kertas karya diversifikasi pangan
TRANSCRIPT
PERAN DIVERSIFIKASI PANGAN DALAM MENUNJANG SWASEMBADA
BERAS UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL
BAB I : PENDAHULUAN
Jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 mencapai 241 juta jiwa. saat ini, laju pertumbuhan
penduduk Indonesia mencapai 1,5 persen pertahun atau bertambah sekitar 3,5 juta jiwa. Jika
diakumulasikan, maka hingga akhir tahun 2012 mendatang, jumlah penduduk Indonesia di
perkirakan akan mencapai 245 juta jiwa.1 Pada tahun 2022 penduduk Indonesia akan
mencapai sekitar 273 juta jiwa, mengkonsumsi 37,6 juta ton beras), atau membutuhkan
sebanyak 68 juta ton gkg pada tingkat produksi di lapangan, sebagaimana pada tabel 1dengan
memakai data terkoreksi memperlihatkan bahwa neraca produksi kebutuhan beras sudah
negatif sejak 2010.
Tabel 1 : Produksi beras “as produced” dan data terkoreksi pada tingkat siap konsumsi(as consumed), serta perkiraan permintaan beras tahun 2015-2025
Sumber : Sumarno, “ANTISIPASI DEFISIT PANGAN BERAS SEPULUH TAHUN YANG AKAN DATANG”
prosiding “Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X” Jakarta – 19 – 21 November 2012
1 BKKBN Pusat pada http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr=44150 pada 2012-12-25
1
Untuk memperoleh produksi 68 juta ton gkg pada tahun 2022 akan berhadapan dengan lebih
banyak masalah, yang utama adalah luas lahan sawah menyusut karena konversi lahan;
ketersediaan air berkurang; Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) lebih tinggi
intensitasnya; tenaga kerja di lapangan semakin mahal dan sulit diperoleh; dan harga sarana
produksi semakin mahal. Walaupun prognosa kebutuhan produksi beras masih termasuk
dalam kisaran kapasitas produksi maksimal dari sumberdaya lahan yang ada, namun
diperlukan tindakan antisipasi oleh adanya kemungkinan terjadi perubahan pola iklim yang
ekstrim (climate change) sehingga mengganggu kemampuan produksi pangan nasional.2
Climate change mempunyai dampak yang nyata pada sektor pertanian, yaitu antara lain
terjadinya pergeseran awal musim, penurunan luas panen karena kenaikan muka air laut,
dan kekeringan dan banjir yang diskontinyu.3 Lebih jauh lagi fenomena perubahan iklim
global mempengaruhi Kemampuan produksi dan pembentukan stok pangan; fluktuasi
penawaran dan permintaan pangan di pasar internasional; folatilitas harga pangan
internasional; 4
Hal lainnya yang mempengaruhi ketahanan pangan nasional5 berupa permasalahan yang ada
pada kerangka pasar global yaitu kenaikan dan fluktuasi harga minyak bumi yang tinggi
akan meningkatkan kompetisi pemanfaatan komoditas antara pangan dan energi; Kebijakan
perdagangan tiap negara cenderung mendahulukan ketahanan pangan domestiknya, sehingga
pasar pangan internasional semakin tidak menentu dan semakin tidak dapat diramalkan;
Jumlah penduduk dunia terus meningkat dan konsumsi beras/kapita terus naik, terutama dari
negara-negara miskin Asia dan Afrika, meningkatkan total kebutuhan pangan, juga beras;
Penduduk miskin dan rawan pangan sangat besar, sekitar 1/6 penduduk dunia (+ 1 milyar).
Dalam negeri sendiri, tantangan Ketahanan Pangan berupa Produksi pangan tidak
dihasilkan secara merata, bersifat musiman dan bervariasi sesuai kemampuan antar daerah;
Konversi lahan pertanian masih tinggi dan tidak terkendali; Kompetisi pemanfaatan dan
degradasi sumber daya air semakin meningkat; Infrastruktur pertanian/pedesaan masih
kurang memadai; Prasarana dan sarana transportasi belum memadai, sehingga biaya
distribusi pangan relatif tinggi; Laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi (periode
2Sumarno “ANTISIPASI DEFISIT PANGAN BERAS SEPULUH TAHUN YANG AKAN DATANG” prosiding “Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X” Jakarta – 19 – 21 November 2012
3 Hasil rapat Pra Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X Pada tanggal 17 Juli 2012 dan 20 Juli 2012 yang diselenggarakan oleh Badan POM4 Bahan kuliah Dr. Ir. Endang Sugiharti, MSi pada program KSKN angkatan 32 UI, Jakarta tahun 20125 Ibid
2
2000-2010 = 1,49%/th); Konsumsi beras per kapita masih tinggi (139,15 kg/kapita/th);
Beberapa daerah rawan bencana: (kerawanan pangan transien) ; Masih terdapat daerah dan
masyarakat miskin: (kerawanan pangan kronis)6
Ketahanan Pangan Nasional juga terkait erat dengan status gizi masyarakat, hal ini terlihat
pada dua indikator pada tujuan pertama Millenium Development Goals ( MDGSs yang
dikeluarkan PBB pada tahun 2008. Tujuan pertama dari MDGs adalah bahwa pada tahun
2015 nanti setiap negara diharapkan mampu untuk menurunkan kemiskinan dan kelaparan
separuh dari kondisi awal pada tahun 1990. Dua dari lima indikator sebagai penjabaran tujuan
pertama MDGs adalah menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita (indikator
keempat) dan menurunnya jumlah penduduk defisit energi atau kelaparan (indikator kelima).
Kedua indikator tersebut mencerminkan tingginya keterkaitan antara kondisisi ketahanan
pangan dengan status gizi masyarakat.7
Ketahanan Pangan Nasional adalah prioritas nasional, sehingga ada beberapa hal penting
yang mesti dilakukan untuk mempertahankan ketahanan pangan dari ancaman climate change
serta Permasalahan global lainnya dan permasalahan lokal terhadap Ketahanan Pangan
Nasional serta keterkaitannya dengan status gizi masyarakat yang mempengaruhi produksi
dan konsumsi pangan masyarakat, memerlukan sejumlah kebijakan yang mesti diambil
pemerintah untuk mengatasinya antara lain Intensifikasi (peningkatan produksi per hektar),
Ekstensifikasi (perluasan areal tanah), Diversifikasi Pangan (mengurangi konsumsi beras
dengan karbohidrat lainnya), Mengurangi bertambahnya jumlah penduduk (1,4%/tahun),
Penggunaan teknologi Biotek yang merupakan inovasi yang mempunyai “kemampuan untuk
mengatur perubahan sebagai suatu peluang bukan suatu ancaman”.8
Diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada
beras tetapi juga upaya peningkatan perbaikan gizi untuk mendapatkan manusia yang
berkualitas dan mampu berdaya saing dalam percaturan globalisasi.
BAB II : PERAN DIVERSIFIKASI PANGAN DALAM MENUNJANG SWASEMBADA
BERAS UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL
6 Ibid 7 Dewan Ketahanan Pangan, “Buku Indonesia Tahan Pangan 2015” 20098Hasil rapat Pra Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X Pada tanggal 17 Juli 2012 dan 20 Juli 2012 yang
diselenggarakan oleh Badan POM
3
Di antara negara ASEAN, Indeks Ketahanan Pangan global Indonesia pun menempati posisi
kelima dari tujuh negara yang dievaluasi karena terus-menerus menggantungkan pemenuhan
kebutuhan pangan pokok dari impor seperti yang ditunjukan tabel berikut ini :
Tabel 2 : Food Security Index Negara Asia Tenggara
Negara Kategori IndeksMalaysia good 63,9Thailand good 57,9Vietnam moderate 50,4Filipina moderate 47,1Indonesia moderat 46,8Myanmar moderat 37,2Kamboja moderat 30,0
Sumber: Economist Intelligence Unit
Indonesia hanya memperoleh level moderat dengan peringkat ke-64 dari 105 negara dalam
Indeks Ketahanan Pangan yang dirilis Economist Intelligence Unit. Di ASEAN, Indonesia
hanya tercatat di urutan kelima dari tujuh negara kawasan yang termasuk dalam Indeks
Ketahanan Pangan. Di peringkat pertama Asia Tenggara terdapat Malaysia, disusul Thailand,
Vietnam, dan Filipina Pemeringkatan dilakukan menggunakan 25 indikator yang terbagi ke
dalam tiga kategori besar, yakni jangkauan dan akses finansial, ketersediaan, kualitas dan
keamanan pangan. Berdasarkan data EIU, ketahanan pangan suatu negara terukur ketika
penduduk memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi untuk memenuhi makanan bernutrisi
yang dibutuhkan bagi kesehatan dan berkegiatan. Indonesia cukup menonjol pada kategori
persediaan pangan. Pada indikator volatilitas persediaan pangan, Indonesia memasuki
peringkat kedua di Asia dengan skor 98,4, di bawah China yang mendapat skor 100. Salah
satu tantangan terbesar Indonesia yakni pembenahan infrastruktur dasar pertanian untuk
mendukung akses logistik dan kegiatan pertanian. Pembangunan jalan perdesaan masih
dibutuhkan. Petani seringkali harus menghabiskan biaya banyak untuk distribusi. sistem
irigasi dan jembatan juga merupakan tantangan. Selanjutnya Penyuluhan terkait pertanian
yang tidak terorganisir juga menjadi kendala karena perubahan struktur pemerintah daerah
yang desentralisasi saat ini justru menghambat proses edukasi petani. Tatangan lainnya
adalah regulasi yang rumit terhadap perizinan produk bahan baku pangan terbaru.9
9 http://www.bisnis.com/articles/indeks-ketahanan-pangan-daya-dukung-infrastruktur-jadi-penghambat-di-indonesia 31 12 2012
4
Posisi ketahanan pangan Indonesia berada di bawah Filipina, pesaing dalam kelompok negara
pengimpor beras terbesar di dunia. Impor itu sudah terjadi di hampir semua komoditas
pertanian seperti beras, jagung, kedelai, gandum, dan gula. Bahkan gandum, 100% diimpor di
antaranya dari Turki, Australia, dan AS. Namun dalam acara di Kementerian Keuangan,
Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan reformasi agraria harus
disukseskan agar Indonesia bisa memproduksi pangan lagi. Menurut Presiden, pemerintah
memiliki anggaran untuk meningkatkan swasembada pangan, di antaranya target surplus 10
juta ton beras pada 2014.10
Pembangunan Ketahanan Pangan Nasional dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2012 tentang pangan yang dikeluarkan pada tanggal 17 November 2012 yang
menyatakan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara
sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Dalam undang-undang tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kondisi terpenuhinya
Pangan ini tidak dimaksudkan sebagai kemandirian pangan ( swasembada pangan) karena
kondisi terpenuhinya pangan bisa diadakan melalui produksi dalam negeri, cadangan pangan
nasional dan impor. Sedangkan kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa
dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri. Hal ini ditegaskan
dalam undang-undang tersebut bahwa Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya
Pangan dari hasil produksi dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional serta impor apabila
kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Jadi jelas, dari Undang-undang
tentang pangan, ketahanan pangan adalah produksi dalam negeri ditambah impor. Kebutuhan
adalah konsumsi ditambah cadangan. Apabila produksi dalam negeri telah mencapai
swasemba impor masih bisa dilakukan karena ada cadangan (surplus) yang mesti dipenuhi,
misalnya untuk beras sebesar 10 juta ton ditahun 2014. Impor tidak langsung berhubungan
dengan swasembada beras tapi berhubungan langsung dengan ketahanan pangan atau impor
mesti dilihat dari kacamata ketahanan pangan dulu setelahnya baru dari kacamata
kemandirian pangan (swasembada pangan).
