pain medicine & management

21
34. NYERI SENTRAL OTAK: CIDERA ISKEMIK Deskripsi Masalah Kebanyakan nyeri pasca stroke sentral (CPSP) terjai setela! stroke ta tapi ciera i aera! otak lainnya apat "eni"b$lkan nyeri kronis ter" ciera paa korteks (li!at %a"bar &' an &' *+) Dia,noiss CPSP ite,akkan setela! terienti-ikasinya lesi i otak yan, tere-inisi yan, seirin, en,an ,ejala nyeri k!as an b$kan "er$pakan ari penyakit peri-er+ Daera! yan, nyeri kaan, "e.akili seba,ian kecil aera! t$b$!# tapi biasanya l$as# tanpa"e"pe$likan istrib$si skleroto"# er"ato" an "ioto"+ CPSP serin,nya bersi-at ire/ersibel an pili!an terapi e-ekti-nya "ais! terbatas+ Tiak aa k$alitas nyeri yan, pato,no"onik $nt$k nyeri sentral# tapi r terbakar an sakit yan, konstan "er$pakan eskripsi $"$" yan, berca"p$ en,an sensasi taja"0"en$s$k yan, ak$t an ber$lan, (li!at Tabel &' ) Intensitas nyeri biasanya tiak ekstri" tapi l$"ayan "enjen,kel "en,,an,,$+ Patofisiologi Nyeri Seba,ian besar peneliti set$j$ ba!.a CPSP sentral isebabkan ole! ,an, siste" so"atosensoris+ 1yeri sentral tiak bebas ari kelainan i -$n,si otot# koorinasi# pa penen,aran# -$n,si /estib$ler an -$n,si kortikal yan, lebi! tin,,i+ %ejala nonsensoris tiak iperl$kan $nt$k berke"ban,nya nyeri sentral+ D$a "ekanis"e yan, palin, banyak iseb$t $nt$k per$ba!an per$ba sensoris ini aala! !ipotesis akti/itas ektopik an per$ba!an ne$ropla !ipotesis reor,anisasi sinaptik+ o Mekanis"e akti/itas ektopik "elip$ti pelepasan spontan ne$ron yan, ter!$b$n, en,an pe"rosesan in-or"asi so"atosensoris+ Seba,ai akiba

Upload: asih-novea-krediastuti

Post on 05-Oct-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pain management anesthesiology

TRANSCRIPT

34. NYERI SENTRAL

OTAK: CIDERA ISKEMIK

Deskripsi Masalah Kebanyakan nyeri pasca stroke sentral (CPSP) terjadi setelah stroke talamik, tapi cidera di daerah otak lainnya dapat menimbulkan nyeri kronis termasuk cidera pada korteks (lihat Gambar 34-1 dan 34-2.) Diagnoiss CPSP ditegakkan setelah teridentifikasinya lesi di otak yang terdefinisi yang seiring dengan gejala nyeri khas dan bukan merupakan hasil dari penyakit perifer. Daerah yang nyeri kadang mewakili sebagian kecil daerah tubuh, tapi biasanya luas, tanpa mempedulikan distribusi sklerotom, dermatom dan miotom. CPSP seringnya bersifat ireversibel dan pilihan terapi efektifnya maish terbatas. Tidak ada kualitas nyeri yang patognomonik untuk nyeri sentral, tapi rasa terbakar dan sakit yang konstan merupakan deskripsi umum yang bercampur dengan sensasi tajam/menusuk yang akut dan berulang (lihat Tabel 34-1). Intensitas nyeri biasanya tidak ekstrim tapi lumayan menjengkelkan dan mengganggu.

Patofisiologi Nyeri Sebagian besar peneliti setuju bahwa CPSP sentral disebabkan oleh gangguan sistem somatosensoris. Nyeri sentral tidak bebas dari kelainan di fungsi otot, koordinasi, pandangan, pendengaran, fungsi vestibuler dan fungsi kortikal yang lebih tinggi. Gejala nonsensoris tidak diperlukan untuk berkembangnya nyeri sentral. Dua mekanisme yang paling banyak disebut untuk perubahan-perubahan sensoris ini adalah hipotesis aktivitas ektopik dan perubahan neuroplastik, hipotesis reorganisasi sinaptik. Mekanisme aktivitas ektopik meliputi pelepasan spontan neuron yang terhubung dengan pemrosesan informasi somatosensoris. Sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara input neuronal sensoris dan hubungan sinaptik yang terganggu, pasien merasakan ketidaknyamanan. Perubahan neuroplastik dan hipersensitivitas menyatakan bahwa perubahan ini terjadi selama dan setelah cidera saraf pada sistem somatosensoris yang berujung pada aktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) melalui asam amino eksitatoris.

