pendidikan karakter
DESCRIPTION
Paper PPTRANSCRIPT
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Pendidikan Karakter
Kata “karakter” berasal dari bahasa Latin “Kharakter”, “kharassein”, dan
“kharax”, yang maknanya “tools for making”, “to engrave”, dan “pointed stake”. Kata ini
mulai banyak digunakan kembali dalam bahasa Perancis “caractere” pada abad ke-14 dan
kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi “character”, sebelum akhirnya menjadi
bahasa Indonesia “karakter”.
Pembangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang
berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila;
keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila;
bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya
kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan
melemahnya kemandirian bangsa (Sumber: Buku Induk Kebijakan Nasional
Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025).
Pendidikan karakter adalah suatu usaha sadar dalam membentuk dan mengembangkan
karakter individu melalui proses belajar, pembelajaran, pelatihan dan bimbingan baik yang
dilaksanakan secara individual atau pun kelompok. Menurut Soemarno Soedarsono dalam
bukunya karakter merupakan “sesuatu” dalam diri manusia yang tidak bersifat turunan
(diwariskan), melainkan harus dicari, ditemukan, dan ditempa karena sebenarnya sudah
melekat pada tiap manusia sejak seseorang dilahirkan dan menjadi bagian kolektif dari suatu
masyarakat. Dengan demikian menurut pemahaman makna karakter tersebut merupakan sifat-
sifat kejiwaan yang dapat dibentuk, ditemukan dan ditempa untuk dapat meyakini nilai-nilai
yang baik dan melekat dalam diri setiap individu dan berguna dalam kehidupan ini.
Karakter sangat penting untuk dimiliki setiap individu karena demgan adanya
karakter sesorang dapat memiliki ciri khas tersendiri dengan didasari adanya sikap-sipap
yang terpuji. Menurut Hurlock (1993) menjelaskan bahwa perkembangan anak
dipengaruhi oleh sekurang-kurangnya enam kondisi lingkungannya yaitu: hubungan antar
pribadi yang menyenangkan, keadaan emosi, metode pengasuhan anak, peran dini yang
diberikan kepada anak, struktur keluarga di masa kanak-kanak dan rangsangan terhadap
lingkungan sekitarnya.
Dalam pelaksanaan pendidikan karakter hal yang lebih ditekankan adalah
mengenai nilai-nilai yang ditanamkan pada peserta didik. Nilai-nilai tersebeut nantinya
akan berguna dalam mengembangkan kepribadian sebagai makhluk hidup individual
sekaligus sosial dalam lingkungan sekolah.. Menurut Murphy (1998) pendidikan karakter
secara sederhana bisa didefinisikan sebagai, “pemahaman, perawatan, dan pelaksanaan
keutamaan (practice virtue). Oleh karena itu, pendidikan karakter di sekolah mengacu
pada proses penanaman nilai, berupa pemahaman-pemahaman, tata cara merawat dan
menghidupi nilai-nilai itu, serta bagaimana seorang siswa memiliki kesempatan untuk
dapat melatihkan nilai-nilai tersebut secara nyata.
Selain di lingkungan sekolah, pendidikan karakter juga perlu diterapkan di
lingkungan masyarakat. Hal ini sangat penting karena pada dasarnya manusia tidak bisa
hidup secara individual melainkan harus hidup secara sosial. Dan di dalam hidup sosial
diperlukan adanya kepribadian yang baik di setiap individunya agar bisa diterima di
kalangan lingkungan masyarakat.
B. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter
Menurut Wynne (1991), istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti
"to mark" (menandai atau mengukir), yang lebih terfokus pada melihat tindakan atau
tingkah laku. Wynne mengatakan bahwa ada dua pengertian tentang karakter. Pertama,
Adalah menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang
berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, maka orang tersebut memanifestasikan karakter
jelek. Sebaliknya apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, maka orang
tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua istitah karakter erat kaitannya dengan
"personality". Seseorang bisa disebut "orang yang berkarakter" (a person of character)
kalau, tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Menurut Jalal (2011), pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai
yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi :
1. Menggembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik
2. Membangun bangsa yang berkarakter Pancasila
3. Mengembangkan potensi warga negara agar memeiliki sikap percaya diri,
bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Pendidikan karakter berfungsi :
1. Membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural
2. Membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu
berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia
3. Membangun sikap warga negara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup
berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni
C. Komponen Pendidikan Karakter
Dalam pendidikan karakter Lickona (1992) menekan pentingnya dua komponen
karakter yang baik (components of I character) yaitu moral knowing atau pengetahuan
tentang (moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action perbuatan bermoral.
Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan
sekaligus nilai kebajikan. Moral Knowing adalah hal yang penting untuk diajarkan terdiri :
1. Moral Feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada anak yang
merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan
prinsip-prinsip moral. Terdapat 6 hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu
dirasakanolehseseo untuk menjadi manusia berkarakter yakni:
1) conscience (nurani)
2) self-esteem (Percaya diri),
3) empathy (merasakan penderitaan orang lain),
4) loving the good (mencintai kebenaran),
5) control (mampu mengontrol diri), dan
6) humilituy (kerendahan hati)
2. Moral Action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan
menjadi tindakan nyata. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari
dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang
dan perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat dari tiga.aspek dari karakter
yaitu :
1) kompetensi (competence),
2) keinginan (will), dan
3) kebiasaan (habitu).
