penciptaan alam menurut imam al...
TRANSCRIPT
PENCIPTAAN ALAM MENURUT IMAM AL-GHAZÂLÎ
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk memenuhi
Persyaratan Meraih Gelar
Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Cici Zulaika
NIM: 1113033100075
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M
iv
ABSTRAK
Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran salah satu pemikir
dari belahan timur, yang mana pada masanya ia dikenal sebagai Hujjatul Islam,
karena kecerdasan yang ia punya dalam pembelaan terhadp Islam, tidak hanya itu
ia juga dikenal sebagai pemikir Muslim yang hidup pada bagian akhir dari zaman
keemasan pada masa khilafat Abbasiah yang berpusat di Baghdad, yaitu Abu
Hamid Al-Ghazâlî ( 450-505 H / 1058-1111 M ).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis,
sementara tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah library research
dengan menggunakan sumber primer karya Imam al-Ghazâlî, selain itu akan
dikomparasikan dengan referensi yang menunjang lainnya.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa alam itu adalah baru, dan setiap
yang baru pasti memiliki kesudahan. Karena alam itu baru, maka yang baru itu
diciptakan oleh yang Maha Pencipta, yaitu Tuhan. Sesuatu yang diciptakan tidak
dapat berkehendak sendiri, ataupun mengakibatkan sesuatu yang lain dari dirinya,
jika bukan Tuhan yang menghendaki. Karena adanya kekuatan pada suatu yang
tercipta, tidak lain dan tidak bukan semua itu berasal dari Tuhan, maupun
kehendak Tuhan. Maka dari itu, kenapa Tuhan baru memunculkan alam dan tidak
pada saat dahulu saat bersamanya, itu semua adalah karena kehendak Tuhan. Ia
berhak memunculkan sesuatu kapan saja Dia mau. Serta dengan kehendak itulah,
menunjukkan bahwa Ia adalah Sang Maha Agung, tidak ada yang dapat
mengaturnya. Namun kehendak Tuhan disini tidaklah sama dengan kehendak
manusia pada umumnya. Adapun perdebatan yang para filosof dan Imam al-
Ghazali perdebatkan sebenarnya adalah berpokok pada masalah waktu. Yakni
kapan sejatinya alam itu terjadi? Jika para filsosof menjawab bahwa penciptaan
ini telah ada sejak dahulu, dan adanya bersamaan dengan Tuhan, sehingga adanya
waktu muncul setelah terciptanya alam. Maka Imam Al-Ghazâlî menyatakan
bahwa penciptaan alam ini bermula setelah adanya waktu, yakni setelah Tuhan
menyatakan terjadilah maka terjadilah. Dan pada saat itulah alam dinyatakan ada.
Berbicara tentang penciptaan alam, segalanya tercipta bukan hanya untuk
disaksikan saja. Melainkan di dalamnya terdapat beribu nikmat dari hikmah yang
Tuhan adakan, dan semua itu agar penciptaan alam dapat menjadi salah satu
petunjuk hidup manusia dalam menjalani kehidupan ini. Inilah mengapa segala
yang Tuhan ciptakan terdapat beberapa hikmah, salah satunya seperti langit. Jika
seseorang mau berfikir menggunakan nalarnya maka ia akan menjumpai hikmah
dibalik penciptaan Tuhan ini. Salah satunya adalah, tenangnya hati saat kita
menatap langit dengan seksama, menyenangkan para pecinta, bahkan langit
adalah sebagai kiblat-kiblat bagi orang yang berdoa. Dan masih banyak lagi
lainnya yang sudah penulis cantumkan dalam tulisan ini.
Kata kunci: Imam al-Ghazâlî, Alam, Penciptaan, Hikmah.
v
KATA PENGANTAR
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Alḥamdulillāh, puji syukur kepada Allah Swt. Yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini
tanpa kendala yang berarti. Ṣalawāh dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi
Muḥammad Saw. Beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
1. Dra. Tien Rohmatin, MA. Sebagai ketua Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing saya, yang tak
henti-hentinya menyemangati, mengayomi, dan memberikan perbaikan
dalam penulisan skripsi ini. Tanpa beliau saya tidak akan pernah sadar
letak kesalahan dan kemampuan saya dalam menulis juga meneliti.
Tidak hanya itu, berkat naungan bimbingan beliau, penulis juga
mendapatkan ilmu umum lainnya, yang awalnya belum terlalu penulis
kuasai.
2. Kepada Dr. Abdul Hakim Wahid, MA. Selaku Sekretaris Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tak pernah bosan
mendengarkan keluh kesah penulis, serta selalu memberikan saran
terbaik kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
4. Segenap Karyawan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu memberikan
semangat, dan selalu sabar menghadapi tingkah laku penulis selama
berada di perpustakaan. Terimakasih juga karena selalu mempermudah
penulis dalam meminjam buku-buku yang tersedia di perpustakaan
selama ini.
5. Segenap Bapak dan Ibu dosen khususnya Aqidah dan Filsafat Islam,
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang sudah memberikan ilmu pengetahuannya selama penulis
belajar di Fakultas Ushuluddin. Terimakasih juga untuk para dosen,
yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi,
bercengkrama, bahkan memberikan masukan terbaik kepada penulis.
6. Terimakasih kepada pak Kusen, Ph.D. yang telah membantu penulis
dalam merumuskan masalah yang terdapat dalam penulisan skripsi,
dan membantu penyelesaian penulisan ini, terutama dalam kerangka
berpikir penulisan.
7. Buya dan Umi yang selalu percaya akan kesuksesan anaknya, dan
tidak pernah letih mendoakan juga berjuang agar anaknya dapat
menimba ilmu setinggi dan sebaik mungkin. Beserta keluarga besar
lainnya yang selalu menyemangati dan mengembalikan kepercayaan
diri sang penulis.
8. Teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2013, adik kelas
bernama Reynaldi, juga teman baik yaitu Feishal Adam, yang selalu
vii
membantu penulis dan mau berbagi ilmu, terkhusus juga kepada
“Muhamad Bindaniji” (yang selalu bersedia meluangkan waktunya
untuk membenarkan tulisan, juga memberikan ide gagasan). Sehingga
menambah imajinasi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Serta semua pihak yang telah membantu, serta memberi semangat,
penulis ucapkan terimakasih.
9. Yayasan Khazanah Kebajikan, santri, serta konseling lainnya,
terimakasih atas bantuan dan perhatian yang di berikan.
Penulis menyadari, masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Namun
sedikit banyaknya, semoga dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
masyarakat pada umumnya.
Kepada Allah saya mohon ampun, yang benar datangnya dari Allah Swt
dan yang salah merupakan kekhilafan penulis sendiri. Semoga dengan ini kita
selalu berpegang teguh pada Alquran yang telah Allah Swt turunkan untuk
menjadi pedoman dalam hidup manusia.
Wassalāmu`alaikum waraḥmatullāh wabarakātuh.
Jakarta, 04 April 2018
Cici Zulaika
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
ẖ h dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D de د
Dz de dan zet ذ
R er ر
Z zet ز
S es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis dibawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ʹ ع
Gh ge dan ha غ
F ef ف
Q ki ق
K ka ك
L el ل
M em م
N en ن
W we و
h wa ھ
apostrof ء
y ye ي
Vokal Tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fatẖah َـ
i kasrah َـ
u ḏammah َـ
ix
Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي َـ ai a dan i
و َـ au a dan u
Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas آ
î i dengan topi di atas إى
û u dengan topi di atas أو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qomariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tasydȋd)
Syaddah atau tasdȋd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (َـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi,
hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata
.tidak ditulis aḏ-darûrah melainkan al-darûrah الضرورۃ
Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut
diikuti oleh kata sifat (naʹt) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
ṯarîqah طريقة 1
al-jâmi’ah al-islâmiyyah الجامعة اإلسالمية 2
waẖdat al-wujûd وحدۃالوجود 3
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN SKRIPSI .......................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
BAB I PENDAH ULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 5
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 6
F. Metode Penelitian ..................................................................... 8
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 8
BAB II IMAM AL-GHAZALI
A. Biografi...................................................................................... 11
B. Latar Belakang dan Intelektualnya ............................................ 14
C. Pokok-Pokok Pikirannya ........................................................... 20
D. Karya-karyanya ......................................................................... 32
BAB III TENTANG PENCIPTAAN ALAM
A. Definisi Penciptaan Alam ......................................................... 37
B. Penciptaan Alam Dalam Perspektif Alquran ............................. 40
C. Penciptaan Alam Dalam Perspektif Filosof Barat ..................... 45
D. Penciptaan Alam Dalam Pandangan Filosof Muslim ................ 53
BAB IV KEHENDAK TUHAN DALAM MENCIPTAKAN ALAM
PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI
A. Proses Penciptaan Alam dan Hakikat Alam .............................. 65
B. Kritik Terhadap Teori Kausalitas .............................................. 76
xi
C. Hikmah Penciptaan Alam.......................................................... 81
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................ 97
B. Saran .......................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 100
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam membahas falsafat,1 salah satu yang menarik untuk di kaji
adalah tentang penciptaan alam. Di mana para failasuf, ilmuwan, bahkan sufi,
mempunyai ketertarikan dalam mengetahui asal-usul mengenai alam ini.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pembahasan tentang alam yang paling
populer adalah ketika puncaknya ilmu falsafat berkembang di Yunani dan
Arab (Timur Tengah), ketika penerjemahan ilmu pengetahuan dari bahasa
Yunani ke dalam bahasa Arab dilakukan, pada masa khalifah Al-Ma`mun.2
Kegiatan penerjemahan tersebut, melahirkan failasuf-failasuf yang dapat
memberikan pengaruh besar dalam mengisi khazanah intelektual Islam
seperti, al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, al-Razi dan lain-lain.
Sebelumnya alam didalam kamus-kamus falsafat ataupun kamus
umum lainnya memiliki nama lain yaitu Kosmos. Kosmos adalah alam
semesta dengan segala isinya, semisal bumi, tata surya, galaksi, dan
1 Penulisan kata falsafat merujuk pada penjelasan Harun Nasution mengenai sumber kata
tersebut. Menurutnya, Sumber asal kata ini berasal dari Yunani, Philosophia yang terdiri dari
gabungan dua kata, Philein (cinta) dan Sophos (hikmah, kebijaksanaan). Orang Arab
memindahkan kata Yunani tersebut ke dalam Bahasa mereka sesuai tabiat susunan kata-kata
bahasa Arab, yaitu falsafa, dalam bentuk fi’il, mengikuti wazn fa’lala, yufa’lilu, fa’lalah/fa’lalat
wa fi’lāl. Dengan demikian, kata benda dari kata kerja falsafa dan filsaf. Harun Nasution memilih
kata falsafat dengan tidak mengubah tā marbuṭah. Akan tetapi, di Indonesia, sering dipakai istilah
filsafat. “fil” dari kata Barat, dan “safah” dari Arab. Harun Nasution tidak menyetujui kaidah
penggabungan dari dua bahasa ke dalam satu kata fil dan safah. Harun Nasution, Falsafat Agama
(Jakarta: Bulan Bintang, 2003), h. 3. 2 Penerjemahan buku-buku kedalam bahasa Arab secara sistematis terjadi pada masa
Khalifah Al-Ma’Mûn (813-833). Lihat, M. Iqbalut Taufiq, Metafisika Dalam Perspektif AlGhazali
(Jakarta: Program Studi aqidah Filsafat, Fakultas Usuluddin, UIN Jakarta, 2014), h. 41.
2
seterusnya.3 Sedangkan didalam kamus Falsafat, Kosmos dikenal dengan
falsafat yang mengenal alam raya, serta meneliti hakikat alam.4 Secara umum
kosmologi dianggap sebagai cabang metafisika yang bergumul dengan
pertanyaan-pertanyaan mengenai asal dan susunan alam raya, penciptaan dan
kekekalannya, vitalisme atau mekanisme, kodrat hukum, waktu, ruang, dan
kausalitas. Analisis kosmologi mencoba mencari apa yang berlaku bagi dunia
ini.5
Adapun Aristoteles (384 – 322 SM) salah satu filosof Yunani
memberikan pengartian, bahwa alam adalah jagat raya yang diketahui, seperti
bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Tuhan, sedangkan apa yang
diciptakan manusia adalah mesin (Techne).6
Sedangkan Newton dalam rangkuman bukunya yang berejudul The
Mathematical Principles of Natural Philosophy, sebagaimana yang
dicantumkan dalam kamus Filsafat Lorens Bagus, bahwa Newton
menerangkan alam adalah merupakan sebuah mesin yang berjalan sesuai
dengan hukum-hukum gerakan dan segenap proses yang didalamnya di
tentukan oleh massa, posisi, dan kecepatan yang dipunyai oleh partikel-
partikel materi yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian alam
merupakan sebuah mesin yang tetap akan berjalan tanpa henti-hentinya
sampai pada akhirnya.
3 Save M. Bagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (T.t: T.p,t.t), h. 538.
4 Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.
48. 5 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 499.
6 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.19.
3
Pada dasarnya, kosmologi itu mengaji tentang penyelidikan jagat raya
yang fisikal, yang terdiri dari dua bagian. Pertama, penyelidikan falsafah
tentang istilah-istilah pokok yang terdapat dalam fisika, seperti ruang, waktu
dan sebagainya. Kedua, peranggapan-peranggapan yang terdapat dalam fisika
sebagai ilmu tentang jagad raya.7 Singkatnya, kosmologi ingin mengetahui
hakikat asal, hakikat susunan, hakikat perubahan, dan hakikat tujuan akhir
dari jagat raya ini. Misalnya, bagaimana sesungguhnya hakikat asal dari jagat
raya ini, dari mana asalnya, bagaimana cara terjadinya, bagaimana
evolusinya, bagaimana akhir adanya, dan bagaimana susunan yang
sesungguhnya. Untuk mengetahui semua itu, perlulah keyakinan akan adanya
alam, terlebih keyakinan kepada Sang pencipta alam. Sebab apabila seseorang
tidak meyakini akan eksistensi Allah dalam kehidupannya, maka ia akan
melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam hidupnya.8
Sebagaimana dikutip dari Falsafah Islam (Failasuf & Falsafahnya),
karya Sirajuddin Zar, Al-Kindi9 berpendapat bahwa alam semesta ini adalah
baru, apa yang terdapat padanya pasti terbatas. Penciptaan alam ini juga dari
tidak ada menjadi ada (Creatio ex nihillo), dan pencipta itu ialah Tuhan.10
Adapun filosof setelah al-Kindi, adalah al-Farabi dan Ibn Sina mereka
7 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Lanjutan) Teori dan Praktik, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2010), h. 163. 8 Zulekho, Pandangan Said Nursi tentang Tauhid dan Fenomena Alam, (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri Jakarta,2016), h. 2. 9 Memiliki nama lengkap Ya’kub Ibnu Ishaq al-Kindi, berasal dari Kindah di Yaman,
tetapi ia lahir di Kufah (Irak) pada tahun 796 M. Orangtuanya adalah gubernur dari Basrah. Al-
Kindi adalah penganut aliran Muktazilah, yang kemudian belajar falsafat. Tidak hanya itu, ia juga
dikenal dengan ilmu kedokterannya, sehingga buku karangannya Legacy of Islam, yang berkenaan
tentang optik di terjemahkan ke dalam bahasa Latin. Ia wafat pada tahun 873 M. Lihat: Harun
Nasutin, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2014), Cet. 12, h. 6. 10
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Djambatan, 2003), h.47.
4
berpendapat bahwa alam ini tercipta sejak zaman azali, dan tidak mungkin
Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya. Tuhan itu tidak mungkin
berubah-ubah dan mustahil. Jika Tuhan berubah-ubah seperti pada awalnya
tidak mencipta lalu mencipta, sama saja menunjukkan bahwa Tuhan itu
memiliki sifat labil, maka tidak ada bedanya dengan manusia. Sementara itu,
Imam al-Ghazâlî berpendapat bahwa alam ini adalah baru, alam haruslah
tidak kadim. Sebab yang menciptakan alam adalah Tuhan, jadi bagaimana
mungkin alam ini azali. Jika dikatakan azali, maka hal itu sangatlah
bertentangan dengan Alquran juga kitab-kitab samawi terdahulu.11
Terlihat
jelas perbedaan Imam al-Ghazâlî dengan para filosof lainnya, inilah mengapa
Imam al-Ghazâlî sampai mengeluarkan kiritikan kepada filosof lainnya.
Karena Imam al-Ghazâlî beranggapan, bahwa apa yang mereka pikirkan itu
sangatlah jauh dari apa yang Alquran katakan.
Sejauh dari yang penulis paparkan, maka jelaslah penciptaan alam
menurut Imam al-Ghazâlî adalah baru. Alasan mengapa Tuhan baru
mewujudkannya, hal itu adalah karena kehendak Tuhan. Tuhan memiliki
kebebasan untuk menentukan kapan saja Ia mau memunculkannya, karena
sejatinya kehendak Tuhan tidak dapat disamakan dengan kehendak manusia.
Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa pengkritikan Imam al-Ghazâlî
hanyalah ingin mengagungkan Tuhan, dan menyatakan bahwa Tuhan tidak
dapat disamakan dengan yang lainnya. Sehingga dalam pengkritikan dan
penulisan tersebut kita dapat mengetahui hakikat serta proses penciptaan alam
11
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, (Bandung:
CV. Pustaka Setia Bandung, 2009), h. 162.
5
Imam al-Ghazâlî. Alam itu tidak qadim (tercipta dengan kebermulaan, dan
yang memulakannya atau menciptakannya adalah Tuhan), alam itu tercipta
secara Hadits (Baru).12
B. Batasan Dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pembahasan skripsi ini akan di
batasi, guna menghindari pembahasan yang begitu luas, yakni :
1. Saya batasi sebagai penciptaan alam menurut Imam al-Ghazâlî, dengan
rumusan masalah filsafatnya.
2. Apa hikmah dari penciptaan alam menurut Imam al-Ghazali?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan,
1. Penelitian ini bertujuan untuk : Menjelaskan Penciptaan Alam Menurut
Imam al-Ghazâlî, dan prinsip-prinsip penciptaan Alam-nya. Sehingga
tidak hanya menerangkan bagaimana terciptanya alam, akan tetapi juga
menerangkan hikmah dari apa yang ada pada alam raya ini.
2. Penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan program studi sarjana
Strata Satu Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini bukan hanya untuk kepentingan pribadi, namun
juga dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
semua kalangan mengenai Penciptaan Alam menurut Imam al-Ghazâlî,
12
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. Penerjemah:
Musa Khazim dan Arif Mulyadi, (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), Cet.2, h. 28.
6
Sehingga dengan ini dapat memperkaya khazanah pengetahuan Islam yang
berhubungan dengan alam. Selain itu, penulis juga berharap skripsi ini dapat
menjadi referensi yang cukup memadai bagi pembaca yang ingin mendalami
tentang pemikiran failasuf Imam al-Ghazâlî. Sehingga dapat membandingkan
pemikiran mana yang dapat di terima oleh masyarakat tentang penciptaan
alam.
E. Tinjauan Pustaka
Beberapa literatur yang peneliti dapatkan mengenai PenciptaanAlam
Menurut Imam al-Ghazâlî.
Pertama, buku Imam al-Ghazâlî Ihya’ Ulumuddin, didalamnya penulis
dapatkan biografi serta pemikiran tasawuf dari Imam al-Ghazâlî. Kedua, buku
Imam al-Ghazâlî Rahasia Penciptaan Alam Semesta dan Makhluk Hidup,
didalamnya terdapat hikmah dari segala penciptan alam yang Tuhan ciptakan.
Ketiga, buku Imam al-Ghazâlî Tafsir Ayat Cahaya dan Telaah Kritis Pakar,
didalamnya terdapat telaah pemikirannya terhadap penciptaan alam. Keempat,
buku Imam al-Ghazâ lî Tahâfut Al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof), yang
didalamnya penuh dengan kritikan juga pemikirannya terhadap alam.
adapun karya akademik lainnya tentang Imam al-Ghazâlî adalah:
Pertama, skripsi Moh. Sandiawan, Mahasiswa Jurusan Perbandingan
Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul
Konsepsi penciptaan Alam Semesta Dan Makhluk Hidup Dalam Al-Qur`an
Dan Alkitab, dibuat pada tahun 2016. Di dalamnya menjelaskan mengenai
penciptaan alam semesta menurut Alquran juga alkitab.
7
Kedua, Skripsi Abdillah Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.yang berjudul Konsep
Penciptaan Alam Menurut Hamzah Fansuri, dibuat pada tahun 2016. Di
dalamnya menjelaskan mengenai penciptaan alam semesta melalui konsep
Fayḍ dan Ibdā’ menurut Hamzah Fansuri, juga para filosof bagian Timur
lainnya.
Ketiga, Skripsi Jamiluddin Mahasiswa Jurusan Studi Agama-agama,
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul
Komparasi Konsep Kosmologi Dalam Perspektif Buddha Dengan Kosmologi
Sains Modern, dibuat pada tahun 2016. Di dalamnya menjelaskan mengenai
Kosmologi Sains Modern dan Kosmolgi dalam perspektif Buddha.
Keempat, Skripsi Ahmad Muzani Mahasiswa Jurusan Aqidah dan
Falsafah, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
berjudul Kritik Al-Ghazâlî Terhadap Kausalitas Dalam Perspektif Filosofis,
dibuat pada tahun 2014. Dengan melihat karya-karya sebelumnya, di sini
penulis mendapatkan beberapa tambahan sumber data. Sehingga meski
terdapat beberapa kesamaan dari apa-apa yang di bahas oleh penulis lain
sebelumnya, tentunya ada beberapa hal yang belum di bahas secara
mendalam, sehingga bagi penulis hal ini perlu untuk di lajutkan dalam
penelitiannya. Hingga yang membedakan skripsi ini dengan karya-karya di
atas, adalah skripsi ini lebih menjelaskan tentang hikmah dari penciptaan
yang ada di alam semesta, beserta pengkajian ulang tentang penciptaan alam
Imam al-Ghazâlî yang di jawab melalui kritikannya terhadap filosof
8
sebelumnya. Yang hasil akhirnya memberikan bukti bahwa Tuhan adalah
Esa, tidak dapat di samakan dengan makhluk dan ciptaan-Nya yang lain.
F. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan (library research),
karena itu, sumber data penelitian ini sepenuhnya berpijak pada tulisantulisan
dan karya-karya Imam al-Ghazâlî terkait penciptaan alamnya, sebagai sumber
primer, dan sumber sekunder yang berbentuk ulasan dan tulisan tentang
pemikiran tokoh tersebut; juga dari artikel, jurnal, dan lain-lain yang
mendukung kajian skripsi ini. Pendekatan yang digunakan penelitian ini
bersifat deskriptif analisis.
Adapun teknik penulisan, penulis berpedoman pada pedoman
akademik tahun 2013/2014 fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan oleh Biro Administrasi
Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerjasama Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Dalam kerangka pembahasannya, tulisan ini akan di bahas ke dalam
lima bab. Pada masing-masing bab akan ada turunan-turunan pembahasan
berupa sub-sub bab yang akan lebih detail menjelaskan maksud dari tiap-tiap
judul bab, antara lain sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN adalah pengantar pembahasan terutama pada
persoalan masalah dan penelitiannya. Pada wilayah masalah,
identifikasi masalah, sampai dengan rumusan dan batasan
9
masalahnya. Kemudian fokus pada persoalan penelitian, akan
sedikit dijelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
metode penelitian yang digunakan. Di samping
persoalanpersoalan tersebut, pada kajian ini juga dimuat tentang
kajian pustaka dan sistematika penulisan. Semua itu di
cantumkan agar mempermudah para pembaca untuk mengetahui
sumber primer dan apa saja yang permasalahan pokok yang
penulis angkat pada tulisan ini. Selain itu, tulisan pada bab ini
juga setidaknya memberikan stimulus kepada yang akan
membaca tulisan pada bab selanjutnya.
BAB II : berisi tentang Imam al-Ghazâlî, yang didalamnya penulisa akan
cantumkan Biografi, Latar Belakang Intelektual, hingga karya-
karyanya, agar dengan mudah para pembaca mengenal sosoknya,
dan mengetahui jerih payahnya dalam mendapatkan suatu ilmu,
dan penerapan apa saja yang telah Ia lakukan semasa hidupnya.
BAB III : berisi tentang Penciptaan Alam. Didalamnya akan diuraikan
tentang definisi dan penciptaan alam perspektif Filosof Yunani
dan Islam. Beserta definisi alam menurut al-qur’an. Agar dapat
terlihat jelas perbandingan penciptaan alam dari amsing-masing
pemikir.
BAB IV : berisi tentang Hasil Kajian Terhadap penciptaan alam menurut
Imam al-Ghazâlî. Seperti, hakikat alam dan penciptaan alam.
10
Selain itu di dalamnya juga terdapat hikmah penciptaan alam.
Agar pembahasan tentang penciptaan alam ini semakin menarik
untuk dikaji, dan diresapi oleh para pemirsa.
BAB V : Penutup, kesimpulan yang berisi jawaban dari permasalahan dan
saran terkait subjek pembahasan ini.
