pengaruh pelatihan manajemen stres terhadap kesejahteraan
TRANSCRIPT
PENGARUH PELATIHAN MANAJEMEN STRES TERHADAP
KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA PASIEN HIPERTENSI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi Dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia
Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-Syarat Guna Memperoleh
Derajat Sarjana S1 Psikologi
Oleh :
Nuzul Putri Maulina
15320341
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2019
i
PENGARUH PELATIHAN MANAJEMEN STRES TERHADAP
KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA PASIEN HIPERTENSI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi Dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia
Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-Syarat Guna Memperoleh
Derajat Sarjana S1 Psikologi
Oleh :
Nuzul Putri Maulina
15320341
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2019
ii
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Sang Pencipta alam semesta ini, Allah
subhanahu wa ta‘ala atas segala rahmat, hidayat, nikmat, serta ridho-Nya
sehingga karya sederhana ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat
serta para pengikutnya.
Karya sederhana ini peneliti persembahkan kepada :
Bapak Akhmad Seksiono dan Ibu Puji Hartati
Terimakasih untuk kasih sayang, perhatian, dukungan, bimbingan, nasihat serta
doa yang tiada henti yang telah diberikan kepada peneliti selama ini. Terimakasih
juga atas semua perjuangan dan pengorbaban yang telah Bapak Ibu berikan.
Semoga karya sederhana ini dapat menjadi salah satu kebanggaan dan
kebahagiaan untuk Bapak dan Ibu.
Fikri Fachrezi
Terimakasih untuk semua doa dan dukungan tak terhingga yang telah diberikan
kepada peneliti selama mengerjakan skripsi ini.
v
HALAMAN MOTTO
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya
bersama kesulitan itu ada kemudahan”
(QS. Al-Insyirah 5-6)
“Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala
orang-orang yang berbuat kebaikan”
(QS. Hud 115)
Karunia Allah yang paling lengkap adalah kehidupan yang didasarkan pada ilmu
pengetahuan
(Ali bin Abi Thalib)
Bukanlah ilmu yang seharusnya mendatangimu, tetapi kamulah yang harus
mendatangi ilmu
(Imam Malik)
Ilmu itu bagaikan binatang buruan, sedangkan pena adalah pengikatnya. Maka
ikatlah binatang buruanmu dengan ikatan yang kuat
(Imam Syafi’i)
vi
PRAKATA
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas berkat
rahmat, hidayat, dan ridho-Nya skripsi yang dikerjakan selama beberapa bulan ini
dapat diselesaikan dengan lancar. Saya menyadari bahwa selama proses pengerjaan
skripsi ini ada banyak bantuan, dorongan, dukungan, bimbingan, dan saran dari
berbagai pihak. Terimakasih atas bantuan yang telah diberikan kepada peneliti.
Dengan segenap kerendahan hati, saya mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si, Psikolog selaku Dekan Fakultas
Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
2. Ibu Yulianti Dwi Astuti, S.Psi., M.Soc.Sc selaku Ketua Program Studi
Psikologi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam
Indonesia.
3. Ibu Rr. Indahria Sulistyarini, S.Psi., MA., Psikolog selaku dosen pembimbing
skripsi. Terimakasih atas waktu, kesabaran, bimbingan, arahan, motivasi, dan
saran yang telah diberikan selama bimbingan skripsi. Mohon maaf apabila
selama proses bimbingan dengan Bunda terdapat perkataan maupun perilaku
yang kurang berkenan. Semoga Bunda selalu dalam lindungan Allah
subhanahu wa ta’ala.
4. Ibu Rumiani, S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku fasilitator dalam pemberian
intervensi pada penelitian ini. Terimakasih atas waktu, kesediaan, bantuan, dan
masukan yang diberikan sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas kebaikan Ibu.
vii
5. Bapak H. Akhmad Seksiono dan Ibu Hj. Puji Hartati selaku orang tua.
Terimakasih yang sangat dalam atas segalanya yang telah diberikan kepada
peneliti. Maaf apabila selama ini Uti masih banyak sekali kekurangan,
kekhilafan, kesalahan yang Uti perbuat sehingga membuat Ibu dan Bapak
kecewa. Uti berjanji akan memperbaiki kesalahan Uti dan membahagiakan Ibu
Bapak. Sehat selalu, dan bahagia selalu, Bu Pak. Semoga Allah subhanahu wa
ta’ala selalu melindungi keluarga kami.
6. Siblings (Selvi, Musdalifah Aulia) yang selama ini menjadi sahabat sekaligus
keluarga di kota rantau. Walaupun nantinya kita akan berpisah setelah
menyelesaikan kuliah ini, tetapi peneliti berharap komunikasi dan
persaudaraan kita akan tetap terjalin. Terimakasih atas kenangan, dukungan,
pengalaman, doa, bantuan, masukan dan saran yang telah kalian berikan
kepada peneliti. Semoga persahabatan ini tidak berhenti sampai disini, dan
semoga kalian selalu dalam lindungan Allah subhanahu wa ta’ala.
7. Mamah, Pakdhe, Mamas, Mba Erna, Mba Efry, Mba Jar. Terimakasih telah
memberikan dukungan dan dorongan yang tidak pernah putus kepada peneliti.
Tanpa dukungan kalian, mungkin sekarang Uti belum menyelesaikan skripsi
ini. Kalian selalu memberikan support disaat Uti lengah dalam proses
menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas
kebaikan kalian dan senantiasa melindungi kalian.
8. Teman-teman Pengurus PSC periode 2017/2018 terimakasih telah memberikan
pengalaman yang luar biasa dalam hal teamwork, leadership, time management
kepada peneliti. Semoga kita dapat sukses bersama-sama.
viii
9. Teman-teman PSC angkatan 2012, 2013, 2014 yang tidak dapat disebutkan
satu per satu. Terimakasih telah memberikan pengalaman, kesan, dan kenangan
yang baik selama peneliti kuliah di Psikologi. Peneliti merasa memiliki
keluarga baru setelah mengenal kalian. Semoga kekeluargaan kita akan tetap
terjalin walaupun sudah berada di kota masing-masing.
10. Angga Aldino Apriawan Adha selaku partner skripsi. Terimakasih telah
membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini. Maaf apabila selama
ini belum menjadi partner yang baik, masih sering ngambek, mutung jika ada
hal yang tidak sesuai dengan harapan peneliti, tapi kamu selalu sabar
menghadapi keegoisan ini.
11. Nisa, Elsa, Ega, Hilda, Ika. Terimakasih telah berjuang bersama dari zaman
SMA hingga sekarang. Walaupun kita berada di kota yang berbeda, tetapi
peneliti yakin dukungan, dorongan, dan doa kalian sampai kepada peneliti.
Semoga persahabatan ini akan terus terjalin sampai kapanpun.
12. Teman-teman seperjuangan di bimbingan Bunda, terimakasih untuk doa,
dukungan dan dorongan selama ini.
13. Mba Lisa, Mba Santi, dan Ibu Partini, terimakasih telah membantu peneliti
dalam mencari subjek penelitian. Semoga kebaikan kalian dibalas oleh Allah
subhanahu wa ta’ala dan selalu dalam lindunganNya.
14. Seluruh responden yang terlibat dalam penelitian ini, terimakasih atas waktu
dan kesediaan yang diberikan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas
kebaikan Bapak Ibu, semoga Bapak Ibu selalu diberi kesehatan dan diridhoi
oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
ix
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam membantu,
mendukung, dan memotivasi peneliti khususnya co-fasilitator. Terimakasih
atas segala bantuan, dukungan, dorongan, dan doa yang diberikan kepada
peneliti.
Peneliti menyadari bahwa karya ini jauh dari kata sempurna, untuk itu segala
bentuk kritik, saran, dan masukkan sangat diharapkan agar dapat memperbaiki
karya ini. Akhirnya, peneliti berharap karya ini dapat bermanfaat bagi berbagai
pihak terutama pihak-pihak yang terkait.
Yogyakarta, 26 Mei 2019
Nuzul Putri Maulina
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN............................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... iv
HALAMAN MOTTO .......................................................................................... v
PRAKATA ......................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR BAGAN ............................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvi
INTISARI ........................................................................................................ xvii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian ............................................................................... 11
C. Manfaat Penelitian ............................................................................. 11
D. Keaslian Penelitian............................................................................. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 19
A. Kesejahteraan Psikologis.................................................................... 19
xi
1. Definisi Kesejahteraan Psikologis ............................................... 19
2. Aspek Kesejahteraan Psikologis .................................................. 20
3. Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis ................. 23
B. Manajemen Stres................................................................................ 26
1. Definisi Stres .............................................................................. 26
2. Definisi Manajemen Stres ........................................................... 27
3. Pelatihan Manjemen Stres ........................................................... 28
C. Hipertensi .......................................................................................... 31
1. Definisi Hipertensi ...................................................................... 31
2. Jenis-jenis Hipertensi .................................................................. 33
D. Pengaruh Pelatihan Manajemen Stres terhadap Kesejahteraan Psikologis
pada Pasien Hipertensi ....................................................................... 34
E. Hipotesis Penelitian ........................................................................... 43
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 44
A. Identifikasi Variabel Penelitian .......................................................... 44
B. Definisi Operasional .......................................................................... 44
C. Desain Penelitian ............................................................................... 45
D. Subjek Penelitian ............................................................................... 47
E. Prosedur Pemberian Perlakuan ........................................................... 47
F. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 51
G. Validitas dan Reliabilitas ................................................................... 53
H. Metode Analisis Data ......................................................................... 54
xii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................... 56
A. Orientasi Kancah dan Persiapan Penelitian ......................................... 56
1. Orientasi Kancah .......................................................................... 56
2. Persiapan Penelitian ..................................................................... 57
B. Pelaksanaan Penelitian ....................................................................... 66
1. Pelaksanaan Sebelum Pelatihan ................................................... 66
2. Pelaksanaan Pelatihan Manajemen Stres ..................................... 70
3. Pelaksanaan Setelah Pelatihan ..................................................... 82
4. Pelaksanaan Follow-up................................................................ 82
5. Pelaksanaan terhadap Kelompok Kontrol .................................... 84
C. Hasil Penelitian .................................................................................. 85
1. Deskripsi Subjek Penelitian ......................................................... 85
2. Analisis Kuantitatif ..................................................................... 85
3. Analisis Kualitatif ....................................................................... 96
D. Pembahasan ..................................................................................... 107
E. Evaluasi .......................................................................................... 125
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 128
A. Kesimpulan ...................................................................................... 128
B. Saran................................................................................................ 128
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 130
LAMPIRAN .................................................................................................... 136
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Rancangan Penelitian ............................................................................ 46
Tabel 2 Rancangan Pelatihan Manajemen Stres ................................................. 49
Tabel 3 Blueprint Skala Kesejahteraan Psikologis .............................................. 52
Tabel 4 Blueprint Perceived Stress Scale ........................................................... 53
Tabel 5 Distribusi Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis ................................... 59
Tabel 6 Distribusi Aitem Perceived Stress Scale ................................................ 60
Tabel 7 Pelaksanaan Pelatihan Manajemen Stres ................................................ 62
Tabel 8 Standar Penilaian Modul Intervensi yang Diberikan kepada Peserta Uji
Coba .................................................................................................... 67
Tabel 9 Hasil Penilaian Uji Coba Modul Pelatihan ............................................. 67
Tabel 10 Kriteria Kategorisasi Skala Kesejahteraan Psikologis pada Subjek ...... 68
Tabel 11 Kriteria Kategorisasi Perceived Stress Scale ........................................ 69
Tabel 12 Kategorisasi Data Penelitian Skala Kesejahteraan Psikologis ............... 69
Tabel 13 Kategorisasi Data Penelitian Perceived Stress Scale ............................ 69
Tabel 14 Deskripsi Subjek Penelitian ................................................................. 85
Tabel 15 Deskripsi Subjek Penelitian Kelompok Eksperimen ............................ 86
Tabel 16 Deskripsi Data Pengukuran Tekanan Darah Kelompok Eksperimen .... 87
Tabel 17 Deskripsi Subjek Penelitian Kelompok Kontrol ................................... 88
Tabel 18 Deskripsi Data Pre-test, Post-test dan Follow-up Kelompok Eksperimen
dan Kelompok Kontrol ....................................................................... 89
Tabel 19 Hasil Uji Normalitas ............................................................................ 90
Tabel 20 Hasil Uji Homogenitas ........................................................................ 91
xiv
Tabel 21 Uji Beda Skor Kesejahteraan Psikologis Kelompok Eksperimen dan
Kelompok Kontrol Menggunakan Gained Score ................................ 92
Tabel 22 Uji Beda Skor Kesejahteraan Psikologis Kelompok Eksperimen ......... 93
Tabel 23 Uji Beda Skor Kesejahteraan Psikologis Kelompok Kontrol ................ 94
Tabel 24 Uji Beda Tekanan Darah Pasien Hipertensi Kelompok Eksperimen ..... 95
xv
DAFTAR BAGAN
Grafik 1 Data Kelompok Eksperimen................................................................. 87
Grafik 2 Data Kelompok Kontrol ....................................................................... 88
Grafik 3 Mean Skor Kesejahteraan Psikologis antara Kelompok Eksperimen dan
Kelompok Kontrol ............................................................................... 89
Grafik 4 Skor Subjek 1 (HW) pada saat Pre-test, Post-test, dan Follow-up......... 98
Grafik 5 Skor Subjek 2 (JM) pada Saat Pre-test, Post-test dan Follow-up ........ 100
Grafik 6 Skor Subjek 3 (MS) pada Saat Pre-test, Post-test dan Follow-up ........ 103
Grafik 7 Skor Subjek 4 (AT) pada Saat Pre-test, Post-test dan Follow-up ........ 105
Grafik 8 Skor Subjek 5 (SS) pada Saat Pre-test, Post-test dan Follow-up ......... 107
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Modul Pelatihan ............................................................................ 136
Lampiran 2 Professional Judgement ................................................................ 137
Lampiran 3 Informed Consent .......................................................................... 138
Lampiran 4 Skala Penelitian............................................................................. 139
Lampiran 5 Uji Coba Modul Pelatihan ............................................................ 140
Lampiran 6 Data Penelitian .............................................................................. 141
Lampiran 7 Hasil Analisis Data........................................................................ 142
Lampiran 8 Lembar Tugas Peserta ................................................................... 143
Lampiran 9 Daftar Hadir Peserta ...................................................................... 144
Lampiran 10 Lembar Evaluasi Pelatihan .......................................................... 145
xvii
PENGARUH PELATIHAN MANAJEMEN STRES TERHADAP
KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA PASIEN HIPERTENSI
Nuzul Putri Maulina
Rr. Indahria Sulistyarini, S.Psi., M.A., Psikolog
INTISARI
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pelatihan
manajemen stres terhadap peningkatan kesejahteraan psikologis pada pasien
hipertensi. Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 10 pasien hipertensi yang terbagi
menjadi 5 subjek dalam kelompok control dan 5 subjek kelompok eksperimen.
Rancangan penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan pretest-posttest control
group design. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
kesejahteraan psikologis yang dikembangkan oleh Prameswari (2016). Modul
penelitian disusun berdasarkan teori Taylor (2009) yang dimodifikasi oleh Putrikita
(2018). Hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor yang
signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah pelatihan
manajemen stres pada kelompok eksperimen dengan nilai p=1,000 (p>0,05).
Berdasarkan analisis kualitatif, subjek kelompok eksperimen mengalami perubahan
yang positif yaitu peningkatan fungsi psikologis dan kesehatan yang baik,
Kata kunci : Manajemen Stres, Kesejahteraan psikologis, Hipertensi
xviii
THE EFFECT OF STRESS MANAGEMENT TRAINING ON
PSYCHOLOGICAL WELL-BEING IN HYPERTENSION PATIENT
Nuzul Putri Maulina
Rr. Indahria Sulistyarini, S.Psi., M.A., Psikolog
ABSTRACT
This study aims to understanding the effect of stress management training to
increase the psychological well-being of hypertension patients. The subjects in this
study were 10 patients with hypertension that divided into 5 subjects in
experimental group and 5 others in control group. The design of this study was
quasi-experimental research with pretest-posttest control group design. The
measuring instrument used to measure was a scale of psychological well-being
developed by Prameswari (2016). The intervention module used was arranged
based on the theory management stress of Taylor (2009) which has been modified
by Putrikita (2018). The result of data analysis showed that there was no significant
impact in psychological well-being scores between the experimental and control
group after stress management training in the experimental group with a value of
p=1,000 (p>0,05). Based on qualitative analysis, subjects of experimental group
experience positive changes such as increasing of psychological function and
physical health.
Keywords : Stress Management, Psychological Well-Being, Hypertension
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah
Hipertensi saat ini menjadi salah satu masalah kesehatan yang serius di
berbagai belahan dunia. Hipertensi terjadi akibat adanya peningkatan tekanan darah
yang dipompa keseluruh tubuh berada diatas batas normal yang ditunjukkan oleh
angka sistolik dan diastolik. Tekanan darah dianggap normal apabila angka sistolik
dan diastoliknya kurang dari 135/85 mmHg, sedangkan dikatakan hipertensi jika
melebihi angka 140/90 mmHg (Wahdah, 2011). Hipertensi juga terjadi ketika
suplai darah yang melalui pembuluh darah terlalu berlebihan, sehingga ketika darah
yang keluar dari jantung terlalu banyak maka menekan pembuluh darah dan
mengakibatkan aliran darah meningkat (Taylor, 2009).
Adib (2009) mengatakan bahwa hipertensi merupakan penyakit yang tidak
mengenal usia maupun golongan dan bisa menyerang siapa saja. Hipertensi
merupakan salah satu penyakit yang mematikan di dunia, namun tidak dapat secara
langsung membunuh pasiennya. Penyakit ini biasa disebut “the silent killer” atau
pembunuh diam-diam. Individu dapat mengidap hipertensi secara bertahun-tahun
tanpa menyadarinya bahkan sampai memicu terjadinya penyakit lain yang
tergolong berat dan mematikan. Sebagian besar individu tidak merasakan gejala
apapun, bahkan tidak mengetahui bahwa dirinya terkena hipertensi.
Dari tahun ke tahun jumlah pasien hipertensi semakin meningkat. Hal
tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia. Data World Health Organization
2
(WHO) tahun 2011 menunjukkan bahwa hipertensi telah menyerang satu milyar
orang di dunia. Negara berkembang dan berpenghasilan rendah sampai sedang
sangat rentan terkena hipertensi bahkan mencapai 2/3 dari populasi. Diprediksi
pada tahun 2025, prevalensi hipertensi akan terus meningkat tajam dan sebanyak
29% orang dewasa di seluruh dunia terkena hipertensi. Hipertensi telah
mengakibatkan kematian sekitar 8 juta orang setiap tahun, dimana 1,5 juta kematian
terjadi di Asia Tenggara yang 1/3 populasinya menderita hipertensi (Riskesdas,
2018).
Di Indonesia khususnya di Yogyakarta, prevalensi pasien hipertensi dari
tahun ke tahun juga semakin mengalami peningkatan. Data yang diperoleh dari
Puskesmas Ngemplak 2 menunjukkan bahwa terjadi kenaikan jumlah pasien
hipertensi dari tahun 2016 ke 2017. Pada tahun tahun 2016 terdapat 339 pasien baru
yang berkunjung ke puskesmas. Tahun 2017, pasien baru yang berkunjung ke
puskesmas mengalami kenaikan yang signifikan yaitu sebanyak 549 orang.
Berbeda halnya dengan pasien lama yang berkunjung untuk berobat, jumlah pasien
hipertensi justru mengalami penurunan. Pada tahun 2016 sebanyak 1161 pasien
berobat ke puskesmas setelah mengetahui diagnosa dokter bahwa dirinya terkena
hipertensi. Kemudian, tahun 2017 mengalami penurunan jumlah pasien lama yang
berkunjung ke puskesmas yaitu hanya sebanyak 918. Rudianto (2013) menyatakan
bahwa sebelum dokter memberikan diagnosa kepada pasien hipertensi, kebanyakan
dari mereka tidak mengetahui risiko penyakit hipertensi. Baru setelah bertemu
dengan dokter dan mendapatkan diagnosis, orang-orang sadar akan ancaman
penyakit hipertensi dan bagaimana menyikapi penyakit tersebut.
3
Berikut ini gambaran pasien hipertensi di lapangan berdasarkan hasil
wawancara. MA (45 tahun) merasa sangat bergantung pada obat walaupun sudah
menerapkan pola makan yang dianjurkan oleh dokter. Setiap hari MA harus selalu
minum obat dan tidak boleh terlewat. MA merasa bahwa penyakit hipertensi tidak
dapat dihilangkan dan tidak ada obat yang bisa untuk mengangkat penyakit
tersebut. Menurut MA, obat bersifat sementara karena jika berhenti meminum obat
maka tekanan darahnya akan kembali naik dan tidak normal.
MA juga mengatakan setelah MA terkena hipertensi ada perubahan yang
terjadi yaitu sering merasa lelah, emosi menjadi tinggi dan tidak terkontrol.
Disamping itu, tekanan darah akan cepat meningkat ketika MA terbawa emosi
sehingga menyebabkan penyakitnya kambuh. Reaksi tubuh yang terjadi ketika
tekanan darah mulai naik yaitu kaget, sakit kepala yang luar biasa, mual, telinga
terasa panas, mata menjadi perih saat dipejamkan dan sesak nafas. MA menjadi
pribadi yang sangat memikirkan suatu permasalahan hingga membuat tekanan
darahnya mudah meningkat, sehingga setiap kali MA memiliki masalah MA selalu
menceritakannya kepada suaminya. MA sangat bergantung kepada suaminya
karena MA harus selalu meminta bantuan suami untuk menyelesaikan
permasalahannya (Wawancara, 25 Maret 2018).
Sejalan dengan MA, ST (40 tahun) juga mengalami hal yang sama ketika
pertama kali mengetahui penyakit hipertensi yang dialami. Pada saat mengetahui
ST terkena hipertensi di usia 35 tahun, ST mengaku bahwa tidak dapat menerima
hal tersebut. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa penyakit hipertensi tidak dapat
disembuhkan dan harus selalu mengkonsumsi obat setiap hari untuk meminimalisir
4
kekambuhan penyakit tersebut. ST sempat terpuruk dan tidak akan bertemu dengan
orang lain karena ST tidak dapat menerima bahwa ST terkena hipertensi di usia
yang masih produktif. ST bahkan merasa iri kepada teman-temannya yang masih
sehat, bebas melakukan aktivitas, bebas makan makanan apapun tanpa pantangan,
sedangkan ST harus mulai merubah pola hidupnya agar penyakit hipertensinya
tidak mudah kambuh.
ST mengatakan apabila tekanan darah sedang naik, ST kesulitan untuk
mengontrol sehingga aktivitas menjadi terganggu bahkan sering kali ST
meninggalkan aktivitasnya dan memilih tidur. Sebelum ST mengalami hipertensi,
ST merupakan individu yang aktif, mudah bersosialisasi dengan orang lain, bahkan
ST merupakan kader kesehatan di desanya. Namun, setelah mengalami hipertensi
ST menjadi kurang aktif di berbagai acara kesehatan di desa dan lebih banyak waktu
yang dihabiskan di rumah karena penyakit hipertensi yang sering kambuh. ST
memilih lebih banyak di rumah karena apabila penyakit hipertensi yang sedang
kambuh kemudian dibawa untuk mengikuti kegiatan, ST kesulitan mengontrol
emosinya dan selalu ingin marah terhadap orang lain yang sedang berbicara dengan
ST.
Sebelum mengalami hipertensi, ST selalu semangat dalam mengikuti
berbagai acara terkait kesehatan di desanya dan memiliki tujuan ingin membantu
mensejahterakan masyarakat sekitar, disela-sela pekerjaan ST. Namun, setelah
mengalami hipertensi ST mengaku tujuan yang sudah dibuat tidak ingin ST lakukan
karena ST masih beranggapan bahwa kader kesehatan seharusnya individu yang
sehat jasmani dan rohani. ST mengaku bahwa penyakit hipertensi yang dialami
5
menghambat semua keinginan dan tujuan yang telah direncanakan sebelumnya.
Kegiatan terkait kader kesehatan menjadi terganggu, pekerjaan juga menjadi tidak
maksimal, serta hubungan sosial dengan orang lain terganggu (Wawancara, 15
September 2018).
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa salah satu permasalahan
yang dimiliki oleh pasien hipertensi adalah rendahnya kesejahteraan psikologis
(Manju & Singh, 2014). Hal tersebut ditandai dengan adanya kesehatan fisik dan
psikis yang kurang begitu baik. Berdasarkan kasus MA dan ST, kesehatan fisik
yang mudah lelah, sakit kepala yang luar biasa, muncul perasaan sedih dan emosi
negatif, membutuhkan dukungan dan dorongan dari orang lain dalam karena terus
menerus mengkonsumsi obat semasa hidupnya. Selain itu, pasien hipertensi
cenderung kehilangan kepercayaan diri. Penerimaan diri pasien hipertensi juga
kurang baik karena berhubungan dengan sakit yang tidak dapat disembuhkan dan
harus mengkonsumsi obat setiap hari, apabila obat tidak dikonsumsi dengan rutin
dan tidak melakukan pengelolaan emosi serta pola makan dengan baik akibatnya
akan menyebabkan penyakit seperti jantung koroner, stroke, dan serangan jantung.
Hubungan sosial dengan orang lain yang terganggu juga merupakan salah satu
dampak yang dialami oleh pasien hipertensi, karena setelah mengalami hipertensi
pasien cenderung sulit untuk mengontrol emosinya terlebih ketika tekanan
darahnya naik, sehingga lebih mudah tersinggung dan marah ketika berinteraksi
dengan orang lain. Aktivitas yang terhambat juga menjadi hal yang sering dialami
oleh pasien hipertensi ketika tekanan darah sedang naik karena kondisi fisik yang
tidak memungkinkan. Faktor-faktor diatas menunjukkan bahwa pasien hipertensi
6
memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah. Individu yang memiliki
kesejahteraan psikologis yang baik ialah ketika individu mampu untuk membentuk
hubungan dengan orang lain, menciptakan dan menguasai lingkungan dengan yang
baik, tidak mudah bergantung, mampu menerima diri sendiri apa adanya, memiliki
tujuan hidup, serta mampu terbuka dengan pengalaman baru.
Keluhan mengenai permasalahan fisik yang dialami oleh pasien hipertensi
seperti pening, telinga berdengung, rasa mual, pandangan kabur, sakit kepala
kronis, mimisan, peningkatan rasa dahaga, rasa berat di tengkuk, detak jantung
meningkat sehingga pasien akan mengalami kesulitan bernafas atau sesak nafas
serta mudah merasakan lelah. Selain kesehatan fisik yang terganggu, penyakit
hipertensi juga dapat mengganggu kesehatan mental, yaitu penurunan pada dimensi
mental seperti gelisah akibat kurang tidur (Purnomo dalam Anggraieni & Subandi,
2014). Akibat yang ditimbulkan adalah para pasien hipertensi akan kehilangan
semangat, memiliki emosi yang meledak-ledak serta amarah yang tertekan (Taylor,
2009).
Fitzgerald, Boehm, Kivimaki, Laura, dan Kubzansky (2014) menyebutkan
bahwa kesejahteraan psikologis berdampak pada tekanan darah individu. Tekanan
darah individu tetap memberikan pengaruh terhadap kebahagiaan, walaupun
individu tersebut sudah menerapkan perilaku sehat dan menghindari suasana hati
yang negatif. Steptoe, Dockray, Wardle (Fitzgerald, dkk, 2014) mengatakan bahwa
diperlukan teknik pengobatan yang lain mengingat perilaku sehat tidak dapat
mengubah hubungan antara emosi seseorang dengan hipertensi yaitu respon
fisiologis (neuroendokrin, daya tahan, dan proses inflammatori) atau modifikasi
7
faktor psikososial (dukungan sosial, strategi koping) yang harus dipelajari lebih
lanjut.
Berkaitan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan psikologis pada pasien
hipertensi, Manju dan Singh (2014) menjelaskan bahwa pasien yang mengalami
hipertensi tidak mampu menghadapi tekanan sosial, merasa menjadi pribadi yang
stagnan, tidak memiliki peningkatan dari waktu ke waktu, merasa bosan dan tidak
memiliki ketertarikan dengan kehidupannya, merasa sulit untuk menjadi hangat,
terbuka, peduli tentang orang lain, frustrasi dalam hubungan interpersonal, tidak
memiliki makna hidup, tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas serta tidak
memiliki keyakinan tentang kehidupan yang berarti. Manju dan Singh (2014)
menyimpulkan bahwa individu yang mengalami hipertensi memiliki efek negatif
pada kesejahteraan psikologis sehingga individu tersebut mengalami kesulitan
untuk mengontrol tekanan darah.
Adanya tekanan darah yang meningkat dan tidak dapat diprediksi kapan
datangnya membuat menarik untuk dicermati, bagaimana bisa beberapa pasien
mampu untuk berjuang dengan berbagai tantangan dan kesulitan yang dihadapinya
untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya (Taylor, 2009). Secara
konseptualisasi dan pengukuran kesejahteraan, kesejahteraan psikologis telah
menjadi konsep yang populer dalam memahami kesejahteraan individu. Ryff
(1995) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai hasil yang dicapai secara
penuh dari berbagai potensi psikologis seseorang dan merupakan keadaan dimana
individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri secara apa adanya, memiliki
tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi
8
pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan dan terus betumbuh
secara personal.
Peneliti tertarik untuk meneliti kasus penderita hipertensi dalam perspektif
psikologis. Semakin tahun penderita hipertensi terus mengalami peningkatan di
Indonesia, namun banyak diantara mereka yang cenderung tidak sadar akan
penyakit tersebut. Wahdah (2011) menyebutkan bahwa penanganan yang diberikan
oleh dokter untuk membantu mengatasi penyakit hipertensi diantaranya dengan
menggunakan pengobatan non farmakologis dan farmakologis. Pengobatan non
farmakologis dengan cara modifikasi gaya hidup pasien hipertensi. Terdapat pula
beberapa pengobatan non farmakologis yang diberikan pada pasien hipertensi
diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Putra, Nashori dan Sulistyarini
(2012) mengenai terapi kelompok untuk mengurangi kesepian dan menurunkan
tekanan darah pada lansia penderita hipertensi. Hasil penelitian tersebut adalah
terapi kelompok dapat mengurangi kesepian pada lansia, namun kesepian tidak
mempengaruhi penurunan tekanan darah secara signifikan pada lansia penderita
hipertensi. Penelitian lain mengenai terapi tawa untuk menurunkan stres pada
penderita hipertensi oleh Desinta dan Ramdhani (2013) menunjukkan bahwa terapi
tawa efektif menurunkan stres pada penderita hipertensi. Ada pula penelitian lain
yang dilakukan oleh Sulistyarini (2013) mengenai terapi relaksasi untuk
menurunkan tekanan darah dan meningkatkan kualitas hidup penderita hipertensi.
Hasil dari penelitian tersebut adalah terapi relaksasi dapat menurunkan tekanan
darah baik sistolik maupun diastolik pada penderita hipertensi. Penurunan tekanan
9
darah pada penderita hipertensi juga mempengaruhi peningkatan kualitas hidup
yang ditandai dengan berkurangnya keluhan fisik.
Berdasarkan beberapa uraian penelitian diatas, dapat dilihat bahwa terapi
yang diberikan pada pasien hipertensi sangatlah beragam, mulai dari terapi
kelompok, terapi tawa, serta terapi relaksasi. Peneliti menawarkan sebuah
intervensi lain yang lebih menyeluruh untuk meningkatkan kesejahteraan
psikologis pada pasien hipertensi yaitu manajemen stres. Pelatihan manajemen stres
perlu dilakukan karena stres merupakan salah satu faktor pemicu kekambuhan
penyakit hipertensi (Brannon & Feist, 2010). Menurut Smet (1994), stres dapat
menyebabkan penyimpangan fisiologis pada penyakit kronis, seperti hipertensi,
asma, rematik artritis, jantung koroner bahkan kanker. Hasil wawancara yang
dilakukan oleh MA juga menunjukkan bahwa kekambuhan penyakit hipertensi
paling sering terjadi ketika MA sedang stres, terlebih lagi jika dihadapkan pada
situasi yang menekan. Stres menurunkan kesehatan individu sehingga menurunkan
kesejahteraan psikologis. Manajemen stres merupakan rangkaian pelatihan yang
mencakup edukasi mengenai teori stres, menumbuhkan kesadaran terhadap faktor-
faktor pemicu stres, dan memberikan pelatihan mengenai strategi-strategi untuk
mengurangi stres (Ogden, 2007).
Penelitian-penelitian mengenai manajemen stres terhadap individu dengan
penyakit kronos menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, bahwa manajemen
stres akan meningkatkan kesejahteraan psikologis individu. Surwit, dkk (2002)
memberikan pelatihan manajemen stres kepada penderita diabetes tipe dua. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelatihan manajemen stres merupakan
10
pelatihan yang komprehensif, sehingga dapat meningkatkan fungsi psikologis
individu. De Brouwer, dkk (2011) memberikan pelatihan manajemen stres kepada
pasien rheumatoid arthritis. Pelatihan manajemen stres terbukti meningkatkan
fungsi psikologis, fungsi fisik, dan respon psikofisiologis pada individu. Fungsi
psikologis yang meningkat berkaitan dengan meningkatnya kesejahteraan
psikologis individu. Berdasarkan hal tersebut, maka pelatihan manajemen stres
perlu diberikan kepada pasien hipertensi untuk meningkatkan kesejahteraan
psikologis.
Taylor (2009) yang mengatakan bahwa manajemen stres dapat membantu
individu yang mengalami kesulitan dalam mengendalikan stres. Pelatihan
manajemen stres juga dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu.
Putrikita (2018) mengungkapkan bahwa pelatihan manajemen stres merupakan
salah satu bentuk pelatihan yang berbasis cognitive behavioral therapy. Melalui
pendekatan CBT, individu akan dilatih untuk yang mengendalikan stres melalui
kognitif individu serta memunculkan perilaku adaptif yang sesuai untuk
menghadapi kondisi yang menekan dan menimbulkan stres. Pelatihan ini bersifat
menyeluruh apabila dibandingkan dengan pelatihan dan intervensi dalam penelitian
sebelumnya yang hanya fokus pada satu aspek saja. Hal tersebut enjadi salah satu
kelebihan dari pelatihan ini dibandingkan dengan penelitian yang lain. Kelebihan
kedua, pelatihan manajemen stres bertujuan melatih responden untuk mengontrol
stress secara mandiri, sehingga teknik manajemen stres yang diajarkan oleh trainer
dapat dipraktekkan secara mandiri setelah sesi pelatihan berakhir. Hal tersebut
dimaksudkan agar kesejahteraan psikologis individu tidak menurun setelah
11
pelatihan berakhir. Ketiga, manajemen stres merupakan bentuk pelatihan yang
mampu meningkatkan fungsi psikologis dan fungsi fisik sekaligus. Berdasarkan
pemaparan diatas, diharapkan kesejahteraan psikologis pasien hipertensi meningkat
melalui pelatihan manajemen stres.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan
manajemen stres terhadap kesejahteraan psikologis pada pasien hipertensi .
