p e en nddellegg aassii aann wwewweenanngg ddallaamm...

87
Kajian Pendelegasian Wewenang dalam Sistem Manajemen PNS di Indonesia

Upload: phamdung

Post on 19-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KKaajjiiaann

PPeennddeelleeggaassiiaann WWeewweennaanngg ddaallaamm SSiisstteemm MMaannaajjeemmeenn PPNNSS ddii IInnddoonneessiiaa

-2-

PPeennddeelleeggaassiiaann WWeewweennaanngg ddaallaamm

SSiisstteemm MMaannaajjeemmeenn PPNNSS ddii IInnddoonneessiiaa

Diterbitkan oleh : Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur

Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran Nomor 10, Jakarta Pusat Telp. (021) 3868201-05 ext. 151, 152

Fax. (021) 3866857, 3865102

Cetakan I, Nopember 2009

Desain sampul : Agustinus Sulistyo

Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa ijin tertulis dari Penerbit

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Pendelegasian Wewenang dalam Sistem Manajemen PNS di Indonesia

Oleh : Agustinus Sulistyo, et al. Cet. 1 - Jakarta : Pusat KKSDA-LAN, 2009 xiv, 108 hlm.; 21 x 16 cm ISBN ..................

-3-

PPeennddeelleeggaassiiaann WWeewweennaanngg ddaallaamm

SSiisstteemm MMaannaajjeemmeenn PPNNSS ddii IInnddoonneessiiaa

Tim Peneliti :

Dra. Emma Rahmawiati, MSi. Dra. Purwastuti, MBA

Akhyar Effendi, SE., MSi. Agustinus Sulistyo Tri P., SE., MSi.

Eddy Sutrisno, SE., MSi. Evi Maya Safira, S.Sos., MPP Trimo Santoso, S.Sos., MAP

Drs. Hari Budimawan Budi Sudarso, S.Sos.

Syamsuarman, S.Sos., MSi. Suryanto, S.Sos., MSi. Wajar Santoso, SAP

Novalinda Syahwati Badriah

Nuryati

Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara

J a k a r t a 2009

-4-

SSaammbbuuttaann KKeeppaallaa LLeemmbbaaggaa AAddmmiinniissttrraassii NNeeggaarraa

Pemerintah telah mendelegasikan kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian

kepada Pemerintah Daerah sejak tahun 1999, yaitu sejak digulirkannya kebijakan otonomi daerah. Ada dua kebijakan yang menjadi pedoman dalam pengelolaan kepegawaian di daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam pelaksanaan delegasi kewenangan pengelolaan kepegawaian ini teridentifikasi adanya masalah, baik dalam peraturan yang dijadikan pedoman maupun dalam pelaksanaan kewenangan tersebut tahap pertahap, seperti penyusunan formasi, pengadaan, pengangkatan, diklat, kenaikan pangkat dan jabatan, perpindahan maupun pensiun. Untuk mengatasi masalah tersebut, Tim menyarankan perlu dilakukan perbaikan kebijakan, penataan dan koordinasi antar instansi yang terkait dalam pengelolaan pegawai, perluasan kewenangan yang diberikan serta adanya bimbingan atau asistensi dari Pemerintah Pusat secara terus menerus.

Semoga hasil kajian ini bisa memberikan manfaat dalam upaya peningkatan pengelolaan kepegawaian di daerah. Bagi semua pihak yang membantu dalam penyusunan kajian ini diucapkan terima kasih.

Jakarta, Nopember 2009 Kepala

Lembaga Administrasi Negara

Asmawi Rewansyah

-5-

KKaattaa PPeennggaannttaarr Pengelolaan kepegawaian secara nasional berpedoman pada Undang-Undang

Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa pengelolaan PNS didasarkan pada prestasi kerja dan sistem karier. Undang-Undang ini juga dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, yaitu dengan adanya pendelegasian kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian kepada Pemerintah Daerah. Dalam hal ini, pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Meskipun ada delegasi kewenangan dalam pengelolaan atau penyelenggaraan manajemen kepegawaian di daerah, tetapi pada dasarnya pengelolaannya tetap dalam satu kesatuan dengan penyelenggaraan manajemen secara nasional. Dengan kata lain, Pemerintah Pusat tidak menyelenggarakan sendiri manajemen PNS, tetapi menyerahkan sebagian kewenangan tersebut kepada Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat bertanggung jawab dalam menetapkan norma, standar dan prosedur supaya ada keseragaman perlakuan dan jaminan kepastian hukum bagi seluruh PNS baik di pusat maupun di daerah.

Dalam pelaksanaan delegasi kewenangan pengelolaan kepegawaian di daerah, Tim mengidentifikasi adanya overlapping peraturan. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang mengatur mengenai pengelolaan kepegawaian (PNS) secara umum dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang secara spesifik mengatur mengenai PNS Daerah. Beberapa pasal dalam kedua undang-undang tersebut dan beberapa peraturan pelaksananya teridentifikasi adanya tumpang tindih yang berdampak menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya di lapangan.

Masalah-masalah yang berhasil diidentifikasi oleh Tim meliputi semua tahap dalam pengelolaan kepegawaian, yaitu perencanaan formasi, pengadaan, pengangkatan, diklat, kenaikan pangkat dan jabatan, perpindahan dan pensiun. Misalnya, belum dilaksanakannya anjab dan ABK dalam penyusunan formasi, belum adanya standar tes, lulus dan lolos dalam pengadaan, tersendatnya pengurusan kenaikan pangkat dan pensiun pegawai golongan IV c keatas, merebaknya isu putera daerah dan lain sebagainya.

Terkait dengan masalah tersebut ada beberapa saran yang diberikan oleh Tim, yaitu : (1) perlunya ketegasan Pemerintah Pusat dalam menerbitkan peraturan yang terkait dengan delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian, termasuk melakukan revisi peraturan yang tidak sesuai lagi; (2) perlunya kejelasan dan ketegasan terhadap tugas, peran dan fungsi dari instansi yang terkait dengan delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian; (3) perlunya perluasan delegasi khususnya delegasi dalam tahap kenaikan pangkat dan jabatan serta pensiun untuk pegawai dengan pangkat golongan tinggi yang ada ditangan Pemerintah Pusat kepada Kantor Regional BKN. Atau apabila tetap ditangan Pemerintah Pusat maka perlu disusun prosedur yang lebih singkat, sederhana sehingga tercapai efisiensi dan efektivitas; dan (4) perlunya

-6-

pendampingan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah terhadap pemahaman dan implementasi peraturan yang terkait dengan delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian. Dengan solusi tersebut diharapkan pendelegasian kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian dapat bekerja baik, efektif dan efisien.

Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih atas saran dan masukan dari semua narasumber, baik ditingkat pusat maupun daerah. Selanjutnya kami juga mengharapkan kritik yang bisa lebih mengembangkan laporan ini sehingga bisa menjadi policy advice yang bermanfaat bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendelegasian kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian di Indonesia.

Jakarta, Nopember 2009

Deputi Bidang Kajian Kinerja Kelembagaan dan Sumber Daya

Aparatur

Sri Hadiati WK

-7-

EExxeeccuuttiivvee SSuummmmaarryy

Kebijakan yang dijadikan pedoman dalam pengelolaan kepegawaian (PNS)

secara nasional saat ini adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974. Ada dua tujuan utama diterbitkannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 ini, pertama, untuk meningkatkan profesionalisme birokrasi, yaitu dengan lebih menonjolkan prestasi kerja yang didasarkan atas penilaian obyektif terhadap prestasi, kompetensi dan pelatihan dalam pengangkatan jabatan serta adanya pemisahan yang tegas antara jabatan politis dan jabatan karier; dan kedua, untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, yaitu dengan adanya pendelegasian kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian kepada Pemerintah Daerah. Pendelegasian kewenangan dilakukan dengan sistem berjenjang dari pejabat pembina kepegawaian pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Sementara yang terkait dengan pengelolaan kepegawaian di daerah, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam salah satu pasalnya, Undang-Undang ini mengatur mengenai pengelolaan kepegawaian daerah. Setelah satu dasa warsamaka perlu untuk melihat kembali bagaimana implementasi kebijakan tersebut, khususnya dalam pendelegasian wewenang dalam pengelolaan kepegawaian.

Dalam rangka melihat implementasi kebijakan tersebut, pada tahun 2009, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta melakukan kajian dengan judul : Pendelegasian Wewenang dalam Sistem Manajemen PNS di Indonesia. Kajian yang dilakukan pada akhirnya berhasil mengidentifikasi beberapa permasalahan terkait pendelegasian wewenang pengelolaan kepegawaian didaerah. Ada beberapa kebijakan yang terkait dengan masalah delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian dan terindikasi terjadi overlapping. Kebijakan yang terkait, yaitu Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 mengatur mengenai pengelolaan kepegawaian (PNS) secara umum sementara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih spesifik mengatur mengenai PNS Daerah. Kedua undang-undang ini dengan berbagai turunan peraturan pelaksanaannya seringkali membingungkan daerah, mana yang harus dijadikan dasar kebijakan dalam pengelolaan kepegawaian. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 identik dengan BKN sementara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 identik dengan Departemen Dalam Negeri.

Dari kajian yang dilakukan terhadap substansi pengelolaan kepegawaian yang didelegasikan (dibagi dalam tujuh tahap), Tim memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut : (1) Tahap perencanaan formasi kebutuhan pegawai, belum mencerminkan kebutuhan nyata didaerah karena tidak didukung dengan pelaksanaan

-8-

anjab dan ABK. Delegasi kewenangan yang diberikan kepada daerah belum dirasakan manfaatnya karena penetapan tetap ditangan Pemerintah Pusat. Delegasi kewenangan dalam tahap perencanaan formasi nampaknya harus didukung dengan asistensi Pemerintah Pusat. (2) Tahap pengadaan pegawai, delegasi kewenangan yang diberikan belum dibarengi dengan pedoman yang lengkap terkait dengan standar tes, standar lulus dan standar lolos. Kondisi ini membuka peluang adanya praktik KKN. Delegasi kewenangan dalam tahap pengadaan memberi peluang untuk akomodasi putera daerah menjadi PNS tetapi dilain pihak menutup pintu terhadap upaya penjaringan calon pegawai yang profesional apabila tidak diikuti dengan adanya kejelasan standar tes, standar lulus dan standar lolos. (3) Tahap pengangkatan pegawai, tidak teridentifikasi adanya permasalahan. Hal ini didukung dengan dibentuknya Kantor Regional BKN di beberapa Provinsi yang sangat membantu daerah dalam pengangkatan pegawai, khususnya pengangkatan CPNS maupun CPNS menjadi PNS. Permasalahan yang muncul pada kelengkapan berkas saja. Artinya pembentukan Kantor Regional BKN mampu memberikan dampak signifikan dalam upaya perbaikan efektivitas pengelolaan kepegawaian. (4) Tahap pendidikan dan pelatihan pegawai, tidak teridentifikasi adanya permasalahan. Masalah yang muncul terkait dengan keterbatasan anggaran sehingga prioritas penyelenggaraan diklat lebih pada diklat penjenjangan/diklat struktural, sementara diklat teknis/fungsional belum menjadi prioritas. Selain penyelenggaraan diklat lebih banyak di pusat dan Provinsi karena adanya keterbatasan sarana prasarana diklat. Delegasi kewenangan dalam tahap diklat nampaknya perlu disertai dukungan lainnya, seperti sarana prasarana penyelenggaraan diklat. (5) Tahap kenaikan pangkat dan jabatan, permasalahan yang teridentifikasi adalah untuk pegawai dengan pangkat golongan tinggi (IV c keatas) yang pengurusannya harus ke tingkat pusat. Pengurusan ini ternyata membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang lumayan besar yang seringkali membuat tidak efektif dan efisien. Dasar penetapan oleh pemerintah pusat yang awalnya adalah sebagai bentuk apresiasi/penghargaan atas pengabdian pegawai, tetapi ternyata justeru membuat frustasi pegawai. (6) Tahap perpindahan pegawai, dalam tahapan ini isu mengenai putera daerah masih kental. Perpindahan pegawai antar Kabupaten/Kota atau ke Provinsi dan Pusat atau sebaliknya sangat jarang atau sulit dilakukan. Ada daerah yang menutup diri terhadap masuknya pegawai dari daerah lain karena mengutamakan pegawai dari daerahnya. Kesulitan akan semakin meningkat apabila pegawai mempunyai pangkat golongan tinggi karena akan mengganggu DUK pegawai. Juga bagi pegawai yang pernah menduduki jabatan struktural tertentu karena kalau pindah pegawai tidak boleh menuntut jabatan. Permasalahan lain adalah jabatan Sekda yang merupakan jabatan karier tertinggi di daerah, apabila sudah tidak menjabat sementara BUP masih lama maka tidak ada lagi pos yang sesuai. Sehingga akhirnya seringkali ditempatkan di pos Staf Ahli. (7) Tahap pemberhentian pegawai atau pensiun, sebagaimana halnya dalam kenaikan pangkat dan jabatan, pensiun bagi pegawai dengan pangkat golongan IV c keatas diurus di tingkat pusat. Kondisi ini ternyata justeru tidak efektif dan efisien karena makan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Masalah lebih parah apabila waktu kenaikan pangkat berdekatan dengan

-9-

BUP pegawai (kenaikan pangkat pengabdian). Dampaknya banyak pegawai yang mengajukan pensiun dini (APS = atas permintaan sendiri) karena tidak mau urusan yang bertele-tele. Hal ini tentu saja merugikan pegawai karena mereka terpaksa pensiun dengan pangkat dan golongan yang lebih rendah dari yang seharusnya.

