pengembangan potensi sumberdaya petani...

242
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002 1 PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI PARTISIPATIF Pantjar Simatupang 1 dan Nizwar Syafa’at 2 Kepala Pusat 1 dan Kepala Bidang Program dan Evaluasi 2 , Puslitbang Sosial Ekonorni Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian PENDAHULUAN 1. Pembangunan pertanian memasuki milenium ketiga dihadapkan kepada perubahan lingkungan strategis baik yang bersifat eksternal (globalisasi) maupun internal. Kemampuan produk pertanian domestik di pasar global menghadapi tantangan yang semakin komplek, karena landasan pembangunan ekonomi yang dibangun selama ini mengalami kemunduran akibat dari adanya krisis yang berkepanjangan. 2. Perubahan lingkungan strategis global ini mengarah kepada semakin kuatnya liberalisasi perdagangan dan membawa berbagai konsekuensi terhadap pasar komoditas pertanian Indonesia. Sementara itu tekanan internal, antara lain jumlah penduduk yang terus meningkat, mempengaruhi penawaran tenaga kerja dan permintaan terhadap produk pertanian serta meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya pertanian, seperti antara lain sumberdaya lahan, sumberdaya air dan plasma nutfah. 3. Pemberlakuan UU No. 29/1999 dan UU No. 25/1999 memberikan implikasi yang sangat strategis yaitu ―pendaerahan‖ manajemen pembangunan termasuk di da lamnya pembangunan pertanian. Dengan memberikan hak, wewenang dan tanggung jawab kepada daerah, maka pembangunan mendatang harus sangat didasarkan kepada potensi dan peluang yang tersedia di masing-masing daerah. OIeh karena itu daerah harus lebih mampu memberdayakan dan melibatkan secara penuh komunitas dan unit-unit kelembagaan masyarakat yang ada di masing-masing wilayah yang bersangkutan. 4. Penerapan inovasi teknologi merupakan salah satu kunci utama dalam pemanfaatan sumberdaya petani yang terbatas sesuai kondisinya masing-masing. Dengan penerapan inovasi teknologi tepat guna diharapkan dapat dicapai peningkatan produksi, produktivitas, peningkatan efisiensi dan mutu produk yang selanjutnya akan membawa kepada peningkatan nilai tambah agribisnis bagi kesejahteraan masyarakat. Sistem agribisnis dimaksud mencakup empat subsistem utama, yaitu (1) subsistem hulu (pengadaan sarana); (2) subsistembudidaya pertanian ( on-farm); (3) subsistem hilir (pengolahan hasil dan pemasaran); serta (4) subsistem pendukung (prasarana dan fasilitasi). Pengembangan setiap subsistem agribisnis memerlukan rekayasa don adopsi teknologi untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan mutu produk, sehingga berdaya saing tinggi. Inovasi teknologi mutlak diperlukan dalarn pengembangan potensi sumberdaya petani bagi peningkatan kesejahteraan mereka. POTENSI SUMBERDAYA PETANI 1. Sumber Alam 5. Sumberdaya alam di bidang pertanian mencakup sumberdaya tanah, air, iklim, kelautan dan hayati. Diantara sumberdaya alam tersebut tanah dan air mendapat tekanan sangat berat akibat dari perubahan dinamika ekonomi. Dilain pihak sumberdaya kelautan dan hayati belum cukup dimanfaatkan secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat penting, khususnya sawah beririgasi teknis, termasuk meningkatkan intensitas pemanfataan dan produktivitasnya secara lestari dengan merehabilitasi sarana pengairan, sehingga memungkinkan peningkatan intensitas tanam dan diversifikasi pertanian berskala luas. Konversi penggunaan untuk kegiatan luar sektor pertanian telah menekan penggunaan lahan untuk pertanian. 6. Indonesia diakui oleh dunia sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar mencakup plasma nutfah tanaman pangan, hortikultura, tanaman industri, perkebunan,

Upload: others

Post on 15-Oct-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

1

PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUI

PENERAPAN TEKNOLOGI PARTISIPATIF

Pantjar Simatupang1 dan Nizwar Syafa’at

2

Kepala Pusat1 dan Kepala Bidang Program dan Evaluasi2, Puslitbang Sosial Ekonorni Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

PENDAHULUAN

1. Pembangunan pertanian memasuki milenium ketiga dihadapkan kepada perubahan lingkungan

strategis baik yang bersifat eksternal (globalisasi) maupun internal. Kemampuan produk pertanian

domestik di pasar global menghadapi tantangan yang semakin komplek, karena landasan

pembangunan ekonomi yang dibangun selama ini mengalami kemunduran akibat dari adanya krisis

yang berkepanjangan.

2. Perubahan lingkungan strategis global ini mengarah kepada semakin kuatnya liberalisasi

perdagangan dan membawa berbagai konsekuensi terhadap pasar komoditas pertanian Indonesia.

Sementara itu tekanan internal, antara lain jumlah penduduk yang terus meningkat, mempengaruhi

penawaran tenaga kerja dan permintaan terhadap produk pertanian serta meningkatnya tekanan

terhadap sumberdaya pertanian, seperti antara lain sumberdaya lahan, sumberdaya air dan plasma

nutfah.

3. Pemberlakuan UU No. 29/1999 dan UU No. 25/1999 memberikan implikasi yang sangat strategis

yaitu ―pendaerahan‖ manajemen pembangunan termasuk di dalamnya pembangunan pertanian.

Dengan memberikan hak, wewenang dan tanggung jawab kepada daerah, maka pembangunan

mendatang harus sangat didasarkan kepada potensi dan peluang yang tersedia di masing-masing

daerah. OIeh karena itu daerah harus lebih mampu memberdayakan dan melibatkan secara penuh

komunitas dan unit-unit kelembagaan masyarakat yang ada di masing-masing wilayah yang

bersangkutan.

4. Penerapan inovasi teknologi merupakan salah satu kunci utama dalam pemanfaatan sumberdaya

petani yang terbatas sesuai kondisinya masing-masing. Dengan penerapan inovasi teknologi tepat

guna diharapkan dapat dicapai peningkatan produksi, produktivitas, peningkatan efisiensi dan mutu

produk yang selanjutnya akan membawa kepada peningkatan nilai tambah agribisnis bagi

kesejahteraan masyarakat. Sistem agribisnis dimaksud mencakup empat subsistem utama, yaitu (1)

subsistem hulu (pengadaan sarana); (2) subsistembudidaya pertanian (on-farm); (3) subsistem hilir

(pengolahan hasil dan pemasaran); serta (4) subsistem pendukung (prasarana dan fasilitasi).

Pengembangan setiap subsistem agribisnis memerlukan rekayasa don adopsi teknologi untuk

meningkatkan produktivitas, efisiensi dan mutu produk, sehingga berdaya saing tinggi. Inovasi

teknologi mutlak diperlukan dalarn pengembangan potensi sumberdaya petani bagi peningkatan

kesejahteraan mereka.

POTENSI SUMBERDAYA PETANI

1. Sumber Alam

5. Sumberdaya alam di bidang pertanian mencakup sumberdaya tanah, air, iklim, kelautan dan hayati.

Diantara sumberdaya alam tersebut tanah dan air mendapat tekanan sangat berat akibat dari

perubahan dinamika ekonomi. Dilain pihak sumberdaya kelautan dan hayati belum cukup

dimanfaatkan secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya menahan laju

konversi lahan pertanian subur menjadi sangat penting, khususnya sawah beririgasi teknis, termasuk

meningkatkan intensitas pemanfataan dan produktivitasnya secara lestari dengan merehabilitasi

sarana pengairan, sehingga memungkinkan peningkatan intensitas tanam dan diversifikasi pertanian

berskala luas. Konversi penggunaan untuk kegiatan luar sektor pertanian telah menekan penggunaan

lahan untuk pertanian.

6. Indonesia diakui oleh dunia sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang

sangat besar mencakup plasma nutfah tanaman pangan, hortikultura, tanaman industri, perkebunan,

Page 2: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

2

perikanan dan peternakan. Namun demikian keanekaragaman hayati tersebut bersifat semu karena

masih berupa potensi. Kemampuan untuk menggali, rnemanfaatkan dan mengembangkannya belum

optimal. Melalui rekayasa teknologi, plasma nutfah dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan

penyediaan pangan, sandang, papan dan farmasi serta produk bio-kimia lainnya.

7. Salah satu strategi dasar dalam pengembangan agribisnis yang merupakan program utama

pembangunan pertanian adalah pemanfaatan dan perluasan spektrum pertanian yang bertitik tolak

dari potensi dan keragaman sumberdaya alam serta kondisi sosial ekonomi, dengan tetap

memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingkungannya. Pembangunan pertanian harus

didasarkan atas potensi lahan yang keberhasilannya tergantung pada pilihan komoditas serta sistem

usaha yang sesuai dengan karakteristik potensi tersebut. Berbagai langkah perlu diambil dalam

rangka pengembangan sumberdaya alam secara optimal antara lain, adalah:

a. Pengenalan sifat dan karakteristik lahan antara lain iklim, tanah, air, topografi, veqetasi dan

penggunaan tanah;

b. Menetapkan kesesuaian lahan dengan melakukan analisis kesesuaian antara kualitas dan

karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan lahan;

c. Menetapkan tingkat manajemen yang diperlukan untuk setiap penggunaan lahan. Berbagai

tingkat pengelolaan diperlukan sesuai dengan sifat dan karakteristik lahan tersebut;

d. Menilai kesesuaian lahan bagi pengembangan berbagai komoditas tanaman dan peternakan;

e. Menentukan pilihan komoditas atau tipe penggunaan lahan tertentu yang secara fisik sesuai dan

secara ekonomis menguntungkan.

2. Sumberdaya Sosial-Ekonomi

8. Pada periode tahun 1980-1998 angkatan kerja di Indonesia meningkat dari 51,2 juta menjadi 87,0

juta orang, atau peningkatan laju 4% per tahun. Sektor pertanian berperan besar dalam penyerapan

angkatan kerja/kesempatan kerja tersebut. Dalam tahun 1980 kesempatan kerja di pertanian

mencapai 27,3 juta orang (66,2% angkatan kerja) rnenjadi 33,5 juta orang (58,3% angkatan keja) di

tahun 1998. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk desa masih

menggantungkan hidupnya pada usaha pertanian. Kemampuan dalam penyerapan tenaga kerja yang

besar tersebut menjadikan sektor pertanian sangat penting dan menonjol dalam perekonomian

nasional.

9. Dari aspek kuantitas, sumberdaya manusia yang bekerja di pertanian lebih besar dibandingkan sektor

lainnya. Namun secara kualitas, sebagian besar sumberdaya manusia tersebut dinilai rendah apabila

diukur dengan tingkat pendidikannya. Dalam tahun 1998 sejumlah 14,34% tenaga kerja yang bekerja

di pertanian tidak sekolah, 26,25% tidak tamat SD, 43% berpendidikan SD tamat, 10,38%

berpendidikan SLTP, 4 SLTA dan sisanya yang pernah menempuh pendidikan tinggi hanya sekitar

0,30%. Kenyataan menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan berkorelasi negatif

dengan keinginan mereka bekeria di sektor pertanian, terutama dibidang budidaya pertanian. Upaya-

upaya untuk menciptakan kondisi yang membuat citra usaha pertanian menjadi suatu sektor usaha

yang prospektif dan nyaman, harus ditingkatkan untuk menarik SDM berpendidikan lebih tinggi

berkiprah di pertanian. Salah satu kebijaksanaan yang harus ditempuh adalah dengan

rnengembangkan agribisnis dengan kandungan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi.

10. SDM di pedesaan relatif besar berpotensi tinggi untuk membangun pedesaan dalam pengembangan

agribisnis. SDM ini, terutama golongan muda cukup responsif terhadap sentuhan inovasi untuk

meningkatkan profesionalisme mereka dalam mendukung pengembangan agribisnis yang berdaya

saing tinggi. Budaya masyarakat pedesaan menghargai tata nilai yang mencirikan kemajuan, seperti

kerja keras, rajin, hidup hemat dan daya empati tinggi. Hal ini merupakan salah satu potensi besar

untuk dijadikan penggerak kemajuan agribisnis setempat. Solidaritas masyarakat pedesaan, terutama

tingkat ―kampung‖ relatif sangat tinggi. Hal ini merupakan potensi besar untuk membangun

agribisnis dengan basis kolektivitas masyarakat setempat. Nilai harmoni yang dijunjung tinggi oleh

umumnya masyarakat pedesaan memberikan andil yang besar terhadap penguatan solidaritas

seternpat.

11. Struktur masyarakat di tingkat bawah relatif egaliter. Hal ini merupakan basis yang kuat untuk

menerapkan prinsip-prinsip obyektif dan rasional dalam rangka pengembangan kelompok-kelompok

agribisnis di pedesaan. Kepemimpinan lokal umumnya didasarkan pada apresiasi masyarakat

setempat dan faktor kepemimpinan ini masih sangat efektif untuk menggerakan masyarakat

Page 3: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

3

pedesaan. Dengan semakin tingginya apresiasi pemimpin lokal terhadap inovasi di bidang agribisnis,

peran pemimpin lokal ini akan memberikan andil yang besar terhadap pengembangan agribisnis di

pedesaan. Potensi sumberdaya sosial dapat dijadikan penggerak kemajuan ekonomi pedesaan dan

sekaligus penghela kesejahteraan (dan keadilan) masyarakat petani

12. Usaha agribisnis dipedesaan didominasi oleh usaha rumah tangga pertanian, yang sebagian besar

niemiliki dan/atau menguasai lahan sempit dan berpendapatan rendah. Secara nasional 51% petani

mengusahakan tanah lebih kecil dari 0,5 ha. Akses kepada permodalan juga sangat lemah, dan

sebagal akibatnya usaha mereka tidak dapat berkembang, untuk memungkinkan dihasilkannya

produk-produk berdaya saing tinggi dan selanjutnya memperoleh pendapatan yang layak. Usaha

mereka pada umumnya bertitik berat kepada budidaya pertanian, sehingga kurang menikmati nilai

tambah dari keseluruhan proses agnibisnis.

MEMBANGUN AGRIBISNIS DI PEDESAAN

13. Agribisnis didefinisikan pertama kali oleh David dan Golberg (1957) sebagai berikut ―Agribusiness

is the sum total of all operations involved in the manufacture and all distribution of farm supplies;

production activities on the farm; and the storage, processing and distribution of farm commodities

and items made from them‖.

14. Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa pengertian tentang agnibisnis pertanian dalam arti luas;

Pertama, jenis kegiatan usaha, yaitu yang berkaitan dengan pertanian. Agribisnis mencakup kegiatan

produksi pertanian primer atau umum dikenal sebagai kegiatan usahatani, serta kegiatan terkait dalam

pertanian luas, yaitu produksi dan distribusi input pertanian, penyimpanan, pengolahan dan distribusi

komoditi pertanian berikut produk-produk turunannya serta pembiayaan usaha-usaha tersebut.

Namun kiranya patut dicatat bahwa usaha inti dari setiap bidang usaha agribisnis tersebut ialah usaha

produk pertanian primer atau usahatani. Pabrik pupuk ada karena ada usahatani yang membutuhkan

pupuk. Agroindustni ada karena ada produk pertanian yang menghasilkan bahan baku pabrik

agroindustri tersebut. Agribisnis dapat pula disebut sebagai usaha pertanian, kegiatan usaha

berkaitan dengan pertanian.

15. Kedua, agribisnis mengacu pada sifat atau orientasi usaha pertanian sebagai usaha komersial yang

mengejar laba. Usaha pertanian berorientasi pasar. Usaha pertanian yang bersifat subsisten

(memenuhi kebutuhan sendiri) atau hobi tidak termasuk agribisnis. Usahatani, termasuk usahatani

keluarga, skala kecil, tidak berorientasi memaksimalkan volume produksi, tetapi mengoptimalkan

perolehan laba. Tambahan laba merupakan motivasi utama dalam mengadopsi suatu teknologi baru.

Oleh karena itu, tambahan laba marjinal (benefit) dan penurunan biaya (marjinal cost) merupakan

dua kriteria ekonomi teknologi unggul.

16. Ketiga, usaha agribisnis bersifat otonom. Sebagai suatu perusahaan komersial, agribisnis dikelola

secara bebas oleh pemiliknya dan dan sebesar-besarnya untuk kepentingan pemilik tersebut. Petani,

misalnya, bebas dalam memilih komoditas, teknologi dan periggunaan sarana maupun prasarana

usahatani yang digunakan. Prinsip ini merupakan syarat mutlak bagi suatu perusahaan komersial

privat. Di Indonesia, kebebasan petani telah dikukuhkan secara yuridis, yaitu melalui Undang-

undang Sistem Budidaya Tanaman. ini berarti, pemerintah atau pihak manapun tidak boleh memaksa

petani untuk menanam komoditas tertentu atau menggunakan input maupun teknologi tertentu,

sepanjang hal itu tidak dilarang oleh peraturan hukum. Jika demi kepentingan umum, pemerintah

mengharuskan petani rnenanam komoditas tertentu atau rnenggunakan teknologi tertentu, maka

petani boleh memperoleh kompensasi atas kerugian yang ditimbulkannya.

17. Keempat, masalah usahatani bersifat sistemik, tidak hanya terletak pada usahatani (on-farm)

melainkan juga bahkan kerap lebih banyak di luar usahatani (off-farm). Masalah pembangunan

pertanian haruslah didiagnosa dan diatasi berdasarkan pendekatan sistem. Usahatani hendaklah

dipandang sebagai Inti dari suatu sistem agnibisnis berbasis komoditas yang dihasilkan oleh

usahatani tersebut. Setiap komponen usaha dalam sistim agribisnis tersebut turut berpengaruh

terhadap keragaan usahatani. Sebagai contoh, gejala perlambatan perkembangan usahatani padi,

boleh jadi merupakan akibat dari gejala saturasi inovasi teknologi usahatani padi yang merupakan

fungsi dari komponen Litbang Pertanian. Dari contoh ini jelas kiranya bahwa fungsi Litbang

teknologi Pertanian merupakan salah satu esensi sistem agribisnis.

Page 4: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

4

18. Kelima, agribisnis sebagai paradigma pembangunan. Setiap komponen agribisnis dipandang sebagai

sebuah sistem yang terpadu secara vertikal mulai dari pengadaan input pertanian sampai dengan

distnibusi produk-produk pertanian ke tangan konsumen akhir. Dengan kata lain, agribisnis harus

dikelola secara ―integratif‖. ini merupakan sebuah paradigma baru dalam pembangunan sektor

pertanian di Jndonesia. Sebagai faktor pemadu (the coordinating factor) adalah pasar. Sebagaimana

dikemukakan oleh Mosher (1966), adanya pasar bagi produk-produk pertanian merupakan syarat

pertama yang harus dipenuhi agar pembangunan pertanian dapat berjalan. Oleh karena itu, semua

kegiatan agribisnis mulai dari yang paling hilir sampai dengan yang paling hulu harus diarahkan

untuk memenuhi permintaan pasar, baik dari segi ketepatan kuantitas, kualitas maupun waktu.

19. Agar sistem agribisnis secara keseluruhan mampu berkembang dan berkelanjutan (sustainable),

semua unit kegiatan agribisnis secara ekonorni harus mampu hidup (economically viable), Untuk itu,

unit-unit usaha dalam struktur vertikal agribisnis harus ―mampu menciptakan laba‘ (profit making

enterprise). Minimal ada dua kondisi yang diperlukan untuk mendukung hal itu. Salah satunya

adalah bahwa semua unit usaha agribisnis secara vertikal mulai da hulu sampai hilir harus saling

mendukung dan mennperkuat satu sama lain (mutually supportive and reinforcing). Semua unit

usaha secara vertikal tidak boleh bersaing dan saling mematikan. Persaingan boleh terjadi hanya

secara horizontal yang rnengarah pada meningkatnya efisiensi. Kondisi lainnya ada bahwa unit

usaha di masing masing simpul vertikal agribisnis harus bekerja efisien, yaitu mampu

mengalokasikan sumberdaya ekonomi yang dimilikinya secara optimal. ini hanya dapat dilakukan

oleh surnberdaya rnanusia (manajer dan pekerja) yang mempunyai tingkat kecakapan tinggi

(profesional).

20. Kegiatan agribisnis dapat dipengaruhi oleh keputusan atau tindakan koordinator agribisnis, yang

terdiri dari pemerintah, manajer agribisnis (termasuk asosiasi bisnis), pendidik dan peneliti.

Pemenintah seringkali sangat menentukan arah perkembangan agribisnis melalui berbagai kebijakan

dan program yang ditetapkannya. Kebijakan dan program tersebut mencakup berbagai bidang, antara

lain intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi, irigasi, transportasi, distribusi sarana produksi, energi,

pemasaran hasil pertanian, harga-harga, penanaman modal, pewilayahan komoditi, fiskal dan

moneter. Peran utama pemerintah adalah sebagai regulator, fasilitator dan dinamisator, sehingga

koordinasi vertikal kegiatan sistem agribisnis dan unit-unit usaha yang terlibat di dalamnya secara

keseluruhan dapat berjalan secara terpadu dan terkoordinasi secara baik dengan memperhatikan

secara seksama lingkungan strategis (sumberdaya alam, sosial, ekonomi, politik) yang terus bergerak

secara dinamis sehingga sistem agribisnis secara keseluruhan mampu terus berkembang dan

berkelanjutan.

21. Para manajer agribisnis (termasuk asosiasi bisnis) juga menentukan keberhasilan kegiatan

agribisnisnya. Informasi yang lengkap tentang semua kegiatan agribisnis, kebijakan dan program

baru pemerintah, teknologi, hasil-hasil penelitian serta perkembangan lingkungan strategis perlu

dikuasai untuk dapat membuat keputusan bisnis secara lebih tepat (bagi perusahaan) maupun untuk

merumuskan program dan kebijakan pembangunan agribisnis yang efektif dan efisien (bagi

pemerintah).

22 Para pendidik di bidang pertanian dan sosial ekonomi mempunyai kontribusi besar dalam

pengembangan agribisnis. Dunia pendidikan formal yang menciptakan manusia terampil dan

berpengetahuan luas yang diperlukan oleh pemerintah dan perusahaan, maupun pendidikan non-

formal yang memberikan bekal ketrampilan dan pengetahuan kepada para petani dan pelaku

agribisnis lainnya sangat dibutuhkan. Dengan meningkatnya kompetisi antar pelaku bisnis dan antar

negara, produk-produk yang dihasilkan tidak hanya didasarkan atas sumberdaya yang ada (resource

base), tetapi yang lebih penting didasarkan atas ilmu pengetahuan (knowledge base). Kegiatan

pendidikan dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta, termasuk LSM.

23. Kegiatan penelitian juga sangat diperlukan untuk pengembangan agribisnis. Lingkup kegiatan

penelitian yang diperlukan tidak hanya menghasilkan pembaharuan atau temuan-temuan teknologi di

bidang budidaya saja, tetapi juga teknologi di bidang pengolahan, penyimpanan dan transportasi hasil

pertanian. Evaluasi yang sifatnya komprehensif tentang efek sosial dan ekonomi dari kebijaksanaan

dan program pemerintah terhadap perkembangan agribisnis juga menjadi bagian sangat vital dalam

kegiatan penelitian. Teknologi yang senantiasa berubah merupakan salah satu syarat mutlak bagi

pembangunan pertanian. Penelitian dan pengembangan pertanian merupakan salah satu simpul kritis

dalam sistem agribisnis.

Page 5: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

5

24. Visi yang dimainkan diataslah yang menjadi dasar kenapa pemerintah, saat ini mengadopsi strategi

pembangunan sistem dari usaha guna memacu pembangunan pertanian. Strategi baru ini jelas

membutuhkan kerjasama sernua pihak. Pembangunan pertanian tidak hanya tanggung jawab

Departemen Pertanian saja melainkan tanggung jawab semua pihak yang mandat kerjanya termasuk

dalam sistem agribisnis.

25. Di dalam struktur perekonomian Indonesia, agribisnis mempunyai spektrum yang sangat luas, yaitu

dari usaha yang dikelola oleh keluarga-keluarga dengan sumberdaya yang sangat terbatas, sampai

dengan tingkatan perusahaan yang bersifat supranasional. Luasnya spektrum pengembangan

agribisnis tersebut menghendaki perencanaan yang seksama dalam melakukan pilihan, seperti

mampu rnemanfaatkan semua sumberdaya potensial secara optimal, mampu mengatasi segala

hambatan dan tantangan yang dihadapi, mampu menyesuaikan diri dalam pola struktur produksi

terhadap perubahan baik teknologi maupun permintaan serta mampu berperan positif di dalam

pembangunan pedesaan, wilayah rnaupun nasional.

26. Agribisnis rnerupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonornian nasional.

Peranan sektor agribisnis yang demikian besar dalam perekonomian nasional memiliki implikasi

penting dalam pembangunan ekonomi nasional kedepan. Besarnya keterkaitan dengan

berkembangnya sektor agribisnis ini terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya dapat diindikasikan dari

multiplier effect yang ditimbulkan. Hal ini disebabkan, karena karakteristik agribisnis memiliki

kelebihan yaitu: (a) memiliki keterkaitan yang kuat antara hulu dan hilir, (b) menggunakan

sumberdaya alam yang ada dan dapat diperbaharui, hal ini menjadi penting dalam kerangka

pelestarian sumberdaya alam dan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan, (c) memiliki

keunggulan komparatif dan kompetitif baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, (d)

dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah besar, dan (e) produknya pada umumnya bersifat cukup

elastis, sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang berdampak semakin luasnya

pasar.

27. Agribisnis mengimplikasikan perubahan kebijaksanaan di sektor pertanian, Pertama, produksi sektor

pertanian harus lebih berorientasi kepada permintaan pasar, tidak saja pasar domestik tapi juga pasar

luar negeri. Kedua, pola pertanian harus rnengalami transforrnasi dari sistem pertanian subsistem

yang berskala kecil ke usahatani dalam skala ekonomi efisien. Hal ini merupakan keharusan, jika

produk pertanian harus dijual di pasar bebas dan jika sektor pertanian harus menyediakan bahan-

bahan baku bagi sektor industri. Bagi negara yang memiliki potensi yang besar di sektor pertanian

dan memiliki keunggulan komparatif, pembangunan harus bersifat resource based atau agrobased.

28. Agribisnis merupakan suatu sistem sejak dari kegiatan hulu, budidaya, hilir dan pendukung. Sebagai

suatu sistem, kegiatan agribisnis tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dan saling terkait.

Beberapa pengembangan agribisnis adalah: (a) berorientasi pasar (market oriented), yaitu

menempatkan pendekatan supply-demand sebagai pertimbangan utama, (b) menerapkan konsep

pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development), yaitu dengan memperhitungkan

kesinambungan supply, demand dan sistem produksi jangka panjang, (c) keterkaitan subsistem

budidaya dan subsistem lainnya perlu dijaga dan diseimbangkan, dan (d) dukungan sistem informasi,

adanya data yang akurat dan mudah didapat setiap waktu mengenai produksi, permintaan, dan harga.

29. Beberapa langkah strategis yang harus ditempuh untuk memposisikan agribisnis sebagai andalan

pembangunan pedesaan antara lain adalah sebagai berikut:

a. Kegiatan agribisnis dipandang sebagai suatu jaringan kegiatan ekonomi utuh, tidak tersekat-

sekat, sehingga responsif terhadap dinamika pasar, inovasi teknologi dan permodalan. Dengan

cara pandang demikian fungsi agribisnis sebagal penggerak perekonomian bisa lebih

ditonjolkan.

b. Pengembangan agribisnis disesuaikan dengan keunikan lokasi. Hubungan kemajuan antar lokasi

pengembangan agribisnis lebih bersifat saling melengkapi (komplementer). Selain itu, langkah

ini memungkinkan keunggulan/kekhasan sumberdaya setempat dijadikan penggerak agribisnis

yang khas pula.

c. Pengelolaan agribisnis dibangun secara konsolidatif (baik vertikal maupun horizontal). Dengan

cara demikian, asas efisiensi atau MES (Minimum Economic of Scale) dapat diterapkan termasuk

dalam kaitannya dengan penggunaan teknologi dan penyehatan ekosistem setempat.

Page 6: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

6

30. Untuk lebih mendorong kegiatan di atas, diperlukan pengembangan (pola) kemitraan agribisnis

konsolidatif yang diarahkan untuk menggantikan pola kemitraan yang berciri patronase. Dengan

pola ini tidak dikenal lagi eksploitasi antar pelaku agribisnis, dalam suatu jaringan kegiatan

agribisnis, baik secara terselubung, legal dan terbuka. Beberapa ciri dari pola ini adalah: (i) peran

terbesar kegiatan agribisnis adalah petani, (ii) kegiatan agribisnis bersifat integratif, sehingga friksi

antar kegiatan agribisnis dapat dieliminir, (iii) output suatu kegiatan agribisnis bersifat stabil, bernilal

tambah tinggi, dan berstandar mutu tinggi, (iv) spesialisasi kerja dan rasionalisasi ekonomi dapat

diharmonisasikan dengan cara pengelolaan agribisnis yang kooperatif, dengan koperasi sebagai

lembaga ekonomi andalannya, dan (v) mudah diintegrasikan dengan pengembangan perekonomian

pedesaan.

31. Pada waktu lalu, pelaksanaan pembangunan menghadapi persoalan, yang berkaitan dengan

rendahnya partisipasi masyarakat dan tidak cukup berlanjutnya program-program yang diintroduksi.

Sejumlah proyek yang sudah dilaksanakan tidak berkelanjutan, dalam arti tidak dilaksanakan lagi

setelah ditinggalkan pelaksana proyek. Penyebab utama dari kondisi ini adalah akibat

penyelenggaraan pembangunan yang cenderung sentralistik, dan kurangnya upaya ke arah

pemberdayaan masyarakat sasaran. Petani lebih banyak hanya ditempatkan sebagai obyek dari

kegiatan pembangunan dan pelaksanaan kegiatan cenderung dibuat seragam tanpa banyak melihat

tingkat perkembangan kapasitas kelembagaan petani.

32. Pada masa yang akan datang, sejalan dengan semangat desentralisasi perlu dilakukan berbagai

penyesuaian dengan menjadikan masyarakat petani sebagai subyek atau pelaku utama pembangunan,

melalui paradigma yang bersifat people-centered, particioatory, empowering, and sustainable.

Dalam bentuk yang lebih sederhana, keempat sifat tersebut dapat diramu menjadi dua kata kunci,

yaitu pemberdayaan dan partisipasi rnasyarakat. Pemberdayaan terkandung makna keberpihakan.

Artinya kekuatan (daya) yang berasal dari dan dimiliki masyarakat dicoba diperkuat dangan unsur-

unsur dari luar, sehingga dihasilkan kekuatan yang lebih besar untuk mencapai sesuatu yang

dikehendaki. Pengembangan masyarakat melibatkan unsur norma dan perilaku orang-orang, maka

sebenarnya sisi yang hendak dicapai adalah pengembangan kelembagaan yang terdiri dari dua bagian

besar yaitu organisasi dan aturan main.

33. Pengembangan kelembagaan berarti suatu proses menuju ke arah perbaikan aturan hubungan antara

orang-orang dalann rnasyarakat, yang pada gilirannya dapat membentuk kelembagaan yang

dikehendaki. Karena proses tersebut melibatkan unsur norma dan perilaku manusia, maka proses

tersebut akan memerlukan waktu. Dengan demikian pengembangaan kelembagaan akan berisi

program-program untuk menangani berbagai masalah secara sistematis dan terencana.

34. Dalam pembangunan berbasis komunitas, sumberdaya yang tersedia di masyarakat, baik sumberdaya

fisik maupun non fisik harus mampu dimanfaatkan menurut kebutuhan setempat. Hal ini

dimungkinkan karena program pembangunan dapat diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan riil.

Komunitas atau masyarakat lokal yang diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan

implementasinya akan lebih responsif untuk turut memikul tanggung jawab pengelolaan pelaksanaan

kegiatan. Hal ini akan membantu mengurangi biaya yang perlu disediakan pihak pemerintah.

Disamping itu pengetahuan dan ketrampilan lokal (ind, technical know-how) mampu diadaptasikan

untuk membantu penghematan biaya dan peningkatan keuntungan. Pemikiran di atas secara eksplisit

menggambarkan keikutsertaan masyarakat sebagai mitra pembangunan, dan bukan lagi sebagai

kelompok sasaran. Dalam kegiatan ini partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan, terutama dalam

bentuk partisipasi yang bersifat mobilisasi spontan yang diartikan secara positif.

REKAYASA DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PARTISIPAT1F

A. Peran Inovasi Teknologi Dalam Perkembangan Agribisnis

35. Keunggulan bersaing merupakan salah satu syarat mutlak bagi eksistensi dan pertumbuhan

berkelanjutan suatu usaha agribisnis dalam tatanan pasar persaingan bebas era globalisasi. Saat ini

daya saing pada dasarnya ialah kemampuan lebih baik dari pesaing dalam hal menghasilkan barang

dan jasa sesuai preferensi konsumen. Preferensi konsumen dicerminkan oleh atribut produk seperti

jenis, mutu, volume, waktu dan harga. Semua ini sangat ditentukan oleh basis kegiatan produksi.

Page 7: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

7

Basis keunggulan kompetitif agribisnis dapat dikelompokkan menjadi:

1. Keunggulan komparatif limpahan sumberdaya lahan dan air

2. Keunggulan komparatif limpahan tenaga kerja

3. Keunikan agroekosistem lahan

4. Keunggulan teknologi

5. Keunggulan manajemen

Keunggulan (1) - (3) termasuk kategori keunggulan komparatif berbasis alamiah (natural resource

base) yang lebih ditentukan oleh karunia Ilahi. Namun, agribisnis tetap memerlukan inovasi

teknologi dan manajemen, sebagai komplemen guna mengubah keunggulan komparatif menjadi

keunggulan kompetitif. Agribisnis modern lebih banyak mengandalkan keunggulan teknologi dan

manajemen sebagai basis keunggulan kompetitifnya. Inovasi teknologi dan manajemen, termasuk

pada tingkat perusahaan dan pemerintahan, merupakan produk dan penelitian dan pengembangan.

Oleh karena itulah penelitian teknologi pertanian merupakan salah satu komponen utama sistem

agribisnis progresif.

36. Dalam era globalisasi ekonomi dan perdagangan seperti sekarang ini dan juga di masa datang,

dimana ekonomi pedesaan dan nasional sudah terintegrasi dengan ekonomi global, isu yang paling

utama dalam dunia bisnis adalah memenangkan persaingan global. Dalam hal ini, kemajuan

teknologi diharapkan mampu memberikan sumbangan besar dalam peningkatan daya saing produk

agribisnis. Daya saing dapat ditingkatkan melalui penggunaan teknologi yang dapat menurunkan

biaya per unit output (unit-output cost = UOC), meningkatkan volume, dan menyesuaikan

karakteristik kualitas produk dengan preferensi konsumen.. Dengan turunnya UOC, komoditas

pertanian Indonesia akan mempunyai keunggulan biaya (cost advantage) dibanding komoditas yang

sama yang diproduksi di negara lain. Jika dikombinasikan dengan kesesuaian volume dan kualitas

produk, maka daya saing komoditas pertanian primer atau produk agribisnis Indonesia dapat

ditingkatkan sehingga kemampuan untuk menembus pasar ekspor atau membendung arus impor

makin tinggi. Oleh karena itu, teknologi di masing-masing simpul agribisnis, mulai dari bidang

produksi sampai dengan pemasaran hasil, harus terus berkembang.

B. Teknologi untuk Meningkatkan Kapasitas Produksi

37. Teknologi untuk meningkatkan kapasitas produksi ialah yang meningkatkan perolehan volume

produksi dari satu unit faktor produksi yang menjadi pembatas (the limiting factor of production).

Kalau yang menjadi faktor pembatas ialah lahan maka teknologi tergolong kategori ini meliputi yang

mampu meningkatkan produktivitas lahan per satuan luas per satuan waktu (land management

technology). Termasuk dalam hal ini ialah teknologi yang meningkatkan produkttvitas lahan per

panen dan frekuensi panen per tahun (intensitas pertanaman). Contoh teknologi semacam ini ialah

benih unggul hasil (high yield) dan benih unggul umur genjah (short maturnity) atau kombinasi

keduanya.

38. Jika usahatani didominasi oleh usaha keluarga, seperti yang berlaku di Indonesia, seringkali yang

menjadi faktor pembatas ialah ketersediaan tenaga kerja keluarga atau tenaga pengelola usahatani.

Dalam kondisi demikian, kapasitas produksi dapat ditingkatkan dengan mengadopsi teknologi yang

mampu mengurangi kebutuhan tenaga kerja keluarga untuk manajemen seperti mekanisasi pertanian.

Dengan mekanisasi pertanian maka skala usahatani yang dapat dikelola keluarga dapat ditingkatkan.

39. Peningkatan kapasitas produksi pada dasarnya berfungsi untuk meningkatkan efisiensi teknis faktor

produksi maupun efisiensi skala usaha. Efisiensi teknis dan skala usaha rnerupakan elemen penentu

utama efisiensi ekonomi yang menjadi penentu daya saing harga jual produk agribisnis. Oleh karena

itu, teknologi yang mampu meningkatkan kapasitas produksi agribisnis sangatlah penting untuk

meningkatkan pendapatan pelaku agribisnis maupun untuk peningkatan daya saing agribisnis

domestik.

40. Dalam konteks nasional (agregat), peningkatan kapasitas produksi merupakan salah satu sumber

pertumbuhan produksi. Volume produksi agregat yang cukup besar merupakan faktor kunci bagi

tumbuh kernbangnya komponen usaha agribisnis terkait. Agroindustri, misa!nya hanya dapat

berkembang jika skala produksi usahatani primer cukup besar dan kontinu menurut waktu. Volume

produksi agregat juga bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi pemasaran melalui ‖precuriary

economics”. Semakin besar volume pasar (thick market) semakin murah ongkos transaksi pasar.

Page 8: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

8

C. Teknologi untuk Menurunkan Biaya Pokok Produksi

41. Ada dua kelompok teknologi yang dapat digunakan untuk menurunkan biaya pokok produksi, yaitu

(a) teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas produksi (capacity development), dan (b) teknologi

yang dapat menurunkan jumlah biaya (cost reduction). Prinsip jenis teknologi pertama adalah

menggunakan jumlah input (atau jumlah biaya) yang relatif sama untuk rnenghasilkan jumlah output

jauh lebih besar.

42. Teknologi yang berfungsi untuk meningkatkan kapasitas produksi sudah dibahas sebelumnya.

Contoh konkrit berikut hanyalah untuk lebih rnemperjelas. Jenis teknologi ini yang paling populer

adalah penggunan benih unggul baru. Ciri utama benih unggul baru adalah sangat responsif terhadap

input yang diberikan sehingga jumlah produksi dapat dinaikkan berlipat-ganda dalam waktu lebih

pendek sehingga UOC menjadi jauh lebih rendah. Penelitian ―bio-teknologi‖ dapat menghasilkan

berbagai benih unggul baru. Beberapa contoh antara lain adalah varietas IR untuk padi, varietas

Pioneer dan CPI untuk jagung, klon GT1 untuk karet, jenis Simmental untuk sapi potong, Friesch

Holstein (FH) untuk sapi perah, Etawa untuk kambing, Alabio untuk itik, dan ayam ras untuk

pedaging dan petelur, dan masih banyak contoh-contoh lainnya, baik untuk tanaman pangan, sayuran,

buab-buahan, perkebunan maupun peternakan. Penggunaan benih unggul tersebut perlu

dikombinasikan dengan teknik budidaya yang baik, antara lain adalah penggunaan pupuk pabrik

secara berimbang, air irigasi, pengaturan jarak tanam dan pengendalian organisme pengganggu

tanaman untuk tanaman, dan penggunaan pakan berkualitas dan vaksin untuk hewan.

43. Kelompok teknologi kedua adalah penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan). Prinsip

penggunaan alsintan adalah menurunkan jumlah biaya untuk rnenghasilkan jumlah produksi yang

sama. Contohnya adalah traktor untuk mengolah tanah, sabit untuk panen padi, mesin perontok

gabah, mesin pemipil jagung, mesin pengupas kopi, dan lain-lain. Penggunaan alsintan, selain dapat

menurunkan jumlah penggunaan tenaga kerja manusia, juga dapat mempercepat waktu kerja dengan

kualitas hasil kerja lebih baik. Penggabungan penggunaan kedua kelompok teknologi tersebut akan

dapat menurunkan UOC lebih besar lagi.

44. Prinsip peningkatan kapasitas produksi dan penurunan biaya produksi tidak hanya diterapkan di

bidang produksi pertanian primer saja, tetapi juga di semua simpul sistem agribisnis. Penggunaan

rnesin-mesin otomatis dengan sistem ban berjalan di bidang pengolahan hasil akan mampu

melakukan pengolahan hasil dalam jumlah jauh lebih besar dibanding mesin-mesin konvensional per

satuan waktu. Dengan menggunakan mesin demikian, banyak simpul-simpul kegiatan kurang

produktif yang dapat dipotong sehingga UOC menurun.

45. Demikian pula dalam transportasi hasil, penggunaan kendaraan bermotor dengan kapasitas besar

dapat meningkatkan daya angkut, daya jangkau dan mempercepat waktu angkut, jika dibandingkan

dengan rnenggunakan cikar, delman, gerobak, becak, dan lain-lain. Efeknya adalah menurunkan

biaya angkut per unit output Penggunaan gerbong kereta api di wilayah-wilayah tertentu untuk

mengangkut barang secara massal akan lebih efisien dibanding menggunakan truk.

D. Teknologi untuk Meningkatkan/Memelihara Kualitas Produksi

46. Kualitas produk dapat diperbaiki atau dipertahankan dengan menggunakan teknologi tertentu.

Kualitas produk sangat penting dilihat dari segi pemenuhan selera konsumen akhir. Di bidang

produksi pertanian primer, varietas sangat menentukan kualitas hasil. Banyak sekali contoh yang

dapat diambil, yang beberapa diantaranya adalah Rojo Lele atau Cianjur untuk beras (gurih dan

harum), Manalagi untuk mangga (manis), Keprok untuk jeruk (segar dan manis), Arabica untuk kopi

(nikmat), dan Brahman untuk sapi (empuk dan kurang berlemak). Produksi dari verietas-varietas

tersebut mempunyai harga lebih tinggi dibanding varietas-varietas biasa.

47. Di bidang pengolahan hasil, kualitas produk dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknologi

pengawetan, penambahan bahan baru, dan pengemasan. Beberapa contoh teknologi pengawetan

adalah pengeringan dan pengalengan. Penambahan bahan baru dapat memperkaya kandungan kalori,

mineral, vitamin, protein dan rasa, atau mengurangi kandungan unsur-unsur merugikan seperti lemak,

kolesterol, asam urat, residu pestisida, dan lain-lain. Produk-produk dengan karakteristik demikian

akan lebih disukai konsumen. Bentuk kemasan yang memudahkan dalam penggunaannya (usage

ease) akan meningkatkan utilitas produk dan akan makin menarik bagi konsumen.

Page 9: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

9

48. Kualitas produk dapat dipertahankan dengan menggunakan teknologi pengawetan sebagaimana telah

disebutkan di atas, ditambah dengan teknologi panen, pengangkutan dan penyimpanan. Penggunaan

teknologi panen yang baik akan dapat mencegah terjadinya kerugian karena kerusakan hasil.

E. Teknologi untuk Pengembangan Produksi

49. Selera konsumen terus berubah karena membaiknya tingkat pendidikan dan makin cangggihnya

teknologi informasi. Perubahan selera tersebut menuntut disediakannya produk-produk baru yang

lebih menarik bagi mereka. Produk-produk lama akan ditinggalkan konsumen dan akan mengalami

kejenuhan pasar. Demikian pula, komoditi pertanian yang kapasitas produksinya sudah lama

mengalami stagnasi akan mengalami penurunan daya saing karena peluang untuk menurunkan UOC

sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan produk-produk baru agribisnis

(product development) yang mempunyai kapasitas produksi lebih besar atau kualitas hasil lebih baik.

50. Di bidang produksi primer, penelitian di bidang rekayasa genetika (genetic engineering) sangat

diperlukan. Penciptaan varietas-varietas baru yang mempunyai kapasitas produksi makin tinggi atau

mempunyal kualitas lebih baik akan merupakan langkah sangat penting. Tanpa perubahan teknologi

secara terus-menerus, pembangunan pertanian akan terhambat. Di bidang pengolahan hasil,

pengembangan produk umumnya lebih mudah karena tidak berhadapan dengan masalah genetik yang

sulit inntervensi, tetapi lebih pada sifat-sifat fisika dan kimia komoditi pertanian yang lebih mudah

dimodifikasi dengan teknologi tertentu.

F. Manajemen Usaha untuk Meningkatkan Efisiensi

51. Dengan menggunakan teknologi yang ada, efisiensi produksi dapat ditingkatkan melalul lima cara,

yaitu (a) pengalokasian input secara optimal berdasarkan harga input dan output; (b)

pengkombinasian input berdasarkan harga masing masing input dan harga output untuk jenis

komoditas yang sama, (c) pengkombinasian output berdasarkan harga masing-masing output untuk

jenis komoditas berbeda; (d) penggunaan ukuran usaha paling efisien; dan (e) penggunaan lingkup

usaha paling efisien.

52. Cara pertama, dikenal dengan strategi efisiensi alokatif pada hubungan input- output (input-output

relation) dengan tujuan untuk memperoleh biaya produksi paling rendah atau keuntungan maksimal

sepanjang fungsi produksi atau teknologi yang ada. Makin tinggi rasio harga input terhadap harga

output, maka penggunaan input akan makin kecil, produksi akan turun dan laba maksimum akan

berkurang, ceteris paribus. Sebaliknya, makin rendah rasio harga tersebut, maka penggunaan input

akan makin banyak (tetapi ada batas maksimumnya), produksi akan meningkat dan laba maksimum

akan makin besar. Di bidang pertanian, jenis input yang harganya sangat berpengaruh adalah pupuk

pabrik (Urea, ZA,TSP, KCl, NPK, dll) dan obatan-obatan (pestisida).

53. Cara kedua, dikenal sebagai strategi kombinasi input (input-input combination), yaitu kombinasi

jenis input tergantung pada tingkat substitusi (substitutability) antar input variabel. Tingkat

penggunaan input dipengaruhi oleh rasio antar harga input yang bersangkutan dan terhadap harga

output. Biasanya, substitusi input terjadi antara tenaga kerja dan modal, misalnya pemberantasan

gulma dengan tenaga manusia diganti dengan herbisida.

54. Cara ketiga dikenal sebagai strategi kombinasi output (output-output combination) sepanjang kurva

kemungkinan produksi (production possibility curve) pada masing-masing komoditi untuk

menentukan commodity basket yang dapat memaksimumkan jumlah penerimaan total berdasarkan

harga output masing-masing komoditi. Pertanian campuran (mix farming) sayuran dengan sapi

perah, atau perikanan kolam dengan ternak ayam, adalah contoh-contoh klasik. Demikian pula

tumpang-sari (mix cropping) antara jagung dan cabai merah adalah contoh yang banyak diterapkan

petani.

55. Cara keempat, yaitu penggunaan ukuran usaha paling efisien, didasarkan atas total biaya per unit

output paling rendah. Dalam hal ini, biaya terdiri dari dua komponen utama, yaitu biaya variabel

(variable cost) dan biaya tetap (fixed cost). Skala usaha dapat terus ditingkatkan selama total biaya

rata-rata (average total cost) masih terus menurun hingga niencapai total biaya rata-rata mencapai

titik paling rendah (masih terjadi economies of size). Jika rata-rata total biaya sudah mencapai titik

paling rendah, maka peningkatan skala usaha akan rneningkatkan rata-rata total biaya (terjadi

diseconomies of size).

Page 10: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

10

56. Cara kelima, yaitu penggunaan lingkup usaha paling efisien, didasarkan atas penggabungan berbagai

jenis komoditi atau usaha ke dalam satu manajemen (economies of scope). Hal ini dapat terjadi

melalui integrasi vertikal atau integrasi horizontal. Dengan cara ini struktur organisasi bisa menjadi

lebih sederhana sehingga jumlah biaya-tetap (fixed cost), utamanya gaji direksi, bangunan (kantor,

perumahan), peralatan (mesin pabrik dan kendaraan) dan perlengkapan lainnya dapat ditekan.

57. Penggabungan kelima cara tersebut di atas akan dapat mengurangi biaya produksi per unit output

(UOC) secara lebih signifikan. Namun yang lebih penting bukan sekedar penurunan produksi,

melainkan keungulan biaya (cost advantage). Yang dimaksud keunggutan biaya ada UOC agribisnis

di Indonesia lebih rendah dibanding agribisnis di negara pesaing untuk setiap jenis komoditi.

Bahayanya jika hanya sekedar bertujuan rneminimalkan UOC adalah terhambatnya inovasi teknologi

baru yang menggunakan alat dan mesin-mesin yang harganya mahal sehingga perbaikan kualitas dan

pengembangan produk yang makin diminati oleh pasar akan terhambat. Dengan prinsip keunggulan

biaya, UOC boleh ditingkatkan dengan inovasi teknologi baru yang menghasilkan produk-produk

baru yang diminta oleh pasar, namun UOC tersebut masih lebih rendah dibanding dengan negara

pesaing, sehingga daya saing produk agribisnis Indonesia tetap tinggi.

G. Rekayasa Teknologi Partisipatif

58. Strategi pembangunan pedesaan adalah meletakkan pembangunan pertanian (dalam konteks

pengembangan agribisnis), sebagai lokomotif penggerak perekonomian pedesaan. Usaha pertanian

harus mampu tumbuh dan berkembang secara proposional. Dengan sumberdaya yang terbatas dalam

tatanan pasar yang sangat kompetitif, inovasi teknologi menjadi sumber pertumbuhan yang sangat

menentukan. Inovasi teknologi bermanfaat dalam meningkatkan kapasitas produksi, produktivitas,

mutu, diversifikasi, produk, transformasi produk sesuai preferensi konsumen dan nilai tambah. Hal

tersebut akan sangat menentukan keberhasilan upaya meningkatkan pendapatan para petani kita.

59. Inovasi teknologi partisipatif merupakan hasil proses litbang pertanian yang di lakukan

berkomunikasi dan bekerjasama dengan penggunanya, sejak dari proses perencanaan sampai dengan

adopsinya. Hal tersebut sesuai dengan paradigma Badan Litbang Pertanian, bahwa Litbang berawal

dari petani/pengguna dan berakhir pada petani/pengguna teknologi. Untuk memperkuat

partisipasi pengguna/petani dalam proses litbang pertanian, maka di Lingkungan Badan Litbang

Pertanian, telah dibentuk Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di setiap Propinsi. Unit kerja

ini harus proaktif dalam menghasilkan inovasi teknologi yang mampu meningkatkan kesejahteraan

masyarakat petani. Kegiatan litbang pertanian dilakukan dengan mengikut-sertakan secara aktif

berbagai pihak yang berkepentingan dengan inovasi teknologi pertanian.

60. Sebagai aset pelayanan IPTEK di propinsi sesuai UU 22/1999, BPTP ini memiliki pula kemampuan

dalam bidang penyiapan materi untuk penyuluhan. Keberadaannya pada propinsi yang bersangkutan

diharapkan akan memberi arti penting bagi program pembangunan pertanian di wilayah tersebut.

Hubungan sinergi antara BPTP, Pemerintah Daerah, Instansi terkait dan masyarakat masih harus

lebih dikembangkan pada waktu yang akan datang. BPTP pada saat ini masih dalam proses

pengembangan, baik dilihat dari pengembangan sumberdaya manusia, fasilitas maupun sistem

manajemen risetnya.

61. Dalam rangka mendorong pendekatan partisipatif dan sejalan dengan desentralisasi pembangunan

pertanian, telah dilakukan reorientasi kebijaksanaan bidang penelitian dan pengembangan yaitu (1)

dan perencanaan yang sentralisasi menjadi desentralisasi; (2) dad pendekatan komoditas menjadi

pendekatan sumberdaya melalui sistem usaha pertanian (sistem agribisnis) (3) dan penelitian yang

terfokus pada teknologi budidaya menjadi penelitian berimbang antara penelitian strategis (terapan)

dan penelitian adaptif; (4) dan cara pandang yang umum menjadi spesifik lokasi; dan (5) dan

prionitas yang didasarkan pada produksi menjadi prioritas yang didasarkan atas dinamika pasar.

62. Kerangka pikir yang menjadi landasan reorientasi kebijakan strategis litbang pertanian adalah sebagai

benikut

a. Penciptaan inovasi-inovasi teknologi harus menjawab tantangan pembangunan pertanian dan

sekaligus merupakan bagian integral dari sistem inovasi nasional;

b. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan pertanian diarahkan untuk meningkatkan mutu

dan nilai tambah agribisnis;

c. Pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan IPTEK di bidang pertanian diarahkan juga pada

peningkatan daya inovasi untuk meningkatkan daya saing ekonomi;

Page 11: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

11

d. Pengembangan sinergi, baik antar lembaga maupun dengan pengguna dalam melaksanakan

berbagai proses IPTEK dibidang pertanian termasuk diseminasi dan proses adopsi inovasi

teknologi.

63. Usaha pertanian di Indonesia didominasi oleh usaha keluarga skala kecil yang sangat lemah dalam

berbagai bidang, seperti keterbatasan asset produktif, daya tawar, kekuatan ekonomi sehingga tidak

mampu berkembang mandiri dinamis. Para petani banyak tergantung kepada ―orang kaya atau

pedagang‖ dalam memperoleh asset produktif, sarana produksi, pengolahan dan pemasaran hasil.

Hal di atas sangat mempengaruhi daya adopsi inovasi teknologi. Pemberdayaan petani merupakan

langkah kunci mewujudkan pembangunan agribisnis berbasis komoditas di pedesaan.

64. Pengembangan kelembagaan petani (antara lain kelompok tani, asosiasi petani dan usaha bersama

agribisnis) oleh petani sendiri diharapkan akan memperkuat kemampuan dalam mengadopsi

teknologi inovasi yang diperlukan. Mereka dapat bersama-sama memilih inovasi teknologi yang

sesuai dengan kebutuhannya. Dalam memilih teknologi bagi usahanya, sekaligus telah

dipertimbangkan berbagai aspek antara lain kerjasama dalam pengadaan input, proses budidaya,

pengolahan dan pemasaran hasil. Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh nilai tambah yang

lebih besar dari usahanya.

65. Adopsi teknologi sebagai salah satu faktor penting dalam mengembangkan agribisnis berbasis

komunitas di pedesaan membutuhkan fasilitasi dari pemerintah antara lain dalam penyediaan

prasarana, akses kepada input dan pasar serta kebijaksanaan insentif lainnya. Salah satu agenda

kebijaksanaan pemerintah yang diperlukan adalah rnencegah penurunan nilai tukar pertanian.

Kebijaksanaan harga, perdagangan, fiskal dan moneter agar mampu diarahkan untuk memacu

pertumbuhan agribisnis di pedesaan. Masyarakat pertanian di pedesaan harus dilindungi dari dampak

negatif kebijakan negara lain dan tindakan merugikan yang mungkin dilakukan oleh ‖usaha

agribisnis lebih besar‖.

PENUTUP

66. Partisipasi aktif para petani dan pengguna lainnya dalam rekayasa teknologi akan lebih meningkatkan

daya adopsi dari inovasi teknologi tersebut. Proses rekayasa inovasi diharapkan telah

mengakomodasi dengan baik kondisi dan kebutuhan petani sesuai dengan potensi sumberdaya yang

dikuasainya bagi pengembangan usaha agribisnisnya. Pemanfaatan inovasi tersebut harus mampu

membawa kepada peningkatan nilai tambah agribisnis bagi kesejahteraan petani khususnya dan

masyarakat pada umumnya

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian, 2000; Pembangunan Ekonorni Pedesaan Berlandasan Agribisnis, Deperteman Pertanian.

Badan Litbang Pertanian, 2000; Perspektif Pembangunan Pertanian tahun 2000 — 2004, Departemen Pertanian.

Badan Litbang Pertanian, 2001; Rencana Strategis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2001-2004,

Departemen Pertanian.

Departemen Pertanian 2001; Pembangunan Sistem Agribisnis Sebagai Penggerak Ekonomi Nasional.

Joko Budianto, 2000; Optimalisasi Pengembangan Sumberdaya Lokal dalam Rangka Desentralisasi Pembangunan

Pertanian. Makalah pada Apresiasi Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian dan Kehutanan, Pekanbaru,

November 2000.

DISKUSI

Pertanyaan :

1. Implikasi dengan kondisi petani saat ini maka pemerintah harus lebih komitmen terhadap petani

(Pemerintah lebih perhatian terhadap petani).

2. BPTP harus meneliti yang pokok-pokok terlebih dahulu (Bibit/Pembenihan).

3. Kelembagaan juga penting ditangani oleh BPTP

4. Kenapa Bapak mengatakan bahwa pemberian dana langsung ke petani tidak baik.

Page 12: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

12

5. Orientasi petani (adakah teknologi dari BPTP untuk menanggulangi pemasaran bawang putih di

Sembalun).

6. Partisipatif petani masih pasif (perlu diaktifkan)

Jawab :

1. Peran pemerintah lebih besar terhadap petani sudah diupayakan contohnya: (untuk menaikkan harga

gabah dari 1.500 s/d 1.700 tantangannya luar biasa) tetapi banyak sekali kendala-kendala yang

dihadapi pemerintah dalam upaya tersebut, disini ada politik pasar.

2. Informasi mengenai bibit, untuk BPTP masih mempunyai masalah untuk saat ini karena BPTP belum

mempunyai wewenang untuk itu.

3. Saya tidak mengatakan bahwa pemberian bantuan secara langsung tidak baik, bantuan langsung pada

masyarakat yang belum siap memang cukup riskan/berbahaya.

4. Mengaktifkan partisipatif masyarakat membutuhkan waktu yang cukup lama dan membutuhkan

kesabaran.

Page 13: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

13

OPTIMASI PENERAPAN TEKNOLOGI

PADA USAHATANI UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI

Sri Widodo

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada

PENDAHULUAN

Runtuhnya sektor industri modern sebagai akibat krisis ekonomi menyentuh pemikiran

masyarakat untuk mereformasi paradigma lama kearah paradigma baru dengan menerapkan sistem

ekonomi kerakyatan, yaitu sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Sektor pertanian

berasas ekonomi kerakyatan berperan sebagai buffer terhadap berbagai goncangan ekonomi, mampu

tumbuh positif dalam krisis ekonomi, sehingga dapat dijadikan modal peningkatan ketahanan ekonomi

nasional.

Salah satu paradigma baru dalam pembangunan pertanian adalah dengan pendekatan sistem

agribisnis, yang terdiri atas subsistem usaha produksi primer di usahatani (on-farm), subsistem off-farm

hulu (upstream, berhubungan dengan input) subsistem off-farm hilir (downstream, berbubungan dengan

produk), dan subsistem penunjang/pelayanan seperti lembaga keuangan penelitian (penyedia teknologi

baru), dan penyuluhan. Subsistem usaha produksi primer usahatani kecil sudah membuktikan sebagai

sektor yang tahan terhadap krisis ekonomi. Dengan demikian ekonomi rakyat mempunyai potensi besar

untuk memperkokoh ekonomi nasional dalam menghadapi tantangan globalisasi sekaligus sebagai dasar

kuat untuk desentralisasi dan otonomisasi.

Dalam sistem agribisnis upaya pengembangan bisnis petani kecil merupakan tantangan yang

berat mengingat adanya keterbatasan dalam hal-hal sifat subsisten dan semi subsisten, cara budidaya

tradisional, keterbatasan sumberdaya lahan, pendidikan, usahatani bukan merupakan usaha melainkan

sebagal way of life yang dilakukan dari generasi ke generasi. Namun, perkembangan penggunaan

teknologi modern dan masuknya ekonomi uang di pedesaan mulai merubah orientasi petani kecil kearah

bisnis, sehingga petani lebih dinamis, telah mengenal teknologi baru dan tanaman bernilai ekonomi tinggi

(Widodo, 1998; Widodo, 1999). Masuknya ekonomi uang di pedesaan menyebabkan berbagai kerjasama

non cash seperti berbagai bentuk gotong royong semakin luntur digantikan dengan sistem pengupahan

komersial (Hartono, 2002). Hal ni konsisten dengan hasil penelitian lain, baik di Filipina maupun di

Indonesia (Hayami, 1978; Widodo, 1989; Widodo, 1997) yang mengemukakan terjadinya pertukaran

tenaga kerja dengan upah (exchange labor with wage) di pedesaan yang padat penduduknya.

PERKEMBANGAN DAN PERAN PETANI KECIL

Perkembangan usahatani kecil yang positif kearah orientasi bisnis ini tidak menutup adanya

kenyataan tentang kecendrungan luas lahan usahatani yang semakin sempit, fragmentasi lahan,

pergeseran penguasaan lahan kearah sewa, sistem sakap yang makin memberatkan penggarap,

pertumbuhan jumlah buruh tani yang tinggi, pendidikan petani yang rendah dan sebagainya (Hartono,

2002; Widodo, 1997).

Bagaimanapun juga sampai sekarang, peran sektor pertanian dalam perekonomian masih cukup

besar, apalagi kalau diperhitungkan sebagai sektor agribisnis, yaitu dalam menyumbang PDB,

kesempatan kerja, sumber devisa, dan ketahanan pangan. Kecilnya usahatani menyebabkan petani

berupaya menambah pendapatan dan kegiatan di luar usahatani sehingga peran off-farm employment dan

off-farm income makin besar di daerah padat penduduk. Dengan demikian petani tidak hanya terlibat

dalam usaha produksi primer sebagai penghasil bahan baku saja. Usaha produksi sekunder dalam

rumahtangga tani dan off-farm activitfes juga merupakan peluang bagi petani untuk meningkatkan

pendapatannya, bukan hanya dari tambahan pendapatan yang dapat menambah konsumsi melainkan juga

dapat mengakibatkan petani menjadi lebih mampu membiayai usahataninya dan access terhadap

informasi menjadi lebih luas. Part-time farmers di Asia Timur terbukti dapat lebih memajukan pertanian.

Dari uraian tersebut dapat dsimpulkan bahwa kebijakan pembangunan yang lebih mengarah ke

pedesaan akan meningkatkan kemampuan pertanian untuk menjadi basis pengembangan agrobased

Page 14: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

14

industry yang dapat memenuhi kebutuhan domestik dan substitusi impor, mengembangkan kemitraan

usaha kecil dan besar untuk ekspor.

PENDAPATAN PETANI

Petani merupakan bagian masyarakaat yang selalu mengalami tekanan pendapatan yang rendah

karena tekanan harga, baik pada waktu produktivitas pertanian rendah rnaupun waktu produktivitas

pertanian tinggi. Lebih lebih di daerah padat penduduk dengan lahan sempit, sehingga pendapatan petani

bukan dari hasil usahataninya saja, melainkan juga dari luar usahatani dan usaha non pertanian di

rumahtangganya. Dengan demikian untuk meningkatkan pendapatan petani dapat dengan meningkatkan

pendapatan usahatani dan meningkatkan pendapatan dari kegiatan di luar usahatani, serta kegiatan non

pertanian yang dilakukan oleh anggota keluarga di rumahtangganya. Jadi pendapatan petani ini tidak

dapat dipisahkan dengan pendapatan rumahtangga tani.

Ekonomi rumahtangga tani telah banyak dipelajari yang menghasilkan model pendekatan farm

household yang mencakup proses produksi dan konsumsi dalam suatu kesatuan ekonomi rumahtangga

yang maximizing utillity dengan kendala sumberdaya dan teknologi yang dimulai dengan model alokasi

tenaga keluarga tani dari Nakajima (1969). Penerapan teknologi seperti pada tema seminar ini, meskipun

hanya menyangkut budadaya yang mempengaruhi pendapatan usahatani, tetapi berdampak pada sistem

usahatani rumahtangga keseluruhan. Sedangkan penerapan teknologi hasil penelitian pada lahan

usahatanipun bukan tanpa masalah.

OPTIMASI USAHATANI

Optimum merupakan keadaan terbaik. Masalahnya adalah terbaik untuk siapa. Terbaik untuk

keberhasilan program pemerintah tidak sama dengan terbaik bagi petani yang mengusahakan usahatani

dan yang memperhitungkan nilai produksi dan biaya produksi. Program intensifikasi berkepentingan pada

produksi maksimum sedangkan petani berkepentingan pada pendapatan maksimum. Schultz (1964)

berperan besar dalam mengalihkan orientasi pembangunan pertanian ke petani kecil sewaktu dia

menyatakan bahwa dari sejumlah kajian petani kecil yang miskin bersifat rasional dan efisien dalam

mengalokasikan sumberdaya yang terbatas pada tingkat pengetahuan dan teknologi yang tersedia.

Herdt dan Wickham (1987) mengemukakan bahwa masalah hasil penelitian di stasiun percobaan

dapat diringkas secara garis besar sebagai berikut:

(1) Dalam rancangan percobaan yang biasanya ditujukan untuk mencapai hasil (yield) maksimum

pada umumnya tidak menghasilkan penerimaan bersih yang maksimum.

(2) Perlakuan tingkat input yang paling menguntungkan sering dicapai pada tingkat input yang

moderat dengan basil sedikit dibawah basil maksimum.

(3) Penggunaan input tingkat rendah akan mendekati keuntungan maksimum. Kesulitan lebih lanjut

timbul karena tingkat dan kombinasi yang sebaiknya diterapkan tidak diketahui. Banyak

percobaan hanya menghubungkan satu macam input dengan output dan biasanya input lain

diperlakukan tetap pada tingkat yang diperlukan untuk basil maksimum. Padahal petani perlu

mengetahui kombinasi input optimum.

KESENJANGAN HASIL (YIELD GAP)

Stasiun percobaan dibangun untuk menghasilkan teknologi produksi yang unggul atau untuk

mengkaji alih teknologi dari negara lain. Beberapa penelitian dilaksanakan terisolasi dari petani dan

jarang dapat menghasilkan rekomendasi yang sesuai untuk berbagai keadaan yang mempengaruhi petani.

Pada dasa-warsa 1970-an penelitian di stasiun percobaan di IRRI pada padi tidak menggambarkan

keadaan di usahatani. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan lingkungan yang tidak dapat dialihkan, serta

keadaan faktor biologi dan sosioekonomi yang berbeda (de Detta et al., 1978)

Gomez et al. (1979) menyatakan bahwa kesenjangan hasil (yield gap) antara hasil aktual di usahatani

(actual farm yield) dan hasil di stasiun percobaan (experiment station yield) dapat dibagi dua bagian,

yaitu: kesenjangan hasil I, perbedaan antara hasil di stasiun percobaan dan hasil potensial di usahatani,

dan kesenjangan hasil II, perbedaan antara hasil potensial den hasil aktual di usahatani.

Page 15: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

15

P

WXbXbb

X

QMP 1

25131

1

1 2

215

2

24

2

1322110 XXbXbXbXbXbbQ

P

WXbXbb

X

QMP 2

15242

2

2 2

11

25132 bP

WXbXb

22

2415 2 bP

WXbXb

Kesenjangan hasil I terutama disebabkan oleh perbedaan lingkungan antara stasiun percobaan

dan lahan usahatani yang dapat menyebabkan teknologi tidak teralihkan (transferable). Kesenjangan II

disebabkan oleh perbedaan tingkat penggunaan input dan cara-cara bercocok tanam. Hal ini berhubungan

dengan kendala biologi dan sosioekonomi.

Maximum possible yield dari suatu varietas adalah hasil tertinggi suatu varietas yang dicapai

pada suatu stasiun percobaan pada suatu musim. Informasi semacam ini mempunyai arti yang sangat

terbatas dalam upaya meningkatkan produksi di usahatani (Barker, 1979). Average yield dari hasil bila

ditanam pada cara budidaya terbaik dengan input maksimum pada beberapa tahun.

Barker (1979) menyatakan bahwa kesenjangan hasil dapat dibagi menjadi tiga bagian: (1) karena

profit seeking behavior, (2) inefisiensi harga atau inefisiensi alokatif (price or allocative inefficiency)

yaitu kegagalan dalam mencapai keuntungan maksimum, dan (3) inefisiensi teknis (technical inefficiency)

yaitu kegagalan dalam memproduksi pada fungsi produksi yang paling efisien. Kesenjangan hasil 1 tidak

berarti bagi petani.

PENDEKATAN ON - FARM

Dalam perkembangannya apresiasi pada sistem produksi usahatani kecil makin meningkat

banyak praktek budidaya petani kecil seperti tumpangsari lebih sesuai dari pada rekomendasi hasil

percobaan. Berdasar hal-hal tesebut dikembangkan beberapa asas untuk meningkatkan efisiensi

sumberdaya penelitian. Salah satunya adalah meningkatkan penawaran atau ketersediaan teknologi asas

utama adalah bahwa teknologi perlu sesuai pada keadaan lingkungan teknis usahatani (on-fam) melallui

percobaan di lahan usahatani, dan juga dapat sekaligus dalam sistem usahatani yang ada dengan

mempertimbangkan pengetahuan teknis petani setempat (Barker dan Norman, 1990).

Pertanian berkelanjutan akan selalu dihubungkan dengan lingkungan yang rnungkin dapat rusak

karena penggunaan input kimiawi yang berlebihan. Sistem usahatani masukan rendah adalah suatu

kombinasi teknologi hemat input yang terintegrasi dalam pengelolaan usahatani. Hal ini mencakup

berbagai cara yang mungkin sudah diadopsi secara luas oleh petani komersial (Maden dan Dobbs, 1990).

Oleh karena itu introduksi salah satu komponen teknologi dalam usahatani selalu harus

mempertimbangkan sistem usahatani yang ada. Disinilah pentingnya pendekatan sistem usahatani

(farming system approach).

KOMBINASI INPUT OPTIMUM

Dalam suatu percobaan untuk mengetahui pengaruh pupuk pada produksi ada analisis regresi

kwadratis untuk mernperoleh respons surface

Q adalah produksi per hektar, X1 dan X2 adalah input yang diperlakukan. Hal penting dalam evaluasi

ekonomi dari respons surface, atau fungsi produksi dalam ekonomika, adalah bagaimana dengan tingkat

optimum penggunaan input ini untuk memperoleh tingkat penggunaan input yang paling menguntungkan.

Dalam teori ekonomika produksi syarat yang diperlukan untuk optimum apabila produksi

marginal untuk tiap input sama dengan perbandingan harga input dan output.

Dimana MP1 dan MP2 adalah produksi marjinal input pertama dan kedua, W1 dan W2 harga input, dan P

harga output. Selanjutnya dapat dituliskan.

Page 16: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

16

2

1

2

1

45

53

2

2

2

2

b

b

X

X

bb

bb

P

W

P

W

2

543

25411

14

2 21

bbb

bbbb

A

AX P

W

P

W

2

543

15232

24

2 12

bbb

bbbb

A

AX P

W

P

W

i

i

ri

MPAMP

rMPrMPrMPMPAMP

14

4

14

11

4

21

4

3 321

in

i

rn

inMPAMP 1

1

0

Dalam bentuk persamaan matrik

Pemecahan dengan menggunakan cara Cramer

Jadi tingkat penggunaan input optimum dapat dicari. Pemecahan semacam ini cukup memadai

untuk pupuk N dan P misalnya dengan asumsi pengaruhnya pada produksi hanya terbatas pada sekali

tanam. Akan tetapi untuk amelioran, seperti pemberian kapur atau pupuk organik, pengaruhnya meliputi

beberapa tahun, meskipun tidak pada tingkat yang sama menurun terus, maka produk marjinalnya akan

sama dengan jumlah nilai kini selama empat tahun yang diperkirakan dengan discount factor.

Dimana AMP ameliorant marginal product MP marginal product diukur pada tahun pertama, r

discount rate.

Secara umum untuk n tahun menurun lurus

Dengan cara yang sama kita dapat mencari kombinasi input optimum termasuk amelioran

dengan cara Cramer Rule (Widodo, 1987).

PENGEMBANGAN PENELITIAN PERTANIAN

Penelitian menyajikan berbagai alternatif teknologi yang dapat dipergunakan petani dan pelaku

agribisnis dan dapat mengembangkan agribisnis, baik pada usaha produk primer di usahatani maupun

penemuan output dan alat baru serta pemasaran dan pengelo hasil pertanian kearah produk yang siap

konsumsi dan ekspor. Berbagai hasil penelitian yang dengan cepat diadopsi di dunia usaha merupakan

teknologi tepat guna yang perlu dikembangkan. Di samping itu tidak kalah pentingnya penelitian ilmu

murni (pure science) yang mendasari berbagai penelitian terapan dan penelitian pengembangan.

Alokasi dana pemerintah yang kecil untuk R dan D (research and development) merupakan

salah satu kendala yang sering dikambinghitamkan. Berbagai potensi dana altematif masih banyak yang

belum dimanfaatkan secara optimal. Potensi penelitian skripsi, tesis dan disertasi dapat merupakan

potensi besar kalau diarahkan pada penemuan teknologi dan pemecahan masalah dalam agribisnis.

Penelitian pertanian umumnya dilakukan oleh sektor publik, kecuali beberapa penelitian yang

dibiayai sendiri oleh sektor swasta yang merupakan perusahaan besar. Usaha kecil dipandang tidak layak

membiayai dan melakukan penelitian. Hasil penelitian oleh sektor publik tidak selalu sesuai dengan

keadaan petani kecil. Oleh karena itu terjadi perubahan paradigma dalam sejarah penelitian pertanian

yang berkembang kembali pada masa sebelum adanya spesialisasi ilmu pertanian yang lanjut (Prayitno,

2002).

Penelitian komponen usahatani berubah ke pendekatan penelitian di lahan usahatani dengan

mempertimbangkan segala keterbatasan dan pengetahuan teknis petani, kemudian berkembang lagi

Page 17: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

17

dengan pendekatan sistem usahatani (farming system approach) dengan melihat usahatani sebagai suatu

sistem dengan berbagai subsistem usaha berbagai komoditi dan keterbatasan sumberdaya tenaga, modal.

Pendekatan terbaru kearah self directed learning dengan menggunakan metode PRA (participatory rural

assessment) dan RRA (rapid rural appraisal) yang mendorong petani dan peneliti melakukan identifikasi

masalah dan melakukan percobaan sesuai dengan interest prioritas serta sumberdaya yang dimiliki petani.

Sastrosoedarjo (2002) mengembangkan cara usahatani organik terpadu di daratan tinggi di

lereng Merapi. Sebagai contoh teknologi budidaya usahatani di dataran tinggi berwawasan lingkungan.

Zaenudin menekankan adanya orientasi pasar sebagai dasar arah penelitian dan pendidikan pertanian

untuk mengantisipasi globalisasi dan adanya perubahan preferensi. Demikian pula pentingnya kemitraan

dengan pelaku agribisnis dalam penelitian.

Fakultas Pertanian UGM sudah banyak melakukan penelitian dan sejumlah hasil penelitian

sempat tersebar pada zamannya sesuai dengan masalah yang dihadapi, seperti varietas unggul padi lahan

kering, azolla, legin, dan konsep program Bimas yang disempurnakan dengan BUUD/KUD. Penelitian

tentang pupuk hayati dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi (Kabirun 2002) tentang mikrobia

penambah nitrogen simbiotik dan non simbiotik, pelarut fosfat, simbiosis ganda Legum-Rhizobium

Mikoriza, dan jamur pendegradasi selulosa untuk inokulum kompos. Demikian pula tentunya fakultas lain

dan perguruan tinggi lain yang jumlahnya sangat banyak dapat diharapkan adanya sejumlah besar hasil

penelitian dan inovasi yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan agribisnis kecil dan menengah ataupun

yang besar. Kemitraan antara perguruan tinggi dan lembaga penelitian dengan dunia usaha agribisnis

berpotensi besar untuk memajukan agribisnis. Demikian juga jaringan komunikasi dan kerjasama

penelitian delam negeri dan internasional memungkinkan untuk lebih mampu menggali potensi.

PERANAN PEMERINTAH

Pembangunan pertanian merupakan proses menuju kearah kemajuan yang dikehendaki oleh

berbagai fihak, termasuk masyarakat tani, pemerintah dan masyarakat pada umumnya yang peduli akan

kesejahteraan masyarakat. Pelaku kegiatan ekonomi, termasuk sektor pertanian dengan semua usaha yang

terkait dalam suatu sistem agribisnis, adalah swasta dan perseorangan. Pemerintah bukan pelaku ekonomi

pada sistem ekonomi pasar, kecuali pada usaha yang tidak dapat dilakukan oleh swasta secara

menguntungkan.

Kedudukan pemerintah tetap bertanggungjawab pada sektor publik dengan kebijakan publiknya.

Kebijakan publik dalam proses pembangunan pertanian meliputi upaya mendorong kemajuan teknologi

budidaya tanaman dan hewan dalam suatu rangkaian sistem agribisnis dan kegiatan pendukung lainnya

seperti pendidikan dan penyuluhan, pelayanan, kebijakan harga dan prasarana fisik dan kelembagaan.

Penyediaan hasil penelitian yang berupa teknologi berorientasi pada bisnis petani yang sesuai dengan

tujuan usahatani. Usahatani kecil di Indonesia bersifat komplek dalam sistem usahataninya. Dengan

kombinasi berbagai usaha tanaman, ternak dan ikan. Sehingga optimalisasi usahatani bukan hanya

menyangkut tingkat optimum berbagai input untuk satu tanaman (padi misalnya) melainkan juga

bagaimana alokasi optimum sumberdaya yang tersedia untuk berbagai usaha tanaman, ternak dan ikan,

bahkan juga usaha nonfarm dirumah tangga tani (kerajinan) dan pekerjaan off farm (diluar usahatani).

Perlu ada pendekatan sistem usahatani (system approach) (Widodo, 1998).

PUSTAKA

Baker, D.C.& DW. Norman, 1990. The Farming System Research and Extension Approach to Small Farmer Development. Dalam: MA. Alteri & SB. Hechi (eds), Agroecology and Small Farm Development.

Barker, R., 1979. Adopsion and Production Impact of New Rice Technology. Yield Constraint Problem. Dalam: IRRI

Farm Level Constraints to High Rice Yields in Asia: 1974-77. Los Banos. Philippines:1-26.

de Datta, S.A., KA. Gomez, R.W. Herdt & R. Barker, 1978. A Handbook on the Methodology for an Integrated Experiment Survey on Rice Yield Contranits. IRRI.Los Banos. Philippines.

Gomez, KA., R.W. Herdt, R. Barker & S.K. de Datta, 1979, A Methodology for Identifying Constraints to Higher

Rice Yield on Farmer Fields. Dalam: IRRI, Farm Level Constraints to High Rice Yields in Asia: 1974-

77. Los Banos. Philippines: 27-48

Page 18: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

18

Hartono, S., 2002. Pengembangan Bisnis Petani Kecil. Seminar Nasional Sapta Windu Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta 28 September 2002.

Hayami, V.1978. Anatomy of a Peasant Economy. IRRI Los Banos Philipines.

Herdt, R.W. dan T.H. Wickham, 1978. Exploring the Gap Between Potential and Actual Rice Yields: the Philippines

Case. Dalam: IRRI, Economic Consequences of the New Rice Tecnology. Los Banos Phflippines: 3-34.

Kabirun, S., 2002. Pengembangan Pupuk Hayati di Fakultas Pertanian UGM. Seminar Nasional Sapta Windu

Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta 28 September 2002.

Madden, J.P. dan T.L. Dobbs, 1990. The Role of Economics in Sustainable Agricultural Systems. Dalam: C.A.E.R.

LoI, JR. Madden, RH. Miller dan C. House (eds), Sustainable Agricultural Systems. Soil and Water Conservation Society. Iowa: 478-94.

Nakajima, Chihiro, 1969. Subsistence and Commercial Family Farms: SomeTheoretical Models of Subjective

Equillibrium. In CR. Wharton Jr (ed). Subsistence Agriculture and Economic Development. Aldine

Publisting Co. Chicago. USA: 165-85.

Prajitno, Djoko, 2002. Pengembangan Penelitian dengan Penghampiran Sistem dan Partisipasi Petani. Seminar

Nasional Sapta Windu Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta 28 September 2002.

Sastrosoedarjo, Soemantri, 2002. Penelitian Usahatani Terpadu Berorientasi Agribisnis. Seminar Nasional Sapta

Windu Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta 28 September 2002.

Schultz, Theoder W., 1964. Transforming Traditional Agriculture. Yale University Press.

Widodo, Sri, 1998. Entrepreneurial Development of Small Farms in Indonesia. International Seminar on

Development of Agribisnis and Its Inpact on Agricultural Production in Southeast Asia (DABIA III).

Tokyo, Nov. 14-19, 1998.

_______ 1999. Reorientasi Kebijakan Pembangunan Pertanian. Dalam: Sri Widodo dan Suyitno (eds).

Pemberdayaan Pertanian Menuju Pemulihan Ekonomi Indonesia. Aditya Media. Yogyakarta: 13-21.

_______ 1989. Production Efficiency of Rice Farmer in Java, Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

_______ 1997, Beban Sektor Pertanian di NTB. Agroteksos.

_______, 1987. The Economics of Component Research. Agroeconomic Note 1. Swamp II Project. AARD-World

Bank.

DISKUSI

Pertanyaan :

1. Masalah modal yang menyebabkan tidak bisa/tidak tercapainya optimasi usahatani.

2. Setuju, bahwa pengembangan dalam skala luas, masalah ada pada kondisi

3. Pendekan modeling dan PRA, bisakah bapak memberikan contoh bagaimana cara mencocokkan hasil

komputer dengan hasil PRA

Jawab :

1. Pertanian dipandang sebagai agribisnis dengan memandang industri tidak lepas dari bidang

pertanian.

2. Kita harus bisa menyesuaikan kondisi petani dengan teknologi yang akan diterapkan, sehingga

optimasi pendapatan petani dapat tercapai.

3. Model harus disesuikan dengan kondisi lapangan

Page 19: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

19

STRATEGI OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBRDAYA DAN TEKNOLOGI

TEPAT GUNA PERTANIAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN

PETERNAK SAPI POTONG

Hendrawan Soetanto

Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang

ABSTRAK

Peningkatan permintaan daging sapi diprediksi akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya populasi

penduduk di Indonesia. Sementara itu kemampuan peternak sapi potong untuk memenuhi permintaan daging sangat

terbatas terutama karena tingkat produktivitas ternak masih rendah sebagai akibat interaksi antara faktor genetis dan lingkungan yang kurang mendukung terhadap optimalisasi penampilan potensi genetik sapi potong. Karakteristik

iklim tropis basah menimbulkan konsekuensi produksi biomasa hijauan relatif tingi namun berkualitas rendah karena

tanaman akan cepat berbunga sehingga menurunkan kadar protein dan meningkatkan kadar serat kasar. Dalam

kondisi ini ternak sapi potong akan mengalami defisiensi bakalan glukosa yang diperlukan untuk memanfaatkan asam asetat sebagai sumber enersi efisien. Akibatnya asam asetat akan mengalami futile cycle dan apabila kondisi cuaca

mengandung uap air cukup tinggi maka kemampuan ternak untuk melepas panas tubuh menjadi faktor pembatas

produksi. Selain itu infestasi parasit saluran pencernakan menjadi beban tambahan bagi ternak karena serapan protein

menjadi berkurang untuk digunakan oleh ternak yang bersangkutan. Untuk mengatasi problematik tersebut perlu diaplikasikan suatu teknologi tepat guna yang bersumber dari produk lokal agar dapat meningkatkan pendapatan

peternak sapi potong secara optimal. Dalam makalah ini didiskusikan beberapa pilihan strategi optimasi sumberdaya

dan teknologi tepat guna yang terkait dengan kondisi di Indonesia pada umumnya dan kondisi NTB pada khususnya.

Pertanyaan kunci yang perlu segera dijawab ialah siapkah kita bersaing di era pasar global dalam kondisi produktivitas sapi potong seperti sekarang ini?. Jika belum siap, strategi apakah yang dapat kita tempuh agar peternak

sapi potong tidak gulung tikar dan sebaliknya mampu memainkan peran aktip dalam pasar global nanti?

Kata kunci: strategi optimasi, teknologi tepat guna, sapi potong, pendapatan peternak.

PENDAHULUAN

Masalah kemiskinan di Indonesia telah menjadi perhatian kalangan internasional. Laporan Bank

Dunia (2001) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu antara 1990 dan 1999 telah terjadi peningkatan

jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dan 27,2 juta menjadi 48,4 juta orang. Masa

krisis ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997 sampai kini masih dirasakan akibatnya.

Selama masa krisis telah terjadi kompresi pendapatan antara 6-13% yang berakibat pula terhadap

kompresi permintaan hasil ternak. Penyebab utama terjadi kompresi tersebut ialah terjadinya penurunan

nilai tukar antara rupiah dengan dolar Amerika hingga 300%. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari

banyak kalangan akan masa depan perekonomian kita terutama jika dikaitkan dengan segera berlakunya

era pasar bebas (AFTA) tahun depan untuk kawasan Asia dan kawasan Asia Pasifik beberapa tahun

kemudian.

Berkaitan dengan sektor pertanian, produktivitas hasil pertanian saat ini dilaporkan oleh

Arintadisastra (2002) masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara lain, yaitu untuk padi masih

sebesar 4,4 ton/ha, jagung 2,9 ton/ha, kedelai 1,2 ton/ha dan kacang tanah 1,1 ton/ha. Salah satu penyebab

rendahnya produktivitas ini antara lain karena upaya yang diperlukan agar tanaman tumbuh dengan subur

masih belum optimal dilakukan seperti, pengolahan lahan, pemberian pupuk organik, serta sistem irigasi

yang memadai. Sebagian besar lahan pertanian kita masih bergantung pada air hujan dan diabaikannya

penggunaan pupuk organik sebagai bagian integral dari upaya mewujudkan pertanian yang berkelanjutan

(sustainable agriculture).

Unjuk kerja ternak di Indonesia juga relatif rendah, terutama untuk sapi potong dan sapi perah.

Apabila kita bandingkan antara potensi sapi potong domestik dengan kawasan Asia, populasi sapi potong

kita baru mencapai sekitar 11 juta ekor dan sekitar 30% terdapat di Jawa Timur. Sementara itu

Bangladesh telah memiliki sapi potong hingga 25 juta ekor. China hingga tahun 1999 telah menghasilkan

produksi daging sapi sebesar 4,68 juta ton atau setara dengan pemotongan 4.680.000 ekor sapi dengan

rataan bobot hidup sebesar 300 kg. Padahal pada tahun 1980-an produksi dagin sapi baru berkisar antara

seperempat juta ton dengan total populasi sekitar 70 juta ekor (Bingsheng, 2001).

Page 20: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

20

Meskipun secara kuantitas Indonesia masih lebih unggul jika dibandingkan dengan populasi sapi

potong di Filipina, Thailand dan Viet Nam pada kenyataannya laju pertambahan bobot badan (PBB) sapi

di Indonesia masih jauh di bawah sapi di Filipina. Bingsheng (2001) melaporkan bahwa Filipina telah

mencapai tingkat produk daging sebesar 79 kg/ekor/th; berarti terjadi PBB setiap hari setara dengan = (79

kg x l00/30)/365 = 721,5 g/ekorlhari, dengan asumsi taksiran produksi daging adalah sebesar 30% dari

bobot badan. Sedangkan rataan PBB sapi potong di Indonesia baru berkisar 365,3 g/ ekor/hari atau baru

separuh dari capaian PBB sapi potong di Filipina.

Rendahnya tingkat produksi daging menunjukkan bahwa masih banyak faktor pembatas yang

dijumpai di beberapa negara seperti Indonesia, Bangladesh, Thailand dan Viet Nam terutama dalam

memperoleh pakan yang cukup secara kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu sebagian besar sapi

potong di Indonesia berada dalam penguasaan peternak kecil yang tidak memiliki lahan cukup serta

modal usaha memadai, sehingga manajemen pemeliharaan lebih ditekankan kepada upaya

mempertahankan ternak sebagai fungsi sosial dan tabungan tunai (cash bank) yang dapat dicairkan

sewaktu-waktu diperlukan.

Masalah kebutuhan daging, khususnya daging sapi telah menjadi topik utama di berbagai media

massa sejak lima tahun terakhir. Untuk mencukupi kebutuhan daging dalam negeri telah lama dilakukan

impor sapi bakalan maupun daging beku daari negara tetangga Australia oleh pemerintah Indonesia.

Devisa negara yang terkuras untuk impor sapi bakalan maupun daging beku masing-masing adalah

sebesar (ribu USD) 115.129 dan 32.434 pada tahun 1996. Jika ditilik dari trend perkembangan nilai

impor, untuk sapi bakalan dan daging sapi sejak tahun 1994 masing-masing telah mencapai angka 45%

dan 81,88%. Bahkan pada tahun 1997 sebelum resesi nilai keseluruhan impor kita untuk sapi dan daging

telah mencapai Rp. 1.152,5 triliun belum terhitung impor ternak dan daging lainnya. Oleh karena itu

Indonesia dipandang sebagai pasar potensial bagi negara-negara penghasil ternak dalam era pasar bebas

yang telah berada di depan pintu kita.

Terdapat empat pertanyaan kunci yang perlu saya ajukan di awal makalah ini yaitu: pertama,

dapatkah Propinsi NTB menjadi salah satu sumber bibit sapi potong nasional?; kedua, strategi apakah

yang layak diterapkan?; ketiga, bagaimanakah operasionalisasi pengembangan pembibitan tersebut?, dan

keempat, bagaimanakah dampak ekonomi maupun sosial bagi masyarakat Propinsi NTB?.

SISTEM PERTAN IAN UTAMA DI ASIA TENGGARA

Sistem pertanian yang diterapkan di kawasan Asia Tenggara ialah sistem pertanian terpadu.

Harnpir tidak pernah dijumpai adanya sistem pertanian dengan menggunakan mono komoditas sebagai

bagian dari usahatani. Sebaliknya hampir semua petani melakukan strategi sistem pertanian terpadu.

Secara garis besar sistem pertanian di Asia Timur dan wilayah Pasifik dapat dikelompokkan

menjadi 11 macam yaitu mulai dari pertanian padi sawah hingga daerah perkotaan (urban based) dimana

keterkaitan ternak pada setiap sistem pertanian sangat beragam (Tabel 1). Selain itu dapat pula dilihat

adanya keterkaitan antara komoditas utama yang diusahakan dengan tingkat kemiskinan di wilayah yang

bersangkutan.

Diantara sistem pertanian yang tercantum pada Tabel 1 di bawah ini, peranan ternak ruminansia

paling menonjol pada sistem pertanian lahan kering dimana sekitar 52 juta ruminansia besar serta 49 juta

ruminansia kecil terlibat dalam sistem pertanian di wilayah Asia Timur dan Pasifik.

Tabel 1. Sistem Pertanian Utama di Asia Timur dan Wilayah Pasifik (FAO, 2002)

Sistem

pertanian

Luas lahan

(% wilayah)

Populasi

pertanian

(% wilayah)

Komoditas utama Tingkat

kemiskinan

1 2 3 4 5

Padi sawah 12 42 Padi, jagung, kecang-kacangan, tebu,

biji-bijian untuk minyak, sayuran, ternak,

perikanan, pekerjaan sampingan (off farm

work)

Moderat

Kombinasi

tanaman pohon

5 3 Karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, teh,

coklat, rempah-rempah, padi, ternak,

pekerjaan sampingan (off farm work)

Moderat

Page 21: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

21

1 2 3 4 5

Umbi-umbian 2 < 1 Umbi-umbian, (yam, taro, ubi jalar),

sayuran, buah-buahan, ternak (babi dan sapi), pekerjaan sampingan (off farm

work)

Terbatas

Campuran

tanaman

tegal/lahan

kering intesif

19 27 Padi, kacang-kacangan, jagung, tebu,

biji-bijian untuk minyak, buah, sayuran,

ternak, pekerjaan sampingan (off farm

work)

Ekstensip

Campuran

tanaman dataran tinggi intensif

5 4 Padi dataran tinggi, kacang-kacangan,

jagung, bijian-bijian untuk minyak, buah, produk hutan, pekerjaan sampingan (off

farm work)

Moderat

Campuran

tanaman sub-

tropis

6 14 Gamdum, jagung, kacang-kacangan,

tanaman minyak, ternak, pekerjaan

sampingan (off farm work)

Moderat

Pastoral 20 4 Ternak dengan tanaman pertanian irigasi

di wilayah yang memungkinkan

Moderat

Hutan 10 1 Berburu, berkumpul dan pekerjaan

sampingan (off farm work)

Moderat

Wilayah Arid

(Sparse)

20 2 Penggembalaan lokal jika tersedia air,

pekerjaan sampingan (off farm work)

Ekstensip

Coastal

Artisanal fishing

1 2 Menangkap ikan, kelapa, pertanian

campuran, pekerjaan sampingan (off farm

work)

Moderat

Urban based < 1 1 Hortikultura, sapi perah, unggas,

pekerjaan sampingan (off farm work)

Terbatas

Catatan: Tingkat kemiskinan lebih mengarah pada jumlah dan bukan kedalaman kemiskinan di wilayah survey

Tingkat kontribusi ternak, khususnya ruminansia pada daerah lahan kering tersebut di atas juga

selaras dengan laporan Ifar Subagyo (1996) bahwa dengan sampel dua desa di wilayah lahan kapur

Malang Selatan, kontribusi tanaman pangan terhadap petani adalah sebesar 51%, sedangkan peranan

ternak ruminansia hanya sebagai suplemen penghasilan disebabkan oleh keterbatasan lahan untuk diolah

sebagai sumber pakan. Oleh karena itu strategi yang dilakukan oleh petani di daerah tersebut ialah

melalui mencari tambahan penghasilan dari aktivitas di luar sektor pertanian (off farm activities).

Hasil penelitian tim Universitas Brawijaya Malang bekerjasama dengan Masyarakat Ekonomi

Eropa (Anonymous, 1998) di Desa Sono Ageng, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur menunjukkan bahwa

peternak sapi potong di daerah tersebut tidak ada yang menggantungkan sumber pendapatannya dari

mono aktivitas, melainkan dari berbagai macam sumber, yaitu 46% berasal dari pendapatan di sektor

pertanian, 7% berasal dan upah buruh tani dan 13% dari usaha sapi potong. Meskipun relatif kecil

kontribusinya, sekitar 2/3 penduduk desa Sono Ageng (termasuk mereka yang tidak memiliki lahan)

umumnya memelihara sapi potong dengah tujuan utama memperoleh pedet dibandingkan untuk

penggemukan. Oleh karena itu pemberian pakan dengan kuantitas serta kualitas yang memadai untuk sapi

potong induk jarang diperhatikan. Akibatnya skor kondisi tubuh induk menjadi buruk (skor kondisi tubuh

1-2) hingga pedet disapih serta jarak beranak menjadi relatif panjang (50% induk kembali oestrus setelah

lebih dari 200 hari pasca melahirkan). Sebaliknya kondisi tubuh pedet sangat bagus karena selain

memperoleh susu dari induk hingga masa enam bulan juga acapkali peternak memberikan pakan

konsentrat untuk pedet tersebut.

Merujuk kondisi yang ada di Indonesia, Soehadji (1995) membagi tipologi usaha ternak di

Indonesia berdasarkan skala usahanya menjadi empat yaitu: pertama, usaha ternak sebagai sambilan

dengan pilihan komoditas pendukung pertanian (kungtan), kedua usaha ternak sebagai cabang usaha

dengan pilihan komoditas campuran, ketiga usaha ternak sebagai usaha pokok dengan pilihan komoditas

tunggal berupa ternak, dan keempat usaha ternak sebagai industri dengan pilihan komoditas 100%

merupakan pilihan yang dianggap secara bisnis menguntungkan. Oleh karena itu berdasarkan tipologi

usaha tersebut tingkat pendapatan yang diperoleh oleh petani juga menjadi beragam sebagaimana terlihat

pada Gambar 1 di bawah ini.

Page 22: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

22

30-70% 100%

30% 70-100%

Peranan pemerintah

(Sbg. `Regulator,

fasilitator, dinamisator

Pilihan Komoditi KungTan (Campuran) Tugal Pilihan

sbr.: Soehadji (1995)

Kondisi tersebut umumnya juga dijumpai di wilayah lain di Indonesia, sehingga upaya untuk

meningkatkan produktivitas sapi potong juga memerlukan strategi yang tepat tidak hanya menyangkut

penerapan teknologinya namun juga perlu dipikirkan suatu rekayasa sosial yang sesuai dengan kondisi

sosial serta budaya setempat.

FAKTOR PEMBATAS TEKNIS PENINGKATAN PRODUKTIVITAS SAPI POTONG DI

INDONESIA

Bibit Sapi Potong

Isu tentang menurunnya mutu genetis sapi potong asli Indonesia seperti sapi Bali dan sapi

Madura telah lama terdengar akibat pengurasan sapi bibit karena semata-mata untuk memenuhi

permintaan pasar yang semakin meningkat, tanpa diikuti dengan program pengembangan pembibitan

yang memadai. Program village breeding centre (VBC) di P. Madura sebenarnya cukup berhasil dalam

hal perbaikan mutu genetis sapi Madura. Namun demikian laju permintaan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan peningkatan populasi secara alamiah, mendorong pengurasan sumber bibit untuk

dijadikan sebagai penghasil daging.

Selain itu masalah manajemen pemeliharaan serta penguasaan IPTEK yang belum memadai

merupakan faktor penyebab pula terhadap merosotnya mutu genetis sapi-sapi tersebut. Sebagai teladan,

sapi Bali dan sapi Madura yang lelah layak dipasarkan pada era 30 tahun yang lalu mampu mencapai

bobot badan 300 kg. Akan tetapi saat ini sulit untuk memperoleh bobot sebesar itu untuk sapi Bali

maupun sapi Madura.

Secara langsung saya pernah menemukan pedet sapi Bali umur hampir dua tahun dengan ukuran

tubuh pedet usia 8 - 10 bulan di NTT sebagai salah satu sumber sapi Bali di Indonesia. Laporan

Komarudin Ma‘sum (menyebutkan bahwa rataan usia serta bobot badan sapi Madura yang paling banyak

dipotong di RPH Surabaya adalah berumur 2,5 - 3,0 tahun (PI2) dengan bobot badan 224,8 kg. Sementara

itu dengan sistem pemeliharaan yang intensip, sapi Madura jenis sapi sonok mampu mencapai bobot

badan hingga 295 kg pada umur yang sama yaitu PI2 (Ainur Rasyid dan Uum Umiyasih, 1993).

Introduksi jenis bibit sapi potong impor semacam Limousine, Silangan Brahman atau Angus

menjadi fenomena baru di bidang bisnis sapi potong di beberapa wilayah tanah air. Laju pertumbuhan

sapi impor yang relative lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapi lokal telah mendorong meningkatnya

permintaan akan bibit sapi potong Limousine dan Silangan Brahman, khususnya dikalangan peternak di

P. Jawa. Meskipun demikian dari pengamatan penulis, kebutuhan pakan jenis sapi tersebut juga lebih

TIPOLOGI USPET

Tingkat

Ekonomi

Usaha

Idustri

Usaha Pokok

Cabang Usaha

Sambilan

Pendapatan &

Pilihan komoditi

Peranan

masy./swasta

Pendapatan

Gambar 1. Tipologi Usaha Peternakan dan Tingkat Pendapatan

Page 23: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

23

banyak dibandingkan dengan sapi lokal sehingga jika dilakukan telaah ekonomis lebih dalam belum

lentu akan menghasilkan keuntungan yang memadai, mengingat harga beli pedet saat ini jauh lebih tinggi

(hingga dua kali lipat) dari harga pedet sapi lokal. Sementara itu harga jual sapi potong umumnya ditaksir

berdasarkan harga per kg daging yang relatif tidak jauh berbeda antara sapi impor dan sapi potong.

Program peningkatan produktivitas ternak acapkali dimulai dengan melakukan introduksi jenis

sapi eksotik yang sudah barang tentu memerlukan input eksotik, seperti pakan yang memadai secara

kuantitas dan kualitas, pencegahan penyakit serta lingkungan yang memadai agar dapat menampilkan

potensi genetiknya. Tidak jarang program semacam ini akhirnya mengalami kegagalan karena ketidak

mampuan kita dalam menyediakan input eksotik tersebut (lihat Ørskov, 1993). Contoh konkrit kegagalan

program tersebut ialah pengembangan sapi perah di P. Jawa dimana saat ini tingkat produksi susu rataan

hanya mencapai antara 8 - 10 lt/ekor/hari untuk sapi PFH, padahal semula diproyeksikan mampu

menghasilkan susu hingga 15 lt/ekor/hari. Contoh lain adalah kegagalan program perbaikan genetik sapi

Madura dengan menggunakan sapi Santa Gertrudis beberapa tahun yang lalu, atau program Brangusisasi

di NTB yang merupakan pelajaran berharga bagi kita semua dalam rangka meningkatkan produktivitas

sapi potong di Indonesia

Pertanyaan yang dapat diajukan adalah mengapa program-program tersebut mengalami

kegagalan?. Bukankah sebelum dilaksanakan program tersebut telah mengalami pengkajian yang

mendalam? Ataukah ada faktor lain yang mendorong proses pengambilan keputusan tergesa-gesa

tersebut?

Pakan

Produktivitas ternak merupakan refleksi interaksi antara faktor genetis dan lingkungan. Cekaman

panas yang disertai dengan kelembaban udara tinggi memerlukan metabolit tertentu seperti glukosa,

elektrolit (antara lain Na+, K

+, Cl¯ serta air dalam jumlah memadai untuk melawan cekaman (stres). Akan

tetapi justru di daerah tropis basah seperti Indonesia, tanaman sebagai sumber hijauan akan lebih cepat

menurun kualitasnya sehingga selama proses fermentasi di dalam rumen hijauan akan lebih banyak

menghasilkan asam asetat yang secara teoritis sesungguhnya merupakan sumber enersi potensial bagi

ternak. Bersama dengan asam lemak terbang (VFA) lainnya (asam propionat dan butirat), asam asetat

mampu memasok hingga 80 % kebutuhan kalori ternak ruminansia. Akan tetapi efisiensi penggunaannya

sangat tergantung pada ketersediaan koensim tereduksi NADPH yang disintesis melalui produk hasil

metabolisme glukosa.

Oleh karena itu apabila ternak ruminansia hanya diberi pakan sumber hijauan berkualitas rendah,

misalnya jerami padi atau sumber hijauan dari limbah pertanian lainnya yang berkualitas rendah dan tidak

mampu memasok glukosa atau bakalannya dalam jumlah memadai, maka ternak tersebut sulit untuk

meningkat atau bahkan mempertahankan bobot badannya. Dalam kondisi ini asam asetat yang diserap

akan mengalami metabolisme melalui jalur futile cycle dan akan menyebabkan kehilangan panas yang

amat berlebihan. Kondisi ini akan memperparah cekaman pada ternak terutama jika selain suhu udara luar

panas juga diikuti dengan kelembaban udara tinggi, sehingga potensi enersi yang dimiliki oleh asam

asetat menjadi terbuang sebagai panas yang dilepaskan (heat dissipation) atau bahkan panas justru tidak

dapat dilepaskan sehingga produktivitas ternak menjadi menurun karena enersi yang tersedia lebih

banyak digunakan untuk melawan cekaman panas tersebut. Telaah teoritis tentang hubungan antara

proses metabolisme ternak ruminansia yang diberikan hijauan berkualitas rendah dalam hubungannya

dengan metabolisme glukosa telah dilakukan oleh beberapa penulis antara lain Soetanto (1991).

Memperhatikan uraian di atas maka problem utama di bidang pakan adalah pasok pakan yang

tidak memadai baik dalam hal kualitas maupun kuantitas.

Manajemen Pemeliharaan

Selain faktor pakan, manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak sapi potong saat ini

acapkali masih kurang memadai Bentuk kandang yang umumnya tidak dilengkapi dengan tempat minum

merupakan salah satu contoh kurangnya pemahaman peternak akan arti penting air sebagai komponen

gizi yang sangat diperlukan ternak untuk daerah tropis basah. Bahkan peternak sapi perah juga tidak

menyediakan air minum sepanjang hari (ad libitum) melainkan hanya diberikan dua kali sehari bersama

dengan pemberian konsentrat. Padahal dengan menyediakan air secara ad libitum, produksi susu dapat

ditingkatkan hingga 2 lt/ekon/hari tanpa harus menambahkan pakan suplemen. Hal ini telah dipraktekan

oleh peternak sapi perah di Thailand.

Page 24: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

24

Kebersihan kandang sapi potong yang dimiliki oleh peternak kecil umumnya tidak memiliki

sumber air yang cukup untuk membersihkan kotoran ternak, sehingga semakin menambah potensi infeksi

cacing parasit. Selain itu program pencegahan penyakit termasuk di dalamnya kontrol terhadap infestasi

cacing parasit saluran pencernakan yang kurang intensip dilakukan oleh peternak juga menjadi salah satu

faktor penyebab rendahnya produktivitas sapi potong saat ini. Hampir 80 % pedet sapi potong di desa

Sono Ageng, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur terserang cacing Toxocara vitolorum (Anonymous, 1998)

yang menjadi petunjuk masih lemahnya perhatian peternak terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh

gangguan cacing parasit terhadap produktivitas temak.

Walkden-Brown dan Khan (2002) menyatakan bahwa pengaruh cacing parasit saluran

pencernakan ini lebih memiliki implikasi terhadap penurunan serapan protein, sehingga acapkali

konsekuensinya justru berakibat pada menurunnya konsumsi pakan serta penurunan bobot badan.

Tengarah ini dapat dibuktikan melalui infus casein langsung pada abomasum yang akan dapat

menghilangkan gejala menurunnya konsumsi maupun penurunan bobot badan ternak yang menderita

infeksi cacing parasit saluran pencernakan. Hal ini berarti secara aplikatip dapat dilakukan suatu strategi

suplementasi dengan menggunakan protein by-pass, baik menggunakan pelindung kimiawi buatan

misalnya dengan formaldehida atau memilih sumber protein yang memiliki pelindung kimiawi alamiah

semisal hijauan leguminosa yang mengandung senyawa tannin.

Kaasschieter et at. (1992) menyatakan bahwa program pengembangan ternak serta kesehatan

ternak di negara sedang berkembang acapkali tidak dapat meningkatkan produktivitas ternak karena

seringkali hanya berorientasi kepada eradikasi penyakit semata. Sebagai contoh program pemberantasan

penyakit mulut dan kuku dilakukan tanpa ada pertimbangan pendekatan orientasi produksi. Disamping itu

keterbatasan sarana serta fungsi petugas kesehatan hewan, keterbatasan dalam hal jaringan distribusi obat-

obatan serta mengabaikan benefit/cost ratio juga merupakan fenomena yang banyak dijumpai di negara

sedang berkembang. Pendekatan monodisiplin ini berakibat kepada pemahaman yang kurang menyeluruh

terhadap masalah yang dihadapi peternak. Padahal sebagaimana telah disampaikan di muka bahwa sub-

sektor peternakan merupakan suatu system produksi multiguna dan memiliki hubungan yang kompleks

antara faktor produksi satu dengan lainnya. Mispersepsi ini merupakan salah satu faktor penghambat

pengembangan peternakan yang berkelanjutan di negara yang sedang berkembang.

KETERSEDIAAN IPTEK TEPAT GUNA DI BIDANG SAPI POTONG

Sejak satu dekade terakhir ini begitu banyak seminar, lokakarya atau sejenisnya yang telah

dilakukan di Indonesia dalam rangka menghimpun teknologi yang tersedia di bidang produksi sapi

potong. Dalam lokakarya nasional I Bioteknologi Peternakan di Ciawi pada tangga! 22 - 23 Januari 1995

telah dikupas berbagai perkembangan biotekonologi reproduksi ternak, bioteknologi pakan, bioteknologi

kesehatan hewan serta aspek keamanan ternak dan konsumen sehubungan dengan perkembangan

bioteknologi tersebut.

Teknik transfer embrio saat ini telah diaplikasikan pada skala demoplot di peternak di beberapa

daerah melalui program IPTEKDA terpadu LIPI. Namun selalu timbul pertanyaan apakah inovasi

teknologi ini akan berkelanjutan? dan berapa banyak peternak yang mau dan mampu mengadopsinya?.

Sementara itu teknologi yang relatip sederhana seperti inseminasi buatan masih pula banyak dijumpai

kendala pelaksanaannya di lapang.

Contoh lain adalah teknologi suplementasi UMMB yang dikembangkan oleh BATAN telah

diaplikasikan di berbagai wilayah di Indonesia, namun seringkali terbentur pada proses adopsi karena

inovasi teknologi tersebut tidak segera diikuti dengan inovasi baru untuk mengganti molasses sebagai

komponen utama dengan sumber pakan lainnya. Akibatnya ketika proyek selesai, selesai pulalah proses

adopsi oleh peternak dengan berbagai alasan.

Para ilmuwan sekarang ini telah nampu melakukan rekayasa genetika dengan teknik kloning

sehingga dapat dihasilkan jenis ternak yang diinginkan untuk masa mendatang. Teknik pemisahan sperma

yang dikembangkan oleh sejawad saya di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang telah

berlangsung cukup intensip sejak 6 tahun terakhir, namun selalu kita berhadapan dengan belum adanya

bukti konkrit di lapang akan manfaat pemisahan semen tersebut secara ekonomis. Demikian pula

perkembangan inovasi teknologi pakan serta kesehatan hewan telalu banyak dikemukakan oleh berbagai

pakar yang dapat dijumpai di berbagai pustaka saat ini.

Page 25: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

25

Sebagai contoh, meskipun inovasi teknologi pengolahan limbah pertanian dengan teknik

amoniasi telah menjadi proyek dunia, namun berakhir dengan kegagalan adopsi oleh peternak kecil.

Contoh menarik adalah yang terjadi di Nepal, bahwa ternyata teknologi amoniasi justru menyusahkan

peternak gurem karena persediaan jerami yang semula mampu digunakan selama empat bulan menjadi

cukup hanya dua bulan akibat meningkatnya kecernakan pakan yang diikuti meningkatnya konsumsi

(Shrestha, 1991). Program inovasi teknologi yang telah dikembangkan melalui berbagai proyek di

Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pertanian, BPTP atau melalui program IPTEKDA baik

yang dilansir oleh BATAN, LIPI sampai saat ini belum mampu mendongkrak produktivitas sapi potong

secara signifikan, karena baru pada tataran forum seminar. Kondisi ini justru seringkali dimanfaatkan oleh

beberapa ‖pengusaha nakal‖ dengan cara memasarkan produk dengan publikasi menarik semisal

‖Bossdext‖ yang dinyatakan oleh produsennya mampu meningkatkan PBB sapi antara 3,5 – 5,0 kg/hari/

ekor.

Memperhatikan perkembangan IPTEK di bidang sapi potong di Indonesia saat ini, tampaknya

masih belum banyak alternatif pilihan yang dapat dikemukakan. Pada tingkat peternak gurem tujuan

utama pemeliharaan adalah untuk keperluan status sosial, tabungan hidup, sumber tenaga kerja atau

pupuk. Sehingga ragam input yang diberikan juga relatip terbatas hanya pada ketersidaan sumberdaya

pakan disekitarnya yang dapat diakses tanpa biaya.

Kegagalan peneliti dalam memahami persepsi peternak menjadi salah satu faktor dominan

kegagalan adopsi inovasi teknologi betapapun menurut peneliti bahwa teknologi tersebut telah dipandang

sebagai teknologi tepat guna untuk meningkatkan produksi ternak. Untuk lebih menjelaskan masalah

tersebut berikut ini dipaparkan pendapat Ibrahim (1994) sebagaimana tercantum pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Perhedaan persepsi antara peneliti dan peternak (Ibrahim, 1994)

Kriteria Peneliti Peternak

Sapi perah adalah sumber

Semakin banyak ternak dipandang

Menyapih pedet

Kriteria untuk evaluasi pakan

Alasan tidak diadopsi

Air susu

Menimbulakan masalah

Baik

Kadar protein & energi

Peternak kurang peduli

Pedet

Simbol kemakmuran

Tidak baik

Biaya pakan

Manfaatnya thp. produksi ternak

Teknologi tidak aplikatip

Padang rumput

Pakan jerami

Jerami amoniasi

Biogas

Silase

Molasses Urea Block1

Mengurangi pakan

konsentrat

Dapat diberikan jika kekurangan hijauan

Teknologi sederhana

Untuk masak &

penerangan

Pakan untuk musim kemarau

Meningkatkan produksi

Tidak memiliki lahan khusus, prioritas

untuk tanaman pangan

Jerami untuk ternak kerja, tidak punya jerami dlsb.

Tidak ada waktu, input, dlsb

Faeces untuk pupuk, mahal dsb

Tidak punya cukup rumput, tidak ada waktu

Tidak ada biaya

1 Soetanto dkk (2000) Aplikasi Molasses Urea Block untuk Sapi Perah di Pos Penampungan Susu Ngeprih, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang (Laporan tidak dipublikasikan)

Pertanyaan yang patut diajukan dalam forum seminar kali ini ialah ―mengapa kita belum mampu

menghasilkan inovasi teknologi terapan di bidang sapi potong ?―. Jawaban yang dapat saya kemukakan

ialah:

1. Orientasi penelitian kita masih bersifat parsial dan sering tidak berkelanjutan

2. Topik penelitian lebih banyak bersifat monodisiplin

3. Persepsi antara peneliti dengan peternak seringkali berbeda dalam hal memandang tolok ukur

komoditas sehingga adopsi teknologi relative rendah

Page 26: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

26

4. Kerangka dasar penelitian seringkali berorientasi pada kondisi daerah sub-tropis yang tidak memiliki

keterkaitan dengan ternak di daerah tropis

5. Masih lemahnya koordinasi lintas disiplin dan lintas departemen walaupun di atas kertas terjalin

kerjasama

6. Benarkah para stakeholder usaha sapi potong telah bersungguh-sunguh dalam hal komitmen untuk

berupaya meningkatkan produktivitas ternak.

MENCARI TEKNOLOGI TEPAT GUNA YANG APLIKATIP

Menurut pendapat saya suatu teknologi tepat guna ialah teknologi yang dapat diterapkan oleh

pengguna dengan mudah dan berdaya guna sehingga dapat mendorong tercapainya tujuan berusaha. Oleh

karena itu tentu persepsi seorang peneliti akan berbeda dengan petani karena adanya perbedaan tujuan

berusaha tersebut. Persoalan yang lebih penting adalah bagaimana para peneliti dapat meruntuhkan

egonya agar sesuai dengan tujuan peternak dalam mengusahakan bisnisnya.

Teknologi untuk produksi sapi potong dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen utama

yaitu: (1) teknologi reproduksi dan breeding; (2) teknologi pakan; dan (3) teknologi manajemen

pemeliharaan. Di luar ketiga teknologi tersebut masih perlu pula dikembangkan teknologi pasca panen

bagi produk hasil ternak yang berorientasi pasar.

