pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

97
1 PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA N AFKAH RUMAHTANGGA PETANI. (Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor) Oleh : Agus Subali A14201061 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

Upload: buitu

Post on 12-Jan-2017

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

1

PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA N AFKAH

RUMAHTANGGA PETANI.

(Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor)

Oleh :

Agus Subali

A14201061

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005

Page 2: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

2

RINGKASAN

AGUS SUBALI. PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI. Studi Kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. (Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO) Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan melakukan analisa terhadap

pengaruh konversi lahan terhadap pola nafkah rumahtangga petani. Dalam penelitian

ini penulis berusaha meneliti penggunaan uang hasil dari penjualan lahan oleh

rumahtangga petani dan untuk mengetahui juga perubahan struktur rumahtangga petani

yang lahannya terkonversi. Aspek-aspek yang dikaji meliputi analisis ditingkat

rumahtangga petani.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka tujuan dilakukannya penelitian

ini adalah untuk (1) Mengetahui dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga

petani (2) Mengetahui penggunaan uang hasil konversi.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif

melalui studi kasus. Data-data dan informasi yang didapatkan di lapangan disajikan

secara deskriptif dan eksploratif dengan berdasarkan informasi atau keterangan dari

objek penelitian. Data dan informasi dalam penelitian ini didapatkan dengan

menggunakan kombinasi strategi pendekatan yaitu wawancara, observasi dan analisa

dokumen. Responden terdiri dari petani yang menjual lahan di desa Batujajar yang

berjumlah 20 orang.

Konversi lahan yang dilakukan penduduk Batujajar dipengaruhi oleh faktor

internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pendidikan, peluang kerja, dan

pendapatan. Sedangkan faktor eksternal meliputi pengaruh investor, pengaruh tetangga

yang menjual lahan terlebih dahulu , aparat desa dan juga dari calo tanah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan struktur kerja

rumahtangga, dan juga terjadi perbedaan pemanfaatan dalam alokasi dana hasil

penjualan lahan antar petani. Ada perbedaan yang nyata antara petani lapisan atas,

menengah, dan bawah dalam pengelolaan dana hasil penjualan lahan. Petani kaya atau

petani lapisan atas cenderung ke arah penggunaan produktif, sedangkan petani miskin

cenderung ke arah konsumtif.

Akibat tekanan ekonomi, dana yang didapat dari hasil penjualan lahan oleh

petani lapisan bawah, lebih cenderung dialokasikan ke arah yang sifatnya konsumtif,

seperti memperbaiki rumah, membeli peralatan rumahtangga dan juga untuk makan.

Page 3: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

3

Sedangkan petani yang berada pada lapisan atas mengalokasikan uang hasil penjualan

lahan untuk kegiatan yang sifatnya produktif, yakni untuk tambahan modal usaha.

Kondisi kemiskinan juga lah yang mendorong petani lapisan bawah untuk melakukan

berbagai cara untuk bertahan hidup, salah satunya dengan menerapkan pola nafkah

ganda dan juga memaksimalkan tenaga kerja keluarga, baik anak maupun istri.

Pola nafkah ganda dilakukan melalui penganekaraga man bidang mata

pencaharian sedangkan pemaksimalan tenaga kerja dilakukan dengan melibatkan anak-

anak dan wanita (istri) untuk turut serta dalam usaha produktif. Selain itu sebenarnya

rumahtangga petani di desa penelitian juga memanfaatkan jaringan sosial dalam

bentuk kelembagaan yang sudah ada semisal arisan, pengajian untuk membantu

ekonomi mereka, namun pembahasan secara detil tidak penulis lakukan karena

kurangnya data yang berhasil dikumpulkan.

Page 4: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

4

PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA NAFKAH

RUMAHTANGGA PETANI

( Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor.

Oleh :

Agus Subali

A14201061

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PEGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005

Page 5: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

5

Judul : KONVERSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLA

NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI

( Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor)

Nama : Agus Subali

NRP : A14201061

Mengetahui

Pembimbing

Dr. Endriatmo Soetarto,MA

NIP. 131 610 288

Mengetahui

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham,M.Agr

NIP. 130 422 698

Tanggal Lulus :_____________________________

Page 6: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

6

PERNYATAAN.

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

” KONVERSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLA NAFKAH

RUMAHTANGGA PETANI ” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA

PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK

TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA

MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA

SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH

DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI

BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Desember 2005

Agus Subali NRP.A14201061

Page 7: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

7

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di kota Banyuwangi, Jawa timur pada tanggal 20 Agustus 1982

sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Munawar dan Siti Fatimah.

Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar pada tahun 1995 di SD 05 Wonosobo dan pada

tahun yang sama pula penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Lanjutan

Menengah Tingkat Pertama di SLTPN 01 Rogojampi. Kemudian pada tahun 1998

penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Umum di SMUN 01

Rogojampi dan selesai pada tahun 2001. Pada tahun tersebut pula penulis diterima di

Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sosial

Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN.

Page 8: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

8

PRAKATA

Dengan memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT, penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Tulisan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini diberi judul Penga ruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah

Rumahtangga Petani (Studi Kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten

Bogor , Jawa Barat). Pilihan atas topik ini berawal dari minat penulis untuk lebih

memahami konversi lahan dari pertanian ke non pertanian dan dampaknya bagi rumah

tangga petani. Banyak kasus masalah agraria muncul, karena pihak pengambil

keputusan dalam hal ini pemerintah “ mengubur” UUPA 1960, sehingga persoalan alih

kepemilikan lahan menjadi masalah yang berlarut-larut antara pihak yang

berkepentingan, dalam hal ini pemerintah, swasta dan masyarakat.

Posisi masyarakat (petani) tidak selalu menguntungkan, sebagai akibat tekanan

dari pihak eksternal yakni pemilik modal (swasta) dan juga dari pemerintah sendiri,

yang pada ujungnya kepemilikan lahan beralih hak dari petani pemilik ke pihak

pengusaha. Keinginan rumahtangga petani menjual lahan juga dipengaruhi oleh faktor

internal petani sendiri, yakni pendidikan, pengalaman kerja, pendapatan dan

ketergantungan pada tanah, yang kalau boleh di ringkas penyebab utama dari persoalan

penjualan lahan adalah masalah kemiskinan.

Demikian skripsi ini di buat setelah penulis berada di lapangan selama dua

bulan. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat di harapkan untuk

penyempurnaan skripsi ini sebagaimana ungkapan orang bijak ” di atas langit masih ada

langit”

Page 9: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

9

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Kedua Orangtua, Bapak dan Ibu, Mbak Yuli dan adik-adik atas dukungan dan

do’anya.

2. Bapak Dr. Endriatmo Soetarto,MA selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan motivasi, bimbingan dan kemudahan dalam penyelesaian skripsi

ini.

3. Bapak Ir. Saharudin, Msi dan Ibu Ir. Ninuk Purnaningsih,MSi selaku dosen

penguji. Atas bimbingan dan ”coretannya” yang mendorong penulis untuk

berfikir kembali atas sebuah kesalahan.

4. Ibu Dra. Winati Wigna,MDS, selaku pembimbing akademik yang dengan telaten

menyempatkan waktu untuk mendengar keluh kesah penulis disaat penulis jenuh

dengan rutinitas perkuliahan.

5. Bapak Drs. Satyawan Sunito, selaku pembimbing SP yang dengan tekunnya

mengoreksi tulisan kata perkata. Terima kasih banyak atas ide -ide radikalnya

tentang konsep berfikir.

6. Bapak Ivanovich Agusta, SP.Msi atas kritikannya yang menggelitik, tentang

agama, budaya dan kebijakan pemerintah.

7. Ibu Dr.Ir Ekawati S.Wahyuni,MS. Dengan kedisiplinan dan ketegasannya

sehingga memacu semangat untuk secepatnya menyelesaikan skripsi ini.

8. Sobat-sobat terbaikku, Ema, Indra, Taufiq, Anto, Edi, Menot, Oshin, Anis,

Yuni, Eni, Zedi, Zeplin, Ali, Ibnu, Bang Mugiono, jeng Shinta, Mpok Agni, Uni

Wydia, Bang Heri, Bang David, Kang Ari, Neng Pretty, Kang Nanang, Kang

Rizal, Teh Nonos, Ilham, Igbal, Teh Uji, Mpok Mega dan semua KPM’ers yang

senasib sepenanggungan.

Page 10: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

10

9. Teman-teman kost “Dolphin”: Subekh, Agung P, Agung R, Mas Insan, Dekri,

Mulyadi, Syah, Heri, Iden, Jamal, Mada, Mas Lilik, Ikin, Sandi, Dukik, Adit,

dan juga Yanuar. Makasih banyak atas semua tawa dan kebersamaannya selama

ini.

10. Pemikir -pemikir dunia, Sidharta Gautama, Sartre, Hegel, Nietzsche, Soekarno,

Mirza Ghulam Ahmad, Che Guevara, Nostradamus, Al_Hallaj, Hamzah Fansuri,

Shekh Siti Jenar dan Sunan Kali Jogo, meskipun sudah tiada, pemikiran dan

contoh hidupnya menjadi rujukan penulis untuk memahami realitras dunia

dengan lebih bermakna.

11. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Kepada Allah SWT jualah penulis serahkan balasan kebaikan semua pihak yang

telah membantu pembuatan tulisan ini. Harapan penulis tulisan ini dapat bermanfaat,

khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca tulisan ini.

Page 11: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

11

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... x

DAFTAR ISI ........................................................................... xii

DAFTAR TABEL ........................................................................... xv

DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xvii

BAB I . PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1

1.2. Perumusan Masalah ........................................................................... 4

1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 4

1.4. Manfaat Penulisan ........................................................................... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Petani ........................................................................... 5

2.2 Penguasaan Lahan ........................................................................... 9

2.3 Pola Nafkah Ganda ........................................................................... 12

2.4 Konversi Lahan ........................................................................... 14

2.5 Pola Adaptasi ........................................................................... 19

2.6 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 22

2.7 Definisi Konseptual ........................................................................... 26

2.8 Definisi Operasional ........................................................................... 27

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian.................................................................. 29

3.2 Pengambilan Sampel ........................................................................... 29

3.3 Metode Penelitian ........................................................................... 29

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data .................................................... 30

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Letak dan Geografis Batujajar ................................................................. 31

4.1.1. Lingkungan Alam.......................................................................... 32

1. Topografi ........................................................................... 32

2. Temperatur Udara .......................................................................... 32

3. Tanah ........................................................................... 33

4. Tata Air ........................................................................... 33

4.1.2. Lingkungan Fisik ......................................................................... 34

1. Tata Guna tanah ........................................................................... 34

2. Perumahan ........................................................................... 35

Page 12: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

12

4.1.3 Demografi Desa Batujajar............................................................. 36

1. Penduduk ....................................................................................... 36

2. Ketenagakerjaan............................................................................ 38

3. Pendidikan ..................................................................................... 39

4.2 Kehidupan Ekonomi Sosial dan Budaya .................................................. 40

1. Kehidupan Ekonomi ...................................................................... 40

2. Kehidupan Sosial Budaya .............................................................. 43

3. Teknologi Bercocok Tanam........................................................... 43

BAB V. STRUKTUR AGRARIA DI DESA BATUJAJAR

5.1 Pemilikan dan Pemanfaatan Lahan......................................................... 47

5.2 Kelembagaan Agraria ........................................................................... 49

5.2.1 Ceblokan ........................................................................... 49

5.2.2 Maro ........................................................................... 49

5.2.3 Aturan Sewa Menyewa ................................................................ 50

5.3 Sejarah Agraria Lokal ........................................................................... 50

5.4 Tanah Absentia ........................................................................... 52

BAB VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI

6.1 Faktor Internal ........................................................................... 54

6.2 Faktor Eksternal ........................................................................... 59

6.3 Mekanisme Konversi ........................................................................... 59

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN DI DESA BATUJAJAR

7.1 Penguasaan Lahan ........................................................................... 63

7.2 Adaptasi Rumahtangga Petani yang Terkonversi Lahannya ................. 64

7.2.1. Pola Nafkah Ganda ..................................................................... 64

7.2.2. Optimalisasi Penggunaan Tenaga Kerja ..................................... 67

7.3 Pola Pengggunaan Uang Hasil Penjualan Lahan..................................... 70

7.4 Pengaruh terhadap Kesempatan Kerja ..................................................... 72

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ........................................................................... 75

Saran ........................................................................... 76

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 77

LAMPIRAN ........................................................................... 79

Page 13: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

13

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

Tabel 1. Penguasaan Lahan Oleh PT di Desa Batujajar Tahun 2005 ...................... 32

Tabel 2. Perkembangan Produktivitas Lahan di Desa Batujajar ............................. 34

Tabel 3. Bentuk Penggunaan Lahan di Desa Batujajar 2005 .................................. 35

Tabel 4. Jumlah dan persentase Pria dan Wanita menurut umur ........................... 37

Tabel 5. Kondisi Ketenagakerjaan Masyarakat Batujajar

Menurut Umur Tahun 2005 ....................................................................... 38

Tabel 6. Jumlah Penduduk Usia Kerja Desa Batujajar Menurut Mata Pancaharian 39

Tabel 7. Jumlah dan Persentase Tingkat Pendidikan Desa Batujajar Tahun 1994 dan

2005........................................................................................................... 39

Tabel 8. Jumlah dan Persentase Pendapatan Responden......................................... 41

Tabel 9. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Dusun di Desa Batujajar 42

Tabel 10. Luas Kepemilikan Lahan Sawah Responden............................................ 47

Tabel 11. Jenis Pembagian Pemanfaatan Lahan di Desa Batujajar Tahun 2003....... 48

Tabel 12. Penjualan Lahan Bukit oleh Warga Batujajar menurut Tahun dan Harga 52

Tabel 13. Alasan Responden Melakukan Konversi ................................................. 55

Tabel 14. Jawaban Responden Terhadap Hasil Usaha Tani ..................................... 56

Tabel 15. Karakteristik Sumberda ya Manusia Responden ....................................... 58

Tabel 16. Tahun Pembelian dan Luas Lahan Yang di Kuasai PT di Desa Batujajar

tahun 2004 ................................................................................................. 60

Tabel 17. Proses Pendekatan dalam Pembebasan Lahan.......................................... 61

Tabel 18. Besarnya Ganti Rugi Lahan Responden di Lihat Dari Tahun Penjualan 62

Tabel 19. Rata-rata Perkembangan Penguasaan Lahan Responden Sebelum dan

Sesudah Konversi...................................................................................... 63

Tabel 20. Penggunaan Uang Ganti Rugi 20 Responden Berdasarkan Aset Tetap dan

Aset Lancar................................................................................................ 70

Tabel 21. Jumlah Uang Ganti Rugi Lahan Yang Terkonversi ................................ 71

Tabel 22. Penggunaan Uang Ganti Rugi Lahan 20 Responden Berdsarkan Produktif

konsumtif ................................................................................................... 72

Tabel 23. Perubahan Struktur Kesempatan Kerja Responden .................................. 73

Page 14: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

14

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran Konversi Lahan dan Pengaruhnya terhadap

Pola Nafkah Rumahtangga Petani ........................................................ 25

2. Mekanisme Pelaksanaan Konversi Lahan...................................................... 60

LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Aktivitas Perempuan dalam Mengerjakan Pekerjaan Rumahtangga

(Kerja Reproduksi) yang Memanfaatkan Air Sungai..................................... 83

2. Aktivitas Petani dalam Memanfaatkan Ternak untuk Bekerja di Pertanian .. 83

3. Aktivitas Perempuan dalam Upaya Membantu Ekonomi R umahtangga

dengan Membuka Warung ........................................................ 84

4. Aktivitas Warga Mencari Ikan di Sungai Sebagai Tambahan Penghasilan... 84

Page 15: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.

Batujajar merupakan satu komunitas pertanian yang terbentuk sejak masa

pemerintahan kolonial. Pola kehidupan masayarakatnya adalah bercocok tanam

terutama padi, selain itu mereka juga berdagang, menjadi buruh di pertambangan

maupun buruh tani. Banyaknya masyarakat yang bekerja disektor pertanian, yang

mencapai 87 persen menunjukkan bahwa kehidupan mereka sangat tergantung pada

sumberdaya lahan.

Sebagian besar penduduk memanfaatkan lahan sawah dan ladang dengan

menanami padi dan kacang tanah, satu sampai dua kali musim tanam. Padi biasanya

ditanam di sawah sedangkan ladang di perbukitan ditanami ketela pohon, pisang

maupun durian. Banyaknya bukit yang mengandung batu yang sangat potensial untuk

pertambangan, mendorong pihak luar desa (investor) untuk mengincar lahan

masyarakat di perbukitan untuk dijadikan pertambangan. Proses pembebasan lahan

sudah dimulai sejak tahun 1978 sampai saat ini tahun 2005. Sehingga hampir 272,5 ha

lahan di perbukitan kepemilikannya sudah dikuasai oleh pihak luar desa.

Berdasarkan luas kepemilikan lahan masyarakat petani desa Batujajar dapat

dibedakan menjadi 4 lapisan: petani lapisan atas, menengah, bawah dan tunakisma.

Bagi masyarakat agraris tanah tidak hanya menjadi salah satu faktor produksi, tetapi

juga memiliki arti penting lainnya, baik menyangkut aspek sosial maupun politik. Oleh

karena itu, masalah tanah tidak semata-mata merupakan masalah hubungan antar

manusia dan tanah lebih dari itu secara normatif merupakan hubungan manusia dengan

manusia. Tanah dalam sistem sosial ekonomi apapun, dianggap sebagai faktor produksi

Page 16: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

16

utama. Hal yang membedakan hanyalah bagaimana fungsi, mekanisme pengaturan dan

cara pandang terhadap tanah itu sendiri (Suhendar dan Winarni,1998)

Berkembangnya kepentingan atas tanah pada akhirnya menyebabkan kebutuhan

atas tanah pun menjadi semakin bertambah. Sementara jumlah tanah yang tersedia tidak

bertambah. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya proses alih fungsi

lahan pertanian kepenggunaan non pertanian. Fenomena konversi atau alih fungsi lahan

pertanian kepenggunaan non pertanian dibeberapa wilayah Indonesia terjadi dengan

pesat terutama di pulau Jawa. Fenomena alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian

mendapat perhatian dari banyak pihak karena berkaitan dengan dimensi persoalan yang

luas, baik dalam skala makro maupun mikro (Kustiawan, 1997)

Dalam banyak hal pembangunan memang sulit menghindari resiko, baik

lingkungan fisik maupun pada lingkungan komunitas sosial. Pertumbuhan penduduk

yang pesat berakibat pada upaya penyediaan lahan, baik untuk pemukiman,

perkantoran, maupun untuk infrastruktur pendukung. Dalam konteks makro,

sesungguhnya fenomena ini merupakan dampak proses transformasi struktur ekonomi

(dari pertanian keindustri) dan demografis (dari perdesaan ke perkotaan). Namun yang

kemudian menjadi masalah adalah bahwa konversi lahan tersebut dalam prosesnya

tidak selalu menguntungkan petani sebagai pemilik lahan1.

Sebagai gambaran konversi lahan yang terjadi di Indonesia dapat kita lihat

bahwa pada tahun 1997 luas lahan sawah kurang lebih 8,5 juta hektar sedangkan tahun

2000 luasnya menurun menjadi 7.8 juta hektar, sehingga dapat dihitung bahwa dalam

waktu tiga tahun telah terjadi penyusutan 0.7 juta hektar atau rata-rata 230 ribu hektar

pertahun2. Sedangkan sensus pertanian tahun 1983 menunjukkan bahwa rata-rata

penguasaan lahan pertanian untuk seluruh Indonesia adalah 0,98 hektar perkeluarga

1 Sebagai contoh kasus kedung Ombo, waduk nipah,dan jenggawah di Jember, dimana untuk kasus yang terakhir tidak ada proses ganti rugi .Pemerintah menetapkan tanah sengketa sebagai HGU PTP XXVII yang akibatnya memicu perlawanan Petani. 2 Tempo, 23 Desember 2003

Page 17: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

17

petani. Rata–rata penguasaan lahan tersebut menunjukan kecenderungan yang terus

mengecil. Pada tahun 1993 rata-rata nasional penguasaan lahan perkeluarga petani

adalah 0,83 hektar, dimana rata-rata di Jawa 0,47 hektar dan di luar Jawa 1,27 hektar

perkeluarga petani.

Perubahan peruntukan lahan masyarakat petani desa Batujajar terjadi ketika ada

investor yang masuk untuk melakukan kegiatan penambangan di bukit sebagai hasil

pembelian lahan dari masyarakat. Proses alih fungsi lahan yang terjadi tidak selamanya

berjalan dengan baik, masyarakat lebih banyak dirugikan dengan adanya proses

konversi, pencemaran (udara, suara, dan air) akibat proses pertambangan, serta ganti

rugi lahan yang tidak memadai merupakan faktor -faktor yang mendorong masyarakat

menilai bahwa adanya pertambangan batu di Batujajar tidak menguntungkan

masyarakat setempat.