10 http://www.mediaindonesia.com/read/2012/07/07/336333/265/114/Ketahanan-Pangan-Rawan 2012-12-14
5
Sedangkan Penganekaragaman Pangan (diversifikasi pangan) adalah upaya peningkatan
ketersediaan dan konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada
potensi sumber daya lokal. Dapat juga ditarik kesimpulan, diversifikasi pangan adalah
upaya peningkatan ketersediaan (supply) dan konsumsi (demand) pangan yang beragam, ada
diversifikasi kertersediaan pangan dan ada diversifikasi konsumsi pangan.
Diversifikasi Pangan memang bertujuan mengurangi konsumsi beras dan
menggantikannya dengan karbohidrat lainnya sebagai pangan pokok, hal ini akan
menurunkan permintaan terhadap beras dan juga berarti penurunan penyediaaan beras,
selanjutnya akan menurunkan level swasembada beras. Dengan turunnya level swasembada
beras, tekanaan terhadap keharusan memenuhi penyediaan beras sebagai bagian dari
kecukupan pangan juga berkurang dan hal ini mendukung Ketahanan Pangan. Kecukupan
pangan diisi dengan pangan karbohidrat lainnya dari pangan yang berbasis pada potensi
sumber daya lokal sehingga persyaratan Ketahanan Pangan yaitu pangan itu harus cukup
baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan, dapat terpenuhi.
Sejak tahun 2008 Indonesia sudah mencapai swasembada beras. Produksi beras saat ini
sudah mencukupi untuk kebutuhan konsumsi nasional. Tahun 2012 produksi beras nasional
diperkirakan mencapai 38,564 juta ton, lebih banyak dari kebutuhan konsumsi beras nasional
sebesar 33,035 juta ton. Artinya Indonesia sudah mencapai swasembada beras, masih ada
surplus sekitar 3-4 juta ton. Tapi pemerintah tetap membuka keran impor. Impor beras itu
untuk tambahan cadangan ketahanan pangan. atau memperkuat stok surplus.11
Angka kebutuhan konsumsi nasional semestinya ditambah target stok (surplus) setiap
tahunnya sehingga adanya impor yang terus dilakukan menunjukan ketahanan pangan dapat
dengan mudah terganggu apabila situasi permintaan dan penawaran beras internasional
terganggu. Stok surplus ini sangat berguna dan tidak bisa dihindarkan dalam perencanaan
pangan karena bisa dipakai menstabilkan harga beras jika ada spekulan bermain di pasar.
Sedangkan impor beras menunjukan adanya potensi dominasi asing yang bisa mengganggu
ketahanan pangan. Artinya ketahanan pangan sebagaimana yang didefinisikan Undang-
Undang no 18 tahun 2012 maupun undang-undang sebelumnya pada tahun 1996 memang
11 Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan, “Pemerintah Tetap Impor Beras Meski Swasembada” pada
http://www.tempo.co/read/news/2012/09/26/090432062/Pemerintah-Tetap-Impor-Beras-Meski-Swasembada diunduh pada 2012-12-24
6
tidak diartikan sebagai kemandirian pangan dan tentunya akan menurunkan kebijakan yang
berbeda jika ketahanan pangan sama dengan kemandirian pangan yang mungkin mengarah
pada kebijakan proteksi produksi dan subsidi petani untuk pupuk, land reform dan lain
sebagainya. Dengan definisi yang ada, ketahanan pangan rentan karena walaupun
swasembada tercapai (tanpa memasukan stok beras sebagai kebutuhan) impor akan tetap
dilakukan sehingga masih diperlukan kebijakan diversifikasi pangan agar permintaan beras
menurun setiap tahunnya.12
Diversifikasi Pangan juga diperlukan karena suatu penelitian menunjukan bahwa persediaan
pangan yang cukup secara nasional ternyata tidak menjamin adanya ketahanan pangan
tingkat regional maupun rumah tangga/individu.13
BAB III : PERMASALAHAN
Permasalahan terkait Diversifikasi Pangan yang menarik muncul dari pejabat terkait yang
mengatakan bahwa Diversifikasi pangan berjalan di tempat14, apabila diversifikasi pangan
itu diukur dengan skor PPH maka Skor PPH pada 2011 baru mencapai 77,3 dari skor ideal
100. Skor tersebut muncul karena konsumsi karbohidrat dari sumber pangan umbi-umbian
relatif kecil dan cenderung menurun, padahal konsumsi terigu meningkat terus.15 Adanya
kecenderungan penurunan proporsi konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal ; Cukup
tingginya kesenjangan mutu gizi konsumsi masyarakat desa dan kota;
Selanjutnya AKG Angka Kecukupan Gizi) perlu di updating sesuai perkembangan pola
hidup dan aktivitas masyarakat, terjadi ketidak seimbangan gizi pada masyarakat, adanya
masalah Keamanan pangan dan kasus-kasus keracunan pangan.16
12 Bandingkan dengan kondisi 1995/1996 yang menyatakan : Sasaran pembangunan pangan pada Repelita VI (1995/1996) adalah makin mantapnya ketahanan pangan yang dicirikan oleh terpeliharanya kemantapan swasembada pangan secara dinamis. Sasaran tersebut terkait erat dengan sasaran diversifikasi pangan serta peningkatan kualitas konsumsi pangan dalam rangka mewujudkan pola pangan yang bermutu gizi seimbang. diunduh dari www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6578/ - 2012-12-25
13 Saliem, HP.,M.Ariani, Y.Marisa, T.B. Purwantini dan EM Lokollo.2001. Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah
Tangga dan Regional. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Departemen Pertanian, Bogor.
14 Kepala LIPI dalam laporannya selaku Ketua Panitia Pengarah WNPG X ,Jakarta 20 November 201215http://www.sehatnews.com/2012/06/12/pola-konsumsi-pangan-masyarakat-indonesia-belum-bergizi-seimbang/25 12 2012
16 Kepala LIPI dalam laporannya selaku Ketua Panitia Pengarah WNPG X ,Jakarta 20 November 2012
7
Pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia pada saat ini umumnya masih timpang, belum
beragam dan bergizi seimbang karena masyarakat terlalu banyak mengonsumsi beras17, hal
ini terlihat pada permintaan beras untuk dikonsumsi terus meningkat sejalan dengan
pertumbuhan penduduk; Permintaan terhadap beras itu juga semakin meningkat karena
masyarakat pemakan non-beras cenderung beralih ke beras sebagai dampak perubahan
kondisi sosial, ekonomi dan budaya; Dari sisi dampak perubahan iklim global menyebabkan
risiko produksi dan harga beras meningkat.
