pengaruh globalisasi terhadap kedaulatan negara

91
PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA INDONESIA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) Oleh Nurul Ghazy NIM: 104033201104 PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN & FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H./2009 M.

Upload: dobao

Post on 05-Feb-2017

234 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP

KEDAULATAN NEGARA INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)

Oleh

Nurul Ghazy

NIM: 104033201104

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN & FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H./2009 M.

Page 2: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 26 Januari 2009

Nurul Ghazy

Page 3: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

KATA PENGANTAR

Alhamdulillâhi rabbi al-‘âlamîn, mungkin hanya ungkapan itu yang patut

dan layak penulis ungkapkan saat ini mengiringi rasa syukur tiada tara atas segala

nikmat dan anugerah yang telah dicurahkan oleh Allah swt. Rabb yang Maha

Perkasa sekaligus Maha Penyayang, Maha Berkehendak sekaligus Maha Tahu,

dan Maha Kuat sekaligus Maha Lembut. Hanya dengan kehendak-Nyalah

akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam tak henti akan selalu

penulis sampaikan kepada manusia paling agung ciptaan-Nya Muhammad saw.

Rosul paling akhir yang membawa kebenaran hakiki di bumi ini, semoga penulis

termasuk manusia yang mendapat syafaatnya di hari akhir kelak.

Dalam prosesnya, penulisan skripsi ini tidak bisa dibilang mudah, namun

problema, dinamika, dan dialektika yang selalu mengiringinya akan selalu penulis

kenang sebagai salah satu bagian proses dalam hidup untuk menjadi manusia yang

lebih baik. Dalam proses tersebut penulis banyak mendapatkan bantuan berharga

dari beberapa pihak. Oleh karenanya, meskipun ungkapan terima kasih tak cukup

untuk mengganjar bantuan tersebut, izinkanlah penulis untuk mengungkapkannya.

Ungkapan terima kasih tiada tara yang pertama dan sekaligus utama penulis

sampaikan kepada Ayahanda dan Ibunda penulis: Bpk. H. Agus Sholahuddin

Mas’ud, M.Pd. & Hj. Rini Nuraini, S.Ag. kepada kalianlah penulis dedikasikan

karya ini. Doa, kasih sayang, dan dukungan materiil dari kalian yang tak

terhitung, menjadi spirit tak ternilai dalam proses penulisan skripsi ini. Semoga

Tuhan mengampuni dosa kalian dan menyayangi kalian sebagaimana kalian

menyayangi penulis.

Page 4: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Kepada kakak dan kedua adikku: Nur Ifansyah, Nurul Fadhillah dan

Muhammad Bintang Giffari terima kasih banyak atas dukungan kalian agar

penulis secepatnya menyelesaikan skripsi dan menjadi sarjana. Semoga kalian

cepat menyusul.

Untuk Bpk. A. Bakir Ihsan, M.Si. selaku pembimbing, penulis merasa

berhutang budi atas bimbingan, saran, dan masukannya yang sangat berharga

dalam proses penulisan skripsi ini, semoga amal baik bapak diganjar dengan

anugerah berlimpah oleh Allah swt.

Kepada seluruh teman-teman penulis, mohon maaf tak dapat disebutkan

semua, baik di jurusan PPI angkatan 2004 (Aziz, Iin, Hayat, Ipeh, Acu, Hafiz,

Nurkholis, Rahmat, dll.) Maupun di dalam lingkungan Forum Mahasiswa Alumni

Lirboyo (Gus Zaenal, Gus Muin, Gus Day, Gus Ded, Gus Syarif, Tiharoh, Rofiah,

Ikhwan, Andi, Arif, Kang Soim, Kang Rosyid, dll.) terima kasih banyak atas

kesediaan kalian menemani dan menjadi kawan setia penulis dalam menjalani

perkuliahan di UIN dan selama hidup di Ciputat, sekaligus dalam proses penulisan

skripsi ini.

Khusus kepada Nurmala, segala motivasi, candaan, dan bantuannya kepada

penulis menjadi satu spirit tersendiri yang tak terlupakan. Terima kasih banyak

atas kesetiaan menemani penulis pada masa-masa sulit dari proses penulisan tugas

akhir ini.

Terakhir, terima kasih kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, khususnya Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas

Ushuluddin & Filsafat, Bapak Dekan beserta jajarannya, Ketua & Sekretaris

Jurusan Pemikiran Politik Islam, dan seluruh dosen yang secara langsung maupun

Page 5: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

tidak telah mentransfer ilmu kepada penulis. Semoga rahmat Allah swt. selalu

tercurah kepada kalian.

Meskipun dalam skripsi ini masih banyak ditemukan kekurangan, namun,

penulis berharap, semoga skripsi ini dapat diterima dengan baik dan bermanfaat

sekaligus menghasilkan yang baik pula bagi penulis khususnya dan semua pihak

umumnya, Amin.

Ciputat, 26 Januari 2009

Penulis

Page 6: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i

DAFTAR ISI .................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................. 8

C. Tujuan Penelitian ................................................................... 8

D. Metode Penelitian .................................................................. 8

E. Sistematika Penulisan.............................................................. 9

BAB II TEORI DAN SEJARAH GLOBALISASI

A. Definisi Teori Globalisasi .................................................... 11

B. Sejarah Globalisasi ............................................................... 20

C. Aktor-aktor Globalisasi ........................................................ 22

BAB III PARADIGMA KEDAULATAN NEGARA

A. Makna dan Paradigma Kedaulatan Negara ........................... 25

B. Batas-batas Kedaulatan Negara ............................................ 35

C. Kedaulatan Negara di dalam Konstitusi ................................ 43

BAB IV EKSISTENSI KEDAULATAN NEGARA DI TENGAH

GLOBALISASI

A. Globalisasi & Peminggiran Peran Negara ............................. 49

Page 7: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

B. Globalisasi Sebagai Bentuk Neo-Imperialisme ..................... 58

1. Intervensi Asing & Utang ........................................... 62

2. Undang-undang Penanaman Modal Asing ................... 68

C. Masa Depan Kedaulatan Negara ........................................... 73

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................... 76

B. Saran .................................................................................... 78

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 79

Page 8: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat ini dunia sedang berhadapan dengan arus tranformasi menuju

globalisasi. Siapa atau apa pun yang ada di dunia ini tidak ada yang dapat

menghindar dari proyek besar berskala internasional ini, baik individu, kelompok,

maupun sebuah negara yang berdaulat. Proyek globalisasi ini berdampak terhadap

segala aspek kehidupan seperti politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan

bahkan peradaban. Bagi sebagian masyarakat dunia sistem ini dianggap sebagai

prospek, sebagian lainnya menganggap sistem ini sebagai ancaman, dan bahkan

adapula yang acuh tak acuh terhadap tema besar ini, meskipun secara langsung

maupun tidak mereka telah merasakan dampaknya.

Globalisasi merupakan sebuah konsep yang berasal dari perkembangan

sistem di Barat. Kemunculannya berbarengan dengan kemunculan paham

Neoliberalisme pada pertengahan 1980-an. Globalisasi yang menekankan pada

privatisasi, anti intervensi negara dalam ekonomi, dan kepercayaan absolut pada

mekanisme pasar ini, diimplementasikan lewat badan-badan dunia seperti World

Trade Organization (WTO), International Monetery Fund (IMF), World Bank atau

Bank Dunia; dan perusahan-perusahan internasional (Transnasional Corporations)

seperti Exxon, Freeport, General Motor, dan lain-lain.

Menurut Mansour Fakih, Globalisasi dalam perspektif ekonomi adalah

proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia

berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah

Page 9: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

dicanangkan sejak zaman kolonialisme.1 Globalisasi merupakan tahapan ketiga

proses eksploitasi manusia atas manusia (penjajahan). Tahap pertama adalah

kolonialisme, kedua developmentalisme, dan terakhir globalisasi. Globalisasi

dalam arti politik merupakan wujud dari hegemoni baru negara-negara pemilik

modal dalam kerangka penguasaan negara-negara nirmodal (tidak memiliki

modal).2

Mereka yang menganggap globalisasi sebagai prospek, umumnya adalah

mereka yang merasa diuntungkan oleh proses ini yaitu negara-negara maju,

seperti Amerika Serikat, karena mereka memiliki modal, baik dalam bidang

ekonomi dan politik. Bahkan aktor-aktor globalisasi (IMF, WTO, WB, dan TNCs)

berada dalam pengaruhnya, sehingga kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan

oleh lembaga-lembaga di atas adalah untuk kepentingan negara maju tersebut.

Bagi mereka yang merasa cemas terhadap globalisasi, paling tidak memiliki

dua alasan. Yang pertama yaitu karena globalisasi menerapkan sistem ekonomi

kapitalis, dan yang kedua karena melihat ideologi Neoliberal yang menopangnya.

Kedua hal tersebut menjadi ancaman bagi eksistensi negara-negara miskin dan

berkembang yang terkelompokkan ke dalam negara Dunia Ketiga.

Yang pertama merujuk pada konsep Kapitalisme yang berorientasi pada

bagaimana memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dan meminimalisir

kerugian, serta mengakumulasi modal. Ketika orientasi tersebut telah tercapai,

maka pemilik modal akan dengan sendirinya memiliki otoritas politik dan

kekuasaan. Hal tersebut tentu membuat resah sebagian negara-negara di Dunia

1Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Insist Press,

2002), h. 209-210. 2Pravendi Januarsa, “Globalisasi dalam Tinjauan Kritis Soekarno,” artikel diakses pada 08

Agustus 2008 dari http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=135

Page 10: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Ketiga. Asumsinya adalah ketika modal yang sudah jelas kepemilikiannya

didominasi oleh perusahaan-perusahaan trans-nasional yang sebagian besar

berpusat di wilayah negara-negara maju, sebut saja Amerika Serikat, tentu melalui

mekanisme globalisasi pendapatan mereka akan semakin meningkat, mereka

menjadi semakin kaya, dan leluasa menghegemoni kehidupan negara lain, guna

merealisasikan kepentingan mereka. Sedangkan negara-negara miskin dan

berkembang akan tetap pada kategori dan berstatus sebagai negara dengan

“tangan di bawah” dan bergantung pada kebijakan negara-negara Adi Daya.3

Menyangkut ideologi Neoliberal yang menopang globalisasi, masyarakat

Dunia Ketiga melihatnya sebagai ancaman lebih luas pada peradaban mereka.

Ideologi ini secara umum dipahami sebagai ide yang membawa nilai hak dan

kebebasan individual melalui mekanisme pasar bebas, menjunjung tinggi

rasionalitas, dan mendistorsi peran agama dalam masyarakat dan politik.4 Dengan

adanya globalisasi, maka gerbang bagi penyebarluasan paham ini di berbagai

penjuru dunia semakin terbuka lebar. Padahal tiap negara yang berdaulat memiliki

batasan nilai dan landasan moral tersendiri, yang tidak bisa begitu saja menerima

nilai-nilai baru.

Dalam percaturan politik global negara-negara maju sangat berpengaruh,

karena mereka memiliki kepentingan yang sangat besar, baik dalam bidang

politik, ekonomi, maupun keamanan. Di bidang politik negara-negara maju/Barat

sangat berkepentingan untuk menyebarkan ideologi Demokrasi. Di bidang

ekonomi negara-negara Barat berkepentingan untuk mendapatkan sumber mineral

3Arief Budiman, Pembangunan dalam Krisis: Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 113-120. 4B. Herry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam I. Wobowo & Prancis Wahono,

ed., Neoliberalisme (Yogyakarta: Cindelaras, 2003), h. 70.

Page 11: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

untuk memenuhi kebutuhannya akan sumber daya alam tersebut, Barat juga

memiliki kepentingan untuk memasarkan produk yang mereka ciptakan. Di

bidang keamanan, dengan dalih untuk menjamin keamanan dunia, Barat

melakukan kampanye perang melawan terorisme. Didukung dengan infrastruktur

yang mereka miliki seperti media komunikasi, transportasi, dan modal yang besar

peran negara-negara Barat menjadi sangat besar.5

Peran dan pengaruh Barat yang demikian besar dalam percaturan politik

global memunculkan persepsi kuat bahwa pada era globalisasi ini telah terjadi

praktek kolonialisme dan imperialisme baru. Misalnya kebijakan-kebijakan luar

negeri yang dipraktekan oleh Amerika Serikat, khususnya pasca tragedi 11/9

2001. Isu-isu seperti senjata nuklir, senjata pemusnah massal, dan terorisme

dijadikan argumentasi untuk menekan kelompok tertentu atau bahkan untuk

menginvasi negara tertentu.

Lalu bagaimana dengan negara-negara selain Barat? Pada era globalisasi ini

negara-negara berkembang dan miskin dibuat sangat tergantung dengan utang luar

negeri yang diberikan oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan World

Bank. Masyarakat negara miskin dan berkembang dibuat kecanduan dengan

produk-produk teknologi maju melalui Konsumerisme yang disiarkan oleh media

massa. Selain itu, perusahaan-perusahaan internasional milik negara maju

(Transnational Corporations[TNCs] atau Multinational Corporations[MNCs])

menguasai hampir semua lini utama perekonomian dunia. Bahkan banyak

perusahaan-perusahaan lokal di negara miskin dan berkembang terpaksa gulung

tikar karena kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan internasional yang

5“Bangsa Indonesia Menyambut Globalisasi,” artikel diakses pada 11 Semptember 2008

dari situs http://hildaku.blog.com/568343/

Page 12: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

memiliki modal besar dan teknologi yang canggih. Perusahaan asing juga

memonopoli eksplorasi penambangan sumber mineral di negara-negara miskin

dan berkembang.

Dengan demikian terlihat jelas bahwa TNCs merupakan bagian dari aktor

penting globalisasi selain negara-negara maju; lembaga-lembaga keuangan

internasional (IMF & WB); dan WTO. Tetapi peran TNCs dalam globalisasi tidak

berhenti pada penguasaan sumber daya mineral negara-negara miskin dan

berkembang saja. Karena untuk memuluskan tujuan penguasaan tersebut, TNCs

harus terlebih dahulu memengaruhi dan menekan pemerintah dari negara miskin

dan berkembang untuk memberlakukan peraturan yang memuluskan jalan mereka.

TNCs menekan dan memengaruhi pemerintah negara korban globalisasi

tersebut dengan cara mendesakkan kepentingannya di dalam kesepakatan–

kesepakatan yang dibuat oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF, World

Bank, dan WTO. Kesepakatan tersebut bertujuan untuk menekan negara

berkembang dan miskin untuk melakukan reformasi kebijakan nasionalnya.

Umumnya kebijakan negara yang harus direformasi adalah kebijakan di bidang

pertanahan, investasi, perpajakan, dan tata hubungan antara pemerintah pusat

dengan daerah (desentralisasi) yang berpotensi menghambat investasi secara

langsung.6

Kebijakan di bidang investasi, misalnya, memaksa negara untuk membuka

pasar selebar-lebarnya agar perusahaan-perusahaan asing dapat dengan bebas

berinvestasi. Pemerintah juga ditekan untuk tidak menerapkan kebijakan-

kebijakan yang dapat menghambat investasi (deregulasi) seperti penerapan pajak

6Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 219-220.

Page 13: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

yang murah, buruh yang murah, dan kontrak karya yang panjang dan fleksibel.7

Penerapan deregulasi ini berimplikasi pada melemahnya peran negara dalam

menentukan kebijakan sesuai dengan kepentingan rakyatnya. Fakta ini juga

menunjukan bahwa globalisasi ternyata memengaruhi sikap anti-negara, dalam

arti menolak segala bentuk campur tangan pemerintah dalam kehidupan bernegara

dan bermasyarakat.

Jalan yang ditempuh untuk menyukseskan desakan-desakan itu adalah salah

satunya melalui utang. Lembaga-lembaga atau negara-negara donor (pemberi

utang) mencantumkan syarat reformasi kebijakan tersebut sebagai salah satu

syarat utang. Dengan demikian tampak di sini bahwa utang merupakan instrumen

campur tangan asing.

Implikasi dari reformasi kebijakan nasional negara miskin dan berkembang

tersebut adalah semakin terpinggirkannya rakyat miskin, terbengkalainya nasib

para petani kecil, nelayan, pedagang, dan masyarakat adat khususnya dalam hal

perebutan sumber daya alam terutama tanah, hutan, dan laut.

Fakta di atas menampakkan melemahnya kedaulatan negara khususnya

negara miskin dan berkembang (Negara Dunia Ketiga) di tengah hegemoni

globalisasi terutama dalam hal kemandirian menentukan kebijakan-kebijakan

untuk kepentingan negeri sendiri.

Sebagaimana kita ketahui bahwa negara yang berdaulat adalah negara yang

bisa menentukan nasib bangsanya sendiri (otonom) tanpa intervensi negera

7I. Wibowo, “Emoh Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti-Negara,” dalam I.

Wibowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 266.

Page 14: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

manapun.8 Oleh karenanya ketika sebuah negara tidak lagi dapat

mengatur/menentukan urusan-urusannya kepada dirinya sendiri sebagai negara

yang berdaulat, maka visi dan misi menciptakan negara yang maju dan sejahtera

tidak akan tercapai. Betapa tidak, misalnya Indonesia sebagai bagian dari negara

Dunia Ketiga yang memiliki utang terhadap lembaga-lembaga donor harus

mengikuti apapun syarat yang diajukan oleh lembaga pemberi utang tersebut.

sedangkan persyaratan yang dipaksakan ternyata untuk kepentingan perusahaan-

perusahaan internasional, lembaga-lembaga dan negara-negara donor bukan untuk

kepentingan negara penerima utang.

Namun demikian, dalam perkembangan kontemporer, banyak negara yang

mulai menampilkan keberaniannya untuk menerapkan kebijakan di luar

mainstream kepentingan global. Misalnya Indonesia, dalam bidang politik,

dengan mendesak AS dan sekutunya agar menarik pasukan dari Irak, Abstain

dalam rapat Dewan Keamanan PBB tentang Resolusi sanksi bagi Iran. Dalam

bidang ekonomi, di dalam konstitusinya Indonesia tetap memberlakukan pasal 33

UUD 1945 yang dikenal sebagai landasan hukum bagi intervensi negara. Ini

artinya bahwa pada era hegemoni globalisasi ini kedaulatan negara tidak serta

merta hilang dan musnah begitu saja.

Dari fenomena yang dipaparkan di atas, penulis merasa tertarik untuk

meneliti lebih jauh pembahasan mengenai pengaruh globalisasi terhadap

kedaulatan negara Indonesia ke dalam sebuah karya yang berbentuk skripsi.

8Muhajir Arif Rahmani, “Arti Penting Kedaulatan Negara,” artikel diakses pada 11

September 2008 dari situs http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3763_0_3_0_M, lihat

juga dalam Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tatanegara, (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 25.

Page 15: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Karena tema globalisasi adalah tema yang umum dan luas, maka pada

skripsi ini penulis lebih membatasi permasalahan pada globalisasi dalam

perspektif politik. Dalam perspektif ini globalisasi menjadi suatu kekuatan yang

mampu mendesak negara untuk menciptakan kebijakan yang dapat melemahkan

kedaulatannya. Dalam skripsi ini penulis juga membatasi pembahasan mengenai

kedaulatan negara pada kedaulatan dalam bidang politik, dalam arti kemandirian

negara dalam menentukan dan menjalankan kebijakan dalam dan luar negerinya.