Uang ganti rugi lahan antara petani juga berbeda karena perbedaan luasan lahan

yang dijual. Begitu juga dengan alokasi penggunaan uang hasil konversi, antara lapisan

atas, menengah, dan bawah cenderung terjadi perbedaan alokasi. Lapisan atas lebih

mengarah ke penggunaan produktif sedangkan pada lapisan tengah dan bawah lebih

cenderung ke arah penggunaan konsumtif.

Berkurangnya lahan yang dimiliki atau bahkan habisnya lahan garapan,

ditambah lagi terbatasnya akses rumahtangga karena tingkat pendidikan yang rendah

(dalam hal ini petani lapisan bawah) terhadap sumberdaya ekonomi (modal) maka

banyak diantara mereka memanfaatkan lahan-lahan milik perusahaan untuk ditanami

tanaman musiman, selain itu mereka juga melakukan pola nafkah ganda. Hal itu

mendorong rumahtangga untuk mengkonsolidasikan seluruh sumberdaya keluarga

untuk bekerja guna mencukupi kebutuhan rumahtangganya.

Page 18: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

18

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka persoalan dapat diringkas sebagai

berikut.

1. Apa dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga petani?

2. Bagaimana penggunaan uang hasil konversi oleh petani lapisan atas

menengah, dan bawah?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengacu kepada ruang lingkup permasalahan yang dirumuskan di atas, maka

tujuan penulisan adalah sebagai berikut :

1. Mempelajari dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga petani.

2. Mempelajari penggunaan uang hasil konversi oleh petani berbagai lapisan,

yaitu petani lapisan atas, menengah dan bawah.

1.4 Kegunaan Penelitian

Rumusan yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan bermanfaat secara

akademis maupun praktis. Secara akademis penulisan ini akan memiliki arti penting

dalam melengkapi literatur bagi kalangan akademik serta menambah khazanah

pengetahuan untuk memahami konsep-konsep pola adaptasi masyarakat petani

terhadap perubahan lingkungannya, dan secara praktis dapat memberikan infor masi

penting kepada masyarakat, swasta dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan

dibidang pertanian bahwa proses pembangunan, langsung atau tidak langsung menjadi

ancaman perubahan terhadap kekuatan-kekuatan fungsional yang lama berakar pada

tradisi masyarakat dan melahirkan gejala -gejala marginalisasi dikalangan masyarakat

asli terutama kaum tani.

Page 19: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Petani

Dalam perspektif sejarah, masyarakat petani lahir sekitar 10.000 tahun sebelum

masehi. Pada saat itu ditandai dengan munculnya kemampuan domistikasi tanaman dan

hewan. Sebelumnya manusia hidup dari berburu dan meramu, mereka hanya bisa

berburu binatang liar dan mengumpulkan bahan makanan yang tersedia di alam bebas.

Kemampuan bertani dapat dipandang sebagai suatu revolusi besar dalam kehidupan

umat manusia, karena ia dapat berkembang di permukaan bumi ini dalam waktu yang

relatif singkat.

Wolf (1985) memberikan gambaran tiga tingkatan perkembangan kehidupan

masyarakat, yaitu bercocok tanam primitif, petani peasant dan farmer. Dia menyatakan

secara tegas bahwa petani peasant bukan pencocok tanam primitif dan bukan pula

pencocok tanam untuk tujuan komersial (farmer). Menurutnya perbedaan utama antara

petani (peasant) dengan pencocok tanam primitif terletak pa da orientasi dan distribusi

hasil, dimana pada pencocok tanam primitif sebagian besar dari hasil produksi

dipergunakan untuk penghasilnya sendiri atau untuk memenuhi kewajiban-kewajiban

kekerabatan, bukan untuk dipertukarkan dengan tujuan memperoleh barang-barang lain

yang tidak dihasilkannya sendiri.

Sistem pertukaran di pasar belum dikenal pada kebudayaan mereka, sehingga

orientasi produksinya dikenal dengan istilah production for use atau cenderung

membatasi produksi pada barang-barang yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh

produsen-produsennya. Sebaliknya perbedaan yang utama dengan farmer terletak pada

tujuan produksinya, di mana farmer berorientasi bisnis, pasar dan mencari laba dalam

mengelola usaha taninya. Penulisan ini membatasi arti petani pada petani “peasant”

Page 20: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

20

Petani adalah penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam pengelolaan

tanah dan membuat keputusan otonomi mengenai proses pengelolaan tanah. Kategori

ini dengan demikian meliputi para penyewa dan pemanen bagi hasil seba gaimana

kategori untuk pemilik – pengelola sepanjang mereka dalam suatu posisi membuat

keputusan yang relevan mengenai bagaimana tanaman mereka dibudidayakan3. Petani

(peasant), tidaklah melakukan usaha tani dalam arti ekonomi, sebab yang mereka

kelola adalah sebuah rumahtangga, bukan sebuah perusahaan bisnis. Tujuan kegiatan

produksi hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga (subsisten), sedangkan

surplus produksi dipergunakan untuk kepentingan dana pengganti (replacement fund),

untuk dana seremonial (ceremonial fund) dan dana untuk sewa tanah (membayar pajak

dan sejenisnya). Dalam kehidupan masyarakat petani, pasar dan struktur atas desa

secara relatif telah menjadi bagian yang mempengaruhi tingkah laku sosial dan ekonomi

mereka. 4

Shanin (1971), mencirikan empat karakteristik utama petani. Pertama, petani

adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga (family farm). Kedua,

selaku usaha tani mereka menggantungkan hidupnya kepada tanah. Bagi petani lahan

pertanian adalah sega lanya yakni sebagai sumber yang yang diandalkan untuk

menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran

terpenting bagi status sosial. Ketiga petani memiliki budaya yang spesifik yang

menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas, solidaritas sosial mereka kental dan

bersifat meanistik. Keempat, cenderung sebagai pihak yang selalu kalah (tertindas)

namun tak gampang ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal

yang mendominasi mereka.

3 Wolf, Perang Petani (yogyakarta : Insist Press,2004) Hal.8 4 Redfield 1963 dalam bukunya mengatakan masyarakat tani sebagai masyarakat yang terbelah ( Part Society)

Page 21: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

21

Dari rumusan kedua ahli tersebut (Shanin dan Wolf) di atas maka secara umum

petani (peasant) mempunyai ciri yang membedakan dengan komunitas lainnya yakni

(i) Petani tidak dapat dilihat sebagai pengusaha pertanian atau pebisnis dibidang

pertanian (ii) Usaha yang dilakukan petani adalah usaha keluarga atau usaha

rumahtangga yang menghasilkan produk subsisten, serta menghasilkan kewajiban

yang dibayarkan pada kekuatan politik yang mengklaim sebagian dari hasil petani (iii)

Rumahtangga petani berfungsi sebagai unit ekonomi, sosial serta religius yang utama.

Hal ini berpengaruh pada keputusan untuk produksi dan juga investasi yang dilakukan

dengan keputusan dari anggota keluarga (iv) Fungsi produksi dan konsumsi tidak

dapat dipisah, dalam artian bahwa kebanyakan petani berproduksi sekaligus untuk

kebutuhannya sendiri maupun untuk pasar (v) Petani dalam berproduksi tidak selalu

didasari oleh prinsip mencari keuntungan namun lebih mengarah pada keinginan untuk

mengurangi resiko (vi) Adanya dominasi oleh kekuatan dari luar dalam bentuk

ekonomi, politik maupun sosial budaya. Dengan kata lain petani selalu berada dalam

hubungan yang asimetris.5

Kalau melihat kondisi petani di Indonesia maka pola hidup petani cenderung

subsisten. Namun subsisten dalam pengertian ini buka n berarti makan secukupnya dari

suatu usaha tertentu dan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, melainkan

harus pula melihat pandangan petani terhadap orientasi kerjanya. Suhendar dan Yohana

(1998) merumuskan tiga indikator untuk memahami pola subsistensi petani :

1. Adalah sikap atau cara petani memperlakukan faktor -faktor produksi yakni

tanah dan sumber agraria. Jika bersikap tidak komersial, tidak eksploitatif

terhadap tanah dan sumberdaya agraria, mengangap peningkatan produksi

tidak perlu dan hanya memproduksi sebatas kebutuhan keluarganya

5 Satyawan Sunito –{ Dinamika Pembangunan Desa } Rangkuman dari Theodore Shanin,Eric R Wolf,Hayami dan Kikuchi.Asymetris berarti bentuk hubungan yang tidak setara antara petani dengan dunia luar (hubungan eksploitasi )

Page 22: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

22

(sekalipun dengan penguasaan lahan luas), petani tersebut termasuk petani

subsisten. Sebaliknya, jika sikapnya didasari oleh orientasi surplus produksi

dan maksimalisasi produksi, mereka termasuk petani komersial.

2. Besar kecilnya skala usaha petani. Sekalipun hanya menguasai lahan dalam

skala usaha kecil, jika didasari pemikiran yang cenderung berorientasi pasar

(mengejar surplus) petani itu dapat disebut sebagai petani komersial.

Sebaliknya petani yang berlahan sempit dengan skala usaha terbatas

termasuk berpola hidup subsisten apabila dalam usahanya itu tidak ada

kemungkinan bagi mereka untuk memaksimalkan produksi karena

keterbatasan skala usaha dan kemampuan berproduksi.

3. Jenis komoditas yang dibudidayakan petani. Walaupun mengusahakan

komoditas komersial, jika hanya digunakan sebatas keperluannya, seorang

petani disebut petani subsisten. Apabila mengusahakan tanaman komersial

dengan tujuan memperoleh surplus, walaupun tanah yang dikuasainya sangat

terbatas, petani itu bukanlah seorang petani subsisten, melainkan petani

komersial.

Jika pola subsistensi petani tersebut diterapkan dengan kondisi petani di

Indonesia saat ini, maka dapatlah dikatakan bahwa petani Indonesia dapat dikatakan

hampir tidak ada petani dengan pola subsisten mutlak. Akan tetapi apabila digunakan

indikator kecilnya skala usaha dan kemampuan petani berproduksi, jelas bahwa

sebagian besar petani di Indonesia hidup dalam pola subsisten.

Penelitian Husken (1974) di desa Gondongsari, Pati, Jawa Tengah bisa

dijadikan rujukan tentang ciri-ciri petani Indonesia saat ini, yaitu (i) Petani bermata

pencaharian ganda. Selain bertani masyarakat juga bekerja “sampingan” semisal sebagai

sopir, membuka warung/toko, tukang batu dan seba gainya. Melihat kenyataan,

Page 23: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

23

pekerjaan yang dikatakan sampingan tersebut dalam arti di luar usaha tani ternyata

merupakan pekerjaan pokoknya.

(ii) Tanaman yang diproduksi adalah tanaman yang tidak beresiko tinggi artinya

teknologinya dapat dikuasai serta secara ekonomi menguntungkan. Serta yang menjadi

pertimbangan lain adalah, petani paham ke mana pasar bagi tanaman yang diusahakan

(iii) Motif berusaha adalah mencari keuntungan, yang dilakukan dengan

mengintensifkan penggunaan lahan yang hasilnya akan dijual untuk mendapatkan uang

tunai (iv) Petani adalah bagian dari sistem politik yang lebih besar, yang ditunjukkan

dengan adanya partai-partai politik yang berpengaruh juga terhadap kepemimpinan di

desa (v) Petani subsisten secara mutlak tidak ada tetapi petani mempunyai hubungan

yang kuat terhadap pasar tempat menjual hasil pertaniannya atau bahkan membeli

barang di pasar untuk dijual di desanya dengan harapan memperoleh keuntungan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ciri petani Indonesia saat ini berbeda

dengan ciri-ciri petani menurut Shanin ataupun Wolf. Yang membedakan antara lain: (i)

Mengusahakan lahan yang sempit (ii) Produk yang dihasilkan cenderung untuk

kebutuhan pasar, dengan tujuan dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk

memenuhi kebutuhan pokoknya. (iii) Penerapan teknologi modern sudah dilakukan

didalam usaha taninya (panca usaha tani) (iv) Berpenghasilan ganda (tidak selalu

menggantungkan sumber nafkahnya disektor ekonomi saja. (v) Fungsi lahan pertanian

lebih sebagai penenang ekonomi6 mereka dan bukan sebagai sumber ekonomi satu-

satunya sebagaimana yang dicirikan Shanin (1971)

2.2 Penguasaan lahan.

Masalah penguasaan lahan di pedesaan merupakan masalah yang rumit, karena ia

menyangkut berbagai aspek seperti: ekonomi, demografi, hukum politik dan sosial.

Pandangan ekonomi melihat tanah sebagai faktor produksi. Tetapi karena faktor 6 Penenang disini diartikan lebih sebagai cadangan /harapan akhir ketika usaha disektor lain diluar usaha tani tidak menghasilkan.

Page 24: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

24

produksi yang berupa tanah itu makin lama makin merupakan barang yang langka,

maka perbandingan jumlah manusia dengan luas lahan pertanian menjadi semakin

timpang. Disitulah masuk sudut pandang demografi. Sedangkan pandangan hukum

lebih melihat pola hak dan kewajiban para pemakai tanah dalam kerangka (formal dan

nonformal) yang mengatur segala aktivitas ekonomi yang ada hubungannnya dengan

tanah. Untuk memungkinkan agar segala peraturan ditaati oleh semua warga

masyarakat, diperlukan adanya aparatur organisasi yang dapat memaksakan peraturan

itu. artinya diperlukan adanya penguasa. Maka disinilah terkait sudut pandang politik.

Ke empat sudut pandang ini merupakan simpul-simpul yang penting dalam melihat

penguasaan lahan dan melalui simpul-simpul itulah masyarakat dapat dipetakan

bagaimana susunan lapisannya. Maka terkaitlah sudut pandang sosiologis. Hubungan

penguasaan lahan bukan saja menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia.

Dalam kaitannya hubungan antara manusia dengan tanah sebagai benda, hanya

mempunyai arti jika hubungan itu merupakan hubungan aktivitas. Dalam hal ini

aktivitas itu adalah penggarapan dan pengusahaannya. Misalnya jika seseorang

memiliki sebidang tanah tertentu, ini mengandung implikasi bahwa orang lain tidak

boleh memilikinya, atau boleh menggarapnya dengan syarat-syarat tertentu. Implikasi

selanjutnya ialah bahwa hal itu mencakup hubungan antara pemilik dan buruhnya,

antara sesama buruh tani dan antara orang-orang yang langsung atau tidak langsung

terlibat dalam proses produksi di mana tanah merupakan salah satu faktornya

(Wiradi,1984). Selanjutnya Wiradi juga menegaskan bahwa, masalah tanah pa da

hakekatnya adalah menyangkut masalah pembagiannya, penyebarannya atau

distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses

produksi.

Page 25: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

25

Masalah penguasaan dan macam-macam hak atas tanah, dalam undang-undang

pokok agraria (UUPA 1960) diatur juga dalam pasal 4, pasal 16, dan pasal 53 yang

menyebutkan bahwa : adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut

tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri

maupun bersama-sama dengan orang-orang la in serta badan hukum. Hak tersebut

memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula

tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk

kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah, dalam batas-batas

menurut undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (pasal 4

UUPA 1960).

Selanjutnya pasal 16 ayat 1 UUPA 1960, dijelaskan macam-macam hak atas

tanah yang meliputi : (a) Hak milik; (b) Hak guna usaha ; (c) Hak guna ba ngunan; (d)

Hak pakai; (e) Hak sewa; (f) Hak membuka tanah; (g) Hak memungut hasil hutan serta

hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan

dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak penguasaan tanah

yang sifatnya sementara , diatur dalam pasal 53 UUPA 1960 yang menunjuk pada hak

gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk

membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut

diusahakan hapus dalam waktu singkat (UUPA dalam subekti,1990)

Hak milik menurut pasal 20 UUPA adalah hak turun temurun terkuat dan

terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6.

Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak pakai menurut pasal 41

UUPA 1960 adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang

dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang

dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang

Page 26: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

26

berwenang memberikannya atau dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang

bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal

tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.

Selanjutnya mengenai bagi hasil, pada UU No.2 tahun 1960, tentang perjanjian

bagi hasil dijelaskan bahwa : Perjanjian bagi hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun

juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum

pada lain pihak yang dalam undang-undang disebut penggarap berdasarkan perjanjian

mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha

pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.

2.3 Pola Nafkah Ganda

Petani di Indonesia rata-rata penguasaan lahan sekitar 0.83.ha 7. Secara ekonomi

pemanfaatan lahan yang sempit tidak akan mampu memenuhi kebutuhan petani.

Dengan kondisi yang serba kekurangan, rumahtangga petani menerapkan strategi

nafkah ganda. Artinya rumah tangga petani tidak hanya mengandalkan hidup pada satu

pekerjaan saja. Untuk itu terutama bagi rumahtangga yang mempunyai jumlah anak

dalam kategori banyak, mereka mencari sumber pendapatan lain yang dapat menambah

penghas ilan rumahtangga mereka. Dalam beberapa penelitian,8 menunjukkan adanya

usaha memaksimalkan sumberdaya keluarga, yakni dengan melibatkan peran wanita

dan anak-anak sebagai tenaga kerja produktif untuk turut serta menyokong keuangan

rumahtangga.

Diantaranya ada wanita yang berjualan makanan kecil-kecilan, beternak ayam

ataupun bekerja sebagai buruh dibidang pertanian. Agusta dan Tetiani (2000)

menunjukkan bahwa ada kecenderungan pola nafkah ganda di desa di Indonesia, yang

7 BPS.1994. Sensus Pertanian 1993 Seri :J.2 . Pada tahun 1993 rata -rata nasional penguasaan lahan perkeluarga petani adalah 0,83 ha;dimana rata-rata di Jawa 0,47 ha dan diluar Jawa 1,27 Ha.sebagai gambaran kasus Jawa dan Madura Lihat Tabel Lampiran 5 8 Penelitian Frans Husken didesa Gondosari,Pati , Jawa Tengah dalam Bukunya Masyarakat desa dan Perubahan Zaman.Hal.157 -173

Page 27: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

27

biasa dilakukan dengan memanfaatkan tempat tinggal (rumah) tidak hanya sekedar

menjadi tempat tinggal tetapi seringkali juga menjadi lokasi berusaha. Contohnya

untuk menjemur padi, membuka warung ataupun untuk industri rumahtangga.

Dalam kaitannya dengan pertanian, studi hubungan antara pola distribusi tanah

dan distribusi pendapatan diantara petani menemukan perbedaan strategi pola nafkah.

Rumahtangga dilapisan buruh (petani gurem) berpola ”dahulukan selamat”, dilapisan

menengah berpola konsolidasi dimana pendapatan dari pertanian dengan luas lahan

tani sedang, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsistensi anggota

rumahtangga, sehingga mereka tidak memiliki modal cadangan yang cukup untuk

mengembangkan usaha. Oleh karena itu, anggota rumahtangga pencari nafkah bekerja

pada usaha luar pertanian untuk berjaga -jaga kalau hasil usahatani tidak mencukupi

karena gagal panen misalnya. Untuk petani di lapisan atas (tanah cukup, modal kuat)

cenderung berpola akumulasi modal, yaitu mengembangkan usaha produktif, baik dari

surplus usaha pertanian keusaha luar pertanian atau sebaliknya (Mawardi,2003).

Penelitian yang dilakukan Sayogjo (1978) menunjukkan bahwa penduduk miskin

hampir seluruhnya berpola nafkah ganda. Penyesuaian kondisi kemiskinan ini berguna

untuk mengurangi resiko manakala salah satu pola nafkah tidak menghasilkan

pendapatan. Jika dikaitkan dengan luas pemilikan atau penguasaan lahan dan tingkat

kemiskinan tidak sepenuhnya langsung. Kaitan langsung keduanya (luas penguasaan

lahan dan kemiskinan) hanya muncul pada usaha tani berbasis lahan.

Masyarakat tani yang berbasis lahan dapat kita lihat dari tulisan Gertz (1964)

tentang involusi pertanian di pedesaan Jawa, di mana masyarakat dicirikan oleh suatu

sistem usaha tani padi sawah. Gambaran yang diperoleh menunjukkan diantara petani

kurang tampak differensiasinya. Walaupun produktivitas padi sawah meningkat dalam

jangka lama, namun karena tekanan penduduk maka lahan tetap harus menerima

Page 28: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

28

tambahan tenaga kerja. Terjadilah involusi yaitu suatu pe rkembangan di mana

produktivitas meningkat tapi hasil per individu tidak naik maka yang terjadi adalah

kemiskinan berbagi (Share Poverty ).

2.4 Konversi Lahan

Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil pertanian

yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Dalam pertanian

terutama di negara berkembang termasuk Indonesia , faktor produksi tanah mempunyai

kedudukan yang sangat penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima

dari tanah dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya.

Bagi petani, lahan mempunyai arti yang sangat penting. Dari situlah mereka

dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam

dan beternak. Karena lahan merupakan faktor faktor produksi dalam berusaha tani,

maka keadaan status penguasaan terhadap lahan menjadi sangat penting. Ini berkaitan

dengan keputusan jenis komoditas apakah yang mau diusahakan dan juga berkaitan

dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani yang diusahakan.

