pengalaman belajar lapangan acute on chronic …
TRANSCRIPT
PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN
ACUTE ON CHRONIC KIDNEY DISEASE
Oleh:
Pande Putu Agung Willa Kesawa Putra (1902611061)
Pembimbing:
dr. I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan, M.Biomed, Sp. PD
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN/ SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT PUSAT SANGLAH DENPASAR
2019
PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN
ACUTE ON CHRONIC KIDNEY DISEASE
Oleh:
Pande Putu Agung Willa Kesawa Putra (1902611061)
Pembimbing:
dr. I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan, M.Biomed, Sp. PD
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN/ SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT PUSAT SANGLAH DENPASAR
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas karunia-Nya, Responsi yang berjudul “Acute On Chronic Kidney Disease” ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Pengalaman Belajar Lapangan ini disusun
dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam penyusunan Pengalaman Belajar Lapangan ini, penulis banyak
memperoleh bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.
Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
2. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan sekaligus
Pembimbing kami di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar,
3. dr. I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan, M.Biomed, Sp.PD selaku
pembimbing.
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan
ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan.
Denpasar, 23 Oktober 2019
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1 Definisi CKD ............................................................................................4
2.2 Klasifikasi CKD........................................................................................4
2.3 Epidemiologi CKD ...................................................................................6
2.4 Faktor Risiko CKD ...................................................................................7
2.5 Patofisiologi CKD ..................................................................................11
2.6 Manifestasi Klinis CKD .........................................................................12
2.7 Diagnosis ................................................................................................13
2.8 Penatalaksanaan CKD ............................................................................17
2.9 Prognosis CKD .......................................................................................25
BAB III LAPORAN KASUS.................................................................................27
BAB IV KUNJUNGAN LAPANGAN..................................................................36
BAB V SIMPULAN ..............................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................49
LAMPIRAN FOTO KEGIATAN ..........................................................................51
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan
proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. 1,3 The
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney
Foundation (NKF) mendefinisikan Chronic Kidney Disease sebagai kerusakan
ginjal secara struktural atau fungsional yang berlangsung dalam waktu > 3 bulan,
atau tingkat penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60 mL/min/1.73
m2dalam waktu ≥3 bulan yang dengan atau tanpa kerusakan struktur ginjal.2
Chronic Kidney Disease dipengaruhi oleh banyak faktor resiko dengan
patofisiologi yang masih belum dimengerti secara sempurna. Chronic Kidney
Disease merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kardiovaskular
(CVD). Semua tahapan CKD dikaitkan dengan peningkatan risiko morbiditas
kardiovaskular, mortalitas dini, dan / atau penurunan kualitas hidup. Kebanyakan
penderita CKD tidak sampai pada tahap kegagalan ginjal, namun penderita akan
meninggal terlebih dahulu karena komplikasi dari penyakit kardiovaskular.1,3
Prevalensi CKD di negara maju mencapai 11-13% dari populasi. Di negara
barat CKD telah menjadi suatu permasalahan dengan angka peningkatan kasus
dialisis pertahun 6-8%. Dari suatu Systematic Review and Meta-Analysis yang
dilakukan oleh Oxford Univeristy didapatkan prevalensi CKD stadium 1 - 5 adalah
13,4% dan 10,6% stadium 3 – 5.3 Di Indonesia sendiri jumlah penderita baru CKD
semakin meningkat setiap tahunya. Menurut IRR, pada tahun 2014 tercatat
penderita baru CKD sebanyak 17.193 dan khususnya untuk daerah Bali sebanyak
1.258 pasien.4
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh berbagai etiologi yang mendasari,
yang menyebabkan kerusakan massa ginjal dengan sklerosis yang menetap dan
hilangnya nefron akan mengarah ke penurunan progresifitas Laju Filtrasi
Glomerulus. Dalam menghadapi cedera, ginjal memiliki kemampuan untuk
mempertahankan Laju Filtrasi Glomerulus. Meskipun kerusakan nefron terjadi
1
2
secara progresif, Laju Filtrasi Glomerulus dipertahankan dengan hiperfiltrasi dan
kompensasi hipertrofi nefron sehat yang masih tersisa. Kandungan toksin dalam
plasma seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan yang signifikan
hanya setelah total Laju Filtrasi Glomerulus menurun hingga 50%, dimana ginjal
sudah tidak mampu mengkompensasi lagi.5
Pada CKD, fungsi ekskresi dan sekresi ginjal menurun dan mengakibatkan
berbagai gejala secara sistemik. Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik stadium
1-3 umumnya bersifat asimtomatik, sedangkan manifestasi klinis biasanya muncul
pada stadium 4-5. Manifestasi klinis yang timbul pada CKD dapat sesuai dengan
penyakit yang mendasari, karena adanya sindrom uremia, maupun gejala dari
komplikasi yang ditimbulkan.1
Modifikasi factor resiko CKD dilakukan pada hipertensi, obesitas, sindroma
metabolik, hiperkolesterolemia, anemia, dan rokok. Menurut KDIGO, CKD dengan
tanda-tanda kegagalan ginjal (serositis, gangguan keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, pruritus), kegagalan pengontrolan volume dan tekanan darah, gangguan
status gizi yang refrakter, dan gangguan kognitif membutuhkan terapi hemodialisis.
Pada penderita yang sudah mencapai CKD stadium 4 juga harus dimulai terapi
hemodialisis.2
Hemodialisis adalah proses pertukaran zat terlarut dan produk sisa tubuh.
Zat sisa yang menumpuk pada pasien CKD ditarik dengan mekanisme difusi pasif
membran semipermiabel. Perpindahan produk sisa metabolik berlangsung
mengikuti penurunan gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dalam dialisa. Dengan
metode tersebut diharapkan pengeluaran albumin yang terjadi pada pasien CKD
dapat diturunkan, gejala uremia berkurang, sehingga gambaran klinis pasien juga
dapat membaik.2
Penting untuk melakukan diagnosis dini, modifikasi pola hidup, dan
pengobatan penyakit yang mendasari. Penanganan CKD memerlukan kerjasama
tim medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan. Edukasi terhadap pasien dan
keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan sangat
membantu memperbaiki hasil pengobatan. Meskipun CKD merupakan penyakit
3
yang ireversibel, akan tetapi dengan penangan yang baik dapat mengurangi gejala
yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah
suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal
ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal tetap, dapat berupa dialisis atau transplantasi ginjal.1 Kerusakan ginjal
mengacu pada berbagai macam kelainan yang ditemukan selama pemeriksaan,
yang bisa saja bersifat non-spesifik terhadap penyakit penyebabnya tetapi dapat
mengarah pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi ekskresi, endokrin, dan metabolik
menurun secara bersamaan pada hampir semua kasus CKD. Adapun yang termasuk
kriteria CKD menurut KDIGO 2012 adalah sebagai berikut2:
1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungional yang
dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium (albuminuria (AER ≥ 30
mg/24jam; ACR ≥ 30 mg/g [≥3 mg/mmol]), abnormalitas sedimen urin,
gangguan elektrolit atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus,
kelainan pada pemeriksaan histologi, kelainan struktural yang terdeteksi
melalui pemeriksaan radiologi, atau riwayat transplantasi ginjal.2
2. Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60 ml/menit/1,73 m2) dalam
waktu lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa kelainan struktural ginjal.2
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat penyakit
dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas
dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-Gault sebagai
berikut:
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x berat badan (kg)
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
4
5
Pada perempuan, rumus tersebut dikalikan 0,85. Rumus Kockroft-Gault tidak
berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di atas 80 tahun, berat badan di bawah
40 kg atau di atas 100 kg, wanita hamil, pasien penderita Acute Kidney Injury
(AKI), kerusakan otot yang luas (crush syndrome, tetraparesis), atau ada anggota
tubuh yang tidak lengkap (amputasi).1 National Kidney Foundation
merekomendasikan menggunakan CKD-EPI dan MDRD yang terdiri atas beberapa
item yang harus diisi yaitu umur, jenis kelamin, ras dan serum kreatinin kemudian
akan dikalkulasikan sehingga didapatkan eGFR. 10
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dapat dilihat di tabel berikut:2
Tabel 1. Derajat Penyakit Berdasarkan LFG Dan Albumin
Kategori GFR
(ml/min/1.73m2)
Kategori Albumin Persistent
A1 A2 A3
Peningkatan
Normal hingga
sedang
Peningkatan
sedang
Peningkatan
berat
< 30 mg/g
<3mg/mmol
30-300mg/g
3-30mg/mmol
>300mg/g
>30mg/mmol
G1 Normal atau
high
>90
G2 Penurunan
ringan
60-89
G3a Penurunan
ringan samai
sedang
45-59
G3b Penurunan
sedang sampai
berat
30-44
G4 Penurunan
berat
16-29
G5 Gagal ginjal <15
6
Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dilihat di tabel berikut:1
Tabel 2. Klasifikasi Atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi sistemik,
obat, neoplasia)
Penyakit vaskular
(penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin
/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant gromerulopathy
2.3 Epidemiologi
Chronic Kidney Diseasemerupakan penyakit yang sering dijumpai pada
praktek klinik sehari-hari. Prevalensinya di negara maju mencapai 10-13% dari
populasi. Di Australia pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 1.7 juta pasien yang
menderita Chronic Kidney Disease, atau 1 dari 10 orang di Australia mengalami
Chronic Kidney Disease.7 Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per tahun.1
7
Di Indonesia, populasi yang terdiagnosis CKD sebesar 0,2% yang lebih
rendah dari prevalensi CKD di negara-negara lain. Menurut data Indonesian Renal
Registry (IRR) tahun 2017 proporsi diagnosa utama pasien yang menjalani
hemodialisis adalah penyakit ginjal kronik (27637; 90%), gagal ginjal akut pada
gagal ginjal kronik (593; 2%) dan gagal ginjal akut (2375; 8%) .4
2.4 Faktor Resiko
Menurut data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2017, hipertensi
muncul sebagai penyebab tertinggi. Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya
nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal,
dan penyebab yang tidak diketahui. 4
Tabel 3. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia Tahun
2017 4
Penyebab Jumlah
Penyakit ginjal hipertensi 36%
Nefropati diabetika
29%
Glomerulopati primer
12%
Pielonefritis kronis
7%
Nefropati urat
1%
Penyakit ginjal pilikistik
1%
Tidak diketahui
1%
Sebab lain
8%
2.4.1 Glomerulonefritis
Seluruh bentuk dari penyakit glomerulonephritis akut dapat menjadi
progresif dan menyebabkan perubahan menjadi glomerulonephritis kronik. Kondisi
ini dikarakteristikan sebagai ireversibilitas dan progresifitas glomerulus dan
fibrosis dari tubulointerstitial, yang menyebabkan terjadinya penurunan pada laju
8
filtrasi glomerulus (LFG) dan retensi terhadap racun uremia. Bila progresifitas dari
glomerulonephritis kronik tidak segera ditangani, maka glomerulonephritis kronik
dapat berubah menjadi CKD, penyakit gagal ginjal, dan bahkan penyakit
kardiovaskular.2
2.4.2 Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur
hidup. Diabetes dapat terjadi saat tubuh tidak memproduksi insulin yang cukup atau
tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang sudah ada. Insulin merupakan hormon
yang sangat penting untuk mengatur kadar glukosa dalam darah.8
Diabetes mellitus adalah epidemi yang berkembang dan merupakan
penyebab umum penyakit ginjal kronis (CKD) dan gagal ginjal. Nefropati diabetik
mempengaruhi kira-kira 20–40% orang yang menderita diabetes, menjadikannya
salah satu komplikasi diabetes paling umum. Skrining untuk nefropati diabetik
bersama dengan intervensi awal merupakan hal mendasar untuk menunda
perkembangan penyakit bersamaan dengan penyediaan yang tepat terhadap kontrol
glikemik. Mengingat pertumbuhan populasi sekarang yang terkena diabetes
semakin banyak, pengetahuan mengenai keamanan penggunaan berbagai anti-
hiperglikemik agen pada mereka dengan nefropati sangat penting. Secara
keseluruhan, diperlukan pengetahuan tentang pencegahan dan manajemen diabetes
nefropati serta perawatan yang komprehensif setiap pasien dengan diabetes.8
Diabetes dapat merusak ginjal dengan memberikan gangguan pada aliran
darah yang melewati ginjal. Sistem filtrasi pada ginjal dipenuhi oleh pembuluh
darah yang sangat kecil. Seiring waktu, tingginya kadar gula dalam darah dapat
menyebabkan pembuluh darah tersebut menjadi sempit dan terhambat. Tanpa darah
yang cukup, kerusakan dapat terjadi pada ginjal dan albumin dapat melewati sistem
filtrasi tersebut dan akan didapatkan pada urin, dimana hal tersebut tidak
seharusnya terjadi.6
Rekomendasi untuk skrining nefropati pada diabetes, pasien dengan
diabetes harus diskrining setiap tahun. Pada individu dengan diabetes tipe
1,skrining untuk nefropati harus dimulai 5 tahun setelahnyadiagnosis diabetes.
Biasanya dibutuhkan sekitar 5 tahun untuk terjadinya komplikasi mikrovaskular.
Pada pasien diabetestipe 2, skrining harus dimulai sejak diagnosis awal oleh karena
9
awitan diabetes yang tepat sering tidak diketahui. Nefropati diabetik dapat
dideteksi dengan pengukuran albumin urin atau kreatinin serum, dan keduanyates
harus dilakukan minimal setiap tahun, mereka yang memiliki level abnormal harus
melakukan tes ulanglebih cepat. Tahap pertama nefropati biasanya timbulalbumin
urin yang meningkat yang memprediksi perkembangan CKD dan penurunan laju
filtrasi glomerulus secara bertahap. Beberapa individu dengan CKD, tidak terjadi
peningkatan albumin urin meningkat diawalnya. Sehingga penting untuk
melakukan tes darah selain tes pengukuran albumin urin. Disarankan untuk
menggunakan kedua modalitas tes tersebut untuk mengidentifikasi kasus
nefropatidaripada menggunakan salah satu tes saja.8
Terdapat dua tipe dari diabetes mellitus:
2.4.2.1 Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan
ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi insulin karena proses penghancuran
sel β di pankreas oleh autoimun. Biasanya diabetes mellitus tipe 1 sudah dapat
ditemukan sejak anak-anak, namun penyakit ini juga dapat berkembang pada
dewasa dengan umur 30-40 tahun. 8
Tidak seperti pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, pasien dengan diabetes
mellitus tipe 1 biasanya tidak mengalami obesitas dan biasanya muncul diawali
dengan diabetic ketoacidosis (DKA). Karakteristik yang terlihat pada pasien
dengan diabetes mellitus tipe 1 adalah, apabila pasien tersebut berhenti
menggunakan insulin, ketosis dan ketoasidosis juga akan muncul. Sehingga pasien
dengan diabetes mellitus tipe 1 bergantung dan diobati dengan exogenous insulin
yang digunakan sehari-hari disertai dengan diet makanan yang sudah
direncanakan.1,8
2.4.2.2 Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 terdiri dari beberapa kelainan fungsi yang
dikarakteristikkan dengan hyperglikemia dan merupakan hasil kombinasi dari
resistensi terhadap kinerja insulin, sekresi insulin yang inadekuat, dan sekresi
glukagon yang berlebihan. Diabetes mellitus tipe 2 yang tidak di tangani dengan
baik akan menyebabkan komplikasi yang melibatkan gangguan pada sistem
mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropatik.6,8
10
Komplikasi mikorvaskular meliputi penyakit pada retina, renal dan juga
neuropatik. Komplikasi makrovaskular yang dapat terjadi meliputi gangguan arteri
coroner dan penyakit pada pembuluh darah perifer. Sedangkan komplikasi yang
terjadi pada sistem neuropati dapat mempengaruhi sistem saraf autonomik maupun
perifer.8
2.4.3 Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg. Hipertensi dapat dibedakan menjadi primer/esensial dan
sekunder berdasarkan penyebabnya. Hipertensi primer/esensial apabila tidak
diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder apabila diketahui penyakit pada
ginjalnya atau disebut juga hipertensi renal. Penyakit ginjal hipertensif merupakan
salah satu penyebab CKD.8
Hipertensi secara kuat terkait dengan CKD. Beberapa penelitian prospektif
besar telah dilakukan pada populasi umum ditemukan bahwa hipertensi merupakan
fakor risiko independen yang kuat untuk terjadinya CKD. 6
Hipertensi dapat menimbulkan CKD melalui dua mekanisme, yang pertama
yaitu hipertensi kronik dapat mestimulasi terjadinya iskemia pada glomerulus
sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah kapiler didalam glomerulus dan
menurunkan aliran darah ke dalam glomerulus.
Pada pasien dengan CKD terjadi gangguan pada pengaturan natrium ginjal
yang menimbulkan peningkatan tekanan darah. Awalnya terjadi peningkatan
volume cairan ekstraseluler, yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah
meskipun terjadi penurunan resistensi perifer total. Pada tahap ini akan terjadi
peningkatan curah jantung yang memediasi terjadinya peningkatan tekanan darah
yang bermanifestasi sebagai hipertensi sistolik. 8
Namun, secara bertahap, akan terjadi normalisasi volume ECF dan curah
jantung. Peningkatan resistensi perifer menimbulkan terjadinya peningkatan
tekanan darah, dimana akan meningkatkan tekann darah diastolik. Selanjutnya,
aktivasi dari sistem renin-angiotensin dapat merangsang sistem saraf simpatik dan
berkontribusi terhadap hipertensi. Selain itu,beberapa faktor lain telah diusulkan
11
berkontribusi terhadap peningkatan resistensi pembuluh darah pada pasien dengan
CKD. 8
2.5 Patofisiologi
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh adanya gangguan atau kerusakan
pada ginjal, terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti membran basal
glomerulus, sel endotel, dan sel podosit. Kerusakan komponen ini dapat disebabkan
secara langsung oleh kompleks imun, mediator inflamasi, atau toksin. Selain itu,
dapat pula disebabkan oleh mekanisme progresif yang berlangsung dalam jangka
panjang. Berbagai sitokin dan growth factor berperan dalam menyebabkan
kerusakan ginjal.9
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walapun penyakit dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis rennin-angiotensin-aldosteron intrarenal ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas CKD
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstitial.1
12
Gambar 1. Patogenesis CKD1
Sumber : N Engl J Med.2004
2.6 Manifestasi Klinis
Pasien dengan CKD derajat 1 hingga 3 dengan LFG >30 mL/menit/1,73 m2
sering asimptomatik atau tidak menunjukkan gejala, yang artinya pasien belum
mengalami gejala yang terdapat pada gangguan keseimbangan air ataupun
elektrolit, atau kekacauan dari sistem endokrin dan sistem metabolik.2
Gejala lebih sering muncul pada pasien dengan CKD derajat 4 hingga 5
dengan LFG < 30 mL/menit/1,73 m2. Pasien dengan gangguan pada
tubulointerstitial, cystic, sindroma nefrotik, dan kondisi lainnya yang sering disebut
dengan gejala positif seperti poliuri, hematuria, edema, lebih sering
memperlihatkan tanda-tanda penyakit pada derajat yang lebih awal.2
13
Manifestasi klinis berupa sindrom uremik pada pasien dengan CKD derajat
5 biasanya terjadi oleh akibat dari akumulasi dari berbagai racun dengan jenis yang
belum diketahui. Asidosis metabolik pada CKD derajat 5 akan termanifestasi
sebagai malnutrisi energi dan protein, kehilangan massa tubuh, dan kelemahan otot.
