referat pain pathway

47
BAB 1 PENDAHULUAN Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri mempunyai sifat yang unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang bersangkutan, tetapi disisi lain nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensori tetapi juga merupakan suatu pengalaman. Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut. 3,4 Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis). 3 Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Adapun yang menjadi manfaatnya antara lain: manfaat berupa mekanisme proteksi, mekanisme defensif, dan membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit. Di lain pihak, nyeri tetaplah merupakan derita belaka bagi siapapun, dan semestinya ditanggulangi oleh karena menimbulkan perubahan biokimia, metabolisme dan fungsi sistem organ. Bila tidak teratasi dengan baik nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik dari penderita. Aspek psikologis meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan perilaku,gangguan tidur dan gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek 1

Upload: syahfiq-ismail

Post on 01-Dec-2015

75 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

t

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Pain Pathway

BAB 1

PENDAHULUAN

Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri mempunyai sifat

yang unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang bersangkutan, tetapi disisi

lain nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensori

tetapi juga merupakan suatu pengalaman. Menurut The International Association for the

Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional

yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan

atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.3,4 Berdasarkan definisi

tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik

nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).3

Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Adapun yang

menjadi manfaatnya antara lain: manfaat berupa mekanisme proteksi, mekanisme defensif,

dan membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit. Di lain pihak, nyeri tetaplah

merupakan derita belaka bagi siapapun, dan semestinya ditanggulangi oleh karena

menimbulkan perubahan biokimia, metabolisme dan fungsi sistem organ. Bila tidak teratasi

dengan baik nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik dari penderita.

Aspek psikologis meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan perilaku,gangguan

tidur dan gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri mempengaruhi

peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.9

Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang

tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan

ringan.3 Nyeri dapat dirasakan/terjadi secara akut, dapat pula dirasakan secara kronik oleh

penderita. Nyeri akut akan disertai heperaktifitas saraf otonum dan umumnya mereda dan

hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. Pemahaman tentang patofisiologi terjadinya

nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh penderita.

Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, nyeri itu

dapat berkembang menjadi nyeri kronik.2

Nyeri bukan hanya berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan

jaringan saja, tetapi juga menyangkut kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses

penghantaran impuls saraf. Di lain pihak, nyeri juga sangat mempengaruhi morbiditas,

mortilitas, dan mutu kehidupan.

1

Page 2: Referat Pain Pathway

BAB 2

NYERI

2.1 Definisi Nyeri

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai

berikut nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan

akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.1,4 Berdasarkan definisi tersebut

nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan

komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).1

Sedangkan nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit

atau akibat fungsi otot atau viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan dengan stress

neuroendokrin yang sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas

saraf otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. 1,5

2.2 Klasifikasi Nyeri

Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:

1. Nyeri somatik luar

Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa.

Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan terlokalisasi

2. Nyeri somatik dalam

Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada

otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat

3. Nyeri viseral

Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya (pleura

parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral

terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.

Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis yaitu: 2

Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri

Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeri

Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler, kontinyu)

Aksis IV : awitan terjadinya nyeri

Aksis V : etiologi nyeri

2

Page 3: Referat Pain Pathway

Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:7

a. Nyeri nosiseptif

Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik

secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator

inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.

b. Nyeri neurogenik

Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem

saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel

kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan

adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau

adanya sara tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya

allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari

noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP).

SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan

respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.

c. Nyeri psikogenik

Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi.

Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:2

a. Nyeri akut

Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai dengan

adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan

midriasis dan perubahan wajah : menyeringai atau menangis Bentuk nyeri akut dapat

berupa:

1. Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa

2. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat

3. Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral

3

Page 4: Referat Pain Pathway

b. Nyeri kronik

Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas otonom

kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan

sesudahpenyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu

menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh :

1. kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf

2. non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll

Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Nyeri onkologik

b. Nyeri non onkologik

Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:

a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan

menjelang tidur.

b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilan gbila

penderita tidur.

c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur dan

dering terjaga akibat nyeri.

4

Page 5: Referat Pain Pathway

2.3 Fisiologi dan Anatomi Nyeri.

Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi tentang

ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan

nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus

pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai

beberapa komponen :6

Gambar 2.1 Lintasan Impuls Nyeri

a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi dan

menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.(orde 1)

b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke CNS.

c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara serat

aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara lokal

eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.

d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan

ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus. (orde 2)

e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay

sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3)

5

Page 6: Referat Pain Pathway

Gambar 2.2 Lintasan sensibitlitas10

f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif

nyeri,ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris

(termasuk withdrawl respon).

g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level

medulla spinalis.

