan keluarga) dengan kejadian postpartum blues
3. Terdapat korelasi antara kadar zink dengan skor EPDS
57
4. Terdapat korelasi antara faktor psikososial (Pendidikan,
pekerjaan, penghasilan keluarga, dukungan suami dan
dukungan keluarga) dengan skor EPDS
58
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional
analitik dengan rancangan cross sectional study, dimana variabel
independen (bebas) dan variabel dependen (terikat) diukur pada
waktu bersamaan. Studi ini merupakan studi komparatif analitik
karena membandingkan peran faktor psikososial dan kadar zink
terhadap kejadian postpartum blues pada ibu dari keluarga perokok
dan non perokok.
Secara skematik, desain penelitian ini akan terlihat sebagai berikut
:
Ibu Post Partum
Postpartum Tidak Postpartum Blues
Kadar Zink
Faktor
Gambar 1. Skema Penelitian
59
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RS. Siti Fatimah Kota
Makassar pada bulan Mei sampai Juni tahun 2017.
A. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi penelitian ini adalah ibu postpartum di RS. Siti Fatimah
Kota Makassar pada bulan Mei sampai Juni tahun 2017.
2. Sampel
Besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini dihitung
dengan menggunakan rumus besar studi cross sectional
(Dahlan, 2016)
√ √ √ √
√
= √
=n1=n2=19,404
Dibulatkan jadi 20
60
Maka sampel yang dibutuhkan tiap kelompok adalah 20 orang
sampel
Dengan Keterangan :
n1 = Jumlah subjek pada kelompok 1
n2 = Jumlah subjek pada kelompok 2
Zα=Nilai standar alpha 5% yaitu 1,96
Zβ= Nilai standar beta 20% yitu 0,84
P1 = Proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi 1,
ditetapkan 70% (0,7)
P2=Proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi 2,
ditetapkan 50% (0,5)
Pada penelitian ini jumlah sampel yang diperoleh adalah 70
responden, dengan rincian 40 sampel menderita postpartum
blues (kasus) dan 27 sampel tidak menderita postpartum blues
(kontrol)
Sampel dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai
berikut
Kriteria inklusi
1. Ibu postpartum yang dirawat di RS St. Fatimah Periode
Mey-Juni 2017
2. Ibu melahirkan secara normal
3. Ibu multipara
4. Bersedia menjadi responden (mengisi informed consent)
61
Kriteria Eksklusi
1. Ibu menderita penyakit parah/komplikasi
2. Lila ibu kurang dari 23,5 cm (gizi kurang)
3. Ibu memiliki riwayat depresi
C. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui data primer dan data
sekunder. Pengambilan data primer dilakukan melalui pengambilan
darah oleh bidan yang merawat responden di rumah sakit dan
kuesioner umum serta Edinburg Postnatal Depresion Scale (EPDS)
untuk mengukur kejadian postpartum blues pada ibu. Pengambilan
data karakteristik merokok dengan kuesioner dan data tentang
depresi menggunakan EPDS dilakukan pada pagi hari di hari ke 3
postpartum. Selain itu dilakukan pengukuran Lila pada ibu
menggunakan pita ukur. Setelahnya, baru dilakukan pengambilan
darah. Untuk keperluan pemeriksaan zink, darah diambil dari vena
cubiti dengan menggunakan mikrokuvet masing-masing sebanyak
5 ml.. Darah yang sudah diambil oleh bidan kemudian disimpan ke
dalam ice box untuk menjamin kualitasnya dan mencegah
kerusakan selama proses pengangkutan sampel dari rumah sakit
ke laboratorium. Darah diambil pada pagi hari pada saat ibu tidak
berpuasa. Setelah darah terkumpul kemudian dibawa ke HUM-RC
untuk disimpan di lemari pendingin. Pada saat hari sabtu dan
62
minggu saat lab tutup, maka sampel akan disimpan di lemari
pendingin milik rekan peneliti
Prosedur Pemeriksaan Zn Serum
Pemeriksaan zink dilakukan dengan QuantiChrom Zink Assay Kit
(DIZN-250). Merupakan kit pemeriksaan zink yang memiliki tingkat
sensitifitas dan akurasi yang baik serta tidak membutuhkan perlakuan
persiapan terhadap sampel (pretreatments)
Bahan-bahan
1. Aquades (deionized water)
2. Plasma darah (sampel)
3. Kit, yang terdiri dari reagen A, reagen B dan reagen C
Alat-alat
1. Mikropipet
2. Tips pipet
3. Tatakan sampel
4. Wadah
5. Tabung microwheel 1,5 ml
6. Tabung ukuran 15 ml
Persiapan sampel
1. Siapkan sampel plasma dan air murni
2. Pipet masing-masing 20 ml air murni ke dalam microwheel
63
3. Tambahkan 5 mikroliter plasma ke dalam tabung mikrowheel
yang telah berisi air murni (deionized water), sisakan 6 tabung
mucrowheel untuk larutan standar
4. Siapkan tabung standar sebanyak 6 tabung untuk membuat
larutan reagen standar
5. Pipet air murni ke dalam tabung standar masing-masing tabung
A =40 mikroliter, tabung B=42,5 mikroliter, tabung C=45
mikroliter, tabung D=47,5 mikroliter, tabung E =50 mikroliter dan
tabung F=52,5 mikroliter
6. Tambahkan reagen standar masing-masing tabung A=10
mikroliter, tabung B= 7,5 mikroliter, tabung C= 5 mikroliter,
tabung D=2,5 mikroliter sedangkan tabung E dan F dikosongkan
7. Spindown (putar) larutan tersebut dengan alat centrifuge 5415 R
selama 30 detik dengan kecepatan 13.000 rpm
8. Tambahkan larutan reagen standar sebanyak 25 mikroliter ke
dalam tabung microwheel standar A, B. C dan D. pada tabung E
tambahkan EDTA sebanyak 1 mikroliter
Persiapan working reagen
1. Siapkan tabung sentrifugasi volume 15 ml
2. Pipet reagen A sebanyak 11 ml ke dalam tabung
3. Tambahkan reagen B dan reagen C sebanyak 220 mikroliter
4. Guncang larutan tersebut dengan shaker selama 1 menit agar working
reagen tercampur dengan baik
64
5. Tuangkan working reagen ke dalam wadah
6. Tambahkan working reagen tersebut sebanyak 100 mikroliter ke dalam
masing=masing tabung sampel dan tabung standar (semua tabung)
7. Inkubasi tabung dalam suhu ruang di atas mikroplate shaker selama
30 menit
8. Baca hasil optical density menggunakan Elisa reader (ELX 800) pada
425 nm
9. Hasil pembacaan dipindahkan ke program excel
10. Menentukan kurva standar
.00 11
.17 9
.33 7
.50 5
.67 3
.83 1
.00
0 0.0
S = 0.37446653 r = 0.99887757
0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.1
X Axis (units)
11. Membuat persamaan sesuai dengan kurva standar, dan diperoleh
fungsi sebagai berikut :
Rational Function: y=(a+bx)/(1+cx+dx^2) Coefficient Data: a = -0.047
b = 155.16
c = 6.2868
d = -1.862
65
D. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi dengan
menggunakan computer SPSS (Statistical Product and Service
Solution) versi 18.0 dengan beberapa data
1. Editing, yaitu tahap pemeriksaan hasil pengumpulan data yang
bertujuan untuk mengetahui kelengkapan, kejelasan makna
jawaban, konsistensi maupun relevansi dengan penelitian
2. Coding, yaitu tahap pemberian kode agar memudahkan proses
pengolahan dan analisis data
3. Entry data, yaitu tahap memasukkan data yang telah
dikumpulkan untuk diolah pada komputer dengan program
4. Cleaning data, yaitu tahap membersihkan kesalahan yang
mungkin terjadi selama proses input data. Cleaning data
dilakukan dengan cara analisis frekuensi pada semua variable.
Data missing dibersihkan dengan mengimput kembali data yang
benar
E. Analisis Data
Analisis data adalah tahap menganalisis data yang telah diolah.
Proses ini dilakukan melalui analisis univariat dan bivariat dengan
66
menggunakan program analisis yang telah tersedia dalam aplikasi
SPPS
1. Analisis Univariat digunakan untuk mendapatkan gambaran
umum dengan mendeskripsikan distribusi frekuensi dari tiap-tiap
variabel
2. Analisis bivariat digunakan untuk menguji hipotesis penelitian
ini. Hipotesis diterima jika nilai kemaknaan p<0,05. Normalitas
data diuji dengan Kolmosgorov-Smirnov dengan kemaknaan
p<0,05. Jika nilai p>0,05 maka data terdistribusi normal, dan
sebaliknya jika nilai p<0,05 maka data tida terdistribusi normal.
Secara rinci, uji yang digunakan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Untuk membuktikan hipotesis 1 yaitu “Terdapat Hubungan
antara kadar zink dan kejadian postpartum Blues” digunakan uji
chis quare
b. Untuk membuktikan hipotesis 2 yaitu “Terdapat hubungan faktor
psikososial (pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga,
dukungan suami dan dukungan keluarga” digunakan uji chi
square
c. Untuk membuktikan hipotesis 3 yaitu “Terdapat korelasi antara
kadar zink dan skor EPDS” digunakan uji korelasi spearman
d. Untuk membuktikan hipotesis 4 yaitu “Terdapat korelasi antara
faktor psikososial (pendidikan, pekerjaan, penghasilan keluarga,
67
dukungan suami dan dukungan keluarga) dengan skor EPDS
digunakan uji korelasi spearman
F. Etika Penelitian
Penelitian ini mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat
penelitian dalam hal ini adalah RS Siti Fatimah. Setelah
memperoleh izin dari instansi terkait, penelitian juga meminta
pertimbangan etik dari Komisi Etik FK Unhas. Selain itu etika
penelitian dilakukan melalui :
1. Lembar persetujuan (informed Consent)
Informed consent merupakan lembar persetujuan yang
diberikan pada setiap calon responden yang akan diteliti untuk
meminta kesediaannya secara tertulis. Ketika lembar ini
ditandatangani oleh responden maka responden telah bersedia
untuk terlibat dalam penelitian dan memberikan hak kepada
peneliti untuk menggunakan datanya
2. Kerahasiaan (Confidentiality)
Demi menjaga kerahasiaan, maka identitas responden diwakili
oleh inisial saja dan data responden tidak akan dipublikasikan
kecuali untuk keperluan ilmiah
68
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini awalnya direncanakan akan dilaksanakan pada
bulan April sampai Juni 2017 di RB Wihdatul Ummah. Namun baru dapat
dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2017 di RSIA St. Fatimah
karena mengejar jumlah sampel yang diperlukan. Apabila dilaksanakan di
RB Wihdatul Ummah jumlah pasiennya tidak sebanyak di RSIA St.
Fatimah sehingga peneliti pun memutuskan berpindah lokasi penelitian.
Pemeriksaan zink awalnya direncanakan akan dilakukan di Laboratorium
Prodia, namun karena kendala teknis akhirnya pemeriksaan zink
dilakukan dengan metode colorimetric menggunakan QuantiChrom Zink
Assay Kit di Hasanuddin University Medical Research Center (HUM-RC).
Jumlah sampel awalnya direncanakan sebanyak 40 orang dengan
masing-masing 20 orang postpartum blues dan 20 orang tidak. Tapi
sampel yang diperoleh pada penelitian ini berjumlah 67 orang dengan 40
orang menderita postpartum blues (59,7%) dan 27 orang tidak menderita
postpartum (40,3%).
1. Karakteristik umum responden
Karakteristik umum responden pada penelitian ini dapat dilihat pada
tabel 1.
