penerapan konsep six sigma di area produksi mesin …
TRANSCRIPT
i
PENERAPAN KONSEP SIX SIGMA DI AREA
PRODUKSI MESIN CURING PLANT 2
PT. X TBK.
Oleh
Dina Luviyanti
NIM: 004201205135
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Akademik
Mencapai Gelar Strata Satu
Pada Fakultas Teknik
Program Studi Teknik Industri
2016
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi jumlah defect menggunakan konsep Six
Sigma. Six Sigma merupakan suatu metode atau teknik pengendalian dan
peningkatan kualitas untuk mencapai tingkat kerja enam sigma dengan prinsip
yaitu memproduksi hanya 3,4 defects untuk setiap satu juta kesempatan atau
operasi - 3,4 DPMO (Defects Per Million Opportunities). Langkah penelitian
yang dilakukan disesuaikan dengan konsep six sigma yaitu DMAIC (Define,
Measure, Analyze, Improve dan Control). Setelah mengetahui jenis defect apa
yang menghasilkan jumlah terbanyak langkah selanjutnya yaitu melakukan
perbaikan. Perbaikan yang dilakukan untuk mengurangi defect jenis under cure
yang merupakan defect dengan jumlah terbanyak adalah dengan membuat
perancangan percobaan DOE (Design of Experiment) menggunakan software
Minitab kemudian menganalisisnya menggunakan metode desain faktorial 23 yang
bertujuan untuk menentukan setting optimum dalam proses pemasakan ban.
Setting optimum yang diperoleh dari hasil analisis yang menghasilkan defect
under cure terendah adalah pada setting temperature cure 175°C, time cure 800 s
dan pressure 1500 kpa. Dengan dilakukannya perbaikan tersebut, jumlah defect
menjadi berkurang sehingga nilai sigma perusahaan menjadi meningkat sebesar
0,37 sigma yang semula 0,3902 sigma menjadi 4,209.
Kata kunci: Six Sigma, desain faktorial, DOE, defect minor, defect major
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Untuk dapat bersaing secara global sebuah perusahaan harus memiliki keunggulan
kompetitif seperti kualitas (quality), harga (cost), ketepatan waktu pengiriman
(delivery time) dan fleksibilitas (flexibility). Dan untuk meningkatkan keunggulan
kompetitif tersebut, salah satu cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan yaitu
dengan meminimasi waste (pemborosan) yang ada. Waste (pemborosan)
merupakan aktivitas kerja yang tidak memberikan nilai tambah sepanjang aliran
proses produksi (perubahan input menjadi output). Defect/produk cacat
merupakan salah satu kategori waste dalam perusahaan.
Six Sigma merupakan suatu metode atau teknik pengendalian dan peningkatan
kualitas dramatik yang diterapkan oleh perusahaan Motorola sejak tahun 1986,
yang merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas untuk
mencapai tingkat kerja enam sigma dengan prinsip yaitu memproduksi hanya 3,4
defects untuk setiap satu juta kesempatan atau operasi - 3,4 DPMO (Defects Per
Million Opportunities). (Gaspersz, 2011: 37).
PT. X Tbk. merupakan perusahaan manufaktur berbasis kondisional antara MTO
(Make To Order) dan MTS (Make To Stock) yang memproduksi ban roda dua
(MC/Motorcycle) dan roda empat (PCR/Passanger Car). Produk yang dihasilkan
terdiri atas berbagai merek dan varian serta produknya sudah memasuki pasar
ekspor dengan area pemasaran ekspor 78% dan domestik sebesar 22% (Sumber:
Annual Report PT. X Tbk. Tahun 2013). Pada pemasaran domestik proses
distribusi dilakukan setiap hari berdasarkan waktu pengiriman yang dibutuhkan
oleh pelanggan. Produk ban dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan tujuan
penjualan, yaitu penjualan secara eceran (penjualan langsung ke toko-toko
pelanggan sesuai dengan quantity yang diorder) dan penjualan pada perusahaan
otomotif sebagai partner dalam OEM (Original Equipment Manufacturer).
2
Salah satu hal yang berpengaruh terhadap perusahaan adalah proses produksi.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di PT. X Tbk, diidentifikasi adanya
permasalahan yaitu banyaknya defect pada proses produksi khususnya pada
proses curing pembuatan ban PCR. Proses curing adalah proses akhir dari
pembuatan ban/tyre. Proses curing merupakan proses yang mempunyai pengaruh
terhadap keuntungan perusahaan, sebab proses curing merupakan proses
pembentukan, pencetakan dan pemasakan green tyre (produk setengah jadi)
menjadi produk jadi.
Jenis defect terdiri dari dua kategori yaitu defect minor dan defect major. Defect
minor merupakan kejadian dimana suatu produk gagal memenuhi persyaratan
yang diinginkan namun masih dapat dilakukan perbaikan ulang (rework).
Sedangkan defect major merupakan produk defect yang sudah tidak dapat
diperbaiki lagi. Standar target defect tyre (minor dan major) ditetapkan
berdasarkan hasil dari total produksi yang diperoleh dan hasil total defect tyre
(minor dan major). Standar target defect tyre (minor dan major) akan berubah
setiap 3 (tiga) bulan yang disesuaikan dengan hasil produksi yang diperoleh ditiap
bulannya.
Penyelesaian pengerjaan pesanan yang tepat waktu merupakan hal yang penting
bagi perusahaan Make To Order (MTO). Banyaknya defect tentu sangat
berpengaruh terhadap kelancaran sistem distribusi barang ke pelanggan. Dengan
adanya permasalahan tersebut kemungkinan akan menambah lead time produksi
yang dapat menyebabkan keterlambatan dalam pengiriman barang ke pelanggan.
Oleh karena itu, penerapan konsep Six Sigma ini merupakan salah satu solusi yang
dapat dilakukan di PT. X Tbk. untuk mengurangi banyaknya defect pada proses
produksi di mesin curing sehingga dapat menghasilkan produk yang tepat pada
waktu, tepat pada jumlah dan dengan kualitas yang sesuai dengan
harapan/permintaan pelanggan sehingga dapat meningkatkan nilai tambah
pelanggan terhadap perusahaan.
3
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya didapat
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana cara mengendalikan kualitas pada proses produksi curing plant 2
di PT. X Tbk.?
2. Bagaimana solusi yang dilakukan untuk mengurangi defect yang ada pada
proses produksi curing plant 2 di PT. X Tbk.?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitan ini adalah sebagai berikut:
1. Melakukan penerapan konsep Six Sigma pada proses produksi curing plant 2
di PT. X Tbk.
2. Melakukan perbaikan untuk mengurangi defect yang ada pada proses curing
plant 2 PT. X Tbk.
1.4. Batasan Masalah
Untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan yang terlalu jauh dari pokok
permasalahan, maka dalam penelitian ini dibuat batasan masalah agar lebih mudah
dalam menganalisa dan memecahkan masalah. Adapun batasan-batasan masalah
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penelitian dilakukan di area produksi plant 2 khususnya pada proses
curing
2. Produk yang dianalisa hanya produk PCR (Passanger Car)
3. Jenis defect yang dianalisa lanjut hanya defect dengan total terbesar dari
total 7 jenis defect
1.5. Asumsi
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kondisi mesin curing dalam keadaan baik dalam arti dapat digunakan
sesuai dengan fungsinya (tidak rusak)
2. Ketebalan karet green tyre adalah sama/homogen
4
1.6. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Pendahuluan dapat memberikan gambaran tentang latar belakang
masalah, definisi masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Landasan Teori
Berisi tetang konsep dan prinsip dasar yang diperlukan untuk
memecahkan masalah penelitian. Disamping itu juga memuat
uraian tentang hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya
oleh peneliti lain yang ada hubungannya dengan penelitian yang
dilakukan.
BAB III Metodologi Penelitian
Memuat metode-metode atau tahapan-tahapan yang digunakan
untuk menyelesaikan masalah dalam penelitian secara sistematik
berdasarkan teori-teori yang diuraikan pada BAB II.
BAB IV Pengumpulan dan Pengolahan Data
Berisikan data-data yang dikumpulkan dari hasil pengujian
langsung di lapangan dan hasil dari pengamatan di lapangan yang
diperlukan untuk memecahkan masalah dan melakukan
perhitungan serta analisisnya.
BAB V Kesimpulan dan Saran
Berisi tentang kesimpulan terhadap analisis yang dibuat dari
rekomendasi atau saran-saran atas hasil yang dicapai dari
permasalahan yang ditemukan selama penelitian.
1
BAB II
STUDI LITERATUR
Studi literatur pada penelitian ini meliputi konsep Six Sigma, Peta Kendali,
Diagram Sebab Akibat, Desain Faktorial 23 dan proses produksi pembuatan ban.
2.1. Konsep Dasar Six Sigma
Six Sigma adalah suatu upaya terus menerus (continuous improvement efforts)
untuk: (Gasperzs, 2011: 6)
Menurunkan variasi dari proses, agar
Meningkatkan kapabilitas proses, dalam
Menghasilkan produk (barang dan atau jasa) yang bebas kesalahan (zero
defect – target minimum 3,4 DPMO (Defect Per Million Opportunities),
Untuk memberikan nilai kepada pelanggan (customer value).
APICS Dictionary (2005) mendefinisikan kualitas Six Sigma sebagai sekumpulan
konsep dan praktik terbaik dalam bisnis yang bertujuan:
Menurunkan variabilitas dalam proses dan mengurangi cacat dalam produk,
Hanya memproduksi 3,4 cacat untuk setiap satu juta kesempatan atau operasi
(3,4 DPMO),
Melakukan inisiatif-inisiatif peningkatan proses untuk mencapai target
kinerja Six Sigma,
Meningkatkan kinerja bottom-line,
Menciptakan dan memonitor aktivitas-aktivitas bisnis agar mengurangi
pemborosan (waste) dan kebutuhan sumber-sumber daya,
Meningkatkan kepuasan pelanggan.
Definisi lain dari Six Sigma adalah tujuan yang hampir sempurna dalam
memenuhi persyaratan pelanggan. Pada dasarnya, definisi itu juga akurat karena
istilah “Six Sigma” sendiri merujuk pada target kinerja operasi yang diukur secara
statistik dengan hanya 3,4 defect (cacat) untuk setiap juta aktivitas atau peluang.
2
Hanya segelintir perusahaan atau proses yang dapat mengklaim telah meraih
tujuan tersebut. (S. Pande, Peter. 2002: X).
Adapun manfaat Six Sigma mencakup: (S. Pande, Peter. 2002: X)
Pengurangan biaya
Peningkatan produktivitas
Pertumbuhan pangsa pasar
Retensi pelanggan
Pengurangan waktu siklus
Pengurangan defect (cacat)
Pengembangan produk/jasa
2.2. Six Sigma Sebagai Pengukuran Kinerja Bisnis
Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem bisnis dan industri tentang
bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (bisnis dan
industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja
sistem bisnis dan industri akan menjadi semakin baik. Dengan demikian, 6-sigma
otomatis lebih baik daripada 4-sigma, dan 4-sigma lebih baik daripada 3-sigma.
Contoh perhitungan kasus Six Sigma. dapat dijelaskan secara singkat sebagai
berikut: (Gaspersz, 2011: 42)
Kasus transaksi bisnis untuk 500.000 pelanggan per satuan waktu tertentu.
Unit total = 500.000 transaksi
Kapabilitas 1-sigma = 691.462 DPMO = (691.462/1.000.000) x 500.000 =
345.731 kegagalan atau kesalahan transaksi
Kapabilitas 3-sigma = 66.807 DPMO = (66.807/1.000.000) x 500.000 =
33.404 kegagalan atau kesalahan transaksi
Kapabilitas 5-sigma = 233 DPMO = (233/1.000.000) x 500.000 = 117
kegagalan atau kesalahan transaksi
Kapabilitas 6-sigma = 3,4 DPMO = (3,4/1.000.000) x 500.000 = 2 kegagalan
atau kesalahan transaksi
Tampak kapabilitas 6-sigma jauh lebih baik dari kapabilitas 5,4,3,2 dan 1-
sigma.
3
2.3. Peningkatan Kapabilitas Proses Menuju Target Six Sigma
Peningkatan dari kapabilitas proses 3-sigma menjadi 4-sigma membutuhkan
sekitar 10 kali improvement, peningkatan dari kapabilitas proses 4-sigma menjadi
5-sigma membutuhkan sekitar 30 kali improvement, sedangkan peningkatan dari
kapabilitas 5-sigma menjadi 6-sigma membutuhkan sekitar 70 kali improvement.
Dengan demikian apabila kita menganggap bahwa kinerja bisnis dan industri di
Indonesia sekarang masih berada pada tingkat kapabilitas 3-sigma, maka
dibutuhkan sekitar 21.0000 (=10 x 30 x 70) kali peningkatan untuk mencapai
target Six Sigma. Hal ini berarti semakin tinggi kapabilitas sigma, semakin tinggi
pula upaya peningkatannya agar mencapai keunggulan dan kesempurnaan. Upaya
peningkatan dari 5-sigma menjadi 6-sigma akan lebih tinggi daripada upaya
peningkatan 4-sigma menjadi 6-sigma, juga lebih tinggi daripada upaya
peningkatan dari 3-sigma menjadi 4-sigma. (Gaspersz, 2011: 49)
Berbagai upaya peningkatan menuju kapabilitas Six Sigma ditunjukkan dalam
Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Berbagai Upaya Peningkatan Menuju Target Six Sigma
Berbagai upaya peningkatan menuju target Six Sigma dapat dilakukan
menggunakan dua metodologi, yaitu:
1. Six Sigma – DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control) dan
2. Design Six Sigma – DFSS DMADV (Define, Measure, Analyze, Design,
Verify)
4
DMAIC digunakan untuk meningkatkan proses bisnis yang telah ada, sedangkan
DMADV digunakan untuk menciptakan desain proses baru dan atau desain
produk baru dalam cara sedemikian rupa agar menghasilkan kinerja bebas
kesalahan (zero defects/errors).
DMAIC terdiri atas lima tahap utama: (Gasperzs, 2011: 50)
Define – mendefinisikan secara formal sasaran pengingkatan proses yang
konsisten dengan permintaan atau kebutuhan pelanggan dan strategi
perusahaan
Measure – mengukur kinerja proses pada saat sekarang (baseline
measurements) agar dapat dibandingkan dengan target yang ditetapkan.
Lakukan pemetaan proses dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan
indikator kinerja kunci (key performance indicators = KPIs).
Analyze – menganalisa hubungan sebab akibat berbagai faktor yang dipelajari
untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang perlu dikendalikan.
Improve – mengoptimalisasikan proses menggunakan analisis-analisis seperti
Design of Experiments (DOE) dan lain-lain, untuk mengetahui dan
mengendalikan kondisi optimum proses.