Setelah mengetahui peta permasalahan sebagaimana berhasil dijelaskan didepan, Tim memberikan beberapa saran yang bisa diperhatikan dalam rangka meningkatkan pelaksanaan delegasi wewenang dalam pengelolaan kepegawaian didaerah. Saran tersebut adalah : (1) Perlunya ketegasan Pemerintah Pusat dalam menerbitkan kebijakan/peraturan yang terkait dengan delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian. Ini meliputi peraturan tertingginya, yaitu Undang-Undang maupun pada peraturan-peraturan pelaksanaannya. Hal ini untuk menghindari terjadinya duplikasi dalam implementasinya dilapangan. (2) Perlunya revisi peraturan yang terkait dengan delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian sehingga bisa lebih efektif dan efisien. (3) Perlunya kejelasan dan ketegasan terhadap tugas, peran dan fungsi dari instansi-instansi yang terkait dengan delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian. Sekaligus juga meningkatkan koordinasi diantara instansi-instansi tersebut. (4) Perlunya perluasan delegasi khususnya untuk delegasi dalam tahap kenaikan pangkat dan jabatan serta pensiun, khususnya untuk pegawai dengan pangkat golongan tinggi kepada Kantor Regional BKN. Atau apabila tetap ditangan Pemerintah Pusat maka perlu disusun prosedur yang lebih singkat, sederhana sehingga tercapai efisiensi dan efektivitas. (5) Perlunya asistensi/bimbingan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah terhadap pemahaman dan implementasi peraturan yang terkait dengan delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian. (6) Perlunya rumusan sistem manajemen PNS di Indonesia yang sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah sehingga mampu meningkatkan efektivitas pengelolaan kepegawaian di Indonesia, yaitu sistem yang meskipun memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengelola pegawainya tetapi tetap mengacu pada pedoman norma, prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Dengan saran-saran yang diberikan diharapkan permasalahan yang muncul didaerah terkait dengan pendelegasian kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian dapat diminimalisir, diperbaiki dan ditingkatkan. Harapannya supaya pengelolaan kepegawaian didaerah semakin efisien, efektif dan mampu menciptakan sosok aparatur pemerintah yang profesional.

-10-

DDaaffttaarr IIssii

Hal.

Halaman Judul 1

Sambutan Kepala Lembaga Administrasi Negara 4

Kata Pengantar 5

Executive Summary 7

Daftar Isi 10

Bab I Pendahuluan 12

A. Latar Belakang Masalah 12

B. Rumusan Masalah 17

C. Tujuan Kajian 18

D. Sasaran Kajian 18

E. Hasil yang Diharapkan 18

Bab II Kajian Pustaka 19

A. Tinjauan Teoritis 19

B. Tinjauan Kebijakan 29

C. Tinjauan Empiris 37

Bab III Metodologi Penelitian 42

A. Metode Penelitian 42

B. Lokasi Penelitian 42

C. Metode Pengumpulan Data 42

D. Sumber Data dan Data yang Diperlukan 43

E. Analisis Data 43

Bab IV Hasil Temuan Data dan Analisis Data 45

A. Kondisi Aktual Pendelegasian Wewenang Pengelolaan Kepegawaian di Daerah

46

B. Perspektif kedepan Pendelegasian Wewenang

-11-

Pengelolaan Kepegawaian di Daerah 65

Bab V Penutup 79

A. Kesimpulan 79

B. Saran 81

Daftar Pustaka 82

Lampiran T Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

83

-12-

BBaabb II PPeennddaahhuulluuaann

A. Latar Belakang Masalah

aat ini pengelolaan kepegawaian atau manajemen PNS secara nasional mengacu pada satu peraturan, yaitu Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam tulisannya Re-Reformasi Kepegawaian? (2000), Sofian Effendi menyebutkan bahwa Undang-Undang

Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ini merupakan perubahan dari Undang-Undang Kepegawaian sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974. Perubahan dilakukan karena diperkirakan hasil Pemilu Tahun 1999 akan menghasilkan suatu pemerintahan multi partai yang kurang stabil dan berdampak dalam birokrasi publik akan terjadi praktik “spoils”, yaitu penempatan konco-konco sealiran politik dalam jabatan-jabatan strategis di birokrasi. Untuk mengantisipasi kondisi tersebut dan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, maka perlu dilakukan pergantian sistem kepegawaian yang sentralistis sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 dengan suatu sistem kepegawaian yang lebih desentralistis, lebih independen dari intervensi eksekutif, lebih mengetatkan pelaksanaan merit system sambil tetap menjaga kualitas dan peranan PNS sebagai perekat kesatuan bangsa dan negara. Inilah prinsip-prinsip reformasi kepegawaian yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tersebut.

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui ada dua tujuan utama dari diterbitkannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974. Tujuan pertama adalah untuk meningkatkan profesionalisme birokrasi, yaitu dengan lebih menonjolkan prestasi kerja yang didasarkan atas penilaian obyektif terhadap prestasi, kompetensi dan pelatihan dalam pengangkatan jabatan serta adanya pemisahan yang tegas antara jabatan politis dan jabatan karier. Tujuan kedua adalah untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, yaitu dengan adanya pendelegasian kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian kepada Pemerintah Daerah. Pendelegasian kewenangan dilakukan dengan sistem berjenjang dari pejabat pembina kepegawaian pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

Gambaran yang sama diberikan oleh Miftah Thoha dalam Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia (2008). Buku yang merupakan hasil penelitian ini menyebutkan bahwa manajemen kepegawaian sipil memang menyimpan banyak persoalan, sebelum reformasi pengelolaannya dilakukan secara sentralistik oleh Pemerintah Pusat. Dalam buku tersebut digambarkan bagaimana untuk mengurus kenaikan pangkat saja, seorang petugas kepegawaian harus berulang kali ke Jakarta tanpa hasil yang memuaskan. Kemudian masalah pengangkatan pegawai yang berbau kolusi dan kekerabatan, promosi jabatan diwarnai “politicking”, pelatihan jabatan

-13-

dilakukan kurang profesional dan beraroma “uang”. Persoalan-persoalan tersebut mendorong dilakukannya perubahan kebijakan dalam pengelolaan kepegawaian (PNS) di Indonesia.

Untuk bisa menghasilkan output yang lebih baik maka kajian ini lebih difokuskan pada upaya mendukung pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, khususnya dalam pengelolaan kepegawaian. Dalam kerangka pencapaian tujuan kedua ini, perlu dipahami mengenai makna otonomi daerah itu sendiri. Kebijakan otonomi daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan mengenai pengertian otonomi daerah, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Butir 5, yaitu : “hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Tujuan utama dilakukannya otonomi adalah untuk meningkatkan efisien dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (Bagian Menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004). Untuk mencapai tujuan dan mendukung pelaksanaan atau penyelenggaraan otonomi daerah tersebut ada tiga bentuk penyerahan wewenang, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind (tugas pembantuan). Dengan adanya ketiga bentuk penyerahan wewenang tersebut, maka Pemerintah tidak menyelenggarakan semua urusan pemerintahannya tetapi memberikan kewenangan kepada daerah untuk membantu sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Dalam hal kewenangan pengelolaan kepegawaian, diatur secara khusus dalam Bab V, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang membahas mengenai Kepegawaian Daerah. Dalam Pasal 129 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa : “Pemerintah melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara nasional”. Apabila dicermati, pasal tersebut menegaskan bahwa pembinaan manajemen PNS dilakukan dalam satu sistem manajemen. Hal ini lebih dipertegas dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, khususnya di butir 8 berikut ini :

Sistem manajemen pegawai yang sesuai dengan kondisi pemerintahan saat ini, tidak murni menggunakan unified system namun sebagai konsekuensi digunakannya kebijakan desentralisasi maka dalam hal ini menggunakan gabungan antara unified system dan separated system, artinya ada bagian-bagian kewenangan yang tetap menjadi kewenangan pemerintah, dan ada bagian-bagian kewenangan yang diserahkan kepada Daerah untuk selanjutnya dilaksanakan oleh pembina kepegawaian daerah. Prinsip lain yang dianut adalah memberikan suatu kejelasan dan ketegasan bahwa ada pemisahan antara pejabat politik dan pejabat karier baik mengenai tata cara rekruitmennya maupun kedudukan, tugas, wewenang, fungsi dan pembinaannya. Berdasarkan prinsip dimaksud maka pembina kepegawaian daerah adalah pejabat karier tertinggi pada pemerintah daerah.

-14-

Bunyi penjelasan tersebut menegaskan bahwa Pemerintah Pusat tidak menyelenggarakan sendiri manajemen PNS, tetapi menyerahkan sebagian kewenangan tersebut kepada Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat bertanggung jawab dalam menetapkan norma, standar dan prosedur sebagai pedoman pelaksanaannya saja. Hal ini senada dengan adanya dua jenis PNS sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yaitu di Pasal 2 ayat (2). Disini dijelaskan bahwa PNS ada dua jenis, yaitu PNS Pusat dan PNS Daerah. Manajemen pengelolaan PNS Daerah diurusi oleh Pemerintah Daerah.

Penegasan mengenai hal ini dijelaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian khususnya Butir 4 yang menyebutkan bahwa manajemen Pegawai Negeri Sipil perlu diatur secara menyeluruh, dengan menerapkan norma, standar dan prosedur yang seragam dalam penetapan formasi, pengadaan, pengembangan, penetapan gaji dan program kesejahteraan serta pemberhentian yang merupakan unsur dalam manajemen Pegawai Negeri Sipil, baik Pegawai Negeri Sipil Pusat maupun Pegawai Negeri Sipil Daerah. Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya norma, standar dan prosedur yang sama tersebut diharapkan dapat diwujudkan keseragaman perlakuan dan jaminan kepastian hukum bagi seluruh Pegawai Negeri Sipil baik di pusat maupun di daerah. Norma, standar dan prosedur yang dijadikan pedoman mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, khususnya di Pasal 130 sampai Pasal 132, bentuk penyerahan kewenangan tersebut adalah dalam kewenangan pengelolaan atau pelaksanaannya. Kalau dahulu semua harus melalui Pemerintah Pusat maka dengan kebijakan ini kewenangan tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah secara berjenjang. Misalnya mengenai pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan untuk eselon II di daerah Provinsi ditetapkan oleh Gubernur, sementara di tingkat Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi dengan Gubernur. Dengan adanya ketentuan ini maka rantai birokrasi khususnya dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pejabat eselon II di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota menjadi lebih pendek, artinya lebih efisien dan efektif. Bupati/Walikota dan Gubernur diberi kewenangan dari Presiden untuk mengelola PNS Daerahnya secara berjenjang.

Demikian pula halnya dengan perpindahan PNS Daerah, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota kewenangannya diserahkan secara berjenjang. Perpindahan PNS antar Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi ditetapkan oleh Gubernur setelah memperoleh pertimbangan dari Kepala BKN. Perpindahan antar Kabupaten/Kota antar Provinsi ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan dari Kepala BKN. Sementara perpindahan PNS Provinsi/Kabupaten/Kota ke Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen atau sebaliknya, ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan Kepala BKN.

Kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah untuk memperjelas mengenai penyerahan wewenang ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

-15-

Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai pembagian urusan pemerintahan yang berlaku di pemerintahan Indonesia. Pemahaman mengenai urusan pemerintahan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 adalah : “... fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat”.

Urusan pemerintahan tersebut ada yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan ada urusan yang dibagi antar tingkatan pemerintahan (Provinsi/Kabupaten/Kota). Urusan yang menjadi kewenangan penuh Pemerintah meliputi lima urusan, yaitu : (1) politik luar negeri, (2) pertahanan dan keamanan, (3) yustisi, (4) moneter dan fiskal nasional, serta (5) agama. Urusan diluar kelima urusan tersebut dibagi dengan pemerintahan Provinsi/ Kabupaten/Kota.

Ada tiga puluh satu urusan pemerintahan yang dibagi dengan pemerintahan Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaimana dijelaskan dalam ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang meliputi : pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial, ketenagakerjaan dan ketransmigrasian, koperasi dan usaha kecil dan menengah, penanaman modal, kebudayaan dan pariwisata, kepemudaan dan olah raga, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian, pemberdayaan masyarakat dan desa, statistik, kearsipan, perpustakaan, komunikasi dan informatika, pertanian dan ketahanan pangan, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, kelautan dan perikanan, perdagangan dan perindustrian.

Khusus untuk penyerahan kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian diatur dalam Lampiran T, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, yaitu yang mengatur tentang otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian. Dengan adanya ketentuan tersebut, batas kewenangan dalam pengelolaan PNS Daerah menjadi lebih jelas sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih dalam penyelenggaraannya. Penyerahan kewenangan secara berjenjang ini akan menjamin kejelasan kewenangan pengelolaan PNS Daerah. Dampaknya adalah semua urusan menjadi lebih sederhana dan lebih cepat diselesaikan sehingga pegawai tidak terlalu lama menunggu nasibnya.

Gambaran dan penjelasan secara kebijakan tersebut menunjukkan gambaran yang sangat ideal dan bagus. Dengan kata lain tujuan penyerahan/delegasi sebagian kewenangan khususnya dalam pengelolaan kepegawaian, yaitu mencapai efisiensi dan efektivitas dapat tercapai. Akan tetapi dalam tataran empiris memberikan gambaran yang berbeda. Gambaran empiris pengelolaan kepegawaian di daerah saat ini menunjukkan gambaran yang kurang baik. Artinya penyerahan kewenangan oleh

-16-

Pemerintah Pusat kepada Provinsi/Kabupaten/Kota ternyata membawa dampak yang kurang baik.

Sebagai contoh dapat dikemukakan hasil kajian yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2007, yaitu mengenai Evaluasi Sistem Rekrutmen PNS. Dalam kajian tersebut ditemukan bahwa pelaksanaan pengadaan PNS sebelum tahun 2004 terjadi banyak sekali masalah. Masalah-masalah tersebut diantaranya : sistem seleksi yang tidak transparan, berkembangnya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dalam proses seleksi dan sebagainya. Permasalahan tersebut muncul karena terlampau besarnya kewenangan yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam melakukan seleksi PNS. Adanya masalah tersebut berdampak pada kualitas hasil seleksi yang tidak sesuai tujuan, sehingga setelah itu diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 71 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengadaan PNS. Dalam Keputusan Presiden ini ditegaskan bahwa seluruh proses pengadaan PNS dikoordinasikan oleh Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) serta semua pedoman penyelenggaraan pelaksanaan pengadaan PNS ditetapkan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Permasalahan lainnya yang dapat ditunjukkan sebagai dampak penyerahan kewenangan pengelolaan kepegawaian kepada daerah adalah pada sistem pemberian tunjangan. Sebagaimana hasil kajian yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara tahun 2008, yaitu Kajian Sistem Penggajian PNS di Indonesia. Dalam kajian tersebut dijelaskan bahwa Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk memberikan tambahan penghasilan kepada PNS Daerah di wilayahnya sesuai kemampuan APBD-nya dan berdasarkan peraturan yang berlaku. Kebijakan ini diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dampak dari pemberian kewenangan ini adalah terjadinya kesenjangan penghasilan PNS di berbagai daerah karena masing-masing Pemerintah Daerah bisa menentukan sendiri besaran tambahan penghasilan yang diberikan. Dampak lanjutannya adalah banyak PNS yang minta pindah dari satu daerah ke daerah lainnya dengan berbagai alasan. Disinyalir hal ini karena tingginya perbedaan tunjangan yang diterima pegawai.

Dalam situs http://www.beritariau.com (5 Nopember 2008) diberitakan adanya 750 PNS yang mengajukan permohonan pindah ke Provinsi Riau. Menurut Kepala Badan Administrasi dan Kepegawaian (BADP) Riau, H. Ramli Walid, MSi., tidak menafikan kalau permintaan pindah tersebut salah satunya karena tunjangan Pegawai Pemerintah Provinsi Riau yang lebih besar dari Kabupaten/Kota. Hasil kajian Lembaga Administrasi Negara tahun 2008, Kajian Sistem Penggajian PNS di Indonesia, memberikan gambaran beberapa daerah yang memberikan tambahan penghasilan kepada pegawainya. Provinsi Jawa Barat, pegawai golongan I diberikan tambahan sebesar Rp 100.000,- dan pejabat Eselon I diberikan tambahan sebesar Rp 3.750.000,- (Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 27 Tahun 2007 tentang Standar Biaya Belanja Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008). Provinsi Kepulauan Riau

-17-

memberikan tambahan penghasilan kepada pegawainya sebesar Rp 1.250.000,- kepada pegawai golongan I dan II sementara untuk Pejabat Eselon I diberikan tambahan penghasilan sebesar Rp 12.000.000,- (Lampiran Keputusan Gubernur Kepulauan Riau Nomor 58.b Tahun 2007 tentang Penetapan Tambahan Penghasilan Berdasarkan Prestasi Kerja di Lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau Tahun Anggaran 2007). Sementara di Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pemberian Tambahan Penghasilan bagi Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Para Dokter Spesialis yang Bertugas pada Rumah Sakit Umum Daerah dr. Doris Sylvanus Palangkaraya, untuk pejabat eselon I diberikan tambahan sebesar Rp 3.400.000,- dan pegawai golongan I diberikan tambahan sebesar Rp 300.000,-. Dari data-data tersebut terlihat adanya kesenjangan dalam penghasilan PNS di berbagai daerah. Apabila kondisi ini dibiarkan dikhawatirkan akan terjadi masalah yang lebih besar karena bisa menimbulkan perpecahan. Karena sama-sama PNS kok menerima penghasilan yang berbeda?

Gambaran tersebut hanya sebagian kecil yang terekam dari sekian banyak bagian pengelolaan kepegawaian. Bagaimana dengan promosi pegawai, mutasi pegawai, penilaian kinerja pegawai, pensiun dan lain sebagainya. Mencermati kondisi tersebut, pada tahun 2009 ini Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur melakukan kajian “Pendelegasian Wewenang dalam Sistem Manajemen PNS di Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah tersebut, terlihat bahwa sangat penting untuk kembali melihat urgensi dari kebijakan penyerahan atau pendelegasian wewenang dalam sistem manajemen PNS di Indonesia. Meskipun secara jelas sudah ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, khususnya dalam Lampiran T yang mengatur kewenangan mengenai otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian. Seiring bertambahnya kewenangan dan kemampuan yang dimiliki daerah dalam mengelola kepegawaiannya pada praktiknya ternyata menimbulkan permasalahan sebagaimana dijelaskan didepan. Tujuan utama untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan khususnya dalam pengelolaan kepegawaian menjadi tidak tercapai.

Melihat kenyataan tersebut, maka permasalahan dalam kajian ini dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimana efektivitas pendelegasian wewenang pengelolaan kepegawaian kepada Pemerintah Daerah dalam sistem manajemen PNS?”

-18-

C. Tujuan Kajian

1. Mengidentifikasi pelaksanaan pendelegasian wewenang kepada Pemerintah Daerah dalam sistem manajemen PNS;

2. Mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dari pelaksanaan pendelegasian wewenang kepada Pemerintah Daerah dalam sistem manajemen PNS;

3. Merumuskan sistem manajemen PNS yang sesuai dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah.

D. Sasaran Kajian

1. Teridentifikasinya pelaksanaan pendelegasian wewenang kepada Pemerintah Daerah dalam sistem manajemen PNS;

2. Teridentifikasinya kelebihan dan kekurangan dari pendelegasian wewenang kepada Pemerintah Daerah dalam sistem manajemen PNS;

3. Tersusunnya sistem manajemen PNS yang sesuai dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah.

E. Hasil yang Diharapkan

Tersusunnya sistem manajemen PNS yang sesuai dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah sehingga mampu meningkatkan efektivitas pengelolaan kepegawaian di Indonesia.

-19-

BBaabb IIII KKaajjiiaann PPuussttaakkaa

A. Tinjauan Teoritis

alam suatu organisasi banyak hal yang harus dikelola dan diatur secara baik dan profesional terpisah dari hal-hal lainnya. Dalam hal ini ilmu yang digunakan adalah ilmu manajemen. Manajemen berasal dari bahasa Inggris “to manage” yang mempunyai arti mengatur atau mengelola. Ada banyak ilmu

manajemen yang dapat diterapkan dalam suatu organisasi, misalnya manajemen produksi, manajemen pemasaran, manajemen keuangan, manajemen informasi, manajemen sumber daya manusia dan lain sebagainya. Semua ilmu manajemen tersebut mempunyai peran dan fungsi yang sama dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan secara optimal.

Dalam kajian ini akan dibahas mengenai manajemen sumber daya manusia. Menurut Prasetya Irawan (1997), Manajemen Sumber Daya Manusia adalah ilmu untuk mengatur atau mengelola sumber daya manusia yang ada dalam organisasi sehingga dapat berkinerja maksimal dan optimal untuk pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Sementara menurut Mondy (1990), definisi human resource management (HRM) is the utilization of human resources to achieve organizational objectives. Ada banyak pakar yang memberikan pendapatnya mengenai manajemen sumber daya manusia ini (MSDM), khususnya mengenai fungsi-fungsi yang terkandung didalamnya. Prasetya (1997) mencatat pendapat lima orang pakar MSDM dalam memberikan definisi fungsi-fungsi yang ada dalam MSDM. Menurut Flippo ada sepuluh fungsi MSDM, yaitu : (1) planning, (2) organizing, (3) directing, (4) controlling, (5) procurement, (6) development, (7) compensation, (8) integration, (9) maintenance, dan (10) separation. Sementara Yoder membagi fungsi MSDM dalam enam fungsi, yaitu : (1) staffing, terdiri dari recruitment, selection, promotion dan placement, (2) employee development and training, (3) labour relation, (4) wage and salary administration, (5) employee benefit service, dan (6) research.

Pakar MSDM dari dalam negeri yang dikutip oleh Prasetya (1997), yaitu Moekijat dan Malayu S.P Hasibuan yang membagi fungsi MSDM dalam sepuluh fungsi utama. Menurut Moekijat, fungsi MSDM adalah : (1) perencanaan, (2) penilaian prestasi, (3) seleksi, (4) pengembangan dan pelatihan, (5) administrasi gaji dan upah, (6) lingkungan kerja, (7) pengawasan pelaksanaan pekerjaan, (8) hubungan perburuhan, (9) kesejahteraan sosial, dan (10) penilaian dan riset. Sementara Malayu S.P Hasibuan membagi dalam sepuluh fungsi, yaitu : (1) perencanaan, (2) pengorganisasian, (3) pengarahan, (4) pengendalian, (5) administrasi gaji dan upah, (6) lingkungan kerja, (7) pengawasan pelaksanaan pekerjaan, (8) hubungan perburuhan, (9) kesejahteraan sosial, dan (10) penilaian dan riset.

-20-

Sementara Manulang membagi fungsi MSDM dalam tiga fungsi besar dengan sembilan fungsi turunannya, yaitu : (1) procuring, terdiri a) membuat anggaran tenaga kerja bagi perusahaan, b) membuat job analysis, job description dan job specification, c) menentukan dan menghubungi sumber-sumber tenaga kerja, d) mengadakan seleksi, (2) developing, terdiri dari a) melatih dan mendidik pegawai, b) mempromosikan dan memindahkan pegawai, c) mengadakan penilaian kecakapan, (3) maintaining, terdiri dari a) mengurus pemberhentian, b) mengurus pensiun, c) mengurus kesejahteraan pegawai termasuk pembayaran upah, pemindahan dan lain-lain, d) motivasi.