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis, seperti :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
untuk memperkaya pengetahuan, khususnya di bidang psikologi klinis.
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti lain
yang ingin meneliti dengan tema yang sama.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada masyarakat terutama para pasien hipertensi agar dapat memanajemen
tingkat stres dengan baik. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah
satu referensi intervensi bagi pasien hipertensi.
12
D. Keaslian Penelitian
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian-penelitian sebelumnya
karena adanya tingkat kesamaan dalam variabel yang digunakan. Adapun penelitian
sebelumnya yang dijadikan acuan serta pembanding yang berkaitan dengan
kesejahteraan psikologis adalah Relationships Between Psychological Well-Being
And Resilience In Middle And Late Adolescents oleh Sagone dan Carli (2014).
Penelitian ini membahas mengenai hubungan antara kesejahteraan psikologis pada
remaja tengah dan remaja akhir dengan resiliensi. Subjek pada penelitian ini terdiri
dari 224 remaja tengah dan akhir (109 laki-laki dan 115 perempuan). Hasil dari
penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara kesejahteraan psikologis
dengan resiliensi pada remaja tengah dan akhir dimana remaja laki-laki memiliki
kesejahteraan psikologis yang lebih besar jika dibandingkan dengan perempuan.
Selain itu, remaja akhir juga menunjukkan well-being yang lebih besar
dibandingkan dengan remaja tengah.
Peningkatan kesejahteraan psikologis pada pasien diabetes mellitus tipe 2
dengan menggunakan group positive psychotherapy oleh Sujana, Wahyuningsih
dan Uyun (2015). Penelitian yang bersifat eksperimental ini bertujuan untuk
mengetahui peningkatan kesejahteraan psikologis dengan menggunakan group
positive psychotherapy pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Subjek yang mengikuti
pelatihan ini berjumlah 12 orang yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan
dengan rentang usia antara 47 sampai 64 tahun. Penelitian ini membagi subjek
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hal
tersebut bertujuan untuk melihat perbedaan kesejahteraan psikologis pada kedua
13
kelompok tersebut. Hasil yang ditunjukkan pada penelitian ini yaitu group positive
psychotherapy dapat meningkatan kesejahteraan psikologis pada pasien diabetes
mellitus tipe 2. Group positive psychotherapy membuat para pasien diabetes
mellitus tipe 2 untuk selalu berpikir positif dan mengenali potensi positif dalam diri
mereka.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Hasanvandi, dkk (2013) dengan
judul Effectiveness of Stress Management on Mental Health of Divorced Women.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas pelatihan cognitive
behavioral stress management (CBSM) untuk meningkatkan kesehatan mental
pada wanita yang becerai. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 42 wanita bercerai
yang telah dipilih dan secara acak dibagi kedalam dua kelompok yaitu kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan
manajemen stres dianggap sebagai bagian penting dalam sebuah tritmen
penyembuhan karena dapat menurunkan gejala-gejala fisik seperti kecemasan,
insomnia, dan depresi.
Penelitian mengenai pelatihan manajemen stres kepada penderita diabetes
tipe dua yang dilakukan oleh Surwit, dkk (2002) bertujuan untuk mengetahui
apakah pelatihan manajemen stres dapat meningkatkan metabolisme glukosa pada
penderita diabetes tipe dua. Subjek penelitian berjumlah 108 penderita diabetes tipe
dua yang berusia lebih dari 30 tahun, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan di
Duke University Outpatient Clinic. Alat ukur dalam penelitian ini adalah HbA1C,
Spielberger State-Trait Anxiety Inventory (STAI), Perceived Stress Scale (PSS),
General Health Questionnare (GHQ), BMI, dietary intake, dan Duke Active Status
14
Index (DASI). Hasil dari penelitian ini adalah pelatihan manajemen stress
menurunkan HbA1C serta meningkatkan fungsi psikologis subjek.
Prameswari (2016) melakukan penelitian mengenai pengaruh terapi zikir
dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis pada penderita hipertensi. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris mengenai pengaruh terapi zikir
dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis pada penderita hipertensi. Subjek
yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 18 orang penderita hipertensi yang
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 9 orang berada pada kelompok eksperimen dan
9 orang pada kelompok kontrol. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada
perbedaan kesejahteraan psikologis yang sangat signifikan antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok yang mendapat terapi zikir
mengalami peningkatan dalam kesejahteraan psikologis dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
Fitri (2019) melakukan penelitian mengenai terapi kelompok suportif
terhadap peningkatan kesejahteraan psikologis pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
psikologis pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dengan
memberikan intervensi terapi kelompok suportif. Subjek penelitian ini terdiri dari
8 pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dan terbagi menjadi dua
kelompok, 4 subjek pada kelompok eksperiman dan 4 subjek pada kelompok
kontrol. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan psikologis adalah
skala kesejahteraan psikologis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan dari terapi kelompok suportif dalam meningkatkan
15
kesejahteraan psikologis pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
pada subjek kelompok eksperimen dibandingkan dengan subjek pada kelompok
kontrol yang tidak mendapatkan intervensi.
Putrikita (2018) melakukan penelitian mengenai pelatihan manajemen stres
terhadap kesejahteraan psikologis pada penderita asma. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan manajemen stres terhadap
peningkatan kesejahteraan psikologis pada penderita asma. Subjek dalam penelitian
ini adalah mahasiswa penderita asma berusia 19-24 tahun di Yogyakarta, berjenis
kelamin laki-laki dan perempuan, serta memiliki skor kesejahteraan psikologis dan
stres dalam kategori sedang. Hasil analisis data menunjukkan tidak ada perbedaan
skor kesejahteraan psikologis yang signifikan antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Namun, hasil analisis kualitatif menunjukkan subjek pada
kelompok eksperimen mengalami perubahan positif yaitu peningkatan fungsi
psikologis dan kesehatan yang membaik.
Berikut adalah beberapa keaslian data yang digunakan sebagai orisinalitas
penelitian, antara lain :
1. Keaslian Topik
Topik dalam penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian Sujana,
Wahyuningsih dan Uyun (2015) yang meneliti mengenai peningkatan
kesejahteraan psikologis dengan menggunakan group positive psychotherapy
pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Variabel bebas dalam penelitian tersebut
adalah group positive psychotherapy. Penelitian lainnya yaitu mengenai
efektivitas pelatihan cognitive behavioral stress management (CBSM) untuk
16
meningkatkan kesehatan mental pada wanita yang becerai oleh Hasanvandi,
dkk (2013). Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah
cognitive behavioral stress management (CBSM). Peneliti melakukan
penelitian yang menggunakan variabel bebas manajemen stres serta
kesejahteraan psikologis sebagai variabel tergantung.
2. Keaslian Teori
Sagone dan Carli (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Relationships
Between Psychological Well-Being And Resilience In Middle And Late
Adolescents menggunakan teori dari Ryff (1989) yang menyebutkan bahwa
kesejahteraan psikologis merupakan satu set karakteristik psikologis yang
terlibat pada suatu fungsi manusia secara positif yang mencakup beberapa
aspek. Karakteristik kesejahteraan psikologis yang paling sering dikaitkan
dengan perasaan individu adalah penerimaan diri yang didefinisikan sebagai
salah satu ciri utama kesehatan mental.
Penelitian yang dilakukan oleh Hasanvandi, Valizade, Honarmand dan
Mohammadesmaeel (2013) dengan judul Effectiveness of Stress Management
on Mental Health of Divorced Women menggunakan teori Daubenmier,
Weidner, Summer, Mendell, Merritt-Worden, dan Studley (2007).
Teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sintesa dari teori-
teori yang digunakan dalam penelitian sebelumnya. Sedikit berbeda dengan
penelitian yang sebelumnya, pada variabel manajemen stres ini teori yang
digunakan adalah teori dari Taylor (2009) yang mengatakan bahwa manajemen
17
stres dapat membantu individu yang mengalami kesulitan dalam mengelola
stres.
3. Keaslian Alat Ukur
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sagone dan Carli (2014), alat ukur
yang digunakan merupakan adaptasi dari alat ukur Ryff dan Keyes (1995) yang
dimodifikasi oleh Zani dan Cicognani (1999) menjadi versi yang lebih pendek
dan menggunakan bahasa Italia. Alat ukur tersebut terdiri dari 18 aitem yang
mencakup 6 subskala kesejahteraan psikologis.
Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini menggunakan Skala
Kesejahteraan psikologis yang merupakan hasil pengembangan skala Ryff
(1989) yang berjumlah 42 aitem kemudian dimodifikasi dan diadaptasi oleh
Prameswari (2016) menjadi 19 aitem yang meliputi 6 aspek kesejahteraan
psikologis. Skala ini menggunakan model likert yang terdiri atas 4 alternatif
jawaban yaitu sangat tidak setuju hingga sangat setuju.
4. Keaslian Subjek
Sagone dan Carli (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Relationships
Between Psychological Well-Being And Resilience In Middle And Late
Adolescents mengambil subjek penelitian yang berjumlah 224 remaja Italia
(109 laki-laki dan 115 perempuan). Peningkatan kesejahteraan psikologis pada
pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan menggunakan group positive
psychotherapy oleh Sujana, Wahyuningsih dan Uyun (2015) mengambil subjek
penelitian sebanyak 12 pasien diabetes mellitus tipe 2 yang berjenis kelamin
laki-laki dan perempuan. Subjek terbagi kedalam dua kelompok, yaitu
18
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Selain itu, penelitian yang
dilakukan oleh Hasanvandi, Valizade, Honarmand, dan Mohammadesmaeel
(2013) dengan judul Effectiveness of Stress Management on Mental Health of
Divorced Women menggunakan 42 orang wanita yang bercerai sebagai subjek
penelitian dan terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan
kelompok eksperimen. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian
kali ini subjek yang diambil oleh peneliti adalah pasien hipertensi yang berusia
diatas 35 tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dijabarkan diatas, maka
keaslian yang ditawarkan dalam studi eksperimen ini adalah dalam konteks topik,
alat ukur, dan subjek penelitian. Peneliti belum mendapati penelitian yang serupa
dengan pengaruh pelatihan manajemen stres terhadap kesejahteraan psikologis
pada pasien hipertensi.
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesejahteraan Psikologis
1. Definisi Kesejahteraan Psikologis
Schultz (1991) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai fungsi
positif individu, dimana fungsi positif individu merupakan arah atau tujuan
yang diusahakan untuk dicapai oleh individu yang sehat. Sama halnya dengan
yang diungkapkan oleh Ryff dan Keyes (1995) bahwa kesejahteraan psikologis
tidak hanya terdiri dari efek positif, efek negatif, dan kepuasan hidup,
melainkan paling baik dipahami sebagai sebuah konstruk multidimensional
yang terdiri dari sikap hidup yang terkait dengan dimensi kesejahteraan
psikologis itu sendiri yaitu mampu merealisasikan potensi diri secara kontinu,
mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki
kemandirian terhadap tekanan sosial, maupun menerima diri apa adanya,
memiliki arti dalam hidup, serta mampu mengontrol lingkungan eksternal.
Snyder dan Lopez (2002) mengatakan bahwa kesejahteraan psikologis
bukan hanya ketiadaan beban, namun kesejahteraan psikologis juga meliputi
keterikatan aktif dalam dunia, memahami arti dan tujuan hidup, serta hubungan
seseorang dalam obyek ataupun orang lain. Kesejahteraan psikologis
merupakan suatu pencapaian penuh dari potensi psikologis individu, serta
merupakan suatu situasi dimana individu dapat menerima kelebihan dan
kekurangan diri secara apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan
20
relasi positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu
mengendalikan lingkungan serta dapat terus tumbuh secara personal (Ryff,
1989). Huppert (2009) mengemukakan bahwa kesejahteraan psikologis
merupakan kehidupan yang berjalan dengan baik serta merupakan
penggabungan dari perasaan yang positif yang dapat berfungsi secara efektif.
Berdasarkan pemaparan beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa
kesejahteraan psikologis merupakan situasi dimana individu merasakan
perasaan yang bersifat positif dan telah menerima segala sesuatu yang dimiliki.
Hal tersebut juga meliputi perasaan bahagia karena telah memiliki tujuan hidup
yang jelas dan pertumbuhan pribadi yang maksimal.
2. Aspek-aspek Kesejahteraan Psikologis
Ryff (1998) mendefinisikan 6 aspek yang membentuk kesejahteraan
psikologis, yaitu:
a. Penerimaan diri (self-acceptance)
Aspek ini merupakan karakteristik utama dari kesejahteraan psikologis
yang menekankan pada penerimaan diri individu terhadap pengalaman di
masa lalu, baik pengalaman pribadi maupun orang lain (Ryff & Singer,
1996). Individu yang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mampu
mengakui dan menerima berbagai aspek dalam kehidupannya bahkan yang
bersifat kurang menyenangkan serta dapat memandang masa lalu sebagai
sesuatu yang positif merupakan indikator individu tersebut memiliki
penerimaan diri yang tinggi. Sebaliknya, individu yang memiliki
penerimaan diri yang rendah akan merasa tidak puas dengan dirinya, merasa
21
kecewa atas apa yang terjadi pada kehidupannya di masa lalu serta memiliki
perasaan ingin menjadi orang lain.
b. Tujuan hidup (purpose in life)
Individu yang memiliki tujuan dalam hidupnya akan merasa bahwa
kehidupan yang dijalaninya memiliki sebuah makna, merasa bahwa
kehidupan sekarang dan masa lalunya memberikan pelajaran yang berarti.
Sementara itu, individu yang tidak memiliki tujuan dalam hidupnya, tidak
memiliki cita-cita, serta tidak memiliki keyakinan merasa bahwa
kehidupannya tidaklah berarti dan bermakna.
c. Hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others)
Aspek ini menekankan pada pentingnya keakraban dalam hubungan
interpersonal dimana kemampuan untuk menyayangi dipandang sebagai
salah satu karakteristik dari kesehatan mental (Ryff & Singer, 1996).
Individu yang menjalin hubungan hangat dengan orang lain, mampu
menunjukkan rasa empati dan keprihatinan terhadap kesejahteraan orang
lain, serta mampu membangun keintiman yang kuat merupakan indikator
bahwa individu tersebut memiliki hubungan yang positif dengan orang lain.
Sebaliknya, individu yang tidak mampu menjalin hubungan dengan dengan
orang lain merasa sulit untuk terbuka, hangat, dan peduli kepada orang lain
serta tidak dapat berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan
orang lain.
d. Pertumbuhan personal (personal growth)
22
Individu dengan personal growth yang baik akan mampu terbuka dengan
pengalaman baru, memiliki kesadaran atas potensi yang dimilikinya serta
mampu melakukan perbaikan-perbaikan dalam perilaku dan kehidupannya.
Sementara itu, individu yang mudah merasa bosan, tidak melakukan
perbaikan-perbaikan dalam hidupnya, serta tidak mampu mengembangkan
sikap atau perilaku yang baru merupakan individu yang memiliki personal
growth yang rendah.
e. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Environmental mastery menekankan pada kemampuan individu dalam
menciptakan dan menguasai lingkungan yang sesuai dengan kondisi
psikologisnya. Individu memiliki penguasaan lingkungan yang baik apabila
mampu mengelola dan mengendalikan lingkungan sosialnya, mampu
memanfaatkan peluang di sekitarnya secara efektif serta mampu mengontrol
aktivitas-aktivitas eksternal yang bersifat kompleks. Sebaliknya, individu
yang memiliki kesulitan dalam mengelola kebutuhan sehari-hari, kurang
mampu menyadari berbagai kesempatan yang ada di sekitarnya, serta
kurang memiliki kendali terhadap dunia luar pada umumnya memiliki
pengendalian lingkungan yang kurang baik.
f. Kemandirian (autonomy)
Autonomy adalah aspek yang menekankan pada kualitas individu dalam
menentukan nasibnya sendiri, kebebasan, pengaturan perilaku, memiliki
tujuan hidup serta mandiri. Individu yang memiliki autonomy tinggi akan
menjadi pribadi yang dapat menentukan nasibnya sendiri, dapat bertahan
23
dari tekanan di lingkungan sekitar dan dapat membuat suatu keputusan
tanpa pertimbangan dari orang lain. Sementara itu, individu yang memiiki
autonomy rendah mudah untuk bergantung kepada orang lain dalam
membuat keputusan serta membutuhkan penilaian orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan
psikologis terbentuk atas enam aspek yaitu self-acceptance, purpose in life,
positive relation with others, personal growth, environmental mastery,
autonomy. Jika individu mampu memenuhi keenam aspek di atas, maka
individu tersebut memiliki kesejahteraan psikologis. Individu yang memiliki
skor tinggi pada keenam aspek tersebut akan memiliki kesejahteraan psikologis
yang baik
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan psikologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis menurut Ryff
dan Keyes (1995), yaitu:
a. Faktor demografis
Faktor demografis yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis
individu diantaranya usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya.
b. Dukungan sosial
Dukungan sosial sering diartikan sebagai perasaan nyaman, perhatian,
penghargaan atau pertolongan yang dipersepsikan oleh individu dari
berbagai sumber diantaranya pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, dokter
atau bahkan organisasi sosial.
c. Evaluasi terhadap pengalaman hidup
24
Pengalaman dalam hidup yang mencakup berbagai bidang dan periode
selama proses kehidupanya.
d. Locus of control
Diartikan sebagai keyakinan individu mengenai pengendalian terhadap
penguatan (reinforcement) yang berasal dari tindakan sendiri atau
bergantung pada tindakan orang lain dan pengaruh lain diluar kendali
individu tersebut.
Menurut Snyder dan Lopez (2002) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi
kesejahteraan psikologis, yaitu:
a. Kesehatan
Kesejahteraan psikologis merupakan salah satu indicator kesehatan
mental, dan kesehatan mental berkaitan dengan kesehatan fisik individu.
Ketika individu mengalami permasalahan dalam hal kardiovaskular,
metabolisme, saraf, otak, dan imun, maka hal tersebut tidak hanya
mempengaruhi individu secara fisik, melainkan secara psikologis.
Munculnya perasaan tidak berharga, tidak percaya diri, menarik diri dari
lingkungan sosial, bahkan kehilangan tujuan hidup merupakan indikator
terganggunya kesejahteraan psikologis individu.
b. Kualitas hubungan dengan orang lain
Hubungan yang baik dengan orang lain merupakan salah satu syarat
penting untuk memenuhi kehidupan yang optimal, sedangkan hubungan
25
sosial yang kurang baik merupakan salah satu permasalahan yang dapat
menyebabkan kesejahteraan psikologis individu terganggu.
c. Stres kronis dan berulang
Paparan situasi yang penuh tekanan dan tuntutan secara terus menerus
akan memunculkan stres kronis pada individu. Stres kronis yang tidak dapat
di atasi akan menyebabkan kelelahan (allostatic load). Survey yang
dilakukakn kepada 57 pria dan 49 wanita menunjukkan bahwa subjek yang
memenuhi seluruh aspek kesejahteraan psikologis memiliki allostatic load
yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang tidak
memenuhi seluruh aspek kesejahteraan psikologis.
Berdasarkan pemaparan yang dikemukakan oleh Ryff dan Keyes (1995)
serta Snyder dan Lopez (2002), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tujuh
faktor yang mepengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Ketujuh faktor
tersebut mempengaruhi tinggi rendahnya kesejahteraan psikologis pada
individu. Faktor-faktor di atas juga memberikan kontribusi dalam perubahan
kesejahteraan psikologis pada individu sepanjang proses kehidupannya.
B. Manajemen Stres
1. Definisi Stres
Stres merupakan keadaan disaat individu merasa tegang dan tidak nyaman
yang disebabkan oleh ketidakmampuan dalam mengatasi berbagai tuntutan
26
yang ada di lingkungannya. Stres tidak hanya merupakan suatu respon dan
stimulus tetapi melebihi sebuah proses yaitu individu sebagai perantara yang
dapat mempengaruhi stresor melalui perilaku, pikiran, dan strategi emosional
(Sarafino & Smith, 2012). Stres merupakan pengalaman mengenai emosi
negatif seseorang yang disertai dengan perubahan secara biokimia, fisiologis,
kognitif, serta perubahan perilaku yang dapat disebabkan oleh situasi-situasi
yang menekan dan membuat stres (Taylor, 2009).
Selye (Brannon & Feist, 2010) terkenal sebagai peneliti yang meneliti dan
mengemukakan bahwa stres merupakan suatu sindrom yang bersifat biologis
atau jasmaniah. Selain itu, Selye juga memberikan penekanan bahwa stres
merupakan suatu reaksi penyesuaian diri terhadap stimulus yang berbeda-beda.
Smet (1994) menyebutkan bahwa stres dapat menyebabkan penyimpangan
fisiologis, seperti asma, penyakit kepala kronis, rematik artritis, dan beberapa
penyakit kulit. Penyakit kronis lainnya seperti hipertensi, jantung koroner
bahkan kanker juga dapat disebabkan oleh stres.
Stres merupakan emosi negatif yang diperoleh dari perubahan biokimia,
kognitif, fisiologis serta behavioral yang bertujuan untuk mengubah peristiwa
stressfull dan mengakomodasi akibat yang ditimbulkan. Ketika dalam kondisi
stres, tubuh memproduksi hormon adrenalin yang berfungsi untuk pertahanan
diri (Lukaningsih & Bandiyah, 2011).
2. Definisi Manajemen Stres
Manajemen stres merupakan salah satu upaya untuk mengelola stres yang
dilakukan melalui suatu pelatihan (Taylor, 2009). Menurut Surwit, dkk (2002)
27
manajemen stres merupakan bentuk pelatihan yang biasanya melibatkan
Progressive Muscle Relaxation (PMR), mental imagery, diaphragmatic
breathing, dan psikoedukasi mengenai cara memodifikasi respon terhadap stres
baik secara fisiologis, kognitif, dan perilaku. Quick dan Cooper (Saraei,
Hatami & Bagheri, 2016) mengemukakan bahwa manajemen stres merupakan
serangkaian teknik atau metode yang digunakan untuk mengurangi stres pada
individu serta meningkatkan kemampuan untuk mengatasi situasi-situasi yang
menekan.
Smet (1994) mengatakan bahwa manajemen stres berfokus pada
berkurangnya reaksi stres. Teknik-teknik yang digunakan dalam manajemen
stres antara lain relaksasi, biofeedback, restrukturisasi kognitif, stress-
inoculation training, meditasi, dan hipnosa. Individu juga dapat belajar
mengenai penggunaan gaya koping yang lebih sesuai dengan situasi yang
sedang dihadapi. Manajemen stres dapat digunakan untuk mengurangi risiko
penyakit jantung dengan mengubah faktor risikonya seperti kepribadian tipe A
dan hipertensi. Hal itu juga dapat digunakan untuk mengontrol stres sehingga
tidak menyebabkan bahaya dan tidak bersifat mengancam.
Evers, dkk (2006) mengemukakan bahwa pada umumnya perlakuan
manajemen stres meliputi 3 bentuk, yaitu :
1. Primary intervention yaitu perlakuan yang dapat mengubah kondisi
lingkungan, seperti tuntutan pekerjaan yang dapat mengakibatkan stres.
2. Secondary intervention yaitu program yang dirancang untuk membantu
individu menerapkan perilaku manajemen stres secara lebih efektif, seperti
28
relaksasi, olahraga, meditasi, dan cognitive reframing. Perlakuan inilah
yang paling sering digunakan untuk membantu individu dalam mengelola
stres agar menjadi lebih efektif.
3. Tertiary intervention yaitu perlakuan yang dirancang untuk individu yang
mengalami gangguan klinis, seperti kecemasan, depresi, atau
penyalahgunaan obat. Bentuk dari perlakuan tersier ini berupa konseling
dan psikoterapi.
Pelatihan manajemen stres juga meliputi beberapa teknik, yaitu relaksasi
yoga, relaksasi otot, latihan pernafasan, meditasi dan mental imagery
(Daubenmier dkk, 2007). Teknik-teknik dalam manajemen stres memiliki cara
yang berbeda dalam mengontrol dan meminimalisir stres. Teknik pelatihan ini
menyesuaikan kondisi serta kebutuhan pada masing-masing individu.
3. Pelatihan Manajemen Stres
Taylor (2009) menjelaskan bahwa pelatihan manajemen stres terdiri atas
delapan tahapan, yaitu :
a. Identifying stressors (Identifikasi stresor)
Pada tahap ini, para peserta diberikan pemahaman mengenai apa itu stres
dan bagaimana dampak stres tersebut terhadap individu. Selain itu, mereka
juga akan melakukan proses identifikasi untuk mengetahui kondisi-kondisi
tertentu yang dapat memunculkan stres. Para peserta diharapkan dapat
memahami bahwa stres bukanlah sebuah faktor yang menyatu pada suatu
29
peristiwa, melainkan sebuah proses penilaian psikologis. Hal tersebut
terjadi karena penyebab stres pada setiap individu dapat berbeda.
b. Monitoring stress (Memantau stres)
Para peserta dilatih untuk mengamati respon-respon yang muncul ketika
dalam keadaan yang membuatnya stres. Selanjutnya, mereka juga diminta
untuk menuliskan berbagai macam respon baik secara fisik, emosional, dan
perilaku saat mereka mengalami stres tersebut.
c. Identifying stress antecedents (Identifikasi penyebab stres)
Tahap ini menuntut peserta untuk memikirkan dan fokus pada perasaan
sebelum terjadinya peristiwa yang menyebabkan stres. Ketika para peserta
memahami dengan tepat kondisi yang dapat memicu stres, maka akan lebih
mudah dalam mengidentifikasi dan menemukan titik permasalahan mereka
sendiri.
d. Avoiding negative self-talk (Menghindari berbicara negatif terhadap diri
sendiri)
Pikiran-pikiran negatif dan negative self-talk memberikan kontribusi
terhadap perasaan-perasaan tidak rasional yang dapat menyebabkan
kemunculan stres. Para peserta diminta untuk mengakui dan mengingat
pikiran-pikiran negatif dan negative self-talk yang biasa dilakukan ketika
berada dalam kondisi tertekan serta diharapkan bisa melawannya.
e. Completing take-home assignment (Menyelesaikan tugas rumah)
30
Para peserta pelatihan diberi tugas rumah berupa worksheet kemudian
peserta diminta untuk menuliskan kondisi-kondisi menekan yang dapat
memunculkan stres. Peserta juga diminta untuk menuliskan penyebab stres
baik yang bersumber dari pikiran-pikiran negatif maupun negative self-talk.
Fasilitator juga mengharapkan agar para peserta dapat mempraktekkan
avoiding negative self-talk yang telah dipelajari pada sesi sebelumnya.
f. Acquiring skills (Memperoleh keterampilan baru)
Para peserta pada tahap ini diajak untuk melaksanakan teknik
manajemen stres yang adaptif. Teknik tersebut dipilih dan disesuaikan
dengan kebutuhan serta kondisi yang dialami para peserta.
g. Setting new goals (Membuat tujuan baru)
Pada tahap ini, para peserta diminta untuk menuliskan tujuan secara
spesifik mengenai penurunan stres serta menuliskan perilaku yang spesifik
agar terpenuhinya tujuan tersebut. Para peserta juga diajak untuk melakukan
analisis tentang urgensi dilaksanakannya manajemen stres demi tercapainya
tujuan tersebut.
h. Engaging in positive self-talk and self-instruction (Terlibat dalam
pembicaraan yang positif pada diri sendiri dan memberikan instruksi pada
diri sendiri)
Tahap terakhir adalah melakukan positive self-talk dan self-instruction
dimana sebelumnya para peserta telah menuliskan perilaku spesifik yang
harus dilakukan guna mencapai tujuan akhir yaitu menurunkan stres.
Positive self-talk dan self-instruction akan membantu para peserta untuk
31
mengendalikan stres yang dialaminya agar tidak berlanjut menjadi stres
kronis.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada proses
manajemen stres, individu dibimbing untuk dapat menghadapi serta
mengendalikan stres melalui proses kognitif dan perilaku. Proses kognitif yang
diberikan berupa psikoedukasi serta pengubahan pikiran-pikiran yang negatif
agar menjadi semakin positif. Di sisi lain, individu juga mendapatkan pelatihan
keterampilan baru yang dapat dilakukan untuk menghadapi kondisi-kondisi
yang menekan dan menimbulkan stres.
C. Hipertensi
1. Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana seseorang memiliki tekanan
darah yang tinggi secara konsisten dalam jangka waktu beberapa minggu
ataupun lebih dan menjadi faktor risiko utama untuk penyakit jantung koroner,
stroke dan gagal ginjal (Sarafino & Smith, 2012). Hipertensi terjadi ketika
suplai darah yang melalui pembuluh darah terlalu berlebihan, sehingga ketika
darah yang keluar dari jantung terlalu banyak maka akan menekan pembuluh
darah dan mengakibatkan aliran darah meningkat (Taylor, 2009). Selain itu,
hipertensi juga dapat terjadi akibat adanya peningkatan tekanan darah yang
dipompa keseluruh tubuh berada di atas batas normal. Peningkatan tekanan
darah tersebut ditunjukkan oleh angka sistolik dan diastolik. Tekanan darah
dianggap normal apabila angka sistolik dan diastoliknya kurang dari 135/85
32
mmHg, sedangkan dikatakan hipertensi jika melebihi angka 140/90 mmHg
(Wahdah, 2011).
Secara umum, angka normal tekanan darah seseorang jika dilihat dari tinggi
badan, berat badan, tingkat aktivitas serta kesehatan adalah 120/80 mmHg.
Ketika seseorang melakukan aktivitas sehari-hari, tekanan darahnya akan stabil
pada kisaran normal, tetapi ketika seseorang tidur dan diukur tekanan darahnya
maka akan mengalami penurunan. Sebaliknya, jika seseorang berolahraga atau
melakukan aktivitas yang berlebihan, maka tekanan darah akan mengalami
peningkatan (Rudianto, 2013).
Rudianto (2013) menyebutkan bahwa seseorang dengan tekanan darah
tinggi harus rutin melakukan check up kesehatan untuk menghindari kasus-
kasus yang lebih serius bahkan bisa menyebabkan kematian. Tekanan darah
yang tinggi dan dibiarkan terus menerus menyebabkan jantung bekerja dengan
keras sehingga akan mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah di daerah
jantung, ginjal, otak serta mata.
2. Jenis-jenis Hipertensi
Wahdah (2011) mengklasifikasikan hipertensi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Hipertensi primer (esensial)
Hipertensi primer merupakan salah satu jenis hipertensi yang tidak
diketahui jelas penyebabnya, tetapi ada kemungkinan dipengaruhi oleh
faktor keturunan atau genetik (Adib, 2009). Penyakit ini biasanya
disebabkan oleh faktor-faktor yang saling berkaitan yaitu bukan faktor
tunggal atau khusus serta memiliki populasi kira-kira 90% dari seluruh
33
pasien hipertensi (Wahdah, 2011). Gaya hidup seseorang dan faktor
lingkungan juga dapat menyebabkan terjadinya hipertensi primer ini
(Rudianto, 2013).
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit-penyakit lain seperti
kerusakan ginjal, diabetes, kerusakan vaskuler. Menyumbang 10% dari
seluruh populasi pasien hipertensi (Wahdah, 2011). Rudianto (2013)
mengemukakan bahwa hipertensi sekunder merupakan kondisi dimana
terjadi peningkatan tekanan darah tinggi yang diakibatkan oleh penyakit lain
seperti gagal jantung, gagal ginjal, maupun kerusakan sistem hormon
didalam tubuh.
D. Pengaruh Pelatihan Manajemen Stres terhadap Kesejahteraan Psikologis
pada Pasien Hipertensi
Hipertensi atau biasa disebut dengan tekanan darah tinggi merupakan salah
satu penyakit kardiovaskuler yang disebabkan oleh penyempitan pembuluh
darah sehingga aliran darah menjadi tidak teratur serta menimbulkan tekanan
yang besar pada pembuluh darah (Shadine, 2010). Penyakit hipertensi adalah
suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan darah di atas normal yang
ditunjukkan oleh angka sistolik dan diastolik pada pemeriksaan tekanan darah
menggunakan sphygmomanometer (Rudianto, 2013). Rahmanita (2016)
berpendapat bahwa pasien hipertensi tidak menyadari dan tidak merasakan
34
tanda-tanda kedatangan penyakit tersebut. Hipertensi dapat menjadi ancaman
tersendiri bagi para pasiennya karena kemunculannya yang tiba-tiba.
Rudianto (2013) menyebutkan kebanyakan pasien hipertensi tidak
mengetahui bahwa pasien tersebut mengidap penyakit hipertensi sebelum
memeriksakan tekanan darahnya. Hal tersebut menjadikan hipertensi
dikategorikan sebagai the silent disease. Penyakit hipertensi bila dibiarkan
terus menerus dapat memicu penyakit lain seperti stroke, serangan jantung,
gagal jantung, serta merupakan penyebab utama penyakit gagal ginjal kronik
bahkan hingga menyebabkan kematian.
Muchlas (Kumala, Kusprayogi & Nashori, 2017) menjelaskan bahwa
pasien hipertensi atau penyakit kardiovaskular lainnya secara subjektif merasa
bahwa penyakitnya akan sulit disembuhkan serta memerlukan waktu
pengobatan yang lama bahkan seumur hidupnya selalu bergantung pada obat,
sehingga menimbulkan stres dalam kehidupannya. Stres memiliki pengaruh
yang kurang baik terhadap fungsi kekebalan tubuh sehingga dapat
memunculkan berbagai penyakit fisik, diantaranya asma, hipertensi, dan sakit
kepala akut (Fausiah & Widury, 2008)
Wang dkk (2008) menyebutkan bahwa kemunculan dan kambuhnya suatu
penyakit kronis secara intens akan berpengaruh pada kondisi fisik, psikologis
dan sosial bagi para pasiennya. Perubahan yang terjadi secara psikologi pada
pasien penyakit kronis meliputi perasaan tidak percaya diri, malu, menjaga
jarak bahkan menarik diri dari lingkungan sosial, atau semakin menurunnya
semangat hidup merupakan beberapa indikator menurunnya kesejahteraan
35
psikologis. Sujana, Wahyuningsih dan Uyun (2015) menyebutkan bahwa
kesehatan fisik individu akan berpengaruh juga pada kesejahteraan psikologis
individu tersebut. Apabila kesehatan fisik individu dalam keadaan yang kurang
baik, maka akan menimbulkan perasaan sedih, hilang semangat akan masa
depan, serta mengalami penurunan kepercayaan diri dan disiplin diri.
Selain kondisi fisik dan psikologis, pikiran atau kognitif juga merupakan
faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis salah satunya yaitu
stres (Putrikita, 2018). Stres dapat menurunkan tingkat kesejahteraan
psikologis individu. Snyder dan Lopez (2002) menjelaskan bahwa menurunnya
kesejahteraan psikologis disebabkan oleh stres kronis dan berulang sehingga
memunculkan kelelahan pada individu. Oleh karena itu, stres perlu
dikendalikan dengan tepat agar dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis
pada individu.
Nevid, Rathus dan Greene, (2005) mengemukakan bahwa stres
disebabkkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor kognitif.
