penelitian bab 1-4 dispepsia revisi 1 13 jan 2014

48
Hubungan antara Derajat Ansietas dengan Dispepsia Pada Pasien Diatas 18 tahun Di Puskesmas Kecamatan Kembangan, Kotamadya Jakarta Barat Periode Desember 2013 – Januari 2014 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Populasi orang dewasa di dunia terutama di negara-negara barat yang dipengaruhi oleh dispepsia berkisar antara 14-38%. Dispepsia mempengaruhi 25% dari populasi Amerika Serikat setiap tahun dan sekitar 5% dari semua penderita pergi ke dokter pelayanan primer. Sedangkan Inggris memiliki prevalensi dispepsia sekitar 21% dan hanya 2% dari populasi tersebut berkonsultasi ke dokter pelayanan primer mereka dengan episode baru atau pertama dispepsia setiap tahun, dan dispepsia menyumbang 40% dari semua konsul ke bagian gastroenterologi. Survei pada komunitas memperkirakan bahwa hanya sekitar 35% dari penderita dispepsia yang berkonsultasi ke dokter. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami dispepsia dalam beberapa hari. 1 Sedangkan di Indonesia belum didapatkan data epidemiologi yang pasti. 3 Menurut data Profil Kesehatan Indonesia 2007, dispepsia sudah menempati peringkat ke-10 untuk kategori penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2006 dengan jumlah pasien 34.029 atau sekitar 1,59%. 4 Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Periode 9 Desember 2013 – 15 Februari 2014 Page1

Upload: zachary-j-tanner

Post on 23-Nov-2015

53 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

pene

TRANSCRIPT

Hubungan antara Derajat Ansietas dengan DispepsiaPada Pasien Diatas 18 tahun Di Puskesmas Kecamatan Kembangan, Kotamadya Jakarta Barat

Periode Desember 2013 Januari 2014

BAB I

PENDAHULUANI.1. Latar Belakang MasalahPopulasi orang dewasa di dunia terutama di negara-negara barat yang dipengaruhi oleh dispepsia berkisar antara 14-38%. Dispepsia mempengaruhi 25% dari populasi Amerika Serikat setiap tahun dan sekitar 5% dari semua penderita pergi ke dokter pelayanan primer. Sedangkan Inggris memiliki prevalensi dispepsia sekitar 21% dan hanya 2% dari populasi tersebut berkonsultasi ke dokter pelayanan primer mereka dengan episode baru atau pertama dispepsia setiap tahun, dan dispepsia menyumbang 40% dari semua konsul ke bagian gastroenterologi. Survei pada komunitas memperkirakan bahwa hanya sekitar 35% dari penderita dispepsia yang berkonsultasi ke dokter. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami dispepsia dalam beberapa hari.1Sedangkan di Indonesia belum didapatkan data epidemiologi yang pasti.3 Menurut data Profil Kesehatan Indonesia 2007, dispepsia sudah menempati peringkat ke-10 untuk kategori penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2006 dengan jumlah pasien 34.029 atau sekitar 1,59%.4 Angka kejadian ansietas dan depresi pada pasien dispepsia non ulkus cukup tinggi. Dari penelitian Harsal A tahun 1991, di RSCM ditemukan angka 80,7% ansietas, 57,7% depresi dan 51,9% ansietas-depresi pada 52 pasien dispepsia non ulkus. Penelitian ini memakai kuisioner HARS (Hamilton Rating Scale for Anxiety) yang dimodifikasi dan BDI (Back Depression Inventory). Penelitian Rychter tahun 1991 mendapatkan angka 60% ansietas dan Rose (1986) melaporkan angka 50% depresi pada pasien dispepsia non ulkus yang ditelitinya.

Berdasarkan data 10 besar penyakit yang di dapatkan dari Puskesmas Kecamatan Kembangan, pasien yang mengalami dispepsia pada bulan Januari - November 2013 didapatkan 2832 kunjungan dari 112.603 seluruh kunjungan di Puskesmas tersebut. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Januari Desember 2012) didapatkan 2639 kunjungan dari 119.439 seluruh kunjungan di Puskesmas Kecamatan Kembangan. Dari data tersebut, didapatkan kenaikan jumlah kasus dispepsia fungsional setiap tahunnya.2Banyak penelitian yang menghubungkan kejadian dispepsia dengan gangguan kejiwaan seperti penelitian yang dilakukan oleh Hasan dan Abdul Azis menunjukkan bahwa ada hubungan antara dispepsia organik dan dispepsia fungsional dengan kecemasan dimana 25% dari penderita ulkus duodenal, 31,2% pasien dispepsia fungsional ditemukan gangguan jiwa dalam bentuk kecemasan dan depresi. Dapat dilihat juga dari peningkatan jumlah penderita dispepsia fungsional tiap tahunnya di Puskesmas Kecamatan Kembangan serta didapatkan jumlah pasien ansietas dari total pasien puskesmas yang mengalami dispepsia fungsional adalah 46 (21,80%) dari seluruh jumlah 211 penderita dispepsia, sedangkan sisanya 165 penderita tidak didapatkan ansietas, maka hal ini menjadi alasan dilakukannya penelitian mengenai hubungan antara derajat ansietas dengan dispepsia.3I.2. Perumusan Masalah

