pengujian aktivitas obat sistem saraf otonom_kelompok 1_shift d

17
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI SISTEM ORGAN SEMESTER GENAP 2014 - 2015 PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT SISTEM SARAF OTONOM Hari / Jam Praktikum : Rabu/ 10.00 13.00 WIB Tanggal Praktikum : 15 April 2015 Kelompok : 1 Asisten : Dita Apriani dan M Indra Permana Anggota : Fitria Citra Ayu 260110130093 Pembahasan Astri Sulastri 260110130094 Data Pengamatan, Perhitungan, Grafik Hasby M.J. 260110130095 Pembahasan Winda Ratna P. 260110130096 Teori Dasar, Daftar Pustaka Femmi Anwar 260110130097 Alat Bahan, Prosedur Mega Trinova D. 260110130098 Tujuan, Prinsip, Kesimpulan, Editor LABORATORIUM FARMAKOLOGI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2014

Upload: mega-trinova

Post on 24-Sep-2015

128 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Farmakologi

TRANSCRIPT

  • LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI SISTEM ORGAN

    SEMESTER GENAP 2014 - 2015

    PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT SISTEM SARAF OTONOM

    Hari / Jam Praktikum : Rabu/ 10.00 13.00 WIB

    Tanggal Praktikum : 15 April 2015

    Kelompok : 1

    Asisten : Dita Apriani dan M Indra Permana

    Anggota :

    Fitria Citra Ayu 260110130093 Pembahasan

    Astri Sulastri 260110130094 Data Pengamatan, Perhitungan,

    Grafik

    Hasby M.J. 260110130095 Pembahasan

    Winda Ratna P. 260110130096 Teori Dasar, Daftar Pustaka

    Femmi Anwar 260110130097 Alat Bahan, Prosedur

    Mega Trinova D. 260110130098 Tujuan, Prinsip, Kesimpulan, Editor

    LABORATORIUM FARMAKOLOGI

    FAKULTAS FARMASI

    UNIVERSITAS PADJADJARAN

    JATINANGOR

    2014

  • PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT SISTEM SARAF

    OTONOM

    I. Tujuan

    1. Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom

    dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh.

    2. Mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik

    pada neUroefektor parasimpatikus.

    II. Prinsip

    1. Obat kolinergik

    Sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi

    Susunan Parasimpatis (SP) karena melepaskan neurohormonasetilkolin

    (Ach) diujung-ujung neuronya.

    2. Obat antikolinergik

    Sekelompok zat yang dapat menghambat Susunan Parasimpatis (SP) untuk

    melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya.

    3. Persen Inhibisi

    % =

    100%

    Keterangan :

    = Absorbansi tidak mengandung sampel

    = Absorbansi sampel

    III. Teori Dasar

    Sistem saraf dibedakan atas dua yaitu sistem saraf pusat (SSP) yang

    terdiri dari otak dan medula spinalis, serta sistem saraf tepi yang merupakan

    sel-sel saraf yang terletak di luar otak dan medula spinalis yaitu saraf-saraf

    yang masuk dan keluar SSP. Sistem saraf tepi selanjutnya dibagi dalam divisi

    eferen yaitu neuron yang membawa sinyal dari otak dan medula spinalis ke

  • jaringan tepi, serta aferen yang membawa informasi dari perifer ke SSP

    (Mycek, 2001). Sistem saraf pusat merupakan sistem saraf eferen (motorik)

    yang mempersarafi organ-organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan

    berbagai kelenjar.1 Sistem ini melakukan fungsi kontrol, semisal: kontrol

    tekanan darah, motilitas gastrointestinal, sekresi gastrointestinal, pengosongan

    kandung kemih, proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa fungsi lain

    (Guyton, 2006).

    Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat memperlihatkan efek

    merangsang atau menghambat aktivitas susunan saraf pusat secara spesifik atau

    secara umum. Impuls saraf dari SSP hanya dapat diteruskan ke ganglion dan

    sel efektor melalui penglepasan zat kimia yang khas yang disebut transmiter

    neurohumoral atau disingkat transmiter. Tidak banyak obat yang pada dosis

    terapi dapat mempengaruhi konduksi akson, tetapi banyak sekali zat yang dapat

    mengubah tranmisi neurohumoral (Ganiswarna, 2005).

    Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan

    saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat

    mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara

    spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja

    mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan

    mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon

    tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).

    Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang

    dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis

    (SP), karena melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung

    neuronnya. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan

    dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah

    lambung (HCl), juga sekresi air mata, memperkuat sirkulasi,antara lain dengan

    mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan

    darah,memperlambat pernafasan, kontraksi otot mata dengan efek

    penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat

  • lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter dengan

    efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot

    kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya (Tan dan

    Rahardja, 2002).

    Peranan saraf otonom kolinergik, adrenergik, dan nonadrenergik

    terhadap saluran napas telah diidentifikasi. Beberapa mediator inflamasi

    mempunyai efek pada pelepasan neurotransmiter dan mengakibatkan

    terjadinya reaksi reseptor saraf otonom. Saraf otonom mengatur fungsi saluran

    nafas melalui berbagai aspek seperti tonus otot polos saluran napas, sekresi

    mukosa, aliran darah, permeabilitas mikrovaskuler, migrasi, dan pelepasan sel

    inflamasi. Peran saraf kolinergik paling dominan sebagai penyebab

    bronkokonstriksi pada saluran napas. Beberapa peneliti melaporkan bahwa

    rangsangan yang disebabkan oleh sulfur dioksida, prostaglandin, histamin dan

    bradikinin akan merangsang saraf aferen dan menyebabkan bronkokonstriksi .

    Mekanisme adrenergik meliputi sarafsimpatis, katekolamin yang beredar

    dalam darah, reseptor alfa adrenergik, dan reseptor beta adrenergik. Pemberian

    obat agonis adrenergik memperlihatkan perbaikan gejala pada penderita asma,

    hal ini menunjukkan adanya defek mekanisme adrenergik pada penderita asma.

    Saraf adrenergik tidak mengendalikan otot polos saluran napas secara

    langsung, tetapi melalui katekolamin yang beredar dalam darah (Mulia, 2009).

    Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat

    berkhasiat pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi :

    a. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai

    berikut:

    - Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek

    perangsangan dari saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya,

    efedrin, isoprenalin, dan lain-lain.

    - Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf

    parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya

    alkaloida sekale, propanolol, dan lain-lain.

  • b. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya

    sebagai berikut:

    - Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru

    perangsangan dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya

    pilokarpin dan phisostigmin.

    - Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf

    parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya

    alkaloida belladonna (Pearce, 2002).

    Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki efek yang

    ditimbulkankannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek

    neurotransmitor epinefrin (yang disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf

    sistematis. Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis :

    a. Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa

    dan terhadap kelenjar liur dan keringat.

    b. Penghambat perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh

    darah otot rangka.

    c. Perangsang jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan

    kekuatan kontraks.

    d. Perangsang Sistem saluran pernapasan.

    e. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenilisis dihati dan otot dan

    pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak,

    f. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, rennin dan

    hormon hipofisiEfek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau

    peningkatan pelepasan neurotransmitor (Haritsah, 2011).

