pengujian aktivitas antiinflamasi_kelompok 1

18
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI SISTEM ORGAN SEMESTER GENAP 2014 - 2015 Pengujian Aktivitas Antiinflamasi Hari / Jam Praktikum : Rabu / 10.00 13.00 Tanggal Praktikum : 29 April 2015 Kelompok : 1 Asisten : Dita Apriani dan M.Indra Permana Anggota : Fitria Citra Ayu 260110130093 Pembahasan Astri Sulastri 260110130094 Pembahasan Hasby M.J. 260110130095 Alat Bahan, Prosedur Winda Ratna P. 260110130096 Teori Dasar, Daftar Pustaka Femmi Anwar 260110130097 Data Pengamatan, Perhitungan, Grafik Mega Trinova D. 260110130098 Tujuan, Prinsip, Kesimpulan, Editor LABORATORIUM FARMAKOLOGI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2014

Upload: mega-trinova

Post on 24-Sep-2015

70 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Mikrobiologi

TRANSCRIPT

  • LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI SISTEM ORGAN

    SEMESTER GENAP 2014 - 2015

    Pengujian Aktivitas Antiinflamasi

    Hari / Jam Praktikum : Rabu / 10.00 13.00

    Tanggal Praktikum : 29 April 2015

    Kelompok : 1

    Asisten : Dita Apriani dan M.Indra Permana

    Anggota :

    Fitria Citra Ayu 260110130093 Pembahasan

    Astri Sulastri 260110130094 Pembahasan

    Hasby M.J. 260110130095 Alat Bahan, Prosedur

    Winda Ratna P. 260110130096 Teori Dasar, Daftar Pustaka

    Femmi Anwar 260110130097 Data Pengamatan, Perhitungan,

    Grafik

    Mega Trinova D. 260110130098 Tujuan, Prinsip, Kesimpulan, Editor

    LABORATORIUM FARMAKOLOGI

    FAKULTAS FARMASI

    UNIVERSITAS PADJADJARAN

    JATINANGOR

    2014

  • Pengujian Aktivitas Antiinflamasi

    I. Tujuan

    1. Mampu memahami prinsip dasar percobaan aktivitas antiinflamasi dan

    memperoleh petunjuk-petunjuk yang praktis.

    2. Dapat menunjukkan beberapa kemungkinan dan batasan percobaan.

    II. Prinsip

    1. Archimedes

    Jika sebuah benda dicelupkan ke dalam zat cair, maka benda tersebut

    akan mendapat gaya yang disebut gaya apung (gaya ke atas) sebesar berat

    zat cair yang dipindahkannya

    2. Inflamasi

    Inflamasi adalah suatu reaksi local organisme terhadap suatu iritasi atau

    keadaan nonfisiologik.

    3. Mediator nyeri

    Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

    menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial.

    Mediator nyeri antara lain : histamin, serotonin, plasmakinin-plasmakinin,

    prostaglandin-prostaglandin, ion-ion kalium.

    III. Teori Dasar

    Radang merupakan mekanisme pertahanan tubuh disebabkan adanya

    respons jaringan terhadap pengaruh-pengaruh merusak baik bersifat lokal

    maupun yang masuk ke dalam tubuh. Pengaruh-pengaruh merusak (noksi)

    dapat berupa noksi fisika, kimia, bakteri. parasit dan sebagainya. Noksi fisika

    misalnya suhu tinggi, cahaya, sinar X dan radium, juga termasuk benda-

    benda asing yang tertanam pada jaringan atau sebab lain yang menimbulkan

    pengaruh merusak. Asam kuat, basa kuat dan racun termasuk noksi kimia.

    Bakteri patogen antara lain Streptococcus, Staphylococcus dan

    Pneumococcus. Reaksi radang dapat diamati dari gejala-gejala klinis. Di

  • sekitar jaringan terkena radang terjadi peningkatan panas (kalor), timbul

    warna kemerah-merahan (rubor) dan pembengkakan (tumor). Kemungkinan

    disusul perubahan struktur jaringan yang dapat menimbulkan kehilangan

    fungsi (Soewarni,2005).

