pbl ispa

46
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit Infeksi adalah penyakit yang paling banyak ditemukan pada anak-anak dan paling sering menjadi satu- satunya alasan untuk datang ke doktek untuk menjalani perawatan inap maupun rawat jalan.Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat, yang merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi pada anak umur di bawah 5 tahun (22, 30%). Infeksi saluran pernafasan akut menempati urutan pertama 10 penyakit rawat jalan di rumah sakit tahun 2010 dan menempati urutan 9 dari 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit tahun 2010. Hal ini diduga karena penyakit ini termasuk penyakit yang akut dan kualitas penatalaksanaannya belum memadai ( Kemenkes RI, 2012 ). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan 1

Upload: tommy-agustinus

Post on 15-Sep-2015

80 views

Category:

Documents


23 download

DESCRIPTION

kesehatan

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang MasalahPenyakit Infeksi adalah penyakit yang paling banyak ditemukan pada anak-anak dan paling sering menjadi satu-satunya alasan untuk datang ke doktek untuk menjalani perawatan inap maupun rawat jalan.Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat, yang merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi pada anak umur di bawah 5 tahun (22, 30%). Infeksi saluran pernafasan akut menempati urutan pertama 10 penyakit rawat jalan di rumah sakit tahun 2010 dan menempati urutan 9 dari 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit tahun 2010. Hal ini diduga karena penyakit ini termasuk penyakit yang akut dan kualitas penatalaksanaannya belum memadai ( Kemenkes RI, 2012 ). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme `dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Depkes RI, 2005 ). Di Indonesia kasus Infeksi saluran Pernafasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab 32,1% kematian bayi pada tahun 2009, serta penyebab 18,2% kematian pada balita pada tahun 2010 dan 38,8% tahun 2011. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Berdasarkan data dari P2 program ISPA tahun 2009 cakupan penderita ISPA melampaui target 13,4%, hasil yang di peroleh 18.749 kasus sementara target yang ditetapkan hanya 16.534 kasus. Survey moralitas yang dilakukan di subdit ISPA tahun 2010 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita ( Kemenkes RI, 2012). Di Wilayah Kerja Puskesmas Kertak Hanyar Kabupaten Banjar, terdapat 217 orang pada bulan Desember 2014menderita ISPA 30,4 % dari penderita tersebut adalah balita. Dari data tersebut di temukan bahwa jumlah penderita penyakit ispa pada balita masih banyak dan perlu penanganan yang serius untuk mencegah jumlah penderita agar tidak meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu balita tentang penyakit ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Kertak Hanyar Kabupaten Banjar.

1.2 Rumusan MasalahRumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas adalah: Apakah ada hubungan tingkat pengetahuan ibu balita tentang penyakit ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Kertak Hanyar Kabupaten Banjar?

1.3 TujuanPenelitianUntuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu balita tentang penyakit ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Kertak Hanyar Kabupaten Banjar.

1.4 Manfaat PenelitianMengetahui tingkat pengetahuan ibu balita tentang penyakit ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Kertak Hanyar Kabupaten Banjar