D. Nilai-nilai Pembentuk karakter
Didalam pembentukan karakter untuk mewujudkan pendidikan karakter
dibutuhkan adanya nilai-nilai yang sangat penting. Menurut Mochtar Buchori (2007),
pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif,
penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Berikut
merupakan nilai-nilai pembentuk karakter:
a. Religius (Religious)
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran
terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
b. Jujur (Honest) Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
c. Toleransi (Tolerate)
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,pendapat, sikap dan
tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
d. Disiplin (Dicipline)
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan
e. Kerja Keras (Hard Work)
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai habatan
belajar dan tugas serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya
f. Kreatif (Creative)
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari apa yang
telah dimiliki
g. Mandiri (independent)
Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan
tugas-tugas
h. Demokratis
Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan
orang lain
i. Rasa Ingin Tahu.
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas
dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
j. Semangat Kebangsaan (Nationality Spirit)
Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara
di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
k. Cinta Tanah Air
Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsanya
l. Menghargai prestasi (respect)
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna
bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain
m. Persahabatan (Friendly)
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan
orang lain
n. Cinta Damai (Peace Ful)
Sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman
atas kehadiran dirinya
o. Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan
kebajikana bagi dirinya.
p. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di
sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang
sudah terjadi
q. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat
yang membutuhkan
r. Tanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan tuhan YME.
(Sumber: Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa:
Pedoman Sekolah. 2009:9-10).
E. Ruang Lingkup Pendidikan Karakter
Dalam pelaksanaan pendidian karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang
mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Selain itu juga mencakup
fungsi totalitas sosiokultural pada konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan
serta masyarakat.
Menurut (Desain Induk Pendidikan Karakter, 2010: 8-9) menyatakan bahwa
Konfigurasi karakter dalam kontek totalitas proses psikologis dan sosial-kultural dapat
dikelompokkan dalam: (1) olah hati ; (2) olah pikir; (3) olah raga/kinestetik; dan (4) olah
rasa dan karsa. Adanya proses tersebut saling berkaitan dan bersifat koheren yang dari
keempat aspek tersebut secara konseptual merupakan gugus nilai luhur yang di dalamnya
terkandung sejumlah nilai yang penting dalam kehidupan karakter.
Gambar. Ruang Lingkup Pendidikan Karakter.
F. Aplikasi Pendidikan Karakter
1. Pendidikan Karakter di Lingkungan Sekolah
Pendidikan dapat dilakukan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Namun salah
satu penerapan pendidikan karakter dapat diterapkan dilingkungan sekolah. Lingkungan
sekolah merupakan suatu instansi lembaga pendidikan yang terpercaya dalam
mengembangkan nilai moral dan nilai-nilai positif lainnya kepada para peserta didik.
Dalam hal ini pihak orang tua dari siswa telah menjadikan sekolah sebagai salah satu
sarana untuk membentuk karakter bagi anak-anak mereka. Sekolah menjadi tempat yang
strategis dalam membentuk, melatih dan mengembangkan karakter melalui penanaman
nilai-nilai moral. Sekolah dapat tetap menjaga standar mutu akademis yang tinggi
berdasarkan nilai-nilai pendidikan karakter yang menjadi prioritas sekolah. Di sekolah
diharapkan para siswa belajar mengaktualisasikan nilai-nilai yang mereka terima secara
langsung. Sehingga di dalam lingkungan sekolah diperlukan adanya penerapan pendidikan
karakter untuk membangun jiwa anak-anak didik menjadi seorang yang teladan dan
memiliki akhlak yang baik.
Didalam pendidikan berkarakter akan melibatkan beberapa hal yang bisa
mendukung terwujudnya pendidikan karakter seperti nilai agama, nilai moral, nilai-nilai
umum, nilai-nilai kewarganegaraan. Dalam hal ini Sekolah memiliki kewenangan untuk
menentukan prioritas bagi nilai-nilai pendidikan karakter, akan tetapi hal tersebut tidak
membatasi sikap dari masing-masing individu karena pada akhirnya individu sendiri yang
mengolah nilai-nilai itu yang sesuai dengan pengalaman pribadinya sebagai individu yang
beriman dan memiliki kehendak baik untuk hidup bersama di dalam sebuah masyarakat
yang plural.
Dalam pembelajaran pendidikan arakter yang ada di sekolah terdapat beberapa
kriteria nilai yang bisa menjadi bagian dalam kerangka pendidikan karakter yang
dilaksanakan di sekolah, antara lain : 1) nilai keutamaan; 2) nilai keindahan; 3) nilai kerja;
4) nilai cinta tanah air; 5) nilai demokrasi; 6) nilai kesatuan; 7) nilai moral; 8) nilai
kemanusiaan.