    Inflamasi bisa dianggap sebagai rangkaian kejadian komplek yang

    terjadi karena tubuh mengalami injury, baik yang disebabkan oleh bahan

    kimia atau mekanis atau proses self-destructive (autoimun). Walaupun ada

    kecenderungan pada pengobatan klinis untuk memperhatikan respon

    inflammatory dalam hal reaksi yang dapat membahayakan tubuh, dari sudut

    pandang yang lebih berimbang sebenarnya inflamasi adalah penting sebagai

    sebuah respon protektif dimana tubuh berupaya untuk mengembalikan

    kondisi seperti sebelum terjadi injury (preinjury) atau untuk memperbaiki

    secara mandiri setelah terkena injury. Respon inflammatory adalah reaksi

    protektif dan restoratif dari tubuh yang sangat penting karena tubuh berupaya

    untuk mempertahankan homeostasis dibawah pengaruh lingkungan yang

    merugikan (Lutfianto, 2009)

    Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena

    infeksi kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang

    memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen

    menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan

    yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi

    ini disebut radang (Rukmono, 2000).

    Asam arakhidonat yang dikatalisis oleh siklooksigenase mulamula

    membentuk prostaglandin endoperoksida (PGG2), yang selain mengandung

    gugus peroksi yang selalu membentuk cincin masih mengandung satu gugus

    hidroperoksi. Dengan bantuan peroksida dari PGG2 menjadi senyawa alkohol

    yang sesuai PGH2. Kedua sikloendoperoksida merupakan senyawa yang

    bersifat reaktif tinggi karena tegangan cincin yang tinggi dengan waktu paro

    yang singkat dari PGH2 dapat dibentuk :

    - Prostaglandin, dalam berbagai jaringan.

    - Trombosan A2, dalam trombosit.

  • - Prostasiklin, dalam endotel pembuluh darah (Mutschler, 1991).

    Obat antiinflamasi adalah golongan obat yang yang memiliki aktivitas

    menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dicapai melalui berbagai

    cara yaitu menghambat migrasi sel-sel leukosit ke daerah radang,

    menghambat pelpasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya

    (Ganiswarna, 1995).

    Obat antiinflamasi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama,

    yaitu :

    a. Glukokortikoid (golongan steroidal) yaitu antiinflamasi steroid. Anti

    inflamasi steroid memiliki efek pada konsentrasi, distribusi dan fungsi

    leukosit perifer serta penghambatan aktivitas fosfolipase. Contohnya

    golongan predinison.

    b. NSAIDs (Non Steroid Anti Inflamasi Drugs ) juga dikenal dengan AINS

    (Anti Inflamasi Non Steroid). NSAIDs bekerja dengan menhhambat

    enzim siklooksigenase tetapi tidak Lipoksigenase (Tjay dan Raharja,

    2007).

    Mekanisme kerja obat golongan NSAIDs bekerja dengan cara

    menghambat enzim siklooksigenase (COX), dan dengan melakukan hal ini,

    NSAIDs juga bekerja untuk menurunkan produksi prostaglandin dan

    Leukotriena. Prostaglandin COX-1 merangsang fungsi fisiologis tubuh,

    seperti produksi mukus lambung yang bersifat protektif dan maturasi

    trombosit (Chang dan Daly, 2009).

    Sebaliknya, lintasan COX-2 diinduksi oleh kerusakan jaringan/

    inflamasi, dan prostaglandin yang dihasilkan merupakan substansi

    proinflamasi, inhibisi lintasan COX-2 akan mengurangi respon inflamasi,

    mengurangi udema dan meredahkan nyeri (Chang dan Daly, 2009).

    Antiinflamasi golongan steroid adrenal bekerja dengan menghambat

    enzim fosfolipase A2 Efek antiinflamasi steroid adrenal berhubungan dengan

    kemampuannya untuk merangsang biosintesis protein lipomodulin, yang

    dapat menghambat kerja enzimatik fosfolipase A secara tidak langsung

    dengan menginduksi sintesis protein G (Ganiswarna, 1995).

  • Efek antiinflamasi steroid adrenal berhubungan dengan

    kemampuannya untuk merangsang biosintesis protein lipomodulin, yang

    dapat menghambat kerja enzimatik fosfolipase A2 sehingga mencegah

    pelepasan mediator peradangan, yaitu asam arakhidonat dan metabolitnya

    seperti prostaglandin, leukotrien, tromboksan dan prostasiklin. Steroid

    adrenal dapat memblok jalur siklooksigenase dan lipooksigenase, sedangkan

    AINS hanya memblok alur siklooksigenase. Hal ini dapat menjelaskan

    mengapa steroid adrenal mempunyai aktivitas antiinflamasi yang lebih besar

    dibanding AINS (Bintari, 2012)

    Diklofenak dengan nama kimia 2-(2-(2,6-diklorofenilamino)fenil)

    asam asetat, Natrium diklofenak adalah suatu senyawa antiinflamasi

    nonsteroid yang bekerja sebagai analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi.