I.2.1. Pernyataan Masalah

Tingginya angka kejadian dispepsia di Puskesmas Kecamatan Kembangan

I.2.2. Pertanyaan Masalah

1. Berapa jumlah responden yang mengalami ansietas di Puskesmas Kecamatan Kembangan?

2. Dari jumlah responden yang mengalami ansietas, berapa yang mengalami dispepsia di Puskesmas Kecamatan Kembangan?

3. Apakah terdapat hubungan antara derajat ansietas dengan dispepsia di Puskesmas Kecamatan Kembangan?

I.3. Tujuan

I.3.1. Tujuan Umum

Diturunkannya jumlah pasien yang mengalami dispepsia di Puskesmas Kecamatan Kembangan dengan diketahuinya hubungan antara dispepsia dan derajat ansietas.I.3.2. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya jumlah responden yang mengalami ansietas di Puskesmas Kecamatan Kembangan.

2. Diketahuinya jumlah responden yang mengalami dispepsia dari jumlah responden yang mengalami ansietas di Puskesmas Kecamatan Kembangan.

3. Diketahuinya hubungan antara derajat ansietas dengan dispepsia di Puskesmas Kecamatan Kembangan.

I.4. Manfaat Penelitian

I.4.1. Manfaat penelitian bagi responden

Memperoleh informasi tentang derajat ansietas dan mendapatkan penjelasan dispepsia.

I.4.2. Manfaat penelitian bagi puskesmas

Mendapat informasi mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi terjadinya dispepsia, sehingga puskesmas mendapat informasi yang dapat digunakan untuk memberikan penyuluhan pada pasien yang berobat di Puskesmas Kecamatan Kembangan.

I.4.3. Manfaat penelitian bagi peneliti

Agar peneliti mendapatkan pengalaman tentang bagaimana menyusun penelitian dan mengetahui cara-cara melaksanakan penelitian yang benar dan memperkaya pengetahuan dalam bidang kesehatan masyrakat luas, terutama bidang-bidang terkait yang diteliti.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKAII.1. Definisi Dispepsia

Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa definisi dispepsia sebagai berikut: Dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper abdomen. Dalam definisi, lamanya keluhan tidak ditetapkan.8

Dalam konsensus Roma III (tahun 2006) yang khusus membicarakan tentang kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai:

1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati/epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.82. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.83. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan.8II.2.Etiologi Dispepsia

Secara garis besar, penyebab sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu, dll) dan kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baku (radiologi, endoskopi, laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis struktural atau biokimiawi. Atau dengan kata lain, kelompok terakhir ini disebut sebagai gangguan fungsional.Djojodiningrat (2007) menyebutkan penyebab dyspepsia.

Table 2.2 Penyebab dispepsia

Penyebab dyspepsia

Esofago-gastro-duodenaltukak peptic, gastristis kronik, gastristis NSAID, keganasan

Obat-obatanAnti inflamasi nonsteroid, antibiotic, digitalis

Hepato-billierhepatitis, kolesistisis, kolelitiasis, disfungsi

sfingter odii

PancreasPancreatitis

Penyakit sistemik lainDM, penyakit tiroid, gagal ginjal, penyakit

jantung

Gangguan fungsionalDyspepsia fungsional, iritabel bowel syndrome

II.3.Cara Menentukan DispepsiaKriteria diagnostik Roma III untuk dispepsia fungsional

Dispepsia fungsionalKriteria diagnostik terpenuhi* bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:

a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu

b. Perasaan cepat kenyang

c. Nyeri ulu hati

d. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium

2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna bagian atas [SCBA])

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.a. Postprandial distress syndrome

Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.Kriteria penunjang

1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan

2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.b. Epigastric pain syndrome

Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu

2. Nyeri timbul berulang

3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrium

4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin

5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfi ngter Oddi

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.Kriteria penunjang

1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal

2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa

3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.II.4. Patofisiologi Dispepsia

Gangguan lambung yang umum terjadi adalah gastritis dan tukak peptik (tukak lambung dan tukak duodenum). Gastritis dan tukak peptik merupakan penyakit yang erat kaitannya dengan asam lambung dan pepsin. Patofisiologi dasar dari gastritis dan tukak peptik adalah gangguan keseimbangan faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dan faktor defensif (ketahanan mukosa). Penggunaan aspirin atau obat anti inflamasi non steroid lainnya, obat-obatan kortikosteroid, penyalahgunaan alkohol, menelan substansi erosif, merokok, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat mengancam ketahanan mukosa lambung. Gastritis dan tukak peptik menimbulkan gejala berupa nyeri, sakit, atau ketidaknyamanan yang terpusat pada perut bagian atas (dispepsia).Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan potensial

berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi

Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.5 Patofisiologi dyspepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki

peranan bermakna, seperti di bawah ini:171. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah.