Dalam penerapan pendidikan karakter disekolah, meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.1. Perencanaan Pendidikan Karakter
Perencanaan pendidikan karakter adalah proses menentukan nilai-nilai. Hal yang
sangat mendasar ketika memulai pendidikan karakter adalah menentukan nilai-nilai yang
akan ditanamkan atau dibelajarkan pada peserta didik. Menurut Hayes (2003) menyatakan
bahwa proses penentuan nilai ini harus melibatkan komunitas sekolah, yakni guru, orang
tua dan masyarakat sekitar; sehingga sekolah akan mencerminkan keseluruhan komunitas
yang mereka layani, mampu melahirkan peserta didik dengan karakter sesuai harapan
komunitas. Dengan demikian semua ikut berpartisipasi dalam mencapai pendidikan
berkarakter, sehingga proses untuk mewujudkan pendidikan karakter di lingkungan
sekolah akan lebih terstruktur dan nantinya akan lebih bisa mencapai tujuan dari
pendidikan karakter sendiri.
Menurut Budiningsih (2004) menyatakan bahwa terdapat beberapa unsur yang
turut berpengaruh dalam penentuan muatan pendidikan moral, yaitu: (1) karakteristik anak
didik yang meliputi latar ekonomi, agama, budaya serta tahap perkembangan kognitif dan
moral; (2) konteks sekolah berada meliputi budaya masyarakat dan falsafah Negara.
Perencanaan pendidikan karakter harus didasarkan pada visi pendidikan karakter
yang ditetapkan oleh sekolah, yang merupakan cita-cita yang akan diarahkan melalui
kinerja lembaga pendidikan. Perencanaan pendidikan karakter adalah proses menentukan
nilai-nilai. Hal yang sangat mendasar ketika memulai pendidikan karakter adalah
menentukan nilai-nilai yang akan ditanamkan atau dibelajarkan pada peserta didik.
Dalam perencanaan pendidika karakter di lingkungan sekolah harus ada dua
komponen yang sangat penting dalam mendukung tercapainya pendidikan karakter di
lingkungan sekolah yang meliputi:
a. Adanya visi
Dengan adanya visi pendidikan akan menjadi dasar acuan bagi setiap kerja,
pembuatan program dan pendekatan pendidikan karakter yang dilakukan di dalam
sekolah. Sehingga tanpa adanya visi maka pelaksananaan pendidikan karakter akan
menjadi sia-sia atau bahkan nantinya tidak bisa berhasil dengan baik. Jika visi di dalam
lembaga pendidikan telah ada, lembaga pendidikan juga harus memiliki misi yaitu
penjabaran yang lebih praktis operasional, yang indikasinya dapat diverifikasi, diukur
dan dievaluasi secara terus menerus. Melalui visi, sekolah memberikan sebuah
lingkungan nyata dimana idealisme dan cita-cita secara konkrit menjadi pedoman
perilaku, sumber motivasi, sehingga setiap individu di dalam lembaga itu semakin
bertumbuh secara utuh dan penuh. Pendidikan karakter yang memiliki basis dasar nilai-
nilai, dengan adanya visi lembaga pendidikan akan menjadi contoh nyata sebuah sikap
hidup berdasarkan nilai-nilai ideal.
b. Adanya Misi
Setelah adanya visi maka perencanaan yang mendukung terlaksananya
pendidikan karakter adalah adanya misi. Misi adalah sebuah usaha yang menjembatani
praktis harian di lapangan dengan cita-cita ideal yang menjiwai seluruh gerak lembaga
pendidikan. Tercapainya misi merupakan tanda keberhasilan melaksanakan visi secara
konsisten.
1.2. Pengintegrasi Pendidikan Karakter dalam Kurikulum
Ada dua pendekatan pengintegrasian program pendidikan karakter di sekolah
yaitu:
1.2.1. Pendekatan secara langsung.
Dalam pendekatan secara langsung atau secara eksplisit ini berarti menjadikan
pendidikan karakter sebagai mata pelajaran tersendiri dalam kurikulum. Jadi dalam
pendekatan ini materi mengenai pendidikan karakter wajib diperoleh oleh siwa dalam
kegiatan belajar mengajar yang diterimanya sehari-hari dan menjadi hal yang pokok
karena sudah tercantum di dalam kurikulum . Menurut (Duncan,1997) menyatakan bahwa
Pendidikan karakter secara langsung didasarkan adanya nilai tertentu yang perlu diketahui
oleh semua orang yang bersifat universal. Dengan pendekatan langsung, peserta didik
didorong untuk langsung mengambil bagian dalam komunitas masyarakat.
Menurut Suparno (2002), dengan adanya metode ini materi akan lebih terfokus
dan terencana matang. Guru dapat membuat perencanaan dan mempunyai banyak
kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya. Selain itu dengan menggunakan
metode ini dapat juga berperan untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami
suatu nilai atau karakter
Dalam pengintegrasian pendidikan karakter melalui pendekatan langsung dan
tidak langsung terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan dari pelaksanaan metode
tersebut. Berikut merupakan kelebihan dan kelemahannya:
a) Beberapa kekuatan pendekatan langsung pendidikan karakter meliputi:
(1) Kehidupan bermoral harus tumbuh dari interaksi dengan orang lain setiap hari.
Program pendidikan karakter menciptakan banyak kesempatan kepada peserta didik
untuk mempraktekan karakter yang dipelajarinya dalam kehidupan sekolah dan
masyarakat;
(2) Program pendidikan karakter menekankan pada praktek konkret, sehingga nilai yang
dijarkan tidak hanya sekedar pengetahuan, namun harus menjadi bagian integral dalam
diri seseorang agar menjadi suatu ketrampilan yang dilaksanakan tiap hari.