    mekanisme kerjanya secara umum mempunyai efek antiinflamasi, antipiretik

    dan analgesiknya adalah dengan cara menghambat sintesis prostaglandin

    dengan menginhibisi siklooksigenase (COX). Penghambatan COX akan

    mengurangi kadar prostaglandin di epitelium lambung, yang

    menyebabkannya lebih sensitif terhadap korosif asam lambung. Ini termasuk

    efek samping utama diklofenak. Diklofenak cenderung menghambat COX-2

    lebih rendah (kira-kira 10 kali) ketimbang COX-1. Oleh karena itu, insiden

    terhadap gangguan lambung lebih rendah dibandingkan indometasin dan

    aspirin. Obat ini tidak boleh diberikan secara intravena bersama-sama dengan

    AINS atau antikoagulan termasuk heparin (Sweetman, 2005).

    Uji utama yang sering dipakai dalam menapis zat antiradang

    nonsteroid baru, mengukur kemampuan suatu senyawa untuk mengurangi

    edema lokal pada cengkeraman tikus yang disebabkan oleh suntikan zat

    pengiritasi karagenan, yaitu suatu mukopolisakarida yang diperoleh dari

    lumut laut Irlandia, Chondrus crispus. Zat antiradang yang paling banyak

    digunakan di klinik untuk menekan edema macam ini (Hamor, G.H., 1996).

    Mediator edema yang pertama-tama yaitu histamin dan serotonin,

    diikuti oleh fase kedua, yaitu pelepasan kinin yang mempertahankan

    peningkatan kepermeabelan pembuluh darah. Ini diikuti oleh fase ketiga,

  • yaitu pelepasan prostaglandin yang bersamaan dengan migrasi leukosit ke

    lokasi radang. Zat antiradang nonsteroid menekan migrsi ini. Pengaktifan dan

    pelepasan semua mediator yang telah disebutkan di atas, tergantung pada

    sistem komplemen yang utuh (Hamor, G.H., 1996).

    IV. Alat dan Bahan

    4.1. Alat

    1) Kandang mencit

    2) Koran

    3) Neraca Ohauss

    4) Penggaris

    5) Plethysmometer air raksa

    6) Sonde oral mencit

    7) Syringe

    8) Spidol

    9) Stopwatch

    4.2. Bahan

    1) Larutan natrium diklofenak 10 mg/kg BB

    2) Larutan asetosal (aspirin) 10 mg/kg BB

    3) Larutan karagenan 1 %

    4) Larutan gom arab (PGA) 3%

    5) Tikus putih jantan 150-200 g

    4.3 Gambar

  • Syringe

    V. Prosedur

    Prosedur pada praktikum farmakologi sistem organ kali ini sebelum

    dimulai percobaan, masing-masing tikus dikelompokkan dan ditimbang bobot

    badannya, kemudian diberikan tanda pengenal dengan menggunakan spidol.

    Diberikan tanda batas pada kaki belakang kanan pada masing masing tikus,

    agar setiap kali pemasukan kaki ke dalam air raksa selalu sama. Pada tahap

    pendahuluan volume kaki masing masing tikus yaitu tikus I dengan bobot

    194 g, tikus II dengan bobot 157,3 g dan tikus III dengan bobot 144,5 g

    diukur dan dinyatakan sebagai volume dasar. Pada setiap kali pengukuran

    volume, tinggi cairan air raksa pada alat diperiksa dan dicatat sebelum dan

    Plethysmometer

  • sesudah pengukuran, usahakan jangan sampai ada air raksa yang tertumpah.

    Pada tikus II diberi obat natrium diklofenat sebanyak 0,7865 mL, tikus III

    diberi obat aspirin sebanyak 0,72 mL dan tikus I diberi larutan kontrol yaitu

    PGA sebanyak 0,97 mL, semuanya diberikan secara oral. Tiga puluh menit

    kemudian telapak kaki kanan diukur volume pembengkakan dengan alat

    Plethysmometer dengan mencatat kenaikan air raksa pada alat tersebut (V0).

    Selanjutnya, 0.0485 ml larutan karagenan diberikan pada telapak kaki kanan

    tikus I secara subkutan, 0.039 ml larutan karagenan diberikan pada telapak

    kaki kanan tikus II secara subkutan, dan 0.36 ml larutan karagenan diberikan

    pada telapak kaki kanan tikus III secara subkutan. Volume kaki masing

    masing tikus yang diberi karagenan diukur setiap 15 menit sampai menit ke-

    90. Dicatat perbedaan volume kaki untuk setiap 15 menit pengukuran (Vt).

    Hasil-hasil pengamatan dicantumkan dalam tabel untuk setiap kelompok.