Sedangkan dari sisi teknologi dan ekonomi, permasalahan diversifikasi pangan adalah
Lambatnya perkembangan, penyebaran dan penyerapan teknologi pengolahan pangan lokal
untuk meningkatkan nilai gizi, nilai ekonomi, nilai sosial, citra dan daya terima ; Belum
berkembangnya agro industri pangan yang berbasis sumberdaya lokal ; belum optimalnya
pemberian insentif bagi dunia usaha dan masyarakat pengembang aneka produk olahan
pangan lokal ; Kurangnya fasilitas pemberdayaan ekonomi untuk meningkatkan aksesibilitas
pangan Beragam, Bergizi, Berimbang, Aman dan Halal (3B-AH) 18
Dari sisi penerimaan masyarakat, diversifikasi pangan terhambat dari kebiasaan masyarakat
lokal. Pemerintah sendiri mengakui proses diversifikasi pangan masih sangat sulit diterapkan
karena masih terhambat pola pikir masyarakat.19 Seperti di Kupang, NTT, masalah
diversifikasi pangan justru terletak pada pangan lokal itu sendiri, seorang pengamat
mengatakan “Mengonsumsi pangan lokal seperti jagung bose, pisang rebus, ubi-ubian, dinilai
merendahkan martabat pengonsumsi, bahkan ketika kedapatan mengonsumsi pangan tersebut
dianggap sudah kelaparan,”20
Dari segi kelembagaan yang menangani pertanian, ketahanan pangan, diversifikasi pangan,
terfragmentasi diantara beberapa lembaga yang menimbulkan ego sektoral sehingga
kontinuitas program dan kegiatan terkait tidak berjalan lancar dan tidak fokus.
BAB IV : ANALISIS DAN PEMBAHASAN17 Kepala Badan Ketahanan Pangan pada http://www.tempo.co/read/news/2012/09/14/090429500/Pemerintah-Akui-
Diversifikasi-Pangan-Sulit 2012-12-26
18 Dr. Ir. Endang Sugiharti, MS.i, Bahan Kuliah Ketahanan Pangan, Program KSKN- UI, Jakarta 201219 Gayatri K. Rana, BKP, pada http://www.tempo.co/read/news/2012/09/14/090429500/Pemerintah-Akui-Diversifikasi-
Pangan-Sulit 2012-12-26
20 Leta Rafael Levis pada http://www.iposnews.com/2012/06/09/nasi/ diunduh 18 12 2012
8
IV.A. INDIKATOR DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN
Sejarah diversifikasi pangan di Indonesia dimulai pada saat diresmikannya Fakultas
Pertanian Universitas Indonesia pada 27 April 1952. Pada saat peletakan batu pertama
Presiden Soekarno dalam pidato sambutannya menyerukan penganekaragaman bahan
makanan pokok pengganti beras. Saat itu, penduduk Indonesia yang berjumlah 75 juta jiwa
membutuhkan sekitar 6,5 juta ton beras. Karena produksi dalam negeri hanya sekitar 5,5 juta
ton, maka sisanya harus didatangkan dari luar negeri. Kenyataannya gerakan itu hanya
menyentuh sebagian besar elite, tidak menjamah semua lapisan masyarakat yang justru
menempati urutan kuantitas terbesar dari penduduk Indonesia. Ironisnya lagi, yang
dianjurkan hanya golongan masyarakat nonpegawai negeri sipil dan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI). Kedua golongan itu justru memperoleh jatah pembagian beras
setiap bulan. Sebaliknya, rakyat harus mengantre untuk bisa memperoleh jatah beras murah
yang jumlahnya sangat terbatas.21 Selanjutnya pada tahun 1960 Pemerintah mencanangkan
Program Perbaikan Mutu Makanan Rakyat. Sembilan tahun kemudian, 1969, Pemerintah
mempopulerkan slogan “Pangan Bukan Hanya Beras” tujuannya dengan memanfaatkan
bahan pangan lokal untuk pengganti beras disebut Beras Tekad yang terbuat dari Singkong
Selanjutnya terbitlah INPRES Nomor 14 Tahun 1974 tentang Perbaikan Mutu Makanan
Rakyat dan disempurnakan dengan Inpres Nomor 20 Tahun 1979 tentang
Menganekaragamkan Jenis Pangan dan Meningkatkan Mutu Gizi Makanan Rakyat.
Pada periode 1993 - 1998 Program Diversifikasi Pangan dan Gizi dilaksanakan oleh
Departemen Pertanian. Lalu di tahun 1989 Pemerintah mendirikan Kantor Menteri Negara
Urusan Pangan dengan Program “Aku Cinta Makanan Indonesia”. Kemudian keluarkan UU
No.7 tahun 1996 Tentang Pangan, diikuti oleh PP Nomor 68 tahun 2002 Tentang Ketahanan
Pangan; Perpres No. 22 Tahun 2009 tentang “Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal” ; Permentan No. 43 Tahun 2009 tentang Gerakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP); Peraturan Menteri Pertanian
No.65/Permentan/ OT.140/12/2010 tentang SPM Bidang Ketahanan Pangan Propinsi dan
Kabupaten/Kota dan yang terbaru adalah UU No 8 Tahun 2012 tentang Pangan.
Undang-Undang terbaru ini menyebutkan bahwa Penganekaragaman Pangan merupakan
upaya meningkatkan Ketersediaan Pangan yang beragam dan yang berbasis potensi sumber
21 Her Suganda, Wartawan di Jawa Barat pada http://mediatani.wordpress.com/2008/03/10/masalah-diversifikasi-pangan/ diunduh 18 12 2012
9
daya lokal untuk memenuhi pola konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan
aman; mengembangkan usaha Pangan; dan/atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penganekaragaman Pangan Dilakukan dengan penetapan kaidah Penganekaragaman Pangan;
serta pengoptimalan Pangan Lokal;
Undang-Undang terbaru ini juga menyatakan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
merupakan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memenuhi kebutuhan Gizi
masyarakat dan mendukung hidup sehat, aktif, dan produktif. Penganekaragaman konsumsi
Pangan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mem budayakan pola
konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman serta sesuai dengan potensi dan
kearifan lokal.
Perlunya peningkatan kesadaran masyarakat dan membudayakan pola konsumsi pangan
yang beragam berangkat dari kenyatan bahwa pola pangan pokok utama Indonesia
mengarah ke pola tunggal yaitu beras. Suatu analis22 menunjukan :
1. Semua propinsi di Indonesia pada tahun 1979 mempunyai pola pangan pokok utama
beras dan pada tahun 2005 posisi tersebut masih tetap, kalaupun berubah hanya terjadi
pada pangan kedua, antara jagung dan umbi-umbian;
2. Di KTI, pola pangan tunggal berupa beras pada tahun 1979 hanya terjadi di satu
propinsi yaitu Kalimantan Selatan, namun pada tahun 1996 sudah menjadi 8 propinsi
yaitu Kalsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, NTB, Sulsel, Sulut dan Sulteng;
3. Pada tahun 1993, sebagian besar propinsi mempunyai pola pangan pokok yang sudah
mengarah ke pola tunggal yaitu beras. Kecenderungan ini terjadi pada masyarakat
kaya dan miskin,
4. Pada tahun 2002, pangan pokok kedua masyarakat sudah tidak dari umbi-umbian atau
jagung tetapi dari mie. Perubahan ini semakin signifikan pada tahun 2005, semua
masyarakat di kota atau desa dan kaya atau miskin hanya mempunyai satu pola
pangan pokok yaitu beras dan mie.
Terjadi pergeseran pola pangan pada periode 2002 -2005 disebabkan keberhasilan kampanye
produsen mie instan untuk membuat mie sebagai makanan Indonesia dan pergeseran ini
menyebabkan penurunan konsumsi beras namun penurunan konsumsi beras ini tidak
diimbangi oleh peningkatan konsumsi pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu dan jagung,
22 Hasil analisis dengan menggunakan series data Susenas yang dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian serta Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian
10
sehingga tidak bisa dikatakan penurunan konsumsi beras sebagai akibat kebijakan
diversifikasi pangan, komposisi perkembangan konsumsi pangan pokok sebagaimana terlihat
pada tabel berikut ini :
Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Pangan Pokok (Kg/kap)
Tahun Beras Jagung Terigu Ubi kayu
Ubi jalar
Sagu Umbi lain
2002 115,5 3,4 8,5 12,8 2,8 0,3 0,52003 109,7 2,8 7,2 12,0 3,3 0,3 0,62004 107,0 3,2 7,7 15,1 5,4 0,4 0,72005 105,2 3,3 8,4 15,0 4,0 0,5 0,62006 104,0 3,0 8,2 12,6 3,2 0,5 0,6
Sumber : Susenas,BPS, diolah oleh Badan Ketahanan Pangan
Tabel 3 ini memperlihatkan penurunan konsumsi beras periode 2002-2006 dari 115,5 kg/kap
menjadi 104 kg/kap tapi diikuti pula oleh penurunan konsumsi jagung dari 3,4 kg/kap
menjadi 3 kg/kap sedangkan sagu naik dari 0,3 kg/kap menjadi 0,5 kg/kap. Kedepan, sagu
bisa diandalkan jadi panganan pokok khususnya untuk masyarakat Indonesia Timur.
Penganekaragaman Konsumsi Pangan atau Diversifikasi konsumsi pangan masyarakat
Indonesia bisa juga ditunjukan dengan indikator skor Pola Pangan Harapan (PPH), skor ini
menunjukkan bahwa skor mutu konsumsi pangan penduduk Indonesia periode 2002–2011
secara nasional (kota + desa) tidak pernah menyentuh angka 90 seperti ditunjukan diagram
berikut ini :
Diagram 1 : SKOR PPH 2002 – 2011
11
Diagram ini menunjukan skor PPH nasional yang berfluktuasi dibawah angka 80 kecuali
tahun 2007 dan 2008. Skor ini masih jauh dari angka ideal 100. Jika dibandingkan dengan
skor PPH tahun 1995 sebesar 7223 maka dapat ditarik kesimpulan bahwa diversifikasi
pangan tidak benar-benar jalan ditempat tapi pastinya selama 17 tahun, Indonesia berada
dalam pola konsumsi pangan yang kurang ideal sementara ada sejumlah kebijakan, program
dan kegiatan terkait diversifikasi pangan yang tentunya dilakukan selama masa itu dan masih
akan diteruskan pada tahun-tahun selanjutnya karena amanat undang-undang.