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses inflamasi yang disebabkan oleh virus, bakteri, atipikal (mikroplasma), atau aspirasi substansi asing yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran pernapasan (Wong, 2003). Infeksi saluran pernapasan akut adalah infeksi yang terutama mengenai struktur saluran pernapasan diatas laring, tetapi kebanyakan, penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara simultan atau berurutan.Gambaran patofisioliginya meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa, kongesti vaskuler, bertambahnya sekresi mukus, dan perubahan dan struktur fungsi siliare (Behrman, 1999).ISPA adalah infeksi yang terutama mengenai saluran pernafasan atas maupun bawah disebabkan oleh virus, bakteri, atipikal (mikroplasma), tanda dan gejalanya sangat bervariasi antara lain demam, pusing, lemas, tidak nafsu makan, muntah, batuk, keluar sekret, stridor (suara napas), dyspnea (kesulitan bernapas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen).2.2 Etiologi ISPAISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronovirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus, dan lain-lain.Etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditetapkan karena dahak biasanya sukar untuk diperoleh.Sedangkan prosedur pemeriksaan immunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia.Penetapan etiologi pneumonia yang dapat diandalkan adalah biakan dari aspirat paru dan darah.Tetapi pungsi paru merupakan prosedur yang berisiko dan bertentangan dengan etika jika hanya dimaksudkan untuk penelitian.Oleh karena itu di Indonesia masih menggunakan hasil penelitian dari luar negeri.Faktor umur dapat mengarahkan kemungkinan penyebab ISPA atau etiologinya :a. Grup B Streptococcus dan gram negatif bakteri enterik merupakan penyebab yang paling umum pada neonatal (bayi berumur 1-28 hari) dan merupakan transmisi vertikal dari ibu sewaktu persalinan. b. Pneumonia pada bayi berumur 3 minggu sampai 3 bulan yang paling sering adalah bakteri, biasanya bakteri Streptococcus Pneumoniae. c. Balita usia 4 bulan sampai 5 tahun, virus merupakan penyebab tersering dari pneumonia, yaitu respiratory syncytial virus. d. Pada usia 5 tahun sampai dewasa pada umumnya penyebab dari pneumonia adalah bakteri. Pada penelitian lainStreptococcus pneumoniae merupakan patogen paling banyak sebagai penyebab pneumonia pada semua pihak kelompok umur. Menurut WHO, penelitian di berbagai negara juga menunjukkan bahwa di negara berkembang Streptococcus pneumoniae dan Haemofilus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada 2/3 (dua pertiga) dari hasil isolasi yaitu 73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Bakteri merupakan penyebab utama dari pneumonia pada balita.Diperkirakan besarnya presentase bakteri sebagaipenyebabnya adalah sebesar 50%.Sedangkan di negara maju, saat ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.

2.3 Faktor Resiko ISPASecara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.a. Faktor individu anak1. Umur anakSejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernafasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6-12 bulan dan pada balita usia 1-4 tahun (Rahajoe, 2008).2. Berat badan lahirBerat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan lainnya.Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted terhadap status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan bahwa anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami rate lebih tinggi terhadap penyakit saluran pernafasan, tetapi mengalami lebih berat infeksinya (Behrman, 1999).3. Status gizi Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh: umur, keadaan fisik, kondisi kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan aktivitas dari si anak itu sendiri. Penilaian status gizi dapat dilakukan antara lain berdasarkan antopometri: berat badan lahir, panjang badan, tinggi badan, lingkar lengan atas. Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA.Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia.Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama (Rahajoe, 2008).4. Vitamin ASejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul 200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok kontrol. Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bagi antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat.Karena itu usaha misal pemberian vitamin A dan imunisasi secara berkala terhadap anak-anak prasekolah seharusnya tidak dilihat sebagai dua keinginan terpisah.Keduanya haruslah dipandang dalam suatu kesatuan yang utuh, yaitu meningkatkan daya tahan tubuh dan perlindungan terhadap anak Indonesia 18 sehingga mereka dapat tumbuh, berkembang dan berangkat dewasa dalam keadaan yang sebaik-baiknya.Selain itu vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Grant melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A (Rahajoe, 2008).5. Status ImunisasiBayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT).Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat dicegah (Behrman, 1999).6. Jenis KelaminPada umumnya tidak ada insidens ISPA akibat virus atau bakteri pada laki-laki atau perempuan. Akan tetapi, ada yang mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan, yaitu insidens lebih tinggi pada anak laki-laki usia di atas 6 tahun(Behrman, 1999).b. Faktor Lingkungan1. Pencemaran udara dalam rumahAsap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinyakurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi (Rahajoe, 2008).2. Ventilasi rumahVentilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut :a. Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum bagi pernafasan.b. Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.c. Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.d. Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.e. Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.f. Mendisfungsikan suhu udara secara merata.3. Kepadatan hunian rumahKepadatan hunian dalam rumah menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8m2.Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada (Rahajoe, 2008).c. Faktor perilakuFaktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya.Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya (Anonymous, 2010). Peran aktif keluarga/masyarakat dalam mengenali ISPA sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga.Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit.Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini pneumonia dan kapan mencari pertolongan dan rujukan pada sistem pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak menjadi lebih berat. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa peran keluarga dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab bila praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang/buruk akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari ringan menjadi bertambah berat.

2.4 Tanda dan Gejala ISPATanda dan gejala ISPA sangat bervariasi antara lain demam, pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara napas), dyspnea (kesulitan bernapas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal napas apabila tidak mendapat pertolongan dan dapat mengakibatkan kematian (Behrman, 1999).