2. Infeksi Helicobacter pylori

3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan depresi.II.5. Faktor Resiko Dispepsia

II.5.1 Sekresi asam lambung

Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen. HCl membunuh sebagan besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas. Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung.Penyebab kenaikan asam lambung diantaranya: jumlah sel parietal lebih banyak, sel parietal lebih sensitif terhadap rangsangan, sekresi gastrin yang berlebihan, dan hiperfungsi kelenjar. Meningkatnya cairan lambung disebabkan oleh makanan dan minuman seperti cuka, cabe, kopi, alkohol, dan makanan lain yang bersifat merangsang. Kebiasaan makan tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi untuk mengeluarkan asam lambung. Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung.Kebiasaan makan sangat berkaitan dengan produksi asam lambung. Asam lambung berfungsi untuk mencerna makanan yang masuk ke dalam lambung dengan jadwal yang teratur. Produksi asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi asam lambung terkontrol. Kebiasaan makan tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi. Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung sehingga timbul gastritis dan dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala tersebut bisa naik ke kerongkongan yang menimbulkan rasa panas terbakar. Produksi asam lambung diantaranya dipengaruhi oleh pengaturan sefalik, yaitu pengaturan oleh otak. Adanya makanan dalam mulut secara refleks akan merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia, melihat dan memikirkan makanan dapat merangsang sekresi asam lambung.

Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.5 II.5.2 Helicobacter pylori

Merupakan kuman bakteri gram negatif yang dapat hidup dalam suasana asam di lambung dan duodenum. Bila terjadi infeksi pada lambung atau gastritis, maka bakteri ini akan melekat pada permukaan epitel lambung dan melepaskan zat-zat sitotoksin yang dapat merusak mukosa lambung, karena kerusakan mukosa terjadi produksi prostaglandin menurun. Sebagaimana kita ketahui prostaglandin merupakan sitoprotektif yang penting untuk mukosa lambung. Bakteri H. pylori adalah bakteri gram negatif yang bergerak dengan flagela. Infeksi bakteri ini termasuk infeksi yang umum terjadi pada manusia (Beyer 2004). Prevalensi H. pylori di negara berkembang dilaporkan lebih tinggi dibanding negara maju. Di negara berkembang, prevalensi H. pylori berkisar antara 30-80% sedangkan di negara maju diperkirakan sebesar 10% (Fardah, Ganuh dan Subijanto 2006). Bakteri H. pylori hidup secara berkoloni di bawah lapisan selaput lendir (mukosa) dinding bagian dalam lambung dan menghasilkan urea sehingga mampu bertahan dalam suasana asam. Fungsi selaput lendir pada lambung adalah untuk melindungi dinding lambung dari kerusakan akibat asam yang diproduksi lambung.Penyebab gastritis yang paling umum sebenarnya adalah infeksi bakteri Helicobacter pylori (H. pylori). Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku.5II.5.3 Dismotilitas

Adanya perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum dapat menimbulkan rasa penuh, kenyang, kembung, dan mual.

Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian dan beragam abnormalitas motorik telah dilaporkan, diantaranya keterlambatan pengosongan lambung, akomodasi fundus terganggu, distensi antrum, kontraktilitas fundus postprandial, dan dismotilitas duodenal.19 Beragam studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional, terjadi perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus), tetapi harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambung saja tidak dapat mutlak menjadi penyebab tunggal adanya gangguan motilitas.2II.5.4 Ambang rangsang persepsi

Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptors. Berdasarkan studi, pasien dispepsia dicurigai mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum, meskipun mekanisme pastinya masih belum dipahami.5 Hipersensitivitas viseral juga disebut-sebut memainkan peranan penting pada semua gangguan fungsional dan dilaporkan terjadi pada 30-40% pasien dengan dyspepsia fungsional.19Mekanisme hipersensitivitas ini dibuktikan melalui uji klinis pada tahun 2012.20 Dalam penelitian tersebut, sejumlah asam dimasukkan ke dalam lambung pasien dispepsia fungsional dan orang sehat. Didapatkan hasil tingkat keparahan gejala dispeptik lebih tinggi pada individu dyspepsia fungsional. Hal ini membuktikan peranan penting hipersensitivitas dalam patofisiologi dispepsia.II.5.5 Disfungsi autonom

Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.5II.5.6 Aktivitas mioelektrik lambung

Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi peranannya masih perlu dibuktikan lebih lanjut.5II.5.7 Peranan hormonal

Ada beberapa mekanisme yang sudah dibuktikan dan beberapa diantaranya terkait dengan sistem hormonal, dimana stres akan menyebabkan otak mengaktifkan sistem hormon untuk memicu sekresinya. Stres paling banyak memicu sekresi hormon kortisol, dimana hormon ini selanjutnya akan berkerja mengkoordinasi seluruh sistem dalam tubuh termasuk jantung, paru-paru, peredaran darah, metabolisme, dan sistem imunitas tubuh dalam reaksi yang ditimbulkannya. Sekresi hormon ini menjelaskan mengapa ketika menghadapi stres, tekanan darah dan denyut jantung meningkat secara cepat, paru-paru bekerja ekstra untuk mengambil oksigen lebih banyak sehingga meningkatkan juga peredaran darah di seluruh tubuh mulai dari otot hingga otak, peningkatan tersebut bisa berkali-kali lipat melebihi batas normal. Bukan hanya jantung saja yang terasa berdebar, namun keseluruhan sistem tubuh termasuk pengeluaran keringat juga akan meningkat dengan cepat.

