pbl blok 29
DESCRIPTION
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkTRANSCRIPT
Diagnosis Klinis dan Kriteria Kematian Otak
Rudy Hermawan Cokro Handoyo
102010097-B2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Krida Wacana
Jalan Terusan Arjuna Utara no. 6, Jakarta 11510
Email: [email protected]
Pendahuluan
Sampai tiga-empat dekade yang lalu, penentuan saat kematian relatif sederhana.
Seseorang yang sudah berhenti bernafas, tidak teraba denyut jantungnya, dinyatakan mati.
Namun dengan kemajuan teknologi medis sejak beberapa puluh tahun terakhir ini, saat ini
fungsi vital dapat dipertahankan secara “buatan”, meskipun fungsi otak telah berhenti. Hal
tersebut pada akhirnya berimplikasi terhadap definisi kematian secara medis, yang kemudian
memunculkan suatu konsep kematian batang otak sebagai penanda kematian. Kematian
didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak.
Brain death, atau dalam bahasa Indonesia disebut mati otak atau mati batang otak,
meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus di Hongkong, dan 60% dari mati otak
diakibatkan oleh perdarahan intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi. Di
Amerika, penyebab utama brain death adalah cedera kepala dan perdarahan subarachnoid.
Batang otak dapat mengalami cedera oleh lesi primer ataupun karena peningkatan tekanan
pada kompartemen supratentorial atau infratentorial yang mempengaruhi suplai darah atau
integritas struktur otak. Cedera hipoksia lebih mempengaruhi korteks dari pada batang otak.
Kriteria untuk Brain death atau mati otak sendiri berevolusi seiring waktu. Pada tahun
1979, Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah “irreversible coma” , untuk
mendeskripsikan keadaan dari 23 orang pasien yang berada dalam kondisi koma, kehilangan
kesadaran, refleks batang otak, respirasi, serta menunjukkan hasil elektroensefalogram yang
datar. Pada tahun 1988, komite ad hoc di Harvard Medical School meninjau ulang definisi
Brain death dan mendefinisikan koma ireversibel atau kematian otak, sebagai tidak adanya
respon dan reseptivitas, pergerakan dan pernapasan, reflex batang otak, serta adanya koma
yang penyebabnya telah diidentifikasi. Pada tahun 1991, President’s Commission for the
Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research
1
mempublikasikan panduan berkaitan dengan Brain death. Pada tahun 1996, The Conference
of Medical Royal Colleges di Inggris menyatakan bahwa Brain death adalah hilangnya fungsi
batang otak yang komplet dan ireversibel
Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1991 tentang bedah mayat klinis dan
bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau organ tubuh manusia, meninggal dunia
adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi
otak, pernapasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti. Diagnosis mati batang otak
(MBO) dan petunjuknya dapat dilihat pada pernyataan IDI tentang MBO. Diagnosa MBO
mempunyai 2 komponen utama. Komponen pertama terdiri dari pemenuhan prasyarat-
prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinis fungsi batang otak.
Konsep kematian batang otak akan menimbulkan implikasi yang sangat kompleks,
baik dari aspek bioetik, formulasi sosial, filosofi kultural dan religius, maupun aspek hukum.
Karena itulah diperlukan telaah yang baik mengenai definisi dan penegakan diagnosis mati
otak bagi seorang dokter.1
Definisi Mati
Thomas Furlow menyebutkan kematian sebagai suatu proses, yaitu proses penarikan
diri (process of withdrawl). Pada proses itu, manusia dianggapnya menarik diri, berturut-turut
dari kehidupan sosial, kemudian dari kehidupan intelektual, dan terakhir dari kehidupan
biologis. Sesuai dengan hipotesisnya, maka kematian pun dbedakan menjadi kematian sosial,
kematian intelektual dan kematian biologis.
Mati klinis adalah henti napas (tidak ada gerakan napas spontan) ditambah henti
sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel. Pada
masa dini kematian inilah, permulaan resusitasi dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi
organ vital termasuk fungsi otak nomal, asal diberikan terapi yang optimal.
Mati seluler (mati molekuler) atau mati biologis ialah suatu kematian organ atau
jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Mati biologis (kematian
semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak dilakukan resusitasi jantung paru (RJP)
atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati biologis merupakan proses nekrotisasi semua
jaringan. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga
terjadinya kematian seluler pada tiap organ tidak bersamaan. Mati biologis dimulai dengan
neuron otak yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sikulasi, diikuti oleh jantung,
ginjal, paru, dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam atau hari.
2
Mati serebral (kematian kortek) adalah kematian akibat kerusakan kedua hemisfer
otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya
yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat.
Mati sosial (status vegetatif yang menetatap/ Persistent Vegetative States) merupakan
kerusakan berat ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsif, tetapi
mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa reflek yang utuh. Pada keadaan
vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur.
