pengembangan usaha diversifikasi pangan...

Download PENGEMBANGAN USAHA DIVERSIFIKASI PANGAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2011_SPN.pdf · LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 PENGEMBANGAN USAHA DIVERSIFIKASI PANGAN

If you can't read please download the document

Upload: leminh

Post on 06-Feb-2018

229 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • LAPORAN AKHIRPENELITIAN TA 2011

    PENGEMBANGAN USAHA DIVERSIFIKASI PANGANSEBAGAI MODEL DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI

    Oleh :Supena Friyatno

    Handewi P. SaliemErizal Jamal

    Dewa K.S. SwastikaNyak Ilham

    Erna M. LokolloHelena J. Purba

    Yuni MarisaCut R. AdawiyahRangga D. Yofa

    PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

    KEMENTERIAN PERTANIAN2011

  • xi

    RINGKASAN EKSEKUTIF

    Latar Belakang 1. Diversifikasi pangan merupakan salah satu strategi untuk pencapaian ketahanan

    pangan di indonesia. Tercapainya ketahanan pangan diindikasikan oleh pola konsumsi pangan yang beragam, pangan yang dikonsumsi mengandung gizi yang seimbang, dan aman untuk dikonsumsi. Kondisi tersebut identik dengan pola pangan harapan yang cukup tinggi, dimana target Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010 -2014 adalah 93,3 persen.

    2. Upaya pemerintah dalam mewujudkan diversifikasi pangan sudah berlangsung lama. Dalam 2 (dua) dekade terakhir ini pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk mendukung upaya tersebut, yaitu UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, Perpres No. 22 Tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal, Permentan No. 43 Tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal.

    3. Dalam upaya mendukung program percepatan diversifikasi pangan pemerintah,

    Badan Litbang Pertanian telah melakukan penelitian dan penemuan inovasi teknologi pengolahan makanan dan alat mesin untuk menghasilkan aneka ragam bentuk hasil olahan pangan. Selain itu, Indonesia juga memiliki potensi ketersediaan keanekaragaman pangan yang sangat besar di dunia.

    4. Namun konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia pada saat ini masih

    sangat bergantung pada beras. Konsumsi beras di Indonesia tahun 2009 adalah 139,15 kg/kap/tahun. Konsumsi ini cukup tinggi atau berada di atas rata-rata konsumsi beras dunia yaitu sebanyak 60 kg/kap/tahun. Disamping itu, konsumsi terigu juga tinggi, pada tahun 2009 telah mencapai 10,32 kg/kap/tahun. Berdasarkan data SUSENAS dari Badan Ketahanan Pangan, skor PPH tahun 2009 mencapai 75,7 (sasaran 2015 = 95) menunjukkan bahwa keragaman pola konsumsi pangan masyarakat belum terwujud, dan konsumsi masyarakat masih didominasi oleh kelompok padi-padian.

    5. Ketergantungan Indonesia terhadap sumber pangan beras dan bahan terigu

    dapat menyebabkan food trap yang semakin berat dimasa mendatang jika tidak segera dipikirkan solusinya, sesuai dengan pendapat Husodo bahwa ketergantungan Indonesia pada bahan pangan impor dalam jangka panjang akan semakin merugikan. Oleh karena itu, menurut Husaini segala upaya untuk meningkatkan konsumsi non beras dan non terigu harus dilakukan untuk tidak terjebak di dalam food trap dan ketergantungan bahan pangan nasional kepada pihak asing.

    Tujuan Penelitian

    6. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi potensi bahan baku meliputi kapasitas lahan, produksi komoditas pendukung program diversifikasi pangan; (2) Mengidentifikasi permintaan potensi captive market (makan siang

  • xii

    dan snack untuk rapat Pegawai Litbang Pertanian di wilayah Bogor dan di luar Bogor); (3) Menganalisis model pengembangan diversifikasi pangan di beberapa daerah; (4) Rekomendasi kebijakan model pengembangan diversifikasi pangan di lingkup Litbang Pertanian wilayah Bogor.

    Keluaran Penelitian 7. Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) Teridentifikasinya

    potensi kapasitas lahan, produksi komoditas pendukung program diversifikasi pangan; (2) Teridentifikasi permintaan potensi captive market (makan siang dan snack untuk rapat Pegawai Litbang Pertanian di wilayah Bogor dan di luar Bogor); (3) Tergambarkannya model pengembangan diversifikasi pangan di beberapa daerah; (4) Rekomendasi kebijakan model pengembangan diversifikasi pangan di lingkup Litbang wilayah Bogor.