11
BAB II
IMAM AL-GHAZALI
A. Biografi Imam al-Ghazȃlȋ
Imam al-Ghazȃlȋ memiliki nama lengkap “Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazȃlȋ”, yang mempunyai
gelarHujjatul Islâm.1Namun pada umumnya ia dikenal dengan sebutan Al-
Ghazâli (dengan satu “z”)2 terkadang ia juga di panggil dengan “Al-Ghazzali
(dengan dobel “z”). Ghazali dengan satu”z” karena saat itu terdapat tempat
yang terkenal di dataran Thusi. Sedangkan Ghazzala dengan doble “z” karena
sikap Imam al-Ghazȃlȋ yang senantiasa berusaha untuk menyucikan diri dan
melembutkan sanubari. Atang Abdul Hakim dan temannya menyatakan bahwa
Ghazala dengan satu “z” adalah karena menunjukkan pada saat itu di ambil
dari kata Ghazalah, nama perkampungan tempat Imam al-Ghazȃlȋ dilahirkan.
1 Gelar Hujjatul Islam didapatnya karena umat Islam pada umumnya telah mengakui
akan keilmuan dan perbuatan yang Imam al-Ghazâlî miliki selama hidupnya, dan semua itu
adalah suatu hal yang patut di contoh. Sebab semasa hidupnya ia sangat membela Islam dengan
menentang anasir-anasir luar yang membahayakan kepercayaan atau apa yang telah di yakini umat
Islam. Dimana ia di anggap berhasil membela Islam dari dua serangan, pertama,serangan dari
dunia falsafat dimana mereka menggambarkan tentang ketuhanan namun membuat umat Islam
pada umumnya kebingungan akan ilmu tentang Ketuhanan tersebut. Kedua,ia telah berhasil
memberikan acuan yang sesuai dengan syariat Islam terhadap perkembangan tasawuf dan
kebatinan yang jika dibiarkan berlalu maka akan membahayakan amal syariat Islam. Lihat:
Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam (Jakarta: PT. Tintamas Indonesia,1973),
cet.3, h. 49. 2 Filosof yang sering sekali memanggil al-Ghazâli dengan sebutan Abu Hamid adalah
Ibn Rusyd. Sebagaimana dalam kitab polemiknya Tahafut al-Tahafut (Rancu Dalam
Kerancuan)di dapatkan bahwa ia sering sekali menyebut al-Ghazâlî dengan sebutan Abu Hamid.
Menurut Sulaiman Dunya, Imam al-Ghazâlî telah menikah sebelum ia berusia dua puluh tahunan.
Dimana ia mempunyai anak perempuan yang masih hidup sampai dewasa, sedangkan putranya
yang bernama hamid meninggal dunia ketika masih bayi. Sebab itulah ia di panggil dengan
sebutan Abu Hamid. Namun nama al-Ghazâlî yang sebenarnya hanyalah Muhammad. Lihat:
Skripsi Ahmad Muzani, Kritik Al-Ghazali Terhadap Kausalitas Dalam Perspektif Filosofis,
(Jakarta; Skripsi Jurusan Aqidah Filsafat, Fak.Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014)
h.38. Lihat juga: Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi
(Bandung: Cv.Pustaka Setia, 2007), h. 50.
12
Sedangkan Ghazzala dengan double “z” kata ini di ambil dari kata Ghazzal
yang artinya tukang pintal benang, sebab ayahnya pada saat itu bekerja
sebagai seorang pemintal benang wol.3 Namun nama beliau lebih di buat
mudah pemanggilannya sesuai dengan kesepakatan, yaitu al-Imam al-
Ghazȃlȋ.4
Imam al-Ghazȃlȋ lahir pada tahun 1059 M.5 Di Gazaleh suatu kota
kecil yang terletak di dekat Thus sebuah kota kecil di Khurasan.6
Di
ungkapkan bahwa ia lahir di tahun ketiga setelah kaum Saljuk mengambil alih
kekuasaan di Baghdad.7Bertepatan dengan itu pula Yuris
8 Abbasiyah yang
keenam yaitu al-Mawardi meninggal dunia.9Tak banyak yang mencantumkan
nama Ibu, ayah dan silsilah keluarga Imam al-Ghazȃlȋ lainnya. Namun `Abd
3 Abdul Hakim dan kawan, Filsafat Umum dari Metodologi Sampai Teofilosofi, h. 463.
4 Al-Ghazâlî, Ihyâ’ `Ulumuddin (Jakarta: Republika Penerbit, 2011), h, vii.
5 Terdapat beberapa pendapat akan tahun kelahiran Imam al-Ghazali, harun Nasution
menyatakan tahun 1059 M, Hasyimsya Nasution mengatakan pada tahun 1056 M, sedangkan
dalam buku karangan Saeful Anwar adalah tahun 1058/ 1059 M. 6 Harun Nasution,Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 29.
7 Saeful Anwar mencantumkan kondisi Imam Al-Ghazali saat lahir, pada saat itu Ia lahir
di Thus, Khurasan. Yang pada saat itu sedang terjadi situasi kritis. Dimana situasi kritis itu
berakhir dengan jatuhnya Abbasiyah ke tangan Tugrul Bek dari Dinasti Saljuk atas undangan
khalifah Al-Qa’im yang mengangkatnya menjadi sultan (447-455). Meskipun hal ini menimbulkan
pemberontakan Basasiri yang disokong Fatimi Mesir dan berhasil menduduki Baghdad sesudah
menangkap Khalifah dan membunuh Wazir Ibn Maslamah, Tugrul berhasil menumpasnya dan
mengembalikan Khalifah ke atas kursinya. Dalam situasi seperti ini ghazali lahir. Lihat Saeful
Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, h. 37. 8 Yuris pada bagian ini memiliki makna “Ahli Hukum atau Sarjana Hukum.” Admin, Arti
"yuris" Makna Pengertian dan Definisi, diakses dari https://artikatadari.com/yuris/ pada tanggal 18 Juli 2018 pukul 10:47.
9 Al-Mawardi adalah seorang Yuris abbasiyah yang keenam. Ia dan Imam al-Ghazâlî
sama-sama menganut mazhab al-Syafii. Meski keduanya sama dalam menganut mazhab, namun
mereka mempunyai cara yang berbeda untuk dikenang. Al-Mawardi dikenal sebagai Yuris
sekaligus diplomat yang mempunyai keinginan mengembalikan wibawa politik Abbasiyah yang
sudah berantakan. Dan ia memilih dengan cara menulis buku al-Ahkam al-Sulthaniyah. Sedangkan
Imam Al-Ghazali ernyata dalam ranah intelektualnya sudah lebih menjulang tinggi sehingga
berhasil menukik lebih jauh ke alam esoterik dengan kemampuan kontempelasi sufistik yang luar
biasa.Ia juga tergolong sebagai tokoh moral yang langka ditemui dalam sejarah. Lihat di Yayasan
Wakaf Paramadina, Ihya’ `Ulum al-din Pemikiran Keislaman al-Ghazâlî(Jakarta:Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995), h. 1.
13
al-Gafir menyebutkan nama ayah dari Imam al-Ghazȃlȋ adalah Muhammad,
kakeknya juga bernama Muhammad, sedangkan Subki dan Murtada
menambahkan bahwa datuk nya bernama Ahmad.10
Ayah Imam al-Ghazâlî adalah seorang sufi yang masa hidupnya tidak
ia habiskan dengan hanya bekerja sebagai pemintal benang wol, Ia juga selalu
mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Sebagaimana di
kisahkan bahwa ayahnya Imam al-Ghazâlî selalu rajin mengikuti majli-majlis
para ulama tasawuf. Ayahnya selalu mendengarkan siapa saja yang
menyampaikan tentang ilmu. Dengan harapan bahwa kelak anaknya akan
menjadi orang alim sebagaimana para alim-ulama pada saat itu pula. Alasan
itulah mengapa ketika ayahnya meninggal, Imam al-Ghazâlî dan adiknya
Ahmad di titipkan kepada seorang guru dengan harapan kelak mereka akan
benar-benar menjadi seperti yang ayahnya harapkan selama masa hidupnya.11
Ayahnya juga adalah lelaki shalih, yang hanya ingin makan dari hasil usaha
tangannya sendiri, sebab ia sangat menjauhkan diri dan keluarganya memakan
makanan yang haram. Yang menarik perhatian dalam sepanjang sejarah
tentang Imam al-Ghazȃlȋ adalah kehausannya akan segala macam
pengetahuan, serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mengetahui
10
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazâlî Dimensi Ontologi dan Aksiologi, h. 50-51. 11
Sebelum ayah Imam al-Ghazâlî meninggal, ia sempat menitipkan anaknya kepada
salah seorang sahabatnya sekaligus sebagai seorang ulama untuk mendidik anaknya menjadi
seorang yang berilmu, namun ternyata dalam pertengahan anaknya menuntut ilmu, perbekalan
yang almarhum ayahya tinggalkan dan titipkan kepada sang guru telah habis. Sebab sang guru
adalah seorang sufi, yang hidupnya pun menjalankan hidup sufistik. sebab itulah ia menyuruh
Imam Al-Ghazali beserta adiknya untuk menuntut ilmu ke tempat lain, yang bisa sekaligus
menjamin kehidupan mereka. Lihat: Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Jakart:
Rajawali perss, 2009) h. 156.
14
hakekat segala sesuatu.12
Berkat hasil dari keseriusan belajarnya itulah Imam
al-Ghazâlî dipandang sebagai ahli pikir Islam yang mampu meninggalkan
pengaruh besar di masanya pada saat itu.13
B. Latar belakang Intelektualnya
Guru Imam al-Ghazâlî sangatlah banyak, Ia belajar tidak hanya pada
satu guru dan tidak hanya pada satu tempat. Pertama, Imam al-Ghazâlî belajar
kepada Achmad Arrozakany yang sekaligus sebagai seorang sufi.14
Saat itu
ayah Imam al-Ghazâlî menyampaikan pesan kepada Achmad Arrozakany,
yaitu:
“ Saja sangat menjesal tentang peladjaran kedua anak saja
dan saja ingin menjelenggarakan apa jang mendjadi
pertanggungan djawab saja terhadap kedua anak saja ini.
Adjarlah dan didiklah mereka berdua dan selenggarakan
pertanggungan djawab saja terhadap mereka berdua itu”15
Imam Al-Ghazȃlȋ dan adiknya (Ahmad al-Ghazâlî) belajar bersama
Achmad Arrozakany itu di perkirakan hingga usia mereka 15 tahun.16
Namun
sangat di sayangkan proses pembelajaran tersebut berhenti di tengah jalan,
karena ketiadaan biaya. Selanjutnya sang guru-pun mencarikan Madrasah
12
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1982), h. 202. 13
Wahyu Murtiningsih, Para filsuf dari Plato Hingga Ibn Bajjah, 3th ed.(Jogjakarta:
IRCiSoD, t.t), h. 325. 14
Moh Siah Doa dan Djalaluddin, Rahasia Alam Kebatinan (T.tp.: AB. Sitti Sjamsijah
Sala, t.t), h.7. 15
Yang artinya menunjukkan penyesalan dirinya akan pendidikan kedua anaknya
dapatkan. Karena belum ada apa-apa yang kedua anaknya dapat dari dirinya. Sehingga ia ingin
bertanggung jawab atas apa yang memang seharusnya jadi pertanggungan dirinya. Namun karena
ia tahu umurnya tak akan lama lagi, maka ia menitipkan amanah kepada sahabatnya itu, agar
sekiranya Achmad dapat mendidik kedua anaknya, sebagaimana ia (Achmad) menempatkan
posisinya sebagai dirinya (ayahnya Imam Al-Ghazali) dalam bertanggung jawab mendidik
anaknya tersebut. Lihat: Doa dan Djalaluddin, Rahasia Alam Kebatinan, h. 7. 16
Hasyimsyah nasution, Filsafat Islam,h.76.
15
yang sekiranya dapat Imam al-Ghazȃlȋ dan adiknya menempa ilmu, dan
setidaknya kehidupan mereka dapat di perhatikan.17
Selanjutnya Imam al-Ghazâlî berguru kepada Abi Qasim Ismail di
Jurjan.18
Di sana Imam al-Ghazâlî mempelajari ilmu-ilmu dasar. Menurut
Zahabi dan Subki, Imam al-Ghazȃlȋ belajar pada Abi Ismail kurang lebih
selama 5 tahun dengan cara Ta`liqah.19
Barulah pada tahun 473 H Imam al-
Ghazâlî berangkat ke Nizhamiyah.20
Di sinilah awal mula ia berkenalan
dengan al-Juwaini. Dari Al-Juwaini pula ia mendapatkan ilmu kalam dan
mantiq.21
Dengan kecerdasan dan daya analisis kritis yang luar biasa serta daya
hapal yang kuat, Ia memperlihatkan aktivitas studi yang serius dan prestasi
yang mengagumkan. Sehingga al-Juwaini-pun menjulukinya dengan “Lautan
yang menenggelamkan”. Karena kepandaiannya inilah, Imam al-Ghazâlî
17
Sang gurunya ini, adalah guru sekaligus ayah angkat untuk Imam Al-Ghazali dan
adiknya Ahmad. Karena jasa ayah angkatnya ini Ghazali dan adiknya mendapatkan pelajaran dasar
dari cara membaca, menulis, serta mendapatkan didikan terhadap nilai-nilai tasawuf. Inilah salah
satu didikan yang pertama kali membentuk jiwa seorang Imam al-Ghazâlî. Lihat Saeful Anwar,
Filsafat Ilmu Al-ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, h.52. 18
Di tuliskan pula bahwa namanya adalah Abu Nashr al-Isma `ili.Lihat, Hasyimsyah
nasution, Filsafat Islam, h. 76. 19
Ta`liqah ini dikenal juga dengan Halaqah dan Liqo`, secara bahasa artinya lingkaran
dan liqo` artinya pertemuan. Dalam bahasa lain dapat juga disebut dengan majelis taklim. Lihat,
Anwar,Filsafat Ilmu Al-Ghazâlî Dimensi Ontologi dan Aksiologi, h.52-53. 20
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h.76. 21
Al-Juwaini atau dikenal juga dengan Al-Haramain, mempunyai nama lengkap “Abu
al-Ma’ali `Abd Al-Malik Al-juwaini (419-478 H) beliau adalah tokoh ke-empat dari mazhab
teologi Asy`ariyah sesudah Al-Asy`ari, Al-Baqillani, juga Abu Hamid Muhammad Al-Isfarayaini,
serta tokoh mazhab fiqh Syafi`iyah. Ia dan ayahnya mempunyai komitmen yang berbeda dalam
mazhab. Meskipun terbilang ia sebagai murid ayahnya, dengan artian ilmu ayahnya pun ditransfer
kepadanya, namun ia terkenal sebagai orang yang sangat mengkritisi apa yang ayahnya sampaikan
bahkan berpikir liberal dan anti taklid. Sebab pada saat itu ia telah menjadi orang yang sangat
menolak mentah apa saja yang tak sesuai dengan pikirannya, atau hal apa saja yang akalnya tak
dapat terima, sekalipun hal itu datang dari ayahnya sendiri. Namun lambat laun setelah menajalani
hidup ini, dan berbagai pengalaman serta ilmu yang ia alami dan peroleh, ia-pun kembali kepada
kalimat al-haqq (yakni Islam). Lihat: Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazâlî Dimensi Ontologi
dan Aksiologi,h. 55.
16
diangkat menjadi asisten guru besar dalam memberi kuliah dan bimbingan
kepada para mahasiswa.22
Sayangnya, setelah gurunya wafat, ia pergi
meninggalkan Naisapur dengan kenangan ilmu yang sang guru berikan.23
Berangkatlah Imam al-Ghazȃlȋ dari Naisapur menuju negeri Askar,
dengan tujuan untuk bertemu Nizham Al-Mulk. Imam al-Ghazȃlȋ dapat
mengenal Nizham Al-Mulk melalui perantara gurunya yaitu al-Juwaini.
Dahulunya sebelum al-Juwaini meninggal, ia sempat mengenalkan Imam al-
Ghazȃlȋ kepada Nizham al-Mulk,24
yang pada saat itu sekaligus sebagai
perdana menteri Sultan Saljuk Maliksyah. Nizham Al-mulk juga telah
mendirikan beberapa madrasah yang ada di Nizhamiyah.
Di daerah inilah ia mendapatkan kesempatan yang langka, yaitu dapat
bertemu dengan para ilmuwan besar, di situ ia mendapatkan kepercayaan
untuk mengajar para ilmuwan juga ulama yang hadir. Bahkan saat melakukan
sesi tanya jawab, dengan lancer Ia dapat mejawab segala pertanyaan tersebut
(perdebatan), sehingga dengan tanya jawab yang terjadi tambah melejitkan
namanya menjadi populer di tempat yang ia datangi pada saat itu. Tidak hanya
menjadi populer bahkan ia juga disegani sebab keluasan ilmu yang ia miliki.
Sehingga pada tahun 484 H (1091 M) Imam al-Ghazȃlȋ dipercaya untuk
menjadi guru besar di Madrasah Nizhamiyah, Baghdad. Pada saat itu ia tidak
hanya mengajar, namun juga memanfaatkan waktunya yang ada untuk belajar
22
Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazâlî Dimensi Ontologi dan Aksiologi, h. 53-54. 23
Di nyatakan bahwa Imam al-Ghazâlî saat tinggal di Naisabur juga sempat berguru
kepada Abu `Ali al-Fadhl ibn Muhammad ibn `Ali al-Farmadzi untuk belajar Tasawuf. Nasution,
Filsafat Islam, h.76. 24
Di katakan bahwa terbunuhnya Nizam Al-mulk di bunuh oleh seorang anggota Assain
pada 485 H/ 1092 M. Lihat: Ensiklopedia Filsafat Islam, h. 323.
17
mendalami falsafat, terutama dalam mendalami pemikirannya Al-farabi, Ibn
Sina, Ibn Maskawaih, juga Ikhwan Al-Shafa. Hal tersebut berjalan kurang
lebih selama empat tahun.25
Perjalanan tak seindah yang Imam al-Ghazâlî harapkan, sebab Tuhan
tahu yang terbaik untuk dirinya. Begitulah yang dialami Imam al-Ghazȃlȋ,
siapa sangka dalam proses mengajarnya di Nizhamiyah, Imam al-Ghazȃlȋ di
landa keragu-raguan. “Skeptis” terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya seperti
hukum, teologi, dan juga falsafat. Ia juga ragu akan sebenarnya manfaat dari
pekerjaannya beserta karya-karya yang telah ia hasilkan. Sehingga penyakit
yang ia alami semakin berat, bahkan oleh dokter spesialis sekalipun tak dapat
menyembuhkannya. Menyadari dirinya seperti itu, akhirnya Imam al-Ghazȃlȋ
mengundurkan diri dari jabatan yang Ia pegang pada saat itu. Hingga pada
akhirnya ia memilih meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus. Di kota
inilah Imam al-Ghazȃlȋ melakukan uzlah, riyadhah, dan mujahadah. Merasa
belum cukup akan hasil ber`uzlah yang Ia dapatkan, akhirnya Imam al-Ghazâlî
melanjutkan perjalanannya menuju Palestina untuk melaksanakan ibadah
serupa yang pernah Ia lakukan selama di Damaskus. Sehingga dari situ
tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi maqam
Rasulullah SAW.
Sepulangnya dari tanah suci akhirnya Imam al-Ghazȃlȋ kembali ke
tanah kelahirannya, Thus. Bahkan di tanah kelahirannya-pun ia tetap
25
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h.76-77.
18
berkhalwat. Lamanya keadaan skeptis yang ia alami adalah selama 10 tahun.26
Pada periode itu pula Imam al-Ghazâlî menulis karyanya yang terbesar yaitu,
Ihya’`Ulum al-Din (The Revival of Religious–Menghidupkan kembali Ilmu-
ilmu Agama). Setelah sembuh, Imam al-Ghazȃlȋ di paksa oleh Fakhral-Mulk
untuk kembali mengajar di Madrasah Nizamhiyah, Imam al-Ghazȃlȋ-pun
menyanggupi hal itu.27
Akan tetapi proses Ia mengajar tidak berlangsung
lama, Imam al-Ghazâlî hanya mengajar selama dua tahun saja. Selanjutnya
Imam al-Ghazâlî memutuskan untuk kembali ke Thus dan mendirikan
Madrasah bagi para Fuqaha, dan sebuah zawiyah atau khanaqah untuk para
mutasawwifin. Di kota inilah Imam al-Ghazȃlȋ wafat pada 505 H (111 M).28
Berikut adalah alur perjalanan Imam al-Ghazâlî dalam menuntut ilmu,
penulis gambarkan agar lebih mudah di mengerti:
26
Menurut pengalaman Imam al-Ghazâlî, skeptis terjadi akibat dari rasa condong yang
luar biasa dalam dirinya untuk mengenal hakikat segala sesuatu, yang telah ia rasakan semenjak
dari masa kecilnya. Terdorong oleh keinginan tersebut akhirnya ia mencari kebenaran mutlak
dimana kebenaran itu memungkinkan tidak mengandung sedikitpun kesalahan. Hal itu di carinya
melalui `ilm Kalam, Falasafat, ke dalam ajaran bathiniyyah. Lihat: Yayasan wakaf Paramadina,
Ihya’ `Ulum al-Din Pemikiran Keislaman Al-Ghazali, h. 44. 27
Fakhr al-Mulk adalah seorang yang menguasai Saljuk pada masa itu (499 H, di saat
Imam al-Ghazâlî kembali dari beruzlah). Lihat: Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1999), Cet.2, h.79. Lihat juga: Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazâlî
Dimensi Ontologi dan Aksiologi,(Bandung: Pustaka Setia, 2007), h, 66-67. 28
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 76-77.
19
menuju:
1). Thus (450
H-465 H)
Lahir di Tus, dan
mulai belajar
dengan seorang
sufi yang
bernama
Muhammad al-
Razakani
2). Jurjan (465 H-
470 H)
Imam al-Ghazâlî
berguru kepada
Imam abu Nasr Al-
isma`ili,
3). Naesapur (473 H-
478 H)
Berguru kepada Abu al-
Ma’ali al-Juwaini (Imam
Al-Haramain).
4). Mu`askar
(478 H-484 H)
di sini Ia berguru
kepada wazir
Nizam Al-Mulk.
5). Baghdad (484 H-
488 H)
Di Baghdad ini Ia
tinggal bersama anak
juga istrinya. Di
Baghdad, Ia juga
menjadi guru besar, dan
konsultan hukum.
6). Masa `UZLAH (488
H-499 H)
Damaskus
Palestina
Kairo - Mekah –
Madinah
Di sinilah Imam
al-Ghazâlî
melakukan
ibadah haji.
7). Naesapur
ke-2 (499 H-
503 H)
Ia ditarik oleh
Fakhral-Mulk
untuk
mengajar
kembali di
Nizhamiyah.
8). Thus ke-2 (503 H-
505 H)
Pada persinggahannya
yang terakhir, Imam al-
Ghazâlî mendirikan
madrasah, dan mengajar
di sana hingga Ia wafat.
20
C. Pokok-Pokok Pikiran Imam Al-Ghazali
1) Kalam
Imam al-Ghazâlî berpendapat bahwa Ilmu kalam tidaklah selalu
identik dengan ilmu Tauhid, akan tetapi hanya sebagian daripadanya, karena
sejatinya ilmu kalam terlahir dari ilmu Tauhid. Imam al-Ghazâlîmenyatakan
bahwa para pemikir dalam ilmu Tauhid mula-mula berpegang pada ayat-ayat
Al-Qur`an, lalu dengan hadis-hadis nabi Muhammad, kemudian dengan dalil-
dalil rasional dan argumen-argumen sosiologisme dari logika falsafat. Para
pemikir tersebut banyak membicarakan akan hal argumen rasional yang
terdapat di sekitar objek-objek materiil ilmu tauhid, karena itulah mereka
disebut “mutakallimun” (orang-orang yang banyak berbicara). Dari sinilah
istilah kalam terlahirkan dalam tauhid. Dan dengan nama inilah orang lebih
banyak mengenal ilmu kalam.
Namun dalam hal ini, Imam Al-Ghazali menyayangkan akan ilmu
kalam yang menggeser ilmu tauhid. Sebab tauhid itu memiliki artian
mengesakan Allah,merupakan inti akidah Islam yang dibawa Nabi
Muhammad. Sedangkan kalam yang berarti perkataan, hanya merupakan cara
yang banyak dipergunakan dalam membahas masalah-masalah akidah. Setelah
melihat dari apa yang telah terjadi di masa lalu dan di masanya akhirnya Imam
Ghazali mendefinisikan “Ilmu kalam ialah ilmu yang mengandung perdebatan
tentang akidah keimanan dengan dalil-dalil rasional, dan penolakan terhadap
ahli bid`ah yang menyelewengkan dari paham salaf danAhlussunnah.”
Dengan hal seperti ini baginya kalam hanya dapat berfungsi atau digunakan
21
untuk menghadapi tantangan terhadap akidah yang sudah dianut oleh
umat.Tetapi tidak bisa untuk menanamkan akidah yang benar kepada umat
yang belum menganutnya, apalagi unutk menuntun agar orang bisa
menghayatinya.29
2) Metafisika
Untuk mengetahui pemikirannya tentang metafisika, dapat di lihat
dalam kritikannya terhadap pemikiran metafisika para filosof lainnya pada
zaman tersebut, dimana pemikiran para filosof tersebut sangat
bertentangan dengan Islam. Bahkan bisa dinyatakan para filosof-filosof
tersebut adalah orang atheist. Karena pemikirannya yang menyangkut tiga
hal tentang metafisika, yaitu :
a. Qadimnya alam
Para filosof mengatakan bahwa alam ini Qadim. Sebagaimana
Qadimnya Tuhan atas alam sama dengan qadimnya sebab atas akibat.