Putrikita (2018) menyebutkan bahwa pelatihan manajemen stres perlu
dilakukan untuk mengendalikan stres karena teknik ini berbasis cognitive
behavioral therapy yang mengendalikan stres melalui kognitif individu serta
memunculkan perilaku adaptif yang sesuai untuk menghadapi kondisi-kondisi
yang menekan dan menimbulkan stres. Pelatihan ini diharapkan mampu
mengendalikan stres individu melalui pikiran-pikiran dan perilakunya
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis pada individu.
36
Menurut Taylor (2009), pelatihan manajemen stres melatih individu untuk
mengolah dan mengendalikan stres secara kognitif. Smet (1994) menjelaskan
bahwa manajemen stres berfokus pada reduksi reaksi stres sehingga mampu
mengurangi risiko terjadinya penyakit jantung dan hipertensi. Terdapat delapan
tahapan dalam melakukan teknik manajemen stres (Taylor, 2009). Pertama
mengidentifikasi stresor (identifying stressor), yaitu pemberian edukasi
mengenai stres dan dampaknya bagi tubuh. Taylor (2009) mengemukakan
bahwa pemberian edukasi tersebut merupakan langkah awal bagi para pasien
hipertensi untuk mengubah pola pikir agar menjadi lebih positif. Pemberian
edukasi bertujuan untuk membuka wawasan dan pikiran individu sehingga
menjadi lebih terbuka. Ryff dan Singer (1995) mengemukakan bahwa
kesejahteraan psikologis yang baik berkaitan dengan semakin tingginya tingkat
pendidikan dan pengetahuan pada individu. Berdasarkan hal tersebut, maka
pemberian edukasi meningkatkan kesejahteraan psikologis individu melalui
wawasan atau pengetahuan baru yang didapatkan oleh individu.
Kedua yaitu memantau stres (monitoring stress), merupakan proses
observasi dan pencatatan respon yang dapat menimbulkan stres baik respon
secara fisik, emosi, maupun perilaku (Taylor, 2009). Individu dilatih untuk
lebih sadar dan paham terhadap respon maupun dampak yang ditimbulkan dari
stres tersebut. Putrikita (2018) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis
berkaitan dengan pemahaman yang dimiliki oleh individu. Ketika individu
semakin memahami apa yang sedang terjadi pada dirinya, maka semakin tinggi
pula tingkat kesejahteraan psikologis individu tersebut. Berdasarkan hal di atas,
37
maka pemantauan stres (monitoring stress) dapat meningkatkan kesejahteraan
psikologis melalui peningkatan pemahaman terhadap apa yang terjadi pada
individu tersebut.
Tahapan pelatihan manajemen stres yang ketiga yaitu identifikasi
penyebab stres (identifying stress antecedents). Identifikasi penyebab stres
merupakan sebuah pemahaman individu terhadap hal-hal yang dapat
menyebabkan stres serta perasaan yang dirasakan sebelum terjadinya situasi
stres (Taylor, 2009). Pemahaman individu semakin diperdalam pada tahap
ketiga ini. Individu diajarkan untuk dapat memahami dan mengidentifikasi
penyebab-penyebab stres serta mengetahui dampak yang ditimbulkan dari
situasi stres tersebut. Ramadi, Posagi, dan Kaatuk (2017) mengemukakan
bahwa pemahaman mengenai stres dan emosi negatif yang terjadi pada diri
individu berkaitan dengan kesejahteraan psikologis. Individu yang dapat
memahami situasi stres yang dialaminya mulai dari penyebab stres, respon-
respon yang timbul akibat stres serta dampak yang dari stres akan semakin
meningkatkan fungsi psikologis individu yang terkait dengan kesejahteraan
psikologis. Berdasarkan hal tersebut, identifikasi penyebab stres dapat
meningkatkan kesejahteraan psikologis melalui pemahaman lebih mendalam
mengenai penyebab, respon dan dampak yang ditimbulkan oleh situasi stres
yang sedang dialaminya.
Keempat yaitu menghindari perkataan-perkataan negatif pada diri sendiri
(avoiding negative self-talk). Taylor (2009) menyebutkan bahwa avoiding
negative self-talk merupakan proses identifikasi pikiran-pikiran negatif dan
38
negative self-talk yang sering dilakukan serta upaya untuk menghindari hal
tersebut. Menurut Putrikita (2018) negative self-talk yang sering muncul dapat
menimbulkan situasi stres. Kesejahteraan psikologis merupakan pencapaian
penuh dari suatu keadaan ketika individu dapat menerima kelebihan dan
kekurangan diri secara apa adanya (Sujana, Wahyuningsih & Uyun, 2015).
Individu yang memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi akan
dengan mudah menerima berbagai aspek dalam kehidupannya bahkan yang
bersifat menyenangkan serta dapat memandang masa lalu sebagai sesuatu yang
positif. Penerimaan terhadap diri sendiri dapat dilakukan dengan cara
meminimalisir bahkan menghindari pikiran-pikiran yang negatif dan negative
self-talk yang ada pada diri individu saat berada pada situasi yang menekan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka avoiding negative self-talk dapat
meningkatkan kesejahteraan psikologis individu melalui pemahaman
mengenai pencapaian penuh yang telah diraih oleh individu selama ini
sehingga dapat menerima apa pun yang terjadi pada dirinya.
Tahapan yang kelima adalah menyelesaikan tugas rumah (completing
take-home assignment). Pada tahap ini, individu diminta untuk mengisi lembar
kerja dengan menuliskan respon yang muncul saat berada pada kondisi yang
menekan dan menimbulkan stres (Taylor, 2009). Tugas rumah tersebut
diharapkan mampu memberikan pemahaman yang semakin mendalam melalui
pelaksanaan praktik langsung. Pemahaman mengenai stres dan emosi negatif
yang terjadi pada diri individu berkaitan dengan kesejahteraan psikologis
(Ramadi, Posagi & Kaatuk, 2017). Individu yang dapat memahami apa yang
39
sedang terjadi pada dirinya cenderung memiliki tingkat kesejahteraan
psikologis yang tinggi. Pemahaman tersebut diharapkan akan semakin
meningkatkan kesejahteraan psikologis apabila individu juga mempraktekkan
avoiding negative self-talk yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya.
Berdasarkan hal di atas, maka kesejahteraan psikologis dapat mengalami
peningkatan melalui pemberian tugas-tugas rumah yang disertai dengan
praktek langsung.
Keenam, memperoleh keterampilan baru (acquiring skills) yaitu individu
diminta untuk melaksanakan teknik mengelola dan mengendalikan stres secara
adaptif (Taylor, 2009). Teknik yang diberikan pada pelatihan manajemen stres
ini menyesuaikan kebutuhan dari masing-masing individu. Tujuannya adalah
agar masing-masing individu dapat menurunkan dan menghilangkan stres yang
disebabkan oleh situasi-situasi menekan yang dialaminya. Teknik manajemen
stres yang diberikan pada dalam penelitian ini adalah relaksasi deep-breathing,
karena teknik relaksasi jenis ini cocok bagi penderita gangguan pernafasan dan
kardiovaskular. Selain itu, relaksasi deep-breathing juga membantu individu
untuk memunculkan perasaan nyaman dan tenang sehingga dapat menurunkan
stres (Hockemeyer & Smyth, 2002). Snyder dan Lopez (2002) menjelaskan
bahwa penurunan stres serta meningkatnya fungsi psikologis dapat
meningkatkan kesejahteraan psikologis individu. Berdasarkan hal tersebut,
maka kesejahteraan psikologis individu akan meningkat melalui pemberian
teknik manajemen stres yang tepat sesuai dengan kebutuhan individu.
40
Tahap yang ketujuh adalah membuat tujuan baru (setting new goals).
Taylor (2009) menyatakan bahwa individu diminta untuk menuliskan harapan
yang berisi perilaku ataupun pikiran adaptif yang dapat mengendalikan stres
yang sering dialaminya. Memiliki tujuan hidup merupakan salah satu aspek
dari kesejahteraan psikologis. Ryff (1998) menjelaskan bahwa salah satu aspek
dari kesejahteraan psikologis adalah purpose of life yang mengarah pada tujuan
hidup, makna hidup, serta keyakinan hidup individu. Indikator penting dalam
meningkatkan kesejahteraan psikologis adalah tujuan hidup (Ryff & Singer,
1996). Berdasarkan hal tersebut, maka psychological well-being individu dapat
ditingkatkan dengan cara meyakinkan individu agar memiliki tujuan hidup
serta memintanya untuk menuliskan tujuan-tujuan tersebut sehingga lebih
mudah untuk mengingatnya.
Tahapan manajemen stres yang terakhir yaitu terlibat dalam pembicaraan-
pembicaraan yang positif dan pemberian instruksi pada diri sendiri (engaging
in positive self-talk and self-instruction). Taylor (2009) menyatakan bahwa
stres perlu dikendalikan dan dikontrol agar tidak menjadi stres kronis. Pada
tahap ini, individu diajak untuk berlatih mengendalikan situasi stres yang
dialami sehingga tidak menimbulkan stres kronis. Positive self-talk merupakan
salah satu cara pengendalian pola pikir yang digunakan untuk merubah pikiran-
pikiran negatif menjadi lebih positif. Pikiran yang positif dapat meningkatkan
kesejahteraan psikologis melalui avoiding negative self-talk atau menghindari
monolog yang berisi perkataan-perkataan yang negatif.
41
Secara keseluruhan, hal yang dapat menurunkan kesejahteraan psikologis
pada individu ialah stres. Stres kronis akan mengakibatkan kelelahan apabila
tidak segera di atasi sehingga dapat menurunkan kesejahteraan psikologis pada
individu yang mengalaminya (Snyder & Lopez, 2002). Gangguan-gangguan
psikofisiologis seperti asma, hipertensi, dan sakit kepala akut juga dapat
disebabkan oleh stres dan bahkan dapat membuat gangguan tersebut semakin
parah (Fausiah & Widury, 2008). Oleh karena itu, pelatihan manajemen stres
perlu untuk dilakukan guna meningkatkan kesejahteraan psikologis pada
pasien hipertensi. Penjelasan lebih lanjut akan ditunjukkan pada bagan berikut:
Kondisi fisik :
Pening, telinga berdenging, rasa mual,
pandangan kabur, sakit kepala
berlebihan, mimisan, tengkuk merasa
sakit yang berlebihan, detak jantung
meningkat, sesak nafas, dan mudah
lelah (Purnomo dalam Anggraieni &
Subandi, 2014)
Kondisi psikologis :
Kehilangan semangat, memiliki emosi
yang meledak-ledak, amarah yang tertekan
(Taylor, 2009)
Kesejahteraan psikologis
yang rendah :
- Muncul perasaan dan
emosi negatif
- Hilang semangat akan
masa depan
- Sulit terbuka dengan
pengalaman baru
- Mudah bergantung
- Kurang mampu untuk
mengendalikan diri dan
lingkungan
1. Pelatihan manajemen stres dilakukan untuk
mengendalikan stres karena teknik ini
berbasis cognitive behavioral therapy yang
mengendalikan stres melalui kognitif individu
serta memunculkan perilaku adaptif yang
sesuai untuk menghadapi kondisi-kondisi
yang menekan dan menimbulkan stres.
2. Pelatihan ini diharapkan mampu
mengendalikan stres individu melalui pikiran-
pikiran dan perilakunya sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan psikologis pada
individu (Putrikita, 2018).
Hipertensi
42
Keterangan :
: Pelatihan manajemen stres
: Setelah pemberian pelatihan
: Sebelum diberi pelatihan
: Dampak
E. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh
pelatihan manajemen stres terhadap kesejahteraan psikologis pasien hipertensi.
Kelompok yang mendapatkan perlakuan berupa pelatihan manajemen stres
akan mengalami peningkatan kesejahteraan psikologis dibandingkan dengan
kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan.
Meningkatkan kesejahteraan psikologis pasien hipertensi
Perilaku yang muncul normal, emosi stabil, memiliki semangat akan masa depan,
memiliki tujuan hidup yang baik, penguasaan lingkungan yang baik dan menerima diri
dengan baik.
44
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Terdapat dua variabel dalam penelitian ini, yaitu :
1. Variabel tergantung : Kesejahteraan psikologis
2. Variabel bebas : Pelatihan manajemen stres
B. Definisi Operasional
1. Kesejahteraan Psikologis
Kesejahteraan psikologis adalah skor penelitian subjek pada skala
kesejahteraan psikologis (Prameswari, 2016). Skala ini terdiri dari 19 aitem
yang meliputi enam aspek dari kesejahteraan psikologis yaitu autonomy,
personal growth, environmental mastery, self-acceptance, purpose in life, dan
positive relation with others. Skala ini bertujuan untuk mengungkap kondisi
kesejahteraan psikologis para pasien hipertensi. Semakin tinggi skor yang
menunjukkan semakin tinggi tingkat kesejahteraan psikologis yang dialami
oleh pasien hipertensi. Sebaliknya, semakin rendah skor semakin rendah pula
kesejahteraan psikologis yang dialami oleh pasien hipertensi.
2. Manajemen Stres
Pelatihan manajemen stres merupakan pelatihan yang berbasis cognitive
behavioral therapy (CBT) yang bertujuan untuk mengatur dan meminimalisir
stres melalui pemberian psikoedukasi mengenai stres. Pelatihan manajemen
45
stres didasarkan pada tahapan pelatihan manajemen stres yang dikemukakan
oleh Taylor (2009) dan penelitian mengenai pelatihan manajemen stres pada
penderita asma yang dilakukan oleh Putrikita (2018). Pelatihan ini diawali
dengan pemberian pemahaman mengenai stres dan dampaknya,
mengidentifikasi stres dan sumber-sumber stres, mengubah pikiran-pikiran
yang negatif menjadi lebih positif, pemberian tugas rumah, pelatihan
keterampilan coping stress yang kemudian diakhiri dengan membuat tujuan
baru yang disertai dengan penguatan pikiran positif.
Pelatihan manajemen stres dilakukan selama dua kali pertemuan. Setiap
pertemuan terdiri dari 5 sesi. Pertemuan pertama membutuhkan waktu 100
menit yang terdiri atas 20 menit pada sesi pertama, 20 menit pada sesi kedua,
20 menit pada sesi ketiga, 20 menit pada sesi keempat, dan 20 menit pada sesi
kelima. Pada pertemuan kedua membutuhkan waktu 130 menit yang terdiri dari
30 menit sesi pertama, 25 menit sesi kedua, 25 menit pada sesi ketiga, 20 menit
pada sesi keempat, 15 menit pada sesi kelima, dan 15 menit pada sesi keenam.
Terdapat pula tugas rumah yang diberikan diakhir pertemuan kedua, sehingga
jumlah total sesi pada pelatihan ini sebanyak 10 sesi, yang diawali dari
pembukaan hingga terminasi. Namun, waktu pelaksanaan serta banyaknya
pertemuan akan disesuaikan kembali dengan kondisi subjek dan fasilitator.
C. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pelatihan manajemen stres terhadap kesejahteraan psikologis
46
pada penderita hipertensi. Menurut Shaughnessy, Zechmeister dan Zechmeister
(2006), penelitian eksperimen melibatkan manipulasi satu faktor atau lebih. Faktor
yang dimanipulasi oleh peneliti untuk melihat efeknya disebut variabel bebas,
sedangkan variabel tergantung adalah variabel yang diukur berdasarkan akibat dari
manipulasi variabel bebas.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experiment. Menurut
Seniati, Yulianto, dan Setiadi (2014) quasi experiment merupakan penelitian
eksperimen tanpa melakukan randomisasi dalam meneliti hubungan sebab akibat.
Manipulasi terhadap variabel bebas masih dapat dilakukan walaupun tanpa
randomisasi. Penelitian quasi experiment biasanya menggunakan desain non-
equivalent control group design atau biasa dikenal dengan two group pretest-
posttest design. Desain tersebut merupakan salah satu jenis desain eksperimen yang
digunakan untuk membandingkan efek suatu perlakuan terhadap variabel
tergantung. Pengukuran tersebut dilakukan dengan cara membandingkan variabel
tergantung pada kelompok eksperimen setelah mendapat perlakuan dengan
kelompok kontrol yang tidak mendapat perlakuan (Azwar, 1998).
Tabel 1 Rancangan Penelitian
Kelompok Pre-test Perlakuan Post-test Follow-up
KE O1 X O2 O3
KK O1 -X O2 O3
Keterangan :
KE : Kelompok eksperimen
KK : Kelompok kontrol
O1 : Pengukuran pre-test
O2 : Pengukuran post-test
O3 : Pengukuran follow-up
X : Perlakuan
47
-X : Tidak diberikan perlakuan
D. Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini berjumlah 30 orang dengan karakteristik subjek
sebagai berikut :
1. Berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.
2. Berusia diatas 35 tahun karena hipertensi esensial lebih banyak menyerang
orang dewasa.
3. Memiliki skor kesejahteraan psikologis dan skor perceived stress scale dengan
kategori sedang atau rendah
4. Bersedia mengikuti pelatihan.
E. Prosedur Pemberian Perlakuan
1. Persiapan Penelitian
a. Kompetensi fasilitator
1) Fasilitator adalah seorang psikolog.
2) Fasilitator memiliki pengetahuan mengenai kesejahteraan psikologis.
3) Fasilitator memiliki pengetahuan mengenai manajemen stres dan
memiliki pengalaman melakukan pelatihan manajemen stres, baik
sebagai fasilitator maupun co-fasilitator.
4) Fasilitator memili kemampuan intrapersonal yang baik, seperti ramah,
empati, mampu beradaptasi dengan baik, dan mampu membimbing
subjek dalam melakukan pelatihan manajemen stres.
48
b. Kompetensi co-fasilitator dan co-observer
1) Mahasiswa S1 Psikologi.
2) Memiliki kemampuan interpersonal yang baik, seperti ramah, empati,
mampu beradaptasi dengan baik.
c. Seleksi subjek penelitian
1) Pasien hipertensi di Yogyakarta
2. Alat dan Materi
a. Skala Kesejahteraan psikologis
Skala yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan psikologis pada
pasien hipertensi merupakan skala yang dikembangkan oleh Ryff (1989)
yang kemudian dimodifikasi oleh Prameswari (2016) menjadi skala
kesejahteraan psikologis. Skala kesejahteraan psikologis ini terdiri atas 19
aitem yang mencakup keenam aspek kesejahteraan psikologis.
b. Informed consent
Lembar informed consent berisi tentang identitas subjek, pernyataan
persediaan subjek mengikuti pelatihan manajemen stres, serta hak dan
kewajiban subjek selama proses pelatihan berlangsung. Lembar informed
consent ini diberikan sebelum proses pelatihan.
c. Modul pelatihan
Modul pelatihan pada penelitian ini menggunakan modul yang
disusun oleh Putrikita (2018). Modul tersebut disusun berdasarkan teori
dan tahapan manajemen stres yang dikembangkan oleh Taylor (2009).
49
d. Lembar kerja
Lembar kerja diberikan kepada subjek berisi tugas-tugas yang harus
dikerjakan oleh subjek. Subjek harus mengerjakan seluruh tugas selama
mengikuti pelatihan manajemen stres, baik tugas selama proses pelatihan
maupun tugas rumah.
e. Lembar evaluasi pelatihan
Lembar evaluasi pelatihan akan diisi oleh subjek setelah mengikuti
proses pelatihan manajemen stres guna mengevalusi pelatihan manajemen
stres yang telah dilakukan.
f. Alat tulis
Alat tulis digunakan digunakan baik oleh fasilitator, co-fasilitator, co-
observer maupun subjek penelitian.
3. Pelaksanaan Perlakuan
a. Rancangan pelatihan manajemen stres
Tabel 2 Rancangan Pelatihan Manajemen Stres
Pert/
Sesi Kegiatan Tujuan Waktu
I/1 Pembukaan Perkenalan
20’ Building rapport
Penjelasan pelatihan
I/2 Identifying stressor Pemberian edukasi
mengenai stres dan dampak
stres 20’
Peserta mengetahui situasi
penyebab stres pada diri
sendiri
I/3 Monitoring stress Peserta memahami respon
stres secara fisik, emosi dan
perilaku
20’
50
Peserta menganalisis
perasaan yang muncul
terhadap situasi stressfull
I/4 Identifying stress
antecedents
Peserta memahami mengapa
suatu situasi bisa
memunculkan stres 20’
Peserta mengidentifikasi
penyebab stres sebenarnya
I/5 Avoiding negative
self-talk
Peserta menyadari dan
mengidentifikasi negative
self-talk dan pikiran-pikiran
negatif yang sering
dilakukan 20’
Peserta mampu melawan
negative self-talk dan
pikiran negatif
Take home
assignment
Peserta melakukan praktek
langsung dalam identifikasi
penyebab stres serta
perasaan dan pikiran yang
muncul pada situasi tersebut
Peserta mempraktekkan
avoiding negative self-talk
dalam kehidupan nyata
II/1 Skill Acquisition :
relaksasi deep
breathing
Merilekskan dada, perut,
dan seluruh tubuh
30’
Memperkuat sistem saraf
Memunculkan perassaan
tenang dan nyaman
Membantu untuk
meningkatkan oksigen serta
menurunkan karbondioksida
di salam paru-paru dan
darah
II/2 Setting new goal Peserta memiliki tujuan
yang jelas dalam hidup
25’ Peserta memiliki rencana
yang akan dilakukan untuk
mencapai tujuan tersebut
51
II/3 Positive self-talk Merubah pikiran-pikiran
negatif menjadi lebih positif 25’
Memperkuat pikiran-pikiran
positif
II/4 Evaluasi Memastikan peserta
memahami pelatihan yang
telah dilakukan 20’
Mengetahui pendapat
peserta setelah melakukan
pelatihan
II/5 Pengisian lembar
posttest
Mengetahui tingkat
kesejahteraan psikologis
peserta setelah melakukan
pelatihan
15’
III/6 Terminasi Mengakhiri sesi pelatihan 15’
b. Follow-up
Follow-up dilakukan dua minggu setelah subjek mengikuti pelatihan
manajemen stres. Follow-up bertujuan guna mengetahui konsistensi dari
manfaat pelatihan manajemen stres yang telah diberikan pada pasien
hipertensi serta mengetahui seberapa besar pengaruh pelaatihan
manajemen stres tersebut.
F. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan
menggunakan skala kesejahteraan psikologis, perceived stress scale, observasi, dan
wawancara.
1. Skala Kesejahteraan Psikologis
Ryff & Singer (1995) mengembangkan kesejahteraan psikologis Scale yang
bertujuan untuk mengukur tingkat kesejahteraan psikologis pada individu.
52
Skala kesejahteraan psikologis tersebut kemudian diadaptasi dan dimodifikasi
oleh Prameswari (2016) menjadi 23 aitem yang merupakan penjabaran dari 6
aspek kesejahteraan psikologis, yaitu autonomy, personal growth, self-
acceptance, environmental mastery, positive relation with others, dan purpose
in life. Setelah dilakukan uji coba hanya terdapat 19 aitem yang dapat
digunakan untuk pengambilan data. Skala tersebut terdiri dari 10 aitem
favorable dan 9 aitem unfavorable. Skor bergerak dari 1 (sangat tidak sesuai)
sampai 4 (sangat sesuai). Pada aitem favorable skor tidak berubah, sedangkan
pada aitem unfavorable skor dibalik.
Tabel 3 Blueprint Skala Kesejahteraan Psikologis
Aspek Aitem
Jumlah Favorable Unfavorable
Autonomy 9, 10 6 3
Personal growth 12, 18 13 3
Self-acceptance 1, 2 8 3
Environmental mastery 11 7, 14 3
Positive realtion with others 3, 19 4, 5 4
Purpose in life 16 15, 17 3
Total Aitem 19
2. Perceived Stress Scale
Alat ukur Perceived Stress Scale dikembangkan oleh Cohen dan
Williamson (1998) yang bertujuan untuk mengetahui tingkat stres pada
individu. Skala tersebut terdiri dari 10 aitem dengan skala likert yang terdiri
atas 5 pilihan jawaban, yaitu 0 (tidak pernah), 1 (jarang), 2 (kadang-kadang), 3
(sering), dan 4 (sangat sering). Terdapat 6 aitem favorable dan 4 aitem
unfavorable pada skala PSS ini. Skor minimal yang diperoleh subjek adalah 0,
sedangkan skor maksimal adalah 40.
53
Tabel 4 Blueprint Perceived Stress Scale
Aspek Aitem
Jumlah Favorable Unfavorable
Unpredictable 1, 6 5 3
Uncontrolable 2, 9 4, 7 4
Overload 3, 10 8 3
Total Aitem 10
3. Observasi
Observasi dilakukan guna mendapatkan tambahan data dan informasi
selama proses pelatihan berlangsung. Observasi ini menggunakan motode non
partisipan, dimana peserta dan pengamat tidak terlibat secara langsung. Data
yang didapatkan dari hasil observasi tersebut digunakan untuk melengkapi data
dalam penelitian ini.
4. Wawancara
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara semi terstruktur yang
dilakukan setelah proses pelatihan manajemen stres. Wawancara ini bertujuan
untuk mengetahui perasaan, kondisi dan dampak dari pelatihan manajemen
stres yang telah diikuti. Data yang didapatkan selama wawancara dapat
menjadi data tambahan sekaligus menjadi prediktor dalam menentukan
seberapa besar pengaruh manajemen stres dapat meningkatkan kesejahteraan
psikologis pada pasien hipertensi.
G. Validitas dan Reliabilitas
Azwar (2005) menyebutkan bahwa validitas merupakan aspek kecermatan
dalam pengukuran. Validitas juga berarti sejauh mana ketepatan alat ukur dalam
melakukan fungsinya. Validitas dalam penelitian eksperimen merujuk pada sejauh
54
mana pengaruh variabel dependen akibat dari manipulasi variabel independen yang
diberikan, bukan karena faktor lain diluar hal tersebut (Coolican, 2009). Pada
penelitian ini, peneliti menggunakan validitas isi terhadap modifikasi Skala
Kesejahteraan psikologis. Validitas isi merupakan salah satu tipe validitas yang
menunjukkan sejauh mana sebuah alat tes dapat mengungkap suatu konstrak yang
akan diukur dengan cara melakukan analisis rasional oleh orang-orang yang
berkompeten atau profesional judgement (Azwar, 2012).
Reliabilitas merupakan sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya
(Azwar, 2012). Reliabilitas dapat diartikan sebagai konsistensi atau keajegan.
Pengukuran dilakukan menggunakan Alpha Cronbach untuk mengetahui koefisien
reliabilitas. Azwar (2005) menyebutkan bahwa koefisien reliabilitas bergerak dari
angka 0,00 sampai 1,00. Koefisien reliabilitas yang semakin mendekati 1,00
menunjukkan bahwa aitem tersebut semakin reliabel.
H. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis data kuantitatif dan kualitatif. Analisis
data kuantitatif dilakukan untuk menguji hipotesis dengan menggunakan beberapa
teknik. Teknik pertama yang digunakan adalah analisis Mann-Whitney untuk
mengetahui perbedaan kesejahteraan psikologis para subjek kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol antara sebelum pelatihan, setelah pelatihan dan pada saat
follow-up. Kedua adalah analisis Wilcoxon sign rank-test untuk mengetahui
perbedaan antara dua kelompok penelitian, yaitu kelompok eksperimen dan
55
kelompok kontrol. Proses analisis dilakukan menggunakan bantuan program
komputer Statistical Product and Service Solution (SPSS) for windows versi 20.0.
Analisis data secara kualitatif dilakukan secara individual dan bertujuan untuk
menjelaskan perasaan yang dirasakan oleh subjek penelitian selama mengikuti
pelatihan manajemen stres. Proses analisis dilakukan dengan analisis deskriptif
yaitu dengan cara mengolah data yang diperoleh dari hasil observasi dan
wawancara pada seluruh subjek penelitian, serta dari hasil tugas rumah yang
dikerjakan oleh subjek pada kelompok eksperimen selama mengikuti pelatihan
manajemen stres. Hasil analisis kualitatif tersebut digunakan sebagai data
pendukung hasil analisis kuantitatif mengenai pengaruh pelatihan manajemen stres
terhadap kesejahteraan psikologis pada pasien hipertensi.
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Orientasi Kancah dan Persiapan Penelitian
1. Orientasi Kancah
Penelitian ini mengambil subjek pasien hipertensi di wilayah
kecamatan Ngaglik dan Ngemplak dengan rentang usia 38-75 tahun.
Peneliti memilih rentang usia 38-75 tahun untuk dijadikan subjek
penelitian karena resiko individu terkena hipertensi akan semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Berdasarkan Riskesdas
(2018), prevalensi hipertensi semakin meningkat seiring pertambahan
usia. Puncaknya ada pada usia diatas 75 tahun yang mencapai 69,5%.
Karakteristik tersebut dipilih karena sebagian besar subjek sudah tidak
bekerja di instansi pemerintahan atau memiliki pekerjaan yang menuntut
harus datang setiap hari, sehingga memudahkan peneliti dalam
berkoordinasi dengan para subjek.
Di wilayah Ngemplak, jumlah pasien hipertensi dari tahun ke tahun
semakin meningkat. Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas
Ngemplak 2 terjadi kenaikan jumlah pasien hipertensi dari tahun 2016 ke
2017. Pada tahun 2016 terdapat 339 pasien baru yang berkunjung ke
puskesmas, tahun 2017 terdapat 549 pasien baru. Hal tersebut
menunjukkan kenaikan yang signifikan dari tahun 2016 ke 2017.
57
Berdasarkan hasil wawancara dengan subjek, beberapa di antaranya
mengeluhkan mengenai penyakit hipertensi yang tiba-tiba muncul.
Awalnya hanya sering merasakan sakit kepala, namun setelah diperiksa
oleh dokter ternyata tekanan darahnya meningkat dan sejak saat itu
tekanan darahnya menjadi sulit untuk dikontrol. Subjek lain mengatakan
bahwa penyakit hipertensi merupakan akibat dari kejadian yang dialami
beberapa tahun yang lalu yaitu terjatuh di kamar mandi yang
mengakibatkan kepalanya terbentur. Sebagian besar subjek mengatakan
bahwa penyakit hipertensi muncul karena gaya hidup dan pola makan yang
tidak diatur, serta terlalu banyak pikiran yang menekan.
2. Persiapan Penelitian
Peneliti melakukan beberapa persiapan penelitian dilakukan
sebelum memulai pelatihan manajemen stres. Persiapan yang dilakukan
oleh peneliti di antaranya persiapan administrasi, persiapan alat ukur,
persiapan modul penelitian, serta menentukan fasilitator dan co-fasilitator.
Adapun rincian kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Persiapan Adminstrasi
Sebelum pelatihan manajemen stres dimulai, peneliti terlebih
dahulu mengurus perizinan peminjaman ruangan Laboratorium
Psikologi UII. Pada tanggal 13 Maret 2019, peneliti melakukan
persiapan administrasi dengan mengajukan surat izin peminjaman
ruangan kepada Kepala Laboratorium Psikologi UII. Sementara bagi
58
para subjek, peneliti menggunakan informed consent sebagai kontrak
persetujuan sebelum mengikuti pelatihan manajemen stres.
b. Persiapan Alat Ukur Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan dua alat ukur yaitu skala
kesejahteraan psikologis dan perceived stress scale. Alat ukur tersebut
digunakan untuk menentukan subjek penelitian dan membaginya
kedalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (uji coba
terpakai). Pada saat pengukuran dengan diberikan pelatihan
manajemen stres, alat ukur yang digunakan hanya satu yaitu skala
kesejahteraan psikologis. Peneliti telah melakukan penyebaran alat
ukur kepada 37 pasien hipertensi, kemudian dilakukan uji reliabilitas
dan uji validitas alat ukur tersebut dengan menggunakan program
SPSS versi 20,0. Berdasarkan pengujian tersebut diperoleh hasil
sebagai berikut:
1) Skala Kesejahteraan psikologis
Skala kesejahteraan psikologis yang dimodifikasi oleh
Prameswari (2016) terdiri atas 23 aitem. Berdasarkan uji validitas
yang dilakukan oleh Prameswari (2016) didapatkan hasil bahwa
dari 23 aitem tersebut empat di antaranya dinyatakan gugur
berdasarkan koefisien korelasi minimal 0,25. Aitem-aitem yang
gugur yaitu aitem nomor 4, 17, 22, dan 23 sehingga hanya 19
aitem yang memenuhi koefisien korelasi minimal yang digunakan
untuk mengukur tingkat kesejahteraan psikologis. Koefisien
59
validitas skala kesejahteraan psikologis bergerak dari 0,304
hingga 0,684. Hasil uji reliabilitas menunjukkan koefisien alpha
reliabilitas sebesar 0,850. Peneliti menggunakan skala
kesejahteraan psikologis Prameswari (2016) yang telah di uji
validitas dan reliabilitasnya yang terdiri dari 19 aitem. Berikut
rincian aitem skala kesejahteraan psikologis yang digunakan
peneliti dalam bentuk tabel.
Tabel 5 Distribusi Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis
No Aspek Aitem
Jumlah Favorable Unfavorable
1 Autonomy 9, 10 6 3
2 Environmental
mastery 11 7, 14 3
3 Personal growth 12,18 13 3
4 Positive
relations 3, 19 4, 5 4
5 Purpose in life 16 15, 17 3
6 Self-acceptance 1, 2 8 3
Total aitem 19
2) Perceived Stress Scale
Cohen dan Williamson (1998) mengembangkan Perceived
Stress Scale yang terdiri dari 10 aitem, yang kemudian diadaptasi
oleh Putrikita (2018). Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas
yang telah dilakukan oleh Putrikita (2018), 2 dari 10 aitem
dinyatakan gugur karena tidak memenuhi koefisien korelasi
minimal yaitu sebesar 0,25. Aitem yang dinyatakan gugur adalah
aitem nomor 1 dan 2, sementara itu kedelapan sisanya merupakan
aitem yang valid. Koefisien validitas alat ukur perceived stress
60
scale bergerak dari 0,275-0,585 sedangkan koefisien alpha untuk
nilai reliabilitas sebesar 0,753. Berikut rincian aitem perceived
stress scale dalam bentuk tabel :
Tabel 6 Distribusi Aitem Perceived Stress Scale
Aspek Aitem
Jumlah Favorable Unfavorable
Unpredictable
Uncontrolable
Overload
4
7
1, 8
3
2, 5
6
2
3
3
Total aitem 8
c. Persiapan Modul Pelatihan
Modul pelatihan manajemen stres yang disusun oleh Putrikita
(2018) mengacu pada tahapan manajemen stres yang dikemukakan
oleh Taylor (2009). Modul ini juga mengacu pada penelitian
mengenai pelatihan manajemen stres terhadap penderita asma yang
dilakukan oleh Hockemeyer dan Smyth (2002). Pelatihan manajemen
stres yang diberikan kepada subjek meliputi psikoedukasi,
rekonstruksi pikiran, dan relaksasi yang berupa deep-breathing.
Peneliti berharap pelatihan manajemen stres ini dapat memberikan
pengetahuan dan pengalaman baru bagi pada pasien hipertensi.
Selama proses pelatihan manajemen stres berlangsung, fasilitator
akan memberikan materi, memberikan keterampilan baru, serta
memberikan fasilitas kepada para responden.