Teknologi Reproduksi dan breeding

Hingga saat ini telah banyak saran dikemukakan oleh para pakar di bidang pemuliaan ternak

untuk mengatasi kelangkaan bibit sapi potong, namun tampaknya antara konsep dan pelaksanaan di

lapang banyak terjadi penyimpangan terbukti laju permintaan daging sapi dengan kemampuan memasok

semakin hari semakin bertolak belakang. Pokok permasalahan yang ada karena usaha sapi potong di

Indonesia saat ini bertumpu pada peternakan rakyat (99%, menurut Djarsanto, 1998) dengan skala

pemilikan yang sangat kecil, sehingga sulit menerapkan konsep yang ada karena dorongan kebutuhan

ekonomis acapkali menyebabkan peternak harus melepas bibit sapi potong unggul yang dimilikinya

sebelum menghasilkan turunan untuk disebarkan. Secara rinci pilihan teknologi reproduksi dan pemuliaan

untuk menghasilkan bibit sapi potong sudah dikemukakan oleh Wartomo Hardjosubroto (1994), Kusumo

Diwyanto dan Subandryo Tappa (1995) maupun penulis lainnya yang memiliki keahlian dalam bidang

sejenis.

Untuk tujuan jangka pendek, rekayasa teknologi yang dapat dijadikan pilihan adalah penerapan

teknologi reproduksi yang mampu untuk memberikan nilai tambah dalam hal:

Meningkatkan fertilitas sapi betina maupun jantan :

Memperpercepat timbulnya oestrus post partum

Meningkatkan angka konsepsi

Menurunkan angka kematian embrio/abortus -

Meningkatkan angka kelahiran.

Dalam uraian Nicholas (1996) dijelaskan bahwa pengaruh mendasar dari teknologi reproduksi

adalah meningkatkan potensi reproduksi ternak. Hal ini berarti semakin sedikit induk yang diperlukan

untuk menghasilkan sejumlah anak jika dibandingkan dengan menggunakan perkawinan alam. Sebagai

akibat akan terjadi seleksi secara intensip dengan hasil meningkatnya rataan mutu genetik turunannya.

Jika teknologi reproduksi digunakan dalam suatu populasi tertutup, maka akan terjadi laju peningkatan

mutu genetik di dalam populasi tersebut. Inilah keuntungan yang diberikan oleh teknologi reproduksi saat

ini.

Meskipun demikian terdapat pula segi kelemahan dari penggunaan teknologi reproduksi karena

adanya peluang inbreeding serta adanya keragaman yang besar dalam hal respon ternak terhadap

teknologi yang diterapkan. Masalah ini merupakan dilema antara teknologi reproduksi dengan tujuan

breeding sehingga diperlukan kecermatan seksama dalam hal pemilihan teknologi yang hendak

digunakan. Teknologi reproduksi yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi setempat adalah: (a)

inseminasi buatan, (b) MOEF, (c) semen sexing, (d) embryo sexing, (e) cryopreservasi semen, ova dan

embrio, (f) produksi embrio in vitro dan (g) embrio kloning (Nicholas, 1996).

Berkaitan dengan program pembibitan sapi potong ada tiga pertanyaan pokok yang harus

dijawab sebelum melakukan kegiatan tersebut, yaitu:

Apakah tujuan program pembibitan ?;

Page 27: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

27

Bangsa ternak apa yang akan digunakan untuk mencapai tujuan ?;

Sistem pembibitan apa yang akan diterapkan ?

Pertanyaan pertama berkaitan dengan tujuan umum yaitu meningkatkan produksi sapi potong per

induk dan per satuan luas lahan. Untuk lebih spesifik, tujuan tersebut dapat dijabarkan sebagai upaya

untuk memperoleh:

Fertilitas optimum

Daya tahan optimum pedet hingga saat disapih

Pertumbuhan optimum

Komposisi karkas optimum

Keuntungan optimum tiap induk atau tiap luasan lahan

Bagi Propinsi NTB tujuan pembibitan sapi potong adalah untuk mewujudkan visi Propinsi NTB

sebagai salah satu sumber bibit sapi potong di Indonesia. Oleh karena itu pilihan bangsa sapi potong yang

dapat memenuhi tujuan tersebut haruslah dipilih bagsa sapi yang mampu beradaptasi dengan kondisi

lingkungan di Propinsi NIB serta dapat memenuhi tujuan pembibitan tersebut. Kita memiliki bangsa sapi

lokal yaitu, sapi Bali, sapi Madura dan P.O disamping sapi Aceh. Sapi Bali terkenal memiliki fertilitas

tinggi, tahan panas dan serangan parasit kulit namun PBB relatif rendah jika dibandingkan dengan bangsa

sapi lainnya. Hingga saat ini sulit dijumpai sapi Bali maupun sapi Madura yang mampu tumbuh setiap

hari hingga mencapai 1 kg/ekor pada tingkat peternakan rakyat. Selain itu sejak tahun 1998 permintaan

bibit sapi Bali sudah tidak dapat dipenuhi (Djarsanto, 1998). Para feedlotter yang banyak terdapat di

Propinsi Lampung maupun di pulau Jawa umumnya lebih menyukai sapi persilangan jenis Brahman yang

mampu tumbuh di atas 1 kg/ekor/hari jika kualitas dan kuantitas pakan memadai.

Teknologi pakan

Teknologi pakan seringkali diabaikan dalam rangka pengembangan bibit ternak ruminansia besar

Padahal sebesar apapun potensi genetis ternak tanpa memperoleh pasok pakan yang memadai akan tidak

dapat menampilkan potensi genetiknya. Pada skala peternakan rakyat, pemberian pakan sapi potong

belum memadai dalam hal kualitas mapun kuantitas. Pengalaman penulis melakukan penelitian selama

dua tahun di Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur yang merupakan salah satu kabupaten dengan

populasi sapi potong padat, mencatat bahwa pemberian pakan sapi potong hanya dilakukan dengan

memberi jerami padi, rumput lapangan dan dedak padi dalam jumlah yang sangat kurang dari kebutuhan

setiap stadia fisiologis ternak kecuali untuk pedet. Praktik penyapihan pedet hingga 6 bulan membawa

konsekuensi panjangnya interval beranak hingga melebihi 18 bulan, kendatipun skor kondisi tubuh pedet

sangat bagus karena memperoleh susu induk secara ad libitum. Sebaliknya skor kondisi induk sangat

rendah sebagai akibat adanya pengurasan cadangan protein dan lemak tubuh. Sehingga rataan service per

conception juga lebih dari 2 (Soetanto dkk., 1996 Laporan Penelitian tidak dipublikasikan). Melalui

serangkaian analisis dapat ditemukan akar permasalahan yaitu terbatasnya potensi daerah tersebut untuk

memasok pakan sesuai dengan kebutuhan. Sehingga jika efiseinsi reproduksi ditingkatkan untuk

memperpendek interval beranak maka dapat dipastikan inovasi suplementasi tidak akan diadopsi dan

tidak berkelanjutan.

Berbeda dengan kondisi di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, Propinsi NTB (khususnya

Sumbawa) justru memiliki potensi daya dukung pakan yang relatip besar serta populasi sapi relatif

rendah, Oleh karena itu untuk menekan biaya produksi maka selayaknya juga skala usaha untuk

peternakan rakyat dapat diberikan minimal 5 ha/keluarga sehingga teknologi semi padang penggembalaan

dapat diterapkan atau paling tidak meskipun dengan sistem cut and carry, biaya pakan dapat lebih ditekan

karena kebutuhan konsentrat dan bahan butiran dapat disubstitusi dengan leguminosa pohon.

Pilihan teknologi pakan yang dapat dianjurkan ialah:

Padang penggembalaan dengan tanaman campuran antara rumput dan leguminosa merayap (misalnya

rumput bintang dengan Stylosanthes, Centrosema, atau Desmodium).

Penanaman rumput unggul (misalnya rumput Taiwan) untuk digunakan dalam sistem cut and carry

atau leguminosa pohon sebagai sumber protein, misalnya lamtoro, gliricidia, kelor (Moringa oleifera,

Limm) atau mulberry (Murus alba). Tanaman kelor merupakan tanaman sumber protein masa depan

karena kandungan asam aminonya yang seimbang serta melebihi kebutuhan untuk anak balita sesuai

standar FAO (Makkar and Becker, 1996). Sedangkan daun mulberry dilaporkan mampu

menggantikan separuh dari nilai nutrisi bungkil biji rape (rape seed meal) pada domba (Liu et al..,

2000).

Page 28: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

28

Teknologi suplementasi dengan menggunakan limbah pentanian untuk memenuhi kebutuhan protein,

enersi atau mineral dalam rangka meningkatkan reproduksi ternak. Untuk Pulau Lombok dan

Sumbawa (Propinsi NIB) penggunaan hijauan leguminosa yang berpotensi sebagai protein by-pass

dapat dianjurkan jika harganya layak secara ekonomis. Manfaat suplementasi dengan sumber protein

by-pass dalam neningkatkan efisiensi produksi karena protein by-pass dapat meningkatkan konsumsi

ternak serta memasok kebutuhan glucosa. Ilustrasi akan manfaat suplementasi protein by-pass

disajikan pada Gambar 2 dan 3.

Manipulasi fermentasi rumen dengan menggunakan rumen modifyers seperti lasalocid, monensin

untuk tujuan fattening dengan kualitas karkas tertentu.

Teknologi pengawetan hijauan segar (silase) maupun kering (hay) sehingga dapat dibuat program

jangka panjang terhadap kemampuan memasok pakan untuk populasi sapi yang terdapat di wilayag

tersebut, terutama ketika musim kering tiba.

Segi penting nutrisi untuk reproduksi ternak telah banyak dibahas oleh para pakar. Menurut

Robinson (1996) defisiensi nutrisi selama kehidupan janin dan neonatal akan mempengaruhi lifter size..

Selain itu defisiensi mineral Co pada kebuntingan awal berpengaruh terhadap vigoritas pedet pada saat

kelahiran serta menyebabkan depresi terhadap imunitas pasip ternak yang bersangkutan. Pengaruh pakan

juga dapat mengganggu pubertas, jumlah ovulasi, keselamatan embrio, skor kondisi tubuh saat beranak

yang akan berpengaruh terhadap lama waktu timbulnya berahi kembali post partum, berpengaruh

terhadap metabolisme pedet fase neontal, dan berpengaruh terhadap reproduksi pejantan.

Gambar 2. Respon pedet yang diberi pakan basal kualitas rendah terhadap pertambahan suptemen

protein by-pass (Leng ,2002).

Catatan: Y axis menunjukkan peningkatan bobot badan di atas pertambahan bobot badan kelompok

ternak yang tidak diberi suplemen.

Page 29: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

29

Gambar 3. Respon sapi muda yang diberi pakan basal kualitas rendah terhadap sumber protein by-pass

dengan memperhatikan dua tingkat suplementasi: (1) antara 0 - 1 g/kgBB dan (2) antara 1 – 6

g/kgBB (Leng, 2002)

Teknologi Manajemen Pemeliharaan

Program untuk meningkatkan produksi sapi potong dapat dilakukan melalui perbaikan teknik

manajemen sebagai berikut:

Bull soundness evaluation (evaluasi berdasarkan kelayakan sifat pejantan sesuai dengan karakter

ekonomis yang dikehendaki)

Seleksi genetik

Program manajemen sapi betina induk

Program manajemen sapi dara

Kontrol terhadap perkawinan

Diagnosis kebuntingan

Pemberian pakan suplemen sesuai dengan fase fisiologis ternak

Program kesehatan ternak

Impilikasi ekonomis terhadap pilihan teknologi yang digunakan

PENUTUP

Uraian yang telah dikemukakan di atas merupakan konsep ideal yang masih harus dijabarkan

secara operasiona! di lapang. Apabila hal tersebut dapat diterapkan maka keempat pertanyaan kunci yang

saya ajukan di awal makalah ini, yaitu: pertama, dapatkah Propinsi NTB menjadi sala satu sumber bibit

sapi potong nasional? kedua, strategi apakah yang layak diterapkan?; ketiga, bagaimanakah

operasionalisasi pengembangan pembibitan tersebut?, dan keempat, bagaimanakah dampak ekonomi

maupun sosial bagi masyarakat Propinsi NTB? sangat memungkinkan untuk terjawab.

Memperhatikan potensi wilayah Propinsi NTB serta kekuatan lain yang telah banyak

dikemukakan kiranya dapat dijawab pertanyaan pertama, hahwa potensi sebagai salah satu sumber bibit

sapi potong di masa mendatang dapat diwujudkan,

Strategi yang dapat diterapkan perlu dikelompokkan menjadi strategi jangka pendek, yaitu: (1)

industri hulu dikelola o]eh institusi dengan skala penguasaan lahan antara 100 - 500 ha dengan pemilikan

sapi potong minimal 500 ekor; (2) menjamin tersedianya semen beku di daerah (3) menerapkan strategi

VBC untuk wilayah terpilih; (4) memperbesar penguasaan lahan peternakan rakyat menjadi minimal 5 ha

Page 30: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

30

per peternak; (5) memberikan bantuan modal usaha dengan syarat lunak kepada peternak rakyat maupun

investor skala menengah; (6) menata kelembagaan usaha sapi potong sehingga akan memperlancar

interaksi antara industri hulu dengan industri hilir maupun idustri diantaranya; (7) melakukan pencegahan

dan pengobatan terhadap penyakit sapi potong yang dapat mengganggu program pembibitan; dan (8)

peningkatan mutu SDM. Stragi jangka panjang yang dianjurkan ialah; (1) meningkatkan peran Lembaga

R & D yang melibatkan para pakar di bidang peternakan sapi potong untuk memperoleh bibit sapi potong

yang sesuai untuk kondisi daerah tropis basah dengan mengembangkan karakter ekonomis semisal;

fertilitas tinggi, angka distokia rendah, produksi susu memadai, berat sapih tinggi, potensi pertambahan

bobot badan tinggi, sifat jinak, komposisi karkas ideal dlsb; (2) penerapan teknologi canggih

(bioteknologi) di hidang reproduksi, pakan dan kesehatan veteriner yang dapat diperankan oleh suatu

institusi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous 1998. Increasing productivity of tropical Crop Livestock Sustems By Optimal Utilisation of Crop Residues and Supplementary Feeds. Summary Reports of European Comission Supported STD3-projects

(1992-1995). Technical Centre for Agricultural and Rural Cooperation ACP-EU, pp. 216 - 218.

Ainur Rasyid dan Uum Umiyasih, 1993. Studi Tentang Prestasi Berat Badan dan Ukuran Tubuh Sapi Sonok.

Procceding : Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura di Sumenep 11 – 12 Oktober 1992. Penyunting Komarudin Ma‘sum Ali Yusran dan Marwan Rangkuti. Sub Balai Penelitian

Ternak Grati , Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, halaman: 236 - 240.

Arintadisastra, S. (2002) Indonesia Mampu Meningkatkan Produksi Pertanian dengan ―Empat Entry Point‖. Sinar Tani Edisi 23 – 29 Oktober 2002

Bingsheng, K. E. 2001 Perpectives and Strategies for Asian Livestock Sector In The Next Three Decades: Sub-

Regional Report China. Agricultural and Natural Resource Economics Discussion Paper 02/2001. School

of Natural and Rural System, University of Queensland, St. Lucia 4072, Australia

Djarsanto , 1998. Kebijakan Pengembangan Pembibitan Khususnya Sapi Potong. Makalh disampaikan pada

Workshop UMMB, Batan di Blora, 16 Juni 1998

FAO. (2002). http\\www.fao.org.\Farming System and Poverty- Full text.html

Hoffman, D. 1999. Asia Livestock to The Year 2000 and Beyond . Working Paper Series ½. FAO Regional Office for Asia and the Pasific, Bangkok, September 1999

Ibrahim, N.M.N. 1994. Livestock Development Programmes and Their Impact On Small Scale Dairy Farming In Sri

Lanka, In : Constraints and Opportunities For Increasing The Productivity Of Catlle In Small Scale Crop

Livestock System. Proccedings of an internal mid-term workshop, CEC. Research Project TS3 – CT92-0120, pp. 146 – 152 Eds. G. Zemmelink et. al. Held in The Institute of Continuing Education (ICE)

Department of Animal Production & Helath, Perdeniya, Sri Lanka, November 14 - 19 1994

Ifar Subagiyo, 1996. Relevance of Ruminants In Upland Mixed-Farming System In East Java, Indonesia Ph.D

Thesis. Agricultural University of Wageningen, Tehe Netherlands.

Kaaschieter, G.A. de jong, R. Schiere, J.B. and Zwart, D. 1992. Towards Sustainable Livestock Production In

Developing Countries And The Importance Of Animal Health Strategy Therein. The Veterenary Quarterly,

Vo.14, No.2 : 66-75

Komarudin Ma‘sum, 1993. Hasil-hasil Penelitian Sapi Madura di Sub-Balai Penelitian Grati – Pasuruan.

Proccedings : Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura di Sumenep 11 – 12

Oktober 1992. Penyunting Komarudin Ma‘sumAli Yusran, dan Marwan Rangkuti. Sub-Balai Penelitian

Ternak Grati, Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian . halaman : 45 – 52.

Leng, R. A. , 2002, Future Direction Of Animal Protein Production In A Fossil Fuel Hungry World. Livestock

Research for Rural Development 14 (5).

Makkar, H.S.P. and Becker, K, 1996. Nutritional Value and Antinutritional Components Of Whole And Extracted

Moringa Oleifera Leaves. Anim. Feed. Sci. Tech. 63 : 211 - 228

Nicholas, F.W. ,1996. Genetice Improvement Through Reproductive Technology. Anim. Repro. Sci. 42 : 205 - 214

Orskov, E.R. , 1993 Reality Of Rural Development Aid With Emphasis On Livestock. Published by Rowett

Research Services Ltd. Aberdeen. U.K.

Page 31: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

31

Robinson, J.J. , 1996. Nutritional And Reproduction. Anim. Repro. Sci. 42 : 25 - 34

Soehadji, 1995. Pengembaangan Bioteknologi Peternakan : Keterkaitan Penelitian, Pengkajian dan Aplikasi.

Procceding : Lokakarya Bioteknologi Peternakan. Departemen Peternakan dan Kantor Menteri Negara

Riset dan Teknologi, Koordinator Jaringan Kerja, Pengembangan Bioteknologi Peternakan, Ciawi 23 – 24

Januari 1995. halaman 43 – 105.

Soetanto, H. , 1991. Glucose Metabolism In Ruminants Consuming Low Quality Straw . Ph.D. Thesis University of

Queensland, Australia.

Shrestha, N.P. , 1991. Potential and Prospects od Straw Feeding In Ruminant Production System In The Eastern

Hills of Nepal. Procceding : Utisation of Straw In Ruminant Production System. A Workshop Held at The Malaysian Agriculture Research And Development Institute, NR! Overseas Development Administration.,

pp : 87 – 100.

World Bank, 2001. Indonesia : The Impertive For Reform. Brief for the Consultative Group on Indonesia. Report

No. 23092-IND

DISKUSI

Pertanyaan:

1. Ternak sapi ini memang bisa bersaing secara komperatif dan kompetitif ini dari hasil analisa kami di

PSE

2. Ternak kita punya keunggulan komperatif dan kompetitif menjadi sapi perah sehingga impor susu

ada.

3. Klasifikasi mengenai paha ayam, dinaikan bea 100% karena untuk melindungi peternak dari

keunggulan komperatif dan yang penting kesehatan produksi.

4. Di Bali sapi jantan hanya di ternak saja dan sistem feedingnya, perhitunganya sangat sederhana.

5. Dengan menjaga kemurnian genetik apa tidak akan mengebiri sapi tersebut (Bali dan Madura)

Tanggapan :

1. Keunggulan komperatif dan kompetitif untuk ternak kita, datanya sudah saya lihat tapi itu data sudah

lama.

2. Tarif bea masuk itu melanggar peraturan WTO dan memang setiap negara punya proteksi sendiri tapi

bukan melalui bea tinggi (100%)

3. Semua lahan yang bisa ditanami, ditanami maka akan dapat mensuplay pakan. Masalahnya memang

harus tersedia lahan yang cukup.

4. Mengebiri sesungguhnya tidak dicoba di Madura, maksudnya di sini sapi-sapi ini akan dijadikan

sumber plasma nutfah, tapi kalau tidak ada maka lambat laun gen tersebut akan hilang, dan ini perlu

kita lakukan untuk melestarikan plasma nutfah.

Page 32: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

32

AGRIBISNIS LAHAN KERING DAN PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT PETANI DI PEDESAAN,

PENGALAMAN DI NUSA TENGGARA TIMUR

Iwan Santoso

Praktisi, Fasilitator UKM dan Konsultan Agribisnis Lahan Kering, Kupang - NTT

PENGANTAR

Tulisan ini menyangkut pengalaman penulis dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan

agribisnis lahan kering dan pembinaan kelompok tani di Nusa Tenggara Timur selama berkiprah sebagai

pedagang buah-buahan, sebagai konsultan Pertanian Lahan Kering, dan sebagai pembina kelompok tani.

Kondisi lahan di NTT‘ yang sebagian besar berupa lahan kering berbatu dengan curah hujan

yang kecil dan distribusi tidak merata memerlukan penanganan secara khusus. Berdasarkan pengamatan

penulis, masyarakat NTT adalah masyarakat yang sulit mengadopsi teknologi yang menyangkut usaha

tani lebih-lebih jika pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan penyuluhan yang bersifat oral, tanpa

diiringi dengan praktik-praktik nyata yang dapat dilihat dan dilakukan langsung oleh petani. Selain itu

pendekatan yang selama ini dilakukan cenderung tidak menunjukkan keberlanjutan karena dilakukan

dengan pendekatan proyek yang secara intrinsik mempunyai batas waktu pelaksanaan. Adopsi teknologi

oleh petani memerlukan kesabaran dan upaya sistematis dengan perencanaan yang matang sesuai dengan

kebutuhan petani. Kegiatan-kegiatan pelatihan dan penyuluhan yang dilakukan sebagian besar tidak

mencapai sasaran karena ketidaksesuaian antara waktu kegiatan dengan kebutuhan informasi di tingkat

petani.

Pendekatan yang dilakukan oleh penulis adalah pendekatan contoh dengan praktik-praktik nyata.

sehingga petani lain dapat meniru hal-hal yang penulis lakukan.

PENGALAMAN DALAM PERTANIAN LAHAN KERING

Usaha agribisnis lahan kering dimulai dengan membuka lahan berbatu seluas 1 ha di Desa Belo

kecamatan Maulafa, Kota Kupang. Dari lahan seluas 1 ha ini penulis dapat menjual batu karang,

sehingga dapat memulai mengembangkan usaha tani di tempat ini. Pada musim hujan 1998, penulis

memulainya dengan menanam agung hibrida Pionir F1 di sela-sela batu dengan luasan sekitar 0,5 ha.

Panen yang cukup berhasil dilakukan pada bulan Februari 1999, dan hasil panen sebesar Rp. 2.500.000,-

Keberhasilan ini mendapat tanggapan positif dari pemerintah. tetapi tidak disertai dengan tindak lanjut

yang jelas.

Setelah mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan di Singaraja penulis mendapat banyak

pengetahuan dan keterampilan terutama yang menyangkut pemanfaatan sumberdaya alam, misalnya

pembuatan bokashi, pembuatan pestisida botani dan pemanfaatan air limbah. Bebekal pengetahuan dan

keterampilan penulis mulai mengembangkan lahan yang telah dimiliki dengan membuat bak-bak

pengomposan dan bak penyaringan air limbah. Di lahan ini penulis mulai dengan penanaman pepaya Red

Lady (diindikasikan sebagai pepaya yang tahan kering) dan mulai rnenghasilkan setelah satu tahun. Hasil

panen pepaya digunakan untuk memperbanyak jenis tanaman, sehingga meliputi mangga, jeruk (keprok.

nipis limau), srikaya dan jambu. Setelah tanaman buah mulai tumbuh lahan di lengkapi dengan

pemeliharaan/penggemukan sapi, yang selain untuk rnendapatkan tambahan penghasilan malalui hasil

jual hewan tersebut juga untuk memperoleh pupuk kandang bagi tanaman. Tanaman-tanaman lain seperti

turi dan lamtoro juga di tanam sebagi tanaman-tanaman yang ada di lahan ini sebagai tanaman pelindung

yang daunnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi.

Usaha tani lahan kering ini sekarang sudah mulai memberikan hasil, baik dari tanaman semusim

seperti tomat dan labu, maupun dari pohon seperti pepaya, jeruk nipis dan sirsak. Memang dari segi

agribisnis usaha ini belum memberikan keuntungan yang nyata, tetapi keberhasilan yang ada sekarang

diharapkan dapat menjadi contoh bahwa dengan keadaan lahan yang sangat marginalpun usaha pertanian

yang berhasil dapat dilakukan

Page 33: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

33

PENINGKATAN MANAJEMEN PEMASARAN JERUK SoE

Berawal pada tahun 1997 dengan sponsor dari Windrock International, penulis melakukan

survey pemasaran jeruk di beberapa pasar tradisional dan swalayan di Denpasar Bali. Hasil survey

menunjukkan bahwa kualitas jeruk Keprok SoE tidak kalah dengan kualitas jeruk-jeruk impor, seperti

Imperial (Australia), Kino (Pakistan) dan, Mandarin (Cina). Pada saat itu harga jeruk impor di Bali

berkisar antara Rp. 7500,- dan Rp. 9000,- per kilogram. Sementara itu harga jeruk keprok SoE di Kupang

hanya berkisar antara Rp. 2500,- dan Rp. 3500,- per kilogram ini. Perbedaan yang besar ini memberikan

peluang pemasaran jeruk SoE di Bali, karena mutu buah jeruk Keprok SoE tidak kalah dengan jeruk

impor tersebut. Namun demikian, kekurangan pada jeruk Keprok SoE terletak pada kurangnya

pengetahuan masyarakat di luar NTT mengenai keberadaan jeruk Keprok SoE.

Belajar dari hasil survey tahun 1997 itu, penulis mencoba mempromosikan jeruk Keprok SoE di

Bali. Jeruk tersebut di beri label dan dipak dalam kotak-kotak berlabel (seperti yang dilakukan terhadap

jeruk impor) dengan kapasitas 10 kg per kotak. Pada awal awal masa pengenalan, jeruk Keprok SoE

sudah mendapatkan harga Rp. 6500,- per kilogram. Harga ini memang lebih rendah daripada harga jeruk

impor, tetapi jauh lebih tinggi daripada harga di Kupang yang hanya sekitar Rp. 3000,-. Harga tertinggi

yang dicapai oleh jeruk Keprok SoE adalah Rp. 9000,- pada tahun 1999 sementara harga tertinggi yang

dapat diperoleh di Kupang adalah Rp. 6500,-.

Masalah-masalah yang dihadapi berkaitan dengan pemasaran jeruk Keprok SoE. adalah sebagai

berikut:

1. Cara panen dan penanganan pasca panen

Petani pada umumnnya melakukan pemanenan dengan cara rampasan, tanpa menggunakan

gunting. Akibatnya banyak buah yang mengalami kerusakan karena robeknya kulit pada bagian tangkai

buah atau buah menjadi busuk karena jatuh. Untuk rnengatasi hal ini, anggota kelompok diberikan

bantuan gunting pangkas sehingga mereka dapat mengurangi resiko kerusakan buah.

2. Ijon dan spekulan

Sistem ijon sampai saat ini masih marak di kalangan petani jeruk di SoE. Petani biasanya

menerima ijon dua bulan menjelang panen, dengan nilai separuh dari nilai jual buah pada saat panen.

Sistem ijon ini sangat merugikan petani dalam dua hal. Pertama pendapatan petani akan berkurang

akibat rendahnya nilai jual hasil jeruk. Yang kedua para pemberi ijon biasanya akan memetik buah jeruk

setelah lewat masa panen karena menunggu harga. Tanaman jeruk yang buahnya dibiarkan sampai

melewati masa panen akan mengalami penurunan hasil pada musim panen berikutnya. Akibatnya volume

produksi yang dapat dipasarkan dari tahun ke tahun menjadi tidak stabil.

Jika tidak dilakukan penjualan dengan sistem ijon, penjualan buah jeruk oleh petani biasanya

dilakukan dengan cara borongan di pohon. Ini dilakukan karena kurangnya informasi harga per kilo.

Seringkali pohon yang dapat menghasilkan 60 - 70 kg per pohon hanya dinilai dengan harga sekitar Rp.

100.000,- - Rp. 125000,-.

Masalah ijon masih belum dapat diatasi secara baik. Masalah spekulan sedang diupayakan

rnengatasinya dengan cara:

a. Menyediakan informasi harga kepada petani, sehingga mereka dapat memperkirakan harga yang harus

mereka sepakati dengan pedagang pengumpul.

b. Membina petani agar petani melakukan penjualan secara berkelompok.

c. Mendidik petani untuk melakukan pengkelasan buah berdasarkan standar yang disepakati kelompok,

sehingga terdapat keseragaman harga antar anggota kelompok untuk setiap kelas buah.

3. Transportasi

Pengangkutan dari kebun kejalan utama masih menggunakan karung-karung yang ditumpangkan

di punggung kuda, sehingga seringkali dijumpai buah menjadi rusak setelah sarnpai di jalan utama.

Masalah ini sudah mulai diatasi dengan perbaikan jalan-jalan yang menuju ke kebun-kebun petani.

Page 34: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

34

PEMBINAAN KELOMPOK USAHA PENGOLAHAN MINYAK KELAPA TRADISIONAL

Kegiatan ini dipusatkan di desa Ponaen, wilayah kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang NTT.

Di desa ini terdapat sekitar 150 KK pengrajin minyak kelapa secara tradisional.

Kegiatan kelompok diawali dengan peninjauan oleh tim LIPI tahun 1998. Sebagai tindak lanjut

tim LIPI rnemberikan dana bantuan untuk pengembangan pemberdayaan masayarakat desa, berupa

pinjaman bergulir dengan bunga pinjaman 1 % per bulan. Pemberian ini diberikan secara bertahap,

dengan pinjaman tahap awal sebesar Rp. 2.500,000,-. Setiap 6 bulan, pinjaman ini ditambah sejumlah

yang sama sampai total pinjaman berjumlah Rp. 10.000.000,-. Pengembalian pinjaman ini akan berakhir

pada bulan Desember 2002. Walaupun periode pengembalian dana dari LIPI ini belum berakhir, melihat

keberhasilan dari kelompok ini diperoleh lagi dana pinjaman tambahan dari Departemen Koperasi. Dana

pinjaman ini berjumlah Rp. 50.000.000,- harus dikembalikan setelah 4 tahun, dan mulai digulirkan sejak

Februari 2002 kepada 20 orang anggota kelompok yang diberi nama Kelompok Iwan Santoso. Kelompok

ini bergerak dalam usaha pengolahan minyak kelapa dan penggemukan sapi Bali. Masing-masing

anggota memperoleh dana pinjaman dana sebesar Rp. 2.500.000,- yang harus dikembalikan dalam waktu

24 bulan, dengan cicilan sebesar Rp. 145.000,- per bulan. Dalam waktu lima bulan, yaitu pada bulan Juli

2002, kelompok ini sudah mengembalikan bunga dan pokok pinjaman sebesar Rp. 12.500.000,-. Dari

jumlah ini bunga pinjaman sebesar Rp. 2.500.000,- dikembalikan kepada Departemen Koperasi melalui

Bank Bukopin, sedangkan dana sejumlah Rp. 10.000.000,- digulirkan kepada kelompok angkatan kedua

sebanyak 4 orang dengan masing-masing jumlah pinjaman yang sama dengan anggotasebelumnya,yaitu

Rp. 2.500.000,-. Dana sejumlah yang sama akan digulirkan lagi kepada 4 orang anggota baru pada

kelompok angkatan kedua ini pada bulan kesepuluh, sehingga jumlah anggota angkatan kedua ini menjadi

8 orang. Dengan demikian dalam waktu sepuluh bulan pertama dana pinjaman awal sebesar Rp.

50.000.000,-yang dipinjamkan kepada 20 orang akan bertambah menjadi 28 orang. Dengan mekanisme

seperti ini dalam waktu 15 bulan terhitung sejak Januari 2003, akan tercakup 40 orang penerima

pinjaman. Proyeksi jumlah anggota yang akan dapat menerima pinjaman dalam periode 4 tahun masa

pinjaman menjadi 54 orang dengan total jumlah dana bergulir sebesar Rp. 274.050.000,-. Setelah

dikurangi pinjaman dan bunga, maka keuntungan bersih kelompok selama periode 4 tahun adalah sebesar

Rp. 52.175.000,-.

Dana pinjaman sebesar Rp 2.500.000,- di atas digunakan selain untuk usaha kerajinan minyak

kelapa juga digunakan untuk usaha penggemukan sapi Bali. Penggemukan dilaksanakan selama periode

4 - 5 bulan, dengan keuntungan per ekor sapi sekitar Rp. 600.000,- - 700.000,-

PENUTUP

Berdasarkan pengalaman ini, ternyata usaha apapun yang dilakukan harus didasari dengan

motivasi dan kesungguhan yang besar. Dengan memanfaatkan teknologi yang berkembang sakarang,

sebenarnya banyak lahan-lahan yang tidak produktif dapat ditingkatkan menjadi lahan-lahan yang lebih

produktif. Untuk itu. Upaya-upaya membina petani untuk meningkatkan pendapatan mereka tidak cukup

dengan pendekatan wacana, seperti yang sering dilakukan selama ini, tetapi harus dengan upaya-upaya

kongkrit yang dapat diterapkan oleh petani lahan-lahan kering seperti yang dijumpai di NTT dan NTB

hanya akan memberikan hasil optimal jika digarap dengan prinsip diversifikasi, yang melibatkan usaha

pertanian tanaman (semusim maupun tahunan) dan ternak, dibarengi dengan upaya-upaya ke arah

konservasi lahan. Selanjutnya, pembinaan kelompok petani akan berhasil dengan baik jika dilakukan

dengan pendekatan yang didasarkan pada analisis kebutuhan.

DISKUSI

Pertanyaan :

1. Kalau ingin tumbuhkan pohon diatas batu dimana masyarakat etos kerjanya kurang, apa yang akan

dilakukan?

2. Pada fhoto tadi saya tidak melihat tanaman semusim di bawahnya.

3. Apakah dalam kegiatan pertanian itu kompos dimanfaatkan? Apa di proses lebih lanjut jadi kompos?

4. Limbah-limbah pertanian/pakan ternak dimanfaatkan? ampas industri minyak kelapa juga

dimanfaatkan?

Page 35: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

35

5. Informasi dari kenaikan bobot badan tidak ada dan untung cukup besar?

6. Belum saya lihat keuntungan berapa % dari hasil tersebut untuk kelompok dan untuk petani.

7. Kelompok yang dibina Bapak apa yang sudah ada?

8. Binaan Pak Iwan orangnya seperti apa sebelumnya?

9. Eksistensi Bapak selama ini bagaimana memilih teman sebagai staf?

10. Sumber dana?

Tanggapan :

1. Kami bekerja dengan memberikan contoh-contoh yang kongkrit pada masyarakat. Dengan membeli

hasil panen dari anggota dan memasarkan sendiri. Hasil penjualan dibagi langsung dengan anggota

tidak ada kebohongan.

2. Kalau kotoran sapi bekerja sama dengan Perguruan Tinggi dan pupuk anorganik juga diberikan

limbah lainyapun dimanfaatkan.

3. Setiap bulan anggota kelompok dikunjungi dan ditanya permasalahan yang ada, setiap Minggu

(Jum‘at) kelompok menyetor kreditnya. Setiap dana kelompok yang sudah lunas, kembali digulirkan

kepetani lain yang bersedia menjadi anggota.

4. Tanaman sela sejenis kacang-kacangan.

Page 36: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

36

STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERTANIAN

LAHAN KERING BERWAWASAN LINGKUNGAN

DI NUSA TENGGARA BARAT

Mansur Ma`shum, Lolita E.S., dan Sukartono

Universitas Mataram Jl. Pendidikan Mataram, Telp 0370-628143

PENDAHULUAN

Pengembangan pertanian lahan kering merupakan alternatif yang sangat penting untuk

mengalihkan paradigma lahan sawah sebagai tulang punggung pertanian dan sebagai pemenuhan utama

produksi pangan nasional. Hal ini sangat beralasan karena lahan-lahan persawahan di Indonesia

umumnya telah banyak mengalami alih fungsi menjadi lahan nirpertanian. Tantangan lain dari lahan

pertanian sawah adalah kemunduran produktivitas karena intervensi manusia yang sangat intensif.

Dengan demikian pertanian lahan kering diharapkan mampu memiliki andil yang signifikan terhadap

pengembangan potensi wilayah di kawasan timur Indonesia.

Meskipun potensi pemanfaatan lahan kering untuk pengembangan pertanian sangat besar, perlu

dicermati pula bahwa ciri khas agroekosistem lahan kering relatif rentan terhadap degradasi sehingga

dalam pengelolaan jangka panjang harus lebih berhati-hati dengan tetap memperhatikan aspek

kelesatarian dan kesinambungan produktivitas lahan (dryland sustainable agriculture). Tidak sekedar

masalah biofisik lahan yang lemah, lahan kering juga memiliki masalah social-ekonomi yang cukup

kompleks. Pendekatan dalam pengelolaan pertanian lahan kering tampaknya harus berorientasi pada

pendekatan agroekosistem wilayah dengan tetap memperhatikan aspek sosial budaya spesifik daerah

sebagai komponen pendekatan wilayah.

Manipulasi terhadap biofisik lahan untuk meningkatkan ketangguhan agroekosistem: seperti

pembuatan tampungan air permukaan (embung/dam pemanen aliran permukaan) dipadukan dengan paket

teknologi budidaya berwawasan lingkungan menjadi esensial untuk pengelolaan pertanian lahan

berkelanjutan. Teknologi budidaya lahan kering harus bersifat adaptif untuk suatu wilayah dalam arti

paket teknologi tersebut berwawasan lingkungan dan cocok untuk kondisi agroekosistem wilayah, secara

teknis dan social dapat diterapkan oleh masyarakat setempat serta berimplikasi ekonomi dalam

keberlanjutan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Makalah ini akan mencoba mendiskusikan beberapa gatra penting yang terkait dengan strategi

pengelolaan pertanian di lahan kering dengan pendekatan kewilayahan. Managemen praktis dari

pendekatan ini merupakan iptek yang berwawasan lingkungan dengan penerapan paket teknologi

budidaya tepat guna, termasuk didalamnya upaya konservasi air guna pengembangan pertanian lahan

kering jangka panjang.

PROFIL DAN PERMASALAHAN LAHAN KERING NTB

1. Profil Lahan Kering di Nusa Tenggara Barat

Propinsi Nusa Tenggara Barat memiliki lahan seluas 2.015.315 Ha dengan rincian seperempat

bagian tersebar di Pulau Lombok (473.867 Ha) dan tiga perempat bagian tersebar di Pulau Sumbawa

(1.541.448 Ha) dan paling kurang 60% dari luasan tersebut berupa kawasan lahan kering (Tabel 1).

Tabel 1. Luas Lahan (Ha) Berdasarkan Jenis Penggunaannya di NTB

Jenis Penggunaan Luas Lahan (Ha) Persen (%)

1 2 3

Pemukiman 26.066,352 1,3

Sawah : a. Irigasi

b. Tadah hujan c. Tegalan

d. Ladang

94.741,477

131.981,840 149.555,652

12.238,500

4,7

6,5 7,4

0,6

Kebun

Perkebunan

55.250,137

46.090,578

2,7

2,3

Page 37: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

37

1 2 3

Hutan Lebat

Hutan Sejenis

Belukar

832.758,270

65.255,270

364.890,866

41,3

3,2

18,1

Danau

Rawa

Embung/Waduk

1.755

12

4.321,940

0,09

0,0006

0,2

Lain-lain 28.693,073 1,4

JUMLAH 2.015.315 100

Sumber : Bappeda NTB, 2000.

Biro Pusat Statistik NTB (1997) melaporkan bahwa luasan lahan kering yang potensial untuk

dikembangkan mencapai sekitar 162.033,313 Ha dengan sebaran 66% di Sumbawa dan 34% di Pulau

Lombok. Biofisik lahan kering di Nusa Tenggara Barat memiliki karakteristik khas yakni fisiografi lahan

yang sangat beragam dari berombak, bergelombang hingga berbukit atau berlereng dengan jenis tanah

yang didominasi oleh tiga ordo yakni Entisols, Inceptisols dan Vertisols. Secara inherent kesuburan tanah

lahan kering di NTB sangat rendah dicirikan oleh rendahnya kandungan bahan organik tanah (Ma`shum,

1990), agregat tanah yang kurang mantap (Tarudi, dkk., 1989) terutama pada lahan-lahan miring/berbukit

dengan tipe tanah Entisols dan Inceptisols, peka terhadap fenomena kerusakan lahan terutama akibat

erosi, kandungan hara utama (N, P, dan K) yang relatif rendah (Ma`shum, Lolita, dan Sukartono, 2000).

Intergrasi dari sifat inherent tanah tersebut dan adanya keterbatasan ketersedisaan sumberdaya air sebagai

salah satu faktor utama pertumbuhan tanaman membawa konsekwensi rendahnya produktivitas lahan.

Lahan kering NTB memilki iklim kering yaitu: tipe iklim D3 (3-4 bulan basah dan 4-6 bulan

kering), tipe iklim D4 (3-4 bulan basah dan >6 bulan kering), tipe iklim E3 (<3 bulan basah, 4-6 bulan

kering) dan tipe iklim E4 (<3 bula basah dan > 6 bulan kering) (Oldeman, 1981). Distribusi dan intensitas

curah hujan di wilayah lahan kering NTB tidak merata dan tidak menentu (erratic) sehingga kerap kali

kegagalan panen terjadi sebagai akibat keterbatasan ketersediaan air. Surplus air hanya terjadi pada

bulan-bulan basah (Desember, Januari/Februari) dan selebihnya merupakan bulan-bulan defisit air

(Gambar 1). Informasi keadaan iklim bulanan wilayah lahan kering lain di NTB disajikan pada Tabel 2.

Keadaan curah hujan umumnya berlangsung dengan durasi yang pendek, disertai intensitas dan distribusi

yang ―erratic‖ serta sulit ditaksir (unpredictabel), sehingga seringkali menyebabkan kegagalan panen.

Table 2. Data Iklim Rata-rata Bulanan Stasiun Kopang, Lombok Tengah

Year 98 Jumlah dan

Rata-rata

Kelembaban

(%) Suhu (oC)

Hujan harian

(mm)

Evaporasi

(mm)

Kec. Angin

(km/jam)

1 2 3 4 5 6 7

Jan Jumlah 3037,00 867,50 222,40 134,60 1543,20

Rata-rata 97,97 27,98 7,17 4,34 49,78

Feb Jumlah 2738,00 787,00 433,10 109,30 610,80

Rata-rata 97,79 28,11 15,47 4,75 21,81

Mar Jumlah 3023,00 877,10 577,10 109,10 734,70

Rata-rata 97,52 28,29 18,62 3,76 23,70

Apr Jumlah 2932,00 862,50 139,50 100,40 852,40

Rata-rata 97,73 28,75 4,65 3,35 28,41

Mei Jumlah 3029,00 890,00 46,60 75,10 822,20

Rata-rata 97,71 28,71 1,50 2,42 26,52

Jun Jumlah 2930,00 836,60 62,80 68,30 703,40

Rata-rata 97,67 27,89 2,09 2,28 23,45

Jul Jumlah 3026,00 854,20 75,90 66,10 888,30

Rata-rata 97,61 27,55 2,45 2,13 28,65

Aug Jumlah 3030.00 844,00 42,30 131,80 1841,40

Rata-rata 97,74 27,23 1,36 4,25 59,40

Sep Jumlah 2937,00 821,50 312,50 137,00 1253,00

Rata-rata 97,90 27,38 10,42 4,57 41,77

Page 38: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

38

1 2 3 4 5 6 7

Okt Jumlah 3034,00 878,00 208,30 123,30 985,50

Rata-rata 97,87 28,32 6,72 3,98 31,79

Nov Jumlan 2934,00 837,70 235,80 102,10 1122,10

Rata-rata 97,80 27,92 7,86 3,65 37,40

Des Jumlah 3027,00 832,50 204,00 121,20 2063,70

Rata-rata 97,65 26,85 6,58 4,04 66,57

Catchment area : Renggung

Altitude : 8o 37' 17" LS/116o 21' 50"

Latitude : 352 m

Sumber : Stasiun Kopang N0. 521005

Gambar 1. Kurva neraca air wilayah lahan kering Pringgabaya Lombok Timur(Data sekunder

diolah)

Keterngan: P-Curahhujan; PE-Evapotranspirasi potensial; AE- Evapotranspirasi actual; D- Defisit; S-

Surplus

2. Permasalahan Agroekosistem dan Sosial Ekonomi Masyarakat

Keadaan biofisik lahan kering di Nusa Tenggara Barat umumnya diasosiasikan sebagai lahan-

lahan kritis dengan petunjuk relatif rentan terhadap fenomena kerusakan lahan akibat erosi, kesuburan

serta produktivitas tanah yang relatif rendah, keadaan iklim yang kurang menguntungkan. Keterbatasan

air tahunan merupakan kendala yang membatasi pola pertanaman yang ada di daerah lahan kering.

Fluktuasi lengas tanah pada sistem pertanaman lahan kering sangat tergantung pada pasokan air hujan

(Sukartono, dkk., 2001). Degradasi lahan yang muncul adalah erosi pada lahan perbukitan dan atau

lahan miring, makin menurunnya kualitas kesuburan tanah (lapisan tanah menipis, agregat tanah tidak

stabil), aliran permukaan yang terjadi musim hujan lebih dari 70% hilang menuju ke laut (Yasin , 2000),

menurunnya kualitas DAS seperti DAS Dodokan dan DAS Jelateng di Lombok sebagai intensifnya

intervensi manusia di lahan kering bagian tengah dan hulu DAS (Rapat Teknis Bapedalda, 2000).

Pengelolaan sistem pertanaman (cropping system) dan pengelolaan tanah dan air dalam arti luas di

tingkat petani masih belum memadai baik dari aspek kelestarian sumberdaya alam (berwawasan

lingkungan) dan keberlanjutan pendapatan (berwawasan agribisnis). Hal ini sangat terkait dengan

penguasaan petani di wilayah pedesaan lahan kering terhadap teknologi budidaya dan konservasi air

yang masih jauh dari memadai. Implikasi keadaan tersebut tercermin dari rata-rata pendapatan petani

pedesaan di wilayah lahan kering NTB masih tergolong sangat rendah.

0

50

100

150

200

250

300

J F M A M J J A S O N D

Bulan

Tin

gg

i a

ir (

mm

)

P

PE

AES

D

Page 39: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

39

Lebih dari sekedar persoalan alami biofisik lahan, masyarakat pedesaan di lahan kering NTB

umumnya merupakan masyarakat miskin baik secara ekonomi maupun tingkat pendidikan. Infrastruktur

ekonomi di wilayah pedesaan lahan kering masih terbatas dibandingkan daerah-daerah pertanian intensif

(lahan persawahan) sehingga aksesibilitas petani terhadap pasar umumnya relatif terbatas. Dengan

berbagai permasalahan agroekosistem lahan kering seperti ini maka strategi pengelolaan pertanian lahan

kering harus berorientasi pada peningkatan kualitas lahan dan produktuvitas tanah (kelestarian

sumberdaya alam berwawasan lingkungan) dan keberlanjutan pendapatan petani (berwawasan

agribisnis).

Dari segi kebijakan pemerintah, paradigma pengembangan pertanian lahan kering khususnya di

Nusa Tenggara Barat maupun nasional baru mulai mendapatkan perhatian yang serius sejak krisis

ekonomi melanda tanah air (1997/1998).

STRATEGI PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING BERWAWASAN

LINGKUNGAN DI NUSA TENGGARA BARAT

Pengelolaan lahan kering di NTB sebagai lahan produktif merupakan salah satu alternatif yang

prospektif mengingat potensi luas arealnya sangat besar dan potensi produktivitas lahannya masih sangat

terbuka untuk ditingkatkan. Pengelolaan pertanian lahan kering sesungguhnya tidak mudah, karena

sangat berkaitan dengan permasalahan lahan kering yang cukup kompleks baik dari sumber daya

lahannya dan/atau sumber daya manusianya. Karena itu dalam pencarian strategi pengelolaan yang tepat,

dalam memfungsikan lahan kering sebagai lahan produktif diperlukan pendekatan holistik dengan

mengenali secara seksama tipe agroekosistem lahan kering yang bersifat spesifik lokasi dengan tidak

meninggalkan ciri-ciri alamiahnya serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.

Beberapa aspek penting yang merupakan prasyarat terwujudnya sistem pengelolaan lahan kering

tepat guna meliputi: (i) aspek biofisik; (ii) aspek ekonomi; (iii) aspek sosial budaya dan (iv) aspek

kelembagaan yang ditunjang dengan kebijakan-kebijakan yang memadai. Keempat aspek tersebut secara

bersama menentukan terwujudnya sistem pengelolaan yang tepat guna pada usaha tani lahan kering yang

berkelanjutan dan berwawasan agribisnis.

Strategi pengelolaan lahan kering dari aspek biofisik

Aspek biofisik pada suatu sistem pengelolaan pertanian lahan kering meliputi faktor-faktor yang

berkaitan dengan kemampuan dan kesesuaian lahan serta peningkatan kualitas dan produktivitas lahan.

Paket teknologi alternatif yang akan diterapkan dalam rangka peningkatan kualitas dan produktivitas

lahan haruslah dapat memberikan kompensasi keterbatasan kemampuan alamiah lahan tersebut. Dalam

hal ini teknologi yang sesuai adalah teknologi tepat guna yang mengutamakan daya dukung lahan, baik

dilihat dari upaya mengeliminasi pengaruh erosi maupun faktor-faktor pembatas kesuburan tanah dan

keterbatasan ketersediaan air.

Penerapan teknologi tersebut dapat berbeda antara wilayah tangkapan hujan (pluvial), wilayah

konservasi air dan wilayah pengguna air.

Bagi wilayah tangkapan hujan, penerapan teknologinya ditujukan untuk:

(i) Memperbesar infiltrasi dan perkolasi untuk memperkaya air tanah dan debit sumber-sumber arteris.

(ii) Mempertinggi daya simpan air tanah melalui penghijauan dan reboisasi (Justika, dkk. 1997)

Pada wilayah konservasi air (freatik) difokuskan pada upaya berikut:

(i) Mencegah erosi lapisan tanah melalui penerapan sistem olah tanah konservasi, pemberian mulsa

organik, pembuatan terassaring dan pertanaman menurut kontur, system budidaya tanaman lorong

(Alley cropping).

(ii) Memperbesar daya tampungan air hujan dan air permukaan melalui pembuatan tandon air,

bendungan dan embung. Hasil penelitian Ma`shum, Lolita, Sukartono, dan Soemeinaboedhy (2000)

mengungkapkan bahwa hasil panenan air hujan di wilayah lahan kering Pringgabaya Lombok Timur

(6m3 air/100m

2 areal tangkapan) dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air paska musim

hujan.

Page 40: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

40

Sedangkan implimentasi teknologi di wilayah pengguna air diarahkan pada tindakan :

(i) Meningkatkan efisiensi pemanfaatan air melalui pemilihan varietas komoditas tanaman pangan yang

toleran terhadap kekeringan, pengembangan pola pertanaman campuran pangan - legum serta rotasi

tanaman (Ma‘shum, dkk, 2002)

(ii) Merawat kesuburan tanah melalui konsep pengelolaan pertanian organik yang ramah lingkungan

dan sistem olah tanah konservasi. Teknologi budidaya yang memadukan konsep efisiensi

pemanfaatan air dan perawatan kesuburan tanah di lahan kering telah banyak tersedia. Hasil

penelitian Ma`shum, Lolita, dan Sukartono selama tiga tahun (1999-2002) di lahan kering

Pringgabaya mengungkapkan bahwa pengaturan rotasi tanaman (Crop sequence) tumpang sari

kedelai/jagung – komak dengan penerapan paket pemupukan kombinasi (anorganik + organik +

hayati) mampu meningkatkan kualitas kesuburan tanah dan produktivitas lahan (Lampiran 1, 2, 3,

dan 4)

Strategi pengelolaan lahan kering dari aspek ekonomi

Tinjauan aspek ekonomi dalam kaitannya dengan pengembangan lahan kering sebagai lahan

produktif meliputi: (i) manfaat finansial dan ekonomi bagi unit pelaku usaha, dan (ii) manfaat secara

luas bagi pengembangan ekonomi wilayah. Untuk itu diperlukan analisis kelayakan usaha ditinjau dari

sudut kepentingan pelaku usaha dan kelayakan dari sudut kepentingan sosial ekonomi secara keseluruhan.

Salah satu contohnya adalah introduksi teknologi budidaya konservasif di lahan kering Pringgabaya

melalui pengaturan pola tanam tumpang gilir legum- tanaman pangan disertai aplikasi kesimbangan

pupuk anorganik-organik dan hayati dan pemanenan air hujan (Ma`shum, dkk., 2000-2002). Dengan

demikian, strategi pengelolaan pertanian lahan kering tidak hanya sekedar berorientasi pada

peningkatan produktivitas lahan tetapi harus merupakan strategi jangka panjang untuk memperbaiki dan

meningkatkan kualitas tanah/lingkungan (pelestarian sumber daya alam berwawasan lingkungan) dan

keberlanjutan pendapatan petani (wawasan agribisnis). Kesinambungan pemanfaatan pertanian lahan

kering sebagai sumber ekonomi wilayah perlu didukung oleh pembangunan infrastruktur untuk

memperlancar aksesibilitas masyarakat terhadap pasar dan pusat-pusat perekonomian lainya.

Strategi pengelolaan lahan kering dari aspek sosial-budaya

(i). Aspek sosial-budaya yang menjadi prasyarat penting dalam pengembangan lahan kering adalah peran

aktif masyarakat. Terkait dengan aspek ini, strategi pengelolaan lahan kering yang seyoganya

diterapkan harus mampu menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan

pertanian seperti. Dalam hal ini diperlukan pelibatan berbagai pihak, pemerintah, LSM, investor dan

tokoh informal masyarakat sebagai dinamisator. Bentuk-bentuk kegiatan yang berkaitan dengan

pembinaan SDM dapat dilakukan melalui penyuluhan, pelatihan, ataupun penyampaian informasi

lain yang dibutuhkan masyarakat. Dalam hubungannya dengan pencapian tujuan dari pengembangan

lahan kering, hendaknya kegiatan penyuluhan ìni, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan

pengawasan serta pengendalian.

(ii). Pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan serta pengendalian.

(iii). Pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia di NTB untuk mendukung pengembangan

kelembagaan.

(iv). Penataan keterkaitan sosial dan ekonomi antara masyarakat daerah hulu dan hilir, antara masyarakat

perkotaan dan pedesaan.

(v). Penegakan hukum (law enforcement) yang mengatur pemanfaatan sumberdaya lahan.

(vi). Pola pengembangan pertanian lahan kering seharusnya teragenda di dalam RENSTRA Pemerintah

Daerah.

PENUTUP

Keberpalingan terhadap pengembangan pertanian lahan kering harus segera diwujudkan, seiring

dengan pergeseran paradigma pengembangan pertanian intensif di lahan basah sebagai penopang utama

kebutuhan pangan nasional. Mengingat rentannya lahan kering baik dari segi biofisik lahan dan sosial

ekonomi masyarakat, maka pengelolaan lahan kering yang tepat guna di Nusa Tenggara Barat harus

berazas wawasan lingkungan, yaitu dengan pemahami secara paripurna sifat dan ciri agroekosistem

Page 41: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

41

wilayah serta karakteristik sosial-ekonomi dan budaya masyarakat wilayah sasaran. Hal ini penting

untuk menghantarkan capaian pengelolaan pertanian lahan kering yang tidak hanya sekedar

meningkatkan kualitas biofisik lahan dan produktivitasnya (kesinambungan sumberdaya alam) tetapi

juga harus berimplikasi terhadap kesinambungan peningkatan pendapatan dengan wawasan agribisnis

dan didukung oleh pembangunan infrastruktur ekonomi. Masukan teknologi budidaya dan konservasi

air, serta prioritas diversifikasi komoditi unggulan lahan kering harus sesuai dengan kondisi

agroekosistem wilayah, dapat diterima oleh masyarakat setempat dan memberikan nilai tambah bagi

pendapatan usaha tani. Pola pengembangan lahan kering secara terstruktur seyogyanya menjadi agenda

RENSTRA Pemerintah Daerah. Koordinasi harmonis antara sektor pelaku pembangunan pertanian lahan

kering dengan masyarakat petani dalam pembinaan SDM dan kelembagaan harus dikembangkan

dengan tetap mengacu pada aspek pemberdayaan masyarakat.

Ke depan pengelolaan pertanian lahan kering di NTB sedapat mungkin juga dikembangkan

sebagai salah satu asset wisata alam (Agro ecotourism) sehingga nilai tambah pertanian lahan kering

dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Akhirnya semoga sekelumit konsep pemikiran ini

tidak sekedar angan-angan belaka tetapi merupakan komitmen yang perlu segera diwujudkan.

DAFTAR PUSTAKA

Justika, S.B, dkk., 1997. Konsepsi dan Teknologi Konservasi Air pada Lahan Berlereng. Dalam Sumberdaya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian yang efisien. PERHIMPI

Ma`shum, M., 1990. Studi Tahana Bahan Organik Tanah di P. Lombok. Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Pertanian

UNRAM

Ma`shum, M., Mahrup, Sukartono, dan Lollita, E.S. (1994). Perilaku Hara Kalium Akibat Pemberian Pupuk Kandang pada Pertanaman Padi Gogo Lahan Kering Lombok Utara. Laporan Penelitian ARMP, Fakultas

Pertanian UNRAM

Ma`shum, M., Lolita, E.S., Sukartono, dan Soemeinaboedhy, I.N., 2000. Teknik Pemanenan Aliran Permukaan di

lahan Kering Pringgabaya Lombok Timur. Journa Agroteksos, Vol 11-3, 2000.

Ma`shum, M., Lolita, E.S., Sukartono, dan Kunto, K., 2002. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Kering untuk

Pengembangan Budidaya Kedelai dan Jagung Melalui Pendekatan Biologi dan Pemanenan Air

Hujan Menuju Pertanian Perkelanjutan. Laporan Penelitian RUT VIII.2. Tahun 2002.

Sukartono, Ma`shum, M., dan Lolita, E.S., 2001. Fluktuasi lengas tanah pada system pertanaman kedelai-jagung dengan menerapkan pupuk kombinasi (organic + anorganik + hayati) di lahan kering Pringgabaya

Lombok Timur. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian . Mataram, 30-31

Oktober 2001.

Tarudi, H.M., Sukartono, Suwardji, dan Kusnarta, I.G.M., 1989. Kemantapan Agregat Tanah Lahan Kering di Pulau Lombok. Laporan Hasil Penelitian, Matching Grand-DIKTI, 1989. Fakultas Pertanian UNRAM

Utomo, M., 2000. Teknologi Olah Tanah Konservasi sebagai Pilar Pertanian Berkelanjutan . Pemberdayaan Petani ,

Sebuah Agenda Penguatan Masyarakat Warga DPP HKTI.

Yasin, I., 2000. Aplikasi Prakiraan Curah Hujan Musiman untuk Menentukan Strategi Tanam dan Pengelolaan Sumberdaya Air di Pulau Lombok. Makalah pada Workshop: Capturing Benefit of Seasonal

Climate Forcasting in Agricultural management. Mataram, 9 Maret 2000.

DISKUSI

Pertanyaan :

1. Lahan Kering di NTB cukup luas bagaimana cara pengembangannya?

2. Lahan kering banyak di Ponpes, sebaiknya sering didatangi pakar

3. Adakah usaha memberdayakan masyarakat dalam memperbaiki kondisi lahan kering.

4. Konservasi air,sejauh mana bisa diterapkan pada tanaman lain seperti buah-buahan karena lebih

untung dibanding palawija seperti yang dilakukan.

5. Berapa lama air yang ditangkap bisa digunakan untuk tanaman tertentu

Page 42: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

42

Tanggapan :

1. Sudah kami rencanakan untuk kerjasama dengan pihak pondok pesantren (di Aikmel),seperti pondok

pesantren ―At Tohiriah‖.

2. Kami telah mengundang petani dari Kawo untuk melihat teknologi yang sedang dikembangkan.

3. Sangat mungkin menanam Multiple Crop, dalam waktu dekat kami mencoba tanaman yang memiliki

residu rendah.

4. Setiap tanaman memiliki kebutuhan air yang berbeda, problem yang ada adalah kesediaan air.

5. Kearifan lokal telah dimasukkan dalam kegiatan ini.

Page 43: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

43

PENGEMBANGAN PROGRAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI TERPADU

(P3T) UNTUK MENINGKATAN PENDAPATAN PETANI

DI NUSA TENGGARA BARAT

Mashur, Dwi Praptomo, L.Wirajaswadi dan A. Muzani

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat

Jl. Raya Peninjauan Narmada Po. Box 1017 Mataram

LATAR BELAKANG

Swasembada pangan khususnya beras yang telah dicapai Indonesia pada tahun 1984, sekarang

sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Indonesia kini telah menjadi negara pengimpor beras yang

potensial. Produksi padi nasional yang tidak dapat dipertahankan ini dikarenakan pertumbuhan produksi

yang semakin menurun yang tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduk yang justeru semakin

meningkat.

Beberapa faktor lain yang juga menjadi kendala dalam peningkatan produksi padi nasional

adalah: (1) dicabutnya subsidi sarana produksi menyebabkan semakin meningkatnya biaya produksi dan

membatasi penggunaan sarana produksi seperti benih bermutu dan pupuk, (2) dari segi biofisik telah

terjadi perubahan fisik-kimia tanah yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan akibat kegiatan

intensifikasi secara terus menerus dan (3) setelah periode revolusi hijau belum ada terobosan teknologi,

antara lain karena terbatasnya potensi genetik varitas padi yang ditanam (BPTP NTB, 2002).

Upaya peningkatan produktivitas padi, efisiensi usahatani dan peningkatan pendapatan perlu kita

lakukan secara sinergis karena peningkatan produksi tidak selalu menguntungkan petani apabila tidak

diikuti dengan efisiensi penggunaan biaya produksi. Dewasa ini, kecenderungan biaya sarana produksi

seperti pupuk, benih, obat-obatan dan ongkos tenaga kerja terus meningkat tidak sebanding dengan

peningkatan produksi dan harga, sehingga pendapatan petani juga tidak selalu meningkat. Di samping itu,

apabila kita memperhatikan kondisi lahan sawah irigasi terutama di sentra-sentra produksi maka

berdasarkan hasil penelitian ternyata berada dalam kondisi “sakit” karena hampir 90% lahan sawah

irigasi tersebut kandungan bahan organiknya kurang dari 1%. Dampak yang ditimbulkan adalah terjadi

penurunan produktivitas. Indikasi ini dapat kita lihat bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini

produktivitas padi di NTB menurun rata-rata 16,25kg/ha (BPS NTB, 1999). Oleh karena itu, upaya

peningkatan produktivitas padi, peningkatan efisiensi dan peningkatan pendapatan petani perlu dilakukan

guna mempertahankan predikat NTB sebagai salah satu propinsi penghasil beras nasional dan sekaligus

mempertahankan swasembada beras yang telah kita raih selama ini.

Propinsi Nusa Tenggara Barat juga dikenal sebagai gudang ternak karena mampu memasok

ternak ke propinsi lainnya terutama Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan Barat. Pemeliharaan ternak sapi

oleh masyarakat masih merupakan usaha sampingan, tabungan keluarga yang sewaktu-waktu dapat dijual

serta dipergunakan sebagai tenaga kerja. Pemotongan ternak (sapi) di NTB tahun 1996 tercatat sebanyak

30.587 ekor dan tahun 2000 sebanyak 40.723 ekor atau meningkat 33%, dilain pihak populasi sapi

menurun dari 450.142 ekor pada tahun 1996 menjadi 376.526 ekor pada tahun 2000 atau menurun

16,35%. Penurunan tersebut terjadi karena tingkat kelahirannya yang rendah di lain pihak pemotongan

dan pengeluaran ternak terus meningkat. Untuk meningkatkan produktivitas ternak diperlukan

ketersediaan pakan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya di samping faktor perbaikan mutu

genetis, perkandangan dan manajemen reproduksi. Potensi pakan yang cukup besar pada lahan irigasi

yang pemanfaatanya belum optimal adalah jerami padi.

Apabila dua persoalan pokok tersebut yaitu penurunan produktivitas padi di satu pihak dan dan

penurunan populasi ternak sapi di pihak lain di NTB ditangani secara terpadu akan dapat meningkatkan

efisiensi produksi yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani. Sebagai implementasi dari upaya

tersebut Departemen Pertanian mulai tahun 2002 mengembangkan program peningkatan produktivitas

padi terpadu (P3T) pada 14 propinsi di Indonedia termasuk di NTB. Kegiatan P3T di Propinsi NTB

dilaksanakan di dua kabupaten yaitu Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Bima. Di Kabupaten

Lombok Barat, lokasi yang dipilih adalah Desa Jenggala, Kecamatan Tanjung, sedangkan di Kabupaten

Bima, di Desa Rade Kecamatan Madapangga. Petani kooperator di Desa Jenggala sebanyak 197 orang

berasal dari kelompoktani Langgemsari, Kleang I, Jebak Jenggala dan Seruni dengan luas areal mencapai

Page 44: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

44

100 ha. Petani kooperator di Desa Rade berjumlah 272 orang berasal dari kelompoktani Bolo Utama,

Kelate Nggapi, Tani Utama dan Cinta Manis dengan hamparan sawah seluas 100 ha (BPTP NTB, 2002).

Program P3T pada dasarnya mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu: (1) Pengelolaan Tanaman

Terpadu (PTT), (2) Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT) dan (3) penguatan kelembagaan tani melalui

penguatan Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT). Tujuan utama kegiatan Pengelolaan Tanaman

Terpadu (PTT) adalah: (1) meningkatkan produktivitas padi minimal 0,5 ton/ha, (2) memperbaiki struktur

tanah dengan penggunaan pupuk organik, (3) meningkatkan pendapatan petani melalui efisiensi

penggunaan input, (4) memperkuat kelembagaan tani, khususnya dalam aspek agribisnis dan (5)

mempercepat diseminasi teknologi inovatif.

PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT)

Kegiatan PTT di NTB dimulai pada tahun 2001 dilaksanakan sebagai salah satu bentuk

penelitian dan pengkajian (litkaji) oleh BPTP NTB yang melibatkan para peneliti dan penyuluh BPTP

NTB dan peneliti dari Balai Penelitian Padi (Balitpa) Sukamandi dan petani sebagai koperator. Kegiatan

ini dimulai dengan melaksanakan PRA (Participatory Rural Appraisal), yaitu suatu metode penelitian

berdasarkan pendekatan partisipatif, dengan menggali permasalahan yang dihadapi petani secara

mendalam dan mencoba mencarikan jalan keluarnya secara bersama-sama dengan petani.

Teknologi yang diterapkan pada kajian PTT disesuaikan dengan rakitan teknologi yang

dirumuskan bersama-sama dengan petani dan PPL pada saat PRA. Paket teknologi didasarkan kepada

ketersediaan sumberdaya, permasalahan yang dihadapi dan kebiasaan petani. Komponen teknologi yang

dianggap baru adalah umur bibit dan jumlah bibit per rumpun. Deskripsi teknologi PTT dibanding

teknologi petani di sajikan pada Tabel 1.

Paling tidak ada lima komponen teknologi yang secara terpadu dapat diterapkan untuk mengatasi

masalah tersebut, yaitu penggunaan benih unggul 15 kg/ha, bibit ditanam umur muda (15 hari),

penggunaan pupuk organik (kompos), penggunaan bagan warna daun (BWD), penggunaan pupuk P dan

K didasarkan pada status hara dan penggunaan air secara intermitten. Setiap komponen teknologi

mempunyai keunggulan masing-masing. Selama ini, petani di NTB menggunakan benih padi antara 50

kg/ha (di Desa Jenggala Lombok Barat) hingga 120 kg/ha (di Desa Rade Bima).

Tabel 1. Teknologi PTT vs teknologi petani di Desa Jenggala, Lobar dan Desa Rade, Bima. MK. 2001.

Variabel Teknologi

PTT

Teknologi Petani

Jenggala Rade

Pengolahan tanah Sempurna Sempurna Sempurna

Mutu benih Sertifikat Sertifikat Tidak sertifikat

Kebutuhan benih 15 kg/ha 60 kg/ha 100 – 120 kg/ha

Umur bibit 15 hari 25 hari 25 – 30 hari

Bibit/rumpun 1 batang 5 – 7 batang 10 – 15 batang

Jarak tanam 20 x 20 cm Tdk teratur Tdk teratur

Pupuk :

Urea

SP-36 (analisa tanah)

Organik

BWD (250 kg/ha)

75 kg/ha 3 t/ha

400 – 500 kg/ha

100 kg/ha 0

300 kg/ha

50 – 100 kg/ha 0

Pengendalian gulma Manual Manual Herbisida/manual

Pengendalian H/P PHT Tanpa acuan Tanpa acuan

Sumber: L. Wirajaswadi, dkk. (2002)

Dengan teknologi tanam bibit satu-satu dapat mengurangi jumlah benih yang dibutuhkan antara

35-105 kg/ha. Apabila rata-rata penggunaan benih padi 50 kg/ha (standar terendah) maka dengan luas

lahan sawah irigasi di NTB 150.000 ha yang dapat ditanami padi dua kali setahun maka luas tanam setiap

tahun 300.000 ha. Dengan harga benih padi unggul Rp.3000/kg maka jumlah biaya produksi yang dapat

dihemat untuk membeli benih sebanyak Rp.31,5 - 94,5 M,-per tahun. Biasanya petani menanam benih

umur 21-30 hari, tetapi dengan teknologi tanam bibit muda umur 15 hari dapat memberi manfaat

mempercepat tumbuhnya anakan dan waktu panen. Jumlah anakan produktif dengan teknologi ini rata-

rata 18 batang per rumpun bergantung varitas padi yang ditanam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap jumlah anakan produktif antara umur bibit 15 hari dengan

umur 21 hari. Di samping itu, penggunaan bahan organik (kompos) dapat meningkatkan efisiensi

Page 45: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

45

penggunaan pupuk kimia (N, P dan K) hingga ½ dosis rekomendasi atau dapat mengurangi biaya untuk

membeli pupuk kimia Rp.475.000,-/ha, karena kompos tidak hanya dapat memperbaiki sifat fisik, kimia

dan biologi tanah tetapi juga dapat mensubsitusi hara bagi tanaman. Dengan menggunakan bagan warna

daun (BWD) petani dapat mengurangi jumlah pupuk Urea yang digunakan hingga 30-50% karena

penggunaan pupuk N akan disesuai dengan kebutuhan tanaman (Jaswadi, dkk., 2002). Penggunaan BWD

memberikan petunjuk takaran pupuk N yang akan diberikan kepada tanaman, artinya apabila BWD

menunjukkan warna daun padi sudah cukup pupuk N maka tidak perlu diberikan pupuk Urea. Selain itu,

penggunaan pupuk P dan K yang efisien juga didasarkan pada status haranya. Bila status hara P dan K

tinggi maka tidak perlu lagi diberikan pupuk P dan K atau dosis pemupukannya dikurangi. Di samping

teknologi produksi, komponen teknologi lain yang tak kalah pentingnya adalah sistem pengairan

intermitten, yaitu pemberian air pada tanaman padi secara terputus-putus artinya tanaman diberikan air

sesuai dengan kebutuhannya dengan memberikan air secara periodik yang diselingi dengan pengeringan.

Teknologi ini sangat sesuai dalam rangka efisiensi penggunaan air.

Produksi padi dengan teknologi tanam bibit satu-satu tidak berbeda nyata dibandingkan dengan

cara tanam 2, 3, 4 atau 5 bibit tanaman per lobang tanam. Hasil riel yang diperoleh dengan menerapkan

teknologi tanam bibit satu-satu pada MH.2002 di Desa Jenggala Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok

Barat rata-rata 7,1 ton/ha sedangkan dengan teknologi petani 5 ton/ha. Pendapatan bersih yang diperoleh

petani dengan teknologi ini sebesar Rp. 5.561.000,/ha/musim, sedangkan petani yang tidak mengunakan

teknologi ini (pembanding) mendapat keuntungan bersih Rp. 4.608.000,-/ha/musim. Dengan keberhasilan

teknologi ini sekarang telah diikuti oleh petani lainnya di Kabupaten Bima (Kecamatan Madapangga),

Kabupaten Lombok Tengah (Desa Sepakek) dan Kabupaten Lombok Barat (Kecamatan Tanjung) dengan

areal yang cukup luas. Varietas yang digunakan hendaknya tahan tungro (Bondoyudo dan Kalimas)

bersertifikat, minimal label biru dengan takaran 15 kg/ha. Pergiliran benih dilakukan sebaiknya setiap

musim tanam. Perlakuan benih dengan air abu (Jaswadi dkk., 2002).

Pengolahan tanah dilakukan sebaik mungkin (pengolahan sempurna). Persemaian dibuatkan

seluas 4% dari rencana tanam. Untuk mendapatkan bibit yang sehat, persemaian dipupuk dengan Urea

dan SP 36 masing-masing 10 g/m2, pada saat berumur 5 hari. Tidak dianjurkan membuat persemaian

dekat dengan lampu untuk menghindari serangan virus tungro, dan berjarak minimal 250 m dari sumber

inokulum. Manajemen persemaian pada luasan 100 ha, dianjurkan secara kolektif tiap kelompok untuk

lahan seluas 5 ha. Waktu persemaian antara kelompok perlu diatur untuk tidak melakukan waktu

persemaian secara serentak untuk menjaga kekurangan regu tanam, dan menjamin waktu tanam serempak

dalam suatu hamparan .

Untuk mendapatkan populasi tanaman optimal dan memudahkan pemeliharaan, penanaman

dengan tandur jajar 20 x 20 cm. Bibit ditanam pada umur 15 HSS, satu bibit setiap rumpun. Hal ini

dimaksudkan agar tanaman dapat memperlihatkan potensi genetiknya. Bibit muda akan tumbuh dan

berkembang lebih baik, sistem perakaran lebih intensif, anakan lebih banyak, dan lebih mampu

beradaptasi dengan lingkungan dibandingkan dengan bibit tua. Setelah tanam air petakan dipertahankan

dalam kondisi macak-macak (BPTP NTB, 2002).

Teknologi pemupukan diintroduksikan penggunaan pupuk organik berupa kompos 2 t/ha

diberikan sebelum pengolahan tanah kedua pada berbagai musim tanam dan varietas padi seperti

ditampilkan pada Tabel 2. Pemupukan nitrogen (N) berupa pupuk dasar dengan takaran 23 kg N/ha (50

kg Urea/ha) pada umur 5 HST. Pupuk N selanjutnya diberikan menurut hasil pembacaan Bagan Warna

Daun (BWD) pada titik kritis 4. Cara penggunaan bagan warna daun (BWD). Pemupukan P berdasarkan

hasil analisa status hara tanah. Pengendalian gulma dilakukan secara terpadu, demikian juga pengendalian

hama dan penyakit. Pengaturan air dilakukan secara terputus (intermitten).

Tabel 2. Produktivitas padi pada berbagai musim tanam dan varietas padi dengan teknologi PTT.

MT Varietas Kompos Tanpa Kompos

MK I 2001 IR 64 5,90 ton/ha 5,20 ton/ha

MH 2001 / 2002 Ciherang (Tanjung) 7,14 ton/ha 5.56 ton/ha

MK I 2002 Widas (Sepakek) 7,24 ton/ha 6,06 ton/ha

Page 46: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

46

SISTEM INTEGRASI PADI TERNAK (SIPT)

Penerapan teknologi sistem integrasi padi ternak mencakup beberapa kegiatannya antara lain: (1)

penggunaan kandang kolektif, (2) sinkronisasi birahi, (3) pembuatan jerami fermentasi, (4) pemberian

jerami fermentasi pada ternak sapi, (5). pengolahan limbah peternakan (kotoran sapi) menjadi kompos,

(6) manajemen perkawinan, dan (7) pemanfaatan kompos untuk tanaman.

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa: (1) introduksi kandang kolektif dapat mencegah

pencurian ternak sehingga pemilikan ternak meningkat, memudahkan dalam pengumpulan kotoran ternak

menjadi kompos sehingga kesehatan lingkungan dan masyarakat semakin meningkat, mengurangi

penggunaan pupuk kimia karena penggunaan kompos dan sebagian kompos dijual untuk meningkatkan

pendapatan petani, (2) sinkronisasi birahi mengunakan hormon Medroxy Progesteron Acetat (MPA)

dengan dosis 350 mg dan 450 mg memberikan respons dan tingkat birahi yang tinggi (100%) dengan

tingkat kebuntingan 33,3%, (3) pengolahan jerami menjadi jerami fermentasi meningkatkan kadar protein

kasar menjadi 11,25%, (4) pemberian jerami fermentasi memberikan hasil terbaik dengan peningkatan

bobot badan rata-rata 194,87 g/ekor/hari, (5) kompos yang sudah diproduksi oleh kelompok tani sampai

saat ini sebanyak 100 ton dengan rincian 60 ton telah dijual di wilayah NTB dengan harga Rp. 300/kg dan

40 ton dipergunakan sendiri oleh kelompok, (6) pemanfaatan kompos pada tanaman (padi dan kacang

tanah) dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya pemupukandan (7) dengan manajemen

perkawinan yang baik akan menghasilkan anak setiap tahun (Gambar 1).

Manajemen pembiakan yaitu pengaturan saat musim kawin, beranak dan penyapihan disesuaikan

dengan kondisi pakan dan saat tenaga kerja ternak dibutuhkan untuk mengolah tanah, sehingga produksi

ternak dapat optimal. Selama ini, ternak sapi yang berada di lokasi pengkajian (Desa Sepakek dan Desa

Kelebuh) proses pembiakan terjadi secara alami. Suatu saat terjadi kekurangan pakan terutama pada

musim kemarau. Masa kekurangan pakan ini berlangsung selama sekitar 3-4 bulan yaitu pada bulan Juli-

Oktober. Dalam kondisi demikian, bobot badan induk menurun dan tingkat kematian anak meningkat.

Untuk mengatasi kondisi kekurangan pakan ini, dapat ditempuh dua cara yaitu: (1) pengembangan

hijauan pakan ternak unggul dan (2) manajemen pembiakan. Cara pertama memerlukan waktu dan biaya

yang cukup besar sehingga pilihan pada cara kedua. Dengan menerapkan manajemen pembiakan dengan

baik maka akan diperoleh manfaat: (1) musim melahirkan saat pakan cukup tersedia sehingga tingkat

kematian anak dapat dikurangi dan pertumbuhan tinggi dan (2) manajemen pemeliharaan lebih mudah

karena kondisi ternak seragam, sehingga program pemasaran juga akan lebih terencana.

Keterangan :

Dikawinkan bulan Juni – Desember

Pedet lahir pada Maret – Agustus

Sapih Agustus – Nopember

Page 47: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

47

KELOMPOK USAHA AGRIBISNIS TERPADU (KUAT)

Aspek lain yang dikembangkan dalam P3T adalah penguatan kelembagaan tani dengan

membangun kelembagaan KUAT (Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu). Kelembagaan KUAT ini

diharapkan sebagai pusat pengelolaan usahatani, kelompok dan rumahtangga tani di lokasi P3T yang

nantinya akan dikembangkan lebih luas lagi. Dalam kelembagaan KUAT ini, disiapkan kredit usahatani

berupa saprodi untuk program PTT, kredit ternak sapi dan kandang kolektif untuk program SIPT, dan

kredit KUM untuk ibu tani.

Untuk jangka panjang kelembagaan KUAT ini diharapkan menjadi kelembagaan yang dapat

mengelola usahatani secara komersial dan dapat dimanfaatkan oleh anggotanya secara optimal. Dari

aspek pengembangan kelembagaan, para ibu tani telah diberikan fasilitas kredit pola KUM (Karya Usaha

Mandiri), dengan plafon sekitar Rp 200.000,- s/d Rp 250.000,- per orang selama enam bulan. Bunga

berkisar antara 1,5-2% per bulan. Kelembagaan KUAT selama ini belum tumbuh baik, karena masih

dikelola oleh petugas lapangan (KCD atau PPL). Diharapkan untuk masa mendatang, kelembagaan

KUAT dapat berkembang mandiri dan dikelola oleh petani sendiri dan tumbuh menjadi bank-bank petani

di desa.

KESIMPULAN

Berdasarkan kajian yang selama ini telah dilakukan oleh BPTP NTB maka pengembangan

program peningkatan produktivitas padi terpadu (P3T) apabila diterapkan dengan baik berdasarkan

petunjuk teknis dapat disimpulkan:

1. PTT tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas padi 1-1,5 ton/ha melebihi target yang

ditetapkan 0,5 t/ha, tetapi juga meningkatkan efisiensi pengggunaan sarana produksi (benih dan

pupuk) dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani.

2. Bagi petani yang mengikuti program ISPT tidak hanya dapat memperoleh tambahan pendapatan

dari hasil ternaknya tetapi juga dapat menghasilkan kompos yang dapat digunakan langsung untuk

meningkatkan kesuburan lahan dan dapat dijual sebagai sumber tambahan pendapatan baru.

3. Keberadaan KUM/KUAT selain dapat membantu petani dalam penyediaan sarana produksi tetapi

juga dapat menyediakan modal usaha bagi ibu-ibu tani dalam mendukung pengembangan

usahatani di pedesaan.

TAR PUSTAKA

BPS NTB.1999. Nusa Tenggara Barat dalam Angka. 1998.

BPTP NTB. 2002. Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) Propinsi NTB. Petunjuk Teknis.

Wirajaswadi L, Awaludin H, dan Mashur. 2002. Pengelolaan Tanaman Terpadu Budidaya Padi Sawah di Nusa Tenggara Barat. Makalah workshop PTT di Sukamandi Jawa Barat.

DISKUSI

Pertanyaan :

1. Invetarisasi teknologi yang ada di BPTP apa saja?

2. Kalau teknologi PTT dikembangkan diharapkan paket teknologi yang akan disebarkan harus

dikoordinasikan dengan petugas lapangan sehingga saat akan dikembangkan dilokasi lain petugas

lapangan sudah mengetahui.

3. Bagaimana penerapan teknologinya.

4. Dalam sistem integrasi, berapa persen pakan itu bisa dipenuhi.

5. Beberapa ekor sapi yang bisa dipelihara dalam luasan tertentu.

Tanggapan:

1. Kami memiliki 112 paket teknologi, 20 diantaranya telah direkomendasikan.

2. Proses adopsi teknologi tidaklah mudah, harapannya dinas sebagai stake holder dapat bekerja sama

dalam rangka proses adopsi teknologi.

Page 48: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

48

3. Mengenai BWD sebelum disebarkan kemasyarakat telah disebarkan terlebih dahulu pada para

petugas lapangan.

4. Mengenai pemberian jerami yang telah dicoba adalah 45% jerami + 50% rumput lapangan.

5. Dalam penelitian kami menggunakan pendekatan secara partisipatif, yang melakukan, mengevaluasi

dan menilai adalah petani sendiri.

Page 49: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

49

OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN INTERSEKTORAL

DAN DALAM SEKTOR PERTANIAN

I Wayan Rusastra, Saptana dan Supriyati

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor

ABSTRAK

Penataan penggunaan lahan perlu dilakukan secara integratif dengan sasaran sinergi pembangunan

intersektoral, namun tetap memberikan penekanan pada urgensi pembangunan pertanian. Paper ini secara deskriptif mengungkap konsepsi penataan lahan, keragaan struktur dan konversi lahan pertanian, dan perencanaan strategis

penataan lahan dalam sektor pertanian. Secara normatif optimalisasi penataan lahan intersektoral dan dalam sektor

pertanian perlu dibangun berdasarkan pada tata ruang dan kelas kemampuan lahan, yang selanjutnya difasilitasi

dengan pengembangan infrastruktur secara berencana. Permasalahan faktual penataan lahan saat ini adalah konversi lahan pertanian produktif yang berdampak negatif terhadap ketersediaan pangan dan marginalisasi petani paska

konversi. Dalam penanganannya, kebijakan antisipatif yang perlu dipertimbangkan diantaranya adalah: (a)

Pengembangan SDM petani dalam pengelolaan dana hasil konversi dan aksesibilitas terhadap kesempatan kerja baru;

(b) Peningkatan kapasitas kemampuan lahan dan efektivitas sarana dan prasarana irigasi yang ada; (c) Percepatan pencetakan sawah dan peningkatan kemampuan dan perluasan sistim irigasi secara berjenjang dan partisipatif; dan (d)

Pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) melalui penetapan, pemantapan, dan pengamanan sentra produksi

pertanian strategis. Optimalisasi penataan sektor pertanian perlu mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu pemetaan

AEZ sebagai basis perencanaan, penciptaan teknologi introduksi spesifik lokasi, program dan kebijakan pendukung pengembangan, ketersediaan pendanaan dan mobilitas tenaga kerja pertanian, dan ketersediaan pasar input-output

pertanian serta kebutuhan konsumsi masyarakat. Dalam operasionalnya perlu difasilitasi oleh program konsolidasi

lahan melalui pengembangan kelembagaan kemitraan agribisnis.

PENDAHULUAN

Penataan penggunaan lahan antar sektor dan dalam sektor pertanian perlu dilakukan secara

integratif dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan ekonomi wilayah dengan tetap memberikan

prioritas pada pembangunan pertanian. Permasalahan paling komplek saat ini adalah penyimpangan

pemanfaatan lahan sesuai dengan acuan RUTR yang diindikasikan oleh alih fungsi lahan pertanian

produktif. Kompleksitas konversi lahan mencakup aspek struktur fisik dan penguasaan lahan, dampak

ekonomi dan kelembagaan, dan aspek penegakan hukum.

Permasalahan mendasar penataan lahan di dalam sektor pertanian adalah relatif masih

terbatasnya hasil penelitian karakterisasi dan pemetaan potensi lahan sebagai basis perencanaan

pembangunan pertanian. Pemetaan AEZ juga perlu didukung oleh penyediaan teknologi introduksi

spesifik lokasi untuk berbagai jenis komoditas unggulan yang difasilitasi oleh program serta faktor

pendukung pengembangannya. Keberhasilan realisasinya di lapangan sangat ditentukan oleh koordinasi

dan konsolidasi lembaga riset daerah dan dinas teknis terkait dalam pengembangannya. Pada tingkat

wilayah (zonasi pengembangan) dan rumah tangga tani, disamping kebutuhan akan teknologi spesifik

lokasi sebagai basis perumusan aktivitas usahatani dengan potensi teknologi yang lebih tinggi, juga

diperlukan identifikasi kendala sumberdaya dan subyektif yang dihadapi. Semua elemen tersebut

dibutuhkan dalam proses realokasi sumberdaya (khususnya lahan) dalam rangka maksimisasi

pengembangan ekonomi wilayah dan pendapatan petani.

Berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, maka tujuan penelitian paper ini adalah: (1)

Mengungkap konsepsi penataan lahan inter sektoral dan dalam sektor pertanian; (2) Membahas keragaan

struktur penguasaan lahan dan konversi lahan pertanian serta kebijakan antisipatif dalam

penanggulangannya; (3) Mengungkap perencanaan strategis penataan lahan dalam sektor pertanian pada

tingkat wilayah dan rumah tangga petani dengan sasaran pengembangan ekonomi wilayah dan

kesejahteraan petani.

KONSEPSI OPTIMALISASI PENATAAN LAHAN

Lahan bersifat langka sehingga harus dimanfaatkan secara efisien dan optimal. Lahan memiliki

peranan penting dan semua aktivitas ekonomi membutuhkan lahan, walaupun dengan derajat kebutuhan

Page 50: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

50

dari segi luas secara relatif berbeda. Dari berbagai jenis lahan yang menyebar secara spasial dengan

kwalitas yang beragam perlu dialokasikan secara optimal dalam mendukung kegiatan ekonomi nasional

dengan sasaran memberikan manfaat yang maksimal.

Dalam konteks ini perlu dipertimbangkan dua cakupan pokok, yaitu optimalisasi pemanfaatan

lahan intersektoral dan penataan dalam sektor pertanian sendiri. Kebutuhan lahan di luar sektor pertanian

(non-land based industries) mempunyai kharakteristik tersendiri dilihat dari segi kwalitas lahan, lokasi,

dan dukungan infrastrukturnya. Kebutuhan lahan untuk sektor pertanian juga relatif bervariasi antar sub-

sektor (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan) yang pada dasarnya juga

membutuhkan kwalifikasi lahan yang berbeda dari segi kwalitas, pewilayahan, dan dukungan

infrastruktur.

Dengan demikian dalam perancangan optimalisasi penataan lahan hal yang paling utama dan

terpenting (the first and foremost) adalah pengklasifikasian lahan menurut jenis dan kwalitas dikaitkan

dengan kepentingan dan penggunaannya menurut sektor dan subsektor secara detail dan seksama.

Optimalisasi pemanfaatan dengan sasaran maksimisasi manfaat ekonomi harus didasarkan pada

klasifikasi lahan secara rinci dengan memperhatikan sejumlah aktivitas ekonomi (pertanian dan non

pertanian). Kesemuanya ini dapat diwujudkan dalam bentuk rumusan Rencana Umum Tata Ruang

pemanfaatan/penataan lahan. Infrastruktur pendukung secara normatif tentunya harus dibangun

berdasarkan pada perencanaan optimalisasi penataan lahan menurut kepentingan intersektoral dan dalam

sektor pertanian sendiri.

PENATAAN LAHAN INTERSEKTORAL

Konsepsi optimalisasi penataan lahan adalah bersifat normatif atau bahkan bersifat idealis

normatif. Konsepsi normatif ini hanya bisa diaplikasikan pada wilayah pengembangan baru,dan bukan

pada kenyataan empirik pada suatu wilayah yang sudah dikembangkan. Dengan demikian bahasan

tentang optimalisasi penataan lahan secara optimal serta faktor-faktor yang mempengaruhinya

membutuhkan pembuktian terbalik. Dalam kenyataan empirik penataan/pemanfaatan lahan antar sektor

dapat dilakukan melalui pembahasan isu sentral tentang aspek ini dan faktor determinan terkait. Isu

sentral tersebut adalah masalah konversi lahan pertanian. Melalui pembahasan masalah konversi lahan

pertanian dan aspek terkait diharapkan dapat dirumuskan antisipasi penanggulangannya yang pada

hakekatnya diarahkan untuk pembangunan sektor pertanian, tanpa mengabaikan penataan lahan secara

optimal untuk sektor pembangunan lainnya.

Bahasan konversi lahan pertanian akan menampilkan tiga aspek, yaitu: (1) Keragaan makro dan

mikro konversi lahan; (2) Struktur pemilikan lahan dan kesejahteraan petani; dan (3) Dampak konversi

dan antisipasi penanggulangannya. Keragaan makro konversi lahan menampilkan kondisi konversi lahan

pertanian selama dua periode Sensus Pertanian terakhir (1983-1993), sedangkan aspek mikro merupakan

review studi empirik yang dilakukan beberapa pihak. Struktur pemilikan lahan dan kesejahteraan petani

memiliki keterkaitan yang sangat kuat, dan mempunyai korelasi kuat terhadap kemungkinan konversi

lahan kaitannya dengan ketersediaan peluang kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Dampak

konversi memiliki cakupan yang luas yang diperoleh melalui review berbagai studi. Dari ketiga aspek

bahasan ini diharapkan dapat ditarik antisipasi penanggulangan dampak dan kebijakan strategis dengan

sasaran optimalisasi pemanfaatan lahan, tanpa harus mengorbankan kepentingan pemanfaatan lahan bagi

pembangunan sektor pertanian.

1. Keragaan Makro dan Mikro Konversi Lahan

Dalam periode 10 tahun terakhir (1983-1993), total konversi lahan pertanian di Indonesia

mencapai 1,28 juta hektar, dimana 79,3 persen atau seluas 1,02 juta hektar terjadi di Jawa (Rusastra dan

Budhi, 1997). Di luar Jawa daerah yang mengalami konversi lahan yang cukup besar adalah Lampung,

Jambi, dan Bali/Nusa Tenggara, masing-masing seluas 642 ribu hektar, 415 ribu hektar, dan 148 ribu

hektar. Konversi lahan pertanian menjadi isu sentral karena sebagian besar terjadi di Jawa dan

memanfaatkan lahan pertanian subur dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Dengan demikian

konversi lahan yang besar di Jawa akan membawa dampak yang serius terhadap persediaan pangan

nasional.

Dari total konversi lahan pertanian secara nasional, 68,3 persen adalah lahan sawah. Hasil kajian

empirik menunjukkan bahwa di Jawa Timur dari luasan total konversi lahan sebesar 38.100 hektar (1989-

Page 51: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

51

1991), sekitar 70,80 persen adalah sawah beririgasi dan hanya 29,20 persen sawah tadah hujan

(Sumaryanto, et.al., 1995). Dilihat dari penggunaannya, lebih dari 55 persen lahan sawah yang

mengalami konversi di Jawa beralih fungsi menjadi pemukiman, kawasan industri, dan prasarana

ekonomi lainnya. Kawasan Pantura-Jawa sebagai lumbung beras nasional ternyata sangat rawan terhadap

konversi lahan kepenggunaan non-pertanian. Nampak bahwa konversi lahan tidak sejalan dengan

perencanaan tata ruang dan nampaknya bukan pilihan yang tepat dan efisien dari aspek ekonomi dan

lingkungan dalam jangka panjang.

Pengamatan empiris di lapangan menunjukkan bahwa konversi lahan untuk tujuan pemukiman

dan prasarana sosial ekonomi, khususnya di wilayah urban tidak dapat dihindari, baik di Jawa maupun di

luar Jawa. Perluasan pemukiman yang dilakukan secara individual di wilayah urban cenderung melebar

melebihi batas aturan baku yang ditetapkan Pemerintah Daerah dalam RUTR (Rencana Umum Tata

Ruang). Konversi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman memberi konsekwensi besar terhadap

kemungkinan meluasnya alih fungsi lahan di kemudian hari. Hal ini disebabkan oleh adanya gangguan

hama tanaman, kurangnya penyinaran, terganggunya tata air persawahan, dan gangguan lingkungan

lainnya yang tidak memungkinkan lahan pertanian yang masih tersisa dapat diusahakan secara baik.

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi dan kinerja konversi lahan di tingkat petani (mikro)

telah dilakukan oleh Syafa‘at, et al. (1995) dan Rusastra et al. (1997). Alasan utama petani melakukan

konversi lahan sawah di Jawa dan instrumen kebijakan dalam penanggulangannya, adalah: (1) Alasan

konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahan berada dalam kawasan industri, serta harga lahan yang

menarik; (2) Harga dan pajak lahan yang tinggi cenderung mendorong petani untuk melakukan konversi

lahan; (3) Rasio pendapatan non-pertanian terhadap pendapatan total yang tinggi cenderung menghambat

petani untuk melakukan konversi; (4) Faktor pendorong penting lainnya adalah adanya kesempatan untuk

membeli lahan di tempat lain dengan harga yang lebih murah; dan (5) Terdapat tiga faktor penentu proses

konversi yaitu pendapatan, harga, dan pajak lahan yang dapat dijadikan instrumen kebijakan dalam

mengontrol proses transaksi lahan.

Di luar Jawa (kasus Kalimantan Selatan), alasan dan kinerja konversi lahan pertanian adalah

sebagai berikut: (1) Alasan utama petani adalah karena kebutuhan dan harga lahan tinggi, skala usaha

yang kurang efisien untuk diusahakan bila dilakukan pembagian warisan, dan sangat jarang karena alasan

terpaksa; (2) Alasan terakhir ini (karena terpaksa) sangat dimungkinkan dapat terjadi di masa depan

karena alasan gangguan agroekologis dengan terkonversinya lahan sekitar miliknya, sehingga lahan yang

ada tidak produktif; (3) Posisi tawar-menawar petani dalam proses alih-fungsi lahan yang sifatnya

individual (sporadis) berjalan sangat baik, dimana harga yang diterima petani dinilai tinggi dan

menguntungkan; (4) Pada penggunaan lahan untuk kepentingan umum (kawasan industri, prasarana jalan

negara, dan lain-lain) penetapan harga dinilai tidak sejalan dengan harapan petani, dimana harga yang

diterima petani dinilai jauh lebih rendah dibandingkan dengan alih fungsi secara individual.

Mengacu pada alasan dan kinerja konversi lahan tersebut, pemerintah dapat menetapkan

kebijaksanaan diferensiasi pajak lahan untuk mengontrol konversi lahan. Pada daerah tertentu yang

rentan terhadap alih fungsi, namun ingin tetap dipertahankan sebagai kawasan pertanian perlu diberikan

keringanan pembayaran pajak lahan. Dalam operasionalnya pelaksanaan kebijakan ini dapat dilimpahkan

kewenangan-nya pada otonomisasi pemerintah daerah. Di lain pihak, pengontrolan transaksi lahan

melalui kebijakan harga mungkin sulit dilakukan, karena keterbatasan dana untuk menjaga kestabilan

harga.

Hal yang menarik untuk diungkapkan di sini adalah pemanfaatan dana hasil konversi lahan yang

ternyata berbeda antara Jawa dan luar Jawa. Di Jawa sebagian besar hasil konversi dimanfaatkan kembali

untuk membeli lahan sawah, dan sisanya dimanfaatkan untuk tujuan lain seperti untuk biaya pendidikan,

perbaikan rumah dan membeli aset lainnya. Di luar Jawa (Kalimantan), dana hasil konversi dibagikan

kepada ahli warisnya yang umumnya dimanfaatkan untuk naik haji, membangun rumah, membeli aset

lancar, dan modal usaha. Tidak diperoleh informasi penggunaan dana konversi untuk membeli lahan

sawah. Hal ini dimungkinkan karena konversi umumnya terjadi di daerah urban, sehingga peluang

kesempatan kerja non-pertanian relatif terbuka dan lebih prospektif dibandingkan dengan membeli lahan

sawah yang hanya ditanami setahun sekali. Namun demikian, sebagian besar terjadi marginalisasi petani

konversi karena mereka umumnya bekeja di sektor informal yang dinilai tidak prospektif.

Page 52: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

52

2. Struktur Penguasaan Lahan dan Kesejahteraan Petani

Menurut Sensus Pertanian 1993 lebih dari 87 persen rumah tangga pertanian pengguna lahan

adalah petani tanaman pangan (padi dan atau palawija), 32 persen mengusahakan lahan perkebunan, 26

persen ternak, dan 24 persen tanaman hortikultura. Dominasi usahatani tanaman pangan di wilayah yang

sangat padat penduduknya (Jawa) lebih tinggi dari pada di luar Jawa (90% vs 84%). Sebaliknya peranan

usahatani tanaman perkebunan lebih tinggi di luar Jawa (43% vs 22%). Peranan usaha perikanan

budidaya (air tawar/tambak/air payau) masih sangat kecil.

Struktur pemilikan tanah pertanian cukup timpang. Hampir dua per tiga bagian tergolong dalam

kelompok penguasaan tanah kurang dari satu hektar, dengan perincian sebagai berikut: (a) Sekitar 26

persen termasuk dalam katagori kurang dari seperempat hektar dengan rataan pemilikan tanah hanya 0,12

hektar; (b) Sekitar 22 persen termasuk dalam kelompok penguasaan 0,25 – 0,49 hektar dengan rataan luas

pemilikan 0,3 hektar; (c) Sekitar 22 persen termasuk dalam kelompok 0,50 – 1,00 hektar dengan luas

pemilikan 0,59 hektar per rumah tangga. Untuk kelompok-kelompok penguasaan lebih dari satu hektar,

proporsi terbesar berada pada segmen 1,00 – 1,99 hektar (12%) dan 2,00 – 2,99 hektar (13%) dengan

rataan luas pemilikan 1,05 hektar dan 1,88 hektar.

Dengan mengasumsikan profil penguasaan lahan rumah tangga pertanian tanaman pangan

mencerminkan populasi rumah tangga pertanian pengguna lahan, maka karakteristik struktur penguasaan

lahan pertanian adalah sebagai berikut (Sumaryanto dan Rusastra, 2000): (a) Secara agregat rataan luas

penguasaan lahan per rumah tangga mengalami penurunan sebesar 10 persen selama periode 1983 –

1993, yaitu dari 1,05 hektar menjadi 0,86 hektar; (b) Kondisi 1993 menunjukkan hampir separuh rumah

tangga termasuk dalam golongan penguasaan lahan kurang dari 0,50 hektar dengan rataan penguasaan

kurang dari seperempat hektar; (c) Terjadi kecenderungan penurunan propoporsi rumah tangga dengan

kategori penguasaan lahan 0,5 hektar ke atas, dengan rataan luas penguasaan yang bervariasi; (d) Pada

golongan penguasaan 15 hektar ke atas terjadi penurunan proporsi secara drastis dari 0,19 persen menjadi

0,06 persen, namun rataan luas penguasaannya meningkat cukup besar yaitu dari 20,7 hektar menjadi

22,2 hektar; dan (e) Dalam periode 1983 – 1993 telah terjadi perubahan struktur penguasaan lahan yang

signifikan yang diindikasikan oleh peningkatan populasi petani gurem dengan luas penguasaan yang

semakin sempit, dan di lain pihak terjadi indikasi polarisasi penguasaan pada sebagian kecil rumah tangga

berlahan luas.

Berdasarkan pada permasalahan strutkur penguasaan lahan tersebut di atas terdapat beberapa

instrumen kebijakan yang perlu dipertimbangkan dalam upaya peningkatan pendapatan rumah tangga tani

dan kesejahteraan masyarakat pedesaan (Sumaryanto dan Rusastra, 2000) sebagai berikut: (1) Perbaikan

distribusi dan struktur penguasaan lahan; (2) Perbaikan tingkat upah dan kesejahteraan buruh tani di

pedesaan; dan (3) Mempertahankan dan meningkatkan luasan dan kwalitas lahan pertanian. Ketiga aspek

ini perlu dilaksanakan secara serentak dan paralel dan bersifat komplementer (inklusif) satu dengan

lainnya.

Perbaikan distribusi dan struktur penguasaan tanah merupakan permasalahan paling strategis dan

paling sulit. Beberapa langkah operasional yang perlu dipertimbangkan di dalam memecahkan

permasalahan ini diantaranya adalah: (a) Perbaikan sitem dokumentasi dan administrasi pertanahan; (b)

Penegakan hukum di bidang pertanahan sebagaimana tertuang dalam UUPA secara konsisten dan

konsekwen; (c) Pengaturan sistem pewarisan yang mengarah pada fragmentasi penguasaan lahan yang

akhirnya berdampak pada efektivitas penanganan usaha pertanian; (d) Pengendalian sistem transaksi

lahan dengan motif lahan sebagai komoditas dan tujuan spekulatif yang memperburuk produktivitas dan

pemanfaatan lahan pertanian; (e) Pengendalian konversi lahan pertanian ke non-pertanian yang

berdampak pada penyempitan luasan penguasaan lahan dan menyebabkan lahan pada kawasan yang

terkonversi menjadi tidak kondusif untuk kegiatan sektor pertanian; dan (f) Perbaikan penyebaran

penduduk melalui program transmigrasi dengan harapan bukan saja mampu memacu dan memotivasi

pertumbuhan ekonomi baru, tetapi mampu menciptakan harmoni dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Perbaikan kesejahteraan buruh tani menjadi sangat penting dalam kondisi adanya indikasi

penurunan jumlah permintaan tenaga kerja per unit luas usahatani dan adanya penurunan pendapatan

(tingkat upah) riil buruh tani di pedesaan. Penurunan permintaan tenaga kerja ini terkait dengan semakin

meluasnya penggunaan mekanisasi pertanian, penggunaan herbisida dalam kegiatan penyiangan, dan

maksimisasi pemanfaatan tenaga kerja dalam keluarga. Perbaikan kesejahteraan buruh tani diantaranya

dapat diwujudkan melalui peningkatan intensitas atau luas lahan garapan usahatani, penciptaan

kesempatan kerja dalam pengembangan produk pertanian, peningkatan mobilitas tenaga kerja antar

Page 53: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

53

wilayah dan sektor melalui pengembangan infrastruktur fisik dan kelembagaan jasa informasi tenaga

kerja, dan perluasan kesempatan kerja non-pertanian.

Berkenaan dengan mempertahankan dan meningkatkan luasan atau kualitas lahan pertanian,

beberapa hal berikut perlu mendapatkan pertimbangan: (a) Kegagalan program reboisasi hutan dalam

rangka peningkatan kualitas lahan dan penyediaan air, maka perlu dipertimbang-kan model reboisasi

dengan sistem bagi hasil yang dinilai lebih kondusif; (b) Mengingat luas hutan yang tersisa, perluasan

lahan pertanian hanya dapat dilakukan di luar pulau Jawa, terutama di beberapa lokasi di Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya; (c) Peningkatan intensitas penggarapan lahan di daerah pemukiman

baru (transmigrasi) yang eksistensi kegiatan pertaniannya telah berjalan dengan baik; dan (d)

Pemasyarakatan dan peningkatan pemanfaatan pupuk organik pada kawasan dengan tingkat eksploitasi

lahan yang intensif (pemanfaatan pupuk anorganik yang tinggi dalam jangka panjang) dengan indikasi

degradasi kwalitas lahan.

3. Dampak Konversi dan Antisipasi Penanggulangannya

Dampak makro konversi lahan yang dinilai paling serius adalah hilangnya lahan produktif yang

pada akhirnya menambah beban permasalahan swasembada pangan. Konversi lahan sawah di Jawa

cenderung mengabaikan aspek tata ruang, ekonomi, dan lingkungan (Rusastra dan Budhi, 1997).

Konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian cenderung mengabaikan nilai oportunitas sawah

yang sangat tinggi, dan investasi pengembangan struktur sosial kelembagaan kelompok tani sebagai

andalan sistem produksi beras nasional. Konversi telah mengabaikan dan menyimpang dari acuan

pembangunan kawasan industri, yang tidak boleh di atas lahan pertanian produktif, apalagi lahan sawah

beririgasi teknis.

Dampak konversi lahan sawah terhadap degradasi sumberdaya air secara potensial memiliki

kontribusi yang tidak kecil. Terdapat keterkaitan kuat antara konversi lahan sawah dengan meningkatnya

pencemaran lingkungan. Konversi lahan sawah diakui memberi sumbangan terhadap peningkatan

penyerapan tenaga kerja, namun penduduk pedesaan sangat minimal dalam perolehan manfaat ini.

Dampaknya bagi kawasan terkonversi adalah nyata dalam bentuk peningkatan ketunakismaan dan

penyempitan rataan pemilikan lahan. Buruh tani dan petani kecil setempat adalah golongan yang sangat

rentan terhadap dampak negatif konversi lahan.

Bagi petani yang mempunyai kemampuan ekonomi tinggi dan pemilikan lahan luas, konversi

lahan sawah cenderung berdampak positip dimana pemilikan sawah dan sumber pendapatan akan

meningkat setelah konversi. Mereka melakukan ekspansi pembelian lahan dan mendesak eksistensi

petani gurem. Pola konversi lahan untuk kepentingan industri, sarana dan prasarana, dan pemukiman

cenderung bersifat masal sehingga peran birokrasi sangat dominan baik dalam penentuan harga, cara

tawar-menawar, dan waktu pembayaran. Dalam kondisi ini, petani berada dalam posisi yang lemah dan

proses konversi cenderung merugikan petani.

Beberapa strategi antisipatif yang perlu dipertimbangkan dalam penanggulangan dampak

konversi lahan diantaranya adalah (Rusastra dan Budhi, 1997): (1) Dalam jangka pendek perlu

peningkatan kapasitas kemampuan lahan yang ada dan daya guna sarana dan prasarana irigasi yang telah

dibangun, peningkatan efisiensi pemanfaatan dana pembangu-nan, efektivitas program dan pelibatan

masyarakat tani secara langsung dalam pelaksanaan kegiatan; (2) Percepatan pencetakan sawah baru

dalam prospektif pemanfaatan dan pendayagunaan investasi irigasi melalui pembenahan daerah irigasi

yang sedang dibangun; (3) Meningkatkan kemampuan sistem irigasi sesuai dengan tahapan

perkembangannya (irigasi tahap dini – maju – responsif) sehingga terjadi peningkatan efektivitas

investasi yang telah dibangun; (4) Perluasan irigasi dengan memberikan prioritas pada usaha-usaha yang

telah dirintis oleh masyarakat petani seperti pengembangan sawah tadah hujan dari pada membuka daerah

baru (non-pertanian); (5) Pemberdayaan kelembagaan informal pedesaan dan aspek penegakan hukum

melalui penyaluran aspirasi masyarakat, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam

penyelesaian konflik sebagai akibat dari alih fungsi lahan pertanian.

Page 54: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

54

PENATAAN LAHAN DALAM SEKTOR PERTANIAN

Bahasan penataan lahan intersektoral dengan sasaran antisipatif pemanfaatan lahan untuk

kepentingan berbagai sektor, perlu dikomplemen dengan penataan lahan dalam sektor pertanian sendiri

untuk mendapatkan optimasi penataan lahan secara holistik dan komprehensif. Fokus bahasan penataan

lahan intersektoral adalah melalui pengungkapan keragaan dan antisipasi penanggulangan dampak

konversi, maka bahasan optimasi penataan lahan sektor pertanian akan mencakup pengungkapan

beberapa faktor diterminan utama, yaitu: (a) Karakterisasi dan zonasi pewilayahan pengembangan

berbagai komoditas pertanian melalui penelitian dan pemetaan AEZ (Agro-Ekological Zone); (b)

Penelitian, pengkajian, dan pngembangan teknologi spesifik lokasi dan program pendukung

pengembangannya; dan (c) Konsolidasi lahan dalam perspektif mendukung pengembangan agribisnis.

Ketiga aspek tersebut perlu dilakukan secara simultan agar pemanfaatan lahan dapat digunakan secara

optimal sesuai dengan potensinya dengan sasaran maksimisasi pendapatan petani dan pengembangan

ekonomi wilayah.

Karakterisasi dan zonasi pewilayahan pertanian melalui pembuatan peta AEZ merupakan basis

bagi optimasi penataan lahan. Pembuatan peta AEZ perlu mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis

sehingga memiliki relevansi faktual sebagai basis pengembangan komoditas. Komoditas yang

dikembangkan disamping memenuhi persyaratan teknis pengembangan juga telah memperhatikan potensi

pasar, sehingga diperoleh sinergi dan keberlanjutan produksi dan pendapatan petani. Peta AEZ

hendaknya mampu memberikan beberapa informasi kunci sebagai berikut: (a) Batasan wilayah secara

spasial yang menunjukkan karakteristik dan potensi kemampuan lahan; (b) Pilihan komoditas prioritas

yang dapat dikembangkan; dan (c) Indikasi kebutuhan teknologi bagi pengembangan setiap komoditas.

BPTP di seluruh Indonesia dengan pendampingan Puslit Tanah dan Agroklimat telah memiliki

kemampuan memadai dalam pembuatan peta AEZ ini. Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan

BPTP dalam pembuatan peta AEZ yang dinilai sangat penting dalam perumusan perencanaan strategis

pengembangan agribisnis. Dalam konteks desentralisasi pembangunan di tingkat kabupaten, pembuatan

peta AEZ skala 1 : 50.000 dinilai sangat memadai dalam perumusan perencanaan pembangunan pertanian

di tingkat kabupaten. Peta AEZ diharapkan mampu menampilkan keunggulan komparatif dan kompetitif

komoditas yang diindikasikan oleh tingkat produktivitas dan efisiensi penggunaan masukan yang tinggi.

Optimasi pemanfaatan lahan dengan sasaran pengembangan pendapatan petani dan ekonomi

wilayah perlu difasilitasi dengan sejumlah alternatif teknologi introduksi pengembangan komoditas

prioritas. Perencana pembangunan pertanian atau petani akan mempertimbangkan sejumlah aktivitas

usahatani dalam upaya maksimisasi pendapatan. Pengembangan teknologi spesifik lokasi komoditas

prioritas/unggulan daerah akan memberikan sejumlah opsi dengan kapasitas produksi dan peningkatan

pendapatan yang lebih besar. Teknologi introduksi yang ditawarkan dapat berupa paket teknologi untuk

komoditas unggulan atau rakitan/sintesa teknologi dalam pola tanam dalam setahun. Fasilitasi lain yang

diperlukan adalah dukungan permodalan, mobilitas tenaga kerja, kelancaran arus barang dan perdagangan

input-output serta kebutuhan konsumsi lainnya.

BPTP propinsi mempunyai mandat untuk mengadaptasikan dan mengkaji komponen teknologi

matang yang dihasilkan oleh Balit komoditas dan mendiseminasikannya kepada pengguna teknologi

spesifik lokasi di daerah. Basis penciptaan teknologi itu adalah peta pewilayahan komoditas (AEZ) yang

dilakukan secara sekuensial (studi adaptif-SUT-SUP) dan tuntas dalam kerangka waktu (time frame)

tertentu dan diakhiri dengan kegiatan diseminasi. Teknologi potensial spesifik lokasi juga perlu

difasilitasi dengan kebijakan pendukung yang diturunkan dari hasil studi tematik dan analisis kebijakan

dengan sasaran bukan saja dapat meningkatkan produksi, tetapi juga meningkatkan pendapatan dan

pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan.

Dalam tataran operasional, optimasi penataan lahan akan ditentukan oleh pelaksanaan program

konsolidasi lahan pada tingkat mikro dan makro di lapangan (Rusastra et al., 2001). Secara mikro,

konsolidasi lahan di tingkat petani diindikasikan oleh adanya pergeseran proporsi rumah tangga dengan

status garapan non-milik (sakap atau sewa). Konsolidasi mikro ini didorong oleh adanya fragmentasi

lahan dan daya tarik serta aksesibilitas pada kegiatan di luar sektor pertanian. Perkembangan teknologi di

sektor pertanian (perbaikan kesuburan lahan dan produktivitas usahatani) tidak perlu dikhawatirkan

sebagai penghambat pelaksanaan konsolidasi lahan sejauh dapat diciptakan kesempatan kerja atau

program kondusif lainnya (industrialisasi dan transmigrasi). Konsolidasi lahan akan berjalan sukses

dalam meningkatkan produktivitas usahatani dan kesejahteraan masyarakat petani dan pengembangan

ekonomi wilayah, bila pembangunan pertanian dan non-pertanian berhasil baik.

Page 55: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

55

Konsolidasi mikro di tingkat petani (sakap, sewa/gadai, dan pembelian lahan) diawali oleh

adanya migrasi sebagian petani karena adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap kesempatan kerja

di luar sektor pertanian. Karena keterbatasan kemampuan pengelolaan, sebagian lahan hasil pembelian

petani kaya disakapkan atau disewakan kepada petani lainnya. Untuk lebih meningkatkan kinerja

konsolidasi lahan, perlu dirumuskan kelembagaan sistem sakap yang kondusif bagi pencapaian sasaran

pembangunan pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani. Konsolidasi lahan ini juga perlu difasilitasi

oleh sistem kelembagaan dimana petani tidak kehilangan haknya atas tanah, namun tetap dapat akses

terhadap kegiatan di luar sektor pertanian.

Konsolidasi mikro di tingkat petani baru memperbaiki salah satu aspek dari struktur penguasaan

lahan yaitu adanya perluasan lahan garapan. Dampak konsolidasi lahan terhadap perbaikan adopsi

teknologi, peningkatan produktivitas, efisiensi usahatani, dan peningkatan pendapatan petani dapat

berhasil baik bila terdapat perbaikan struktur penguasaan lahan secara komprehensif yang mencakup

penanganan fragmentasi pemilikan, fisik hamparan, dan jarak antar persil.