Control - melakukan pengendalian terhadap proses secara terus menerus
untuk meningkatkan kapabilitas proses menuju target Six Sigma.
Menghitung Ukuran-Ukuran Berbasis Peluang
Defect per Opportunity atau DPO. Menunjukkan proporsi defect atas jumlah
total peluang dalam sebuah kelompok.
Defect per Million Opportunities atau DPMO. Kebanyakan ukuran-ukuran
peluang defect diterjemahkan kedalam format DPMO, yang mengindikasikan
berapa banyak defect akan muncul jika ada satu juta peluang. Dalam
lingkungan pemanufakturan secara khusus, DPMO sering disebut PPM,
kepanjangan dari Parts Per Million.
Ukuran sigma. Menerjemahkan ukuran defect dengan melihat pada tabel
konversi Six Sigma.
5
2.4. Definisi Defect
Defect merupakan keadaan dimana suatu produk dinyatakan gagal dalam
mencapai persyaratan yang telah ditetapkan oleh perusahaan atau customer.
Defect sendiri dikelompokkan menjadi beberapa kategori diantaranya:
1. Defect Minor
Defect minor ini merupakan kategori defect dengan tingkat keseriusan rendah.
Produk dengan kategori defect minor ini masih dapat dilakukan perbaikan lagi
(dirework) untuk mencapai persyaratan yang ditetapkan.
2. Defect Major
Defect major merupakan kategori defect dengan tingkat keseriusan tinggi atau
biasa disebut dengan istilah scrap. Produk dengan kategori defect major ini sudah
tidak dapat dilakukan perbaikan lagi dalam arti produk tersebut harus
dibuang/tidak bisa dijual.
2.5. Peta Kendali (Control Chart)
Tools lain yang biasa digunakan untuk memantau dan mengontrol variasi proses
secara terus-menerus adalah peta kendali (M.Garrity, 1993: 116). Yang menjadi
latar belakang dalam menggunakan peta kendali pada awalnya adalah upaya untuk
menghilangkan variasi yang tidak normal yang disebabkan penyebab khusus
(special causes variation) dari variasi normal yang disebabkan penyebab umum
(common causes variation).
Pembuatan peta kontrol dipengaruhi oleh jenis data pengamatan. Jenis data dibagi
kedalam 2 tipe, yaitu data variabel dan data atribut. Data variabel digunakan untuk
measurable data sedangkan data atribut digunakan untuk countable data
(M.Garrity, 1993: 116). Pada peta kontrol untuk data atribut, jenis cacat pada
produk dibedakan menjadi 2 karakteristik, yaitu defect product dan reject product
seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.2 (Tannady, 2015: 76)
Gambar 2.2. Jenis Data dan Peta Kontrol Data Atribut
Attribute Data
Reject Data Defect Data
Sample Size Constant Sample Size Constant Sample Size Variable Sample Size Variable
c-Chart u-Chart np-Chart p-Chart
6
Sebuah proses juga dapat dikatakan out of control ketika titik-titik dalam control
limits membentuk sebuah pola. Beberapa keadaan yang dikategorikan membentuk
sebuah pola diantaranya adalah sebagai berikut: (M. Garrity, 1993: 165)
Runs: Jika terdapat tujuh atau lebih titik secara berurutan berada pada satu sisi
diatas center line (CL)
Gambar 2.3. Pola Runs
Trends: Jika terdapat tujuh atau lebih titik secara berurutan yang terus
meningkat menuju satu arah
Gambar 2.4. Pola Trends
Cycles: Jika terbentuk titik-titik yang menunjukkan kecenderungan yang sama
atau membentuk pola dari waktu ke waktu
Gambar 2.5. Pola Cycles
Hugging: Pola yang terbentuk jika serangkaian titik-titik berada dekat dengan
central line atau control limits
Gambar 2.6. Pola Hugging
7
2.6. Cause Effect Diagram
Cause Effect Diagram atau diagram sebab akibat atau diagram tulang ikan (fish
bone) merupakan diagram yang menghubungkan antara akibat dengan faktor-
faktor penyebabnya. Secara umum Cause Effect Diagram adalah sebuah
gambaran grafis yang menampilkan data mengenai faktor penyebab dari
kegagalan atau ketidaksesuaian, hingga menganalisa ke sub paling dalam dari
faktor penyebab timbulnya masalah (Tannady, 2015: 36). Pada diagram sebab
akibat ini terdapat lima buah faktor diantaranya; man (manusia), method (metode),
machine (mesin), material (material) dan environment (lingkungan). Dalam
membuat diagram ini tidak harus dengan kelima faktor tersebut, tetapi disesuaikan
dengan permasalahan yang ada.
2.7. Design of Experiment (DOE)
DOE merupakan inti dari tahapan analisis/analyze dan improvement pada metode
Six Sigma, karena tanpa memahami secara mendalam letak suatu permasalahan
perbaikan hanya akan menyentuh permukaan saja dan tidak efektif untuk
menyelesaikan masalah secara permanen. (Muis, 2014: 185-186). DOE ini sendiri
bertujuan untuk membentuk sebuah ranncangan percobaan dengan menggunakan
kombinasi-kombinasi dari faktor yang diuji (fixed factors) untuk melakukan suatu
perbaikan.
2.7.1. Percobaan Faktorial
Percobaan faktorial merupakan salah satu dari model percobaan yang sangat
terpercaya, banyak dipakai dalam lingkungan industri dan ilmiah. Ditinjau dari
macam-macam percobaan, terdapat dua jenis percobaan yaitu full
factorial/faktorial lengkap dan fractional factorial/faktorial fraksi atau faktorial
kecil. Percobaan faktorial fraksi bertujuan untuk mengurangi jumlah kombinasi
jika faktor yang ada jumlahnya banyak sehingga percobaan dapat lebih ekonomis.
Percobaan faktorial lengkap memiliki sifat-sifat, diantaranya: (Muis, 2014: 187)
Semua faktor dalam percobaan terkontrol
Semua faktor dijalankan dengan menggunakan sejumlah nilai spesifik
Semua kombinasi dari nilai faktor dijelaskan dalam percobaan
8
2.7.2. Percobaan Faktorial Dengan Tiga Faktor (AxBxC)
Percobaan faktorial AxBxC merupakan salah satu jenis percobaan yang
didalamnya terdapat tiga buah faktor yang terlibat. Hampir sama dengan
percobaan faktorial dengan dua faktor, pada percobaan dengan tiga buah faktor
akan semakin sulit dan kompleks dalam pelaksanaannya. Perbedaan faktorial tiga
faktor dengan dua faktor terletak pada pengaruh yang ada, diantaranya: (Muis,
2014: 193).
Pada faktorial dua faktor (AxB) terdapat tiga pengaruh, yaitu dua pengaruh
utama (A dan B) dan satu pengaruh terhadap interaksi antar kedua faktor (AB).
Pada faktorial tiga faktor (AxBxC) terdapat tujuh pengaruh, yaitu tiga
pengaruh utama (A, B dan C), tiga pengaruh interaksi antar ketiga faktor (AB,
AC dan BC) dan satu pengaruh interaksi antar ketiga faktor (ABC).
Desain faktorial merupakan solusi paling efisien jika eksperimen yang dilakukan
meneliti pengaruh dari dua atau lebih faktor, karena semua kemungkinan
kombinasi dari tiap-tiap level dari faktor yang ada dapat diselidiki secara lengkap.
2.7.3. Two Level Factorial Design
Two Level Factorial Design merupakan faktorial dimana setiap faktor dibatasi
oleh dua level yaitu level low (rendah) dan high (tinggi). Level low dinotasikan
sebagai -1 atau (-) dan untuk level high dinotasikan sebagai +1 atau (+) atau bisa
disesuaikan dengan kasus pada penelitian.
Rancangan faktorial 2k, adalah rancangan faktorial yang melibatkan k buah faktor
dengan masing-masing faktor memiliki dua level atau taraf. Banyaknya level
yaitu 2 ditulis sebagai bilangan pokok dan banyaknya faktor yaitu k, ditulis
sebagai bilangan pangkat. Jika rancangan melibatkan dua buah faktor maka
disebut rancangan faktorial 22, jika rancangan melibatkan tiga buah faktor maka
disebut rancangan faktorial 23 dan seterusnya. Adapun syarat dari rancangan ini
diantaranya:
Faktor-faktor tersebut sifatnya tetap/fixed
Memenuhi syarat uji homogenitas
Memenuhi syarat uji normalitas
9
2.8. Tyre Construction
Konstruksi ban didesain untuk menahan beban secara seimbang sehingga ketika
kendaraan dipacu dengan cepat di jalan yang licin, kendaraan tetap nyaman dan
tidak slip. (Sumber: Manual Book Tyre Manufacturing Process PT. X Tbk)
Gambar 2.7. Tyre Construction
1. Tread
Tread merupakan bagian sisi terluar dari ban yang mengelilingi kerangka ban.
Beberapa fungsi dari Tread diantaranya:
Traction (daya cengkeram)
Breaking (menahan laju kendaraan)
Riding comfort (kenyamanan)
Wear life (batas pemakaian)
Rolling resistance (anti slip)
Handling & Stability (manuver & kestabilan)
Gripping (mencengkram jalan)
Mencengram saat berbelok
Menyibak air
2. Cap Ply/JLB
Cap Ply/JLB adalah suatu lapisan benang nilon yang sudah dilaminasi karet yang
ditempatkan diantara lapisan Steel Belt dan Tread. Cap Ply/JLB ini berfungsi
sebagai bahan untuk menahan belt terhadap gaya centrifugal saat ban berputar
dengan kecepatan tinggi dan untuk menaikkan speed saat kondisi jalan
bergelombang.
10
3. Steel Belt
Steel Belt adalah suatu lapisan kawat baja yang sudah dilaminasi karet yang
ditempatkan antara Body ply dan Cap Ply dengan arah melingkar. Belt
memberikan kekuatan ban (reinforcement) dan mempunyai karakter fisik yang
bersifat fleksibel. Fungsi dari Steel Belt diantaranya:
Sebagai pengikat Body ply untuk mendapatkan dimensi yang kita inginkan
Untuk menambah handling dan stability
4. Body ply
Body ply adalah bagian utama dari ban berupa lembaran berlapis yang terdiri dari
lapisan karet dan lapisan benang nilon atau polyester untuk memperkuat
(reinforcement).
5. Inner Liner
Inner Liner merupakan salah satu bagian dari ban yang terletak di bagian paling
dalam yang berfungsi sebagai bahan pengganti ban dalam dan untuk menahan
migrasi udara.
6. Side wall
Side wall adalah bagian samping ban sebagai pelindung Body ply (carcass) dan
tidak boleh kontak dengan permukaan jalan pada saat ban berputar. Bagian ini
dirancang agar dapat memberikan karakter fisik yang bersifat fleksibel (flex area)
karena pada area ini terjadi defleksi. Beberapa fungsi dari Side wall diantaranya:
Sebagai pelindung terhadap benturan dari arah samping/serempetan
Sebagai bahan untuk menambah fleksibilitas ban
Tahan tekukan pada beban berat dan tahan lama
Crack resistance
7. Apex
Apex adalah profit ekstrusi berbentuk segitiga berpasangan dengan bead. Apex
menyediakan bantalan antara bead, Inner Liner dan Body ply. Apex ini berfungsi
sebagai pengisi ruang kosong diatas bead saat turn up dan sebagai
penguat/penambah kekuatan pada area rim line (handling dan stability)
11
8. Bead Wire
Bead Wire ini berupa kawat baja carbon yang sudah dilaminasi dengan karet yang
keras kemudian dibentuk bundelan sesuai dengan konstruksi yang diinginkan,
bersifat fleksibel dan elastis serta memberikan kekuatan mekanik pada ban. Bead
Wire ini berfungsi sebagai pengukat/tempat duduknya ban terhadap rim untuk
membantu menghilangkan kemungkinan kebocoran ban (tubeless) dan sebagai
alat pembantu transmisi pada waktu mobil berjalan dan mengerem.
2.9. Tyre Manufacturing Process
Secara umum proses produksi ban dapat dibagi menjadi tiga bagian. Berikut ini
adalah tiga proses inti tersebut beserta subprosesnya.
1. Semi Manufacturing Process
1.1. Mixing Process
1.2. Bead Building Process
1.3. Bead Apexing Process
1.4. Extruding Process
1.5. Calendering Process
1.6. Cutting Process
1.7. Cushioning Process
2. Tyre Building Process
3. Tyre Curing Process
12
Gambar 2.8. Tyre Manufacturing Process
16
25
2.9.1. Mixing Process
Gambar 2.9. Mixing Process
Mesin mixing seharusnya memiliki bagiannya tersendiri. Namun di area Plant 2
PT. X Tbk, mesin mixing sering dimasukkan dalam kategori mesin semi
manufacture. Hal ini dikarenakan jumlah mesin banburry di area Plant 2 hanya
terdapat dua unit. Dua unit mesin mixing tersebut terdiri dari banburry 6 dan
banburry 8.
Dalam pembuatan produk ban unggulan, baik untuk kendaraan roda dua atau roda
empat, tyre manufacturing menggunakan beberapa bahan kimia sebagai bahan
baku utama pelengkap produksi. Material yang digunakan antara lain natural dan
syntetic rubber, carbon black, silica, zinc oxide, sulfur, oli dan beberapa material
kimia lain. Pada tahap awal, proses yang dilakukan adalah pencampuran natural
dan syntethic rubber dengan ingredient yang sebelumnya sudah ditimbang sesuai
dengan berat yang ditentukan pada spesifikasi produk yang ingin dibentuk.
Kemudian diberikan tambahan carbon dan oli pada saat material tersebut masuk
kedalam mesin banburry. Dalam mesin tersebut terdapat alat yang berfungsi
untuk menggiling campuran menjadi lapisan yang disebut compound. Sebelum
26
compound tersebut disusun pada rak, terlebih dahulu melewati proses pendinginan
dan diberi cairan adhesive agar compound tersebut tidak lengket setelah tersusun.
2.9.2. Bead building dan Apexing Process
Bead building adalah proses pembuatan bead dengan pelapisan wire dengan
compound kemudian dibentuk lingkaran dengan diameter atau BIC (Bead In
Circle) yang telah ditentukan.
Bead Apexing adalah proses assembling bead building dengan Apex bagian-bagian
bead Apexing
Gambar 2.10. Bead Building Gambar 2.11. Bead Apexing
2.9.3. Extruding Process
Adonan hasil mixing tadi dibuat menjadi tread dan sidewall. Prosesnya adalah
injeksi dan extruding hingga terbentuk profil. Hasil akhir dari tahapan ini adalah
side wall, tread dan filler. Side wall merupakan salah satu bagian ban yang
berfungsi sebagai pelindung terhadap benturan dari arah samping atau
serempetan, bahan untuk menambah fleksibilitas ban, lapisan karet pembungkus
carcass dari shoulder area ke rim cushion dan bead area, berfungsi untuk fashion
jika dihias dengan white ribbon atau white letter, penahan tekukan untuk beban
berat, daya tahan lama dan tahan retakan dan juga berfungsi untuk kekerasan dan
keempukan radial. Mesin ini memproduksi telapak dan dinding samping ban.
