pembaharuan dalam nahwu
TRANSCRIPT
1
PEMBAHARUAN DALAM NAHWU
ANALISIS PERBNDINGAN ANTARA KITAB AL-RADD ‘AL AL-NUHAH
KARYA IBNU MADHA’ DAN TAJDID AL-NAHWU KARYA SYAUQI DHAIF
A. PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu nahwu pada abad keenam mengalami kemajuan yang pesat.
Hal ini terlihat dari meluasnya kajian ilmu tersebut sehingga banyak melahirkan teori-
teori, ilmuan-ilmuan yang tersohor dengan kedalaman ilmunya dalam nahwu dan
terbitnya buku-buku yang mengkaji nahwu secara komperhensif.
Perkembangan tersebut pada satu sisi memiliki andil positif dalam pertambahan
khazanah keilmuan. Akan tetapi di sisi lain hal ini memberikan gambaran bagi sebagian
pelajar pemula ilmu nahwu akan keruwetan dan susahnya mempelajari ilmu tersebut.
Melihat kondisi seperti, ini para ilmuan dalam ilmu nahwu berupaya untuk melakukan
pembaharuan dalam ilmu ini agar mudah dipahami oleh pelajar pemula, khususnya bagi
penutur bahasa non Arab.
Di Indonesia sendiri, terutama di pondok-pondok pesantren salaf (tradisional)
hingga hari ini banyak yang masih menggunakan kitab tersebut sebagai buku wajib dalam
pengajaran bidang nahwu. Sedangkan buku yang ditulis dengan maksud sebagai kritik
dan penolakan atas berbagai prinsip nahwu, terutama konsep “’amil” di antaranya adalah
buku nahwu yang berjudul “Kitab al-Radd ‘Ala al-Nuhah” karya Ibnu Madha’ al-Qurtubi
(w. 592 H), representasi karya klasik, dan buku “Tajdid al-Nahwi”, karya Syauqi Dhaif
yang terbit pertama kali pada tahuan 1937, representasi kontemporer.
Oleh karena itu pada makalah ini akan membahas tentang analisis perbandingan
antara Kitab al-Radd ‘Ala al-Nuhah” karya Ibnu Madha’ al-Qurtubi dan buku “Tajdid al-
Nahwi”, karya Syauqi Dhaif.
2
B. PEMBAHASAN
1. Kitab al-Radd ‘Ala al-Nuhah karya Ibnu Madha’ al-Qurtubi
a. Biografi Ibnu Madha’
Nama lengkap Ibnu Madha’ adalah Ahmad bin Abdurrahman bin
Muhammad bin Sa’ad bin Haris bin Ashim bin Madha’ al-Lakhmi.1 Ia lebih
dikenal dengan sebutan Ibnu Madha’, di samping sebutan Abu al-‘abbas, Abu
Ja’far dan Abu Qasim.2 Ibnu Madha’ tumbuh dan berkembang di lingkungan
keluarga terhormat dan mampu . Ia dilahirkan di Cordova, tepatnya pada tahun
513 H dan meninggal dunia di Seville pada 17 Jumadil Ula 592 H. Tetapi dalam
riwayat lain disebutkan meninggal pada Jumadil akhir.3
Seorang yang lahir dari keluarga mampu, ibnu Madha’ melanglang buana
beguru kepada para ilmuawan pada zamannya. Demi tujuan pengetahuan Ibnu
Madha’ mula-mula meninggalkan Cordova menuju Seville. Di sana ia berguru
ilmu nahwu pada al-Ramak. Dari Seville ia melanjutkan karir keilmuwamya
menuju Ceuta dengan berguru kepada Qadhi Iyadh untuk mendalami Hadis.4
Sementara dalam bidang fiqih Ibnu Madha menimba ilmu dari Ibnu al-‘Arabi, al-
Bathuthi, al-Rasyathi dan Abu Muhammad bin al-Nashif.
Kesriusan Ibnu Madha’ dalam mendalami ilmu pengetahuan diakui oleh
ilmuan muslim yang lain. Sebagaimana dijelaskan Suyuti dengan menukil
komentar Ibnu Zubair, bahwa Ibnu Madha’ termasuk sosok yang memiliki
wawasan luar biasa dala halilmu kebahasaan Arab. Ia telah mempelajari
berbagai buku tentang nahwu, kebahasaan dan kesusasteraan Arab ternasuk
mendalami Kitab sibawaih dengan sangat cermat dari gurunya Ibnu Ramak.5
Sebagaimana diketahui bahwa di masa keemasan Islam seorang ilmuwan
memiliki wawasan luas tentang berbagaiilmu pengetahuan, sehingga ia sangat
mungkin menguasai berbagai displin ilmu.