    Tabel harus berisi kenaikan volume kaki setiap 15 menit untuk masing-

    masing tikus. Selanjutnya untuk setiap kelompok dihitung persentase rata-rata

    dan bandingkan persentase yang diperoleh kelompok yang diberi obat

    natrium diklofenak dan aspirin terhadap kelompok kontrol yang diberi PGA

    pada menit yang sama. Persentase radang dihitung dengan rumus sbb:

    VI.

    Persentase inhibisi radang dihitung dengan rumus sbb:

    VII.

    Digambarkan grafik persentase inhibisi radang terhadap waktu.

  • VIII. Data Pengamatan

    IX. Perhitungan

    Dosis untuk obat (PGA, Natrium diklofenak dan aspirin) :

    Tikus 1(PGA) = 194

    200 1 = 0,97

    Tikus 2 (Natrium diklofenak) = 157,3

    200 1 = 0,7865

    Tikus 3 (Aspirin) = 144,5

    200 1 = 0,72

    Dosis untuk karagenan

    Tikus 1 = 194

    200 0,05 = 0,0485

    Tikus 2 = 157,3

    200 0,05 = 0,039

    Tikus 3 = 144,5

    200 0,05 = 0,036

    Kel. t=0, p.o t=30, s.c V0 45 60 75 90

    Vt %Rad Vt %Rad Vt %Rad Vt %Rad

    1

    Kontrol

    (PGA) Karagenan

    0,004 0,009 125 0,009 125 0,009 125 0,009 125

    2 0,012 0,011 -8,3 0,012 0 0,015 25 0,015 25

    3 0,005 0,008 60 0,012 140 0,017 240 0,019 280

    4 0,017 0,022 29,41 0,023 35,3 0,019 11,77 0,018 5,88

    5 0,017 0,02 17,64 0,02 17,64 0,02 17,64 0,02 17,64

    - 44,75 - 63,58 - 83,88 - 90,7

    1

    Natrium

    diklofena

    k

    Karagenan

    0,004 0,007 75 0,006 50 0,007 75 0,005 25

    2 0,027 0,018 -33,3 0,013 -51,85 0,013 -51,83 0,022 -18,1

    3 0,004 0,007 75 0,006 50 0,005 25 0,004 0

    4 0,002 0,024 20 0,024 20 0,021 55 0,020 0

    5 0,018 0,022 0 0,022 21,22 0,025 38,89 0,027 50

    - 27,34 - 17,87 - 18,4 - 11,29

    1

    Aspirin Karagenan

    0,005 0,009 80 0,007 40 0,006 20 0,005 10

    2 0,014 0,014 0 0,012 -14,28 0,014 0 0,019 35,71

    3 0,03 0,004 33,4 0,003 0 0,003 0 0,003 0

    4 0,019 0,022 15,79 0,023 21 0,023 21 0,019 0

    5 0,015 0,016 6,67 0,018 20 0,018 20 0,018 20

    - 27,17 - 13,34 - 12,2 - 13,14

  • Persentase Radang

    Pesentase radang =

    100%

    Menit 45

    Tikus 1 = 0,0090,004

    0,004 100% = 125%

    Tikus 2 = 0,0070,004

    0,004 100% = 75%

    Tikus 3 = 0,0090,005

    0,005 100% = 80%

    Menit 60

    Tikus 1 = 0,0090,004

    0,004 100% = 125%

    Tikus 2 = 0,0060,004

    0,004 100% = 50%

    Tikus 3 = 0,0070,005

    0,005 100% = 40%

    Menit 75

    Tikus 1 = 0,0090,004

    0,004 100% = 125%

    Tikus 2 = 0,0070,004

    0,004 100% = 75%

    Tikus 3 = 0,0060,005

    0,005 100% = 20%

    Menit 90

    Tikus 1 = 0,0090,004

    0,004 100% = 125%

    Tikus 2 = 0,0050,004

    0,004 100% = 25%

    Tikus 3 = 0,0050,005

    0,005 100% = 10%

    Persentase Inhibisi Radang

    = % %

    % 100%

    Obat 1 (Na diklofenak) =70,727 18,725

    70,727 100% = 73,52%

    Obat 2 (Aspirin) =70,72716,4625

    70,727 100% = 76, 72%

  • Garfik % radang terhadap kelompok hewan uji kelompok 1

    Grafik rata-rata % radang 1 shift

    X. Pembahasan

    Pada praktikum uji aktivitas antiinflamasi dilakukan untuk hewan

    coba tikus. Tikus digunakan sebagai hewan coba karena bentuk tubuh hewan

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    PGA Na diklofenak Aspirin