    Metodologi 8. Penelitian ini di lakukan di tujuh lokasi berbeda, yaitu: (1) Pemerintah Provinsi

    Jawa Barat (Badan Ketahanan Pangan); (2) Kota Bogor (Pusat Penelitian, Balai Penelitian, dan Balai Besar Penelitian lingkup wilayah Bogor); (3) Kabupaten Bandung (Dinas Pertanian dan Kelompok Tani); (4) Kabupaten Bandung Barat (Kelompok Tani); (5) Kabupaten Gunung Kidul (BP2KP); (6) Kabupaten Malang (Balitkabi); (7) Kabupaten Trenggalek (Badan Ketahanan Pangan)

    9. Responden penelitian ini berjumlah 465 orang yang di ambil dari masing-masing lokasi penelitian, yaitu: (1) Kepala Bagian Aneka Pangan dan Kepala Bagian Program Badan Ketahanan Pangan Wilayah Jawa Barat (2 orang); (2) Kepala Bagian Umum, Staf Peneliti dan Staf Penunjang Satker Badan Litbang lingkup wilayah Bogor (420 orang), (3) Sekretariat Badan Litbang (30 orang); (4) Sub Dinas Pengembangan Aneka Pangan Kabupaten Bandung (1 orang); (5) Ketua Kelompok Tani Kabupaten Bandung (1 orang); (6) Ketua dan Anggota Kelompok Tani Kabupaten Bandung Barat (2 orang); (7) Kepala Badan, Kepala Bagian Program, Ketua dan Anggota Kelompok UPFMA (4 orang); (8) Kepala Sub Program dan Kepala Perpustakaan Balitkabi (2 orang); (9) Kepala Badan dan Kepala Sub Aneka Pangan Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Trenggalek (2 orang); (10) Pelaku usaha industri MOCAF (Modified Cassava Flour) (1 orang)

    10. Secara umum analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa

    deskriptif. Sedangkan secara lebih terperinci lagi analisa yang akan di lakukan meliputi : (a) menganalisis jumlah kebutuhan makanan pokok alternatif (sorgum, jagung dan ubikayu), (b) menganalisis kebutuhan jumlah jenis pangan kudapan (kue kering, getuk, brownies dan bolu kukus), (c) mengalisis kebutuhan bahan baku dan lahan pertanamannya, (d) menganalisis usahatani Sorgum, usaha MOCAF dan (e) membuat rekomendasi model pengembangan diversifikasi pangan.

  • xiii

    Hasil Dan Pembahasan Preferensi Konsumen Terhadap Pangan Pokok dan Kudapan

    11. Dari 471 responden calon konsumen didalam memberikan pilihannya terhadap

    bahan pangan pokok pengganti beras lebih condong kepada jenis ubi kayu yaitu sebanyak 194 orang (41,19 %)yang kedua kepada ubi jalar yaitu sebanyak 131 orang (27,81 %), yang memilih kombinasi ubi kayu dan ubi jalar sebanyak 44 orang (9,34 %). Sedangkan untuk pilihan terhadap sorgum dan hanjeli masing-masing hanya 31 dan 6 orang (6,58 dan 1,27 %). Cukup menarik perhatian, bahwa secara spontan responden lebih memilih ubi kayu dan ubi jalar. Namun dari sisi kandungan gizi sebagaimana hasil studi pustaka sebenarnya kandungan gizi sorgum dan hanjeli lebih baik dari pada kandungan gizi pada ubi kayu dan ubi jalar. Hal ini diduga karena referensi responden terbatas pada pilihan kedua jenis bahan baku tersebut.

    12. Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa sebagian besar 216 orang (45,86%) tidak terlalu menuntut bentuk olahan yang rumit, tetapi hanya dibutuhkan olahan langsung berupa rebusan, tanak dan di goreng. Hal ini kemungkinan terkait dengan pilihan jenis bahan pangannya seperti berupa ubi kayu dan ubi jalar yang relatif tidak perlu pengolahan yang terlalu rumit. Sedangkan urutan kedua dan ketiga adalah ada yang mengharapkan dalam bentuk mie dan sejenis beras baru ditanak untuk menjadi pangan pokok, misalnya beras sorgum, beras jagung atau beras singkong, dengan kisaran jawaban antara 19 21 %.

    13. Preferensi tehadap rasa pangan pokok menunjukkan lebih banyak yang memilih

    rasa original yaitu sampai 70,28 % (331 responden), namun demikian ada juga yang memilih rasa lain seperti bercita-rasa (pandan, strawberry, dll) sebanyak 61 responden (12,95 %) dan ada yang mengajukan seperti beras 16 responden (3,40%). Sedangkan yang lainnya mengajukan pilihan kombinasi. Dengan demikian untuk pangan pokok responden lebih suka terhadap rasa alami sesuai dengan jenis komoditi yang digunakan.

