pengaruh konversi lahan terhadap pola n afkah rumahtangga petani
TRANSCRIPT
1
PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA N AFKAH
RUMAHTANGGA PETANI.
(Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor)
Oleh :
Agus Subali
A14201061
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
2
RINGKASAN
AGUS SUBALI. PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI. Studi Kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. (Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO) Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan melakukan analisa terhadap
pengaruh konversi lahan terhadap pola nafkah rumahtangga petani. Dalam penelitian
ini penulis berusaha meneliti penggunaan uang hasil dari penjualan lahan oleh
rumahtangga petani dan untuk mengetahui juga perubahan struktur rumahtangga petani
yang lahannya terkonversi. Aspek-aspek yang dikaji meliputi analisis ditingkat
rumahtangga petani.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka tujuan dilakukannya penelitian
ini adalah untuk (1) Mengetahui dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga
petani (2) Mengetahui penggunaan uang hasil konversi.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
melalui studi kasus. Data-data dan informasi yang didapatkan di lapangan disajikan
secara deskriptif dan eksploratif dengan berdasarkan informasi atau keterangan dari
objek penelitian. Data dan informasi dalam penelitian ini didapatkan dengan
menggunakan kombinasi strategi pendekatan yaitu wawancara, observasi dan analisa
dokumen. Responden terdiri dari petani yang menjual lahan di desa Batujajar yang
berjumlah 20 orang.
Konversi lahan yang dilakukan penduduk Batujajar dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pendidikan, peluang kerja, dan
pendapatan. Sedangkan faktor eksternal meliputi pengaruh investor, pengaruh tetangga
yang menjual lahan terlebih dahulu , aparat desa dan juga dari calo tanah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan struktur kerja
rumahtangga, dan juga terjadi perbedaan pemanfaatan dalam alokasi dana hasil
penjualan lahan antar petani. Ada perbedaan yang nyata antara petani lapisan atas,
menengah, dan bawah dalam pengelolaan dana hasil penjualan lahan. Petani kaya atau
petani lapisan atas cenderung ke arah penggunaan produktif, sedangkan petani miskin
cenderung ke arah konsumtif.
Akibat tekanan ekonomi, dana yang didapat dari hasil penjualan lahan oleh
petani lapisan bawah, lebih cenderung dialokasikan ke arah yang sifatnya konsumtif,
seperti memperbaiki rumah, membeli peralatan rumahtangga dan juga untuk makan.
3
Sedangkan petani yang berada pada lapisan atas mengalokasikan uang hasil penjualan
lahan untuk kegiatan yang sifatnya produktif, yakni untuk tambahan modal usaha.
Kondisi kemiskinan juga lah yang mendorong petani lapisan bawah untuk melakukan
berbagai cara untuk bertahan hidup, salah satunya dengan menerapkan pola nafkah
ganda dan juga memaksimalkan tenaga kerja keluarga, baik anak maupun istri.
Pola nafkah ganda dilakukan melalui penganekaraga man bidang mata
pencaharian sedangkan pemaksimalan tenaga kerja dilakukan dengan melibatkan anak-
anak dan wanita (istri) untuk turut serta dalam usaha produktif. Selain itu sebenarnya
rumahtangga petani di desa penelitian juga memanfaatkan jaringan sosial dalam
bentuk kelembagaan yang sudah ada semisal arisan, pengajian untuk membantu
ekonomi mereka, namun pembahasan secara detil tidak penulis lakukan karena
kurangnya data yang berhasil dikumpulkan.
4
PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA NAFKAH
RUMAHTANGGA PETANI
( Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor)
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Oleh :
Agus Subali
A14201061
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PEGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
5
Judul : KONVERSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLA
NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI
( Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor)
Nama : Agus Subali
NRP : A14201061
Mengetahui
Pembimbing
Dr. Endriatmo Soetarto,MA
NIP. 131 610 288
Mengetahui
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham,M.Agr
NIP. 130 422 698
Tanggal Lulus :_____________________________
6
PERNYATAAN.
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
” KONVERSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLA NAFKAH
RUMAHTANGGA PETANI ” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA
PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK
TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA
MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA
SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH
DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI
BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Desember 2005
Agus Subali NRP.A14201061
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di kota Banyuwangi, Jawa timur pada tanggal 20 Agustus 1982
sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Munawar dan Siti Fatimah.
Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar pada tahun 1995 di SD 05 Wonosobo dan pada
tahun yang sama pula penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Lanjutan
Menengah Tingkat Pertama di SLTPN 01 Rogojampi. Kemudian pada tahun 1998
penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Umum di SMUN 01
Rogojampi dan selesai pada tahun 2001. Pada tahun tersebut pula penulis diterima di
Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sosial
Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN.
8
PRAKATA
Dengan memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Tulisan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini diberi judul Penga ruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah
Rumahtangga Petani (Studi Kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten
Bogor , Jawa Barat). Pilihan atas topik ini berawal dari minat penulis untuk lebih
memahami konversi lahan dari pertanian ke non pertanian dan dampaknya bagi rumah
tangga petani. Banyak kasus masalah agraria muncul, karena pihak pengambil
keputusan dalam hal ini pemerintah “ mengubur” UUPA 1960, sehingga persoalan alih
kepemilikan lahan menjadi masalah yang berlarut-larut antara pihak yang
berkepentingan, dalam hal ini pemerintah, swasta dan masyarakat.
Posisi masyarakat (petani) tidak selalu menguntungkan, sebagai akibat tekanan
dari pihak eksternal yakni pemilik modal (swasta) dan juga dari pemerintah sendiri,
yang pada ujungnya kepemilikan lahan beralih hak dari petani pemilik ke pihak
pengusaha. Keinginan rumahtangga petani menjual lahan juga dipengaruhi oleh faktor
internal petani sendiri, yakni pendidikan, pengalaman kerja, pendapatan dan
ketergantungan pada tanah, yang kalau boleh di ringkas penyebab utama dari persoalan
penjualan lahan adalah masalah kemiskinan.
Demikian skripsi ini di buat setelah penulis berada di lapangan selama dua
bulan. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat di harapkan untuk
penyempurnaan skripsi ini sebagaimana ungkapan orang bijak ” di atas langit masih ada
langit”
9
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Kedua Orangtua, Bapak dan Ibu, Mbak Yuli dan adik-adik atas dukungan dan
do’anya.
2. Bapak Dr. Endriatmo Soetarto,MA selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan motivasi, bimbingan dan kemudahan dalam penyelesaian skripsi
ini.
3. Bapak Ir. Saharudin, Msi dan Ibu Ir. Ninuk Purnaningsih,MSi selaku dosen
penguji. Atas bimbingan dan ”coretannya” yang mendorong penulis untuk
berfikir kembali atas sebuah kesalahan.
4. Ibu Dra. Winati Wigna,MDS, selaku pembimbing akademik yang dengan telaten
menyempatkan waktu untuk mendengar keluh kesah penulis disaat penulis jenuh
dengan rutinitas perkuliahan.
5. Bapak Drs. Satyawan Sunito, selaku pembimbing SP yang dengan tekunnya
mengoreksi tulisan kata perkata. Terima kasih banyak atas ide -ide radikalnya
tentang konsep berfikir.
6. Bapak Ivanovich Agusta, SP.Msi atas kritikannya yang menggelitik, tentang
agama, budaya dan kebijakan pemerintah.
7. Ibu Dr.Ir Ekawati S.Wahyuni,MS. Dengan kedisiplinan dan ketegasannya
sehingga memacu semangat untuk secepatnya menyelesaikan skripsi ini.
8. Sobat-sobat terbaikku, Ema, Indra, Taufiq, Anto, Edi, Menot, Oshin, Anis,
Yuni, Eni, Zedi, Zeplin, Ali, Ibnu, Bang Mugiono, jeng Shinta, Mpok Agni, Uni
Wydia, Bang Heri, Bang David, Kang Ari, Neng Pretty, Kang Nanang, Kang
Rizal, Teh Nonos, Ilham, Igbal, Teh Uji, Mpok Mega dan semua KPM’ers yang
senasib sepenanggungan.
10
9. Teman-teman kost “Dolphin”: Subekh, Agung P, Agung R, Mas Insan, Dekri,
Mulyadi, Syah, Heri, Iden, Jamal, Mada, Mas Lilik, Ikin, Sandi, Dukik, Adit,
dan juga Yanuar. Makasih banyak atas semua tawa dan kebersamaannya selama
ini.
10. Pemikir -pemikir dunia, Sidharta Gautama, Sartre, Hegel, Nietzsche, Soekarno,
Mirza Ghulam Ahmad, Che Guevara, Nostradamus, Al_Hallaj, Hamzah Fansuri,
Shekh Siti Jenar dan Sunan Kali Jogo, meskipun sudah tiada, pemikiran dan
contoh hidupnya menjadi rujukan penulis untuk memahami realitras dunia
dengan lebih bermakna.
11. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Kepada Allah SWT jualah penulis serahkan balasan kebaikan semua pihak yang
telah membantu pembuatan tulisan ini. Harapan penulis tulisan ini dapat bermanfaat,
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca tulisan ini.
11
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................... x
DAFTAR ISI ........................................................................... xii
DAFTAR TABEL ........................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xvii
BAB I . PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 4
1.4. Manfaat Penulisan ........................................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Petani ........................................................................... 5
2.2 Penguasaan Lahan ........................................................................... 9
2.3 Pola Nafkah Ganda ........................................................................... 12
2.4 Konversi Lahan ........................................................................... 14
2.5 Pola Adaptasi ........................................................................... 19
2.6 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 22
2.7 Definisi Konseptual ........................................................................... 26
2.8 Definisi Operasional ........................................................................... 27
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian.................................................................. 29
3.2 Pengambilan Sampel ........................................................................... 29
3.3 Metode Penelitian ........................................................................... 29
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data .................................................... 30
BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Letak dan Geografis Batujajar ................................................................. 31
4.1.1. Lingkungan Alam.......................................................................... 32
1. Topografi ........................................................................... 32
2. Temperatur Udara .......................................................................... 32
3. Tanah ........................................................................... 33
4. Tata Air ........................................................................... 33
4.1.2. Lingkungan Fisik ......................................................................... 34
1. Tata Guna tanah ........................................................................... 34
2. Perumahan ........................................................................... 35
12
4.1.3 Demografi Desa Batujajar............................................................. 36
1. Penduduk ....................................................................................... 36
2. Ketenagakerjaan............................................................................ 38
3. Pendidikan ..................................................................................... 39
4.2 Kehidupan Ekonomi Sosial dan Budaya .................................................. 40
1. Kehidupan Ekonomi ...................................................................... 40
2. Kehidupan Sosial Budaya .............................................................. 43
3. Teknologi Bercocok Tanam........................................................... 43
BAB V. STRUKTUR AGRARIA DI DESA BATUJAJAR
5.1 Pemilikan dan Pemanfaatan Lahan......................................................... 47
5.2 Kelembagaan Agraria ........................................................................... 49
5.2.1 Ceblokan ........................................................................... 49
5.2.2 Maro ........................................................................... 49
5.2.3 Aturan Sewa Menyewa ................................................................ 50
5.3 Sejarah Agraria Lokal ........................................................................... 50
5.4 Tanah Absentia ........................................................................... 52
BAB VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI
6.1 Faktor Internal ........................................................................... 54
6.2 Faktor Eksternal ........................................................................... 59
6.3 Mekanisme Konversi ........................................................................... 59
BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN DI DESA BATUJAJAR
7.1 Penguasaan Lahan ........................................................................... 63
7.2 Adaptasi Rumahtangga Petani yang Terkonversi Lahannya ................. 64
7.2.1. Pola Nafkah Ganda ..................................................................... 64
7.2.2. Optimalisasi Penggunaan Tenaga Kerja ..................................... 67
7.3 Pola Pengggunaan Uang Hasil Penjualan Lahan..................................... 70
7.4 Pengaruh terhadap Kesempatan Kerja ..................................................... 72
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ........................................................................... 75
Saran ........................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 77
LAMPIRAN ........................................................................... 79
13
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
Tabel 1. Penguasaan Lahan Oleh PT di Desa Batujajar Tahun 2005 ...................... 32
Tabel 2. Perkembangan Produktivitas Lahan di Desa Batujajar ............................. 34
Tabel 3. Bentuk Penggunaan Lahan di Desa Batujajar 2005 .................................. 35
Tabel 4. Jumlah dan persentase Pria dan Wanita menurut umur ........................... 37
Tabel 5. Kondisi Ketenagakerjaan Masyarakat Batujajar
Menurut Umur Tahun 2005 ....................................................................... 38
Tabel 6. Jumlah Penduduk Usia Kerja Desa Batujajar Menurut Mata Pancaharian 39
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Tingkat Pendidikan Desa Batujajar Tahun 1994 dan
2005........................................................................................................... 39
Tabel 8. Jumlah dan Persentase Pendapatan Responden......................................... 41
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Dusun di Desa Batujajar 42
Tabel 10. Luas Kepemilikan Lahan Sawah Responden............................................ 47
Tabel 11. Jenis Pembagian Pemanfaatan Lahan di Desa Batujajar Tahun 2003....... 48
Tabel 12. Penjualan Lahan Bukit oleh Warga Batujajar menurut Tahun dan Harga 52
Tabel 13. Alasan Responden Melakukan Konversi ................................................. 55
Tabel 14. Jawaban Responden Terhadap Hasil Usaha Tani ..................................... 56
Tabel 15. Karakteristik Sumberda ya Manusia Responden ....................................... 58
Tabel 16. Tahun Pembelian dan Luas Lahan Yang di Kuasai PT di Desa Batujajar
tahun 2004 ................................................................................................. 60
Tabel 17. Proses Pendekatan dalam Pembebasan Lahan.......................................... 61
Tabel 18. Besarnya Ganti Rugi Lahan Responden di Lihat Dari Tahun Penjualan 62
Tabel 19. Rata-rata Perkembangan Penguasaan Lahan Responden Sebelum dan
Sesudah Konversi...................................................................................... 63
Tabel 20. Penggunaan Uang Ganti Rugi 20 Responden Berdasarkan Aset Tetap dan
Aset Lancar................................................................................................ 70
Tabel 21. Jumlah Uang Ganti Rugi Lahan Yang Terkonversi ................................ 71
Tabel 22. Penggunaan Uang Ganti Rugi Lahan 20 Responden Berdsarkan Produktif
konsumtif ................................................................................................... 72
Tabel 23. Perubahan Struktur Kesempatan Kerja Responden .................................. 73
14
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Kerangka Pemikiran Konversi Lahan dan Pengaruhnya terhadap
Pola Nafkah Rumahtangga Petani ........................................................ 25
2. Mekanisme Pelaksanaan Konversi Lahan...................................................... 60
LAMPIRAN
No. Teks Halaman
1. Aktivitas Perempuan dalam Mengerjakan Pekerjaan Rumahtangga
(Kerja Reproduksi) yang Memanfaatkan Air Sungai..................................... 83
2. Aktivitas Petani dalam Memanfaatkan Ternak untuk Bekerja di Pertanian .. 83
3. Aktivitas Perempuan dalam Upaya Membantu Ekonomi R umahtangga
dengan Membuka Warung ........................................................ 84
4. Aktivitas Warga Mencari Ikan di Sungai Sebagai Tambahan Penghasilan... 84
15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Batujajar merupakan satu komunitas pertanian yang terbentuk sejak masa
pemerintahan kolonial. Pola kehidupan masayarakatnya adalah bercocok tanam
terutama padi, selain itu mereka juga berdagang, menjadi buruh di pertambangan
maupun buruh tani. Banyaknya masyarakat yang bekerja disektor pertanian, yang
mencapai 87 persen menunjukkan bahwa kehidupan mereka sangat tergantung pada
sumberdaya lahan.
Sebagian besar penduduk memanfaatkan lahan sawah dan ladang dengan
menanami padi dan kacang tanah, satu sampai dua kali musim tanam. Padi biasanya
ditanam di sawah sedangkan ladang di perbukitan ditanami ketela pohon, pisang
maupun durian. Banyaknya bukit yang mengandung batu yang sangat potensial untuk
pertambangan, mendorong pihak luar desa (investor) untuk mengincar lahan
masyarakat di perbukitan untuk dijadikan pertambangan. Proses pembebasan lahan
sudah dimulai sejak tahun 1978 sampai saat ini tahun 2005. Sehingga hampir 272,5 ha
lahan di perbukitan kepemilikannya sudah dikuasai oleh pihak luar desa.
Berdasarkan luas kepemilikan lahan masyarakat petani desa Batujajar dapat
dibedakan menjadi 4 lapisan: petani lapisan atas, menengah, bawah dan tunakisma.
Bagi masyarakat agraris tanah tidak hanya menjadi salah satu faktor produksi, tetapi
juga memiliki arti penting lainnya, baik menyangkut aspek sosial maupun politik. Oleh
karena itu, masalah tanah tidak semata-mata merupakan masalah hubungan antar
manusia dan tanah lebih dari itu secara normatif merupakan hubungan manusia dengan
manusia. Tanah dalam sistem sosial ekonomi apapun, dianggap sebagai faktor produksi
16
utama. Hal yang membedakan hanyalah bagaimana fungsi, mekanisme pengaturan dan
cara pandang terhadap tanah itu sendiri (Suhendar dan Winarni,1998)
Berkembangnya kepentingan atas tanah pada akhirnya menyebabkan kebutuhan
atas tanah pun menjadi semakin bertambah. Sementara jumlah tanah yang tersedia tidak
bertambah. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya proses alih fungsi
lahan pertanian kepenggunaan non pertanian. Fenomena konversi atau alih fungsi lahan
pertanian kepenggunaan non pertanian dibeberapa wilayah Indonesia terjadi dengan
pesat terutama di pulau Jawa. Fenomena alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian
mendapat perhatian dari banyak pihak karena berkaitan dengan dimensi persoalan yang
luas, baik dalam skala makro maupun mikro (Kustiawan, 1997)
Dalam banyak hal pembangunan memang sulit menghindari resiko, baik
lingkungan fisik maupun pada lingkungan komunitas sosial. Pertumbuhan penduduk
yang pesat berakibat pada upaya penyediaan lahan, baik untuk pemukiman,
perkantoran, maupun untuk infrastruktur pendukung. Dalam konteks makro,
sesungguhnya fenomena ini merupakan dampak proses transformasi struktur ekonomi
(dari pertanian keindustri) dan demografis (dari perdesaan ke perkotaan). Namun yang
kemudian menjadi masalah adalah bahwa konversi lahan tersebut dalam prosesnya
tidak selalu menguntungkan petani sebagai pemilik lahan1.
Sebagai gambaran konversi lahan yang terjadi di Indonesia dapat kita lihat
bahwa pada tahun 1997 luas lahan sawah kurang lebih 8,5 juta hektar sedangkan tahun
2000 luasnya menurun menjadi 7.8 juta hektar, sehingga dapat dihitung bahwa dalam
waktu tiga tahun telah terjadi penyusutan 0.7 juta hektar atau rata-rata 230 ribu hektar
pertahun2. Sedangkan sensus pertanian tahun 1983 menunjukkan bahwa rata-rata
penguasaan lahan pertanian untuk seluruh Indonesia adalah 0,98 hektar perkeluarga
1 Sebagai contoh kasus kedung Ombo, waduk nipah,dan jenggawah di Jember, dimana untuk kasus yang terakhir tidak ada proses ganti rugi .Pemerintah menetapkan tanah sengketa sebagai HGU PTP XXVII yang akibatnya memicu perlawanan Petani. 2 Tempo, 23 Desember 2003
17
petani. Rata–rata penguasaan lahan tersebut menunjukan kecenderungan yang terus
mengecil. Pada tahun 1993 rata-rata nasional penguasaan lahan perkeluarga petani
adalah 0,83 hektar, dimana rata-rata di Jawa 0,47 hektar dan di luar Jawa 1,27 hektar
perkeluarga petani.
Perubahan peruntukan lahan masyarakat petani desa Batujajar terjadi ketika ada
investor yang masuk untuk melakukan kegiatan penambangan di bukit sebagai hasil
pembelian lahan dari masyarakat. Proses alih fungsi lahan yang terjadi tidak selamanya
berjalan dengan baik, masyarakat lebih banyak dirugikan dengan adanya proses
konversi, pencemaran (udara, suara, dan air) akibat proses pertambangan, serta ganti
rugi lahan yang tidak memadai merupakan faktor -faktor yang mendorong masyarakat
menilai bahwa adanya pertambangan batu di Batujajar tidak menguntungkan
masyarakat setempat.
Uang ganti rugi lahan antara petani juga berbeda karena perbedaan luasan lahan
yang dijual. Begitu juga dengan alokasi penggunaan uang hasil konversi, antara lapisan
atas, menengah, dan bawah cenderung terjadi perbedaan alokasi. Lapisan atas lebih
mengarah ke penggunaan produktif sedangkan pada lapisan tengah dan bawah lebih
cenderung ke arah penggunaan konsumtif.