Analisis kasus kemitraan agribisnis, tampaknya berjalan secara parsial (sub-optimal) sehingga

efisiensi tidak maksimal (Rusastra, et al., 2001). Perlu didorong munculnya kemitraan agribisnis yang

bersifat integratif melalui pengembangan kendali manajemen terpusat dan koordinatif sehingga diperoleh

efisiensi yang maksimal melalui pemantapan kelembagaan pengadaan dan pasar input, organisasi

produksi, dan pasar output. Kinerja konsolidasi kemitraan agribisnis ini nampaknya memiliki variasi

yang luas tergantung pada jenis komoditas, tingkat aplikasi teknologi, dan orientasi pengembangan

produk yang dihasilkan. Kesemuanya ini membutuhkan rumusan perencanaan dan kelembagaan yang

bersifat spesifik dalam pengembangannya. Penelitian dan pengkajian konsolidasi lahan ke depan melalui

pengembangan kemitraan agribisnis perlu diarahkan pada aspek tersebut dengan mempertimbangkan

keragaman faktor yang mempengaruhinya.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

1. Secara normatif optimalisasi penataan lahan intersektoral dan dalam sektor pertanian perlu dibangun

berdasarkan pada tata-ruang dan kelas kemampuan lahan. Perencanaan ini perlu didukung oleh

pengembangan infrastruktur dengan karakteristik yang berbeda antar sektor/sub sektor dengan tetap

mempertimbangkan konsep pembangunan wilayah secara terpadu. Perencanaan normatif ini hanya

relevan untuk kawasan pengembangan baru, dan nampaknya tidak sepenuhnya operasional bagi

wilayah yang sudah berkembang. Pada kawasan terakhir ini permasalahan yang perlu dipecahkan

adalah mencegah konversi lahan pertanian produktif yang dapat mengancam investasi dan

kelembagaan pertanian yang telah lama dibangun yang akhirnya berdampak buruk terhadap

ketersediaan dan ketahanan pangan nasional.

2. Dampak makro konversi lahan yang dinilai paling serius adalah hilangnya lahan pertanian produktif,

melemahnya ketahanan pangan, dan marginalisasi petani paska konversi. Kebijakan mikro seperti

harga dan pajak lahan serta pendapatan dinilai kurang efektif dalam mencegah proses konversi lahan.

Perlu pembinaan dan pengembangan SDM petani paska konversi, sehingga dapat memanfaatkan

secara efektif dana hasil konversi dan juga memiliki aksesibilitas terhadap kesempatan kerja baru di

luar sektor pertanian. Perlu reorientasi pembangunan pertanian di Jawa dan penekanan pada

manajemen dan teknologi komoditas bernilai tinggi, dan percepatan pembangunan di luar Jawa.

3. Kebijakan strategis antisipatif penanggulangan dampak konversi perlu mempertimbangkan langkah

strategi jangka pendek seperti: (a) peningkatan kapasitas kemampuan lahan dan peningkatan daya

guna sarana dan prasarana irigasi aktual; (b) percepatan pencetakan sawah dan peningkatan

kemampuan sistem irigasi secara berjenjang sesuai dengan tahap perkembangannya (dini – maju –

responsif); (c) perluasan irigasi dikaitkan dengan usaha-usaha yang telah dirintis oleh masyarakat

seperti pengembangan sawah tadah hujan dan pembukaan areal pertanian baru; dan (d) pelaksanaan

penegakan hukum melalui penetapan, pemantapan, dan pengamanan sentra produksi pertanian

strategis.

4. Optimalisasi pemanfaatan lahan dalam sektor pertanian perlu diinisiasi melalui identifikasi

karakterisasi dan pemetaan AEZ sebagai basis perencanaan pembangunan dan pewilayahan

komoditas pertanian. Dalam operasionalnya perlu didukung dengan penciptaan teknologi introduksi

spesifik lokasi, program dan kebijakan pendukung pengembangan, ketersediaan modal/pendanaan

dan mobilitas tenaga kerja pertanian, dan ketersediaan pasar input-output pertanian serta kebutuhan

Page 56: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

56

konsumsi masyarakat. Strategi ini juga perlu difasilitasi dengan program konsolidasi lahan pertanian

dengan mengembangkan pertanian dengan basis komoditas tertentu dan berwawasan agribisnis.

Konsolidasi dapat diwujudkan melalui kerjasama kemitraan antara investor agribisnis dan petani

dalam suatu kawasan agroekosistem. Strategi konsolidasi lahan ini disamping berperan dalam

optimalisasi pemanfaatan lahan, juga mencegah alih fungsi lahan melalui pelaksanaan program

kemitraan atau kooperatif farming yang sejalan dengan dorongan permintaan pasar yang menuntut

adanya peningkatan efisiensi melalui perbaikan skala usaha pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Rusastra, I W., G.S. Budhi, S. Bahri, K.M. Noekman, M.S.M. Tambunan, Sunarsih, dan T. Sudaryanto. 1997. Perubahan Struktur Ekonomi Pedesaan. Analisis Sensus Pertanian 1983 dan 1993. Pusat Penelitian Sosial

Ekonomi Pertanian, Bogor.

Rusastra, I W. dan G.S. Budhi. 1997. Konversi Lahan Pertanian dan Strategi Antisipatif Dalam

Penanggulangannya.Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol.XVI. No.4, Oktober 1997, Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Rusastra, I W., S.K. Darmoredjo, Wahida, dan A. Setiyanto. 2001. Konsoli-dasi Lahan Untuk Mendukung

Pengembangan Agribisnis. Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Syafa‘at, N., H. P. Saliem, dan K.D. Saktyanu. 1995. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan di Tingkat

Petani. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Sumaryanto, A. Pakpahan, dan S. Friyatno. 1995. Keragaan Konversi Lahan Sawah Ke Penggunaan Non-Pertanian.

Prosiding Pengemba-ngan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Sumaryanto dan I W. Rusastra. 2000. Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Petani.

Prospektif Pembangu-nan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial

Ekonomi Pertanian, Bogor.

Page 57: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

57

MICRO-FINANCE FOR AGRICULTURAL PRODUCERS

IN WEST NUSA TENGGARA (WNT) PROVINCE - INDONESIA

Issues and Opportunities for a Sustainable Financial Intermediary System

Muktasam, Rosiady Sayuti, Anas Zaini, I Wayan Suadnya, I Made Mantra,

Ignatius Suwardi,Dwi Praptomo Sudjatmiko, Matsyukur

ABSTRACT

There have been various systems/schemes implemented by the Indonesian authorities to deliver financial

assistance to farmers. However, the performance of delivery systems was still far from satisfactory with respect to

credit access, credit use, credit repayment and the sustainability of the delivery system. On the basis of these issues,

the project is carried out to (1) identify issues and opportunities of the existing credit system, (2) develop a sound model of Micro Finance Institutions as an intermediary delivery system. The research methodology used for this

study consists of three phases. The first phase, identification of issues and opportunities of micro-finance system.

The second phase, implementation of agreed model of micro-finance system. The final phase, replication of the

model in wider areas. Results of the study indicate some issues regarding credit for agricultural producers such as ineffective and poor performance of micro finance institutions due to lack of supervision, loan performance very low,

complex credit procedures, mistargetted, ineffective partners, project and target approaches, unclear mechanism for

monitoring and evaluation, ineffective use of credit and lack of commitment, ineffective and sustainable groups. A

sound model was generated to address those issues follows a ―one-gate‖ approach.

INTRODUCTION

Micro-finance for agricultural producers in Indonesia is provided by the government through a

delivery system that performed unsatisfactorily, with respect to several indicators such as credit access,

credit use, credit repayment and the sustainability of the delivery system. Therefore, a research and

development project that attempts to develop the delivery system of micro-finance for the agricultural

producers in Indonesia is necessary.

There have been various systems implemented by the Indenesian authorities to deliver financial

assistance to the agricultural producers. For example, in the early stage of its rice intensification program,

an Authority set up a costly nationwide network of the state bank‘s units1 and of village cooperative unit

2

specifically to deliver the financial assistance. More recently, the Authority implemented systems that

incorporated group lending, saving services, and involvement of Non Government Organizations

(NGOs). However, performance of delivery systems was still far from satisfactory with respect to credit

access, credit use, credit repayment and the sustainability of the delivery system. This was due to various

factors, ranging from social, cultural, economic, and political factors of the producers, to the design of the

delivery systems.

The systems were solely designed to channel credit, ignoring the saving capacity of the

agricultural producers. This approach is contradictory to the approach suggested by the new paradigms in

micro-finance, the Financial Market Paradigms (FMP), which argues that credit only programs can not

become financially sustainable. In other words, only a financial system or institution that acts as a

financial intermediary between savers and borrower can be financially sustainable.

The liberalisation measure introduced in 1988 has brought a number of new rural banks into

operation in the Indonesian rural financial system. However, these institutions are mainly concerned with

non-agricultural producers (e.g., small off farm enterprises). Hence, the agricultural producers have no

options other than the government credit programs for financial assistance.

In the long term, the goal of the proposed project is to develop a sustainable micro-finance

system for the agricultural producers in the West Nusa Tenggara Province of Indonesia. The objectives

of this proposed project are, as follows.

To identify issues and opportunities for developing a sustainable micro-finance system for the

agricultural producers in WNT Province.

To develop an innovative micro-finance system for the agricultural producers in WNT Province.

Page 58: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

58

RESEARCH METHOD

The research methodology used for this study involving the key stakeholders of the micro-

finance system and consists of three phases. The first phase involves the identification of the relevant

issues and opportunities for building a sustainable micro-finance system. This includes performance of

the existing system, training and action learning needs using informal interviews, case studies and focus

group studies. The second phase is the implementation (pilot project) of the innovative designs of the

micro-finance system, and to perform the identified training needs (e.g., in-country short course and in

Australia) and the action learning programs. The final phase is an evaluation of the activities in the

second phase, and summarising findings and making recommendations for possible further development.

In this last phase, the performance of the pilot micro-finance systems will be assessed. The review will

address credit ‗need-award‘ suitability, credit access among socio-economic groups, institution borrower

transaction cost, and credit repayment.

In depth informal interview and Focus Group Discussion were carried out in Bima & West

Lombok districts to get more insight of the ten schemes, especially those focused on agricultural

producers - rice and non-rice farmers. Informal interviews More than 40 respondents were interviewed

consist of farmers, staff of rural cooperatives, LSM, Banks (BRI and BPD), district and provincial

government, and staff of Central Bank (Bank of Indonesia). In addition to these respondents, farmers and

field agents of the ten stakeholders involved in the previous activities were interviewed using ―Interview

guides‖ were used for this informal interview (either for farmers and agencies) focusing on the following

issues:

The performance of the existing schemes,

Causes for non-performance,

Opportunities for improvement

Focus Group approach was taken for the following objectives:

Gain confirmation from stakeholders regarding the issues and opportunities of the existing

performance of the schemes.

To gather additional information of the issues and opportunities of the existing performance of the

schemes.

Identifying the best measures for improving the existing scheme delivery systems & sustainability

(training for ―pendamping‖, ―groups‖, and ―petugas‖).

Focus group studies involved six groups of stakeholders, namely, two groups of farmers, one

group of government representatives (field extension agents; district staff of Department of Agriculture;

Cooperative office, one group of bank representatives (BRI and BPD), one group of cooperative

representatives (KUD), and one group of NGO representatives.

Focused group studies were carried out in Bima and West Lombok districts from December

2001 to January 2002. Through facilitation and brainstorming techniques, FGD helped the stakeholders

to generate ideas and information about at least four major points (1) issues or problems of KUT and

other schemes, (2) solutions to these issues or problems, (3) sustainability of the schemes, and (4)

preferable micro institutions which may help promote effective credit/schemes to rural communities.

Results of these focus group studies are presented in the following section.

RESULTS

1. Case Study Results

Effective schemes should be seen from different perspectives such as food crops, forestry,

cash/estate crops, and others. As there are many schemes from different sources with different

characteristics and approaches to farmers in the village, stakeholders perceived there should be one

general institution at village level to converging and diverging all schemes. Effective schemes required

effective partners (pendamping) - who meet the following criteria: professional, high commitment, should

be paid by the community from productive activities, stay at local level. Almost all stakeholders concern

for ―sustainability‖ of the schemes; Several stakeholders have taken steps to prepare for ―after project‖

sustainability such as done by NTAADP (empowering local institution - IMS), P4K (LKM), IFAD. Most

schemes were fail such as KUT/KKP, KUK-DAS, KKPA, KUHR, and KUKESRA. These schemes found

some problems, especially in the following areas:

Page 59: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

59

Lack of supervision

Repayment rate very low - debt very high

Complex credit procedure

Mistarget

Ineffective partners

Project and target approaches

Unclear mechanism for monitoring and evaluation

Ineffective use of credit and lack of commitment

The more success schemes and sustainable micro-finance required strategic steps to prepare local

community/groups to be independent.

2. Interview Results

As stated in the previous section, the focus of in-depth interview was on the performance of food

crops schemes especially Kredit Usaha tani (KUT) and cash crops schemes (P2WRT - IFAD). In regard

to KUT, interviews with all stakeholders (respondents) indicate a general perception of KUT

performance, causes for the performance and possible as well as opportunities to improve the future

schemes. According to the respondents, KUT performance was very bad which indicated by low

repayment rate and even debt. Several expression and term used by respondents to describe the

performance of KUT such as ―KUT hancur‖, ―KUT had disappeared‖, ―We knew all our bed experience

with KUT‖, and ―Just buried KUT - Kambojakan KUT‖.

There are several explanations given by respondents for bad performance of KUT such as (1)

negative perceptions of farmers toward ―credit as a gift from the government‖, used of reference groups,

either at village level or national level ―why should I repay the credit while the others did not‖ (they refer

to other farmers and national cases of credit malpractice - Tommy, Edi Tansil, Gus Dur); (2) ineffective

use of the credit - especially for consumption which led to failure to generate income, (3) corrupted by

LSM, (4) lack of commitment - mental states - either from farmers and field agents as well as other

district staff, (5) fictive or data manipulation - unreal proposal, (6) low productivity - harvest failure

(Results of in-depth interviews are summarised in Table 1).

To improve - whatever the schemes are - several options were raised by the respondents such as

(1) develop a procedures where farmers will feel that they get the credit from the bank and not from the

―government‖, (2) effective supervision by field agents and the bank, either at the first stage when farmers

propose their plan to ensure that the ―name of farmers are correct‖, ―the size of land is OK‖, and ―the

amount of their credit is OK‖. (3) at village level there should be an institution - acts as an

umbrella/development lens - where any schemes directed to the village take a consistent step to avoid

negative image of credit. (4) Professional field agents who can help farmers to improve their knowledge

and skills in running their business either in agriculture or non-agriculture. These field agents should be

paid by the government (in the first stage) or by the farmers or farmer groups (later once the group

developed).

Farmers rejected to repay their credit. In respond to this problem, government had introduced

another new scheme to replace KUT called Kredit Ketahanan Pangan (KKP) that again failed to be

implemented in Bima.

3. Focus Group Studies Results

Field agents

Could you mention several schemes you have experienced so far?

KUT, P4K, Pemberdayaan Ketahanan Pangan - PKP (2000), Pemberdayaan Ketahanan

Pangan Pedesaan - PKPP (2001), and PPA (Agribisniss). KUT has been a considered a failure story of

credit given to farmers. ―KUT hancur‖ and have left a very bad story, especially during the last

period...the case has brought LSM staff to jail and the case still in the court‖. ―LSM staff in the early

stage claimed that KUT was the right of farming communities..., ironically these strongest voice

disappeared as the LSM manipulation take place‖ (stated by cooperative partners, Bima & Mataram). In

1998/1999 about 80 % credits could be repaid while in 1999/2000 the credit was returned only 10 %.

Total KUT debt almost 10 billion rupiahs.

Page 60: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

60

In case of PKP and PKPP, the groups were established up to eight and one group in each village

respectively. There are several issues in the implementation of these schemes such as (1) nepotism, where

village leaders used their families‘ name as group members while the credit was received by the village

leaders, (2) lack of field agents participation, (3) strong intervention from the government.

Which one do you think the best scheme you have experienced?

P4K for the following reasons:

The total members of the groups are small (ten farmers)

Groups in P4K have rules

Focused on the groups‘ ability to promote group saving (with account balance or minimum Rp.

150,000.

Group pressure and responsibility (in case one member of the group fail to repay his/her credit, the

group would get negative reward - the future credit will not be given until all group members

returned their credit).

Self-selection of group members (group would select those more credible members - who would

repay their credit on time).

Most group members are woman

Group members have productive or economic activities (off-farm such as trading - dagang bakulan

and kiosk who represent 90 percent of members).

Total credit was Rp. 300,000.00 per group member or three million rupiah per group (in special case,

a member of P4K group may propose one half million rupiahs. The amount of credit is relatively

manageable.

Credit disbursement is directly from Bank to Farmers (there is no intermediates and no provision and

transaction costs), and no cut!

What are the major issues you found in KUT?

In respond to this question, the following issues were given:

Credit disbursement was not on time (it was delivered when farmers had finished their activities -

such as seeds, pesticides, fertilisers and others).

Cost for seeds was very high while the price of products was very low.

It would be better if non-governmental organisation (LSM) not involved.

Farmers develop negative image or perception of ―credit‖ and ―other development efforts, especially

when the project involving monetary support‖ - they perceived ―credit‖ as a kind of ―gift‖ from the

government!

Lack of effort and activities taken by the group leaders to supervise, to help group members as well

as to collect the credit from group members.

Some group members used ―reference group‖ for developing negative behaviors (why should I return

the credit while the other group members did not repay theirs?)

In the last few years, this negative image getting stronger due to negative impact on TV News.

Almost everyday the national TVs cover some malpractice and critical cases of ―credit‖ involving

some outstanding leaders such as the former presidents (Soeharto and Abdurrahman Wahid) as well

as the case of Tommy (Soeharto‘s son).

How KUT could be improved for its sustainability?

Group should be small

Tax receit should be used to avoid manipulation of data (fictive)

The group leaders should active

Use of agreement (contract documents)

If the group members fail to repay their credit, ―agunan‖ will be taken

Credit disbursement should be on time

Groups‘ plan should be developed properly - under field extension agent assistance

Incentive for field agents should be given

Clear proposal - the amount of credit proposed by group members has to be consistent with the group

members‘ land size and real needs

Page 61: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

61

The need to change farmers‘ negative perception on credit and development schemes - preliminary

stages should be taken to achieve this change, otherwise the existing image and behavior will

continue

Direct agreement and contact between farmers and banks - the best performance of credit or schemes

was achieved when farmers developed direct contact with bank, which help create ―sense of

responsibility - debt must be repaid‖.

Farmers

Four groups of farmers were involved in the focus group discussion - in Bima and West Lombok

(two in each district). Their perceptions of KUT and other schemes are summarised in the following box.

West Lombok Farmers:

Could you explain KUT procedures you have experienced with and which one you like most?

Two models of KUT were experienced by farmers in West Lombok district. First, farmers through

groups developed their group plan (in October) and then proposed to the bank through Rural Cooperative

Units (November). In about early December, the group got their credit. Second, farmers formed farmer

cooperative and through their cooperative developed their plan and proposed directly to the bank (BPD).

The bank processed the proposal for about two weeks until the credit was released. The second process

was the better.

Learning from your experience, what are the issues you found in KUT scheme?

The following issues were identified:

Most farmers failed to repay their credit

Groups did not work effectively (they exist just to get the credit, there was no meeting, no activities,

no decision making was made, lack of knowledge of the important of groups, no groups‘ rules, lack

of sense of belonging to the groups, ―kelompok dadakan‖, ―kelompok tidak jelas‖).

Lack of sense of responsibility or repay the credit - lack of commitment.

Perception that credit as a gift from the government

Low price of products

Name of group members was manipulated

The conditions required in the latest KUT (KKP) are very hard to be fulfilled - as a result, there is no

farmers want to get the credit. These conditions such as land certificate, no-debt for the previous

credit or KUT.

In contras, there are several cases where farmers and groups repaid their credit on time. Several factors

were raised during FGD such as:

Farmers‘ belief that ―utang‖ should be ―repaid‖ otherwise it is a guilty and disobeying Allah

recommends - would get punishment in the hereafter.

Groups exist and effective (see Figure!)

Incentive to the groups on the basis of group fees from the amount of credit they distributed (e.g.

seven rupiah per kg distributed fertilisers).

Another incentive to the group was related to the continuity of the credit. The government promised

that if a group could return their credit on time, then the group would get another credit (however in

fact it was not the case).

Exist of ―feeling guilty‖ of ―shyness‖ among group members when they failed to repay their credit.

The power of group pressure - social pressure - was likely stung enough to motivate member to

return the credit on time.

The successful group in west Lombok district has developed a supporting structure for

successful KUT as it is depicted in Figure 1. The group has the group leaders, which consist of head,

secretary and treasure while to support group activities ten sub-groups were established. These sub-

groups consisted of six to 10 members. Through this structure, the group has not only developed

effective communication process, but also help the group to get their credit paid on time. The leaders of

the sub-group had helped the group significantly. The way how the group works is consistent with

Chamala‘s Participative Action Management (PAM) model in which the group acts as a ―development

lens‖. All resources and supports, especially monetary support, are converged and diverged by the group.

Page 62: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

62

This group - farmer cooperative - may be developed further toward a Micro Finance Institution similar to

the Rarang ―Karya Terpadu‖ micro finance agency (see the other section).

Figure 1. The Model of “Wire Singe” Farmer Cooperative – Batu Kuta Village, West Lombok Indonesia

Bima Farmers:

Farmers expressed a very strong negative perception of KUT. They showed like ―no guilty

feeling‖ toward KUT. The following points were raised during FGD with farmers.

What are the issues of KUT in your area?

They explained that KUT has gone and it was a bad story. Most farmers did not repay the credit

for the following reasons:

No point to return KUT while others did not repay it (used others as reference)

Lack of farmers‘ commitment to repay their credit - although they have money, they did not repay it.

It is also influenced by their negative image of credit. ―Do not come to us for this small amount of

money, look to those who had taken away our money - refer to Tommy and the President of

Indonesia.

Manipulation of name and land size

Village leaders used farmers‘ name for their own benefit - farmers even did not realise that their

name were included in the group plan and proposal. Once the credit was released, the leaders ―cached

the money‖.

No field extension agents helped them in improving knowledge and using the credit

Field extension agents and other agents never came to farmers to collect the credit - KUD staff never

though to help the bank collect the credit - there was no incentive while at the same time the rural

cooperative staff did not feel for having the credit (the credit just passed from Bank to farmers. We

only found one ―good‖ field extension agent more than ten years ago.

Lack of commitment of LSM to help farmers - did not work well and professional.

KUT like other programs or projects (e.g. poverty alleviation) was a grant, therefore no need to return

it.

Farmers hope the government to ―clear‖ KUT - ―Pemutihan‖ or ―Just forget it‖ or ―dikambojakan‖.

This may have developed through a repeated experience not only in other areas such as IDT, but in

KUT it self (three times of ―pemutihan‖ had been experienced by farmers).

The group - farmer groups - did not work (the group just exist for the credit, only on the paper).

There was no control and supervision.

What can we do to promote effective and sustainable KUT?

Effective groups should be established

Field agents have to work closely with farmers and be professional

Control mechanism should be promoted to avoid manipulation and proper use of credit.

Credit or debt collectors should perform their task - to motivate farmers to return the credit.

There is a need to develop correct perception toward the credit. The credit should be repaid -

educating the people.

Direct contact between farmers and bank - to develop and create emotional link and the feeling or

responsibility (Micro finance institution at village level is considered as an option - with this, farmers

may not only develop feeling and sense of responsibility but also importantly sense of belonging).

Effective control has to be developed during the planning stage, bank processing, and credit

disbursement (released).

Sub-groups

Group

Page 63: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

63

Banks

Two ―Focus Group Discussion‖ were conducted with the bank - in Bima and Mataram,

involving credit staff of BRI and BPD. The results of these FGDs are summarised in the following

section.

In general how do you perceive the KUT experience - performance?

We all knew already that the pass experience with KUT was very bad. Debt on KUT was very

high - billions and most farmers failed to repay the credit. It was a ―program credit or scheme‖. We are as

a channeling agents and one important point was that ―we could not apply the careful principles‖ to

guarantee the credit release and repayment. Decision was made at Cooperative Office while we just

served farmers with credit realisation.

If that was the case, could you mention why the KUT performance was bad?

There are several major issues, which may be used to explain KUT performance such as:

Lack of support from related Department - especially in supervision activities

Lack of farmers‘ commitment

Lack of knowledge

The use of other groups as reference

Negative perception of credit - ―it was a gift - grant‖

Groups did not work

Lack of sense of responsibility

To long chain in procedure

Data manipulation

Difficult to check the proposal/group plan in the field

KUT was not on time - too many proposal to be proceed

While the ―target‖ should be achieved

Negative effect of TV news - corruption cases

Negative image of credit

Field agents did not work well -‖ never visited farmers

What can be done to improve credit performance?

Local specific need to be considered

Individual responsibility/approach may be better in case the groups did not work

Group performance need to be improved

Support for field agents should be increased

Need for professional agents and more integrated support

Promote direct contact between bank and farmers

Other departments should drop their monetary support to the bank - the bank then contact with

farmers

To develop positive image of credit

Do not use term ―project or program‖

Groups have to be small and effective (self-selected members)

Effective control mechanism should be developed to avoid manipulation and corruption

―Fairness‖ and ―commitment for work‖ are essential (kejujuran & ada usaha)

Cooperative and Department of Agriculture

In respond to a question “how would you explain KUT?”, district staff of the Department of

Agriculture (three participants) and Cooperative (four participants) stated: ―You knew already how worse

KUT‖ , ―KUT was not returned almost 10 billion‖, and ―KUT has brought one director of NGO to the

court and jail‖. This statement is clearly indicating their perception of KUT in that ―KUT was fail‖. Some

reasons for this failure are:

Farmers have developed negative perception toward credit, development ―project‖ and ―programs‖.

This perception has had significant impact on the low level of credit repayment rate. Once they

perceived ―credit as a part of project‖ that may mean that the government ―distribute money as a gift‖

or ―grant‖ or ―something that farmers would not need to return‖.

Page 64: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

64

The use of reference groups - farmers compare themselves with others. If the other farmers did not

pay their credit, these farmers would not pay their credit too.

Farmers‘ mentality is bad.

Most groups involved in KUT did not effective. The group exists only for delivering credit or for

project only.

Data manipulation - at farmers and LSM levels

Lack of field agents‘ commitment - limited control and supervision, lack of operational and

supervision cost, lack of knowledge and skills

Lack of preparation at groups and agency levels

LSM was not effective - manipulation and corruption (LSM coordinator is now in court

―Farmers nowadays more clever‖ - they compare themselves with other cases such as Edy Tanzil,

Tommy - whom have huge debt, and Gus Dur (the use of government budget)

―Perception of credit as grant‖ or ―gift‖

KUT released was not on time - then used by group leaders or LSM - could not be returned

Lack of supervision and control from field agents and other institutions such as bank (which is

different from P4K for example, where field agents get incentive and supervise groups consistently).

Lack of support for field agents (there was no monetary incentives or facilities)

The FGD participants suggested several options to address these issues such as:

Groups have to be established properly - not just for project or credit

Control and cross check must be performed

Develop positive perceptions for credit

Professional field agents

Direct contact with cooperative and bank

Change farmers‘ behaviours especially their attitudes and mentality toward credit

Short out the procedures - involved agency (no need for LSM)

Professional field agents

Needs for support (facilities, incentives, costs)

The need for legislation (perda)

Continuous supervision and control

Group should be small to organise

FGDs in Cash Crop Field Agents

Two Focus Group Discussions were carried out with cash crop field agents - located at Bayan

(West Lombok) and Sanggar (Bima) sub-districts. Field agents participated in these FGDs are involved in

IFAD project called P2RWTI, a project designed to improve cash crop farmers‘ income. Several common

issues found in the FGDs are:

What are some issues in the IFAD scheme?

The project establishment purely dominated by ―top-down‖ approach.

Lack of community participation

The project mostly focused on ―transfer of technology‖ (the project had had some options of

solutions technologies to be implemented in farmers‘ land. The project offered to farmers who want

to joint in the project and those who interested should make an application to the project

management).

The project offered incentives such as ―grant‖ and ―land certificate‖ in the early stage of

implementation, which to some extent may have a great impact on community participation and

project sustainability.

Ideas on establishing or initiating ―micro finance institutions‖ at the local level have not been

considered to support project sustainability.

In spite of the above issues, the FGDs outcomes indicate several critical points that are

considered to be important to the project success in credit repayment rate, such as:

Clear initial process of participant recruitment, where farmers were encouraged to apply to the

project

Page 65: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

65

Farmers‘ assets such as household items as well as land (size and location) were assessed in the early

process. This process helped reducing manipulation of data on land size such as those happened in

KUT. Early assessment also helped in giving benchmark data that would be used to identify project

progress and success.

Establishing direct contact between bank and farmers has led to better farmers‘ commitment in

repaying the credit (farmers have their own account number in the bank and they have a wide access

to their own account for checking).

Lesson Learned from Micro Finance Institution - LKM - P4K Rarang Village East Lombok

District Rarang Micro Finance Institution: Formation and development

This institution started with 25 small groups of farmers (with average 10 members), in 1990,

which were involved in small farmers income generating project (P4K). Formerly the groups work

separately to serve their members especially in saving activities and others supported by field extension

agents. At one stage the members of those group found several issues and problems in developing their

productive activities such as:

Getting 750,000 rupiahs from P4K project was too small (and once a year)

Limited access to banks

It took time to get the credit, and

The process seems too complicated

On the basis of these considerations, then in 1993, 13 out of 25 groups got together to form an

association called ―Asosiasi Karya Terpadu‖ with total members 122 - all female. With group member

contribution Rp. 1500 in the first stage, the association facilitate saving and loan activities. With wide

range of supports, the association developed significantly within the last few years and in Oct. 2001 the

association has had Rp. 511,190,270. (About 80 % members‘ contribution, while the rest from

government).

The association has the following activities:

Saving and loan

Trade (shops)

Electricity account

Marketing of group members‘ product

Service - chair rental

Credit service for ―motor cycle‖

Driving license for the community

Social services (health support, etc).

Farmer

Groups

- ―Micro Finance Institutions -LKM

―Association‖

Women

groups Handy craft

groups

Monetary support to rural communities

Village boundary

Figure 2. The Model of “Karya Terpadu” Micro Finance Institution – Rarang Village, East

Lombok Indonesia

Page 66: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

66

REFLECTIVE SUMMARY AND IMPLI CATION

1. Alternative Models

Based on the above results, a tentative model of micro finance institutions is developed, as it is

depicted in figure 3. This model shows a strategies position of the micro finance institutions within the

whole system of development (farmers or rural communities and their groups, government and non-

governmental agencies).

Figure 3. A Conceptual Model of the Micro Finance Institution (Draft)

2. Strategic Roles of the Micro Finance Institutions: addressing the existing issues

Figure 3 indicates a central position of micro finance institutions within the whole system of

rural development (financial system). From financial perspective, farmers either individually or through

groups develop their strong relationship with micro finance institutions that should be located at village

level. The establishment of micro finance institutions at village level may address several issues found in

the existing schemes - especially in term of time and space as well as other sociological and psychological

aspects. First, financial institutions such as Rural cooperative as well as banks (BPD and BRI) far away

from farmers - usually located at district or sub-district level - that lead to farmers‘ lack of access and

exposure to the banks‘ products. With this model, farmers or farmer groups may develop effective

communication and intensive contact with the micro finance institutions. On the other hand, control

toward farmers behaviour become more effective and intense. Issues found in most of the previous

schemes such as ―the credit was release not on time‖, ―lack of control either from financial institutions or

related agencies‖, ―manipulation of data on land size and farmers‘ name‖ will be addressed in this model.

GOs and NGOs Agencies (including banks)

TEAM - Development Lens

Rural Communities

Farmer

Groups

- ―Micro Finance Institutions -LKM

―Association‖

Women

groups Handy craft

groups

MONETARY SUPPORT

Village

boundary

Technical

Supports

Technical

Supports

Coordination Coordination

Page 67: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

67

Second, Through a participatory approach in establishing micro finance institutions at the village level,

the proposed model may strongly promoted communities‘ sense of belonging to the institutions which in

turn lead to high responsibility and commitment - in particular to repay their credit. This study found that

monetary support given and channeled by related government institutions or banks had been perceived as

―gift‖ or ―grant‖. As a result, farmers‘ commitment to repay the credit was very low. The proposed

model will also address these issues. Third, the proposed model of the micro finance institutions may

help in converging and diverging all resources directed toward village development - especially in term of

monetary flows. Development experience indicated that many cases of development failures were due to

parallel approach to rural development. Every department and agencies took its own action and

approaches to rural areas and this has led to inefficiency and ineffectiveness (overlapping of resources

and efforts). To some extent the approaches have been claimed for participatory decline in rural areas.

Through the proposed model, these issues will be address as indicated in Figure - the micro finance

institutions act as ―development lens‖ (term ―one-gate‖ approach was raised in the case studies) in the

areas of monetary flows/support. Through converging and diverging functions, the micro finance

institutions will enhance monetary support effectiveness in particular and rural development in general.

Forth, the establishment of micro finance institutions at village level may strongly support local or village

development the profits gain by the micro finance institutions will stay at local level and this will help in

increasing capital formation, which is needed in the rural development. Saving and lending activities may

be increased and economic development then may progress and communities‘ income and welfare status

may be increased.

3. Group Approaches: A need for group effectiveness and sustainability

The proposed model highlights strategic roles of groups in supporting micro finance institution

effectiveness and sustainability. However, the groups should be effective and sustainable. Effective and

sustainable groups should meet criteria such as; the group size has to be small (e.g. about 10 in P4K),

effective leadership, homogeneity, participatory in group formation and action, cohesive and effective

rules. The study suggests that once groups develop to a certain stage, then they would find a need for

micro finance institutions to serve various group needs.

Groups are critical to an effective and sustainable micro finance institution. For this reason, the

groups should develop the following roles:

Mobilising group members saving and lending activities

Developing group members‘ sense of belonging and responsibility toward groups as well as toward

the micro finance institution

Facilitating learning process to change knowledge, skills, and attitudes

Helping group members in developing individual planning

Promoting effective participation

Helping the micro finance institution in every aspect of credit delivery and repayment.

This study found that most groups involved in the ten schemes did not effective and sustainable

(see interview and FGD results). Several issues raised during the interviews and FGDs are: the group just

exist for getting credit and for project, manipulation of group members‘ identity and data (group

members‘ name were used by group leaders to get credit without any permission; data on land size were

manipulated), failed to return their credit, negative cohesion (group members togetherness in not repaying

their credit by referring to other groups or individuals‘ behaviors - ―why should we return the credit while

the others did not?‖).

These issues will be addressed with the proposed model. Effective approaches to group

formation and activities should be taken - participatory and integrated approaches. External factors of

groups should also support the group environment and effectiveness. Field agents‘ professionalism and

commitment are required.

The successful credit repayment demonstrated by one of the following factors:

Group members are female

Group members have off-farm activities

Faith or believe that ―credit should be repaid‖ - Religious believe.

Based on these findings, the groups under this model should consider that these factors are

critical to groups as well as their micro finance institutions‘ effectiveness and sustainability.

Page 68: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

68

4. GO, NGOs and Banks: the need for participatory, integration and effective coordination

Failures in schemes/rural credit partly due to ineffective approaches taken by government as well

as non-governmental organisations. As it was found in the interviews and FGD several issues in regard to

GO and NGOs are; lack of coordination, top-down process, the use of unrealistic targets, lack of control

and supervision, lack of commitment, lack of support and facilities provided to field agents. These issues

would be addressed in the proposed model through development of better understanding among agencies

(GO and NGOs) about the need for participatory and integrated approaches. Fail to do so may lead to

groups as well as micro finance institution ineffectiveness.

With the proposed model, all stakeholders of rural development should realised that all forms of

monetary supports to rural development (loan, grant, subsidies) flow through ―micro finance institutions‖.

This approach may shift the existing negative image of development from ―development as delivering

credit as a gift or grant‖ to ―development as empowering process‖. Monetary support should not be

exposed directly to the rural community as given by the agencies, but let their micro finance institutions

to have the voice (e.g. explaining to their members that the institution has allocated a certain amount of

money to support certain development programs).

Development agencies should make agreements with the micro finance institutions, for instance

in aspects of ―reasonable interest rate‖, ―profit margins‖, ―transaction costs‖, ―period of credit‖ and

―whether the micro finance institution act as executing or channeling agent?‖

5. Effective and Professional Field Agents

The proposed model requires also professional and effective field agents to help groups as well

as micro finance institutions. Their jobs to work closely with these two types of institutions. To be

professional and effective, adequate supports, facilities, training and reward should be provided to the

field agents.

6. Expected Outcomes

The proposed model will lead to the development of:

Sense of belonging (to the groups as well as the micro finance institutions)

Sense of credit

Sense of responsibility

Strong commitment to repay the credit

Direct relation between financial institutions and farmers/rural communities

Strong control

Resource convergence and divergence

Effective coordination and collaboration

New perception of development - it is no longer development as ―giving credit as a gift or grant‖

Some conditions required achieving effective and sustainable micro finance institutions are

summarised in the following table.

Components Conditions

Farmer groups Must be established through participatory approach, small in size, homogen in membership, members should have off-farm activities, effective leadership,

follows Participatory Action Management model (Chamala, 1995), get technical

assistance from field agents, established not for project but for community

empowerment, have clear objectives, high positive cohesiveness Field agents Must be professional, high commitment, get incentives (monetary and or

facilities), clear job description and responsibility, stay close to groups or micro

finance institutions, effective coordination with other agents, no role conflict

Micro finance institutions Established based on the felt need, participatory approaches, covering several community groups, at village level, promoting communities‘ sense of belonging

and responsibility, develop effective up-ward, down-ward and horizontal

relationships, applying PAM model principles and philosophy, develop social,

economic and cultural approaches, involving female, interest rate should be competitive (less than applied by informal money lender), groups or members

should develop or have off-farm activities (which shows strong support to high

repayment rate in credit), mobilising saving and lending activities, develop

Page 69: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

69

agreement with bank and other related agencies, promote effective coordination and conducive environment with groups and members

GO and NGOs (include banks) Better understanding of development approaches (empowering approaches),

effective coordination, better understanding of ―development lens‖ (―one-gate‖

system), the need for paradigm shift, use of PAM model philosophy and principles, follow action-learning process.

7. The Need for Training and Action Lerning

On the basis of the findings as well as the proposed model, some training activities and programs

are required and designed. These trainings involving wide ranges of participants, from farmers to

development agencies (GO and NGO and bank). Training subjects for every stakeholders or components

of the micro finance system are presented in the following section.

Farmers and Farmer Groups (at village level)

Groups and development

Development, participation and empowerment

Why do we need groups

How to establish effective and sustainable groups

Groups and the for Micro Finance institutions

Effective and sustainable micro finance institutions

Micro Finance Institutions (MFI)

The existing MFI:

New roles of MFI toward its effectiveness and sustainability

How to promote effective relations with groups and agencies

Effective model of MFI

Empowering groups and MFI

The needs to change community image and perceptions

The new establishing MFI (facilitating the existing effective groups):

Groups and the for Micro Finance institutions

Effective and sustainable micro finance institutions

New roles of MFI toward its effectiveness and sustainability

How to promote effective relations with groups and agencies

Effective model of MFI

Empowering groups and MFI

The needs to change community image and perceptions

GO, NGOs and Field Agents or Group Partners

Groups and development

Development, participation and empowerment

Why do we need groups

How to establish effective and sustainable groups

Groups and Micro Finance institutions

Effective and sustainable micro finance institutions

Appendices:

Table 1. Respondents’ Perceptions of KUT Performance, Factors Associated with poor performance and possible

interventions - Bima & West Lombok districts

Respondents

Variables

Credit

performance Causes for performance Possible interventions

1 2 3 4

Farmers -

contact and

ordinary

farmers (14 farmers)

Worse Lack of awareness to return the

credit even they could (they have

the cash).

Change farmers‘ behaviour and

improve their commitment

Effective support by field agents

Page 70: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

70

1 2 3 4

There was no support from field

agents to use the credit

Groups did not work (most groups

just exist on the paper for the

credit purpose, membership did

not clear)

Field agents did not collect the

credit/did not visit their farmers -

lack of technical assistance

Lack of cash - production failure

Credit was corrupted by group

leaders (farmers‘ name were used

for group leaders‘ interest).

Data manipulation

The use of reference groups ―Other

farmers did not repay their credit,

why should I?‖

Credit was not on time (after the

planting)

Technical assistance is crucial

There is a need to change farmers‘

perception of credit - by creating

―direct contact‖ between the bank

and farmers‖ (creating a feeling

that the credit is really a credits

that should be returned, and not a

gift from the government)

Effective control should be done

to avoid data manipulation

(farmers‘ name and land size) and ―farmers with multiple credit on

the same piece of land‖

Effective group have to be

established/promoted

LSM KUT fail Lack of farmers‘ commitment

Negative image of credit

LSM staff‘s behaviours

―We were not ready to do the task

properly‖

Groups could not help

Lack of field agent support

Credit was not released on time

(decision was late from the cooperative office)

Lack of coordination

Improve farmers‘ commitment

and image toward the credit

Effective preparation prior to

credit release

Effective control is needed

Adequate support for field agents

Create effective coordination

among the stakeholders

Help to promote effective farmer

groups

Rural

Cooperatives

(6 respondents)

―KUT

hancur‖...‖Yo

u knew it already‖

―Due to KUT,

the

cooperation should take

responsibility

‖ - but we do not want to

take any form

of

responsibility - the credit

just pass

through KUD.

We never got it!

―Because they said it is credit,...for

farmers or saving and lending

activities or from the government‖

-. This would not be returned

Lack of coordination between

agencies and KUD

Agencies‘ language different from

our language (used our language

and not yours)

Farmers‘ mentality‖ - it is their

opportunity (for corruption and

manipulation, enjoying the credit)

since the more than 30 years of the

new order regime (whereas government elite corrupted ―our

money‖)

There is no clear cut between

development programs and project

with political interest

Use of reference groups

(especially Gus Dur & Alwi Sihab

- no one doubt about their

religiousity, but why their

bahaviour did not reflect their knowledge? Why should we?)

Negative impacts of TV news

Farmer groups did not effective

Data manipulation

LSM did not work well

(corruption)

―We have experienced three times

‗pemutihan‘, the key point is the

important of religious language‖

Do not say credit from government or project or programs

(no different between project and

program - all about ―gift for

farmers‖

Give us

accountability/responsibility (do

not go to farmers and say ―the

budget from us - government‖)

The need for better coordination

and integrated effort

Need for system approach

Need for effective Law - ―if wrong

or stubent take them to the court‖

Give farmers price subsidy - so

they can repay the credit

Give us the budget, we will

organise and manage the credit -

agencies could discuss with us behind the screen

Page 71: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

71

1 2 3 4

District staff

of

Cooperative

(4 respondents)

―You

knew

already

how worse

KUT‖

―KUT

macet

almost 10

billion‖

Group did not work well (for

project only)

Data manipulation - at farmers and

LSM levels

Negative perception of credit and

development programs - farmers‘

perception

Lack of field agents‘ commitment

- limited control and supervision,

lack of operational and supervision

cost, lack of knowledge and skills

The use of reference groups

Lack of preparation at groups and

agency levels

Groups have to be established

properly - not just for project or

credit

Control and cross check have to be

performed

Develop positive perceptions for

credit

Professional field agents

Direct contact with cooperative or

bank

District staff

of Dept. of Agriculture (4

respondents)

―Very bad‖

―KUT Kaco‖ Farmers‘ mentality is bad‖

LSM was not effective - corrupt

and manipulation (LSM

coordinator is now in court

Farmers nowadays more clever -

they compare themselves with

other cases such as Edy Tanzil,

Tommy - whom have huge debt, and Gus Dur (the use of

government budget)

―Perception credit as grant‖ or

―gift‖

KUT disbursement was not on

time - then used by group leaders or LSM - could not be returned

Lack of supervision and control

Lack of support to field agents

Credit sustainability is very low.

Farmers‘ internal states need to be

changed

Short out the procedures - involved agency (no need for

LSM)

Professional field agents

Needs for support (facilities,

incentives, costs)

The need for legislation (perda)

Continuous supervision and

control

Group should be small to organise

BPD (2

respondents)

―Failure‖ Lack of support from related

Department

Lack of farmers‘ commitment

Lack of knowledge

The use of other groups as

reference

Negative perception of credit - ―it

was a gift - grant‖

Groups did not work

Local specific need to be

considered

Individual responsibility/approach

may be better in case the groups

did not work

Group performance need to be

improved

Support for field agents should be

increased

BRI (2

respondent) ―KUT

performan

ce was worse‖

KUT since

the early

period -

Bimas - has always

the

problems

Tunggaka

n KUT in Bima

almost 10

billion

Lack of support from related

institution

Lack of sense of responsibility

To long chain in procedure

Data manipulation

Difficult to check the

proposal/group plan in the field

KUT was not on time - too many

proposal to be proceed

While the ―target‖ should be

achieved

Negative effect of TV news -

corruption cases

Negative image of credit

Field agents did not work well -‖

never visited farmers‖

Need for professional agents and

more integrated support

Promote direct contact between

bank and farmers

Other department should drop

their monetary support to the bank

- the bank then contact with

farmers

To develop positive image of

credit

Do not use term ―project or

program‖

Group have to be small and

effective (self-selected members)

―Fairness‖ and ―commitment for

work‖ are essentials (kejujuran & ada usaha)

Page 72: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

72

PENGEMBANGAN WILAYAH LAHAN KERING DI PROPINSI NTB

UNTUK MENDUKUNG OTONOMI DAERAH

Suwardji dan Tejowulan

Peneliti Pada Pusat Pengkajian Lahan Kering dan Rehabilitasi Lahan Fakultas Pertanian UNRAM, Jalan Pendidikan Mataram, Telp 0370-628143

PENGANTAR

Dalam undang-undang otonomi daerah menjelaskan bahwa pelaksanaan pembangunan ekonomi

daerah berada dalam kewenangan penuh daerah, baik dalam pengambilan keputusan pelaksanaan

pembangunan melalui pemilihan pola dan bentuk kawasan/wilayah yang akan diandalkan dan

dikembangkan maupun pemilihan produk-produk yang berpotensi diunggulkan untuk mendukung

otonomi daerah.

Selain itu otonomi daerah mempunyai tujuan murni mencapai peningkatan kesejahteraan

masyarakat secara langsung dan peningkatan kemandirian daerah dalam pengelolaan potensi unggulan

daerah yang secara bersama-sama mendukung program pembangunan ekonomi daerah.

Dipihak lain globalisasi yang terus bergulir mengharuskan kita patuh pada berbagai kesepakatan

internasional yang tidak dapat dihindari dan telah menempatkan pemerintah daerah pada posisi terdepan

pada berbagai potensi dan produk unggulannya untuk dapat bersaing bebas dengan negara lain.

Implikasi dari beberapa hal yang telah diuraikan di atas adalah bahwa perkembangan ekonomi

daerah dapat dipercepat melalui pengembangan potensi , andalan dan unggulan daerah agar tidak

tertinggal dalam persaingan pasar bebas, namum hal ini tentu tidak melupakan tujuan murni otonomi

daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Melihat potensi, andalan dan unggulan yang dimiliki oleh Propinsi NTB, pertanian lahan kering

mempunyai prospek yang besar untuk dikembangkan agar dapat mempercepat laju pembangunan daerah.

Lahan kering yang dimiliki Provinsi NTB cukup luas (> 1,8 juta hektar) dan mempunyai potensi

keanekaragaman komoditi yang dapat dikembangkan serta merupakan komoditi-komoditi unggulan yang

banyak diminta oleh pasar. Jika potensi ini digarap sungguh-sungguh akan merupakan keunggulan

kopartatif daerah yang dapat menjadi andalan dalam memacu pembangunan daerah.

Namun dalam pengembangan pertanian lahan kering menghadapi berbagai masalah baik biofisik,

sosial ekonomi dan kelembagaan. Berbagai kendala yang sering dihadapi adalah (a) kondisi biofisik dan

lingkungan yang rentan terhadap degradasi (b) infrastruktur ekonomi di wilayah lahan kering yang sangat

terbatas, (c) kurangnya teknologi tepat guna yang terjangkau oleh petani (d) kemampuan pemerintah

daerah dan masyarakat dalam pengembangan pertanian lahan kering yang relatif terbatas, dan (e)

partisipasi berbagai stakeholder utamanya pengusaha swasta dalam pengembangan wilayah lahan kering

yang masih kurang.

Melihat potensi besar pertanian lahan kering yang dimiliki Provinsi NTB serta berbagai

permasalahan yang sangat komplek, dalam pengembangannya diperlukan komitmen yang sungguh-

sungguh dari berbagai pihak baik dunia usaha maupun pemerintah serta masyarakat secara terpadu untuk

mewujudkan tercapainya peningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas. Makalah ini akan

membahas berbagai aspek tersebut di atas secara ringkas.

BATASAN DAN BEBERAPA PENGERTIAN

Wilayah secara umum adalah unit geografis (ruang) yang dibatasi oleh ciri-ciri tertentu yang bagian-

bagiannya tergantung secara internal, serta sekaligus menjadi media bagi segala sesuatu untuk berlokasi

dan berinteraksi. Menurut UU No 24/1992 tentang ―Penataan Ruang‖, wilayah adalah ruang yang

merupakan kesatuan geografis beserta unsur terkait padanya yang batas dan sistimnya ditentukan

berdasarkan aspek administratif dan aspek fungsional.

Pengembangan wilayah adalah segala upaya perbaikan suatu atau beberapa jenis wilayah agar semua

komponen yang ada di wilayah tersebut dapat berfungsi dan menjalankan kehidupan secara normal.

Page 73: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

73

Pembangunan wilayah ditopang oleh empat pilar yaitu (1) sumberdaya alam/fisik-lingkungan (2)

sumberdaya buatan/ekonomi (3) sumberdaya manusia, dan (4) sumberdaya sosial-kelembagaan.

Lahan kering adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air dalam kurun waktu

tertentu, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi.

Menurut hasil rumusan Seminar Nasional Pengembangan Wilayah Lahan Kering di Mataram bulan

Mei 2002, wilayah lahan kering mencakup : sawah tadah hujan, tegalan, ladang, kebun campuran,

perkebunan, hutan,semak, padang rumput, dan padang penggembalaan.

PERLUNYA RE-ORIENTASI KEBIJAKAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT

Dimasa mendatang sektor pertanian dan agroindustri tampaknya merupakan sektor andalan utama

propinsi NTB, dengan rentannya sektor pariwisata terhadap gejolak sosial dan politik nasional maupun

internasional. Sektor pertanian dan agroindustri di masa mendatang mempunyai misi ganda harus mampu

mampu menyediakan pangan nasional dan juga harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat

tani serta memacu pertumbuhan ekonomi nasional untuk bangkit dari kondisi krisis ekonomi yang

berkepanjangan.

Tugas berat ini mengharuskan kita untuk mengubah paradigma lama pembangunan pertanian

yang bertumpu pada lahan basah dengan mengembangkan potensi andalan lahan kering yang belum

digarap dengan sungguh-sungguh. Lahan kering lebih menguntungkan karena areal yang dapat

dimanfaatkan lebih luas, prasarana/infrastruktur relatif lebih mendukung, dan teknologi serta sumberdaya

petani juga sudah cukup tersedia. Dengan pembangunan lahan kering berwawasan agribisnis diharapkan

ketersediaan pangan nasional, kesejahteraan petani dan kelestarian sumberdaya pertanian secara seimbang

dapat diwujudkan.

Selanjutnya pembangunan wilayah lahan kering harus diarahkan pada pertanian yang tangguh

modern dan berbasis agribisnis pedesaan sehingga mampu bersaing dalam persaingan global.

Pembangunan pertanian yang tangguh tersebut harus dilakanakan secara berkelanjutan (sustainable)

sehingga produktivitas, efisiensi dan kelestarian lingkungan menjadi variabel yang secara bersamaan

harus menjadi tujuan, melalui pendekatan pemberdayaan petani dan sumberdaya lokal padesaan. Agar

sektor pertanian dapat menjadi motor perekonomian nasional, pengembangan pertanian secara horisontal

(deversifikasi komoditi unggulan) dan vertikal (deversifikasi teknologi hulu-hilir) yang dikelola secara

agribisnis berwawasan lingkungan dan sudah harus menjadi agenda pembangunan wilayah lahan kering

di masa mendatang. Kegiatan pertanian yang dikelola secara agribisnis mempunyai spektrum luas yaitu

dari kegiatan hulu seperti penyediaan saprodi, dan teknik budidaya, sampai kegiatan hilir seperti

agroindustri, distribusi dan pemasaran hasil (Solahudin, 1999). Semua kegiatan tersebut harus mampu

meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani serta mampu melestarikan lingkungan. Pembangunan

sektor pertanian berkelanjutan berbasis agribisnis tersebut diarahkan pada upaya peningkatan ketahanan

pangan, pemberdayaan usaha kecil dan menengah, meningkatkan ekspor, dan memacu pertumbuhan

perekonomian nasional dengan tanpa mengurangi daya dukung lingkungan.

Lahan kering lebih menguntungkan karena areal yang dapat dimanfaatkan lebih luas,

prasarana/infrastruktur relatif lebih mendukung, dan teknologi serta sumberdaya petani juga sudah cukup

tersedia. Dengan pembangunan lahan kering berkelanjutan berwawasan agribisnis diharapkan

ketersediaan pangan nasional, kesejahteraan petani dan kelestarian sumberdaya pertanian secara seimbang

dapat diwujudkan.

Isue yang disinyalir dengan menurunnya ketersediaan air pada musim tanam saat kemaru di satu

pihak, dan melimpahnya air pada musim hujan di pihak lain, menunjukkan kurang efisiennya menejemen

air selama ini. Saat ini, hampir semua air irigasi maupun air hujan setelah digunakan untuk pertanian

terus hilang keluar tanpa adanya upaya mandaur ulang. Sudah waktunya air hujan maupun air irigasi yang

digunakan maupun yang belum digunakan diupayakan untuk tidak terbuang ke laut. Untuk itu diperlukan

reorientasi menejemen air dari sistem terbuka yang selama ini diacu menjadi sistem tertutup.

Implementasi dan konsep menejemen tertutup dilakukan dengan membangun embung-embung untuk

lahan kering dan reservoir ke laut. Di tingkat lapang, menejemen hemat air perlu terus

diimplementasikan, dengan cara ini masalah air musim kemarau diharapkan dapat ditanggulangi.

Penerapan teknologi irigasi tetes yang dikembangkan Hamzah (Bsappeda Provinsi NTB, 2002) telah

Page 74: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

74

terbukti dapat digunakan untuk mengembangkan tanaman hortikultura seperti mangga, cabe, jeruk dan

anggur dan ini merupakan peluang bisnis besar untuk propinsi NTB.

PENGEMBANGAN LAHAN KERING YANG BERKELANJUTAN

Konsep pengembangan sistim pertanian yang berkelanjutan menjadi isu global muncul pada tahun

delapan puluhan, setelah terbukti pertanian sebagai suatu sistem produksi ternyata juga sebagai sumber

pencemar sumberdaya lahan dan air. Pertanian bukan hanya penyebab degradasi lahan in situ, tetapi juga

penyebab degradasi lingkungan ex situ. Meluasnya lahan-lahan marjinal dan pendangkalan perairan

dihilir merupakan bukti bahwa pertanian yang tidak dikelola secara berkelanjutan telah menurunkan mutu

sumberdaya pembangunan. Oleh karena itu, tantangan pertanian saat ini dan masa depan adalah

bagaimana pertanian dapat mamasok kebutuhan hidup manusia secara a secara berlanjut tanpa banyak

menimbulkan degradasi sumberdaya alam.

Konsep pengembangan sistim pertanian yang berkelanjutan sendiri diturunkan dari konsep dasar

pembangunan berkelanjutan, yaitu kebutuhan hidup manusia saat ini dapat dipenuhi dengan tanpa

mengorbankan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup generasi berikutnya. Artinya, sebagai subsistem,

pertanian berkelanjutan harus mampu memanfaatkan sumberdaya secara efisien dan berinteraksi secara

sinergis dengan subsistem pembangunan berkelanjutan lainnya. Batasan sistim pertanian berkelanjutan

sangat beragam, tetapi benang merah yang menjadi dasar adalah bahwa (1) pertanian harus lebih

produktif dan efisien, (2) proses biologi in situ harus lebih berperan, dan (3) daur ulang hara internal lebih

diprioritaskan. Atas dasar ini Tehnical Advisory Commitee TAC) dan FAO (1995) mendefinisikan sistim

pertanian berkelanjutan (SPB) sebagai budidaya pertanian yang mengandalkan menejemen

sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tanpa menurunkan mutu lingkungan dan

mutu sumberdaya alam. Selain itu, SPB juga harus layak secara lingkungan, teknis, ekonomi dan sosial.

Dengan perkataan lain SPB bukan hanya berbasis produksi dan lingkungan, tetapi juga berbasis

agribisnis.

Dari uraian di atas, batasan berkelanjutan (sustainability) mengandung pengertian berkelanjutan

pendapatan (berwawasan agribisnis) dan kelestarian sumberdaya alam (berwawasan lingkungan).

Secara sederhana batasan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut (Utomo, 2001):

Keberlanjutan = Produksi (pendapatan) + Konservasi Sumberdaya

PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN EKOSISTIM PERTANIAN DAN AKTIVITAS

MANUSIA

Telah lama disadari oleh ahli pertanian, ahli ilmu sosial ekonomi, dan ahli lingkungan bahwa

pemecahan masalah tentang penggunaan dan pelestarian sumber daya lahan memerlukan suatu

pendekatan secara terpadu (Lee dkk.,1992). Menurut Wood (1994) pengelolaan ekosistim adalah

memadukan prinsip-prinsip ekologi, ekonomi dan sosial ekonomi untuk dapat mengelola sistim biologi

dan fisik dengan cara yang dapat menyelamatkan kesinambungan ekologi, keanekaragaman hayati, dan

produktivitas lahan. Sehingga pengelolaan ekosistim pertanian sebenarnya adalah mengelola aktivitas

manusia dalam mengelola lahan, tanaman, rerumputan, ternak, air dan biota lain (Chistensen dkk. 1996).

Disadari atau tidak kita telah banyak melakukan berbagai kesalahan dalam pengelolaan

ekosistim lahan kering yang ada. Dalam pengelolaan lahan kering, kita telah mengabaikan prinsip-prinsip

keseimbangan alami untuk dapat memperoleh keseimbangn ekosistim pertanian yang mantap.

Pemahaman kita tentang prinsip-prisip dasar pengetahuan pertanian lahan kering di bagian atas tanah

(above ground) cukup memadai, namun pemahaman kita masih sangat terbatas pada berbagai proses yang

berlangsung di dalam tanah.

Manusia telah banyak melakukan perubahan-perubahan pada ekosistim lahan kering. Perubahan

yang sangat cepat yang terjadi dengan berbagai aktivitas manusia seperti : pengolahan tanah, masukan

bahan kimia, dan introduksi jenis-jenis tanaman dan rumput makanan ternak dengan produksi tingggi,

merupakan tantangan yang menuntut kemampuan yang tinggi dalam mengelola ekosistim secara

berkesinamabungan (Chistensen dkk., 1996). Konsep pertanian lahan kering yang kurang memahami

bagaimana sebaiknya kita berdampingan dengan alam secara ramah dan berkeseimbangan adalah suatu

kesalahan besar yang merupakan sumber utama bencana. Untuk itu diperlukan pembenahan mendasar

Page 75: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

75

dalam konsep pengelolaan lahan untuk mencapai sistim pengelolaan pertanian lahan kering yang

berkelanjutan. Kerusakan yang paling penting yang terjadi pada sistim pertanian di lahan kering adalah

hilangnya sebagian besar vegetasi alami yang selanjutnya berdampak pada menurunnya keanekaragaman

hayati (Sounder, 1990). Pengrusakan berat yang terus menerus dilakukan terhadap tanah, vegetasi, dan air

yang menghasilkan kerusakan terhadap struktur tanah dan perubahan terhadap sifat kimia tanah, dan

meningkatnya invasi gulma yang secara keseluruhan berpengaruh langsung terhadap produksi pertanian

di lahan kering (Chan dan Prateley, 1998)

BERBAGAI USAHA-USAHA YANG PERLU DILAKUKAN UNTUK MENUJU SISTEM

PERTANIAN LAHAN KERING YANG BEKELANJUTAN

Berbagai pihak perlu ambil bagian secara aktif untuk merumuskan sistim pertanian lahan kering

yang berkelanjutan. Perlu upaya pemecahan berbagai pemasalahan penting yang ada di tingkat petani,

peneliti dan pemerintah. serta diperlukan pentingnya aksi tindak.

1. Petani dan masyarakat

Secara umum dapat dikatakan cukup tersedia teknologi sistim pertanian lahan kering yang

berkelanjutan walaupun masih memerlukan validasi dan modifikasi sesuai dengan kebutuhan lokal. Ada

sebagian petani yang cukup adoptif dengan teknologi, tetapi sebagian besar lainnya bersikap masa bodoh

atupun tidak tahu adanya penurunan kualitas lingkungan (Vanclay, 1994). Sistim penyuluhan tradisional

belum mampu sepenuhnya mengajak petani dalam adopsi teknologi yang ramah lingkungan (Vanclay,

1994). Dipelukan perubahan mendasar perilaku petani untuk dapat mengelola lahan kering secara

berkelanjutan.

Orientasi keuntungan jangka pendek merupakan pembatas utama untuk adopsi teknologi lahan

kering. Perlu perbaikan infrastruktur ekonomi dan kemitraan yang sinergis untuk menjamin harga produk

lahan kering yang cukup baik dan memadai, dan diperlukan bantuan keuangan untuk adopsi teknologi

lahan kering yang berkelanjutan. Untuk dapat meningkatkan keuntungan petani lahan kering memerlukan

akses informasi yang cepat tentang apa yang terjadi di pasaran dan tersedianya teknologi pertanian lahan

kering yang dapat terjangkau petani dan ramah lingkungan.

Rendahnya pendidikan, merupakan penyebab lain rendahnya adopsi teknologi lahan kering.

Belajar berkelompok sering menjadi perilaku dominan dan petani mempunyai watak dan perilaku yang

berbeda (Vanclay, 1997). Pelatihan yang memadai sangat diperlukan untuk dapat tercapainya perubahan

sikap dan perilaku mereka dalam adopsi teknologi lahan kering. Pengalaman selama tiga puluh tahun

yang lampau menunjukkan petani selalu dijadikan suatu target kebijakan dan obyek kegiatan dengan

pendekatan top-down. Sudah saatnya petani perlu dilibatkan secara aktif sebagai partisipator (Vanclay,

1997). Diperlukan kerja sama kemitraan antara petani, peneliti, mitra usaha, dan pemerintah dalam

memahami perilaku lahan kering dan mengembangkan teknologi lahan kering yang tepat guna yang

terjangkau oleh petani dan ramah lingkungan.

2. Peneliti

Banyak peneliti di bidang ilmu-ilmu pertanian yang telah melakukan peneltian yang sangat baik

dalam aspek spesifik di bidangnya masing-masing dan ahli ekologi telah banyak melakukan penelitian di

bidang konservasi pertanian. Namum mereka belum secara terpadu bekerja sama untuk memahami

proses-proses ekologi pada lahan kering (Carroll dkk., 1990). Karena sistim pertanian merupakan sistim

yang bergatra ganda dan bekelakuan stokastik, maka berbagai masalah yang ada perlu ditangani dengan

penghampiran sistim (Notohadiprawiro, 1980) dengan melibatkan multi-disiplin. Penghampiran khusus

(partial) memang cocok untuk menyelesaikan masalah terbatas yang terperikan secara rinci. Namum

pendekatan semacam ini mempunyai kelemahan, yaitu penanganan masalah bagian demi bagian sering

tidak memiliki keeratan hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain dalam sistim

(Notohadiprawiro, 1980). Di samping itu, pemecahan masalah secara partial ini mungkin akan

menimbulkan permasalahan baru yang sulit dipecahkan. Oleh karena itu diperlukan penelitian

multidisiplin dengan pendekatan agroekosistim (agroekosystem approach) (Paterson dkk., 1993).

Page 76: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

76

3. Pemerintah

Pemerintah mempunyai peran yang besar dalam pengembangan pertanian untuk menuju cara-

cara produksi pertanian lahan kering yang berkelanjutan. Pemerintah diharapkan mempunyai komitmen

yang kuat sebagai fasilitator, activator dan mediator dari berbagai pihak dalam rangka pengembangan

wilayah lahan kering. Bentuk komitmen tersebut hendaknya dituangkan dalam kebijakan yang nyata

dalam seperti propeda maupun rencana strategis pengembangan lahan kering yang kemudian diikuti

dengan bentuk-bentuk nyata dukungannya dalam aksi tindak yang berkelanjutan.

4. Program aksi (Action Plan)

Agar sekenario pengelolaan lahan kering berkelanjutan dapat diwujudkan, diperlukan program aksi

dari tingkat perencanaan sampai pada tingkat lapangan. Apalagi dalam menghadapi pelaksanaan otonomi

daerah dimana di satu sisi daerah harus mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), di pihak

lain kelestarian sumberdaya lingkungan juga perlu wujudkan. Oleh karena itu, daerah harus mampu

mencari pola pembangunan yang dapat menjawab kebutuhan ekonomi, sosial dan lingkungan sekaligus.

Sesuai dengan daya dukung, peluang pasar dan potensi sumberdaya lokal, diharapkan lahan kering akan

menjadi wilayah yang mempunyai daya saing tinggi. Secara ringkas program aksi tersebut dapat

diuraikan seperti berikut:

a. Perubahan paradigma kebijakan

Agar lahan kering dapat diberdayakan secara berkelanjutan, diperlukan perubahan

paradigma kebijakan pemerintah baik dari pusat sampai ke daerah tentang peran lahan kering dalam

pembangunan pertanian berkelanjutan. Sampai saat ini kebijakan nasional yang secara eksplisit

tertuang baru dalam GBHN yaitu pembangunan berkelanjutan. Komitmen nasional tersebut harus

diimplementasikan dalam bentuk kebijakan daerah (Propeda). Untuk propinsi NTB sebanarnya

secara formal Pola Dasar Pembangunannya telah mempunyai prioritas utama dalam pembangunan

pertanian. Kemudian lebih lanjut selayaknya perlu dijabarkan dalam rencana strategis pengembangan

lahan kering yang berkelanjutan. Secara rinci tentu dilanjutkan adanya aksi tindak dalam kebijakan

operasional termasuk insentif, dukungan dana untuk pengembangan dan kebijakan lain yang berpihak

kepada pemberdayaan masyarakat wilayah lahan kering. Untuk itulah payung besar dalam rencana

strategi pengembangan lahan kering propinsi NTB menjadi sangat mendesak dimiliki oleh Propinsi

NTB, sehingga dapat menjadi entry point bagi berbagai pihak baik dari dalam maupun luar NTB

yang ingin ikut berpartisipasi dalam pengembangan wilayah lahan kering di NTB. Adanya paying

yang jelas dapat mendorong keterlibatan berbagai pihak (multistakeholders) baik pemerintah, swasta

dan masyarakat lain.

b. Tata ruang terintegrasi

Agar pengelolaan lahan kering dapat dilaksanakan secara berkelanjutan, maka perencanaan

penggunaan lahan kering berkelanjutan (sustainable land use) perlu secara eksplisit masuk dalam tata

ruang terintegrasi. Kegiatan tata ruang terintegrasi merupakan kegiatan perencanaan yang mengacu

pada kemampuan dan kesesuaian lahan, potensi pengembangan ekonomi, kependudukan dan kondisi

fisik lingkungan yang kesemuanya dilakukan dengan pendekatan sosiologis dan dengan dukungan

perangkat perundang-undangan yang handal. Keterlibatan masyarakat (tokoh dan pakar) dalam

penyusunan tata ruang dimulai sejak perencanaan, penyusunan sampai pada pengawasan. Apabila

tata ruang terintegrasi sudah menjadi kesepakatan (sudah diundangkan), maka Pemda harus

melaksanakannya secara konsisten minimal sampai ke tingkat kecamatan. Pelanggaran terhadap tata

ruang harus dikenai sanksi hukum. Masalah implementasi tata ruang merupakan masalah paling sulit.

Untuk mendukung tata ruang terintegrasi diperlukan kebijakan pemerintah yang berpihak pada

pembangunan pertanian berkelanjutan pada umumnya dan pertanian lahan kering berkelanjutan pada

khususnya.

c. Teknologi berkelanjutan

Teknologi berkelanjutan merupakan teknologi yang bukan hanya mampu meningkatkan

produktivitas lahan dan pendapatan petani, secara sosial diterima karena murah, tetapi juga mampu

menekan degradasi lingkungan in situ dan ex situ (Gambar 2). Teknologi berkelanjutan bukan hanya

teknologi konservasi saja, tetapi termasuk teknologi pengelolaan lahan lainnya yang berwawasan

Page 77: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

77

agribisnis dan berbasis iptek lokal (local knowledge based) yang diramu dengan sentuhan ilmu

pengetahuan maju. Di daerah hulu wilayah lahan kering, teknologi untuk pengelolaan lahan

berkelanjutan selain bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, juga harus mampu menekan

laju degradasi tanah dan mengawetkan air. Hal ini mengingat lahan kering di bagian hulu masalah

utamanya adalah degradasi tanah, kelangkaan air dan kemiskinan. Beberapa contoh teknologi

pengelolaan lahan berkelanjutan antara lain olah tanah konservasi (OTK), teras, strip filter, embung,

tanaman penutup tanah., alley cropping dan wana tani (termasuk agrosilvipasture). Agar efisiensinya

dapat ditingkatkan, teknologi tersebut dapat berinteraksi satu sama lainnya secara sinergis.

d. Pemberdayaan masyarakat

Pengalaman intensifikasi pertanian selama 32 tahun yang sentralistik (top down)

menunjukkan adanya inefisiensi manajemen. Oleh karena itu, agar upaya pembangunan pertanian

berkelanjutan pada umumnya dan pengelolaan lahan kering berkelanjutan pada khususnya dapat

berhasil, diperlukan pendekatan bottom up melalui pemberdayaan masyarakat sejak perencanaan

sampai pelaksanaan program aksi. Teknologi yang akan diterapkan di suatu wilayah lahan kering

harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal dan daya dukung lahan setempat. Pengelolaan lahan

berkelanjutan dalam bentuk program aksi seperti landcare yang melibatkan masyarakat tani dan

stakeholder lainnya dengan pendekatan partisipatif saat ini sudah sangat mendesak.

KESIMPULAN

Walaupun lahan kering mempunyai berbagai permasalahan baik biofisik maupun sosial

ekonomi, namun atas dasar potensi wilayah dan kesiapan teknologinya, dan dalam rangka menyongsong

pelaksanaan otonomi daerah, wilayah ini tampaknya dapat menjadi unggulan pembangunan propinsi NTB

untuk dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Untuk memberdayakan lahan kering secara berkelanjutan, diperlukan perubahan paradigma

kebijakan pemerintah dari tingkat nasional sampai ke daerah, teknologi berkelnjutan berbasis agribisnis,

pemberdayaan masyarakat lokal, dan kemauan serta kebersamaan setiap stakeholder untuk menjadikan

lahan kering lebih kompetitif. Disini diperlukan komitmen dari berbagai stakeholder baik pemerintah

maupun dunia usaha secara luas untuk dapat mengembangkan pertanian lahan kering yang berbasis

agribisnis dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Carroll, C.R. Vandermeer, J.H., Rosset, P.M. (1990). Agroecology. Mc-Graw Hill, New York.

Chistinesen, N.L. dkk. (1996). The report of the Ecological Society of America Committee on the Scintific Basis for

Ecosystem Management. Ecological Applications: 6: 665-691.

Conway, G.R., and E.B. Barbier. 1990. After the green revolution; Sustainable for Agriculture. Earhscan

Publications.

Edwards, C.E, R. Lal, P. Madden, R.H. Miller, and G. Hause, 1990.Sustainable Agricultural systems. SACS, Iowa.

Lee, R.G dkk., (1992). Ecologically effective social organization as a requirement for sustaining watershed ecosystem. Watershed Management, pp. 73-90.

Notohadiprawiro, T. (1980). Kepentingan penghampiran sistim untuk kemajuan pertanian. Seminar Pulang Kandang,

Fakultas Pertanian UGM

Paterson, G.A., Westfall, D.G., dan Cole, C.V. (1993). Agroecosystem approach to soil and crop management research. Soil Science Sosiety of America Journal., 57 :1354-1360.

Solahuddin, S. 1999. Visi pembangunan pertanian, IPB, Bogor.

Sounders, D.A. (1990). Australian ecosystem: 200 years of Utilisation, Degradation and Reconstruction. Proceedings

of the Ecological Society of Australia, 16

Utomo, M. 1995. Sistem pengolahan tanah konservasi dan pertanian berkelanjutan. Sarasehan tentang Kebijakan

Pertanian Berkelanjutan. Kantor Menteri Lingkungan Hidup. Jakarta. 9 Maret 1995.

Page 78: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

78

Utomo, M. 1999. Reorientasi Paradigma Pembangunan Pertanian. LKMM Mahasiswa Pertanian se Indonesia. Bandar Lampung, 21-28 Februari 1999.

Vanclay, F. (1994). Land degradation and land management in central NSW. Centre for Rural Social Studies, Charles

Sturt University-Australia.

Vanclay, F. (1997). The sociological context of environmental management in agriculture. Centre for Rural Social Studies, Charles Sturt University-Australia.

Walker, K.J. dan Reuter, D.J. (1996). Indicators of catchment health. Technical Perspective. CSIRO Publishing,

Melbourne.

DISKUSI

Pertanyaan:

1. Bagaimana cara mengembangkan tipologi (model-model yang ada).

2. Perlu ditampilkan model-model kesesuaian lahan untuk lahan kering dan bagaimana cara

mengembangkannya.

3. Bagaimana cara meramu teknologi-teknologi lahan kering itu untuk bisa menjadi suatu model.

4. Bagaiman cara mendapatkan sumber-sumber mata air, karena sumber mata air banyak yang sudah

hilang.

5. Sebelum disosialisasikan maka saya harapkan teknologi-teknologi yang dihasilkan di lahan kering

ini.

6. Perlu adanya suatu model dengan pendekatan sistem terutama masalah sosial budaya masyarakat, ini

yang perlu dikaji dahulu sebelum dilakukan program.

7. Bagaimana kondisi kesejahteraan mereka, karena tidak mungkin teknologi/program dapat berjalan

baik apabila kebutuhan pangan mereka belum tercukupi.

8. Sejauh mana kajian lahan kering ini sudah dilakukan.

9. Perlu tambahan teknologi Pasca Panen.

Tanggapan:

1. Kita perlu melihat model-model yang sudah diterapkan petani, tinggal kita modofikasi menjadi

teknologi tepat guna.

2. Sangat setuju dengan sarannya untuk dipikirkan model-model pengembangannya di lahan kering

3. Memang perlu dipikirkan daerah-daerah tertentu yang perlu diamankan (pembagian zona-zona untuk

daerah yang berpotensi sebagai sumber air).

4. Teknologi pasca panen memang perlu untuk meningkatkan nilai tambah.

5. Memang betul bahwa kita kita harus mengembangkan tanaman yang sudah banyak berkembang di

daerah tersebut.

Page 79: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

79

PENGGUNAAN FLOWCAST UNTUK MENENTUKAN AWAL MUSIM HUJAN DAN

MENYUSUN STRATEGI TANAM DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN

DI PULAU LOMBOK

Ismail Yasin 1, Mansur Ma’shum

1, Yahya Abawi

2 and Lia Hadiahwaty

3

1. Fakultas Pertanian UNRAM

2. Dept of Natural Resource and Mining. Toowoomba QLD Australia;

3. Kantor Kerjasama ACIAR – UNRAM

ABSTRAK

El Niño Osilasi Selatan (ENOS) mempunyai dampak yang nyata pada sistem pertanian di Indonesia.

Kuatnya pengaruh ENOS itu dapat dilihat dari kejadian kemarau panjang dan kekeringan di wilayah Indonesia yang bertepatan dengan kejadian El Niño. Kekeringan 1997/1998 ENOS di NTB dilaporkan menyebabkan 8400 ha tanaman

padi mengalami kekeringan berat dan lebih kurang 2000 ha diantaranya mengalami puso (BPTPH, 1999). Meskipun

demikian pemahaman kita tentang fenomena ENOS tersebut masih rendah dan sering salah kaprah. Tulisan ini

menjelaskan hubungan antara ENOS dan curah hujan, serta bagaimana kita memanfaatkan informasi fenomena tersebut untuk memprakirakan awal musim hujan dan sekaligus menyusun strategi tanam atau memilih jenis tanaman

yang tepat untuk sistem lahan sawah tadah hujan sehingga terhindar dari bahaya kekeringan. Bagian akhir dari

tulisan ini mendemonstrasikan prakiraan awal musim tanam dan prospek curah hujan sepanjang musim tanam

2002/2003 dengan menggunakan Flowcast di pulau Lombok. Demontrasi ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan para pengambil kebijakan dalam pemanfaatan Flowcast untuk menentukan awal musim hujan dan jenis tanaman di lahan sawah tadah hujan dengan mempertimbagkan prospek air tersedia dari curah hujan dan

kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman.

PENDAHULUAN

Variasi iklim musiman merupakan penyebab utama menurunnya produksi tanaman pangan di

Indonesia. Kemarau panjang dan kekeringan menyebabkan gagal panen dan kekurangan pangan yang

pada gilirannya mempengaruhi mutu kehidupan di suatu negara. Variasi iklim yang tak beraturan itu

ternyata berkaitan erat dengan kejadian El Niño Osilasi Selatan (ENOS). Sepanjang sejarah rakyat di

pulau Lombok beberapa kali mengalami kejadian kelaparan yang parah. Misalnya kelaparan tahun 1954

dan 1966 dicatat sebagai peristiwa yang menyebabkan ribuan orang mati kelaparan di Lombok bagian

selatan (Team ITB, 1869). Terbukti di Lombok bahwa kejadian kekeringan atau kemarau panjang itu

bertepatan terjadinya dengan peristiwa El Niño. Kemarau panjang dan kekeringan yang terjadi pada tahun-

tahun tersebut ternyata berkaitan dengan signal IOS negatif yang kuat di lautan Pasifik. Kejadian El Niño

terakhir, tahun 1997/1998 di Nusa Tenggara Barat (NTB) menyebabkan 8.400 ha tanaman padi mengalami

cekaman air dan 1.400 ha diantaranya mengalami puso (BPTPH, 1999).

Apabila terjadi kekeringan atau kemarau panjang maka tanaman yang paling parah mengalami

cekaman air adalah tanaman yang ditanam di lahan tadah hujan (Rosiady, 2001). Dampak kekurangan air

dari tanaman lahan tadah hujan ini kelihatan nyata dengan membandingkan hasil tanaman tadah hujan

dengan tanaman beririgasi. Berdasarkan catatan dalam NTB dalam angka (BPS, 2000) hasil rata-rata

tanaman padi sawah tadah hujan berkisar antara 2 – 3.5 ton ha-1

, sementara padi di lahan beririgasi dapat

memberi hasil antara 4.5 sampai 5.5 ton ha-1

.

Di Pulau Lombok jumlah lahan tadah hujan berupa sawah adalah 15.000 ha atau sekitar 14%

dari keseluruhan sawah yang ada. Meskipun di pulau Lombok sekitar 86% lahan sawah sudah

mempunyai sistem irigasi, hanya bagian hulu (sekitar 52%) yang dapat melayani dua kali tanam dan 48%

merupakan sawah yang dilayani irigasi hanya pada musim hujan (BPS, 1997). Bila persediaan air irigasi

dalam keadaan kritis, misalnya karena terjadinya kekeringan atau hujan yang datang terlambat maka

daerah irigasi hilir ini tidak akan memperoleh air irigasi. Oleh karena itu, resiko bercocok tanam di lahan

irigasi bagian hilir ini tidak jauh berbeda dengan resiko bercocok tanam pada lahan sawah tadah hujan.

Di lahan tadah hujan gagal panen dan gagal tanam merupakan hal yang sangat lumrah dialami

oleh petani. Acap kali petani gogo rancah, misalnya, menugal pada saat kondisi lengas tanah sangat

rendah dengan keyakinan besok atau lusa akan turun hujan yang cukup untuk memulai pertumbuhan padi

di sawahnya. Akan tetapi apabila prakiraan mereka meleset maka benih yang ditugal tidak akan tumbuh

atau bibit yang baru saja tumbuh segera mati karena kekeringan (Pramudia et al, 1991). Hal ini

Page 80: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

80

menyebabkan mereka harus menugal ulang dan membeli benih lagi sehingga membuat sistem pertanian

gogo rancah di lahan tadah hujan sering tidak efisien.

Untuk memperkecil resiko gagal tanam dan gagal panen serta menjamin produktivitas lahan

tadah hujan perlu dikembangkan suatu sistem peramalan yang memanfaatkan informasi iklim, terutama

hubungan antara IOS dan curah hujan. Prakiraan sifat hujan yang dikorelasikan dengan fenomena ENOS

telah dicoba di beberapa stasiun curah hujan di pulau Lombok. Sebuah program aplikasi komputer yang

disebut Flowcast telah dikembangkan oleh McClemont dan Abawi (2000) berkaitan dengan proyek

ACIAR kerjasama DNRM Australia dengan Universitas Mataram yang berjudul ―Capturing Benefit of

Seaonal Climate Forecast in Agricultural Management‖ Prakiraan dari analisis komputer menunjukkan

bahwa curah hujan di pulau Lombok mempunyai korelasi yang erat dengan fenomena ENOS di Lautan

Pasifik (McClemont dan Abawi, 2000; Yasin dan Abawi, 2002).

Prakiraan jatuhnya awal musim hujan (curah hujan > 180 mm per bulan) merupakan hal yang

sangat penting pada sistem lahan tadah hujan. Prakiraan ini akan membuahkan perkiraan jumlah air

tersedia pada suatu periode tertentu yang lebih akurat. Hal ini bila dibarengi dengan seleksi jenis tanaman

yang kebutuhan airnya sesuai dengan irama ketersediaan air maka kejadian cekaman air pada tanaman

dapat ditekan sekecil mungkin. Misalnya, jenis tanaman pilihan jatuhnya pada tanaman palawija yang

kurang menguntungkan dibanding tanaman padi, akan tetapi karena kondisi curah hujan yang kurang

tidak memungkinkan untuk mencapai hasil padi optimal; sebaliknya bagi tanaman palawija kondisi curah

hujan sepanjang musim tanam mungkin sangat ideal dan mendorong produktivitas tanaman palawija

mencapai titik optimumnya. Pilihan jenis tanaman berdasarkan kesesuaian dinamika curah hujan seperti

itu makin mendesak untuk diterapkan guna pertanian yang efisien dan mencegah timbulnya kerawanan

sosial akibat gagal panen.

Di lahan tadah hujan, dimana irigasi tidak dimungkinkan, penggunaan prakiraan jatuh awal

musim hujan dan sifat hujan sepanjang musim tanam bukan saja untuk untuk menyeleksi jenis tanaman

yang cocok dengan panjangnya musim hujan, tetapi juga untuk menentukan saat tanam atau saat tugal

yang tepat sehingga tanaman yang baru tumbuh tidak mati karena kekeringan atau justru membusuk

karena terlalu banyak hujan. Informasi tentang awal musim hujan dan sifat hujan selama musim tanam

yang diperoleh dari sistem prakiraan iklim musiman akan menjadi dasar pemilihan tanaman yang sesuai

dengan kondisi musim yang diprediksi, sedangkan bila kita masukkan informasi yang berkaitan dengan

pemasaran dari hasil tanaman yang dipilih maka akan diperoleh kombinasi tanaman yang bukan saja

unggul dari segi kemampuan berproduksi, tetapi juga unggul dari segi pendapatan atau laba usahatani.

Sampai saat ini penggunaan informasi iklim, terutama IOS untuk prakiraan awal musim hujan

maupun sifat hujan musiman di Indonesia masih sangat langka. Di lain pihak penerapan metode

parkiraan iklim musiman yang lebih sceintific seperti di atas makin diperlukan guna memahami lebih

komprehensif mengenai sifat hujan di daerah kita yang pada gilirannya mendorong kita lebih arif dalam

memilih jenis tanaman dan komoditi yang dikembangkan di suatu musim tertentu.

DAMPAK ENOS PADA IKLIM PULAU LOMBOK

Keberadaan pulau Lombok yang berada di daerah khatulistiwa dan diapit oleh dua benua (Asia dan

Australia) dan dua samudera (S. India dan S. Pasifik) menyebabkan pulau ini dipengaruhi oleh iklim musiman

(moonsonal climate); sedangkan keberadaannya di antara dua samudera dan pada sabuk khatulistiwa

menyebabkan pulau Lombok dipengaruhi angin pasat timur (easterly trade winds) yang datang dari Samudera

Pasifik. Dalam hal ini, angin dingin dari belahan bumi utara dan selatan akan berhembus ke arah daerah yang

lebih hangat (khatulistiwa) karena gaya korriolis angin ini mengalami konvergensi dan bergerak ke arah barat

sambil membawa uap air (McDonald and Co, 1985; Martyn, 1992).

Dalam kondisi normal musim hujan Indonesia, pulau Lombok khususnya dipengaruhi oleh angin

yang berada pada lajur khatulistiwa. Lajur angin ini dinamakan zona konvergensi inter tropika (the inter

tropical convergence zone/ITCZ) yang pada musim hujan berada lebih utara, yaitu berada di antara 17º dan 8º

LS (Coll and Whitaker, 1990). Selama musim panas di belahan bumi bagian selatan (Desember s/d.

Februari). Pemanasan daratan Australia menyebabkan berkembangnya pusat tekanan rendah yang pada

gilirannya menarik udara dari daerah tropika ke arah Australia. Angin passat timur yang kaya uap air dari

Samudera Pasifik berbelok ke arah Benua Australia menjadi angin barat laut (north westerly winds) dan

menyebabkan musim hujan di sebagian besar kepulauan Indonesia.

Page 81: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

81

Namun curah hujan selama musim hujan tidak sama dan bervariasi tergantung gradien tekanan yang

mendorong gerakan angin passat timur. Angin passat timur di Pasifik bagian tengah yang biasanya

berhembus ke barat kadamg-kadang berhenti bahkan arahnya berbalik ke arah timur (Kuhnel et al, 1990).

Perubahan arah angin passat ke timur menimbulkan pengantian secara besar-besaran rezim curah hujan di

daerah tropika, yang menghasilkan perubahan yang besar dalam sirkulasi atmosfir global yang pada

gilirannya memaksa perubahan cuaca di wilayah Pasifik tropika Kondisi inilah yang disebut fenomena El

Niño (Coll and Whitaker, 1990; Musk, 1988).

Para pakar iklim dan hidrologi di Australia, percaya bahwa kejadian hujan di Australia sangat

erat hubungannya dengan kejadian ENOS (Nicholl, 1991). Karena itu indeks osilasi selatan (IOS)

biasanya digunakan untuk mengukur peluang kejadian hujan. Nilai negatif dari IOS ini menunjukkan

adanya tekanan udara di atas permukaan laut yang lebih tinggi di Darwin dibandingkan dengan dengan di

Tahiti dan mecerminkan curah hujan di Indonesia berada di bawah normal. Nilai ekstrem dari osilasi ini

dicapai bilamana tekanan udara permukaan laut di Pasifik tengah lebih rendah dari normal maka tekanan

udara permukaan laut di Darwin cenderung di atas normal. Penyimpangan tekanan ini berkaitan dengan

peningkatan suhu permukaan laut di Pasifik tengah dan timur dan penurunan suhu permukaan laut di

Samudera Pasifik bagian barat dan Samudera India. Pasangan suhu permukaan laut (SPL) yang hangat dan

osilasi selatan (OS) biasanya diacu sebagai kejadian ENOS (Hammer and Nicolls, 1996; Allan et al, 1996)

Pengaruh ENOS di Australia telah dijelaskan dengan baik oleh beberapa peneliti sebelumnya.

(Abawi and Dutta, 1999; Clewett, et al., 1991; Nichols, 1991). McBride and Nichols (1983) menguji

secara simultan korelasi antara IOS dan curah hujan bulanan di 107 station curah hujan di Australia.

Hujan musiman di beberapa tempat di Australia dipengaruhi secara nyata oleh keadaan IOS musim

sebelumnya. Korelasi terkuat diperlihatkan pada kejadian hujan bulan Januari, Februari dan Maret yang

dihubungkan dengan nilai IOS bulan Oktober s/d Desember. Sedangkan hujan bulan September s/d

Desember diprediksi dari nilai IOS bulan Juni s/d Agustus. Di beberapa tempat menunjukkan hubungan

yang dekat antara kejadian hujan dengan nilai IOS enam bulan sebelumnya.

Di Indonesia, penelitian yang konprehensif mengenai dampak ENOS pada sumber daya air dewasa

ini telah dilakukan oleh Tim peneliti DNR Australia bekerjasama dengan Tim peneliti dari Universitas

Mataram. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya keterkaitan yang erat dari nilai IOS dengan

kejadian hujan di pulau Lombok (Yasin et al, 2001). Pada tahun-tahun El Nino (IOS secara konsistent

negatif) umumnya curah hujan berada jauh di bawah rata-rata dan menyebabkan kekeringan dan panen

padi tidak memuaskan. Sebaliknya, pada tahun-tahun La Niña curah hujan dapat sangat berlebihan dan

dapat menimbulkan banjir dan berpotensi menggagalkan panen terutama tanaman non padi.

Ket: Tanda belah ketupat berwarna merah pada gambar adalah periode dimana terjadinya fenomena El Nino

Gambar 1. Variasi hujan tahunan di Lombok bagian selatan selama periode 1950-1998

Gambar di atas memperlihatkan bahwa dari tahun 1950 – 1998 telah terjadi 10 kali fenomena El

Niño, Sementara itu, curah hujan di pulau Lombok bagian selatan berada di bawah rata-rata hampir pada

setiap kejadian fenomena tersebut.

Dampak ENOS pada sistem pertanian di Indonesia terlihat dari menurunnya produksi padi di

Indonesia pada setiap kejadian El Niño. Data yang diolah Amien (2001) dan Yasin et al (2001)

menunjukkan terjadinya bencana kekeringan yang menyebabkan penurunan produksi padi pada tingkat

nasional di Indonesia. Sementara itu di Nusa Tenggara Barat juga terlihat adanya trend penurunan

Page 82: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

82

produksi atau luas panen pada hampir semua kejadian El Niño. Pada Gambar 2 diperlihatkan bahwa

penurunan areal panen terjadi 4 tahun berturut-turut selama dekade 1990 bertepatan dengan fenomena El

Niño pada dekade tersebut.

Gambar 2. Trend penurunan dan peningkatan produksi padi tahunan di NTB sebagai akibat kejadian El

Niño

Dengan membandingkan produksi padi pada musim tanam I dan II terlihat bahwa pada setiap

kejadian El Niño produksi padi musim tanam I menurun lebih kurang 20% akan tetapi penurunan

produksi itu dikonpensasi dengan penambahan areal tanaman padi pada musim tanam kedua. Hal ini

dimungkinkan karena fase El Niño biasanya mulai menjelang musim hujan dan mempengaruhi panen

musim tanam I. Setelah itu, fase El Niño biasanya diikuti oleh fase La Niña yang mulai pada musim

kemarau. Hal ini diperkirakan menyebabkan peningkatan produksi padi pada musim tanam II.

INDEKS OSILASI SELATAN

Cara yang paling umum dilakukan untuk mengukur besarnya pengaruh ENOS pada kejadian

curah hujan adalah dengan menggunakan indeks osilasi selatan (IOS). Indeks ini merupakan selisih dari

anomali tekanan atmosfer permukaan laut di Tahiti (17º S,150 W) dan Darwin (12º S, 131 W),

distandarisasi pada rerata nol dan 10 kali simapangan baku (normalised Z-score kali 10) (Abawi and

Dutta, 1998, Allan et al., 1996b).

10)( xPPIOS DT

dimana PT and PD adalah anomali tekanan atmosfer (simapangan dari rerata) di Tahiti dan Darwin; sedangkan

adalah standar deviatasi (SD) dari selisih tekanan. Sering muncul pertanyaan bernada keberatan, mengapa

harus Darwin and Tahiti; apakah bisa kedua titik tersebut mewakili keadaan iklim di Indonesia; mengapa

tidak Jakarta atau Denpasar. Hal ini harus dimengerti oleh calon pengguna program ini bahwa ditetapkannya

Darwin and Tahiti untuk mengukur IOS merupakan konvensi internasional karena kedua lokasi tersebut

mempunyai letak yang strategis yang menghubungkan Samudera India di sebelah barat dan Samudera Pasifik

di sebelah timur (Abawi, 1990). Hal yang lain menjadi pertimbangan bahwa kedua titik tersebut mempunyai

data iklim yang lengkap lebih kurang 200 tahun. Clarkson, et al., 1992 mengatakan bahwa Posisi Darwin

boleh saja diganti Jakarta atau Denpasar dan posisi Tahiti diganti Buenos Aires sepanjang titik-titik penganti

tersebut mempunyai rekaman data yang cukup.

Data takanan permukaan laut diukur harian; akan tetapi indeks biasanya dihitung bulanan. Suatu

nilai IOS negatif berarti tekanan permukaan laut lebih besar atau suhu laut lebih dingin di Darwin

dibandingkan dengan di Tahiti. Sebaliknya nilai IOS positif menunjukkan tekanan permukaan laut lebih

besar atau suhu air laut lebih dingin di Tahiti dibandingkan dengan di Darwin

Data IOS bulanan tersedia di berbagai situs iklim di internet, misalnya di situs www.bom.gov.au

milik Biro Meteorologi Australia. IOS bulanan tahun 1997 s/d 2002 ditampilkan dalam grafik berikut

(Gambar 3):

1974

1975

1976 19

77

1978

1979

1980

1981 19

82

1983

1984

1985

1986

1987

1988

1989 19

90

1991

1992 1993 19

94

1995

1996 1997

1998

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

Dev

iasi

luas

pan

en (x

1000

ha)

0

3000

6000

9000

12000

15000

18000

Cura

h hu

jan,

mm

El Niño La Niña

Non-ENSO CH Tahunan

Page 83: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

83

Gambar 3. Nilai IOS bulanan tahun 1997 sampai dengan 2002 yang didokumentasi oleh biro meteorologi

Australia.

Di Indonesia informasi IOS belum digunakan sebagai alat prakiraan curah hujan, meskipun

terdapat korelasi yang kuat antara IOS dengan curah hujan kita. Kirono (2000) melaporkan bahwa secara

umum potensi penggunaan IOS sebagai alat peramal (prediktor) curah hujan di Indonesia sangat baik.,

meskipun intensitas pengaruh ENOS tidak seragam, melainkan bervariasi dari waktu ke waktu dan dari

tempat ke tempat. di setiap bagian wilayah Oleh karena itu hasil prakiraan akan lebih baik bila diterapkan

dalam cakupan yang tidak terlalu luas melainkan di wilayah demi wilayah yang mempunyai kondisi fisik

relatif seragam.

Boer (2001) menegaskan adanya perbedaan dalam intensitas pengaruh dari setiap kejadian El

Niño event. Dia menyatakan bahwa El Niño 1982/1983 menyebabkan musim kemarau jatuh 20 hari lebih

awal dan musim hujan jatuh 30 s/d 40 lebih lambat dari biasanya. Pada El Niño 1997/98 musim kemarau

bertahan sampai beberapa bulan menjelang akhir 1997 sementara permulaan musim hujan tertunda

hingga 2 bulan dari biasanya.

Boer (2001) juga melaporkan adanya variasi spasial dari pengaruh El Niño. Pengaruh El Niño

biasanya kuat di daerah yang dipengaruhi iklim musim (monsoon), dan lemah di daerah sekitar

khatulistiwa dan daerah yang iklimnya di pengaruhi angin lokal. Di daerah sekitar garis khatulistiwa

curah hujan biasanya bersifat berpuncak ganda (bimodal). Puncak curah hujan pertama biasanya terjadi

bulan Maret dan yang kedua terjadi bulan Oktober. Berbeda halnya dengan curah hujan di daerah yang

dipengaruhi kuat oleh iklim musim yang mempunyai curah hujan berpuncak tunggal (unimodal), yang

biasanya terjadi sekitar Desember - Januari. Di daerah yang dipengaruhi oleh iklim lokal sebenarnya

mempunyai curah hujan berpuncak tunggal; akan tetapi pola curah hujan biasanya berlawanan dengan

tipe iklim musim.

Di Lombok Yasin et al (2002) menganalisa rekaman curah hujan jangka panjang ( 50 tahun)

dari lebih dari 20 stasiun curah hujan. Secara umum disimpulkan bahwa sekitar 60% dari kejadian

kekeringan terjadi berkaitan dengan fenomena El Niño. Hal ini dapat dibuktikan dengan memplotkan

IOS rata-rata bulan Agustus – Oktober dengan indeks curah hujan (ICH) bulan November – Februari.

Secara umum terlihat bahwa IOS positif diikuti dengan ICH positif dan IOS negatif diikuti dengan ICH

negatif.

Page 84: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

84

Keterangan: SD

xCHCHICH i 10)(

,

CHi = curah hujan bula ke i dan CH = rata-rata curah hujan pada bulan ke i tersebut.

Gambar 3. Hubungan indek curah hujan dengan IOS selama musim hujan dan musim kemarau di Lombok bagian

selatan

Seperti ditunjukkan pada Gambar 4 musim dengan IOS negatif kuat (biru) biasanya diikuti

dengan indeks curah hujan yang juga negatif. (merah). Sebaliknya IOS positif kuat biasanya diikuti

dengan indeks curah hujan positif. Meski tidak semua IOS dan ICH bersesuaian lebih kurang 70%

daripadanya menunjukkan kesesuaian.

PENGGUNAAN INDEKS OSILASI SELATAN UNTUK PRAKIRAAN SIFAT HUJAN

Bey et al, (1997) mengusulkan tiga pendekatan untuk menyesuaikan sistem usahatani dengan

sifat iklim dan cuaca, yaitu (1) pendekatan strategis, (2) pendekatan taktis dan (3) pendekatan operasional.

Yang dimaksudkan dengan pendekatan strategis adalah analisis data iklim yang bersifat rata-rata dengan

menggunakan data historik. Pendekatan taktis dilakukan melalui pengembangan metode dan teknik

ramalan musim yang handal, melalui penerapan berbagai model dan ragam data. Pendekatan operational

dilakukan untuk mitigasi bencana akibat iklim yang tidak menguntungkan.

Analisis data iklim, curah hujan, temperatur, kelembaban udara rata-rata telah banyak dilakukan

oleh para pengguna, perencana proyek. Data curah hujan rata-rata juga disajikan dalam berbagai laporan

kegiatan proyek pemerintah. Akan tetapi analisis atau prakiraan iklim musiman yang merupakan

pendekatan taktis sangat langka dilakukan di Indonesia. Meskipun Badan Meteorologi dan Geofisika

(BMG) Pusat menerbitkan prakiraan sifat curah hujan untuk 3 bulan ke depan, gema dari kegiatan itu

hanya diketahui oleh kalangan terbatas. Dalam arti banyak lembaga-lembaga pemerintahan yang

seharusnya berkepentingan dengan data tersebut tidak mengetahui atau kurang sekali menaruh perhatian

pada kegiatan itu.

Menurut Bey et al., (1997) ramalan cuaca sampai saat ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu pendekatan taktis dengan model simulasi mampu menganalisis dan memadukan berbagai

faktor atau skenario untuk menghasilkan suatu kesimpulan akhir dengan berbagai kemungkinannya.

Sebagai contoh pendekatan ini adalah penggunaan data IOS untuk meramalkan kejadian hujan 2 atau 3

bulan mendatang. Pengalaman di Australia menunjukkan adanya korelasi yang cukup erat antara nilai

IOS dengan kejadian hujan beberapa bulan mendatang; dengan demikian perencanaan pola tanam,

strategi tanam dan penggunaan lahan dapat dilakukan lebih akurat dan dengan risiko yang lebih kecil.

Prakiraan curah hujan bulanan dan musiman dengan IOS yang dikemas dalam suatu paket

aplikasi komputer (Flowcast ) telah dicoba untuk beberapa data curah hujan di pulau Lombok. Secara

umum diperoleh indikasi bahwa curah hujan bulanan yakni curah hujan bulan Oktober dan November

memperlihatkan perbedaan yang tegas bila diprakirakan dengan rata-rata IOS tiga bulan sebelumnya.

Demikian pula pengunaan rata-rata IOS Juni, Juli Agustus dan September (JJAS) atau IOS Juli, Agustus,

September dan Oktober (JASO) untuk memprakirakan curah hujan musim tanam pertama (November,

Page 85: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

85

Desember, Januari dan Februari (NDJF)) juga memperlihatkan beda yang tegas (lihat Tabel 1). Terdapat

selisih berkisar antara 200 – 400 mm per musim (4 bulan) bila SOI dibawah <–5 dibandingkan dengan

bila SOI >5. Perbedaan tersebut makin tampak di stasiun curah hujan yang jauh dari pantai dibandingkan

dengan stasiun curah hujan yang dekat dengan pantai.

Tabel 1. Prakiraan curah hujan (CH) musiman dan awal jatuhnya musim hujan pada kondisi El Niño (IOS <-5) dan La Niña (IOS >+5

Lokasi Stasiun

Curah Hujan

NDJF Oktober November

IOS <-5 IOS>5 IOS <-5 IOS>5 IOS <-5 IOS>5

Mataram 665 860 7 100 110 140 Sesaot 980 1130 55 230 160 330

Jurangsate 950 1020 20 100 135 235

Barabali 900 1150 30 170 60 290

Kopang 850 1120 0 65 90 260

Praya 850 1127 0 80 50 230

Penujak 700 1000 0 70 70 120

Mujur 680 875 0 50 20 125

Sengkol 800 1110 0 75 30 125

Sakra-swangi No Skill No Skill 0 50 30 140

Keruak 573 620 0 3 15 90

Tabel 1. merupakan curah hujan yang diharapkan selama musim tanam I bulan November,

Desember, Januari dan Februari (NDJF) dan bulan Oktober dan November pada peluang 70% pada

kondisi signal IOS rata-rata bulan Juni s/d September di bawah -5, dan di atas +5. Pada kondisi El Niño

curah hujan selama musim tanam umumnya lebih rendah daripada kebutuhan tanaman padi yang

membutuhkan sekira 1000 mm (Sys, 1993). Oleh karena itu tanaman padi kemungkinan akan mengalami

cekaman sekali atau beberapa kali selama musim tanam. Cekaman yang dialami pada fase vegetatif

biasanya dapat disembuhkan dengan tanam ulang atau menyisip akan tetapi apabila cekaman itu dialami

pada fase reproduktif maka efeknya biasanya tak dapat balik atau tak terobati. Dalam hal ini El Niño

sering kali menyebabkan cekaman air pada fase vegetatif; akan tetapi tidak menutup kemungkinan

menyebabkan tanaman mengalami cekaman air di kedua fase tersebut sehingga menyebabkan gagal

panen. Sebaliknya pada kondisi La Niña (IOS di atas 5) curah hujan secara umum berada dalam keadaan

cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman padi di lahan sawah tadah hujan. Akan tetapi perlu

diwaspadai bahwa curah hujan di atas 200 di bulan November dapat mengganggu pertumbuhan awal padi

gogorancah dan memaksa terjadinya penggenangan dini.

Guna menetapkan awal musim hujan maka (awal tanam) pada kondisi El Niño dan La Niña

digunakan ketentuan sebagai berikut :

Minimum terdapat curah hujan 60 mm pada bulan yang ditinjau diikuti dengan curah hujan 180 mm

pada bulan berikutnya

Apabila curah hujan antara 60 –120 mm maka diasumsikan musim hujan jatuhnya pada dasarian

ketiga

Apabila curah hujan antara 120 –180 mm maka diasumsikan musim hujan jatuhnya pada dasarian

kedua

Apabila curah hujan 180 mm maka diasumsikan musim hujan jatuhnya pada dasarian pertama

Dengan menggunakan ketentuan di atas maka dapat dikatakan bahwa pada tahun El Niño awal

jatuhnya musim hujan adalah pada pertengahan November di daerah utara dan di bulan Desember di

Lombok bagian selatan. Hal ini di tandai dengan curah hujan yang masih di bawah 60 mm pada bulan

November. Sebaliknya pada tahun La Niña bulan basah jatuh pada awal bulan Oktober di daerah

Lombok bagian utara dan pada pertengahan Oktober sampai dengan awal November di daerah Lombok

bagian selatan.

PRAKIRAAN SIFAT HUJAN MUSIM TANAM I TAHUN 2001/2002

Di muka (Tabel 1) telah diperlihatkan variasi curah hujan musiman dan bulanan di 11 stasiun

curah hujan selama fenomena ENSO (IOS <-5 dan >+5) Harapan curah hujan di atas bersifat fenomenal

artinya curah hujan sebesar itu diramalkan akan terjadi bila IOS di bawah -5 atau bila IOS (di atas +5; dan

tidak menjelaskan sifat hujan pada tahun atau musim yang kita ingin ramal.

Page 86: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

86

Untuk memprakirakan curah hujan pada tahun atau musim tertentu maka terlebih dahulu melihat

nilai IOS yang akan digunakan sebagai alat peramal. Dalam hal ini dihitung rata-rata IOS JJAS (Juni Juli,

Agustus dan September) yang digunakan untuk meramal curah hujan NDJF (November, Desember,

Januari dan Februari). Pada tahun 2002 ini terutama sejak bulan Mei nilai IOS terus negatif di bawah –5.

Seperti ditunjukkan pada Tabel 2 bahwa nilai rata-rata IOS dari Mei s/d Oktober adalah -6.67, sedang

nilai rata-rata IOS dari bulan Juni s/d September (JJAS) yang digunakan untuk memprakirakan sifat hujan

sepanjang MT I (NDJF) dan sifat hujan bulanan (Oktober, November dan Desember) adalah -9.03

Tabel 2. Nilai IOS bulanan selama tahun 2002

Bln Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Mei-

Okt JJAS

2002 2,7 7,7 -5,2 -3,8 -14,5 -6,3 -7,6 -14,6 -7,6 -7,4 -9,87 -9,03

Prakiraan sifat hujan MT 1 (NDJF) dan sifat hujan bulanan untuk menentukan awal bulan basah

tahun 2002/2003 ini diberikan pada Tabel 3 di bawah.

Tabel 3. Prakiraan sifat hujan sepanjang MT 1 (NDJF) dan jatuhnya awal musim hujan tahun 2002/2003.

Stasiun Curah

Hujan

Rata-rata

SOI JJS

Curah Hujan (mm)

Nov-Feb Oktober November Desember

Mataram* -9.025 777 20 130 190

Sesaot -9.025 1050 70 180 205

Jurangsate -9.025 1025 35 155 227

Barabali -9.025 990 36 165 260

Kopang -9.025 930 10 110 210

Praya -9.025 900 0 65 230

Penujak -9.025 700 0 80 180

Mangkung -9.025 718 0 50 175

Mujur -9.025 680 0 15 200

Sengkol -9.025 800 0 50 340

Sakra -9.025

730 23 78 197

Keruak -9.025

573 0 20 130

Dengan mengambil patokan IOS <-5 maka sifat hujan sepanjang musim tanam MT I tahun

2002/2003 diprakirakan dalam keadaan hampir cukup sampai kurang. Daerah utara (Sesaot, Jurang Sate,

Barabali dan Kopang) diprakirakan mempunyai curah hujan lebih dari 900 mm selama musim tanam;

sebaliknya daerah bagian selatan diprakirakan memperoleh hujan berkisar 500- 800 mm. Kebutuhan

optimum tanaman padi untuk masing-masing daerah berbeda-beda tergantung jenis tanahnya. Perkiraan

kebutuhan tanaman padi dan palawija pada masing-masing jenis tanah adalah seperti diperlihatkan pada

Tabel 4 (Abawi et al, 2002).

Tabel 4. Kebutuhan air bruto untuk tanaman padi dan palawija di beberapa jenis tanah di Lombok

Jenis

tanaman Jenis Tanah

ET Perkolasi Keb. Air bruto

(mm)

Padi Vertisol 645 299 944

Padi Vertisols+Alfisols 645 365 1010

Padi Tanah lainnya 645 610 1255

Palawija Semua jenis tanah 466 0 466

Sumber : Abawi et al. (2002)

Membandingkan besarnya curah hujan yang diramal dengan kebutuhan air optimal untuk

tanaman padi dapat disimpulkan bahwa pada kondisi El Niño (IOS <-5) jumlah air tersedia dari curah

hujan tidak cukup untuk membuat hasil menjadi optimum.

Page 87: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

87

Pada kondisi tahun El Niño tahun 2002/2003 ini maka awal bulan basah dari masing-masing

daerah bervariasi sebagai berikut:

Daerah Sesaot pada bulan Oktober mempunyai curah hujan 70 mm diikuti dengan CH 180 mm pada

bulan November sehingga awal musim hujannya jatuh pada dasarian ketiga bulan Oktober

Daerah Mataram, Kopang dan Barabali pada awal musim hujannya jatuh pada dasarian kedua bulan

November

Daerah Praya, Penujak dan Sakra awal musim hujannya jatuh pada dasarian ketiga bulan November

Daerah Sengkol dan Mujur awal musim hujannya jatuh pada dasarian pertama bulan Desember

Daerah Keruak dan Mangkung awal musim hujannya jatuh pada dasarian kedua bulan Desember

KESIMPULAN

Secara umum hubungan IOS dan curah hujan musiman dapat dijelaskan sebagai berikut:

Parkiraan sifat hujan musiman dan bulanan dengan menggunakan informasi IOS memperlihatkan

skill yang tegas. Dengan demikian program aplikasi komputer untuk prakiraan iklim berbasis

informasi IOS seperti Flowcast sangat potensial digunakan oleh pengambil kebijakan dalam bidang

pertanian sebagai suatu alat bantu dalam pengambilan keputusan.

Sifat hujan sepanjang MT I (November s/d Februari) dan sifat hujan bulanan yaitu Oktober,

November dan Desember sebaiknya diprakirakan dengan menggunakan rata-rata IOS Juni sampai

September.

Prakiraan curah hujan bulanan O, N dan D dengan rata-rata IOS JJAS memperlihatkan skill yang

tegas, dengan demikian prakiraan jatuhnya awal musim hujan (CH 180 mm per bulan) dapat

dilakukan dengan baik.

Secara spasial wilayah yang dekat dengan pegunungan Rinjani seperti Sesaot, Jurangsate, Barabali

dan Kopang umumnya mempunyai curah hujan yang lebih besar daripada daerah di bagian

selatannya.

Pada tahun El Niño awal musim hujan diprakirakan jatuh pada pertengahan November di daerah

utara dan di bulan Desember di Lombok bagian selatan. Sebaliknya pada tahun La Niña bulan basah

jatuh pada awal bulan Oktober di daerah Lombok bagian utara dan pada pertengahan Oktober sampai

dengan awal November di daerah Lombok bagian selatan.

MT I tahun 2002/2003 ditandai dengan IOS dari bulan Mei sampai November terus negatif (IOS rata-

rata –9). Maka dengan dengan mengambill ketentuan pada butir di atas kondisi curah di daerah utara

(Sesaot, Jurangsate Kopang) diprakirakan sekitar 900 mm selama musim tanam; sebaliknya daerah

bagian selatan diprakirakan sekitar 700 mm

Daerah Sesaot, Mataram, Kopang, Barabali dan sekitarnya awal musim hujannya jatuh pada akhir

Oktober sampai dengan pertengahan November

Daerah Praya, Penujak, sengkol, Mujur, Sakra dan sekitarnya awal musim hujannya jatuh pada akhir

November sampai awal Desember

Daerah Lombok bagian selatan awal musim hujannya jatuh pada pertengahan Desember

DAFTAR PUSTAKA

Abawi; G.Y. and S. C. Dutta, 1998. Forecasting of streamflows in NE-Australia based on the Southern Oscillation

Index. DNR. Australia.

Allan, R. J. Lindesday, D. Parker. 1996a. Southern Oscillation and Climatic Variability. CSIRO. Australia.

Allan, R.J. G.S. Beard, A. Close, A.L. Herczeg, P.D. Jones and H.J. Simpson. 1996B. Mean Sea Level Pressure Indices of the El Nino-Southern Oscillation: Relevance to Stream Discharge in South-Eastern Australia.

Amien,I, Rejekiningrum, Pramudia, A. and E. Susanti (1996). Effects of interannual climate variability and climate

change on rice yields in Java, Indonesia. Water, Air and Soil Pollution 92:29-39.

Bey, A., I. Amien., R. Boer., Hondok,. I. Las dan H. Pawitan. 1997. Pengembangan Metode Analisis Data Iklim dan Pewilayahan Agroklimat dalam Menunjang Usahatani yang Prosfektif. Dalam Baharsyah et al., (1997).

Sumberdaya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian Efisien. Deptan dan PERHIMPI. Pp 171 – 193.

Biro pusat Statistik (BPS). 1982 – 2000. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Kerjasama BPS Prop. NTB dengan

Bappeda NTB.

Page 88: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

88

Boer. R. 2001. Strategy to Anticipate Climate Extreme Event. Presented at the Training Institute on Climate and Society in the Asia Pacific region, 2 – 23 February 2001. Honolulu. USA.

BPTPH VII. 1999. Laporan Evaluasi Kegiatan Perlindungan Tanaman Tahun Anggaran 1998/1999. Direktorat

Jenderal Tanaman pangan dan Hortikultura.

Coll K. and R. Whitaker, 1990. The Australian Weather Book: Understanding our climate and how it affect us. NSW Bureau of Meterology.

Coll K. and R. Whitaker, 1990. The Australian Weather Book: Understanding our climate and how it.

Clewett, J.F., P.G. Smith, I.J. Partridge, D.A. George, and A. Peacock. 2001. Australian Rainman. Rainfall

information for better management. QDPI. Brisbane. QLD.

Clarkson, N.M., D.T. Owens. 1992. Rainman: Rainfall Information for Better Management, Department of Primary

Industries, Brisbane.

Hammer, G.L. and Nicholls, N. 1996. Managing for climate variability - The role of seasonal climate forecasting in

improving agricultural systems. Proc. Second Australian Conference on Agricultural Meteorology. Bureau of Meteorology, Commonwealth of Australia, Melbourne. pp. 19-27.

Kirono, D.G.C., 2000. Indonesian Seasonal Rainfall Variability, Link to El Nino Southern Oscillation and

Agricultural Impacts. Ph.D Dissertation. Monash Univ. Vic. Australia.

Kuhnel I, T A McMahon, B.L. Finlayson , A. Haines , P.H. Whetton and T.T. Gibson. 1990. Climatic influences on streamflow variability: a comparison between south-eastern Australia and United States of America,

Wat. Resour. Res., Vol. 26: 2483-2496

Martyn. D. 1992. Climate of the world. Development in Atmospheric Science. Elsevier Amsterdam London, N.Y.

435 p.

McBride, J.L. and N. Nicholls. 1983. Seasonal Relationship Between Australia Rainfall and The Southern

Oscillation. Monthly Weather review. Vol. 111: 1998-2004.

McClaymont, D., Y. Abawi., T. Harris., J. Ritchi and S. Dutta. 2000. Flowcast : A new Generation DSS for Climate

Researcher, Water users and Policy Makers. Poster. DNR. MDB Comm. QCCA. Australia.