Peningkatan kadar garam dan cairan yang di hadapi oleh ginjal pada CKD dapat
menyebabkan terjadinya edema perifer dan tidak jarang hingga menjadi edema paru
dan hipertensi.2
Anemia pada CKD terjadi akibat penurunan sintesis eritropoietin oleh
ginjal, yang akhirnya akan menimbulkan gejala seperti lemas, penurunan
kemampuan dalam berkegiatan, penurunan kesadaran dan fungsi imun, dan
penurunan kualitas hidup. Anemia juga berhubungan dengan munculnya penyakit
kardiovaskular, kejadian baru dari gagal jantung ataupun perburukan dari penyakit
gagal jantung, hingga peningkatan kematian yang disebabkan oleh sistem
kardiovaskular.2
Manifestasi klinis uremia lainnya yang dapat muncul pada derajat akhir dari
CKD, utamanya pada pasien yang tidak menjalani proses dialisa dengan adekuat,
diuraikan sebagai berikut: 10
- Perikarditis, yang didapatkan oleh karena komplikasi dari tamponade jantung,
yang dapat menyebabkan kematian.
- Ensepalopati yang dapat menyebabkan koma hingga kematian
- Neuropati perifer
- Restless Leg Syndrome
- Gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah, diare
- Manifestasi pada kulit seperti kulit kering, pruritus, ekimosis
- Lemas, malnutrisi
- Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenorea
- Disfungsi platelet dengan peningkatan kemungkinan untuk perdarahan.
2.7 Diagnosis
Diagnosis pasti sering memerlukan biopsi ginjal yang meskipun sangat
jarang dilakukan karena dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, biopsi
ginjal dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis pastinya hanya dapat
14
ditegakkan dengan biopsi ginjal atau jika diagnosis pasti tersebut akan merubah
baik pengobatan maupun prognosis. Pada sebagian pasien diagnosis ditegakkan
berdasarkan gambaran klinik yang lengkap dan faktor penyebab yang didapat dari
evaluasi klinik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan
pencitraan ginjal.1
2.7.1 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pasien CKD meliputi:1
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya.
2. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
3. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, klorida).
2.7.2 Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium CKD meliputi:1
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk
memperkirakan fungsi ginjal.
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.
4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast,
isostenuria.
2.7.3 Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis CKD meliputi:1
1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
15
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi
5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
2.7.4 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Kontra indikasi biopsi ginjal pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah
mengecil (cintracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.1
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CKD meliputi1:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
3. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
5. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
16
Perencanaan tatalaksana (action plan) CKD sesuai dengan derajatnya dapat dilihat
pada tabel berikut.1
Tabel 4. Rencana Tatalaksana CKD Sesuai dengan Derajatnya1
Derajat LFG(mL/menit/1,73 m2) Rencana Tatalaksana
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progression) fungsi
ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular
2
60-89
Menghambat pemburukan (progression)
fungsi ginjal
3
30-59
Evaluasi dan terapi komplikasi
4
15-29
Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5
< 15
Dialisis atau terapi pengganti ginjal
2.8.1 Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy, dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.1,2
2.8.2 Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien CKD. Hal
ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
Faktor komorbid tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi
yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.1,2
17
2.8.3 Memperlambat Perburukan (Progression) Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi
glomerulus. Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:1
2.8.3.1 Restriksi Protein.
Pembatasan protein mulai dilakukan pada LFG< 60 ml/mnt, sedangkan
diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Pada
penderita CKD konsumsi protein yang direkomendasikan adalah 0,8 gr/kgBB/hari
(50% protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi) dengan kalori 30-35
kkal/kgBB/hari. Sebab kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah
menjadi urea dan substansi nitrogen lain yang terutama diekskresikan melalui
ginjal. Oleh karena itu, diet tinggi protein pada pasien CKD akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anoganik lain dan mengakibatkan gangguan
klinis dan metabolik yang disebut uremia. Selain itu, asupan protein berlebih akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah
dan tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan perburukan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat,
karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Dibutuhkan
pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Jika terjadi malnutrisi,
jumlah asupan protein dan kalori dapat ditingkatkan.1
Pada pasien dengan terapi hemodialisis (HD), untuk mempertahankan
keadaan klinik stabil, protein yang dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari karena pada
pasien HD kronik sering mengalami malnutrisi. Malnutrisi pada pasien HD kronik
disebabkan oleh intake protein yang tidak adekuat, proses inflamasi kronik dalam
proses dialisis, dialysis reuse, adanya penyakit komorbid, gangguan
gastrointestinal, post dialysis fatigue, dialisis yang tidak adekuat, overhidrasi
interdialitik.1
2.8.3.2 Terapi Farmakologis
Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil
risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk menghambat perburukan kerusakan
nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di
18
samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria.
Proteinuria merupakan faktor resiko terjadinya perburukan fungsi ginjal. Beberapa
obat antihipertensi terutama penghambat enzim yang merubah angiotensin (ACE
inhibitor) melalui berbagai studi dapat memperlambat proses perburukan fungsi
ginjal lewat mekanismenya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.1
2.8.3.3 Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
CKD secara keseluruhan.1
a. Diabetes Mellitus
Pada pasien DM, kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan
obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk pasien
diabetes mellitus adalah 7% untuk mencegah atau memperlambat komplikasi
mikrovaksular. Tidak direkomendasikan untuk target HbA1c <7% pada pasien
dengan risiko hiperglikemia.2
b. Hipertensi
Pasien dengan diabetes maupun non-diabetes dengan CKD dan albumin
excretion rate (AER) <30 mg/24 jam dengan tekanan darah sistolik >140 mm Hg
dan diastolik >90 mm Hg direkomendasikan untuk target tekanan darah adalah
<140/90mmHg. Pada pasien dengan albumin excretion rate >30mg/24 jam dengan
tekanan darah >130/80mmHg direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah
dengan target ≤130/80mmHg. Penghambat perubahan enzim angiotensin
(Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor) atau antagonis reseptor
Angiotensin II → evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan
kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.2
Penghambat kalsium, diuretic, beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim converting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor
bloker melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan
fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan
19
antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-
obat tersebut dapat diberikan calcium channel bloker, seperti verapamil dan
diltiazem.1
c. Dislipidemia
Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan
statin.1
d. Anemia
Koreksi anemia dengan target Hb 11-12 g/dl. Anemia pada CKD terutama
disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia, yaitu defisiensi asam besi, kehilangan darah (perdarahan saluran
cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat hemolisis, defisiensi
asam folat, penekanan pada sumsum tulang, proses inflamasi akut maupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kada Hb ≤ 10 g/dL atau Hct ≤ 30%, meliputi
evaluasi terhadap status besi, mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis. Pemberian transfusi pada CKD harus dilakukan
secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.
Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan
cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan fungsi ginjal.1
e. Hiperfosfatenemia
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien CKD secara
umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena fosfat sebagian
besar terkandung dalam daging dan produk hewan, seperti susu dan telor. Asupan
fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak
dianjurkan, untuk mencegah terjadinya malnutrisi. Pemberian pengikat fosfat dapat
pula diberikan pada pasien CKD dengan hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang
banyak dipakai, adalah garam kalium, aluminium hidroksida, garam magnesium.
Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbs fosfat yang
berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
(CaCO3) dan kalsium asetat. Pemberian bahan kalsium mimetic (calcium mimetic
agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat
reseptor Ca pada kalenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat
ini disebut juga calcium mimetic agent.1
20
f. Kelebihan Cairan
Pembatasan cairan dan elektrolit bertujuan mencegah terjadinya edema dan
komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang
dengan air yang keluar dengan asumsi bahwa air keluar melalui insensible water
loss antara 500- 800 ml/hari, maka air yang dianjurkan masuk 500-800 ml ditambah
jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi adalah Na dan K sebab hiperkalemia
dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal dan hipernatremia dapat
mengakibatkan hipertensi dan edema. Oleh karena itu pemberian obat-obatan yang
mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium seperti sayur dan buah harus
dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3.5-5.5 mEq/lt .1
g. Keseimbangan Asam Basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada CKD adalah hyperkalemia
dan asidosis. Hiperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah mengancam
jiwa. Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hyperkalemia
membahayakan jiwa. Pencegahan meliputi:1
- Diet rendah kalium, menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta sayuran
rendah kalium;
- Menghindari pemakaian diuretika K-sparring.
Pengobatan hiperkalemia tergantung derajat kegawatannya, yaitu:1,2
- Gluconas calcicus IV (10 - 20 ml 10% Ca gluconate)
- Glukosa IV (25-50 ml glukosa 50%)
- Insulin-dextrose IV dengan dosis 2-4 unit aktrapid tiap 10 gram glukosa
- Natrium bikarbonat IV (25-100 ml 8,4% NaHCO3)
h. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air hunger dan drowsiness.
Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada asidosis berat,
sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan secara peroral.5
21
2.8.4 Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
2.8.4.1 Anemia
Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah penurunan
produksi eritropoetin oleh ginjal. Disamping itu faktor non renal yang juga ikut
berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah merah yang
pendek pada CKD dan faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum tulang
seperti defisiensi besi, defisiensi asam folat dan toksisitas aluminium. Selain itu
adanya perdarahan saluran cerna tersembunyi dan malnutrisi dapat menambah
beratnya keadaan anemia.1
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan dan status
besi harus diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya.
