perairan dangkal pulau semak daun di kepulauan seribu memiliki luas 315-1

29
PENDAHULUAN Latar Belakang Kepulauan seribu terdiri atas 110 pulau, dan 11 diantaranya yang dihuni penduduk. Pulau-pulau lainnya digunakan untuk rekreasi, cagar alam, cagar budaya dan peruntukan lainnya. Luas Kepulauan Seribu kurang lebih 108.000 ha, terletak di lepas pantai utara Jakarta dengan posisi memanjang dari Utara ke Selatan yang ditandai dengan pulau-pulau kecil berpasir putih dan gosong-gosong karang. Pulau Untung Jawa merupakan pulau berpenghuni yang paling selatan atau paling dekat dengan jarak 37 mil laut dari Jakarta. Sedangkan kawasan paling utara adalah Pulau Dua Barat yang berjarak sekitar 70 mil laut dari Jakarta (Ayuningtyas, 2008). Kepulauan Seribu, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai data primer. Distribusi spasial karakteristik habitat dasar perairan dangkal diolah dari citra satelit menggunakan beberapa pendekatan seperti komposit Band dan penajaman citra dengan algoritma Depth Invariant Index dan Self Organising Map (Asmadin, dkk., 2011). Kedalaman perairan di Kepulauan Seribu sangat bervariasi, dimana beberapa lokasi mencatat kedalaman hingga lebih dari 70 meter, seperti lokasi antara P. 1

Upload: ca-cynk-yu

Post on 27-Dec-2015

49 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Penentuan klorofil

TRANSCRIPT

Page 1: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kepulauan seribu terdiri atas 110 pulau, dan 11 diantaranya yang dihuni

penduduk. Pulau-pulau lainnya digunakan untuk rekreasi, cagar alam, cagar

budaya dan peruntukan lainnya. Luas Kepulauan Seribu kurang lebih 108.000 ha,

terletak di lepas pantai utara Jakarta dengan posisi memanjang dari Utara ke

Selatan yang ditandai dengan pulau-pulau kecil berpasir putih dan gosong-gosong

karang. Pulau Untung Jawa merupakan pulau berpenghuni yang paling selatan

atau paling dekat dengan jarak 37 mil laut dari Jakarta. Sedangkan kawasan paling

utara adalah Pulau Dua Barat yang berjarak sekitar 70 mil laut dari Jakarta

(Ayuningtyas, 2008).

Kepulauan Seribu, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai data

primer. Distribusi spasial karakteristik habitat dasar perairan dangkal diolah dari

citra satelit menggunakan beberapa pendekatan seperti komposit Band dan

penajaman citra dengan algoritma Depth Invariant Index dan Self Organising Map

(Asmadin, dkk., 2011).

Kedalaman perairan di Kepulauan Seribu sangat bervariasi, dimana

beberapa lokasi mencatat kedalaman hingga lebih dari 70 meter, seperti lokasi

antara P. Gosong Congkak dan P. Semak Daun pada posisi 106°35’00” BT dan

05°43’08” LS dengan kedalaman 75 meter. Setiap pulau umumnya dikelilingi

oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari

pulau yang bersangkutan dengan kedalaman kurang dari 5 meter (Ayuningtyas,

2008).

Kemampuan potensial suatu perairan untuk menghasilkan sumberdaya

alam hayati ditentukan oleh kandungan produktivitas primernya. Produktivitas

primer adalah banyaknya zat organik yang dihasilkan dari zat anorganik melalui

proses fotosintesis dalam satuan waktu dan volume air tertentu. Pengetahuan

mengenai kandungan klorofil fitoplankton di suatu perairan apabila dilengkapi

dengan data cahaya dapat digunakan untuk menghitung produktivitas primernya

(RYTHER & YENTSCH; SAIJO & ICHIMURA dalam RIYONO, 1989).

1

Page 2: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

Fitoplankton merupakan salah satu komponen penting dalam suatu

ekosistem karena memiliki kemampuan untuk menyerap langsung energi matahari

melalui proses fotosintesa guna membentuk bahan organik dari bahan-bahan

anorganik yang lazim dikenal sebagai produktivitas primer. Salah satu pigmen

fotosintesa yang paling penting bagi tumbuhan khususnya fitoplankton adalah

klorofil a. Produktivitas primer sangat tergantung dari konsentrasi klorofil. Oleh

karena itu, kadar klorofil dalam volume air tertentu merupakan suatu ukuran bagi

biomasa fitoplankton yang terdapat dalam perairan. Dengan demikian klorofil

dapat digunakan untuk menaksir produktivitas primer suatu perairan (Nybakken,

1988 dalam Widyorini, 2009).

Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai salah asatu syarat untuk mengikuti Ujian Tengah Semester untuk Mata

Kuliah Manajemen Sumberdaya Perairan.