Lebih jelasnya, untuk membatasi ruang pembahasan skripsi, penulis

merumuskannya dalam pertanyaan Bagaimana Pengaruh Globalisasi Terhadap

Kedaulatan Negara Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Penulis menetapkan judul Pengaruh Globalisasi Terhadap Kedaulatan

Negara Indonesia secara akademis memiliki tujuan:

1. Memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang konsep globalisasi

dan kedaulatan negara serta keterkaitan antara keduanya.

2. Mengetahui dampak globalisasi terhadap kedaulatan negara, khususnya

bagi negara Indonesia.

D. Metode Penelitian

Metode pengumpulan data yang dipakai dalam skripsi ini adalah metode

kepustakaan (library research). Sebagai sumber primer penulis menggunakan

buku-buku tentang globalisasi dan kedaulatan negara, baik yang ditulis oleh para

Page 16: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

pakar dalam negeri maupun luar negeri, seperti Buku Globalisasi Peluang atau

Ancaman bagi Indonesia karya Budi Winarno, buku Neoliberalisme karya I.

Wibowo et.al., buku Runtuhnya Teori Pembangunan & Globalisasi karya

Mansour Fakih, buku Dasar-dasar Ilmu Tatanegara karya Budiyanto, dan lain-

lain. Adapun sebagai sumber sekundernya penulis menggunakan tulisan-tulisan

atau artikel-artikel yang tersebar di berbagai majalah, surat kabar, dan internet

yang terkait dengan pembahasan mengenai globalisasi dan kedaulatan negara.

Sedangkan metode pembahasan dalam skripsi ini penulis menggunakan

metode deskriptif analitis. Dengan metode ini, penulis akan menggambarkan dan

memaparkan secara obyektif pola kerja globalisasi yang berpengaruh terhadap

eksistensi kedaulatan negara berdasarkan referensi yang digunakan. Setelah itu,

penulis akan menganalisa secara lebih mendalam baik melalui analisa sendiri

maupun dengan menggunakan bantuan para pakar. Dengan itu diharapkan akan

didapatkan pengetahuan yang obyektif dan seimbang sekaligus kritis.

Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), terbitan CeQDA UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, maka penulis menyusunnya ke

dalam lima bab. Bab I akan mengungkap seputar signifikansi tema yang diangkat.

Mengapa tema yang akan ditulis ini layak diangkat sebagai sebuah skripsi. Akan

diungkapkan mulai dari landasan pemikiran sampai sistematika penulisannya.

Page 17: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Bab II adalah gambaran umum seputar teori dan sejarah globalisasi sebagai

landasan teoritis untuk memahami pembahasan pada bab selanjutnya. Pada bab ini

akan dijelaskan mengenai definisi teori globalisasi, sejarah, dan aktor-aktor

globalisasi.

Bab III akan membahas mengenai paradigma kedaulatan negara. Pada

pembahasan seputar kedaulatan negara ini akan dijelaskan mengenai makna dan

paradigma kedaulatan negara, batas-batas kedaulatan negara, dan sumber

kedaulatan negara Indonesia yang terdapat dalam konstitusi.

Pada Bab IV merupakan bab inti, di dalamnya penulis akan mencoba

menjelaskan mengenai pengaruh globalisasi terhadap kedaulatan negara

Indonesia. Pembahasan diawali dengan pemaparan tentang globalisasi dan

peminggiran peran negara, kemudian penulis akan mencoba mengungkapkan

proses neo-imperialisme yang bersembunyi dibalik proses globalisasi, dan bagian

terakhir merupakan analisa tentang masa depan eksistensi kedaulatan negara.

Bab V merupakan bab penutup dari skripsi ini yang berisi kesimpulan dari

tema yang diangkat yaitu bahwa globalisasi mengancam kedaulatan negara

Indonesia, dan disertai juga dengan saran-saran yang konstruktif dari penulis.

Page 18: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

BAB II

TEORI DAN SEJARAH GLOBALISASI

A. Definisi Teori Globalisasi

Perkembangan dunia internasional dewasa ini telah memunculkan suatu

terminologi baru, yaitu globalisasi. Tentang pengertian globalisasi hingga saat ini

belum ada satu definisi baku yang dapat mewakili semua kepentingan dari

berbagai sudut pandang yang digunakan untuk memahami globalisasi. Yang pasti,

globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan

keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia

melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk

interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.9

Secara bahasa kata globalisasi berasal dari kata global, menurut kamus Dwi

Bahasa Oxford-Erlangga kata itu mengandung arti seluruh; sejagat; seantero

dunia.10

Dalam bahasa Indonesia penambahan sufiks “isasi” pada akhir sebuah

kata memiliki arti proses sehingga globalisasi diartikan sebagai pengglobalan

seluruh aspek kehidupan.11

Ada juga yang melihat globalisasi sebagai terjemahan dari bahasa Prancis

monodialisation yang berarti menjadikan sesuatu mendunia atau bersifat

internasional, yakni menjadikannya dari sesuatu yang terbatas dan terdeteksi. Oleh

karenanya, globalisasi dapat pula diartikan menghilangkan batas-batas

9“Pengertian Globalisasi,” artikel diakses pada 21 Oktober 2008 dari

http://fransis.wordpress.com/2008/02/17/pengertian-globalisasi.html 10

Joycem Hawkins, Kamus Dwi Bahasa Oxpord-Erlangga (Jakarta: Erlangga, 1996), h.

142. 11Adi Gunawan, Kamus Praktis Ilmiah Populer (Surabaya: Kartika, 2001), h. 147.

Page 19: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

kenasionalan dalam bidang ekonomi dan membiarkan segala sesuatu bebas

melintas dunia dan menembus level internasional.12

Meskipun secara bahasa globalisasi memiliki arti yang mapan. Namun,

sebagai teori globalisasi hingga saat ini belum memiliki definisi yang mapan

kecuali sekedar definisi kerja (working definition) sehingga tergantung dari sisi

mana orang memandangnya. Secara sederhana working definition ini terbagi

menjadi dua, yaitu (1) yang memaknai globalisasi sebagai sebuah proses global

dan (2) yang memandang globalisasi sebagai hasil akhir dari sebuah proses.

Orang yang memandang globalisasi sebagai sebuah proses cenderung

melihat globalisasi sebagai suatu proses sosial atau proses sejarah atau proses

alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat

satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-

eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya

masyarakat. Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam

interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit

dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia.

Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan, seperti bidang ideologi,

politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi

informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi.

Definisi seperti di atas diamini oleh Martin Albrow dengan mengatakan

”Globalisasi menyangkut seluruh proses di mana penduduk dunia terinkorporasi

ke dalam masyarakat dunia yang tunggal, masyarakat global,”13 dan Malcom

12

M. Istijar, “Globalisasi; Antara Impian dan Kenyataan,” Modul Pelatihan Dasar Anti

Globalisasi LS-ADI (Ciputat: LS-ADI Press, 2003), h. 1. 13

M. Istijar, “Globalisasi Anak Kandung Kapitalisme,” Modul Pelatihan Dasar Anti

Globalisasi LS-ADI, h. 29.

Page 20: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Waters, seorang sosiolog Australia, yang mengatakan bahwa “Globalisasi adalah

sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan

sosial budaya menjadi kurang penting, yang terjelma di dalam kesadaran orang.”14

Sedangkan orang yang memandang globalisasi sebagai hasil akhir sebuah

proses melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-

negara maju sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga

terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme

dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis

akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya

karena tidak mampu bersaing. Sebab globalisasi cenderung berpengaruh besar

terhadap perekonomian, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti

politik, budaya, dan agama.15 Pada definisi inilah kemudian globalisasi penulis

pandang sebagai ancaman bagi kedaulatan negara Indonesia.

Kapitalisme pada dasarnya bersumber dan berakar pada pandangan filsafat

ekonomi klasik, terutama ajaran Adam Smith yang dituangkan dalam karyanya

Wealth of Nation (1776). Selain Adam Smith, yang umumnya disebut sebagai

tokoh perintis pandangan ekonomi klasik adalah pemikir ekonomi lainnya, seperti

David Ricardo, James Mill, Thomas Robert Malthus, dan Jean Baptiste Say.

Keseluruhan filsafat pemikiran penganut ekonomi klasik tersebut dibangun di atas

landasan filsafat ekonomi liberalisme. Mereka percaya pada kebebasan individu

(personal liberty), pemilikan pribadi (private property), dan inisiatif individu serta

14

“Pengertian Globalisasi,” artikel diakses pada 21 Oktober 2008 dari

http://sobatbaru.blogspot.com/2008/05/pengertian-globalisasi.html 15

“Globalisasi,” artikel diakses pada 08 Agustus 2008 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi.html

Page 21: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

usaha swasta (private enterprise).16

Karl Marx menjelaskan bahwa kapitalisme berwatak universal, artinya,

Kapitalisme tidak dapat hidup dalam satu negeri. Hanya dengan berada di mana-

mana, bertempat di mana-mana, dan menjalin hubungan di mana-mana, barulah

sistem perekonomian ini bisa eksis. Watak kapitalisme inilah yang melahirkan

ekspansi dan pada akhirnya imperialisme. Berkaitan dengan hal ini, Lenin

mengatakan bahwa “imperialisme sebagai tahap akhir kapitalisme,”17

dan James

Petras menilai imperialisme adalah ungkapan yang paling tepat untuk memahami

globalisasi yang sedang terjadi saat ini.18

Upaya pendefinisian globalisasi sesungguhnya, sudah gencar dilakukan

sejak tahun 1990-an oleh para ilmuan, mulai dari ilmuan ekonomi, politik,

sosiologi, budayawan, bahkan oleh ahli geografi. Semuanya memiliki maindset

globalisasi yang beragam sesuai dengan bidang ilmu yang mereka geluti. Tetapi,

umumnya wilayah pendefinisian globalisasi cenderung mengambil perspektif

ekonomi karena memang sistem ini lahir sebagai sebuah sistem ekonomi yang

berdampak pada semua aspek kehidupan.

George Ritzer, seorang sosiolog Amerika, mengingatkan bahwa

karakteristik yang paling penting dari globalisasi adalah bias western-nya, artinya,

segala sesuatu yang berkaitan dengan globalisasi, baik ide maupun prakteknya,

selalu disesuaikan dengan perkembangan di Barat dan ide di luar dunia Barat tak

punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan ide Barat tersebut. Bahkan

16

Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Insist

Press, 2002), h. 45-46. 17

Franz Magnis Suseno, Dalam Bayang-bayang Lenin (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 10. 18

Revrisond Baswir, “Menelanjangi Globalisasi,” pengantar dalam James Petras dan Henry

Veltmeyer, Imperialisme Abad 21. Penerjemah Agung Prihantono (Yogyakarta: Kreasi Wacana,

2002), h. viii.

Page 22: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Anthony Giddens, seperti dikutip Ritzer, secara terang-terangan mengatakan

“Globalisasi berasal dari Barat, membawa jejak kekuasaan ekonomi dan politik

Amerika”. Selain itu, menurut Ritzer juga, proses globalisasi ditandai dengan

usaha menuju homogenitas (keseragaman) seluruh aspek kehidupan, baik kultur,

ekonomi, maupun politik oleh Barat, terutama Amerika.19

Dari perspektif kultur, trend menuju homogenitas ini identik dengan istilah

imperialisme kultural atau dengan kata lain terjadinya ekspansi kultur

Barat/Amerika terhadap kultur tertentu di daerah lain. Dari berbagai budaya Barat

yang berpenetrasi ke seluruh dunia, yang paling mencolok dampaknya adalah

budaya materialistis dan sekuler. Gejala materialistis bisa kita lihat manakala

melimpahnya materi/harta benda dianggap sebagai barometer keberhasilan hidup.

Sedangkan gejala sekuler dapat kita saksikan ketika dalam tatanan bermasyarakat

dan bergaul sudah mengabaikan norma-norma susila dan norma agama.

Afirmasi terhadap “budaya global/Barat” hampir niscaya merupakan negasi

terhadap budaya lokal masyarakat-masyarakat belahan bumi Selatan. Hegemoni

budaya global mendorong pendiskreditan budaya-budaya lokal sehingga bersifat

terlalu kedaerahan (jadi tidak global), kuno (jadi tidak modern dan global), dan

ketinggalan jaman. Pendiskreditan ini dengan sendirinya diikuti oleh peminggiran

budaya-budaya tersebut. Mengingat bahwa konsumerisme bukan hanya sekedar

“gaya hidup” yang dangkal belaka, melainkan berakar pada suatu filsafat yang

lebih dalam (yaitu individualisme), penegakan budaya global juga berarti

19

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern. Penerjemah Alimandan

(Jakarta: Kencana, 2003), h. 588.

Page 23: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

transformasi mendasar masyarakat-masyarakat di luar negara Barat, yang kerap

diikuti oleh benturan dan resistensi dalam prosesnya.20

Dalam bidang ekonomi logika homogenizing pun tetap berlaku. Joseph

Stiglitz, peraih hadiah Nobel Ekonomi 2001, melihat globalisasi sebagai

penyebaran sistem ekonomi kapitalisme neoliberal ke seluruh kawasan di dunia.21

Sesuai dengan namanya ideologi atau sistem ekonomi kapitalisme

neoliberal adalah merupakan kelanjutan dari gagasan liberalisme klasik Adam

Smith (1723-1790) pada abad ke-18, seiring dengan perkembangan sejarah paham

ini menemukan bentuk barunya di tangan ekonom terkemuka, yaitu, Freidrick von

Hayek dan Milton Friedman pada abad ke-20. Paham neoliberalisme inilah yang

menjadi pijakan ekonomi berbasis perdagangan dan pasar bebas sekaligus menjadi

ideologi globalisasi.

Pada dasarnya kedua paham tersebut sama,22 yakni menganjurkan: pertama,

liberalisasi, artinya jika ingin ekonomi maju maka perdagangan harus dibebaskan

seluas-luasnya, begitu juga dengan sektor fiskal/keuangan harus didorong lebih

liberal dan kian ketat bersaing agar terjadi peningkatan efisiensi. Kedua,

privatisasi, negara dilarang untuk menguasai aset-aset publik atau memiliki

perusahaan (seperti BUMN di Indonesia), hendaknya penguasaan aset-aset publik

tersebut diserahkan kepada individu-individu. Dan ketiga, deregulasi, negara tidak

berhak ikut campur dalam urusan ekonomi karena negara tidak memiliki alasan

20

Robert H. Imam, “Neoliberalisme, Era Baru, dan Peradaban Pasar,” dalam I. Wibowo &

Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme (Yogyakarta: Cindelaras, 2003), h. 316. 21

Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan. Penerjemah Aan Suhaeni (Tangerang: Marjin

Kiri, 2005), h. 216. 22

B. Herry Priyono mencacat ada sedikit perbedaan antara liberalisme klasik Adam Smith

dengan Neoliberalisme yaitu hanya pada peran pemerintah. Kalau pada liberalisme klasik Smith

memberi ruang pada peran pemerintah lewat penyelenggaraan tata-keadilan, oleh karenanya

akumulasi kekayaan oleh individu adalah dalam rangka pembangunan suatu bangsa (the wealth of

nation), sedangkan neoliberalisme tidak. Lihat B. Herry Priyono, “Dalam Pusaran

Neoliberalisme,” dalam I. Wibowo dan Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 55.

Page 24: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

apapun untuk mencampuri dan menguasai ‘pasar’, tugas negara hanyalah sebagai

“penjaga malam” yang menjamin lancarnya kinerja tiga anjuran neoliberalisme

tersebut.23

Ketiga paket kebijakan neoliberalisme tersebut dikenal juga dengan istilah

Washington Consensus yang penerapannya dipaksakan oleh negara-negara maju

penganut neoliberalisme kepada negara-negara miskin dan berkembang melalui

organisasi-organisasi internasional seperti WTO, IMF, dan World Bank.

Pada dasarnya semua proses homogenizing sistem perekonomian global ini

merupakan harapan dan hasil perjuangan dari perusahaan-perusahaan

transnasional karena merekalah yang paling diuntungkan dari proses tersebut.

Selama dasawarsa menjelang berakhirnya millenium, perusahaan-perusahaan

transnasional berskala raksasa tersebut (TNCs)24 meningkat jumlahnya secara

pesat dari sekitar 7000 TNCs pada tahun 1970 dan dalam tahun 1990 jumlah itu

mencapai 37.000 TNCs. Selain jumlahnya meningkat, TNCs juga dapat

menguasai perekonomian dunia. Kekuatan ekonomi TNCs yang luar biasa

tersebut akan semakin bertambah jika globalisasi berjalan. Mereka pada saat yang

lalu saja berhasil menguasai 67% dari perdagangan dunia antar TNCs dan

menguasai 34,1% total perdagangan global. Lebih lanjut, TNCs juga telah

menguasai 34,1% total perdagangan global. Ada sekitar 100 TNCs dewasa ini

menguasai ekonomi dunia. Mereka mampu mengontrol sampai 75% perdagangan

dunia.25

23

A. Tony Prasetiantono, “IMF (International Monetary Fund),” dalam I. Wibowo dan

Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 120. 24

Perusahaan transnasional/Transnational Corporation (TNC) dapat didefinisikan sebagai

perusahaan yang kegiatan bisnisnya bersifat internasional dan lokasi produksinya terletak di

beberapa negara. 25Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 214.

Page 25: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Perspektif politik juga menekankan pada proses menuju homogenitas, yaitu

menyebarluaskan model nation-state ke seluruh dunia dan tumbuhnya model tata

pemerintahan di seluruh dunia yang kurang lebih serupa (demokrasi). Bahkan

Benjamin Barber, seperti dikutip Ritzer, menganalisa akan terbentuknya sebuah

orientasi politik tunggal yang semakin pervasif (menyebar) di seluruh dunia, atau

ia mengistilahkannya dengan “McWorld.”26

Tesis demikian juga diperkuat dengan pendapat Ulrich Beck, seorang

ilmuan sosial penting yang menulis buku What Is Globalization?. Menurut Beck

ada perbedaan antara globalisme, globalitas, dan globalisasi. Globalisme adalah

pandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan kita menyaksikan

munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberalisme yang

menopangnya. Dalam globalisme, sifat global yang multidimensionalitas

direduksi menjadi dimensi ekonomi saja.

Pandangan Beck lebih komprehensif terhadap makna globalitas. Ia melihat

proses transnasional ini bukan hanya ekonomi, tetapi juga melibatkan ekologi,

kultur, politik, dan masyarakat sipil. Globalitas berarti mulai sekarang tidak ada

kejadian di planet kita yang hanya pada situasi lokal terbatas; semua temuan,

kemenangan, dan bencana memengaruhi seluruh dunia.

Beck melihat globalisasi sebagai menurunnya kekuatan bangsa-bangsa dan

batas-batas nasional. Jadi, globalisasi berarti denationalization, berarti pula

bangkitnya organisasi transnasional dan mungkin negara transnasional.27

26

Ritzer, Teori Sosiologi Modern, h. 589. 27Ibid., h. 592.