Gambar 2.12. Extruder
27
2.9.4. Calendering Process
Calendering adalah proses pelapisan tekstil atau steel cord dengan sheet compund.
Proses aplikasi lain adalah untuk pembuatan material ply & steel belt, JLB & cap
ply. Aplikasi tersebut dibentuk oleh mesin Calender dengan bahan dasar benang
(polyester dan nylon) juga steel cord. Polyester maupun nylon yang akan diproses,
sebelumnya harus melalui proses pelebaran terlebih dahulu agar material tersebut
terbuka untuk kemudian di masukan ke dalam oven dengan suhu 160°C agar pada
saat diberikan compound dan bahan-bahan seperti polyester, nylon, dan steel cord
dapat merekat dengan sempurna.
Gambar 2.13. Calendering
2.9.5. Cutting Process
Proses cutting ini merupakan proses lanjutan dari mesin Callender, hasil akhir
dari proses ini biasa disebut dengan Ply dan Cap Ply. Ply merupakan lembaran
material yang terdiri dari Polyester, Nylon, dan compound yang telah diproses
sebelumnya dalam bentuk gulungan panjang di mesin Calender yang kemudian
dipotong-potong untuk merubah arah atau sudut benang dari 0° menjadi 90°. Ply
berfungsi sebagai carcass atau kerangka untuk menahan, membentuk sistem
suspensi dan beban ban. Sedangkan Cap Ply merupakan lembaran material yang
terdiri dari nylon dan compound yang dipotong-potong menjadi beberapa bagian
di mesin TTO. Cap Ply berfungsi sebagai bahan untuk mempertahankan bundar
ban waktu berjalan, meredam suara bising dari steel belt, membuat nyaman, dan
untuk memperkecil rolling resistance.
28
Gambar 2.14. Cutting Ply Gambar 2.15. Cutting Steel
2.9.6. Cushioning Process
Cushioning adalah proses pembuatan inner liner, under liner dan body ply
assembly. Keluaran dari proses ini nantinya akan dilanjutkan untuk diproses pada
mesin tyre building.
Gambar 2.16. Cushioning
2.9.7. Tyre Building Process
Proses ini menghasilkan produk berupa green tyre yang kemudian diproses di
mesin curing. Komponen yang sebelumnya telah diproduksi, seperti tread, bead,
sidewall, inner liner, JLB dan body ply masuk pada proses perakitan (assembly)
menjadi green tyre.
Gambar 2.17. Tyre Building Machine
2.9.8. Curing Process
Proses curing mempunyai peranan penting dalam industri pembuatan ban. Proses
curing merupakan proses akhir dalam proses pembuatan ban. Proses curing
memproses green tyre (ban mentah) menjadi ban yang bisa digunakan. Proses ini
berlangsung didalan sebuah cetakan/mold.
Selama proses curing, GT dimasakan dengan panas yang berasal dari uap atau
steam dan berlangsung dalam waktu yang telah ditentukan, sesuai dengan size dari
29
ban yang akan diproduksi. Setelah proses curing selesai, ban mengalami proses
PCI (Post Cure Inflation) yaitu proses pendinginan ban dengan memberikan
tekanan agar ban tidak mengalami perubahan bentuk.
Pada plant 2 terdapat 52 buah mesin curing, 48 diantaranya adalah mesin curing
untuk PCR dan 4 sisanya adalah mesin curing untuk LTR.
Gambar 2.18. Bagian Proses Curing
Bagian-bagian dari mesin curing dan fungsi dari tiap bagian
1. Mold : cetakan yang menentukan bentuk akhir ban, seperti pattern Tread
dan informasi pada sidewall
2. Bead ring : cetakan khusus dibagian bead
3. Bladder : sumber tekanan dan panas pada bagian dalam ban
4. Container : dudukan untuk mold tipe segment sebagai eksternal temperatur
5. Platen : sebagai eksternal temperatur untuk mold
6. Loader : untuk mengambil green tire dari stand ke mesin curing
7. GT basket : tempat meletakkan stock green tyre untuk curing
Gambar 2.19. Bagian-bagian mesin curing
Dalam proses curing tersebut terdapat beberapa parameter utama proses yaitu:
1. Temperature
Input Process Output
Green Tire Proses Curing Ban
30
2. Pressure
3. Time cure
2.9.9. Balance & Uniformity Test
Setelah ban selesai diproduksi, selanjutnya seluruh ban akan masuk ke area
inspeksi yang mana ban akan mengalami pengujian menyeluruh untuk memenuhi
syarat pengiriman serta memastikan pemenuhan spesifikasi pelanggan. Pengujian
dibagi menjadi dua jenis, yaitu pengujian standar untuk seluruh ban dan pengujian
khusus untuk spesifikasi ban jenis/ukuran baru serta ban reguler yang diuji 1 unit
setiap 15.000-20.000 unit per jenis/ukuran.
Pengujian standar berlaku untuk seluruh ban yang diproduksi dengan
menggunakan pemeriksaan visual oleh operator, kemudian menggunakan mesin
Balancing Test (kestabilan ban pada kecepatan tinggi) dan Uniformity Test
(keseragaman bentuk dan struktur ban). Setelah memenuhi syarat pengujian ini,
ban mendapatkan tanda lulus tes dan masuk ke area finishing. Saat ini PT. X Tbk
aktif menggunakan 10 unit mesin Balancing Test dan Uniformity Test, sebagai
bagian dari alur proses produksi bannya.
Sedangkan untuk pengujian ban reguler maupun ban baru, pengujian
menggunakan pemeriksaan visual oleh operator, serta enam jenis pengujian yaitu
High Speed Test (ketahanan pada batas kecepatan), Endurance Test (daya tahan
selama 2 hari nonstop), Plunger Test (kekuatan ban terhadap tekanan), Bead
Unsetting (kekuatan bead pada tekanan), Dimension Test (pengukuran dimensi
keseluruhan & TWI), serta Aging Test (pemanasan untuk mengatur kemelaran dan
kekuatan bahan). Pengujian ini menghabiskan waktu jauh lebih lama, dengan hasil
yang lebih spesifik.
Pada pemeriksaan visual maupun pemeriksaan-pemeriksaan dengan mesin
Uniformity dan Balancing, ban yang gagal namun dapat diperbaiki akan langsung
diperbaiki oleh bagian perbaikan ban, yang berada didekat pemeriksaan visual
tersebut, untuk kemudian dilanjutkan ke tahapan pemeriksaan selanjutnya.
Seluruh pemeriksaan dilaksanakan berdasarkan standar Quality Management
31
System yang telah diterapkan di PT. X Tbk. dengan mengacu pada standar ISO
9001 tahun 2000 yang telah diaplikasikan oleh perusahaan.
Setiap pabrik ban pasti akan memiliki proses control terakhir yang dinamakan
proses balance & uniformity. Balance & uniformity merupakan suatu proses
pengukuran gaya-gaya yang terjadi pada ban dan penentuan light point dan high
point pada ban, dimana proses tersebut menentukan grade atau kelas ban dengan
tolak ukur dari standar mutu yang berlaku pada masing-masing pabriik ban.
Tujuan dari balance & unfirormity adalah untuk mengetahui seberapa layak ban
tersebut dipakai pada kendaraan (dari segi kenyamanan), semakin kecil nilai
balance & uniformity suatu ban maka semakin nyaman ban tersebut dipakai pada
kendaraan.
Gambar 2.20. Balance & Uniformity
Pengertian dari uniformity pada ban itu sendiri adalah keseragaman kekuatan
(gaya rekasi) dan dimensi pada tiap posisi a,b,c,d,....s/d p suatu ban pada saat ban
tersebut dipakai (di kendaraan) seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.21.
Sedangkan pengertian dari balance adalah keseragaman berat ke pusat ban atau
proses pengecekan gaya keseimbangan sebuah ban pada beberapa index untuk
mengetahui titik teringan dan terberat. Semakin besar gaya pada titik teringan atau
terberatnya, akan semakin jelek balancingnya. Balance terbagi menjadi dua
macam yaitu dynamic dan static balance. Dynamic balance didapat dengan
mengukur berat per bagian ban dari tiap sisi ban dan membaginya menjadi sisi
atas dan bawah, kemudian memutar ban yang diinflate dengan meletakkan tanda
light point sedekat mungkin dengan valve. Sedangkan static balance didapat
dengan mengukur keseimbangan ban dalam keadaan berhenti.
32
Gambar 2.21. Titik-titik balance & uniformity pada ban
Gaya reaksi ban pada setiap titik yang timbul pada saat ban dipakai di jalan,
terbagi dalam tiga macam, diantaranya:
1. RFV (Radial Force Variation) adalah variasi gaya yang terjadi di sekeliling
ban secara vertikal/tegak lurus keatas dan kebawah sewaktu ban berotasi dan
hanya dapat diukur dengan mesin uniformity. Ban yang gaya RFVnya tinggi
tidak akan nyaman saat dipakai dan menyebabkan ban vibrasi.
2. LFV (Lateral Force Variation) adalah variasi gaya yang terjadi di sekeliling
ban secara horisontal ke kiri dan ke kanan tarik menarik sewaktu ban berotasi
dan hanya dapat diukur dengan mesin uniformity. Sama dengan RFV, ban yang
LFVnya tinggi juga akan menimbulkan ban vibrasi atau mobil bergetar.
3. Conicity adalah resultan atau perbedaan lateral force (gaya lateral) bagian kiri
dan kanan atau positif dan negatif pada saat ban berotasi. Conicity berasal dari
kata “con” atau kerucut, conicity menunjukkan bila sebuah ban secara fisik
berbentuk seolah-olah kerucut. Sebuah ban yang memiliki conicity tinggi,
seperti contoh yang ditunjukkan pada gambar, maka suatu gaya lateral akan
terbentuk yang arahnya sama kemanapun ban itu diputar. Ban yang conicitynya
tinggi akan cenderung mengarah ke satu sisi.
Gambar 2.22. Gaya reaksi pada ban
A B
C
D
E
F
G
H I J
K
L
M
N
O
P
1
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian merupakan kerangka kerja atau kerangka berfikir secara
sistematis yang akan menggambarkan tahapan-tahapan untuk mengidentifikasi,
merumuskan, menganalisa, memecahkan dan menyimpulkan suatu masalah
sehingga peneliti lebih terarah dan beraturan dalam melakukan penelitian.
3.1. Kerangka Penelitian
Dalam hal ini penulis mencoba untuk berfikir secara sistematis dengan membuat
kerangka penelitian. Berikut adalah kerangka penelitian yang penulis buat.
Gambar 3.1. Kerangka Penelitian
Observasi Awal
Observasi langsung dan interview untuk mendapatkan
informasi dari pihak-pihak terkait
Pengamatan proses secara garis besar
Identifikasi Masalah
Analisis hasil dari observasi awal
Menentukan masalah yang akan diteliti
Studi Literatur
Konsep dasar Six Sigma
Cause and Effect Diagram, Control Chart, DOE
Desain Faktorial
Pengumpulan Data
Melakukan interview pihak produksi area curing plant 2 untuk
mengidentifikasi permasalahan yang sering terjadi
Mengumpulkan data defect
Observasi proses curing plant 2
Analisis
Pengolahan data defect dan membuat p-chart
Perhitungan DPMO dan nilai sigma
Membuat cause and effect diagram
Trial setting parameter mesin curing
Kesimpulan dan Saran
Membuat kesimpulan berdasarkan hasil penelitian
Memberikan saran untuk evaluasi penelitian
Observasi Awal
Identifikasi Masalah
Studi Literatur
Pengumpulan Data
Pengolahan dan
Analisis Data
Simpulan dan Saran
2
3.2. Observasi Awal
Observasi awal ini merupakan tahapan awal dalam penelitian ini. Tahapan ini
diperlukan untuk mendapatkan informasi-informasi yang mendukung penelitian
seperti permasalahan yang ada, mengidentifikasi gap atau penyimpangan yang
terjadi, menentukan tingkat kepentingan suatu masalah dan menentukan
solusinya.
Penelitian secara langsung dilakukan dengan mengamati proses pemasakan green
tyre (GT) pada area curing dan melakukan interview terhadap pihak produksi,
PPIC dan Lean Manufacture terkait permasalahan yang sering dihadapi oleh
perusahaan khususnya area curing plant 2. Sedangkan penelitian tidak langsung
dilakukan dengan cara mempelajari data-data yang ada pada departemen Produksi
dan Lean Manufacture di PT. X Tbk.
3.3. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan tahapan dalam menentukan objek permasalahan.
Setelah dilakukan observasi awal di area produksi curing plant 2, diidentifikasi
adanya permasalahan yaitu banyaknya produk defect. Untuk mengatasi masalah
yang ada, diperlukan suatu konsep atau metode yang dapat mengatasi masalah
tersebut. Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk meminimasi defect yang
ada dan meningkatkan level sigma perusahaan.
Agar penelitian ini tidak menyimpang atau keluar dari lingkup yang dibahas,
maka perlu diterapkan batasan-batasan masalah. Selain itu asumsi-asumsi yang
digunakan untuk membantu dalam penyelesaian masalah juga perlu diterapkan
dan kedua hal tersebut telah dijelaskan pada Bab 1.
3.4. Studi Literatur
Studi literatur ini adalah proses mempelajari konsep dan aktivitas dalam
melakukan penelitian. Studi literatur ini dilakukan dengan maksud dan tujuan
untuk melengkapi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian dan berperan
dalam pengumpulan informasi secara lengkap untuk memecahkan suatu masalah.
Pada penelitian ini teori yang digunakan sebagai studi literatur yaitu tentang Six
Sigma, peta kendali, cause and effect diagram dan desain faktorial.
3
3.5. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk mendukung peneliti dalam menyelesaikan
masalah yang telah dijelaskan sebelumnya. Adapun teknik pengumpulan data
yang digunakan disini adalah dengan wawancara, observasi langsung dan
dokumentasi.
Teknik wawancara dilakukan dengan mewawancarai karyawan di bagian
curing. Topik wawancara yang dibahas adalah mengenai permasalahan yang
ada pada proses curing.
Teknik observasi yang dilakukan disini adalah dengan mengamati langsung
proses produksi di mesin curing untuk mengetahui dan melihat langsung proses
yang berjalan dan melakukan trial pada proses curing plant 2.