Selain hormon kortisol, ada hormon lain yang turut berperan dalam mekanisme ini, diantaranya hormon katekolamin yang terdiri dari zat aktif dopamin, norepinefrin, dan epinefrin yang lebih dikenal dengan adrenalin. Hormon ini akan mengaktifkan suatu sistem ingatan jangka panjang yang akan mengingat stressor yang sama pada peristiwa selanjutnya serta menekan bagian otak yang berperan dalam ingatan jangka pendek. Penekanan ingatan jangka pendek inilah yang dinilai para ahli sebagai faktor utama yang menyebabkan orang tidak lagi berpikir secara rasional ketika mereka dilanda stres. Proses ini juga memicu terjadinya penyakit psikosomatik dengan gejala dispepsia, seperti mual dan muntah, diare, pusing, sakit otot, juga sendi. Berbagai mekanisme hormonal (penurunan serotonin, peningkatan asetilkolin, penurunan katekolamin, dll.) akan menimbulkan hipersimpatotonik sistem gastrointestinal yang akan menimbulkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar gejala gastritis dan ulkus peptik.Dilaporkan adanya penurunan kadar hormone motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal pada dispepsia fungsional. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.5II.5.8. Diet dan faktor lingkungan

Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibanding kasus kontrol.5Jenis-jenis makanan tertentu juga berperan dalam timbulnya sindrom dispepsia. Terlalu sering mengkonsumsi makanan yang berminyak dan berlemak membuat makanan tinggal di lambung lebih lama. Makanan tersebut lambat dicerna dan menimbulkan peningkatan tekanan di lambung yang pada akhirnya membuat katup antara lambung dengan kerongkongan (lower esophageal sphincter/LES) melemah sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan. Lamanya pengosongan lambung berhubungan dengan tukak lambung. Sebaliknya, konsumsi lemak dalam jumlah yang cukup dapat menekan sekresi asam lambung dengan cara memperlambat pengosongan lambung dan menstimulasi aliran getah pankreas serta empedu. Dengan demikian lemak turut memfasilitasi proses pencernaan agar berlangsung lebih optimal.

Minum kopi, teh, atau minuman lain yang mengandung kafein juga dapat mengendurkan LES. Menurut Shinya (2007), teh mengandung tanin yang mudah teroksidasi menjadi asam tanat. Asam tanat memiliki efek negatif pada mukosa lambung sehingga menyebabkan masalah pada lambung misalnya tukak lambung. Minum teh dalam kondisi perut kosong dapat menimbulkan tekanan berlebih pada lambung. Diet tinggi garam dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan proliferasi epitel lambung sehingga menyebabkan gastritis. Konsumsi NaCl dalam jumlah berlebihan akan meningkatkan kolonisasi Helicobacter pylori. Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum dapat meningkatkan kadar gastrin sehingga meningkatkan sekresi asam lambung dan menyebabkan tukak lambung.

Makanan pedas dan berbumbu tajam dapat merangsang sekresi asam lambung berlebih sehingga muncul gejala-gejala sindrom dispepsia. Makanan yang terasa asam, sayuran dan buah-buahan bergas seperti kol, sawi, durian, nangka, dan lainnya dapat menimbulkan gejala sindrom dispepsia. Kebanyakan agen yang merangsang sekresi asam lambung juga akan meningkatkan sekresi pepsinogen. Peningkatan sekresi asam lambung yang melalmpaui batas akan mengiritasi mukosa lambung sehingga timbul gastritis dan tukak.