Page 26: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Globalisasi dalam bentuk yang semakin jelas dewasa ini, seperti

diungkapkan di atas, mempunyai maksud westernisasi dunia atau dengan

ungkapan lain Amerikanisasi dunia. Martin Khor dan Mansour Fakih

menyebutnya sebagai “bentuk baru kolonialisasi,” bahkan mantan Menteri Agama

RI, Said Agil Husein al-Munawar pernah mengatakan:

“Arus globalisasi yang menggejala saat ini lebih berbentuk

‘Amerikanisasi’ karena pengaruh Amerika Serikat dalam ekonomi, politik,

dan budaya yang begitu kuat. Tujuan pokok globalisasi adalah ekonomi

yang menggunakan kekuatan politik dan budaya untuk meraih tujuan

ekonomi tersebut. globalisasi saat ini ingin mengubah dunia ke arah sistem

pasar tunggal yang didominasi oleh perusahaan multinasional, namun, tanpa

terciptanya kesamaan kesempatan. Praktek globalisasi sekarang ini

memanipulasi teori darwin. Dalam artian, praktek itu telah mengubah teori

darwin yang berprinsip ‘terbaiklah yang bertahan’ menjadi ‘terkuatlah yang

bertahan’.”28

Pandangan tentang teori globalisasi yang paling ekstrim disampaikan oleh

Mansour Fakih, ekonom Indonesia, yang mengatakan bahwa globalisasi adalah

proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia

berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah

dicanangkan sejak zaman kolonialisme.29

Menurutnya, globalisasi merupakan

kelanjutan dari sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia yang lain,

yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses pengintegrasian

ekonomi nasional terhadap ekonomi global menjadi sebuah ancaman bagi

Indonesia, karena negara dituntut oleh kepentingan global untuk menerapkan

kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kepentingan global tersebut ketimbang

kepentangan nasionalnya.

28

“Menteri Agama Kritik Globalisasi Barat,” Kompas, 6 Mei 2003, h. 2. 29 Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 209.

Page 27: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

B. Sejarah Globalisasi

Sangat sulit menentukan kapan sesungguhnya proses globalisasi itu dimulai.

Kalau kita mengacu pada makna harfiahnya yang berarti pengglobalan,

sesungguhnya, globalisasi telah berlangsung sejak ribuan tahun silam, yaitu sejak

masa awal dari adanya sistem politik dan kemasyarakatan dunia. Tepatnya setelah

sistem city state (negara kota) Athena dan Sparta digantikan oleh berbagai

imperium, perluasan imperium itu menandai awal dari proses globalisasi.

Imperium-imperium tersebut antara lain adalah Byzantium; Dinasti Tang di

China; dan Kekhalifahan Islam.

Era globalisasi selanjutnya, adalah ketika masa imperium ini berganti

menjadi era kebangkitan Barat, beberapa negara di kawasan Eropa mengalami

kemajuan, dan karena kebutuhan mendesak akan bahan-bahan mentah seperti

rempah-rempah yang tak tersedia di wilayahnya maka negara-negara Eropa ini

melakukan kolonialisasi atau penjajahan ke belahan dunia lain, seperti di kawasan

Afrika, Asia, dan Amerika Selatan.

Proses pengglobalan/globalisasi dunia ini terus belangsung hingga saat ini

melalui berbagai dimensi, baik kultur, ekonomi, maupun politik, dengan

memanfaatkan kemajuan di bidang industri dan informasi. Globalisasi dari masa

ke masa ini melahirkan paradoks, satu sisi menguntungkan pihak yang memiliki

keunggulan dalam berbagai bidang—seperti militer, teknologi, dan industri—dan

merugikan pihak yang tidak memiliki keunggulan tersebut.

Dari perspektif teori, seperti yang dikatakan Mansour Fakih, bahwa sejarah

globalisasi adalah kelanjutan proses sejarah dominasi manusia terhadap manusia

lainnya. Proses sejarah dominasi itu pada dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga

Page 28: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

periode formasi sosial. Fase pertama adalah periode kolonialisme, yakni fase

perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik

untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Melalui fase kolonialisme inilah

proses dominasi manusia dengan segenap teori perubahan sosial yang

mendukungnya telah terjadi dalam bentuk penjajahan secara langsung selama

ratusan tahun. Proses ini berakhir pada saat terjadinya revolusi negara-negara

jajahan segera setelah berakhirnya Perang Dunia II, sekitar enam puluh tahun

silam.

Fase kedua, yaitu setelah berakhirnya era kolonialisme yang dikenal sebagai

era pembangunan atau era developmentalisme. Pada era ini dominasi negara-

negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dipertahankan melalui

kontrol terhadap teori dan proses perubahan sosial mereka, atau dengan kata lain,

melalui hegemoni cara pandang dan ideologi.

Fase ketiga, yaitu globalisasi yang terjadi menjelang abad duapuluh satu,

ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui Structural

Adjusment Program (Program Penyesuaian Struktural)30

oleh lembaga finansial

global (IMF & World Bank),31

dan disepakati oleh forum GATT (General

Agreement on Tariffs and Trade) atau pada saat sekarang dikenal dengan WTO

30Structural Adjusment Program (SAP) adalah resep yang dipaksakan oleh lembaga

keuangan internasional (IMF & World Bank) dan WTO kepada negara-negara yang mengalami

masalah dalam hal keuangan. Isi dari resep tersebut adalah (1) liberalisasi, (2) deregulasi, dan (3) privatisasi. Lihat A. Tony Prasetiantono, “IMF (International Monetary Fund),” h. 119.

31IMF berdiri pada bulan Juli 1944 di kota kecil Bretton Woods, yang terletak di negara

bagian New Hampshire Amerika Serikat. World Bank yang dahulu dikenal dengan International

Bank of Reconstruction and Development (IBRD) juga didirikan pada tahun tersebut oleh negara

Amerika, Ingris dan 42 negara lainnya. IMF bertugas di bidang moneter sedangkan World Bank di

bidang pembangunan ekonomi. Lihat Ibid., h. 115.

Page 29: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

(World Trade Organization).32

Sejak saat itulah suatu era baru telah muncul

menggantikan era sebelumnya, yaitu globalisasi.

Mengenai ketiga fase dominasi tersebut, Fakih menulis:

“Secara teoritis sebenarnya tidak ada perubahan ideologi dari ketiga

periode zaman tersebut, bahkan semakin bertambah canggih pendekatan, mekanisme, dan sistem yang secara ekonomis berwatak eksploitatif, secara

politik berwatak represif, dan secara budaya berwatak hegemonik dan

diskursif, dari sebagian kecil elit masyarakat yang dominan terhadap rakyat

kecil.”33

Sesungguhnya, ada perbedaan antara fase pembangunan dan globalisasi,

yaitu kalau pada fase pembangunan lebih menekankan pada pertumbuhan

ekonomi nasional dan mereka lebih melihat ke dalam negeri sendiri, dalam era

globalisasi mereka didorong untuk menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi

global, di mana aktornya bukan hanya negara tetapi perusahaan transnasional

(TNCs) dan bank-bank transnasional (TNBs), serta lembaga keuangan multilateral

seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), serta birokrasi

perdagangan regional dan global seperti WTO, Nafta, Apec, ASEAN, dan

sebagainya.

C. Aktor-aktor Globalisasi

Globalisasi sebagai proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam

sistem ekonomi dunia pada dasarnya diperankan oleh aktor-aktor utama proses

tersebut. Ada tiga aktor utama, pertama, adalah perusahaan multinasional yang

32GATT adalah forum yang didirikan pada tahun 1947 dengan tujuan untuk mengatur lalu

lintas perdagangan internasional, dalam hal ini adalah perdagangan barang, dan sebagai sebuah

forum GATT sifatnya tidak mengikat. Namun, kelak forum ini mengalami evolusi menjadi lebih mengikat setelah berubah menjadi WTO pada tahun 1995, ruang lingkupnya pun menjadi lebih

luas, yakni meliputi tiga bidang: perdagangan barang (trade in goods), perdagangan jasa (trade in

service), dan hak atas kekayaan intelektual terkait perdagangan (trade related intellectual property

right). Lihat Bonnie Setiawan, “Antara Doha dan Cancun: Cengkeraman Neoliberalisme pada

Tubuh WTO,” dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 85. 33Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 210.

Page 30: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

besar yang dengan dukungan negara-negara yang dipengaruhi dan diuntungkan

olehnya (yaitu negara maju)34 membentuk suatu dewan perserikatan perdagangan

global yang dikenal dengan WTO yang kemudian menjadi aktor kedua. Ketiga,

adalah lembaga keuangan global IMF dan Bank Dunia. Ketiga aktor globalisasi

tersebut menetapkan aturan-aturan seputar investasi, Intelectual Property Rights

dan kebijakan internasional. Kewenangan lainnya adalah mendesak atau

mempengaruhi serta memaksa negara-negara melakukan penyesuaian kebijakan

nasionalnya bagi kelancaran proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam

ekonomi global. Proses memperlicin jalan pengintegrasian tersebut ditempuh

dengan cara mengubah semua aturan kebijakan yang menghalangi ketiga aktor-

aktor globalisasi, terutama perusahaan multinasional untuk beroperasi dalam

bentuk ekspansi produksi, pasar, maupun ekspansi investasi. Berkaitan dengan hal

tersebut Fakih menulis “...sesungguhnya globalisasi tidak ada sangkut pautnya

dengan kesejahteraan rakyat ataupun keadilan sosial di negara-negara Dunia

34

Pengaruh negara-negara maju pada lembaga-lembaga internasional semacam IMF, Bank Dunia, dan WTO bisa dilihat dari sistem hak suara (voting strengths) di lembaga-lembaga tersebut.

IMF dan Bank Dunia memiliki sistem suara yang ditentukan berdasarkan saham anggota. Hal itu

dengan sendirinya akan membuat suara selalu didominasi negara yang memiliki saham lebih besar,

dalam hal ini negara-neagra maju. Sistem demikian membuat berbagai kebijakan yang diambil

lebih menguntungkan kepentingan negara maju. WTO memiliki sistem sedikit berbeda. Setiap

negara anggota memiliki satu suara, dan ini membuat negara miskin dan negara berkembang yang

bergabung di dalamnya dapat lebih berperan dalam memengaruhi proses pengambilan keputusan.

Walaupun di atas kertas hal tersebut adalah benar, dalam kenyataan proses yang terjadi tidak

semudah itu. Hal ini disebabkan karena dalam berbagai perundingan, di mana terdapat perbedaan

pendapat sangat tajam, juga dilakukan pertemuan informal bersifat terbatas, baik pada tingkat

menteri maupun pejabat tinggi. Pada pertemuan-pertemuan yang dikenal dengan green room,

room F meeting, maupun Chairman Consultative Group (CCG), negara maju yang memiliki

kepentingan berbeda dengan negara berkembang dan negara miskin dapat melakukan tekanan,

terutama dengan menggunakan mekanisme bilateral untuk memastikan negara-negara berkembang

dan miskin sepakat menerima kepentingan negara maju. Lihat Riza Pramahendra, “Tata Kelola

Globalisasi dan Dampaknya Pekerjaan Rumah untuk Indonesia,” dalam Sugeng Bahagijo, ed.,

Globalisasi Menghempas Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 38-39.

Page 31: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Ketiga (termasuk Indonesia), melainkan lebih didorong demi motif kepentingan

pertumbuhan dan akumulasi kapital berskala global...”35

35Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 216.

Page 32: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

BAB III

PARADIGMA KEDAULATAN NEGARA

A. Makna dan Paradigma Kedaulatan Negara

Sebelum membahas tentang kedaulatan negara, penulis terlebih dahulu akan

menjelaskan pengertian negara. Secara literal istilah negara merupakan

terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), staat (bahasa

Belanda dan Jerman), dan etat (bahasa Prancis). Kata staat, state, etat itu diambil

dari kata bahasa Latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan

tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.

Kata status atau statum lazim diartikan sebagai standing atau station

(kedudukan). Istilah ini dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup

manusia, yang juga sama dengan istilah status civitatis atau status republicae.

Dari pengertian yang terakhir inilah, kata status pada abad ke-16 dikaitkan dengan

negara.36

Penggunaan kata “negara” di Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta

nagari atau nagara, yang berarti wilayah, kota, atau penguasa.37

Secara terminologi, para pakar teori negara mengungkapkan definisi yang

berbeda-beda, di antaranya adalah Roger H. Soltau yang mendefinisikan negara

sebagai “alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau

mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat,” Harold J.

Laski mengatakan bahwa “negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan

karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih

36

Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani

(Jakarta:UIN, 2004), h. 41. 37Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 3.

Page 33: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat

itu. Masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama

untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama,” Max Weber

mengatakan “negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk

menggunakan kekerasan terhadap warganya.” Dan masih banyak tokoh lain yang

memiliki definisi berlainan. Namun, secara sederhana negara dapat diartikan

dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai

cita-cita untuk bersatu, hidup di daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan

yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara

yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya masyarakat

(rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintah yang berdaulat.38

Dari pengertian, dan teori negara di atas dapat kita mengerti bahwa negara

merupakan organisasi yang di dalamnya terdapat kekuasaan yang besar. Meskipun

para ahli bersepakat dengan definisi tersebut, namun, terdapat perbedaan pendapat

mengenai dari mana sumber kekuasaan tersebut diperoleh oleh negara dan siapa

atau lembaga apa di dalam negara yang memiliki wewenang memegang

kekuasaan tersebut.

Mengenai sumber kekuasaan, terdapat dua arus pemikiran yang berbeda

pendapat mengenai dari manakah asal kekuasaan negara. Pendapat yang pertama

diwakili oleh teori Teokrasi yang menyatakan bahwa asal atau sumber dari

kekuasaan itu adalah dari Tuhan. Teori ini berkembang pada jaman abad

pertengahan, yaitu dari abad IV sampai abad XV Masehi. Penganut dari teori ini

38Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 42.

Page 34: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

antara lain adalah Augustinus (354-430), Thomas Aquinas (1226-1274), dan

Marsilius.

Pendapat yang kedua adalah yang diberikan oleh teori hukum alam. Teori

ini menyatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat; kekuasaan yang ada pada

rakyat ini tidak lagi dipandang berasal dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat.

Kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini, melalui kontrak sosial, diserahkan

kepada seseorang atau sekelompok orang (raja/pemerintah) untuk memerintah dan

menyelenggarakan kepentingan masyarakat. Tokoh-tokoh teori ini antara lain:

Thomas Hobbes, John Locke (1632-1704), dan J.J. Rousseau (1712-1778).39

Selanjutnya tentang pemilik kekuasaan di dalam negara. Dalam hal ini tentu

yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kekuasaan tertinggi atau kedaulatan.

Kedaulatan berasal dari kata “daulat” yang dalam teori pemerintahan berasal dari

kata daulah (Arab), sovereignity (Inggris), souvereiniteit (Prancis), supremus

(Latin), dan sovranita (Italia) yang berarti “kekuasaan tertinggi.”40 Kekuasaan

tertinggi berarti kekuasaan untuk dapat menentukan kebijakan pada taraf tertinggi

dan terakhir. Dan secara istilah kedaulatan berarti “hak negara untuk

melaksanakan kekuasaan penuh atas status kemerdekaannya tanpa boleh ada

campur tangan dari pihak lain terhadap masalah internal maupun eksternalnya.”41

Salah satu pemikir yang mendefinisikan kedaulatan secara tegas adalah Jean

Boddin, filosof Prancis yang hidup pada abad XVI, dengan mengatakan bahwa

kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu

negara, yang sifatnya: tunggal, asli, abadi, dan tidak dapat dibagi-bagi. Tunggal

artinya hanya negara yang memiliki. Jadi, di dalam negara tidak ada kekuasaan

39

Soehino, Ilmu Negara, cet. II (Yogyakarta: Liberty, 1981), h. 150. 40

Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 24. 41B. N. Marbun, Kamus Politik (Jakarta: Sinat Harapan, 2007), h. 237.

Page 35: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

lain yang berhak menentukan atau membuat undang-undang. Asli berarti

kekuasaan itu tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Abadi artinya

kekuasaan itu tetap ada selama negara itu berdiri sekalipun pemegang

pemerintahan sudah berganti-ganti. Dan tidak dapat dibagi-bagi berarti bahwa

kedaulatan itu tidak dapat diserahkan kepada orang atau badan lain, baik sebagian

maupun seluruhnya. Bila ada kekuasaan lain yang membatasinya, tentu kekuasaan

tertinggi yang dimilikinya akan lenyap.42

Mengenai siapakah yang memiliki kedaulatan di dalam negara terdapat lima

teori berbeda yang menjelaskan, yaitu (1) teori kedaulatan Tuhan, (2) teori

kedaulatan raja, (3) teori kedaulatan negara, (4) teori kedaulatan hukum, dan (5)

teori kedaulatan rakyat.

1. Kedaulatan Tuhan

Di antara teori kedaulatan lainnya, teori kedaulatan Tuhan dianggap

yang paling tua atau paling dulu muncul. Teori ini memandang bahwa

Tuhanlah yang memiliki kedaulatan dalam sebuah negara. Teori ini

berkembang pada abad IV sampai abad XV Masehi dan sangat erat

kaitannya dengan agama Kristen.

Para penganut teori ini kesemuanya adalah penganut teori teokrasi

yaitu Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Augustinus mengatakan

bahwa yang memiliki kedaulatan adalah Tuhan dan Paus menjadi wakil

Tuhan di dunia untuk menjalankan kedaulatannya. Tetapi Paus harus

berbagi tugas dengan raja; Paus dalam urusan keagamaan dan raja dalam

urusan keduniawian.

42Soehino, Ilmu Negara, h. 79.

Page 36: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Pandangan Marsilius agak berbeda, dia hanya menitikberatkan

pemegang kedaulatan di dunia hanya kepada raja. Akibat dari ajaran ini

pada masa itu adalah tindakan para raja yang sewenang-wenang, mereka

merasa berkuasa untuk berbuat apa saja menurut kehendaknya, dengan

alasan bahwa perbuatannya itu adalah sudah menjadi kehendak Tuhan. Raja

tidak merasa bertanggung jawab kepada siapapun kecuali kepada Tuhan.43

2. Kedaulatan Raja

Teori kedaulatan raja ini sesungguhnya tak berbeda jauh dengan teori

kedaulatan Tuhan. Teori ini berkembang pada sekitar abad XV. Teori ini

dilatarbelakangi oleh perkembangan kekuasaan yang sudah bergeser dari

Gereja (Paus) ke Raja. Tokoh-tokoh yang mempopulerkan teori ini di

antaranya adalah: Niccolo Machiavelli, Jean Boddin, Thomas Hobbes, dan

G.W.F. Hegel. Umumnya mereka benpendapat bahwa kedaulatan negara

terletak di tangan raja, karena raja dianggap sebagai penjelmaan kehendak

Tuhan dan raja juga merupakan bayangan dari Tuhan di bumi ini. Agar

negara kuat, raja harus berkuasa mutlak dan tak terbatas; posisi raja berada

di atas undang-undang; dan rakyat harus rela menyerahkan hak-hak asasi

dan kekuasaannya secara mutlak kepada raja.44

Contoh negara yang menerapkan teori ini adalah Prancis pada masa

dipimpin oleh Raja Louis XIV (1643-1715) dengan ucapannya yang amat

terkenal “L’Etat C’est Moi” yang berarti, “negara adalah saya.”

3. Kedaulatan Negara

43

Soehino, Ilmu Negara, h. 153. 44Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 26.