    Rata-rata % Radang Terhadap Kelompok Hewan Uji

    % Radang

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    90

    100

    45' 60' 75' 90'

    % r

    adan

    g

    waktu

    Rata-rata % radang terhadap waktu

    PGA

    Na diklofenak

    Aspirin

  • tikus tersebut lebih besar dibanding mencit sehingga memudahkan untuk

    mengamati efek inflamasi yang terjadi. Hewan coba yang digunakan

    sebanyak tiga ekor yang kemudian ditimbang terlebih dahulu untuk

    menentukan volume zat uji yang akan diberikan pada hewan coba yaitu tikus.

    Tikus 1 untuk pemberian gom arab secara oral, tikus 2 untuk pemberian

    natrium diklofenat dan tikus 3 untuk pemberian aspirin. Setelah ditimbang

    tikusnya, dilakukan penandaan pada bagian kaki kanan belakang untuk

    mempermudah saat pemasukan kaki ke dalam air raksa agar volume yang

    dihasilkan selalu sama. Sebelum diberikan zat uji (gom arab, aspirin dan

    natrium diklofenat) dan zat iritan (karagenan), kaki tikus diukur terlebih

    dahulu volume awalnya (V0) dengan cara dimasukkan ke dalam air raksa dan

    dicatat ketinggian air raksa tersebut. Perlakuan seperti ini dilakukan untuk

    masing-masing tikus. Setelah itu pada T = 0, gom arab diberikan pada tikus 1

    secara oral. Pemberian oral dilakukan agar obat yang diberikan dapat

    diabsorpsi dengan baik. Gom arab yang diberikan hanya sebagai zat uji tanpa

    menimbulkan efek yang akan digunakan untuk kelompok hewan uji kontrol

    negatif. Selain itu tikus 2 diberikan obat natrium diklofenat dengan cara oral

    dan tikus 3 diberikan obat aspirin secara oral. Natrium diklofenat dan aspirin

    merupakan obat antiinflamasi golongan NSAID yang dapat bekerja

    menghambat pembentukan prostaglandin dengan cara menghambat enzim

    siklooksigenase sehingga prostaglandin tidak terbentuk terutama COX-2 yang

    menyebabkan pelepasan mediator inflamasi.

    Pada T = 30, ketiga tikus disuntikkan karagenan sebagai iritan

    (antigen) yang dapat menyebabkan inflamasi. Karagenan yang diberikan

    secara subkutan pada bagian telapak kaki kanan bagian belakang. Hal ini

    dilakukan agar absorpsi karagenan lebih baik dan onset of action nya lebih

    cepat. Bagian yang disuntikkan karagenan adalah bagian kaki karena untuk

    mempermudah menghitung volume radang akibat karagenan. Karagenan

    yang masuk ke dalam tubuh tikus akan menstimulasi pelepasan mediator

    inflamasi yaitu histamin sehingga menimbulkan radang/inflamasi akibat dari

    reaksi sistem imun untuk melawan antigennya. Setelah itu diukur volume

  • radangnya dengan alat Plethysmometer. Plethysmometer memiliki prinsip

    kerja yaitu volume yang dimasukan ke dalam air raksa akan sama besar

    dengan perubahan ketinggian dari air raksa tersebut sehingga kaki tikus yang

    mengalami inflamasi dimasukkan ke dalam air raksa dan diperhatikan

    pertambahan tinggi pada air raksa tersebut. Pertambahan air raksa inilah yang

    merupaka nilai volume inflamasi yang dialami ooleh tikus tersebut.

    Pengamatan ini dilakukan untuk menit ke-30, ke-45, ke-60, ke-75 dan ke-90.

    Pada masing-masing waktu dicatat perubahan ketinggian air raksa dan

    dihitung persentase radang yang terjadi dengan cara membandingkan antara

    selisih volume radang dan volume awal dengan volume awalnya. Setelah itu

    dihitung persentase inhibisi dari obat yang diberikan. Tikus yang diberikan

    obat antiinflamasi yaitu aspirin dan natrium diklofenat akan memiliki

    persentase radang yang lebih kecil dibandingkan tikus yang diberikan gom

    arab. Hal ini terjadi karena obat tersebut mampu menghambat pembentukan

    inflamasi akibat tidak adanya prostaglandin yang terbentuk pada bagian yang

    disuntikkan.