McDonald and Partners Asia. 1985. West Nusa Tenggara Irrigation Study : Pandanduri – Swangi Pre-feasibility

Report.

Musk, L.F. 1988. Weather Systems. Cambridge University Press. Cambridge.

Nicholls, N. 1991. The El Nino/Southern Oscillation and Australian Vegetation. In “Vegetation and Climate interaction in Semi Arid Regions‖. (eds. A. Henderson-Sellers and A.J. Pitman) Vegetation, 91: 23-36.

Pramudia, A., Nasrullah dan Alemina, E., 1991. Sumber Daya Iklim Sebagai Dasar Analisis Perencanaan Pertanian Di

Pulau Lombok. Simposium Perhimpi III Malang, 20 - 22 Agustus 1991.

Sayuti, R., Y. Abawi., W. Karyadi., I. Yasin. 2001. Factor Affecting the Use of Climate Forecast in Agriculture : A case Study of Lombok island. Indonesia. Aciar papper. Mataram. 13 p.

Team ITB. 1969. Survey Pengenbangan Sunber Daya Air di Pulau Lombok. Report ITB.

Yasin, I., Y. Abawi. 2002. Impacts of ENSO Phenomenon on Water Resources and Crop Production in Lombok.

Presented at National Seminar of Indonesian Soil Science Association 25 May 2002 at University of Mataram. Indonesia.

Yasin, I., Y. Abawi. 2001. Capturing the Benefits of Seasonal Climate Forecast for Water and Crop Management in

Lombok. Aciar Papper. Mataram.

Yasin, I M. Ma‘shum and Y. Abawi. 2002. Impacts of ENSO Phenomenon on Water Resources and Crop Production in Lombok. Presented at National Seminar of Indonesian Soil Science Association on 25 May 2002 in

Mataram

Yasin, I., Y. Abawi., M. Ma‘shum. 2002. The Application of Linier Programming Model for Improving Irrigation

and Cropping Management in Lombok, Indonesia. Part Final Report on Capturing the Benefits of

Seasonal Climate Forecast in Agricultural Management submitted to Aciar. Australia.

Page 89: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

89

DISKUSI

Pertanyaan :

1. Ada keterkaitan antara cara tradisional dengan cara flowcast.

2. Berdasarkan prilaku flowcast, kapan kita harus menanam gora (bulan apa).

3. Kalau nanti flowcast menjadi suatu paket, tolong disederhanakan bentuknya.

4. Apakah ada kaitan fenomena gundulnya hutan di Bima dengan curah hujan yang kurang.

Tanggapan :

1. Sistem yang kita gunakan memang harus membutuhkan data curah hujan beberapa tahun.

2. Tidak selalu curah hujan besar akan menyebabkan banjir, tergantung letak tofografi.

3. Peralatan-peralatan tradisional untuk mengetahui saat hujan ini sulit kita ketahui alat ukurnya, tetapi

kita juga akan tetap melakukan kajian selanjutnya.

4. Jatuhnya hujan bulan Desember untuk bertanam Gora tahun 2002

5. Flowcast ini memang diperuntukkan untuk kalangan ilmiah, sedangkan di luar itu akan disajikan

dalam bentuk informasi-informasi yang lebih sederhana.

6. Data base belum punya untuk Bima untuk diakses ke program flowcast.

7. Elnino pengaruhnya global, jadi lahan kering di Lombok sangat tidak mungkin di Bima akan basah.

8. Sulit mencari indikasi alat ukur dan pranata mangsa. Sehingga dimasa depan akan diusahakan

pengembangan kedua metode tersebut.

Page 90: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

90

SISTEM EKOLOGI DAN MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI

Tejowulan, R.S. dan Suwardji

Pusat Pengkajian Lahan Kering dan Rehabilitasi Lahan (P2LKRL),

Fakultas Pertanian Universitas Mataram

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai atau DAS adalah hamparan pada permukaan bumi yang dibatasi oleh punggungan

perbukitan atau pegunungan di hulu sungai ke arah lembah di hilir. DAS oleh karenanya merupakan satu kesatuan

sumberdaya darat tempat manusia beraktivitas untuk mendapatkan manfaat darinya. Agar manfaat DAS dapat

diperoleh secara optimal dan berkelanjutan maka pengelolaan DAS harus direncanakan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Makalah ini secara singkat menyajikan pokok-pokok pikiran tentang sistim ekologi dan filosofi DAS

untuk mencapai pengelolaan DAS yang berkelanjutan dan menguntungkan.

PENDAHULUAN

Pengertian daerah aliran sungai (DAS) adalah keseluruhan daerah kuasa (regime) sungai yang

menjadi alur pengatus (drainage) utama. Pengertian DAS sepadan dengan istilah dalam bahasa inggris

drainage basin, drainage area, atau river basin. Sehingga batas DAS merupakan garis bayangan

sepanjang punggung pegunungan atau tebing/bukit yang memisahkan sistim aliran yang satu dari yang

lainnya. Dari pengertian ini suatu DAS terdiri atas dua bagian utama daerah tadah (catchment area) yang

membentuk daerah hulu dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah tadah.

Dalam pengelolaannya, DAS hendaknya dipandang sebagai suatu kesatuan sumberdaya darat.

Sehingga pengelolaan DAS yang bijak hendaklah didasarkan pada hubungan antara kebutuhan manusia

dan ketersediaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan manusia tersebut.

Pengelolan sumberdaya biasanya sudah menjadi keharusan manakala sumberdaya tersebut tidak

lagi mencukupi kebutuhan manusia maupun ketersediaannya melimpah. Pada kondisi dimana sumberdaya

tidak mencukupi kebutuhan manusia pengelolaan DAS dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat sebaik-

baiknya dari segi ukuran fisik, teknik, ekonomi, sosial budaya maupun keamanan-kemantapan nasional.

Sedangkan pada kondisi dimana sumberdaya DAS melimpah, pengelolaan dimaksudkan untuk mencegah

pemborosan.

Dalam makalah ini akan dibahas (1) Pengertian DAS dan DAS sebagai Sistem Ekologi, (2)

Hakekat DAS sebagai dasar dalam pengelolaannya, (3) Hakekat DAS sebagai dasar dalam

pengelolaannya, (4) Dasar-dasar pengelolaan DAS, dan (5) Data dasar yang diperlukan untuk

merencanakan pengelolaan DAS.

PENGERTIAN DAS DAN DAS SEBAGAI SISTIM EKOLOGI

Banyak definisi tentang sumberdaya (resource) seperti obtainable reserve supply of desirable

thing (suatu persediaan barang yang diperlukan, berupa suatu cadangan yang dapat diperoleh)

(Menard,1974). Pengetian sumberdaya selalu menyangkut manusia dan kebutuhannya serta usaha atau

biaya untuk memperolehnya. Oleh karena berkaitan dengan kebutuhan manusia, maka sumberdaya

mempunyai arti nisbi (relative).

Atas dasar kehadirannya, sumberdaya dapat dipilahkan ke dalam dua kelompok (1) sumberdaya

alam dan (2) sumberdaya buatan manusia. Ada juga yang menggolongkan sumberdaya atas dasar

kemantapannya terhadap kegiatan manusia : (1) sumberdaya yang sangat mantap, (2) sumberdaya yang

cukup mantap dan (3) sumberdaya yang tidak mantap. Suatu sumberdaya tertentu dapat mempunyai nilai

kemantapan beragam, tergantung dari gatranya yang diperhatikan. Misalnya, tanah sebagai tubuh alam

mempuyai nilai kemantapan daripada kesuburannya. Mutu air jauh lebih mudah goyah daripada

jumlahnya. Manusia secara jelas tidak dapat mengubah volume udara dalam atmosfer akan tetapi dia

secara nisbi mudah mencemarkannya.

Selain itu, ada yang menggolongkan sumberdaya atas kemampuannya untuk memperbaiki diri

(self restoring). Dalam hal ini sumberdaya dibagi ke dalam dua kategori: (1) terbarukan (renewable),

Page 91: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

91

seperti udara, air tanah, hutan dan ikan. Memang ditinjau secara local atau setempat, air tanah, hutan, dan

ikan dapat menyusut atau habis. Akan tetapi secara keseluruhan, mereka itu tidak akan habis selama

faktor-faktor pembentuknya masih tetap berfungsi. Bahkan yang habis di suatu tempat akan dapat timbul

kembali jika diberi kesempatan cukup. (2) Tak-terbarukan (non-renewable), seperti minyak bumi, panas

dan cebakan mineral.

DAS merupakan gabungan sejumlah sumberdaya darat, yang saling berkaitan dalam suatu

hubungan interaksi atau saling tukar (interchange). DAS dapat disebut suatu sistem dan tiap-tiap

sumberdaya penyusunnya menjadi anak-sistemnya (subsystem) atau anasirnya (component). Kalau kita

menerima DAS sebagai suatu sistem maka ini berarti, bahwa sifat dan kelakuan DAS ditentukan bersama

oleh sifat dan kelakuan semua anasirnya secara terpadu (integrated). Arti ―terpadu‖ di sini ialah bahwa

keadaan suatu anasir ditentukan oleh dan menentukan keadaan anasir-anasir yang lain.

Yang dinamakan ―sistem‖ ialah suatu perangkat rumit yang terdiri atas anasir-anasir yang saling

berhubungan di dalam suatu kerangka otonom, sehingga berkelakuan sebagai suatu keseluruhan dalam

menghadapi dan menanggapi rangsangan pada bagian manapun (Dent dkk. 1979; Spedding, 1979).

Disamping memiliki ciri penting berupa ``organisasi dalam`` (internal organization), atau disebut pula

dengan ``struktur fungsi`` (fungtional structure), suatu sistem dipisahkan ``batas system`` dari sistem

yang lain. Batas ini memisahkan sistem dari lingkungannya, atau memisahkan sistem yang satu dari yang

lain. ―Lingkungan‖ ialah keseluruhan keadaan dan pengaruh luar (external), yang berdaya (affect) batas

hidup, perkembngan dan ketahanan hidup (survival) suatu sistem (De Santo,1978).

Anasir-anasir DAS ialah iklim hayati (bioclimate), relief, geologi, atau sumberdaya mineral,

tanah, air (air permukaan dan air tanah), tetumbuhan (flora), hewan (fauna), manusia dan berbagai

sumberdaya budaya seperti sawah, ladang, kebun, hutan kemasyarakatan (HKm), dan sebagainya.

Berbagai anasir-anasir DAS yang telah disebutkan di atas sangat mempengaruhi berbagai aspek dalam

sistim DAS. Sebagai contoh, relief dapat mempengaruhi distribusi lengas tanah dan lama penyinaran

matahari. Tanah dan relief mempengaruhi keadaan hidrologi permukaan, keadaan vegetasi dan keadaan

sumberdaya budaya. Iklim ikut mengendalikan keadaan vegetasi dan sumberdaya budaya.

DAS merupakan sumberdaya darat yang sangat komplek dan dapat dimanfaatkan oleh manusia

untuk berbagai peruntukan. Setiap anasir dalam DAS memerlukan cara penanganan yang berbeda-beda

tergantung pada watak, kelakuan dan kegunaan masing-masing. Sebagai contoh, ketrampilan dan

pengetahuan anasir manusia dapat menyuburkan tanah yang tadinya gersang. Namun karena berlainan

kepentingan, maka dapat terjadi bahwa suatu tindakan yang baik untuk suatu anasir DAS tertentu justru

akan merugikan jika diterapkan pada anasir DAS yang lain. Sebagai contoh, penanaman jalur hijau untuk

melindungi tebing aliran terhadap pengikisan atau longsoran, dapat mendatangkan kerugian atas

pengawetan sumberdaya air karena meningkatkan transpirasi yang membuang sebagian air yang

dialirkan. Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan pemanfaatan DAS harus bersifat komprehensif, yang

lebih mementingkan pengoptimuman kombinasi keluaran (optimization of the combined output) dari pada

pemaksimuman salah satu keluaran saja.

DAS yang mempunyai gatra ruang (space) atau luas (size), bentuk (form), ketercapaian

(accessibility) dan keterlintasan (trafficability). Gatra-gatra ini menyangkut nilai ekonomi penggunaan

DAS, karena menentukan tingkat peluang berusaha dalam DAS, nilai hasil usaha dan kedudukan nisbi

DAS selaku sumberdaya dibanding dengan DAS yang lain. Gatra-gatra ruang, bentuk, ketercapaian dan

keterlintasan bersama-sama dengan harkat anasir-anasir DAS yang telah disebutkan di atas, menentukan

kedudukan DAS dalam urutan prioritas pengembangan,. Keunikan dan keberagaman DAS menimbulkan

berbagai pertimbangan dalam penggunaan alternatif menurut kepentingan yang berubah sejalan dengan

perkembangan kebutuhan dan keinginan. Macam dan jumlah kebutuhan serta keinginan merupakan

fungsi waktu dan tempat. Maka dari itu pengertian tentang makna waktu dan tempat sangat menentukan

ketepatan perencanaan tataguna DAS. Tanpa perencanaan tataguna yang memadai, penggunaan DAS

dapat menjurus ke arah persaingan antar berbagai kepentingan, yang akhirnya hanya akan saling

merugikan, dan pada gilirannya akan menimbulkan degradasi sumberdaya DAS yang tidak terkendalikan.

HAKEKAT DAS SEBAGAI DASAR DALAM PENGELOLAANNYA

Pada dasarnya DAS merupakan satu kesatuan hidrologi. DAS penampung air, mendistribusikan

air yang tertampung lewat suatu sistem saluran dari hulu ke hilir, dan berakhir di suatu tubuh air berupa

danau atau laut. Barsama dengan atmosfir dan laut (atau danau), DAS menjadi tempat kelangsungan daur

Page 92: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

92

hidrologi. Hubungan hidrologi antara atmosfir dan tubuh air bumi dapat berjalan secara langsung, atau

lewat peranan DAS. Terjadi pula hubungan hidrologi lansung antara DAS dan atmosfir. Hubungan

hidrologi segitiga antara atmosfir, DAS dan tubuh air bumi (laut) disajikan pada Gambar 1. Bagan ini

memperlihatkan peranan DAS sebagai penghubung dua waduk air alam utama, yaitu atmosfir dan laut.

Ini menjadi dasar pertama dalam pengelolaan DAS.

Selaku suatu wilayah kegiatan pendauran air maka DAS merupakan suatu satuan fisik yang

cocok bagi penelaahan proses-proses yang menentukan pembentukan bentang lahan (landscape) khas di

berbagai wilayah bumi. Proses-proses yang berlangsung di dalam DAS dapat dikaji berdasar pertukaran

bahan dan energi (Leopold dkk, 1964). Hal ini menjadi dasar kedua dalam pengelolaan DAS. Gambar 2

merupakan acuan DAS sebagai suatu system yang bertopang pada proses pertukaran bahan dan energi.

Atmosfir

DAS Tubuh Air Bumi

(laut atau danau)

hubungan erat

hubungan terbatas

Gambar 1. Hubungan hidrologi yang disederhanakan antara atmosfir, DAS, dan tubuh air bumi.

Gambar 2. Acuan DAS sebagai suatu system yang bertopang pada proses pertukaran bahan dan energi.

Setiap DAS cenderung memperluas diri, baik dengan jalan erosi mundur dan/atau menyamping

di daerah hulu, maupun dengan jalan pengendapan di daerah hilir, termasuk pembentukan jalur berkelok

(meander) di dataran pantai dan pembentukan delta di depan kuala. Dilihat dari segi ini maka DAS

merupakan suatu satuan geomorfologi yang bersifat sangat dinamik, dibentuk oleh proses- proses fluvial

dan memperoleh corak dan cirinya dari paduan dua proses yang saling berlawanan. Proses yang satu ialah

degradasi (penurunan) di daerah hulu dan proses yang lain ialah agradasi (peningkatan) di daerah hilir.

Dengan demikian ada proses perpindahan material dari hulu ke hilir. Salah satu hasil morfogenesa

penting semacam ini adalah pembentukan bentang tanah atau pola agihan tanah yang khas di tiap-tiap

DAS. Keadaan ini merupakan dasar ketiga dalam pengelolaan DAS.

Di depan telah diuraikan tentang berbagai gatra dan keaneka ragaman pemanfaatan DAS. Hal

ini merupakan dasar keempat dalam pengelolaan DAS.

Dari dasar pengelolaan pertama dan kedua mengandung suatu pengertian penting, bahwa DAS

merupakan suatu sistem yang terbuka (open system). Hal ini dapat dilihat dari berfungsinya interaksi luar

Atmosfir

Air Vegetasi

Tanah

Bahan

geologi Timbunan

Manusia

Page 93: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

93

(functioning of external interactions), yang menurut De Santo (1978) merupakan kategori kedua yang

membentuk hakekat kehadiran suatu sistem. Dasar pengelolaan kedua, ketiga dan keempat menunjuk

kepada suatu pengertian penting berikutnya, bahwa DAS merupakan suatu sistem peubah energi (energy

transformer). Hal ini dapat dipandang adanya interaksi berfungsinya faktor-faktor internal (functioning of

internal interactions). Yang menurut De Santo (1978) merupakan kategori pertama yang membentuk

hakekat kehadiran suatu sistem.

DASAR-DASAR PENGELOLAAN DAS

Pengelolaan DAS biasanya mengacu pada pengelolaan dua anasirnya (component) yang dianggap

terpenting, yaitu sumberdaya tanah dan air. Adapun anasir yang lain, seperti iklim, vegetasi, relief dan

manusia, diperlukan sebagai faktor-faktor dalam pengelolaan.

Maksud pengelolaan DAS ialah mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari DAS

sesuai dengan kemampuanya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang

berkembang menurut waktu. Dalam ungkapan ―sesuai dengan kemampuannya‖ tersirat pengertian selaras

dan lestari. Ungkapan ―manfaat lengkap‖ dan ―kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang

berkembang menurut waktu‖ mengisyaratkan bahwa (1) hasil keluaran DAS tidak boleh hanya bermacam

tunggal, akan tetapi harus terdiri atas berbagai hasil keluaran yang berkombinasi secara optimum, dan (2)

rencana pengelolaan harus bersifat lentur (flexible) yang berisi sejumlah alternatif.

Untuk mengarahkan pengelolaan, diperlukan tiga unsur pengarah. Yang pertama diperlukan

ialah variable-variabel keputusan (decision variables), yang menjadi sumber pembuatan alternatif. Yang

kedua diperlukan ialah maksud dan tujuan (objectives), ini dapat sebuah atau lebih. Yang ketiga ialah

kendala (constraint), yang membatasi gerak variabel-variabel keputusan dalam membuat alternatif-

alternatif untuk mencapai maksud dan tujuan yang ditetapkan. Khusus mengenai pengelolaan DAS, yang

dapat dipakai sebagai variebel-variabel keputusan ialah (1) keempat dasar untuk pengelolaan DAS yang

telah disebutkan terdahulu (DAS selaku penghubung dua waduk air alam utama, kehadiran DAS

didukung oleh kegiatan pertukaran bahan dan energi, DAS berkembang melalui proses perubahan dalam

dan DAS bergatra ganda yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan), (2) pemanfaatan DAS

harus dapat menimbulkan pemerataan manfaat antara daerah hulu dan hilir, dan (3) pengembangan DAS

harus dapat memberikan sumbangan bagi kepentingan regional dan atau nasional. Maksud atau tujuan

pengelolaan DAS telah disebutkan di atas. Yang dapat ditunjuk sebagai kendala terhadap perkembangan

DAS ialah iklim, relief, tanah, air, sumberdaya mineral, vegetasi, beberapa gatra tertentu manusia,

ruang/luas, bentuk, ketercapaian dan keterlindasan. Pendek kata semua anasir DAS yang dikenai atau

terlibat dalam pengelolaan.

Dalam rencana pengelolaannya, DAS dibagi menjadi dua satuan pengelolaan. Satuan

pengelolaan hulu mencakup seluruh daerah tadah atau daerah kepala sungai. Satuan pengelolaan hilir

mencakup seluruh daerah penyaluran air atau daerah bawahan. Oleh Ray dan Arora (1973) istilah

―watershed‖ digunakan secara terbatas untuk menamai daerah tadah, sedang daerah bawahan mereka

namakan dengan istilah ―commanded area‖. Yang dinamakan ―commended area‖ ialah daerah-daerah

yang secara potensial berpengairan. Di DAS yang dapat dibangun suatu bendungan atau waduk maka

seluruh daerah yang terkuasai oleh bangunan tersebut (daerah yang terletak dibawah garis tinggi pintu

bendungan atau waduk) merupakan ―commended area‖.

Pengelolaan daerah tadah ditujukan untuk mencapai hal-hal berikut ini (Roy &Arora, 1973): (1)

Pengendalian aliran permukaan tanah (excess) yang merusak, sebagai usaha mengendalikan banjir, (2)

Memperlancar infiltrasi air kedalam tanah. (3) Mengusahakan pemanfaatan aliran permukaan untuk

maksud-maksud yang berguna, (4) Mengusahakan semua sumberdaya tanah dan air untuk

memaksimumkan produksi.

Faktor-faktor yang berdaya (affect) atas program pengelolaan daerah tadahan atau DAS hulu

ialah (Roy & Arora, 1973): (1) Bentuk dan luas daerah tadahan, (2) Lereng dan timbulan makro (3)

Keadaan tanah, termasuk fisiografi dan hidrologi tanah, (4) Intensitas, jangka waktu dan agihan curah

hujan (5) Rupa dan mutu vegetasi penutup, (6) Penggunaan lahan terkini.

Tujuan pengelolaan DAS hilir dapat diringkas sebagai berikut: (1) Mencegah atau

mengendalikan banjir dan sedimentasi yang merugikan, sehingga tidak merusak dan menurunkan

kemampuan lahan.(2) Memperbaiki pengatusan (drainage) lahan untuk meningkatkan kemampuannya.

(3) Meningkatkan dayaguna air dari sumber-sumber air tersediakan. (4) Meliorasi tanah, termasuk

Page 94: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

94

memperbaiki daya tanggap tanah terhadap pengairan, dan kalau perlu juga reklamasi tanah atas tanah-

tanah garaman, alkali, sulfat masam, gambut tebal, dan mineral mentah.

Faktor-faktor pokok yang berdaya atas program pengelolaan daerah hilir ialah: (1) Bentuk

daerah hilir dan perbandingan luasnya dengan luas daerah tadahan.(2) Perbedaan landaian (gradient)

lereng umum daerah hilir terhadap landaian lereng umum daerah tadahan. (3) Timbulan makro,

ketinggian muka lahan pukul rata, jeluk (depth) pukul rata air tanah, dan keadaan tanah. (4) Intensitas,

jangka waktu dan agihan curah hujan.(5) Rupa dan vegetasi penutup. (6) Penggunaan lahan kini.

Perlakuan terhadap DAS hulu merupakan bagian terpenting dari keseluruhan pengelolaan DAS,

karena hal itu akan menentukan keuntungan yang dapat diperoleh, atau kesempatan yang terbuka, dalam

pengelolaan DAS hilir. Pengelolaan DAS hilir menentukan seberapa besar keuntungan yang secara

potensial dapat diperoleh karena pengelolaan DAS hulu benar-benar terwujudkan. Dengan kata lain,

pengelolaan DAS hilir bertujuan meningkatkan daya tanggapnya terhadap dampak pengelolaan DAS

hulu.

Hubungan ini dapat digambarkan pada Gambar 3. Dari bagian ini tampak, bahwa pengelolaan

DAS hulu bertujuan rangkap: (1) meningkatkan harkatnya sebagai lahan usaha dan atau lahan

permukiman, dan (2) memperbaiki dampaknya atas DAS hilir untuk memperluas peluang memperbaiki

keadaan DAS hilir. Pengelolaan DAS hilir berperanan melipatkan pengaruh perbaikan yang telah dicapai

di DAS hulu. Menurut pandangan ekologi maka daerah hulu dikelola sebagai daerah penyumbang

(donor) bahan dan energi, atau boleh juga disebut sebagai lingkungan pengendali (conditioning

environtment). Sementara itu, daerah hilir merupakan daerah penerima (acceptor) bahan dan energi, atau

lingkungan konsumsi atau lingkungan yang dikendalikan (commanded environment). Dengan demikian

pengelolaan DAS harus bersifat menyeluruh dan dapat memadukan bagian hulu dan hilir menjadi satu

sistem.

DAS hulu semula DAS hulu terbenahi

Harkat meningkat

Pengelolaan

Dampak menguntungkan

DAS hilir semula DAS hilir terbenahi Harkat meningkat

Harkat berlipat

Gambar 3. Bagan hubungan antara pengelolaan DAS hulu dan hilir dalam pengelolaan DAS terpadu

DATA DASAR YANG DIPERLUKAN DALAM PENGELOLAAN DAS

Penanganan sumberdaya untuk pemanfaatannya memerlukan data dasar sebagai pangkal otak.

Demikian pula halnya dengan pengelolaan DAS. Data dasar (baseline data) ialah sekumpulan keterangan

hakiki tentang suatu masalah (matter) yang relevan dengan watak (nature) masalah itu. Data itu dapat

berupa ciri (characteristic) atau terukur (measureable). Mutu tidak dapat diamati atau diukur secara

langsung, karena ditentukan oleh saling tindak sejumlah sifat, dan hanya dapat diketahui, dirasakan atau

dinilai dari akibat atau perwujudan (manifestation) yang ditimbulkan. Yang dimaksud dengan akibat atau

perwujudan ialah tindakannya dalam mempengaruhi kecocokan sumberdaya (DAS, lahan) bagi suatu

penggunaan tertentu. Taraf kepentingan nisbi tiap sifat yang menentukan suatu mutu tertentu, bergantung

pada keadaan lingkungan (Brinkman dan Smyth, 1973). Misalnya, erodibilitas tanah sebagai mutu

ditentukan bersama oleh faktor-faktor kemiringan dan panjang lereng, permeabilitas tanah, dan

kemantapan struktur tanah. Taraf kepentingan nisbi permeabilitas tanah menjadi menonjol dalam

Page 95: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

95

lingkungan iklim basah. Dalam lingkungan iklim kering, yang mana erosi angin menjadi bentuk erosi

pokok, tinggal kemantapan struktur tanahlah yang menjadi faktor yang menonjol. Erosivitas hujan

bersama dengan erodibilitas tanah menentukan mutu lahan yang disebut kerentanan lahan terhadap erosi

air. Macam mutu yang lain antara lain kesuburan tanah, iklim, kebersihan air, keterlindasan

(trafficability), dan keramah tamahan penduduk. Mutu dapat diharkatkan dengan sebutan (buruk, sedang,

baik) atau dengan nilai tertentu (scoring).

Data dasar untuk pengelolaan DAS terdiri atas ciri dan mutu semua anasir atau gatra DAS yang

penting dalam menentukan kemampuan (capability) DAS. Macam data yang sekurang-kurangnya harus

dikumpulkan ialah:

(1) Neraca air makro (menurut iklim) dan neraca mikro (atau neraca lengas tanah menurut hidrologi

lahan).

(2) Erosivitas hujan dan erodibilitas tanah, untuk daerah-daerah beriklim kering, erosivitas hujan diganti

dengan erosivitas angin.

(3) Keadaan iklim hayati, yang mencakup agihannya menurut tinggi tempat dan kedudukan topografi.

(4) Proses fluvial dalam geomorfologi (erosi, sedimentasi, hidrolika sungai, pembentukan delta, dataran

banjir, dataran interfluvial, dataran estuarin, bentukan morfologi destruktif, seperti lembah,

peneplain, morfologi karst, dsb).

(5) Kemampuan lahan untuk pertanian, baik produktivitas maupun potensialitasnya.

(6) Tataguna lahan kini dan produktivitasnya, termasuk tataguna sumberdaya air kini.

(7) Ketercapaian wilayah dan keterlintasan.

(8) Kerapatan dan distribusi penduduk, laju pertambahan penduduk, mata pencaharian, kemampuan

usaha, tingkat pendapatan dan kekayaan keluarga, tingkat kesehatan, dan mobilitas penduduk.

(9) Rata-rata dan distribusi luas lahan milik atau garapan dan tingkat penerapan teknologi.

Dari analisa dan penilaian data dasar akan diperoleh pengetahuan, kesimpulan atau petunjuk

tentang :

(1) Tingkat peluang dan prospek pengembangan.

(2) Beberapa alternatif arah dan bentuk pengembangan, termasuk pertimbangan kerjasama dengan DAS

tetangga dengan maksud saling mengisi.

(3) Macam dan jumlah masukan yang diperlukan.

(4) Prioritas penanganan segi-segi persoalan, baik untuk menyiapkan keadaan dan suasana yang serasi

bagi memulakan (start) pembangunan yang sebenarnya, maupun untuk pentahapan pembangunan

secara bernalar menurut tempat dan waktu.

Dari macam ragam data dasar yang diperlukan dapat disimpulkan bahwa pengelolaan DAS harus

dikerjakan secara multidisiplin. Yang diartikan dengan multidisiplin ialah suatu titik tolak pandangan atau

sikap, atau kerangka pendekatan, yang memadukan berbagai bidang pengetahuan yang relevan dengan

watak dan kelakuan masalah, menjadi satu sistem analitik. Agar supaya sistem analitik ini dapat berfungsi

efektif, tiap-tiap bidang pengetahuan yang menjadi unsur-unsurnya diberi kedudukan tertentu di dalam

kerangka kerja. Unsur-unsur tersebut dapat diurutkan pada garis gerak analisa sesuai dengan

pertimbangan hirarki tertentu. Dengan jalan ini suatu unsur memperoleh masukan dari unsur lain yang

berkedudukan hirarki lebih tinggi dan pada gilirannya, unsur yang tersebut pertama tadi memberikan

masukan kepada unsur berikutnya yang berkedudukan hirarki lebih rendah.

Sistem analitik seperti ini mempunyai struktur bertingkat. Biasanya pengumpulan data dasar dan

analisa kualitatif fisik berada pada tingkat atas (langkah kerja pertama), dan memberikan masukan kepada

analisa sosial-ekonomi dan pengharkatan kuantitatif yang berada pada tingkat bawah (langkah kerja

kedua). Maka system analisa seperti ini disebut pula ―pendekatan bertingkat dua‖. Dapat pula analisa

semua gatra dikerjakan secara berdampingan (hirarki tunggal), dan sistemnya dinamakan ―pendekatan

sejajar‖ (ILRI, 1977).

Kedua macam pendekatan itu masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Pendekatan bertingkat atau bertahap bersifat lebih terarah, memiliki urutan kegiatan yang jelas tanpa

langkah-langkah yang saling berhimpitan. Dengan demikian ia bersifat lebih fleksibel dalam hal

penganggaran penghasilan kegiatan survai dan pengumpulan data pada hal-hal yang langsung diperlukan

untuk analisa dan pengharkatan. Penghampiran sejajar sering menghambat analisa tuntas mengenai

kemampuan menyeluruh (ultimate capability) suatu sumberdaya, karena terjerat dalam pertimbangan

sosial-ekonomi yang membuat batasan tempat dan waktu. Dengan demikian prospek mutlak suatu

sumberdaya tidak terungkapkan. Untuk keperluan pengharkatan lahan, FAO dan International Institute

for Land Reclamation and Improvement (ILRI), memilih pendekatan bertahap (ILRI, 1977). Penulis juga

Page 96: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

96

memperoleh pengalaman yang memuaskan dalam menerapkan penghampiran bertahap ini. Bidang

sosial-ekonomi boleh saja ditangani pada tahap pertama kegiatan bersama-sama dengan bidang fisik, asal

saja terbatas pada pengumpulan data dasar.

Dalam menghubungkan asas kepaduan disiplin dengan pengelolaan DAS, Martin (1970) dalam

kata pengantarnya untuk Symposium on The Interdisciplinary Aspects of Watershed Management di

Montana State University mengemukakan bahwa “…professional from the many different disciplines will

… work in concert to bring about total watershed managenent”.

PENUTUP

Maksud pengelolaan DAS adalah untuk mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari

DAS sesuai dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan

yang berkembang menurut waktu. Mengingat bahwa DAS merupakan suatu system yang terbentuk dari

gabungan sumberdaya yang saling berkaitan dan berinteraksi, maka dalam pengelolaannya harus

memperhatikan semua anasir-anasir penyusunnya. Karena DAS merupakan sumberdaya darat yang

sangat komplek maka pemanfaatan DAS harus bersifat komprehensif yang lebih mementingkan

pengoptimuman kombinasi keluaran daripada pemaksimuman salah satu keluaran saja. Oleh karena itu,

pengelolaan DAS harus dilaksanakan secara terpadu, terencana, dan berkesinambungan guna

mendapatkan manfaat sebaik-baiknya. Dengan memahami DAS sebagai suatu system ekologi, diharapkan

pengelolaan DAS akan dapat lebih terarah, bermanfaat, dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Brinkman, R. dan Smith, A.J. (1979). Land evaluation for rural purpose. ILRI Publ. No. 17. Wageningen.

Dawes, J.H. (1970). Influence of soil on water yield. Proc. Symp. Interdisc. Aspects Watershed Management. Mon.

State University.

Dent, J.B., Blackie, M.J. & Harrison, S.R.(1979). System simulation in agriculture. Appl. Sci. Publ. Ltd. London.

De Santo. R.S. (1978). Concept of applied ecology. Springer-Verlag, New York.

ILRI. (1977). Framework for land evaluation. Inter. Land Recl. Improv. Wageningen

Leopold, L.B., Wolman, MG. Dan Miller, J.P. (1964). Fluvial processes in geomorphology. WH. Freeman and Co. San Fransisco.

Martin, G.L. 1970. Introduction. Proc. Symp. Interdisc. Ascept Watershed Man. Mon. State Univ. h. 1-2. Amer. Soc.

Civ. E. New York.

Meinzer, O.E. 1942. Ground Water. Dalam: Meinzer, O.E., Editor, Hydrology. Ch. XA. Dover Publ. Inc. New York.

Menard, H.W. 1974. Geology. resources, and society. W. H. Freeman and Co. San Francisco.

Michigan State Univ. 1976. Design and management of rural ecosystems. ASRA Information Resosurces, National

Science Foundation. Wasington, D. C.

Morgan, R. P. C. 1979. Soil erosion. Logman. London.

Nelson, A. & Nelson, K. D. 1973. Dictionary of water and water engineering Butterwarths & Co, Ltd. London.

Notohadiprawiro, T. 1977. Suatu cara pengharkatan cepat tapak darat (land site) bagipendirian pemukiman baru.

Kongres Nasional Ilmu Tanah II. Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. Yogyakarta.

_______________ 1980. Penghijauan : kontroversi yang berkepanjangan. Seminar Penghijauan P. I. P. R. / R. S. D. C. Yogyakarta.

___________, & Drajad, M. 1980. Rancangan klasifikasi kemampuan lahan untuk permukiman ketanian. Rancangan

pertama. Dep. I. Tanah. Fak. Pert. UGM. Belum diterbitkan.

___________, Sukodarmodjo, S., & Drajad, M. 1980. Beberapa fakta dan angka tentang lingkungan fisik waduk Wonogiri dan kepentingannya sebagai dasar pengelolaan. Lokakarya Pengembangan dan Pelestarian

Wilayah Waduk Wonogiri. Tawangmangu.

Oldeman, R. A. A. 1979. Blueprints for a new tropical agroforestry tradition. Proc. 50th Symp. Trop. Agr. Bull. 303.

Kon. Inst. Tropen. Amsterdam. H. 25-34.

Page 97: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

97

Rqy, K. & Arora, D.R. 1973. Technology of agricultural land development and water management. Satya pakashan. Tech. India Publ. New Delhi.

Soepraptohardjo, M. & Robinson, G. H., editors. 1975. A proposed land capability appraisal system for agricultural

uses in Indonesia. Soil. Inst. Bogor.

Steele, J. G. 1967. Soil suvey interpretation and iats use. Fao Soil Bull. No. 8.

Storie, R. E. 1964. Handbook of soil evaluation. Assoc. Students Store. Univ. Calif. Berkeley.

Spedding, C. R. W. 1979. An introduction to agricultural systems. Appl. Sci. Publ. Ltd. London.

Wassink, J. T. 1979. Agroforestry, een samenspel van land- en bosbouw ten behoeve van de mens en zijn milieu. 67e

Jaarverslag Kon. Inst. Tropen Amsterdam.

DISKUSI

Pertanyaan :

1. Pada kenyataanya sulit sekali pengelolaan DAS didasarkan pada batas-batas administrasi. Dengan

adanya Otonomi Daerah maka ada bentrok antara DAS hulu dengan DAS hilir.

2. Saran (Masyarakat yang berada di hilir membayar ke daerah hulu).

3. Yang diuraikan tadi hanya masih dalam teori-teori DAS saja, tetapi aplikasinya belum.

4. Karakteristik aliran sungai akan kita angkat sebagai variable utama.

Tanggapan :

1. Memang benar, bahwa yang disampaikan hanya bersifat teoritis, tetapi ini berfungsi untuk

meningkatkan kesadaran kita.

2. Saran-saran kami terima untuk dipertimbangkan.

Page 98: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

98

KAJIAN PEREDARAN DAN KUALITAS

PUPUK ALTERNATIF DI NTB

Awaludin Hipi1, A. Suriadi

1, M. Sofyan Souri

1, Sudjudi

1, Mashur

1, dan Didi Ardi S

2

1. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat 2. Puslitbagtanak Bogor

ABSTRAK

Penghapusan subsidi pupuk pada akhir tahun 1998 mengakibatkan harga pupuk meningkat tajam serta terjadi kelangkaan pupuk terutama pupuk tunggal (Urea, SP-36,dan KCl) untuk tanaman pangan. Untuk mengatasi

hal tersebut, maka pemerintah mengupayakan adanya iklim yang kondusif bagi peredaran pupuk di lapangan melalui

kebijakan pintu terbuka untuk peredaran pupuk alternatif. Dengan diterapkannya kebijakan pintu terbuka bagi

peredaran pupuk, telah mendorong berkembang dan beredarnya berbagai pupuk alternatif termasuk di NTB. Dari hasil penelitian dan pemantauan yang dilakukan ternyata banyak dari pupuk yang beredar kandungan hara dan

mutunya tidak sesuai dengan yang tercantum pada label atau kemasan dan kurang efektif dalam meningkatkan

produksi tanaman. Bertolak dari hal tersebut perlu dilakukan pengujian terhadap pupuk alternatif yang beredar di

pasaran. Pengkajian ini bertujuan untuk menginventarisasi, mengidentifikasi pupuk alternatif yang beredar di NTB dan menguji kandungan dan kadar hara dari pupuk alternatif. Survai inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan

pada toko/kios penjual pupuk alternatif yang ada di Kabupaten/Kotamadya di NTB. Cara pengambilan sampel

ditentukan secara proporsional. Kandungan dan kadar hara yang dianalisis adalah N, P, dan K. Metode analisis yang

digunakan untuk kandungan N adalah kjedhal, sedang untuk P dan K menggunakan triple acid. Untuk kandungan hara tanah analisis dilakukan terhadap N,P, dan K dengan metoda analisis N dengan kjedhal, P dan K dengan HCl

25 %. Dari hasil survai terinventarisir 105 jenis pupuk alternatif yang di perdagangkan di NTB. Hasil uji

laboratorium terhadap 55 merk pupuk menunjukkan bahwa hanya terdapat 25 % yang kandungan dan kadar hara

NPK nya relatif sama dengan yang tertera pada label kemasan. Jika diklasifikasi sesuai kriteria pupuk alternatif, terdapat 4 merk yang kandungan hara N, P, dan K lebih dari 10 persen, 2 merk kandungan N dan P sama dengan atau

lebih besar 10 persen, 4 merk kandungan N dan K lebih besar dari 10 persen, 4 merk kandungan P dan K lebih besar

dari 10 persen, dan 7 merk hanya kandungan unsur N saja yang sama atau lebih besar dari 10 persen. Diperlukan

sosialisasi ditingkat petani, agar dapat dijadikan acuan dalam menilai kualitas pupuk alternatif. Diperlukan pengawasan terhadap peredaran pupuk alternatif, agar tidak merugikan konsumen.

Kata kunci : peredaran , kualitas, pupuk alternatif, NTB

ABSTRACT

Omission of fertilizer subsidies in the end of 1998 caused price of fertilizers sharply increased and scarced

in field especially single fertilizer (urea, SP-36 and KCl) for plant. To coop those problems, the government has

attempted regulation of equally chance for fertilizer alternatives to be distributed. However, the regulation has caused

many of alternative fertilizers distribute in NTB. Results of previous survey and monitor of alternative fertilizers show that many of nutrient contents and qualities of those fertilizers are not similar with written in label and

effectiveness in increasing plant production is less. For that reason, assessment of alternative fertilizer distribution in

market was conducted. The aims of the assessment were to inventories and identifies of distributed fertilizer in NTB

and to asses nutrient quantity of alternative fertilizers. Proportional sampling method of survey was conducted on alternatives fertilizer shop over districts in NTB. Value of N, P and K nutrients were analyzed for each fertilizer by

using kjedhal method for N and P and K by using triple acid method, while for soil sample, P and K were analyzed

by using HCl 25% extract and for N similar as fertilizer method. Result of survey show that there are 105 kind of

alternative fertilizers were collected that have been soled in NTB province. Result of laboratory analysis shows that from 55 kind of alternative fertilizers analyzed, only 25% of NPK content were similar to its written in labels.

According to fertilizer alternative criteria, there are 4 kind of alternative fertilizers contain NPK over 10% from its

written in label, 2 kind contain N and P similar or over 10%, 4 kind contain of N and K over 10%, 4 kind contain of P

and K over 10% and 7 kind contain N similar or over 10% from its written on label. Socialization the results of this assessment to farmer level is needed as a reference to asses the alternative fertilizers.

Key words : distributed, qualities, alternative fertilizier, west Nusa Tenggara.

LATAR BELAKANG

Pupuk merupakan masukan utama dalam sistem usahatani. Penggunaan pupuk yang tepat dan

benar (jenis, takaran, waktu, dan cara pemberiannya) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan

kuantitas dan kualitas hasil usahatani dalam sistem pertanian yang maju dan berorientasi agribisnis.

Page 99: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

99

Menurut Muljadi, 1997, penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang adalah salah satu faktor kunci

untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian, khususnya di daerah tropic di mana

tersedianya unsure hara yang cukup merupakan salah satu faktor pembatas.

Penghapusan subsidi pupuk pada akhir tahun 1998 telah mengakibatkan harga pupuk terutama

SP-36 dan KCl meningkat tajam serta telah terjadi kelangkaan pupuk terutama untuk tanaman pangan.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka pemerintah mengupayakan adanya iklim yang kondusif bagi

peredaran pupuk di lapangan melalui kebijakan pintu terbuka untuk peredaran pupuk alternatif.

Dewasa ini telah beredar berbagai macam pupuk baru hasil rekayasa teknologi yang dihasilkan

oleh perusahaan besar maupun kecil baik di dalam negeri, maupun impor. Menurut Dirjen Tanaman

Pangan dan Hortikultura (1999) telah didaftarkan pupuk alternatif sebanyak 523 merk dari 200

perusahaan, sedangkan yang belum terdaftar diperkirakan 3 – 4 kali lipat. Sementara Dirjen Prasarana

dan Sarana Pertanian (2000), menyatakan bahwa jumlah pupuk alternatif yang terdaftar pada tahun 2000

sebanyak 636 merk dagang dari 318 perusahaan, padahal pada tahun 1989 baru berjumlah 25 merk dari

16 perusahaan.

Peredaran pupuk alternatif disatu sisi dapat menguntungkan petani karena banyak pilihan selain

pupuk konvensional, namun dikhawatirkan akan terjadi penurunan tingkat produksi pertanian karena

penggunaan pupuk yang mutunya rendah atau isinya tidak sesuai dengan yang tertera dalam kemasannya.

Hasil penelitian Puslittanak terhadap beberapa pupuk alternatif menunjukkan hasil yang kurang

memuaskan dibandingkan pupuk utama makro N, P, dan K (Hartatik et al (1986); Setyorini et al (1995);

Sofyan et al (1999). Selanjutnya Mursidi et al. (2000), melaporkan bahwa dari penelitian terhadap 165

contoh ‗pupuk‖ yang diambil secara acak dari Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,

sebanyak 86 persen kandungan haranya tidak sesuai dengan yang tertera pada label. Hal yang sama juga

telah dilaksanakan oleh Tim Pupuk NTB pada tahun 1999 terhadap pupuk alternatif yang beredar di NTB,

menunjukkan bahwa banyak merk pupuk alternatif yang kualitasnya tidak sesuai dengan yang tertera

pada label.

Penggunaan pupuk yang tidak tepat (mutu dan jumlah), selain dapat merugikan secara ekonomi,

juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan hasil dan pencemaran lingkungan. Untuk menjaga agar

konsumen khususnya petani terhindar dari kerugian akibat penggunaan pupuk yang tidak jelas kualitas

dan efektivitasnya serta mendorong perusahaan untuk memproduksi pupuk alternatif yang berkualitas,

maka diperlukan kajian dan pengawasan secara berkala terhadap peredaran dan penggunaan pupuk

alternatif.

Peredaran dan penggunaan pupuk alternatif di NTB akhir-akhir ini makin meningkat. Hal ini

diduga disebabkan karena meningkatnya harga pupuk di lapang sebagai akibat dihapusnya kebijakan

subsidi pupuk (urea, Sp-36, ZA, dan KCl) pada bulan Desember 1998. Selain itu dengan diterapkannya

kebijakan pintu terbuka terhadap peredaran pupuk alternatif, serta kenyataan bahwa petani seringkali sulit

untuk memperoleh pupuk tunggal, tampaknya telah mendorong meningkatnya penggunaan pupuk

alternatif.

Dewasa ini cukup banyak jenis pupuk alternatif dengan berbagai merek dagang yang

diperdagangkan di NTB. Sembiring (2000), melaporkan bahwa dari hasil pemantauan yang dilakukan

oleh Tim Pemantau Pupuk Propinsi NTB menunjukkan bahwa 90 persen dari 33 merek dagang dari

berbagai jenis pupuk alternatif yang telah diuji di laboratorium memberikan indikasi kandungan haranya

tidak sesuai dengan yang tercantum pada label.

Pupuk alternatif banyak digunakan petani untuk tanaman padi, palawija, dan terutama untuk

tanaman hortikultura (sayuran dan buah-buahan). Agar petani terhidar dari kerugian akibat penggunaan

pupuk alternatif yang tidak jelas mutu dan efektivitasnya, diperlukan adanya pengawasan terhadap

pengadaan dan penyaluran pupuk alternatif. Penggunaan pupuk yang tidak tepat selain dapat merugikan

secara ekonomis, juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan hasil, serta menyebabkan terjadinya

pencemaran lingkungan.

Bertolak dari permasalahan tersebut, maka perlu adanya pengujian terhadap mutu dan efektivitas

dari pupuk alternatif, sehingga pupuk yang digunakan oleh petani adalah pupuk yang telah diketahui

kualitasnya dan telah teruji efektivitasnya dalam meningkatkan produksi pertanian. Tujuan dari

pengkajian ini adalah untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi pupuk alternatif yang beredar di

NTB serta menguji kandungan dan kadar hara pupuk alternatif.

Page 100: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

100

METODOLOGI

Pelaksanaan pengujian pupuk alternatif terdiri atas 3 kegiatan yaitu :

Survey identifikasi dan pengambilan sampel pupuk alternatif di lapang

Analisis kandungan dan kadar hara

Percobaan lapang untuk mengetahui efektivitas pupuk alternatif

Survey identifikasi dan pengambilan sampel pupuk dilaksanakan di seluruh

kabupaten/kotamadya di NTB. Sampel lokasi survey ditentukan secara proporsional dengan

mempertimbangkan jumlah kios/toko pengecer dan jarak dari ibukota kabupaten. Pupuk alternatif yang

akan diambil sampel adalah pupuk alternatif makro anorganik. Contoh pupuk diperoleh dengan cara

membeli pada setiap pedagang sampel, dengan prioritas pupuk alternatif yang beredar dalam kurun waktu

5 tahun terakhir. Jumlah dan volume pupuk alternatif yang diambil sebagai contoh disesuaikan dengan

bentuk dan kemasan pupuk. Pupuk yang berbentuk butiran/tepung bila diperdagangkan dalam bentuk

kemasan lebih dari 50 kg, maka pupuk yang diambil sebagai contoh/sampel sebanyak 1 kg dan bila

diperdagangkan dalam bentuk kemasan 5 kg atau kurang maka seluruhnya diambil sebagai pupuk contoh.

Pupuk berbentuk cairan yang diperdagangkan dalam kemasan botol kecil seluruhnya diambil sebagai

contoh.

Contoh pupuk yang terkumpul selanjutnya dianalisis mutu atau kandungan haranya di

laboratorium BPTP NTB. Kandungan hara yang dianalisis adalah N, P, dan K. Bila dari beberapa lokasi

sampel diperoleh contoh pupuk yang sama, maka analisis dilakukan terhadap contoh komposit.

Jenis data yang dikumpulkan mencakup nama produk, kandungan dan kadar hara pada label,

karakteristik pupuk, pupuk alternatif yang banyak dibeli petani dan hasil analisis laboratorium.

METODE ANALISIS

Kandungan dan kadar hara yang dianalisis adalah N, P, dan K. Metode analisis yang digunakan

untuk kandungan N adalah kjedhal, sedang untuk P dan K menggunakan triple acid. Untuk kandungan

hara tanah analisis dilakukan terhadap N,P, dan K dengan metoda analisis N dengan kjedhal, P dan K

dengan HCl 25 persen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pupuk alternatif yang beredar

Dari hasil survey di kabupaten/kotamadaya yang ada di NTB, terinventarisir 105 merk pupuk

alternatif yang beredar. Dari 105 merk pupuk alternatif yang diperdagangkan, teridentifikasi bahwa

pupuk-pupuk yang banyak diperjual belikan adalah merk Seprint sebanyak 58 persen, Gandasil B dan

Gandasil D masing-masing 46 dan 44 persen, Alami 38 persen, NPK Grand S-15 sebanyak 35 persen,

Green tonic 32 persen, Indofloor 30 persen, Sampurna B dan Sampurna D masing masing sebanyak 29

persen.

Walaupun pupuk alternatif yang beredar cukup banyak, namun masih lebih banyak lagi yang

tidak berlabel yang beredar di kios-kios. Seringkali pedagang juga mencampur pupuk tersebut, sehingga

tidak jelas hasil, kualitas dan kandungannya.

Tabel 1. Inventarisasi nama/merek pupuk alternatif yang beredar di NTB. 2002.

No. Nama/Merek Pupuk

Toko/Pedagang

sampel *) No. Nama/Merek Pupuk

Toko/Pedagang

sampel *)

Jumlah persen Jumlah persen

1 2 3 4 5 6 7 8

1. Adaptor 5 9,09 54. NPK Scubmofe 4 7,27

2. Alami 21 38,18 55. NPK Organik 1 1,82

3. Agro-88 14 25,45 56. NPK Nugrasari 4 7,27

4. Agrosilvic 2 3,64 57. NPK Prima Denta 4 7,27

5. Atonic 1 1,82 58. NPK Fertilizer Kencana 2 3,64

6. Bayfolan 5 9,09 59. NPK Organik Gajah Mas 1 1,82

7. B1 Cons 9000 2 3,64 60. NPK Dharmatani 1 1,82

8. Bambu Ijo 2 3,64 61. NPK Cap Pak Tani 3 5,45

Page 101: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

101

1 2 3 4 5 6 7 8

9. Complesal hijau 11 20,00 62. NPK BASF 4 7,27

10. Complesal merah 4 7,27 63. NPG 3 5,45

11. Catoni 4 7,27 64. Phonska 4 7,27

12. CPN Pak Tani 3 5,45 65. Petrovita 7 12,73

13. DAP 13 23,64 66. Phospel 1 1,82

14. Dosdet 1 1,82 67. Pupuk pacul 2 3,64

15. Dica Grow 2 3,64 68. Ppk. Pengebut 2 3,64

16. Emvilon 1 1,82 69. Ppk. Penyubur 2 3,64

17. Etonic 1 1,82 70. Ppk Rimbun 1 1,82

18. E 2001 2 3,64 71. Potasium Nitrat 2 3,64

19. Fofert 1 1,82 72. Plant catalis 1 1,82

20. Fosfo N 8 14,55 73. Ronsae super 1 1,82

21. Fitamic 1 1,82 74. Super oerstind 1 1,82

22. Fertila 1 1,82 75. Sampurna B 16 29,09

23. Gandasil B 25 45,45 76. Sampurna D 16 29,09

24. Gandasil D 24 43,64 77. Super king 1 1,82

25. Gaedena B 4 7,27 78. Supermes 1 1,82

26. Gardena D 3 5,45 79. Seprint 32 58,18

27. Green tonic hijau 18 32,73 80. Sulfomag Plus 1 1,82

28. Green tonic merah 4 7,27 81. Sulfomag 1 1,82

29. Green stant 5 9,09 82. Super Bionic 4 7,27

30. Green Tama 1 1,82 83. Super Flora 2 3,64

31. Green Vitanic 2 3,64 84. SP-35 Cap Kambing 2 3,64

32. Grow More 2 3,64 85. SP-30 2 3,64

33. Grow Win 2 3,64 86. Saprodap 4 7,27

34. Grand K 1 1,82 87. Saprodap Bara 1 1,82

35. Indomess 3 5,45 88. Sprint 5 9,09

36. Indofloor 17 30,91 89. TCP-36 4 7,27

37. Indofertil 2 3,64 90. TCP-46 1 1,82

38. KNO3 (Keno Telu) 9 16,36 91. Topsil B 1 1,82

39. KNO3 Kali Chili 2 3,64 92. Ureum 2 3,64

40. Mamigro Super N 5 9,09 93. Ultra Chili K 1 1,82

41. Mamigro Super P 1 1,82 94. Vitabloom D 3 5,45

42. Mbakomas 2 3,64 95. Vitabloom B 1 1,82

43. Mitra Flora 8 14,55 96. Vitamic 4 7,27

44. MOP KCl 4 7,27 97. Venix 1 1,82

45. MOP KCL Kallan 1 1,82 98. Vitagrow B 2 3,64

46. Multi K Duclos 1 1,82 99. Vitagrow D 3 5,45

47. Mutiara Super 1 1,82 100. 88 Spalding 4 7,27

48. MKP Cap Traktor Pak Tani 1 1,82 101. SZP – 26 1 1,82

49. NPK Grand –S15 19 34,55 102. ZK 1 1,82

50. NPK Granular 6 10,91 103. Wonder KCl Cair 2 3,64

51. NPK Libkapor 1 1,82 104. Wonder Phosphorus 36 1 1,82

52. NPK Prima 3 5,45 105. ZK Plus 1 1,82

53. NPK Ikan Mas 2 3,64

Ket : *) pedagang sampel toko/kios = 55

Karakteristik dan kualitas pupuk alternatif yang beredar

Kualitas unsur hara pupuk alternatif yang beredar sangat beragam. Umumnya menyatakan lebih

dari satu unsur. Pupuk alternatif yang beredar, umumnya terdiri atas dua bentuk yaitu padat (butiran dan

tepung), dan cair. Warna dan kemasannya juga bervariasi.

Kriteria yang ditetapkan oleh Puslittanak (1999) bahwa pupuk alternatif yang tergolong pada

pupuk makro anorganik adalah pupuk yang merupakan sumber hara N, P, dan K dengan kandungan N, P

dan K masing-masing minimal 10 persen.

Dari hasil identifikasi terhadap 55 merk pupuk, 12 merk diantaranya mencantumkan kandungan

dari setiap unsur N, P dan K lebih dari 10 persen, 5 merk mempunyai kandungan N dan P lebih dari 10

persen, 6 merk mencantumkan kadungan N dan K sama atau lebih besar dari 10 persen, dan hanya 1 merk

yang mencantumkan kandungan P dan K lebih besar dari 10 persen. Tetapi dari hasil pengujian kualitas

di laboratorium menunjukkan bahwa 4 merk kandungan unsur (N, P, dan K) sama dengan atau lebih besar

dari 10 persen, 2 merk kandungan N dan P sama dengan atau lebih besar 10 persen, 4 merk kandungan N

dan K lebih besar dari 10 persen, 4 merk kandungan P dan K lebih besar dari 10 persen, dan 7 merk hanya

kandungan unsur N saja yang sama atau lebih besar dari 10 persen.

Page 102: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

102

Hasil analisis terhadap 55 merk pupuk menunjukkan bahwa 16 merk memiliki kandungan N di

atas 10 persen, 17 merk memiliki kandungan P diatas 10 persen, dan 18 merk memiliki kandungan K

lebih dari 10 persen, dan selebihnya kandungan hara N, P, dan K pada label dan hasil pengujian

laboratorium menunjukkan angka di bawah 10 persen. Hanya terdapat 4 merk yang memenuhi kriteria

sebagai pupuk alternatif (kandungan N, P, dan K lebih dari 10 persen).

Tabel 2. Kandungan hara N, P, dan K pada label dan hasil analisa laboratorium, dan karakteristik pupuk alternatif

yang beredar di NTB. 2002.

No. Nama Pupuk

Kadar Unsur Hara (persen) Karakteristik

Analisa Lab. Label Kemasan

N P2O5 K2O N P2O5 K2O Bentuk Warna

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

1. Agro 88 - 0.40 0.85 3.39 6.16 11.36 Butiran Krem

2. Bayfolan 6.12 5.4 6.83 11 8 6 Cair Hijau

3. Complesal 19.32 14.33 13.00 27 18 9 Tepung Hijau tua

4. CPN Pak Tani 15.7 0.06 0.45 13 - 45 Butiran Merah muda

5. DAP (abu-abu) - 3.86 0.57 - - - Butiran Bu-abu

6. DAP (krem) 1.86 36.96 0.09 - - - Butiran Krem

7. Dosdet 3.53 0.10 2.05 3.42 63.73 2.59 Tepung Putih

8. Indomess 0.42 2.82 0.73 2.60 0.79 1.29 Cair Biru tua

9. Fofert 1.12 41.05 14.41 7.5 7.5 12.5 Cair Coklat

10. Gardena D 25.34 9.71 7.54 30.01 12.31 10.13 Tepung Kuning telur

11. Gandasil B 6.02 18.51 36.68 6 20 30 Tepung Merah muda

12. Gandasil D 18.62 15.51 21.21 14 12 14 Tepung Putih kebiruan

13. Grow More 5.93 42.66 7.68 10 55 10 Tepung Biru langit

14. KNO3 Cap Pak Tani 12.13 - 11.01 15 14 18 Butiran Merah muda

15. KNO3 Ultra Chili 13.3 - 51.36 15 0 14 Butiran Putih

16. KNO3 Kali Chili 14.46 - 19.87 15 0 14 Butiran

17. Mbakomas 5.93 8.12 17.61 7.39 6.29 10.35 Cair Hijau

18. MOP KCL - - 69.92 - - >60 Butiran Merah bata

19. MOP KCL Kallan - - 0.68 - - 60 Butiran Merah bata

20. MKP Cap Traktor

Pak Tani - 47.41 34.75 - 52 34

Tepung Putih

21. NPK Granular (abu-

abu) 0.7 0.24 0.80 4.05 3.37 7.74

Butiran Abu-abu

22. NPK Grand S - 15 11.76 14.45 14.69 15 15 15 Butiran Merah bata

23. NPK Scubmofe 2.8 0.14 1.23 11.08 4.5 21.78 Butiran Merah jambu

24. NPK Nugrasari 23.55 0.17 0.22 16.33 1.82 5.81 Butiran Merah jambu

25. NPK Cap Pak Tani 15.89 15.39 0.54 16 16 8 Butiran Krem

26. NPK Prima Denta 21.81 0.50 0.48 23.47 10.03 6.68 Tepung Merah muda

27. NPK Fertilizer 12.65 7.70 8.86 16 16 16 Butiran Merah bata

28. NPK Organik Cap

Gajah Mas 0.21 2.08 0.45 0.68 3.21 0.20

Butiran Abu-abu

29. NPK BASF 5.94 19.51 21.90 15 15 15 Butiran Merah bata

30. NPK Cap Ikan

Mas 8.20 25.27 19.10 15 15 15

Butiran Merah muda

31. NPK Prima (Grand) 0.44 0.13 0.31 - - - Butiran Merah muda

32. NPK Granular hitam 2.24 3.24 3.07 4.05 3.37 8.74 Butiran Hitam

33. NPK Fertilizer

Kencana 0.66 6.54 5.14 15 15 15

Butiran Merah bata

34. NPG 4.2 0.22 - 0,38 2,95 0,38 Butiran Abu-abu

35. Ppk. Pengebut 0.25 0.14 24.49 5.92 0.07 43.07 Tepung Coklat Muda

36. Ppk. Rimbun 0.37 1.50 29.43 10.27 0.58 10.03 Tepung Coklat Muda

37. Pupuk Penyubur 3.55 0.82 7.52 - - - Tepung Coklat muda

38. Phonska 13.0 17.80 18.34 15 15 15 Butiran Merah Bata

39. Phospel - 0.13 0.45 - - - Tepung Hijau muda

40. PN (Potassium

Nitrate) 14.46 0 55.78 13 - 45

Butiran Putih

41. Phosfat 35 Kambing - 0.24 - - - - Butiran Abu-abu

42. Sulfomag Plus - 0.40 0.75 - - - Tepung Krem

Page 103: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

103

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

43. Sulfomag - 13.72 0.31 - 20 - Butiran Abu-abu

44. Sampurna B 15.35 0.11 2.22 16 30 19 Tepung Merah muda

45. Sampurna D 20.77 0.10 0.10 28 19 11 Tepung Putih

46. Saprodap Bara 18.25 36.22 - 16 30 - Butiran Putih

47. Saprodap 15.37 18.20 - 16 30 - Butiran Coklat muda

48. Seprint 6.53 0.13 2.88 9.6 0.67 2.11 Cair Hijau muda

49. SP - 35 Sheep - 0.60 - - - - Butiran Abu kehitaman

50. SP - 30 - 0.22 - - 30 - Butiran Abu-abu

51. Super Flora 1.63 6.09 1.03 10.6 2.20 3.50 Cair Biru muda

52. TCP - 36 - 1.34 - - 036 - Butiran Abu-abu

53. TCP - 46 - 0.58 - - 046 - Butiran Abu-abu

54. ZK (putih) 0.14 - 58.08 - - - Tepung Putih

55. ZK Plus 0.55 1.13 43.17 - - 40 Tepung Abu-abu tua

Implikasinya, peredaran dan penggunaan pupuk perlu diawasi dengan memberikan beberapa

syarat tertentu. Strategi yang harus ditempuh adalah setiap pupuk yang masuk harus mendaftar dan

kemudian dianalisis. Hasil analisis laboratorium perlu diuji efektivitasnya dilapang, kemudian boleh

diperdagangkan secara bebas.

Pupuk alternatif yang banyak dibeli petani

Dari 105 merk pupuk alternatif yang terinventarisir, 28 merk diantaranya yang banyak dibeli

oleh petani, dan merk yang paling banyak dibeli adalah Seprint (29 persen), NPK Grand S-15 (22 persen),

Gandasil B dan D masing-masing 15 persen. Dari 28 merk pupuk tersebut, 21 merk diantaranya telah

dilakukan uji mutu di laboratorium. Hasil analisis menunjukkan bahwa, 4 merk pupuk alternatif yang

memiliki kandungan hara dari setiap unsur N, P, dan K sesuai label dan memenuhi kriteria sebagai pupuk

alternatif (lebih 10 persen), 3 merk memiliki kandungan 2 unsur lebih dari 10persen, sedangkan 9 merk

lainnya hanya memiliki kandungan 1 unsur. Sedangkan 7 merk lainnya memiliki kandungan N, P, dan K

di bawah 10 persen. Dari 7 merk tersebut, hanya 2 merk memiliki 1 unsur yang sesuai label, sedangkan

lainnya memiliki kandungan hara N, P, dan K dibawah label.

Tabel. 3. Pupuk alternatif yang banyak di beli oleh petani di NTB. 2002.

No. Nama/Merek Pupuk Toko/Pedagang sampel *)

Jumlah persen

1 2 3 4

1. Seprint 16 29,09

2. NPK Grand –S15 12 21,82

3. Gandasil B 8 14,55

4. Gandasil D 8 14,55

5. Indofloor 5 9,09

6. NPK Prima Denta 4 7,27

7. Sampurna D 4 7,27

8. Sampurna B 3 5,45

9. NPK Granular 3 5,45

10. Adaptor 3 5,45

11. NPK Nugrasari 3 5,45

12. NPK Prima 3 5,45

13. Phonska 3 5,45

14. Alami 2 3,64

15. DAP 2 3,64

16. Dica Grow 2 3,64

17. Fosfo N 2 3,64

18. Green tonic hijau 2 3,64

19. NPK Ikan Mas 2 3,64

20. NPK Scubmofe 2 3,64

21. NPK Organik 1 1,82

22. KNO3 Kali Chili 1 1,82

Page 104: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

104

1 2 3 4

23. NPK BASF 1 1,82

24. NPG 1 1,82

25. Ppk. Pengebut 1 1,82

26. Ppk. Penyubur 1 1,82

27. Potasium Nitrat 1 1,82

28. SP-35 Cap Kambing 1 1,82

Ket : *) pedagang sampel toko/kios = 55

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari data hasil survey terhadap peredaran dan hasil analisis mutu pupuk di laboratorium, maka

dapat disimpulkan antara lain :

1. Jumlah pupuk alternatif yang beredar dan diperdagangkan di NTB lebih dari 105 merk, dimana 28

merk diantaranya banyak digunakan oleh petani.

2. Hasil uji laboratorium terhadap 55 merk pupuk alternatif menunjukkan bahwa hanya 25 % yang

kandungan unsur hara N, P, dan K sesuai atau lebih besar dari yang tercantum dalam label kemasan.

3. Berdasarkan klasifikasi pupuk alternatif, hanya terdapat 4 merk yang kandungan hara N, P, dan K

lebih dari 10 persen dan memenuhi kriteria sebagai pupuk alternatif makro anorganik.

4. Diperlukan sosialisasi ditingkat petani, agar dapat dijadikan acuan dalam memilih pupuk alternatif

yang akan digunakan.

5. Diperlukan pengawasan terhadap peredaran pupuk alternatif, agar tidak merugikan konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian. 2000. Surat keputusan tentang tatalaksana penanganan pupuk untuk

keperluan pertanian.

Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1999. Pedoman umum penerapan pupuk alternatif pada tanaman pangan dan hortikultura. Petunjuk teknis operasional penerapan pupuk alternatif pada tanaman pangan dan

hortikultura. Disampaikan dalam Forum koordinasi dan konsultasi pemanfaatan pupuk alternatif dalam

mendukung Gema Palagung 2001.

Hartatik, W. 1986. Pembandingan beberapa jenis pupuk Nitrogen pada tanaman padi gogo dan jagung. Laporan Puslittanak. Tidak dipublikasikan.

Moersidi, S., I. Nasution, E. Santoso, dan Nurjaya. 2000. Monitoring kualitas pupuk. Laporan intern Puslittanak.

Badan Litbang Pertanian. Tidak diterbitkan.

Puslittanak, 1999. Petunjuk teknis uji mutu dan efektivitas pupuk alternatif. Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Setyorini, D., A. Kasno, dan J. Sri Adiningsih. 1995. Pengaruh pupuk majemuk lengkap tablet (PMLT) terhadap

hasil jagung pada tanah Inceptisol dan Ultisol dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dn Komunikasi

Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Cisarua, 26 – 28 September 1995. hal : 1 – 12.

Sofyan , A., J. Sri Adiningsih, dan A. Abdurachman. 1999. Pengaruh Pemupukan Sipramin selama tiga musim

terhadap tanaman pangan dn dampaknya terhadap sifat kimia tanah. Seminar hasil penelitian/pengkajian

penggunaan pupuk cair Sipramin. Malang, 6 – 7 Januari 1999.

DISKUSI

Pertanyaan :

1. Apakah bisa dijadikan sebagai rekomendasi penggunaan pupuk.

2. Data ini sangat perlu untuk disosialisasikan di tingkat petani.

3. Kenapa bapak tertarik masalah peredaran pupuk alternatif.

4. Kenapa tidak diidentifikasi semua kotoran-kotoran ternak, untuk dibuat alternatif pupuk kompos.

Page 105: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

105

Tanggapan :

1. Pengkajian ini untuk mendukung tim pengawas pupuk dan pestisida yang ada di Propinsi dan

kabupaten sebagai acuan untuk direkomendasikan. Jadi rekomendasi adalah tergantung dari tim

tersebut.

2. Sosialisasi di tingkat petani terbatas pada hasil kajian yang dilaksanakan.

3. Kajian peredaran pupuk alternatif ini dipandang perlu untuk mengetahui kualitas pupuk alternatif

yang beredar dan untuk melindungi petani dari penggunaan pupuk yang tidak jelas efektivitasnya.

4. Kompos merupakan salah satu pupuk alternatif, dan sudah banyak dikaji.

Page 106: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

106

THE USE OF BIO- AND CHEMO- RATIONAL APPROACH IN SEARCHING

BIOACTIVE COMPOUNDS FOR PESTICIDES: ALKALOID COMPOUNDS

FROM KUMBI (Voacanga foetida (Bl.) Rolfe)

Penggunaan ‘Bio- and Chemo-Rational Approach’ dalam pencarian Bahan Aktif Pestisida: Senyawa

Alkaloid dari Tanaman Kumbi (Voacanga foetida (Bl.) Rolfe)

Surya Hadi

Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Jl. Pendidikan 37 Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia,

[email protected]

ABSTRACT

A serious problem faced to improve crop production is a yield loss as result of attack of insects and

pathogens. Another further consequence of this problem is the needs of additional cost for pesticides. An alternative to reduce the cost is by the use of local plants that can be utilized as source of pesticides. A way in searching plant

species for that purposes is by introducing a combined bio- and chemo-rational approach based on medicinal plants

and alkaloids respectively. A plant species selected by the use of such approach was Voacanga foetida (Bl.) Rolfe.

Chemical analysis from the bark of this species resulted a new alkaloid compound, lombine (1), was active against gram positive and negative bacteria. Other known alkaloid isolated from this part was voacangine (2) that also has

antibacterial properties.

Key words: approach, alkaloid, kumbi, Voacanga foetida

ABSTRAK

Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan produksi tanaman adalah kehilangan produksi

akibat serangan hama dan penyakit yang berakibat pada peningkatan biaya produksi untuk pengendaliannya. Salah

satu usaha guna menekan biaya produksi tersebut adalah melalui pemanfaatan tanaman lokal yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan aktif pembuatan pestisida. Guna mendapatkan jenis tanaman tersebut, salah satu pendekatan

yang dapat dilakukan melalui ‗bio- and chemo-rational approach‘ berbasis pada tanaman obat dan senyawa alkaloid.

Salah satu jenis tanaman yang berpotensi sebagai penyedia bahan aktif pestisida yang diperoleh dengan menggunakan

pendekatan tersebut adalah tanaman kumbi. Analisis kimia kulit batang dari tanaman tersebut menghasilkan senyawa baru lombine (1) yang terbuksi menghambat petumbuhan bakteri gram positif dan negatif. Senyawa alkaloid lain

yang diperoleh dari tanaman ini yang memiliki aktivitas antibakteri adalah voacangine (2)

Kata kunci: pendekatan, alkaloid, kumbi, Voacanga foetida

INTRODUCTION

As microbial resistance to current pesticides increases in the present day, there has developed an

urgent need to discover new pesticides for agricultural uses. It is perhaps readily apparent that the

introduction of pesticide agents, some of which are secondary metabolites (i.e., natural products), has

contributed significantly to reducing loss of crop production. However, as pesticide industries have

created newer pesticides, insects and pathogens have developed mechanisms to overcome the effects of

these potent agents.1,2

The identification of structurally novel natural products with antimicrobial activity might be

adopted as a way of tackling this problem. While various approaches to locating such natural products

have been undertaken, researchers within the author‘s group have introduced a combined chemo- and bio-

rational strategy based on alkaloids extracted from medicinal plants previously used in searching

antibiotics and antimalarials.10

By targeting alkaloid-containing medicinal plants, it was hoped that novel

compounds with the required bioactivity would be found and isolated more efficiently. Such an approach

would also eliminate widely distributed tannins and polyphenolics, which often show some biological

activity, from consideration.

Alkaloids were defined initially as basic compounds containing at least one nitrogen atom in

their structure. However, as the actual structure and biogenetic origin of alkaloids emerged, the notion

that they were largely derived from amino acids and the constraint that the nitrogen was situated in a

heterocyclic ring were added. Alkaloids have a diverse range of structures and many show an array of

Page 107: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

107

pharmacological activities including antimicrobial properties.3,4

They are also normally readily separable

from other plant metabolites as a result of their basicity. A further positive feature of alkaloids is that the

nitrogen site (or sites) can be used for further derivatisation and analogue development.

METHODOLOGY

1. Plant Collection

A hundred candidate plant species were investigated on the basis of their possibility of indicative

antimicrobial activities based on their local uses as remedies for wounds, malaria, or fever. The required

field information was gathered by interviewing the local people living where the plants were collected.

There were thirteen villages involved in this investigation throughout Lombok island, which is

divided administratively into three regions: western, central, and eastern Lombok. The villages of

Narmada, Suranadi, Ampenan, Kekait, and Mataram are located in the western region, while the villages

of Puyung, Kopang, Mantang, and Sepakek are in the central region. The rest of the villages (Masbagik,

Tetebatu, Kotaraja, and Pancor) are in east Lombok.

2. Alkaloid Screening

Semi-quantitative alkaloid testing was carried out either in the field or in the laboratory

according to the procedure described by Culvenor and Fitzgerald,5 and Bick et al.

6 A sample of the plant

part (~ 5 g) was ground in a mortar with a small amount of acid-washed sand, or the sample was pre-

ground in a coffee grinder. Ammoniacal CH2Cl2 (10.0 ml) was added and the mixture was stirred for

about one minute before filtering the CH2Cl2 into a small tube. Sufficient recovery of the solvent was

obtained by pressing the material in the filter with a cork. Dilute H2SO4 (1.0 M, 0.5 ml) was then added

and the test tube was sealed with a cork and shaken, and the phases allowed separating. The aqueous

phase was removed with a dropper, the tip of which was fitted with a cotton wool plug. Three drops of

aqueous solution were then placed in a small rimless tube for testing with Mayer‘s reagent (K2HgI4). The

density of the diagnostic precipitate formed was finally assessed on a + to ++++ scale, a + result was

indicated by a milky turbidity, and ++++ by a heavy white to cream precipitate.

Ammoniacal CH2Cl2 was made up by adding three drops of concentrated aqueous ammonia

solution in CH2Cl2 (10 ml) and the mixture was shaken. Excess water was removed with anhydrous

Na2SO4. Dilute H2SO4 (1.0 M) was prepared by diluting concentrated H2SO4 (10.0 ml) in a 100 ml

volumetric flask with water. Mayer‘s reagent was freshly made up by dissolving a mixture of mercuric

chloride (1.36 g) and of potassium iodide (5.00 g) in water (100.0 ml).

3. Alkaloid Isolation Procedure

Before extraction, parts of the plants were prepared by air-drying in the shade at room

temperature (ca. 27oC) followed by grinding separately in a coffee grinder. The procedure for extraction

of the alkaloid from the five plants selected is as follows. Ground plant material was extracted with cold

distilled MeOH with occasional swirling. Methanol extraction was continued until the plant material gave

a negative alkaloid test (Culvenor and Fitzgerald Procedure5). After filtration, the solvent was removed

under reduced pressure at 40oC, to minimise any thermal degradation of the alkaloids.

The crude alkaloid mixture was then separated from neutral and acidic materials, and water-

soluble materials, by initial extraction with aqueous acetic acid (CH3CO2H) followed by dichloromethane

(CH2Cl2) extraction and then basification of the aqueous solution and further CH2Cl2 extraction.

4. Antibacterial Test Procedure

The crude alkaloid extracts and isolated alkaloidal compounds were tested using the FDA assay

described by Chand and co-wokers.7,8

The microorganisms, cultured overnight, were diluted to an

absorbance of 0.12 at 600 nm and grown (37oC, 30 min) to absorbance of 0.18. The culture (175.0 l)

was filled to wells of tissue culture plates. A solution of the test substance (20.0 l) or appropriate control

was added to each well in triplicate. Before FDA (5.0 l, 0.2% solution in acetone) was added, the

microtitre plate was incubated at 37oC for 30 min. The incubation was then continued for three hours or

Page 108: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

108

until fluorescence was easily observed under UV light ( 254 nm). The results were recorded as positive

(+ to ++) or negative according to the fluorescence detected.

To determine any possible effect of acetone on the viability of the cells, three replications of

controls consisting of acetone (20.0 l) with FDA were added to each test plate. Additional controls to

ascertain whether the tested compound hydrolysed FDA were made by including tested compounds in

broth solution (175.0 l) with FDA.

After the FDA assay was completed, the culture (20.0 l, in triplicate) from all the wells that did

not show fluorescence, were spread on to agar to observe whether the cells were able to recover. The

plates were then incubated (overnight, 37oC). The visibly growing colonies were counted and compared

to a dilution series of a control culture from the FDA plate containing acetone.

RESULTS AND DISCUSSION

Plant Collection

The plants collected were widely distributed in 49 families and 80 genera, giving some

indication of the variety of medicinal plants growing on Lombok. Of these plants, twenty-three species

(23%) contained alkaloids (Table 1). In a survey of plants of Tasmania, Australia, focussing mainly on

endemic species in this cool temperate environment,6 15 % of the plant species gave positive alkaloid

tests. However, in a similar alkaloid survey in Queensland, Australia, with many tropical and sub-tropical

species, 20% of species were positive.9 There are a great potency for those plants to be intensively studied

for pesticides, since they have indications having antimicrobial properties on the basis of medicinal uses

and alkaloid containing.

Table 1. Lombok medicinal plant species giving a positive test for alkaloids

Family Species Localitya

Collection

Code

Diseases/

Conditions

Treatedb

Part testedc (Result)

d

1 2 3 4 5 6

Amaryllidaceae Crinum

asiaticum L.

Masbagik, EL MEL03 Wounds,

abscesses

Lf(++), bl(++)

Annonaceae Annona

squamosa L.

Kotaraja, EL KEL13 Fever Lf(+), bk(++), rt(++)

Apocynaceae Alstonia

scholaris R.Br.

Kotaraja,EL KEL3 Malaria Lf(+++), bk(+++),

rt(+++)

Voacanga foetida

(Bl.) Rolfe

Kekait, WL KWL01 Almost all skin

diseases

Lf(+++), bk(++++),

fr(+++), sd(+++)

Caesalpiniaceae Cassia siamea Kotaraja,EL KEL02 Malaria Lf(+++), bk(++), rt(++)

Caricaceae Carica papaya L. Narmada, WL NWL04 Malaria, Ulcers Lf(++), st(-), rt(-), fr(-)

Convolvulaceae Ipomoea batatas

Polr.

Narmada, WL NWL03 Wounds Lf(+),

rh(-)

Cucurbitaceae Momordica

charantia L.

Pancor, EL PEL07 Malaria Lf(++), st(++), fr(+)

M. bicolour Bl. Narmada, WL NWL10 Malaria Lf(++), st(++), rt (+)

Euphorbiaceae Jatropha

multifida L.

Ampenan, WL AWL03 Swellings,

wounds

Lf (-), bk(-), sd(+)

Lamiaceae Drysophylla

auricularia (L.) Bl.

Masbagik, EL MEL05 Fever Lf(++), St(++), rt(+)

Loganiaceae Strychnos

ligustrina Bl.

Masbagik, MEL MEL12 Malaria Lf(-), bk(+++), rt(++)

Magnoliaceae Michelia

champaca L.

Mataram, WL MWL06 Fever, wounds Lf(+++), bk(+++),

rt(++)

M. alba DC. Narmada, WL NWL07 Malaria Lf(++), bk(++), rt(++)

Meliaceae Azadirachta

indica Juss.

Kopang, EL KCL02 Dysentery malaria Lf(++), bk(++), rt(+)

Mimosaceae Crotalaria

retusa L.

Kotaraja, EL KEL14 Fever, wounds Lf(++), st(+), rt(++),

fr(-)

Moraceae Ficus septica Mataram, WL MWL05 Wounds Lf(+++), bk(+++),

rt(+++)

Moringaceae Moringa

oleifera Lamk.

Mataram, WL MWL08 Fever, Wounds Lf (++), bk (++), rt (++)

Rubiaceae Psychotria

malayana Jack. Suranadi, WL SWL04 Wounds, skin

diseases

Lf(++), bk(++), rt(-),

fr(-)

Page 109: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

109

1 2 3 4 5 6

Sterculiaceae Sterculia

foetida Linn.

Kotaraja, EL KEL01 Fever, malaria Lf(++), bk(+++),

(rt(+++)

Verbenaceae Clerodendron

calamitosum L.

Kotaraja, EL KEL12 Malaria, wounds Lf (++)

C. paniculatum L. Narmada, WL NWL06 Sore eyes Lf(-), fl(++), rt(-)

Zingiberaceae Curcuma

xanthorrhiza Roxb.

Mataram, WL MWL02 Diarrhoea, malaria Lf (+), rh (+)

a WL(West Lombok), CL(Central Lombok), EL(East Lombok); b Information gathered by interviewing local people

and confirmed by Perry.63 c bk (bark), st (stem), rt (root), bl (bulb), rh (rhizome), fl (flower), fr (fruit), sd (seed); plant

parts printed in bold are those used medicinally; d A result of (++++) indicates a very heavy precipitate with Mayer’s Reagent, (+++) a moderate precipitate, (++) a light precipitate, and (+) a milkiness in the solution

A combined chemo- and bio-rational Approach and Alkaloids from Kumbi (Voacanga foetida (Bl.)

Rolfe)

A combined chemo- and bio-rational strategy, based on alkaloids and medicinal plants

respectively, was demonstrated to be an effective and efficient approach in finding new biologically

active components from nature. By targeting alkaloid compounds, many of which are known to have

biological activity, and a plant selection guided by information of traditional medicinal uses, several new

and known antimicrobial alkaloids were isolated.10

Some of these could be useful for pesticides as they

were active against pathogenic bacteria. However, due to limited studies on antimicrobial properties of

isolated compounds carried out, further work is necessary.

The following is to discuss a plant species Voacanga foetida (Bl.) Rolfe, locally called kumbi,

which was selected by the use of above approach.

Through the steps of extraction, isolation, purification, and structure elucidation, a new optically

active indole alkaloid lombine (major) and the known alkaloid voacangine (minor) were isolated and

identified from the bark of Voacanga foetida (Bl.) Rolfe, used ethnomedically on Lombok for the

treatment of wounds, itches, and swellings. The structure elucidation of those compounds will be

published elsewhere.

The antibacterial testing of the crude alkaloidal extracts used the Fluorescein Diacetate Assay

(FDA) procedure presented by Chand et al.7 and Benkendorff et al.

8 The crude alkaloidal extracts from

bark of the plant V. foetida, bark, were found to inhibit the hydrolysis of FDA by bacteria at a

concentration of 5 mg/ml (Table 2).

The crude alkaloidal extract from the bark inhibited the growth of the Gram-positive bacterium,

Staphylococcus aureus, and the Gram-negative bacterium, Escherichia coli, at a concentration of 5

mg/ml. Partial growth inhibition was also displayed by the crude extract at a lower concentration (0.5

mg/ml). It was found that the new compound lombine (1), a major compound isolated from the bark, was

active against both S. aureus and E. coli. The antibacterial activity of lombine (1) was substantially

greater than the crude extract, with complete growth inhibition occurring at 0.5 mg/ml for both bacteria.

At a concentration 0.05 mg/ml, lombine (1) displayed partial growth inhibition. Bactericidal activity was

assessed via replating on agar and undertaking associated dilution studies. Lombine (1) exhibited

bactericidal activity against S. aureus and E. coli causing 94% and 95% cell death respectively at a

concentration of 0.5 mg/ml when compared to control cultures. Lombine (1) thus has modest bactericidal

potency and could form a useful lead for further antibacterial development. Voacangine (2), the minor

component in the bark, at a concentration of 1.0 mg/ml showed bacteriostatic activity against S. aureus,

killing 87% of the bacterial cells.

Page 110: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

110

Table 2. Bacteriostatic activity of samples from bark of Voacanga foetida (Bl.) Rolfe

Sample Concentration (mg/ml) Bacteriostatic activity

S. aureus** E. coli**

CEA* of bark 5.0 ++ ++

0.5 + +

Lombine 0.5 ++ ++

0.05 + +

Voacangine 1.0 ++ -

0.1 + -

* CEA = crude extract of alkaloids; ** (++: Complete suppression of FDA hydrolysis; +: partial FDA hydrolysis; -:

no antimicrobial properties)

NH

N

H

O

MeOOC

NH

N

H

COOMe

HMeO

Lombine (1) Voacangine (2)

From the above observations, it appears that the alkaloid lombine (1) had a broader spectrum of

activity compared to voacangine (2), since it killed both Gram positive and Gram negative bacteria. This

initial result indicated that from the bark of Voacanga foetida is able to develop bactericide agents having

broad and specific target of pathogens. However, further studies have to be done to confirm further this

evidence.

CONCLUSIONS AND FUTURE WORK

A combined chemo- and bio-rational strategy, based on alkaloids and medicinal plants

respectively, was a effective strategy to be used in finding new pesticides from nature. By following the

steps of extraction, isolation, purification, and structure elucidation, a new optically active indole alkaloid

lombine (major) and the known alkaloid voacangine (minor) were isolated and identified from the bark of

Voacanga foetida (Bl.) Rolfe, used ethnomedically on Lombok for the treatment of wounds, itches, and

swellings. Initial antibacterial testing of the crude alkaloid extract from V. foetida (Bl.) Rolfe (bark )

showed activity against both Gram-positive (Staphylococcus aureus) bacteria and Gram-negative

(Escherichia coli) bacteria. The new alkaloid lombine and the known compound voacangine were found

to have antibacterial properties.

Future work should be focussed on the synthesis of the new alkaloid lombine (obtained from V.

foetida), designing and preparing derivatives, and investigating the mode of action against

Staphylococcus aureus and Escherichia coli. Testing against other pathogenic strains should also be

carried out. Further work could also examine synergistic and antagonistic mechanisms between alkaloid

components from the plant V. foetida.

ACKNOWLEDGMENTS

I would like to give my sincere thanks to my supervisor, Prof. John B. Bremner for his

continuous guidance and support during the course of this study. Thanks are extended to AusAid for the

scholarship and to the Institute for Biomolecular Science in providing extra funds to assist this project.

Page 111: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

111

REFERENCES

(1) Acar, J. F.; Goldstein, F. W. Consequences of increasing resistance to antimicrobial agents. Clin. Infect. Dis.

1998, 27, S125-S130.

(2) Lister, P. D. Antibacterial resistance. Infectious Disease and Therapy 2002, 28, 327-365.

(3) Cordell, G. A.; Quinn-Beattie, M. L.; Farnsworth, N. R. The potential of alkaloids in drug discovery.

Phytotherapy Research 2001, 15, 183-205.

(4) Hadi, S.; Bremner, J. B. Initial studies on alkaloids from Lombok medicinal plants. Molecules [online computer

file] 2001, 6, 117-129.

(5) Culvenor, C. C. J.; Fitzgerald, J. S. A field method for alkaloid screening of plants. J. Pharm. Sci. 1963, 52,

303-304.

(6) Bick, I. R. C. B., J.B.; Paano, A.M.C.; and Preston, N.W. A Survey of Tasmanian Plants for Alkaloids;

University of Wollongong, 1996; pp 4-37.

(7) Chand, S.; Lusunzi, I.; Veal, D. A.; Williams, L. R.; Karuso, P. Rapid screening of the antimicrobial activity of

extracts and natural products. J. Antibiot. 1994, 47, 1295-1304.

(8) Benkendorff, K.; Davis, A. R.; Bremner, J. B. Chemical defense in the egg masses of benthic invertebrates: an

assessment of antibacterial activity in 39 mollusks and 4 polychaetes. Journal of Invertebrate Pathology 2001, 78, 109-118.

(9) Webb, L. J. An Australian phytochemical survey. I. Alkaloids and cyanogenetic compounds in Queensland

plants. Australia, Commonwealth Sci. Ind. Research Organ., Bull. 1949, No. 241, 56 pp.

(10) Hadi, Surya. Bioactive Alkaloids from Medicinal Plants of Lombok. Department of Chemistry, University of Wollongong (PhD thesis). 2002, 260 pp.

DISKUSI

Pertanyaan :

1. Kalau ini diaplikasikan dikhawatirkan akan mengurangi kesuburan tanah (karena sfektrumnya luas

sekali) atau lebih spesifik lagi mengenai bakteri-bakterinya.

2. Bagaimana spesifikasi tentang kumbi terhadap senyawa.

3. Kalau mungkin diaplikasikan petani, berapa efesiensinya.

Tanggapan :

1. Apa yang Ibu uraikan tadi akan menjadi bahan pertimbangan kami untuk penyempurnaan

Page 112: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

112

PENGARUH WAKTU PEMBERIAN PAKLOBUTRAZOL

DALAM MENGATUR WAKTU PEMBUAHAN MANGGA

DI KECAMATAN BAYAN, KABUPATEN LOMBOK BARAT

Muji Rahayu dan Mashur

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat

ABSTRAK

Musim panen mangga di Kecamatan Bayan relatif singkat yaitu terjadi pada bulan November - Januari.

Untuk mempercepat waktu pembuahan, telah dilakukan penelitian penggunaan Paklobutrazol 3750 ppm dan

pemupukan NPK 4 kg/pohon. Perlakuan yang diuji-cobakan adalah waktu aplikasi Paklobutrazol yaitu T1 = pada bulan Pebruari, T2 = pada bulan Maret, T3 = pada bulan April dan T4 = Kontrol (tanpa Paklobutrazol). Penelitian

dilakukan pada 6 unit lahan petani kooperator di Desa Anyar, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat pada

bulan Januari - Nopember 2002. Pohon uji yang dipergunakan adalah mangga Arumanis umur + 15 tahun sebanyak

120 pohon. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 6 kali ulangan, dimana petani kooperator sebagai ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi Paklobutrazol pada bulan Pebruari (T1) dapat

memajukan pembungaan 58 hari atau waktu panen 61 hari lebih awal dan berbeda nyata dibanding kontrol,

sedangkan aplikasi pada bulan Maret (T2) dapat memajukan waktu panen 40 hari dan aplikasi bulan April (T3) tidak

berbeda nyata dengan kontrol. Dari pengamatan hasil (produksi/pohon) tampak bahwa perlakuan paklobutrazol (T1,T2 dan T3) berbeda nyata dengan kontrol (T4). Hasil terbaik adalah pada perlakuan T2 yaitu 154,80 kg/pohon

disusul oleh perlakuan T3 = 148,40 kg/pohon, T1 = 110,90 kg/tan dan kontrol sebesar 96,12 kg/pohon. Hasil analisis

ekonomi tampak bahwa pendapatan bersih T1 adalah paling tinggi yaitu sebesar Rp. 192.400,- dibanding kontrol

sebesar Rp. 69.720,- per pohon. Perbedaan pendapatan selain disebabkan oleh selisih produksi/tanaman juga disebabkan selisih harga yang cukup jauh, pada saat off season dan on season. Hasil pengkajian ini dapat

menyediakan kontinuitas hasil mangga sekitar enam bulan, dari bulan Agustus sampai Januari.

Kata kunci : mangga, produksi, kontinuitas, off season

PENDAHULUAN

Perkembangan pertanian di Nusa Tenggara Barat (NTB) sampai saat ini masih diprioritaskan

pada upaya swasembada pangan khususnya beras sehingga pengembangan komoditas pangan lainnya

misalnya buah-buahan masih belum banyak dilakukan.

Buah-buahan mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat. Pengembangan

komoditas buah-buahan diharapkan mampu memberi nilai tambah bagi produsen dan industri pengguna,

sedangkan bagi konsumen akan sangat bermanfaat untuk memperbaiki perimbangan gizi dalam pola

makannya.

Melalui penetapan kawasan sentra produksi (KSP) buah, maka dukungan teknologi spesifikasi

lokasi dan teknologi hulu sampai akhir (pembibitan sampai pasca panen) harus disiapkan, antara lain

teknologi pembuahan di luar musim. Teknologi tersebut merupakan alternatif pemecahan masalah dalam

menanggulangi musim raya buah yang berdampak pada merosotnya harga jual produksi. Teknologi

pembuahan buah yang telah diadaptasikan oleh Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian

(BPTP) adalah pada komoditas mangga.

Produksi mangga yang dihasilkan dari berbagai kabupaten di Nusa Tenggara barat (NTB)

mempunyai potensi diperdagangkan ke luar daerah atau ekspor. Hasil pemantauan di lapangan, misalnya

produksi mangga di Kecamatan Bayan Lombok Barat sebagian besar di pasarkan ke luar daerah (Pulau

Jawa), tetapi berganti merek menjadi ― Mangga Probolinggo ― sampai di konsumen. Masa Panen mangga

di daerah ini cukup singkat yaitu sekitar tiga bulan (November – Januari). Di luar waktu tersebut jarang

dijumpai kecuali untuk mangga madu yang tidak mengikuti pola musim seperti jenis mangga lainnya.

Untuk memperpanjang masa panen dan ketersediaan mangga di kawasan sentra produksi, maka

dapat dilakukan dengan cara mengatur waktu pembungaannya. Cara tersebut dengan memanipulasi

fisiologi tanaman dengan menggunakan zat pengatur tumbuh Paklobutrazol (Wieland, et al., 1985). Zat

tersebut mampu memacu tanaman untuk berbunga lebih awal dari biasanya. Penggunaan Paklobutrazol

3750 ppm yang diimbangi dengan NPK 2 kg/pohon pada tanaman mangga berumur 15 tahun mampu

memacu pembungaan mangga 2 kali setahun dan meningkatkan produksi 43,82 % (Tegopati, et al, 1994;

Page 113: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

113

Parmono dan Prahardini, 1994). Pada saat pemberian zat pengatur tumbuh tersebut sampai dengan

keluarnya bunga memerlukan waktu 2 – 3 bulan, sedangkan dari saat berbunga sampai panen

memerlukan waktu 3 – 4 bulan, sehingga total waktu yang diperlukan dari saat pemberian Paklobutrazol

sampai panen memerlukan waktu 5 – 6 bulan (Kusumo, S, dkk., 1975).

Dengan pemacuan tersebut diperoleh panen buah mangga yang lebih awal atau panen di luar

musim. Keberhasilan teknologi tersebut telah banyak diterapkan oleh perkebunan mangga di Jawa

Timur.

Penelitian bertujuan untuk memperoleh waktu panen lebih awal dan peningkatan produksi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di lahan petani Desa Anyar Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok barat,

sejak bulan Januari sampai November 2002. Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah

mangga Arumanis umur + 15 tahun sebanyak 120 pohon. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah

Paklobutrazol 3750 ppm atau setara dengan 7,5 cc Cultar/1 liter air yang diimbangi pupuk NPK 4

kg/pohon.

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan enam ulangan.

Pemupukan pertama diberikan pada saat satu bulan setelah panen Bulan Desember 2001 (setelah

kegiatan pemangkasan), sedangkan pemupukan kedua diberikan saat tanaman mulai berbunga.

Paklobutrazol diberikan setelah pupus keempat (Pebruari, Maret dan April 2002). Pupuk NPK,

Paklobutrazol dan pengairan diberikan melalui tanah di bawah tajuk tanaman.

Tolok ukur yang dipakai untuk menduga pengaruh zat pengatur tumbuh dan pupuk terhadap

pembungaan dan pembuahan adalah perubahan morfologis ranting tanaman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Saat Pembungaan.

Pembungaan periode pertama pada T1 sejumlah 1,4 % terjadi pada saat 51 hari setelah aplikasi

Paklobutrasol pertama, kemudian 6 hari berturut-turut tunas-tunas pucuk mulai muncul bunga.

Pembungaan periode pertama berhenti pada hari ke 82, yaitu sebesar 25,4 %. Demikian pula dengan

pembungaan pada T2, bunga muncul pertama pada selang sekitar empat minggu dari awal pembungaan

pada T1 dan berakhir pada hari ke 115 dengan persentase ranting bunga sebesar 28,8 %. Keadaan ini

berbeda pada tanaman kontrol, yang awal berbunganya terjadi pada hari ke 115 dan berakhir pada hari ke

139 dengan persentase ranting berbunga 11,4 %. Dengan demikian pengaruh Paklobutrazol dapat

memajukan saat pembungaan mangga berkisar 58 hari pada T1, 40 hari pada T2 dan tidak ada beda nyata

antara T3 dan T4 (Kontrol).

Tabel 1. Persentase Perkembangan Jumlah Ranting Produktif pada Pembungaan Mangga Periode Pertama

Perlk. Hari setelah aplikasi Paklobutrazol pada T1

51 57 63 69 75 81 87 93 109 115 121 127 133 139

T1 1,4 6,4 18,2 20,4 25,4 0

T2 0 0 0 0 2,2 6,8 10,8 19,8 22,4 28,8 0

T3 0 0 0 0 0 0 0 0 1,6 5,4 11,4 16,2 19,2 0

Kontrol 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,7 1,8 8,6 10,2 11,4

Sumber: Data primer diolah

Persentase ranting berbunga pada pembungaan periode kedua lebih besar daripada periode

pertama, yaitu pada T1 = 40,5 %, T2 = 92,6 %, T3 = 85,28 %, dan T4 = 48,8 %. Awal pembungaan pada

periode ini terjadi sekitar tujuh minggu dari periode pertama dengan interval waktu berbunga pada

masing-masing perlakuan hampir sama dengan periode pertama.

Page 114: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

114

Tabel 2. Persentase Perkembangan Jumlah Ranting Produktif pada Pembungaan Periode kedua

Perlk Hari setelah aplikasi Paklobutrazol pada T1

127 133 139 145 151 156 162 168 174 182 188 194 206 212

T1 2,8 14,2 20,6 30,2 40,5 85,9 0

T2 0 0 0 0 2,6 26,2 50,6 85,4 92,6 0

T3 0 0 0 0 0 0 0 4,6 14,2 20,4 40,8 60,2 85,3 0

Kontrol 0 0 0 0 0 0 0 1,8 6,4 18,8 26,8 30,6 32,4 48,8

Sumber: Data primer diolah

2. Hasil dan Komponen Hasil

Pengaruh Paklobutrazol dan waktu aplikasinya terhadap hasil dan komponen hasil mangga

disajikan pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Pengaruh Paklobutrazol dan Waktu Aplikasinya Terhadap Hasil dan Komponen Hasil Mangga

Perlakuan

% Ranting

Produktif

(Periode 1)

% Ranting

Produktif

(Periode 2)

Bakal Buah

(Periode 1)

Bakal Buah

(Periode 2)

Produksi

(kg/ph)

T1 25,42 ab 85,92 ab 10,42 b 40,52 b 110,90 b

T2 28,20 a 92,60 a 20,80 a 58,68 a 154,80 ab

T3 19,20 b 85,28 ab 15,10 ab 50,18 ab 148,40 ab

T4/Kontrol 11,40 b 48,86 b 2,32 c 38,34 c 90,12 c

Sumber: Data primer diolah

Tabel 3. menunjukkan bahwa aplikasi Paklobutrazol pada bula Pebruari (T1) jumlah ranting

produktif pada pembungaan periode pertama dan kedua persentase untuk menjadi bakal buah (fruit set)

sangat rendah, hal ini disebabkan karena pada kondisi tersebut banyak hujan yang menyebabkan banyak

bunga yang gugur. Keadaan ini berbeda pada aplikasi sesudahnya yaitu pada bulan Maret dan April.

Hasil analisis tampak bahwa produksi total per pohon sangat bervariasi. Produksi tertinggi

dicapai pada T2 (aplikasi Bulan Maret) yaitu sebesar 154,80 kg/ph, diikuti oleh T3 = 148,40 kg/ph, T1 =

110,9 kg/ph, dan berbeda nyata dengan kontrol atau tanaman tanpa perlakuan dengan paklobutrazol yang

hanya menghasilkan 90,12 kg/ph.

3. Analisis Usahatani

Tabel 4. Biaya Tambahan dati Teknologi Pengaturan Waktu Panen Mangga dengan Paklobutrazol

Uraian T1 T2 T3 T4

Bahan :

Paklobutrazol

Pupuk

5.400

14.000

5.400

14.000

5.400

14.000

0

14.000

Tenaga Kerja 8.000 8.000 8.000 8.000

Pengairan 2.000 2.000 2.000 2.000

Total Pengeluaran (Rp) 29.400 29.400 29.400 29.400

Produksi (kg/ph)

Harga (Rp/kg)

Penerimaan kotor (Rp/ph)

110,90

2.000

221.800

154,80

1.250

193.500

148,40

1.000

148.400

90,12

1.000

90.120

Tabel 4 menunjukkan bahwa dengan penambahan input yang berupa Paklobutrazol 3750 ppm

perpohon atau senilai Rp. 5400,-/pohon maka dapat meningkatkan pendapatan pada T1, T2 dan T3.

Pendapatan tertinggi dicapai pada T1 (aplikasi Paklobutrazol pada bulan Pebruari) yaitu mencapai Rp.

192.400,-/ pohon dan mendapatkan kenaikan pendapatan sebesar Rp. 122.680,- atau mencapai kenaikan

175,96 % dibanding tanpa pemberian Paklobutrazol. Pendapatan tertinggi yang dicapai T1 (panen bulan

Agustus) disebabkan oleh tingginya harga jual mangga yang mencapai Rp. 2000,-/kg pada saat panen,

sedangkan harga jual mangga pada saat panen T2 (panen bulan September) mencapai Rp. 1250,-/kg dan

T3 serta T4 (panen bulan November) hanya Rp. 1000,-/kg.

Page 115: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

115

KESIMPULAN

Pemberian Paklobutrazol pada bulan Pebruari (T1) dapat mempercepat pembungaan 58 hari lebih

awal atau sekitar 61 hari lebih awal saat panen dibandingan dengan kontrol (T4).

Produksi teringgi terjadi pada perlakuan T2 (aplikasi Paklobutrazol pada bulan Maret) yaitu

sebesar 154,80 kg/ph dengan persentase bakal buah paling banyak yaitu 20,80 % pada periode pertama

dan 58,68 % pada periode kedua. Produksi tertinggi diikuti oleh perlakuan T3 = 48,40 kg/ph, T1 =

110,90 kg/ph, sedangkan kontrol (T4) = 90,12 kg/ph.

Pendapatan tertinggi diperoleh pada perlakuan T1, meskipun dari segi produksi lebih rendah dari

T2 dan T3, tetapi faktor harga jual yang mencapai Rp 2.000/kg saat panen sangat menentukan di dalam

pencapaian pendapatan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Purnomo, S dan P.E.R. Prahardini, 1989. Perangsangan Pembungaan dengan Paklobutrazol dan Pengaruhnya

terhadap Hasil Buah Mangga ( Mangifera indica,L) Hortikultura 7 : 16-24

Kusumo, S., R. Soehendro, S. Purnomo dan Suminto, Tj., 1975. Mangga (Mangifera indica, L). Lembaga Penelitian Hortikultura. Pasar Minggu. Jakarta.

Purbiati,T., B. Pikukuh, Yuniarti dan P. Santoso. 1988. Rakitan Teknologi Budidaya Mangga. Monograf Rakitan

Teknologi. BPTP Karangploso Malang

Wieland, W.F. and R.L. Wampe., 1985. Efects of Paklobutrazol on growt, photosyntesis and carbohydrate content of delicious apples. Sci. Hort. 20 : 139 – 147.

DISKUSI

Pertanyaan:

1. Bagaimana cara pemberian/aplikasi di tingkat lapangan.

2. Apakah pada bulan Pebruari silkus pembungaan mangga masih ada.

3. Saya tidak melihat lebih jelas analisis.

4. ZPT dikombinasikan dengan NPK (apakah yang memacu pembungaan itu adalah ZPT tersebut/

pupuk yang diberikan)

Jawaban :

1. Paklobutrazol diaplikasikan pada sore hari.

2. Dari hasil analisis ekonomi, yang terbaik pada aplikasi bulan Februari.

3. Siklus pembungaan bulan Juli Mangga berbunga 2 periode pembungaan

Page 116: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

116

PENGELOLAAN PUPUK NITROGEN PADA TANAMAN JAGUNG

DENGAN ALAT PANDU BAGAN WARNA DAUN

Awaludin Hipi, B. Tri Ratna Erawati, M. Lutfhi dan Sudarto

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat P.O. Box. 1017. Mataram NTB

ABSTRAK

Strategi pengelolaan pupuk N yang optimal ditujukan kepada pemupukan N yang sesuai dengan kebutuhan

tanaman, sehingga diharapkan dapat mengurangi kehilangan N dan dapat meningkatkan serapan N oleh tanaman.

Untuk mendeteksi kapan pemberian N sesuai dengan kebutuhan tanaman, maka strategi pengelolaan N diarahkan

dengan menggunakan alat pandu Bagan Warna Daun (BWD). Tujuan dari pengkajian ini adalah: 1) Mengetahui nilai skala warna daun sebagai batas kritis untuk pemupukan jagung hibrida; 2) Mengetahui jumlah penggunaan pupuk N

yang tepat dengan alat pandu bagan warna daun. Pengujian dilaksanakan di Desa Peresak, Kecamatan Narmada,

Kabupaten Lombok Barat, pada MK II 2001. Lokasi pengujian merupakan lahan sawah beririgasi teknis dengan

jenis tanah Regosol. Perlakuan yang diuji terdiri atas : A) Skala Warna Daun 3 @ 11,5 kg N/ha; B) Skala Warna Daun 3 @ 23 kg N/ha; C)Skala Warna Daun 4 @ 11,5 kg N/ha; D) Skala Warna Daun 4 @ 23 kg N/ha; E) Skala

Warna Daun 5 @ 11,5 kg N/ha; F) Skala Warna Daun 5 @ 23 kg N/ha; G) Rekomendasi (138 kg N/ha); H) Kontrol

(tanpa pupuk). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk N dengan alat pandu BWD pada skala 5 @

23 kg/aplikasi, secara agronomis dan ekonomis layak untuk diterapkan dan dapat dipertimbangkan sebagai acuan komponen teknologi pemupukan nitrogen (N) pada tanaman jagung hibrida.

Kata kunci: Efisiensi, pupuk N,, tanaman jagung, sawah irigasi,BWD, produktivitas

ABSTRACT

Optimalization of nitrogen (N) fertilizer management strategy is aimed to fertilization of N according to

need of plant; thus the lost of N could be reduced and N sorption by plant would be increased. To know when

application of N according to plant need, the strategy of N management is guided by using leaf colour chart (LCC).

The aims of this assessment are 1) to know the value colour chart as the critical threshold for fertilization of N in hybrid maize; 2) to know amount of N fertilizer according to plant need. Assessment was conducted on Inceptisols

of irrigated field in Peresak village, Narmada sub-district and Lombok Barat district (DS II 2001). The treatments

were consisted of: A) LCC of 3 @ 11,5 kg N/ha; B) LCC 3 @ 23 kg N/ha; C) LCC 4 11,5 kg N/ha; D) LCC 4 @ 23

kg N/ha; E) LCC 5 @ 11,5 kg/ha; F) LCC 5 @ 23 kg/ha; G) local recommendation (138 kg N/ha); H) control (without fertilizer). Result of assessment show that agronomically and economically using N fertilizer with LCC 5

(23 kg N/ha) is recommended to apply and as a component reference of N fertilizer technology for hybrid maize.

Key words: Eficiency, N fertilizier, maize, low land,LCC, productivity

PENDAHULUAN

Pupuk nitrogen (N) merupakan masukan utama dalam Sitem Usahatani (SUT). Kekurangan atau

ketidaktepatan pemberian pupuk N sangat merugikan bagi tanaman dan lingkungan (FFTC, 1994).

Secara umum pupuk N dapat meningkatkan produksi jagung. Nitrogen diperlukan oleh tanaman jagung

sepanjang pertumbuhannya. Pada awal pertumbuhannya akumulasi N dalam tanaman relatif lambat dan

setelah tanaman berumur 4 minggu akumulasi N berlangsung sangat cepat. Pada saat pembungaan

(bunga jantan muncul) tanaman jagung telah mengabsorbsi N sebanyak 50% dari seluruh kebutuhannya

(Sutoro, et al, 1988). Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil jagung yang baik, unsur hara N dalam

tanah harus cukup tersedia pada fase pertumbuhan tersebut.

Percobaan Pian (1981) menunjukkan bahan vigor benih jagung meningkat sejalan dengan

meningkatnya jumlah takaran N (nitrogen) yang digunakan. Pemupukan N akan meningkatkan

kandungan protein kasar dalam biji sehingga berat jenis biji akan meningkat. Peningkatan berat jenis

tersebut akan menaikkan mutu benih yang diukur berdasarkan daya kecambah dan kekuatan tumbuhnya.

Defisiensi N pada tanaman jagung akan memperlihatkan gejala pertumbuhan yang kerdil dan

daun tanaman berwarna hijau kekuning-kuningan yang berbentuk huruf V dari ujung daun menuju tulang

daun dan dimulai dari daun bagian bawah. Selain itu tongkol jagung menjadi kecil dan kandungan

protein dalam biji rendah.

Page 117: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

117

Pemberian pupuk yang tepat selama pertumbuhan tanaman jagung dapat meningkatkan efisiensi

penggunaan pupuk. Karena sifat pupuk N yang umumnya mobile, maka untuk mengurangi kehilangan N

karena pencucian maupun penguapan, sebaiknya N diberikan secara bertahap. Percobaan Iskandar et al,

(1980) pada lahan tegalan di Bogor menunjukkan bahwa pemberian N sekaligus akan memberikan hasil

lebih rendah dari pada pemberian secara bertahap pada takaran yang sama.

Strategi pengelolaan pupuk N yang optimal ditujukan kepada pemupukan N yang sesuai dengan

kebutuhan tanaman, sehingga dapat mengurangi kehilangan N dan dapat meningkatkan serapan N oleh

tanaman.

Untuk mendeteksi kapan pemberian N sesuai dengan kebutuhan tanaman, maka strategi

pengelolaan N diarahkan dengan menggunakan Bagan Warna Daun (BWD). BWD terdiri atas 6 skala

warna , mulai dari warna hijau muda/kekuningan (No.1) sampai hijau tua gelap (No. 6). Batas kritis

pemupukan N berkisar dari 3 sampai 5 tergantung populasi tanaman dan varietas. Bila warna daun

tanaman berada pada nilai kritis berarti tanaman kekurangan N, dan bila tidak segera dilakukan

pemupukan N dapat menurunkan hasil (IRRI-CREMNET, 1998).

Tujuan dari penelilitian ini adalah untuk 1) mengetahui nilai skala warna daun sebagai batas

kritis untuk pemupukan jagung hibrida dan 2) mengetahui waktu dan jumlah penggunaan pupuk N yang

tepat dengan alat pandu bagan warna daun.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu pelaksanaan

Pengujian dilaksanakan di Desa Peresak, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, pada

MK II. 2001. Lokasi pengujian merupakan lahan sawah beririgasi teknis, dengan jenis tanah Regosol.

Pola tanam yang umum digunakan adalah padi – padi – palawija.

Perlakuan

Perlakuan ditata secara acak kelompok lengkap (Randomized Completely Blok Design, RCBD).

Perlakuan yang diuji adalah sebanyak 7 (tujuh) perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4

(empat) kali. Masing-masing petak perlakuan berukuran 5 x 6 m dengan jarak 80 x 40 cm. Varietas yang

digunakan adalah hibrida C-7.

Perlakuan BWD (skala warna daun ) terdiri dari :

A. Skala Warna Daun 3 @ 11,5 kg N/ha

B. Skala Warna Daun 3 @ 23 kg N/ha

C. Skala Warna Daun 4 @ 11,5 kg N/ha

D. Skala Warna Daun 4 @ 23 kg N/ha

E. Skala Warna Daun 5 @ 11,5 kg N/ha

F. Skala Warna Daun 5 @ 23 kg N/ha

G. Rekomendasi (138 kg N/ha)

H. Tanpa pupuk (kontrol)

Pelaksanaan

Pengolahan tanah

Tanah diolah dengan cara membalik lapisan bawah dengan menggunakan bajak/ singkal

dengan tenaga traktor. Kemudian digemburkan atau diperkecil gumpalan-gumpalan tanah sehingga

tanah kelihatan lebih halus dengan menggunakan cangkul.

Penanaman

Benih ditanam 2 –3 biji/lubang dengan jarak tanam 75 x 40 cm pada kedalaman 3 - 5 cm.

Sebelum tanam, lahan diairi sedikit sehingga memudahkan penugalan. Setiap lubang tanam diberi

furan dengan dosis 4 kg/ha yang diberikan saat tanam. Setelah berumur 7 hari, tanaman dijarangkan

dan dipertahankan 2 tanaman per rumpun.

Page 118: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

118

Penyiangan

Penyiangan dilakukan 2 (dua) kali yaitu pada saat tanaman berumur 15 hari setelah tanam (HST) dan

30 HST dan sekaligus dilakukan pembumbunan.

Pemupukan

Pupuk dasar (I)

o Untuk perlakuan A, B, C, D, E dan F, pupuk dasar diberikan sebanyak 23 kg N/ha + 36 kg

P2O5/ha + 30 kg K2O/ha, diberikan juga pada umur tanaman 7 HST.

o Untuk perlakuan G, pupuk dasar diberikan ½ bagian N dan seluruh bagian P2O5 dan K2O.

Masing-masing dengan dosis 69 kg N/ha + 36 kg P2O5/ha + 30 kg K2O/ha. Pupuk dasar

diberikan pada umur tanaman 7 HST. Pupuk ditugal 7 cm dari lubang tanam dengan kedalaman

10 cm, kemudian ditutup kembali.

Pupuk susulan (II)

o Untuk perlakuan A, B, C, D, E dan F disesuaikan dengan hasil pembacaan/pengukuran BWD

(skala warna daun). Jika BWD (skala warn daun) menunjukkan warna sesuai dengan perlakuan,

maka penambahan pupuk dilakukan sebanyak dosis dalam perlakuan, setiap pembacaan BWD

(skala warna daun). Pengukuran BWD dimulai pada saat tanaman berumur 14 HST atau 7 hari

setelah aplikasi pupuk dasar. Pengukuran dengan BWD dihentikan pada saat keluar bunga

jantan.

o Untuk perlakuan G, pemupukan N yaitu ½ bagian sisanya diberikan pada tanaman berumur 30

HST. Pupuk dituggal 15 cm dari tanaman sedalam 10 cm.

Panen dan pasca panen

Panen dilakukan pada saat biji masak fisiologis, dengan tanda-tanda kelobot sudah mengering

berwarna kuning kecoklatan, bijinya keras dan mengkilap. Setelah dilakukan pengupasan dan

pemipilan, biji jagung dijemur hingga kadar air mencapai 14%.

Variabel yang diamati

a. Tinggi tanaman saat panen dan tinggi letak tongkol.

b. Produktivitas dan bobot biomas

b. Komponen hasil berupa :

Panjang tongkol

Jumlah baris/tongkol

Berat tongkol/plot

Bobot kelobot

Analisis data

Data agronomis dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (AOV) dan dilanjutkan dengan

uji jarak berganda Duncan (DMRT 0.05)

Untuk mengetahui Agronomic efficecy for N (AEN) dan PFP-N (Partial Factor Productivity for

Applied N) dilakukan dengan analisis tabelaris.

Untuk mengetahui kelayakan ekonomi dilakukan analisis anggaran parsial (Malian, 1995).

