pembaharuan dalam nahwu

24
1 PEMBAHARUAN DALAM NAHWU ANALISIS PERBNDINGAN ANTARA KITAB AL-RADD ‘AL AL-NUHAH KARYA IBNU MADHA’ DAN TAJDID AL-NAHWU KARYA SYAUQI DHAIF A. PENDAHULUAN Perkembangan ilmu nahwu pada abad keenam mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini terlihat dari meluasnya kajian ilmu tersebut sehingga banyak melahirkan teori-teori, ilmuan-ilmuan yang tersohor dengan kedalaman ilmunya dalam nahwu dan terbitnya buku-buku yang mengkaji nahwu secara komperhensif. Perkembangan tersebut pada satu sisi memiliki andil positif dalam pertambahan khazanah keilmuan. Akan tetapi di sisi lain hal ini memberikan gambaran bagi sebagian pelajar pemula ilmu nahwu akan keruwetan dan susahnya mempelajari ilmu tersebut. Melihat kondisi seperti, ini para ilmuan dalam ilmu nahwu berupaya untuk melakukan pembaharuan dalam ilmu ini agar mudah dipahami oleh pelajar pemula, khususnya bagi penutur bahasa non Arab. Di Indonesia sendiri, terutama di pondok-pondok pesantren salaf (tradisional) hingga hari ini banyak yang masih menggunakan kitab tersebut sebagai buku wajib dalam pengajaran bidang nahwu. Sedangkan buku yang ditulis dengan maksud sebagai kritik dan penolakan atas berbagai prinsip nahwu, terutama konsep “’amil” di antaranya adalah buku nahwu yang berjudul “Kitab al-Radd ‘Ala al-Nuhah” karya Ibnu

Upload: boris-antonius

Post on 19-Jan-2016

145 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

1

PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

ANALISIS PERBNDINGAN ANTARA KITAB AL-RADD ‘AL AL-NUHAH

KARYA IBNU MADHA’ DAN TAJDID AL-NAHWU KARYA SYAUQI DHAIF

A. PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu nahwu pada abad keenam mengalami kemajuan yang pesat.

Hal ini terlihat dari meluasnya kajian ilmu tersebut sehingga banyak melahirkan teori-

teori, ilmuan-ilmuan yang tersohor dengan kedalaman ilmunya dalam nahwu dan

terbitnya buku-buku yang mengkaji nahwu secara komperhensif.

Perkembangan tersebut pada satu sisi memiliki andil positif dalam pertambahan

khazanah keilmuan. Akan tetapi di sisi lain hal ini memberikan gambaran bagi sebagian

pelajar pemula ilmu nahwu akan keruwetan dan susahnya mempelajari ilmu tersebut.

Melihat kondisi seperti, ini para ilmuan dalam ilmu nahwu berupaya untuk melakukan

pembaharuan dalam ilmu ini agar mudah dipahami oleh pelajar pemula, khususnya bagi

penutur bahasa non Arab.

Di Indonesia sendiri, terutama di pondok-pondok pesantren salaf (tradisional)

hingga hari ini banyak yang masih menggunakan kitab tersebut sebagai buku wajib dalam

pengajaran bidang nahwu. Sedangkan buku yang ditulis dengan maksud sebagai kritik

dan penolakan atas berbagai prinsip nahwu, terutama konsep “’amil” di antaranya adalah

buku nahwu yang berjudul “Kitab al-Radd ‘Ala al-Nuhah” karya Ibnu Madha’ al-Qurtubi

(w. 592 H), representasi karya klasik, dan buku “Tajdid al-Nahwi”, karya Syauqi Dhaif

yang terbit pertama kali pada tahuan 1937, representasi kontemporer.

Oleh karena itu pada makalah ini akan membahas tentang analisis perbandingan

antara Kitab al-Radd ‘Ala al-Nuhah” karya Ibnu Madha’ al-Qurtubi dan buku “Tajdid al-

Nahwi”, karya Syauqi Dhaif.

Page 2: PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

2

B. PEMBAHASAN

1. Kitab al-Radd ‘Ala al-Nuhah karya Ibnu Madha’ al-Qurtubi

a. Biografi Ibnu Madha’