Yaitu dari segi zat, dan tingkatan, bukan dari segi zaman.
Timbul bantahannya terkait qadimnya alam ini, sebab para
filosof mempunyai pemikiran bahwa alam ini adalah qadim, karena
tidak mungkin alam ini baharu, semisal Tuhan dengan semaunya
mengadakan, lalu untuk apa Tuhan tiba-tiba mengadakan alam ini?,
hal tersebut berarti harus diketahui tujuan mengapa alam tersebut tiba-
tiba diciptakan. Bahkan jika yang menyebabkan terbentuknya alam ini
adalah dengan sebab-sebab lainnya, pastipun kembali lagi
29
Abdul Hakim dan Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi,
h. 478-479.
22
pertanyaannya, kenapa hal itu timbul? Atau, ada maksud tujuan
apa?,misalpun jika harus diciptakan bukan dari dahulu,lalu timbul
pula pertanyaan mengapa kekuasaan tersebut baru timbul, bukannya
dari masa sebelumnya?, mengapa, mengapa dan mengapa. begitulah
yang para filosof pikirkan ketika membahas tentang alam.30
Disinilah Imam Al-Ghazali menjawab, soal keabadian alam itu,
pendapat bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tak dapat
diterima dalam teologi Islam. Dalam teologi Islam Tuhan adalah
pencipta. Dan yang dimaksud dengan pencipta ialah menciptakan
sesuatu dari tiada. Kalau alam dikatakan tidak bermula, maka alam
bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta.
Sedangkan dalam alquran disebut bahwa Tuhan adalah pencipta
segala-galanya. Menurut Imam al-ghazâlî-pun orang Islam tidak ada
yang menganut paham bahwa alam ini kekal dan tak bermula.31
b. Tidak mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal, peristiwa-peristiwa
kecil.
Pendapat seperti itu tidaklah masuk akal, karena Tuhan adalah
sesuatu yang berdiri sendiri, Ia tidak membutuhkan yang lain.
Sedangkan alam ini tercipta oleh Tuhan, tidak akan ada yang lain jika
yang satu tidak ada. Hal itu di karena keberadaannya tidak berdiri
30
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 213. 31
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakara: Bulan Bintang,Cet.12,
2014), h. 32.
23
sendiri, dan membuthkan yang lain.32
Jadi tidak mungkin Tuhan tidak
mengetahui penciptaannya sendiri.
c. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
Inti dari jawaban Imam al-Ghazâlî didasarkan atas sifat
kemahakuasaan Tuhan, bahwa Tuhan mampu menciptakan segala
sesuatu dari tiada. Karena itulah Tuhan-pun mampu membangkitkan
kembali tubuh dan tulang belulang manusia yang telah hancur menjadi
tanah ke dalam bentuk semula. Pemikirannya ini, berlandaskan pada
firman Allah Swt:
Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang
telah hancur luluh? “katakanlah : Ia diciptakan oleh Tuhan yang
menciptakannya kali yang pertama.” (QS. Yasin/ 36: 78-79).
Dari semua penjabaran di atas, jelaslah bahwa Imam al-Ghazâlî
sangat mengagungkan Tuhan. Meski dalam hal sekecil apapun itu,
Imam al-Ghazâlî berusaha agar keberadaan Tuhan lebih tinggi dan
Agung daripada makhluk lainnya. Sehingga pokok inti dari
metafisikanya adalah peng-Agungan kepada Pencipta alam semesta
ini.
32
Imam Al-Ghazâlî, Tahâfut Al-Falâsifah. Penerjemah:Ahmad Maimun, (Bandung: Marja, Cet.
5, 2016), h. 154.
24
3) Falsafat
Terdapat empat bagian dari garis besarnya fialsafat Imam Al-Ghazali
yang mewakili maksud dari seluruh falsafatnya :
a. Memberi analisa-analisa ilmu pengetahuan yang sebenarnya, yang
tidak bertentangan dengan syara’.
b. Memperhatikan analisa-analisa dari filsuf tentang falsafah yang
bertentangan dengan syara’dan berijtihad untuk mencari dalil-dalil
guna membatalkannya
c. Memberikan analisa yang berdasarkan dalil syara’ karena dengan dalil
akal yang bersifat insaniyyah saja, kita belum dapat mengetahui
kebenaran ke-Tuhanan. Maka harus dengan dalil yang lebih kuat
daripada dalil akal.
d. Memberi analisa letaknya peraturan yang berdasarkan hukum dalam
agama namun tidak bertentangan dengan mantiq.
Imam al-ghazâlî juga berpendapat bahwa dalam falsafat itu
mempunyai bagian pencirian, yang dengannya para pemikir itu
berfalsafat, yaitu:
a) Filsuf yang tidak beragama. Mereka ini adalah yang
menyangkal adanya kekuatan ghaib, percaya bahwa tidak ada
Tuhan yang mencipta, juga tidak ada surga dan neraka.
b) Filsuf yang berpegang kepada alam. Mereka percaya kepada
alam, akan tetapi tidak sekaligus memikirkan akan kekuasaan
25
dan kebesaran yang menciptakannya. Oleh sebab itulah mereka
menjadi sesat.
c) Filsuf yang percaya adanya Tuhan. Pada bagian ini, Imam Al-
Ghazali prcaya bahwa Aristoteles, Plato, beserta Socrates
adalah filosof yang percaya akan adanya Tuhan. Akan tetapi
Imam Al-Ghazali juga menyayangkan, karena muridnya juga
mereka terdapat pemikiran yang membuat mereka kafir.
Sehingga pada titik akhir dari pemikiran falsafatnya adalah
bahwa falsafat itu tidak dapat menjamin kebenaran. Sebab darinya
tidak menghasilkan kepastian sebagaimana dalam al-Munqidz Al-
Dhalal Ghazali menuliskan:
Mereka para filosof mengandalkan logika
menyusun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
demonstrasi (burhân) yang di akui tak pernah gagal
menghasilkan kepastian.Namun, ketika mereka
berurusan dengan masalah-masalah keagamaan
secara detail, mereka tidak saja gagal memenuhi
syarat-syarat ini, tetapi juga banyak memberi
kelonggaran.33
Dalam pendapatnya ini, tergambarkan bahwa Imam al-
Ghazâlî tidaklah mempercayakan semua urusan agama kepada
Ilmu Falsafat. Dari uraian singkat di atas jealaslah bahwa hal yang
mendorong Imam al-Ghazâlî untuk belajar falsafat adalah
keinginann untuk memperoleh kebenaran yang hakiki. Ia pelajari
falsafat atas usaha sendiri, tanpa bantuan guru, dalam masa kurang
33
Massimo Companini, Al-Ghazali dalam buku Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam
:buku Pertama, ed.Seyyed Hoseein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2003),
h. 320.
26
dua tahun. Kemudian apa yang ia pelajari itu, ia renungkan selama
kurang dari satu tahun. Dalam masa perenungannya itulah ia
menemukan hal yang tidak sejalan dengan pemikirannya bahkan
juga bertentangan dengan agama. Karena yang ia pelajari bukan
hanya dari falsafat al-Farabi dan Ibn Sina, tapi juga falsafat Filosof-
filosof Yunani seperti falsafat Socrates, Plato, Aristoteles.34
4) Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme=
pengetahuan dan logos=perkataan, pikiran, ilmu. Kata episteme dalam
bahasaYunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya mendudukkan,
menempatkan, atau meletakkan. Maka, harfiah episteme berarti
pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk “menempatkan sesuatu
dalam kedudukan setepatnya”. 35
Secara umum epistemologi dapat
dijelaskan sebagai cabang filsafat yang membahas tentang ruang lingkup
dan batas-batas pengetahuan.36
Imam al-Ghazâlî sendiri mempunyai gagasan tentang pengetahuan .
Menurutnya pengetahuan bersumber pada tiga hal, yaitu Kasyf (intuisi),
wa hyu (al-Qur`an dan Sunnah Rasul), dan `Aql (rasio).37
Perbandingan
34
Ihya’ ‘Ulum al-din Pemikiran Keislaman al-Ghazâlî (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h. 19.
35 Selain kata “episteme”, untuk kata “pengetahuan” dalam bahasa Yunani juga di pakai
kata “gnosis”, maka istilah epistemologi dalam sejarah pernah juga disebut “genoseologi”. Lalu
epistemologi juga terkadang disebut dengan teori pengetahuan (theory of knowledge;
erkentnistheorie) jika ia di tempatkan sebagai kajian filosofis yang membuat telaah kritis
dananaliis tentang dasar-dasar teoretis pengetahuan. Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis
Kontemporer; editor, Nuran Hasanah-Ed.1(Jakarta: PT. Raja Grafindo, cet.2, 2016) h. 63. 36
Juhaya S.Praja, aliran-aliran Filsafat & Etika (Jakarta: Kencana, 2014) h. 87. 37
Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016) h. 115.
27
dalam sistem kerja dari ketiga hal tersebut. Sebagaimana perbandingan
antara kasyf di satu sisi dengan berdasarkan naql dan `aql di sisi yang
lain adalah sama dengan orang yang melihat bulan purnama secara
langsung dengan orang yang melihatnya melalui bayangannya di dalam
air.38
Dari ketiga hal tersebut, yang lebih dominan adalah pengetahuan
melalui Kasyf,39
karena dinilai lebih jelas dibanding pengetahuan
berdasarkan wahyu dan rasio.40
Tidak dijelaskan begitu banyak bagaimana
dari masing-masing tersebut bekerja. Namun dalam penjabaran di bawah
ini, sepertinya sudah dapat memperjelas akan masing-masing kelebihan
metode tersebut.
Dalam konsep epistemologinya Imam al-Ghazâlî pernah menyatakan
pengetahuan yang sebenarnya adalah ketika ia ingin mencari kebenaran
yang sejati, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan
kebenaran.Seperti kebenaran sepuluh lebih banyak daripada tiga.
Sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa tiga itu adalah lebih banyak
38
Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Kalsik Hingga Kontemporer, (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2016), h. 115. 39
Kasyf atau pengucapan mudahnya menjadi “Kasaf” ini berkaitan dengan hati.Jika
ingin mendapatkan ilmu melalui hal ini, maka di perlukan hati yang bersih.Oleh karenanya hati
perlu dijaga dalam kehidupan ini. Dimana Imam Al-Ghazali berkata tentang hati “Tak seorangpun
tentu termasuk sarjana ataupun sufi yang dapat memulihkan hati nuraninya jika perang dan
kezaliman melanda”. Perkataannya yang sama tentang hati yang menjurus kepada Kasyf adalah
“Pengetahuan yang benar adalah hasil dari pencerahan Ilahi, sebab ketika Tuhan menjaga hati ...,
dada tercerahkan dan misteri alam spiritual (Malakût) tersingkap, dan tabir kesalahan sirna serta
realitas hal-hal yag Ilahi bersinar dalam hati”. “Sekali hati menjadi pemiliki kebenaran, pikiranpun
memperoleh kepastian.Di yakinkan lagi dengan perkataannya yaitu “Kebenaran-kebenaran
rasional diperoleh ksaya memperoleh kembali keyakinan terhadap kepastian dan kepatutannya
untuk di percaya.Sebab hal ii tidak di peroleh melalui demonstrasi yang sistematis ataupun
argumen yang tertata.Akan tetapi melalui cahaya yang diberikan oleh Tuhan yang maha tinggi ke
dalam dada”. Lihat, Massimo Companini, Al-Ghazali, dalam buku: Ensiklopedia filsafat Islam
Buku Pertama, Ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman ( Bandung: Mizan, 2003), h. 322. 40
Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Kalsik Hingga Kontemporer, Penerjemah Mizan
(Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2016), h.115.
28
dari pada sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat ia jadikan ular,
dan hal itu memang betul Ia laksanakan, saya akan kagum melihat
kemampuannya, meskipun demikian dengan keyakinan saya bahwa
sepuluh lebih banyak daripada tiga tidak akan goyah. Seperti itulah
kiranya.Dalam mendapatkan suatu pengetahuan, Imam al-Ghazâlî
membaginya dengan beberapa tahapan, tahap yang pertama yaitu dengan
pengetahuan inderawi.41
Hal ini muncul karena pada saat itu ia beranggapan bahwa
pengetahuan itu sesuatu hal yang dapat ditangkap oleh panca indera. Akan
tetapi lambat laun ia menyadari, bahwa sebenarnya dari indera juga dapat
berdusta. Seumpama bayangan rumah kelihatannya tak bergerak, namun
pada kenyataannya bayangan itu akan berpindah tempat juga. Serupa
dengan bintang-bintang yang ada di langit terlihat dari kejauhan atau dari
rumah sangatlah kecil, bahkan seakan dapat dikepal oleh tangan, akan
tetapi perhitunga menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari
bumi, bahkan tangan inipun tak dapat menggenggamnya.42
Karena terjadi
41
Inderawi atau diseut juga dengan Pancaindra merupakan sarana penangkap pertama
yang muncul dalam diri manusia, disusul dengan daya khayal yang menyusun aneka bentuk
susunan dari pertikular-partikular yang ditangkap oleh indra. Pancaindra ini pula mempunyai
banyak kelebihan dalam membantu kelancaran hidup manusia.Akan tetapi pancaindra ini
mempunyai kelemahan dan kekurangan tertentu di banding akal. Meskipun sebenarnya akal tak
bisa bekerja maksimal tanpa adanya pancaindra, namun dinyatakan bahwa di banding akal, panca
indra punya kelemahan seperti : (a) mata tak dapat melihat dirinya sendiri, (b) mata hanya dapat
melihat sebagian yang ada (c) mata tak dapat melihat sesuatu yangberkesudahan (d)mata tak dapat
menangkap apa yang ada di balik tabir (e) mata tak dapat melihat objek sensual karena terlalu
jauh, dan kadang terlalu dekat. (f) mata tak dapat melampaui dunia warna dan bentuk (g) mata
sering menangkap sesuatu tidak sesuai realitasnya sendiri. Meskipun begitu, secara kumulatif
pancaindra adalah sarana untuk mengetahui esensi segala sesuatu dalam dunia fisis-sensual.Lihat,
Al-Ghazâlî, Misykâtul Anwar. Penerjemah:Hasan Abrori dan Masyhur Abadi, (Suarabaya: Pustaka
Progressif, 1999), h. 48-57. 42
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 78. Lihat juga Nasution, Falsafat dan
Mistisisme, h.35-36.Lihat juga Al-Ghazali, al-Munqidz, h.4-5.
29
hal itu maka ia tidak lagi percaya akan pengetahuan yang panca indera
sampaikan. Kemudian ia berlari meletakkan kepercayaan pengetahuannya
kepada akal. Menurutnya akal adalah sesuatu yang berbenteng kuat di
puncak gunung yang tak terjangkau oleh tangan manusia karena kokoh
dan kuatnya.Itulah sebabnya Imam Al-Ghazali memberikan penghargaan
yang tinggi serta perhatian yang khusus pada akal sampai akhir hayatnya.
Tidak hanya itu secara operasional Imam Al-Ghazali telah
mengaplikasikannya dalam keseluruhan konsep pemikiran dalam berbagai
disiplin ilmu.Dapat dilihat secara konseptual statemen-statemen Imam al-
Ghazali mengenai akal dan dari logikanya dengan beberapa kitab yang
disusun khusus tentang logika.43
Lalu cara terakhir yang ia gunakan adalah dengan menggunakan
intuisi. Yang terkahir ini dalam pandangan Imam al-Ghazâlî mempunyai
peran penting dalam memperoleh ilmu.Ilmu yang di peroleh oleh intuisi
atau kalbu ini lebih mendekati ilmu hakikat, melalui ilham.44
5) Jiwa
43
Statemen-statemen seperti : akal merupakan inti dari hakikat manusia, cahaya batin
manusia, petunjuk dari kesesatan dan pembebas dari kegelapan , pangkal-tengah-serta ujung
keimanan, “tentara ” Allah untuk melawan setan dengan menyempitkan jalan-jalannya melalui
penalaran rasional, oleh sebab itu akal merupakan suatu yang paling mulia dan kekayaan yang
paling menguntungkan. Adapun keunggulan akal lainnya adalah: 1. akal dapat menangkap yang
lain, dirinya, juga sifat-sifat dirinya. 2. Semua yang ada merupakan lapangannya, sebab akal dapat
menjangkau objek-objek indera yang lainnya. 3. Akal dapat menangkap objek-ojjek akal yang tak
terhingga. 4. Akal dapat eroperasi dimana saja, sebagaimana akal dapat beroperassi di `Arasy, dan
lainnya, bahkan semua hakikat tak terhalang baginya (terkecuali hakikatnya zat, sifat dan
perbuatan Allah). 5. Akal juga tak berpengaruh ingin melihat dari jarak jauh ataupun dekat, 6.
Akal mampu menembus bagian dalam dan esensi serta rahasianya. 7. Akal menangkap hal-hal
yang sesuai realitas. Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, h.183 dan
h. 187. 44
Abdul Hakim- Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, h.
495-496.
30
BagiImam al-Ghazâlî jiwa adalah suatu zat (jauhar) dan bukan suatu
keadaan atau aksiden (`ardh), sehingga ia ada pada dirinya sendiri.
Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan sebaliknya.Jiwa
berada di alam spiritual sedangkan jasad berada di alam materi. Bagi
Imam Al-Ghazali jiwa berasal sama dengan malaikat, asal dan sifatnya
berasal dari ilahiyah. Ia tidak berawal dengan waktu ia tidak pre-eksisten,
seperti menurut plato juga fuilsuf lainnya. Bagi Imam al-Ghazâlî, jiwa
yang berasal dari Ilahi mempunyai potensi kodrari, yaitu
kecenderungannya kepada kebaikan dan keengganan kepada kekejian.
Pada waktu lahir, ia merupakan zat yang bersih dan murni dengan esensi
malaikat. Sedangkan jasad berasal dari `alam al-khalq. Karena itulah
kecenderungan jiwa kepada kejahatan (yang timbul setelah lahirnya nafsu)
bertentangan dengan tabiat aslinya. Kerena itu, jiwa rindu akan alam atas,
namun kerap kali diredam oleh keinginan duniawi.45
6) Tasawuf
Istilah Tasawuf telah dikenal di dunia Islam sejak abad kedua
Hijriah.46
Imam al-Ghazȃlȋ-pun mulai mendalami tasawuf ketika ia dilanda
keragu-raguaan dalam hidupnya (Skeptis). Dari situlah Ia yakin bahwa
45
Nasution, Filsafat islam, h.87-90. 46
Tetapi unsur-unsur yang sangat dasar dalam apa yang disebut tasawuf itu mulai
muncul ke permukaan saat pertengahan abad ke-3 H. Bertepatan dengan itu pula para sufi telah
membicarakan apa yang disebut ma’rifah...dalam artian pengenalan langsung akan Allah juga
bagaimana cara pencapaiannya. Lihat: Yayasan wakaf Paramadina, Ihya’ `Ulum al-Din Pemikiran
Keislaman Al-Ghazali (Jakarta: T.t, 1995), h. 42.
31
tasawuf adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran mutlak dan
tidak mungkin diperoleh melalui jalan lain.47
Imam al-Ghazâlî berpendapat bahwa sebelum mempelajari dan
mengamalkan tasawuf, orang harus memperdalam ilmu tentang syariat dan
akidah terelebih dahulu, dan menjalankannya secara tekun dan sempurna.
Karena itulah Ia mengembalikan ajaran tasawuf pada bingkai ajaran Al-
Quran dan As-Sunnah. Dalam tasawuf, pilihan Imam al-Ghazâlî jatuh
pada tasawuf sunni yang berdasarkan doktrin Ahl-As-Sunnah wa Al-
Jama`ah48
. Menurut Imam al-Ghazâlî, jalan tasawuf merupakan ilmu yang
mengandung kesempurnaan ilmu dan amal, memutuskan jalannya nafsu,
membersihkan dari akhlak yang tercela serta sifat yang jelek.49
Dalam hal
ini, penulispun melihat bahwa Imam al-Ghazali benar-benar menikmati
perjalanan tasawufnya. Dapat dilihat dari kesembuhan penyakit yang Ia
alami, hanya dapat sembuh dengan jalan tasawuf yang Ia jalani, yang
bahkan pengobatan dari dokter spesialispun tidak dapat
menyembuhkannya. Pada kejadian itu, dapatlah kita mengambil pelajaran
bahwa dengan tasawuf ini tidak hanya membersihkan diri kita dari luar
47
Yayasan wakaf Paramadina, Ihya’ `Ulum al-Din Pemikiran Keislaman Al-Ghazali, h.
43-45. 48
Tasawuf terbagi menjadi 2, tasawuf Falsafi dan Tasawuf sunni. Dalam hal ini Imam
al-Ghazâlî mengambil Tasawuf Sunni, dimana Tasawuf sunni adalah salah satu aliran tasawuf
yang tidak dicampuri oleh falsafat atau para pelakunya, hanya berusaha mengikuti Alquran dan
Hadits dengan sebaik-baiknya serta membersihkan hati dan pikiran, juga memperbaiki akhlak
serta ibadah mereka disisi Allah SWT. Karena itulah penganutnya condong menjauhi hal-hal
yang bersifat keduniaan, jabatan, kekayaan, dan hal lain yang bisa mengganggu ibadahnya
kepada allah Swt. Lihat, Dalami Islam, “Tasawuf Sunni: Pengertian, Sejarah, dan Manfaatnya”,
artikel diakses pada 04 Januari 2018 dari https://dalamislam.com/dasar-islam/tassawuf-sunni 49
Bachrun Rifa`i dan Hasan Mud`is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2010), h. 131.
32
saja, melainkan juga membersihkan penyakit yang ada pada diri kita yang
paling dalam. Seperti penyakit hati, syirik, kikir, dan lain sebagainya.
D. Karya-karya Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali adalah seorangyang dalam ilmunya dalam berpikir,
Ia juga mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan
buku telah ditulisnya, meliputi berbagai ilmu.Diantaranya adalah bukunya
yang membahas tentang Theologi Islam (ilmu kalam), Hukum Islam (fiqh),
Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan Adab Kesopanan, kemudian
autobiografi.50
sebagian besar buku karangannya ialah dalam bentuk tulisan
bahasa Arab, ada juga yang berbahasa Persi. Dengan tulisan dan pemikirannya
itu ia menjadi orang yang sangat berpengaruh dalam kalangan khalayak ramai,
terkhusus oleh kalangan kaum Muslim. Sehingga orang-orang ahli ketimuran
memandang bahwa agama Islam yang kaum Muslimin gambarkan ini berasal
dari Konsepsi Imam Al-Ghazali.
Karena ketekunannya dalam belajar, mengajar, mengarang bahkan
juga tekun dalam beribadah, tak heran jika buah hasil dari yang ia kerjakan itu
berdampak sangat dahsyat, bukan hanya utnuk dirinya tetapi juga untuk
manusia.Namun karena keluasan ilmu yang ia miliki, maka agak sulit
menentukan bidang spesialis apa yang ia geluti. Sebab pada masa hidupnya ia
tidak hanya belajar satu ilmu, namun banyak ilmu. Maka dari itu tidaklah
patut jika dikatakan Imam Al-Ghazali menguasai satu bidang saja. Benar
50
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h. 198.
33
adanya jika ia diberikan gelar “Hujjah al-Islam”, sebab kemampuannya dalam
mematahkan pendapat para filosof saat pendapat itu berlawanan dengan yang
diajarkan Islam pada umumnya. Hal itu menunjukkan kemampuannya dalam
berfalsafat, di lain hal ia juga mampu dalam ilmu lainnya.51
Bahkan B.B.Mac Donald berpendapat bahwa sampai pada saat inipun
Imam Al-Ghazali masih menjadi tokoh yang terbesar, sama halnya seperti
kedudukan Aquinas dalam dunia Kristen..52
Dimulai dari kitab terbesarnya:
1) “Ihya’ `Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama)” yang
memiliki ketenaran yang sangat luar biasa, bahkan bukan hanya terkenal
pada kaum Muslimin saja, namun juga sampai ke kalangan dunia Barat
dan luar Islam. Karya terbesarnya ini memiliki proses perjalanan yang
berpindah-pindah tempat. Mulai dari Damaskus, Yerussalem, Hijaz, dan
Thus yang berisi paduan antara fikih, Tasawuf, dan Falsafatnya.
2) “Tahafut Al-Falasifah (kekacauan pikiran para filosof)” Buku ini Ia
karang sewaktu berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan.
Dibuat untuk menyelamatkan kaum Muslim pada saat itu dari kesesatan
berpikir para filosof. Sehingga benar-benar isi di dalam bukunya ini
berisikan kecaman yang sangat keras kepada para filsuf pada saat itu.
3) Maqashid al-Falasifah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), buku ini adalah buku
karangannya yang pertama, dan berisi tentang masalah-masalah falsafat.
51
Dewi Komalasari, Takhrij Al-Hadits Kitab Minhaj Al-Abidin Karya Imam al-Ghazali
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, Ushuluddin, Program Studi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir,2017),
h. 21. 52
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h.199.
34
4) Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan), buku ini
merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Imam Al-Ghazali sendiri
dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macamilmu serta jalan
mencapai Tuhan.