    Data hasil percobaan pada tabel menunjukan terdapat beberapa nilai

    volume akhir (Vt) pada menit tertentu yang nilainya negatif. Hal tersebut

    menunjukan bahwa volume kaki tikus setelah diberikan obat/ PGA dan

    diinduksi oleh karagenan nilainya lebih kecil dari pada volume awal (Vo).

    Seharusnya volume kaki tikus bertambah setelah diinduksi oleh karagenan

    karena kakinya mengalami pembengkakan. Hal tersebut dapat terjadi karena

    kesalahan ketika mengamati volume kaki tikus yang dicelupkan ke dalam

    raksa. Alat yang digunakan adalah plenthysmometer konvensional sehingga

    diperlukan ketelitian lebih dalam mengamati kenaikan volume, bukan berarti

    alat plenthysmometer modern tidak memerlukan ketelitian lebih tetapi pada

    alat yang konvensional volume sebelum kaki tikus dicelupkan tidak selalu

    dalam posisi nol sulit melakukan kalibrasi agar skala awal pada alat dinolkan

    sehingga bila kurang teliti dalam melihat skala awal sebelum pengukuran

    maka nilai volume setelah kaki tikus dicelupkan ke dalam raksa menjadi

    kurang akurat, hasilnya dapat lebih kecil dari volume awal.

  • Pada hewan kelompok kontrol negatif mengalami kenaikan % radang

    dengan bertambahnya waktu. Pada menit ke 45 terdapat rata-rata % radang

    dari 5 ekor tikus sebesar 44, 75 %, pada menit ke 60 rata-rata % radang

    menjadi 63, 58 %, pada menit ke 75 menjadi 83,88% dan pada menit ke 90

    menjadi 90,7 %. Kenaikan rata-rata % radang pada kelompok kontrol

    negative ini diakibatkan oleh perlakuan yang diberikan pada hewan

    percobaan. Hewan pada kelompok kontrol negatif tidak diberikan obat

    antiinflamasi, hanya diberikan PGA sebagai blanko. Hal tersebut

    mengakibatkan tidak adanya mekanisme penghambatan atau penurunan

    inflamasi sehingga inflamasi yang ditumbulkan dengan bertambahnya waktu

    akan semakin besar.

    Pada kelompok hewan uji yang diberi obat Na diklofenak menunjukan

    adanya penurunan % radang dengan bertambahnya waktu. Hal tersebut

    menunjukan bahwa Na diklofenak mempunyai aktivitas sebagai obat

    antiinflamsi karena dapat menurunkan peradangan/ inflamasi yang terjadi

    pada hewan uji setelah diinduksi oleh karagenan. Pada menit ke 45 terdapat

    rata-rata % radang dari 5 ekor tikus sebesar 27,34 %, pada menit ke 60 rata-

    rata % radang menjadi 17,87 %, pada menit ke 75 menjadi 18,4 % dan pada

    menit ke 90 menjadi 11,29 %. Pada menit ke 75, % radang mengalami

    kenaikan sebesar 0,53 % nilai kenaikan % radang ini tidak terlalu signifikan

    sehingga tidak terlalu berpengaruh. Hal tersebut dapat terjadi akibat

    kesalahan dalam pengamatan volume kaki tikus yang dicelupkan ke dalam air

    raksa. Kaki tikus yang dicelupkan tidak sampai batas tanda sehingga nilai

    volume tikus menjadi kurang akurat kemudian kaki tikus yang terus begerak

    ketika dicelupkan ke dalam raksa juga dapat meningkatkan volume sehingga

    sebaikanya tikus ditenangkan/ dielus-elus terlebih dahulu sebelum kakinya

    dicelupkan ke dalam raksa supaya tikus menjadi lebih tenang. Pada menit ke

    90 % radang turun secara signifikan menjadi 11, 29 %, dengan kecilnya %

    radang yang dihasilkan pada menit ke 90 ini menunjukan bahwa Na

    diklofenak dapat digunakan secara efektif sebagai obat antiinflamasi. Na

  • diklofenak akan bekerja secara efektif 90 menit setelah pemberian obat secara

    oral.