    IV. Alat dan Bahan

    4.1. Alat

    1. Alat suntik

    2. Botol Vial

    3. Kapas

    4. Kandang mencit

  • 5. Kertas Saring

    6. Koran

    7. Mencit

    8. Papan

    9. Penggaris

    10. Sonde oral

    11. Spidol

    12. Timbangan

    13. Tissue

    4.2. Bahan

    1. Alkohol

    2. Atropin

    3. Fenobarbital

    4. Mencit jantan yang dipuasakan sebelum percobaan (6 jam)

    5. Metilen blue

    6. PGA

    7. Pilokarpin

    4.3. Gambar Alat

    Alat Suntik Botol Vial

    Kapas Kandang

  • Kertas Saring Koran

    Papan Penggaris

    Sonde Oral Spidol

    Timbangan Tissue

  • V. Prosedur

    Alat untuk percobaan disiapkan. Dibuat larutan gom dan obat sesuai

    dosis perhitungan. 3 ekor mencit yang sudah dipuasakan 6 jam di timbang dan

    diberi tanda pengenalnya. Pada waktu T = 0, satu mencit diberi atropin 1 mg/kg

    BB (p.o) segera sesudah pemberian fenobarbital secara p.o. Sedangkan satu

    ekor mencit dijadikan sebagai kontrol negatif diberi larutan PGA dengan cara

    peroral. Pada waktu T = 15 menit, mencit lain disuntikkan atropin 0,015 mg/kg

    BB (s.c), segera sesudah diberikan fenobarbital p.o. Pada waktu T = 45 menit,

    semua mencit diberikan pilokarpin secara subkutan. Kemudian masing-masing

    mencit diletakkan di atas papan salvias yang sudah dibungkus kertas saring dan

    sudah digamabr kotak-kotak sebagai batas. Penempatan mencit haruslah

    sedemikian sehingga mulutnya berada tepat di atas kertas. Setiap 5 menit

    mencit ditarik ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas. Selanjutnya

    diulangi hal yang sama selama 25 menit sampai kotak paling atas. Amati

    besarnya noda yang terbentuk di atas kertas disetiap kotak dan tandai batas

    noda (pakai spidol). Diameter noda diukur dan dihitung persentase inhibisi

    yang diberikan oleh kelompok atropin. Data hasil perhitungan dimasukkan ke

    dalam tabel dan buatlah grafik inhibisi per satuan waktu.

    VI. Data Pengamatan

    Hewan

    Percobaan

    Perlakuan Hasil Pengamatan setiap 5

    menit sekali selama 25

    menit T: 0 T: 15 T:45

    Mencit 1

    Fenobarbital

    p.o (0,57

    mL)

    -

    Pilokarpi

    n s.c (0,29

    mL)

  • PGA p.o

    (0,57 mL)

    Perlakuan pada mencit 1

    merangsang salivasi

    ditandai dengan adanya

    noda pada kertas, dimulai

    dari 5 menit pertama dan

    5 menit seterusnya,

    sedangkan perlakuan pada

    mencit ke-2 dan mencit

    ke-3 tidak merangsang

    salivasi.

    Mencit 2

    Fenobarbital

    p.o (0,53

    mL) -

    Pilokarpi

    n s.c (0,26

    mL) Atropin p.o

    (0,53 mL)

    Mencit 3 -

    Fenobarbital

    p.o (0,4 mL) Pilokarpi

    n s.c (0,2

    mL) Atropin s.c

    (0,2 mL)

    Perlakuan BB

    Mencit

    Dosis (mL) Diameter saliva (cm)

    rata-

    rata

    kontrol

    negatif

    p.o s.c 0-5 5-

    10

    10-

    15

    15-

    20

    20-

    25

    Kontrol (-)

    Mencit 1

    Fenobarbita

    l (p.o)

    PGA (p.o)

    23,3 0,57

    -

    3,25 3,15 2,75 2,75 3,1

    21,4 0,535 2,5 3,45 3,95 3,6 3,4

    21,4 0,535 2 2,9 4 2,5 3,15

    23,0 0,58 0 0 0 0 0

    19,5 0,48 2,55 3,2 3,2 3,55 3,25

    108,6 2,7 10,3 12,7 13,9 12,4 12,9

    21,72 0,54 2,58 3,18 3,48 3,1 3,23 3,11

    Mencit 2

    Fenobarbita

    l (p.o)