Berkurangnya lahan yang dimiliki atau bahkan habisnya lahan garapan,
ditambah lagi terbatasnya akses rumahtangga karena tingkat pendidikan yang rendah
(dalam hal ini petani lapisan bawah) terhadap sumberdaya ekonomi (modal) maka
banyak diantara mereka memanfaatkan lahan-lahan milik perusahaan untuk ditanami
tanaman musiman, selain itu mereka juga melakukan pola nafkah ganda. Hal itu
mendorong rumahtangga untuk mengkonsolidasikan seluruh sumberdaya keluarga
untuk bekerja guna mencukupi kebutuhan rumahtangganya.
18
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka persoalan dapat diringkas sebagai
berikut.
1. Apa dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga petani?
2. Bagaimana penggunaan uang hasil konversi oleh petani lapisan atas
menengah, dan bawah?
1.3 Tujuan Penelitian
Mengacu kepada ruang lingkup permasalahan yang dirumuskan di atas, maka
tujuan penulisan adalah sebagai berikut :
1. Mempelajari dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga petani.
2. Mempelajari penggunaan uang hasil konversi oleh petani berbagai lapisan,
yaitu petani lapisan atas, menengah dan bawah.
1.4 Kegunaan Penelitian
Rumusan yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan bermanfaat secara
akademis maupun praktis. Secara akademis penulisan ini akan memiliki arti penting
dalam melengkapi literatur bagi kalangan akademik serta menambah khazanah
pengetahuan untuk memahami konsep-konsep pola adaptasi masyarakat petani
terhadap perubahan lingkungannya, dan secara praktis dapat memberikan infor masi
penting kepada masyarakat, swasta dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan
dibidang pertanian bahwa proses pembangunan, langsung atau tidak langsung menjadi
ancaman perubahan terhadap kekuatan-kekuatan fungsional yang lama berakar pada
tradisi masyarakat dan melahirkan gejala -gejala marginalisasi dikalangan masyarakat
asli terutama kaum tani.
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Petani
Dalam perspektif sejarah, masyarakat petani lahir sekitar 10.000 tahun sebelum
masehi. Pada saat itu ditandai dengan munculnya kemampuan domistikasi tanaman dan
hewan. Sebelumnya manusia hidup dari berburu dan meramu, mereka hanya bisa
berburu binatang liar dan mengumpulkan bahan makanan yang tersedia di alam bebas.
Kemampuan bertani dapat dipandang sebagai suatu revolusi besar dalam kehidupan
umat manusia, karena ia dapat berkembang di permukaan bumi ini dalam waktu yang
relatif singkat.
Wolf (1985) memberikan gambaran tiga tingkatan perkembangan kehidupan
masyarakat, yaitu bercocok tanam primitif, petani peasant dan farmer. Dia menyatakan
secara tegas bahwa petani peasant bukan pencocok tanam primitif dan bukan pula
pencocok tanam untuk tujuan komersial (farmer). Menurutnya perbedaan utama antara
petani (peasant) dengan pencocok tanam primitif terletak pa da orientasi dan distribusi
hasil, dimana pada pencocok tanam primitif sebagian besar dari hasil produksi
dipergunakan untuk penghasilnya sendiri atau untuk memenuhi kewajiban-kewajiban
kekerabatan, bukan untuk dipertukarkan dengan tujuan memperoleh barang-barang lain
yang tidak dihasilkannya sendiri.
Sistem pertukaran di pasar belum dikenal pada kebudayaan mereka, sehingga
orientasi produksinya dikenal dengan istilah production for use atau cenderung
membatasi produksi pada barang-barang yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh
produsen-produsennya. Sebaliknya perbedaan yang utama dengan farmer terletak pada
tujuan produksinya, di mana farmer berorientasi bisnis, pasar dan mencari laba dalam
mengelola usaha taninya. Penulisan ini membatasi arti petani pada petani “peasant”
20
Petani adalah penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam pengelolaan
tanah dan membuat keputusan otonomi mengenai proses pengelolaan tanah. Kategori
ini dengan demikian meliputi para penyewa dan pemanen bagi hasil seba gaimana
kategori untuk pemilik – pengelola sepanjang mereka dalam suatu posisi membuat
keputusan yang relevan mengenai bagaimana tanaman mereka dibudidayakan3. Petani
(peasant), tidaklah melakukan usaha tani dalam arti ekonomi, sebab yang mereka
kelola adalah sebuah rumahtangga, bukan sebuah perusahaan bisnis. Tujuan kegiatan
produksi hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga (subsisten), sedangkan
surplus produksi dipergunakan untuk kepentingan dana pengganti (replacement fund),
untuk dana seremonial (ceremonial fund) dan dana untuk sewa tanah (membayar pajak
dan sejenisnya). Dalam kehidupan masyarakat petani, pasar dan struktur atas desa
secara relatif telah menjadi bagian yang mempengaruhi tingkah laku sosial dan ekonomi
mereka. 4
Shanin (1971), mencirikan empat karakteristik utama petani. Pertama, petani
adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga (family farm). Kedua,
selaku usaha tani mereka menggantungkan hidupnya kepada tanah. Bagi petani lahan
pertanian adalah sega lanya yakni sebagai sumber yang yang diandalkan untuk
menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran
terpenting bagi status sosial. Ketiga petani memiliki budaya yang spesifik yang
menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas, solidaritas sosial mereka kental dan
bersifat meanistik. Keempat, cenderung sebagai pihak yang selalu kalah (tertindas)
namun tak gampang ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal
yang mendominasi mereka.
3 Wolf, Perang Petani (yogyakarta : Insist Press,2004) Hal.8 4 Redfield 1963 dalam bukunya mengatakan masyarakat tani sebagai masyarakat yang terbelah ( Part Society)
21
Dari rumusan kedua ahli tersebut (Shanin dan Wolf) di atas maka secara umum
petani (peasant) mempunyai ciri yang membedakan dengan komunitas lainnya yakni
(i) Petani tidak dapat dilihat sebagai pengusaha pertanian atau pebisnis dibidang
pertanian (ii) Usaha yang dilakukan petani adalah usaha keluarga atau usaha
rumahtangga yang menghasilkan produk subsisten, serta menghasilkan kewajiban
yang dibayarkan pada kekuatan politik yang mengklaim sebagian dari hasil petani (iii)
Rumahtangga petani berfungsi sebagai unit ekonomi, sosial serta religius yang utama.
Hal ini berpengaruh pada keputusan untuk produksi dan juga investasi yang dilakukan
dengan keputusan dari anggota keluarga (iv) Fungsi produksi dan konsumsi tidak
dapat dipisah, dalam artian bahwa kebanyakan petani berproduksi sekaligus untuk
kebutuhannya sendiri maupun untuk pasar (v) Petani dalam berproduksi tidak selalu
didasari oleh prinsip mencari keuntungan namun lebih mengarah pada keinginan untuk
mengurangi resiko (vi) Adanya dominasi oleh kekuatan dari luar dalam bentuk
ekonomi, politik maupun sosial budaya. Dengan kata lain petani selalu berada dalam
hubungan yang asimetris.5
Kalau melihat kondisi petani di Indonesia maka pola hidup petani cenderung
subsisten. Namun subsisten dalam pengertian ini buka n berarti makan secukupnya dari
suatu usaha tertentu dan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, melainkan
harus pula melihat pandangan petani terhadap orientasi kerjanya. Suhendar dan Yohana
(1998) merumuskan tiga indikator untuk memahami pola subsistensi petani :
1. Adalah sikap atau cara petani memperlakukan faktor -faktor produksi yakni
tanah dan sumber agraria. Jika bersikap tidak komersial, tidak eksploitatif
terhadap tanah dan sumberdaya agraria, mengangap peningkatan produksi
tidak perlu dan hanya memproduksi sebatas kebutuhan keluarganya
5 Satyawan Sunito –{ Dinamika Pembangunan Desa } Rangkuman dari Theodore Shanin,Eric R Wolf,Hayami dan Kikuchi.Asymetris berarti bentuk hubungan yang tidak setara antara petani dengan dunia luar (hubungan eksploitasi )
22
(sekalipun dengan penguasaan lahan luas), petani tersebut termasuk petani
subsisten. Sebaliknya, jika sikapnya didasari oleh orientasi surplus produksi
dan maksimalisasi produksi, mereka termasuk petani komersial.
2. Besar kecilnya skala usaha petani. Sekalipun hanya menguasai lahan dalam
skala usaha kecil, jika didasari pemikiran yang cenderung berorientasi pasar
(mengejar surplus) petani itu dapat disebut sebagai petani komersial.
Sebaliknya petani yang berlahan sempit dengan skala usaha terbatas
termasuk berpola hidup subsisten apabila dalam usahanya itu tidak ada
kemungkinan bagi mereka untuk memaksimalkan produksi karena
keterbatasan skala usaha dan kemampuan berproduksi.
3. Jenis komoditas yang dibudidayakan petani. Walaupun mengusahakan
komoditas komersial, jika hanya digunakan sebatas keperluannya, seorang
petani disebut petani subsisten. Apabila mengusahakan tanaman komersial
dengan tujuan memperoleh surplus, walaupun tanah yang dikuasainya sangat
terbatas, petani itu bukanlah seorang petani subsisten, melainkan petani
komersial.
Jika pola subsistensi petani tersebut diterapkan dengan kondisi petani di
Indonesia saat ini, maka dapatlah dikatakan bahwa petani Indonesia dapat dikatakan
hampir tidak ada petani dengan pola subsisten mutlak. Akan tetapi apabila digunakan
indikator kecilnya skala usaha dan kemampuan petani berproduksi, jelas bahwa
sebagian besar petani di Indonesia hidup dalam pola subsisten.
Penelitian Husken (1974) di desa Gondongsari, Pati, Jawa Tengah bisa
dijadikan rujukan tentang ciri-ciri petani Indonesia saat ini, yaitu (i) Petani bermata
pencaharian ganda. Selain bertani masyarakat juga bekerja “sampingan” semisal sebagai
sopir, membuka warung/toko, tukang batu dan seba gainya. Melihat kenyataan,
23
pekerjaan yang dikatakan sampingan tersebut dalam arti di luar usaha tani ternyata
merupakan pekerjaan pokoknya.
(ii) Tanaman yang diproduksi adalah tanaman yang tidak beresiko tinggi artinya
teknologinya dapat dikuasai serta secara ekonomi menguntungkan. Serta yang menjadi
pertimbangan lain adalah, petani paham ke mana pasar bagi tanaman yang diusahakan
(iii) Motif berusaha adalah mencari keuntungan, yang dilakukan dengan
mengintensifkan penggunaan lahan yang hasilnya akan dijual untuk mendapatkan uang
tunai (iv) Petani adalah bagian dari sistem politik yang lebih besar, yang ditunjukkan
dengan adanya partai-partai politik yang berpengaruh juga terhadap kepemimpinan di
desa (v) Petani subsisten secara mutlak tidak ada tetapi petani mempunyai hubungan
yang kuat terhadap pasar tempat menjual hasil pertaniannya atau bahkan membeli
barang di pasar untuk dijual di desanya dengan harapan memperoleh keuntungan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ciri petani Indonesia saat ini berbeda
dengan ciri-ciri petani menurut Shanin ataupun Wolf. Yang membedakan antara lain: (i)
Mengusahakan lahan yang sempit (ii) Produk yang dihasilkan cenderung untuk
kebutuhan pasar, dengan tujuan dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya. (iii) Penerapan teknologi modern sudah dilakukan
didalam usaha taninya (panca usaha tani) (iv) Berpenghasilan ganda (tidak selalu
menggantungkan sumber nafkahnya disektor ekonomi saja. (v) Fungsi lahan pertanian
lebih sebagai penenang ekonomi6 mereka dan bukan sebagai sumber ekonomi satu-
satunya sebagaimana yang dicirikan Shanin (1971)
2.2 Penguasaan lahan.
Masalah penguasaan lahan di pedesaan merupakan masalah yang rumit, karena ia
menyangkut berbagai aspek seperti: ekonomi, demografi, hukum politik dan sosial.
Pandangan ekonomi melihat tanah sebagai faktor produksi. Tetapi karena faktor 6 Penenang disini diartikan lebih sebagai cadangan /harapan akhir ketika usaha disektor lain diluar usaha tani tidak menghasilkan.
24
produksi yang berupa tanah itu makin lama makin merupakan barang yang langka,
maka perbandingan jumlah manusia dengan luas lahan pertanian menjadi semakin
timpang. Disitulah masuk sudut pandang demografi. Sedangkan pandangan hukum
lebih melihat pola hak dan kewajiban para pemakai tanah dalam kerangka (formal dan
nonformal) yang mengatur segala aktivitas ekonomi yang ada hubungannnya dengan
tanah. Untuk memungkinkan agar segala peraturan ditaati oleh semua warga
masyarakat, diperlukan adanya aparatur organisasi yang dapat memaksakan peraturan
itu. artinya diperlukan adanya penguasa. Maka disinilah terkait sudut pandang politik.
Ke empat sudut pandang ini merupakan simpul-simpul yang penting dalam melihat
penguasaan lahan dan melalui simpul-simpul itulah masyarakat dapat dipetakan
bagaimana susunan lapisannya. Maka terkaitlah sudut pandang sosiologis. Hubungan
penguasaan lahan bukan saja menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia.
Dalam kaitannya hubungan antara manusia dengan tanah sebagai benda, hanya
mempunyai arti jika hubungan itu merupakan hubungan aktivitas. Dalam hal ini
aktivitas itu adalah penggarapan dan pengusahaannya. Misalnya jika seseorang
memiliki sebidang tanah tertentu, ini mengandung implikasi bahwa orang lain tidak
boleh memilikinya, atau boleh menggarapnya dengan syarat-syarat tertentu. Implikasi
selanjutnya ialah bahwa hal itu mencakup hubungan antara pemilik dan buruhnya,
antara sesama buruh tani dan antara orang-orang yang langsung atau tidak langsung
terlibat dalam proses produksi di mana tanah merupakan salah satu faktornya
(Wiradi,1984). Selanjutnya Wiradi juga menegaskan bahwa, masalah tanah pa da
hakekatnya adalah menyangkut masalah pembagiannya, penyebarannya atau
distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses
produksi.
25
Masalah penguasaan dan macam-macam hak atas tanah, dalam undang-undang
pokok agraria (UUPA 1960) diatur juga dalam pasal 4, pasal 16, dan pasal 53 yang
menyebutkan bahwa : adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang-orang la in serta badan hukum. Hak tersebut
memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula
tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah, dalam batas-batas
menurut undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (pasal 4
UUPA 1960).
Selanjutnya pasal 16 ayat 1 UUPA 1960, dijelaskan macam-macam hak atas
tanah yang meliputi : (a) Hak milik; (b) Hak guna usaha ; (c) Hak guna ba ngunan; (d)
Hak pakai; (e) Hak sewa; (f) Hak membuka tanah; (g) Hak memungut hasil hutan serta
hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak penguasaan tanah
yang sifatnya sementara , diatur dalam pasal 53 UUPA 1960 yang menunjuk pada hak
gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk
membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut
diusahakan hapus dalam waktu singkat (UUPA dalam subekti,1990)
Hak milik menurut pasal 20 UUPA adalah hak turun temurun terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6.
Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak pakai menurut pasal 41
UUPA 1960 adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
26
berwenang memberikannya atau dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Selanjutnya mengenai bagi hasil, pada UU No.2 tahun 1960, tentang perjanjian
bagi hasil dijelaskan bahwa : Perjanjian bagi hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun
juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum
pada lain pihak yang dalam undang-undang disebut penggarap berdasarkan perjanjian
mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha
pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.
2.3 Pola Nafkah Ganda
Petani di Indonesia rata-rata penguasaan lahan sekitar 0.83.ha 7. Secara ekonomi
pemanfaatan lahan yang sempit tidak akan mampu memenuhi kebutuhan petani.
Dengan kondisi yang serba kekurangan, rumahtangga petani menerapkan strategi
nafkah ganda. Artinya rumah tangga petani tidak hanya mengandalkan hidup pada satu
pekerjaan saja. Untuk itu terutama bagi rumahtangga yang mempunyai jumlah anak
dalam kategori banyak, mereka mencari sumber pendapatan lain yang dapat menambah
penghas ilan rumahtangga mereka. Dalam beberapa penelitian,8 menunjukkan adanya
usaha memaksimalkan sumberdaya keluarga, yakni dengan melibatkan peran wanita
dan anak-anak sebagai tenaga kerja produktif untuk turut serta menyokong keuangan
rumahtangga.
Diantaranya ada wanita yang berjualan makanan kecil-kecilan, beternak ayam
ataupun bekerja sebagai buruh dibidang pertanian. Agusta dan Tetiani (2000)
menunjukkan bahwa ada kecenderungan pola nafkah ganda di desa di Indonesia, yang
7 BPS.1994. Sensus Pertanian 1993 Seri :J.2 . Pada tahun 1993 rata -rata nasional penguasaan lahan perkeluarga petani adalah 0,83 ha;dimana rata-rata di Jawa 0,47 ha dan diluar Jawa 1,27 Ha.sebagai gambaran kasus Jawa dan Madura Lihat Tabel Lampiran 5 8 Penelitian Frans Husken didesa Gondosari,Pati , Jawa Tengah dalam Bukunya Masyarakat desa dan Perubahan Zaman.Hal.157 -173
27
biasa dilakukan dengan memanfaatkan tempat tinggal (rumah) tidak hanya sekedar
menjadi tempat tinggal tetapi seringkali juga menjadi lokasi berusaha. Contohnya
untuk menjemur padi, membuka warung ataupun untuk industri rumahtangga.
Dalam kaitannya dengan pertanian, studi hubungan antara pola distribusi tanah
dan distribusi pendapatan diantara petani menemukan perbedaan strategi pola nafkah.
Rumahtangga dilapisan buruh (petani gurem) berpola ”dahulukan selamat”, dilapisan
menengah berpola konsolidasi dimana pendapatan dari pertanian dengan luas lahan
tani sedang, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsistensi anggota
rumahtangga, sehingga mereka tidak memiliki modal cadangan yang cukup untuk
mengembangkan usaha. Oleh karena itu, anggota rumahtangga pencari nafkah bekerja
pada usaha luar pertanian untuk berjaga -jaga kalau hasil usahatani tidak mencukupi
karena gagal panen misalnya. Untuk petani di lapisan atas (tanah cukup, modal kuat)
cenderung berpola akumulasi modal, yaitu mengembangkan usaha produktif, baik dari
surplus usaha pertanian keusaha luar pertanian atau sebaliknya (Mawardi,2003).
Penelitian yang dilakukan Sayogjo (1978) menunjukkan bahwa penduduk miskin
hampir seluruhnya berpola nafkah ganda. Penyesuaian kondisi kemiskinan ini berguna
untuk mengurangi resiko manakala salah satu pola nafkah tidak menghasilkan
pendapatan. Jika dikaitkan dengan luas pemilikan atau penguasaan lahan dan tingkat
kemiskinan tidak sepenuhnya langsung. Kaitan langsung keduanya (luas penguasaan
lahan dan kemiskinan) hanya muncul pada usaha tani berbasis lahan.
Masyarakat tani yang berbasis lahan dapat kita lihat dari tulisan Gertz (1964)
tentang involusi pertanian di pedesaan Jawa, di mana masyarakat dicirikan oleh suatu
sistem usaha tani padi sawah. Gambaran yang diperoleh menunjukkan diantara petani
kurang tampak differensiasinya. Walaupun produktivitas padi sawah meningkat dalam
jangka lama, namun karena tekanan penduduk maka lahan tetap harus menerima
28
tambahan tenaga kerja. Terjadilah involusi yaitu suatu pe rkembangan di mana
produktivitas meningkat tapi hasil per individu tidak naik maka yang terjadi adalah
kemiskinan berbagi (Share Poverty ).
2.4 Konversi Lahan
Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil pertanian
yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Dalam pertanian
terutama di negara berkembang termasuk Indonesia , faktor produksi tanah mempunyai
kedudukan yang sangat penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima
dari tanah dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya.
Bagi petani, lahan mempunyai arti yang sangat penting. Dari situlah mereka
dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam
dan beternak. Karena lahan merupakan faktor faktor produksi dalam berusaha tani,
maka keadaan status penguasaan terhadap lahan menjadi sangat penting. Ini berkaitan
dengan keputusan jenis komoditas apakah yang mau diusahakan dan juga berkaitan
dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani yang diusahakan.
