penerapan strategi intervensi dalam pembelajaran ipa untuk memacu perkembangan kemampuan berpikir ...

21
PENERAPAN STRATEGI INTERVENSI DALAM PEMBELAJARAN IPA UNTUK MEMACU PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR SISWA PADA USIA PERALIHAN DI SEKOLAH DASAR Erman (Dosen Pendidikan Kesehatan dan Rekreasi FIK Unesa, e-mail: [email protected] ) Abstract: This study aims to induce students’thinking ability by an intervention strategy through sains learning. As long as four months, fifty four students of SDN Puhsarang I and Puhsarang II Kediri inducing their cognitive thinking through three matter, water, stone and earth respectively. Data is collected by using SCDT (science cognitive development test). The target is achieved after conducting two learning cycles refer to the action research method. The result shows that after the first cycle, there are only 35.19% students can operate concrete reasoning completely (C2) where by 64.18% students are still on the basic category of concrete reasoning. But, after the second cycle or four month intervention, the number of students who could operate concrete reasoning completely become 74.10% where by there are only 25.90% students are still on the basic level. These facts indicate that intervention period or four months is not enough to stimulate students’abstract reasoning in the transition periode. Learning activity must be paying more attention on students’reasoning and make an intervention systematicaly. Kata kunci: strategi intervensi, berpikir konkrit, berpikir abstrak, usia peralihan Setiap manusia secara alamiah mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun intelektualnya (Moessinger, 2000). Pengetahuan seseorang pada dasarnya bersifat dinamis, selalu berubah dan berkembang tergantung pada individu dan interaksinya dengan lingkungan. Pertumbuhan dan perkembangan setiap individu akan mempengaruhi pengetahuan individu. Itulah sebabnya banyak ahli psikologi pendidikan termasuk Piaget (1972) merumuskan hubungan antara pengetahuan, pertumbuhan dan perkembangan individu, khususnya perkembangan intelektual. Potensi individu tersebut mempengaruhi proses interaksinya

Upload: alim-sumarno

Post on 26-Nov-2015

55 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : ERMAN ,

TRANSCRIPT

A

JURNAL PENDIDIKAN DASAR,VOL.10 NO. 1,MARET 2009 (70-81)Erman, Penerapan Strategi Intervensi dalam Pembelajaran IPA

PENERAPAN STRATEGI INTERVENSI DALAM PEMBELAJARAN IPA UNTUK MEMACU PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR SISWA PADA USIA PERALIHAN DI SEKOLAH DASAR Erman

(Dosen Pendidikan Kesehatan dan Rekreasi FIK Unesa, e-mail: [email protected])Abstract: This study aims to induce studentsthinking ability by an intervention strategy through sains learning. As long as four months, fifty four students of SDN Puhsarang I and Puhsarang II Kediri inducing their cognitive thinking through three matter, water, stone and earth respectively. Data is collected by using SCDT (science cognitive development test). The target is achieved after conducting two learning cycles refer to the action research method. The result shows that after the first cycle, there are only 35.19% students can operate concrete reasoning completely (C2) where by 64.18% students are still on the basic category of concrete reasoning. But, after the second cycle or four month intervention, the number of students who could operate concrete reasoning completely become 74.10% where by there are only 25.90% students are still on the basic level. These facts indicate that intervention period or four months is not enough to stimulate studentsabstract reasoning in the transition periode. Learning activity must be paying more attention on studentsreasoning and make an intervention systematicaly. Kata kunci: strategi intervensi, berpikir konkrit, berpikir abstrak, usia peralihan Setiap manusia secara alamiah mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun intelektualnya (Moessinger, 2000). Pengetahuan seseorang pada dasarnya bersifat dinamis, selalu berubah dan berkembang tergantung pada individu dan interaksinya dengan lingkungan. Pertumbuhan dan perkembangan setiap individu akan mempengaruhi pengetahuan individu. Itulah sebabnya banyak ahli psikologi pendidikan termasuk Piaget (1972) merumuskan hubungan antara pengetahuan, pertumbuhan dan perkembangan individu, khususnya perkembangan intelektual. Potensi individu tersebut mempengaruhi proses interaksinya dengan lingkungan di mana ia berada. Terjemahan pengetahuan ke dalam istilah biologi adalah suatu proses adaptasi individu dengan lingkungan sekitarnya. Akibat interaksi seseorang dengan lingkungannya, pengetahuan seseorang menjadi bertambah dan berkembang yang kemudian oleh Piaget disebut struktur (Moessinger, 2000).