2.5 Klasifikasi ISPAISPA diklasifikasikan menjadi infeksi saluran pernapasan atas dan bawah a. Infeksi saluran pernapasan atas 1. Batuk pilek.Batuk pilek (common cold) adalah infeksi primer nesofaring dan hidung yang sering mengenai bayi dan anak.Penyakit ini cenderung berlangsung lebih berat kerena infeksi mencakup daerah sinus paranasal, telinga tengah, dan nesofaring disertai demam yang tinggi. Faktor predisposisinya antara lain kelelahan, gizi buruk, anemia dan kedinginan. Pada umumnya penyakit terjadi pada waktu pergantian musim (Ngastiyah, 2005).2. Sinusitis Sinusitis adalah radang sinus yang ada di sekitar hidung, dapat berupa sinusitis maksilaris atau sinusitis frontalis.Biasanya paling sering terjadi adalah sinusitis maksilaris, disebabkan oleh komplikasi peradangan jalan napas bagian atas, dibantu oleh adanya faktor predisposisi.Penyakit ini dapat disebabkan oleh kuman tunggal, namun dapat juga disebabkan oleh campuran kuman seperti streptokokus, pneumokokus, hemophilus influenzae, dan klebsiella pneumoniae.Jamur dapat juga menyebabkan sinusitis (Ngastiyah, 2005).3. TonsilitisTonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel.Organisme penyebabnya yang utama meliputi streptokokus atau staphilokokus.Infeksi terjadi pada hidung menyebar melalui sistem limpa ke tonsil.Hiperthropi yang disebabkan infeksi, bisa menyebabkan tonsil membengkak sehingga bisa menghambat keluar masuknya udara.Manifestasi klinis yang ditimbulkan meliputi pembengkakan tonsil yang mengalami edema dan berwarna merah, sakit tenggorokan, sakit ketika menelan, demam tinggi dan eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil, selain itu juga muncul abses pada tonsil (Reeves, Roux & Lockhart, 2001).4. Faringitis Faringitis adalah proses peradangan pada tenggorokan. Penyakit ini juga sering dilihat sebagai inflamasi virus. Namun juga bisa disebabkan oleh bakteri, seperti hemolytic stretococcy, staphylococci, atau bakteri lainnya ( Reeves, Roux & Lockhart, 2001). Tanda dan gejala faringitis antara lain membran mukosa dan tonsil merah, demam, malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, serak dan batuk (Behrman, 1999). 5. LaringitisLaringingitis adalah proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk laring (Reeves, Roux & Lockhart, 2001). Penyebab laringitis umumnya adalah streptococcus hemolyticus, streptococcus viridans, pneumokokus, staphylococcus hemolyticus dan haemophilus influenzae. Tanda dan gejalanya antara lain demam, batuk, pilek, nyeri menelan dan pada waktu bicara, suara serak, sesak napas, stridor. Bila penyakit berlanjut terus akan terdapat tanda obstruksi pernapasan berupa gelisah, napas tersengal-sengal, sesak dan napas bertambah berat (Ngastiyah, 2005).b. Infeksi saluran pernapasan bawah 1. Bronkitis Bronkitis merupakan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bagian bawah, terjadi peradangan di daerah laring, trakhea dan bronkus. Disebabkan oleh virus, yaitu: rhinovirus, respiratori sincytial virus (RSV), virus influenzae, virus para influenzae, dan coxsackie virus. Dengan faktor predisposisi berupa alergi, perubahan cuaca, dan polusi udara. Dengan tanda dan gejala batuk kering, suhu badan rendah atau tidak ada demam, kejang, kehilangan nafsu makan, stridor, napas berbunyi, dan sakit di tengah depan dada (Ngastiyah, 2005). 2. Bronkiolitis Bronkiolitis akut merupakan penyakit saluran pernapasan yang lazim, akibat dari obstruksi radang saluran pernapasan kecil.Disebabkan oleh virus sinsisium respiratorik (VSR), virus para influenzae, mikroplasma, dan adenovirus.Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun pertama, dengan insiden puncak sekitar umur 6 bulan (Behrman, 1999).Yang didahului oleh infeksi saluran bagian atas disertai dengan batuk pilek beberapa hari, tanpa disertai kenaikan suhu, sesak napas, pernapasan dangkal dan cepat, batuk dan gelisah (Ngastiyah, 2005).3. Pneumonia Pneumonia adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut bagian bawah yang mengenai parenhim paru.Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yaitu streptococcus pneumonia dan haemophillus influenza.Pada bayi dan anak kecil ditemukan staphylococcus aureus sebagai penyebab pneumonia yang berat dan sangat progresif dengan mortalitas tinggi.Gejala pneumonia bervariasi tergantung umur penderita dan penyebab infeksinya.Gejala yang sering didapatkan pada anak adalah nafas cepat dan sulit bernafas, batuk, demam, mengigil, sakit kepala dan nafsu makan hilang. (Syair, 2009)4. Tuberkulosis Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobakterium tuberkulosis dan mycobakterium bovis.Penyakit tuberkulosis pada bayi dan anak disebut tuberkulosis primer merupakan suatu penyakit sistemik, dan berlangsung secara perlahan-lahan.Ditandai dengan gejala batuk, demam, berkeringat malam, penurunan aktifitas, kehilangan berat badan, dan sukar bernapas (Ngastiyah, 2005).