SKLEROSIS MULTIPELDeskripsi Masalah Bagian tubuh yang terlibat dalam nyeri yang sedang berlangsung nantinya secara virtual selalu menampilkan kelainan sensoris termal seringnya dengan alodinia taktil atau dingin. Nyeri kronis pada pasien sklerosis multipel sangat sering ditemui dan dipercaya berasal dari sistem saraf pusat. Diperkirakan bahwa setidaknya 25% semua pasien dengan sklerosis multipel menderita nyeri sentral Seperti sindrom nyeri sentral lainnya, pasien mengeluhkan berbagai gejala dan bagian tubuh yang berbeda. Kualitas nyerinya meliputi: rasa sakit, rasa terbakar, rasa teriris, sensasi seperti kram, rasa tusukan dan lain-lain. Gejalanya bisa disebut sebagai gejala yang dalam, superfisil atau kombinasi keduanya. Gejala ini bisa intermiten tapi kasus lain yang lebih parah bisa persisten. Lokasi nyeri bisa bervariasi, tapi umumnya pasien melaporkan adanya gejala di ekstremitas bawah dan melibatkan berbagai bagian tubuh dari ekstremitas atas dan bawah distribusi nyeri di tulang belakang juga. Neuralgia trigeminal juga merupakan tampilan klinis pada pasien dengan sklerosis multipel. Patofisiologi Nyeri Diagnosis nyeri sentral pada sklerosis multipel sebagian berdasarkan pada eksklusi dan sebagian pada kriteria spesifik (sebagaimana didefinisikan oleh Boivie). Nyeri sentral nontrigeminal dan durasi nyeri yang lebih dari 6 bulan dan tidak ada penyebab lain yang diketahui atau yang diduga menjadi penyebab nyeri Dikombinasikan dengan kriteria diagnostik untuk sklerosis multipel seperti pemerikasaan radiologi yang menunjukkan adanya lesi dan demielinasi pada sistem saraf pusat (lihat Gambar 34-3) Pasien bisa mengalami serangkaian gangguan neurologi tapi belum ada bukti yang mendukung bahwa keparahan gejala neuromuskuler berhubungan dengan intensitas dan insidensi nyeri Plak yang mengalami demielinasi dan merupakan ciri khas sklerosis multipel bisa terjadi di sepanjang sistem saraf usat dan sering juga ditemukan pada medulla spinalis Nyeri sentral sklerosis multipel diduga merupakan dampak dari gangguan sinyal dalam jalur lintas talamik spinal Lesi yang ditemukan pada pasien sklerosis multipel diduga merupakan sumber dari nyeri yang sedang berlangsung sehingga menimbulkan ketidakseimbangan dan modulasi neuronal informasi sensoris, khususnya di bagian yang melbatkan nyeri dan/atau keterlibatan muatan abnormal dari serat sensoris dan jalur yang berasal dari sistem saraf pusat.

MEDULLA SPINALIS

CIDERA ISKEMIK TRAUMATIK

Deskripsi Masalah Sensasi nyeri merupakan sekuel paraplegi dan kuadriplegi akibat dari cidera medula spinalis, sering terjadi dan bersifat mengganggu. Insidensi nyeri dalam populasi ini dilaporkan sebesar 96%.. Nyeri berat yang melumpuhkan hanya ditemukan pada sebagian kecil pasien tapi nyeri ini sering resisten terhadap bermacam-macam intervensi terapetik. Sejumlah skema klasifikasi untuk tipe-tipe sindrom nyeri berbeda telah dibuat selama bertahun-tahun. Umunya, skema ini membagi sindrom menjadi kategori-kategori yang berhubungan dengan gejala yang terjadi pada tingkat cidera di bawah cidera medula spinalis dan akibat dari perubahan patologi yang terjadi setelah trauma. Dari sindrom-sindrom ini, sejauh ini nyeri disestetik sentral yang paling sulit ditangani. Sindrom nyeri disestetik didefinisikan sebagai timbulnya nyeri kaudal dari tempat cidera selama periode berapa pun setidaknya 4 minggu pasca cidera dengan presentasi nyeri awal yang muncul pada tahun pertama. Prevalensi nyeri disestetik paling besar pada pasien dngan kuadriplegi inkomplit, dengan sensasi nyeri yang umumnya dirasakan di ekstremitas bawah dan trunk posterior di bawah zona cidera. Dengan menggunakan kuesioner nyeri McGill, deskriptor sensasi yang paling sering digunakan meliputi: sensasi nyeri seperti dipotong, dibakar, ditusuk, merambat, berat dan persisten.

Patofisiologi Nyeri Hipotesis fisiologi mengenai perubahan kondisi neurologis ini masih belum seberapa berubaha selama 40 tahun terakhir. Mekanisme-mekanisme ini meliputi: Hilangnya keseimbangan antara kanal sensoris yang berbeda Hilangnya mekanisme inhibisi spinal Adanya generator pola di dalam saraf tulang belakang yang terkena Intinya adalah bahwa sejumlah elektrofisiologi abnormal dan kelainan neurokimia tampak berperan pada tiap pasien. Bermacam-macam sensasi abnormal mungkin saja terjadi, beberapa berespon terhadap terapi tertentu, tapi banyak lainnya yang resisten (lihat Tabel 34-1)

LESI MEDULA SPINALIS/SYRINGOMYELIA

Deskripsi Masalah Syringomyelia adalah salah satu dari beberapa lesi medula spinalis yang sering menimbulkan nyeri sentral Tandanya adalah berkembangnya kista postraumatik yang meluas dengan peningkatan tingkat motoris dan sensoris, peningkatan gangguan motoris, berkembangnya nyeri baru. Insidensi syringomyelia bervariasi antara 1 dan 3,2% menggunakan kriteria klnis pada jaman sebelum ada MRI dan ketika sudah ada MRI meningkat menjadi 59%. Kelainan ini bisa memakan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun untuk berkembang dan demikian adalah komplikasi lambat yang khas pada cidera spinal. Pasien dengan masalah ini biasanya mengeluhkan sakit dan nyeri terbakar setingkat lesi, kadang-kadang meluas ke atas atau ke bawah tingkat lesi. Penilaian fungsi motoris dan sensoris digabung pemeriksaan MRI akan membantu penegakan diagnosis. Peningkatan intensitas nyeri yang kontinyus merupakan perjalanan nyeri alami yang berhubungan dengan syringomyelia. Intervensi bedah untuk mendekompresi kista bisa saja tidak mengurangi nyeri.