Dalam proses interaksi dengan lingkungan, stimulus atau informasi yang diterima selanjutnya dapat mengalami proses asimilasi dan akomodasi tergantung pada kesesuaian antara stimulus dengan struktur pengetahuan yang sebelumnya telah ada dalam struktur kognitifnya. Apabila stimulus tersebut sesuai dengan struktur yang telah ada, maka stimulus tersebut akan diasimilasikan. Sebaliknya, bila stimulus tersebut tidak sesuai dengan struktur yang telah ada dalam struktur kognitifnya, maka pengetahuan tersebut akan dimodifikasi atau membentuk struktur pengetahuan baru. Proses ini disebut akomodasi. Proses asimilasi dan akomodasi inilah yang dapat memperkaya pengetahuan seseorang. Kemampuan dalam proses asimilasi dan akomodasi tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berpikir yang dapat dioperasikannya. Menurut Piaget (dalam Erman, 2005) melalui proses asimilasi dan akomodasi, struktur kognitif seseorang berkembang dari tingkat sensorimotorik sampai dengan berpikir formal dengan klasifikasi sebagai berikut:a. Sensorimotorik (umur: 0 2 tahun)b. Praoperasional (umur: 2 7 tahun)c. Berpikir konkrit (umur: 7 11 tahun)d. Berpikir formal (umur: 11 16 tahun) Selama tahap sensorimotorik, pengetahuan setiap individu hanya berkembang melalui interaksi indera fisiknya dengan lingkungan. Stimulus atau informasi hanya diperoleh melalui respon alat indera yang dimiliki oleh individu tersebut. Pada tahap berikutnya, yaitu praoperasional dan berpikir konkrit, individu mulai berusaha mengenal beberapa keteraturan-keteraturan dan melakukan klasifikasi atau mengelompokkan obyek-obyek yang dapat direspon oleh alat inderanya berdasarkan kemauannya atau mengikuti pola tertentu. Pada tahap berpikir konkrit, individu sudah dapat membedakan benda-benda berdasarkan kriteria-kriteria yang dapat direspon oleh alat inderanya. Bahkan individu dapat melakukan perbandingan-perbandingan logis berdasarkan kriteria-kriteria yang dapat direspon oleh alat inderanya. Berbeda dengan individu pada tahap sebelumnya, pada tahap berpikir abstrak, individu selain dapat melakukan klasifikasi atau generalisasi pada konsep-konsep konkrit, ia juga dapat melakukan klasifikasi dan generalisasi pada konsep-konsep abstrak. Bahkan pada tahap ini ia mulai dapat berteori secara logis berdasarkan hasil pengalamannya. Pada tingkat yang lebih sempurna atau kategori formal-5, individu dapat mengkaji dan menyadari konsistensi dan relevansi pengetahuan yang dimilikinya dengan teori-teori yang secara ilmiah masih berlaku.

Perkembangan intelektual seseorang sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi dan adaptasi. Organisasi merupakan kemampuan individu untuk mengorganisasi proses-proses fisik dan psikologis menjadi sistem yang teratur berupa struktur-struktur. Sedangkan adaptasi dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Kemampuan seseorang dalam asimilasi dan akomodasi ini sangat penting dalam perkembangan intelektual atau kemampuan berpikir seseorang.

Tahap perkembangan intelektual individu dapat diidentifikasi dan dikenali dengan ciri-ciri yang khas untuk setiap tahap dalam teori Piaget (Karplus, 1977). Di antara tahap-tahap perkembangan intelektual tersebut, tahap berpikir konkrit dan tahap berpikir abstrak dianggap oleh pendidik dan pemerhati pendidikan sangat penting dalam dunia pendidikan atau sekolah. Kemampuan memahami ilmu pengetahuan dan teknologi seringkali dikaitkan dengan kemampuan berpikir atau intelektual. Setiap individu akan mengoperasikan kategori tertentu ketika menghadapi suatu masalah sesuai dengan tingkat kemampuan berpikirnya.Ditinjau dari ciri-ciri setiap tahap kemampuan berpikir yang diilustrasikan oleh Piaget, tahap berpikir abstrak yang merupakan tahap paling tinggi sangat penting dan diperlukan dalam pengembangan iptek. Sayangnya banyak studi yang sudah dilakukan, seperti: Shayer dan Adey (1993), Iqbal dan Shayer (2000), Cepni et al. (2004) dan Erman (2005) yang menemukan banyaknya siswa bahkan mahasiswa ternyata tidak mampu mencapai tahap berpikir abstrak. Mereka hanya mampu mengoperasikan kemampuan berpikir konkrit dan sulit melewati masa peralihan dari tahap berpikir konkrit menuju tahap berpikir abstrak. Berdasarkan teori perkembangan intelektual Piaget (Moessinger, 2000), masa peralihan atau transisi kemampuan berpikir anak dari tahap berpikir konkrit menuju tahap berpikir abstrak terjadi pada saat anak berusia 11 tahun atau seumur dengan siswa kelas IV SD di Indonesia. Pada masa inilah banyak anak mengalami hambatan perkembangan intelektualnya. Mereka pada umumnya gagal melewati masa peralihan sehingga tidak dapat mencapai tahap kemampuan berpikir abstrak. Itulah sebabnya banyak negara maju, seperti: Inggris dan Australia dan negara berkembang, seperti: Pakistan, Turki dan India sedang berupaya meningkatkan kemampuan berpikir siswa sejak dini melalui program-program percepatan dan intervensi dalam pembelajaran (Cepni, et. al. 2004). Gagalnya siswa melewati masa peralihan dari tahap berpikir konkrit menuju tahap berpikir abstrak disebabkan oleh kurangnya latihan menggunakan kemampuan tersebut (Iqbal dan Shayer. 2000). Hasil penelitian Erman (2006) menemukan bahwa faktor pembelajaran yang kurang peduli dengan perkembangan intelektual siswa juga menjadi penyebab gagalnya anak mencapai tahap berpikir abstrak. Hal ini sejalan dengan pendapat pakar pendidikan Korea Selatan, Won Han Jhu (dalam Siaran Berita Radio Senora Surabaya, 29 Mei 2004 jam 22.30 WIB) bahwa pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan, khususnya pendidikan anak. Anak hanya diajar membaca, menulis dan berhitung tetapi tidak menggali imajinasi dan kreativitas berpikirnya. Akibatnya, meskipun anak memiliki IQ tinggi tetapi tidak dapat berimajinasi dan kreatif dalam berpikir. Pada mulanya kemampuan berpikir konkrit seseorang dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: kategori C1, kategori C2, dan kategori C3. Sedangkan kemampuan berpikir abstrak dibagi menjadi 5 kategori, yaitu: kategori A1, A2, A3, A4 dan A5. Setiap kategori mempunyai ciri-ciri khusus yang dapat dibedakan dari kategori yang lain. Dalam implementasinya, khususnya dalam kegiatan pembelajaran IPA, kemampuan berpikir konkrit seringkali hanya dibagi menjadi 2 kategori, yaitu C1 dan C2. Sedangkan kemampuan berpikir formal juga dibagi menjadi 2 kategori, yaitu A1 dan A2 (Cepni et. al., 2004). Pembagian kemampuan berpikir individu ke dalam kategori-kategori tersebut ditentukan melalui skor tes kemampuan berpikir yang mencakup 9 aspek kemampuan berpikir antara lain: classification reasoning, seriational reasoning, conservational reasoning, probability reasoning, combinatorial reasoning, correlational reasoning dan controlling variable. Setiap anak dinyatakan telah mencapai kemampuan berpikir C1 jika mendapat skor 0 6 dalam tes SCDT, kemampuan berpikir C2 jika mendapat skor 7 14 dalam tes SCDT, kemampuan berpikir A1 jika mendapat skor 15 20 dalam tes SCDT dan kemampuan berpikir A2 jika mendapat skor 21 22 dalam tes SCDT (Nordland, Lawson dan De Vito, 1974). Untuk dapat mempelajari IPA diperlukan kemampuan berpikir minimal pada kategori berpikir formal tahap awal (A1). Sedangkan untuk dapat mengembangkan kemampuan di bidang riset atau penelitian diperlukan kemampuan berpikir abstrak secara sempurna.

