pendekatan model time series untuk pemodelan...
TRANSCRIPT
1
PENDEKATAN MODEL TIME SERIES UNTUK PEMODELAN
INFLASI BEBERAPA KOTA DI JAWA TENGAH
Tri Mulyaningsih 1)
, Budi Nurani R 2)
, Soemartini 3)
1)
Mahasiswa Program Magister Statistika Terapan Universitas Padjadjaran 2)
Staf Pengajar Jurusan Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran 3)
Staf Pengajar Statistika Jurusan FMIPA Universitas Padjadjaran
Jl.Dipati Ukur No 35 Bandung
Email : 1)
Abstrak
Perkembangan inflasi di Jawa Tengah dipantau melalui perkembangan perekonomian di beberapa
kota, diantaranya Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal. Inflasi dapat
dipengaruhi oleh jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat di kota yang bersangkutan. Oleh
karena itu, dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa, setiap kota membutuhkan kota di sekitarnya untuk
menyediakan komoditas yang tidak dapat dipenuhi oleh kota tersebut. Hal ini menimbulkan ketergantungan
antar kota dalam pemenuhan kebutuhan komoditas. Dengan demikian pergerakan inflasi di Jawa Tengah
selain memiliki keterkaitan dengan waktu sebelumnya, juga memiliki keterkaitan antara satu kota dengan
kota lainnya yang disebut dengan hubungan spasial.
Model GSTAR merupakan generalisasi dari model Space Time Autoregressive (STAR) yang juga
merupakan spesifikasi dari model Vector Autoregressive (VAR). Perbedaan yang mendasar antara model
GSTAR dan model STAR terletak pada pengasumsian parameternya. Model STAR mengasumsikan lokasi-
lokasi yang digunakan dalam penelitian adalah homogen, sehingga model ini hanya dapat diterapkan pada lokasi
yang bersifat seragam. Sedangkan pada model GSTAR terdapat asumsi yang menyatakan lokasi-lokasi
penelitian yang bersifat heterogen, sehingga perbedaan antar lokasi ini ditunjukkan dalam bentuk matriks
pembobot. Oleh karena itu, model ini cocok digunakan untuk data inflasi yang stasioner dengan karakteristik
lokasi yang heterogen.
Nilai orde VAR yang diperoleh adalah model VAR(5). Hal ini terlihat dari Nilai Akaike’s Information
Criterion terkecil yang diperoleh pada AR(5) dan MA (0). Orde yang didapatkan dari model VAR(5)
digunakan sebagai orde pada model GSTAR. Sehingga model GSTAR yang terbentuk adalah GSTAR (1: 5).
Kata Kunci : Generalized Space Time Autoregressive, Inflasi, Vector Autoregressive
I. PENDAHULUAN
Kehidupan perekonomian suatu negara tidak terlepas dari masalah ekonomi makro,
antara lain : pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, kestabilan kegiatan ekonomi
serta neraca perdagangan dan neraca pembayaran (Sukirno, 2012). Salah satu masalah
ekonomi yang tidak dapat diabaikan oleh suatu negara adalah inflasi, karena dapat
menimbulkan dampak bagi ketidakstabilan kegiatan perekonomian negara tersebut.
Inflasi adalah salah satu indikator ekonomi makro yang sangat penting bagi
pemerintah dan dunia usaha. Adanya kenaikan harga yang tercermin pada angka inflasi
merupakan salah satu indikator yang menggambarkan stabilitas ekonomi secara makro di
suatu wilayah (Rosidi dan Sugiharto, 2005). Tingkat inflasi yang tinggi akan
mempengaruhi stabilitas dunia usaha serta melemahkan daya beli masyarakat suatu daerah.
Peramalan tingkat inflasi diperlukan untuk mengetahui kisaran nilai inflasi periode yang
2
akan datang yang akan digunakan dalam perumusan berbagai kebijakan terkait kestabilan
harga di waktu yang akan datang. Selain itu, perubahan harga di suatu wilayah cenderung
akan berdampak pada harga-harga di daerah di sekitar wilayah tersebut.
