penggunaan pelumpuh otot padapasien kritis

9
Jurnal Ilmiah WIDYA Kesehatan dan Lingkungan Volume 1 Nomor 3 Januari 2020 185 ISSN 23387793 PENGGUNAAN PELUMPUH OTOT PADA PASIEN KRITIS Dian Rosanti Khalid 1 dan Indriasari 2 1 Staf bagian Anestesi dan Perawatan Intensif Eka Hospital Pekanbaru/Fellow Konsultan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran 2 Staf Pengajar Konsultan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Email: [email protected] PENDAHULUAN Latar belakang penelitian ini adalah bahwa pelumpuh otot telah digunakan sejak lama di Intensive Care Unit (ICU) untuk berbagai kondisi, terutama untuk fasilitasi intubasi dan ventilasi mekanik. Pada tahun 1980 survei penggunaan pelumpuh otot di ICU menyebutkan, 90 % pasien yang menggunakan ventilasi mekanik diberikan pelumpuh otot. Sedangkan pada tahun 2006 persentasinya turun menjadi 13 %. Hal ini disebabkan perkembangan teknik ventilasi mekanik di ICU. Walaupun penggunaan pelumpuh otot mulai berkurang, terdapat beberapa kondisi pasien kritis yang masih memerlukan obat ini. Sehingga pemahaman yang baik mengenai penggunaan pelumpuh otot pada pasien kritis masih sangat diperlukan (Greenberg, 2013:13324, Arroliga, 2005: 496506, Tripathi, 2006: 119). Pasien kritis adalah pasien dengan disfungsi satu atau lebih sistem organ sehingga tergantung pada penggunaan alat, monitoring dan terapi tertentu, oleh sebab itu penggunaaan pelumpuh otot pada pasien sehat (pasien yang menjalani operasi elektif) tidak bisa disamakan dengan pasien kritis. Pasien kritis umumnya memiliki kelainan multipel, sehingga berdampak pada farmakokinetik dan farmakodinamik obat pelumpuh otot. Beberapa kasus telah dilaporkan mengenai pemanjangan efek obat pelumpuh otot pada pasien kritis akibat pemakaian dalam waktu yang lama. Hal ini disebabkan karena pemanjangan proses metabolisme dan ekskresi pelumpuh otot pada pasien kritis. Dengan kata lain, efek pelumpuh otot pada pasien kritis tidak bisa diprediksi (Tripathi, 2006: 119). Kriteria ideal pelumpuh otot pada pasien kritis antara lain, eliminasi tidak bergantung pada fungsi ginjal dan hati, tidak memiliki efek terhadap kardiovaskular, tidak menghasilkan metabolit yang aktif, tidak berinteraksi dengan obat lain, tidak memiliki akumulasi dosis, onsetnya cepat, durasinya pendek, dan murah. Namun sampai saat ini belum tersedia obat yang bisa memenuhi semua kriteria ABSTRAK: Pelumpuh otot telah digunakan sejak lama di Intensive Care Unit (ICU) untuk berbagai kondisi. Sehingga pemahaman yang baik mengenai penggunaan pelumpuh otot pada pasien kritis sangat diperlukan. Pasien kritis umumnya memiliki kelainan multipel, sehingga berdampak pada farmakokinetik dan farmakodinamik obat pelumpuh otot. Tujuan penelitian berdasarkan tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai jenis pelumpuh otot, indikasi pemakaian pelumpuh otot pada pasien kritis, pemilihan jenis pelumpuh otot, efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan obat tersebut dan monitoring yang diperlukan, serta upaya suportif yang harus diberikan pada pasien kritis yang mendapatkan pelumpuh otot. Metode penelitian melalui studi pustaka dan informasi lainnya dengan pendekatan deskriptif eksploratif. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan pelumpuh otot pada pasien kritis harus sesuai indikasi klinis dan bersifat individual. Selain itu kelainan organ multipel pada pasien kritis mengharuskan pemilihan pelumpuh otot lebih selektif. Kata kunci: pelumpuh otot, icu, pasien kritis, farmakokinetik, farmakodinamik, monitoring ABSTRACT : Muscle paralysis has been used for a long time in the Intensive Care Unit (ICU) for various conditions. Thus, a good understanding of the use of muscle relaxants in critical patients is needed. Critical patients generally have multiple abnormalities, so that the impact on the pharmacokinetics and pharmacodynamics of muscle relaxants is required. The purpose of this study based on literature review will discuss the types of muscle relaxants, indications of the use of muscle relaxants in critical patients, the selection of muscle relaxants, the side effects that can arise from the use of these drugs and the monitoring required, and supportive efforts that must be given to critically ill patients with muscle paralysis. Research method is through library study with descriptive exploratory approach. It can be concluded that the use of muscle relaxants in critical patients must be according to clinical indications and is individualized. In addition, multiple organ abnormalities in critical patients require more selective selection of muscle relaxants. Keywords: muscle paralysis, icu, critical patients, pharmacokinetics, pharmacodynamics, monitoring

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGGUNAAN PELUMPUH OTOT PADAPASIEN KRITIS

Jurnal Ilmiah WIDYA Kesehatan dan Lingkungan Volume 1 Nomor 3 Januari 2020185

ISSN 2338­7793

PENGGUNAAN PELUMPUH OTOT PADA PASIEN KRITIS

Dian Rosanti Khalid1 dan Indriasari2

1Staf bagian Anestesi dan Perawatan Intensif Eka Hospital Pekanbaru/Fellow Konsultan Intensive Care FakultasKedokteran Universitas Padjajaran