2. Sebagai pembelajaran bagi mahasisawa/mahasiswi mengenai daya dukung dan

produksi primer perairan melalui parameter klorofil

2

Page 3: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

DAYA DUKUNG PERAIRAN DANGKAL( Mansur,W., Mukhlis,M., dan Majariani,K. 2013)

Perairan dangkal di bentang laut tropis memiliki ekosistem khas yang

umumnya terdiri dari terumbu karang, padang lamun, pasir, lumpur dan hutan

mangrove. Ekosistem lain di wilayah pesisir yang juga penting secara

geomorfologi dan ekologi adalah goba atau lagoon, yang umumnya memiliki

substrat dasar berupa pasir. Survei lapangan untuk memetakan secara rinci seluruh

habitat di perairan dangkal pada umumnya sulit dan memerlukan upaya dan biaya

yang tinggi karena kapal pemeruman yang menggunakan echosounder tidak dapat

masuk ke perairan dangkal yang berbahaya, oleh karena itu, teknologi

penginderaan jauh (inderaja) satelit seringkali digunakan untuk keperluan tersebut

karena efektif dan efisien (Siregar, 2010).

Perairan dangkal Pulau Semak Daun di Kepulauan Seribu memiliki luas

315,19 ha. Kawasan perairan dangkal tersebut terdiri atas lima goba seluas 33,3 ha

dan reeflat seluas 281,89 ha. Kawasan perairan potensial seluas 2 ha dapat

digunakan untuk sistem sekat (enclosure), 9,99 ha untuk keramba jaring

apung/KJA (cage culture), 40,7 ha untuk sistem kandang (pen culture), dan

262,31 untuk long line. Sementara, kawasan potensial untuk sea ranching

meliputi semua kawasan, selain kawasan untuk sistem sekat dan sistem kandang.

Kawasan peairan dangkal yang potensial untuk budidaya perikanan menunjukkan

daerah tersebut memiliki ekosistem terumbu karang yang baik sehingga Pulau

Semak Daun dapat juga dikembangkan kegiatan wisata bahari. Sejak tahun 2004

di perairan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, mulai digalakkan sea farming

yang dikelola oleh masyarakat lokal. Sea farming adalah sistem pemanfaatan

ekosistem perairan laut berbasis marikultur dengan tujuan untuk meningkatkan

stok sumberdaya ikan (fish resources enhancement) bagi keberlanjutan perikanan

tangkap dan aktivitas berbasis kelautan lainnya seperti ekowisata bahari. Potensi

sumber daya alam yang dimiliki perairan Pulau Semak Daun yaitu keindahan

alam dengan kekhasan tersendiri, telah mendorong kawasan Kepulauan Seribu

menjadi daerah tujuan wisata bahari (Purnomo dkk., 2013).

3

Page 4: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

a. Pendugaan Daya Dukung Melalui Pendekatan Beban Limbah N

Limbah buangan dari aktifitas budidaya mengakibatkan terjadinya

pengkayaan nutrien (Hipernutrifikasi) di perairan. Level hipernutrifikasi ukan

oleh volumeditent badan air, laju pembilasan (flushing rate) dan fluktuasi pasang

surut (Gowen et al., 1989 in Barg, 1992), memberikan persamaan estimasi

sebagai berikut :

Ec = N x F/V

Keterangan :

Ec = Konsentrasi limbah/level hipernutrifikasi (mg/l)

N = output harian dari limbah nitrogen terlarut (limbah internal dan eksternal)

F = flushing time dari badan air (hari)

V = volume badan air (L)

Flushing time ditentukan dengan menggunakan formula :

F = 1 / D

Laju pengeceran (dilution) D, dapat dihitung dengan metode pergantian

pasang yaitu :

D = (Vh – Vl) / T x Vh

Keterangan :

(Vh – VI) = volume pergantian pasang

Vh = volume air dalam badan air saat pasang tertinggi (m3)

VI = volume air dalam badan air saat surut (m3)

T = periode pasang dalam satuan hari

Perhitungan Volume Badan Air, diukur pada saat pasang tertinggi

(MHWS (Mean High Water Spring), dan pada saat surut terendah MLWS (Mean

Low Water Spring) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Vh = A.h1 dan Vl = A.h0

Keterangan :

A = luas perairan (m2)

h1 dan h0 = kedalaman perairan saat pasang tertinggi dan surut terendah

Vh = Volume air pada saat pasang tertinggi

V1 = Volume air pada saat surut terendah

Vh – Vl = perubahan volume karena efek pasut.

4

Page 5: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

Perhitungan selanjutnya adalah menghitung konsentrasi [Nlp] hasil

pengkayaan nutrient ini dihubungkan dengan nilai nitrogen (Ammonia (NH3N)

baku mutu perairan untuk budidaya (Kep-51/MENLH/2004) untuk mendapatkan

nilai kapasitas optimal produksi budidaya (Prodopt) dengan pengertian bahwa

nilai konsentrasi [Nlp] berasal dari limbah produksi ikan (per unit rakit KJA) dan

antropogenik tidak melebihi baku mutu, maka produksi optimal dapat diduga

dengan persamaan sebagai berikut :

(Prodopt) (ton) = [Nbm]

[Nlp]

Keterangan :

[Nbm] = [N] baku mutu perairan untuk budidaya (0,3 – 1 ppm) selang konsentrasi

Ammonia (NH3N) yang dipersyaratkan.