Nama lengkap Ibnu Madha’ adalah Ahmad bin Abdurrahman bin

Muhammad bin Sa’ad bin Haris bin Ashim bin Madha’ al-Lakhmi.1 Ia lebih

dikenal dengan sebutan Ibnu Madha’, di samping sebutan Abu al-‘abbas, Abu

Ja’far dan Abu Qasim.2 Ibnu Madha’ tumbuh dan berkembang di lingkungan

keluarga terhormat dan mampu . Ia dilahirkan di Cordova, tepatnya pada tahun

513 H dan meninggal dunia di Seville pada 17 Jumadil Ula 592 H. Tetapi dalam

riwayat lain disebutkan meninggal pada Jumadil akhir.3

Seorang yang lahir dari keluarga mampu, ibnu Madha’ melanglang buana

beguru kepada para ilmuawan pada zamannya. Demi tujuan pengetahuan Ibnu

Madha’ mula-mula meninggalkan Cordova menuju Seville. Di sana ia berguru

ilmu nahwu pada al-Ramak. Dari Seville ia melanjutkan karir keilmuwamya

menuju Ceuta dengan berguru kepada Qadhi Iyadh untuk mendalami Hadis.4

Sementara dalam bidang fiqih Ibnu Madha menimba ilmu dari Ibnu al-‘Arabi, al-

Bathuthi, al-Rasyathi dan Abu Muhammad bin al-Nashif.

Kesriusan Ibnu Madha’ dalam mendalami ilmu pengetahuan diakui oleh

ilmuan muslim yang lain. Sebagaimana dijelaskan Suyuti dengan menukil

komentar Ibnu Zubair, bahwa Ibnu Madha’ termasuk sosok yang memiliki

wawasan luar biasa dala halilmu kebahasaan Arab. Ia telah mempelajari

berbagai buku tentang nahwu, kebahasaan dan kesusasteraan Arab ternasuk

mendalami Kitab sibawaih dengan sangat cermat dari gurunya Ibnu Ramak.5

Sebagaimana diketahui bahwa di masa keemasan Islam seorang ilmuwan

memiliki wawasan luas tentang berbagaiilmu pengetahuan, sehingga ia sangat

mungkin menguasai berbagai displin ilmu.

1 Al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Bughyah al-Wu’at fii Thabaqaat al-Lughawiyyin wa al-Nuhat, ditahqiq oleh Muhammad Abu al-Fadhal Ibrahim. (Lebanon: Daar al-Fikr, 1989). Hal. 230.

2 Lewis, B., V.L. Menage, CH. Pellat dan J. Schacht (ed.), The Encyiclopedia of Islam. (Leiden: EJ. Brill, 1986). Hal. 855.

3 Al-Suyuti, Op.Cit,. h. 2334 Lewis, Op.Cit,. h. 8555 Al-Suyuti, Op.Cit,. h. 233

Page 3: PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

3

Dalam literatur-literatur sejarah disebutkan bahwa ibnu madha’ memiliki

beberapa buku :

1. Ar-Radd ‘ala al-Nuhah, Berisi tentang pilar-pilar dasar yang membangaun

ilmu nahwu (ushul al-nahwi)

2. Al-Masyariq fi an-Nahwi, berisi tentang fiqih atau mengenai ilmu bahasa

Arab.Pernyataan ini diketahui isinya tidak pasti karena buku tersebut tidak

sampai ke tangan generasi setelah ibnu Madha’.

3. Tanzih al-Qur’an amma la yaliqu bi al-bayan dan al-Masyriq fi al-manthiq.

Sebagai kelanjutan buku al-Radd ‘ala al-Nuhah wa al-Masyriq fi al-Nahwi.

Yang berisi tentang bantahan Ibnu Madha’ terhadap teori-teori para ahli

nahwu di wilayah Islam wilayah Timur.

Meskipun karya-karya Ibnu Madha’ tidak banyak yang sampai ke generasi

sekarang, namun eksistensi di tengah dunia khazanah pengetahuan Islam tetap

diakui. Ibnu Madha’ tetap menjadi satu dari sekian banyak ilmuwan muslim yang

berpengaruh dan berpengetahuan luas di zamannya.6

b. Pemikiran Ibnu Madha’

Ibnu Madha’ adalah salah seorang ahli ilmu nahwu klasik yang keras

melakukan kritik pada ahli nahwu lain khususnya atas bebagai unsur atau prinsip

nahwu yang dianggapnya tidak ada relefansinya dengan tujuan ilmu nahwu.

Kritiknya itu ia tuangkan dalam karyanya yang cukup terkenal “Kitab al-Radd

‘Ala al-Nuhah”. Yang menjadi tujuannya adalah membuang unsur nahwu yang

tidak diperlukan oleh ahli nahwu, dan menunjukkan kesalahan yang mereka

sepakati di dalamnya.

Dalam pandangan Ibnu Madha, unsur-unsur yang tidak signifikan dalam

nahwu adalah ‘amil, ‘illat, qiyas dan taqdir. Namun dari keempat unsur yang

ditolak ibnu Madha’ itu, masalah amil paling banyak mendapat perhatian para ahli

nahwu lain. Hal ini dapat dipahami karena memang unsure amil adalah unsure

yang paling dominan dari seluruh komponen atau prinsip bahwu yang

berkembang pada masa abad klasik tersebut.