Perkembangan inflasi di Jawa Tengah dipantau melalui perkembangan
perekonomian di beberapa kota, diantaranya Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota
Semarang dan Kota Tegal. Inflasi dapat dipengaruhi oleh jumlah barang dan jasa yang
dikonsumsi oleh masyarakat di kota yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam memenuhi
kebutuhan barang dan jasa, setiap kota membutuhkan kota di sekitarnya untuk
menyediakan komoditas yang tidak dapat dipenuhi oleh kota tersebut. Hal ini
menimbulkan ketergantungan antar kota dalam pemenuhan kebutuhan komoditas. Dengan
demikian pergerakan inflasi di Jawa Tengah selain memiliki keterkaitan dengan waktu
sebelumnya, juga memiliki keterkaitan antara satu kota dengan kota lainnya yang disebut
dengan hubungan spasial.
Salah satu model peramalan yang populer dan banyak diterapkan untuk peramalan
data time series yang mengandung unsur waktu dan lokasi yaitu model space time. Model
space time dikembangkan oleh Pfeifer dan Deutsch yang mengadopsi tahapan-tahapan
yang dikembangkan oleh Box-Jenkins (1976) untuk pemodelan ARIMA, yang mencakup
tentang identifikasi, estimasi, dan uji diagnostik ke dalam pemodelan STARIMA (Space
Time Autoregressive Integrated Moving Average). Model Space Time Autoregressive (STAR)
merupakan gabungan model Autoregressive orde p, AR(p) dari Box-Jenkins dan model
spasial yang melibatkan bobot antar lokasi, sedangkan untuk penaksiran parameter model
STAR dapat dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square dengan cara
meminimumkan jumlah kuadrat galatnya.
Model STAR ini masih mempunyai kelemahan pada fleksibilitas parameter yang
mengasumsikan bahwa lokasi-lokasi yang diteliti memiliki karakteristik yang seragam
(homogen). Kelemahan dari metode STAR telah direvisi dan dikembangkan oleh
Borovkova, Lopuhaa dan Ruchjana (2002) melalui suatu model yang dikenal dengan
model GSTAR (Generalized Space Time Autoregressive).
Model GSTAR merupakan generalisasi dari model Space Time Autoregressive
(STAR) yang juga merupakan spesifikasi dari model Vector Autoregressive (VAR).
Perbedaan yang mendasar antara model GSTAR dan model STAR terletak pada
pengasumsian parameternya. Model STAR mengasumsikan lokasi-lokasi yang digunakan
dalam penelitian adalah sama, sehingga model ini hanya dapat diterapkan pada lokasi yang
bersifat seragam. Sedangkan pada model GSTAR terdapat asumsi yang menyatakan lokasi-
3
lokasi penelitian yang bersifat heterogen, sehingga perbedaan antar lokasi ini ditunjukkan
dalam bentuk matriks pembobot. Oleh karena itu, model ini cocok digunakan untuk data
inflasi yang stasioner dengan karakteristik lokasi yang heterogen.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memodelkan dan meramalkan inflasi beberapa
kota di Jawa Tengah, yaitu Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota
Tegal yang mempunyai keterkaitan dengan waktu sebelumnya dan keterkaitan dengan
kota lain yang saling berdekatan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Multivariate time series merupakan deret waktu yang terdiri dari beberapa variabel
yang pada umumnya digunakan untuk memodelkan dan menjelaskan interaksi serta
pergerakan diantara sejumlah variabel time series. Pada model multivariate, peramalan
data dilakukan dengan menambahkan variabel lain yang mempunyai hubungan jangka
panjang untuk mendapatkan keakuratan peramalan.
Sama halnya dengan univariate time series, untuk identifikasi pada model
multivariate time series juga dapat dilihat dari pola atau matriks fungsi korelasi (MACF)
dan matriks fungsi korelasi parsial (MPACF) setelah data stasioner (Wei, 2006).