Banyaknya kasus terhambatnya perkembangan intelektual anak, khususnya dari tahap berpikir konkrit menuju tahap berpikir abstrak dan peran kemampuan berpikir abstrak dalam kegiatan belajar mengajar dan pengembangan iptek menjadi alasan utama dilakukannya riset identifikasi perkembangan kemampuan berpikir siswa, khususnya pada usia peralihan. Penelitian ini bertujuan untuk menstimulasi perkembangan untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa SD melalui kegiatan intervensi dalam setiap siklus pembelajaran IPA. Strategi intervensi merupakan strategi pembelajaran pembelajaran kepada siswa yang disusun dalam bentuk stimulus-stimulus sesuai dengan konteks materi pembelajaran/pokok bahasan. Melalui strategi intervensi, guru dapat melakukan kegiatan pembelajaran sekaligus menstimulasi perkembangan kemampuan berpikir siswa. Langkah-langkah dalam strategi intervensi yang disesuaikan dengan pokok bahasan pada penelitian ini adalah: (1) Siswa mengerjakan tugas: membawa dan mengumpulkan aneka jenis, bentuk, warna dan karakteristik lainnya, seperti: air, batuan dan tanah. (2) Guru menjelaskan materi pembelajaran: air, batuan dan tanah dilengkapi dengan contoh masing-masing selama 30 menit pada setiap pokok bahasan untuk memberikan pemahaman awal kepada siswa. (3) Guru membentuk kelompok dengan jumlah anggota 3-4 orang sehingga jumlah kelompok 15 kelompok. (4) Setiap kelompok melakukan pengamatan terhadap benda-benda yang dibawa siswa dan yang disediakan oleh guru untuk melakukan: (1) identifikasi sifat-sifat air, batuan dan tanah, (2) klasifikasi air, batuan dan tanah dengan menggunakan sifat-sifat yang telah diidentifikasi sebanyak mungkin. Semakin banyak variabel yang dapat dijadikan dasar klasifikasi oleh siswa semakin baik kemampuan berpikirnya, siswa menjelaskan alasan setiap mengklasifikasi tugasnya, (3) membandingkan dan menghitung berdasarkan sifat-sifat tertentu dan (4) membuat kesimpulan.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan melalui 4 tahap kegiatan, yaitu: tahap perencanaan, tahap pelaksanaan tindakan, tahap pengamatan atau observasi dan tahap refleksi. Keempat tahap kegiatan tersebut dilaksanakan dalam bentuk siklus pembelajaran. Tahap refleksi merupakan tahap evaluasi akan menentukan tingkat pencapaian target yang telah ditetapkan pada tahap perencanaan dan menentukan apakah kegiatan pembelajaran masih perlu diteruskan ke siklus berikutnya. Jumlah siklus tergantung pada tercapainya target yang telah ditetapkan pada tahap perencanaan.