69
Tabel 1. Karakteristik Umum responden berdasarkan faktor psikososial, postpartum blues dan kadar zink
Karakteristik
Jumlah
n %
Usia Ibu
Berisiko 17 25,4
tidak berisiko 50 74,6
Pendidikan Ibu
Rendah 34 50,7
Tinggi 33 49,3
Pekerjaan ibu
Bekerja 4 6,0
tidak bekerja 63 94,0
Pendapatan keluarga
dibawah UMR 31 46,3
sesuai UMR 36 53,7
Dukungan Suami
Ya 59 88,1
Tidak 8 11,9
Dukungan Keluarga
Ya 63 94,0
Tidak 4 6,0
Status merokok keluarga
Perokok 54 80,6
Non perokok 13 19,4
Mengalami Postpartum Blues
Ya 40 59,7
Tidak 27 40,3
Kadar Zink
Sangat rendah 28 41,8
Rendah 39 58,2
Jumlah Total 67 100 Sumber :Data primer, 2017
Berdasarkan tabel 1, terlihat bahwa responden pada penelitian ini
sebagian besar berada pada usia tidak berisiko (20-36 tahun) yaitu 74,6%,
berpendidikan rendah (50,7%), tidak bekerja (IRT) yaitu 96%,
70
memiliki pendapatan keluarga sesuai UMR (53,7%), mendapat dukungan
suami (88,1%), mendapat dukungan keluarga (94,0%), berasal dari
keluarga perokok (80,6%), mengalami postpartum blues (59,7%) dan
kadar zinknya rendah (58,2%)
2. Pola Konsumsi Responden
Tabel 2. Pola Konsumsi Makanan Sumber Zink pada Responden Berdasarkan Kejadian Postpartum Blues
Jenis Makanan Sumber Tidak postpartum
Postpartum Blues Blues zink
n % n %
Hati
Jarang 39 62,9 23 37,1
Sering 1 20,0 4 80,0
Daging sapi
Jarang 38 59,4 26 40,6
Sering 2 66,7 1 33,3
Daging ayam
Jarang 34 60,7 22 39,3
Sering 6 54,5 5 45,5
Ikan Laut
Jarang 10 71,4 4 28,6
Sering 30 56,5 23 43,4
Kerang
Jarang 39 59,1 27 40,9
Sering 1 100 0 0
Telur
Jarang 22 66,7 11 33,3
Sering 18 52,9 16 47,1
Susu
Jarang 23 59,0 16 41,0
Sering 17 60,7 11 39,3
Keju
Jarang 40 59,7 27 40,3
Sering 0 0 0 0
71
Berdasarkan tabel 2, terlihat bahwa jenis makanan sumber
zink yang lebih banyak dikonsumsi oleh ibu yang menderita
postpartum blues adalah daging sapi (66,7%), daging ayam
(54,5%), kerang (100%), ikan laut (56,5%), susu (60,7%) dan telur
(52,9%). Sedangkan ibu yang tidak menderita postpartum blues
lebih sering mengkonsumsi hati (80%). Semua ibu, baik yang
menderita postpartum blues maupun tidak, sama-sama jarang
mengkonsumsi keju
Tabel 3. Pola Konsumsi Tablet Besi pada Responden Berdasarkan Kejadian Postpartum Blues
Pola Makan Postpartum Blues Tidak postpartum Blues
n % n %
Makanan Sumber Zink
Jarang 23 57,5 17 42,5
Sering 16 61,5 10 38,5
Suplemen Fe
Jarang 38 62,3 23 37,7
Sering 2 33,3 4 66,7
Total 40 100 27 100 Sumber :Data primer, 2017
Berdasarkan tabel 3, terlihat bahwa ibu yang menderita postpartum
blues lebih sering mengkonsumsi makanan sumber zink (61,6%)
dan jarang mengkonsumsi suplemen Fe (33,3%). Sedangkan ibu
yang tidak menderita postpartum blues jarang mengkonsumsi
makanan sumber zink (42,5%) dan sering mengkonsumsi
suplemen Fe (66,7%)
72
3. Hubungan antara Kadar Zink dan kejadian postpartum blues
Tabel 4. Hubungan Antara Kadar Zink dan Kejadian Postpartum Blues
Kadar Zink (µg/dl) Postpartum Blues Tidak Postpartum Blues p*
Mean 11,65 9,91 0,263
Min 0,59 0,54
Max 21,72 20,90
SD 5,6 6,96 *Uji T independen Sumber :Data primer, 2017
Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa kadar zink pada ibu yang
menderita postpartum blues lebih tinggi bila dibandingkan ibu yang
tidak menderita postpartum blues. Perbedaannya adalah 1,74
µg/dl. Tetapi perbedaan itu tidak bermakna (p=0,263)
Tabel 5. Hubungan Antara Kadar Zink dan Kejadian Postpartum Blues
Kadar Zink (µg/dl) Postpartum Blues Tidak Postpartum Blues
p*
n % n %
Sangat rendah 14 50% 14 50% 0,170
Rendah 26 66,7 13 33,3 Uji T independen
Sumber :Data primer, 2017
Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa ibu yang menderita postpartum
blues sebagian besar memiliki kadar zink yang rendah (66,7%)
sedangkan pada ibu yang tidak menderita postpartum blues
sebagian besar memiliki kadar zink yang sangat rendah (50%).
Tetapi perbedaan itu tidak bermakna (p=0,170)
73
Tabel 6. Hubungan Antara Kadar Zink dan Kejadian Postpartum Blues pada Ibu dari Keluarga Perokok dan Non Perokok
Kadar Zink Postpartum Blues p* Tidak postpartum Blues p*
(µg/dl) Perokok Non Perokok Perokok Non Perokok
Mean 11,18 14 0,208 8,83 12,99 0,179
Min 0,59 10,55 0,54 2,24
Max 21,72 20,28 20,9 17,78
SD 5,8 3,1 7,04 6,15 *Uji T independen Sumber : data primer, 2017
Berdasarkan tabel 6, terlihat bahwa ibu yang menderita postpartum
blues dari keluarga perokok memiliki kadar zink yang lebih rendah
(11,18 µg/dl) bila dibandingkan ibu yang menderita postpartum
blues dari keluarga non perokok (14 µg/dl). Besar perbedaannya
adalah 2, 82 µg/dl. Tetapi perbedaan itu tidak bermakna (p=0,208).
Ibu yang tidak menderita postpartum blues yang berasal dari
keluarga perokok juga memiliki kadar zink yang lebih rendah (8,83
µg/dl) bila dibandingkan ibu yang tidak menderita postpartum blues
dan berasal dari keluarga non perokok (12,99 µg/dl). Besar
perbedaannya adalah 4,16 µg/dl. Tetapi perbedaan itu tidak
bermakna (p=0,179). Perbedaan kadar zink yang paling besar
antara ibu dari keluarga perokok dan non perokok terdapat pada
ibu yang tidak menderita postpartum blues
74
4. Hubungan antara Faktor Psikososial dan kejadian postpartum
blues
Tabel 7. Hubungan Antara Faktor Psikososial dan Kejadian Postpartum Blues
Postpartum Blues
Tidak Postpartum
Faktor Psikososial
Blues p*
n % n %
Pekerjaan
Bekerja 1 25 3 75 0,145
Tidak bekerja 39 61,9 24 38,1
Pendidikan
Rendah 20 58,8 14 41,2 0,882
Tinggi 20 60,6 13 39,4
Pendapatan
Dibawah UMR 17 54,8 14 45,2 0,451
Sesuai UMR 23 63,9 13 36,1
Dukungan Suami
Ya 34 57,6 25 42,4 0,347
Tidak 6 75 2 25
Dukungan Keluarga
Ya 36 57,1 27 42,9 0,142
Tidak 4 100 0 0 *Uji chi square
Sumber : data primer 2017
Berdasarkan tabel 7 terlihat bahwa pada ibu yang menderita
postpartum blues lebih banyak yang tidak bekerja (61,9%),
pendidikan tinggi (60,6%), pendapatan keluarga sesuai UMR
(63,9%), tidak mendapat dukungan suami (75%) dan tidak
mendapat dukungan keluarga (100%). Tidak terdapat hubungan
antara pekerjaan (p=0,145), pendidikan (p=0,882), pendapatan
75
(p=0,451), dukungan suami (0,347) dan dukungan keluarga
(p=0,142) dengan kejadian postpartum blues pada ibu
5. Korelasi antara kadar zink dan faktor psikososial dengan skor
EPDS
Tabel 8. Korelasi antara kadar zink dan faktor psikososial dengan skor EPDS
Variabel Skor EPDS
p* interpretasi
Kadar zink 0,491 Tidak berkorelasi
Pekerjaan 0,382 Tidak berkorelasi
Pendidikan 0,095 Tidak berkorelasi
Pendapatan 0,690 Tidak berkorelasi
Dukungan suami 0,029 Berkorelasi
Dukungan keluarga 0,061 Tidak berkorelasi
*Uji Spearman
Berdasarkan tabel 8, terlihat bahwa tidak terdapat korelasi antara
kadar zink (p=0,491), pekerjaan (p=0,382), pendidikan (p=0,095),
pendapatan (p=0,690), dan dukungan keluarga (p=0,061) dengan
skor EPDS. Sedangkan dukungan suami berkorelasi dengan skor
EPDS (p=0,029)
B. Pembahasan
1. Kadar Zink pada responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar zink pada
responden seluruhnya berada di bawah normal, yaitu <66 µg/dl
berdasarkan standar yang diberikan oleh 2nd
National Health and
Nutrition Examination Survey of US. (Hotz C, Peerson JM, Brown
76
KH, 2003). Kadar zink tersebut diukur pada pagi hari saat
responden tidak berpuasa. Hasil penelitian ini sama dengan yang
ditemukan oleh Syah (2012), yang melihat kadar micronutrient pada
ibu hamil. Studi tersebut menemukan bahwa kadar zink pada ibu
hamil di Kecamatan Bontonompo dan Bontonompo Selatan
semuanya mengalami defisiensi (< 65mg/l) (Muhammad Nur Hasan
Syah, Abdu Razak Thaha, Citrakesumasari, 2012). Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Daud NA (2004), menemukan
bahwa 90,6% ibu hamil yang menjadi resoponden pada studi
tersebut mengalami defisiensi zink (Daud, 2004)bahwa masalah
defisiensi zink ternyata masih sangat tinggi pada masyarakat di
Indonesia secara umum dan masyarakat Sulawesi Selatan secara
khusus.
As’ad mengungkapkan bahwa penyebab masalah defisiensi
zink adalah karena pola makan masyarakat Indonesia yang masih
berpola pangan nabati dan sedikit mengonsumsi pangan hewani.
Padahal sumber utama zink terdapat pada daging, ikan dan kerang.
Meski pangan nabati seperti kacang tanah, biji-bijian dan kacang
polong, sereal, umbi-umbian dan buah sayur mengandung kadar
zink yang cukup tinggi, namun bioavabilitasnya menjadi rendah
karena adanaya serat dan fitat yang mengikat zink sehingga sulit
diserap oleh tubuh (As'ad, 2005)
77
Pangan hewani sumber zink terutama daging dan kerang
tidak dapat dikonsumsi secara meluas karena harganya yang
mahal dan pengadaannya yang terbatas. Sehingga masalah
defisiensi zink memang biasa dijumpai pada masyarakat dengan
populasi berpendapatan rendah. Sebenarnya pendapatan keluarga
responden pada studi ini dominan pada jumlah 2 juta rupiah per
bulan dan pekerjaan suami responden dominan wiraswasta dan
buruh
Masalah-masalah gizi pada masyarakat kita juga diperparah
oleh pengetahuan gizi yang rendah. Berdasarkan studi awal yang
dilakukan oleh Jafar (2017) tentang pengetahuan gizi seimbang
pada guru maupun siswa sekolah menengah di Kota Makassar
ditemukan bahwa pengetahuan gizi seimbang masih sangat rendah
baik pada guru maupun siswa. Para guru dan siswa masih
memahami bahwa panduan pola makan yang sehat adalah 4 sehat
5 sempurna. Padahal, penduan tersebut telah digantikan oleh
pedoman umum gizi seimbang. Pedoman tersebut memberikan
petunjuk tentang pola makan dan pola hidup yang baik dan
seimbang untuk menjaga kesehatan tubuh dan mencegah
terjadinya malnutrisi/gizi salah yang termanivestasi dalam bentuk
defisiensi maupun over nutrisi pada unsur makro maupun
mikronutrien
78
Sebuh fenomena dapat dikategorikan sebagai masalah
kesehatan masyarakat jika prevalensinya lebih dari 20% populasi.
Masalah defisiensi zink seharusnya menjadi perhatian bersama
mengingat perannya yang demikian penting dalam menunjang
kesehatan seseorang. Apalagi prevalensi defisiensi zink sangat
tinggi. Studi ini maupun studi-studi sebelumnya menunjukkan
bahwa kadar zink pada ibu hamil maupun menyusui sangatrendah.