2.1 Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)
Asumsi dasar yang digunakan dalam pembahasan proses time series ARIMA
adalah proses yang stasioner. Walaupun demikian, banyak proses yang bersifat
nonstasioner. Upaya yang dilakukan pakar ekonometrika untuk menstasionerkan proses
pembentukan data yang tidak stasioner adalah dengan melakukan perbedaan tingkat
pertama, kedua, dan seterusnya. Contoh perbedaan tingkat pertama (first difference) adalah
:𝑊𝑡 = 𝑊𝑡 − 𝑊𝑡−1
Hasil dari setiap perbedaan yang dilakukan seperti di atas disebut proses yang
terintegrasi (integrated processed). Sedangkan orde dari proses untuk mendapatkan time
series yang stasioner ditentukan oleh banyaknya perbedaan (differencing) yang dilakukan.
Jika 𝑍 𝑡 adalah suatu runtun waktu yang sudah dibuat stasioner dengan differencing satu
kali, atau lebih dari suatu runtun waktu yang asli (tidak stasioner), 𝑊𝑡 maka 𝑍 𝑡 bisa
dipresentasikan dengan model ARMA (p, q) atau model ARIMA (p, d, q). sedangkan
untuk membuat data stasioner dalam varians dapat dilakukan proses transformasi
dengan metode Box-Cox. Pendekatan Box-Jenkins digunakan untuk mengobservasi orde
dari proses AR (p), MA (q), dan ARIMA (p, d, q). Dengan kata lain perlu mengidentifikasi
4
masing-masing nilai p, d dan q. Untuk mengobservasi model ARIMA secara penuh
diperlukan tiga tahap, yaitu: identifikasi, estimasi, dan uji diagnostik. Kemudian jika nilai
p, d dan q tersebut sudah didapat, peramalan (forecasting) dapat dilakukan.
Secara umum model-model ARIMA (stasioner) dapat dibagi menjadi tiga model,
yaitu :
1. Model Autoregressive → AR (p)
𝑍 𝑡 = 𝜙1𝑍 𝑡−1 + 𝜙2𝑍 𝑡−2 + ⋯ + 𝜙𝑝𝑍 𝑡−𝑝 + 𝑎𝑡
2. Model Moving Average →MA (q)
𝑍 𝑡 = 𝑎𝑡 − 𝜃1𝑎𝑡−1 − 𝜃2𝑎𝑡−2 − ⋯− 𝜃𝑞𝑎𝑡−𝑞
3. Model Autoregressive Moving Average ARMA (p, q)
𝑍 𝑡 = 𝑍 𝑡 = 𝜙1𝑍 𝑡−1 + 𝜙2𝑍 𝑡−2 + ⋯ + 𝜙𝑝𝑍 𝑡−𝑝 + 𝑎𝑡𝑎𝑡 − 𝜃1𝑎𝑡−1
− 𝜃2𝑎𝑡−2 − ⋯− 𝜃𝑞𝑎𝑡−𝑞
dengan:
Z t : besarnya pengamatan (kejadian) pada waktu ke-t
𝑍 : 𝑍𝑡 − 𝜇
𝑎𝑡 : suatu “white noise process” atau error pada waktu ke-t yang diasumsikan mempunyai
mean 0 dan varians konstan 𝜎𝛼2 .
Model ARIMA (non-stasioner) jika ada orde d (misal : 1, 2), dengan bentuk umum adalah:
1 − 𝜙1𝐵 − ⋯− 𝜙𝑝𝐵𝑝 1 − 𝐵 𝑑𝑍 𝑡 = 1 − 𝜃1𝐵 − ⋯− 𝜃𝑞𝐵
𝑞 𝑎𝑡
Sebagai contoh, jika 𝑍𝑡 mengikuti model ARIMA (1,1,0) maka secara matematik 𝑍𝑡 mengikuti:
1 − 𝜙1𝐵 1 − 𝐵 𝑑𝑍 𝑡 = 𝑎𝑡
1 − 1 + 𝜙1 𝐵 + 𝜙1𝐵2 𝑍 𝑡 = 𝑎𝑡
𝑍 𝑡 = 1 + 𝜙1 𝑍 𝑡−1 + 𝜙1𝑍 𝑡−2 + 𝑎𝑡
2.2 Model Vector Autoregressive (VAR)
Model VAR adalah suatu pendekatan peramalan kuantitatif yang biasanya diterapkan
pada data multivariate time series. Model ini menjelaskan keterkaitan antar pengamatan
pada variabel tertentu pada suatu waktu dan pengamatan pada variabel itu sendiri pada
waktu-waktu sebelumnya, dan juga keterkaitannya dengan pengamatan pada variabel lain
pada waktu-waktu sebelumnya.