1 Al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Bughyah al-Wu’at fii Thabaqaat al-Lughawiyyin wa al-Nuhat, ditahqiq oleh Muhammad Abu al-Fadhal Ibrahim. (Lebanon: Daar al-Fikr, 1989). Hal. 230.
2 Lewis, B., V.L. Menage, CH. Pellat dan J. Schacht (ed.), The Encyiclopedia of Islam. (Leiden: EJ. Brill, 1986). Hal. 855.
3 Al-Suyuti, Op.Cit,. h. 2334 Lewis, Op.Cit,. h. 8555 Al-Suyuti, Op.Cit,. h. 233
3
Dalam literatur-literatur sejarah disebutkan bahwa ibnu madha’ memiliki
beberapa buku :
1. Ar-Radd ‘ala al-Nuhah, Berisi tentang pilar-pilar dasar yang membangaun
ilmu nahwu (ushul al-nahwi)
2. Al-Masyariq fi an-Nahwi, berisi tentang fiqih atau mengenai ilmu bahasa
Arab.Pernyataan ini diketahui isinya tidak pasti karena buku tersebut tidak
sampai ke tangan generasi setelah ibnu Madha’.
3. Tanzih al-Qur’an amma la yaliqu bi al-bayan dan al-Masyriq fi al-manthiq.
Sebagai kelanjutan buku al-Radd ‘ala al-Nuhah wa al-Masyriq fi al-Nahwi.
Yang berisi tentang bantahan Ibnu Madha’ terhadap teori-teori para ahli
nahwu di wilayah Islam wilayah Timur.
Meskipun karya-karya Ibnu Madha’ tidak banyak yang sampai ke generasi
sekarang, namun eksistensi di tengah dunia khazanah pengetahuan Islam tetap
diakui. Ibnu Madha’ tetap menjadi satu dari sekian banyak ilmuwan muslim yang
berpengaruh dan berpengetahuan luas di zamannya.6
b. Pemikiran Ibnu Madha’
Ibnu Madha’ adalah salah seorang ahli ilmu nahwu klasik yang keras
melakukan kritik pada ahli nahwu lain khususnya atas bebagai unsur atau prinsip
nahwu yang dianggapnya tidak ada relefansinya dengan tujuan ilmu nahwu.
Kritiknya itu ia tuangkan dalam karyanya yang cukup terkenal “Kitab al-Radd
‘Ala al-Nuhah”. Yang menjadi tujuannya adalah membuang unsur nahwu yang
tidak diperlukan oleh ahli nahwu, dan menunjukkan kesalahan yang mereka
sepakati di dalamnya.
Dalam pandangan Ibnu Madha, unsur-unsur yang tidak signifikan dalam
nahwu adalah ‘amil, ‘illat, qiyas dan taqdir. Namun dari keempat unsur yang
ditolak ibnu Madha’ itu, masalah amil paling banyak mendapat perhatian para ahli
nahwu lain. Hal ini dapat dipahami karena memang unsure amil adalah unsure
yang paling dominan dari seluruh komponen atau prinsip bahwu yang
berkembang pada masa abad klasik tersebut.
6 http
4
Pada kebanyakan buku nahwu dijelaskan bahwa setiap pembaharuan
bahwa setiap perubahan bunyi diakhir kata baik rafa’, nashab, jar dan lainnya
ialah disebabkan adanya pengaruh dari amil yang medahuluinya, baik amil
tersebut berupa amil lafzi (terucapkan) maupun maknawi (tak terucapkan) atau
amil muqaddar (tersembunyi). Kalimat “ " محمد misalnya bunyi rafa’ di , جاء
akhi kata Muhammad tersebut adalah karena adanya pengaruh dari amil lafzi
yaitu kata “جاء “, atau kalimat “ جاء “محمد “ bunyi rafa’ di akhir kata ,“ محمد
itu adalah karena pengaruh amil, yaitu amil al-Ibtida, karena statusnya menjadi
mubtada’.
Dalam pandangan Ibnu Madha’ konsep tersebut adalah keliru, menurutnya
yang menentukan perubahan harakat atau bunyi di akhir kata bukanlah amil, trtapi
si pembicara itu sendir. Baginya tidak ada hubungan pengaruh mempengaruhi
atau hubungan apapun antara satu kata dengan kata yang lain dalam bahasa.