Jika dikaitkan dengan proses pembangunan pada dasarnya pertumbuhan
ekonomi dalam suatu wilayah akan mendorong terjadinya peningkatan permintaan
akan lahan untuk berbagai kebutuhan termasuk kebutuhan pertanian, industri jasa dan
kegiatan lainnya. Oleh karena persediaan lahan tidak berubah dalam suatu wilayah
maka dengan perubahnya struktur ekonomi yang terjadi seperti yang terlihat terutama
dalam wilayah perkotaan, perubahan tersebut telah menggeser peranan sektor pertanian
kesektor industri yang juga membutuhkan lahan untuk kegiatannya. Dalam keadaan
demikina lahan-lahan pertanian akan mendapat tekanan permintaan untuk penggunaan
lahan bagi kepentingan kegiatan di luar pertanian (Anwar 1993).
29
Sebelum masuknya perusahaan industri di suatu desa, lahan-lahan dikuasai oleh
petani. Berkaitan dengan hak atas lahan, maka di situ (di desa) terdapat dua golongan
petani yaitu petani pemilik dan petani bukan pemilik lahan. Di dalam penggarapan
lahan tersebut, petani pemilik dapa t menggarap lahannya sendiri (pemilik penggarap),
selain itu juga dapat menggarapkan lahannya kepada orang lain melalui sistem sakap,
sewa atau dengan memanfaatkan sistem gadai. Di sisi lain, petani yang tidak memilik
lahan dapat menggarap lahan orang lain (pemilik tanah) melalui sistem sakap (bagi
hasil) sehingga disebut petani penyakap, dapat juga melakukan penggarapan tanah ini
dengan sistem sewa atau sistem gadai.
Setelah masuknya perusahaan industri di suatu desa, penguasaan lahan dapat
terpecah menjadi dua bagian besar, yaitu sebagian dari total luas lahan sawah dikuasai
oleh perusahaan industri dan digunakan untuk kegiatan di luar pertanian, sedangkan
sisanya masih tetap dikuasai petani. Ini berarti bahwa total lahan sawah yang dikuasai
petani dan digunakan untuk kegiatan pertanian menjadi lebih sempit. Kaitannya untuk
penguasaan lahan, maka akan ada petani pemilik yang berubah statusnya menjadi petani
tidak memiliki lahan (karena lahannya dijual) mungkin juga ada petani yang tadinya
memiliki lahan yang luas menjadi sempit pemilikannya. Hal ini bisa dilihat dari hasil
sensus pertanian tahun 1993 khusus pulau Jawa di mana lahan sawah yang berubah
menjadi perumahan 28.603,50 ha, untuk industri 14.481,70 ha dan untuk perkantoran
3.178 hektar.
Menurut Kustiawan (1997) pengertian konversi atau alih fungsi lahan secara
umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu
penggunaan kepenggunaan lainnya. Konversi lahan pertanian ini tidak terlepas dari
situasi ekonomi secara keseluruhan.
30
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang (hanya mengejar pertumbuhan)
menyebabkan beberapa sektor ekonomi terutama industri tumbuh dengan cepat namun
disisi lain melumat sektor lain yakni pertanian. Pertumbuhan tersebut akan
membutuhkan lahan yang lebih luas, apabila lahan pertanian letaknya berada dekat
sumber pertumbuhan ekonomi seperti pinggiran perkotaan maka dengan pertumbuhan
ekonomi tersebut akan menggeser penggunaan lahan pertanian kebentuk lain seperti
perumahan, lokasi pabrik, jasa, perdagangan, perkotaan, jalan dan lain-lain. Hal ini juga
dipengaruhi karena rente lahan persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih
tinggi dari pada yang dihasilkan sektor pertanian, hal ini biasanya memicu spekulasi
lahan dan munculnya percaloan, sehingga memicu pula peningkatan harga lahan secara
cepat, yang pada gilirannya justru menjadi pemikat bagi pemilik lahan pertanian
menjual dan melepas pemilikan lahannya untuk penggunaan non pertanian
(Barlowe,1972 dan Anwar,1993).
Demikian juga menurut Crowel (1995) transfer lahan dari lahan pertanian ke
lahan Industri atau lahan untuk peruntukan lainnya terjadi sebagai konsekwensi
pertumbuhan penduduk kota secara alamiah maupun karena urbanisasi. Dari uraian-
uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa dengan meningkatnya kebutuhan lahan di
luar sektor pertanian, menyebabkan terjadinya pergeseran lahan pertanian. Sebagai
contoh adanya peningkatan penggunaan lahan perkotaan seperti pemukiman, jasa,
perdagangan, perkantora, industri, prasarana jalan dan sebagainya, menyebabkan makin
sempitnya areal pertanian di sekitar perkotaan. Apabila transformasi lahan pertanian
terus berlanjut maka lahan pertanian makin sempit bahkan kemungkinan habis.
Konversi lahan pertanian dekat pusat kota (pusat perekonomian) berlangsung lebih
cepat dibandingkan dengan konversi lahan yang lokasinya jauh dari pusat
perekonomian, proses konversi lahan pertanian tidak berdasarkan asas keadilan maka
31
dampak negatif bagi petani (peasant) sebagai penggarap tanah hampir bisa dipastikan
akan semakin mempersulit keberadaan petani.
Berbagai bentuk atau jenis penggunaan lahan yang tercermin dari pola tataguna
lahan yang terjadi selama ini, merupakan hasil pilihan keputusan individual maupun
kelompok atau oleh pihak organisasi pemerintah yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
ekonomi. Pada prakteknya sebenarnya pemerintah memegang peranan yang sangat
penting dalam alokasi lahan, termasuk peranannya yang paling mendasar adalah harus
mengakui dan melindugi hak-hak individual atas lahan yang dalam hal ini adalah petani.
Kenyataannya terjadi proses akumulasi dan pemusatan pemilikan/penguasaan tanah di
tangan segolongan orang yang jumlahnya terbatas, halmana jelas melanggar batas-batas
maksimum yang dibenarkan oleh UUPA 1960.
Pergeseran pemilikan/penguasaan tanah disertai akumulasi dan pemusatan
kepemilikan tanah erat hubungannnya dengan gejala pemilikan/penguasaan tanah yang
letaknya jauh di luar daerah di mana sipemilik/penguasa tanah yang bersangkutan
bertempat tinggal. Dengan perkataan lain, gejala “absentee ownership ” yang meluas
atau apa yang dikenal sebagai tanah “ Guntay “ suatu hal yang tidak dibenarkan oleh
UUPA9. Pergeseran penguasaan tanah, akumulasi dan pemusatan milik akan kekuasaan
tanah, serta meluasnya tanah guntay, dapat mempertajam pertentangan kepentingan
antara pemilik/penguasa tanah dan penggarap tanah, khususnya jika pemilik tanah
guntay lebih mementingkan kenaikan nilai harga tanah itu sendiri daripada
penggarapannya.
Dalam rangka umum alokasi sumber-sumber daya produksi dalam proses
pembangunan, maka harus diusahakan pemanfaatan tanah pertanian secara optimal.
Pengertian optimal ini selanjutnya dilihat dalam rangka tujuan pembangunan yang
9 Tahun 1998,Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui kantor-kantor agraria setempat diseluruh Indonesia mengeluarkan izin loka si atas tanah seluas 3,025 juta hektar, tetapi lahan yang dimanfaatkan hanya 481.558 ha atau hanya 16 % saja. Sedangkan sisanya ditelantarkan sebagai obyek spekulasi tanah.
32
mengandung tiga dimensi: peningkatan produksi, pembagian hasil produksi yag adil dan
lebih merata dan kestabilan pemerintah. Hal ini sesuai dengan apa yang termaktup
dalam piagam petani (The Peasants Charter, FAO, Rome 1981
’ Bahwa kemajuan nasional yang didasarkan atas pertumbuhan dengan
pemerataan dan partisipasi, memerlukan suatu redistribusi kuasa-
kuasa ekonomi dan politik, integrasi penuh dari pedesaan ke dalam
usaha pembangunan kelompok-kelompok petani, koperasi, dan
bentuk– bentuk lain dari organisasi petani dan buruh tani yang bersifat
sukarela, otonom, dan demokratis’
Dalam kenyataan sekarang ini banyak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan
tentang batas-batas pemilikan. Batas minimum terpaksa tidak dapat dipatuhi oleh
golongan petani kecil karena tekanan ekonomi dan sistem waris yang berlaku menurut
adat dan agama. Batas maksimum dilanggar oleh pihak golongan atau kalangan yang
bersaing mendapatkan tanah untuk kebutuhan (investasi atau spekulasi) Pihak peminta
(pemilik modal) mempunyai kedudukan yang jauh lebih kuat dari pemilik/petani kecil
yang sering terdesak oleh kebutuhan akan uang tunai. Gejala semacam ini menurut
(Spitz,1979) mencerminkan bekerjanya sistem sosial ekonomi yang kurang
menguntungkan bagi anggota termiskin masyarakat. Akumulasi dan pemusatan dan
penguasaan tanah pada golongan atau kalangan dengan jumlah terbatas kasus di
Indonesia ada kaitannya dengan :
1. Fragmentasi tanah sebagai akibat sistem waris dan pemindahan hak
walaupun sudah ada larangan penjualan tanah, hal mana menyebabkan
pemecahan bidang tanah menjadi kurang darai 2 hektar.
33
2. Tanah garapan yang sangat sempit, tidak ekonomis lagi untuk memenuhi
kebutuhan keluarga pemilik, kemudian dijual, dilain pihak keluarga pemilik
berhadapan dengan kebutuhan uang tunai yang meningkat.
3. Administrasi pendaftaran tanah sering tidak mencerminkan kenyataan,
karena banyak transaksi jual beli tanah tidak dilaporkan ataupun karena
transaksi-transaksi dilakukan dengan cara pemberian surat kuasa mutlak
kepada pihak pembeli.
2.5 Pola Adaptasi
Salah satu masalah sosial pedesaan yang sangat krusial adalah terbatasnya
peluang kerja baru disatu pihak dan peningkatan angkatan kerja dipihak lain. Ketidak
seimbangan yang sangat memprihatinkan ini antara lain merupakan dampak negatif
dari intensifikasi bidang pertanian serta semakin, menipisnya lahan yang menjadi
garapan mereka. Intensifikasi pertanian dipandang telah menurunkan daya serap
sektor pertanian, mengubah pola -pola hubungan kerja dan memicu konsentrasi
kepemilikan lahan pada segelintir golongan masyarakat.
Sementara itu pihak-pihak yang secara langsung merasakan dampak negatif
ketimpangan penguasaan maupun kepemilikan agraria adalah rumahtangga petani
berlahan sempit dan buruh tani. Untuk mensikapi tekanan sosial ekonomi dan
kemiskinan yang dihadapinya, kelompok rumahtangga ini biasanya mengembangkan
strategi adaptasi. Konsep strategi adaptasi dikemukakan oleh Kusnadi (1996) yang
dapat diartikan sebagai sebuah pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif
sesuai dengan konteks lingkungan sosial ekonomi, serta ekologi di mana penduduk
tersebut tinggal. Pemilihan tindakan yang bersifat kontekstual tersebut dimaksudkan
untuk mengalokasikan sumberdaya yang tersedia di lingkungan guna mengatasi
34
tekanan-tekanan sosial ekonomi. Dengan demikian mereka tetap dapat menjaga
kelangsungan hidupnya.
Dalam konteks pola nafkah ganda, menurut Sayogjo (1978) strategi hidup
rumahtangga berbeda antara lapisan bawah, lapisan tengah, dan lapisan atas. Bagi
lapisan atas, pola nafkah ganda merupakan strategi akumulasi di mana surplus pertanian
mampu membesarkan usaha luar pertaniannya, dan sebaliknya pada lapisan tengah pola
nafkah ganda merupakan strategi bertahan di mana sektor luar pertanian
dipertimbangkan sebagai potensi untuk perkembangan ekonomi. Bagi lapisan bawah,
pola nafkah ganda merupakan strategi survival di mana sektor luar pertanian
merupakan sumber nafkah penting untuk menutupi kekurangan dari sektor pertanian.
Rumahtangga berlahan sempit dan tak bertanah pada umumnya memperoleh upah
yang rendah disektor luar luar pertanian, bahkan lebih rendah dibandingkan tingkat
upah buruh tani disektor pertanian. Seiring dengan kemajuan pendidikan dan informasi
tentang kehidupan kota menjadi salah satu faktor yang menyebabkan berubahnya
persepsi masyarakat pedesaan tentang pekerjaan yang dikehendakinya. Ada
kecenderungan bahwa makin tinggi pendidikan makin besar keinginan penduduk
untuk bekerja di luar desa. Ditambah pula oleh kecenderungan berkurangnya lahan
pertanian, sehingga kesempatan untuk be rtani atau terlibat dalam kegiatan pertanian
makin terbatas. Akhirnya penduduk desa mencari pekerjaan lain dan kalau
mempunyai modal mereka berjualan atau berdagang, baik di desa maupun di luar desa.
Hasil penelitian Jones melaporkan bahwa masyarakat pedesaan di pulau Jawa,
berdagang sudah menjadi sumber tambahan pendapatan dan menjadi pekerjaan pokok
bagi sebagian lainnya. Penelitian mobilitas tenaga kerja di wilayah pembangunan
Sukabumi dan Banten menemukan data bahwa dalam jangka lima tahun (1974 -1979)
jumlah pelaku mobilitas yang menjadi pedagang naik sampai 64 persen. Studi tentang
35
perubahan ekonomi pedesaan dan mobilitas tenaga kerja di Jawa Barat yang dilakukan
Manning melaporkan bahwa mobilitas penduduk dari desa ke kota menyebabkan
kenaikan proporsi pedagang antara 1976-1983 sampai dengan dua pertiga dari seluruh
pekerjaan nonpertanian di kecamatan dan kabupaten. Penelitian lain yang dilakukan
di pedesaan kabupaten Garut dan Majalengka memperoleh data yang memperlihatkan
perubahan cukup dramatik penduduk yang bekerja disektor perdagangan meningkat
dari sekitar 4 persen pada tahun 1979 menjadi lebih 24 persen pada 1989
Menurut hasil penelitian Dharmawan (2001) Ada beberapa strategi yang
ditempuh petani untuk menjaga kelangsungan hidup rumah tangganya, yaitu ;
1. Mengolah lahan pertanian milik sendiri.
2. Mengolah lahan pertanian milik orang lain
3. Bekerja di luar sektor pertanian
4. Hasil pembayaran dan sumbangan
Biasanya petani melakukan kombinasi-kombinasi dari ke empat faktor di atas.
Kombinasi untuk setiap strategi nafkah yang dipergunakan akan selalu berbeda untuk
setiap lapisan rumahtangga petani, tergantung dari sumberdaya alam yang dipunyai.
Sedangkan menurut hasil penelitian Igbal (2004), terdapat empat kategori pola nafkah
ganda yang dilakukan rumahtangga petani, yaitu :
1. Suami-istri masing-masing bekerja disektor yang sama
2. Suami istri bekerja tetapi berlainan sektor
3. Salah satu anggota rumahtangga memiliki lebih dari satu jenis pekerjaan.
4. Masing-masing anggota keluarga memiliki pekerjaan.
Bagi rumahtangga petani, kepemilikan lahan yang sempit mendorong mereka
melakukan kerja disektor lain semisal bekerja disektor Informal di kota, dengan
pertimbangan sektor informal yang ada di kota bisa dimasuki tanpa menuntut adanya
36
kualitas sumberdaya manusia yang tinggi seperti umumnya kondisi petani yang
berpendidikan rendah. Dalam sektor informal, individu bebas berkreatifitas di luar
sistem peraturan yang mengikat dan kepentingan pemerintah, yang berbeda dengan
kondisi kondisi yang terdapat dalam sektor formal.
Bentuk kegiatan yang dilakukan petani sebagaimana tercantum di atas
merupakan bentuk difersifikasi kerja, di mana sektor pertanian tidak lagi mampu
mencukupi kebutuhan petani. Menurut Darmawan (2001) upaya diversifikasi kerja
yang dilakukan petani adalah untuk :
1. Mempertahankan garis batas aman dengan mencukupi kebutuhan subsisten.
2. Meningkatkan status sosial ekonomi dan meningkatkan standar hidup petani.
2.6 Kerangka Pemikiran
Penguasaan dan kepemilikan lahan sangat erat dengan masalah kemakmuran
dan kemiskinan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih menggantungkan
hidupnya disektor pertanian. Semakin sempitnya lahan pertanian yang diusahakan
petani (Peasant) sebagai akibat dari perta mbahan jumlah penduduk dan juga kebijakan
penataan struktur agraria oleh pemerintah yang tidak adil.
Adapun pola penguasaan lahan yang ada sekarang ini dinilai cukup timpang di
mana distribusi penguasaan lahan semakin mengalami polarisasi, pemilik modal
mengusai lahan yang begitu luas di sisi lain petani miskin semakin miskin akibat
terpisah dari sumberdaya ekonominya yakni lahan. Penguasaan, pemilikan dan
penggunaan sebidang lahan menyangkut aspek sosial, ekonomi dan politik. Maka
perubahan yang terjadi pada ketiga aspek tersebut akan menyebabkan perubahan pada
pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan lahan. Perubahan itu terjadi disebabkan
perubahan dari dalam masyarakat sendiri (faktor internal) dan dari luar masyarakat
(eksternal). Faktor internal yakni adanya kecenderungan menjual tanah dari penduduk
37
setempat, sedangkan dari faktor eksternal yakni adanya intervensi modal kapital dari
para pemilik modal baik swasta maupun pemerintah sendiri, sebagai wujud kebijakan
pertanahan yang tidak populis.
Tanah yang dahulu digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga telah
beralih kepihak lain. Dengan tidak adanya sumberdaya tanah yang dimiliki, para petani
tentu saja juga kehilangan mata pencaharian. Kalaupun masih berusaha disektor
pertanian itupun hanya petani penggarap. Hal ini tentu saja berakibat pada perubahan
status petani, petani yang dulunya mengusahakan tanah milik sendiri atau sebagai
petani pemilik berubah menjadi petani yang menggarap tanah milik orang lain atau
sebagai petani penggarap karena sudah tidak memiliki lahan pertanian lagi.
Penelitian ini mengkaji pertanian dalam arti sempit yaitu pertanian yang fokus
utamanya untuk menghasilkan pangan dan hortikultura (usahatani). Konversi lahan
yang dimaksudkan adalah konversi lahan kering (tegalan) yang berupa perbukitan.
Lahan yang semula dijadikan sebagai tambahan penghasilan dengan ditanami
tanaman tahunan, setelah terjadi konversi lahan dialihfungsikan untuk
pertambangan batu.
Masuknya perusahaan (PT) untuk menanamkan investasinya akan berpengaruh
terhadap kondisi sosial maupun ekonomi masyarakat. Pembelian lahan-lahan oleh
investor terhadap petani akan berdampak pada perubahan ekonomi masyarakat. Akses
masyarakat terhadap lahan sema kin kecil sehingga masyarakat petani yang sebagian
besar berpendidikan rendah melakukan berbagai strategi untuk tetap bertahan dari
tekanan ekonomi yang dialaminya yakni pola nafkah ganda dan optimalisasi tenaga
kerja keluarga.
Persoalan lain yang menjadi dampak dari adanya konversi lahan adalah proses
konversi dan pengelolaan uang hasil konversi tidak selalu menguntungkan bagi petani,
38
yang pada akhirnya kepemilikan lahan beralih sedangkan uang hasil konversi tidak
digunakan untuk alokasi yang produktif sehingga konversi lahan semakin menjadikan
masyarakat petani kecil terpuruk dalam kemiskinan.
Faktor yang menyebabkan konversi lahan secara mikro dibagi menjadi dua,
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal meliputi pendidikan, pengalaman
kerja, tingkat penghasilan dan juga ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor
eksternal yakni masuknya perusahaan (PT), pengaruh dari tetangga dan juga calo serta
pemerintahan desa sendiri.
Dampak yang ingin dilihat selanjutnya setelah konversi terjadi adalah
bagaimana masyarakat yang menjual lahannya beradaptasi dengan kondisi tersebut.
Bagaimana penggunaan uang hasil konversi apakah terjadi perbedaan alokasi dana
(uang) hasil konversi antara petani lapisan atas, menengah dan bawah, dan apakah
terjadi perubahan struktur rumahtangga dengan alokasi tenaga kerja. Selain itu
penelitian ini juga ingin melihat fungsi jaringan sosial rumahtangga petani yang
diduga merupakan salah satu pola adaptasi untuk mengatasi kesulitan me menuhi
kebutuhan kehidupan sehari-hari, akibat ketidak pastian penghasilan.
39
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Konversi Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Pola
Nafkah Rumahtangga petani.