Mondy (1990) menyebutkan adanya enam fungsi dalam human resource management (HRM), yaitu (1) human resource planning, recruitment and selection, (2) human resource development, (3) compensation and benefits, (4) safety and health, (5) employee and labour relation, dan (6) human resource research. Hal yang menarik dari fungsi-fungsi MSDM yang diberikan Mondy adalah dimasukkannya fungsi safety and health. Menurut Mondy, fungsi ini sangat penting karena pegawai yang bekerja dalam kondisi aman dan terjamin kesehatan maupun keselamatannya diyakini akan bekerja secara lebih produktif sehingga dapat menguntungkan bagi organisasi. Sementara menurut Eugene F. McKenna dan Nic Beech (1995) menyebut fungsi MSDM dengan personnel management function. Mereka membaginya kedalam sembilan fungsi, yaitu : human resource planning, recruitment, selection, performance appraisal, training, reward, industrial relation, employee communications and participation dan personnel records (1995).

Beragamnya fungsi-fungsi yang didefinisikan oleh para pakar tersebut merupakan penekanan yang diberikan sesuai kepakaran masing-masing, dan apabila dikaji dalam keragaman tersebut terdapat tujuh fungsi utama yang selalu muncul dalam pembahasan MSDM, yaitu : (1) perencanaan pegawai, (2) seleksi dan orientasi pegawai, (3) pengembangan pegawai, (4) manajemen karier, (5) penilaian prestasi kerja, (6) kompensasi dan (7) pemutusan hubungan kerja. Fungsi-fungsi ini diyakini dapat mewakili semua fungsi yang diberikan oleh para pakar sebagaimana telah dijelaskan didepan.

Perencanaan Pegawai

Pegawai adalah sumber daya yang dimiliki oleh organisasi yang digunakan untuk menggerakkan atau mengelola sumber daya lainnya sehingga harus benar-benar dapat digunakan secara efektif dan efisien sesuai kebutuhan riil organisasi. Dalam hal ini perlu dilakukan perencanaan kebutuhan pegawai secara tepat sesuai beban kerja yang ada dan hal tersebut dengan didukung oleh adanya proses rekrutmen yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi. Mondy (1990) menyebutkan bahwa :

Human resource planning (HRP) is the process of systematically reviewing human resource requirements to ensure that the required numbers of employees, with the required skills, are available when they are needed.

-21-

Prasetya (1997) menyatakan bahwa dalam melakukan perencanaan pegawai atau sumber daya manusia ini perlu dipahami beberapa hal, yaitu : makna dan cakupan perencanaan pegawai, metode-metode perencanaan, analisis pekerjaan/jabatan, perhitungan beban kerja dan perhitungan angkatan kerja. Sementara itu, David A. Decenzo dan Stephen P. Robbins (2002) menyebutkan yang dimaksud dengan employment planning adalah process of determining an organization’s human resource need. Definisi lain diberikan oleh Amstrong (2003) yang menyebutkan bahwa perencanaan kebutuhan pegawai berkaitan dengan hal-hal berikut ini : mendapatkan dan mempertahankan jumlah dan mutu pegawai yang diperlukan, mengidentifikasi tuntutan keterampilan dan cara memenuhinya, menghadapi kelebihan atau kekurangan pegawai, mengembangkan tatanan kerja yang fleksibel dan meningkatkan pemanfaatan pegawai.

Dalam bukunya The Essence of Human Resource Management (1995), Eugene F. McKenna dan Nic Beech menulis :

Employee resourcing, the process of acquiring and utilizing human resources in the organization, consist of a number of specialist activities which need to act in harmony to ensure that human resources of the quantity and quality are available to meet the overall objectives of the company. Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa tujuan dari perencanaan pegawai

adalah menyeimbangkan antara kebutuhan dan persediaan akan tenaga kerja agar tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif, efisien dan maksimal. Sementara itu, definisi perencanaan pegawai yang diberikan oleh Bernardin adalah sebagai berikut :

HR planning is the forecasting of HR needs in the context of strategic business planning. The HR planning process of the past was typically reactive in nature, with business needs defining personnel needs. However, with major changes in the business environment and increasing uncertainty, many organizations have adopted a longer-term perspective and integrating HR planning with strategic business planning centered on a concideration of core business competencies. Sementara itu, recruitment is the process of attracting applicants for the positions needed. (2003). Menurut Bernardin, proses ini haruslah terintegrasi dengan proses perencanaan

pegawai dan kegiatan manajemen kepegawaian lainnya, terutama kegiatan seleksi. Kegiatan-kegiatan dalam manajemen kepegawaian, misalnya rekrutmen, seleksi atau kegiatan lainnya adalah saling tergantung atau terkait secara erat. Misalnya rekrutmen yang sukses akan menyebabkan proses seleksi yang sukses dan demikian pula sebaliknya. Dalam melakukan perencanaan rekrutmen pegawai harus dikaitkan dengan faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Perencanaan pegawai yang efektif seharusnya mencakup enam kegiatan, yaitu (1) environmental scanning, (2) labor demand forecast, (3) labor supply forecast, (4) gap analysis, (5) action programming, dan (6) control and evaluation.

Seperti dijelaskan didepan, Amstrong menyatakan bahwa perencanaan pegawai merupakan kegiatan menentukan jumlah karyawan yang diperlukan (2003). Dalam

-22-

kegiatan penentuan jumlah inilah perlu dilakukan peramalan jumlah penawaran dan permintaan jumlah pegawai. Dalam melakukan peramalan kebutuhan atau permintaan jumlah pegawai ada beberapa teknik yang bisa dipakai, yaitu : keputusan manajerial, analisis rasio kecenderungan dan teknik studi kerja. Sementara untuk melakukan peramalan ketersediaan atau penawaran jumlah pegawai, dilakukan dengan beberapa pertanyaan berikut ini : 1. Berapa jumlah pegawai yang ada saat ini, dan apa keterampilan/kompetensi yang

dimiliki? 2. Berapa perkiraan angka turnover (keluar masuk) pegawai saat ini dan di masa

datang? 3. Berapa perkiraan angka ketidak-hadiran pegawai saat ini dan di masa datang? 4. Dari pegawai yang ada saat ini, berapa jumlah pegawai yang mempunyai

keterampilan/kompetensi yang sesuai kebutuhan? Berapa jumlah yang mempunyai potensi untuk dikembangkan keterampilan/kompetensinya?

5. Berapa perkiraan jumlah pegawai yang dibutuhkan dengan keterampilan/kompetensi yang dibutuhkan?

6. Dari mana pegawai-pegawai baru tersebut dapat direkrut?

Seleksi dan Orientasi Pegawai

Tahap atau fungsi kedua dari MSDM adalah seleksi dan orientasi pegawai. Setelah perencanaan selesai dilakukan dan diketahui jumlah kebutuhan pegawai, maka langkah berikutnya adalah merekrut dan menyeleksi pegawai yang diperlukan tersebut. Recruitment and selection is the planned way in which the organization interfaces with the external supply of labour (Eugene F. McKenna dan Nic Beech, 1995). Recruitment is the process of attracting a pool of candidates for a vacant position, and selection is the technique of choosing a new member of the organization from the available candidates. Rekrutmen menurut Mondy (1990) is the process of attracting such individuals in sufficient numbers and encouraging them to apply for jobs with the organization. Rekrutmen dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan memasang iklan di media, mencari calon di kampus, melakukan pameran bursa kerja dan lain-lain. Penggunaan cara ini adalah dalam upaya untuk menjaring calon sebanyak mungkin sehingga mendapatkan banyak pilihan sehingga pada gilirannya akan diperoleh pegawai yang terbaik. Dalam banyak kasus, jumlah pelamar ternyata sangat banyak sehingga diperlukan proses seleksi untuk mendapatkan pegawai sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan.

Selection is the process of choosing from a group of applicants the individual best suited for a particular position (Mondy, 1990). Proses seleksi yang dapat dikatakan sebagai tahap awal yang menentukan bagi organisasi untuk memperoleh calon pegawai yang mempunyai kemampuan yang handal dan profesional. Sebagaimana diungkapkan oleh Bernardin (2003) : personnel selection is a key to organizational effectiveness. The most successful firms tend to use methods that accurately predict future performance.

-23-

Hal ini didukung pula oleh Mondy (1990) yang mengutip pendapat Charles Brown seorang Senior Staff Vice-President di Honeywell, Inc., yang menyatakan : team building starts with the basic task of selection. Metode seleksi yang akurat menjadi faktor penentu untuk dapat memperoleh pegawai-pegawai yang baik, profesional dan handal. Metode yang dilakukan dapat berupa beberapa tahapan untuk menyaring sejumlah pelamar menjadi beberapa pegawai yang dibutuhkan. Pegawai yang diperlukan oleh organisasi adalah sebagaimana digambarkan oleh Bernardin :

Employees who will not only be effective, but who will work for us as long as we want them and who will not engage in counterproductive behavior such as violence, substance abuse, avoidable accidents and employee theft. (2003). Metode atau prosedur yang digunakan dalam melakukan seleksi untuk

menyaring pelamar menurut Prasetya (1997) meliputi beberapa tahap, yaitu : (1) penerimaan pendahuluan, (2) tes penerimaan, terdiri dari tes pengetahuan (TPA/Tes Potensi Akademik), tes psikologi, tes pelaksanaan pekerjaan, (3) wawancara seleksi, (4) pemeriksaan referensi, (5) evaluasi medis (tes kesehatan), (6) wawancara oleh calon atasan langsung (supervisor), dan (7) keputusan penerimaan. Sementara menurut Eugene F. McKenna dan Nic Beech (1995) ada tujuh teknik yang dapat digunakan dalam melakukan seleksi, yaitu : (1) interviews, (2) psychological tests, (3) work-based test, (4) assessment centres, (5) biodata, (6) references dan (7) graphology. Sementara David A. DeCenso dan Stephen P. Robbins mengidentifikasi 8 (delapan) steps, yaitu : (1) initial screening interview, (2) completing the application form, (3) employment tests, (4) comprehensive interview, (5) background investigation, (6) a conditional job offer, (7) medical or psysical examinitation, dan (8) the permanent job offer.

Setelah pegawai berhasil diseleksi, biasanya mereka tidak langsung dipekerjakan tetapi diorientasi dulu dengan dibekali berbagai pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan tugas pekerjaannya. Seperti dijelaskan oleh Prasetya (1997), orientasi adalah program yang dirancang untuk menolong pegawai baru (yang baru lolos seleksi) untuk mengenal pekerjaan dan organisasi tempatnya bekerja. Orientasi ini sangat bermanfaat untuk memperkenalkan peranan dan kedudukan baru yang diperoleh pegawai baru, menambah wawasan mereka serta memperkenalkan dengan organisasi dan rekan kerja sehingga dapat cepat beradaptasi dalam dunia kerja. Orientasi dapat berjalan singkat (dalam beberapa hari) tapi bisa juga berjalan lama (beberapa minggu atau bulan), selain dapat meliputi satu unit organisasi atau beberapa unit organisasi.

Pengembangan Pegawai

Pengembangan pegawai identik dengan kegiatan pendidikan dan pelatihan (diklat) atau training and development. Fungsi ini merupakan fungsi yang tidak kalah penting dengan fungsi lainnya dalam MSDM. Fungsi ini sangat penting karena pada tahap inilah pegawai ditingkatkan dan dikembangkan kemampuannya sehingga dapat memberikan kinerja yang optimal bagi organisasi. Istilah training dan development sering digunakan secara bergantian, ada yang menggunakannya secara bersama tapi

-24-

ada juga yang membedakannya. Menurut Eugene F. McKenna dan Nic Beech (1995) ada perbedaan antara istilah training dan development. Development was seen as an activity normally associated with managers with the future firmly in mind, and training has more immediate concern and has been associated with improving the knowledge and skill of non-managerial employees in their present job. Development atau pengembangan berkaitan dengan pengembangan kemampuan manajerial pimpinan organisasi, sementara training atau pelatihan berkaitan dengan upaya pengembangan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam pekerjaannya.