6

Page 7: Referat Pain Pathway

2.4 Patofisiologi Nyeri

Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti pembedahan akan

menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat kimia bersifat

algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. akan terjadi pelepasan

beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain,

seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat

menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.2,3

Tabel 2.1 Zat-zat yang timbul akibat nyeri3

Zat Sumber Menimbulkan nyeri Efek pada aferen primer

Kalium SerotoninBradikininHistraminProstaglandinLekotrienSubstansi P

Sel-sel rusakTrombosisKininogen plasmaSel-sel mastAsam arakidonat dan sel rusakAsam arakidonat dan sel rusakAferen primer

++++++++±±±

MengaktifkanMengaktifkanMengaktifkanMengaktifkanSensitisasiSensitisasiSensitisasi

Gambar 2.3 Fisiologi nyeri6

7

Page 8: Referat Pain Pathway

2.5 Jalur Nyeri

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan

nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses

nosisepsi yaitu:

Gambar 2.4 Proses perjalanan nyeri10

1. Tranduksi

Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-ujung

saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien,

substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau

mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung

bebas serat-serat afferent A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan

kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A

delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik

nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan

reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.

8

PERCEPTION

MODULATION

TRANSMISSION

TRANSDUCTION

Page 9: Referat Pain Pathway

2. Transmisi

Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang menyusul proses

tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke

medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi

meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai

diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih

cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medulla

spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron

nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent A-delta dan C

diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-lateral dan sebagian lagi

ke sel-sel neuron yang berada di kornua anterior medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di

kornua antero-lateral akan menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis

dengan segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua

anterior medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera

dengan segala akibatnya.

Secara umum, ada dua cara bagaimana sensasi nosiseptif dapat mencapai susunan

saraf pusat, yaitu melalui traktus neospinothalamic untuk ”nyeri cepat – spontan” dan traktus

paleospinothalamic untuk ”nyeri lambat”.

Pada traktus neospinothalamik, nyeri secara cepat bertransmisi melalui serabut A-δ dan

kemudian berujung pada kornu dorsalis di medulla spinalis dan kemudian bersinapsis dengan

dendrit pada neospinothlamaik melalui bantuan suatu neurotransmitter. Akson dari neuron ini

menuju ke otak dan menyebrang ke sisi lain melalui commisura alba anterior, naik keatas

dengan columna anterolateral yang kontralateral. Serabut ini kemudian berakhir pada

kompleks ventrobasal pada thalamus dan bersinapsis dengan dendrit pada korteks

somatosensorik. Nyeri cepat-spontan ini dirasakan dalam waktu 1/10 detik dari suatu

stimulus nyeri tajam, tusuk, dan gores.

Pada traktus paleospinothalamik, nyeri lambat dihantarkan oleh serabut C ke lamina II dan III

dari cornu dorsalis yang dikenal dengan substantia gelatinosa. Impuls kemudian dibawa oleh

serabut saraf yang berakhir pada lamina V, juga pada kornu dorsalis, bersinaps dengan

neuron yang bergabung dengan serabut dari jalur cepat, menyebrangi sisi berlawanan via

commisura alba anterior dan naik ke aras melalui jalur anterolateral. Neuron ini kemudian

berakhir dalam batang otak, dengan sepersepuluh serabut berhenti di thalamus dan yang

lainnya pada medulla, pons, dan substantia grisea sentralis dari tectum mesencephalon.

9

Page 10: Referat Pain Pathway

Sebenarnya terdapat beragam jalur khusus hantaran sinyal dari kerusakan jaringan dibawa ke

berbagai tujuan, dimana dapat memprovokasi proses kompleks. Transmisi nosiseptif

sentripetal memicu berbagai jalur : spinoreticular, spinomesencephalic, spinolimbic,

spinocervical, dan spinothalamic.

Traktus spinoreticular membawa jalur aferen dari somatosensorik dan viscerosensorik yang

berakhir pada tempat yang berbeda pada batang otak. Traktus spinomesencephalik

mengandung berbagai proyeksi yang berakhir pada tempat yang berbeda dalam nukleus

diencephali. Traktus spinolimbik termasuk dari bagian spinohipotalamik yang mencapai

kedua bagian lateral dan medial dari hypothalamus dan kemudian traktus spinoamygdala

yang memanjang ke nukleus sentralis dari amygdala. Traktus spinoservikal, seperti

spinothalamik membawa sinyal ke thalamus.