Teknik dokumentasi yang dimaksud disini merupakan pengumpulan
dokumen-dokumen yang berisi peristiwa yang sudah berlalu. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang
diambil secara langsung pada objek penelitian yaitu PT. X Tbk., beberapa data
tersebut diantaranya:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh melalui pengamatan atau
pengukuran secara langsung oleh peneliti dari suatu objek penelitian. Data
yang diperoleh melalui hasil observasi dan wawancara. Data primer yang
diambil diantaranya:
a. Permasalahan yang sering terjadi dan sedang dihadapi
b. Proses produksi
c. Data trial setting parameter mesin curing
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data atau informasi yang telah tersedia oleh pihak
perusahaan atau pihak lain yang dianggap berkompeten. Data sekunder
yang digunakan diantaranya:
a. Proses Produksi PT. X Tbk.
b. Data defect hasil proses mesin curing
c. Data hasil produksi
4
3.6. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dan dilakukan langkah perbaikan
sesuai dengan konsep Six Sigma metode DMAIC (Define, Measure, Analyze,
Improve, Control).
1. Define
Tahap define ini merupakan tahapan untuk mengidentifikasi permasalahan yang
ada (banyaknya defect produk). Identifikasi permasalahan yang ada juga
digunakan untuk merancang perbaikan untuk mengurangi defect yang ada.
Tahapan ini dilakukan dengan cara:
- Mengidentifikasi aliran proses produksi PT. X Tbk.
- Mengidentifikasi permasalahan yang akan dianalisa lanjut
2. Measure
Tahap measure ini dilakukan dengan mengolah dan menghitung data yang didapat
diantaranya:
- Membuat diagram kontrol (p-Chart), membuat pareto chart
- Menghitung DPMO (Defect Per Million Opportunities) menggunakan rumus
yang telah ditetapkan untuk menentukan nilai sigma perusahaan
3. Analyze
Pada tahap analyze ini penulis akan menganalisa lebih dalam mengenai penyebab-
penyebab yang mungkin terjadi dengan menggunakan metode Cause and Effect
Diagram (Fish Bone) untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya defect
dan meminimumkan resiko penyebab kegagalan.
4. Improve
Tahap improve merupakan tahap diterapkannya metode Six Sigma untuk
meningkatkan kualitas produk dan meminimasi defect dengan memberikan solusi
perbaikan pada proses produksi dengan analisis statistik menggunakan software
SPSS. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam analisis menggunakan SPSS.
a. Buka software SPSS, klik variable view pada pojok kiri bawah tampilan
SPSS
b. Isikan data sesuai dengan yang akan dianalisis, seperti yang ditunjukkan pada
gambar 3.2.
5
Gambar 3.2. Variable View
c. Pada kolom Value, isikan level dari masing-masing faktor, seperti contoh
pada gambar 3.3.
Untuk Faktor_A (Temperature cure) :
1. 165°C
2. 165°C
Untuk Faktor_B (Time cure):
1. 790 s
2. 800 s
Gambar 3.3. Kolom Value Untuk Faktor_C (Pressure):
1. 1500 kpa
2. 1600 kpa
d. Selanjutnya klik Data View pada kiri bawah tampilan SPSS, kemudian isi
data hasil trial pada kolom dan baris (Under_Cure) yang tersedia.
Gambar 3.4. Data View
e. Data pada kolom Faktor_A, B dan C diisi dengan data urutan percobaan yang
sebelumnya telah dianalisis dengan software Minitab. Berikut langkah-
langkahnya.
6
- Buka Software Minitab, Klik Stat > DOE > Factorial > Create Factorial
Design
Gambar 3.5. Stat
- Ganti number of factor menjadi 3
Gambar 3.6. Create Factorial Design
- Klik Design > Pilih dan klik Full Factorial > Ubah replikasi menjadi 3 >
OK
Gambar 3.7. Designs
- Klik Factors > Ubah level low dengan angka 1 dan level high dengan
angka 2
7
Gambar 3.8. Factors
- Akan tampil hasil seperti gambar dibawah ini
Gambar 3.9. Hasil Minitab
f. Setelah selesai mengisi data trial, klik Analyze > General Linear Model >
Univariate.
Gambar 3.10. Analyze
8
g. Pada kotak Univariate, masukkan Defect ke kolom Dependent Variable dan
masukkan Temperature, Time dan Pressure ke kolom Fixed Factor.
Gambar 3.11. Univariate
h. Masih pada kotak univariate, klik Plots. Dan pada kotak Plots masukkan
Faktor_A ke kolom Horizontal Axis, Faktor_B pada kolom Separate Lines
kemudian klik Add. Lakukan hal yang sama untuk A*B, B*C dan A*B*C >
Continue.
Gambar 3.12. Plots
i. Masih pada kotak Univariate, klik Options kemudian masukkan semua
variable ke kolom Display Means for. Kemudian ceklist Descriptive statistic
dan Homogenity tests > Continue > OK.
Gambar 3.13. Options
9
j. Akan muncul output dari analisis
Gambar 3.14. Output
k. Selanjutnya adalah interpretasi output dari hasil analisa yang telah
dilakukan
5. Control
Tahap control yang merupakan tahap akhir dari metode DMAIC ini dilakukan
dengan mengontrol kelancaran atau konsistensi dari solusi perbaikan yang telah
dijalankan serta dengan melakukan beberapa perbaikan dan membuat sebuah alat
control dalam proses curing khususnya setting parameter. Adapun kerangka
pemikiran pada penelitian ini ditunjukkan pada gambar 3.15.
3.7. Kesimpulan dan Saran
Merupakan tahap akhir dari penelitian, yaitu memberikan kesimpulan berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan dan memberikan saran membangun kepada
perusahaan yang berhubungan dengan penelitian.
10
Define
Identifikasi permasalahan
Measure
Membuat p-chart
Melakukan perhitungan DPMO, dan
nilai sigma
Analyze
Mencari penyebab masalah
Membuat diagram sebab akibat (fish
bone)
Improve
Mencari solusi dan penyelesaiannya
Melakukan trial (uji coba) setting mesin
Control
Uji asumsi data dengan SPSS
Memenuhi syarat?
Sig. > 0,05
Analisis desain faktorial
Selesai
Ya
Interpretasi output dan membuat
kesimpulan
Ya
Mencari metode yang tepat
Mencapai 6 sigma?
Tidak
Tidak
Uji HomogenitasUji Normalitas
Membuat perancangan percobaan
dengan software minitab
Gambar 3.15. Kerangka Pemikiran
1
BAB IV
DATA DAN ANALISA
4.1. Profil Perusahaan
PT. X Tbk berlokasi di Desa Karangsari Cikarang Timur, Bekasi, Jawa barat. PT.
X Tbk merupakan salah satu produsen ban terkemuka di Indonesia, dengan
jangkauan pasar domestik maupun international. PT X Tbk memiliki luas area ±
50 Hektar. Bangunan utama terdiri dari 3 bangunan pabrik (Plant 1, Plant 2 dan
Plant Solid Tire). Perusahaan ini memproduksi ban kendaraan bermotor roda dua
dan empat. Baik dengan merek sendiri (Private Brand) maupun merek dagang
luar (Host Brand).
Produk-produk yang dihasilkan PT. X Tbk dipasarkan oleh Departemen
Pemasaran dan Penjualan, baik bagian Internasional maupun Domestik. Produk
yang dihasilkan PT. X Tbk ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu PCR (Passanger
Car), MC-X (Motorcycle) dan LTR (Light Truck Radial). Berikut ini adalah area
pemasaran dari PT. X Tbk seperti yang terlihat pada Gambar 4.1. dibawah ini.
Gambar 4.1. Sales Area PT. X Tbk
(Sumber: Annual Report PT. X Tbk. Tahun 2013)
PT. X Tbk memiliki visi : “To be a leader and Trend Setter in the Tyre Industry”
yang berarti “Menjadi pemimpin dan panutan dalam industri ban”. Dalam meraih
20%
16%
8% 14% 12%
22%
8%
KONTRIBUSI PENJUALAN BERDASARKAN AREA
America
Asia
Australia
Europe
Middle East
Domestic
2
visi tersebut, PT. X Tbk dalam misinya menyatakan “To Make Prosperous and
Better World” yang berarti “Menjadikan dunia yang lebih makmur dan sejahtera”.
Produk PT. X Tbk telah mendapatkan regulasi DOT (Departement Of
Transportation). DOT berarti bahwa produk ban PT. X Tbk telah melewati
seluruh standar keselamatan, baik dalam level treadwear dan traction yang
diterbitkan oleh Uniform Tire Quality Grading (UTQG) oleh Departemen
Transportasi Amerika Serikat. Beberapa sertifikasi yang telah diperoleh PT. X
Tbk antara lain:
1. Standar Nasional Indonesia (SNI)
2. Economic Commision of Europe
3. Federal Motor Vehicle Safety Standard
4. The European Tire and Rim Technical Organization
5. The Tire and Rim Association
6. Saudi Arabian Standards Organization
7. Compulsory China Certificate
4.2. Observasi Awal
Observasi awal dilakukan dengan cara mengidentifikasi masalah yang terjadi di
perusahaan, khususnya di area produksi mesin curing plant 2. Seperti yang sudah
dibahas pada bab 1 (pendahuluan), pada tahapan ini diidentifikasi adanya
permasalahan yaitu banyaknya jumlah defect produk yang ada. Banyaknya defect
produk ini mengakibatkan terjadinya penyimpangan antara aktual dengan target
defect itu sendiri. Berikut ini adalah grafik defect tyre (minor dan major) periode
Januari-Juni 2015 yang ditunjukkan pada gambar 4.2. dan 4.3.
Gambar 4.2. Grafik Defect Minor Tyre Periode Januari-Juni 2015
January February March April May June
Defect (%) 1.58% 2.28% 2.87% 3.75% 4.45% 4.24%
Target Defect (%) 4.01% 4.01% 4.01% 3.89% 3.89% 3.89%
0.00%1.00%2.00%3.00%4.00%5.00%
% d
efe
ct
% DEFECT MINOR JANUARI -JUNI 2015
3,89 % 4,01%
3
Gambar 4.3. Grafik Defect Major Tyre Periode Januari-Juni 2015
Pada gambar 4.2 dan 4.3 terlihat bahwa pada beberapa bulan, jumlah defect yang
terjadi berada pada batas target yang telah ditetukan (garis merah pada gambar).
Permasalahan ini jika dibiarkan terus menerus akan berdampak kurang baik bagi
perusahaan. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan dengan cara meminimasi
defect yang ada menggunakan konsep Six Sigma. Konsep ini dipilih karena
merupakan konsep yang cocok untuk mengendalikan kualitas serta mengurangi
defect minor yang secara otomatis juga akan menurunkan jumlah defect major
yang ada pada perusahaan.
4.3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara/interview langsung kepada
departemen/pihak-pihak yang bersangkutan, observasi langsung dan juga
dokumentasi.
4.3.1. Data Jenis-Jenis Defect Pada Tyre
Defect terbagi menjadi dua kategori yaitu defect jenis minor dan defect jenis
major. Defect minor adalah produk cacat yang masih bisa dirework, sedangkan
defect major merupakan produk cacat yang sudah tidak bisa dirework/harus
dibuang. Terdapat tujuh jenis defect pada tyre secara visual setelah proses curing
dan masing-masing dari istilah defect tersebut memiliki definisi tersendiri. Jenis-
jenis defect visual pada tyre dijelaskan pada Tabel 4.1 dan untuk melihat contoh
visual dari masing-masing defect dapat dilihat pada lampiran 1.
January February March April May June
Scrap (%) 0.65% 1.02% 1.49% 1.69% 1.66% 1.33%
Target Scrap (%) 1.01% 1.01% 1.01% 0.95% 0.95% 0.95%
0.00%
0.20%
0.40%
0.60%
0.80%
1.00%
1.20%
1.40%
1.60%
1.80%%
De
fect
Maj
or
% DEFECT MAJOR JANUARI -JUNI 2015
0,95 % 1,01 %
4
Tabel 4.1 Jenis-jenis Defect Pada Tyre
No. Nama Defect Definisi Defect
1 U/C (Under cure)
Kondisi kurang sempurnanya pemasakan ban
(proses curing) sehingga menyebabkan ban
kurang matang
2 B/LK (Bladder Leak)
Defect yang diakibatkan oleh bladder bocor
saat shaping maupun proses curing kemudian
tekanan dalamnya langsung masuk kedalam
ban sehingga terjadi abnormal
3 TW (Twist)
Kondisi center raw cover dan center mold
yang tidak pas menyebabkan cacat pada
bagian bead
4 FM (Foreign Material) Adanya kontaminasi dari material asing yang
ikut tercuring pada ban
5 DFM (Deformation)
Perubahan bentuk ban akibat tekanan tenaga
luar yang terus menerus pada saat ban masih
panas setelah ban keluar dari cetakan/mold
6 B/CR (Bladder Crease)
Lipatan bagian dalam ban yang terjadi karena
adanya sisa/kelebihan bladder saat proses
shaping yang tergelincir dalam proses curing
7 Out of Uniformity
Merupakan salah satu jenis defect yang dicek
dengan menggunakan mesin tersendiri yaitu
mesin Balance & Uniformity. Mesin ini
mengukur tingkat balance & uniformity dari
ban hasil proses curing, apabila ban tersebut
tidak lolos uji dari mesin ini maka ban
tersebut dinyatakan Out of Uniformity artinya
ban tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi.
5
Suatu produk dikatakan defect apabila telah melewati batas spesifikasi yang telah
ditetapkan. Klasifikasi dari pengkategorian defect dapat dilihat pada gambar 4.4
dibawah ini.
Gambar 4.4. Klasifikasi Defect
Sumber: Visual Tyre Standard Dept. Lean Manufacturing
4.2.2. Data Defect Proses Curing
Data defect mesin curing ini diperoleh dari hasil dokumentasi departemen BCI.
Alasan dipilihnya proses curing dalam penelitian ini adalah karena proses curing
merupakan proses akhir dalam pembuatan ban sehingga proses ini mempunyai
peranan penting bagi perusahaan dalam memenuhi order pelanggan.