    Pada kelompok hewan uji yang diberi obat aspirin menunjukan

    adanya penurunan % radang dengan bertambahnya waktu. Hal tersebut

    menunjukan bahwa aspirin mempunyai aktivitas sebagai obat antiinflamsi

    karena dapat menurunkan peradangan/ inflamasi yang terjadi pada hewan uji

    setelah diinduksi oleh karagenan. Pada menit ke 45 terdapat rata-rata %

    radang dari 5 ekor tikus sebesar 27,17 %, pada menit ke 60 rata-rata % radang

    menjadi 13,34 %, pada menit ke 75 menjadi 12,2 % dan pada menit ke 90

    menjadi 13,14 %. Pada menit ke 90 terjadi kenaikan % radang sebesar 0,94 %

    nilai kenaikan % radang tersebut tidak terlalu signifikan sehingga tidak terlalu

    berpengaruh. Hal tersebut dapat terjadi akibat kesalahan dalam pengamatan

    volume kaki tikus yang dicelupkan ke dalam raksa. Bila dilihat dari data hasil

    pengamatan, aspirin dapat bekerja efektif pada menit ke 75 setelah pemberian

    secara oral, namu % radang yang ditimbulkan sebesar 12,2% sedikit lebih

    besar dari % radang yang ditimbulkan oleh Na diklofenak. Pada Na

    diklofenak diperlukan waktu tambahan sebesar 15 menit supaya radang yang

    ditimbulkan hanya sebesar 11, 29 % sedangkan pada aspirin % rdang yang

    ditimbulkan 12, 2 % dengan waktu kerja yang 15 menit lebih cepat dari Na

    diklofenak. Bila dilihat dari segi waktu, aspirin dapat bekerja efektif sebagai

    antiinflamasi dengan waktu yang lebih cepat dari Na diklofenak sedangkan

    bila dilihat dari segi aktivitas antiinflamasi, Na diklofenak memilki aktivitas

    yang lebih tinggi dengan waktu kerja 15 menit lebih lama.

    Grafik % radang terhadap kelompok hewan uji dari kelompok 1

    menunjukan bahwa kelompok hewan kontrol negatif yang diberi PGA

    menunjukan rata-rata % radang yang tinggi yaitu 125%, kemudian kelompok

    hewan yang diberi Na diklofenak berada pada posisi dua dengan rata-rata %

    radang 56,25 % dan kelompok hewan yang diberi aspirin berada pada posisi

    terakhir dengan rata-rata % radang 37,5 %. Nilai rata-rata % radang ini

    menunjukan bahwa kelompok hewan kontrol negatif mengalami peradangan/

    inflamasi yang tinggi karena tidak memperoleh obat antiinflamasi untuk

  • menurunkan inflamasi, sedangkan kelompok hewan yang diberi aspirin

    memiliki nilai rata-rata % radang yang lebih kecil bila dibandingkan dengan

    kedua kelompok lainnya, hal ini menunjukan bahwa aspirin memiliki

    aktivitas yang efektif sebagai obat antiinflamasi dalam meredakan/

    menurunkan inflamasi.

    Pada grafik rata-rata % radang terhadap waktu menunjukan bahwa

    kelompok hewan kontrol negatif menghasilkan peningkatan rata-rata %

    radang dengan bertambahnya waktu. Pada kelompok hewan yang diberi Na

    diklofenak menunjukan penurunan yang cukup signifikan rata-rata % radang

    dengan bertambahnya waktu. Sedangkan pada kelompok hewan yang diberi

    aspirin menunjukan penurunan rata-rata % radang dengan bertambahnya

    waktu, walapun pada menik ke 90 terjadi sedikit kenaikan. Kenaiakn pada

    rata-rata % radang dari kelompok hewan kontrol negatif ini diakibatkan oleh

    tidak diberikannya obat antiinflamasi pada hewan percobaan sehingga

    inflamasi yang diinduksi oleh karagenan terus terjadi ditunjukan dengan

    penambahan volume kaki hewan percobaan. Sedangkan pada kelompok

    hewan yang diberi Na diklofenak dan asam aspirin menunjukan penurunan

    rata-rata % radang karena hewan uji diberi obat antiinflamasi seblum

    diinduksi inflamasi oleh karagenan sehingga proses inflamasi menjadi

    berkurang.