Di samping masalah amil, Ibnu Madha’ juga mengkritik konsep nahwu
seputar “al-Dhoma’ir al-Mustatarah” (kata ganti yag tersembungi). Ibnu Madha’
memulainya dengan ‘Isim Fa’il” seperti dalam kalimat “ عمرا ضارب ,“ زيد
menurut kebanyakan ahli nahwu kata “Dharibun” di dalamnya terkandung sebuah
dhamir yang tersimpan, begitu pula dalam kasus kalimat “ قام di dalam ,“ زيد
kata “Qama” tersimpan dhamir yang kembali pada kata “ Zaidun”. Dalam
pandangan Ibnu Madha’ konsep-konsep seperti itu tidak diperlukan sebab tanpa
penjelasan-penjelasan seperti itu sebuah kalimat sudah dapat difahami maknanya.
Selanjutnya Ibnu madha’, juga menolak teori “ al-Tanazu’ ” (perbutan
dalam masalah amil) seperti dalam kasus kalimat “ قاموا أو إخوتك وقعدوا قام
إخوتك yang “ وقعد menurut para ahli nahwu kebanyakan telah telah terjadi
perebutan untuk ber’amal denga cara memfungsikan satu amil saja. Menurut Ibnu
Madha’ teori ini sama sekali tidak tidak sejalan dengan realitas yang ada. Orang
Arab sendiri tidak pernah menggunakan susunan kalimat seperti itu dalam
berbahasa mereka.
Dalam literatur-literatur ilmu nahwu dijelaskan, bahwa prinsip dasar yang
membangun ilmu nahwu atau yang diistilahkan dengan Ushul al-Nahwi terdiri
dari empat komponen yaitu Qiyas, ‘Illah, ta’wil dan ‘Amil.
5
Pertama : Qiyas
Qiyas dalam ilmu nahwu didefinisikan sebagai usaha untuk membawa
(menyamakan) sesuatu yang tidak berlaku (ghairu manqul) kepada hukum sesuatu
yang sudah ada (manqul) jika masih ditemukan kesamaan (makna). Hal ini karena
sesuatu yang berlaku dan dipakai luas (al-manqul al-muththarid) dijadikan kaidah
yang padanya qiyas itu dijalankan. Atau qiyas adalah membawa cabang (furu’)
pada asal (ashl) karena adanya sebab, dan memberlakukan hukum ‘yang asal’
pada cabang (furu’).7
Qiyas berarti menyamakan memberlakukan hokum. Yakni hokum-hukum
nahwu yang dapat dibenarkan oleh teks-teks kebahasaan yang berlaku melalui
satu cara. Kemudian diambil kaidah atau prinsip yang digeneralisasikan bagi teks-
teks kebahasaan yang tidak berlaku secara umum. Dalam hal ini qiyas yang
digunakan menyerupai qiyas teks dengan teks, karena qiyas baru bisa
diberlakukan atau digunakan manakala ditemukan teksnya. Apabila tidak
ditemukan teks kebahasaan yang berlaku, maka qiyas tidak dapat dilakukan. Jadi
teks menjadi standar ukuran dalam keberlangsungan memproduksi kaidah-kaidah
bahasa.
Qiyas menurut ibnu Madha’ apabila digunakan dalam bahasa (ilmu
nahwu) bukan merupakan hal yang dilarang, ia membolehkan qiyas. Hanya saja
qiyas yang dibolehkan adalah qiyas yang disertai dengan bukti teks yang jelas. Di
dalam bab tanazu’. Ibnu Madha’ secara tegas menolakuntuk men-qiyas-kan
ma’mul seperti zharaf, mashdar dan hal kepada maf’ul. Ia baru menerima peng-
qiyas-an itu apabila di dalamnya ditemukan bukti (teks/bahasa) yang dating
(didengar) dari orang Arab. Secara lebih jelas dapat dilihat dalam beberapa contoh
berikut :
قياما زيد وقام قمت
Dalam pertimbangan Ibnu Madha’ bentuk mashdar semestinya dihadirkan
untuk meneguhkan(ta’kid) fi’il. Membuang mashdar berarti bertentangan dengan
7 Ied, Muhammad, Ushul al-Nahwy al-Arabi fii Nazhri al-Nuhaat wa Ra’yi Ibn Madha’ wa dhau’i Ilm al-Lughah al-Hadits, (Kairo: Alam al-Kutub, 1989). Hal. 38.