Patofisiologi Nyeri Terlepas dari banyaknya hipotesis, patofisiologi syringomyelia masih belum begitu dipahami. Penemuan teknik MRI sangat memfasilitasi penegakan diagnosis penyakit ini. Nyeri yang timbul diduga berhubungan dengan gangguan aparatus somatosensoris spinal dan seluruh gangguan neurofisiologi juga terlibat di dalamnya.

PENDEKATAN TERHADAP TERAPI SINDROM NYERI SENTRAL

TERAPI ANTIKONVULSAN

Obat-obatan antikonvulsan menjadi pilihan utama dalam manajemen sindrom nyeri neuropati secara umum. Dengan pengecualian gabapentin, sebagian besar obat antikonvulsan diduga mengurangi gejala nyeri neuropati melalui blokade kanal natrium. Obat kejang terbaru memiliki profil efek samping yang lebih baik dibandingkan obat generasi yang lebih tua dan juga memiliki tingkat analgesi yang serupa. Nantinya pasien akan semakin memerlukan dosis obat yang lebih tinggi dari yang biasanya diperlukan demi mengurangi nyeri. Obat-obatan seperti gabapentin, lamotrogine dan topimarate merupakan contoh obat yang berujung pada meningkatnya penggunaan antikonvulsan untuk nyeri cidera saraf. Obat generasi tua seperti carbamazepine, phenitoin dan asam valproat memang masih digunakan, tapi biasanya sebagai alternatif lini kedua dan ketiga. Sayangnya, tidak ada studi kontrol pada banyaknya penggunaan obat ini setelah cidera medula spinalis dan pada sinfrom nyeri sentral lainnya, tapi buktinya kuat bahwa nyeri cidera saraf responsif terhadap terapi ini. Tidak ada rasional yang jelas untuk memilih antara satu obat dan yang lainnya sebagai terapi awal, tapi gabapenting telah menjadi antikonvulsan pilihan lini depan dalam banyak praktek kedokteran di seluruh dunia.

OBAT-OBAT ANTIDEPRESAN Sebelum ditemukannya obat-obat antikonvulsan generasi kedua, obat-obat antidepresan trisiklik merupakan lini terdepan terapi nonopioid untuk mengendalikan nyeri sentral. Jarang sekali ada pasien dengan sindrom nyeri sentral atau gejala nyeri neuropati perifer yang teratasi dengan satu agen saja. Polifarmasi merupakan metode yang dianut dan obat-obatan antidepresan harus disertakan dalam regimen. Sejajar dengan antikonvulsan, antidepresan yang lebih baru dengan efek samping yang lebih sedikit memang telah dipasarkan, tapi laporan mengenai potensi analgesik yang setara atau lebih bagus dibanding obat lama masih belum begitu jelas. Sehingga, amitriptilin, nortriptilin dan desiprimin tetap menjadi obat yang paling diresepkan untuk mengatasi nyeri sentral. Agen-agen ini diduga memodulasi jalur somatosensoris dengan menguatkan menurunan sistem inhibitoris. Beberapa pasien juga bisa mendapat manfaat dari efek perubah mood positif yang ditemukan pada rentang dosis yang lebih tinggi.

OBAT-OBAT ANTIARITMIA Agen antiaritmia anestesi oral telah terbukti efektif dalam mengatasi lesi nyeri neuropati dalam berbagai studi kontrol, tapi obat-obat ini, misal mexiletine, tidak ditoleransi dengan begitu bagus dan dapat bersifat proaritmia pada populasi tertentu. Mexiletine sebaiknya menjadi pilihan ketiga atau keempat dalam mengembangkan strategi terapi.

OPIOID Ada banyak kontroversi mengenai penggunaan analgesik opioid untuk manajemen kronis sindrom nyeri neuropati. Sindrom nyeri sentral cenderung refraktoris dan memerlukan dosis yang lebih tinggi untuk mengurangi nyeri, dan opioid juga demikian. Sejumlah studi telah menunjukkan efektifitas opioid dalam mengatasi sindrom nyeri neuropati, tapi masih sedikit studi sistematisnya. Obat-obatan opioid bila dibandingkan dengan terapi lainnya, termasuk pendekatan nonfarmakologi, mendapatkan kepuasan tertinggi diantara pasien sklerosis multipel. Opioid memiliki beberapa tempat analgesik potensial di medula spinalis dan di otak dari sistem saraf pusat. Keputusan terapi mengenai pemakaian opioid adalah, untuk sebagian besar kasus, berdasarkan laporan kasus dan pengalaman klinis, tapi konsensus diantara spesialis manajemen nyeri menunjukkan bahwa sah-sah saja menggunakan kelas medikasi ini untuk secara kronis menangani nyeri sentral. Penting untuk diingat bahwa pasien dengan sindrom nyeri sentral cenderung menunjukkan resistensi yang lebih besar terhadap terapi analgesik jika dibandingkan dengan pasien neuropati perifer. Opioid merupakan obat yang paling sering digunakan pada pasien sklerosis multipel.