Total defect minor keseluruhan mencapai 32.860 pcs tyre sedangkan total defect
major keseluruhan mencapai 13.616 pcs tyre dari hasil total produksi sebesar
Tujuan : * Menyamakan / unification judgement tire ( defect, ranking, repair dan scrap )
* Mempermudah penamaan defect tire ( dengan sistem initial nama defect )
SIC : Operator - Manager ( Finishing, QA dan R&D ) Departement
Nama - Nama Defect
General Under Cure U/C - Tire kurang matang
Bladder Leak B/LK C7 Bladder bocor / pecah
Bladder Crease B/CR C3 Bladder melipat
Twist TW T10 Cacat pada bagian bead
Foreign Material FM CE1 Ada material asing di tire
Deformation DFM C12 Perubahan bentuk pada tire ( hampir seluruh )
Out of Uniformity Unif - Tidak lolos uji balance & uniformity
Metode Repair TireV : Venting ( ditusuk dengan alat khusus ) S : Straigthen ( diluruskan dengan alat khusus )
[ venting tidak boleh dari dalam tire / tembus ] P : Patching ( tambal / matrik letering -> press )M : Masking ( ditutup dengan lilin / rubber calk ) B : Buffing ( gerinda tangan / belton )T : Triming ( dicukur / potong / sayat ) L : Letter ( repair tread marking / stamp )I : Inflate ( tire dipasang di rim / alat khusus dan di isi angin, simpan beberapa hari )
1 Under Cure tire kurang matang normal laik repair tidak bisa repair
[ U/C ] Porosity tidak ada
Metode repair : ALL2 Bladder Leak tire abnormal karena bladder bocor tire OK < 10x20 mm > 10x0
[ B/LK ] Jumlah / area max 2 tempat > 2 tempat
Metode repair : B3 Bladder Crease tire abnormal karena bladder melipat < 3 mm 4 - 8 mm > 8 mm
[ B/CR ] Visual max 1 tempat max 1 tempat > 1 tempat
Metode repair : B4 Twist Cacat pada bagian bead < 1.0 mm 1.1 - 2.0 mm > 2.0 mm
[TW ] Jumlah / area max 1/4 max 1/2 cord ply terlihat
Metode repair : T B lingkaran lingkaran
5 Foreign Material Ada foreign material tidak repair laik repair tidak bisa repair
[ FM ] Jumlah / lebar - max 1/8 lingkar > 1/8 lingkar
Metode repair : M P B6 Deformation Visual masih bisa terlihat terlihat jelas
[ DFM ] Uniformity inflate unif max 1/2 lingkar > 1/2 lingkar
Metode repair : I tidak bisa repair
7 Out of Uniformity Visual tidak defect laik repair tidak bisa repair
Uniformity OK
Metode repair : ALL
FINISHING
Dibuat Diperiksa Disetujui
Nama Defect dan Klasifikasinya
/ 11
NO. REGISTRASI TGL. DISETUJUI NO. & TGL. REVISI AREA APLIKASI HALAMAN
018/LS/FIN/MSA 00
( regular )
Area Nama defectCode
DefinisiBaru Lama
( repair ) ( ranking )
Nama Defect KeteranganKlasifikasi
OK Defect Scrap[ GENERAL ]
6
1.106.110 pcs tyre selama enam bulan. Total defect secara keseluruhan hasil
curing periode Januari-Juni 2015 dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Data Total Defect vs Total Produksi Periode Januari-Juni 2015
January February March April May June
Total Produksi 262.306 209.907 179.211 160.716 140.103 153.867
Jumlah Defect Minor 4.141 4.792 5.145 6.020 6.241 6.521
Jumlah Defect Major 1.714 2.147 2.669 2.709 2.332 2.045
Untuk menganalisis lebih lanjut, berikut ini adalah rekap data defect tyre hasil
curing periode Januari-Juni 2015 secara terpisah berdasarkan jenis dari defectnya
ditunjukkan pada Tabel 4.3 dan 4.4.
Tabel 4.3. Data Defect Minor Proses Curing Pada Periode Januari-Juni 2015
No. Jenis Defect
Minor
Jumlah Defect Minor TOTAL
Januari Februari Maret April Mei Juni
1 U/C 522 763 908 1.876 1.702 1.959 7.730
2 B/LK 1.056 889 972 1.117 1.210 1..238 6.482
3 Out of Uniformity 911 1.083 1.017 1.007 1.020 1.060 6.098
4 TW 571 650 692 635 632 600 3.780
5 FM 490 503 528 600 722 727 3.570
6 DFM 320 518 578 340 465 493 2.714
7 B/CR 271 386 450 445 490 444 2.486
TOTAL 4.141 4.792 5.145 6.020 6.241 6.521 32.860
Tabel 4.4. Data Defect Major Proses Curing Pada Periode Januari-Juni 2015
No. Jenis Defect
Major
Jumlah Defect Major TOTAL
Januari Februari Maret April Mei Juni
1 U/C 454 499 521 572 512 573 3.131
2 B/LK 271 386 550 545 453 346 2.551
3 TW 358 405 333 466 400 439 2.401
4 FM 241 350 393 397 317 292 1.990
5 DFM 224 294 397 341 380 205 1.841
6 B/CR 166 213 475 388 270 190 1.702
TOTAL 1.714 2.147 2.669 2.709 2.332 2.045 13.616
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa baik defect minor maupun major, U/C
atau under cure merupakan jenis defect terbanyak yang ada dengan perolehan
sebesar 7.730 untuk defect minor dan 3.131 untuk defect major dalam waktu enam
bulan.
7
4.3. Pengolahan Data
Data yang telah didapat selanjutnya diolah sesuai dengan kebutuhan analisis
selanjutnya. Dalam analisis ini data diolah untuk membuat peta kendali p-chart,
diagram pareto serta menghitung DPMO dan nilai sigma.
4.3.1. Membuat p-Chart (proportion defective control chart)
p-chart digunakan untuk mengendalikan jumlah produk yang cacat (non
conforming). Dengan menggunakan distribusi 3 sigma sebagai batas pengendalian
proses manufaktur, maka berikut adalah rumus UCL dan LCL. Data defect
ditunjukkan pada tabel 4.5.
√ ( )
√ ( )
Tabel 4.5. Data Defect (Juni 2015) untuk pembuatan peta kendali
Tanggal Jumlah
Sampel
Jumlah
Defect p √ ( ) UCL LCL
1 4.944 298 0,060275081 0,003270718 0,066093 0,046469
2 5.188 281 0,054163454 0,003203244 0,065891 0,046672
3 4.992 281 0,056290064 0,00326185 0,066067 0,046496
4 5.473 285 0,052073817 0,00312217 0,065648 0,046915
5 5.737 312 0,054383824 0,003045769 0,065419 0,047144
6 4.368 282 0,06456044 0,003471751 0,066697 0,045866
7 5.260 269 0,051140684 0,003186325 0,06584 0,046722
8 5.712 265 0,046393557 0,00306530 0,065477 0,047085
9 4.500 299 0,066444444 0,003417007 0,066532 0,04603
10 6.505 331 0,050883935 0,002865616 0,064878 0,047684
11 5.020 272 0,054183267 0,003256369 0,06605 0,046512
12 5.194 273 0,052560647 0,003204105 0,065894 0,046669
13 4.738 242 0,051076404 0,003357377 0,066353 0,046209
14 5.388 292 0,054194506 0,003143179 0,065711 0,046852
15 5.456 284 0,052052786 0,003127065 0,065662 0,046900
16 5.191 280 0,053939511 0,003202698 0,065889 0,046673
17 6.344 284 0,044766709 0,002911087 0,065015 0,047548
18 6.140 257 0,041856678 0,002963555 0,065172 0,047391
19 5.852 297 0,05075188 0,00302148 0,065346 0,047217
20 4.488 260 0,057932264 0,003437135 0,066593 0,04597
21 5.120 299 0,058398438 0,003217219 0,065933 0,04663
22 4.817 292 0,060618642 0,00331295 0,06622 0,046342
8
Tabel 4.5. Data Defect (Juni 2015) untuk pembuatan peta kendali (lanjutan)
Tanggal Jumlah
Sampel
Jumlah
Defect p √ ( ) UCL LCL
23 4.761 278 0,058391094 0,003336324 0,06629 0,046272
24 5.167 263 0,050899942 0,00321528 0,065927 0,046635
25 4.264 277 0,064962477 0,003513079 0,066821 0,045742
26 5.080 328 0,064566929 0,003219263 0,065939 0,046623
27 4.571 327 0,071537957 0,003381104 0,066425 0,046138
28 4.356 259 0,05945822 0,003485998 0,066739 0,045823
29 4.424 289 0,065325497 0,003448297 0,066626 0,045936
30 4.817 310 0,064355408 0,003306352 0,0662 0,046362
Rata-rata 0,056281285 0,003232322 0,065978 0,046584
Sesuai dengan data pada tabel 4.5 dibuatlah p-chart menggunakan bantuan
software Minitab yang ditunjukkan pada gambar 4.5.
28252219161310741
0,075
0,070
0,065
0,060
0,055
0,050
0,045
0,040
Sample
Pro
po
rtio
n
_P=0,05567
UCL=0,06558
LCL=0,04576
1
1
1
1
1
P Chart of Defect
Tests performed with unequal sample sizes
Gambar 4.5. Peta kendali p-chart
Test Results for P Chart of Defect TEST 1. One point more than 3,00 standard deviations from center line.
Test Failed at points: 8; 9; 17; 18; 27
Terlihat pada p-chart diatas, terdapat lima titik yang berada diluar batas-batas
kendali (UCL dan LCL). Sebelum melakukan perbaikan perlu diketahui terlebih
dahulu manakah dari jenis-jenis defect yang ada yang menghasilkan jumlah defect
paling banyak diantara yang lainnya. Untuk melihat jenis defect yang paling
banyak atau paling dominan dapat dilihat pada diagram pareto yang ditunjukkan
pada gambar 4.6.
9
Defect dan Scrap 10861 9033 6181 6098 5560 4555 4188
Percent 23,4 19,4 13,3 13,1 12,0 9,8 9,0
Cum % 23,4 42,8 56,1 69,2 81,2 91,0 100,0
Jenis Defect B/CRDFMFMOut of UnifTWB/LKU/C
50000
40000
30000
20000
10000
0
100
80
60
40
20
0
Defe
ct d
an S
crap
Perc
ent
Pareto Chart of Jenis Defect
Gambar 4.6. Pareto Diagram Defect Tyre
Berdasarkan hasil pareto rekap defect tyre hasil curing periode Januari – Juni
2015 dilihat dari jenis defect nya, terlihat bahwa defect tertinggi adalah jenis
defect U/C atau Under cure dengan persentase cacat sebesar 23,4%.
4.3.3. Menghitung DPMO (Defects Per Million Opportunities) dan Nilai Sigma
DPMO merupakan ukuran kegagalan dalam konsep Six Sigma yang menunjukkan
kegagalan dalam sejuta kesempatan. Cara menghitung DPMO adalah sebagai
berikut:
Langkah awal adalah dengan menghitung DPU (Defect Per Unit) dengan rumus:
Kemudian selanjutnya menghitung DPMO dengan rumus:
Keterangan:
Unit : Pcs tyre
Defect : Produk gagal
Opportunity for error in a unit : Kemungkinan adanya defect dalam 1 unit
Setelah mendapatkan nilai DPMO, langkah selanjutnya adalah melihat tabel
konversi DPMO ke nilai sigma yang terlampir pada Lampiran 2.
Berikut ini adalah contoh perhitungan untuk mendapatkan nilai DPU, DPMO dan
nilai sigma.
10
Unit : 4.944 psc tyre yang diproduksi pada tanggal 1 Juni 2015
Defect : 298 pcs tyre yang terjadi defect pada tanggal 1 Juni 2015
Opportunities : 7 opportunities (7 peluang kemungkinan terjadinya defect dalam
satu unit tyre)
(konversi ke nilai sigma, lihat tabel
konversi DPMO ke nilai sigma pada lampiran 2)
Tabel 4.6. Data defect (Juni 2015) untuk perhitungan DPMO dan nilai sigma
Tanggal Total Produksi Total Jumlah
Defect DPU DPMO
1 4.944 298 0,0602751 8610,7258
2 5.188 281 0,0541635 7737,6363
3 4.992 281 0,0562901 8041,4377
4 5.473 285 0,0520738 7439,1167
5 5.737 312 0,0543838 7769,1178
6 4.368 282 0,0645604 9222,9199
7 5.260 269 0,0511407 7305,8121
8 5.712 265 0,0463936 6627,6511
9 4.500 299 0,0664444 9492,0635
10 6.505 331 0,0508839 7269,1336
11 5.020 272 0,0541833 7740,4667
12 5.194 273 0,0525606 7508,6638
13 4.738 242 0,0510764 7296,6291
14 5.388 292 0,0541945 7742,0723
15 5.456 284 0,0520528 7436,1123
16 5.191 280 0,0539395 7705,6444
17 6.344 284 0,0447667 6395,2441
18 6.140 257 0,0418567 5979,5254
19 5.852 297 0,0507519 7250,2685
20 4.488 260 0,0579323 8276,0377
21 5.120 299 0,0583984 8342,6339
11
22 4.817 292 0,0606186 8659,8060
Tabel 4.6. Data defect (Juni 2015) untuk perhitungan DPMO dan nilai sigma
(lanjutan)
Tanggal Total Produksi Total Jumlah
Defect DPU DPMO
24 5.167 263 0,0508999 7271,4203
25 4.264 277 0,0649625 9280,3538
26 5.080 328 0,0645669 9223,8470
27 4.571 327 0,071538 10219,7081
28 4.356 259 0,0594582 8494,0312
29 4.424 289 0,0653255 9332,2139
30 4.817 310 0,0643554 9193,6297
Total 153.867 8.566 0,0562813 8040,1836
Rata-rata Nilai Sigma 3,9029
Untuk mendapatkan nilai sigma yang tepat, maka dilakukan dengan cara
interpolasi tabel konversi DPMO ke nilai sigma, berikut adalah contoh
perhitungannya:
( )
Dimana,
x y
DPMO yang akan dicari nilai sigmanya adalah 8040,1836
( )
Nilai Sigma DPMO
3,90 8.198
X 8040,1836
3,91 7.976
12
Sesuai dengan hasil rata-rata DPMO yang diperoleh yaitu 8040,1836 maka didapat
nilai sigma sebesar 3,9029 sigma.
4.4. Analisa Permasalahan
Tahap analyze ini merupakan langkah ketiga setelah define dan measure. Dalam
tahap ini akan dianalisis penyebab-penyebab terjadinya defect under cure dan
mengidentifikasi faktor yang sifatnya tetap untuk kemudian dilakukan rancangan
percobaan menggunakan diagram sebab akibat.
Gambar 4.7. Cause and Effect Diagram
Seperti yang terlihat pada gambar 4.7 diatas, hanya tiga faktor yang teridentifikasi
menyebabkan banyaknya defect under cure. Ketiga faktor tersebut diantaranya;
faktor man, material dan method. Pada faktor man teridentifikasi bahwa terkadang
terjadi kesalahan dalam melakukan setting parameter yang disebabkan oleh
operator baru. Pada faktor material teridentifikasi bahwa material karet yang
digunakan terkadang terlalu tebal sehingga memerlukan waktu dan suhu yang
lebih dari spec. Sedangkan dilihat pada faktor method bahwa memang sebenarnya
belum ada spec khusus untuk setting parameter size tyre tertentu jadi saat ini spec
yang digunakan untuk semua size tyre adalah sama.
Oleh karena itu penulis memutuskan untuk melakukan perbaikan dengan mencari
setting parameter optimum cure untuk masing-masing size tyre. Selain itu
keputusan ini juga didukung karena faktor method tersebut merupakan faktor yang
sifatnya tetap, sehingga jika dilakukan perbaikan terhadap faktor tetap tentu
13
mempunyai pengaruh lebih besar dibandingkan dengan faktor yang sifatnya tidak
tetap.