(3) Penanaman nilai-nilai dasar akan menjadi fondasi dalam pencapaian norma sosial
selanjutnya. Proses pemahaman nilai-nilai utama adalah prasyarat untuk memahami
nilai yang lebih kompleks serta kemampuan dalam analisa kritis terhadap suatu
peristiwa.
b) Beberapa kelemahan pendekatan langsung pendidikan karakter meliputi:
(1) Nilai yang ditanamkan umumnya merupakan pemberian masyarakat tanpa disertai
analisa kritis dari pendidik dan peserta didik.
(2) Belum ada tanda signifikan, bahwa pendidikan karakter di sekolah dapat
mempengaruhi karakter peserta didik di luar sekolah, atau pengaruhnya secara
substansi pada kehidupan moral masyarakat.
(3) Metode ini sangat tergantung dengan tuntunan kurikulum yang ada, dan dalam
model ini penanaman nilai seolah-olah hanya ditumpukan pada seorang guru budi
pekerti saja.
1.3. Pendekatan secara tidak langsung.
Menurut Suparno (2002), pendidikan karakter yang terintegrasi dalam kurikulum
secara implisit dapat dilakukan melalui dua model yaitu:
a) Model terintegrasi dalam semua bidang studi.
Menurut Megawangi (2004) menyatakan bahwa model ini sebagai sistem
pembelajaran terpadu berbasis karakter. Sistem ini akan membiasakan anak sejak dini
untuk berpikir secara holistik, tidak berpikir fragmated dan biasanya pembelajaran
dilakukan secara tematik. Dalam hal ini peserta didik diajarkan untuk tidak
memandang sesuatu hal dari satu bidang saja tetapi juga mempertimbangkan hal lain
yang dapat mempengaruhinya sehingga dlam hal ini peserta didik diajarkan untuk
lebih bisa berfikir secara lebih matang sebelum menghadapi suatu permasalahan
hingga pada akhirnya mengambil keputusan yang terbaik.
Sejalan dengan hal tersebut McKay (2002) menatakan bahwa nilai yang akan
ditanamkan dalam proses penyampaian pendidikan karakter hendaknya dikaitkan
dengan pelajaran di kelas, sehingga peserta didik dapat melihat bagaimana nilai-nilai
tersebut diperlukan dan muncul dalam pelajaran sejarah, eksperimen sains, atau
berpengaruh pada peserta didik secara personal lewat pengajaran di kelas. Contohnya
saja saat melakukan proses belajar matematika tidak hanya sekedar terampil dalam
berhitung, tetapi juga menumbuhkan karakter rasional, obyektif, kontrol diri, progesif,
keterbukaan pada aneka pendapat, eksploratif, dan ketekunan lewat pelajaran
Matematika.
Dengan model integrasi dalam semua bidang studi, guru dapat memilah nilai
yang akan ditanamkan melalui materi bahasan bidang studinya. Pemahaman nilai
hidup lebih bersifat terapan pada setiap bidang studi, dan semua guru sebagai pengajar
budi pekerti. Namun yang harus diperhatikan bahwa tidak boleh ada perbedaan
persepsi dan pemahaman tentang nilai di antara guru.
b) Model di luar pengajaran
Dalam model ini, kegiatan dilakukan di luar pengajaran. Segi positifnya,
peserta didik akan memperoleh pelajaran nilai melalui pengalaman konkrit. Model ini
menuntut kreativitas dan pemahaman akan kebutuhan peserta didik secara mendalam,
karena tidak ada stuktur kurikulum yang tetap.
1.3.Metode Pendidikan Karakter dalam KBM
Salah satu unsur penting dalam pendidikan karakter adalah mengajarkan nilai-
nilai, sehingga anak didik memiliki gagasan konseptual tentang nilai-nilai pemandu
perilaku yang bisa dikembangkan dalam mengembangkan karakter pribadinya. Dalam
mengajarkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik diperlukan adanya suatu metode
yang terbaik agar materi atau nilai-nilai karakter dapat tersampaikan kepada peserta didik
dan nantinya bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa metode yang dapat
diterapkan antara lain : 1) mengajarkan; 2) keteladanan; 3) menentukan prioritas; 4)
mempratekkan prioritas; 5) refleksi.
Dalam proses penyampaian materi mengenai pendidikan karakter, peranan guru
merupakan hal yang sangat penting karena hal yang disampaikan guru nantinya akan
menjadi pedoman atau contoh bagi siswa untuk proses aplikasi dalam kehidupan sehari-
hari. Menurut Veugelers (2000) menyatakan bahwa guru sebaiknya mengintegrasikan
nilai-nilai yang ingin ditanamkan kepada peserta didik ke dalam materi pelajaran dan
dalam interaksi antara guru dan peserta didik. Dengan demikian pengajaran nilai tidak
sekedar hanya teori, tetapi langsung dipraktekan dan dilihat kaitannya dengan hal-hal lain.
Strategi ini juga turut melatih kemampuan berpikir peserta didik secara kritis, sehingga
mereka mampu menganalisis nilai yang ada dalam setiap peristiwa.