Mondy (1990) mendefinisikan human resource development (HRD) is planned, continous effort by management to improve employee competency levels and organizational performance through training, education and development program. Ada tiga aspek penting dalam definisi HRD menurut Mondy, yaitu (1) training yang meliputi kegiatan-kegiatan untuk mengembangkan kinerja pegawai dalam melaksanakan suatu pekerjaan, misalnya kursus atau lainnya, (2) education meliputi kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan pemahaman pegawai dalam melaksanakan suatu pekerjaan, misalnya melalui seminar atau lainnya, dan (3) development meliputi kegiatan-kegiatan pengembangan yang bersifat lebih umum, yaitu untuk menghadapi berbagai perubahan yang terjadi saat ini atau dimasa depan.

Sementara itu, Prasetya (1997) menyebutkan bahwa pengembangan pegawai merupakan suatu proses merekayasa perilaku kerja pegawai sedemikian rupa sehingga pegawai dapat menunjukkan kinerja yang optimal dalam pekerjaannya. Kata kunci dalam pengembangan pegawai ini adalah rekayasa perilaku (behaviour engineering) dari pegawai, artinya perilaku kerja tersebut diubah dari yang buruk menjadi baik, dan dari baik menjadi lebih baik. Kegiatan merubah perilaku ini dilakukan secara sadar dan tanpa tekanan artinya pegawai secara sukarela mau untuk diubah atau dikembangkan perilaku kerjanya.

Ada beberapa tujuan dari pengembangan pegawai yang diberikan oleh Prasetya, yaitu : (1) Memberi orientasi pekerjaan kepada pegawai baru; (2) Mempersiapkan pegawai untuk menggunakan peralatan baru; (3) Mempersiapkan pegawai bekerja di sistem baru; (4) Mempersiapkan pegawai agar mampu mencapai standar kualitas kerja baru; (5) Menyegarkan (refreshing) ilmu dan keterampilan yang dimiliki pegawai; (6) Meningkatkan kualitas kinerja pegawai; dan (7) Menyiapkan pegawai menghadapi pekerjaan baru. Untuk meningkatkan efektivitas dari pengembangan pegawai, Prasetya (1997) menyatakan perlunya dilakukan analisis kinerja. Analisis kinerja ini perlu dilakukan untuk mendapatkan gap kemampuan pegawai, yaitu antara standar kinerja dengan kompetensi riil yang dimiliki pegawai.

Sejalan dengan pemikiran Mondy dan Prasetya tersebut, Amstrong (2003) mencatat ada empat aspek yang dapat diubah dalam rangka mengembangkan pegawai, yaitu : (1) pengetahuan, (2) keterampilan, (3) kemampuan dan (4) sikap. Pengetahuan berkaitan dengan ha-hal yang harus diketahui oleh pegawai agar dapat melakukan pekerjaan dengan baik. Keterampilan berkaitan dengan apa yang harus bisa dilakukan pegawai agar tujuan yang ditetapkan bisa dicapai dan pengetahuan yang dimiliki bisa

-25-

digunakan secara efektif. Sementara kemampuan adalah kompetensi berbasis kerja atau kompetensi perilaku yang diperlukan untuk mencapai tingkatan kinerja yang ditetapkan dan sikap adalah disposisi untuk berperilaku atau untuk bekerja sesuai dengan persyaratan kerja. Dalam melakukan kegiatan pengembangan pegawai ada tiga kegiatan utama yang harus dilakukan secara baik, yaitu perencanaan pengembangan pegawai, implementasi dan evaluasi.

Manajemen Karier

Manajemen karier berkaitan dengan perbaikan-perbaikan dalam karier seorang pegawai. Perbaikan ini mencakup pendapatan maupun karier mereka dari waktu ke waktu sesuai dengan kinerja mereka. Sebagaimana dinyatakan oleh Bernardin (2003) yang mengutip pendapat Joyce Russel : people will always have work lives that unfold over time, offering challenge, growth and learning. So, if we think of the career as a series of lifelong work-related experiences and personal learning, it will never die. Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa karier pegawai akan melekat selama pegawai tersebut bekerja di suatu organisasi. Pernyataan ini didukung dengan pendapat Mondy (1990) yang mendefinisikan career is a general course that a person chooses to pursue throughout his or her working life. Menjadi tugas organisasi untuk menyusun suatu pola perencanaan dan pengembangan karier untuk semua pegawainya. Masing-masing pegawai harus mempunyai prospek yang jelas mengenai karier kerja mereka dalam organisasi.

Sementara perencanaan karier menurut Mondy (1990) adalah a process whereby an individual sets career goals and identifies the means to achieve them. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa the major focus of career planning should be on matching personal goals and opportunities that are realistically available. Pencapaian karier seharusnya juga sesuai dengan kebijakan atau strategi yang ditetapkan oleh organisasi. Dalam hal ini diperlukan adanya keterbukaan atau transparansi mengenai kompetensi yang dimiliki oleh pegawai dan kompetensi yang diharapkan oleh organisiasi dari seorang pegawai yang memenuhi kebutuhannya. Disinilah diperlukan adanya pengembangan karier pegawai.

Dalam menyusun pola perencanaan dan pengembangan karier pegawai harus dilakukan secara rasional, transparan dan sesuai peraturan yang berlaku serta yang paling utama adalah dengan melibatkan pegawai itu sendiri. Sementara Prasetya (1997) menjelaskan bahwa manajemen karier berkaitan dengan banyak konsep yang masih diperdebatkan definisinya. Beberapa konsep yang terkait dengan manajemen karier adalah karier, jalur karier, tujuan/sasaran karier, perencanaan karier, pengembangan karier, manajemen karier dan konseling karier. Konsep-konsep tersebut terkait secara erat sebagaimana dijelaskan dalam bagan yang diberikan oleh Bernardin. Prasetya (1997) menyatakan bahwa manajemen karier meliputi seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan pegawai. Kegiatan ini dimulai dari proses rekrutmen, penempatan, pengembangan dan berhenti pada saat pegawai berhenti bekerja. Satu hal yang perlu

-26-

dicatat dalam manajemen karier ini adalah adanya kesamaan atau kecocokan antara pola karier yang diharapkan pegawai dengan pola karier pegawai yang ditetapkan organisasi. Dasar terjadinya kesesuaian pola karier ini adalah adanya kesesuaian kompetensi atau kemampuan yang dimiliki pegawai dengan kebutuhan organisasi, dan hal ini harus sesuai pula dengan program pengembangan pegawai yang ditetapkan oleh organisasi. Disinilah terlihat bahwa organisasi memegang peranan penting dalam penentuan pola karier pegawainya.

Penilaian Prestasi Kerja

Developing an effective performance appraisal system is most difficult (Mondy, 1990). Meskipun ada kesulitan dalam melakukan penilaian atau pengukuran kinerja pegawai karena terkait dengan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan, tapi tetap dapat diukur dengan melihat pada output atau hasil produksi. Kinerja atau performance menurut Bernardin (2003) adalah the record of outcomes produced on specified job functions or activities during a specified time period. Penilaian prestasi kerja menurut Prasetya (1997) adalah suatu cara dalam melakukan evaluasi terhadap prestasi kerja para pegawai dengan serangkaian tolok ukur tertentu yang objektif dan berkaitan langsung dengan tugas seseorang serta dilakukan secara berkala.

Prestasi kerja pegawai harus selalu dievaluasi secara berkesinambungan dan hasilnya dapat dipergunakan untuk berbagai, beberapa diantaranya diidentifikasi oleh Prasetya (2003), yaitu : untuk peningkatan imbalan (dengan sistem merit), feed back atau umpan balik bagi pegawai yang bersangkutan, promosi, PHK atau pemberhentian sementara, melihat potensi kinerja pegawai, rencana suksesi, transfer/mutasi pegawai, perencanaan pengadaan pegawai baru, pemberian bonus, perencanaan karier, evaluasi dan pengembangan diklat, komunikasi internal, kriteria untuk validasi prosedur suksesi dan kontrol pengeluaran. Dalam melakukan penilaian kinerja pegawai beberapa hal yang harus dipahami adalah mengenai pengertian dan tujuan penilaian kinerja pegawai, metode dan instrumen penilaian yang digunakan, serta kendala-kendala yang ada dalam pelaksanaan penilaian kinerja pegawai.

Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya data kinerja pegawai adalah untuk keperluan penggajian (compensation), pengembangan kinerja (performance improvement), selain itu juga dapat dipergunakan untuk keperluan pengembangan pegawai, seperti mutasi, promosi, demosi, diklat, evaluasi dan lain sebagainya. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian kinerja pegawai khususnya dalam mendesain sistem penilaian kinerja adalah adanya keterlibatan berbagai pihak, yaitu pimpinan, pegawai, bagian kepegawaian, serta pelanggan internal dan eksternal. Keterlibatan ini mencakup kegiatan dalam mendesain konten/substansi pengukuran, proses pengukuran, menentukan ukuran, menentukan level, menentukan teknis administrasi dan lain sebagainya. Paling tidak ada enam kriteria yang ditawarkan oleh Bernardin (2003) yang harus diukur atau dinilai dalam kinerja, yaitu : (1) Quality, (2)

-27-

Quantity, (3) Timeliness, (4) Cost-effectiness, (5) Need for supervision, dan (6) Interpersonal impact.

Dalam melakukan penilaian prestasi kerja seringkali terjadi bias yang menyebabkan tidak validnya suatu hasil penilaian. Beberapa bias yang berhasil diidentifikasi oleh Mondy (1990) adalah : hallo error, leniency, strictness, central tendency, recent behavior bias, personal bias, judgmental role of the evaluator. Untuk meminimalisir bias-bias tersebut maka perlu disusun suatu instrument penilaian prestasi kerja yang baik, valid dan transparan yang dapat mengukur kinerja riil seorang pegawai selama periode tertentu.

Kompensasi

Hal yang penting bagi pegawai dalam bekerja adalah adanya kompensasi (imbalan) yang mereka terima atas apa yang telah mereka lakukan untuk organisasi. Pegawai telah mencurahkan tenaga, pikiran dan keterampilan yang mereka miliki untuk kemajuan dan upaya pencapaian tujuan-tujuan organisasi, sehingga wajar apabila mereka memperoleh kompensasi atas usaha mereka tersebut. Besar kecilnya kompensasi yang diberikan oleh organisasi sangat mempengaruhi kinerja dan kepuasan pegawai sehingga organisasi harus membuat suatu pola perencanaan pemberian kompensasi yang adil, transparan sesuai kinerja pegawai. Seringkali masalah kompensasi ini menimbulkan berbagai masalah, misalnya pegawai yang melakukan pemogokan karena merasa tidak mendapat kompensasi yang sebanding dengan usaha dan kerja keras mereka.

Untuk menghindari berbagai persoalan tersebut, maka perlu adanya suatu sistem dalam pemberian kompensasi yang disebut dengan sistem penggajian. Menurut Amstrong, sistem penggajian adalah :

Pengaturan dalam organisasi mengenai apa dan bagaimana karyawan harus dibayar atas pekerjaan yang mereka lakukan. Sistem penggajian mengatur imbalan berdasarkan seberapa baik karyawan sebagai individu, tim atau organisasi bekerja, dan juga mengatur imbalan berdasarkan kontribusi, tingkat kemampuan (kompetensi) atau keterampilan yang telah mereka capai (2003). Ketidakpuasan atas kompensasi yang diterima pegawai disebabkan karena

adanya perbedaan antara yang diterima oleh pegawai dengan yang diterima oleh pegawai lainnya. Menurut riset yang dicatat Bernardin (2003), kepuasan atas kompensasi merupakan fungsi perbandingan atau rasio input-outcome seseorang dengan persepsinya terhadap input-outcome orang lain. Artinya mereka membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain dalam dua hal, yaitu input dan outcome. Input meliputi karakteristik pribadi (pendidikan, pengalaman kerja dan lain sebagainya), usaha (bagaimana usaha mereka dalam memecahkan suatu masalah dan lain sebagainya) dan kinerja. Sementara outcome adalah apa yang mereka peroleh dari pekerjaan mereka (pembayaran, promosi, tunjangan dan lain sebagainya).