    Atropin

    (p.o)

    21,1 0,53

    -

    0 0 0 0 0

    rata-

    rata uji

    p.o

    19,0 0,475 1,05 0 0 0 0

    15,4 0,385 0 0 0 0 0

    20,0 0,5 1,75 0 0 0 0

    31,5 0,78 0 0 0 0 0

    107 2,67 2,8 0 0 0 0

    21,4 0,534 0,56 0 0 0 0 0,112

    Mencit 3 16,0 0,4 0,2 0 0 0 0 0

  • Fenobarbita

    l (p.o)

    Atropin

    (s.c)

    25,9 0,647 0,32 0 0 0 0 0

    rata-

    rata uji

    s.c

    22,8 0,57 0,285 0 0 0 0 0

    23,5 0,59 0,3 0 0 0 0 0

    20,5 0,51 0,25 0 0 0 0 0

    108,7 2,717 1,355 0 0 0 0 0

    VII. Perhitungan

    1. Mencit 1

    P.o (untuk Fenobarbital dan PGA)

    23,3

    20 0,5 = 0,57

    S.c (untuk Pilokarpin)

    23,3

    20 0,25 = 0,29

    2. Mencit 2

    P.o (untuk Fenobarbital dan Atropin)

    21,1

    20 0,5 = 0,53

    S.c (untuk Pilokarpin)

    21,1

    20 0,25 = 0,26

    3. Mencit 3

    P.o (untuk Fenobarbital)

    16

    20 0,5 = 0,4

    S.c (untuk Atropin dan Pilokarpin)

    16

    20 0,25 = 0,2

    4. % (. ) =

    100%

    = 3,110,112

    3,11 100%

    = 96,40 %

  • 5. % (. ) =

    100%

    = 3,110

    3,11 100%

    = 100%

    Grafik

    00.5

    11.5

    22.5

    33.5

    Kontrol (-) Atropinp.o

    Atropin s.c

    r

    ata

    -rat

    a

    Perlakuan/Kelompok

    Grafik Rata-rata Diameter Noda Terhadap

    Perlakuan Pada Setiap

    Kelompok Hewan uji

    2.583.18

    3.483.1 3.23

    0

    1

    2

    3

    4

    5 10 15 20 25

    x d

    iam

    eter

    Waktu (menit)

    Grafik Rata-rata Diameter

    Noda Terhadap Waktu Pada

    Kelompok Hewan Kontrol

    Negatif

    0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1

    5 10 15 20 25

    x d

    iam

    eter

    Waktu (menit)

    Grafik Rata-rata Diameter

    Noda Terhadap waktu Pada

    Kelompok Hewan Uji

    (Atropin s.c)

    0.56

    0 0 0 00

    0.1

    0.2

    0.3

    0.4

    0.5

    0.6

    5 10 15 20 25

    x d

    iam

    eter

    Waktu (menit)

    Grafik Rata-rata Diameter

    Noda Terhadap waktu Pada

    Kelompok Hewan Uji

    (Atropin p.o)

  • VIII. Pembahasan

    Pada praktikum kali ini dapat diketahui bahwa pilokarpin memberikan

    efek yang sangat besar terhadap aktivitas kelenjar saliva yaitu menghambat

    sekresi saliva pada mencit yang diinduksi obat atropin sebagai obat golongan

    kolinergik yang dapat menstimulasi kelenjar salivasi. Selain dapat diketahui

    bahwa rute pemberian dapat mempengaruhi absorpsi obat yang akan diberikan.