Di samping itu hendaknya guru memungkinkan adanya perbedaan nilai yang
dipelajari dan diyakini peserta didik, dan menunjukkan nilai yang diyakini dirinya sebagai
nilai yang penting. Strategi pembelajaran di ruang kelas di uraikan lebih mendalam oleh
Lickona (1999), Suparno dkk (2002) dan Inlay (2003) sebagai berikut :
a. Guru peduli pada peserta didik, dengan menjadi teladan dan memberi tuntunan moral.
b. Menciptakan komunitas kelas yang peduli satu dengan yang lainnya.
c. Membantu peserta didik mengembangkan daya pkir moral, disiplin diri, dan hormat
pada orang lain.
d. Melibatkan peserta didik dalam pembuatan keputusan.
e. Menggunakan Cooperative learning untuk memberi kesempatan pada peserta didik
mengembangkan kompetensi moral dan sosialnya.
f. Membiasakan peserta didik membaca buku-buku yang mengandung nilai-nilai hidup.
g. Mengembangkan kesadaran atau dorongan pada peserta didik untuk melakukan hal
baik.
h. Mengajarkan nilai yang harus diketahui peserta didik, cara mempraktekkannya hingga
menjadi suatu kebiasaan, dan menekankan bahwa setiap orang punya tanggung jawab
untuk mengembangkan karakternya sendiri.
i. Mengajarkan peserta didik menyelesaikan konflik.
j. Guru menghindari penggunaan kata-kata yang bernada menyalahkan, melainkan
memancing peserta didik untuk berani mengakui kesalahan dan menggali makna
belajar dari kesalahan yang dilakukan. Anak didik dilatih untuk menyadari bahwa
tindakan yang dilakukan merupakan pilihan pribadi. Jadi kesalahan atau kegagalan
yang dialami tidak boleh ditujukan pada orang lain.
k. Materi dalam pembelajaran karakter diambil dari hal-hal yan berlangsung di sekitar
kehidupan peserta didik di lingkungan sekolah.
l. Hal terpenting dalam strategi di ruang kelas adalah kesempatan yang diberikan pada
anak didik untuk mendiskusikan suatu masalah/peristiwa dari sudut pandang moral.
Frekuensi kegiatan diskusi yang cukup banyak di kelas akan menciptakan kesempatan
pada peserta didik (Suparno, 2002). Kegiatan diskusi bertujuan untuk:
m. Mengembangkan daya pikir/analisa secara moral. Yang terpenting dalam proses
diskusi bukanlah memberikan penilaian tentang benar atau salahnya suatu persoalan,
namun untuk mencermati atau menganalisa hal-hal yang baik dan salah yang terdapat
dalam persoalan tersebut.
n. Peserta didik dapat mencari dan menemukan sendiri nilai-nilai yang hidup di
masyarakat. Peserta didik akan melihat dan mengalami langsung nilai yang tumbuh di
lingkungan masyarakat, yang dapat membuatnya binging. Melalui diskusi, peserta
didik melakukan proses penjernihan nilai untuk menemukan makna nilai-nilai
tersebut.
1.4. Pengembangan Budaya Sekolah yang Mendukung Pendidikan Karakter
Pendidikan kakarter tidak hanya menjadi tanggungjawab guru ketika berinteraksi
dengan peserta didik di ruang kelas. Komunitas sekolah hendaknya dilibatkan secara aktif
dalam pendidikan karakter agar proses penanaman nilai bisa lebih efektif. Lickona (1999)
dan Inlay (2003) menyebutkan beberapa hal yang bisa dilakukan pihak untuk membangun
komunitas karakter, yakni:
a. Menciptakan lingkungan sekolah yang menerima adanya perbedaan antar individu.
Hal ini mendorong setiap peserta didik untuk percaya diri, serta belajar sikap saling
menghargai, mau mendengarkan orang lain, dan saling member perhatian.
b. Peserta didik dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan untuk menyelesaikan
masalah yang terjadi di sekolah.
c. Melibatkan peserta didik dalam pengembangan kurikulum dan pengelolaan strategi
belajar.
d. Menciptakan budaya moral positif di sekolah
e. Melibatkan orang tua dan komunitas sebagai partner dalam pendidikan karakter.
Orang tua dan anggota masyarakat bisa berperan sebagai pengajar di kelas untuk
menunjukkan karakter yang dibutuhkan dan hidup masyarakat.
1.5.Pelaksanaan Kegiatan Ekstra Kurikuler yang Mendukung Pendidikan Karakter
Dalam memantapkan kepribadian peserta didik guna mewujudkan ketahanan
sekolah sebagai lingkungan pendidikan dan menyiapkan mereka agar berakhlak mulia,
demokratis dan menghormati hak-hak sesuai tujuan pendidikan nasional, maka
pendidikan karakter melalui ekstrakurikuler diupayakan antara lain dalam bentuk
program-program di sekolah seperti: pramuka, kantin kejujuran, sekolah hijau,
olimpiade sains dan seni, serta kesenian tradisional, PMR, UKS misalnya, telah sarat
dengan pendidikan karakter. Tinggal guru yang mesti memunculkan nilai-nilai dalam
program itu sebagai bagian dari pendidikan karakter di sekolah.