Meski demikian, masalah defisiensi zink belum dibahas secara
khsusu sebagai masalah gizi kesehatan masyarakat. Yang menjadi
masalah gizi kesehatan adalah Kurang Energi Protein/Kurang
Energi Kronik, anemia defiensi besi, Kurang Vitamin A, Gangguan
Akibat Kekurangan Yodium, dan obesitas. Dengan melihat besar
masalah defisiensi zink, maka selayaknya hypozinkemia menjadi
kandidat masalah gizi kesehatan masyarakat
Menurut As’ad, ada beberapa solusi mengatasi masalah
defiensi zink pada masyarakat. Solusi tersebut mencakup program
fortifikasi, suplementasi dan modifikasi
Fortifikasi makanan adalah proses penambahan zat-zat gizi
ke dalam makanan sehari-hari, minuman atau bumbu masak yang
lazim dikonsumsi oleh masyarakat dalam suatu populasi.
Contohnya adalah fortifikasi vitamin A pada minyak goring,
fortifikasi zat besi ke dalam terigu ataupun fortifikasi mikronutrien ke
dalam beras seperti yang dilakukan Thaha,dkk di Kabupaten
79
Karawang di tahun 2015. Fortifikasi ini telah berhasil mengatasi
defisiensi zink di Negara-negara industry. Menurut As’ad, senyawa-
senyawa zink yang dapat digunakan sebagai zat tambahan adalah
zink-klorida, zink-glukonat, zinkoksida, zink stearate dan zink sulfat.
Program-program fortifikasi sangat efektif dalam mengatasi
masalah defiensi, khusunya pada populasi dengan risiko tinggi.
Program tersebut biasanya efektif pula dari segi biaya
Suplementasi adalah pemberian zat gizi tertentu dalam
bentuk aslinya tanpa ditambahkan ke dalam makanan ataupun
minuman. As’ad menyarankan pemakaian zink dalam bentuk
garam-garam yang mudah larut seperti zink-asetat, zink-sulfat
ataupun zink-glukonat. Senyawa tersebut biasanya dijadikan
suplemen dalam bentuk syrup ataupun tablet kunyah. Penggunaan
suplemen sangat bergantung pada usia kelompok target, adat
budaya dan tingkat kebutuhan target. Studi yang dilakukan
Citrakesumasari di Kabupaten Barru tahun 2014, menemukan
bahwa suplementasi zink bersama Fe dapat meningkatkan kadar
Hb pada ibu hamil. Perhitungan As’ad tentang biaya suplementasi
ini, berkisar antara Rp.1000-1500 per orang tiap tahunnya.
Modifikasi pola makan merupakan upaya merubah
kebiasaan makan pada masyarakat. Dalam hal ini adalah
memperbaiki pola konsumsi pangan agar asupan zink juga
meningkat. Sebagaimana diketahui bahwa zink kaya pada
80
makanan hewani, terutama daging ataupun kerang. Maka salah
satu upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan ketersediaan
pangan tersebut di masyarakat. Dalam hal ini, bidang peternakan
dan kelautan perlu dilibatkan. Khusus untuk kerang, perlu dipikirkan
strategi pengolahannya menjadi bentuk pangan lain yang lebih
tahan lama dan lebih portable untuk didistribusikan ke daerah-
daerah yang jauh dari sumber kerang. Untuk pangan nabati, meski
kadar phytat pada pangan tersebut dapat menghambat
penyerapannya, namun dengan pengolahan tertentu phytat
tersebut bisa dihilangkan. Inilah yang menarik untuk menjadi kajian
lebih lanjut. Mengingat sebenanrnya negara kita sangat berlimpah
dengan sumber pangan zink dari bahan nabati. Misalnya seperti biji
labu kuning. Yang merupakan limbah agraris tetapi cukup kaya
zink. Dengan kajian lebih lanjut, seharusnya sumber pangan
tersebut dapat dikelola menjadi salah satu bahan pangan sumber
zink yang dapat dikonsumsi secara meluas.
Selain dengan memstikan ketersediannya di masyarakat,
upaya lain yang perlu dilakukan adalah memastikan pangan kaya
zink dapat tersedia di rumah tangga. Karena penyebab utama
terjadinya masalah gizi di masyarakat adalah karena ketersedian
pangan di tingkat rumah tangga yang bermasalah. Apalagi pangan
sumber zink cukup sulit diakses oleh masyarakt secara luas,
terutama masyarakat golongan ekonomi lemah. Peningkatan
81
kesejahteraan masyarakat menjadi upya mutlak yang harus
dilakukan. karena hal tersebut, masalah gizi tidak cukup hanya
diselesaikan dengan pendekatan kegizian. Namun juga melibatkan
pihak lain. Karena masalah gizi sangat berkaitan dengan kondisi
ekonomi dan politik. Tanggung jawab pemerintah adalah
memastikan setiap rumah tangga dapat memiliki akses pangan
yang baik, dalam hal ini adalah dengan meningkatkan daya beli
rumah tangga.
Termasuk hal penting yang perlu diupayakan dalam
modifikasi pola makan adalah dengan melakukan pendidikan gizi
kepada masyarakat. Merupakan fakta, bahwa pengetahuan gizi
masyarakat kita masih sangat rendah. Upaya inilah yang sekarang
tengah dikaji oleh Jafar, yaitu dengan melibatkan guru dan siswa
untuk menggaungkan gizi seimbang di sekolah-sekolah yang
menjadi wilayah studinya. Juga dilakukan Indriasari, dengan
mengkampanyekan sarapan sehat di sekolah. Termasuk pula
upaya keluarga sadar gizi (kadarzi) yang menjadi program
pemerintah
Pedoman umum gizi seimbang memberikan panduan makan
yang sehat dan seimbang. Termasuk mengkonsumsi sumber
protein hewani dalam jumlah yang mencukupi dan tidak berlebihan.
Kebutuhan protein yang seharusnya dikonsumsi adalah 20-30%
dari total energy yang dibutuhkan seseorang. Sumber protein tersut
82
diharapkan dari sumber yang beragam. Pangan nabati seperti
kacang-kacangan juga pelu dikonsumsi sebagai sumber protein.
Meski biovabilitasnya zinknya lebih rendah dibandingkan pangan
hewani, namun zat gizi lain yang terkandung di dalamnya juga
dibutuhkan oleh tubuh. Contohnya adalah serat yang dibutuhkan
untuk menjaga kesehatan dari penyakit degenerative
Menurut As’ad, salah satu teknik modifikasi pangan untuk
mengatasi masalah defisiensi zink adalah dengan fortifikasi ladang.
Teknik ini merupakan penggunaan pupuk zink untuk meningkatkan
kandungan zink dalam padi atau sereal lainnya yang menjadi
pangan pokok masyarakat. Termasuk pula hal ini adalah
pemanfaatan ilmu genetika dan biomolekuler untuk
mengembangkan varietas tanaman yang memiliki genotip yang
dapat mengefisiensikan penyerapan zink
As’ad juga memberikan solusi lain dan peneliti juga sepakat
dengannya, bahwa perlu dilakukan intervensi terhadap mereka
yang rawan mengalami defisiensi zink. Yaitu bayi yang dalam masa
penyapihan, anak-anak yang baru sembuh dari malnutrisi, wanita
hamil dan menyusui serta orang tua
Terkait dengan program Scalling Up Nutrition (1000 HPK)
maka seyogyanya pemenuhan asupan zink pada ibu hamil dan
menyusui dapat menjadi perhatian pihak yang berwenang. Solusi
83
yang dipilih harus sesuai dengan besaran masalah dan
ketersediaan sumber daya
Defisiensi zink biasanya terkait dengan usia, karena pada
setiap daur kehidupan memiliki masalah dan kebutuhan gizi
masing-masing. Pada awal kehidupan, gejala yang biasa
ditemukan adalah terjadinya diare. Defisiensi zink biasanya terkait
dengan gangguan fungsi kognitif, masalah perilaku, penurunan
memori, gangguan belajar dan atrofi neuronal (Brown KH, Rivera
JA, Bhutta Z, Gibson RS, King JC, et al, 2004). Masalah kulit
menjadi lebih sering muncul di usia remaja. Sedangkan alopecia,
gangguan pertumbuhan dan infeksi berulang biasa dijumpai pada
anak sekolah. Luka kronis yang sulit disembuhkan dan infeksi
berulang juga biasa dijumpai pada lansia. Pada ibu hamil, zink
dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan janin yang optimal.
Sedangkan pada ibu menyusui, zink dibutuhkan untuk mensintesis
ASI sekaligus sebagai sumber zink bagi bayi yang menyusui
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mean kadar zink pada
ibu dari keluarga non perokok lebih tinggi dibandingkan dengan ibu
dari keluarga perokok, yaitu 13,61+4,86 µg/dl. Sedangkan ibu dari
keluarga perokok memiliki nilai mean kadar zink 10,01+6,43 µg/dl.
Meski belum ditemukan korelasi antara status keluarga perokok
dengan kadar zink ibu (r=0,063). Kadar zink pada ibu dari keluarga
perokok adalah 10,02 µg/dl lebih rendah dari keluraga non perokok
84
yaitu 13,61µg/dl Besar perbedaannya adalah 3,49 µg/dl. Namun
perbedaan itu tidak bermakna karena nilai p=0,063.
Hasil ini hampir serupa dengan yang ditemukan oleh Etty,
dkk (2016), yang menemukan bahwa kadar zink ASI pada ibu dari
keluarga perokok jauh lebih rendah dibandingkan ibu dari keluarga
non perokok. Namun berbeda dengan studi ini, hasil yang ditemukan
oleh Etty dkk (2016), perbedaan kadar zink ASI pada ibu dari
keluarga perokok dan non perokok ternyata signifikan (Etti Sudaryati,
Evawany Aritonang, Ida Yustina, 2016)
1. Kejadian postpartum blues pada responden
a. Skor EPDS
EPDS adalah sebuah alat ukur untuk menilai mood
seorang ibu pasca melahirkan. Instrumentnya terdiri dari 10 item
pengukuran. EPDS dinilai dengan skor, dimana skor maksimum
adalah 30. Skor 10 atau lebih mengindikasikan kemungkinan
adanya depresi (Navarro P, Aguado J, Ascaso C, Garcia-Esteve L,
Torres A, Martin-Santos R, 2007)
Studi yang dilakukan di Perancis terhadap ibu
postpartum pada hari 3 setelah persalinan menemukan bahwa
terdapat 30% ibu yang memiliki skor EPDS 9 dan 19% memiliki
skor 11 (Mattheys, Henshaw C, Elliot S, Barnett B, 2006). Studi
yang dilakukan di Italia menemukan bahwa sekitar 15,7% wanita
pada hari ke 2 persalinan melaporkan skor EPDS lebih dari 9.
85
Factor EPDS yang dianalisis pada hari ke 2 menunjukkan bahwa
terdapat 3 aspek yang menonjol yaitu depresi, kecemasan dan
anhedonia (Petrozzi A, Gagliardi L, 2013)
b. Kejadian postpartum blues
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian postpartum
blues pada penelitian ini adalah 57,14%. Jumlah tersebut serupa
dengan yang dipaparkan oleh Miller, bahwa postpartum blues biasa
terjadi pada sekitar 50% wanita yang baru selesai melahirkan. Studi
yang dilakukan Ernawati di Puskesmas Pare Kediri menemukan
prevalensi postpartum blues yang lebih tinggi yaitu 62,5%
(Ernawati, 2006). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Anggraeni, menemukan prevalensi postpartum blues yang lebih
tinggi lagi yaitu sebesar 64,29% (Novi Anggraeni, Zulfiyani, 2014)
Wanita yang mengalami postpartum blues biasanya lebih
mudah menangis, lebih cemas, lebih labil dan lebih emosional bila
dibandingkan biasanya. Postpartum blues biasanya terjadi pada
hari ke 3 sampai hari ke 5 setelah persalinan. Menurut Miller,
kejadian postpartum blues tidak terkait dengan riwayat psikiatrik,
stress lingkungan, konteks budaya, penyusuan ataupun paritas.
Namun factor-faktor tersebut biasanya berpengaruh ketika
postpartum blues berkembang menjadi depresi (Miller, 2002)
86
Studi ini menunjukkan bahwa kejadian postpartum blues
sedikit lebih tinggi pada responden yang melahirkan di usia yang
berisiko yaitu 58,8%, bila dibandingkan dengan responden yang
melahirkan di usia yang tidak berisiko yaitu 56,6%. Namun
perbedaan itu tidak bermakna (p=0,872). Studi ini serupa dengan
yang ditemukan oleh Sari, bahwa kejadian postpartum blues tidak
berhubungan dengan usia ibu (Sari, 2009). Juga studi yang
dilakukan oleh Rusli, dkk, dimana pada studi tersebut tidak
ditemukan perbedaan kejadian depresi pada ibu primipara bila
ditinjau dari usia ibu (isa Arianie Rusli, Tatik Melyantariningsih,
Weni Endahning Wani, 2011)
Studi ini berbeda dengan yang diperoleh Tuhulele K, bahwa
faktor yang berhubungan dengan depresi postpartum pada ibu di
rumah sakit yang sama pada tahun 2016 adalah usia ibu (Tuhulele
K, Seweng A, Sarakeh M, 2016). Demikian pula yang ditemukan
Urbayani, bahwa umur responden berhubungan dengan kejadian
postpartum blues pada ibu (Urbayani, 2010).