Pada tahap perencanaan dilakukan penyiapan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian yang berupa: (1) rancangan strategi intervensi pada 3 pokok bahasan dalam mata pelajaran IPA siswa kelas IV, yaitu: air, batuan dan tanah, (2) tes kemampuan berpikir atau science cognitive development test, RPP (Rencana Pelaksanaan Tindakan), LKS (Lembar Kerja Siswa), (3) angket, (4) pedoman observasi dan wawancara, (5) alat dan bahan yang diperlukan selama pelaksanaan tindakan serta (6) indikator-indikator keberhasilan tindakan. Pada tahap tindakan, tindakan dilaksanakan oleh guru IPA SDN Puhsarang yang telah mengikuti latihan implementasi strategi intervensi agar situasi kelas bersifat stabil dan kondusif sedangkan pengamatan (observasi) dilaksanakan oleh peneliti. Selama pelaksanaan tindakan, guru dapat meminta bantuan pengamat tanpa mengganggu kegiatan belajar mengajar yang sedang berlangsung. Kehadiran pengamat dalam kelas dilakukan secara hati-hati, yaitu dengan tetap menjaga situasi kelas berlangsung seperti biasa agar tidak menimbulkan kejutan dan kebingungan siswa yang dapat mengganggu konsentrasi belajar mereka. Keberhasilan tindakan ditentukan melalui target pencapaian perorangan dan kelompok siswa, melalui indikator-indikator berikut pada tabel 1.Tabel 1. Indikator keberhasilan Tindakan

Indikator Target

Kemampuan berpikir konkrit C2 70%

Hasil belajar siswa pada pokok bahasan air

60% nilai >70 Hasil belajar siswa pada pokok bahasan batuan

60% nilai >70 Hasil belajar siswa pada pokok bahasan tanah

60% nilai >70 Ketuntasan belajar

70% Keterlibatan siswa dalam pembelajaran 80%

Siswa merasa senang

70% Persentase capaian minimal siswa mampu mencapai tahap C2 sebesar 70%. Untuk tahap A1 dan tahap A2 tidak ditargetkan karena dari hasil studi sebelumnya ditemukan 99% siswa SDN Puhsarang hanya mampu mencapai tahap C1 dan untuk mencapai tahap kemampuan berpikir abstrak diperlukan latihan dalam waktu yang lama (Shayer dan Adey, 1993), meskipun sensitivitas antara satu siswa dengan siswa lainnya relatif berbeda. Hasil belajar siswa ditentukan melalui tes pemahaman yang terdiri dari 10 soal pada setiap pokok bahasan. Ketuntasan belajar ditentukan melalui perbandingan jumlah siswa yang mampu menjawab dengan benar semua soal tes pemahaman pada setiap pokok bahasan dan LKS dengan jumlah total siswa. Keterlibatan siswa ditentukan dengan membandingkan jumlah siswa aktif dalam diskusi kelompok dengan jumlah total siswa. Siswa yang merasa senang ditentukan dengan membandingkan jumlah siswa yang menyatakan senang dalam angket dengan jumlah total siswa yang dicrosscheck dengan wawancara kepada 5 siswa.Pada tahap pengamatan, fokus utama adalah siswa, guru sebagai pelaksana tindakan dan situasi kelas. Pengamatan terhadap siswa difokuskan pada aktivitas belajar siswa selama mengikuti strategi intervensi yang diterapkan. Pengamatan pada guru difokuskan pada implementasi strategi intervensi yang sesuai dengan rencana tindakan. Pengamatan terhadap kelas dilakukan untuk mengamati hasil interaksi KBM berupa situasi kelas dan proses KBM. Kondisi ini dapat dilihat pada tabel 2. Persentase dalam mengerjakan tugas dan mengikuti penjelasan dihitung berdasarkan jumlah siswa sedangkan dalam kemampuan-kemampuan yang diukur dalam diskusi ditentukan dengan membandingkan jumlah kelompok yang dapat melakukan tugasnya dengan benar dengan jumlah total kelompok. Pada tahap refleksi dilakukan perbaikan strategi intervensi di samping mencermati hasil-hasil yang dicapai dan kelemahan-kelemahan yang ditemukan selama pelaksanaan tindakan. Dalam refleksi ini, guru dan pengamat mengadakan diskusi dan saling memberikan masukan untuk perbaikan sekaligus mengatasi kekurangan yang terjadi selama pelaksanaan tindakan untuk mencapai target yang ditetapkan.