Jika diberikan zi(t) dengan , T = {1, 2,…,T) dan i = {1,2,…,N} merupakan
indeks parameter waktu dan variabel (misalkan berupa lokasi yang berbeda atau jenis
produk yang berbeda) yang terhitung dan terbatas, maka model VARMA secara umum
dapat dinyatakan sebagai berikut (Wei, 2006) :
p qB t B tΦ Z Θ e
Tt
5
dengan Z(t) adalah vektor deret waktu multivariate yang terkoreksi nilai rata-ratanya, Φp
(B) dan Θq(B) berturut-turut adalah suatu matriks autoregressive dan moving average
polynomial orde p dan q.
2.3 Model Space Time Autoregressive (STAR)
Model STAR merupakan suatu model yang dikategorikan berdasarkan lag yang
berpengaruh secara linier baik dalam lokasi maupun waktu (Pfeifer dan Deutsch 1980a).
Model STAR (1:p) dirumuskan sebagai berikut:
Z𝑡 = 𝜙𝑘0W(𝑙)Z𝑡−𝑘 + 𝜙𝑘𝑙 W(𝑙)Z𝑡−𝑘 + e𝑡
𝑝
𝑘=1
(2.16)
dengan:
Z𝑡 : vektor acak ukuran (n x 1) ada waktu t
𝜙𝑘𝑙 : parameter STAR pada lag waktu k dan lag spasial l
W(𝑙): matriks bobot ukuran (n x n) pada lag spasial l (dimana l = 0,1,…)
2.4 Model Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR)
Menurut Pfeifer dan Deutsch (1980a), model STAR merupakan model yang
dikategorikan berdasar lag yang berpengaruh secara linier baik dalam lokasi dan waktu.
Model GSTAR merupakan suatu model yang cenderung lebih fleksibel dibandingkan
model STAR. Secara matematis, notasi dari model GSTAR(1: p) adalah sama dengan
model STAR(1: p). Perbedaan utama dari model GSTAR(1: p) ini terletak pada nilai-nilai
parameter pada lag spasial yang sama diperbolehkan berlainan. Sedangkan pada model
STAR pada parameter autoregresive diasumsikan sama pada seluruh lokasi. Dalam notasi
matriks, model GSTAR(1: p) dapat ditulis sebagai berikut:
𝐙𝑡 = 𝚽𝑘0 + 𝚽𝑘1𝐖
𝑝
𝑘=1
𝐙𝑡−𝑘 + 𝐞𝑡
(2.17)
dengan: 𝚽𝑘0 = 𝑑𝑖𝑎𝑔 𝜙𝑘01 , … , 𝜙𝑘0
𝑛 dan : 𝚽𝑘1 = 𝑑𝑖𝑎𝑔 𝜙𝑘11 , … , 𝜙𝑘1
𝑛
pembobot 𝐖𝑖𝑖 = 0 dan 𝐖𝑖𝑗𝑖≠𝑗 = 1
𝐞𝑡 ~ 𝑁(0, 𝜎2𝐼𝑁) untuk i = 1,2,…,n
Penaksir parameter model GSTAR dapat dilakukan dengan menggunakan metode
kuadrat terkecil dengan cara meminimumkan jumlah kuadrat galat.
Dalam mengidentifikasi orde model GSTAR, orde spasial pada umumnya dibatasi
pada orde 1 karena orde yang lebih tinggi akan sulit untuk diinterpretasikan. Sedangkan
6
untuk orde waktu (autoregressive) dapat ditentukan dengan menggunakan AIC (Akaike’s
Information Criterion).
III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif data inflasi bulanan di Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota
Semarang dan Kota Tegal dari bulan Januari 2006 sampai dengan bulan Desember 2012
dijelaskan menggunakan statistika deskriptif dan plot time series. Statistik deskriptif
digunakan untuk mengetahui rata-rata (mean), minimum, maksimum, standar deviasi,
skewness, dan kurtosis, dari data inflasi di empat lokasi kota tersebut.