5) Bidayatul Hidayah mengenai tentang etika dan akhlak
6) Al-Munqidz Min al-Dhalal (Penyelamat dari kesesatan)
7) Fadhaih al-bathiniyah (Kejelekan Bathiniyah)
8) Al-Risalah al-Ladunniyah (Pembahasan tentang Ilmu Ladunni)
9) Al-Arba`in fi Ushul al-Din (40 Dasar dalam Agama)
10) Maqashid Falasifah (Macam-macam Ahli Filsafat)
11) Majmu`ah al-Rasail (Kumpulan Tulisan-tulisan)
12) Ma`arij al-Qudsi (Tasawuf dan Konsep Ilmu Pengetahuan)
13) Al-Wajiz (Fiqih Madzhab Syafi`i)
14) Mi`yaru al-`Ilmi (Ilmu Logika)
15) Minhajul Abidin (Akhlaq) secara harfiah berarti Pedoman Dasar bagi para
Ahli Ibadah. Minhajul ini termasuk ke dalam kitab tasawuf. Kitab ini di
tulis saat Imam Al-Ghazali sudah mendekati wafatnya. Kitab ini terbit di
kota Jedah, Singapura, dan Indonesia. Lalu yang menerbitkannya adalah
al-Haramain, akan tetapi terbitan itu tanpa tahun. Cover kitab ini berwarna
hitam, kertas kuning dan memiliki 108 halaman yang terdiri dari tuju ba
atau kita kenal dengan judul. Dalam kitab ini memuat akan hadis-hadis
dan ayat-ayat al-Qur`an yang terkait masalah ibadah beserta dengan
penjelasannya.
35
16) Asas al-Qiyas (Ushul Fiqh)
17) Al-Mustashfa (Ushul fiqif)
18) Adabu al-Nikah wa Kasri al- Syahawat (Etika Menikah dan Memecah
Syahwat)
19) Al-Iqtishad fi al-I`tiqa,
20) Maqashid Asma fi Al-Ma`ani, Asma al-Husna
21) Faishal At-Tafriqat
22) Qitsas al-Mustaqim (Neraca yang Lurus)
23) Hujjat al-Haq
24) Munfashil Al-Khilaf fi Ushul Ad-Din
25) Al-Muntahal fi Ilm Al-Jadal
26) Al-Madinum bin Al-Ghair Ahlihi
27) Mahkum An-Nadhar
28) Ara Ilmu Ad-Din
29) Arba`in fi Ushul Ad-Din
30) Iljam Al-Awam `an Ilm Al-Kat (Membentengi Orang Awam dari Ilmu
Kalam)
31) Mi`yar al-`Ilm (Standar Pengetahuan)
32) Al-Intishar
33) Isbat an-Nadhar
34) Al-Basith
35) Al-Wasith
36) Al-Khulashah Al-Mukhtasar
36
37) Al-Mankhul
38) Syifakh Al-`Alil fi Qiyas wa Ta`lil
39) Adz-Dzari`ah Ila Makarim Al-Syari`ah
40) Yaqul At-Ta`wil fi Tafsir At-Tanzil
41) Zawahir Al-Quran
42) Mizan Al-Amanah (Timbangan Perbuatan)
43) Kimya As-Sa`adah
44) Misykat Al-Anwar
45) Muhasyafat Al-Qulub
46) Ad-Dar Fiqhiratfi Kasyf `Ulum
47) Al-Aini fi Al-Wahdat
48) Al-Qurbat Ila Allah Azza wa Jalla
49) Akhlak Al-Abrar wa Najat min Al-Asrar
50) Nashihat Al-Mulk
51) Talbis Al-Iblis
52) Al-`Ilm Al-Laduniyyah
53) Al-Ma`khadz
54) Al-`Amal
37
BAB III
TENTANG PENCIPTAAN ALAM
A. Definisi Kosmologi (Penciptaan Alam)
Segala sesatu yang diciptakan Tuhan disebut dengan makhluk, sedang
Tuhan yan mencipta disebut dengan Khalik. Dalam konsep penciptaan hanya
di kenal dengan dua istilah yaitu alam sebagai yang diciptakan dan Allah
sebagai pencipta. Alam adalah ciptaan Allah, maka alam merupakan makhluk
yang berbeda esensi, sifat dan karakternya dari Sang Pencipta. Alam adalah
tanda-tanda kekuasaan dan keberadaan Tuhan, satu-satunya realitas yang
patut di sebut realitas terakhir (The Ultimate Reality). Karena itu mempelajari
alam semesta sama dengan mepelajari tanda-tanda Tuhan. Sehingga dengan
mempelajari tanda-tanda Tuhan, seorang ilmuwan dapat menunjukkan
adanya Tuhan, Sang Realitas terakhir. Namun untuk mendapatkan smeua itu
tidak dapat hanya dengan mengenal kulitnya saja. Tapi juga harus sampai ke
dalam-dalamnya (yaitu isinya). Alam juga dicipta dengan sengaja dan
terncana, bukan secara kebetulan ataupun keniscayaan, selain itu alam
semesta tidak bersifat abadi.1
Alam berasal dari bahasa Arab dengan bentuk singular (mufrad) dari kata
‘ālam. Sedang bentuk pluralnya (Jam’) dari ‘ālam adalah ‘awālim dan ‘alāmūn.
1Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhn, Alam, dan
Manusia.(Jakarta: Erlangga), h. 8.
38
Seluruh kata tersebut memiliki arti yang sama yaitu seluruh makhluk atau
segala sesuatu selain Allah. Beberapa ensiklopedi menjelaskan secara
etimologis bahwa segala sesuatu selain pencipta adalah al-‘ālam. Label al-
‘ālam disematkan kepada seluruh makhluk yang ada tanpa membedakan
ciptaan itu berakal atau tidak. 2
Adapun alam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala yang ada
di langit dan di bumi, segala sesuatu yang ada di duni ini, yang bukan buatan
manusia.3 Sedangkan dalam kamus lainnya alam adalah jagat raya yang belum
di ketahui juga diketahui, dan segala sesuatu yang diciptakan Tuhan.4
Pada terjemahan lainnya alam disebut juga sebagai kosmologi.
Sebagaimana Lorens Bagus dalam kamus filsafatnya menyatakan bahwa
kosmologi dalam bahasa Inggris: cosmology; dari bahasa Yunani kosmos
(dunia, alam semesta) dan logos (ilmu tentang, alasan pokok bagi, suatu
pertimbangan).
Secara umum kosmologi dianggap sebagai cabang metafisika yang
bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai asal dan susunan alam raya,
penciptaan dan kekekalannya, vitalisme atau mekanisme, kodrat hukum, waktu,
2 Eka Putra Wirman, Hukum Alam dan Sunnatullah: Upaya Rekonstruksi Pemahaman
Teologis Di Indonesia, Ilmu Ushuluddin Jurnal Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin (HIPIUS).
Volume 1, nomor 1, 2010, h. 142. 3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia- edisi
keempat.(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), h. 34. 4 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Tt, Tp: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara), h. 28.
39
ruang, dan kausalitas. Analisis kosmologi mencoba mencari apa yang berlaku
bagi dunia ini.5
Sedangkan dari kamus bahasa Inggris kosmologi berasal dari kata Cosmos yang
memiliki arti “dunia, dunia yang didalamnya telah tersusun secara teratur suatu
benda”.6 Sementara kosmos yang berasal dari bahasa Belanda adalah: Jagat raya,
alam semesta, alam dengan segala isinya.7 Dalam kamus populer filsafat,
kosmologi adalah falsafah yang mengenai alam raya.8 Lalu dalam Kamus
UmumBahasaIndonesia alam adalah dunia yang berisikan semesta9 segala yang di
langit juga di bumi.10
Dalam mengartikan alam, seorang filosof yang dikenal al-Razi mengatakan bahwa
alam adalah sebuah penciptaan yang mempermulakan adanya alam. Sebagaimana
di dalam alam itu terdapat sebuah ruang, juga bagian atom-atom tidak mempunyai
volume, sebab tidak terbagi di dalamnya.11
Sebelum masuk kebagian selanjutnya, Ikhwân al-Shafâ juga mempunyai
pendapat akan alam. Dimana penjabaran tersebut dikatan dalam kitab al-Ta`rifat,
bahwa alam menurut bahasa adalah apa yang dengannya diketahui sesuatu, dan
5 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 499.
6 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan,(Tt,Tp: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN)), h.538. 7 Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996), h.721. 8 Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet.
3, h.48. 9 Poerwadarminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi ke-3,(T.tp: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, t.t), h. 22. 10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi
ke-4, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 34. 11
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof danFilsafatnya, h. 119.
40
menurut isilah , alam adalah semua yang ada selain Allah. Pengertian dalam arti
istilah itulah yang dimaksudkan dengan alam disini.12
Ditambah lagi dengan pengertian kosmologi Ibn `Arabi bahwa:
“Cosmology is the science that studies the universe, the
cosmos. Cosmos is a word used in earlier Greek
metaphysichal thought that means `harmony` or `order`, as
opposed to chaos. In one Greek Theory of creation, chaos is
the formless matter from which the cosmos, or harmonious
order, was created.”13
B. PENCIPTAAN ALAM DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN
1. Ayat Penciptaan yang Berbicara Soal Masa
a. QS. Yunus (10: 3) :
Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah yang menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy
(singgasana) untuk mengatur segala urursan.Tidak ada yang dapat
memberi syafaat kecuali setelah izin-Nya.itulah Allah, Tuahnmu, maka
sembahla Dia. Apakah kamu tidak mengambil pelajaran? Yunus/10: 3).14
12
Syarifah Syafe’i, Alam Rohani Dalam Filsafat Ikhwan Al-Shafâ, (Tesis IAIN Imam
Bonjol Padang: Program Studi Pengkajian Islam, 2006), h. 65. 13
Mohammad Haj Yousef, Ibn `Arabi-Time and Cosmology, (T.tp: T.p, T.t), h. 1. 14
Dalam ayat ini memiliki penafsiran bahwa penciptaan alam pada enam masa ini,
bukanlah hari seperti yang dipahami oleh manusia pada saat ini. “enam hari ya dihitung dari satu
sampai enam”. Karena hari itu adalah perhitungan hari dimana setelah terciptanya langit dan
bumi.”Dengan demikian hari yang dimaksud pada ayat ini adalah masa sebelum itu, masa dimana
Alam raya ini belum tercipta. Hari atau masa yang disebutkan dalam al-Qur`an hanyalah Allah
yang mengetahui berapa lamanya. Namun dalam al-Quran pun menjelaskan bahwa satu hari disisi
Allah itu ialah sama dengan 1000 (seribu) tahun, Qs. Al-Hajj/22:47. Dalam ayat lain menyatakan
bahwa satu hari itu sama dengan lima puluh ribu tahun dalam hitungan manusia, QS. Al-Ma`ārij/
70: 4.
41
b. QS. Hūd/11: 7 :
Dan dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
dan adalah `Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di anara
kamu yang leih baik amalnya. (Hūd/11: 7).
c. QS. al-Hadīd (57 : 4) :
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:
kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk
ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari
langit dan apa yang naik ke sana. Dan Dia bersama kamu di mana pun
kamu berada. Dan allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-
Hadīd/57: 4)
d. QS. al-Furqan (25: 59):
Yang menciptakan bumi dalam enam masa, kemudian Dia
bersemayam di atas `Arsy, (Dialah) Yang Maha Pengasih, maka
tanyakanlah (tentang Allah) kepada orang yang lebihmengetahui
(Muhammad). (al-Furqān/ 25: 59)
42
e. QS. Qāf (50: 38) :
Dan sungguh, kami telah menciptakan langit dan bumi dan apa
yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan kami tidak merasa letih
sedikit-pun (Qāf/50: 38).
f. QS. al-Sajdah (32: 4):
Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di
antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di ata
`Arsy. Bagimu tidak ada seorangpun penolong maupun pemberi syafa`at
selain Dia. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (as-Sajdah/ 32: 4).
2. Ayat-ayat yang Terkait Proses Penciptaan Alam
a. QS.Fushshilat/ 41: 9-12
43
Katakanlah: "Sesungguhnya Patutkah kamu kafir kepada yang
menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu
bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam" dan
Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi
orang-orang yang bertanya, kemudian Dia menuju kepada penciptaan
langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya
dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku
dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang
dengan suka hati". Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua
masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan Kami hiasi
langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang
Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.
b. QS. Al- Anbiya/ 21: 32-33
dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara,
sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang
terdapat padanya dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang,
matahari dan bulan. masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam
garis edarnya. Maksudnya: yang ada di langit itu sebagai atap dan yang
dimaksud dengan terpelihara ialah segala yang berada di langit itu dijaga
oleh Allah dengan peraturan dan hukum-hukum yang menyebabkan dapat
berjalannya dengan teratur dan tertib.
c. QS. Al-Furqon/ 25: 61
Maha suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan
bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang
bercahaya.
3. Ayat-ayat yang Terkait Dengan Pemisahan Langit dan Bumi
a. QS. Fushshilat (41: 11-12) :
44
Kemudian Dia menuju ke langit dan langit itu masih berupa asap,
lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu
berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa.”keduanya
menjawab, “Kami datang dengan patuh.” Lalu diciptakan-Nya tujuh
langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit
urusannya.Dan kami hiasi langit-langit yang dekat dengan bintang-
bintang yang cemerlang, dan Kami memeliharanya dengan sebaik-
baiknya.Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi
Mahamengetahui.(QS. Fushshilat [41]: 11-12)
b. QS. al-Anbiya’ (21: 30) :
Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian
kami pisahkan antara keduanya, dan dari air Kami ciptakan segala
sesuatu yang hidup.Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?
(QS al-Anbiya’ [21] : 30)
4. Ayat yang terkait Metafora
a. QS. An-Nur (24: 35) :
45
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan
cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[1039], yang
di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu
seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun
tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
C. PENCIPTAAN ALAM DALAM PERSPEKTIF FILOSOF BARAT
Para pemikir Yunani Kuno pada abad 6 dan 5 SM, mereka telah
memikirkan asal-usul alam. Mereka adalah :
1. Thales (610 – 546 SM)
Thales adalah filsuf yang paling terkemuka di antara para filsuf Yunani. Ia
muncul pada paruh kedua abad ke-6 SM dan ia menguasai ilmu ukur (geometri)
yang di pelajarinya di Mesir selesainya iapun mengembangkan pemikirannya itu
di Yunani. Ia adalah filsuf yang menjelaskan bahwa alam berasal dari air. Sebuah
kehidupan itu terbentuk di dalam air dan air adalah unsur utama yang merupakan
cikal-bakal terbentuknya unsur-unsur yang lain. Hal itu ia buktikan dengan
menyatakan bahwa air itu bisa berubah dan membuat berbagai bentuk.15
15
Dalam pemikiran Thales ada Aristoteles yang menyatakan bahwa sebuah pemikiran
Thales itu dilandasi karena pengaruh apa yang ia lihat. Karena ia melihat pengaruh air hujan pada
46
2. Anaximandros (585 – 528 SM)
Menurutnya alam ini berasal dari udara. Kenapa udara? Sebab udara
merupakan bahan dasar yang membentuk semua benda yang ada dalam alam
semesta. Jika kumpulan udara sangat banyak maka ia berubah bentuk menjadi
awan atau sesuatu yang dapat dipandang mata; jika basah maka ia menjadi air
hujan; dan jika awan menjadi semakin padat, maka ia menjadi tanah atau batu
atau bahkan badan manusia.16
3. Heraklitos (544 – 483 SM)
Kira-kira pada 501 SM di Ephesos, muncul seorang pemikir yang memiliki
ketajaman pengamatan, kedalaman pemikiran ialah Herakleitos. Mempunyai
analisa terhadap alam, bahwa alam ini tidaklah kekal, sebab seluruh semesta ini
berisikan bintang-biontang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda mati, segala
sesuatu itu berubah, mengalir, dan berganti. Ciumlah saja bunga mawar untuk
yang pertama kali, pasti akan berbeda untuk yang kedua kalinya, begitulah ia
menggambarkan ketidak tetapan bumi ini.
Api adalah unsur yang paling ringan dan paling cepat gerakannya, maka dari
itu Herakleitos menjadikannya sebagai unsur utama yang darinya unsur-unsur lain
terbentuk. Api melahap apa-pun yang bersentuhan dengannya dan di alam ini
tidak ada sesuatu yang mempu menahan lahapannya. Di antara api, air, udara serta
tanah, ada gerakan siklus yang bersambung tanpa mengenal istirahat dan diam,
maka tanah berubah menjadi air, air menguap menjadi awan, lalu menjadi udara
dan udara menyala lalu kembalimenjadi api. Disini api adalah hakim tertinggi
tumbuhnya tanaman, serta cairan bahan reproduksi pada binatang dan cairan bangkai ketika
terurai. 16
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 87.
47
yang segala sesuatu tunduk pada keputusannya, sebab ketika ia melahap apa yang
ada disekitarnya maka ialah yang akan tetap abadi. Begitulah pendapat
Herakleitos.17
Heraklitos yang berasal dari Yunani, Kehidupan maupun karyanya tidak
begitu jelas diketahui jika tidak dikaji ulang karya-karyanya. Sebab satu-satunya
buku yang telah ia tulis sudah hilang.18
Akan tetapi dapat diketahui bahwa
penuntun falsafatnya adalah logos (ide pokok yang mendasari semesta
alam).logos merupakan norma bagi pikiran dan perbuatan, sedangkan mengetahui
logos itu ialah tugas utama. Sebab Logositu menyatukan yang berlawanan, dan
berkaitan atau berhubungan dengan beberapa unsur.19
Sebagaimana sejarah menulis kehidupan Heraklitos, ia adalah filosof yang
mempunyai pemikiran juga pandangan yang berbeda dari para filosof lainnya.
Tak heran jika filosof-filosoftertarik dalam membahas masalah substansi yang
menjadi sebab atau asal dari alam.Heraklitos juga tertarik pada masalah
perubahan-perubahan yang terjadi pada alam (Problem of Changing or
Becoming).Heraklitos sangat percaya bahwa dalam alam ini terjadi pluralitas,
sebab Heraklitos sangat terpengaruh oleh kenyataan bahwa alam ini mengalami
perubahan terus menerus.20
Baginya pun alam ini adalah abadi, namun apa yang
ada di alam ini tidaklah tetap juga permanen. Karena apapun yang terlihat tetap
17
Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jurr, Riwayat Filsafat Arab, jilid 1, penerjemah: Irwan
Kurniawan, (Jakarta: Sadra Press, 2014), h. 41-42. 18
Simon Blackburn, Kamus Filsafat,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) h. 396. 19
Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) h. 35.
Lihat juga di, Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metologi sampai
Teofilosofi (Bandung : Cv.Pustaka Setia, 2008) h.164. 20
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metodologi
sampai Teofilosofi (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008) h.163.
48
sebenarnya ia berada di dalam proses perubahan yang tiada henti-hentinya.
Sebagaimana pandangannya akan alam itu dapat dilihat pada ucapannya :Pan
tarhei kai uden menei, semuanya mengalir dan tidak ada satupun yang tinggal
menetap. Engkau tidak bisa turun dua kali kedalam sungai yang sama,dan
Matahari setiap harinya berubah. Heraklitos juga menyatakan bahwa alam ini
terdiri dari satu unsur saja, yaitu api.
Dapat dilihat pernyataan dari kesimpulan Heraklitos tentang alam adalah
bahwa alam itu tidak tetap , selalu berubah. Oleh karena itu di dalam alam tidak
terdapat ada.Yang terdapat disana, hanyalah gerak atau perubahan
semata.Sehingga geraklah yang merupakan kesungguhan, gerak itu pulalah satu-
satunya realitas.21
4. Plato (428/427 – 348/347 SM)
Plato juga salah satu tokoh filosof yang mampu mempengaruhi daya gugah
dan gaya getar agama.22
Menurutnya alamberada di dalam ruang, dan sesuatu
yang berada di dalam ruang23
adalah sebuah materi yang bisa di observasi
untukdiberi arti oleh akal (ratio).24
Plato juga secara jelas membicarakan masalah
alam di dalam dialognya yang berjudul “Timaeus”. Diketahui bahwa kosmologi
21
Wila Huky Ba, “Capita Selecta Pengantar Filsafat” (Surabaya: Usaha Nasional, 1982)
h.70-71. 22
Tim nuansa, Plato Filosof Yunani Terbesar,(Bandung: Nuansa cendekia, 2009), h. 5. 23
Ruang adalah konsep ontologis yang ada pada daya nalar manusia, karena itu ruang
harus di hubungkan dengan obyek agar dapat diberi arti, misalnya ruang ini, ruag itu dsb.Ruang
mempunyai hubungan atau berkaitan dengan materi dan waktu.Sehingga di sebut materi, ruang,
dan waktu.Sebab tidak ada materi berkembang tanpa ruang.Dan tidak ada materi berkembang
tanpa waktu. Karena jika terdapat materi dalam ruang, maka materi bisa mempunyai saling
hubungan antara yang satu dengan yang lain, sedang jika di dalam waktu maka akan mebuat
materi itu bisa berkembang. Sedang ruang adalah sesuatu yang mempunyai luas juga dapat diisi
oleh materi.Oleh sebabnya ruang dapat dicapai lebih dari satu kali ataupun beratus kali.Sedang
waktu adalah detik-detik yang terus bersambung tiada henti, dan terus maju.
Prawironegoro,Filsafat Ilmu (Jakarta : Nusantara Consulting, 2010), h. 163. 24
Prawironegoro, Filsafat Ilmu (Jakarta : Nusantara Consulting, 2010), h.141.
49
yang ia ajarkan tidaklah jauh dari kisaran permasalahan terciptanya dunia beserta
susunannya. Sedangkan baginya pemeran utama dari semua itu adalah seorang
“Demiurgos” (seorang pemeran yang menciptakan kosmologi) sebutan akrab yang
Plato lontarkan untuk seorang pencipta.25
Bagi khalayak ramai pasti akan
beranggapan bahwa sebutan itu pastilah terdengar asing dan sangat aneh. Namun
bagi Plato arti tersebut mempunyai makna tertentu yang sangat penting.26
Dari isi buku tersebut, dapat kita pahami, bahwasanya Plato beranggapan
bahwa dunia ini tidak mungkin abadi, sebab ia sebagai sesuatu yang kasat mata.,
dan di cipta oleh Tuhan. Mengapa Tuhan? Karena Tuhan bersifat baik, Ia
menciptakan dunia berdasarkan contohnya yang kekal. Tanpa ada rasa cemburu,
Ia menghendaki segala sesuatu sedapat mungkin mirip dengan diriNya sendiri.
Sebagaimana yang tertera dalam dialognya
“Tuhan menginginkan agar segala sesuatu bersifat baik,
tak ada yang buruk, sebisa-bisanya.” “Karena mengetahui
bahwa semua kenyataan yang kasat mata tak pernah diam,
namun senantiasa bergerak dengan cara yang tak tetap dan
tak tertib, maka dari ketidaktertiban itu Ia ciptakan
ketertiban. ”
Baginya Tuhan menciptakan dunia ini secara keseluruhan sebagai sau
makhluk hidup yang memiliki jiwa dan kecerdasan. Dunia ini hanya satu, bukan
banyak, sebagaimana yang para filosof pra-Sokrates ajarkan. Tak mungkin ada
lebih dari satu dunia, sebab dunia ini adalah salinan yang diciptakan agar sedapat
25
Demiurgos berasal dari bahasa Yunani yang berarti “pekerja” dimana orang tersebut
menyerupai tukang kayu. Dalam hal ini Plato memahamkan bahwa dunia yang kita tinggali ini
adalah sesuatu yang terbentuknya mirip sekali dengan sebuah kursi. Sebagaimana seorang tukang
kayu sebelum membentuk sebua kursi, terlebih dahulu ia ciptakan konsepnya, atau sebuah bentuk
kursi sebagaimana yang ia inginkan. Begitu pulalah Demiurgos menciptakan dunia ini menurut
suatu bentuk tertentu yang ia inginkan. Dalam hubungannya dengan masalah ciptaan ini, bentuk-
bentuk bersifat abadi. Louis, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogja, 2004), h.257-
258.
50
mungkin sesuai dengan contohnya yang asli dan kekal yang hanya diketahui oleh
Tuhan.
Empat unsur berupa air, api, udara dan tanah, adalah sebuah bilangan yang
senantiasa dalam perimbangan. Sebab api berimbangnya kepada udara
sebagaimana udara berimbang dengan air dan sebagaimana air berimbang dengan
tanah. Baginya semua unsur tersebut Tuhan gunakan untuk menciptakan dunia,
sehingga dunia menjadi sempurna, dan tak mungkin dirundung usia, maupun
termakan penyakit. Duniapun diselaraskan oleh perimbangan, sehingga ia
memiliki persahabatan, dan dengan demikian tak termusnahkan kecuali oleh
kehendak Tuhan. 27
5. Aristoteles (384 – 322 SM)
Tulisan Aristoteles yang paling banyak adalah tentang alam, dimana ia
menulis tentang langit dan bintang-bintang, tentang gerak yang muncul lalu
menghilang, tentang jenis hewan dan sejarahnya, tentang tumbuh-tumbuhan dan
juga jiwa.28
Tulisan dari pengetahuannya yang luas itu ia peroleh berdasarkan
pengamatan yang ia lakukan, juga pengalaman yang ia alami atau
rasakan.Aristoteles mempunyai makna tersendiri tentang alam, bahwa alam dalam
pandangannya adalah alam yang meliputi semuanya, berhubungan dengan materi
dan badan-badan yang bergerak juga diam. Alam juga akan ada untuk selama-
lamanya, hal ini karena ia mempunyai anggapan bahwa waktu itu tidak berhingga.