Tujuan pemberian EPO adalah untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb =
10g/dL. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah 7-9g/dL. Pemberian
transfusi darah pada pasien CKD harus hati-hati dan hanya diberikan pada keadaan
khusus yaitu:1
- Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
- Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan EPO
- Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik
Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram dengan EPO ataupun
yang telah mendapat EPO namun respon tidak adekuat, diberi preparat besi
intravena.1
2.8.4.2 Osteodistrofi Renal
Merupakan istilah yang menggambarkan secara umum semua kelainan
tulang akibat gangguan metabolisme Ca karena terjadinya penurunan fungsi ginjal.
Penatalaksanaannya dilakukan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian hormon kalsitriol. Hiperfosfatemia diatasi dengan pembatasan asupan
fosfat 600-800mg/hari, pemberian pengikat fosfat seperti kalsium karbonat
(CaCO3) dan kalsium asetat serta pemberian bahan kalsium mimetik yang dapat
menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid dengan nama sevelamer
22
hidroklorida. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga berperan
dalam mengatasi hiperfosfatemia.1,6
Pemberian kalsitriol dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal
dan kadar hormon PTH > 2,5 kali normal karena pemakaian kalsitriol pada kadar
fosfat darah yang tinggi dapat menyebabkan terbentuk garam fosfat yang
mengendap di jaringan lunak dan dinding pembuluh darah (kalsifikasi
metastatik).1,6
Selain itu pemberian kalsitriol juga dapat mengakibatkan penekanan
berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.1,6
2.8.5 Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi Ginjal
Dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt.
Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi
ginjal.5
Pembuatan akses vaskular sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens
kreatinin dibawah 15 ml/menit. Dianjurkan pembuatan akses vaskular jika klirens
kreatinin telah dibawah 20 ml/menit. 5
Hemodialisis adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat
toksis lainnya melalui mebran semipermiabel sebagai pemisah antara darah dan
cairan dialisat (suatu cairan khusus untuk dialisis) yang sengaja dibuat dalam
dialiser. Di dalam mesin dialiser darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses
difusi dan ultrafiltrasi oleh dialisat, lalu dialirkan kembali dalam tubuh. Proses
hemodialisa dilakukan 1-3 kali seminggi dirumah sakit dan setiap kalinya
membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam. Tujuan dilakukannya hemodialisis adalah
membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat,
membuang kelebihan air, mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer
tubuh, mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh, memperbaiki
status kesehatan penderita.2
Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu : hemodialisis emergency
atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Keadaan akut tindakan dialisis
dilakukan pada : Kegawatan ginjal dengan keadaan klinis uremik berat, overhidrasi,
23
oliguria (produksi urine <200 ml/12 jam), anuria (produksi urine <50 ml/12 jam),
hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan EKG, biasanya K >6,5 mmol/I),
asidosis berat (PH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/I), uremia (BUN >150 mg/dL),
ensefalopati uremikum, neuropati/miopati uremikum, perikarditis uremikum,
disnatremia berat (Na>160 atau <115 mmol/I), hipertermia, keracunan akut
(alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.11
Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis,
dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt, keadaan pasien yang mempunyai GFR <15
ml/mnt tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika
dijumpai salah satu dari : 1) GFR <15 ml/mnt, tergantung gejala klinis, 2) gejala
uremia meliputi: lethargi, anoreksia, nausea dan muntah, 3) adanya malnutrisi atau
hilangnya massa otot, 4) hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan
cairan, 5) komplikasi metabolik yang refrakter. 11
Tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat,
namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani
hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani
hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun
dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat hemodialisis. Hipotensi
intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani hemodialisis regular,
namun sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan darahnya justru meningkat.
Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension.
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram
otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan
menggigil. Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit
jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, Renal osteodystrophy,
Neurophaty,disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan perdarahan,
infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic kidney disease. 11
24
2.8.6 Terapi nutrisi pada Pasien Chronic Kidney Disease
Seperti telah dibahas pada CKD dikelompokkan menurut stadium, yaitu
stadium I, II, III, dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan fungsi ginjal
yang berat tetapi belum menjalani terapi pengganti dialisis biasa disebut kondisi pre
dialisis. Umumnya pasien diberikan terapi konservatif yang meliputi terapi diet dan
medikamentosa dengan tujuan mempertahankan sisa fungsi ginjal yang secara
perlahan akan masuk ke stadium V atau fase gagal ginjal. Status gizi kurang masih
banyak dialami pasien dengan CKD.12
Faktor penyebab gizi kurang antara lain adalah asupan makanan yang
kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual dan muntah. Untuk mencegah
penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui monitoring dan
evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh tim kesehatan. Pada dasaranya
pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi serta
petugas kesehatan lain diperlukan agar terapi yang diperlukan kepada pasien
optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care) betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi
agar mencapai status gizi optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga
keseimbangn cairan dan elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup
yang cukup baik.12
Terapi Nutrisi pada Pasien CKD:12
1. Pengaturan asupan protein : 0,8 mg/kgBB (pasien non hemodialisis), 1,2
mg/kgBB (pasien hemodialisis).
2. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari
3. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah
yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
4. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
5. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
6. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
7. Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari
8. Kalsium: 1400-1600 mg/hari
9. Besi: 10-18mg/hari
10. Magnesium: 200-300 mg/hari
25
11. Asam folat pasien HD: 5mg
12. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)
2.9 Prognosis
Pasien dengan CKD secara keseluruhan memiliki kemungkinan untuk
mengalami kerusakan yang progresif dari fungsi ginjal, dan menjadi faktor risiko
untuk menjadi derajat akhir dari penyakit ginjal. Tingkat progresifitas tersebut
bergantung pada umur, penyebab dasar, dan kesuksesan implementasi pada
pencegahan sekunder dan individu dari pasien itu sendiri. Pengobatan yang
dilakukan pada CKD pada umumnya adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
akibat uremia yang dapat menyebabkan morbiditas dan kematian. 6,10
Secara garis besar prognosis dari CKD yang tidak ditangani adalah buruk.
Mortality rate untuk pasien yang menjalani dialisis adalah sebesar 20%. Apalagi
jika disertai dengan gangguan kardiovaskular, mortality rate dapat meningkat 30%.
Prediksi prognosis dapat dilihat melalui beberapa parameter seperti penyebab CKD,
kategori LFG, kategori albuminuria dan faktor resiko serta komplikasi yang sudah
terjadi.2
Prognosis berdasarkan LFG dan kategori albuminurianya sebagai berikut.
Pasien dengan CKD lebih banyak akan meninggal dengan komplikasi
penyakit kardiovaskuler, infeksi, atau jika dialisis tidak tersedia maka akan terjadi
sindrom uremia yang progresif (hiperkalemia, asidosis, malnutrisi, perubahan
26
fungsi mental). Diantara pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal, penyakit
kardiovaskuler merupakan penyebab mortalitas tersering kira-kira 40% dari
populasi. Volume ekstraseluler yang overload dan hipertensi diketahui sebagai
faktor prediktor terjadinya hipertropi ventrikular kiri dan peningkatan risiko
mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler di populasi. Setelah disesuaikan dengan
umur, ras, jenis kelamin, dan etnik, dan keberadaan diabetes, risiko penyakit
kardiovaskuler tetap menjadi penyebab kematian tertinggi terutama pada pasien
muda.2
BAB III LAPORAN
KASUS
3.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : SW
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 56 tahun
Alamat : Jalan Pemogan Gang Soka Nomor 7, Denpasar
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Suku/ Bangsa : Indonesia
No. Rekam Medis : 19039956
Tanggal Kunjungan : 12 September 2019
3.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUP Sanglah Denpasar diantar oleh
keluarganya dengan keluhan sesak, keluhan sesak pertama kali dirasakan
sejak 2 minggu yang lalu dan memberat 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Rasa sesak dikatakan terasa di bagian dada, rasa sesak dikatakan terasa berat
dan rasa sesak terasa seperti tertimpa benda yang berat. Rasa sesak
dikatakan bertambah buruk pada saat malam hari ketika pasien ingin tidur
saat posisi rebahan dan sesak dikatakan bertambah baik saat pasien berubah
posisi menjadi duduk, sehingga pasien sulit untuk tidur di malam hari.
Awalnya rasa sesak dikatakan membaik dengan istirahat, namun semakin
hari rasa sesak semakin memberat dan tidak hilang dengan beristirahat.
27
28
Pasien juga megeluh bengkak pada kedua kaki pasien, bengkak
dikatakan terasa mulai 2 minggu yang lalu. Bengkak dikatakan awalnya
tidak terlalu besar, namun bengkak semakin hari semakin membesar.
Bengkak dikatakan mengganggu aktivitas pasien, pasien hanya nyaman
dengan posisi tidur. Bengkak tidak disertai rasa nyeri. Pasien juga
mengeluhkan kedua telapak kaki dikatakan terasa kebas, sering kesemutan
dan tidak terasa nyeri. Dikatakan tidak ada faktor yang memperburuk atau
memperingan untuk keluhan bengkak di kaki.
Pasien juga mengeluhkan rasa mual dan muntah, keluhan mual dan
muntah sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu dan memberat 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan mual dirasakan di bagian perut,
keluhan mual dirasakan berat. Muntah dikatakan sehari 2 kali, dengan
volume setiap muntah 15 cc, muntah dikatakan berisi air dan tidak disertai
dengan darah. Dikatakan keluhan mual membaik bila pasien makan buah
atau agar-agar. Sehingga pasien mengalami penurunan nafsu makan dan
penurunan berat badan.
BAB pasien dikatakan normal. BAK pasien dikatakan sedikit-
sedikit sejak 1 bulan terakhir, volume kencing 600cc dalam 1 hari.