Tabel 2. Aktivitas Siswa dan Kemampuannya Selama Pelaksanaan Tindakan I

Jenis Aktivitas Target

1. Mengerjakan tugas (perorangan) 100%

2. Mengikuti penjelasan guru

100%

3. Diskusi (perkelompok)

a. Kemampuan mengidentifikasi sifat air, batuan, dan tanah 60%

b. Kemampuan mengklasifikasi

60%

b. Kemampuan menjelaskan alasan/dasar klasifikasi

60%

c. Kemampuan membuat urutan (serial ordering)

60%

d. Kemampuan membandingkan

60%

e. Kemampuan menghitung

100%

f. Kemampuan membuat kesimpulan

60%

Hasil tes pendahuluan menemukan bahwa semua siswa hanya mampu mengoperasikan kemampuan berpikir konkrit yang mayoritas masih dalam kategori C1. Iqbal dan Shayer (2000) menemukan bahwa untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa dari tahap berpikir konkrit menuju tahap berpikir abstrak memerlukan waktu yang lama, latihan dan intervensi yang sistematis dan berkelanjutan sehingga tidak mungkin dilaksanakan dengan alokasi waktu penelitian yang tersedia. Atas dasar itulah maka target yang akan dicapai adalah sekurang-kurangnya 70% siswa mampu mencapai kategori C2 dalam tahap kemampuan berpikir konkrit.Hasil dan Pembahasan

Siklus I

Setelah semua perangkat pembelajaran dipersiapkan pada tahap perencanaan, peneliti bersama guru melakukan diskusi lebih lanjut untuk memantapkan pelaksanaan tindakan atau implementasinya dalam pembelajaran dengan mempertimbangan alokasi waktu pembelajaran dan kegiatan penelitian serta perkembangan kemampuan berpikir siswa. Setiap pokok bahasan direncanakan akan dilaksanakan untuk satu kali pertemuan pada setiap siklus sehingga jumlah siklus tergantung pada pencapaian target yang sudah ditetapkan pada setiap pokok bahasan. Pada setiap akhir pertemuan akan diberikan tes pemahaman yang berjumlah 10 soal pada setiap pokok bahasan.Pada tahap pelaksanaan tindakan, guru kelas IV SDN Puhsarang berperan sebagai pelaksana dan peneliti sebagai pengamat. Kegiatan pembelajaran dengan strategi intervensi dimulai pada pokok bahasan pertama air. Guru menjelaskan pokok bahasan air sesuai dengan buku acuan selama 30 menit. Selanjutnya, guru membagi siswa menjadi 15 kelompok dengan jumlah anggota setiap kelompok 3 4 orang. Setiap kelompok diminta untuk mengamati 3 wujud air yang sudah tersedia di sekolah. Kasus benda terapung, melayang dan tenggelam juga diminta untuk diamati siswa, termasuk hukum Archimedes dan manfaat air. Selanjutnya siswa mengidentifikasi sifat-sifatnya, mengklasifikasi, membuat serial ordering, membandingkan, menghitung dan membuat kesimpulan serta mengisi LKS. Setelah selesai guru mengumpulkan LKS setiap kelompok untuk diperiksa dan dinilai. Pada akhir pertemuan, siswa diberikan tes pemahaman pokok bahasan air, angket dan memberikan tugas kepada siswa untuk membawa aneka batuan, seperti: jenis, warna, bentuk, kerapuhan dan sifat-sifat lain yang ditemukan di lingkungan tempat tinggalnya masing-masing sebagai bahan pembelajaran pokok bahasan batuan. Pada pertemuan ke-2 membahas materi batuan, guru memeriksa tugas siswa dan meminta siswa mengumpulkan tugasnya pada tempat yang telah disediakan. Selanjutnya, guru menjelaskan materi batuan selama 30 menit. Kemudian setiap kelompok siswa diminta untuk mengambil bermacam-macam batuan untuk diamati oleh setiap kelompok. Setiap kelompok diminta melakukan identifikasi, mengklasifikasi, membuat serial ordering, membandingkan, menghitung dan membuat kesimpulan tentang batuan yang diamatinya dan mengisi LKS. Setelah selesai guru mengumpulkan LKS yang sudah diisi siswa untuk diperiksa dan dinilai serta membagikan tes pemahaman materi batuan dan angket. Setelah selesai, siswa diberi tugas membawa aneka jenis tanah yang dapat ditemukan di sekitarnya masing-masing sekitar 2 genggam pada kantong plastik untuk persiapan pembelajaran pokok bahasan tanah. Pada pertemuan ke-3, guru meminta siswa mengumpulkan tugasnya di depan kelas, kemudian guru menjelaskan materi tanah selama 30 menit. Selanjutnya, setiap kelompok diminta untuk mengambil kantong-kantong tanah, kemudian mengidentifikasi sifat-sifatnya, mengklasifikasi, serial ordering, membandingkan, menghitung dan membuat kesimpulan. Setelah selesai, guru memeriksa dan memberi nilai hasil diskusi siswa dan membagikan tes pemahaman tanah. Setelah siswa selesai, guru melanjutkan dengan membagikan tes SCDT dan angket. Wawancara kepada 5 siswa dilakukan setelah semua kegiatan selasai atau pada saat siswa istrahat. Dengan demikian pembelajaran untuk siklus I selesai. Hasil refleksi tentang indikator keberhasilan tindakan I diuraikan sebagai berikut pada tabel 3.Tabel 3. Rangkuman Indikator keberhasilan Tindakan Siklus I Persentase (%) Capaian