Umur yang ideal untuk menjadi ibu adalah umur 20-30 tahun
karena dalam periode kehidupan wanita ini risiko menghadapi
komplikasi medis paling rendah. Factor usia saat kehamilan dan
persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan
untuk menjadi ibu (Sloane and Benedict, 2008)
87
Berdasarkan pendidikan, terlihat bahwa kejadian postpartum
blues sedikit lebih tinggi pada responden yang berpendidikan tinggi
yaitu 60%, bila dibandingkan dengan responden yang
berpendidikan rendah yaitu 54,3%. %. Namun perbedaan itu tidak
bermakna (p=0,629). Hasil ini berbeda dengan apa yang ditemukan
oleh Ibrahim, dkk, yang menemukan bahwa faktor yang
berhubungan dengan depresi postpartum pada ibu di Makassar
adalah tingkat pendidikan (Ibrahim F, Rahma, Iksan M, 2012).
Memang waktu pengukuran depresi pada studi tersebut berbeda
dengan studi ini. Karena studi itu mengukur depresi pada ibu
setelah 12 minggu persalinan, sedangkan pada studi ini depresi
diukur pada hari ke 3 postpartum
Berdasarkan pekerjaan, terlihat bahwa kejadian postpartum
blues lebih tinggi pada ibu yang tidak bekerja, yaitu 59,1%
dibandingkan pada ibu yang bekerja, yaitu 25%. Namun perbedaan
itu tidak bermakna (p=0,181). Hasil tersebut hampir sama dengan
studi di Klaten yang menemukan bahwa ibu yang tidak bekerja
berisiko menderitaa depresi postpartum sebesar 10,7 kali
dibandingkan ibu yang bekerja (Wahyuni S, Marwati, Supiati, 2014)
Pendidikan dan pekerjaan dapat meningkatkan self esteem
(kepercayaan diri pada ibu). Self esteem adalah penerimaan diri
sendiri, oleh diri sendiri berkaitan bahwa orang tersebut pantas,
88
berharga dan mampu (Tuasikal, Naimah dan Erni Dwi Widyara,
2015)
Berdasarkan pendapatan keluarga, terlihat bahwa kejadian
postpartum blues sedikit lebih tinggi pada responden yang memiliki
penghasilan keluarga ditas 2 juta yaitu 62,2% bila dibandingkan
responden dari kelurga yang memiliki penghasilan kelurga kurang
dari 2 juta, yaitu 51,5%. %. Namun perbedaan itu tidak bermakna
(p=0,369)
Berdasarkan dukungan suami, terlihat bahwa kejadian
postpartum blues lebih tinggi pada responden yang tidak mendapat
dukungan dari suami yaitu 75%, dibandingkan
responden yang mendapat dukungan suami yaitu 54,8%.
Berdasarkan dukungan keluarga, terlihat bahwa kejadian
postpartum blues lebih tinggi pada responden yang tidak mendapat
dukungan keluarga yaitu 100%, bila dibandingkan responden yang
mendapat dukungan keluarga yaitu 54,5%.
Hasil penelitian ini sama dengan yang ditemukan oleh
Ernawati bahwa terdapat korelasi antara kejadian postpartum blues
dengan dukungan keluarga dan dukungan suami (Ernawati, 2006).
Sedangkan Urbayani menemukan bahwa dukungan social dari
keluarga berhubungan signifikan dengan kejadian postpartum blues
pada ibu (Urbayani, 2010). Sedangkan Warren menemukan bahwa
dukungan suami juga signifikan terhadap kejadian postpartum
89
blues (Warren PL, Mc Cathy Geraldine, Corcoran Paul, 2009).
Demikian pula yang ditemukan oleh Nurafifah, bahwa ayah ASI
dapat berperan untuk mencegah terjadinya postpartum blues pada
ibu (Nurafifah, 2015)
Mengapa ibu postpartum membutuhkan dukungan suami?
Karena menjadi ibu adalah tugas yang berat yang membutuhkan
upaya penyesuaian diri yang cukup besar dari sang ibu. Mengurus
bayi yang baru lahir bukanlah hal yang mudah. Ibu perlu
menyesuaikan ritme kehidupannya dengan kehidupan bayinya
yang baru lahir. Ibu sulit menikmati istirahat yang cukup karena
pola tidur ibu dan bayi yang berbeda. Bayi baru lahir memang
sering tertidur tetapi biasanya mereka lama tidur di siang hari dan
terjaga di malam hari. Setiap beberapa jam bayi akan terbangun
entah karena lapar atau popoknya basah. Ibu harus siap siaga
untuk memenuhi semua kebutuhan bayinya. Ditambah lagi dengan
masalah domestic kerumahtanggaan yang sangat rentan
menyebabkan kelelahan pada ibu
Dukungan dari ayah sangat dibutuhkan oleh ibu dan juga
bayinya. Kebutuhan bayi terhadap sentuhan ayahnya sama besar
dengan kebutuhan bayi tersebut terhadap ibunya
Sayangnya paradigma dan nilai-nilai yang mendominasi
masyarakat kita bahwa urusan bayi mutlak menjadi urusan ibu.
Padahal ayah dan ibu memiliki tugas dan tanggung jawab yang
90
sama dalam pengasuhan bayi mereka. Bagi para suami, sebagai
kepala keluarga mereka memiliki kewajiban lebih selain sebagai
penyedia kesejahteraan keluarga. (Kurniati, 2017). Para suami
diharapkan ikut pula terlibat dalam pengasuhan dan pendidikan
anaknya. Kepedulian yang ditunjukkan oleh suami akan membantu
melindungi ibu dari postpartum blues dan membantu ibu pulih lebih
cepat setelah persalinan. Peran ayah juga sangat besar dalam
menunjang keberhasilan penyusuan. Karena para ibu yang
mendapat dukungan dari suaminya akan terhindar dari kecemasan,
sehingga bisa menyusui dengan lebih baik. Perubahan nilai-nilai
keluarga yang cenderung patriarki menjadi pengasuhan bersama
(kemitraan) ternyata membantu mengatasi masalah kesehatan ibu
dan bayinya
Dukungan dari keluarga dan suami sangat dibutuhkan oleh
ibu yang baru melahirkan. Namun sebagian ibu sulit untuk
mengkomunikasikan kebutuhannya untuk didukung oleh keluarga.
Hal tersebut dikaji oleh Vonny Ariesta bahwa komunikasi
interpersonal yang dilakukan oleh ibu yang mengalami postpartum
blues terdiri dari dua jenis, yaitu komunikasi interpersonal secara
langsung dan tidak langsung. Pada komunikasi interpersonal
secara langsung terdapat dua karakter yaitu pertama, saling
terbuka dan ada feedback dari keluarga, dan kedua, yaitu terbuka
tetapi hanya sedikit feedback. Sedangkan pada komunikasi
91
interpersonal yang dilakukan secara tidak langsung memiliki tiga
karakter, yaitu pertama, saling terbuka dan ada feedback dari
keluarga, dan kedua, yaitu terbuka tetapi hanya sedikit feedback.
Serta ketiga, sedikit terbuka dan sedikit feedback (Ariesta, 2017)
Gejala depresi pasca melahirkan yang dialami 60% wanita
hamper sama dengan gejala depresi pada umumnya. Namun
memiliki beberapa karakteristik spesifik seperti mimpi buruk,
imsomnia, phobia, kecemasan, meningkatnya sensitifitas dan
perubahan mood. Sedangkan menurut Sloane, gejala depresi
pasca salin adalah kurang nafsu makan, sedih, murung, imsomnia,
anoreksia, merasa terganggu dengan perubahan fisik, sulit
konsentrasi, melukai diri, lemah dalam kehendak, tidak mempunyai
harapan untuk masa depan dan tidak mau berhubungan dengan
orang lain (Sloane and Benedict, 2008)
2. Hubungan antara kadar zink dan kejadian postpartum
blues
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar zink pada
responden yang menderita postpartum blues lebih tinggi (11,65
µg/dl) dibandingkan kadar zink pada responden yang tidak
menderita postpartum blues (9,39µg/dl). Besar perbedaannya
adalah 2,26 µg/dl).Namun tidak ditemukan korelasi yang bermakna
antara kejadian postpartum blues dengan kadar zink pada
responden (r=0,226). Hasil studi ini sama seperti yang ditemukan
92
oleh Magnusson di Swedia (2011), pada studi yang dilakukan untuk
menilai risiko depresi postpartum dengan kadar zink saat
persalinan, menemukan bahwa tidak ada perbedaan kadar zink
pada penderita postpartum blues dan tidak (p=0,428) pada
pengukuran 3 hari postpartum. Studi tersebut juga menemukan
bahwa kadar zink berkorelasi positif dengan skor EPDS justru pada
6 minggu pasca partum (Magnusson, 2011).
Demikian pula penelitian Crayton, yang menilai perbedaan
kadar zink pada 3 kelompok wanita, yaitu wanita yang memiliki
riwayat depresi postpartum, wanita yang tidak memiliki riwayat
depresi postpartum dan wanita yang menderita depresi namun
tidak memiliki riwayat depresi postpartum. Ternyata tidak ditemukan
perbedaan kadar zink yang bermakna pada ke 3 kelompok wanita
tersebut (John W Crayton, William J Walsh, 2007)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar zink pada
responden yang berasal dari keluarga perokok lebih rendah (10,02
µg/dl) dibandingkan kadar zink pada responden yang berasal dari
keluarga bukan perokok (13,61µg/dl). Besar perbedaannya adalah
3,49 µg/dl. Namun belum ditemukan hubungan yang bermakna
antara status merokok keluarga responden dengan kadar zink pada
responden (r=0,052).
Mekanisme zink sebagai antidepresan dapat dijelaskan
melalui beberapa mekanisme. Yang pertama yaitu melaui teori
93
glutamatergik. Dimana zink merupakan antagonis dari kompleks
reseptor nMDA. Karena hal tersebut zink memicu aktivitas
antidepresan melalui kompleks tersebut (Bernadeta-Szewcyzk, et
al, 2008). Selain itu, terapi kronis dengan zink dapat meningkatkan
ekspresi BDNF di tingkat gen dan protein serta mengurangi afinitas
glisin pada reseptor NMDA. Selain itu zink juga merupakan
antagonis dari MGlu 1 dan group II reseptor glutamate metabotropic
yang merupakan reseptor yang berperan penting pada mekanisme
antidepresan (Pilc A, Chaki S, Nowak G, Witkin JM, 2008)
Mekanisme yang kedua adalah melalui inhibisi terhadap
enzim GSK-3 (Glycogen Synthetase Kinase-3) yangmerupakan
enzim yang menyebabkan dekativasi glycogen synthetase melalui
fosforilasi. Zink menghambat aktivitas fosforilasi GSK-3 yang terkait
dengan aktivitas terapeutik dari ion tersebut. GSK-3 menghambat
aktivitas CREB dan berkorelasi negative dengan BDNF, sehingga
penghambatan pada aktivitas GSK-3 akan meningkatkan aktifitas
CREB dan meningkatkan fungsi BDNF (Ilouz R, Kaidanovick O,
Gurwitz D, Finkelumen-Eldan H, 2002)
Mekanisme yang ketiga adalah melalui interaksi antara zink
dan transporter serotonin. Dalam kondisi postpartum, penurunan
hormone estrogen dan progesterone akan menurunkan aktifitas
serotonergic pusat. Penurunan serotonin akan menyebabkan
94
depresi (Hay DF, Pawlby S, Sharp D, 2001).Kadar zink sendiri
dipengaruhi oleh banyak variable seperti inflamasi, perubahan
hormone dan asupan makanan.