4.5. Solusi Perbaikan
Solusi perbaikan dilakukan dengan menggunakan analisis desain faktorial 23
yang
merupakan bagian dari ANOVA dengan Software SPSS untuk meminimasi
jumlah defect under cure yang ada (dengan mencari setting parameter cure yang
optimum). Analisis desain faktorial 23 adalah analisis yang biasa dilakukan dalam
sebuah eksperimen apabila faktor yang diuji berjumlah dua atau lebih faktor
dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh-pengaruh dari faktor yang ada terhadap
suatu permasalahan. Analisis ini terdiri dari 3 buah faktor dengan 2 buah level
atau taraf, yang dikatakan level atau taraf disini adalah varian dari masing-masing
variabel.
Faktor-faktor tetap yang mempengaruhi defect U/C atau Under cure diantaranya:
1. Faktor penggunaan temperatur curing,
2. Faktor lamanya proses curing atau waktu curing, dan
3. Faktor penggunaan tekanan curing
Ketiga faktor tersebut dijadikan sebagai variabel independen (yang
mempengaruhi) sedangkan defect under cure dijadikan sebagai variabel dependen
(yang dipengaruhi). Untuk variabel/faktor temperature cure, level/taraf/varian
yang diuji yaitu 165°C dan 175°C, untuk variabel/faktor time cure,
level/taraf/varian yang diuji yaitu 790 s dan 800 s dan untuk variabel/faktor
pressure, level/taraf/varian yang diuji yaitu 1500 kpa dan 1600 kpa.
Kelompok ban PCR terbagi menjadi 4 kelompok berdasarkan ukuran rimnya
diantaranya Rim 17, 18, 19 dan 20. Dalam penelitian ini yang akan dianalisis
lanjut hanya rim 19 dan 20 saja dikarenakan pada trial untuk rim 17 dan 18 tidak
menghasilkan defect (nol defect) sehingga datanya tidak bisa diproses. Hal ini
berarti menyatakan bahwa pada rim 17 dan 18 setting parameter yang digunakan
sudah optimum.
Adapun persyaratan/asumsi data yang harus dipenuhi dalam analisis desain
faktorial ini, diantaranya:
14
1. Data yang digunakan harus berdistribusi normal
2. Varian dan populasi yang digunakan harus bersifat sama (homogen)
1. Uji Asumsi Data
Untuk melakukan analisis lanjut perlu dilakukan uji asumsi data terlebih dahulu,
uji ini terdiri dari beberapa uji didalamnya diantaranya uji normalitas dan uji
homogenitas sebagai syarat dari analisis anova (desain faktorial). Jika data yang
digunakan sudah memenuhi persyaratan yang ada maka berarti analisis dapat
dilanjutkan.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah data yang
akan dianalisis terdistribusi normal atau tidak. Data yang baik untuk digunakan
dalam sebuah penelitian adalah data yang terdistribusi normal. Data yang
terdistribusi normal adalah data yang memiliki sebaran yang merata sehingga
dapat mewakili populasi. Berikut ini adalah uji normalitas Kolmogorov-Smirvov
dengan SPSS.
Uji Normalitas Tyre Rim 19
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Defect Under
cure
N 24
Normal Parametersa,b
Mean 1,50
Std. Deviation 1,285
Most Extreme Differences
Absolute ,170
Positive ,170
Negative -,151
Kolmogorov-Smirnov Z ,833
Asymp. Sig. (2-tailed) ,491
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Hipotesis:
H0 : Data terdistribusi normal
H1 : Data tidak terdistribusi normal
15
Kriteria pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikansi (probabilitas) > 0,05 ; maka terima H0
Jika nilai signifikansi (probabilitas) < 0,05 ; maka tolak H0
Keputusan:
Karena nilai signifikansi yang diperoleh adalah sebesar 0,491 (Rim 19) yang
berarti > 0,05, maka keputusannya adalah terima H0 yang artinya data yang diuji
terdistribusi normal.
Uji Normalitas Tyre Rim 20
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Defect Under
cure
N 24
Normal Parametersa,b
Mean 1,33
Std. Deviation 1,049
Most Extreme Differences
Absolute ,237
Positive ,190
Negative -,237
Kolmogorov-Smirnov Z 1,163
Asymp. Sig. (2-tailed) ,134
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Hipotesis:
H0 : Data terdistribusi normal
H1 : Data tidak terdistribusi normal
Kriteria pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikansi (probabilitas) > 0,05 ; maka terima H0
Jika nilai signifikansi (probabilitas) < 0,05 ; maka tolak H0
Keputusan:
Karena nilai signifikansi yang diperoleh adalah sebesar 0,134 (Rim 20) yang
berarti > 0,05, maka keputusannya adalah terima H0 yang artinya data yang diuji
terdistribusi normal.
16
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas merupakan uji yang digunakan untuk menguji kesamaan varian
dari populasi yang ada. Uji homogenitas ini dilakukan sebagai salah satu
persyaratan dalam anova dan desain faktorial.
Uji homogenitas dari variabel temperature cure Rim 19
Test of Homogeneity of Variances
Defect Under cure
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1,158 1 22 ,294
Uji homogenitas dari variabel time cure Rim 19
Test of Homogeneity of Variances
Defect Under cure
Levene Statistic df1 df2 Sig.
,408 1 22 ,530
Uji homogenitas dari variabel pressure Rim 19
Test of Homogeneity of Variances
Defect Under cure
Levene Statistic df1 df2 Sig.
,408 1 22 ,530
Uji homogenitas dari variabel temperature cure Rim 20
Test of Homogeneity of Variances
Defect Under cure
Levene Statistic df1 df2 Sig.
2,829 1 22 ,107
Uji homogenitas dari variabel time cure Rim 20
Test of Homogeneity of Variances
Defect Under cure
Levene Statistic df1 df2 Sig.
2,095 1 22 ,162
Uji homogenitas dari variabel pressure Rim 20
Test of Homogeneity of Variances
Defect Under cure
17
Levene Statistic df1 df2 Sig.
,423 1 22 ,522
Hipotesis:
H0 : Varian dari populasi data sama (homogen)
H1 : Varian dari populasi data tidak sama
Kriteria pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikansi (probabilitas) > 0,05 ; maka terima H0
Jika nilai signifikansi (probabilitas) < 0,05 ; maka tolak H0
Keputusan:
Karena nilai signifikansi yang diperoleh dari ketiga variabel (baik Rim 19 maupun
Rim 20) nilainya lebih besar dari 0,05 (> 0,05), maka keputusannya adalah terima
H0 yang artinya data homogen.
2. Tabel Pengamatan
Sebelum melakukan trial, dilakukan terlebih dahulu pembuatan rancangan
percobaan menggunakan Software Minitab. Perancangan dilakukan dengan
menggunakan tools DOE (Design Of Experiment) dengan replikasi sebanyak tiga
kali dan jumlah sampel sebanyak 5 pcs tyre per kombinasi setting parameter.
Kombinasi setting mesin berdasarkan hasil perancangan dengan Minitab
ditunjukkan pada tabel 4.7 dan 4.8.
Tabel 4.7. Hasil Percobaan Rim 19
Urutan
Replikasi
Faktor A
(Temperature)
Faktor B
(Time)
Faktor C
(Pressure)
Jumlah
Defect U/C
A1B1C1 (1) 1 1 1 4
A2B1C1 (1) 2 1 1 2
A1B2C1 (1) 1 2 1 3
A2B2C1 (1) 2 2 1 1
A1B1C2 (1) 1 1 2 3
A2B1C2 (1) 2 1 2 1
A1B2C2 (1) 1 2 2 1
A2B2C2 (1) 2 2 2 0
A1B1C1 (2) 1 1 1 4
A2B1C1 (2) 2 1 1 1
A1B2C1 (2) 1 2 1 2
A2B2C1 (2) 2 2 1 0
18
A1B1C2 (2) 1 1 2 2
A2B1C2 (2) 2 1 2 0
A1B2C2 (2) 1 2 2 2
A2B2C2 (2) 2 2 2 0
A1B1C1 (3) 1 1 1 3
A2B1C1 (3) 2 1 1 1
A1B2C1 (3) 1 2 1 2
A2B2C1 (3) 2 2 1 0
A1B1C2 (3) 1 1 2 2
Tabel 4.7. Hasil Percobaan Rim 19 (lanjutan)
Urutan
Replikasi
Faktor A
(Temperature)
Faktor B
(Time)
Faktor C
(Pressure)
Jumlah
Defect U/C
A2B1C2 (3) 2 1 2 0
A1B2C2 (3) 1 2 2 2
A2B2C2 (3) 2 2 2 0
Tabel 4.8. Hasil Percobaan Rim 20
Urutan
Replikasi
Faktor A
(Temperature)
Faktor B
(Time)
Faktor C
(Pressure)
Jumlah
Defect U/C
A1B1C1 (1) 1 1 1 4
A2B1C1 (1) 2 1 1 2
A1B2C1 (1) 1 2 1 4
A2B2C1 (1) 2 2 1 1
A1B1C2 (1) 1 1 2 4
A2B1C2 (1) 2 1 2 1
A1B2C2 (1) 1 2 2 2
A2B2C2 (1) 2 2 2 0
A1B1C1 (2) 1 1 1 3
A2B1C1 (2) 2 1 1 1
A1B2C1 (2) 1 2 1 3
A2B2C1 (2) 2 2 1 0
A1B1C2 (2) 1 1 2 3
A2B1C2 (2) 2 1 2 1
A1B2C2 (2) 1 2 2 3
A2B2C2 (2) 2 2 2 0
A1B1C1 (3) 1 1 1 3
A2B1C1 (3) 2 1 1 2
A1B2C1 (3) 1 2 1 3
A2B2C1 (3) 2 2 1 0
A1B1C2 (3) 1 1 2 3
A2B1C2 (3) 2 1 2 0
A1B2C2 (3) 1 2 2 3
A2B2C2 (3) 2 2 2 0
19
Keterangan:
Untuk Faktor A, 1 : 165 °C, 2 : 175 °C
Untuk Faktor B, 1 : 790 s, 2 : 800 s
Untuk Faktor C, 1 : 1500 kpa, 2 : 1600 kpa
Setting parameter cure saat ini (semua jenis Rim (20, 19, 18, 17)):
Temperature cure : 165 °C
Time cure : 790 s
Pressure : 1500 kpa
3. Melakukan Analisis Dengan Sofware SPSS 20
Setelah melakukan trial dan setelah lulus uji asumsi, langkah selanjutnya yaitu
melakukan analisis dengan SPSS menggunakan tools Analyze > General Linear
Model > Univariate. Langkah-langkah analisis telah dijelaskan pada BAB III.
4. Merumuskan Hipotesis (Interpretasi Output SPSS)
Berikut ini adalah beberapa output dari analisa desain faktorial dengan SPSS.
Between-Subjects Factors
Value Label N
Temperature cure 1 165 °C 12
2 175 °C 12
Time cure 1 790 s 12
2 800 s 12
Pressure 1 1500kpa 12
2 1600kpa 12
Tabel Between-Subjects Factors diatas merupakan tabel ringkasan data yang
diproses dalam SPSS. Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa pada tiap-tiap
temperature cure (165°C dan 175°C), time cure (790 dan 800 s) dan pressure
(1500 kpa dan 1600 kpa) terdapat 12 sampel yang diproses.
Selanjutnya adalah tabel Descriptive Statistics, tabel ini merupakan rekap statistik
dari variabel-variabel yang dianalisis untuk Rim 19. Terlihat mean terendah
terdapat pada kombinasi temperature (175°C), time (800 s) dan pressure (1600
20
kpa) dan mean tertinggi terdapat pada kombinasi temperature (165°C), time (790
s dan 800 s) dan pressure (1500 dan 1600 kpa).
Descriptive Statistics
Dependent Variable: Defect Under cure
Temperature cure Time cure Pressure Mean Std. Deviation N
165 °C
790 s
1500kpa 3,67 ,577 3
1600kpa 2,33 ,577 3
Total 3,00 ,894 6
800 s
1500kpa 2,33 ,577 3
1600kpa 1,67 ,577 3
Total 2,00 ,632 6
Total
1500kpa 3,00 ,894 6
1600kpa 2,00 ,632 6
Total 2,50 ,905 12
175 °C
790 s
1500kpa 1,33 ,577 3
1600kpa ,33 ,577 3
Total ,83 ,753 6
800 s
1500kpa ,33 ,577 3
1600kpa ,00 ,000 3
Total ,17 ,408 6
Total
1500kpa ,83 ,753 6
1600kpa ,17 ,408 6
Total ,50 ,674 12
Total
790 s
1500kpa 2,50 1,378 6
1600kpa 1,33 1,211 6
Total 1,92 1,379 12
800 s
1500kpa 1,33 1,211 6
1600kpa ,83 ,983 6
Total 1,08 1,084 12
Total
1500kpa 1,92 1,379 12
1600kpa 1,08 1,084 12
Total 1,50 1,285 24
Sama halnya dengan tabel Descriptive Statistics untuk Rim 19, pada tabel Descriptive
Statistics untuk Rim 20 ini juga terlihat mean terendah terdapat pada kombinasi
temperature (175°C), time (800 s) dan pressure (1600 kpa)
Descriptive Statistics
Dependent Variable: Defect Under cure
Temperature cure Time cure Pressure Mean Std. Deviation N
165 °C
790 s
1500kpa 3,33 ,577 3
1600kpa 3,33 ,577 3
Total 3,33 ,516 6
800 s
1500kpa 3,33 ,577 3
1600kpa 2,67 ,577 3
Total 3,00 ,632 6
21
Total
1500kpa 3,33 ,516 6
1600kpa 3,00 ,632 6
Total 3,17 ,577 12
175 °C
790 s
1500kpa 1,67 ,577 3
1600kpa ,67 ,577 3
Total 1,17 ,753 6
800 s
1500kpa ,33 ,577 3
1600kpa ,00 ,000 3
Total ,17 ,408 6
Total
1500kpa 1,00 ,894 6
1600kpa ,33 ,516 6
Total ,67 ,778 12
Total
790 s
1500kpa 2,50 1,049 6
1600kpa 2,00 1,549 6
Total 2,25 1,288 12
800 s
1500kpa 1,83 1,722 6
1600kpa 1,33 1,506 6
Total 1,58 1,564 12
Total
1500kpa 2,17 1,403 12
1600kpa 1,67 1,497 12
Total 1,92 1,442 24
Levene's Test of Equality of Error Variancesa
Dependent Variable: Defect Under cure (Rim 19)
F df1 df2 Sig.