2Staf Pengajar Konsultan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas PadjadjaranE­mail: [email protected]

PENDAHULUANLatar belakang penelitian ini adalah bahwa

pelumpuh otot telah digunakan sejak lama diIntensive Care Unit (ICU) untuk berbagai kondisi,terutama untuk fasilitasi intubasi dan ventilasimekanik. Pada tahun 1980 survei penggunaanpelumpuh otot di ICU menyebutkan, 90 % pasienyang menggunakan ventilasi mekanik diberikanpelumpuh otot. Sedangkan pada tahun 2006persentasinya turun menjadi 13 %. Hal ini disebabkanperkembangan teknik ventilasi mekanik di ICU.Walaupun penggunaan pelumpuh otot mulaiberkurang, terdapat beberapa kondisi pasien kritisyang masih memerlukan obat ini. Sehinggapemahaman yang baik mengenai penggunaanpelumpuh otot pada pasien kritis masih sangatdiperlukan (Greenberg, 2013:1332­4, Arroliga, 2005:496­506, Tripathi, 2006: 119).

Pasien kritis adalah pasien dengan disfungsi satuatau lebih sistem organ sehingga tergantung padapenggunaan alat, monitoring dan terapi tertentu, oleh

sebab itu penggunaaan pelumpuh otot pada pasiensehat (pasien yang menjalani operasi elektif) tidakbisa disamakan dengan pasien kritis. Pasien kritisumumnya memiliki kelainan multipel, sehinggaberdampak pada farmakokinetik dan farmakodinamikobat pelumpuh otot. Beberapa kasus telah dilaporkanmengenai pemanjangan efek obat pelumpuh otot padapasien kritis akibat pemakaian dalam waktu yanglama. Hal ini disebabkan karena pemanjangan prosesmetabolisme dan ekskresi pelumpuh otot pada pasienkritis. Dengan kata lain, efek pelumpuh otot padapasien kritis tidak bisa diprediksi (Tripathi, 2006:119).

Kriteria ideal pelumpuh otot pada pasien kritisantara lain, eliminasi tidak bergantung pada fungsiginjal dan hati, tidak memiliki efek terhadapkardiovaskular, tidak menghasilkan metabolit yangaktif, tidak berinteraksi dengan obat lain, tidakmemiliki akumulasi dosis, onsetnya cepat, durasinyapendek, dan murah. Namun sampai saat ini belumtersedia obat yang bisa memenuhi semua kriteria

ABSTRAK: Pelumpuh otot telah digunakan sejak lama di Intensive Care Unit (ICU) untuk berbagai kondisi. Sehingga pemahamanyang baik mengenai penggunaan pelumpuh otot pada pasien kritis sangat diperlukan. Pasien kritis umumnya memiliki kelainanmultipel, sehingga berdampak pada farmakokinetik dan farmakodinamik obat pelumpuh otot. Tujuan penelitian berdasarkan tinjauanpustaka ini akan membahas mengenai jenis pelumpuh otot, indikasi pemakaian pelumpuh otot pada pasien kritis, pemilihan jenispelumpuh otot, efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan obat tersebut dan monitoring yang diperlukan, serta upaya suportifyang harus diberikan pada pasien kritis yang mendapatkan pelumpuh otot. Metode penelitian melalui studi pustaka dan informasilainnya dengan pendekatan deskriptif eksploratif. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan pelumpuh otot pada pasien kritis harussesuai indikasi klinis dan bersifat individual. Selain itu kelainan organ multipel pada pasien kritis mengharuskan pemilihan pelumpuhotot lebih selektif.

Kata kunci: pelumpuh otot, icu, pasien kritis, farmakokinetik, farmakodinamik, monitoring

ABSTRACT: Muscle paralysis has been used for a long time in the Intensive Care Unit (ICU) for various conditions. Thus, a goodunderstanding of the use of muscle relaxants in critical patients is needed. Critical patients generally have multiple abnormalities, sothat the impact on the pharmacokinetics and pharmacodynamics of muscle relaxants is required. The purpose of this study based onliterature review will discuss the types of muscle relaxants, indications of the use of muscle relaxants in critical patients, the selectionof muscle relaxants, the side effects that can arise from the use of these drugs and the monitoring required, and supportive efforts thatmust be given to critically ill patients with muscle paralysis. Research method is through library study with descriptive exploratoryapproach. It can be concluded that the use of muscle relaxants in critical patients must be according to clinical indications and isindividualized. In addition, multiple organ abnormalities in critical patients require more selective selection of muscle relaxants.

Keywords: muscle paralysis, icu, critical patients, pharmacokinetics, pharmacodynamics, monitoring

Page 2: PENGGUNAAN PELUMPUH OTOT PADAPASIEN KRITIS

Rawina Winita, Mulyati, LenggoGeni dan Natalia,159­164

Penggunaan Pelumpuh Ototpada Pasien Kritis

Jurnal Ilmiah WIDYA Kesehatan dan Lingkungan Volume 1 Nomor 3 Januari 2020186

tersebut, oleh karena itu penggunaan pelumpuh ototpada pasien kritis harus sangat selektif. (Tripathi,2006:119)

Mengingat pentingnya pemahaman penggunaanpelumpuh otot pada pasien kritis, tinjauan pustaka iniakan membahas mengenai jenis, indikasi pemakaianpelumpuh otot pada pasien kritis, pemilihan obat,efek samping yang bisa timbul akibat penggunaanobat tersebut, monitoring serta upaya suportif yangharus diberikan pada pasien kritis yang mendapatkanpelumpuh otot. Tujuan penelitian berdasarkantinjauan pustaka ini akan membahas mengenai jenispelumpuh otot, indikasi pemakaian pelumpuh ototpada pasien kritis, pemilihan jenis pelumpuh otot,efek samping yang bisa timbul akibat penggunaanobat tersebut dan monitoring yang diperlukan, sertaupaya suportif yang harus diberikan pada pasien kritisyang mendapatkan pelumpuh otot.