Modul pelatihan manajemen stres ini kemudian dimodifikasi oleh
peneliti guna menyesuaikan karakteristik subjek yaitu pasien
hipertensi. Modifikasi dilakukan pada bagian metode dan aktivitas
yang digunakan pada setiap sesi pelatihan manajemen stres. Sebelum
61
modul pelatihan manajemen stres digunakan pada pelaksanaan
penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan uji coba modul kepada
lima pasien hipertensi. Uji coba tersebut dilakukan guna mengetahui
gambaran pemahaman subjek mengenai perlakuan yang akan didapat
pada saat penelitian. Hasil uji coba modul menunjukkan bahwa secara
garis besar materi yang diberikan sudah sesuai dengan tujuan
pelatihan. Selain melakukan uji coba modul kepada pasien hipertensi,
peneliti juga melakukan penilaian dan masukan dari profesional
(professional judgement) untuk menyempurnakan modul penelitian
tersebut. Penilaian tersebut dilakukan oleh dua orang dosen psikologi
UII bidang yang paham mengenai manajemen stres.
d. Seleksi Fasilitator dan Co-Fasilitator
Peneliti melakukan seleksi terhadap fasilitator yang telah
memenuhi kriteria yang ditentukan oleh peneliti di antaranya telah
berpengalaman dalam melakukan pelatihan, khususnya pelatihan
manajemen stres. Fasilitator juga telah menyelesaikan studi magister
profesi psikologi minimal lima tahun yang lalu. Fasilitator yang
memenuhi kriteria tersebut adalah seorang psikolog sekaligus dosen
di Psikologi Universitas Islam Indonesia yaitu Ibu Rumiani, S.Psi.,
M.Psi., Psikolog. Tugas seorang fasilitator yaitu untuk memberikan
pengetahuan serta keterampilan baru bagi para peserta, serta
memfasilitasi para perserta dalam mempelajari hal tersebut selama
proses pelatihan berlangsung. Fasilitator dibantu oleh co-fasilitator
62
selama proses pelatihan. Co-fasilitator yang terlibat dalam pelatihan
ini adalah mahasiswa Psikologi Universitas Islam Indonesia yang
memiliki keterampilan dalam melakukan observasi. Hal tersebut
dikarenakan tugas co-fasilitator selain membantu fasilitator adalah
melakukan observasi kepada para peserta pelatihan. Berdasarkan
professional judgement yang telah dilakukan, berikut adalah rincian
pelatihan manajemen stres yang akan diberikan kepada subjek:
Tabel 7 Pelaksanaan Pelatihan Manajemen Stres
Pertemuan Waktu Kegiatan Tujuan Tahapan
Psikoterapi
I
15-03-2019
10’ Pembukaan Membuka sesi
pelatihan
Membangun
hubungan yang baik
antara fasilitator, co-
fasilitator, dan
peserta
20’ Perkenalan Building rapport Menciptakan
suasana akrab
selama pelatihan
berlangsung serta
mempertahankan
hubungan yang baik
antara fasilitator dan
peserta
10’ Penjelasan
pelatihan
Peserta
memahami
maksud, tujuan,
dan manfaat
pelatihan
Membangun dan
mempertahankan
hubungan yang baik
antara fasilitator dan
peserta
30’ Identifiying
stressor
1. Pemberian
edukasi
mengenai stres
dan dampak
stres
Membuka pemikiran
para peserta
mengenai arti dari
stress yang
sebenarnya melalui
edukasi dan
identifikasi situasi
yang paling sering
memunculkan
perasaan dan pikiran
tidak nyaman
2. Peserta
mengetahui
situasi
penyebab stres
pada diri
sendiri
63
20’ Monitoring
stress
1. Peserta
memahami
respon stres
secara fisik,
emosi, dan
perilaku
Membantu peserta
untuk mengenali
sensasi-sensasi dan
perasaan tidak
nyaman yang
dirasakan ketika
berada dalam situasi
stressfull dan
memahami bahwa
hal tersebut
merupakan dampak
dari stres yang
paling nyata dan
dapat langsung
dirasakan
2. Peserta
menganalisis
perasaan yang
muncul
terhadap situasi
stressfull
20’ Identifying
stress
antecendents
1. Peserta
memahami
mengapa suatu
situasi dapat
memunculkan
stres
Membuka pemikiran
para peserta melalui
identifikasi pada diri
sendiri bahwa
penyebab stres yang
paling utama bukan
situasinya,
melainkan apa yang
dipersepsikan atau
dipikirkan oleh
peserta terhadap
situasi tersebut
2. Peserta
mengidentifika
si penyebab
stres
sebenarnya
20’ Avoiding
negative self-
talk
1. Peserta
menyadari dan
mengidentifika
si negative self-
talk dan pikiran
negatif yang
sering
dilakukan.
Memberikan
pemahaman kepada
para peserta bahwa
stres yang dirasakan
merupakan akibat
pikiran negatif dan
negative self-talk
yang dikembangkan,
padahal pikiran
negatif tersebut
belum tentu benar
apabila dibenturkan
dengan bukti-bukti
atau kejadian nyata
pada situasi
stressfull yang
dialami.
2. Peserta mampu
melawan
negative self-
talk.
Satu
minggu
Take home
assignment
1. Peserta
melakukan
Meningkatkan
pemahaman
64
praktik
langsung dalam
identifikasi
penyebab stres
serta perasaan
dan pikiran
yang muncul
pada situasi
tersebut
mengenai penyebab
stres (pikiran negatif
yang kadang tidak
disertai bukti nyata)
melalui praktik
mandiri di luar sesi
pelatihan, serta
melatih peserta
untuk melawan
sendiri pikiran
negatifnya dengan
memunculkan
pikiran positif agar
peserta terlatih
untuk melakukan
rekonstruksi pikiran
secara mandiri
ketika menghadapi
stres
2. Peserta
mempraktikkan
avoiding
negative self-
talk secara
mandiri
II
21-03-2019
15’ Evaluasi
tugas rumah
Mengevaluasi
sejauh mana
peserta
melakukan
avoiding negative
self-talk secara
mandiri
Melatih peserta
untuk melawan
sendiri pikiran
negatifnya dengan
memunculkan
pikiran positif agar
peserta terlatih
untuk melakukan
rekonstruksi pikiran
secara mandiri
ketika menghadapi
stres
20’ Skill
acquisition:
deep-
breathing
relaxation
1. Merilekskan
dada, perut,
dan seluruh
tubuh.
Memberikan
kesadaran kepada
peserta bahwa dalam
kondisi stres, yang
terjadi adalah
jantung berdetak
lebih cepat dan
nafas menjadi lebih
cepat akibatnya
dapat memunculkan
perasaan tidak
nyaman, baik secara
fisik atau psikologis,
sehingga deep-
breathing penting
2. Memperkuat
sistem saraf.
3. Memunculkan
perasaan
tenang dan
nyaman.
4. Membantu
untuk
meningkatkan
oksigen serta
menurunkan
65
karbondioksida
didalam paru-
paru dan darah.
untuk merilekskan
tubuh
20’ Setting new
goal
1. Peserta
memiliki
tujuan hidup
yang jelas.
Mempertahankan
keterampilan
manajemen stres
yang telah diberikan
melalui rencana-
rencana konkret
yang akan dilakukan
untuk tujuan
mengikuti pelatihan
2. Peserta
memiliki
rencana-
rencana yang
akan dilakukan
untuk
mencapai
tujuan tersebut
20’ Positive self-
talk
1. Mengubah
pikiran-pikiran
negatif menjadi
lebih positif.
Melatih peserta
untuk memberikan
pujian atau apresiasi
terhadap diri sendiri
dan apa yang
dicapai sehingga
secara otomatis akan
meminimalisir
negative self-talk
2. Memperkuat
pikiran-pikiran
positif.
20’ Evaluasi 1. Memastikan
peserta
memahami
pelatihan yang
telah
dilakukan.
Mempertahankan
dan memperkuat
keterampilan yang
telah diberikan
untuk memanajemen
dan meminimalisir
stres 2. Mengetahui
pendapat
peserta setelah
melakukan
pelatihan.
10’ Pengukuran
kesejahteraan
psikologis
Mengetahui
tingkat
kesejahteraan
psikologis peserta
setelah pelatihan
15’ Terminasi Mengakhiri sesi
Tindak
lanjut
04-03-2019
20’ Evaluasi Mengetahui
perkembangan
peserta setelah
66
mengikuti
pelatihan
10’ Pengukuran
kesejahteraan
psikologis
Mengetahui
tingkat
kesejahteraan
psikologis peserta
setelah pelatihan
B. Pelaksanaan Penelitian
1. Pelaksanaan Sebelum Pelatihan
Peneliti menggunakan modul pelatihan manajemen stres yang disusun
oleh Putrikita (2018) kemudian dimodifikasi guna menyesuaikan karakteristik
subjek. Modul pelatihan yang telah dimodifikasi oleh peneliti selanjutnya
dilakukan penilaian oleh professional judgement, yaitu dua orang dosen
psikologi di bidang klinis yang memahami manajemen stres. Setelah dilakukan
penilaian, peneliti melakukan uji coba modul penelitian kepada lima orang
subjek. Subjek uji coba tersebut memiliki karakteristik yang sama dengan
subjek penelitian yaitu usia dewasa. Kendati demikian, karena keterbatasan
peneliti dalam mendapatkan pasien hipertensi, maka subjek dalam penelitian
ini tidak semuanya merupakan pasien hipertensi. Subjek dalam uji coba ini
terdiri dari pasien hipertensi dan ibu rumah tangga.
Uji coba modul pelatihan manajemen stres ini dilakukan guna mengetahui
kejelasan dan kesesuaian penyampaian tujuan pelatian dengan pelaksanaan
pelatihan tersebut. Selain itu, ketepatan bahasa yang digunakan selama
pelatihan berlangsung serta kesesuaian dengan modul intervensi manajemen
stres. Hasil dari uji coba modul pelatihan manajemen stres adalah sebagai
berikut :
67
Tabel 8 Standar Penilaian Uji Coba Modul Pelatihan Manajemen Stres
Aspek Skor
Apakah tujuan penelitian
dapat dipahami dengan jelas?
1 (sangat
tidak jelas)
2 (tidak
jelas)
3 (jelas) 4 (sangat
jelas)
Apakah materi yang
disampaikan dalam pelatihan
sesuai dengan tujuan
penelitian?
1 (sangat
tidak
sesuai)
2 (tidak
sesuai)
3 (sesuai) 4 (sangat
sesuai)
Menurut saudara/i, apakah
materi yang disampaikan
dalam pelatihan ini menarik?
1 (sangat
tidak
menarik)
2 (tidak
menarik)
3
(menarik )
4 (sangat
menarik)
Apakah bahasa yang
digunakan dalam pelatihan
ini mudah untuk dipahami?
1 (sangat
sulit
dipahami)
2 (sulit
untuk
dipahami)
3 (mudah
dipahami)
4 (sangat
mudah
dipahami)
Apakah materi pelatihan
disampaikan dalam jumlah
waktu yang ideal?
1 (sangat
tidak
ideal)
2 (tidak
ideal)
3 (ideal) 4 (sangat
ideal)
Rerata skor masing-masing peserta didapatkan dengan cara membagi skor
total dengan jumlah aitem pertanyaan. Skor rerata maksimal yang didapatkan
adalah 4. Hasil rerata penilaian uji coba modul pelatihan manajemen stres
adalah sebagai berikut :
Tabel 9 Hasil Penilaian Uji Coba Modul Pelatihan
Nama Kuantitatif
(Rerata Skor) Kualitatif
DN 3,0 Pelatihan manajemen stres ini sangat menarik
karena dapat mengurangi tingkat stres dan dapat
membuat pikiran menjadi rileks
S 3,0 Membuat tubuh menjadi lebih segar, nyaman,
pikiran juga menjadi lebih tenang
K 3,2 Materinya menarik karena didukung dengan
adanya slide presentasi dan bisa diterapkan di
rumah secara mandiri
AL 2,8 Waktunya terlalu singkat, padahal materinya
menarik
RR 3,0 Ada keterampilan baru yang sangat bermanfaat
yang didapat dari pelatihan manajemen stres ini
68
Berdasarkan hasil uji coba modul yang dilakukan kepada lima orang, dapat
diketahui bahwa tujuan yang disampaikan fasilitator sudah sesuai dengan
pelatihan, materi yang disampaikan jelas karena dibantu dengan adanya slide
presentasi. Meskipun demikian, ada beberapa yang mengeluhkan waktu
pelaksanaan yang kurang panjang. Hal tersebut dapat dimaklumi karena
memang waktu yang digunakan untuk uji coba cenderung lebih singkat jika
dibandingkan dengan waktu pelaksanaan pelatihan yang sesungguhnya.
Setelah melakukan uji coba modul, peneliti juga melakukan uji coba skala
penelitian yaitu skala kesejahteraan psikologis dan perceived stress scale.
Setelah mendapatkan hasil dari kedua uji coba tersebut (uji coba skala
terpakai), peneliti melakukan kategorisasi guna menentukan subjek yang akan
mengikuti pelatihan manajemen stres. Peneliti membagi hasil tersebut kedalam
lima kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah.
Subjek yang akan mengikuti pelatihan merupakan subjek yang memiliki
kategori sedang, rendah, dan sangat rendah untuk skala kesejahteraan
psikologis. Berdasarkan skala kesejahteraan psikologis, hasil kategorisasi
dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 10 Kriteria Kategorisasi Data Penelitian skala kesejahteraan psikologis
Kategori Rumus Norma
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
X > µ + 1.8σ
µ + 0.6σ ≤ X ≤ µ + 1.8σ
µ - 0.6σ ≤ X < µ + 1.8σ
µ - 1.8σ ≤ X < µ - 0.6σ
X < µ - 1.8σ
Keterangan :
X = Skor Total Data
µ = Mean
σ = Standar Deviasi (SD)
69
Tabel 11 Kriteria kategorisasi data penelitian perceived stress scale
Kategori Rumus Norma
Tinggi X > µ + 1 σ
Sedang µ - 1 σ ≤ X < µ + 1 σ
Rendah X < µ - 1 σ
Keterangan :
X = Skor Total Data
µ = Mean
σ = Standar Deviasi (SD
Mengacu pada norma kategorisasi data penelitian dalam tabel 10 dan 11,
maka subjek penelitian dapat dikelompokkan kedalam beberapa kategori,
yaitu:
Tabel 12 Kategorisasi Data Penelitian Skala Kesejahteraan psikologis
Kategori Skor Jumlah
Sangat Tinggi X > 64,6 1
Tinggi 53,2 ≤ X ≤ 64,6 21
Sedang 41,8 ≤ X < 53,2 15
Rendah 30,4 ≤ X < 41,8 -
Sangat Rendah X < 30,4 -
Jumlah 37
Keterangan :
X = Skor subjek
Tabel 13 Kategorisasi data penelitian perceived stress scale
Kategori Skor Jumlah
Tinggi X > 21,33 5
Sedang 10,67 ≤ X < 21,33 27
Rendah X < 10,67 5
Jumlah 37
Keterangan :
X = Skor subjek
Berdasarkan tabel 12, terdapat 15 subjek yang memenuhi syarat untuk
mengikuti pelatihan manajemen stres, yaitu subjek yang memiliki skor pada
skala kesejahteraan psikologis dalam kategori sedang. Terdapat 27 subjek yang
memenuhi syarat untuk mengkuti pelatihan manajemen stres berdasarkan tabel
70
13, yaitu subjek yang memiliki skor sedang pada perceived stress scale.
Peneliti kemudian meminta kesediaan masing-masing subjek untuk mengikuti
pelatihan manajemen stres. Dari 15 subjek yang memenuhi kriteria yang
bersedia mengikuti pelatihan manajemen stres berjumlah 10 orang. Peneliti
kemudian membagi 10 subjek tersebut menjadi dua kelompok yaitu lima
subjek kedalam kelompok eksperimen, dan lima subjek kedalam kelompok
kontrol.
2. Pelaksanaan Pelatihan Manajemen Stres
Pelatihan manajemen stres dilakukan selama dua kali pertemuan dalam
kurun waktu dua minggu. Seluruh rangkaian pertemuan pelatihan manajemen
stres dilakukan di salah satu ruangan laboratorium psikologi UII. Berikut ini
merupakan penjelasan pelaksanaan pelatihan manajemen stres pada setiap
pertemuan.
a. Pertemuan Pertama
Pertemuan pertama dilaksanakan pada hari Jumat, 15 Maret 2019 di
ruang Laboratorium Psikologi UII. Pelatihan manajemen stres dimulai
pada pukul 13.30 dan selesai pada pukul 16.00. Terdapat sepuluh orang
subjek yang mengikuti pelatihan manajemen stres, tetapi subjek yang
sebenarnya yang masuk dalam pengukuran hanya lima orang. Lima orang
tersebut terdiri dari satu orang laki-laki dan empat orang perempuan.
Peneliti mengundang sepuluh orang subjek karena berasal dari lingkungan
yang sama sehingga peneliti merasa khawatir akan menimbulkan
kecemburuan sosial. Kelima subjek yang masuk dalam kelompok
71
eksperimen yaitu HW (perempuan), JM (perempuan), MS (laki-laki), AT
(perempuan), dan SS (perempuan).
Setelah seluruh peserta datang, co-fasilitator membuka pertemuan
dengan salam dan doa bersama. Co-fasilitator kemudian memperkenalkan
diri beserta teman-teman yang akan membersamai selama proses pelatihan
manajemen stres berlangsung. Co-fasilitator juga mengucapkan
terimakasih kepada para peserta yang telah bersedia untuk hadir mengikuti
pelatihan manajemen stres. Setelah proses perkenalan selesai, salah satu
co-fasilitator memanggil fasilitator yang merupakan salah satu dosen
psikologi UII di ruang dosen lantai 2. Kemudian, fasilitator
memperkenalkan diri dan meminta para peserta untuk memperkenalkan
diri pula.
Fasilitator kemudian menjelaskan maksud, tujuan, dan manfaat dari
pelatihan manajemen stres. Setelah memastikan seluruh peserta
memahami maksud, tujuan, dan manfaat, selanjutnya fasilitator memasuki
sesi identifying stressor yang diawali dengan pemberian psikoedukasi
mengenai stres. Sebelumnya, fasilitator bertanya mengenai kondisi para
peserta saat ini, apakah saat ini sedang dalam kondisi stres. Sebagian
peserta menjawab sedang stres dan sebagian lagi mengatakan dalam
kondisi yang biasa saja. Fasilitator menanyakan kepada para peserta
apakah ketika dalam keadaan stres penyakit hipertensinya mengalami
kekambuhan. Hampir seluruh peserta mengatakan bahwa hal itu sering
terjadi.
72
Fasilitator kemudian menampilkan slide mengenai stress dan
menjelaskan bahwa hipertensi merupakan salah satu jenis penyakit yang
sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis seperti stres. Fasilitator juga
menjelaskan mengenai dampak stres pada individu, penyebab stres, serta
masalah-masalah yang muncul pada saat stres yang berkepanjangan dan
tidak dikelola dengan baik. Fasilitator menekankan bahwa stres tidak
hanya bersifat negatif, tetapi ada juga stres yang bersifat positif.
Fasilitator kemudian menunjukkan beberapa gambar di slide.
Gambar-gambar tersebut merupakan gambaran kehidupan sehari-hari
yang sering terjadi di masyarakat dan menyebabkan situasi yang menekan.
Kemudian fasilitator mengatakan kepada para peserta apakah pernah
mengalami hal seperti yang ada pada slide. Seluruh peserta mengatakan
bahwa sering mengalami hal tersebut. Fasilitator meminta para peserta
untuk menceritakan apa yang dirasakan setelah melihat gambar pada slide
didepan. Sebelum para peserta mengemukakan pendapat, fasilitator
membagi menjadi dua kelompok agar memudahkan para peserta untuk
berdiskusi. Masing-masing kelompok didampingi oleh co-fasilitator yang
bertugas untuk mencatat respon jawaban setiap peserta.
Fasilitator memastikan seluruh peserta sudah memahami instruksi
yang diberikan, sehingga dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan oleh co-fasilitator. Pada saat diskusi dalam kelompok, MS tidak
banyak memberikan kontribusi berupa jawaban, hanya menyetujui
jawaban peserta yang lain. Fasilitator menjelaskan bahwa penyebab situasi
73
yang tampak pada gambar di slide bisa bermacam-macam dan berbeda-
beda setiap setiap orang. Setelah memastikan semua peserta menjawab
penyebab dari situasi yang menekan berdasarkan gambar, fasilitator
melanjutkan ke sesi selanjutnya.
Fasilitator meminta peserta untuk berdiskusi mengenai pikiran,
perasaan dan respon emosional yang muncul berdasarkan gambar-gambar
pada slide. Co-fasilitator membantu menuliskan jawaban-jawaban yang
disebutkan oleh para peserta. Dari kedua kelompok kecil yang dibentuk,
hanya beberapa peserta yang berperan aktif dalam mengemukakan
pendapat. Peserta lainnya ada yang menjawab sama dengan yang telah
disebutkan, tetapi ada pula yang tidak menjawab apapun. Hal tersebut
dapat dimaklumi oleh peneliti karena beberapa subjek sudah memasuki
usia lanjut. Setelah itu, fasilitator menjelaskan mengenai pikiran, perasaan,
serta respon emosional yang biasa muncul apabila dihadapkan pada
stimulus-stimulus yang ada pada slide. Fasilitator juga menanyakan
kepada para perserta apakah pernah mengalami hal yang serupa, kemudian
para peserta mulai mengemukakan pendapat masing-masing. Hal tersebut
dilakukakan untuk memancing peserta mengemukakan pendapatnya yang
lain. Setelah masing-masing peserta mengemukakan pendapat, fasilitator
melanjutkan ke sesi berikutnya.
Sesi berikutnya adalah pemberian tugas rumah kepada para peserta,
namun sebelumnya fasilitator mengulang kembali materi yang telah
dijelaskan. Fasilitator mengulangi dari awal materi mengenai stres,
74
penyebab stres, situasi yang menyebabkan stress, respon yang diberikan
ketika menghadapi stressor, pikiran, perasaan dan respon emosional yang
muncul. Para peserta tampak menyimak dengan baik review yang
diberikan oleh fasilitator. Setelah fasilitator memberikan review materi dan
memastikan seluruh peserta memahami materi tersebut, fasilitator
kemudian menjelaskan tentang tugas rumah yang harus dilakukan oleh
peserta. Fasilitator meminta para pesera untuk mengidentifikasi stress
yang muncul selama satu pekan kedepan, pikiran dan perasaan apa yang
muncul setelah dihadapkan pada situasi yang menekan. Fasilitator juga
meminta para peserta untuk hadir kembali pekan depan dan menceritakan
pengalaman selama satu pekan kepada fasilitator. Para peserta tampak
bersemangat untuk hadir kembali pekan depan di pertemuan selanjutnya.
Fasilitator menutup sesi terakhir ini dengan memberikan tugas rumah
kepada para peserta. Fasilitator juga meminta para peserta untuk
mengaplikasikan apa yang telah didapat pada pertemuan ini dalam
kehidupan sehari-hari. Kemudian, fasilitator mengembalikan forum
kepada co-fasilitator, tetapi sebelumnya fasilitator pamit kepada para
peserta meminta maaf apabila banyak kekurangan. Para peserta merasa
sangat senang dan mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada
fasilitator. Fasilitator meninggalkan ruangan pelatihan dengan menyalami
para peserta satu per satu. Selanjutnya, forum diambil alih oleh co-
fasilitator dan co-fasilitator mengucapkan banyak terima kasih kepada
para peserta. Selain itu, co-fasilitator juga meminta kesediaan para peserta
75
untuk datang kembali pekan depan di UII guna melanjutkan sesi pelatihan
manajemen stres. Pertemuan ditutup dengan membaca doa dan bersalaman
dengan para peserta.
b. Pertemuan Kedua
Pertemuan kedua dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 21 Maret
2019 di ruangan Laboratorium Psikologi UII. Pertemuan kedua ini dimulai
pada pukul 13.00 WIB dan selesai pada pukul 15.30 WIB. Pada pertemuan
ini, jumlah peserta yang hadir masih sama dengan pertemuan sebelumnya,
yaitu sepuluh orang. Pertemuan kedua ini sekaligus menjadi pertemuan
terakhir dari proses pelatihan manajemen stres. Co-fasilitator membuka
pertemuan ini dengan mengucapkan salam dan menanyakan kabar para
peserta. Kemudian, salah satu co-fasilitator memanggil fasilitator untuk
memulai sesi pertama di pertemuan kedua.
Fasilitator memasuki ruangan pelatihan dan menyalami seluruh
peserta. Kemudian, fasilitator menanyakan kabar dan perasaan yang
sedang dialami saat itu. Seluruh peserta mengatakan bahwa saat ini dalam
keadaan yang baik-baik saja, namun ada peserta yang mengatakan bahwa
selama satu pekan terakhir perasaan yang dirasa adalah cemas. Sebelum
menanyakan lebih lanjut mengenai perasaan tersebut, fasilitator
mengingatkan tugas rumah yang telah diberikan pada pertemuan
sebelumnya. Fasilitator membantu para peserta untuk me-recall peristiwa-
peristiwa menekan yang terjadi selama satu pekan terakhir. Fasilitator
meminta para peserta untuk menceritakan pengalaman tersebut, namun
76
tidak semua peserta berkenan menceritakan pengalaman mengenai
peristiwa menekan yang terjadi selama satu pekan terakhir. Peserta yang
berkenan menceritakan pengalaman tersebut justru bukan dari kelompok
yang akan diukur, melainkan peserta yang memiliki tingkat kesejahteraan
psikologis tinggi yang memang diundang oleh peneliti karena alasan takut
terjadi kecemburuan sosial. Peserta yang lain hanya menyetujui maupun
menambahkan sedikit cerita karena seluruh peserta sedang dalam kondisi
yang sama yaitu sedang dalam masa panen padi di sawah. Fasilitator
memberikan apresiasi kepada peserta yang berkenan menceritakan
pengalaman yang dialami dan memberikan beberapa feedback kepada para
peserta.
Fasilitator memulai sesi berikutnya yaitu avoiding negative self-talk.
Fasilitator meminta para peserta untuk mengingat kembali situasi menekan
yang dialami selama sepekan terakhir. Selain meminta mengingat,
fasilitator juga menayangkan kembali slide yang berisi gambar-gambar
yang telah ditayangkan pada pertemuan berikutnya. Kemudian, fasilitator
juga meminta peserta mengingat kembali penyebab dari situasi tersebut
dan pikiran apa yang muncul saat melihat gambar dalam tayangan. Setelah
itu, fasilitator meminta peserta untuk mengungkapkan perkataan-
perkataan negatif pada diri sendiri (negative self-talk) yang muncul dalam
situasi tersebut. Fasilitator juga meminta para peserta untuk memberikan
bukti penguat atas pikiran negatif dan perkataan negatif pada diri sendiri.
Para peserta juga diminta untuk menganalisis kembali apakah pikiran
77
negatif yang selama ini muncul benar-benar terjadi atau hanya ada di
pikiran para peserta (distorsi kognitif). Fasilitator meminta para peserta
untuk mendiskusikan hal tersebut bersama peserta lain.
Kemudian, fasilitator meminta para peserta untuk memunculkan
pikiran positif (pikiran alternatif) guna melawan atau membantah pikiran
negatif yang selama ini muncul. Fasilitator menjelaskan bahwa pikiran
alternatif harus diciptakan agar situasi menekan yang sedang dialami tidak
memperburuk keadaan karena terus menerus berpikiran negatif. Fasilitator
juga menjelaskan bahwa memunculkan pikiran alternatif juga dapat
dibarengi dengan melakukan relaksasi pernafasan (deep-breathing
relaxation) agar hasilnya semakin maksimal.
Selanjutnya, fasilitator melanjutkan ke sesi berikutnya yaitu relaksasi
pernafasan. Relaksasi tersebut bertujuan untuk merilekskan dada, perut,
dan seluruh tubuh. Selain itu, memunculkan perasaan tenang dan nyaman
saat dihadapkan pada situasi-situasi yang menekan. Fasilitator mengatakan
bahwa relaksasi ini sangat mudah dilakukan dan dapat dipraktikkan sendiri
di rumah. Fasilitator meminta para peserta untuk duduk di posisi senyaman
mungkin kemudian meletakkan tangan kanan di dada dan tangan kiri di
perut. Para peserta juga diminta untuk memejamkan mata dan mengikuti
instruksi fasilitator. Fasilitator meminta para peserta untuk menarik nafas
panjang dari hidung dan mengeluarkannya secara perlahan dari mulut. Hal
tersebut dilakukan secara berulang hingga para peserta merasa lebih
tenang dan rileks.
78
Fasilitator menjelaskan bahwa relaksasi pernafasan ini dapat
dilakukan secara mandiri di rumah ketika menghadapi situasi-situasi yang
menekan. Relaksasi ini dapat mengurangi perasaan-perasaan tidak nyaman
yang muncul akibat situasi yang menekan. Fasilitator menjelaskan bahwa
relaksasi pernafasan ini dapat digabungkan dengan pikiran positif (pikiran
alternatif) seperti yang telah dijelaskan diatas agar hasilnya lebih maksimal
dan menyeluruh. Fasilitator kembali meminta para peserta untuk
melakukan relaksasi pernafasan, nemun kali ini dibarengi dengan pikiran
positif.
Fasilitator kemudian menanyakan bagaimana perasaan para peserta
setelah melakukan relaksasi pernafasan yang disertai dengan pikiran
positif. Seluruh peserta mengatakan bahwa setelah melakukan relaksasi
pernafasan, perasaan menjadi lebih tenang, pikiran-pikiran negatif menjadi
berkurang dan tubuh merasa nyaman. HW yang semula merasa kurang
nyaman saat melakukan relaksasi kemudian dibantu oleh fasilitator agar
mendapatkan posisi yang nyaman dan kini merasa lega dan tenang setelah
melakukan relaksasi. Begitu pula dengan JM yang mengatakan bahwa
lebih tenang setelah melakukan relaksasi deep-breathing yang dibarengi
dengan pikiran positif. MS merasa lebih tenang, rileks, dan lebih lega.
Pada awalnya AT merasa sedikit tegang tetapi lama kelamaan AT merasa
lebih nyaman dan lebih tenang. SS merasa lebih bias bernafas dengan lega
setelah melakukan relaksasi pernafasan tersebut. Fasilitator mengapresiasi
pencapaian yang luar biasa dari para peserta.
79
Fasilitator mengajak para peserta untuk beralih ke sesi selanjutnya
yaitu setting new goal. Para peserta diminta untuk menceritakan tujuan
masing-masing ketika bersedia untuk mengikuti pelatihan manajemen
stres. HW mengatakan bahwa tujuannya datang mengikuti pelatihan
manajemen stres adalah HW ingin mendapat ilmu mengenai bagaimana
menghadapi pikiran sehari-hari. Menurut JM, tujuan mengikuti pelatihan
manajemen stress adalah agar pikirannya menjadi lebih tenang, lebih
tentram, dan badan menjadi lebih sehat. MS mengikuti pelatihan
manajemen stres dengan harapan badannya menjadi lebih baik lagi karena
penyakit asam urat yang sering kambuh dan membuat penyakit
hipertensinya menjadi kambuh juga. AT mengatakan bahwa tujuan
mengikuti pelatihan manajemen stres adalah agar kekhawatiran yang
selama ini muncul dalam pikirannya segera hilang. Tujuan mengikuti
pelatihan manajemen stres bagi SS adalah mendapat pengalaman dan
keterampilan baru dalam menghadapi stres.
Fasilitator juga menanyakan sejauh mana pelatihan manajemen stres
berpengaruh terhadap pencapaian tujuan yang telah dikemukakan oleh
para peserta. HW mengatakan bahwa hal yang didapatkan dari pelatihan
manajemen stres ini adalah HW belajar untuk mengendalikan emosi,
mencoba untuk lebih rileks, dan tidak memikirkan segalanya. Menurut JM
adanya pelatihan manajemen stres dapat membantunya menjadi lebih
sehat. AT mengatakan bahwa pelatihan manajemen stres sangat penting
karena dapat menghadapi stres pada situasi-situasi yang menekan dan
80
dapat menghilangkan kekhawatiran-kekhawatiran yang selama ini
muncul. MS mengatakan bahwa pelatihan manajemen stres harus
dilakukan di rumah karena dapat mengurangi terjadinya kekambuhan
penyakit. SS mengaku bahwa dengan melakukan salah satu teknik
manajemen stres yang berupa relaksasi deep-breathing karena dapat
membuka jalan nafas sehingga lebih tubuh menjadi lebih segar dan rileks.
Fasilitator mengapresiasi seluruh pendapat peserta dan mengatakan bahwa
untuk membiasakan diri dengan manajemen stres, para peserta perlu
melakukannya kapan saja dan dan dimana saja dalam kondisi apapun agar
terbiasa.
Fasilitator mengajak peserta untuk memasuki sesi positive self-talk.
Pada sesi ini, fasilitator meminta para peserta untuk memunculkan
perkataan positif pada diri sendiri di masing-masing situasi yang menekan.
Fasilitator menjelaskan perbedaan pikiran alternatif dan positive self-talk.
Pikiran alternatif bersifat lebih general, sedangkan pikiran positive self-
talk lebih bersifat ke ‘aku’ atau ditujukan pada diri sendiri. Fasilitator juga
menjelaskan bahwa dalam situasi yang menekan sangat wajar ketika
perkataan negatif pada diri sendiri yang lebih sering muncul, oleh karena
itu para peserta perlu untuk melawannya. Ketika positive self-talk lebih
dikuasai, maka para peserta akan merasa lebih nyaman, dapat berpikir
jernih, memunculkan perilaku yang lebih baik, serta lebih mudah untuk
menghadapi situasi-situasi yang menekan dalam kehidupan sehari-hari.
Positive self-talk yang dikembangkan dalam pikiran diharapkan dapat
81
menekan negative self-talk sehingga tidak muncul lagi. Fasilitator
mempersilakan para peserta untuk bertanya.
Pertemuan ini diakhiri dengan sesi positive self-talk. Fasilitator
menutup pertemuan dengan mengucapkan terimakasih kepada para peserta
karena para peserta merupakan sosok yang luar biasa yang berani
mengemukakan pendapatnya mengenai hal yang mungkin tidak
menyenangkan. Fasilitator mewakili tim meminta maaf apabila selama
pelatihan manajemen stres berlangsung ada hal-hal yang menyinggung
atau kurang berkenan bagi para peserta. Sekali lagi fasilitator
mengucapkan terimakasih atas kesediaan peserta mengikuti pelatihan
manajemen stres dari awal hingga selesai. Fasilitator berharap bahwa apa
yang telah disampaikan dapat bermanfaat dan dapat dilakukan secara
mandiri oleh peserta. Fasilitator kemudian mengembalikan forum kepada
co-fasilitator dan sebelum meninggalkan ruangan fasilitator berfoto
bersama dengan para peserta dan co-fasilitator. Fasilitator kemudian
meninggalkan ruangan dan menyalami para peserta. Co-fasilitator
kemudian meminta para peserta untuk mengisi lembar post-test dengan
dibantu co-fasilitator. Setelah memastikan seluruh peserta telah
menyelesaikan lembar post-test, co-fasilitator menutup pelatihan
manajemen stres dengan doa dan salam.