6 http

Page 4: PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

4

Pada kebanyakan buku nahwu dijelaskan bahwa setiap pembaharuan

bahwa setiap perubahan bunyi diakhir kata baik rafa’, nashab, jar dan lainnya

ialah disebabkan adanya pengaruh dari amil yang medahuluinya, baik amil

tersebut berupa amil lafzi (terucapkan) maupun maknawi (tak terucapkan) atau

amil muqaddar (tersembunyi). Kalimat “ " محمد misalnya bunyi rafa’ di , جاء

akhi kata Muhammad tersebut adalah karena adanya pengaruh dari amil lafzi

yaitu kata “جاء “, atau kalimat “ جاء “محمد “ bunyi rafa’ di akhir kata ,“ محمد

itu adalah karena pengaruh amil, yaitu amil al-Ibtida, karena statusnya menjadi

mubtada’.

Dalam pandangan Ibnu Madha’ konsep tersebut adalah keliru, menurutnya

yang menentukan perubahan harakat atau bunyi di akhir kata bukanlah amil, trtapi

si pembicara itu sendir. Baginya tidak ada hubungan pengaruh mempengaruhi

atau hubungan apapun antara satu kata dengan kata yang lain dalam bahasa.

Di samping masalah amil, Ibnu Madha’ juga mengkritik konsep nahwu

seputar “al-Dhoma’ir al-Mustatarah” (kata ganti yag tersembungi). Ibnu Madha’

memulainya dengan ‘Isim Fa’il” seperti dalam kalimat “ عمرا ضارب ,“ زيد

menurut kebanyakan ahli nahwu kata “Dharibun” di dalamnya terkandung sebuah

dhamir yang tersimpan, begitu pula dalam kasus kalimat “ قام di dalam ,“ زيد

kata “Qama” tersimpan dhamir yang kembali pada kata “ Zaidun”. Dalam

pandangan Ibnu Madha’ konsep-konsep seperti itu tidak diperlukan sebab tanpa

penjelasan-penjelasan seperti itu sebuah kalimat sudah dapat difahami maknanya.

Selanjutnya Ibnu madha’, juga menolak teori “ al-Tanazu’ ” (perbutan

dalam masalah amil) seperti dalam kasus kalimat “ قاموا أو إخوتك وقعدوا قام

إخوتك yang “ وقعد menurut para ahli nahwu kebanyakan telah telah terjadi

perebutan untuk ber’amal denga cara memfungsikan satu amil saja. Menurut Ibnu

Madha’ teori ini sama sekali tidak tidak sejalan dengan realitas yang ada. Orang

Arab sendiri tidak pernah menggunakan susunan kalimat seperti itu dalam

berbahasa mereka.

Dalam literatur-literatur ilmu nahwu dijelaskan, bahwa prinsip dasar yang

membangun ilmu nahwu atau yang diistilahkan dengan Ushul al-Nahwi terdiri

dari empat komponen yaitu Qiyas, ‘Illah, ta’wil dan ‘Amil.

Page 5: PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

5

Pertama : Qiyas

Qiyas dalam ilmu nahwu didefinisikan sebagai usaha untuk membawa

(menyamakan) sesuatu yang tidak berlaku (ghairu manqul) kepada hukum sesuatu

yang sudah ada (manqul) jika masih ditemukan kesamaan (makna). Hal ini karena

sesuatu yang berlaku dan dipakai luas (al-manqul al-muththarid) dijadikan kaidah

yang padanya qiyas itu dijalankan. Atau qiyas adalah membawa cabang (furu’)

pada asal (ashl) karena adanya sebab, dan memberlakukan hukum ‘yang asal’

pada cabang (furu’).7

Qiyas berarti menyamakan memberlakukan hokum. Yakni hokum-hukum

nahwu yang dapat dibenarkan oleh teks-teks kebahasaan yang berlaku melalui

satu cara. Kemudian diambil kaidah atau prinsip yang digeneralisasikan bagi teks-

teks kebahasaan yang tidak berlaku secara umum. Dalam hal ini qiyas yang

digunakan menyerupai qiyas teks dengan teks, karena qiyas baru bisa

diberlakukan atau digunakan manakala ditemukan teksnya. Apabila tidak

ditemukan teks kebahasaan yang berlaku, maka qiyas tidak dapat dilakukan. Jadi

teks menjadi standar ukuran dalam keberlangsungan memproduksi kaidah-kaidah

bahasa.