METODOLOGI PENELITIANMetode penelitian melalui studi pustaka dan

informasi lainnya dengan pendekatan deskriptifeksploratif

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis Pelumpuh OtotBerdasarkan mekanisme kerjanya obat pelumpuh

otot diklasifikasikan menjadi pelumpuh ototdepolarisasi dan non­depolarisasi. Sedangkanmenurut Greenberg (2013:1332­4), berdasarkandurasi terbagi menjadi 2 yaitu:

1. Golongan depolarisasiPelumpuh otot depolarisasi bekerja menyerupai

neurotransmiter asetilkolin. Namun pelumpuh ototgolongan depolarisasi dimetabolisme olehasetilkolinesterase sehingga kadar obat tidak turunsecara cepat. Mekanisme kerja pelumpuh ototgolongan depolarisasi ada 2 fase. Fase I disebut fasedepolarisasi yaitu saat pelumpuh otot depolarisasiberikatan dengan asetilkolin reseptor yangmengakibatkan stimulasi berulang. Stimulus yangterjadi terus menerus dari pelumpuh otot depolarisasiini mengakibatkan munculnya desensitisasi atau yangdikenal dengan fase II dari pelumpuh ototdepolarisasi. Secara klinis fase II dapat dilihat sepertiefek dari pelumpuh otot golongan non­depolarisasi.(Morgan, 2018:355­98, Ankam, 2004:2­3,

Puthucheary, 2012:911­17). Contoh obat pelumpuhotot golongan depolarisasi adalah suksinilkolin.

a. SuksinilkolinSuksinilkolin memiliki onset yang paling cepat

jika dibandingkan dengan pelumpuh otot yang lain(60 detik). Di hidrosilase di plasma, dengan durasi 6­8 menit setelah pemberian dosis 1 mg/KgBB. Efeksamping obat ini antara lain hiperkalemia, malignanthyperthermia, bradiaritmia, peningkatan tekanan.intraokular/intragastrik/intrakranial, dan risikoanafilaksis yang lebih tinggi jika dibandingkandengan pelumpuh otot yang lain. Obat ini kontraindikasi mutlak pada pasien dengan difficult airway,hiperkalemia dan suspek malignant hipertermia.Sedangkan kontraindikasi relatif pada pasien sepsis,luka bakar, trauma massif medulla spinalis, infeksiatau cedera CNS (Central Nervous System),immobilisasi lama, disused atrophy, Guillain­BarreSyndrome dan cedera saraf perifer, karenarisikopeningkatan serum kalium. Pemakaian kontinyusuksinilkolin tidak direkomendasikan pada pasienkritis karena efek samping yang dapat ditimbulkanobat ini (Tripathi, 2006:119, Morgan, 2018:355­98).

2. Golongan non­depolarisasiMenurut Morgan (2018:355­398) pelumpuh otot

non­depolarisasi bersifat kompetitif terhadapasetilkolin. Obat pelumpuh otot golongan non­depolarisasi terbagi menjadi aminosteroid danbenzylisoquinoliniums yaitu:

a. Aminosteroid, terdiri atas:1) Pancuronium

Struktur fisiknya terdiri dari cincin steroid 2molekul Ach (relaksasi bisquaternary). Dimetabolis­me di hati. Eksresi terutama pada ginjal sebanyak40%, sebagian oleh empedu (kurang lebih 10%).Memiliki metabolit yang aktif. Eliminasipancuronium melambat pada pasien gagal ginjal.Pasien dengan sirosis membutuhkan dosis awal yangbesar tapi dosis rumatan yang kecil karena penurunanklirens plasma. Dosis 0,08–0,12 mg/kg pancuroniummemberikan relaksasi adekuat untuk intubasi denganonset 2–3 menit. Selama operasi dosis awal 0,04mg/kgBB diikuti setiap 20–40 menit dengan 0,01mg/kgBB. Anak­anak membutuhkan dosis lebihbesar. Sediaan obat ini berupa cairan 1 sampai 2mg/ml disimpan dalam suhu 2–80C dan stabil selama6 bulan pada suhu ruangan.