6
prinsip pebeguhan itu sendiri. Dalam contoh di atas, jika kata qiyaman
dihubungkan kepada fi’il yang kedua ( qama ) dan dibuang untuk keterkaitannya
dengan fi’il yang pertama (qumtu), Maka iru berarti sama saja denga membuang
sesuatu yang diteguhkan (al-mu’akkad). Tetapi jika yang dimaksud dengan
mashdar, sebagaimana dalam contoh tersebut adalah menjelaskan atau mengacu
pada nau’ (bentuk), maka ia menyerupai maf’ul bih. Ini eperti ketika
mengatakan : الحسن القيام Jika kata al-qiyam al-hasan dikembalikan . قمت
kapada ei’il kedua maka takdirnya menjadi الحسن القيام زيد وقام . قمت
Tetapi jika dikembalikan kepada fi’il pertama, maka takdirnya menjadi
الحسن القيم زيد وقامه 8.قمت
Ibnu Madha’ secara tegas menolak qiyas aqli. Menurutnya hal ini
membawa sesuatu kepada sesuatu yang lain tanpa adanya hubungan atau
keterkaitan dalam meng-qiyas-kan dua hal.
Dari pernyataan itu, jelaslah bahwa ibnu Madha’ menolak jenis qiyas
seperti ini berdasarkan pada dua prinsip.
Pertama, alasan rasional, yaitu bahwa prinsip menyamakan dua halkarena
adanya kesamaan sebab (antara hukum asal dengan cabang) meruoakan prinsip
yang lemah. Karena bentuk kesamaan yang terdapat dalam asal dan cabang tidak
sempurna. Kedua, alasab linguistik. Yakni bahwa orang Arab sama sekalitidak
menghendaki apa yang dilakukan oleh para nuhat. Dengan kata lain bahea
penggunaan qiyas aqli diingkari oleh ibnu madha karena tidak memiliki
keterkaitan dengan bahasa Arab itu sendiri. Atau memang masyarakat Arab tidak
pernah menggunakan qiyas aqli dalam menggunakan bahasa mereka sehari-hari.
Kedua : Ta’lil (‘Illah)
Ta’lil merupakan salah satu metode untuk mencari hokum bahasa yang
digunakan dalam ilmu nahwu (al-istidlal al-nahwi). Secara etimologi, ta’lil berarti
mencari ‘illah (sebab), baik langsung maupun tidak langsung. Atau illah secara
lughawi berarti sebuah makna yang menempati suatu posisi di mana posisi yang
ditempati itu berubah kerenanya dengan tanpa sengaja.9
8 Ibnu Madha’, Kitab al-Radd Ala al-Nuhat, tahqiqi Syauqi Dhaif, (Kairo: Dar al-Fikr, 1947).9 Al-Hifni, ( , : 1990 ), h. 213
7
Ta’lil ini menjelma dan tersebar di dalam berbagai tema kajian nahwu di
antaranya, I’rab fi’il mudhari’ karena kesamaannya dengan isim dank e-mabn-an
sebagian isim karena kesamaannya dengan huruf dengan berdasarkan pada ‘illah
tashbiyah. Contohnya, membuang huruf wawu dalam kata ya’idu, waw dibang
karena jatuh di antara huruf ya’ dan kasrah, alasan pembuangannya adalah karena
menghindari pengucapan yang berat.
Ibnu Madha’ berpendapat bahwa ‘illah dibagi menjadi dua macam.
Pertama, ‘illah ula (illah lapisan pertama) dan ‘illah tsawani (‘illah lapisan kedua,
ketiga dan seterusnya). Illah ula merupakan alasan seseorang dapat memahami
perkatan atau ucapan orang Arab. Illah ini dapat dikategorikan sebagai dasar
untuk menetapkan struktur dasar yang dipakai dalam bahasa Arab. Sementara itu,
illah tsawani menurut Ibnu Madha’ tidak diperlukan.10
Ketika Ibnu Madha’ ditanya mengapa kata Zaid dalam jumlah…… harus
dibaca rafa’, ia menjawab: karena kata itu berkedudukan menjadi fa’il, dan fa’il
itu harus dibaca rafa’. Inilah yang disebut dengan alasan pertama. Jika kemudian
ditanya lagi kenapa fa’il itu harus rafa’, maka menurut Ibnu Madha’ pertanyaan
itu tidak patut dijawab. Jawaban yang pas adalah karena begitulah orang Arab
mengatakan. Pandangan seperti ini tentunya jauh berbeda dengan pandangan
mayoritas nuhat. Jika pertanyaan serupa diajukan kepada nuhat lain, maka mereka
pasti memberikan jawaban: kata Zaid dibaca rafa’ karena fa’il, dan fa’il itu harus
harus rafa’ (illah ula); kenapa harus rafa’? karena untuk membedakan antara fa’il
dengan maf’ul (‘illah tsaniyah); kenapa fa’il tidk dibaca nashab saja dan maf’ul
dirafa’kan? Karena fa’il itu sedikit, sedangkan maf’ul itu itu bisa banyak (illah
tsalitsah). Bagi ibnu Madha’, illah tsaniyah dan seterusnya tidak diperlukan ketika
seseorang memakai bahasa Arab karena hanya menimbulkan perdebatan yang sia-
sia.