    14. Pilihan terhadap kandungan gizi bahan pangan pokok, responden relatif hampir

    merata antara minimal sama dengan beras, lebih baik dari beras dan sesuai dengan bahan pangan pokok yang digunakan yaitu masing-masing 39,28; 36,52 dan 22,29 %. Dengan demikian pilihan kandungan gizi pangan pokok yang diminta responden tidak terlalu dituntut, namun minimal mirip dengan beras. Dengan demikian jika menggunakan bahan pangan yang kandungan gizinya lebih rendah dari beras perlu dipikirkan untuk melengkapi kandungan gizinya sehingga tidak lebih rendah dari beras

    15. Dari 471 responden calon konsumen didalam memberikan pilihannya terhadap

    bahan pangan kudapan pengganti terigu lebih condong kepada jenis ubi kayu yaitu sebanyak 171 orang (37,79 %) yang kedua kepada ubi jalar yaitu sebanyak 168 orang (35,67 %), sedangkan yang memilih sorgum dan hanjeli masing-masing 20 dan 9 responden (4,25 dan 1,91 %) dan yang memilih kombinasi hampir 16 %. Dengan demikian rencana program untuk mengurangi konsumsi kudapan berbahan baku terigu akan digunakan dari bahan ubi kayu yang

  • xiv

    dirubah menjadi bahan baku kudapan berupa tepung ubi kayu atau disebut MOCAF.

    16. Berdasarkan preferensi responden, jenis olahan yang paling banyak disukai oleh

    responden adalah bentuk olahan langsung dalam bentuk digoreng dan rebus yaitu sebanyak 192 responden (40,76%), yang kedua adalah dalam bentuk kue basah sebanyak 170 responden (36,09%), dan kue kering dan kombinasi lainnya masing-masing kurang dari 10 %.

    17. Sedangkan preferensi terhadap rasa kudapan lebih banyak memilih rasa sesuai

    dengan komoditi aslinya (original) yaitu sebanyak 192 responden (40,02%) yang kedua memilih bercita-rasa 99 responden (21,02%) ketiga memilih rasa manis sebanyak 74 responden (15,71%), sedangkan lainnya termasuk yang memilih kombinasi masiing-masing kurang dari 10%.

    Analisis Finansial Usahatani dan Pengolahan Pangan

    18. Usahatani sorgum memiliki tingkat keuntungan yang relatif tinggi yakni dalam satu hektar dapat mencapai Rp 17,7 juta per hektar, dari nilai produksi Rp 37,2 juta. Sementara biaya yang dikeluarkan adalah Rp 19,5 juta. Maka RC rasionya adalah 1,91 artinya tingkat keuntungan usaha sorgum pada kondisi harga dan produktivitas saat ini adalah mencapai 91%. Dengan tingkat produktivtas 5 ton per hektar, maka BEP (Break Event Point) harga jual sorgum adalah Rp 3.908,-/kg artinya harga saat ini masih sangat menguntungan untuk usaha tani sorgum atau dengan kata lain dengan kondisi harga Rp 7.000,-/kg beras sorgum, maka BEP produktivitas adalah 2.791 kg per hektar. Dengan melihat keragaan finansial usatahi sorgum, maka masih memungkinkan untuk dijadikan komoditi pengganti terigu atau pengganti beras, karena saat ini harga beras pun sudah mencapai Rp 8.000 Rp 9.000 /kg.

    19. Tingkat keuntungan usahatani jagung cukup menguntungkan pada kondisi harga dan produktivitas saat ini. Keuntungan per hektar mencapai Rp 8,8 juta dari penerimaan Rp 18,4 juta dan pengeluaran biaya sebesar Rp 9,6 juta. RC rasio hampir sama dengan sorgum yaitu sebesar 1,91 artinya tingkat keuntungan sebesar 91% dari biaya yang dikeluarkan. Pada tingkat produktivitas yang ada sekarang, maka BEP harga jual jagung adalah sekitar Rp 1.204,- per kg atau pada tingkat harga yang ada sekarang, maka BEP produktivitas jagung adalah 4.188,- kg per hektar.

    20. Sedangkan untuk jagung lokal tingkat keuntungan usahatani per hektar adalah

    sebesar Rp 3,05 juta dari total penerimaan sebesar Rp 9,9 juta. Dan pengeluaran biaya sebesar Rp 6,8 juta. Rasio penerimaan terhadap biaya (RC) adalah 1,45 artinya tingkat keuntungan usahatani jagung lokal adalah 45% dari biaya yang dikeluarkan. Dengan kondisi produktivitas yang ada saat ini, maka BEP harga jual jagung lokal adalah Rp 1.914,- per kg atau BEP produtivitas sebesar 2.479,- kg per hektar.