Untuk mengetahui tingkat keuntungan data dianalisis dengan B/C ratio.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan agronomis

Pengamatan terhadap keragaan agronomis berupa tinggi tanaman, panjang tongkol, dan jumlah

baris/tongkol disajikan pada Tabel 1.

Rata-rata tinggi tanaman dari beberapa perlakuan yang diuji terlihat bahwa perlakuan BWD 5 @

11,5 N/aplikasi mencapai tanaman tertinggi yaitu 181,40 cm. Terlihat bahwa penggunaan pupuk N yang

Page 119: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

119

berbeda dapat mempengaruhi tinggi tanaman. Untuk parameter panjang tongkol dan lingkar tongkol

didapatkan bahwa pemupukan nitrogen BWD 5 @ 23 N/aplikasi mencapai tongkol terpanjang dan lingkar

tongkol terlebar yaitu berturut–turut 16,9 cm dan 14,18 cm, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan

dosis N rekomendasi, sedang terpendek tanpa pupuk N (kontrol). Terlihat bahwa pemberian pupuk N

dengan jumlah dan waktu yang tepat berpengaruh terhadap komponen hasil (panjang tongkol dan lingkar

tongkol). Dimana pemberian pupuk pada perlakuan BWD 5 @ 23 N/aplikasi paling sesuai dengan

kebutuhan untuk pertumbuhan tanaman (Tabel 1).

Pemberian pupuk N yang berbeda dapat mempengaruhi bobot biomas dan bobot kelobot jagung.

Perlakuan BWD 5 @ 11,5 N/aplikasi dapat mencapai bobot biomas tertinggi yaitu 15,18 t/ha, tapi tidak

berbeda nyata dengan perlakuan lain kecuali dengan perlakuan tanpa pupuk N, sedang bobot kelobot

tertinggi dicapai pada perlakuan BWD 5 @ 23 N/aplikasi yaitu 2,36 t/ha. Ini menunjukkan bahwa

pemberian pupuk harus dalam jumlah dan waktu yang tepat sesuai dengan stadia pertumbuhan tanaman

karean setiap stadia akan mempangaruhi stadia yang lain (Tabel 2).

Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, panjang tongkol, dan lingkar tongkol pada pengkajian pengelolaan nitrogen pada

tanaman jagung dengan alat pandu bagan warna daun. Peresak. Lombok Barat. MK II. 2001.

Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Panjang tongkol (cm) Lingkar tongkol (cm)

BWD 3 @ 11,5 N 163,63 a *) 13,20 ab *) 13,98 bc *)

BWD 3 @ 23 N 173,75 bc 13,48 ab 13,60 ab

BWD 4 @ 11,5 N 167,30 a 14,58 bc 14,38 cde

BWD 4 @ 23 N 174,30 bc 14,80 bc 14,23 cd

BWD 5 @ 11,5 N 181,40 c 14,58 bc 14,63 de

BWD 5 @ 23 N 179,80 c 16,90 d 14,85 e

Dosis Rekomendasi 175,55 bc 15,93 cd 14,75 de

Kontrol 158,40 a 12,18 a 13,10 a

C.V (%) 5,3 7.1 14,19

Ket : *) Angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak

berganda Duncan .05. tn = tidak berbeda nyata

Pengamatan terhadap rata-rata produktivitas, terlihat bahwa pemberian pupuk N yang berbeda

dapat mempengaruhi produktivitas. Dari hasil analisis didapatkan bahwa perlakuan BWD 5 @ 23

N/aplikasi dengan total penggunaan N 92 kg/ha mencapai produktivitas tertinggi yaitu 9,72 t/ha, tidak

berbeda nyata dengan perlakuan dosis rekomendasi.

Tabel 2. Rata-rata bobot brangkasan, bobot kelobot, dan produktivitas jagung pada pengkajian pengelolaan nitrogen

pada tanaman jagung dengan alat pandu skala warna daun. Peresak. Lombok Barat. MK II. 2001.

Perlakuan Bobot Biomas (t/ha) Bobot kelobot (t/ha) Produktivitas (t/ha)

BWD 3 @ 11,5 N 10,73 ab *) 1,20 ab *) 5,56 ab *)

BWD 3 @ 23 N 11,22 ab 1,68 abc 6,08 abc

BWD 4 @ 11,5 N 12,94 ab 1,84 bc 7,20 bc

BWD 4 @ 23 N 12,13 ab 1,88 bc 7,64 cd

BWD 5 @ 11,5 N 15,18 b 2,20 c 7,76 cd

BWD 5 @ 23 N 14,52 b 2,36 c 9,72 e

Dosis Rekomendasi 13,92 b 2,40 c 9,28 de

Kontrol 8,93 a 0,96 a 4,52 a

C.V (%) 24,2 30,1 16,3

Ket : *) Angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak

berganda Duncan .05.

Dilihat dari efisiensi agronomis (AEN), BWD 5 @ 23 kg N/aplikasi memiliki AEN tertinggi

yaitu sebesar 56,52, dapat menghemat penggunaan pupuk N sebesar 46 kg/ha dan meningkatkan hasil

sebesar 0,44 t/ha dibanding dosis rekomendasi (Tabel 3).

Nilai imbangan penggunaan 1 kg N untuk setiap perlakuan akan berbeda karena produktivitas

dan jumlah penggunaan pupuk yang berbeda. Perlakuan BWD 3 @ 11,5 N/aplikasi memiliki nilai

imbangan (PFP) yang besar, akan tetapi produktivitas yang dicapai tidak maksimum. Sebaliknya

perlakuan dengan jumlah penggunaan pupuk N yang banyak, akan memperoleh nilai imbangan (PFP)

yang kecil, tetapi produktivitas yang dicapai relatif tinggi.

Page 120: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

120

Tabel 3. Rata-rata jumlah penggunaan N, produktivitas, AEN dan PFP N pada pengkajian pengelolaan pupuk N pada tanaman jagung dengan alat pandu bagan warna daun. Peresak. Lombok Barat. MK II. 2001.

Perlakuan Jumlah pemakaian N (kg/ha) Produktivitas (t/ha) AEN PFP N

BWD 3 @ 11,5 N 34,5 5,56 30,14 161,16

BWD 3 @ 23 N 46 6,08 33,91 132,17

BWD 4 @ 11,5 N 57,5 7,20 46,61 125,22

BWD 4 @ 23 N 92 7,64 33,91 83,04

BWD 5 @ 11,5 N 80,5 7,76 40,25 96,40

BWD 5 @ 23 N 92 9,72 56,52 105,65

Rekomendasi 138 9,28 34,49 67,25

Kontrol 0 4,52 0 0

Ket : AEN = Agronomis efisiensi; PFP = partial factor productivity for applied N

Keragaan ekonomis

Analisis Anggaran Parsial (partial budget analysis) merupakan analisis sederhana yang berguna

untuk menentukan pilihan alternatif teknologi yang layak dapat diterima berdasarkan pertimbangan

besarnya tambahan biaya dan tambahan keuntungan yang relatif kecil (margin) yang diperoleh sebagai

akibat perubahan input teknologi (input pupuk nitrogen). Prinsip dalam menggunakan analisis ini adalah

bahwa hanya faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan teknologi saja yang dimasukan dalam

perhitungan. Sedangkan penggunaan dan biaya sarana produksi yang tidak berubah, tidak disertakan

dalam perhitungan (Malian, 1995).

Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa respon penambahan penggunaan nitrogen (N) pada

tanaman jagung dengan pupuk P dan K konstan, cenderung semakin tinggi penerimaan yang di peroleh.

Rata-rata penerimaan bersih tertinggi dicapai pada perlakuan 6 (BWD 5, 50 kg/aplikasi) yaitu sebesar

Rp.7.960.600/ha (Tabel 4.). Perlakuan ini dapat meningkatkan pendapatan bersih sebesar 6,1 % dari

perlakuan dosis rekomendasi, dan 106 % dibanding perlakuan tanpa pupuk.

Tabel 4. Analisis anggaran parsial pada pengkajian pengelolaan nitrogen pada tanaman jagung dengan alat pandu

skala warna daun. Peresak Lombok Barat MK II. 2001.(Rp x 1.000)

Uraian Dosis pupuk N (kg/ha)

34,5 46 57,5 69 80,5 92 138 0

1. Rata-rata hasil (t/ha) 5,560 6,080 7,200 7,640 7,760 9,720 9,280 4,520

2. Hasil bersih (t/ha)* 5,282 5,776 6,840 7,258 7,372 9,234 8,816 4,294

3. Penerimaan kotor (Rp/ha) 4753,8 5198,4 6156,0 6532,2 6634,8 8310,6 7934,4 3864,6

4. Harga pupuk N (Rp/ha) 86,25 115 143,75 172,5 201,25 230 345 0

5. Frekwensi aplikasi 2 2 4 3 6 4 2 -

6. Total biaya aplikasi (Rp/ha) 60 60 120 90 180 120 60 0

7. Total biaya variabel (Rp/ha) 146,25 175 263,75 262,5 381,25 350 435 0

8.Penerimaan bersih (Rp/ha) 4607,55 5023,4 5893,5 6269,7 6253,55 7960,6 7499,4 3864,6

Keterangan: * Diasumsikan bahwa kehilangan hasil pada saat panen dan prosesing serta saat penyimpanan diperkirakan sebesar

5 %.

Tabel 5. Analisa usahatani pengkajian efisiensi pupuk nitrogen pada tanaman jagung hibrida. Peresak. Lombok Barat. MK.II 2001.(x Rp.1000)

Uraian Dosis pupuk N (kg/ha)

34,5 46 57,5 69 80,5 92 138 0

1. Rata-rata hasil (t/ha) 5,560 6,080 7,200 7,640 7,760 9,720 9,280 4,520

2. Hasil bersih (t/ha)* 5,282 5,776 6,840 7,258 7,372 9,234 8,816 4,294

3. Harga pupuk N (Rp/ha) 86,25 115 143,75 172,5 201,25 230 345 0

4. Biaya aplikasi N (Rp/ha) 60 60 120 90 180 120 60 0

5. Total biaya variabel (Rp/ha) 146,25 175 263,75 262,5 381,25 350 435 0

6. Total biaya tetap 2163.75 2135 2046.25 2047.5 1928.75 1960 1875 1875

7. Penerimaan bersih (Rp/ha) 2972 3466 4530 4948 5062 6924 6506 2419

8. B/C ratio 1.28 1.5 1.96 2.14 2.19 2.997 2.82 1.29

Keterangan: * Diasumsikan bahwa kehilangan hasil pada saat panen dan prosesing serta saat penyimpanan diperkirakan sebesar

5 %.

Page 121: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

121

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Efisiensi penggunaan pupuk N pada tanaman jagung dapat dicapai dengan menggunakan alat pandu

bagan warna daun.

Keragaan agronomis menunjukkan bahwa perlakuan BWD 5 @ 23 kg N/aplikasi mencapai

produktivitas dan efisiensi agronomis tertinggi yaitu masing-masing 9,72 t/ha, dan 56,52.

Berdasarkan analisis ekonomi, bahwa pemupukan nitrogen dosis 92 kg/ha, 23 kg/aplikasi dengan alat

pandu BWD skala 5, memperoleh penerimaan bersih tertinggi yaitu Rp. 7.960.600,-.

Penggunaan pupuk N dengan alat pandu BWD pada skala 5 @ 23 kg/aplikasi, secara agronomis dan

ekonomis layak untuk dikembangkan dan dapat dipertimbangkan sebagai acuan komponen teknologi

pemupukan nitrogen (N) untuk tanaman jagung hibrida.

Saran

Pengkajian perlu dilanjutkan pada lokasi yang berbeda guna memperoleh keragaman hasil yang akan

digunakan sebagai acuan teknologi pemupukan nitrogen (N) yang spesifik lokasi.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, A. 1986. Pembangunan Pertanian di Indonesia. Departemen Pertanian Repeblik Indonesia. 53 P.

FFTC (Food and Feertilizier Technology Center). 1994. Fertlizier Use and Sustainable Food Production. Food and

Fertilizier Technology Center for The Asian and Pasific Center Region. Taipe. Taiwan. FFTC. Newsletter 104 (june 1994). 4-5.

IRRI-CREMNET (International Rice Research Institute- Crop and Resource Management Network), 1998. Progress

Report for 1997. IRRI, Los Banos, Philippines.

Iskandar, S. dan A. Kodir. 1980. Pengaruh Waktu Pemberian N Terhadap Hasil Jagung dalam Penelitian dan Teknologi Peningkatan Produksi Jagung di Indonesia. Puslitbangtan Bogor.

Malian,. A.H. 1995. Analisis Ekonomi Usahatani untuk Petani Kecil. Makalah Pelatihan Analisis Ekonomi

Sistem Usahatani. Kupang 18 – 23 Desember 1997.

Pian, Z. A. 1981. Pengaruh Uap Etil Terhadap Viabilitas Benih Jagung (Zea mays L.) dan Simpan IPB Bogor 279P

Utoro, Toyo Soelaeman, dan Iskandar. 1988. Budidaya Tanaman Jagung dalam Jagung. Badan Litbang Pertanian.

Puslitbangtan Bogor.

Page 122: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

122

UJI ADAPTASI TEKNOLOGI PEMBENIHAN KAPAS DENGAN

PENAMBAHAN UNSUR HARA N DAN PEMANGKASAN

Sudarto, Irianto B, Awaludin Hipi dan Arif Surahman

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat P.O. Box. 1017. Mataram NTB

ABSTRAK

Tanaman kapas telah lama diperkenalkan di Nusa Tenggara Barat, namun perkembangan tanaman tersebut kurang memenuhi harapan, hal ini dikarenakan petani kapas kurang respon terhadap komoditas tersebut. Untuk

menjawab tantangan tersebut Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat mencoba mengguggah

kembali minat petani kapas. Pengkajian telah dilaksanakan didesa Leneng, kecamatan Praya, kabupaten Lombok

Tengah pada bulan Mei sampai dengan bulan September 2002 setelah tanaman padi atau pada musim kemarau pertama (MK. I). Rancangan yang dipergunakan dalam pengkajian tersebut adalah Rancangan Acak Kelompok yang

disusun secara faktorial 3 x 2 dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah penambahan susulan unsur hara N yang

terdiri atas 3 level yakni P1: dosis 50 kg urea/ha, P2: dosis 100 kg urea/ha dan P3 : dosis 150 kg urea/ha. Faktor

kedua yakni pemangkasan pucuk yang terdiri atas 2 level yakni A1 (dipangkas) dan A2 (tidak dipangkas). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa hasil analisis terhadap parameter tinggi tanaman umur 7 minggu setelah tanam

(MST) sampai dengan umur 10 minggu setelah tanam (MST), jumlah cabang umur 7 MST sampai dengan 10 MST,

berat 100 biji dan daya kecambahnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Sedangkan hasil analisis terhadap

jumlah buah per tanaman, produksi kapas berbiji dan produksi biji menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan pemupukan susulan 150 kg urea/ha (P3) yakni masing-masing 14,500 buah kapas ; 940,37

kg kapas berbiji/ha dan 564,25 kg biji/ha.

Kata kunci: adaptasi, pembenihan, kapas, hara N, pemangkasan, NTB

PENDAHULUAN

Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu propinsi yang cocok untuk pengembangan kapas.

Sejarah panjang tentang pengembangan tanaman kapas mewarnai pengelolaan dan pengembangan

tanaman kapas dengan pasang surutnya sejak tahun 1978 sampai sekarang. Telah banyak dilakukan

upaya untuk hal tersebut diantaranya Program Intensifikasi Kapas Rakyat (IKR) yang dimulai tahun

1978/1979 dan Proyek Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus (P2WK) yang diarahkan untuk

meningkatkan produksi kapas sekaligus meningkatkan pendapatan petani (Ditjenbun, 1993, Wahyuni

et.al, 1993)

Dari program IKR pertahun selama empat pelita rata-rata produksi kapas berbiji cenderung

menurun sebagai akibat menurunnya luas areal tanam, yakni: pelita III luas areal 22.207 ha dengan

produksi 10.717 ton , pelita IV luas areal 36.047 ha dengan produksi 18.413 ton, pelita V luas areal

22.232 ha dengan produksi 11.547 ton dan pelita VI luas areal 15.170 ha dengan produksi 7.501 ton

(Ditjenbun, 1999).

Produksi kapas disamping dipengaruhi penurunan areal pengembangan juga dipengaruhi oleh

rendahnya produktivitas. Secara umum tingkat produktivitas kapas ditingkat petani relatif rendah yaitu

0,48 – 0,52 ton/ha, dilain pihak hasil penelitian dapat mencapai 1,50 – 2,80 ton/ha kapas berbiji (Sahid

dan Wahyuni,2001). Sedangkan Machfud et.al., (1995) juga menyatakan bahwa hasil-hasil penelitian

kapas yang ditanam secara monokultur sesudah padi dan didukung pengairan yang optimal dapat

mencapai hasil 2,6 – 2,8 ton/ha. Selanjutnya dikatakan pula rendahnya produktivitas ditingkat petani

disebabkan oleh beberapa masalah, antara lain masalah fisik, ekonomi, sosial dan mutu benih. Masalah

fisik mencangkup iklim, pengusahaan kapas dilakukan pada lahan-lahan marginal serta beragamnya

serangan hama dan penyakit. Masalah ekonomi mencangkup tingkat harga kapas yang statis dibanding

harga komoditas yang lain, tingginya biaya produksi dengan dihapuskannya subsidi pupuk dan obat-

obatan. Masalah sosial mencangkup aspek psikologis dimana petani akan mengusahakan kapas bila

kebutuhan pangannya telah terpenuhi. Sebagian besar petani mempunyai persepsi komoditas kapas

kurang menjamin dalam peningkatan pendapatan serta kerja sama antar lembaga yang terkait belum

maksimal. Sedangkan masalah mutu benih menurut Faisal Kasryno et.al., (1998) kebanyakan benih yang

disalurkan kepetani bukanlah benih hasil penangkaran yang teratur tetapi biji dari produksi serat.

Untuk meningkatkan mutu benih hal-hal yang perlu diperhatikan selain kebutuhan akan unsur

hara, waktu dan cara panen juga pengendalian pertumbuhan vegetatifnya. Tujuan utama penambahan

Page 123: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

123

unsur hara N adalah untuk meningkatkan produksi termasuk diantaranya peningkatan mutu benih, karena

ketersediaan N yang cukup sangat penting untuk memperoleh hasil kapas yang optimum (Muchamad

Yusron et.al, 1998). Begitu pula saat panen yang tepat merupakan hal yang penting dalam

mempertahankan mutu benih. Sumber benih terbaik yakni yang berasal dari hasil panen pertama dan

kedua dan berasal dari cabang kedua sampai cabang kedelapan yang sempurna masak dan tidak terserang

hama penyakit (Siwi Sumartini dan Hasnam, 2001). Benih yang bermutu rendah dan rentan terhadap

lingkungan yang kurang menguntungkan merupakan faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan

tanaman kapas tidak seragam (Delouche, 1981 dalam Siwi Sumartini 1998). Selajutnya dikatakan pula

bahwa pertumbuhan tanaman yang tidak seragam akan berpengaruh pada populasi dan derajat serangan

hama penyakit pada tanaman kapas (Soebandrijo et.al 1989 dalam Siwi Sumartini, 1998).

Pertumbuan vegetatif kapas bisa dikatakan lebih dominan dibanding dengan pertumbuhan

generatif. Kondisi yang demikian menyebabkan habitus tanaman menjadi rimbun, energi yang semula

untuk pembentukan bunga dan perkembangan buah digunakan untuk pertumbuhan tunas pucuk dan tunas

cabang vegetatif akibatnya hasil kapas berbiji menurun. Untuk menekan pertumbuhan vegetatif dapat

dilakukan secara mekanis yakni dengan cara memangkas pucuk batang maupun ujung cabang vegetatif

(Adji Sastrosupadi dan Moch. Sahid, 2001).

Tujuan dari pengkajian adalah menguji daya adaptasi komponen teknologi penambahan unsur

hara N serta pemangkasan pucuk terhadap produksi benih kapas.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan pada lahan milik Dinas Perkebunan TK. I propinsi Nusa Tenggara

Barat di desa Leneng, kecamatan Praya, kabupaten Lombok Tengah dari bulan Mei sampai dengan bulan

September 2002 setelah tanaman padi (MK. I). Dalam pengkajian ini digunakan benih kapas delinted

varietas Kanesia 5.

Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok secara faktorial 3 X 2 dengan 3 kali

ulangan. Faktor pertama adalah penambahan susulan unsur hara N yang terdiri atas 3 level: dosis 50 kg

urea/ha (P1), dosis 100 kg urea/ha (P2) dan dosis 150 kg urea/ha. Pemberian pupuk dasar (100 kg urea/ha

dan 100 kg SP-36/ha) diberikan 1/3 dosis urea dan SP36 seluruhnya, kemudian pada umur 14 hari atau

setelah dilakukan penjarangan diberikan sisa pupuk urea dengan dosis 2/3. Pupuk susulan (perlakuan)

yakni pada perlakuan P1, P2 dan P3 diberikan pada tanaman berumur 35 hari setelah tanam (HST).

Sedangkan faktor kedua adalah pemangkasan pucuk yang terdiri atas 2 level: dipangkas (A1)

dan tidak dipangkas (A2).

Ukuran petak 3 x 17 meter, jarak tanam kapas 100 cm X 40 cm. Sebagai tanaman perangkap

hama H. armigera ditanam tanaman jagung dengan jarak tanam 100 cm X 150 cm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis statistik pada pertumbuhan vegetatif tanaman kapas (tinggi tanaman dan jumlah

cabang) umur 7 sampai dengan 10 minggu setelah tanam (MST) umumnya tidak menunjukkan perbedaan

yang nyata. Hasil yang diperoleh terhadap berat 100 biji berdasarkan analisis statistik juga tidak berbeda

nyata. Untuk mengetahui hasil rata-rata dari parameter tersebut di atas disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh penambahan pupuk N dan pemangkasan terhadap tinggi tanaman (cm), jumlah cabang, berat 100 biji (g) dan

daya kecambah

Perlakuan

Umar Tanaman Berat

100 biji

Daya

kecambah 7 MST 8 MST 9MST 10MST

Tinggi

tan

Jml

cab

Tinggi

tan

Jml

cab

Tinggi

tan

Jml

cab

Tinggi

tan

Jml

cab

P1A1 46,033 7,067 58,633 8,767 70,067 10,167 85,867 11,233 10,947 72,383

P2A1 47,133 7,267 59,767 8,233 72,900 9,733 90,967 11,500 10,933 72,197

P3A1 44,800 6,900 58,533 8,333 69,467 9,667 90,167 11,800 10,917 72,183

P1A2 46,767 6,967 63,633 8,767 76,733 10,000 91,400 11,767 10,850 71,717

P2A2 45,400 6,967 58,267 8,400 68,400 10,100 87,933 11,933 10,737 72,260

P3A2 48,633 7,967 65,467 9,333 73,800 10,133 93,867 12,233 11,533 72,180

Page 124: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

124

Tabel 1 terlihat bahwa perlakuan penambahan unsur hara N dari dosis 50 kg/ha urea (P1), 100

kg/ha urea (P2) dan penambhan 150 kg/ha urea (P3) tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan

vegetatif (tinggi tanaman) sampai umur 10 minggu setelah tanam, hal ini disebabkan adanya faktor air

yang sulit dikendalikan, artinya selama masa pertumbuhan atau setelah aplikasi penambahan N, air yang

diperlukan untuk membantu proses absorbsi sangat kurang sehingga diduga unsur N tersebut

menguap/kelarutan pupuk N berkurang akibat kondisi lahan yang kurang mendukung. Sehingga

penambahan N yang ditujukan untuk menyediakan unsur hara N dalam jumlah tertentu dan waktu yang

tepat untuk memenuhi kebutuhan tanaman tidak dapat terpenuhi yang disebabkan oleh keadaan lapang

yang kurang mendukung. Seperti kita ketahui dalam pengkajian ini tanaman kapas tersebut ditanam

setelah tanaman padi yakni pada musim kemarau pertama (MK I). Pada musim kemarau pertama (MK I)

dilokasi pengkjian hujan sudah berhenti dan hanya berharap mendapat pengairan dari air irigasi, sehingga

beresiko menunggu giliran mendapat air. Muchamad Yusron et. al., (1998) menyatakan banyak faktor

yang mempengaruhi respon kapas terhadap pemupukan N, antara lain kekeringan, serangan penyakit atau

air yang berlebihan/kekurangan air sehingga sulit dikelola.

Sedangkan penambahan unsur hara N berdasarkan hasil analisa menunjukkan perbedaan yang

nyata terhadap parameter jumlah buah per tanaman, produksi kapas berbiji dan produksi benih. Untuk

mengetahui hasil rata-rata dari parameter di atas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh penambahan pupuk N terhadap jumlah buah/tanaman, produksi kapas berbiji dan produksi biji.

Perlakuan Jumlah buah Prod. Kapas berbiji

(kg/ha) Prod. Biji (kg/ha)

P1 13,167a 932,05

a 559,22

a

P2 13,500a 935,52

a 561,31

a

P3 14,500b 940,37

b 564,25

b

Ket: Angka-angka dengan superscrip sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji LSD 5%

Tabel 2 memperlihatkan bahwa pemberian N memberi pengaruh terhadap komponen hasil.

Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan P3 yakni dengan dosis pemupukan urea 150 kg/ha. Hal ini diduga

dengan kondisi lahan yang kekurangan air pemberian unsur hara N dengan dosis yang lebih tinggi dapat

terserap dengan baik oleh tanaman, sehingga komponen hasil seperti jumlah buah per tanaman, produksi

kapas berbiji, dan produksi benih dapat meningkat. Kadarwati et. al., (1993) menyatakan bahwa sumber

dan dosis pupuk N secara nyata mempengaruhi hasil kapas. Hasil terbaik pada parameter jumlah buah

per tanaman 14,500; produksi kapas berbiji 940,37 kg/ha dan produksi biji 564,25 kg/ha. Perlakuan

pemangkasan pucuk dan interaksi antar kedua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

KESIMPULAN

Perlakuan penambahan susulan unsur hara N (P1,P2 dan P3) dan pemangkasan pucuk (A1 dan

A2) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap parameter tinggi tanaman berumur 7 minggu

setelah tanam (MST) sampai dengan 10 minggu setelah tanam (MST), begitu pula terhadap parameter

jumlah cabangnya serta bobot 100 biji dan daya kecambah.

Perlakuan penambahan susulan unsur hara N berdasarkan hasil analisis menunjukkan perbedaan

yang nyata terhadap parameter jumlah buah per tanaman, produksi kapas berbiji dan produksi biji dan

hasil terbaik ditunjukkan pada perlakuan P3 yakni masing-masing 14,500 buah kapas; 940,37 kg kapas

berbiji/ha dan 564,25 kg biji/ha.

DAFTAR PUSTAKA

Adji Sastrosupadi dan Moch. Sahid. 2001. Pengendalian pertumbuhan vegetatif pada tanaman kapas. Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Industri. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.

Delouche,J.C. 1981. Harvest and Post Harvest Factors Affecting the Quality of Cotton Planting Seed and Seed

Quality Evaluation. Beltwild Cotton Production Research Conference Proceding (Reprinted) :9 p.

Ditjenbun. 1993. Evaluasi pelaksanaan program pengembangan kapas. Makalah disajikan pada pertemuan teknis

kapas tanggal 28 Juni 1993. Ujung Pandang.

Page 125: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

125

Ditjenbun. 1999. Pengarahan Direktur Jenderal Perkebunan pada pertemuan teknis IKR tahun 1999 di Surabaya, tanggal 17 September 1999.

Faisal kasryno, Tahlim Sudaryanto dan Hasnam. 1998. Peranan penelitian dalam mendukung peningkatan produksi

kapas nasional. Prosiding Diskusi Kapas nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Tanaman Serat. Malang.

Kadarwati, F. T., M. Sahid dan M. Yusron. 1993. Kajian Paket Pemupukan dan Teknik Pemberiannya pada Sistem

Tumpang Sari Kapas + Kedelai di Lahan Sawah sesudah Padi. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan

Serat, Malang.

Machfud,M., Hasnam, R. Mardjono dan B. Hariyono. 1995. Respon varietas genjah kapas pada sistem tanam pindah.

Laporan hasil penelitian. Bagian proyek Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang. TA. 1994/1995.

Moch. Sahid dan S.A. Wahyuni. 2001. Keragaan dan konsep perbaikan pengembangan kapas di Indonesia. Kapas.

Buku I. Monograf Balittas No. 7. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman tembakau dan Serat. Malang.

Muchamad Yusron, B. hariyono dan M. Cholid. 1998. Variasi respon kapas terhadap pemupukan nitrogen. Prosiding

Diskusi Kapas nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat penelitian dan

Pengembangan Tanaman Industri. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.

Siwi Sumartini. 1998. Pengaruh beberapa konsentrasi asam sulfat pada proses delinting terhadap mutu benih kapas.

Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Industri. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.

Siwi Sumartini dan Hasnam. 2001. Teknik produksi benih kapas bersertifikat. Kapas. Buku I. Monograf Balittas No. 7. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.

Soebandrijo, IG.A.A. Idrayani, Nurindah, Subiyakto, B. Hariyono, E. Sunaryo, O.S. Bindra dan J. Turner. 1989.

Pengendalian terpadu jasad pengganggu kapas. Prosiding Lokakarya Teknologi Kapas Tepat Guna. Balai Penelitian Tanaman tembakau dan Serat. Malang.

Wahyuni, S.A., Soebandrijo dan S.H. Isdijoso. 1993. Penerapan teknologi kapas tepat guna pada lahan petani di

Boyolali. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.

Page 126: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

126

PENGKAJIAN CARA, DOSIS DAN SUMBER PEMUPUKAN PHOSFOR

DAN RESIDUNYA PADA ALFISOL DI KABUPATEN SUMBAWA

Hasil Sembiring, L.Wirajaswadi, Awaludin Hipi

1 dan Paulina Evy R. Prahardini

2

1. Peneliti pada BPTP Nusa Tenggara Barat

2. Peneliti pada BPTP Jawa Timur

ABSTRAK

Informasi status hara dan arahan pemupukan P di Kabupaten Sumbawa sangat terbatas, sehingga

rekomendasi teknologi pemupukan P sangat diperlukan. Tujuan pengkajian adalah mengevaluasi rekomendasi

pemupukan P, dosis, sumber dan cara pemupukan P dan residunya. Pengkajian telah dilakukan pada MH 1999/2000 dan MK. 2000 di Desa Maronge Kecamatan Plampang Kabupaten Sumbawa di lahan sawah milik petani. Perlakuan

yang diuji adalah 11 perlakuan meliputi: T1 (27 kg P2O5/ha), T2 (18 kg P2O5/ha), (Kontrol), T4 (18 kg P2O5/ha + E

2001), T5 (E 2001), T6 (25 kg P2O5/ha akar celup), T7 (45 kg K2O/ha), T8 (27 kg P2O5 + 45 kg K2O/ha), T9 (27 kg

P2O5 + 5 t pupuk kandang/ha), T10 (5 t pupuk kandang/ha), T11 (45 kg P2O5/ha). Pengkajian residu P dilaksanakan

pada musim berikut (MK) dengan membagi petak percobaan pertama menjadi 2 bagian yang sama dimana petak

pertama diperlakukan sama dengan perlakuan tahun sebelumnya sedangkan petak kedua tidak diberi perlakuan.

Variabel yang diamati adalah jumlah malai, panjang malai, jumlah gabah isi, bobot 1000 biji, bobot jerami basah dan

hasil. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak kelompok dengan 3 ulangan. Hasil kajian menunjukkan bahwa pemupukan Phosphor (P) pada padi musim kedua tidak berpengaruh terhadap hasil. Ini berarti

bahwa residu P dalam tanah cukup memenuhi kebutuhan P tanam padi sawah. Untuk efisiensi dan mempertahankan

status P di Sumbawa, pemupukan P2O5 dapat dilakukan sekali dalam dua musim tanam dengan takaran 18 kg/ha.

Sumber dan cara pemberian pupuk tidak berbeda nyata, sehingga pencelupan dengan 25 kg P2O5/ha tidak ada pengaruhnya dibandingkan dgn cara normal (cara yang biasa dilakukan petani).

Kata kunci: phosphor, residu, padi sawah, Kabupaten Sumbawa

ABSTRACT

Limited information for used P fertilizier at Sumbawa district, more needed a recomendation of tecnology

for P fertilizier. The objective of assesment was to evaluated recomendation P fertilizier, dosage, and residu. The

assesment was conducted in farmers lowland in Maronge, Plampang, Sumbawa, at WS. 1999/2000 and DS. I. 2000.

The eleven treatments on test i.e : T1 (27 kg P2O5/ha), (T2 (18 kg P2O5/ha), (control), T4 (18 kg P2O5/ha + E- 2001), T5 (E-2001), T6 (25 kg P2O5/ha), T7 (45 kg K2O/ha), T8 (27 kg P2O5 + 45 kg K2O/ha), T9 (27 kg P2O5 + 5 t

organik matter /ha), T10 (5 t organik matter/ha), T11 (45 kg P2O5/ha). All of treatments using 115 kg N/ha.

Assesment of residu P was conducted at DS. I. The result indicated that phosphor fertilizier at the second season

(DS. I) not significant difeerent from residu for yield. This indicated that residu P still enaught for growth rice in lowland. Applicated P at Sumbawa could be conduct once times for two planting season with dosage 18 kg/ha.

Key words: phosphor, residu, low land rice, Sumbawa district

PENDAHULUAN

Produktivitas padi di Kabupaten Sumbawa bervariasi dengan rata-rata 4,42 t/ha, sedangkan rata-

rata produktivitas tingkat Propinsi adalah 4,61 t/ha (BPS, 1998). Hal ini menggambarkan bahwa

produktivitas padi di Kabupaten Sumbawa masih memiliki potensi untuk ditingkatkan. Upaya

meningkatkan produktivitas, harus diikuti dengan usaha peningkatan pendapatan petani tanpa merusak

lingkungan. Salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi adalah pemberian pupuk antara

lain pupuk fosfor (P). Dengan pemberian pupuk yang tepat, diharapkan petani memperoleh peningkatan

hasil yang menguntungkan.

Ketersediaan hara P dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga pemberian dosis pupuk yang

tepat memerlukan pemahaman tentang informasi dasar seperti status hara tanah, sifat fisik, kimia dan latar

belakang penggunaan lahan. Masalah ini mengakibatkan pemberian pupuk yang tidak efisien, yang

ditunjukkan dengan meningkatnya pemakaian pupuk P secara terus menerus, tetapi tidak diikuti

peningkatan produksi yang memadai. Kondisi seperti ini menyebabkan biaya produksi tinggi dan

mengganggu keseimbangan lingkungan.

Page 127: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

127

Upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi pemberian pupuk antara lain melalui dosis

pemberian pupuk, saat pemberian pupuk, cara pemberian dan bentuk pupuk yang digunakan secara tepat

(Landon, 1984). Lebih lanjut Bastari (1996) mengemukakan bahwa penggunan pupuk yang berupa unsur

makro N, P, dan K perlu diimbangi dengan pemberian bahan organik untuk mendukung hasil panen yang

tinggi. Bahan organik yang diberikan dapat berupa jerami, pupuk hijau sesbania dan pupuk kandang yang

berperan mengembalikan unsur hara yang telah diserap oleh tanaman dari dalam tanah. Pengaruh

pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang 5000 kg/ha tampak peranannya dalam waktu panjang

lebih kurang dalam tiga musim tanam berikutnya (Basyir, 1993). Bahan organik tersebut berperan dalam

memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang mendukung ketersediaan unsur hara N dan P

(Soepardi, 1979).

Penanaman padi sawah di Kabupaten Sumbawa menyebar di 14 kecamatan dengan kisaran luas

panen antara 1.708 sampai 8.981 ha. Berdasarkan luasan panen terlihat kecamatan Plampang (8.981 ha)

mempunyai luasan tertinggi diikuti kecamatan Taliwang (6.978 ha), kecamatan Lape Lopok (6.776 ha),

kecamatan Alas (5.217 ha) dan kecamatan Moyo Hilir (4.704 ha), sedangkan kecamatan - kecamatan lain

seluas 1.708 - 3.710 ha (Anonimous, 1997). Berdasarkan jenis tanahnya, kabupaten Sumbawa

khususnya kecamatan Plampang termasuk jenis tanah Vertisol. Pengelolaan tanah vertisol dengan bahan

organik mampu meningkatkan efisiensi pupuk Urea sebesar 18,01 % dengan masukan organik jerami

kedelai dengan takaran 20 ton/ha (Prijatno, Kusuma, dan Idris, 1997). Hal ini menunjukkan bahwa

pemberian bahan organik pada tanah vertisol mampu meningkatkan efisiensi pemberian pupuk.

Hasil penelitian Baharuddin (1996) menyatakan bahwa di kecamatan Lape Lopok dan Moyo

Hilir yang termasuk daerah irigasi Mamak Kakiang mempunyai kandungan P dan K yang cukup,

sedangkan kecamatan yang lain masih belum diketahui status unsur haranya. Rekomendasi pemupukan

padi sawah di Kecamatan Lape Lopok telah ditentukan sebanyak 115 kg N/ha + 27 - 36 kg P2O5/ha dan

tanpa K2O, Kecamatan Moyo Hilir sebanyak 115 kg N/ha + 18 kg P2O5/ha dan tanpa K2O, sedangkan

kecamatan lain di pulau Sumbawa direkomendasikan sebanyak 92 kg N/ha + 27 kg P2O5/ ha dan tanpa

K2O (SPH Bimas Propinsi NTB, 1996). Pemberian pupuk untuk kecamatan lain di pulau Sumbawa perlu

disesuaikan dengan status hara tanah di setiap kecamatan. Hal ini untuk mendapatkan efisiensi

pemupukan dengan modifikasi yang tepat. Di sisi lain, diduga keras bahwa dengan program intensifikasi

padi selama lebih dari 20 tahun terakhir ini, dimana pemupukan P diberikan pada setiap musim,

sedangkan hara P yang diberikan dalam bentuk pupuk P tidak seluruhnya diserap oleh tanaman (hanya +

20%) dan selebihnya stabil dan terakumulasi dalam tanah. Oleh sebab itu, diperkirakan hara P dalam

tanah, sehingga pengaruh residu P perlu diteliti. Tujuan pengkajian adalah mengkaji dosis, cara dan

memverifikasi rekomendasi pupuk serta mengidentifikasi pengaruh residu pupuk P dari penelitian tahun

pertama di Kecamatan Plampang Sumbawa.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan di Desa Maronge, Kecamatan Plampang Sumbawa selama 2 musim

yaitu pada MH. 1999/2000 (Desember 1999 s/d Maret 2000) dan MK. 2000. Tahun pertama ditujukan

untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap produksi padi, sedangkan pada musim kedua adalah untuk

melihat pengaruh pemupukan pada musim pertama terhadap produksi padi.

Perlakuan yang diuji adalah cara (celup dan tidak celup), dosis P (0, 9, 18, 27 dan 45 kg

P2O5/ha), K2O, E-2001 dan pupuk kandang. Kombinasi dosis, cara dan sumber pupuk P disajikan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Perlakuan pengaruh residu pupuk phospor. Plampang. MK I. 2000

Perlakuan P2O5

(kg/ha)

K2O

(kg/ha)

E-2001 1)

(lt/ha)

N

(kg/ha)

Pupuk kandang

(t/ha)

1 2 3 4 5 6

T1 27 0 0 115 0

T1A (Residu T1) 0 0 0 115 0

T2 18 0 0 115 0

T2A (Residu T2) 0 0 0 115 0

T3 (Kontrol) 0 0 0 115 0

T3A (Kontrol) 0 0 0 115 0

Page 128: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

128

1 2 3 4 5 6

T4 18 0 1 115 0

T4A (Residu T4) 0 0 0 115 0

T5 0 0 1 115 0

T5A (Residu T5) 0 0 0 115 0

T6 (Akar celup) 9 0 0 115 0

T6A (Residu T6) 0 0 0 115 0

T7 0 45 0 115 0

T7A (Residu T7) 0 0 0 115 0

T8 27 45 0 115 0

T8A (Residu T8) 0 0 0 115 0

T9 27 0 0 115 5

T9A (Residu T9) 0 0 0 115 0

T10 0 0 0 115 5

T10A (Residu T10) 0 0 0 115 0

T11 45 0 0 115 0

T11A (Residu T11) 0 0 0 115 0

Sawah yang digunakan adalah sawah dengan irigasi teknis. Jenis tanah adalah alfisol. Tanah

diolah secara sempurna dengan kedalaman olah 15 - 20 cm. Penanaman secara tanam pindah dengan

jarak 20 x 20 cm. Pengendalian gulma, hama dan penyakit disesuaikan dengan kondisi pertanaman.

Varietas yang digunakan adalah IR-64.

Pupuk P, K, dan pupuk kandang (pakan) diberikan sebelum tanam. Pupuk N diberikan

sebanyak 3 kali masing-masing 1/3 dosis sesuai perlakuan, yang diberikan pada saat seminggu setelah

tanam, saat anakan aktif dan saat primordia bunga.

Pemberian pupuk P pada perlakuan akar dicelup, dengan menggunakan konsentrasi 3,6 gr

P2O5/liter direndam selama 12 jam sebelum tanam dengan dosis 2500 liter larutan/ha yang setara dengan

9 kg P2O5/ha.

Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan masing- masing plot

perlakuan berukuran 5 m x 4 m.

Variabel yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum, jumlah malai/anakan

produktif, jumlah gabah isi dan gabah hampa, bobot 1000 biji gabah berisi dan hasil GKG. Data yang

dikumpulkan kemudian dianalisis dengan analisis sidik ragam (AOV). Untuk mengetahui tingkat

keragaman antara perlakuan yang diuji, analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil percobaan efisiensi P (tahun pertama) disajikan pada Tabel 2 dan 3, sedangkan pengkajian

residu P disajikan pada Tabel 4.

Efisiensi penggunaan pupuk P (Tahun Pertama)

Pengaruh P terhadap jumlah malai per rumpun, panjang malai dan produksi sangat nyata pada

berbagai keadaan (Tabel 2 dan 3). Tanpa P, penampilan tanaman lebih buruk terhadap jumlah malai dan

produksi. Pengaruh pencelupan akar dengan larutan P terhadap produksi juga tidak terlihat (T5 vs T6).

Bahkan (T3 vs T6) produksi tanpa P tidak berbeda nyata dengan yang dicelupkan P serta

penambahan E-2001. Produksi terlihat cukup dengan dosis 18 kg P2O5/ha. (T1vs T2 vs T3 vs T4). Hal

ini diduga disebabkan kandungan P tanah masih cukup tinggi seperti hasil yang dinyatakan (Adiningsih

dan Soepartini, 1995).

Pengaruh pupuk E-2001 terhadap komponen hasil dan produksi tidak nyata. Pada berbagai tingkat

dosis P perbandingan antara yang diberikan E-001 dengan tanpa E-2001 memberikan hasil yang tidak

Page 129: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

129

berbeda. Terlihat bahwa kalau tidak diberi P maka produksi cenderung menurun. Demikian juga dengan

penambahan K tidak memberikan hasil nyata (T7 vs T5).

Pengaruh pupuk kandang tidak terlihat langsung berpengaruh terhadap peningkatan produksi.

Disamping itu, penambahan dosis P tidak meningkatkan hasil yang berbeda. Disamping pemberian

pupuk kandang dan K (T9 vs T8 vs T1) tidak menunjukkan manfaat terhadap peningkatan produksi.

Tabel 2. Rata-rata jumlah malai/rumpun, panjang malai, jumlah gabah bernas, dan jumlah gabah hampa pada uji

adaptasi efisiensi penggunaan pupuk P di kecamatan Plampang. MH. 1999/2000.

Kode Perlakuan Jumlah malai/

rumpun

Panjang malai

(cm)

Jumlah gabah

bernas (butir)

Jumlah gabah

hampa (butir)

T1 (115 - 27 – 0 – 0) 12,77 c*) 30,28 b*) 128,97 tn 8,43 tn

T2 (115 -18 – 0 – 0) 12,37 bc 29,45 ab 126,77 8,03

T3 (115 -0 – 0 – 0 ) 10,90 ab 29,42 ab 126,20 7,07

T4 (115 –18 – 0 – E-2001) 11,53 abc 29,37 ab 121,37 7,00

T5 (115 – 0 – 0 - E-2001) 10,40 a 29,33 ab 120,33 6,90

T6 (115 - 25 – 0 - E-2001) **) 12,18 bc 29,22 ab 119,43 6,80

T7 (115 - 0 – 45 - E-2001) 11,57 abc 29,18 ab 117,67 6,47

T8 (115 - 27 – 45) 11,63 abc 28,83 ab 116,70 6,03

T9 (115 –27 – 0 – p.kdg 5000) 12,57 bc 28,62 ab 113,13 5,97

T10 (115 – 18 – 0 – p.kdg 5000) 12,40 bc 27,95 a 110,40 5,67

T11 (115 – 45 – 0 – 0) 13,33 c 27,90 a 107,40 5,63

Rata-rata 11,99 29,05 118,94 6,73

K.K (%) 7,8 3,60 9,25 27,70

Ket : *) = Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (.05); tn =

Tidak berbeda nyata ;**) = perlakuan celup akar

Tabel 3. Rata-rata bobot 1000 biji, bobot jerami, dan hasil GKG pada uji adaptasi efisiensi penggunaan pupuk P di

kecamatan Plampang. MH. 1999/2000.

Kode Perlakuan Bobot 1000 biji (gram) Bobot jerami (t/ha) Hasil GKG (t/ha)

T1 (115 -27 – 0 – 0) 34,08 tn 16,07 ab *) 6,11 a*)

T2 (115 -18 – 0 – 0) 33,38 16,57 a 5,68 ab

T3 (115 -0 – 0 – 0 ) 32,79 13,80 ab 4,59 cd

T4 (115 –18 – 0 – E-2001) 32,19 13,83 ab 5,52 abc

T5 (115 – 0 – 0 - E-2001) 32,15 13,57 ab 4,90 bcd

T6 (115 - 25 – 0 - E-2001) **) 31,68 13,27 ab 4,92 bcd

T7 (115 - 0 – 45 - E-2001) 31,57 12,83 b 4,29 d

T8 (115 - 27 – 45) 31,55 14,49 ab 5,31 abc

T9 (115 –27 – 0 – p.kdg 5000) 31,48 14,67 ab 5,51 abc

T10 (115 – 18 – 0 – p.kdg 5000) 31,29 15,51 ab 5,62 ab

T11 (115 – 45 – 0 – 0) 31,02 16,31 ab 5,98 a

Rata-rata 32,11 14,63 5,31

K.K (%) 6,75 12,2 9,6

Ket : *) = Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (.05); tn =

Tidak berbeda nyata; **) = perlakuan celup akar

Uji Residu Pupuk Phosphor (P)

Pemupukan P pada pertanaman padi MK I yang pada MH mendapatkan pemupukan P, tidak

berpengaruh terhadap hasil dan jumlah biji berisi/malai, tetapi berpengaruh pada jumlah anakan

produktif/rumpun (Tabel 4). Implikasinya adalah residu P dari pemupukan musim sebelumnya tersedia

dalam jumlah yang cukup sehingga penambahan pupuk P tidak meningkatkan hasil.

Data pada Tabel 4. menunjukkan bahwa perbedaan nyata pada jumlah anakan produktif/rumpun

tidak menimbulkan perbedaan pada hasil gabah. Hal ini diduga karena anakan produktif yang banyak

tidak selalu meningkatkan jumlah biji/malai. Kenyataan ini didukung penelitian Yoshida (1981) yang

melaporkan bahwa jumlah biji/malai berbanding terbalik dengan jumlah anakan produktif.

Hal penting yang diperoleh dari pengkajian ini adalah petak dipupuk dengan P memberikan hasil

yang tidak berbeda dengan petak yang tidak diberi pupuk P. Hal ini berarti pemupukan P pada padi

kedua yang mendapatkan pupuk pada padi pertama tidak perlu dilakukan.

Page 130: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

130

Tabel 4. Pengaruh residu pupuk P dari berbagai takaran pupuk P musim sebelumnya terhadap komponen hasil dan hasil padi Maronge Sumbawa MK I 2000.

No. Perlakuan Anakan prod./rumpun

(batang)

Biji isi/malai

(butir)

Hasil GKG

(t/ha)

1. T1 (75 kg P2O5/ha) 13,06 a-d 78,71 tn 5,74 tn

2. T1A (Residu T1) 12,60 a-d 75,57 5,91

3. T2 (18 kg P2O5/ha) 11,70 cd 72,06 5,09

4. T2A (Residu T2) 12,46 a-d 76,86 5,04

5. T3 (Kontrol) 12,16 bcd 79,06 5,45

6. T3A (Kontrol) 13,33 ab 83,24 5,78

7. T4 (18 kg P2O5/ha + E 2001) 12,00 bcd 71,72 5,62

8. T4A (Residu T4) 13,26 ab 75,82 6,09

9. T5 (E 2001) 11,60 d 78,18 5,08

10. T5A (Residu T5) 12,33 bcd 74,02 5,13

11. T6 (25 kg P2O5/ha akar celup) 12,26 bcd 74,97 5,41

12. T6A (Residu T6) 13,40 ab 78,25 6,06

13. T7 (75 kg K2O/ha) 12,80 a-d 79,98 6,02

14. T7A (Residu T7) 12,40 a-d 78,33 5,39

15. T8 (75 kg P2O5 + 75 kg K2O/ha) 13,13 abc 85,45 6,26

16. T8A (Residu T8) 13,46 ab 72,65 5,34

17. T9 (75 kg P2O5 + 5 t pupuk kandang/ha) 12,76 a-d 77,65 5,49

18. T9A (Residu T9) 13,20 abc 71,40 5,07

19. T10 (5 t pupuk kandang/ha) 13,33 ab 80,17 5,84

20. T10A (Residu T10) 12,26 bcd 74,24 5,82

21. T11 (45 kg P2O5/ha) 13,40 ab 86,26 6,28

22. T11A (Residu T11) 13,90 a 77,79 5,79

CV (%) 1,91 10,7 16,5

Ket : *) = Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan

DMRT (.05); tn = Tidak berbeda nyata

ESIMPULAN DAN SARAN

Pemupukan Phosphor (P) tidak berpengaruh terhadap hasil gabah, walaupun pengaruh

pemupukan P nampak pada komponen hasil.

Pemupukan Phosphor (P) pada padi musim kedua setelah dilakukan pemupukan P pada padi musim

pertama tidak berpengaruh terhadap hasil. Ini berarti bahwa residu P dalam tanah cukup memenuhi

kebutuhan P tanaman padi sawah.

Memperhatikan kriteria 4 dan 5, maka untuk efisiensi dan mempertahankan status P di Sumbawa,

Dompu dan Bima pemupukan P dilakukan sekali dalam dua musim tanam dengan takaran 18 kg/ha.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1997. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka. Kerjasama BPS Kabupaten Sumbawa dengan Bappeda Kabupaten Sumbawa. hal. 7 - 265.

Baharudhin, AB. 1996. Rangkuman Laporan Penelitian Kajian Pemupukan Berimbang Pada Lahan/ Daerah Irigasi

Mamak Kakiang Sumbawa NTB Menunjang Pelestarian Swasembada Pangan. Fakultas Pertanian Unram. 48

hal.

Baharuddin, AB. dan J. Priyono. 1995. Penerapan pemupukan berimbang pada lahan irigasi Mamak dan Kakiang

Sumbawa. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Bidang Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unram.

Fakultas Pertanian UNRAM, Mataram.

Basyir, A. 1993. Pemupukan Jangka Panjang Padi Sawah. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1992. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hal. 222 - 228.

Bastari, T. 1996. Penerapan Anjuran Teknologi Untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian

Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian Deptan. hal. 7 - 36.

BPS. 1998. Nusa Tenggara Dalam Angka 1997. Biro Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Page 131: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

131

Fagi, A.M. 1996. Status Pengetahuan Teknik Pemupukan Pada Padi Sawah. Pusat dan Penelitian Tanah dan Agoklimat. Badan Litbang Pertanian Deptan. hal. 37 - 60.

Jones, U.S. 1979. Fertilizers and Soil Fertility. Reston Publishing Company. USA. p 29 - 145.

Landon, J.R. 1984. Booker Tropical Soil Manual. Booker Agriculture Internati0nal Limited. P. 106 - 144.

0‘Neill, M.E. 1997. Anintermediate Biometry Course Manual. Schoool of Crop Sceinces, The University 0f Sidney. P 114 - 159.

Prijatna, S, B.H. Kusuma dan M. H. Idris. 1997. Laporan Penelitian Pengkajian Pengaruh Masukan Organik

Terhadap Ketersediaan N dan Efisiensi Pupuk Urea Pada Tanaman Jagung di Tanah Vertisol. 18 hal.

Sekertariat Pembina Harian Bimas NTB. 1996. Rekomendasi Pemupukan di Wilayah NTB. Mataram 12 hal.

Setiyono, S. 1986. Kesuburan Tanah dan Nuheisi Tanaman PPS. Unibraw. Malang 55 hal.

Soepardi, G. 1979. Sifat dan Ciri Tanah. Dep. Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB Bogor. 872 hal.

Soepartini, M., Nurjaya, A. Kasno, Supardi, Ardjakusuma, Moersidi, S. dan J. Sri Adiningsih. 1994. Status hara P

dan K serta sifat-sifat tanah sebagai penduga kebutuhan pupuk padi sawah di pulau Lombok. Pemberitaan Penelitan Tanah dan Pupuk No. 12, 1994, p.23-35.

Subandi. 1995. Pemupukan kalium bagi upaya meningkatkan produksi padi di Nusa Tenggara Barat. Makalah

disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi di IPPTP Mataram, 17-19 Desember 1995.

Page 132: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

132

PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU BUDIDAYA PADI SAWAH

DI KABUPATEN LOMBOK BARAT

Hasil Sembiring, L. Wirajaswadi, Awaludin Hipi, Sirajuddin1 dan Husen M. Toha

2

1. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat 2. Peneliti pada Balitpa Sukamandi

ABSTRAK

Pengelolaan tanaman padi sawah terpadu (PTT) merupakan pendekatan yang mengutamakan kesinergisan atas komponen-komponen produksi seperti umur bibit, pemupukan dan lain-lain mulai dari pra produksi sampai

kepada produksi dan pengelolaan kelompok. Tujuan Pengkajian adalah mengevaluasi pendekatan ini terhadap

peningkatan produksi padi sawah spesifik lokasi dilahan irigasi yang efisien dan kemungkinan pengembangannya di

NTB. Pengkajian dilaksanakan di Desa Jenggala Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat pada MK. I. 2001. Pengkajian dimulai dengan melaksanakan PRA dan kemudian diikuti dengan perumusan paket teknologi serta

penerapannya di lapangan. Pengkajian ini terdiri dari dua kegiatan utama yaitu demonstrasi teknologi dan

superimposed. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa teknologi PTT memberikan keuntungan rata-rata Rp

1.754.599, sedangkan teknologi petani sebesar Rp 1.144.283,-. Hasil riel pada teknologi PTT sekitar 5,92 t/ha; sedangkan teknologi petani rata-rata 5,21 t/ha. Penerapan teknologi dengan pendekatan PTT dapat meningkatkan

produksi dan memiliki prospek untuk menekan biaya usahatani padi yang pada akhirnya dapat meningkatkan

pendapatan bersih petani di NTB.

Kata kunci : pengelolaan tanaman terpadu, sawah irigasi, padi, produktivitas

PENDAHULUAN

Nusa Tenggara Barat sebagai salah satu penghasil padi nasional memiliki lahan sawah irigasi

seluas 207.852 ha. Hampir seluruhnya dapat ditanami padi dua kali setahun dalam pola tanam padi–padi–

palawija dengan intensitas 250–300%/tahun. Terobosan melalui intensifikasi mampu meningkatkan

produktivitas padi di NTB secara menyolok dan menciptakan swasembada sejak tahun 1981, dengan

produksi padi sebesar 913.331 ton GKG. Pada perkembangan selanjutnya ternyata peningkatan

produktivitas mengalami pelandaian. Jika pada pelita III produktivitas padi mencapai kenaikan rata-rata

283 kg/ha. Pada pelita IV turun drastis menjadi 21,25 kg/ha. Kondisi lebih memprihatinkan terjadi

dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dimana pertumbuhan produktivitas rata-rata mengalami negatif

(-16,25 kg/ha) (BPS NTB 1999; Kanwil Deptan, 2000). Kecenderungan ini cukup mengkhawatirkan

karena kenaikan produktivitas padi jauh lebih rendah dari pada kenaikan jumlah penduduk yakni

sebesar 2,34%.

Sistem produksi input eksternal tinggi sangat tergantung pada input kimia buatan (pupuk,

pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan bahan bakar minyak dan irigasi (Reijntjes et al, 1992).

Sistem pertanian ini mengkonsumsi sumber-sumber yang tak dapat diperbaharui. Pemanfaatan input

buatan yang berlebihan dan tidak seimbang dapat menimbulkan dampak besar terhadap ekologi, ekonomi,

dan sosial politik.

Bagi daerah NTB degradasi kemampuan lahan sebagai media tumbuh tanaman sudah nampak, hal

ini terlihat dari kecenderungan penurunan produktivitas padi yang terus melaju. Dalam 5 tahun terakhir

penggunaan pupuk Urea meningkat sebesar rata-rata 2277,75 ton/tahun (2,88%) tetapi produktivitas padi

menurun seperti telah dikemukakan di atas.

Apabila kondisi ini tidak mendapat penanganan serius, dikhawatirkan produktivitas padi masa

mendatang terus menurun. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut diatas dengan pengelolaan

tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Konsep ini mengharuskan pengelolaan secara terpadu antara

tanaman dan sumberdaya. Pada prinsipnya adalah melakukan pengelolaan dengan menyediakan

lingkungan produksi yang kondusif bagi pertumbuhan tanaman sesuai dengan sumberdaya tersedia secara

lokal spesifik (Badan Litbang, 2000). Dengan pendekatan ini diupayakan menciptakan hubungan

sinergisme antara komponen-komponen produksi dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya tersedia

dengan lebih banyak memanfaatkan internal input tanpa merusak lingkungan.

Filosofi pengelolaan tanaman terpadu adalah pemanfaatan sumberdaya pertanian secara optimal

sehingga petani memperoleh keuntungan maksimum secara berkelanjutan dalam sistem produksi yang

Page 133: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

133

memadukan komponen teknologi sesuai kapasitas lahan. Kata kunci dari pengelolaan tanaman terpadu

adalah sinergis. Setiap komponen teknologi sumberdaya alam, dan kondisi sosial ekonomi memiliki

kemampuan untuk berinteraksi satu sama lain. Dengan demikian akan tercipta suatu keseimbangan dan

keserasian antara aspek lingkungan dan aspek ekonomi untuk keberlanjutan sistem produksi. Indikator

keberhasilan pengelolaan tanaman terpadu yang paling penting adalah rendahnya biaya produksi,

penggunaan sumberdaya pertanian secara efisien dan pendapatan petani meningkat tanpa merusak

lingkungan (Kartaatmadja, 2000).

Pengelolaan pertanian terpadu memiliki potensi dan prospek cukup baik untuk mempertahankan

produktivitas yang berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan pada

gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Tujuan pengkajian ini adalah : (1)

Mendapatkan model pengelolaan tanaman terpadu budidaya padi sawah spesifik lokasi di lahan irigasi,

(2) Meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani.

METODOLOGI PENELITIAN

Pengkajian dilaksanakan di 2 lokasi yaitu di Desa Jenggala, Kecamatan Tanjung Lombok

Barat pada MK I. 2001. Lokasi kegiatan adalah lahan sawah irigasi yang menerapkan pola tanam padi –

padi – kacang tanah.

Pada setiap lokasi percobaan terdapat 2 kegiatan yaitu demonstrasi teknologi PTT dan percobaan

superimposed. Percobaan super imposed diharapkan dapat menjawab teknologi yang masih diragukan

petani. Ada dua issue yang dikaji pada super imposed yaitu jumlah dan umur bibit dan kajian pemupukan

(dosis, jenis, dan LCC)

Percobaan super imposed dirancang menurut kaidah penelitian, dan data agronomis dianalisis

secara statistik. Sedang pada demonstrasi dianalisis secara ekonomis dan untuk mengetahui respons

petani dilakukan wawancara secara semi struktural. Ringkasan kegiatan yang dilakukan pada kedua

lokasi pengkajian adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Karakteristik kegiatan pengkajian PTT di desa Jenggala. Tanjung. Lobar. MK. I. 2001

Variabel Jenggala (Lobar)

PRA Februari – Maret 2001

Kelompoktani Mentani

Jumlah petani 7 orang

Luas hamparan 4,6 ha

Waktu tanam MGG II Mei

Varietas IR-64, Tukad Petanu

Kendala/hambatan Keong emas, tungro, penggerek batang, petani masih ragu dengan teknologi

Teknologi yang diterapkan pada kajian PTT disesuaikan dengan rakitan teknologi yang

dirumuskan bersama-sama dengan petani dan PPL pada saat PRA. Paket teknologi didasarkan kepada

ketersediaan sumberdaya, permasalahan yang dihadapi dan kebiasaan petani. Komponen teknologi yang

dianggap baru adalah umur bibit dan jumlah bibit per rumpun. Deskripsi teknologi PTT dibanding

teknologi petani di sajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Teknologi PTT vs teknologi petani di Desa Jenggala Lobar pada kajian PTT. 2001.

Variabel Teknologi PTT Teknologi Petani

1 2 3

Pengolahan tanah Sempurna Sempurna

Mutu benih Sertifikat Sertifikat

Kebutuhan benih 15 kg/ha 60 kg/ha

Umur bibit 15 hari 25 hari

Bibit/rumpun 1 batang 5 – 7 batang

Page 134: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

134

1 2 3

Jarak tanam 20 x 20 cm Tdk teratur

Pupuk :

Urea

SP-36 (analisa tanah)

Organik

BWD (250 kg/ha)

75 kg/ha 3 t/ha

400 – 500 kg/ha

100 kg/ha 0

Pengendalian gulma Manual Manual

Pengendalian H/P PHT Tanpa acuan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian OFR (demonstrasi)

Penampilan tanaman dan produksinya pada kegiatan on farm demonstrasi disajikan pada Tabel

3. Tinggi tanaman tidak menunjukkan perbedaaan yang menyolok antara yang dikelola petani kooperator

dengan non kooperator. Rata-rata produktivitas pada petani kooperator lebih tinggi dibandingkan dengan

non kooperator. Lebarnya range baik pada petani kooperator dan non kooperator disebabkan oleh

tingginya gangguan hama dan penyakit (tungro dan penggerek batang). Adanya perbedaan produksi

menunjukkan bahwa efisiensi teknologi PTT dapat diandalkan.

Tabel 3. Keragaan agronomis dan produktivitas padi pada petani kooperator dan non kooperator Jenggala,

Tanjung. MKI. 2001

Variabel Unit Kooperator (n = 7) Non kooperator (n =6)

Kisaran Rerata Kisaran Rerata

Tinggi tanaman 4 MST cm 40.4 – 51.7 48.5 - -

Tinggi tanaman saat panen cm 74.9 – 91.5 84.0 75.1 – 94.9 83.3

Jumlah anakan 15 HST btg 2.2 – 3.5 2.8 - -

Jumlah anakan 30 HST btg 9.9 – 17.6 15.6 - -

Anakan maksimum btg 16.4 – 18.4 17.70 - -

Anakan produktif btg 15.6 - 18.2 16.57 16.0 – 20.3 18.2

Prod. riel (GKP) t/ha 4.35 – 6.73 5.92 4.39 – 5.68 5.21

Prod. ubinan (GKP) t/ha 5.38 –8.55 6.28 5.20 - 6.52 5.97

Analisis ekonomi yang yang berkaitan dengan tingkat pengeluaran pada sejumlah komponen

pembiayaan, pendapatan kotor, dan pendapatan bersih petani kooperator dibanding dengan non

kooperator disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan tingkat pengeluaran pada sejumlah komponen pembiayan, pendapatan kotor dan pendapatan

bersih petani dengan teknologi PTT (kooperator) dan petani pembanding (non kooperator) Tanjung, MK I

2001

Uraian Kooperator (Rp/ha) Non Kooperator, (Rp/ha)

Kisaran Rerata Kisaran Rerata

1 2 3 4 5

Benih 22.500 – 41.667 35.123 138.889 - 178.571 153.743

Pupuk organik 138.889 – 153.846 147.928 - -

Pupuk SP36 109.091 – 125.217 119.629 97.222 – 190.476 160.542

Pupuk Urea 292.174 – 333.333 309.505 466.667 – 693.333 577.831

Pestisida 358.889 – 509.091 420.051 21.429 – 270.000 103.975

Pengolahan tanah 333.333 – 365.217 351.250 340.000 – 357.143 352.302

Penanaman 333.333 – 375.000 362.468 255.556 – 388.889 327.444

Page 135: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

135

1 2 3 4 5

Penyiangan 100.000 – 444.444 231.856 106.667 – 186.667 150.116

Biaya total 3.662.125 – 4.689.773 4.165.401 3.671.667 – 4.402.000 4.065.717

Pendapatan kotor 4.358.750 – 6.727.273 5.920.000 4.400.000 – 5.666.667 5.210.000

Pendapatan bersih 696.625 – 2.270.653 1.754.599 726.111 – 1.587.778 1.144.283

R/C 1.42 1.28

Ditinjau dari total biaya antara teknologi PTT dengan teknologi petani nampak tidak jauh

berbeda yaitu rata-rata Rp. 4.165.401 berbanding Rp. 4.065.717. Hal ini disebabkan tingginya biaya pada

pengendalian virus tungro dengan menggunakan insektisida confidor dan pengendalian hama penggerek

batang menggunakan carbofuran dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp. 420.051/ha dibanding

teknologi petani yang hanya mengeluarkan biaya pestisida sebesar Rp. 103.979. Selisih biaya lainnya

terlihat pada penggunaan pupuk kandang pada PTT dengan rata-rata Rp. 147.928/ha sedangkan teknologi

petani tidak menggunakan pupuk kandang.

Pada pengendalian gulma, teknologi PTT ternyata membutuhkan biaya hampir dua kali lipat

teknologi petani yaitu : Rp. 231.856 berbanding Rp. 150.166. Hal ini diduga karena pada teknologi PTT

pengendalian gulma dilakukan secara intensif yaitu dengan dua kali penyiangan. Disisi lain, teknologi

petani mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk benih yaitu sebesar Rp. 153.743 (61,5 kg/ha)

berbanding Rp. 35.123 (14,10 kg/ha).

Pengeluaran biaya dengan selisih yang cukup besar terlihat pada penggunaan pupuk Urea.

Teknologi petani mengeluarkan biaya sebesar Rp. 577.831 (478,44 kg/ha) berbanding Rp. 309.505

(257,92 kg/ha). Efisiensi penggunaan pupuk Urea tersebut tidak terlepas dari penggunaan alat bantu

Bagan Warna Daun yang dapat menghemat pupuk Urea sebesar 53%.

Walaupun total biaya teknologi PTT lebih tinggi dibanding teknologi petani, secara ekonomis

tetap lebih menguntungkan. Hal ini terlihat dari pendapatan bersih pada teknologi PTT sebesar Rp.

1.754.599 berbanding Rp. 1.144.283 pada teknologi petani. Selisih pendapatan sebesar Rp. 610.316 ini

sebagian besar berasal dari selisih hasil gabah. Teknologi PTT memberikan hasil gabah sebesar 5920

kg/ha sedangkan teknologi petani 5210 kg/ha.

Secara umum efisiensi biaya teknologi PTT nyata terlihat pada penggunaan pupuk Urea dan

benih. Tetapi akibat serangan penyakit virus tungro dan penggerek batang yang cukup menghawatirkan

diperlukan pengendalian menggunakan pestisida dengan nilai cukup tinggi sehingga efisiensi dari pupuk

Urea dan benih tersebut tidak nampak.

Kajian Super Imposed

1. Pupuk (Jumlah dan jenis pupuk)

Hasil Pengkajian terhadap pupuk dan jenisnya pada pengkajian yang dikelola petani disajikan

pada Tabel 5; sedangkan yang dikelola peneliti disajikan pada Tabel 6.

Jumlah anakan sejak berumur 15 HST sampai 45 HST tidak berbeda nyata antar perlakuan pada

percobaan yang dikelola petani. Hal yang sama juga terlihat pada percobaan yang dikelola peneliti

sampai berumur 30 HST. Perlakuan berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan pada umur 45 HST dan

anakan produktif pada percobaan yang dikelola peneliti.

Anakan 45 HST dan AP tertinggi (24,25 dan 22,07) ditunjukkan oleh perlakuan 6 sama dengan

perlakuan 4 keduanya menggunakan Urea 400 kg/ha. Khusus untuk AP, jumlah tertinggi ditunjukkan

oleh perlakuan 6 sama dengan perlakuan 4 dan berbeda dengan perlakuan 1, 2, 3 dan 5 yang semuanya

menggunakan Urea 250 kg/ha. Implikasinya adalah penggunaan pupuk Urea 250 kg/ha sesuai

rekomendasi Bimas dan penggunaan Bagan Warna Daun titik kritis 4 dengan takaran Urea 50 kg/ha

setiap aplikasi belum cukup untuk mendapatkan anakan produktif yang sama dengan pertanaman petani

yang menggunakan Urea 400 kg/ha atau anakan produktif optimum. Kebutuhan N tertinggi pada tanam

padi terjadi pada fase pembentukan anakan maksimum.

Kombinasi pemupukan berpengaruh nyata terhadap hasil gabah GKP maupun GKG. Hasil

tertinggi diperoleh pada perlakuan 4 (400 Urea + 75 SP36) tidak berbeda dengan perlakuan 3 (LCC +

Page 136: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

136

SP36) dan perlakuan 6 (400 Urea + 125 SP36). Perlakuan 4 berbeda dengan perlakuan 1 (250 Urea + 75

SP36 + 3 t pupuk kandang), perlakuan 2 (250 Urea + 75 SP36 + 50 KCl) dan perlakuan 5 (250 Urea + 75

SP36 = rekomendasi setempat). Rendahnya hasil pada perlakuan dengan 3 ton pupuk kandang diduga

karena pupuk kandang belum memberi pengaruh nyata pada musim pertama. Pengaruh pupuk kandang

baru terlihat pada musim kedua keatas.

Penggunaan pupuk K tidak berpengaruh terhadap hasil padi, hal ini karena hara K sudah cukup

tersedia di lokasi pengujian sesuai hasil analisa tanah (data status K). Untuk efisiensi penggunaan pupuk

Urea, penggunaan Bagan Warna Daun dapat dianjurkan karena Urea yang dipergunakan hanya 250 kg/ha

dan hasilnya sama dengan penggunaan Urea 400 kg/ha. Perbedaan hasil antar perlakuan diduga karena

adanya perbedaan pada jumlah gabah berisi dan gabah hampa/malai.

Tabel 5. Penampilan agronomi dan hasil percobaan pemupukan di Jenggala, Tanjung, Lobar, MK.I. 2001.

Perlakuan A15 A30 A45 AP TT45 GKP GKG

250 Urea + 75 SP + KP 3 ton 3.15 a 14.3 a 22.9 ab 19.62 b 49.5 a 7.23 cb 6.54 abc

250 Urea + 75 SP + 50 KCl 3.15 a 13.95 a 22.05 ab 18.95 bc 47.0 a 7.02 c 6.35 c

LCC (3 X ; SP36 + 250 Urea) 2.85 a 16.3 a 19.72 c 16.62 c 49.9 a 7.38 abc 6.62 abc

400 Urea + 75 SP 3.2 a 16.85 a 23.38 ab 21.03 ab 49.1 a 8.06 a 7.20 a

250 Urea + 75 SP 36 3.2 a 15.15 a 21.32 bc 18.72 bc 48.9 a 7.02 c 6.37 bc

400 Urea + 125 SP 36 2.85 a 16.65 a 24.25 a 22.07 a 49.9 a 7.84 ab 7.07 ab

CV (%) 9.9 17.6 6.29 7.84 5.5 6.2 6.5

A15 = anakan pada umur 15 HST ;A30 = anakan pada umur 30 HST;

A45 = anakan pada umur 45 HST; TT 45 = tinggi tanaman pada umur 45 HST;

AP = Anakan produktif ; GKP = gabah kering panen; GKG = gabah kering giling

2. Jumlah dan Umur Bibit

Hasil pengkajian jumlah dan umur bibit disajikan pada Tabel 6. Hasil pengkajian menunjukkan

bahwa tidak ada interaksi antara umur bibit dan jumlah bibit pada semua variabel yang diamati.

Jumlah bibit berpengaruh terhadap jumlah anakan. Pada umur 15 HST, jumlah bibit 3 batang

mempunyai jumlah anakan lebih rendah, tetapi pada umur 30 HST jumlah anakannya sama. Ini

menunjukkan bahwa perkembangan anakan dengan jumlah bibit 1 batang dapat lebih cepat. Jumlah bibit

3 buah mempunyai jumlah anakan yang sama dengan jumlah bibit 5 batang. Jumlah bibit tidak

berpengaruh nyata terhadap produksi GKP dan GKG. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bibit 1

batang per rumpun dapat dianjurkan.

Umur bibit berpengaruh terhadap perkembangan anakan sampai pada umur 15 hari, tetapi

setelah itu jumlah anakan tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa umur bibit tidak mempengaruhi jumlah

anakan.

Umur bibit tidak berpengaruh terhadap hasil baik GKP dan GKG. Ini menunjukkan bahwa

umur bibit muda (15 hari) dapat dianjurkan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa umur bibit muda

dipanen lebih awal (sekitar 1 minggu) dibandingkan dengan umur bibit 21 atau 25 hari. Umur panen

pada bibit 15 hari sekitar 105-108 hari.

Tabel 6. Ringkasan pengkajian pengaruh jumlah bibit dan umur Bibit terhadap keragaan agronomis dan produksi padi di Jenggala, Tanjung. 2001.

Sumber A15 A30 A45 Amax AP TT45 GKP GKG

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Rep ** ns ** ** ns ns *** ***

UB *** ns ** ns ns ns ns ns

JB *** ns * ** ** ns ns ns

UB * JB ns ns ns ns ns ns ns ns

Contrast:

15 VS 21 *** ns ** ns ns ns ns ns

1 VS 3 *** ns * * * ns ns ns

1 VS 5 *** ns ** ** ** ns ns ns

1 VS 3+5 *** ns ** ** ** ns ns ns

Page 137: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

137

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Umur bibit

15 7.2b 21.3a 21.7a 21.7a 20.2a 85.7a 8.5a 7.6a

21 9.0a 20.0a 24.3b 20.9a 19.3a 87.3a 8.4a 7.4a

Jumlah bibit

1 4.3a 18.8a 21.5a 19.8a 18.1a 86.6a 8.5a 7.5a

3 8.6b 21.2a 23.3b 21.5b 20.0b 86.5a 8.4a 7.5a

5 11.3c 21.9a 24.2b 22.5b 21.1b 86.3a 8.4a 7.6a

CV% 13.1 19.1 7.7 7.5 9.4 2.8 6.9 7.3

ns = not significant; *, **, *** = significant pada taraf 5%, 1%;

UB = umur bibit ; JB = jumlah bibit ; A15 = anakan pada umur 15 HST ; A30 = anakan pada umur 30 HST; A45 = anakan pada umur 45 HST;

Amax = anakan maksimum; AP = anakan produktif ; TT 45 = tinggi tanamman pada umur 45 HST

Persepsi Petani

Rekaman tanggapan/kesan petani terhadap teknologi PTT Tanjung MK I 2001 disajikan pada

Tabel 7.

Tabel 7. Tanggapan petani terhadap teknologi PTT Tanjung MK I 2001.

Variabel Komentar Petani

Bibit umur muda Bisa menerima sebab lebih cepat hidup (Lambih, Kt. Tani, Rajab, Kartep);

sedangkan Nyoman takut mudah kena penyakit.

Tanam 1 batang/rumpun Lebih cepat beranak, tapi karena banyak keong resikonya banyak nyulam.

Kalau boleh 2 –3 batang per rumpun. (Kartep, Kt. Tani, Nyoman, Rajab,

Wayan Dapat, Lambih).

Tanaman tandur jajar Semua petani lebih baik, sebab hasil lebih tinggi dan tanaman lebih sehat.

Kendalanya adalah tenaga belum ada yang trampil dan alat terbatas, tentunya

biaya tanam jauh lebih tinggi.

Pupuk SP-36 Harus diberikan sebab tanaman lebih sehat dan gabah lebih berat (Ketut Tani,

Lambih, Kartep, Rajab, Nyoman).

Penggunaan LCC Dirasa masih sulit sebab penglihatan kurang bagus; sehingga persepsi terhadap

warna berbeda-beda (Wy. Dapat, Lambih, Kt. Tani, Nyoman)

Harus mencatat/menulis angka (semua petani)

Dosis pupuk Urea 50

kg/aplikasi

Dirasa kurang, sebab sulit merata sehingga dampak perubahan warna kurang

nyata (semua petani)

Alat siang Gosrok Sangat bagus, rumput bersih sekali dan tanah gembur, kesulitannya, buruh tani

terbiasa pakai kis-kis bila disuruh mencoba alat tersebut kemungkinan tidak

bersedia. (Kt. Tani, Wayan Dapat, Rajab, Kartep, Lambih).

Insektisida Convidor Sangat efektif untuk tungro/wereng hijau, walaupun awalnya ragu. (Kt. Tani,

Wy. Dapat, Kartep, Nyoman, Lambih).

Selama kegiatan PTT partisipasi petani kooperator cukup tinggi hal ini terbukti dari kehadiran

petani di lahan usahatani hampir setiap hari pagi dan sore untuk mengontrol perkembangan tanaman,

sehingga kalau terjadi masalah segera dapat dipecahkan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil pengkajian PTT memberikan keuntungan rata-rata Rp 1.754.799, sedangkan teknologi

petani sebesar Rp 1.144.283,- dengan R/C ratio masing-masing 1.42 dan 1.28. Hasil riel pada teknologi

PTT sekitar 5.92 t/ha; sedangkan teknologi petani rata-rata 5.21 t/ha. Penerapan teknologi dengan

pendekatan PTT dapat meningkatkan hasil dan memiliki prospek untuk menekan biaya usahatani padi

yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan bersih petani di NTB.

Penggunaan bibit tunggal dapat mengefisienkan penggunaan benih, sedang penanaman umur

muda dapat mempercepat waktu panen. Penggunaan Bagan Warna Daun sebagai alat bantu dalam

menentukan pemupukan Urea, dapat menghemat 53 % dari total Urea yang biasa digunakan petani.

Teknologi PTT ini dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka efisiensi input pada budidaya

padi sawah.

Page 138: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

138

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2000. Pengkajian dan pengembangan intensifikasi padi pada lahan irigasi berdasarkan

pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu. Mak. Lak. Sinkronisasi Litkaji Balit, dan BPTP.

Bogor 28-29 September 2000.

BPS NTB. 1999. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 1998. Biro Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Kanwil Deptan - NTB 2000. Evaluasi program tahun 1999 dan kebijaksanaan pangan Tahun 2000. Makalah Rakor

pangan, Mataram 28 Maret 2000.

Kartaatmadja, S., A.K. Makarin and A.M.Fagi.2000. Integrated crop management : an approach for sustainable rice production. Balitpa Sukamandi.

Reijntjes, C., B. Haverkort and A.W. bayer.1992. an infroduction to low-external input and sustainable agriculture.

The Macmillan Press Ltd. London and Basingstoke.

Page 139: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

139

INTEGRASI TANAMAN DENGAN TERNAK (CROP-LIVESTOCK SYSTEM)

DALAM RANGKA MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN

Integration of Crop and Livestock (Crop-Livestock System) to Develop Sustainable

Agriculture

Soekardono

Fakultas Peternakan Universitas Mataram

ABSTRAK

Sektor pertanian mempunyai peranan yang luas bagi pembangunan sosial-ekonomi Indonesia. Peranan

yang penting adalah (1) penyediaan pangan, bahan baku industri, dan kontribusi terhadap PDB, (2) menyediakan

kesempatan kerja dan pendapatan bagi penduduk pedesaan, dan (3) memberikan kontribusi dalam pengentasan

kemiskinan dan peningkatan status gizi. Namun, pertanian kita memiliki masalah, yaitu: (1) pemilikan lahan per petani sempit, rata-rata kurang dari 0,50 ha; (2) kualitas lahan terus menurun; (3) harga produk relatif rendah; dan (4)

sebagian besar petani masih mengandalkan usahatani padi dan palawija. Hal ini bermuara pada rendahnya

pendapatan petani. Untuk mengatasi masalah ini, integrasi tanaman dan ternak (crop-livestock system) perlu

dikembangkan dalam rangka menuju pertanian berkelanjutan. Dengan integrasi tanaman dengan ternak, suatu usahatani dapat menjadi lebih efisien karena dapat menggunakan input dalam (internal input) yang berarti

mengurangi penggunaan input luar (external input) yang harus dibeli. Dengan demikian integrasi tanaman dengan

ternak dapat digolongkan ke dalam sistem pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah atau dikenal dengan

LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture). Sebagai contoh, integrasi tanaman padi dengan sapi potong, dapat meningkatkan pendapatan petani hingga 100%. Sekitar 40% dari pendapatan tersebut berasal dari pupuk

organik yang dihasilkan ternak. Jadi, dalam integrasi ini, usaha tanaman padi dapat memanfaatkan pupuk kandang

sebagai pengganti sebagian pupuk buatan, sedangkan usaha sapi potong dapat memanfaatkan jerami padi sebagai

pakan.

Kata kunci: Pertanian berkelanjutan, integrasi tanaman dengan ternak, LEISA, pendapatan petani.

ABSTARCT

Agricultural sector has strategic roles in national development. Its most important roles are (1) to provide food for the growing population, raw materials for industries, and contribute to PDB, (2) to provide employment

opportunity and to improve incomes of people in the village and (3) to contribute in the alleviation of poverty and

malnutrition. However, the Indonesian agriculture has many constraints i.e. (1) land holding is very small with an

average of less than 0.50 Ha per household, (2) soil quality tends to decline with time (3) price of products relatively low and (4) most farmers still rely on rice and seasonal crops. As a result, the income of the majority of farmers is

low. To overcome this problem, integration of crop and livestock in the Crop-Livestock System needs to be

developed in the framework of sustainable development. By integrating crop and livestock, farming system can be

more efficient by optimizing the use of internal input which means minimizing the cost of using external inputs. Crop –Livestock System can thus be categorized as sustainable farming system which is known as Low External Input

Sustainable Agriculture (LEISA). As an example, integration of beef cattle in rice production system can improve

income up to 100%. Around 40% of that income comes from selling of organic fertilizers from cattle manure. In this

system, cattle manure can be used to fertilize the rice field and beef cattle can utilize rice straw as part of its feeds.

Key words: Sustainable agriculture, crop-livestock integration, LEISA, farmer’s income

PENDAHULUAN

Di suatu negara di mana tahap-tahap pembangunan sedang berlangsung, seperti di Indonesia,

sektor pertanian mempunyai peranan yang luas bagi pembangunan sosial-ekonomi. Pertama, harus

berkontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan penyedia pangan bagi penduduk yang sedang

tumbuh serta bahan baku industri. Kedua, harus menyediakan kesempatan kerja tenaga produktif dan

pendapatan bagi penduduk pedesaan yang jumlahnya cukup besar. Ketiga, harus berperan di dalam

pengentasan kemiskinan dan perbaikan status gizi melalui struktur dan bentuk produksi dengan tetap

menjaga petani gurem dan buruh tani agar dapat memperoleh bagian benefit pertumbuhan pertanian.

Terakhir, harus mendorong berkembangnya neraca pembayaran melalui peningkatan ekspor, substitusi

impor, dan mengurangi ketergantungan ekonomi pada pasokan (makanan) luar negeri (Thorbecke dan

Pluijm, 1993).

Page 140: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

140

Sumbangan sektor pertanian terhadap PDB Indonesia secara relatif cenderung menurun dari

tahun ke tahun tetapi tetap penting dalam penyediaan lapangan kerja. Selama 30 tahun terakhir kontribusi

sektor pertanian terhadap PDB menurun dari sekitar 39% menjadi sekitar 15%, namun terhadap

penyerapan tenaga kerja tidak banyak berubah. Dari sekitar 80 juta angkatan kerja, 50% diantaranya

masih bekerja pada sektor pertanian. Kondisi ini tidak banyak berubah dari 30 tahun yang lalu. Ini

menunjukkan bahwa sektor pertanian di Indonesia masih didominasi oleh pertanian rakyat dengan jumlah

petani yang begitu banyak tetapi output per unit usaha relatif kecil dibandingkan dengan pasar (Pakpahan,

2000).

Pertanian rakyat sebagian besar dilakukan oleh rumah tangga pertanian di pedesaan. Menurut

Sensus Pertanian (1993) dalam BPS (1996), dari 21,74 juta rumah tangga pertanian (RTP) di Indonesia,

20,33 juta atau 93% diantaranya tinggal di pedesaan dan sisanya sebanyak 1,4 juta atau 7% tinggal

diperkotaan. Sebagian besar (54,46%) dari RTP Indonesia tersebut berdomisili di Jawa, selebihnya

22,45% di Sumatra, 8,02% di Sulawesi, 6,84% di Bali dan Nusa Tenggara, 5,81% di Kalimantan, dan

2,42% di Maluku dan Irian Jaya. Dari 11,56 juta RTP di Jawa, 8,067 juta atau 69% menguasai lahan <

0,50 ha dan 3,497 juta lainnya atau 31% menguasai lahan > 0,50ha. Sebaliknya di luar Jawa sebagian

besar (70%) menguasai lahan lebih dari 0,50 ha dan 30% sisanya menguasai lahan < 0,50ha.

Rumah tangga pertanian di Indonesia sebagian besar merupakan rumah tangga usaha tanaman

pangan (padi dan palawija). Pada tahun 1993, rumah tangga tanaman padi dan palawija tercatat 18,094

juta, rumah tangga hortikultura 5,044 juta, rumah tangga perkebunan 6,376 juta, rumah tangga usaha

ternak sapi 3,074 juta, rumah tangga usaha kerbau 489 ribu, rumah tangga usaha kambing/domba 581

ribu, rumah tangga usaha ayam buras 480 ribu. Sebagian besar (10,157 juta atau 56%) RTP usaha

tanaman pangan tersebut berada di Jawa. Demikian pula RTP usaha ternak, usaha ternak sapi misalnya,

sekitar 61% berada di Jawa.

Data diatas menunjukkan bahwa pasokan pangan baik beras maupun pangan asal ternak sebagian

besar berasal dari Jawa. Hal ini kontradiksi dengan potensi sumberdaya lahan yang tersedia. Sawah yang

tersedia di Jawa hanya 2,388 juta ha dan telah terpakai seluruhnya, sedangkan di luar Jawa 11,617 juta ha

dan baru terpakai 4,905 juta ha atau 42 persen ( Amien, 1995a

dan Amien, 1995b dalam Karama dan

Sofyan, 1997). Dengan demikian jika luas lahan yang tersedia ini dibandingkan dengan jumlah RTP

maka kondisi usaha tanaman pangan di Jawa cukup memprihatinkan. Luas lahan yang sempit, yaitu rata-

rata kurang dari 0,50 ha, mengakibatkan pendapatan petani rendah. Dengan lahan yang sempit dan

pendapatan yang rendah, petani terpaksa mengeksploitir lahan untuk memaksimumkan pendapatannya.

Akibatnya produktivitas lahan cenderung menurun dari tahun ke tahun. Hal ini sesuai dengan apa yang

dikemukakan oleh Dillon dkk. (1999) dalam Sawit (2000), bahwa stagnasi produksi padi disebabkan oleh

beberapa faktor, (1) stagnasi dan degradasi teknologi, (2) kesuburan tanah semakin merosot, (3)

kejenuhan intensitas tanam, (4) rendemen penggilingan yang semakin menurun, (5) serangan hama dan

penyakit, dan (6) ilkim yang tidak normal. Karama dan Sofyan (1996) juga menyatakan bahwa kualitas

lahan sawah cenderung menurun. Sekitar 65% areal sawah mempunyai kandungan C-organik kurang dari

1%.

Berdasarkan konsep sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), maka pertanian di

Indonesia seperti yang digambarkan diatas dapat dikatakan bermasalah, karena secara ekonomi dan

lingkungan kurang dapat memberikan benefit yang berkelanjutan. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya

penanggulangan, salah satunya dengan integrasi tanaman dengan ternak (crop-livestock system).

KONSEP PERTANIAN BERKELANJUTAN

Menurut Lockeretz (1988) dalam Singh et al. (1990), pertanian berkelanjutan secara luas dapat

diartikan sebagai istilah yang mencakup beberapa strategi yang ditujukan untuk memecahkan masalah-

masalah yang menyebabkan ―sakitnya‖ pertanian di Amerika Serikat dan pertanian di dunia. Masalah-

masalah tersebut adalah menurunnya produktivitas tanah karena erosi dan menurunnya kandungan nutrisi;

polusi pada permukaan air dan air tanah karena pestisida, pupuk, dan sedimen; menurunnya sumberdaya

yang tak dapat diperbarui (nonrenewable resources) di masa depan; dan rendahnya pendapatan usahatani

karena tekanan harga komoditi dan tingginya biaya produksi. Selanjutnya, ―keberlanjutan‖ mengandung

pengertian dimensi waktu dan kapasitas sistem usahatani yang berlangsung terus-menerus dalam jangka

waktu yang tak terbatas.

Page 141: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

141

Dua inisiatif pemerintah Amerika Serikat di dalam menindaklanjuti konsep dan pemahaman

tentang pertanian berkelanjutan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, melalui Program Riset dan

Pendidikan untuk mempromosikan sistem usahatani berkelanjutan/input rendah (USDA, 1988) dan yang

kedua, melalui buku ―Pertanian Alternatif‖ yang mendiskusikan peranan metode usahatani alternatif di

dalam pertanian modern (National Research Council, 1989). Konsep ini diilustrasikan dalam Gb. 2.1.

yang diadopsi dari Schaller, USDA-CSRS .

Tujuan utama atau akhir dari pertanian berkelanjutan adalah membangun sistem usahatani yang

produktif dan menguntungkan, mengkonservasi basis sumberdaya alam, melindungi lingkungan, dan

meningkatkan kesehatan dan keselamatan, dan kegiatan ini harus berlangsung dalam jangka panjang.

Alat untuk mencapai tujuan ini adalah metode input rendah (low-input) dan managemen terampil (skilled

management), yaitu mencari manajemen dan penggunaan input internal (sumberdaya on-farm) yang

optimal yang memberikan tingkat produksi tanaman dan ternak berkelanjutan (sustainable). Pendekatan

ini menekankan pada budaya dan praktek manajemen tentang rotasi tanaman, daur ulang kotoran ternak,

dan konservasi dengan pengolahan tanah untuk mengontrol erosi tanah dan kehilangan nutrisi, dan

memelihara atau meningkatkan produktivitas. Sistem usahatani input rendah bertujuan meminimalisasi

penggunaan input eksternal (sumberdaya off-farm), seperti pupuk dan pestisida yang harus dibeli;

menurunkan biaya produksi; menghindari polusi permukaan air dan air tanah; mengurangi residu

pestidida dalam makanan; mengurangi resiko petani; dan meningkatkan keuntungan usahatani baik

jangka pendek maupun jangka panjang ( Parr et al., 1989, 1990; dan Parr dan Hornick, 1990) dalam

Singh et al. (1990).

PERTANIAN BERKELANJUTAN

SUATU PERTANIAN YANG …

Gambar. 2.1. Konsep Pertanian Berkelanjutan di Amerika Serikat yang Menunjukkan Tujuan dan Alat

untuk Mencapainya Melalui Metode Input Rendah dan Managemen Terampil.

Produktif dan

Menguntungkan

Mengkonservasi

Sumberdaya dan

Melindungi

Lingkungan

Meningkatkan

Kesehatan dan

Keselamatan

T

U

J

U

A

N

Metode Input-Rendah dan Managemen Terampil

Mengurangi

penggunaan input

kimia sistetis

Mengadakan

konservasi tanah

dan air

Rotasi tanaman

Kontrol Penyakit

(Pest) Biologis

Bercocok tanam

mekanik

Diversifikasi

Tanaman-Ternak

Menggunakan

Limbah Organik

Proses Alami

Menggunakan pupuk

kandang dan pupuk

hijau Bioteknologi

A

L

A

T

Page 142: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

142

Alasan lain mengapa memfokuskan sistem usahatani input rendah, karena sistem input tinggi

(high-input), cepat atau lambat, kemungkinan akan gagal karena mereka tidak berlanjut (sustainable) baik

secara ekonomi maupun lingkungan dalam jangka panjang. Bagaimana mencapai tujuan tersebut

tergantung pada kreasi dan inovasi konservasi dan praktek produksi yang memberikan kepada petani

alternatif atau opsi di dalam sistem usahataninya.

Menurut Reijntjes et al. (1999), keberlanjutan dapat diartikan sebagai ―menjaga agar suatu upaya

terus berlangsung‖, ―kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak merosot‖. Dalam konteks

pertanian, keberlanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus tetap

mempertahankan basis sumberdaya. Misalnya, Technical Advisory Committee of the CGIAR (TAC/

CGIAR, 1988) menyatakan, ―Pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil

untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau

meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam‖.

Namun demikian, banyak orang menggunakan definisi yang lebih luas dan menilai pertanian

bisa dikatakan pertanian berkelanjutan jika mencakup hal-hal sebagai berikut:

Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan

kemampuan agroekosistem secara keseluruhan – dari manusia, tanaman, dan hewan sampai

organisme tanah – ditingkatkan. Kedua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan

tanaman, hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi sendiri).

Sumberdaya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa, dan

energi bisa ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran. Tekanannya adalah pada

penggunaan sumberdaya yang bisa diperbarui.

Bisa berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk

pemenuhan kebutuhan dan/atau pendapatan sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi

untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomi ini bisa diukur

bukan hanya dalam hal produk usahatani yang langsung namun juga dalam hal fungsi seperti

melestarikan sumberdaya alam dan meminimalkan resiko.

Adil, yang berarti bahwa sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga

kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan,

modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki

kesempatan untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan, baik di lapangan maupun di dalam

masyarakat. Kerusuhan sosial bisa mengancam sistem sosial secara keseluruhan, termasuk sistem

pertaniannya.

Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan, dan manusia) dihargai.

Martabat dasar semua makhluk hidup dihormati, dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai

kemanusiaan yang mendasar, seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerja sama dan rasa sayang.

Integritas budaya dan spiritual masyarakat dijaga dipelihara.

Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan

kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan jumlah penduduk, kebijakan,

permintaan pasar, dan lain-lain. Hal ini meliputi bukan hanya pengembangan teknologi yang baru

dan sesuai, namun juga inovasi dalam arti sosial dan budaya.

INTEGRASI TANAMAN DENGAN TERNAK (CROP-LIVESTOCK SYSTEM)

DALAM SISTEM USAHATANI

Sebagian besar peternak di negara sedang berkembang adalah peternak rakyat, peternak

subsisten atau peternak backyard. Mereka berlahan sempit, jumlah ternak relatif kecil, input teknologi

rendah, terkait dengan usaha tanaman pangan dan secara umum produktivitasnya rendah

(Prawirokusumo, 1994). Kaitan antara tanaman dan ternak dalam sistem integrasi usahatani dapat

digambarkan sebagai berikut (Gb.3.1). Menurut Devendra (1993) dalam Diwyanto (2001), ada delapan

keuntungan dari penerapan integrasi usaha tanaman dan ternak (crop-livestock system), yaitu (1)

diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi, (2) mengurangi terjadinya resiko, (3) efisiensi

penggunaan tenaga kerja, (4) efisiensi penggunaan komponen produksi, (5) mengurangi ketergantungan

energi kimia dan energi biologi serta masukan sumberdaya lainnya dari luar, (6) sistem ekologi lebih

Page 143: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

143

lestari dan tidak menimbulkan polusi sehingga melindungi lingkungan hidup, (7) meningkatkan output,

dan (8) mengembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil.

Gambar. 3.1. Hubungan tanaman dan ternak dalam sistem integrasi rumah tangga usahatani (Khan et

al., 1990 dalam Prawirokusumo, 1994)

Rangnekar, et. al. (1995) menyatakan di India usahatani terpadu (mixed farming) dilakukan oleh

sebagian besar petani dan ternak mempunyai peranan komplementer dan juga suplementer di dalam

produksi pertanian. Ternak menjadi sarana penting untuk mengatasi resiko dan daur ulang biomasa. Jadi,

ternak dapat berintegrasi secara baik dengan berbagai sistem tanaman. Devendra (1993) dalam Bruchem

dan Zemmelink (1995) menyatakan bahwa di dalam skala kecil usahatani terpadu di Asia Tenggara,

ternak ruminansia lebih berperan penting dari pada yang lain karena mampu memanfaatkan serat kasar

dari residu tanaman. Pakan ternak dari bahan ini, walaupun berkualitas rendah, sering menjadi pakan

utama terutama pada musim kering. Ternak ruminansia mempunyai kegunaan ganda. Selain

memproduksi daging dan susu, ternak dapat menghasilkan kulit untuk pakaian dan input utama usahatani,

seperti kotoran ternak. Ternak juga menjadi sumber uang tunai yang strategis dalam masa kritis setiap

tahun. Ternak juga signifikan menyumbang pendapatan rumah tangga petani sehingga membantu

mengatasi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga.

Beberapa hasil penelitian di Indonesia mengenai integrasi tanaman dan ternak dapat dilaporkan

sebagai berikut. Diwyanto dan Haryanto (2001) melaporkan bahwa sistem ini dapat meningkatkan

pendapatan petani hingga 100% apabila dibandingkan dengan pola tanam padi tanpa ternak. Sekitar 40%

dari pendapatan tersebut berasal dari pupuk organik yang dihasilkan oleh ternak. Teguh Prasetyo, dkk.

(2001) melaporkan hasil penelitiannya di Kabupaten Grobogan, bahwa untuk pola tanam padi – padi –

jagung, produksi jerami padi pada musim tanam I adalah 6050 kg per ha, pada musim tanam II 5280 kg

per ha, dan jerami jagung sebesar 300 kg per ha. Produksi pupuk kandang sekitar 1.413,9 kg per ekor per

Ternak Pakan Ternak

Produk Kotoran Tenaga

Produksi

Tanaman

Residu (Straw)

Limbah (Bran)

Angkutan Bahan Bakar

Pengolahan Domestik

Pasar

Susu

Daging

Telur

Tunai Beli Input Produksi

Tanaman

Pengeluaran

Rumah Tangga

Lainnya Nutrisi dan

Perlindungan Rumah

Tangga

Page 144: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

144

tahun. Apabila pupuk kandang mengandung unsur N 1,65% maka produksi pupuk kandang tersebut dapat

menyumbang N sebanyak 23,32 kg. Merkens (1925), melaporkan hasil penelitiannya terhadap produksi

pupuk kandang dan rumput yang dikonsumsi ternak, yaitu dari 2 ekor sapi Bali selama 20 hari

menghasilkan 236 kg pupuk kandang dan menghabiskan rumput 600 kg, dari 2 ekor sapi Hisar

menghasilkan pupuk kandang 251 kg dan menghabiskan rumput 600 kg, dan 2 ekor kerbau menghasilkan

pupuk kandang 468,5 kg dan menghabiskan rumput 1300 kg. Dari hasil penelitian itu dapat diperkirakan

bahwa produksi pupuk kandang untuk sapi Bali adalah 2.153,5 kg per ekor per tahun atau 5,9 kg per ekor

per hari, untuk sapi Hisar adalah 2.290,4 kg per ekor per tahun atau 6,3 kg per ekor per hari, dan untuk

kerbau adalah 4.275 kg per ekor per tahun atau 11,7 kg per ekor per hari.

INTEGRASI TANAMAN DENGAN TERNAK MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN DI

INDONESIA

Tujuan akhir dari usahatani adalah kesejahteraan keluarga petani yang berkelanjutan.

Kesejahteraan ini terutama ditentukan oleh besarnya pendapatan usahatani. Disamping dari usahatani,

pendapatan juga dapat diperoleh dari usaha di luar usahatani. Sebagian dari pendapatan keluarga petani

ini digunakan untuk modal usahataninya. Usahatani yang dapat memberikan pendapatan secara

berkelanjutan adalah usahatani yang menggunakan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan.

Sesuai pendapat Parr (1990) dan Reijntjes et al. (1999), indikator penting dalam pertanian

berkelanjutan adalah indikator ekonomis dan ekologis. Indikator ekonomis meliputi produksi dan

pendapatan usahatani yang cukup, dapat melestarikan sumberdaya alam, dan meminimalkan resiko.

Indikator ekologis meliputi kualitas sumberdaya alam dan meningkatnya kemampuan agroekosistem

secara keseluruhan.

Sebagaimana telah dibahas pada bab-bab diatas, hakekat masalah pertanian di Indonesia adalah:

(1) penguasaan lahan per petani kecil, rata-rata kurang dari 0,50 ha, sehingga tidak efisien, (2) kualitas

lahan cenderung menurun akibat tingginya intensitas tanam dan tidak disertai upaya pelestarian lahan

yang memadai, (3) harga produk relatif rendah dan fluktuatif dibanding harga input luar, (4) petani lebih

banyak mengandalkan usahatani padi dan palawija sebagai sumber pendapatan utama. Masalah-masalah

ini menyebabkan pendapatan keluarga petani dari usahatani rendah dan cenderung menurun (tidak stabil)

sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara layak. Untuk menutupi kekurangan

tersebut, keluarga petani umumnya berusaha bekerja di luar usahatani seperti industri rumah tangga,

berdagang kecil-kecilan, buruh bangunan, tukang bangunan, dan sebagainya. Namun, dalam pekerjaan di

luar usahatani ini mereka juga mengalami kendala diantaranya adalah (1) kesempatan kerja yang terbatas,

(2) tingkat upah relatif rendah, (3) produktivitas di bidang industri rumah tangga rendah, (4) keterbatasan

modal untuk usaha dagang, dan (5) pengetahuan dan ketrampilan kerja di bidang luar usahatani terbatas.

Oleh karena itu, salah satu alternatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi rumah tangga

petani di Indonesia dalam rangka membangun pertanian berkelanjutan adalah menggalakkan sistem

pertanian terpadu, yaitu integrasi tanaman dengan ternak, baik di lahan kering maupun di lahan sawah.

Untuk lahan sawah, integrasi usaha tanaman padi dan ternak sapi potong sangat relevan diterapkan.

Sistem integrasi ini akan meningkatkan efisiensi usahatani karena bisa memanfaatkan input dalam

(internal input) yang berarti akan mengurangi penggunaan input luar (external input) yang harus dibeli.

Usaha ternak sapi dapat menghasilkan pupuk kandang yang dapat menjadi input pada usaha tanaman

padi. Sebaliknya, usaha tanaman padi akan menghasilkan jerami padi dan dedak yang dapat menjadi

pakan utama ternak sapi. Penggunaan pupuk kandang, sesuai pendapat Singh (2000) diatas, merupakan

salah satu komponen alat untuk mencapai pertanian berkelanjutan, karena dapat memperbaiki struktur

tanah. Hal yang lebih penting dari sistem integrasi ini adalah bahwa usaha ternak sapi potong dapat

menambah pendapatan rumah tangga petani, bahkan bisa menjadi sumber pendapatan baru, tanpa harus

bersaing dalam penggunaan lahan. Disamping itu ternak sapi dapat berfungsi sebagai tabungan, yang

dapat dengan mudah diuangkan pada waktu diperlukan, termasuk apabila terjadi kegagalan panen usaha

tanamannya. Dengan demikian, usaha ternak dapat berperan dalam ketahanan ekonomi rumah tangga

petani, seperti yang dinyatakan oleh Khan et al. (1990) dalam Prawirokusumo (1994).

Pada lahan kering, integrasi usaha tanaman dan ternak mempunyai peranan lebih penting dalam

membangun pertanian berkelanjutan dibanding pada lahan sawah. Hal ini, pertama, karena pendapatan

petani lahan kering lebih kecil dari pada petani lahan sawah, kira-kira 1 ha sawah setara dengan 1,5 ha

lahan kering dan kedua, kualitas lahan kering lebih rendah dari pada lahan sawah, terutama karena

Page 145: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

145

rendahnya kandungan unsur hara P. Menurut Wigena dkk. (1994) bahwa pengelolaan pupuk P yang

disertai dengan pemberian bahan organik berupa pupuk kandang, sisa panen ataupun pangkasan tanaman

pagar pada sistem alley cropping pada tanah Podsolik Merah Kuning di Jambi menunjukkan peningkatan

efisiensi pemupukan yang baik ( Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Pengaruh pengelolaan pupuk P pada beberapa dosis bahan organik terhadap hasil jagung pada tanah Podsolik Merah Kuning di Jambi.

Bahan Organik

(ton/ha)

Hasil jagung pipilan kering (ton/ha)

0 (kgP/ha) 20 (kgP/ha) 40 (kaP/ha) 60 (kgP/ha)

0 1.30 2.10 2.27 2.25

2.5 1.50 2.15 2.50 2.38

5.0 1.55 2.31 2.65 2.50

7.5 1.70 2.50 2.80 2.68

10.0 1.60 2.35 2.70 2.56

Sumber : Rochayati et al., 1988.

Hasil jagung tertinggi diperoleh pada pemberian 40 kg P dan 7.5 ton bahan organik per ha yaitu

sebanyak 2.8 ton jagung pipilan kering per ha dan terendah pada perlakuan kontrol (tanpa P dan bahan

organik yaitu sebanyak 1.3 ton jagung pipilan kering per ha).

Jadi, integrasi tanaman dan ternak dalam sistem usahatani dapat digolongkan ke dalam pertanian

berkelanjutan dengan input luar rendah (LEISA = Low External Input Sustainable Agriculture). LEISA

merupakan pilihan yang layak bagi banyak petani di Indonesia, lebih-lebih dalam kondisi sekarang di

mana harga-harga input luar seperti pupuk dan pestisida cenderung terus meningkat tanpa diimbangi

kenaikan harga produk. Menurut Rejntjes (1999) LEISA mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai

berikut:

Berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada dengan mengkombinasikan

berbagai macam komponen sistem usahatani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan manusia

sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar.

Berusaha mencari cara pemanfaatan input luar hanya bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur

yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumberdaya biologi, fisik, dan manusia. Dalam

memanfaatkan input luar, perhatian utama diberikan pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi

kerusakan lingkungan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari bahasan diatas, dapat disimpulkan hal-hal yang berkaitan dengan peranan integrasi tanaman

dengan ternak dalam sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia, sebagai berikut:

1) Mengingat begitu pentingnya sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi nasional, maka

pembangunan pertanian harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan.

2) Oleh karena pertanian di Indonesia didominasi oleh pertanian rakyat, maka pembangunan pertanian

harus ditujukan untuk peningkatkan kesejahteraan rumah tangga petani di pedesaan melalui

pengelolaan usahatani yang produktif dan menguntungkan serta dibarengi dengan upaya konservasi

sumberdaya lahan dan pelestarian lingkungan. Program yang sesuai dengan tujuan ini adalah LEISA.

3) Integrasi usaha tanaman dan ternak adalah alternatif yang sangat relevan untuk diterapkan sebagai

sistem usahatani berwawasan pertanian berkelanjutan. Integrasi tanaman dengan ternak selain dapat

meningkatkan pendapatan usahatani, sekaligus dapat memperbaiki struktur lahan melalui

penggunaan pupuk kandang. Untuk lahan sawah, usaha ternak sapi potong adalah pilihan terbaik

untuk diintegrasikan dengan usaha tanaman padi. Untuk lahan kering, usaha ternak sapi atau

kambing/domba dapat diintegrasikan dengan tanaman pangan atau perkebunan.

4) Mengingat keterbatasan sumberdaya petani, pemerintah perlu memberikan kebijakan-kebijakan yang

dapat memberdayakan petani. Kebijakan-kebijakan yang diperlukan antara lain, kebijakan kredit

murah, mudah, dan tepat waktu; kebijakan harga input dan output; teknologi; penyuluhan; dan

pemasaran.

Page 146: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

146

DAFTAR PUSTAKA

Bruchem, J.V. dan G. Zemmelink. 1995. Towards Sustainable Ruminant Livestock Production in Tropics

Opportunities and Limitations of Rice Straw Based Systems. Buletin Peternakan. Edisi Spesial, Fakultas

Peternakan, UGM, Yogyakarta; h: 39 – 51.

BPS. 1996. Sensus Pertanian 1993: Ringkasan Hasil. BPS-Jakarta.

Dillon, J.L. dan B.J. Hardaker. 1993. Farm Management Research For Small Farmer Development. F.A.O., Roma.

Dillon dkk. (1999) dalam Sawit (2000). Arah Kebijakan Distribusi/Perdagangan Beras Dalam mendukung Ketahanan

Pangan: Perdagangan Dalam Negeri. Pembangunan Pertanian Ke Depan: Bunga Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan. Editor: Rudi Wibowo, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta; h: 221- 242.

Diwyanto, K. 2001. Model Perencanaan Terpadu: Integrasi Tanaman-ternak (Crop-Livestock System). Makalah

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Auditorium Balai Penelitian Veteriner Bogor, 17-18

September 2001.

Karama, A. S. dan A. Sofyan. 1997. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian Untuk Meningkatkan Daya Saing

Pertanian. MEMBANGUN KEMANDIRIAN DAN DAYA SAING PERTANIAN NASIONAL DALAM

MENGHADAPI ERA INDUSTRIALISASI DAN PERDAGANGAN BEBAS. Prosiding Konferensi Nasional XII

PERHEPI, PERHEPI, Jakarta ; h 57-73.

Merkens, J. 1925. Bijdrage Tot De Kennis Van Den Karbaow En De Karbowenteelt In Nederlandsch Oost-Indie.

Pengembangan Peternakan Sapi dan Kerbau di Indonesia. SDE 97, LBN L5, LIPI, Desember 1983; h: 25-

188.

Napitupulu, T. E. M. 2000. Pembangunan Pertanian dan Pembangunan Agroindustri. Pembangunan Pertanian Ke Depan: Bunga Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan. Editor: Rudi Wibowo, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta; h: 51-67.

Pakpahan, A. 2000. Membangun Pertanian Indonesia Masa Depan. Pembangunan Pertanian Ke Depan: Bunga

Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan. Editor: Rudi Wibowo, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta; h: 69-81.

Parr, J.F., B.A. Stewart, S.B. Hornick, dan R.P. Singh. 1990. Improving the Sustainability of Dryland Farming

System: A Global Perspective. Dalam Singh, R.P., J.F. Parr, dan B.A. Stewart. Dryland Agriculture:

Strategies for Sustainability. Advances in Soil Science, Volume 13, Springer-Verlag New York Inc., hal. 1-8.

Rangnekar, D.V., M.S. Sharma dan O.P. Gahlot. 1995. Towards Sustainable Ruminant Livestock Production in

Tropics Opportunities and Limitations of Rice Straw Based Systems. Buletin Peternakan. Edisi Spesial,

Fakultas Peternakan,UGM, Yogyakarta; h: 33-37.

Reijntjes, C., B. Haverkort dan A. Waters-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan: Pengantar untuk Pertanian

Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Edisi Indonesia, Terjemahan Sukoco, Penerbit Kanisius,

Yogyakarta.

Sri Hartoyo. 2000. Arah Kebijakan Produksi Beras Untuk Mencapai Ketahanan Pangan Dilihat Dari Aspek Sosial Ekonomi/Kesejahteraan Petani. Pembangunan Pertanian Ke Depan: Bunga Rampai Pemikiran Menuju

Ketahanan Pangan. Editor: Rudi Wibowo, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta; h: 173-187.

Teguh Prasetyo, Joko Handoyo, Joko Pramono, dan Cahyati Setiani. 2001. Integrasi Tanaman-Ternak Pada Sistem

Usahatani Di Lahan Irigasi. Makalah Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Auditorium Balai Penelitian Veteriner Bogor, 17-18 September 2001.

Thorbecke, E. dan T.v.d. Pluijm. 1993. RURAL INDONSIA: Socio-Economic Development In A Changing

Environment. International Fund for Agricultural Development by New York University Press.

Wigena, I G P., Sugeng, W., dan Joko, P. 1994. Kendala dan Kemungkinan Pemecahannya Dalam Mempertahankan dan Meningkatkan Kesuburan Lahan Kering Marginal. Makalah dalam rangka Penanganan Lahan Kering

Marginal Melalui Pola Usahatani Terpadu, Kerjasama Tim REL Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian dengan Dinas-Dinas Pertanian Propinsi Jambi dengan Balai Informasi Pertanian Jambi.

Page 147: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

147

Lampiran 1. Luas Sawah dan Bukan Sawah di Indonesia tahun 2000

Wilayah Sawah

(ha)

Non Sawah

(ha)

Jumlah

(ha)

Jawa 2.583.528 6.248.136 8.831.664

Luar Jawa 2.285.249 54.441.692 56.726.941

Indonesia 4.486.777 60.689.828 65.176.605

Sumber: Katalog BPS : 5232, BPS-Jakarta (2000)

Lampiran 2. Jumlah RTP dan Rata-Rata Luas Pemilikan Lahan di Jawa dan Luar Jawa.

Item 1963 1973 1983 1993

Jawa

Jumlah RTP (juta)

Luas Lahan (ha/RTP)

7,9

0,67

8,6

0,64

10,1

0,63

11,564

0,47

Luar Jawa

Jumlah RTP (juta)

Luas Lahan (ha/RTP)

4,2

1,72

5,7

1,57

7,5

1,69

9,598

1,29

Indonesia

Jumlah RTP (juta) Luas Lahan (ha/RTP)

12,1 1,03

14,3 0,99

17,6 1,08

21,162 0,83

Sumber: Sensus Pertanian 1963, 1973, 1983, 1993.

Lampiran 3. Banyaknya Rumah Tangga PPL Menurut Luas Lahan Yang Dikuasai, 1993

Wilayah <0,50 ha >0,50ha Jumlah

Jawa 8.067 3.497 11.564

Luar Jawa 2.839 6.759 9.598

Indonesia 10.906 10.256 21.162

Sumber: SP’93 dalam BPS (1993)

Catatan: RTP = rumah tangga pertanian

PPL = petani pengguna lahan

DISKUSI

Pertanyaan: 1. Produksi kotoran dari sapi untk dapat menghasilkan pupuk kandang

2. Apakah CLS sama dengan tiga strata

3. Bagaimana mengembalikan integrasi di pula Lombok

Jawaban:

1. Seekor sapi dapat menghasilkan 1.5 ton/ha

2. CLS mirip dengan tiga strata yang penting dapat endukung pakan ternak dan kotoraqn ternak dapat

dimanfaatkan oleh tanaman

3. Integrasi tanaman ternak di Lombok sudah ada, tetapi perlu perbaikan manajemen

Page 148: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

148

OPTIMALISASI PENGGUNAAN DAUN TURI (Sesbania grandiflora)

SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING

OPTIMIZING THE USE OF Sesbania grandiflora AS GOAT FEED

Dahlanuddin1)

, L. A. Zaenuri1)

, Mashur2)

, Tanda Panjaitan2)

dan Muzani2)

1)Fakultas Peternakan Universitas Mataram 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB

ABSTRAK

Karena peternakan kambing di Indonesia umumnya adalah peternakan tradisional dengan skala kecil,

tujuan beternak kambing lebih sebagai tabungan dibandingkan untuk mendapatkan profit. Pada kondisi seperti ini,

teknologi pakan yang membutuhkan biaya dan / atau input dari luar sistim usahatani sulit diterapkan. Oleh sebab itu, upaya meningkatkan produktivitas ternak kambing melalui perbaikan manajemen pakan sebaiknya didasarkan pada

pengembangan manajemen pakan yang sudah ada di masyarakat. Salah satu sistim yang sudah diterapkan oleh

masyarakat, terutama di bagian selatan Pulau Lombok, adalah penggunaan daun turi sebagai pakan kambing. Turi,

yang umumnya ditanam di pematang sawah, digemari masyarakat setempat karena tanaman ini bersifat multi fungsi (daun sebagai pakan ternak dan sayuran, batang untuk bahan bangunan) dan tidak mengurangi, bahkan meningkatkan

kesuburan tanah. Hasil dari berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan daun turi

dapat meningkatkan produktivitas ternak kambing secara signifikan. Pengembangan dan pemanfaatan turi untuk

meningkatkan produksi ternak kambing yang sudah memasyarakat di Lombok Selatan perlu diperluas ke daerah lain. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaannya, daun turi sebaiknya diberikan pada saat kebutuhan zat-zat makanan

meningkat secara drastis, terutama pada akhir kebuntingan dan awal laktasi. Hal ini dimaksudkan agar angka

kematian anak dapat dicegah dan pertumbuhan anak lebih cepat.