Ibnu Madha’ juga membagi illah tsawani ke dalam tiga macam. Yaitu,
maqthu’ bih,mafihi iqna’, dan maqthu’ bi fasadihi. Yang pertama dimaksudkan
sebagai illah yang harus dihilangkan melalui pemutusan pertanyaan. Setelah illah
pertama tidak diperbolehkan lagi mengajukan illah kedua. Yang kedua kedua
10 Ibnu Madha’, Op.Cit,. h. 152
8
dimaksudkan sebagai illah yang di dalamnya terdapat perasaan puas demi
kepentingan pencarian persamaan di antara dua hal (asal dan cabang). Sementara
yang ketiga dimaksudkan sebagai illah yang memang tidak memiliki manfaat dan
arti apa-apa ketika mengungkapkan atau bahkan tidak dapat memuaskan akal dan
memang benar-benar tidak memiliki signifikan bagi penalaran.11
Ketiga : Ta’wil
Secara etimologi, ta’wil berarti merenungkan, mengira-ngira dan
menafsirkan. Sedangkan secara terminology, ta’wil berarti menggeser zhahir teks
(lafaz) dari posisinya menuju bukti (makna) yang dibutuhkan seolah-olah makna
itu meninggalkan zhahir dari teks. Atau dengan kata lain, ta’wil adalah
menafsirkan ucapan yang maknanya berbeda-beda dengan memberikan
penjelasan yang diambil dari luar teks.12
Ibnu Madha’ terkait dengan masalah ta’wil ini, menolak konsep hazhaf
(pembuangan). Menurutnya, konsep pembuangan (hazhaf) yang dikemukkan oleh
para nuhat merupakan konsep yang ambigu dan tidak jelas. Hal ini karena mereka
tidak mampu membedakan antara kata yang mudhmar (sisembunyikan) dan kata
yang mahzhuf (dibuang).
Ada dua poin penting terkait dengan mudhmar dan mahzhuf, yang harus
dicermati secara kritis. Pertama, yang mudhmar berarti sesuatu yang harus
dipenuhi, sementara yang mahzhuf berarti sesuatu yang tidak diperlukan. Kedua,
yang mudhmar adalah isim, sementara yang mahzhf adalah fi’il. Hazhaf hanya
terjadi pada fi’il dan jumlah, dan tidak berlaku pada isim. Kedua poin itu tidak
memberikan garis pembedaan yang jelas dan cermat. Bahkan cenderung
kontradiktif dan ambigu. Menurut Ibnu Madha’, satu-satunya yang dapat
membedakan kedua hal itu tidak laindikembalikan kepada si penutur (mutakallim)
bahasa itu sendiri.13
Ibnu Madha’ berpendapat, ada tiga jenis mahzhufat. Yaitu, Pertama kata
dibuang karena lawan bicara (orang kedua) diindikasikan telah mengetahui.
Misalnya, ketika dikatakan zaidun yang berarti a’thi zaidan. Hal ini terjadi karena
11 Ibid.,12 Manzhur, ( , : ), h. 26413 Ibnu Madha’, Op.Cit,. h. 102
9
lawan bicara dianggap telah mengetahui “perintah untuk member sesuatu” kepada
si zaid, sehingga cukup dikatakan zaidun. Kedua, kata itu dibuang karena
memang tidak dibutuhkan dan bahkan jika masih tetapkan maka akan merusak
ucapan, seperti azaidan dhrabtuhu. Ketiga, kata itu dibuang karena jika tetap
ditampakkan mak disinyalir dapat merubah ucapan, seperti ya ‘abdallah. Jika
ucapan ini ditampakkan menjadi ad’u abdallah maka strukturnya menjadi
berubah. Yaitu, dari bentuk nida’ (panggilan) menjadi bentuk khabariyah
(berita).14
Atas dasar itu, Ibnu Madha’ hanya menerima konsep mahzhuf
(pembuangan) manakala pembuangan tersebut telah diketahui oleh lawan bicara
(mukhatab). Sejauh lawan bicara mengerti atau mengetahui hazhaf kata/kalimat
yang dikehendaki oleh si mutakallim, maka sejauh itu boleh dilakukan
pembuangan. Tetapi jika yidak mengetahui, maka lawanbicara tidak
diperbolehkan melakukan pembuangan. Karena akan membawa eks kepada
perubahan makna.