Keluhan lain seperti batuk-batuk, demam, nyeri pada pinggang, penurunan
kesadaran disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan
Pasien sebelumnya memiliki riwayat penyakit jantung pada tahun
2014 dan pasien mengatakan penyakit jantungnya sudah sembuh pada tahun
2015. Pasien telah terdiagnosis dengan DM sejak 2014 dan hipertensi sejak
tahun 2016. Untuk pengobatan DM, pasien meminum obat untuk
mengontrol gula darahnya dan untuk hipertensi pasien meminum obat
antihipertensi, dikatakan pasien rutin minum obat DM, namun untuk obat
antihipertensi pasien tidak rutin meminum obat yang di resepkan oleh
dokter. Untuk keluhan sesak yang dialami saat ini, merupakan keluhan
pertama kali yang dialami oleh pasien, untuk keluhan sesak yang dirasakan,
pasien sudah sempat ke RS Balimed dan dikatakan mendapatkan terapi
29
berupa pemberian uap, namun keluhan sesak dikatakan tidak membaik
sehingga pasien dirujuk ke RSUP Sanglah untuk observasi lebih lanjut
dikarenakan kamar di RS Balimed saat itu penuh
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah memiliki keluhan
serupa. Riwayat penyakit hipertensi dimiliki oleh ibu pasien, sedangkan
penyakit diabetes mellitus, penyakit ginjal, penyakit hati disangkal dalam
keluarga.
Riwayat Pribadi, Sosial dan Lingkungan
Saat ini pasien tinggal bersama dengan suami, anak, menantu, dan
cucunya. Pasien memiliki 2 anak perempuan. Aktivitas pasien biasanya
mengurus rumah dan bermain bersama cucu-cucunya di rumah. Sejak sakit,
sehari-hari pasien di urus oleh keluarganya dikarenakan sejak pulang dari
rumah sakit bulan September 2019, pasien sudah tidak bisa melakukan
aktivitas sendiri. Pasien hanya berbaring di kasur karena merasa lemas dan
sesekali duduk di ruang tamu maupun di teras depan rumahnya. Pasien
tinggal dirumah permanen dengan ventilasi yang cukup bagus. Pasien
sebelum sakit memiliki kebiasaan meminum-minuman yang manis dan
bersoda, dikatakan pasien dalam 1 harinya harus dapat minum yang manis
sebanyak 2-3 botol minuman bersoda, dan dikatakan pasien jarang
berolahraga. Namun semenjak pasien telah terdiagnosis penyakit diabetes
melitus, pasien sudah tidak pernah meminum-minuman yang manis.
Riwayat alkohol disangkal oleh pasien. Saat ini pasien masih dapat
berkomunikasi dengan baik, penglihatan dan pendengarannya masih baik.
3.3. Pemeriksaan fisik (12 September 2019)
Status Present
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
Tekanan darah : 120/70 mmHg
30
Laju nadi : 80 kali/menit, reguler, isi cukup
(Riwayat 95 kali/menit saat di IGD)
Laju napas : 20 kali/menit, (Riwayat 26x/menit saat di IGD)
Saturasi oksigen : 98% udara ruangan
Suhu aksila : 36,3°C
Skala nyeri VAS : 0/10
Berat badan : 39 kg
Estimasi tinggi badan : 150 cm
Indeks Massa Tubuh : 17,33 kg/m2
Status General
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Ikterus -/-, Reflek pupil
+/+ 2/2mm isokor, Edema palpebra -/-
Telinga : Daun telinga N/N, Sekret (-), Pendengaran normal
Hidung : Napas cuping hidung (-), Epistaksis (-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : JVP PR+0 cmH2O, pembesaran kelenjar getah
bening (-)
Thoraks
Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas kanan jantung: parasternal line dekstra
Batas kiri jantung: anterior axillary line sinistra ICS
VI
Batas atas jantung: setinggi ICS II
Batas bawah jantung: setinggi ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Asimetris saat statis dan dinamis, retraksi (-/-)
Palpasi : vokal fremitus normal
31
,
,
Perkusi : sonor | sonor
sonor | sonor
sonor | sonor
Riwayat redup di basal paru bilateral
Auskultasi : vesikuler ronki wheezing
Abdomen
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani (+), nyeri ketok CVA (-)
Extremitas : akral hangat + | + , edema - | - , CRT < 2 detik
+ | + - | -
Kulit : sianosis (-), turgor kembali cepat
3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Lengkap (02 September 2019)
Parameter
Hasil
Unit
Nilai Rujukan
Keterangan
WBC 9.22 103/μL 4,1 – 11,0
NE% 82.87 % 47 – 80 Tinggi
LY% 10.46 % 13 – 40 Rendah
MO% 5.11 % 2,0 – 11,0
EO% 0.96 % 0,0 – 5,0
BA% 0.59 % 0,0 – 2,0
NE# 7.64 103/μL 2.50 – 7.50 Tinggi
LY# 0.97 103/μL 1.00 – 4.00 Rendah
MO# 0.47 103/μL 0.10 – 1.20
EO# 0.09 103/μL 0.00 – 0.50
BA# 0.05 103/μL 0.0 – 0.1
32
RBC 2.81 106/μL 4,5 – 5,9 Rendah
HGB 7.65 g/dl 13,5 – 17,5 Rendah
HCT 26.16 % 41,0 – 53,0 Rendah
MCV 93.16 Fl 80,0 – 100,0
MCH 27.25 Pg 26,0 – 34,0
MCHC 29.25 g/dl 31,0 – 36,0
RDW 14.22 % 11.66 – 14.8
PLT 241.00 103/ul 150 – 440
MPV 7.68 fL 6.80 – 10.0
b. Kimia Darah, Analisis Gas Darah dan Elektrolit
Parameter Hasil
02/09/19
Hasil
04/09/19
Satuan Nilai Rujukan Keterangan
SGOT 22.1 - U/L 11,00 – 33,00
SGPT 34.10 - U/L 11,00 – 50,00
BS Acak 167 - mg/dL 70 - 140
BUN 66.40 40.00 mg/dL 8.00 – 23.00 Tinggi
Kreatinin 5.89 3.90 mg/dL 0.70 – 1.20 Tinggi
e- LFG 7.24 >= 90 Rendah
pH 7.23 - 7,35 – 7,45 Rendah
pCO2 39.3 - mmHg 35,00 – 45,00
pO2 42.90 - mmHg 80,00 – 100,00 Rendah
HCO3- 16.10 - mmol/L 22,00 – 26,00 Rendah
SO2C 70.2 - % 95% - 100%
TCO2 17.30 - mmol/L 24,00 – 30,00 Rendah
Kalium 5.11 - mmol/L 3.50 – 5.10 Tinggi
33
Gault sebagai berikut:
Natrium 140 - mmol/L 136 - 145
Klorida 115 - mmol/L 96 - 108 Tinggi
LFG (4 September 2019) yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x berat badan (kg)
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
(140 − 56) 39 = 72 3.90
= 11,6
c. EKG (02 September 2019)
d. Foto Thorax PA (02 September 2019)
Hasil :
Cor : Kesan membesar, CTR 68%, kalsifikasi aortic knob (+), pinggang
jantung mendatar
34
Pulmo : tampak infiltrate pada parahilar dan paracardial kanan kiri.
Coracan bronchovaskular normal. Cehpalisasi (+)
Tampak perselubungan homogen pada basal hemithorax kanan
yang disertai pelebaran pleural space kanan kiri
Sinus pleura kanan tertutup perselubungan
Diaphragma kanan tertutup perselubungan
Tulang-tulang : tidak tampak kelainan
Kesan:
Cardiomegaly dengan aortosklerosis (ASHD)
Kongestif pulmonum
Pleuropneumonia kanan kiri
3.5. DIAGNOSIS
a. ACKD et causa pre renal on CKD et causa suspect DKD
Anemia sedang NN
Edema paru
Asidosis Metabolik
Hiperkalemia
b. ADHF Profile B et causa HHD
Hipertensi
c. Diabetes Mellitus Tipe 2
3.6. TATALAKSANA
IVFD NS 8 tpm
O2 Nasal Canule 2 lpm
Diet CKD 2000 kkal + 48 gr protein/hari
Drip Furosemid
35
Inisiasi HD
Tranfusi PRC on HD
Amlodipin 10 mg tiap 24 jam
Valsartan 160 mg tiap 24 jam
Novorapid 4 unit tiap 8 jam
Omeprazole 40 mg IV tiap 12 jam
Domperidon 10 mg tiap 8 jam oral
Novorapid 3 x 4 unit
Monitoring
Keluhan
Tanda Vital
3.7. PROGNOSIS
a. Ad vitam : dubious ad bonam
b. Ad functionam : dubious ad bonam
c. Ad sanationam : dubious ad bonam
3.8. KIE
a. Memberikan informasi tentang penyakit dan kondisi pasien pada
pasien dan keluarganya secara lengkap.
b. Memberikan edukasi tentang obat yang diminum kepada pasien dan
keluarga pasien.
c. Mengedukasi keluarga pasien untuk menjaga higienitas pasien dan
lingkungan rumah.
d. Mengedukasi keluarga untuk terus memberi semangat dan kasih
sayang kepada pasien sehingga terus berjuang menghadapi
penyakitnya.
e. Mengingatkan pasien untuk senantiasa berdoa untuk menjaga
kesehatan pikiran dan memberi motivasi pada pasien untuk
menghadapi penyakitnya dengan ikhlas.
BAB IV
KUNJUNGAN LAPANGAN
4.1. ALUR KUNJUNGAN LAPANGAN
Kunjungan ke rumah pasien dilakukan pada hari Jumat, 12 September
2019 pukul 17.00 ke tempat tinggal pasien yang berada di Jalan Pemogan Gang
Soka Nomor 7, Denpasar. Pasien beserta keluarganya menyambut dengan baik.