Tabel 3.1 Deskriptif Data Inflasi Empat Kota di Jawa Tengah
Tabel 3.1 menjelaskan bahwa rata-rata data inflasi yang terjadi di Kota Purwokerto,
Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal berturut-turut adalah 0.5280, 0.4156,
0.5182 dan 0.5437. Rata-rata keempat lokasi tersebut tidak berbeda jauh dan tertinggi
terjadi di Kota Tegal (0.5437).
Sedangkan nilai varians tertinggi pada data inflasi Kota Purwokerto yaitu 0.3963. Nilai
varians menunjukkan tingkat keragaman data inflasi di empat lokasi tersebut. Tingkat
keragaman dan persebaran data juga dapat dilihat pada nilai skewness dan kurtosis dari
data inflasi keempat lokasi tersebut.
Tabel 3.2 Nilai Korelasi Data Inflasi dari Keempat Lokasi
Purwokerto Surakarta Semarang
Surakarta
0.734
0.000
Semarang
0.758
0.000
0.762
0.000
Tegal 0.597
0.000
0.688
0.000
0.682
0.000
Nilai korelasi pada Tabel 3.2 menunjukkan bahwa keempat lokasi memiliki keterkaitan
pada waktu yang sama. Keempat lokasi tersebut saling berkorelasi yang ditunjukkan dari
Variabel Mean StDev Varians Minimum Maksimum Skewness Kurtosis
Purwokerto 0.5280 0.6296 0.3963 -0.5700 2.7500 1.29 2.85
Surakarta 0.4156 0.6028 0.3634 -0.8000 2.4400 0.96 1.53
Semarang 0.5182 0.5258 0.2764 -0.5400 2.4000 0.84 1.46
Tegal 0.5437 0.6056 0.3667 -0.5200 2.3000 0.98 0.72
7
nilai signifikansi lebih kecil dari α=0.05. Nilai korelasi terbesar antara Kota Semarang dan
Kota Surakarta yaitu 0.762. Sedangkan untuk plot time series untuk data inflasi empat kota
di Jawa Tengah adalah sebagai berikut :
Gambar 3.1 Plot Time Series Data Inflasi Empat Kota di Jawa Tengah
Gambar 3.1 menunjukkan bahwa pergerakan data inflasi dari empat lokasi tersebut
cenderung sama. Data inflasi Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota
Tegal pada bulan Juli 2013 tinggi. Hal ini diakibatkan karena adanya kenaikan harga BBM
yang mencapai sekitar 2.3 persen. Inflasi Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota
Semarang dan Kota Tegal pada bulan Juli 2013 mencapai 2.84, 3.91, 3.50 dan 2.38 persen.
Setelah itu, data inflasi dari keempat lokasi cenderung stabil kembali.
3.2 Model ARIMA (Box Jenkin’s)
Plot ACF dan PACF data inflasi Kota Purwokerto menunjukkan beberapa
kemungkinan orde ARIMA terbaik diantaranya ARIMA(0,0,1), ARIMA(1,0,0),
ARIMA(2,0,0) dan ARIMA( 1,2 ,0,0). Data inflasi Kota Surakarta menunjukkan beberapa
kemungkinan model ARIMA diantaranya ARIMA(0,0,1), ARIMA(1,0,0), ARIMA(2,0,0)
dan ARIMA( 1,2 ,0,0). Model ARIMA yang dapat diduga menjadi model untuk inflasi
Kota Semarang antara lain ARIMA(0,0,1) dan ARIMA(1,0,0). Sedangkan data inflasi Kota
Tegal menunjukkan kemungkinan model ARIMA(12,0,0).