Pada studi ini belum terlihat peran zink sebagai
antidepresan. Karena kadar zink yang lebih tinggi justru ditemukan
pada ibu yang mengalami postpartum blues. Hal tersebut bisa jadi
disebabkan karena pada postpartum blues yang berperan dominan
adalah faktor psikososial dan faktor biologi lainnya, seperti
perubahan hormonal pada ibu. Penyebab lainnya adalah semua ibu
pada studi ini mengalami defisiensi zink, sehingga peran zink
sebagai anti depresan juga belum terlihat. Seperti studi yang
dilakukan di Eropa, yang tidak menemukan hubungan antara mood
dan status zink (McConville C, Simpson EEA, Rae G, et al, 2005)
Kadar zink yang lebih tingi pada ibu yang menderita
postpartum blues bisa jadi disebabkan karena ibu-ibu tersebut lebih
sering mengkonsumsi makanan sumber zink, seperti kerang,
daging sapi, daging ayam dan telur. Dan disisi lain ibu yang
menderita postpartum blues lebih jarang mengkonsumsi tablet Fe.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa zink dan Fe saling bersaing
untuk diserap pada enterosit. Pada kondisi defisiensi, yang lebih
banyak diserap adalah micronutrient yang defisiensi di dalam
tubuh. Jika Fe yang mengalami defisiensi, maka Fe akan lebih
banyak diserap. Sebaliknya jika zink yang mengalami defisiensi,
95
maka zink akan lebih banyak diserap. Namun pada keadaan
normal, biasanya Fe akan lebih banyak diserap. Salah satu
masalah gizi utama yang dialami oleh ibu hamil di Indonesia adalah
anemia defisiensi besi. Hal tersebut menunjukkan bahwa ibu-ibu
yang menjadi responden pada penelitian ini mengalami defisiensi
besi sehingga lebih banyak besi yang diserap sehingga
menghambat penyerapan zink
Selain itu, sebagian besar studi yang telah dilakukan
memang melihat peran zink terhadap kejadian depresi secara
umum. Peran zink yang terhadap depresi postpartum mungkin telah
ditemukan oleh Wojcik pada studinya. Namun sebagai bagian dari
depresi postpartum, pada postpartum blues peran zink memang
tidak terlihat
Studi yang dilakukan (Wojcik J, Dude D, Schlegel-Zawadzka
M, et al, 2006), yang menemukan hubungan antara keparahan
gejala depresi dan kadar zink ibu postpartum berbeda desain
penelitiannya dengan studi ini. Karena Wojcik melihat secara
longitudinal kadar zink dengan keparahan gejala depresi,
sedangkan studi yang dilakukan peneliti menggunakan desain
crossectional. Wojcik melakukan studinya di Polandia, yang
termasuk Negara industry dengan masalah defiensi zink yang
rendah. Sedangkan studi ini dilakukan pada wilayah dengan
96
masalah defiensi zink yang parah. Hal tersebutlah yang bisa jadi
menyebabkan perbedaan hasil
Etiologi depresi pasca persalinan belum diketahui secara
pasti. Beberapa teori menawarkan etiologi depresi pasca persalinan
berasal dari perspektif biologi maupun psikologi. Sudut pandang
biologi memandang perubahan fisiologis selama kehamilan/pasca
persalinan dan menduga bahwa gangguan depresi berasal dari;
defisiensi nutrisi dan/atau gangguan keseimbangan metabolisme,
anemia defisiensi besi, sensitifitas terhadap fluktuasi dan
penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron, termasuk
fluktuasi dari hormone gonad dan kadar hormon steroid neuroaktif
lainnya yang mengalami fluktuasi setelah persalinan, perubahan
kadar sitokin, dan hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA) axis dan
perubahan kadar asam lemak, oksitosin, dan arginin-vasopressin
(Pearlstein, 2009)
Keterlibatan system serotonin didasari oleh laporan adanya
perubahan dari platelet serotonin transporter binding dan
penurunan postsynaptic serotonin-1A receptor binding pada
cingulate anterior dan kortikal mesiotemporal. Penurunan kadar
progesteron pada awal pasca persalinan mengakibatkan terjadinya
insomnia. Pada bulan pertama masa nifas, penurunan kualitas tidur
dan peningkatan gelombang pendek tidur dilaporkan. Perubahan
hormon dan pola tidur dapat berperan dalam terjadinya dan
97
sebagai faktor dari depresi pasca persalinan. (Newport DJ, Owens
MJ, et al, 2004)
Selama kehamilan, kadar estrogen (estradiol,estriol, dan
estron) dan progesteron meningkat akibat dari plasenta yang
memproduksi hormon tersebut. Akibat dari kelahiran plasenta saat
persalinan, kadar estrogen dan progesteron menurun tajam,
mencapai kadar sebelum kehamilan pada hari ke 5. Kadar dari
beta-endorfin, human chorionic gonadotropin (HCG), dan kortisol
yang meningkat saat kehamilan dan mencapai kadar maksimal saat
menjelang aterm juga mengalami penurunan saat persalinan.
Kadar estrogen yang tinggi selama kehamilan merangsang
produksi dari thyroid hormone-binding globulin, mengikat T3
(triiodothyronine) dan T4 (thyroxine), sehingga kadar T3 dan T4
bebas menurun. Sebagai konsekuensinya, thyroid-stimulating
hormone (TSH) meningkat untuk mengkompensasi rendahnya
kadar hormon tiroid bebas, sehingga kadar T3 dan T4 bebas tetap
normal. Dengan menurunnya kadar thyroid hormone-binding
globulin setelah persalinan, kadar total T3 dan T4 menurun,
sedangkan kadar T3 dan T4 bebas relatif konstan (Moses_Kolko, et
al, 2008)
Estradiol dan estriol merupakan bentuk aktif dari estrogen
yang dibentuk oleh plasenta, dan meningkat selama kehamilan 100
dan 1000 kali lipat. Akibat sintesis estradiol berasal dari aktifitas
98
metabolism hati janin, konsentrasi saat kehamilan sangat tinggi.
Berdasarkan percobaan pada hewan, estradiol menguatkan fungsi
neurotransmitter melalui peningkatan sintesis dan mengurangi
pemecahan serotonin, sehingga secara teoritis penurunan kadar
estradiol akibat persalinan berperan dalam menyebabkan depresi
pasca persalinan. Namun suatu penelitian menyatakan bahwa tidak
ada perbedaan berarti dari perubahan estradiol atau free estriol
saat kehamilan tua dan nifas pada wanita depresi dan tidak depresi
(Wisner KL, et al, 2002)
Kadar prolaktin meningkat selama kehamilan, mencapai
puncaknya saat persalinan, dan pada wanita yang tidak menyusui
kembali seperti keadaan sebelum hamil dalam 3 minggu pasca
persalinan. Dengan pelepasan oksitosin, hormon yang merangsang
sel lactotropik di hipofisis anterior, pemberian ASI mempertahankan
kadar prolaktin tetap tinggi. Namun pada wanita menyusui
sekalipun, kadar prolaktin tetap akan kembali seperti sebelum
hamil. Prolaktin diduga memiliki peran dalam terjadinya perasaan
cemas, depresi, dan sifat kasar pada wanita tidak hamil dengan
hiperprolaktinemia (MG, 2004)
Perubahan dramatis pada axis HPA terjadi selama
kehamilan sebagai akibat perubahan dari kadar progesteron dan
estrogen. Corticotrophin releasing homone (CRH) diproduksi oleh
trofoblas, fetal membran dan desidua, di regulasi oleh steroid,
99
berkurang kadarnya karena pengaruh progesteron, dan berlawanan
dengan umpan balik pada hipotalamus, kadar CRH plasenta
meningkat karena pengaruh glukokortikoid. CRH plasenta
selanjutnya diregulasi (seperti di hipotalamus) oleh vasopressin,
norepinefrin, angiotensin II, prostaglandin, neuropeptida Y, dan
oksitosin. Pelepasan CRH dirangsang oleh activin dan interleukin,
dan dihambat oleh inhibin dan nitrit oksida. Peningkatan progresif
kadar CRH maternal selama kehamilan akibat sekresi CRH
intrauterin kedalam sirkulasi maternal. Kadar tertinggi ditemukan
selama persalinan. Kadar CRH maternal meningkat selama
kehamilan dalam keadaan stress, preeclampsia, dan persalinan
preterm. (Newport DJ, Owens MJ, et al, 2004)
Protein pengikat untuk CRH terdapat pada sirkulasi manusia,
dan diproduksi di plasenta, fetal membran dan desidua. Kadar
protein pengikat pada sirkulasi maternal selama kehamilan tidak
berbeda dengan saat tidak hamil, sedikit meningkat pada usia
kehamilan 35 minggu dan menurun drastic hingga aterm.. Placental
CRH dan maternal CRH merangsang hipofisis anterior untuk
meningkatkan ACTH, sehingga merangsang sekresi maternal
kortisol dari korteks adrenal. Maternal plasma CRH berbanding
lurus dengan kadar ACTH dan kortisol, yang juga berkorelasi
dengan CRH, sehingga terjadi hipercorticolisme pada kehamilan
(Speroff L & Fritz MA, 2005)
100
Peningkatan glukokortikoid menginisiasikan umpan balik
negative pada axis HPA, menghambat pelepasan maternal CRH,
namun kortisol yang dilepaskan oleh korteks adrenal memiliki efek
umpan balik positif dengan CRH plasenta, sehingga merangsang
sekresi hipofisis ACTH dan kortisol. Kadar kortisol mencapai
puncaknya pada usia kehamilan 8minggu, dan berhubungan
dengan maturasi paru janin akibat hipertrofi korteks adrenal. Pasca
persalinan, kadar kortisol kembali normal pada hari ke 4-5. Sistem
CRH sangat berperan dalam terjadinya depresi. Distribusi saraf
CRH yang sangat luas. Ia menjadi regulasi utama dalam sistem
otonom, endokrin, imunitas, dan respon perilaku terhadap stressor.
Peningkatan kadar CRH dapat menyebabkan terjadinya depresi.
(Pearlstein, 2009)
Akibat pelepasan plasenta pada persalinan, kadar
progesteron, estrogen dan CRH berkurang drastis, mencapai kadar
seperti sebelum hamil pada hari ke 5 pasca persalinan. Kadar
kortisol juga berkurang drastis pasca persalinan, namun korteks
adrenal yang mengalami hipertrofi kembali seperti sebelum hamil
pada hari ke 5 pasca persalinan. Diduga terdapat sensitifitas yang
berbeda pada setiap wanita sehingga perubahan hormon yang
terjadi pada saat kehamilan dan pasca persalinan menyebabkan
terjadinya depresi pasca persalinan.Serotonin (5HT, 5-hidroxy-
tryptofan) berasal dari asam amino triptofan, yang bisa didapatkan
101
dari makanan. Oleh enzim triptofan hidroksilase, ia diubah menjadi
5 HT. Serotonin berperan dalam menghambat sekresi CRH. Saat
neuro-transmitter serotonin terganggu, maka kadar CRH meningkat
sehingga menyebabkan terjadinya depresi (Pearlstein, 2009)
Pada studi ini ditemukan bahwa sebagian besar reponden
berasal dari keluarga perokok (81,4%). Hal ini senada dengan hasil
Riskesdas pada tahun 2013, yang menemukan bahwa 85% rumah
tangga di Indonesia terpapar asap rokok. Padahal kita ketahui
bersama bahwa asap rokok yang berasal dari ujung rokok yang
terbakar (sidestream)sama bahayanya dengan asap rokok utama
mainstream) sehingga efek pada perokok pasif hampir sama
seperti yang dirasakan oleh perokok aktif
Rokok mengandung toksin yang meningkatkan radikal bebas
dalam tubuh. Bila radikal bebas tidak bisa dinetralisir oleh system
pertahanan antioksidan tubuh maka dapat menyebabkan terjadinya
stress oksidatif. Dalam jumlah besar, stress oksidatif akan
menyebakan terjadinya kematian sel
Studi yang dilakukan oleh Etti dkk, di Binjai menemukan
bahwa kadar zink ASI pada ibu dari keluarga perokok jauh lebih
rendah dibandingkan ibu dari keluarga non perokok. Dan
perbedaannya bermakna secara statistic (p=0,008). Pada studi ini,
ditemukan pula adanya kecendrungan kadar zink yang lebih rendah
pada plasma ibu dari keluarga perokok, meski perbedaannya
102
memang belum signifikan secara statistic (p=0,063). Tetapi hal
tersebut telah menunjukkan bahwa bisa jadi asap rokok memang
berbahaya tidak hanya bagi perokok sendiri, tetapi juga orang-
orang yang menghirup asap rokok tersebut. Utamanya orang-orang
yang tinggal bersama perokok
C. Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan, yaitu :
1. Penelitian ini tidak melihat kadar Hb dan status Fe pada
resonden sehingga tidak bisa melihat pengaruh kadar Fe
terhadap kadar zink responden
2. Penelitian ini hanya memiliki 13 sampel ibu dari keluarga non
perokok, sehingga dikhawatirkan mempengaruhi hasil yang
diperoleh
D. Saran Bagi Penelitian Selanjutnya
1. Perlu dilakukan penelitian tentang peran zink pada kejadian
Depresi Postpartum, karena studi ini baru melihat postpartum
blues sebagai bagian dari Depresi Postpartum sehingga peran
zink belum terlihat. Dengan melihat berbagai literature, bisa jadi
peran zink memang baru terlihat pada kejadian depresi
postpartum
2. Perlu dilakukan penelitian tentang postpartum blues terhadap
responden dengan kadar zink yang normal dan kadar zink yang
defisiensi sehingga akan memperjelas hubungan antara zink
dan postpartum blues, karena peran zink belum terlihat pada
103
kejadian postpartum blues pada studi ini karena seluruh
responden mengalami defisiensi zink
3. Perlu dilakukan penelitian tentang kadar zink dan depresi
postpartum dengan jumlah sampel yang lebih memadai pada
ibu dari keluarga non perokok, karena pada studi ini jumlah
sampel ibu dari keluarga non perokok hanya 13 sampel.