Jika dikaitkan dengan proses pembangunan pada dasarnya pertumbuhan

ekonomi dalam suatu wilayah akan mendorong terjadinya peningkatan permintaan

akan lahan untuk berbagai kebutuhan termasuk kebutuhan pertanian, industri jasa dan

kegiatan lainnya. Oleh karena persediaan lahan tidak berubah dalam suatu wilayah

maka dengan perubahnya struktur ekonomi yang terjadi seperti yang terlihat terutama

dalam wilayah perkotaan, perubahan tersebut telah menggeser peranan sektor pertanian

kesektor industri yang juga membutuhkan lahan untuk kegiatannya. Dalam keadaan

demikina lahan-lahan pertanian akan mendapat tekanan permintaan untuk penggunaan

lahan bagi kepentingan kegiatan di luar pertanian (Anwar 1993).

Page 29: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

29

Sebelum masuknya perusahaan industri di suatu desa, lahan-lahan dikuasai oleh

petani. Berkaitan dengan hak atas lahan, maka di situ (di desa) terdapat dua golongan

petani yaitu petani pemilik dan petani bukan pemilik lahan. Di dalam penggarapan

lahan tersebut, petani pemilik dapa t menggarap lahannya sendiri (pemilik penggarap),

selain itu juga dapat menggarapkan lahannya kepada orang lain melalui sistem sakap,

sewa atau dengan memanfaatkan sistem gadai. Di sisi lain, petani yang tidak memilik

lahan dapat menggarap lahan orang lain (pemilik tanah) melalui sistem sakap (bagi

hasil) sehingga disebut petani penyakap, dapat juga melakukan penggarapan tanah ini

dengan sistem sewa atau sistem gadai.

Setelah masuknya perusahaan industri di suatu desa, penguasaan lahan dapat

terpecah menjadi dua bagian besar, yaitu sebagian dari total luas lahan sawah dikuasai

oleh perusahaan industri dan digunakan untuk kegiatan di luar pertanian, sedangkan

sisanya masih tetap dikuasai petani. Ini berarti bahwa total lahan sawah yang dikuasai

petani dan digunakan untuk kegiatan pertanian menjadi lebih sempit. Kaitannya untuk

penguasaan lahan, maka akan ada petani pemilik yang berubah statusnya menjadi petani

tidak memiliki lahan (karena lahannya dijual) mungkin juga ada petani yang tadinya

memiliki lahan yang luas menjadi sempit pemilikannya. Hal ini bisa dilihat dari hasil

sensus pertanian tahun 1993 khusus pulau Jawa di mana lahan sawah yang berubah

menjadi perumahan 28.603,50 ha, untuk industri 14.481,70 ha dan untuk perkantoran

3.178 hektar.

Menurut Kustiawan (1997) pengertian konversi atau alih fungsi lahan secara

umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu

penggunaan kepenggunaan lainnya. Konversi lahan pertanian ini tidak terlepas dari

situasi ekonomi secara keseluruhan.

Page 30: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

30

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang (hanya mengejar pertumbuhan)

menyebabkan beberapa sektor ekonomi terutama industri tumbuh dengan cepat namun

disisi lain melumat sektor lain yakni pertanian. Pertumbuhan tersebut akan

membutuhkan lahan yang lebih luas, apabila lahan pertanian letaknya berada dekat

sumber pertumbuhan ekonomi seperti pinggiran perkotaan maka dengan pertumbuhan

ekonomi tersebut akan menggeser penggunaan lahan pertanian kebentuk lain seperti

perumahan, lokasi pabrik, jasa, perdagangan, perkotaan, jalan dan lain-lain. Hal ini juga

dipengaruhi karena rente lahan persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih

tinggi dari pada yang dihasilkan sektor pertanian, hal ini biasanya memicu spekulasi

lahan dan munculnya percaloan, sehingga memicu pula peningkatan harga lahan secara

cepat, yang pada gilirannya justru menjadi pemikat bagi pemilik lahan pertanian

menjual dan melepas pemilikan lahannya untuk penggunaan non pertanian

(Barlowe,1972 dan Anwar,1993).

Demikian juga menurut Crowel (1995) transfer lahan dari lahan pertanian ke

lahan Industri atau lahan untuk peruntukan lainnya terjadi sebagai konsekwensi

pertumbuhan penduduk kota secara alamiah maupun karena urbanisasi. Dari uraian-

uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa dengan meningkatnya kebutuhan lahan di

luar sektor pertanian, menyebabkan terjadinya pergeseran lahan pertanian. Sebagai

contoh adanya peningkatan penggunaan lahan perkotaan seperti pemukiman, jasa,

perdagangan, perkantora, industri, prasarana jalan dan sebagainya, menyebabkan makin

sempitnya areal pertanian di sekitar perkotaan. Apabila transformasi lahan pertanian

terus berlanjut maka lahan pertanian makin sempit bahkan kemungkinan habis.

Konversi lahan pertanian dekat pusat kota (pusat perekonomian) berlangsung lebih

cepat dibandingkan dengan konversi lahan yang lokasinya jauh dari pusat

perekonomian, proses konversi lahan pertanian tidak berdasarkan asas keadilan maka

Page 31: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

31

dampak negatif bagi petani (peasant) sebagai penggarap tanah hampir bisa dipastikan

akan semakin mempersulit keberadaan petani.

Berbagai bentuk atau jenis penggunaan lahan yang tercermin dari pola tataguna

lahan yang terjadi selama ini, merupakan hasil pilihan keputusan individual maupun

kelompok atau oleh pihak organisasi pemerintah yang dipengaruhi oleh berbagai faktor

ekonomi. Pada prakteknya sebenarnya pemerintah memegang peranan yang sangat

penting dalam alokasi lahan, termasuk peranannya yang paling mendasar adalah harus

mengakui dan melindugi hak-hak individual atas lahan yang dalam hal ini adalah petani.

Kenyataannya terjadi proses akumulasi dan pemusatan pemilikan/penguasaan tanah di

tangan segolongan orang yang jumlahnya terbatas, halmana jelas melanggar batas-batas

maksimum yang dibenarkan oleh UUPA 1960.

Pergeseran pemilikan/penguasaan tanah disertai akumulasi dan pemusatan

kepemilikan tanah erat hubungannnya dengan gejala pemilikan/penguasaan tanah yang

letaknya jauh di luar daerah di mana sipemilik/penguasa tanah yang bersangkutan

bertempat tinggal. Dengan perkataan lain, gejala “absentee ownership ” yang meluas

atau apa yang dikenal sebagai tanah “ Guntay “ suatu hal yang tidak dibenarkan oleh

UUPA9. Pergeseran penguasaan tanah, akumulasi dan pemusatan milik akan kekuasaan

tanah, serta meluasnya tanah guntay, dapat mempertajam pertentangan kepentingan

antara pemilik/penguasa tanah dan penggarap tanah, khususnya jika pemilik tanah

guntay lebih mementingkan kenaikan nilai harga tanah itu sendiri daripada

penggarapannya.

Dalam rangka umum alokasi sumber-sumber daya produksi dalam proses

pembangunan, maka harus diusahakan pemanfaatan tanah pertanian secara optimal.

Pengertian optimal ini selanjutnya dilihat dalam rangka tujuan pembangunan yang

9 Tahun 1998,Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui kantor-kantor agraria setempat diseluruh Indonesia mengeluarkan izin loka si atas tanah seluas 3,025 juta hektar, tetapi lahan yang dimanfaatkan hanya 481.558 ha atau hanya 16 % saja. Sedangkan sisanya ditelantarkan sebagai obyek spekulasi tanah.

Page 32: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

32

mengandung tiga dimensi: peningkatan produksi, pembagian hasil produksi yag adil dan

lebih merata dan kestabilan pemerintah. Hal ini sesuai dengan apa yang termaktup

dalam piagam petani (The Peasants Charter, FAO, Rome 1981

’ Bahwa kemajuan nasional yang didasarkan atas pertumbuhan dengan

pemerataan dan partisipasi, memerlukan suatu redistribusi kuasa-

kuasa ekonomi dan politik, integrasi penuh dari pedesaan ke dalam

usaha pembangunan kelompok-kelompok petani, koperasi, dan

bentuk– bentuk lain dari organisasi petani dan buruh tani yang bersifat

sukarela, otonom, dan demokratis’

Dalam kenyataan sekarang ini banyak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan

tentang batas-batas pemilikan. Batas minimum terpaksa tidak dapat dipatuhi oleh

golongan petani kecil karena tekanan ekonomi dan sistem waris yang berlaku menurut

adat dan agama. Batas maksimum dilanggar oleh pihak golongan atau kalangan yang

bersaing mendapatkan tanah untuk kebutuhan (investasi atau spekulasi) Pihak peminta

(pemilik modal) mempunyai kedudukan yang jauh lebih kuat dari pemilik/petani kecil

yang sering terdesak oleh kebutuhan akan uang tunai. Gejala semacam ini menurut

(Spitz,1979) mencerminkan bekerjanya sistem sosial ekonomi yang kurang

menguntungkan bagi anggota termiskin masyarakat. Akumulasi dan pemusatan dan

penguasaan tanah pada golongan atau kalangan dengan jumlah terbatas kasus di

Indonesia ada kaitannya dengan :

1. Fragmentasi tanah sebagai akibat sistem waris dan pemindahan hak

walaupun sudah ada larangan penjualan tanah, hal mana menyebabkan

pemecahan bidang tanah menjadi kurang darai 2 hektar.

Page 33: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

33

2. Tanah garapan yang sangat sempit, tidak ekonomis lagi untuk memenuhi

kebutuhan keluarga pemilik, kemudian dijual, dilain pihak keluarga pemilik

berhadapan dengan kebutuhan uang tunai yang meningkat.

3. Administrasi pendaftaran tanah sering tidak mencerminkan kenyataan,

karena banyak transaksi jual beli tanah tidak dilaporkan ataupun karena

transaksi-transaksi dilakukan dengan cara pemberian surat kuasa mutlak

kepada pihak pembeli.

2.5 Pola Adaptasi

Salah satu masalah sosial pedesaan yang sangat krusial adalah terbatasnya

peluang kerja baru disatu pihak dan peningkatan angkatan kerja dipihak lain. Ketidak

seimbangan yang sangat memprihatinkan ini antara lain merupakan dampak negatif

dari intensifikasi bidang pertanian serta semakin, menipisnya lahan yang menjadi

garapan mereka. Intensifikasi pertanian dipandang telah menurunkan daya serap

sektor pertanian, mengubah pola -pola hubungan kerja dan memicu konsentrasi

kepemilikan lahan pada segelintir golongan masyarakat.

Sementara itu pihak-pihak yang secara langsung merasakan dampak negatif

ketimpangan penguasaan maupun kepemilikan agraria adalah rumahtangga petani

berlahan sempit dan buruh tani. Untuk mensikapi tekanan sosial ekonomi dan

kemiskinan yang dihadapinya, kelompok rumahtangga ini biasanya mengembangkan

strategi adaptasi. Konsep strategi adaptasi dikemukakan oleh Kusnadi (1996) yang

dapat diartikan sebagai sebuah pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif

sesuai dengan konteks lingkungan sosial ekonomi, serta ekologi di mana penduduk

tersebut tinggal. Pemilihan tindakan yang bersifat kontekstual tersebut dimaksudkan

untuk mengalokasikan sumberdaya yang tersedia di lingkungan guna mengatasi

Page 34: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

34

tekanan-tekanan sosial ekonomi. Dengan demikian mereka tetap dapat menjaga

kelangsungan hidupnya.

Dalam konteks pola nafkah ganda, menurut Sayogjo (1978) strategi hidup

rumahtangga berbeda antara lapisan bawah, lapisan tengah, dan lapisan atas. Bagi

lapisan atas, pola nafkah ganda merupakan strategi akumulasi di mana surplus pertanian

mampu membesarkan usaha luar pertaniannya, dan sebaliknya pada lapisan tengah pola

nafkah ganda merupakan strategi bertahan di mana sektor luar pertanian

dipertimbangkan sebagai potensi untuk perkembangan ekonomi. Bagi lapisan bawah,

pola nafkah ganda merupakan strategi survival di mana sektor luar pertanian

merupakan sumber nafkah penting untuk menutupi kekurangan dari sektor pertanian.

Rumahtangga berlahan sempit dan tak bertanah pada umumnya memperoleh upah

yang rendah disektor luar luar pertanian, bahkan lebih rendah dibandingkan tingkat

upah buruh tani disektor pertanian. Seiring dengan kemajuan pendidikan dan informasi

tentang kehidupan kota menjadi salah satu faktor yang menyebabkan berubahnya

persepsi masyarakat pedesaan tentang pekerjaan yang dikehendakinya. Ada

kecenderungan bahwa makin tinggi pendidikan makin besar keinginan penduduk

untuk bekerja di luar desa. Ditambah pula oleh kecenderungan berkurangnya lahan

pertanian, sehingga kesempatan untuk be rtani atau terlibat dalam kegiatan pertanian

makin terbatas. Akhirnya penduduk desa mencari pekerjaan lain dan kalau

mempunyai modal mereka berjualan atau berdagang, baik di desa maupun di luar desa.

Hasil penelitian Jones melaporkan bahwa masyarakat pedesaan di pulau Jawa,

berdagang sudah menjadi sumber tambahan pendapatan dan menjadi pekerjaan pokok

bagi sebagian lainnya. Penelitian mobilitas tenaga kerja di wilayah pembangunan

Sukabumi dan Banten menemukan data bahwa dalam jangka lima tahun (1974 -1979)

jumlah pelaku mobilitas yang menjadi pedagang naik sampai 64 persen. Studi tentang

Page 35: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

35

perubahan ekonomi pedesaan dan mobilitas tenaga kerja di Jawa Barat yang dilakukan

Manning melaporkan bahwa mobilitas penduduk dari desa ke kota menyebabkan

kenaikan proporsi pedagang antara 1976-1983 sampai dengan dua pertiga dari seluruh

pekerjaan nonpertanian di kecamatan dan kabupaten. Penelitian lain yang dilakukan

di pedesaan kabupaten Garut dan Majalengka memperoleh data yang memperlihatkan

perubahan cukup dramatik penduduk yang bekerja disektor perdagangan meningkat

dari sekitar 4 persen pada tahun 1979 menjadi lebih 24 persen pada 1989

Menurut hasil penelitian Dharmawan (2001) Ada beberapa strategi yang

ditempuh petani untuk menjaga kelangsungan hidup rumah tangganya, yaitu ;

1. Mengolah lahan pertanian milik sendiri.

2. Mengolah lahan pertanian milik orang lain

3. Bekerja di luar sektor pertanian

4. Hasil pembayaran dan sumbangan

Biasanya petani melakukan kombinasi-kombinasi dari ke empat faktor di atas.

Kombinasi untuk setiap strategi nafkah yang dipergunakan akan selalu berbeda untuk

setiap lapisan rumahtangga petani, tergantung dari sumberdaya alam yang dipunyai.

Sedangkan menurut hasil penelitian Igbal (2004), terdapat empat kategori pola nafkah

ganda yang dilakukan rumahtangga petani, yaitu :

1. Suami-istri masing-masing bekerja disektor yang sama

2. Suami istri bekerja tetapi berlainan sektor

3. Salah satu anggota rumahtangga memiliki lebih dari satu jenis pekerjaan.

4. Masing-masing anggota keluarga memiliki pekerjaan.

Bagi rumahtangga petani, kepemilikan lahan yang sempit mendorong mereka

melakukan kerja disektor lain semisal bekerja disektor Informal di kota, dengan

pertimbangan sektor informal yang ada di kota bisa dimasuki tanpa menuntut adanya

Page 36: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

36

kualitas sumberdaya manusia yang tinggi seperti umumnya kondisi petani yang

berpendidikan rendah. Dalam sektor informal, individu bebas berkreatifitas di luar

sistem peraturan yang mengikat dan kepentingan pemerintah, yang berbeda dengan

kondisi kondisi yang terdapat dalam sektor formal.

Bentuk kegiatan yang dilakukan petani sebagaimana tercantum di atas

merupakan bentuk difersifikasi kerja, di mana sektor pertanian tidak lagi mampu

mencukupi kebutuhan petani. Menurut Darmawan (2001) upaya diversifikasi kerja

yang dilakukan petani adalah untuk :

1. Mempertahankan garis batas aman dengan mencukupi kebutuhan subsisten.

2. Meningkatkan status sosial ekonomi dan meningkatkan standar hidup petani.

2.6 Kerangka Pemikiran

Penguasaan dan kepemilikan lahan sangat erat dengan masalah kemakmuran

dan kemiskinan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih menggantungkan

hidupnya disektor pertanian. Semakin sempitnya lahan pertanian yang diusahakan

petani (Peasant) sebagai akibat dari perta mbahan jumlah penduduk dan juga kebijakan

penataan struktur agraria oleh pemerintah yang tidak adil.

Adapun pola penguasaan lahan yang ada sekarang ini dinilai cukup timpang di

mana distribusi penguasaan lahan semakin mengalami polarisasi, pemilik modal

mengusai lahan yang begitu luas di sisi lain petani miskin semakin miskin akibat

terpisah dari sumberdaya ekonominya yakni lahan. Penguasaan, pemilikan dan

penggunaan sebidang lahan menyangkut aspek sosial, ekonomi dan politik. Maka

perubahan yang terjadi pada ketiga aspek tersebut akan menyebabkan perubahan pada

pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan lahan. Perubahan itu terjadi disebabkan

perubahan dari dalam masyarakat sendiri (faktor internal) dan dari luar masyarakat

(eksternal). Faktor internal yakni adanya kecenderungan menjual tanah dari penduduk

Page 37: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

37

setempat, sedangkan dari faktor eksternal yakni adanya intervensi modal kapital dari

para pemilik modal baik swasta maupun pemerintah sendiri, sebagai wujud kebijakan

pertanahan yang tidak populis.

Tanah yang dahulu digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga telah

beralih kepihak lain. Dengan tidak adanya sumberdaya tanah yang dimiliki, para petani

tentu saja juga kehilangan mata pencaharian. Kalaupun masih berusaha disektor

pertanian itupun hanya petani penggarap. Hal ini tentu saja berakibat pada perubahan

status petani, petani yang dulunya mengusahakan tanah milik sendiri atau sebagai

petani pemilik berubah menjadi petani yang menggarap tanah milik orang lain atau

sebagai petani penggarap karena sudah tidak memiliki lahan pertanian lagi.

Penelitian ini mengkaji pertanian dalam arti sempit yaitu pertanian yang fokus

utamanya untuk menghasilkan pangan dan hortikultura (usahatani). Konversi lahan

yang dimaksudkan adalah konversi lahan kering (tegalan) yang berupa perbukitan.

Lahan yang semula dijadikan sebagai tambahan penghasilan dengan ditanami

tanaman tahunan, setelah terjadi konversi lahan dialihfungsikan untuk

pertambangan batu.

Masuknya perusahaan (PT) untuk menanamkan investasinya akan berpengaruh

terhadap kondisi sosial maupun ekonomi masyarakat. Pembelian lahan-lahan oleh

investor terhadap petani akan berdampak pada perubahan ekonomi masyarakat. Akses

masyarakat terhadap lahan sema kin kecil sehingga masyarakat petani yang sebagian

besar berpendidikan rendah melakukan berbagai strategi untuk tetap bertahan dari

tekanan ekonomi yang dialaminya yakni pola nafkah ganda dan optimalisasi tenaga

kerja keluarga.

Persoalan lain yang menjadi dampak dari adanya konversi lahan adalah proses

konversi dan pengelolaan uang hasil konversi tidak selalu menguntungkan bagi petani,

Page 38: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

38

yang pada akhirnya kepemilikan lahan beralih sedangkan uang hasil konversi tidak

digunakan untuk alokasi yang produktif sehingga konversi lahan semakin menjadikan

masyarakat petani kecil terpuruk dalam kemiskinan.

Faktor yang menyebabkan konversi lahan secara mikro dibagi menjadi dua,

faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal meliputi pendidikan, pengalaman

kerja, tingkat penghasilan dan juga ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor

eksternal yakni masuknya perusahaan (PT), pengaruh dari tetangga dan juga calo serta

pemerintahan desa sendiri.

Dampak yang ingin dilihat selanjutnya setelah konversi terjadi adalah

bagaimana masyarakat yang menjual lahannya beradaptasi dengan kondisi tersebut.

Bagaimana penggunaan uang hasil konversi apakah terjadi perbedaan alokasi dana

(uang) hasil konversi antara petani lapisan atas, menengah dan bawah, dan apakah

terjadi perubahan struktur rumahtangga dengan alokasi tenaga kerja. Selain itu

penelitian ini juga ingin melihat fungsi jaringan sosial rumahtangga petani yang

diduga merupakan salah satu pola adaptasi untuk mengatasi kesulitan me menuhi

kebutuhan kehidupan sehari-hari, akibat ketidak pastian penghasilan.