2. Pendidikan Karakter di Lingkungan Masyarakat
Kehidupan sehari-hari di rumah dan Di masyarakat perlu juga mendapat perhatian
dalam rangka pendidikan karakter. Banyak manfaat yang bisa diperoleh oleh satuan
pendidikan formal dan nonformal dari masyarakat dan sebaliknya. Antara satuan pendidikan
formal dan nonformal serta masyarakat harus mengadakan banyak interaksi. Beberapa
komponen masyarakat yang bisa berlibat dalam proses belajar di satuan pendidikan formal
dan nonformal yaitu: orangtua, masyarakat (Nuh, 2010). Kehidupan sehari-hari di rumah dan
di masyarakat perlu juga mendapat perhatian dalam rangka pendidikan karakter. Banyak
manfaat yang bisa diperoleh oleh satuan pendidikan formal dan nonformal dari masyarakat
dan sebaliknya. Antara satuan pendidikan formal dan nonformal serta masyarakat harus
mengadakan banyak interaksi. Beberapa komponen masyarakat yang bisa berlibat dalam
proses belajar di satuan pendidikan formal dan nonformal yaitu: orangtua, masyarakat (Nuh,
2010). Kehidupan sehari-hari di rumah dan di masyarakat perlu juga mendapat perhatian
dalam rangka pendidikan karakter. Banyak manfaat yang bisa diperoleh oleh satuan
pendidikan formal dan nonformal dari masyarakat dan sebaliknya. Antara satuan pendidikan
formal dan nonformal serta masyarakat harus mengadakan banyak interaksi. Beberapa
komponen masyarakat yang bisa berlibat dalam proses belajar di satuan pendidikan formal
dan nonformal yaitu: orangtua, masyarakat (Nuh, 2010). Agar model pembelajaran nilai-nilai
karakter bisa berhasil dengan baik, dibutuhkan orang tua yang benar-benar menjadi pasangan
yang berkomitmen tinggi terhadap proses belajar anak-anak mereka. Orang tua adalah
pendidik di rumah. Oleh sebab itu, mereka harus menganut visi yang sama dengan satuan
pendidikan formal dan nonformal, demikian pula dengan tujuan satuan pendidikan formal dan
nonformal. Orangtua mesti setuju dengan tujuan satuan pendidikan formal dan nonformal
untuk menghasilkan anak-anak yang baik yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Satuan
pendidikan formal dan nonformal seyogianya memberikan pelatihan mengenai bagaimana
menjadi orang tua yang baik kepada semua ayah, ibu atau yang mengantar anak-anak ke
satuan pendidikan formal dan nonformal. Ketika peserta didik berada di rumah, orang tua
wajib meluangkan waktu bertemu bersama anak-anak mereka dan memberikan cinta kasih
dan kehangatan. Orang tua dan pendidik mesti mengadakan pertemuan reguer untuk
mendisuksikan masalah-masalah yang dihadapi peserta didik dan mesti membuat rencana
untuk membantu memecahkan masalah-masalah itu. Para orangtua harus berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan pada satuan pendidikan formal nonformal dan membagikan pengetahuan
dan pengalaman mereka kepada peserta didik dan pendidik (Nuh, 2011).
Selain itu, komunitas atau masyarakat sekitar memiliki peran penting dalam
pembentukan karakter anak. Satuan pendidikan formal dan nonformal harus dipandang
sebagai suatu sistem hidup yang terus-menerus tumbuh dan berkembang. Satuan pendidikan
formal dan nonformal juga sedang dalam proses belajar karena selalu ada interaksi antara
setiap orang di satuan pendidikan formal dan nonformal serta komunitasnya. Pendidik dan
peserta didik selalu berhubungan dengan orang tua dan kerabat mereka di masyarakat. Setiap
orang di satuan pendidikan formal dan nonformal termasuk semua staf sangat dipengaruhi
oleh tempat-tempat ibadah, komunitas pasar, perkantoran dan lain sebagainya. Sebagai bagian
dari pembelajaran, peserta didik harus belajar melayani komunitas atau masyarakat dalam
pengembangannya. Mereka mesti turut serta dalam kegiatan pelayanan yang diadakan di
tempat-tempat ibadah. Satuan pendidikan formal dan nonformal mesti membantu komunitas
untuk mengembangkan dan membantu pendidikan orang-orang dalam komunias. Ketika
komunitas tersebut menjadi sebuat komunitas belajar, satuan pendidikan formal dan
nonformal akan mendapatkan manfaat besar dari komunitas seperti ini (Nuh, 2010).
Dalam konteks ini, pendidikan karakter lebih ditekankan pada kegiatan internalisasi
dan pembentukan tingkah laku. Untuk kepentingan ini, tidak relevan jika menciptakan
kurikulum baru tentang pengembangan karakter. Yang relevan adalah lebih menekankan pada
penciptaan lingkungan dan tingkah laku. Dengan mengacu pada referensi pusat organisasi,
maka setiap satuan pendidikan formal dan nonformal diwajibkan untuk mempunyai statuta
yang di dalamnya dicantumkan secara eksplisit dan jelas tentang pengembangan karakater.