    Absorpsi yang dilakukan tubuh akan mempengaruhi onset of action dan

    duration of effect dari atropin yang diberikan. Pemberian secara subkutan akan

    mempercepat absorpsi atropin dibanding pemberian oral karena pemberian

    secara subkutan tidak melalui first pass metabolism karena tidak melewati hati

    sedangkan untuk pemberian peroral, atropin yang diberikan akan melalui hati

    sehingga melalui first pass metabolism. Selain itu, pemberian peroral akan

    mengalami rute yang panjang untuk mencapai reseptor karena melalui saluran

    cerna yang memiliki banyak faktor penghambat seperti protein plasma maupun

    enzim lain. Oleh karena itu onset of action dari atropin pemberian secara

    subkutan akan lebih cepat dibanding peroral. Kemudian duration of effect yang

    diberikan secara subkutan akan lebih lama dibanding peroral karena pemberian

    secara subkutan memperlama kontak antara atropin dengan tubuh.

    Pertama persiapkan alat dan bahan yang akan digunakan pada

    praktikum kali ini. Selanjutnya persiapkan larutan gom dan obat. Hewan

    percobaan yang digunakan pada praktikum kali ini berjumlah 3 ekor yang

    dipilih secara acak. Masing-masing mencit diamati kesehatannya kemudian

    ditimbang dengan neraca Ohaus yang sudah dikalibrasi sebelumnya kemudian

    masing-masing mencit diberi tanda pengenal. Diperoleh hasil mencit I dengan

    berat 23.3 g; mencit II 21.1 g ; dan mencit III 16 g. Kemudian dihitung dosis

    untuk obat fenobarbital, atropine, PGA dan pilokarpin sesuai dengan berat

    badan mencit.

    Untuk mencit I dan II pada T=0 diberikan fenobarbital dengan dosis

    yang telah dihitung. Fenobarbital merupakan zat hipnotik-sedatif yang bisa

    membuat mencit menjadi tenang. Tujuannya agar ketika mencit bisa tenang

    dan tidak agresif ketika pengeluaran saliva dan mempermudah perhitungan

  • diameter saliva. Untuk mencit I diberikan 0.57ml, untuk mencit II diberikan

    0.53ml. Mencit diangkat ujung ekornya dengan tangan kanan, letakkan pada

    suat tempat yang permukaannya tidak licin misalnya kasa, ram kawat, sehingga

    jika ditarik mencit akan mencengkram. Telunjuk dan ibu jari tangan kiri

    menjepit kulit tengkuk sedangkan ekornya dipegang dengan tangan kanan.

    Kemudian posisi tubuh mencit dibalikkan sehingga perut menghadap

    pemegang dan ekor dijepitkan antara jari manis dan kelingking tangan kiri.

    Fenobarbital diambil dengan menggunakan sonde oral karena rute pemberian

    yang akan diberikan adalah dengan cara oral. Pemberian dengan cara oral

    diberikan dengan alat suntik yang dilengkapi sonde oral (kanula). Kanula

    dimasukkan ke dalam mulut lalu perlahan- lahan dimasukkan ke belakang

    melalui tepi langit-langit (palate) sampai esofagus. Selanjutnya, mencit I

    diberikan PGA sebanyak 0.57ml dengan cara oral. PGA disini merupakan

    kontrol negatifnya. Sedangkan mencit II diberikan Atropin 0.53ml dengan cara

    oral juga. Atropin disini merupakan obat antikolinergik yang akan dievaluasi

    aktivitasnya terhadap neuroefektor parasimpatik. Dimana atropine ini

    merupakan obat parasimpatolitik yang menghambat kerja dari saraf

    parasimpatik dengan cara vasodilatasi, menurunkan sekresi urin dan

    menurunkan sekresi kelenjar saliva. Setelah itu, tunggu hingga 45 menit.

    Untuk mencit ketiga pada T=15 menit diberikan fenobarbital dengan

    dosis yang telah dihitung, yaitu sebanyak 0.4 ml. Fenobarbital diberikan secara

    peroral sama seperti 2 mencit sebelumnya. Setelah itu langsung diberikan

    atropine secara subkutan sebanyak 0.2 ml. Atropin diambil dengan

    menggunakan jarum suntik kemudian disuntikan kepada mencit di bawah kulit

    tengkuk. Pada mencit ketiga ini diberikan setelah 15 menit dari perlakuan

    mencit pertama dan kedua karena rute pemberian secara subkutan lebih cepat

    diabsorpsi dibandingkan dengan rute pemberian oral sehingga diberikan

    setelah 15 menit pemberian oral.