Gambar 3.2 Plot ACF dan PACF Inflasi Kota Purwokerto
2018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Auto
corr
elat
ion
Autocorrelation Function for Purw(with 5% significance limits for the autocorrelations)
2018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Part
ial A
utoc
orre
latio
n
Partial Autocorrelation Function for Purw(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
80726456484032241681
3
2
1
0
-1
Index
Pu
rw
oke
rto
Time Series Plot of Purwokerto
80726456484032241681
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
Index
Su
ra
ka
rta
Time Series Plot of Surakarta
80726456484032241681
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
-0.5
Index
Te
ga
l
Time Series Plot of Tegal
80726456484032241681
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
-0.5
Index
Se
ma
ra
ng
Time Series Plot of Semarang
8
Gambar 3.3. Plot ACF dan PACF Inflasi Kota Surakarta
Gambar 3. 4 Plot ACF dan PACF Inflasi Kota Semarang
Gambar 3.5 Plot ACF dan PACF Inflasi Kota Tegal
3.3 Model Vector Autoregressive (VAR)
Identifikasi merupakan tahapan awal dalam pemodelan VAR terhadap data inflasi
dari empat lokasi, yaitu Kota Purwokerto, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal.
Tahap identifikasi ini bertujuan untuk mengetahui kestasioneran data yang digunakan
melalui DF Test dan Plot MCCF. Hasil DF Test menunjukkan bahwa data telah stasioner
karena nilai p-value lebih kecil dari 𝜶 (0,05) baik untuk empat lokasi tersebut. Sedangkan
pengamatan visual melalui plot MCCF ditunjukkan sebagai berikut :
Schematic Representation of Cross Correlations Variable/
Lag 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 y1 ++++ +.++ .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... y2 ++++ +++. .... .... .... .... .... .... .... .... ..-. .... .... y3 ++++ +.+. .... .... +... .+.. .... .... .... .... .... .... .... y4 ++++ +++. .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... ...+ + is > 2*std error, - is < -2*std error, . is between
Gambar 3.6 Plot MCCF Data Inflasi di Empat Lokasi
2018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Auto
corr
elatio
nAutocorrelation Function for Sur
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
2018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Part
ial A
utoc
orre
latio
n
Partial Autocorrelation Function for Sur(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
2018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Aut
ocor
rela
tion
Autocorrelation Function for Smg(with 5% significance limits for the autocorrelations)
2018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Part
ial A
utoc
orre
latio
n
Partial Autocorrelation Function for Smg(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
2018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Aut
ocor
rela
tion
Autocorrelation Function for Tegal(with 5% significance limits for the autocorrelations)
2018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Part
ial A
utoc
orre
latio
n
Partial Autocorrelation Function for Tegal(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
9
Gambar 3.6 menunjukkan bahwa data di empat lokasi telah stasioner karena tanda
titik (.) lebih banyak daripada tanda (+) dan (-).
Schematic Representation of Partial Cross Correlations Variable/ Lag 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 y1 .... -... +... ..-. .... .... .... .... .... .... ..-. .... y2 ..+. .-.. .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... y3 .... .... .+.. +... .+.. .... .... .... .... .... .... .... y4 .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... +... .... + is > 2*std error, - is < -2*std error, . is between
Gambar 3.7 Plot MPCCF Data Inflasi di Empat Lokasi
Setelah data stasioner, langkah selanjutnya adalah menentukan orde VAR melalui
plot MPCCF dan nilai Akaike’s Information Criterion (AIC) dari data yang telah stasioner.
Nilai AIC yang dilihat adalah nilai AIC yang terkecil. Plot MPCCF dan nilai AIC
ditampilkan pada Gambar 3.7 dan Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Nilai AIC model VAR
Minimum Information Criterion Lag MA 0 MA 1 MA 2 MA 3 MA 4 MA 5 AR 0 -6.466759 -6.117883 -6.069383 -5.923262 -5.954477 -5.829968 AR 1 -7.080025 -6.779898 -6.647798 -6.615466 -6.653975 -6.322366 AR 2 -7.101651 -6.919923 -6.57589 -6.427361 -6.218947 -5.927578 AR 3 -7.155183 -6.846704 -6.543945 -6.178326 -5.745273 -5.389189 AR 4 -7.215531 -6.73418 -6.17386 -5.639767 -5.024096 -4.53698 AR 5 -7.081959 -6.639217 -6.107487 -5.412928 -4.702854 -3.492538
Nilai orde VAR yang diperoleh adalah model VAR(5). Hal ini terlihat dari Nilai
Akaike’s Information Criterion terkecil yang diperoleh pada AR(5) dan MA (0).