Karotenoid (bahan pembentuk vitamin A) berinteraksi dengan vitamin C, vitamin E, dan Selenium sebagai zat anti oksidan yang melawan efek radikal bebas. Karoten berperan dalam meningkatkan sistem immunitas tubuh melalui efek anti oksidan. Vitamin A dikenal sebagai zat gizi esensial yang berperan penting dalam penglihatan. Di luar perannya dalam penglihatan, vitamin A juga berperan dalam berbagai fungsi sistemik, meliputi peran dalam diferensiasi sel dan fungsi membran sel (cell recognition), pertumbuhan dan perkembangan, fungsi kekebalan, dan reproduksi (Mahan & Escott-Stump 2000). Diferensiasi sel terjadi apabila sel tubuh mengalami perubahan dalam sifat atau fungsi awalnya. Sel-sel yang paling nyata mengalami diferensiasi adalah sel-sel epitel khusus, terutama sel goblet, yaitu sel kelenjar yang mensintesis dan mengeluarkan mukus atau lendir. Jaringan epitel yang melapisi organ dalam tubuh dinamakan membran mukosa. Mukus melindungi sel-sel epitel dari mikroorganisme dan partikel lain yang berbahaya. Mukosa lambung juga melindungi sel epitel lambung dari sifat korosif asam lambung dan pepsin. Kekurangan vitamin A menghambat fungsi sel-sel goblet mengeluarkan mukus (Almatsier 2002).Faktor kebersihan yang buruk membuat infeksi bakteri H. pylori menjadi lebih sering terjadi. Penyebaran dispepsia, gastritis, dan tukak peptik berkaitan dengan H. pylori umumnya terjadi pada lingkungan yang padat penduduknya, sosio-ekonomi yang rendah, dan lebih banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan di negara maju. Beberapa penelitian menyimpulkan adanya hubungan yang signifikan antara rendahnya pendapatan rumah tangga dan besarnya jumlah anggota keluarga dengan peningkatan kejadian penyakit gastrointestinal, termasuk dispepsia yang merupakan predisposisi gastritis dan tukak peptic.

II.5.9. Psikologis

Gangguan psikis atau konflik emosi yang menimbulkan gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan fisiologis dan biokemis seseorang. Perubahan fisiologis ini berkaitan dengan adanya gangguan pada sistem saraf otonom vegetatif, sistem endokrin, dan sistem imun. Ada beberapa mekanisme yang sudah dibuktikan dan beberapa diantaranya terkait dengan sistem hormonal.

Peran factor psikososial pada dyspepsia fungsional sangat penting karena dapat menyebabkan hal-hal di bawah ini :

1. Menimbulkan perubahan fisiologi saluran cerna

2. Perubahan penyesuaian terhadap gejala-gejala yang timbul

3. Mempengaruhi karakter dan perjalanan penyakitnya

4. Mempengaruhi prognosis

Rangsangan psikis/emosi sendiri secara fisiologi dapat mempengaruhi lambung dengan dua cara yaitu :

1. Jalur neurogen: Rangsangan konflik emosi pada kortek serebri mempengaruhi kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke nucleus vagus, nervus vagus dan kemudian ke lambung

2. Jalur neuro humoral: Rangsangan pada korteks serebri diteruskan ke hipotalamus anterior selanjutnya ke hipofisis anterior yang mengeluarkan kortikotropin. Hormon ini merangsang korteks adrenal dan kemudian menghasilkan hormone adrenal yang selanjutnya merangsang produksi asam lambung.

Faktor psikis dan emosi (seperti pada ansietas dan depresi) dapat mempengaruhi fungsi saluran cerna dan mengakibatkan perubahan sekresi asam lambung, mempengaruhi motilitas dan vaskularisasi mukosa lambung serta menurunkan ambang rangsang nyeri. Pasien dyspepsia umumnya menderita ansietas, depresi dan neurotic lebih jelas dibandingkan orang normal.

II.5.10. Faktor genetik

Hampir semua penyakit yang terjadi pada manusia memiliki unsur genetik. Faktor genetik pada setiap orang dapat mempengaruhi struktur dan fungsi tubuh dalam kondisi normal dan ketika sakit. Setiap penyakit, satu atau lebih faktor genetik menentukan karakter, gejala, dan tingkat keparahan penyakit.Potensi kontribusi faktor genetik juga mulai dipertimbangkan pada disepsia fungsional, seiring dengan terdapatnya bukti-bukti penelitian yang menemukan adanya interaksi antara polimorfisme gengen terkait respons imun dengan infeksi Helicobacter pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional.21II.5. Kerangka Teori

BAB IIIKERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DANDEFINISI OPERASIONALIII.1. Kerangka KonsepBanyak penelitian yang menghubungkan kejadian dispepsia dengan ganguan kejiwaan seperti penelitian yang dilakukan oleh Hasan dan Abdul Azis menunjukkan bahwa ada hubungan antara dispepsia organik dan dispepsia fungsional dengan kecemasan dimana 25% dari penderita ulkus duodenal, 31,2% pasien dispepsia fungsional ditemukan gangguan jiwa dalam bentuk kecemasan dan depresi. Dapat dilihat juga dari peningkatan jumlah penderita dispepsia fungsional tiap tahunnya di Puskesmas Kecamatan Kembangan serta didapatkan jumlah pasien ansietas dari total pasien puskesmas yang mengalami dispepsia fungsional adalah 46 (21,80%), maka hal ini menjadi alasan dilakukannya penelitian mengenai hubungan antara derajat ansietas dengan dispepsia.3

Gambar III-1. Kerangka KonsepIII.2. Hipotesis

Hipotesis alternatif (Ha) : Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat anxietas dengan dispepsia.III.3. Definisi OperasionalIII.3.1. Dispepsia (Variabel Tergantung)

Definisi: Kumpulan gejala dengan keluhan yang terdiri dari rasa tidak enak / sakit perut pada saluran cerna bagian atas, disertai dengan kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah, dan nyeri tekan pada daerah epigastrium.