2.6 KomplikasiPenyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh sendiri 5 sampai 6 hari, jika tidak terjadi invasi kuman lain. Tetapi penyakit ISPA yang tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan yang baik dapat menimbulkan komplikasi seperti: sinusitis paranasal, penutupan tuba eustachi, empiema, meningitis dan bronkopneumonia serta berlanjut pada kematian karena adanya sepsis yang menular (Ngastiyah, 2005).

BAB IIILANDASAN TEORIISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru (Hood Alsagaff, 2006:110).Istilah ISPA diadaptasi dari bahasa inggris Acute Respiratory Infection (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut: a. Infeksi adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit. b. Saluran Pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2002). Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dari interaksi bibit penyakit dengan tubuh pejamu.Respon inflamasi pada lokasi infeksi merupakan hasil mekanisme imun spesifik dan nonspesifik pejamu dalam melawan invasi mikroba dengan mencegah pertumbuhannya atau selanjutnya menghancurkannya (Mandal B.K dkk, 2008:10).Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran pernafasan bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau reflek oleh laring. Jika reflek tersebut gagal maka akan merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan. Kerusakan tersebut menyebabkan peningkatan aktifitas kelenjar mucus sehingga mengeluarkan mukosa yang berlebihan.Rangsangan cairan mukosa tersebut yang akhirnya menyebabkan batuk.Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri.Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran pernafasan sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif.Ada banyak faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Sutrisna (1993), faktor risiko yang menyebabkan ISPA pada balita adalah sosial ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan orang tua), status gizi, tingkat pengetahuan ibu dan faktor lingkungan (kualitas udara). Sedangkan Depkes (2002), menyebutkan bahwa faktor penyebab ISPA pada balita adalah Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR), status gizi buruk, imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik.Pendidikan orangtua berpengaruh terhadap insidensi ISPA pada anak.Semakin rendah pendidikan orangtua derajat ISPA yang diderita anak semakin berat. Demikian sebaliknya, semakin tinggi pendidikan orangtua, derajat ISPA yang diderita anak semakin ringan (Huriah dan Lestari, 2005).Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikantinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya.Pendidikan orang tua, terutama ibu merupakan salah satu kunci perubahan sosial budaya. Pendidikan yang relatif tinggi akan memiliki praktik yang lebih baik terhadap pemeliharaan kesehatan keluarga terutama balita. Pengetahuan ibu yang benar tentang ISPA dapat membantu mendeteksi dan mencegah penyakit ISPA lebih awal (Warman, 2008). Dengan meningkatnya pengetahuan ibu tentang stimulasi diharapkan akan terjadi perubahan perilaku ke arah yang mendukung kesehatan khususnya dalam pencegahan dan penatalaksanaan ISPA sehingga angka kejadian ISPA berkurang.

BAB IVRANCANGAN PENELITIAN

4.1 Rancangan PenelitianRancangan penelitian yang dipakai adalah studi deskriptif menggunakan pendekatan cross sectional. Dilakukan wawancara kepada ibunya dengan panduan kuesioner.4.2 Populasi dan SampelPopulasi pada penelitian ini adalah ibu-ibu beserta anaknya yang berusia 2-5 tahun yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Kertak Hanyar Kab.Banjar, khususnya di wilayah. Kertak Hanyar 1. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 46 orang berdasarkan perhitungan menggunakan rumus Slovin dibawah ini :n = N N. d2 + 1

= 87 87. (0,1)2 + 1

= 46Sampel diambil dengan menggunakan metode purposive sampling. Adapun kriteria yang ditentukan untuk pengambilan sampel ini: Kriteria inklusi:a. Anak berusia 2-5 tahun.b. Anak dan ibu bersedia menjadi subjek penelitian.Kriteria eksklusi:a. Orang tua tidak mengizinkan anaknya menjadi subjek penelitian.b. Anak dan ibu menolak dilakukan penelitian.