Sehingga perbedaan kadar zink pada ibu dari keluarga perokok
dan non perokok belum signifikan
4. Perlu dilakukan penelitian longitudinal yang melibatkan
pemberian suplementasi zink untuk memperbaiki kadar zink
pada ibu
104
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pola konsumsi makanan sumber zink maupun tablet Fe
sebagian besar masih jarang baik pada ibu yang menderita
postpartum blues maupun tidak
2. Kadar zink responden seluruhnya mengalami defisiensi, baik
pada ibu yang mengalami postpartum blues maupun tidak
3. Kadar zink pada ibu yang menderita postpartum blues lebih
tinggi dari ibu yang tidak mengalami postpartum blues, tetapi
perbedaannya tidak bermakna. Kadar zink pada ibu dari
keluarga perokok terlihat lebih rendah dari ibu yang berasal dari
keluarga bukan perokok, baik pada ibu yang mengalami
postpartum blues maupun tidak, tetapi perbedaannya tidak
bermakna
4. Tidak ditemukan hubungan antara kadar zink dan faktor
psikososial dengan kejadian postpartum blues
5. Tidak ditemukan korelasi antara kadar zink dan sebagian besar
faktor psikososial dengan skor EPDS
6. Ditemukan korelasi antara dukungan suami dengan skor EPDS,
dimana responden yang mendapat dukungan memiliki skor
105
EPDS yang lebih rendah dan responden yang tidak mendapat
dukungan suami memiliki skor EPDS yang lebih tinggi
B. Saran
1. Melihat adanya kecendrungan kadar zink yang lebih rendah,
skor EPDS dan kejadian postpartum blues yang lebih tinggi
pada ibu dari keluarga perokok maka diharapkan agar para
perokok tidak merokok di dalam rumah atau dekat dengan
ibu hamil maupun menyusui, karena telah ada temuan
tentative bahwa asap rokok menyebabkan kadar zink yang
lebih rendah baik pada plasma maupun ASI ibu menyusui
2. Bila dianalisis dengan melibatkan seluruh responden, terlihat
bahwa satu-satunya faktor psikososial yang berkorelasi
dengan skor EPDS adalah dukungan suami. Karena itu,
perlu dilakukan edukasi dan penyadaran kepada para suami
untuk mau memberikan dukungan kepada istrinya. Perlu
dilakukan perubahan paradigma dan nilai-nilai dalam
keluarga bahwa urusan bayi bukan semata-mata urusan ibu,
tetapi juga ada tanggung jawab suami sebagai ayah di
dalamnya. Sehingga ayah dan ibu saling bersinergi dalam
menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya.
3. Melihat dua temuan utama dalam studi ini ternyata berkaitan
dengan peran laki-laki dalam rumah tangga, maka
106
sepertinya perlu diberikan pula pendidikan tentang
kerumahtanggaan kepada para calon ayah. Jika ada kelas
untuk ibu hamil yang menjadi program pemerintah, maka
perlu juga diadakan kelas ayah ASI. Sehingga ayah dan ibu
sama-sama memiliki pengetahuan dan pemahaman yang
tentang kesehatan dan pengasuhan anak. Pemanfaatan
media social bisa menjadi sarana yang prospektif untuk
melakukan edukasi terhadap calon ayah dan ayah. Melalui
grup-grup media social dapat dilakukan diskusi dan edukasi
tentang isu-isu seputar kesehatan ibu dan anak. Selain itu,
para akademisi juga seyogyanya lebih banyak memberikan
pendidikan kepada masyarakat terkait temuan-temuan di
perguruan tinggi. Baik itu sebagai pembicara publik ataupun
sebagai penulis
4. Temuan tambahan pada studi ini mencakup 3 masalah yaitu,
tingginya masalah defisiensi zink dan postpartum blues pada
ibu melahirkan serta banyaknya ibu yang menjadi perokok
pasif, maka perlu dilakukan upaya untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut. Untuk defisiensi zink, perlu
dipikirkan upaya suplementasi bagi kelompok yang berisiko
tinggi, terutama ibu hamil dan ibu menyusui. Untuk
postpartum blues, perlu dilakukan skrining dan pemantauan
berkala terhadap ibu-ibu yang memiliki risiko terhadap
107
masalah tersebut. Seperti ibu-ibu yang kurang mendapat
dukungan dari suami maupun keluarganya. Karena jangan
sampai postpartum blues itu berkembang menjadi depresi
postpartum dan akhirnya termanifestasi menjadi psikosis
yang mengancam jiwa ibu dan anaknya. Untuk perokok
pasif, perlu penyadaran dan perundang-undangan yang
mengatur tentang merokok. Masyarakat tetap perlu
disadarkan tentang bahaya merokok, tidak hanya bagi para
perokok tetapi juga orang di sekitarnya. Peraturan tentang
rokok perlu diterapkan secara konsisten. Selain itu, para ibu
juga perlu memiliki keberanian untuk menolak asap rokok di
rumahnya. Para ibu seyogyanya memiliki otonomi yang lebih
besar di rumahnya untuk melindungi diri dan anak-anaknya
dari bahaya asap rokok. Karena bila di ruang public, mereka
tidak dapat leluasa untuk melarang orang untuk merokok,
seharusnya di rumah, ibu dapat melarang anggota
keluarganya untuk merokok
108
DAFTAR PUSTAKA
Angka kecukupan pangan dan gizi. (2013). Widyakarya Nasional Pangan
dan Gizi. Jakarta.
Abrosini A, Donzelli G, Stanghellini G. (2012). Early Perinatal Diagnosis of
Mother at Risk of Developing Post-partm Depression-A Concise
Guide for Obstetrician, Midwives, Neonatologist and Paediatricians.
J. Matern. Fetal. Neonatal. Med, 1096-101.
Almatsier, S. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Andriollo_Sanchez M, Hininger-Favier I, Meunier N, et al. (2005). Zink
intake and Status in Midle Aged and Older European Subjects. Eur
J Clin Nutr, 37-41.
Ariesta, V. (2017). Postpartum Blues dalam Perspektif Komunikasi
Interpersonal (Studi Analisis Teori Johari Window).
digilib.uinsby.ac.id.
As'ad, S. (2005). Zat Gizi Mikro Zink, Dari Aspek Molekuler Sampai pada
Program Kesehatan Masyarakat. Jurnal Medika Nusantara, 29-35.
Becker M, Weidenberger T, Chandy A, Schmuklers S. (2016). Depression
During Pregnancy and Postpartum. Curr Psychiatry Rep, 32.
Becley EH, Finn DA. (2007). Inhibiton of Progesteron Metabolism Mimics
The ffect of Progesterone Withdrawal on Forced Swim Test
Immobility. Pharmacol Biochem Behavior, 412-419.
Bergink V, Kooistra L, Den Berg MP, Wijnen H, Bunevidas R, Van Baan A,
Pop V. (2011). Validation of The Edinburg Postnatal Depression
Scale During Pregnancy. J Psychosom Res, 385-389.
109
Bernadeta-Szewcyzk, et al. (2008). Antidepressant Activity of Zink and
Magnesium: the View of The Current Hypothese of Antidepressant
Action. Pharmacological Report, 588-599.
Bessr L, Chorin E, Sekle I, Silverman, et al. (2009). Synaptically Released
Zink Triggers Metabotropic Signaling Via a Zink Sensing Receptor
on The Hippocampus. J Neurosci 29, 2890-2901.
Bhalla P, Chadha VD, Dhar R, Dhawan DK. (2007). Neuroprotective
Effects of Zink on Antioksidant Defense System in Lithium Treated
Rat Brain. Indian J Exp. Biol, 954-8.
Blanusa M, et al. (1985). Interaction of Cadmium, Zink and Copper in
Relation to Smoking Habit, Age and Histopathological Findings in
HUman Kidney Cortex. Arch.Toxicol, 115-117.
Bloch M, Rotenberg N, Koren D, et al. (2006). Risk Factors for Early
Postpartum Depressive Symptoms. Gen Hos Psychiatry, 3-8.
Bobak IM, L. D. (2005). Buku Ajar Keperawatan. Jakarta: EGC.
Boid RC, Le HN, Somberg R. (2005). Review of Screening Instrument for
Postpartum Depression. Archives of Woman's Mental Health, 141-
53.
Brown KH, Rivera JA, Bhutta Z, Gibson RS, King JC, et al. (2004).
Assessment of the Risk of Zink Deficiency in Population and
Options for Its Control. Food Nutr Bull, 99-203.
Chandran M, Tharyan P, Mulhilil J, Abraham S. (2002). Postpartum
Depression in A Cohort of Woman From Rural Area of Tamil Nadu,
Indi. British Journal of Psychiatry, 499-504.
Colvin R, Fontaine CP, Laskowski M, Thomas D. (2003). Zn2+
Transporters and Zn2+ Homeostasis in Neurons. Eur.J.Pharmacol,
171-85.
110
Corwin EJ, Johnston N, Pugh L. (2008). Symptoms of Postpartum
Depression Associated With Elevated Levels of Interleukin-1 B
During The First Month Postpartum. Biol Res Nurs, 128-133.
Cousin RJ, Liuzzi JP, Lichten LA. (2006). Mammalian Zink Transport,
Trafficking and Signals. J.Biol.Chem 281, 24085-24089.
Couturier E, Van Onderbergen A, Bosson D. (1991). Effect of fasting, self
selected and isocaloric glucose and fat meals and intravenous
feeding on plasma zink concentration. Ann Clin Biochem, 442-5.
Crawford, I. (1983). Zink and The Hippocampus :Histology, Neuro-
chemistry, Pharmacology and Putatife Functional Relevance.
Dalam Neurobiology of The Trace Elements (hal. 1963-211).
Dahlan, S. (2009). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:
Tim Epidemiologi.
Dahlan, S. M. (2016). Besar Sampel Dalam Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan. Jakarta: Epidemiologi Indonesia.
Daud, N. A. (2004). Pengaruh Pemberian Zink pada Ibu Hamil Kurang
Energi Kronik Terhadap Berat Lahir dan Status Gizi Bayi di
Kabupaten Takalar. Makassar: Disertasi PPS Unhas.
Dennis CL, Heaman M, Vigods S. (2012). Epidemiology of Postpartum
Depressive Symptoms Among Canadian Woman : Regional and
National Results From A-Cross Sectional Survey. The Canadian
Journal of Psychiatry, 537-547.
Dietz PM, W. S. (2007). Clinically Identified Maternal Depression Before,
During and After Pregnacies Ending in Live Births. Am J Psychiatry,
1515-20.
111
DiGirolamo AM, Ramirez-Zea M. (2009). Role of Zink in Maternal and
Child Mental Health. American Journal of Clinical Nutrition, 940S-
945S.
Dira IKPA, Wahyuni AAS. (2016). Prevalensi dan Faktor Risiko Depresi
Postpartum di Kota Dempasar Menggunakan EPDS. E-Jurnal
Medika, 1-5.
Donaldson JT, St.Pierre JL, Minnich and A. Barbeau. (1973). Determinan
of Na, K, Mg, Cu, Zn and Mn in Rat Brain Regions. J.Biochem, 87-
92.
Ellsworth-Bowers ER, Corwin EJ. (2012). Nutrition and The
Psyshoneuroimmunology of Postpartum Depression. Nutr Res Rev,
180-192.
Ernawati, E. (2006). Hubungan Faktor Sosial Dengan Dukungan Keluarga.
Kediri: Akbid Kebidanan Pawang.