82
3. Pelaksanaan Setelah Pelatihan
Pelaksanaan setelah pelatihan (post-test) dilakukan pada hari yang sama
dengan pertemuan kedua yaitu tanggal 21 Maret 2019, para peserta pelatihan
masing-masing diberikan skala kesejahteraan psikologis untuk dilengkapi.
4. Pelaksanaan Follow-up
Pelaksanaan follow-up dilaksanakan dua minggu setelah pelatihan
manajemen stres selesai dilakukan. Pada hari Kamis, 4 April 2019 peneliti
mendatangi rumah masing-masing peserta pelatihan untuk melaksanakan
follow-up. Semua peserta pelatihan manajemen stres dapat ditemui dalam hari
yang sama. Pelaksanaan follow-up diawali dengan menceritakan perasaan yang
saat ini sedang dirasakan oleh peserta pelatihan. Kemudian, peserta pelatihan
diminta untuk menceritakan pengalaman-pengalaman setelah mengikuti
pelatihan manajemen stres. Selanjutnya, peserta diminta untuk mengisi skala
kesejahteraan psikologis.
HW mengatakan bahwa perasaannya saat ini biasa saja sama dengan hari-
hari biasanya. Tekanan darah HW saat ini juga dalam keadaan yang normal
yaitu 120/90 mmHg. HW mengaku pernah melakukan relaksasi deep-
breathing selama dua minggu ini. Hal tersebut dilakukan ketika HW
menghadapi situasi stressfull yaitu anaknya yang sulit untuk diatur. Setelah
melakukan relaksasi deep-breathing, HW merasa lebih tenang sehingga tidak
mudah terpancing emosi dan dapat berpikir positif.
Selama dua minggu setelah pelatihan manajemen stres, JM mengatakan
bahwa beberapa kali melakukan relaksasi deep-breathing dan merasa lebih
83
baik. Tekanan darah JM saat ini juga dalam keadaan yang normal yaitu 130/90
mmHg. Sementara untuk positive self-talk, JM juga kerap melakukannya dalam
berbagai situasi ketika pikiran negatif itu muncul. JM mengaku setelah
mengubah pikiran negatif menjadi pikiran-pikiran positif membuat JM dapat
berpikir lebih baik dan lebih tenang.
MS mengatakan bahwa selama dua minggu terakhir tidak melakukan
relaksasi deep-breathing karena merasa baik-baik saja, tidak ada situasi yang
menekan. Tekanan darah MS juga berada dalam kategori normal yaitu 130/90
mmHg. Meskipun demikian, MS merasa bahwa melawan pikiran negatif dan
relaksasi deep-breathing merupakan hal yang akan MS lakukan ketika
menghadapi situasi yang menekan.
AT merasa selama dua minggu terakhir ini banyak pikiran yang
mengganggu, antara lain suami yang sedang sakit, padi di sawah yang sudah
menguning tetapi belum dipanen. Saat pikiran-pikiran tersebut muncul, AT
kerap melakukan deep-breathing relaxation dan avoiding negative self-talk.
Setelah melakukan kedua hal tersebut, AT mengaku lebih baik dan lebih tenang
sehingga dapat berpikir secara jernih, tidak tergesa-gesa dalam mengambil
keputusan. Tekanan darah AT selama dua minggu terakhir ini mengalami
fluktuasi, kadang normal tetapi pernah juga mencapai 160/90 mmHg.
Selama dua minggu terakhir, SS merasakan ketenangan dalam hidupnya
karena kerap melakukan relaksasi deep-breathing. Menurut SS, dengan
melakukan relaksasi deep-breathing tubuhnya menjadi lebih sehat dan
pikirannya menjadi lebih tenang. SS mengatakan bahwa relaksasi deep-
84
breathing yang dilakukan juga harus diimbangi dengan pikiran-pikiran yang
positif. Menghindari pikiran negatif dapat membuat SS merasa lebih tenang
dan lebih baik sehingga tekanan darahnya tetap normal.
5. Pelaksanaan terhadap Kelompok Kontrol
Pengukuran kesejahteraan psikologis pada kelompok kontrol dilakukan
pada waktu yang sama dengan pengukuran pre-test pada kelompok
eksperimen, yaitu sebelum dilaksanakannya pelatihan manajemen stres.
Pengukuran post-test dilakukan satu hari setelah dilaksanakan pengukuran
post-test pada kelompok eksperimen, yaitu pada hari Jumat, 22 Maret 2019.
Pengukuran follow-up pada kelompok kontrol dilaksanakan pada hari Jumat, 5
April 2019 yaitu satu hari setelah pengukuran follow-up pada kelompok
eksperimen.
Pelatihan manajemen stres memang tidak diberikan secara lengkap pada
kelompok kontrol karena keterbatasan waktu subjek yang cukup padat dan
cukup sulit untuk ditemui, sehingga tidak ada waktu yang selaras untuk
dilaksanakannya pelatihan manajemen stres. Peneliti kemudian memberikan
materi pada masing-masing subjek sebagai ganti dari pelatihan manajemen
stres. Materi tersebut diberikan langsung oleh peneliti secara perorangan
kepada masing-masing subjek. Materi yang diberikan berupa pengertian stres,
respon stres, penyebab stres, dampak stres yang berkepanjangan, cara
mengatasi stres seperti melawan pikiran negatif, serta melakukan relaksasi
pernafasan guna menenangkan diri ketika menghadapi situasi yang menekan.
85
C. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Subjek Penelitian
Subjek penelitian merupakan pasien yang mengalami hipertensi dengan
usia diatas 35 tahun, serta memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang
berada pada kategori sedang. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 10 orang
yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu 5 orang menjadi subjek dalam
kelompok eksperimen sedangkan 5 orang menjadi subjek dalam kelompok
kontrol.
Tabel 14 Deskripsi Subjek Penelitian
Kelompok Subjek Jenis
Kelamin
Usia Riwayat Kategori
Psychological
Wel-Being
Eksperimen Subjek 1 (HW)
Subjek 2 (JM)
Subjek 3 (MS)
Subjek 4 (AT)
Subjek 5 (SS)
P
P
L
P
P
38
62
71
64
77
1-6 bln
>2thn
>2 thn
1-6 bln
>2 thn
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Kontrol Subjek 6 (PT)
Subjek 7 (SI)
Subjek 8 (SH)
Subjek 9 (SR)
Subjek 10 (SD)
P
P
P
P
L
50
52
66
61
56
>2thn
>2 thn
>2 thn
1-6 bln
>2 thn
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
2. Analisis Kuantitatif
a. Deskripsi Data Kelompok Eksperimen
Data tersebut diperoleh dari 5 orang subjek penelitian yang termasuk
dalam kelompok eksperimen dan mendapatkan perlakuan berupa pelatihan
manajemen stres. Data ini disusun berdasarkan hasil dari skala
kesejahteraan psikologis subjek pada saat sebelum, sesudah, dan follow-up
86
dari pelaksanaan pelatihan manajemen stres. Data dari kelompok
eksperimen tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 15 Deskripsi Data Kelompok Eksperimen
Subjek
Pengukuran Gained Score
Pre-test
(I)
Post-
test (II)
Follow-
up (III) I-II I-III II-III
Subjek 1 (HW) 50 51 59 1 9 8
Subjek 2 (JM) 53 63 63 10 10 0
Subjek 3 (MS) 51 51 54 0 3 3
Subjek 4 (AT) 52 60 64 8 12 4
Subjek 5 (SS) 51 55 61 4 10 6
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa subjek 1 (HW), subjek 2
(JM), subjek 4 (AT), dan subjek 5 (SS) mengalami peningkatan skor
kesejahteraan psikologis, sedangkan subjek 3 (MS) tidak mengalami
perubahan skor. Perubahan kategori juga terjadi pada subjek setelah
mendapatkan pelatihan manajemen stres. Pada saat pelaksanaan follow-up
hampir seluruh subjek mengalami peningkatan skor kesejahteraan
psikologis, tetapi ada pula yang tidak mengalami peningkatan skor. Jika
digambarkan melalui grafik, maka kondisi kelompok eksperimen adalah
sebagai berikut:
87
Grafik 1 Data Kelompok Eksperimen
Tabel 16 Deskripsi Data Pengukuran Tekanan Darah Kelompok
Eksperimen
Subjek
Pengukuran
Pre-test (I) Post-test (II) Follow-up
(III)
Subjek 1 (HW) 140/80 mmHg 130/90 mmHg 120/90 mmHg
Subjek 2 (JM) 180/90 mmHg 160/90 mmHg 140/90 mmHg
Subjek 3 (MS) 180/130 mmHg 140/90 mmHg 130/90 mmHg
Subjek 4 (AT) 180/90 mmHg 140/90 mmHg 120/90 mmHg
Subjek 5 (SS) 140/80 mmHg 140/90 mmHg 140/90 mmHg
b. Deskripsi Data Kelompok Kontrol
Data ini diperoleh dari kelompok kontrol yang terdiri dari 5 orang
subjek penelitian. Kelompok kontrol ini tidak mendapatkan perlakuan
berupa pelatihan manajemen stres seperti kelompok eksperimen tetapi
menjadi kelompok waiting list. Data pada kelompok ini disusun berdasarkan
skala kesejahteraan psikologis subjek pada sebelum, sesudah, dan follow-up
0
10
20
30
40
50
60
70
Subjek 1 (HW) Subjek 2 (JM) Subjek 3 (MS) Subjek 4 (AT) Subjek 5 (SS)
Pre-test Post-test Follow-up
88
dari serangkaian pelaksanaan penelitian. Data kelompok kontrol dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 17 Deskripsi Data Kelompok Kontrol
Subjek
Pengukuran Gained Score
Pre-test
(I)
Post-
test (II)
Follow-
up (III) I-II I-III II-III
Subjek 6 (PT)
Subjek 7 (SI)
Subjek 8 (SH)
Subjek 9 (SR)
Subjek 10 (SD)
52
51
50
47
52
55
55
55
52
54
60
59
58
55
58
3
4
5
5
2
8
8
8
8
6
5
4
3
3
4
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa subjek 6 (PT), subjek 7
(SI), subjek 8 (SH), subjek 9 (SR), subjek 10 (SO), dan subjek 11 (SD)
mengalami peningkatan skor kesejahteraan psikologis. Perubahan kategori
juga terjadi pada semua subjek. Pada saat pelaksanaan follow-up, seluruh
subjek mengalami peningkatan skor kesejahteraan psikologis. Jika
digambarkan melalui grafik, maka kondisi kelompok kontrol adalah sebagai
berikut :
Grafik 2 Data Kelompok Kontrol
0
10
20
30
40
50
60
70
Subjek 6 (PT) Subjek 7 (SI) Subjek 8 (SH) Subjek 9 (SR) Subjek 10 (SD)
Pre-test Post-test Follow-up
89
c. Deskripsi Data Pre-test, Post-test, dan Follow-up Kelompok Eksperimen
dan Kelompok Kontrol
Tabel 18 Deskripsi Data Pre-test, Post-test, dan Follow-up Kelompok
Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Klasifikasi Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol
Min Max Mean SD Min Max Mean SD
Pre-test
Post-test
Follow-up
50
51
54
53
63
64
51,40
56,00
60,20
1,140
5,385
3,962
47
52
55
52
59
62
50,40
54,20
58,00
2,073
1,303
1,870
Keterangan :
Min : Nilai minimum
Max : Nilai maksimum
Mean : Nilai rata-rata
SD : Standar deviasi
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pada saat pelaksanaan pre-
test, post-test, dan follow-up terdapat perbedaan nilai mean antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol, keduanya mengalami peningkatan skor pada saat
pre-test, post-test, dan follow-up. Kondisi mean pada masing-masing
kelompok jika digambarkan melalui grafik adalah sebagai berikut:
Grafik 3 Mean Skor Kesejahteraan psikologis antara Kelompok
Eksperimen dan Kelompok Kontrol
44
46
48
50
52
54
56
58
60
62
Pre-test Post-test Follow-up
Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol
90
Berdasarkan tabel dan grafik diatas dapat diketahui bahwa pada pre-test
(sebelum diberi pelatihan pada kelompok eksperimen) nilai rata-rata
kesejahteraan psikologis pada kelompok eksperimen sebesar 51,40 lebih
tinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu sebesar 50,40.
Hasil dari post-test (setelah kelompok eksperimen mandapatkan pelatihan)
dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kelompok eksperimen sebesar 56,00
sedangkan kelompok kontrol sebesar 54,20. Hal tersebut menunjukkan
bahwa nilai rata-rata kelompok eksperimen lebih tinggi jika dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Pada follow-up (dua minggu setelah kelompok
eksperimen mendapatkan pelatihan) dapat diketahui bahwa nilai rata-rata
pada kelompok eksperimen lebih tinggi yaitu sebesar 60,20 jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu sebesar 58,00.
d. Hasil Uji Hipotesis Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
1) Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui sebaran data
berdistribusi normal atau tidak. Sebaran data dikatakan berdistribusi
normal apabila nilai p>0,05. Begitu pula sebaliknya, apabila nilai
p<0,05 maka sebaran data dikatakan tidak normal. Hasil uji normalitas
yang telah dilakukan dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 19 Hasil Uji Normalitas
Data P Normalitas
Kesejahteraan psikologis kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol
(post-test)
0,007 Tidak normal
91
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa nilai p=0,007 (p<0,05)
sehingga dapat disimpulkan bahwa data kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol pada saat post-test tidak berdistribusi normal.
2) Uji Homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk melihat apakah kedua kelompok
memiliki varian yang sama atau tidak. Apabila nilai p<0,05 maka varian
dari dua atau lebih kelompok populasi adalah tidak sama. Namun,
apabila nilai p>0,05 maka varian dari dua atau lebih kelompok populasi
adalah sama. Hasil uji homogenitas telah dilakukan dapat dilihat dalam
tabel berikut:
Tabel 20 Hasil Uji Homogenitas
Data P Homogenitas
Kesejahteraan psikologis kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol
(post-test)
0,010 Tidak homogen
Berdasarkan hasil dari uji homogenitas yang ada pada tabel diatas
menunjukkan nilai p=0,010 (p<0.05), sehingga dapat dikatakan bahwa
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada saat post-test
memiliki varian yang tidak sama atau tidak homogen.
3) Uji Hipotesis
Berdasarkan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji
homogenitas, diketahui bahwa data penelitian memiliki sebaran data
yang tidak normal dan varian yang tidak sama, sehingga uji hipotesis
dilakukan dengan metode nonparametrik. Uji hipotesis bertujuan guna
92
mengetahui apakah ada perbedaan antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
ada perbedaan kesejahteraan psikologis antara kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol pada pasien hipertensi. Kelompok yang
mendapat perlakuan berupa pelatihan manajemen stres akan mengalami
peningkatan dalam kesejahteraan psikologis dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Analisis data yang digunakan untuk melakukan uji
hipotesis adalah Mann-Whitney dan Wilcoxon.
a. Uji Beda Skor Kesejahteraan psikologis Kelompok Eksperimen
dan Kelompok Kontrol
Tabel 21 Hasil Uji Beda Skor Kesejahteraan psikologis Kelompok
Eksperimen dan Kelompok Kontrol Menggunakan Gained
Score
Pengukuran P
Gained score I-II 1,000
Gained score I-III 0,105
Gained score II-III 0,748
Keterangan :
Gained score I-III : selisih skor pre-test dan post-test
Gained score I-III : selisih skor pre-test dan follow-up
Gained score II-III : selisih skor post-test dan follow-up
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa tidak ada
perbedaan gained score kesejahteraan psikologis yang signifikan
antara subjek pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Skor dengan nilai p<0,05 dapat dikatakan ada perbedaan,
sedangkan skor dengan nilai p>0,05 dikatakan tidak ada
perbedaan. Hasil uji beda gained score pada saat pre-test dan
post-test adalah p=1,000 (p>0,05). Hal tersebut menunjukkan
93
tidak ada perbedaan yang signifikan pada skor kesejahteraan
psikologis antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
sebelum maupun setelah pelatihan. Hasil uji beda gained score
pada saat pre-test dan follow-up yaitu p=0,105 (p>0,05), artinya
tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol sebelum pelatihan maupun tindak lanjut.
b. Uji Beda Skor Kesejahteraan psikologis Kelompok Eksperimen
Tabel 22 Uji Beda Skor Kesejahteraan Psikologis Kelompok
Eksperimen
Pengukuran P
Pengukuran I 0,068
Pengukuran II 0,042
Pengukuran III 0,068
Keterangan:
Pengukuran I : pengukuran antara skor pre-test dan post-test
Pengukuran II : pengukuran antara skor pre-test dan follow-up
Pengukuran III : pengukuran antara skor post-test dan follow-up
Berdasarkan tabel 21 dapat diketahui bahwa pada pengukuran
I (pengukuran antara skor pre-test dan post-test) dan pengukuran
III (pengukuran antara skor post-test dan follow-up) tidak ada
perbedaan skor kesejahteraan psikologis yang signifikan. Hal
tersebut dapat dilihat dari nilai signifikasi pengukuran I yaitu
p=0,068 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
skor kesejahteraan psikologis saat pre-test dan post-test pada
kelompok eksperimen. Selanjutnya, nilai signifikansi pada
pengukuran III yaitu p=0,068 (p>0,05), artinya tidak ada perbedaan
skor kesejahteraan psikologis saat post-test dan follow-up pada
94
kelompok eksperimen. Namun, pada pengukuran II nilai p=0,042
(p<0,05), artinya ada perbedaan skor kesejahteraan psikologis saat
pre-test dan post-test pada kelompok eksperimen.
c. Uji Beda Skor Kesejahteraan Psikologis Kelompok Kontrol
Tabel 23 Uji Beda Skor Kesejahteraan Psikologis Kelompok
Kontrol
Pengukuran P
Pengukuran I 0,042
Pengukuran II 0,034
Pengukuran III 0,041
Keterangan:
Pengukuran I : pengukuran antara skor pre-test dan post-test
Pengukuran II : pengukuran antara skor pre-test dan follow-up
Pengukuran III : pengukuran antara skor post-test dan follow-up
Tabel diatas menunjukkan bahwa ada perbedaan skor
kesejahteraan psikologis pada pengukuran I (pengukuran antara
skor pre-test dan post-test), pengukuran II (pengukuran antara skor
pre-test dan follow-up), dan pengukuran III (pengukuran antara
skor post-test dan follow-up). Hasil uji beda skor kesejahteraan
psikologis pada pengukuran I adalah p=0,042 (p<0,05). Hal
tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan skor kesejahteraan
psikologis pada kelompok kontrol saat pre-test dan post-test.
Kemudian, hasil uji beda skor kesejahteraan psikologis pada
pengukuran II adalah p=0,034 (p<0,05), artinya ada perbedaan skor
kesejahteraan psikologis saat pre-test dan follow-up pada
kelompok kontrol. Pengukuran III memiliki nilai p=0,041
(p<0,05), artinya ada perbedaan skor kesejahteraan psikologis saat
post-test dan follow-up pada kelompok kontrol.
95
d. Uji Beda Tekanan Darah Pasien Hipertensi Kelompok Eksperimen
Tabel 24 Uji Beda Tekanan Darah Pasien Hipertensi Kelompok
Eksperimen
Pengukuran P
Pengukuran I 0,066
Pengukuran II 0,068
Pengukuran III 0,063
Keterangan:
Pengukuran I : pengukuran antara skor pre-test dan post-test
Pengukuran II : pengukuran antara skor pre-test dan follow-up
Pengukuran III : pengukuran antara skor post-test dan follow-up
Tabel diatas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tekanan
darah pasien hipertensi pada pengukuran I (pengukuran antara skor
pre-test dan post-test), pengukuran II (pengukuran antara skor pre-
test dan follow-up), dan pengukuran III (pengukuran antara skor
post-test dan follow-up). Hasil uji beda tekanan darah pasien
hipertensi pada pengukuran I adalah p=0,066 (p<0,05). Hal
tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tekanan darah
pada kelompok eksperimen saat pre-test dan post-test. Kemudian,
hasil uji beda tekanan darah pada pasien hipertensi pada
pengukuran II adalah p=0,068 (p<0,05), artinya tidak ada
perbedaan tekanan darah saat pre-test dan follow-up pada
kelompok eksperimen. Pengukuran III memiliki nilai p=0,063
(p<0,05), artinya tidak ada perbedaan tekanan darah pada pasien
hipertensi saat post-test dan follow-up pada kelompok eksperimen.
96
3. Analisis Kualitatif
a. Subjek 1 (HW)
Subjek 1 (HW) berusia 38 tahun dan berjenis kelamin perempuan.
Berdasarkan hasil pengisian skala kesejahteraan psikologis sebelum
pelaksanaan pelatihan manajemen stres (pre-test) diketahui bahwa skor
kesejahteraan psikologis subjek 1 (HW) termasuk dalam kategori sedang
dengan jumlah skor 50. Selain itu, tekanan darah subjek 1 (HW) pada saat
pre-test adalah 140/80 mmHG. Subjek 1 (HW) tidak menjalani
pemeriksaan rutin di Puskesmas dan tidak mengkonsumsi obat hipertensi.
Menurut subjek 1 (HW), penyakit hipertensi yang dialaminya
disebabkan karena kecelakaan yang pernah dialami oleh subjek 1 (HW).
Subjek 1 (HW) mengatakan bahwa setelah mengalami kecelakaan,
kepalanya sering merasa pusing dan sakit. Kemudian, setelah diperiksa
oleh dokter ternyata tekanan darah subjek 1 (HW) meningkat. Sejak saat
itulah subjek 1 (HW) kerap merasakan sakit kepala dan tekanan darahnya
meningkat. Setelah mengetahui penyakit hipertensi yang dialaminya,
subjek 1 (HW) tidak lantas mengontrol makanan dan menghindari
makanan yang menyebabkan tekanan darah meningkat.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan selama dua kali
pelaksanaan pelatihan manajemen stres di ruang Laboratorium Psikologi
UII, terlihat bahwa subjek 1 (HW) dapat mengikuti pelaksanaan kegiatan
dengan baik. Subjek 1 (HW) dapat fokus ketika fasilitator sedang
menjelaskan materi dan mengamati peserta yang lain ketika sedang
97
memberikan pendapatnya. Selain itu, subjek 1 (HW) juga dapat
membagikan pengalamannya kepada para peserta yang lain. Selama
pelaksanaan pelatihan manajemen stres, subjek 1 (HW) juga sempat
mengajukan beberapa pertanyaan kepada fasilitator.
Pada saat pelaksaan pelatihan manajemen stres pertemuan kedua (post-
test), kesejahteraan psikologis subjek 1 (HW) mengalami sedikit
peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari skor yang diperoleh yaitu 51
dan masih termasuk dalam kategori sedang. Tekanan darah subjek 1 (HW)
pada saat post-test juga mengalami penurunan menjadi 130/90 mmHG.
Pada saat follow-up (tindak lanjut), subjek 1 (HW) memiliki skor
kesejahteraan psikologis 59. Hal tersebut menunjukkan peningkatan skor
dan kategori yang dialami oleh subjek 1 (HW). Tekanan darah pada saat
follow-up subjek 1 (HW) adalah 120/90 mmHG. Subjek mulai mengalami
penurunan pada tekanan darahnya.
Setelah pelaksanaan kegiatan, subjek 1 (HW) terkadang melakukan
relaksasi deep-breathing dan berusaha selalu berpikiran positif. Subjek 1
(HW) merasakan adanya perbedaan kondisi antara sebelum dan sesudah
mengikuti pelatihan manajemen stres. Tubuhnya menjadi lebih nyaman,
pikiran menjadi lebih tenang, suasana hati juga menjadi lebih tenang dan
nyaman sehingga tidak mudah terpancing emosi ketika anak-anaknya
melakukan kesalahan. Selain itu, tekanan darahnya menjadi lebih dapat
dikontrol semenjak mulai melaksanakan relaksasi deep-breathing dan
melawan pikiran-pikiran negatif. Kondisi ini membuat subjek 1 (HW)
98
menjadi semakin termotivasi untuk terus menerapkan relaksasi deep-
breathing dan mengubah pikiran negatif menjadi pikiran positif ketika
dihadapkan pada situasi yang menekan. Subjek 1 (HW) mengatakan
bahwa ada banyak manfaat yang dapat dirasakan ketika menerapkan kedua
hal tersebut.
Grafik 4 Skor Subjek 1 (HW) pada saat Pre-test, Post-test, dan Follow-up
b. Subjek 2 (JM)
Subjek 2 (JM) berusia 62 tahun dan berjenis kelamin perempuan.
Berdasarkan hasil pengisian skala kesejahteraan psikologis sebelum
pelaksanaan pelatihan manajemen stres (pre-test) diketahui bahwa subjek
termasuk dalam kategori sedang dengan jumlah skor 53. Selain itu, tekanan
darah sujek 2 (JM) pada saat pre-test adalah 180/90 mmHG. Subjek 2 (JM)
tidak menjalani pemeriksaan rutin di fasilitas kesehatan dan tidak
mengkonsumsi obat hipertensi. Menurut subjek 2 (JM), awal mula penyakit
hipertensi yang dialaminya disebabkan karena sering merasakan pusing
dan ketika diperiksa oleh dokter tekanan darahnya tinggi. Semenjak saat itu
hingga sekarang tekanan darahnya tidak stabil dan didiagnosis hipertensi
44
46
48
50
52
54
56
58
60
Subjek 1 (HW)
Pre-test Post-test Follow-up
99
oleh dokter. Ketika ditanya mengenai gaya hidup dan pola makan di masa
lalu, subjek 2 (JM) mengaku bahwa gaya hidup dan pola makannya baik-
baik saja.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan selama 2 kali pertemuan
pelatihan manajemen stres di Laboratorium Psikologi UII, terlihat bahwa
subjek 2 (JM) dapat mengikuti pelaksanaan kegiatan dengan baik. Subjek
2 (JM) juga terlihat antusias ketika fasilitator meminta untuk berdiskusi
dengan peserta lainnya. Subjek 2 (JM) termasuk peserta yang aktif dalam
berbagi pengalaman kepada peserta lainnya ketika ditanya oleh fasilitator.
Subjek 2 (JM) juga bersemangat ketika menjawab lembar pre-test, post-
test, maupun follow-up walaupun sedikit kesulitan untuk membaca dan
menjawabnya sehingga harus dibantu oleh co-fasilitator.
Pada saat pelaksanaan pertemuan ke-2 (post-test), skor kesejahteraan
psikologis subjek mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari skor
yang diperoleh subjek yaitu 63, yang termasuk dalam kategori tinggi.
Tekanan darah subjek pada saat post-test adalah 160/90mmHg. Pada saat
follow-up, skor kesejahteraan psikologis subjek tetap berada pada angka
63. Tekanan darah yang dimiliki subjek 2 (JM) pada saat follow-up adalah
140/90 mmHg. Subjek 2 (JM) merasakan adanya perbedaan kondisi antara
sebelum dan sesudah mengikuti pelaksanaan pelatihan manajemen stres.
Sebelum mengikuti pelatihan manajemen stres, subjek 2 (JM) merasa
bahwa selalu bersikap negatif ketika menghadapi situasi yang menekan
sehingga kurang dapat mengontrol emosi dan perasaannya. Selain itu,
100
subjek 2 (JM) mengaku mudah merasa tersinggung dengan perkataan orang
lain. Setelah mengikuti pelatihan manajemen stres, subjek 2 (JM) merasa
lebih baik karena dapat memahami penyebab datangnya situasi menekan
yang selama ini dirasakan. Subjek 2 (JM) menyadari bahwa penyebab
tersebut berasal dari pikirannya sendiri sehingga subjek 2 (JM) merasa
perlu untuk melawan pikiran negatif yang muncul tersebut.
Setelah pelaksanaan kegiatan, subjek 2 (JM) masih tetap melaksanakan
teknik relaksasi deep-breathing dan berusaha melawan pikiran negatif
ketika berhadapan dengan situasi yang menekan. Menurut subjek 2 (JM),
hal tersebut cukup efektif karena membuat tubuhnya menjadi lebih segar
dan pikirannya menjadi lebih tenang sehingga dapat berpikir jernih. Subjek
2 (JM) juga mengaku bahwa saat ini tidak mudah tersinggung dengan
perkataan orang lain dan lebih mudah memaafkan orang lain.
Grafik 5 Skor Subjek 2 (JM) pada Saat Pre-test, Post-test dan Follow-up
48
50
52
54
56
58
60
62
64
Subjek 2 (JM)
Pre-test Post-test Follow-up
101
c. Subjek 3 (MS)
Subjek 3 (MS) berusia 71 tahun dan berjenis kelamin laki-laki.
Berdasarkan hasil pengisian skala kesejahteraan psikologis sebelum
pelaksanaan pelatihan manajemen stres (pre-test) diketahui bahwa
kesejahteraan psikologis subjek termasuk dalam kategori sedang dengan
jumlah skor sebesar 51. Selain itu, tekanan darah subjek 3 (MS) pada saat
pre-test adalah 180/130 mmHg. Subjek 3 (MS) tidak menjalani
pemeriksaan rutin di fasilitas kesehatan dan tidak mengkonsumsi obat
hipertensi. Menurut subjek 3 (MS), penyakit hipertensi yang dialaminya
disebabkan karena gaya hidup terutama pola makan ketika masih muda.
Semenjak subjek 3 (MS) berusia lanjut, tekanan darah yang dimilikinya
sering tidak stabil bahkan cenderung tinggi, apalagi jika subjek 3 (MS)
mengalami sulit tidur dan kelelakan. Subjek 3 (MS) juga mengatakan
bahwa ada penyakit lain yang dialaminya yaitu asam urat yang
menyebabkan tangan dan kaki subjek 3 (MS) menjadi kaku dan sulit untuk
digerakkan.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan selama 2 kali pelaksanaan
pertemuan pelatihan manajemen stres di Laboratorium Psikologi, terlihat
bahwa subjek 3 (MS) dapat mengikuti pelatihan dengan baik. Subjek 3
(MS) dapat fokus ketika fasilitator sedang menjelaskan materi dan
mengamati peserta yang lainnya ketika sedang memberikan pendapatnya.
Terkadang subjek 3 (MS) terlihat menggerakkan tangan karena terasa kaku
dan sulit untuk digerakkan. Subjek 3 (MS) termasuk peserta yang pasif
102
karena akan mengemukakan pendapatnya hanya ketika ditanya oleh
fasilitator saja. Meskipun demikian ketika ditanya oleh fasilitator, subjek 3
(MS) terlihat antusias saat membagikan pengalaman terkait dengan apa
yang pernah dialaminya.
Pada saat pelaksanaan pertemuan ke-2 (post-test), skor kesejahteraan
psikologis subjek 3 (MS) tidak mengalami peningkatan. Hal ini dapat
dilihat dari skor yang diperoleh subjek yaitu 51 dan masih termasuk dalam
kategori sedang. Tekanan darah subjek pada saat post-test adalah 140/90
mmHg. Sedangkan pada saat follow-up, skor kesejahteraan psikologis
subjek mengalami peningkatan sebanyak 3 angka yaitu 54. Tekanan darah
yang dimiliki subjek 3 (MS) pada saat follow-up adalah 120/90 mmHg.
Subjek 3 (MS) merasakan adanya perbedaan kondisi antara sebelum dan
sesudah mengikuti pelaksanaan pelatihan manajemen stres. Sebelumnya,
subjek 3 (MS) mengaku bahwa apabila asam uratnya sedang kambuh,
kedua tangan dan kedua kakinya tidak dapat digerakkan sehingga
menghambat kegiatannya sehari-hari. Saat asam urat tersebut sedang
kambuh, subjek 3 (MS) sering berpikiran negatif, merasa tidak berdaya,
sehingga muncullah emosi negatif yang mengakibatkan tekanan darahnya
juga mengalami peningkatan. Setelah mengikuti pelatihan manajemen
stres, subjek 3 (MS) merasakan adanya ketenangan dalam dirinya dan lebih
dapat mengontrol emosinya ketika asam uratnya sedang kambuh. Subjek 3
(MS) juga mengaku pikirannya lebih tenang dan lebih nyaman ketika
melakukan relaksasi deep-breathing
103
Grafik 6 Skor Subjek 3 (MS) pada Saat Pre-test, Post-test dan Follow-up
d. Subjek 4 (AT)
Subjek 4 (AT) berusia 64 tahun dan berjenis kelamin perempuan.
Berdasarkan hasil pengisian skala kesejahteraan psikologis sebelum
pelaksanaan pelatihan manajemen stres (pre-test) diketahui bahwa skor
kesejahteraan psikologis subjek termasuk dalam kategori sedang dengan
jumlah skor sebesar 51. Selain itu, tekanan darah subjek 4 (AT) pada saat
pre-test adalah 180/90 mmHg. Subjek 4 (AT) tidak menjalani pemeriksaan
rutin di fasilitas kesehatan serta tidak mengkonsumsi obat hipertensi.
Menurut subjek 4 (AT), penyakit hipertensi yang dialaminya disebabkan
karena banyaknya pikiran yang muncul beberapa bulan terakhir mengenai
kesembuhan suaminya. Kecelakaan yang dialami subjek 4 (AT) juga
menjadi salah satu penyebabnya munculnya penyakit hipertensi.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan selama dua kali pertemuan
pelatihan manajemen stres di Laboratorium Psikologi UII, terlihat bahwa
subjek 4 (AT) dapat mengikuti pelaksanaan kegiatan dengan baik. Subjek
4 (AT) dapat fokus ketika fasilitator sedang menjelaskan materi dan
49
50
51
52
53
54
55
Subjek 3 (MS)
Pre-test Post-test Follow-up
104
memperhatikan peserta lain ketika sedang memberikan pendapatnya.
Selain itu, subjek 4 (AT) juga membagikan pengalamannya kepada peserta
yang lainnya mengenai penyakit hipertensi yang dialaminya. Jika
dibandingkan dengan peserta yang lainnya, subjek 4 (AT) termasuk
peserta yang aktif.
Pada saat pelaksanaan pertemuan ke-2 (post-test), skor kesejahteraan
psikologis subjek 4 (AT) mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari
skor yang diperoleh subjek yaitu 60, yang termasuk dalam kategori tinggi.
Tekanan darah yang dimiliki oleh subjek pada saat post-test yaitu 140/90
mmHg. Sedangkan pada saat follow-up, skor kesejahteraan psikologis
yang dimiliki subjek mengalami peningkatan yaitu 64. Tekanan darah
subjek pada saat follow-up adalah 120/90 mmHg. Subjek 4 (AT)
merasakan adanya perbedaan kondisi antara sebelum dan sesudah
mengikuti pelatihan manajemen stres. Menurut subjek 4 (AT), pelatihan
manajemen stres ini berdampak positif pada diri subjek, karena subjek 4
(AT) mampu mengatasi masalah yang cukup menekan.
Setelah pelaksanaan pelatihan manajemen stres, subjek 4 (AT)
mengaku telah mencoba menerapkan teknik relaksasi deep-breathing dan
avoiding negative self-talk di rumah ketika dihadapkan pada situasi-situasi
yang menekan. Subjek 4 (AT) merasa hati dan pikirannya menjadi lebih
tenang setelah melakukan relaksasi deep-breathing. Selain itu, subjek 4
(AT) merasa menjadi tidak tergesa-gesa dalam melakukan dan
memutuskan sesuatu.