Lalu ia melanjutkan bahwa bagian alam yang paling sempurna adalah penggerak
27
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat : kaitannya dengan kondisi sosio-politik
zaman kuno hingga sekarang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 3, 2007), h. 195-196.
Penerjemah: Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad
Shodiq. 28
Muhammad Hatta, Alam Pikiran Junani (Jakarta : PT.Tintamas Indonesia, 1964), h. 75.
51
pertama yaitu langit, memiliki bentuk bulat, dan membawa beredar bintang-
bintang yang tersangkut padanya.
Aristoteles berupaya membuktikan bahwa alam semesta ini kekal, abadi,
tiada awal maupun akhir. Demikianpula langit seluruhnya tidak disebabkan juga
tidak dapat rusak.29
Sehingga dapat diketahui bahwa menurut Aristoteles setiap
perubahan itu di motivasi oleh sebuah sebab eksternal. Filsafat Yunani, sepertinya
Aristoteles menganggap bahwa Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan sebagai
penggerak pertama (Prima Causa).
Khanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jurr dalam buku Riwayat Filsafat Arab juga
menyatakan pendapat Aristoteles, bahwa Tuhan adalah penggerak yang tidak
bergerak. Akal-akal-lah yang menggerakkan alam langit, dan alamlah yang
menjadi sumber gerakan. Dalam hal ini ia mengagungkan gerak, bahwa gerak
tidak ada awal juga akhir, ia bersifat azali. Adapun yang lain bergerak, itu
disebabkan gerakan yang ada di luarnya.
6. Descartes
Descartes menyatakan bahwa alam kebendaan itu harus ditentukan secara
geometri, yang tunduk pada hukum-hukum ilmu ukur. Hakikat benda adalah
panjang, lebar dan tingginya, sedangkan materi adalah substansi yang terbentang
dalam ruang, yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.30
Dalam hal ini
Descartes menyatakan bahwa ilmu alam memiliki satu pengertian yang sama
dengan Metafisika, utuh tanpa ada perbedaan yang membuatnya berbeda sangat
jauh. Lalu dari hasil penelitian buku yang dibaca, maka penulis menyimpulkan
29
Bruno Guiderdoni, Membaca Alam Membaca Ayat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka,
2004) Penerjemah: Anton Kurnia dan Andar Nubowo, h. 102. 30
Prawironegoro, Filsafat iImu, h. 142.
52
bahwa sebenarnya adanya alam sama halnya dengan adanya makhluk hidup di
muka bumi ini. Seperti halnya manusia ada tidaklah ada dengan sendirinya,
namun ada yang menghadirkan dirinya, begitupuladengan alam ini. Sebagaimana
ia pernah mengatakan bahwa “ aku mempunyai konsepsi tentang ada, yang
sempurna yang jelas dan tegas. Untuk menghasilkan konsepsi semacam itu
dengan daya sendiri aku haruslah sempurna.Namun mau bagaimanapun aku ada,
aku bukanlah yang menyebabkan diriku sendiri. Jadi konsep tersebut bukanlah
dari diriku sendiri dan harus berasal dari Tuhan”.31
Table 1.1
Tabel Penciptaan Alam Menurut Filosof Barat
NO TOKOH PEMIKIRAN
1 Thales (610 – 546 SM)
Ia percaya bahwa alam semesta
ini bermula dan terbentuk dari
air.
2 Anaximandros (585 – 528
SM)
Menurutnya alam ini tercipta
dari udara. Sebab udara
merupakan bahan dasar dari
pembentukan semua benda yang
ada pada alam semesta ini.
Seperti adanya huja tercipta dari
udara, sebab jika udara sangat
banyak, maka ia berkumpul dan
berubah menjadi awan, dan
awan tersebut yang menurunkan
air hujan. Dsb.
3 Heraklitos (544 – 483 SM)
Menurutnya alam ini tercipta
dari api,baginya api adalah
hakim tertinggi yang segala
sesuatu tunduk pada
keputusannya.
Ia mengemukakan bahwa alam
semesta ini kekal, akan tetapi
apa yang ada di dalamnya
tidaklah abadi (kekal). Sebab
didalam alam semesta tidak
terdapat “ada”, hanya terdapat
31
Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984 ) h. 69-77.
53
gerak, dan perubahan semata.
4 Plato (428 – 348 SM)
Baginya alam semesta ini
berada di dalam ruang, dan
semesta ini ada seorang pemeran
yang menciptakannya.
Ia juga percaya bahwa keempat
unsur air, api, tanah, dan udara
Tuhan gunakan untuk
menciptakan dunia, sehingga
terciptalah dunia yang sempurna
ini.
5 Aristoteles (384-322 SM)
Baginya alam semesta ini
meliputi segalanya, baik itu yang
berhubungan dengan materi,
badan-badan yang bergerak,
juga diam.
Baginya alam itu kekal, tidak
berawal juga tidak berakhir.
6 Descartes (596 – 1650 SM)
Ia percaya bahwa alam ini ada
yang menghadirkannya, sebab
adanya alam tidaklah mungkin
tercipta dengan sendirinya. Dan
penghadir tersebut adalah
Tuhan.
D. PENCIPTAAN ALAM DALAM PANDANGAN FILOSOF MUSLIM
a) Al-Kindi (180 – 260 H / 796 – 873 M)
Al-Kindi memiliki nama lengkap Abdul Yusuf Ya`qub bin Ishaq bin Ash-
Shabah bin `Imran bin Isma`il bin Muhammad bin al-Asy`ats bin Qeis al-Kindi.
Ia termasuk dari keturunan yang terpandang, yang berasal dari kabilah Kindah. Ia
terkenal dengan keberhasilannya dalam memasukkan ilmu falsafat ke dalam
khazanah pengetahuan Islam. Sayangnya corak kefalsafatan yang ia miliki tidak
banyak diketahui karena banyaknya buku-buku falsafatnya yang hilang.32
32
Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.10, 2008), h. 64-
68.
54
Bagi al-Kindi aktivitas mulia yang dilakukan manusia adalah aktivitas
mencari dan mengamalkan kebenaran, yakni berfalsafat. Dan falsafat yang paling
utama dari segala falsafaat adalah falsafat pertama. Yakni upaya untuk
mengetahui seba pertama, yakni Tuhan. Dalam hal pembuktian akan falsafat
pertamanya, al-Kindi berargumen untuk menunjukkan adanya Tuhan.33
Dimulai pada argumennya yang pertama, bahwasanya alam itu baharu juga
memiliki permulaan waktunya, sebab alam ini terbatas. Setiap yang baharu,
haruslah dan pasti ada yang menyebabkan alam ini terjadi (ada yang
menjadikannya). Karena setiap benda yang ada tidaklah akan mungkin muncul
dengan sendirinya, ataupun menciptakan dirinya sendiri, semua itu pasti ada yang
menyebabkannya. Dengan demikian, hal di atas mempunyai kesimpulan bahwa
alam ini diciptakan oleh pencipta-Nya dari tiada.34
Dalam memperkuat argumentasinya, Al-Kindi mengemukakannya secara
filosofis, bermula dari sebuah pertanyaan “Apakah mungkin sesuatu menjadi
sebab bagi wujud dirinya?” maka dengan tegas Al-Kindi menjawab, “bahwa itu
tidak mungkin, karena alam ini mempunyai permulaan waktu dan setiap yang
mempunyai permulaan pasti mempunyai kesudahan pula”.Dicontohkan “pada
suatu benda yang ada, karena terdapat suatu hal yang menyebabkan wujudnya,
mustahil benda itu ada dengan sendirinya tanpa ada yang menjadi sebabnya”.Hal
33
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Unipress, 2003), h. 46. 34
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metodologi sampai
Teofilosofi, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2008) , h. 445-446.
55
ini menunjukkan bahwa alam semesta ini baharu dan di ciptakan dari tiada oleh
yang menciptakannya, yakni Allah.35
Disusul dengan argumen yang lainnya, kali ini al-Kindi mengungkapkan
dengan penjelasan yang diselingi pertanyaan. Sekiranya alam ini memiliki besar
tak terbatas lalu alam ini di bagi dua, maka muncul pertanyaan tentang berapa
besarnya bagian masing-masing?sebuah bagian haruslah lebih kecil dari
keseluruhan; dengan hal itu bagian pertama maupun kedua sama-sama terbatas.
Kalaupun kedua bagia tersebut disatukan kembali, maka tetap saja ia terbatas.
Sebab bagian terbatas ditambah dengan bagian terbatas maka jadinya-pun akan
tetap terbatas.Pabila diandaikan bagian dari alam ini tidak terbatas, maka hal itu-
pun mustahil. Karena bagian tidak sama besarnya dengan keseluruhan. Jadi alam
semesta ini haruslah dan pasti terbatas.36
Untuk lebih memperkuat argumennya al-Kindi menerangkan tentang jalan
kerapian alam dan pemeliharaan Tuhan terhadapnya. Al-Kindi mengatakan bahwa
alam ini lahir tidak mungkin rapi dan teratur, kecuali ada yang merapikannya, Dan
itu pastilah zat yang tidak tampak.Zat yang tidak tampak tersebut hanya dapat
diketahui melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat pada alam ini.37
b) Al-Farabi (259-339 H / 879-950 M)
Abu Nasher Mohammad bin Mohammad bin Quzalq bin Thurkhan Al-Farabi
atau lebih dikenal dengan Al-Farabi ini adalah seorang yang dikenal sebagai guru
kedua setelah Aristoteles. Aristoteles dikatakan sebagai guru pertama sebab dia
35
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta : Rajawali Pers,2012),
h. 53. 36
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 47. 37
Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, h. 52.
56
meluruskan dan mengumpulkan kajian-kajian dalam logika lengkap dengan
permasalahannya, sedang Al-farabi di sebut sebagai guru kedua karena ia
mengarang buku, mengumpulkan, dan menyempurnakan terjemahan karya
Aristoteles. Ia juga memiliki argumen atau pendapat tentang maujud, bahwa
segala yang maujud itu tidak mungkin ada wujud ketiga. Oleh sebab itu menurut
Al-Farabi ilmu tentang maujud-maujud itu adalah filsafat. Dialah satu-satunya
ilmu yang mencakup segala hal, yang meletakkan bentuk dunia yang lengkap di
depan akal.38
Berbeda dengan al-Kindi yang berpandangan bahwa alam semesta ini
diciptakan Tuhan dari tidak ada (Creatio ex nihilo) menjadi ada, al-Farabi
cenderung memahami penciptaan alam oleh Tuhan melalui proses emanasi
sejakzaman azali, sehingga tergambar bahwa penciptaan alam oleh Tuhan bukan
dari tidak ada menjadi ada.
Dalam falsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan penggerak
pertama (prime cause), seperti yang di kemukakan Aristoteles. Sementara dalam
doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah adalah pencipta, yang
menciptakan dari tiada menjadi ada (creatio ex nihilo).39
Sirajuddin Zar
menerangkan bahwa untuk menerangkan doktrin tersebut, al-Farabi juga filosof
Muslim lainnya mencari bantuan pada doktrin Neoplatonis monistik dengan
emanasi. Dengan demikian, Tuhan penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah
pencipta, yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran.
Dalam artian Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari
38
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Penerjemah: Bahruddin
Fannani (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1999), h. 128. 39
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, h. 74.
57
yang kadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Dalam
hal ini al-Farabi seakan tak mau meninggalkan pemikiran dari Aristoteles, namun
ia juga tak menafikan apa yang para mutakallimin percayai.
Al-Farabi mempercayai bahwa sejatinya Allah itu idak mungkin ada yang
menyamai, menyerupai, tidak mungkin Allah harus sibuk-sibuk memikirkan
makhluknya, sebab Allah itu maha sempurna. Di sinilah al-Farabi teori emanasi
Plotinus, sehingga menghasilkan teori emanasi, yang dapat diungkapka sebagai
berikut:
Tuhan (adalah wujud 1) karena memikirkan diriNya, memancarlah akal 1
(wujud 2). Akal 1, karena memikirkan Tuhan, memancarkan Akal 2 (ini adalah
wujud ke 3), dan karena memikirkan dirinya sendiri memancarkan lingkaran
langit pertama (al-samā` al-ūl) yakni langit terbesar/terluas dan terjauh dari bumi.
Akal 2 karena memikirkan Tuhan memancarkan akal 3 (wujud 4), dan karena
memikirkan dirinya sendiri maka memancarlah, menghadirkan lingkaran langit
kedua yang penuh dengan bintang-bintang tetap (al-kawākib al-ṡābitah). Akal 3,
karena memikirkan Tuhan maka memancarlah akal 4 (wujud 5), dan karena
memikirkan dirinya sendiri maka ia memancarkan lingkaran langit ketiga,
dimana langit ketiga adalah tempat beradanya bola saturnus (kurraṯ al-Zuhal).
Akal 4 karena memikirkan Tuhan maka memancarlah akal 5 (wujud 6) dan karena
memikirkan dirinya sendiri memancarkan langit keempat dimana itu adalah letak
keberadannya bola Yupiter (kurraṯ al- Musytarī). Akal 5 karena memikirkan
Tuhan maka memancarlah akal 6 (wujud 7) dan karena memikirkan dirinya
sendiri memancarlah langit kelima tempat beradanya bole Mars (kurraṯ al-
58
Mirrīkh). Akal 6 karena memikirkan Tuhan memancarlah akal 7 (wujud 8), dan
karena memikirkan dirinya sendiri memancarlah langit keenam, tempat
beradanya bola Matahari (kurraṯ al-Syams). Akal 7, karena memikirkan Tuhan
memancarkan akal 8 (wujud 9), dan karena memancarkan diri sendiri,
memancarkan langit ke 7, tempat beradanya bola Venus (kurraṯ al-Zahrah). Akal
8, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal 9, dan karena memikirkan
dirinya sendiri, memancarkan langit kedelapan, tempat beradanya bola Merkuri
(kurraṯ al-`Aṭārid). Akal 9, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal 10, dan
karena memikirkan dirinya sendiri memancarlah langit kesembilan, tempat
beradanya bola Bulan (kurraṯ al-Qamar). Akal 10, karena memikirkan Tuhan dan
dirinya, maka hanya memancarkan bumi dan jiwa-jiwa yang berada di lingkungan
bumi.40
Mengenai Penciptaan alam, Al-Farabi memiliki pendapat bahwa Tuhan
adalah Sang Pencipta, dan Dia-lah satu-satunya yang tidak bergerak.Dia-lah sebab
pertama bagi adanya segala hal.Dia-lah yang mengatur alam semesta ini dengan
kebijaksanaannya dan keadilannya.41
Dari semua itu terdapat sepuluh akal dan sembilan langit (dari teori Yunani
tentang sembilan langit/sphere) yang abadi mengelilingi bumi.Dimana dari akal
kesepuluh tersebutlah bumi ini di atur.42
c) Ibn Sina
40
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 64-66. 41
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, terj. Bahruddin Fannani, h.
129. 42
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, h.74-75.
59
Abu Ali al-Husein ibn Abdullah Ibn al-Hasan Ibn Ali Ibn-Sina, atau yang
lebih akrab di sapa Ibn Sina, ia dikenal dengan pendiri Neo-Platonisme Arab
dengan konsep eanasinya tentang alam. Menurutnya, Tuhan adalah pancaran Akal
pertama. Sekalipun Tuhan terdahulu dari segi zat, namun Tuhan dan Akal
Pertama adalah sama-sama azali. Meskipun konsep emanasi yang Ibn Sina
rumuskan terlihat sama seperti konsep Emanasi Al-Farabi, namun tidak semua
dari isinya juga sama. Ibn Sina justru lebih percaya bahwa Tuhan dari memikirkan
diriNya memancarkan Akal-akal, dari Akal 1 hingga Akal 10, yang masing-
masing memancarkan segala apa yang ada di bumi. Akal Pertama yang terpancar
ini mempunyai 2 sifat, yaitu: 1). Sifat Wâjibul wujûd yang dari proses berpikirnya
menimbulkan “Jiwa-jiwa”. 2). Sifat Mumkin al-Wujûd yang dari proses
berpikirnya menimbulkan “Langit-langit,” dan antar Tuhan dan Akal mereka
sama-sama azali, akan tetapi Tuhan lebih terdahulu dari segi zatNya.43
43
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 70.
60
Akal Kelima
Akal Keenam
Akal Ketujuh
Akal Kedelapan
Akal Kesembilan
Dunia Yang Fana (Generation
and Corruption)
Skema Penciptaan Alam Menurut Ibn Sīnā44
Akal Kedua
Akal Ketiga
Akal Kesepuluh
44
Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 40-41.
Wājib al-Wujūd
Akal Pertama
Memiliki 2 sifat Sifat Wâjibul Wujud
Sifat Mumkin
Wujud Jiwa Langit Pertama
Tubuh Langit Pertama
1). Jiwa Langit Ktujuh
2). Tubuh Langit Ketujuh (Venus)
1). Jiwa Langit Keenam
2). Tubuh Langit Keenam (Matahari)
Akal Keempat
1). Jiwa Langit Kedua
2). Tubuh Langit Kedua (Bintang-bintang
Tetap)
1). Jiwa Langit Ketiga
2). Tubuh Langit Ketiga
1). Jiwa Langit Keempat
2). Tubuh Langit Keempat (Yupiter)
1). Jiwa Langit Kelima
2). Tubuh Langit Kelima (Mars)
1). Jiwa Langit Kedelapan
2). Tubuh Langit Kedelapan (Merkuri)
1). Jiwa Langit Kesembilan (Pemberi
Bentuk/ Malaikat Jibril)
2). Tubuh Langit Kesembilan (Bulan)
61
d) Ibn Rusyd (520-595 H / 1126-1198 M)
Ibn Rusyd mempunyai gelar Syarih (komentator), sebab pada masa
hidupnya Ia menghabiskan waktunya untuk meneliti dan membuat komentar-
komentar terhadap karya Aristoteles dalam berbagai bidang. Dari situlah ia
mempunyai pemikiran falsafat yang mengarah kepada pemikiran falsafat
Aristoteles.45
Sebab baginya Aristoteles ialah pemikir besar yang istimewa bahkan
mampu mencapai kebenaran yang tidak mungkin bercampur kesalahan. Sekalipun
Ibn Rusyd pernah berbeda pendapat dengan Al-Farabi dan Ibn Sina, karena tak
setuju dengan pendapat kedua filsuf tersebut dalam kitab-kitab yang mereka tulis
dalam memahami falsafat Aristoteles, namun pada konsep metafisikanya Ia tetap
saja terpengaruh dan mengambil pemikiran dari Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi,
dan Ibn Sina.46
Dalam hal itu ia beranggapan bahwa, Allah adalah penggerak
pertama (muiharrik al-awwal).
Dapat diketahui pemikiran Ibn Rusyd tentang alam dari tulisan yang ia tulis
untuk membela para filosof dari kritikan Imam al-Ghazâlî Yaitu : “Mereka
percaya bahwa creatio ex nihillo itu tidak mungkin terjadi. Karena dari sesuatu
yang tidak ada (kekosongan) tidak mungkin berubah menjadi ada, Ibn Rusyd
menerangkan, yang memang mungkin terjadi adalah sesuatu yang “ada” berubah
menjadi “ada” namun dalam bentuk yang lain”.47
Lebih jelasnya lagi, tertulis di dalam buku filsafat Islam oleh Sudarsono,
bahwa Ibn Rusyd mengemukakan pendapatnya akan alam, bahwa alam adalah
45
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.112. 46
Nasution, Filsafat Islam, h. 115. 47
Nasution, Filsafat Islam, h. 118.
62
azali tanpa permulaan. Baginya Tuhan dan alam adalah sesuatu hal yang sama
namun berbeda tingkatan, sama-sama azali, akan tetapi Tuhan memiliki tingkat
keazalian yang lebih utama di banding alam. Dalam meyakinkan hal ini, Ibn
Rusyd mengemukakan argumen sebagai berikut:
Dalam hal ini ia juga menuturkan bahwa, qadimnya alam dan Tuhan yang di
katakan para teolog tidaklah bisa di samakan, sebab alam mempunyai ke-
qadimannya sendiri, yaitu ada dari dahulu namun diciptakan oleh qadim yang
mencipta. Jadi alam adalah Qadim yang dicipta, sedang Tuhan adalah Qadim
yang mencipta.48
Ibn Rusyd berpendapat bahwa alam ini memanglah berasal dari
keqadiman, dimana tatkala Allah menciptakan alam sudah ada sesuatu selain
Allah.Dari sesuatu yang sudah ada itulah Allah menciptakan alam. Untuk
memperkuat pendapatnya, Ibn Rusyd mengemukakan ayat Al-Qur’an dalam
menghubungkan kebenaran dari pendapatnya, yaitu :
Dan apakah orang-orang kafir itu tidak mengetahui bahwa langit
dan bumi keduanya dahulu menyatu, kemudia kami pisahkan antara
keduanya; dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air;
maka mengapa mereka tidak beriman? (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 30,)
48
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), h. 232.
63
Dan dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
dan `Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu
yang lebih baik amalnya. Jika engkau berkata (kepada penduduk Mekah),
“sesungguhnya kamu akan di bangkitkan setelah mati”, niscaya orang
kafir itu akan berkata”ini hanyalah sihir yang yang nyata”. (Hȗd [11] :
7).
Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa
asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu
berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa” keduanya
menjawab “Kami datang dengan patuh.” (Fushshilat [41] :11).
Dari keterangan ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum alam ini
diciptakan sudah ada sesuatu yang lain, yakni mâ’ (air) dan dukhân (uap).Dengan
demikian Ibn Rusyd menyatakan bahwa pemikiran yang benar itu adalah para
filosof Muslim, karena mereka sesuai dengan apa yang di nyatakan dalam Al-
Qur`an. Lalu dari kaum teologyang sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang Al-
Qur`an katakan.49
Ahmad Hanafi dalam bukunya Pengantar Filsafat Islam
49
Filsafat Islam Filosof & FIlsaftanya
64
memaparkan bahwa menurut Ibn Rusyd penciptaan ini tidak langsung dan bukan
dari tiada melainkan dari hule (bahan) yang lama.50
Untuk memberikan kekuatan atas argumennya, Ibn Rusyd mengajukan
pertanyaan, dan jawaban dari pertanyaan ini. Apakah alam ini ada permulaan
terjadinya atau tidak? Dalam hal ini Ibn Rusyd mengemukakan bahwa alam ini
azali tanpa permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibn Rusyd ada dua
hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam ini.Hanya saja keazalian keduanya itu
berbeda. Sebab keazalian Tuhan lebuih utama daripada alam.51
Tabel Pemikiran Filosof Muslim Tentang Alam
Tabel 1.2
No Tokoh Pemikiran
1 al-Kindi (180-
796 SM)
Baginya alam ini tercipta oleh Tuhan dari tiada,
baharu, juga memiliki permulaan waktu. Dalam
menjawab penciptaan alam, Al-Kindi terkenal dengan
konsep Creatio ex Nihillo.
2 Al-Farabi (259-
879 SM)
Ia memahami bahwa alam ini diciptakan dari
pancaran emanasi sejak zaman azali. Sehingga
dipahami bahwa alam ini tercipta dari yang ada.
3 Ibn Sina (980 M -
1037 M)
Ibn Sina percaya bahwa alam ini ada yang
menciptakannya. Sehingga ia menggunakan konsep
emanasi untuk menjawab penciptaan alam yang ada
sekarang ini. Konsep emanasi yang dibuat sebenarnya
adalah hasil perpaduan antara pemikiran yang
mengatakan bahwa alam ini di ciptakan dengan alam
ini tidak diciptakan. Sehingga Ibn sina berkesimpulan
bahwa alam adalah sesuatu yang mungkin ada dengan
sendirinya, tetapi, alam adalah sesuatu yang harus ada
lantaran sesuatu yang lain, karena ia ada dalam ilmu
Tuhan. Sesuatu yang ada di dalam ilmu Tuhan itu
haruslah ada.
4 Ibn Rusyd (520-
1126 SM)
Menurutnya creatio ex nihillo tidaklah ada dan tidak
mungkin terjadi. Baginya yang dapat dipercaya adalah
“sesuatu yang ada , pastilah berasal dari yang ada
pula. Akan tetapi menjadi bentuk yang lain.”
50
Ahmad Hanafi,Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 253. 51
Sudarsono, Filsafat Islam,(Jakarta: Rineka cipta, 2010), h. 101.
65
65
BAB IV
Kehendak Tuhan Dalam Menciptakan Alam Perspektif Imam Al-Ghazâlî
A. Proses Penciptaan Alam dan Hakikat Alam
Alam merupakan sumber berbagai jenis pengetahuan: matematika, fisika,
dan metafisika, ilmiah dan spiritual; kualitatif dan kuantitatif; oraktis dan
estetis. Hal ini karena, sebagai sebuah dunia dan dipandang dalam totalitasnya,
realitas alam semesta mencakup berbagai aspek. Setiap jenis pengetahuan
bersesuaian dengan aspek alam tertentu untuk di kaji secara terpisah.1
Dahulu pada masa Yunani (Grik), mereka sudah mulai memikirkan
tentang penciptaan alam ini. Siapa yang menciptakannya, dan mereka selalu
membicarakan keajaiban-keajaiban alam yang muncul, dengan hal inilah
bangsa Grik berfantasi bahkan membawa mereka sampai ke alam bebas.