[Nlp] = Konsentrasi [N] limbah produksi ikan antropogenik hasil pengkayaan

nutrient.

b. Hasil Pendugaan Daya Dukung Melalui Pendekatan Beban Limbah N

Pendugaan daya dukung lingkungan perairan Pulau Semak Daun bagi

pengembangan KJA ikan kerapu dilakukan dalam 2 (dua) pendekatan analisis,

yaitu (1) Pendekatan analisis pada beban limbah total N dan (2) Pendekatan

analisis pada ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan teluk dan limbah bahan

organik. Beberapa parameter yang menjadi acuan penduga daya dukung antara

lain :

1. Luas perairan pulau Semak Daun = 315,19 ha

2. Volume air pasang tertinggi (V pasang) = 3.467.090 m3

3. Volume air surut terendah (V surut) = 1.260.760 m3

4. Flushing time = 0,8 hari

5. Rataan konsentrasi oksigen terlarut dalam kondisi stready state = 7 ppm

6. Konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan dalam sistem budidaya : 4 ppm,

diambil dari level kritis oksigen (pembulatan dari 3,6 ppm dari hasil penelitian)

dan Lee et al. (2001) in Rachmansyah, (1997).

7. Food consumption oxygen (FCO) 0,2 kg O2 (Willoughby 1968 in Meade 1989;

Boyd 1990).

5

Page 6: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

8. Total bahan organik = 1,178.1 kg

9. Total beban N = 243,9 kg/1,08 ton ikan

10. Total beban P = 54,1 kg/1,08 ton ikan

11. Produktivitas ikan kerapu = 237,6 kg/keramba

Flushing time = 0,8 hari

F = 1D

D= 10,8 hari

D = 1,25 Maka, Laju pengenceran (dilution) adalah 1,25

Volume air pasang tertinggi (Vh) = 3.467.090 m3

Volume air surut terendah (V1) = 1.260.760 m3

Laju pengenceran (dilution)

D=(Vh−Vl)

T xVh

1,25=(3.467 .090−1.260 .760)

T x 3.467 .090

T=4.333 .862,52.206 .330

T = 0,51Maka, Periode pasang dalam satuan hari adalah 0,51

Luas perairan pulau Semak Daun (A) = 315,15 haVh = A x h13.467 .090= 315,15 x hlhl = 11.000maka, kedalaman perairan saat pasang tertinggi adalah 11.000

Vl = Ax h01.260.760 = 315,19 x h0h0 = 4.000maka, kedalaman perairan saat surut terendah adalah 4.000

Pendugaan daya dukung perairan pulau Semak Daun dengan pendekatan

beban limbah N didasarkan pada beban limbah N baik yang berasal dari kegiatan

6

Page 7: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

budidaya KJA ikan kerapu maupun yang berasal dari aktivitas antrophogenik di

daratan (upland) sekitar perairan. Beban limbah yang berasal dari kegiatan

budidaya sebesar 243,9 kg N dan 54,1 kg P beban limbah, dan dari aktivitas

antropogenik di daratan (upland) sebesar 8.451,22 kg N dan 3.528,97 kg P per

tahun.

Berdasarkan formula yang dikembangkan oleh Barg (1992) untuk

perhitungan nutrient loading N, hasil yang diperoleh bahwa konsentrasi N yang

masuk ke perairan adalah 0,0073 mg/l. Nilai N ini selanjutnya dihubungkan

dengan nilai N baku mutu perairan untuk budidaya (Kementrian Lingkungan

Hidup, 2004), untuk mendapatkan nilai kapasitas optimal produksi budidaya

(Popt) dengan pengertian bahwa nilai konsentrasi (N) berasal dari limbah

produksi 1,08 ton kerapu ditambah dengan nilai N akibat masukan kegiatan

antropogenik, maka produksi optimal (Popt) dapat diduga untuk setiap hektar

lahan budidaya adalah 41,09 unit. Dan jika dikalikan dengan 1,08 ton produksi

ikan maka hasil yang didapat adalah 44,37 ton.

Dari hasil perhitungan pendugaan daya dukung, perairan pulau Semak

Daun mampu menunjang produksi optimal adalah sebesar 44,37 ton. Bila

dikonversi kepada jumlah unit yang dapat dibudidayakan adalah 1 unit terdiri dari

6 keramba berukuran 3 x 3 x 2,5 meter dengan tingkat produktivitas sebesar 237,6

kg /keramba, maka dalam 1 unit keramba berproduksi 1.4 ton, jumlah unit yang

dapat dikelola adalah sebanyak 31,7 unit (dibulatkan 32 unit KJA) atau (192 petak

KJA). Dari luasan 9,99 ha yang sesuai untuk kegiatan KJA, hanya 2 ha luasan

yang diperkenankan untuk dijadikan sebagai kegiatan KJA berdasarkan nilai daya

dukung melalui pendekatan beban limbah N.

7

Page 8: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

PRODUKSI PRIMER PERAIRAN MELALUI KLOROFIL(Riyono, 2006)

FUSILER (dalam DEPKES, 1987) mengemukakan bahwa rasio

perbandingan antara klorofil fitoplankton dengan biomassa dapat dijadikan

petunjuk kualitas (pencemaran) suatu perairan. Untuk menentukan kandungan

klorofil fitoplankton di suatu perairan pada saat tertentu, telah dikembangkan

berbagai metode dari yang paling sederhana sampai yang cukup kompleks.