Page 3: PENGGUNAAN PELUMPUH OTOT PADAPASIEN KRITIS

Rawina Winita, Mulyati, LenggoGeni dan Natalia,159­164

Penggunaan Pelumpuh Ototpada Pasien Kritis

Jurnal Ilmiah WIDYA Kesehatan dan Lingkungan Volume 1 Nomor 3 Januari 2020187

Efek samping dan pertimbangan klinis padapenggunaan obat ini antara lain hipertensi dantakikardi yang terjadi karena stimulasi simpatis.Hipersensitif pada bromida dapat menyebabkanreaksi alergi pada pancuronium. Obat ini tidakmenjadi pilihan pada pasien kritis. (Olivieri,2005:88–93, Lefrant, 2002:422)

2) VecuroniumTermasuk golongan obat pelumpuh otot

intermediate. Dosis intubasinya adalah 0,1 mg/kgBB,dengan onset 2,5 menit. Tidak menyebabkaninstabilitas hemodinamik dan reaksi alergi. Sebagianbesar dieliminasi melalui sistem hepatobilier (50%).Sedangkan melalui renal sebesar 25 %. Vecuroniummemiliki metabolit yang aktif (3­desacetylvecuronium). Setelah 3 hari penghentianobat, metabolitnya masih terdeteksi dalam darahselama 8 hari. Sehingga penggunaan vecuroniumdalam jangka waktu panjang tidak dianjurkan padapasien kritis (Tripathi, 2006:119).

3) RocuroniumStruktur rocuronium mirip dengan vecuronium.

Obat ini baik digunakan pada pasien denganhemodinamik yang tidak stabil. Risiko alergi akibathistamine release juga minimal. Dosis intubasinya0,6 mg/kgBB dengan onset 75 detik. Obat ini menjadipilihan untuk intubasi pada pasien ICU, meng­gantikan suksinilkolin. Sebagian besar dimetabolismedi hati, dan diekskresikan di urin. Rocuroniummemiliki metabolit aktif, namun hanya memilikipotensi sebesar 5 % (Tripathi, 2006:119).

b. Benzylisoquinoliniums, terdiri atas:1) d­Tubocurarine

d­Tubocurarine adalah obat pelumpuh otot non­depolarisasi pertama yang digunakan pada pasienkritis (Tripathi, 2006:119, Olivieri, 2005:88–93).Dosis intubasinya 0,5–0,6 mg/kgBB, dengan onsetyang lambat. Sebagian besar diekskresi melaluiginjal, sisanya melalui saluran bilier. d­Tubocurarinemenyebabkan hipotensi, reaksi alergi dan blokadepada ganglion otonom. Obat ini tidak menjadi pilihanpada pasien kritis.

2) AtracuriumDosis intubasi atracurium adalah 0,5–0,6

mg/kgBB dengan onset 2,5 menit dan durasi 20­30menit. Atracurium dimetabolisme di plasma sehinggatidak bergantung pada fungsi ginjal dan hati untuk

eliminasi. Obat ini juga tidak menyebabkan gangguanhemodinamik pada pasien. Namun tetap harusdiwaspadai risikoalergi akibat pemberian obat ini.Dari data di atas obat ini bisa menjadi pilihan untukpasien kritis di ICU (Tripathi, 2006:119).

3) CisatracuriumCisatracurium merupakan isomer dari

atracurium. Lebih poten dari atracurium dan memilikidosis intubasi yang lebih kecil (0,1 mg/kgBB), namunonsetnya lebih lambat dibandingkan atracurium.Risikoalergi akibat pemakaian obat ini lebih rendahjika dibandingkan dengan atracurium. Untukpenggunaan secara kontinyu obat ini relatif amankarena metabolismenya tidak tergantung kondisiginjal dan hati (Tripathi, 2006:119).

4) MivacuriumSecara struktur mirip dengan atracurium.

Dengan dosis intubasi 0,15 mg/kgBB dan onset 3menit. Mivacurium dimetabolisme di plasma danmetabolitnya bersifat non aktif. Efek obat ini dapatmemanjang pada pasien dengan penurunan kadarkolinesterase.

Dapat menyebabkan instabilitas hemodinamikjika diberikan dengan dosis besar (Tripathi,2006:119), seperti terlihat pada Gambar dan Tabel 1.

Gambar 1. Perbedaan Farmakologi Pelumpuh OtotDepolarisasi dan Non­DepolarisasiSumber: Bertram G Katzung, Basic and ClinicalPharmacology, 14th ed

Page 4: PENGGUNAAN PELUMPUH OTOT PADAPASIEN KRITIS

Rawina Winita, Mulyati, LenggoGeni dan Natalia,159­164

Penggunaan Pelumpuh Ototpada Pasien Kritis

Jurnal Ilmiah WIDYA Kesehatan dan Lingkungan Volume 1 Nomor 3 Januari 2020188

Tabel 1. Profil Pelumpuh Otot

Page 5: PENGGUNAAN PELUMPUH OTOT PADAPASIEN KRITIS

Rawina Winita, Mulyati, LenggoGeni dan Natalia,159­164

Penggunaan Pelumpuh Ototpada Pasien Kritis

Jurnal Ilmiah WIDYA Kesehatan dan Lingkungan Volume 1 Nomor 3 Januari 2020189

Indikasi Penggunaan Pelumpuh Otot pada PasienKritis

Menurut Greenberg, (2013: 1332) dan Arroliga,(2005: 496­506), berikut ada beberapa indikasipenggunaan obat pelumpuh otot di ICU, antara lainadalah: 1). Fasilitasi intubasi dan 2). Fasilitasiventilasi mekanik dan memperbaiki oksigenasi,seperti pada pasien Acute Respiratory DistressSyndrome (ARDS), dapat mengurangi tonus otot,mengurangi tekanan intra abdominal, menurunkantekanan intrakranial, fasilitasi terapi hipotermia danfasilitasi tes atau prosedur diagnostik dan terapeutik.