    21. Tingkat keuntungan usahatani ubi kayu di Lampung mencapai Rp 2,8 juta per

    hektar sedangkan di Jawa Tengah Rp 1,9 juta per hektar, dengan RC rasio

  • xv

    masing-masing di Lampung dan Jawa Tengah adalah 2,05 dan 1,49. Pada kondisi produktivitas saat ini, maka BEP harga jual ubi kayu di Lampung adalah Rp 140 per kg, sedangkan BEP produktivitas adalah Rp 9,3 ton per hektar. Sedangkan di Jawa Tengah dengan kondisi produktivtas yang ada sekarang, maka BEP harga jual adalah Rp 448 per kg atau BEP produktivitas adalah 5,8 ton per hektar. Dengan memperhatikan hal ini, maka prospek pengembangan MOCAF masih besar, karena toleransi perubahan harga jual ubi kayu untuk bahan baku MOCAF masih besar, karena harga beli ubi kayu untuk MOCAF masih diatas atau sama dengan harga jual untuk konsumsi.

    22. Proses pembuatan MOCAF sederhana dan dapat dilakukan oleh para petani itu

    sendiri dengan bantuan alat penyawut, alat penepung dan alat pengering. Secara rinci proses pembuatan MOCAF ada dua jenis. Pertama dengan melakukan penggaraman dan kedua dengan menggunakan biostarter yang berasal dari bakteri tertentu. Dengan penggaraman memerlukan waktu perendaman sampai 72 jam, sementara dengan menggunakan biostarter hanya memerlukan waktu perendaman 12 jam. Perbedaan pada hasil akhir adalah dengan menggunakan penggaraman aroma ubi kayu sama sekali sudah tidak tampak, sementara hasil akhir dari cara kedua adalah masih memiliki aroma ubi kayu.

    23. Skala usaha pembuatan MOCAF 100 kg bahan baku ubi kayu, biaya yang

    dibutuhkan adalah Rp 142 ribu, sedangkan penerimaan adalah Rp 171 ribu. Dengan demikian RC rasio adalah 1,20 berarti tingkat keuntungan bersih adalah 20% dengan proses 1 minggu, berarti dalam 1 bulan tingkat keuntungan bersih dapat mencapai 80%. Namun perlu diingat bahwa ada pembatas yaitu harga bahan baku, untuk memperoleh keuntungan tersebut berada pada harga bahan baku Rp 600/kg dan harga BEP bahan baku adalah Rp 890/kg. Harga lebih dari harga BEP maka pengolah mulai mengalami kerugian. Oleh karena itu harga toleransi yang mungkin terjadi dan masih memberikan keuntungan bagi pengolah adalah sampai maksimal Rp 745/kg. Dengan demikian sifat dari indutsri pengolahan MOCAF ini adalah musiman dimana pada musim paceklik berhenti mengolah dan musim panen raya bahan baku mulai beroperasi untuk menyimpan stok MOCAF, selama ini harga MOCAF di pasar cukup stabil.

    Potensi Sumber Bahan Baku Diversifikasi Pangan

    24. Untuk menjamin ketersediaan pasokan sumber bahan baku program diversifiaksi pangan ini, maka perlu dilihat sejauh mana ketersediaan lahan dan atau produksi komoditas yang terkait dengan bahan baku pangan untuk program tersebut. Bahan baku pangan yang dicanangkan didalam program diversifikasi ini adalah ubikayu, sorgum dan jagung. Sorgum dan jagung digunakan untuk penyediaan bahan baku alternative pengganti beras, sedangkan ubikayu selain untuk alternative bahan baku pengganti beras juga sebagai bahan baku utama dalam pembuatan pangan kudapan sebagai upaya untuk mengurangi penggunaan terigu.

  • xvi

    25. Pemanfaatan Kebun Percobaan (KP) terkait dengan program diversifikasi pangan adalah tertuang secara ekplisit pada butir (6) dalam PEDUM Badan Litbang Pertanian (2011) yaitu sebagai kebun pendukung diversifikasi dan ketahanan pangan.

    26. Badan Litbang Pertanian memiliki total luas kebun percobaan (KP) sekitar

    4.480,96 hektar. Di wilayah Bogor sekitar 190,19 hektar dan di luar Bogor sekitar 4.290,77 hektar. Untuk yang di wilayah Bogor lahan KP terluas ada di satker Balitro yaitu di KP Cimanggu seluas 44,63 hektar dengan agroekosistem lahan kering, yang kedua di satker BB Tanaman Padi yaitu di KP Muara dengan luas 40,16 hektar dengan agroekosistem sawah dan lahan kering dan di Satker Biogen pada KP Cikeumueh seluas 16,69 hektar. Seandainya diperkirakan 12,5 % diperuntukan untuk mendukung program diversifikasi pangan pada lahan yang ada di Kampus Pertanian Cimanggu (Balitro dan Biogen = 61,32 hektar), maka tersedia lahan sekitar 7,67 hektar berupa lahan kering yang dapat ditanami sorgum, jagung dan ubikayu.