Kata Kunci: Daun turi, Kambing, Bunting,Laktasi, Pertambahan berat badan

ABSTRACT

Because the small-scale traditional goat production system in Indonesia is not profit oriented, feed

technologies that rely on external inputs are difficult to be adopted by the farmers. Consequently, improving goat productivity should be focused on the development of existing and community based feeding management systems.

One of the existing systems which is has long been applied, especially in the southern part of Lombok, is the

intensive use of Sesbania grandiflora as goat feed. Sesbania, which is commonly planted on the rice field bunds, is

used by farmers because of its multi-functions and its ability to conserve and even improve soil fertility. More importantly, results of various studies have proved that sesbania can significantly improve goat productivity. The

development and the use of sesbania as goat feed in South Lombok should be extended to other regions to improve

goat production. To improve the efficiency of feed utilization, feeding sesbania should be prioritized to goats at the

stages of late gestation and early lactation to minimize kid mortality and to improve growth rate of the kids.

Key words: Sesbania grandiflora, Goats, Pregnancy, Lactation, Growth

PENDAHULUAN

Sebagian besar populasi kambing di dunia dimiliki oleh peternak tradisional dengan skala kecil

(small holder farming) (Sibanda et al., 1999), dan produktivitasnya relatif rendah, yang ditunjukkan oleh

tingginya angka kematian dan rendahnya pertambahan berat badan, berat sapih dan berat dewasa

(Johnson et al., (1986). Hasil survey yang dilaksanakan di Pulau Lombok (Dahlanuddin, 2001)

menunjukkan bahwa pemilikan ternak kambing sangat kecil, yaitu 4 – 5 ekor ternak per KK. Sebagian

besar peternak kambing yang disurvey tidak memiliki lahan, sedangkan sisanya sebagian besar memiliki

lahan antara 0.1 – 0.5 Ha.

Dengan terbatasnya sumberdaya (modal dan lahan) yang dimiliki peternak, maka tidak

mengherankan kalau skala usaha dan produktivitas ternak kambing menjadi rendah. Peternakan kambing

seperti ini tidak berorientasi pada profit namun lebih berorientasi pada tabungan untuk mendapatkan uang

tunai pada saat diperlukan. Pada kondisi seperti ini, peternak akan terlebih dahulu memikirkan resiko

yang akan ditimbulkan daripada keuntungan yang akan diperoleh dari penerapan teknologi yang

ditawarkan. Atas dasar pemikiran ini, upaya Peningkatan produktivitas ternak kambing melalui

perbaikan manajemen pakan sebaiknya didasarkan pada pengembangan manajemen pakan yang sudah

Page 149: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

149

ada di masyarakat. Salah satu sistim yang sudah diterapkan oleh masyarakat, terutama di bagian selatan

Pulau Lombok, adalah penggunaan daun turi sebagai pakan kambing. Turi, yang umumnya ditanam di

pematang sawah, digemari masyarakat setempat karena tanaman ini bersifat multi fungsi (daun sebagai

pakan ternak dan sayuran, batang untuk bahan bangunan) dan tidak mengurangi, bahkan meningkatkan

kesuburan tanah.

Dalam makalah ini disajikan hasil beberapa penelitian yang dilakukan di Pulau Lombok sejak

tahun 1998 tentang peranan daun turi dalam sistim peternakan kambing, evaluasi nilai nutrisi dan

pengaruh pemberian daun turi terhadap produktivitas ternak kambing. Hasil-hasil penelitian tersebut

didiskusikan untuk meningkatkan efisiensi manajemen pakan yang sudah ada untuk selanjutnya

dikembalikan kepada peternak dan dikembangkan dalam skala yang lebih luas. Hal ini dimaksudkan

untuk memberikan penekanan khusus pada potensi pakan lokal dalam rangka program peningkatan

produktivitas secara strategis dan berkelanjutan.

PENGGUNAAN DAUN TURI SEBAGAI PAKAN KAMBING

Di Indonesia, kualitas pakan ternak ruminansia sangat rendah, dimana ternak ruminansia

umumnya diberikan rumput lapangan dan limbah pertanian sebagai komponen utama ransumnya (Bakrie,

1996). Upaya memanfaatkan limbah pertanian dengan penerapan teknologi pakan untuk meningkatkan

kualitasnya telah banyak dilakukan, namun tingkat adopsi dari masyarakat sangat rendah. Sebagai contoh,

teknologi pengawetan dan peningkatan kualitas pakan yang berasal limbah pertanian melalui amoniasi

atau suplementasi dengan urea dan konsentrat yang kaya protein yang sudah diperkenalkan sejak tahun

1980an belum banyak diterapkan oleh petani pada sistim pemeliharaan tradisional.

Berdasarkan hasil survey komposisi botani pakan yang diberikan kepada ternak kambing di

Pulau Lombok pada musim kemarau dan musim hujan tahun 1998 (Tabel 1 dan 2), tidak ada satupun

peternak kambing yang menerapkan teknologi ini. Hal ini mungkin disebabkan antara lain karena

teknologi yang ditawarkan tidak didasarkan atas kondisi dan kebiasaan peternak serta membutuhkan input

dari luar sistim seperti urea dan konsentrat. Dengan pemilikan ternak kambing yang sangat kecil dan

dipelihara secara tradisional, petani lebih cenderung mengandalkan bahan pakan yang disukai oleh

ternaknya tanpa mau mengambil resiko untuk mencoba memanfaatkan jerami padi atau limbah yang lain

yang harus diolah terlebih dahulu. Pengolahan tersebut disamping membutuhkan biaya juga waktu yang

bisa menggangu kegiatan lain.

Pada tabel 1 dan 2 nampak bahwa pakan yang umum diberikan pada ternak kambing adalah

campuran daun-daunan seperti turi dan semak dengan rumput lapangan. Banyak peternak memberikan

daun-daunan dengan kandungan protein tinggi seperti turi dan leguminosa pohon lainnya sebagai pakan

tunggal. Meskipun demikian, sebagian peternak memberikan rumput sebagai satu-satunya komponen

ransum (pakan tunggal), sehingga pada saat-saat tertentu, ternak mendapatkan pakan yang kandungan

proteinnya melebihi kebutuhan namun disaat lain ternak kekurangan protein.

Tabel 1. Pakan yang umum diberikan pada ternak kambing pada musim kemarau 1998 di Pulau Lombok 1998;

angka menunjukkan jumlah observasi (Dahlanuddin, 2001).

Jenis pakan Sebagai pakan tunggal Sebagai komponen

ransum Total

1 2 3 4

Daun turi 310 208 518

Rumput lapangan 101 169 270

Daun lamtoro 43 60 103

Daun ubi jalar 31 69 100

Daun banten 4 53 57

Daun gamal 15 32 47

Semak 3 38 41

Daun nangka 3 27 30

Jerami kacang tanah 9 18 27

Daun waru 3 22 25

Daun pisang 5 15 20

Kangkung 2 18 20

Daun komak 2 14 16

Jerami kacang hijau 9 6 15

Page 150: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

150

1 2 3 4

Daun maja 0 14 14

Daun Gasingan 2 10 12

Daun kacang panjang 1 10 11

Centrosema spp 0 11 11

Jerami kacang kedelai 0 10 10

Kulit singkong 1 8 9

Daun Randu 0 8 8

Dedak padi 0 8 8

King grass 3 4 7

Kulit pisang 0 7 7

Jerami jagung 0 5 5

Daun are 2 3 5

Daun Bikan 0 5 5

Total 549 852 1401

Tabel 2. Pakan yang umum diberikan pada ternak kambing pada musim hujan 1998 di Pulau Lombok 1998; angka

menunjukkan jumlah observasi (Dahlanuddin, 2001).

Jenis pakan Sebagai pakan tunggal Sebagai komponen ransum Total

Rumput lapangan 69 208 277

Daun turi 43 230 273

Daun banten 1 86 87

Semak 0 72 72

Daun nangka 0 65 65

Daun lamtoro 1 62 63

Daun waru 0 45 45

Daun pisang 0 30 30

Daun gamal 0 23 23

Daun randu 0 20 20

Daun dadap 0 18 18

Daun singkong 0 17 17

Kangkung 0 14 14

Daun Maja 0 6 12

Jerami jagung 0 11 11

Daun ubi jalar 0 11 11

Daun Ketapang 0 10 10

Jerami kacang tanah 2 8 10

Daun komak 1 4 8

Daun mangga 0 7 7

Jerami kacang kedelai 0 7 7

Daun Kesambi 0 6 6

King grass 0 5 5

Daun kacang panjang 0 5 5

Jerami kacang hijau 0 5 5

Daun jarak 0 4 4

Daun Are 0 4 4

Daun Ancak 0 3 3

Daun Beringin 0 3 3

Daun Oles 0 3 3

Jerami padi 0 3 3

Kulit jagung 0 2 2

Daun Gatep 0 2 2

Daun Seropan 0 2 2

Kulit singkong 0 2 2

Daun Kelor 0 1 1

Daun asam 0 1 1

Daun Beluntas 0 1 1

Daun Jambu 0 1 1

Dedak padi 0 1 1

Total 117 1017 1134

Page 151: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

151

NILAI NUTRISI DAUN TURI

Hasil evaluasi secara in vivo dari 10 jenis pakan yang paling sering diberikan pada ternak

kambing menunjukkan bahwa turi memberikan suplai nutrien (protein mikroba dan energi metabolis

(ME) yang paling tinggi, diikuti oleh gamal dan lamtoro (Tabel 3).

Tabel 3. Konsumsi bahan kering (BK), kecernaan bahan kering, suplai protein mikroba dan konsumsi energi (ME) 10 jenis pakan yang diberikan sebagai pakan tunggal pada ternak kambing (Dahlanuddin et al, 2001).

Jenis Hijauan Konsumsi BK

(g/ekor/hari)

Kecernaan BK

(%)

Suplai Prot Mikroba

(mg/W 0.75)

Konsumsi ME

(MJ/ekor/hari)

Daun Turi 1070 86.0 78 5.4 979.3 222.8c 11.4 0.60

Daun Gamal 859 81.0 73 1.9 835.5 298.6bc 8.5 0.77

Daun Lamtoro 826 15.7 68 2.6 824.3 89.7bc 7.5 0.39

Daun Dadap 496 30.3 47 6.5 640.1 135.5abc 2.8 0.58

Daun Waru 485 114.2 48 18.2 637.1 24.7bc 3.1 1.69

Daun Singkong 375 74.3 49 16.7 549.8 141.7ab 2.4 1.26

Rumput lapangan 692 56.0 72 4.2 533.0 122.0ab 6.7 0.71

Daun nangka 842 62.3 62 6.6 530.9 68.8ab 6.9 1.35

Daun pisang 376 24.4 58 5.3 380.5 97.3ab 2.8 0.19

Daun Banten 552 26.2 64 3.5 274.6 85.3a 4.6 0.42

Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

PENGARUH PEMBERIAN DAUN TURI TERHADAP PRODUKTIVITAS

Hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai hijauan yang

umum diberikan pada kambing di P. Lombok dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2 dibawah ini. Kambing

yang diberikan rumput lapangan sebagai satu-satunya komponen ransum yang diberikan secara ad libitum

hanya dapat mempertahankan atau bahkan kehilangan berat badan, sedangkan yang diberikan campuran

rumput dan daun-daunan dapat meningkatkan berat badan sekitar 25 - 38 g/hari. Kambing yang diberikan

daun turi sebagai pakan tunggal mampu meningkatkan berat badannya rata-rata 86 g/hari (Gambar 1).

Hasil penelitian berikutnya (Gambar 2), menunjukkan bahwa pertambahan berat badan kambing yang

diberikan 50% turi dan 50% lamtoro mencapai 106 g/hari. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

daun turi dan lamtoro dapat meningkatkan berat badan kambing lebih tinggi dari rata-rata pertambahan

berat badan kambing yang umum diamati di Indonesia seperti yang dilaporkan oleh Johnson dan

Djajanegara (1989).

Gambar 1. Pertambahan berat badan kambing jantan yang diberikan berbagai jenis hijauan: A = 100%

Rumput, B = 100% turi, C = 50% rumput + 50% turi, D = 33.3% rumput + 33.3% lamtoro

+ 33.3% banten, E = 3 3.3% turi, 3.3% lamtoro + 33.3% banten, F = 25% rumput +

25%turi + 25% lamtoro + 25% banten (Dahlanuddin, 2000a)

-1

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Weeks

Wei

ght C

hang

e (K

g)

A

B

C

D

E

F

Page 152: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

152

Gambar 2. Pertambahan berat badan kambing jantan yang diberikan berbagai jenis hijauan: A = 100%

lamtoro, B = 100% gamal, C = 50% lamtoro + 50% gamal, D = 50% lamtoro + 50% turi, E

= 33.3% lamtoro, 33.3% gamal + 33.3% waru, F = 3 3.3% gamal, 3.3% waru + 33.3%

dadap (Dahlanuddin, 2000b)

Hasil penelitian yang sedang dilaksanakan (Dahlanuddin, 2002) menunjukkan bahwa pemberian

kombinasi daun turi, gamal dan lamtoro (masing-masing 1/3 bagian) pada akhir kebuntingan dan awal

laktasi (sekitar 6 minggu sebelum melahirkan dan 6 minggu sesudah melahirkan) dapat mempercepat

pertumbuhan anak. Sebaliknya, pemberian rumput lapangan selama kebuntingan dan laktasi menyebab

kan lambatnya pertumbuhan anak dan tingginya resiko kematian anak yang baru lahir. Hal ini disebab

kan oleh tidak tercukupinya kebutuhan nutrien untuk pertumbuhan fetus terutama pada 1/3 terakhir

kebuntingan dan rendahnya produksi susu pada masa laktasi (lihat Gambar 3).

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Age (weeks)

Weig

ht

(g)

A B C

Gambar 3. Pengaruh suplementasi dengan leguminosa pohon (A = tanpa suplemen / 100% rumput, B =

50% rumput + 50% (turi + lamtoro + gamal) dan C = 100% (turi + lamtoro + gamal) pada

induk kambing pada akhir kebuntingan dan awal laktasi terhadap laju pertumbuhan anak

(Dahlanuddin, 2002).

-1

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Weeks

Wei

ght C

hang

e (g

/d) A

B

C

D

E

F

Page 153: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

153

PRODUKTIVITAS TANAMAN TURI

Salah satu kendala penggunaan daun turi sebagai pakan ternak adalah rendahnya produksi

biomass dan tidak tahan terhadap pemangkasan. Akan tetapi, turi relatif tahan terhadap kekeringan

sehingga sangat bermanfaat sebagai sumber pakan kambing pada musim kemarau.

Pada musim kemarau, dimana rumput sangat sulit didapatkan, turi masih tumbuh subur dan

berproduksi dengan baik. Hasil sampling yang dilakukan secara partisipatif oleh peternak responden

dalam periode ahir Oktober sampai awal Nopember 2002, diperoleh rata-rata produksi daun turi sebesar

1.7 kg per pohon. Karena umur turi yang bervariasi maka produksi per pohon berkisar antara 0.2 kg

sampai 5.5 kg. Pemetikan daun turi tidak dilakukan secara total, namun dipetik sebagian besar daunnya

dan menyisakan daun pada pucuknya agar pohon turi tidak mati.

Tebel 4. Produktivitas turi yang ditanam di pematang sawah pada musim kemarau (Dahlanuddin dkk, 2002).

No.

Sampel

Jlh turi yang dipetik

(pohon)

Total daun turi yang dihasilkan

(kg) Rata-rata produksi (kg/pohon)

1 8 15 1.88

2 36 21 0.58

3 50 22 0.44

4 21 11 0.52

5 4 10 2.50

6 4 12 3.00

7 5 19 3.80

8 21 15 0.71

9 41 8 0.20

10 15 10 0.67

11 12 8 0.67

12 11 19 1.73

13 12 17 1.42

14 40 15 0.38

15 18 28 1.56

16 15 32 2.13

17 2 11 5.50

18 20 50 2.50

19 15 25 1.67

20 4 7.5 1.88

Rata-rata 1.69

Std deviasi 1.33

PENGATURAN PEMBERIAN PAKAN SESUAI DENGAN STATUS FISIOLOGI TERNAK

Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan daun turi dan produktivitas ternak maka perlu diatur

proporsi daun turi dalam ransum sesuai dengan status fisiologis ternak.

Tabel 5. Rekomendasi pemberian daun turi pada ternak kambing dengan kondisi fisiologis berbeda dan perkiraan

jumlah maksimum (segar) yang dibutuhkan seekor kambing per hari.

Katagori ternak Perkiraan BB Kons BK % Turi Jlh Turi / ekor

kg pohon

Kambing dewasa (umur 1 thn keatas, induk tdk

bunting/laktasi) 20 0.6 0 - 25 0.6 0.35

Pejantan dan induk masa kawin (sekitar 2 minggu

sebelum kawin) 20 0.6 50 - 100 2.4 1.41

Induk awal kebuntingan (sampai 3.5 bulan setelah kawin) 22 0.66 10 -30 0.79 0.46

Induk bunting tua dan laktasi (1.5 bln sebelum dan

setelah melahirkan) 26 0.78 50 - 100 3.12 1.83

Anak lepas sapih (3 bulan keatas) 10 0.3 50 - 100 1.2 0.712

Penggemukan, pejantan tidak kawin 20 0.6 25 - 50 1.2 0.71

Asumsi : Prod. Turi = 1.7 kg per pohon, Keb. BK sekitar 3% dari berat badan

Page 154: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

154

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dan kebiasaan sebagian peternak responden

yang memberikan turi sampai dengan 100% dari total ransum maka dapat diusulkan suatu rekomendasi

penggunaan daun turi pada ternak kambing seperti tertera pada tabel 5.

STRATEGI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI DAUN TURI – TURINISASI ?

Van Soest (1994) menyatakan bahwa secara ekonomis, pemberian pakan hijauan yang

berkualitas tinggi lebih efisien dibandingkan dengan pemberian pakan berkualitas rendah yang

disuplementasikan dengan konsentrat dalam jumlah yang cukup besar. Oleh sebab itu, penanaman pohon

turi dan leguminosa pohon yang lain harus ditingkatkan sehingga produktivitas ternak kambing dapat

ditingkatkan.

Kendala utama untuk menanam turi adalah terbatasnya ketersediaan lahan. Hasil survey yang

dilakukan di Pulau Lombok pada tahun 1998 (Dahlanuddin, 2001) menunjukkan bahwa sebagian besar

(64%) peternak kambing yang diwawancara tidak memiliki lahan. Dari 36% responden yang memiliki

lahan, 47% diantaranya memiliki lahan 0.1 - 0.25 Ha, 35% memiliki 0.25 - 0.50 Ha, 12.8% memiliki

0.50-1.00 dan hanya 5.1 % yang memiliki lahan lebih dari 1 Ha.

Meskipun demikian, hasil penelitian pada kelompok peternak Bareng Maju Desa Darek, Praya

Barat Daya, Lombok Tengah (Dahlanuddin dkk, 2002) menunjukkan bahwa meskipun tidak semua

peternak memiliki atau menyewa lahan untuk menanam turi, semua responden dapat memberikan daun

turi kepada ternak mereka dalam jumlah yang cukup. Karena peternak sangat menyadari manfaat daun

turi bagi produktivitas ternak kambing, daun turi diperoleh dengan beberapa cara sebagai berikut :

1. Turi ditanam di lahan sendiri atau lahan yang disakap/gadai sehingga daun turi dapat diambil sesuai

dengan kebutuhan

2. Turi ditanam di lahan orang lain dengan perjanjian: daun turi diambil oleh peternak sedangkan

batang turi setelah tua diambil oleh pemilik lahan.

3. Turi ditanam di lahan orang lain dengan perjanjian: daun turi dan batang turi (setelah tua) dibagi dua

antara pemilik lahan dan peternak.

4. Pemilik lahan menanam turi dan daunnya dijual kepada peternak yang membutuhkannya. Daun turi

ini dijual dengan harga relatif murah karena pemilik lahan dapat memanfaatkan batang turi yang

cukup diminati oleh masyarakat sebagai bahan bangunan.

Apabila hal ini dapat dikembangkan didaerah lain, maka produksi daun turi akan sangat

berlimpah dan produktivitas serta populasi kambing dan ternak ruminansia pada umumnya dapat

ditingkatkan. Agar hal ini dapat dilakukan, maka peranan pemerintah seperti gerakan turinisasi yang

sudah berhasil di daerah Lombok Selatan perlu dilakukan di daerah lain dengan skala yang lebih luas.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, upaya untuk meningkatkan produksi ternak kambing dengan cara

meningkatkan ketersediaan pakan yang berkualitas baik dan disukai kambing seperti daun turi, lebih

efisien dibandingkan dengan meningkatkan ―kualitas‖ pakan yang berasal dari limbah pertanian. Bagi

peternak yang tidak memiliki lahan, turi dapat ditanam di lahan orang lain dengan sistim sewa atau bagi

hasil, yang telah dilakukan oleh sebagian peternak kambing di Lombok Selatan. Mengingat produksi

biomass daun turi yang relatif rendah, penggunaan daun turi sebagai pakan kambing harus disesuaikan

dengan status fisiologis ternak sehingga jumlah ternak yang dipelihara dan produktivitasnya dapat

ditingkatkan.

Page 155: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

155

DAFTAR PUSTAKA

Bakrie, B. 1996. Feeding management of ruminant livestock in Indonesia. In. Ruminant Nutrition and Production in

the Tropics and Subtropics. (B. Bakrie, J. Hogan, J. B. Liang, A. M. M. Tareque and R. C. Upadhyay).

Monograph No. 36. ACIAR Canberra.

Dahlanuddin 2000a. The significance of Sesbania grandiflora in goat production system on Lombok Islans,

Indonesia. Proceedings of the AAAP / ASAP Animal Science Congress. Sydney 2-7 July 2000.

Dahlanuddin 2000b. Performance of goats fed commonly available fodder trees during dry season on Lombok Island,

Indonesia. Proceedings of the AAAP / ASAP Animal Science Congress. Sydney 2-7 July 2000.

Dahlanuddin 2001. Forages commonly available to goats under farm conditions on Lombok Island, Indonesia.

Livestock Research for Rural Development

(13)1. (http://www.cipav.org.co/lrrd/lrrd13/1/dahl131.htm)

Dahlanuddin 2002. Development of goat feeding systems based on locally available resources on Lombok, Indonesia. 2. Meeting nutrient requirements during pregnancy, lactation and growth. Draft Laporan Penelitian.

International Foundation for Science (IFS).

Dahlanuddin, Mashur, Zaenuri, L. A, Panjaitan, T. S., dan Muzani, A 2002. Pengembangan model peternakan

kambing berbasis tanaman turi (Sesbania grandiflora). Laporan Penelitian BPTP NTB.

Dahlanuddin, Suhubdy, O. Yanuarianto dan Hasyim 2001. Evaluation of locally available goat feeds based on

potential intake of nutrients, products of rumen fermentation, microbial protein supply and degradability of

protein. Laporan penelitian. DCRG/URGE Project, DIKTI.

Johnson, W. L. and Djajanegara, A. 1989. A pragmatic approach to improving small ruminant diets in the Indonesian humid tropics. J. Anim. Sci. 67:30683079.

Sibanda, L.M., L. R. Ndlovu and M. J. Bryant. 1999. Effects of a low plane of nutrition during pregnancy and

lactation on the performance of Matebele does and their kids. Small Ruminant Research 32:243-250.

Van Soest, P. J. 1994. Nutritional Ecology of Ruminants. 2nd ed. Comstock Publishing Associate. Ithaca.

DISKUSI

Pertanyaan:

1. Berapa jumlah kambing yang perlu dipelihara, jumlah turi yang diberikan dan berapa lama kambing

itu dipelihara agar menguntungkan?

2. Kapan waktu penanaman yang tepat, berapa produksi dari hijauan turi untuk mencukupi kebutuhan

3. Bagaimana kemungkinan pengembangan kambing di kawasan hutan

4. Apakah ada teknologi manipulasi untuk memodifikasi isi rumen sebagai pakan ternak

5. Pada ternak unggas sudah ada ayam broiler yang pada umur 8 minggu sudah dapat dipanen, apakah

ada upaya demikian pada ternak ruminansia?

Jawaban:

1. Jumlah kambing yang dipelihara tergantung dari kondisi setempat. Dari hasil suatu penelitian

pemeliharaan 8-12 ekor dengan diberikan pakan turi 25% dari berat badan masih dapat memberikan

keuntungan. Lama pemeliharaan tergantung dari tujuan peternak, misalnya penggemukan ± 4 bulan.

2. Penanaman turi sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan. Produksi perpohon berkisar antara 5-7

Kg, dapat memenuhi kebutuhan satu ekor kambing.

3. Pengembangan kambing di hutan dapat saja dilakukan mengingat kambing adalah pemakan

tanman/daun-daunan yang banyak terdapat dihutan dan mutunya lebih baik.

4. Sudah ada antara lain probiotik, namun demikian perlu diuji secara seksama untuki memastikan

apakah hal tersebut memang bermanfaat.

5. Sudah dilaakauakan dengan persilangan sapi Lombok dengan pejantan Brangus yang lebih dikenal

dengan brangusisasi yang diharapkan dapat enghasilkn sapi-sapi besar. Akan tetapi perlu

diperhatikan bahwa ternak dengan pertumbuhan cepat butuh pakan yang lebih banyak dan

lingkungan yang lebih kondusif.

Page 156: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

156

INSEMINASI BUATAN PADA RUSA INDONESIA

(ARTIFICIAL INSEMINATION OF INDONESIAN DEER)

Adji Santoso Dradjat

Laboratorium Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas Mataram. E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah pelaksanaan teknologi inseminasi buatan menggunakan semen beku pada rusa Sambar (Cervus unicolor), rusa Timor (Cervus timorensis) dan rusa Bawean (Axis kuhlii). Dengan terbatasnya materi

rusa betina yang digunakan adalah Sambar, Rusa Timor, Rusa Bawean masing masing 12, 5 dan 3 ekor. Penanganan

untuk inseminasi dilakukan dengan menggunakan kandang jepit khusus atau dengan anastesi umum. Anastesi

dilakukan dengan menggunakan kombinasi obat anastesi xylazyne dan ketamine dengan dosis masing-masing 1 mg/kg berat badan. Dengan menggunakan spekulum, pipet inseminasi dimasukkan ke serviks sedalam mungkin dan

spermatozoa dideposisikan dengan jumlah 60x106 spermatozoa. Inseminasi yang dilakukan pada Rusa Sambar, Rusa

Timor, Rusa Bawean masing masing menghasilkan kebuntingan berturut-turut sejumlah 4 ekor (25%), 2 ekor (40%)

dan 1 ekor (33%). Keberhasilan inseminasi buatan menggunakan semen beku memungkinkan transport spermatozoa dilaksanakan antar propinsi atau antar negara, untuk trasfer materi genetik untuk menghindarkan inbreeding pada rusa

yang dipelihara dengan populasi kecil. Transfer materi genetik ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan

produksi daging dan produksi ranggah pada peternakan rusa Indonesia mendatang.

Kata kunci: Rusa Indonseia, Semen beku, Inseminasi buatan

ABSTRACT

The aim of the present study was to evaluate technology of artificial insemination using frozen thawed

semen in three species of Indonesian deer; Sambar (Cervus unicolor), rusa Timor (Cervus timorensis) and Bawean (Axis kuhlii). Because of limitation of the deer only 12 hinds of Sambar, 5 hinds of rusa Timor and 3 hinds Bawean

were used in the present study. Physical restraint using deer crush and chemical restrain using combination of

xylazyne and ketamine each of 1 mg/kg body weight were used for handling and restraining deer. By using

speculum, insemination pipette was inserted as deep as possible through cervix and frozen-thawed spermatozoa of 60x106 live spermatozoa was deposited. Insemination performed in Sambar, Rusa Timor and Bawean deer produced

4 (25%), 2 (40%) and 1 (33%) pregnancies. Success of artificial insemination using frozen-thawed spermatozoa

would be able to facilitate transportation of genetic materials between provinces and countries beyond national

boundaries in order to prevent in breeding and to facilitate meta population‘s management. Transfer genetics materials may also be used to increases meat production and velvet production of the future Indonesian deer farming.

Key Words: Indonesian deer, frozen semen, artificial insemination.

PENDAHULUAN

Inseminasi buatan telah dilaksanakan pada hewan ternak diseluruh dunia baik pada negara yang

sedang berkembang maupun pada negara maju, untuk meningkatkan kualitas ternak. (Holt, 1989; 1992,

Dradjat 1999; 2001). Inseminasi buatan telah dilaksanakan pada berbagai spesies rusa yaitu pada rusa

fallow (Mulley, 1988; Asher et al, 1990; Mylrea, 1991; 1992; Jabour et al, 1992; 1993), rusa merah

(Fennessy dan Mackintosh, 1988; Fennessy et al., 1990; Asher et al., 1991; Haigh dan Bowen, 1991),

rusa chital (Mylrea, 1992; Dradjat 1996), rusa Eld‘s (Monfort et al., 1993) namun informasi tentang

inseminasi buatan pada rusa Indonesia belum tersedia.

Pada negara dimana peternakan rusa telah berkembang, Inseminasi buatan telah dilaksanakan

pada beberapa spesies rusa untuk meningkatkan kenaikan berat badan dan meningkatkan berat ranggah

muda. Sedangkan negara seperti Indonesia peternakan rusa boleh dikatakan belum dimulai, bahkan rusa

masih diangap hewan liar yang pemanfaatannya sangat dibatasi oleh peraturan perundang-undangan.

Kecenderungan kepunahan hewan liar di dunia, termasuk di Indonesia berlangsung secara cepat sejak

tahun 1960 (Mace et al., 1992). Laporan IUCN tahun 1994, menyatakan bahwa Indonesia adalah negara

yang menempati urutan teratas di dunia dalam jumlah hewan yang terancam kepunahan

(Groombrige,1993).

Page 157: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

157

Akhir-akhir ini perubahan dan perusakan lingkungan berlangsung dengan cepat akibat dari

peningkatan populasi penduduk dunia yang berlangsung sangat cepat. Peningkatan jumlah penduduk

tersebut tidak akan berhenti sampai abad 21 (Klein, 1992; English, 1994). Perusakan lingkungan ini

menyebabkan perubahan habitat, sehingga tidak sesuai dengan habitat hewan tersebut. Keadaan ini

menyebabkan penurunan populasi hewan, termasuk rusa Indonesia. Bila hewan dalam jumlah yang kecil

perkawinan keluarga (inbreeding) tidak akan terhindarkan. Peristiwa ini dapat menyebabkan kesuburan

menurun, kematian anak meningkat, hewan peka terhadap penyakit. Kejadian inbreeding ini telah diteliti

pada hewan berkuku satu (Ralls et al., 1979). Bila hal ini terjadi jumlah hewan liar akan turun dari tahun

ke tahun yang akan berakhir dengan kepunahan. Sebagai contoh dari 40 spesies rusa yang ada di Dunia,

pada tahun 1077 sebanyak 17 spesies terancam punah (Whitehead, 1977) dan meningkat menjadi 21

spesies pada tahun 1994 (Groombrige,1993). Indonesia mempunyai 4 spesies rusa (yaitu rusa Sambar,

rusa Timor, rusa Bawean dan Muncak), rusa Bawean termasuk hewan yang terancam punah.

Teknologi perkembang biakan telah berkembang dengan cepat pada hewan ternak, bila teknologi

ini dapat dimanfaatkan pada hewan liar maka kejadian inbreeding dapat dicegah dengan memperkenalkan

materi genetik dari hewan diluar kawasan. Cara penukaran materi genetik dapat dilakukan dengan cara

inseminasi buatan. Dengan inseminasi menggunakan semen beku ini, materi genetik dapat ditransfer

antar daerah konservasi, antar negara. Dalam tulisan ini di laporkan Inseminasi buatan menggunakan

semen beku telah dilaksanakan pada rusa Sambar (Cervus unicolor), rusa Timor (Cervus timorensis) dan

rusa Bawean (Axis kuhlii).

MATERI DAN METODE

Rusa Sambar, rusa Timor dan rusa Bawean digunakan dalam penelitian ini. Penanganan rusa

dilakukan dengan menggunakan kandang jepit khusus atau dengan anastesi umum. Anastesi dilakukan

dengan menggunakan kombinasi obat anastesi xylazyne dan ketamine dengan dosis masing-masing 1

mg/kg berat badan.

Pengambilan spermatozoa dilakukan pada tiga spesies rusa ini menggunakan elektro-ejakulator.

Rusa jantan yang telah teranastesi ditempatkan pada posisi terbaring pada sisi kiri atau kanan. Penis rusa

dikeluarkan dari preputium dengan cara mendorong kaki belakang kearah depan. Setelah penis keluar

dari prepotium, kain perban dengan lebar 2 cm dan panjang 15 sampai 20 cm diikatkan pada penis tidak

terlalu keras, sebanyak dua atau tiga kali lilit untuk mencegah penis masuk kembali kedalam prepotium.

Tabung gelas penampung yang mempunyai skala ukuran volume steril dipegang dengan tangan agar

temperatur gelas penampung meningkat mendekati temperatur tubuh. Berikutnya ujung penis

ditempatkan di tengah tabung gelas penampung. Ujung elektro ejakulator (probe) yang telah diberi

pelicin (vaselin) dimasukkan kedalam rektum sedalam 10 sampai 15 cm dengan elektroda elektro

ejakulator ditempatkan menghadap ke bagian ventral pelvis. Stimulasi listrik dilakukan dengan memutar

voltase selama 5 detik dan dihentikan selama 5 detik yang dilakukan secara berulang-ulang hingga

spermatozoa di hasilkan. Stimulasi listrik dihentikan segera setelah spermatozoa didapatkan atau

dihentikan setelah stimulasi dilakukan selama 2 menit walaupun spermatozoa belum di dapatkan. Rusa

yang telah diambil spermatozoanya ditempatkan pada tempat yang teduh dengan posisi duduk untuk

mencegah regurgitasi.

Ejakulat yang telah didapatkan di evaluasi kualitasnya dengan memeriksa volume, warna,

konsentrasi, gerak gelombang, hidup, mati, normal, abnormalitas spermatozoa. Volume, ejakulat atau

semen diukur dengan melihat ukuran gelas penampung dengan ukuran garis terkecil 0,1 ml. Warna

semen dilihat dengan mata telanjang apakah semen mempunyai warna tertentu, disamping itu juga

dievaluasi apakah semen tersebut seperti krim pekat, seperti krim, seperti air susu, seperti berawan/kabut

atau encer seperti air. Gerak gelombang spermatozoa diamati dengan menempatkan satu tetes semen pada

gelas benda yang telah dihangatkan (36 C) dan ditempatkan dibawah mikroskop dengan perbesaran 40

kali. Motilitas atau gerak gelombang diberi skor antara 0 yaitu tanpa gerakan dan skor 5 dengan gerakan

gelombang yang keras (Haigh et al., 1993).

Penghitungan jumlah spermatozoa per ml semen dilakukan dengan menggunakan

haemositometer. Semen dihisap menggunakan penghisap hemositometer sampai angka 0,05 (bergaris-

garis) berikutnya dihisap cairan hipertonis sampai angka 101. Cairan hipertonis tersebut terbuat dari

aquadest 50 ml, 1 ml 2% eosin dan 1 ml 3% cairan NaCl. Setelah itu kedua ujung tabung thoma ditutup

dengan ibu jari dan telunjuk untuk menggoyang-goyangkan tabung, guna mencampurkan antara semen

Page 158: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

158

dengan cairan hipertonik. Setelah tercampur rata, 4 sampai 5 tetes di teteskan pada kertas tisue dan ujung

pipet thoma disentuhkan pada tepi bilik hitung (counting chamber) dan ditutup dengan gelas penutup.

Setelah didiamkan beberapa detik agar cairan yang berisi spermatozoa tidak bergerak atau mengalir, bilik

hitung ditempatkan di bawah mikroskop. Jumlah total spermatozoa yang mengisi 5 kotak dihitung dan

konsentrasi spermatozoa dihitung dengan merata-ratakan hasil hitungan 5 kotak dan mengalikan dengan

107.

Morfologi atau abnormalitas spermatozoa diperkirakan dengan cara menghitung persentase

spermatozoa muda (cytoplasmic droplet), abnormalitas selama spermatogenesis (abnormalitas kepala)

dan setelah spermatogenesis. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menempatkan 10 l cat nigrosin eosin

(Tamuli dan Watson, 1994) dengan temperatur 36 C pada kaca benda yang hangat (36 C) dan diberi 2 l

semen dicampur dan diulaskan pada kaca benda dan di biarkan sampai kering. Preparat ulas yang telah

kering diletakkan di bawah mikroskop dengan perbesaran 125 kali dengan minyak emersi, dihitung

jumlah abnormalitas spermatozoa.

Persentase spermatozoa yang hidup dan yang mati dilaksanakan menggunakan preparat ulas

pengecatan nigrosin eosin, spermatozoa yang acrosomanya berwarna gelap dikategorikan spermatozoa

mati, sedangkan yang berwarna terang adalah spermatozoa yang masih hidup pada saat pengecatan.

Spermatozoa yang mati akan menyerap warna cat nigrosin eosin sedangkan spermatozoa yang masih

hidup pada saat pengecatan tidak menyerap warna. Evaluasi ini digunakan untuk mengetahui kualitas

spermatozoa yang selanjutnya dapat dilakukan estimasi pengenceran spermatozoa guna penyimpanan

lebih lanjut.

Penyimpanan spermatozoa ke tiga spesies rusa ini dalam bentuk beku dilakukan setelah

pengambilan dan evaluasi kualitas spermatozoa yang telah diuraikan sebelumnya. Pengenceran

spermatozoa dilakukan dengan menghitung spermatozoa untuk memperkirakan bahwa jumlah

spermatozoa per straw (0,25 ml) mengandung 100 x 106. Extender yang digunakan yaitu extender

kambing (Evans dan Maxwell, 1987) yang terdiri dari Tris (OCH3) aminomethane 3,786 gr, Kuning telur

2,5 ml, Citric Acid Monohidrate 2,172 gr. Glucose 0,625 gr, Glycerol 5 ml, Sodium Penicilin G 100,000

IU, Streptomycin 100 mg, Air destilasi sampai 100 ml. Kuning telur dipisahkan dengan putih telur

(albumin) dengan memutarkan kuning telur pada kertas saring dan hanya kuning telur yang segar

digunakan untuk bahan pengencer.

Segera setelah pengenceran semen didinginkan dari 36 C sampai 4 C selama 1,5 sampai 2 jam.

Dilakukan dengan memasukkan tabung reaksi yang berisi semen yang telah diencerkan kedalam tabung

yang berisi air dengan temperatur 36 C dan diletakkan di dalam lemari pendingin 4 C. Berikutnya semen

dimasukkan ke dalam straw (IMV, L'aigle Cedex, France) dan isi straw dibuang sedikit, selanjutnya ujung

straw disumbat menggunakan serbuk polyvinil alcohol. Straw yang telah berada pada temperatur 4 C

diletakkan 4 cm di atas nitrogen cair selama 20 menit sebelum dimasukkan kedalam nitrogen cair

(Foxworth et al., 1989). Spermatozoa yang telah dibekukan dicairkan kembali dengan cara memasukkan

straw beku kedalam tabung yang berisi air dengan temperatur 36 C selama 30 detik sampai 1 menit,

setelah itu spermatozoa dapat digunakan untuk inseminasi.

Sinkronisasi birahi pada rusa dilakukan dengan memasang Controlled Internal Drugs Release

(easi-breed CIDR, sheep and goat device, Heriot AgVet Pty Ltd, 8 Mosrael Place, Rowville, Victoria

3178) selama 11 hari. CIDR berisi progesterone sebanyak 0,3 gr progesteron dan CIDR akan melepaskan

progesteron ke vagina yang selanjutnya progesteron tersebut akan terserap dan masuk dalam aliran darah.

Cara memasang CIDR pada rusa berbeda dengan pada kambing, setelah rusa ditempatkan pada kandang

jepit, CIDR dimasukkan pada applikator dan ekor CIDR dilipat hingga terjepit oleh sayap CIDR.

Berikutnya ujung aplikator diberi pelicin dan dimasukkan ke vagina rusa setelah badan aplikator berada

didalam vagina pegangan aplikator ditekan, sehingga CIDR akan tertinggal di dalam. Dengan menekuk

ekor CIDR tali CIDR tidak keluar dari vagina, ini dimaksudkan untuk menghindari agar rusa tidak

menggigit dan menarik tali CIDR.

Inseminasi buatan adalah memasukkan spermatozoa ke dalam alat reproduksi betina sehingga

dapat terjadi kebuntingan. Inseminasi pada rusa dilakukan 36 jam setelah CIDR diambil. Setelah rusa

tertidur, dengan anastesi umum rusa ditempatkan pada tempat inseminasi dengan bagian belakang lebih

tinggi dibanding bagian depan. Berikutnya semen beku diencerkan kembali dengan memasukkan straw

semen beku pada kontainer yang berisi air dengan temperatur 36 C selama satu menit. Setelah itu ujung

straw dipotong, semen dimasukkan ke dalam pipet inseminasi. Dengan menggunakan spekulum, pipet

Page 159: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

159

inseminasi dimasukkan ke serviks sedalam mungkin dan spermatozoa dideposisikan dengan jumlah 60 x

106 spermatozoa. Selanjutnya rusa ditempatkan pada tempat yang teduh dengan posisi duduk untuk

menunggu bangun kembali. Rusa rusa tersebut dipelihara dengan baik hingga melahirkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian ini ternyata kebuntingan dihasilkan mencapai 25% hingga 40% rusa yang

diinseminasi menggunakan cara servical. Selain tergantung pada spesies rusa, terdapat beberapa faktor

yang dapat mempengaruhi hasil kebuntingan antara lain: tingkat keserentakan hasil sinkronisasi birahi,

waktu inseminasi dan jumlah spermatozoa hidup yang dideposisikan ke alat perkembang biakan betina

(Asher et al., 1991).

Karena rusa tidak menampakkan tingkah laku birahi, maka pada penelitian ini inseminasi

dilakukan tanpa dilakukan deteksi birahi. Telah dilaporkan pada rusa merah bahwa inseminasi yang

dilakukan setelah rusa terdeteksi birahi dapat meningkatkan angka kebuntingan antara 15 sampai 20%

dibanding dengan teknik inseminasi fixed time (Bowen, 1989), yaitu dari angka kebuntingan 55% dapat

menjadi 70% sampai 75% (Bowen, 1992). Rendahnya tingkat kebuntingan disebabkan oleh sebagian rusa

tidak terstimulasi birahi atau tidak mengalami ovulasi (Fennessy et al., 1990). Pada penelitian yang

dilakukan ini dengan jumlah rusa yang relatif sedikit, sehingga persentase hasil penelitian belum

mencerminkan distribusi normalnya.

Tabel 1: Hasil inseminasi buatan pada 3 spesies rusa

No Spesies Jumlahbetina Bunting/Melahirkan (%)

1 Rusa Sambar (Cervus unicolor) 12 4 (25%)

2 Rusa Timor (Cervus timorensis) 5 2 (40%)

3 Rusa Bawean (Axis kuhlii) 3 1 (33%)

Tingkat keserentakan birahi pada rusa sulit untuk dievaluasi karena rusa adalah hewan yang

berusaha menghindar bila akan diobservasi dari jarak dekat, waktu birahinya sangat pendek (Asher et al.,

1991), tidak menunjukkan tingkah laku yang jelas (Guiness et al., 1971; Veltman, 1985) seperti

ruminansia lainnya.

Faktor lain yang menentukan persentase kebuntingan adalah waktu yang tepat untuk pelaksanaan

inseminasi. Hasil penelitian pada rusa chital menunjukkan bahwa inseminasi dilakukan 60 jam setelah

CIDR diambil menggunakan semen segar dan semen cair menghasilkan kebuntingan 8% dan 50%,

sedangkan pelanksanaan inseminasi 70 jam setelah CIDR diambil menggunakan semen segar dan semen

beku masing-masing menghasilkan 25% kebuntingan (Dradjat, 1996).

Faktor yang mempengaruhi tingkat kebuntingan yaitu jumlah spermatozoa yang dideposisikan

pada alat perkembang biakan betina. Dilaporkan pada rusa merah bahwa inseminasi menggunakan 40

juta spermatozoa hidup menghasilkan kebuntingan 44,6%, sedangkan penggunaan 30 juta spermatozoa

hidup per inseminasi menghasilkan kebuntingan 23% (Bowen, 1990). Dilaporkan pada fallow deer

inseminasi menggunakan semen segar dengan jumlah spermatozoa 12,5 juta per inseminasi dapat

menghasilkan 76,3% kebuntingan (Jabbour et al., 1992).

Disamping itu faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil kebuntingan yaitu cekaman yang

dialami oleh rusa selama program inseminasi yaitu dalam penanganan dan anastesi rusa, merupakan

faktor yang sangat berpotensi dapat menekan hasil sinkronisasi dan menghambat ovulasi (Asher et al.,

1986; Haigh dan Bowen, 1991).

Inseminasi pada rusa telah dilaporkan pada rusa sub tropik yaitu pada rusa merah (Krzywinsky

dan Jaczewsky, 1978), pada wapiti (Haigh et al., 1986; Haigh dan Bowen, 1991), pada rusa fallow

(Mulley et al., 1988; Asher et al., 1992), sedangkan pada rusa tropik yang dipelihara di daerah sub tropik

yaitu pada rusa chital (Mylrea, 1992; Dradjat 1996).

Penggunaan inseminasi buatan dengan membawa semen beku melewati batas internasional telah

dilaksanakan pada rusa merah dari Canada ke New Zealand (Haigh dan Bowen, 1991), pada rusa Fallow

dari New Zealand ke Australia (Mylrea et al., 1991) dan dari New Zealand ke USA (Asher et al., 1990)

Page 160: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

160

KESIMPULAN DAN SARAN

Inseminasi buatan menggunakan semen beku telah dilaksanakan pada rusa Sambar (Cervus

unicolor), rusa Timor (Cervus timorensis) dan rusa Bawean (Axis kuhlii). Penanganan untuk inseminasi

dilakukan dengan menggunakan kandang jepit khusus atau dengan anastesi umum. Anastesi dilakukan

dengan menggunakan kombinasi obat anastesi xylazyne dan ketamine dengan dosis masing-masing 1

mg/kg berat badan.

Inseminasi buatan pada Rusa Sambar, Rusa Timor, Rusa Bawean, dengan menggunakan

spekulum, pipet inseminasi dimasukkan ke serviks sedalam mungkin dan spermatozoa dideposisikan

dengan jumlah 60x 106, menghasilkan kebuntingan berturut-turut sejumlah 4 ekor (25%), 2 ekor (40%)

dan 1 ekor (33%).

Keberhasilan inseminasi buatan menggunakan semen beku memungkinkan transport

spermatozoa dilaksanakan antar propinsi atau antar negara, untuk trasfer materi genetik untuk

menghindarkan inbreeding pada rusa yang dipelihara dengan populasi kecil. Transfer materi genetik ini

juga dapat digunakan untuk meningkatkan produksi daging dan produksi ranggah pada peternakan rusa

Indonesia mendatang.

KEPUSTAKAAN

Asher G. W, Kraemer D.C., Magyar S.J., Brunner M., Moerbe R. and Giaquinto M. 1990. Intrauterine insemination of farmed fallow deer (Dama dama) with frozen-thawed semen via laparoscopy. Theriogenology. 34:569-

577

Asher G.W. and Jabbour N.H. 1992. Techniques of oestrus synchronisation and artificial insemination of farmed fallow

deer and red deer. Australian deer farming, 3:9-16.

Asher G.W., Barrell G.K. and Peterson A.J. 1986. Hormonal changes around oestrus of farmed fallow deer, Dama dama.

Journal of Reproduction and Fertility. 78:487-496.

Asher G.W., Jabbour H.N., Berg D.K., Fisher M.W., Fennessy P.F. and Morrow C.J.1991. Artificial insemination,

embryo transfer and gamete manipulation of farmed red deer and fallow deer. Proceeding of a Deer Course for Veterinarians. Deer Branch (N.Z.V.A.) No 8:275-306.

Bowen G. 1990. New A.I. Technology collecting, Proceedings of a Deer Course for Veterinarians, New Zealand

Veterinary Association. no 7:167-170.

Bowen G. 1992. Insemination of red deer -programme options. Abstract of papers conference programme 52 nd Annual conference. Proceedings of the New Zealand Society of Animal production. Abstract no 40.

Bowen G.1989. Artificial insemination of deer: cervical and laparoscopic techniques, Proceedings of a Deer Course for

Veterinarians (N.Z.V.A.) no 6:8-10.

Dradjat A.S. 1996a. Artificial breeding and reproductive management in chital deer. Ph.D Thesis. The University of Sydney.

Dradjat A.S. 1996b Deer as a potential husbandry in Eastern Part of Indonesia. Lokakarya Pengembangan

Peternakan terpadu dengan intensifikasi tinggi di Kawasan Timur Indonesia. Mataram, NTB.

Dradjat A.S. 1998. Utilisation of sustainable deer husbandry. Prosiding Seminar Prospek pengambangan puspa dan satwa potensial di NTB. Yayasan KEHATI Mataram 11 Nopember 1998

Dradjat A.S. 1999. Penggunaan semen beku sapi Friesian, Angus, Brangus dan Bali untuk IB di NTB (Bovine, Vol.:

8, No.: 18, Desember 1999)

Dradjat A.S. 2001. Tatalaksana inseminasi buatan pada sapi Bali dalam menghadapi millenium ke 3. Seminar Nasional Ruminansia. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. Special edition 2001Semarang 10 April

2001

English A.W. 1994b. The role of veterinarian in the preservation of biodiversity. Proceedings of the 1994 annual

conference of the australian association of veterinary conservation biologist. Canberra: 5-9.

Evans, G. and Maxwell, W.M.C. 1987. Salamon's artificial insemination of sheep and goat, Butterworths. Sydney: 127

Fennessy P., Beatson N. and Mackintosh C. 1987. Artificial insemination. Proceedings of a Deer Course for

Veterinarians. Deer Branch (N.Z.V.A.) no 4:33-37

Fennessy P.F. and Mackintosh G. C. and Shackell G.H. 1990. Artificial insemination of farmed red deer (Cervus elaphus). Journal of Animal Production. 51:613-621

Page 161: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

161

Fennessy P.F. and Mackintosh G.C. 1988. Artificial insemination in red deer, Proceedings of a Deer Course for Veterinarians. Deer Branch (N.Z.V.A.) no 5:8-16.

Foxworth W.B., Wolfe B.A., Loskutoff N.M., Nemec L.A., Huntress D.L., Raphael B.L., Jensen J.M., Williams B.W.,

Howard J.G. and Kraemer D.C. 1989. Post-thaw motility parameters of frozen semen from scimitar- horned

oryx (Oryx dammah): effects of freezing method, extender and rate of thawing. Theriogenology 31:193.

Groombridge B. 1994 IUCN Red List of Threatened Animals. IUCN- The World Conservation Union. 25-26.

Guinness F., Lincoln G.A. and Short R.V. 1971. The reproductive cycle of the female red deer, Cervus elaphus. Journal

of Reproduction and Fertility. 27:427-438.

Haigh J.C. and Bowen G 1991. Artificial insemination of red deer (Cervus elaphus) with frozen-thawed wapiti semen. Journal of Reproduction and Fertility. 93:119-123

Haigh J.C., Barth A.D. and Bowman P.A. 1986 An evaluation of extenders for Wapiti, Cervus elaphus, semen. Journal of

Zoo and Animal Medicine. 17:129-132.

Haigh J.C., Dradjat A.S. and English A.W. 1993. Comparison of two extenders for the cryopreservation of Chital (Axis- axis) semen. Journal of Zoo and Wildlife Medicine. 24:454-458.

Heyward E.R.J. 1993. Practical aspects of sheep embryo transfer. Animal Health and Production for 21 st Century. Editor:

K.J. Beh. CSIRO, Australia :41-42

Holt N.A. 1989. Advances Synchronisation of oestrus, Cattle, Cattle, Sheep & Goats. Proceedings 127, Refresher Course for Veterinarians in Embryo transfer in goats and sheep. Post Graduate Committee in Veterinary Science.

University of Sydney : 63-84.

Holt W.V. 1992. Advances in artificial insemination and semen freezing in mammals. Symposia Zoological Society of

London. 64:19-35

Hunter R.H.F. and Nichol R. 1983. Transport of spermatozoa in the sheep oviduct: Preovulatory sequestering of cells in

the caudal isthmus. The journal of experimental zoology. 228:121-128

Jabbour H.N., Marshall V., Argo C., Hooton J. and Loudon A.S.I. 1993. Superovulation, artificial insemination and

successful embryo transfer in fallow deer (Dama-dama). Journal Reproduction and Fertility.(Abstract series) 11: 68

Jabbour H.N., Veldhuizen F.A and Asher G.W. 1992. Effect of oestrus synchronisation on fertility of fallow deer

following cervical insemination with fresh or frozen-thawed spermatozoa. Journal Reproduction and Fertility.

(Abstract series) 9:31

Klein D.R. 1992 The status of deer in a changing world environment. Proceedings of the International symposium on

biology of deer, editor: Brown R.D. Springer-Verlag New York Inc. :3-12.

Krzywinsky A. and Jaczewski Z. 1978. Observation on the artificial breeding of red deer, Symposia of the Zoological

Society of London. No.43:271-287.

Mace G.M., Pemberton J.M. and Stanley H.F. 1992. Conserving genetic diversity with the help of biotechnology-desert

antelopes as an example. Biotechnology and the conservation of genetic diversity. Symposia of the Zoological

Society of London. no 64:123-134.

Maxwell W.M.C 1986. Artificial insemination of ewes with frozen-thawed semen at a synchronised oestrus.1. effect of time of onset of oestrus, ovulation and insemination on fertility. Animal Reproduction Science. 10:301-308

Monfort S.L., Asher G.W., Wild D.E., Wood T.C., Schiewe M.C., Williamson L.R., Bush M. and Rall W.F. 1993.

Successful intrauterine insemination of Eld's deer (Cervus eldi thamin) with frozen-thawed spermatozoa.

Journal of Reproduction and Fertility. 99:459-465

Mulley R.C., Moore N.W and English A.W. 1988. Successful uterine insemination of fallow deer with fresh and frozen

semen, Theriogenology, 29(5):1149-1153

Mylrea G.E. 1992. Natural and artificial breeding of farmed chital deer (Axis-axis) in Australia. PhD. Thesis, Sydney

University.

Mylrea G.E., Evans G. and English A.W, 1991. Conception rates in european fallow does (Dama dama dama) following

intrauterine insemination with frozen-thawed semen from mesopotamian fallow (Dama dama mesopotamica)

and crossbred (Dama dama dama x Dama dama mesopotamica) bucks, Australian Veterinary Journal.

68(9):294-295.

Ralls K., Brugger K. and Ballou J. 1979. Inbreeding and juvenile mortality in small population of ungulates, Science,

206:1101-1103.

Page 162: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

162

Tamuli M.K. and Watson P.F. 1994. Use of simple staining technique to distinguish acrosomal changes in the live sperm sub-population. Animal Reproduction Science. 35:247-254.

Veltman C.J. 1985. The mating behaviour of red deer. Proceedings of a Deer Course for Veterinarians. New Zealand

Veterinary Association. No 2: 135-142.

Whitehead G.K. 1977. Endangered deer. The world of wildlife. Editor: N Sitwell. The Hanlyn publishing group Ltd. :32-41.

DISKUSI

Pertanyaan:

1. Apa perbedaan Inseminasi Buatan dan Embrio Transfer?

2. Bagaimana menstransfer teknologi pemeliharaan rusa kepada petani?

3. Bagaimana kemungkinan mass production pada rusa.

4. Adakah keunggulan dari daging rusa sehingga hewan ini perlu dikembangkan sebagai salah satu jenis

hewan yang perlu diternakkan.

Jawaban:

1. Inseminasi Buatan berbeda dengan Embrio Transfer tergantung dari tujuan pemeliharaan ternak

tersebut. Sementara ini kduanya bertujuan untuk mempertahankan dan mengembangkan plasma

nutfah

2. Teknologi pemeliharaan rusa untuk tingkat petani saat ini sedang dibicarakan

3. Penangkaran rusa dapat dilakukan dengan kawin alam saja

4. Mengenai mutu daging belum ada data khusus mengenai karakteristik daging rusa, namun rusa

memiliki rasa spesifik tergantung selera dan karena rusa tidak memiliki kantung empedu maka rasa

dagingnya enak.

Page 163: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

163

PRODUKSI MASAL ANAK SAPI BALI JENIS KELAMIN TERTENTU

MELALUI IB DENGAN SPERMA SEKSING

Enny Yuliani

Laboratorium Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Mataram E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Sejak sepuluh tahun yang lalu, peternakan sapi di Nusa Tenggara Barat mengalami penurunan baik populasi maupun kualitasnya. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya konsumsi daging per kapita,

meningkatnya jumlah ternak yang dipotong untuk kebutuhan lokal dan meningkatnya ekspor antar pulau di

Indonesia. Menurunnya kualitas daging per unit ternak merupakan permasalahan inbreeding pada sapi lokal (sapi

Bali). Untuk meningkatkan produktivitas, pemerintah NTB berupaya meningkatkan efisiensi produksi melalui perbaikan genetik. Manipulasi semen untuk seksing merupakan salah satu cara utama untuk memperoleh anak

dengan jenis kelamin tertentu. Semen dari spesies ternak dapat dipisahkan dari populasi sperma X atau Y sebelum

digunakan inseminasi intra-tubal, inseminasi uterine atau fertilisasi in vitro dapat menghasilkan anak dengan jenis

kelamin tertentu. Sperma seksing digunakan untuk Inseminasi Buatan (IB) dapat menghasilkan perolehan ternak dari jenis kelamin yang dikehendaki dengan genetik tertentu. Disamping itu peningkatan genetik dalam kelompok ternak

dapat menjadi lebih cepat. Teknik Swim up (renang atas) atau percoll dua tingkat memungkinkan untuk

meningkatkan perolehan sapi Bali jantan atau betina melalui teknik IB atau Transfer Embrio. Dengan demikian

kemampuan preseleksi jenis kelamin keturunan mempunyai pengaruh nyata terhadap genetik dan ekonomi produksi ternak. Perbaikan dalam sektor ternak melalui peningkatan angka kelahiran, mutu ternak dan peningkatan

produktivitas ternak pada akhirnya bermuara pada peningkatan pendapatan peternak.

Kata kunci: Sapi Bali, Inseminasi Buatan, Sperma Seksing, sentrifugasi Gradien Densitas Kolom Percoll.

ABSTRACT

During the last ten years, cattle industry in West Nusa Tenggara (NTB) has been declining in both

population and beef quality. This was brought about by increased meat consumption per capita, the increased number

of cattle slaughtered for local demand, and as a result of increased cattle export to other islands of Indonesia. Decreased in beef quality per unit animal was due to problems of inbreeding in local cattle (Bali cattle). To address

productivity issues, the government of NTB has been attempting to increase production efficiency and to increase

profitability and market specification compliance by increasing carcass weight using genetic improvement. The

possibility of manipulation of semen for sexing seems to be one of the most important ways to find out sex predetermination. Semen from most livestock species can now be successfully separated into predominantly X or Y

sperm populations before their use for intra-tube insemination, deep-uterine insemination or for in vitro fertilization

to produce sexed offspring. Sex-specific sperm for use in Artificial Insemination (AI) will enable producers to pre-

determine the sex of calves from specific genetic mating, resulting in faster genetic gain within herds. Swim up or percoll two gradients column technique might be possible to increase male or female Bali cattle population through

AI or Embryo Transfer technique. The ability to preselect the sex of offspring of agriculturally important animal

would have a significant impact on the genetics and economic of livestock production. Livestock improvement

increase birth rate, quality and the productivities of the livestock; achieve self-sufficiency in livestock product, particularly in meat; accelerate the national GNP (gross national product), which in turn will alleviate poverty of the

peasant in NTB.

Key word: Bali Cattle, Artificial Insemination, Sexed Sperm, Swim up, Gradient Percoll density Centrifugation

PENDAHULUAN

Propinsi Nusa Tenggara Barat dalam peta perekonomian Nasional sampai saat ini dikenal

sebagai propinsi pemasok ternak, khususnya ternak sapi potong. Potensi tersebut sekaligus telah

menempatkan sub sektor peternakan di daerah ini memegang peran penting dan strategis dalam rangka

mendorong maju perekonomian daerah. Potensi ternak terpenting adalah sapi Bali yang merupakan

komoditi ternak andalan utama sebagai ternak potong maupun sebagai ternak bibit. Namun akhir-akhir

ini ada indikasi terjadinya penurunan populasi dan produktivitas baik sebagai ternak potong maupun

sebagai sapi bibit.

Dwipa dkk (1989) melaporkan adanya penurunan bobot badan pada sapi jantan yang

diantarpulaukan. Bobot badan merupakan parameter pokok dalam menilai mutu ternak dan aspek penting

Page 164: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

164

dalam pemilihan stok untuk bibit. Khususnya pada sapi jantan, biasanya yang dijual adalah hewan yang

memenuhi kualifikasi mutu tertentu yaitu yang memiliki berat badan di atas 300 kg, sedangkan hewan

jantan dengan berat badan tersebut di atas sudah mulai langka. Dengan demikian terjadilah seleksi

negatif karena yang tertinggal hanyalah hewan-hewan jantan yang kecil dan bermutu rendah.

Upaya peningkatan produktivitas sapi Bali tidak dapat dilepaskan dari upaya pengaturan

dinamika populasi seperti tingkat kelahiran, pemotongan dan penekanan kematian. Hal ini mempunyai

kaitan yang kuat dengan sistem pengelolaan usaha peternakan yang dilakukan oleh peternak. Untuk itu

usaha peternakan rakyat di NTB baik yang bersifat intensif maupun ekstensif perlu dikembangkan

bioteknologi reproduksi. Secara umum bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam

memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses

rekayasa fungsi reproduksi dan genetika dalam upaya meningkatkan mutu dan jumlah produksi serta akan

menjadi titik tolak bagi pengembangan industri ternak masa datang.

Produksi bakalan atau anak sapi secara massal dapat dilakukan dengan teknik Inseminasi Buatan

(IB) menggunakan pejantan unggul. Teknologi ini akan lebih berdaya guna, apabila anak yang dihasilkan

berjenis kelamin sesuai dengan yang dikehendaki. Hal ini sangat mendukung program breeding dalam

pemilihan bibit unggul dan menunjang efisiensi pada peternakan sapi potong. Salah satu upaya untuk

menghasilkan anak sesuai harapan dapat dilakukan dengan cara seksing spermatozoa berkromosom X

atau Y sebelum dilakukan program Inseminasi Buatan. Inseminasi dengan semen pembawa kromosom X

akan didapatkan pedet betina penerus keturunan dengan kualitas yang baik. Sedangkan inseminasi

dengan spermatozoa pembawa kromosom Y akan didapatkan pedet jantan yang lebih menguntungkan.

Sapi jantan tumbuh lebih cepat dan karkasnya lebih tinggi dari pada sapi betina, sehingga meningkatnya

jumlah anak jantan dapat berarti memperbaiki penampilan pertumbuhan dan meningkatkan berat potong.

Berdasarkan perbedaan tujuan usaha tersebut, maka pengaturan jenis kelamin dapat menekan perolehan

ternak dari jenis kelamin yang kurang dibutuhkan. Dengan demikian apabila semen sapi yang sudah

dipisahkan berdasarkan jenis kelaminnya dipakai untuk Inseminasi Buatan, maka efisiensi reproduksi

akan dapat ditingkatkan secara efektif.

Aplikasi teknologi IB dengan mengunakan semen pejantan unggul yang telah diseksing untuk

produksi bibit sapi unggul diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sapi lokal yang berlipat ganda

dalam waktu relatif singkat. Di samping itu aplikasi teknologi ini tidak hanya meningkatkan populasi

ternak dan perbaikan mutu genetik, tetapi juga sekaligus dapat dikelola dalam skala usaha sehingga

mampu meningkatkan penghasilan peternak.

Manfaat Praktis :

1. Penyimpanan spermatozoa berkromosom X atau Y (bank spermatozoa berkromosom X atau Y).

Digunakan untuk pengembangan plasma nutfah ternak asli Indonesia tanpa mengabaikan kelestarian

kemurniannya.

2. Mengoptimalkan efisiensi reproduksi dengan cara meningkatkan perolehan ternak dari jenis kelamin

yang dikehendaki, sehingga dapat membantu program breeding dalam mempercepat perbaikan mutu

dan peningkatan populasi.

3. Aplikasi rekayasa bioteknologi reproduksi menggunakan spermatozoa berkromosom X atau Y dalam

fertilisasi in vivo dan in vitro dapat menunjang program IB dan Transfer Embrio (TE). Memberikan

kontribusi dalam pengembangan inseminasi buatan dengan kelahiran anak jantan atau betina secara

masal dan seragam tergantung dari struktur populasi yang diharapkan.

4. Keuntungan lain dalam pengaturan rasio seks pada produksi sapi potong secara komersial adalah :

a. anak jantan yang dilahirkan dipersiapkan untuk program penggemukan ternak jantan (produksi

daging ).

b. kepastian progeny jantan pada perkawinan antara pejantan potensial yang berasal dari betina

terbaik.

c. mencegah kelahiran freemartin dalam kelahiran kembar.

Page 165: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

165

METODE

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara eksperimental di Laboratorium Reproduksi Fakultas Kedokteran

Hewan Universitas Airlangga dan Unit Pelaksana Penelitian Ternak Grati Pasuruan Jawa Timur.

2. Prosedur Penelitian

1. Penampungan semen

2. Penilaian semen

3. Pemisahan spermatozoa

a. Metode Swim up untuk menghasilkan anak jantan

b. Metode Sentrifugasi gradien densitas percoll untuk menghasilkan anak betina

4. Pemeriksaan kualitas spermatozoa hasil pemisahan (konsentrasi, motilitas, morfologi dan

recovery)

5. Inseminasi Buatan

Kegiatan IB meliputi: (1) seleksi pejantan dan betina ; (2) Sinkronisasi estrus dengan hormon

prostaglandin; (3) Inseminasi Buatan dengan semen seksing

6. Angka Konsepsi (pemeriksaan dilakukan 40-60 setelah IB)

7. Rasio jenis kelamin anak yang lahir

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada dasarnya tujuan awal dari pemisahan spermatozoa manusia adalah untuk mengurangi

kejadian gangguan genetik yang terkait dengan jenis kelamin (sex linked genetic disorders) yaitu

gangguan resesif terkait X yang cenderung berpengaruh pada keturunan laki-laki. Kemudian usaha

pemisahan spermatozoa berkembang pada hewan domestik untuk mendapatkan produksi ternak yang

maksimal dari jenis kelamin yang dibutuhkan (Windsor, et al., 1993; Abeydeera et al., 1998).

Proses pembentukan spermatozoa menghasilkan 2 tipe sel spermatozoa yang berbeda dalam

jumlah yang sama banyaknya yaitu 50 % spermatozoa X dan 50 % spermatozoa Y (1:1). Kenyataan

bahwa pada mamalia, fertilisasi oleh spermatozoa pembawa kromosom X menghasilkan keturunan betina

dan spermatozoa pembawa kromosom Y menghasilkan keturunan jantan. Hal tersebut menimbulkan

berbagai usaha untuk melakukan seleksi jenis kelamin sebelum konsepsi untuk mengubah rasio X : Y

dalam populasi spermatozoa.

Menurut Windsor et al (1993), Keberhasilan pemisahan spermatozoa pembawa kromosom X dan

Y tergantung dari adanya beberapa perbedaan dasar antara kedua tipe sel tersebut antara lain perbedaan

morfologi nukleus dan kepala, karakter pergerakan/motilitas, dan kandungan DNA. Kromosom seks Y

pada sapi mempunyai ukuran lebih kecil dibandingkan dengan kromosom X. Hal ini merupakan suatu

petunjuk bahwa spermatozoa pembawa kromosom X dan spermatozoa pembawa kromosom Y dapat

dibedakan berdasarkan jumlah kandungan DNA. Spermatozoa pembawa kromosom X mengandung 2,8 –

7,5 persen lebih banyak DNA dari pada spermatozoa berkromosom Y (Gordon 1997).

Berdasarkan perbedaan tersebut telah dikembangkan teknologi pemisahan spermatozoa. Pada

negara maju, seksing sperma dilakukan melalui cell sorting dengan Flow Cytometry, namun harganya

relatif mahal, sehingga tidak sesuai dengan kondisi peternak kita. Oleh karena itu kebutuhan prosedur

pemisahan yang sederhana, murah , tepat dan cepat sangat diperlukan.

Pemisahan spermatozoa dengan metode sentrifugasi gradien densitas percoll dan metode Swim

Up dapat mengatasi kebutuhan tersebut. Percoll merupakan medium yang terdiri dari partikel silica

colloidal dengan lapisan polyvinyl-pyrrolidone, dapat dijadikan dasar untuk mengisolasi spermatozoa

motil, terbebas dari kontaminasi dari berbagai komponen seminal (Mc Clure, et al., 1989). Penggunaan

percoll untuk tujuan pemisahan spermatozoa dinilai memenuhi syarat yang diperlukan.

Swim up bertujuan untuk menganalisis spermatozoa dengan memisahkan spermatozoa motil dari

non-motil, celluler debris dan menyingkirkan komponen seminal plasma yang mempengaruhi kualitas

spermatozoa (Mc Clure, et al., 1989). Pengembangan metode Swim up dengan berbagai modifikasi,

berpengaruh terhadap jenis kelamin anak yang dilahirkan (Aitken, 1987; Han et al., 1993; Check et al.,

1994; dan De Jonge et al., 1997). Pemisahan jenis kelamin dengan cara ini, mendasarkan diri pada

perbedaan karakter pergerakan spermatozoa. Spermatozoa berkromosom Y bergerak lebih cepat ke

Page 166: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

166

permukaaan media dibandingkan spermatozoa berkromosom X. Spermatozoa yang berada pada lapisan

atas setelah inkubasi mengandung populasi spermatozoa berkromosom Y. Kondisi tersebut ditegaskan

pula oleh Schilling dan Thormahlen (1976), bahwa spermatozoa berkromosom Y mempunyai

kemampuan bermigrasi lebih cepat dibandingkan spermatozoa berkromosom X, sehingga apabila

dilakukan sentrifugasi spermatozoa berkromosom X cenderung lebih cepat membentuk endapan (Mohri,

et al., 1987).

Untuk memperoleh kejelasan baik kualitas spermatozoa, angka konsepsi, maupun perbandingan

jenis kelamin anak yang lahir dari IB dengan menggunakan spermatozoa hasil pemisahan sentrifugasi

gradien densitas percoll dan Swim up, maka data dianalisis dan diperoleh hasil sebagai berikut :

1. Konsentrasi

Konsentrasi adalah jumlah sel spermatozoa per ml sperma. Dari hasil penelitian menunjukkan

bahwa, konsentrasi pada kelompok kontrol (K) nyata lebih tinggi (P<0,05) konsentrasinya (1670,63 x

106/ml sperma) dibandingkan dengan kelompok perlakuan sentrifugasi gradien densitas percoll (1252,98

x 106/ml sperma) dan

perlakuan Swim Up. (835,31 x 10

6/ml sperma) konsentrasi kolom percoll kepadatan

penyaringannya masih dapat ditembus oleh spermatozoa sapi Bali dengan ukuran kepala berkisar antara

37- 44 µm (Yuliani, 2000). Sekaligus membuktikan keterandalan percoll sebagai medium seleksi sperma

sapi Bali. Percoll bersifat isotonik terhadap sel spermatozoa, tidak toksik, tidak dapat menembus dan

merusak membran sel, kompatibel dengan sistem biologis, dan tidak mempunyai efek yang berlawanan

terhadap proses seleksi (Mohri, et al., 1987). Sehingga dalam proses pemisahan spermatozoa diperoleh

konsentrasi spermatozoa per ml sperma dalam jumlah yang cukup tinggi.

Rendahnya konsentrasi pada metode Swim up, diduga hanya 1/3 bagian atas yang diambil dari

medium yang digunakan. Metode ini mengandalkan kemampuan motilitas spermatozoa untuk bermigrasi

ke atas permukaan medium. Sementara sperma motil yang tidak mampu keluar dari seminal plasma tidak

ikut terambil, sehingga diperoleh konsentrasi yang lebih rendah.

2. Motilitas

Dari hasil pemisahan terlihat bahwa motilitas dengan pergerakan sangat progresif dan

pergerakan progresif cenderung meningkat, pada perlakuan sentrifugasi gradien densitas percoll (78,10 ±

4,18 %) dan Swim up (80,30 ± 4,27%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (K= 75,63 ± 5,13 %)

meskipun secara statistik tidak berbeda secara bermakna (P>0,05). Kecenderungan tingginya persentase

rata-rata spermatozoa motil pada perlakuan Swim up disebabkan efek kapasitasi akibat penginkubasian

selama 30 menit pada suhu 37 0C dan kapasitasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan motilitas dalam

bentuk hiperaktivasi spermatozoa (Calvo, et al., 1989).

3. Morfologi

Morfologi spermatozoa hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan hanya memperlihatkan

pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) pada kategori kelainan kepala. Perlakuan P1(2,3117± 0,84) lebih

rendah dibanding dengan kelompok kontrol (K= 11,12 ± 1,58 %) tetapi tidak berbeda nyata (P> 0,05)

dibanding dengan Swim up (4,53 ± 0,89 %). Hal ini membuktikan bahwa perlakuan sentrifugasi gradien

densitas percoll dapat menyaring dengan baik spermatozoa dengan kepala abnormal. Sedangkan adanya

kepala abnormal yang masih diperoleh diduga sebagai spermatozoa kelainan bentuk kepala dengan

diameter normal. Pada perlakuan Swim up hanya spermatozoa yang mempunyai morfologi normal yang

dapat bermigrasi keluar seminal plasma dan masuk kedalam medium yang ada di atasnya, sehingga

jumlah spermatozoa yang mengalami kelainan bentuk kepala sedikit. Hasil ini membuktikan bahwa

pemisahan sperma sapi Bali dengan metode sentrifugasi gradien densitas percoll dan Swim up tidak

merusak konsistensi morfologi spermatozoa.

3. Recovery

Pengukuran recovery dimaksudkan untuk mengevaluasi motilitas spermatozoa akibat pengaruh

pemisahan terhadap kelangsungan hidupnya sekaligus mencerminkan kemampuan fertilisasinya.

Pemisahan sperma dengan metode sentrifugasi gradien densitas kolom percoll mempunyai persentase

recovery yang tinggi (86,78 % ± 5,55) dibandingkan dengan metode Swim up (62,38 % ± 8,44).

Page 167: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

167

4. Angka Konsepsi

Angka konsepsi pada IB dengan menggunakan sperma seksing menunjukkan bahwa perlakuan

sentrifugasi gradien densitas kolom percoll dan Swim up masing2 (90,0 %) lebih tinggi dari kontrol

(K=60,0%). Hal ini membuktikan bahwa pemisahan sperma dengan metode sentrifugasi gradien densitas

kolom percoll dan metode Swim up mempunyai kemampuan fertilisasi yang tinggi setelah pemisahan.

Kedua metode tersebut dapat pula memisahkan komponen dekapasitasi yang terdapat pada permukaan

spermatozoa selama dalam seminal plasma (Zaneveld, et al., 1991) yang sekaligus menyingkirkan dan

meminimumkan adanya spermatozoa yang mengalami aglutinasi. Dengan demikian memungkinkan

spermatozoa lebih mampu dan lebih progresif menelusuri saluran reproduksi betina menuju tuba falopii

yang memungkinkan bertemu dengan sel telur pada saat yang tepat untuk terjadinya fertilisasi. Metode

pemisahan tidak merusak tudung akrosom dan tidak menurunkan kemampuan spermatozoa untuk

membuahi. Oleh karena itu proses perubahan biokimia dan fisiologi spermatozoa pada kapasitasi serta

reaksi akrosom dapat berlangsung dengan baik, yang ditandai dengan tingginya angka konsepsi. Media

resuspensi yang digunakan untuk spermatozoa hasil pemisahan sangat mendukung kehidupan

spermatozoa. Media EBSS dengan kandungan cairan garam yang seimbang dengan konsentrasi elektrolit

yang tepat, sumber energi metabolis, dan serum albumin sebagai protein tambahan. Protein khusus yang

memenuhi syarat sebagai media kapasitasi adalah albumin, selain menambah pengikatan dan fungsi

transpor (Kragh-Hansen, 1985) albumin juga dapat sebagai media efflux sterol pada kultur sel. Juga akibat

adanya keseimbangan ion anorganik dan ion organik dalam medium percoll dalam bentuk sodium

bikarbonat (WHO, 1922), sodium merupakan salah satu ion organik esensial dan bikarbonat merupakan

ion organik yang substansial dalam seminal plasma (Bearden dan Fuquay, 1992) yang memungkinkan

viabilitas dan integritas membran sel spermatozoa tetap terjaga. Pada akhirnya fertilitas spermatozoa sapi

Bali tetap tinggi untuk membuahi sel telur.

5. Rasio Seks

Penggunaan spermatozoa hasil pemisahan pada metode sentrifugasi gradien densitas percoll

percol Swim Up untuk IB mempunyai peluang yang tinggi untuk memperoleh anak yang lahir dengan

dominasi salah satu jenis kelamin dibandingkan dengan penggunaan spermatozoa tanpa perlakuan.

Perlakuan sentrifugasi gradien densitas kolom percoll dari 9 ekor anak yang lahir, terdapat 8 ekor anak

betina (88,80%) dan hanya seekor anak lahir jantan (11,20 %). Metode ini dapat digunakan untuk

pemisahan spermatozoa X dan Y, dengan persentase spermatozoa X yang diperoleh pada endapan

berbentuk pellet pada densitas percoll yang terbawah (90%) adalah lebih tinggi dari persentase

spermatozoa Y, jika diasumsikan atas dasar persentase jenis kelamin anak yang lahir. Tingginya

spermatozoa X yang diperoleh, disebabkan berat dan ukuran spermatozoa X yang lebih besar serta

kandungan DNA pada kepala spermatozoa X 3-4 % lebih besar dari pada spermatozoa Y (Mohri, et al.,

1987; Krzyzaniak dan Hafez ,1987)

Hasil yang diperoleh dari metode Swim up, dari 9 ekor anak yang lahir 8 ekor anak jantan (89 %)

dan 1 ekor anak betina (11 %). Hasil jenis kelamin kelahiran sebagai dasar untuk memperkirakan

persentase spermatozoa X dan Y yang terdapat dalam populasi spermatozoa, maka pemisahan antara

spermatozoa X dan Y dengan metode Swim up didapatkan persentase spermatozoa Y yang lebih banyak.

Dalam usaha meningkatkan produktifitas sapi Bali, teknologi reproduksi unggulan dapat

diterapkan. Kemajuan bioteknologi dibidang reproduksi memungkinkan populasi spermatozoa X dapat

dipisahkan dari spermatozoa Y. Program IB terpadu dengan menggunakan semen seksing dilakukan agar

inseminasi dapat dilaksanakan lebih efisien. Produksi anak sapi secara IB dengan populasi spermatozoa

berkromosom X atau Y sesuai kebutuhan, akan menjanjikan peningkatan jumlah kelahiran anak sapi

dengan jenis kelamin sesuai harapan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.

KESIMPULAN

Metode sentrifugasi gradien densitas percoll dan metode Swim Up dapat dijadikan metode

pemisahan spermatozoa X dan Y pada spermatozoa sapi Bali. Persentase anak betina lebih banyak

diperoleh dari hasil IB dengan menggunakan spermatozoa hasil pemisahan sentrifugasi gradien densitas

kolom percoll. Persentase anak jantan yang lebih banyak diperoleh dari spermatozoa yang dipisahkan

dengan metode Swim up.

Page 168: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

168

DAFTAR PUSTAKA

Abeydeera, L.R; L.A. Johnson; G.R. Welch; W.H. Wang; A.C. Boquest; T.C. Cantley; A. Rieke and B.N Day. 1998.

Birth of piglets for gender following in vitro fertilization of in vitro matured pig oocytes by X and Y

chromosome bearing spermatozoa sorted by high speed flow cytometry. Theriogenology 50:981-988.

Avery, B and T. Greve. 1995. Impact of percoll in bovine spermatozoa used for in vitro Insemination.

Theriogenology 44 : 871-878.

Bhattacharya, B.C; P. Shome, P and A.H. Gunther. Semen l separation technique monitored with greater accuracy by

B-body test. International Journal of Fertility 24:256-259.

Cran. D. G; L. A. Johnson and C. Polge. 1995. Sex preselection in cattle: a field trial. Vet. Rec 136:495-496.

Drobnis E.Z, C.Q. Zhoong, and W. Overstreet. 1991. Separation of cryopreserved human semen using sephadex

collums, washing or percoll gradient. J. Androl 12:201-208.

Ericcson R. T. 1973. Isolation and storage of progressively motile human sperm. J. Androl 9: 111.

Garner, D.L and E.S.E. Hafez. 1993. Spermatozoa and seminal plasma. In : Reproduction in farm animal. 6 th Ed.

E.S.E. Hafez (Editor). Lea and Febiger. Philadelphia. 165-187.

Gordon, I. 1994. Laboratory production of cattle embryos. Biotechnology in Agriculture, 11.I. Gordon (Editor) CAB

International. Wallingford.

Guernsey, M.P; L.J. Hagemann and R.A.S Welch. 1994. Preliminary results from the use of FACS-sorted bull

sperma in an invivo embryo production system. Theriogenology 41,210.

Hafez, E.S.E. 1993. Techniques for Improving Reproduction Efficiency: semen evaluation. In.: Reproduction in Farm

Animal. Hafez, E.S.E. (ed) sixth Ed. Lea & Febiger. Philadelphia.

Harris, S.J; M.P. Milligen and K.J. Dennis. 1981. Improved separation of motile sperm in asthenospermia and its

application to artificial insemination homologous. J. Fertil Steril 36:219-221

Iritani A, Kasai M, Niwa K and Song H B. 1984. Fertilization in vitro of cattle follicular with ejaculated

spermatozoa capacitated in a chemically defined medium. J. Reprod. Fertil., 70:487-492.

Yuliani, E. 2000. Pemisahan spermatozoa dengan metode Swim up dan kombinasi Swim up dengan Aside migration

pengaruhnya terhadap rasio kromosom seks (Studi eksperimental untuk menghasilkan embrio sapi Bali

jantan). (Disertasi). Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya.

Johnson, L. A. 1996. Gender preselection in mammals: an overview. DTW Dtsch Tierarztl Wochenschr 103: 288-291.

Mahaputra, L, Wurlina, Sulistiyati dan S. Mulyati. 1989. Pemisahan sel spermatozoa domba dengan sephadex

coulomn G-200. Media Kedokteran Hewan. FKH Unair 5:31-37.

Mahaputra, L. 1996. Teknik pembuatan embrio beku, kembar identik dan viabilitasnya, dalam upaya merintis pembangunan bank embrio sapi perah. Laporan Penelitian Hibah Bersaing II/3.

Macler. A; O. Murillo; G. Huszar; B. Tarlatzis; A. DeCherney and F. Naftolin. 1984. Improved tecniques for

separating motile spermatozoa from human semen. II. An automatic centrifugation method. J. Androl 7:71.

Mc. Clure; R.D.L Nunes and R. Tom.1989. Semen manipulation: improved sperm recovery and function with two layer percoll gradient. Fertil. Steril 51:5.

Parrish, J.J; J.L. Susko-Parrish; M.L. Liebfried-Rutledge; N.S. Crister; W.H. Eyestone and N.L. First. 1986. Bovine

in vitro fertilization with frozen-thawed semen. Theriogenology 25: 591-600.

Seidel. G.E. 1999. Commercializing reproductive biotecnology- the approach used by xy, inc. J. Theriogenology

51:5.

WHO. 1992. Laboratory manual for the examination of human semen and sperm cervical mucus interaction. 1992

Cambridge University Press. New York. USA . Hal 12.

Zavos, P M. 1995. Preparation of human frozen-thawed seminal speciments using the Sperm Prep filtration methode improvements over the conventional swim-up method. J. Fertil. Steril, 57:1326-1330

DISKUSI

Pertanyaan:

1. Apa perbedaan dan keunggulan dari embrio transfer dan seksing sperma?

2. Bagaimana kemungkinan pemanfaatannya secara mass production?

Page 169: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

169

3. Bagaimana kiat mentransfer teknologi kepada petani agar tidak lagi memiliki ketergantungan

terhadap keahlian dari pada para tenaga ahli atau expert?

4. Bagaimana sentrifuse bisa berhasil dan tidak menyebabkan stress pada sperma.

Jawaban:

1. Perbandingan sperma X dan Y yang dihasilkan memiliki perbandingan yang sama. Seksing sperma

adalah untuk memilih agar anak yang dilahirkan memiliki jenis kelamin tertentu yang diharapkan.

Seleksi sperma dilakukan berdasarkan karakter yang dimiliki oleh spermatozoa X dan Y.

2. Diharapkan kedepan perlu adanya tim untuk mengkaji teknologi ini yang terdiri dari tenaga ahli,

pemerintah daerah dan balai penelitian.

3. Transfer teknologi kepada petani masih belum dapat dilakukan karena peralatan yang digunakan

cukup mahal dan penggunaannya membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi.

4. Pemisahan dengan sentrifugal tidak akan merusak sperma karena menggunakan media cairan.

Page 170: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

170

STUDY AWAL EMBRIO TRANSFER PADA RUSA BAWEAN (Axis kuhlii) PRELIMINARY STUDY ON EMBRYO TRANSFER OF BAWEAN DEER (Axis kuhlii)]

Adji Santoso Dradjat

Laboratorium Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas Mataram

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini yaitu penerapan teknologi embrio transfer pada rusa langka yaitu rusa Bawean, yang

termasuk dalam kelompok hewan yang terancam punah. Dua ekor rusa digunakan sebagai donor dan dua ekor lagi digunakan sebagai resipien. Sinkronisasi birahi dan induksi multipel ovulasi dilakukan dengan menggunakan

Controlled internal drug release (CIDR) secara intravaginal selama 11 hari, berikutnya 300 IU hormon Pregnant Mare

Serum Gonadotropin (PMSG/Folligon) diinjeksikan secara i.m. pada hari ke 9 pada pagi hari dan dosis kecil Folllicle

Stimulating hormon (FSH/ Folltropin) yaitu total 25 mg diinjeksikan secara i.m. lima kali dengan dosis menurun yaitu 3, 3, 2, 2, 1 bagian masing masing diinjeksikan pada hari ke 9 pagi dan sore, hari ke 10 pagi dan sore dan pada

hari ke 11 diberikan pada pagi hari bersamaan dengan pengambilan CIDR. Dengan kawin alam kedua donor betina

rusa Bawean tersebut di kawini oleh rusa jantan, dan pada saat pemeriksaan ovarium total ovulasi masing masing

adalah 5 ovulasi dan 2 ovulasi. Dari 7 ovulasi hanya didapatkan 3 embrio yang berada pada stadium morula. Berikutnya dua embrio di transfer pada dua rusa betina resipien dan menghasilkan satu kebuntingan.

Kata kunci: embrio transfer, rusa Bawean

ABSTRACT

The objective of the present study was to assess embryo transfer technique in Bawean deer. These deer

were categorized as endangered animal of extinction. Two Bawean hinds were used as donors while another two

were used as recipients. Estrous synchronization and multiple ovulation induction were performed by inserting

Controlled Internal Drug Release (CIDR) intravaginally for 11 days. Then 300 IU Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG/ Folligon) was injected i.m. on day 9th. at 6.00 am, and small doses Follicle Stimulating

Hormone (FSH/ Folltropin) total of 25 mg was injected i.m. in five injections with decreasing doses twice daily with

3, 3, 2, 2, 1 portions. These serial injections began on day 9th, 10th and 11th. The last injection was given at the same

time as CIDR removal and injections were given 12 days apart. With natural mating, stags mated donors and following embryo collection donors were detected ovulated 7 and 2 oocytes. From a total of 7 ovulations 3 embryos

were collected and the embryos were evaluated in early morulla stages. Finally two embryos were transferred into

recipients and one of them was detected to be pregnant.

Key words: embryo transfer, Bawean deer

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini perubahan dan perusakan lingkungan berlangsung dengan cepat akibat dari

peningkatan populasi penduduk. Peningkatan jumlah penduduk tersebut diramalkan tidak akan berhenti

sampai abad 21 (Klein, 1992; English, 1994). Perusakan lingkungan ini menyebabkan perubahan habitat,

yang akhirnya menyebabkan penurunan populasi hewan liar. Disamping itu dengan bertambahnya

penduduk, kebutuhan akan makanan juga meningkat yang mengakibatkan meningkatnya perburuan liar.

Kecenderungan kepunahan hewan liar di dunia, termasuk di Indonesia berlangsung sejak tahun 1960

(Mace et al., 1992). Laporan IUCN tahun 1994, menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang

menempati urutan teratas di dunia dalam jumlah hewan yang terancam kepunahan (Groombrige,1993).

Bila populasi hewan sedikit maka perkawinan keluarga (inbreeding) tidak akan terhindarkan dan

dapat berdampak buruk terhadap kesuburan hewan, kematian anak meningkat dan rentan terhadap

berbagai penyakit. Kejadian inbreeding ini telah diteliti pada hewan berkuku satu (Ralls et al., 1979).

Bila hal ini terjadi jumlah hewan liar akan turun dari tahun ke tahun yang akan berakhir dengan

kepunahan (Whitehead, 1977; Groombrige, 1993). Kejadian inbreeding dapat dicegah dengan

memperkenalkan materi genetik dari hewan diluar kawasan dengan menggunakan teknologi embrio

transfer telah berkembang pada bebrapa spesies hewan (Fennessy et al., 1994).

Di Indonesia terdapat 4 spesies rusa asli (indigenous species), satu diantaranya, yaitu rusa

Bawean termasuk dalam hewan yang terancam kepunahan (Blouch dan Atmosoedirdjo, 1987). Dengan

Page 171: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

171

stimulasi multipel ovulasi maka rusa betina dapat menghasilkan ovum melampaui jumlah normalnya, bila

telur-telur dapat dibuahi akan dapat menghasilkan embrio dalam jumlah banyak. Bila embrio-embrio

yang dihasilkan dapat ditransfer pada penerima akan dapat mempercepat dan memperbanyak

kebuntingan. Tujuan penelitian ini yaitu penerapan teknologi embrio transfer pada rusa langka yaitu rusa

Bawean.

MATERI DAN METODE

Empat ekor rusa Bawean digunakan dalam penelitian ini, dua ekor dipersiapkan sebagai donor

dan sisanya dua ekor sebagai penerima. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan seperti yang tercantum pada

(Tabel 1), induksi multipel ovulasi dilakukan pada donor sedangkan penerima dilakukan sinkronisasi

birahi.

Untuk itu rusa donor dilakukan induksi birahi dan induksi multipel ovulasi untuk menghasilkan

ovulasi lebih dari satu oosit dan untuk mencapai fertilitas yang optimum rusa dicampur dengan rusa

jantan. Ovum yang telah dibuahi (embrio) diambil secara laparotomi dan ditransplantasikan kepada

resipien yang telah disiapkan, dengan penjadwalan kerja seperti pada Tabel 1.

Induksi multipel ovulasi dilakukan pada donor dengan cara sinkronisasi menggunakan CIDR

yang dimasukkan secara intravaginal selama 11 hari dan pada hari ke 9 di injeksi dengan PMSG

(Folligon) sebanyak 300 IU dan selama 3 hari diberikan kali injeksi FSH (Folltropin) dengan dosis total

16 mg. Pada hari ke 9 , 3 bagian pagi dan 3 bagian sore, pada hari ke 10, 2 bagian pagi dan 2 bagian sore

dan pada hari ke 10, 1 bagian pagi bersamaan dengan pengambilan CIDR. Birahi diamati mulai hari ke

12-15.

Tabel 1. Jadwal pelaksanaan Embrio transfer

Hari Donor Resipien Keterangan

1 Pemasangan CIDR

2 Pemasangan CIDR

9 Injeksi 300 IU PMSG* Injeksi 4.3 mg FSH*

Injeksi 4,3 mg FSH**

*pada pagi hari (jam 6 pagi) ** pada sore hari (jam 6 sore)

10 Injeksi 2.9 mg FSH* Injeksi 2,9mg FSH**

CIDR diambil

CIDR resipien diambil 12 jam lebih awal

11 Injeksi 1,5 mg FSH*

CIDR diambil*

13-16 Deteksi birahi

dan kawin alam

Deteksi birahi Menggunakan jantan vasektomi

19 Koleksi embrio Transplantasi embrio

Pengambilan embrio dilakukan pada donor dan setelah embrio didapatkan, embrio di

transplantasikan pada resipien. Pengambilan embrio dilakukan dengan menggunakan teknik seperti yang

dilaporkan oleh Heywood, (1993). Setelah rusa teranastesi rusa ditempatkan pada meja khusus. Daerah

bagian depan kelenjar susu sejauh 6 sampai 7 cm dibersihkan, bulu dicukur, dicuci dan diberi antiseptik

yaitu alkohol dan Betadine. Berikutnya kulit diiris sepanjang 5 cm pada linea alba selanjutnya dinding

dan otot perut dibedah dan uterus dikeluarkan dari rongga perut menggunakan jari tangan. Ovarium

kanan dan kiri dikembalikan ke rongga perut setelah dihitung jumlah corpora lutea dan folikel yang ada.

Berikutnya uterus yang berada diluar tubuh di basahi dengan cairan fisiologis. Melalui rongga yang

dibuat menggunakan ujung tumpul Folley catheter no 10 (Sherwood medical, St Louis USA) dimasukkan

dan ditiup, sehingga menutupi basal uterus. Ujung kornu uteri di aliri dengan cairan fosfat buffer

sebanyak 5 sampai 10 ml yang ditambahkan 10% Bovine Serum Albumin (BSA) yang diinjeksikan pada

utero tubal junction menggunakan jarum tumpul. Cairan fosfat bufer yang keluar dari basal kateter

ditampung pada cawan petri steril. Setelah cairan didapatkan, udara pada balon Folley catheter

dikeluarkan dan kateter di lepas, berikutnya hal yang sama dilakukan pada uterus yang satunya. Lubang

pada uterus ditutup dengan satu jahitan menggunakan Cat gut (1,0 vicryl, Ethicon NY USA). Sebelum

uterus dimasukkan ke dalam perut dicuci dulu dengan cairan fisiologis steril. Berikutnya dinding perut

ditutup dengan menjahit 3 lapis dinding perut dengan jahitan matras menggunakan Cat gut (1,0 vicryl,

Ethicon NY USA), selanjutnya kulit ditutup dengan jahitan matras menggunakan benang nilon (Ethicon.

Monofilament. Australia) dan rusa di injeksi dengan antibiotik long acting. Berikutnya embrio yang

Page 172: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

172

terdapat pada fosfat bufer di evaluasi dibawah mikroskop menggunakan cara yang dilaporkan oleh

Wagner, (1987).

Teknik transplantasi embrio, dilakukan dengan mempersiapkan resipien seperti pada Tabel 1.

Setelah rusa resipien ditidurkan menggunakan anastesi umum, bagian depan kelenjar mamae dibersihkan,

dicukur dan diberi antiseptik. Dibuat insisi 0.5 cm di bagian kiri untuk memasukkan trokar dan teleskop

laparoskop, sedang insisi 1,5 cm dibuat di mid line untuk memasukkan forsep Babcock. Setelah ovarium

terevaluasi yaitu yang mengalami ovulasi, uterus pada bagian tersebut ditarik melalui insisi 1,5 cm

menggunakan forsep Babcock. Selanjutnya melalui luka jarum tumpul embrio diinjeksikan ke dalam

uterus dan uterus dikembalikan kedalam perut. Berikutnya alat laparoskop diangkat dari perut udara yang

ada didalam perut dikeluarkan dan bekas luka dijahit dan diinjeksi antibiotik long acting.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Embrio transfer pada rusa masih dalam tahap awal perkembangan, dengan menggunakan

modifikasi metode yang digunakan pada kambing dan domba (Dixon, 1986; Bringans, 1989; Joubert and

Kidd, 1991). Dengan berkembangnya industri peternakan rusa di New Zealand dan Australia, embrio

transfer telah dikembangkan pada rusa sub tropik seperti rusa merah (Dixon, 1986; Bringans, 1989), pada

rusa fallow (Joubert dan Kidd, 1991; Jabbour et al., 1994; Morrow et al., 1994) dan dalam usaha untuk

preservasi rusa langka telah dilakukan pada rusa ekor putih (Waldhalm et al., 1989). Embrio transfer

teknologi ini dapat digunakan untuk konservasi rusa langka untuk memindahkan materi genetik

melampaui batas internasional. Keberhasilan embrio transfer ini sangat tergantung dari keberhasilan

sinkronisasi birahi, multipel ovulasi, pengambilan embrio pada donor dan sinkronisasi birahi dan

transplantasi embrio pada hewan penerima.

Dalam melaksanakan embrio transfer terdapat dua teknik utama yaitu induksi multipel ovulasi

dan teknik pengumpulan selanjutnya transplantasi embrio. Pada rusa multipel ovulasi telah dilaporkan

pada Fallow deer (Asher et al., 1991; Jabbour et al., 1992, 1994), Red deer (Asher et al., 1992), Pere

Davids deer (Argo et al , 1992) dan pada White tailled deer (Waldhalm et al., 1989) bahwa respons

multipel ovulasi pada rusa tidak selalu berhasil (Magyar et al., 1992; Mylrea 1992). Keberhasilan induksi

multipel ovulasi sangat penting karena merupakan syarat untuk pelaksanaan transfer embrio. Pada Tabel

2 dapat dilihat bahwa rusa bawean dapat memberikan respons yang baik terhadap hormon Pregnant Mare

Serum Gonadotropin (PMSG) dan dosis kecil Folllicle Stimulating Hormon (FSH) diberikan secara seri

secara menurun. Kedua donor betina yang digunakan dalam penelitian tersebut di kawini oleh rusa

jantan, dan pada saat pemeriksaan ovarium total ovulasi masing masing adalah 5 ovulasi dan 2 ovulasi.

Tabel 2. Hasil induksi multipel ovulasi rusa Bawean

No Ovarium kiri Ovarium kanan

Total ovulasi Ovulasi Folikel Ovulasi Foloikel

340 4 1 1 1 5

303 2 1 0 0 2

Telah dilaporkan bahwa hasil multipel ovulasi mempunyai respons yang sangat luas (Asher et

al., 1991). Variasi yang luas hasil tersebut dilaporkan pada Fallow deer antara 3 sampai 24 (Jabbour et

al., 1994); antara 0 sampai 15 (Morrow et al., 1994), pada Pere David deer menghasilkan 1 sampai 8

ovulasi dan pada Red deer 4 sampai 23 ovulasi (Argo et al., 1992), pada White tailled deer menghasilkan

1 sampai 8 ovulasi (Waldhalm et al., 1989).

Tabel 3. Hasil pengumpulan embrio rusa Bawean

No Total ovulasi Hasil pengumpulan embrio

340 5 3

303 2 0

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah diamati dibawah mikroskop cairan yang didapat

pada pengambilan embrio rusa No 303 tidak didapatkan embrio sama sekali (Tabel 3). Pada rusa No. 340

didapatkan 3 embrio yang berada pada stadium morulla. Berikutnya dua embrio di transfer pada dua rusa

betina resipien dan menghasilkan satu kebuntingan. Keberhasilan pelaksanaan embrio transfer pada rusa

bermanfaat untuk konservasi rusa langka yang berasal dari daerah tropik. Pada penelitian in problem

Page 173: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

173

utama pelaksanaan embrio transfer ini ialah rendahnya recovery rate embrio yang memenuhi kriteria

untuk dapat di transfer (Morrow et al., 1994) tidak ditemui.

KESIMPULAN DAN SARAN

Rusa bawean memberikan respons yang baik terhadap program multipel ovulasi menggunakan

kombinasi hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan dosis kecil Folllicle Stimulating

Hormon (FSH) diberikan secara seri secara menurun. Dengan kawin alam kedua donor betina rusa

Bawean tersebut di kawini oleh rusa jantan, dan pada saat pemeriksaan ovarium total ovulasi masing

masing adalah 5 ovulasi dan 2 ovulasi. Dari 7 ovulasi hanya didapatkan 3 embrio yang berada pada

stadium morula. Berikutnya dua embrio di transfer pada dua rusa betina resipien dan menghasilkan satu

kebuntingan.

Karena keterbatasan jumlah rusa, diperlukan studi lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang

lebih representatif.

DAFTAR PUSTAKA

Argo C. Mc. G., Jabbour H.N., Webb R. and Loudon A.S.I. 1992. Endocrine and ovarian responses in red and Pere

David's deer following superovulation with PMSG and FSH. Journal of Reproduction and Fertility. :31.

Asher G.W., Fisher M.W., Jabbour H.N., Smith J.F., Mulley R.C., Morrow C.J., Veldhuizen F.A and Langridge M. 1992a Relationship between the onset of oestrus, preovulatory surge in luteinizing hormone and ovulation following

oestrus synchronisation and superovulation of farmed deer (Cervus elaphus). Journal of Reproduction and

Fertility. 96:261-273.

Asher G.W., Jabbour H.N., Berg D.K., Fisher M.W, Fennessy P.F. and Morrow C.J. 1991. Artificial insemination, embryo transfer and gamete manipulation of farmed red deer and fallow deer. Proceedings of a deer course for

veterinarians, New Zealand Veterinary Assoc, no 8:275-306.

Blouch R. dan Atmosoedirdjo S. 1987. Biology of the Bawean deer and prospects for its management. Biology and

Management of the cervidae. Smithsonian Instutute Press. Washington DC.:320-327.

Bringans M.J. 1989. Embryo transfer in deer: an update. Proceedings of a Deer Course for Veterinarians. New Zealand

Veterinary Association. no 6:21-28.

Dixon T.E. 1986. Embryo transfer in deer- the state of art. Proceedings of a Deer Course for Veterinarians. New Zealand

Veterinary Association. no 3:96-103.

Dradjat A.S. 1996. Artificial breeding and reproductive management in chital deer. Ph.D Thesis. The University of

Sydney.

English A.W. 1994b The role of veterinarian in the preservation of biodiversity. Proceedings of the 1994 annual

conference of the australian association of veterinary conservation biologist. Canberra: 5-9.

Fennessy P.F., Asher G.W., Beatson N.S., Dixon T.E., Hunter J.W. dan Bringans M.J. 1994. Embryo Transfer in

deer. Theriogenology. 41:133-138.

Groombridge B. 1993. 1994 IUCN Red list of threatened Animals. IUCN-The World Conservation Union. 25-26.

Heywood E.R. 1993 Embryo transfer in sheep. Embryo transfer in sheep and goats. Post graduate committee in Veterinary Sci. Sydney University. Proc. No 215 :69-75.

Jabbour H.N., Marshall V., Argo C., Hooton J. and Loudon A.S.I. 1994. Successful embryo transfer following artificial

insemination of superovulated fallow deer (Dama-dama). Reproduction, Fertility and Development. 6:181-185.

Jabbour H.N., Veldhuizen F.A and Asher G.W. 1992. Effect of oestrus synchronisation on fertility of fallow deer following cervical insemination with fresh or frozen-thawed spermatozoa. Journal of Reproduction and

Fertility. (Abstract series) 9:31.

Joubert S.M. and Kidd G.N., 1991. Field trials with superovulation, artificial insemination and embryo transfer in fallow

deer (Dama dama dama) in Western Australia. Proceedings of a Deer Course for Veterinarians. (N.Z.V.A.) no 8:243-248.

Klein D.R. 1992. The status of deer in a changing world environment. Proceedings of the International symposium on

biology of deer, editor: Brown R.D. Springer-Verlag New York Inc. :3-12.

Page 174: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

174

Mace G.M., Pemberton J.M. and Stanley H.F. 1992. Conserving genetic diversity with the help of biotechnology-desert antelopes as an example. Biotechnology and the conservation of genetic diversity. Symposia of the Zoological

Society of London. no 64:123-134.

Magyar S.J. 1992. Synchronisation of oestrus, superovulation and embryo transfer in captive white-tailed deer. PhD

Thesis, Texas A&M University.

Morrow C.J., Asher G.W., Berg D.K., Tervit H.R., Pugh P.A., McMillan W.H., Beaumont S., Hall D.R.H. and Bell

A.C.S. 1994. Embryo transfer in fallow deer (Dama dama): Superovulation, embryo recovery and

laparoscopic transfer of fresh and cryopreserved embryos. Theriogenology. 42:579-590.

Mylrea G.E. 1992. Natural and artificial breeding of farmed chital deer (Axis-axis) in Australia. PhD. Thesis, Sydney University.

Ralls K., Brugger K. and Ballou J. 1979. Inbreeding and juvenile mortality in small population of ungulates, Science,

206:1101-1103.

Wagner H.G.R. 1987. Present status of embryo transfer in cattle. World Animal Review. 64: 2-11.

Waldhalm S.J., Jacobson H.A., Dhungel S.K. and Bearden H.J. 1989. Embryo transfer in the white-tailed deer: a

reproductive model for endangered deer species of the world. Theriogenology. 31:437-450.

Whitehead G.K. 1977. Endangered deer. The world of wildlife. Editor: N Sitwell. The Hanlyn publishing group Ltd. :32-

41.

DISKUSI

Pertanyaan:

1. Apa perbedaan Inseminasi Buatan dan Embrio Transfer?

2. Apakah embrio transfer dapat dilakukan tanpa pembedahan?

Jawaban :

1. Inseminasi Buatan berbeda dengan Embrio Transfer tergantung dari tujuan pemeliharaan ternak

tersebut. Sementara ini kduanya bertujuan untuk mempertahankan dan mengembangkan plasma

nutfah.

2. Pembedahan dilakukan pada transfer embrio, namun transfer embrio dapat dilakukan tanpa

pembedahan hanya saja diperlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut.

Page 175: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

175

KASUS PENYAKIT INFEKSI BAKTERI PADA IKAN KERAPU

DI KERAMBA JARING APUNG TELUK EKAS,

KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT

Fris Johnny 1, Prisdiminggo

2 dan Des Roza

1

1Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali PO BOX 140, Singaraja 81101, Bali 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB PO BOX 1017 Mataram 87010 Mataram

ABSTRACT

The groupers cultured on net cages as develop at Ekas Bay, Kabupaten Lombok Timur, NTB by Institute

Research Technology for Agriculture, NTB. Groupers culture as humpback grouper, Cromileptes altivelis, tiger grouper, Epinephelus fuscoguttatus, and orangespotted grouper, Epinephelus coioides. Groupers showed clinical

signs furuncles or hemorrhagic ulcers on body surface and the lesions develop to erosion with hemorrhages on fin.

An experiment was aimed to isolate and characterize bacteria from infected groupers. Bacteria isolate from ulcers and

finrot of diseased fish grew well at Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose Agar (TCBSA) giving yellow colony. The bacteria was identified as Vibrio sp.

Keywords : bacterial diseases, groupers, net cage, Ekas Bay

ABSTRAK

Budidaya ikan kerapu di dalam keramba jaring apung (KJA) telah dikembangkan oleh Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian, NTB di Teluk Ekas, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Ikan kerapu yang telah dibudidayakan

adalah jenis ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus,dan ikan kerapu

lumpur, Epinephelus coioides. Pada budidaya ikan kerapu tersebut ditemukan ikan sakit dengan gejala klinis borok pada bagian tubuh dan sirip busuk. Dari gejala klinis tersebut diduga ikan kerapu terserang penyakit infeksi bakteri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis bakteri penyebab penyakit pada ikan kerapu budidaya. Di

Laboratorium Patologi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali, ikan kerapu bebek, ikan kerapu

macan dan ikan kerapu lumpur yang sakit telah diisolasi isolat bakteri dari borok dan sirip yang busuk. Isolat tersebut dapat tumbuh baik pada media ―thiosulphate citrate bile salt sucrose agar‖ (TCBSA) dengan warna koloni kuning

Bakteri ini diklasifikasikan ke dalam genus Vibrio sp.

Kata kunci : penyakit infeksi, bakteri, ikan kerapu, keramba jaring apung, Teluk Ekas

PENDAHULUAN

Budidaya ikan kerapu pada beberapa lokasi di Indonesia sudah semakin berkembang, terutama

budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung (KJA). Hal ini disebabkan karena semakin tersedianya

benih secara teratur, baik dalam jumlah maupun ukuran. Panti benih di Gondol, Bali bagian utara telah

semakin berkembang dan mampu menjamin pasokan benih. Tadinya benih ikan kerapu sangat

mengandalkan pasokan alam yang jumlahnya sangat terbatas dan waktu pasok yang tidak menentu.

Karena itu pemerintah mendorong segala upaya yang mengarah kepada kegiatan budidaya ikan kerapu

khususnya melalui jaring apung di laut (Subiyanto et al., 2001).

Usaha budidaya laut merupakan salah satu usaha yang dapat memberikan alternatif sumber

penghasilan untuk meningkatkan pendapatan bagi nelayan. Apabila usaha budidaya berkembang, maka

produksi dapat ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya. Dampak lebih lanjut dari usaha ini adalah

kesejahteraan masyarakat nelayan mengalami peningkatan (Akbar, 2001).

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB telah mencoba mengembangkan keramba jaring

apung di Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB. Usaha budidaya ikan kerapu di keramba

jaring apung yang dikembangkan adalah jenis kerapu bebek (Cromileptes altivelis), kerapu macan

(Epinephelus fuscoguttatus), dan kerapu lumpur (Epinephelus coioides). Pengembangan usaha budidaya

ikan kerapu di keramba jaring apung mempunyai kelebihan antara lain rendahnya biaya operasional

dibandingkan dengan nilai ekonomi yang dihasilkan serta teknologi budidayanya yang sederhana dan

mudah diadaptasikan di masyarakat petani nelayan secara luas.

Permasalahan yang timbul pada budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung adalah terjadinya

penyakit. Salah satu penyakit yang ditemukan pada ikan kerapu adalah penyakit infeksi bakteri dengan

Page 176: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

176

gejala klinis adanya borok pada bagian tubuh, dan sirip yang busuk (Koesharyani & Zafran, 1997; Zafran

et al., 1998; Koesharyani et al., 2001; Wijayati & Djunaidah, 2001; Johnny & Roza, 2002; Johnny &

Prisdiminggo, 2002).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang menginfeksi ikan kerapu di keramba

jaring apung.

METODE

Ikan Uji

Dari keramba jaring apung dikoleksi ikan uji dari ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan

kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu lumpur. Epinephelus coioides. Ikan uji yang

digunakan adalah dari kelompok ikan yeng terlihat sakit dengan memperlihatkan gejala klinis. Setiap

ikan uji dari masing-masing kelompok diamati gejala klinis yang terlihat, seperti perubahan warna kulit,

luka-luka erosi disertai pendarahan, dan pembusukan pada sirip.

Isolasi dan Identifikasi Bakteri

Koleksi isolat bakteri diambil dari borok pada bagian tubuh ikan kerapu, dan bagian sirip yang

busuk. Isolasi dilakukan pada media penumbuh”tryptone soya agar‖ (TSA), media ―thiosulphate citrate

bile salt sucrose agar‖ (TCBSA), kemudian diinkubasi pada suhu 25-280C selama 24-48 jam. Pemurnian

terhadap bakteri yang tumbuh dominan pada media TSA dan TCBSA dilakukan dengan menggunakan

media ―marine agar‖ (MA). Hasil pemurnian bakteri ini selanjutnya digunakan sebagai bahan uji.

Identifikasi isolat bakteri dilakukan berdasarkan acuan (Holt et al., 1994).

Isolasi Ulang Bakteri

Isolat bakteri uji dibiakkan dalam media MA yang diinkubasikan selama 24-48 jam pada suhu

260C, kemudian dipanen menggunakan air laut steril. Kepadatan bakteri 10

8 cfu/mL ditentukan

berdasarkan McFarland “equivalence turbidity standard 1.0” setara dengan kepadatan bakteri 108

cfu/mL. Selanjutnya isolat bakteri tersebut digunakan sebagai bahan infeksi buatan dengan cara

menyuntikkan intraperitoneal sebanyak 0,1 mL/individu. Ikan kontrol disuntik menggunakan NaCl

fisiologis dengan dosis yang sama. Ikan uji yang digunakan adalah juvenil ikan kerapu bebek, ikan

kerapu macan, dan ikan kerapu lumpur, bobot antara 8-19 gram, panjang total antara 5-9 cm masing-

masing 10 ekor untuk setiap kelompok. Pengamatan dilakukan terhadap gejala klinis dan mortalitas ikan

uji, dan melakukan isolasi ulang bakteri dari organ ginjal dan luka erosi.

Uji Sensitivitas terhadap Antibiotik

Dari isolat bakteri yang diperoleh dilakukan uji sensitivitas terhadap antibiotik dilakukan secara

in-vitro. Bakteri uji dioleskan secara merata pada lempengan media agar, selanjutnya pada bagian

permukaan diletakkan lempeng antibiotik yang sudah mengandung antibiotik yang akan diuji, yaitu

eritromisin (15 g), ampisilin (10 g), klorampenikol (30 g), dan oksitetrasiklin (30 g), produksi Oxoid

Unipath Limited, Besingstoke, Hampshire, UK. Kemudian diinkubasikan pada suhu 26 0C selama 24

jam. Tingkat sensitivitas ditentukan melalui pengukuran zona penghambatan yang diakibatkan oleh

masing-masing antibiotik uji.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi dan Identifikasi Bakteri

Isolat bakteri dominan diisolasi dari luka erosi atau borok dan sirip busuk pada ikan kerapu

bebek, ikan kerapu macan, dan ikan kerapu lumpur yang sakit, berasal dari keramba jaring apung di

daerah Teluk Ekas, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dari isolat dominan yang diperoleh

selanjutnya diberi kode LG-1802, LG-2802, LG-3802, LG-4802, LG-5802, LG-6802, dan LG-7802,

selanjutnya digunakan dalam penelitian ini (Tabel 1).