105
Grafik 7 Skor Subjek 4 (AT) pada Saat Pre-test, Post-test dan Follow-up
e. Subjek 5 (SS)
Subjek 5 (SS) berusia 77 tahun dan berjenis kelamin perempuan.
Berdasarkan hasil pengisian skala kesejahteraan psikologis sebelum
pelaksanaan pelatihan manajemen stres (pre-test) diketahui bahwa
kesejahteraan psikologis subjek termasuk dalam kategori sedang dengan
jumlah skor sebesar 51. Selain itu, tekanan darah subjek 5 (SS) pada saat
pre-test adalah 140/80 mmHg. Subjek 5 (SS) tidak menjalani pemeriksaan
rutin di fasilitas kesehatan dan tidak mengkonsumsi obat hipertensi.
Menurut subjek 5 (SS), penyakit hipertensi yang dialaminya disebabkan
karena gaya hidup terutama pola makan ketika masih muda. Semenjak
subjek 5 (SS) berusia lanjut, tekanan darah yang dimilikinya sering tidak
stabil bahkan cenderung tinggi, apalagi jika subjek 5 (SS) mengalami sulit
tidur dan kelelakan.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan selama 2 kali pelaksanaan
pertemuan pelatihan manajemen stres di Laboratorium Psikologi, terlihat
0
10
20
30
40
50
60
70
Subjek 4 (AT)
Pre-test Post-test Follow-up
106
bahwa subjek 5 (SS) dapat mengikuti pelatihan dengan baik. Subjek 5 (SS)
dapat fokus ketika fasilitator sedang menjelaskan materi. Terkadang subjek
5 (SS) terlihat mengamati peserta yang lainnya ketika sedang memberikan
pendapatnya. Subjek 5 (SS) termasuk peserta yang pasif karena akan
mengemukakan pendapatnya hanya ketika ditanya oleh fasilitator saja.
Meskipun demikian ketika ditanya oleh fasilitator, subjek 5 (SS) terlihat
antusias saat membagikan pengalaman terkait dengan apa yang pernah
dialaminya.
Pada saat pelaksanaan pertemuan ke-2 (post-test), skor kesejahteraan
psikologis subjek 5 (SS) mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari
skor yang diperoleh subjek yaitu 55 dan termasuk dalam kategori tinggi.
Tekanan darah subjek pada saat post-test adalah140/90 mmHg. Sedangkan
pada saat follow-up, skor kesejahteraan psikologis subjek mengalami
peningkatan sebanyak 5 angka yaitu menjadi 61. Tekanan darah yang
dimiliki subjek 5 (SS) pada saat follow-up adalah 140/90 mmHg. Subjek 5
(SS) merasakan adanya perbedaan kondisi antara sebelum dan sesudah
mengikuti pelaksanaan pelatihan manajemen stres. Sebelumnya, subjek 5
(SS) mengaku bahwa sedang dalam situasi yang sangat menekan, subjek 5
(SS) sering menyalahkan keadaan di sekitarnya. Setelah mengikuti
pelatihan manajemen stres, subjek 5 (SS) merasa lebih dapat memahami
orang lain maupun keadaan di sekitarnya ketika dihadapkan pada situasi
yang menekan. Subjek 5 (SS) juga mengaku pikirannya lebih tenang dan
lebih nyaman ketika melakukan relaksasi deep-breathing. Selain itu, subjek
107
5 (SS) mengaku lebih sehat dan segar setelah melakukan relaksasi deep-
breathing.
Grafik 8 Skor Subjek 5 (SS) pada Saat Pre-test, Post-test dan Follow-up
D. Pembahasan
Penyakit kronis yang dialami oleh individu dapat menyebabkan banyak
munculnya permasalahan psikologis bagi penderitanya termasuk pada
pasien hipertensi. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa salah satu
permasalahan yang dimiliki oleh pasien hipertensi adalah rendahnya
kesejahteraan psikologis (Manju & Singh, 2014). Rendahnya tingkat
kesejahteraan psikologis pada pasien hipertensi dapat dilihat dari adanya
penolakan terhadap sakit yang diderita, penguasaan lingkungan dan
pengembangan diri yang rendah, kurangnya interaksi dengan orang lain,
kurangnya kepatuhan dalam menjalani pengobatan dan perawatan, serta
tujuan hidup yang terhalang atau tidak tercapai (Manju & Singh, 2014).
Kondisi kesejahteraan psikologis tersebut dapat dilihat dari skor yang
dimiliki masing-masing subjek. Berdasarkan hasil skor kesejahteraan
46
48
50
52
54
56
58
60
62
Subjek 5 (SS)
Pre-test Post-test Follow-up
108
psikologis, pada kelompok eksperimen baik secara rerata maupun secara
individu pada masing-masing subjek, dapat diketahui bahwa terdapat
peningkatan skor pada seluruh responden setelah mengikuti pelatihan
manajemen stres. Selain itu, para subjek juga mengalami peningkatan
kategori skor kesejahteraan psikologis dari sedang menjadi tinggi setelah
mengikuti pelatihan manajemen stres. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan subjek penelitian baik pada saat pelatihan maupun follow-up.
Seluruh subjek menunjukkan respon yang positif serta perubahan diri
menjadi lebih baik setelah mengikuti pelatihan manajemen stres. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Brown dan Vanable (2008)
yang mengatakan bahwa pelatihan manajemen stress memberikan
perubahan yang positif pada diri individu yang ditandai dengan peningkatan
fungsi psikologis secara umum.
Subjek 1 (HW) menyatakan bahwa pelatihan manajemen stres sangat
efektif dan dapat membuat subjek 1 (HW) merasa jauh lebih baik. Hal
tersebut ditandai dengan tubuh menjadi lebih nyaman, pikiran menjadi lebih
tenang, suasana hati lebih tenang dan nyaman sehingga tidak mudah
terpancing emosi. Menurut subjek 2 (JM), pelatihan manajemen stres sangat
baik dalam membantu subjek 2 (JM) menjadi pribadi yang lebih positif.
Setelah melakukan pelatihan manajemen stres secara mandiri, subjek 2 (JM)
merasa lebih baik karena dapat memahami penyebab datangnya situasi yang
menekan sehingga perlu untuk melawan pikiran-pikiran negatif yang
109
muncul. Selain itu, subjek 2 (JM) tidak lagi mudah tersinggung dengan
perkataan orang lain dan lebih mudah memaafkan orang lain.
Subjek 3 (MS) mengatakan bahwa pelatihan manajemen stres
memberikan dampak positif bagi diri subjek. Subjek 3 (MS) yang semula
merasa tidak berdaya, mudah berpikiran negatif dan muncul emosi negatif
ketika penyakit asam uratnya kambuh sehingga tekanan darah menjadi naik.
Setelah mengikuti pelatihan manajemen stres, subjek 3 (MS) lebih dapat
mengontrol emosinya, pikirannya lebih tenang dan perasaannya lebih
nyaman. Menurut subjek 4 (AT), pelatihan manajemen stres memiliki
dampak yang positif bagi diri subjek karena mampu mengatasi masalah
yang cukup menekan. Selain itu, subjek 4 (AT) mengatakan bahwa
pikirannya menjadi lebih tenang, tidak tergesa-gesa dalam melakukan dan
memutuskan sesuatu setelah mengikuti pelatihan manajemen stres. Subjek
5 (SS) juga mengatakan bahwa pelatihan manajemen stres sangat efektif
karena subjek 5 (SS) merasa lebih dapat memahami orang lain maupun
keadaan disekitarnya. Pikiran dan perasaan subjek 5 (SS) menjadi lebih
tenang setelah mengikuti pelatihan manajemen stres.
Perubahan positif mengacu pada salah satu aspek kesejahteraan
psikologis yaitu pengembangan diri (Ryff & Keyes, 1995). Pengalaman
para subjek setelah mengikuti pelatihan manajemen stres menunjukkan
bahwa ada pengembangan diri kearah positif melalui pelatihan manajemen
stres. Pengembangan diri mengacu pada perasaan bahwa diri individu selalu
mengalami pertumbuhan dan perkembangan kearah positif setiap hari
110
secara terus menerus (Ryff & Singer, 2006). Andrew, Fisk, dan Rockwood
(2012) melakukan penelitian mengenai pengembangan diri yang memiliki
kaitan dengan kesehatan psikologis individu. Selain aspek pengembangan
diri, terdapat aspek lain dalam kesejahteraan psikologis menurut Ryff dan
Keyes (1995) yaitu hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup,
penerimaan diri, penguasaan lingkungan, serta kemandirian juga
mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi pada subjek.
Perubahan positif pada diri subjek juga dipengaruhi oleh proses
pelatihan manajemen stres yang dilakukan secara kolektif, bukan individu.
Terdapat penelitian yang mengatakan bahwa hubungan dengan orang lain
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis
(Snyder & Lopez, 2002). Subjek 2 (JM) mengatakan bahwa melalui
pelatihan manajemen stres, subjek 2 (JM) belajar untuk mengontrol
perasaan dan emosinya sehingga tidak mudah tersinggung dengan perkataan
orang lain. Ketika dihadapkan pada sebuah situasi yang menekan, subjek 2
(JM) mengaku selalu berpikiran negatif dan mudah tersinggung dengan
perkataan orang lain. Kemudian subjek 2 (JM) mulai menyadari bahwa
sikapnya selama ini tidak benar dan mulai mempraktekkan manajemen stres
secara mandiri sehingga subjek 2 (JM) lebih dapat memaafkan orang lain
dan tidak mudah tersinggung. Hubungan dengan orang lain yang menjadi
semakin positif sejalan dengan peningkatan fungsi psikologis secara umum
pada individu (Andrew, Fisk & Rockwood, 2012).
111
Pada sesi avoiding negative self-talk, subjek 3 (MS) merasa lebih dapat
untuk mengontrol emosinya ketika dihadapkan pada situasi yang menekan,
seperti penyakit asam urat yang sering kambuh. Subjek 3 (MS) mengatakan
bahwa kambuhnya penyakit asam urat membuat aktivitasnya menjadi
terhambat, kemudian muncul pikiran dan emosi negatif, perasaan tidak
berdaya, sehingga tekanan darah meningkat akibatnya penyakit
hipertensinya juga akan kambuh. Setelah mengikuti pelatihan manajemen
stres, subjek 3 (MS) merasa bahwa ada ketenangan yang di rasakan dalam
diri subjek 3 (MS) ketika mencoba menghilangkan pikiran-pikiran negatif
yang muncul. Selain itu, subjek 3 (MS) juga masih pergi ke sawah untuk
mencari rumput sebagai pakan ternak walaupun penyakit asam uratnya
sering kambuh. Menurut subjek 3 (MS) penyakitnya ini harus dilawan
karena jika tidak maka ternak-ternaknya tidak bisa makan karena tidak ada
yang mencari rumput. Hal tersebut sejalan dengan salah satu aspek dari
kesejahteraan psikologis yaitu penerimaan diri (Ryff & Keyes, 1995).
Pelatihan manajemen stres membantu para subjek untuk menerima segala
hal baik kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki. Salah satu indikator
penting untuk menunjukkan fungsi psikologis yang positif yaitu penerimaan
diri (Wolgast, Lundth & Viborg, 2011).
Setting new goal adalah salah satu sesi yang ada dalam pelatihan
manajemen stres (Taylor, 2009). Sesi tersebut sesuai dengan salah satu
aspek kesejahteraan psikologis yaitu tujuan hidup. Penentuan tujuan hidup
membantu individu memiliki rencana-rencana yang akan dilakukan untuk
112
meraih tujuan hidupnya serta memiliki keyakinan pasti mengenai arah
kehidupan yang akan dijalani (Ryff & Keyes, 1995). Pada sesi setting new
goal, seluruh subjek menyebutkan dan menceritakan tujuan hidup yang
berkaitan dengan pelatihan manajemen stres. Boudreaux dan Ozer (2013)
mengatakan bahwa individu yang memiliki tujuan hidup yang jelas akan
berdampak secara positif dalam diri individu. Penentuan tujuan dalam
pelatihan manajemen stres ini dapat membuat subjek memiliki target yang
jelas dalam kehidupan yang dijalani.
Keterampilan yang diberikan dalam pelatihan manajemen stres
mempengaruhi dua aspek dari kesejahteraan psikologis yaitu kemandirian
dan penguasaan lingkungan. Melalui pelatihan manajemen stres, subjek
mampu mengatur dirinya sendiri dan menyesuaikan diri dalam kondisi
apapun. Subjek 2 (JM) mengatakan bahwa setelah mengikuti pelatihan
manajemen stres, subjek 2 (JM) mempraktekkan keterampilan tersebut
ketika dihadapkan pada situasi yang menekan. Hasilnya adalah subjek 2
(JM) merasa tubuhnya menjadi lebih segar, pikirannya tenang sehingga
dapat berpikir jernih, tidak mudah tersinggung, dan lebih mudah
memaafkan orang lain. Hal tersebut juga diungkapkan oleh subjek 4 (AT)
yang telah mempraktekkan manajemen stres secara rutin. Menurut subjek 4
(AT), setelah melakukan manajemen stres secara mandiri, subjek
merasakan adanya perubahan kearah positif karena pikirannya menjadi
lebih tenang, tidak tergesa-gesa dalam melakukan dan memutuskan sesuatu.
Pengalaman-pengalaman subjek tersebut menunjukkan bahwa subjek
113
memiliki kemandirian. Kemandirian mengacu pada kemampuan untuk
melakukan segala sesuatu seorang diri (self-determining) serta mampu
menempatkan diri pada segala bentuk kondisi yang ada (Ryff & Keyes,
1995).
Pada saat dalam kondisi sakit maupun kondisi yang penuh dengan
tekanan, para subjek mampu untuk mengatur dirinya sendiri. Hal tersebut
juga menunjukkan bahwa para subjek memenuhi aspek kesejahteraan
psikologis yaitu penguasaan lingkungan. Penguasaan lingkungan mengacu
pada kemampuan untuk menguasai dan mengatur diri bahkan ketika berada
dalam lingkungan yang sulit (Ryff & Keyes, 1995). Para subjek mampu
menguasai dirinya sendiri dalam berbagai situasi kehidupan, sehingga tidak
terpuruk meskipun dalam situasi yang tidak menyenangkan. Menurut
Hidalgo, dkk (2010), pemahaman individu terhadap permasalahan yang
sedang dialami berkaitan dengan kesejahteraan psikologis pada individu
tersebut. Pelatihan manajemen stres membantu para subjek untuk dapat
memahami dirinya sendiri, sehingga para subjek mampu untuk mengelola
permasalahan-permasalahan tersebut.
Pelatihan manajemen stres selain berdampak secara psikologis, juga
memiliki dampak positif terkait dengan kondisi kesehatan individu.
Penelitian yang dilakukan oleh Varvogli dan Darviri (2011) menunjukkan
bahwa pelatihan manajemen stres merupakan keterampilan yang mudah
untuk dipelajari dan dipraktekkan oleh subjek, sehingga berdampak positif
bagi subjek yang sehat maupun yang subjek yang memiliki masalah
114
kesehatan tertentu. Menurut penelitian-penelitian sebelumnya yang dikaji
ulang oleh Varvogli dan Darviri (2011), pelatihan manajemen stress
cenderung meningkatkan kesehatan bagi subjek penderita penyakit kronis,
salah satunya adalah hipertensi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan psikologis
individu adalah kesehatan (Ryff & Keyes, 1995). Pada subjek 3 (MS),
sumber stressfull utama yang selama ini dialami adalah masalah kesehatan
yaitu hipertensi yang disebabkan oleh penyakit asam urat. Setelah
mengikuti pelatihan manajemen stres, tingkat kesejahteraan psikologis
subjek mengalami kenaikan. Berdasarkan hasil wawancara pada saat
follow-up, subjek 3 (MS) mengatakan bahwa setelah mengikuti pelatihan
manajemen stres sakit yang diderita subjek 3 (MS) mulai berkurang,
sehingga penyakit hipertensi yang dideritanya tidak mudah kambuh lagi.
Penelitian yang dilakukan oleh Green dan Elliott (2009) menunjukkan hasil
yang sama, bahwa kesehatan memiliki korelasi dengan kesehatan psikologis
subjek, semakin baik kesehatan individu, maka semakin meningkatkan
fungsi psikologis subjek secara umum. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kesehatan subjek pada kelompok eksperimen yang semakin membaik
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan positif pada
diri subjek.
Secara kualitatif, pelatihan manajemen stress mempengaruhi
perubahan-perubahan positif pada fungsi psikologis dan fisiologis sehingga
mempengaruhi peningkatan skor kesejahteraan psikologis pada seluruh
115
subjek dalam kelompok eksperimen. Selain itu, secara raw score seluruh
subjek juga mengalami peningkatan skor kesejahteraan psikologis setelah
mengikuti pelatihan manajemen stres. Akan tetapi, secara analisis statistik
yang telah dilakukan, tidak ada perbedaan yang signifikan antara sebelum
dan setelah pelatihan manajemen stres pada kelompok eksperimen. Pada
kelompok eksperimen, terlihat perbedaan yang signifikan antara sebelum
pelatihan dan tindak lanjut (dua minggu setelah pelatihan). Namun, pada
kelompok kontrol terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan
setelah pelatihan, sebelum pelatihan dan tindak lanjut serta setelah pelatihan
dan tindak lanjut.
Terdapat variabel lain yang masuk ke dalam penelitian yang dapat
mempengaruhi hasil pengukuran skor kesejahteraan psikologis pada subjek.
Hal lain selain variabel independen yang dapat mempengaruhi hasil
penelitian disebut extraneous variable (Kantowitz, Roediger III & Elmes,
2009). Menurut Myers dan Hensen (2006), extraneous variable merupakan
ancaman terhadap validitas internal pada suatu penelitian. Validitas internal
membahas mengenai bagaimana perubahan pada variabel dependen benar-
benar disebabkan oleh manipulasi variabel independen (Coolican, 2009).
Peneliti berharap perubahan skor kesejahteraan psikologis subjek pada
penelitian ini benar-benar disebabkan oleh pelatihan manajemen stres. Akan
tetapi, masuknya hal-hal lain atau extraneous variable selain pelatihan
manajemen stress mempengaruhi hasil pengukuran kesejahteraan
psikologis selama penelitian berlangsung.
116
Myers dan Hansen (2006) menjelaskan bahwa dalam penelitian
eksperimen yang melibatkan manusia, terdapat hal-hal yang tidak dapat
dikontrol oleh peneliti sehingga mengancam validitas internal yang
akhirnya mempengaruhi hasil penelitian. Terdapat delapan macam
extraneous variable yang dapat mengancam validitas internal dalam
penelitian eksperimen yaitu maturation, history, instrumentation, testing,
selection, statistic regression, subject mortality dan selection interaction
(Campbell, 1957). Pada penelitian pengaruh pelatihan manajemen stres
terhadap kesejahteraan psikologis pada pasien hipertensi, terdapat tiga
ancaman validitas internal yang masuk ke dalam penelitian yaitu history,
selection dan selection interaction yang mempengaruhi hasil penelitian.
History merupakan kejadian-kejadian yang tidak dapat dikendalikan
oleh peneliti yang terjadi selama proses penelitian berlangsung (Myers &
Hensen, 2006). History yang mengancam validitas internal pada penelitian
ini adalah kondisi subjek yang berbeda-beda pada setiap pengukuran.
Permasalahan utama atau situasi menekan yang dialami subjek pada
kelompok kontrol adalah kesibukan masing-masing subjek. Hal tersebut
dikarenakan pekerjaan yang berbeda-beda dari masing-masing subjek pada
kelompok kontrol. Pada pengukuran pertama, para subjek sedang berada
dalam kondisi yang banyak tuntutan dalam hal pekerjaannya yang membuat
diri subjek menjadi tertekan. Akan tetapi, pada pengukuran kedua dan
ketiga para subjek berada dalam kondisi netral, sedang tidak banyak
tuntutan dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Hal tersebut
117
mempengaruhi kenaikan skor kesejahteraan psikologis pada pengukuran
kedua dan ketiga.
Pada kelompok eksperimen, kondisi yang menekan yang dialami oleh
satu orang subjek terkait dengan penyakit lain yang dideritanya, satu orang
subjek terkait dengan pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan
dalam hal gaya hidup dan pola makan. Kemudian, satu orang subjek
mengatakan bahwa sering mengalami sakit kepala, serta dua orang subjek
terkait dengan kecelakaan yang pernah dialami. Kondisi yang berbeda-beda
dari setiap subjek dalam menghadapi situasi yang menekan dapat
mempengaruhi perubahan skor kesejahteraan psikologis subjek pada
kelompok eksperimen setelah mengikuti pelatihan manajemen stres. Hal
tersebut sejalan dengan penjelasan Snyder dan Lopez (2002) bahwa kondisi
yang penuh dengan tekanan atau stres cenderung menurunkan kesejahteraan
psikologis individu. Kenaikan maupun penurunan skor kesejahteraan
psikologis pada subjek tidak hanya dipengaruhi oleh pelatihan manajemen
stres, tetapi juga dipengaruhi oleh situasi atau kondisi yang menekan yang
berbeda-beda pada setiap subjek.
History lain yang mengancam validitas pada penelitian ini adalah
interaksi yang terjadi pada subjek kelompok kontrol selama pelatihan
manajemen stres berlangsung. Selama penelitian, subjek pada kelompok
kontrol melakukan berbagai aktivitas antara lain melakukan kunjungan
wisata dengan sesama pasien hipertensi. Para subjek bertemu dengan teman
sesama pasien hipertensi, sharing pengalaman mengenai masalah-masalah
118
atau kondisi menekan yang dialami, saling memberi penguatan terhadap
satu sama lain sehingga terbangun ikatan yang kuat antar sesama pasien
hipertensi. Kualitas hubungan sosial dengan orang lain mempengaruhi
kondisi psikologis individu karena memberikan kepuasan yang lebih besar
yang berkitan dengan kualitas hidup (Novita, 2017). Hubungan sosial yang
negatif akan memunculkan respon negatif, begitu pula sebaliknya hubungan
sosial yang positif akan memunculkan respon yang positif pula (Haczku &
Panettieri, 2010). Hubungan positif dengan orang lain merupakan salah satu
aspek kesejahteraan psikologis (Ryff & Keyes, 1995). Hubungan positif
dengan orang lain pada kelompok kontrol merupakan salah satu hal yang
dapat mempengaruhi peningkatan skor kesejahteraan psikologis subjek
pada pengukuran kedua tanpa diberi perlakuan berupa pelatihan manajemen
stres.
Ancaman terhadap validitas internal selanjutnya adalah selection.
Menurut Myers dan Hensen (2006), selection disebabkan oleh perbedaan
jumlah subjek yang terlalu jauh antara kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Selain itu, selection juga disebabkan oleh tidak adanya pembagian
secara random antara subjek pada kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Pada penelitian ini, selection terjadi pada pembagian kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol tanpa adanya randomisasi. Pada awalnya,
peneliti sudah membagi subjek kedalam kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol sesuai dengan ketentuan, namun hal tersebut tidak dapat
dilakukan karena kesibukan masing-masing subjek dan perbedaan jadwal.
119
Hal tersebut menyebabkan pembagian subjek pada kelompok eksperimen
dan kelompok konrol dilakukan berdasarkan area wilayah subjek.
Pembagian subjek dengan cara seperti itu menyebabkan terjadi
perbedaan skor kesejahteraan psikologis yang tidak seimbang antara
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Skor kesejahteraan
psikologis pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sama-sama
mengalami peningkatan dari sebelum pelatihan, setelah pelatihan, maupun
tindak lanjut. Ketika dilakukan analisis statistik, tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol setelah pelatihan
manajemen stres.
Selection interaction merupakan kombinasi dari ancaman selection
yang dikombinasikan dengan ancaman lain dalam penelitian (Myers &
Hensen, 2006). Ancaman selection interaction yang mempengaruhi
validitas internal pada penelitian yang berjudul pengaruh pelatihan
manajemen stres terhadap kesejahteraan psikologis pada pasien hipertensi
adalah kombinasi dari ancaman selection dan history. Pembagian kelompok
eksperimen dan kelompok konrol pada kelompok ini tidak menggunakan
teknik randomisasi. Selain itu, subjek pada kedua kelompok tersebut sama-
sama mengalami kenaikan skor kesejahteraan psikologis pada pengukuran
kedua (setelah dilakukan pelatihan manajemen stres pada kelompok
eksperimen). Setelah digali lebih lanjut, ternyata sejak awal responden
kelompok kontol memiliki skor kesejahteraan psikologis yang hampir sama
dengan kelompok eksperimen.
120
Kondisi yang penuh dengan tekanan dari para subjek yang berbeda-
beda pada setiap pengukuran juga mempengaruhi hasil pada masing-masing
kelompok. Kondisi yang berbeda pada setiap pengukuran, ditambah dengan
skor kesejahteraan psikologis kelompok kontrol menyebabkan adanya
peningkatan skor kesejahteraan psikologis pada pengukuran kedua dan
ketiga karena kondisi yang lebih kondusif. Perubahan skor tersebut tidak
dipengaruhi oleh pelatihan manajemen stres. Begitu pula dengan subjek
pada kelompok eksperimen. Perubahan skor kesejahteraan psikologis selain
disebabkan oleh pelatihan manajemen stres juga dipengaruhi oleh kondisi
tersebut. Kombinasi pembagian kelompok antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol tanpa randomisasi dan kondisi lain pada subjek
merupakan ancaman validitas internal yang menyebabkan perubahan skor
kesejahteraan psikologis selain dipengaruhi oleh pelatihan manajemen stres
yang dilakukan.
Masuknya faktor dari kesejahteraan psikologis ke dalam penelitian juga
menyebabkan kenaikan skor yang signifikan pada kelompok kontrol. Faktor
dari kesejahteraan psikologis antara lain religiusitas. Subjek 6 (PT)
mengatakan bahwa akhir-akhir ini subjek 6 (PT) menambah intensitas
ibadah sunnahnya, karena pada awal tahun 2019 subjek 6 (PT) mengalami
hal yang membuatnya ingin selalu dekat dengan Sang Pencipta. Namun
subjek 6 (PT) tidak mengatakan peristiwa seperti apa karena menurut subjek
6 (PT) itu tidak untuk diberitahukan kepada siapapun. Setelah mengalami
peristiwa yang membuat subjek 6 (PT) ingin selalu dekat dengan Allah,
121
subjek 6 (PT) menjadi lebih sering melakukan sholat tahajud, sholat dhuha,
puasa sunnah. Subjek 6 (PT) mengatakan bahwa puasa juga merupakan
salah satu cara untuk mengurangi kemungkinan kekambuhan penyakit
hipertensi. Dokter telah menyarankan subjek 6 (PT) untuk melakukan diet
agar kemungkinan kekambuhan semakin kecil, namun subjek 6 (PT) belum
menemukan cara yang tepat untuk diet. Barulah di awal tahun 2019 subjek
6 (PT) menyadari bahwa puasa merupakan salah satu cara untuk
mendekatkan diri dengan Allah dan juga merupakan diet yang tepat. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Ellison (Taylor, 2009) bahwa agama dapat
meningkatkan kesejahteraan psikologis dalam diri individu. Selain itu,
Parveen & Maqbool (2016) juga menyebutkan bahwa spiritualitas dan
kesejahteraan psikologis memiliki hubungan yang positif, artinya ketika
individu memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan, rajin beribadah dan
selalu taat dengan segala perintahNya, maka individu tersebut memiliki
kesejahteraan psikologis yang baik.
Faktor lain dari kesejahteraan psikologis ialah dukungan sosial
khususnya dari keluarga. Dukungan sosial keluarga dapat meningkatkan
kesejahteraan psikologis individu. Subjek 6 (PT) mengatakan bahwa
penyakit hipertensi yang dialami oleh subjek 6 (PT) salah satu penyebabnya
yaitu anak. Subjek 6 (PT) terlalu memikirkan anak bungsunya yang agak
sulit untuk dikendalikan dan melakukan sesuatu sesuai dengan
keinginannya sendiri. Subjek 6 (PT) dan suami menginginkan agar anak
bungsunya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, namun anak
122
bungsunya tidak mau mengikuti keinginan orangtuanya dan memilih
menganggur di rumah dan meminta kepada orangtuanya untuk dibelikan
motor ninja. Subjek 6 (PT) merasa gagal dalam mendidik anak,
menyalahkan diri sendiri dan selalu memendam kekesalan kepada sang
anak. Setelah satu tahun anak bungsunya menganggur di rumah, tiba-tiba
anak bungsunya tersebut meminta izin kepada subjek 6 (PT) untuk bekerja.
Kemudian dengan senang hati subjek 6 (PT) mengizinkan putranya untuk
bekerja, beberapa bulan kemudian subjek 6 (PT) mendapatkan hadiah dari
sang anak. Anak bungsu subjek 6 (PT) juga sudah mampu membayar cicilan
motor ninja kepada subjek 6 (PT) karena dulu subjek 6 (PT) memberinya
motor ninja saat belum bekerja.
Subjek 6 (PT) merasa sangat senang karena akhirnya anak bungsunya
sudah menemukan jalan yang diinginkan walaupun tidak sesuai dengan
harapan subjek 6 (PT) tetapi setidaknya anak bungsunya tidak menganggur
di rumah. Subjek 6 (PT) mengatakan semenjak anak bungsunya bekerja,
pikiran subjek 6 (PT) menjadi lebih tenang, hidupnya menjadi lebih damai
dan tentram, serta keluarganya semakin harmonis. Hal tersebut sesuai
dengan penelitian Desiningrum (2010) bahwa dukungan sosial sangat erat
kaitannya dengan hubungan yang harmonis dengan orang lain sehingga
individu tersebut mengetahui bahwa orang lain peduli, menghargai, dan
mencintai dirinya. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa semakin tinggi
dukungan keluarga yang diberikan kepada ibu, maka semakin tinggi pula
kesejahteraan psikologis yang didapatkan (Adha, 2018).
123
Faktor lain dari kesejahteraan psikologis adalah usia. Usia subjek
kelompok eksperimen yang paling sedikit adalah 38 tahun, sedangkan usia
yang paling banyak adalah 77 tahun. Perbedaan usia yang relatif jauh pada
subjek kelompok eksperimen menjadikan salah satu penyebab tidak adanya
pengaruh pelatihan manajemen stres. Usia produktif masyarakat Indonesia
menurut Kemenkes RI (2018) adalah 15-64 tahun, karena jumlah penduduk
pada usia tersebut jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan usia anak-
anak dan lansia. Aisyah dan Chisol (2018) mengungkapkan bahwa pada
aspek penguasaan lingkungan akan mengalami peningkatan seiring
bertambahnya usia, karena individu semakin mengetahui keadaan yang
terbaik bagi dirinya sehingga individu akan semakin mampu mengatur
lingkungannya. Pada aspek tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi,
menunjukkan penurunan yang drastis seiring dengan bertambahnya usia.
Modifikasi modul pelatihan manajemen stres juga mempengaruhi hasil
penelitian, selain karena ancaman-ancaman validitas internal dengan
masuknya extraneous variable. Modul pelatihan manajemen stres yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari modul pelatihan
manajemen stres yang disusun oleh Putrikita (2018) berdasarkan tahapan
manajemen stres yang dikemukakan oleh Taylor (2009). Berdasarkan
modul yang disusun oleh (Putrikita, 2018), terdapat empat kali pertemuan,
dimana masing-masing pertemuan dilakukan setiap minggu, sehingga jarak
antara pertemuan pertama dengan pertemuan berikutnya adalah satu
minggu. Peneliti melakukan modifikasi modul dengan jumlah pertemuan
124
yang berbeda yaitu hanya dua kali pertemuan, dalam dua minggu. Jarak
antara pertemuan pertama dengan pertemuan kedua adalah satu minggu.
Peneliti menganggap bahwa empat kali pertemuan terlalu banyak bagi
subjek yang memiliki usia lanjut dan dengan penyakit hipertensi, tetapi
setelah dipersingkat menjadi dua pertemuan dan diterapkan ke subjek, hal
tersebut menjadi kelemahan karena materi yang disampaikan terlalu cepat.
Pelatihan manajemen stres yang dilakukan terhadap kelompok
eksperimen membawa dampak positif terhadap subjek pada kelompok
tersebut. Subjek mengalami perubahan-perubahan positif baik secara
psikologis maupun fisiologis. Secara raw score dan hasil kualitatif
menunjukkan adanya peningkatan skor kesejahteraan psikologis pada
kelompok eksperimen setelah mengikuti pelatihan. Berdasarkan hal
tersebut, pelatihan manajemen stres penting dilakukan terhadap pasien
hipertensi karena memunculkan hal-hal positif. Setelah mengikuti pelatihan
manajemen stres dan melakukannya secara mandiri di rumah, para subjek
merasa lebih baik. Perubahan positif baik secara psikologis maupun
fisiologis diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis secara
menyeluruh seiring berjalannya waktu. Pelatihan manajemen stres ini perlu
untuk dilakukan secara mandiri dan terus menerus guna menciptakan
kesejahteraan psikologis yang baik bagi individu.
125
E. Evaluasi
Secara garis besar, penelitian yang berjudul pengaruh pelatihan
manajemen stres terhadap kesejahteraan psikologis pasien hipertensi
berjalan dengan lancar. Fasilitator memperhatikan para peserta secara
seksama satu per satu, sehingga memahami berbagai respon yang muncul
dari para peserta. Fasilitator juga menjawab seluruh pertanyaan dari para
peserta pelatihan dengan baik. Pengalaman-pengalaman yang dibagikan
oleh para peserta didalam forum juga ditanggapi dengan baik oleh
fasilitator. Co-fasilitator tanggap terhadap kebutuhan fasilitator dan peserta.
Pelatihan manajemen stres secara umum dilaksanakan sesuai dengan
jadwal, begitu juga dengan pelaksanaan follow-up. Pelaksanaan follow-up
berlangsung dua minggu setelah pertemuan terakhir pelaksanaan pelatihan
manajemen stres. Selama pelaksanaan pelatihan manajemen stres, jumlah
peserta pelatihan tidak mengalami perubahan, baik pada kelompok
eksperimen maupun kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen, jumlah
peserta yang hadir pada pertemuan pertama dan kedua sebanyak sepuluh
orang, namun yang diukur dan dijadikan subjek penelitian hanya lima
orang. Hal tersebut disebabkan karena subjek penelitian pada kelompok
eksperimen berasal dari satu daerah yang sama sehingga peneliti khawatir
akan terjadi kecemburuan sosial apabila hanya sebagian saja yang diminta
untuk mengikuti pelatihan di kampus UII. Lima dari sepuluh subjek
penelitian memiliki skor kesejahteraan psikologis yang tinggi, sedangkan
lima lainnya berada dalam kategori sedang.
126
Pada kelompok kontrol, jumlah subjek tidak mengalami perubahan
yaitu sebanyak lima orang. Peneliti sebenarnya akan melakukan waiting list
pada kelompok kontrol setelah pengukuran selesai dilakukan, akan tetapi
kesibukan dan jadwal yang tidak dapat disamakan dari masing-masing
subjek membuat rencana ini tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu, peneliti
memberikan materi sebagai ganti dari pelatihan manajemen stress kepada
masing-masing subjek. Materi tersebut berisi pengertian stres, respon stres,
penyebab stres, dampak stres yang berkepanjangan, cara mengatasi stres
seperti berpikir positif dan optimis, serta cara menenangkan diri dengan
relaksasi pernafasan ketika menghadapi situasi yang menekan.