Penaksiran parameter model VAR (5) menghasilkan 16 parameter seperti yang
terlihat pada tabel 3.4 sebagai berikut :
Tabel 3.4 Penaksiran Parameter Model VAR(5)
Lokasi Parameter Estimasi Standar Error t-value p-value variabel
Purwokerto
𝒁𝟏(𝒕)
𝜙11 -0.04977 0.17313 -0.29 0.7745 𝑍1(𝑡 − 1)
𝜙12 0.31371 0.19984 1.57 0.1205 𝑍2(𝑡 − 1)
𝜙13
𝜙14
0.36791
0.10230
0.21598
0.15321
1.70
0.67
0.0924
0.5062 𝑍3(𝑡 − 1)
𝑍4(𝑡 − 1)
Surakarta
𝒁𝟐 (𝒕) 𝜙21
𝜙22
𝜙23
𝜙24
0.01946
0.39878
-0.00364
0.15673
0.16444
0.18981
0.20514
0.14552
0.12
2.10
-0.02
1.08
0.9061
0.0388
0.9859
0.2847
𝑍1(𝑡 − 1)
𝑍2(𝑡 − 1)
𝑍3(𝑡 − 1)
𝑍4(𝑡 − 1)
Semarang
𝒁𝟑(𝒕)
𝜙31
𝜙32
𝜙33
0.09668
0.30873
0.16954
0.15418
0.17797
0.19235
0.63
1.73
0.88
0.5324
0.0867
0.3808
𝑍1(𝑡 − 1)
𝑍2(𝑡 − 1)
𝑍3(𝑡 − 1)
𝜙34 0.14362 0.13644 1.05 0.2957 𝑍4(𝑡 − 1)
Tegal
𝒁𝟒(𝒕)
𝜙41 0.39231 0.19549 2.01 0.0482 𝑍1(𝑡 − 1)
𝜙42 -0.02059 0.22565 -0.09 0.9275 𝑍2(𝑡 − 1)
𝜙43 0.16750 0.24388 0.69 0.4942 𝑍3(𝑡 − 1)
𝜙44 0.04288 0.17300 0.25 0.8049 𝑍4(𝑡 − 1)
10
Berdasarkan Tabel di atas, taksiran parameter model VAR dapat ditulis dalam
persamaan matriks sebagai berikut :
𝑍 1(𝑡)
𝑍 2(𝑡
𝑍 3(𝑡
𝑍 4(𝑡
=
−0.04977 0.31371 0.36791 0.10230
0.01946 0.39878 −0.00364 0.156730.09668
0.39231
0.30873
−0.02059
0.16954
0.16750
0,14362
0.04288
𝑍1 𝑡 − 1
𝑍2 𝑡 − 1
𝑍3 𝑡 − 1
𝑍4 𝑡 − 1
Persamaan matriks tersebut dapat dijabarkan menjadi model VAR untuk masing-masing
lokasi. Berikut persamaan model VAR(5) untuk data inflasi Kota Purwokerto, Kota
Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal :
Purwokerto : 𝑍 1(𝑡) = −0.04977𝑍1 𝑡 − 1 + 0.31371𝑍2 𝑡 − 1 + 0.36791𝑍3 𝑡 − 1 −
0.10230𝑍4 𝑡 − 1
Surakarta : 𝑍 2 𝑡 = 0.01946𝑍1 𝑡 − 1 + 0.39878𝑍2 𝑡 − 1 − 0.00364𝑍3 𝑡 − 1 +
0.15673 𝑍4 𝑡 − 1
Semarang : 𝑍 3(𝑡) = 0.09668𝑍1 𝑡 − 1 + 0.30873𝑍2 𝑡 − 1 + 0.16954𝑍3 𝑡 − 1 +
0.14362 𝑍4 𝑡 − 1
Tegal : 𝑍 4 𝑡 = 0.39231𝑍1 𝑡 − 1 − 0.02059𝑍2 𝑡 − 1 + 0.16750𝑍3 𝑡 − 1 −
0.04288 𝑍4 𝑡 − 1
Persamaan model VAR untuk inflasi Purwokerto dipengaruhi oleh inflasi Kota Purwokerto
itu sendiri, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal satu bulan sebelumnya. Begitu
juga untuk inflasi Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Tegal.