Page 177: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

177

Tabel 1. Pertumbuhan bakteri yang diisolasi dari borok dan sirip busuk pada media tumbuh bakteri

Organ Media bakteri

TSA TCBSA

Borok + +

Sirip busuk + +

Tabel 1, menunjukkan bahwa isolat bakteri yang dimurnikan pada media MA adalah isolat yang

tumbuh pada media TSA dan TCBSA. Pada media TSA hampir semua jenis bakteri tumbuh dan tidak

spesifik untuk satu bakteri. Sedangkan pada media TCBSA bakteri yang tumbuh adalah spesifik untuk

bakteri dari genus vibrio.

Dengan berpedoman kepada Holt et al. (1994) isolat bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802

diidentifikasikan sebagai genus vibrio. Tabel 2 menunjukkan karakter dari isolat tersebut antara lain

gram negatif, sitokrom oksidase positif, dan sensitif terhadap agen vibrio statik 0/129 150 mg. Bakteri

vibrio dapat bersifat patogen terhadap ikan, seperti Vibrio harveyi yang ditemukan sebagai penyebab

penyakit mata pada ikan bandeng, Chanos chanos di Filipina (Muroga et al., 1984), kasus infeksi mata

ikan common snook, Centropomus undecemalis (Kraxberger et al., 1990).

Gambar 1. Penyakit borok pada ikan kerapu

Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali kasus penyakit borok pada ikan

kerapu merupakan salah satu penyakit penting pada budidaya ikan kerapu di dalam keramba jaring apung.

Penyakit ini dapat menyebabkan kematian masal seperti halnya infeksi iridovirus. Sampai sekarang

penyakit ini ditemukan pada calon induk kerapu lumpur dan fingerling kerapu macan. Pada fingerling

kerapu macan, penyakit ini terjadi 1 minggu setelah ikan dipelihara di dalam keramba jaring apung.

Mortalitas dari masing-masing kasus dapat mencapai 10-20% meskipun telah diterapi dengan antibiotik.

Pada kasus penyakit borok pada ikan kerapu (Gambar 1), ikan yang mengalami kematian secara akut

memperlihatkan beberapa gejala eksternal, sedangkan pada kasus kronis terlihat pembengkakan atau luka-

luka kemerahan yang merupakan ciri khas yang dapat diamati pada permukaan tubuh. Bakteri penyebab

infeksi ini termasuk ke dalam genus Vibrio dan di Gondol telah diidentifikasi sebagai Vibrio alginolyticus

(Koesharyani et al., 2001).

Kasus penyakit sirip busuk pada ikan kerapu, penyebab utama adalah jenis bakteri Flexibacter

yang menyerang ikan kerapu bebek. Pada ikan kerapu bebek yang dibudidayakan di panti benih sering

Gambar 2. Penyakit sirip busuk pada ikan kerapu

Page 178: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

178

ditemukan adanya sirip busuk dengan luka kemerahan (Gambar 2). Dari luka-luka ini, satu jenis bakteri

telah diisolasi dan diidentifikasikan sebagai bakteri Flexibacter maritimus. Meskipun bakteri ini bukan

penyebab dari sistemik septikemia, jika pengobatan tidak dilakukan, maka kondisi ikan akan semakin

buruk dengan infeksi sekunder oleh vibrio (Koesharyani et al., 2001; Johnny & Roza, 2002; Johnny &

Prisdiminggo, 2002).

Dalam percobaan ini bakteri Flexibacter maritimus sebagai infeksi primer tidak dapat diisolasi

dan diidentifikasi, diduga bakteri vibrio sebagai infeksi sekunder sudah sangat dominan. Kasus sirip

busuk pada ikan kerapu menunjukkan bakteri vibrio hanya berperan dalam infeksi sekunder yang dapat

timbul setiap waktu tergantung pada faktor lingkungan serta faktor lainnya (Saeed, 1995).

Bakteri vibrio diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat ganas

dan berbahaya pada budidaya ikan kerapu karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan sekunder.

Sebagai patogen primer bakteri masuk tubuh ikan melalui kontak langsung, sedangkan sebagai patogen

sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain, misalnya oleh parasit (Post, 1987).

Ikan kerapu di alam merupakan ikan karang dengan habitat asli di daerah terumbu karang di laut

dalam yang jernih dan bersih. Berkembangnya bakteri vibrio di suatu perairan merupakan indikator

perairan yang kurang menguntungkan bagi ikan dengan kandungan nutrien yang tinggi (Andrews et al.,

1988).

Penyakit yang disebabkan oleh vibrio juga merupakan masalah yang sangat serius dan umum

menyerang ikan-ikan budidaya laut dan payau. Penularannya dapat melalui air atau kontak langsung

antar ikan dan menyebar sangat cepat pada ikan-ikan yang dipelihara dengan kepadatan tinggi. Bakteri

vibrio yang menginfeksi ikan kerapu stadia juvenil selain lemah, berwarna kusam kehitaman, dan

produksi lendir berlebihan. Pada tingkat parah, sirip punggung dan sirip ekor gripis dengan permukaan

kulit menghitam seperti terbakar (Schubert, 1987).

Isolasi Ulang Bakteri

Isolat LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 dilakukan uji patogenisitas bakteri terhadap ikan kerapu

sehat. Dari hasil pengamatan ternyata bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 pada kepadatan 108

cfu/ml dalam 24 jam setelah penyuntikan secara intra muscular memperlihatkan gejala klinis luka

kemerahan pada tempat penyuntikan. Hasil isolasi ulang bakteri dari organ ginjal dan luka pada lokasi

penyuntikan ikan uji ternyata didapat bakteri jenis yang sama. Adanya bakteri yang sama pada ginjal

membuktikan bahwa ginjal mempunyai fungsi retikulo-endotelial, yaitu kemampuan suatu organ untuk

menyerap bakteri dari darah, dimana akumulasi bakteri yang diinjeksikan secara intramuskular lebih

banyak ditemukan pada organ ginjal dan limpa daripada dalam organ hati (Saeed, 1995).

Tabel 2. Karakteristik dari bakteri isolat LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 yang diisolasi dari borok dan sirip busuk ikan kerapu

bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu Lumpur, Epinephelus

coioides.

Karakteristik Isolat LG-2802, LG-5802 dan

LG-7802

Holt et al.

(1994)

Isolasi ulang dari ginjal dan

luka erosi

Pewarnaan Gram - - -

Sitokrom oksidase + + +

Katalase + Nt +

Cahaya - D -

Gerakan D D D

Pertumbuhan pada TCBSA Y Y/G Y

Pertumbuhan pada NaCl :

0 % - - -

3 % + + +

6 % + + +

10 % - Nt -

L - Arginin - D -

L - Lysin + D +

L - Ornithin + D +

Hugh - Leifson (O-F) F F F

Peka terhadap 150 mg

agen vibriotik 0/129

S

S

S

Sumber : Holt et al. (1994)

D = Karakter berbeda antar spesies, Y = Kuning, F = Fermentatif, S = Peka, Nt = Tidak diuji, G = Hijau

Page 179: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

179

Sensitivitas Bakteri terhadap Antibiotik

Pengujian dilakukan dengan menggunakan lempeng antibiotik untuk mengetahui jenis antibiotik

yang dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian infeksi bakteri baik melalui pakan maupun

perendaman. Tabel 3 menunjukkan bahwa bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 sensitif terhadap

antibiotik kloramfenikol (30 g) dan oksitetrasiklin (30 g) dan tahan terhadap antibiotik ampisilin (10

g) dan eritromisin (15 g) yaitu dengan melihat diameter zona penghambatannya.

Daya hambat antibiotik kloramfenikol terlihat lebih tinggi, akan tetapi untuk upaya pengendalian

infeksi bakteri vibrio tidak dapat diaplikasikan, karena antibiotik tersebut berbahaya bagi manusia serta

dapat menimbulkan resistensi terhadap bakteri. Koesharyani et al., (2001) menyatakan bahwa

pengendalian infeksi bakteri seperti penyakit finrot efektif menggunakan nifurpirinol 10,0% dengan dosis

1-2 ppm selama 24 jam. Namun terhadap ikan kerapu macan yang telah kehilangan sirip ekor tidak dapat

disembuhkan.

Tabel 3. Sensitivitas bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 terhadap beberapa antibiotik secara invitro

Jenis Lempeng Antibiotik Konsentrasi Zona Penghambatan

Eritromisin 15 g 12 mm

Ampisilin 10 g 8 mm

Kloramfenikol 30 g 39 mm

Oksitetrasiklin 30 g 33 mm

KESIMPULAN

Bakteri penyebab penyakit borok dan sirip busuk pada ikan kerapu di dalam keramba jaring

apung adalah bakteri dari genus Vibrio sp.

SARAN

Upaya pengendalian penyakit borok dan sirip busuk pada ikan kerapu tidak disarankan

menggunakan antibiotik kloramfenikol, karena mempunyai efek negatif pada manusia dan dapat

menyebabkan bakteri menjadi resisten. Sebagai alternatif, disarankan menggunakan Nifurpirinol 10%

dengan dosis 1-2 ppm selama 24 jam.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S. 2001. Pembesaran Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) dan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Karamba Jaring Apung. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional

Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 141-148.

Andrews, C., A. Exell and N. Carrington. 1988. The Manual of Fish Health. Salamander Books Limited. London.

New York. 208pp.

Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Staley and S.T. Williams. 1994. Bergey‘s Manual of Determinative

Bacteriology. Ninth Edition. Williams & Wilkins. Baltimore. USA. pp.

Johnny, F. dan D. Roza. 2002. Kejadian Penyakit pada Budidaya Ikan Kerapu dan Upaya Pengendaliannya.

Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali. 14 hal.

Johnny, F., dan Prisdiminggo. 2002. Studi Kasus Penyakit Fin Rot Pada Ikan Kerapu Macan, Epinephelus

Fuscoguttatus Di Karamba Jaring Apung Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB. Laporan

Hasil Penelitian Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali. 9 hal.

Kraxberger-Beatty, T., D.J. Mc. Garey, H.J. Grier and D.V. Lim. 1990. Vibrio harveyi an Opportunistic Pathogen of Common Snook, Centropomus undecimalis (Bloch), Held in Captivity. Journal Fish Diseases. 13:557-

560.

Koesharyani, I. and Zafran. 1997. Studi Tentang Penyakit Bacterial Pada Ikan Kerapu. Jur. Pen. Perikanan

Indonesia. III(4):35-39.

Koesharyani, I., D. Roza, K. Mahardika, F. Johnny, Zafran and K. Yuasa. 2001. Marine Fish and Crustaceans Diseases

in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis II (Ed. by K. Sugama, K. Hatai and T. Nakai). 49 p.

Gondol Research Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency.

Page 180: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

180

Muroga, K., Gilda Lio-Po, C. Pitogo and R. Imada. 1984. Vibrio sp. isolated from Milkfish (Chanos chanos) With Opaque Eyes. Fish Pathology. 19(2):81-87.

Post, G. 1987. Texbook of Fish Health. T.F.H. Publications Inc. USA. 288 pp.

Saeed, O. 1995. Association of Vibrio harveyi With Mortalities in Cultured Marine Fish in Kuwait. Aquaculture.

136:21-29.

Schubert, G. 1987. Fish Diseases a Complete Introduction. T.F.H. Publications Inc. USA. 125 pp.

Subiyanto, I. Adisuko, S. Anwar, N. Yustiningsih, S. Prayitno, dan P. Sumardika. 2001. Pengkajian dan

Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Nasional. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya

Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 61-67.

Wijayati, A. dan I.S. Djunaidah. 2001. Identifikasi Patogen Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Pada

Berbagai Stadia Pemeliharaan. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan

Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 81-88.

Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny and K. Yuasa. 1998. Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis (Ed. by K. Sugama, H. Ikenoue and K. Hatai). 44 p. Gondol Research

Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency.

Page 181: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

181

KEJADIAN PENYAKIT INFEKSI PARASIT PADA IKAN KERAPU

DI KERAMBA JARING APUNG TELUK EKAS,

KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT

Fris Johnny1)

, Des Roza1)

dan Prisdiminggo2)

1) Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali PO BOX 140, Singaraja 81101, Bali 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat PO BOX 1017 Mataram 87010 Mataram

ABSTRACT

The groupers cultured on net cages have developed at Ekas Bay, District Lombok Timur, NTB by Research

Institute for Technology Agricultured NTB. Groupers culture as humpback grouper, Cromileptes altivelis, tiger grouper, Epinephelus fuscoguttatus, and orangespotted grouper, Epinephelus coioides. An experiment to identify

some parasites that commonly infest on groupers has been conducted at net cage by Patology Laboratory of Institute

Research for Mariculture, Gondol. Parasites were identified microscopically. Results showed that common parasites

infest on groupers were Neobenedenia, Diplectanum and Haliotrema.

Keywords: parasitic diseases, groupers, net cage, Ekas Bay

ABSTRAK

Upaya budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung telah dikembangkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB di Teluk Ekas, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Ikan kerapu yang telah dibudidayakan adalah jenis

ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus,dan ikan kerapu lumpur,

Epinephelus coioides. Penelitian untuk mengetahui jenis parasit yang menginfeksi ikan kerapu di keramba jaring

apung telah dilakukan di Laboratorium Patologi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali. Sampel parasit diidentifikasi dengan pengamatan langsung secara mikroskopis terhadap preparat segar dari insang dan parasit

yang diperoleh melalui perendaman ikan dalam air tawar. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa parasit yang

menginfeksi ikan kerapu adalah Neobenedenia, Diplectanum dan Haliotrema.

Kata kunci: penyakit infeksi, parasit, ikan kerapu, keramba jaring apung, Teluk Ekas

PENDAHULUAN

Budidaya ikan kerapu pada beberapa lokasi di Indonesia semakin berkembang, terutama

budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung (KJA). Hal ini disebabkan karena semakin tersedianya

benih secara teratur, baik dalam jumlah maupun ukuran. Panti benih di Gondol, Bali bagian utara telah

semakin berkembang dan mampu menjamin pasokan benih. Pada awalnya benih ikan kerapu sangat

mengandalkan pasokan alam yang jumlahnya sangat terbatas dan waktu pasok yang tidak menentu.

Karena itu pemerintah mendorong segala upaya yang mengarah kepada kegiatan budidaya ikan kerapu

khususnya melalui jaring apung di laut (Subiyanto et al., 2001).

Usaha budidaya laut merupakan salah satu usaha yang dapat memberikan alternatif sumber

penghasilan untuk meningkatkan pendapatan bagi nelayan. Apabila usaha budidaya berkembang, maka

produksi ikan dapat ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya. Dampak lebih lanjut dari usaha ini

adalah kesejahteraan masyarakat nelayan mengalami peningkatan (Akbar, 2001).

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB telah mencoba mengembangkan keramba jaring

apung di Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB. Usaha budidaya ikan kerapu di keramba

jaring apung yang dikembangkan adalah jenis ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu

macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu Lumpur, Epinephelus coioides. Pengembangan usaha

budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung mempunyai kelebihan antara lain rendahnya biaya

operasional dibandingkan dengan nilai ekonomi yang dihasilkan serta teknologi budidayanya yang relatif

sederhana dan mudah diadaptasikan di masyarakat petani nelayan secara luas.

Salah satu permasalahan yang timbul pada budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung adalah

terjadinya penyakit. Kematian ikan kerapu di keramba jaring apung dan induk ikan kerapu di panti

benih merupakan kendala yang sering dihadapi. Pada ikan kerapu yang mati biasanya banyak ditemukan

parasit, baik pada insang, kulit, maupun mata. Ikan kerapu yang dibudidayakan pada keramba jaring

apung pada kondisi kepadatan tinggi, dan jaring kotor serta jarang diganti dan dibersihkan, memacu

Page 182: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

182

kecepatan perkembangbiakan organisme parasit dan penyakit sehingga dapat merugikan inang, bahkan

dapat menyebabkan kematian.

Leong (1994) melaporkan infeksi parasit pada ikan kerapu dan ikan kakap telah dilaporkan oleh

di Malaysia dari spesies Benedenia. Di Indonesia infeksi oleh parasit Benedenia, Neobedenia,

Diplectanum, Pseudorhabdosynochus, Haliotrema, Trichodina, Lepeophtheirus, dan Cryptocaryon

irritans pada ikan kerapu dilaporkan Zafran et al. (1997). Dari pengamatan parasit pada ikan kerapu di

Gondol, Neobedenia lebih dominan dibanding Benedenia dan ukurannyapun terlihat lebih besar (Zafran

et al., 1997). Parasit Neobedenia girellae ditemukan di Jepang pertama kali pada tahun 1991, parasit ini

sekarang termasuk patogen yang penting di Jepang, sebab dapat mematikan inang, tingkat spesifik inang

yang rendah, dan tersebar luas (Ogawa et al., 1995). Parasit ini terutama ditemukan di daerah tropis

(Bondad-Reantaso et al., 1995). Parasit Diplectanum dilaporkan menyerang ikan laut budidaya pada

keramba jaring apung di Singapura, dan parasit Haliotrema menginfeksi ikan kakap, Lutjanus johni

(Leong, 1994).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang menginfeksi ikan kerapu di keramba

jaring apung.

METODE

Ikan Uji

Ikan uji adalah ikan kerapu yang dibudidayakan di dalam keramba jaring apung di Teluk Ekas,

Lombok Timur, NTB. Jenis ikan kerapu yang diuji yaitu; ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan

kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu Lumpur, Epinephelus coioides dengan bobot

antara 80 – 240 gram.

Identifikasi Parasit

Pertama, dilakukan pemotongan sedikit lamella insang, diletakkan pada kaca slide dan diamati

serta diidentifikasi secara langsung dengan menggunakan mikroskop. Kedua, sampel parasit diperoleh

dengan cara merendam ikan kerapu dalam air tawar selama 10-15 menit sampai parasit yang menempel

pada ikan terlepas. Parasit yang terlepas selanjutnya dikumpulkan dalam botol, sebagian diamati dan

diidentifikasi secara langsung melalui mikroskop, sebagian sampel diawetkan dalam buffer formalin.

Identifikasi parasit dilakukan secara mikroskopis terhadap preparat segar dan preparat awetan

berdasarkan Grabda (1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari ikan kerapu yang dibudidayakan di dalam keramba jaring apung di Teluk Ekas, Lombok

Timur, NTB, parasit yang umum ditemukan menginfeksi ikan kerapu adalah dari klas Trematoda

Monogenea yaitu; Neobenedenia, Diplectanum, dan Haliotrema.

Parasit Neobenedenia

Dari ikan kerapu yang direndam dengan air tawar selama 10-15 menit setelah diidentifikasi

sesuai dengan metoda Grabda (1991) ditemukan parasit Neobenedenia (Gambar 1). Parasit ini termasuk

Ordo Dactylogyridea, Famili Capsilidae. Monogenean Capsalid dikenal sebagai cacing kulit dan

merupakan parasit eksternal yang paling umum pada budidaya ikan laut. Capsalid meliputi beberapa

spesies dan mempunyai kesamaan morphologi yaitu berbentuk oval (lonjong) dan gepeng dengan

sepasang sucker bulat (anterior sucker) pada tepi bagian depan dan sebuah haptor besar (opisthapthor)

pada tepi bagian belakang. Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, telah ditemukan

beberapa jenis Capsalid yang didapat dari induk ikan-ikan kerapu, ikan napoleon dan ikan kakap.

Capsalid yang ditemukan pada ikan kerapu bebek telah diidentifikasi sebagai Neobenedenia girellae dan

Benedenia epinepheli. Neobenedenia girellae mempunyai tingkat patogenisitas yang lebih tinggi

dibandingkan dengan Benedenia epinepheli, karena Neobenedenia girellae selain dapat menginfeksi kulit

juga menyerang mata yang menyebabkan kebutaan. Ikan kerapu yang terinfeksi Neobenedenia girellae

memperlihatkan gejala klinis; kehilangan nafsu makan, tingkah laku berenangnya lemah dan adanya

perlukaan karena infeksi sekunder bakteri. Secara spesifik terlihat adanya mata putih keruh, yang

Page 183: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

183

menimbulkan kebutaan yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Sebaliknya jenis Capsalid yang lain tidak

meyebabkan mata putih keruh pada ikan yang teinfeksi. Capsalid merupakan parasit yang tidak berwarna

yang ada di permukaan badan ikan, sehingga sangat sulit untuk mengetahui adanya infeksi parasit. Untuk

itu, merendamkan ikan beberapa menit dalam air tawar adalah cara yang sangat mudah untuk mengetahui

adanya infeksi karena parasit akan segera berubah warna menjadi putih didalam air tawar tersebut. Upaya

pengendalian terhadap infeksi parasit ini, dianjurkan merendam dalam air tawar selama 10-15 menit atau

dalam H2O2 150 ppm selama 30 menit (Zafran et al., 1997; Zafran et al., 1998; Koesharyani et al., 2001).

Gambar 1. Parasit Neobedenia yang menginfeksi ikan kerapu

Parasit Diplectanum

Dari pengamatan secara mikroskopis terhadap sayatan segar lamella insang ikan kerapu

menggunakan mikroskop, setelah diidentifikasi parasit pada insang ikan kerapu tersebut diketahui sebagai

Diplectanum (Gambar 2). Parasit Diplectanum termasuk Ordo Dactylogyridea, Famili Diplectanidae

dan dikenal sebagai parasit Monogenetik trematoda insang. Parasit Diplectanum disebut juga cacing

insang, merupakan parasit yang cukup berbahaya dan sering ditemukan pada ikan laut. Beberapa jenis

parasit insang dapat menyebabkan kematian yang cukup serius pada ikan yang dibudidaya . Parasit

Diplectanum mempunyai kekhasan yang membedakannya dari spesies lain dalam Ordo Dactylogyridea

yaitu mempunyai squamodisc (satu di ventral dan satu di dorsal), dan sepasang jangkar yang terletak

berjauhan (Zafran et al., 1997). Parasit Diplectanum adalah parasit yang hidup pada insang ikan. Ikan

kerapu yang terinfeksi Diplectanum terlihat bernapas lebih cepat dengan tutup insang yang selalu

terbuka. Infeksi Diplectanum mempunyai hubungan erat dengan penyakit sistemik seperti vibriosis.

Insang yang terinfeksi biasanya berwarna pucat dan produksi lendirnya berlebihan (Chong & Chao,

1986). Ikan kerapu yang terinfeksi memperlihatkan gejala klinis; menurunnya nafsu makan, tingkah laku

berenang yang abnormal pada permukaan air, warna tubuh berubah menjadi pucat. Serangan berat dari

parasit ini dapat merusak filamen insang dan kadang-kadang dapat menimbulkan kematian karena adanya

gangguan pernapasan. Warna insang ikan kerapu yang terinfeksi terlihat pucat. Upaya pengendaliannya

dapat dilakukan dengan perendaman 250 ppm formalin selama 1 jam atau perendaman dalam air laut

salinitas tinggi yaitu 60 ppt selama 15 menit (Zafran et al., 1998; Koesharyani et al., 2001).

Gambar 2. Parasit Diplectanum

Page 184: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

184

Parasit Haliotrema

Parasit ini termasuk Ordo Dactylogyridea, Famili Diplectanidae dan dikenal sebagai parasit

Monogenetik trematoda insang. Parasit Haliotrema (Gambar 3) disebut juga cacing insang, merupakan

parasit yang cukup berbahaya dan sering ditemukan pada ikan laut. Seperti parasit Diplectanum, parasit

ini juga diidentifikasi dari preparat segar insang secara mikroskopis menggunakan mikroskop. Parasit ini

dapat diidentifikasikan berdasarkan bentuk karakteristik morfologinya. Di Balai Besar Riset Perikanan

Budidaya Laut Gondol, jenis Haliotrema sp., adalah salah satu jenis parasit insang penyebab kematian

masal pada ikan kerapu bebek (Zafran et al., 1998). Ikan kerapu yang terinfeksi memperlihatkan gejala

klinis; menurunnya nafsu makan, tingkah laku berenang yang abnormal pada permukaan air, warna tubuh

berubah menjadi pucat. Serangan berat dari parasit ini dapat merusak filamen insang dan kadang-kadang

dapat menimbulkan kematian karena adanya gangguan pernapasan. Warna insang ikan kerapu yang

terinfeksi terlihat pucat. Upaya pengendaliannya dapat dilakukan dengan perendaman 250 ppm formalin

selama 1 jam atau perendaman dalam air laut salinitas tinggi yaitu 60 ppt selama 15 menit (Zafran et al.,

1998; Koesharyani et al., 2001).

Gambar 3. Infeksi parasit Haliotrema pada filamen insang.

Siklus hidup parasit Monogenea, Neobenedenia, Diplectanum, dan Haliotrema adalah dengan

menghasilkan telur yang dilengkapi dengan filamen panjang yang berfungsi untuk menempel pada

substrat. Dalam waktu sekitar lima hari telur akan matang dan menetas menghasilkan onkomirasidia

yang mempunyai bulu getar dan berfungsi aktif sebagai alat renang untuk mencari inang. Kalau sudah

menemukan inang maka silia tersebut akan hilang dan onkomirasidium akan berkembang jadi dewasa.

Dari semua parasit yang ditemukan tersebut yang berbahaya terhadap ikan kerapu terutama adalah parasit

insang Diplectanum dan Haliotrema. Parasit Neobenedenia bila terdapat dalam jumlah banyak dan

menyerang mata dapat menimbulkan kebutaan dan akhirnya kematian (Zafran et al., 1997).

KESIMPULAN

Jenis parasit yang ditemukan menginfeksi ikan kerapu budidaya pada keramba jaring apung di

Teluk Ekas, Lombok Timur, NTB adalah Neobenedenia, Diplectanum, dan Haliotrema.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S. 2001. Pembesaran Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) dan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Karamba Jaring Apung. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional

Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 141-148.

Bondad-Reantaso, M.G., K. Ogawa, M. Fukudome, and H. Wakabayashi. 1995. Reproduction and Growth of

Neobenedenia girellae (Monogenea: Capsalidae), a Skin Parasite of Cultured Marine Fishes of Japan. Fish Pathology, 30(3):227-231.

Chong, Y.C. and T.M. Chao. 1986. Common Diseases of Marine Foodfish. Fisheries Handbook No. 2. Primary

Production Departement. Ministry of National Development. Republic of Singapore. 33p.

Grabda, J. 1991. Marine Fish Parasitology. Polish Scientific Publisher. Warsawa. 306p.

Page 185: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

185

Koesharyani, I., D. Roza, K. Mahardika, F. Johnny, Zafran and K. Yuasa. 2001. Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis II (Ed. by K. Sugama, K. Hatai and T. Nakai). 49 p.

Gondol Research Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency.

Leong, T.S. 1994. Parasites and Diseases of Cultured Marine Finfish in South East Asia. School of Biological Science.

University Sains Malaysia. 25p.

Ogawa, K.M., M.G. Bondad-Reantaso, M. Fukudome and H. Wakabayashi. 1995. Neobenedenia girellae (Hargis,

1955) Yamaguti, 1963 (Monogenea: Capsalidae) From Cultured Marine Fishes of Japan. J. Parasitology.

81(2):223-227.

Subiyanto, I. Adisuko, S. Anwar, N. Yustiningsih, S. Prayitno, dan P. Sumardika. 2001. Pengkajian dan Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Nasional. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya

Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 61-67.

Zafran, I. Koesharyani dan K. Yuasa. 1997. Parasit Pada Ikan Kerapu di Panti Benih dan Upaya Penanggulangannya.

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. III(4):16-23.

Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny and K. Yuasa. 1998. Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In

Manual for Fish Diseases Diagnosis (Ed. by K. Sugama, H. Ikenoue and K. Hatai). 44 p. Gondol Research

Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency.

DISKUSI

Pertanyaan:

1. Dimana penentuan jenis penyakit pada ikan kerapu bisa dianalisa?

2. Bagaimana mengatasi penyakit virus pada budidaya ikan kerapu dalam KJA

Tanggapan :

1. Untuk analisa penyakit bisa dilakukan di laboratorium BBRBP Gondol, BBAP Situbondo, dan Loka

Budidaya Laut Gerupuk.

2. Virus belum ada obatnya sementara hanya pencegahan saja.

- VNN bisa di treat dengan OTC.

- Irridovirus belum terlihat di Ekas.

3. Usaha-usaha yang dilakukan

- Penerbitan leaflet tentang panduan pengendalian penyakit virus dengan bahasa yang mudah

dipahami nelayan.

Page 186: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

186

RESPON DAN PERSEPSI NELAYAN TERHADAP INTRODUKSI TEKNOLOGI

BUDIDAYA IKAN KERAPU DAN LOBSTER DALAM KERAMBA JARING APUNG

DI DESA BATUNAMPAR KABUPATEN. LOMBOK TIMUR

Arif Surahman, Mashur dan Prisdiminggo

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat

Jl. Peninjauan Narmada, Po Box 1017 Mataram

ABSTRAK

Potensi areal budidaya laut di provinsi Nusa Tenggara Barat sekitar 23.245 ha, dari potensi tersebut 1.445

ha merupakan potensi areal budidaya kerapu. BPTP Mataram sebagai Balai Pengkajian di Nusa Tenggara Barat mengintroduksikan teknologi budidaya ikan kerapu di KJA dalam pengkajian yang dilakukan sejak tahun 2000 di

Desa Batunampar Kec. Jerowaru Kab. Lombok Timur. Dalam pengkajian ini diperkenalkan kepada masyarakat

tentang teknologi budidaya pembesaran ikan kerapu dalam KJA. Disamping kerapu, lobster juga merupakan

komoditas penting yang bisa dikembangkan di Desa Batunampar. Dari Hasil pengkajian didapatkan data bahwa udang karang jenis Panulirus humarus dan Panulirus ornatus dapat dikembangkan dalam KJA. Minat nelayan untuk

membudidayakan ikan dalam karamba sudah mulai muncul pada bulan keenam pengkajian berlangsung. Sekarang

tercatat 60 nelayan sudah mengadopsi Teknologi budidaya ikan kerapu dan lobster dalam KJA. Pada awal pengkajian

banyak nelayan yang menganggap bahwa teknologi KJA yang diintroduksikan merupakan teknologi yang padat modal dan sulit diterapkan dalam tingkat nelayan yang mempunyai modal terbatas. Namun dalam perkembangan

banyak nelayan yang kemudian mengikuti teknologi introduksi setelah melihat keberhasilan pengkajian. Keberhasilan

proses diseminasi teknologi mengakibatkan sebagian besar responden non kooperator mengetahui teknologi unggulan

BPTP namun belum mengadopsi karena tingginya modal yang mereka butuhkan untuk budidaya dalan KJA.

Kata kunci: respon; persepsi; introduksi; teknologi

ABSTRACT

Potency of marine culture area in West Nusa Tenggara is 23,245 ha. From this area 1,445 ha can be used for grouper cage culture. BPTP Mataram as an assessment agency introduced grouper cage culture technology from

2000 year in Batunampar village. Beside grouper, lobster is also the important commodity, which can be cultured in

Batunampar village. Two species of spiny lobster, Panulirus homarus and Panulirus ornatus can be cultured in the

cage. Fishermen respond have been started from sixth month of the assessment. 60 fishermen have been already adopted grouper and lobster cage culture technology. In the beginning of this assessment, farmer thought that this

technology was difficult to implement in fisherman level that have capital limitation. Fishermen adopted this

technology after they knew the successful of this assessment. Most of non-cooperator fishermen knew the BPTP

technology because of the successfully of dissemination but this technology is too expensive for them.

Key word: respond; perception; technology; introduction

PENDAHULUAN

Ikan kerapu merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Harga jual

ikan ini khususnya kerapu bebek di NTB sangat tinggi yaitu Rp. 270.000,- - Rp. 280.000,- untuk ukuran

500 g per ekor. Tingginya harga ikan kerapu bebek ini karena ikan ini merupakan komoditas ekspor

dalam bentuk hidup ke Singapura, Hongkong, Jepang dan Cina. Tingginya harga dan banyaknya

permintaan akan ikan ini menyebabkan intensitas penangkapan semakin meningkat sehingga

dikhawatirkan populasi ikan ini di alam terancam punah.

Salah satu cara untuk menjamin kelestarian jenis ikan kerapu tersebut perlu dilakukan usaha

budidaya. Usaha budidaya ikan kerapu ini diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan pasar dan

sekaligus mengurangi intensitas penangkapan dari alam. Budidaya ikan kerapu merupakan aktivitas yang

belum banyak berkembang dan relatif masih baru. Padahal potensi sumberdaya alam untuk budidaya ikan

kerapu sangat mendukung seperti banyaknya teluk dan selat yang tersebar di wilayah perairan Indonesia.

Propinsi Nusa Tenggara Barat terdiri atas dua pulau besar yaitu pulau Lombok dan Sumbawa,

serta memiliki wilayah peraian laut yang meliputi perairan pantai dan lepas pantai seluas 31.148 km2

dengan panjang pantai 2.900 km. Potensi areal budidaya laut di provinsi Nusa Tenggara Barat sekitar

23.245 ha, dari potensi tersebut 1.445 ha merupakan potensi areal budidaya kerapu, dan 1.200 ha

Page 187: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

187

diantaranya berada di pulau Sumbawa. Potensi areal budidaya kerapu baru dimanfaatkan 11,05 ha

(0,75%) yang tersebar di Kabupaten Lombok Timur 11,00 ha dan Kab. Bima 0.05 ha (Dinas Perikanan

dan Kelautan NTB, 2002).

BPTP Mataram sebagai Balai Pengkajian di Nusa Tenggara Barat mengintroduksikan teknologi

budidaya ikan kerapu di KJA dalam pengkajian yang dilakukan sejak tahun 2000 di Desa Batunampar

Kec. Jerowaru Kab. Lombok Timur. Dalam pengkajian ini diperkenalkan kepada masyarakat tentang

teknologi budidaya pembesaran ikan kerapu dalam KJA. Ikan kerapu yang digunakan dalam pengkajian

ini adalah jenis kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Pakan yang digunakan dalam pengkajian ini adalah

ikan rucah dan mencoba mengintroduksikan pakan buatan berupa pellet yang berasal dari Gondol, Bali.

Dari pengkajian tersebut dapat disimpulkan bahwa ikan kerapu dapat dipelihara dalam KJA dengan

pemberian pakan alami berupa ikan rucah dan pakan buatan berupa pellet. Pemberian pakan alami berupa

ikan rucah lebih baik dari pada pakan buatan, hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ikan budidaya. Ikan

kerapu yang diberikan pakan ikan rucah mempunyai pertambahan berat mutlak sebesar 558,70 g/individu

sedangkan yang diberikan pakan buatan berupa pellet hanya sebesar 356,95 g/individu.(Nazam et al.,

2000).

Disamping kerapu, lobster juga merupakan komoditas penting yang bisa dikembangkan di Desa

Batunampar. Pengkajian ini bermula dari ketidaksengajaan pada saat berlangsungnya pengkajian

budidaya kerapu. Pada saat pembersihan jaring banyak dijumpai benih lobster yang menempel pada

jaring dan pelampung. Dari Hasil pengkajian didapatkan data bahwa udang karang jenis Panulirus

humarus dan Panulirus ornatus dapat dikembangkan dalam KJA.

Pada awal pengkajian nelayan belum merespon teknologi yang diintroduksikan, bahkan sebagian

nelayan berpendapat bahwa teknologi KJA merupakan teknologi padat modal dan sulit diterapkan oleh

nelayan. Namun pada bulan keenam pengkajian, minat nelayan untuk menerapkan teknologi KJA mulai

muncul. Hal ini disebabkan petani kooperator mulai menjual hasil panen dari KJA berupa udang karang

yang dipelihara secara sambilam dalam KJA. Satu persatu nelayan mulai ikut budidaya ikan dan udang

dalam KJA. Teknologi pembuatan KJA oleh nelayan sangat beragam baik ukuran maupun bahan yang

digunakan, bahkan ada sebagian nelayan yang menggunakan bahan kerangka bambu bekas bagan dan

jaring yang digunakan berupa waring yang biasa digunakan untuk bagan pula.

TUJUAN

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui respon dan persepsi nelayan terhadap introduksi

teknologi budiaya ikan kerapu dan lobster dalam KJA di Desa Batunampar Kecamatan Jerowaru,

Kabupaten Lombok Timur.

METODOLOGI

Penelitian ini mengambil tempat di Desa Batunampar, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok

Timur dimana pengkajian teknologi budiaya ikan kerapu dan lobster dilaksanakan.

Penelitian ini menggunakan metoda survey dengan wawancara semi-terstruktur dengan kuisener

pada nelayan kooperator dan non kooperator sebagai responden. Nelayan kooperator adalah nelayan yang

sudah mengadopsi teknologi introduksi dan mendapat bimbingan dari BPTP mataram dalam proses

budidaya dalam KJA sedangkan nelayan non kooperator adalah nelayan yang berada di sekitar pengkajian

namun tidak atau belum mengadopsi teknologi introduksi.

Jumlah responden adalah 16 nelayan kooperator dan 16 nelayan non kooperator. Data yang

diperoleh dalam penelitian ini dianalisa secara diskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Respon Nelayan

Minat nelayan untuk membudidayakan ikan dalam karamba sudah mulai muncul pada bulan

keenam pengkajian berlangsung. Sekarang tercatat 60 nelayan sudah mengadopsi Teknologi budidaya

ikan kerapu dan lobster dalam KJA. Hal ini didukung dengan bantuan Gubernur NTB berupa 1.000 benih

Page 188: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

188

ikan kerapu bebek untuk 10 kelompok (50 orang). Dari 16 responden nelayan kooperator 6,25% nelayan

sudah mengadopsi teknologi KJA selama 3 tahun, 50% sudah mengadopsi teknologi selama 2 tahun

sedang 37,5% nelayan mulai mengadopsi setahun terakhir (gambar 1). 75% nelayan mengadopsi

teknologi atas kemauan sendiri sedang 18,75% karena diminta dan diajak orang lain untuk mengadosi

teknologi tersebut (gambar 2). Dalam keterlibatannya di litkaji, 37,5% responden terlibat secara langsung

dalam litkaji, 25% sebagai penyedia lahan dan 32,5% terlibat secara tidak langsung namum mendapat

bimbingan dalam proses budidaya ikan dalam KJA (gambar 3). Meningkatnya respon petani terhadap

teknologi introduksi karena sebagian besar responden menganggap bahwa teknologi yang mereka adopsi

memenuhi kebutuhan petani. Kepercayaan nelayan terhadap teknologi tersebut tiak dapat diabaikan

begitu saja namun harus tetap dijaga oleh BPTP Mataram. Salah satu usaha yang dilakukan adalah selalu

memberikan bimbingan terhadap usaha budiaya ikan dan lobster dalam karamba dan juga memfasilitasi

pembelian benih dari Gondol karena saat ini BPTP Mataram menjalin kerjasama penelitian dengan Balai

Besar Riset Budidaya Laut Gondol tentang budidaya ikan kerapu.

Gambar 1: Lamanya keikutsertaan nelayan reponden sebagai kooperator

Gambar 2: Dorongan nelayan responden untuk menjadi kooperator

Keterlibatan dlm litkaji

37.50%

25.00%

31.25%

6.25%Dilibatkan

Penyedia lahan

Lainnya

Tidak tahu

Gambar 3. Keterlibatan nelayan responden dalam litkaji

Keikutsertaan sbg kooperator

37.50%

50.00%

0.00% 6.25%

6.25%

1 tahun 2 tahun 3 tahun > 3 tahun tdk tahu

Dorongan sbg kooperator

75.00%

0.00%

18.75%

6.25%

Inisiatif sendiri

Diminta

Lainnya

Tidak tahu

Page 189: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

189

Persepsi Nelayan

Nelayan Kooperator

Pada awal pengkajian banyak nelayan yang menganggap bahwa teknologi KJA yang

diintroduksikan merupakan teknologi yang padat modal dan sulit diterapkan dalam tingkat nelayan yang

mempunyai modal terbatas. Namun dalam perkembangan 50% nelayan reponden berpendapat bahwa

100% teknologi dapat diterapkan, 6,25% berpendapat 75 – 100% dapat diaplikasikan, 25% responden

menganggap teknologi dapat diterapkan antara 50 – 75% dan hanya 12,5% menganggap teknologi dapat

diterapkan antara 10 – 50% (gambar 4). 68,75% nelayan responden menilai bahwa teknologi tersebut

baru dan 68,75% nelayan responden juga menilai teknologi introduksi sangat baik. Berkaitan dengan

manfaat adanya teknologi introduksi, 62,5% nelayan berpendapat sangat bermanfaat dan hanya 6,25%

menganggap teknologi tersebut kurang bermanfaat. Hal ini menunjukan bahwa mereka menganggap

teknologi yang mereka adopsi dan gunakan sekarang ini merupakan teknologi yang sudah teruji dan dapat

diplikasikan di daerah perairan Teluk Ekas khususnya Desa Batunampar dan sangat bermanfaat bagi

mereka. Sebagian besar responden menganggap teknologi introduksi tersebut sesuai dengan kebutuhan

petani.

Tambahan produksi yang diterima oleh nelayan kooperator setelah menerapkan teknologi

introduksi adalah sangat memadai. 41,67% responden menyatakan bahwa tambahan produksi yang

mereka terima adalah lebih dari 75%, sedangkan 16,67% responden mempunyai tambahan hasil sebesar

50 – 75%, responden yang mempunyai tambahan produksi 25 – 50% dan 10 – 25% adalah masing-

masing 8,3% dan 25% responden belum bisa menghitung tambahan produksi yang mereka dapatkan

dengan alasan bahwa petani tersebut belum panen (gambar 5). Tambahan produksi yang diterima petani

akan membawa konsekuesi tambahan pendapatan yang akan diterima. 33.33% responden mendapatkan

tambahan pendapatan lebih dari 75%, 20% responden pendapatannya meningkat sebesar 25 – 50% dan

26,67% responden meningkat 10 – 25% sedangkan yang mendapatkan tambahan penghasilan kurang dari

10% hanya 6,67% responden (gambar 6). Tambahan hasil yang sangat besar ini disebabkan oleh

komoditas yang mereka budidayakan adalah komoditas yang mempunyai nilai ekonomis tinggi

khususnya ikan kerapu.

Gambar 4: Persepsi nelayan responden tentang penerapan teknologi introduksi

Gambar 5: Tambahan produksi yang didapatkan nelayan responden

Tambahan produksi petani

41.67%

16.67%8.33%

25.00%

8.33%

0.00%

> 75%

50 - 75%

25 - 50 %

10 - 25%

< 10%

Tidak tahu

Penerapan teknologi introduksi

6.25%

12.50%0.00%

25.00%

6.25%

50.00%

100% dpt

diterapkan75 - 100%

50 - 75%

10 - 50%

< 10%

Tidak tahu

Page 190: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

190

Gambar 6: Tambahan pendapatan yang diterma nelayan responden

Nelayan non kooperator

Nelayan non kooperator adalah nelayan yang berdomisili disekitar tempat pengkajian yang

belum mengadopsi dan belum mendapatkan bimbingan dari BPTP Mataram dalam usaha budidaya ikan

yang mereka lakukan. Namun demikian sebagian besar dari mereka (62,5%) menganggap bahwa BPTP

Mataram merupakan sumber teknologi (gambar 7). Ini membuktikan bahwa mereka sudah mengenal

BPTP. Dari responden yang ada 6,25% sudah mengenal BPTP selama 3 tahun, 37,5% sudah 2 tahun

mengenal BPTP dan 25% dari mereka sudah mengenal BPTP namun 32,5% responden belum tahu

tentang BPTP (gambar 8). Pengenalan tentang BPTP baik itu fungsi, misi dan peran BPTP kepada

nelayan disekitar tempat pengkajian dilakukan secara formal dan informal. Secara formal dillakukan

melalui temu lapang yang mengundang nelayan sekitarnya. Sedang untuk informal dapat dilakukan

melalui diskusi ataupun pembicaraan dengan nelayan disekitar tempat pengkajian.

Keberhasilan usaha diseminasi hasil pengkajian dapat dirasakan karena sebagian besar

responden non kooperator (93,75%) mengetahui teknologi unggulan BPTP (gambar 9). Namun mereka

belum menerapkan teknologi tersebut karena mereka menganggap bahwa teknologi tersebut tidak

terjangkau harganya oleh mereka.

Gambar 7: Pendapat responden non kooperator tentang BPTP sebagai sumber teknologi

Tambahan pendapatan petani

33.33%

0.00%

20.00%

26.67%

6.67%

13.33%> 75%

50 - 75%

25 - 50%

10 - 25%

< 10%

Tidak tahu

Kapan mengenal BPTP

25.00%

37.50%6.25%

31.25%

0.00%

1 tahun

2 tahun

3 tahun

>3 tahun

Tidak tahu

Pendapat ttg BPTP sbg Sumber

Teknologi

62.50%

37.50%Ya

Tidak

Gambar 8: Lamanya waktu mengenal BPTP oleh responden non kooperator

Page 191: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

191

Gambar 9: Pengetahuan responden non kooperator tentang teknologi unggulan BPTP.

KESIMPULAN

Respon nelayan terhadap introduksi teknologi sangat baik, hal ini terbukti dengan bertambahnya

jumlah nelayan yang mengikuti teknologi introduksi tersebut. Sebagian besar nelayan juga menganggap

teknologi introduksi tersebut sangat bermanfaat dan dapat meningkatkan produksi maupun pendapatan

mereka.

Proses diseminasi juga berhasil terbukti dengan sebagian besar responden non kooperator yang

sudah mengenal teknologi unggulan dari BPTP walaupun sebagian mereka belum bisa menerapkan

dengan alasan harganya tidak terjangkau oleh mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Basyarie A. 2001. Teknologi Pembesaran Ikan Kerapu (Ephinephelus spp). Prosiding Teknologi Budidaya Laut dan

Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 112 – 117p.

Dinas Perikanan dan Kelautan NTB. 2000. Pemutakhiran Data Potensi Sumberdaya Perikanan di Nusa Tenggara Barat. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Nazam M, Prisdiminggo, A. Surahman dan Sudjudi. 2000. Laporan Hasil Pengkajian Uji Adaptasi Pemeliharaan

Kerapu Bebek dalam KJA di Teluk Ekas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.

Nurjana M. L. 2001 Prospek Sea Farming di Indonesia. Prosiding Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 1 – 9p.

Prisdiminggo, M. Nazam, A. S. Wahid, S. Sisca dan Sudjudi. 1998. Uji Adaptasi Waktu Tanam terhadap

Produktivitas Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Teluk Ekas dusun Batunampar, Lombok Timur.

Prosiding Seminar Penyuluh, Peneliti dan Petugas Terkait Propinsi Nusa Tenggara Barat . Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,

Departemen Pertanian.

Redjeki. S, A. Supriaatna, S. Diani, A. Ismail dan PT. Imanto. 1995. Prospek Budidaya Udang Karang. Makalah.

Pusat Litbang Perikanan. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Bojonegara. Serang.

Sayaka B. 1994. Farm Level Impact Analysis of the Adoption of the Package of Technologies Introduced under the

Soybean Yield Gap Analysis Project. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 13, No. 1. 1 – 26p.

Slamet, B. Dan P.T. Imanto. 1998. Pengamatan Pemeliharaan Udang Karang (Panulirus humarus) di Laboratorium. Jurnal Penelitian Pantai vol 5 No.2. Badan Litbang Pertanian. Balai Penelitian Perikanan Budidaya

Pantai. Maros. 52-60p.

Tridjoko, B. Slamet, A. Prijono dan I. Koesharyani. 1996. Pembenihan Ikan Kerapu. Prosiding Rapat Kerja Teknis,

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Serpong, 19 – 20 November. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 112 –

118p.

Mengetahui Tek.Unggulan BPTP

93.75%

0.00%6.25%

Ya

Tidak

Tidak tahu

Page 192: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

192

PRODUKSI BENIH IKAN KERAPU HASIL PEMBENIHAN DI BALI

Bejo Slamet, Suko Ismi dan Titiek Aslianti

Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol, PO Box 140, Singaraja 81101, Bali.

ABSTRAK

Pengamatan perkembangan produksi benih kerapu telah dilakukan pada petani pembenihan dan pendederan

kerapu di Bali yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan, kelayakan dan prospek pengembangannya.

Jenis kerapu yang diamati meliputi kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan kerapu macan (Epinephelus

fuscoguttatus), kedua jenis ini mempunyai nilai ekonomis yang paling tinggi. Hasil pengamatan menunjukan bahwa pembenihan kerapu bebek dan kerapu macan di Bali Utara cukup berkembang. Produksi benih kerapu bebek dan

kerapu macan di daerah ini per bulan masing-masing berkisar 50.000 - 250.000 ekor dan 150.000 - 400.000 ekor.

Tingkat kelangsungan hidupnya bervariasi yaitu 0-40% dengan rataan 5%. Kegagalan/kematian massal biasanya

terjadi umur 15-50 hari. Lama waktu pendederan benih kerapu bebek di bak beton dari ukuran 4 cm (lepas dari hatcheri) sampai ukuran 10 cm (siap tebar) berkisar 40-75 hari, dengan kelangsungan hidup 70-95%. Pendederan

kerapu macan dari ukuran 2 cm (lepas hatcheri) sampai 7 cm (siap tebar) memerlukan waktu 30-40 hari dan

kelangsungan hidupnya berbeda dengan perbedaan sistem/jenis pakannya. Dengan pemberian pakan pellet

kelangsungan hidupnya berkisar 20-40% sedangkan dengan kombinasi pakan hidup (udang kecil) dengan daging ikan rucah menghasilkan kelangsungan hidup 60-75%.

Kata kunci : Kerapu, pembenihan, pendederan, pembesaran.

PENDAHULUAN

Ikan kerapu merupakan komoditas eksport yang bernilai ekonomis tinggi di pasar Asia terutama

Hongkong dan Singapura. Produksi ikan kerapu saat ini sebagian besar merupakan hasil dari

penangkapan dari alam . Cara penangkapan ikan kerapu kadang-kadang menggunakan racun potassium

sianida yang dapat merusak karang dan biota di sekitarnya. Beberapa jenis ikan kerapu (Epinephelus spp)

telah diujicobakan pembesarannya di Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Hongkong mulai

tahun 1979 (Sugama, et al., 1986), namun karena keterbatasaan benih sehingga budidaya ikan tersebut

sulit berkembang.

Usaha penyediaan benih ikan kerapu mulai diteliti beberapa tahun yang lalu antara lain pada

kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina) (Chen, et al., 1977), E. akaara (Tseng dan Ho, 1988), kerapu

macan E. fuscoguttatus (Mayunar et al., 1991; Slamet, 1993), kerapu bebek Cromileptes altivelis (Slamet

et al., 1996). Di Indonesia kerapu macan mulai dapat dipijahkan tahun 1987, kerapu bebek mulai

tahun 1997, keberhasilan pemijahan ikan tersebut mulai dicapai tahun 1998.

Perairan Indonesia memiliki lahan pantai yang potensial seluas 3.385 ha untuk budidaya ikan

kerapu di keramba jaring apung (Anonimous, 1988). Perairan Indonesia memiliki berbagai jenis ikan

kerapu dengan nilai ekonomis tinggi, di antaranya jenis kerapu lumpur (Epinephelus suilus, E.

malabaricus), kerapu macan (E. fuscoguttatus), kerapu batu (E. fasciatus), kerapu merah (Chephalopolis

sp.), kerapu sunuk (Plectropoma spp.), dan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Letak geografis

Indonesia sangat menguntungkan untuk agribisnis kerapu karena berada pada lintas perdagangan ikan

hidup (Singapura-Hongkong) maupun ikan segar (Singapura-Hongkong-Jepang). Sebagai bagian dari

perairan tropis, Indonesia kaya akan jenis ikan dan beberapa di antaranya merupakan golongan ikan rucah

dengan nilai ekonomis rendah sehingga dapat dieksploitasi untuk sumber pakan alami bagi

pengembangan budidaya ikan laut. Dalam makalah ini akan dibahas dua jenis ikan kerapu yaitu kerapu

bebek (Cromileptes altivelis) dan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Kedua jenis ikan ini

mempunyai nilai ekonomis yang paling tinggi dan pembenihannya sudah berkembang.

METODE

Pengamatan yang dilakukan meliputi, sistem pemeliharaan, kelangsungan hidup dan

pertumbuhan benih kerapu di hatchery skala rumah tangga dan pendederan kerapu di Bali. Pengamatan

dilakukan terhadap 2 jenis kerapu kerapu yaitu kerapu bebek dan kerapu macan. Kedua jenis ini

mempunyai nilai ekonomis yang paling tinggi. Methoda pengamatan dengan melakukan monitoring

Page 193: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

193

seminggu sekali terhadap sistem pemeliharaan, perkembangan dan kelangsungan hidup benih, volume

produsi, mortalitas dan penyakit. Lama pengamatan 2 tahun yaitu dari tahun 2001 sampai 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Managemen Pemeliharaan Larva

Hasil pengamatan sistem manajemen pemeliharaan larva ikan kerapu pada 52 hatchery skala

rumah tangga di Bali Utara, secara umum digolongkan menjadi 2 sistem :

1. Sistem pemberian pakan hanya dengan pakan hidup (pakan alami) yang disebut sistem 1 (Gambar

2).

2. Sistem pemberian pakan dengan kombinasi pakan hidup (pakan alami) dan buatan (mikro pellet)

yang disebut sistem 2 (Gambar 2).

Pada pemeliharaan larva kerapu bebek biasanya banyak menggunakan sistem (1), sedangkan

pada kerapu macan lebih banyak menggukanan sistem (2). Hal ini disebabkan larva kerapu macan

mempunyai sifat kanibalisme yang lebih kuat dibanding kerapu bebek. Sistem (2) dapat menekan

kanibalisme kerapu macan. Dari hal tersebut, petani lebih tertarik melihara larva kerapu bebek dibanding

kerapu macan disamping sistem (2) memerlukan kerja yang ekstra keras dan biaya tinggi untuk

penyediaan udang jembret sebagai pakan. Karena keterbatasan produksi telur kerapu bebek dan harganya

lebih mahal (Rp 2,5/ butir) dan mudahnya untuk membeli telur kerapu macan dan lebih murah (Rp 1,0/

butir) maka petani memilih memelihara larva kerapu macan walaupun harus bekerja ekstra keras.

Pakan

dan

pergantian air

Umur larva (hari setelah menetas)

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54

Nanno

chloropsis

Rotifer

Artemia

Copepoda

Jembret Daging ikan

yang digiling

Pergantian air

==============

=============================

==============================

=============================

======================== ==========

0% 10-20% 25-30% 35-40% 45-100% ======== ======= ========= ============ ==================

Gambar 1. Skema pemberian pakan dan pergantian air pada pemeliharaan larva kerapu pada system dengan pakan

alami.

Pakan

dan

pergantian air

Hari setelah menetas

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54

Nanno

chloropsis

Rotifer

Artemia

Mikro pellet

Pergantian air

==============

=============================

=======================

140-410 um (LL2) 315-580 (LL3) 479-800 (LL4) ================ ========== =============

10-20% 20-80% 100-300% 300-400% 400-500%

====== ========== ========== =========== ===========

Gambar 2. Skema pemberian pakan dan pergantian air pada pemeliharaan larva kerapu pada system dengan

campuran pakan alami dan buatan (mikro pellet).

Keterangan : LL2 = Love Larva no. 2 (buatan jepang) (diameter 0,20-0,31 mm) LL3 = Love Larva no. 3 (buatan jepang) (diameter 0,31-0,48 mm)

LL4 = Love Larva no. 4 (buatan jepang) (diameter 0,48-0,63 mm)

Page 194: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

194

Perkembangan produksi benih kerapu di hatcheri di Bali

Pembenihan ikan kerapu bebek berhasil dikembangkan di tingkat petani hatchery skala rumah

tangga (HSRT). Pada tahun 1997 hanya satu orang petani yang berminat membenihkan ikan kerapu

bebek, dalam 1 tahun hanya 1 siklus yang berhasil dengan jumlah produksi 8500 ekor (saat itu harganya

Rp 12.500,- per ekor ukuran 5 cm). Pada tahun 1998 tidak ada petani HSRT yang memproduksi kerapu

karena harga nener tinggi (Rp 20,--60,- per ekor). Pada tahun 1999 Balai Besar Riset Perikanan Budidaya

Laut yang waktu itu bernama Loka Penelitian Perikanan Pantai melalui program ekstensi membimbing

dan memberi telur kerapu bebek cuma-cuma kepada 12 petani HSRT. Pada program ini siklus pertama

semua gagal karena saat itu belum ada filter dan dilakukan saat musim penghujan sehingga air lautnya

keruh. Kemudian dengan mewajibkan pembuatan filter kepada petani peserta program ini ternyata

sebagian besar berhasil memproduksi benih dengan tingkat kelangsungan hidup mencapai 5% walaupun

pada tahun 1999 hanya 1 siklus yang berhasil memproduksi benih dengan jumlah produksi benih

mencapai 40.000 ekor. Tahun 2000 sudah berkembang dengan baik dan petani mampu membeli telur

kerapu bebek dari Loka Gondol dan dari hatcheri swasta dengan harga telur Rp 2,5 per butir. Pada tahun

2000 hampir setiap bulan dapat memproduksi benih kerapu bebek sebanyak 10.000-100.000 ekor benih

(ukuran 4-6 cm) per bulan dengan total produksi per tahun mencapai sekitar 500.000 ekor. Pada tahun

2001 sampai pertengahan tahun 2002 produksi benih di petani HSRT berjalan lancar walaupun masih

sering terjadi kematian massal benih oleh serangan VNN. Pada tahun ini produksi benih per bulan

berkisar antara 50.000 sampai 250.000 ekor benih kerapu bebek, dengan total produksi per tahun

mencapai 1.500.000 benih (Gambar 3).

Gambar 3. Produksi benih ikan kerapu bebek di hatcheri skala rumah tangga (HSRT) di Bali dari tahun

1997 sampai tahun 2002.

Produksi benih kerapu macan di tingkat petani berhasil baik sejak tahun 2000; dengan volume

produksi benih melebihi produksi benih kerapu bebek. Kadang-kadang terjadi over produksi yang

menyebabkan harga merosot. Pada tahun 2001 setiap bulan diproduksi sebanyak 10.000-400.000 ekor

dengan total produksi benih per tahun mencapai 2.000.000 benih (Gambar 4). Pada awal tahun 2001

kegiatan produksi benih berhenti karena sebelumnya petani pernah rugi akibat terlalu lama menahan

benih yang tidak terjual. Sebagian besar petani pembenih kerapu macan ingin menjual benihnya saat

mencapai ukuran 2 cm karena pada ukuran 2,5-5 cm kanibalisme sangat tinggi, di sisi lain petani KJA

menginginkan benih ukuran > 8 cm agar lebih aman di KJA. Pada akhir tahun 2001 sampai sekarang

(pertengahan tahun 2002) petani HSRT kembali bangkit untuk melakukan pembenihan ikan kerapu

macan menggunakan sistem pemeliharaan benih ukuran 1,5-5 cm dengan pemberian pakan berupa udang

jembret/rebon kecil/ grago dengan jumlah yang berlebih. Saat ini mudah mendapatkan udang jembret

karena banyak pedagang yang sengaja mencari jembret di tambak-tambak udang di Jawa Timur

0

50000

100000

150000

200000

250000

Pro

du

ks

i b

en

ih

Jan Mar Mei Jul Sep Nop

Bulan

2001

2002

Page 195: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

195

(Banyuwangi dan Situbondo). Pekembangan produksi benih kerapu macan dari tahun 2000 sampai 2002

dapat dilihat pada Gambar 4. Pada tahun (2002) produksi benih kerapu macan di petani HSRT di Bali

setiap bulan mencapai 150.000-400.000 dengan total produksi per tahun mencapai 3.000.000 ekor.

Jumlah ini akan meningkat bila kebutuhan pasar meningkat pula.

Tingkat kelangsungan hidupnya bervariasi dari 0-40% dengan rata-rata 5% untuk kerapu bebek

dan 7% untuk kerapu macan. Kegagalan/kematian massal biasanya terjadi umur 15-50 hari. Kegagalan

dalam produksi benih kerapu di Bali sebagian besar terjadi pada puncak musim penghujan. Hal ini karena

pada saat ini sulit didapatkan air laut yang jernih dan sulit memproduksi fitoplankton (Nannochloropsis)

yang bermutu baik, sehingga larva mudah stress dan mudah terserang VNN (Virus nervous neucrosis)

yang berakibat kematian massal.

Gambar 4. Produksi benih ikan kerapu macan di hatcheri skala rumah tangga (HSRT) di Bali dari tahun

2000 sampai tahun 2002.

PENDEDERAN (PENGGLONDONGAN)

Lama pendederan benih di bak beton untuk kerapu bebek dari ukuran 4 cm (lepas dari hatcheri)

menjadi ukuran 10 cm (siap tebar) berkisar 40-75 hari, dengan kelangsungan hidup 70-95%. Pada kerapu

macan pendederan dari ukuran 2 cm (lepas hatcheri) menjadi 7 cm (siap tebar) memerlukan waktu 30-40

hari dan kelangsungan hidupnya berbeda dengan perbedaan sistem/jenis pakannya. Dengan pemberian

pakan pellet kelangsungan hidupnya berkisar 20-40% sedangkan dengan pakan hidup berupa jembret

(udang kecil) yang dikombinasikan dengan daging ikan rucah menghasilkan kelangsungan hidup 60-75%

karena tingkat kanibalisme dapat ditekan. Hasil pengamatan ukuran pakan yang diberikan, frekuensi

pemberian pakan dan lama pemeliharaan pada pendederan kerapu bebek dan kerapu macan di Bali secara

rinci dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Ukuran pakan yang diberikan, frekuensi dan lama pemeliharaan pada pendederan kerapu.bebek dan kerapu macan.

Ukuran

panjang total

benih

Ukuran diameter pakan

buatan yang diberikan

Frekuensi

pemberian

pakan per hari

Lama pemeliharaan

(kerapu macan

Lama pemeliharaan

(kerapu bebek)

2 ke 3 cm 1,5-2,0 mm 10 kali (10-12 hari) 12-16 hari

3 ke 4 cm 2,5-3,0 mm 8 kali (10-13 hari) 14-17 hari

4 ke 6 cm 3,0-3,5 mm 6 kali (10-15 hari) 15-20 hari

6 ke 8 cm 3,5-4,0 mm 6 kali (10-15 hari) 15-20 hari

8 ke10 cm 4,0-4,5 mm 6 kali (10-15 hari) 15-20 hari

0

50000

100000

150000

200000

250000

300000

350000

400000

450000

500000

ben

ih

Jan Mar Mei Jul Sep Nop

Bulan

2001

2002

Page 196: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

196

KESIMPULAN

1. Usaha pembenihan ikan kerapu bebek dan kerapu macan telah berkembang di Bali Utara. Produksi

benih dapat berlangsung hampir sepanjang tahun dengan volume produksi per bulan mencapai

50.000 – 250.000 ekor untuk kerapu bebek dan 150.000 – 400.000 ekor untuk kerapu macan

2. Tingkat kelangsungan hidup benih berkisar 0-40% atau rata-rata mecapai 4%.

3. Pembenihan dilakukan dengan dua sistem yaitu pemberian pakan alami dan kombinasi pakan alami

dengan pakan buatan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 1988. Training Manual on Marine Finfish Net Cage Culture in Singapore. Revered for the Marine Finfish Net Cage Training Course. Conducted by Primary Production Department (Republic of Singapore) and

Organized RAS/86/024 cooperation with RAS /84/016.

Chen, F.Y., M. Chow, T.M. Chow and R. Lim, 1977. Artificial Spawning and Larval Rearing of the Groupe,

Epinephelus tauvina (Forskal) in Singapore. Singapore J. Pri. Ind. 5(1):1-21.

Mayunar, P.T. Imanto, S. Diani dan T. Yokokawa, 1991. Pemijahan Ikan Kerapu Macan, Epinephelus fuscoguttatus.

Bull. Pen. Perikanan Spec. Edi. No. 2:15-22.

Slamet, B. 1993. Pengaruh Penurunan Suhu Media Terhadap Penundaan Penetasan dan Peningkatan Optimasi

Kepadatan pada Transportasi Telur Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) J. Pen. Budidaya Pantai, Terbitan Khusus, Vol.9 No.5 : 30-36.

Slamet, B., Tridjoko, Agus P., Tony S. dan K. Sugama. 1996. Penyerapam Nutrisi Endogen, Tabiat Makan dan

Perkembangan Morphology Larva Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis). J. Pen. Perikanan Indonesia,

Vol.2 No.2 : 13-21.

Sugama, K., Waspada dan H. Tanaka. 1986. Perbandingan Laju Pertumbuhan Beberapa Jenis Kerapu, Epinephelus

spp. dalam Kurung-kurung Apung.Scientific Report of Mariculture Research and Development Project

(ATA-192) in Indonesia: 211-219.

Tseng dan Ho, SK, (1988). The Biology and Culture of Red Grrouper. Chien Cheng Publisher Koahsiung, R.OC. Hongkong. 134 pp.

Page 197: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

197

TRANSPORTASI BENIH IKAN KERAPU BEBEK, Cromileptes altivelis

HASIL PEMBENIHAN DI BALI

Bejo Slamet, Suko Ismi dan Titiek Aslianti

Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol PO Box 140, Singaraja 81101, Bali.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kepadatan optimal pada transportasi benih ikan kerapu bebek

dengan lama watu dan ukuran benih serta sistem transportasi yang berbeda. Benih ikan kerapu bebek yang dipakai sebagai hewan uji berukuran panjang total 4-8 cm. Wadah digunakan kantong plastik ukuran 30 x 50 cm yang diisi 2

liter air laut dan ukuran 35 x 60 cm yang diisi 3 liter air laut. Ratio antara air dan gas oksigen adalah 1 : 3. Perlakuan

kepadatan benih perkantong plastik disesuaikan dengan ukuran benih dan lama waktu transportasi. Hasil penelitian

menunjukan bahwa kepadatan maksimal per kantong plastik yang tingkat kelangsungan hidup tinggi (95-99%) untuk ukuran benih 4-5 cm pada lama waktu 12 jam dan 22 jam adalah masing-masing 30 ekor dan 25 ekor; pada ukuran

benih 5-6 cm pada lama waktu 12 jam dan 22 jam adalah masing-masing 25 ekor dan 20 ekor, sedangkan pada

ukuran benih 7-8 cm adalah masing-masing 15 dan 12 ekor. Pada transportasi dengan sistem tertutup semuanya

menghasilkan kelangsungan hidup yang sangat tinggi (lebih dari 99%).

Kata kunci : Transportasi, kerapu bebek, ukuran benih, kepadatan.

ABSTRACT

The experiment was aimed to reveal optimum density of the live humpback grouper seed transportation with different of densities, size of seed, duration and transportation sistem. The total length of seed range from 4 to 8

cm. The plastic bag size 30 x 50 cm filled with 2 liter seawater size 30 x 50 cm filled with 2 liter seawater and size of

35 x 60 cm filled with 4 liter seawater and the ratio of water and oxygen was 1: 3. The treatments of stock density of

seed is depended of size of seed and transport durations. The results showed that the optimal densities per plastic for seed with total length 4-5 cm and duration 12 hours and 22 hours are 25 and 30 per bag repectively; on seed with total

length 5-6 cm with duration 12 and 22 h are 25 and 20 fish per bag respectively and on 7-8 cm total length 15 and

12 fish per bag respectively. Survival rate on transportation with open sitem using truk with fiberglass tank and pure

oxigen is very high (more than 99%).

Keyword: Transportation, densities, duration, seed size, survival rate. humpback grouper seed

PENDAHULUAN

Ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis merupakan komoditas ekspor yang bernilai ekonomis

tunggi di pasar Asia seperti Hongkong dan Singapura. Saat ini harga ikan kerapu bebek di Denpasar dan

Jakarta berkisar antara Rp. 300.000-350.000 per kg hidup. Selain itu kerapu bebek mempunyai bentuk

yang indah dari kerapu lainnya sehingga waktu kecil bisa dijual sebagai ikan hias dengan harga yang

cukup mahal. Pembenihan ikan kerapu bebek sudah diteliti mulai tahun 1996 (Trijoko et al., 199) dan di

tingkat petani hatchery skala rumah tangga (HSRT) mulai tahun 1997, namun baru berkembang sejak

tahun 1999 di HSRT di Bali. Usaha pembenihan ikan kerapu bebek sudah dirintis di berbagai daerah

seperti Lampung, Jawa barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, kep. Seribu, kep. Riau, Sulawesi Selatan, NTB,

dan NTT; namun hanya di Bali yang dapat berkembang baik. Hal ini disebabkan oleh sudah terdapat

sekitar 3.000 petani HSRT bandeng yang sekitar sepuluh persennya berusaha memproduksi benih kerapu

bebek sebagai usaha sambilan, sehingga setiap bulan selalu ada yang berhasil menghasilkan benih kerapu

bebek di Bali.

Keberhasilan transportasi benih akan mendukung pengembangan kegiatan budidaya pembesaran

ikan kerapu khususnya dalam mengupayakan keselamatan dan kesehatan benih yang diangkut dari unit

perbenihan sampai ke lokasi budidaya/ pembesaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis

kemampuan daya tahan tubuh serta menganalisis kesehatan benih ikan kerapu bebek yang sedang

diangkut pada berbagai kepadatan, selain itu sasaran lebih lanjut adalah untuk menganalisis kemungkinan

peningkatan efesiensi biaya transportasi dengan meningkatkan kepadatan pengangkutan dengan

memperhatikan faktor kesehatan dan sintasan benih ikan kerapu bebek.

Page 198: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

198

BAHAN DAN METODE

Studi transportasi benih ikan kerapu bebek sistim tertutup dan terbuka dilakukan dengan

menggunakan benih hasil produksi petani pembenihan di Bali. Ikan uji berupa benih ikan kerapu bebek

dengan panjang total 4 – 5 cm dan bobot tubuh 3-10 gram. Pada sistem tarnsportasi tertutup benih ikan uji

tersebut sebelum dikemas kedalam kantong plastik dipuasakan selama 24 jam. Wadah menggunakan

kantong plastik yang berukuran 30 x 50 cm diisi air laut yang telah diaerasi sebanyak 2 liter dan 35 x 60

cm diisi air laut 3 liter.

Kantong plastik yang telah berisi benih kemudian diisi oksigen murni dengan tekanan 100

kg/cm2, ratio antara gas oksigen dan air 3 : 1. Kantong plastik yang berisi benih ikan selanjutnya

dimasukan kedalam box streofoam, dan didinginkan dengan menambahkan es batu sebanyak 0,5 kg per

box. Parameter yang diamati dalam kegiatan ini adalah kelangsungan hidup, dan kualitas air media pada

saat berangkat dan sampai tujuan yang meliputi oksigen terlarut, pH, suhu, salinitas, ammonia dan karbon

dioksida dilakukan secara simulasi transportasi.

Pada pengangkutan dengan sistem tertutup menggunakan kendaraan berupa truk yang dilengkapi

dengan 2 buah bak fiber glass volume masing-masing 2 m3 yang dilengkapi dengan aersi dengan oksigen

murni. Kecepatan aerasi oksigen murni diatur sedemikian sehingga 1 tabung dapat digunakan selama 6-8

jam. Selama perjalanan dilakukan penggantian air sebanyak 70-80% setiap 6-8 jam sekali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data kelangsungan hidup benih kerapu bebek pada transportasi sistem tertutup secara rinci

disajikan pada Tabel 1.

Kelangsungan Hidup Benih Kerapu pada Transportasi Sistem Tertutup

Tabel 1 dapat dilihat bahwa pada transportasi sistem tertutup untuk benih ukuran 4 – 5 cm

kepadatan yang optimum dengan kantong ukuran 30 x 50 cm pada lama waktu trtansportasi 12 jam

adalah 30 ekor per kantong dengan kelangsungan hidup (SR) 95-99%; sedang selama 22 jam adalah 25

ekor per kantong (97-99%). Untuk benih ukuran 5 – 6 cm kepadatan yang optimum dengan kantong

ukuran 30 x 50 cm pada lama waktu trtansportasi 12 jam adalah 25 ekor per kantong dengan

kelangsungan hidup (SR) 98-99%; sedang selama 22 jam adalah 20 ekor per kantong (96-99%). Untuk

benih ukuran 6–7 cm dan 7-8 cm sering mengalami kendala kantong plastik yang bocor dan kempes

karena tertusuk tulang sirip punggung. Pada transportasi selama 12 jam kendala palstik kempes masih

tidak terlalu fatal, terutama pada transportasi darat walaupun plasti kempes benih masih dapat tertolong

oleh goncangan yang mempercepat difusi oksigen.

Tabel 1. Kepadatan,ukuran ikan. lama pengangkutan dan persen sintasan dalam transportasi benih ikan kerapu

bebek dengan sistem tertutup dari Bali ke perbagai kota tujuan

Ukuran

panjang

total

benih

(cm)

Ukuran

kantong

(cm)/

volume air

(liter)

Kepadatan

benih per

kantong

(ekor)

Lama

transpor

tasi

(jam)

Kota

tujuan

Alat

angkut Sintasan

(%)

Keterangan

(ada/tidak

kantong

plastik yang

kempes

1 2 3 4 5 6 7 8

4,0-5,0 30 / 2 30 12 Jakarta Pesawat 93-95 Tidak

4,0-5,0 30 / 2 25 12 Jakarta Pesawat 98-99 Tidak

4,0-4,5 30 / 2 30 22 Bengkulu Pesawat 90-93 Tidak

4,0-5,0 30 / 2 25 22 Bengkulu Pesawat 97-98 Tidak

5,0-6,0 30 / 2 20 12 Jakarta Pesawat 98-99 Tidak

5,0-6,0 30 / 2 17 12 Bengkulu Pesawat 98-99 Tidak

5,0-6,0 30 / 2 20 12 U.Pandang Pesawat 98-99 Tidak

6,0-7,0 30 / 2 15 12 Bengkulu Pesawat 92-93 ada

6,0-7,0 30 / 2 20 12 Jakarta Pesawat 92-93 ada

6,0-7,0 30 / 2 25 12 Lombok Darat 98-99 ada

6,0-7,0 35 / 4 35 12 Lombok Darat 97-99 ada

7,0-8,0 30 / 2 25 12 Lombok Darat 92-93 ada

Page 199: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

199

1 2 3 4 5 6 7 8

7,0-8,0 35 / 4 25 12 Lombok Darat 98-99 ada

5,0-6,0 30 / 2 15 18 Batam Pesawat 98-99 Tidak

4,0-4,5 30 / 2 20 18 Batam Pesawat 98-99 Tidak

7,0-8,0 30 / 2 15 12 Lombok Darat 98-99 ada

Kelangsungan Hidup Benih Kerapu pada Transportasi Sistem Terbuka

Pada transportasi terbuka semua pelakuan menghasilkan kelangsungan hidup yang sangat tinggi

(>99%). Hal ini karena kodisi kualitas air relatif stabil terutama kadar oksigen dan amoniak terlarut oleh

pemberian aerasi oksigen murni dan penggantin 70-80% air laut setiap 6-8 jam (Tabel 2).

Tabel 2. Kepadatan,ukuran ikan. lama pengangkutan dan persen sintasan dalam transportasi benih ikan kerapu

bebek dengan sistem terbuka dari Bali ke perbagai kota tujuan

Ukuran

panjang

total benih

(cm)

Volume

Bak

(m3)

Alat

angkut

Jumlah

benih yang

diangkut

(ekor)

Lama

transportas

i (jam)

Tujuan

Frekuensi

Penggan

tian air

(kali)

Kelang

sungan

hidup

benih

(%)

5,0-6,0 4,0 Truk 6.000 15,0 Lombok 1,0 100,0

10,0-12,0 2,0 Truk 2.000 15,0 Lombok 1,0 100,0

12,0-19,0 2,0 Truk 900 15,0 Lombok 1,0 100,0

5,0-7,0 4,0 Truk 4.000 15,0 Lombok 1,0 100,0

15,0-17,0 4,0 Truk 2.000 72,0 Larantuka 6,0 99,5

8,0-9,0 4,0 Truk 6.000 48,0 Lampung 4,0 99,5

6,0-7,0 4,0 Truk 4.000 60,0 Lb.Bajo 4,0 99,5

8,0-9,0 4,0 Truk 4.000 24,0 Dompu 2,0 99,5

Keberhasilan transportasi ikan hidup selalu dipengaruhi sifat fisiologi ikan sendiri, ukuran ikan,

kebugaran/mutu ikan menjelang transportasi, mutu air selama transportasi (suhu media DO, pH, CO2. dan

ammonia), kepadatan ikan dalam wadah, teknik mobilitasi dengan menggunakan suhu rendah atau bahan

kimia serta metabolit alam dan lama penggangkutan (Suryaningrum et al., 2001; Pipet et. al 1982;

Basyarie, 1990; Subangsinghe, 1972; Prorent, 1990; Frose. R. 1997). Pada kenyataan dalam melakukan

kegiatan transportasi ikan hidup selalu terjadi kompetisi penggunaan ruang dan pemanfaatan oksigen

yang tersedia. Pengangkutan dengan sistim tertutup menggunakan kantong plastik, nilai oksigen

merupakan parameter penentu pada transportasi ikan hidup ( Berka, 1986).

Peningkatan kepadatan menyebabkan penurunan mutu air selama transportasi. Hal ini terlihat

dari kondisi visual air selama pengangkutan air media agak keruh, berlendir dan Respon ikan terhadap

perubahan lingkungan suhu, oksigen terlarut, serta peningkatan metabolik ikan ditunjukkan oleh

perubahan warna (Utomo dalam Suryaningrum, 2000). Pada kondisi stress, ikan berubah menjadi pucat,

warna menjadi keputihan dan pola warna hilang. Jika ikan mudah dapat beradaptasi dengan kondisi

lingkungannya pola warna tersebut dengan cepat akan normal kembali.

Pada dasarnya keberhasilan kegiatan pengangkutan benih ikan kerapu bebek tidak terlepas

kaitannya dari cara penanganan benih ikan sejak sebelum dikemas hingga sampai tempat tujuan, tetapi

yang lebih penting lagi dari semuanya itu adalah cara mempertahankan agar kualitas fisiko-kimia air

media selama pengangkutan agar lebih stabil sehingga diharapkan dapat mendukung dan menjaga

kesehatan benih yang sedang diangkut.

Hasil pengamatan terhadap suhu media selama pengangkutan terlihat peningkatan pada suhu air

akhir pengangkutan berkisar antara 24-25oC. Dalam transportasi ikan hidup suhu memegang peranan

penting didalam mengendalikan tingkat metabolisme ikan, pada suhu tinggi aktivitas dan metabolisme

ikan meningkat. Oleh karena itu suhu rendah dipertahankan selama mungkin untuk menekan metabolisme

dan aktifitas ikan selama transportasi. Sehingga ikan dapat diangkut selama mungkin. Menurut Utomo

dalam Suryaningrum et al. (2000) suhu ideal yang berpeluang untuk transportasi ikan kerapu berkisar

antara 17 – 21oC. Tabel 3 menunjukkan bahwa suhu setelah pengangkutan selama 18 jam transportasi

suhu media rata-rata 25oC. Menurut Wibowo et al. (1997) pada suhu 21-27oC cenderung terjadi

peningkatan metabolisme sehingga respirasi meningkatkan ekskresi ammonia.

Page 200: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

200

Kandungan oksigen terlarut menunjukan penurunan dengan makin meningkatnya tingkat

kepadatan dan lama waktu transportasi. Hal ini membuktikan bahwa tingkat konsumsi oksigen sangat

dipengaruhi oleh faktor kepadatan sehingga dari kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan faktor

kepadatan mempunyai korelasi positif terhadap tingkat pemanfaatan oksigen, artinya semakin tinggi

kepadatan tingkat konsumsi oksigen akan menjadi lebih tinggi demikian sebaliknya.

Kelarutan oksigen pada saat pengepakan yaitu 6,2 mgO2,/liter, selanjutnya pada adalah 3-4

mgO2/liter, ini berpengaruh terhadap aktivitas fisiologi ikan. Menurut Rammerswaal (1993) kelarutan

oksigen yang rendah didalam air akan menyebabkan warna ikan menjadi pucat, aktivitas ikan lamban,

kadang-kadang ikan naik kepermukaan. Lebih lanjut Utomo dalam. Suryaningrum et al. (2000) dalam

penelitianya menyatakan bahwa kelarutan oksigen sebesar 3,47 mg O2/liter menyebabkan ikan gelisah,

warna menjadi pucat, aktifitas lamban.

Kandungan amonia setelah transportasi meningkat dengan meningkatnya kepadatan. Kandungan

amonia pada akhir transportasi berkisar 8-11 mg/liter, namun kandungan NH3 amonia tersebut belum

bersifat racun atau mematikan ikan terlihat dari sintasa ikan masih tinggi. Hal ini karena ammonia yang

dianalisa dalam bentuk amonium (NH4+), sehingga daya racun tidak begiru kuat. Meningkatnya

kandungan amonia dalam air ini dapat berasal dari hasil metabolisme pemecahan protein menjadi amonia

oleh bakteri (Remmarswaal, 1993). Tingginya kandungan amonia dalam air menyebabkan pengeluaran

amonia dalam darah dan jaringan tinggi. Hal ini menyebabkan pH dalam darah naik. Keadaan ini

menyebabkan meningkatnya konsumsi oksigen oleh ikan, sementara kelarutan oksigen dalam media

semakin menurun, sehingga akhirnya menyebkan kematian ikan.

KESIMPULAN

1. Kepadatan maksimal per kantong plastik yang masih menghasilkan kelangsungan hidup tinggi (95-

99%) untuk ukuran benih 4--5 cm pada lama waktu 12 jam dan 22 jam adalah masing-masing 30

ekor dan 25 ekor; pada ukuran benih 5-6 cm pada lama waktu 12 jam dan 22 jam adalah masing-

masing 25 ekor dan 20 ekor, sedangkan pada ukuran benih 7-8 cm adalah masing-masing 15 dan 12

ekor.

2. Pada transportasi dengan sistem tertutup semuanya menghasilkan kelangsungan hidup yang sangat

tinggi.(lebih dari 99%).

DAFTAR PUSTAKA.

Basyarie. A (1990). Transportasi Ikan Hidup. Traning Penangkapan Aklimatisasi dan Peyimpanan Ikan Hias Laut.

Jakarta 4 - 18 Desember 1990.

Berka. R. 1986. The transport of live fish EIFAC Tech. Pap. No. 48. p.52

Froces. R 1997. How to Transport live Fish in Plastic Bags. FAO. Technical Paper. Roma.

Piper. G.R, IBMc. Elwain, L.E. Ormen, J.P.Mc. Caren, L.G. Fowler and I.R. Leonard. 1982. Hatchery Management.

Washington DC, US. Report of Interior, Fish

Proseno, D 1990. Cara Transportasi Ikan Dalam Keadaan Kidup. Makalah disajikan pada Acara Temu Penelitian , Paket Teknologi 29 – 31 Oktober 1990.

Rammerwaal . 1993 Recirculating Aquaculture System. Info fish international 2 p 39 – 193.

Subangsing. S 1997. Live Handling and Transpotation. Infofish International 2p. 39 – 43

Sugama, K., Wardoyo, Rohaniawan, dan Masuda, H. 1998. Tenologi Pembenihan Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis). Dalam Proseding Seminar Teknologi Perikanan Pantai Bali, 8-7 Agustus 1998. Loka

Penelitian Perikanan Pantai Gondol – JICA (ATA-379) p 80 – 88.

Suryaningrum, T.D., Abdul Sari dan Ninoek Indiarti (2000). Pengaruh Kapasitas Angkut Terhadap Sintasan dan

Kondosi Ikan pada Transportasi Kerapu Hidup Sistim Basah. Dalam Proseding Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan Perikanan

Jakarta. P; 259-268.

Page 201: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

201

Tridjoko, Slamet, B, Makatutu ,D dan Sugama,K. 1996. Pengamatan Pemijahan dan Perkembangan Telur Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) secara Terkontrol. Jurnal. Penelitian Perikanan Indonesia. 2 (2)

: 55-62.

Wibowo, S, Utomo, B S.V. and Suryaningrum, T.D. 1987. Kajian Sifat Fisiologi Ikan Sebagai Dasar Dalam

Pengembangan Transportasi Ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina) Hidup untuk Eksport. Makalah disampaikan sebagai penelitian unggulan Puslitbang Perikanan.

Page 202: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

202

PEMBERDAYAAN NELAYAN PESISIR MELALUI BUDIDAYA

SOTONG BULUH (Sepioteuthis lessoniana, LESSON)

DI TELUK NARE, LOMBOK BARAT

M.S. Hamzah

UPT. Loka Pengembangan Bio Industri Laut, P2O – LIPI Lombok

ABSTRAK

Pemberdayaan nelayan pesisir melalui budidaya sotong buluh (Sepioteulus lessoniana) telah dilakukan

padaTahun Anggaran 2001, kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Pedesaan (P3P) Unram dan BAPPEDA

Propinsi NTB serta Staf UPT. Loka Pengembangan Bio Industri Laut, P2O – LIPI Lombok sebagai pembina teknis lapangan. Pembinaan lebih serius dan sekaligus alih teknologi budidaya pembesaran dimantapkan pada Anggaran

Tahun 2002, melalui Proyek Pemanfaatan Diseminasi Iptek Kelautan . Penelitian pada Tahun Anggaran 2001

dikosentrasikan pada studi laju pertum-buhan dan kelangsungan hidup dengan penebaran kepadatan yang berbeda

dan diberi pakan 2 kali sehari Sementara Anggran Proyek Tahun 2002 beracuh pada hasil penelitian tahun lalu, dengan meningkatkan kepadatan dan diberi pakan 3 kali sehari. Tujuan penelitian ini adalah membina nelayan pesisir

agar menguasai teknologi pembesaran dengan mengamati variabel pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Hasil

penelitian ini cukup penting artinya dalam mengetahui gambaran tebaran kepadatan per-satuan luas, sehingga aplikasi

pengembangan budidayanya dapat diketahui secara pasti. Hasil penelitian dari dua kali tahapan pengamatan memperlihatkan bahwa tebaran kepadatan yang cocok untuk luas kejapung 2,35 x 2,35 m dengan kedalaman 3 m

adalah 120 – 140 ekor dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali/hari, dan lebih menguntungkan dibanding dengan

padat tebar rendah dengan pemberian pakan 2 kali/hari. Laju pertumbuhan panjang mantel tertinggi tercatat pada

perlakuan dengan pemberian pakan 3 kali sehari yaitu mencapai 10,23 cm dengan bobot berat 480,10 gr, sementara 2 kali sehari hanya mencapai 4,23 cm dengan bobot berat 295,39 gr. Penurunan kelangsungan hidup lebih cenderung

diakibatkan oleh sifat kanibal, dan dapat dikurangi dengan cara penebaran kepadatan yang memiliki ukuran panjang

mantel yang hampir sama atau rengs perbedaan tidak lebih dari 2,5 cm. Pemijahan dan periode waktu inkubasi telur

serta pemulihan (restocking) ke laut turut dikaji dalam tulisan ini.

PENDAHULUAN

Stabilitas perekonomian masyarakat hingga sekarang masih mengalami fluktuasi yang cukup

memburuk dan cenderung rugi, yang diakibatkan oleh dampak krisis moneter yang berkepanjangan

melanda negara Indonesia. Namun keadaan ini, khususnya bagi nelayan yang mendiami daerah Kawasan

Timur maupun Tengah Indonesia termasuk Nusa Tenggara Barat justru memberi peluang yang besar

dengan meningkatnya transaksi harga produk hasil laut yang menggiurkan baik ekspor maupun pasar

lokal.

Perairan pantai Lombok Barat umumnya memiliki ekosistem batu karang, dan sedikit lamun

yang hidup dibentangan antara daerah tubir dan batas pantai basah. Struktur ekosistem semacam ini,

merupakan salah satu indikator daerah sebaran sotong buluh (Sepioteulus lessoniana). Hal ini terbukti

cukup banyak nelayan menangkap sotong tersebut terutama pada periode bulan terang dengan

menggunakan lambayan yang terbuat dari udang palsu. Sehingga dimungkinkan sumberdaya sotong

buluh dapat dijadikan sebagai salah satu mata pencaharian nelayan, karena memiliki harga yang cukup

tinggi di pasaran lokal maupun restauran. Dengan demikian bila ditinjau dari segi ekosistem perairan

pantainya dan permintaan pasar cukup menjajikan masa depan terutama bagi nelayan.

Sotong buluh (S. lessoniana) termasuk hewan laut yang tergolong dalam phylum muluska. Jenis

hewan ini umumnya senang hidup bergerombol dan terkonsentrasi di perairan pantai yang memiliki

ekosistem lamun dan karang (Roper et. el, 1984; Hamzah, 1997). Penyebaran sotong buluh meliputi

perairan Indo-Pasifik termasuk perairan Indoneisa. Aplikasi pengembangan budidaya pembesaran baik

yang berawal dari stadia jevenil maupun anakan khusus untuk sotong buluh belum banyak dilakukan.

Partisipan dalam budidaya sotong buluh (S. lessoniana) yang berawal dari stadia juvenil dan anakan telah

dilakukan oleh staf peneliti Balitkanta, Maros, BPTP, Bojonegara dan LIPI Ambon, berhasil dengan baik

dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk pengembangan lebih lanjut. Luaran hasil penelitian sotong buluh

Tahun Anggaran 2001 di perairan Lombok Barat – NTB telah dikembangkan oleh kelompok nelayan

Dusun Teluk Kombal, Kec. Pemenang Barat melalui bimbingan dan pelatihan teknis dari Staf Peneliti

LIPI Lombok, kerjsama Pusat Penelitian dan Pengembangan Pedesaan (P3P) UNRAM dan BAPPEDA

Propinsi NTB (sesuai surat No. 664/J18.P3P/2001). Kelompok nelayan binaan berjumlah 4 kelompok

Page 203: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

203

yang terdiri 4 orang/kelompok dan semuanya diambil dari nelayan pesisir yang bermukim di Dusun Teluk

Kombal

Jenis sotong ini, sangat digemari oleh lapisan masyarakat umumnya, karena rasanya enak dan

mengandung protein cukup tinggi. Hewan ini dapat dipasarkan dalam bentuk segar maupun kering

dengan harga yang cukup menjanjikan yakni harga per-kilogram basah bervariasi antara Rp.17.500, -

Rp.20.000,.

Kegiatan ini, bertujuan memberi keterampilan bagi nelayan melalui desiminasi pembuatan

prototipe pembesaran sotong buluh dengan sasaran akhir memacu pendapatan ekonomi masyarakat

nelayan pesisir.

METODOLOGI

1. Keramba Jaring Apung, Bagan dan Rumahjaga

Lokasi peletakan keramba jaring apung di Teluk Nare (Gambar 1) memiliki syarat yang sesuai

dengan indikator kehidupan sebaran sotong buluh yaitu pada daerah ekosistem batu karang yang letaknya

kurang lebih 30 m dari batas tubir dengan kedalaman dasar perairan diperkirakan antara 20 - 25 m.

Keramba jaring apung terbuat dari konstruksi kayu dan bambu petung sebanyak 2 unit terdiri atas (1). 6

kotak/unit dengan luas (P x L) : 2,50 x 2,50 m dengan kedalaman 2,75 m, dan (2). 4 kotak/unit dengan

luas 2,5 m x 1,5 m dengan kedalaman dasar keramba 2,75 m. Sementara jaringnya terbuat dari karoro

(warring) dengan ukuran mata jaring 0,5 cm, sehingga tebaran anak ikan teri hidup sebagai makanan

kegemaran sotong tidak lolos dari kepungan jaring. (Gambar 2 dan 3). Demikian juga bagan dan rumah

jaga terbuat dari konstruksi kayu dan saling berdampingan, sehingga tidak mengganggu kehidupan sotong

buluh yang ada dalam kepungan keramba jaring apung. Luas bagan (P x L) : 7 x 12 m dengan kedalaman

karoro 5 m, sementara luas rumah jaga (P x L) : 3 x 2 m. Sebagai bahan apung khususnya untuk keramba

jaring apung terbuat dari serofoam yang daya apungnya cukup tinggi dan tahan lama.

Gambar 2. Keramba Jaring Apung

Gambar 3. Sosialisasi Kelompok Nelayan Binaan

Dusun Teluk Kombal Kec. Pemenang Lombok barat

Page 204: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

204

2. Tebaran kepadatan

Pengisian benih sotong buluh dengan padat tebar yang berbeda yaitu 100 ekor, 120 ekor dan 140

ekor dan diulang 2 kali. Benih ini dibeli dari kelompok nelayan yang menggunakan jaring jala yang

beroperasi tidak jauh dari lokasi budidaya. Benih yang didapat sebelum ditebar dalam kejapung diukur

panjang mantel dan beratnya serta seleksi ukuran yang hampir sama dikelompokan dalam satu kotak

kejapung. Hal ini, menghindari terjadinya sifat kanibal antar ukuran yang besar terhadap yang ukuran

kecil.

3. Pakan

Sotong buluh (S. lessoniana) merupakan salah satu jenis hewan laut yang memiliki sifat

kanibalisme, dengan demikian tebaran dalam keramba jaring apung harus dalam ukuran besar yang

hampir sama atau tidak jauh berbeda (Hamzah, 2002). Demikian pula dijelaskan bahwa jenis hewan ini,

lebih respons memakan makanan yang hidup terutama pada ukuran anakan, antara lain jenis udang

jembret (Mesopodopsis sp) dan ikan teri dalam keadaan hidup. Sementara jenis ikan teri dalam kedaan

mati juga dapat diberikan, namun responsnya tidak sebaik ikan teri yang masih hidup. Pemberian pakan

dilakukan 3 kali sehari yaitu pagi, siang dan sore hari dengan estimasi perbandingan 10 % dari bobot

berat badan sotong. Bersamaan dengan ini, dilakukan pengukuran kondisi oseanografi antara lain suhu,

salinitas, pH dan kecerahan air.

HASIL DAN BAHASAN

1. Budidaya Pembesaran Sotong buluh (S. lessoniana)

Hasil budidaya sotong buluh berdasarkan tingkat kepadatan yang berbeda terlihat pada Tabel 1

dan Gambar 4. Pada tabel ini tampak bahwa laju pertumbuhan panjang mantel rerata cenderung lebih

baik tercatat pada padat tebar yang tinggi seperti tercatat pada kotak C1 dan C2 yaitu 8,45 cm dan 10,23

cm dengan laju pertumbuhan berat 250,00 gr dan 480,10 gr. Sementara pada Gambar tersebut, terlihat

bahwa tingkat mortalitas dari ketiga perlakuan hampir tidak jauh berbeda, namun bila dikaji berdasarkan

persentase padat tebar tercatat padat tebar 120 ekor dan 140 ekor masih bisa direkomondasikan untuk

dijadikan acuan yang cocok dikembangkan. Hasil penelitian ini bila dibandingkan dengan data tahun lalu

yaitu padat tebar rendah dan diberi pakan 2 kali sehari (Tabel 2) dan Gambar 5, memperlihatkan bahwa

pemberian pakan 3 kali sehari lebih menguntungkan baik dari segi pertumbuhan maupun tingkat

mortlitasnya (jauh lebih rendah). Nilai laju pertumbuhan panjang mantel bulanan yang diberi pakan 3

kali/hari bervariasi antara 5,28 cm – 10,23 cm dengan bobot berat antara 135,10 gr – 480,10 gr. Laju

pertumbuhan tertinggi tercatat pada perlakuan C2 (padat tebar 140 ekor) dan terendah pada B1 (120

ekor), namun bila dibandingkan dengan perlakuan padat tebar 100 ekor (A) tidak menunjukkan perbedaan

yang nyata. Sementara pemberian pakan 2 kali/hari mencapai nilai pertumbuhan panjang mantel bulanan

cukup rendah yaitu bervariasi antara 2,64 cm – 4,23 cm dengan bobot berat antara 122,02 gr – 295,39 gr.

Pada tabel ini terlihat bahwa laju pertumbuhan tertinggi tercatat pada perlakuan A1 (padat tebar 100 ekor)

yang memiliki ukuran panjang mantel awal 14 – 25 cm, dan terlihat bahwa kecenderungan semakin

kecilnya variasi ukuran tebar semakin lebih rendah laju pertumbuhan baik ukuran panjang mantel maupun

berat. Demikian juga tingkat mor-talitas, bila dikaji kedua tabel dan gamabr tersebut diperoleh bahwa

mortalitas terendah cenderung tercatat pada padat tebar yang memiliki ukuran panjang mantel yang besar.

Kajian ini identik dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamzah (2002) bahwa padat tebar yang

memiliki variasi ukuran panjang mantel yang hampir sama atau tidak jauh berbeda cenderung

menghasilkan laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang tinggi. Lebih jauh dijelaskan pula bahwa

kesamaan ukuran padat tebar, dapat menghindari tingkat kanibal antar sesamanya.

2. Pemijahan dan Pemulihan (Restocking)

Pemijahan mulai terjadi setelah seminggu kemudian dalam kejapung terutama pada ukuran

besar. Jumlah kapsul telur yang diperoleh selama periode pengamatan tecatat kurang lebih 2.775 kapsul

(11.100 butir) dengan variasi inti butiran per-kapsul antara 1 – 6 inti (Tabel 1), sementara pada Tabel 2

tercatat jumlah telur yang bakal menetas sebanyak 81.963 butir. Telur diinkubasikan dalam kejapung

selama 2 minggu kemudian menetas dan dilepaskan kelaut (restocking) sebanyak 93.063 ekor (stadia

juvenil)(Gambar 7)

Page 205: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

205

3. Pasca Panen

Panen I : (Proyek 2001) dari tiga kali pemebesaran diperoleh hasil sebanyak 62,5 kg dengan harga

Rp.17.500.-/kg diperoleh hasil penjualan sebesar Rp 1.093.700.-

Panen II : (Proyek 2002) dari dua kali panen diperoleh hasil 113,6 kg dengan harga Rp.20.000.-/ kg

diperoleh hasil penjualan sebesar Rp.2.272.000.-

Demontrasi pasca panen dilakukan oleh Ketua LIPI dan Deputi Ilmu Kebumian bertepatan

kunjungan kerja di UPT. Loka Pengembangan Bio Industri Laut, P2O – LIPI Lombok (Gambar 8).

Gambar 4. Grafik mortalitas dan Kelangsungan hidup (sintasan) dengan padat tebar berbeda serta

diberi pakan 3 kali/hari

Ket. A100 ….dst. = padat tebar

Sotong buluh (S. lessoniana )

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

A1(100)

A2(100)

B1(120)

B2(120)

C1(140)

C2(140)

Kepadatan Tebar (ekor)

Mo

r. &

Sin

tasa

n (e

kor

)

M (ekor)

S (ekor)

Page 206: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

206

Gambar 5. Grafik sintasan, mortalitas dengan padat tebar berbeda dan sama diberi pakan 2 kali/hari.

Ket. Nilai ( ) = selisih ukuran panjang mantel, A40 …dst. = padat tebar

Gambar 6. Hasil Budidaya Pembesaran Sotong buluh (S. lessoniana) berdasarkan padat tebar yang

berbeda.

Kondisi Lingkungan

Suhu air (ºC).

Kondisi suhu air pada kedalaman 2 m sampai kedalaman 12 m hampir tidak jauh berbeda yaitu

bervariasi antara 26,8 – 27,5 0C. Suhu terendah tercatat pada bulan Agustus dan tertinggi pada bulan

September. Umumnya kisaran suhu terendah dapat menyebabkan kematian anakan kerang mutiara.

Salinitas (%o)

Salinitas air pada kedalaman 2 m dan 12 m tidak jauh berbeda yaitu bervariasi antara 31 – 32

%o. Kisaran salinitas ini masih ambang toleransi kehidupan kerang mutiara.

Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman air laut kedalaman 2 m hingga 12 m berada dalam kondisi stabil yaitu nilai

rerata pH = 7

Sotong buluh (S. lessoniana )

0

10

20

30

40

50

60

70

80

A40

(11)

A40

(3.5

)

B60

(2.5

)

B60

(3.5

)

C80

(4)

C80

(4.5

)

A10

0(2)

A10

0(3.

7)

B10

0(4.

5)

B10

0(7)

C10

0(4.

5)

C10

0(5.

5)

Kepadatan Tebar (ekor)

Sin

tasan

& M

ort

alita

s (

eko

r)S (ekor)

M (ekor)

Page 207: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

207

Kecerahan (m)

Kecerahan air laut selama periode pengamatan tercatat antara 13 - 16,25 m.

Gambar 7. Inkubasi dan penetasan telur sotong buluh untuk pemulihan (restocking)

Gambar 8. Pasca Panen Hasil Budidaya Pembesaran sotong buluh

Page 208: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

208

Tabel 1. Laju Pertumbuhan, Kelangsungan hidup dan Pemijahan sotong buluh (S. lesoniana) dalam Kejapung dengan padat tebar berbeda serta diberi pakan 3 kali/hari

Keterangan : PM = Panjang Mantel

LP = Laju Pertumbuhan Kisaran kapsul Telur bervariasi antara 1 – 6 inti telur

Tabel 2. Pertumbuhan, kelangsungan hidup (SR) dan pemijahan sotong buluh (S. lessoniana) dalam kejapung

berdasarkan kepadatan berbeda serta diberikan pakan 2 kali/hari

Kotak Variabel Pengamatan

Hewan Uji Agustus September

Laju

pertum SR

1 2 3 4 5 6

A1 (40) Kisar & selisih PM (cm) 14-25=11 21-30,5 =8,5

Kisaran berat (gr) 200-800,00 400-1100,00

Panjang rerata (cm) 19,63 23,86 4,23

Berat rerata (gr) 383,18 678,57 295,39

Jumlah (ekor) 40,00 30,00 30,00

Pijahan (butiran telur) 21.037 30.362 88,16% x51.399 =

45.313,00

A2 (40) Kisar & selisih PM (cm) 9-12,5=3,5 10-17 =7

Kisaran berat (gr) 50-120,00 120-350,00

Panjang rerata (cm) 11,72 14,98 3,26

Berat rerata (gr) 65,00 220,41 155,41

Jumlah (ekor) 40,00 35,00 35,00

Pijahan (butiran telur) - 6.539 (88,16%x6.539)

= 5.765,00

Kotak Variabel Pengamatan Juli September LP Mortalitas Jumlah

I1 (100) PM rerata (cm) 5,25 11,75 6,5

Berat rerata (gr) 15,50 150,60 135,1

Padat tebar (ekor) 100,00 85,00 - 15,00

Pijahan (kapsul) - 25,00 25,00

I2 (100) PM rerata (cm) 5,15 12,11 6,95

Berat rerata (gr) 15,25 160,35 145,1

Padat tebar (ekor) 100,00 80,00 - 20,00

Pijahan (kapsul) - 57,00 57,00

II1 (120) PM rerata (cm) 10,16 16,42 6,26

Berat rerata (gr) 85,00 250,00 165,00

Padat tebar (ekor) 120,00 95,00 - 25,00

Pijahan (kapsul) 55,00 250,00 305,00

II2 (120) PM rerata (cm) 9,75 14,53 5,28

Berat rerata (gr) 70,00 193,50 123,50

Padat tebar (ekor) 120,00 93,00 27,00

Pijahan (kapsul) 50,00 650,00 700,00

III1 (140) PM rerata (cm) 15,12 23,57 8,45

Berat rerata (gr) 250,75 500,75 250

Padat tebar (ekor) 140,00 95,00 45,00

Pijahan (kapsul) 113,00 750,00 863,00

III2 (140) PM rerata (cm) 16,50 25,73 10,23

Berat rerata (gr) 270,15 750,25 480,10

Padat tebar (ekor) 140,00 93,00 47,00

Pijahan (kapsul) 150,00 675,00 825,00

Jumlah 2.775,00

Page 209: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

209

1 2 3 4 5 6

B1 (60) Kisar & selisih PM (cm) 11-13,5 =2,5 13-19,5 =6,5

Kisaran berat (gr) 50-200,00 190-350,00

Panjang rerata (cm) 13,14 16,27 3,13

Berat rerata (gr) 139,27 278,18 138,91

Jumlah (ekor) 60,00 55,00 55,00

Pijahan (butiran telur) - -

B2 (60) Kisar & selisihPM (cm) 7,5-11=3,5 11-17 =6

Kisaran berat (gr) 40-100,00 100-280,00

Panjang rerata (cm) 10,88 14,33 3,45

Berat rerata (gr) 63,09 150,60 87,51

Jumlah (ekor) 60,00 51,00 51,00

Pijahan (butiran telur) - -

C1 (80) Kisar & selisih PM (cm) 4-8 =4 6-15 =9

Kisaran berat (gr) 10-40 35-250

Panjang rerata (cm) 8,00 11,22 3,22

Berat rerata (gr) 16,00 128,54 112,54

Jumlah dan SR (ekor) 80,00 55,00 55,00

Pijahan (butitan telur) - -

C2 (80) Kisar & selisih PM (cm) 11-15,5=4,5 14-20 =6

Kisaran berat (gr) 140-250,00 150-400

Panjang rerata (cm) 14,600 17,24 2,64

Berat rerata (gr) 187,50 309,52 122,02

Jumlah dan SR (ekor) 80,00 54,00 54,00

Pijahan (butiran telur) - 35.033,00 (88,16%x35.033) = 30.885,00

Jumlah SR butiran telur 81.963,00

Ket : PM = Panjang Mantel; A1,A2,B1,B2, C1,C2 = Kotak kejapung dengan tebaran

kepadatan sotong buluh 40, 60 dan 80 ekor masing-masing diulang 2 kali

SR = Kelangsungan Hidup, Pertum = Pertumbuhan, dan angka garis tebal bawah = selisih PM.

KESIMPULAN

Dari hasil bahasan dapat ditarik beberapa kesimpula sebagai berikut :

1. Laju pertumbuhan budidaya sotong buluh ternyata padat tebar yang tinggi dan berukuran besar

cenderung lebih cepat dibandingkan dengan padat tebar yang rendah yang berukuran kecil.

Sementara tingkat kelangsungan hidupnya hampir sama atau tidak jauh berbeda

2. Tebaran kepadatan sotong buluh yang dapat direkomendasikan dengan luas keramba 2,50 x 2,50

m dengan kedalaman dasarnya 2,75 m adalah pada kepadatan tebar 120 ekor hingga 140 ekor

dengan syarat ukuran besarnya tidak jauh berbeda atau hampir sama

3. Selisih ukuran tebaran panjang mantel awal antar spesimen sotong buluh untuk menghindari sifat

kanibal adalah bervariasi antara 2 – 2,5 cm, semakin kecil dari kisaran panjang tersebut semakin

baik, dan diperoleh kelangsungan hidup semakin besar

4. Perbandingan laju pertumbuhan sotong buluh yang diberikan pakan 3 kali/hari cenderung lebih

cepat pertumbuhannya dibandingkan dengan pemberian 2 kali/hari

5. Kondisi perairan selama periode pengamatan berkiar pada ambang toleransi sebaran kehidupan

sotong buluh

SARAN

1. Pemberdayaan nelayan melalui budidaya sotong buluh mudah dipahami tergantung dari pada

tingkat keseriusan terutama rutinitas pemberian pakan dan pembersihan kejapung dari kotaran

sisa-sisa pakan maupun kotaran jaring akibat lama terendam. Keterlambatan pemberian pakan

menyebabkan terjadinya sifat kanibal antar sotong yang berukuran besar terhadap yang kecil

Page 210: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

210

2. Permukaan kejapung perlu ditutup dengan daun kelapa secukupnya setelah benih sotong buluh

ditebar ke dalamnya. Tujuannya adalah selain menghindari penyinaran cahaya matahari yang

terlalu besar, juga menghalangi loncatan sotong untuk keluar dari kejapung dengan

mempergunakan kekuatan penyemrotan air melalui rongga mantelnya

3. Untuk menghindari factor pembusukan akibat sisa-sisa pakan yang mengendap di dasar

kejapung perlu dibersihkan setiap hari, atau bila menyulitkan maka disarankan agar ukuran mata

jaring dasar kejapung agak sedikit besar dari pada dindingnya, sehingga sisa-sisa pakan yang

sudah terpotong atau hancur bisa lolos

4. Penelitian ini, perlu dilanjutkan terutama untuk mengamati perkembangan dan kelangsungan

hidup juvenil sotong buluh hingga dewasa, sehingga ketergantungan penangkapan di alam dapat

dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, M.S., 1997. Studi Perkembangan Embrio dan Daya Tetas Telur Sotong Buluh (Sepioteuthis lessoniana, LESSON) pada Kondisi Suhu dan Salinitas yang Berbeda. Tesis. Program studi Sistem-Sistem Pertanian

Kajian Perikanan, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Unjung Pandang : 79 hal.

Hamzah, M.S., 2002. Studi Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Sotong Buluh (Sepioteuthis lessoniana,

LESSON) dengan Keramba Apung pada Kepadatan Berbeda di Teluk Kombal,Lombok Barat – NTB. Makalah dipresentasikan dalam Kongres Nasional III, di Bali 21 – 24 Mei 2002: 17 hal. ( in Pres)

Roper, C.F.E.; M.J. Swenney and C.E. Nauen, 1984. Cephalopods of the World. FAO Species catalogue of interest

to fisheries , FAO Fish. Synop., 3 (125) : 277.

Page 211: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

211

PENGEMBANGAN DESA BATUNAMPAR SEBAGAI DESA PANTAI BERBASIS

BUDIDAYA LAUT

Arif Surahman dan Prisdiminggo

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram Nusa Tenggara Barat. Jl. Peninjauan Narmada Po Box 1017 Mataram

ABSTRAK

Pengembangan desa pantai sangat penting artinya mengingat profil desa pantai mencirikan keterbelakangan bahkan kemiskinan yang turun temurun. Agribisnis perikanan merupakan suatu bentuk keterpaduan pengembangan

desa pantai. Agribisnis merupakan kegiatan yang dimulai dari pengadaan sarana produksi, proses produksi,

penenganan pasca panen dan pengolahan serta pemasaran produksi. Kondisi hidrooceaografi dan sosial ekonomi

Desa Batunampar mendukung untuk pengembangan budidaya laut. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat telah melakukan pengkajian budidaya laut di desa Batunampar yang meliputi budidya rumput

laut, budidaya kerapu dan lobster dalam KJA. Hasil pengkajian menunjukan bahwa potensi sumberdaya budiaya laut

sangat baik dan perlu untuk dikembangkan. Budiaya kerapu dalam karamba diharapkan menjadi fokus utama dalam

pengembangan desa Batunampar dengan didukung oleh penyediaan pakan alami berupa ikan rucah dan pemasaran maupun penyediaan benih yang kontinyu dan berkualitas.

Kata kunci: desa pantai; budiaya laut

ABSTRACT

Development of coastal village is important because coastal village always illustrate the undeveloped and

poorly region. Fisheries agribusiness is the integrated method for development of coastal village. Agribusiness is the

activities, which consist of production input supply, production process and post harvest handling.

Hidrooceanography condition of Batunampar village is suitable for marine culture activities. BPTP Mataram has been done marine culture assessments in Batunampar village. These assessments consist of seaweed culture and grouper

and spiny lobster cage culture. The assessment result showed that this location was good place marine culture and

need to be developed. Grouper cage culture is the main focus for Batunampar village development, which have to be

supported by trash fish supply for grouper feed and good quality and continue seed supply.

Key word: coastal village; development; marine culture

LATAR BELAKANG

Pengembangan desa pantai sangat penting artinya mengingat profil desa pantai mencirikan

keterbelakangan bahkan kemiskinan yang turun temurun. Padahal desa pantai mempunyai prospek

sebagai pemasok utama pangan hewani dimasa datang mengingat potensi sumberdaya alam yang sangat

mendukung. Desa pantai menghasilkan berbagai jenis produk perikanan baik untuk memenuhi kebutuhan

domestik maupun ekspor.

Upaya pengembangan desa pantai bertolak dari pemikiran bahwa mensejahterakan masyarakat

pantai bukanlah tanggung jawab satu instansi saja melainkan tanggung jawab berbagai instansi dan

lembaga dan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu pengembangan desa pantai berarti pengembangan

yang terpadu dari berbagai instansi/lembaga dan masyarakat itu sendiri secara terpadu dengan tugas dan

fungsi yang berbeda-beda tetapi menuju pada satu tujuan yaitu masyarakat pantai yang sejahtera. Bertolak

pada kenyataan bahwa sebagian besar penduduk desa pantai adalah nelayan kecil maka pengembangan

desa pantai adalah pengembangan masyarakat perikanan dengan didukung sektor lain.

Agribisnis perikanan merupakan suatu bentuk keterpaduan pengembangan desa pantai.

Agribisnis merupakan kegiatan yang dimulai dari pengadaan sarana produksi, proses produksi,

penenganan pasca panen dan pengolahan serta pemasaran produksi. Penerapan agribisnis secara utuh dan

terpadu mengakibatkan produk dapat dipasarkan dengan baik sehingga nelayan dan pembudidaya ikan

mendapatkan imbalan yang sebesar-besarnya.

Dalam pengembangan desa pantai, pemanfaatan sumberdaya harus dirancang secara optimal dan

berkelanjutan. Pengelolaan yang baik dan bijaksana akan berdampak pada kelestarian dan keberlanjutan

sumberdaya alam sebagai faktor utama pendukung produksi perikanan pesisir. Sebaliknya pengelolaan

Page 212: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

212

yang ceroboh dan gegabah akan mengakibatkan kerusakan sumberdaya alam yang pada akhirnya daya

dukungnya pada produksi perikanan pesisir akan menurun.

Propinsi Nusa Tenggara Barat yang memiliki luas wilayah peraian laut (perairan pantai dan lepas

pantai) mencapai 31.148 km2 dengan panjang pantai 2.900 km mempunyai potensi yang bagus untuk

pengembangan budidaya ikan kerapu dalam karamba jaring apung. Potensi areal untuk budidaya kerapu

di NTB adalah 1.445 ha dengan 1.200 ha berada di Sumbawa. Dari potensi areal tesebut baru dapat

dimanfaatkan 11 ha di Kab. Lombok timur dan 0,05 ha di Kab. Bima (Anonimous, 2002).

Desa Batunampar yang terletak di teluk Ekas, kab. Lotim sejak lama dikenal sebagai sentra

produksi rumput laut. Jumlah penduduk Dusun Batunampar sebanyak 980 jiwa (210 KK) yang sebagian

besar bekerja sebagai nelayan kecil, petani rumput laut dan pedagang hasil produksi pertanian/sarana

keperluan nelayan dan sebagian kecil bekerja di sektor jasa dan pegawai swasta/negeri.

POTENSI SUMBERDAYA DESA BATU NAMPAR

Teluk Ekas yang berada di bagian selatan Pulau Lombok, secara administratif merupakan

wilayah kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur. Lokasi teluk terlindung dari arus dan gelombang

besar, karena adanya daerah karang di mulut teluk yang dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang.

Dasar perairan sebagian besar berupa karang mati dengan pasir dan sebagian kecil berupa lumpur. Suhu

udara rata-rata 24 – 31,3o C, suhu air 25,6 – 28.8

oC, salinitas air laut 33 – 35 ppt, pH 7,8 – 8,9 dan

kecerahan antara 3 – 5 m. Kedalamam air bevariasi antara 10 –15 m karena adanya lagun/ruang yang

dibatasi oleh hamparan karang (Prisdiminggo et al., 2002)

Batunampar merupakan salah satu desa yang terletak di pesisir bagian barat teluk Ekas.

Transportasi menuju desa Batunampar sangat lancar dengan jarak dengan ibukota propinsi adalah 60 km,

jarak dengan ibukota kabupaten 50 km dan jarak dengan ibukota kecamatan adalah 25 km. Sarana

penerangan listrik sudah masuk ke lokasi namum sarana air bersih masih sulit. Untuk mendapatkan air

masyarakat harus membeli seharga Rp. 1.000,- /ember.