3. Modulasi

Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan input

nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta

dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medulla spinalis tidak semuanya

diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara

impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem

inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih

dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi

yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.

4. Persepsi

Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks,

termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensibel nyeri. Fase ini

merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu menjadi sadar akan

adanya suatu nyeri, maka akan terjadi suatu reaksi yang kompleks. Persepsi ini menyadarkan

individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu itu dapat bereaksi. (8)

Fase ini dimulai pada saat dimana nosiseptor telah mengirimkan sinyal pada formatio

reticularis dan thalamus, sensasi nyeri memasuki pusat kesadaran dan afek. Sinyal ini

kemudian dilanjutkan ke area limbik. Area ini mengandung sel sel yang bisa mengatur emosi.

Area ini yang akan memproses reaksi emosi terhadap suatu nyeri. Proses ini berlangsung

sangat cepat sehingga suatu stimulus nyeri dapat segera menghasilkan emosi.  

10

Page 11: Referat Pain Pathway

Gambar 2.5 Jalur Nyeri

Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A yang

bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat). Serat

A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A delta

menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk).

Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan,

baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior.

Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal,

sedangkan serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan

kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai polymodal nociceptors.

Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps adalah asam

glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P

(neurokinin) yang merupakan polipeptida.

11

Page 12: Referat Pain Pathway

Gambar 2.6 Ascending Pain Pathways

Sensitisasi Perifer

Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan menyebabkan terlepasnya zat-zat dalam

sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel mast, makrofag dan

limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia

yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga

terjadi ekstravasasi protein plasma.1,3,5,6

Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi seperti ion kalium,

hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-produk siklooksigenase dan

lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator

kimia inilah yang menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas. Akibat dari

sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri sekarang terasa nyeri.

Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai dengan meningkatnya respon

terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi

perifer diinduksi oleh adanya perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak

maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka

dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar

penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan anti enzim

siklooksigenase.

12

Page 13: Referat Pain Pathway

Sensitisasi Sentral.

Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat pembedahan/inflamasi, akan

mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis

akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan

sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu

dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan

second-order neuron sebagai neuron penerima dari neuron pertama. Second-order neuron-lah

yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus

noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni

pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap impuls

dari serabut Aδ dan serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic range neuron (WDR)

yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-noksius yang

menyebabkan menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga

terjadi peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.1,3,5,6

Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu dorsalis

menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai sensitisasi

sentral atau wind up. “Wind-up” ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi

lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini

menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai “hard wired” yang

kaku tetapi seperti plastik , artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan

atau inflamasi.

Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini telah

diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C dari serabut

aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis

yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang sulit

disembuhkan.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan sensitisasi sentral

adalah: pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan berespon

terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus nosiseptif. Kedua, terjadi

peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang lebih dari potensial ambang.

Dan yang terakhir, terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara normal

tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif. Perubahan-perubahan ini

penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan perkembangan terjadinya nyeri

13

Page 14: Referat Pain Pathway

kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah

nyeri di sekitar perlukaan.

Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada kornu

dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada ujung terminal aferen

yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Ini berarti

bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang

superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi nyeri.Jika secara fungsional dilakukan

hubungan antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan informasi non-noxious

dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input nosiseptif maka akan terbentuk

suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan sebagaimana yang terjadi

pada kerusakan saraf.

Gambar 2.7 Skema sensitasi sentral11

Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri. Reseptor-

reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer. Beberapa dari

reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari alternatif pengobatan baru.

Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui

bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun

bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti

pada mekanisme “wind-up” dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi,

14

Page 15: Referat Pain Pathway

sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian antargonis

NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat reseptor NMDA, dengan jelas

dapat mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat

penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa

dekrtrometorfan juga merupakan penyekat reseptor NMDA.

Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam proses

biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif. Produksi

NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler akan

bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi

enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan

NO (Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.

Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel. Namun,

dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan merusak sel saraf itu

sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi seiring dengan aktivasi reseptor NMDA

yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat produksi dari NO

akan mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan penanganan nyeri.

Fenomena “wind-up” merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana memberikan

analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut sedini mungkin,

analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya

“wind-up”. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.

Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari hasil

penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri. Percobaan

difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang pada tingkat

spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian

ditujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia

pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam

mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri trauma adalah

terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip dasar pengelolaan

nyeri adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer dengan pemberian

obat-obat NSAID (COX, atau COX2), sedangkan untuk menekan atau mencegah terjadinya

sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal utamanya jika

diberikan secara sentral.

15

Page 16: Referat Pain Pathway

2.6. Sistem Inhibisi Terhadap Nyeri

Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal ini dapat terjadi karena

ada suatu proses modulasi di kornua dorsalis medulla spinalis. Ini dimungkinkan karena ada

sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti :2

1. Stimulasi serat afferent yang mempunyai diameter besar.

Stimulasi serat afferent ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi interneuron

inhibisi di kornua dorsalis. Stimulasi halus berulang serat A betha atau menggunakan

alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.

2. Serat inhibisi desendens.

Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornua dorsalis medulla spinalis, yaitu :

a. Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.

b. Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleus

c. Lintasan III : Berawal dari nucleus Edinger Wesphal

Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri neuron

nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan ini akan

melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin.

Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG kaya

dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan mengaktifkan ketiga

lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang dilepaskan secara

endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen. Pelepasan endorphin dapat dipicu oleh

nyeri dan stres.

3. Betha endorphin.

Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor zat ini dibawa

ke medulla spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di substansia gelatinosa.

4. Opioid

PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornua dorsalis medulla sinalis

juga kaya dengan reseptor opioid.

Opioid bekerja dengan mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan reseptor

opioid di substansia gelatinosa.

16

Page 17: Referat Pain Pathway

2.7. Respon Tubuh Terhadap Stres Nyeri.

Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam tubuh. Impuls nyeri oleh serat

afferent selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis, juga

akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral dan kornu anterior medulla spinalis.1

Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin yang sesuai

dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri melalui serat saraf

afferent diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis dan

juga diteruskan melalui sel-sel dikornu anterolateral dan kornu anterior medulla spinalis

memberikan respon segmental seperti peningkatan muscle spasm (hipoventilasi dan

penurunan aktivitas), vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi fungsi organ visera (distensi

abdomen, gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga mempengaruhi respon

suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal, metabolik dan imunologi yang

menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon terjadap psikologis pasien seperti

interpretasi nyeri, marah dan takut.3,8

Gambar 2.8 Respon tubuh terhadap nyeri6

17

Page 18: Referat Pain Pathway

Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan mengaktifkan

sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem simpatis akan

teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada tubuh

seperti :

a. Sistem respirasi

Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek segmental, dan

hormon seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan kebutuhan

oksigen tubuh dan produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan

ventilasi permenit sehingga meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini menyebabkan

peningkatan kerja sistem pernafasan, khususnya pada pasien dengan penyakit paru.

Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan volume tidal dan kapasitas residu

fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis, intrapulmonary shunting,

hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi hipoventilasi.3,8

b. Sistem kardiovaskuler

Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi, hipoksia

jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa peningkatan produksi

katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik hormon (ADH) sehingga mempengaruhi

hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh

darah secara sistemik. Pada orang normal cardiac output akan meningkat tetapi pada

pasien dengan kelainan fungsi jantung akan mengalami penurunan cardiac output dan hal

ini akan lebih memperburuk keadaanya. Karena nyeri menyebabkan peningkatan

kebutuhan oksigen myocard, sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia

myocardial.3,8

c. Sistem gastrointestinal

Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan menurunkan motilitas

saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan menyebabkan

ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas usus, potensial menyebabkan pasien

mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah, dan konstipasi sering terjadi. Distensi

abdomen memperberat hilangnya volume paru dan pulmonary dysfunction. 3,8

d. Sistem urogenital

Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih dan

menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.

e. Sistem metabolisme dan endokrin

18

Page 19: Referat Pain Pathway

Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin. Metabolisme otot

jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Respon hormonal terhadap

nyeri meningkatkan hormon-hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol dan glukagon

dan menyebabkan penurunan hormon anabolik seperti insulin dan testosteron. Peningkatan

kadar katekolamin dalam darah mempunyai pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas

insulin menurun, menimbulkan gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula darah

meningkat. Hal ini mendorong pelepasan glukagon. Glukagon memicu peningkatan proses

glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri akan menimbulkan keseimbangan

negative nitrogen, intoleransi karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan

hormon kortisol bersamaan dengan peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan

hormon antidiuretik yang menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder

dari ruangan ekstraseluler.3,8

f. Sistem hematologi

Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan

hiperkoagulopati.3

g. Sistem imunitas

Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat mendepresi

sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan pasien beresiko menjadi

mudah terinfeksi.3

h. Efek psikologis

Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety), ketakutan,

agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri berkepanjangan dapat

menyebabkan depresi.8

i. Homeostasis cairan dan elektrolit

Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon aldosterom berupa

retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan

penurunan produksi urine. Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan berkurangnya

kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.8

19

Page 20: Referat Pain Pathway

2.9 Pengukuran Intensitas Nyeri

Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis,

kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang

relatif sulit.

Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri,

antara lain :1,7

1. Verbal Rating Scale (VRSs)

Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan.

Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri

yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui

intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini

menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:

- tidak nyeri (none)

- nyeri ringan (mild)

- nyeri sedang (moderate)

- nyeri berat (severe)

- nyeri sangat berat (very severe)

2. Numerical Rating Scale (NRSs)

Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri.

Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-10.

”0”menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10” menggambarkan nyeri yang hebat.

Gambar 2.9 Numeric pain intensity scale7

3. Visual Analogue Scale (VASs)

Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metoda ini

menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai

nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan

20

Page 21: Referat Pain Pathway

intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah sensitif

untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat

digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada

anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada

dalam nyeri hebat.

Gambar 2.10 Visual Analog scale7

4. McGill Pain Questionnaire (MPQ)

Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejal nyeri yang dirasakan.

Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif dan

kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking dari ”0” sampai ”3”.

5. The Faces Pain Scale

Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai intensitas

nyeri pada anak-anak.

Gambar 2.11 Faces Pain Scale7

21

Page 22: Referat Pain Pathway

BAB 3PENATALAKSANAAN NYERI

3.1. Terapi Multimodal

Nyeri akut sering dikelola dengan tidak memadai. Ini tidak seharusnya demikian. Kontrol

nyeri sering bisa diperbaiki dengan strategi sederhana, yaitu nilai nyeri, atasi dengan obat dan

teknik yang sudah ada, nilai kembali nyeri setelah terapi dan bersiap untuk memodifikasi

pengobatan jika perlu. Analgesia yang baik mengurangi komplikasi pasca bedah seperti

infeksi paru, mual dan muntah, DVT ,dan ileus.

Penyebabnya biasanya lebih mudah dapat ditentukan, sehingga penanggulangannya

biasanya lebih mudah pula. Nyeri akut ini akan mereda dan hilang seiring dengan laju proses

penyembuhan jaringan yang sakit. Semua obat analgetika efektif untuk menanggulangi nyeri

akut ini. Diagnosa penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih dahulu. Bersamaan dengan

usaha mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan nyeri penderita juga diatasi. Intinya, diagnosa

penyebab ditegakkan, usaha mengatasi nyeri sejalan dengan usaha mengatasi

penyebabnya.1,2,3

Setelah diagnosis ditetapkan, perencanaan pengobatan harus disusun. Untuk itu

berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam dapat digolongkan sebagai

berikut13 :

a. Modalitas fisik

Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum, perbaikan

posisi, imobilisasi, dan mengubah pola hidup.

b. Modalitas kognitif-behavioral

Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasiern, dan pendekatan spiritual.

c. Modalitas Invasif

Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf.

d. Modalitas Psikoterapi

Dilakukan secara terstruktur dan terencana, khususnya bagi merreka yang

mengalami depresi dan berpikir ke arah bunuh diri

e. Modalitas Farmakoterapi

Mengikuti ”WHO Three-Step Analgesic Ladder”

22

Page 23: Referat Pain Pathway

3.2. Farmakoterapi Nyeri

Semua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya efektif untuk mengatasi nyeri akut.

Hal ini dimungkinkan karena nyeri akut akan mereda atau hilang sejalan dengan laju proses

penyembuhan jaringan yang sakit.

Dalam melaksanakan farmakoterapi terdapat beberapa prinsip umum dalam pengobatan

nyeri. Perlu diketahui sejumlah terbatas obat dan pertimbangkan berikut:

Bisakan pasien minum analgesik oral?

Apakah pasien perlu pemberian iv untuk mendapat efek analgesik cepat?

Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan dalam kombinasi dengan

analgesik sistemik?

Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri, misal pemasangan

bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.

Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi mengikuti ”WHO

Three Step Analgesic Ladder” yaitu :1

1. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti NSAID atau COX2

spesific inhibitors.

2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-obat

seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.

3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih kuat.

Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri pada proses transduksi dapat

diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada transmisi inpuls saraf

dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses modulasi diberikan kombinasi

anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan pada persepsi diberikan anestetik umum,

narkotik, atau parasetamol

Pada dasarnya ada 3 kelompok obat yang mempunyai efek analgetika yang dapat

digunakan untuk menanggulangi nyeri akut.

1. Obat analgetika nonnarkotika.

Termasuk disini adalah obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS)

Banyak jenis obat ini. Manfaat dan efek samping obat-obat ini wajib dipahami sebelum

memberikan obat ini pada penderita. Obat antiinflamasi nonsteroid mempunyai titik

tangkap kerja dengan mencegah kerja ensim siklooksigenase untuk mensintesa

prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh obat ini.

23

Page 24: Referat Pain Pathway

Obat ini efektif untuk mengatasi nyeri akut dengan intensitas ringan sampai sedang. Obat

ini tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara oral (tablet, kapsul, sirup), dalam

kemasan suntik. Kemasan suntik dapat diberikan secara intra muskuler, dan intravena.

Pemberian intravena dapat secara bolus atau infus. Obat ini juga tersedia dalam kemasan

yang dapat diberikan secara supositoria

Memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti-radang. Efektif untuk bedah

mulut dan bedah ortopedi minor. Mengurangi kebutuhan akan opioid setelah bedah

mayor. Obat-obat AINS memiliki mekanisme kerja sama, jadi jangan kombinasi dua

obat AINS yang berbeda pada waktu bersamaan.

Diketahui meningkatkan waktu perdarahan, dan bisa menambah kehilangan darah.

Bisa diberikan dengan banyak cara: oral, im, iv, rektal, topikal. Pemberian oral lebih

disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari karena nyeri dan bisa menimbulkan

abses steril pada tempat suntikan.

Kontraindikasi AINS

Riwayat tukak peptik

Insufisiensi ginjal atau oliguria

Hiperkalemia

Transplantasi ginjal

Antikoagulasi atau koagulopati lain

Disfungsi hati berat

Dehidrasi atau hipovolemia

Terapi dengan frusemide

Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS

Gunakan AINS dengan hati-hati (risiko kemunduran fungsi ginjal) pada :

Pasien > 65 tahun

Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau penyakit pembuluh darah

ginjal

Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata

Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vaskular mayor

Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium, penyekat beta,

cyclosporin, atau metoreksat.

24

Page 25: Referat Pain Pathway

Elektrolit dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi ginjal atau

gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS.

Ibuprofen aman dan murah. Obat-obat kerja lama (misal piroksikam) cenderung memiliki

efek samping lebih banyak. Penghambat spesifik dari siklo-oksigenase 2 (COX-2) misal

meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya minimal terhadap sistem COX

gastrointestinal dan ginjal.

Pemberian AINS dalam jangka lama cenderung menimbul-kan efek samping daripada

pemberian singkat pada periode perioperatif. Antagonis H2 (misal ranitidin) yang diberikan

bersama AINS bisa melindungi lambung dari efek samping.

.

2. Obat analgetika narkotik

Obat ini bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid yang banyak terdapat didaerah

susunan saraf pusat. Obat ini terutama untuk menanggulangi nyeri akut dengan intensitas

berat. Terdapat 5 macam reseptor opioid, Mu, Kappa, Sigma, Delta dan Epsilon.

Obat analgetika narkotika yang digunakan dapat berupa preparat alkaloidnya atau preparat

sintetiknya. Penggunaan obat ini dapat menimbulkan efek depresi pusat nafas bila dosis

yang diberikan relatif tinggi.

Efek samping yang tidak tergantung dosis, yang juga dapat terjadi adalah mual sampai

muntah serta pruritus. Pemakaian untuk waktu yang relatif lama dapat diikuti oleh efek

toleransi dan ketergantungan.

Obat ini umumnya tersedia dalam kemasan untuk pemberian secara suntik, baik intra

muskuler maupun intravena.

Pemberian intravena, dapat secara bolus atau infus. Dapat diberikan secara epidural

atau intra tekal, baik bolus maupun infuse (epidural infus). Preparat opioid

Fentanyl juga tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara intranasal atau

dengan patch dikulit. Sudah tersedia dalam bentuk tablet (morfin tablet). Juga

tersedia dalam kemasan supositoria.

Penggunaan obat narkotik ini harus disertai dengan pencatatan yang detail dan ketat,

serta harus ada pelaporan yang rinci tentang penggunaan obat ini ke instansi

pengawas penggunaan obat-obat narkotika.

Dengan ditemukannya reseptor opioid didaerah kornua dorsalis medulla spinalis di

tahun 1970 an, obat ini dapat diberikan secara injeksi kedalam ruang epidural atau kedalam

ruang intratekal. Bila cara ini dikerjakan, dosis obat yang digunakan menjadi sangat kecil,

25

Page 26: Referat Pain Pathway

menghasilkan efek analgesia yang sangat baik dan durasi analgesia yang sangat

lama/panjang.

Pemakaian obat analgetika narkotika secara epidural atau intratekal, dapat

dikombinasi dengan obat-obat Alfa-2 agonist, antikolinesterase atau adrenalin.

Dengan kombinasi obat-obat ini, akan didapat efek analgesia yang sangat adekuat serta durasi

yang lebih panjang, sedangkan dosis yang diperlukan menjadi sangat kecil.

3. Kelompok obat anestesia lokal.

Obat ini bekerja pada saraf tepi, dengan mencegah terjadinya fase depolarisasi pada saraf tepi

tersebut. Obat ini dapat disuntikkan pada daerah cedera, didaerah perjalanan saraf tepi yang

melayani dermatom sumber nyeri, didaerah perjalanan plexus saraf dan kedalam ruang

epidural atau interatekal.

Obat Maksimum untuk filtrasi lokal

Maksimum untuk anestesi pleksus

Lidocaine (lignocaine) 3mg/kg 4mg/kg

Lidocaine dengan Adrenalin 5mg/kg 7mg/kg

Bupivacaine 1,5mg/kg 2mg/kg

Bupivacaine dengan adrenalin

2mg/kg 3,5mg/kg

Prilocaine 5mg/kg 7mg/kg

Prilocaine dengan adrenalin 5mg/kg 8mg/kgTabel 3.2. Dosis maksimum aman dari anestesi lokal

Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat dikombinasikan

dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik. Analgesia yang dihasilkan lebih

adekuat dan durasi lebih panjang. Obat yang diberikan intratekal hanyalah obat yang

direkomendasikan dapat diberikan secara intratekal. Obat anesthesia lokal tidak boleh

langsung disuntikkan kedalam pembuluh darah. Memberikan analgesia tambahan untuk

semua jenis operasi. Bisa menghasilkan analgesia tanpa pengaruh terhadap kesadaran. Teknik

sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir prosedur akan menghasilkan

analgesia singkat. Tidak ada alasan untuk tidak menggunakannya. Blok saraf, pleksus atau

regional bisa dikerjakan untuk berlangsung beberapa jam atau hari jika digunakan teknik

kateter.

26

Page 27: Referat Pain Pathway

Komplikasi bisa terjadi:

Komplikasi tersering berkaitan dengan teknik spesifik, misal hipotensi pada

anestesi epidural karena blok simpatis, dan kelemahan otot yang menyertai blok

saraf besar.

Toksisitas sistemik bisa terjadi akibat dosis berlebihan atau pemberian aksidental

dari anestesi lokal secara sistemik. Ini bermanifestasi mulai dari kebingungan

ringan, sampai hilang kesadaran, kejang, aritmia jantung dan henti jantung.

Pemberian obat yang salah merupakan malapetaka pribadi dan mediko-legal.

Ekstra hati-hati diperlukan ketika memberikan obat.

3.3. Analgesia Balans

Obat analgetika nonnarkotika hanya efektif untuk mengatasi nyeri dengan intensitas ringan

sampai sedang. Sedangkan obat analgetika narkotika efektif untuk mengatasi nyeri dengan

intensitas berat. Dipihak lain blok saraf tidak selalu mudah dapat dikerjakan.2 Tidak jarang,

untuk mendapatkan efek analgesia yang adekuat diperlukan dosis obat yang besar. Hal ini

dapat diikuti oleh timbulnya efek samping.

Untuk menghindari hal ini, dapat diusahakan dengan menggunakan beberapa macam obat

analgetika yang mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda. Dapat digunakan dua atau lebih

jenis obat dengan titik tangkap yang berbeda. Dengan pendekatan ini, dosis masing-masing

individu obat tersebut menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan menghasilkan kwalitas analgesia

yang lebih adekuat dengan durasi yang lebih panjang.

Dengan demikian efek samping yang dapat ditimbulkan oleh masing masing obat dapat

dihindari.

Analgesia Balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri yang menggunakan pendekatan

multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses transduksi ditekan dengan AINS, proses

transmisi dengan obat anestetik lokal, dan proses modulasi dengan opiat. Pendekatan ini,

memberikan penderita obat analgetika dengan titik tangkap kerja yang berbeda seperti obat

obat analgetika non narkotika, obat analgetika narkotika serta obat anesthesia lokal secara

kombinasi disebut Balans analgesia atau pendekatan polifarmasi.

3.4. Analgesia Preemptif.

27

Page 28: Referat Pain Pathway

Diatas sudah dijelaskan bahwa bila seseorang tertimpa cedera dan yang bersangkutan

menderita nyeri (berat) dan nyeri ini tidak ditanggulangi dengan baik, dapat diikuti oleh

perubahan kepekaan reseptor nyeri dan neuron nosisepsi di medulla spinalis (kornu dorsalis)

terhadap stimulus yang masuk.

Ambang rangsang organ-organ tersebut akan turun. Terjadinya plastisitas sistem saraf.

Tindakan mencegah terjadinya plastisitas sistem saraf dengan memberikan obat-obat

analgetika sebelum trauma terjadi disebut tindakan preemptif analgesia. Tindakan anestesia

merupakan salah satu contoh preemptif analgesia ini. Dengan menanggulangi penyebab,

keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pembedahan merupakan saat yang tepat untuk

melakukan teknik analgesia preemtif dimana teknik ini menjadi sangat efektif karena awitan

dari sensari nyeri diketahui.

BAB 3

28

Page 29: Referat Pain Pathway

PENUTUP

Nyeri merupakan hal seringkali kita jumpai pada dunia praktek kedokteran yang sampai saat

ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran Nyeri merupakan manifestasi dari suatu

proses patologis yang terjadi di dalam tubuh. Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang

mempunyai manfaat. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan

dengan baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik. Beberapa prinsip dalam

diagnosis dan penatalaksanaan nyeri sebagai berikut :

Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa nyeri. Mereka perlu

didengarkan dan dipercaya.

Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan untuk membuktikan

bahwa seseorang sedang berpura-pura nyeri.

Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan analgesia yang bervariasi

pada berbagai pasien.

Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara berbeda oleh pasien.

Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan adiksi obat.

Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah. Cari sebab-sebab nyeri yang bisa

diatasi, tetapi jangan tunda analgesia dengan alasan takut menyelubungi tanda-tanda

bedah.

Dosis tepat dari analgesik opioid adalah ‘cukup dan sering cukup’

Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit sering diperoleh dengan

kombinasi berbagai obat dengan cara pemberian berbeda (misal opioid dan AINS dan

anestesi lokal)

Diagnosa penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih dahulu. Bersamaan dengan

usaha mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan nyeri penderita juga diatasi.Pengobatan yang

direncanakan untuk menangulangi nyeri harus diarahkan kepada proses penyakit yang

mendasarinya untuk mengendalikan nyeri tersebut. Pemahaman tentang patofisiologi

terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh

penderita. Semua obat analgetika efektif untuk menanggulangi nyeri akut ini.

DAFTAR PUSTAKA

29

Page 30: Referat Pain Pathway

1. Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nd ed. Stamford: Appleton

and Lange, 1996, 274-316.

2. Mangku, G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, 2002.

3. Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi dan Terapi Intensif

FK UI, Jakarta, 2001.

4. Hamill, R.J., The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain Management,

New York, McGrow-Hill Inc, 1994, 13-25

5. Loese, J.D., Peripheral Pain Mechanism and Nociceptic Plasticity, In Bonica’s

Management of Pain, Lippicott Williams and Wilkins, 2001, 26-65

6. Avidan, M., Pain Managemnet, In Perioperative Care, Anaesthesia, Pain Management

and Intensive Care, London, 2003, 78-102

7. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional

Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005

8. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Manajemen nyeri akut, in Kedokteran Perioperatif,

Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 14, 57-69.

9. Mellattii,, Endang..,, Pediiattriic Paiin Managementt In Trauma,, Bagian/SMF

Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang, 2003.

10. Sutjahjo, Rita A., Pain Relief In Trauma, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 2003.

11. Tanra, Husni., Prehospital Pain Management for Trauma Patient, Bagian/SMF

Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Makasar, 2002.

12. Arifin, Hasanul., Pengelolaan Nyeri Akut, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002.

13. Mangku G., Nyeri dan Mutu Kehidupan, Buletin IDI, Denpasar, 2005.

14. Meliala A. Pemeriksaan Nyeri, Neuro Sains, Suplemen BNS Vol 4 No 2, 2003, 33-37.

15. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Peresepan Periperatif, in Kedokteran Perioperatif,

Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 52,403-420

30