Diagram ini juga menunjukan perbedaan Skor PPH yang menolok antara Kota dengan Desa.
Sampai dengan tahun 2008 skor PPH kota diatas 80 tapi selanjutnya menurun pada angka
78,7 artinya pola konsumsi pangan orang kota memburuk. Sedangkan di desa, skor PPH nya
lebih buruk dibanding Kota.
Fluktuasi skor PPH tidak pernah menuju ke arah yang lebih baik karena skor tersebut yang
masih jauh dari skor ideal 100 menunjuk pola konsumsi pangan yang masih didominasi
konsumsi energi kelompok padi-padian seperti terlihat pada tabel 1, hal ini terjadi karena
kurangnya kesadaran masyarakat akan pangan yang beragam, bergizi, berimbang, dan aman, dan
diikuti juga dengan semakin meningkatnya konsumsi terigu yang merupakan bahan pangan
impor. Sementara itu, konsumsi pangan yang lainnya masih belum memenuhi komposisi ideal
yang dianjurkan, seperti pada kelompok umbi – umbian, pangan hewani, sayur dan buah.
PPH diperkenalkan Pada tahun 1989 oleh FAO-RAPA di Bangkok.24 Pola Pangan
Harapan (PPH) atau Desirable Dietery Pattern adalah suatu komposisi pangan yang
seimbang untuk dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk. PPH mencerminkan
susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup sehat, aktif dan produktif. PPH dapat
dinyatakan dalam bentuk komposisi energi (kalori) aneka ragam pangan; dan komposisi
berat (gram atau kg) aneka ragam pangan yang memenuhi kebutuhan penduduk.
PPH diadakan dengan tujuan untuk menghasilkan suatu komposisi normal atau standar
pangan dalam memenuhi kebutuhan gizi penduduk. sekaligus juga mempertimbangkan
keseimbangan gizi (nutricional balance), cita rasa (porlability), daya cerna (digestability), 23 Pada akhir Repelita VI penyediaan pangan dalam bentuk energi sesuai dengan PPH diharapkan mencapai skor mutu pangan sekitar 72 dengan kecukupan ketersediaan energi mencapai rata-rata 2.500 kilokalori per orang per hari.Dengan salah satu kebijakan berupa mendorong diversifikasi konsumsi pangan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pola pangan yang beranekaragam untuk meningkatkan gizinya; diunduh dari www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6578/ - 2012-12-25
24 tridewanti.lecture.ub.ac.id/files/.../pola-pangan.ppt – diunduh pada 24 12 2012
12
daya terima masyarakat (acceptability), kualitas dan kemampuan daya beli (affeadebility)
PPH berguna untuk Perencanaan, ketersediaan, dan produksi pangan; Sebagai evaluasi
tingkat pencapaian kinerja perencanaan; Pengukuran diversifikasi dan ketahanan pangan;
serta Pedoman dalam merumuskan pesan-pesan gizi. Untuk Indonesia komposisinya
sebagaimana tabel berikut ini :
Tabel 4 : Kualitas Konsumsi Pangan Penduduk Indonesia Tahun 2011 Berdasarkan PPH
Tabel ini menunjukan komposisi skor PPH 2011 sebesar 77,3 dibandingkan komposisi skor
PPH ideal 100. Terlihat energi sebesar 1.952 masih dibawah standar 2.000, sedangkan %tase
AKG sebesar 96,3 masih belum mencapai 100.
Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (AKG)25 atau Recommended Dietary Allowances
(RDA) atau Safe Level yaitu suatu anjuran tentang jumlah zat gizi yang diperlukan
seseorang atau kelompok orang agar hampir semua orang (97,5% populasi) dapat hidup
sehat. AKG berguna untuk mengukur tingkat konsumsi ; merencanakan konsumsi pangan
dan ketersediaan pangan ; menentukan fortifikasi zat gizi dalam makanan. Angka
Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (AKG) berbeda setiap masanya sebagaimana ditentukan
dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG).
25 Ibid
13
Berdasarkan diagram 1 perihal skor PPH dari 2002 sampai dengan 2011 menunjukan
fluktuasi skor terjadi pada wilayah yang jauh dari posisi ideal sementara pemerintah
menetapkan target skor PPH 2014 sebesar 93,3, sangat tinggi dibanding angka PPH 2011
sebesar 77,3. Untuk itu pemerintah telah menyiapkan program Percepatan Pengembangan
Konsumsi Pangan (P2KP) dengan sasaran Tercapainya pola konsumsi pangan yang beragam,
bergizi seimbang dan aman yang dicerminkan oleh Kenaikan skor PPH (tahun 2009 = 75,7;
tahun 2014 = 93,3) ; Konsumsi beras/kapita menurun (1,5 %/tahun). Adapun manfaat dari
P2KP adalah meningkatnya kualitas SDM; dan Mengurangi tekanan untuk mempermudah
pencapaian swasembada beras. Jika dalam 5 tahun konsumsi beras per kapita turun 1,5%
maka situasi diperkirakan seperti tabel berikut ini :
Tabel 5 : Proyeksi Konsumsi Beras 2015
Sumber : Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian 26
Jika P2KP berhasil, pada tahun 2015 maka Kebutuhan beras dapat dikurangi = 2,59 juta ton
Setara dengan Padi GKG = 4,60 juta ton dan Luas panen = 900 ribu (produktivitas 5,1 ton/ha)
Mungkin saja poyeksi ini bisa terwujud karena penurunan beras mendekati target, seperti
tabel berikut ini :
26 BKP, KEBIJAKAN NON PRODUKSI UNTUK ANTISIPASI FLUKTUASI PASOKAN DAN HARGA PANGAN
GLOBAL MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL , Disampaikan dalam Lokakarya“Antisipasi Dampak Perubahan Iklim dan Krisis Pangan dalam Upaya Memantapkan Ketahanan Pangan” di Hotel Bidakara ,Jakarta, 4 April 2012
14
Sumber : Dr. Ir.Endang Sugiharti, MSi, Ketahanan Pangan
Terjadi penurunan konsumsi beras sebesar 1,4 % selama tahun 2009-2010, angka ini hampir
mencapai sasaran Perpres No 22 yaitu penurunan konsumsi beras sebesar 1,5%. Adanya
penurunan konsumsi beras ini dapat menunjukan bagaimana peranan diversifikasi pangan
dalam menunjang swasembada beras untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
IV.B. PERUBAHAN KONSUMSI PANGAN
Konsumsi Pangan di Indonesia tampaknya mengalami dua kali perubahan yang mendasar.
Pertama terjadinya pergerakan pangan pokok lokal non-beras menuju beras, ketika
konsumsi beras agak turun sedikit, pergerserannya ke produk berbahan gandum. Dua
perubahan mendasar ini disebabkan kebijakan pemerintah. Kampanye keberhasilan
swasembada beras di tahun 1984 jelas menempatkan beras sebagai primadona pangan pokok
dan menggerakan masyarakat dengan pangan pokok non-beras menuju beras. Kebijakan yang
memudahkan impor gandum menyebabkan pemakaian terigu naik dengan signifikan. Tabel
berikut ini menunjukan pergerakan kelompok pangan periode 2005 – 2009 yang ditimbang
dengan skor PPH.
Tabel 7 : Konsumsi Pangan Masyarakat Menurut Kelompok PPH (Gram/Kap/hari)
15
Sumber : Mewa Ariani, Analisis konsumsi pangan tingkat masyarakat Mendukung Pencapaian Diversifikasi Pangan, Gizi Indon 2010, 33(1):20-28
Tabel 7 ini menunjukan, kecuali padi-padian serta minyak dan lemak, kelompok pangan
lainnya tidak bisa memenuhi standar skor PPH. Masih jauh dari cukup. Kelompok pangan
Padi-padian berfluktuasi pada wilayah skor tidak sesuai harapan karena jauh dari angka
ideal 275. Kelompok pangan umbi-umbian yang paling parah, sudah jauh dari skor PPH 100
malah mengalami penurunan yang signifikan dari 60 pada tahun 2005 menjadi 40,2 pada
tahun 2009. Adanya peningkatan pendapatan, mungkin menyebabkan pergeseran pangan
pokok umbi-umbian menuju pangan primadona yaitu beras. Kontribusi energi dari umbi-
umbian seharusnya sekitar 100 gram baru mencapai 40 gram/kapita/hari. Sulit untuk
meningkatkan konsumsi umbi-umbian. Padahal makanan umbi-umbian adalah sangat baik
untuk kesehatan karena salah satu faktornya adalah indek glikemiknya yang rendah, sehingga
mampu mencegah terjadinya penyakit diabetes. Sebuah penelitian27 menyimpulkan bahwa
pola konsumsi pangan pokok di Indonesia dari pola yang beragam pangan pokok ke arah pola
tunggal dan ke arah beras. Penelitian itu juga menyebutkan masyarakat yang semula
mempunyai pola jagung seperti di Provinsi Nusa Tenggara Timur serta sagu di Papua dan
Maluku juga sudah bergerask ke arah beras. Untuk kelompok pangan minyak dan lemak
sebesar 21,8 sudah meliwati skor PPH ideal tapi tidak berlebihan seperti terjadi pada
masyarakat Amerika Serikat dimana obesitas menjadi gangguan kesehatan yang dialami
masyarakat.