STIMULASI LISTRIK

Stimulasi Saraf Listrik Transkutan (TENS) Terapi stimulasi saraf telah lama dipelajari untuk pasien dengan nyeri akibat cidera medula spinalis. Unit TENS, transcutaneous electrical nerve stimulation, terbukti efektif pada pasien yang mengalami nyeri di tingkat cidera. Teknik ini kurang efektif jika di bawah tempat cidera. Kesimpulan ini berdasarkan laporan anekdot dalam serial kasus kecil, tapi terapi ini lumayan mahal dan tidak berhubungan dengan risiko signifikan apapun pada pasien dalam penelitian.

Stimulasi Kolom Dorsal (Dorsal Column Stimulation) Stimulator medula spinalis yang tertanam telah digunakan dengan baik. Data yang dipublikasikan menyebutkan bahwa pendekatan ini mungkin tidak diindikasikan karena hasilnya hingga saat ini masih mengecewakan. Diperlukan penelitian lebih lanjut.

TERAPI ANALGESIK INTRATEKAL

Infus obat-obatan intratekal secara terus menerus digunakan dalam kasus-kasus tertentu, khususnya nyeri sentral akibat cidera medula spinalis yang dibuat. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memvalidasi manfaatnya. Ada beberapa studi yang dipublikasikan dan menunjukkan penurunan akut gejala setelah pemberian morfin dan klonidin. Klonidin yang paling bermanfaat ketika spasme yang dibarengi dengan gejala yant timbul nyeri.

ANTAGONIS RESEPTOR NMDA

Blokade reseptor dan sistem secondary messenger ini dapat mencegah dan membalikkan kondisi hipersensitifitas pada sediaan binatang Meski tidak seberhasil antikonvulsan, agen yang memiliki efek blokade reseptor NMDA telah digunakan secara klinis dengan sedikit keberhasilan.

DORSAL ROOT ENTRY ZONE LESIONING

Terapi operasi untuk lesi medula spinalis telah banyak digunakan selama bertahun-tahun. Teknik Dorsal Root Entry Zone (DREZ) lesioning adalah yang paling sering Hingga saat ini, prosedur ini masih belum terbukti efektif dan sebaiknya tidak dipertimbangkan hingga pendekatan lainnya telah digunakan.

GAMMA KNIFE RADIAL SURGERY

Untuk kasus-kasus berat, beberapa institusi menggunakan gamma kinfe radial surgery (GKS) untuk menangani neuralgia trigeminal terkait sklerosis multipel. Jika berhasil, teknik ini mungkin akan diperluas ke gangguan nyeri sentral lainnya.

PENDEKATAN ALTERNATIF LAIN UNTUK TERAPI

Sejumlah terapi alternatif telah dipelajari untuk pasien seperti ini seperti akupuntur, masase, relaksasi dan teknik chiropractic. Karena terapi tradisional belum terbukti efektif untuk sebagian besar pasien dengan gangguan nyeri sentral yang berat, sejumlah signifikan pasien mencari pendekatan alternatif untuk meredakan gejalanya. Cannabinoid merupakan sebagian dari agen-agen yang sedang diperiksa untuk menanggulangi penyakit yang sulit dan mengganggu ini. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui manfaat terapi.

35. SINDROM NYERI REGIONAL KOMPLEKS

RIWAYAT

Pada tahun 1864, Dr. Silas Mitchell dan rekannya mendiskripsikan sindrom nyeri kronis dengan nyeri seperti terbakar yang berat dan karena cidera pada saraf perifer akibat luka tembak yang didapat ketika Perang Sipil. Mitchell menjelaskan apa yang sekarang kita ketahui sebagai chronic regional pain syndrome (CRPS) Tipe II, causalgia atau nyeri terbakar. Rene Leriche, seorang dokter bedah Prancis, kemudian menghubungkan sistem saraf simaptetik pada causalgia setelah mengetahui bahwa simpatektomi meredakan rasa nyeri pada banyak pasiennya. Istilah reflex sympathetic dystrophy, atau CRPS Tipe I digunakan untuk sindrom yang serupa dengan causalgia namun tidak ada lesi saraf yang spesifik. Namun, Reflex sympathetic dystrophy (RSD) merupakan istilah yang kurang pas karena RSD merupakan mekanisme refleks yang berhubungan dengan sistem saraf simpatetik (SNS) yang hiperaktif dan percobaan pada binatang menunjukkan bahwa neuromodulasi yang berubah, hipereksitabilitas saraf dan sensitisasi sentral juga bisa berkontribusi pada CRPS. Untuk mendapatkan bukti patofisiologi yang baru dan membuat terminologi dan kriteria diagnostik yang seragam, International Association for the Study of Pain (IASP) mengusulkan taksonomi yang mengelompokkkan gangguan dalam istilah complex regional pasin syndrome. CRPS Tipe 1 sesuai dengan RSD dan terjadi tanpa ada lesi saraf yang dapat diidentifikasi. Tipe II (causalgia sebelumnya) merupakan hasil dari cidera saraf spesifik. Kriteria diagnositk untuk CRPS Tipe I dan II meliputi: Regional, nyeri spontan, allodynia, atau hiperalgesia yang tidak terbatas pada daerah saraf perifer tunggal dan tidak sesuai dengan kejadian yang timbul. Ditemukan edema, perubahan dalam aliran darah di kulit, atau aktivitas sudomotor abnormal di bagian yang sakit. Adanya kejadian yang membahayakan atau yang menyebabkan imobilisasi (tidak ada pada 5-10% pasien). Tidak ada kondisi lain yang dapat berhubungan dengan derajat nyeri dan disfungsi. Mampu membedakan CRPS dari status nyeri neuropati lainnya dengan melihat adanya edema, dan disfungsi vasomotr maupun sudomotor. Gejala somatosensoris CRPS Tipe II meluas melebihi jalur saraf perifer yang terkena, sehingga sindrom ini berbeda dengan mononeuropati perifer terisolasi.

EPIDEMIOLOGI

CRPS bisa dipicu beberapa hal, seperti trauma, pemebdahan, inflamasi, stroke, cidera saraf dan imobilisasi. Sindrom ini seringnya terjadi pada dewasa muda dan lebih sering pada wanita dibanding pria. Tidak ada hubungan antara keparahan cidera dan nyeri yang ditimbulkan oleh sindrom ini. Pasien dengan neoplasma tertentu di paru, payudara, SSP dan ovarium serta pasien yang menderita stroke atau infark miokard bisa timbul tanda dan gejala CRPS. Bahkan stresor psikologi dan kemampuan coping yang lemah dapat mempengaruhi riwayat alami dan keparahan CRPS.

MEKANISME PATOFISIOLOGI

Meski beberapa mekanisme patofisiologi telah dipostulasikan untuk CRPS, penyakit ini masih sangat kurang dipahami. Banyak yang percaya bahwa disfungsi sistem saraf simpatetik dan/atau upregultion adrenoseptor memainkan peran penting dalam sindrom ini. Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa cidera saraf perifer memicu munculnya serat sarat simpatetik disekitar neuron sensoris di dorsal root ganglion. Pada beberapa model cidera saraf, allodynia mekanik dan hiperalgesia termal mengalami peningkatan melalui pembedahan atau simpatektomi kimia. Kemunculan saraf yang abnormal dan eksitasi C-fiber oleh sistem saraf simpatetik mungkin menjelaskan muatan abnormal yang ditemukan pada saraf perifer setelah terjadi kerusakan saraf. Penelitian pada manusia tidak seberapa jelas melibatkan SNS. Nyatanya, variasi respon terhadap blokade simpatetik dan tingginya angka relaps malah menimbulkan pertanyaan mengenai peran simpatetic dalam patofisiologi CRPS. Peneliti berpostulat bahwa perubahan sentral yang terjadi bersama-sama di dorsal horn medula spinalis nantinya akan berkontribusi dalam menjaga kondisi hipereksitabel CRPS. Generasi sensitisasi sentral dan aktivasi lanjutan reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dapat mempertahankan hipereksitabilitas neuronal ini setelah terjadi cidera saraf. Terlebih lagi, antagonis NMDA dapat melemahkan kaskade neurokimia yang berujung pada sensitisasi sentral. Hiperalgesia yang dipicu NMDA dan hilangnya kontrol inhibisi spinal dapat menjelaskan fenomena pada nyeri neuropati.

MANIFESTASI KLINIS

Pasien yang menderita CRPS memiliki heterogenitas gejala yang besar. Tanda dan gejala CRPS mencerminkan perubahan dalam sistem sensoris, autonom dan motoris. Pasien sering menyebut mengalami nyeri seperti terbakar dan tajam. Banyak laporan hiperestesi terhadap stimulus kutan biasa semisal kontak dengan pakian atau udara dingin. Terlebih lagi, pasien sering mengaitkan nyeri dari stimulus yang tidak menyakitkan (allodynia) atau respon berlebih terhadap stimulus yang menimbulkan rasa nyeri (hiperalgesia). Perubahan temperatur dalam lingkungan dapat menimbulkan eksaserbasi nyeri. Istilah nyeri lainnya seperti aching, shooting, squeezing dan throbbing. Pasien-pasien tertentu bahkan melindungi bagian yang terkena dari stimulasi kutaneus ataupun termal dengan mengenakan sarung tangan atau kaos kaki atau dengan membuat postur yang protektif. Gangguan vasomotor dalam CRPS meliputi asimetri suhu dan/atau perubahan warna kulit. Pasien kadang mengeluhkan bahwa ektremitasnya terasa hangat dan tampak merah atau terasa dingin dan tampak abu-abu atau kusam. Perubahan sudomotor tampak sebagai asimetri dari hiperhidrosis atau kekeringan di bagian yang nyeri. Pasien bisa mengalami edema di tungkai yang terkena dan tampak berkilau atau halus. Disfungsi motoris bisa bermanifestasi sebagai distonia, spasme otot, tremor atau lemah otot. Pada beberapa kasus yang parah, atau CRPS, dapat menyebabkan atrofi otot dan kontraktur. Kadang-kadang, pasien melaporkan adanya gerakan mioklonik atau mengelukan nyeri miofasial di daerah yang terkena. Gangguan pertumbuhan di tungkai yang terkena bisa muncul sebagai perubahan pada kulit, kuku atau pola rambut. Jika blokade simpatetik selektif tanpa disertai blokade somatis malah meredakan nyeri dan/atau allodynia, pasien dianggap memiliki komponen sympathetically maintained pain (SMP) . Jika blokade simpatetik gagal mengurangi nyeri terkait CRPS, sindrom ini dianggap sebagai sympathetically independent pain. Namun, hasil blokade simpatetik perlu diawasi dengan hati-hati, sebab berpotensi timbul positif dan negatif palsu. Telah dibuat trias stage (akut, distrofi dan trofi) berdasarkan progresifitas tanda dan gejala dalam CRPS, namun sebuah studi prospektif pada lebih dari 800 pasien dengan diagnosis RSD/causalgia tidak menampakkan progresi sindrom. Dalam sebuah studi pada 113 pasien, cluster analysis menunjukkan bahwa tiga subgrup berdasarkan homogenitas tanda, gejala dan durasi CRPS. Yang menarik adalah, tiga subgrup tidak memiliki durasi CRPS yang berbeda, yang bertentangan dengan progresi kronologi penyakit. Misal, subgrup dengan CRPS berat (stage III) memiliki durasi penyakit terpendek dari tiga kelompok. Kebanyakan peneliti percaya bahwa perubahan emosi dan perilaku sering menyertai CRPS. Banyak pasien yang mengalami depresi, gelisah dan ketakutan. Tidak ada studi yang cukup bagus yang menghubungkan gejala-gejala psikologi ini pada penyebab atau hasil sindrom, distres psikologi CRPS umumnya diakibatkan oleh nyeri yang terus menerus dan kecacatan yang diderita.

DIAGNOSIS Kriteria IASP untuk diagnosis CRPS tidak menyertakan jumlah tanda dan gejala yang diperlukan utuk membuat diagnosis. Penelitian validitas internal dan eksternal kriteria IASP berujung pada pembuatan kriteria yang lebih baik sehingga pasien setidaknya mengalami satu gejala sensoris (hiperestesi), vasomotor (perubahan warna kulit atau temperatur), sudomotor/edema (berkeringat atau adema asimetri di tungkai yang terkena), atau gejala motoris/trofi (perubahan trofi atau disfungsi motoris) dan setidaknya satu gejala obyektif dalam dua atau lebih kategori berikut ini: sensoris (hiperalgesia atau allodynia), sudomotor/edema (edema atau muncul keringat), atau motoris/trofi (kelemahan, tremor, distonia; peruahan rambut, kuku, kulit). Diagnosis CRPS masih klinis, meski pemeriksaan dapat membantu menambahkan infromasi. Pasien dengan CRPS dapat mengalami berbagai macam disfungsi termasuk SMP atau nyeri independen, perubahan otonom dan neuropati. Pemeriksaan dapat mengklarifikasi adanya SMP dan disfungsi otonom atau dapat menyingkirkan kelainan yang menyerupai CRPS. Misal, penelitian vaskuler dapat menyingkirkan DVT atau insufisiensi vaskuler, EMG/NCT dapat menyingkirkan neuropati perifer, radiografi dan MRI dapat menyingkirkan patologi pada tulang, diskus atau jaringan lunak, dan pemeriksaan darah dapat menyingkirkan infeksi, selulitis atau penyakit rematik. Pemeriksaan lain dapat memperkuat diagnosis CRPS dengan mendeteksi kelainan aktivitas simpatetik atau aliran darah pada tungkai yang terkena. Perhaitkan bahwa hasil penelitian masih belum mendukung nilai prognostik atau terapetik dari pemeriksaan-pemeriksaan ini. Pemeriksaan yang umum dijelaskan seperti berikut ini.

TERMOGRAFI

Pengguna ntermometer inframerah untuk mendeteksi perubahan suhu kutaneus pada dua ekstremitas Perbedaan 1OC dianggap signifikan.

PEMERIKSAAN SENSORIS KUANTITATIF

Ukur intensitas stimulus yang dibutuhkan untuk menimbulkan sensasi seperti sentuhan, vibrasi, hangat, sejuk, panas dan dingin. Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu mendeteksi kelainan sensoris yang berhubungan dengan hiperestesi, hiperalgesia, allodynia, dan perubahan temperatur yang beruhubungan dengan nyeri neuropati.

FOTO POLOS

Muncul patchy osteopenia 2-3 minggu setelah onset CRPS. Seiring berkembangnya sindrom, ground-glass appearance pada anatomi tulang mencerminkan osteopenia generalisata dan erosi kortikal.

THREE-PHASE BONE SCINTIGRAPHY

Pemberian intravena technetium-(99mTc)-labeled diphosphonate atau polifosfat akan mendeteksi kelainan osseus pada tungkai yang terkena lebih cepat dari film polos. Pemeriksaan ini dibagi jadi tiga fase (pencitraan angiografi, regional blood pooling dan bony uptake of 99mTc) Pada pasien CRPS, fase ketiga akan menampilkan peningkatan abnormal uptake sendi yang difus pada ekstremitas yang terasa sakit.

PEMERIKSAAN SUDOMOTOR

Resting sweat output test mengukur output keringat dari kulit yang tidak distimulasi pada kedua tungkai baik yang sakit maupun yang tidak. Quantitative sudomootr axon reflex test mengukur otuput keringat yang diprovokasi melalui arus listrik kemudian melalui pengolesan metakolin atau asetilkolin di kulit. Pada pasien CRPS, latensi setelah stimulasi arus listrik dan keringat yang berkepanjangan akan lebih pendek pada ekstremitas yang terkena.

BLOK SIMPATETIK

Blokade anestesi lokal rantai simpatetik (blok ganglion stelat untuk ekstremitas atas dan blok simpatetik lumbal untuk ekstremitas bawah) merupakan alat diagnositik yang penting, khususnya jika blokade akan meredakan nyeri. Namun respon positif (penurunan nyeri) tidak diperlukan untuk mendiagnosis CRPS, Pasien dengan CRPS dan SMP yang mengalami perbaikan simtomatik setelah pemberian blok simpatetik dengan anestesi lokal, nantinya akan mendapat manfaat dengan menjalani serangkaian blok yang diterapkan pada regimen terapi pasien itu. Karena risiko positif palsu dan negatif palsu yang berhubungan dengan prosedur-prosedur ini, blok simpatetik dengan farmakologi menggunakan fentolamin dapat digunakan untuk mendiagnosis komponen CRPS secara simpatetis. Fentolamin merupakan antagonis reseptor -adrenergik nonspesifik yang diberikan secara intravena 1 mg/kg selama 10 menit. Respon positif (penurunan nyeri) menandakan keterlibatan mekanisme adrenergik saat nyeri terjadi.

TERAPI

Terapi CRPS yang berhasil bergantung pada pendeketan multidisiplin yang agresif dan berfokus pada penurunan nyeri, rehabilitasi fisik, dan pengendalian disfungsi psikologi.

TERAPI FISIK

Terapi fisik merupakan bagian penting terapi CRPS. Namun, masih belum ada RCT yang melaporkan dampak baiknya terhadap CRPS. Terapinya terdiri atas desensitisasi progresif setelah sebelumnya diberikan analgesi yang adekuat. Hal ini biasany ameliputi penggunaan suhu panas, dingin, vibrasi, masase dan contrast baths. Ketika pasien telah mampu mentolerir intervensi ini, kemudian diperkenalkan latihan penguat isometrik. Akhirnya, modalitas terapi lebih agresif yang memfasilitasi mobilisasi dan pelanjutan aktivitas pada tungkai yang terkena : latihan ROM, penguatan isotonis, dan latihan aerobik. Pasien mungkin memerlukan waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan proses ini dan juga mungkin mengalami peningkat nyeri dan bengkak sesaat di awal fisioterapi.

AGEN FARMAKOTERAPI

Beberapa placebo-controlled trial telah dilakukan untuk menilai efikasi terapi pada pasien CRPS. Namun, beberapa obat telah diteliti dalam controlled trials untuk terapi nyeri yang berhubungan dengan neuralgia pascaherpetik dan neuropati diabetik.

KORTIKOSTEROID Banyak penelitian yang telah melaporkan efektifitas terapi CRPS menggunakan kortikosteroid. Steroid dapat menekan muatan neural ektopik yang dipicu oleh CRPS dan juga dapat menurunkan komponen inflamasi sindrom ini. Namun, penggunaan steroid yang lama tidak direkomendasikan karena rasio risiko:manfaat yang semakin memburuk.

ANTIDEPRESAN TRISIKLIK Kelas medikasi ini dapat menurunkan nyeri, meringankan depresi dan membantu tidur pada pasien dengan CRPS> RCT memberikan bukti bahwa antidepresan digunakan untuk terapi nyeri neuropati pada pasien dengan nerualgia pascaherpetik dan neuropati diabetik. Mekanisme aksinya bisa berhubungan dengan inhibisi reuptake norepinefrin dan serotonin dalam sistem saraf pusat. Neurotransmiter ini dapat memicu efek penurunan, jalur antinosiseptif dalam SSP. Inhibitor reuptake serotonin selektif kurang efektif dalam menangani nyeri neuropati. Antidepresan trisiklik dapat menimbulkan gangguan konduksi, efek samping antikolinergi, hipotensi ortostatik dan sedasi.

ANTIKONVULSAN Antikonvulsan (khususnya fenitoin dan karbamazepin) efektif dalam menangani nyeri neuropati yang berhubungan dengan neuralgia trigeminal dan neuropati diabetik. FDA baru-baru ini menyetujui gabapentin sebagai agen untuk terapi neuralgia pascaherpetik. Penelitian telah menemukan bahwa gabapentin efektif dalam mengangani nyeri akibat neuralgia pascaherpetik dan nyeri neuropati diabetik. Hanya serial kasus dan observasi klinis yang menebutkan bahwa gabapentin bisa untuk terapi CRPS.

OPIOID Nyeri neuropati kurang seberapa berespon terhadap terapi opioid; oleh kaerna itu, opioid hanya ditambahkan ketika nyeri terkait CRPS kurang berespon terhadap terapi obat lain. Karena antagonis reseptor NMDA efektif untuk terapi nyeri neuropati, metadon merupakan opioid lini pertama untuk CRPS karena sifat blokade reseptor NMDA-nya, yang diikuti sediaan opioid long-acting lainnya seperti morfin, oksikodon, atau fentanil. Opioid membantu pasien dengan nyeri terkait CRPS yang berat untuk lebih berpartisipasi dalam terapi fisik dan rehabilitasi.

AGEN TOPIKAL Lidokain tempel berguna untuk mengatasi komponen allodynia CRPS pada area nyeri fokal. Capsaicin dapat menghasilkan analgesi pada CRPS dan neuropati perifer melalui release and uptake inhibition of substance. Sayangnya, pasien tidak dapat mentolerir sensasi terbakar ketika diterapi dengan Capsaicin.

TERAPI OBAT LAINNYA RCT masih belum mengkonfirmasi efikasi calcium channel blockers, bifosfonat, agen -adrenergik oral (prazosin, phenoxy-benzamine), kalsitonin, ketamine, klonidin, atau muscle relaxants. Namun, baclofen intratekal mungkin berguna dalam menerapi distnoia atau refleks fleksor nosiseptif yang berhubungan dengan CRPS.

BLOK SIMPATETIK

Blokade simpatetik dengan anestesi lokal untuk alasan diagnostik atau terapetik telah banyak digunakan selama bertahun-tahun sebagai komponen penting dalam rencana terapi CRPS. Literatur anekdot menyebutkan adanya efikasi, tapi systematic review (meta-analysis) menunjukkan bukti yang lemah mengenai blokade simpatetik sebagai modalitas terapi karena kurang dari sepertiga pasien yang mengalami penurunan nyeri. Terlebih lagi, tidak ada satupun dari studi ini yang memungkinkan dilakukannya estimasi durasi penurunan nyeri diantara pasien yang berespon terhadap blokade simpatetik awal. Terlepas dari temuan ini, pasien yang mengalami penurunan nyeri dari diagnostic sympathetic block (SMP) akan mendapatkan serangkaian blok ganglion simpatetik dengan anastesi lokal selama beberapa minggu. Blok simpatetik servikal atau lumbal dilakukan secara intermiten atau dalam lerial. Blok semacam itu sebaiknya mengembalikan fungsi sensoris dan motoris, sehingga pasien bisa berpartisipasi lebih banyak dalam terapi fisik dan rehabilitasi. Jika timbul relaps atau jika blok berulang hanya menimbulkan penurunan nyeri sementara, surgical sympathectomy, radiofrequency lesioning, atau chemical neurolysis dapat dijadikan pertimbangan. Pada pasien yang gagal berespon terhadap blok simpatetik, blok epidural atau somatis (pleksus brachialis atau lumbalis) dapat membantu.

BLOKADE REGIONAL DAN NEURAXIAL Injeksi anestesi lokal di daerah lumbal, brachial atau epidural juga akan memblok saraf simaptetik yang terkait. Mirip dengan blok simpatetik, blok somatis dapat dilakukan dalam serial atau secara intermiten. Harus diperhatikan dengan baik supaya ROM-nya sesuai ketika terapi fisik karena tungkai yang terkena sedang dianestesi selama anestesi regional atau neuraxial.

NEUROMODULASI

Mekanisme spinal cord stimulation (SCS) masih belum begitu dipahami tapi mungkin melibatkan inhibisi fungsi simpatetik dan perubahan dalam neurokimia GABA supra spinal ataupun spinal. Penggunaan SCS untuk terapi CRPS masih kontroversial. RCT pada 36 pasien dengan CRPS yang tidak berespon terhadap terapi menunjukkan adanya penurunan nyeri yang signifikan ketika menggunakan SCS. Pasien yang mendapatkan SCS merasakan penurunan nyeri yang signifikan tapi tidak ada perbaikan dalam status fungsional. Pada pasien CRPS yang diskrining secara hati-hati dan dalam konteks terapi multidisiplin, SCS dapat memperbaiki kualitas kehidupan pasien. Klonidin epidural atau intratekal yang diberikan pada pasien CRPS akan menurunkan nyeri yang timbul.

KESIMPULAN

Sebagian besar ahli setuju bahwa hanya sebagian teka-teki CRPS yang berhasil dipecahkan. Banyak penulis bertanya-tanya apakah binatang percobaan untuk SMP dapat secara akurat menggambarkan kompleksitas nyeri yang bermanifestasi pada manusia. Kriteria klinis CRPS harus dibenahi untuk memperbaiki sensitifitas dan spesifitas diagnosis. Terapi CRPS bermacam-macam, tapi tidak ada terapi tunggal yang efektif. Direkomendasikan pendekatan multidisiplin untuk meringankan nyeri dan restorasi fungsi yang meliputi satu modalitas atau lebih seperti obat-obatan, blokade simpatetik/somatis, terapi fisik, intervensi psikologi, neuromodulasi dan analgesi neuraxial.