Pemilihan Pelumpuh Otot pada Pasien KritisData penggunaan obat pelumpuh otot pada

pasien kritis sangat terbatas, sehingga selama ini datayang digunakan masih merujuk pada pengunaankasus pembedahan. Sebuah studi menyebutkanvecuronium dan pancuronium merupakan obat yangpaling sering diresepkan untuk pasien ICU. Pemilihanobat pelumpuh otot bisa didasarkan pada indikasi,komorbid pasien, ada atau tidaknya kelainan ginjaldan hati, kondisi hemodinamik dan kelainanelektrolit. (Greenberg, 2013:1332­34)

Pemilihan obat pelumpuh otot berdasarkanindikasi

Fasilitasi IntubasiPilihan obat untuk urgent/emergent intubation di

ICU adalah suksinilkolin rocuronium dancisatracurium. Suksinilkolin memiliki onset palingcepat, namun harus menjadi perhatian adanya risikohiperkalemia akibat penggunaan suksinilkolin.Rocuronium dosis tinggi dapat menjadi pilihankedua, namun memiliki risiko anafilaksis yang cukuptinggi. Pemakaian cisatracurium bisa menjadipertimbangan jika pasien mengalami gangguan ginjaldan hati.

Pasien ARDSBeberapa penelitian membandingkan luaran

penggunaan pancuronium dan cisatracurium padapasien ARDS. Pada penelitian Papazian et al,penggunaan cisatracurium dapat meningkatkan angkabertahan hidup selama 90 hari (p=0,04),mempercepat weaning ventilator (p=0,03),mengurangi risiko disfungsi organ (p=0,01), danmengurangi risiko barotrauma (p=0,03).

Pasien dengan Peningkatan Tekanan IntrakranialTerdapat beberapa penelitian yang

membandingkan atracurium, cisatracurium dandoxacurium dalam menurunkan tekanan intrakranialpasien di ICU. Schramm et al mendapatkanatracurium dapat menurunkan Intracranial Pressure(ICP), Mean Arterial Pressure (MAP), CerebralPerfusion Pressure (CPP), dan Cerebral Blood Flow(CBF). Sedangkan cisatracurium tidak memiliki efektersebut. Prielipp et al mendapatkan penggunaandoxacurium memiliki luaran yang sama denganpenggunaan cisatracurium.

Pasien yang Menjalani Terapi HipotermiaChamorro et al membandingkan pancuronium

dan cisatracurium sebagai pelumpuh otot pada pasienyang mendapatkan terapi hipotermia. Hasilnya keduaobat tersebut dapat mencegah kejadian shivering danmenghasilkan luaran yang baik. Pancuroniummenjadi obat pilihan yang utama sedangkancisatracurium menjadi pilihan kedua.

Pemilihan pelumpuh otot berdasarkan komorbidpasien­ Gangguan Hati

Pada pasein yang mengalami gangguan hati,atracurium dan cisatracurium menjadi pilihan karenakedua obat ini tidak dimetabolisme di hati melainkanpada plasma.

­ Gangguan GinjalSama seperti pada pasien dengan gangguan hati,

atracurium dan cisatracurium menjadi pilihan karenadimetabolisme di plasma. Sebaliknya obat golonganaminosteroid seperti pancuronium, vecuronium danrocuronium harus dihindari karena memiliki potensiuntuk pemanjangan masa kerja dan akumulasi dosis.

­ GeriatrikPada usia tua terjadi perubahan fisiologis pada

tubuh termasuk penurunan Total Body Water, LeanBody Mass dan serum albumin yang dapatmempengaruhi volume distribusi obat pelumpuh otot.Penurunan cardiac output memperlambat onset obatpelumpuh otot.

­ Sepsis dan Syok SepsisPada pasien sepsis tidak ada obat pelumpuh otot

yang superior. Kelainan ginjal dan hati seringditemukan pada pasien sepsis dan syok sepsis,sehingga harus dihindari obat pelumpuh otot yang

Page 6: PENGGUNAAN PELUMPUH OTOT PADAPASIEN KRITIS

Rawina Winita, Mulyati, LenggoGeni dan Natalia,159­164

Penggunaan Pelumpuh Ototpada Pasien Kritis

Jurnal Ilmiah WIDYA Kesehatan dan Lingkungan Volume 1 Nomor 3 Januari 2020190

dieliminasi melalui ginjal dan hati. Instabilitashemodinamik juga menjadi perhatian pada pasien ini.Obat pelumpuh otot yang dapat menyebabkanbradikardia dan histamine release sepertisuksinilkolin harus dihindari.

­ HipotermiaTidak ada pilihan obat pelumpuh otot yang

khusus pada pasien hipotermia, hanya perludiperhatikan bahwa pada kondisi hipotermia semuaobat pelumpuh otot non­depolarisasi akanmemanjang durasinya. Hal ini disebabkan gangguanpada neuromuscular junction, penurunan mobilisasiasetilkolin (ACh), perubahan pH dan volumedistribusi, serta penurunan ekskresi renal dan hati.

­ Gangguan ElektrolitGangguan keseimbangan elektrolit dan

perubahan pH dapat mempengaruhi durasi obatpelumpuh otot. Penggunaan suksinilkolin harusdihindari pada pasien dengan hiperkalemia karenadapat memperberat kondisi hiperkalemia danmenyebabkan cardiac arrest. Sedangkan kondisihipokalemia dapat menambah blokade obat pelumpuhotot non­depolarisasi. Hiperkalsemia dapatmenurunkan durasi dan sensitivitas obat pelumpuhotot. Pada keadaan asidosis, akan terjadipemanjangan efek dari obat pelumpuh otot.