Tabel 8 : Perkembangan Konsumsi Beberapa Jenis Pangan (Gram/kap/hari)
27 Ariani,M. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok untuk Mendukung Swasembada Beras. Makalah pada Seminar
Nasional Hasil Penelitian Tanaman Serealia, 27-28 Juli. Makasar: s.n, 2010.
16
Sumber : Mewa Ariani, Analisis konsumsi pangan tingkat masyarakat Mendukung Pencapaian Diversifikasi Pangan, Gizi Indon 2010, 33(1):20-28
Tabel 8 ini menunjukan konsumsi beras menunjukkan kecenderungan yang menurun dari
tahun ke tahun walaupun dengan laju yang kecil. Walaupun menurun, namun tingkat
konsumsi beras masih tinggi yaitu 280,06 gram/kapita/hari atau 100,82 kg/kapita/tahun di
tahun 2009.
Konsumsi jagung menunjukkan penurunan yang signifikan yaitu 7,38 persen/tahun selama
lima tahun terakhir. Penurunan konsumsi jagung bukan karena ketersediaan jagung yang
terbatas, namun lebih karena perubahan pola pangan pokok. Produksi jagung secara nasional
pada tahun 2009 mencapai 17,6 juta ton dan menurut neraca produksi dan konsumsi,
ketersediaan jagung dari produksi domestik mencapai dua kali lipat dari kebutuhannya28.
Konsumsi Jenis Pangan Terigu megalami peningkatan signifikan dengan laju pertumbuhan
sebesar 6,86% kedua setelah susu, sementara laju konsumsi pangan lainnya adalah negatif.
Pada Direktori Badan ketahanan Pangan tahun 2009 terlihat bahwa rumahtangga yang
tingkat pendapatannya di atas Rp.100 ribu/kapita/bulan, pola konsumsi pangan pokoknya
sudah pola beras+terigu (termasuk turunannya seperti mi instan). Sebaliknya pada kelompok
pendapatan di bawah Rp.100 ribu/kapita/bulan, masih ditemukan pola pangan pokok yang
menggunakan pangan lokal seperti jagung, ubikayu dan sagu.
28 Hadi, P.U dan Sri.H.S.2010. Prospek, Masalah dan Strategi pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok. Makalah dalam Seminar Nasional Era baru Pembangunan Pertanian: Strategi Mengatasi Masalah pangan, Bio-Energi dan Perubahan Iklim.
25 November. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2010.
17
Berkembangnya mi instan sebagai makanan utama setelah beras didorong oleh kebijakan
jaman orde baru yang memprioritaskan terigu selain beras. Adanya kebijakan impor gandum
untuk diproses menjadi tepung di dalam negeri dan subsidi harga terigu oleh pemerintah,
maka harga terigu menjadi murah sehingga makanan berbasis gandum seperti mi instan dan
aneka roti/kue telah menjadi bagian hidup masyarakat. Dalam Sinar Tani Nomor 3356
tahun 2010 Pejabat Badan Ketahanan Pangan mengemukakan bahwa pada masyarakat
perkotaan sudah mulai mengurangi konsumsi beras tetapi sayang beralih ke makanan yang
bahan bakunya dari terigu. Dua puluh tahun yang lalu, konsumsi terigu per kapita/tahun
hanya 6 kg, sekarang sudah mencapai 17 kg/kapita/tahun. Impor gandum indonesia sudah
mencapai 6 juta ton/tahun setara dengan 24 triliun rupiah.
Tingkat konsumsi ubikayu, ubijalar dan umbi lainnya menurun secara signifikan. penurunan
konsumsi umbi-umbian lebih banyak dikarenakan perubahan gaya hidup yang berdampak
pada gaya makan. Dengan tingkat konsumsi yang terus menurun seperti ini menjadi ironis
karena Indonesia kaya dengan beragam pangan sumber karbohidrat berbasis pangan lokal
dengan budidaya yang relatif mudah, tidak memerlukan teknologi yang sulit dan biaya yang
murah. Namun adanya anggapan pangan lokal umbi-umbian adalah makanan inferior dan
dianggap orang miskin bila mengkonsumsinya. Padahal makanan umbi-umbian adalah
sangat baik untuk kesehatan karena salah satu faktornya adalah indek glikemiknya yang
rendah, sehingga mampu mencegah terjadinya penyakit diabetes.
Konsumsi pangan hewani dan sayur/buah menunjukkan kenaikan dari tahun ke tahun, namun
tingkat konsumsinya masih lebih rendah dibandingkan dengan anjuran PPH. Kedua
kelompok pangan ini sangat penting peranannya dalam kesehatan manusia dan sekaligus
pencapaian kualitas sumberdaya manusia.
Seperti terlihat pada Tabel 7, konsumsi pangan hewani dan sayur+buah menunjukkan
kenaikan dari tahun ke tahun, walaupun belum sesuai dengan harapan. Dibandingkan dengan
negara lain, konsumsi pangan hewani Indonesia masih rendah. Konsumsi daging di negara
Malaysia mencapai 48 kg/kapita/tahun, sedangkan di Filipina sebesar 18 kg/kapita/tahun.
Konsumsi telur ayam per kapita per tahun di Indonesia 51 butir, sementara di Malaysia
mencapai 279 butir29.
Tingkat konsumsi sayuran dan buah-buahan pada tahun 2009 masing-masing sebesar 49,1 kg
dan 22,8 kg per kapita per tahun. Konsumsi ini masih lebih rendah dibandingkan dengan
29 10. Yudohusodo,S. Abad Pertarungan Talenta. Kompas, 27 Januari 2006. hal. 4.
18
rekomendasi Food Agriculture Organisation (FAO) yaitu masing-masing 75
kg/kapita/tahun30.
IV.C. ASPEK EKONOMI DAN TEKONOGI DIVERSIFIKASI PANGAN
Diversifikasi pangan dimaksudkan untuk memperoleh keragaman zat gizi sekaligus melepas
ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan pokok tertentu yaitu beras dengan pangan
pokok lainnya yang berbasis potensi sumber daya lokal. Ketergantungan yang tinggi terhadap
beras dapat memicu ketidakstabilan jika pasokan terganggu dan sebaliknya jika masyarakat
menyukai pangan alternatif yaitu pangan yang bersumber dari daerahnya sendiri maka
ketidakstabilan ketahanan pangan akan dapat dijaga.
Hasil pertanian, pangan lokal dan budidaya pangan lokal suatu daerah merupakan suatu aset
ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu sangat tepat apabila sasaran
pembangunan bidang pangan di Indonesia diantaranya adalah terwujudnya ketahanan pangan
rumah tangga, terwujudnya penganekaragaman pangan serta terjamin keamanan pangan.
Untuk mewujudkan agar pangan lokal lebih berperan, perlu dimulai dari sisi penyediaan di
sisi hulu. Selanjutnya, dilakukan sosialisasi bagaimana cara mengolah atau memasak pangan
lokal tersebut dan bahan juga harus mudah diperoleh di pasaran serta harga terjangkau. Untuk
itu perlu dilakukan penggalian sumber pangan lokal, melakukan deseminasi teknologi
pengolahan pangan, teknologi skala usaha industri kecil dan Koperasi. penyediaan teknologi
ekstraksi untuk sagu dan pengolahan sagu menjadi mie sagu misalnya.
Selain itu Teknologi yang dikembangkan juga untuk pemanasan, pengeringan, pendinginan
dan pembekuan, untuk penambahan bahan kimia (pengawet, pewarna, pengental, peningkat
cita rasa dan sebagainya) atau kombinasi keduanya.
Dalam perkembangannya, teknologi pangan di samping digunakan untuk mengurangi
kerusakan juga untuk memperkaya zat gizi dan juga untuk merubah sifat bahan pangan
sehingga sesuai dengan selera konsumen. Adapun tahapan perkembangan teknologi
pengolahan hasil pertanian adalah dimulai dari pengaturan aktivitas air, pengeringan,
teknologi fermentasi, pengalengan hingga teknologi makanan ringan. Diikuti dengan
teknologi Makanan cepat hidang (instan), pembekuan cepat, dan teknologi kemasan.
30 Irawan,B; H.Tarigan; B.Wiryono; J.Hestina dan Ashari. Kinerja pembangunan Komoditas Hortikultura 2006 dan Prospek
19
Usaha diseminasi teknologi pangan untuk pangan lokal yang dilakukan pemerintah telah
banyak dilakukan. BPPT (Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi) telah
melakukan beberapa kegiatan antara lain di Grobogan Jawa Tengah dan di Kupang Nusa
Tenggara Timur dengan mengenalkan teknologi pengolahan jagung. Sedangkan teknologi
pengolahan sagu dilaksanakan di Papua dan Maluku. Kegiatan diseminasi tersebut
diharapkan dapat memperkuat ketersediaan pangan di daerah berbasis bahan baku lokal.