Faktor yang mempengaruhi konversi
Faktor Intern. 1. Pendidikan 2. Pengalaman kerja 3. pendapatan 4. Ketergantungan pada tanah
Faktor Ekstern. 1. Investor 2. Pemerintah Desa 3. Calo 4. Tetangga
Konversi Lahan
Adaptasi
Berkaiatan dengan Struktur alokasi tenaga kerja rumahtangga)
1. Pola nafkah ganda (memanfaatkan lahan tidur, usaha lain)
2. Optimalisasi tenaga kerja rumahtangga
40
2.7 Definisi Konseptual
a. Petani : Orang desa yang mengolah lahan dengan bantuan
tenaga kerja keluarga sendiri atau orang lain untuk menghasilkan
bahan pangan bagi keperluan hidup sehari-hari
b. Komunitas : Suatu satuan sosial yang utuh yang terikat pada suatu
tempat dengan ciri-ciri alamiah yang khas.
c. Strategi nafkah ganda : Kegiatan mengkombinasikan berbagai
aktivitas yang dijalankan oleh rumahtangga untuk memenuhi
kebutuhan hidup
d. Lahan/ Tanah pertanian : Lahan pertanian dalam penelitian ini
semua lahan baik itu produktif maupun tidak yang dimiliki
masyarakat desa.
e. Konversi lahan : Proses perubahan fungsi peruntukan lahan
f. Konflik Agraria : Perbedaan kepentingan yang mengarah ke
pertentangan terhadap hak kepemilikan/akses terhadap sumberdaya
agraria antara (masyarakat-pemerintah-swasta)
g. Struktur Agraria : Kepemilikan dan penguasaan lahan terkait
hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya
h. Rumahtangga : Sekelompok orang yang mendiami sebagian atau
seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama ser ta makan
dari satu dapur, atau seseorang yang mendiami sebagian atau seluruh
bangunan serta mengurus keperluannya sendiri.
i. Anggota Rumahtangga : Orang yang bertempat tinggal dalam satu
rumahtangga baik yang ada pada waktu pencacahan maupun
41
sementara tidak ada atau sedang bepergian kurang lebih enam
bulan.
j. Rumahtangga Pertanian : Rumahtangga yang sekurang-kurangnya
satu anggotanya melakukan kegiatan bertani/berkebun.
k. Sumber Penghasilan Utama : Sumber penghasilan terbesar sebagai
sumber penghasilan utama rumahtangga.
l. Kepemilikan lahan : Menunjukkan kepada penguasaan formal.
m. Penguasaan : Menunjukkan pada penguasaan efektif. Contoh, jika
tanah disewakan kepada orang lain, maka orang itulah yang secara
efektif dikuasainya.
n. Struktur Agraria : Sesuatu yang menunjukkan pada kegiatan
masyarakat di dalam kegiatan produksi pertanian (peternakan,
perikanan dll), struktur penguasaan dan peruntukan lahan yang
terkait juga dengan akses dan kontrol masyarakat terhadap
sumberdaya agraria.
2.8 Definisi Operas ional :
1.Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah atau sedang
diikuti oleh responden. Dalam penelitian ini tingkat pendidikan dibedakan
menjadi tiga tingkat, yaitu :
a. Rendah : responden tidak atau tamat SD
b. Sedang : Responden tamat SLTP
c. Tinggi : Responden tamat SLTA atau PT
42
2.Tingkat Pemilikan lahan : Jumlah lahan yang dimiliki oleh suatu rumahtangga
dalam penelitian ini tingkat pemilikan lahan dikategorikan menjadi tiga
tingkatan yaitu :
a. Rendah : Jika memiliki lahan > dari 0,25 Ha
b. Sedang :jika memiliki lahan antara 0,25 – 0,5 Ha
c. Tinggi : jika responden memiliki lahan lebih dari 0,5 Ha
3.Tingkat pemilikan sarana poduksi pertanian adalah jumlah kepemilikan alat-
alat yang terkait dengan proses bertani. Dalam penelitian ini tingkat pe milikan
sarana produksi pertanian dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Rendah : Jika responden hanya memiliki alat pengolahan saja, atau hanya
memiliki peralatan yang relatif tradisional
b.Tinggi : jika responden memiliki satu atau lebih sarana pendukung lanjutan
produksi pertanian atau memiliki peralatan yang relatif modern. Misalnya,
alat untuk menyiangi, alat memanen dan sebagainmya.
4. Tingkat kekayaan : adalah sumber daya yang dimiliki baik berupa uang atau
barang yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sebulan. Dalam
penelitian ini tingkat kekayaan dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Kaya : Jika sumberdaya (diuangkan) yang dibelanjakan
sebulan lebih dari Rp1.000.000,00
2. Sedang : Jika Pengeluran antara Rp432.000-Rp.1.000.000,00
3. Miskin : jika penghasilan kurang dari < Rp432.000,00
43
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan di desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor. Pemilihan tempat didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan di
mana lokasi tersebut adalah daerah pertambangan batu yang dikelola oleh perusahaan
swasta. Lahan yang dijadikan pertambangan awalnya adalah lahan penduduk setempat
yang dibeli dengan harga yang murah. Dengan pertimbangan di atas diharapkan dapat
dilihat dampak konversi lahan bagi penduduk setempat, reaksi penduduk terhadap
adanya perusahaan pertambangan dan sejauh mana penduduk melakukan penyesuaian
(adaptasi) terhadap intervensi akumulasi modal dari perusahaan pertambangan. Adapun
pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2005.
3.2 Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel/responden dilakukan secara acak (random sampling) dari
petani/masyarakat yang tanahnya dijual kepihak perusahaan. Kerangka sampel
diperoleh dari kantor kelurahan desa Batujajar. Responden adalah masyarakat desa
Batujajar yang menjual lahan, dipilih 20 kk dari 55 kk yang menjual lahan.
3.3 Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan untuk menggali fakta dan informasi di
lapangan pada penelitian ini adalah gabungan antara pendekatan kuantitatif dan
kualitatif. Data kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner sebagai
instrumen utamanya sementara data kualitatif dikumpulkan dengan menggunakan
teknik observasi, wawancara mendalam yang dipandu oleh panduan waw ancara,
maupun wawancara tidak terstruktur. Semua informasi yang diperoleh
44
didokumentasikan dalam bentuk catatan harian. Kuesioner yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan kuesioner dengan pertanyaan-pertanyaan yang berbentuk
terbuka dan tertutup. Data dalam penelitian ini dibagi kedalam dua jenis yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung oleh
peneliti, baik itu data dari kuesioner, wawancara, maupun hasil pengamatan. Sementara
data sekunder meliputi data -data atau informasi yang diperoleh dari sumber-sumber
sekunder, seperti data monografi desa atau sumber pustaka lainnya. Adapun tingkat
analisis penelitian ini adalah rumahtangga.
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui survei dan wawancara langsung kepada responden yang ditentukan,
dengan mengunakan kuisioner atau daftar pertanyaan yang telah disediakan. Juga hasil
pengamatan di lapangan dan wawancara langsung kepada informan kunci di desa, serta
aparat desa.
Data sekunder diperoleh dari daftar isi potensi desa, serta sumber-sumber lain
yang menunjang maksud tujuan penelitian. Data hasil penelitian diolah dengan
menggunakan metode analisa tabel frekwensi dari hasil pengamatan dan wawancara
dengan responden (metode kuantitatif) juga mendeskripsikan dan mengintrepretasikan
fenomena hasil pengamatan lapangan dan wawancara dengan responden maupun
informan kunci.
45
BAB IV
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Letak Geografis Batujajar
Desa Batujajar, sebagai salah satu desa di Kecamatan Cigudeg, yang terletak
antara jalan Bogor dan Jasinga, dengan ketinggian tempat antara 300-400 meter di atas
permukaan air laut. Secara administrasi desa Batujajar merupakan bagian dari wilayah
Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat, yang terletak di sebelah
barat Gunung Salak. Desa Batujajar terdiri dari 11 dusun, dengan luas wilayah 820 ha,
serta berbatasan dengan desa lain yang masih dalam satu kecamatan maupun kecamatan
lain. Batas wilayah tersebut adalah dengan desa Rengasjajar di sebelah barat dan
selatan, Tegallega di sebelah timur dan desa Dago kecamatan Parung Panjang di
sebelah utara.
Ditinjau dari potensi sosial ekonomi desa Batujajar merupakan desa dengan
penghasil hasil tambang terbesar kedua setelah Rengasjajar. Pusat pemerintahan desa
Batujajar terletak kurang lebih 16 km sebelah barat ibukota kecamatan, dari ibukota
Kabupaten Bogor terletak kurang lebih 60 km. Antara pusat pemerintahan desa dengan
ibukota kecamatan dan ibu kota kabupaten maupun ibukota propinsi dihubungkan
dengan jalan tanah dan aspal, sedangkan dengan desa lain dalam satu kecamatan
dihubungkan dengan jalan tanah dan jalan aspal pula. Pada umumnya sebagian besar
penduduk desa Batujajar adalah petani dan buruh.
Dengan penguasaan lahan yang rata-rata kurang dari 2.500 m2, menjadikan
mereka petani subsisten. Hasil utama pertanian di desa Batujajar adalah padi. Adapun
46
komoditas lain seperti palawija, cabe da n tomat belum banyak dikembangkan karena
keterbatasan serta penguasaan teknologi budidaya yang masih rendah.
4.1.1 Lingkungan Alam
1. Topografi
Wilayah desa Batujajar mempunyai ketinggian antara 300 - 400 meter di atas
permukaan laut. Secara umum merupaka n daerah perbukitan dengan lembah-lembah
datar untuk persawahan. Karena banyaknya perbukitan yang berisi batu gunung maka
banyak daerah perbukitan Batujajar yang dialih fungsikan untuk pertambangan batu
gunung. Ada sekitar tujuh perusahanaan yang sudah membeli tanah yang berupa bukit
dari masyarakat, baik oleh pihak pemerintah maupun swasta, yang kesemuanya
mencapai 419,5 ha atau sekitar 51,15 persen dari keseluruhan luas Desa Batujajar (Lihat
tabel 1).
Tabel 1. Penguasaan Lahan Oleh Perusahaan Pertambangan di Desa Batujajar No Nama Perusahaan Luas Lahan
(ha) Status Tambang Lokasi
1 PT.Manik Jaya 2 42 Aktif Dukuh Wakaf 2 PT.Indocement 31,5 Non aktif Tipar/Bolangh 3 PT.Batutama 82 Non aktif Wakaf 4 PT.Silkar 10 Non aktif Wakaf 5 PT.SumoBotang 9 Non Aktif Curug 6 PT.Antasari Raya 98 Non Aktif Pasir Kalong 7 Perkebunan 147 Aktif Wakaf
Jumlah 419,5
2. Temperatur udara
Data mengenai temperatur di wilayah desa Batujajar tidak dapat diperoleh,
namun demikian temperatur dapat diketahui dengan cara perhitungan matematika.
Sandy (1987:8) menjelaskan bahwa suhu rata-rata tahunan di permukaan daratan pada
ketinggian 0 meter di atas permukaan air laut adalah 26 C°. Selanjutnya dikatakan
bahwa setiap kenaikan 100 meter di atas permukaan air laut terjadi penurunan suhu
yaitu sebesar 0,6 C°. Wilayah desa Batujajar terletak pada ketinggian 300 meter sampai
47
400 meter di atas permukaan air laut. Dengan menggunakan formula yang dikemukakan
oleh Dames, maka dapat diperhitungkan bahwa secara keseluruhan wilayah desa
Batujajar mempunyai temperataur antara 23,6 C ° – 24,2 C°.
Menurut Yoshida (1983) bahwa pertumbuhan padi secara optimum memerlukan
suhu antara 20 sampai 35 C°. Dengan mendasarkan pada persyaratan tersebut, maka
desa Batujajar dapat dikatakan memenuhi persyaratan untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman padi secara optimum.
3. Tanah
Tanah merupakan akumulasi tubuh alam yang bebas, menduduki sebagian
permukaan bumi yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat-sifat sebagai
pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam keadaan
relief tertentu selama jangka waktu tertentu pula (Darmawidjaja,1970: 9).
Jenis tanah yang terdapat di desa Batujajar termasuk jenis tanah latosol,
merupakan tanah yang faktor pembentuknya terdiri dari bahan induk berupa abu
volkanik, tanah liat, dengan topografi berbukit-bukit, dan landai. Dengan jenis tanah
semacam itu, tanah di Batujajar sebenarnya sangat cocok untuk lahan pertanian padi
sawah dan tanaman budidaya seperti sawit, durian dan kelapa.
4. Tata Air
Air pengairan merupakan kebutuhan pokok bagi pertumbuhan tanaman
khususnya dibidang usaha tani. Wilayah desa Batujajar dilalui beberapa anak sungai
serta beberapa mata air, dengan kondisi demikian maka desa Batujajar dapat
dimanfaatkan untuk usaha pertanian, perikanan darat maupun perkebunan. Kedalaman
air di desa Batujajar berkisar antara 4 sampai 6 meter.
Lahan pertanian di desa Batujajar sebagian besar memakai irigasi teknis, irigasi
sederhana dan juga mengandalkan air hujan. Lahan sawah bisa ditanami padi dua kali
48
selama setahun, namun kalau pasokan air melimpah yang biasanya terjadi pada waktu
musim hujan maka panen padi bisa dilakukan sebanyak tiga kali. Namun meskipun
pengairan bisa dibilang lancar belum berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas
padi.(Tabel 2)
Tabel 2. Perkembangan Produktivitas Lahan di Desa Batujajar Perhektar Tahun No Lokasi
1985 1995 2005 1 Curug 1,5 ton 2 ton 1,7 ton 2 Tipar 1,8 ton 1,5 ton 2 ton 3 Pasir Gedong 1,8 ton 1,8 ton 2 ton 4 Bolang 1 ton 1,5 ton 1,5 ton
Rata-Rata 1,67 ton Sumber : Data primer 2005
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa produktivitas lahan sangat rendah
dibandingkan dengan daerah lain di Jawa semisal Cirebon utara yang mencapai
produkrivitas lima sampai enam ton perhektar (Breman dan Wiradi,1999).
4.1.2 LINGKUNGAN FISIK
1 Tata Guna Lahan
Penggunaan lahan yang dominan di desa Batujajar adalah lahan pertambangan
yang luas arealnya sebesar 292,5 ha. Urutan Yang ke dua adalah persawahan yang
terbagi menjadi tiga yakni, pertama lahan irigasi teknis 100 ha, kedua sawah irigasi
setengah teknis seluas 50 ha dan yang ketiga sawah tadah hujan sejumlah 47 hektar.
Urutan ke tiga, penggunaan lahan untuk perkebunan seluas 147 Ha (17,9%)
perumahan da n pekarangan dengan luas areal 12 ha dan 145,5 ha dari luas desa.
Penggunaan lahan untuk jalan dan sungai menduduki urutan kelima dengan luas
areal 20 ha atau 2,4 persen dari luas seluruh desa, kemudian disusul penggunaan lahan
untuk kuburan dengan luas areal 5 ha atau 0,6 persen dari luas seluruh desa. Dan yang
terakhir adalah penggunaan lahan untuk lapangan dengan luas areal 1 hektare atau 0,12
persen dari luas seluruh desa. Mengenai luas masing-masing penggunaan lahan
tersebut disajikan pada tabel di bawah ini
49
Tabel 3. Bentuk Penggunaan Lahan di Desa Batujajar Tahun 2005 Bentuk Penggunaan Luas (ha) Persen
1. Pertambangan 292,5 35,6 2. Persawahan 197 24 3. Perkebunan 147 35,6 4. Pekarangan 145,5 17,1 5. Jalan dan Sungai 20 2,4 6. Pemukiman 12 1,5 7. Kuburan 5 0,6 8. Lapangan 1 0,12
Sumber : Data Monografi desa Batujajar 2005.
Bila dilihat dari luas lahan, yang dominan adalah pertambangan yaitu 35,62
persen dari luas desa Batujajar, maka dapat dikatakan bahwa pertambangan
merupakan modal utama untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat desa Batujajar.
Sedangkan dengan luas lahan sawah sebesar 197 ha maka dibandingkan dengan jumlah
penduduk Batujajar yang mencapai 5.272 (2004) maka kepadatan agraris hanya sekitar
373,4 m², kalau dihitung perkepala keluarga yang mencapai 1.080 maka rata-rata
menguasai sebesar 1.869,2 m².
Luas sebesar itu dapat dikatakan tergolong sempit. Apabila ditanami padi
kemungkinan untuk mencukupi kebutuhan hidup relatif sulit, kecuali jika ada
tambahan penghasilan yang didapat di luar sektor usaha tani semisal perdagangan
maupun pertambangan ataupun usaha lainnya.
2. Perumahan
Pemukiman penduduk di wilayah Batujajar berciri menyebar dan kurang tertata
dengan baik. Batas antara rumah yang satu dengan yang lainnya biasanya hanya berupa
pagar tanaman hidup. Namun demikian masyarakat mempunyai hubungan yang baik
antar tetangga. Hal ini tercermin dari adanya kerjasama antar masyarakat dalam
penyelengaraan pesta hajatan atau dalam kegiatan upacara kematian. Kondisi
rumah-rumah hunian masyarakat Batujajar cukup beragam, dari keseluruhan jumlah
rumah yang ada di desa Batujajar 1.070 buah, terdiri dari 778 buah rumah permanen dan
292 buah rumah tidak permanen. Dari seluruh rumah ter nyata terdapat 284 buah
50
(26,5%) memiliki sanitasi (WC) sendiri, sedangkan keluarga yang menggunakan MCK
di sungai mencapai 350 atau sekitar 32,7 persen.
Desa Batujajar merupakan salah satu unit pemerintahan terkecil dibawah
kecamatan Cigudeg. Desa ini me liputi 11 (sebelas) wilayah administrasi yang disebut
dusun. Dusun-dusun itu sendiri meliputi unit-unit administrasi yang disebut kampung.
Setiap kampung terbagi dalam rumahtangga-rumahtangga yang didiami oleh penduduk
dan secara keseluruhan membentuk suatu lingkungan sosial tersendiri. Pola pemukiman
penduduk menyebar diseluruh desa namun kebanyakan pemukiman berada dipinggir
jalan besar. Kondisi kawasan berupa perbukitan juga menjadi faktor terpencarnya
pemukiman warga. Warga lebih memilih tinggal di daerah dataran rendah dibandingkan
daerah dataran tinggi. Hal ini dimungkinkan mempunyai rumah di pinggir jalan lebih
mudah aksesnya terhadap kebutuhan sehari-hari.
Kalau melihat kondisi rumah untuk mengetahui tingkat kemakmuran masyarakat
di desa Batujajar maka dusun Sinengah yang rata-rata dihuni orang-orang berada.
Bangunan rumah besar-besar dengan perabotan yang merupakan ciri masyarakat kota,
sedangkan dusun yang paling miskin adalah dusun Bolang yang sebagian besar
masyarakatnya menempati rumah yang sangat sederhana, ukuran kecil dan kebanyakan
setengah permanen.
Pengelolaan sampah di perkampungan, biasanya sampah dibuang begitu saja di
tanah-tanah kosong di sekitar rumah-rumah mereka bahkan juga dibuang ke sungai,
tetapi dalam kondisi kering biasanya dibakar.
4.1.3 Demografi Desa Batujajar
1. Penduduk
Penduduk Batujajar sebagian besar merupakan masyarakat asli dengan
komposisi 97 persen masyarakat asli dan tiga persen pendatang, dengan jumlah
51
penduduk sebanyak 5.272 tahun 2004. Jumlah penduduk laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan yaitu sekitar 2.742 jiwa atau 52
persen penduduk laki-laki dan 2.527 jiwa atau 48 persen penduduk perempuan.
Bila dilihat dari komposisi penduduk menurut umur, terlihat bahwa peresentase
pendududk usia muda (0-15 tahun) cukup tinggi yaitu sekitar 39,7 persen dan
penduduk usia belum wajib sekolah (< 6) juga cukup besar sekitar 19,8 persen dari
total penduduk. Penduduk usia tua (> 60 tahun) juga cukup tinggi yaitu sekitar 18,4
persen. Sebagian besar penduduk merupakan penduduk usia produktif (16-60) tahun,
yaitu sekitar 41,8 persen. Banyaknya penduduk usia non-produktif dan sedikitnya
penduduk usia produktif, bisa memberikan kemungkinan yang berbeda, yaitu (angka
harapan hidup penduduk Batujajar tinggi; (2) keluarga cenderung mempunyai anak
lebih dari satu dengan rentang kelahiran yang rendah. Bila diasumsikan bahwa
pendududk usia non produktif adalah usia 0-15 tahun dan > 60 tahun, maka Rasio
Beban Tangungan (RBT), jumlah penduduk usia non produktif yang ditanggung oleh
penduduk usia produktif adalah sekitar sebesar 139,4 jiwa10. Rasio beban tanggungan
sebesar ini bisa dikatakan tinggi, karena dari 100 orang penduduk usia produktif
menanggung sekitar 139 orang penduduk usia non produktif.