Etebary S, Nikseresht S, Sadeghipour HR, Zarrindast MR. (2010).
Postpartum Depression and Role of Serum Trace Elements. Iranian
J Psychiatry, 40-46.
Etti Sudaryati, Evawany Aritonang, Ida Yustina. (2016). Perbedaan Kadar
Zink Dalam ASI pada Keluarga Perokok dan Bukan Perokok di Kota
Binjai Tahun 2016. KONAS IAKMI XIII (hal. 275). Makassar: FKM
Unhas.
Franco JL, Posser T, Brocardo PS, et al. (2008). Involvement of
Glutathione, ERK 1/2 Phosphorylation and BDNF Expression in The
Antidepressant-like Effect of Zink in Rats. Behav Brain, 316-23.
Green AD, Barr AM, Gale a LAM. (2009). Role of Estradiol Withdrawal in
Anhedonic'Socrose Consumption : A Model of Postpartum
Depression . Physiol Behavior, 259-265.
112
Grober, U. (2009). Mikronutrient. Jakarta: EGC Publisher.
Groer MW, Morgan K. (2007). Immune, Health and Endocrine
characteristics of Depressed Postpartum Mothers.
Psychoneuroendocrinology, 133-139.
Guyton. (2007). Buku Ajar Fisiologi. Jakarta: EGC.
Hay DF, Pawlby S, Sharp D. (2001). Intelectual Problem Shown by 11-
year-old Children Whose Mother had Postnatal Depression. J Child
Psychol Psychiatr, 871-889.
Henshow, C. (2007). Mood Disturbance in The Early Puerpurium : A
Review. Achives of Women's Mental Health, 33-42.
Hollander, E. (1999). Advances in The Treatment of Depression. CNS
Spectr, 13.
HolstB, et al. (2007). GPR39 Signaling is Stimulated by Zink Ions but By
Obestatin. Endocrinology, 13-20.
Hotz C, Peerson JM, Brown KH. (2003). Suggested Lower cut of of Serum
Zink Concentration for Assessing Zink Status : Reanalysis of The
Second National Health and Nutrition Examination Survey Data
(1976-1980). Am J Clin Nutr, 756-64.
Huang L, Tepaamordech S. (2013). The SLC30 Family of Zink
Transporters-a Review of Current Understanding of Their
Biologycal and Pathophysiological Roles. Mol. Aspects Med. 34,
548-560.
Ibrahim F, Rahma, Iksan M. (2012). Faktor-faktor yang Berhubungan
Dengan Depresi Postpartum di RSIA Pertiwi Makassar Tahun 2012.
Repository Unhas.
113
Ilouz R, Kaidanovick O, Gurwitz D, Finkelumen-Eldan H. (2002). Inhibition
of Glycogen Synthase Kinase-3 B by Divalet Zink Ions : Insight Into
The Insulin-Mimetic Action of Zink. Biochem Biophy S Res
Common, 102-106.
isa Arianie Rusli, Tatik Melyantariningsih, Weni Endahning Wani. (2011).
Perbedaan Depresi Pasca Melahirkan pada Ibu Primipara Ditinjau
dari Usia Ibu. I N S A N, 21-31.
John W Crayton, William J Walsh. (2007). Elevated Serum Copper Levels
in Woman With a History of Postpartum Depression. Journal of
Trace Element in Medicine and Biology, 17-21.
Keller, Grider and Coffield. (2001). Age-Dependent Influence of Dietary
Zink Restriction on Short-Term Memory in Male Rats. Physiology
and Behavior, 339-348.
Kemenkes. (2014). Perilaku Merokok Masyarakat Indonesia. Jakarta:
infoDATIN.
Khomsan, A. (2004). Peranan Pangan dan Gizi Untuk Kualitas Hidup.
Jakarta: Gramedia.
King JC, Cousin RJ. (2006). Zink. Dalam S. M. Shils ME, Modern Nutrition
in Health and Disease (hal. 271-85). Baltimore: Lippincott Williams
and Wilkins.
Krezel A, Hao Q, Maret W. (2007). The Zink/Thiolate Redox Biochemistry
of Metallothionein and The Control of Zink Ion Fluctuation in Cell
Signalling. Arc Biochem.Biophys 463, 188-200.
Kurniati, Y. (2017, Juni 13-14). Peran Ayah Dalam Pendidikan Anak.
Harian Amanah Makassar, hal. 10.
114
Lichten LA and Cousin RJ. (2009). Mammalian Zink Transporters:
Nutritional and Physiologic Regulation. Annu. Rev.Nutr 29, 153-
176.
Linder, M. (1991). Seng: Nutritional Biochemistry and Metabolism and
Clinical Application. USA: Elsevier.
Maes M, D'Haese PC, Scharpe S, et al. (1994). Hypozincemia in
Depression. Journal Affect Disorder, 135-140.
Magnusson, K. (2011). Risk for Postpartum Depression in Association
With Zink, Magnesium and Calcium Levels at Delivery. Swedia:
Upsala University.
Manos LM, Moretti M, Colla AR, Ribeiro CM, Dal-cimut, Tosca CI,
Rodrigues AI. (2016). Involvement of Glutamatergic
Neurotransmission in The Antidepressant-Like Effect of Zink In The
Chronic Unpredictable Strss Model of Depression. Jounal of Neural
Transmission, 339-52.
Marcellini F, Papa R, Giuli C et al. (2006). Zink Status, Psycological and
Nutritional Assesment in Old People Recruited in Five European
Countries : Zinkage Study. Biogerontology, 339-345.
Marcellini F, Giuli C, Papa R, et al. (2008). Zink In Elderly People : Effect
of Zink Suplementation on Psycological Dimensions in Dependence
of IL-6-174 polymorphism : a Zinkage Studi. Rejuvenation Res,
479-83.
Marcellini F, Giuli C, Papa R, Malavolta M, Mocchegiani E. (2006).
Psycho-social Aspect and Zink Status : Is There a Relationship with
Successfull Aging. Rejuvenation Res, 333-7.
Maret. (2001). Zink Biochemistry, Physiology and Homeostasis : Recent
Insights and Current Trends. Biometals, 187-90.
115
Marks MN, Wieck A, Checkley SA, Kumar R. (1992). Contribution of
Psychological and Social Factors to Psychotic and Non-psychotic
Relapse After Child Birth in Woman With Previous Histories of
Affective Dissoreders. J.Affect.Disord, 253-263.
Masters BA, Quaife CJ, Erickson JC, et al. (1994). Metallothionein III is
Expressed in Neurons that Sequester Zink in Synaptic Vehicles.
J.Neurosci, 5844-5857.
Mattheys, Henshaw C, Elliot S, Barnett B. (2006). Variability in Use of Cut
of Scores and Formats on The Edinburg Postnatal Depression
Scale : Implication for Clinical and Research Practice. Arch Women
Ment Health2, 309-315.
McConville C, Simpson EEA, Rae G, et al. (2005). Positive and Negative
Mood in Elderly: The ZENITH Study. Europa Journal Clinical
Nutrition, S22-5.
Meilina, A. (2014). Hubungan Antar Postpartum Blues dan Pengalaman
Persalinan di RSUD Kabupaten Pangkep Tahun 2014. Makassar:
Tesis Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
MG, S. (2004). Maternal Infanticide Associated With Mental Illness
Prevention and The Promise of Saved Lives. Am J Psychiatry, 1548-
57.
Miller, L. J. (2002). Postpartum Depression. Journal of American Medical
Association, 762.
Mlyniec. (2015). Zink in The Glutamatergic Theory of Depression. Current
Neuropharmacology, 505-513.
Mlyniec K, Budziszewska B, Reczynski W, Sowa-Kucma, Nowak G.
(2013). The Role of GPR39 Reseptor in Zink Deficient-Animal
Model of Depression. Behav.Brain Res, 30-5.
116
Mlyniek K, Trojan E, et al. (2016). Immune Malfunction in The GPR39 Zink
Resptor of Knockout Mice : its Relationship to Depressive Disorder.
J. Neuroimmuno, 11-7.
Moehji, S. (2003). Penanggulangan giziz buruk . Jakarta: Panas Sinar
Sinanti.
Moses_Kolko, et al. (2008). Serotonin 1A Receptor Reduction in
Postpartum Depression : A Positron Emission Tomography Study. .
Fertil Steril, 685-92.
Motalebnejad M, et al. (2013). The Effect of Passive Smoking on Total
Antioxidant Capacity of Serum and Saliva in Rats. Journal of Dental
Scholl, 117-124.
Motcheldt I, Andreasen A, Pedersen AL, Pedersen MC. (2013).
Prevalence of Postpartum Depression In Nuuk, Greenland, A
Cross-Sectional Study Using EPDS. Int J Circumpolar Health,
21114.
Muhammad Nur Hasan Syah, Abdu Razak Thaha, Citrakesumasari.
(2012). Status Zat Gizi Mikro (besi, asam folat dan seng) dan
kerusakan DNA pada anemia ibu hamil di Kecamatan Bontonompo
dan Bontonompo Selatan Kabupaten Gowa Tahun 2012. e journal
pps unhas.
Nakashima AS, Dyck RH. (2009). Zink and Cortical Plasticity.
Brain.Res.Rev, 347-73.
Navarro P, Aguado J, Ascaso C, Garcia-Esteve L, Torres A, Martin-Santos
R. (2007). Postnatal Psychiatry Morbidity : A Validation Study of
The GHQ-12 and The EPDS as Screening Tools. Gen Hosp
Psychiatry, 1-7.
117
Newport DJ, Owens MJ, et al. (2004). Alteration in Platelet Serotonin
Transporter Binding in Woman With Postpartum Onset Major
Depression. J Psychiatry Res, 467-73.
Niciu MJ, Kelmendi B, Sanacora G. (2012). Overview of Glutamatergic
Neurotransmision in The Nervous System. Pharmacol.
Biochem.Behav, 656-64.
Nikseresht S, Etebary S, Karimian, Nabavizadeh F, Zarrindast MR. (2012).
Acute Administration of Zn, Mg, and Thyamine Improves
Postpartum Depression Conditions In Mice. Iranian Medicine, 306-
11.
Novi Anggraeni, Zulfiyani. (2014). Faktor-faktor yang Berhubungan
Dengan Kejadian Postpartum Blues. Madura: Akbid Ngudia
Husada.
Nowak G, Siwek M, Dudek D, et al. (2003). Effect of Zink Supplementation
on Antidepressant Therapy in Unipolar Depression : A Preliminary
Placebo-Controlled Study. Pol J Pharmacol, 1143-1147.
Nowak G, Szewzyk B, Pilca. (2005). Zink and Depression: An Update.
Pharmacol Rep, 713-718.
Nowak G, Zawadzka S. (1999). Alteration in Serum and Brain Trace
Element Levels After Antidepressant Treatment. Biol Trace Elem
Res, 85-92.
Nurafifah, D. (2015). Ayah ASI (Berastfeeding Father) Terhadap Kejadian
Postpartum Blues. Prosiding Seminar Nasional dan Internasional.
Semarang: LPPM Unismuh.
Octavia, N. (2016, 2 2). Bahaya Perokok Pasif. Dipetik 2 2, 2017, dari
klikDOKTER: m.klikdokter.com
118
Paoletti P, Vergnano AM, Barbour B, Casado M. (2009). Zink at
Glutamatergic Synapses . Neuroscience 158, 126-136.
Partyka A, Jastrzebska-Wiesek M, Szewczyk B, Stachowicz K, Slawinska
A. (2011). Anxiolytic-like Activity of Zink in Rodent Test. Pharmacol
Rep, 1050-5.
Payne JI, Palmer JT, Joffe H. (2009). A Reproductive Subtype of
Depression : Conceptualizing Models and Moving Toward Etiology.
Harvard Rev. Psychiatry, 72-86.
Pearlstein. (2009). Postpartum Depression. Diambil kembali dari
www.AJOG.org.
Petrozzi A, Gagliardi L. (2013). Anxious and Depressive Component of
Edinburgh Postnatal Depression Scale in Maternal Postpartum
Psychological Problem. J Perinatal Med, 343-8.
Pilc A, Chaki S, Nowak G, Witkin JM. (2008). Mood Disorder Regulation
By Metabotropic Glutamate Receptors. Biochem Pharmacol, 997-
1006.
Pillitery. (2007). Maternal and Child Health Nursing Care of Childbearing
and Childrearing Family. Lippincot.
Plum LM, Rink L, Haase H. (2010). The Essential Toxin: Impact of Zink on
Humal Health. Int.J.Environ Res.Public Health , 1342-1365.