Page 39: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

39

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Konversi Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Pola

Nafkah Rumahtangga petani.

Faktor yang mempengaruhi konversi

Faktor Intern. 1. Pendidikan 2. Pengalaman kerja 3. pendapatan 4. Ketergantungan pada tanah

Faktor Ekstern. 1. Investor 2. Pemerintah Desa 3. Calo 4. Tetangga

Konversi Lahan

Adaptasi

Berkaiatan dengan Struktur alokasi tenaga kerja rumahtangga)

1. Pola nafkah ganda (memanfaatkan lahan tidur, usaha lain)

2. Optimalisasi tenaga kerja rumahtangga

Page 40: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

40

2.7 Definisi Konseptual

a. Petani : Orang desa yang mengolah lahan dengan bantuan

tenaga kerja keluarga sendiri atau orang lain untuk menghasilkan

bahan pangan bagi keperluan hidup sehari-hari

b. Komunitas : Suatu satuan sosial yang utuh yang terikat pada suatu

tempat dengan ciri-ciri alamiah yang khas.

c. Strategi nafkah ganda : Kegiatan mengkombinasikan berbagai

aktivitas yang dijalankan oleh rumahtangga untuk memenuhi

kebutuhan hidup

d. Lahan/ Tanah pertanian : Lahan pertanian dalam penelitian ini

semua lahan baik itu produktif maupun tidak yang dimiliki

masyarakat desa.

e. Konversi lahan : Proses perubahan fungsi peruntukan lahan

f. Konflik Agraria : Perbedaan kepentingan yang mengarah ke

pertentangan terhadap hak kepemilikan/akses terhadap sumberdaya

agraria antara (masyarakat-pemerintah-swasta)

g. Struktur Agraria : Kepemilikan dan penguasaan lahan terkait

hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya

h. Rumahtangga : Sekelompok orang yang mendiami sebagian atau

seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama ser ta makan

dari satu dapur, atau seseorang yang mendiami sebagian atau seluruh

bangunan serta mengurus keperluannya sendiri.

i. Anggota Rumahtangga : Orang yang bertempat tinggal dalam satu

rumahtangga baik yang ada pada waktu pencacahan maupun

Page 41: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

41

sementara tidak ada atau sedang bepergian kurang lebih enam

bulan.

j. Rumahtangga Pertanian : Rumahtangga yang sekurang-kurangnya

satu anggotanya melakukan kegiatan bertani/berkebun.

k. Sumber Penghasilan Utama : Sumber penghasilan terbesar sebagai

sumber penghasilan utama rumahtangga.

l. Kepemilikan lahan : Menunjukkan kepada penguasaan formal.

m. Penguasaan : Menunjukkan pada penguasaan efektif. Contoh, jika

tanah disewakan kepada orang lain, maka orang itulah yang secara

efektif dikuasainya.

n. Struktur Agraria : Sesuatu yang menunjukkan pada kegiatan

masyarakat di dalam kegiatan produksi pertanian (peternakan,

perikanan dll), struktur penguasaan dan peruntukan lahan yang

terkait juga dengan akses dan kontrol masyarakat terhadap

sumberdaya agraria.

2.8 Definisi Operas ional :

1.Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah atau sedang

diikuti oleh responden. Dalam penelitian ini tingkat pendidikan dibedakan

menjadi tiga tingkat, yaitu :

a. Rendah : responden tidak atau tamat SD

b. Sedang : Responden tamat SLTP

c. Tinggi : Responden tamat SLTA atau PT

Page 42: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

42

2.Tingkat Pemilikan lahan : Jumlah lahan yang dimiliki oleh suatu rumahtangga

dalam penelitian ini tingkat pemilikan lahan dikategorikan menjadi tiga

tingkatan yaitu :

a. Rendah : Jika memiliki lahan > dari 0,25 Ha

b. Sedang :jika memiliki lahan antara 0,25 – 0,5 Ha

c. Tinggi : jika responden memiliki lahan lebih dari 0,5 Ha

3.Tingkat pemilikan sarana poduksi pertanian adalah jumlah kepemilikan alat-

alat yang terkait dengan proses bertani. Dalam penelitian ini tingkat pe milikan

sarana produksi pertanian dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Rendah : Jika responden hanya memiliki alat pengolahan saja, atau hanya

memiliki peralatan yang relatif tradisional

b.Tinggi : jika responden memiliki satu atau lebih sarana pendukung lanjutan

produksi pertanian atau memiliki peralatan yang relatif modern. Misalnya,

alat untuk menyiangi, alat memanen dan sebagainmya.

4. Tingkat kekayaan : adalah sumber daya yang dimiliki baik berupa uang atau

barang yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sebulan. Dalam

penelitian ini tingkat kekayaan dibedakan menjadi tiga, yaitu :

1. Kaya : Jika sumberdaya (diuangkan) yang dibelanjakan

sebulan lebih dari Rp1.000.000,00

2. Sedang : Jika Pengeluran antara Rp432.000-Rp.1.000.000,00

3. Miskin : jika penghasilan kurang dari < Rp432.000,00

Page 43: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

43

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan di desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg,

Kabupaten Bogor. Pemilihan tempat didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan di

mana lokasi tersebut adalah daerah pertambangan batu yang dikelola oleh perusahaan

swasta. Lahan yang dijadikan pertambangan awalnya adalah lahan penduduk setempat

yang dibeli dengan harga yang murah. Dengan pertimbangan di atas diharapkan dapat

dilihat dampak konversi lahan bagi penduduk setempat, reaksi penduduk terhadap

adanya perusahaan pertambangan dan sejauh mana penduduk melakukan penyesuaian

(adaptasi) terhadap intervensi akumulasi modal dari perusahaan pertambangan. Adapun

pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2005.

3.2 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel/responden dilakukan secara acak (random sampling) dari

petani/masyarakat yang tanahnya dijual kepihak perusahaan. Kerangka sampel

diperoleh dari kantor kelurahan desa Batujajar. Responden adalah masyarakat desa

Batujajar yang menjual lahan, dipilih 20 kk dari 55 kk yang menjual lahan.

3.3 Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan untuk menggali fakta dan informasi di

lapangan pada penelitian ini adalah gabungan antara pendekatan kuantitatif dan

kualitatif. Data kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner sebagai

instrumen utamanya sementara data kualitatif dikumpulkan dengan menggunakan

teknik observasi, wawancara mendalam yang dipandu oleh panduan waw ancara,

maupun wawancara tidak terstruktur. Semua informasi yang diperoleh

Page 44: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

44

didokumentasikan dalam bentuk catatan harian. Kuesioner yang digunakan dalam

penelitian ini merupakan kuesioner dengan pertanyaan-pertanyaan yang berbentuk

terbuka dan tertutup. Data dalam penelitian ini dibagi kedalam dua jenis yaitu data

primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung oleh

peneliti, baik itu data dari kuesioner, wawancara, maupun hasil pengamatan. Sementara

data sekunder meliputi data -data atau informasi yang diperoleh dari sumber-sumber

sekunder, seperti data monografi desa atau sumber pustaka lainnya. Adapun tingkat

analisis penelitian ini adalah rumahtangga.

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer

diperoleh melalui survei dan wawancara langsung kepada responden yang ditentukan,

dengan mengunakan kuisioner atau daftar pertanyaan yang telah disediakan. Juga hasil

pengamatan di lapangan dan wawancara langsung kepada informan kunci di desa, serta

aparat desa.

Data sekunder diperoleh dari daftar isi potensi desa, serta sumber-sumber lain

yang menunjang maksud tujuan penelitian. Data hasil penelitian diolah dengan

menggunakan metode analisa tabel frekwensi dari hasil pengamatan dan wawancara

dengan responden (metode kuantitatif) juga mendeskripsikan dan mengintrepretasikan

fenomena hasil pengamatan lapangan dan wawancara dengan responden maupun

informan kunci.

Page 45: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

45

BAB IV

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Letak Geografis Batujajar

Desa Batujajar, sebagai salah satu desa di Kecamatan Cigudeg, yang terletak

antara jalan Bogor dan Jasinga, dengan ketinggian tempat antara 300-400 meter di atas

permukaan air laut. Secara administrasi desa Batujajar merupakan bagian dari wilayah

Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat, yang terletak di sebelah

barat Gunung Salak. Desa Batujajar terdiri dari 11 dusun, dengan luas wilayah 820 ha,

serta berbatasan dengan desa lain yang masih dalam satu kecamatan maupun kecamatan

lain. Batas wilayah tersebut adalah dengan desa Rengasjajar di sebelah barat dan

selatan, Tegallega di sebelah timur dan desa Dago kecamatan Parung Panjang di

sebelah utara.

Ditinjau dari potensi sosial ekonomi desa Batujajar merupakan desa dengan

penghasil hasil tambang terbesar kedua setelah Rengasjajar. Pusat pemerintahan desa

Batujajar terletak kurang lebih 16 km sebelah barat ibukota kecamatan, dari ibukota

Kabupaten Bogor terletak kurang lebih 60 km. Antara pusat pemerintahan desa dengan

ibukota kecamatan dan ibu kota kabupaten maupun ibukota propinsi dihubungkan

dengan jalan tanah dan aspal, sedangkan dengan desa lain dalam satu kecamatan

dihubungkan dengan jalan tanah dan jalan aspal pula. Pada umumnya sebagian besar

penduduk desa Batujajar adalah petani dan buruh.

Dengan penguasaan lahan yang rata-rata kurang dari 2.500 m2, menjadikan

mereka petani subsisten. Hasil utama pertanian di desa Batujajar adalah padi. Adapun

Page 46: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

46

komoditas lain seperti palawija, cabe da n tomat belum banyak dikembangkan karena

keterbatasan serta penguasaan teknologi budidaya yang masih rendah.

4.1.1 Lingkungan Alam

1. Topografi

Wilayah desa Batujajar mempunyai ketinggian antara 300 - 400 meter di atas

permukaan laut. Secara umum merupaka n daerah perbukitan dengan lembah-lembah

datar untuk persawahan. Karena banyaknya perbukitan yang berisi batu gunung maka

banyak daerah perbukitan Batujajar yang dialih fungsikan untuk pertambangan batu

gunung. Ada sekitar tujuh perusahanaan yang sudah membeli tanah yang berupa bukit

dari masyarakat, baik oleh pihak pemerintah maupun swasta, yang kesemuanya

mencapai 419,5 ha atau sekitar 51,15 persen dari keseluruhan luas Desa Batujajar (Lihat

tabel 1).

Tabel 1. Penguasaan Lahan Oleh Perusahaan Pertambangan di Desa Batujajar No Nama Perusahaan Luas Lahan

(ha) Status Tambang Lokasi

1 PT.Manik Jaya 2 42 Aktif Dukuh Wakaf 2 PT.Indocement 31,5 Non aktif Tipar/Bolangh 3 PT.Batutama 82 Non aktif Wakaf 4 PT.Silkar 10 Non aktif Wakaf 5 PT.SumoBotang 9 Non Aktif Curug 6 PT.Antasari Raya 98 Non Aktif Pasir Kalong 7 Perkebunan 147 Aktif Wakaf

Jumlah 419,5

2. Temperatur udara

Data mengenai temperatur di wilayah desa Batujajar tidak dapat diperoleh,

namun demikian temperatur dapat diketahui dengan cara perhitungan matematika.

Sandy (1987:8) menjelaskan bahwa suhu rata-rata tahunan di permukaan daratan pada

ketinggian 0 meter di atas permukaan air laut adalah 26 C°. Selanjutnya dikatakan

bahwa setiap kenaikan 100 meter di atas permukaan air laut terjadi penurunan suhu

yaitu sebesar 0,6 C°. Wilayah desa Batujajar terletak pada ketinggian 300 meter sampai

Page 47: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

47

400 meter di atas permukaan air laut. Dengan menggunakan formula yang dikemukakan

oleh Dames, maka dapat diperhitungkan bahwa secara keseluruhan wilayah desa

Batujajar mempunyai temperataur antara 23,6 C ° – 24,2 C°.

Menurut Yoshida (1983) bahwa pertumbuhan padi secara optimum memerlukan

suhu antara 20 sampai 35 C°. Dengan mendasarkan pada persyaratan tersebut, maka

desa Batujajar dapat dikatakan memenuhi persyaratan untuk pertumbuhan dan

perkembangan tanaman padi secara optimum.

3. Tanah

Tanah merupakan akumulasi tubuh alam yang bebas, menduduki sebagian

permukaan bumi yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat-sifat sebagai

pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam keadaan

relief tertentu selama jangka waktu tertentu pula (Darmawidjaja,1970: 9).

Jenis tanah yang terdapat di desa Batujajar termasuk jenis tanah latosol,

merupakan tanah yang faktor pembentuknya terdiri dari bahan induk berupa abu

volkanik, tanah liat, dengan topografi berbukit-bukit, dan landai. Dengan jenis tanah

semacam itu, tanah di Batujajar sebenarnya sangat cocok untuk lahan pertanian padi

sawah dan tanaman budidaya seperti sawit, durian dan kelapa.

4. Tata Air

Air pengairan merupakan kebutuhan pokok bagi pertumbuhan tanaman

khususnya dibidang usaha tani. Wilayah desa Batujajar dilalui beberapa anak sungai

serta beberapa mata air, dengan kondisi demikian maka desa Batujajar dapat

dimanfaatkan untuk usaha pertanian, perikanan darat maupun perkebunan. Kedalaman

air di desa Batujajar berkisar antara 4 sampai 6 meter.

Lahan pertanian di desa Batujajar sebagian besar memakai irigasi teknis, irigasi

sederhana dan juga mengandalkan air hujan. Lahan sawah bisa ditanami padi dua kali

Page 48: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

48

selama setahun, namun kalau pasokan air melimpah yang biasanya terjadi pada waktu

musim hujan maka panen padi bisa dilakukan sebanyak tiga kali. Namun meskipun

pengairan bisa dibilang lancar belum berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas

padi.(Tabel 2)

Tabel 2. Perkembangan Produktivitas Lahan di Desa Batujajar Perhektar Tahun No Lokasi

1985 1995 2005 1 Curug 1,5 ton 2 ton 1,7 ton 2 Tipar 1,8 ton 1,5 ton 2 ton 3 Pasir Gedong 1,8 ton 1,8 ton 2 ton 4 Bolang 1 ton 1,5 ton 1,5 ton

Rata-Rata 1,67 ton Sumber : Data primer 2005

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa produktivitas lahan sangat rendah

dibandingkan dengan daerah lain di Jawa semisal Cirebon utara yang mencapai

produkrivitas lima sampai enam ton perhektar (Breman dan Wiradi,1999).

4.1.2 LINGKUNGAN FISIK

1 Tata Guna Lahan

Penggunaan lahan yang dominan di desa Batujajar adalah lahan pertambangan

yang luas arealnya sebesar 292,5 ha. Urutan Yang ke dua adalah persawahan yang

terbagi menjadi tiga yakni, pertama lahan irigasi teknis 100 ha, kedua sawah irigasi

setengah teknis seluas 50 ha dan yang ketiga sawah tadah hujan sejumlah 47 hektar.

Urutan ke tiga, penggunaan lahan untuk perkebunan seluas 147 Ha (17,9%)

perumahan da n pekarangan dengan luas areal 12 ha dan 145,5 ha dari luas desa.

Penggunaan lahan untuk jalan dan sungai menduduki urutan kelima dengan luas

areal 20 ha atau 2,4 persen dari luas seluruh desa, kemudian disusul penggunaan lahan

untuk kuburan dengan luas areal 5 ha atau 0,6 persen dari luas seluruh desa. Dan yang

terakhir adalah penggunaan lahan untuk lapangan dengan luas areal 1 hektare atau 0,12

persen dari luas seluruh desa. Mengenai luas masing-masing penggunaan lahan

tersebut disajikan pada tabel di bawah ini

Page 49: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

49

Tabel 3. Bentuk Penggunaan Lahan di Desa Batujajar Tahun 2005 Bentuk Penggunaan Luas (ha) Persen

1. Pertambangan 292,5 35,6 2. Persawahan 197 24 3. Perkebunan 147 35,6 4. Pekarangan 145,5 17,1 5. Jalan dan Sungai 20 2,4 6. Pemukiman 12 1,5 7. Kuburan 5 0,6 8. Lapangan 1 0,12

Sumber : Data Monografi desa Batujajar 2005.

Bila dilihat dari luas lahan, yang dominan adalah pertambangan yaitu 35,62

persen dari luas desa Batujajar, maka dapat dikatakan bahwa pertambangan

merupakan modal utama untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat desa Batujajar.

Sedangkan dengan luas lahan sawah sebesar 197 ha maka dibandingkan dengan jumlah

penduduk Batujajar yang mencapai 5.272 (2004) maka kepadatan agraris hanya sekitar

373,4 m², kalau dihitung perkepala keluarga yang mencapai 1.080 maka rata-rata

menguasai sebesar 1.869,2 m².

Luas sebesar itu dapat dikatakan tergolong sempit. Apabila ditanami padi

kemungkinan untuk mencukupi kebutuhan hidup relatif sulit, kecuali jika ada

tambahan penghasilan yang didapat di luar sektor usaha tani semisal perdagangan

maupun pertambangan ataupun usaha lainnya.

2. Perumahan

Pemukiman penduduk di wilayah Batujajar berciri menyebar dan kurang tertata

dengan baik. Batas antara rumah yang satu dengan yang lainnya biasanya hanya berupa

pagar tanaman hidup. Namun demikian masyarakat mempunyai hubungan yang baik

antar tetangga. Hal ini tercermin dari adanya kerjasama antar masyarakat dalam

penyelengaraan pesta hajatan atau dalam kegiatan upacara kematian. Kondisi

rumah-rumah hunian masyarakat Batujajar cukup beragam, dari keseluruhan jumlah

rumah yang ada di desa Batujajar 1.070 buah, terdiri dari 778 buah rumah permanen dan

292 buah rumah tidak permanen. Dari seluruh rumah ter nyata terdapat 284 buah

Page 50: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

50

(26,5%) memiliki sanitasi (WC) sendiri, sedangkan keluarga yang menggunakan MCK

di sungai mencapai 350 atau sekitar 32,7 persen.

Desa Batujajar merupakan salah satu unit pemerintahan terkecil dibawah

kecamatan Cigudeg. Desa ini me liputi 11 (sebelas) wilayah administrasi yang disebut

dusun. Dusun-dusun itu sendiri meliputi unit-unit administrasi yang disebut kampung.

Setiap kampung terbagi dalam rumahtangga-rumahtangga yang didiami oleh penduduk

dan secara keseluruhan membentuk suatu lingkungan sosial tersendiri. Pola pemukiman

penduduk menyebar diseluruh desa namun kebanyakan pemukiman berada dipinggir

jalan besar. Kondisi kawasan berupa perbukitan juga menjadi faktor terpencarnya

pemukiman warga. Warga lebih memilih tinggal di daerah dataran rendah dibandingkan

daerah dataran tinggi. Hal ini dimungkinkan mempunyai rumah di pinggir jalan lebih

mudah aksesnya terhadap kebutuhan sehari-hari.

Kalau melihat kondisi rumah untuk mengetahui tingkat kemakmuran masyarakat

di desa Batujajar maka dusun Sinengah yang rata-rata dihuni orang-orang berada.

Bangunan rumah besar-besar dengan perabotan yang merupakan ciri masyarakat kota,

sedangkan dusun yang paling miskin adalah dusun Bolang yang sebagian besar

masyarakatnya menempati rumah yang sangat sederhana, ukuran kecil dan kebanyakan

setengah permanen.

Pengelolaan sampah di perkampungan, biasanya sampah dibuang begitu saja di

tanah-tanah kosong di sekitar rumah-rumah mereka bahkan juga dibuang ke sungai,

tetapi dalam kondisi kering biasanya dibakar.

4.1.3 Demografi Desa Batujajar

1. Penduduk

Penduduk Batujajar sebagian besar merupakan masyarakat asli dengan

komposisi 97 persen masyarakat asli dan tiga persen pendatang, dengan jumlah

Page 51: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

51

penduduk sebanyak 5.272 tahun 2004. Jumlah penduduk laki-laki lebih banyak

dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan yaitu sekitar 2.742 jiwa atau 52

persen penduduk laki-laki dan 2.527 jiwa atau 48 persen penduduk perempuan.

Bila dilihat dari komposisi penduduk menurut umur, terlihat bahwa peresentase

pendududk usia muda (0-15 tahun) cukup tinggi yaitu sekitar 39,7 persen dan

penduduk usia belum wajib sekolah (< 6) juga cukup besar sekitar 19,8 persen dari

total penduduk. Penduduk usia tua (> 60 tahun) juga cukup tinggi yaitu sekitar 18,4

persen. Sebagian besar penduduk merupakan penduduk usia produktif (16-60) tahun,

yaitu sekitar 41,8 persen. Banyaknya penduduk usia non-produktif dan sedikitnya

penduduk usia produktif, bisa memberikan kemungkinan yang berbeda, yaitu (angka

harapan hidup penduduk Batujajar tinggi; (2) keluarga cenderung mempunyai anak

lebih dari satu dengan rentang kelahiran yang rendah. Bila diasumsikan bahwa

pendududk usia non produktif adalah usia 0-15 tahun dan > 60 tahun, maka Rasio

Beban Tangungan (RBT), jumlah penduduk usia non produktif yang ditanggung oleh

penduduk usia produktif adalah sekitar sebesar 139,4 jiwa10. Rasio beban tanggungan

sebesar ini bisa dikatakan tinggi, karena dari 100 orang penduduk usia produktif

menanggung sekitar 139 orang penduduk usia non produktif.