    Pada waktu T=45 menit semua mencit diberikan pilokarpin secara

    subkutan sesuai dengan dosis yang telah dihitung. Pilokarpin diambil dengan

    menggunakan jarum suntik karena rute pemberian diberikan secara subkutan

  • yang disuntikan di bawah kulit tengkuk mencit. Pilokarpin merupakan obat

    kolinergik yang merupakan obat parasimpatomimetik yaitu merangsang kerja

    saraf parasimpatik dengan cara vasokontriksi, meningkatkan peristaltic usus,

    juga meningkatkan sekresi kelenjar saliva.

    Kemudian masing-masing mencit diletakan diatas kertas saring pada

    suatu alat yang telah ditandai kotak-kotak berjumlah sembilan. Masing-masing

    mencit menempati tiga kotak. Penempatan mencit harus tepat sehingga

    mulutnya berada tepat diatas kertas saring. Kemudian masing-masing ekornya

    diikat dengan seutas tali dan diberi beban. Tujuannya adalah agar pergerakan

    mencit menjadi terbatas, dan bisa mengeluarkan salivanya pada spot yang telah

    disediakan juga untuk memudahkan perhitungan diameter saliva. Setiap lima

    menit sekali mencit ditarik ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas.

    Selanjutnya diulangi hal yang sama selama 15 menit sampai kotak paling atas.

    Amatai besarnya noda yang terbentuk di atas kertas saring di setiap kotak dan

    tandai batas noda dengan pulpen atau sepidol. Kemudian diameter noda pada

    setiap kotak diukur. Dihitung presentase inhibisi yang diberikan oleh kelompok

    atropine. Data hasil perhitungan dimasukan ke dalam table dan dibuat grafik

    inhibisi per satuan waktu.

    Dilihat dari grafik antara kelompok negatif, kelompok atropin yang

    diberikan secara peroral dan subkutan dengan rata-rata diameter noda saliva

    yang dihasilkan. Pada kelompok negatif, mencit hanya diberikan fenobarbital

    sebagai hipnotika dan larutan PGA sebagai pelarut memiliki rata-rata diameter

    noda saliva yang sangat besar. Hal ini dikarenakan karenakan setelah

    pemberian kedua zat tersebut pada waktu ke 45 menit langsung diberikan

    pilokarpin sebagai obat kolinergik yang dapat menstimulasi kelenjar salivasi

    tanpa diberika atropin sebagai anti kolinergiknya sehingga mencit pada

    kelompok negatif akan mensekresi saliva lebih banyak dibanding kelompok

    lain. Sedangkan pada kelompok mencit yang diberikan atropin secara subkutan

    kemudian diberikan pilokarpin sebagai stimulan sekresi saliva juga

    menghasilkan diameter noda saliva hanya saja saliva yang dihasilkan pada

    menit 0 sampai 5 dan kerja inhibisi dari atropin terjadi setelah menit kelima.