2,286 7 16 ,081
Tests the null hypothesis that the error variance
of the Dependent Variable is equal across
groups.
a. Design: Intercept + Faktor_A + Faktor_B +
Faktor_C + Faktor_A * Faktor_B + Faktor_A *
Faktor_C + Faktor_B * Faktor_C + Faktor_A *
Faktor_B * Faktor_C
Levene's Test of Equality of Error Variancesa
Dependent Variable: Defect Under cure (Rim 20)
F df1 df2 Sig.
2,286 7 16 ,081
Tests the null hypothesis that the error variance
of the Dependent Variable is equal across
groups.
22
a. Design: Intercept + Faktor_A + Faktor_B +
Faktor_C + Faktor_A * Faktor_B + Faktor_A *
Faktor_C + Faktor_B * Faktor_C + Faktor_A *
Faktor_B * Faktor_C
Berdasarkan hasil uji pada tabel Levene's Test of Equality of Error Variancesa,
terlihat bahwa nilai Fhitung yang didapat baik rim 19 atau rim 20 adalah 2,286
dengan nilai signifikansi 0,081 yang nilainya lebih besar dari 0,05 yang
menyatakan bahwa model penelitian ini memenuhi syarat homogenitas.
Tests of Between-Subjects Effects (PCR Rim 19)
Dependent Variable: Defect Under cure
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 33,333a 7 4,762 16,327 ,000
Intercept 54,000 1 54,000 185,143 ,000
Faktor_A 24,000 1 24,000 82,286 ,000
Faktor_B 4,167 1 4,167 14,286 ,002
Faktor_C 4,167 1 4,167 14,286 ,002
Faktor_A * Faktor_B ,167 1 ,167 ,571 ,461
Faktor_A * Faktor_C ,167 1 ,167 ,571 ,461
Faktor_B * Faktor_C ,667 1 ,667 2,286 ,150
Faktor_A * Faktor_B *
Faktor_C ,000 1 ,000 ,000 1,000
Error 4,667 16 ,292
Total 92,000 24
Corrected Total 38,000 23
a. R Squared = ,877 (Adjusted R Squared = ,823)
Tests of Between-Subjects Effects (PCR Rim 20)
Dependent Variable: Defect Under cure
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 43,167a 7 6,167 21,143 ,000
Intercept 88,167 1 88,167 302,286 ,000
Faktor_A 37,500 1 37,500 128,571 ,000
Faktor_B 2,667 1 2,667 9,143 ,008
23
Faktor_C 1,500 1 1,500 5,143 ,038
Faktor_A * Faktor_B ,667 1 ,667 2,286 ,150
Faktor_A * Faktor_C ,167 1 ,167 ,571 ,461
Faktor_B * Faktor_C ,000 1 ,000 ,000 1,000
Faktor_A * Faktor_B *
Faktor_C ,667 1 ,667 2,286 ,150
Error 4,667 16 ,292
Total 136,000 24
Corrected Total 47,833 23
a. R Squared = ,902 (Adjusted R Squared = ,860)
Sesuai dengan tujuan dari desain faktorial, maka terdapat tiga perbedaan mean
yang akan diuji, diantaranya;
1. Apakah perbedaan mean yang ada, terjadi karena kebetulan ataukah merupakan
pengaruh dari interaksi antar faktor yang ada (interaction effect)
Dalam analisis ini efek interaksi harus diperhatikan sebab mungkin saja jumlah
defect under cure lebih disebabkan oleh kombinasi dari efek antara faktor A
dan B atau faktor A dan C atau faktor B dan C atau interaksi dari ketiga faktor
yang ada (A, B, dan C).
Untuk efek interaksi antara faktor A dan B
Hipotesis:
H0 : Tidak ada interaksi antara faktor A dan faktor B
H1 : Ada interaksi antara faktor A dan faktor B
Untuk efek interaksi antara faktor A dan C
Hipotesis:
H0 : Tidak ada interaksi antara faktor A dan faktor C
H1 : Ada interaksi antara faktor A dan faktor C
Untuk efek interaksi antara faktor B dan C
Hipotesis:
H0 : Tidak ada interaksi antara faktor B dan faktor C
H1 : Ada interaksi antara faktor B dan faktor C
Untuk efek interaksi antara faktor A, B dan C
Hipotesis:
24
H0 : Tidak ada interaksi antara faktor A, B dan C
H1 : Ada interaksi antara faktor A, B dan C
Kriteria pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikansi (probabilitas) > 0,05 ; maka terima H0
Jika nilai signifikansi (probabilitas) < 0,05 ; maka tolak H0
Keputusan:
Karena nilai signifikansi dari ketiga interaksi variabel (A*B, A*C, B*C,
A*B*C) baik untuk Rim 19 maupun Rim 20, yang diperoleh nilainya lebih
besar dari 0,05, maka keputusannya adalah terima H0 yang artinya tidak ada
interaksi antara faktor A dan faktor B, faktor A dan C, faktor B dan C serta
faktor A, B C pada tingkat signifikasi 5% atau 0,05.
2. Apakah perbedaan mean yang ada, terjadi karena kebetulan atau merupakan
pengaruh dari faktor utama (main effect untuk faktor A)
Hipotesis:
H0 : Tidak ada efek dari faktor A
H1 : Ada efek dari faktor A
Kriteria pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikansi (probabilitas) > 0,05 ; maka terima H0
Jika nilai signifikansi (probabilitas) < 0,05 ; maka tolak H0
Keputusan:
Karena nilai signifikansi yang diperoleh Rim 19 dan 20 adalah sebesar 0,000
yang berarti < 0,05, maka keputusannya adalah tolak H0 yang artinya ada efek
dari faktor temperature cure terhadap defect under cure yang diperoleh.
3. Apakah perbedaan mean yang ada, terjadi karena kebetulan atau merupakan
pengaruh dari faktor kedua (main effect untuk faktor B)
Hipotesis:
H0 : Tidak ada efek dari faktor B
H1 : Ada efek dari faktor B
25
Kriteria pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikansi (probabilitas) > 0,05 ; maka terima H0
Jika nilai signifikansi (probabilitas) < 0,05 ; maka tolak H0
Keputusan:
Karena nilai signifikansi yang diperoleh adalah sebesar 0,002 (Rim 19) dan
0,008 (Rim 20) yang berarti < 0,05, maka keputusannya adalah tolak H0 yang
artinya ada efek faktor time cure terhadap data defect under cure yang
diperoleh.
4. Apakah perbedaan mean yang ada, terjadi karena kebetulan atau merupakan
pengaruh dari faktor kedua (main effect untuk faktor C)
Hipotesis:
H0 : Tidak ada efek dari faktor C
H1 : Ada efek dari faktor C
Kriteria pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikansi (probabilitas) > 0,05 ; maka terima H0
Jika nilai signifikansi (probabilitas) < 0,05 ; maka tolak H0
Keputusan:
Karena nilai signifikansi yang diperoleh adalah 0,002 (Rim 19) dan 0,038 (Rim
20) yang berarti < 0,05, maka keputusannya adalah tolak H0 yang artinya ada
efek faktor time cure terhadap data defect under cure yang diperoleh.
Adapun penjelasan dari parameter ukur yang ada pada tabel Tests of Between-
Subjects Effects diantaranya adalah sebagai berikut.
Corrected model menyatakan pengaruh variabel independen (Faktor_A, Faktor_B
dan Faktor_C) dan faktor interaksi antara ketiganya serta masing-masing
pasangan dari kombinasinya (Faktor_A*Faktor_B, Faktor_A*Faktor_C,
Faktor_B*Faktor_C, Faktor_A*Faktor_B* Faktor_C) secara bersama-sama
terhadap variabel dependen (Defect Under cure). Pada tabel terlihat bahwa nilai
signifikansi pada parameter Corrected model adalah sebesar 0,000 yang berarti
bahwa model uji yang diproses valid.
26
Error merupakan nilai error model, semakin kecil nilai error maka model akan
semakin baik.
R Squared menyatakan nilai determinasi berganda dari semua variabel independen
dengan variabel dependen. Pada tabel terlihat bahwa nilai R Squared yang didapat
adalah sebesar 0,902 yang mana angka tersebut mendekati satu (1) yang
menunjukkan bahwa korelasi pada model ini kuat, karena semakin angka tersebut
mendekati satu maka akan semakin kuat korelasinya.
Berikut ini adalah gambaran Profile Plots pada analisis ini. Profile plots ini hanya
merupakan gambaran saja dan tidak dapat dijadikan sebagai acuan yang valid.
Grafik interaksi antara temperature cure dan time cure terhadap defect under cure
untuk Rim 19 (kiri) dan Rim 20 (kanan)
Pada grafik diatas terlihat bahwa garis antar keduanya relatif tidak bersentuhan
atau cenderung sejajar (baik untuk Rim 19 maupun 20). Hal ini berarti diantara
kedua variabel tersebut tidak ada interaksi (antara variabel temperature cure dan
time cure tidak ada interaksi). Pada grafik juga terlihat bahwa antara time cure
(790 s dan 800 s) yang paling banyak menghasilkan defect under cure adalah time
cure 790 s.
27
Grafik plot interaksi antara temperature cure dengan time cure pada pressure
1500 kpa untuk Rim 19 (kiri) dan Rim 20 (kanan)
Grafik plot interaksi antara temperature cure dengan time cure pada pressure
1600 kpa untuk Rim 19 (kiri) dan Rim 20 (kanan)
Pada grafik diatas terlihat bahwa untuk Rim 19 garis keduanya saling bersentuhan
hal ini berarti antara temperature dan time cure pada pressure 1500 kpa ada
sedikit interaksi, namun untuk Rim 20 garis relatif tidak bersentuhan. Sedangkan
pada grafik interaksi antara temperature cure dengan time cure pada pressure
28
1600 kpa untuk Rim 19 dan 20 keduanya tidak ada interaksi.
Grafik plot interaksi antara temperature cure dengan pressure terhadap defect
under cure untuk Rim 19 (kiri) dan Rim 20 (kanan)
Grafik plot interaksi antara time cure dengan pressure terhadap defect under cure
untuk Rim 19 (kiri) dan Rim 20 (kanan)
Sama halnya dengan grafik plot antara temperature cure dengan time cure, pada
grafik interaksi antara temperature cure dan time cure dengan pressure terhadap
defect under cure diatas terlihat bahwa garis antar keduanya relatif tidak
29
bersentuhan (baik untuk Rim 19 maupun 20). Hal ini berarti diantara kedua
variabel tersebut tidak ada interaksi (antara variabel temperature cure vs pressure
dan time cure vs pressure tidak ada interaksi). Pada grafik juga terlihat bahwa
antara pressure (1500 kpa dan 1600 kpa) yang paling banyak menghasilkan defect
under cure adalah pressure 1500 kpa.
4.6. Hasil Perbaikan
Setelah dilakukan perbaikan, seperti yang terlihat pada gambar 4.8 dan 4.9 bahwa
sudah terjadi penurunan jumlah defect (minor dan major) pada bulan Juli-Agustus
sehingga defect yang ada tidak melebihi target perusahaan.
Gambar 4.8. Grafik Defect Minor Tyre Periode Januari-Desember 2015
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
Defect (%) 1.58% 2.28% 2.87% 3.75% 4.45% 4.24% 3.34% 1.73% 1.77% 2.01% 1.84% 1.75%
Target Defect (%) 4.01% 4.01% 4.01% 3.89% 3.89% 3.89% 3.77% 3.77% 3.77% 3.65% 3.65% 3.65%
0.00%1.00%2.00%3.00%4.00%5.00%
% D
efe
ct M
ino
r
% D E F E C T M I N O R JA N UA R I - D ES E M B E R 2 0 1 5
3,89 % 4,01% 3,77% 3,65 %
Sebelum Improvement Setelah Improvement
30
Gambar 4.9. Grafik Defect Major Tyre Periode Januari-Desember 2015
4.6.1. Data Defect Pada Bulan Agustus 2015
Berikut ini adalah data defect (minor dan major) setelah dilakukan perbaikan yang
ditunjukkan pada tabel 4.9 dan 4.10.
Tabel 4.9. Data Defect Minor Agustus 2015
No. Jenis Defect Jumlah Defect
Agustus
1 Out of Uniformity 678
2 FM 610
3 TW 531
4 DFM 469
5 B/CR 321
6 B/LK 298
7 U/C 3
TOTAL 2.910
Tabel 4.10. Data Defect Major Agustus 2015
No. Jenis Defect Jumlah Defect
Agustus
1 TW 431
2 FM 230
3 DFM 191
4 B/CR 181
5 B/LK 88
6 Out of Uniformity 0
7 U/C 0
TOTAL 1.121
Baik defect minor maupun defect major sudah mengalami penurunan dan terjadi
perubahan urutan jenis defect. Pada bulan Agustus 2015 data defect minor
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
Scrap (%) 0.65% 1.02% 1.49% 1.69% 1.66% 1.33% 1.18% 0.67% 0.61% 0.72% 0.63% 0.70%
Target Scrap (%) 1.01% 1.01% 1.01% 0.95% 0.95% 0.95% 0.89% 0.89% 0.89% 0.83% 0.83% 0.83%
0.00%
0.50%
1.00%
1.50%
2.00%
% D
efe
ct M
ajo
r
% D E F E C T M A J O R JA N UA R I - D E S E M B E R 2 0 1 5
0,95 %
1,01 % 0,89 % 0,83 %
Setelah Improvement Sebelum Improvement
31
terbanyak bukan lagi U/C melainkan Out of Uniformity sedangkan untuk jenis
defect major terbanyak adalah defect jenis TW (Twist).
4.6.2. Membuat p-chart Pada Bulan Agustus 2015
Dengan menggunakan rumus yang sama dengan pembuatan peta kendali
sebelumnya (Juni 2015), didapat hasil perhitungan manual dengan Mc. Excel
seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.11 dibawah ini.