Prinsip-prinsip umum pengelolaan CKD tidak hanya terbatas pada
terapi farmakologis, namun juga melalui terapi non-farmakologis yaitu
pendekatan bio-psiko-sosial. Oleh sebab itu, tujuan dilakukannya kunjungan
lapangan adalah untuk mengidentifikasi masalah, mengamati kondisi pasien
dengan datang langsung ke lapangan, menemukan permasalahan yang ada, dan
mencari penyelesaiannya. Selain itu, kunjungan lapangan ini juga bermaksud
untuk memberikan edukasi tentang penyakit yang dialami pasien, mencegah
faktor yang menyebabkan pemburukan kondisi, serta memotivasi keluarga
untuk mendampingi pasien selama perjalanan penyakitnya. Adapun intervensi
yang dilakukan:
1. Edukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pasien dan
keluarga mengenai CKD.
2. Menyadarkan pasien beserta keluarganya akan pentingnya menjaga
kesehatan dengan memenuhi kebutuhan nutrisi serta beraktivitas yang baik
sesuai dengan kondisi masing masing.
4.2. IDENTIFIKASI MASALAH
Selama melakukan kunjungan ke rumah pasien, kami dapatkan
sejumlah permasalahan di beberapa bidang yang masih menjadi kendala pasien
dalam menghadapi penyakitnya:
1. Ekonomi
Pasien dikatakan menggunakan BPJS KIS. Dikatakan juga anak-
anak pasien turut membantu biaya pengobatan pasien. Anak dan menantu
pasien bekerja sebagai karyawan swasta. Sehari-hari kebutuhan pasien
ditanggung oleh anak pasien dikarenakan pasien sudah tidak bekerja lagi.
36
37
Anak pasien mengatakan tidak ada masalah ekonomi dalam proses
pengobatan pasien.
2. Lingkungan
Pasien tinggal di rumah berukuran 2 are dengan 6 orang anggota
keluarga lainnya yang terdiri dari suami, anak, menantu, dan dua cucunya.
Kebersihan rumah secara umum cukup, namun masih terdapat benda-
benda yang berserakan dan berdebu. Keluarga pasien mengatakan
biasanya hanya membersihkan rumah dengan mengepel dan menyapu
saja. Di kamar pasien ditemukan tumpukan baju, menurut anak pasien,
baju tersebut baju yang belum disetrika. Luas kamar pasien adalah 4 m x
4 m. Sumber air yang digunakan adalah PDAM, namun untuk minum
keluarga menggunakan galon isi ulang yang dibeli di warung dekat rumah.
3. Akses ke Layanan Kesehatan
Pasien kontrol dan berobat rutin ke RSUP Sanglah. Jarak rumah
pasien dengan RSUP Sanglah adalah 5 km. Pasien biasanya diantar oleh
keluarga untuk periksa ke dokter bila ada keluhan baru maupun untuk
hemodialisis yang dilakukan 2 kali seminggu setiap Hari Rabu dan Sabtu
yang berlangsung selama 4-5 jam.
4. Aktivitas Fisik
Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pasien sehari-hari biasa
melakukan pekerjaan rumah tangga yang dibantu oleh anaknya. Pasien
tidak lagi aktif bekerja dan melakukan aktivitas sehari-hari. Sejak 1 bulan
lalu pasien mengatakan sangat mudah lelah dan hanya bisa duduk dan
berbaring di kasur. Untuk berjalan, pasien perlu bantuan oleh keluarganya
dikarenakan lemas yang dirasakan pasien. Pasien rajin duduk di teras
rumah agar mendapat matahari pada pagi dan sore hari. Menantu dan anak
pasien bergiliran untuk menemani pasien dalam merawat pasien. Untuk
BAB, BAK, dan mandi pasien masih bisa sendiri hanya terkadang perlu
ditemani. Kondisinya secara umum membaik, gejala yang muncul
sebagian besar menghilang, namun lama kelamaan pasien dikatakan
keluarga semakin lemas. Keluhan utama pasien saat ini adalah mual dan
penurunan nafsu makan.
38
5. Nutrisi
Status gizi pasien termasuk dalam kategori gizi kurang,
digambarkan dengan indeks masa tubuh pasien yaitu 17,33 kg/m2. Pasien
mengalami penurunan nafsu makan yang dirasakan sejak dirawat di
rumah sakit pada bulan September. Menu makanan pasien sehari-hari
adalah makanan yang dimasak oleh anak pasien setiap harinya. Menu
makanan pasien tersering adalah nasi dengan tahu tempe rebus dan sayur
bening. Terkadang pasien makan bubur jika pasien merasakan mual.
Pasien hanya minum sedikit sesuai anjuran dokter mengingat pasien
memiliki penyakit ginjal kronis.
6. Kepatuhan Pengobatan
Saat ini pasien rutin dalam menjalani hemodialisis dan kontrol
berkala ke rumah sakit ditemani oleh keluarga pasien. Anak dan menantu
pasien selalu mengingatkan dan memperhatikan pasien untuk
mengkonsumsi obat yang diresepkan oleh dokter.
7. Spriritual
Anak pasien mengatakan bahwa pasien masih sangat rajin untuk
beribadah. Anak pasien mengatakan bahwa semenjak pasien sakit,
pendekatan pasien kepada Tuhan justru semakin rajin. Pasien dikatakan
tidak pernah meninggalkan waktu untuk sholat.
8. Sosial/Psikologis
Pasien cukup merasa terbebani dengan penyakit yang diderita oleh
pasien saat ini. Anak pasien mengatakan bahwa sebelum sakit, pasien aktif
dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti mengerjakan pekerjaan
rumah tangga dan mengajak cucu-cucunya untuk bermain, namun
semenjak sakit pasien sudah tidak pernah melakukan aktivitas yang
dilakukan seperti sebelumnya. Sebelum sakit, pasien dikatakan seseorang
yang tertutup dan tidak mau mengatakan apa keluhan yang dialami oleh
pasien. Pasien juga dikenal sebagai sosok yang tidak ingin merepotkan
orang lain. Pasien memiliki suami yang dikatakan kurang memperhatikan
kondisi kesehatan pasien. Suami pasien dikatakan sering marah-marah
ketika pasien mengeluhkan penyakitnya. Suami pasien dikatakan tidak
39
memberikan dukungan penuh terkait dengan kondisi pasien saat ini.
Hanya anak dan menantu pasien yang senantiasa mengantarkan pasien
kontrol kesehatan dan membantu berbagai kegiatan sehari-hari pasien
seperti membantu berjalan saat ingin BAK, BAB, dan mandi.
4.3. ANALISIS KEBUTUHAN PASIEN
a. Kebutuhan Fisik-Biomedik
1. Kecukupan Gizi
Sehari-hari makanan pasien disiapkan oleh anak pasien. Anak
pasien senantiasa menanyakan kepada pasien sehari sebelumnya untuk
dimasakkan apa pada keesokan harinya. Anak pasien selalu
memasakkan makanan sesuai yang diinginkan pasien, namun tetap
memperhatikan apa yang menjadi pantangan pasien berkaitan dengan
penyakit ginjal yang dialami pasien. Menu paling sering yang pasien
makan adalah nasi dengan tahu tempe rebus dan sayur bening, sesekali
pasien makan daging ayam rebus sebagai lauk makan. Jika pasien mual,
nasi digantikan dengan bubur. Semua makanan yang disajikan untuk
pasien tanpa garam. Pasien juga terkadang diberikan buah-buahan yang
paling sering adalah buah pepaya. Makanan yang sehari-hari pasien
dapat masih belum mencukupi kebutuhan nutrisi yang seharusnya
didapatkan. Pasien memerlukan lebih banyak asupan kalori dalam
makanan, namun tetap mengurangi diet yang banyak mengandung
kolesterol, lemak jenuh, gula, dan garam.
Akhir-akhir ini pasien mengalami penurunan nafsu makan.
Pasien mengatakan sudah sangat bosan dengan menu makan yang itu-
itu saja. Pasien juga mengatakan sangat jenuh dengan semua pantangan
yang harus dia jalani karena sakitnya. Dari hal tersebut dapat kami lihat
bahwa pasien memerlukan semangat dari keluarga dan orang sekitar
agar pasien tetap kuat dan disiplin dengan semua anjuran dokter
terutama untuk masalah asupan nutrisi sehari-hari pasien.
Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien:
a. Berat badan ideal = (TB cm – 100) x 90%
40
= (150 – 100) x 90%
= 50 x 0,9
= 45 kg
b. Jumlah kebutuhan kalori per hari = 35 kal x kgBB ideal
= 35 kal x 45 kg
= 1.575 kal/hari
c. Jumlah kebutuhan protein per hari = 1,2 mg x kgBB
= 1,2 mg x 39 kg
= 46,8 mg/hari
2. Kegiatan Fisik
Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pasien sehari-hari biasa
melakukan pekerjaan rumah tangga yang dibantu oleh anaknya. Pasien
tidak lagi aktif bekerja dan melakukan aktivitas sehari-hari. Sejak 1
bulan lalu pasien mengatakan sangat mudah lelah dan hanya bisa duduk
dan berbaring di kasur. Untuk berjalan, pasien perlu bantuan oleh
keluarganya dikarenakan lemas yang dirasakan pasien. Sehingga
sehari-hari pasien hanya menghabiskan sebagian besar waktunya di
dalam rumah. Pasien lebih banyak ada di dalam kamar. Pasien hanya
keluar saat ingin makan dan sesekali untuk menonton TV jika pasien
sudah bosan di dalam kamar. Saat ini pasien disarankan untuk lebih
sering beraktivitas ringan diluar rumah seperti jalan-jalan jika tidak ada
keluhan, guna mencegah hilangnya massa otot, mengkompensasi
pengeroposan tulang, dan menjaga kekuatan tulang. Namun tetap untuk
tidak memaksakan diri agar terhindar dari kelelahan, risiko jatuh, dan
perburukan kondisi berkaitan dengan sakitnya.
3. Akses ke Tempat Pelayanan Kesehatan.
Tempat pelayanan kesehatan terdekat dari rumah pasien adalah
Klinik Mitra Usada. Jarak klinik dari rumah pasien kurang lebih 2,3 km.