  • Pada mencit kelompok kedua terjadi inhibisi hingga menit ke 25 pada proses

    pengamatan. Kemudian pada kelompok mencit yang ketiga yaitu yang

    diberikan fenobarbital secara peroral dilanjutkan dengan pemberian atropin

    secara subkutan dan setelah menit ke 45 diberikan pilokarpin secara subkutan

    untuk semua hasil pengamatan dapat diketahui bahwa kerja inhibisi dapat

    diamati pada menit 0 sampai 5 karena pada mencit kelompok ini tidak memiliki

    diameter noda saliva. Dari data di atas dapat dibuktikan bahwa kerja inhibisi

    dari obat atropin selain dipengaruhi oleh dosis juga dipengaruhi oleh rute

    pemberian obatnya sehingga dapat diketahui kerja inhibisi paling cepat adalah

    pada kelompok mencit yang diberikan atropin secara subkutan kemudian

    dilanjutkan dengan kelompok pemberian atropin secara peroral dan yang

    terakhir adalah kelompok mencit yang tidak diberi atropin. Oleh karena itu,

    sesuai dengan perhitungan bahwa persen inhibisi yang dihasilkan secara

    peroral sebesar 96% dan inhibisi yang diberikan secara subkutan sebesar 100%

    yang menandakan bahwa atropin bekerja lebih efektif dibandingkan dengan

    pilokarpin sebagai kolinergiknya. Akan tetapi kerja inhibisi dari atropin dan

    stimulasi dari pilokarpin juga bergantung pada dosis yang diberikan. Semakin

    besar dosis atropin makan semakin besar inhibisi dan apabila semakin besar

    dosis pilokarpin maka semakin tinggi efek hipersalivasi pada mencit tersebut.

    kemudian bergantung pula pada bobot berat badan mencit karena hal itu akan

    bergantung pada volume pemberian obatnya. Pada daya inhibisi 100% untuk

    pemberian secara subkutan bisa terjadi kesalahan karena berlebihnya dosis

    yang digunakan sehingga pada saat menit 0 sampai 5 kerja inhibisi sangat cepat

    meniimbul efek menginhibisi kelenjar saliva.

    Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil pengamatan adalah ketelitian

    dalam mengukur diameter noda saliva yang dihasilkan karena noda yang

    dihasilkan tidak selalu berbentuk lingkaran yang utuh sehingga menyulitkan

    untuk menghitung hasilnya. Kemudian dipengaruhi juga dengan akitivitas dari

    mencit itu sendiri akibat dosis fenobarbital sebagai hipnotik yang tidak

    menyebabkan hipnosis pada mencit akibatnya noda saliva menyebar tidak

    berada dalam satu titik. Oleh karena itu, pada praktikum mengenai uji aktivitas

  • kolinergik (atropin) yang dihambat oleh obat antikolinergik (pilokarpin) harus

    memperhatikan dosis hipnotika agar mempermudah proses pengamatan

    diameter noda saliva.

    IX. Kesimpulan

    1. Praktikan dapat mengetahui lebih baik pengaruh berbagai obat system

    saraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetative tubuh. Dari

    percobaan ini didapatkan bahwa pemberian zat kolinergik (pilokarpin)

    pada mencit menyebabkan salivasi yang dapat diinhibisi oleh zat

    antikolinergik (atropine).

    2. Praktikan dapat mengetahui teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat

    antikolinergik pada neuroefektor parasimpatikus. Evaluasi aktivitas obat

    antikolinergik didapat dari diameter saliva mencit. Persen inhibisi

    atropine peroral (p.o) yang didapat dari percobaan adalah 96,40%

    berbeda dengan inhibisi atropine subkutan (s.c) yaitu 100%.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Ganiswarna, S, G. 2005. Farmakologi Dasar dan Terapi Edisi 4. Fakultas

    Kedokteran UI. Jakarta.

    Guyton, A. C. 2006. Textbook of medical physiology 11 edition. Elsevier inc.

    phiadelphia.

    Haritsah. 2011. Efek obat kolinergik dan adrenergic. Available online at

    http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789.pdf [Diakses tanggal

    15 April 2015]

    Mulia, Meylani. 2009. Perkembangan patogenesis dan pengobatan Asma Bronkial.

    J Kedokter Trisakti, September-Desember 200-Vol.19, No.3.

    Mycek, J. M. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi ke-2. PT. Elex Media

    Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta.

    Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk paramedic. Gramedia

    Pustaka Umum. Jakarta.

    Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Gramedia Pustaka Umum.

    Jakarta.