Page 37: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Teori ini berkembang di Eropa antara abad XV-XIX. Diilhami oleh

gerakan Renaissance dan ajaran Niccolo Machiavelli tentang negara sebagai

sentral kekuasaan. Teori ini memandang bahwa kekuasaan pemerintah

bersumber dari kedaulatan negara (staats-souvereiniteit); negara dianggap

sebagai sumber kedaulatan yang memiliki kekuasaan tidak terbatas; karena

negara abstrak, maka kekuasaannya diserahkan kepada raja atau presiden

atas nama negara; negaralah yang menciptakan hukum. Oleh sebab itu,

negara tidak wajib tunduk kepada hukum. Tokoh yang mendukung teori ini

di antaranya adalah: George Jellinek, Paul Laband, Adolf Hitler, dan B.

Mussolini. Khusus kedua tokoh yang disebutkan belakangan bahkan

mempraktekkannya ketika mereka masing-masing menjadi pemimpin

negara Jerman dan Italia. Mereka menganggap dirinya sebagai pusat

kekuasaan negara serta memerintah secara totaliter dan sentralistis.45

Kusnardi dan Bintan Saragih melihat teori ini hanya sekedar untuk

merevitalisasi teori kedaulatan raja yang sebelumnya sudah usang dan

tergantikan oleh teori kedaulatan rakyat. Teori kedaulatan negara juga

mengadopsi logika teori kedaulatan rakyat, bahwa jika rakyat berdaulat,

berarti juga negara yang berdaulat karena negara adalah bentukan rakyat.

Akan tetapi karena negara itu mempunyai arti yang abstrak, timbul

pertanyaan siapakah yang memegang kekuasaan negara. Maka yang

memegang kedaulatan dalam negara tidak lain dan tidak bukan adalah raja

sendiri. Pengertian negara yang abstrak itu dikongkritkan dalam tubuh raja.

45Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 26.

Page 38: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Ajaran itu disebut Verkulpringstheorie yang artinya negara menjelma dalam

tubuh raja.46

4. Kedaulatan Hukum

Teori ini berkembang setelah Revolusi Prancis dan diilhami oleh

semboyan rakyat Prancis ketika itu, yaitu Liberte (kebebasan); Egalite

(persamaan); dan Fraternite (persaudaraan) yang ingin hidup lepas dari

kesewenang-wenanganan penguasa (raja). Tokohnya yang terkenal antara

lain adalah H. Krabbe, Immanuel Kant, dan Kranenburg.

Menurut teori ini yang memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan

tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum. Karena baik raja/penguasa,

rakyat/warganegara, maupun negara itu sendiri tunduk kepada hukum.

Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatannya harus sesuai dengan ketentuan

hukum; yang berdaulat adalah hukum; dan setiap tindakan negara harus

didasarkan pada hukum.

Lalu apa yang menjadi sumber hukum? Menurut Krabbe sumber itu

adalah rasa keadilan dan kesadaran hukum yang terdapat di dalam jiwa

masyarakat. Hukum itu tidaklah lahir dari kehendak negara, artinya hukum

itu terlepas dari kehendak negara. Hal ini berkaitan dengan teorinya yang

mengatakan bahwa hukum itu adalah salah satu dari sekian banyak jenis

perasaan kita. Krabbe menambahkan selain manusia punya rasa susila,

keindahan, keagungan dan sebagainya, ia juga punya rasa hukum. Hukum

adalah bagian dari jiwa manusia, misalnya, ketika melihat sesuatu yang

janggal pastilah jiwa kita akan berkata hal itu tidak sesuai. Oleh karenanya,

46

Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama),

h. 122.

Page 39: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

kesadaran hukum juga adalah salah satu fungsi dari jiwa manusia. Jadi,

karena hukum adalah jiwa dan perasaan kita, maka ia berada di luar

kehendak kita dan bahkan negara.47

5. Kedaulatan Rakyat

Pengaruh dari teori kedaulatan hukum di atas adalah lahirnya teori

kedaulatan rakyat, karena teori kedaulatan hukum tersebut menempatkan

rakyat tidak hanya sebagai objek, tetapi juga subjek dalam negara. Teori

kedaulatan rakyat muncul pada abad XVII dan terus berkembang hingga

sekarang. Di antara tokoh-tokohnya yang terkenal adalah John Locke,

Montesquieu, dan J. J. Rouseau.

Teori ini memandang bahwa yang memiliki dan menjadi sumber

kedaulatan sebuah negara adalah rakyat. Jadi, yang berdaulat adalah rakyat.

Rakyat merupakan kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu melalui

perjanjian masyarakat (social contract), kemudian rakyat sebagai pemegang

kekuasaan tertinggi memberikan sebagian haknya kepada penguasa untuk

kepentingan bersama. Penguasa dipilih dan ditentukan atas dasar kehendak

rakyat/umum (volonte generale) melalui perwakilan yang duduk di dalam

pemerintahan. Namun, pemerintah tidak memerintah secara absolut, karena

pemerintah yang berkuasa tidak serta merta menguasai hak rakyat

sepenuhnya.48

Dari pembahasan tentang teori-teori kedaulatan di atas, tiga teori yang

dibahas terlebih dahulu (kedaulatan Tuhan, raja, dan negara) mengarah kepada

absolutisme kekuasaan negara yang pada umumnya dipegang oleh seorang raja.

47

Soehino, Ilmu Negara, h. 156-157. 48Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 26.

Page 40: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Namun, seiring perkembangan zaman dan pengaruh teori demokrasi modern, pada

saat ini teori-teori tersebut tergantikan oleh teori kedaualatan rakyat yang

mengidealkan kekuasaan/kedaulatan berada di tangan rakyat, karena negara

terbentuk berdasarkan kehendak rakyat, bahkan kalaupun raja yang memimpin

negara tersebut hal itu karena persetujuan dari rakyat. Karena rakyat banyak maka

tidak mungkin jika rakyat bersama-sama menjalankan pemerintahan berdasarkan

kedaulatan yang mereka miliki, akan tetapi rakyat menunjuk dan menentukan

pemerintah untuk mengatur negara sesuai dengan kehendak mereka. Paul Hirst

dan Grahame Thompson menamakan kedualatan seperti ini sebagai kedaulatan

yang demokratis.49

Selanjutnya, kedaulatan yang dimiliki tiap negara mempunyai kekuatan

yang berlaku ke dalam (interne-souvereiniteit) dan ke luar (externe-

souvereiniteit). Kedaulatan ke dalam berarti bahwa pemerintah/negara memiliki

wewenang tertinggi dalam mengatur dan menjalankan organisasi negara sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kedaulatan ke

luar berarti pemerintah berkuasa bebas, tidak terikat dan tidak tunduk kepada

kekuatan lain, selain ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.50

Demikian juga,

negara lain harus pula menghormati kekuasaan negara yang bersangkutan, dengan

tidak mencampuri urusan dalam negerinya. Hal ini senada dengan yang dikatakan

oleh Paul Hirst dan Grahame Thompson bahwa “setiap negara adalah berdaulat

dan karena itu setiap negara menentukan di dalam dirinya kebijakan internal dan

eksternalnya.”51

49

Paul Hirst dan Grahame Thompson, Globalisasi Adalah Mitos. Penerjemah P. Soemitro

(Jakarta: YOI, 2001), h. 263. 50

Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 25. 51Paul Hirst dan Grahame Thompson, Globalisasi Adalah Mitos, h. 260.

Page 41: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Jadi, kedaulatan negara yang dimaksud dalam skripsi ini adalah kedaulatan

yang dimiliki oleh rakyat yang kemudian diserahkan kepada negara atau lebih

tepatnya kepada pemerintah untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara

sesuai dengan cita-cita dibangunnya negara. Lebih tegasnya, kamus politik

mengartikan kedaulatan negara sebagai “hak negara untuk melaksanakan

kekuasaan penuh atas status kemerdekaannya tanpa boleh ada campur tangan dari

pihak lain terhadap masalah internal maupun eksternalnya. Setiap negara bebas

untuk membuat keputusan sendiri.”52

Sehingga negara yang berdaulat adalah

negara yang bisa menentukan nasib bangsanya sendiri (otonom) tanpa intervensi

negera manapun.

Soekarno mencatat bahwa setidaknya negara yang memiliki kedaulatan

harus memenuhi tiga kriteria, yaitu (1) berdaulat dalam bidang politik, (2)

berdikari dalam bidang ekonomi, dan (3) berkepribadian dalam budaya.53

Berdaulat dalam bidang politik mengisyaratkan bahwa secara politik negara harus

merdeka dan bebas dari segala bentuk penjajahan, dan bebas dari intervensi

lembaga manapun dalam menentukan kebijakan. Secara ekonomi, kemandirian

sebuah negara amat penting, kemandirian perekonomian sebuah negara mencegah

terjadinya intervensi atau campur tangan pihak asing dalam mewujudkan

kesejahteraan rakyatnya. Misalnya dalam hal pengelolaan sumber daya alam,

negara berhak atas apa yang terkandung di dalam wilayahnya dan mengelolanya

sebaik mungkin untuk kepentingan rakyatnya. Berkepribadian dalam budaya

menjadi penting karena kebudayaan erat kaitannya dengan karakter suatu negara-

bangsa dan rasa nasionalisme masing-masing warga negaranya. Sebuah negara

52

B. N. Marbun, Kamus Politik, h. 237. 53

Pravendi Januarsa, “Globalisasi dalam Tinjauan Kritis Soekarno,” artikel diakses pada 08

Agustus 2008 dari http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=135

Page 42: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

harus memiliki kebudayaan yang berkepribadian untuk menjaga agar

eksistensinya tetap kokoh di tengah gempuran budaya-budaya asing.

Ketiga kriteria kedualatan negara yang disebutkan oleh Soekarno seperti

dijelaskan di atas merupakan syarat mutlak agar eksistensi negara dengan

kedaulatannya tetap terjaga di tengah hegemoni globalisasi seperti yang terjadi

saat ini. Globalisasi dengan implikasi negatif yang dibawanya benar-benar

mengancam eksistensi kedaulatan negara dalam tiga bidang yang disebutkan oleh

kriteria tersebut. Dalam bidang politik negara terancam dengan intervensi negara

tertentu dalam mendesakkan kepentingannya, terutama dengan dalih menjaga

ketertiban-keamanan dunia dan pengelolaan sumber daya alam. Dalam bidang

ekonomi negara juga terancam dengan ekspansi modal besar-besaran yang tak

mengenal batas negara dan cengkeraman perusahaan-perusahaan

multinasional/transnasional yang mengeruk sumber daya alamnya dengan

dukungan lembaga-lembaga internasional yang sangat berpengaruh. Dan dalam

bidang budaya, dengan dukungan kemajuan di bidang teknologi dan informasi,

negara mendapat ancaman dari budaya asing yang bertentangan dengan budaya

lokal yang mampu merangsek sampai ke pelosok suatu negara.

B. BATAS-BATAS KEDAULATAN NEGARA

Agar kekuasaan negara—dengan kedaulatannya—tidak menjadi absolut dan

jelas, maka diperlukan pembatasan-pembatasan yang jelas. Pembatasan tersebut

terjadi diberbagai aspek, seperti pada pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga

negara yang tertuang dalam bentuk pemisahan atau pembagian kekuasaan,

kemudian pembatasan kedaulatan pada wilayah kekuasaan suatu negara, dan

Page 43: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

pembatasan kedaulatan pada hukum dasar (konstitusi), karena negara yang

berdaulat biasanya selalu diiringi dengan bentuk negara yang berdasarkan hukum,

seperti Indonesia.

Hal pertama yang harus dibatasi adalah kepemilikan kekuasaan antar

lembaga yang terdapat dalam negara. Pembatasan ini biasa disebut sebagai

pemisahan atau pembagian kekuasaan.

Doktrin mengenai pemisahan kekuasaan (separation of power) pertama kali

dikemukakan oleh John Locke, filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704,

dalam buku Two Treaties On Civil Goverment. Dalam buku itu Locke menyebut

bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam (Trias Politica), yaitu kekuasaan

eksekutif, legislatif, dan federatif.54

Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang,

misalnya raja dan presiden, sedangkan kekuasaan legislatif merupakan lembaga

perumus undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental negara

lainnya. Menurut Locke kekuasaan legislatif ini tidak bisa dialihkan kepada siapa

pun atau lembaga manapun karena pada hakekatnya kekuasaan legislatif adalah

manifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat pada negara.

Kekuasaan legislatif dijalankan oleh parlemen yang merupakan

pengejawantahan atau bentuk representasi semua kelas sosial masyarakat baik

kaum bangsawan, orang-orang kaya maupun rakyat jelata. Kekuasaan suara di

parlemen itu menurut Locke ditentukan oleh prinsip mayoritas.

Mengenai kekuasaan federatif, Locke berpendapat bahwa kekuasaan itu

berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang,

54Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 48.

Page 44: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

perdamaian, liga dan aliansi antar negara, dan transaksi-transaksi dengan negara

asing.55 Dengan pemisahan kekuasaan seperti ini, Locke berharap penyalahgunaan

kekuasaan oleh penguasa dapat dicegah, sekaligus menjamin hak-hak warga

negara.

Pemikiran Locke tentang pemisahan kekuasaan dikembangkan lebih lanjut

oleh filsuf Prancis Montequieu (1689-1755) dalam bukunya L’Esprit Des Lois

(The Spirit of The Laws) yang membagi Trias Politica dalam bentuk kekuasaan

eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Mengenai kekuasaan eksekutif dan legislatif, pandangan Montesquieu tidak

berbeda dengan pendapat Locke, perbedaannya hanya pada kekuasaan yudikatif.

Menurut Montesquieu kekuasaan yudikatif adalah lembaga yang tugas utamanya

mengadili pelanggaran undang-undang. Konkritnya di Indonesia lembaga-

lembaga tersebut adalah Presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan Mahkamah

Agung (yudikatif).

Doktrin pemisahan kekuasaan ini (terutama pandangan Montesquieu)

berlangsung di banyak negara pada masa sekarang, misalnya Amerika Serikat,

sebagian besar negara di Eropa, Indonesia, dan lain-lain. Namun, seiring

perkembangan zaman, penerapannya berbeda dengan konsep aslinya, artinya

pemisahan kekuasaan antar ketiga lembaga (eksekutif, legislatif, dan yudikatif)

tidak berjalan secara tegas dan banyak mengalami perkembangan atau tegasnya,

menurut Miriam Budiarjo, telah bergeser menjadi pembagian kekuasaan (division

of powers). Misalnya seperti yang terjadi di Amerika, dengan asumsi bahwa

kekuasaan yang terdapat dalam lembaga-lembaga negara tersebut bisa saja

55Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia, 2001), h. 203.

Page 45: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

diselewengkan oleh pemegang kekuasaannya, maka diperlukan sistem “checks

and balaces” untuk membendung kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan

tersebut.56

Sistem ini menggambarkan bahwa setiap cabang kekuasaan dapat

mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya. Misalnya, presiden

diberi wewenang untuk memveto rancangan undang-undang yang telah disepakati

oleh Congress, akan tetapi dipihak lain veto ini dapat dibatalkan oleh Congress

dengan dukungan 2/3 dari Majelis. Mahkamah Agung mengadakan check

terhadap badan eksekutif dan badan legislatif melalui judicial review (hak uji),

dan di lain pihak Hakim Agung yang telah diangkat oleh badan eksekutif dapat

diberhentikan oleh Congress jika ternyata melakukan tindakan kriminal.

Praktek pembagian kekuasaan seperti di atas juga terjadi di Indonesia.

Badan eksekutif di Indonesia tidak hanya bertindak sebagai pelaksana undang-

undang atas persetujuan parlemen, tetapi juga bergerak dalam bidang legislatif,

misalnya, menyusun rancangan undang-undang, membuat Peraturan Pemerintah,

Keputusan Presiden, dan sebagainya. Pemerintah juga berkecimpung di bidang

yudikatif, misalnya memberi grasi, amnesti, sedangkan kekuasaan yudikatif

dijalankan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman, Komisi

Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi.

Pembatasan kedaulatan yang kedua adalah dalam bidang wilayah. Oleh

karena dunia ini tidak hanya dihuni oleh satu negara tetapi banyak negara, maka

masing-masing negara memiliki kedaulatan dalam wilayah yang dikuasai atau

didiaminya. Untuk menciptakan ketertiban kepemilikan wilayah maka diaturlah

56Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet.xxv (Jakarta:Gramedia, 2003), h. 153.

Page 46: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

perjanjian internasional mengenai kedaulatan wilayah masing-masing negara, baik

di wilayah darat, air, maupun udara. Pengaturan tegas mengenai batas wilayah ini

menjadi penting karena wilayah merupakan tempat berlindung bagi rakyat

sekaligus sebagai tempat bagi pemerintah untuk mengorganisir dan

menyelenggarakan pemerintahan.

Penentuan batas-batas suatu wilayah daratan, baik yang mencakup dua

negara atau lebih, pada umumnya berbentuk perjanjian atau traktat. Misalnya:

1. Traktat antara Belanda dan Inggris pada tanggal 20 Juli 1891

menentukan batas wilayah Hindia Belanda di Pulau Kalimantan.

2. Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai garis-garis

batas tertentu dengan Papua Nugini yang ditandatangani pada tanggal 12

Februari 1973.57

Mengenai wilayah lautan, pada awalnya terdapat dua konsepsi pokok

mengenai wilayah lautan, yaitu res nullius dan res communis. Res nullius adalah

konsepsi yang menyatakan bahwa laut itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-

masing negara. Konsepsi ini dikembangkan oleh John Sheldon (1584-1654) dari

Inggris dalam buku Mare Clausum atau The Right and Dominion of The Sea.

Sedangkan Res communis adalah konsepsi yang beranggapan bahwa laut itu

adalah milik masyarakat dunia sehingga tidak dapat diambil atau dimiliki oleh

masing-masing negara. Konsepsi ini kemudian dikembangkan oleh Grotius dari

Belanda pada tahun 1608 dalam buku Mare Liberum (laut bebas). Karena

konsepsi inilah, kemudian Grotius dianggap sebagai bapak hukum internasional.58

57

Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 21. 58Ibid., h. 21.

Page 47: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Dewasa ini, masalah wilayah lautan telah memperoleh dasar hukum, yaitu

Konferensi Hukum Laut Internasional III tahun 1982 yang diselenggarakan oleh

PBB atau United Nations Conference on The Law of The Sea (UNCLOS) di

Jamaica. Konferensi PBB itu ditandatangani oleh 119 peserta dari 117 negara dan

2 organisasi kebangsaan di dunia tanggal 10 Desember 1982.

Dalam bentuk traktat multilateral, batas-batas laut terinci sebagai berikut.59

a) Batas Laut Teritorial

Setiap negara mempunyai kedaulatan atas laut teritorial yang jaraknya

sampai 12 mil laut, diukur dari garis lurus yang ditarik dari pantai.

b) Batas Zona Bersebelahan

Sejauh 12 mil laut di luar batas laut teritorial atau 24 mil dari pantai

adalah batas zona bersebelahan. Di dalam wilayah ini negara pantai dapat

mengambil tindakan dan menghukum pihak-pihak yang melanggar undang-

undang bea-cukai, fiskal, imigrasi, dan ketertiban negara.

c) Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

ZEE adalah wilayah laut dari suatu negara pantai yang batasnya 200 mil

laut diukur dari pantai. Di dalam wilayah ini, negara pantai yang

bersangkutan berhak menggali kekayaan alam lautan serta melakukan

kegiatan ekonomi tertentu. Negara lain bebas berlayar atau terbang di atas

wilayah itu, serta bebas pula memasang kabel dan pipa di bawah lautan itu.