Indikator Sebelum Sesudah Target

Kemampuan berpikir konkrit C1 100,00 64,81 30

Kemampuan berpikir konkrit C2 0,00 35,19 70 Kemampuan berpikir abstrak A1 0,00 0,00 -- Kemampuan berpikir abstrak A2 0,00 0,00 -- Nilai >70 pada pokok bahasan air 0,00 27,78 60 Nilai >70 pada pokok bahasan batuan 0,00 31,48 60 Nilai >70 pada pokok bahasan tanah 0,00 37,03 60 Ketuntasan belajar siswa 0,00 30,00 70 Keterlibatan siswa dalam pembelajaran 0,00 55,55 80 Siswa merasa senang 0,00 74,07 70

Berdasarkan data pencapaian target yang dilakukan pada siklus I, semua siswa (100%) hanya mampu mengoperasikan kemampuan berpikir konkrit yang masih didominasi kategori C1, yaitu sebesar 64,81%. Pada umumnya siswa yang mampu mencapai kategori C2 ternyata belum sepenuhnya karena skor yang diperoleh belum penuh. Siswa yang mendapat nilai minimal 70 masih sedikit atau kurang dari separuhnya. Ketuntasan belajar siswa hanya sebesar 30%. Tabel 4. Aktivitas Siswa dan Kemampuannya Selama Pelaksanaan Tindakan I

Jenis Aktivitas Kemampuan Siswa Target

1. Mengerjakan tugas (perorangan) 100,00%100%2. Mengikuti penjelasan guru 100,00%100%3. Kemampuan dalam diskusi (perkelompok)

a. Mengidentifikasi sifat air, batuan, dan tanah 46,67% 60%b. Mengklasifikasi

40,00% 60%

b. Menjelaskan alasan/dasar klasifikasi

40,00% 60%c. Membuat urutan (serial ordering)

86,66% 60%d. Membandingkan

40,00% 60%e. Menghitung

100,00% 100%f. Membuat kesimpulan

26,67% 60%

Selama pelaksanaan tindakan I yang terlihat pada tabel 4, semua siswa mengerjakan tugasnya pada setiap pokok bahasan, yaitu: membawa air, batuan dan tanah yang mereka temukan di sekitarnya. Tingkat pencapaian siswa masih relatif terbatas terutama dalam melakukan identifikasi klasifikasi, membuat perbandingan dan menarik kesimpulan. Dari aspek klasifikasi, siswa hanya terbatas pada warna dan ukuran karena lebih mudah dikenal. Namun siswa cukup mahir dalam menghitung jumlah dalam berbagai satuan, seperti; volume untuk air dan jumlah bijih batuan. Karena terbatasnya kemampuan siswa dalam mengidentifikasi sifat-sifat materi mengakibatkan mereka kesulitan dalam membandingkan antara berbagai jenis, misalnya jenis batuan obsidian dan batuan apung. Perbandingan yang dapat dilakukan siswa hanya ditinjau dari jumlah dan warna. Sedangkan bentuk dan ukuran dan sifat unik lainnya belum dijangkau siswa.Hasil refleksi menemukan bahwa belum tercapainya target pada siklus I terutama dari aspek ketuntasan belajar dan hasil belajar siswa disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dalam implementasi strategi intervensi. Meskipun guru sudah menjelaskan sifat-sifat dengan menggunakan ceramah selama 30 menit sebelum siswa melakukan diskusi kelompok, siswa belum diarahkan untuk mengidentifikasi sifat-sifat benda selama diskusi. Dengan demikian perlu dilakukan perbaikan LKS. Semua sifat yang diinginkan untuk diidentifikasi siswa dinyatakan dalam LKS sehingga siswa tinggal mengeceknya berdasarkan hasil pengamatannya. Kelemahan lain, siswa belum pernah dilatih membuat kesimpulan sehingga mereka bingung dalam menuliskan kesimpulan. Dengan demikian guru sebaiknya memberikan contoh kepada siswa bagaimana cara menarik kesimpulan. Atas dasar itulah maka kegiatan pembelajaran dilanjutkan ke siklus II. Siklus II

Untuk mengatasi kelemahan tindakan pada siklus I, pada tahap perencanaan II, guru dan peneliti kembali melakukan diskusi berdasarkan hasil pengamatan dan pencapaian target pembelajaran pada siklus I untuk perbaikan pelaksanaan tindakan II. Perbaikan tersebut adalah revisi LKS, yaitu dengan mencantumkan semua sifat: air (pokok bahasan air), batuan (pokok bahasan batuan), dan tanah (pokok bahasan tanah) yang akan diidentifikasi siswa melalui pengamatan. Setelah guru menjelaskan materi pokok bahasan, guru memberikan contoh cara menarik kesimpulan berdasarkan data pengamatan. Pelaksanaan tindakan II sama seperti pada siklus I, tetapi siswa tidak diberi tugas membawa batuan dan tanah karena sudah tersedia di sekolah dari tugas siswa pada siklus I. Selanjutnya, guru menerapkan strategi intervensi pada setiap pokok bahasan mulai dari air kemudian batuan dan tanah. Setiap akhir pokok bahasan diberikan tes pemahaman dan angket. Pada akhir pertemuan pokok bahasan tanah, guru memberikan tes SCDT. Wawancara kepada 5 siswa dilakukan setelah semua kegiatan selesai. Dibandingkan dengan siklus I, kemampuan siswa dalam setiap aktivitas diskusi pada siklus II meningkat (tabel 6). Demikian pula halnya dengan hasil belajar siswa, khususnya yang mendapat nilai lebih dari 70 pada tes pemahaman untuk setiap pokok bahasan (tabel 5).