Pengukuran klorofil fitoplankton di laut pertama kali diperkenalkan oleh

HARVEY (1934) dengan menggunakan metode kolorimetri. Metode ini

sederhana dan tidak memerlukan biaya mahal, namun memiliki kelemahan karena

pengukuran untuk menentukan kesamaan warna antara larutan ekstrak klorofil

dengan larutan standar dilakukan secara visual. Pengukuran dengan metode ini

kurang akurat karena hasilnya sangat ditentukan oleh subyektivitas si pengamat

dan nilai yang dihasilkan belum memiliki satuan absolut.

Dalam perkembangan selanjutnya RICHARDS & THOMPSON (1952)

menemukan metode spektrofotometric. Metode ini pertama kali diperkenalkan

masih menggunakan satuan μSPU (mikro Specified Pigment Unit), metode ini

kemudian mengalami modifikasi dengan ditemukannya satuan absolut yaitu

mg/m3 atau μg/L (STRICKLAND & PARSONS, 1968; JEFFREY &

HUMPHREY, 1975).

Metode spektrofotometri memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode

kolorimetri karena pengukuran sudah menggunakan alat (spektrofotometer). Hasil

pengukuran lebih akurat, dapat menentukan jenis-jenis klorofil (klorofil-a, -b, -c1

dan -c2) dan telah memiliki satuan absolut. Kelemahan dari metode

spektrofotometri karena sensitifitas alat (spektrofotometer) rendah sehingga dalam

proses penyaringan memerlukan volume air yang besar. Selain hal tersebut,

metode spektrofotometri tidak dapat membedakan antara klorofil dengan hasil

dekomposisinya sehingga hasil pengukuran lebih tinggi dari nilai yang

sebenarnya.

8

Page 9: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

Gambar 1. Spektrofotometer alat pengukuran klorofil fitoplankton

Metode spektrofotometri dalam pengukuran klorofil fitoplankton adalah

yang paling populer digunakan. Dalam metode ini panjang gelombang yang

digunakan dapat diatur menurut keperluan dan penyerapannyapun dapat diukur.

Larutan yang diperiksa dimasukkan dalam cuvette atau absorption cell dan

diletakkan dalam lintasan cahaya di dalam spektrofotometer. Penyerapan (log I0 –

log I) pada gelombang tertentu dapat ditentukan secara elektrik. Prinsip yang

digunakan dalam metode ini didasarkan pada hukum Lambert dan Beer, yaitu

penyerapan pada gelombang cahaya tertentu merupakan fungsi dari kadar zat

yang terlarut, koefisien penyerapan dan panjang lintas cahaya (path length) dalam

cuvette.

Ketelitian dalam metode spektrofotometri ini ditentukan oleh beberapa

faktor yakni :

a. Panjang gelombang (ë) dan half-value band-width (lebar spektrum pada

setengah dari intensitas penyinaran maksimum). Makin sempit band-width nya

akan semakin teliti, sedangkan spektrofotometer yang baik dapat bekerja dengan

band-width sebesar 3 – 4 nm.

b. Kadar zat terlarut yang diperiksa. Kadar yang sangat rendah memiliki akurasi

yang rendah, demikian pula sebaliknya.

c. Koefisien penyerapan pada panjang gelombang yang digunakan.

d. Panjang lintas cahaya dalam cuvette (pathlength). Path-length yang panjang

dapat mengukur dengan lebih teliti.

Penentuan kadar klorofil pada fitoplankton laut dengan metode

spektrofotometri didasarkan pada metode yang digunakan oleh RICHARDS &

9

Page 10: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

THOMPSON (1952). Berbagai modifikasi tentang prosedur dan rumus

penghitungan kemudian dikembangkan di berbagai negara disesuaikan dengan

kondisi setempat, perkembangan terakhir misalnya modifikasi yang diajukan oleh

DAVIS (1957), KREY (1958), TALLING & DRAVER (1961), UNESCO (1966),

STRICKLAND & PARSONS (1968) dan JEFFREY & HUMPHREY (1975).

Prinsip metode spektrofotometri

Prinsip metode untuk pengukuran klorofil secara spektrofotometri

didasarkan pada penyerapan maksimum oleh ekstrak klorofil dalam aceton di

daerah spektrum merah (panjang gelombang 630 – 665 nm). Penyerapan

maksimum untuk klorofil-a, -b dan -c terjadi pada tiga panjang gelombang, yaitu

665, 645 dan 630 nm (trichromatic). Beberapa tahapan yang perlu mendapat

perhatian adalah dari saat proses pengambilan contoh air, penyaringan,

penyimpanan sampel, ekstraksi sampai dengan pengukuran agar dihindarkan dari

cahaya secara langsung. Cahaya yang intensitasnya terlalu kuat akan merusak

klorofil dalam reaksi yang disebut photo oxidation (NONTJI, 1973). Modifikasi

dari beberapa metode tersebut diringkaskan sebagai berikut.

a. Pengambilan Contoh (Sample)

Pengambilan contoh fitoplankton dapat dilakukan dari lapisan permukaan

laut maupun lapisan di bawahnya dengan berbagai alat, diantaranya adalah Van

Dorn (Gambar 2). Volume yang diambil umumnya berkisar 5–10 liter. Pada

perairan neritik (dekat pantai), volume air yang diperlukan relatif lebih sedikit

daripada perairan oseanik karena pada umumnya perairan neritik relatif keruh

sehingga kertas saring yang digunakan akan cepat tersumbat.