    Dari hasil perhitungan, obat Na diklofenak menghasilkan % inhibisi

    sebesar 73, 52 % sedangkan aspirin menghasilkan % inhibisi radang yang

    lebih besar yaitu 76, 72%. Dari persentase inhibisi radang ini menunjukan

    bahwa aspirin memiliki aktifitas antiinflamsi yang lebih besar dari Na

    diklofenak karena aspirin mampu menghambat terbentuknya radang sebesa

    76 % sedangkan Na diklofneak menghambat terbentuknya radang sebesar

    73%. Berdasarkan literatur (Badan POM RI, 2015) Na diklofenak merupakan

    salah satu pilihan pertama antiinflamasi karena khasiatnya yang memadai

    sekaligus kejadian efek sampingnya relatif rendah sedangkan aspirin

    mempunyai sedikit aktivitas anti inflamasi. Kadang-kadang menyebabkan

    diare dan anemia hemolitik yang memerlukan penghentian penggunaan. Dari

  • hasil percobaan menunjukan bahwa aktivitas aspirin sebagai antiinflamasi

    lebih baik dari Na diklofenak, namun berdasarkan literatur aktivitas

    antiinflamasi yang lebih baik adalah Na diklofenak. Hal ini dapat diakibatkan

    oleh teknis dan procedural yang kurang sesuai dengan seharusnya. Secara

    teknis alat plenthysmometer konvensional memerlukan ketilitan yang lebih

    tinggi dalam pengamatan kenaikan volume karena sifatnya lebih sulit

    dikalibrasi. Ketepatan dalam pemberian dosis obat yang pada hewan

    percobaan juga mempengaruhi efek antiinflamasi yang diberikan. Tikus

    merupakan hewan yang lincah dan sering bergerak, kesulitan dalam

    pemberian jumlah dosis yang sesuai pada tikus juga dapat mempengaruhi

    hasil percobaan. Begitu pula saat pengukuran volume kaki tikus yang harus

    dicelupkan ke dalam raksa, bila tikus tidak tenang maka ketika kakinya

    dicelupkan ke dalam raksa kaki tikus akan terus begerak dan volume pada

    skala akan terus meningkat sehingga error nilai volume akan semakin tinggi.

    Sebaiknya tikus dibuat tenang terlebih dahulu sebelum kakinya dicelupkan ke

    dalam raksa dan pastikan kaki tikus tercelup ke dalam raksa sampai batas

    tanda yang ditentukan.

    XI. Kesimpulan

    1. Pada percobaan aktivitas antiinflamasi dapat dipahami dan diperoleh

    petunjuk-petunjuk yang praktis bahwa untuk menguji efek antiinflamasi

    suatu obat, hewan percobaan harus diberi obat antiinflamasi terlebih

    dahulu baru dibuat inflamasi sehingga persentase inhibisi peradangan

    dapat diamati.

    2. Beberapa kemungkinan dan batasan dalam percobaan ini dapat

    ditunjukkan dengan pembentukan udem oleh karagenan yang tidak

    menyebabkan kerusakan jaringan meskipun udem dapat bertahan selama

    beberapa jam dan berangsur-angsur akan berkurang tanpa meninggalkan

    bekas.

  • Daftar Pustaka

    Badan POM RI. 2015. 10.1.1. Antiinflamasi Nonsteroid (AINS). Tersedia online

    di http://pionas.pom.go.id/book/ioni-bab-10-otot-skelet-dan-sendi-101-obat-

    reumatik-dan-gout/1011-antiinflamasi-nonsteroid-ains [diakses 30 April

    2015].

    Bintarti, A. 2012. Inflamasi dan Obat Antiinflamasi. Tersedia Online di

    http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34755/4/.pdf [Diakses

    29 April 2015]

    Chang, E., Daly, J., Elliot, D. 2009. Patofisiologi : Aplikasi Pada Praktik

    Keperawatan. EGC. Jakarta.

    Ganiswarna, Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi. UI Press. Jakarta.

    Hamor, G.H. 1996. ZAT ANTIRADANG NONSTEROIDPRINSIP-PRINSIP

    KIMIA MEDISINAL Jilid II Edisi Kedua. Gajah Mada University Press.

    Yogyakarta.

    Lutfianto, I. 2009. Mekanisme pada Injury Jaringan Inflamasi. Available online at

    http://forbetterhealth.com/2009/01/25/mekanisme-pada-injury-jaringan-

    inflamasi/ [diakses 29 April 2015]

    Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi 5. ITB. Bandung.

    Rukmono, 2000. Kumpulan kuliah patologi. Bagian patologi anatomik FK UI.

    Jakarta

    Sweetman, S, C. 2005. Martindale The Complete Drug Reference Ed 34.

    Pharmaceutical Press. London Chicago.

    Soewarni. 2005. MEKANISME KERJA OBAT ANTI RADANG. Tersedia di

    http://library.usu.ac.id/download/fk/farmasi-soewarni.pdf [Diakses 29 April

    2015]

    Tjan, Tan Hoan dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. PT Gramedia.

    Jakarta.