Potensi sagu di Papua mampu menjadi suatu lumbung pati sagu untuk dunia. Berdasarkan
data statistik di Papua ada 1,2 juta hektar kebun sagu. Potensi sagu di Papua ini sudah jauh
melampaui terigu produksi dunia, apalagi pati-pati dari kentang. Potensi sagu di Papua sudah
bisa menjadi sumber pangan dimasa depan.Sagu bisa sebagai andalan pangan masa depan
dan menjadikan sagu jadi produk ketahanan pangan di Indonesia
BPPT tengah mengembangkan dan memanfaatkan teknologi industri berbasis pati sagu di
Papua untuk mendukung ketahanan pangan. Selanjutnya diadakan lagi suatu teknologi yang
mengorientasikan limbah dari proses industri sagu untuk dikonversikan menjadi energi dan
mempersiapkan suatu proses yang ramah lingkungan dari industri sagu ini menjadi bagian
dari program sustainable development dan green development” Industri sagu yang
sustainable mampu menjadi solusi bagi masalah pangan maupun keterbatasan pangan global.
Industri juga akan menghasilkan bahan-bahan baru berbasis sagu seperti plastic degradable
berbasis sagu atau produk-pruduk lain yang berpotensi sangat besar dan dapat dikembangkan
pada masa-masa yang akan datang. Saat ini sedang dibangun dan dalam proses kontruksi
pabrik pengolahan pati sagu 30.000 ton/bulan yang akan berproduksi akhir tahun 2012
dengan Kebun sagu di Papua seluas 40.000 hektar.31
IV.D. KELEMBAGAAN DIVERSIFIKASI PANGAN
Saat ini, ada tiga lembaga pangan yakni Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang diketuai
Presiden, Badan Ketahanan Pangan (BKP) di bawah Kementerian Pertanian dan Perum
Bulog. Komisi IV DPR telah menyiapkan tiga skenario lembaga pangan sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang No 18 tahun 2012 tentang Pangan, nantinya lembaga
pangan tersebut harus berada di bawah langsung dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Skenario pertama, meleburkan DKP, BKP dan Bulog menjadi satu lembaga pangan setingkat
31http://www.bppt.go.id/index.php/component/content/article/56-bioteknologi-dan-farmasi/1200-bppt-dukung-
pengembangan-industri-sagu-di-papua
20
kementerian. Lembaga pangan tersebut nantinya menjadi regulator (pengambil kebijakan)
sedangkan sebagai operator (pelaksana kebijakan) pemerintah bisa menunjuk ke Bulog.
Lembaga itu bisa bernama badan kemandirian pangan, atau badan kedaulatan pangan.
Kedua, pemerintah bisa membentuk holding pangan yang mana posisi Bulog tetap seperti
saat ini yakni sebagai penyedia, pendistribusi, pergudangan dan stabilisator pangan.
Sementara itu, posisi BKP ditingkatkan menjadi badan atau lembaga yang mengurusi bidang
pangan dan bertangung jawab langsung kepada Presiden, sedangkan DKP dibubarkan.
Skenario ketiga,pemerintah membubarkan DKP dan BKP, sementara posisi Bulog dinaikkan
pangkatnya setingkat kementerian yang bertangung jawab langsung ke Presiden. Lembaga
pangan tersebut nantinya fokus menangangi lima komoditi yakni beras, jagung, kedelai, gula
dan daging.32
Perubahan kelembagaan, program dan kegiatan terkait pangan telah banyak dilakukan. Dulu,
pada tahun 1989 Pemerintah juga pernah mendirikan Kantor Menteri Negara Urusan
Pangan dengan Program “Aku Cinta Makanan Indonesia”. Apapun kelembagaannya, tetap
saja skor PPH bergerak di wilayah yang tidak memenuhi harapan. Yang menjadi pertanyaan
dari rangkaian kelembagaan diversifikasi pangan, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian
Pertanian dan Dewan Ketahanan Pangan serta Bulog, dimanakah pemerintah menempatkan
posisi pertanian, unsur strategis dari Ketahanan Pangan. Berikut ini adalah ringkasan Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Prof. Dr.
Ir. Dwidjono Hadi Darwanto, SU pada 14 April 2008.
Sejak awal Kemerdekaan Indonesia, pembangunan pertanian lebih dititik-beratkan pada
ambisi untuk mencapai swasembada beras bagi rakyat Indonesia. Pada perkembangannya
ternyata ambisi tersebut belum bisa dicapai hingga akhir pemerintahan Presiden Republik
Indonesia pertama. Bahkan, pada saat itu harga beras justru semakin naik dan rakyat tidak
mampu membeli beras.
Kemudian, pada masa pemerintahan Presiden Republik Indonesia kedua, program pencapaian
swasembada beras masih menjadi titik berat pembangunan pertanian. Namun, pembangunan
pertanian pada masa itu relatif dapat dilaksanakan secara konsisten dengan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) sebagai pedoman. Keberhasilan pembangunan
32 Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron pada http://www.badanketahananpangan.com/ 2012-12-15
21
sektor pertanian pada saat itu dapat ditunjukkan oleh peningkatan produksi beras sehingga
mencapai tingkat swasembada beras pada tahun 1984.
Namun, setelah tercapainya ambisi swasembada beras tersebut program pengembangan
sektor pertanian mengalami masa ”anti-klimaks”. Program pembangunan ekonomi nasional
selanjutnya dititik-beratkan pada sektor industri, termasuk industri yang berbasis pertanian.
Pada prakteknya, pengembangan sektor industri justru dilakukan dengan ”mengorbankan”
hasil pembangunan sektor pertanian, antara lain: (1) pengembangan industri tekstil dan
produk tekstil yang berbasis kapas impor, dan (2) diterapkannya kebijakan harga beras murah
agar tingkat upah buruh rendah sehingga sektor industri dapat berkembang. Hasilnya, sektor
industri berkembang cepat namun kinerja sektor pertanian menjadi stagnant atau bahkan
menurun.
Kemudian, peralihan sistem pemerintahan ke ”Orde Reformasi” yang telah berjalan sekitar
sepuluh tahun ini ternyata tidak pula memberikan perhatian terhadap pengembangan sektor
pertanian. Subsistem pertanian yang pada masa lalu menjadi pilar-pilar penyangga sektor
pertanian justru terpecah ke beberapa departemen. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan
adanya pemindahan wewenang pengelolaan irigasi ke Departemen Pekerjaan Umum;
pengelolaan BUMN pertanian ke Kementerian BUMN; pengelolaan sub-sektorperikanan ke
Departemen Kelautan dan Perikanan; pengembangan perdagangan dan industri hasil
pertanian ke Departemen Perindustrian dan Perdagangan; dan sebagainya. Akibatnya, posisi
sektor pertanian menjadi semakin lemah dan tidak mampu berkembang sehingga tidak
berdaya menghadapi ”gelombang” globalisasi ekonomi dunia.
Selanjutnya, pemerintahan ingin membangun kembali sektor pertanian dengan program
Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Intinya adalah untuk mempercepat
laju perkembangan Sektor Pertanian secara luas agar mampu memberikan kontribusi nyata
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, kenyataannya program tersebut belum
dapat dilaksanakan secara luas hingga di tingkat daerah, karena (1) kebijakan pengembangan
ekonomi nasional yang bersifat parsial akibat terpisahnya sub-sistem pertanian, dan (2)
sangat tergantung dari perhatian pemerintah daerah pada pengembangan sektor pertanian di
daerahnya masing-masing.33
33 Prof. Dr. Ir. Dwidjono Hadi Darwanto, SU, PENGEMBANGAN PERTANIAN MENUJU SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN YANG BERORIENTASI PASAR DAN RAMAH LINGKUNGAN, , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada,2008
22
Rangkaian keadaan tersebut paling tidak memberikan beberapa catatan yang dapat digunakan
untuk pengembangan sektor pertanian, serta penyusuan kelembagaan ketahanan Pangan serta
kelembagaan Diversifikasi Pangan.
Keberhasilan pembangunan pertanian dapat dicapai melalui program yang terkoordinasi dan
disertai dengan ”ego sektoral” yang rendah karena unsur-unsur terkait pertanian sudah
terlanjur terfragmentasi, penyusunan kelembagaan ketahanan pangan yang baru justru tidak
menambah daftar fungsi yang terfragmentasi tersebut justru bisa mengumpulkan kembali
fungsi-fungsi yang terlanjur terpisah tadi sehingga lembaga ini nantinya dapat menyusun
kegiatan yang tidak hanya menyalurkan dana bansos APBN ke petani untuk membuat
gudang tapi bisa memberikan tanah ke petani, menyalurkan subsidi serta menyusun regulasi
yang dibutuhkan untuk itu.
IV. E. PERSEPSI DAN BUDAYA TERHADAP PANGAN LOKAL
Upaya untuk melakukan diversifikasi makanan pokok saat ini masih terkendala persoalan
persepsi dan budaya, selain "dosa" politik pangan masa lalu. Politik pangan di zaman Orde
Baru, telah menggerus kearifan lokal dalam konteks diversifikasi pangan.Di Maluku yang
masyarakatnya turun-temurun mengonsumsi sagu kini di sana justru lebih mudah ditemukan
beras.
Pada era Orde Baru, para pegawai negeri sipil (PNS) mendapat jatah beras 20 kilogram per
anggota rumah tangga. Kebijakan ini sering dituding sebagai penyebab semakin banyaknya
orang yang suka beras, termasuk PNS di wilayah timur Indonesia, yang dulunya mungkin
makan sagu, ubi jalar, atau jagung. Kini, kebijakan pembagian beras sudah dihentikan, tetapi
masyarakat telanjur cinta beras. Kebijakan zaman reformasi lain lagi. Pemerintah membagi-
bagikan beras untuk orang miskin dengan harga sangat murah. Akibatnya, masyarakat miskin
tetap memilih beras dan tidak menghiraukan pangan sumber karbohidrat lain yang murah. 34
Ketidakkonsistenan dalam promosi diversifikasi pangan juga dicerminkan oleh kurangnya
kepedulian jajaran pertanian terhadap pangan umbi-umbian. Penyuluh pertanian sering lebih
berkonsentrasi kepada petani sawah yang memproduksi beras. Para penyuluh ini tentu tidak
sepenuhnya bersalah karena mereka juga ingin menyukseskan swasembada beras. Namun,
semua ini menumbuhkan ketidak pedulian terhadap pangan sumber karbohidrat nonberas.