10

Page 11: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

Gambar 2. Van Dorn (water sampler) alat pengambilan contoh air

b. Penyaringan

Contoh air yang telah diambil, sebelum dapat dilakukan penyaringan dapat

disimpan dalam almari es. Cara ini contoh air untuk penentuan klorofil dapat

bertahan selama 1 hari sampai proses penyaringan dapat dilakukan (HERVE &

HEINONEN 1982), sedangkan menurut WEBER et al., (dalam CARLSON &

SIMPSON, 1996) contoh air tersebut dapat bertahan sampai 18 hari tanpa

mengalami perubahan yang signifikan. Namun contoh air yang disimpan dalam

suhu ruang (20 oC) akan berkurang 50 % dalam waktu 5 hari. Walau demikian

disarankan agar segera disaring karena perubahan suhu dapat berpengaruh secara

langsung terhadap contoh air, yakni mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam

proses fotosintesis.

Berbagai sistem penyaringan dapat digunakan, salah satu alat saring yang

efisien adalah seperti tampak pada Gambar 3. Jenis saringan (filter) yang

digunakan bermacammacam. Millpore Filter jenis HAWP (ukuran pori 0,45 μm)

mempunyai daya saring yang baik, bahannya terbuat dari cellulose-ester dan

mudah larut dalam aceton. Filter jenis tersebut memiliki pori-pori yang sangat

halus sehingga proses penyaringan berlangsung lambat. Glassfibre adalah filter

jenis lain yang mempunyai daya saring lebih kasar karena tidak mempunyai

ukuran pori tertentu, tetapi penyaringan dapat berlangsung lebih cepat sehingga

volume air yang disaring cukup besar. Berbagai saringan jenis lain dapat pula

11

Page 12: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

digunakan sesuai dengan sasaran fitoplankton yang akan disaring. Untuk

memperlancar penyaringan maka di bagian bawah saringan diberikan tekanan

vacuum dengan menggunakan pompa hisap yang tekanan hisapnya tidak lebih

dari 30 cm Hg.

Gambar 3. Alat saring

c. Penambahan magnesium carbonate (MgCO3)

Magnesium carbonate (MgCO3) ditambahkan pada sampel selama

penyaringan berlangsung, dapat berupa tepung maupun suspensi. Penambahan ini

tidak bersifat kuantitatif dan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya

pengasaman yang dapat memecahkan klorofil dengan membentuk phaeophytin.

Menurut HUMPHREY & WOOTTON (1966), penambahan MgCO3 dapat pula

memperlancar penyaringan, oleh karena itu disarankan agar penambahan MgCO3

sebaiknya dilakukan pada permulaan penyaringan.

d. Penyimpanan contoh

Filter hasil penyaringan yang telah mengandung fitoplankton (sampel)

agar disimpan dalam tempat gelap dan segera dikeringkan dengan silica-gel dalam

desikator aluminium pada suhu rendah (-20oC). Cara ini sampel untuk penentuan

klorofil dapat bertahan sampai 30 hari sampai proses ekstraksi dapat dilakukan

(PARSONS et al., 1984). Sejalan dengan hal tersebut RICHARD (2000)

melaporkan bahwa sampel yang disimpan dalam freezer (-20oC) dapat diawetkan

sampai kurang lebih 3 ½ minggu tanpa mengalami perubahan yang nyata, namun

lebih baik langsung mengekstraknya. Pengawetan sampel pada suhu rendah

tersebut dimaksudkan untuk menjaga agar sampel dalam kondisi segar (fresh) dan

mencegah aktivitas fitoplankton yang terdapat dalam sampel tersebut sehingga

hasil pengukuran menggambarkan nilai yang sebenarnya.

12

Page 13: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

e. Ekstraksi

Contoh (sample) diekstrak dalam pelarut aceton 90 %. Sampel yang telah

diekstrak sebelum dapat dilakukan pengukuran dapat disimpan dalam almari es

pada suhu (< 4 oC) selama ± 20 – 50 jam (STRICKLAND & PARSONS, 1968),

tetapi RICHARD (2000) berpendapat bahwa sampel yang telah diekstrak dapat

disimpan antara 2 – 24 jam. Bila filter yang digunakan terbuat dari membram

selulosa maka filter tersebut segera larut dalam aceton, sedang filter yang terbuat

dari glass-fibre tidak dapat larut maka perlu dihancurkan dengan cara menggerus

(ground). Penggerusan dengan tissue-grinder hanya membutuhkan waktu 5 – 10

menit dan memberikan hasil yang baik karena dapat memecah sel-sel hingga

mempercepat proses ekstraksi (KERR & SUBBA-RAO, 1966). Akibat yang

serupa dapat pula dicapai dengan memberikan perlakukan ultrasonic (misalnya

dengan 10 MHz atau 1000 kc) terhadap sampel yang diekstrak (SCIENCE

COUNCIL OF JAPAN dalam NONTJI, 1973).

f. Pengukuran penyerapan

Larutan yang telah diekstrak, dicentrifuge dengan putaran 4000 rpm

selama kurang lebih 30-45 menit, kemudian diukur penyerapannya dengan

menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang tertentu.