Tabel 4.11. Data Defect Agustus 2015 untuk pembuatan peta kendali
Tanggal Jumlah
Sampel
Jumlah
Defect p √ ( ) UCL LCL
1 4.398 110 0,025011369 0,002310491 0,031011894 0,01714895
2 4.976 125 0,025120579 0,002172037 0,030596534 0,01756431
3 5.489 135 0,024594644 0,002068607 0,030286243 0,017874601
4 5.341 124 0,023216626 0,00209855 0,03037608 0,017784764
5 5.559 134 0,024105055 0,002056057 0,030248594 0,01791225
6 4.304 126 0,029275093 0,002330473 0,03107184 0,017089004
7 5.136 133 0,025895639 0,002137087 0,030491684 0,01766916
8 5.674 139 0,024497709 0,00203471 0,030184538 0,017976306
9 4.871 131 0,026893862 0,00219333 0,030660399 0,017500446
10 5.609 140 0,024959886 0,002045976 0,030218351 0,017942494
11 5.114 138 0,026984748 0,002140482 0,030501867 0,017658977
12 5.300 134 0,025283019 0,002104425 0,030393696 0,017767148
13 5.194 127 0,02445129 0,002126697 0,030460512 0,017700332
14 5.655 137 0,024226348 0,002038404 0,030195634 0,017965210
15 5.543 156 0,028143605 0,002054758 0,030244696 0,017916148
Tabel 4.11. Data Defect Agustus 2015 untuk pembuatan peta kendali (lanjutan)
Tanggal Jumlah
Sampel Jumlah Defect p √ ( ) UCL LCL
16 6.120 124 0,020261438 0,001963412 0,029970658 0,018190186
17 5.345 137 0,025631431 0,002095173 0,03036594 0,017794904
18 5.977 127 0,021248118 0,00198576 0,030037702 0,018123143
19 5.368 130 0,024217586 0,002092196 0,030357009 0,017803835
20 5.511 134 0,024315006 0,00206477 0,030274732 0,017886112
21 6.229 127 0,020388505 0,001946031 0,029918516 0,018242328
22 5.655 121 0,021396994 0,002041357 0,030204494 0,01795635
23 5.900 135 0,022881356 0,001997007 0,030071444 0,0180894
24 5.243 137 0,026130078 0,002114913 0,030425162 0,017735682
25 6.112 133 0,021760471 0,001963193 0,029970001 0,018190843
26 5.187 122 0,023520339 0,002129146 0,030467861 0,017692983
32
27 6.424 118 0,018368618 0,001918242 0,029835149 0,018325695
28 5.543 132 0,023813819 0,00205933 0,030258412 0,017902432
29 5.124 138 0,026932084 0,00213845 0,030495772 0,017665073
30 5.003 111 0,022186688 0,002169426 0,030588699 0,017572145
31 5.582 116 0,020781082 0,002055309 0,030246348 0,017914496
Rata-rata 0,024080422 0,002085348 0,030336466 0,017824378
Untuk mendapatkan chart yang jelas, maka digunakan software Minitab.
Berdasarkan data defect pada bulan Agustus 2015 maka diperoleh output p-chart
pada gambar 4.10 dibawah ini.
3128252219161310741
0,0325
0,0300
0,0275
0,0250
0,0225
0,0200
0,0175
0,0150
Sample
Prop
ortio
n
_P=0,02392
UCL=0,03006
LCL=0,01779
P Chart of Defect
Tests performed with unequal sample sizes
Gambar 4.10. p-chart Pada Bulan Agustus 2015
Pada gambar diatas terlihat bahwa setelah dilakukan perbaikan, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 4.10 memang terlihat semua titik berada dalam batas
kendali, namun dalam p-chart ini terdapat pola runs. Titik-titik pada control chart
dikatakan membentuk pola runs dan harus dibuang datanya adalah apabila
terdapat minimal tujuh titik yang berada pada atas garis CL berturut-turut.
4.6.2. Menghitung DPMO dan Nilai Sigma Setelah Perbaikan
Berikut ini adalah data defect yang digunakan untuk menghitung DPMO dan nilai
sigma.
Tabel 4.12 Data Defect untuk menghitung DPMO dan Nilai Sigma
Tanggal Total Jumlah Defect Total Jumlah
Produksi DPU DPMO
1 110 4.398 0,025011 3573,0527
2 125 4.976 0,025121 3588,6541
3 135 5.489 0,024595 3513,5205
4 124 5.341 0,023217 3316,6609
5 134 5.559 0,024105 3443,5793
33
6 126 4.304 0,029275 4182,1561
7 133 5.136 0,025896 3699,3769
8 139 5.674 0,024498 3499,6727
9 131 4.871 0,026894 3841,9802
10 140 5.609 0,024960 3565,6980
11 138 5.114 0,026985 3854,9640
12 134 5.300 0,025283 3611,8598
13 127 5.194 0,024451 3493,0414
14 137 5.655 0,024226 3460,9069
15 156 5.543 0,028144 4020,5149
16 124 6.120 0,020261 2894,4911
17 137 5.345 0,025631 3661,6330
18 127 5.977 0,021248 3035,4454
19 130 5.368 0,024218 3459,6551
20 134 5.511 0,024315 3473,5723
21 127 6.229 0,020389 2912,6436
22 121 5.655 0,021397 3056,7134
23 135 5.900 0,022881 3268,7651
24 137 5.243 0,026130 3732,8683
25 133 6.112 0,021760 3108,6387
26 122 5.187 0,023520 3360,0485
27 118 6.424 0,018369 2624,0882
28 132 5.543 0,023814 3401,9742
29 138 5.124 0,026932 3847,4406
30 111 5.003 0,022187 3169,5269
31 116 5.582 0,020781 2968,7260
Total 4.031 168.486 0,024080 3455,7714
Rata-rata Nilai Sigma 4,209
Nilai Sigma DPMO
4,20 3.467
X 3455,7714
4,21 3.364
x y
DPMO yang akan dicari nilai sigmanya adalah 3455,7714
( )
34
4.7. Perbandingan Sebelum dan Setelah Perbaikan
Berdasarkan analisa dengan metode desain faktorial 23 dengan bantuan SPSS,
didapat setting parameter optimum yang dapat menghasilkan sedikit jumlah defect
under cure untuk tyre rim 19 dan 20 adalah kombinasi (2 2 2) yaitu:
Temperature cure : 175°C
Time cure : 800 s
Pressure : 1600 kpa
Setting optimum ini ditentukan berdasarkan hasil mean/rata-rata jumlah defect
under cure yang terendah yaitu 0,00. Pada setting parameter dengan kombinasi
tersebut tidak terdapat defect sama sekali (nol).
Berikut ini adalah tabel perbandingan sebelum dan sesudah perbaikan seperti yang
ditunjukkan pada tabel 4.13. Data lebih rincinya dapat dilihat pada lampiran 3.
Tabel 4.13. Perbandingan sebelum dan sesudah perbaikan
Item Sebelum (Juni 2015) Sesudah (Agustus 2015)
Jumlah Defect U/C Rim 17 12 0
Jumlah Defect U/C Rim 18 8 0
Jumlah Defect U/C Rim 19 904 0
Jumlah Defect U/C Rim 20 1.035 3
Jumlah Defect Minor U/C 1.959 3
Jumlah Defect Major U/C 573 0
Tabel 4.13. Perbandingan sebelum dan sesudah perbaikan (lanjutan)
Item Sebelum (Juni 2015) Sesudah (Agustus 2015)
Jumlah Defect Minor 6.521 2.910
Jumlah Defect Major 2.045 1.121
% Penurunan defect minor 55,37%
% Penurunan defect major 45,18%
Kapabilitas Proses (Cp) 1,00 1,33
Nilai Sigma 3,902 4,209
35
Dengan menentukan nilai sigma kita dapat pula menentukan kapabilitas proses
dengan mengacu pada tabel hubungan antara kapabilitas sigma, Cp dan COPQ
(Cost of Poor Quality) seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.14 dibawah ini.
Tabel 4.14. Hubungan antara Nilai Sigma, Cp dan COPQ
Kapabilitas
Sigma
Cacat/Kesalahan
(%)
Cacat/Kesalahan
(DPM)
Cp COPQ vs Sales Revenue
1-Sigma 69,15% 691.462 DPM 0,33 Tidak dapat dihitung
2-Sigma 30,85% 308.538 DPM 0,67 Tidak dapat dihitung
3-Sigma 6,68% 66.807 DPM 1,00 25-40% dari penjualan
4-Sigma 0,62% 6.210 DPM 1,33 15-25% dari penjualan
5-Sigma 0,0233% 233 DPM 1,67 5-15% dari penjualan
6-Sigma 0,00034% 3,4 DPM 2,00 < 1% dari penjualan
(Sumber: Gasperzs, 2011: 61)
Sesuai dengan tabel 4.14 diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan nilai sigma
4,209 maka Cp yang diperoleh adalah sebesar 1,33 dan COPQ sebesar 15-25%
dari penjualan yang artinya biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk
pengeluaran akibat kualitas produk yang buruk adalah sebesar 15-25% dari hasil
penjualan.
Berdasarkan data yang diperoleh pada bulan Agustus 2015 yang ditunjukkan pada
tabel 4.13 terlihat bahwa sudah banyak perubahan yang terjadi setelah perbaikan.
Perubahan tersebut diantaranya:
1. Penurunan jumlah defect yang ada terutama defect under cure
2. Kenaikan nilai sigma sebesar 0,307 sigma, semula 3,902 menjadi 4,209 sigma
Dengan setting parameter tersebut, terbukti dapat menurunkan jumlah defect
under cure yang sering terjadi khususnya PCR RIM 19 yang menghasilkan 904
defect U/C dan PCR RIM 20 yang menghasilkan defect U/C sebanyak 1.053 dari
total defect U/C 1.959 pcs tyre per bulan Juni 2015.
Selain itu terlihat pada tabel 4.19 dan 4.10 bahwa terjadi perubahan urutan dan
banyaknya jumlah defect. Hal tersebut dikarenakan tim lean manufacturing pada
saat bersamaan melakukan improvement untuk menurunkan jumlah defect seperti
Bladder Leak dan Out of Uniformity. Untuk defect B/LK, dilakukan improvement
berupa mengganti supplier bladder dari semula Darmex menjadi Shandong,
36
menambahkan ring spacer pada bladder agar bladder tidak lagi terjepit spacer
dan memodifikasi ring bladder dan ring bead. Untuk defect Out of Uniformity,
dilakukan improvement dengan mengubah setting loader mesin curing agar pas
dengan posisi bladder dan melakukan training pemasangan mold (two piece)
kepada operator agar tidak terjadi ketidakrataan mold lagi.
Dalam penelitian ini tidak dibahas secara detail tentang improvement untuk
mengurangi defect B/LK dan Out of Uniformity dikarenakan penulis hanya
melakukan improvement untuk mengurangi defect U/C saja.
4.7. Control
Pada tahapan terakhir dalam konsep six sigma yaitu control ini dilakukan dengan
melakukan perubahan untuk meminimalisir resiko terjadinya kesalahan akibat
manusia (human error). Kesalahan yang sering terjadi karena ulah manusia adalah
salah setting parameter cure. Kesalahan dalam setting parameter ini dikarenakan
operator tidak melihat spec yang ada, jadi mereka melakukan setting hanya
berdasarkan ingatan saja. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya hal
tersebut maka pada penelitian ini dilakukan beberapa hal, diantaranya:
1. Memindahkan posisi spec
Posisi awal spec terletak pada bagian depan bawah ring GT basket. Dengan posisi
tersebut kurang memudahkan operator pada saat melihat spec. Operator harus
merendahkan tubuhnya atau menjauh dari mesin agar spec terlihat sedangkan
jarak antara rak GT (Green Tyre) dengan mesin sangat dekat sehingga tidak
memungkinkan operator menjauh dari mesin untuk melihat spec. Oleh karena itu
saat ini posisi spec dipindahkan ke bagian atas Panel Machine. Berikut ini adalah
gambar posisi letak spec sebelum dan sesudah, seperti yang ditunjukkan pada
gambar 4.11.
37
Gambar 4.11. Posisi Peletakan Spec Mesin Curing
2. Membuat marking untuk setting parameter pada spec
Selain memindahkan posisi spec, selanjutnya dilakukan marking untuk item
setting parameter untuk memudahkan mata operator dalam mencari item setting
parameters tersebut. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.12 dibawah ini.
Gambar 4.12. Marking Spec Mesin Curing
3. Membuat form check setting parameter
Untuk membiasakan rasa tanggungjawab kepada operator dan untuk memastikan
kebenaran dalam setting parameter maka dibuatlah form check setting parameter
untuk setiap kali proses ganti size tyre. Form check setting parameter dan
prosedur proses curing dapat dilihat pada lampiran 9 dan 10.
TANGGAL MULAI BERLAKU:
NOMOR REVISI :
SIZE :
BRAND :
M/C TYPE :
TEMPERATURE CURE
TIME CURE
PRESSURE
'RDP-F-18-0909-03
INPROCESS SPECIFICATION
CURING
NO SPEC : TU 07 - 0000
GT CODE : TU 07 - Dibuat Disetujui Diketahui
275/45 R19 110V XL
PLATINUM
NEW HF
Rim Diameter (") 19 Mold Segment
MATERIAL USED
Green TireCode TU 07
Diameter ( " ) 19
Specification
Section Width (mm) 275 Size Bladder MSA 14x450
ITEM REVISI :
Aspect Ratio (series) 45 Pattern Desert HAWK
SETTING M/C
Parameter
175°C Jarak Bead-Ring Bladder 25 ~ 60 mm
800 sec Jarak Gun-Mold 20 - 30 cm
1600 kpa Closing Force 5 ~ 7 bar
1
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan penulis di PT. X Tbk. dapat ditarik
beberapa kesimpulan diantaranya:
1. Dengan menerapkan konsep Six Sigma, kualitas proses curing menjadi
terkendali dan terkontrol dengan baik.
2. Dari hasil analisis dengan desain faktorial 23 menggunakan SPSS, didapat
bahwa setting optimum yang dapat menghasilkan jumlah defect under cure
paling sedikit yaitu dengan menggunakan setting temperature cure 175°C,
time cure 800 s dan pressure 1600 kpa untuk PCR Rim 19 dan 20.
a. Dengan setting optimum yang disesuaikan dengan hasil analisa, terbukti
dapat menurunkan jumlah defect under cure yang semula pada bulan Juni
sebanyak 1.959 menjadi hanya 3 pcs tyre saja pada bulan Agustus 2015.
b. Dengan menurunnya jumlah defect, maka nilai sigma yang diperoleh
menjadi meningkat sebesar 0,307 sigma yang semula sebesar 3,902 sigma
menjadi 4,209 sigma.
6.2. Saran
Saran yang dapat diberikan terkait hasil penelitian yang dilakukan ini adalah
sebagai berikut.
Dalam melakukan perancangan percobaan setting parameter ini, pelaku
analisa harus memastikan bahwa sampel yang digunakan berasal dari
populasi yang sama (ketebalan karetnya sama) agar percobaan yang
dilakukan hasilnya valid.
1
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Kadir, M.Pd. 2015. Statistika Terapan (Konsep. Contoh dan Analisa Data
dengan Program SPSS/Lisrel dalam Penelitian). Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.
Gaspersz, Vincent dan Avanti Vontana. 2011. Lean Six Sigma for Manufacturing
and Service Industries. Bogor: Penerbit Vinchristo Publication.
Muis M. Kom, Dr. Ir. Saludin. 2014. Metodologi Six Sigma Teori dan Aplikasi di
Lingkungan Pabrikasi. Jakarta: Graha Ilmu.
M. Garrity, Susan. 1993. Basic Quality Improvement. United States of America:
Prentice-Hall International.Inc.
Pande, Peter S, Robert P. Neuman dan Roland R. Cavanagh. 2002. The Six Sigma
Way. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Tannady, Hendy. 2015. Pengendalian Kualitas. Yogyakarta: Graha Ilmu.