Tepatnya sejak abad ke-6 SM, orang-orang tersebut-pun mulai mencari
jawaban-jawaban yang rasional tentang problem-problem yang selama ini
menjadi pertanyaan mereka kepada alam semesta. Oleh sebab itulah falsafat
lahir sehingga muncul yang namanya filsafat alam. Hal itu semata karena
pemikir Yunani ingin mencari tahu inti dari pada alam ini.2 Oleh karena sejak
awal kelahiran falsafat alam ini terlahir, hingga masuklah pada periode Imam
al-Ghazali, dan hal itu masih juga menjadi hal yang menyanggal. Karena
menurut Imam al-Ghazâlî apa yang para pemikir dahulu utarakan sangatlah
bertentangan dengan apa yang ada pada Al-Quran. Terlebih pemikir itu salah
satunya adalah Ibn Sina dan Al-Farabi. Sehingga hal yang ia khawatirkan
1 Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains.
Penerjemah: Yuliani Liputo dan M.S. Nasrulloh, (Bandung: Pustaka Hidayah), h. 75-77. 2 Hamzah Abbas, Pengantar Filsafat Alam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), h. 50-51.
66
adalah, para kaum awam akan mengikuti cara pandang dan berpikir mereka,
alih-alih ingin mengagungkan Tuhan, yang ada mereka akan tersesat.
Sehingga Imam al-Ghazâlî memberanikan diri untuk mengkritik hal tersebut.
Pada bagian inilah secara detail penulis mencantumkan pemikiran Imam al-
Ghazâlî tentang penciptaan alamnya.
Alam didefinisikan oleh Asy’ariyyah3 adalah segala sesuatu selain Tuhan,
dan darinya terdiri dari dua unsur yang berbeda, yaitu atom dan aksiden.4
Atom adalah lokus yang memberi susbtansi pada aksiden. Sebuah aksiden
tidak dapat eksis pada eksiden lainnya melainkan hanya dalam atom atau
benda yang tersusun atas atom-atom ini. Sebaliknya sebuah benda tidak dapat
dilepas dari aksiden-aksiden, positif atau negatif, seperti warna, bau, hidup,
pengetahuan, atau lawan-lawannya. Atom ini berbeda dengan atom-atom
yang terdapat dalam falsafat Yunani seperti Lerucippus, dan Democritus, atau
Epicurus.5 Salah satu ciri atom Asy’ariyyah adalah jumlahnya sudah tertentu
3 Penulis mencantumkan Asy’ariyyah, karena Imam al-Ghazâlî adalah Asy’ariyyah tulen,
hal ini dibuktikan dengan seluruh karyanya yang mendukung kalam Asy’ariyyah. Termasuk guru-
guru beliau semuanya adalah Asy’ari, terutama Imam al-Juwaini. Imam al-Ghazâlî juga dibesarkan
di kawasan yang mayoritas berpaham Asy’ari. hal ini sebelumnya sudah dijelaskan pada Bab 2,
dalam penulisan biografi seorang Imam al-Ghazâlî. Lihat Bab 2, Biografi dan Latar Belakang
Intelektual Imam al-Ghazâlî. 4 Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains, h. 182.
5 Lebih jelasnya lagi Mulyadi Kartanegara menerangkan didalam buku Gerbang
Kearifan-nya bahwa teori atom yang Asy`ariyyah kemukakan adalah pinjaman dari pemikir India.
Menurut teori ini alam terdiri atas atom-atom. Akan tetapi atom-atom tersebut tidak bertahan lama,
mereka hanya dapat bertahan satu-dua saat saja, kemudian musnah. Dengan inilah menurut mereka
untuk Tuhan mempertahankan keberadaan alam ini maka Tuhan harus menciptakan atom-atom
sejenis setiap kali atom yang lama musnah. Sehingga pemaparan ini dalam wacana falsafat disebut
dengan “occasionalisme”. Karena atom-atom itu memerlukan campur tangan langsung dari Tuhan,
yang setiap saat harus menciptakan secara berkesinambungan atom-atom yang baru. Sebagaimana
Al-Quran mengatakan bahwa Allahlah yang mengeluarkan biji-bijian dari bumi yang mati, dan
menjadikan di dalamnya kebun-kebun korma dan anggur, dan dia jugalah yang menyebabkan
menyembburnya mata air-mata air dan sebagainya. Lihat, Mulyadi Kartanegara, Gerbang
Kearifan, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 102. Lihat, QS. 36 ayat 33-34.
67
atau berhingga, landasan ini ia ambil pada QS. 72:28 (dan Dia menghitung
segala sesuatu denga angka).6
Alam juga disebut sebagai kitab simbol-simbol. Menurut Imam al-Ghazâlî,
segala yang ada di alam kasat mata ini merupakan simbol sesuatu yang ada di
alam yang lebih tinggi.7 Bagaimanakah alam menurut Imam al-Ghazâlî,
berikut dapat dilihat dari jawaban atas sanggahan Imam al-Ghazâlî terhadap
penciptaan alam para filosof, bahwa sesungguhnya alam semesta ini adalah
yang meliputi segalanya, baik itu diluar maupun didalam, baik hal kecil
maupun hal besar, alam juga merupakan hal yang baru.8 Sebagaimana yang
kita ketahui bahwa pemikiran Imam al-Ghazâlî tentang alam bermula dari
kritikannya terhadap para filosof sebelumnya, yang menyatakan bahwa alam
ini adalah kadim, dan ada bersama Tuhan. Sebab inilah Imam al-Ghazâlî
mengkritik, dan menyatakan bahwa alam tidak kadim melainkan baru. Agar
lebih jelas, sebelumnya perlu kita ketahui mengapa para filosof berpendapat
bahwa alam ini adalah kadim, terutama kepada Al-Farabi dan Ibn Sina yang
pemikirannya dikritik oleh Imam al-Ghazâlî.
Para filosof berpendapat bahwa, alam itu bukan baru karena sesuatu yang
berawal mustahil lahir dari yang azali. Hal ini karena menurut mereka Tuhan
adalah kekal atau azali, dan sesuatu yang azali tidak mungkin, bahkan
mustahil dapat berubah. Oleh sebab itu mustahil alam baru, dan kalaupun alam
itu baru tidak mungkin dia berasal dari yang azali, semua itu mustahil. Sebab
dengan menyatakan bahwa alam itu baru dan berasal dari yang azali, secara
6 Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains, h. 184.
7 Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains, h. 78.
8 Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains, h. 85.
68
tidak langsung menyatakan bahwa diri Tuhan itu berubah. Baik itu
menyangkut kemampuan, alat, waktu, dan karakternya. Itulah mengapa
mereka para filosof menyatakan bahwa alam ini kadim, berawal dengan
Tuhan,9 dan mustahil baru.
10 Adapun argumen yang lain para filosof katakan
bahwa yang layak dikatakan baru adalah gerakan bintang, yaitu gerak putar
dalam menentukan timbulnya waktu. Sedangkan materi yang menerima
bentuk-bentuk, aksiden-aksiden, dan kualias-kualitas sama sekali bukan
baru.11
Kembali kepada pendapat Imam al-Ghazâlî terkait tentang alam, Ia
mempunyai alasan tersendiri tentang alam adalah baru dan diciptakan.
Baginya, karena alam itu diciptakan dan setiap yang diciptakan pasti berawal
dan akan berakhir, karenanya alam adalah baru. Memasuki ranah pendapat
para filosof, bahwa mustahil alam yang baru muncul dari sesuatu yang kadim.
Dalam butir ini Imam al-Ghazâlî menggunakan dalil filosof untuk menyerang
mereka. Menurut Imam al-Ghazâlî, para filosof mengatakan bahwa mustahil
munculnya yang baru dari yang kadim, padahal filosof mengakui adanya
peristiwa-peristiwa yang baru di alam ini. Peristiwa itu merupakan sebab
akibat, yakni satu peristiwa penyebab bagi peristiwa yang lain. Penyebab itu
9 Sebagaimana para filosof menggamabarkannya dengan sebuah matahari dan cahayanya.
Suatu yang sudah ada itu adalah Tuhan, maka alam berawal dari emanasi Tuhan tanpa kehendak,
bagaikan cahaya dengan matahari. Cahaya secara otomatis muncul ketika adanya matahari,
begitulah Tuhan dengan alam. Alam secara otomatis muncul ketika Tuhan ada. Karena itu, Tuhan
yang kadim membuahkan suatu yang serupa dengan-Nya, yaitu materi awal yang kadim juga.
Lihat: Amsal Bakhtiar, h. 83. 10
Imam Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof). Penerjemah:
Ahmad Maimun, (Bandung: Marja, 2016), cet. 5, h. 64 11
Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam:
Perbandingan antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, (Tesis S2, Jurusan Ilmu Agama Islam, Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998), h. 81
69
tidak mungkin berangkai tanpa ada ujungnya karena tidak ada orang yang
berakal dapat mempercayai pendapat tersebut. Kalau sebab berhenti pada tepi
yang paling ujung, maka ujungnya itu tentu kadim. Kalau demikian halnya,
kenapa filosof menolak munculnya yang baru dari yang kadim.12
Selain itu
sesuatu yang baru dari yang kadim bisa saja muncul karena ditetapkan
wujudnya pada waktu alam mengaktual. Ketiadaan akan berlanjut sampai
batas keberlanjutan itu. Sebaliknya, wujud akan mulai pada saat permulaan
(sudah di mulai). Wujud sebelumnya belum dikehendaki, maka wujud belum
muncul. Kapan wujud itu muncul? Wujud muncul pada saat dikehendaki oleh
kehendak kadim (Tuhan). Prinsip seperti ini mustahil bagi Tuhan. Jadi,
kehendak yang kadim bisa menciptakan alam pada saat di tentukan.13
Memasuki pembahasan kehendak Tuhan, Imam al-Ghazâlî menyatakan
bahwa Tuhan juga mempunyai kehendak untuk menetapkan keberadaan alam.
Pertama menetapkan ketiadaan akan terus berlangsung sampai titik paling
akhir. Kedua, menetapkan keberadaan sesuatu, akan bermula saat kehendak
untuk meng- “ada” –kan itu bermula, dengan begitu alam merupakan sesuatu
yang dikehendaki.14
Karena alam bersifat dengan kehendak azali, maka alam muncul
sebagaimana adanya, dengan sifat sebagaimana adanya, di tempat
sebagaimana adanya.15
Tuhan dan kehendaknya telah ada sebelum adanya
12
Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam:
Perbandingan antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 80-81. 13
Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam:
Perbandingan antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 78. 14
Imam Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof), h. 182. 15
Imam Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof), h. 72.
70
alam. Begitupula suatu kehendak dan obyek yang dikehendaki itu saling
berhubungan. Karena Tuhan sebagai yang berkehendak, maka Tuhan sebagai
subyek tidak mungkin memperbarui diri, meskipun Tuhan memunculkan hal
yang baru.16
Dalam tulisan Amsal Bakhtiar, terdapat alasan Imam al-Ghazâlî
tentang kehendak Tuhan. Bahwa, Tuhan memiliki kehendak yang bebas dan
mutlak. Dia dapat saja menciptakan alam dalam waktu tertentu atau
meniadakannya sesuai dengan kehendak-Nya yang bebas.17
Dengan kehendak
yang Tuhan miliki, terserah Tuhan ingin mengadakan alam ini kapan dan
bagaimana bentuknya, karena Tuhan yang berkuasa. Dia dapat menciptakan
alam dalam waktu tertentu atau meniadakannya, sesuai dengan kehendak-Nya
yang bebas tadi. Berbicara tentang kehendak Tuhan, disini Imam al-Ghazâlî
menyanggah dari pendapat para filosof.18
Bahwa kehendak Tuhan dengan
manusia itu tidak dapat disamakan. Sebab, disini kehendak manusia didorong
oleh faktor luar. Sedangkan Tuhan bebas berkehendak dan berbuat, faktor
luar tidak ada pada diri-Nya. Karena itu Tuhan itu tidak mustahil menciptakan
alam dalam waktu dengan kehendak kadim.19
16
Imam Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof), h. 64. 17
Dalam konteks ini Imam al-Ghazâlî mengatakan bahwa makna kehendak itu berbeda
dengan berkuasa. Kehendak adalah menentukan atau memilih waktu penciptaan pada saat tertentu
bkan saat yang lain, tanpa perlu ditanyakan sebabnya, karena sebab adalah kehendak-Nya itu
sendiri. Kalau kita menanyakan sebabnya maka sama saja kehendak Tuhan itu terbatas, dan tidak
lagi bebas. Adapun kekuasaan adalah perbuatan pada saat terlaksananya kehendak. Lihat: Amsal
Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam: Perbandingan antara Al-
Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 80. 18
Meskipun memang bagi filosof, terutama Ibn Sina mengatakan bahwa Tuhan tidaklah
berkehendak. Sebab jika Tuhan berkehendak berarti di luar Tuhan ada sesuatu yang membuat-
Nya. Jika seperti itu, maka mustahil. Karena selain Tuhan tidak ada zat yang lain. Begitu juga
kalau kehendak itu ada, kenapa kehendak itu baru muncul pada waktu tertentu, tidak dari kadim.
Lihat: Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam: Perbandingan
antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd,, h. 84. 19
Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam:
Perbandingan antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 85.
71
Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa kehendak Tuhan Imam al-Ghazâlî
dan filosof, keduanya memiliki perbedaan. Para filosof melihat kehendak
Tuhan dari dimensi otomatis (dharûrî), tidak pada dimensi pencipta yang aktif
dan berkehendak bebas. Pada dimensi otomatis, maka kehendak menjadi tidak
penting sebab jika ada zat, secara otomatis timbul fungsi dalam zat itu,
sebagaimana halnya yang telah mereka gambarkan pada matahari yang secara
otomatis keluar cahaya. Karena itulah tidak mungkin tertundanya perbuatan
Tuhan setelah ada wujud-Nya karena tidak ada penghalang bagi Tuhan utnuk
tidak menciptakan. Penciptaan alam dalam waktu juga ditolak oleh filosof,
karena waktu adalah bagian dari ukuran gerak alam, sehingga sulit
membayangkan adanya waktu terlebih dahulu dan alam belum ada.20
Sedangkan Imam al-Ghazâlî melihat Tuhan dari dimensi yang
berkehendak bebas, dan kehendak itu berbeda dengan kehendak manusia.
Karena itu, tidak ada halangan bagi Tuhan dengan kehendak kadim
menciptakan alam yang baru pada waktu tertentu.21
Karena Tuhan dapat saja
memilih waktu tertentu untuk menciptakan alam lewat keputusan yang kadim.
Jadi, hal itu tidak mungkin mustahil terjadi bagi Tuhan, karena Tuhan yang
berkuasa mutlak.22
20
Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam:
Perbandingan antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 85 21
Selain menurut Imam al-Ghazâlî, Tuhan sendiri mengtaakan bahwa dirinya adalah yang
berkehendak, pada QS. 22: 14 “Sungguh Allah berbuat apa yang Ia kehendaki”. 22
Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam:
Perbandingan antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 86.
72
Adapun pertanyaan serta pernyataan yang menjadi sanggahan atas kritik
Imam al-Ghazâlî bahwa alam ini baru oleh para filosof,23
semua itu
sebenarnya kembali kepada pendapat yang diatas, bahwa lagi-lagi semua itu
atas kehendak Tuhan, terserah Tuhan ingin mewujudkannya kapan. Bukan
berarti Tuhan itu tidak mampu, ataupun berubah-ubah.24
Sebagaimana yang telah terperinci di dalam buku Tahâfut al-Falâsifah
akan pernyatan para filosof serta sanggahan Imam al-Ghazâlî terhadap
23
Yaitu, mengapa Tuhan tidak memunculkan alam sebelum waktu kemunculannya?.
Tidak mungkin kita menjawab, karena Tuhan tidak mampu memunculkan alam atau karena alam
mustahil untuk muncul. Sungguh hal yang demikian memberikan arti bahwa Tuhan telah berubah
dari lemah menjadi kuasa, Dari tidak mampu menjadi mampu. Keduanya itu mustahil sebab tidak
mungkin adanya perubahan pada diri Tuhan. Dengan demikian menurut filosof, jelaslah bahwa
mustahil terjadinya wujud yang baru dari wujud yang kekal, kecuali terjadi perubahan pada wujud
yang kekal tersebut dalam hal ketentuannya atau sarananya atau waktunya atau maksudnya atau
tabiatnya, tetapi hal yang demikian adalah mustahil. Dengan begitu tentu alam tidak mustahil
qadimnya, lagi pula dari suatu hanya muncul yang semisal-nya. Tuhan adalah qadim, maka tentu
yang keluar dari Tuhan juga suatu yang kadim. Lihat: Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika
Dan Fisika Dalam Filsafat Islam: Perbandingan antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 77. 24
Dalam hal penundaan Imam al-Ghazali menegaskan bahwa, penundaan pada dasarnya
bukanlah masalah karena kita bisa membayangkan seseorang menunda tindakannya meskipun ia
telah memutuskan untuk bertindak. Penundaan ini justru menunjukkan sifta diriNya menjadi
pelaku ( agent). Karena pelaku bisa memutuskan pelaksanaan maupun penundaan tindakannya.
Untuk menyokong pendapatnya, Imam al-Ghazâlî mencontohkan sebuah hal kecil dalam
kehidupan. Sebagaimana kita saja bisa melakukannya, pasti Tuhan juga bisa. Akan tetapi dalam
hal ini Tuhan dan manusia memiliki perbedaan. Jika manusia menunda suatu tindakan karena
memang manusia tidak sempurna. Kerap kali kita harus menunggu sampai sesuatu terjadi terlebih
dahulu sebelum kita memutusakn sesuatu. Dan Tuhan mustahil berada dalam keadaan dalam hal
seperti ini. Karena semua waktu sama saja bagi-Nya. Adapun menurut filosof mengapa Tuhan
menunda penciptaan? dalam menjawab butir ini Imam al-Ghazâlî menjawab, Bahwa tidak ada
yang patut kita persoalkan akan tindakan Tuhan. Berkaitan hal itu Imam al-Ghazâlî
menggambarkan dengan seorang yang kelaparan dan di tawarkan dua buah kurma yang sama
persis, sehingga ia harus memilih salah satunya. Karena sama sekali tidak berbeda, pilihan salah
satunya dapat di umpamakan seperti putusan Tuhan menciptakan alam pada waktu tertentu.
Sebagaimana kita bisa memilih salah satu dari kedua kurma yang sama itu (tanpa ada pengaruh
apa-apa), demikian pula Tuhan bisa memilih waktu tertentu dan bukan waktu yang lain (juga tanpa
ada pengaruh apa-apa). Pendeknya, tidak ada kemestian bagi kita untuk memilih salah satu dari
dua kurma yang sama itu, demikian pula tidak ada kemestian bagi Tuhan untuk memilih waktu
tertentu dalam memulai tindak penciptaan-Nya. Tuhan tidak seperti kita dalam hal Dia tidak
memerlukan apapun untuk berbuat. Dan sifat ini merupakan tanda kesempurnaan-Nya jika
dibandingkan dengan ketidaksempurnaan kita. Adapun dalam hal penangguhan waktu, sama saja
Imam al-Ghazâî menjawab dengan cara mengagungkan Tuhan. Bagi Tuhan waktu itu sama saja,
Dia telah memutuskan kapan saatnya Dia mencipta kendati waktu, sekali lagi, bukan masalah
bagi-Nya. Menurutnya apabila Tuhan ingin menangguhkan sesuatu Dia akan menangguhkannya.
Lihat: Oliver Leaman, Pengantar filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. Penerjemah: Musa
Khazim dan Arif Mulyadi, (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), Cet. 2, h. 30-32.
73
mereka, kita ketahui bahwa Imam al-Ghazâlî sebenarnya tidak menjelaskan
secara terperinci bagaimana proses penciptan alam ini. Imam al-Ghazâlî
hanya sibuk menyanggah pernyataan para filosof dengan cara mengagungkan
Tuhan. Agar tidak ada satupun yang menyaingi posisi Tuhan, bahkan
menghilangkan esensi zat yang Tuhan miliki. Hal ini diperjelas pula didalam
tulisan Amsal Bakhtiar, yang menyatakan kesimpulan pemikiran dari hasil
kritikan Imam al-Ghazâlî, yaitu:
“Tujuan pembahasan filosof bukan pada alam kadim, tetapi pada
proses penciptaan alam, sehingga proses penciptaan alam dapat
dujelaskan secara logis. Adapun tujuan protes Imam al-Ghazâlî
bukan pada proses, sebab proses penciptaan alam tidak dapat
digambarkan , lagi pula kalaupun dapat digambarkan tidak ada
gunanya, tetapi tujuannya adalah untuk menetapkan hanya
Tuhan yang kadim dan Esa, serta berkehendak mutlak. Dengan
demikian, Tuhan menyebabkan alam bagi para filosof itu wajib,
sedangkan bagi Imam al-Ghazâlî adalah mungkin.”25
Namun disini jika kita cermati, sebenarnya Imam al-Ghazâlî pun telah
menjawab proses tentang penciptaan alam. Sebagaimana yang para filosof
nyatakan bahwa alam itu tercipta secara emanasi, namun pada bagian ini
penulis memahami bahwa yang dikatakan proses itu adalah jeda waktu
sampai Tuhan memunculkan alam tersebut. Bahwa hal tersebut-pun telah
dapat dikatakan dengan proses.26
25
Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam:
Perbandingan Antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd,(Jakarta: Jurusan Ilmu Agama Islam, Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998), h. 86. 26
Proses: runtunan perubahan (peristiwa dalam perkembangan sesuatu), Rangkaian,
tindakan, pembuatan, pengolaan yang menghasilkan produk. Ebta Setiawan, “Proses” Kamus
Besar Bahasa Indonesia Online. Artikel ini diakses pada 3 April 2018 dari
http://kbbi.web.id/proses
74
Pembahasan mengenai penciptaan alam dan hakikat alam merupakan salah
satu hal yang krusial, dalam teologi Islam maupun dalam falsafat Islam.
Sebab, jika alam qadim sedangkan Tuhan juga qadim, maka disini
menunjukkan ada dua yang qadim. Sedangkan dua yang qadim sangat
bertentangan dengan ajaran Islam yang menegaskan bahwa Tuhan adalah yang
Esa, dan satu-satunya zat yang qadim, dan selain Tuhan, semuanya adalah
baru juga tercipta oleh-Nya. Perdebatan inilah yang timbul di kalangan filosof,
dan Imam al-Ghazâlî muncul sebagai pengkritik beserta mengeluarkan
argumennya, tidak lain hal ini ia lakukan agar umat Islam tidak tersesat akibat
mempercayai pemikiran para filosof tersebut.27
Imam al-Ghazâlî mempunyai anggapan bahwa para pemikir dan ahli bidah
pada saat itu sangat terpengaruh oleh nama besar, seperti Socrates,
Hippokrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka tertipu oleh pengikut para pemikir
tersebut. Bahwa mereka itu mempunyai intelektual yang luar biasa, prinsip-
prinsip yang mereka temukan tidak dapat dipertanyakan lagi, sains,
matematika, logika, fisika, dan metafisika yang mereka kembangkan sangat
mendalam. Dengan prestasi dan ketajaman akal mereka menolak otoritas
hukum-hukum agama dan meyakini bahwa semuanya itu hanyalah aturan-
aturan yang dibuat-buat dan tipuan-tipuan dasar. Ketika hal itu terus-menerus
bergeming di telinga para pemikir filosof, mereka berpendapat bahwa akan
terhormat kalau mereka juga mengikuti pendapat para filosof tersebut. Mereka
27
Amsal Bakhtiar, Tema-Tema Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 114.
75
juga lebih percaya akan hal baru yang para filosof munculkan dibandingkan
agama nenek moyang yang sedari awal telah mereka ikuti.
Dalam hal itu Imam al-Ghazâlî mengatakan, padahal justru mereka telah
menerima kebohongan, dengan menerima sesuatu dengan taklid. Bukankah
orang-orang semacam ini lebih rendah kedudukannya karena menerima
kebohongan secara taklid tanpa didukung penelitian yang seksama. Sehingga
Imam al-Ghazâlî menegaskan bahwa “Sungguh kedunguan lebih
menyelamatkan daripada kepintaran yang tidak utuh dan kebutaan lebih
menyelamatkan daripada penglihatan yang melenceng.” Hal itu karena bagi
Imam al-Ghazâlî orang awam saja tidak pernah bersikap sedimikian
memalukan. Karena mereka secara naluriah tidak mau meneladani orang-
orang sesat.28
Dari penuliasn di atas, pada dasarnya para filosof dan Imam al-Ghazâlî
sepakat bahwa alam ini adalah berasal dari Tuhan. Sebenarnya jika kita
perhatikan, dari filosof dan Imam al-Ghazâlî, mereka sama-sama mengatakan
bahwa alam ini berasal dari Tuhan. hanya saja Imam al-Ghazâlî disini
memakai kata dimunculkan, “bahwa alam ini dimunculkan oleh Tuhan dan
tercipta oleh Tuhan”, namun disini para filosof menggunakan kata akibat
“bahwa alam ini adalah akibat dan sebab dari yang Azali dan abadi”. Maka ia
tidak bisa terlepas dari sebab. Karena sebab tidak dapat berubah, dan akibat-
28
Amsal Bakhtiar, Tema-Tema Filsafat Islam, h. 118.