    27. Berdasarkan data BPS dan Bogor Dalam Angka 2010, tampak bahwa potensi

    produksi ubikayu di Indonesia untuk tahun 2010 adalah sebanyak 24 juta ton dengan luas panen sekitar 1,2 juta hektar. Sedangkan di Kabupaten Bogor produksi ubikayu masing-masing 163 dan 5 ton, dengan luas tanam masing-masing adalah 8.446 hektar dan 389 hektar. Dari jumlah produksi nasional potensi untuk menghasilkan tepung ubikayu yang dimodifikasi (MOCAF) adalah sekitar 8 juta ton. Tepung MOCAF ini sangat potensi untuk menggantikan peranan terigu dalam pembuatan aneka jenis makanan. Konsumsi terigu nasional pada tahun 2010 adalah 4,38 juta ton dan akan naik sekitar 6 % pada tahun 2011 menjadi 4,65 juta ton. Jikalau kita menghitung untuk mensubstitusi 25 % saja penggunaan terigu dengan Mocaf, maka dibutuhkan mocaf sebanyak 1.095 ton sementara kita memiliki potensi 8 juta ton mocaf.

    28. Kapasitas produksi jagung di Indonesia adalah sekitar 18,3 juta ton dengan luas

    tanam sekitar 4,1 juta hektar pada tahun 2010. Sementara di Jawa timur produksi jagung lebih tinggi dibanding dengan di Jawa Barat. Di Jawa Timur produksi jagung sekitar 5,6 juta ton sedangkan di Jawa Barat hanya sekitar 1 juta ton dengan luas areal tanam sekitar 153.778 hektar. Di Kota Bogor dan Bogor masing-masing produksinya adalah 7.148 dan 591 ton dengan luas areal panen masing-masing 2.039 dan 172 hektar.

    29. Daerah yang memproduksi sorgum hanya pada 5 provinsi yaitu Jawa Tengah,

    Jawa Timur, DIY, NTB dan NTT dengan rata-rata produksi masing-masing 17.350 ton, 10.522 ton, 670 ton, 54 ton dan 39 ton. Untuk wilayah Jawa Barat, pada saat ini (2011) sudah mulai berkembang baik oleh masyarakat maupun pengembangan yang dilakukan oleh program pemerintah. Sebagai contoh di Kecamatan Soreang kabupaten Bandung. Berdasarkan hasil pengamatan di kecamatan Soreang, varietas sorghum yang sudah dikenal dan mulai dikembangkan oleh tokoh masyarakat di Soreang, yaitu Sorghum Tongkol Jagung (jepang) berwarna merah, sorghum mayang mekar, Sorghum Gada Siliwangi dan Sorghum Telaga Bodas. Rata-rata prduktivitas sorghum berkisar antara 3-4 ton per hektar dengan umur panen 108-115 hari.

  • xvii

    Permintaan Captive Market Diversifikasi Pangan

    30. Pengertian permintaan captive market diversifikasi pangan di sini adalah menghitung kebutuhan jenis pangan pokok dan kudapan baik dalam bentuk olahan maupun dalam bentuk produksi bahan baku. Tahapan analisis untuk menghitung permintaan ini adalah : (1) menghitung jumlah karyawan tahun 2010 berdasarkan struktural, peneliti, penunjang, (2) menghitung frekuensi rapat pada masing-masing kelompok tersebut, (3) menghitung kebutuhan jumlah jenis kudapan total dan kudapan yang berbahan baku mocaf, (4) menghitung kebutuhan mocaf, (5) menghitung kebutuhan ubikayu, sorgum dan jagung, (6) menghitung kebutuhan lahan dan (7) menghitung analisis finansial usaha mocaf dan diversifikasi.

    31. Jumlah karyawan Badan Litbang Pertanian pada tahun 2010 adalah 8.202 orang terdiri dari 311 orang menduduki posisi struktural, 2.069 orang menduduki posisi sebagai peneliti, dan 5.822 orang menduduki posisi sebagai staf penunjang kegiatan penelitian. Dari jumlah tersebut yang ada pada Satker di wilayah Bogor adalah 2.546 orang terdiri dari 131 orang menduduki posisi struktural, 653 orang menduduki posisi sebagai peneliti, dan 1.762 orang menduduki posisi sebagai staf penunjang kegiatan penelitian. Pemilhan menurut kedudukan jabatannya adalah penting karena masing-masing memiliki frekuensi yang berbeda dengan keterlibatan dalam rapat. Biasanya frekuensi rapat struktural dan peneliti lebih tinggi dibanding dengan rapat yang melibatkan staf penunjang. Dengan program diversifikasi yang akan diterapkan di wilayah Bogor, maka potensi permintaan program diverisifkasi pangan adalah sejumlah 2.546 orang.