Brain death atau mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral ditambah
dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah, dan batang otak.
Walaupun mudah dimengerti sebagai suatu konsep, namun mendefinisikan kematian
otak dalam kata-kata adalah sulit. Sampai saat ini, terdapat beberapa definisi dari mati batang
otak.
Definisi mati otak yang pertama adalah dari komite ad hoc Harvard tahun 1968.
Kematian otak didefinisikan oleh beberapa hal. Definisi pertama, adanya otak yang tidak
berfungsi lagi secara permanen, yang ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan respon
terhadap rangsang, tidak adanya pergerakan napas, dan tidak adanya refleks-refleks, yakni
respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji penggelengan kepala dan uji
kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya deserebrasi), refleks menelan, menguap,
dan bersuara, refleks kornea, refleks faring, refleks tendon dalam, dan respon terhadap
rangsang plantar. Definisi yang kedua adalah data konfirmasi yakni EEG yang iselektris.
Kedua tes tersebut dilakukan ulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa adanya hipotermia
(suhu kurang dari 32,2o C) atau depresan sistem saraf pusat seperti barbiturat. Penentuan
tersebut harus dilakukan oleh seorang dokter.
Pada panduan Australian and New Zealand Intensive Care Society (ANZICS) yang
dipublikasikan pada tahun 1993, mati otak didefinisikan sebagai berhentinya semua fungsi
otak secara ireversibel. Kematian otak terjadi saat terjadi hilangnya kesadaran yang
ireversibel, dan hilangnya respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan pusat secara
ireversibel, atau berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel.
Menurut Uniform Determination of Death Act, yang dikembangkan oleh National
Conference of Commissioners on Uniform State Laws, President’s Commission for the Study
of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research, seseorang
dinyatakan mati otak apabila mengalami (1) terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara
ireversibel, dan (2) terhentinya semua fungsi otak secara keseluruhan, termasuk batang otak,
3
secara ireversibel. Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi dinilai dari tidak adanya denyut
jantung dan usaha napas, serta pemeriksaan EKG dan uji apnea. Terhentinya fungsi otak
dinilai dari adanya keadaan koma serta hilangnya fungsi batang otak berupa absennya
refleks-refleks.
Definisi mati otak di Amerika (New York State De Department of Health, 2005).
kematian otak didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk
batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya refleks
batang otak, dan apnea.
Di Indonesia, seorang pasien yang telah ditetapkan mengalami kematian batang otak
berarti secara klinis dan legal-formal telah meninggal dunia. Hal ini seperti dituangkan dalam
pernyataan IDI tentang mati, yaitu dalam Surat Keputusan PB IDI No.336/PB IDI/a.4
tertanggal 15 Maret 1988 yang disusulkan dengan Surat Keputusan PB IDI
No.231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seorang dikatakan mati, bila
fungsi pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau terbukti telah
terjadi kematian batang otak.2
Etiologi
Penyebab kematian otak yang utama adalah cedera kepala traumatik, cerebrovascular
accidents, dan cedera hipoksik iskemi setelah henti jantung. Waktu antara cedera ke
diagnosis mati otak bervariasi dari jam samapai beberapa hari, tergantung tingkat keparahan
dan respon terhadap terapi.
Penyebab umum kematian otak lainnya termasuk, overdosis obat, tenggelam, tumor
otak primer, meningitis, pembunuhan dan bunuh diri. Dalam kepustakaan lain, hipoglikemia
jangka panjang disebut sebagai penyebab kematian otak.2
Patofisiologi
Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat tekanan
intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK meningkat
mendekati tekanan darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral (TPS) mendekati nol,
maka perfusi serebral akan terhenti dan kematian otak terjadi.
Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-rata sekitar
50 sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Untuk seluruh otak, yang kira-kira
beratnya 1200 – 1400 gram terdapat 700 sampai 840 ml/menit. Penghentian aliran darah ke
otak secara total akan menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 5 sampai 10 detik. Hal
4
ini dapat terjadi karena tidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang kemudian langsung
menghentikan sebagian metabolismenya. Aliran darah ke otak yang terhenti untuk tiga menit
dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat irreversibel.
Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik yang memberi pengaruh kuat terhadap
pengaturan aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut adalah konsentrasi karbon dioksida,
konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi oksigen. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida
maupun ion hidrogen akan meningkatkan aliran darah serebral, sedangkan penurunan
konsentrasi oksigen akan meningkatkan aliran.
Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena kurangnya aliran oksigen ke
otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur otak, baik itu secara reversible dan
ireversibel. Percobaan pada binatang menunjukkan aliran darah otak dikatakan kritis apabila
aliran darah otak 23/ml/100mg/menit (Normal 55 ml/100mg/menit). Jika dalam waktu
singkat aliran darah otak ditambahkan di atas 23 ml, maka kerusakan fungsi otak dapat
diperbaiki. Pengurangan aliran darah otak di bawah 8-9 ml/100 mg/menit akan menyebabkan
infark, tergantung lamanya. Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak di antara 8 dan 23
ml/100 mg/menit.
Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak regional tersumbat secara parsial,
maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena kekurangan oksigen. Daerah
tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah itu didapati: 1) tekanan perfusi yang rendah,
2) PO2 turun, 3) CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi dan kelola vasomotor dalam
daerah tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu dengan mengadakan
vasodilatasi maksimal.
Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa dihasilkan
vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapat diselamatkan dari kematian.
Tetapi pusat dari daerah iskemik tersebut tidak dapat teratasi oleh mekanisme autoregulasi
dan kelola vasomotor. Di situ akan berkembang proses degenerasi yang ireversibel. Semua
pembuluh darah dibagian pusat daerah iskemik itu kehilangan tonus, sehinga berada dalam
keadaan vasoparalisis. Keadaan ini masih bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos
pembuluh darah bisa bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapi sel-sel saraf
daerah iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel dengan pembengkakan serabut
saraf dan selubung mielinnya (udem serebri) merupakan reaksi degeneratif dini. Kemudian
disusul dengan diapedesis eritosit dan leukosit. Akhirnya sel-sel saraf akan musnah. Yang
5
pertama adalah gambaran yang sesuai dengan keadaan iskemik dan yang terakhir adalah
gambaran infark.
Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum. Hipoglikemia
jangka panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak. Berbagai mekanisme dikatakan terlibat
dalam patogenesisnya, termasuk pelepasan glutamat dan aktivasi reseptor glutamat neuron,
produksi spesies oksigen reaktif, pelepasan Zinc neuron, aktivasi poli (ADP-ribose)
polymerase dan transisi permeabilitas mitokondria.2,3
Kriteria Brain Death
Pada tahun 1979 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah coma de passé (koma
irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien koma dengan hilangnya kesadaran, refleks
batang otak, respirasi dan dengan hasil elektroensefalogram yang mendatar. Pada tahun 1968,
sebuah komite Ad hoc pada Fakultas Kedokteran Harvard meninjau kembali defenisi
kematian otak dan kemudian diartikan sebagai koma ireversibel atau kematian otak adalah
tidak adanya respon terhadap stimulus, tidak ada gerakan napas, tidak adanya refleks batang
otak dan koma yang penyebabnya sudah diketahui, kondisi tersebut menetap sekurang-
kurangnya 6 sampai 24 jam.
Pada tahun 1991 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan batang otak sebagai
komponen penting dari kerusakan otak yang berat. Konferensi perguruan tinggi Medical
Royal dan fakultas-fakultas yang ada di dalamnya di Kerajaan Inggris pada tahun 1996,
menerbitkan sebuah pernyataan mengenai diagnosis kematian otak dimana kematian otak
diartikan sebagai hilangnya fungsi batang otak secara lengkap dan ireversibel.
Pernyataan ini memberikan pedoman yang termasuk di dalamnya perbaikan dalam uji
apnea dan memusatkan perhatian pada batang otak sebagai pusat dari fungsi otak. Tanpa
batang otak ini, tidak ada kehidupan. Pada tahun 1981 komisi presiden untuk studi masalah
etik dalam kedokteran biomedis juga penelitian tentang perilaku menerbitkan pedomannya.
Dokumen tersebut merekomendasikan kegunaan tes konfirmasi untuk mengurangi durasi
waktu yang dibutuhkan untuk observasi dan merekomendasikan periode 24 jam bagi pasien
dengan gangguan anoksia dan kemudian menyingkirkan syok sebagai syarat untuk
menentukan kematian otak.
Akhir-akhir ini Akademi Neurologi Amerika memberikan kasus berdasarkan bukti
dan menyarankan adanya pemeriksaan-pemeriksaan dalam praktek. Laporan ini secara
spesifik mengarah kepada adanya peralatan-peralatan pemeriksaan klinis dan tes konfirmasi
validitas serta adanya deskripsi tentang uji apnea dalam praktek. Sehubungan dengan
6
dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun metode terstruktur suatu diagnosis, beragam
kriteria telah diterbitkan. Beberapa diantaranya:
1. Kriteria Harvard
Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan “Kriteria Harvard”, kunci
diagnosis tersebut adalah:
a. Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive coma).
b. Hilangnya kemampuan bernapas spontan.
c. Hilangnya refleks batang otakdan spinal.
d. Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.
e. EEG datar.
Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus disingkirkan. Kemudian,
temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurang-kurangnya 24 jam
kemudian.