Negara pantai yang bersangkutan berhak menangkap nelayan asing yang

kedapatan menangkap ikan dalam ZEE-nya.

d) Batas Landas Benua

59Ibid., h. 22.

Page 48: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Landas benua adalah wilayah lautan suatu negara yang lebih dari 200 mil

laut. Dalam wilayah ini negara pantai boleh mengadakan eksplorasi dan

eksploitasi, dengan kewajiban membagi keuntungan dengan masyarakat

internasional.

Sedangkan untuk masalah wilayah udara pada saat ini belum ada

kesepakatan di forum internasional mengenai kedaulatan di ruang udara. Pasal 1

Konvensi Paris 1919 yang kemudian diganti oleh pasal 1 Konvensi Chicago 1944

menyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan eksklusif

di ruang udara di atas wilayahnya, artinya negara berhak mengadakan eksplorasi

dan eksploitasi di wilayah udaranya, misalnya untuk kepentingan radio, satelit,

dan penerbangan. Mengenai ruang udara (air space), di kalangan para ahli masih

terjadi silang pendapat karena berkaitan dengan batas jarak ketinggian di ruang

udara yang sulit diukur. Sebagai contoh, Indonesia, menurut undang-undang no.

20 tahun 1982 menyatakan bahwa wilayah kedaulatan dirgantara yang termasuk

orbit geo-stationer adalah 35.761 km.60

Para ahli yang berbeda pendapat mengenai batas wilayah udara di antaranya

adalah Lee, Von Holzen Dorf, dan Henrich’s yang masing-masing berpendapat:61

1. Lee

Ia berpendapat bahwa lapisan atmosfir dalam jarak tembak meriam yang

dipasang di darat dianggap sama dengan udara teritorial negara. Di luar

jarak tembak itu, harus dinyataka sebagai udara bebas, dalam arti dapat

dilalui oleh semua pesawat udara negara manapun.

2. Von Holzen Dorf

60

Ibid., h. 23. 61Ibid.

Page 49: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Ia menyatakan bahwa ketinggian ruang udara adalah 1.000 meter dari

titik permukaan bumi yang tertinggi.

3. Henrich’s

Ia menyatakan bahwa negara dapat berdaulat di ruang atmosfir selama

masih terdapat gas atau partikel-partikel udara atau pada ketinggian 196 mil.

Di luar atmosfir, negara sudah tidak lagi mempunyai kedaulatan.

Batasan kedaulatan negara selanjutnya adalah melalui hukum (konstitusi),

pembatasan oleh hukum seperti ini terjadi pada negara yang berdasar atas hukum

(rechtsstaat), artinya negara dalam melaksanakan akstivitasnya (penyelenggaraan

pemerintahannya) tidak boleh berdasarkan atas kekuasaan belaka tetapi harus

berdasarkan pada hukum yang berlaku.

Kata konstitusi berasal dari bahasa Prancis Constitur yang berarti

membentuk. Dalam bahasa Belanda istilah konstitusi dikenal dengan istilah

Grondwet, yang berarti undang-undang dasar. Sedangkan di Jerman dikenal

dengan istilah Grundgesetz, yang juga berarti undang-undang dasar. Secara

terminologi Konstitusi berarti sejumlah aturan-aturan dasar dan ketentuan-

ketentuan hukum yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga

pemerintahan termasuk dasar hubungan kerja sama antara negara dan masyarakat

(rakyat) dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.62

Konstitusi juga

dapat dipahami sebagai bagian dari social contract (kontrak sosial) yang memuat

aturan main dalam berbangsa dan bernegara antara rakyat dan negara, di

62

Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 91-

90.

Page 50: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban rakyat/warga negara dan alat-

alat pemerintahan negara.

Seperti sudah disinggung di atas bahwa konstitusi berfungsi untuk

memberikan pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik.

Namun selain itu, konstitusi juga berfungsi untuk menjamin hak-hak

warganegara, seperti yang dikatakan oleh Miriam Budiarjo:

“Undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi

kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan

kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan

hak-hak warga negara akan lebih terlindungi.”63

Selain sebagai pembatasan terhadap kekuasaan negara dan cerminan bagi

terjaminnya hak-hak warganegara, konstitusi juga berfungsi sebagai gambaran

ruang lingkup kedaulatan negara. Konstitusi negara Indonesia yang kemudian

dikenal dengan Undang-undang Dasar 1945, menggambar ketiga fungsi tersebut.

C. Kedaulatan Negara di dalam Konstitusi

Di dalam teks pembukaan (prembule) UUD 1945 Indonesia menyatakan

dengan tegas kemerdekaannya, dengan bunyi kalimat “...maka rakyat Indonesia

menyatakan dengan ini kemerdekaannya...” dan dengan kalimat “dan perjuangan

kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan

selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang

kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan

makmur” negara Indonesia menyatakan dirinya telah berdaulat, artinya merdeka

dan bebas dari segala bentuk penjajahan. Kemudian, kedualatan negara Indonesia

63Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h. 96.

Page 51: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang (ayat 2 Pasal

1).64 Ini berarti bahwa kedaulatan tidaklah dipegang oleh satu atau sekelompok

orang saja. Dan dengan semangat kedaulatan rakyat maka di Indonesia dibentuk

badan-badan penyelenggara negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat

tersebut, seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, dan lain-lain.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berwenang mengubah dan

menetapkan undang-undang dasar. Majelis ini juga bertugas untuk melantik

presiden dan/atau wakil presiden, dan bahkan dapat memberhentikan mereka

dalam masa jabatannya menurut undang-undang. Keanggotaan MPR terdiri atas

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang

anggotanya dipilih melalui pemilihan umum (Pasal 2 & 3).

DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, lembaga ini

memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dewan ini

juga memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat (Pasal 20

& 20A). Sedangkan DPD adalah lembaga yang anggotanya dipilih dari setiap

provinsi yang masing-masing provinsi memiliki jumlah anggota yang sama. DPD

dapat mengajukan kepada DPR dan bersama-bersama membahas rancangan

undang-undang, serta mengawasi pelaksanaan undang-undang yang berkaitan

dengan otonomi daerah; hubungan pusat dengan daerah; pembentukan,

pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan

sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah

(Pasal 22C & 22D).

64“UUD ’45 Amandemen I, II, III, IV” (Jakarta: Bintang Indonesia, 2004), h. 3.

Page 52: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Lembaga-lembaga seperti MPR, DPR, dan DPD, seperti disebutkan di atas,

menurut UUD merupakan lembaga legislatif, artinya pemegang kekuasaan

legislasi. Sedangkan pemegang kekuasaan eksekutif adalah Presiden. Presiden dan

wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal

6A).

Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan, dalam melakukan

kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden (Pasal 4); dan

dalam struktur kekuasaan eksekutif Presiden juga dibantu oleh dewan

pertimbangan yang dibentuk olehnya dan bertugas untuk memberikan nasehat dan

pertimbangan (Pasal 16); dan menteri-menteri yang dibentuk olehnya (Pasal 17);

dalam urusan dengan daerah Presiden juga dibantu oleh pimpinan daerah, seperti

Gubernur dan Bupati/walikota, yang masing-masing dipilih secara demokratis

oleh warga daerah tersebut (Pasal 18). Presiden berhak mengajukan rancangan

undang-undang kepada DPR, dan Presiden berhak menetapkan peraturan

pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5).

Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah lembaga

Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi (Pasal 24).

Mahmakah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-

undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang

(Pasal 24A). Sedangkan Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama

Page 53: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran

partai politik, dan mumutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (Pasal

24C). Selain dua lembaga tersebut, dalam bidang kehakiman Indonesua juga

memiliki Komisi Yudisial yang sala satu wewenangnya adalah mengusulkan

pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24B).

Kesemua tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara dijalankan

berdasarkan kemerdekaan negara, tidak boleh ada campur tangan dari manapun,

termasuk intervensi dari negara lain dan/atau dari lembaga-lembaga internasional.

Karena kekuasaan dan kewenangan suatu negara dalam mengatur kehidupan

dirinya adalah cerminan dari kedaulatan negara tersebut.

Kemerdekaan yang telah diperoleh Indonesia tidaklah diperuntukkan untuk

menjajah bangsa lain, tetapi diperuntukkan untuk memajukan kesejahteraan dan

kecerdasan rakyatnya, sekaligus juga untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD ’45 yaitu:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”65

Di sini terlihat bahwa negara yang telah memperoleh

kemerdekaan/kedaulatan memiliki fungsi untuk memajukan kesejahteraan

bangsanya. Negara Indonesia dalam hal mewujudkan kesejahteraan sosial dan

65Ibid., h. 2.

Page 54: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

perekonomian nasional mengaturnya dalam konstitusi (UUD 1945) yang tertuang

dalam pasal 33 dan 34. Kedua pasal tersebut berbunyi:

Pasal 33 ayat (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas

asas kekeluargaan, (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan

yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) bumi dan air

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, (4) perekonomian nasional

diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan,

kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta

dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.66

Pasal 34 ayat (1) fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh

negara, (2) negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan

memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat

kemanusiaan, (3) negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan

kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.67

Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan

oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota

masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran

orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar

atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan

yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak,

tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang

banyak akan tertindas. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam

66

Ibid., h. 25-26. 67Ibid., h. 26.

Page 55: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Cerminan kedaulatan ekonomi dan politik negara Indonesia seperti yang

termaktub dalam konstitusi, sebenarnya juga dianut oleh negara-negara lain di

dunia. Setiap negara di dunia dengan kedaulatan yang dimilikinya berhak

mengatur dan mengeluarkan kebijakan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan

lainnya di dalam kedaulatan wilayahnya untuk kepentingan negara dan warganya.

Page 56: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

BAB IV

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN

NEGARA INDONESIA

A. Globalisasi dan Peminggiran Peran Negara

Pada era globalisasi ini negara dituntut harus melakukan kebijakan

deregulasi, melakukan liberalisasi ekonomi, membuka selebar-lebarnya jalan bagi

investasi asing, menurunkan tarif impor, dan melakukan privatisasi. Tuntutan-

tuntutan tersebut sebenarnya mengarah kepada minimalnya peran negara karena

doktrin ekonomi-politik yang dibangun pada era globalisasi ini adalah doktrin

ideologi neoliberalisme yang memandang pertumbuhan ekonomi suatu negara

hanya akan terjadi jika negara membuka pasar selebar-lebarnya bagi investasi dan

negara tidak ikut campur dalam perekonomian biarkan pasar yang menentukan

(pasar bebas).

Teori mengenai mekanisme pasar bebas ini sebenarnya pertama kali

dicetuskan oleh Adam Smith melalui teori “absolute advantage” yang

dikemukakannya dalam buku The Wealth of Nation. Smith mengajarkan bahwa

semua bangsa akan mendapat untung jika mengadakan perdagangan dan

mendukung kebijakan laissez faire (pasar bebas). Perdagangan bebas akan

membuat sumberdaya dunia dipakai secara amat efisien dan dengan demikian

akan menghasilkan kesejahteraan dunia secara maksimal. Selanjutnya pemikirin

Smith ini dikembangkan oleh David Ricardo dengan teori “comparative

advantage” dalam bukunya Principles of Political Economy and Taxation (1817),

dengan teorinya ini Ricardo berpendapat bahwa, karena setiap negara pasti

Page 57: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

memiliki keunggulan dalam hal produksi yang berbeda dengan negara lainnya,

maka alangkah lebih baik jika masing-masing negara mengonsentrasikan produksi

pada produk-produk unggulan tersebut dan kemudian, untuk mendapatkan produk

lain, negara melakukan perdagangan dengan negara lainnya yang memiliki

keunggulan produk yang berbeda.68

Perkembangan selanjutnya dari perkembangan perdagangan bebas ini adalah

munculnya teori “competitive advantage” yang dituangkan oleh Michael Porter

dalam bukunya The Competitive Advantage of Nation (1990). Dalam teori ini,

negara tidak hanya berdagang tetapi juga bersaing. Kalau sebuah negara ingin

memperoleh kemakmuran (diukur dengan pertumbuhan ekonomi tinggi), ia harus

bersaing dengan negara-negara lain untuk merayu modal yang dimiliki oleh

perusahaan-perusahaan multinasional yang jumlahnya terbatas itu. Dalam rangka

persaingan inilah negara berlomba mengurangi hambatan untuk terjadinya

perdagangan bebas maupun masuknya investor, dan sekaligus juga

mengembangkan kekayaan yang dimilikinya seperti struktur ekonomi nasional,

nilai-nilai, kultur, dan sejarah bangsa.

I. Wibowo berpendapat bahwa teori competitive advantage merupakan

revisi radikal terhadap teori comparative advantage karena dalam teori baru itu

negara tidak hanya harus membuka pasar, tetapi juga menyediakan fasilitas-

fasilitas untuk menarik modal yang dimiliki oleh para investor, terutama investor

68

Ricardo mencohtohkan Inggris dan Portugal. Inggris yang menjadi penghasil wool ulung

lebih baik tidak mencoba untuk memproduksi anggur yang menjadi keunggulan Portugal. Inggris

tetap menjadi penghasil wool, dan Portugal penghasil anggur. Keduanya akan menikmati wool dan

anggur dengan kualitas unggul, kalau keduanya melakukan perdagangan. Lihat I. Wibowo, “Emoh

Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara,” dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed.,

Neoliberalisme (Yogyakarta: Cinderalas, 2003), h. 279. Lihat juga dalam Halwani, Ibid., h. 203.

Page 58: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

global.69

Implikasi serius dari teori ini adalah bahwa negara harus semakin

mundur dari kegiatan intervensinya dalam ekonomi, terutama di bidang regulasi

dan redistribusi kekayaan. Karena pendapatan negara dari pajak menurun,

implikasi lebih jauh adalah dikuranginya alokasi dana untuk kesejahteraan sosial.

Teori inilah yang kemudian menjadi landasan bagi perdagangan bebas yang pada

era globalisasi ini berlangsung semakin massif.

Teori-teori mengenai pasar bebas inilah yang menjadi landasan bagi

peminggiran peran negara. Pasar harus berkuasa dan negara harus minggir. Ajaran

bahwa pasar harus bebas di mana-mana dengan menggunduli negara inilah yang

menjelma menjadi ajaran “neoliberalisme” yang sekaligus juga menjadi dasar bagi

globalisasi. Negara memang tidak sepenuhnya hilang, tetapi ia masih diperlukan,

setidaknya untuk menyediakan infrastruktur, menjamin penegakan hukum, dan

menjamin keamanan.

Gejala peminggiran negara ini telah menimpa beberapa negara Barat, yaitu

Inggris dan Amerika Serikat pada tahun 1970-an, dan semakin menguat sejak

ambruknya Uni Soviet dan Blok Timur, termasuk Cina. Peminggiran negara

melanda Inggris sejak naiknya Margaret Thacther, sang Iron Lady, ke kursi

Perdana Menteri pada tahun 1979. Negara yang telah menjalankan kebijakan

untuk kesejahteraan rakyat (welfare) dikecam dan dikritik. Mulai tahun 1980-an

dan seterusnya, di Inggris terjadilah privatisasi perusahaan-perusahaan negara dan

pemangkasan kebijakan kesejahteraan (welfare policy). Pada tahun 1991

(menjelang akhir pemerintahan partai konservatif) sebagian besar keperluan

umum telekomunikasi, gas, bandara, air, dan listrik ditambah perusahaan-

69Ibid., h. 280.

Page 59: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

perusahaan besar yang semula dikendalikan oleh pemerintah seperti BP, Cable

and Wireless, Jaguar, dan sebagainya sudah diprivatisasikan semua. Ada

seluruhnya empat wilayah dari welfare policy: pelayanan kesehatan, pendidikan,

santunan penganggur, dan pensiun hari tua, semuanya mengalami pemangkasan

oleh Thacher, diteruskan oleh Jhon Major, bahkan oleh Tony Blair dari Partai

Buruh.70

Negara harus mundur dari semua keterlibatan di bidang-bidang tersebut

karena dianggap sebagai biang keladi merosotnya pertumbuhan ekonomi, inflasi,

defisit belanja negara, dan seterusnya. Inilah negara tempat lahir ekonom

kondang, Jhon Maynard Keynes, yang mengajarkan pentingnya peran negara

dalam ekonomi, tetapi justru di Inggris dimulailah gerakan menggunduli peran

negara. Inggris yang selalu menjadi percontohan dari lahirnya sebuah welfare

state, tidak dinyana-nyana juga menjadi negara yang memelopori pembubaran

welfare state.

Kepeloporan Inggris ini bergema ke negara-negara di daratan Eropa. Prancis

dan Italia, kemudian Jerman juga menyusul dan menjiplak kebijakan yang

diterapkan di Inggris. Mereka beramai-ramai mengadakan privatisasi, mengurangi

subsidi, menurunkan pajak perusahaan, dan sebagainya. Jumlah pegawai negeri

dikurangi hingga ke tingkat minimal. Negara dirampingkan, defisit dikurangi.

Pengusaha swasta, termasuk pengusaha swasta internasional, diberi ruang seluas-

luasnya untuk beroperasi.71

Entah kebetulan entah tidak, di seberang Lautan Atlantik, di Amerika

Serikat, muncul Ronald Reagan sebagai presiden, yang tidak kalah agresif

70

Ibid., h. 269. 71

Noreena Herzt, Perampok Negara Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi.

Penerjemah M. Mustafied (Yogyakarta: Alenia, 2005), h. 17-47.

Page 60: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

dibandingkan Margaret Thacher dalam gerakan menolak negara. Pengeluaran

untuk kesejahteraan dikurangi, kecuali program-program untuk orang usia lanjut.

Hambatan perdagangan dikurangi atau dibuang sama sekali, semacam subsidi

disingkirkan kecuali subsidi pertanian (akibat krisis pertanian tahun 1984-1985).

Regulasi terhadap bisnis dikurangi, kecuali untuk pabrik senjata. Sementara itu

pajak pada orang-orang kaya diturunkan secara dramatis pada tahun 1982 dan

1987.72

Pada belahan bumi yang lain, pada waktu yang kurang lebih sama, sejak

tahun 1980 negara Cina juga melancarkan usaha besar-besaran untuk melucuti

negara. Tokohnya adalah Deng Xiaoping, seorang yang oleh Mao Zedong

dikatakan sebagai “pejalan kapitalis no. 2.” Ramalan ini tidak meleset karena

sejak tahun itu hingga hari ini Cina menganut sistem ekonomi terencana pusat

selama 30 tahun, secara konsisten, setapak demi setapak, mengurangi peran

negara, memberi kebebasan berusaha kepada pengusaha swasta. Negara tidak lagi

membuat perencanaan terpusat terhadap ekonomi, tidak menentukan harga barang

maupun jasa, tidak memegang monopoli dalam produksi barang. Perusahaan

swasta bermunculan, juga perusahaan swasta asing. Ekonomi Cina yang lama

dilindungi oleh dinding proteksionisme yang tinggi kini terbuka terhadap

perdagangan internasional. Seperti di Eropa dan Amerika Serikat, subsidi untuk

welfare menyusut drastis.