Qiyas menurut ibnu Madha’ apabila digunakan dalam bahasa (ilmu

nahwu) bukan merupakan hal yang dilarang, ia membolehkan qiyas. Hanya saja

qiyas yang dibolehkan adalah qiyas yang disertai dengan bukti teks yang jelas. Di

dalam bab tanazu’. Ibnu Madha’ secara tegas menolakuntuk men-qiyas-kan

ma’mul seperti zharaf, mashdar dan hal kepada maf’ul. Ia baru menerima peng-

qiyas-an itu apabila di dalamnya ditemukan bukti (teks/bahasa) yang dating

(didengar) dari orang Arab. Secara lebih jelas dapat dilihat dalam beberapa contoh

berikut :

قياما زيد وقام قمت

Dalam pertimbangan Ibnu Madha’ bentuk mashdar semestinya dihadirkan

untuk meneguhkan(ta’kid) fi’il. Membuang mashdar berarti bertentangan dengan

7 Ied, Muhammad, Ushul al-Nahwy al-Arabi fii Nazhri al-Nuhaat wa Ra’yi Ibn Madha’ wa dhau’i Ilm al-Lughah al-Hadits, (Kairo: Alam al-Kutub, 1989). Hal. 38.

Page 6: PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

6

prinsip pebeguhan itu sendiri. Dalam contoh di atas, jika kata qiyaman

dihubungkan kepada fi’il yang kedua ( qama ) dan dibuang untuk keterkaitannya

dengan fi’il yang pertama (qumtu), Maka iru berarti sama saja denga membuang

sesuatu yang diteguhkan (al-mu’akkad). Tetapi jika yang dimaksud dengan

mashdar, sebagaimana dalam contoh tersebut adalah menjelaskan atau mengacu

pada nau’ (bentuk), maka ia menyerupai maf’ul bih. Ini eperti ketika

mengatakan : الحسن القيام Jika kata al-qiyam al-hasan dikembalikan . قمت

kapada ei’il kedua maka takdirnya menjadi الحسن القيام زيد وقام . قمت

Tetapi jika dikembalikan kepada fi’il pertama, maka takdirnya menjadi

الحسن القيم زيد وقامه 8.قمت

Ibnu Madha’ secara tegas menolak qiyas aqli. Menurutnya hal ini

membawa sesuatu kepada sesuatu yang lain tanpa adanya hubungan atau

keterkaitan dalam meng-qiyas-kan dua hal.

Dari pernyataan itu, jelaslah bahwa ibnu Madha’ menolak jenis qiyas

seperti ini berdasarkan pada dua prinsip.

Pertama, alasan rasional, yaitu bahwa prinsip menyamakan dua halkarena

adanya kesamaan sebab (antara hukum asal dengan cabang) meruoakan prinsip

yang lemah. Karena bentuk kesamaan yang terdapat dalam asal dan cabang tidak

sempurna. Kedua, alasab linguistik. Yakni bahwa orang Arab sama sekalitidak

menghendaki apa yang dilakukan oleh para nuhat. Dengan kata lain bahea

penggunaan qiyas aqli diingkari oleh ibnu madha karena tidak memiliki

keterkaitan dengan bahasa Arab itu sendiri. Atau memang masyarakat Arab tidak

pernah menggunakan qiyas aqli dalam menggunakan bahasa mereka sehari-hari.

Kedua : Ta’lil (‘Illah)

Ta’lil merupakan salah satu metode untuk mencari hokum bahasa yang

digunakan dalam ilmu nahwu (al-istidlal al-nahwi). Secara etimologi, ta’lil berarti

mencari ‘illah (sebab), baik langsung maupun tidak langsung. Atau illah secara

lughawi berarti sebuah makna yang menempati suatu posisi di mana posisi yang

ditempati itu berubah kerenanya dengan tanpa sengaja.9

8 Ibnu Madha’, Kitab al-Radd Ala al-Nuhat, tahqiqi Syauqi Dhaif, (Kairo: Dar al-Fikr, 1947).9 Al-Hifni, ( , : 1990 ), h. 213

Page 7: PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

7

Ta’lil ini menjelma dan tersebar di dalam berbagai tema kajian nahwu di

antaranya, I’rab fi’il mudhari’ karena kesamaannya dengan isim dank e-mabn-an

sebagian isim karena kesamaannya dengan huruf dengan berdasarkan pada ‘illah

tashbiyah. Contohnya, membuang huruf wawu dalam kata ya’idu, waw dibang

karena jatuh di antara huruf ya’ dan kasrah, alasan pembuangannya adalah karena

menghindari pengucapan yang berat.

Ibnu Madha’ berpendapat bahwa ‘illah dibagi menjadi dua macam.