Namun pasien lebih sering datang kontrol ke RSUP Sanglah yang telah
merawat pasien sejak awal berkaitan dengan sakit ginjal yang di alami
pasien. Pasien mengatakan rutin kontol ke RSUP Sanglah dan juga
secara rutin melakukan hemodialisis. Jarak rumah pasien dengan RSUP
41
Sanglah kurang lebih 5 km dengan jarak tempuh menggunakan mobil
selama 20 menit.
4. Lingkungan
Pasien tinggal di sebuah rumah yang beralamat di Jalan
Pemogan Gang Soka Nomor 7, Denpasar dengan luas rumah 2 are.
Pasien tinggal dengan 6 orang anggota keluarga lainnya yang terdiri
dari suami, anak, menantu, dan 2 cucunya. Dalam satu rumah tersebut
terdapat 1 buah bangunan. Di bangunan tersebut terdapat 2 kamar tidur,
yaitu kamar tidur anak dan menantunya serta 2 cucunya, dan kamar
pasien. Dua kamar tidur tersebut berukuran 4 m x 4 m. Setiap kamar
terdapat 1 pintu masuk dengan jendela. Keadaan di dalam kamar
pasien, terdapat satu buah kasur yang cukup rapi, satu buah lemari
dengan banyak perlengkapan dan pakaian yang terlihat kurang tertata
rapi. Seprai yang digunakan biasa diganti dan dicuci 2 minggu sekali.
Dalam ruang tamu terdapat satu buah meja, televisi dan 2 sofa. Diatas
meja terdapat beberapa barang-barang yang berserakan dan berdebu.
Dapur pasien berisikan tempat menaruh peralatan dapur, wastafel serta
kompor gas. Dapur terkesan cukup bersih dan cukup rapi. Kamar
mandi terletak di masing – masing kamar tidur. Kamar mandi
menggunakan kloset duduk dan satu bak air. Secara umum kamar
mandi terkesan cukup bersih.
Lantai seluruh bangunan di rumah pasien terbuat dari keramik,
tembok terbuat dari bata dan dilapisi cat, dan atap berbahan genteng.
Ventilasi dan sirkulasi udara di dalam rumah pasien sudah cukup baik
dapat terlihat dari adanya lubang udara di bagian atas tembok rumah
pasien, selain itu pada siang hari hampir semua pintu dalam rumah
dibuka agar cukup aliran udara dan cahaya matahari. Rumah pasien
berada didalam komplek yang jauh dari jalan raya sehingga kesan
lingkungan rumah tenang dengan udara yang bersih.
Saat ini, pasien menggunakan sumber air dari PDAM untuk
mandi, mencuci baju, namun untuk keperluan memasak dan minum
pasien menggunakan air minum dalam galon yang dijual di pasaran.
42
Warga di sekitar rumah cukup ramah. Pasien jarang berhubungan
dengan tetangga karena sakit dan tidak asli dari daerah tersebut.
b. Kebutuhan Bio-Psikosial
1. Lingkungan Biologis
Kondisi rumah pasien dari segi kerapian, kebersihan, dan
kecukupan ventilasi sudah sangat layak ditempati. Keluarga pasien
yang terdiri dari suami, anak, menantu, dan 2 cucu memiliki hubungan
yang cukup dekat. Hanya saja suami pasien kurang memperhatikan
kondisi kesehatan pasien. Selama ini yang memperhatikan pasien
hanyalah anak dan menantu pasien. Suami pasien dikatakan sering
marah-marah ketika pasien mengeluhkan penyakitnya. Suami pasien
dikatakan tidak memberikan dukungan penuh terkait dengan kondisi
pasien saat ini. Bila pasien kontrol kesehatan atau cuci darah ke rumah
sakit, suami pasien sangat jarang untuk mau mengantarkan pasien,
sehingga pasien lebih sering meminta tolong diantar oleh anak dan
menantu pasien saja. Pasien tinggal di kawasan pemukiman padat
penduduk. Hubungan pasien dengan tetangga baik, namun akhir-akhir
ini jarang berinteraksi karena sakit. Hubungan pasien dengan saudara-
saudaranya di kampung sudah lama tidak terjalin, akibat pasien yang
menetap di Bali dikarenakan sakit yang dialami pasien.
Di dalam lingkungan biologis, keluarga pasien yang terdiri dari
suami dan anak tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.
Pada saat kunjungan, pasien terlihat lemas namun masih bisa untuk
duduk di ruang tamu sembari menonton TV. Pasien sebelum sakit
memiliki kebiasaan meminum-minuman yang manis dan bersoda.
Pasien juga dikatakan waktu muda sering mengkonsumsi makanan
yang berlemak. Pasien juga sangat jarang melakukan olahraga. Pasien
juga memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 2014 dan hipertensi sejak
tahun 2016.
2. Spiritual
Anak pasien mengatakan bahwa pasien masih sangat rajin untuk
beribadah. Anak pasien mengatakan bahwa semenjak pasien sakit,
43
pasien semakin sering beribadah untuk menenangkan dirinya. Pasien
dikatakan tidak pernah meninggalkan waktu untuk sholat. Pasien juga
mengatakan masih mampu melakukan ibadah puasa, namun dari pihak
keluarga tidak mengijinkan pasien untuk berpuasa penuh karna takut
akan mempengaruhi kesehatannya. Pendekatan spiritual sangatlah
penting untuk proses pengobatan, agar pasien dapat lebih mendekatkan
diri kepada Tuhan dan untuk lebih mudah mendapatkan ketenangan hati
dan pikiran sehingga proses pengobatan lebih mudah dijalani.
3. Faktor Psikososial
Pasien yang dalam kondisi sakit lama sangat membutuhkan
dukungan dan peran serta keluarga dalam membantu pasien untuk
menjalani terapi jangka panjang yang mungkin dalam perjalanannya
akan minimbulkan rasa bosan, jenuh, perasaan sia-sia, dan putus asa
dari dalam diri pasien. Saat ini pasien sangat beruntung memiliki anak
dan menantu yang sangat sabar dan setia dalam mendukung segala
bentuk pengobatan pasien baik dari kontrol kesehatan rutin hingga
hemodialisis rutin yang dilakukan 2 kali seminggu. Anak pasien sangat
memperhatikan perkembangan kondisi pasien dan mendukung pasien
dalam menjalani pengobatan, hal tersebut terlihat dari menantu dan
anak pasien yang selalu menyiapkan makanan untuk pasien,
memastikan pasien meminum obatnya, dan mengantarkan pasien untuk
ke rumah sakit untuk kontrol rutin dan hemodialisis. Keluarga pasien
sangat terbuka menerima kunjungan kami karena mereka mengerti
bahwa kunjungan ini adalah salah satu bentuk dukungan tenaga
kesehatan untuk pemberian edukasi serta solusi dari masalah-masalah
yang ada berkaitan dengan pemulihan kondisi dan peningkatan kualitas
hidup pasien.
Menurut anak pasien, saat ini pasien sangat kehilangan semangat
untuk sembuh. Pasien merasa sudah putus asa dalam pengobatan yang
dia jalani, dan merasa semuanya akan sia-sia dan berpikir bahwa
penyakitnya tidak mungkin bisa sembuh. Pasien sangat membutuhkan
perhatian dan dukungan keluarga agar senantiasa mengingatkan dan
44
mengawasi kondisi kesehatan pasien, kedisiplinan terapi, pola makan
dan minum, serta menghindari faktor-faktor yang memperburuk
kondisi kesehatan pasien.
4.4. PEMECAHAN MASALAH, SARAN, DAN KIE
Dari beberapa permasalahan yang kami dapat selama melakukan
kunjungan, kami mengusulkan solusi pemecahan dari masalah tersebut sebagai
berikut:
1. Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyakit pasien.
Pasien beserta keluarga terutama suami pasien dijelaskan mengenai
apa itu penyakit CKD yang diderita pasien, mulai dari pengertiannya yaitu
suatu penyakit ginjal kronik dan progresif akibat dari adanya gangguan
struktur dan fungsi ginjal untuk eksresi zat sisa metabolik yang tidak dapat
kembali menjadi normal. Pasien dan keluarga juga diedukasi mengenai
faktor risiko yang harus dihindari untuk mencegah perburukan penyakit,
kekambuhan (eksaserbasi akut) seperti hipertensi yang tidak terkontrol
(tidak rutin minum obat), diabetes mellitus yang tidak terkontrol (tidak
rutin minum obat), dan minum air yang berlebih. Sehingga pasien kami
sarankan untuk disiplin dalam minum obat antihipertensi secara rutin,
meminum obat diabetes mellitus secara teratur, mengawasi jumlah cairan
yang masuk, dan tidak terlambat melakukan hemodialisis. Pihak keluarga
juga diharapkan senantiasa mengingatkan pasien untuk minum obat teratur,
bila perlu disediakan catatan khusus yang berisi daftar obat serta jadwal
minum obat pasien. Dengan begitu akan mempermudah pasien dan dokter
yang merawat dalam merencanakan terapi lanjutin berkaitan dengan
penyakit ginjal pasien. Suami dan anak pasien juga diharapkan ikut
mengontrol jumlah cairan yang masuk melalui minum pasien, mengingat
pasien sering merasakan haus agar jumlah air yang masuk tidak berlebihan.
Menyarankan pasien dan keluarga agar segera membawa pasien ke fasilitas
kesehatan untuk berkonsultasi bila ada keluhan kesehatan muncul,
sehingga komplikasi yang lebih lanjut dapat dihindari. Pasien dan
keluarganya juga diedukasi bahwa dalam pengendalian penyakit ginjal
45
yang diderita pasien, diperlukan kombinasi dari berbagai hal seperti medis,
gizi, serta psikologis. Pasien juga disarankan untuk lebih aktif bergerak jika
keluhan sakit pada kaki sudah tidak ada, guna menjaga massa otot. Namun
tentu aktivitas yang tidak berlebihan dan tidak dipaksakan agar tidak
memperburuk kondisi dan mengurangi risiko jatuh dari pasien.
