documentp

20
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di seluruh dunia terdapat 34 juta orang terinfeksi HIV. Tahun 2011 terdapat 2.5 juta kasus infeksi baru dan 1.7 juta kematian yang disebabkan oleh AIDS. Insidensi acquired immune deficiency syndrome (AIDS) di Indonesia mencapai 55.799 jiwa. 1 Sejak dimulainya penggunaan terapi antiretroviral pada pertengahan tahun 1990, angka kematian AIDS menurun drastis menyebabkan AIDS merupakan penyakit kronis. Komplikasi sistem saraf pusat terjadi 39-70% pada pasien HIV. Etiologi kejang terbanyak pada pasien HIV adalah encepalopathy, progressive multifocal leukoencephalopathy dan toxoplasmosis. Pemberian kombinasi OAE diindikasikan pada 55% pasien yang menggunakan ARV. Komplikasi neurologis terjadi pada 40% pasien dengan HIV, kejadian insidens kejang pada pasien HIV mencapai 11%. 2 Penggunaan obat anti epilepsi pada pasien dengan immunocompromised memperlihatkan hal yang unik terkait dengan interaksi antara anti-retro virus (ARV) dan obat anti epilepsi (OAE). Pemberian dan pemilihan obat anti epilepsi pada pasien dengan immunocompromised perlu lebih berhati- hati, karena beberapa obat anti epilepsi diperkirakan dapat menurunkan efektivitas dari obat anti retro virus sehingga menyebabkan virologic failure demikian pula sebaliknya obat ARV yang menurunkan efektivitas dari OAE dapat menyebabkan 1

Upload: soehor

Post on 11-Jan-2016

235 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Documentp

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di seluruh dunia terdapat 34 juta orang terinfeksi HIV. Tahun 2011 terdapat 2.5 juta

kasus infeksi baru dan 1.7 juta kematian yang disebabkan oleh AIDS. Insidensi acquired

immune deficiency syndrome (AIDS) di Indonesia mencapai 55.799 jiwa.1 Sejak

dimulainya penggunaan terapi antiretroviral pada pertengahan tahun 1990, angka

kematian AIDS menurun drastis menyebabkan AIDS merupakan penyakit kronis.

Komplikasi sistem saraf pusat terjadi 39-70% pada pasien HIV. Etiologi kejang terbanyak

pada pasien HIV adalah encepalopathy, progressive multifocal leukoencephalopathy dan

toxoplasmosis. Pemberian kombinasi OAE diindikasikan pada 55% pasien yang

menggunakan ARV. Komplikasi neurologis terjadi pada 40% pasien dengan HIV,

kejadian insidens kejang pada pasien HIV mencapai 11%.2

Penggunaan obat anti epilepsi pada pasien dengan immunocompromised

memperlihatkan hal yang unik terkait dengan interaksi antara anti-retro virus (ARV) dan

obat anti epilepsi (OAE). Pemberian dan pemilihan obat anti epilepsi pada pasien dengan

immunocompromised perlu lebih berhati-hati, karena beberapa obat anti epilepsi

diperkirakan dapat menurunkan efektivitas dari obat anti retro virus sehingga

menyebabkan virologic failure demikian pula sebaliknya obat ARV yang menurunkan

efektivitas dari OAE dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol. Selain itu, interaksi

yang kompleks antara obat ARV dengan OAE diperkirakan juga dapat meningkatkan

risiko toksisitas obat dalam darah. Saat ini belum ada pedoman terapi dalam tatalaksana

epilepsi pada pasien immunocompromised. Oleh karena itu, penulis ingin membahas

lebih lanjut tentang penggunaan OAE pada pasien immunocompromised.3

1.2. Tujuan Studi Pustaka

1.2.1. Tujuan Umum

Mengetahui berbagai panduan pemberian obat anti epilepsi pada pasien

immunocompromised.

1.2.2. Tujuan Khusus

- Mengetahui berbagai panduan pemberian obat anti epilepsi pada pasien

immunocompromised.1

Page 2: Documentp

- Mengetahui berbagai interaksi pemberian obat anti epilepsi pada pasien

immunocompromised.