Pertama, ‘illah ula (illah lapisan pertama) dan ‘illah tsawani (‘illah lapisan kedua,

ketiga dan seterusnya). Illah ula merupakan alasan seseorang dapat memahami

perkatan atau ucapan orang Arab. Illah ini dapat dikategorikan sebagai dasar

untuk menetapkan struktur dasar yang dipakai dalam bahasa Arab. Sementara itu,

illah tsawani menurut Ibnu Madha’ tidak diperlukan.10

Ketika Ibnu Madha’ ditanya mengapa kata Zaid dalam jumlah…… harus

dibaca rafa’, ia menjawab: karena kata itu berkedudukan menjadi fa’il, dan fa’il

itu harus dibaca rafa’. Inilah yang disebut dengan alasan pertama. Jika kemudian

ditanya lagi kenapa fa’il itu harus rafa’, maka menurut Ibnu Madha’ pertanyaan

itu tidak patut dijawab. Jawaban yang pas adalah karena begitulah orang Arab

mengatakan. Pandangan seperti ini tentunya jauh berbeda dengan pandangan

mayoritas nuhat. Jika pertanyaan serupa diajukan kepada nuhat lain, maka mereka

pasti memberikan jawaban: kata Zaid dibaca rafa’ karena fa’il, dan fa’il itu harus

harus rafa’ (illah ula); kenapa harus rafa’? karena untuk membedakan antara fa’il

dengan maf’ul (‘illah tsaniyah); kenapa fa’il tidk dibaca nashab saja dan maf’ul

dirafa’kan? Karena fa’il itu sedikit, sedangkan maf’ul itu itu bisa banyak (illah

tsalitsah). Bagi ibnu Madha’, illah tsaniyah dan seterusnya tidak diperlukan ketika

seseorang memakai bahasa Arab karena hanya menimbulkan perdebatan yang sia-

sia.

Ibnu Madha’ juga membagi illah tsawani ke dalam tiga macam. Yaitu,

maqthu’ bih,mafihi iqna’, dan maqthu’ bi fasadihi. Yang pertama dimaksudkan

sebagai illah yang harus dihilangkan melalui pemutusan pertanyaan. Setelah illah

pertama tidak diperbolehkan lagi mengajukan illah kedua. Yang kedua kedua

10 Ibnu Madha’, Op.Cit,. h. 152

Page 8: PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

8

dimaksudkan sebagai illah yang di dalamnya terdapat perasaan puas demi

kepentingan pencarian persamaan di antara dua hal (asal dan cabang). Sementara

yang ketiga dimaksudkan sebagai illah yang memang tidak memiliki manfaat dan

arti apa-apa ketika mengungkapkan atau bahkan tidak dapat memuaskan akal dan

memang benar-benar tidak memiliki signifikan bagi penalaran.11

Ketiga : Ta’wil

Secara etimologi, ta’wil berarti merenungkan, mengira-ngira dan

menafsirkan. Sedangkan secara terminology, ta’wil berarti menggeser zhahir teks

(lafaz) dari posisinya menuju bukti (makna) yang dibutuhkan seolah-olah makna

itu meninggalkan zhahir dari teks. Atau dengan kata lain, ta’wil adalah

menafsirkan ucapan yang maknanya berbeda-beda dengan memberikan

penjelasan yang diambil dari luar teks.12

Ibnu Madha’ terkait dengan masalah ta’wil ini, menolak konsep hazhaf

(pembuangan). Menurutnya, konsep pembuangan (hazhaf) yang dikemukkan oleh

para nuhat merupakan konsep yang ambigu dan tidak jelas. Hal ini karena mereka

tidak mampu membedakan antara kata yang mudhmar (sisembunyikan) dan kata

yang mahzhuf (dibuang).

Ada dua poin penting terkait dengan mudhmar dan mahzhuf, yang harus

dicermati secara kritis. Pertama, yang mudhmar berarti sesuatu yang harus

dipenuhi, sementara yang mahzhuf berarti sesuatu yang tidak diperlukan. Kedua,

yang mudhmar adalah isim, sementara yang mahzhf adalah fi’il. Hazhaf hanya

terjadi pada fi’il dan jumlah, dan tidak berlaku pada isim. Kedua poin itu tidak

memberikan garis pembedaan yang jelas dan cermat. Bahkan cenderung

kontradiktif dan ambigu. Menurut Ibnu Madha’, satu-satunya yang dapat

membedakan kedua hal itu tidak laindikembalikan kepada si penutur (mutakallim)

bahasa itu sendiri.13

Ibnu Madha’ berpendapat, ada tiga jenis mahzhufat. Yaitu, Pertama kata

dibuang karena lawan bicara (orang kedua) diindikasikan telah mengetahui.