2. Edukasi pasien dan keluarga tentang kontrol kesehatan
Pasien dan keluarga diharapkan untuk selalu kontrol kesehatan rutin
bila terdapat keluhan baru berkaitan dengan penyakitnya. Pasien juga
disarankan untuk selalu disiplin mengenai jadwal hemodialisis yang
dilakukan 2 kali seminggu, jangan sampai terlambat. Keluarga pasien kami
sarankan untuk membuat catatan khusus untuk pasien mengenai daftar
obat, jadwal minum obat, serta jadwal kontrol yang harus dijalani pasien.
Catatan itu sekiranya mampu untuk membantu pasien dalam menjalani
pengobatan terkait dengan kepatuhan pasien dalam berobat.
3. Dukungan Keluarga
Keluarga pasien, baik suami ataupun anak pasien diharapkan untuk
senantiasa memberikan dukungan moril kepada pasien dan selalu setia
menemani terapi yang dijalani pasien. Dukungan emosional dari suami dan
anak pasien juga sangat dibutuhkan, terutama suami pasien yang sangat
kurang memperhatikan kondisi kesehatan pasien dan jarang ada disamping
pasien dalam menjalani sakitnya. Diusahakan agar pasien tidak merasa
kesepian karena hal tersebut sangat berpengaruh kepada semangat pasien
itu sendiri dalam menjalani terapi.
Pasien juga disarankan untuk selalu terbuka mengenai apa yang
menjadi keluhannya sehari-hari. Dengan begitu keluarga akan bisa
mencatat dan segera dibawa ke dokter untuk kontrol kesehatan. Pasien akan
terbuka dengan orang-orang disekitarnya jika pasien merasa mendapat
dukungan penuh untuk berobat dan sembuh dari sakitnya.
4. Pola makan dengan gizi seimbang
Pasien diberikan edukasi mengenai pola makan yang baik berkaitan
dengan kondisi pasien ini. Asupan yang didapat pasien harus seimbang dari
karbohidrat, lemak, dan protein. Menu makan yang disajikan oleh anak
46
pasien boleh divariasikan namun harus tetap rendah kolesterol, asam lemak
jenuh, gula, dan garam. Asupan protein bisa ditingkatkan karena pasien
dengan CKD stage V dapat kehilangan protein setiap kali hemodialisis.
Kebutuhan cairan juga harus dikontrol ketat, dengan cairan masuk tidak
berlebihan agar tidak terjadi bengkak akibat kelebihan cairan atau keluhan
lain yang berkaitan dengan fungsi ginjal pasien. Asupan buah dan sayur
juga sangat penting bagi pasien untuk kebutuhan vitamin dan mineralnya,
namun pasien harus menghindari buah dan sayur yang tinggi kalium seperti
pisang karena pasien dengan CKD biasanya kadar kalium dalam darah
sudah tinggi. Bila pasien merasa mual, diberikan pola makan sedikit namun
sering untuk menjaga nutrisi pasien tetap tercukupi, mengingat status gizi
pasien masuk dalam kategori gizi kurang.
Menu makan setiap harinya diharapkan dibuat di rumah oleh anak
pasien agar lebih terkontrol, karena makan pasien harus terhindar dari
bahan pengawet, rendah kolesterol, dan menghindari penggunaan garam
yang berlebih. Pengaturan diet tiap harinya sangat penting untuk membantu
keberhasilan terapi pasien dan mempertahankan kondisi optimal dari
pasien sehingga mengurangi risiko eksaserbasi akut dan komplikasi
berkaitan dengan penyakit ginjalnya. Pihak keluarga harus selalu
memperhatikan gizi pasien, mengingat status gizi pasien masuk dalam
kategori kurang dan berat badan pasien dikatakan semakin turun sejak
beberapa bulan terkahir.
5. Lingkungan rumah
Rumah pasien secara umum termasuk rumah yang bersih dan sangat
layak huni. Namun sebaiknya kerapian barang barang di rumah
ditingkatkan untuk menjaga higienitas secara umum. Kami juga
menyarankan agar keluarga terutama suami pasien untuk selalu menemani
pasien jika ingin ke kamar mandi, atau jika pasien hanya sendiri di rumah
disarankan untuk menyediakan pispot di dalam kamar untuk BAK pasien.
Lantai di kamar mandi juga agar selalu dijaga kebersihannya agar tidak
licin dan untuk mengurangi risiko jatuh dan fraktur pada pasien.
47
Diharapkan juga barang-barang berdebu agar dibersihkan secara teratur
agar tidak terpapar pada pasien maupun anggota keluarga lainnya.
6. Optimis dan selalu mendekatkan diri kepada Tuhan
Selalu berpikir positif dan optimis dalam setiap terapi yang dijalani
berkaitan dengan penyakit diderita adalah salah satu cara untuk
mempermudah keberhasilan terapi. Tidak pernah bersosialisasi atau
bahkan menarik diri dari kehidupan sosial bukanlah cara yang tepat untuk
dilakukan ditengah sakit yang dialami. Memberikan edukasi kepada pasien
untuk menghindari rasa khawatir yang berlebih dengan cara senantiasa
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan rutin beribadah
sesuai dengan keyakinan yang dianutnya, niscaya akan memberikan
ketenangan emosional yang tentunya akan mempermudah keberhasil
terapi. Pihak keluarga harus selalu membangkitkan semangat pasien dalam
menjalani hari-harinya dengan selalu berada di dekat pasien dan berusaha
untuk selalu ada saat pasien membutuhkan bantuan dalam menjalani suatu
aktivitas, dengan begitu pasien akan merasa tidak sendiri dan selalu
diperhatikan oleh orang-orang terkasih.
4.5. DENAH RUMAH PASIEN
Utara Keterangan :
1. Dapur
2. Ruang Tamu dan
ruang keluarga
3. Kamar tidur
4. Teras
5. Garasi
6. Pintu masuk
SIMPULAN
Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan
penyakit ginjal yang ditandai adanya kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3
bulan yang dengan atau tanpa penurunan GFR < 60 mL/min/1,73m2 yang
bersifat progresif dan irreversible.
Adapun gejala klasik CKD diantaranya adalah edema, hipertensi dan
anemia. Berdasarkan derajat penyakitnya CKD dibagi menjadi 5 stage yang dinilai
dari GFR. Gejala klinis CKD meliputi gejala penyakit dasar, gejala sindrom
uremikum serta gejala komplikasi CKD. Penatalaksanaan CKD disesuaikan dengan
derajat kerusakan fungsi ginjal.
Pada kasus, pasien didiagnosis dengan CKD stage V,
sehingga penatalaksanaan utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal
berupa hemodialisis. Disamping itu pada pasien ini juga diberikan beberapa terapi
penunjang lainnya yang disesuaikan dengan manifestasi klinis yang muncul dan
penyakit yang mendasarinya. Dalam penatalaksanaan pasien dengan CKD, tidak
cukup hanya pada pemberian terapi farmakologis saja, tetapi diperlukan juga terapi
non-farmakologis berupa pendekatan lain yaitu pendekatan bio-psiko-sosial.
Penanganan etiologi, gejala dan komplikasi penyakit dengan tepat,
serta perubahan pola diet yang disesuaikan dengan fungsi ginjal diharapkan dapat
membantu mencegah perburukan kondisi ginjal sehingga meningkatkan kualitas
hidup pasien.
48
49
DAFTAR PUSTAKA
1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2159. 2014.
2. KDIGO CKD Work Group. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the
evaluation and management of chronic kidney disease. Kidney Int Suppl 2013;
3: 1–150.
3. Nathan R. H, Samuel T. F, Jason L. O, Jennifer A. H, ChristopherA. O’C,
Daniel S. L. Global Prevalence of Chronic Kidney Disease – A Systematic
Review and Meta-Analysis. Oxford Biomedical Research Centre. 2016 (6).
4. Indonesian Renal Registry (IRR). 10th Report Of Indonesian Renal Registry.
2017. Terdapat di: http://www.indonesianrenalregistry.org/
5. Mardiana N dan Aditiawardana. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi II. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR;
2015. 486.
6. Kerr M, Bray B, Medcalf J. Chronic Kidney Disease in Adults: Assestment and
Management. England: National Institute for Health and Care Excellence; 2014.
hal 1-63.
7. Suhardjono. Penyakit ginjal kronik, suatu epidemiologi global baru: protect
your kidney save your heart. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI);
2010.
8. Abraham G dkk. Management of Hypertension in Chronic Kidney Disease:
Consensus Statement by an Expert Panel of Indian Nephrologists. 2017.
9. Wheeler DC. Clinical evaluation and management of chronic kidney disease.
Dalam: Feehaly J, Floege J, Johnson RJ, penyunting. Comprehensice clinical
nephrology. St. Loius: Elsevier Saunders; 2010
10. National Kidney Foundation. Diabetes and Chronic Kidney Disease Stage 5.
New York. 2012.Terdapat di: www.kidney.org
11. Bieber, S.D. & Himmelfarb, J. Hemodialysis. In : Schrier’s Disease of the
Kidney. 9th edition. Coffman, T.M, Falk, R.J., Molitoris, B.A., Neilson, E.C.,
Schrier, R.W. editors. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia: 2013, hal
2473-505.
50
12. Wheeler DC. Clinical evaluation and management of chronic kidney disease.
Dalam: Feehaly J, Floege J, Johnson RJ. Comprehensice clinical nephrology.
St. Loius: Elsevier Saunders; 2010.
51
LAMPIRAN FOTO KEGIATAN
52