4.3 Instrumen Penelitian1. Lembar informed consent2. Lembar kuesioner untuk wawancara

4.4 Variabel PenelitianVariabel bebas: 1. Umur :2, 3, 4, 5 tahun2. Tingkat pengetahuan orang tua (ibu)4.5 Definisi Operasional1. Umur merupakan usia anak yang dihitung sampai ulang tahun terakhirnya, yang terdiri atas 2, 3, 4, dan 5 tahun.2. Balita (bawah lima tahun), adalah anak yang berusia di bawah lima tahun yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kertak Hanyar Kabupaten Banjar.3. ISPA adalah infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan yaitu organ tubuh yang dimulai dari hidung ke alveoli beserta organ adneksa (meliputi : sinus, rongga telinga dan pleura) yang disebabkan mikroarganisme. 4. Tingkat pengetahuan orangtua (ibu) dilihat dari seberapa besar pengetahuan ibu mengenai karies yang dapat terjadi pada anak. Cara pengukuran melalui wawancara kepada ibu responden dengan alat ukur berupa kuesioner.

4.6 Prosedur PenelitianPenelitian ini akan dilakukan dengan prosedur yang pertama yaitu dilakukan penentuan wilayah penelitian yaitu pada Puskesmas Kertak Hanyar Kab. Banjar.Setelah itu dibuat permintaan izin kepada kepala Puskesmas Kertak Hanyar Kab.Banjar untuk melakukan penelitian di wilayah kerja puskesmas ini.Wilayah kerja Puskesmas Kertak Hanyar Kab.Banjar didata untuk dilakukan pemilihan subjek penelitian dengan menggunakan metode purposive sampling dengan kriteria inklusi anak yang berusia 2-5 tahun dan bersedia untuk menjadi subjek penelitian. Setelah dilakukan pendataan, dilakukan wawancara kepada ibu anak dengan menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data usia anak, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu. Kemudian dilakukan analisis data berdasarkan hasil yang didapat dari wawancara yang dilakukan.4.7 Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data1. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan: Wawancara dilakukan pada ibunya,untuk mengetahui bagaimana tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu.2. Pengolahan data dilakukan secara manual dan tabulasi dengan langkah-langkah: penyuntingan data, membuat lembaran kode (coding sheet), memasukkan data, dan tabulasi.4.8 Cara Analisis DataAnalisis data dideskripsikan dengan menggunakan tabulasi dan gambar, serta persentasi dari tiap variabel.

BAB VHASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 HASILTabel 5.1 Tabel Tingkat Pengetahuan Ibu terhadap kejadian ISPA di Wilayah Puskesmas Kertak Hanyar 1TingkatPengetahuan Kejadian ISPA

ISPATIDAK ISPA

BAIK2,17%0%

SEDANG76,08%2,17%

BURUK19,5%0%

Gambar 5.1 Diagram Tingkat Pengetahuan Ibu Balita tentang Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kertak Hanyar Kabupaten Banjar

5.2 PEMBAHASANBerdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan respondentidak berpengaruh terhadap cara pencegahan, penatalaksanaan, dan berbagai hal yang berhubungan dengan ISPA. Tingkat pengetahuan yang baik, sedang dan buruk tentang ISPA pada sebagian besar responden menjadikan responden tidak dapat menjaga kebersihan dan hal-hal yang merupakan faktor terjadinya ISPA sehingga kejadian ISPA tidak dapat dicegah sejak awal.Berdasarkan ilmu pengetahuan pada saat ini dimana tekhnologi untuk pencegahan ISPA sudah cukup dikuasai, akan tetapi permasalahan tentang penyakit ISPA dalam masyarakat, sampai saat ini masih merupakan masalah yang relatif besar yang terjadi pada keluarga pra sejahtera yang mempunyai keterbatasan dalam pendidikan, pendapatan, dan pengetahuan yang benar tentang pencegahan ISPA (Depkes, 2005)Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal saja, akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu obyek mengandung dua aspek ini yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan obyek yang diketahui maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap obyek tertentu. (Notoatmodjo, 2007).Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui, akan menumbuhkan sikap makin positif terhadap objek tersebutAda banyak faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Sutrisna (1993), faktor risiko yang menyebabkan ISPA pada balita adalah sosial ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan orang tua), status gizi, tingkat pengetahuan ibu dan faktor lingkungan (kualitas udara). Sedangkan Depkes (2002), menyebutkan bahwa faktor penyebab ISPA pada balita adalah Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR), status gizi buruk, imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik.