Misalnya, ketika dikatakan zaidun yang berarti a’thi zaidan. Hal ini terjadi karena

11 Ibid.,12 Manzhur, ( , : ), h. 26413 Ibnu Madha’, Op.Cit,. h. 102

Page 9: PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

9

lawan bicara dianggap telah mengetahui “perintah untuk member sesuatu” kepada

si zaid, sehingga cukup dikatakan zaidun. Kedua, kata itu dibuang karena

memang tidak dibutuhkan dan bahkan jika masih tetapkan maka akan merusak

ucapan, seperti azaidan dhrabtuhu. Ketiga, kata itu dibuang karena jika tetap

ditampakkan mak disinyalir dapat merubah ucapan, seperti ya ‘abdallah. Jika

ucapan ini ditampakkan menjadi ad’u abdallah maka strukturnya menjadi

berubah. Yaitu, dari bentuk nida’ (panggilan) menjadi bentuk khabariyah

(berita).14

Atas dasar itu, Ibnu Madha’ hanya menerima konsep mahzhuf

(pembuangan) manakala pembuangan tersebut telah diketahui oleh lawan bicara

(mukhatab). Sejauh lawan bicara mengerti atau mengetahui hazhaf kata/kalimat

yang dikehendaki oleh si mutakallim, maka sejauh itu boleh dilakukan

pembuangan. Tetapi jika yidak mengetahui, maka lawanbicara tidak

diperbolehkan melakukan pembuangan. Karena akan membawa eks kepada

perubahan makna.

Penolakan Ibnu Madha’ terhadap fenomena ta’wil dalam nahwu juga

tercermin dari sikapnya terhadap konsep istitar/idhmar (penyembunyian). Di sini

dapat dikemukakan contoh: …….. . Para nuhat biasanya menganggap bahwa di

dalam contoh tersebut ada dhomir yang disenbunyikan, tepatnya pada kata

dharibun. Kata dharib menunjukkan arti sebagai pelaku (fa’il) yang tersmbunyi,

sementara kata zaid adalah nama dari si pelaku tersebut. Anggapan seperti ini

adalah adlah salah dan dapat diterima oleh akal manusia. Munculnya pikiran

seperti itu dikarenkan para nuhat telah keliru dalam memahami dalalah fi’il atas

dalalah fa’il; antara dalalah lafzhiyah dan dalalah luzhumiyah, sehingga mereka

meyakini bahwa di dalam fi’il pasti tersimpan fa’il.

Menurut Ibnu Madha’, dalalah dibagi menjadi dua macam. Pertama,

dalalah lafzhiyah uang dikehendaki oleh si pemakai bahasa (al-wadhi’) seperti

dalalah isim dengan sesuatu yang dinamai (al-musamma) dan dalalah fi’il dengan

peristiwa dan waktu. Kedua, dalalah luzumiyah seperti dalalah-nya atap dengan

tembok. Dalalah fi’il ata fa’il (sebagaimana dalam contoh … ) tidak lain

14 Ibid., h. 88

Page 10: PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

10

adalah dalalah lafzhiyah. Maka dalam kata krja misalnya saja kata ya’lamu,

a’lamu dan na’lamu tidak ada istilah yang disebut dengan idhmar

(penyembunyian). Huruf ya’ sebagaimana dalam fi’il mudhari’ berarti tanda bagi

bentuk ghaib muzakkar (orang ketiga), alif berarti orang pertama (penutur sendiri)

dan nun berarti penutur dalam jumlah banyak.15

Keempat : Amil

Amil dalam ilmu nahwu bisa digolongkan sebagi pilar utama. Biasanya,

dikenal ada dua jenis amil, yaitu lafzhiy dan maknawi. Amil lafzhi berbentuk

lafazh secara nyata, sedangkan amil ma’nawi biasanya tidak berwujud lafazh dan

memiliki pengaruh secara nyata terhadap keberadaan kata yang lain. Di samping

itu para nuhat juga memandang adanya dua jenis amil. Yaitu, amil yang memiliki

pengaruh secara nyata berupa berupa harakat atau syakal dan atau huruf yang

terdapat di akhir kalimat. Sedangkan yang kedua adalah amil yang kehadirannya

bersifat tidak nyata karena alasan keserupaan atau kedekatan. Ibnu Madah’

menolak jenis amil yang pertama. Menurutnya yang peling berperan dalam

merubah maksud ucapan tidk lain adalah si penutur itu sendiri, bukan amil. Hal

ini karena amil itu mengisyaratkan adanya waktu saat melakukan dan mestinya

amil itu melakukannya dengan kehendak atau secara alami.16

Salah satu contoh ketidak rasional para nuhat dalam menggunakan konsep

amil adalah penerimaan amil ibtidak yang diyakini ada pada jumlah mubtada’-

khabar. Yaitu, bahwa mubtada’ itu dirafa’kan oleh adanya amilibtida’. Yang

merafa’kan mubada’ tidak lain menurut Ibnu Madha’ adalah si mutakallim itu

sendiri dan bukan amil ibtida’, karena tindakan merafa’kan itu menyertai si

mutakallim dan bukan amil ibtida’ yang dakini oleh para nuhat.