2. Kriteria Minnesota
Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang disarankan mungkin
sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes dan Chou mengusulkan “Kriteria
Minnesota” untuk kematian otak. Yang dihilangkan dari kriteria ini adalah tidak
dimasukkannya refleks spinalis dan aktivitas EEG (elektroensefalograf dan masih
dipandang sebagai sebuah pilihan pemeriksaan untuk konfirmasi), elemen kunci
kriteria Minnesota adalah
a. Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.
b. Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi, hilangnya refleks
batuk, refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya doll’s eye movement, hilangnya
respon terhadap stimulus kalori dan hilangnya refleks tonus leher.
c. Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam, dan
d. Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki
Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah sebagai berikut: 1)
Hilangnya fungsi serebral, 2) hilangnya fungsi batang otak termasuk respirasi spontan, dan 3)
bersifat ireversibel. Hilangnya fungsi serebral ditandai dengan berkurangnya pergerakan
spontan dan berkurangnya respon motorik dan vokal terhadap seluruh rangsang visual,
pendengaran dan kutaneus. Refleks-refleks spinalis mungkin saja ada.
7
EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan banyak lembaga
kesehatan yang memerlukan pembuktian Electro Cerebral Silence (ECS), yang juga disebut
EEG datar atau isoelektrik. Dikatakan EEG datar apabila tidak ada perubahan potensial listrik
melebihi 2 mikroVolt selama dua kali 30 menit yang direkam setiap 6 jam. Perlu ditekankan
bahwa tidak adanya respon serebral dan EEG datar tidak selalu berarti kematian otak. Akan
tetapi, keduanya dapat terjadi dan bersifat reversible pada keadaan hipotermia dan intoksikasi
obat-obatan hipnotik-sedatif.
Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat reaksi pupil terhadap
cahaya, tidak terdapat refleks kornea, vertibulo-ocular, orofaringeal atau trakea. Tidak ada
respon deserebrasi terhadap stimulus noksius dan tidak ada pernapasan spontan. Untuk
kepentingan dalam praktek, apnea absolut dikatakan terjadi pada pasien, jika pasien tersebut
tidak melakukan usaha untuk menolak penggunaan alat respirasi setidaknya selama 15 menit.
Sebagai tes akhir, pasien dapat dilepaskan dari respirator lebih lama (beberapa menit) untuk
memastikan bahwa PCO2 arteri meningkat di atas ambang untuk merangsang pernapasan
spontan.
Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak hilang, maka
pemeriksaan harus diulang dalam waktu 6 jam untuk memastikan bahwa keadaan pasien
bersifat ireversibel. Jika riwayat dan pengamatan komprehensif yang sesuai terhadap
prosedur penggunaan obat-obatan tidak ada, maka observasi selama periode 72 jam mungkin
dibutuhkan untuk memperoleh reversibilitas walaupun jarang terjadi dalam praktek, studi
perfusi serebral menunjukkan terhentinya sirkulasi intrakranial secara sempurna
menyebabkan terjadinya kematian otak.1,3
Penetapan Diagnosis Brain Death
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan
pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks batang otak dan
tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Apabila temuan klinis yang sesuai dengan
kriteria kematian batang otak atau pemeriksaan konfirmatif yang mendukung diagnosis
kematian batang otak tidak dapat diperoleh, diagnosis kematian batang otak tidak dapat
ditegakkan.
8
Menegakkan diagnosis mati matang otak, meliputi tiga langkah, yaitu (1) evaluasi
etiologi dari cedera kepala berat dan mengekslusi penyebab reversible; (2) penemuan 3
temuan klinis mati otak; (3) konfirmasi test.
Tiga temuan klinis dalam kematian otak adalah koma atau tidak adanya respon,
absennya refleks batang otak, dan apnea.
1. Koma atau tidak adanya respon.
Tidak ada respon pada rangsangan nyeri, dengan stimulasi nyeri pada penekanan daerah
supraorbita, sternum dan dasar kuku.1,2
2. Absennya refleks batang otak.
a. Pupil
Pengujian terhadap refleks pupil dilakukan dengan menguji respon terhadap cahaya
yang terang. Kematian otak akan menunjukkan pupil yang berbentuk bulat, oval,
ataupun ireguler. Kebanyakan pupil pada pasien yang mengalami kematian otak akan
berada pada ukuran 4 hingga 6 mm, namun ukuran dapat bervariasi dari 4 hingga 9
mm. Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini adalah bahwa banyak obat dapat
mempengaruhi ukuran pupil. Pemberian obat topikal di mata dan trauma kornea atau
bulbus okuli dapat menyebabkan abnormalitas ukuran pupil dan menyebabkannya
menjadi non reaktif.2,4
b. Pergerakan okuler
Gerakan okuler akan absen setelah dilakukan gerakan memutar kepala dan tes
kalorik. Pengujian ini hanya dilaksanakan setelah dipastikan tidak ada fraktur atau
instabilitas dari servikal atau pada pasien dengan cedera kepala. Pergerakan okuler
dilihat dari dua reflex, yaitu reflex okulosefalik dan tes kalori.