    32. Frekuensi rapat struktural total adalah sekitar 860 kali per tahun pada seluruh

    satker di Indonesia yang terdiri dari 492 kali rapat structural pada satker wilayah Bogor dan 368 kali rapat struktural pada satker di luar Bogor. Sedangkan rapat para peneliti seluruhnya sekitar 593 kali per tahun terdiri dari 308 kali rapat peneliti pada satker di wilayah Bogor dan 285 kali rapat peneliti pada satker di luar Bogor. Rapat penunjang dan umum lebih kecil yaitu keseluruhan masing-masing adalah 425 dan 93 kali rapat per tahun, terdiri dari rapat penunjang dan umum pada satker di wilayah Bogor masing-masing 231 dan 52 kali rapat dan pada satker di luar Bogor masing-masing 194 dan 41 kali rapat per tahun.

    33. Berdasarkan kajian comparative model pada beberapa lokasi penelitian dan

    dari studi preferensi calon konsumen, maka jenis pangan pokok sebagai penganti beras yang disarankan pada kajian ini adalah beras sorgum, beras jagung dan beras singkong (RaSi). Jika program diversifikasi pangan dengan pola mengganti pangan pokok beras dengan ketiga jenis beras tersebut di Badan Litbang Pertanian, maka diperlukan total beras sorgum, jagung dan beras singkong masing-masing sebanyak 12 ton per tahun. Sedangkan jika program diversifikasi hanya dilaksanakan di Bogor maka diperlukan beras sorgum, jagung dan singkong masing-masing 3.734 ton per tahun.

    34. Berdasarkan hal yang sama yaitu kajian comparative model pada beberapa

    lokasi penelitian dan dari studi preferensi calon konsumen, maka jenis pangan

  • xviii

    kudapan yang layak dijadikan sebagai upaya mengurangi penggunaan terigu adalah Kue Kering Almon, Getuk, Brownies, dan Bolu Kukus. Dalam keseharian penggunaan pangan kudapan dalam rapat adalah menyuguhkan 3 jenis, dua diantaranya berasa manis dan satu berasa asin atau sebaliknya. Di dalam program pengembembangan diversifikasi ini akan dipastikan bahwa dua diantaranya menggunakan pangan kudapan berasa manis dengan bahan baku MOCAF.

    35. Kebutuhan kudapan berbahan baku MOCAF per tahun 100.257 buah untuk

    rapat pada semua kelas jabatan di satker yang ada di Bogor dan 314.159 buah untuk rapat pada semua kelas jabatan di satker yang ada di luar Bogor, sehingga total kebutuhan kudapan non terigu adalah 414.416 buah kudapan. Kebutuhan kudapan non terigu yang terbesar adalan untuk kegiatan rapat staf penunjang yaitu mencapai 50.178 buah pada satker di wilayah Bogor dan 160.168 buah di luar wilayah Bogor. Setelah itu disusul oleh kebutuhan untuk rapat para peneliti yaitu mencapai 25.761 untuk di wilayah Bogor dan 103.731 untuk di luar wilayah Bogor.

    36. Kebutuhan jumlah kudapan untuk masing-masing jenis yaitu kebutuhan kue

    kering almon, getuk, brownies dan bolu kukus masing-masing adalah 25.064 buah untuk satker yang ada di wilayah Bogor dan dengan urutan yang sama masing-masing 78.540 buah untuk di luar wilayah Bogor. Dengan perhitungan kasar dari kebutuhan 25.064 buah per tahun, maka kebutuhan per bulan adalah 2.089 buah untuk masing-masing jenis kudapan. Jika masing-masing jenis kena rotasi pola masing-masing per minggu, maka kebutuhan masing-masing jenis per minggu sekitar 522 buah atau 2.089 jenis untuk semua jenis. Kendala yang akan dihadapi jika sejumlah tersebut diadakan dari penyedia yang belum ada kerjasama sebagai supplier adalah tidak mungkin menyediakan sebanyak itu. Karena jika tidak ada pesanan khusus kemungkinan akan menjadi sisa dan barang tersebut cepat kadaluarsa dalam hitungan jam.

    37. Jika pengadaan kudapan tersebut dilaksanakan oleh supplier, maka dengan

    menggunakan referensi harga kue kering Rp 2.500, harga getuk Rp 2.000, harga brownies Rp 3.000 dan harga bolu kukus Rp 2.500. Maka diperoleh kebutuhan dana untuka pengadaan kudapan tersebut selama satu tahun totalnya Rp 1,03 milyar dimana untuk kegiatan rapat pada satker yang ada di wilayah Bogor dibutuhkan dana sekitar Rp 250,6 juta dan kebutuhan untuk rapat-rapat pada satker di luar Bogor sebesar Rp 785,4 juta. Karena harga kudapan berbeda-beda, maka kebutuhan dana untuk masing-masing jenis kudapan menjadi berbeda pula. Untuk kegiatan di wilayah Bogor kebutuhan dana untuk kue kering adalah Rp 62,7 juta, untuk getuk Rp 50,1 juta, dana untuk brownies Rp 75,2 juta dan dana untuk bolu kukus Rp 62,7 juta per tahun. Sedangkan untuk satker di luar Bogor kebutuhan dana untuk kue kering adalah Rp 196,3 juta, untuk getuk Rp 157,1 juta, dana untuk brownies Rp 235,6 juta dan dana untuk bolu kukus Rp 196,3 juta per tahun.