-28-

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian kompensasi yang dicatat oleh Amstrong (2003), yaitu : 1. Kesamaan pencapaian hasil - besarnya gaji/kompensasi yang diberikan kepada

pegawai sesuai dengan besarnya kontribusi relatif mereka kepada organisasi; 2. Konsistensi - menggaji/memberikan kompensasi kepada pegawai secara konsisten

sesuai level jabatan dan tingkat kinerjanya; 3. Keadilan - memastikan bahwa keputusan penggajian/pemberian kompensasi

bersifat adil dalam arti tidak mendiskriminasi pegawai. Penggajian dibuat berdasarkan keputusan yang objektif dan tidak bias serta mencerminkan tingkat kontribusi pegawai;

4. Transparansi - sistem penggajian/pemberian kompensasi terbuka bagi pegawai sehingga mereka mengetahui dasar pemberian imbalan kepada mereka; dan

5. Tingkat gaji/kompensasi yang berlaku di pasar kerja - apakah gaji/kompensasi yang diberikan dibawah/sama/diatas rata-rata tingkat gaji/kompensasi yang berlaku di pasar kerja.

Kompensasi menurut Bernardin (2003) dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu : 1. Direct compensation, is used to describe the cash received in the form of base

salary, overtime pay, shift differentials, bonuses, sales commissions and so on. Direct compensation divided in two components: (1) the wage and salary program (base salary, overtime pay, shift differentials, etc); (2) pay that is contingent on performance (merit increases, bonuses, gainsharing pay, commissions, etc).

2. Indirect compensation refers to the general category of employee benefit programs. Indirect compensation divided in two types : (1) legally required program (social security, workers compensation); (2) discretionary program (medical coverage, paid time off).

Pemutusan Hubungan Kerja

Pemutusan hubungan kerja berarti keluarnya pegawai dari suatu organisasi, baik karena kemauan pegawai sendiri maupun karena kemauan organisasi. Pemutusan hubungan kerja karena kemauan pegawai sendiri biasanya disebabkan karena mereka mendapat pekerjaan lain yang lebih baik, tidak cocok dengan pekerjaan yang sekarang, atau karena masalah lainnya. Sementara apabila karena kemauan organisasi biasanya disebabkan karena pegawai masuk usia pensiun, pegawai meninggal dunia, kinerja pegawai tidak sesuai dengan harapan organisasi atau karena masalah lainnya. Pemutusan hubungan kerja ini harus diatur sesuai peraturan yang berlaku supaya tidak menimbulkan berbagai masalah, persoalan dan konflik antara pegawai dan organisasi di belakang hari.

Prasetya (1997) mencatat ada lima golongan atau jenis pemutusan hubungan kerja, yaitu : (1) pemutusan oleh majikan, (2) pemutusan oleh pegawai, (3) pemutusan demi hukum, (4) pemutusan oleh pengadilan, (5) pemutusan terhadap PNS. Pemutusan hubungan kerja yang tidak berdasarkan alasan dapat dikenai sanksi, baik berupa ganti

-29-

rugi maupun penempatan kembali pegawai. Sehingga pemutusan hubungan kerja harus dilakukan secara hati-hati.

B. Tinjauan Kebijakan

Setelah melihat aspek teoritis dalam fungsi penyelenggaraan manajemen kepegawaian sebagaimana diulas didepan, maka saatnya untuk mengulas aspek empiris dengan melihat berbagai kebijakan yang mengatur mengenai hal tersebut. Peraturan yang mengatur mengenai pengelolaan kepegawaian (PNS) di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam konteks penyelenggaraan otonomi daerah perlu dirujuk juga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini perlu dirujuk karena memuat kebijakan pendelegasian kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian khususnya PNS Daerah. Dan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. Berikut ini dibahas masing-masing kebijakan tersebut.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

Undang-Undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974. Pertimbangan digantinya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana dijelaskan dalam Bagian Menimbang Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 adalah : (a) dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi, diperlukan Pegawai Negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (b) bahwa untuk maksud tersebut pada huruf a, diperlukan Pegawai Negeri yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotism; (c) bahwa untuk membentuk sosok Pegawai Negeri Sipil sebagaimana tersebut pada huruf b, diperlukan upaya meningkatkan manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri dan untuk itu maka perlu dilakukan perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.

Beberapa hal yang terkait dengan penyerahan/pendelegasian wewenang dalam pengelolaan kepegawaian dibahas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974. Dalam Pasal 1 butir 8 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Manajemen Pegawai Negeri Sipil adalah :

keseluruhan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewajiban kepegawaian,

-30-

yang meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan dan pemberhentian. Dalam hal ini jelas sekali bahwa cakupan dari manajemen PNS meliputi delapan

kegiatan utama, yaitu : (1) perencanaan, (2) pengadaan, (3) pengembangan kualitas, (4) penempatan, (5) promosi, (6) penggajian, (7) kesejahteraan, dan (8) pemberhentian. Tahapan ini sesuai dengan kajian teoritis yang dikembangkan dalam kajian ini. Pemahaman mengenai pengembangan kualitas disini adalah pendidikan dan pelatihan.

Terkait dengan adanya kebijakan otonomi daerah maka jenis PNS pun dibedakan menjadi dua, yaitu PNS Pusat dan PNS Daerah (Bagian Pertama Pasal 2 ayat (2)). Pembedaan ini bukan untuk membedakan pengelolaannya tetapi cenderung mempermudah pengelolaannya. Artinya meskipun ada dua jenis, tetapi norma, kebijakan, peraturan yang menjadi pedoman tetap sama. Hal ini ditegaskan dalam Penjelasan sebagai berikut :

Manajemen Pegawai Negeri Sipil perlu diatur secara menyeluruh, dengan menerapkan norma, standar, dan prosedur yang seragam dalam penetapan formasi, pengadaan, pengembangan, penetapan gaji, dan program kesejahteraan serta pemberhentian yang merupakan unsur dalam manajemen Pegawai Negeri Sipil, baik Pegawai Negeri Sipil Pusat maupun Pegawai Negeri Sipil Daerah. Dengan adanya keseragaman tersebut, diharapkan akan dapat diciptakan kualitas Pegawai Negeri Sipil yang seragam di seluruh Indonesia. Di samping memudahkan penyelenggaraan menajemen kepegawaian, manajemen yang seragam dapat pula mewujudkan keseragaman perlakuan dan jaminan kepastian hukum bagi seluruh Pegawai Negeri Sipil. Hal ini selaras dengan tujuan manajemen yang ingin diwujudkan sebagaimana

dijelaskan dalam Pasal 12 ayat (1), yaitu : untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdayaguna dan berhasilguna. Dan dalam upaya mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang profesional, bertanggung jawab, jujur dan adil maka diperlukan pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistim prestasi kerja dan sistim karier yang dititikberatkan pada sistim prestasi kerja.

Kebijakan manajemen PNS yang dijalankan mencakup penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan kualitas sumber daya Pegawai Negeri Sipil, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban, dan kedudukan hukum. Dalam pasal dijelaskan bahwa pada dasarnya kebijakan manajemen kepegawaian (PNS) berada ditangan Presiden dibantu oleh KKN (Komisi Kepegawaian Negara). Kebijakan Pemerintah ini mencakup dalam penetapan norma, standar dan prosedur. Artinya kebijakan yang pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan PNS tetap menjadi tuhas Pemerintah. Hal ini ditegaskan dalam Penjelasannya sebagai berikut :

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah harus didorong desentralisasi urusan kepegawaian kepada daerah. Untuk memberi landasan yang kuat bagi pelaksanaan desentralisasi kepegawaian tersebut, diperlukan adanya pengaturan kebijaksanaan manajemen

-31-

Pegawai Negeri Sipil secara nasional tentang norma, standar dan prosedur yang sama dan bersifat nasional dalam setiap unsur manajemen kepegawaian. Pada saat ini Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Dalam bagian menimbang disebutkan : (a) bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia; (b) bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara; (c) bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti.

Selanjutnya dalam Pasal 1 butir 5 dijelaskan mengenai pengertian otonomi daerah, yaitu : hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya ada tiga jenis pelimpahan wewenang dalam urusan pemerintahan ini, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Masing-masing dijelaskan dalam Pasal 1 butir 7, 8 dan 9. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa Pemerintah berupaya memberikan kesempatan kepada Pemerintah Daerah baik di tingkat Provinsi,

-32-

Kabupaten/Kota untuk mengelola urusan rumah tangganya sendiri, tentunya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 10, dimana disebutkan bahwa Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Dijelaskan bahwa urusan Pemerintah tersebut meliputi lima urusan, yaitu : (1) politik luar negeri, (2) pertahanan dan keamanan, (3) yustisi, (4) moneter dan fiskal nasional (5) serta agama.

Kelima urusan tersebut tetap dipegang oleh pemerintahan karena menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Didalam Penjelasan disebutkan bahwa urusan politik luar negeri dalam arti mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri dan sebagainya. Pertahanan misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara dan sebagainya. Keamanan misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara dan sebagainya.

Moneter misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya. Yustisi, misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya. Agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah.

Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan baik di tingkat Pemerintah, Provinsi, Kabupaten/Kota yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. Penyerahan urusan disertai dengan penyerahan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Urusan yang diserahkan tersebut terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan.

Urusan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup

-33-

minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Sementara yang dimaksud dengan urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan Provinsi sebagaimana dijelaskan di Pasal 13 meliputi : perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum; penanganan bidang kesehatan; penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; pengendalian lingkungan hidup; pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; pelayanan administrasi umum pemerintahan; pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Sementara yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota sebagaimana dijelaskan di Pasal 14 meliputi : perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum; penanganan bidang kesehatan; penyelenggaraan pendidikan; penanggulangan masalah sosial; pelayanan bidang ketenagakerjaan; fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; pengendalian lingkungan hidup; pelayanan pertanahan; pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; pelayanan administrasi umum pemerintahan; pelayanan administrasi penanaman modal; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Sementara yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Sebagaimana dijelaskan dalam Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban Daerah disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak : mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; memilih pimpinan daerah; mengelola aparatur daerah; mengelola kekayaan daerah; memungut pajak daerah dan retribusi daerah; mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan kewajibannya adalah : melindungi masyarakat, menjaga

-34-

persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; mengembangkan kehidupan demokrasi; mewujudkan keadilan dan pemerataan; meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; mengembangkan sistem jaminan sosial; menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; mengembangkan sumber daya produktif di daerah; melestarikan lingkungan hidup; mengelola administrasi kependudukan; melestarikan nilai sosial budaya; membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam hal pengelolaan kepegawaian diatur dalam Bab V Kepegawaian Daerah khususnya di Pasal 129 dimana disebutkan bahwa Pemerintah melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara nasional. Hal ini sebagaimana dijelaskan didepan bahwa Pemerintah menyusun dan menetapkan norma, standar dan prosedur dalam pengelolaan kepegawaian. Manajemen PNS Daerah ini meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah.

Dalam Penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Kepegawaian Daerah adalah suatu sistem dan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sekurang-kurangnya meliputi perencanaan, persyaratan, pengangkatan, penempatan, pendidikan dan pelatihan, penggajian, pemberhentian, pensiun, pembinaan, kedudukan, hak, kewajiban, tanggung jawab, larangan, sanksi dan penghargaan merupakan sub-sistem dari sistem kepegawaian secara nasional. Dengan demikian kepegawaian daerah merupakan satu kesatuan jaringan birokrasi dalam kepegawaian nasional.

Selanjutnya dalam Pasal 130 sampai 133 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan mengenai penyerahan kewenangan dalam beberapa aspek manajemen. Di Pasal 130 ayat (1) Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah provinsi ditetapkan oleh Gubernur, (2) Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi kepada Gubernur.

Pasal 131 menjelaskan mengenai perpindahan pegawai. Disebutkan di ayat (1) Perpindahan pegawai negeri sipil antar kabupaten/kota dalam satu provinsi ditetapkan oleh Gubernur setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara, (2) Perpindahan pegawai negeri sipil antar kabupaten/kota antar provinsi, dan antar provinsi ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara, (3) Perpindahan pegawai negeri sipil provinsi/kabupaten/ kota ke departemen/lembaga pemerintah non departemen atau sebaliknya, ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan

-35-

Kepala Badan Kepegawaian Negara. Sementara mengenai penetapan formasi diatur dalam pasal 132 yang

menjelaskan bahwa : Penetapan formasi pegawai negeri sipil daerah provinsi/kabupaten/kota setiap tahun anggaran dilaksanakan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara atas usul Gubernur. Dan Pasal 133 mengatur mengenai pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan, mutasi antar daerah, dan kompetensi.