Reflex okulosefalik dirangsang dengan menggerakkan kepala secara cepat dan
tegas dari posisi tengah ke posisi 90 derajat kiri dan kanan, pada orang normal akan
menghasilkan deviasi mata ke arah berlawanan dengan gerakan kepala. Pergerakan
mata vertikal juga diuji dengan melakukan fleksi leher. Pada kematian otak, tidak
akan ditemukan adanya pembukaan kelopak mata dan pergerakan mata vertikal dan
horizontal.2,4
Rangsangan kalori adalah suatu tes yang menggunakan perbedaan temperatur
untuk mendiagnosa adanya kerusakan saraf ke delapan. Jika terjadi kematian batang
otak, maka tidak akan muncul deviasi tonus dari mata sebagai resfleks terhadap
9
rangsangan yang diberikan. Posisi pasien tidur terlentang, dengan kepala fleksi 30º,
atau duduk dengan kepala ekstensi 60º. Tes ini terdiri dari dua cara, yaitu tes kalori
cara Kobrak dan tes kalori bitermal. Untuk penegakan diagnosis mati otak, yang
direkomendasikan adalah tes kalori kobrak.
Tes kalori cara kobrak menggunakan spuit 5 atau 10 mL, ujung jarum
disambung dengan kateter. Perangsangan dilakukan dengan mengalirkan air es (0ºC),
sebanyak 5 mL selama 20 detik ke dalam liang telinga.Sebagai akibatnya terjadi
transfer panas dari telinga dalam yang menimbulkan suatu arus konveksi dalam
endolimfe. Hal ini menyebabkan defleksi kupula dalam kanalis yang sebanding
dengan gravitasi, dan rangsangan serabut-serabut aferennya.Suatu cairan dingin yang
dialirkan ke liang telinga kanan akan menimbulkan nistagmus dengan fase lambat ke
kanan.1,3,5
Tes kalori bitermal ditemukan oleh Dick & Hallpike. Pada cara ini dipakai 2
macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 30ºC, sedangkan suhu air panas
adalah 44ºC. Volume air yang dialirkan ke dalam liang telinga masing-masing 250
mL, dalam waktu 40 detik .Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul.
Setelah liang telinga kiri diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan
air dingin juga kemudian telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga kanan. Pada
tiap-tiap selesai pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau air dingin atau air panas)
pasien diistirahatkan selama 5 menit. Tes kalori bitermal ini untuk melihat dan
membandingkan fungsi vestibuler.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan tes kalori adalah adanya
obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan respon kalorik, yakni sedatif,
aminoglikosida, antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, dan agen
kemoterapi. Setelah cedera kepala atau trauma fasial, edema kelopak mata atau
kemosis konjungtiva dapat menghambat pergerakan bola mata. Bekuan darah atau
serumen dapat juga mengurangi respon kalorik, dan uji dilakukan ulang setelah
pemeriksaan inspeksi langsung tympanum. Fraktur basal dari tulang petrosus dapat
menghilangkan respon kalorik secara unilateral dan dapat diidentifikasi dengan
prosesus mastoideus yang ekimosis.
c. Sensasi fasial dan respon motor fasial
Refleks kornea harus diuji dengan swab tenggorok. Refleks kornea dan refleks
rahang harus negatif. Wajah yang mengernyit saat diberikan rangsang nyeri dapat
10
diuji dengan memberikan tekanan dalam dengan obyek tumpul pada dasar kuku,
tekanan pada daerah supraorbita, atau tekanan yang dalam pada kedua kondilus
setinggi sendi temporomandibuler.Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini
adalah adanya trauma fasial yang berat sehingga dapat mengganggu interpretasi
refleks batang otak.
d. Refleks faring dan trakhea
Respon tersedak, yang diuji dengan merangsang faring posterior dengan laringoskop,
harus absen. Tidak adanya refleks batuk pada suction bronkhial juga harus tampak.
Dalam pemeriksaan ini, harus diperhatikan bahwa pada apsien yang diintubasi secara
oral, respon tersedak mungkin sulit untuk diamati.
Gambar 1. Pemeriksaan reflex batang otak.1
Manifestasi berikut terkadang tampak dan tidak boleh diinterpretasikan sebagai bukti fungsi
batang otak:
Gerakan spontan ekstremitas selain dari respon fleksi atau ekstensi patologis
Gerakan mirip bernafas (elevasi dan aduksi bahu, lengkungan punggung, ekspansi
interkosta tanpa volume tidal yang bermakna)
Berkeringat, kemerahan, takikardi
Tekanan darah normal tanpa dukungan farmakologis, atau peningkatan mendadak
tekanan darah
Tidak-adanya diabetes insipidus
11
Refleks tendo dalam, refleks abdominal superfisial, respon fleksi triple
Refleks babinski
3. Apnea
Pada uji apnea, harus diperhatikan beberapa kondisi sebelum dilakukannya pengujian.