Kepadatan pendududk Batujajar, dengan luas desa sekitar 820 ha, pada tahun

1994 sekitar 5.112 jiwa dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 5.272 jiwa.

Tabel.4. Jumlah dan Persentase Pria dan Wanita Penduduk Batujajar menurut Usia No Usia Pria Persen Wanita Persen 1 0 – 6 540 10,2 506 9,6 2 7-15 511 9,7 543 10,2 3 16-60 1 176 22,3 1 026 19,5 4 >60 518 9,8 452 8,6

Jumlah 2 742 52 2 527 48 Sumber: Data monografi desa Batujajar 2005.

10 RBT= Jumlah Pendududk Usia 0-15 Tahun dan Usia>60 tahun Jumlah penduduk Usia 15 tahun - usia 60 Tahun

Page 52: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

52

2. Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan disini mengacu kepada sumber nafkah utama penduduk

Batujajar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa

sebagian besar pendududuk Batujajar adalah petani dan buruh tani. Jumlah pendududk

usia kerja di desa Batujajar adalah 28 persen. Penduduk yang belum bekerja adalah

44,9 persen Selanjutnya penduduk yang bukan usia kerja adalah 27,1 persen Dari data

ini dapat dilihat bahwa jumlah penduduk yang bukan usia kerja hampir sebanding

dengan penduduk usia kerja dan jumlah penduduk yang bekerja lebih lebih banyak

dibandingkan penduduk yang tidak bekerja.

Tabel 5. Kondisi Ketenagakerjaan Masyarakat Batujajar. No Kategori Jumlah Persen 1 Penduduk usia kurang dari 15 tahun 2 109

40,0 3 Jumlah Angkatan kerja penduduk usia 15-55 670 12,7 4 Jumlah Penduduk Usia 15-55 yang masih sekolah 57 1,1 5 Jumlah Penduduk usia 15-55 yang menjadi ibu

rumahtangga 1 080 20,5

6 Jumlah Penduduk usia 15-55 yang bekerja penuh 105 1,9 7 Jumlah penduduk usia 15-55 tahun yang bekerja tidak

tentu 205 3,8

8 Penduduk usia ≥56 1 046 19,8 Jumlah Total 5 272 100,0

Sumber : Data monografi desa Batujajar 2005

Pemilikan dan penguasaan lahan berpengaruh terhadap pilihan kerja masyarakat.

Dari data tabel 6 menunjukkan bahwa sektor pertanian (petani, buruh tani) menjadi

pekerjaan utama masyarakat Batujajar. Kecenderungan menunjukkan sektor pertanian

hanya digeluti oleh orang-orang tua. Sedangkan anak-anak muda lebih cenderung

bekerja di kota, sebagai buruh bangunan, buruh pabrik atau berdagang. Sedangkan

pemuda yang tetap berada di desa lebih memilih menjadi tukang ojek, atau menjadi

buruh di pertambangan sebagai sopir atau Pemantek.1

Page 53: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

53

Tabel 6. Jumlah Penduduk Usia Kerja Desa Batujajar Menurut Matapencaharian Tahun 2003

No Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1 Karyawan

a. Pegawai negeri sipil/TNI

12 0,56

b. Pemsiunan PNS 8 0,37

c. Swasta 108 5,10 2 Pedagang 303 14,31 3 Tani dan Buruh Tani 1 850 87,38 4 Peternakan 2 0,09 5 Penggilingan Padi 5 0,23 6 Pertukangan 7 0,33 7 Penyewaan Traktor 1 0,04 8 Angkutan 7 0,33 9 Ojek 24 1,13 10 Jasa Lainnya 93 4,39

Total 2 117 100 Sumber : Data monografi Desa Batujajar 200 3

3. Pendidikan

Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan menggambarkan tingkat

kemajuan suatu wilayah dalam pembangunan, baik pembangunan pada tingkat

pendidikan itu sendiri maupun pembangunan yang lain seperti dalam bidang ilmu

pengetahun. Penduduk desa Batujajar menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada

tabel 7 yang menunjukkan bahwa umumnya tingkat pendidikan di desa Batujajar saat

ini adalah tidak sekolah atau tidak tamat SD mencapai 6,7 persen, SD 75,2 persen,

SLTP 0,76 persen, SLTA 0,57 persen serta perguruan tinggi 0,17 persen.

Tabel 7. Jumlah dan Presentase tingkat Pendidikan Desa Batujajar Tahun 1994 dan2004 Tahun 1994 Tahun 2004 No Tingkat Pendidikan Jumlah Jiwa Jumlah Jiwa

1 Belum Sekolah 1 006 6,8% 924 17,5% 2 Tidak Tamat SD 350 0,7% 355 6,7% 3 SD/Sederajat 3 693 72,2% 3 934 75,2%

4 SLTP 37 0,4% 40 0,76% 5 SLTA 23 0,05% 30 0,57% 6 PT/Akademi 3 19,6% 9 0,17%

Jumlah 5 112 100 5 272 100 Sumber : Data monografi Desa Batujajar

1 Pantek. Buruh pemecah batu di daerah pertambangan. Batu yang berdiameter antara 0,5-1 meter dipecah dengan palu besar, menjadi kepingan sebesar kepalan tangan.

Page 54: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

54

4.2 Kehidupan ekonomi, Sosial dan Budaya.

1. Kehidupan Ekonomi.

Di daerah Batujajar suatu hal yang menjadi ukuran ekonomi dan kebanggaaan

penduduk adalah rumah, sawah dan perabotan mewah. Kesadaran untuk investasi

terhadap pendididkan bagi anak-anaknya masih belum membudaya. Kondisi rumah di

desa Batujajar secara keseluruhan cukup bagus, dengan artian, sudah tidak terlalu

banyak penduduk yang rumahnya berlantai tanah dan berdinding anyaman. Sebagian

besar besar sudah permanen dan semi permanen, namun kalau dilihat dari kelengkapan

sanitasi maka masih kurang. Hampir 90 persen responden masih menggunakan sungai

untuk mandi, cuci dan kakus (MCK).

Umumnya yang bekerja adalah kepala rumahtangga. Tiap kepala rumahtangga

menanggung empat sampai delapan orang. Kondisi rumahtangga yang kurang mampu

akan mendororng tenaga kerja dari pihak istri dan anak-anak untuk turut serta mencari

uang. Kondisi inilah yang mendororng or ang tua yang kondisi ekonominya sulit untuk

melepas/menikahkan anaknya di bawah umur 20 tahun.

Kebutuhan pokok yang lain adalah makan. Makanan pokok adalah nasi, yang

pada umumnya penduduk makan tiga kali sehari, tetapi ada juga yang hanya makan dua

kali sehari. Hal ini karena kebiasaan. Sesuai dengan kemampuannya dalam hal makan,

mereka menggunakan sayur. Kebanyakan sayur diperoleh dari pekaranganan, antara

lain daun ketela daun mlinjo, terong dan sebagainya, atau dapat diperoleh dari warung

secara membeli. Pada saat makan kecuali mengguanakan sayur, juga menggunakan

lauk-pauk. Lauk pauk yang digunakan beraneka ragam jenisnya, ini tergantung dari

kondisi ekonominya. Kebanyakan lauk pauk yang digunakan adalah ikan asin, tahu,

tempe, krupuk, daging/ikan, telor dan sebagainya. Mengenai buah-buahan masyarakat

Page 55: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

55

menanamnya di gunung-gunung tanah perusahaan yang belum ditambang yakni

biasanya ditanamai pisang dan durian serta kelapa.

Sementara itu tinggi rendahnya taraf hidup seseorang ditentukan oleh besar

kecilnya pendapatan mereka masing-masing. Pendapatan rata-rata perkapita juga

dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah keluarga atau penduduk setempat. Sehubungan

dengan hal tersebut pendapatan rata-rata perkapita di desa Batujajar adalah

Rp9.600.000,00. Untuk mengetahui tingkat kecukupan daerah ini, perlu dikemukakan

tentang kriteria pendapatan perkapita kedalam golongan cukup atau tidak cukup.

Pendapat Sayogyo, yang telah merinci kebutuhan kalori kedalam kelompok garis

kemiskinan berdasarkan takaran beras sebagai pengganti sebesar 320 kg pertahun

perorang berarti masuk kategori cukup atau tidak miskin. Penghasilan 320 kg sampai

240 kg pertahun perorang adalah miskin; penghasilan antara 240-180 kg pertahun

perorang adalah miskin sekali. Berdasarkan kriteria tersebut yang tergolong cukup

adalah dari yang berpenghasilan 320 kg beras keatas di daerah pedesaan dan 480 di

daerah perkotaan. Oleh karena daerah penelitian merupakan daerah pedesaan, maka

dalam penulisan digunakan kriteria minimal setara dengan 320 kg beras pertahun

perorang berarti cukup dan penghasilan setara dengan kurang dari 320 kg beras berarti

tidak cuku

Tabel 8. Jumlah dan Persentase Pendapatan Responden No Pendapatan/Bulan

( Rp) Jumlah persen

1 < 432 000 15 75 2 432 000 - 750 000 3 15 3 >750 000 2 10

Jumlah 100

Pendapatan responden tersebut apabila disetarakan dengan beras bernilai lebih

dari 320 kg, yang bila di setarakan kerupiah akan mencapai angka Rp72.000,00/ bulan /

kepala, berarti tingkat kecukupan pangan hanya 15 persen cukup dan 10 persen lebih

Page 56: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

56

dari cukup dan hampir 75 persen berada dibawah angka kecukupan minimal menurut

ukuran Sayogjo. Berdasarkan perkiraan harga rata-rata, beras per kg adalah Rp2.700

maka garis kecukupan pangannya Rp72.000,00/bulan/kepala. Sementara itu jumlah

perkepala keluarga enam orang, maka garis kecukupan pangan perkeluarga adalah Rp

5.184.000 pertahun

Tabel 9. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Dusun di Desa Batujajar. No Nama Dusun

Jumlah Penduduk

Miskin Persen

1 Sinengah 12 8,2 2 Tipar 10 6,8 3 Wakap 8 5,47 4 Pasir Gedong 3 2,05 5 Bolang 32 21,9 6 Babakan 47 32,19 7 Curug 3 2,05 8 Pasir Kalong 23 15,75 9 Pabuaran 8 5,479

Jumlah 146 100 Sumber: Data Monogarafi Desa Batujajar Juli 2005

Pengangguran kelihatan mencolok sekali dimasyarakat Batujajar, selama

pengamatan penulis, tiap hari bisa melihat pemuda maupun orang tua yang nongkrong

tanpa ada kerjaan setiap jam produktif, yakni jam 9-12.00 sehingga akibatnya mereka

memanfaatkan adanya uang setoran (upeti) dari truk-truk yang lewat. Pos yang

dibangun sepanjang jalan di Batujajar ada sekitar, tujuh pos yang setiap pos mengutip

tarif yang berbeda. Nilainya sekitar Rp 2.000-Rp 4.000 per sekali jalan. Setiap hari

diperkirakan ada sekitar seratusan truk yang melewati jalan di Batujajar, sehingga bisa

dihitung pemasukan kas desa perharinya hampir mencapai Rp300.000-Rp400.000 atau

sekitar Rp12.000.000 perbulan. Namun sebagaimana yang penulis konvirmasikan

dengan aparat desa yakni pembantu sekretaris desa pemasukan ke desa perharinya

sekitar Rp20.000,00 per hari.

Page 57: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

57

2. Kehidupan Sosial Budaya

Kehidupan masyarakat yang sebagian besar dipengaruhi adat sunda.

Kehidupan keagamaan tidak terlalu nampak, kalau mengacu pembagian golongan

keagamaan oleh Gertz yang membagi menjadi tiga golongan yakni abangan, santri dan

priyayi, sebagian besar masyarakat desa Batujajar masuk dalam golongan abangan.

Meskipun ada lima lembaga keagamaan (pesantren) dan juga rumah–rumah untuk

mengajari ngaji terhadap anak-anak kecil, ciri yang menonjol masih kuatnya adat sunda

dalam peri kehidupan sehari-hari. Ada dua golongan tokoh masyarakat terkait dengan

pengaruhnya dalam hal keagamaan, yakni yang anti Speker (mengharamkan TV dan

pengeras suara) dan ada yang membolehkan. Dua tokoh masyarakat ini punya

kecenderungan kuat untuk perang pengaruh di desa Batujajar. Masing-masing pihak

memegang keyakinan masing-masing, namun golongan yang anti speker dimasyarakat

punya citra yang kurang baik. Semisal Ustadz dari golongan aspek tak akan menghadiri

acara perkawinan yang menggunakan speker dalam mendukung kemeriahan acara

meskipun sudah diundang. Sedangkan dari pihak yang mendukung pengeras suara

biasanya lebih moderat (toleran).

3. Teknologi Penanaman Padi

Hampir 98 persen lahan sawah di desa Batujajar ditanami padi. Penanaman

biasanya dimulai bulan Desember dan panen sekitar bulan Mei. Lahan sawah rata -rata

ditanami 2 kali selama setahun, namun jika air melimpah yakni pada musim penghujan

maka panen bisa dilakukan sebanyak 3 kali. Produktivitas lahan buat penanaman padi

tergolong rendah yakni sekitar 1,6 ton per hektarnya. Hal ini sebenarnya diakui oleh

responden bahwa produktivitas yang rendah sebagai akibat dari minimnya pengetahuan

menanam padi serta modal untuk membeli benih pabrik. Benih yang petani gunakan

biasanya diambil dari hasil panen. Yang dirasa terbaik (padat berisi dan besar) mereka

Page 58: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

58

sisihkan untuk dijadikan benih. Menurut responden sebenarnya pihak desa pernah

memberikan penyuluhan tentang pemakaian bibit yang baik namun karena terbatasnya

modal maka petani cenderung “berhemat” dengan membuat bibit sendiri.

Cara pengolahan lahan di desa Batujajar hampir sama dengan petani-petani

Jawa lainnya, alat yang mereka gunakan yakni cangkul, sabit, parang dan alat luku

beserta kerbaunya. Pertama kali yang dilakukan untuk membudidayakan tanaman padi

adalah dengan membersihkan sisa tanaman hasil panen sebelumnya, yaitu dengan

memotong-motong jerami dan membakarnya. Abu dari jerami mereka taburkan

keseluruh lahan yang mau ditanami. Menurut responden cara ini lebih cepat dari pada

dibiarkan membusuk walaupun mereka paham bahwa jerami yang membusuk dapat

menjadi pupuk yang baik buat tanaman padi. Alasan lainnya yakni ketika

menggaru/ngluku jerami yang dibiarkan akan menghalangi kerja, karena biasanya

menyangkut di alat bajak/luku sehingga beban tenaga menjadi berat.

Sekitar 3 sampai 4 minggu sebelum mengerjakan sawah para petani sudah

terlebih dahulu membuat persemaian. Dengan demikian pada tiba saatnya menanam,

maka bibitnya sudah siap. Setelah itu laha n mulai diairi dan didiamkan selama

beberapa hari. Setelah lahan dirasa cukup gembur maka mulailah dibajak dengan

menggunakan luku. Alat ini digunakan untuk membalik tanah supaya akar-akar

tanaman sebelumnya bisa terangkat dan mati. Di desa Batujajar biasanya luku ditarik

kerbau. Pemakaian luku yang ditarik kerbau lebih banyak diminati petani ketimbang

traktor mesin, yang kepemilikannya hanya satu orang di desa Batujajar. Alat luku tidak

semua petani mempunyai, maka untuk menggarap lahan sawahnya biasanya

dikerjakan dengan mengupah orang lain yang punya luku, dengan bayaran kerja yang

dihitung dengan ukuran mereka sendiri. Pengerjaan ngluku dimulai pukul 07.00-10.00

Page 59: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

59

dengan ongkos Rp 30.000, tanpa tambahan rokok atau makanan ringan, dan

Rp.25.000,00 jika memberi makan dan rokok.

Selanjutnya jika tanahnya sudah diluku atau dibedah maka tanah dibiarkan

untuk beberapa hari lamanya dengan harapan supaya akar-akar yang terbalik dan sisa-

sisa tanaman menjadi busuk dan dapat dimanfaatkan untuk pupuk. Selain menungggu

waktu petani disibukkan dengan adanya pekerjaan lain seperti memperbaiki saluran air,

mencangkuli pematang yaitu ditampingi pada bagian pematang yang tegak selanjutnya

pada pematang yang datar mulai diperbaiki dan ditambah tanah dari sawah atau

ditemboki. Disamping itu juga mencangkuli pada sawah yang tidak terjangkau oleh

luku yang disebut disiku.

Didalam mengolah sawah yang akan ditanami padi, pengairannya selalu dijaga

dan jangan sampai kekeringan. Sebab bila sampai terjadi maka tanah yang akan diolah

menjadi keras. Berikutnya mulai meratakan tanah dengan menggunakan garu yang

ditarik oleh sapi dan kerbau. Pada hari berikutnya tanah yang sudah diratakan itu

langsung dilumatkan dengan menggunakan garu yang ditarik oleh sapi atau kerbau.

Dengan selesainya digaru, maka lahan tersebut siap untuk ditanami, namun sebelumnya

lahan tersebut diberi pupuk TSP dan didiamkan selama semalam supaya pupuknya

mengendap dan tanahnya tidak panas.

Setelah tanamannya kira-kira 2 minggu mulai dibe ri pupuk kimia atau Urea.

Memupuk tanaman pada waktu ini dimaksudkan supaya tanamannya bertunas banyak

banyak dan dapat tumbuh dengan subur. Sebelum sawah tersebut diberi pupuk lebih

dahulu sawahnya dikeringkan atau tidak dialiri sekitar 4 hari. Hal ini dimaksudkan

supaya pupuknya mengendap ke tanah dan dimakan oleh akar padi. Dengan diberinya

pupuk, maka akan merangsang tumbuhnya rumput liar. Untuk itu setelah rumputnya

bermunculan biasanya langsung disiangi atau di bersihkan. Pada waktu menyiangi

Page 60: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

60

biasanya menggunakan alat sabit atau menggunakan tangan dengan cara dicabuti

rumputnya.

Selama perawatan tanaman, selain menjaga pengairan menyiangi dan memberi

pupuk bila tanaman padi terserang hama, maka secepatnya harus diberantas. Menurut

para responden, bila tanaman terserang hama tikus dan keong mas maka paling susah

untuk memberantasnya. Tikus menyerang ketika tanaman hampir panen, biasanya pada

malam hari. Sedangkan hama keong menyerang ketika tanamaan baru berumur

seminggu sampai sebulan. Yang diserang adalah bagian pangkal tanaman sehingga

tanaman akan layu dan mati. Pemberantasannya amat susah karena jumlahnya untuk

ukuran lahan sawah 2000m² bisa mencapai ribuan keong mas. Sedangkan obat-obatan

di pasaran menurut responden belum ada yang efektif memberantasnya. Untuk itulah

petani menggunakan cara konvensioanal dengan memunguti langsung dan

membungkusnya dengan plastik dan membiarkannya supaya mati

Page 61: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

61

BAB V

STRUKTUR AGRARIA DESA BATUJAJAR

5.1. Sistem Pemilikan dan Praktek Pemanfaatan Lahan

Tanah merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam kegiatan pertanian.

Luas pemilikan dan penguasaan lahan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan

petani. Pemilikan lahan adalah hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang. Hak

milik tersebut dapat diperoleh dari warisan, jual beli, hibah, penukaran atau pemberian

dari pihak lain. Sedangkan penguasaan adalah lahan yang diperoleh dari menyewa,

menggadai atau menyakap lahan pertanian orang lain.

Lahan di daerah penelitian terdiri atas sawah, pekarangan dan tegalan. Sawah

adalah lahan pertanian yang diairi dengan saluran irigasi atau air hujan. Lahan

pekarangan adalah lahan di sekitar rumah, kebanyakan berpagar dan biasanya ditanami

dengan beraneka tanaman musiman dan tanaman tahunan untuk keperluan sendiri

maupun diperdagangkan. Sedangkan lahan tegalan adalah lahan kering di luar

pekarangan yang ditanami tanaman musiman dan tanaman tahunan.