76
pun tidak dapat berubah. Inilah dasar penolakan mereka terhadap kebermulaan
alam dan argumen ini juga dapat diterapkan pada keberakhiran alam.29
Adapun masalah waktu, mereka para filosof mengatakan bahwa apabila
alam tiada, maka ketiadaannya itu akan terjadi sesudah keadaanya (alam itu
tercipta). Dengan demikian alam mempunyai dimensi waktu “sesudah”. Pada
bagian ini terdapat afirmasi waktu, akan tetapi waktu menurut mereka disini ada
pada saat materi telah tercipta. Sedangkan Imam al-Ghazâlî pada halaman
sebelumnya penulis cantumkan pada pembahasan kehendak Tuhan. bahwa Ia
menyatakan waktu itu ad sebelum alam (materi tercipta). Karena dalam hal
kehendak dan penciptaaan ia mengatakan bahwa terserah kapan Tuhan
inginmewujudkannya, dan kapan waktunya.30
B. Kritik Terhadap Teori Kausalitas
Penolakan Imam al-Ghazâlî terhadap prinsip kausalitas merupakan
implikasi pendapat dia terhadap penciptaan alam, bahwa alam ini adalah baru
bukan kadim. Alam ini juga tercipta atas kehendak Tuhan, segala apa yang
ada dan terjadi pada alam ini adalah atas kehendak Tuhan. Sehingga Imam al-
Ghazâlî meyakini bahwa sebab-akibat yang para filosof yakini itu bukanlah
dharuri (tidak pasti). Dan sebuah benda yang dicipta juga tidak bisa
berkehendak jika bukan Tuhan yang menghendaki segala kejadian itu.
29
Imam Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof), h. 101. 30
Imam Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof), h. 102.
77
Sebelumnya perlu diketahui bahwa Pada kamus filsafat Lorens Bagus,
kausalitas dalam bahasa Inggris: causality; dari bahasa Latin causa yang
berarti sebab.31
Adapun Kausalitas dalam artian umum adalah kebergantungan
satu wujud kepada wujud lainnya. Ketergantungan ini bisa dideskripsikan
dalam berbagai bentuk. Sebab juga bisa dibagi menjadi beberapa bagian,
namun dalam pembahasan ini penulis tidak terlalu menyinggung akan
pembagian itu. Dikhawatirkan melebarnya pembahasan yang telah di buat.32
Dengan begitu kausalitas adalah wujud yang bergantung pada wujud lain,
dan tanpanya dia tidak akan mewujud atau mendapatkan realitas, hal ini
disebut dengan akibat. Sedangkan tempat bergantungnya atau yang
memberikan wujud disebut dengan sebab.Bagi Imam al-Ghazâlî hubungan
antara sebab dan akibat tidak bersifat dharûrîy (kepastian). Dimana keduanya
tersebut tidak harus selalu terhubung atau dihubungkan.33
Imam al-Ghazâlî pada bagian ini menyatakan bahwa sebuah hubungan
sebab-akibat pada apa yang diyakini oleh para filosof dan pengikutnya adalah
suatu yang tidak niscaya (dharûrî). masing-masing dari mereka berdiri sendiri,
yang dimaksud dari berdiri sendiri disini adalah, ini bukan itu, dan itu bukan
ini. Antara yang satu tidak mesti harus menyebabkan suatu yang lain.
Sebagaimana didalam tulisan Tahâfut al-Falâsifah, Imam al-Ghazâlî
mengatakan bahwa penegasan pada salah satunya tidak mesti merupakan
penegasian pada yang lain dan penafian terhadap yang satu tidak mesti
31
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), Cet. 4,
h. 399. 32
Mohsen Gharawiyan, Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam. Penerjemah:
Muhammad Nur Djabir, (Jakarta: Sadra Press, 2012), h. 110. 33
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, h. 175.
78
merupakan penafian pada yang lain. Eksistensi yang satu tidak mengharuskan
eksistensi pada yang lain, dan ketiadaan yang satu tidak mengaharuskan
ketiadaan yang lain.“ Dalam hal ini Imam al-Ghazâlî juga mencontohkan dari
argumen yang Ia maksud, yaitu seperti pemuasan haus dan minum, kenyang
dan makan, pembakaran dan kontak dengan api, cahaya dan terbitnya
matahari, kematian dan pemutusan kepala dari tubuh, penyembuhan dan
minum obat, cuci perut dan minum obat pencahar, dan lainnya sebagai
pasangan peristiwa yang tampak kasat mata terkait dalam kedokteran,
astronomi, kesenian, atau kerajinan.34
Pengambilan contoh lainnya adalah dengan pancaran cahaya matahari.
Dimana pancaran cahaya matahari dapat mencairka es yang beku, menjadikan
lumpur mengeras, dapat pula menghtiamkan wajah tukang cuci yang mencuci
di luar rumah, juga dapat memutihkan pakaian yang dicuci. Dimana dalam hal
ini kita dapat melihat sebabnya hanyalah satu yaitu cahaya matahari, namun
akibat yang ditimbulkan melebihi dari satu kejadian. Bukankah hal ini tidak
dapat dikatakan bahwa dari yang satu mneyebabkan kejadian satu yang
lainnya. Melainkan dari yang satu dapat menyebabkan banyak kejadian.
Kalaulah bukan Tuhan yang menghendakinya belum tentu bisa seperti itu.
apabila ada satu peristiwa mengikuti yang lain, hal itu disebabkan karena
Tuhan telah menciptakan keduanya dalam pola keterkaitan. Sehingga
34
Imam al-Ghazâlî, Tahâfut Al-Falâsifah Kerancuan Para Filosof. Penerjemah: Ahmad
Maimun, (Bandung: Marja, 2016), Cet. V, h. 235.
79
keseluruhan kejadian tersebut tampak terkait, sebagai peristiwa sebab-akibat,
sebagaimana yang para filosof yakini.35
Kenapa para filosof beranggapan bahwa sebab-akibat itu pasti dan saling
berhubungan, menurut Imam al-Ghazâlî itu semua tidak lain hanyalah karena
mereka telah menciptakan keduanya dalam pola keterkaitan. Padahal itu
semua menurut Imam al-Ghazâlî adalah keterkaitan sebagai akibat dari takdir
Tuhan, padahal juga Tuhan sangat berkuasa atas segala sesuatu. Sebagaimana
untuk menciptakan rasa kenyang bisa saja tanpa makan, menciptakan
kematian tanpa harus kepala terlepas dari tubuh, dan demikian seterusnya
hingga seluruh pasangan yang tampak terkait sebagai sebab-akibat.36
Dalam menjelaskan hal ini, Imam al-Ghazâlî telah banyak memberikan
contoh dan gambaran, semata-mata agar semua itu dapat terbuktikan dengan
gambaran yang nyata, dan apa yang Ia katakan tentang pendapatnya ini
bukanlah karangan semata. Seperti “suatu kapas bisa saja tidak terbakar jika ia
bersentuhan dengan api, dan kapas bisa saja berubah menjadi abu tanpa harus
terbakar.” Tidak hanya sekedar memberikan contoh dan argumen akan suatu
realitas sebab-akibat, Imam al-Ghazâlî juga memberikan penjelasan bahwa
apa yang terjadi itu semua adalah atas kehendak Tuhan. Seperti yang para
filosof utarakan, bahwa jika sebuah kapas akan terbakar jika bersentuhan
dengan api, maka sama saja menyatakan bahwa api tiu memiliki kehendak
sendiri. Sedangkan menurut apa yang Imam al-Gahzâlî yakini, bahwa sifat api
35
Ahmad Nawawi, Relasi Sebab Akibat Menurut Al-Ghazâlî dan David Hume (Kritik
Nalar Kausalitas dalam Teologi dan Filsafat), (Tesis S2 Konsentrasi Pemikiran Islam,
Pascasarjana Magister S2, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 65-66. 36
Imam al-Ghazâlî, Tahâfut Al-Falâsifah Kerancuan Para Filosof, h. 236.
80
membakar atau tidaknya adalah kehendak dari Tuhan. Karena sejatinya api itu
adalah benda mati, ia tercipta, dan segala kekuatan apa yang berada padanya
adalah Tuhan yang mendatangkannya. Pernyataan tersebut ternyata juga
pernah terjadi pada masa seorang Nabi yang bernama Ibrahim. Dimana saat
itu Nabi Ibrahim di lempar ke dalam api yang sedang berkobar-kobar, namun
atas kehendak Tuhan tubuh Nabi Ibrahim sama sekali tidak terbakar, api itu
menjadi dingin dan menyelamatkannya.37
Padahal jika berbicara tentang
sebab-akibat, maka api itu pastilah sudah melahap dan menghanguskan tubuh
dari seorang Nabi Ibrahim.38
Contoh lain di sini adalah seorang anak yang katanya (para filosof) berasal
dari air mani seorang ayah. Sedangkan dalam hal ini, Imam al-Ghazâlî
menjawab dengan pola pikir yang sama. “Ayah bukanlah pelaku bagi
keberadaan anaknya, kehadiran seorang jabang bayi ataupun seorang anak
tidaklah serta merta dengan memasukkan air mani seorang ayah ke dalam
rahim seorang ibu, begitupula dengan pendengaran, penglihatan, dan seluruh
hal yang ada pada anak itu. Jika semua hal itu tidak Tuhan kehendaki,
bagaimana mungkin air mani yang masuk ke dalam rahim seorang ibu dapat
membentuk seorang anak, bagaimana bisa seorang anak dapat terlahir dengan
sempurna dari rahim seorang ibu.39
Dalam hal ini penulis menangkap, kenapa
Imam al-Ghazâlî memberikan contoh dari hal kecil hingga terbesar, yaitu
hingga masuk kedalam pembahasan penciptaan sebuah makhluk yang berasal
37
Kita bisa melihat bukti nyata yang telah tertulis dalam QS. Al-Anbiya, ayat 69: “Kami
(Allah) berfirman, „Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” 38
Imam al-Ghazâlî, Tahâfut Al-Falâsifah Kerancuan Para Filosof, h. 239 39
Pernyataan sebelum penjelasan inipun telah Allah cantumkan didalam QS. 21 : 89-90.
81
dari rahim manusia. Semua itu tidak lain hanyalah, agar manusia berpikir
bahwa suatu benda atau suatu makhluk itu tercipta dan yang menciptakannya
adalah Tuhan, dan sebuah makhluk serta suatu hal yang tercipta itu tidak
mempunyai kekuatan ataupun kelebihan jika bukan Tuhan yang
mendatangkannya ataupun menghendaki suatu kelebihan dalam dirinya. Oleh
karena itu tidaklah mungkin mereka menjadi sebab dari segala sesuatu dengan
sendirinya. Karena peristiwa seperti yang dicontohkan diatas memperoleh
eksistensinya dari Tuhan, baik langsung maupun melalui perantara dari para
malaikat-malaikat yang dipercaya untuk mengatur peristiwa-peristiwa
tersebut.40
Dalam hal ini, penulis menyimpulkan dari uraian contoh dan kisah yang
Imam al-Ghazâlî utarakan, bahwa disinilah terbukti suatu benda itu tidak
mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai kekuasaan atas suatu
kejadian, melainkan Tuhanlah yang berkuasa dan menguasai segala
sesuatunya itu.
C. Hikmah Penciptaan Alam
Segala pujian berhak diberikan kepada Tuhan yang mencipta, yang telah
meletakkan nikmat-Nya dalam kehidupan hambanya bagi yang mau berpikir.
Dijadikannya manusia berpikir terhadap yang Dia ciptakan hal itu adalah
sebagai alat agar manusia benar-benar menancapkan keyakinan dalam hatinya.
Sehingga mereka dapat membuktikan keberadaan-Nya melalui ciptaan-Nya
40
Imam al-Ghazâlî, Tahâfut Al-Falâsifah Kerancuan Para Filosof, h. 237.
82
yang mereka perhatikan, dengan itu mereka mengenal dan yakin bahwa tiada
Tuhan selain Dia, lalu pada akhirnya mereka mengesakan-Nya.
Lalu kenapa Tuhan menghadirkan apa-apa yang sekarang telah terdapat di
langit dan alam semesta ini? Apakah Tuhan menghadirkan dan
mengadakannya tanpa disengaja atau tak disengaja? Sebagaimana yang
dinyatakan oleh para filosof bahwa alam semesta ini tercipta dari ada, dan
memang sudah ada dari dahulunya, maka dari itu dapat dikatakan qadim.
Sehingga apa-apa yang ada di alam semesta ini terjadi begitu saja tanpa ada
hikmah dan makna sesungguhnya. Lalu bagaimana dengan sebagian filosof
dan mutakallimin yang meyakini bahwa alam ini tercipta dengan kehendak
SangMaha Pencipta? di mana hal ini disebut dengan penciptaan, dengan
Hikmah tersendiri beserta manfaatnya. Dari kedua pernyataan di atas, masing-
masing yang memikirkannya mempunyai argumen sendiri terhadap
pernyataan mereka. Namun dengan pernyataan, sekaligus penjelasan yang
akan ditulis pada bagian ini, setidaknya dapat membuat pembaca berpikir dan
merenungkan apakah benar alam ini tercipta dan sudah ada sejak zaman azali,
ataukah alam ini tercipta secara baru, berikut penjelasannya.
1. Hikmah Penciptaan Langit dan Alam Semesta.
Imam al-Ghazâlî menuturkan jika alam ini engkau perhatikan dengan
pikiranmu dan mengkajinya dengan akalmu, pastilah kau dapati alam
semesta ini seperti rumah yang kokoh, yang didalamnya terdapat segala
hal yang kita butuhkan. Sebagaimana langit terbentang laksana atap pada
rumah yang di tempati, lalu bumi terbentang luas laksana hamparan karpet
83
pada lantai rumah, ada bintang-gemintang yang bertebaran layaknya
lampu pada sang rumah, dengan mutiara-mutiara tersimpan layaknya harta
yang terpendam, dan manusia adalah sebagai pemilik rumah itu yang di
dalamnya semua adalah miliknya. Didapat lagi beraneka tumbuhan juga
hewan yang tumbuh dan hadir didalamnya, yang tersedia untuk kebutuhan
dan digunakan sebagaimana mestinya. Begitulah masing-masing telah
disiapkan sesuai kondisinya.41
Adapun langit diciptakan, hanya orang-orang yang mau berpikir
sajalah yang dapat melihat hikmah dari penciptaan tersebut. Sehigga
dengan proses berpikir itu, manusia dapat menjadikan langit sebagai
petunjuk dalam hidupnya. Hal ini dilihat dari langit yang memiliki
bintang-gemintang, rembulan, diikuti dengan planet-planet yang setia
dengan peredarannya, sehingga hal itulah yang menjadi petunjuk bagi
mereka.
Dapat kita ambil kisah dari Nabi Ibrahim sebagai contoh, bermula dari
Ia yang tidak mengetahui siapa Tuhannya yang sebenarnya. Maka ia
mencari melalui apa yang alam tampakkan, lalu ia kaji dari apa yang ia
lihat pada saat itu. Dapat kita ketahui dari alur ceritanya, tanpa harus
berada bersamanya pada saat itu, bahwa yang ia lihat kala itu adalah
termasuk langit alam semesta ini. Ketika rembulan muncul lalu
menghilang, maka pudarlah harapannya kepada sang bulan bahwa ia
adalah sang pencipta semesta ini, lalu matahari pun terbit akan tetapi
41
Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup. Penerjemah.
Kaserun AS. Rahman, (Jakarta: Turos Khazanah Pustaka Islam, 2016),h. 2.
84
terlelap akan malam, begitulah seterusnya, hingga kenampakkan yang lain
datang lalu pergi tanpa keabadian yang pasti. Dari hal itu kita dapat
mengambil pelajaran bahwa, apa yang tampak pada alam patutlah kita
pelajari dan ambil pelajaran darinya. Bukan berarti apa yang ada dalam
semesta ini tercipta tanpa ada hikmah di balik semuanya.42
Ketika sendiri, langit dengan warna biru mendekati hitam bukanlah hal
menakutkan untuk di pandang. Hal itu sangatlah indah dan bermakna
ketika kita tahu manfaat dari segala yang tercipta di muka bumi ini tanpa
sia-sia. Langit dengan kehalusan hamparannya, yang jika dilihat berkali-
kali akan sangat sulit mencari cela kehancuran dari badannya. Berbeda
dengan wajah yang ketika dilihat berkali-kali tetap saja terdapat
kecacatannnya. Ditumbuhi jerawat, komedo, bahkan flek hitam yang
mengurangi kehalusannya. Sehingga ketika mata memandang hilanglah
rasa kenyamanan pada indera yang menyaksikan. Akan tetapi berbeda
dengan langit, langit memiliki banyak kelebihan yang ketika berusaha
diungkap maka perasaan yang kita rasa saat mata memandang tak dapat
diungkap.
Berkaitan dengan hal di atas, tanpa perlu diperjelas panjang lebar
maka kita tahu makna dari penciptaan langit itu sangatlah menakjubkan,
disebutkan bahwa dengan memandang langit maka sepuluh manfaat yang
terkandung didalamnya akan kita dapat, yaitu: mengurangi kesedihan,
mengurangi waswas, menghilangkan halusinasi ketakutan, mengingatkan
42
Imam al-Ghazâlî, Tafsir Ayat Cahaya Dan Telaah Kritis Pakar, h. 71.
85
kepada Allah, menebarkan rasa takzim (pengagungan) kepada Allah di
dalam hati, menghilangkan pikiran-pikiran buruk, mengobati penyakit
empedu, menghibur orang yang merindu, dan menyenangkan para pecinta.
Lebih dari itu, langit merupakan kiblat orang-orang yang berdoa.43
2. Hikmah Penciptaan Matahari
Pada lain sisi ada matahari yang menemani sang langit, sehingga ada
nama siang dan malam dalam sebutan manusia. Sebenarnya tak perlu
dibahas terlalu banyak, akan manfaat dari matahari. Karena dengan indera
dan akal yang dikarunai, kitapun telah dapat mengetahuinya. Seperti
matahari menjadi petunjuk atas tegaknya siang dan malam pada seluruh
penjuru bumi.44
Karena kalaulah matahari tidak terbit, niscaya rusaklah
seluruh perkara alam. Tidak akan ada manusia yang dapat bekerja untuk
memenuhi kehidupan dan menjalankan urusan hidup mereka. Dunia
menjadi gelap gulita. Olehnya mereka tidak tenang dalam menjalani hidup,
karena kehilangan kelezatan dari cahaya.45
Karena kita sudah mengetahui bagaimana jadinya jika tidak ada
matahari, dan betapa pentingnya sang mentari bagi sumber kehidupan.
Maka selanjutnya kita beralih kepada pertanyaan Bagaimana jika matahari
terbenam? Apakah yang akan terjadi? Jika kita membayangkan sejenak,
bagaimana kalau matahari tidak pernah terbenam, yang terjadi adalah:
43
Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup. Penerjemah.
Kaserun AS. Rahman, (Jakarta: Turos Khazanah Pustaka Islamm), 2016, h. 6. 44
Imam Al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam dan Makhluk Hidup, h. 11-12. 45
Imam Ja`far AsShadiq, Mengurai Tanda Kebesaran Allah. Penerjemah: Irwan
Kurniawan, (Bandung: Pustaka Hidayah, cet. 7, 2000), h. 90-91.
86
Manusia tidak akan merasa tenang. Hal itu disebabkan keinginan dan
kebutuhan manusia yang besar dalam mencari hal untuk menunjang biaya
hidup, serta gaya hidup yang mereka jalani. Oleh sebab itu dengan
terbenamnya matahari maka ketenangan untuk kesegaran tubuh mereka
dapatkan. Kalau saja matahari terus bersinar tanpa mengizinkan malam
menggantikannya, pastilah kita akan kelelahan dalam bekerja. Sehingga
tidak ada waktu berhenti untuk beristirahat dan menenangkan diri,
ketenangan pun tak mungkin diraih. Maka pada akhirnya diri kita-pun
akan mengalami kebinasaan. Seperti halnya mesin yang jika harus
berjalan, bekerja, ataupun beroperasi setiap detiknya, waktu dan jamnya.
Bahkan tak ada pengistirahatan untuk mesin tersebut, dan tenaganya-pun
selalu terkuras (dimanfaatkan) oleh khalayak ramai, maka tak usah
menunggu lama, mesin tersebut pastilah akan kepanasan dan rusak.
Begitulah manusia. Bahkan hewan ternak akan terus menerus merumput
jika siang terus terpancar, dan ketika hewan ternak itu dipaksa terus
bekerja tanpa diberikan kecukupan pada kebutuhan badannya iapun akan
mati.
Nah, dengan terbenamnya matahari “maka indera yang bekerja dapat
beristirahat”, karena manusia tahu akan tandanya malam, dan tak mungkin
ia melakukan pekerjaan itu pada malam hari.46
Selanjutnya dengan adanya
46
Pekerjaan yang tak mungkin dikerjakan pada malam hari, yang jika pekerjaan malam
hari dilkaukan pada malam hari akan berdampak buruk pada pekerjaan itu. Seperti tidak
maksimalnya dalam hasil dari pekerjaan yang dilakukan. Akan tetapi ada pula pekerjaan siang
yang dapat dikerjakan pada malam hari, yang karena jika dikerjakan pada siang hari mereka
merasa terganggu, atau tidak sempat, dan lain sebagainya. Lihat: Imam al-Ghazâlî, Rahasia
Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 11.
87
malam (terbenamnya matahari) “memulihkan kekuatan pencernaan
makanan untuk mencerna makanan serta menyalurkan sari makanan ke
seluruh anggota tubuh”.47
Dari semua itu ,menurut Imam al-Ghazâlî sadarlah manusia betapa
Esanya Tuhan akan penciptaannya. Semua terstruktur, berfaedah, dan
akurat. Dengan matahari terbit pada waktunya dan terbenam pada
waktunya pula. Yang dengan adanya perlawanan itu, memberikan
kebaikan bagi alam dan penghuninya. Matahari juga memberikan
“pergiliran empat musim” dalam satu tahun dan keteraturan dalam hal itu.
Yang masing-masing dalam setiap musim memiliki manfaat tersendiri
untuk makhluk pada semesta.48
Cakupan perputaran empat musim tersebut terdiri dari musim dingin,
panas, semi, dan gugur dengan cara naik turunnya matahari maka keempat
musim tersebut tergilirkan. Pada musim dingin, ketika matahari hadir
maka memberikan manfaat pada pepohonan dan makhluk hidup yang
terkena es tadi. Maka dengan kejadian itu buah-buahan pun bermunculan,
udara menjadi pekat, sehingga dihasilkan darinya awan dan hujan, dan
tubuh binatang menjadi kuat. Adapun pada musim semi, benda-benda
yang dihasilkan pada musim ini bergerak dan muncul, maka jadila
47
Dimana pada pukul 23.00-03.00, terdapat hati atau liver melakukan aktivitas
pembuangan racun hasil metabolisme dan terjadi proses generasi sel-sel organ hati. Sangat
disarankan pada jam ini kita sudah berhenti beraktivitas, ungkap Antony Kiro, herbalis dari Daun
Hijau Mediabeta. Itu adalah sebagian bukti, bahwa adanya malam memang diciptakan untuk
manusia beristirahat juga merasakan damai. Lihat, Lusia Kus Anna, “Jam Kerja Organ Tubuh
Menurut Pengobatan Tiongkok,” artikel di akses pada 21 Desember 2017 dari
http://lifestyle.kompas.com/read/2015/09/25/190000023/Jam.Kerja.Organ.Tubuh.Menurut.Pengob
atan.Tiongkok 48
Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 13.
88
tumbuhan, pohon-pohon berbunga. Pada musim panas udara menjadi
panas sehingga membuat buah-buahan menjadi matang, kotoran dari
badan keluar, dan permukaan bumi mengering sehingga baik untuk
membuat bangunan dan usaha. Pada musim gugur udara menjadi bersih,
hilang segala penyakit, badan menjadi sehat, malam menjadi panjang
sehingga memungkinkan melakukan sebagian pekerjaan dan udara
menjadi segar. Sebenarnya masih banyak hikmah-hikmah lainnya, yang
jika penulis jelaskan maka akan menjadi pembahasan yang panjang.49
3. HikmahPenciptaanBulan dan Bintang
Setelah matahari terbenam muncullah bulan, menandakanwaktu
malam tiba, ditemani gemerlap sang bintang, maka lunturlah kesuraman
gelap malam. Begitulah perputaran yang terjadi.
Mahasuci Allah yang menjadikan di langit gugusan bintang-
bintang dan Dia juga menjadikan padanya matahari dan bulan yang
bersinar. (Al-Furqon/25:61)
Sebagaimana telah dijelaskan akan hikmah adanya rembulan di
pembahasan sebelumnya, maka tak perlu kita perjelas panjang lebar,
karena sejatinya kita telah mengetahuinya. Rembulan diadakan sebagai
teman untuk para makhluk dalam keadaan gelap. Ketika manusia tak dapat
bekerja di siang hari maka dapat tergantikan bekerja pada malam hari
dengan sinar rembulan, begitupun dengan aktivitas lainnya.
49
Iman Ja’far Ash-Shadiq, Mengurai TandaKebesaran Allah, (Bandung, Pustaka
Hidayah) cet.7, h. 87-88.
89
Meskipun begitu keadaan malam tidaklah sepanas disiang hari. Sebab
malam adalah waktunya tuk berganti dengan keadaan yang nyaman. Yaitu
dengan suhu yang lebih redup. Hal ini pula bermaksud agar manusia tidak
bekerja seperti rasanya di siang hari. Kecuali untuk yang tidak dapat
bekerja dengan sorot panas sinar matahari.50
Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu
menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan
bulan untuk perhitungan. Itulah ketetapan Allah yang Mahaperkasa,
Mahamengetahui. (Al-An`am/6: 97).