Kepadatan pendududk Batujajar, dengan luas desa sekitar 820 ha, pada tahun
1994 sekitar 5.112 jiwa dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 5.272 jiwa.
Tabel.4. Jumlah dan Persentase Pria dan Wanita Penduduk Batujajar menurut Usia No Usia Pria Persen Wanita Persen 1 0 – 6 540 10,2 506 9,6 2 7-15 511 9,7 543 10,2 3 16-60 1 176 22,3 1 026 19,5 4 >60 518 9,8 452 8,6
Jumlah 2 742 52 2 527 48 Sumber: Data monografi desa Batujajar 2005.
10 RBT= Jumlah Pendududk Usia 0-15 Tahun dan Usia>60 tahun Jumlah penduduk Usia 15 tahun - usia 60 Tahun
52
2. Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan disini mengacu kepada sumber nafkah utama penduduk
Batujajar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa
sebagian besar pendududuk Batujajar adalah petani dan buruh tani. Jumlah pendududk
usia kerja di desa Batujajar adalah 28 persen. Penduduk yang belum bekerja adalah
44,9 persen Selanjutnya penduduk yang bukan usia kerja adalah 27,1 persen Dari data
ini dapat dilihat bahwa jumlah penduduk yang bukan usia kerja hampir sebanding
dengan penduduk usia kerja dan jumlah penduduk yang bekerja lebih lebih banyak
dibandingkan penduduk yang tidak bekerja.
Tabel 5. Kondisi Ketenagakerjaan Masyarakat Batujajar. No Kategori Jumlah Persen 1 Penduduk usia kurang dari 15 tahun 2 109
40,0 3 Jumlah Angkatan kerja penduduk usia 15-55 670 12,7 4 Jumlah Penduduk Usia 15-55 yang masih sekolah 57 1,1 5 Jumlah Penduduk usia 15-55 yang menjadi ibu
rumahtangga 1 080 20,5
6 Jumlah Penduduk usia 15-55 yang bekerja penuh 105 1,9 7 Jumlah penduduk usia 15-55 tahun yang bekerja tidak
tentu 205 3,8
8 Penduduk usia ≥56 1 046 19,8 Jumlah Total 5 272 100,0
Sumber : Data monografi desa Batujajar 2005
Pemilikan dan penguasaan lahan berpengaruh terhadap pilihan kerja masyarakat.
Dari data tabel 6 menunjukkan bahwa sektor pertanian (petani, buruh tani) menjadi
pekerjaan utama masyarakat Batujajar. Kecenderungan menunjukkan sektor pertanian
hanya digeluti oleh orang-orang tua. Sedangkan anak-anak muda lebih cenderung
bekerja di kota, sebagai buruh bangunan, buruh pabrik atau berdagang. Sedangkan
pemuda yang tetap berada di desa lebih memilih menjadi tukang ojek, atau menjadi
buruh di pertambangan sebagai sopir atau Pemantek.1
53
Tabel 6. Jumlah Penduduk Usia Kerja Desa Batujajar Menurut Matapencaharian Tahun 2003
No Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1 Karyawan
a. Pegawai negeri sipil/TNI
12 0,56
b. Pemsiunan PNS 8 0,37
c. Swasta 108 5,10 2 Pedagang 303 14,31 3 Tani dan Buruh Tani 1 850 87,38 4 Peternakan 2 0,09 5 Penggilingan Padi 5 0,23 6 Pertukangan 7 0,33 7 Penyewaan Traktor 1 0,04 8 Angkutan 7 0,33 9 Ojek 24 1,13 10 Jasa Lainnya 93 4,39
Total 2 117 100 Sumber : Data monografi Desa Batujajar 200 3
3. Pendidikan
Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan menggambarkan tingkat
kemajuan suatu wilayah dalam pembangunan, baik pembangunan pada tingkat
pendidikan itu sendiri maupun pembangunan yang lain seperti dalam bidang ilmu
pengetahun. Penduduk desa Batujajar menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada
tabel 7 yang menunjukkan bahwa umumnya tingkat pendidikan di desa Batujajar saat
ini adalah tidak sekolah atau tidak tamat SD mencapai 6,7 persen, SD 75,2 persen,
SLTP 0,76 persen, SLTA 0,57 persen serta perguruan tinggi 0,17 persen.
Tabel 7. Jumlah dan Presentase tingkat Pendidikan Desa Batujajar Tahun 1994 dan2004 Tahun 1994 Tahun 2004 No Tingkat Pendidikan Jumlah Jiwa Jumlah Jiwa
1 Belum Sekolah 1 006 6,8% 924 17,5% 2 Tidak Tamat SD 350 0,7% 355 6,7% 3 SD/Sederajat 3 693 72,2% 3 934 75,2%
4 SLTP 37 0,4% 40 0,76% 5 SLTA 23 0,05% 30 0,57% 6 PT/Akademi 3 19,6% 9 0,17%
Jumlah 5 112 100 5 272 100 Sumber : Data monografi Desa Batujajar
1 Pantek. Buruh pemecah batu di daerah pertambangan. Batu yang berdiameter antara 0,5-1 meter dipecah dengan palu besar, menjadi kepingan sebesar kepalan tangan.
54
4.2 Kehidupan ekonomi, Sosial dan Budaya.
1. Kehidupan Ekonomi.
Di daerah Batujajar suatu hal yang menjadi ukuran ekonomi dan kebanggaaan
penduduk adalah rumah, sawah dan perabotan mewah. Kesadaran untuk investasi
terhadap pendididkan bagi anak-anaknya masih belum membudaya. Kondisi rumah di
desa Batujajar secara keseluruhan cukup bagus, dengan artian, sudah tidak terlalu
banyak penduduk yang rumahnya berlantai tanah dan berdinding anyaman. Sebagian
besar besar sudah permanen dan semi permanen, namun kalau dilihat dari kelengkapan
sanitasi maka masih kurang. Hampir 90 persen responden masih menggunakan sungai
untuk mandi, cuci dan kakus (MCK).
Umumnya yang bekerja adalah kepala rumahtangga. Tiap kepala rumahtangga
menanggung empat sampai delapan orang. Kondisi rumahtangga yang kurang mampu
akan mendororng tenaga kerja dari pihak istri dan anak-anak untuk turut serta mencari
uang. Kondisi inilah yang mendororng or ang tua yang kondisi ekonominya sulit untuk
melepas/menikahkan anaknya di bawah umur 20 tahun.
Kebutuhan pokok yang lain adalah makan. Makanan pokok adalah nasi, yang
pada umumnya penduduk makan tiga kali sehari, tetapi ada juga yang hanya makan dua
kali sehari. Hal ini karena kebiasaan. Sesuai dengan kemampuannya dalam hal makan,
mereka menggunakan sayur. Kebanyakan sayur diperoleh dari pekaranganan, antara
lain daun ketela daun mlinjo, terong dan sebagainya, atau dapat diperoleh dari warung
secara membeli. Pada saat makan kecuali mengguanakan sayur, juga menggunakan
lauk-pauk. Lauk pauk yang digunakan beraneka ragam jenisnya, ini tergantung dari
kondisi ekonominya. Kebanyakan lauk pauk yang digunakan adalah ikan asin, tahu,
tempe, krupuk, daging/ikan, telor dan sebagainya. Mengenai buah-buahan masyarakat
55
menanamnya di gunung-gunung tanah perusahaan yang belum ditambang yakni
biasanya ditanamai pisang dan durian serta kelapa.
Sementara itu tinggi rendahnya taraf hidup seseorang ditentukan oleh besar
kecilnya pendapatan mereka masing-masing. Pendapatan rata-rata perkapita juga
dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah keluarga atau penduduk setempat. Sehubungan
dengan hal tersebut pendapatan rata-rata perkapita di desa Batujajar adalah
Rp9.600.000,00. Untuk mengetahui tingkat kecukupan daerah ini, perlu dikemukakan
tentang kriteria pendapatan perkapita kedalam golongan cukup atau tidak cukup.
Pendapat Sayogyo, yang telah merinci kebutuhan kalori kedalam kelompok garis
kemiskinan berdasarkan takaran beras sebagai pengganti sebesar 320 kg pertahun
perorang berarti masuk kategori cukup atau tidak miskin. Penghasilan 320 kg sampai
240 kg pertahun perorang adalah miskin; penghasilan antara 240-180 kg pertahun
perorang adalah miskin sekali. Berdasarkan kriteria tersebut yang tergolong cukup
adalah dari yang berpenghasilan 320 kg beras keatas di daerah pedesaan dan 480 di
daerah perkotaan. Oleh karena daerah penelitian merupakan daerah pedesaan, maka
dalam penulisan digunakan kriteria minimal setara dengan 320 kg beras pertahun
perorang berarti cukup dan penghasilan setara dengan kurang dari 320 kg beras berarti
tidak cuku
Tabel 8. Jumlah dan Persentase Pendapatan Responden No Pendapatan/Bulan
( Rp) Jumlah persen
1 < 432 000 15 75 2 432 000 - 750 000 3 15 3 >750 000 2 10
Jumlah 100
Pendapatan responden tersebut apabila disetarakan dengan beras bernilai lebih
dari 320 kg, yang bila di setarakan kerupiah akan mencapai angka Rp72.000,00/ bulan /
kepala, berarti tingkat kecukupan pangan hanya 15 persen cukup dan 10 persen lebih
56
dari cukup dan hampir 75 persen berada dibawah angka kecukupan minimal menurut
ukuran Sayogjo. Berdasarkan perkiraan harga rata-rata, beras per kg adalah Rp2.700
maka garis kecukupan pangannya Rp72.000,00/bulan/kepala. Sementara itu jumlah
perkepala keluarga enam orang, maka garis kecukupan pangan perkeluarga adalah Rp
5.184.000 pertahun
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Dusun di Desa Batujajar. No Nama Dusun
Jumlah Penduduk
Miskin Persen
1 Sinengah 12 8,2 2 Tipar 10 6,8 3 Wakap 8 5,47 4 Pasir Gedong 3 2,05 5 Bolang 32 21,9 6 Babakan 47 32,19 7 Curug 3 2,05 8 Pasir Kalong 23 15,75 9 Pabuaran 8 5,479
Jumlah 146 100 Sumber: Data Monogarafi Desa Batujajar Juli 2005
Pengangguran kelihatan mencolok sekali dimasyarakat Batujajar, selama
pengamatan penulis, tiap hari bisa melihat pemuda maupun orang tua yang nongkrong
tanpa ada kerjaan setiap jam produktif, yakni jam 9-12.00 sehingga akibatnya mereka
memanfaatkan adanya uang setoran (upeti) dari truk-truk yang lewat. Pos yang
dibangun sepanjang jalan di Batujajar ada sekitar, tujuh pos yang setiap pos mengutip
tarif yang berbeda. Nilainya sekitar Rp 2.000-Rp 4.000 per sekali jalan. Setiap hari
diperkirakan ada sekitar seratusan truk yang melewati jalan di Batujajar, sehingga bisa
dihitung pemasukan kas desa perharinya hampir mencapai Rp300.000-Rp400.000 atau
sekitar Rp12.000.000 perbulan. Namun sebagaimana yang penulis konvirmasikan
dengan aparat desa yakni pembantu sekretaris desa pemasukan ke desa perharinya
sekitar Rp20.000,00 per hari.
57
2. Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan masyarakat yang sebagian besar dipengaruhi adat sunda.
Kehidupan keagamaan tidak terlalu nampak, kalau mengacu pembagian golongan
keagamaan oleh Gertz yang membagi menjadi tiga golongan yakni abangan, santri dan
priyayi, sebagian besar masyarakat desa Batujajar masuk dalam golongan abangan.
Meskipun ada lima lembaga keagamaan (pesantren) dan juga rumah–rumah untuk
mengajari ngaji terhadap anak-anak kecil, ciri yang menonjol masih kuatnya adat sunda
dalam peri kehidupan sehari-hari. Ada dua golongan tokoh masyarakat terkait dengan
pengaruhnya dalam hal keagamaan, yakni yang anti Speker (mengharamkan TV dan
pengeras suara) dan ada yang membolehkan. Dua tokoh masyarakat ini punya
kecenderungan kuat untuk perang pengaruh di desa Batujajar. Masing-masing pihak
memegang keyakinan masing-masing, namun golongan yang anti speker dimasyarakat
punya citra yang kurang baik. Semisal Ustadz dari golongan aspek tak akan menghadiri
acara perkawinan yang menggunakan speker dalam mendukung kemeriahan acara
meskipun sudah diundang. Sedangkan dari pihak yang mendukung pengeras suara
biasanya lebih moderat (toleran).
3. Teknologi Penanaman Padi
Hampir 98 persen lahan sawah di desa Batujajar ditanami padi. Penanaman
biasanya dimulai bulan Desember dan panen sekitar bulan Mei. Lahan sawah rata -rata
ditanami 2 kali selama setahun, namun jika air melimpah yakni pada musim penghujan
maka panen bisa dilakukan sebanyak 3 kali. Produktivitas lahan buat penanaman padi
tergolong rendah yakni sekitar 1,6 ton per hektarnya. Hal ini sebenarnya diakui oleh
responden bahwa produktivitas yang rendah sebagai akibat dari minimnya pengetahuan
menanam padi serta modal untuk membeli benih pabrik. Benih yang petani gunakan
biasanya diambil dari hasil panen. Yang dirasa terbaik (padat berisi dan besar) mereka
58
sisihkan untuk dijadikan benih. Menurut responden sebenarnya pihak desa pernah
memberikan penyuluhan tentang pemakaian bibit yang baik namun karena terbatasnya
modal maka petani cenderung “berhemat” dengan membuat bibit sendiri.
Cara pengolahan lahan di desa Batujajar hampir sama dengan petani-petani
Jawa lainnya, alat yang mereka gunakan yakni cangkul, sabit, parang dan alat luku
beserta kerbaunya. Pertama kali yang dilakukan untuk membudidayakan tanaman padi
adalah dengan membersihkan sisa tanaman hasil panen sebelumnya, yaitu dengan
memotong-motong jerami dan membakarnya. Abu dari jerami mereka taburkan
keseluruh lahan yang mau ditanami. Menurut responden cara ini lebih cepat dari pada
dibiarkan membusuk walaupun mereka paham bahwa jerami yang membusuk dapat
menjadi pupuk yang baik buat tanaman padi. Alasan lainnya yakni ketika
menggaru/ngluku jerami yang dibiarkan akan menghalangi kerja, karena biasanya
menyangkut di alat bajak/luku sehingga beban tenaga menjadi berat.
Sekitar 3 sampai 4 minggu sebelum mengerjakan sawah para petani sudah
terlebih dahulu membuat persemaian. Dengan demikian pada tiba saatnya menanam,
maka bibitnya sudah siap. Setelah itu laha n mulai diairi dan didiamkan selama
beberapa hari. Setelah lahan dirasa cukup gembur maka mulailah dibajak dengan
menggunakan luku. Alat ini digunakan untuk membalik tanah supaya akar-akar
tanaman sebelumnya bisa terangkat dan mati. Di desa Batujajar biasanya luku ditarik
kerbau. Pemakaian luku yang ditarik kerbau lebih banyak diminati petani ketimbang
traktor mesin, yang kepemilikannya hanya satu orang di desa Batujajar. Alat luku tidak
semua petani mempunyai, maka untuk menggarap lahan sawahnya biasanya
dikerjakan dengan mengupah orang lain yang punya luku, dengan bayaran kerja yang
dihitung dengan ukuran mereka sendiri. Pengerjaan ngluku dimulai pukul 07.00-10.00
59
dengan ongkos Rp 30.000, tanpa tambahan rokok atau makanan ringan, dan
Rp.25.000,00 jika memberi makan dan rokok.
Selanjutnya jika tanahnya sudah diluku atau dibedah maka tanah dibiarkan
untuk beberapa hari lamanya dengan harapan supaya akar-akar yang terbalik dan sisa-
sisa tanaman menjadi busuk dan dapat dimanfaatkan untuk pupuk. Selain menungggu
waktu petani disibukkan dengan adanya pekerjaan lain seperti memperbaiki saluran air,
mencangkuli pematang yaitu ditampingi pada bagian pematang yang tegak selanjutnya
pada pematang yang datar mulai diperbaiki dan ditambah tanah dari sawah atau
ditemboki. Disamping itu juga mencangkuli pada sawah yang tidak terjangkau oleh
luku yang disebut disiku.
Didalam mengolah sawah yang akan ditanami padi, pengairannya selalu dijaga
dan jangan sampai kekeringan. Sebab bila sampai terjadi maka tanah yang akan diolah
menjadi keras. Berikutnya mulai meratakan tanah dengan menggunakan garu yang
ditarik oleh sapi dan kerbau. Pada hari berikutnya tanah yang sudah diratakan itu
langsung dilumatkan dengan menggunakan garu yang ditarik oleh sapi atau kerbau.
Dengan selesainya digaru, maka lahan tersebut siap untuk ditanami, namun sebelumnya
lahan tersebut diberi pupuk TSP dan didiamkan selama semalam supaya pupuknya
mengendap dan tanahnya tidak panas.
Setelah tanamannya kira-kira 2 minggu mulai dibe ri pupuk kimia atau Urea.
Memupuk tanaman pada waktu ini dimaksudkan supaya tanamannya bertunas banyak
banyak dan dapat tumbuh dengan subur. Sebelum sawah tersebut diberi pupuk lebih
dahulu sawahnya dikeringkan atau tidak dialiri sekitar 4 hari. Hal ini dimaksudkan
supaya pupuknya mengendap ke tanah dan dimakan oleh akar padi. Dengan diberinya
pupuk, maka akan merangsang tumbuhnya rumput liar. Untuk itu setelah rumputnya
bermunculan biasanya langsung disiangi atau di bersihkan. Pada waktu menyiangi
60
biasanya menggunakan alat sabit atau menggunakan tangan dengan cara dicabuti
rumputnya.
Selama perawatan tanaman, selain menjaga pengairan menyiangi dan memberi
pupuk bila tanaman padi terserang hama, maka secepatnya harus diberantas. Menurut
para responden, bila tanaman terserang hama tikus dan keong mas maka paling susah
untuk memberantasnya. Tikus menyerang ketika tanaman hampir panen, biasanya pada
malam hari. Sedangkan hama keong menyerang ketika tanamaan baru berumur
seminggu sampai sebulan. Yang diserang adalah bagian pangkal tanaman sehingga
tanaman akan layu dan mati. Pemberantasannya amat susah karena jumlahnya untuk
ukuran lahan sawah 2000m² bisa mencapai ribuan keong mas. Sedangkan obat-obatan
di pasaran menurut responden belum ada yang efektif memberantasnya. Untuk itulah
petani menggunakan cara konvensioanal dengan memunguti langsung dan
membungkusnya dengan plastik dan membiarkannya supaya mati
61
BAB V
STRUKTUR AGRARIA DESA BATUJAJAR
5.1. Sistem Pemilikan dan Praktek Pemanfaatan Lahan
Tanah merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam kegiatan pertanian.
Luas pemilikan dan penguasaan lahan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan
petani. Pemilikan lahan adalah hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang. Hak
milik tersebut dapat diperoleh dari warisan, jual beli, hibah, penukaran atau pemberian
dari pihak lain. Sedangkan penguasaan adalah lahan yang diperoleh dari menyewa,
menggadai atau menyakap lahan pertanian orang lain.
Lahan di daerah penelitian terdiri atas sawah, pekarangan dan tegalan. Sawah
adalah lahan pertanian yang diairi dengan saluran irigasi atau air hujan. Lahan
pekarangan adalah lahan di sekitar rumah, kebanyakan berpagar dan biasanya ditanami
dengan beraneka tanaman musiman dan tanaman tahunan untuk keperluan sendiri
maupun diperdagangkan. Sedangkan lahan tegalan adalah lahan kering di luar
pekarangan yang ditanami tanaman musiman dan tanaman tahunan.