Tidak lama sesudah Cina, gurunya, Uni Soviet, tidak malu mengikuti jejak

dalam mempreteli negara dari perannya di bidang ekonomi. Gorbachev

merupakan tokoh sentral. Rencana semula cuma mengadakan reformasi ekonomi,

72I. Wibowo, “Emoh Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara,” h. 269.

Page 61: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

ternyata berubah menjadi ambruknya seluruh sistem politik. Pada tahun 1991

sistem komunisme bubar di Uni Soviet, dan diganti dengan sistem kapitalisme.

Seperti di Cina perdagangan internasional menerobos masuk pasar Rusia.73

Tetapi dua tahun sebelum Uni Soviet, sistem komunisme sudah berguguran

di negara-negara Eropa Timur yang menjadi negara satelit Uni Soviet. Mulai

dengan Polandia, negara-negara lainnya menyusul satu persatu mengganti sistem

komunisme dengan sistem kapitalisme. Secara ideologis peristiwa ini sering

dirayakan sebagai kemenangan sebuah sistem atas sistem tandingan, tetapi sama

dengan yang terjadi di Amerika Serikat maupun Eropa, inilah saat “negara”

dijadikan kambing hitam atas kegagalan ekonomi. Bersama-sama mereka

menyatakan “anti negara.”

Aktor-aktor yang menjadi juru kampanye paling meyakinkan dari ajaran

pasar bebas dan kemudian anti-negara ini antara lain adalah World Bank, IMF,

WTO, dan negara-negara Barat/maju. Kesemuanya merupakan aktor globalisasi.

World Bank, dengan statusnya sebagai institusi keuangan terkemuka di

dunia, memberi nasehat kepada negara untuk mengambil sikap yang investor

friendly seperti mengurangi aneka hambatan, termasuk hambatan yang datang dari

serikat-serikat buruh. Mengenai masalah buruh, World Bank mengingatkan agar

negara tidak melakukan tawar-menawar dengan mereka pada tingkat nasional,

sektoral, atau industrial. Kalau serikat buruh ingin memperjuangkan haknya, maka

mereka sebaiknya mengadakan bergaining pada tingkat perusahaan saja. Yang

penting negara tidak mempengaruhi jalannya mekanisme pasar bebas.

73Ibid., h. 270.

Page 62: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Sedangkan yang dilakukan IMF untuk mengikis peran negara adalah dengan

menuntut “structural adjustment programme” atau program penyesuaian strutural

kepada negara pengutang. Program tersebut terdiri dari tiga hal: liberalisasi

perdagangan, privatisasi, dan deregulasi. Banyak negara tidak bisa mengelak dari

tuntutan ini karena dalam keadaan tak berdaya, dan ini menjadi cara paling efektif

untuk mengikis peran negara sampai ke tingkat paling minimal.

WTO, sebagai institusi yang langsung berkepentingan dengan masalah

perdagangan dan investasi, mati-matian memperjuangkan agar asas perdagangan

bebas dilaksanakan oleh negara-negara anggotanya maupun oleh negara calon

anggota. WTO sangat berperan untuk membongkar dinding proteksionisme dan

melucuti semua subsidi yang diberikan oleh negara. Bagi WTO, semua aktor

ekonomi tidak boleh mendapat pertolongan dari negara, negara harus minggir.

Mereka harus bersaing di pasar bebas dunia.

Kalau desakan untuk meminggirkan negara oleh institusi multilateral masih

tidak cukup kuat, maka tugas yang sama diambil alih oleh negara Barat. Modus

desakan yang dilakukan oleh negara Barat ini adalah dengan memberikan bantuan

(utang) yang disertai dengan beberapa syarat. Misalnya, bantuan ekonomi

Amerika serikat lewat Alliance for Progress (didirikan 1961) diberikan dengan

syarat bahwa negara penerima utang akan mengadakan pembaruan di bidang

sosial dan politik. Dengan kata lain, bantuan yang diberikan mensyaratkan apa

yang disebut “political conditionality.” Artinya, harus ada perubahan politik dan

pemerintahan sebagai syarat diberikan bantuan untuk pembangunan. Ini berarti

perubahan ke arah demokratisasi dan meningkatkan hak-hak asasi manusia, dan

berarti dijalankannya “good governance.”

Page 63: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

“Good governance” berarti administrasi yang sehat, dan sekaligus juga

politik yang demokratis, plus serangkaian keutamaan yang non-ekonomis, seperti

kesamaan, keseimbangan jender, menghormati hukum, toleransi sosial, kultural,

dan individual. Tapi dibalik deskripsi ini, sebenarnya terselip teori politik kaum

neoliberal yang mengatakan bahwa politik yang demokratis serta birokrasi yang

ramping, efisien dan akuntabel, itu perlu bagi berkembangnya pasar bebas. Ahli

pembangunan yang beraliran neolib memang percaya bahwa kegagalan

pembangunan merupakan konsekuensi langsung dari pemerintah yang otoriter dan

governance yang amburadul. Semuanya itu mereka katakan berakar dari

konsentrasi kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik secara berlebihan di tangan

negara. Jadi, tuntutan akan good governance yang semula nampak sebagai

tuntutan netral, menjadi sebuah tuntutan yang bermuatan agenda neoliberal:

meminggirkan negara.74

Contoh kasus dari proses peminggiran negara di Indonesia adalah seperti

yang terjadi dalam hal pengaturan kebijakan ketahanan pangan. Lewat LoI (Letter

of Intent) Oktober 1997 dan MEFP (Memorandum of Economic and Financial

Policies) 11 September 1998, IMF menuntut diberlakukannya tariff impor beras

sebesar 0%. Ini juga berlaku bagi jagung, kedele, tepung terigu dan gula. Selain

itu LoI juga mengatur agar BULOG tidak lagi mengurus kestabilan harga pangan

dan agar melepaskannya ke mekanisme pasar. BULOG dibatasi menjadi sebatas

pedagang beras, itupun harus bersaing dengan pedagang swasta. Demikian pula

BULOG harus mengambil pinjaman dari bank komersial, tidak lagi dari dana

BLBI yang sangat ringan. Liberalisasi juga telah diberlakukan dalam hal harga

74Ibid, h. 285.

Page 64: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

pupuk dan sarana produksi padi lainnya yang tidak lagi disubsidi pemerintah,

melainkan diserahkan pada mekanisme pasar. Sementara itu subsidi petani lewat

KUT (kredit usaha tani) hanya sebesar Rp 1,8 trilyun (bandingkan dengan dana

BLBI). Dengan demikian kini petani menghadapi harga produksi yang mahal,

sementara harga jual padi hancur. Liberalisasi pertanian sebenarnya juga bagian

dari ratifikasi Indonesia atas Agreement on Agriculture (AOA) dari WTO, yang

mengatur penghapusan dan pengurangan tarif serta pengurangan subsidi.75

Sejak itu masuklah secara besar-besaran impor beras dari luar dengan harga

lebih murah dari beras hasil petani lokal. BULOG dan pihak swasta kini berlomba

untuk mendatangkan beras dari mancanegara. HKTI mencatat bahwa hingga akhir

Maret 2000, beras impor yang masuk ke Indonesia mencapai 9,8 juta ton, 6 juta

ton diantaranya sudah masuk pasar. Padahal produksi beras dalam negeri sekitar

30 juta ton, sementara kebutuhan nasional diperkirakan mencapai 32 juta ton;

sehingga sebenarnya Indonesia hanya membutuhkan impor 2 juta ton. Karena

jeritan para petani dan kritik yang berdatangan, akhirnya bea masuk impor

dinaikkan menjadi 30%, itupun semula IMF berkeberatan. Akan tetapi ternyata

hal ini tetap bukan penghalang bagi importir untuk mengimpor beras dari

Thailand, Vietnam dan Australia dengan tetap meraih untung. Harga beras impor

dari Thailand misalnya, setelah keluar dari Tanjung Priok dijual Rp 1.600/kg, dan

beras dari Australia dijual Rp 1.400/kg; dan tetap masih meraih laba sekitar Rp

600. Meskipun kemudian pemerintah menghentikan impor beras pada Maret

2000, ternyata belum dapat mengangkat harga gabah di tingkat petani. Beras

impor terus saja masuk dengan deras. Akibatnya yang parah, adalah harga padi

75

Bonnie Setiawan, “Globalisasi Dan Pengaruhnya Terhadap Ekonomi Indonesia Dan

Kritiknya,” artikel diakses pada 21 Oktober 2008 dari situs Http://Www.Icrp-

Online.Org/Wmview.Php?Artid=170&Page=20

Page 65: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

lokal terus merosot tajam, sehingga kini hanya mencapai sekitar Rp 600/kg.

Padahal harga pupuk sudah sekitar Rp 700/kg. Inilah awal dimulainya tragedi

kehancuran ketahanan pangan Indonesia, bila tidak ada langkah-langkah protektif

dengan segera. Petani pedesaan mengalami kebangkrutan dan akan menyebabkan

kerawanan ekonomi masyarakat pedesaan yang tak terkira. Dengan liberalisasi

pertanian ini, maka akan habislah petani Indonesia dilibas oleh TNC dan importir

besar.76

B. Globalisasi Sebagai Bentuk Neo-Imperialisme

Imperialisme memiliki arti “kekuasan tertinggi dan unggul”. Oxford English

Dictionary (OED) mendefinisikan “imperial” sebagai “sesuatu yang mengacu

pada kemaharajaan” dan “imperialisme” sebagai “pemerintahan seorang kaisar,

raja, terutama yang despotik dan semena-mena; perbuatan yang memajukan

kepentingan-kepentingan kemaharajaan.” Oleh Lenin dan Kautsky, dalam

bukunya Imperialism: The Highest Stage of Capitalism, makna imperialisme di

hubungkan dengan kapitalisme. Imperialisme di pandang sebagai tahap tertinggi

dari kapitalisme (imperialisme as the highest of capitalism). Hal ini terjadi ketika

modal semakin berlimpah, sementara sumber daya alam dan tenaga dalam negeri

semakin terbatas. Modal lalu dipakai untuk mencari keuntungan di luar negeri

(negeri koloni).77

Menurut Edward Said, istilah “imperialisme” diartikan dengan praktek,

teori, dan sikap dari suatu pusat metropolitan yang menguasai suatu wilayah yang

76

Ibid. 77

Gading Sianipar, "Mendefinisikan Pascakolonialisme? Pengantar Menuju Wacana

Pemikiran Pascakolonialisme," dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Hermeneutika

Pascakolonial, Soal Identitas (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 16-17.

Page 66: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

jauh; ‘kolonialisme,’ yang hampir selalu merupakan konsekuensi imperialisme,

adalah dibangunnya pemukiman-pemukiman di wilayah-wilayah yang jauh.

Sebagaimana di kemukakan oleh Michael Doyle: “imperium adalah suatu

hubungan, formal atau informal, di mana satu negara menguasai kedaulatan

politik efektif dari suatu masyarakat politik lainnya. Hal itu bisa dicapai dengan

paksa, melalui kolaborasi politik, melalui ketergantungan ekonomi, sosial, atau

budaya. Imperialisme adalah proses atau kebijaksanaan untuk menegakkan atau

mempertahankan imperium.” Di masa kita, kolonialisme langsung kebanyakan

telah berakhir; imperialisme, sebagaimana yang akan kita lihat, tetap hidup di

tempat ia hidup sebelumnya, dalam semacam lingkaran budaya umum maupun

dalam praktik-praktik politik, ideologi, ekonomi serta sosial tertentu.78

Sementara itu, dalam dunia modern, imperialisme tidak memerlukan

kekuasaan atas negara lain secara langsung. Karena itu, pengertian imperialisme

modern (neo-imperialisme) bukan pertama-tama soal pengambilalihan wilayah

dan perampasan sumber material, tetapi lebih sebagai sistem global yang

melakukan penetrasi bidang ekonomi, pengendalian pasar, serta tekanan politik

negara maju dan kaya terhadap negara-negara miskin (globalisasi), misalnya

kontrol “imperialisme Amerika” atas negara-negara di dunia dalam bidang

ekonomi, politik, dan militer di era globalisasi ini meskipun tidak mempunyai

kendali politis secara langsung.79

Globalisasi, seperti sudah dipaparkan pada Bab II, bukanlah fenomena baru

dalam sejarah peradaban manusia. Jauh sebelum munculnya nation-state,

perdagangan dan migrasi lintas benua telah berlangsung sejak kurang lebih lima

78

Nur Ahmad Soim, “Mafia Barkeley dan Neo-Kolonialisme Indonesia,” (Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007), h. 31-32. 79Ibid., h. 35.

Page 67: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

abad yang lalu. Pada masa itu perusahaan-perusahaan dari negara-negara yang

perekonomiannya sudah maju telah mulai meluaskan jangkauannya melalui

aktifitas produksi dan perdagangan. Kemudian proses globalisasi tersebut

meningkat tajam, baik dari segi intensitas maupun cakupannya, pada dekade

1980-an. Seiring dengan perkembangan tersebut, khususnya ketika dunia

memasuki abad ke-20 fenomena globalisasi dipandang sebagai gelombang masa

depan. Hal tersebut terutama sekali berkaitan dengan derasnya arus uang dan

modal internasional yang menyebar ke berbagai belahan dunia yang ditunjang

oleh massifnya pemberlakuan kebijakan liberalisasi oleh banyak negara dan

perkembangan teknologi, khususnya teknologi komunikasi.80

Meskipun demikian, sesungguhnya—seperti dikatakan Budi Winarno—

kepopuleran istilah globalisasi tidak dibarengi dengan kesadaran akan adanya

bahaya yang terkandung dalam gagasan globalisasi tersebut, yang pada

hakikatnya adalah bentuk perkembangan kapitalisme. Di masa lalu, untuk

menjamin tersedianya bahan baku dan pasar bagi barang yang diproduksi oleh

sebuah negara, kapitalisme berubah bentuk menjadi kolonialisme. Caranya adalah

dengan menaklukan negeri-negeri lain secara fisik dan menjadikan negeri-negeri

tersebut sebagai jajahan atau koloninya. Negara-negara yang lebih kuat bisa

secara paksa membeli bahan baku dengan harga yang sangat murah, selanjutnya

menjual hasil produknya dengan harga yang sangat tinggi.

Sekarang ini, cara pemaksaan seperti yang terjadi pada masa kolonialisme

tidak bisa dilakukan lagi. Ini dikarenakan cara seperti itu dianggap tidak beradab

dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang diakui sebagai hak universal.

80

Budi Winarno, Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia (Jakarta: Erlangga,

2008), h. 2.

Page 68: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Oleh karena itu, agar negara-negara yang lebih kuat masih mampu membeli bahan

baku dengan harga semurah mungkin, maka negara-negara maju merumuskan

suatu cara yang lebih canggih yaitu melalui globalisasi. Hal ini senada dengan

yang dikatakan oleh Mansour Fakih, yaitu “globalisasi adalah proses

pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan

keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah dicanangkan sejak

zaman kolonialisme.”81

Fenomena arus modal pada masa sekarang bisa menjadi representasi bahwa

sesungguhnya globalisasi adalah proyek yang diciptakan oleh negara-negara maju

dalam rangka mengkoloni negara miskin dan berkembang, dan lalu lintas finansial

dunia juga dapat mengancam negara yang berdaulat.

Dikatakan mengancam karena ruang lingkup lalu lintas finansial dunia

tersebut tidak mengenal batas-batas negara, oleh karenanya semakin sulit

dikontrol oleh pemerintah negara yang berdaulat. Ada beberapa faktor yang

melandasi argumen tersebut, di antaranya adalah pertama, kekuatan modal yang

dimiliki negara-negara maju telah melampaui kekuatan modal negara-negara

sedang berkembang, dan pada akhirnya menghancurkan fondasi ekonomi negara-

negara tersebut. Sebagai contoh, Pendapatan Nasional Indonesia (GNP) setiap

tahunnya hanya mencapai 136 miliar dolar Amerika Serikat (AS), sementara

peralihan atau perpindahan pasar keuangan dunia setiap harinya mencapai 1,5

triliun dolar AS. Kedua, kekuatan modal tersebut telah berdiri sendiri lepas dari

kontrol negara. Ini berarti bahwa negara tidak lagi mampu mengontrol kekuatan

modal tersebut, yang saat ini lebih banyak dipakai sebagai alat spekulasi di pasar

81

Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Insist

Press, 2001), h. 210.

Page 69: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

modal dan bursa dunia dibandingkan sebagai alat produksi. Ketiga, dampak yang

ditimbulkan oleh aktifitas aliran modal tersebut menyentuh sektor-sektor riil dan

perdagangan. Dalam situasi seperti ini, kaum kapitalis dapat mengeruk

keuntungan yang besar dari aktifitas spekulasi tanpa menanggung resiko atau

beban yang selama ini dipikul dunia industri dan perdagangan dalam menghadapi

red-tape birokrasi, pemogokan buruh, dan semacamnya. Bila para petualang pasar

modal ini melihat kerugian yang mungkin akan timbul, maka kaum kapitalis ini

dapat dengan mudah memindahkan modal mereka ke pasar modal di negara-

negara lainnya yang lebih menguntungkan. Keempat, kekuatan pasar secara

efektif telah mentransformasikan negara menjadi komoditi yang menarik bagi

penanaman investasi, sehingga semuanya itu meningkatkan tingkat investasi.82

Ekses negatif lainnya dari fenomena arus finansial global ini adalah ruang

gerak dan campur tangan pemerintah nasional semakin berkurang karena negara

diperlemah oleh tumbuhnya kekuatan perusahaan multinasional dan para pemilik

modal. Kekuasaan tidak lagi menjadi monopoli negara, tetapi berpindah dan

tumbuh semakin kuat pada perusahaan-perusahaan mulitinasional (MNC/TNC).

1. Intervensi Asing & Utang

Bentuk imperialisme yang dialami oleh Indonesia adalah adanya campur

tangan asing dalam proses pengambilan kebijakan negara. Intervensi asing ini

terjadi melalui berbagai cara, misalnya, dengan memberikan masukan dan ide

langsung melalui beberapa ahlinya dan LSM-LSM dalam proses pengambilan

kebijakan atau amandemen undang-undang sebuah negara, dan melalui utang.

82Budi Winarno, Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia, h. 5.

Page 70: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Cara yang pertama terjadi di Indonesia ketika berlangsungnya amandemen

UUD 1945 tahun 2002, hal ini seperti yang diakui oleh DR. Valina Singka

Subekti (anggota Panitia Ad Hoc I MPR RI 1999-2004). Ketika itu beberapa

LSM, baik dalam negeri maupun asing (seperti Cetro, Koalisi Perempuan

Indonesia, IDEA, IFES, NDI, dll), memberi masukan secara langsung dan giat

membangun wacana publik dan meramaikannya di media massa tentang

demokratisasi, hak asasi manusia, liberalisasi ekonomi, dan lain sebagainya.