2. Kitab Tajdid al-Nahw Karya Syauqi Dhaif

a. Biografi Syauqi Dhaif

Syauqi Dhaif lahir di Aulad Hamam, Mesir pada 13 Januari 1910, dan

wafat pada14 Maret 2005, pada usia 95 tahun.17 Dr. Syauqi Dhaif mengawali

15 Ibid., h. 103-10516 Ibid., h. 8717 http://mahfuzmian.blogspot.com/2012_06_01_archive.html

Page 11: PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

11

upayanya dalam pembaharuan nahwu dengan pen-tahqiq-annya terhadap buku

karangan Ibnu Madha yaitu ar-Radd ala an-Nuhat wa al-Masyriq fi an-Nahwi,

yang telah memberi warna baru dalam khazanah ilmu nahwu. Beliau

merekonstruksi kembali pemikiran nahwu yang telah berkembang selama ini yang

dianggap menyulitkan pengajaran nahwu dengan perinsip mudah, gampang,

ringkas, sederhana, dan mudah dipahami oleh para pelajar bahasa Arab.

Beliau menuangkan pemikirannya tersebut dalam beberapa bukunya yaitu

Tajdid al-Nahwi (1982), Taisiraat Lughawiyah (1990), dan Taisiru al-Nahwi al-

Ta’limi Qadiman wa Haditsan ma’a Nahji Tajdidihi (1986). Diantara ketiga buku

ini, yang paling masyhur dalam khazanah ilmu nahwu adalah yang pertama yaitu

Tajdid al-Nahwi, yang menyajikan konsep-konsep yang sempurna dalam

pengajaran nahwu, dan juga memberi warna-warna baru yang disandarkan atas

perinsip-perinsip dasar yang bersumber dari buku Ibnu Madha.

b. Pemikiran Syauqi Dhaif

Pemikiran Syauqi Dhaif dalam pembaharuan nahwu kurang lebih sama

dengan konsep-konsep yang digagas oleh Ibnu Madha, hal ini dibuktikan dengan

upaya beliau terhadap pen-tahqiq-an buku al-Radd ala al-Nuhat karangan Ibnu

Madha. Beliau juga sependapat tentang pembuangan teori ’amil, membuang ’ilat

tsawani dan tsawalits, pembatalan teori qiyas, dan juga meniadakan analisa teori-

teori tanpa praktik, seperti i’lal.18 Hanya saja dalam tahqiq-annya beliau

menambahkan pendapat-pendapat yang mengokohkan teori-teori yang ada dalam

buku tersebut.19

Dalam pen-tahqiq-annya beliau merumuskan bahwa dalam upaya

pembaharuan nahwu terdapat enam pokok konsep yang ditawarkan, yang

meliputi:

1. Penyusunan kembali bab-bab dalam nahwu yang tumpang tindih,

menambahkan, dan mengumpulkan bab-bab yang dianggap sejenis. Seperti

contoh Bab واخوتها hendaknya dimasukkan pada bab كان fi’il lazim. Teori

18 19

Page 12: PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

12

merofa’kan isim dan menasobkan khobar diubah dengan isimnya menjadi

failnya dan khobarnya menjadi hal saja.

2. Menghapus dua peng-i’rab-an, yaitu taqdiri dan mahalli. Seperti contoh dari

I;rab taqdiri adalah الفتى dibaca  جأء rofa’ tanpa harus menyebutkan rofa’

muqoddar yang aslinya dzommah

3. Menghapus i’rab yang tidak efisien untuk kebenaran dalam pengucapan. I’rab

yang danggap tidak efisien  tersebut adalah bab ististna’, bab adawat syarat,

kam istifhamiyah dan khabariyah, kata السيما  danان  yang disukun.

4. Meletakkan pengertian-pengertian dan kaidah-kaidah yang lebih spesifik pada

sebagian bab-bab nahwu. Secara garis besar Syauqi Dzaif berpendapat ada

tiga definisi topik pembahsan materi nahwu yang perlu diperbaharui, yaitu

bab Maf’ul Mutlaq, Maf’ul ma’ah, dan bab hal.

5. Membuang penambahan-penambahan dalam bab nahwu yang tidak penting.

Seperti pembuangan kaidah-kaidah isim alat, karena isim alat bersandar pada

sima’i, dan tidak membuthkan kaidah.

6. Penambahan topik yang dianggap signifikan. Seperti penambahan

pembahasan khusus yang disertai kaidah-kaidah pengucapan atau makhraj,

kerena dapat menumbuhkan kesadaran dalam menjaga al-Quran.20

Beliau berpendapat bahwa fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun

taukid tidak berbeda dengan fi’il mudhori’ yang di dahului oleh amil nashob

dimana keduanya sama-sama berkhir dengan harakat fathah. Seperti pada contoh

kalimat أسافر+ dari  لن ن+ . أسافر+ Sebagaimana telah diketahui bahwa fi’il

mudhori’yang bersambung dengan nun taukid mabni fathah.