34 Ahmad Subagyo, anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan NasionalKetua Komisi IV DPR Romahurmuziy pada http://regional.kompas.com/read/2012/10/08/18564965/Diversifikasi.Pangan.Pokok.Terkendala.Persepsi
23
Pada Hari Pangan, Hari Gizi Nasional, atau peringatan Hari Kemerdekaan diadakan lomba
menu nonberas. Setelah lomba selesai, tamat pula diversifikasi pangan padahal diversifikasi
pangan yang sebenarnya adalah gerakan yang terus-menerus disuarakan dan dipraktikkan
dalam pola makan bangsa.35
Dari sisi persepsi, muncul juga hambatan untuk diversifikasi pangan. Orang makan tiwul,
misalnya, selama ini masih dipersepsikan minor, identik dengan orang tidak mampu. Padahal
masyarakat di sejumlah daerah secara turun-temurun mengonsumsi bahan nonberas sebagai
makanan pokok. di sejumlah daerah di Jawa Timur kini telah digencarkan pembuatan pangan
berbahan mocaf (tepung singkong). Bahan pangan ini bisa diolah menjadi makanan semacam
beras analog, mi instan, dan berbagai kue36.
Ali Khomsan, Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Fema IPB, mempertanyakan Hari
tanpa nasi bagi masyarakat Depok, Jawa Barat. Bisakah diversifikasi konsumsi pangan
dipaksakan melalui peraturan pemerintah? Diversifikasi adalah kesadaran yang ditunjang
oleh kesejahteraan dan keteladanan. Sesungguhnya prasyarat penting keberhasilan
diversifikasi pangan adalah membaiknya kesejahteraan. Masyarakat menengah atas
mengonsumsi nasi dalam jumlah lebih sedikit karena menu makannya tidak lagi didominasi
nasi. Mereka punya pilihan sumber protein dan lemak, termasuk buah, sehingga mengurangi
tekanan permintaan beras. Ali Khomasan memberikan contoh beberapa budaya diversifikasi
pagan dimana Pemimpin informal masyarakat Cirendeu memberi contoh langsung untuk
tidak makan nasi dan menyosialisasikan alasan mengapa mereka lebih baik makan rasi. Pola
makan nonberas pun bisa terus dipertahankan. masyarakat Kampung Cirendeu-Cimahi yang
mengonsumsi beras singkong (rasi) sejak 1924. Di Jepang, anak-anak usia TK diperkenalkan
dengan diversifikasi pangan melalui menu makan di sekolah. Tidak setiap hari nasi disajikan
sebagai makanan di sekolah sehingga sejak usia dini telah tertanam di benak bangsa Jepang
bahwa makan tidak berarti harus bersua nasi dan merasa kenyang dengan pangan lain.
Oleh karena itu, melalui pendidikan sejak usia dini seperti di Jepang dan gerakan masyarakat
melalui Tim Penggerak PKK diharapkan diversifikasi pangan kembali ke hakikatnya. Urusan
makan nasi atau tidak makan nasi tidak perlu diatur pemerintah. Semakin banyak aturan,
35 Ibid36Ibid
24
semakin pintar pula bangsa kita mencari celah untuk melanggar. Kalau pemerintah melarang
makan nasi, kita makan lontong.37
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
V.A. KESIMPULAN
Walaupun Indonesia telah mencapai swasemba beras di tahun 2008 namun ketahan pangan
masih belum berapa pada posisi aman mengingat pertumbuhan penduduk Indonesia yang
cukup tinggi, juga ada permasalahan nasional di bidang pembangunan pangan, ada juga
keterkaitan ketahanan pangan dengan status gizi masyarakat, tapi lebih disebabkan kondisi
pasar Internasional dan perubahan iklim yang mempengaruhi pangan dunia. Dampak
globalisasi jelas mempengaruhi ketahanan pangan Indonesia karena ketergantungan impor
pangan termasuk beras dan terigu yang semakin tinggi yang dikhususnya untuk menjaga stok
beras nasional yang memang diperlukan untuk menjaga stabilitas harga beras.
Untuk itu diversifikasi pangan diperlukan dalam rangka mengurangi tingkat konsumsi beras
yang ditargetkan 1,5% pertahunnya. UU nomor 8 tahun 2012 tentang Pangan menyatakan
Penganekaragaman konsumsi Pangan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
dan mem budayakan pola konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman serta
sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.Pernyataan ini berdasarkan data bahwa pola pangan
pokok utama Indonesia mengarah ke pola tunggal yaitu beras.
Diversifikasi konsumsi pangan masyarakat Indonesia bisa juga ditunjukan dengan indikator
skor Pola Pangan Harapan (PPH), skor ini menunjukkan diversifikasi pangan tidak benar-
benar jalan ditempat tapi pastinya selama 17 tahun, Indonesia berada dalam pola konsumsi
pangan yang kurang ideal.
Pemerintah menetapkan target skor PPH 2014 sebesar 93,3. Untuk itu pemerintah telah
menyiapkan program Percepatan Pengembangan Konsumsi Pangan (P2KP). Jika P2KP
berhasil, pada tahun 2015 maka Kebutuhan beras dapat dikurangi = 2,59 juta ton.Mungkin
saja proyeksi ini bisa terwujud karena terjadi penurunan konsumsi beras sebesar 1,4 %
selama tahun 2009-2010, Adanya penurunan konsumsi beras ini dapat menunjukan
bagaimana peranan diversifikasi pangan dalam menunjang swasembada beras untuk
mendukung ketahanan pangan nasional.
37 Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Fema IPB http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/02/29/11260178/Diversifikasi.Pangan.Salah.Kaprah 2012-12-23
25
Konsumsi Pangan di Indonesia tampaknya mengalami dua kali perubahan yang mendasar.
Pertama terjadinya pergerakan pangan pokok lokal non-beras menuju beras, ketika
konsumsi beras agak turun sedikit, pergerserannya ke produk berbahan gandum.
Usaha diseminasi teknologi pangan untuk pangan lokal yang dilakukan pemerintah telah
banyak dilakukan. BPPT (Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi) telah
melakukan beberapa kegiatan antara lain di Grobogan Jawa Tengah dan di Kupang Nusa
Tenggara Timur, Papua dan Maluku. Kegiatan diseminasi tersebut diharapkan dapat
memperkuat ketersediaan pangan di daerah berbasis bahan baku lokal.
Komisi IV DPR telah menyiapkan tiga skenario lembaga pangan sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang No 18 tahun 2012 tentang Pangan, nantinya lembaga pangan tersebut
harus berada di bawah langsung dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Upaya untuk melakukan diversifikasi makanan pokok saat ini masih terkendala persoalan
persepsi dan budaya, selain "dosa" politik pangan masa lalu. Ada beberapa contoh suksesnya
budaya diversifikasi pagan dimana Pola makan non-beras pun bisa terus dipertahankan.
masyarakat Kampung Cirendeu-Cimahi yang mengonsumsi beras singkong (rasi) sejak 1924.
Di Jepang, anak-anak usia TK diperkenalkan dengan diversifikasi pangan melalui menu
makan di sekolah.
V.B. SARAN :
Dalam Rapat Koordinasi yang diadakan Kementerian Pertanian, Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono mengingatkan agar Indonesia bersiap dengan berbagai kemungkinan perubahan
iklim global dan fluktuasi kenaikan harga pangan, hambatan yang mengganggu peningkatan
ketahanan pangan harus diatasi sekarang. Sudah saatnya Indonesia harus mandiri dari segi
pangan. Indonesia tak hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri tetapi bisa dijual ke
luar negeri. Kalau goalnya di 2014 adalah surplus beras, marilah segala sesuatunya kita
arahkan kesitu.38
Hasil analisis dari bahasan terdahulu menunjukan bahwa konsumsi pangan masyarakat
Indonesia masih perlu ditingkatkan kuantitas dan keragamannya. Keragaman dari aspek
kelompok pangan dan juga komoditas di dalam kelompok tersebut disesuaikan dengan
konsep pola pangan harapan (PPH) dan potensi sumberdaya lokal.
38 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/06/m8bqs0-soal-pangan-sby-ingatkan-perubahan-iklim-global
26
Implementasi program dan kegiatan diversifikasi pangan telah banyak dilakukan, namun
pada umumnya masih bersifat demonstratif (pameran, pelatihan, sosialisasi) dan belum
menyentuh pada perilaku masyarakat untuk mengimplementasikan dalam pola konsumsi
makanan sehari-hari. Untuk itu rekomendasi pengembangan program diversifikasi pangan
adalah sebagai berikut39 :
Program/kegiatan diversifikasi pangan perlu disiapkan dengan perencanaan secara
holistik dan terintegrasi, mulai dari hulu (budidaya) hingga hilirnya (pemasaran
produk), serta dengan target capaian yang jelas.