Tabel 10. Luas Pemilikan Lahan Sawah Responden Kepemilikan Lahan Sawah No Luas Lahan Jumlah Persen
1 Tidak punya 4 20 2 <0,25 12 60 3 0,25 - <0,50 2 10 4 ≥0,50 2 10
Jumlah 20 100 Sumber : Data Primer 2005 Sistem pemilikan lahan yang berlaku di desa Batujajar adalah terdiri dari tanah
bersertifikat, dan tanah belum bersertifikat. Tanah bersertifikat telah memiliki dasar
hukum positif yang jelas, yang menunjukkan hak atas tanah dari pemilik tanah. Selain
tanah bersertifikat, masih ada sejumlah luasan tanah yang belum bersertifikat. Secara
62
hukum normatif (hukum adat) dapat diakui sebagai hak milik, tetapi secara positif tidak
dapat dibuktikan secara jelas. Kecenderungan para pembeli lahan di perbukitan
(Pengusaha), setelah membeli lahan segera mengurus sertifikat lahan sedangkan warga
desa yang sebelumnya memiliki lahan tersebut tidak mempunyai sertifikat, sebagaimana
yang dituturkan Sekretaris desa Batujajar Pak Dadi (40 tahun):
“ Biaya pembuatan sertifikat lahan untuk sebagian besar masyarakat Batujajar boleh dibilang mahal, sehingga kebanyakan masyarakat belum punya sertifikat. Beda dengan pengusah, setelah proses jual beli selesai mereka langsung membuat sertifikat. Mungkin untuk jaga -jaga agar dikemudian hari jika ada sengketa lahan, tidak merugikan pihak pengusaha..”
Tabel 11. Menunjukkan pembagian pemanfaatan lahan yang terdapat di desa
Batujajar. Tanah-tanah ini umumnya dimanfaatkan untuk pemukiman, sawah, ladang
dan pertambangan.
Tabel 11. Jenis Pembagian Pemanfataan Tanah di Desa Batujajar Tahun 2003 No
Jenis Pemanfaatan Luas Lahan (ha) Persentase (%)
1 Lahan Sawah a. Sawah irigasi b. Sawah irigasi
setengah Teknis c. Sawah tadah
hujan
100 50 47
12,2 6,09
5,7
2 Tanah Kering a. Pekarang b.Perladangan c.Pemukiman
145,5
26 12
17,7 3,17 1,46
3 Pertambangan a. Aktif b. Non aktif
42
250,5
5,12 30,5
4 Perkebunan 147 17,9 Total 820 100
Sumber : Data Monografi Desa Batujajar 2003
63
5.2 Kelembagaan Pemilikan dan Penguasaan Lahan
5.2.1 Bentuk-bentuk sewa dan sakap-menyakap
Beberapa studi kasus di pulau Jawa menunjukkkan di Jawa Barat petani
menyakapkan tanah lebih banyak daripada menyewakan. Sebaliknya di Jawa Tengah
dan Jawa Timur petani-petani lebih banyak menyewakan dari pada menyakapkan. Di
desa Batujajar bentuk sewa dan sakap-menyakap hampir seimbang. Sewa biasanya
dilakukan oleh orang-orang yang mampu dan mempunyai lahan yang luas, sedangkan
sakap-menyakap biasanya dilakukan oleh petani yang tidak punya lahan (tunakisma)
atau yang berlahan sempit. Sewa menyewa lebih banyak dilakukan antara petani yang
agak jauh hubungan kekeluargaannya, sedangkan sakap-menyakap lebih banyak
dilakukan diantara petani yang mempunyai hubungan kekeluargaan yang lebih dekat.
5.2.2 Ceblokan
Ceblokan adalah memanen di sawah orang lain dan menerima dari hasil panenan
sebagai upah memanen. Pemanen (penderep) menerima upah memanen (seperlima
bagian) 20 persen dari hasil yang dipanen. Di Batujajar besarnya bawon (upah berupa
padi) didapat dengan cara ikut memanen dan kerja menyiangi lahan orang lain
disamping itu penyeblok juga harus mengolah tanah. Semua pekerjaan tambahan ini
dilakukan tanpa dibayar (hanya diberi maka n). Hak panen dengan persyaratan-
persyaratan seperti disebut diatas biasa disebut nyeblok atau ceblokan menurut bahasa
setempat.
5.2.3 Maro
Untuk maro penyakap dan pemilik lahan masing-masing menerima separo
bagian dari hasil kotor. Untuk kasus di Batujajar Saprodi ditanggung bersama, penyakap
dan pemilik masing-masing mendukung 50 persen, begitupula dengan hasil panen
pemilik dan penggarap memperoleh bagian yang sama yakni 50:50.
64
5.2.4 Aturan Sewa-Menyewa
Di desa penyewa membayar sewa kepada pemilik lahan yang besarnya sudah
ditentukan sebelum pengolahan tanah.Kasus yang terjadi di Batujajar adalah
pembayaran sewa ada yang dilakukan menjelang tanah diolah, ada yang dilakukan
setelah atau waktu panen dan ada pula pembayaran dilakukan jauh sebelum masa
pengolahan. Bentuk pembayaran ada yang dengan uang ada pula dalam bentuk hasil
panen. Besarnya sewa antara daerah (dusun) satu dengan lainnya berbeda meskipun
dalam desa yang sama. Hal ini tergantung kesuburan lahan, keadaan pengairan dan juga
lokasi. Daerah pinggiran jalan lebih mahal dibandingkan lahan yang jauh dari jalan.
Besarnya sewa akan dipengaruhi pula oleh harga -harga hasil pertanian yang dapat
dihasilkan diatas tanah tersebut.
5.3 Sejarah Agraria Lokal
Menurut Kartodiharjo (1992), sejarah merujuk pada cerita sejarah, gambaran
sejarah dalam arti subyektif. Subyektif dalam hal ini terkait dengan pemahaman penulis
dalam menggambarkan suatu peristiwa dalam wujud penggambaran suatu peristiwa
dalam wujud uraian atau cerita. Cerita atau uraian menggambarkan fakta -fakta yang
terangkai yang berisi suatu gejala sejarah, baik proses maupun struktur. Selanjutnya
sejarah dalam arti obyektif adalah menunjuk pada kejadian atau peristiwa itu sendiri
yaitu proses sejarah dalam aktualisasinya.
Sejarah juga dapat dipahami sebagai sejarah prosesual yaitu sejarah yang
menggambarkan peristiwa dalam bentuk cerita untuk merekontruksi keingintahuan
terhadap suatu peristiwa (cenderung menampilkan yang terjadi diluar permukaan)
selanjutnya sejarah struktural adalah mencakup jangka penjang dan perubahan struktur
masyarakat dan lingkungan yang terjadi secara lambat laun.
65
Penelusuran tentang sejarah agraria di Batujajar hanya bisa dilihat setelah tahun
1970-an ke atas. Ini terkait dengan responden yang bisa ditanyai tentang kondisi pada
saat tersebut. Kesenjangan kepemilikan lahan sebenarnya sudah terjadi pada waktu
itu, hanya saja pada tahun 1970-an kebanyaakan kepemilikan lahan masih berada
ditangan warga Batujajar asli.
Bukit-bukit yang hampir seluas 272,5 ha, masih dipunyai warga desa asli
Batujajar. Di bukit tersebut biasanya warga menanami dengan kelapa, pisang, kopi dan
durian. Lahan sawah juga masih terbatas hanya daerah dengan irigasi yang baik bisa
memanfaatkan sawahnya dengan maksimal. Sedangkan lahan-lahan lainnya hanya
merupakan lahan tegalan yang bisa dimanfaatkan untuk menanam kacang tanah (suuk),
terong, dan ubi ketika musim penghujan tiba.
Tahun 1990-an dibangun irigasi teknis, sehingga luas lahan sawah bertambah
menjadi sekitar 3 Ha. La han sawah pada tahun 1990-an sampai sekarang merupakan
ukuran kekayaan yang penting. Namun kepemilikan sawah rata -rata tidak banyak
berubah sampai sekarang. Tahun 1978 muncullah perusahaan yang ingin membeli bukit
di dusun Wakap dan Bolang. Dengan alasan akan ditambang, ada warga yang setuju dan
ada yang tidak setuju. Menurut responden kepala desa waktu itu sering memaksa warga
agar melepas tanahnya di bukit yang akan ditambang.
Warga kebanyakan tertarik dengan tawaran tersebut namun ada juga yang tidak
terlalu tertarik karena lahan tersebut adalah warisan dari orang tuanya selain itu
penawaran yang terlampau murah. Menurut Pak Tohir, kepala desa dan aparatnya
sering memberi ancaman kepada warga agar segera melepas tanahnya, dan akhirnya
pada tahun 1987-an bukit di kampung Bolang Batujajar kepemilikannnya berpindah
dari warga desa keperusahaan. Sebagaimana yang diuangkapka oleh informan (Pak
Tohir 67 tahun)
66
“ Jamannya kepala desa Pak Ahmad, warga yang tidak mau menjual tanahnya akan terus ditakut -takuti. Padahal warga banyak yang tidak berniat menjual lahannya. Saya yakin pihak desa waktu itu kebagian upah untuk pembebasan lahan dari pengusaha . Tahun 1978 harga tanah di bukit Dusu Bolang hanya dihargai Rp 50-75,00/m2.”
Namun menurut kesepakatan sebelum beroperasinya pertambangan warga
diijinkan untuk menanami bekas lahannya dengan berbagai tanaman yang
menguntungkan seperti bambu, pisang atau sayuran, namun masyarakat tidak diijinkan
untuk menanam tanaman tahunan. Selain perusahaan pada tahun 1990-an muncul
kepemilikan sawah dari warga di luar Batujajar, karena proses penjualan dari warga
desa Batujajar sendiri. Untuk tahun 2005 ada sekitar 13 warga desa lain yang
mempunyai sawah di desa Batujajar hal ini merupakan akibat dari mendesaknya
ekonomi warga sehingga sawah terpaksa dijual.
Tabel.12 Penjualan Lahan Bukit Oleh Warga Batujajar No Nama
Perusahaan Tahun
Pembelian Lokasi Harga
Lahan/m2 ( Rp)
Luas Lahan (ha)
1 PT.Manik Jaya 2
1982 Dukuh Wakaf 1 650 42
2 PT.Indocement 1978 Tipar/Bolang 50 31,5 3 PT.Batutama 1982 Wakaf 1 650 82 4 PT.Silkar 1978 Wakaf 1 500 10 5 PT.SumoBotang 1992 Curug 2 000 9 6 PT.Antasari
Raya 1984 Pasir Kalong 700 98
7 Perkebunan - Wakaf 147
Dengan masuknya perusahaan, serta masuknya pembeli lahan dari luar batujajar
maka perbandingannya kepemilikan lahan adalah 53 persen kepemilikan orang luar dan
47 persen kepemilikannya dikuasai oleh orang Batujajar sendiri
5.4 Tanah Absentia
Penguasaan dan pemilikan lahan di desa Batujajar menggambarkan munculnya
tanah guntay, yaitu pemilikan dan penguasaan tanah yang dimiliki oleh orang di luar
67
desa Batujajar. Maraknya perusahaan yang ingin menanamkan investasinya di
pertambangan batu, mendorong pelaku-pelaku (oknum) untuk memanfaatkan
kesempatan guna menaikkan harga lahan.
Sebelum tahun 1978 yakni ketika pertama kali perusahaan pertambangan mulai
proses pembebasan lahan, kepemilikan absentia belum terlalu menggejala, namun
disaat perusahaan yang semakin berminat untuk membeli lahan di bukit-bukit di
daerah Batujajar, muncullah calo-calo dari luar maupun dari masyarakat Batujajar
sendiri yang sengaja membeli lahan dari masyarakat dengan harga yang murah,
dengan rencana dijual lagi ke pihak perusahaan. Tidak menutup kemungkinan
keterlibatan aparat desa yang lebih berpihak kepada pengusaha memudahkan proses
alih kepemilikan lahan di Batujajar berjalan sangat cepat.
Dalam proses tersebut terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tentang batas-
batas pemilikan. Batas maksimum dilanggar oleh pihak atau golongan atau kalangan
yang saling bersaing mendapatkan tanah untuk kebutuhan investasi dan spekulasi.
Dalam kasus Batujajar pihak pembeli mempunyai kedudukan yang jauh lebih kuat
dari pemilik/petani kecil yang sering terdesak oleh kebutuhan akan uang tunai.
68
BAB VI
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KONVERSI LAHAN DI DESA BATUJAJAR
6. 1 Faktor Internal
Terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan pertambangan selalu
memunculkan suatu dilema, antara dua kepentingan. Yakni kepentingan petani untuk
tidak dirugikan dan kepentingan pengusaha yang selalu berorientasi keuntungan.
Peralihan fungsi dari lahan kebun ke pertambangan batu dalam kasus Batujajar bukan
hanya berpengaruh pada petani pemilik lahan yang menjualnya ke Perusahaan tetapi
juga berpengaruh luas terhadap masyarakat Batujajar. Motif pihak pertambangan yang
selalu ingin mendapat keuntungan dengan mengabaikan hak-hak warga, memunculkan
persoalan baru di bidang kenyamanan lingkungan. Sungai yang tercemar dan juga
udara yang kotor akibat pertambangan terpaksa harus “dinikmati” oleh masyarakat desa
Batujajar.
Dengan munculnya pertambangan, tidak secara otomatis menyejahterakan warga
dengan munculnya lapangan kerja baru. Kasus di lapangan menunjukkan terserapnya
tenaga kerja dari warga lokal oleh pertambangan boleh di bilang minim, kebanyakan
warga lokal hanya bekerja sebagai pemecah batu (pantek) dengan penghasilan
perharinya yang tidak tentu, sedangkan posisi yang penting keba nyakan ditempati
warga pendatang seperti yang dituturkan Informan berikut ini:
“...Sejak mulainya pertambangan, udara dideket jalan penuh dengan debu apalagi kalau musim panas, kalau musim hujan jalan becek dan susah dilewati kendaran seperti sepeda. Ini akibat dari truk-truk besar yang membawa batu dari Tambang. Padahal dulunya pihak PT menjanjikan bahwa kalau musim kemarau akan disiram biar gak ada debu tapi toh kenyataannya lain. Begitu juga dengan air sungai
69
sekarang semakin kotor dengan masuknya debu dan oli dari pertambangan. Warga disini sebenarnya tidak dapat apa-apa, kalaupun ada yang kerja dipertambangan itu pun pada bagian yang tergolong tenaga kasar, semisal pemecah batu. Memang dana konpensasi atau uang debu ada tapi itu jumlahnya tidak sebanding dengan ketidaknyamanan yang kami terima...”
Kalau melihat proses bagaimana petani menjual lahannya ke pihak perusahaan
maka alasan utama petani untuk melakukan penjualan lahan umumnya karena
perekonomian keluarga yang rendah, yaitu sebesar 73,4 persen (tabel 13)
Tabel 13. Alasan Responden Melakukan Konversi lahan.
No Uraian Persentase
1
2
3
4
5
Hasil pertanian yang tidak menguntungkan.
Terpaksa karena kebutuhan
Harga jual tanah menarik
Ikut-ikutan menjual tanah
Karena Paksaan oleh pihak desa
13,3
20
6,6
33
26,6
Dengan demikian alasan petani mengkonversi lahannya bukan alasan
ekonomis. Faktor karena paksaan dan ikut-ikutan menjual lahan, lebih dominan
daripada harga lahan yang tinggi. Hanya 6,6 persen responden menyatakan tertarik
dengan harga yang ditetapkan perusahaan, dan setelah diteliti lebih lanjut responden
yang menyatakan tertarik dengan harga oleh PT adalah Calo yang mendapat
keuntungan dari perusahaan dengan adanya harga yang murah ditingkat petani. Uang
hasil konversi dengan harga rendah kebanyakan dialokasikan bukan pada bidang yang
produktif, tapi lebih pada kegiatan yang sifatnya konsumtif. Petani sebenarnya
merasakan bahwa ganti rugi lahan yang diterimanya tidak memadai untuk membeli
tanah baru yang sepadan, meskipun lahan di bukit hanya memproduksi hasil seperti
buah-buahan dan sedikit tanaman perkebunan.
70
Maraknya kasus jual beli lahan sebenarnya bisa juga di pahami dengan melihat
pola hidup kebanyakan masyarakat tani di Batujajar. Sebagaimana kalau melihat
pemanfaatan lahan di desa Batujajar bahwa musim tanam petani di desa Batujajar dua
kali dalam setahun. Tanaman yang mereka usahakan sebagian besar adalah padi yang
hasilnya mereka gunakan sendiri dan bukan untuk dikomersilkan atau dijual. Namun
kalau hujan terus menerus, lahan pertanian menjadi banjir sehingga tanaman padi atau
palawija yang ditanam menjadi rusak. Hasil pertanian menjadi tidak menguntungkan
bahkan petani merugi. Berdasarkan data produksi pertanian desa rata-rata produksi
pada tahun 2003 adalah 1,6 ton/hektar. Sedangkan target yang diperkirakan oleh PPl
bila ada sistem irigasi yang baik adalah tiga sampai empat ton/hektar. Sementara biaya
produksi usahatani cukup mahal sebagai contoh untuk pembelian bibit, pupuk, obat-
obatan dan lainnya. Dengan demikian tidak jarang para petani hanya mendapatkan
modal kembali dan bahkan menjadi rugi.
Produksi pertahun yang kurang menguntungkan, mendororng mereka untuk
mempertimbangkan penjualan harga lahan di daerah perbukitan walaupun hasil dari
penjualan tersebut tidak memuaskan. Hampir 100 persen responden yang menjual lahan
ke pertambangan bermata pencaharian sebagai petani dan kehidupan ekonominya
bergantung pada hasil usaha tani. Namun dari jumlah 20 responden hanya 23 persen
yang mempunyai sawah lebih dari 0,25 hektar selebihnya 77 persen petani berlahan
sempit.
Tabel 14. Jawaban Responden Terhadap Hasil Usaha Tani Untuk Kebutuhan Hidup Sehari-hari.
No Jawaban Jumlah (jiwa) Persen 1 Lebih - - 2 Cukup 1 5 3 Kurang 19 95
Sumber : Data Primer, 2005 Dalam kondisi hampir setiap tahunnya hasil panen kurang menguntungkan juga
karena faktor lahan yang sempit, petani merasa sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup
71
sehari-hari. Pada tabel 14 jelas terlihat bahwa usahatani yang dijalankan responden
kurang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, 95 persen responden mengatakan sulit
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari usaha taninya. Sementara hanya 5 persen
mengatakan sedang atau cukup dan tak seorang responden pun yang mengatakan
bahwa hasil usaha taninya dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagian besar dari
responden berusaha di luar pertanian dengan membuka warung atau melakukan pola
nafkah ganda. Biasanya usaha dagang kecil-kecilan dilakukan oleh ibu-ibu
rumahtangga. Keragaman sumberdaya manusia di desa Batujajar berkaitan erat
dengan perilaku ekonomi masyarakat di sekitarnya. Umur kepala keluarga, tingkat
pendidikan dan jumlah anggota keluarga merupakan suatu faktor yang secara tidak
langs ung ikut menentukan terjadinya konversi lahan. Makin tua umur seseorang, maka
wawasan dan pengalamannya akan bertambah sehingga akan mempengaruhi sikap
dalam pengambilan keputusan. Begitu pula halnya dengan tingkat pendidikan dan
jumlah tanggungan keluarga. Faktor umur memberikan pengaruh terhadap sikap petani
dalam memutuskan untuk menjual lahannya, namun tampaknya bukan hanya faktor
umur tetapi juga terpaut dengan faktor lain yaitu tanggungan keluarga. Semakin
bertambah umur tentunya tuntutan kebutuhan semakin berat, jumlah anggota
keluarga semakin banyak dan biaya menyekolahkan anak pun semakin besar. Inilah
yang mendorong petani untuk melakukan penjualan lahannya.
Konsentrasi terbesar responden berada pada golongan umur yang tua yakni 50
ke atas, tingkat pendidikan rendah dan jumlah tanggungan keluarga yang cukup tinggi,
antara empat sampai lima jiwa.
72
Tabel.15 Karakteristik Sumberdaya Manusia Responden No Kategori Tingkat
pendidikan Golongan
Umur Jumlah
tanggungan 1 Tinggi - 100 83,3% 2 Sedang 3,3 % - 13,3% 3 Rendah 96,7 % - 3,3%
Rata-rata umur responden yang melakukan konversi lahan adalah 64 tahun.
Ketika pelaksanaan konversai lahan petani memutuskan melakukan konversi adalah
umur 36 tahun sedangkan jumlah rata -rata tanggungan keluarga responden rata-rata
empat jiwa.
Faktor pendidikan petani juga mempengaruhi terjadinya konversi lahan, hal ini
berkaitan dengan semakin rendahnya tingkat pendidikan mereka, maka makin rendah
pula kemampuan ekonominya, sehingga dalam memutuskan untuk mengkonversi
lahannya akan lebih cepat. Dari hasil penelitian tingkat pendidikan petani yang
melakukan konversi lahan rata-rata berpendidikan SD dan tidak tamat SD. Selain
faktor -faktor di atas yang menjadi faktor pendorong petani menjual tanahnya adalah
paksaan dari aparat desa dan juga terpengaruh oleh tetangga yang sudah menjual lahan
duluan. Tidak bisa dipungkiri bahwa respon “positif” petani terhadap harga ganti rugi
lahan adalah kondisi sulit yang dihadapi selama ini, baik karena hasil pertanian yang
kurang mampu memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga dengan adanya tawaran harga
dari calo suruhan pengembang merupakan suatu tawaran “menarik” dalam pemecahan
kesulitan hidup untuk sementara.