Tabel 10. Luas Pemilikan Lahan Sawah Responden Kepemilikan Lahan Sawah No Luas Lahan Jumlah Persen

1 Tidak punya 4 20 2 <0,25 12 60 3 0,25 - <0,50 2 10 4 ≥0,50 2 10

Jumlah 20 100 Sumber : Data Primer 2005 Sistem pemilikan lahan yang berlaku di desa Batujajar adalah terdiri dari tanah

bersertifikat, dan tanah belum bersertifikat. Tanah bersertifikat telah memiliki dasar

hukum positif yang jelas, yang menunjukkan hak atas tanah dari pemilik tanah. Selain

tanah bersertifikat, masih ada sejumlah luasan tanah yang belum bersertifikat. Secara

Page 62: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

62

hukum normatif (hukum adat) dapat diakui sebagai hak milik, tetapi secara positif tidak

dapat dibuktikan secara jelas. Kecenderungan para pembeli lahan di perbukitan

(Pengusaha), setelah membeli lahan segera mengurus sertifikat lahan sedangkan warga

desa yang sebelumnya memiliki lahan tersebut tidak mempunyai sertifikat, sebagaimana

yang dituturkan Sekretaris desa Batujajar Pak Dadi (40 tahun):

“ Biaya pembuatan sertifikat lahan untuk sebagian besar masyarakat Batujajar boleh dibilang mahal, sehingga kebanyakan masyarakat belum punya sertifikat. Beda dengan pengusah, setelah proses jual beli selesai mereka langsung membuat sertifikat. Mungkin untuk jaga -jaga agar dikemudian hari jika ada sengketa lahan, tidak merugikan pihak pengusaha..”

Tabel 11. Menunjukkan pembagian pemanfaatan lahan yang terdapat di desa

Batujajar. Tanah-tanah ini umumnya dimanfaatkan untuk pemukiman, sawah, ladang

dan pertambangan.

Tabel 11. Jenis Pembagian Pemanfataan Tanah di Desa Batujajar Tahun 2003 No

Jenis Pemanfaatan Luas Lahan (ha) Persentase (%)

1 Lahan Sawah a. Sawah irigasi b. Sawah irigasi

setengah Teknis c. Sawah tadah

hujan

100 50 47

12,2 6,09

5,7

2 Tanah Kering a. Pekarang b.Perladangan c.Pemukiman

145,5

26 12

17,7 3,17 1,46

3 Pertambangan a. Aktif b. Non aktif

42

250,5

5,12 30,5

4 Perkebunan 147 17,9 Total 820 100

Sumber : Data Monografi Desa Batujajar 2003

Page 63: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

63

5.2 Kelembagaan Pemilikan dan Penguasaan Lahan

5.2.1 Bentuk-bentuk sewa dan sakap-menyakap

Beberapa studi kasus di pulau Jawa menunjukkkan di Jawa Barat petani

menyakapkan tanah lebih banyak daripada menyewakan. Sebaliknya di Jawa Tengah

dan Jawa Timur petani-petani lebih banyak menyewakan dari pada menyakapkan. Di

desa Batujajar bentuk sewa dan sakap-menyakap hampir seimbang. Sewa biasanya

dilakukan oleh orang-orang yang mampu dan mempunyai lahan yang luas, sedangkan

sakap-menyakap biasanya dilakukan oleh petani yang tidak punya lahan (tunakisma)

atau yang berlahan sempit. Sewa menyewa lebih banyak dilakukan antara petani yang

agak jauh hubungan kekeluargaannya, sedangkan sakap-menyakap lebih banyak

dilakukan diantara petani yang mempunyai hubungan kekeluargaan yang lebih dekat.

5.2.2 Ceblokan

Ceblokan adalah memanen di sawah orang lain dan menerima dari hasil panenan

sebagai upah memanen. Pemanen (penderep) menerima upah memanen (seperlima

bagian) 20 persen dari hasil yang dipanen. Di Batujajar besarnya bawon (upah berupa

padi) didapat dengan cara ikut memanen dan kerja menyiangi lahan orang lain

disamping itu penyeblok juga harus mengolah tanah. Semua pekerjaan tambahan ini

dilakukan tanpa dibayar (hanya diberi maka n). Hak panen dengan persyaratan-

persyaratan seperti disebut diatas biasa disebut nyeblok atau ceblokan menurut bahasa

setempat.

5.2.3 Maro

Untuk maro penyakap dan pemilik lahan masing-masing menerima separo

bagian dari hasil kotor. Untuk kasus di Batujajar Saprodi ditanggung bersama, penyakap

dan pemilik masing-masing mendukung 50 persen, begitupula dengan hasil panen

pemilik dan penggarap memperoleh bagian yang sama yakni 50:50.

Page 64: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

64

5.2.4 Aturan Sewa-Menyewa

Di desa penyewa membayar sewa kepada pemilik lahan yang besarnya sudah

ditentukan sebelum pengolahan tanah.Kasus yang terjadi di Batujajar adalah

pembayaran sewa ada yang dilakukan menjelang tanah diolah, ada yang dilakukan

setelah atau waktu panen dan ada pula pembayaran dilakukan jauh sebelum masa

pengolahan. Bentuk pembayaran ada yang dengan uang ada pula dalam bentuk hasil

panen. Besarnya sewa antara daerah (dusun) satu dengan lainnya berbeda meskipun

dalam desa yang sama. Hal ini tergantung kesuburan lahan, keadaan pengairan dan juga

lokasi. Daerah pinggiran jalan lebih mahal dibandingkan lahan yang jauh dari jalan.

Besarnya sewa akan dipengaruhi pula oleh harga -harga hasil pertanian yang dapat

dihasilkan diatas tanah tersebut.

5.3 Sejarah Agraria Lokal

Menurut Kartodiharjo (1992), sejarah merujuk pada cerita sejarah, gambaran

sejarah dalam arti subyektif. Subyektif dalam hal ini terkait dengan pemahaman penulis

dalam menggambarkan suatu peristiwa dalam wujud penggambaran suatu peristiwa

dalam wujud uraian atau cerita. Cerita atau uraian menggambarkan fakta -fakta yang

terangkai yang berisi suatu gejala sejarah, baik proses maupun struktur. Selanjutnya

sejarah dalam arti obyektif adalah menunjuk pada kejadian atau peristiwa itu sendiri

yaitu proses sejarah dalam aktualisasinya.

Sejarah juga dapat dipahami sebagai sejarah prosesual yaitu sejarah yang

menggambarkan peristiwa dalam bentuk cerita untuk merekontruksi keingintahuan

terhadap suatu peristiwa (cenderung menampilkan yang terjadi diluar permukaan)

selanjutnya sejarah struktural adalah mencakup jangka penjang dan perubahan struktur

masyarakat dan lingkungan yang terjadi secara lambat laun.

Page 65: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

65

Penelusuran tentang sejarah agraria di Batujajar hanya bisa dilihat setelah tahun

1970-an ke atas. Ini terkait dengan responden yang bisa ditanyai tentang kondisi pada

saat tersebut. Kesenjangan kepemilikan lahan sebenarnya sudah terjadi pada waktu

itu, hanya saja pada tahun 1970-an kebanyaakan kepemilikan lahan masih berada

ditangan warga Batujajar asli.

Bukit-bukit yang hampir seluas 272,5 ha, masih dipunyai warga desa asli

Batujajar. Di bukit tersebut biasanya warga menanami dengan kelapa, pisang, kopi dan

durian. Lahan sawah juga masih terbatas hanya daerah dengan irigasi yang baik bisa

memanfaatkan sawahnya dengan maksimal. Sedangkan lahan-lahan lainnya hanya

merupakan lahan tegalan yang bisa dimanfaatkan untuk menanam kacang tanah (suuk),

terong, dan ubi ketika musim penghujan tiba.

Tahun 1990-an dibangun irigasi teknis, sehingga luas lahan sawah bertambah

menjadi sekitar 3 Ha. La han sawah pada tahun 1990-an sampai sekarang merupakan

ukuran kekayaan yang penting. Namun kepemilikan sawah rata -rata tidak banyak

berubah sampai sekarang. Tahun 1978 muncullah perusahaan yang ingin membeli bukit

di dusun Wakap dan Bolang. Dengan alasan akan ditambang, ada warga yang setuju dan

ada yang tidak setuju. Menurut responden kepala desa waktu itu sering memaksa warga

agar melepas tanahnya di bukit yang akan ditambang.

Warga kebanyakan tertarik dengan tawaran tersebut namun ada juga yang tidak

terlalu tertarik karena lahan tersebut adalah warisan dari orang tuanya selain itu

penawaran yang terlampau murah. Menurut Pak Tohir, kepala desa dan aparatnya

sering memberi ancaman kepada warga agar segera melepas tanahnya, dan akhirnya

pada tahun 1987-an bukit di kampung Bolang Batujajar kepemilikannnya berpindah

dari warga desa keperusahaan. Sebagaimana yang diuangkapka oleh informan (Pak

Tohir 67 tahun)

Page 66: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

66

“ Jamannya kepala desa Pak Ahmad, warga yang tidak mau menjual tanahnya akan terus ditakut -takuti. Padahal warga banyak yang tidak berniat menjual lahannya. Saya yakin pihak desa waktu itu kebagian upah untuk pembebasan lahan dari pengusaha . Tahun 1978 harga tanah di bukit Dusu Bolang hanya dihargai Rp 50-75,00/m2.”

Namun menurut kesepakatan sebelum beroperasinya pertambangan warga

diijinkan untuk menanami bekas lahannya dengan berbagai tanaman yang

menguntungkan seperti bambu, pisang atau sayuran, namun masyarakat tidak diijinkan

untuk menanam tanaman tahunan. Selain perusahaan pada tahun 1990-an muncul

kepemilikan sawah dari warga di luar Batujajar, karena proses penjualan dari warga

desa Batujajar sendiri. Untuk tahun 2005 ada sekitar 13 warga desa lain yang

mempunyai sawah di desa Batujajar hal ini merupakan akibat dari mendesaknya

ekonomi warga sehingga sawah terpaksa dijual.

Tabel.12 Penjualan Lahan Bukit Oleh Warga Batujajar No Nama

Perusahaan Tahun

Pembelian Lokasi Harga

Lahan/m2 ( Rp)

Luas Lahan (ha)

1 PT.Manik Jaya 2

1982 Dukuh Wakaf 1 650 42

2 PT.Indocement 1978 Tipar/Bolang 50 31,5 3 PT.Batutama 1982 Wakaf 1 650 82 4 PT.Silkar 1978 Wakaf 1 500 10 5 PT.SumoBotang 1992 Curug 2 000 9 6 PT.Antasari

Raya 1984 Pasir Kalong 700 98

7 Perkebunan - Wakaf 147

Dengan masuknya perusahaan, serta masuknya pembeli lahan dari luar batujajar

maka perbandingannya kepemilikan lahan adalah 53 persen kepemilikan orang luar dan

47 persen kepemilikannya dikuasai oleh orang Batujajar sendiri

5.4 Tanah Absentia

Penguasaan dan pemilikan lahan di desa Batujajar menggambarkan munculnya

tanah guntay, yaitu pemilikan dan penguasaan tanah yang dimiliki oleh orang di luar

Page 67: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

67

desa Batujajar. Maraknya perusahaan yang ingin menanamkan investasinya di

pertambangan batu, mendorong pelaku-pelaku (oknum) untuk memanfaatkan

kesempatan guna menaikkan harga lahan.

Sebelum tahun 1978 yakni ketika pertama kali perusahaan pertambangan mulai

proses pembebasan lahan, kepemilikan absentia belum terlalu menggejala, namun

disaat perusahaan yang semakin berminat untuk membeli lahan di bukit-bukit di

daerah Batujajar, muncullah calo-calo dari luar maupun dari masyarakat Batujajar

sendiri yang sengaja membeli lahan dari masyarakat dengan harga yang murah,

dengan rencana dijual lagi ke pihak perusahaan. Tidak menutup kemungkinan

keterlibatan aparat desa yang lebih berpihak kepada pengusaha memudahkan proses

alih kepemilikan lahan di Batujajar berjalan sangat cepat.

Dalam proses tersebut terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tentang batas-

batas pemilikan. Batas maksimum dilanggar oleh pihak atau golongan atau kalangan

yang saling bersaing mendapatkan tanah untuk kebutuhan investasi dan spekulasi.

Dalam kasus Batujajar pihak pembeli mempunyai kedudukan yang jauh lebih kuat

dari pemilik/petani kecil yang sering terdesak oleh kebutuhan akan uang tunai.

Page 68: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

68

BAB VI

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KONVERSI LAHAN DI DESA BATUJAJAR

6. 1 Faktor Internal

Terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan pertambangan selalu

memunculkan suatu dilema, antara dua kepentingan. Yakni kepentingan petani untuk

tidak dirugikan dan kepentingan pengusaha yang selalu berorientasi keuntungan.

Peralihan fungsi dari lahan kebun ke pertambangan batu dalam kasus Batujajar bukan

hanya berpengaruh pada petani pemilik lahan yang menjualnya ke Perusahaan tetapi

juga berpengaruh luas terhadap masyarakat Batujajar. Motif pihak pertambangan yang

selalu ingin mendapat keuntungan dengan mengabaikan hak-hak warga, memunculkan

persoalan baru di bidang kenyamanan lingkungan. Sungai yang tercemar dan juga

udara yang kotor akibat pertambangan terpaksa harus “dinikmati” oleh masyarakat desa

Batujajar.

Dengan munculnya pertambangan, tidak secara otomatis menyejahterakan warga

dengan munculnya lapangan kerja baru. Kasus di lapangan menunjukkan terserapnya

tenaga kerja dari warga lokal oleh pertambangan boleh di bilang minim, kebanyakan

warga lokal hanya bekerja sebagai pemecah batu (pantek) dengan penghasilan

perharinya yang tidak tentu, sedangkan posisi yang penting keba nyakan ditempati

warga pendatang seperti yang dituturkan Informan berikut ini:

“...Sejak mulainya pertambangan, udara dideket jalan penuh dengan debu apalagi kalau musim panas, kalau musim hujan jalan becek dan susah dilewati kendaran seperti sepeda. Ini akibat dari truk-truk besar yang membawa batu dari Tambang. Padahal dulunya pihak PT menjanjikan bahwa kalau musim kemarau akan disiram biar gak ada debu tapi toh kenyataannya lain. Begitu juga dengan air sungai

Page 69: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

69

sekarang semakin kotor dengan masuknya debu dan oli dari pertambangan. Warga disini sebenarnya tidak dapat apa-apa, kalaupun ada yang kerja dipertambangan itu pun pada bagian yang tergolong tenaga kasar, semisal pemecah batu. Memang dana konpensasi atau uang debu ada tapi itu jumlahnya tidak sebanding dengan ketidaknyamanan yang kami terima...”

Kalau melihat proses bagaimana petani menjual lahannya ke pihak perusahaan

maka alasan utama petani untuk melakukan penjualan lahan umumnya karena

perekonomian keluarga yang rendah, yaitu sebesar 73,4 persen (tabel 13)

Tabel 13. Alasan Responden Melakukan Konversi lahan.

No Uraian Persentase

1

2

3

4

5

Hasil pertanian yang tidak menguntungkan.

Terpaksa karena kebutuhan

Harga jual tanah menarik

Ikut-ikutan menjual tanah

Karena Paksaan oleh pihak desa

13,3

20

6,6

33

26,6

Dengan demikian alasan petani mengkonversi lahannya bukan alasan

ekonomis. Faktor karena paksaan dan ikut-ikutan menjual lahan, lebih dominan

daripada harga lahan yang tinggi. Hanya 6,6 persen responden menyatakan tertarik

dengan harga yang ditetapkan perusahaan, dan setelah diteliti lebih lanjut responden

yang menyatakan tertarik dengan harga oleh PT adalah Calo yang mendapat

keuntungan dari perusahaan dengan adanya harga yang murah ditingkat petani. Uang

hasil konversi dengan harga rendah kebanyakan dialokasikan bukan pada bidang yang

produktif, tapi lebih pada kegiatan yang sifatnya konsumtif. Petani sebenarnya

merasakan bahwa ganti rugi lahan yang diterimanya tidak memadai untuk membeli

tanah baru yang sepadan, meskipun lahan di bukit hanya memproduksi hasil seperti

buah-buahan dan sedikit tanaman perkebunan.

Page 70: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

70

Maraknya kasus jual beli lahan sebenarnya bisa juga di pahami dengan melihat

pola hidup kebanyakan masyarakat tani di Batujajar. Sebagaimana kalau melihat

pemanfaatan lahan di desa Batujajar bahwa musim tanam petani di desa Batujajar dua

kali dalam setahun. Tanaman yang mereka usahakan sebagian besar adalah padi yang

hasilnya mereka gunakan sendiri dan bukan untuk dikomersilkan atau dijual. Namun

kalau hujan terus menerus, lahan pertanian menjadi banjir sehingga tanaman padi atau

palawija yang ditanam menjadi rusak. Hasil pertanian menjadi tidak menguntungkan

bahkan petani merugi. Berdasarkan data produksi pertanian desa rata-rata produksi

pada tahun 2003 adalah 1,6 ton/hektar. Sedangkan target yang diperkirakan oleh PPl

bila ada sistem irigasi yang baik adalah tiga sampai empat ton/hektar. Sementara biaya

produksi usahatani cukup mahal sebagai contoh untuk pembelian bibit, pupuk, obat-

obatan dan lainnya. Dengan demikian tidak jarang para petani hanya mendapatkan

modal kembali dan bahkan menjadi rugi.

Produksi pertahun yang kurang menguntungkan, mendororng mereka untuk

mempertimbangkan penjualan harga lahan di daerah perbukitan walaupun hasil dari

penjualan tersebut tidak memuaskan. Hampir 100 persen responden yang menjual lahan

ke pertambangan bermata pencaharian sebagai petani dan kehidupan ekonominya

bergantung pada hasil usaha tani. Namun dari jumlah 20 responden hanya 23 persen

yang mempunyai sawah lebih dari 0,25 hektar selebihnya 77 persen petani berlahan

sempit.

Tabel 14. Jawaban Responden Terhadap Hasil Usaha Tani Untuk Kebutuhan Hidup Sehari-hari.

No Jawaban Jumlah (jiwa) Persen 1 Lebih - - 2 Cukup 1 5 3 Kurang 19 95

Sumber : Data Primer, 2005 Dalam kondisi hampir setiap tahunnya hasil panen kurang menguntungkan juga

karena faktor lahan yang sempit, petani merasa sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup

Page 71: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

71

sehari-hari. Pada tabel 14 jelas terlihat bahwa usahatani yang dijalankan responden

kurang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, 95 persen responden mengatakan sulit

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari usaha taninya. Sementara hanya 5 persen

mengatakan sedang atau cukup dan tak seorang responden pun yang mengatakan

bahwa hasil usaha taninya dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagian besar dari

responden berusaha di luar pertanian dengan membuka warung atau melakukan pola

nafkah ganda. Biasanya usaha dagang kecil-kecilan dilakukan oleh ibu-ibu

rumahtangga. Keragaman sumberdaya manusia di desa Batujajar berkaitan erat

dengan perilaku ekonomi masyarakat di sekitarnya. Umur kepala keluarga, tingkat

pendidikan dan jumlah anggota keluarga merupakan suatu faktor yang secara tidak

langs ung ikut menentukan terjadinya konversi lahan. Makin tua umur seseorang, maka

wawasan dan pengalamannya akan bertambah sehingga akan mempengaruhi sikap

dalam pengambilan keputusan. Begitu pula halnya dengan tingkat pendidikan dan

jumlah tanggungan keluarga. Faktor umur memberikan pengaruh terhadap sikap petani

dalam memutuskan untuk menjual lahannya, namun tampaknya bukan hanya faktor

umur tetapi juga terpaut dengan faktor lain yaitu tanggungan keluarga. Semakin

bertambah umur tentunya tuntutan kebutuhan semakin berat, jumlah anggota

keluarga semakin banyak dan biaya menyekolahkan anak pun semakin besar. Inilah

yang mendorong petani untuk melakukan penjualan lahannya.

Konsentrasi terbesar responden berada pada golongan umur yang tua yakni 50

ke atas, tingkat pendidikan rendah dan jumlah tanggungan keluarga yang cukup tinggi,

antara empat sampai lima jiwa.

Page 72: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

72

Tabel.15 Karakteristik Sumberdaya Manusia Responden No Kategori Tingkat

pendidikan Golongan

Umur Jumlah

tanggungan 1 Tinggi - 100 83,3% 2 Sedang 3,3 % - 13,3% 3 Rendah 96,7 % - 3,3%

Rata-rata umur responden yang melakukan konversi lahan adalah 64 tahun.

Ketika pelaksanaan konversai lahan petani memutuskan melakukan konversi adalah

umur 36 tahun sedangkan jumlah rata -rata tanggungan keluarga responden rata-rata

empat jiwa.

Faktor pendidikan petani juga mempengaruhi terjadinya konversi lahan, hal ini

berkaitan dengan semakin rendahnya tingkat pendidikan mereka, maka makin rendah

pula kemampuan ekonominya, sehingga dalam memutuskan untuk mengkonversi

lahannya akan lebih cepat. Dari hasil penelitian tingkat pendidikan petani yang

melakukan konversi lahan rata-rata berpendidikan SD dan tidak tamat SD. Selain

faktor -faktor di atas yang menjadi faktor pendorong petani menjual tanahnya adalah

paksaan dari aparat desa dan juga terpengaruh oleh tetangga yang sudah menjual lahan

duluan. Tidak bisa dipungkiri bahwa respon “positif” petani terhadap harga ganti rugi

lahan adalah kondisi sulit yang dihadapi selama ini, baik karena hasil pertanian yang

kurang mampu memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga dengan adanya tawaran harga

dari calo suruhan pengembang merupakan suatu tawaran “menarik” dalam pemecahan

kesulitan hidup untuk sementara.