    38. Jadi total kebutuhan dana untuk pengadaan pangan pokok dan kudapan dengan

    program one day no rice dan memastikan penggunaan kudapan 2 jenis berbahan baku MOCAF, maka dana yang yang di butuhkan untuk pengadaan

  • xix

    pangan tertsebut adalah Rp 1,2 milyar, terdiri dari Rp 306,7 juta untuk kegiatan pengadaan pangan di wilayah Bogor dan Rp 909,8 juta untuk pengadaan pangan di luar Bogor. Jika pengadaan bahan pangan tersebut dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian sendiri, selain kebutuhan modal tersebut juga dibutuhkan untuk investasi di kebun produksi, invetasi di pengolahan (pembelian alat-alat pembuatan pangan tersebut), sehingga membutuhkan dana yang lebih besar lagi.

    39. Di wilayah Bogor dengan kebutuhan produksi sorgum, jagung dan ubikayu

    masing-masing 5,74; 4,15 dan 30,69 ton per tahun maka dibutuhkan lahan total 6,60 hektar atau masing-masing untuk sorgum, jagung dan ubikayu adalah 3,38; 1,19 dan 1,59 hektar per tahun. Sedangkan untuk kebutuhan di luar Bogor dengan kebutuhan sorgum, jagung dan ubikayu masing-masing 12,76; 9,22 dan 73,47 ton per tahun maka dibutuhkan lahan total 14,94 hektar atau masing-masing untuk sorgum, jagung dan ubikayu adalah 8,51; 2,63 dan 3,80 hektar per tahun. Sedangkan kebutuhan total Litbang dengan kebutuhan sorgum, jagung dan ubikayu masing-masing 18,51; 13,37 dan 104,16 ton per tahun maka dibutuhkan lahan total 21,55 hektar atau masing-masing untuk sorgum, jagung dan ubikayu adalah 12,34; 3,82 dan 5,39 hektar per tahun.

    Kontruksi Model Pengembangan Diversifikasi Pangan di Bogor

    40. Model yang diajukan untuk mengembangkan diversifikasi pangan di wilayah Bogor dengan konsumen adalah karyawan Satker Libang yang ada di wilayah Bogor adalah Alternatif-I, dimana bahan baku (BB), pengolahan (PG), teknologi (TK) dan pemasaran (PS) semua ditangani oleh Badan Litbang Pertanian dalam arti Badan Litbang Membentuk suatu organisasi dimana pengurusnya adalah karyawan satker-satker yang ada di wilayah Bogor.

    41. Pada alternatif-I ini ada beberapa infrastruktur yang diperlukan untuk menunjang program diversifikasi, diantaranya adalah : (a) penyediaan lahan seluas 6,60 ha untuk pengadaan bahan baku pangan, (b) penyediaan ruang kerja dan produksi, (c) perlu penyediaan alat terkait penyediaan bahan baku, pengolah pangan dan transportasi, (d) perlu penyediaan seed capital (modal awal) untuk benih, modal kerja penyediaan bahan baku, modal kerja pengolahan, (e) kelembagaan pengelola yang ditugaskan oleh Kepala Badan Litbang pertanian yang terpisah dari pekerjaan kantor lainnya, dan (f) perlu ada instrument berupa law enforcement dan power enforcement.

    42. Dukungan satker dan peranan utama dalam pengembangan program

    diversifikasi pangan adalah : (1) Badan Litbang Pertanian, sebagai penanggungjawab, pengarah dan pengawas, (2) BB Biogen dan Balitro, sebagai penyedia lahan 6,60 hektar, (3) BB Mektan sebagai sumber teknologi alat pengolahan pangan, (4) BB Pasca Panen sebagai koordinator dan sumber teknologi pengolahan pangan, (5) unit KP memproduksi bahan baku pangan (sorgum, jagung dan ubikayu), (6) unit pengolah bahan baku, mengeringkan dan sebagian mengolah menjadi beras sorgum, jagung dan ubikayu, (7) unit showroom menyimpan produk bahan pangan dan pangan jadi siap mendistribusikan ke satker disekitar Bogor, (8) seluruh satker di wilayah Bogor

  • xx

    selain memiliki peran utama juga sebagai pasar untuk kegaitan rapat-rapat dan makan siang, dan (9) outlet, SKPD, serta tempat wisata sebagai alternative pengembangan pasar.