BAB VIPENUTUP

6.1 Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adahubungan yang bermakna antara tingkatpengetahuan dengan kejadian ISPA.Tingkat pengetahuan yang baik, sedang dan buruk tentang ISPA pada sebagian besar responden menjadikan responden tidak dapat menjaga kebersihan dan hal-hal yang merupakan faktor terjadinya ISPA sehingga kejadian ISPA tidak dapat dicegah sejak awal.Pengetahuanyang tinggi belum tentu prakteknya benarAda banyak faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Sutrisna (1993), faktor risiko yang menyebabkan ISPA pada balita adalah sosial ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan orang tua), status gizi, tingkat pengetahuan ibu dan faktor lingkungan (kualitas udara). Sedangkan Depkes (2002), menyebutkan bahwa faktor penyebab ISPA pada balita adalah Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR), status gizi buruk, imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik.

6.2 SaranPerlu adanyapenyuluhan tentang cara merawat yang benar padabalita penderita ISPA akan lebihbaik jika dilakukan dengan demonstrasi denganmedia, karena perilaku akan lebih baik jikadidasari oleh pengetahuan.28

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan, Depkes RI, Jakarta.

2. Depkes RI. 2002. Pedoman pemberantasan penyalit saluran pernafasan akut. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

3. Depkes RI. 2008. Pedoman program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan akut untuk penanggulangan premonia pada balita. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

4. Huriah, T. Dan Lestari, R., 2008, Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang infeksi saluran pernafasan atas ( ISPA ) terhadap kemampuan ibu dalam perawatan ISPA pada balita di dusun lemahdadi kasihan bantul yokyakarta.Lecturer at community nursing, schoolbof nursing muhammadiyah universitas of yokyakarta.

5. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.

6. Sulistyoningsih, H. dan Rustandi, R., 2010, Faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian ispa pada balita di wilayah kerja puskesmas dpt jamanis kebupaten tasik malaya tahun 2010. Prosiding seminar nasional.

7. Behrman, Richard E. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol 2. Jakarta: EGC.

8. Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC

9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, profil data kesehatan indonesia, Depkes RI, Jakarta.

10. Warman Yance. 2008. Hubungan Faktor Lingkungan Sosial Ekonomi dan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Diare Akut pada Balita di Kelurahan Pekan arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri (online)(http://belibis-a17.com/2008/06/26/hubungan-sosial-dan-pengetahuan).

11. Rahajoe, N. Nastiti dkk. Respirologi Anak, IDAI, Jakarta, 2008

12. WHO.Penanganan ISPA pada anak di rumah sakit kecel negara berkembang.Alih bahasa Widjaja A.Jakarta-. EGC; 2003: 1-53

13. Murharyati, A., 2010, Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap ibu dengan praktik cara perawatan balita yang menderita ISPA nono pneumonia di wilayah kerja puskesmas mojolaban I kabupaten sukoharjo. Jurnal kesmadeska, Vol.1 no 1.

14. Saryono (2011).Metodologi penelitian kesehatan, penuntun praktis bagi pemula.Yogyakarta : Mitra Cendikia Press.

15. Syahrani, Santoso, & Sayono.(2012). Pengaruh pendidikan kesehatantentang penatalaksanaan ISPAterhadap pengetahuan danketerampilan ibu merawat balitaISPA dirumah.Diunduh dari http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php/ilmukeperawatan/a rticle/view/44/83 (27 April 2013).

16. WHO (2007).Pencegahan dan pengendalian infeksi saluranpernapsan akut (ISPA) yang Cenderung menjadi epidemi dan pendemidi fasilitas pelayanankesehatan.Diunduh darihttp://www.who.int/csr/resources/p ublications/WHO_CDS_EPR_2007_8bahasa.pdf

17. Wardhani, E, Dkk., 2010, Hubungan faktor lingkungan, sosial ekonomi, dan pengetahuan ibu dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut ( ISPA ) pada balita di kelurahan cicadas kota bandung. Prosiding, Seminar nasional dan teknologi III universitas lampung.

18. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.Jakarta : Rineka Cipta

19. Sutrisna, B. 1993. Risk factors for pneumonia in children under 5 years of age and a model for its control. Ph. D. (Summary of dissertation), University of Indonesia..