Alasan lain yang mendorong petani menjual tanahnya adalah mengikuti petani
lain yang terlebih dulu menjual lahannya. Adapun alasan responden untuk mengikuti
petani lain menjual lahannya , adalah:
1. Melihat petani lain setelah menjual tanahnya merasa senang karena memperoleh
uang banyak.
2. Karena merasa bahwa tanah di bukit kurang menguntungkan.
73
Sulit mengatakan faktor dominan terjadinya konversi, secara legalitas hukum
dan tataruang bahwa desa Batujajar termasuk kawasan pertambangan. Disisi lain
sebagian besar petani atau warga masyarakat pun secara implisit ingin menjual
lahannya, karena alasan-alasan tertentu pula, meski ada juga sebagian warga yang tidak
menginginkan proses konversi tersebut terlaksana.
6.2 Faktor Eksternal
Ada tiga pelaku yang terkait dengan penggunaan dan penguasaan tanah (yakni
pemerintah, swasta dan masyarakat). Pemerintah melalui proyek pembangunan
membutuhkan sejumlah tanah, begitu pula dengan kapital asing dan kapital domestik
dalam mereakumulasi modalnya juga membutuhkan sejumlah tanah. Sedangkan dipihak
masyarakat sendiri yakni petani sebagai pemakai tradisional harus rela (terdesak)
menyerahkan tanah untuk pembangunan dan reakumulasi kapital dan ganti rugi yang
terlalu rendah adalah instrumen pokok alih pemakaian. Sebagaimanan kasus Batujajar
bukit-bukit yang dinilai kurang produktif, dibeli oleh perusahaan untuk ditambang, hal
ini dapat dipahami bahwa arti penting tanah sudah mengarah kepada kepentingan
akumulasi modal dan peningkatan surplus.
6.3 Mekanisme Konversi Lahan.
Pembebasan lahan di daerah Batujaja r dilaksanakan dalam beberapa tahun
yakni mulai tahun 1978 sampai tahun 2005. Adapun mekanisme pelaksanaan konversi
lahan pada tahap pembebasan sampai proses ganti rugi tanah dapat dilihat pada
gambar dibawah ini.
74
- -P Gambar 2. Mekanisme Pelaksanaan Konversi lahan.
Sampai tahun 2005 penguasaan lahan oleh pihak pertambangan terlihat pada
tabel 16.
Tabel 16. Tahun Pembelian dan Luas Lahan Yang Di Kuasai Perusahaan di Desa Batujajar
No Nama Perusahaan Tahun Pembelian
Lokasi Luas Lahan (ha)
1 PT.Manik Jaya 2 1982 Dukuh Wakaf 42 2 PT.Indocement 1977 Tipar/Bolang 31,5 3 PT.Batutama 1982 Wakaf 82 4 PT.Silkar 1990 Wakaf 10 5 PT.SumoBotang 1992 Curug 9 6 PT.Antasari Raya 1984 Pasir Kalong 98 7 Perkebunan - Wakaf 147
Sumber : Data monografi Desa BatujajarTahun 2004 Berdasarkan hasil penelitian bahwa pendekatan yang dilakukan oleh pihak
pengembang dalam mendapatkan tanah masyarakat adalah salah satunya melalui calo
diselingi paksaan meskipun pihak pertambangan mengaku telah melakukan rapat
terlebih dahulu dengan pihak masyarakat. Namun dalam pelaksanaan rapat dan
negosiasi, responden bersifat pasif, artinya hanya bisa mengatakan persetujuan
dengan ketentuan yang dilakukan oleh perusahaan dan calo. Hal ini karena kurangnya
pengetahuan tentang konversi lahan dan rendahnya tingkat pendidikan penduduk
Pemerintah
Konversi lahan
Pengembang Masyarakat.
1. Pendekatan 2. Pembebasan tanah 3. ganti rugi lahan
75
yang menjual lahan sebagai mana yang diuangkap kan oleh responden: Pak Sarhan (65
tahun)
“...Masyarakat memang diajak rapat, tapi pada waktu rapat tersebut masyarakat tidak semuanya mau menjual lahannya. Tapi tiba-tiba ada panggilan dari pihak desa, pada waktu itu kepala desanya Pak Muhammad, untuk ngambil uang hasil penjualan. Padahal saya dan masyarakat lainnya tidak merasa menjual lahan yang ada di bukit. Mau tidak mau uang itu saya ambil...”
Tabel 17. Proses Pendekatan dalam Pembebasan Lahan Responden.
Jenis Frekwensi Responden(%) 1. Diajak Rapat 2. Negosiasi harga
1 1
20 (100) 15 (75)
Sumber: Data Primer,2005 Peranan pemerintah dalam proses konversi lahan dari tegalan ke pertambangan
batu di desa Batujajar tidak berperan aktif, seperti membuat peraturan perundangan
yang berkaitan dengan konversi lahan, menetapkan lokasi dan luas areal untuk kawasan
pertambangan. Pada proses pembebasan tanah dan ganti rugi pemerintah menciptakan
kondisi yang mempermudah pengembang untuk mempermainkan harga lahan dengan
merugikan pihak penjual dalam hal ini masyarakat.
Pada proses pembebasan lahan secara umum terjadi masalah antara pihak
penjual (masyarakat) dan pihak perusahaan, antara lain ganti rugi yang murah,
pembayaran yang tidak tepat waktu dan juga karena adanya pembelian yang
dipaksakan, namun masyarakat tidak bisa menuntut lebih karena pihak pemerintah desa
berada di pihak pengembang. Banyak petani yang merasa di tipu dengan proses jual
beli lahan di bukit, terutama Perusahaan Manik Jaya 2 sebagaimana yang diungkapkan
oleh Informan (Pak Ngadiman) :
“...Masyarakat lebih mengenal Manik Jaya 2 dengan nama Bonen. Bonen itu singkatan dari Rabu dan Senin. Dulu waktu proses jual beli sudah disepakati, masyarakat dijanjikan untuk segera mengambil uang ganti rugi, namun pihak Perusahaan sering ingkar janji, katanya senin, setelah didatangi ..eh...katanya rabu. Be gitu seterusnya. Sehingga masyarakat akhirnya pasrah saja. Dan sampai saat ini masayakat lebih mengenal PT Manik jaya 2 dengan nama Bonen..”
76
Dalam hal ganti rugi lahan pihak perusahaan membayar dengan harga yang
bervariasi dari tahun ke tahun sebagai mana yang tercantum dalam tabel di bawah ini.
Tabel.18 Besarnya Ganti Rugi Lahan Responden
Tahun pembebasan dan Harga Lahan per m2 Jenis
lahan 1978 1987 1996 1998 2003
Ladang Rp50- 70 Rp750-1 650 Rp2 000-3 000 Rp3 000-3 500 4 500-5
000
Sumber: Data Primer, 2005
77
BAB VII
DAMPAK KONVERSI LAHAN DI DESA BATUJAJAR
7.1 Penguasaan Lahan
Penguasaan lahan dapat mengggambarkan kemampuan ekonomi rumahtangga
responden. Perubahan luas peguasaan lahan antara sebelum dan sesudah terjadinya
konversi pada rumahtangga responden yang melakukan konversi dapat dilihat pada
tabel 19. Sebelum konversi, responden yang memiliki luas lahan di bukit lebih dari 0,5
hektar sebanyak 15 persen yang menguasai antara 0,25 hektar hingga 0,5 hektar
sebanyak 45 persen, sedangkan yang kurang dari 0,25 hektar 40 persen. Setelah
konversi, hampir 45 persen responden tidak memiliki lahan tegalan lagi.
Penguasaan luas lahan persawahan setelah konversi mengalami peningkatan
Walaupun tidak terlalu signifikan. Rata -rata penguasaan lahan persawahan sebelum
konversi 0,12 hektar meningkat menjadi 0,17 hektar. Sebaliknya penguasaan lahan
tegalan mengalami penurunan dari rata-rata 0,4 hektar sebelum konversi menjadi 0,08
hektar. Disamping itu penguasaan lahan pekarangan responden relatif tidak berubah,
tidak ada petani yang memiliki lahan lebih dari 0,25 hektar.
Tabel 19. Rata-rata Perkembangan Penguasaan Lahan Responden Sebelum dan Sesudah Konversi.
Sebelum Konversi Sesudah Konversi Luasan Lahan Jumlah Persen Jumlah Persen
Sawah 0 3 15 4 20
< 0,25 14 70 12 60 0,25-0,5 1 5 2 10
> 0,5 2 10 2 10 Jumlah Tegalan
0 - - 9 45 <0,25 8 40 8 40
0,25 – 0,5 9 45 3 15 >0,5 3 15 - -
Jumlah
78
Pekarangan 0 - - - -
<0,25 20 100 20 - 0,25 – 0,5 - - - -
>0,5 - - - - Jumlah
Sumber : Data primer, 2005 Lanjutan Tabel 19
7.2 Adaptasi Rumahtangga Petani Yang Terkonversi Lahannya
Tekanan ekonomi yang dialami rumahtangga petani lapisan bawah yang
terkonversi lahannya memunculkan cara-cara untuk bertahan hidup, yakni dengan
melakukan optimalisasi tenaga kerja rumahtangga dan juga pola nafkah ganda. Selain
itu petani juga pemanfaatan jaringan sosial lewat kelembagaan yang sudah ada di
desa.
Kasus yang terjadi di desa Batujajar menunjukkan hal yang sama seperti uraian
di atas. Terbatasnya penguasaan lahan, pendidikan yang rendah mendorong
rumahtangga kasus untuk mencari terobosan-terobosan agar tetap bisa memenuhi
kebutuhan hidup rumahtangganya.
7.2.1 Pola Nafkah Ganda
Penelitian yang dilakukan oleh White (1991) dan Sayogjo (1991) di dalam
penelaahan ekonomi masyarakat tani, yang dimaksud nafkah ganda yakni usaha di
luar sektor pertanian yang bertujuan menutupi kekurangan dari sektor pertanian.
Sitorus (1991) dan Istiani (1992) menunjukkan bahwa peranan nafkah ganda yang
tidak hanya menggantungkan pada satu mata pencaharian saja, bisa membantu
rumahtangga miskin untuk tetap bertahan hidup.
Kalau melihat rumahtangga kasus yang menunjukkan bahwa penguasaan rata-
rata lahan sawah 1.705m2 dan tegalan 847,5m2, tidaklah menjamin rumahtangga
tersebut untuk untuk mampu mencukupi kebutuhan sehari-harinya, apalagi dengan
kondisi perekonomian Indonesia saat ini yang mengalami tekanan, akibat naiknya harga
79
minyak yang berimbas pada peningkatan harga semua kebutuhan (sembako) yang
sangat vital bagi rumahtangga petani miskin. Oleh sebab itu rumahtangga petani
berusaha mendorong setiap anggota rumahtangga untuk produktif. Sayogjo (1979)
juga menjelaskan bahwa bagi rumahtangga petani miskin, penguasaan aset produksi
umumnya bersifat terbatas, bila dilihat dari pola penguasaan lahan pedesaan, petani
lapisan bawah merupakan buruh tani tak bertanah, petani lapisan menengah merupakan
petani yang penguasaan lahannya antara 0,25 - 0,5 ha dan petani lapisan atas adalah
petani yang penguasaan lahannya lebih dari 0,5 ha.
Berkaitan dengan tingkat pendidikan anggota keluarga petani dari rumahtangga
petani miskin kebanyakan berpendidikan rendah. Dari hasil penelitian Prasodjo (1993)
di daerah pedesaan Jawa, tingkat pendidikan anggota rumahtangga umumnya hanya
sampai SD. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga
petani miskin , merupakan faktor penting mengapa rantai kemiskinnan sulit diputus.
Dengan tingkat pendidikan rendah, para petani tidak bisa bersaing di pasar tenaga
kerja dengan mereka yang memiliki pendididkan yang lebih tinggi. Sehingga bila
dikaitkan dengan tingkat upah yang diterimanya, akan tetap rendah.
Dari 20 responden yang diwawancarai hampir 80 persen menyatakan bahwa istri
juga bekerja walaupun uang yang diperoleh tidak terlalu besar. Pekerjaan seorang istri
hanya sebatas pada buruh tani, membuka warung ataupun membuat kue. Sedangkan
tenaga kerja anak-anak dari 20 responden hanya 60 persen yang dioptimalkan untuk
membantu tambahan pendapatan bagi keluarga. Sebagai gambaran adalah keluarga Pak
Saih (57 tahun)
Pak Saih (45) bekerja sebagai buruh tani, selain mengerjaka n sawahnya sendiri
Pak Saih juga mengerjakan sawah milik orang lain seluas 1500m2. Sebagai buruh tani
perharinya dia bisa memperoleh antara Rp7.500-Rp15.000 namun pekerjaan sebagai
80
buruh tani tidak sepanjang tahun ada, tergantung dari permintaan masyarakat. Untuk itu
selain mengusahakan lahan sawah Pak Saih juga mengolah lahan milik PT seluas
4000m², yang ditanami pisang, dan kopi. Istrinya, bekerja dengan membuka warung
kecil yang menjual jajanan ringan, seperti minuman es limun, dengan penghasilan
perharinya antara Rp4.000-10.000. Sebagaimana penuturannya
“... Kalau kerja cuma ngandelin satu pekerjaan saja, tidak akan cukup untuk hidup. Sepertinya kalau sambil tani meskipun hasilnya sedikit, tapi kedepannya tak usah mikirin beras lagi. Kalau istr i ikutan bekerja meski tambahan dari istri kecil tapi sangat membantu. Tentang hasil panen padi warga disini kebanyakan dimakan sendiri dan sebagian besar gak ada yang dijual. Tebasan padi didaerah sini hampir jarang ditemui...”
Lain halnya yang dila kukan oleh Pak tohir (50), sebagai rumahtangga petani
miskin, untuk menambah penghasilannya ia bekerja apa saja (menebang pohon,
mencangkul, kuli bangunan, bahkan makelar) sedangkan istrinya terkadang membuat
kue kalau ada pesanan dari orang.
“... Hidup keluarga kami susah, penghasilan perhari tak tentu.Kadang ada kadang enggak. Dulu saya pernah kerja di Jakarta sebagai sopir, tapi sekarang tidak lagi, pingin kumpul bersama keluarga didesa. Sebenarnya saya tidak pernah menyuruh istri kerja, apapun keadaannya, saya seharusnya yang bertanggung jawab. Tapi istri saya kerja yang ringan-ringan saja seperti membuat kue. ..” Namun demikian, kontribusi pendapatan dari luar usaha pertanian juga tidak
lebih baik dari kontribusi pendapatan sektor pertanian. Kondisi tersebut mengakibatkan
rumah tangga petani lapisan bawah cenderung mengunakan strategi hidup survival atau
mengutamakan selamat (safety first) dengan cara memilih jenis pekerjaan lebih aman
walaupun hasilnya sedikit, dari pada memulai usaha baru tetapi mengundang resiko
kerugian yang dapat menghancurkan mata pencahariannya.
Pilihan alternatif yang ditetapkan adalah melakukan beragam pekerjaan bagi
petani dan menjadi buruh tani atau membuka warung kecil. Pilihan ini juga dilakukan
81
oleh istri-istri yang tidak tertarik untuk pergi ke kota karena faktor pengalaman dan
pendididkan. Akan tetapi bagi rumahtangga petani yang tidak memiliki barang-barang
berharga, jaringan sosial merupakan satu-satunya strategi adaptasi yang dapat
dimanfaatkan untuk mengatasi kesulitan hidup sehari-hari. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Bu Wati (37 tahun)
“ Saya terkadang ngutang ke Bu bidan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena menurut saya dialah yang mampu dalam segi keuangan. Biasanya tidak ada perjannjian pengembalian, asal saya punya uang , pasti saya bayar. Selain itu terkadang saya minjem keemak saya. ”
.
7.2.2 Optimalisasi Penggunaan Tenaga Kerja
1. Kerja Reproduksi
Optimalisasi penggunaan tenaga kerja dibagi menjadi dua yakni kerja produksi
dan kerja reproduksi. Menurut Sitorus (1989) kerja reproduksi lebih terkait dengan
urusan rumahtangga, yaitu urusan konsumsi dan urusan non-konsumsi. Urusan
konsumsi bisa berwujud memasak, mencuci, mengambil air, belanja ataupun mengolah
bahan makanan. Sedangkan urusan non-konsumsi bisa dalam bentuk kegiatan
membersihkan rumah, mencuci, memperbaiki perabotan dan juga kegiatan pengasuhan
anak. Menurut Hubeis (1985) dalam Nurmalinda (2002) , urusan konsumsi punya
cakupan yang sangat luas, tidak hanya tertuju pada kegiatan konsumtif saja, melainkan
mempunyai arti yang lebih luas yakni terkait juga dengan kecukupan pangan dan gizi
dan juga kesehatan rumahtangga.
Di rumahtangga kasus di desa Batujajar, kecenderungan kegiatan yang bersifat
reproduksi baik itu konsumsi maupun non konsumsi dilakukan oleh kaum perempuan.
Tidak menutup kemungkinan bahwa kegiatan memasak, mengambil air, belanja
kebutuhan makan dan mengasuh anak adalah terkait masalah gender, dimana dalam hal
82
ini kaum lelaki tidak “wajar” untuk melakukannya sebagaimana yang diungkapkan oleh
Ibu responden berikut ini:
“.. Tugas perempuan memasak, nyuci, momong anak sedangkan suami bekerja dan jarang mau kalau disuruh mencuci pakaiannya sendiri. Kerja suami biasanya di Sawah, benerin rumah sepe rti buat pagar, benerin genteng yang bocor. Sedangkan anak-anak kalau laki-laki biasanya bekerja membantu Bapaknya di Sawah dan kalau perempuan bantu-bantu di dapur atau menjaga adiknya yang masih kecil..”
Bila merujuk pada teori tindakan yang dikemukakan oleh Weber dalam
Caupbell,1994. Maka pembagian pekerjaan di rumahtangga petani, di mana seorang
wanita diharuskan melakukan pekerjaan di dapur atau kerja reproduksi (domestik),
dapat dikatakan bahwa motivasi rumahtangga cenderung pada tindakan tradisional di
sini mengacu pada kegiatan yang dilakukan secara turun temurun dan jika dilanggar
akan kelihatan janggal bagi masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah
satu responden :
“.. Dari dulu yang namanya wanita kerjanya di dapur dan ngurus anak. Akan aneh jika ada suami yang kerjanya di dapur, nanti dikira istri tidak bisa ngurus suami..”
Adapun kasus manakala sang istri (wanita) ikut terlibat langsung dalam kerja
produktif walaupun tidak akan meninggalkan kerja reproduksinya, motivasinya
cenderung pada tindakan rasional instrumental. Gejala ini muncul manakala kebutuhan
rumahtangga berpenghasilan minim. Kasus di desa pertanian berbeda dengan kasus di
Kota di mana terkadang suami istri juga punya pekerjaan sedangkan kerja reproduksi
sudah digantikan sebagian oleh pembantu rumahtangga. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh responden ibu-ibu:
“ Penghasilan Bapak tidak cukup untuk hidup sehari-hari, apalagi harga-harga pada naik, sedangkan kebutuhan untuk makan tidak bisa ditunda. Sehingga mau tidak mau saya juga harus bantu dengan jualan kecil-kecilan di mana perharinya hanya untung Rp5.000,00-
83
Rp8.000,00. Penghasilan segitu lumayanlah untuk membantu keuangan keluarga ”
2. Kerja Produksi.
Kerja produksi merujuk pada kerja yang menghasilkan uang. Di dalam
rumahtangga tani di mana penguasaan lahan sangat minim yang rata-rata tidak
mencapai 1.500 m2, akan sangat susah untuk bisa hidup dengan sederhanapun. Maka
dengan keterbatasan itulah rumahtangga mendorong istri dan anak-anak yang sudah
dewasa (>12 tahun) untuk ikut membantu dalam kerja produktif.
Ketiadaan lahan bagi rumahtangga kasus bukan berarti mereka tidak bisa lagi
bekerja disektor pertanian, mereka masih bisa bekerja dengan memanfaatkan lahan-
lahan milik perusahaan yang belum ditambang. Namun itupun dengan catatan, yakni
tanaman yang ditanam tidak boleh tanaman yang berjangka lama, hal ini untuk
menjaga klaim masyarakat dikemudian hari jika perusahaan mulai menambang lahan
yang dibeli dari masyarakat. Lahan yang diusahakan tidak lebih dari 2000 m2. Lahan-
lahan tersebut ditanami dengan tanaman yang berumur pendek seperti sayur -sayuran
dan tanaman pangan. Tanaman yang di usahakan adalah terong, jagung dan kacang-
kacangan. Hasil tanaman tersebut sebagian besar untuk kebutuhan sendiri.