Bahkan Andrew Ellis (konsultan ahli NDI) selalu hadir dalam setiap rapat Panitia

Ad Hoc I MPR dan aktif memberi masukan, buku-buku, dan makalah-makalah

terkait pentingnya amandemen UUD 1945 kepada para anggota panitia tersebut.83

Lalu mengenai masalah utang, Teresa Hayter, seperti dikutip Revrisond

Baswir, berdasarkan hasil penelitiannya yang dibiayai Bank Dunia di empat

negara Amerika Latin: Columbia, Chile, Brazil, dan Peru, secara tegas

menyimpulkan bahwa “utang luar negeri pada dasarnya bukanlah transfer

sumberdaya yang bebas persyaratan.” Menurut Hayter, hal-hal yang

dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri meliputi: (a) pembelian barang

dan jasa dari negara pemberi pinjaman; (b) peniadaan kebebasan dalam

melakukan kebijakan ekonomi tertentu, misalnya, nasionalisasi perusahaan asing;

(c) permintaan untuk melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi “yang

dikehendaki”, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur

tangan langsung pemerintah dalam bidang ekonomi.84

83

Usep Ranawijaya, dkk. Ancaman Terhadap Jatidiri Bangsa (Jakarta: Yayasan Kepada

Bangsaku, 2008), h. 83-86. 84

Revrisond Baswir, “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia,” Makalah di

sampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif

Pembangunan Ekonomi Indonesia (Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006), h. 2.

Page 71: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Selanjutnya, ketika berbicara mengenai IMF, Bank Dunia, dan USAID,

Hayter secara jelas menyatakan bahwa sudut pandang ketiga lembaga itu dalam

menetapkan syarat pemberian pinjaman cenderung seragam. Fokus kebijakan

ketiganya, terutama IMF dan Bank Dunia, senantiasa mengarah pada

pengendalian inflasi serta perintah untuk memotong investasi publik dan belanja

kesejahteraan. Menurut Hayter, faktor utama di balik kecenderungan tersebut

adalah posisi dominan Amerika Serikat pada ketiga lembaga itu. Implikasinya,

walaupun tidak dinyatakan secara terbuka, dalam memberikan pinjaman,

ketiganya tidak hanya mengevaluasi proyek yang akan mereka biayai, tetapi juga

negara yang akan menerima pinjaman tersebut.

Kesimpulan Hayter itu belakangan dipertegas oleh Hudson. Menurut

Hudson tujuan pemberian pinjaman oleh Amerika sejak 1960 memang tidak

dimaksudkan untuk membantu negara-negara penerima pinjaman, melainkan

untuk meringankan tekanan terhadap neraca pembayaran negara tersebut.

Kebijakan itu erat kaitannya dengan upaya pemerintah Amerika untuk mensubsidi

peningkatan ekspor berbagai barang dan jasa mereka ke seluruh penjuru dunia.85

Dalam rangka itu, sebagaimana diakui oleh John Perkins, Amerika tidak

hanya ingin bekerja melalui mekanisme hubungan ekonomi-politik biasa.

Amerika secara terstruktur mengembangkan sebuah profesi yang dikenal sebagai

preman ekonomi (economic of hitman), yang bernaung di bawah Badan

Keamanan Nasional (NSA) Amerika, yang secara khusus bertugas untuk

membangkrutkan negara-negara dunia ketiga.86

85

Ibid., h. 3. 86

John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man. Penerjemah Herman Tirtaatmaja dan

Dwi Karyani (Jakarta: Abdi Tandor, 2005), h. 3-32.

Page 72: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Tiga catatan penting yang perlu diangkat ke permukaan mengenai

keberadaan preman ekonomi itu adalah sebagai berikut. Pertama, preman

ekonomi bekerja di bawah Koordinasi Badan Keamanan Nasional (The National

Security Agency). Walaupun secara resmi para ekonom penjajah direkrut, dilatih,

dan bekerja di bawah koordinasi NSA, tetapi secara operasional mereka

dipekerjakan secara terselubung melalui perusahaan-perusahaan swasta Amerika.

Perkins antara lain menyebut perusahaan-perusahaan seperti Monsanto, General

Electric, Nike, General Motors, dan Wal-Mart, sebagai beberapa contoh.

Kedua, misi para preman ekonomi adalah memperoleh komitmen para

pejabat negara-negara Dunia Ketiga untuk berbelanja secara kredit ke Amerika.

Dalam menjalankan misinya, seorang preman ekonomi diperkenankan melakukan

apa pun, termasuk melakukan cara-cara ilegal. Target mereka adalah mendorong

para pejabat negara-negara Dunia Ketiga untuk berutang sebanyak-banyaknya,

sehingga negara mereka tidak mampu membayarnya. Kata-kata Perkins di bawah

ini setidaknya menggambarkan hal tersebut:

“Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek tersebut ialah

membuat laba sangat besar buat para kontraktor, dan membuat bahagia

beberapa gelintir keluarga dari negara-negara penerima utang yang sudah

kaya dan berpengaruh di negaranya masing-masing. Dengan demikian

ketergantungan keuangan negara penerima utang menjadi permanen sebagai

instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerintah

penerima utang. Maka semakin besar jumlah utang semakin baik. Kenyataan

bahwa beban utang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin

dari bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial

lainnya selama berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam

pertimbangan.”87

Ketiga, kegagalan para preman ekonomi bukanlah akhir dari upaya

pemerintah Amerika dalam mewujudkan dominasinya. Dua hal dapat terjadi

87Ibid., h. 15-16.

Page 73: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

menyusul kegagalan tersebut. Pertama, berlangsungnya operasi CIA, yaitu yang

ditandai oleh terjadinya berbagai peristiwa yang mengarah pada penggulingan

atau pembinasaan seorang pejabat negara Dunia Ketiga. Kedua, penaklukan

negara-negara Dunia Ketiga yang bersangkutan melalui operasi militer.88

Menarik untuk menyimak sejarah masuknya dominasi asing ke Indonesia

sejak era Soeharto sebagai bentuk imperialisme. Dengan naiknya Soeharto

sebagai penguasa baru di Indonesia (1966), sikap pemerintah terhadap utang luar

negeri berubah secara drastis. Hal itu tidak hanya tampak pada strategi

pembangunan yang dijalankannya, atau pada jumlah utang baru yang dibuatnya,

tetapi terutama tampak secara mencolok pada berbagai tindakan yang

dilakukannya dalam memulihkan kondisi ekonomi Indonesia.

Beberapa tindakan yang dilakukan Soeharto dalam memulihkan kondisi

ekonomi Indonesia adalah sebagai berikut: pertama, memperbaiki hubungan

dengan para kreditor, terutama negara-negara blok Barat dan lembaga-lembaga

keuangan multirateral. Tujuannya adalah untuk memperoleh utang luar negeri

baru dan meminta penjadwalan kembali pembayaran utang luar negeri yang

diwariskan Soekarno. Hasil yang diperolehnya adalah sebagai berikut.

Pertama, menyusul pertemuan negara-negara kreditor blok Barat di Tokyo

pada September 1966, yang dikenal sebagai the Paris Club, bulan Oktober 1966

Indonesia memperoleh komitmen untuk menerima pinjaman siaga sebesar 174

juta dollar AS. Selanjutnya, menyusul pertemuan serupa di Paris pada Desember

1966, Indonesia memperoleh komitmen untuk menerima tambahan pinjaman

sebesar 375 juta dollar AS.

88Ibid. 3-32.

Page 74: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Setelah itu, menyusul pertemuan kelompok Paris di Amsterdam pada

Februari 1967, yang sekaligus menandai lahirnya Inter-Govermental Group on

Indonesia (IGGI), Indonesia kembali memperoleh komitmen pinjaman siaga

sebesar 95,5 juta dollar AS. Adapun penjadwalan kembali pembayaran utang luar

negeri Indonesia, dengan negara-negara blok Barat, baru disepakati tahun 1970.

Sedangkan dengan negara-negara blok Timur disepakati tahun 1971 dan 1972.

Pendaftaran kembali keanggotaan Indonesia pada lembaga-lembaga

keuangan multirateral, berlangsung secara bertahap pada tahun 1967. Pendaftaran

kembali ke IMF berlangsung bulan Februari 1967. Pendaftaran kembali ke Bank

Dunia berlangsung bulan Mei 1967. Sedangkan pendaftaran keanggotaan ke ADB

berlangsung bersamaan dengan pendirian lembaga tersebut tahun 1968.89

Kedua, melanjutkan pelaksanaan program stabilisasi IMF serta

mengeluarkan kebijakan ekonomi yang lebih bersahabat dengan sektor swasta dan

investasi asing. Sebagaimana diketahui, sesuai dengan persyaratan utang luar

negeri yang diminta Amerika, pelaksanaan program stabilisasi IMF ini telah

berlangsung sejak 1963. tetapi menyusul terjadinya tragedi 30 September 1965,

pelaksanaan program tersebut terpaksa dihentikan. Dalam era Soeharto, dengan

dikeluarkannya paket kebijakan 3 Oktober 1966, pelaksanaan program stabilisasi

IMF itu dilanjutkan kembali.90

Sesuai dengan permintaan IMF, hal yang harus dilakukan Indonesia untuk

meningkatkan stabilitas ekonomi dalam garis besarnya meliputi: penyusunan

anggaran berimbang, pelaksanaan kebijakan uang ketat, penghapusan subsidi dan

89

I. Palmer, The Indonesia Economy Since 1965: A Case Study of Political Economy,

(London: Frank Cass, 1978), h. 28-29. 90

Frans Seda, "Mengenang Situasi Lahirnya Peraturan 3 Oktober 1966" dalam Bustomi

Hadjid Ronodirdjo dkk, ed., Presiden Soeharto Bapak Pembangunan Indonesia Evaluasi

Pembangunan Pemerintah Orde Baru, (Bandung: Harapan Bandung, 1983), h. 99.

Page 75: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

peningkatan harga komoditas layanan publik, peningkatan peranan pasar,

penyederhanaan prosedur ekspor, dan peningkatan pengumpulan pajak.

Sehubungan dengan kebijakan untuk lebih bersahabat dengan sektor swasta

dan asing, tepat bulan Januari 1967, pemerintah Soeharto menerbitkan Undang-

Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No. I/1967. UU PMA yang baru ini

lebih liberal dari pada UU yang digantikannya. Bersamaan dengan itu,

perusahaan-perusahaan swasta asing yang dinasionalisasikan Soekarno pada

1963-1965, diundang kembali untuk melanjutkan kegiatan mereka di Indonesia.91

Dengan berlangsungnya pembalikan orientasi Indonesia, yaitu dari yang

berorientasi pada peningkatan kemandirian ekonomi menuju peningkatan

ketergantungan, rasanya tidak berlebihan bila peralihan kekuasaan dari Soekarno

kepada Seoharto diwaspadai sebagai proses sistematis berlangsungnya transisi

kolonialisme di Indonesia. Artinya, setelah merdeka dari kolonialisme Belanda,

pembuatan utang luar negeri secara besar-besaran di era pemerintahan Soeharto,

patut diwaspadai sebagai proses sistematis penjerumusan Indonesia ke dalam

perangkap neoimperialisme Amerika.

2. Undang-Undang Penanaman Modal Asing

Contoh menarik lainnya untuk kasus Indonesia adalah penetapan dan

pemberlakuan kebijakan mengenai penanaman modal asing. Undang-undang atau

peraturan yang mengatur tentang hal ini terus disempurnakan dari tahun 1967

sampai dengan tahun 2007.

UU NO. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), Menurut

Jeffrey Winter, seperti dikutip Kwik Kian Gie, rancangannya dipersiapkan oleh

91Revrisond Baswir, “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia,” h. 8.

Page 76: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

kelompok David Rockeffeler, ekonomon Amerika, di Jenewa bersama-sama

dengan kelompok yang oleh David Rockeffeler dinamakan Berkeley Mafia,92

isinya masih mengakui adanya cabang-cabang produksi yang dianggap menguasai

hajat hidup orang banyak, dan oleh karenanya tidak terbuka bagi modal asing,

yaitu yang dirinci dalam pasal 6 ayat 1 sebagai berikut: (a) Pelabuhan-pelabuhan,

(b) Produksi, tranmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum, (c)

Telekomunikasi, (d) Pelayaran, (e) Penerbangan, (f) Air Minum, (g) Kereta Api

Umum, (h) Pembangkitan Tenaga Atom, dan (i) Mass Media.

Undang-undang yang merupakan produk Mafia Berkeley ini, lambat laun

selalu mengalami perubahan, ini semua dilakukan untuk menuju pada liberalisasi

total. Sehingga pada tahun berikutnya muncul Undang-undang No. 6 tahun 1968

mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang pasal 3 ayat 1 sudah

mengizinkan investor asing memasuki cabang-cabang produksi yang jelas disebut

“menguasai hajat hidup orang banyak” itu asalkan porsinya modal asing tidak

melampaui 49%. Namun ada ketentuan bahwa porsi investor Indonesia yang 51%

harus ditingkatkan menjadi 75% tidak lebih lambat dari tahun 1974.

92Mafia Berkeley adalah julukan bagi kaum ekonom liberalis, penganut paham ekonomi

neo-klasik dan kurang patriotik-nasionalistik serta pro modal asing dan mudah terdikte untuk

melakukan utang luar negeri, kelompok ini dimobilisasi belajar di Berkeley (Universitas

California, kemudian juga Pittsburg) dan universitas-universitas lain mitranya, seperti Cornell,

MIT, Harvard). The Ford Foundation dan The Rockefeller Foundation memobilisasi dan

membiayai sarjana-sarjana Indonesia untuk belajar di Amerika Serikat dan CIA juga aktif terlibat

di dalamnya. Itu semua dilakukan dalam rangka pencekokkan ilmu ekonomi liberal atau peng-

Amerika-an. Sumitro Djojohadikusumo dikatakan sebagai pimpinan The Berkeley Mafia, dengan

pengikut-pengikut utamanya antara lain Widjojo Nitisastro, Emil Salim, M. Sadli, Subroto,

Sudjatmoko, Barli Halim, Rachmat Saleh, dan Radius Prawiro. Kita tahu pada masa Orde Baru

tokoh-tokoh Mafia Berkeley ini mengalami kejayaannya dengan memegang tempat-tempat strategis di pemerintahan presiden Soeharto. Pada masa saat ini pun mereka masih tetap

memegang kendali di pemerintahan khususnya bidang perekonomian, sebut saja Sri Mulyani dan

Boediono, lihat Sri Edi Swasono, “Berkeley Mafia VS Pemikiran Hatta”, Makalah disampaikan

dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembanguna Ekonomi

Indonesia (Koalisi Anti Utang, Hotel Mulia Jakarta, 5 Juni 2006). h. 1, dan David Ransom, Mafia

Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia (Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006), hal. 11.

Page 77: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Pada tahun 1994 terbit peraturan pemerintahan nomor 20 yang pasal 5 ayat

1-nya berisi izin dibolehkannya perusahaan asing melakukan kegiatan usaha yang

tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak yaitu

pelabuhan, produksi dan transmisi, serta distribusi tenaga listrik umum,

telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum,

pembangkitan tenaga atom dan mass media.

Pasal 6 ayat 1 mengatakan: “Saham peserta Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya 5% (lima perseratus)

dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian.”

PP N0. 20/1994 menentukan bahwa batas antara boleh oleh asing atau tidak,

adalah kepemilikan oleh pihak Indonesia dengan 5%. Tidak ada lagi pembatasan

waktu tentang dikuranginya porsi modal asing.93

Klimaks dari agenda liberalisasi total adalah pada tahun 2007 dengan

disahkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU-PMA). Salah satu

pasal yang membuat kita prihatin di Undang-Undang tersebut adalah pasal 8 ayat

3 yang mengatakan “penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan

repatriasi (pemulangan dana) dalam valuta asing secara bebas,” yang dalam

perinciannya praktis tidak ada yang tidak boleh ditransfer kembali ke negara

asalnya. Di dalamnya juga diatur bahwa Hak atas tanah menjadi 95 tahun untuk

Hak Guna Usaha, 80 tahun untuk Hak Guna Bangunan dan 70 tahun untuk Hak

93

Kwik Kian Gie, “50 Tahun Berkeley Mafia; Antara Kenyataan dan Fiksi,” Makalah di

sampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif

Pembangunan Ekonomi Indonesia (Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006), h. 6-7.

Page 78: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Pakai. Pengaturan semacam ini sangat sulit ditemukan dalam Undang-Undang

investasi di negara manapun.94

Misalnya, Amerika Serikat, sebagai pusat dari indoktrinasi paham seperti

yang dikemukakan di atas, menerapkan proteksi untuk melindungi warga

negaranya sendiri. Tidak saja defensif dengan menutup pintu masuk negaranya

dalam bidang apa saja dan dengan tarif setinggi berapa saja, jika dirasa perlu.

Tetapi bila perlu melakukan agresi. Irak dihancurleburkan dengan dalih

mempunyai senjata pemusnah massal yang akan dipakai untuk memusnahkan

umat manusia. Tidak kurang dari Tim Ahli PBB yang diketuai oleh Hans Blik,

yang sebelum invasi AS ke Irak menyatakan, bahwa di Irak tidak ada senjata

pemusnah massal.

Toh, Irak diserbu, Presiden Saddam Husein dihukum gantung, semua

peninggalan sejarah yang begitu penting untuk peradaban umat manusia

dimusnahkan, manusia dengan jumlah sangat besar terbunuh, dan yang sangat

penting, bagaimana nasib minyak yang bersumber di bawah tanah bumi Irak

sangatlah tidak jelas. Masalah minyak inilah yang sesungguhnya menjadi target

utama dari invasi AS.

Kalau karena minyak Irak dan Presiden Saddam Husein dihancurkan dan

diporak-porandakan, itu disebabkan karena pendirian Saddam yang demikian kuat

dalam mempertahankan kemandiriannya.

Lain halnya dengan bangsa kita. Sudah sejak lama sampai sekarang, 92%

dari minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan minyak asing.

Tambang kita dikeduk oleh pemodal asing, dan hasil yang milik mereka itu dicatat

94

Kwik Kian Gie, “Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak 1967,” dalam Amin Aryoso dkk.,

UUD 2002 Hasil Amandemen UUD ’45 Menghancurkan Bangsa Secara Ideologi, Politik,

Ekonomi, dan Kebudayaan (Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, 2008), h. 71.

Page 79: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

oleh Biro Pusat Statistik sebagai Produk Domestik Bruto Indonesia. Bangsa

Indonesia kebagian royalti dan pajak yang relatif sangat kecil. Hasil tambang dan

mineral sangat mahal yang milik pemodal asing itu ketika diekspor dicatat oleh

Biro Pusat Statistik sebagai Eskpor Indonesia yang meningkat.95

Bung Karno dalam tulisannya “Mentjapai Indonesia Merdeka” menyatakan

“Sejak adanya opendeur-politiek di dalam tahun 1905, maka modal yang boleh

masuk ke Indonesia dan mencari rezeki di Indonesia bukanlah lagi modal Belanda

saja, tetapi juga modal Inggris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga

modal Jerman, juga modal Perancis, juga modal Italia, juga modal lain-lain,

sehingga imperialisme di Indonesia kini adalah imperialisme yang internasional

karenya. Raksasa "biasa" yang dulu berjengkelitan di atas pada kerezekian

Indonesia, kini sudah menjadi raksasa Rahwana Dasamuka yang bermulut

sepuluh.”96

Dari tulisan Bung Karno ini, jelas bahwa dia juga mengartikan penanaman

modal asing sama dengan imperialisme. Oleh karena itu, sesuai dengan

pernyataan Bung Karno di atas, bahwa Undang-undang yang akan mengundang

masuk modal asing dari segala sudut dunia tidak bisa diartikan lain kecuali

memperkuat kedudukan imperialisme internasional yang sudah bercokol di negeri

kita ini.