Sebagian besar penduduk desa Batunampar adalah nelayan penangkap ikan. Aktivitas

penangkapan hanya terbatas di sekitar perairan teluk, karena menggunakan sampan ukuran kecil dengan

penggerak motor tempel. Alat tangkap yang digunakan adalah berbagai jenis jaring dan pancing yang

masih sederhana. Sebagian nelayan mempunyai bagan tancap/apung yang digunakan untuk penangkapan

ikan pada malam hari dengan memanfaatkan lampu petromak.

Hasil tangkapan nelayan cukup beragam, baik jenis maupun ukuran. Ikan ukuran kecil yang

tertangkap dikategorikan sebagai ikan rucah, harga jualnya berkisar Rp. 2000,- - Rp. 4.000,-/kg. Ikan-

ikan ekonomis penting seperti kerapu, kakap dan lobster juga sering tertangkap di perairan tersebut

namun harga jual untuk ikan tersebut masih sangat rendah karena digolongkan sama dengan ikan hasil

tangkapan lainnya.

POTENSI BUDIDAYA LAUT

Usaha budidaya rumput laut yang merupakan awal proses budidaya laut di desa Batunampar

dimulai sejak tahun 1986 dan mencapai puncaknya pada tahun 1995 dengan jumlah rakit mencapai 3.000

unit. Metoda yang digunakan adalah metoda rakit terapung dengan ukuran rakit 10 x 10 m. Rata-rata

produksi selalu berfluktuasi dari tahun ke tahun hal ini disebabkan karena harga jual rumput laut selalu

berfluktuasi. Aktivitas petani dalam usaha budidaya rumput laut tidak berlangsung sepanjang tahun.

Petani umumnya menanam rumput laut pada awal bulan April sampai dengan pertengahan September.

Pada bulan Oktober sampai Februari merekan tidak menanam rumput laut karena mereka beralasan

tingginya intensitas serangan penyakit rumput laut yaitu ice-ice pada bulan tersebut.

BPTP Mataram yang pada waktu itu masih berbentu instalasi mengadakan kajian rumput laut di

Desa Batunampar pada tahun 1997. Dari Kajian tersebut didapatkan hasil waktu tanam rumput laut

sebaiknya dimulai pada bulan April dan berakhir pada bulan September namun periode tanam antara

bulan Mei – Agustus memberikan keuntungan yang lebih besar (Prisdimiggo et al., 1998)

Berdasarkan pengamatan di lokasi selama penelitian rumput laut, banyak sekali tertangkap oleh

nelayan ikan-ikan ekonomis penting di daerah tersebut seperti kakap, kerapu dan lobster. Dengan melihat

Page 213: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

213

dasar perairan yang berupa karang dimungkinkan daerah tersebut merupakan habitat untuk ikan-ikan

karang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Melihat fenomena tersebut BPTP Mataram mengadakan

uji adaptasi pemeliharaan ikan kerapu dalam KJA. Jenis ikan yang digunakan adalah ikan kerapu bebek

(Cromileptes altivelis). Jenis ini mempunyai harga yang sangat tinggi dan mempunyai pasaran ekspor di

Hongkong. Dari Kajian ini didapatkan hasil bahwa jenis ikan ini dapat dibudidayakan dalam KJA dengan

masa pemeliharaan 17 bulan dan berdasarkan analisa usaha didapatkan keuntungan sebesar Rp.

19.953.645,- (Prisdiminggo et al., 2002)

Dalam Kajian ini juga dilakukan ujicoba pemeliharaan udang karang (Panulirus sp) dalam

karamba dan didapatkan hasil yang sangat memuaskan dengan SR 73,33% dan pertambahan berat 62,67 g

selama 1,5 bulan. Udang karang jenis lain seperti udang karang jenis mutiara dan pasir juga memberikan

respon yang sangat baik dipelihara dalam karamba (Prisdiminggo et al., 2002).

KONSEP PENGEMBANGAN DESA BATUNAMPAR BERBASIS BUDIDAYA LAUT

Melihat potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta potensi budidaya yang terdapat

di desa Batunampar, maka daerah tersebut dapat dikembangkan menjadi daerah pantai yang mempunyai

basis budidaya laut. Hal-hal yang menjadi dasar pemikiran pengembangan budidaya laut adalah :

1. Teluk Ekas memenuhi persyaratan sebagai lokasi untuk budidaya laut seperti: terlindung dari

pengaruh arus yang kuat, gelombang besar serta angin yang kencang serta bebas dari cemaran.

2. Dasar perairan yang berupa karang dimungkinkan sebagai habitat alami untuk ikan-kan karang

ekonomis penting sehingga tidak akan kesulitan untuk mendapatkan pasok benih dari alam.

3. Keberhasilan pengkajian yang dilakukan BPTP NTB menunjukkan bahwa perairan ini memang

cocok untuk lokasi budiaya laut seperti rumput laut dalam rakit terapung, kerapu dalam KJA dan

lobster dalam KJA.

4. Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai nelayan kecil yang menghasilkan ikan rucah sebagai

hasil tangkapannya, merupakan potensi untuk pemenuhan kebutuhan pakan ikan dalam budidaya

dalan KJA.

Konsep pengembangan terpadu mutlak diperlukan dalam pengembangan desa Batunampar

mengingat adanya beberapa aspek budidaya dan penangkapan ikan yang selama ini sudah dilakukan oleh

sebagian masyarakat.

Ikan kerapu merupakan komoditas penting yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dan

pendapatan nelayan di desa Batunampar. Ikan kerapu khususnya jenis kerapu bebek mempunyai harga

jual yang sangat tinggi. Pengkajian ikan kerapu yang dilakukan oleh BPTP NTB, sangat direspon oleh

masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya masyarakat yang kemudian ikut mencoba budiaya ikan

kerapu dalam karamba. Teknologi budidaya yang diintroduksikan oleh BPTP Mataram sangat sederhana

sehingga petani dapat menirunya tanpa kesulitan. Modal yang diperlukan sangat murah karena

konstruksinya bisa dibangun dengan bahan yang tersedia disekitar petani dan tidak asing bagi mereka

misalnya bambu, pelampung dan jaring. Metoda budidayanya juga sangat sederhana sehingga dapat

diaplikasikan oleh petani. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ikan berupa ikan rucah masyarakat tidak

mengalami kesulitan karena terdapat banyak bagan apung dan tancap yang dapt mensuplai kebutuhan

ikan rucah setiap hari. Komoditas lain yang bias dibudiayakan dalam KJA ini adalah lobster. Lobster juga

merupakan komoditas yang penting karena harganya juga sangat baik, bias mencapai Rp. 160.000,- – Rp.

180.000.-. Lobster merupakan salah satu marga dari Crustacea laut yang mempunyai potensi ekonomis

penting. Budidaya udang karang di Indonesia bulum banyak diusahakan, bahkan hanya terbatas pada

usaha penangkapan. Pada umumnya udang karang diperdagangkan baik untuk kebutuhan konsumsi

dalam negeri maupun untuk ekspor. Di Indonesia dikenal adanya enam jenis udang karang dari marga

Panulirus yaitu: P. homarus, P. Longipes, P. ornatus, P. peniculatus, P. penicillatus, P. polyphyagus dan

P. versicolor (Moosa dan Aswandy, 1984). Ke enam jenis udang karang ini mempunyai sebaran yang

berbeda dan beberapa diantaranya hidup pada habitat yang berbeda pula. Pengkajian udang karang yang

dilakukan oleh BPTP NTB bermula dari ketidaksengajaan pada saat berlangsungnya pengkajian

pemeliharaan kerapu. Waktu pengamatan dan pembersihan jaring banyak ditemui benih udang karang

menempel pada jaring dan pelampung, bahkan ditemui masuk ke dalam jaring (KJA) dan tumbuh seperti

ikan lainnya.

Page 214: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

214

Mengingat lamanya masa pemeliharaan ikan kerapu dalam KJA yaitu sekitar 17 bulan untuk satu

siklus pemeliharaan sehingga petani masih mempunyai banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan

untuk kegiatan lain seperti budidaya rumput laut. Budiaya rumput laut yang sudah lama dikerjakan oleh

petani perlu dikembangkan lagi mengingat metoda budidayanya sangat mudah. Berdasarkan hasil kajian

dari BPTP NTB metoda budidaya yang dapat digunakan untuk budidaya rumput laut di Desa Batunampar

adalah metoda rakit dengan ukuran rakit 10 x 10 m.

Penangkapan ikan yang merupakan sumber utama mata pencaharian masyarakat disana

diharapkan dapat dapat terus dilaksanakan dengan tujuan untuk menunjang budidaya ikan. Ikan rucah

hasil tangkapan nelayan dapat digunakan sebagai pakan untuk ikan yang dibudidayakan. Demikian juga

ikan hasil tangkapan dari bagan tancap maupun bagan apung dapat digunakan sebagai pemasok pakan

alami untuk karamba.

Kebutuhan benih ikan di karamba biasanya juga dapat dipenuhi dari bagan tancap/apung. Ikan-

ikan kecil yang tertangkap biasanya terdapat juga jenis ikan karang seperti kerapu, kakap, beronang dll.

Ikan-ikan ini kemudian ditampung untuk kemudian pada pagi hari dipindahkan ke KJA untuk

dibudidayakan.

Untuk mengantisipasi ketergantungan benih alam maka kelestarian ekosistem di daerah habitat

benih ikan-ikan karang perlu di jaga. Hal ini dapat dilakukan dengan melaksanakan kegiatan penyuluhan

kepada masyarakat tentang arti penting kelestarian sumberdaya alam dalam mendukung proses budidaya

ikan yang mereka lakukan. Termasuk juga kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan dari penangkapan

ikan yang tidak bijaksana misalnya dengan menggunakan bahan-bahan kimia dan bahan peledak.

Penggunaan bahan-bahan kimia dan bahan peledak akan mengakibatkan kerusakan terumbu karang yang

merupakan habitat alami bagi ikan-ikan ekonomis penting seperti kerapu, kakap, lobster dll.

Aspek pemasaran untuk ikan kerapu tidak menjadi masalah dengan datangnya PT. MINAUT

yang bergerak dalam pembelian ikan kerapu bebek dari para petani. Saat ini kebutuhan ikan kerapu bebek

hanya dapat dipenuhi dari tangkapan dari alam seperti dari bagan tancap dan bagan apung nelayan.

Tingginya permintaan kerapu dari PT. MINAUT diharapkan dapat dipenuhi oleh budidaya ikan kerapu

bebek dalam KJA oleh petani.

Dalam jangka panjang perusahaan ini akan bergerak pula dalam bidang pembenihan dan akan

bermitra dengan petani dengan cara mensuplai kebutuhan benih dan akan menampung dan memasarkan

hasil panennya. Pembangunan hatchery mutlak diperlukan untuk mengantisipasi lonjakan permintaan

benih seiring dengan perkembangan budidaya ikan kerapu dalam KJA karena benih hatchery saat ini

masih didatangkan dari Gondol Bali yaitu jenis kerapu bebek.

PENUTUP

Potensi sumberdaya alam Desa Batunampar untuk pengembangan budidaya laut perlu sekali

diimplemntasikan dengan pengembangan Desa Batunampar berbasis budidaya laut. Budidaya laut yang

dapat dikembangkan antara lain budidaya ikan kerapu dalam KJA, budidaya lobster dalam KJA dan

budidaya rumput laut. Suplai pakan ikan rucah untuk budidaya tersebut dapat dipenuhi dari hasil

tangkapan bagan tancap dan bagan apung yang dilakukan nelayan setempat. Ketergantungan benih alam

untuk budidaya perlu diimbangi dengan upaya menjaga kelestarian ekosistem sebagai habitat alami ikan-

ikan tersebut. Usaha hatchery benih perlu dilakukan untuk mengantisipasi permintaan benih yang

melonjak. Untuk pemasaran dan kebutuhan benih perlu adanya pola kemitraan dengan perusahaan yang

bergerak dalam ekspor ikan kerapu misalnya PT. MINAUT yang saat ini sudah bergerak di desa

Batunampar dan akan membangun pula hatchey untuk ikan kerapu bebek.

Page 215: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

215

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, T., A. Mustafa dan A. Hanafi. 1997. Konsep Pengembangan Desa Pantai Mendukung Keberlanjutan

Produksi Perikanan Pesisir. Prosiding Rapat Kerja Teknis, Pusat Penelitian dan Pengembangan

Perikanan. Serpong, 19 – 20 November. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 91 – 106p.

Ismail, W dan E. Pratiwi. 1997. Sistem Usaha Tani Berbasis Budidaya Laut untuk Pengembangan Desa Pantai. Warta

Penelitian Perikanan. Vol. III No. 4. 2 – 6p.

Ismail, W, S.E. Wardoyo, B. Priono, P.T. Imanto. 1998. Penelitian Pasok Benih Alam Kerapu (Epinephelus spp) melalui Pemeliharaan Induk pada Keramba Jaring Apung Sebagai Reservat Buatan. Jurnal Penelitian

Perikanan Indonesia, vol IV no. 1. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 96 – 108p.

Nazam. M., Prisdiminggo. A. Surahman dan Sudjudi. 2000. Laporan Hasil Pengkajian Uji Adaptasi Pemeliharaan

Kerapu Bebek dalam KJA di Teluk Ekas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.

Prisdiminggo, M. Nazam, A. S. Wahid, S. Sisca dan Sudjudi. 1998. Uji Adaptasi Waktu Tanam terhadap

Produktivitas Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di teluk Ekas dusun Batunampar, Lombok Timur.

Prosiding Seminar Penyuluh, Peneliti dan Petugas Terkait Propinsi Nusa Tenggara Barat. Instalasi

Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Prisdiminggo, Mashur, M. Nazam, L. Wirajaswadi. 2002. Budidaya Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) dan

Lobster (Panulirus sp) dalam Karamba Jaring Apung (KJA) di Teluk Ekas, Lombok Timur. Makalah

disampaikan pada Lokakarya Nasional dan Pameran Pembangunan Agribisnis Kerapu II di Jakarta tanggal 8 – 9 Oktober.

Redjeki. S, A. Supriaatna, S. Diani, A. Ismail dan PT. Imanto. 1995. Prospek Budidaya Udang Karang. Makalah.

Pusat Litbang Perikanan. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Sub Balai Penelitian Perikanan

Budidaya Pantai Bojonegara. Serang.

Slamet, B. Dan P.T. Imanto. 1998. Pengamatan Pemeliharaan Udang Karang (Panulirus humarus) di Laboratorium.

Jurnal Penelitian Pantai vol 5 No.2. Badan Litbang Pertanian. Balai Penelitian Perikanan Budidaya

Pantai. Maros. 52-60p.

Tridjoko, B. Slamet, A. Prijono dan I. Koesharyani. 1996. Pembenihan Ikan Kerapu. Prosiding Rapat Kerja Teknis, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Serpong, 19 – 20 November. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 112

– 118p.

Page 216: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

216

UPAYA PENINGKATAN PERFORMANCE PEMIJAHAN

INDUK KERAPU (Epinephelus Sp) SECARA TERKONTROL

Agus Priyono

Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut-Gondol Po Box 140 Singaraja, Bali

ABSTRAK

Ikan kerapu, Epinephelus sp termasuk dalam famili Seranidae, hidup di perairan yang berkarang. Beberapa

jenis kerapu yang dibudidayakan seperti kerapu bebek, kerapu macan, kerapu lumpurdan kerapu sunu umumnya menggunakan benih alam. Namun akhir-akhir ini benih yang diinginkan baik kualitas, kuantitas maupun jenisnya

tidak sesuai dengan yang diinginkan. Dalam proses pembenihan, diperlukan induk yang bermutu baik. Oleh

karenanya induk sebagai modal dasar pembenihan harus ditingkatkan mutunya melalui pakan yang berprotein,

penambahan vitamin pakannya maupun secara hormonal. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa induk kerapu yang diberi pakan dengan kandungan protein 40%, penambahan vitamin C sebanyak 1000 mg/kg pakan serta implan

hormon LHRH analog dapat meningkatkan keragaan pemijahan terutama kualitas telur meningkat hingga 82 %,

frekuensi memijah bulanan hingga 8-10 kali dan kuantitas telur harian mencapai 1.3 juta butir.

Kata kunci: Kerapu, pakan, vitamin, hormon.

ABSTRACT

Epinephelus sp is the Seranidae familie, life in the coral area. In general, seed of the grouper for cultured (Cromileptes altivelis, tiger grouper, mud grouper, coral grouper etc) come from wild capture. The seed quality and

quantity from wild capture was not sufficient. In the seedling process, are necessary of the best quality broodstock.

The broodstock is the importance for seedling must be improving true the protein level, vitamin, or hormonal. The

result showed that the broodstock of grouper with fed protein contain 40%, vitamin C with dosage 1000 mg/kg feed and implant hormone LHRH analog was increased for spawning performance i.e increased egg quality up to 82%,

spawned frequency was 8-10 times and quantity ofegg until 1,3 million per day.

Key Word: Epinephelus sp, feed, vitamin, hormone.

PENDAHULUAN

Ikan kerapu termasuk famili Serranidae, dengan daerah penyebaran meliputi daerah tropik dan

subtropik (Randall dan Ben-Tuvia, 1983). Secara umum jenis-jenis ikan kerapu termasuk dalam golongan

ikan protogynous hermaprodit, yaitu perubahan kelamin dari betina dewasa akan mengalami perubahan

kelamin menjadi jantan. Jenis-jenis ikan kerapu tersebut (Epinephelus sp) adalah jenis ikan yang

hidupnya di karang, pada kedalaman yang bervariasi tergantung dari spesies ikannya.

Di Indonesia jenis-jenis ikan kerapu banyak diburu orang karena mempunyai nilai ekonomi cukup

tinggi di pasar-pasar lokal dalam negeri maupun untuk eksport. Besarnya permintaan ikan terutama ikan

kerapu hidup menimbulkan dampak pada turunnya jumlah tangkap, jenis, maupun ukurannya.

Padahal beberapa jenis kerapu yang sudah dikembangbiakkan sampai mencapai ukuran benih

atau juvenil adalah kerapu bebek, Cromileptis altivelis (Tridjoko dkk., 1997), kerapu macan, Epinephelus

fuscoguttatus (Mucharie et al., 1991; Mayunar et al., 1991), kerapu batik, Epinephelus microdon (Slamet

dan Tridjoko, 1999), kerapu lumpur, Epinephelus malabaricus, Epinephelus coioides (Mayunar, 1992;

Prijono dkk, 2000). Hal ini menyebabkan kebutuhan induk dalam proses pembenihan sangat diperlukan.

Umumnya induk-induk yang digunakan untuk pembenihan berasal dari tangkapan di alam dan belum

banyak yang berusaha memproduksi induk yang berasal dari hasil pembenihan buatan (hatchery). Untuk

menghindari kegagalan dalam pembenihan biasanya induk-induk kerapu didatangkan dari daerah yang

cukup jauh sehingga sistim penangkapan dan transportasi menjadi perhatian yang besar. Karena

kesalahan penangkapan (menggunakan sianida, dll) serta transportasi yang kurang tepat dapat

menyebabkan sistim pemulihan tubuh menjadi sangat lamban bahkan menyebabkan kematian sesaat

setelah ikan didomestikasi, sehingga perlu perhatian khusus

Untuk menghindari kegagalan selama proses reproduksi, tentunya diperlukan induk-induk

kerapu yang berkualitas baik dengan indikator ukuran, umur maupun manajemen pemeliharaannya.

Page 217: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

217

Dalam pemeliharaan induk kerapu faktor-faktor yang menentukan produksi telur baik kuantitas maupun

kualitas, maka peran nutrisi pakan, penambahan vitamin serta pengaruh hormonal menjadi hal penting.

Tujuan

Menformulasikan cara meningkatkan keragaan (performance) induk kerapu hubungannya

dengan perbaikan mutu induk untuk pemijahan secara terkontrol.

BAHAN DAN METODE

Induk Kerapu

Induk ikan diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di laut, ditampung di karamba apung atau

tambak pasang surut, kemudian diseleksi ukuran, berat dan kesehatannya. Ikan diangkut dengan

menggunakan tangki fiberglas yang dilengkapi aerasi oksigen dan pengaturan suhu. Selanjutnya ikan

dipelihara dalam bak beton volume 100 m3 dengan kepadatan 20-25 ekor dengan kondisi air mengalir

(flowtrue sistem).

Pengelolaan Air dan Aerasi

Air laut yang digunakan diambil dengan menggunakan pompa yang didistribusikan melalui pipa-

pipa PVC ke masing-masing unit bak pemeliharaan induk. Jumlah pergantian air selama pemeliharaan

sedikitnya 200% per hari. Untuk suplai oksigen digunakan blower /Hiblow diatur dengan penggunakan

stop kran dan slang aerasi yang dihubungkan ke masing-masing batu aerasi. Untuk mengurangi jumlah

ekresi yang ditimbulkan dari induk, setiap satu atau dua minggu sekali dilakukan pembersihan dasar bak

dengan cara menyipon. Sebagai triger pematangan gonad dan pemijahan bisa juga dilakukan dengan cara

menurunkan sebagian volume air pemeliharaan hingga 60-80% per hari pada pagi hingga siang hari.

Pengelolaan Pakan

Jenis pakan yang diberikan berupa ikan tongkol kecil, tembang, lemuru sebanyak 2-3% dari total

bobot ikan per hari, diberikan bergantian pagi dan sore. Sedangkan cumi-cumi diberikan menjelang

pemijahan alami 10 hari sebelumnya secara ad libitum (sampai kenyang). Perlakuan pemberian pakan

dengan pengaturan kandungan protein 40% (Tabel 1), lemak maupun vitamin C dosis 100 mg/kg berat

ikan dicampur dengan pakan moist pelet yang dimasukkan kedalam cumi-cumi. Jumlah pakan moist pelet

yang diberikan sebanyak 2% dari total bobot tubuh ikan perhari.

Tabel 1. Komposisi moist pelet yang digunakan untuk meningkatkan keragaan pemijahan induk kerapu dengan

kandungan protein 40%, dan vitamin C dosis 100 mg

Ingredient Diet 1

Fish meal 40.0 Squid liver meal 24.0

Fish oil 14.0

Starch 8.0

Vitamin premix 1.0 Vitamin C 10.0

Mineral premix 1.5

Binder 1.0

Cellulose 0.5 Total 100,0

Crude protein 40,0

Crude fat 22.6

Crude sugar 8,0 Crude ash -

DE (kcal/kg diet) 3.692,0

C/P ratio 94,0

Page 218: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

218

Pengelolaan Hormon

Hormon yang digunakan adalah LHRH-a kristal yang dikemas dalam bentuk pelet berukuran

panjang 5 mm dan diameter 15-25 mm. Pelet hormon merupakan campuran beberapa bahan antara lain

colesterol, cocobutter, alkohol dan bahan kristal hormon yang dihaluskan dan dikemas dalam bentuk pelet

yang siap diimplantasikan pada induk secara intramuscular. Dosis hormon yang diberikan sebanyak 50

g/kg berat ikan, dan diimplan tiap bulan dengan frekuensi 2-3 kali.

Pengamatan

Pengamatan perkembangan gonad dilakukan setiap bulan dengan menggunakan kanula yang

dimasukan kedalam lubang pelepasan telur. Sedangkan perkembangan sperma diamati dengan melakukan

striping pada induk jantan. Pengelompokan perkembangan telur dan sperma didasarkan pada penelitian

(Priyono et al., 1993). Pengamatan pemijahan dilakukan dengan mengetahui telur yang dihasilkan pada

masing-masing bak pemijahan. Telur diambil sebagian untuk diamati kualitasnya meliputi daya

pembuahan, penetasan, jumlah telur yang dihasilkan, serta frekuensi pemijahan bulanan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Protein Pakan

Tepung ikan sebagai sumber protein pakan secara umum sering digunakan sebagai sumber

protein utama, mengingat sumber protein dari ikan mudah diperoleh dan harganya relatif lebih murah

dibandingkan jenis lainnya (tepung cumi, tuna dll). Hasil percobaan penggunaan pakan untuk pemijahan

kerapu batik dengan sumber protein tepung cumi nampaknya lebih baik, yaitu masa produksi telur lebih

lama dari kondisi biasa yang tergantung musim hujan (Nopember-April) (Giri et al., 2001). Dengan

pemberian cumi segar sebanyak 50% dari jumlah pakan ikan segar yang diberikan terbukti dapat

meningkatkan kualitas telur yaitu telur mengapung (dibuahi) sekitar 81% dan produksi telur mencapai 14

juta butir (Giri et al., 2001). Tabel 2 menunjukkan bahwa induk kerapu Lumpur yang diberi pelet

kandungan protein 40% dengan bahan dasar protein dari tepung ikan menunjukkan kualitas telur yang

baik dengan indikator daya pembuahan mencapai 90 % dan daya tetas antara 10-98%, hasilnya hampir

sama pada kerapu batik yang diberi pakan dari sumber protein tepung cumi dan kerapu macan yang diberi

pakan ikan segar.

Hasil pengamatan pemeliharaan induk kerapu macan yang diberi pakan ikan tembang dan ikan

sardin segar diketahui induk bertelur setiap bulan dengan variasi jumlah telur antara 7 juta sampai 12 juta

butir dan daya tetasnya antara 55-85% (Setiadharma et al., 2001). Nampaknya kebutuhan protein pakan

pada ikan kerapu yang berasal dari ikan segar maupun dari tepung ikan untuk formula pelet sangat

penting untuk memperbaiki kualitas gonad induk.

Sebagai ikan karnivora, nampaknya kebutuhan protein cukup tinggi untuk mendukung pertumbuhan dan

kelangsungan hidupnya. Kebutuhan yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh rendahnya ketersediaan

karbohidrat sebagai sumber energi, sehingga sebagian dari protein digunakan hanya untuk memenuhi

kebutuhan energi (Watanabe, 1988).

Tabel 2. Pengamatan ukuran induk, jumlah telur, telur yang dibuahi dan daya tetas serta indek kehidupan larva pada

beberapa induk kerapu.

Parameter Satuan Kerapu (Epinephelus)

Lumpur Batik Macan

Berat ikan betina

Berat ikan jantan

Panjang total betina

Panjang total jantan Jumlah telur

Telur yang mengapung

Telur yang tenggelam

Telur yang dibuahi Daya tetas

Indek kehidupan larva

(kg)

(kg)

(cm)

(cm) (000 bt)

(butir)

(butir)

(%) (%)

2,80 - 9,62

11,58 - 17,56

52,00 – 80,00

82,00 – 92,00 100,00 - 1.597,00

8,75 - 810,00

15,00 - 987,60

45,30 – 90,47 10,00 - 98,40

1,57 – 5,56

1,10

lebih dari 2,00

35,00 - 38,00

42,00 -45,00 >14.000,00

90 5

4 1 -

35,00 - 55,50

-

3,50 - 8,00

lebih dari 10,00

56,00 – 81,00

lehih dari 85,00 7.300,00 -12.400,00

5.600,00 - 9.500,00

1.300,00 - 4.500,00

56,87 - 82,02 55,00 - 85,00

-

Page 219: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

219

Selanjutnya dikemukakan bahwa faktor lainnya adalah suhu, feeding rate, ketersediaan dan

kualitas pakan alami dan tingkat kecernaan pakan (Watanabe, 1988). Dari beberapa penelitian dilaporkan

bahwa kebutuhan protein ikan kerapu berkisar antara 47-60%. Perbedaan kebutuhan protein disebabkan

oleh beberapa hal antara lain perbedaan spesies, stadia, ukuran ikan serta sumber protein yang digunakan.

Namun Wilson (1985) mengemukakan bahwa tidak ada kebutuhan protein yang mutlak bagi ikan, akan

tetapi ditentukan oleh pola ketersediaan asam amino yang seimbang. Oleh karenanya, jenis dan komposisi

asam amino dari suatu bahan menjadi faktor penentu kualitas protein dari bahan yang bersangkutan

(Kusnendar et.al., 2001).Teng et al (1978) dalam (Kusnendar et a. 2001), melaporkan bahwa

pertumbuhan ikan kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina) akan maksimum jika diberi pakan dengan

kandungan protein 50%, namun mereka mendapatkan bahwa kadar protein pakan 40% adalah yang paling

ekonomis.

Selain kebutuhan protein, nampaknya lemak juga berperan sebagai sumber energi dan sumber

asam lemak esensial bagi ikan. Telah dibuktikan bahwa asam lemak tidak jenuh berantai panjang (HUFA)

terutama kelompok n-3 HUFA (EPA: 20-5n3 dan DHA: 22-6n3) merupakan nutrien esensial bagi larva

ikan laut dalam menyediakan energi metabolisme bagi perkembangan telur dan larva. New (1987) dalam

Giri et al. (2001) melaporkan bahwa kebutuhan lipid bagi ikan kerapu berkisar 14%, sementara

kandungan lemak yang digunakan selama percobaan sebesar 24%. Tingginya nilai lemak mungkin masih

ditolerir oleh induk, sehingga induk kerpu dapat bertelur secara spontan dalam bak pemeliharaan setiap

menjelang pemijahan alami.

Kandungan Vitamin C dalam Pakan

Pada beberapa penelitian tentang penggunaan vitamin C untuk reproduksi ikan telah diujicoba

terutama pada ikan trout (Sandnes et al., 1984). Hasilnya memperlihatkan bahwa ikan yang mendapat

pakan dengan suplemen vitamin C sebanyak 1000 mg/kg pakan dapat memproduksi telur lebih banyak

dibandingkan tanpa penambahan vitamin C. Seperti halnya pada kerapu Lumpur (Epinephelus coiodes)

yang diberi tambahan pakan yang mengandung vitamin C dosis yang sama memperlihatkan pertumbuhan

gonad yang cepat disusul dengan pemijahan setiap bulannya menunjukkan meningkat dari sekitar 3 juta

telur menjadi 7 juta pada akhir pengamatan bulan Oktober dengan frekuensi pemijahan sebanyak 10 kali

(Tabel 3). Untuk spesies kerapu lainya (Epinephelus tauvina) dicoba dengan kandungan vitamin C sekitar

30 mg/kg pakan (Boonyaratpalin et al,. 1993). Hasil yang sama telah dilaporkan Giri dkk. (1999) pada

percobaan menggunakan juwana ikan kerapu tikus (berat 13,5 0,9 g). Selanjutnya Phromkunthong et al.

(1993) menyatakan bahwa kerapu Lumpur (E. malabaricus) yang diberi pakan tanpa penambahan vitamin

C menunjukkan gejala sakit pada operculum dan sirip ekor.

Tabel 3. Pengamatan jumlah telur, kualitas telur, frekuensi pemijahan pada induk ikan yang diberi tambahan vitamin

mulai bulan Mei s/d Oktober 2002

No Bulan Code

Bak

Juml.

Telur

(000)

Pembuahan

(%) Penetasan (%)

Frekuensi

pemijahan

Jumlah Induk

betina

1. Mei A-1 - - - - 15 ekor

2. Juni A-1 3.912 27,3-87,4 15,5-50,5 8 kali 15 ekor

3. Juli A-1 3.980 31,2-65,5 10,5-82,5 6 kali 14 ekor

4. Agustus A-1 6.753 35,5-87,3 20,5-39,7 6 kali 14 ekor

5. Sept A-1 5.980 38,0-76,9 15,9-78,0 8 kali 12 ekor

6. Okt A-1 7.260 42,3-93,7 38,0-84,5 10 kali 12 ekor

Keterangan: A-1= volume tangki 100 ton

Hasil pengamatan terhadap derajat pembuahan tiap bulan pada induk kerapu Lumpur yang diberi

tambahan vitamin C cenderung meningkat dari 27,3 menjadi 93,7 %. dan daya tetasnya meningkat

mencapai 84,5% (Tabel 3). Demikian pula yang terjadi pada induk kerapu macan (Epinephelus

fuscoguttatus) yang diberi tambahan vitamin C dosis 1000 mg/kg pakan dapat bertelur dibandingkan

dosis yang lebih rendah (Tony Setiadharma, komunikasi pribadi). Dilaporkan oleh Soliman et al. (1986)

bahwa induk ikan nila dapat memijah lebih cepat dua minggu dibandingkan tanpa penambahan vitamin C.

Penelitian Ishibasi et al. (1994) pada ikan laut Japanese parrot memperlihatkan bahwa perkembangan

ovarium induk dengan penambahan vitamin C sebanyak 1000 mg/kg pakan jauh lebih cepat dibandingkan

tanpa penambahan vitamin C. Beberapa peneliti melaporkan bahwa pentingnya vitamin C dalam pakan

terutama untuk meningkatkan ketahanan terhadap stress karena secara alami hewan terutama ikan tidak

Page 220: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

220

mampu mensintesis vitamin C di dalam tubuhnya. Sehingga kebutuhannya mutlak diperlukan sehubungan

dengan sistem metabolisme enzim bagi ikan terutama pada juvenil ikan kerapu (Subyakto dkk., 2001).

Aplikasi Hormon untuk Stimulasi Reproduksi

Pada umumnya fungsi hormon reproduksi di dalam tubuh ikan berkembang sesaat setelah ikan

dewasa. Tingkat kedewasaan ikan sangat berlainan tergantung spesies dan lingkungan hidupnya.

Beberapa spesies ikan kerapu tingkat kedewasaan umumnya diketahui dari ukurannya. Misalnya ikan

kerapu macan, akan mulai dewasa (betina) dengan ukuran panjang lebih dari 56 cm dan yang jantan lebih

dari 85 cm (Tony Setiadharma et al., 2001). Kerapu batik mulai dewasa (betina) ukuran 35 cm dan yang

jantan lebih dari 42 cm (Giri et al., 2001), sementara ikan kerapu Lumpur mulai dewasa (betina) dengan

panjang 52 cm dan yang jantan lebih dari 82 cm (Priyono et al., 2001). Pada ikan kerapu bebek tingkat

kedewasaan betina terjadi mulai panjang 30 cm dan jantan mulai panjang 42 cm (Tridjoko et al., 2001;

Slamet et al., 1999). Berdasarkan tingkat kedewasaan tersebut ikan bisa diperlakukan pemberian hormon

dengan mempertimbangkan materi hormon maupun metode pemberiannya, yaitu bisa dengan teknik

injeksi maupun implantasi pelet hormon. Pada metode injeksi yang dikenal dengan metode akut hormon

bertujuan untuk mempercepat proses pemijahan induk, karena pada proses hormonal akan mempercepat

meningkatkan kandungan hormon dalam sistim sirkulasi darah, yang selanjutnya akan cepat menurun

kadarnya ke batas basal. Sedangkan dengan metode kronik (sistim implan pelet hormon), dalam

aplikasinya tidak menimbulkan peningkatan yang cepat terhadap kadar hormon dalam darah, namun

terjadi secara bertahap dan berkesinambungan.

Kecepatan pelepasan hormon kedalam darah diatur oleh sirkulasi darah ikan yang membawa

materi hormon yang terikat oleh senyawa lainnya. Metode kronik umumnya dilakukan pada ikan yang

gonadnya susah berkembang pada fase awal (Azwar dan Ruchimat, 1999)

Berdasarkan kriteria di atas, maka ujicoba penggunaan hormon bentuk pellet yang

dimplantasikan pada kerapu macan yang dipelihara secara terkontrol dalam tangki dengan kepadatan 5

ekor (4 betina dan 1 jantan) menunjukkan perubahan perkembangan gonad dan bahkan induk dapat

memijah relatif lebih cepat dari pada tanpa hormon. Diketahui induk yang diimplan dengan pelet hormon

LHRH-a dosis 50 g/kg berat ikan, gonad dapat berkembang dan diameter telur mencapai 450 m setelah

1 kali implan. Pada bulan ke tiga induk dapat memijah berturut-turut dengan frekuensi pemijahan

mencapai 2-4 kali, sementara kerapu batik yang diimplan dengan dosis pelet hormon yang sama, gonad

berkembang setelah 2 kali implan dan oosit berkembang menjadi 350-425 m dan dapat memijah 2-3 kali

menjelang musim pemijahan. Hasil pengamatan implan hormon pada kerapu Lumpur menunjukkan

perubahan yang mencolok pada pertumbuhan oosit dan sperma setelah satu kali implantasi. Oosit tumbuh

dari ukuran 250 m menjadi 400 dan bahkan 500 m dan jantan stadia awal negatip menjadi positip satu

maupun positip 2 (siap membuahi) setelah 2 kali implantasi (Tabel 4). Demikian pula implantasi pelet

hormon pada ikan kerapu bebek yang dikombinasikan dengan pemberian pakan mengandung vitamin C

dan pakan ikan rucah serta cumi-cumi memperlihatkan pemijahan tahunan yang relatif lebih lama (lebih

dari 6 bulan) (Tridjoko et al ., 2001)

Tabel 4. Data pemijahan induk kerapu (Epinephelus sp) yang diimplan dengan kronik pelet hormon LHRH-a dosis

50 g/kg berat ikan

Kriteria Jenis kerapu

Keterangan Kerapu macan Kerapu batik Kerapu lumpur

Perkemb. Oosit 300 - 450 m 300 - 400 m 400 - 500 m Metode kanulasi

Perkemb sperma Positip 1 - 2 Positip 1 Positip 1 - 2 Metode striping

Periode implan 1 kali 2 kali 2 kali -

Frekuensi

pemijahan 2 - 4 kali/ bulan 2 - 3 kali/bulan 6 - 10 kali/bulan -

Produksi telur

harian 350.000 - 2.200.000 50.000 - 200.000 150.000 - 1.700.000

Waktu pemijahan Sebelum dan sesudah

gelap bulan

Sebelum dan sesudah

gelap bulan

Sebelum dan sesudah

gelap bulan -

Tabel 4. menunjukkan bahwa efektivitas pelet hormon untuk mempercepat pemijahan dapat

diketahui setelah 1-2 kali implantasi. Namun berdasarkan hasil percobaan Lee et. al (1986) telah

diketahui bahwa induk induk yang diberi hormon dengan teknik implan memijah setelah 48 jam

penyuntikan. Berarti efektivitas pellet hormon juga tergantung dari tingkat kematangan gonad induk.

Page 221: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

221

Induk-induk kerapu yang berada pada tingkat perkembangan gonad awal, memungkinkan perubahan

perkembangan oosit terjadi setelah 1 sampai 2 bulan masa pemberian pellet hormon, namun bagi induk

yang ukuran oositnya besar yaitu lebih dari 400 m, maka pemberian hormon secara implan dapat

mempercepat gonad berkembang dan bahkan dapat memijah sekitar 24-48 jam setelah implan. Hal ini

hampir sama terjadi pada penggunaan pellet hormon LHRH-a pada induk ikan bandeng yang diketahui

oositnya sebesar 650 m dapat memijah spontan antara 30-40 jam setelah implantasi (Prijono et al.,

1990).

KESIMPULAN

1. Induk yang digunakan dalam proses reproduksi adalah yang sudah dewasa dengan ukuran yang

standart berdasarkan spesies/jenis ikan.

2. Induk kerapu yang dipelihara secara terkontrol dapat diperbaiki keragaan (performance)

pemijahannya melalui perbaikan pakan dengan kandungan protein 40%, vitamin C dosis 1000mg/kg

pakan dan hormon dalam bentuk pellet dengan dosis 50 g/kg berat ikan.

3. Keragaan pemijahan terutama kualitas telur meningkat hingga 82%, frekuensi memijah bulanan

hingga 8-10 kali dan kuantitas telur harian mencapai 1,3 juta butir.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Z.I dan T. Ruchimat. 1999. Aplikasi Hormonal untuk Reproduksi Ikan dalam Menunjang Upaya pemuliaan.

Pros. Simposium V PERIPI dalam Akselerasi Pemuliaan Mewujudkan Pertanian Tangguh di Era Globalisasi. Hal: 311-321.

Boonyaratpalin, M., Wannagowat, J., and Burisut, C., 1993. L-ascorbyl-2-phosphate-Mg as a Dietary Vitamin C

Source For Grouper. Grouper Culture, National Institute of Coastal Aquaculture and Japan International

Cooperation Agency. Pp 56-59.

Giri, N.A., B. Slamet, and Tridjoko. 1999. Pematangan Gonad dan Pemijahan Induk Ikan Kerapu Batik, Epinephelus

microdon dengan Perbaikan Mutu Pakan, pp. 179-183. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Diseminasi

Teknologi Budidaya Laut dan Pantai. Jakarta, 2 Desember 1999.

Giri., N.A., T. Setiadharma, K.M. Setiawati dan Wardoyo. 2001. Pembenihan Ikan Kerapu Batik, Epinephelus microdon: Spesies Kandidat Untuk Menunjang Pengembangan Budidaya Laut. Pros. Lokakarya Nasional

Pengembangan Agribisnis Kerapu hal: 157-164. Jakarta, 28-29 Agustus 2001.

Ishibasi, Y., Kato, K., and Iked, S. 1994. Effect of Eietary Ascorbic Acid Supllementation on Gonadal Maturation in

Japanese Parrotifish. Suisanzoshoku. 42 (2): 279-285.

Kusnendar, E., Ing Mokoginta., Bambang Widigdo., Dedy Yaniharto., Nyoman Adiasmara Giri dan Fifi Widjaja.,

2001. Penerapan Teknologi Nutrisi dan Pakan Pada Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu Tikus (Cromileptis

altivelis) Pros. Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu hal: 37-48. Jakarta, 28-29 Agustus

2001.

Lee, C.S., C.S.Tamaru., C.D. Kelley., and J.E. Banno. 1986. Induce Spawning of Milkfish, Chanos chanos, by a

Single Application of LHRH Analoque. Aquaculture 58: 87-98.

Mayunar., P.T. Imanto., S. Diani dan T. Yokokawa. 1991. Pemijahan Ikan Kerapu Macan, Epinephelus fuscoguttatus.

Bull. Pen. Perikanan. Spesial Edisi. 2: 15-22.

Mayunar. 1992. Pijah rangsang dan pemeliharaan larva kerapu lumpur Epinephelus tauvina Oceana. Vol XVII, 2: 69-

82.

Muchari, A. Supriatna, R. Purba., T. Ahmad dan H, Kohno. 1991. Pemeliharaan larva kerapu macan, Epinep[helus

fuscoguttatus. Bull. Pen. Perikanan. Spesial Edisi: 2: 43-52.

Priyono, A., G. Sumiarsa., Azwar, Z.I. 1990. Implantasi Hormon LHRH-a dan 17 Methyltestosterone untuk Pematangan Gonad Calon Induk Bandeng (Chanos chanos Forskal). J. Penelitian Budidaya Pantai 6(1): 20-

23.

Priyono, A., Taufik.A., dan T. Setiadharma., 1993. Pengaruh Penambahan Nutrisi Pakan Terhadap Perkembangan

Gonad Ikan Bandeng. J. Penelitian. Budidaya Pantai 9(1): 51-57.

Page 222: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

222

Priyono, A., T. Setiadharma., T. Sutarmat. 2001. Pematangan Gonad dan Pemijahan Induk Kerapu Lumpur (E. coioides) dengan Pemberian Protein Pakan Berbeda. Laporan Teknis Balai Besar Riset Perikanan Budidaya

laut Gondol, 9 hal.

Promkunthong, M., M. Boonyaratpalin, and Stock.V., 1993. Effect of Variying Forms of Dietary Ascorbic Acid on

the Nutrition, Histology and Ultrastructure of the Gills of Grouper. In: Grouper Gulture, National Institute of Coastal Aquaculture and Japan International Cooperation Agency, pp 60-62.

Randall, J.E. and A. Ben Tuvia., 1983. A review of the Grouper (Pisces: Serranidae; Epinephelinae) of the Red Sea,

with Discription of new Spesies of Cephalopholis. Bull. Mar Sci. 33 (2): 373-426.

Sandnes, K., Ulgenes, Y., Braekkan,O.R., and Utne,F. 1984. The Effect Ascorbic Acid Supplementation in Broodstock Feed on Reproduction of Rainbow Trout (Onshorhyncus mykiss). Aquaculture 43: 167-177.

Setiadharma, T., Nyoman Adiasmara Giri, Wardoyo dan A. Prijono., 2001). Pembenihan Ikan Kerapu Macan

(Epinephelus fuscoguttatus) ). Pros. Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu hal 165-174.

Jakarta 28-29 Agustus 2001.

Slamet, B. dan Tridjoko. 1999. Pematangan dan Pemijahan Induk Kerapu Sunu, Plectropoma leopardus dan Kerapu

Batik, Epinephelus microdon dalam Rangka Usaha Pemuliaannya.

Soliman, A.K., Jauncey, K., and Robert, R.J. 1986. The Effect Dietary Ascorbic Acid Supplementation on

Hatchability, Survival Rate and Fry Performance in Oreochromis mossambicus (Petter). Aquaculture 59: 197-208.

Subyakto, S., Ing Mokoginta, Dedi Jusadi dan Enang Harris., 2001. Pengaruh L-ascorbyl-2-phosphat (APM) Pakan

Terhadap Kadar Vitamin C Hati, Asam Lemak Omega-6 dan Omega –3, Rasio Hydroksiprolin/prolin Tubuh

dan Kinerja Pertumbuhan Serta Respon Stress Juvenil Ikan Kerapu Tikus (C. altivelis). Pros. Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu hal: 213-227. Jakarta, 28-29 Agustus 2001.

Suwirya, K., M. Marzuqi dan N.A.Giri., 2001. Kebutuhan Nutrisi dan Pengembangan Pakan Ikan Kerapu. Pros.

Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu hal 197-204. Jakarta 28-29 Agustus 2001.

Tridjoko, B. Slamet dan D. Makatutu. 1977. Pematangan Induk Ikan Kerapu Bebek dengan Rangsangan Suntikan LHRH-a dan 17 alpha methyltestosterone. J. Penelitian Perikanan Indonesia, edisi khusus 1: 55-62.

Tridjoko., Eri Setiadi., dan I.N.A. Giri. 2001. Peningkatan Frekuensi Pemijahan dan Mutu Telur Ikan Kerapu Bebek

dengan Perbaikan Jenis Pakan, Hormon dan Lingkungan Pemeliharaan. Teknologi Budidaya Laut dan

Pengembangan Sea farming di Indonesia. Hal 276-284.

Watanabe, T. 1988. Fish Nutrition and Marieculture: JICA Textbook-The General Aquaculture Course. Department

of Aquatic Bioscience, Tokyo Univ. of Fisheries, Japan.

Wilson, R.P., 1985. Amino Acid and Protein Requirement of fish. In: Nutrition and Feeding in Fish (Cowey, C.B., et

al., eds). Academic Press, New York. pp: 281-291.

Page 223: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

223

APLIKASI BUDIDAYA KERAPU BEBEK, Cromileptes altivelis

DI TELUK EKAS KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Titiek Aslianti, 1)

Bedjo Slamet dan 1)

Gegar Sapta Prasetya2)

1)Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol PO Box. 140. Singaraja 81101, Bali 2)Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta

ABSTRAK

Ikan kerapu merupakan satu diantara komoditas ekspor yang banyak diusahakan di beberapa wilayah Indonesia melalui budidaya dengan sistim keramba jaring apung (KJA) seperti kerapu bebek (Cromileptes altivelis),

kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu sunu (Plectropomus leopardus) dan kerapu lumpur (Epinephelus

coioides). Berdasarkan data oceanografi, Teluk Ekas dinilai cukup potensi untuk pengembangan budidaya kerapu.

Penelitian ini dilakukan melaui uji coba pembesaran benih kerapu bebek di KJA dengan berbagai ukuran dan padat penebaran yang bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut kelayakan budidayanya. Hasil uji coba menunjukkan bahwa

dalam waktu 4 bulan benih yang berukuran 100 gram menghasilkan tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi

dan.padat penebaran benih yang melebihi kepadatan optimal berdampak negatif terhadap vitalitas ikan, yang ditandai

dengan menurunnya daya tahan ikan terhadap serangan penyakit sehingga dapat mengakibatkan kematian masal.

Hasil deteksi melalui RT-PCR menunjukkan bahwa jenis penyakit yang menyerang ikan kerapu tergolong virus VNN

(Viral Nervous Necrosis).

Kata kunci : Kerapu bebek, pembesaran, KJA.

ABSTRACT

The grouper is one of export commodity and many culturing in some of Indonesia coastal area by floating net cage system, such as polka dot grouper (Cromileptes altivelis), brown marbled grouper (Epinephelus

fuscoguttatus), leopard corral trout (Plectropomus leopardus) and orange spotted grouper (Epinephelus coioides). The

data base of Ekas bay oceanography showed that the Ekas bay is potencial area for grouper culture development.

Therefore, it is necessary to carryout a research to know the degree of land suitability for fish culture in the floating cages using different size and densities of the fry. The result showed that the highest survival rate of the fry during 4

months reared in the floating cage is the fry with initial body weight ± 100 g, and if the density of fry overing than

optimal density, it could be down vitalities and could be mass mortalities. Detection by RT-PCR showed that mass

mortalities by VNN (Viral Nervous Necrosis).

Key Words : Polka dot grouper, fry culture, Floating net cage.

PENDAHULUAN

Peranan budidaya pantai dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan besarnya potensi

pengembangannya baik sumberdaya lahan maupun jenis komoditas. Kegiatan perikanan yang

memanfaatkan kawasan pantai telah memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan nasional, tidak saja

dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani tetapi juga sebagai sektor penghasil devisa dan mampu

menciptakan lapangan kerja baru di wilayah desa pantai. Pertambahan jumlah penduduk dan

meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan sehat asal laut mengakibatkan jumlah

permintaan jenis-jenis ikan laut dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

Potensi perairan laut yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha budidaya ikan-ikan

bersirip diperkirakan 3 juta Ha (Sunaryanto, et al, 2001). Upaya budidaya selain bertujuan meningkatkan

produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan per kapita, juga untuk memenuhi permintaan pasar

dunia serta memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang tersedia dengan cara-cara yang ramah

lingkungan dalam upaya pelestariannya di alam baik terhadap ruaya hidupnya maupun terhadap

kelestarian jenis-jenisnya.

Ikan kerapu tersebar luas di perairan pantai baik di daerah tropis maupun sub tropis, dan

termasuk jenis ikan yang hidup di perairan berkarang sehingga sering dikenal sebagai ikan karang (coral

reef fish). Beberapa jenis ikan kerapu yang banyak terdapat di Indonesia seperti kerapu bebek atau tikus

(Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu sunu (Plectropomus

leopardus), kerapu lumpur (Epinephelus coioides), kerapu malabar (Epinephelus malabaricus), dan

kerapu bintik atau batik (Epinephelus bleekeri), merupakan komoditas andalan untuk dibudidayakan

Page 224: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

224

karena selain memiliki nilai jual yang tinggi juga dalam proses produksinya lebih banyak memanfaatkan

sumber daya laut yang ada dan menggunakan komponen lokal cukup besar, sementara hasil dari usaha

budidayanya mempunyai pangsa pasar yang luas sehingga sangat potensial untuk dikembangkan yang

pada gilirannya dapat meningkatkan devisa negara,

Sumberdaya pesisir dan laut di wilayah perairan laut NTB mempunyai potensi yang cukup besar

untuk dikembangkan. Berdasarkan data potensi lestari (Maximum Sustainable Yield / MSY) perikanan laut

NTB sekitar 428.439 ton, sementara tingkat pemanfaatannya relatif masih rendah sekitar 16,0%

(Samodra, 2000), sehingga perlu alternatif untuk mengoptimalkan pemanfaatannya melalui peningkatan

sistem pengelolaan potensi sumberdaya kelautan dengan mengembangkan budidaya laut (mariculture).

Dengan mengacu pada UU no 22 tahun 1999, tentang penataan pemanfaatan ruang budidaya dan

berdasarkan data oceanografi seperti lokasi yang terlindung dari gelombang besar, kondisi perairan yang

tenang, dasar perairan yang terdiri dari gugusan karang, kedalaman perairan pada saat surut berkiar 15-30

meter dan mempunyai pola sirkulasi masa air (arus) yang baik, karakteristik biota laut memadai,

karakteristik data sedimen serta pola sosial ekonominya, maka Teluk Ekas merupakan lokasi yang cocok

untuk pengembangan budidaya kerapu. Teluk Ekas juga kaya akan sumberdaya pakan ikan berupa ikan

rucah serta potensi benih lobster yang memadai.

Kerapu bebek termasuk satu diantara jenis kerapu yang paling banyak diminati konsumen baik

sebagai ikan hias (pada ukuran juvenil 3-5 cm) yang dikenal dengan nama Grace Kelly atau Polka dot

Grouper, maupun sebagai pasok restoran ―sea food‖ (pada ukuran konsumsi 400-800 gram) (Aslianti,

1996). Ketersediaan benih telah berhasil diproduksi secara massal di Hatchery Skala Rumah Tangga

(HSRT) di Bali dengan ukuran yang relatif seragam, jumlah yang cukup serta kualitas yang terjamin

sehingga dapat diandalkan sebagai sumber pasok benih yang kontinyu tanpa dipengaruhi musim

(Anonimous, 1998), bahkan HSRT telah mampu menembus pasar luar negeri. Dengan demikian sumber

benih relatif berdekatan dengan lokasi pembesaran di Teluk Ekas. Demikian juga hasil budidayanya akan

sangat mudah dipasarkan karena propinsi Bali merupakan pelabuhan internasional sehingga peluang

ekspor ikan hidup ke pasar internasional seperti Hongkong, Singapura, Jepang, Taiwan dan Thailand akan

sangat mudah (Aslianti, 1996).

Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dalam

proses pembesarannya adalah tingginya tingkat kematian. Hal ini terutama disebabkan karena belum

dikuasainya tehnologi pembesaran secara baku, baik ditinjau dari kondisi lingkungan perairan yang

kurang mendukung maupun dari segi standar operasional (ukuran KJA, ukuran benih pada saat tebar,

padat penebaran dalam pemeliharaan, pola pemberian pakan, dll). Berdasarkan hal tersebut, perlu

dilakukan penelitian tentang pembesaran kerapu di Teluk Ekas dengan mengacu pada aspek-aspek

kendala budidaya, dengan tujuan untuk mengkaji lebih lanjut kelayakan sistim budidayanya sehingga

dapat meningkatkan kapasitas pemeliharaan (carryng capacity) dan meningkatkan jumlah produksi yang

akhirnya dapat diperoleh suatu type budidaya kerapu yang dapat diaplikasikan pada pengguna tidak saja

di Teluk Ekas tetapi di seluruh wilayah perairan Indonesia.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini diawali dengan pembuatan keramba jaring apung (KJA) dengan kerangka dari

bahan kayu dan pelampung (sterofoam). KJA terdiri dari 10 petak/lubang dan setiap petak dipasang

jaring berbentuk kurungan berukuran 2x2x2 meter. Ukuran mata jaring disesuaikan dengan ukuran hewan

uji yaitu 0,50; 0,75 dan 1,00 inci. KJA dipasang di lokasi sesuai hasil survey tepatnya di desa Batu

Nampar, Kecamatan Jero Waru, Kabupaten Lombok Timur. Benih kerapu bebek sebagai hewan uji

terdiri dari 4 ukuran yang berbeda yaitu K-1: ± 5,00 gr (4-5,00 cm); K-2 : ± 8,00 gr (6-7,00cm); B-1: ±

10,00 gr (8-10 cm) dan B-2 : ± 100,00 gr (15-20,00 cm). Kelompok ukuran K-1 sebanyak 6.000 ekor

yang dibagi dalam 6 petak sehingga kepadatan per petak adalah 1.000 ekor. Kelompok ukuran K-2

sebanyak 1200 ekor ditebar dalam satu petak, demikian juga untuk kelompok ukuran B-1 dan B-2

masing-masing ditebar dalam satu petak dengan kepadatan 600 dan 300 ekor. Pada saat awal penebaran

dalam KJA dilakukan secara hati-hati mengingat sifat kerapu bebek sangat sensitive dan mudah stress

dibanding dengan kerapu Macan ataupun kerapu Lumpur. Pakan berupa pellet yang berukuran sesuai

dengan ukuran hewan uji diberikan 2-3 kali per hari sebanyak 2-3% dari bobot tubuh dan diberikan

sampai kenyang/ikan tidak respon lagi terhadap pakan. Jumlah pakan yang dikonsumsi setiap hari

diketahui dengan cara menimbang sisa pakan yang disediakan. Hal ini untuk mengetahui tingkat

efektivitas pakan terhadap pertumbuhan ikan (nilai konversi pakan). Pengamatan pertumbuhan (panjang

Page 225: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

225

dan bobot tubuh) dilakukan setiap 15-20 hari, pengamatan visual terhadap kesehatan ikan dilakukan

setiap hari, dan kelangsungan hidup diamati setiap bulan. Pengamatan laboratorium dilakukan terhadap

hewan uji yang menunjukkan gejala tidak sehat dengan cara mengambil bagian tubuh ikan (otak dan

mata) dan disimpan sementara dalam botol sampel yang telah berisi alcohol absolut, selanjutnya dianalisa

di laboratorium dengan menggunakan metode RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain

Reaction) terutama untuk mendeteksi jenis penyakit yang disebabkan oleh virus.

HASIL DAN BAHASAN

Pada awal penebaran, ikan belum tampak respon terhadap pakan. Keadaan ini merupakan masa

adaptasi ikan terhadap lingkungan yang baru setelah ikan mengalami pengangkutan selama ± 12 jam.

Parameter lingkungan yang sangat berpengaruh pada masa adaptasi adalah faktor suhu, salinitas, pH dan

kondisi arus saat ikan ditebar. Masa adaptasi biasanya berlangsung sampai 2-3 hari dan selanjutnya ikan

sudah mulai respon terhadap pakan. Hasil pengamatan yang dilakukan setiap 15-20 hari terhadap

pertumbuhan panjang dan bobot tubuh selama 4 bulan pemeliharaan secara rinci disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pertumbuhan (panjang dan bobot tubuh) benih kerapu bebek, Cromileptes altivelis yang dipelihara di KJA

di Teluk Ekas

Parameter P e n g a m a t a n

1 2 3 4 5 6

K-1

TL (cm)

BW (gr)

4,50

± 5,00

7,40

7,00

8,30

10,00

8,85

10,50

9,98

17,83

11,99

27,17

K-2

TL (cm) BW (gr)

6,50 ± 8,00

9,40 17,0

10,06 22,73

10,62 19,33

12,19 28,00

13,84 45,00

B-1 TL (cm)

BW (gr)

9,00

± 10,00

11,20

26,00

12,36

30,00

12,92

32,66

14,58

46,00

15,67

65,00

B-2

TL (cm)

BW (gr)

17,5

± 100,0

20,30

138,00

19,84

143,00

20,72

140,0

20,96

160,00

21,62

222,50

Pada masa pemeliharaan sampai 40 hari sejak hewan uji ditebar, peningkatan pertumbuhan

panjang (Gambar 1) dan bobot tubuh ikan (Gambar 2) pada semua kelompok ukuran menunjukkan

pertumbuhan yang cukup baik, demikian juga berdasarkan pengamatan secara visual ikan tampak sangat

respon terhadap pakan yang diberikan terlihat dari gerak renang yang agresif. Ditinjau dari pertumbuhan

panjang dan bobot tubuh ikan selama penelitian dapat dikatakan cukup baik.

Gambar 1. Pertumbuhan panjang tubuh kerapu bebek selama 4 bulan pemeliharaan di KJA.

0

5

10

15

20

25

Pan

jan

g T

ub

uh

(cm

)

1 2 3 4 5 6

Pengamatan ke-

K-1 K-2 B-1 B-2

Page 226: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

226

Namun pada pengamatan bulan berikutnya baik pada ikan kelompok kecil (K) maupun

kelompok besar (B) tidak menunjukkan kenaikkan pertumbuhan yang berarti. Peningkatan pertumbuhan

panjang dan bobot tubuh dari semua perlakuan nampak lebih lambat bila dibandingkan dengan

pertumbuhan jenis-jenis ikan kerapu lain. Hal ini disebabkan selain proses pemanfaatan pakan pellet

dalam pencernaan memerlukan waktu lebih lama dibanding ikan rucah juga sifat genetis, selektif dalam

memilih pakan dan kepekaan terhadap perubahan lingkungan dapat mempengaruhi kecepatan

pertumbuhannya. Disamping itu dengan bertambahnya ukuran ikan kerapu, sifat alaminya sebagaimana

hidupnya di alam semakin tampak yaitu termasuk jenis ikan yang pasif (Thobaity and James, 1996).

Heemstra and Randall, (1993) mengatakan bahwa pada batas ukuran tertentu pertumbuhan kerapu bebek

cenderung lambat. Dikatakan oleh Djajasewaka (1985) bahwa fungsi utama pakan adalah untuk

kelangsungan hidup, apabila ada kelebihan akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan.

Gambar 2. Pertumbuhan bobot tubuh kerapu bebek selama pemeliharaan 4 bulan di KJA.

Tingkat kelangsungan hidup ikan pada masa pemeliharaan sampai 5 minggu pertama setelah

penebaran, menunjukkan hasil sangat baik (Gambar 3), yang berarti ikan telah dapat beradaptasi dengan

lingkungan setempat. Tetapi berdasarkan pengamatan secara visual pada awal minggu ke-6 ikan tampak

kurang sehat, seperti tingkah laku berenang yang tidak beraturan, posisi berenang sering tengadah, gerak

renang yang pasif, warna pucat dan nafsu makan menurun. Kondisi ikan yang demikian menunjukkan

gejala bahwa ikan mulai terserang penyakit dan berlangsung sampai minggu ke-8. Dari hasil deteksi

melalui metode RT-PCR (Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction) diketahui bahwa ikan-ikan

tersebut telah terserang virus VNN (Viral Nervous Necrosis). Terserangnya hewan uji oleh VNN diduga

disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah kondisi lingkungan yang tidak mendukung akibat

terjadinya angin kencang pada awal bulan September (minggu ke-6) menyebabkan gelombang air cukup

besar dan menimbulkan pengadukan sehingga air menjadi keruh diduga kualitas air tidak mendukung

kehidupan ikan. Air yang keruh banyak mengandung partikel-partikel air laut yang dapat menyumbat

insang ikan, mengganggu pernafasan dan berlanjut dengan kematian. Selain itu kondisi perairan dengan

pola arus yang tidak tenang dapat mengakibatkan ikan stress sehingga tidak mempunyai nafsu makan. Hal

ini berdampak negatif terhadap vitalitas tubuh ikan yang menjadi lemah. Disamping itu kepadatan ikan

yang cukup tinggi sementara kedalaman jaring tidak sesuai/mencukupi (2 meter), sehingga ikan yang

berada di dasar jaring apabila terkena goncangan gelombang sering terlipat dan terperangkap serta terjadi

benturan diantara sesama ikan yang dapat mengakibatkan luka. Ikan yang luka dan dalam kondisi lemah

akibat stress akan mudah diserang penyakit dan berlanjut dengan kematian dalam jumlah yang cukup

tinggi. Ikan yang terserang VNN tidak dapat diobati karena VNN tergolong virus yang menyerang syaraf.

Dengan terserangnya syaraf (otak dan mata) menyebabkan gerak renang yang tidak normal.

Mengantisipasi terjadinya kemungkinan kematian total, telah dilakukan penanganan dengan pemberian

antibiotik berupa OTC (Oxy Tetra Cyklin) yang dicampurkan pada pakan setiap kali pemberian pakan.

Pada pengamatan minggu ke-9 keadaan ikan sudah kembali sehat yang ditunjukkan dengan respon positif

terhadap pakan dan gerak renang yang normal sehingga tingkat kelangsungan hidup ikan stabil sampai

minggu ke 14.

0

50

100

150

200

250

Bo

bo

t tu

bu

h (

gr)

1 2 3 4 5 6

Pengamatan ke-

K-1 K-2 B-1 B-2

Page 227: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

227

0

20

40

60

80

100

Kel

an

gsu

ng

an

hid

up

(%

)

mg1 mg3 mg5 mg7 mg9 mg11 mg13

Waktu pemeliharaan (minggu)

K-1 K-2 B-1 B-2

Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup kerapu bebek selama pemeliharaan 4 bulan di KJA.

Berdasarkan analisis data yang tertera pada Tabel 2. menunjukkan bahwa ukuran awal hewan uji

sebagai benih pembesaran di KJA (K-1; K-2 dan B-1; B-2) memberikan perbedaan yang nyata (p<0.05)

baik terhadap nilai laju tumbuh harian, rasio konversi pakan harian maupun terhadap rasio konversi pakan

pada akhir penelitian.

Tabel 2. Nilai laju pertumbuhan harian, rasio konversi pakan harian dan rasio konversi pakan pada akhir penelitian

(minggu ke-14) dari masing-masing ukuran hewan uji

Variabel K-1 K-2 B-1 B-2

Panjang total awal (cm)

Panjang total akhir (cm)

Bobot tubuh awal (gr)

Bobot tubuh akhir (gr) Laju tumbuh harian (%)

Rasio konversi pakan harian (%)

Rasio konversi pakan akhir (%)

4,50

11,99

5,0

27,17 2,70

2,32

0,86

6,50

13,84

6,0

45,0 2,26

2,20

0,97

9,0

15,67

10,5

65,0 1,14

1,44

1,21

19,5

21,62

100

222,5 1,05

1,38

1,36

Disimak dari Tabel 2. bahwa ikan yang berukuran kecil (K-1 dan K-2) menghasilkan nilai laju

tumbuh harian lebih besar dari pada ikan yang berukuran besar (B-1 dan B-2). Hal ini membuktikan

bahwa ikan uji yang berukuran kecil cenderung tumbuh lebih cepat dari pada ikan yang berukuran besar.

Sesuai dengan pendapat Legler (1979) dalam Sunyoto dan Muslikh (1991) bahwa semakin kecil ukuran

ikan akan menghasilkan laju pertumbuhan yang semakin tinggi dan konversi pakan yang semakin rendah.

Namun tingkat kelangsungan hidupnya lebih kecil dari pada ikan yang berukuran lebih besar. Dengan

mengetahui rasio konversi pakan dapat diperkirakan bobot ikan hingga mencapai ukuran konsumsi

sehingga dapat ditentukan waktu panen.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ikan kerapu yang berukuran 4 - 5 cm (± 5

gram) dapat digunakan sebagai benih pembesaran di KJA dengan terlebih dulu dipelihara dalam waring

yang dilapisi jaring pengaman, hal ini untuk menghindari ancaman predator (ikan liar), dan secara

bertahap dilakukan seleksi dan penjarangan. Namun ikan yang berukuran lebih dari 8 cm menghasilkan

tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Kepadatan penebaran ikan optimal untuk ukuran jaring

2x2x2 m adalah 300-500 ekor, tetapi sebaiknya kedalaman jaring minimal 3 meter. Dengan melalui

berbagai penelitian yang bersifat kajian kelayakan wilayah untuk budidaya, akan semakin meningkatkan

produktivitas daerah yang pada gilirannya dapat meningkatkan devisa negara juga meningkatkan taraf

hidup nelayan setempat.

Page 228: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

228

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1998. Prospek Budidaya Ikan Kerapu Dalam KJA di Sumatra Utara. Lembar Informasi Pertanian

(Liptan). No. 05/1997/1998. BPTP Gedong Johor Medan, Sumatra Utara.

Aslianti, T. 1996. Pemeliharaan Larva Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis Dengan Padat Tebar Berbeda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia II(2):6-12. Edisi Khusus.

Djajasewaka, H. 1985. Pakan Ikan (Makanan Ikan). Cetakan-I. Penerbit Yasaguna. Jakarta. 47 hal.

Heemstra, P.C. and J.E. Randall. 1993. Groupers of The World. FAO Species Cataloque. Food and Agriculture

Organization of The United Nations. 416p.

Sunaryanto, Sulistyo, I. Chaidir, dan Sudjiharno. 2001. Pengembangan Teknologi Budidaya Kerapu : Permasalahan

dan Kebijakan. Prosiding Lokakarya Nasional. Pengembangan Agribisnis Kerapu. Peningkatan Daya Saing

Agribisnis Kerapu yang Berkelanjutan Melalui Penerapan IPTEK. Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal.1-16.

Sunyoto, P. dan M. Muslikh. 1991. Pembesaran Ikan Kerapu Lumpur, Epinephelus suillus di Keramba Jaring Apung. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai. 7(2):117-121.

Thobaity, S., and C.M. James. 1996. Developments In Grouper Culture In Saudi Arabia. Aquaculture. Infofish

International 1/96. January/February.p22-28.

DISKUSI

Pertanyaan :

1. Bagaimana metode pengukuran panjang dan berat ikan kerapu didalam KJA

2. Kepadatan tinggi dalam budidaya ikan kerapu menyebabkan kanibal.

3. Upaya apa yang dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit ?

4. Jenis pelet yang dipergunakan sebagai pakan dalam budidaya ikan kerapu apa?

5. Apakah ada perbedaan konversi pakan pada ikan ukuran kecil dan besar

Tanggapan:

1. Cara pengukurannya dengan metode sampling, metode ini dapat mengurangi stress pada ikan kerapu

2. Kanibalisme merupakan sifat alami ikan kerapu

3. Hal tersebut dapat diantisipasi dengan cara antara lain: pemberian pakan 2 kali sehari sampai tidak

ada respon, dan diberikan saat matahari condong ke barat

4. Pengwasan dini terhadap ikan yang dibudidayakan

5. Ikan-ikan yang geraknya berkurang diambil dan diamati, kemudian dipisahkan dari lainya untuk

diobati.

6. Pelet yang digunakan adalah pelet komersial yag sudah beredar di pasaran.

7. Ukuran kecil akan mempunyai laju tumbuh yang cepat sehingga konversi pakan lebih kecil.

Page 229: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

229

FORMULASI PAKAN LARVA BANDENG (Chanos chanos)

DENGAN BAHAN BAKU LOKAL

Ketut Suwirya, Nyoman Adiasmara Giri dan M. Marzuqi

Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

P.O. Box 140 Singaraja, Bali

ABSTRAK

Perbenihan bandeng sudah berkembang cukup pesat di masyarakat, baik berupa hatcheri lengkap (HL)

maupun hatcheri skala rumah tangga (HSRT). Penggunaan pakan buatan berupa pakan mikro terbukti dapat

meningkatkan kelangsungan hidup dan vitalitas larva bandeng serta mengefisienkan sistem produksi benih. Percobaan dirancang menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 (lima) perlakuan yaitu 3 (tiga) formulasi pakan

mikro dari bahan lokal, satu dari pakan komersial, dan satu pakan alami dengan 3 ulangan, dan berlangsung sampai

larva mencapai umur 25 hari. Hasil percobaan menunjukkan bahwa larva bandeng dapat diberi pakan mikro yang

diformulasi dari bahan baku local, dan tumbuh dengan baik. Di samping itu larva yang diberi pakan percobaan, pakan komersial, dan pakan alami tidak berbeda nyata untuk pertumbuhan, sintasan, dan vitalitasnya..

Kata kunci: larva bandeng, bahan baku, pakan

ABSTRACT: Microdiet formulation for rearing of milkfish larvae using local feed ingredients by

Ketut Suwirya, Nyoman Adiasmara Giri, and Marzuqi

Hatchery for seed production of milkfish have been developed well. There are two types of hatchery, i.e.,

complete hatchery (HL) and backyard hatchery (HSRT). Survival rate and vitality of larvae improve by feeding artificial diet during the rearing period. Also by this system the efficiency of seed production could be improved. The

experiment on rearing of milkfish larvae with artificial diet that formulated using local ingredients have been

conducted. The result of this experiment was then compared to the larvae fed only live food or fed a commercial

artificial diet. The experiment was conducted for 25 days. The result of the experiment showed that larvae of milkfish accepted microdiet and grow well. No different on growth, survival, and vitality of the larvae was found among the

larvae fed prepared artificial diet, commercial artificial diet, and live food.

Key word: milkfish lavae, ingredient, diet.

PENDAHULUAN

Perbenihan bandeng sudah berkembang cukup pesat di masyarakat, baik berupa hatcheri lengkap

(HL) maupun hatcheri skala rumah tangga (HSRT). Sampai saat ini terdapat sekitar 12 unit HL dan

sekitar 2000 unit HSRT yang tersebar di Bali Utara. Pada pemeliharaan larva bandeng, pengelola hatcheri

masih sangat tergantung dari pakan hidup berupa rotifer. Teknologi ini membutuhkan banyak investasi

dalam pembangunan fasilitas dan pemeliharaan untuk memproduksi pakan alami sesuai dengan

kebutuhan. Produksi pakan alami sangat dipengaruhi oleh kondisi alam, dan kekurangan nutrisi akan

menyebabkan mortalitas yang tinggi dan bentuk yang tidak sempurna dari benih yang dihasilkan. Oleh

karena itu pakan buatan untuk larva penting sebagai substitusi pakan alami untuk meningkatkan produksi

benih yang digunakan dalam budidaya dan meningkatkan kualitas benih yang dihasilkan.

Secara umum, protein yang mempunyai komposisi asam amino yang sama dengan tubuh ikan

mempunyai nilai nutrisi yang tinggi. Dalam pembuatan pakan dapat diformulasi dari beberapa sumber

protein untuk mensimulasi komposisi asam amino yang sesuai asam amino tubuh ikan. Untuk

menunjang kesinambungan industri pembenihan ini perlu dikembangkan pakan buatan untuk larva secara

terus menerus, sehingga diperoleh jenis pakan yang cocok, relatif murah dan mudah diformulasi dari

bahan-bahan yang didapat di sekitar dimana pembenihan tersebut di bangun..

Perbaikan metode pemeliharaan larva dengan penambahan pakan buatan terbukti dapat

meningkatkan kelangsungan hidup dan vitalitas larva pada beberapa species ikan serta mengurangi

penggunaan pakan hidup, seperti pada ikan red sea bream (Kanazawa et al., 1982), sea bass (Walford and

Lam, 1991; Walford et al., 1991; Devresse et al., 1991), flounder (Kanazawa et al., 1989), dan juga

milkfish (Duray and Bagarinao, 1984; Marte and Duray, 1991, Suwirya et al., 1999). Hal ini

diperkirakan karena pakan buatan mempunyai nilai nutrisi yang lebih baik dibandingkan dengan pakan

Page 230: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

230

alami pada musim-musim tertentu. Dari laporan terdahulu ternyata asam dokosaeksanoat (DHA) adalah

lebih efektif daripada asam eikosapentanoat (EPA) sebagai asam lemak esential (Takauchi atal. (1992).

Namun akhir-akhir ini harga pakan buatan berupa pakan mikro yang semuanya berasal dari

impor melonjak sangat tinggi berkaitan dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Hal ini sangat

memberatkan pengelola pembenihan bandeng. Penggunaan pakan buatan dengan bahan baku lokal

merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi keterbatasan dan tingginya pakan impor. Untuk itu pada

penelitian ini akan dilakukan inventarisasi ketersediaan bahan baku lokal yang berpotensi dapat

dimanfaatkan untuk pembuatan pakan larva, serta pembuatan formulasi pakan yang sesuai untuk larva

bandeng.

Penggunaan pakan buatan berupa pakan mikro terbukti dapat meningkatkan kelangsungan hidup

dan vitalitas larva bandeng serta mengefisienkan sistem produksi benih. Namun demikian

ketergantungan akan pakan buatan yang seluruhnya berasal dari impor dengan harga yang tinggi sangat

memberatkan pengelola pembenihan bandeng. Dengan demikian penyediaan pakan lokal sebagai

substitusi pakan impor merupakan salah satu alternatif yang tepat.

BAHAN DAN METODA

Komponen yang paling tinggi dalam formulasi pakan mikro adalah sumber protein. Oleh karena

itu pada penelitian ini menggunakan beberapa sumber protein seperti tepung ikan, tepung teri, dan tepung

kepala udang yang semuanya dapat diproduksi secara lokal. Sebagai pakan percobaan dibuat 3 macam

formula pakan dengan kombinasi sumber protein yang berbeda seperti pada Tabel 1. Pakan dibuat dalam

bentuk "microbounded diet" dengan zein (protein jagung) sebagai bahan perekatnya. Pakan dikeringkan

dengan "freeze dryer" dan diayak untuk mendapatkan ukuran yang sesuai.

Larva bandeng dipelihara dalam bak volume 1000 liter dengan diberi rotifer sebagai pakan awal

sampai siap digunakan untuk percobaan. Pada saat larva mencapai umur 10 hari, ketiga pakan percobaan

dan satu pakan komersial yang berasal dari impor akan diujicobakan terhadap larva bandeng. Pakan

diberikan 5 kali dan jumlahnya sesuai dengan percobaan Suwirya et al. (1999). Percobaan dirancang

menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan yaitu 3 formulasi pakan mikro dari bahan

lokal (Tabel 1), satu dari pakan komersial, dan satu pakan alami dengan 3 ulangan, dan berlangsung

sampai larva mencapai umur 25 hari

Tabel 1. Formulasi pakan mikro dari bahan lokal untuk larva bandeng

Bahan Pakan 1 Pakan 2 Pakan 3

Tepung ikan

Tepung kepela udang

Tepung teri

Dedak Tepung artemia

Minyak ikan

Vitamin mix

Mineral mix Tepung beras

Zien

62.0

0.0

0.0

2.0 10.0

6.0

2.0

3.0 9.0

6.0

44.0

20.0

0.0

0.0 10.0

6.0

2.0

3.0 9.0

6.0

38.0

0.0

20.0

6.0 10.0

6.0

2.0

3.0 9.0

6.0

Data pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan vitalitas larva akan dianalisa menggunakan sidik

ragam. Beda antar perlakuan menggunakan uji LSD tada taraf nyata 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis proksimat dari semua pakan buatan yang digunakan dalam percobaan ini disajikan

pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa protein dan lemak pakan yang formulasi dari bahan local

mempunyai kandungan yang sama dengan pakan komersial.

Page 231: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

231

Tabel 2 Hasil analisis pakan buatan yang digunakan dalam percobaan

Parameters Kandungan dalam pakan (%)

Pakan 1 Pakan 2 Pakan 3 Pakan import

Protein 39.2 40.55 40.70 40.49 Lemak/lipid 9.53 9.47 9.61 9.52

Abu/ash 8.23 8.13 7.96 7.97

Serat/fibre 1.70 2.15 1.58 2.19

Kadar air/moisture 3.92 3.84 4.38 3.82

Hasil pengamatan terhadap sintasan, pertumbuhan, dan vitalitas seperti pada Tabel 3. Sintasan

larva yang diberi pakan percobaan-1, 2, 3, pakan komesial, dan pakan alami berturut-turut adalah 28.35

%, 30.82 %, 27.80 %, 25.93%, dan 24.54 %. Hasil percobaan ini, jenis pakan yang diberikan dalam

pemeliharaan larva tampaknya tidak berpengaruh terhadap sintasan larva (P<0.05). Pakan mikro dengan

bahan baku lokal dapat digunakan dalam pemeliharaan larva bandeng.

Tabel 3. Sintasan (%), pertumbuhan (%), dan vitalitas (%) larva bandeng pada akhir percobaan

Perlakuan Sintasan (%) Pertumbuhan (%) Vitalitas (%)

Pakan percobaan-1 Pakan Percobaan-2

Pakan Percobaan-3

Pakan Komersial

Pakan alami

28.35a 30.82a

27.80 a

25.93 a

24.54 a

240.8 a 251.0 a

245.1 a

270.3 a

280.3 a

30.5 a 28.0 a

35.9 a

37.9 a

36.1 a

Pertumbuhan larva bandeng yang diberi pakan buatan yaitu pakan percobaan 1,2,3 dan pakan

komersial tidak berbeda nyata dengan pakan alami (P<0.05). Hasil pengamatan pertumbuhan larva

bandeng yang diberi pakan percobaan-1, 2, 3, pakan komersial, dan pakan alami berturut-turut adalah

240.8 %, 251.0%, 245.1%, 270,3%, dan 280.3% (Tabel 3). Hal ini juga mendukung bahwa pakan dengan

formulasi dari bahan baku lokal dapat diharapkan membantu pada saat kekurangan pakan alami dan

pakan mikro dapat disimpan dan digunakan pada saat yang diperlukan. Pakan mikro dapat diformulasi

sesuai dengan kebutuhan larva ikan yang akan diberikan.

Disamping kedua peubah diatas, vitalitas larva juga memegang peranan penting. Vitalitas larva

menunjukkan kualitas dari larva. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa larva yang dipelihara dengan

pakan mikro dengan formulasi dari bahan baku lokal memberikan vitalitas yang cukup baik. Larva yang

diberi pakan percobaan-1,2,3, pakan komersial, dan pakan alami berturut-turut adalah 30.5%, 28.0%,

35.9%, 37.9%, dan 36.1%. Hal ini sesuai dengan hasil percobaan pada ikan red sea bream (Kanazawa et

al., 1982), sea bass (Walford and Lam, 1991; Walford et al., 1991; Devresse et al., 1991), flounder

(Kanazawa et al., 1989), dan juga milkfish (Duray and Bagarinao, 1984; Marte and Duray, 1991, Suwirya

et al., 1999).

Secara umum, protein yang mempunyai komposisi asam amino yang sama dengan tubuh ikan

mempunyai nilai nutrisi yang tinggi. Dalam pembuatan pakan dapat diformulasi dari bebrapa sumber

protein untuk mensimulasi komposisi asam amino yang sesuai asam amino tubuh ikan. Untuk larva ikan

bandeng, pakan mikro dapat diformulasi dari satu macam sumber protein bahan baku lokal yaitu tepung

ikan. Hal ini dapat dilihat dari hasil percobaan yaitu larva yang diberi pakan percobaan 1 (Tabel 1)

memberikan pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang sama dengan pakan percobaan 2 dan pakan

percobaan 3. Percobaan ini menunjukkan bahwa pakan larva bandeng dapat dengan mudah diformulasi

dari sediaan bahan baku yang tersedia di suatu daerah.

Dalam pemilihan bahan pakan lokal yang harus mendapat perhatian adalah kualitas bahan.

Kualitas bahan dapat dilihat secara fisik dan kimiawi. Sifat fisik bahan terutama tepung ikan yang baik

antara lain warna tepung ikan cerah, bau gurih atau tidak tengik, partikel bahan sesuai dengan ukuran

yang diharapkan, dan bahan tidak bercampur dengan bahan-bahan lain seperti kerikil, serpihan kayu dan

lain-lainnya.

Kualitas bahan terutama tepung ikan dapat juga dilihat dari sifat kimia bahan antara lain

kandungan protein, lemak, serat kasar dan abu dari bahan. Tepung ikan yang baik kandungan proteinya

berkisar 60-70%, lemak 6-9%, serat 1-3%, dan abu 4-6%. Kandungan protein tepung ikan yang rendah

kemungkinan diproses dari bahan sisa seperti kepala ikan sisa dari pengalengan dan menyebabkan

kandungan abu dari tepung ikan akan meningkat atau dari ikan yang sudah busuk. Lemak tepung ikan

Page 232: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

232

sebaiknya rendah karena lemak ini mudah teroksidasi yang akan menyebabkan tepung ikan akan menjadi

tengik, disamping itu lemak yang rendah memudahkan dalam membuat partikel kecil.

Partikel pakan mikro yang digunakan dalam percobaan ini adalah ukuran lebih kecil dari 125

mikron untuk larva umur 10 – 15 hari, 125-250 mikron untuk larva umur 14-18 hari, dan 250-350 mikron

untuk larva 17- 22 hari. Oleh karena itu partikel pakan mikro cukup kecil maka ukuran partikel bahan

juga harus lebih kecil dari 100 mikron.

KESIMPULAN

Larva bandeng umur 10 hari dapat diberi pakan mikro dan pakan alami (rotifer) dapat

disubstitusi dengan pakan mikro. Pakan mikro dapat diformulasi dari bahan baku lokal, namun kualitas

bahan tetap menjadi perhatian.

DAFTAR PUSTAKA

Devresse, B., P. Candreva, Ph. Leger, and P. Sorgeloos. 1991. A new artificial diet for the early weaning of seabass

(Dicentrarchus labrax) larvae, pp.178-182. Larvi '91. European Aquacult. Soc., Special Publ. No. 15.

Gent, Belgium.

Kanazawa, A., S. Koshio, and S, Teshima. 1989. Growth and survival of larval red sea bream Pagrus major and Japanese flounder Faralichthys olivaceus fed mirobound diets. J. World Aquacult. Soc., 20 :31-37.

Kanazawa, A., S. Teshima, S. Inamori, S. Sumida, and T, Iwashita. 1982. Rearing of larval red sea bream and ayu

with artificial diets. Memoirs of Faculty of Fisheries, Kagoshima University, 31 : 185-192.

Marte, C.L. and M.N. Duray. 1991. Microbound larval feed as supplement to live food for milkfish larva, pp.175-177. Larvi '91. European Aquacult. Soc., Special Publ. No. 15. Gent, Belgium.

Suwirya, K., Marzuqi, dan Hersapto, dan Agus Prijono. 1999. Sintasan, pertumbuhan, dan vitalitas larva ikan

bandeng (Chanos chanos) yang diberi pakan mikro. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 5(2): 23-27.

Takeuchi, T., T. Arakawa, S. Satoh and T. Watanabe. 1992. Supplemental effect of phospholipid and requirement of eicosapentaenoic acid and docosahexaenoic acid of juvenile striped jack. Noppon Suisan Gakkaishi.

58:707-713.

Walford, J. and T.J. Lam. 1991. Growth and survival of seabass (Lates calcarifer) larvae fed microencapsulated diets

alone or together with live food, pp.184-187. Larvi '91. European Aquacult. Soc., Special Publ. No. 15. Gent, Belgium.

Walford, J., T.M. Lim, and T.J. Lam. 1991. Replacing live foods with microencapsulated diets in the rearing of

seabass (Lates calcarifer) larvae: do the larvae ingest and digest protein-membrane microcapsules.

Aquaculture, 92 : 225-235.

Page 233: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

233

INFORMASI NUTRISI IKAN UNTUK MENUNJANG PENGEMBANGAN

BUDIDAYA LAUT

1)Ketut Suwirya,

1)Marzuqi, dan

1)Nyoman Adiasmara Giri

1)Balai Basar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol P. O. Box 140 Singaraja

ABSTRAK

Dewasa ini budidaya laut terutama budidaya kerapu sudah berkembang di Indonesia antara lain: di Batam, Lampung, Riau, Kepulauan Seribu, kerena kesediaan benih yang dihasilkan oleh panti benih sudah memadai.. Akhir-

akhir ini aspek nutrisi budidaya kerapu mulai memperoleh banyak perhatian para pakar dan juga usahawan. Untuk

memenuhi semua nutrien yang dibutuhkan ikan maka harus dibuat formula pakan yang tepat. Sementara itu pada

stadia larva nutrien yang esensial adalah n-3 HUFA. Budidaya ikan pada keramba jaring apung (KJA) di laut sampai saat ini masih menggunakan ikan rucah sebagai pakan utama. Kendala memanfaatkan ikan rucah sebagai sumber

pakan yaitu musim, distribusi, dan kualitas dari ikan rucah. Untuk memecahkan kendala tersebut pakan buatan dapat

dikembangkan berdasarkan informasi dari nutrisi ikan.

Kata kunci: Nutrisi ikan, Budidaya laut.

ABSTRACT

At present, mariculture in Indonesia has been developed such as Batam, Lampung, Riau, Seribu Inlands, and so on

specially grouper culture, because fry source is produced by hatchery. In early time, fish nutrition aspect is concerned by experts and businessmen. The feed have to be formulated to get a good feed for fish that is cultured.

Essential nutrient for larvae stage is n-3 HUFA. Until now, fish culture in the floating cage in the sea still use trash

fish for the mean feed. To used trash fish have some problems such as season, distribution, and quality of trash fish.

To solve this problem can be developed artificial feed base on fish nutrition information.

Key words: fish nutrition, mariculture.

PENDAHULUAN

Budidaya laut dewasa ini berkembang dengan pesat di Indonesia seperti di Batam, Lampung,

Riau, Kepulauan Seribu, dan sebagainya; terutama budidaya kerapu kerena kesediaan benih yang

dihasilkan oleh panti benih sudah memadai. Sampai saat ini budidaya ikan-ikan laut masih

mengandalkan ikan rucah sebagai pakan utama. Namun ikan rucah tersebut merupakan sumber protein

hewani bagi sebagian masyarakat Indonesia, di samping ketersediaannya sangat bergantung pada musim.

Penanganan ikan rucah perlu mendapat perhatian untuk menjaga kualitas pakan yang diberikan pada ikan

yang dipelihara.

Pakan merupakan salah satu input penting dalam budidaya ikan, termasuk dalam kegiatan

pembenihannya. Oleh karenanya, akhir-akhir ini aspek nutrisi mulai memperoleh banyak perhatian para

pakar dan usahawan. Agar pakan yang diberikan pada ikan dapat memenuhi semua nutrien yang

dibutuhkan ikan, maka harus dibuat formula pakan yang tepat. Untuk itu diperlukan data mengenai

kebutuhan nutrien pakan ikan dan juga pengetahuan mengenai kemampuan ikan untuk mengasimilasi

bahan pakan.

Penelitian rinci mengenai kebutuhan nutrien untuk ikan dimulai sejak sekitar 40 tahun yang lalu,

sedangkan penelitian tersebut pada ternak telah dimulai sekitar 80 tahun lalu (Kompiang dan Ilyas, 1988).

Dengan demikian masih sangat banyak aspek nutrisi dan pakan yang belum diketahui. Data yang ada

menunjukkan bahwa penelitian aspek nutrisi dan kebutuhan nutrien ikan kebanyakan memgenai ikan

salmon, catfish, carp, tilapia, dan sea bream. Sementara itu penelitian aspek nutrisi untuk ikan-ikan

lainnya, khususnya ikan karnivor seperti kerapu relatif terbatas.

Page 234: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

234

PAKAN UNTUK LARVA IKAN

Keberhasilan dalam memijahkan beberapa species ikan sering kali tidak segera diikuti oleh

keberhasilan dalam pengembangan teknologi pemeliharaan larvanya sampai menghasilkan benih. Secara

umum larva ikan-ikan laut berukuran sangat kecil dengan ukuran mulut yang kecil pula, termasuk ikan

kerapu (Kohno et al., 1997). Secara fisik diperlukan pakan berukuran kecil, seperti rotifer tipe-SS.

Keadaan ini menyulitkan dalam manajemen pakan. Rotifer dewasa tipe-S dan tipe-L masih terlalu besar

untuk stadia awal larva dari kebanyakan species ikan kerapu (Lim, 1993).

Sementara itu pada stadia awal dari larva dibutuhkan nutrien pakan yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan energinya dan untuk mendapatkan nutrien esensial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

ikan laut membutuhkan asam lemak n-3 rantai panjang (n-3 HUFA) sebagai asam lemak esensialnya

(Izquierdo et al., 1989; Webster and Lovell, 1990). Kebanyakan larva ikan laut hanya mempunyai

kemampuan yang sangat terbatas untuk mensintesa n-3 HUFA dari asam lemak n-3 rantai karbon yang

lebih pendek (Kanazawa et al., 1979; Ostrowski and Divakaran, 1990). Henderson and Sargent (1985)

menemukan bahwa kebutuhan n-3 HUFA meningkat pada stadia awal perkembangan larva karena banyak

yang digunakan pada pembentukan membran. Izquierdo et al. (1989) melaporkan bahwa dibutuhkan

3,00% n-3 HUFA (berat kering) pada nauplii Artemia atau 3,48% n-3 HUFA (berat kering) pada rotifer

untuk memenuhi kebutuhan asam lemak n-3 HUFA dari larva red sea bream. Pertumbuhan larva gilthead

sea bream (Sparus aurata) yang diberi pakan rotifer yang mengandung 0,40% n-3 HUFA (berat kering)

meningkat 250,00% dibandingkan dengan yang hanya diberi pakan dengan kandungan n-3 HUFA 0,08%

sampai hari ke-22. Kekurangan n-3 HUFA mengakibatkan tingkat kematian larva yang tinggi dan

pertumbuhan yang lambat, serta tidak sempurnanya pembentukan dan fungsi gelembung renang pada

larva ikan (Sorgeloos et al., 1988; Webster and Lovell, 1990; Koven et al., 1990). Salhi et al. (1994)

melaporkan kandungan n-3 HUFA 2,05 - 2,16% dalam pakan mikro menghasilkan kelangsungan hidup

gilthead sea brean (Sparus aurata) terbaik dibandingkan dengan yang diberikan pakan mengandung 0,82

- 0,74% n-3 HUFA, dan kebutuhan n-3 HUFA tidak menurun dengan menurunnya kandungan total lemak

pakan.

Tabel 1. Komposisi asam lemak beberapa species phytoplankton

Asam lemak Chlorella

(Malaysia)1)

Chlorella

vulgaris2)

Chlorella

minutissima2)

Nannochloropsis

oculata3)

16 : 0 9,3 20,2 20,6 16,54

18 : 1 8,8 8,6 2,5 2,04 18 : 2n-6 13,0 4,1 3,6 3,32

18 : 3n-3 9,2 - 0,1 -

20 : 5n-3 0,10 26,6 27,3 30,51

22 : 6n-3 - - -

1) % total lipid (Teshima et al., 1991)

2) % total lipid (Watanabe et al., 1983b)

3). % total lipid (Okauchi et al., 1990)

Kenyataan pentingnya peranan asam lemak bagi larva ikan laut tidak selalu ditunjang oleh

tersedianya pakan hidup dengan kandungan asam lemak esensial yang cukup. Komposisi asam lemak

pakan hidup yang umum digunakan pada pembenihan ikan di sajikan pada Tabel 1, 2, dan 3.

Pada Tabel 2 terlihat adanya variasi kandungan asam lemak Brachionus dengan metode kultur yang

berbeda. Kandungan EPA rotifer yang dikultur dengan Chlorella minutissima dan Nannochloropsis jauh

lebih tinggi dibandingkan dengan yang dikultur pada Chlorella regularis. Demikian juga terdapat variasi

kandungan asam lemak nauplii Artamia dan Acartia clausi dari beberapa contoh yang dianalisa (Tabel 3).

Untuk menyesuaikan kandungan asam lemak pakan hidup sehingga dapat memenuhi kebutuhan larva

ikan telah dikembangkan metode pengkayaan, baik dengan menggunakan plankton, pakan buatan, atau

langsung dengan emulsi minyak yang mempunyai kandungan asam lemak esensial tinggi (Teshima et al.,

1981; Baclay and Zeller, 1996). Kebutuhan asam lemak n-3 HUFA beberapa larva ikan laut adalah diatas

3,0% dan nampak untuk ikan red seabream dan yellowtail peran DHA lebih besar daripada EPA.

Page 235: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

235

Tabel 2. Komposisi asam lemak rotifer (Brachionus plicatilis) yang dikultur dengan pakan yang berbeda (% area)

Asam lemak Chlorella regularis

(air tawar)

Chlorella minutissima

(laut) Yeast Nannochloropsis

16 : 0 9,3 16,8 6,7 11,1

18 : 1n-9 22,4 10,1 31,2 3,5 18 : 2n-6 18,5 3,2 5,9 2,5

18 : 3n-3 3,7 0,4 0,6 0,1

20 : 5n-3 1,9 24,1 - 37,8

22 : 6n-3 - - - -

Sumber: Watanabe et al. (1983b)

Tabel 3. Komposisi asam lemak nauplii Artemia salina dan Acartia clausi

Asam lemak Nauplii Artemia

1) Acartia clausi

2)

I II III I II III

16 : 0 9,2 11,0 12,2 16,9 16,5 18,3

18 : 1 19,1 26,7 34,9 4,1 3,6 5,4

18 : 2n-6 8,3 8,9 6,6 1,1 0,6 1,1

18 : 3n-3 5,4 27,6 17,2 1,1 0,7 1,0 20 : 5n-3 6,8 0,3 3,5 20,1 29,2 16,6

22 : 6n-3 0,2 - - 28,6 27,2 12,3

n-3 HUFA 7,3 1,2 3,8 49,8 58,0 30,1

1) % total lipid (Watanabe et al., 1978)

2) % area (Watanabe et al.,1983b)

Table 4. Kebutuhan asam lemak n-3 HUFA beberapa species larva ikan laut

Species ikan dan

jenis pakan

Kebutuhan

(berat kering) Peranannya

Red seabream

(Pagrus major)

Rotifer n-3 HUFA 3,5% DHA > EPA

Artemia n-3 HUFA 3,0% DHA > EPA

Yellowtail

(Seriola quinqueradiata) Artemia

n-3 HUFA > 3,9%

DHA > EPA

Striped knifejaw

(Oplegnathus fasciatus)

Rotifer n-3 HUFA > 3,0%

Artemia n-3 HUFA > 3,0%

Flounder

(Paralichthys olivaceus) Artemia

n-3 HUFA > 3,5%

Sumber: Watanabe (1993)

PAKAN UNTUK PEMBESARAN

Ikan Rucah

Budidaya ikan pada keramba jarring apung (KJA) di laut sampai saat ini masih menggunakan

ikan rucah sebagai pakan utama. Ikan rucah termasuk bahan pakan yang cepat kualitasnya menurun

terutama pada iklim tropis seperti Indonesia. Oleh karena itu, ikan rucah memerlukan penanganan yang

memadai agar kualitasnya tetap baik untuk menghambat penurunan mutu ikan rucah dapat dilakukan

dengan penurunan suhu atau pembekuan.

Ikan mengandung lemak/asam lemak ikatan rangkap yang cukup tinggi sehingga mudah

teroksidasi dan mudah tengik. Lemak dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi bagi ikan dan

sumber asam lemak esensial. Asam lemak esensial bagi ikan-ikan laut adalah kelompok n-3 HUFA.

Asam lemak tersebut sangat mudah teroksidasi. Penurunan kualitas lemak ikan rucah dapat dihambat

dengan penyimpanan pada suhu rendah, hal ini dapat dilihat dari hasil analisis yang dilakukan di Balai

Besar Perikanan Budidaya Laut Gondol (Tabel 5). Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar n-3 HUFA lemak

ikan rucah lebih cepat menurun pada suhu ruangan (29 – 32oC) dibandingkan dengan pada kondisi dingin.

Page 236: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

236

Tabel 5 Penurunan n-3 HUFA pada lemak ikan rucah pada suhu berbeda

Kondisi Lama penyimpanan (jam)

0 8 24

Suhu kamar (29-30oC) 0,0% 30,0% 64,0%

Ikan di es (3 – 0oC) 0,0% 10,0% 20,0%

Jenis-jenis vitamin yang terdapat dalam ikan rucah juga mengalami penurunan sejalan

dengan berjalannya proses pembusukan yang terjadi pada ikan rucah. Vitamin merupakan

bahan-bahan mikro yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Jenis vitamin yang larut dalam air

sangat mudah rusak kalau disimpan dalam kondisi basah atau kadar air yang cukup tinggi.

Namun penurunan kadar vitamin dalam ikan rucah tersebut juga dapat dihambat dengan

menurunkan suhu penyimpanan ikan rucah. Hal ini dapat dilihat dari analisa vitamin C yang

dilakukan pada ikan rucah yang disimpan pada suhu kamar dan diberi es (Tabel 6).

Tabel 6. Penurunan Vitamin C pada ikan rucah yang disimpan pada suhu berbeda

Kondisi Lama penyimpanan (jam)

0 12 24

Suhu kamar (29-30oC) 0,0% 30,0% 71,0%

Ikan di es (3-0oC) 0,0% 9,0% 15,7%

Vitamin ini dibutuhkan tubuh untuk meningkatkan metabolisme, daya tahan terhadap perubahan

lingkungan dan penyakit. Pada ikan kerapu bebek kekurangan vitamin C akan menyebabkan tulang

belakang bengkok, insang terbuka, menurunnya kandungan hemoglobin (Hb) darah, vitalitas dan daya

tahan tubuh ikan menurun. Hal yang sama dijumpai pada ikan kerapu bebek yang kekurangan vitamin B.

Fenomena yang sangat menonjol pada ikan kerapu bebek yang kekurangan vitamin B adalah selera

makan sangat menurun disamping itu tubuh ikan lemah dan bergetar.

Oleh karena itu penggunaan ikan rucah dalam budidaya perlu ditambah dengan vitamin mix agar

ikan yang dibudidayakan tidak menunjukkan gejala-gejala kekurangan vitamin. Di samping itu, perlu

dicoba dan dikembangkan pakan buatan sebagai alternatif untuk menjaga perkembangan dan

kesinambungan usaha budidaya laut.

Penanganan dan Penyimpanan Ikan Rucah

Untuk menjaga kualitas ikan rucah yang digunakan sebagai pakan dalam budidaya laut maka

ikan rucah perlu mendapatkan penanganan yang baik. Ikan rucah yang baru ditangkap secepat mungkin

diberi es, dan tidak terlalu lama di dalam palkah kapal. Pemberian es pada ikan rucah tersebut hanyalah

memperlambat proses penurunan mutu. Begitu ikan rucah sampai di darat sebaiknya langsung dicuci dan

disimpan dalam freezer. Ketersediaan ikan rucah sangat dipengaruhi oleh musim, sehingga perlu tempat

penyimpanan yang memadai agar pemberian pakan tidak terputus.

Pakan Buatan

Ikan kerapu adalah jenis ikan karnivora oleh karena itu jenis ikan ini memerlukan pakan dengan

kandungan protein yang cukup tinggi. Beberapa jenis ikan kerapu yang telah diketahui kebutuhan

proteinnya (Tabel 7). Kebutuahan protein ikan kerapu berkisar antara 47,8% sampai 60,0%.

Nutrien yang tidak kalah penting dalam pakan adalah lemak. Lemak pakan dapat sebagai

sumber energi dan sebagai sumber asam lemak esensial. Asam lemak esensial bagi ikan kerapu adalah n-

HUFA. Kebutuhan lemak untuk ikan kerapu bebek mencapai 9,0-12,0% (Giri, 1999), dan asam lemak

essensial (n-3 HUFA) adalah 1,4% (Suwirya, 2001).

Page 237: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

237

Table 7. Kebutuhan protein pakan beberapa jenis ikan kerapu

Jenis ikan kerapu Kadar protein (%) Sumber

Kerapu Lumpur (E. salmoides) 50 Teng, et al. (1978)

Lumpur mata kucing (E. Striatus) >55 Ellis, et al. (1996)

Lumpur malabar (E. malabaricus) 47,8 Chen & Tsai (1994)

Lumpur sirip panjang (E. aerolatus) 60 Chu, et al. (1996)

Kerapu akaara (E. akaara) 49,5 Chen, et al. (1995)

Kerapu bebek (C. altivelis) 54,2 Giri, et al. (1999)

Vitamin dibutuhkan untuk pertumbuhan, pemeliharaan tubuh, dan reproduksi. Vitamin dibagi

menjadi dua yaitu yang larut dalam lemak (vitamin A,D, E, dan K) dan vitamin yang larut dalam air

seperti riboflavin, vitamin C, thiamin, dan lain-lain. Salah satu vitamin yang cukup penting diperhatikan

adalah vitamin C. Kekekurangan vitain C menampakkan gejala bengkok tulang, insang terbuka, rentan

terhadap penyakit, dan aktivitas ikan menurun. Kebutuhan vitamin C dalam pakan untuk ikan kerapu

bebek adalah 3,0 mg/100 gram pakan (Giri et al., 1999).

Berdasarkan informasi di atas Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol telah

mengembangkan pakan kerapu. Pakan tersebut telah diujicobakan pada ikan juvenil dan pembesaran ikan

kerapu bebek. Hasil uji coba pada menunjukkan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang baik serta tidak

tampaknya gejala-gejala kekurangan nutrien (Tabel 8).

Pakan kering dapat disimpan dalam jangka panjang. Penyimpanan pakan kering dapat dilakukan

dalam ruang yang kelembabannya rendah dan terhindar dari sinar matahari.

Tabel 8. Hasil uji coba pakan buatan dan ikan rucah pada ikan kerapu bebek selama 4 bulan pemeliharaan di Balai

Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol

Parameter Pakan Uji

Pakan Gondol Pakan Uji Ikan Rucah

Bobot awal (gram) 36,0 36,0 36,0

Bobot akhir (gram) 147,6 132,8 133,4

Kelangsungan hidup (%) 98,7 98,0 95,1

FCR 1,39 1,54 5,82

Harga pakan - 15.400 14.550

Hematokrit (%) 37,3 38,2 24,2

KESIMPULAN

Pemberian pakan buatan (pelet) dapat diaplikasdikan utuk budidaya ikan kerapu karena

menunjukkan pertumbuhan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang baik serta tidak menunjukkan gejala

kekurangan nutrien. Selain itu pakan buatan dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang.

DAFTAR PUSTAKA

Barclay, W. and S. Zeller. 1996. Nutritional Enhancement of n-3 and n-6 Fatty Acids in Rotifers and Artemia nauplii by Feeding Spray-dried Schizochytrium sp. J. World Aquacult. Soc., 27: 314-322.

Dhert, P., L.C. Lim, P. Lavens, T.M. Chao, R. Chuo,and P. Sorgeloos. 1991. Effects of Dietary Essential Fatty Acids

on Eggs Quality and Larviculture Success of the Greasy Grouper (Epinephelus tauvina F.) : preliminary

results. pp.58-62 in P. Lavens, P. Sorgeloos, E. Jaspers, and F Ollevier (Eds.). Larvi ‗91 Fish & Crustacean Larviculture Symposium. Special Publ. No. 15. European Aquaculture Society. Ghent, Belgium.

Henderson, R.J. and J.R. Sargent. 1985. Fatty Acid Metabolism in Fish. pp. 349-364 in C.B. Cowey, A. M. Mackie

and J. G. Bell (eds.). Nutrition and Feeding in fish. Academic Press, London, England.

Giri, N.A., K. Suwirya, dan M. Marzuqi. 1999. Kebutuhan Protein, Lemak, dan Vitamin C Yuwana Kerapu bebek, Cromileptes altivelis. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 5(3): 38-44.

Izquierdo, M.S., T. Watanabe, T. Takeuchi, T. Arakawa, and C. Kitajima. 1989. Requirement of Larval Red Sea

bream Pagrus major for Essential Fatty Acids. Nippon Suisan Gakkaishi, 55: 859-867.

Kanazawa, A., S. Teshima, and K. Ono. 1979. Conversion of Linoleic Acid to n-3 Highly Unsaturated Fatty Acids in Marine Fishes and Rainbow Trout. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish.,, 46: 1231-1233.

Page 238: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

238

Kohno, H., R.S.O. Anguilar, A. Ohno, and Y. Taki. 1997. Why is Grouper Larval Rearing Dificult? : An approach from the development of the feeding apparatus in early stage larvae of the grouper, Epinephelus coioides.

Ichthyol. Res., 44 : 267-274.

Kompiang, I.P. dan S. Ilyas. 1988. Nutrisi Ikan/Udang : Relevansi untuk Larva dan Induk. Proc. Seminar Nasional

Pembenihan Ikan dan Udang. Bandung, 5 - 7 Juli 1988.

Koven, W.M., A. Tandler, G.W. Kissil, D. Sklan, O. Friezlander, and M. Harel. 1990. The Effect of Dietary (n-3)

Polyunsaturated Fatty Acids on Growth, Survival and Swim Bladder Development in Sparus aurata Larvae.

Aquaculture, 91: 131-141.

Lim, C.L. 1993. Larviculture of the Grouper Epinephelus tauvina F. and the Brown-murble Grouper Epinephelus fuscogutatus in Singapore. J. World Aquacult. Soc., 42 : 262-274.

Okauchi, M., W. Zhou, and W. Zou. 1990. Difference in Nutritive Value of a Micro Alga Nannochloropsis oculata at

Various Growth Phases. Nippon Suisan Gakkaishi, 56: 1293-1298.

Ostrowski, A.C. and S. Divakaran. 1990. Survival and Bioconversion of n-3 Fatty Acids During Early Development of Dolpin (Coryphaena hippurus) Larvae Fed Oil-Enriched Rotifers. Aquaculture, 89: 273-285.

Sahli, M., M.S. Izquierdo, C.M. Hernandez-Cruz, M. Gonzalez, and H. Fernandez-Palacios. 1994. Effect of Lipid

and n-3 HUFA Levels in Microdiets on Growth, Survival and Fatty Acid Composition of Larval Gilthead Sea

Bream (Sparus aurata). Aquaculture, 124 : 275-282.

Sorgeloos, P., P. Leger, and P. Lavens. 1988. Improved Larval Rearing of European and Asian Seabass, Seabream,

Mahi-mahi, Siganid and Milkfish Using Enrichment Diets for Brachionus and Artemia. World Aquacult., 19:

78-79.

Suwirya, K., N.A. Giri, dan M. Marzuqi. Suwirya, K., N.A. Giri, dan M. Marzuqi 2001. Pengaruh n-3 HUFA Terhadap Pertumbuhan dan Efisiensi Pakan Yuwana Ikan Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis. pp 201-206.

In Sudradjat, A., E.S. Heruwati, A. Poernomo, A. Rukyani, J. Widodo, dan E. Danakusuma (Eds) Teknologi

Budi Daya Laut dan Pengembangan sea Farming di Indonesia, Depertement Kelautan dan Perikanan.

Teshima, S., A. Kanazawa, and M. Sakamoto. 1981. Attempt to Culture the Rotifers with Micro Encapsulated Diets. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish.,, 47: 1575-1578.

Teshima, S., S. Yamasaki, A. Kanazawa, S. Koshio, and H. Hirata. 1991. Fatty Acid Composition of Malaysian

Marine Chlorella. Nippon Suisan Gakkaishi, 57: 1985-1985.

Watanabe, T., F. Oowa, C. Kitajima, and S. Fujita. 1978. Nutritional Quality of Brine Shrimp, Artemia salina, as a Living Feed from the Viewpoint of Essential Fatty Acids for Fish. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish., 44: 1115-1121.

Watanabe, T., C. Kitajima, and S. Fujita. 1983b. Nutritional Values of Live Organisms Used in Japan for Mass

Propagation of Fish : a Review. Aquaculture, 34: 115-143.

Watanabe, T. 1993. Importance of Docosahexaenoic acid in Marine Larval Fish. J. World Aquacult. Soc., 24: 152-

161.

Webster, C.D. and R.T. Lovell. 1990. Response of Striped Bass Larvae Fed Brine Shrimp from Different Sources

Containing Different Fatty Acid Composition. Aquaculture, 90: 49-61.

Page 239: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

239

P A R T I S I P A N

NO. N A M A I N S T A N S I

1. Harun Al- Rasyid Gubernur NTB

2. Nanang Samodra Ka. Bappeda Prop. NTB

3. Mansur Ma‘sum Rektor UNRAM

4. Syarifudin Bag. Eknomi Setda NTB

5. Robert Ratu Raja Pemda NTB

6. Rudi N. Hansyal Pemda NTB

7. Nizwar Syafaat Puslitbangtan Sosek Bogor

8. I Wayan Mirza Puslitbangtan Sosek Bogor

9. Muzani Mirza Distan Prop. NTB

10. Christian W. Disnak NTB

11. Hj. Siti Choiriyah Diperta

12. Theodora Junita H. Distanak Lotim

13. N. Sutardi Diperta Kota Mataram

14. Hasanudin Diperta Loteng

15. L. Darmali Diperta NTB

16. Nurhani Hm. Disbun NTB

17. Azhar Dishut NTB

18. Syafi‘i Dishutbun Lotim

19. M. Saleh Ashady Dipertanak Lobar

20. M. Akhsan Hadi Dipertanak Loteng

21. Kurnia Agustini Dipertanak Loteng

22. Hasanuddin Dipertanak Loteng

23. Abdillah Anshori Diskan Kota Mataram

24. Supardi DKP Lotim

25. Anwar DKP Loteng

26. Hendrawan S. Univ. Brawijaya

27. Sri Widodo Univ. Gajah Mada

28. Iwan Santoso NTT

29. Yahya Mungis LSM

30. Joko T. RRI Mataram

31. M. S. Hamsah LIPI

32. Oky M. LSM

Page 240: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

240

33. H. M. Nasir LSM

34. Kama Bappeda

35. Jaffar Abdulgani Bappeda Kab. Bima

36. Marsudin Bappeda NTB

37. Joko Tengan BUKPD

38. Joko R. BUKPD

39. Ma‘shum Biro Humas

40. Suwati Unmuh Mataram

41. Marianah Unmuh Mataram

42. Sahdan Univ. 45 Mataram

43. Yasin Said Biro Ekonomi Lobar

44. Ridwan Biro Ekonomi Lotim

45. Arifuddin BPSB NTB

46. Yuni Wahyuni BPTPH NTB

47. Bejo Slamet BBRBL Gondol

48. Titiek Aslianti BBRBL Gondol

49. Agus Priyono BBRBL Gondol

50. Fris Johny BBRBL Gondol

51. Ketut Suwirya BBRBL Gondol

52. Ribut Suryanto Balai Diklat NTB

53. Theresia S. C. Unmas Mataram

54. Chairussyuhur Arman UNRAM

55. Baharuddin AB. UNRAM

56. Herman Suheri UNRAM

57. Dahlanuddin UNRAM

58. Made Suma Wedastra UNRAM

59. Candra Ayu UNRAM

60. Adji S. Drajat UNRAM

61. Rodiah UNRAM

62. Lolita UNRAM

63. Syamsuhaidi UNRAM

64. Enny Yuliani UNRAM

65. Mahrup UNRAM

Page 241: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

241

66. Eko Basuki UNRAM

67. Rosiady UNRAM

68. Muktasam UNRAM

69. Suwardji UNRAM

70. M. Zubair UNRAM

71. Ismail Yasin UNRAM

72. Sukartono UNRAM

73. Joko Triyono R. UNRAM

74. Sugeng Prasetyo UNRAM

75. Yahya Mugiono UNRAM

76. Imran UNRAM

77. Tejowulan UNRAM

78. Surya Hadi UNRAM

79. Sukardono UNRAM

80. Abdul Faruk UNRAM

81. Zulkarnaen UNRAM

82. Choiril Huda UNRAM

83. M. Qasuni UNRAM

84. Akhmad Jufri UNRAM

85. Meidiwarman P3SDH UNRAM

86. I Wayan Sudya P3P UNRAM

87. Sabarudin Kontak tani

88. Amirudin Pohan BPTP NTT

89. Mashur BPTP NTB

90. Ketut Puspadi BPTP NTB

91. Dwi Praptomo S BPTP NTB

92. M. Sofyan Souri BPTP NTB

93. M. Luthfi BPTP NTB

94. Z. A. Wancik BPTP NTB

95. Sudjudi BPTP NTB

96. M. Zairin BPTP NTB

97. Muji Rahayu BPTP NTB

98. B. Tri Ratna E. BPTP NTB

Page 242: PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUIntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding/2002/4_isi.pdf · Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat

Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002

242

99. Wildan Arief BPTP NTB

100. H. Ahmad Suriadi BPTP NTB

101. Noor Inggah BPTP NTB

102. Awaludin Hipi BPTP NTB

103. H. Sahram BPTP NTB

104. Tanda S. Panjaitan BPTP NTB

105. Farida Sukmawati BPTP NTB

106. Andri Nurwati BPTP NTB

107. Kunto Kumoro BPTP NTB

108. Akhmad Muzani BPTP NTB

109. Prisdiminggo BPTP NTB

110. Arief Surachman BPTP NTB

111. Nurul Agustini BPTP NTB

112. Rayunah BPTP NTB

113. Sudarto BPTP NTB

114. Akhmad Sauki BPTP NTB

115. Syarifuddin Achmady BPTP NTB

116. Hj. Siti Marlinda BPTP NTB

117. Sasongko Wr. BPTP NTB

118. Abd. Hamid Nurtika BPTP NTB

119. Ismail Achmad BPTP NTB