Cara ukur: Dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik pada responden. Dengan acuan standar kriteria diagnostik Roma III untuk dispepsia fungsionalAlat ukur

: KuesionerHasil ukur

: 1. Responden dispepsia

2. Responden tidak dispepsiaSkala ukur

: Data bersifat kategorik dengan skala nominalIII.3.2. Ansietas (Variabel Bebas)

Definisi: serangan panik yang tidak diduga, spontan yang terdiri atas periode rasa takut yang bervariasi dari sejumlah serangan sepanjang hari sampai hanya sedikit selama setahun. Dikatakan serangan panik apabila sesuai dengan standar acuan Hamilton Anxiety Rating Scale yang dibagi menjadi ansietas ringan apabila didapatkan total skoring 0-16, serangan panik sedang apabila didapatkan total skoring 17-24, dan serangan panik berat apabila didapatkan total skoring 25-56. Cara ukur: Dilakukan wawancara dengan acuan Hamilton Anxiety Rating ScaleAlat ukur: Kuesioner dihitung berdasarkan kriteria HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale).Hasil ukur: 1. Ansietas ringan bila HARS < 17 2. Ansietas sedang bila HARS 17 3. Ansietas berat bila HARS 25Skala ukur: Data bersifat kategorik dengan skala ordinalBAB IV

METODOLOGI PENELITIANIV.1. Desain Penelitian dan VariabelPenelitian yang dilakukan bersifat analitik dengan desain studi cross-sectional dimana sebagai variabel tergantung (dependent variable) adalah dispepsia dan sebagai variabel bebas (independent variable) adalah derajat ansietas.

IV.2. Lokasi danWaktu

Penelitian dilakukan di Puskesmas Kecamatan Kembangan, Jakarta barat, pada bulan Januari 2014, pukul 08.00 15.00 WIB..

IV.3. Populasi Penelitian

Populasi adalah semua pasien yang datang ke Balai Pengobatan Umum Puskesmas Kecamatan Kembangan selama masa penelitian.IV.4. Kriteria Inklusi Pasien laki laki dan perempuan

Pasien berusia diatas 18 tahunIV.5. SampelPasien yang datang berobat ke Balai Pengobatan Umum Puskesmas Kecamatan Kembangan pada masa penelitian dan memenuhi kriteria inklusi.IV.5.1. Perhitungan Besar SampelUntuk menentukan besar sampel minimal digunakan uji hipotesis terhadap 2 proporsi independen, diperlukan informasi: P1 = proporsi dispepsia dengan ansietas ringan (clinical judgement=0,50) P2 = proporsi dispepsia dengan anxietas sedang-berat

P2 = P1 + 10% P1

P2 = 10/10P1 +1/10 P1P2 = 11/10 P1

P1 = 10/11 (0,50)

P1 = 0,45 Derivat baku normal untuk = 5%, Z = 1,960 untuk 95% confidence interval Derivat baku normal untuk = 20 %, z = 0,842

Rumus yang digunakan: 14

P = (P1 + P 2)

Q = (1-P)

Peneliti ingin mengetahui apakah hubungan antara derajat ansietas dengan dispepsia. P1 adalah ansietas ringan dan mengalami dispepsia = 0,45Dan P2 adalah ansietas berat dan mengalami dispepsia = 0,50.

P = (P1 + P 2)

= (0,45+ 0,50)

= 0,475

Q = (1-P)

= ( 1- 0,475) = 0,525 Q1 = (1 P1)

= (1-0,45)

= 0,55

Q2= (1 P2)

= (1 - 0,5)

= 0,5Bila tingkat kemaknaan = 5 %, maka Z = 1,96 dan bila tingkat kemaknaan = 20 %, maka Z = 084, maka besar sampel yang dibutuhkan: = 792Dengan demilkian besar minimum sampel yang dibutuhkan adalah 2 x 792 = 1584 sampel.IV.5.2. Teknik Pengambilan SampelPengambilan sampel dilakukan secara non-random dengan teknik consecutive sampling terhadap responden yang yang datang berobat ke balai pengobatan umum Puskesmas Kecamatan Kembangan pada bulan Januari 2014. IV.6. Instrumen Pengumpulan DataInstrumen yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: KuesionerIV.7. Tata Cara Pengumpulan DataPenelitian dilakukan setelah mendapatkan izin dari kepala Puskesmas Kecamatan Kembangan dan dokter yang akan bertugas pada hari tersebut. Apabila pasien berusia diatas atau sama dengan 18 tahun, pasien ditanya kesediannya untuk ikut serta dalam penelitian oleh peneliti I. Jika pasien bersedia, maka pasien tersebut selanjutnya disebut sebagai responden dan diarahkan ke peneliti II. Peneliti II akan mulai mencatat data responden dan wawancara berdasarkan kuesioner tentang kecemasan (ansietas). Setelah selesai, responden kemudian diarahkan ke peneliti III untuk diwawancarai tentang keluhan pencernaannya dan dilakukan pemeriksaan fisik. Setelah selesai, responden dijelaskan tentang keluhannya dan diberikan resep untuk berobat.

IV.7.1 . Gambar Alur Pengumpulan Data

Gambar 1. Alur Pengumpulan DataIV.8. Teknik dan Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik disajikan dalam bentuk tekstular dan tabular.IV.8.1. Analisis Asosiasi StatistikAnalisis asosiasi statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan uji statistik Pearson Chi-Square menggunakan software SPSS versi 18 untuk mengetahui derajat kemaknaan antara variabel bebas (independent variable) berskala ordinal (data kategorik) dan variabel tergantung (dependent variable) berskala nominal (data kategorik). Kemaknaan hubungan antara kedua variabel tersebut dinilai dari nilai p-value. Jika p < 0,05 : Ho ditolak artinya terdapat korelasi yang bermakna antara 2 variabel yang diuji.

Jika p 0,05: Ho gagal ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara 2 variabel yang diuji.IV.8.2. Analisis Asosiasi EpidemiologiAnalisis asosiasi epidemiologi diperoleh dengan menghitung asosiasi relatif Prevalence Ratio(PR).DispepsiaNon-dispepsiaTotal

Ansietas ringanABA+B

Ansietas sedangCDC+D

Ansietas beratEFE+F

TotalA+C+EB+D+FA+B+C+D+E+F

Prevalence Ratio1 : Prevalence Ratio2 : Keterangan:

Jika PR = 1 ( Resiko pasien yang memiliki ansietas ringan sama dengan resiko pasien yang memiliki ansietas berat.

Jika PR > 1 ( Resiko pasien yang memiliki ansietas ringan lebih besar daripada resiko pasien yang memiliki ansietas berat.

Jika PR < 1( Resiko pasien yang memiliki ansietas ringan lebih kecil daripada resiko pasien yang memiliki ansietas berat.BAB V

HASILV.1 Univariat

Dari hasil penelitian terhadap 58 responden, didapatkan responden perempuan sebanyak 40 orang (69%) dan laki-laki sebanyak 18 orang (31%). Rata-rata usia responden 31,74 tahun dengan standar deviasi 8,232. Dari 58 responden, orang (%) ansietas dan sebanyak orang (%) memiliki riwayat dispepsia. Diantara 58 responden, yang sering khawatir sebanyak 39 orang (67,2%), yang ragu dapat mengatasi keadaan buruk sebanyak 13 orang (22,4%), yang ragu dapat mengatasi ketakutan sebanyak 13 orang (22,4%), yang cepat emosi/marah-marah sebanyak 37 orang (63,8%), yang tegang pikiran/stress sebanyak 41 orang (70,7%), yang merasa lebih lelah dari biasanya sebanyak 45 orang (77,6%), yang sering/mudah menangis dari biasanya sebanyak 14 orang (24,1%), yang sering merasa gemetar sebanyak 4 orang (6,9%), yang merasa gelisah sebanyak 13 orang (22,4%), yang merasa tidak mampu bersantai dari kesibukan sebanyak 11 orang (19,0%), yang takut di tempat gelap sebanyak 18 orang (31%), yang takut diajak berkenalan dengan orang yang tidak dikenal sebanyak 18 orang (31%), yang takut jika sendirian/merasa kesepian sebanyak 14 orang (24,1%), yang takut terhadap salah satu jenis binatang sebanyak 24 orang (41,4%), yang takut menghadapi kemacetan sebanyak 30 orang (51,7%), yang takut dengan tempat/suasana ramai sebanyak 14 orang (24,1%), yang susah memulai tidur sebanyak 17 orang (29,3%), yang tidak bisa tidur di malam hari sebanyak 17 orang (29,3%), yang tidak bisa tidur di malam hari sehingga lemas pada saat bangun di pagi hari sebanyak 10 orang (17,2%), yang sering mendapat mimpi buruk saat tidur sebanyak 10 orang (17,2%), yang sering mendapat teror di malam hari sebanyak 1 orang (1,7%), yang sulit berkonsentrasi sebanyak 27 orang (46,6%), yang mudah lupa sebanyak 39 orang (67,2%), yang kehilangan minat 12 orang (20,7%), yang merasa bosan/kurang puas terhadap hobby sebanyak 22 orang (37,9%) . Dari 58 responden didapatkan orang (%) menderita dispepsia.