Indikator keberhasilan tindakan II dirangkum sebagai berikut: Tabel 5. Rangkuman Indikator Keberhasilan Tindakan Siklus II

Persentase (%) Capaian

Indikator Sebelum Sesudah Target

Kemampuan berpikir konkrit C1 64,81 25,90 30

Kemampuan berpikir konkrit C2 35,19 74,10 70 Kemampuan berpikir abstrak A1 0,00 0,00 -- Kemampuan berpikir abstrak A2 0,00 0,00 -- Nilai >70 pada pokok bahasan air 27,78 75,92

60 Nilai >70 pada pokok bahasan batuan 31,48 74,0760 Nilai >70 pada pokok bahasan tanah 37,03 64,81 60 Ketuntasan belajar siswa 30,00 75,0070 Keterlibatan siswa dalam pembelajaran 55,55 92,5980 Siswa merasa senang 74,07 100,00 70

Setelah diadakan perbaikan pada pelaksanaan tindakan II, pencapaian sejumlah indikator telah mencapai target. Namun belum ada satupun siswa yang mampu mencapai tahap kemampuan berpikir abstrak meskipun hanya pada tahap awal. Hal ini dapat disebabkan oleh resistensi perkembangan kemampuan berpikir yang memerlukan waktu yang cukup untuk menstimulasinya (Shayer dan Adey, 1993). Dengan kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa siswa kelas IV kedua SDN Puhsarang tersebut belum mencapai masa transisi perkembangan kemampuan berpikir dari tahap berpikir konkrit (C2) menuju tahap berpikir abstrak (A1) seperti yang diuraikan Piaget (Moessinger, 2000).

Tabel 6. Aktivitas Siswa dan Kemampuannya Selama Pelaksanaan Tindakan Siklus II

Jenis Aktivitas Kemampuan Siswa Target

1. Mengerjakan tugas (perorangan) 100,00%

1002. Mengikuti penjelasan guru 100,00%

1003. Kemampuan dalam diskusi (perkelompok)

a. Mengidentifikasi sifat air, batuan, dan tanah 80,00%

60b. Mengklasifikasi

66,67%

60b. Menjelaskan alasan/dasar klasifikasi 66,67%

60c. Membuat urutan (serial ordering)