Rute dan Dosis pemberian obat pelumpuh ototStaf ICU harus terlatih dalam hal pemberian obat

pelumpuh otot dan melakukan monitoring yang baikdan benar, oleh karena itu diperlukan alat monitoringuntuk menilai penggunaan obat pelumpuh otot diICU. (Bittner, 2017)

1. Bolus vs Drip kontinyuObat pelumpuh otot dapat diberikan secara bolus

atau drip kontinyu melalui jalur intravena, tetapi tidakboleh diberikan melalui intramuskular. Pemberianbolus biasanya dikerjakan pada saat akan melakukanintubasi, sedangkan drip kontinyu diberikan sebagairumatan pada pasien yang membutuhkan paralisisotot untuk waktu tertentu, seperti fasilitasi ventilasimekanik pada pasien ARDS dan terapi hipotermiapada pasien pasca cardiac arrest.

2. DosisDosis obat pelumpuh otot sangat individual dan

tergantung kondisi klinis pasien. Pada pasien kritissensitivitas dan metabolisme obat pelumpuh otot

tidak dapat diprediksi dengan akurat. Sebagai contohpada pasien miastenia gravis atau pada pasien dengankelainan otot yang lain, dosis obat pelumpuh ototharus dikurangi. Berikut beberapa kondisi yangmempengaruhi dosis obat pelumpuh otot pada pasienkritis. Selain itu ada beberapa obat yang akanberinteraksi dengan obat pelumpuh otot sehinggabutuh penyesuaian dosis, seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Potensiasi dan Inhibisi Pelumpuh Otot

Kondisi obesitas juga dapat berpengaruh padadosis obat pelumpuh otot. Pada pasien kritis yangobesitas disarankan menggunakan obat pelumpuhotot dengan dosis awal yang lebih kecil dan titrasiobat menggunakan TOF atau alat lain. Namun padabeberapa penelitian disebutkan penggunaansuksinilkolin atau rocuronium tidak mempengaruhifarmakokinetik dan farmakodinamik obat pelumpuhotot pada pasien obesitas dengan sakit kritis, sehinggapemberian dosis obat dapat diberikan sesuai beratbadan aktual. (Rose, 2000: 576) Sebaliknya pada obatpelumpuh otot atracurium dan vecuronium, daripenelitian disebutkan durasi obat ini akan memanjangjika dosis diberikan sesuai berat badan aktual.Sehingga penghitungan dosis sesuai berat badan idealpasien. (Suzuki, 2006: 160, Murray, 2016: 2079­2103). Sedangkan untuk cisatracurium belum adadata mengenai efek penggunaan obat ini pada pasienobesitas yang sakit kritis.

3. Target paralisis ototLevel target paralisis otot pada pasien kritis

tergantung pada indikasi penggunaan obat pelumpuhotot tersebut. Blokade penuh (100%) tidakdibutuhkan pada pasien kritis kecuali untuk fasilitasi

Page 7: PENGGUNAAN PELUMPUH OTOT PADAPASIEN KRITIS

Rawina Winita, Mulyati, LenggoGeni dan Natalia,159­164

Penggunaan Pelumpuh Ototpada Pasien Kritis

Jurnal Ilmiah WIDYA Kesehatan dan Lingkungan Volume 1 Nomor 3 Januari 2020191

intubasi. Target penggunaan pelumpuh otot yanglebih utama adalah mengontrol aktivitas motorikbukan paralisis komplit. Sebagai contoh pada pasienyang mendapatkan terapi hipotermia, blokade otot50­70 % disebutkan cukup untuk mencegah shiveringpada pasien. Namun pada pasien dengan gerakannafas abdominal yang berat sehingga menyebabkanasinkroni terhadap ventilator, target blokade bisadinaikkan 80­90%. Pada beberapa kasus level targetparalisis otot bersifat individual.

Durasi Pemberian dan Reversal Pelumpuh OtotPada kasus tertentu di ICU pemberian obat

pelumpuh otot secara kontinyu bisa bermanfaat.Namun sama seperti penggunaan obat sedasi, dailyinterruption juga harus dikerjakan untukmengevaluasi perkembangan pasien. Diskontinuitasobat pelumpuh otot segera, dilaporkan dapatmemperbaiki luaran karena mengurangi dosisakumulasi dan risikokelemahan otot akibatpenggunaan obat pelumpuh otot dalam jangka waktuyang panjang pada pasien kritis. Penurunan dosis obatsecara berkala sebelum menghentikan total tidakdiperlukan pada obat pelumpuh otot, yang harusdiperhatikan selama mendapat obat pelumpuh ototkontinyu, pasien harus diberikan obat sedasi dananalgetik yang adekuat.