Persyaratan-persyaratan berikut ini harus diperhatikan:
a. suhu inti ≥ 36,5o C
b. tekanan darah sistolik ≥ 90 mm Hg,
c. euvolemia (atau lebih baik apabila balans cairan positif selama 6 jam sebelum
pemeriksaan),
d. eukapnea (atau apabila PCO2 arteri ≥ 40 mm Hg), dan
e. normoksemia (atau apabila PO2 arteri ≥ 200 mm Hg).
Tahapan-tahapan dalam melakukan tes apnea adalah sebagai berikut:
a. Kondisi awal pasien adalah menggunakan ventilator, maka pasang oksimetri, pre-
oksigenasi dan observasi hingga syarat-syarat terpenuhi
Pre-oksigenasi bertujuan untuk mencapai PO2 arteri ≥ 200 mm Hg
Pre-oksigenasi bertujuan untuk mengeliminasi tumpukan nitrogen, akselerasi
transport oksigen, dan mengurangi resiko hipoksik akibat dilakukannya tes
apnea.
Pre-oksigenasi dilakukan selama 30 menit atau sampai saat syarat terpenuhi (PO2
arteri arteri ≥ 200 mm Hg)
b. Lepas ventilator
c. Pasang nasal kanul setinggi karina dan berikan O2 100% 6-8lpm
d. Selama proses pemberian O2 6-8lpm melalui nasal kanul, amati dengan seksama
pergerakan respirasi.
e. Setelah pemberian O2 6-8 lpm melalui nasal kanul selama 8-10 menit, pasang
kembali oxymetri untuk mengukur PO2 dan PCO2. Lalu hubungkan kembali dengan
ventilator.
f. Bila saat tes apnea tekanan darah sistolik menjadi ≤90 mm Hg, atau oksimeter pulsa
menunjukkan desaturasi, atau terjadi aritmia kardia, segera ambil sampel darah, dan
lakukan analisa gas darah arteri. Pasien pun segera di hubungkan kembali dengan
ventilator tanpa harus menunggu 8-10 menit untuk meminimalisir terjadinya
komplikasi tes apnea.
Interpretasi hasil tes apnea adalah:
12
Tes apnea disebut positif jika tidak ada pergerakan respirasi dan kadar PCO2
arteri ≥60mmHg (atau terjadi peningkatan PCO2 ≥20mmHg dari PCO2 awal
untuk penderita dengan riwayat hiperkarbia).
Tes apnea disebut negatif bila teramati adanya gerakan respirasi.
Tes apnea disebut indeterminan apabila saat proses pemberian O2 kanul terjadi
aritmia atau hipotensi dan hasil BGA menunjukkan PCO2 < 60 mm Hg, atau
peningkatannya < 20 mm Hg. Pada hasil ini diperlukan tes konfirmasi untuk
diagnosis mati batang otak.
Bila tidak ada pergerakan respirasi, PCO2 kurang dari 60 mm Hg, dan tidak ada
aritmia kardia atau hipotensi signifikan, tes dapat diulang 10 menit kemudian
Komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukannya tes apnea adalah:
Asidosis (63%)
Hipotensi (24%)
Aritmia kardiak (3%).1
Gambar 2. Tes Apnea.1
Tes Konfirmasi
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan
pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks batang otak dan
tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Beberapa pasien dengan kondisi tertentu
13
seperti cedera servikal atau kranium, instabilitas kardiovaskular, atau faktor lain yang
menyulitkan dilakukannya pemeriksaan klinis untuk menegakkan diagnosis kematian batang
otak, perlu dilakukan tes konfirmatif.
Tes tambahan untuk konfirmasi kematian otak harus memenuhi kriteria berikut:
a. Tidak boleh ada positif palsu, sehingga saat tes mengkonfirmasi adanya kematian
otak, maka tidak boleh ada pasien yang sembuh atau memiliki potensi untuk
sembuh.
b. Tes harus dapat berdiri sendiri dalam menegakkan apakah kematian otak benar-
benar terjadi atau tidak.
c. Tes tidak boleh dipengaruhi faktor yang dapat menyesatkan seperti efek obat atau
gangguan metabolik.
d. Tes harus distandarisasi dalam hal teknologi, teknik, dan klasifikasi hasilnya.
e. Tes harus dapat diperoleh secara umum, aman, dan dengan mudah dilakukan.
Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis kematian batang otak,
sedemikian rupa sehingga hasil diagnosis tidak dapat dibuat dengan pasti hanya berdasarkan
pada alasan klinis sendiri. Pada keadaan ini pemeriksaan konfirmatif direkomendasikan:
a. Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat
b. Kelainan pupil sebelumnya
c. Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik,
antikolinergik, obat antiepilepsi, agen kemoterapi, atau agen blokade
neuromuskular
d. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang mengakibatkan retensi kronis CO2
Pemilihan tes konfirmatif yang akan dilakukan sangat tergantung pada pertimbangan
praktis, mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan kerugian yang mungkin terjadi. Beberapa
tes konfirmatif yang biasa dilakukan antara lain:
a. Tes-tes tambahan yang ada saat ini terutama meliputi tes elektrofisiologis
(elektroensefalografi, potensial pacuan somatosensorik dan potensial pacuan
pendengaran batang otak, dan respon pacuan motorik),
b. Tes aliran darah otak (angiografi serebri empat vasa, tes kedokteran nuklir aliran
darah otak, Doppler transkranial, MRI, angiografi resonansi magnetik, dan
pemeriksaan CT),
14
c. Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan metabolisme, pemeriksaan oksigen vena
jugularis, dan tes atropin.
Saat dilakukan secara kontinyu, pemantauan elektroensefalografi dapat menunjukkan
supresi tegangan secara umum, yang dapat menunjukkan pada klinisi adanya kematian otak.
Namun, EEG telalu anatomis, dan terbatas secara fisilogis. EEG merekam aktivitas hanya
dari lapisan korteks yan berada tepat di bawah kulit kepala dan tidak merekam dari struktur
subkorteks, seperti batang otak atau thalamus, dan hanya memberikan cakupan yang terbatas
dari permukaan cembung otak besar. Lebih jauh lagi, tidak semua frekuensi EEG tertangkap
sehingga dapat memberikan hasil datar atau isoelektrik saat ada neuron yang masih hidup di
batang otak atau tempat lain. Hanya ada sedikit penelitian yang menguji validitas dari EEG
dalam kaitannya dengan kematian otak. EEG juga memiliki kelemahan, dimana dapat terjadi
gangguan dari faktor-faktor yang dapat menyesatkan, seperti terjadinya gambaran yang datar
atau isoelektris saat terjadi overdosis barbiturat atau anestesi yang dalam, dimana keduanya
merupakan kondisi yang reversibel. Sehingga, pada tes EEG dapat terjadi positif palsu
maupun negatif palsu, membuat EEG menjadi suatu tes yang jauh dari ideal untuk penentuan
kematian otak.
Saat diperlukan konfirmasi untuk penentuan kematian otak, tes aliran darah ke otak
dianggap lebih tepat. Tes yang menunjukkan absennya aliran darah ke otak umumnya
diterima sebagai penegakan kematian otak yang memiliki kepastian, karena konsep bahwa
apabila otak tidak mendapatkan suplai darah selama periode waktu tertentu akan mati sudah
diyakini secara luas. Tentunya kondisi hipotermia dan hipotensi transien yang reversibel
harus disingkirkan. Kematian otak dapat disertai dengan baik edema jaringan ataupun efek
massa yang menyebabkan tekanan intrakranial menjadi sama atau lebih dari tekanan darah
sistolik dan tekanan darah arteri rata-rata. Konsekuensinya, darah tidak memasuki
kompartemen intrakranial, atau hanya memasuki selama sistol, mengakibatkan tidak
terjadinya perfusi ke jaringan otak, sehingga menyebabkan kematian sel neuron dan glia otak,
tes aliran darah otak memberikan metode yang dapat diterima dan dapat berdiri sendiri dalam
menegakkan kematian otak. Tes tersebut tidak disesatkan oleh obat, gangguan metabolik,
atau hipotermia. Syarat sebelumnya adalah bahwa tekanan darah sistemik harus adekuat,
dimana pasien tidak dalam kondisi syok. Tes aliran darah otak meliputi angiografi empat vasa
(karotis dan vertebral), TCD, MRI, dan MRA, angiografi CT, dan tes kedokteran nuklir. Tes
yang lebih akurat untuk perfusi lebih dipilih, yakni angiografi dan CT emisi foton tunggal
(SPECT), dibandingkan dengan pencitraan sirkulasi otak dua dimensi.