100,00%

60d. Membandingkan

73,33%

60e. Menghitung

100,00%

100f. Membuat kesimpulan

66,67%

60

Gambar 1. Perkembangan Kemampuan Berpikir Siswa Pada Akhir SiklusHasil refleksi pada siklus II menunjukkan bahwa semua indikator, baik indikator perorangan, seperti kemampuan berpikir yang ditargetkan maupun indikator kelompok, seperti kemampuan diskusi siswa sudah tercapai. Meskipun belum ada satupun siswa mencapai tahap berpikir abstrak, pembelajaran dihentikan pada siklus II. Bahkan sebagian siswa, yaitu sebesar 25,90% masih bertahan di level C1 atau belum mencapai kategori C2 sehingga masih sangat sulit untuk mencapai tahap berpikir abstrak. Masih tingginya persentase siswa yang bertahan di kategori C1 pada akhir siklus II menunjukkan bahwa kemampuan berpikir seorang anak memiliki resistensi yang cukup tinggi dan memerlukan latihan yang sistematis dan berkelanjutan untuk memacunya. Di lain pihak, siswa yang sudah mencapai kategori C2 belum dapat mencapai kategori A1 dalam tahap kemampuan berpikir abstrak meskipun telah dilakukan 2 siklus intervensi. Hal ini berarti kegiatan intervensi yang dilakukan selama 4 bulan belum cukup efektif untuk memacu perkembangan kemampuan berpikir abstrak siswa namun dapat menstimulasi perkembangan kemampuan berpikir konkrit siswa sehingga jumlah siswa yang mencapai kategori C2 meningkat secara signifikan. Jika dibandingkan dengan waktu intervensi yang dilakukan oleh Shayer dan Adey (1993) yang berlangsung selama 8 tahun dan Iqbal dan Shayer (2000) yang dilakukan selama 3 tahun, waktu intervensi dalam kegiatan penelitian ini masih sangat singkat. Oleh karena itu tidak mengherankan jika setelah intervensi belum dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir abstraknya.Peningkatan jumlah siswa yang mencapai kategori C2 selama intervensi dapat terjadi karena dua faktor, yaitu perkembangan alamiah siswa dan faktor intervensi atau pembelajaran. Namun dari kedua faktor tersebut, faktor intervensi pembelajaran dipandang sangat dominan karena kemampuan berpikir seseorang cukup sulit ditingkatkan jika tidak mengikuti kegiatan latihan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Erman dan Sukarmin (2002) dan Erman dan Martini (2005) yang menemukan bahwa mayoritas siswa pada umumnya hanya mampu berpikir konkrit. Beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh guru untuk menstimulasi perkembangan kemampuan berpikir siswa, yaitu: (1) menghindari menggunakan strategi ceramah konvensional disertai dengan pemberian tugas yang banyak membebani siswa, (2) menggunakan analogi-analogi atau advance organizer untuk menjembatani pemahaman siswa pada konsep-konsep abstrak (Erman dan Sukarmin, 2002), (3) mengembangkan partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran, seperti dengan melatih siswa mengorganisasi konsep (Erman dan Martini, 2005), dan (4) mengembangkan strategi pembelajaran berbasis laboratorium atau eksperimen, demonstrasi dan inquari yang memerlukan aktivitas siswa yang tinggi dalam pembelajaran (Steiner, 1980), serta melakukan intervensi-intervensi kognitif secara sistematis dan terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung (Erman, 2004); (Shayer and Adey, 1993). Simpulan dan SaranPada akhir siklus I, semua siswa kelas IV SD belum dapat mengoperasikan kemampuan berpikir abstraknya (0%). Mereka hanya mampu mengoperasikan kemampuan berpikir konkritnya, meskipun masih terbatas pada kategori awal (kategori C1), yaitu sebesar 64,81%. Sedangkan yang mampu mengoperasikan sampai pada kategori C2 sebesar 35,19%. Namun pada akhir siklus II, terjadi peningkatan jumlah siswa yang dapat mengoperasikan kemampuan berpikir konkritnya secara maksimal mencapai kategori C2, yaitu menjadi sebesar 74,10 %. Sedangkan yang masih sulit ditingkatkan sebesar 25,90%. Masih cukup banyaknya siswa yang sulit mengoperasikan kemampuan berpikir konkritnya secara maksimal menunjukkan bahwa kemampuan berpikir memiliki resistensi yang cukup tinggi atau cukup sulit distimulasi. Pendeknya waktu intervensi belum cukup untuk menstimulasi perkembangan kemampuan berpikir siswa sampai pada tahap berpikir abstrak. Untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa dari tahap berpikir konkrit menjadi tahap berpikir abstrak diperlukan waktu intervensi yang sistematis dan berkelanjutan dalam waktu yang cukup lama. Guru memiliki peran yang strategis untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswanya karena bisa melatih siswanya dengan waktu yang lebih lama. Kegiatan pembelajaran di sekolah hendaknya memperhatikan perkembangan intelektual siswa dan tidak hanya fokus pada pencapaian target kurikulum Strategi intervensi secara prinsip tidak mengganggu efektivitas dan efisiensi pembelajaran yang dapat dilihat dari hasil belajar dan ketuntasan belajar siswa. Bahkan Strategi intervensi dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan melibatkan semua siswa serta dapat diterima siswa dengan senang hati. Daftar AcuanCepni S. et. al., 2004, Turkish Middle School StudentsCognitive Development Level in Science, Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, 5, April 2004, 1 23.

Erman, 2004, Memacu Kemampuan Berpikir Formal Siswa Melalui Pembelajaran IPA Sejak Dini, Jurnal Pendidikan Dasar, 5, 92 101.

Erman, dkk., 2005, Analisis Kemampuan Berpikir Mahasiswa Program S1 Ilmu Keolahragaan FIK Unesa Dikaitkan dengan Hasil Belajarnya pada Bidang MIPA, Laporan Penelitian DIPA Unesa.

Erman dan Martini, 2005, Pengaruh Pembelajaran Latihan Mengorganisasi Konsep terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Berpikir Konkrit, Laporan Penelitian DM DP2M Dikti.

Erman dan Sukarmin, 2002, Pengaruh Pembelajaran Peta Konsep Beranalogi terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Berkemampuan Pikir Konkrit, Laporan Penelitian DM DP2M Dikti.

Iqbal, M.H. and Shayer, M., 2000, Accelerating the Development of Formal Thinking in Pakistan Secondary School Students. Achievement Effects and Professional Development Issues. Journal of Research in Science Teaching, 33, 259 274.

Karplus, R., 1977, Science Teaching and The Deveploment of Reasoning, Journal of Research in Science Teaching, 14, 169 175.

Moessinger, P., 2000, Piaget: From Biology to Sociology, New Ideas in Psychology, 18, 171 176.

Nordland, H.F., Lawson, E.A. and Kahle, B.J., 1974, A Study of Levels of Concrete and Formal Reasoning Ability in Disadvantaged Junior and Senior High School Science Students, Journal of Science Education, 58, 569 575.

Piaget, J., 1972, Intelectual Evolution from Adolescence to Adulthood, Human Development, 5, 1 12.

Shayer, M. and Adey, P.S., 1993, Accelerating The Development of Formal Thinking in Middle and High School Student IV: Three Years after a Two-Year Intervention, Journal of Research in Science Teaching, 30, 351 366.

Steiner, R.P., 1980, Encouraging Active Student Participation in the Learning Process. Journal of Chemical Education, 57, 351 336.

Won Han Jhu, 2005, 29 Mei, Pendidikan di Indonesia sangat Memprihatinkan, Siaran Berita Radio Senora Surabaya, jam 22.30 WIB.

8081

_1299301952.xls