1.3. Manfaat Studi Pustaka

1.3.1. Bidang Akademik

Hasil studi kepustakaan ini diharapkan dapat memajukan ilmu pengetahuan dan

menambah wawasan dengan menyajikan informasi mengenai pilihan terapi obat

anti epilepsi pada pasien dengan immunocompromised.

1.3.2. Pelayanan Masyarakat

Hasil studi kepustakaan ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat

mengenai epilepsi pada pasien immunocompromised.

2

Page 3: Documentp

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epilepsi

2.1.1 Definisi Epilepsi

Epilepsi adalah sindroma klinis yang ditandai dengan dua atau lebih

bangkitan. Sebagian besar timbul tanpa provokasi akibat kelainan abnormal primer

di otak dan bukan sekunder oleh penyebab sistemik. Sedangkan, bangkitan epilepsi

adalah suatu manifestasi klinik yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang

abnormal dan berlebih. Aktivitas paroksismal abnormal ini umumnya timbul

intermiten dan self-limited. 3,4

2.1.2 Tatalaksana epilepsi

Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk

bangkitan. Penggunaan terapi tunggal dan dosis tunggal menjadi pilihan utama.

Kepatuhan pasien juga ditentukan oleh harga dan efek samping OAE yang timbul.4

Antikonvulsan Utama

1. Fenobarbital : dosis 2-4 mg/kgBB/hari

2. Phenitoin : 5-8 mg/kgBB/hari

3. Karbamasepin : 20 mg/kgBB/hari

4. Valproate : 30-80 mg/kgBB/hari

Keputusan pemberian pengobatan setelah bangkitan pertama dibagi dalam 3

kategori:

1. Definitely treat (pengobatan perlu dilakukan segera)

Bila terdapat lesi struktural, seperti :

a. Tumor otak

b. AVM

c. Infeksi : seperti abses, ensefalitis herpes

3

Page 4: Documentp

Tanpa lesi struktural :

a. Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)

b. EEG dengan gambaran epileptik yang jelas

c. Riwayat bangkitan simpomatik

d. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP

e. Status epilepstikus

2. Possibly treat (kemungkinan harus dilakukan pengobatan)

Pada bangkitan yang tidak dicetuskan (diprovokasi) atau tanpa disertai faktor

resiko diatas

3. Probably not treat (walaupun pengobatan jangka pendek mungkin diperlukan)

a. Kecanduan alkohol

b. Ketergantungan obat obatan

c. Bangkitan dengan penyakit akut (demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemia)

d. Bangkitan segera setelah benturan di kepala

e. Sindroma epilepsi spesifik yang ringan, seperti kejang demam

f. Bangkitan yang diprovokasi oleh kurang tidur

2.2 Human Immunodeficiency Virus (HIV)

2.2.1 Definisi dan klasifikasi HIV

Human Immunodeficinecy Virus (HIV) adalah salah satu retrovirus dalam

famili Retroviridae dari genus Lentivirus, single-stranded virus, dengan kapsul,

dan positive sense RNA virus yang dapat menyebabkan Acquired

Immunodeficiency Syndrome (AIDS), yaitu suatu sindrom yang didapat (acquired)

akibat defisiensi sistem kekebalan tubuh.5,6 Mekanisme infeksi HIV dalam tubuh

host adalah menyerang sel limfosit T (CD4+), sehingga terjadi penurunan jumlah

CD4+.24 Selain itu juga terjadi peningkatan replikasi virus dan penyebaran virus

4

Page 5: Documentp

dalam darah (viremia) sehingga meningkatkan jumlah virus yang ada dalam darah

(viral load) yang memudahkan terjadinya infeksi oportunistik.

World Health Organization (WHO) mengelompokkan HIV/AIDS menjadi

empat stadium (I-IV) berdasarkan manifestasi klinisnya pada orang dewasa sebagai

berikut : 7,8

1. Infeksi Primer

Dimulai dari masuknya virus HIV ke dalam tubuh hingga muncul acute

retroviral syndrome, yaitu demam akut selama 2-4 minggu setelah terpapar disertai

terjadinya serokonversi dari HIV Ab-negatif ke HIV Ab-positif.

2. Stadium I (Asimptomatik)

Stadium ini disebut juga stadium asimptomatik dan biasa disertai dengan

general limfadenopati persisten, yaitu perbesaran kelenjar getah bening (KGB) tanpa

rasa sakit dengan ukuran > 1 cm di dua atau lebih daerah yang tidak terinfeksi selama

minimal tiga bulan atau lebih.

3. Stadium II (Mild)

Sistem kekebalan tubuh menurun sehingga mulai muncul berbagai manifestasi

klinis, seperti penurunan berat badan <10%, infeksi saluran napas berulang (sinusitis,

tonsilitis, otitis media, faringitis), herpes zoster, angular cheilitis, ulserasi oral

berulang, papular pruritus, seborrhoeic dermatitis, dan infeksi jamur pada kuku.

4. Stadium III (Advance)

Manifestasi klinis yang terjadi bertambah parah, ditandai dengan penurunan

berat >10%, diare kronis lebih dari satu bulan, demam persisten (>37.6oC

intermiten atau konstan) selama lebih dari satu bulan, oral candidiasis persisten,

hairy leukoplakia, tuberkulosis, infeksi bakteri berat (pneumonia, empyema,

pyomycitis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, bakteremia), necrotizing

ulcerative stomatitis akut, gingivitis, periodontitis, anemia (<8 g/dL), neutropenia

(<0.5 x 109 per liter), dan trombositopenia kronis (<50 x 109 per liter).

5. Stadium IV (Severe)

Stadium ini merupakan tahap terakhir dan terparah dari HIV/AIDS, dimana

dapat dijumpai wasting syndrome, pneumocystis pneumonia, bakterial pneumonia

berat berulang, herpes simplex kronis (orolabial, genital, anorektal selama lebih

dari satu bulan atau pada bagian organ lain), oesofageal candidiasis (candidiasis

trakea, bronkus, atau organ lain), tuberkulosis extrapulmoner, sarcoma Kaposi,

infeksi Citomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain), toxoplasmosis sistem

5

Page 6: Documentp

saraf pusat, HIV encephalopathy, crytococcosis extrapulmoner, termasuk

meningitis, disseminated non-tuberculous mycobacterial infection, multifokal

leukoencephalopathy progresif, dan crytosporidiosis kronis (dengan diare).

2.2.2 Tatalaksana HIV

Terapi anti-retro-virus (ARV) dimulai ketika jumlah CD4 pasien

<350sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya, atau semua pasien dengan TB

aktif, ibu hamil, dan koinfeksi dengan hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.9

Lini pertama : 2 NRTI + 1 NNRTI

Gambar 1. Cara kerja obat ARV pada replikasi virus

Terapi anti retro viral yang dibagi berdasarkan cara kerjanya:10

Entry Inhibitors : mencegah virus dalam mengikatkan diri ke reseptor di

permukaan luar sel saat virus mencoba masuk. Ketika ikatan virus dengan reseptor

gagal, HIV tidak dapat menginfeksi sel.

Fusion Inhibitors : mencegah virus untuk bergabung dengan membran sel, dan

mencegah HIV memasuki sel. Contoh: enfuvirtide

6

Page 7: Documentp

Reverse Transcriptase Inhibitors : mencegah proses reverse transkriptase,

mencegah enzim reverse transkriptase HIV untuk mengubah single stranded RNA

menjadi double stranded DNA.

1. Nucleoside/nucleotide RT inhibitors (NRTIs) menambahkan DNA yang salah

ketika virus sedang membuat rantai DNA sehingga menyebabkan sintesis DNA

HIV terputus-putus. Contoh: zidovudine, lamivudine

2. Non-nucleoside RT inhibitors (NNRTIs) mengikat enzim reverse transkriptase

sehingga menghalangi kemampuan perubahan HIV RNA menjadi HIV DNA.

Contoh: efavirenz, nevirapine

Integrase Inhibitors memblok enzim HIV integrase yang membuat virus

menyusun material genetik ke DNA sel yang terinfeksi. Contoh: raltegravir

Protease Inhibitors mencegah enzim protease HIV, yang berguna untuk

memotong rantai panjang protein HIV menjadi protein yang lebih kecil. Ketika

protease tidak bekerja dengan baik, partikel virus baru tidak dapat dibentuk.

Contoh: lopinavir, ritonavir

2.3 Terapi antiepilepsi pada pasien immunocompromised

2.3.1 Interaksi obat AED dan ARV

Interaksi dari ARV dan AED merupakan sesuatu yang

kompleks dan ekstensif. Secara umum, interaksi obat terjadi mulai dari tahap

absorpsi, tahap metabolisme oleh sitokrom P450 misalnya obat yang digunakan

dalam pengobatan HIV mayoritas dari obat-obat tersebut dimetabolisme di hati

melalui sitokrom P450, misalnya antara Rifampisin dengan PI atau NNRTI atau

antara PI dengan NNRTI), distribusi yang dipengaruhi oleh protein yang mengikat

obat. Hal yang paling berpengaruh pada interaksi obat anti epilepsi

dan obat anti retro virus adalah sistem enzim induksi sitokrom

P450. Beberapa generasi utama AED (fenitoin, carbamazepin,

fenobarbital, asam valproat) yang menginduksi enzim sitokrom

P450 dapat menurunkan dosis efektif dari non nucleoside reverse

transcriptase inhibitor (NNRTI) dan protease inhibitor (PI).10

7

Page 8: Documentp

Secara umum, AED yang ideal untuk populasi HIV adalah tidak

dimetabolisme di hati, interaksi obat-obat yang minimal dan memiliki efek

samping yang diinginkan. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan enzyme

induced anti epileptic drug (EI-AED) lebih berisiko menyebabkan kegagalan

virologi dibandingkan non EI-AED. Interaksi dari Penggunaan ARV dapat

menurunkan AED menyebabkan penurunan keefektivan dari AED

dalam kontrol kejang. Sebaliknya, penggunaan AED yang

menurunkan kadar ARV menyebabkan virologic failure yang

menyebabkan progresivitas dari penyakit dan resistensi terhadap

ARV. Meskipun demikian, di negara berkembang ketersediaan

obat non EI-AED masih jarang dan harganya relatif mahal. Namun

demikian, penelitian mengenai interaksi AED-ARV dan dosis

penyesuaian masih sangat minimal.11,12

2.3.3 Interaksi EI-AED dengan ARV

2.3.3.1 Fenitoin

Sebuah penelitian dengan 12 sample menyatakan bahwa fenitoin

menurunkan serum lopinavir dan ritonavir (PI) sebanyak 33% dan 28%.

Sehingga, pasien yang menerima fenitoin perlu menaikkan dosis lopinavir/

ritonavir sebanyak 50% untuk menjaga konsentrasi serum. Sedangkan interaksi

fenitoin setelah tiga kali pemberian dosis dengan nevirapine menyebabkan

berkurangnya waktu paruh dari 46 jam menjadi 27 jam, pada pemberian fenitoin

dosis tunggal tidak ada perubahan signifikan terhadap waktu paruh nevirapine

(NNRTI).11,12

2.3.3.2 Carbamazepine

Pada penelitian, pemberian efavirenz (NNRTI) dua minggu diikuti

pemberian carbamazepin 20 hari menyatakan carbamazepin menurunkan

konsentrasi efavirenz sebanyak 36%. Penelitian carbamazepin dengan nevirapine

menunjukkan waktu paruh nevirapine berkurang dari 52 jam menjadi 33 jam

dengan pemberian dosis tunggal carbamazepin. 11,12

2.3.3.3 Asam Valproat

Asam valproat tidak memiliki efek pada penggunaan efavirenz.

Sehingga tidak memerlukan dosis penyesuaian. Tetapi asam valproat

8

Page 9: Documentp

meningkatkan dosis zidovudine sehingga dosis zidovudine perlu diturunkan untuk

menghindari toksisitas dalam darah.11,12

2.3.2 Interaksi non EI-AED dengan ARV

2.3.2.1 Levetiracetam

Levetiracetam adalah sebuah obat antiepilepsi dengan profil yang unik.

Levetiracetam memiliki indeks terapeutik yang tinggi dan efek anti epilepsi yang

potensial. Profil farmakokinetik levetiracetam mendekati karakteristik ideal yang

diharapkan dari obat antiepilepsi, dengan bioavailabilitas yang baik, kerja yang

cepat mencapai konsentrasi yang stabil, mengikat protein secara minimal, dan

metabolisme minimal. Jalur metabolisme utama levetiracetam tidak tergantung

pada sistem sitokrom P450 hati, dan levetiracetam tidak menghambat atau

menginduksi enzim hati sehingga tidak menghasilkan interaksi klinis yang

relevan. 66% dosis levetiracetam diekskresi dalam urin; 24% dimetabolisme

menjadi metabolit aktif yang terdeteksi dalam darah dan juga diekskresikan

dalam urin. Dosis levetiracetam harus disesuaikan dengan creatinin clearance

pada pasien dengan gangguan ginjal. Levetiracetam tidak terikat dengan protein,

sehingga tidak mempengaruhi obat lain yang terikat protein. Dengan demikian,

karena memiliki ikatan yang minimal dengan protein dan kurangnya metabolisme

di hati, risiko interaksi obat sangat rendah. Levetiracetam memiliki margin of

safety yang besar yang membedakannya dari obat antiepilepsi lainnya yang

tersedia saat ini. 3,13,14,15

2.3.2.2 Gabapentin

Gabapentin adalah obat antiepilepsi baru (AED) dengan profil

farmakokinetik menarik. Gabapentin tidak terikat pada protein plasma, tidak

menginduksi enzim hati dan tidak dimetabolisme. Gabapentin memiliki paruh 6-8

jam, dan diekskresi oleh ginjal. Gabapentin tidak memiliki interaksi obat-obat

yang signifikan bila diberikan dengan AED lain atau dengan kontrasepsi oral.

Gabapentin digunakan pada kejang parsial dan keang sekunder umum tonik

klonik. Mengantuk dan pusing sementara menjadi efek samping yang paling

sering. Meskipun mekanisme kerja gabapentin tidak sepenuhnya diketahui, tetapi

efek gabapentin secara klinis sudah diakui. Gabapentin adalah obat yang

direkomendasikan pada pasien dengan kejang onset parsial. 16

9

Page 10: Documentp

2.3.2.3 Pregabalin

Pregabalin merupakan obat anti epilepsi generasi baru dengan

mekanisme yang tidak diketahui, tetapi diperkirakan pregabalin merupakan

analog GABA yang mengikat kanal kalsium di CNS, dimetabolisme secara

minimal dan dieksresi oleh ginjal, penelitian menyatakan pregabalin tidak

memiliki interaksi yang signifikan dengan obat anti epilepsi lainnya maupun obat

anti virus. Efek samping obat pregabalin adalah pusing, somnolen (21-26%),

diplopia, tremor, dan mulut kering. Selain sebagai anti epilepsi, pregabalin dapat

juga digunakan sebagai obat neuropathy. 17,18

2.3.2.4 Lacosamide

Ketika diberikan secara oral pada orang sehat, lacosamide cepat diserap

dari saluran pencernaan. Memiliki bioavailabilitas oral hampir 100%. Lacosamide

sedikit mengikat protein, sehingga mengurangi potensi interaksi dengan obat lain.

Konsentrasi tertinggi lacosamide dalam plasma darah sekitar 1 sampai 4 jam

setelah pemberian oral. Lacosamide memiliki paruh sekitar 12-16 jam, yang tetap

tidak berubah jika pasien juga mengambil penginduksi enzim. obat ini diberikan

dua kali per hari dengan interval 12 jam. Lacosamide diekskresikan melalui

ginjal, dengan 95% dari obat dieliminasi dalam urin. Hanya 0,5% dari obat

tersebut tereliminasi dalam feses.19

10

Page 11: Documentp

Tabel II. Pilihan obat anti epilepsi untuk gangguan epilepsi pada HIV positif (3)

11

Page 12: Documentp

BAB III

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

Untuk memaksimalkan manfaat klinis dan meminimalkan potensi

toksisitas ARV, penting bagi dokter untuk mengenali interaksi obat - obat yang

signifikan. Pemberian OAE dapat diindikasikan pada 55% pengguna ARV.

Untuk menjaga konsentrasi serum, pasien yang menerima fenitoin memerlukan

peningkatan dosis lopinavir / ritonavir sebanyak 50%. Pasien yang menerima

asam valproat memerlukan pengurangan dosis zidovudine untuk menjaga

konsentrasi serum zidovudine. Pemberian asam valproat dan efavirenz tidak

memerlukan penyesuaian dosis efavirenz. Penggunaan EI-AED perlu dihindari

terutama pada pasien yang menggunakan PI dan NNRTI karena interaksinya

dapat menyebabkan virologic failure yang manifestasi klinisnya dapat

memperburuk perjalanan penyakit.

12

Page 13: Documentp

DAFTAR PUSTAKA

1. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia - StatCurr.pdf.

http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf

2. Neurological Complications of HIV | Johns Hopkins Medicine Health Library

http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/conditions/nervous_system_disorders/

neurological_complications_of_hiv_134,46/

3. Siddiqi O, Birbeck GL. Safe Treatment of Seizures in the Setting of HIV/AIDS. Curr

Treat Options Neurol. 2013 Aug;15(4):529–43.

4. PERDOSSI. 2011. Standar Pelayanan Medik.

5. Medscape. Basic Information About HIV and AIDS.

http://emedicine.medscape.com/article/211316-overview.

6. CDC. Basic information about HIV/AIDS. 2012. http://www.cdc.gov/hiv/topics/basic/.

7. World Health Organization. WHO case definitions of HIV for surveillance and revised

clinical staging and immunological classification of HIV-related disease in adults and

children. Switzerland. 2007.

8. World Health Organization. Interim Clinical Staging of HIV/AIDS and HIV/AIDS Case

Definitions for Surveillance. Switzerland. 2005.

9. Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral (ART) - pedoman-art2011.pdf

http://spiritia.or.id/dokumen/pedoman-art2011.pdf

10. Antiretroviral Therapy for HIV Infection: Overview, Table of FDA-Approved

Antivirals and Regimens, Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors. 2015 Jun 5

http://emedicine.medscape.com/article/1533218-overview

11. Evidence-Based Guidelines: Use of Antiepileptic Drugs in Patients with HIV/AIDS.

NEJM J Watch http://www.jwatch.org/jn201201310000001/2012/01/31/evidence-

based-guidelines-use-antiepileptic

12. Birbeck GL, French JA, Perucca E, Simpson DM, Fraimow H, George JM, et al.,

Quality Standards Subcommittee Of The American Academy Of Neurology, Ad Hoc

Task Force Of The Commission On Therapeutic Strategies Of The International League 13

Page 14: Documentp

Against Epilepsy. Antiepileptic drug selection for people with HIV/AIDS: evidence-

based guidelines from the ILAE and AAN. Epilepsia. 2012 Jan;53(1):207–14.

13. Patsalos PN. Pharmacokinetic profile of levetiracetam: toward ideal characteristics.

Pharmacol Ther. 2000 Feb;85(2):77–85.

14. Ben-Menachem E. Levetiracetam: treatment in epilepsy. Expert Opin Pharmacother.

2003 Nov;4(11):2079–88.

15. Hovinga CA. Levetiracetam: a novel antiepileptic drug. Pharmacotherapy. 2001

Nov;21(11):1375–88.

16. Beydoun A, Uthman BM, Sackellares JC. Gabapentin: pharmacokinetics, efficacy, and

safety. Clin Neuropharmacol. 1995 Dec;18(6):469–81.

17. Guay DRP. Pregabalin in neuropathic pain: a more “pharmaceutically elegant”

gabapentin? Am J Geriatr Pharmacother. 2005 Dec;3(4):274–87.

18. Lyrica (pregabalin) dosing, indications, interactions, adverse effects, and more

http://reference.medscape.com/drug/lyrica-pregabalin-343368

19. Cawello W, Bökens H, Nickel B, Andreas J-O, Halabi A. Tolerability,

pharmacokinetics, and bioequivalence of the tablet and syrup formulations of

lacosamide in plasma, saliva, and urine: saliva as a surrogate of pharmacokinetics in the

central compartment. Epilepsia. 2013 Jan;54(1):81–8.

14