Dengan statuta tersebut, maka kegiatan pengembangan karakter dapat dituntun dan diketahui
oleh pengelola satuan pendidikan formal dan nonformal, baik oleh kepala maupun oleh
komite . Setiap statuta satuan pendidikan formal dan nonformal akan mencamntumkan nilai-
nilai dasar yang merupakan ciri khas karakter bangsa Indonesia, yang bersumbar dari nilai-
nilai agama maupun dari jiwa nasionalisme atau patriotisme. Nilai-nilai dasar tersebut adalah
jujur, bertanggung jawab, cerdas, kreatif, sehat dan bersih, peduli, serta gotong rotong. Nilai-
nilai yang substantif tersebut kemudian dikembangkan dalam satuan- satuan pendidikan
formal dan nonformal sesuai dan selaras dengan kearifan lokal atau nilai-nilai lokal setempat
dalam pola-pola yang lebih detail. Misalnya, cara menghormati atau cara bersopan santun
kepada orang lain, cara bertata krama, cara pendidik memberikan sanksi kepada murid, dan
sebagainya. Dalam hal ini, perhatian kepada peserta didik menjadi sangat penting sebab
mereka yang segera akan turun dalam dunia nyata yang berupa masyarakat. Nilai-nilai
semacam itu harus dilakukan berulang-ulang agar menjadi kebiasaan, dan kebiasaan inilah
yang akan menjadi budaya setempat. Untuk kepentingan ini maka tiap satuan pendidikan
formal dan nonformal, harus memiliki buku saku yang berupa pedoman ringkas sehingga
bersifat mengikat sebab disusun dengan kesepakaan bersama. Dengan demikian maka para
murid, para pendidik, para orang tua akan melakukan hal tersebut secara sinergis. Di setiap
satuan pendidikan formal dan nonformal akan adakode perilaku, manajemen tatakrama
(manner management) serta budaya organisasi yang diperlukan dalam peroses
pengambangan karakater tersebut (Nuh, 2010).
Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari
orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulia yang
dikembangkan di satuan pendidikan formal dan nonformal agar menjadi kegiatan keseharian
di rumah. Dalam hal ini, pendidikian karakter mulai terlihat apabila peserta didik sudah mulai
memperlihatkan adanya tanda-tanda awal perilaku dinyatakan dalam indikator, tetapi belum
konsisten biarpun sudah ada pemahaman, dan mendapat penguatan lingkungan terdekat. yang
dinyatakan dalam indikator, tetapi belum konsisten biarpun sudah ada pemahaman, dan
mendapat penguatan lingkungan terdekat (Nuh, 2010).
Ruang lingkup sasaran pembangunan karakter bangsa meliputi (Kemendiknas, 2010):
1. Lingkup Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil merupakan wahana pembinaan dan pengembangan karakter melalui
keteladanan tokoh dan pemimpin masyarakat serta berbagai kelompok masyarakat yang
tergabung dalam organisasi sosial kemasyarakatan sehingga nilai-nilai karakter dapat
diinternalisasi menjadi perilaku dan budaya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Lingkup Masyarakat Politik
Masyarakat politik merupakan wahana yang melibatkan warga negara dalam penyaluran
aspirasi dalam politik. Masyarakat politik merupakan suara representatif dari segenap elite
politik dan simpatisannya. Masyarakat politik memiliki nilai strategis dalam pembangunan
karakter bangsa karena semua partai politik memiliki dasar yang mengarah pada terwujudnya
upaya demokratisasi yang bermartabat.
Pendidikan karakter merupakan bagian dari upaya pembangunan kualitas sumber daya
manusia (SDM) Indonesia. Pembangunan SDM merupakan hal yang sangat penting, tidak
kalah dengan pembangunan di bidang lain. Kemajuan dan perkembangan pembangunan akan
berjalan timpang bahkan dapat menimbulkan masalah bila tidak didukung dengan SDM yang
berkualitas dan berkarakter. Pendidikan karakter merupakan bagian dari upaya pembangunan
kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Pembangunan SDM merupakan hal yang
sangat penting, tidak kalah dengan pembangunan di bidang lain. Kemajuan dan
perkembangan pembangunan akan berjalan timpang bahkan dapat menimbulkan masalah bila
tidak didukung dengan SDM yang berkualitas dan berkarakter.
Pendidikan karakter juga berorientasi kepada kemajuan kompetitif. Dalam perspektif
ekonomi, keberhasilan pembinaan karakter dapat mendorong lahirnya sumber daya manusia
yang produktif dan berkualitas yang pada gilirannya dapat mendongkrak tingkat kompetitif
negara
Sementara dalam perspektif pendidikan, sebuah proses pendidikan dianggap
menghadirkan dua hal, yaitu transfer dan transform. Tranfer berkaitkan dengan kapasitas
intelektual, sehingga menghasilkan kepandaian bagi peserta didik. Sedangkan transform
mengandung dimensi perubahan perilaku. Kombinasi dari transfer pengetahuan dan transform
perilaku ini menghasilkan kompetensi dan kreativitas. Maka dalam setiap proses pendidikan
karakter diharapkan terjadi transfer ilmu dan perubahan perilaku hingga menghasilkan
kompentensi dan kreativitas sesuai harapan (Dirjen Dikda, 2011)..
Tanamkan Karakter Universal
Karakter ada yang bersifat universal dan abadi, seperti nilai kejujuran dan disiplin
tetapi ada juga karakter yang mengikuti perkembangan zaman. Zaman telah berubah,
teknologi juga berkembang dan era global juga terbuka, siswa juga belajar dari perubahan-
perubahan itu.