Proses pengolahan produk pangan lokal perlu dilakukan dengan memanfaatkan
proses/ teknologi tepat guna, sehingga diperoleh produk pangan yang standar, serta
memenuhi kriteria konsumsi makanan seimbang dan aman.
Pengembangan produk lokal perlu didukung industri pengolahan dengan
memanfaatkan teknologi tepat-guna dalam upaya meningkatkan nilai tambah, daya
saing dan pengembangan pemasaran.
Untuk mendukung diversifikasi pangan direkomendasikan juga untuk dapat
dilaksanakan dengan substitusi impor, misalnya Mocaf khususnya untuk tepung
terigu/gandum dengan memanfaatkan produk lokal seperti sagu, singkong, ubi jalar
dan sebagainya untuk dikembangkan menjadi mie, biskuit dan roti.
Dukungan pemerintah (daerah/pusat) dan kementerian terkait dalam bentuk
kebijakan/ peraturan, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi akan
menentukan keberhasilan program diversifikasi pangan.40
Juga diperlukan dukungan kebijakan fiskal terhadap diversifikasi pangan. Sebagai contoh
produk mocaf yang berasal dari singkong tidak perlu dikenakan pajak penambahan nilai
(PPN) 10 % karena akan memberatkan pelaku usaha lokal. Disamping itu bagi daerah yang
telah menerapkan penggunaan pangan lokal diberikan semacam kemudahan usaha dan
adanya kompensasi sosial yang lebih nyata. Selama ini dirasakan diversifikasi hanya
diserukan di tingkat kebijakan namun di tingkat operasionalnya kurang mendapat perhatian.41
39 http://www.bppt.go.id/index.php/component/content/article/56-bioteknologi-dan-farmasi/1203-diversifikasi-pangan-berbasis-potensi-lokal
40 Ibid41 http://techno.okezone.com/read/2012/08/16/56/678454/sentuhan-teknologi-untuk-pangan-lokal27 12 2012
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmad Subagyo, anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Nasional dan Ketua Komisi IV DPR
Romahurmuziy pada http://regional.kompas.com/read/2012/10/08/18564965/ Diversifikasi.Pangan.Pokok.
Terkendala.Persepsi
2. Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Fema IPB http://bisniskeuangan.
kompas.com/read/2012/02/29/11260178/ Diversifikasi.Pangan.Salah.Kaprah 2012-12-23
3. Ariani,M. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok untuk Mendukung Swasembada Beras. Makalah pada Seminar
Nasional Hasil Penelitian Tanaman Serealia, 27-28 Juli. Makasar: s.n, 2010.
4. BKP, KEBIJAKAN NON PRODUKSI UNTUK ANTISIPASI FLUKTUASI PASOKAN DAN HARGA
PANGAN GLOBAL MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL , Disampaikan dalam
Lokakarya“Antisipasi Dampak Perubahan Iklim dan Krisis Pangan dalam Upaya Memantapkan Ketahanan
Pangan” di Hotel Bidakara ,Jakarta, 4 April 2012
5. BKKBN Pusat pada http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr=44150 pada 2012-12-25
6. Badan POM, Hasil rapat Pra Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X Pada tanggal 17 Juli 2012 dan 20
Juli 2012
7. Dewan Ketahanan Pangan, “Buku Indonesia Tahan Pangan 2015” 2009
8. Dwidjono Hadi Darwanto, SU Prof. Dr. Ir., PENGEMBANGAN PERTANIAN MENUJU SISTEM PERTANIAN
BERKELANJUTAN YANG BERORIENTASI PASAR DAN RAMAH LINGKUNGAN, , Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada,2008
9. Endang Sugiharti, MSi , Dr. Ir. , Bahan kuliah pada program KSKN angkatan 32 UI, Jakarta tahun 2012
10. Gayatri K. Rana, BKP, pada http://www.tempo.co/read/news/2012/09/14/090429500/Pemerintah-Akui-
Diversifikasi-Pangan-Sulit 2012-12-26
11. Hadi, P.U dan Sri.H.S.2010. Prospek, Masalah dan Strategi pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok. Makalah dalam
Seminar Nasional Era baru Pembangunan Pertanian: Strategi Mengatasi Masalah pangan, Bio-Energi dan
Perubahan Iklim. 25 November. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2010.
12. Her Suganda, Wartawan di Jawa Barat pada http://mediatani.wordpress.com/2008/03/10/masalah-diversifikasi-
pangan/ diunduh 18 12 2012
13. Irawan,B; H.Tarigan; B.Wiryono; J.Hestina dan Ashari. Kinerja pembangunan Komoditas Hortikultura 2006 dan
Prospek
14. Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron pada http://www.badanketahananpangan.com/ 2012-12-15
15. Kepala LIPI dalam laporannya selaku Ketua Panitia Pengarah WNPG X ,Jakarta 20 November 2012
16. Kepala Badan Ketahanan Pangan pada http://www.tempo.co/read/news/2012/09/14/090429500/Pemerintah-Akui-
Diversifikasi-Pangan-Sulit 2012-12-26
17. Leta Rafael Levis pada http://www.iposnews.com/2012/06/09/nasi/ diunduh 18 12 2012
18. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian serta Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian,
Hasil analisis dengan menggunakan series data Susenas..
19. Saliem, HP.,M.Ariani, Y.Marisa, T.B. Purwantini dan EM Lokollo.2001. Analisis Ketahanan Pangan Tingkat
Rumah Tangga dan Regional. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Ekonomi
Pertanian, Badan Litbang Departemen Pertanian, Bogor.
28
20. Sumarno “ANTISIPASI DEFISIT PANGAN BERAS SEPULUH TAHUN YANG AKAN DATANG” prosiding
“Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X” Jakarta – 19 – 21 November 2012
21. tridewanti.lecture.ub.ac.id/files/.../pola-pangan.ppt – diunduh pada 24 12 2012
22. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan yang dikeluarkan pada tanggal 17 November 2012
23. Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan, “Pemerintah Tetap Impor Beras Meski Swasembada” pada
Yudohusodo,S. Abad Pertarungan Talenta. Kompas, 27 Januari 2006. hal. 4
24. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/06/m8bqs0-soal-pangan-sby-ingatkan-perubahan-iklim-
global
25. http://www.bppt.go.id/index.php/component/content/article/56-bioteknologi-dan-farmasi/1203-diversifikasi-
pangan-berbasis-potensi-lokal
26. http://www.majalahpangan.com/artikel.php?id=124 27 12 2012
27. http://techno.okezone.com/read/2012/08/16/56/678454/sentuhan-teknologi-untuk-pangan-lokal27 12 2012
28. http://www.bppt.go.id/index.php/component/content/article/56-bioteknologi-dan-farmasi/1200-bppt-dukung-
pengembangan-industri-sagu-di-papua
29. http://www.sehatnews.com/2012/06/12/pola-konsumsi-pangan-masyarakat-indonesia-belum-bergizi-seimbang/25
12 2012
30. http://www.tempo.co/read/news/2012/09/26/090432062/Pemerintah-Tetap-Impor-Beras-Meski-Swasembada
diunduh pada 2012-12-24
31. http://www.bisnis.com/articles/indeks-ketahanan-pangan-daya-dukung-infrastruktur-jadi-penghambat-di-indonesia
31 12 2012
32. http://www.mediaindonesia.com/read/2012/07/07/336333/265/114/Ketahanan-Pangan-Rawan 2012-12-14
33. http://www.mediaindonesia.com/read/2012/07/07/336333/265/114/Ketahanan-Pangan-Rawan 2012-12-14
34. www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6578/ - 2012-12-25
29
PERAN DIVERSIFIKASI PANGAN DALAM MENUNJANG
SWASEMBADA BERAS UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN
PANGAN NASIONAL
Mata Kuliah : Geografi, Demografi dan Sumber Daya AlamDosen : Dr. Ir. Endang Sugiharti, MS.i
30
Oleh : Edi Suryadi
NPM : 1206196271
KAJIAN STRATEJIK KETAHANAN NASIONAL
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS INDONESIA
J A K A R T A
Januari 2 0 1 3
Keterangan Gambar :
Warga Kampung Adat Cireundeu, Leuwigajah, Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, menanak nasi singkong dengan cara tradisional menggunakan kayu bakar dan kukusan Makanan nasi singkong atau beras singkong yang terbuat dari singkong yang digiling menjadi tepung ini menjadi makanan pokok warga kampung adat tersebut yang masih terjaga hingga kini. Kompas/Rony Ariyanto Nugroho Neneng (31) , Jumat (23/9/2012).
31
Daftar Isi
Halaman Judul ……………………………………………………………………….. i
Daftar isi …………………………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………… 1
BAB II PERAN DIVERSIFIKASI PANGAN DALAM MENUNJANG
SWASEMBADA BERAS UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN
PANGAN NASIONAL ....................................................................... 4
BAB III Permasalahan ................................…………………………………. 7
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN .....................................……….. 9
A. INDIKATOR DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN ............ 9
B. PERUBAHAN KONSUMSI PANGAN .....…………………… 16
C. ASPEK EKONOMI DAN TEKONOGI DIVERSIFIKASI PANGAN 19
D. KELEMBAGAAN DIVERSIFIKASI PANGAN ...................... 21
32
E. PERSEPSI DAN BUDAYA TERHADAP PANGAN LOKAL ….. 24
BAB V Kesimpulan dan Saran ……………………………………………….. 25
Kesimpulan …………………………………………………………… 25
Saran ………………………………………………………………….. 27
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………… 28
ii
33