Terdapat agen reversal untuk obat pelumpuhotot. Obat golongan non­depolarisasi dapat direversaldengan pemberian neostigmine, edrophonium, danpyridostigmine, sedangkan untuk golongan steroidlain seperti rocuronium, vecuronium, danpancuronium dapat direversal menggunakansugammadex. Pemberian reversal harus dibarengidengan pemberian antimuscarinic untuk mencegahefek samping obat reversal. Pemberian edrophonium0,5­1,5 mg/KgBB dibarengi dengan pemberianatropine 0,005­0,01 mg/KgBB. Sedangkan untukpemberian neostigmine 0,04­0,07 mg/KgBBdibarengi dengan pemberian glycopyrrolate 0,007­0,015 mg/KgBB. (Greenberg, 2013: 1332­4, Schaller,2013: 57, Welliver, 2015:107)

Monitoring Penggunaan Pelumpuh OtotPenilaian klinis berulang, penilaian kualitatif dan

penilaian kuantitatif pada pasien yang diberikanpelumpuh otot di ICU dapat mengurangi komplikasiakibat pemakaian obat ini. Penilaian klinis sepertimenilai adanya nafas spontan, kemampuan membuka

mata, menggenggam tangan pemeriksa, mengangkatkaki atau menahan kepala selama 5 detik, tidak cukupuntuk memastikan kadar obat pelumpuh otot padapasien. Terutama pada pasien yang tidak sadar, haltersebut tidak dapat dikerjakan. Dibutuhkan alattambahan untuk menilai relaksasi otot baik secarakualitatif maupun kuantitatif. Rudis et al padastudinya mendapatkan bahwa penggunaan alatmonitoring pelumpuh otot menurunkan kebutuhanobat per jam, mengurangi total dosis obat danmemperbaiki luaran setelah penggunaan pelumpuhotot. (Greenberg, 2013: 1332­4). Peripheral nervestimulation dapat digunakan untuk menilai relaksasiotot secara kualitatif dengan menggunakan Train ofFour (TOF). TOF bekerja dengan mekanisme impulselektrik yang dapat diberikan pada nervus ulnaris,fasialis dan tibialis posterior. Stimulasi pada nervustersebut akan menimbulkan 4 gambaran visualisasikontraksi otot (T1­T4) sesuai inervasinya. Penurunangambaran visualisasi menandakan kontraksi ototberkurang akibat pelumpuh otot. Evaluasi relaksasiotot dilakukan dengan menghitung TOF Ratio, yaitumembandingkan T4 dan T1. Monitoring awaldilakukan setiap 30 menit, kemudian setiap 2­3 jam,sampai target blokade yang diharapkan tercapai.

Selanjutnya dievaluasi setiap 8­12 jam.Penyesuaian dosis diberikan sesuai hasil monitoring.Terdapat beberapa faktor bias yang dapatmempengaruhi penilaian TOF, antara lain edemaperifer sehingga menyulitkan untuk menempelelektrode, hipotermia atau kesalahan penempatanelektrode. TOF tidak hanya digunakan untukmenentukan dosis pelumpuh otot secara kontinyu,tetapi juga untuk menilai residu dari obat tersebut.Nilai TOF 0,9 dinilai adekuat sebagai limit minimaldimana efek pelumpuh otot dianggap sudah hilang.(Murray, 2016: 2079­2103). Penilain lain secarakuantitatif juga bisa dikerjakan dengan menggunakanacceleromyography. Namun alat ini jarang digunakandi ICU.

Efek Samping Pelumpuh OtotEfek samping obat pelumpuh otot pada pasien

kritis hampir sama dengan pasien yang menjalanianestesia. Efek samping yang paling sering munculpada pasien kritis antara lain reaksi alergi, gangguanhemodinamik (hipotensi dan aritmia), pemanjanganefek paralisis, kelemahan otot, dan awareness.(Bittner, 2017), seperti:

Page 8: PENGGUNAAN PELUMPUH OTOT PADAPASIEN KRITIS

Rawina Winita, Mulyati, LenggoGeni dan Natalia,159­164

Penggunaan Pelumpuh Ototpada Pasien Kritis

Jurnal Ilmiah WIDYA Kesehatan dan Lingkungan Volume 1 Nomor 3 Januari 2020192

1. Reaksi alergiObat pelumpuh otot yang paling sering

menyebabkan reaksi alergi adalah suksinilkolin danatracurium. Terjadinya reaksi silang diantara obatpelumpuh otot dilaporkan pada 60 % kasus pasien diICU sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksialergi. (Mertes, 2004: 1133, Mertes, 2010: 761)

2. Kardiovaskular efekRisiko terjadinya instabilitas pada hemodinamik

akibat penggunaan obat pelumpuh otot paling seringdilaporkan untuk golongan non­depolarisasi. Hal initerjadi akibat blokade otonom dan vasodilatasi akibathistamine release. Obat dengan risiko instabilitashemodinamik yang paling kecil adalah cisatracurium,rocuronium dan vecuronium. Sebaliknya risikoinstabilitas hemodinamik yang paling besardisebabkan oleh suksinilkolin. Pemberiansuksinilkolin dapat menyebabkan hipertensi danaritmia pada pasien.