Kelemahan dalam penelitian ini adalah masuknya extraneous variable
berupa history, selection, dan selection interaction ke dalam penelitian
sehingga mengancam validitas internal. Hal lain seperti kondisi subjek yang
berbeda-beda pada setiap pengukuran, interaksi para subjek dengan orang
lain selama proses pelatihan berlangsung, subjek yang memiliki skor tinggi
tetapi tetap mengikuti pelatihan merupakan variabel yang mempengaruhi
perubahan skor kesejahteraan psikologis subjek selain pelatihan manajemen
stres. Kelemahan lain dalan penelitian ini adalah jarak waktu yang terlalu
lama antara pelaksanaan pretest dan posttest sehingga mengakibatkan
masuknya faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya kesejahteraan
psikologis. Kemudian, penelitian ini juga memiliki kelemahan yaitu modul
penelitian yang kurang sesuai dengan karakteristik subjek yaitu lansia.
Selain itu, jumlah pertemuan yang terlalu sedikit juga menyebabkan materi
127
yang didapatkan oleh para subjek menjadi kurang maksimal karena
keterbatasan waktu.
128
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah melakukan
pelatihan manajemen stres. Meskipun demikian, pelatihan manajemen stres
memiliki dampak yang positif bagi para subjek penelitian, khususnya kelompok
eksperimen. Setelah mengikuti pelathan manajemen stress, seluruh subjek pada
kelompok eksperimen mengalami perubahan yang positif baik secara psikologis
maupun fisiologis, yaitu peningkatan fungsi psikologis dan kesehatan yang
membaik.
B. Saran
1. Penelitian Berikutnya
a. Peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik
yang sama, disarankan untuk memberikan pelatihan manajemen stres
kepada kelompok kontrol dengan durasi yang sama apabila
memungkinkan.
b. Peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian terkait
dengan pelatihan manajemen stres disarankan untuk mengganti subjek
penelitian dengan penyakit kronis yang lain, karena pelatihan manajemen
129
stres terbukti mampu mengurangi rasa sakit dan meminimalisir
kekambuhan.
c. Peneliti selanjutnya diharapkan lebih ketat dalam mengendalikan ancaman-
ancaman terhadap validitas internal sehingga extraneous variable tidak
mempengaruhi hasil penelitian.
d. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan modifikasi modul
penelitian yang disesuaikan dengan karakteristik subjek, menentukan
jumlah pertemuan dengan tepat dan melakukan uji coba modul kepada
subjek yang sesuai.
e. Peneliti selanjutnya diharapkan mampu memperhatikan jeda waktu
pelaksanaan pretest dan posttest. Sebaiknya dalam pengambilan data awal
(screening), subjek penelitian dikumpulkan terlebih dahulu, kemudian
setelah memenuhi syarat penelitian baru diberikan kuisioner yang
digunakan sebagai pretest
2. Subjek Penelitian
a. Subjek pelatihan diharapkan untuk tetap melakukan manajemen stres
secara mandiri dan rutin agar semakin terbiasa.
b. Subjek penelitian diharapkan untuk menerapkan teknik relaksasi
pernafasan secara mandiri ketika menghadapi situasi yang menekan.
130
DAFTAR PUSTAKA
Adha, H.D. (2018). Hubungan dukungan keluarga dan kesejahteraan psikologis ibu
pekerja paruh waktu. Skripsi. Universitas Islam Indonesia
Adib, M. (2009). Cara mudah memahami & menghadapi hipertensi, jantung &
stroke. Yogyakarta: Dianaloka Pustaka.
Alsairafi, M., Alshamali, K. & Al-rashed, A. (2010). Effect of physical activity on
controlling blood pressure among hypertensive patients from mishref area of
kuwait. Europe Journal Medical, 7 (4)
Andrew, M.K, Fisk, J.D., & Rockwood, K. (2012). Psychological well-being in
relation to frailty: a frailty identity crisis?. Journal of International
Psychogeriatric, 24 (8), 1347-1353
Anggraieni, W.N. & Subandi. (2014). Pengaruh terapi relaksasi dzikir untuk
menurunkan stres pada penderita hipertensi esensial. Jurnal Intervensi
Psikologi, 6 (1)
Aisyah, A., & Chisol, R. (2018). Rasa syukur kaitannya dengan kesejahteraan
psikologis pada guru honorer sekolah dasar. Proyeksi, 13 (2), 1-14
Azwar, S. (1998). Psikologi eksperimen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Azwar, S. (2005). Dasar-dasar psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Boudreaux, M.J., & Ozer, D.J. (2013). Goal conflict, goal striving, and
psychological well-being. Journal of motivation emotion, 37, 433-443
Brannon, L. & Feist, J. (2010). Health psychology, an introduction to behavior and
health seventh edition. USA: Wadsworth Cengage Learning
Brown, J.L., & Vanable, P.A. (2008). Cognitive-behavioral stress management
interventions for person living with HIV: A review and critique of the
literature. Journal of ann. behav. med., 3, 26-40
Campbell, D.T. (1957). Factors relevant to the validity of experiments in social
setting. Psychological Bulletin, 54, 297-312
Cohen, S., & Williamson, G. (1988). Perceived stress in a probability sample of the
U.S. In S. Spacapam & S. Oskamp (Eds.), The social psychology of health:
Claremont Symposium on Applied Social Psychology. Newbury Park, CA:
Sage
131
Coolican, H. (2009). Research methods and statistics in psychology, fifth edition.
UK: Hooder Education
Daubenmier, J. J., Weidner, G., Sumner, M. D., Mendell, N., Merritt-Worden, T. &
Studley, J. (2007). The contribution of changes in diet, exercise, and stress
management to changes in coronary risk in women and men in the multisite
cardiac lifestyle intervention program. Behavioral Medicine 33, 57-68
De Brouwer, S.J.M, Kraaimaat, F.W., Sweep, F.C.G.J., Donders, R.T., Eijsbouts,
A., Van Koulil, S., Van Riel, P.L.C.M., & Evers, A.W.M. (2011).
Psychophysiological responses to stress after stress management training in
patient with rheumatoid arthritis. Journal of Plosone, 6 (12), 1-10
Desiningrum, D.R. (2010). Family’s social support and psychological well-being
of the elderly in tembalang. Anima, Indonesian Psychological Journal, 26 (1),
61-68
Desinta, S. & Ramdhani, N. (2013). Terapi tawa untuk menurunkan stres pada
penderita hipertensi. Jurnal Psikologi, 40 (1)
Evers, K.E., Prochaska, J.O. Johnson, J.L., Mauriello, L.M., Padula, J.A. &
Prochaska, J.M. (2006). A randomize clinical trial of a population- and
transtheoretical model─based stress-management intervention. Health
Psychology, 25 (4)
Fausiah, F., & Julianti, W. 2008. Psikologi abnormal klinis dewasa. Jakarta: UI
Press
Fitzgerald, C.T., Boehm, J.K, Kivimaki, M. & Kubzansky, L.D. (2014). Taking the
tension out of hypertension: a prospective study of psychological well-being
and hypertension. Hypertension, 32 (6)
Green, M., & Elliott, M. (2010). Religion, health, and psychological well-being.
Journal religion health, 49, 149-163
Haczku, A., & Panettiari, R.A. (2010). Social stress and asthma: The role of
corticosteroid insensitivity. Journal of American Academy of Allergy,
Asthma, & Imunnology, 125 (3). 550-559
Hasanvandi, S., Valizade, M., Honarmand, M.M. & Mohammadesmaeel, F. (2013).
Effectiveness of stress management on mental health of divorced women.
Procedia-Social and Behavioral Science. (84). 1559-1564
132
Hildalgo, J.L., Bravo, B.N., Martinez, I.P., Pretel, F.A., Postigo, J.M.L., &
Rabadan, F.E. (2010). Psychological well-being, assessment tools and related
factors. Journal of psychological well-being, 77-113
Hockemeyer, J., & Smyth, J. (2002). Evaluating the feasibility and efficacy of a
self-administered manual-based stress management intervention for
individuals with asthma: result from a controlled study. Journal of behavioral
medicine, 27 (4). 161-172
Huppert, F.A. (2009). Psychological well-being: evidence regarding its causes and
consequences. Applied Psychology: Health and Well-Being, 1 (2)
Kementrian Kesehatan RI. (2018). Data dan informasi profil kesehatan Indonesia.
Diunduh dari http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/Data-dan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-
2018.pdf pada Senin, 12 Agustus 2019
Jarden, A. (2011). Positive psychological assessment: a practical introduction to
empirically validated research tools for measuring wellbeing
Kantowitz, B.H., Roediger III, H.L., & Elmes, D.G. (2009). Experimental
psychology, ninth edition. USA: Wadsworth Cengage Learning
Kumala, O.D.K., Kusprayogi, Y. & Nashori, F. (2017). Efektivitas pelatihan dzikir
dalam meningkatkan ketenangan jiwa pada lansia penderita hipertensi. Jurnal
Intervensi Psikologi, 4 (1)
Lukaningsih, Z.L. & Bandiyah, S. (2011). Psikologi Kesehatan. Yogyakarta: Nuha
Medika
Looker, T & Gregson, O. (2005). Managing stress, mengatasi stres secara mandiri.
Yogyakarta: BACA!
Manju. & Singh, R. (2014). Psychological well-being of hypertensive people.
Indian Journal of Health and Well-Being, 5 (2)
Myers, A., & Hansen, C. (2006). Experimental Psychology, Sixth Edition. USA:
Thomson Higher Education
Novita, D.A. (2017). Hubungan antara dukungan sosial dan kualitas hidup pada
remaja berkebutuhan khusus. Psikodimensia, 16 (1), 40-48
Nevid, J.S., Rathus, S.A. & Greene, B. (2005). Psikologi abnormal edisi kelima
jilid 1. Jakarta: Erlangga
133
Parveen, F. & Maqbool, S. (2016). A comparative study of spirituality and
psychological well-being among senior secondary male and female students.
International Scholary and Scientific Research & Inovation, 4 (1)
Putra, A.A., Nashori, F. & Sulistyarini, I. (2012). Terapi kelompok untuk
mengurangi kesepian dan menurunkan tekanan darah pada lansia penderita
hipertensi. Jurnal Intervensi Psikologi, 4 (1)
Putrikita, K.A. (2018). Pengaruh pelatihan manajemen stres terhadap kesejahteraan
psikologis pada penderita asma. Thesis (Tidak dipublikasikan). Magister
Profesi Psikologi. Universitas Islam Indonesia
Prabowo, A. (2016). Kesejahteraan psikologis remaja di sekolah. Jurnal Ilmiah
Psikologi Terapan, 4 (2)
Prameswari, R. (2016). Pengaruh terapi zikir dalam meningkatkan kesejahteraan
psikologis pada penderita hipertensi. Thesis (Tidak dipublikasikan). Magister
Profesi Psikologi. Universitas Islam Indonesia
Rahmanita, A., Uyun, Q.& Sulistyarini, R.I. (2016). Efektivitas pelatihan
kebersyukuran untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif pada penderita
hipertensi. Jurnal Intervensi Psikologi, 8 (2)
Riset Kesehatan Dasar. (2018). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia
Romadi, R. P., Posagi, J. & Katuuk, M.E. (2017). Hubungan psychological well
being dengan derajat hipertensi pada pasien hipertensi di puskesmas bahu
manado. e-Journal Keperawatan, 5 (1)
Rudianto, B.F. (2013). Menaklukan hipertensi & diabetes. Yogyakarta:
Sakkhasukma
Ryff, C.D. (1989). Happines is everything, or is it? Explorations on the meaning of
psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57
(6)
Ryff, C.D. & Singer, B.H. (1996). Psychological well-being: meaning,
measurement, and implications for psychotherapy research. Journal of
Psychotherapy and Psychosomatics, 65
Ryff, C.D. & Singer, B.H. (2006). Best news yet on the six-factor model of well-
being. Social research, 35 (4), 1103-1119
134
Ryff, C.D. & Keyes, C.L.M. (1995). The structure of psychological well-being
revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69 (4)
Sagone, E. & Carli, M.E.D. (2014). Relationship between psychological well-being
and resilience in middle and late adolescents. Procedia-Social and Behavioral
Science. (141). 881-887
Saraei, F.H., Hatami, H. & Bagheri, F. (2016). Effectiveness of sress management
on glycemic control and change of some of mental health indicators
(depressin, anxiety, stress and quality of life) among patients with type 2
diabetes. Mediterranean Journal of Social Sciences, 7 (4), 258-265
Sarafino, E.P. & Smith, T.W. (2012). Health psychology biopsychosocial
interaction seventh edition. Asia: John Wiley & Sons
Scala, J. (2000). 25 natural ways to manage stress and prevent burnout. Los
Angles: Keats Publishing
Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan: Model-model Kepribadian Sehat.
Yogyakarta : Kanisius.
Seniati, L., Yulianto, A. & Setiadi, B.N. (2014). Psikologi eksperimen. Jakarta:
Indeks
Shadine, M. (2010). Mengenal penyakit hipertensi, diabetes, stroke & serangan
jantung. -:Keen books
Shaughnessy, J.J., Zechmeister, E.B. & Zechmeister, J.S. (2007) Metodologi
penelitian psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smet, B. (1994). Psikologi kesehatan. Jakarta: PT Grasindo
Snyder, C. R. & Lopez, S.J. (2002). Handbook of positive psychology. New York:
Oxford University Press
Sujana, R.C., Wahyuningsih, H. & Uyun, Q. (2015). Peningkatan kesejahteraan
psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan menggunakan
group positive psychotherapy. Jurnal Intervensi Psikologi, 7 (2)
Sulistyarini, I. (2013). Terapi relaksasi untuk menurunkan tekanan darah dan
meningkatkan kualitas hidup penderinta hipertensi. Jurnal Psikologi, 40 (1)
Surwit, R.S., Van Tilburg, M.A.L., Zucker, N., McCaskill, C.A., Parekh, P.,
Feinglos, M.N, Edwards, C.L., Williams, P., & Lane, J.D. (2002). Stress
management improves long-term glycemic control in type 2 diabetes. Journal
of diabetes care, 25 (1), 30-34
135
Taylor, S.E. (2009). Heatlh psychology seventh edition. Singapore: McGraw-Hill
Varvogli, L., & Darviri, C. (2011). Stress management technique: evidence-based
procedures that reduces stress and promote health. Health science journal, 5
(2), 74-89
Wahdah, N. (2011). Menaklukan hipertensi & diabetes. Yogyakarta: Multi Press
Wang, C.W., Chan, C.L.W., Ng, S.M. & Ho, A.H.Y. (2008). The impact of
spirituality on health-related quality of life among Chinese older adults with
vision impairment. Aging & mental health, 12 (2)
Wolgast, M., Lundh, L., & Viborg, G. (2011). Cognitive reappraisal and
acceptance: an experimental comparison of two emotion regulation strategies.
Journal of behavior research and therapy, 49, 858-866
Zani, B., & Cicognani, E. (1999). Le vie del benessere: eventi di vita e strategie di
coping. Roma, Italy: Carocci.
LAMPIRAN 1
Modul Pelatihan
MODUL
PELATIHAN MANAJEMEN STRES UNTUK PASIEN HIPERTENSI
Oleh :
Nuzul Putri Maulina
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2019
A. Pengantar
Pelatihan manajemen stres ini didasarkan pada tahapan manajemen stres yang
dikemukakan oleh Taylor (2009). Stres merupakan salah satu faktor pemicu
kekambuhan penyakit hipertensi pada individu. Stres dapay menyebabkan gangguan
psikofisiologis seperti asma, hipertensi, dan sakit kepala akut, bahkan stres dapat
membuat gangguan-gangguan tersebut semakin parah (Fausiah & Widury, 2008).
Sarafino (1990) juga menyebutkan bahwa stres dapat memberikan dampak secara
langsung terhadap perubahan pada sistem fisik tubuh sehingga mempengaruhi
kesehatan. Berdasarkan teori yang dikemukakan, penelitian sebelumnya, serta
wawancara awal yang dilakukan, kekambuhan penyakit hipertensi dapat
menurunkan psychological well-being individu.
Berdasarkan hal tersebut, maka penyebab kekambuhan penyakit hipertensi perlu
diminimalisir agar tidak mudah kambuh sehingga psychological well-being individu
meningkat. Pelatihan manajemen stres perlu dilakukan untuk mengelola stres karena
teknik ini berbasis cognitive-behavioral therapy yang mengelola stres melalui
kognitif individu, kemudian memunculkan perilaku yang sesuai untuk menghadapi
situasi yang menekan, sehingga stres dapat diminimalisir. Stres yang berhasil
dikelola dengan baik diharapkan dapat meningkatkan atau menstabilkan sistem imun
tubuh sehingga hipertensi tidak kambuh. Kekambuhan hipertensi yang dapat
diminimalisir diharapkan mampu meningkatkan psychological well-being pada
pasien hipertensi.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan manajemen stres
terhadap kesejahteraan psikologis dan kesejahteraan subjektif pada pasien hipertensi.
C. Subjek Penelitian
1. Berjenis kelamin laki-laki dan perempuan
2. Berusia diatas 35 tahun
3. Memiliki skor psychological well-being dengan kategori sedang atau rendah
Sesi 1
Pembukaan
Tujuan :
1. Perkenalan antara fasilitator dan peserta
2. Menciptakan suasana akrab antara fasilitator dengan peserta dan antar peserta
3. Menjelaskan proses dan tahapan yang akan dilakukan selama pelatihan manajemen
stres kepada para peserta
Alat dan Bahan :
1. Lembar informed consent
2. Skala psychological well-being
3. Alat tulis
Waktu : 20 menit
Metode : Ceramah
Prosedur :
1. Fasilitator membuka pelatihan dengan mengucapkan salam, memimpin doa,
kemudian memperkenalkan diri dan co-fasilitator
2. Fasilitator terlebih dahulu memperkenalkan diri kemudian dilanjutkan co-fasilitator
3. Fasilitator meminta peserta dalam kelompok untuk memperkenalkan diri
4. Fasilitator memberikan penjelasan mengenai tujuan dan manfaat pelatihan
manajemen stres yang akan dilakukan
a. Tujuan : membantu para peserta untuk melakukan manajemen stres secara
mandiri
b. Manfaat : mengelola dan meminimalisir stres yang biasa dialami oleh para
peserta
5. Fasilitator menjelaskan proses dan tahapan dalam pelatihan manajemen stres melalui
rundownyang sudah disusun
Pert/
Sesi Kegiatan Tujuan Waktu
I/1 Pembukaan Perkenalan 25’
Building rapport
Penjelasan pelatihan
I/2 Identifying stressor Pemberian edukasi
mengenai stres dan dampak
stres
30’
Peserta mengetahui situasi
penyebab stres pada diri
sendiri
I/3 Monitoring stress Peserta memahami respon
stres secara fisik, emosi dan
perilaku
25’
Peserta menganalisis
perasaan yang muncul
terhadap situasi stressfull
I/4 Identifying stress
antecedents
Peserta memahami mengapa
suatu situasi bisa
memunculkan stres
25’
Peserta mengidentifikasi
penyebab stres sebenarnya
I/5 Avoiding negative self-
talk
Peserta menyadari dan
mengidentifikasi negative
self-talk dan pikiran-pikiran
negatif yang sering
dilakukan
30’
Peserta mampu melawan
negative self-talk dan
pikiran negatif
Take home assignment Peserta melakukan praktek
langsung dalam identifikasi
penyebab stres serta
perasaan dan pikiran yang
muncul pada situasi tersebut
Peserta mempraktekkan
avoiding negativve self-talk
dalam kehidupan nyata
II/1 Skill Acquisition :
relaksasi deep breathing
Merilekskan dada, perut,
dan seluruh tubuh
30’
Memperkuat sistem saraf
Memunculkan perassaan
tenang dan nyaman
Membantu untuk
meningkatkan oksigen serta
menurunkan karbondioksida
di salam paru-paru dan
darah
II/2 Setting new goal Peserta memiliki tujuan
yang jelas dalam hidup
25’
Peserta memiliki rencana
yang akan dilakukan untuk
mencapai tujuan tersebut
II/3 Positive self-talk Merubah pikiran-pikiran
negatif menjadi lebih positif
30’
Memperkuat pikiran-pikiran
positif
II/4 Evaluasi Memastikan peserta
memahami pelatihan yang
telah dilakukan
20’
Mengetahui pendapat
peserta setelah melakukan
pelatihan
II/5 Pengisian lembar posttest Mengetahui tingkat
psychological well-being
peserta setelah melakukan
pelatihan
10’
II/6 Terminasi Mengakhiri sesi pelatihan 10’
6. Co-fasilitator memberikan lembar informed consent kepada para peserta dan
meminta peserta untuk melengkapi
7. Co-fasilitator membagikan skala Psychological Well-Being kepada para peserta dan
fasilitator meminta peserta untuk melengkapi
8. Fasilitator meminta para peserta untuk mengumpulkan lembar informed consent dan
skala Psychological Well-Being setelah memastikan tidak ada aitem yang terlewat
Sesi 2
Identifying Stressor
Tujuan :
1. Pemberian edukasi mengenai stres dan dampak stres
2. Peserta mengetahui situasi penyebab stres pada diri sendiri
Alat dan Bahan :
1. Worksheet
2. Alat tulis
Waktu : 35 menit
Metode : Ceramah, diskusi
Prosedur :
1. Fasilitator memberikan psikoedukasi mengenai stres dan dampak stres terhadap
individu. Materi yang disampaikan sebagai berikut:
Stres merupakan emosi negatif yang disertai dengan perubahan secara biokimia
(fisik), psikologis, kognitif, dan perilaku pada individu yang disebabkan oleh suatu
peristiwa yang menekan (Taylor, 2006). Stres merupakan suatu bentuk respon yang
muncul pada individu ketika menghadapi stimulus yang dipersepsi mengancam dan
tidak berhasil mengatasi ancaman tersebut (Brannon & Feist, 2010). Stres
merupakan suatu keadaan yang penuh tuntutan dan tekanan yang memaksa individu
untuk menyesuaikan diri, ketika individu gagal menyesuaikan diri maka akan
memunculkan distres (Nevid, Rathus & Greene, 2005).
Secara umum, terdapat empat reaksi yang muncul pada individu terhadap stres,
yaitu fisiologis, emosional, perilaku dan kognitif (Taylor, 2003). Fisiologis mengacu
pada respon fisik yang muncul akibat stres, meliputi keringat dingin, bicara terbata-
bata, gemetar, mual, nafas menjadi cepat dan perubahan fisik lainnya. Emosional
mengacu pada perubahan emosi yang terjadi akibat stres, meliputi lebih mudah
marah, tersinggung, sedih, dan rasa bersalah. Perilaku mengacu terhadap perubahan
perilaku yang muncul akibat stres, meliputi menangis, membanting atau merusak
barang, menghindari stimulus penyebab stres, merokok, dan penyalahgunaan napza.
Kognitif mengacu pada pikiran-pikiran yang muncul akibat stres, meliputi ketakutan
yang muncul dan pikiran negatif terhadap sesuatu.
2. Fasilitator memberikan tayangan berupa foto atau video mengenai kehidupan sehari-
hari yang berkaitan dengan stres dari berbagai aspek.
3. Fasilitator bertanya kepada para peserta terkait dengan situasi apakah yang ada pada
tayangan tersebut.
4. Co-fasilitator memiliki lembar kerja masing-masing peserta
Situasi Apa yang dirasakan
Penyebab Pikiran yang
muncul
Negative self-talk
Bukti Pikiran alternatif
Bukti Positive self-talk
5. Co-fasilitator membantu menuliskan jawaban peserta pada lembar kerja tersebut
6. Fasilitator dan co-fasilitator memastikan bahwa semua peserta telah menjawab
pertanyaan dan lembar kerja masing-masing peserta telah terisi pada kolom pertama
Sesi 3
Monitoring Stress
Tujuan :
1. Peserta memahami respon stres secara fisik, emosi dan perilaku
2. Peserta menganalisis perasaan yang muncul terhadap situasi stressfull
Alat dan Bahan :
1. Worksheet
2. Alat tulis
3. Emoticon
Waktu : 25 menit
Metode : Diskusi
Prosedur :
1. Fasilitator meminta peserta untuk menceritakan apa yang dirasakan pada saat melihat
tayangan foto atau video. Sebelum menceritakan perasaannya, para peserta diminta
untuk memberikan respon emosional melalui emoticon yang telah disediakan diatas
meja.
2. Co-fasilitator mencatat respon emosional serta perasaan yang dialami oleh para
peserta ketika melihat tayangan foto atau video pada kolom kedua.
3. Fasilitator memastikan bahwa semua peserta telah memberikan respon dan telah
dicatat oleh co-fasilitator
4. Co-fasilitator membantu mengelompokkan foto atau video yang paling banyak
mendapat respon negatif dari para peserta. Kemudian, foto atau video yang telah
dipilih tersebut akan ditayangkan kembali pada sesi berikutnya
Sesi 4
Identifying Stress Antecedents
Tujuan :
1. Peserta memahami mengapa suatu situasi dapat memunculkan stres
2. Peserta mengidentifikasi penyebab stres sebenarnya
Alat dan Bahan :
1. Worksheet
2. Alat tulis
Waktu : 30 menit
Metode : Diskusi
Prosedur :
1. Fasilitator meminta peserta untuk kembali melihat situasi atau peristiwa yang ada
pada tayangan foto atau video yang dapat memunculkan stres, kemudian merasakan
kembali respon-respon yang muncul ketika peserta berada dalam situasi tersebut
2. Peserta diminta untuk memikirkan apa yang terjadi apabila berada pada situasi
tersebut. Peserta diminta untuk menganalisis penyebab kemunculan respon-respon
stres terhadap situasi stressfull
3. Fasilitator meminta peserta untuk menyebutkan kemungkinan penyebab yang
muncul pada situasi tersebut
4. Fasilitator menjelaskan bahwa penyebab tersebut bisa apa saja, seperti pikiran,
pengalaman, dan lain sebagainya
5. Peserta diperbolehkan untuk menyebutkan lebih dari satu penyebab stres dalam
situasi stressfull tersebut dan menjelaskannya secara detail
6. Co-fasilitator membantu untuk menuliskan jawaban dari para peserta di lembar kerja
masing-masing peserta
7. Fasilitator dan co-fasilitator memastikan semua peserta telah menyelesaikan sesi ini
sebelum melanjutkan ke sesi selanjutnya
Sesi 5
Avoiding Negative Self-talk
Tujuan :
1. Peserta menyadari dan mengidentifikasi negative self-talk dan pikiran negatif yang
sering dilakukan
2. Peserta mampu melawan negative self-talk dan pikiran negatif
Alat dan Bahan :
1. Worksheet
2. Alat tulis
Waktu : 30 menit
Metode : Menulis, praktek
Prosedur :
1. Fasilitator meminta peserta untuk mencermati kembali tayangan foto atau video yang
memunculkan stressfull, kemudian peserta diminta untuk mengungkapkan pikiran-
pikiran negatif yang sering muncul ketika peserta berada dalam situasi stressfull
tersebut. Apabila di kolom ketiga (penyebab) peserta telah menyebutkan pikiran
negatif yang muncul, peserta dapatmenyebutkan kembali
2. Peserta diperbolehkan untuk mengungkapkan lebih dari satu pikiran negatif yang
muncul dan diperbolehkan menjelaskan secara detail
3. Co-fasilitator membantu untuk menuliskan jawaban dari para peserta di lembar kerja
kolom keempat
4. Apabila peserta sudah mengungkapkan semua pikiran negatif, peserta diminta untuk
menceritakan perkataan negatif pada diri sendiri (negative self-talk) yang sering
muncul ketika dalam situasi stressfull
5. Peserta diperbolehkan menyebutkan lebih dari satu negative self-talk yang muncul
dalam situasi stressfull tersebut dan diperbolehkan menjelaskan secara detail
6. Co-fasilitator membantu para peserta untuk menuliskan jawaban di lembar kerja
masing-masing pada kolom kelima
7. Setelah memastikan seluruh peserta menyebutkan dan jawaban telah ditulis oleh co-
fasilitator, fasilitator meminta peserta untuk memposisikan diri ke dalam situasi
stressfull tersebut
8. Peserta diminta untuk kembali memikirkan respon, perasaan, pikiran, dan negative
self-talk tersebut secara mendalam
9. Fasilitator meminta para peserta untuk menyebutkan bukti-bukti yang mendukung
pikiran negatif dan kemunculan negative self-talk jika memang ada
10. Peserta diperbolehkan menyebutkan bukti-bukti secara detail dan lebih dari satu
bukti
11. Co-fasilitator membantu menuliskan apa yang telah disebutkan oleh para peserta
mengenai bukti yang mendukung perkataan negatif pada diri sendiri
12. Fasilitator meminta peserta untuk menganalisis perbandingan antara pikiran negatif,
negative self-talk dengan bukti-bukti yang mendukung
13. Peserta diminta untuk menganalisis sejauh mana pikiran negatif dan negative self-
talk tersebut benar-benar terbukti atau hanya merupakan distorsi kognitif yang
dimunculkan oleh peserta sendiri
14. Fasilitator memunculkan pemahaman bahwa pikiran yang muncul tersebut
merupakan distorsi kognitif yang dimunculkan oleh peserta sendiri melalui diskusi
15. Fasilitator mengajak para peserta untuk melawan pikiran negatif dan negative self-
talk karena hal tersebut tidak didukung dengan bukti yang cukup
16. Setelah memastikan para peserta memahami bahwa pikiran negatif dan negative self-
talk merupakan distorsi kognitif yang dimunculkan oleh peserta sendiri, fasilitator
mengajak para peserta untuk melawan pikiran negatif tersebut, kemudian
menemukan pikiran positif yang berkebalikan dengan pikiran negatif (pikiran
alternatif)
17. Fasilitator memunculkan pikiran-pikiran alternatif para peserta melalui diskusi,
tanya jawab, socratic dialog, dan lain sebagainya
18. Peserta diminta untuk menyebutkan pikiran alternatif yang akan muncul ketika
dalam situasi stressfull dan diperbolehkan untuk menyebutkan pikiran alternatif
tersebut secara mendetail serta lebih dari satu
19. Co-fasilitator membantu para peserta untuk menuliskan respon pada lembar kerja
kolom ketujuh
20. Setelah seluruh peserta menyebutkan pikiran alternatif, fasilitator meminta peserta
untuk mengungkapkan bukti-bukti yang mendukung pikiran alternatif
21. Peserta diperbolehkan untuk mengungkapkan bukti-bukti pikiran alternatif lebih dari
satu dan secara detail
22. Co-fasilitator akan menuliskan respon dari masing-masing peserta di kolom
kedelapan
23. Fasilitator kemudian meminta para peserta untuk membandingkan antara pikiran
negatif beserta buktinya dan pikiran alternatif beserta buktinya
24. Fasilitator menjelaskan bahwa bukti-bukti pikiran alternatif secara garis besar lebih
banyak dibandingkan dengan bukti-bukti pikiran negatif karena pikiran negatif
tersebut merupakan distorsi kognitif yang ada dalam pikiran peserta, bukan keadaan
yang sesungguhnya
25. Fasilitator kemudian menjelaskan bahwa negative self-talk muncul akibat pikiran
negatif dan sebaiknya dihindari karena negative self-talk hanya akan mendukung
pikiran negatif dan semakin meningkatkan stres
26. Fasilitator meminta para peserta untuk melawan negative self-talk yang sudah
disebutkan sebelumnya
27. Fasilitator menjelaskan bahwa para peserta sebaiknya melawan negative self-talk
jika mulai muncul, sebaiknya peserta tidak menuruti untuk melanjutkan negative
self-talk tersebut
Sesi 6
Take Home Assignment
Tujuan :
1. Peserta melakukan praktek langsung dalam identifikasi penyebab stres serta perasaan
dan pikiran yang muncul pada situasi tersebut
2. Peserta mempraktekkan avoiding negative self-talk dalam kehidupan nyata
Alat dan Bahan :
1. Worksheet
2. Alat tulis
Waktu : Satu minggu
Metode : Tugas rumah
Prosedur :
1. Selama satu minggu, peserta diminta untuk menemukan situasi penyebab stres,
pengalaman nyata, apa yang dirasakan, pikiran yang muncul dan negative self-talk
2. Peserta diperbolehkan menyebutkan situasi stressfull yang muncul selama satu
minggu atau situasi lain yang paling sering dirasakan apabila dalam satu minggu
tersebut tidak muncul situasi stressfull sama sekali
3. Peserta diminta mempraktekkan avoiding negative self-talk yang sudah dipelajari di
pertemuan sebelumnya secara mandiri
4. Avoiding negative self-talk bisa dilakukan dengan membantah pikiran negatif dan
negative self-talk melalui pikiran alternatif. Selain itu, peserta juga bisa
membandingkan antara bukti yang mendukung pikiran negatif dan bukti yang
mendukung pikiran alternatif untuk memperkuat avoiding negative self-talk yang
dilakukan
5. Peserta diminta menemukan bukti yang mendukung pikiran negatif, pikiran
alternatif, dan bukti yang mendukung pikiran negatif pada kolom yang telah
disediakan
6. Tugas rumah ini akan didiskusikan di pertemuan selanjutnya bersama fasilitator dan
peserta yang lain
Sesi 7
Skill Acquisition: Deep-breathing Relaxation
Tujuan :
1. Merilekskan dada, perut, dan seluruh tubuh
2. Memperkuat sistem saraf
3. Memunculkan perasaan tenang dan nyaman
4. Membantu untuk meningkatkan oksigen serta menurunkan karbondioksida di dalam
paru-paru dan darah
Alat dan Bahan : Musik
Waktu : 30 menit
Metode : Relaksasi
Prosedur :
1. Fasilitator dan co-fasilitator mengatur ruangan menjadi senyaman mungkin untuk
melakukan relaksasi, seperti menyiapkan musik, mematikan lampu, mengatur suhu
pendingin ruangan (jangan terlalu dingin atau terlalu panas) dan menutup pintu
sehingga tidak ada gangguan
2. Fasilitator memastikan suaranya didengar oleh seluruh peserta, kemudian meminta
peserta untuk memejamkan mata dan mengikuti instruksiyang akan diberikan
3. Co-fasilitator mulai memutar musik
4. Fasilitator mulai memberikan instruksi deep breathing relaxation. Instruksinya
sebagai berikut :
a. Silahkan duduk senyaman mungkin, posisikan diri anda senyaman mungkin.
Letakkan satu tangan di dada, dan tangan satunya di perut. Tarik nafas dalam
melalui hidung. Usahakan tangan anda dibagian perut naik karena perut anda
membesar akibat udara yang anda hirup. Sementara tangan anda dibagian dada
tidak berubah. Buang nafas melalui mulut, keluarkan udara sebanyak mungkin
melalui anda sementara otot-otot perut anda bekerja. Saat membuang nafas,
usahakan tangan anda dibagian perut turun, sementara tangan anda dibagian dada
naik sedikit, lanjutkan tarik nafas melalui hidung dan buang nafas melalui mulut.