Pekerjaan pertanian lebih dominan dilakukan oleh kepala rumahtangga dengan
di bantu oleh istrinya, sedangkan anggota rumahtangga yang lain (anak-anak)
terkadang saja membantu karena anak-anak kebanyakan be kerja di tempat lain, karena
bagi kaum muda pekerjaan bertani tidak menguntungkan hal ini juga disebabkan
karena ketidaktersediaan lahan yang dimiliki rumahtangga kasus. Kasus di Batujajar
menunjukkan bahwa kaum muda banyak yang bekerja di luar sektor pertanian seperti
menjadi tukang ojek, buruh bangunan atau buruh pabrik di Kota.
84
Pekerjaan bertani dilakukan mulai pukul 06.00-11.30. Selama 1-2 jam mereka
istirahat untuk sholat dan makan siang, dan kemudian dilanjutkan lagi sampai pukul
17.30, bahkan terkadang ada juga yang bekerja pada malam hari apabila masih ada
pekerjaan yang belum selesai. Pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum pria, mulai dari
mencangkul, menanam, menyiram, memupuk dan memanen. Sedangkan kaum wanita
biasanya membantu pekerjaan-pekerjaan yang tidak terlal berat, seperti menanam dan
menyiangi. Pekerjaan wanita dilakukan setelah kegiatan reproduksi selesai mereka
kerjakan, kecuali pekerjaan menanam dilakukan pada pagi hari yaitu dimulai pada pukul
06.00-selesai. Pekerjaan ini terkadang juga dibantu oleh pria anggota rumahtangga
lainnya.
7.3 Penggunaan Uang Hasil Penjualan Tanah
Berdasarkan hasil penelitian bahwa masyarakat ada yang puas dan tidak puas
dengan uang ganti rugi. Alasan yang mereka kemukakan antara lain dengan adanya
konversi lahan mereka bisa menunaikan ibadah haji, membuat rumah baru, membeli
tanah baru yang lebih luas, ataupun untuk usaha. Sedangkan yang tidak puas merasa
bahwa ganti rugi lahan tidak memadai, untuk membeli lahan di tempat lain.
Tabel 20. Penggunaan Uang Ganti Rugi 20 Responden Berdasarkan Aset Tetap dan Aset Lancar.
Penggunaan
Jumlah Uang Persen
Aset Tetap Beli sawah 8 000 000 2,2 Bangun Rumah 80 310 602 22,6 Beli Tegalan 3 000 000 0,8 Aset Lancar Naik Haji 40 000 000 11,2
Beli Perabotan Rumah Tangga
11 308 331 3,19
Modal Usaha 31 625 000 8,9 Makan (kebutuhan sehari-hari)
127 811 208 36,07
Sekolah anak 3 378 786 0,9 Pengobatan 18 175 000 5,1
Sumber; data primer 2005
85
Rata-rata nilai penerimaman dari hasil penjualan ke perusahaan cukup
bervariasi. Hal ini di sebabkan oleh perbedaan luas lahan dan juga waktu penjualan
lahan yang dikonversi. Tingkat harga juga dipengaruhi oleh perbedaan tahun penjualan
. Data yang disajikan pada tabel 21 menunjukan bahwa besarnya penerimaan hasil
penjualan lahan 20 responen sekitar Rp.354.283.361,00
Tabel 21. Jumlah Uang Ganti Rugi Lahan Yang terkonversi No Nama Tahun
Penjualan Luas
Lahan M2
Harga Jual
( Rp )
Jumlah (Rp)
Konversi ke rupiah terbaru
1 Pak Sarhan B 2004 5 000 4 000 20 000 000 2 Pak Asan 2003 2 500 4 000 6 000 000 3 Pak Saih 2004 1 250 4 000 5 000 000 4 Pak Sahari 1996 333 3 000 1 000 000 4 750 000 5 Pak Sarhan A 2000 1 500 4 000 6 000 000 6 Pak Madsuki 2003 2 600 3 000 8 000 000 7 Pak Haji Apak 2004 10 500 5 000 52 500 000 8 Pak Sajim 2004 800 5 000 4 000 000 9 Pak Salmi 1998 1 600 3 000 4 800 000 10 Pak Ahmad 2004 2 500 4 000 10 000 000 11 Pak Sugani 2004 3 000 4 000 12 000 000 12 Pak Rosyid 1996 7 000 2 500 17 500 000 83 125 000 13 Pak Sidik 1990 2 000 750 1 500 000 8 636 363 14 Pak Ramin 1990 5 000 750 3 750 000 21 590 909 15 Pak Rusdi 1990 2 500 750 1 875 000 10 795 454 16 Pak Naman 1990 2 500 750 1 875 000 10 795 454 17 Pak Sapri 1990 1 000 750 750 000 4 318 181 18 Pak Didi 1990 15 000 750 11 250 000 64 772 727 19 Pak Jahari 2003 300 4 000 1 200 000 20 Haji Emog 2002 4 000 4 000 16 000 000 Jumlah Total Uang Rp354 283 361
Tahun 1996=1U$=Rp2000,00 Tahun 1978 =1U$=Rp 974 Tahun 1987=1U$= Rp 1650 Alokasi penggunaan uang hasil penjualan tanahnya menyebar, sebagian besar
dialokasikan untuk keperluan aset tetap sekitar Rp 91.310.602, (36,8 persen) seperti
membeli sawah, tegalan dan membangun rumah tinggal. Pengalokasian pada aset
lancar sekitar Rp 232.298.352 (54 persen) seperti melakukan ibadah haji, membeli
perabotan rumahtangga dan lainnya. Kebanyakan penduduk yang mendapat uang ganti
rugi lebih besar, akan melaksanakan ibadah haji karena unsur keagamaan yang tinggi
86
pada mayoritas penduduk. Berdasarkan informan lapang biasanya hasil penjualan
tanahnya yang diperoleh disisihkan sebagian untuk biaya sekolah, 0,9 persen.
Tabel 22. Penggunaan Uang Ganti Rugi 20 Responden Berdasarkan Produktif-
Konsumtif. Responden No Penggunaan
Jiwa Persen Kebutuhan Produktif 1 2 3
Beli Sawah Modal Usaha Menyekolahkan anak
3 5 3
15 25 15
Kebutuhan konsumtif 5 6 7 8 9 10 11
Benahi rumah/bangun rumah Naik haji Beli perhiasan Beli Perabotan RT Beli sepeda motor Makan Pengobatan (rumah sakit)
15 1 0 7 0 16 4
75 5 0
35 0
80 20
Alokasi penggunaan uang hasil penjualan tanahnya berdasarkan alokasi
produktif dan alokasi konsumtif menunjukkan kecenderungan kearah konsumtif seperti
terlihat pada tabel 22. Sebagian besar 80 persen responden menggunakan untuk
kebutuhan makan, 75 persen responden untuk pembenahan rumah, dan hanya 15 persen
responden yang menggunakan uang ganti rugi untuk membeli sawah di tempat lain dan
25 persen menggunakan nya untuk modal usaha dan hanya 15 persen responden
menyisihkan untuk biaya sekolah anak.
7.4 Pengaruh Terhadap Kesempatan Kerja
Alih fungsi lahan ke pertambangan menyebabkan perubahan pada aspek
kesempatan kerja. Pada awalnya masyarakat sekitar lahan yang terkonversi desa
Batujajar memiliki mata pencaharian bertani dan berdagang. Sedangkan setelah adanya
pertambangan mata pencaharian penduduk menjadi lebih beragam, yaitu selain bertani
87
dan berdagang ada juga yang menjadi sopir, karyawan pertambangan ataupun menjadi
tukang pantek.
Berdasarkan tabel 23 terlihat bahwa jenis kegiatan yang banyak diisi oleh
penduduk setempat adalah kegiatan sebagai petani dan buruh tani.
Tabel 23 . Perubahan Struktur Kesempatan Kerja Responden Waktu Jenis pekerjaan Persentase
Bertani 86,6 Berdagang -
Sebelum Konversi
Buruh 13 Sesudah Konversi Bertani 73
Berdagang 6,6 Buruh/Karyawan 16,3
Jasa 3,3
Bertani dan berladang oleh sebagian besar masyarakat yang lahannya
terkonversi masih tetap dipertahankan, karena bagi mereka selain tidak ada pilihan
pekerjaan lain juga karena tidak ada keahlian untuk bekerja di luar pertanian. Bertani
adalah bagian hidup mereka karena sudah bertahun-tahun dan secara turun temurun
mereka tekuni.
Dari hasil pengamatan lapang, perubahan kesempatan kerja disektor pertanian
dari 86,6 persen menjadi 73 persen disebabkan karena responden tidak punya lahan
pertanian dan juga semakin sempitnya lahan sebagai akibat bertambahnya jumlah
penduduk, selain itu dengan munculnya pertambangan menambah beragamnya
lapangan kerja di desa Batujajar. Adapun masyarakat yang masih mempertahankan
bertani sebagai pekerjaan utamanya harus mempunyai lahan sendiri atau melakuka
kerja maro atau ceblokan.
Responden yang mengalokasikan uang hasil konversi untuk membeli lahan rata -
rata mereka membeli tanah (sawah atau tegalan) yang baru di daerah lain yang masih di
dalam desanya. Harga tanah di daerah ini sebenarnya lebih mahal dibanding ganti rugi
88
lahan yang mereka terima. Adapun harga untuk lahan sawah berkisar Rp 15.000/m²
sampai Rp20.000/m² sedangkan uang ganti rugi yang dari penjualan lahan tegalan di
bukit hanya sekitar Rp 3500-4000/m² tahun 2004.
Selain itu hasil ganti rugi lahan yang terkena konversi dipergunakan untuk
menambah atau memperkuat modal usaha bagi pedagang lama. Sementara bagi petani
yang beralih profesi menjadi pedagang menjadikannya sebagai modal tambahan.
89
KESIMPULAN
Alih fungsi lahan di perbukitan desa Batujajar ke pertambangan perlu dikaji
untung ruginya. Masyarakat pemilik lahan yang sebagian besar adalah petani
merasakan bahwa proses jual beli lahan merugikan mereka, hal ini terkait dengan
masalah harga jual tanah yang rendah dan juga akibat pencemaran baik air, udara dan
juga suara, sebagai akibat dilakukannya aktivitas pertambangan yang tidak
memperhatikan AMDAL.
Penguasaan lahan oleh orang luar desa Batujajar yang sudah mencapai sekitar
53 persen dari luas seluruh desa, jika tidak ditangani dengan baik tidak mustahil
kedepannya akan menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat. Dari
permasalahan ini seharusnya pemerintah yang berwenang tanggap dan mampu
mengendalikan proses jual beli lahan yang saling menguntungkan kedua belah pihak,
baik petani sebagai pemilik lahan dan juga investor.
Ada beberapa butir pokok yang dapat disimpulkan dari studi dan analisis
“ Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Petani” yakni :
1. Faktor utama yang menyebabkan konversi lahan di desa Batujajar
dibagi menjadi dua yaitu (1) Faktor Internal, yaitu faktor dari dalam diri
masyarakat penjual lahan sendiri dalam hal ini, pendidikan, pendapatan, dan
pengalaman kerja dan juga ketergantungan terhadap lahan (2) Faktor
Eksternal, yakni faktor yang muncul dari luar masyarakat desa Batujajar
90
dalam hal ini Investor, pengaruh tetangga, pengaruh aparat desa da n juga
calo-calo tanah yang memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan.
2. Konversi lahan di daerah Batujajar meskipun bukan pada lahan sawah,
tetapi pada lahan kering (tegalan) yang ada di perbukitan, secara tidak
langsung mempengaruhi akses dan kontrol masyarakat terhadap lahan yang
pada akhirnya mempengaruhi juga aktivitas ekonominya. Minimnya
penguasaan lahan secara perlahan merubah budaya “ berkebun” atau
bertani pada generasi mudanya. Generasi muda lebih senang bekerja di luar
sektor pertanian semisal sebagai tukang ojek atau merantau ke kota yang
terdekat semisal ke Bogor atau ke Jakarta.
3. Rendahnya pendidikan petani dan juga penguasaan lahan yang sempit
baik lahan sawah ataupun tegalan mendorong mereka untuk memaksimalkan
tenaga kerja keluarga dan juga menerapkan pola nafkah ganda.
SARAN.
1. Aparat yang terkait dalam hal ini pemerintah beserta Stakeholder untuk ikut serta
merumuskan model konversi lahan yang mengedepankan keadilan agraria.
Investor juga harus mampu membangun kemandirian masyarakat, agar masyarakat
siap setelah konversi lahan terjadi. Pengelolaan uang hasil penjualan lahan yang
tidak digunakan ke hal-hal produktif, merupakan faktor yang menjadikan mengapa
setelah konversi lahan masyarakat bertambah miskin. Seharusnya ada kepedulian
dari pihak investor untuk ikut serta dalam pembinaan pengelolaan uang hasil
konversi.
2. Pemerintah daerah dan pusat jangan sampai menutup diri dengan proses konversi
yang selalu merugikan bagi pemilik lahan, dan selalu berpihak kepada pengusaha.
Kepemilikan yang melampaui batas maksimum dan munculnya tanah guntay yang
91
mengarah ke ketimpangan struktur agraria yang sudah menggejala di desa
Batujajar seharusnya didekati dengan aturan hukum agraria yang tegas.
DAFTAR PUSTAKA
Dames, T.W.G.1995. The Soil of Central Java. Balai Besar Penelitian Tanah, Bogor.
Dharmawan, Arya H.2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socio-Economic
Changes in Rural Indonesia . Disertasi Goettigen University. Germany. Gatot Murniatmo.dkk.1989. Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah
Secara Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Gertz, C.1976. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia . Bharata
Karya Aksara. Jakarta. Harsono, Boedi.1975. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan. Jakarta.
Husken, Frans.1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Differensiasi
di Jawa 1830 -1980. Grasindo
Husken, Frans dan Benjamin White.1989. Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa. Artikel. Prisma Edisi ke -4.
I Gusti Ngurah Agung.dkk.1989. Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah
Secara Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta
Iqbal, Moch.2004. Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa
Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan, Jawa Timur). Tesis Fakultas Pascasarjana, IPB Bogor.
Kustiawan, Iwan.1997. Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara Jawa . Artikel
Prisma. Lewis, O. 1995. Kebudayaan Kemiskinan dalam Suparlan Kemiskinan di Perkotaan.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Moleong, Lexy.2002. Metodologi Penelitian Kualitatif . PT. Remaja Rosdakarya.
Bandung.
92
Nurmalinda. 2002. Petani Miskin di Pinggiran Perkotaan Dan Strategi Bertahan Hidup Rumahtangga. (Studi Kasus Petani Lahan Tidur di Kabupaten Bekasi). Tesis Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.
Redfield, Robert.1982. Masyarakat dan Kebudayaan. Rajawali Press. Jakarta.
Sajogyo.1977. Golongan Miskin dan Partisipasinya Dalam Pembangunan Desa. Prisma No. 3 tahun VI. LP3ES. Jakarta.
Sajogyo.1978. Lapisan Masyarakat Paling Bawah di Pedesaan Jawa. Prisma. Juni No.
3 LP3ES. Jakarta. Sajogyo dan Pudjiwati.1992. Sosiologi Pedesaan .Jilid 1. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta . Sihaloho, Martua.2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria
(Kasus di Kelurahan Mulyaharjo, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat). Tesis Jurusan Program Pascasarjana Sosiologi Pedesaan. Institut Pertanian Bogor.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi.1995. Metode Penelitian Survei. LP3ES.
Jakarta. Sitorus, M.T.F. 1989. Struktur Alokasi Tenaga Kerja Rumahtangga Petani di Pedesaan
Hulu Jawa . (Studi Kasus Pola Kerja Pria dan Wanita dalam Komunitas Petani di Dusun Jrukung, Jawa Tengah). Jurusan Studi Pembangunan. Program Pasca Sarjana, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Tesis Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Suhendar, Endang dan Yohana Budi W.1998. Petani dan Konflik Agraria. Yayasan
AKATIGA. Bandung. Supriyadi, Anton.2004. Kebijakan Alih Fungsi Lahan dan Proses Konversi Lahan
Pertanian. Studi kasus di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Tjondronegoro,SedionoM.P.1999. Sosioloi Agraria:Kumpulan Tulisan Terpilih.Yayasan
AKATIGA Bandung.
Tjondronegoro, Sediono M.P dan Gunawan Wiradi ed. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria, dalam Dua Abad Penguasaan Tanah. PT. Gramedia. Jakarta.
White, Benjamin dan Gunawan Wiradi.1979. Pola-pola Penguasaan Tanah di DAS
Cimanuk Dulu dan Sekarang. Beberapa Catatan sementara. Prisma No.9 September 1979. Jakarta.
Wiradi, Gunawan.2000. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Insist
Press,KPA dan Pustaka Pelajar.Yogyakarta. Wolf, Eric .2004 . Perang Petani. Insisst Press. Bandung
93
__________ 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Ta hun Gunawan Wiradi. Yayasan
Akatiga. Bandung.
L A M P I R A N
94
Tabel Lampiran 1. Karakteristik Umur dan Pendidikan Responden
No Nama Responden Umur Pendidikan Jumlah
Tanggungan
kelurga
1 Pak Sarhan B 60 TTSD 3
2 Pak. Asan 58 SD 4
3 Pak. Saih 50 SD 3
4 Pak.Sahari 61 TTSD 4
5 Pak.Sarhan A 70 TTSD 3
6 Pak.Madsuki 71 TTSD 1
7 Pak.Haji Apak 54 SD 3
8 Pak.Sajim 65 TTSD 4
9 Pak.Salmi 50 SLTP 4
10 Pak.Ahmad 58 SD 4
11 Pak.Sugani 80 SD 5
12 Pak.Rosyid 55 SD 4
13 Pak.Sidik 60 SD 5
14 Pak.Ramin 70 SD 3
15 Pak.Rusdi 63 SD 4
16 Pak.Naman 80 SD 4
17 Pak.Sapri 60 SD 3
18 Pak.Didi 75 SD 4
19 Pak.Jahari 65 SD 3
20 Pak.Haji Emog 65 TTSD 3
Rata-rata 63,5 3,5
Keterangan :
TTSD : Tidak Tamat SD
95
Tabel Lampiran 2. Perubahan Luas Lahan Sebelum dan Sesudah Konversi.
Luas Lahan Pra Konversi Luas Lahan Pasca Konversi No Nama Responden
Sawah Tegalan Pekarangan sawah Tegalan Pekarangan
1 Pak Sarhan B - 5 000 40 - 800 40
2 Pak. Asan 1 500 2 500 20 200 200 20
3 Pak. Saih 1 500 1 250 16 2 000 - 16
4 Pak.Sahari 200 333 40 200 - 40
5 Pak.Sarhan A 400 1 500 10 1 000 - 10
6 Pak.Madsuki 800 2 600 20 800 200 20
7 Pak.Haji Apak 1 200 10 500 100 2 500 500 100
8 Pak.Sajim 500 800 20 500 4 000 100
9 Pak.Salmi - 1 600 10 - - 10
10 Pak.Ahmad 3 000 2 500 80 4 000 1 000 80
11 Pak.Sugani 200 3 000 10 500 250 10
12 Pak.Rosyid 100 7 000 12 1 000 4 000 12
13 Pak.Sidik 2 000 2 000 20 - - 20
14 Pak.Ramin 10 000 5 000 50 10 000 2 000 50
15 Pak.Rusdi 1 400 2 500 100 1 400 2 500 100
16 Pak.Naman 1 000 2 500 100 1 000 - 100
17 Pak.Sapri - 1 000 200 - - 200
18 Pak.Didi 2 000 15 000 300 1 000 1 500 300
19 Pak.Jahari 500 300 20 500 - 20
20 Pak.Haji Emog 7 500 4 000 20 7 500 - 20
Jumlah Rata-rata 1 690 3 544 59,4 1 705 847,5 59,4
96
Gambar Lampiran 1. Aktivitas Perempuan dalam Mengerjakan Pekerjaan Rumah
tangga (Kerja Reproduksi) yang Memanfaatkan Air Sungai yang
Telah Tercemar Limbah Pertambangan.
Gambar Lampiran 2. Aktivitas Petani Dalam memanfaatkan Ternak Untuk Kerja di
Bidang Pertanian.
97
Gambar Lampiran 3. Aktivitas Perempuan dalam upaya membantu ekonomi
Rumahtangga dengan membuka warung.
Tabel Lampiran 4. Aktivitas Warga Mencari Ikan di Sungai Sebagai Tambahan
Penghasilan