    43. Untuk menjalankan model alterbatif-I ini perlu ada penekanan kegiatan

    diantaranya : (a) pengawasan dan kontrol yang rutin dari pihak pimpinan pusat, sejauhmana pelaksanaan tiap bulan dapat berjalan, seperti yang dilaksanakan oleh Sekwilda provinsi Jawa Barat, (b) perlu ada pengelola yang khusus yang dibebaskan dari tugas administrasi, terutama pada unit vital seperti unit pengolahan, pemasaran dan distribusi.

    44. Pada model alternatif-II yang diajukan untuk mengembangkan diversifikasi

    pangan di wilayah Bogor, agak berbeda dengan model alternatif-I dimana pada model alternatif-II, bahan baku (BB), pengolahan (PG) ditangani oleh pihak swasta (suplayer), sedangkan teknologi (TK) dan pemasaran (PS) ditangani oleh Badan Litbang Pertanian dalam arti Badan Litbang Membentuk suatu organisasi dimana pengurusnya adalah karyawan satker-satker yang ada di wilayah Bogor.

    45. Pada alternatif-II ini infrastruktur yang diperlukan untuk menunjang program

    diversifikasi juga berkurang, diantaranya adalah : (a) penyediaan ruang kerja, (b) perlu penyediaan alat tertentu dan transportasi, (c) perlu penyediaan seed capital (modal awal) untuk pembelian pangan jadi, (d) kelembagaan pengelola yang ditugaskan oleh Kepala Badan Litbang pertanian yang terpisah dari pekerjaan kantor lainnya, dan (f) perlu ada instrument berupa law enforcement dan power enforcement.

    46. Dukungan satker dan peranan utama dalam pengembangan program

    diversifikasi pangan adalah : (1) Badan Litbang Pertanian, sebagai penanggungjawab, pengarah dan pengawas, (2) BB Mektan sebagai sumber teknologi alat pengolahan pangan, (3) BB Pasca Panen sebagai koordinator dan sumber teknologi pengolahan pangan, (4) unit showroom berfungsi sebagai pengadaan pangan, menyimpan produk bahan pangan dan pangan jadi yang siap didistribusikan ke satker di sekitar Bogor, (5) seluruh satker di wilayah Bogor selain memilki peran utama juga sebagai pasar (captive market) untuk kegiatan rapat-rapat dan makan siang, dan (5) outlet, SKPD, serta tempat wisata sebagai alternative pengembangan pasar baru.

    47. Untuk menjalankan model alternatif-II ini perlu ada penekanan kegiatan

    diantaranya : (a) pengawasan dan kontrol yang rutin dari pihak pimpinan pusat, sejauhmana pelaksanaan tiap bulan dapat berjalan, seperti yang dilaksanakan oleh Sekwilda provinsi Jawa Barat, (b) perlu ada pengelola yang khusus yang dibebaskan dari tugas administrasi, terutama pada unit vital seperti unit pengolahan, pemasaran dan distribusi.

    48. Dengan memperhatikan sifat produk yang diprogramkan pada pengembangan

    diverisifikasi pangan ini, maka kedua Model ini memungkinkan untuk dilaksanakan. Titik kritis terletak pada penyediaan lahan dan peralatan pengolahan bahan baku dan pengolahan pangan itu sendiri.

  • xxi

    Implikasi Kebijakan

    49. Badan Litbang Pertanian harus menyediakan lahan KP seluas 6,60 hektar untuk pengadaan bahan baku pangan, hasil ini sudah sesuai dengan pedoman umum pengelolaan KP dimana salah satunya adalah mendukung program diversifikasi pangan.

    50. Badan Litbang Pertanian harus menyediakan ruang kerja dan ruang untuk produksi pangan.

    51. Badan Litbang Pertanian perlu menyediakan alat terkait penyediaan bahan

    baku, pengolah pangan dan transportasi.

    52. Badan Litbang Pertanian perlu menyediakan seed capital (modal awal) untuk benih, modal kerja penyediaan bahan baku, modal kerja pengolahan.

    53. Badan Litbang perlu membentuk kelembagaan pengelola yang ditugaskan oleh

    Kepala Badan Litbang pertanian yang terpisah dari pekerjaan kantor lainnya.

    54. Badan Litbang perlu mengeluarkan instrument berupa law enforcement dan power enforcement untuk menjamin berjalannya program diversifikasi ini.

    55. Namun jika Badan Litbang mengambil model alternative-II, maka implikasi (1),

    (2) dan (3) menjadi tanggungjawab swasta/mitra, kecuali ruang kerja dan alat transportasi masih diperlukan.