Penolakan Ibnu Madha’ terhadap fenomena ta’wil dalam nahwu juga
tercermin dari sikapnya terhadap konsep istitar/idhmar (penyembunyian). Di sini
dapat dikemukakan contoh: …….. . Para nuhat biasanya menganggap bahwa di
dalam contoh tersebut ada dhomir yang disenbunyikan, tepatnya pada kata
dharibun. Kata dharib menunjukkan arti sebagai pelaku (fa’il) yang tersmbunyi,
sementara kata zaid adalah nama dari si pelaku tersebut. Anggapan seperti ini
adalah adlah salah dan dapat diterima oleh akal manusia. Munculnya pikiran
seperti itu dikarenkan para nuhat telah keliru dalam memahami dalalah fi’il atas
dalalah fa’il; antara dalalah lafzhiyah dan dalalah luzhumiyah, sehingga mereka
meyakini bahwa di dalam fi’il pasti tersimpan fa’il.
Menurut Ibnu Madha’, dalalah dibagi menjadi dua macam. Pertama,
dalalah lafzhiyah uang dikehendaki oleh si pemakai bahasa (al-wadhi’) seperti
dalalah isim dengan sesuatu yang dinamai (al-musamma) dan dalalah fi’il dengan
peristiwa dan waktu. Kedua, dalalah luzumiyah seperti dalalah-nya atap dengan
tembok. Dalalah fi’il ata fa’il (sebagaimana dalam contoh … ) tidak lain
14 Ibid., h. 88
10
adalah dalalah lafzhiyah. Maka dalam kata krja misalnya saja kata ya’lamu,
a’lamu dan na’lamu tidak ada istilah yang disebut dengan idhmar
(penyembunyian). Huruf ya’ sebagaimana dalam fi’il mudhari’ berarti tanda bagi
bentuk ghaib muzakkar (orang ketiga), alif berarti orang pertama (penutur sendiri)
dan nun berarti penutur dalam jumlah banyak.15
Keempat : Amil
Amil dalam ilmu nahwu bisa digolongkan sebagi pilar utama. Biasanya,
dikenal ada dua jenis amil, yaitu lafzhiy dan maknawi. Amil lafzhi berbentuk
lafazh secara nyata, sedangkan amil ma’nawi biasanya tidak berwujud lafazh dan
memiliki pengaruh secara nyata terhadap keberadaan kata yang lain. Di samping
itu para nuhat juga memandang adanya dua jenis amil. Yaitu, amil yang memiliki
pengaruh secara nyata berupa berupa harakat atau syakal dan atau huruf yang
terdapat di akhir kalimat. Sedangkan yang kedua adalah amil yang kehadirannya
bersifat tidak nyata karena alasan keserupaan atau kedekatan. Ibnu Madah’
menolak jenis amil yang pertama. Menurutnya yang peling berperan dalam
merubah maksud ucapan tidk lain adalah si penutur itu sendiri, bukan amil. Hal
ini karena amil itu mengisyaratkan adanya waktu saat melakukan dan mestinya
amil itu melakukannya dengan kehendak atau secara alami.16
Salah satu contoh ketidak rasional para nuhat dalam menggunakan konsep
amil adalah penerimaan amil ibtidak yang diyakini ada pada jumlah mubtada’-
khabar. Yaitu, bahwa mubtada’ itu dirafa’kan oleh adanya amilibtida’. Yang
merafa’kan mubada’ tidak lain menurut Ibnu Madha’ adalah si mutakallim itu
sendiri dan bukan amil ibtida’, karena tindakan merafa’kan itu menyertai si
mutakallim dan bukan amil ibtida’ yang dakini oleh para nuhat.