Dalam konteks pendidikan karakter, seyogyanya siswa diarahkan memiliki karakter
yang abadi dan universal seperti kejujuran, kedisiplinan, menghargai pluralisme, mempunyai
empati dan simpati. Semua aspek ini akan sangat menunjang kesukseskan siswa kelak di masa
mendatang. Mana mungkin seseorang akan berhasil di dalam kehidupan jika setiap
berkomunikasi selalu menyakiti orang lain? Maka dari itu, untuk menggapai sukses, bermodal
kepandaian intelektual saja tidak cukup. Kepintaran hanya berkontribusi 20 persen dari
keberhasilan seseorang, selebihnya, 80 persen amat ditentukan oleh sederet potensi-potensi
yang berkait dengan karakter.
Dalam upaya merevitalisasi dan meningkatkan efektivitas pendidikan karakter, kita perlu
terus-menerus berupaya mencari metodologi dan strategi agar karakter bisa masuk dan
tertanam kuat dalam kepribadian anak-anak. Pendidikan karakter yang baik adalah yang
konsisten dan tidak kontradiktif. Anak-anak mengetahui, memahami, memercayai, kemudian
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku. Jangan sampai seperti yang jamak terjadi
selama ini, banyak orang yang tahu tetapi tetap melanggar; banyak orang tahu bahwa
merokok itu tidak sehat tetapi tetap mengisapnya, termasuk para dokter.
Pastinya pendidikan karakter tidak bisa diselesaikan oleh Kemdiknas sendiri, sebab ini
proyek super besar karena berkait dengan persoalan bangsa. Oleh karena itu Kemdiknas
terbuka terhadap masukan dan saran dari berbagai kalangan masyarakat. kita perlu terus-
menerus berupaya mencari metodologi dan strategi agar karakter bisa
masuk dan tertanam kuat dalam kepribadian anak-anak. Pendidikan
karakter yang baik adalah yang konsisten dan tidak kontradiktif (Dirjen
Dikda, 2011)..
Sinergi Sekolah dan Masyarakat
Secara umum kegiatan pendidikan karakter dapat dilaksanakan dalam empat ranah.
Pertama, pengembangan karakter melalui kegiatan belajar di dalam kelas. Ranah kedua,
memadukan pendidikan karakter dengan aktivitas ko-kurikuler yaitu kegiatan belajar di luar
kelas yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran, Ranah ketiga
ditautkan dengan kegiatan ektrakuriluler semisal pramuka, olahraga, dan karya tulis di
sekolah. Ranah keempat, pendidikan karakter melibatkan wali murid dan masyarakat sekitar
untuk ikut membangun pembiasaan yang selaras dengan yang dikembangkan di sekolah.
Namun harus diakui hingga kini sekolah pada umumnya masih dominan menggarap
pendidikan karakter di lingkungan kelas dan seputar halaman sekolah. Padahal pembudayaan
dan pembiasaan karakter, selain dikembangkan di dalam kelas harus dikembangkan melalui
budaya sekolah, kegiatan ko-kurikuler maupun ekstrakurikuler, serta dalam kegiatan
keseharian di rumah.
Tantangan ke depannya adalah bagaimana kegiatan pendidikan karakter yang sudah
mulai intensif dilaksanakan di sekolah-sekolah itu, juga mendapat proses penguatan
(reinforcement) dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Sehingga berbagai perilaku yang
dikembangkan di sekolah juga menjadi kegiatan keseharian siswa di rumah maupun di
lingkungan masyarakat masing-masing.
Pendidikan karakter setidaknya dapat dilaksanakan melalui dua cara yaitu melalui
proses intervensi dan pembiasaan (habituasi). Proses intervensi dikembangkan dan
dilaksanakan melalui kegiatan belajar mengajar yang sengaja dirancang untuk mencapai
tujuan pembentukan karakter dengan menerapkan berbagai kegiatan terstruktur. Dalam proses
pembelajaran tersebut guru sebagai pendidik yang mencerdaskan dan mendewasakan dan
sekaligus sebagai sosok panutan.
Sementara itu, lewat proses pembiasaan diciptakan dan ditumbuhkembangkan aneka
situasi dan kondisi yang berisi aneka penguatan yang memungkinkan siswa di sekolah, di
rumah, dan di lingkungan masyarakatnya membiasakan diri berperilaku sesuai nilai yang
diharapkan.
Siswa juga didorong untuk menjadikan perangkat nilai yang telah diinternalisasi dan
dipersonalisasi melalui proses olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa dan karsa itu
sebagai karakter atau watak. Inilah proses pembudayaan dan pemberdayaan nilai yang
dikembangkan secara sistemik, holistik, dan dinamis.
Tantangan kita adalah mengolah pendidikan karakter ini agar masuk ke sanubari anak-
anak sehingga mereka menjunjung tinggi dan menerapkan empat pilar bangsa, yaitu
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika.
Hal tersebut tentu membutuhkan kesungguhan, kerja keras, dan proses panjang untuk
mewujudkannya. Harapannya, di masa mendatang, kita sebagai orang tua dan warga bangsa
bisa duduk tenang bahkan berbangga, manakala menyaksikan tampilnya generasi penerus
yang berkarakter kuat dan sanggup menghadapi tantangan zaman mengharumkan nama
bangsa (Dirjen Dikdas, 2011).