15
Tes perfusi jarang memberikan hasil negatif palsu, dimana ditemukan perfusi struktur
arteri atau vena pada pasien yang telah dikonfirmasi mengalami kematian otak secara
patologis dan klinis. Ini terutama terjadi pada kondisi dimana tekanan intrakranial menurun
akibat mekanisme dekompresi, seperti kraniektomi dekompresif, fraktur tengkorak, pintasan
ventrikuler atau anak dengan tengkorak yang masih rapuh. Negatif palsu tersebut jarang
terjadi. Harus diingat bahwa adanya aliran darah tidak serta merta mengeksklusi
kemungkinan kematian otak. Harus diingat bahwa dalam melakukan tes konfirmasi kematian
otak, negatif palsu tidak lebih bermasalah daripada positif palsu, karena lebih berbahaya
apabila seseorang secara keliru dinyatakan mengalami kematian otak daripada bila seseorang
dinyatakan tidak mati otak padahal sesungguhnya telah terjadi kematian otak.1,2
Tes yang menjadi standar emas tes konfirmasi kematian otak adalah angiografi
serebral empat vasa. Tes ini invasive dan harus dilakukan dengan memndahkan pasien ke
departemen radiologi. Absennya pengisian darah intrakranial dari arteri karotis interna atau
vertebra harus didahului oleh tekanan intrakranial yang melebihi tekanan darah arteri rata-
rata.1,2
New York State Department of Health (2005) menyebutkan langkah-langkah yang
diperlukan dalam penetapan kematian batang otak adalah sebagai berikut:
a. Evaluasi kasus koma
b. Memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi terkini pasien
c. Penilaian klinis awal refleks batang otak
d. Periode interval observasi
1. sampai dengan usia 2 bulan, periode interval observasi 48 jam
2. usia lebih dari 2 bulan sampai dengan 1 tahun, periode interval observasi 24 jam
3. usia lebih dari 1 tahun sampai dengan kurang dari 18 tahun, periode interval
observasi 12 jam
4. usia 18 tahun ke atas, periode interval observasi berkisar 6 jam
e. Penilaian klinis ulang refleks batang otak
f. Tes apnea
g. Pemeriksaan konfirmatif bila ada indikasi
h. Persiapan akomodasi yang sesuai
i. Sertifikasi kematian batang otak
j. Penghentian penyokong kardiorespirasi
16
Diferensial Diagnosis
Status vegetative menetap ( Persistent Vegetative States ) . Keadaan ini berbeda dengan
mati otak. Fungsi batang otak masih baik. Pada PVS yang diperkirakan hilang adalah fungsi
neokortikal dari otak. Pasien masih dapat bernafas spontan dan reflex-reflex masih ada.
Pasien tidak sadarkan diri dengan mata terbuka dan pupil melebar. Pada PVS kriteria
Harvard tidak terpenuhi. Pasien PVS masih hidup secara biologis, tetapi secara intelektual
dan sosial sudah mati. Kemungkinan pulih ke keadaan normal sangat sulit, hanya satu
banding seribu.3
Tindakan terhadap Pasien Mati Otak
Tidak ada lagi yang dapat dilakukan pada pasien dengan mati otak. Pasien dengan
mati otak adalah manusia yang sudah mati, Brain death is death. Mati adalah kematian
batang otak, sekalipun elektrokardiografi masih menunjukkan ritme normal. Jika semua
kriteria mati otak sudah terpenuhi, maka ventilator dan alat pendukung hidup lainnya dapat
dilepas. Dengan begitu, dokter dan rumah sakit tidak dituntut melakukan pembunuhan. Untuk
negara dengan tindakan transpalntasi yang telah berkembang pesat, diagnosis mati otak
diusahakan secepat mungkin agar organ yang ada pada pasien tersebut dapat digunakan untuk
keperluan transplantasi calon resepien.3
Kesimpulan
Berbagai teknik yang ditemukan untuk mempertahankan detak jantung dan pernapasan
walaupun pasien telah mati telah memunculkan persepsi baru tentang definisi kematian
sebagai hilangnya fungsi otak dan bukan fungsi jantung dan paru, dimana kematian dapat
ditentukan berdasarkan kriteria neurologis.
Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Kematian otak
didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang otak.
Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan
apnea. Pada pasien, perlu diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi. Karena umumnya
mati otak disebabkan oleh cedera kepala berat, maka perlu ditemukan kondisi cedera otak
berat yang konsisten dengan proses terjadinya kematian otak, tidak bernafas secara spontan,
dan hasil yang negatif pada pemeriksaan refleks-refleks batang otak. Saat ini masih banyak
kontroversi berkaitan dengan penentuan kematian otak, karena masih kurangnya literatur atau
panduan yang berbasis bukti.
17
Daftar Pustaka
1. Satyanegara, Hasan RY, Abubakar S, Maulana AJ, Sufarnap E, Benhadi I, et al. Kematian
otak. Dalam: Satyanegara, Hasan RY, Abubakar S, Maulana AJ, Sufarnap E, Benhadi I, et al .
Ilmu bedah saraf satyanegara. Edisi ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2010.h.183-238.
2. Adams RD, Victor M. Brain death. Dalam: Adams RD, Victor M. Principles of neurology.
Edisi ke-3. New York: McGraw-Hill Book Company; 2003.h.258-9.
3. Brust JC. Brain death. Dalam: Brust JC. Current diagnosis & treatment in neurology. New
York : Mc-GrawHill; 2007.h.29-34.
4. Clarke C, et al. Neurology : a queen squre textbook. Edisi ke-1. United Kingdom: Blackwell-
Publishing Ltd, 2009.h.735.
5. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topik neurologi DUUS anatomi, fisiologi, tanda, gejala.
Edisi ke-4. Jakarta: EGC, 2010.h.362-9.
18