2. Kitab Tajdid al-Nahw Karya Syauqi Dhaif
a. Biografi Syauqi Dhaif
Syauqi Dhaif lahir di Aulad Hamam, Mesir pada 13 Januari 1910, dan
wafat pada14 Maret 2005, pada usia 95 tahun.17 Dr. Syauqi Dhaif mengawali
15 Ibid., h. 103-10516 Ibid., h. 8717 http://mahfuzmian.blogspot.com/2012_06_01_archive.html
11
upayanya dalam pembaharuan nahwu dengan pen-tahqiq-annya terhadap buku
karangan Ibnu Madha yaitu ar-Radd ala an-Nuhat wa al-Masyriq fi an-Nahwi,
yang telah memberi warna baru dalam khazanah ilmu nahwu. Beliau
merekonstruksi kembali pemikiran nahwu yang telah berkembang selama ini yang
dianggap menyulitkan pengajaran nahwu dengan perinsip mudah, gampang,
ringkas, sederhana, dan mudah dipahami oleh para pelajar bahasa Arab.
Beliau menuangkan pemikirannya tersebut dalam beberapa bukunya yaitu
Tajdid al-Nahwi (1982), Taisiraat Lughawiyah (1990), dan Taisiru al-Nahwi al-
Ta’limi Qadiman wa Haditsan ma’a Nahji Tajdidihi (1986). Diantara ketiga buku
ini, yang paling masyhur dalam khazanah ilmu nahwu adalah yang pertama yaitu
Tajdid al-Nahwi, yang menyajikan konsep-konsep yang sempurna dalam
pengajaran nahwu, dan juga memberi warna-warna baru yang disandarkan atas
perinsip-perinsip dasar yang bersumber dari buku Ibnu Madha.
b. Pemikiran Syauqi Dhaif
Pemikiran Syauqi Dhaif dalam pembaharuan nahwu kurang lebih sama
dengan konsep-konsep yang digagas oleh Ibnu Madha, hal ini dibuktikan dengan
upaya beliau terhadap pen-tahqiq-an buku al-Radd ala al-Nuhat karangan Ibnu
Madha. Beliau juga sependapat tentang pembuangan teori ’amil, membuang ’ilat
tsawani dan tsawalits, pembatalan teori qiyas, dan juga meniadakan analisa teori-
teori tanpa praktik, seperti i’lal.18 Hanya saja dalam tahqiq-annya beliau
menambahkan pendapat-pendapat yang mengokohkan teori-teori yang ada dalam
buku tersebut.19
Dalam pen-tahqiq-annya beliau merumuskan bahwa dalam upaya
pembaharuan nahwu terdapat enam pokok konsep yang ditawarkan, yang
meliputi:
1. Penyusunan kembali bab-bab dalam nahwu yang tumpang tindih,
menambahkan, dan mengumpulkan bab-bab yang dianggap sejenis. Seperti
contoh Bab واخوتها hendaknya dimasukkan pada bab كان fi’il lazim. Teori
18 19
12
merofa’kan isim dan menasobkan khobar diubah dengan isimnya menjadi
failnya dan khobarnya menjadi hal saja.
2. Menghapus dua peng-i’rab-an, yaitu taqdiri dan mahalli. Seperti contoh dari
I;rab taqdiri adalah الفتى dibaca جأء rofa’ tanpa harus menyebutkan rofa’
muqoddar yang aslinya dzommah
3. Menghapus i’rab yang tidak efisien untuk kebenaran dalam pengucapan. I’rab
yang danggap tidak efisien tersebut adalah bab ististna’, bab adawat syarat,
kam istifhamiyah dan khabariyah, kata السيما danان yang disukun.
4. Meletakkan pengertian-pengertian dan kaidah-kaidah yang lebih spesifik pada
sebagian bab-bab nahwu. Secara garis besar Syauqi Dzaif berpendapat ada
tiga definisi topik pembahsan materi nahwu yang perlu diperbaharui, yaitu
bab Maf’ul Mutlaq, Maf’ul ma’ah, dan bab hal.
5. Membuang penambahan-penambahan dalam bab nahwu yang tidak penting.
Seperti pembuangan kaidah-kaidah isim alat, karena isim alat bersandar pada
sima’i, dan tidak membuthkan kaidah.
6. Penambahan topik yang dianggap signifikan. Seperti penambahan
pembahasan khusus yang disertai kaidah-kaidah pengucapan atau makhraj,
kerena dapat menumbuhkan kesadaran dalam menjaga al-Quran.20
Beliau berpendapat bahwa fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun
taukid tidak berbeda dengan fi’il mudhori’ yang di dahului oleh amil nashob
dimana keduanya sama-sama berkhir dengan harakat fathah. Seperti pada contoh
kalimat أسافر+ dari لن ن+ . أسافر+ Sebagaimana telah diketahui bahwa fi’il
mudhori’yang bersambung dengan nun taukid mabni fathah.