Beberapa contoh pendelegasian wewenang dalam pengelolaan kepegawaian dapat diberikan berikut ini sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan. Misalnya dalam penempatan pegawai untuk mengisi jabatan dengan kualifikasi umum menjadi kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan untuk pengisian jabatan tertentu yang memerlukan kualifikasi khusus seperti tenaga ahli di bidang tertentu, pengalaman kerja tertentu di Kabupaten atau Kota, maka pembina kepegawaian tingkat Provinsi dan atau Pemerintah dapat memberikan fasilitasi. Hal ini dalam rangka melakukan pemerataan tenaga-tenaga pegawai tertentu dan penempatan pegawai yang tepat serta sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diperlukan di seluruh daerah.

Gaji dan tunjangan PNS Daerah disediakan dengan menggunakan Dana Alokasi Dasar yang ditetapkan secara nasional yang merupakan bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang dinyatakan secara tegas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mempermudah apabila terjadi mutasi pegawai antar daerah atau dari daerah ke pusat, dan atau sebaliknya serta untuk menjamin kepastian penghasilan yang berhak diterima oleh setiap pegawai. Pemberhentian pegawai negeri sipil daerah pada prinsipnya menjadi kewenangan Presiden, namun mengingat bahwa jumlah pegawai sangat besar maka agar tercipta efisiensi dan efektivitas maka sebagian kewenangan tersebut diserahkan kepada pembina kepegawaian daerah.

Untuk lebih mempermudah Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mengelola kepegawaiannya maka Pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota

Sebagaimana dijelaskan didepan, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota ini merupakan peraturan pelaksanaan untuk mempermudah implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sesuai judulnya, Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007

-36-

ini memberikan kejelasan wewenang/urusan yang diserahkan atau didelegasikan ke Provinsi/Kabupaten/Kota.

Di Pasal 2 dijelaskan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah meliputi lima urusan, yaitu : (1) politik luar negeri, (2) pertahanan dan keamanan, (3) yustisi, (4) moneter dan fiskal nasional serta (5) agama. Dan urusan diluar yang lima tersebut dibagi bersama antar tingkatan baik Provinsi, Kabupaten/Kota.

Urusan yang dibagi bersama tersebut meliputi tiga puluh satu bidang urusan, yaitu : pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial, ketenagakerjaan dan ketransmigrasian, koperasi dan usaha kecil dan menengah, penanaman modal, kebudayaan dan pariwisata, kepemudaan dan olah raga, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian, pemberdayaan masyarakat dan desa, statistik, kearsipan, perpustakaan, komunikasi dan informatika, pertanian dan ketahanan pangan, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, kelautan dan perikanan, perdagangan dan perindustrian.

Urusan yang diserahkan/didelegasikan tersebut terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar, sementara urusan pilihan adalah adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Urusan wajib meliputi bidang : pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perumahan, kepemudaan dan olahraga, penanaman modal, koperasi dan usaha kecil dan menengah, kependudukan dan catatan sipil, ketenagakerjaan, ketahanan pangan, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, perhubungan, komunikasi dan informatika, pertanahan, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian, pemberdayaan masyarakat dan desa, sosial, kebudayaan, statistik, kearsipan dan perpustakaan. Urusan pilihan meliputi bidang : kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, industri, perdagangan dan ketransmigrasian.

Dalam menyelenggarakan urusan wajib tersebut, sebagaimana dijelaskan di Pasal 8, Pemerintah Daerah berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan Pemerintah dan dilaksanakan secara bertahap. Apabila mereka lalai maka

-37-

urusan tersebut diambil alih Pemerintah dengan pembiayaan bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah yang bersangkutan. Pemerintah melakukan langkah-langkah pembinaan terlebih dahulu berupa teguran, instruksi, pemeriksaan, sampai dengan penugasan pejabat Pemerintah ke daerah yang bersangkutan untuk memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib tersebut.

Terkait dengan penyerahan kewenangan pengelolaan kepegawaian secara lebih terperinci diatur dalam Lampiran T, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Lampiran T mengatur mengenai penyerahan kewenangan di bidang otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian. Ada enam sub bidang yang diatur, yaitu : otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian. Khusus untuk sub bidang kepegawaian terdapat empat belas sub sub bidang, yaitu : (1) formasi PNS, (2) pengadaan PNS, (3) pengangkatan CPNS, (4) pengangkatan CPNS menjadi PNS, (5) pendidikan dan pelatihan, (6) kenaikan pangkat, (7) pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan, (8) perpindahan PNS antar instansi, (9) pemberhentian sementara dari jabatan negeri, (10) pemberhentian sementara PNS akibat tindak pidana, (11) pemberhentian PNS atau CPNS, (12) pemutakhiran data PNS, (13) pengawasan dan pengendalian serta (14) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan manajemen PNS.

C. Tinjauan Empiris

Setelah melihat tinjauan teoritis dan kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan pendelegasian wewenang di bidang kepegawaian, maka perlu juga untuk mengulas tinjauan empiris terkait hal ini. Tinjauan empiris membahas mengenai kajian yang pernah dilakukan terkait masalah delegasi kewenangan. Kajian yang dipilih adalah kajian yang dilakukan oleh World Bank pada tahun 2005 dalam bentuk Laporan East Asia Decentralizes, Making Local Government Work. Laporan yang terkait dengan masalah desentralisasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian ditulis oleh Amanda Green, dengan judul Managing Human Resources in A Decentralized Context. Berikut disampaikan ulasannya.

Peranan PNS dalam desentralisasi kerap kali dianggap sebagai unsur pelengkap dan bukan unsur utama yang menentukan keberhasilan desentralisasi. Hubungan antara desentralisasi dan manajemen PNS merupakan proses dua arah. Perilaku dari PNS membawa dampak yang penting bagi kinerja pemerintah dalam kerangka desentralisasi. Sebaliknya, desentralisasi membawa perubahan insentif dan permintaan akan PNS. Mengelola perilaku tersebut menjadi penting sebagai cara untuk mendapatkan manfaat atas desentralisasi.

PNS atau dalam istilah lebih luas disebut sebagai sumber daya manusia oleh Amanda Green, dipandang sebagai komponen yang sangat penting dalam mendesain desentralisasi dan bukannya justeru dipisahkan dan menjadi satu proses yang berdiri sendiri. Tulisan ini membahas mengenai struktur desentralisasi administratif dan

-38-

manajemen PNS baik dalam teori maupun praktik. Bagian selanjutnya akan membahas mengenai desentralisasi administratif di Asia Timur dan prakteknya di enam negara, yaitu Kamboja, Cina, Indonesia, Philipina, Thailand dan Vietnam. Berbagai pendekatan dan tanggapan dari negara-negara tersebut, memberikan gambaran tentang proses pengelolaan PNS dalam kerangka desentralisasi. Pada bagian akhir bab ini menyajikan tentang penilaian atas dilema yang timbul selama perencanaan desentralisasi administratif dan pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman negara-negara di Asia Timur dalam memaksimalkan manfaat desentralisasi dan mengurangi resiko dari praktik desentralisasi di negaranya.

Berikut ini dijelaskan mengenai pokok-pokok keterkaitan antara manajemen PNS dengan desentralisasi.

Dekonsentrasi Delegasi Devolusi

PNS yang dipekerjakan pada instansi pusat di daerah adalah PNS yang bekerja pada pemerintah pusat, melalui kantor perwakilan kementerian atau departemen yang ada di daerah atau PNS pemerintah pusat yang diperbantukan pada pemerintahan daerah yang masih memerlukan pembinaan.

PNS yang bekerja dapat berasal dari pusat maupun daerah dengan ketentuan: pemerintah pusat menentukan pembiayaan dan status kepegawaian PNS yang bersangkutan.

PNS yang bekerja berasal dari PNS daerah

Akuntabilitas tetap jauh: akuntabilitas PNS daerah dekonsentrasi bisa menjadi lemah jika pengawasan lemah. Yang berakibat semakin lemahnya jalur pendek akuntabilitas dan masyarakat menjadi tergantung pada jalur panjang yang membentang kepada politisi di pusat; Hubungan kuat antar pengambil keputusan dengan otoritas dekonsentrasi dapat mengatasi masalah di atas.

Pemerintah daerah juga mempunyai beberapa kewenangan yang terkait dengan pengadaan staf lokal melalui baik melalui sistem kontrak (honorer) maupun penempatan staf lokal tersebut. Namun kewenangan tidak menyangkut kewenangan untuk memberhentikan staf lokal tersebut.

Pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk menentukan.

Jalur akuntabilitas Pentingya struktur PNS

-39-

panjang dan pendek keduanya berpotensi menguat; tersedianya sumber daya manusia yang berkualifikasi tinggi menyembabkan kesesuaian anatara supply tenaga kerja dengan kebutuhan lokal dan pengawasan yang lebih baik, memperkuat kerapatan rentang kendali dan kekuasaan klien atau pengguna jasa.

pada pemerintah daerah yang masih menggunakan standard dan prosedur dalam mempekerjakan dan mengelola PNS-nya

Berpotensi memperkuat rentang panjang dan rentang pendek akuntabilitas tetapi dipengaruhi oleh norma social lokal dan kepekaan terhadap keterbatasan kapasitas lokal dan politik lokal.

Terdapat beberapa karakteristik dalam administratif yang membuat berhasilnya

desentralisasi PNS, yaitu : 1. Fungsi dari pemerintah daerah telah jelas ditentukan, sehingga staf mengetahui apa

yang diharapkan darinya dan pimpinan dapat mendesain PNS daerah sesuai dengan kebutuhan lokal tanpa inefisiensi dalam hal kesenjangan dan tumpang tindih dengan tingkatan pemerintah lainnya;

2. Pemerintah daerah dapat mengalokasikan stafnya secara lintas fungsi sepanjang dibutuhkan. Hal ini membutuhkan pimpinan yang mempunyai otonomi atau paling tidak pengaruh untuk menjalankan pemerintahan daerahnya demikian juga untuk menempatkan stafnya secara zig-zag lintas unit atau instansi;

3. Pemerintah daerah dapat menarik dan mempertahankan individu yang memiliki kualifikasi yang baik dan membentuk tim dengan keahlian yang beragam. Untuk menjalankan ini, pemerintah daerah membutuhkan sesuatu yang dapat ditawarkan, melalui sistem penggajian yang menarik, kesempatan peningkatan karir, prestise, dan insentif lainnya;

4. Pemerintah daerah mempunyai fleksibilitas dalam mengelola sumber keuangan daerah. Mengelola PNS daerah membutuhkan biaya, baik yang dibayarkan secara langsung maupun tidak langsung melalui staf lainnya;

5. Pemerintah daerah dapat menerima akuntabilitas atas kinerja stafnya. Hal ini membutuhkan kapasitas untuk melakukan supervisi dan memonitor PNS, kemudian juga kemampuan untuk memberikan penghargaan terhadap kinerja yang baik

-40-

melalui peningkatan gaji, promosi dan penghargaan lainnya, serta kemampuan untuk memberikan sanksi bagi kinerja yang buruk melalui penerapan disiplin maupun mutasi bagi pegawai yang bersangkutan.

Terdapat empat dimensi yang berhubungan dengan penguatan kapasitas secara berkelanjutan, yaitu : 1. Kapasitas. Kapasitas diperlukan oleh PNS dalam memberikan layanan jasa dan

barang publik dalam rangka desentralisasi. Yang meliputi baik institusi maupun individu. Pertama, sukses desentralisasi tergantung dari kemampuan individu PNS dalam menjalankan tugas baru baik pada tingkat pusat maupun daerah. Kedua, berkurangnya ukuran dan anggaran dapat menajdi hambatan dalam peningkatan kapasitas institusi dari pemerintah daerah. Proses desentralisasi itu sendiri mempunyai implikasi yang penting bagi kebutuhan kapasitas di tingkat daerah. Devolusi pelayanan publik membutuhkan baik keahlian yang luas dan beragam dan juga pengetahuan yang mendalam pada bidang tertentu seperti manajemen keuangan, dan kinerja pengawasan. Lebih jauh, pemimpin lokal perlu belajar tentang bagaimana melakukan supervisi kepada staff-nya, menghasilkan lebih banyak sumber pendapatan daerah, berinteraksi dengan lokal konstituennya, maupun pejabat politik terpilih, serta mengembangkan institusi lokal. Pada akhirnya, pegawai membutuhkan perubahan dari melakukan menjadi difasilitasi dan diarahkan.