Rasakan perut anda membesar saat anda menarik nafas dan mengempis saat
membuang nafas. Silahkan menghitung secara perlahan ketika anda membuang
nafas
b. Silahkan melanjutkan bernafas sambil melepas tangan anda dari perut dan dada.
Posisikan tangan anda senyaman mungkin. Masih dengan bernafas secara dalam
c. Sekarang, silahkan anda memfokuskan diri anda untuk membuang ketegangan
anda, perasaan tertekan anda melalui nafas. Fokus pada kaki anda. Rasakan
semua sensasi dan ketegangan yang ada di kaku anda. Kaki, sepatu, tekanan ke
lantai, dan semuanya. Silahkan tarik nafas dalam melalui hidung, masukkan
semua sensasi dan ketegangan di kaki anda ke dalam paru-paru, kemudian buang
semuanya melalui mulut. Silahkan anda kembali fokus pada daerah pinggul,
panggul, sampai dengan kaki. Rasakan semua sensasi dan ketegangan yang ada.
Silahkan tarik nafas dalam melalui hidung, masukkan semua sensasi dan
ketegangan tersebut kedalam paru-paru, kemudian buang semuanya melalui
mulut. Kemudian, silahkan fokus pada leher, dagu, mata dan dahi anda. Rasakan
semua sensasi dan ketegangan yang ada. Silahkan tarik nafas dalam melalui
hidung, masukkan semua sensasi dan ketegangan tersebut kedalam paru-paru,
kemudian buang semuanya melalui mulut. Sekarang, silahkan fokus pada semua
masalah, ketegangan, perasaan tertekan dan tidak nyaman yang ada dalam diri
anda. Rasakan semua perasaan tersebut. Silahkan tarik nafas dalam melalui
hidung, masukkan semua sensasi dan ketegangan tersebut kedalam paru-paru,
kemudian buang semuanya melalui mulut. Silahkan lakukan sebanyak mungkin
sampai anda merasa lebih rileks.
d. Silakan lakukan pernafasan dalam sampai anda merasa jauh lebih nyaman,
tenang, dan rileks. Jika sudah, silahkan mulai bernafas secara normal. Rasakan
kenyamanan ini. Nikmati kenyamanan ini (beri waktu peserta untuk
merasakannya). Kemudian silahkan buka mata anda.
5. Failitator meminta para peserta untuk menceritakan apa yang dirasakan sebelum, saat
dan setelah melakukan deep breathing relaxation
6. Fasilitator menjelaskan tujuan dari deep-breathing relaxation dan menjelaskan
mengapa relaksasi jenis ini baik dilakukan oleh penderita hipertensi
7. Fasilitator menjelaskan bahwa para peserta bisa melakukan deep-breathing
relaxation secara mandiri. Ketika muncul perasaan tidak nyaman, tegang, atau
tertekan, para peserta bisa melakukan deep-breathing relaxation untuk mengurangi
perasaan tidak nyaman tersebut
8. Fasilitator menjelaskan bahwa para peserta bisa menggabungkan antara deep-
breathing relaxationdan avoiding negative self-talk ketika berada dalam situasi yang
stressfull, sehingga perasaan tertekan bisa diminimalisir dan stres bisa dikelola
dengan baik
9. Fasilitator meminta peserta untuk mengingat kembali tayangan foto atau video, dan
memilih satu situasi yang paling sering dialami atau paling tidak nyaman atau yang
paling mengganggu. Situasi tersebut diperbolehkan melalui tugas rumah
10. Peserta diminta untuk memikirkan dan membayangkan bahwa peserta sedang berada
dalam situasi tersebut. Peserta diminta untuk memunculkan perasaan, pikiran, dan
semua sensasi tidak nyaman yang muncul dalam situasi tersebut
11. Fasilitator kembali mengajak para peserta untuk melakukan deep-breathing
relaxtion untuk mengeluarkan perasaan, pikiran, dan semua sensasi tidak nyaman
ketika peserta sedang dalam situasi stressfull. Peserta diajak membuang semua
ketidaknyamanan tersebut melalui nafas.
12. Setelah deep-breathing relaxation selesai dilakukan, peserta diminta untuk melawan
pikiran negatif tersebut dan menggantinya dengan pikiran alternatif yang sudah
disebutkan dalam pertemuan sebelumnya
13. Fasilitator mengajak para peserta untuk mendiskusikan efek dari deep-breathing
relaxation dalam menolak pikiran negatif dan menggantinya dengan pikiran
alternatif
Sesi 8
Setting New Goal
Tujuan :
1. Peserta memiliki tujuan hidup yang jelas
2. Peserta memiliki rencana-rencana yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut
Alat dan Bahan :
1. Kertas
2. Alat tulis
Waktu : 25 menit
Metode : Diskusi
Prosedur :
1. Co-fasilitator menyiapkan kertas kosong yang digunakan untuk mencatat setiap
respon dari masing-masing peserta
2. Fasilitator meminta para peserta untuk menyebutkan tujuan spesifik yang diinginkan
terkait dengan pelatihan manajemen stres yang telah dilakukan
3. Kemudian, peserta diminta untuk menyebutkan perilaku spesifik yang harus
dilakukan untuk meraih tujuan tersebut
4. Perilaku tersebut disebutkan secara rinci dan detail, kemudian para peserta
diperbolehkan untuk menyebutkannya lebih dari satu
5. Setelah memastikan peserta sudah memberikan tanggapannya, fasilitator meminta
para pesera untuk menganalisis pentingnya melakukan manajemen stres untuk
meraih tujuannya tersebut
6. Fasilitator mendiskusikan hal tersebut dengan para peserta
Sesi 9
Positive Self-Talk
Tujuan :
1. Merubah pikiran-pikiran negatif menjadi lebih positif
2. Memperkuat pikiran-pikiran positif
Alat dan Bahan :
1. Worksheet
2. Alat tulis
Waktu : 20 menit
Metode : Diskusi
Prosedur :
1. Peserta diminta mencermati pikiran negatif dan negative self-talk yang muncul
dalam situasi stressfull. Setelah itu, peserta diminta untuk mencermati pikiran
alternatif yang dimunculkan. Peserta juga diminta untuk mencermati bukti-bukti
yang mendukung pikiran negatif dan pikiran alternatif yang telah dituliskan
2. Melalui hal-hal tersebut, fasilitator meminta para peserta untuk memunculkan
positive self-talk pada masing-masing situasi stressfull untuk melawan pikiran
negatif dan negative self-talk
3. Setelah peserta berhasil memunculkan positive self-talk,peserta diminta
menyebutkannya
4. Peserta diperbolehkan menyebutkan positive self-talk secara detail dan lebih dari satu
5. Fasilitator menjelaskan bahwa positive sef-talk bisa dimunculkan untuk mendukung
pikiran alternatif dalam melawan pikiran negatif dan negative self-talk. Peserta bisa
memunculkan positive self-talk ketika merasa tertekan, sehingga negative self-talk
tidak muncul lagi
Sesi 10
Penutupan
Tujuan :
1. Memastikan peserta memahami pelatihan yang telah dilakukan
2. Mengetahui pendapat peserta setelah melakukan pelatihan
3. Mengetahui tingkat psychological well-being peserta setelah pelatihan
4. Mengakhiri sesi
Alat dan Bahan :
1. Skala Psychological Well-Being
2. Kertas
3. Alat tulis
Waktu : 20 menit
Metode : Diskusi, menulis
Prosedur :
1. Fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya atau memberikan
saran terkait dengan pelatihan manajemen stres yang telah dilakukan
2. Setelah memastikan semua peserta memahami pelatihan yang telah dilakukan, co-
fasilitator membagikan kertas kepada para peserta
3. Fasilitator meminta peserta untuk menuliskan pendapat, apa yang dirasakan, dan
kesan selama mengikuti pelatihan manajemen stres. Kemudian peserta juga diminta
untuk menuliskan pengalaman dan perasaan yang dialami setelah mengikuti
pelatihan tersebut
4. Setelah memastikan peserta menyelesaikannya, co-fasilitator membagikan skala
psychological well-being kepada para peserta dan fasilitator meminta peserta untuk
mengisi dan melengkapi
5. Setelah selesai, fasilitator meminta peserta untuk mengumpulkan lembar kertas dan
skala psychological well-being
6. Fasilitator menjelaskan bahwa pelatihan manajemen stres telah selesai dilakukan.
Mewakili semua tim yang terlibat dalam pelatihan, fasilitator mengucapkan
terimakasih atas kesediaan peserta untuk mengikuti pelatihan dari awal sampai akhir.
Fasilitator juga meminta maaf apabila selama pelatihan fasilitator dan tim melakukan
kesalahan. Fasilitator berharap semoga pelatihan yang telah dilakukan bermanfaat
dan memberikan dampak positif kepada para peserta
7. Fasilitator menutup pelatihan manajemen stres
LAMPIRAN 2
Professional Judgement
SURAT PERNYATAAN
PROFESSIONAL JUDGEMENT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama Lengkap :
Pekerjaan :
Pendidikan Akhir :
Alamat :
No HP / Email :
Telah menjadi penilai untuk Modul Pelatihan Manajemen Stres yang
digunakan dalam skripsi Nuzul Putri Maulina dengan judul “Pengaruh Pelatihan
Manajemen Stres terhadap Psychological Well-Being pada Pasien Hipertensi”.
Berikut ini beberapa saran atau masukan yang bisa dipertimbangkan :
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.................................................................................................................. ...........................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.........................................................
Yogyakarta, Maret 2019
( )
LAMPIRAN 3
Informed Consent
Informed consent
Penggunaan Riset Skripsi
Bapak/Ibu /Saudara yang saya hormati,
Saya adalah mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia,
Nama : Nuzul Putri Maulina
No. Mahasiswa : 15320341
Mohon perkenannya akan melakukan serangkaian prosedur psikologi kepada
Bapak/Ibu/Saudara dalam rangka asesmen maupun intervensi untuk keperluan skripsi.
Biodata atau identitas diri Bapak/Ibu/ Saudara adalah :
Nama :
Jenis Kelamin :
Tanggal Lahir :
Alamat :
Tahap-tahap yang akan dilakukan dalam prosedur psikologis yang dimaksud
adalah :
Kegiatan Waktu Tujuan
Pertemuan 1 15 Maret 2019
Untuk melaksanakan
rangkaian kegiatan
pertemuan 1
Pertemuan 2 21 Maret 2019
Untuk melaksanakan
rangkaian kegiatan
pertemuan 2
Follow up (Tindak Lanjut)
2 minggu setelah
pelaksanaan
kegiatan
Untuk melaksanakan tindak
lanjut setelah pelaksanaan
rangkaian kegiatan
Demi memperlancar keseluruhan tahapan dalam prosedur tersebut di atas, sangat
dibutuhkan kerjasama dari pihak Bapak/Ibu/Saudara. Beberapa hal yang penting
diketahui adalah :
1. Prinsip kesukarelaan
Keterlibatan Bapak/Ibu/Saudara dalam prosedur ini adalah berdasarkan prinsip
kesukarelaan, tanpa ada paksaan atau ancaman dari siapapun.
2. Masalah kerahasiaan
Saya akan merahasiakan informasi Bapak/Ibu/Saudara dan saya berharap bahwa
informasi yang diberikan adalah kenyataan yang sebenarnya. Dalam prosedur diatas,
ada kemungkinan dari saya melakukan pengambilan gambar. Hasil dari
pengambilan gambar tersebut hanya akan saya sampaikan kepada rekan sesama dan
tidak akan saya sebarluaskan kepada khalayak.
3. Lingkup kompetensi
Saya dapat dikatakan masih seorang pemula, maka dari itu saya meminta
Bapak/Ibu/Saudara dapat memberikan komentar atas kegiatan yang kami lakukan
tersebut apabila masih banyak hal yang kurang berkenan. Saya juga berharap
Bapak/Ibu/Saudara dapat menyampaikan manfaat yang didapatkan.
4. Resiko
Apabila ditengah jalan dalam prosedur yang dijalankan ini, Bapak/Ibu/Saudara
merasa dirugikan, makan Bapak/Ibu/Saudara dapat menghubungi saya di nomor
085747575507 saya sebagai mahasiswa yang melakukan prosedur diatas, sanggup
untuk memperbaiki segala kemungkinan kerugian yang yang dialami, sehingga dapat
kembali pada keadaan semula. Apabila setelah itu kemudian merasa keberatan untuk
melanjutkannya, maka Bapak/Ibu/Saudara dapat menyatakan untuk berhenti.
Yogyakarta, 15 Maret 2019
Mahasiswa Klien
(Nuzul Putri Maulina) ( )
Pembimbing
(Rr. Indahria Sulistyarini, S.Psi., MA., Psikolog)
LAMPIRAN 4
Skala Penelitian
SKALA PSIKOLOGIS
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2019
PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Perkenalkan, saya mahasiswa Psikologi Universitas Islam Indonesia angkatan
2015 memohon kesediaan Anda meluangkan waktu untuk mengisi skala psikologis ini.
Skala psikologis ini bertujuan untuk membantu Anda dalam mengenali diri Anda yang
sesungguhnya.
Skala ini menyajikan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan keadaan diri
Anda. Bacalah setiap pertanyaan dengan teliti, kemudian tugas Anda adalah memilih
salah satu jawaban yang paling sesuai dengan keadaan diri Anda saat ini. Jawaban yang
Anda berikan tidak ada yang benar maupun salah. Data yang Anda berikan kepada saya
akan saya gunakan hanya untuk penelitian saja, serta akan kami jamin kerahasiaannya.
Saya sangat mengharapkan kejujuran dan keterbukaan diri Anda dalam mengisi
skala ini untuk proses data yang sempurna. Mohon untuk mengecek kembali setiap
jawaban guna meyakinkan tidak ada pernyataan yang terlewati.
Terimakasih atas kesediaan, kesungguhan, dan kejujuran Anda dalam menjawab setiap
pertanyaan. Semoga Allah memberikan balasan terbaik-Nya atas kebaikan yang Anda
lakukan. Aamiin.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Hormat saya,
Nuzul Putri Maulina
Petunjuk Pengisian Skala I
1. Skala ini terdiri dari beberapa pertanyaan yang mencerminkan keadaan diri Anda
yang sesungguhnya. Setiap pernyataan hanya ada satu jawaban dan jawaban yang
Anda pilih tidak akan dinilai benar atau salah.
2. Baca dan pahamilah setiap pernyataan yang tertulis dalam skala, kemudian
pilihlah jawaban yang sesuai dengan keadaan diri Anda. Berikan tanda check list
(˅) pada setiap pilihan jawaban. Pilihan jawaban yang tersedia adalah sebagai
berikut :
SS : Sangat Sesuai
S : Sesuai
TS : Tidak Sesuai
STS : Sangat Tidak Sesuai
SELAMAT MENGERJAKAN ☺ ☺
SKALA I
Pertanyaan SS S TS STS
Saya dapat bersikap positif seperti orang lain yang bersikap
positif terhadap diri mereka sendiri
Saya tetap merasa percaya diri meskipun saya sakit
Saya merasa orang terdekat saya dapat memahami masalah
yang saya alami
Saya merasa sulit untuk terbuka dengan orang lain
Saya memiliki sedikit teman yang mau mendengarkan
keluhan saya
Saya merasa khawatir mengenai hal yang orang lain
pikirkan tentang saya
Saya tidak tertarik pada kegiatan yang dapat memperluas
wawasan
Saya merasa kecewa terhadap hasil yang telah saya capai
dalam hidup
Saya dapat mengambil keputusan sendiri
Saya berpegang teguh pada prinsip yang saya yakini
Dengan bertambahnya usia, saya merasa lebih kuat
menjalani hidup
Saya merasa bahwa diri saya banyak berkembang selama ini
Saya merasa hanya sedikit hal yang dapat saya pelajari dari
waktu ke waktu
Tuntutan hidup sehari-hari sering membuat saya terpuruk
Saya termasuk dalam kelompok orang yang berjalan tanpa
tujuan hidup
Saya merupakan orang yang aktif dalam melaksanakan
rencana yang telah saya buat sendiri
Saya merasa bingung dengan apa yang saya lakukan dalam
hidup ini
Memiliki pengalaman baru dalam hidup merupakan hal
yang penting bagi saya
Berbagi cerita dengan orang lain membuat saya merasa lebih
sehat
Petunjuk Pengisian Skala II
Jawablah pertanyaan-pertanyaan dibawah ini berdasarkan perasaan dan pikiran Anda
selama satu bulan terakhir. Berilah tanda check list (˅) pada salah satu pilihan jawaban
terkait seberapa sering Anda merasakan dan memikirkannya. Pilihan jawaban yang
tersedia adalah sebagai berikut :
TP : Tidak Pernah
J : Jarang
K : Kadang-kadang
S : Sering
SS : Sangat Sering
Pertanyaan TP J K S SS
Seberapa sering Anda merasa
putus asa karena sesuatu yang
terjadi secara tidak terduga?
Seberapa sering Anda merasa
bahwa Anda tidak mampu
mengatur hal-hal penting
dalam hidup Anda?
Seberapa sering Anda merasa
cemas dan tertekan?
Seberapa sering Anda merasa
percaya diri bahwa Anda
mampu menangani
permasalahan-permasalahan
Anda?
Seberapa sering Anda merasa
bahwa sesuatu yang Anda
lakukan berjalan sesuai
dengan harapan Anda?
Seberapa sering Anda
merasakan bahwa Anda tidak
dapat menghadapi hal-hal
yang seharusnya Anda
lakukan?
Seberapa sering Anda mampu
mengontrol perasaan kesal,
tidak sabar, dan marah dalam
diri Anda?
Seberapa sering Anda merasa
bahwa Anda memahami diri
Anda?
Seberapa sering Anda merasa
marah akibat sesuatu yang
tidak bisa Anda kontrol?
Seberapa sering Anda merasa
tidak mampu mengatasi
permasalan-permasalahan
hidup Anda yang begitu
banyak dan menumpuk?
Silahkan periksa kembali dan pastikan semua pernyataan telah terisi
Terimakasih ☺☺☺
Identitas Diri
Nama (boleh inisial) :
Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan (Lingkari yang sesuai)
Usia :
Pendidikan Terakhir :
Alamat :
Nomor Telepon :
Riwayat Perjalanan Hipertensi : 1-6 bulan 7bulan-1 tahun
>1 tahun >2 tahun
(*Beri tanda ˅)
Tekanan Darah Terakhir Pemeriksaan :
Menyatakan dengan sukarela dan penuh kesadaran mengisi skala psikologis ini.
Informasi yang saya berikan sesuai dengan kondisi yang saya rasakan saat ini.
Yogyakarta, 2019
__________________
Contact Person :
Nuzul (085747575507)
LAMPIRAN 5
Uji Coba Modul Pelatihan
Lembar Penilaian Modul Penelitian
Nama :
Jenis Kelamin :
Aspek Kategori
Apakah tujuan penelitian dapat
dipahami dengan jelas?
Sangat
tidak jelas
Tidak jelas Jelas Sangat
jelas
Apakah materi yang disampaikan
dalam pelatihan sesuai dengan
tujuan penelitian?
Sangat
tidak
sesuai
Tidak
sesuai
Sesuai Sangat
sesuai
Menurut saudara/i, apakah materi
yang disampaikan dalam pelatihan
ini menarik?
Sangat
tidak
menarik
Tidak
menarik
Menarik Sangat
menarik
Apakah bahasa yang digunakan
dalam pelatihan ini mudah untuk
dipahami?
Sangat
sulit
dipahami
Sulit untuk
dipahami
Mudah
dipahami
Sangat
mudah
dipahami
Apakah materi pelatihan
disampaikan dalam jumlah waktu
yang ideal?
Sangat
tidak ideal
Tidak
ideal
Ideal Sangat
ideal
Masukan :
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………
Yogyakarta, 2019
( )
LAMPIRAN 6
Data Penelitian
No. Nama JK Usia
P-
1
P-
2
P-
3
P-
4
P-
5
P-
6
P-
7
P-
8
P-
9
P-
10
P-
11
P-
12
P-
13
P-
14
P-
15
P-
16
P-
17
P-
18
P-
19
Total
PWB
1 K P 71 3 3 4 3 3 3 3 4 3 4 2 2 4 2 3 3 3 3 3 58
2 I P 64 3 3 2 3 3 2 3 4 2 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 56
3 EL P 47 4 4 4 3 1 3 3 1 4 4 4 4 1 3 3 4 2 4 4 60
4 NE P 45 3 3 2 3 3 2 3 2 3 4 4 2 2 3 3 3 2 4 4 55
5 T P 38 3 3 2 3 3 2 3 2 3 3 3 2 3 3 4 3 4 3 3 55
6 PT P 50 3 3 3 1 3 3 3 3 2 2 3 3 2 3 3 3 2 3 3 51
7 SO L 52 3 3 3 2 2 2 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 51
8 IS P 46 3 3 4 2 2 2 3 3 2 3 3 3 3 2 3 3 2 3 4 53
9 SI P 52 3 3 3 2 2 2 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 51
10 PMW L 56 3 3 2 2 2 4 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 53
11 TG P 49 3 3 2 3 2 2 3 3 2 3 3 3 3 3 4 3 2 3 3 53
12 AS L 69 4 4 4 3 3 3 3 4 3 3 3 4 3 3 4 4 3 4 4 66
13 SMY P 48 4 2 3 3 3 3 4 3 3 4 3 3 3 3 4 3 4 4 3 62
14 SML P 63 3 3 3 3 3 1 4 3 3 3 3 2 3 3 4 3 3 4 4 58
15 SR P 45 3 3 3 3 3 1 2 3 3 4 4 3 3 4 4 3 4 4 4 61
16 SH P 66 3 3 2 2 2 3 3 3 2 3 2 2 3 3 3 3 3 3 2 50
17 SU P 70 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 55
18 KT P 66 4 4 3 1 2 3 4 2 4 3 1 4 2 4 2 2 2 4 4 55
19 TS L 74 3 3 2 3 4 4 1 3 3 3 1 2 4 2 2 3 3 4 4 54
20 FH P 55 4 4 4 3 1 3 3 3 4 4 4 2 2 3 3 2 3 4 3 59
21 SN P 51 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 55
22 SR P 61 3 3 1 2 2 3 3 3 2 3 2 2 2 3 3 2 3 3 2 47
23 PM L 67 3 3 3 2 2 2 1 2 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 49
24 SR L 64 4 4 3 3 1 2 3 4 4 4 4 4 3 1 3 4 3 4 4 62
25 WS P 68 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 55
26 SD L 56 3 3 3 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 52
27 HW P 38 3 3 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3 2 3 3 50
28 JM P 62 3 2 3 3 2 3 3 1 3 3 3 2 3 3 3 4 3 3 3 53
29 MS L 71 4 4 4 2 2 2 2 3 3 3 3 3 1 2 2 3 2 3 3 51
30 AT P 64 3 4 3 2 1 3 3 2 3 3 3 3 2 2 2 3 2 4 4 52
31 SS P 77 3 2 3 1 2 3 3 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 51
32 TW P 67 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 64
33 SU L 78 3 3 2 3 2 3 3 4 4 4 3 3 3 3 3 3 4 4 4 61
34 SHR P 67 3 4 3 2 1 3 3 2 3 3 3 3 3 3 2 3 2 4 4 54
35 SLT P 50 4 4 4 3 4 3 3 2 4 3 3 4 3 3 3 4 3 4 3 64
36 BSU P 70 3 3 3 2 3 3 3 2 4 4 4 3 3 3 3 3 4 4 4 61
37 AW P 38 3 4 3 3 4 3 4 4 2 3 4 3 3 3 4 3 3 3 3 62
No. Nama JK Usia
PSS-
1
PSS-
2
PSS-
3
PSS-
4
PSS-
5
PSS-
6
PSS-
7
PSS-
8
PSS-
9
PSS-
10
Total
PSS
1 K P 71 1 0 0 0 1 0 3 4 1 0 10
2 I P 64 1 1 1 1 1 1 3 1 1 1 12
3 EL P 47 2 4 4 1 3 1 4 1 4 4 28
4 NE P 45 1 2 2 2 3 2 0 1 2 3 18
5 T P 38 1 2 2 1 2 2 2 1 3 2 18
6 PT P 50 1 2 1 1 1 1 2 1 2 2 14
7 SO L 52 3 3 3 1 1 2 1 1 3 2 20
8 IS P 46 2 1 1 2 2 2 2 3 2 2 19
9 SI P 52 3 3 3 1 1 2 1 1 3 2 20
10 PMW L 56 1 2 3 2 2 2 2 1 2 3 20
11 TG P 49 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 21
12 AS L 69 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 2
13 SMY P 48 1 1 2 2 1 1 2 0 1 1 12
14 SML P 63 0 1 1 1 1 1 2 1 2 1 11
15 SR P 45 0 0 1 2 1 0 2 1 0 0 7
16 SH P 66 1 1 2 1 1 2 1 1 4 1 15
17 SU P 70 1 1 1 1 2 1 3 3 1 1 15
18 KT P 66 2 1 3 1 2 3 1 0 3 3 19
19 TS L 74 2 2 2 1 2 3 2 1 2 3 20
20 FH P 55 0 0 0 2 2 0 2 2 1 0 9
21 SN P 51 1 2 2 2 3 1 2 2 2 2 19
22 SR P 61 1 1 2 1 1 2 1 2 4 1 16
23 PM L 67 1 1 2 2 1 2 2 2 2 2 17
24 SR L 64 1 1 2 4 2 2 1 2 2 2 19
25 WS P 68 1 1 1 1 2 1 3 3 1 1 15
26 SD L 56 1 1 1 1 2 1 3 3 1 1 15
27 HW P 38 1 3 1 2 3 2 1 1 2 2 18
28 JM P 62 2 2 3 2 2 3 1 2 3 3 23
29 MS L 71 1 3 1 2 0 0 3 1 1 3 15
30 AT P 64 1 3 1 2 0 0 3 1 1 1 13
31 SS P 77 2 2 3 2 2 2 2 1 2 2 20
32 TW P 67 2 2 2 3 3 2 3 2 1 2 22
33 SU L 78 4 3 2 3 2 2 4 1 1 2 24
34 SHR P 67 1 2 1 2 1 1 2 2 1 2 15
35 SLT P 50 2 3 4 1 3 2 3 1 4 2 25
36 BSU P 70 0 0 0 1 1 0 1 4 0 0 7
37 AW P 38 2 1 2 2 1 2 2 3 2 1 18
KELOMPOK EKSPERIMEN POST-TEST
No. Nama JK Usia P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 P19 Total
1 HW P 38 4 3 3 2 2 2 3 2 2 3 3 3 2 2 3 2 2 4 4 51
2 JM P 62 3 4 3 3 3 3 3 4 4 3 4 4 3 3 3 4 3 3 3 63
3 MS L 71 3 3 3 3 1 4 1 2 2 4 3 4 2 2 3 4 3 1 3 51
4 AT P 64 3 3 3 3 3 4 2 2 3 3 4 3 3 4 3 3 4 4 3 60
5 SS P 77 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 4 3 1 1 3 3 3 3 3 55
KELOMPOK EKSPERIMEN FOLLOW-UP
NO. Nama JK Usia P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 P19 Total
1 HW P 38 4 4 3 3 3 3 2 2 4 4 4 4 3 2 3 3 2 3 3 59
2 JM P 62 4 4 3 3 3 3 4 2 4 4 4 4 2 1 4 4 3 4 3 63
3 MS L 71 3 4 3 2 1 3 3 2 3 3 3 3 3 3 2 3 2 4 4 54
4 AT P 64 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 64
5 SS P 77 3 3 2 3 2 3 3 4 4 4 3 3 3 3 3 3 4 4 4 61
KELOMPOK KONTROL POST-TEST
No. Nama JK Usia P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 P19 Total
1 PT P 50 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 55
2 SI P 52 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 55
3 SH P 66 4 4 3 1 2 3 4 2 4 3 1 4 2 4 2 2 2 4 4 55
4 SR P 61 3 3 3 1 3 3 3 3 2 2 3 3 2 3 3 3 3 3 3 52
5 SO L 52 4 4 4 3 1 3 3 3 4 4 4 2 2 3 3 2 3 4 3 59
6 SD L 56 3 3 2 3 4 4 1 3 3 3 1 2 4 2 2 3 3 4 4 54
KELOMPOK KONTROL FOLLOW-UP
No. Nama JK Usia P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 P19 Total
1 PT P 50 4 4 4 3 1 3 3 1 4 4 4 4 1 3 3 4 2 4 4 60
2 SI P 52 4 4 4 3 1 3 3 3 4 4 4 2 2 3 3 2 3 4 3 59
3 SH P 66 3 3 3 3 3 1 4 3 3 3 3 2 3 3 4 3 3 4 4 58
4 SR P 61 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 55
5 SO L 52 4 4 3 3 1 2 3 4 4 4 4 4 3 1 3 4 3 4 4 62
6 SD L 56 3 3 3 3 3 1 4 3 3 3 3 2 3 3 4 3 3 4 4 58
LAMPIRAN 7
Hasil Analisis Data
UJI BEDA KELOMPOK EKSPERIMEN DAN KELOMPOK KONTROL
MENGGUNAKAN GAINED SCORE
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Gain I-II
Kelompok Eksperimen 5 5.50 27.50
Kelompok Kontrol 5 5.50 27.50
Total 10
Test Statisticsa
Gain I-II
Mann-Whitney U 12.500
Wilcoxon W 27.500
Z .000
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Gain I-III
Kelompok Eksperimen 5 7.00 35.00
Kelompok Kontrol 5 4.00 20.00
Total 10
Test Statisticsa
Gain I-III
Mann-Whitney U 5.000
Wilcoxon W 20.000
Z -1.622
Asymp. Sig. (2-tailed) .105
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .151b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Gain II-III
Kelompok Eksperimen 5 5.80 29.00
Kelompok Kontrol 5 5.20 26.00
Total 10
Test Statisticsa
Gain II-III
Mann-Whitney U 11.000
Wilcoxon W 26.000
Z -.321
Asymp. Sig. (2-tailed) .748
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .841b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.
UJI NORMALITAS
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Postest .310 10 .007 .860 10 .077
a. Lilliefors Significance Correction
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Postest 10 100.0% 0 0.0% 10 100.0%
Descriptives
Statistic Std. Error
Postest
Mean 55.1000 1.20600
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 52.3718
Upper Bound 57.8282
5% Trimmed Mean 54.8889
Median 55.0000
Variance 14.544
Std. Deviation 3.81372
Minimum 51.00
Maximum 63.00
Range 12.00
Interquartile Range 4.50
Skewness 1.106 .687
Kurtosis .954 1.334
UJI HOMOGENITAS
Test of Homogeneity of Variances
Postest
Levene Statistic df1 df2 Sig.
11.064 1 8 .010
ANOVA
Postest
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 8.100 1 8.100 .528 .488
Within Groups 122.800 8 15.350
Total 130.900 9
UJI BEDA SKOR KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS KELOMPOK
EKSPERIMEN
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Post-test - Pre-test
Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 4b 2.50 10.00
Ties 1c
Total 5
a. Post-test < Pre-test
b. Post-test > Pre-test
c. Post-test = Pre-test
Test Statisticsa
Post-test - Pre-
test
Z -1.826b
Asymp. Sig. (2-tailed) .068
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Follow-up - Pre-test
Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 5b 3.00 15.00
Ties 0c
Total 5
a. Follow-up < Pre-test
b. Follow-up > Pre-test
c. Follow-up = Pre-test
Test Statisticsa
Follow-up - Pre-
test
Z -2.032b
Asymp. Sig. (2-tailed) .042
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Follow-up - Post-test
Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 4b 2.50 10.00
Ties 1c
Total 5
a. Follow-up < Post-test
b. Follow-up > Post-test
c. Follow-up = Post-test
Test Statisticsa
Follow-up -
Post-test
Z -1.826b
Asymp. Sig. (2-tailed) .068
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.
UJI BEDA SKOR KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS KELOMPOK KONTROL
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Post-test - Pre-test
Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 5b 3.00 15.00
Ties 0c
Total 5
a. Post-test < Pre-test
b. Post-test > Pre-test
c. Post-test = Pre-test
Test Statisticsa
Post-test - Pre-
test
Z -2.032b
Asymp. Sig. (2-tailed) .042
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Follow-up - Pre-test
Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 5b 3.00 15.00
Ties 0c
Total 5
a. Follow-up < Pre-test
b. Follow-up > Pre-test
c. Follow-up = Pre-test
Test Statisticsa
Follow-up - Pre-
test
Z -2.121b
Asymp. Sig. (2-tailed) .034
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Follow-up - Post-test Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 5b 3.00 15.00
Ties 0c
Total 5
a. Follow-up < Post-test
b. Follow-up > Post-test
c. Follow-up = Post-test
Test Statisticsa
Follow-up -
Post-test
Z -2.041b
Asymp. Sig. (2-tailed) .041
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.
UJI BEDA TEKANAN DARAH PASIEN HIPERTENSI PADA KELOMPOK
EKSPERIMEN
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
TD Posttest - TD Pretest
Negative Ranks 4a 2.50 10.00
Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 1c
Total 5
a. TD Posttest < TD Pretest
b. TD Posttest > TD Pretest
c. TD Posttest = TD Pretest
Test Statisticsa
TD Posttest -
TD Pretest
Z -1.841b
Asymp. Sig. (2-tailed) .066
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
TD Follow-up - TD Pretest
Negative Ranks 4a 2.50 10.00
Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 1c
Total 5
a. TD Follow-up < TD Pretest
b. TD Follow-up > TD Pretest
c. TD Follow-up = TD Pretest
Test Statisticsa
TD Follow-up -
TD Pretest
Z -1.826b
Asymp. Sig. (2-tailed) .068
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
TD Follow-up - TD Posttest
Negative Ranks 4a 2.50 10.00
Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 1c
Total 5
a. TD Follow-up < TD Posttest
b. TD Follow-up > TD Posttest
c. TD Follow-up = TD Posttest
Test Statisticsa
TD Follow-up -
TD Posttest
Z -1.857b
Asymp. Sig. (2-tailed) .063
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.
LAMPIRAN 8
Lembar Tugas Peserta
LEMBAR KERJA
PELATIHAN MANAJEMEN STRES
Nama :
Usia :
Situasi Apa yang
Dirasakan Penyebab
Pikiran yang
Muncul
Negative
Self-Talk Bukti
Pikiran
Alternatif Bukti
Positive Self-
Talk
Tujuan :
Yogyakarta, Maret 2019
( )
LAMPIRAN 9
Daftar Hadir Peserta
DAFTAR HADIR
PELATIHAN MANAJEMEN STRES
Jum’at, 15 Maret 2019
NO NAMA TANDA TANGAN
DAFTAR HADIR
PELATIHAN MANAJEMEN STRES
Kamis, 21 Maret 2019
NO NAMA TANDA TANGAN
LAMPIRAN 10
Lembar Evaluasi Pelatihan
LEMBAR EVALUASI
Nama :
Usia :
1. Bagaimana kesan Anda setelah mengikuti pelatihan manajemen stres?
2. Apakah ada perbedaan antara sebelum dan setelah pelatihan?
3. Bagaimana pendapat Anda mengenai pelatihan manajemen stres?