Jika fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun taukid berharakat fathah

karena nashob, lalu bagaimana dengan contoh: به تجر. حتى امرا تمدح+ن1 Lafadz .ال

nahi yang notabene ال dinashobkan sedang lafadz tersebut didahukui oleh تمدح+ن1

adalah huruf jer. Apakah nashob dan jer bisa berkumpul dalam satu keadaan yang

sama?

20 http://mahfuzmian.blogspot.com/2012_06_01_archive.html

Page 13: PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

13

Beliau juga merekomendasikan untuk menyamakan fi’il mudhori’ yang

bersambung dengan nun niswah dalam I’rab jazem. Seperti pada contoh: النساء

يسافر3ن , , لم النساء ن يسافر3 لن النساء ن يسافر3

Adapun pemikiran-pemikiran Syauqi Dhaif di antaranya adalah sebagai berikut :21

a. Dr. dhoif  juga menganggap bahwa khobar dapat berupa marfu’, mansub dan

majzum.

Ketika nashob seperti contoh: 4 مسيئا العبد+ ضربي

Ketika jer seperti contoh: للعبيد 9 بظالم >ك رب وما

b. Anggapan beliau pada isim dan saudara-saudaranya sebagai mubtada’ yang إن.

didaca nashob dengan hujjah bahwa mubtada’ bisa dibaca jer ketika didahului

oleh ب1 ’dan huruf  jer yang berupa tambahan. Beliau berdalih: “jika mubtada ر>

bisa dibaca jer, kenapa kita tidak mengatakan kalau mubtada’ bisa dibaca nashob?

Pada contoh: صول من أنفد قول9@@ ب1 سدوله dan ر> أرخى البحر كموج lafadz . وليٍل9

dan قول jelas dibaca jer karena sebagai mudhof ilaih, tetapi lafadz tersebut ليٍل

berkedudukan sebagai mubtada’. Sedang yang dimaksud oleh Dr. Syauqi Dhoif

sebagai mubtada’ yang dibaca nashob seperti pada contoh: خبير عليم الله+ إن

c. Beliau mengatakan “sesungguhnya mudhaf ilaih itu menyerupai isim yang ikut

pada isim yang lain walaupun wajib dibaca jer. Seperti contoh أقالم disini.ثالثة

jelas bahwa lafadz أقالم mengikuti lafadz ثالثة. Bisa juga kta katakan الثالثة األقالم

sebagai susunan sifat atau badal.”

d. Beliau merekomendasikan untuk mengabaikan fa’il ataupun naibul fa’il ketika

dalam bentuk dhomir mustatir. seperti contoh: , س>ئٍل محمد قام .زيد  Menurut

hemat beliau, tidak perlu repot-repot mengi’rabi kedua contoh yang telah disebut

karena fa’il dan naibul fa’il dari keduanya “hanya” dhomir yang tidak terlihat oleh

mata.

e. Rekomendasi beliau untuk mengabaikan I’rab pada jumlah. Pada contoh: مررت

يزرع lafadz برجٍل dii’rabi يزرع jer karena sebagai sifat dari lafadz yang رجٍل

nakiroh. Tetapi pada contoh: يزرع بالرجٍل dalam keadaan يزرع  lafadz  مررت

nashob karena sebagai hal. Sebagaimana perkataan para ahli nahwu bahwa “setiap

21 Ibid.,

Page 14: PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

14

jumlah yang jatuh setelah isim nakiroh berupa sifat, tetapi jika setelah ma’rifat

maka jumlah tersebut berkedudukan sebagai hal.

f. Beliau menganjurkan untuk mendalami penjelasan tentang kedudukan isim

mabni, isim manqus, dan isim maqsur. Beliau berpendapat bahwa isim-isim ini

perlu pejelasan lebih detail tentang kedudukannya pada kalimat, yang mana pada

setiap I’rab yang ditempati, isim-isim ini tetap sama seperti sediakala.

Pada contoh: , @سيبويه رأيت سيبويه@ بسيبويه@ dan حضر سيبويه@ Lafadz .مررت

adalah isim mabni. Dalam setiap I’rab yang ditempati, lafadz @سيبويه tidak

mengalami perubahan dalam segi lafadznya. Oleh karena itu Dr. Syauqi Dhoif 

mengaggap perlu untuk menjelaskan secara lebih rinci kedudukan satu lafadz

yang berupa isim mabni, isim maqsur, dan isim manqus dalam jumlah.

Page 15: PEMBAHARUAN DALAM NAHWU

15