RICHARDS & THOMPSON (1952) menggunakan panjang gelombang 750, 665,

645 dan 630 nm. Panjang gelombang 750 nm adalah untuk koreksi terhadap

kekeruhan (turbiditas) karena pada panjang gelombang tersebut tidak ada

penyerapan yang disebabkan oleh klorofil.

Panjang gelombang 665, 645 dan 630 nm masing-masing adalah panjang

gelombang dimana terjadi penyerapan maksimum dari klorofil-a, -b dan -c dalam

aceton 90 %. Gambar 5, menunjukkan penyerapan maksimum dari klorofil-a, -b

dan -c dalam larutan ether (BOGORAD, 1962).

g. Penghitungan

Penyerapan pada panjang gelombang 665, 645 dan 630 nm dikurangi

dengan penyerapan pada panjang gelombang 750 untuk koreksi terhadap

13

Page 14: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

kekeruhan. Kadar klorofil yang telah diekstrak dapat dihitung dengan rumus

tertentu, misalnya rumus RICHARDS & THOMPSON (1952) :

Chl.-a = 15,6 E665 – 2,0 E645 – 0,8 E630 μg/ml

Chl.-b = 25,4 E645 – 4,4 E665 – 10,3 E630 μg/ml

Chl.-c = 109 E630 – 12,5 E665 – 28,7 E645 μSPU/ml

E, adalah penyerapan pada panjang gelombang yang bersangkutan

(misalnya E665 = penyerapan pada gelombang 665 nm). Berdasarkan rumus

tersebut klorofil-c dinyatakan dalam satuan μSPU (mikro Specified Pigment Unit).

Untuk menghitung kadar klorofil pada sampel air laut (dalam satuan μg/l atau

mg/m3) maka nilai di atas dikalikan dengan faktor (k) :

k = Va

Vs x d

Dimana,

Va = volume ekstrak, ml

Vs = volume sampel air laut yang disaring, liter

d = lebar kuvet, path length (cm)

Untuk mempercepat penghitungan maka DUXBURY & YENTSCH

(1956) dan STRICKLAND & PARSONS (1968) membuat nomograph untuk

masing-masing rumus RICHARDS & THOMSON dan STRICKLAND &

PARSONS.

h. Berbagai penggunaan rumus

Penentuan klorofil dengan metode spektrofotometri didasarkan pada

penyerapan maksimum dari tiga panjang gelombang (trichromatic). Masing–

masing merupakan penyerapan maksimum untuk klorofil-a, -b dan -c di daerah

spektrum merah. Adanya overlapping penyerapan antara ketiga jenis klorofil

tersebut maka untuk melakukan penghitungan dari masing-masing klorofil

dibuatlah rumus-rumus dimana factor overlapping tersebut dikoreksi. Dalam

perkembangannya kemudian muncul beberapa versi rumus penghitungan klorofil-

a, -b dan –c seperti tercantum dalam Tabel 1, 2 dan 3.

Pada fitoplankton laut, klorofil –a dijumpai dalam jumlah terbesar

(dominan) dibandingkan dengan klorofil-b dan –c, sehingga beberapa peneliti

14

Page 15: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

membuat rumus untuk klorofil -a yang didasarkan pada penyerapan pada satu

gelombang saja (monochromatic). Klorofil-c pada rumus yang diajukan oleh

RICHARDS & THOMPSON (1952) masih menggunakan satuan arbitrary (SPU)

tetapi rumus-rumus seperti UNESCO (1966) dan STRICKLAND & PARSONS

(1968) telah menggunakan satuan absolut, misalnya mg/m3.

i. Perbedaan klorofil dari hasil dekomposisinya

Salah satu kelemahan dalam pengukuran klorofil dengan metode

spektrofotometri adalah karena klorofil dan hasil dekomposisinya masih sulit

dibedakan, keduanya menyerap cahaya pada spektrum merah. Apabila hasil-hasil

dekomposisi klorofil yang oleh YENTSCH & MENZEL (1963) disebut sebagai

phaeophytin group, merupakan komponen yang besar maka dengan sendirinya

hasil pengukuran klorofil akan lebih tinggi dari yang sebenarnya.

Klorofil -a mudah berubah menjadi phaeophytin dengan menambahkan

asam lemah, misalnya dengan HCl 1 N, akibatnya sampel klorofil tersebut

penyerapannya akan berkurang, sedangkan phaeophytin tidak mengalami

pengurangan penyerapan. Berkurangnya penyerapan ini disebabkan lepasnya

ikatan klorofil dengan atom Mg, sedangkan atom Mg bereaksi dengan HCl

menjadi MgCl2.

Tabel 1. Berbagai rumus untuk menghitung klorofil-a dengan pelarut aceton

90%.