Jika fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun taukid berharakat fathah
karena nashob, lalu bagaimana dengan contoh: به تجر. حتى امرا تمدح+ن1 Lafadz .ال
nahi yang notabene ال dinashobkan sedang lafadz tersebut didahukui oleh تمدح+ن1
adalah huruf jer. Apakah nashob dan jer bisa berkumpul dalam satu keadaan yang
sama?
20 http://mahfuzmian.blogspot.com/2012_06_01_archive.html
13
Beliau juga merekomendasikan untuk menyamakan fi’il mudhori’ yang
bersambung dengan nun niswah dalam I’rab jazem. Seperti pada contoh: النساء
يسافر3ن , , لم النساء ن يسافر3 لن النساء ن يسافر3
Adapun pemikiran-pemikiran Syauqi Dhaif di antaranya adalah sebagai berikut :21
a. Dr. dhoif juga menganggap bahwa khobar dapat berupa marfu’, mansub dan
majzum.
Ketika nashob seperti contoh: 4 مسيئا العبد+ ضربي
Ketika jer seperti contoh: للعبيد 9 بظالم >ك رب وما
b. Anggapan beliau pada isim dan saudara-saudaranya sebagai mubtada’ yang إن.
didaca nashob dengan hujjah bahwa mubtada’ bisa dibaca jer ketika didahului
oleh ب1 ’dan huruf jer yang berupa tambahan. Beliau berdalih: “jika mubtada ر>
bisa dibaca jer, kenapa kita tidak mengatakan kalau mubtada’ bisa dibaca nashob?
Pada contoh: صول من أنفد قول9@@ ب1 سدوله dan ر> أرخى البحر كموج lafadz . وليٍل9
dan قول jelas dibaca jer karena sebagai mudhof ilaih, tetapi lafadz tersebut ليٍل
berkedudukan sebagai mubtada’. Sedang yang dimaksud oleh Dr. Syauqi Dhoif
sebagai mubtada’ yang dibaca nashob seperti pada contoh: خبير عليم الله+ إن
c. Beliau mengatakan “sesungguhnya mudhaf ilaih itu menyerupai isim yang ikut
pada isim yang lain walaupun wajib dibaca jer. Seperti contoh أقالم disini.ثالثة
jelas bahwa lafadz أقالم mengikuti lafadz ثالثة. Bisa juga kta katakan الثالثة األقالم
sebagai susunan sifat atau badal.”
d. Beliau merekomendasikan untuk mengabaikan fa’il ataupun naibul fa’il ketika
dalam bentuk dhomir mustatir. seperti contoh: , س>ئٍل محمد قام .زيد Menurut
hemat beliau, tidak perlu repot-repot mengi’rabi kedua contoh yang telah disebut
karena fa’il dan naibul fa’il dari keduanya “hanya” dhomir yang tidak terlihat oleh
mata.
e. Rekomendasi beliau untuk mengabaikan I’rab pada jumlah. Pada contoh: مررت
يزرع lafadz برجٍل dii’rabi يزرع jer karena sebagai sifat dari lafadz yang رجٍل
nakiroh. Tetapi pada contoh: يزرع بالرجٍل dalam keadaan يزرع lafadz مررت
nashob karena sebagai hal. Sebagaimana perkataan para ahli nahwu bahwa “setiap
21 Ibid.,
14
jumlah yang jatuh setelah isim nakiroh berupa sifat, tetapi jika setelah ma’rifat
maka jumlah tersebut berkedudukan sebagai hal.
f. Beliau menganjurkan untuk mendalami penjelasan tentang kedudukan isim
mabni, isim manqus, dan isim maqsur. Beliau berpendapat bahwa isim-isim ini
perlu pejelasan lebih detail tentang kedudukannya pada kalimat, yang mana pada
setiap I’rab yang ditempati, isim-isim ini tetap sama seperti sediakala.
Pada contoh: , @سيبويه رأيت سيبويه@ بسيبويه@ dan حضر سيبويه@ Lafadz .مررت
adalah isim mabni. Dalam setiap I’rab yang ditempati, lafadz @سيبويه tidak
mengalami perubahan dalam segi lafadznya. Oleh karena itu Dr. Syauqi Dhoif
mengaggap perlu untuk menjelaskan secara lebih rinci kedudukan satu lafadz
yang berupa isim mabni, isim maqsur, dan isim manqus dalam jumlah.
15