Alasan lain yang mendorong petani menjual tanahnya adalah mengikuti petani

lain yang terlebih dulu menjual lahannya. Adapun alasan responden untuk mengikuti

petani lain menjual lahannya , adalah:

1. Melihat petani lain setelah menjual tanahnya merasa senang karena memperoleh

uang banyak.

2. Karena merasa bahwa tanah di bukit kurang menguntungkan.

Page 73: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

73

Sulit mengatakan faktor dominan terjadinya konversi, secara legalitas hukum

dan tataruang bahwa desa Batujajar termasuk kawasan pertambangan. Disisi lain

sebagian besar petani atau warga masyarakat pun secara implisit ingin menjual

lahannya, karena alasan-alasan tertentu pula, meski ada juga sebagian warga yang tidak

menginginkan proses konversi tersebut terlaksana.

6.2 Faktor Eksternal

Ada tiga pelaku yang terkait dengan penggunaan dan penguasaan tanah (yakni

pemerintah, swasta dan masyarakat). Pemerintah melalui proyek pembangunan

membutuhkan sejumlah tanah, begitu pula dengan kapital asing dan kapital domestik

dalam mereakumulasi modalnya juga membutuhkan sejumlah tanah. Sedangkan dipihak

masyarakat sendiri yakni petani sebagai pemakai tradisional harus rela (terdesak)

menyerahkan tanah untuk pembangunan dan reakumulasi kapital dan ganti rugi yang

terlalu rendah adalah instrumen pokok alih pemakaian. Sebagaimanan kasus Batujajar

bukit-bukit yang dinilai kurang produktif, dibeli oleh perusahaan untuk ditambang, hal

ini dapat dipahami bahwa arti penting tanah sudah mengarah kepada kepentingan

akumulasi modal dan peningkatan surplus.

6.3 Mekanisme Konversi Lahan.

Pembebasan lahan di daerah Batujaja r dilaksanakan dalam beberapa tahun

yakni mulai tahun 1978 sampai tahun 2005. Adapun mekanisme pelaksanaan konversi

lahan pada tahap pembebasan sampai proses ganti rugi tanah dapat dilihat pada

gambar dibawah ini.

Page 74: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

74

- -P Gambar 2. Mekanisme Pelaksanaan Konversi lahan.

Sampai tahun 2005 penguasaan lahan oleh pihak pertambangan terlihat pada

tabel 16.

Tabel 16. Tahun Pembelian dan Luas Lahan Yang Di Kuasai Perusahaan di Desa Batujajar

No Nama Perusahaan Tahun Pembelian

Lokasi Luas Lahan (ha)

1 PT.Manik Jaya 2 1982 Dukuh Wakaf 42 2 PT.Indocement 1977 Tipar/Bolang 31,5 3 PT.Batutama 1982 Wakaf 82 4 PT.Silkar 1990 Wakaf 10 5 PT.SumoBotang 1992 Curug 9 6 PT.Antasari Raya 1984 Pasir Kalong 98 7 Perkebunan - Wakaf 147

Sumber : Data monografi Desa BatujajarTahun 2004 Berdasarkan hasil penelitian bahwa pendekatan yang dilakukan oleh pihak

pengembang dalam mendapatkan tanah masyarakat adalah salah satunya melalui calo

diselingi paksaan meskipun pihak pertambangan mengaku telah melakukan rapat

terlebih dahulu dengan pihak masyarakat. Namun dalam pelaksanaan rapat dan

negosiasi, responden bersifat pasif, artinya hanya bisa mengatakan persetujuan

dengan ketentuan yang dilakukan oleh perusahaan dan calo. Hal ini karena kurangnya

pengetahuan tentang konversi lahan dan rendahnya tingkat pendidikan penduduk

Pemerintah

Konversi lahan

Pengembang Masyarakat.

1. Pendekatan 2. Pembebasan tanah 3. ganti rugi lahan

Page 75: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

75

yang menjual lahan sebagai mana yang diuangkap kan oleh responden: Pak Sarhan (65

tahun)

“...Masyarakat memang diajak rapat, tapi pada waktu rapat tersebut masyarakat tidak semuanya mau menjual lahannya. Tapi tiba-tiba ada panggilan dari pihak desa, pada waktu itu kepala desanya Pak Muhammad, untuk ngambil uang hasil penjualan. Padahal saya dan masyarakat lainnya tidak merasa menjual lahan yang ada di bukit. Mau tidak mau uang itu saya ambil...”

Tabel 17. Proses Pendekatan dalam Pembebasan Lahan Responden.

Jenis Frekwensi Responden(%) 1. Diajak Rapat 2. Negosiasi harga

1 1

20 (100) 15 (75)

Sumber: Data Primer,2005 Peranan pemerintah dalam proses konversi lahan dari tegalan ke pertambangan

batu di desa Batujajar tidak berperan aktif, seperti membuat peraturan perundangan

yang berkaitan dengan konversi lahan, menetapkan lokasi dan luas areal untuk kawasan

pertambangan. Pada proses pembebasan tanah dan ganti rugi pemerintah menciptakan

kondisi yang mempermudah pengembang untuk mempermainkan harga lahan dengan

merugikan pihak penjual dalam hal ini masyarakat.

Pada proses pembebasan lahan secara umum terjadi masalah antara pihak

penjual (masyarakat) dan pihak perusahaan, antara lain ganti rugi yang murah,

pembayaran yang tidak tepat waktu dan juga karena adanya pembelian yang

dipaksakan, namun masyarakat tidak bisa menuntut lebih karena pihak pemerintah desa

berada di pihak pengembang. Banyak petani yang merasa di tipu dengan proses jual

beli lahan di bukit, terutama Perusahaan Manik Jaya 2 sebagaimana yang diungkapkan

oleh Informan (Pak Ngadiman) :

“...Masyarakat lebih mengenal Manik Jaya 2 dengan nama Bonen. Bonen itu singkatan dari Rabu dan Senin. Dulu waktu proses jual beli sudah disepakati, masyarakat dijanjikan untuk segera mengambil uang ganti rugi, namun pihak Perusahaan sering ingkar janji, katanya senin, setelah didatangi ..eh...katanya rabu. Be gitu seterusnya. Sehingga masyarakat akhirnya pasrah saja. Dan sampai saat ini masayakat lebih mengenal PT Manik jaya 2 dengan nama Bonen..”

Page 76: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

76

Dalam hal ganti rugi lahan pihak perusahaan membayar dengan harga yang

bervariasi dari tahun ke tahun sebagai mana yang tercantum dalam tabel di bawah ini.

Tabel.18 Besarnya Ganti Rugi Lahan Responden

Tahun pembebasan dan Harga Lahan per m2 Jenis

lahan 1978 1987 1996 1998 2003

Ladang Rp50- 70 Rp750-1 650 Rp2 000-3 000 Rp3 000-3 500 4 500-5

000

Sumber: Data Primer, 2005

Page 77: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

77

BAB VII

DAMPAK KONVERSI LAHAN DI DESA BATUJAJAR

7.1 Penguasaan Lahan

Penguasaan lahan dapat mengggambarkan kemampuan ekonomi rumahtangga

responden. Perubahan luas peguasaan lahan antara sebelum dan sesudah terjadinya

konversi pada rumahtangga responden yang melakukan konversi dapat dilihat pada

tabel 19. Sebelum konversi, responden yang memiliki luas lahan di bukit lebih dari 0,5

hektar sebanyak 15 persen yang menguasai antara 0,25 hektar hingga 0,5 hektar

sebanyak 45 persen, sedangkan yang kurang dari 0,25 hektar 40 persen. Setelah

konversi, hampir 45 persen responden tidak memiliki lahan tegalan lagi.

Penguasaan luas lahan persawahan setelah konversi mengalami peningkatan

Walaupun tidak terlalu signifikan. Rata -rata penguasaan lahan persawahan sebelum

konversi 0,12 hektar meningkat menjadi 0,17 hektar. Sebaliknya penguasaan lahan

tegalan mengalami penurunan dari rata-rata 0,4 hektar sebelum konversi menjadi 0,08

hektar. Disamping itu penguasaan lahan pekarangan responden relatif tidak berubah,

tidak ada petani yang memiliki lahan lebih dari 0,25 hektar.

Tabel 19. Rata-rata Perkembangan Penguasaan Lahan Responden Sebelum dan Sesudah Konversi.

Sebelum Konversi Sesudah Konversi Luasan Lahan Jumlah Persen Jumlah Persen

Sawah 0 3 15 4 20

< 0,25 14 70 12 60 0,25-0,5 1 5 2 10

> 0,5 2 10 2 10 Jumlah Tegalan

0 - - 9 45 <0,25 8 40 8 40

0,25 – 0,5 9 45 3 15 >0,5 3 15 - -

Jumlah

Page 78: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

78

Pekarangan 0 - - - -

<0,25 20 100 20 - 0,25 – 0,5 - - - -

>0,5 - - - - Jumlah

Sumber : Data primer, 2005 Lanjutan Tabel 19

7.2 Adaptasi Rumahtangga Petani Yang Terkonversi Lahannya

Tekanan ekonomi yang dialami rumahtangga petani lapisan bawah yang

terkonversi lahannya memunculkan cara-cara untuk bertahan hidup, yakni dengan

melakukan optimalisasi tenaga kerja rumahtangga dan juga pola nafkah ganda. Selain

itu petani juga pemanfaatan jaringan sosial lewat kelembagaan yang sudah ada di

desa.

Kasus yang terjadi di desa Batujajar menunjukkan hal yang sama seperti uraian

di atas. Terbatasnya penguasaan lahan, pendidikan yang rendah mendorong

rumahtangga kasus untuk mencari terobosan-terobosan agar tetap bisa memenuhi

kebutuhan hidup rumahtangganya.

7.2.1 Pola Nafkah Ganda

Penelitian yang dilakukan oleh White (1991) dan Sayogjo (1991) di dalam

penelaahan ekonomi masyarakat tani, yang dimaksud nafkah ganda yakni usaha di

luar sektor pertanian yang bertujuan menutupi kekurangan dari sektor pertanian.

Sitorus (1991) dan Istiani (1992) menunjukkan bahwa peranan nafkah ganda yang

tidak hanya menggantungkan pada satu mata pencaharian saja, bisa membantu

rumahtangga miskin untuk tetap bertahan hidup.

Kalau melihat rumahtangga kasus yang menunjukkan bahwa penguasaan rata-

rata lahan sawah 1.705m2 dan tegalan 847,5m2, tidaklah menjamin rumahtangga

tersebut untuk untuk mampu mencukupi kebutuhan sehari-harinya, apalagi dengan

kondisi perekonomian Indonesia saat ini yang mengalami tekanan, akibat naiknya harga

Page 79: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

79

minyak yang berimbas pada peningkatan harga semua kebutuhan (sembako) yang

sangat vital bagi rumahtangga petani miskin. Oleh sebab itu rumahtangga petani

berusaha mendorong setiap anggota rumahtangga untuk produktif. Sayogjo (1979)

juga menjelaskan bahwa bagi rumahtangga petani miskin, penguasaan aset produksi

umumnya bersifat terbatas, bila dilihat dari pola penguasaan lahan pedesaan, petani

lapisan bawah merupakan buruh tani tak bertanah, petani lapisan menengah merupakan

petani yang penguasaan lahannya antara 0,25 - 0,5 ha dan petani lapisan atas adalah

petani yang penguasaan lahannya lebih dari 0,5 ha.

Berkaitan dengan tingkat pendidikan anggota keluarga petani dari rumahtangga

petani miskin kebanyakan berpendidikan rendah. Dari hasil penelitian Prasodjo (1993)

di daerah pedesaan Jawa, tingkat pendidikan anggota rumahtangga umumnya hanya

sampai SD. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga

petani miskin , merupakan faktor penting mengapa rantai kemiskinnan sulit diputus.

Dengan tingkat pendidikan rendah, para petani tidak bisa bersaing di pasar tenaga

kerja dengan mereka yang memiliki pendididkan yang lebih tinggi. Sehingga bila

dikaitkan dengan tingkat upah yang diterimanya, akan tetap rendah.

Dari 20 responden yang diwawancarai hampir 80 persen menyatakan bahwa istri

juga bekerja walaupun uang yang diperoleh tidak terlalu besar. Pekerjaan seorang istri

hanya sebatas pada buruh tani, membuka warung ataupun membuat kue. Sedangkan

tenaga kerja anak-anak dari 20 responden hanya 60 persen yang dioptimalkan untuk

membantu tambahan pendapatan bagi keluarga. Sebagai gambaran adalah keluarga Pak

Saih (57 tahun)

Pak Saih (45) bekerja sebagai buruh tani, selain mengerjaka n sawahnya sendiri

Pak Saih juga mengerjakan sawah milik orang lain seluas 1500m2. Sebagai buruh tani

perharinya dia bisa memperoleh antara Rp7.500-Rp15.000 namun pekerjaan sebagai

Page 80: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

80

buruh tani tidak sepanjang tahun ada, tergantung dari permintaan masyarakat. Untuk itu

selain mengusahakan lahan sawah Pak Saih juga mengolah lahan milik PT seluas

4000m², yang ditanami pisang, dan kopi. Istrinya, bekerja dengan membuka warung

kecil yang menjual jajanan ringan, seperti minuman es limun, dengan penghasilan

perharinya antara Rp4.000-10.000. Sebagaimana penuturannya

“... Kalau kerja cuma ngandelin satu pekerjaan saja, tidak akan cukup untuk hidup. Sepertinya kalau sambil tani meskipun hasilnya sedikit, tapi kedepannya tak usah mikirin beras lagi. Kalau istr i ikutan bekerja meski tambahan dari istri kecil tapi sangat membantu. Tentang hasil panen padi warga disini kebanyakan dimakan sendiri dan sebagian besar gak ada yang dijual. Tebasan padi didaerah sini hampir jarang ditemui...”

Lain halnya yang dila kukan oleh Pak tohir (50), sebagai rumahtangga petani

miskin, untuk menambah penghasilannya ia bekerja apa saja (menebang pohon,

mencangkul, kuli bangunan, bahkan makelar) sedangkan istrinya terkadang membuat

kue kalau ada pesanan dari orang.

“... Hidup keluarga kami susah, penghasilan perhari tak tentu.Kadang ada kadang enggak. Dulu saya pernah kerja di Jakarta sebagai sopir, tapi sekarang tidak lagi, pingin kumpul bersama keluarga didesa. Sebenarnya saya tidak pernah menyuruh istri kerja, apapun keadaannya, saya seharusnya yang bertanggung jawab. Tapi istri saya kerja yang ringan-ringan saja seperti membuat kue. ..” Namun demikian, kontribusi pendapatan dari luar usaha pertanian juga tidak

lebih baik dari kontribusi pendapatan sektor pertanian. Kondisi tersebut mengakibatkan

rumah tangga petani lapisan bawah cenderung mengunakan strategi hidup survival atau

mengutamakan selamat (safety first) dengan cara memilih jenis pekerjaan lebih aman

walaupun hasilnya sedikit, dari pada memulai usaha baru tetapi mengundang resiko

kerugian yang dapat menghancurkan mata pencahariannya.

Pilihan alternatif yang ditetapkan adalah melakukan beragam pekerjaan bagi

petani dan menjadi buruh tani atau membuka warung kecil. Pilihan ini juga dilakukan

Page 81: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

81

oleh istri-istri yang tidak tertarik untuk pergi ke kota karena faktor pengalaman dan

pendididkan. Akan tetapi bagi rumahtangga petani yang tidak memiliki barang-barang

berharga, jaringan sosial merupakan satu-satunya strategi adaptasi yang dapat

dimanfaatkan untuk mengatasi kesulitan hidup sehari-hari. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh Bu Wati (37 tahun)

“ Saya terkadang ngutang ke Bu bidan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena menurut saya dialah yang mampu dalam segi keuangan. Biasanya tidak ada perjannjian pengembalian, asal saya punya uang , pasti saya bayar. Selain itu terkadang saya minjem keemak saya. ”

.

7.2.2 Optimalisasi Penggunaan Tenaga Kerja

1. Kerja Reproduksi

Optimalisasi penggunaan tenaga kerja dibagi menjadi dua yakni kerja produksi

dan kerja reproduksi. Menurut Sitorus (1989) kerja reproduksi lebih terkait dengan

urusan rumahtangga, yaitu urusan konsumsi dan urusan non-konsumsi. Urusan

konsumsi bisa berwujud memasak, mencuci, mengambil air, belanja ataupun mengolah

bahan makanan. Sedangkan urusan non-konsumsi bisa dalam bentuk kegiatan

membersihkan rumah, mencuci, memperbaiki perabotan dan juga kegiatan pengasuhan

anak. Menurut Hubeis (1985) dalam Nurmalinda (2002) , urusan konsumsi punya

cakupan yang sangat luas, tidak hanya tertuju pada kegiatan konsumtif saja, melainkan

mempunyai arti yang lebih luas yakni terkait juga dengan kecukupan pangan dan gizi

dan juga kesehatan rumahtangga.

Di rumahtangga kasus di desa Batujajar, kecenderungan kegiatan yang bersifat

reproduksi baik itu konsumsi maupun non konsumsi dilakukan oleh kaum perempuan.

Tidak menutup kemungkinan bahwa kegiatan memasak, mengambil air, belanja

kebutuhan makan dan mengasuh anak adalah terkait masalah gender, dimana dalam hal

Page 82: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

82

ini kaum lelaki tidak “wajar” untuk melakukannya sebagaimana yang diungkapkan oleh

Ibu responden berikut ini:

“.. Tugas perempuan memasak, nyuci, momong anak sedangkan suami bekerja dan jarang mau kalau disuruh mencuci pakaiannya sendiri. Kerja suami biasanya di Sawah, benerin rumah sepe rti buat pagar, benerin genteng yang bocor. Sedangkan anak-anak kalau laki-laki biasanya bekerja membantu Bapaknya di Sawah dan kalau perempuan bantu-bantu di dapur atau menjaga adiknya yang masih kecil..”

Bila merujuk pada teori tindakan yang dikemukakan oleh Weber dalam

Caupbell,1994. Maka pembagian pekerjaan di rumahtangga petani, di mana seorang

wanita diharuskan melakukan pekerjaan di dapur atau kerja reproduksi (domestik),

dapat dikatakan bahwa motivasi rumahtangga cenderung pada tindakan tradisional di

sini mengacu pada kegiatan yang dilakukan secara turun temurun dan jika dilanggar

akan kelihatan janggal bagi masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah

satu responden :

“.. Dari dulu yang namanya wanita kerjanya di dapur dan ngurus anak. Akan aneh jika ada suami yang kerjanya di dapur, nanti dikira istri tidak bisa ngurus suami..”

Adapun kasus manakala sang istri (wanita) ikut terlibat langsung dalam kerja

produktif walaupun tidak akan meninggalkan kerja reproduksinya, motivasinya

cenderung pada tindakan rasional instrumental. Gejala ini muncul manakala kebutuhan

rumahtangga berpenghasilan minim. Kasus di desa pertanian berbeda dengan kasus di

Kota di mana terkadang suami istri juga punya pekerjaan sedangkan kerja reproduksi

sudah digantikan sebagian oleh pembantu rumahtangga. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh responden ibu-ibu:

“ Penghasilan Bapak tidak cukup untuk hidup sehari-hari, apalagi harga-harga pada naik, sedangkan kebutuhan untuk makan tidak bisa ditunda. Sehingga mau tidak mau saya juga harus bantu dengan jualan kecil-kecilan di mana perharinya hanya untung Rp5.000,00-

Page 83: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

83

Rp8.000,00. Penghasilan segitu lumayanlah untuk membantu keuangan keluarga ”

2. Kerja Produksi.

Kerja produksi merujuk pada kerja yang menghasilkan uang. Di dalam

rumahtangga tani di mana penguasaan lahan sangat minim yang rata-rata tidak

mencapai 1.500 m2, akan sangat susah untuk bisa hidup dengan sederhanapun. Maka

dengan keterbatasan itulah rumahtangga mendorong istri dan anak-anak yang sudah

dewasa (>12 tahun) untuk ikut membantu dalam kerja produktif.

Ketiadaan lahan bagi rumahtangga kasus bukan berarti mereka tidak bisa lagi

bekerja disektor pertanian, mereka masih bisa bekerja dengan memanfaatkan lahan-

lahan milik perusahaan yang belum ditambang. Namun itupun dengan catatan, yakni

tanaman yang ditanam tidak boleh tanaman yang berjangka lama, hal ini untuk

menjaga klaim masyarakat dikemudian hari jika perusahaan mulai menambang lahan

yang dibeli dari masyarakat. Lahan yang diusahakan tidak lebih dari 2000 m2. Lahan-

lahan tersebut ditanami dengan tanaman yang berumur pendek seperti sayur -sayuran

dan tanaman pangan. Tanaman yang di usahakan adalah terong, jagung dan kacang-

kacangan. Hasil tanaman tersebut sebagian besar untuk kebutuhan sendiri.