Sumber Rumus

RICHARDS & TOMPSON (1952) Klor-a = 15,6E665 –2E645 –0,8E630

DAVIS (1957) Klor -a = 14,9E665

ODUM et al. (1958) Klor -a = 14,3E665

HUMPHREY (1961) Klor -a = 15,6E665 –1,8E645 –1,3E630

TALLING & DRAVER (1961) Klor -a = 11,9E665

KERR & SUBBA-RAO (1966) Klor -a = 13,4E663 –0,3E630

UNESCO (1966) Klor -a = 11,64E6653–2,16E645 –0,1E630

STRICKLAND& PARSONS (1968) Klor -a = 11,6E665 –1,31E645 –0,14E630

15

Page 16: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

Tabel 2. Berbagai rumus untuk menghitung klorofil-b dengan pelarut aceton

90%.

Sumber Rumus

RICHARDS & TOMPSON (1952) Klor -b = 25,4E645 –4,4E665 –10,3E630

UNESCO (1966) Klor -b = 20,97E645 –3,94E663 –3,66E630

STRICKLAND & PARSONS

(1968)Klor -b = 20,7E645 –4,34E665 –4,42E630

Sifat klorofil-a yang mudah berubah menjadi phaeophytin dan

penyerapannya mengalami pengurangan dengan penambahan asam tersebut

adalah prinsip yang digunakan untuk menentukan klorofil dalam sampel

fitoplankton yang mengandung phaeophytin. LORENZEN (1967) mengajukan

rumus seperti berikut :

Klorofil-a (mg/m3) = 26,7 (665b – 665a) x Ve

Vs x d

dimana;

665b= penyerapan pada panjang gelombang 665 nm sebelum penambahan asam

665a= penyerapan pada panjang gelombang 665 nm setelah penambahan asam

Ve = volume aceton yang digunakan dalam ekstraksi, ml

Vs = volume air yang disaring, liter

d = lebar kuvet, path-length (cm).

16

Page 17: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

PENUTUP

Kesimpulan

Melalui pendekatan beban limbah N, perairan pulau Semak Daun mampu

menunjang produksi optimal adalah sebesar 44,37 ton dengan jumlah unit yang

dapat dikelola adalah sebanyak 32 unit keramba jaring apung (192 petak keramba)

atau 2 ha dari 9,99 ha luasan area yang di tetapkan sebagai area yang sesuai untuk

kegiatan KJA di perairan Semak Daun.

Berdasarkan analisis daya dukung untuk pengembangan KJA ikan kerapu,

dengan pendekatan beban limbah N diperoleh hasil bahwa yang menjadi acuan

untuk daya dukung perairan Semak daun untuk pengembangan KJA adalah hasil

nilai terkecil yaitu 28 unit (168 petak KJA) atau 1,6 ha dari 9,99 ha luasan area

yang di tetapkan sebagai area yang sesuai untuk kegiatan KJA di perairan Semak

Daun. Jumlah tersebut merupakan jumlah optimal yang diharapkan dapat

mengurangi beban limbah organik dari KJA yang masuk ke perairan sehingga

akan menciptakan kondisi ideal bagi ekosistem terumbu karang dan mengurangi

laju pertumbuhan makroalga. Faktor nutrien mempunyai pengaruh yang cukup

besar terhadap persentase tutupan makroalga dan tutupan karang hidup oleh

karena itu pengelola lebih memperhatikan isu kualitas perairan ini agar kegiatan

Sea Ranching dapat berjalan optimal dan berkelanjutan.

Metode spektrofotometri memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode

kolorimetri karena pengukuran sudah menggunakan alat (spektrofotometer). Hasil

pengukuran lebih akurat, dapat menentukan jenis-jenis klorofil (klorofil-a, -b, -c1

dan -c2) dan telah memiliki satuan absolut. Kelemahan dari metode

spektrofotometri karena sensitifitas alat (spektrofotometer) rendah sehingga dalam

proses penyaringan memerlukan volume air yang besar.

Saran

Disarankan bagi pembaca yang masih ingin mendapatkan informasi lebih

dalam lagi dari isi makalah ini, untuk mencari jurnal-jurnal yang terkait. Hal ini

disarankan mengingat masih minimnya penjelasan mengenai penggunaan rumus-

rumus yang terdapat dalam makalah ini.

17

Page 18: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

DAFTAR PUSTAKA

Asmadin., Vincentius, P.S., dan Antonius, B.W. 2011. Pengelompokan Habitat Dasar Perairan Dangkal Berbasis Satelit Quickbird Menggunakan Algoritma Self Organising Map. Jurnal Aquasains Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan.

Ayuningtyas, R. 2008. Karakteristik Fisik Pantai. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universiras Indonesia, Bandung.

Bogorad, D.L. 1962. Chlorophyll. In: Physiology and Biochemistry of Algae. (R. LEWIN ed.). Academic Press, New York: 3-23.

Carlson, R.E. and J. Simpson 1996. Chlorophyll Analysis. North American Lake Management Society: 96 pp.

Davis, F.S. 1957. A method for determination of chlorophyll in seawater. CSIRO – Austr. Div. Fish. and Oceanogr. Rep. 7 :1-8.

Depkes 1987. Kualitas air sungai yang digunakan sebagai sumber air minum di DKI. Depkes, Jakarta: 31 hal. DUXBURY, A.C. and C.S. YENTSCH 1956. Plankton pigment monographs. J. Mar. Res. 15 : 92-101.