3.3.1 Uji Asumsi White Noise Residual Model VAR(5)
Setelah mendapatkan parameter dan model yang signifikan, maka langkah
selanjutnya adalah pengujian asumsi apakah residual memenuhi asumsi white noise. Jika
letak nilai AIC terdapat pada lag AR(0) dan MA(0), maka residual dapat dikatakan sudah
memenuhi asumsi white noise.
Schematic Representation of Cross Correlations of Residuals Variable/ Lag 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 y1 ++++ .... --.. .... .... .... .... .... .... .... .... .... +..+ y2 ++++ .... .-.. -... .... .... .... .... .... .... .... .... .... y3 ++++ .... .-.. .... .... .+.. .... .... .... .... .... .... .... y4 ++++ .... .-.. -... .... .... .... .... .... .... .... .... .... + is > 2*std error, - is < -2*std error, . is between
Gambar 3.8 Plot Cross Correlations of Residuals
Gambar 3.8 menunjukkan bahwa tanda positif lebih banyak yang muncul pada lag
(0), hal ini berarti residual sudah memenuhi asumsi white noise.
11
3.4 Model Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR)
Pemodelan menggunakan GSTAR merupakan pemodelan untuk data time series
yang memperhatikan faktor lokasi. Faktor lokasi ini ditunjukkan dengan adanya pemberian
pembobot pada masing-masing lokasi. Pembobot yang digunakan adalah bobot seragam.
Matriks pembobotnya adalah sebagai berikut :
𝑤𝑖𝑗 =
0
1
2
1
2
1
21
20
1
2
1
21
2
1
20
1
21
2
1
2
1
20
Sedangkan orde time yang digunakan dalam GSTAR sama dengan orde model VAR.
Untuk orde spasialnya dibatasi hanya pada orde 1, sehingga model yang digunakan adalah
model GSTAR (1;5). Model VAR(5) mempunyai 16 parameter, sedangkan model
GSTAR(1:5) mempunyai 8 parameter saja, jadi model GSTAR(1:5) lebih efisien jika
dibandingkan model VAR(5).
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Tingkat inflasi di suatu wilayah di suatu wilayah cenderung akan berdampak pada
harga-harga di daerah di sekitar wilayah tersebut, sehingga pemodelan inflasi dengan
memperhatikan dampak kedekatan lokasi memiliki tingkat akurasi yang lebih baik
dibandingkan pemodelan dengan model ARIMA Box Jenkin’s.
2. Orde yang didapatkan dari model VAR(5) digunakan sebagai orde pada model GSTAR,
sehingga model GSTAR yang terbentuk adalah GSTAR (1: 5).
3. Model GSTAR(1:5) lebih efisien dibandingkan model VAR(5) karena model VAR(5)
mempunyai 16 parameter, sedangkan model GSTAR(1:5) hanya mempunyai 8
parameter saja.
DAFTAR PUSTAKA
Nurani, B. 2002. Pemodelan Kurva Produksi Minyak Bumi Menggunakan Model
Generalisasi STAR. Jurnal Forum Statistika dan Komputasi. IPB, Bogor.
Pfeifer, P.E dan Deutsch, S.J. 1980a. A Three Stage Iterative Procedure for Space Time
Modelling. Technometrics, 22 (1), 35-47.
12
, 1980b. Identification and Interpretation of First Orde Space-Time ARMA
Models. Technometrics, 22 (1), 397-408.
Ruchjana, B.N, Borovkova, S.A and Lopuhaa, H.P(2012). Least Squares Estimation of
Generalized Space Time AutoRegressive (GSTAR) Model and Its Properties, The
5th
International Conference on Research and Education in Mathematics, AIP
Conf. Proc.1450, 61-64.
Suhartono dan Atok, R.M. (2006). Pemilihan Bobot Lokasi yang Optimal pada Model
GSTAR, Prosiding Konferensi Nasional Matematika XIII, Universitas Negeri
Semarang, 24-27 Juli 2006, hal. 571-580. (ISBN : 979-704-457-2).
Wei, W.W.S. 2006. Time Series Analysis: Univariate and Multivariate Methods. Canada :
Addison-Wesley Publishing Co.