Pekerjaan pertanian lebih dominan dilakukan oleh kepala rumahtangga dengan

di bantu oleh istrinya, sedangkan anggota rumahtangga yang lain (anak-anak)

terkadang saja membantu karena anak-anak kebanyakan be kerja di tempat lain, karena

bagi kaum muda pekerjaan bertani tidak menguntungkan hal ini juga disebabkan

karena ketidaktersediaan lahan yang dimiliki rumahtangga kasus. Kasus di Batujajar

menunjukkan bahwa kaum muda banyak yang bekerja di luar sektor pertanian seperti

menjadi tukang ojek, buruh bangunan atau buruh pabrik di Kota.

Page 84: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

84

Pekerjaan bertani dilakukan mulai pukul 06.00-11.30. Selama 1-2 jam mereka

istirahat untuk sholat dan makan siang, dan kemudian dilanjutkan lagi sampai pukul

17.30, bahkan terkadang ada juga yang bekerja pada malam hari apabila masih ada

pekerjaan yang belum selesai. Pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum pria, mulai dari

mencangkul, menanam, menyiram, memupuk dan memanen. Sedangkan kaum wanita

biasanya membantu pekerjaan-pekerjaan yang tidak terlal berat, seperti menanam dan

menyiangi. Pekerjaan wanita dilakukan setelah kegiatan reproduksi selesai mereka

kerjakan, kecuali pekerjaan menanam dilakukan pada pagi hari yaitu dimulai pada pukul

06.00-selesai. Pekerjaan ini terkadang juga dibantu oleh pria anggota rumahtangga

lainnya.

7.3 Penggunaan Uang Hasil Penjualan Tanah

Berdasarkan hasil penelitian bahwa masyarakat ada yang puas dan tidak puas

dengan uang ganti rugi. Alasan yang mereka kemukakan antara lain dengan adanya

konversi lahan mereka bisa menunaikan ibadah haji, membuat rumah baru, membeli

tanah baru yang lebih luas, ataupun untuk usaha. Sedangkan yang tidak puas merasa

bahwa ganti rugi lahan tidak memadai, untuk membeli lahan di tempat lain.

Tabel 20. Penggunaan Uang Ganti Rugi 20 Responden Berdasarkan Aset Tetap dan Aset Lancar.

Penggunaan

Jumlah Uang Persen

Aset Tetap Beli sawah 8 000 000 2,2 Bangun Rumah 80 310 602 22,6 Beli Tegalan 3 000 000 0,8 Aset Lancar Naik Haji 40 000 000 11,2

Beli Perabotan Rumah Tangga

11 308 331 3,19

Modal Usaha 31 625 000 8,9 Makan (kebutuhan sehari-hari)

127 811 208 36,07

Sekolah anak 3 378 786 0,9 Pengobatan 18 175 000 5,1

Sumber; data primer 2005

Page 85: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

85

Rata-rata nilai penerimaman dari hasil penjualan ke perusahaan cukup

bervariasi. Hal ini di sebabkan oleh perbedaan luas lahan dan juga waktu penjualan

lahan yang dikonversi. Tingkat harga juga dipengaruhi oleh perbedaan tahun penjualan

. Data yang disajikan pada tabel 21 menunjukan bahwa besarnya penerimaan hasil

penjualan lahan 20 responen sekitar Rp.354.283.361,00

Tabel 21. Jumlah Uang Ganti Rugi Lahan Yang terkonversi No Nama Tahun

Penjualan Luas

Lahan M2

Harga Jual

( Rp )

Jumlah (Rp)

Konversi ke rupiah terbaru

1 Pak Sarhan B 2004 5 000 4 000 20 000 000 2 Pak Asan 2003 2 500 4 000 6 000 000 3 Pak Saih 2004 1 250 4 000 5 000 000 4 Pak Sahari 1996 333 3 000 1 000 000 4 750 000 5 Pak Sarhan A 2000 1 500 4 000 6 000 000 6 Pak Madsuki 2003 2 600 3 000 8 000 000 7 Pak Haji Apak 2004 10 500 5 000 52 500 000 8 Pak Sajim 2004 800 5 000 4 000 000 9 Pak Salmi 1998 1 600 3 000 4 800 000 10 Pak Ahmad 2004 2 500 4 000 10 000 000 11 Pak Sugani 2004 3 000 4 000 12 000 000 12 Pak Rosyid 1996 7 000 2 500 17 500 000 83 125 000 13 Pak Sidik 1990 2 000 750 1 500 000 8 636 363 14 Pak Ramin 1990 5 000 750 3 750 000 21 590 909 15 Pak Rusdi 1990 2 500 750 1 875 000 10 795 454 16 Pak Naman 1990 2 500 750 1 875 000 10 795 454 17 Pak Sapri 1990 1 000 750 750 000 4 318 181 18 Pak Didi 1990 15 000 750 11 250 000 64 772 727 19 Pak Jahari 2003 300 4 000 1 200 000 20 Haji Emog 2002 4 000 4 000 16 000 000 Jumlah Total Uang Rp354 283 361

Tahun 1996=1U$=Rp2000,00 Tahun 1978 =1U$=Rp 974 Tahun 1987=1U$= Rp 1650 Alokasi penggunaan uang hasil penjualan tanahnya menyebar, sebagian besar

dialokasikan untuk keperluan aset tetap sekitar Rp 91.310.602, (36,8 persen) seperti

membeli sawah, tegalan dan membangun rumah tinggal. Pengalokasian pada aset

lancar sekitar Rp 232.298.352 (54 persen) seperti melakukan ibadah haji, membeli

perabotan rumahtangga dan lainnya. Kebanyakan penduduk yang mendapat uang ganti

rugi lebih besar, akan melaksanakan ibadah haji karena unsur keagamaan yang tinggi

Page 86: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

86

pada mayoritas penduduk. Berdasarkan informan lapang biasanya hasil penjualan

tanahnya yang diperoleh disisihkan sebagian untuk biaya sekolah, 0,9 persen.

Tabel 22. Penggunaan Uang Ganti Rugi 20 Responden Berdasarkan Produktif-

Konsumtif. Responden No Penggunaan

Jiwa Persen Kebutuhan Produktif 1 2 3

Beli Sawah Modal Usaha Menyekolahkan anak

3 5 3

15 25 15

Kebutuhan konsumtif 5 6 7 8 9 10 11

Benahi rumah/bangun rumah Naik haji Beli perhiasan Beli Perabotan RT Beli sepeda motor Makan Pengobatan (rumah sakit)

15 1 0 7 0 16 4

75 5 0

35 0

80 20

Alokasi penggunaan uang hasil penjualan tanahnya berdasarkan alokasi

produktif dan alokasi konsumtif menunjukkan kecenderungan kearah konsumtif seperti

terlihat pada tabel 22. Sebagian besar 80 persen responden menggunakan untuk

kebutuhan makan, 75 persen responden untuk pembenahan rumah, dan hanya 15 persen

responden yang menggunakan uang ganti rugi untuk membeli sawah di tempat lain dan

25 persen menggunakan nya untuk modal usaha dan hanya 15 persen responden

menyisihkan untuk biaya sekolah anak.

7.4 Pengaruh Terhadap Kesempatan Kerja

Alih fungsi lahan ke pertambangan menyebabkan perubahan pada aspek

kesempatan kerja. Pada awalnya masyarakat sekitar lahan yang terkonversi desa

Batujajar memiliki mata pencaharian bertani dan berdagang. Sedangkan setelah adanya

pertambangan mata pencaharian penduduk menjadi lebih beragam, yaitu selain bertani

Page 87: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

87

dan berdagang ada juga yang menjadi sopir, karyawan pertambangan ataupun menjadi

tukang pantek.

Berdasarkan tabel 23 terlihat bahwa jenis kegiatan yang banyak diisi oleh

penduduk setempat adalah kegiatan sebagai petani dan buruh tani.

Tabel 23 . Perubahan Struktur Kesempatan Kerja Responden Waktu Jenis pekerjaan Persentase

Bertani 86,6 Berdagang -

Sebelum Konversi

Buruh 13 Sesudah Konversi Bertani 73

Berdagang 6,6 Buruh/Karyawan 16,3

Jasa 3,3

Bertani dan berladang oleh sebagian besar masyarakat yang lahannya

terkonversi masih tetap dipertahankan, karena bagi mereka selain tidak ada pilihan

pekerjaan lain juga karena tidak ada keahlian untuk bekerja di luar pertanian. Bertani

adalah bagian hidup mereka karena sudah bertahun-tahun dan secara turun temurun

mereka tekuni.

Dari hasil pengamatan lapang, perubahan kesempatan kerja disektor pertanian

dari 86,6 persen menjadi 73 persen disebabkan karena responden tidak punya lahan

pertanian dan juga semakin sempitnya lahan sebagai akibat bertambahnya jumlah

penduduk, selain itu dengan munculnya pertambangan menambah beragamnya

lapangan kerja di desa Batujajar. Adapun masyarakat yang masih mempertahankan

bertani sebagai pekerjaan utamanya harus mempunyai lahan sendiri atau melakuka

kerja maro atau ceblokan.

Responden yang mengalokasikan uang hasil konversi untuk membeli lahan rata -

rata mereka membeli tanah (sawah atau tegalan) yang baru di daerah lain yang masih di

dalam desanya. Harga tanah di daerah ini sebenarnya lebih mahal dibanding ganti rugi

Page 88: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

88

lahan yang mereka terima. Adapun harga untuk lahan sawah berkisar Rp 15.000/m²

sampai Rp20.000/m² sedangkan uang ganti rugi yang dari penjualan lahan tegalan di

bukit hanya sekitar Rp 3500-4000/m² tahun 2004.

Selain itu hasil ganti rugi lahan yang terkena konversi dipergunakan untuk

menambah atau memperkuat modal usaha bagi pedagang lama. Sementara bagi petani

yang beralih profesi menjadi pedagang menjadikannya sebagai modal tambahan.

Page 89: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

89

KESIMPULAN

Alih fungsi lahan di perbukitan desa Batujajar ke pertambangan perlu dikaji

untung ruginya. Masyarakat pemilik lahan yang sebagian besar adalah petani

merasakan bahwa proses jual beli lahan merugikan mereka, hal ini terkait dengan

masalah harga jual tanah yang rendah dan juga akibat pencemaran baik air, udara dan

juga suara, sebagai akibat dilakukannya aktivitas pertambangan yang tidak

memperhatikan AMDAL.

Penguasaan lahan oleh orang luar desa Batujajar yang sudah mencapai sekitar

53 persen dari luas seluruh desa, jika tidak ditangani dengan baik tidak mustahil

kedepannya akan menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat. Dari

permasalahan ini seharusnya pemerintah yang berwenang tanggap dan mampu

mengendalikan proses jual beli lahan yang saling menguntungkan kedua belah pihak,

baik petani sebagai pemilik lahan dan juga investor.

Ada beberapa butir pokok yang dapat disimpulkan dari studi dan analisis

“ Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Petani” yakni :

1. Faktor utama yang menyebabkan konversi lahan di desa Batujajar

dibagi menjadi dua yaitu (1) Faktor Internal, yaitu faktor dari dalam diri

masyarakat penjual lahan sendiri dalam hal ini, pendidikan, pendapatan, dan

pengalaman kerja dan juga ketergantungan terhadap lahan (2) Faktor

Eksternal, yakni faktor yang muncul dari luar masyarakat desa Batujajar

Page 90: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

90

dalam hal ini Investor, pengaruh tetangga, pengaruh aparat desa da n juga

calo-calo tanah yang memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan.

2. Konversi lahan di daerah Batujajar meskipun bukan pada lahan sawah,

tetapi pada lahan kering (tegalan) yang ada di perbukitan, secara tidak

langsung mempengaruhi akses dan kontrol masyarakat terhadap lahan yang

pada akhirnya mempengaruhi juga aktivitas ekonominya. Minimnya

penguasaan lahan secara perlahan merubah budaya “ berkebun” atau

bertani pada generasi mudanya. Generasi muda lebih senang bekerja di luar

sektor pertanian semisal sebagai tukang ojek atau merantau ke kota yang

terdekat semisal ke Bogor atau ke Jakarta.

3. Rendahnya pendidikan petani dan juga penguasaan lahan yang sempit

baik lahan sawah ataupun tegalan mendorong mereka untuk memaksimalkan

tenaga kerja keluarga dan juga menerapkan pola nafkah ganda.

SARAN.

1. Aparat yang terkait dalam hal ini pemerintah beserta Stakeholder untuk ikut serta

merumuskan model konversi lahan yang mengedepankan keadilan agraria.

Investor juga harus mampu membangun kemandirian masyarakat, agar masyarakat

siap setelah konversi lahan terjadi. Pengelolaan uang hasil penjualan lahan yang

tidak digunakan ke hal-hal produktif, merupakan faktor yang menjadikan mengapa

setelah konversi lahan masyarakat bertambah miskin. Seharusnya ada kepedulian

dari pihak investor untuk ikut serta dalam pembinaan pengelolaan uang hasil

konversi.

2. Pemerintah daerah dan pusat jangan sampai menutup diri dengan proses konversi

yang selalu merugikan bagi pemilik lahan, dan selalu berpihak kepada pengusaha.

Kepemilikan yang melampaui batas maksimum dan munculnya tanah guntay yang

Page 91: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

91

mengarah ke ketimpangan struktur agraria yang sudah menggejala di desa

Batujajar seharusnya didekati dengan aturan hukum agraria yang tegas.

DAFTAR PUSTAKA

Dames, T.W.G.1995. The Soil of Central Java. Balai Besar Penelitian Tanah, Bogor.

Dharmawan, Arya H.2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socio-Economic

Changes in Rural Indonesia . Disertasi Goettigen University. Germany. Gatot Murniatmo.dkk.1989. Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah

Secara Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Gertz, C.1976. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia . Bharata

Karya Aksara. Jakarta. Harsono, Boedi.1975. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan. Jakarta.

Husken, Frans.1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Differensiasi

di Jawa 1830 -1980. Grasindo

Husken, Frans dan Benjamin White.1989. Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa. Artikel. Prisma Edisi ke -4.

I Gusti Ngurah Agung.dkk.1989. Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah

Secara Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta

Iqbal, Moch.2004. Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa

Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan, Jawa Timur). Tesis Fakultas Pascasarjana, IPB Bogor.

Kustiawan, Iwan.1997. Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara Jawa . Artikel

Prisma. Lewis, O. 1995. Kebudayaan Kemiskinan dalam Suparlan Kemiskinan di Perkotaan.

Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Moleong, Lexy.2002. Metodologi Penelitian Kualitatif . PT. Remaja Rosdakarya.

Bandung.

Page 92: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

92

Nurmalinda. 2002. Petani Miskin di Pinggiran Perkotaan Dan Strategi Bertahan Hidup Rumahtangga. (Studi Kasus Petani Lahan Tidur di Kabupaten Bekasi). Tesis Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.

Redfield, Robert.1982. Masyarakat dan Kebudayaan. Rajawali Press. Jakarta.

Sajogyo.1977. Golongan Miskin dan Partisipasinya Dalam Pembangunan Desa. Prisma No. 3 tahun VI. LP3ES. Jakarta.

Sajogyo.1978. Lapisan Masyarakat Paling Bawah di Pedesaan Jawa. Prisma. Juni No.

3 LP3ES. Jakarta. Sajogyo dan Pudjiwati.1992. Sosiologi Pedesaan .Jilid 1. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta . Sihaloho, Martua.2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria

(Kasus di Kelurahan Mulyaharjo, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat). Tesis Jurusan Program Pascasarjana Sosiologi Pedesaan. Institut Pertanian Bogor.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi.1995. Metode Penelitian Survei. LP3ES.

Jakarta. Sitorus, M.T.F. 1989. Struktur Alokasi Tenaga Kerja Rumahtangga Petani di Pedesaan

Hulu Jawa . (Studi Kasus Pola Kerja Pria dan Wanita dalam Komunitas Petani di Dusun Jrukung, Jawa Tengah). Jurusan Studi Pembangunan. Program Pasca Sarjana, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Tesis Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Suhendar, Endang dan Yohana Budi W.1998. Petani dan Konflik Agraria. Yayasan

AKATIGA. Bandung. Supriyadi, Anton.2004. Kebijakan Alih Fungsi Lahan dan Proses Konversi Lahan

Pertanian. Studi kasus di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Tjondronegoro,SedionoM.P.1999. Sosioloi Agraria:Kumpulan Tulisan Terpilih.Yayasan

AKATIGA Bandung.

Tjondronegoro, Sediono M.P dan Gunawan Wiradi ed. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria, dalam Dua Abad Penguasaan Tanah. PT. Gramedia. Jakarta.

White, Benjamin dan Gunawan Wiradi.1979. Pola-pola Penguasaan Tanah di DAS

Cimanuk Dulu dan Sekarang. Beberapa Catatan sementara. Prisma No.9 September 1979. Jakarta.

Wiradi, Gunawan.2000. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Insist

Press,KPA dan Pustaka Pelajar.Yogyakarta. Wolf, Eric .2004 . Perang Petani. Insisst Press. Bandung

Page 93: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

93

__________ 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Ta hun Gunawan Wiradi. Yayasan

Akatiga. Bandung.

L A M P I R A N

Page 94: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

94

Tabel Lampiran 1. Karakteristik Umur dan Pendidikan Responden

No Nama Responden Umur Pendidikan Jumlah

Tanggungan

kelurga

1 Pak Sarhan B 60 TTSD 3

2 Pak. Asan 58 SD 4

3 Pak. Saih 50 SD 3

4 Pak.Sahari 61 TTSD 4

5 Pak.Sarhan A 70 TTSD 3

6 Pak.Madsuki 71 TTSD 1

7 Pak.Haji Apak 54 SD 3

8 Pak.Sajim 65 TTSD 4

9 Pak.Salmi 50 SLTP 4

10 Pak.Ahmad 58 SD 4

11 Pak.Sugani 80 SD 5

12 Pak.Rosyid 55 SD 4

13 Pak.Sidik 60 SD 5

14 Pak.Ramin 70 SD 3

15 Pak.Rusdi 63 SD 4

16 Pak.Naman 80 SD 4

17 Pak.Sapri 60 SD 3

18 Pak.Didi 75 SD 4

19 Pak.Jahari 65 SD 3

20 Pak.Haji Emog 65 TTSD 3

Rata-rata 63,5 3,5

Keterangan :

TTSD : Tidak Tamat SD

Page 95: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

95

Tabel Lampiran 2. Perubahan Luas Lahan Sebelum dan Sesudah Konversi.

Luas Lahan Pra Konversi Luas Lahan Pasca Konversi No Nama Responden

Sawah Tegalan Pekarangan sawah Tegalan Pekarangan

1 Pak Sarhan B - 5 000 40 - 800 40

2 Pak. Asan 1 500 2 500 20 200 200 20

3 Pak. Saih 1 500 1 250 16 2 000 - 16

4 Pak.Sahari 200 333 40 200 - 40

5 Pak.Sarhan A 400 1 500 10 1 000 - 10

6 Pak.Madsuki 800 2 600 20 800 200 20

7 Pak.Haji Apak 1 200 10 500 100 2 500 500 100

8 Pak.Sajim 500 800 20 500 4 000 100

9 Pak.Salmi - 1 600 10 - - 10

10 Pak.Ahmad 3 000 2 500 80 4 000 1 000 80

11 Pak.Sugani 200 3 000 10 500 250 10

12 Pak.Rosyid 100 7 000 12 1 000 4 000 12

13 Pak.Sidik 2 000 2 000 20 - - 20

14 Pak.Ramin 10 000 5 000 50 10 000 2 000 50

15 Pak.Rusdi 1 400 2 500 100 1 400 2 500 100

16 Pak.Naman 1 000 2 500 100 1 000 - 100

17 Pak.Sapri - 1 000 200 - - 200

18 Pak.Didi 2 000 15 000 300 1 000 1 500 300

19 Pak.Jahari 500 300 20 500 - 20

20 Pak.Haji Emog 7 500 4 000 20 7 500 - 20

Jumlah Rata-rata 1 690 3 544 59,4 1 705 847,5 59,4

Page 96: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

96

Gambar Lampiran 1. Aktivitas Perempuan dalam Mengerjakan Pekerjaan Rumah

tangga (Kerja Reproduksi) yang Memanfaatkan Air Sungai yang

Telah Tercemar Limbah Pertambangan.

Gambar Lampiran 2. Aktivitas Petani Dalam memanfaatkan Ternak Untuk Kerja di

Bidang Pertanian.

Page 97: pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani

97

Gambar Lampiran 3. Aktivitas Perempuan dalam upaya membantu ekonomi

Rumahtangga dengan membuka warung.

Tabel Lampiran 4. Aktivitas Warga Mencari Ikan di Sungai Sebagai Tambahan

Penghasilan