Tabel 5.1. Tabel Distribusi Karakteristik pada Responden Usia diatas 18 Tahun yang Datang ke Balai Pengobatan Umum Puskesmas Kecamatan Kembangan, Kotamadya Jakarta Barat Periode Desember 2013 Januari 2014V.2.1. BivariatDiantara 58 responden, yang 3 bulan terakhir merasa sering kembung setelah makan porsi biasa sebanyak 38 orang (65,5%), yang 3 bulan terakhir merasa cepat kenyang sehingga tidak mampu menghabiskan porsi biasa sebanyak 36 orang (62,1%), yang mengalami nyeri ulu hati paling sedikit sekali dalam seminggu sebanyak 21 orang (46,6%), yang mengalami rasa terbakar (panas) di daerah ulu hati/epigastrium sebanyak 24 orang (41,4%), yang merasa nyeri yang dirasa timbul berulang sebanyak 18 orang (31,0 %), yang merasa nyeri ulu hati menjalar ke bagian perut lain atau ke perut bagian kiri atas sebanyak 17 orang (29,3%), yang nyeri berkurang dengan BAB atau buang angin sebanyak 20 orang (34,5%), yang nyeri ulu hati yang disebabkan oleh makanan sebanyak 23 orang (39,7 %), dan yang nyeri ulu hati ditimbul saat puasa sebanyak 25 orang (43,1%). Dari 58 responden didapatkan orang (%) menderita dispepsia.

Tabel V.2.1. Tabel Distribusi Karakteristik pada Responden Usia diatas 18 Tahun yang datang ke Balai Pengobatan Umum Puskesmas Kecamatan Kembangan Periode Desember 2013 Januari 2014BAB VI

PEMBAHASAN

VI.1. Temuan PenelitianBerdasarkan hasil asosiasi statistik, terdapat hubungan bermakna antara derajat ansietas dengan dispepsia (p-value = 0.05). VI.2 Keterbatasan Penelitian

VI.2.1. Bias Seleksi

Pada penelitian ini, bias seleksi tidak dapat disingkirkan karena sampel diambil dengan cara non-random consecutive sampling, dimana subyek dalam populasi terjangkau tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel penelitian sehingga sampel yang diambil tidak dapat mewakili populasi di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kembangan karena sampel diambil pada waktu yang terbatas. VI.2.2. Bias Informasi

Pada responden, respondent bias dapat terjadi akibat kemampuan responden mengingat atau memberikan informasi mengenai gejala penyakit dispepsia secara akurat berbeda karena terpengaruh oleh status keterpaparannya.Pada peneliti, interviewer bias dan observation bias diminimalkan dengan cara masing masing variabel diukur oleh 2 peneliti yang berbeda dimana peneliti pertama menilai faktor faktor resiko dispepsia (sekresi asam lambung, Helicobacter pylori, dismotilitas, ambang rangsang persepsi, disfungsi otomom, aktivitas mioelektrik lambung, peran hormonal, diet dan faktor lingkungan,psikologis, faktor genetik), sedangkan peneliti kedua melakukan wawancara dan pemeriksaaan fisik terhadap keluhan dispepsia.VI.2.3 ChancePada sampel penelitian hubungan antara derajat ansietas dengan dispepsia merupakan suatu faktor kebetulan tidak dapat disingkirkan, karena berdasarkan perhitungan didapatkan kesalahan tipe I () = % (pada = %), dan kesalahan tipe II () = % (pada = %). Hal ini terjadi karena besar sampel yang diperoleh tidak memenuhi besar sampel yang seharusnya dibutuhkan.BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

VII.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada 58 responden pada Desember 2013 sampai dengan Januari 2014 di Puskesmas Kecamatan Kembangan, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dari penelitian terhadap 58 responden, didapatkan responden (%) yang mengalami ansietas2. Dari 58 responden yang mengalami ansietas ringan, didapatkan responden (%) mengalami dispepsia.3. Secara statistik didapatkan hubungan bermakna antara derajat ansietas dengan dispepsia (p-value =). Secara epidemiologik, terdapat hubungan antara derajat ansietas dengan dispepsia, di mana responden yang mengalami ansietas ringan mempunyai resiko mengalami dispepsia lebih besar daripada responden yang mengalami ansietas sedang-berat (Prevalance Ratio =). VII.2. Saran

VII.2.1. Bagi Pasien Puskesmas / Responden:

VII.2.2. Bagi Puskesmas Kecamatan Kembangan:

VII.2.3. Bagi Peneliti:

DAFTAR PUSTAKA

Sekresi asam lambung

DISPEPSIA

Helicobacter pylori

Faktor genetik

Dismotilitas

Psikologis (ansietas)

Ambang rangsang persepsi

Diet

faktor lingkungan

Disfungsi autonom

Peranan hormonal

Aktivitas Mioelektrik lambung

Variabel bebas

Variabel tergantung

dispepsia

ansietas

Pasien yang datang berobat ke Balai Pengobatan Umum Puskesmas Kecamatan Kembangan

Tidak diikutsertakan dalam penelitian

< 18 Tahun

18 Tahun

Menolak

Pasien ditanyakan kesediannya untuk ikut serta dalam penelitian oleh peneliti I

Tidak dimasukan dalam sampel

Bersedia

Responden diwawancarai berdasarkan kuesioner mengenai identitas diri dan kecemasan (ansietas) oleh peneliti II

Responden diwawancarai tentang keluhan pencernaan dan dilakukan pemeriksaan fisik oleh Peneliti III

Non Dispepsia

Dispepsia

Ansietas Berat

Ansietas Sedang

Ansietas Ringan

Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Periode 9 Desember 2013 15 Februari 2014Page2