95

Ibid., h. 73. 96

M.H. Lukman., “Penanaman Modal Asing Berarti Memperkuat Kedudukan Imperialisme

di Negeri Kita,” artikel diakses pada 10 Januari 2009 dari www.geocities.com/edicahy/anti-

imperialisme/MH-Lukman.pdf

Page 80: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

D. Masa Depan Eksistensi Kedaulatan Negara

Melihat fenomena bahwa proses globalisasi di satu sisi menguntungkan dan

merugikan di sisi lain, tak salah jika mengatakan bahwa Globalisasi berwatak

ambigu. Bagian Dunia yang makmur dan mampu melakukan integrasi atas

struktur pasar dunia menjadi aktor yang sedang merayakan perkembangan itu.

Namun, bagi sebagian negara lainnya, termasuk kita di sini, globalisasi seperti

meletakkan masyarakat pada labirin yang gelap dan berliku. Alih-alih menjadi

pemain dan aktor kuat, sebagai penonton pun mungkin kita tak punya cukup

modal.

Negara-negara industri utama yang tergabung dalam grup delapan (G-8),

merupakan negara-negara yang mengalami keuntungan karena didukung oleh

aktor-aktor ekonomi yang mereka miliki. Sementara ketiadaan aktor ekonomi di

negara miskin dan berkembang membuat mereka menjadi negara yang mengalami

kerugian, karena ketiadaan aktor ekonomi, dan posisinya yang menjadi subordinat

dari kepentingan global.

Sistem global diatur oleh logika kompetisi pasar, dan kebijakan publik

paling baik adalah jika berada pada tingkat sekunder, karena tidak ada badan-

badan pemerintah yang dapat menandingi besarnya kekuatan pasar dunia.

Pandangan ini menganggap pemerintah nasional sebagai kotapraja dari sistem

global: perekonomiannya tidak lagi ‘nasional’ dalam arti apapun dan hanya efektif

sebagai pemerintah jika menerima peranannya yang sekedar menyediakan

pelayanan publik secara lokal yang diperluas oleh perekonomian global.97

97

Paul Hirst & Grahame Thompson, Globalisasi Adalah Mitos. Penerjemah P. Soemitro

(Jakarta: YOI, 2001), h. 275.

Page 81: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Meskipun kedaualatan negara mengalami penyusutan, tidak berarti

keberadaan negara dan kedaulatannya tidak menjadi penting. Mekanisme dan arus

globalisasi tetap menganggap penting peran negara. Mekanisme tersebut tidak

akan berjalan tanpa adanya negara. Negara merupakan poros dari setiap aturan,

mekanisme, dan regulasi globalisasi. Karena negara memiliki peran sebagai

sumber legitimasi di dalam menyerahkan kekuasaan atau menyetujui kekuasaan

baru baik ‘di atasnya’ maupun ‘di bawahnya’: di atas, melalui persetujuan antara

negara-negara untuk mendirikan—dan berada di situ dalam bentuk—

pemerintahan/institusi internasional (seperti IMF dan World Bank); di bawah,

melalui penataan secara konstitusional oleh negara itu di dalam teritorial

hubungan kekuasaan dan kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan

lokalnya sendiri dan juga pengaturan terhadap swasta terhadap yang diakui secara

publik di dalam masyarakat sipil.98

Kemudian, negara dengan posisinya yang demikian, tidak serta merta

mengamini atau mengimplementasikan seluruh kepentingan global (Amerika).

Banyak negara, maju atau dunia ketiga, yang menerapkan kebijakan-kebijakan

yang bersebrangan dengan tuntutan global. Misalnya, China, Cuba, Venezuela,

Bolivia, dll, termasuk Indonesia. Hal demikian dapat terjadi karena negara

merupakan institusi yang harus mementingkan kepentingan warganegaranya,

karena berkat kehendak merekalah negara terbentuk, dan negara juga harus

menjalankan aturan-aturan kebijakan yang tercantum dalam konstitusinya.

Indonesia misalnya, dalam fenomena kontemporer, Indonesia tidak serta

merta menyesuaikan kebijakannya dengan kepentingan global. Dalam bidang

98Ibid., h. 292.

Page 82: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

ekonomi Indonesia tetap memberlakukan pasal 33 UUD 1945, melunasi utangnya

dengan IMF,99 dan kemudian membubarkan forum CGI.100 Dalam bidang politik,

Indonesia mendesak agar AS dan sekutunya menarik pasukan dari Irak,101

memilih abstain dalam sidang DK PBB yang membahas tentang sanksi bagi

Iran.102

Jadi, jika selama negara-negara memiliki kemandirian dalam mengambil

sikap yang “menentang” kepentingan global untuk kepentingan dirinya, maka

tidak selamanya globalisasi menjadi ancaman bagi kedaulatan negara.

99Pelunasan utang Indonesia kepada IMF dilakukan pada tanggal 5 Oktober 2006. Lihat

dalam “IMF Sambut Baik Pelunasan Seluruh Utang Indonesia,” berita diakses pada 30 Desember

2008 dari http://www.detikfinance.com/read/2006/10/06/091514/690304/4/imf-sambut-baik-

pelunasan-seluruh-utang-indonesia 100

Forum CGI dibubarkan pada tanggal 25 Januari 2007. Lihat dalam “Pembubaran CGI

Murni Keputusan Pemerintah Indonesia,” berita diakses pada 30 Desember 2008 dari

http://www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=306&Itemid=50 101

Usulan penarikan pasukan AS di Irak disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang

Yidhoyono ketika Presiden Amerika George W. Bush berkunjung ke Indonesia pada tanggal 6

Desember 2006. Lihat Muhammad Takdir, “Indonesia Mencari Solusi di Irak,” artikel diakses

pada 30 Desember 2008 dari http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/indonesia-mencari-solusi-

102Indonesia abstain dalam voting tentang penambahan sanksi bagi Iran di DK PBB pada

tanggal 4 Maret 2008. Lihat dalam “Indonesia Abstain dalam Voting Sanksi Tambahan untuk

Iran,” berita diakses pada 30 Desember 2008 dari

http://www.kompas.com/read/xml/2008/03/04/05365735/indonesia.abstain.dalam.voting.sanksi.ta

mbahan.untuk.iran

Page 83: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah disampaikan pada bab-bab terdahulu, terdapat poin

penting yang penulis rasa patut diungkapkan di sini sebagai suatu kesimpulan

terkait dengan eksistensi kedaulatan negara di tengah hegemoni globalisasi, yaitu:

Globalisasi secara bahasa berarti pengglobalan seluruh aspek kehidupan.

Globalisasi identik dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan

antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi,

perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-

batas suatu negara menjadi bias. Sedangkan secara teori globalisasi diartikan

sebagai hasil akhir sebuah proses, yakni globalisasi tidak lain ialah kapitalisme

dalam bentuknya yang paling mutakhir.

Globalisasi ditandai dengan usaha menuju homogenitas (keseragaman)

seluruh aspek kehidupan, baik budaya, ekonomi, maupun politik oleh Barat,

terutama Amerika. Dalam perspektif budaya, homogenisasi dunia terjadi melalui

berbagai sarana, khususnya media komunikasi dan informasi. Dalam bidang

ekonomi dan politik, penyeragaman dilakukan dengan dikampanyekannya

demokrasi dan paham ekonomi neoliberalisme dan perdagangan bebas yang

dilakukan oleh negara-negara maju dengan dukungan lembaga-lembaga

internasional, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO. Dari sudut pandang ini jelas

terlihat bahwa negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan

ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu

Page 84: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

bersaing.

Karena sifatnya yang global, maka globalisasi menjadi ancaman bagi

kedaulatan negara. Globalisasi telah menciptakan berbagai kebijakan dan

kepentingan yang sifatnya global, intrastate atau bahkan suprastate. Banyak

masalah yang tidak lagi bisa diatasi sendiri oleh sebuah negara secara unilateral

sehingga kerjasama internasional yang sifatnya multilateralisme menjadi pilihan

suatu negara. Begitu banyak kepentingan-kepentingan yang tidak lagi bisa

dipenuhi kecuali melalui peran kekuatan global atau melibatkan unsur suprastate.

Pada titik ini, kedaulatan sebuah negara terancam karena setiap negara—

terutama negara dunia ketiga—didesak untuk menerapkan kepentingan global

dalam setiap kebijakannya. Kepentingan global tersebut tak lain adalah

kepentingan negara-negara maju (terutama Amerika Serikat). Misalnya,

penerapan ideologi neoliberalisme dan pasar bebas dalam bidang ekonomi dan

demokrasi dalam bidang politik.

Namun, keterancaman kedaulatan negara tidak berarti menghilangkan

sepenuhnya eksistensi negara dan kedaulatannya. Bagaimanapun kuatnya desakan

kepentingan global, negara merupakan porosnya. Artinya, kepentingan global

tersebut diterapkan melalui peran negara sebagai institusi yang berdaulat atas

wilayah dan penduduknya. Negara melakukan hal ini dengan cara yang tidak

dapat dilakukan oleh badan-badan lain: negaralah poros antara badan-badan

internasional dan kegiatan sub-nasional, karena memberikan legitimasi sebagai

suara eksklusif dari penduduk yang terikat secara teritorial.

Saat ini kedaualatan negara mengalami pemaknaan baru, kedaualatan tidak

lagi berarti berkuasa atau berwenang atas semuanya di dalam teritorialnya, tetapi

Page 85: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

sekedar mengawasi perbatasan suatu teritorial dan, sesuai dengan tingkat

kedemokrasiannya, mereka merupakan wakil warga negara di perbatasan itu.

Meskipun demikian, negara masih tetap menampilkan wajah yang mandiri

dari desakan kepentingan global, karena negara sebagai institusi yang mewaikili

warganegaranya dan menjalankan amanat konstitusinya. Misalnya, seperti yang

dilakukan oleh Indonesia dengan melunasi utang terhadap IMF, mendesak AS dan

sekutunya untuk menarik pasukan dari Irak, dan mendukung program nuklir Iran

untuk kepentingan damai.

B. Saran

Melihat fenomena hegemoni globalisasi yang amat merugikan bagi negara

Dunia Ketiga, penulis merasa perlu untuk memberikan beberapa saran yang

konstruktif, dengan harapan: (1) ke depan negara-negara Dunia Ketiga, seperti

Indonesia, tidak hanya menjadi korban dari globalisasi dan (2) terciptanya tatanan

dunia yang lebih adil.

Bagaimanapun, globalisasi—meskipun menghasilkan ketimpangan—adalah

proses yang sedang berlangsung. Oleh karenanya, pertama, negara-negara Dunia

Ketiga harus berusaha keras mencari cara menciptakan sistem ekonomi nasional

yang kuat dengan memberikan perlindungan kepada industri-industri dalam negeri

agar mampu bersaing secara sehat dikemudian hari.

Kedua, sistem ekonomi nasional yang dimaksud tentunya adalah sistem

ekonomi yang mandiri, sesuai dengan semangat kedaulatan negara. Negara harus

berani menolak bentuk kerjasama ekonomi yang tidak adil dan eksploitatif.

Page 86: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Misalnya, bentuk kerjasama pengelolaan sumber daya alam dengan perusahaan-

perusahaan internasional.

Ketiga, semua elemen di dunia ini harus senantiasa memperjuangkan suatu

tatanan yang lebih adil bagi negara-negara di dunia dan masyarakat umum.

Karena bagaimanapun juga suatu kebijakan nasional tidak akan pernah efektif

tanpa perubahan tatanan dunia seperti saat ini. Karena, segala rekomendasi

kebijakan yang dijalankan akan mempunyai hasil yang kurang memuaskan jika

situasi global yang menyisakan ketimpangan dan dominasi modal negara-negara

maju teru berlanjut.

Keempat, atau yang terakhir, dan sekaligus yang amat penting adalah

membangkitkan kembali rasa nasionalisme setiap negara di dunia. Nasionalisme

merupakan benteng terpenting sebuah negara dari gempuran globalisasi. Dalam

berbagai perspektif, baik ekonomi, politik, maupun budaya, revitalisasi

nasionalisme menjadi jawaban bagi melemahnya kedaulatan negara di tengah

hegemoni globalisasi seperti saat ini.

Page 87: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arief. Pembangunan dalam Krisis: Teori Pembangunan

Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Baswir, Revrisond. “Menelanjangi Globalisasi.” Pengantar dalam James Petras dan Henry Veltmeyer. Imperialisme Abad 21.

Penerjemah Agung Prihantono. Yogyakarta: Kreasi Wacana,

2002

______________. “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme

Indonesia.” Makalah di sampaikan dalam Seminar Nasional

50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif

Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Koalisi Anti

Utang, 2006.

Budiyanto. Dasar-dasar Ilmu Tatanegara. Jakarta: Erlangga, 2003.

Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, cet.xxv.

Jakarta:Gramedia, 2003.

“Bangsa Indonesia Menyambut Globalisasi.” Artikel diakses pada

11 Semptember 2008 dari situs

http://hildaku.blog.com/568343/

Fakih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.

Yogyakarta: Insist Press, 2002.

Gie, Kwik Kian. “50 Tahun Berkeley Mafia; Antara Kenyataan

dan Fiksi.” Makalah di sampaikan dalam Seminar Nasional 50

Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan

Ekonomi Indonesia. Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006.

______________. “Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak 1967.”

Dalam Amin Aryoso dkk. UUD 2002 Hasil Amandemen UUD

’45 Menghancurkan Bangsa Secara Ideologi, Politik,

Ekonomi, dan Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Kepada

Bangsaku, 2008.

Gunawan, Adi. Kamus Praktis Ilmiah Populer. Surabaya: Kartika, 2001.

“Globalisasi.” Artikel diakses pada 08 Agustus 2008 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi.html

Page 88: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Hawkins, Joycem. Kamus Dwi Bahasa Oxpord-Erlangga. Jakarta:

Erlangga, 1996.

Herzt, Noreena. Perampok Negara Kuasa Kapitalisme Global dan

Matinya Demokrasi. Penerjemah M. Mustafied. Yogyakarta:

Alenia, 2005.

Hirst, Paul dan Grahame Thompson. Globalisasi Adalah Mitos.

Penerjemah P. Soemitro. Jakarta: YOI, 2001.

Imam, Robert H. “Neoliberalisme, Era Baru, dan Peradaban Pasar.”

Dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme.

Yogyakarta: Cinderalas, 2003.

Istijar, M. “Globalisasi; Antara Impian dan Kenyataan.” Modul

Pelatihan Dasar Anti Globalisasi LS-ADI. Ciputat: LS-ADI

Press, 2003.

______________. “Globalisasi Anak Kandung Kapitalisme,” Modul

Pelatihan Dasar Anti Globalisasi LS-ADI. Ciputat: LS-ADI

Press, 2003

Januarsa, Pravendi. “Globalisasi dalam Tinjauan Kritis Soekarno.”

Artikel diakses pada 08 Agustus 2008 dari http://www.pdiperjuangan-

jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=135

Kusnardi, Moh. dan Bintan Saragih. Ilmu Negara, cet.III. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Lukman, M.H. “Penanaman Modal Asing Berarti Memperkuat

Kedudukan Imperialisme di Negeri Kita.” Artikel diakses pada

10 Januari 2009 dari www.geocities.com/edicahy/anti-

imperialisme/MH-Lukman.pdf

“Menteri Agama Kritik Globalisasi Barat.” Kompas, 6 Mei 2003.

Marbun, B. N. Kamus Politik. Jakarta: Sinat Harapan, 2007.

“Pengertian Globalisasi.” Artikel diakses pada 21 Oktober 2008 dari

http://fransis.wordpress.com/2008/02/17/pengertian-

globalisasi.html

Perkins, John. Confessions of an Economic Hit Man. Penerjemah

Herman Tirtaatmaja dan Dwi Karyani. Jakarta: Abdi

Tandor, 2005.

Page 89: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Palmer, I. The Indonesia Economy Since 1965: A Case Study of

Political Economy. London: Frank Cass, 1978.

Pramahendra, Riza. “Tata Kelola Globalisasi dan Dampaknya Pekerjaan Rumah untuk Indonesia.” Dalam Sugeng Bahagijo,

ed. Globalisasi Menghempas Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006.

Prasetiantono, A. Tony. “IMF (International Monetary Fund).” Dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed. Neoliberalisme.

Yogyakarta: Cinderalas, 2003.

Priyono, B. Herry. “Dalam Pusaran Neoliberalisme.” Dalam I.

Wobowo & Prancis Wahono, ed. Neoliberalisme. Yogyakarta:

Cindelaras, 2003.

Ransom, David. Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di

Indonesia. Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006.

Rahmani, Muhajir Arif. “Arti Penting Kedaulatan Negara.” Artikel

diakses pada tanggal 11 September 2008 dari situs

http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3763_0_3_0_M

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern.

Penerjemah Alimandan. Jakarta: Kencana, 2003.

Ranawijaya, Usep dkk. Ancaman Terhadap Jatidiri Bangsa. Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, 2008.

Seda, Frans. "Mengenang Situasi Lahirnya Peraturan 3 Oktober

1966." Dalam Bustomi Hadjid Ronodirdjo dkk, ed. Presiden

Soeharto Bapak Pembangunan Indonesia Evaluasi

Pembangunan Pemerintah Orde Baru. Bandung: Harapan

Bandung, 1983.

Suseno, Franz Magnis. Dalam Bayang-bayang Lenin. Jakarta:

Gramedia, 2005.

Stiglitz, Joseph E. Dekade Keserakahan. Penerjemah Aan Suhaeni.

Tangerang: Marjin Kiri, 2005.

Soehino. Ilmu Negara, cet. II. Yogyakarta: Liberty, 1981.

Setiawan, Bonnie. “Antara Doha dan Cancun: Cengkeraman

Neoliberalisme pada Tubuh WTO.” Dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinderalas, 2003

______________. “Globalisasi Dan Pengaruhnya Terhadap

Ekonomi Indonesia Dan Kritiknya.” Artikel diakses pada 21

Page 90: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA

Oktober 2008 dari situs Http://Www.Icrp-

Online.Org/Wmview.Php?Artid=170&Page=20

Soim, Nur Ahmad. “Mafia Barkeley dan Neo-Kolonialisme Indonesia.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,

Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007.

Sianipar, Gading. "Mendefinisikan Pascakolonialisme? Pengantar Menuju Wacana Pemikiran Pascakolonialisme." Dalam Mudji

Sutrisno dan Hendar Putranto. Hermeneutika Pascakolonial,

Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia, 2001.

Swasono, Sri Edi. “Berkeley Mafia VS Pemikiran Hatta.” Makalah

disampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley

VS Gagasan Alternatif Pembanguna Ekonomi Indonesia.

Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006.

Tilaar, H. A. R. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era

Globalisasi. Jakarta: Grasindo, 1997.

Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan

Masyarakat Madani. Jakarta: UIN, 2004.

UUD ’45 Amandemen I, II, III, IV. Jakarta: Bintang Indonesia, 2004.

Warganegara, Arizka. “Globalisasi dan Islam Politik.” Artikel diakses pada 11 September 2008 dari http://arizka-

giddens.blogspot.com/2008/09/globalisasi-dan-islam-politik-

sebuah.html.

Wibowo, I. “Emoh Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti-

Negara.” Dalam I. Wibowo & Francis Wahono, ed.

Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinderalas, 2003.

Winarno, Budi. Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia.

Jakarta: Erlangga, 2008.

Page 91: PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA