pain management

33
BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Mengontrol rasa nyeri pasca operasi yang efektif merupakan komponen penting dari perawatan pasien bedah. Kontrol nyeri yang tidak memadai, selain tidak manusiawi, dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas atau mortalitas. Analgesia yang baik dapat mengurangi efek merugikan.Data yang tersedia menunjukkan bahwa blokade aferen saraf dengan anestesi lokal adalah teknik yang paling efektif analgesik. Selanjutnya dalam rangka efektivitas adalah opioid dosis tinggi, dan opioid epidural clonidine, terapi opioid dikendalikan pasien, dan anti-inflamasi nonsteroid. 1 Setelah menjalani suatu bentuk operasi, seorang ahli anestesi masih mempunyai tanggung jawab terhadap perawatan pasien pada saat pemulihan yaitu dapat dilakukan dengan cara monitoring pasien atau dengan kata lain dilakukan observasi. Tujuan dari observasi ini adalah deteksi sedini mungkin dari penyimpangan-penyimpangan fisiologis sehingga dapat dilakukan tindakan pengobatan sedini mungkin sehingga morbiditas dan mortalitas dapat ditekan serendah mungkin. Observasi utama dilakukan dengan mengukur nadi, tekanan darah dan frekuensi pernafasan secara teratur dan perhatikan bila ada keadaan abnormal dan perdarahan yang berlanjut. Jam pertama setelah anestesi merupakan saat yang paling berbahaya bagi pasien. Refleks perlindungan jalan nafas 1

Upload: samuel-g-h-simbolon

Post on 14-Sep-2015

24 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Pain Management

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Mengontrol rasa nyeri pasca operasi yang efektif merupakan komponen penting dari perawatan pasien bedah.Kontrol nyeri yang tidak memadai, selain tidak manusiawi, dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas atau mortalitas. Analgesia yang baik dapat mengurangi efek merugikan.Data yang tersedia menunjukkan bahwa blokade aferen saraf dengan anestesi lokal adalah teknik yang paling efektif analgesik.Selanjutnya dalam rangka efektivitas adalah opioid dosis tinggi, dan opioid epidural clonidine, terapi opioid dikendalikan pasien, dan anti-inflamasi nonsteroid.1Setelah menjalani suatu bentuk operasi, seorang ahli anestesi masih mempunyai tanggung jawab terhadap perawatan pasien pada saat pemulihan yaitu dapat dilakukan dengan cara monitoring pasien atau dengan kata lain dilakukan observasi. Tujuan dari observasi ini adalah deteksi sedini mungkin dari penyimpangan-penyimpangan fisiologis sehingga dapat dilakukan tindakan pengobatan sedini mungkin sehingga morbiditas dan mortalitas dapat ditekan serendah mungkin. Observasi utama dilakukan dengan mengukur nadi, tekanan darah dan frekuensi pernafasan secara teratur dan perhatikan bila ada keadaan abnormal dan perdarahan yang berlanjut. Jam pertama setelah anestesi merupakan saat yang paling berbahaya bagi pasien. Refleks perlindungan jalan nafas masih tertekan, walaupun pasien tampak sudah bangun, dan efek sisa obat yang diberikan dapat mendepresi pernafasan. Ini dapat menyebabkan kematian karena hipoksia. Selain itu juga perlu dibuat pencatatan teknik yang digunakan dan setiap komplikasi yang terjadi. Hal tersebut dapat berguna bagi pasien di masa mendatang.2II. TUJUAN

Refrat ini ditujukan sebagai salah satu syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Anestesi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Untuk memahami dan memperdalam pengetahuan pengetahuan tentang Penanggulangan nyeri pasca bedah.BAB IIPEMBAHASANA. Definisi Nyeri

Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial (Corwin J.E. ). Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri(Kozier dkk). Nyeri juga dapat disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan pada reseptor nyeri.(Taylor C. dkk)

Ganong, (1998), mengemukakan proses penghantaran transmisi nyeri yang disalurkan ke susunan syaraf pusat oleh 2 (dua) sistem serat (serabut) antara lain:

1. Serabut A delta (A) Bermielin dengan garis tengah 2 5 (m yang menghantar dengan kecepatan 12 30 m/detik yang disebutjuga nyeri cepat (test pain) dan dirasakan dalam waktu kurang dari satu detik, serta memiliki lokalisasi yang dijelas dirasakan sepertiditusuk, tajam berada dekat permukaan kulit.

2. Serabut C, merupakan serabut yang tidak bermielin dengan garis tengah 0,4 1,2 m/detik disebut juga nyeri lambat di rasakan selama 1 (satu) detik atau lebih, bersifat nyeri tumpul, berdenyut atau terbakar.

Transmisi nyeri dibawa oleh serabut A delta maupun serabut C diteruskan ke korda spinalis, serabut serabut syaraf aferen masuk ke dalam spinal lewat dorsal root dan sinap dorsal horn yang terdiri dari lapisan (laminae) yang saling berkaitan II dan III membentuk daerah substansia gelatinosa (SG). Substansi P sebagai nurotransmitter utama dari impuls nyeri dilepas oleh sinaps darisubstansia gelatinosa. Impuls impuls nyeri menyebrang sum sum tulang belakang diteruskan ke jalur spinalis asendens yangutama adalah spinothalamic traet (STT) atau spinothalamus dan spinoroticuler traet (SRT) yang menunjukkan sistem diskriminatifdan membawa informasi mengenai sital dan lokasi dari stimulus ke talamus kemudian kemudian diteruskan ke korteks untukdiinterprestasikan, sedangkan impuls yangg melewati SRT, diteruskan ke batang otak mengaktifkan respon outonomik dari limbik(motivational affektive) effective yang dimotivasi (Long).

Pada tahun 1979, International Association for the Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai : Suatu pengalaman sensori dan emosiyang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkankerusakan jaringan. Rasa nyeri selalu merupakan sesuatu yang bersifat subjektif. Setiap individu mempelajari nyeri melalui pengalaman yang berhubungan langsung dengan luka (injury), yang terjadi pada masa awal kehidupannya. Secara klinis, nyeri adalahapapun yang diungkapkan oleh pasien mengonai sesuatu yang dirasakannya sebagai suatu hal yang tidak menyenangkan / sangat mengganggu (Dharmady & Triyanto).3B. Fisiologi Nyeri

Diantara terjadinya stimulus yang menimbulkan kerusakan jaringan hingga timbulnya pengalaman subyektif mengenai nyeri,terdapat rangkaian peristiwa elektrik dan kimiawi yang kompleks, yaitu transduksi, transrmisi, modulasi dan persepsi. Transduksi adalah proses dimana stimulus noksius diubah menjadi aktivitas elektrik pada ujung saraf sensorik (reseptor) terkait. Prosesberikutnya, yaitu transmisi, dalam proses ini terlibat tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik perifer yang meneruskan impuls kemedulla spinalis, kemudian jaringan saraf yang meneruskan impuls yang menuju ke atas (ascendens), dari medulla spinalis ke batangotak dan thalamus. Yang terakhir hubungan timbal balik antara thalamus dan cortex. Proses ketiga adalah modulasi yaitu aktivitasi saraf yang bertujuan mengontrol transmisi nyeri. Suatu jaras tertentu telah diternukan di sistem saran pusat yang secara selektif menghambat transmisi nyeri di medulla spinalis. Jaras ini diaktifkan oleh stress atau obat analgetika seperti morfin. Proses terakhir adalah persepsi, Proses impuls nyeri yang ditransmisikan hingga menimbulkan perasaan subyektif dari nyeri sama sekali belum jelas. Bahkan struktur otak yang menimbulkan persepsi tersebut juga tidak jelas. Sangat disayangkan karena nyeri secara mendasar merupakan pengalaman subyektif sehingga tidak terhindarkan keterbatasan untuk memahaminya (Dewanto).Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P, bradikinin, prostaglandin) dilepaskan,kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerahyang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (daerah pada spinal yangmenerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi seperti panas,dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, di mana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia sepertiendorphin dilepaskan untuk mcngurangi nyeri di dacrah yang terluka (Taylor & Le Mone).

Di dalam spinal cord, ada gerbang yang dapat terbuka atau tertutup. Saat gerbang terbuka, impuls nyeri lewat dan dikirim ke otak. Gerbang juga bisa ditutup. Stimulasi saraf sensoris dengan menggaruk secara perlahan di dekat daerah nyeri dapat menutup gerbangsehingga rnencegah transmisi impuls nyeri. Impuls dari pusat juga dapat menutup gerbang, misalnya perasaan sernbuh dapatmengurangi dampak atau beratnya nyeri yang dirasakan (Patricia & Walker).

Kozier, dkk. (1995) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan respon tubuh meliputi aspek pisiologis dan psikologis, merangsangrespon otonom (simpatis dan parasimpatis respon simpatis akibat nyeri seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi,peningkatan pernapasan, meningkatkan tegangan otot, dilatasi pupil, wajah pucat, diaphoresis, sedangkan respon parasimpatisseperti nyeri dalam, berat , berakibat tekanan darah turun nadi turun, mual dan muntah, kelemahan, kelelahan, dan pucat (Black M.J,dkk)

Pada nyeri yang parah dan serangan yang mendadak merupakan ancaman yang mempengaruhi manusia sebagai sistem terbukauntuk beradaptasi dari stressor yang mengancam dan menganggap keseimbangan. Hipotalamus merespon terhadap stimulus nyeridari reseptor perifer atau korteks cerebral melalui sistem hipotalamus pituitary dan adrenal dengan mekanisme medula adrenalhipofise untuk menekan fungsi yang tidak penting bagi kehidupan sehingga menyebabkan hilangnya situasi menegangkan danmekanisme kortek adrenal hopfise untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyediakan energi kondisiemergency untuk mempercepat penyembuhan (Long C.B.). Apabila mekanisme ini tidak berhasil mengatasi Stressor (nyeri) dapatmenimbulkan respon stress seperti turunnya sistem imun pada peradangan dan menghambat penyembuhan dan kalau makin parahdapat terjadi syok ataupun perilaku yang meladaptif (Corwin, J.E.) 3C. Klasifikasi Nyeri

Menurut Long C.B (1996) mengklasifikasi nyeri berdasarkan jenisnya, meliputi :

1. Nyeri akut, nyeri yang berlangsung tidak melebihi enam bulan, serangan mendadak dari sebab yang sudah diketahui dan daerah nyeri biasanya sudah diketahui, nyeri akut ditandai dengan ketegangan otot, cemas yang keduanya akan meningkatkan persepsi nyeri.

2. Nyeri kronis, nyeri yang berlangsung enam bulan atau lebih, sumber nyeri tidak diketahui dan tidak bisa ditentukan lokasinya.Sifat nyeri hilang dan timbul pada periode tertentu nyeri menetap.

Corwin J.E (1997) mengklasifikasikan nyeri berdasarkan sumbernya meliputi :

1. Nyeri kulit, adalah nyeri yang dirasakan dikulit atau jaringan subkutis, misalnya nyeri ketika tertusuk jarum atau lutut lecet,lokalisasi nyeri jelas disuatu dermatum.2. Nyeri somatik adalah nyeri dalam yang berasal dari tulang dan sendi, tendon, otot rangka, pembuluh darah dan tekanan syaraf dalam, sifat nyeri lambat3. Nyeri Viseral, adalah nyeri dirongga abdomen atau torak terlokalisasi jelas disuatu titik tapi bisa dirujuk kebagian-bagian tubuh lain dan biasanya parah.4. Nyeri Psikogenik, adalah nyeri yang timbul dari pikiran pasien tanpa diketahui adanya temuan pada fisik (Long, 1989 ; 229).5. Nyeri Phantom limb pain, adalah nyeri yang dirasakan oleh individu pada salah satu ekstremitas yang telah diamputasi (Long,1996 ; 229).3D. Nyeri Pasca BedahNyeri bukanlah akibat sisa pembedahan yang tak dapat dihindari tetapi ini merupakan komplikasi bermakna pada sebagian besar pasien. Definisi dari nyeri itu sendiri adalah pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan jaringan yang rusak, cenderung rusak atau segala sesuatu yang menunjukkan kerusakan.

Penanggulangan nyeri pasca bedah yang efektif merupakan salah satu hal yang penting dan menjadi problema bagi ahli anestesi. Hal tersebut dikarenakan berbagai hal sebagai berikut:

1. Nyeri pasca bedah sangat bersifat individual, tindakan yang sama pada pasien yang kurang lebih sama keadaan umumnya tidak selalu mengakibatkan nyeri pasca bedah yang sama. Pengalaman penderita terhadap derajat atau intensitas nyeri pasca bedah sangat bervariasi.

2. Banyak penderita yang kurang mendapat terapi yang adekuat untuk mengatasi nyeri pasca bedah.

3. Bebas nyeri dapat mengurangi komplikasi pasca bedah. Timbulnya nyeri, derajat maupun lamanya pengelaman nyeri dari penderita setelah operasi yang berlainan tidak dapat diketahui dengan pasti.

Dari penyelidikan yang dilakukan ternyata timbulnya (incidence) intensitas, dan lamanya nyeri pasca bedah sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita yang lain, dari rumah sakit yang berbeda apalagi dari negara yang berbeda. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi kualitas, intensitas dan lamanya nyeri pasca bedah dapat disebutkan sebagai berikut :

a. Lokasi operasi, jenis operasi dan lamanya operasi serta berapa besar kerusakan ringan akibat operasi tersebut.

b. Persiapan operasi baik psychologik, fisik dan pharmakologik dari penderita oleh anggota / team pembedahan atau dengan kata lain disebut pelaksanaan perioperatif dan premedikasi.

c. Adanya komplikasi yang erat hubungannya dengan pembedahan.

d. Pengelolaaan anestasi baik sebelum, selama, sesudah pembedahan.

e. Kwalitas dari perawatan pasca bedah.

f. Suku, ras, warna kulit, karakter dan sosiokultural penderita

g. Jenis kelamin, perempuan lebih cepat merasakan nyeri

h. Umur, ambang rangsang orang tua lebih tinggi.

i. Kepribadian, pasien neurotik lebih merasakan nyeri bila dibandingkan dengan pasien dengan kepribadian normal

j. Pengalaman pembedahan sebelumnya, bila pembedahan di tempat yang sama rasa nyeri tidak sehebat nyeri pembedahan sebelumnya.

k. Motivasi pasien, pembedahan paliatif tumor ganas lebih nyeri dari pembedahan tumor jinak walaupun luas yang diangkat sama besar.

l. Fisiologik, psychologik dari penderita.

Dari segi pembedahan, lokasi nyeri pasca bedah yang paling sering terjadi dan sifat nyerinya paling hebat (severe) adalah sebagai berikut :

a. Operasi daerah Thocaro abdominal

b. Operasi ginjal

c. Operasi Columna vertebralis (spine)

d. Operasi Sendi besar

e. Operasi tulang panjang (large Bone) di extrimitas

Penderita setelah selesai mengalami bedah thorax, abdomen maupun operasi ginjal, bila penderita batuk, tarik nafas dalam atau gerakan tunuh yang berlebihan akan timbul nyeri yang hebat.

Macam luka pembedahan (incision) juga sangat berperan dalam timbulnya nyeri pasca bedah, pada luka operasi atau insisi subcostal (Choiecystectomy) kurang menimbulkan rasa nyeri pasca bedahnya dibandingkan luka operasi midline, pada insisi abdomen arah transversal akan terjadi kerusakan syaraf intercostalis minimal. Pada pembedahan yang letaknya di permukaan (superficial), daearah kepala, leher, extrimitas, dinding thorax dan dinding abdomen rasa nyerinya sangat bervariasi, :

Nyeri hebat (severe) 5 15 %

Nyeri yang sedang (moderate) 30 50 % dari penderita.

Nyeri yang ringan atau tanpa nyeri : 50%, dimana penderita tidak memerlukan narkotik.

Terdapat pengecualian pada operasi tandur kulit (Skin graft) yang luas dan radical mastectomy, nyeri pasca bedahnya termasuk kategori nyeri yang hebat (severe).

Dari segi penderita, timbulnya dan beratnya rasa nyeri pasca bedah juga sangat dipengaruhi fisik, psikis atau emosi, karakter individu dan sosial kultural maupun pengalaman masa lalu terhadap rasa nyeri. Derajat kecemasan penderita pra bedah dan pasca bedah juga mempunyai peranan penting. Misalnya, takut mati, takut kehilangan kesadaran, takut akan terjadinya penyulit dari anestesi dan pembedahan, rasa takut akan rasa nyeri yang hebat setelah pembedahan selesai.

Penderita yang masuk rumah saki akan timbul reaksi cemas/strees. Dan keadaan ini membentuk pra kondisi nyeri pasca bedah. Keadaan tersebut digolongkanhospital Stress. Pada golongan penderita dengan Hospital Strees tinggi cenderung mengalami nyeri lebih hebat daripada golongan Hospital Strees rendah. Faktor -faktor Hospital Stress :

a. Rasa tidak bersahabat disekelilingnya.

b. Pemisahan dengan keluarga, orang tua, suami/istri.

c. Informasi yang kurang atau tidak jelas.

d. Pengalaman masa lalu tentang penanggulan nyeri yang tidak adekwat.

Faktor lain yang berperan dalam nyeri pasca bedah adalah pengelolaan baik sebelum, sedang dan sesudah pembedahan dan tehnik anestesi yang dilakukan pada penderita. Pengelolaan profilaksis yaitu pengelolaan penderita pada persiapan pembedahan dan perawatan pasca bedah yang baik. Dari segi anestesi trauma pemasangan pipa endotracheal (intubasi), nyeri otot akibat pemberian succinyl cholin. Dari segi bedah, keterampilan dari ahli bedah, jenis pembedahan (Ekstenip) juga sangat berperan. Mekanisme terjadinya nyeri pasca bedah dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada dasarnya mirip dengan timbulnya luka atau suatu penyakit, yang mengakibatkan kerusakan jaringan lokal dengan disertai keluarnya bahan-bahan yang merangsang rasa nyeri (algogenik subtance) seperti; kalium dan ion Hydrogen, asam laktat, serotonin, bradykinin, prostaglandin. Inflamasi perifer menghasilkan prostaglandin dan berbagai sitokin yang menginduksi COX-2 setempat (local). Selanjutnya akan mensensitisasi nocicieptor perifer yang ditandai dengan timbulnya asa nyeri. Sebagian sitokin melalui aliran darah sampai ke sistem syaraf pusat meningkatkan kadar interleukin-1 yang pada gilirannya menginduksi COX-2 di dalam neuron otak.

Bagaimanapun, sekali enzim COX-2 dipicu berbagai aksi muncul di perifer dan susunan syaraf pusat. Perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin dengan bantuan enzim cyclooxygenase (COX) dapat dihambat dengan pemberian AINS (anti-inflamasi non-steroid) yang juga dikenal sebagai COX-inhibitor. Pembentukan prostaglandin dapat ditingkatkan oleh bradikinin dan interleukin-1. Di perifer, prostaglandin dapat merangsang reseptor EPI yang meningkatkan sensasi nyeri dan reseptor EP4 yang menurunkan sensasi nyeri. Namun prostaglandin yang dibentuk melalui aktivasi COX-2 berperan dalam percepatan transmisi nyeri di syaraf perifer dan di otak, terutama dalam peran sentralnya memodulasi nyeri hiperalgesia dan alodinia.

Oleh karena kejadian nyeri inflamasi bukan hanya berkaitan dengan peningkatan produki prostaglandin oleh aktivasi COX-2, AINS yang ideal hendaklah lebih nyata menghambat aktivitas COX-2 dan juga mampu menghambat aktivitas mediator-mediator inflamasi lainnya seperti bradikinin, histamin dan interleukin, serta mampu merembes ke cairan serebrospinal.

Timbulnya spasme pada otot-otot tubuh dengan akibat turunnya compliance atau kelenturan dinding Thorax. Keadaan tersebut merupakan lingkaran setan, (nyeri-spasme otot-nyeri). Stimulasi neuron syaraf sympatik mengakibatkan meningkatnya frekwensi jantung dan stroke volume, sehingga kerja jantung (heart work) dan komsumsi oksigen dari jantung bertambah.

Terjadi pengeluaran hormon-hormon katabolik, Cathecolamine, Cortisol, ACTH, ADH, Glucagon dan Aldosteron serta penurunan hormon anabolik Insulin dan Testosteron. Cortical merangsang nyeri yang diteruskan sampai ke cortex cerbri akan dikenal atau persepsi berupa rasa nyeri dan manifestasinya dapat berupa suatu reaksi kecemasan dan rasa takut.

Komplikasi akibat nyeri pasca bedah juga harus diperhatikan oleh ahli anestesi. Komplikasi tersebut bermacam-macam. Pasca bedah stroke-abdomen ataupun operasi ginjal akan terjadi gangguan radio ventilasi-perfusi di paru-2 (V/O ratio), apabila penderita pasca bedahnya disertai atau mengalami distensi dari abdomen atau dipasang bandage yang ketat (gurita) maka akan terjadi gangguan nafas yang berat.

Rasa nyeri yang bertambah hebat bila penderita batuk, tarik nafas dalam dan adanya bronchospasme berakibat penderita takut akan mengeluarkan dahak ataupun bernafas dalam, akibatnya akan terjadi penurunan kapasitas paru (VC), FRC, dan timbulnya Hypoksemia.

Penurunan VC 40% dari pra bedah, dimulai saat 1-4 jam pasca bedah yang dipertahankan s/d 12-24 jam, selanjutnya meningkat pelan-pelan mencapai 60-70% dari kondisi Pra bedah setelah hari ke-7, selanjutnya kembali ke normal setelah beberapa minggu. FRC menurun 70% dari pra bedah setelah 24 jam pasca bedah, dan tetap rendah dalam beberapa hari, lalu pelen-pelan kembali ke normal dalam waktu 10 hari.

Terjadinya pengeluaran hormon-hormon katabolik, Cathecolamine, Cortisol, ACTH, ADH, Glocagon dan Aldosteron serta penurunan hormon anabolik Insulin dan Testosteron juga merupakan komplikasi dari pasca bedah. Hal tersebut dapat menyebabkan kadar gula darah naik, tekanan darah naik, kebutuhan oksigen naik.

Tehnik anestesi baik general anestesi maupun regional anestesi, sangat berbeda dari segi pemberian obat-obatan analgetik pasca bedah pada general anestesi 5% pasien bedah tidak memerlukan analgesik. Kadang pada regional anestesi lebih disenangi pemakaian obat lokal anestesi yang kerjanya lama (long action ). Tehnik anestesi gabung general anestesi dan regional anestesi terbukti berhasil mengurangi kebutuhan akan narkotik pasca bedahnya 2E. Kebutuhan Analgesia

Pada dasarnya derajat nyeri dihubungkan dengan tempat pembedahan dan lamanya pasien butuh analgesia (opioid).4Tempat PembedahanLama opioid dibutuhkanDerajat nyeri (0 4)

Abdomen : Atas48-72 jam3

BawahSampai 48 jam2

InguinalSampai 24 jam1

Torakotomo 72 96 jam4

Ekstremitas 24 36 jam2

Fasiomaksilar Sampai 48 jam2

Kulit/jar. LunakSampai 24 jam1

Perineaal 24 48 jam2

Pembedahan pelvisSampai 48 jam2

F. Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah

1. Profilaktik Incidance, derajat dan lamanya nyeri pasca bedah dapat dikurangi dengan persiapan operasi dengan baik, dan perawatan pasca bedah optimal

2. Terapi aktif Penanggulangan nyeri pasca bedah dapat dikurangi partial atau total (tanpa nyeri)

Penanggulangan nyeri pasca bedah dapat dikurangi partial atau total (tanpa nyeri) dengan cara-cara berbagai berikut :

a. Obat-2 sistemik analgesik dan ajuvant

b. Analgesik regional (Intra spinsi opiat)

c. Analgesik regional dengan obat lokal anestesi.

d. Analgesik dengan rangsangan litrik (transcutancus electrical nerve stimulation = TENS), atau dengan electroacupuncture.

e. Analgesik psykologik dengan Hypnosis dan Sugesti.2Obat Analgesik Sistemik & Adjuvan

Garis besar strategi farmakologi mengikuti WHO Three Step Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri dari: 1. Langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat.

2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan obat opiod lemah misalnya kodein.

3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.

Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri kronik maupun akut, yaitu:

1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga keatas 1-2-3 (WHO Three Step Analgesic Ladder), dan

2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1(WHO Three Step Analgesic Ladder)

Pada setiap langkah, apabila dianggap perlu dapat ditambahkan adjuvant atau obat pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-masing taraf penanggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas analgesik, memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan untuk bertindak sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu. 5Golongan opiat

Obat opiat setelah bergabung dengan reseptor dalam susunan saraf pusat dan bagian lain dari tubuh akan menimbulkan khasiat analgesik, kontraksi otot polos, depresi pernafasan dan lain-lain.

a. Opioid Intra Muskular

Cara ini adalah cara yang paling sering dipakai, walaupun sering berhasil mencapai efek anelgesia yang diinginkan karena pemberian intramuskular (im) absorpsinya tidak sempurna, terutama pada pasien dengan perfusi perifer yang buruk. Karena absorpsi melalui otot relatif lambat, meka harus diperhatikan kapan anelgesia dibutuhkan dan kapan pemberian ulangan harus di suntik b. Opioid Intravena

Walaupun pemberiannya kurang menyenangkan bila dibandingkan dengan pemberian 1 M cara ini memiliki sejumlah keunggulan. Pada umumnya diberikan sejumlah dosis tertentu (infus dipercepat) untuk mendapatkan konsentrasi efektif analgesia, kemudian dilanjutkan dengan infus yang lambat dengan alat yang akurat seperti pompa infus c. Pasien Mengontrol Pemberian Analgesia Opioid

Saat ini sudah dikembangkan cara/alat agar pasien dapat memberikan sendiri anelgesia opioid yang diinginkan melalui pompa infus yang sudah diatur terlebih dahulu dosisnya, yang aman untuk pasien.

d. Opioid Subligual

Cara ini makin populer penggunaannya, karena mudah dan menyenangkan. Obat yang paling sering dipakai adalah biprenorfin yang bersifat agonis antagonis sehingga efik samping depresi nafas sangat jarang dijumpai, keuntungan lain adalah masa kerja yang lama (lebih dari 8 jam).

e. Opioid Oral

Opioid oral dapat diberikan pada pasien yang dapat menelan. Morfin sulfat dapat memberikan analgesia yang adekuat selama 6-8 jam.Obat opiat yang paling sering dan mudah diperoleh :

1. Morphine

Morphine merupakan obat narkotik analgesik yang sampai saat ini tetap dipakai sebagai standard dalam penanggulangan nyeri pasca bedah, karena alasan sebagai berikut :

Mudah didapat

Murah

Pemberiannya mudah dan efektifMorphine paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).Terhadap system saraf pusat mempunyai dua sifat, yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesi, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual, muntah, hipereaktif reflex spinal, konvulsi dan sekresi hormone diuretic (ADH). Terhadap system respirasi harus hati-hati, karena morphine dapat melepaskan histamine, sehingga menyebabkan konstriksi bronkus. Oleh sebab itu di kontra indikasikan pada kasus asma dan bronchitis kronik. Cara pemberian dapat :

Intra muskuler, onset lama dicapai, mudah cara pemberiannya.

Intra venous, cara ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain : onset obat cepat, hasilnya cepat terlihat dengan demikian efek emosi penderita akibat dapat dikurangi. Selain itu, kebutuhan individu akan obat mudah dikontrol dengan titrasi. Konsentrasi obat di darah cepat menurun, sehingga perlu pemantauan selama 15-20 menit setelah injeksi untuk menilai hilangnya rasa nyeri dan efek samping obat.

2. Pethidine

Petidin adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Perbedaan dengan morfin sebagai berikut :

a. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.b. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normoperidin, asam meperidinat dan asam normoperidinat. Normoperidin ialah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.c. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardi.d. Seperti morfin, petidin menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.e. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20 25 mg IV pada dewasa. Sedangkan morfin tidak.f. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfinUntuk mendapatkan analgesik yang efektif, dan mengurangi efek samping dari cara pemberian iv, dosis obat diberikan dalam jumlah yang kecil dan diberikan pelan-pelan. Cara memberikan dengan titrasi interfal 15-20 menit, sampai analgesik tercapai, interfal dapat ditingkatkan menjadi 45-60 menit sampai steady state.Rate 1,0 mg/menit (60 mg/jam). Terjadinya analgesi lebih cepat dicapai dan berlangsung dalam 15 20 jam. Pethidine mempunyai efek lokal anestesi, dengan akibat menghambat atau blok saraf simpatik, sensorik, motorik. 23.Tramadol

Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga mengeblok sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Di samping itu tramadol menghambat pelepasan neurotransmitter dari saraf aferen yang sensitif terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat. Tramadol efektif untuk prngobatan nyeri akut dan kronik yang berat, nyeri pasca pembedahan.6Patient Cotrolled Analgesik adalah salah satu cara penggunaan analgesik. Cara ini dimulai pada tahun 1970 an. Caranya dapat dilakukan oleh penderita dengan alat yang sudah di program sesuai kebutuhan penderita (on demand). Hasilnya sangat memuaskan 88% penderita bebas nyeri, dengan alat ini konsentrasi obat narkotik di plasma hampir mendekati minimal effective analgesic concentration (MEAC). Yang harus diperhatikan pada pemakaian narkotik adalah keadaan sebagai berikut:1. Penderita sakit berat

2. Manula (Geriatric)

3. Status hidrasi penderita (Hypovolemik)

4. C.O.P.D (cronic obstructive pulmonary disease)

5. Trauma kepala

6. Advance liver disease

Selain pada golongan tersebut terdapat golongan Non Narkotik Analgesia yaitu : NSAIDS (Non steroidal anti inflammatory drugs). Cara kerja obat adalah menghambat bahan-bahan Algogenic. Yang termasuk golongan ini adalah :

Golongan Salisilat

Acetyl salicylic acid (Aspirin)

Asam Asetil Salisilat (aspirin) digunakan untuk mengurangi nyeri ringan atau sedang dan biasanya dikombinasi dengan analgetik lain untuk 3 4 hari. Aspirin lebih bersifat antipiretik. Dosis obat 500-600 mg tiap 4 jam. Dosis maksimal 4000 mg sehari. Efek samping : perdarahan lambung, reaksi hipersentitif. Acetaminophen (Parasetamol)

Mempunyai khasiat analgesik dan antipiretik seperti asam asetil salisilat, tetapi tidak mempunyai efek antiinflamasi. Tidak mengadakan iritasi mukosa lambung. Dosis 500-1000 mg setiap 4 jam. Dosis max 4000 mg sehari.

Antiinflamasi nonsteroid Dibanding dengan asam salisilat khasiat analgesik bervariasi, ada yang sama dan ada yang lebih kuat. Obat golongan antiinflamasi non steroid memberikan efek samping pada darah, gastrointestinal, ginjal dan saraf pusat.

1. Proprionic acid derivat

Ibuprofen : dosis 200-400 mg, setiap 4-6 jam per os. Dosis max 2400 mg sehari (Brufen)

Ketiprofen (profenid): Dosis 25 50 mg, setiap 6 8 jam p.o dosis max 300 mg sehari

2. Benzothiazine deriv. : Piroxicain (feldene). Dosis 20 mg setiap 12-24 jam.

3. Pyrazole deciv.

o Phenylbutazone. Dosis 100-200 mg setiap 6 jam.

o Oxyphenbutazone (Tanderil). Dosis 100-200 mg setiap 6 jam.

4. Fenmates : Mefanamic acid (Ponstan). Dosis 500 mg setiap 6-8 jam

Epidural / Intrathecal NarkotikTehnik epidural & intrathecal narkotik mulai populer pada akhir-akhir ini. Namun cara ini memerlukan keahlian khusus dan harus dipantau dengan ketat, serta dipersiapkan tenaga paramedik yang sudah terdidik, karena ada penyulit depresi nafas yang lambat. Pemakaian narkotik epidural lebih menguntungkan dibanding obat anestesi lokal, karena tidak mempengaruhi sistim somatomotor dan sympatik.

Intrathecal narkotik mengurangi refleks-refleks pascabedah, sehingga membantu hemodinamik penderita tetap stabil.

Dosis : 0,5 1 mg Marphine. Analgesi timbul 15 30 menit, dan berakhir 8 24 jam. Epidural narkotik. Dosis : 2 10 mg, Morphine, onset 5 10 menit, lamanya 6 24 jam.

Komplikasi :

Pruritus 15 20 %

Retensi urinae 15 20 %

Nausea 15 25 %

Depresi nafas (delayed)

Regional anestesi dengan lokal anastesiKerugian pemakaian obat lokal anestesi terutama adanya gangguan/ blok pada afferent dan efferent pada segmentasi maupun supra segmental. Keuntungannya menghilangkan nyerinya sangat efektif, dan spasmus otot tidak terjadi.

Intercostal blockCara ini efektif untuk nyeri pasca bedah cholecystectomy, thoraco tomy, gatrectomy dan mastectomy. Keuntungannya tidak terjadi hypotensi.

TENS (Transcutancus Electrical nerve stimulation)Dilaporkan bahwa cara ini dapat menghilangkan nyeri pasca bedah laporotomy, thoracotomy maupun laminec tomy. Namun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa tens tidak memperbaiki faal paru pasca bedah. Akan tetapi Tens dapat dipakai sebagai cara alternatip untuk mengurangi kebutuhan narkotik.

Hipnosis dan sugesti. Dalam upaya menghilangkan rasa nyeri, rasa takut perlu perlu dihilangkan untuk menciptakan kondisi yang optimal bagi pelaksanaan pembedahan. Oleh karena hal tersebut maka hypnosis dan sugesti dapat membantu menghilangkan komplikasi nyeri pasca bedah.

Pedoman Pemberian analgetik pasca bedah

Awal, diberikan obat dengan potensi dan dosis yang sangat kuat (2 hari)

Selanjutnya diturunkan potensi dan dosisnya

By the clock

Multimodal multifocal : lewat berbagai jalan masuk. 2KetorolacKetorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat.

Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac terikat pada konsentrasi yang beragam. Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah pemberian secara intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear. Kadar steady state plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam sehari. Pada dosis jangka panjang tidak dijumpai perubahan bersihan. Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume distribusinya rata-rata 0,25 L/kg. Ketorolac dan metabolitnya (konjugat dan metabolit para-hidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (rata- rata 6,1%) diekskresi dalam feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral tidak mengubah hemodinamik pasien

Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari. Ketorolac secara parenteral dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Harus diganti ke analgesik alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi Ketorolac tidak melebihi 5 hari. Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obstetri atau untuk analgesia obstetri karena belum diadakan penelitian yang adekuat mengenai hal ini dan karena diketahui mempunyai efek menghambat biosintesis prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus.

Kontra Indikasi:

Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini, karena ada kemungkinan sensitivitas silang.

Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian Asetosal atau obat anti-inflamasi non steroid lain.

Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif.

Penyakit serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah pasti.

Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi.

Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau bronkospasme.

Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain.

Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain.

Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum> 160 mmol/L)

Riwayat asma

Pasien pasca operasi dengan resiko tinggi terjadi perdarahan atau hemostasis inkomplit, pasien dengan antikoagulan termasuk Heparin dosis rendah (2.500-5000 unit setiap 12 jam)

Terapi bersama dengan Ospentyfilline, Probenecid atau garam lithium.

Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi.

Anak < 16 tahun

Pasien yang mempunyai riwayat sindrom Steven-Johnson atau ruam vesikobulosa

Pemberian neuraksial (epidural atau intratekal)

Pemberian profilaksis sebelum bedah mayor atau intra-operatif jika hemostasis benar-benar dibutuhkan karena tingginya risiko perdarahan 7BAB IIIPENUTUPKESIMPULAN

Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial.

Tujuan untuk manajemen nyeri pasca operasi adalah untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan dengan efek samping seminimal mungkin. klasifikasi nyeri berdasarkan jenisnya, meliputi nyeri akut, nyeri kronis. Klasifikasikan nyeri berdasarkan sumbernya meliputi nyeri kulit, nyeri somatik nyeri Viseral, nyeri Psikogenik, nyeri Phantom limb pain. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi kualitas, intensitas dan lamanya nyeri pasca bedah dapat disebutkan sebagai berikut : Lokasi operasi, jenis operasi dan lamanya operasi, Persiapan operasi , Adanya komplikasi yang erat hubungannya dengan pembedahan, Pengelolaaan anestasi baik sebelum, selama, sesudah pembedahan, Kwalitas dari perawatan pasca bedah. Suku, ras, warna kulit, karakter dan sosiokultural penderita, Jenis kelamin, Umur, Kepribadian, Pengalaman pembedahan sebelumnya, Motivasi pasien, Fisiologik, psychologik dari penderita. Penanggulangan nyeri pasca bedah dapat dikurangi partial atau total (tanpa nyeri) dengan cara-cara berbagai berikut :

Obat-2 sistemik analgesik dan ajuvant

Analgesik regional (Intra spinsi opiat)

Analgesik regional dengan obat lokal anestesi.

Analgesik dengan rangsangan litrik (transcutancus electrical nerve stimulation = TENS), atau dengan electroacupuncture.

Analgesik psykologik dengan Hypnosis dan Sugesti.

WHO Three Step Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri dari:

1. Langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat.

2. Apabila masih tetap nyeri langkah kedua, yaitu ditambahkan obat opiod lemah misalnya kodein.

3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.1