3. Pemanjangan efek obat dan kelemahan ototPemanjangan efek obat (tetraplegia) setelah obat

pelumpuh otot dihentikan disebabkan akumulasidosis obat dan adanya metabolit yang aktif dari obatpelumpuh otot. Kelemahan otot setelah penghentianobat pelumpuh otot paling besar ditemukan padapasien sepsis dan syok sepsis yang mendapatkan obatdalam jangka waktu lama dan dengan kelainan ginjalatau hati. Penggunaan obat pelumpuh otot dalamjangka waktu yang panjang dapat menyebabkanakumulasi obat dan metabolitnya. Penurunan suhujuga dapat menghambat ekskresi obat, sehingga dapatmenyebabkan terjadinya overdosis. Penurunan suhu2­30C dilaporkan dapat memperpanjang durasivecuronium dan atracurium. Terkait dengankelemahan otot akibat penggunaan pelumpuh otot,beberapa studi menyebutkan kondisi immobilisasipasien, malnutrisi, proses inflamasi dan adanyapolineuropati dapat menjadi faktor perancu.(Puthucheary, 2012: 911­17)

4. Obat pelumpuh otot dapat menekan refleks batuk,sehingga bisa menyebabkan retensi sputum,atelektasis dan meningkatkan insiden infeksi paru.Sehingga fisioterapi yang adekuat diperlukan padapasien yang mendapat obat pelumpuh otot.5. Immobilisasi akibat obat pelumpuh otot dapatmeningkatkan risiko deep vein thrombosis, emboliparu, cedera saraf, dan insiden dekubitus. Penilaiankeadaan akut abdomen dan neurologis juga akan sulit

jika pasien mendapatkan obat ini.

Perawatan Suportif Pasien Kritis yangMendapatkan Pelumpuh Otot

Pasien kritis yang mendapatkan obat pelumpuhotot memiliki risiko komplikasi yang besar. Beberapahal yang harus diperhatikan antara lain : (Bittner,2017, Murray, 2016: 2079­2103)

1. Sedasi dan analgetik yang adekuat selama dansetelah obat pelumpuh otot dihentikan.2. Cairan lubrikasi pada mata diberikan setiap 2­4jam dan mata harus ditutup untuk menghindari iritasipada kornea, infeksi dan risikoskar.3. Monitorinlg ketat untuk risiko lepasnya sirkuit atauEndo Tracheal Tube (ETT) pada pasien.4. Suction berkala untuk mencegah akumulasi sekret.5. Mobilisasi berkala untuk mencegah kerusakan kulitdan mengurangi risiko dekubitus pada pasien.6. Memberikan Venous thromboembolismprophylaxis karena pasien yang mendapatkan obatpelumpuh otot kontinyu berisiko lebih besar untukmengalami trombosis.

PENUTUP

Kesimpulan1. Penggunaan pelumpuh otot pada pasien kritis harussesuai indikasi klinis dan bersifat individual.2. Kelainan organ multipel pada pasien kritismengharuskan pemilihan pelumpuh otot lebihselektif.3. Penentuan dosis, cara pemberian, lama pemberian,kemungkinan interaksi pelumpuh otot pada pasienkritis harus menjadi perhatian khusus untukmengurangi risiko efek samping obat.4. Harus dilakukan monitoring yang adekuat untukpemakaian obat pelumpuh otot pada pasien kritis diICU.5. Perawatan suportif harus tetap diberikan selamapasien mendapat obat pelumpuh otot.

Saran­SaranMengingat perubahan fisiologis pada pasien

kritis, penggunaan pelumpuh otot hanya dilakukandengan indikasi yang kuat sehingga dapatmeminimalkan efek samping terhadap pasien

Page 9: PENGGUNAAN PELUMPUH OTOT PADAPASIEN KRITIS

Rawina Winita, Mulyati, LenggoGeni dan Natalia,159­164

Penggunaan Pelumpuh Ototpada Pasien Kritis

Jurnal Ilmiah WIDYA Kesehatan dan Lingkungan Volume 1 Nomor 3 Januari 2020193

DAFTAR PUSTAKAAnkam J A, Hunter J M. Pharmacology of neuromuscular

blocking drugs. Continuing Education in Anaesthesia,Critical Care & Pain .Volume 4 Number 1. 2004.

Arroliga A, Frutos­Vivar F, Hall J, et al; InternationalMechanical Ven­ tilation Study Group: Use of sedatives andneuromuscular blockers in a cohort of patients receivingmechanical ventilation. Chest 2005.

Barash PG. Neuromuscular Blocking Agents dalam : ClinicalAnesthesia 8th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2017.

Bittner EA, Parsons PE. Clinical Use of Neuromuscular BlockingAgents in Critically Ill Patient. UpToDate 2017.

Greenberg SB, Vender J. The Use of Neuromuscular BlockingAgents in the ICU : Where Are We Now ?. Crit Care Med2013.

Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology 14th ed. New york:McGraw­Hill Companies. 2018.

Lefrant JY, Farenc C, Coussaye JEDL, et al. Pharmacodynamicsand atracurium and laudanosine concentrations during afixed continuous infusion of atracurium in mechanicallyventilated patients with acute respiratory distress syndrome.Anaesth Intensive Care 2002.

Murray MJ, DeBlock H, Erstad B, Gray A, Jacobi J, Jordan C, etal. Clinical Practice Guidelines for SustainedNeuromuscular Blockade in the Adult Critically Ill Patient.Crit Care Med 2016.

Morgan GE. Neuromuscular Blocking Agents dalam: ClinicalAnesthesiology 6th ed. New york: McGraw­Hill Companies.2018.

Olivieri L, Plourde G. Prolonged (more than ten hours)neuromuscular blockade after cardiac surgery: report of twocases. Can J Anesth 2005.

Puthucheary Z, Rawal J, Ratnayake G, Harridge S, MontgomeryH, Hart N. Neuromuscular Blokade and Skeletal MuscleWeakness in Critically Ill Patient. Am J Respir Crit Care2012.

Tripathi SS, Hunter JM. Neuromuscular blocking drugs in thecritically ill. Continuing Education in Anaesthesia, CriticalCare & Pain .Volume 6 Number 3. 2006.