Herve, S. and P. Heinonen 1982. Some factors effectin the determination of chlorophyll-a in algal samples. Ann. Bot. Pennici 19 : 211-217.

Harvey, H.W. 1934. Measurement of phytoplankton population. Ass. UK. Journ. Mar. Biol. 19 : 761–763.

Humphrey, G.F. 1961. Phytoplankton pigments in the Pacific Ocean. Proc. Conf. Primary Productivity Measurement, Marine and Freshwater. US. Atomic Energy Commission, Div. Tech. Inform. 7633 : 121–141.

Humphrey, G.F. and M. Wotton 1966. Comparison of techniques used in the determination of photosynthetic pigment in seawater. Unesco monographs on Oceanographic Metodology 1 : 37–83.

JEFFREY, S.W. and M.B. ALLEN 1967. A paper chromatographic method for the separation of phytoplankton pigment at the sea. Limnol. and Oceanogr. 12 : 533– 537.

Jeffrey, S.W. and G.F. Humphrey 1975. New spectrophotometric equations for determining chlorophylls a, b, c1 and c2 in higher plants, algae and natural phytoplankton. Biochem. Physiol. Pflance. 167 : 191–194.

18

Page 19: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

Kerr, J.D. and D.V. Subba-Rao 1966. Extraction of chlorophyll-a from Nitschia closterium by grinding. Determination of photosinthetic pigments in seawater. Unesco Monographs on Oceanographic Methodology 1: 66-69.

Krey, J. 1958. Chemical method of estimating standing crop of phytoplankton. Rapp. et Proc. Verb. 144 : 20–27.

LORENZEN, C.J. 1967. Determination of chlorophyll and phaeopigments. Spectrophotometric equations. Limnol. and Oceanogr. 12 : 343–346.

Mansur, W., Mukhlis, K., dan Majariani, K. 2013. Estimasi Limbah Organik Dan Daya Dukung Perairan Dalam Upaya Pengelolaan Terumbu Karang Di Perairan Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu. Jurnal Depik.

Nontji, A. 1973. Kandungan klorofil pada fitoplankton laut. Skripsi Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta : 50 hal.

Odum, H.T.; W. Mc Connell and W. Abbot 1958. The chlorophyll-a of communities. Pub. Inst. Univ. Texas. Mar. Sci. 5 : 65– 96.

Parsons, T.R.; Y. Maita and C.M. Lailli 1984. A Manual of Chemical and Biological Methods for Seawater Analysis. Pergamon Press : 101-109.

Purnomo, T., Sigid, H., dan Yonvitner. 2013. Kajian Potensi Perairan Dangkal untuk Pengembangan Wisata Bahari dan Dampak Pemanfaatannya Bagi Masyarakat Sekitar (Studi Kasus Pulau Semak Daun Sebagai Daerah Penunjang Kegiatan Wisata Pulau Pramuka Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). Jurnal Depik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor.

Richard, F.L. 2000. Phytoplankton chlorophyll. Fluorometric Analysis Base on USEPA Method 445.0. Greenwood University, SC.: 1-2.

Richards, F.A. and T.G. Thompson 1952. The estimation and characterization of plankton populations by pigment analysis II. A spectrophotometric method for estimation of plankton pigments. Journ. Mar. Res. 11 : 156-172.

Riyono, S.H. 1989. Kesuburan perairan di Pantai Kartini, Jepara dan sekitarnya ditinjau dari kandungan klorofil fitoplankton. Dalam: “Penelitian Oseanologi Perairan Indonesia Buku I”. Biologi, Geologi, Lingkungan dan Oseanografi. (D.P. PRASENO, W. ATMADJA, O.H. ARINARDI, RUYITNO dan I. SUPANGAT eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi–LIPI, Jakarta : 81– 88.

Riyono, S. H. 2006. Beberapa Metode Pengukuran Klorofil Fitoplankton Di Laut. Jurnal Oseana.

19

Page 20: Perairan Dangkal Pulau Semak Daun Di Kepulauan Seribu Memiliki Luas 315-1

Siregar, V. 2010. Informasi Spasial Habitat Perairan Dangkal dan Pendugaan Stok Ikan Terumbu Menggunakan Citra Satelit.

Strickland, J.D.H. dan T.R. Parsons 1968. A practical handbook of seawater analysis. Board Canada. Bull. Fish. Res. 167 : 311 pp.

Talling, D.F. and D. Draver 1961. Some problems in the estimation of chlorophyll-a in phytoplankton. Proc. Conf. Primary Productivity Measurement, Marine and Freshwater. US. Atomic Energy Commission, Div. Tech. Inform. 7633 : 142–146.

Unesco 1966. Determination of photosyntethic pigments in seawater. Unesco Monographs on Oceanographic Methodology 1 : 69 pp.

Widyorini, N. 2009. Pola Struktur Komunitas Fitoplankton Berdasarkan Kandungan Pigmennya Di Pantai Jepara. Jurnal Saintek Perikanan.

Yentsch, C.S. and D.W. Menzel 1963. A method for determinations of phytoplankton chlorophyll and phaeophytin by fluorescence. Deep. Sea. Res. 10 : 221–231.

20