Quaife CJ, Findley SD, Erickson JC, Froelick GJ, et al. (1994). Induction of
a New Metallothionein Isoform (MT-IV) occurs during Differentiation
of Stratified Squamou Epithelia. Biochemistry, 7250-7259.
Quelopana AM, Champion JD, Reves-Rubilan T. (2011). Factors
Assiciated With Postpartum Depression in Chilean Women. Health
Care Women Int, 939-49.
119
Russo, A. (2011). Analysis of Plasma Zink and Copper Concentration, and
Perceived Symptoms, In Individuals With Depression, Post Zink
and Anti-Oxidant Therapy. Nutr Metab Insights, 19-27.
Safadi RR, Abushaikha LA, Ahmad MM. (2016). Demographic, Maternal
and Infant Health Correlates of Post-Partum Depression in Jordan.
Nurs Health Sci, 306-13.
Saito M, Makino, et al. (1982). Clinica Chimica Acta. 127-135.
Samir Samman, Sheila Skeaff, Christine Thomson, Sterward Truswell.
(2012). Unsur Renik. Dalam J. Mann, Ilmu Gizi ed 4 (hal. 161).
Jakarta: EGC.
Sari, L. (2009). Depresi Pasca Persalinan di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan. Medan: Departemen Psikiatri FK USU.
Sartono, N. (2005). Pengaruh Pajanan Asap Rokok Kretek Secara Pasif
Terhadap Epitel Bronkiolus dan Kandungan GSH pada Tikus Galur
Swiss Webster. Dipetik 2 17, 2017, dari Digital Library UI:
http//lib.ui.ac.id/abstrakpdfdetail.jsp?id=98452
Sawada T, Yokoi K. (2010). Effect of Zink Supplementation on Mood
States in Young Woman: A Pilot Study. Eur J Clin Nutrition, 331-
333.
Sinclair. (2009). Buku Saku Kebidanan. Jakarta: EGC.
Skalkidou A, Sylven SM, Papadopoulus FC, Olovsson M, Larsson A,
Sundstrm-Poromaa I. (2009). Risk of Postpartum Depression in
Association With Serum Leptin and Interleukin-6 Levels at Delivery:
A Nested Case-Control Study Within The UPPSAT Cohort.
Psychneuroendocrinology, 1329-1337.
Sloane and Benedict. (2008). Petunjuk Lengkap Kehamilan. Jakarta:
Pustaka Mitra.
120
Sloane and Benedict. (2008). Petunjuk Lengkap Kehamilan. Jakarta:
Pustaka Mitra.
Smart TG, Hosie AM, Miller PS. (2004). Zn2+ ions : Modulators of
Excitatory and Inhibitory Synaptic Activity . Neuroscientist 10, 432-
442.
Sowa-Kucma M, Legutko B, Szewczyk B, Novak K, Znojek P, Poleszak E,
Papp M, Pilc A. (2008). Antidepressant-like Activity of Zink: Further
Behavioral and Molecular Evidence. Neural Trasm (Vienna), 1621-
8.
Speroff L & Fritz MA. (2005). Protein Hormone on Pregnancy . Dalam
Clinical Gynecologic, Endrocrinology and Infertility (hal. 274-89).
USA: Lippincot, Williams and Wilkins.
Takeda A, et al. (2008). Enhacement of Socil Isolation-Induced Aggressive
Behavior of Young Mice by Zink Deficiency. Life Science, 909-14.
Takeda A, I. H. (2008). Enhacement of Hipocampal Mossy Fiber Activity in
Zink Deficiency and Its Influence on Behavior. Biometals, 545-52.
Teissedre F, Chatrol H. (2004). A Study of The Edinburgh Postnatal
Depression Scale (EPDS) on 859 Mother : Detection of Mother at
Risk for Postpartum Depression. Encephale, 376-81.
Teng WF, et al. (2008). Effect of Restraint Stress on Iron, Zink, Calcium
and Magnesium Whole Blood Levels in Mice. Biol Trace Elem Res,
243-8.
Tian T, et al. (2012). Clinical Features and Risk Factors for Post-partum
Depression in A Large Cohort of Chinese Women With Recurrent
Major Depressive Disorder. Journal of Affective Disorder, 983-987.
121
Tuasikal, Naimah dan Erni Dwi Widyara. (2015). Life Events, Self Esteem
dan Sindrom Depresi Postpartum. Jurnal Informasi Kesehatan
Indonesia, 76-82.
Tuhulele K, Seweng A, Sarakeh M. (2016). Faktor yang Berhubungan
Dengan Depresi Postpartum di RSKDIA Siti Fatimah Makassar.
Repository Unhas.
Urbayani, S. (2010). Dukungan Sosial dan Kecendrungan Depresi
Postpartum pada Ibu Primipara di Daerah Gempa Bantul.
Humanitas.
Verkerk GJ, Denollet J, Van Heck GI, Van Son MJ, Pop VJ. (2005).
Personality Factors as Determinant of Depression in Post Partum
Women :A Prospective-1-Year Follow Up. Psycosom Med, 632-637.
Viroonudompol D, Suwanton L, Pinyosirikul U, Satsue S, Harnruongroj T.
(2016). Effect of Active and Passive Smoking on Heavy Metal Toxic
and Antioxidant Trace Element. Journal of Medical and
Bioengineering, 58-62.
Wahyuni S, Marwati, Supiati. (2014). Faktor Internal dan Eksternal yang
Mempengaruhi Depresi Postpartum. Jurnal Terpadu Ilmu
Kesehatan2, vol 3 no 2.
Walker SP, W. T. (2007). Child Development :Risk Factors For Adverse
Outcomes in Developing Countries. Lancet, 145-57.
Warren PL, Mc Cathy Geraldine, Corcoran Paul. (2009). Social Support,
Maternal Parental, Self Efficacy and Postnatal Depression. Journal
of Clin Nurs.
Wisner KL, et al. (2002). Postpartum Depression. New England Journal of
Medicine, 194-99.
122
Wojcik J, Dude D, Schlegel-Zawadzka M, et al. (2006).
Antepartum/Postpartum Depressive Symptoms and Serum Zink
and Magnesium Levels. Pharmacol Rep, 571-576.
Woodruf TJ, Parker JD, Darrow LA, et al. (2009). Methodological Issues in
Studies of Air Pollution and Reproductive Health. Environ Res, 311-
20.
Yokus B, Mete N, Color UD, Topak G. (2014). Effect of Active and Passive
Smoking on Antioxidant Enzimes and Antioxidan Mikronutrient.
Journal of Biotecnology and Biotechnological Equipment, 117-123.
Yonkers KA, Vigod S, Ross LE. (2011). Diagnosis, Pathophysiology and
Management of Mood Disorder in Pregnant and Postpartum
Woman. Obstet Gynecol, 961-977.
123
LAMPIRAN I
LEMBAR PENJELASAN
Dengan hormat, Saya, Yessy Kurniati mahasiswi Pascasarjana
Unhas Program Studi Biomedik Peminatan Fisiologi Angkatan 2015.
Saat ini, saya sedang menjalankan penelitian dengan judul
“Perbandingan Kadar Zink dan Postpartum blues pada Ibu dari
Keluarga Perokok dan Non Perokok”. Penelitian ini dilakukan
sebagai syarat pendidikan di Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
perbandingan kadar zink dan postpartum blues pada ibu dari
keluarga perokok dan non perokok Untuk keperluan tersebut, saya
memohon kesediaan Ibu untuk menjadi partisipan dalam penelitian
ini. Saya memohon kesediaan Ibu untuk mengisi kuesioner dengan
jujur dan apa adanya. Jika Ibu bersedia, silahkan menandatangani
persetujuan ini sebagai bukti kesukarelawanan Ibu. Identitas pribadi
Ibu sebagai partisipan akan dirahasiakan dan semua informasi yang
diberikan hanya akan digunakan untuk penelitian ini. Bila terdapat
hal yang kurang dimengerti, Ibu dapat bertanya langsung pada saya
atau dapat menghubungi saya di nomor 082292771282. Atas
perhatian dan kesediaan Ibu menjadi partisipan dalam penelitian ini,
saya ucapkan terima kasih.
Hormat Saya,Yessy Kurniati
124
LAMPIRAN II
LEMBAR PERSETUJUAN (Informed Consent)
Saya yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama :
Tempat/Tanggal Lahir :
Alamat :
telah benar-benar paham atas penjelasan yang disampaikan oleh
peneliti mengenai penelitian ini yang berjudul “Perbandingan Kadar
Zink dan Postpartum blues pada Ibu dari Keluarga Perokok dan Non
Perokok”. Oleh karena itu saya menyatakan BERSEDIA menjadi
peserta dalam penelitian ini.
Demikianlah persetujuan ini saya sampaikan dengan sukarela dan
tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Hormat Saya,
( ___________________________ )
125
LAMPIRAN III
Edinburgh Postnatal Depresion Scale
Nama :
Umur :
Pendidikan Terakhir :
Pekerjaan :
Status Perkawinan :
Jumlah Paritas :
Instruksi.
Setelah anda melahirkan bayi, kami ingin mengetahui bagaimana
perasaan anda sekarang. Dibawah ini ada sebuah contoh
pertanyaan yang dilengkapi dengan jawabannya.
Saya merasa bahagia:
Ya, hampir setiap waktu Tidak terlalu sering
Tidak, tidak sama sekali Ya, kadang-kadang
Jawaban ini berarti “saya kadang-kadang merasa bahagia”.
Silahkan jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan cara
yang sama.
1. Saya bisa tertawa dan melihat segi-segi lucu dari segala sesuatu,
misalnya suatu pertunjukan/bacaan/cerita komedi, lawakan,
guyonan, obrolan sehari-hari:
Sebanyak-banyaknya
Sangat sedikit
Sekarang tidak begitu banyak
Tidak sama sekali
126
2. Saya gembira menghadapi segala sesuatu:
Sebanyak-banyaknya
Sangat kurang dari biasanya
Berkurang sedikit dari biasanya
Hampir tidak pernah
3. Saya menyalahkan diri sendiri secara tidak semestinya bila
keadaan menjadi buruk:
Ya, hampir selalu
Tidak begitu sering
Ya, kadang-kadang
Tidak pernah
4. Saya merasa khawatir dan cemas tanpa alasan yang jelas:
Tidak sama sekali
Hampir tidak pernah
Ya, kadang-kadang
Ya, sering
5. Saya merasa takut atau panik tanpa alasan yang jelas:
Ya, cukup sering
Ya, kadang-kadang
Tidak, tidak banyak
Tidak sama sekali
6. Segala sesuatu terasa membebani saya:
Ya, hampir selalu saya tidak bisa mengatasinya
Ya, kadang-kadang saya tidak bisa mengatasi sebaik biasanya
Tidak, hampir selalu saya bisa mengatasinya dengan baik
Tidak, saya bisa mengatasinya dengan baik seperti biasanya
7. Saya merasa sangat tidak bahagia sehingga saya sulit tidur:
Ya, hampir setiap waktu
Tidak terlalu sering
Ya, kadang-kadang
Tidak sama sekali
8. Saya merasa sedih dan jengkel tidak menentu:
Ya, hampir setiap waktu Tidak begitu sering
127
Ya, cukup sering Tidak sama sekali
9. Saya merasa sangat tidak bahagia, sehingga saya menangis:
Ya, hampir setiap waktu
Hanya sesekali
Ya, cukup sering
Tidak pernah
10. Pernah ada pikiran-pikiran untuk melukai diri sendiri:
Ya, cukup sering
Jarang
Kadang-kadang
Tidak pernah
128
FFQ-Semi Kuantitatif
(g) Frekuensi Porsi
Rata
-
rata
Bera
t NamaMakanan S
B
era
t
Po
rsi
Tid
ak K S B
x/H
x/M
x/B
x/H
g/H
MAKANAN JENIS SUMBER ZAT ZINK
Kerang 50 gr 5 ekor Kepiting 100 gr 1 ekor
Lobster 50 gr 1ekor
Udang 50 gr 14 ekor kcl
Ikan Baronang 100 gr ½ ekor
Ikan Sunu 50 gr 1 ekor
Ikan Cakalang 100 gr ½ ekor
Ikan Gabus 100 gr 1 ekor
Daging Sapi 35 gr 1 prg sdg
Hati Sapi 50 gr 1 ptg sdg
Daging Ayam 40 gr 1 ptg kcl
Hati Ayam 50 gr 1 ptg sdg
Telur Ayam 55 gr 1 butir
Suplemen
129