Ketika malam dan siang menjadi hubungan antara siang dan malam,
maka bagaimana dengan sesosok bintang yang cahayanya kelap-kelip pada
keindahan malam menerangi sang bulan?. Bintang memiliki orbit yang
selalu berputar, yang dengannya telah membawa bintang-gemintang
beredar pada siang dan malam dengan sangat cepat. Pernyataan tersebut
dapat kita saksikan dengan timbul dan terbenamnya ia. Terbitnya bintang
juga mempunyai waktu tersendiri, dengan begitusebagian bintang dalam
satu waktu tenggelam dan dari sebagian yang lainnya muncul, seperti
bintang Kartika, Gemini, dan Sirius. Dengan bergantiannya
kemunculannya itu, maka itulah yang membantu memberikan petunjuk
kepada manusia di muka bumi ini. Karena itulah rasi bintang selalu
tampak dan tak pernah tenggelam, demi sejumlah maslahat. Rasi bintang
laksana simbol atau pertanda yang menjadi petunjuk bagi manusia. Seperti
ketika melintasi jalanan tak dikenal, baik di darat maupun di laut. Semua
50
Imam al-Ghazali, Rahasia Penciptaan Alam Semesta dan Makhluk Hidup, h.18.
90
hal itu tidak Tuhan ciptakan dengan sia-sia, melainakan semua itu demi
kepentingan alam semesta.51
4. HikmahPenciptaanBumi
Perlunya dibahas akan hikmah dari penciptaan bumi, karena itulah
tempat perpijakan manusia. Segera setelah mengetahuinya, agar manusia
dapat merasakan pentingnya dalam menjaga bumi ini dari kehancuran,
kecuali kehancuran yang telah Allah kehendaki (kiamat).
Perlu kita ketahui kelebihan dari sang bumi yang senantiasa diinjak,
namun tetap setia pada makhluknya dalam mengalirkan manfaat. Seperti
luasnya bentangan bumi, jika tidak maka manusia di muka bumi ini akan
sulit untuk bergerak, dan akan terus merasa bosan. sebab jika bumi ini
luas, maka manusia dengan mudah untuk mencari tempat lain dalam
menenangkan dirinya, dengan keluasan tersebut manusia-pun dapat duduk
ataupun berbaring untuk istirahatnya.52
Alquran mengungkapkan, adanya
bumi bertujuan untuk melestarikan segala keturunan jenis binatang,
tanaman, maupun tumbuh-tumbuhan. Bumi juga menjadi tempat untuk
mengubur segala hal yang aromanya mengganggu, bangkai, kotoran
manusia, dan lain-lain. Hal itu diperjelas pada Qs. Al-Mursalat :
“Bukankah kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul. Orang-
orang hidup dan orang-orang mati?” (Qs. Al-Mursalat/77: 25-26).
Allah juga menciptakan bumi dengan sifat dingin dan kering sesuai
dengan kadar tertentu. Andaikan bumi ini melebihi kadarnya seperti
51
Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 24. 52
Imam Ja`far Ash-Shadiq, Mengurai Tanda Kebesaran Allah, h. 100.
91
kekeringan, hingga seluruhnya menjadi batu cadas, maka tumbuhan tak
akan terhampar di atasnya, binatang ternak akan punah, disusul dengan
kebinasaan manusia. Jika bumi ini keras dan padat, manusia akan kesulitan
melakukan perjalanan dan jalan-jalan pun tidak bisa tampak.53
5. HikmahPenciptaan Air
Betapa gersangnya hidup ini jika dilalui tanpa air yang mengalir. Air
juga dapat megalir tanpa harus menggunakan bantuan dorongan. Begitu
MahaBijaksana-Nya Tuhan dalam mengatur alam semesta ini.
Dijadikannya belahan utara lebih tinggi dari belahan selatan. Imam Ja`far
mengungkapkan bahwa setelah bumi berbentuk bula, maka belahan
utaranya menjadi lebih tinggi di bandingkan belahan selatannya. Hal itu
dapat di buktikan dengan melihat sungai Trigis, Eufrat dan sungai-sungai
lainnya yang airnya mengalir dari utara ke selatan. Mengapa bisa
dikatakan seperti itu? Mereka dapat menetapkan utara lebih tinggi
daripada selatan, karena air yang ada di dalam rongga bumi mengikuti
permukaan bumi dalam hal naik turunnya.“ sehingga mata-mata air selain
memancar juga mengalir dari utara ke selatan.54
Imam al-Ghazâlî melandaskan hikmah air yang lainnya dengan
menyandarkannya pada ayat al-qur`an yang artinya:
“Dan dari air kami jadikan segala sesuatu (bisa)hidup. Maka,
mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Qs. Al-Anbiya`/21: 30)
53
Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 31. 54
Imam Ja’far Ash-Shadiq, Mengurai Tanda Kebesaran Allah, h. 102.
92
Kita sering mendengar kalimat “Tanpa makan kita dapat hidup,
sedangkan tanpa minu kita tidak bisa hidup. ”Sebagaimana QS. Al-
Anbiya` ayat 21 dikatakan, bahwa segala sesuatu dapat hidup dengan air.
Seandainyapun manusia tidak bisa mendapatkan air, maka tak segan-segan
ia mengeluarkan berapa saja dari harta kekayaannya. Sebab dengan air,
Allah menjadikan yang kotor menjadi bersih, baik itu pada tubuh manusia,
pakaian, maupun rumah yang kita tempati.55
Dan meminumnya, dapat
membuat tubuh kita merasakan ketenangan dan kenikmatan. Dengan air
pula, tanah yang keras dapat menjadi lembut dan gembur, yang pada
akhirnya mempermudah para pekerja untuk melakukan pekerjaan. Baik itu
pekerjaan bercocok tanam, ataupun membuat bangunan. Tak heran para
pemilik perusahaan rela mengeluarkan cara apa saja, dan biaya berapa saja
jika air tak didapatkan.
Tatkala api berkobar dengan ganasnya ia dapat melahap apa saja
yang berada di sampingnya, binasalah dan sirna jika tak ada cara untuk
memadamkannya. Namun dengan adanya air, api yang besar-pun dapat
dipadamkan, begitulah keunggulan air yang lainnya. Dengan keunggulan
air yang seperti inipun, masih banyak manusia yang lalai akan nikmat dari
air, yang darinya kita dapat meng-Agungkan SangPencipta. Meski kita
tahu kita sangat membutuhkan air tersebut. Lalu bagaimana jika kapasitas
air dalam kehidupan ini sangat terbatas? Kehidupan di dunia ini pastinya
55
Dikatakan pula oleh Imam al-Ghazâlî, saat tubuh merasakan kelelahan maka setelah
kita memandikannya, maka akan dirasa nikmat rehat seketika. Segala penat, dan amarah-pun
mereda. Lihat: Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 52.
93
menjadi keruh, dengan itu Allah menurunkan dan memudahkan air demi
menghidupkan dunia dengan segala isinya, baik itu kepada binatang,
tumbuhan, dan tambang.56
Bahkan Ensiklopedia Mukjizat Alquran dan Hadis menyempurnakan
manfaat air dengan menggandeng ilmuwan kimia dan fisika Rusia, yaitu
Igor Britianov dalam menerangkan kelebihan air dengan pengetahuan
modern saat ini, yaitu:
Air itu memiliki sifat yang menjadikannya materi yang berbeda di
dunia ini. Para ahli-pun telah menetapkan bahwa air adalah satu-satunya
zat cair alam yang dapat dijadikan media untuk menciptakan reaksi kimia
yang harus dilalui dalam pembentukan materi yang dibutuhkan oleh
makhluk hidup. Para ahlipun telah menemukan bahwa air adalah benda
cair yang paling utama, karena merupakan penghantar listrik paling cepat.
Penghantar air ini sangat penting dalam kehidupan.57
6. Hikmah Penciptaan Api
Ada hitam di situ ada putih, dimana ada panas pasti ada dingin,
begitupun dengan adanya air, pasti hadirlah api. Tak bisa di pungkiri
bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai makhluh hidup terkhusus
manusia membutuhkan yang namanya api. Itulah mengapa Tuhan
menciptakan api, bukan tanpa kesengajaan. Api tidak saja berguna untuk
penerangan dikala gelap tak ada pencahayaan seperti bulan, juga matahari,
56
Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 54. 57
Kemukjizatan Penciptaan Bumi dalam Ensiklopedia Mukjizat Alquran dan Hadis, jilid
8, h. 66.
94
terlebih pada zaman dahulu tidak adanya lampu. Api juga tidak hanya
sekedar menghangatkan manusia yang kedinginan akibat angin yang
dingin juga salju. Api sendiri tidak hanya tercipta untuk mengeringkan
pakaian atau segala benda yang basah. Hadirnya api jugasebagai
pelengkap kebutuhan diri manusia, yaitu seperti membuat empuk
makanan, hingga mengolah benda yang besar manfaatnya bagi kehidupan
seperti emas, perak, tembaga, timbal, timah, berikut besi. Dimana kita tahu
pada zaman dahulu dengan besilah perjuangan kaum muslimin dapat
mengalahkan kafir Qurays, yaitu diubahnya besi menjadi pedang.58
Akan tetapi perlu kita ketahui, sebuah api tidaklah sama
pengahdirannya dengan air. Jika air Allah berikan keberlimpahan dalam
kehidupan manusia, maka api sangatlah terbatas namun besar keperluan
manusia terhadapnya. Jika Air terdapat pada mata air, serta benda-benda,
termasuk tumbuhan maka api hanya dapat kita temukan pada dalam benda.
Seperti didalam batu, ataupun kayu.59
Maka dari itulah adanya tangan
beserta jari-jemari yang menghiasi tubuh manusia, gunanya adalah agar
mereka dapat mengeluarkan api yang ada pada suatu benda, serta
menggunakannya.60
Hal itu dikuatkan oleh firman Allah:
“Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kalian nyalakan
(dengan menggosok-gosokkan kayu). Engkaulah yang menjadikan kayu itu
atau kamikah yang menjadikannya? Kaminjadikan api itu sebagai
peringatan dan bahaya yang berguna bagi musafir di padang pasir. Maka
58
Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 64. 59
Hal itu dapat kita buktikan dengan nyalanya api ketika digesekkannya kayu dengan
kayu, ataupun batu dengan batu. Sebagaimana yang dilakukan dengan manusia dahulu yang hidup
sebelum masa modern sekarang ini. 60
Imam Ja`far Ash-Shadiq, Mengurai Tanda Kebesaran Allah, h. 104.
95
bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Mahabesar.”
(QS. al-Waqi`ah/56: 71-74).
7. Hikmah Penciptaan Udara
Apakah yang dapat membuat suhu badan semua jenis binatang darat
menjadi normal? Imam al-Ghazâlî menjawab udara. Sebab udara bagi
binatang darat, sama halnya dengan air bagi binatang laut. Bila binatang
terhalang dari menghirup udara, suhu panas yang ada di dalam tubuhnya
akan mengalir ke dalam jantung, dan ia akan binasa.
Bagi manusia, hewan, tumbuhan, dan seluruh makhluk hidup lainnya
pastilah memerlukan udara. Mau itu besar, kecil, banyak atau sedikit,
pastilah udara sangat dibutuhkan. Udara itu digerakkan oleh angin,
dengannya makhluk hidup dapat hidup dengan menghirup udaranya,
dengan tiupan angin itu pula perahu-perahu dapat berlayar dari ujung
pulau ke ujung samudera. Tumbuhan seperti bunga dapat saling
menyerbukkan sarinya, hingga lahirlah bunga baru dari sejenisnya.61
Bergesernya awan-awan, yang dengannya menjadi tempat berteduh oleh
sebagian musafir dan hewan lainnya. Digiringnya awan oleh angin
sehingga turunlah air hujan yang sangat manusia butuhkan.62
Orang-orang yang ragu tidak mengetahui sebab dan makna
penciptaan. Pemahaman mereka sempit untuk mengkaji manfaat dan
hikmah pada apa yang diciptakan Pencipta Yang Mahasuci dan yang Dia
ciptakan berupa berbagai ciptaan-Nya yang ada di daratan, lautan, lembah,
61
QS. al-Hijr/15: 22. 62
Imam al-Ghazali, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 56-57.
96
dan lainnya. Dengan kesempitan ilmu, mereka menuju kekufuran, dan
dengan kelemahan nalar, mereka keluar menuju pendustaan dan
kedurhakaan. Hingga mereka mengingkari penciptaan segala sesuatu.
Mereka menganggap semua itu tercipta tanpa kesengajaan, tiada
penciptaan, pengaturan dan kebijakan dari SangPengatur dan
SangPencipta. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan. Terkadang
adapula orang yang merusak sesuatu yang telah tersimpan pada tempatnya
dan tersedia bagi keutuhannya, tapi ia tidak mengetahui arti semua itu,
untuk apa disediakan? Mengapa dijadikan seperti itu? Maka serta merta
dengan mudah ia mencaci penciptaan yang telah diadakanbeserta
Penciptanya. Olehnya penulis memaparkan hikmah penciptaan yang ada
pada alam semesta ini, meskipun tidak semuanya akan tetapi berapa yang
tertulis itu sudah mewakili akan keagungan Tuhan.63
Dalam pergulatan masalah alam Imam al-Ghazâlî dengan para filosof
yang tak berkesudahan, membuat Imam al-Ghazâlî harus menjelaskan
bahwa alam ini memang baharu dan tercipta. Otomatis, setiap yang
tercipta dan baharu pasti ada yang menjadikannya, yaitu Tuhan.
63
Imam Ja`far Ash-Shadiq, Mengurai tanda Kebesaran Allah, h. 10.
97
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadirnya pemikiran Imam al-Ghazâlî tentang alam, adalah karena Ia
menemukan ada yang kurang tepat dalam penjabaran alam dari para filosof
terdahulu. Dikhawatirkan, pemikiran, bahwa alam ini kadim membuat umat
Islam menjadi kafir, dan tidak percaya akan adanya Tuhan. Sebagaimana yang
Imam al-Ghazâlî katakan dalam teologi Islam, Tuhan adalah pencipta, dan
yang dimaksud dengan pencipta ialah menciptakan sesuatu dari tiada. Kalau
alam dikatakan tidak bermula, maka alam bukanlah diciptakan, dengan
demikian Tuhan bukanlah pencipta. Sedangkan dalam alquran disebutkan
bahwa Tuhan adalah pencipta segala-galanya. Menurut Imam al-Ghazâlî-pun
orang Islam tidak ada yang menganut paham bahwa alam ini kekal dan tak
bermula.
Tuhan adalah sesuatu yang berdiri sendiri, Ia tidak membutuhkan
yang lain. Sedangkan alam ini tercipta oleh Tuhan, tidak akan ada yang lain
jika yang satu tidak ada. Hal itu di karena keberadaannya tidak berdiri sendiri,
dan membutuhkan yang lain. Jadi, tidak mungkin alam semesta itu tercipta
dengan sendirinya, atau sampai dikatakan qadim. Sebab yang bermula pasti
mempunyai kesudahan, dan alam itu diciptakan. Maka setiap yang diciptakan
pasti berawal dan akan berakhir, karenanya alam adalah baru. Dengan begitu,
alam diciptakan melalui kehendak Tuhan. Terserah Tuhan mau memunculkan
alam itu kapan, dan bagaimana. Karena sesungguhnya ketiadaan akan
98
berlanjut sampai batas keberlanjutan itu. Sebaliknya, wujud akan mulai
(mewujud) pada saat permulaan (sudah dimulai). Jika wujud sebelumnya
belum dikehendaki, maka wujud belum muncul. Wujud muncul pada saat
dikehendaki oleh kehendak kadim (Tuhan). Alam juga disebut sebagai kitab
simbol-simbol, karena segala yang ada di alam kasat mata ini merupakan
simbol sesuatu yang ada di alam yang lebih tinggi. Alam semesta ini adalah
yang meliputi segalanya, baik itu diluar maupun di dalam, baik hal kecil
maupun hal besar.
Imam al-Ghazâlî juga menyatakan bahwa alam semesta yang ada
bukanlah sekedar tercipta. Melainkan, semua yang di hadirkan pada alam
semesta ini memiliki hikmah, yang jika manusia biasa lihat memang tidak ada
apa-apanya. Namun berbeda dengan manusia yang mau menggunakan akal
dan hati-nya untuk berpikir, merenungi, dan merasakan segala apa yang ada,
dan apa yang tercipta pada alam semesta ini.
Sebagaimana halnya langit, langit tercipta tidak hanya untuk sekedar
dipandang. Apa yang ada padanya adalah sebuah manfaat, yang jika di
pandang maka ada 10 manfaat yang didapatkan, salah satunya adalah:
mengurangi kesedihan, mengurangi was-was,menghilangkan halusinasi
ketakutan, mengingatkan kepada Tuhan, menebarkan rasa takzim
(pengagungan) kepada Tuhan didalam hati, menghilangkan pikiran-pikiran
buruk dan lain sebagainya. Adapaun terciptanya matahari tidak lain salah
satunya adalah agar manusia merasakan ketenangan dan dapat merasakan
manfaat dari apa yang telah Tuhan ciptakan. Itulah sebabnya mengapa bulan
99
juga hadir sebagai peneman matahari. Dan masih banyak manfaat lainnya lagi
dari apa yang Tuhan adakan pada alam semesta ini. Begitulah kiranya hikmah
dari beberapa penciptaan yang ada. Hikmah dari semua itu bukanlah untuk
Tuhan, melainkan Tuhan menciptakannya hanya untuk hambanya.
B. Saran
Berangkat dalam pembahasan di atas, ada beberapa hal di dalam
skripsi ini yang belum dapat dijelaskan lebih dalam, ataupun kurang jelas
penjabarannya. Oleh karena itu penulis sangat mengaharapkan kritik beserta
sarannya, agar hasil penulisan ini dapat menjadi sempurna.
100
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hamzah, Pengantar Filsafat Alam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1981.
Abidin, Zainal, Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.10, 2008.
Al-Fakhuri, Hanna, dan al-Jurr, Khalil, Riwayat Filsafat Arab, jilid 1, penerjemah: Irwan
Kurniawan. Jakarta: Sadra Press, 2014.
Al-Ghazâlî, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan. Surabaya: Pustaka Progressif, 2001.
-------------, Ihyâ‟ `Ulumuddin. Jakarta: Republika Penerbit, 2011.
-------------, Imam, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup. Penerjemah.
Kaserun AS. Rahman. Jakarta: Turos Khazanah Pustaka Islam, 2016.
-------------, Imam, Tafsir Ayat Cahaya Dan Telaah Kritis Pakar. Penerjemah: Hasan Abrori
dan Masyhur abadi. Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
-------------, Imam, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof). Penerjemah: Ahmad
Maimun, (Bandung: Marja, 2016.
-------------, Misykâtul Anwar. Penerjemah:Hasan Abrori dan Masyhur Abadi. Suarabaya:
Pustaka Progressif, 1999.
Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Penerjemah: Bahruddin Fannani.
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1999.
Anna, Lusia Kus, “Jam Kerja Organ Tubuh Menurut Pengobatan Tiongkok,” artikel di akses
pada 21 Desember 2017 dari
http://lifestyle.kompas.com/read/2015/09/25/190000023/Jam.Kerja.Organ.Tubuh.Me
nurut.Pengobatan.Tiongkok
Anwar, Saeful , Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung:
Cv.Pustaka Setia, 2007.
As-Shadiq, Imam Ja`far, Mengurai Tanda Kebesaran Allah. Penerjemah: Irwan Kurniawan.
Bandung: Pustaka Hidayah, cet. 7, 2000.
Ba, Wila Huky, “Capita Selecta Pengantar Filsafat”. Surabaya: Usaha Nasional, 1982.
Badudu dan Zain, Sutan Muhammad, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Bakar, Osman, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains. Penerjemah:
Yuliani Liputo dan M.S. Nasrulloh. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
101
Bakhtiar, Amsal, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam: Perbandingan
Antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd. Tesis S2, Jurusan Ilmu Agama Islam, Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998.
Bakhtiar, Amsal, Tema-Tema Filsafat Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Bakker, Anton, Metode-Metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
Bakry, Hasbullah , Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam. Jakarta: PT. Tintamas Indonesia,1973.
Blackburn, Simon, Kamus Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Dagun, Save M, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Tt,Tp: Lembaga Pengkajian Kebudayaan
Nusantara (LPKN).
Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Jakarta: Unipress, 2003.
Dalami Islam, “Tasawuf Sunni: Pengertian, Sejarah, dan Manfaatnya”, artikel diakses pada
04 Januari 2018 dari https://dalamislam.com/dasar-islam/tassawuf-sunni
Departemen Pendidikan dan Keudayaan: KBBI. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi ke-4.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Doa, Moh Siah, dan Djalaluddin, Rahasia Alam Kebatinan. T.tp.: AB. Sitti Sjamsijah Sala, t.t.
Gharawiyan, Mohsen, Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam. Penerjemah:
Muhammad Nur Djabir. Jakarta: Sadra Press, 2012.
Guiderdoni, Bruno, Membaca Alam Membaca Ayat. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004.
Hakim, Abdul , dan kawan, Filsafat Umum dari Metodologi Sampai Teofilosofi. t.t.
Hakim, Atang Abdul, dan Saebani, Beni Ahmad, Filsafat Umum dari Metologi sampai
Teofilosofi. Bandung : Cv.Pustaka Setia, 2008.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Hartoko, Dick, Kamus Populer Filsafat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Junani. Jakarta : PT.Tintamas Indonesia, 1964.
Kartanegara, Mulyadi, Gerbang Kearifan. Jakarta: Lentera Hati, 2006.
--------------, Mulyadhi, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhn, Alam, dan Manusia.
(Jakarta: Erlangga), 2007.
Komalasari, Dewi, Takhrij Al-Hadits Kitab Minhaj Al-Abidin Karya Imam al-Ghazali.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, Ushuluddin, Program Studi Ilmu Al-Qur`an dan
Tafsir,2017.
102
Leaman, Oliver , Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. Penerjemah: Musa
Khazim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan Media Utama, 2002.
---------, Oliver, Pengantar filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. Penerjemah: Musa
Khazim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan Media Utama, 2002.
Louis, Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogja, 2004.
Murtiningsih, Wahyu, Para filsuf dari Plato Hingga Ibn Bajjah. Jogjakarta: IRCiSoD, 2014.
Muzani, Ahmad, Kritik Al-Ghazali Terhadap Kausalitas Dalam Perspektif Filosofis. Jakarta;
Skripsi Jurusan Aqidah Filsafat, Fak.Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014.
Nasr, Seyyed Hoseein, dan Leaman, Oliver, ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam :buku
Pertama. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2003.
Nasutin, Harun , Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2014.
---------, Harun, Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 2003.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Nawawi, Ahmad, Relasi Sebab Akibat Menurut Al-Ghazâlî dan David Hume (Kritik Nalar
Kausalitas dalam Teologi dan Filsafat). Tesis S2 Konsentrasi Pemikiran Islam,
Pascasarjana Magister S2, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi ke-3. T.tp: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, t.t.
Praja, Juhaya S, Aliran-aliran Filsafat & Etika. Jakarta: Kencana, 2014.
Prawironegoro,Filsafat Ilmu. Jakarta : Nusantara Consulting, 2010.
Rifa`i, Bachrun, dan Mud`is, Hasan, Filsafat Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat : kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman
kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 3, 2007.
Setiawan, Ebta, “Proses” Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. Artikel ini diakses pada 3
April 2018 dari http://kbbi.web.id/proses
Soleh, Khudori , Filsafat Islam dari Kalsik Hingga Kontemporer, Penerjemah: Mizan.
Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2016.
Sudarsono, Filsafat Islam. Jakarta: Rineka cipta, 2010.
Supriyadi, Dedi , Pengantar Filsafat Islam (Lanjutan) Teori dan Praktik. Bandung: CV
Pustaka Setia, 2010..
-----------, Dedi , Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya. Bandung: CV.
Pustaka Setia Bandung, 2009.
103
Syafe’i, Syarifah, Alam Rohani Dalam Filsafat Ikhwan Al-Shafâ. Tesis IAIN Imam Bonjol
Padang: Program Studi Pengkajian Islam, 2006.
Taufiq, M. Iqbalut , Metafisika Dalam Perspektif AlGhazali. Jakarta: Program Studi aqidah
Filsafat, Fakultas Usuluddin, UIN Jakarta, 2014.
Tim nuansa, Plato Filosof Yunani Terbesar. Bandung: Nuansa cendekia, 2009.
Wirman, Eka Putra, Hukum Alam Dan Sunnatullah : Upaya Rekonstruksi Pemahaman
Teologis Di Indonesia. Ilmu Ushuluddin Jurnal Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin
(HIPIUS), Volume 1, Nomor 1, 2010.
Yayasan Wakaf Paramadina, Ihya‟ „Ulum al-din Pemikiran Keislaman al-Ghazâlî. Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
Yousef, Mohammad Haj, Ibn `Arabi-Time and Cosmology. T.tp: T.p, T.t.
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer; editor, Nuran Hasanah-Vol.1.
Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Zar, Sirajuddin , Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali perss, 2009.
-----, Sirajuddin, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya. Jakarta : Rajawali Pers,2012.
Zulekho, Pandangan Said Nursi tentang Tauhid dan Fenomena Alam. Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri Jakarta,2016.