2. Insentif. Dalam beberapa hal sesuatu yang dianggap kurang berkapasitas dalam melakukan suatu layanan publik sebernarnya adalah kurangnya motivasi dalam dalam menjalankan kepentingan publik. Struktur dan manajemen PNS berpengaruh terhadap hasil dari reformasi desentralisasi dengan mempengaruhi perilaku PNS daerah. Desentralisasi fungsional dan tanggung jawab manajemen terhadap pemerintahan daerah pada gilirannya memodifikasi struktur insentif dari PNS daerah. Kedekatan pelayan PNS daerah dengan pengguna jasa dan barang publik di daerah pada gilirannya akan menguatkan hubungan antar usaha dan hasil dalam pelayanan publik.

3. Otonomi. Keotonomian daerah dalam mengalokasi sumber daya manusianya dapat meningkatkan efisiensi dengan memberikan diskresi kepada pimpinan untuk melakukan pengadaaan pegawai yang memiliki kemampuan sesuai kegiatan yang direncanakan; Untuk menegakan disiplin atau melakukan tindakan kepada pegawai yang tidak berkinerja dan mendorong efisiensi anggaran.

4. Akuntabilitas. Desentralisasi pada gilirannya berdampak pada akuntabilitas pemerintahan daerah. Berpindahnya tanggungjawab pengawasan PNS daerah kepada Pejabat di daerah, membuat PNS daerah sulit untuk melakukan korupsi ataupun kemalasan atas pekerjaannya. Jika check and balance yang diberlakukan dalam hal untuk menjamin netralitas tidak dapat berjalan, maka desentralisasi yang ada malah dapat memupuk terjadinya nepotisme.

Derajat otoritas yang dilakukan oleh pejabat kepegawaian daerah dalam menentukan jumlah, struktur, dan alokasi atas SDM di daerah memerankan posisi yang

-41-

penting, meskipun setiap negara memiliki fokus kebijakan desentralisasi yang berbeda pada tiap tingkatan pemerintah. Di Indonesia dan di Philipina, penerapan desentralisasi yang luas telah membawa dua hal yaitu kesempatan dan tantangan bagi pejabat daerah. Praktek desentralisasi merupakan bagian integral dari proses politik yang merupakan peralihan dari rezim otoritarian. Otonomi daerah di negara kepulauan digunakan sebagai alat untuk menjaga integritas.

-42-

BBaabb IIIIII MMeettooddoollooggii PPeenneelliittiiaann

A. Metode Penelitian

etode penelitian yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam kajian ini adalah metode evaluatif. Menurut Kidder sebagaimana dikutip oleh Sugiyono (2001), penelitian evaluasi terdiri dari dua jenis, yaitu penelitian evaluasi formatif yang menekankan pada proses dan penelitian evaluasi

sumatif yang menekankan pada produk. Dilihat dari substansi kajian, maka kajian ini masuk jenis kajian evaluatif formatif yang menekankan bagaimana produk kebijakan dilaksanakan/ diimplementasikan di lapangan.

Sedangkan dilihat dari tingkat eksplanasinya, kajian ini masuk kajian deskriptif eksploratif, yaitu untuk mengetahui nilai variabel mandiri dengan jalan penggalian data dan informasi secara luas dan mendalam untuk dapat menjelaskan variabel tersebut. Masing-masing data yang ditemukan, dijelaskan dan diuraikan secara lengkap untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai suatu permasalahan sesuai karakteristik yang ditetapkan.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam Kajian Pendelegasian Wewenang dalam Sistem Manajemen PNS di Indonesia ditetapkan dengan metode purposive sampling dengan mempertimbangkan karakteristik daerah, keterwakilan menurut lokasi geografis serta pertimbangan teknis lain yang dapat mempermudah penggalian data dan informasi. Kajian Pendelegasian Wewenang dalam Sistem Manajemen PNS di Indonesia mengambil lokasi di enam Provinsi dan sebelas Kabupaten/Kota di Indonesia. Keenam Provinsi yang dijadikan lokus adalah : Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Bali, Papua dan Jawa Timur. Sedangkan Kabupaten/Kota yang dijadikan lokus adalah : Kota Kendari, Kabupaten Kolaka, Kota Palangkaraya, Kabupaten Barito Selatan, Kota Bukit Tinggi, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Bangli, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Mimika, Kota Malang dan Kabupaten Blitar.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam kajian ini terdiri dari : 1. Wawancara mendalam (in-depth interview), wawancara ini dilakukan untuk

menggali data secara mendalam dengan narasumber (key informant) terpilih. Narasumber ini diantaranya adalah : Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian

-43-

Daerah atau Kepala Biro/Bagian Kepegawaian, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

2. Diskusi mendalam (in-depth discussion), diskusi ini dimaksudkan untuk memperoleh dan menjaring data berdasarkan kesepakatan bersama diantara pejabat yang kompeten di bidang yang sesuai dengan topik kajian.

3. Kajian Kepustakaan, kegiatan ini dimaksudkan untuk memperoleh data pendukung kajian melalui telaahan buku, literatur, dokumen, peraturan perundang-undangan serta sumber-sumber lain yang relevan dengan kajian.

D. Sumber Data dan Data yang Diperlukan

Sumber data atau nara sumber (key informant) yang ditemui adalah para pejabat yang memahami dan terlibat langsung dalam pengelolaan kepegawaian khususnya dalam pengelolaan kepegawaian di daerah. Key informant ini terdiri dari : Sekretaris Daerah dan/atau Asisten Bidang Aparatur, Kepala Badan Kepegawaian Daerah atau Kepala Biro/Bagian Kepegawaian baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Dalam pengumpulan data dimungkinkan untuk menambah key informant selama relevan dengan substansi kajian untuk menambah berbagai data dan informasi kajian. Selain key informant dari daerah, Tim juga menggunakan key informant dari Pemerintah Pusat (pejabat dari Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Badan Kepegawaian Nasional dan Departemen Dalam Negeri) serta para praktisi (dosen) yang memahami substansi kajian.

Data yang diperlukan untuk kajian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer berupa berbagai pernyataan, saran, rekomendasi dan masukan yang bermanfaat dalam pengelolaan kepegawaian di daerah yang diberikan oleh para key informant, sedangkan data sekunder berupa berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah serta berbagai data dan informasi lainnya yang bersumber dari buku, literatur atau dokumen lainnya yang terkait dengan pengelolaan kepegawaian.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh dari lapangan selanjutnya dianalisis dengan pendekatan analisis interpretif, yaitu dengan memberikan makna secara analitis dengan mengkaji data dan informasi yang diperoleh dari wawancara dan diskusi berdasarkan peraturan yang berlaku serta teori-teori yang dikembangkan dalam penelitian. Sedangkan data-data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber dianalisis dan digunakan sebagai data pendukung. Dalam melakukan analisis interpretif ini diperlukan kepekaan peneliti dalam menganalisis suatu data atau informasi baik yang diperoleh dari key informant maupun hasil pengamatan serta dari sumber-sumber lain.

Data dan informasi yang diperoleh dari lapangan pada dasarnya memberikan deskripsi atau gambaran yang spesifik di masing-masing daerah kajian. Data ini tidak

-44-

bisa menggambarkan kondisi umum di semua daerah atau dengan kata lain data yang diperoleh tidak bisa digeneralisasikan. Analisis dilakukan dengan mencermati persamaan, perbedaan serta kecenderungan-kecenderungan permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan delegasi kewenangan pengelolaan kepegawaian dimasing-masing daerah kajian.

-45-

BBaabb IIVV HHaassiill TTeemmuuaann ddaann AAnnaalliissiiss DDaattaa

embahasan terhadap data dan informasi yang diperoleh dari lapangan dibagi dalam dua sub bab, yaitu bagian pertama yang menggambarkan existing condition pendelegasian wewenang yang dilaksanakan di daerah yang dijadikan lokasi kajian. Di bagian ini digambarkan berbagai permasalahan yang dihadapi daerah dalam penyelenggaraan kewenangan yang dimilikinya

dalam pengelolaan kepegawaian. Sementara di bagian kedua menggambarkan expecting condition pendelegasian wewenang. Kondisi seperti apa yang diharapkan oleh daerah sehingga delegasi kewenangan di bidang pengelolaan kepegawaian dapat diselenggarakan dengan baik. Dari gambaran existing condition maupun expecting condition tersebut selanjutnya dilakukan analisis berdasarkan teori dan kebijakan yang dikembangkan dalam kajian ini sehingga ditemukan jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam kajian ini.

Didalam Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota khususnya di Lampiran T bidang Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian khususnya di sub bidang Kepegawaian disebutkan ada 14 sub sub bidang yang diatur, yaitu : (1) formasi PNS, (2) pengadaan PNS, (3) pengangkatan CPNS, (4) pengangkatan CPNS menjadi PNS, (5) pendidikan dan pelatihan, (6) kenaikan pangkat, (7) pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan, (8) perpindahan PNS antar instansi, (9) pemberhentian sementara dari jabatan negeri, (10) pemberhentian sementara PNS akibat tindak pidana, (11) pemberhentian PNS atau CPNS, (12) pemutakhiran data PNS, (13) pengawasan dan pengendalian, (14) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan manajemen PNS. Dalam kajian ini substansi mengenai pendelegasian kewenangan di bidang kepegawaian kepada daerah diklasifikasikan menjadi 7 (tujuh) kewenangan, yaitu : (1) penyusunan formasi, (2) pengadaan, (3) pengangkatan, (4) pendidikan dan pelatihan, (5) kenaikan pangkat, (6) perpindahan dan (7) pemberhentian atau pensiun. Klasifikasi tersebut tentunya tidak mengurangi substansi pendelegasian wewenang di bidang kepegawaian sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007 sebagaimana dijelaskan didepan.

-46-

A. Kondisi Aktual Pendelegasian Wewenang Pengelolaan Kepegawaian di Daerah

Dalam sub bab ini akan digambarkan data dan informasi yang diperoleh Tim di lapangan atau daerah kajian. Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai apakah delegasi kewenangan dibidang kepegawaian yang diserahkan pemerintah kepada pemerintah daerah sudah berjalan sebagaimana mestinya, apa permasalahan yang dihadapi daerah dalam melaksanakan delegasi kewenangannya di bidang kepegawaian, serta solusi atau penyelesaian yang bisa dijalankan untuk mengatasi masalah tersebut. Data dan informasi yang diperoleh tersebut akan memberikan gambaran pelaksanaan pendelegasian wewenang di bidang kepegawaian kepada Pemerintah Daerah dalam sistem manajemen PNS yang dilaksanakan selama ini.

1. Penyusunan Formasi

Delegasi kewenangan dalam penyusunan formasi kebutuhan pegawai menurut sebagian besar key informant yang ditemui di daerah kajian menyebutkan belum sesuai kebutuhan daerah. Dengan kata lain belum berjalan sebagaimana mestinya. Permasalahan utama yang diidentifikasi dalam pelaksanaan delegasi kewenangan dalam penyusunan formasi kebutuhan pegawai adalah tidak jelasnya prosedur penetapannya. Permasalahan ini terjadi hampir di semua daerah kajian yang dikunjungi. Seringkali posisi yang benar-benar dibutuhkan di daerah justeru tidak disetujui oleh Pusat dan dihapus. Selain itu, dalam melakukan proses penyusunan formasi kebutuhan pegawai juga belum ada standar yang jelas. Apabila harus melakukan analisis jabatan (anjab) atau analisis beban kerja (ABK) pada kenyataannya tidak semua daerah melakukannya. Responden menyebutkan bahwa belum semua daerah mampu melakukan anjab dan ABK karena kurangnya sosialisasi dan bimbingan teknik mengenai masalah tersebut.

Pendelegasian kewenangan dalam penyusunan formasi kebutuhan pegawai, menurut key informant di daerah belum/tidak sesuai dengan konteks otonomi daerah. Apabila diyakini bahwa pemahaman otonomi daerah adalah pemberian kewenangan kepada daerah tetapi pada kenyataannya dalam penentuan formasi kebutuhan pegawai, kewenangan tersebut tetap berada ditangan pemerintah pusat. Dan daerah tidak mempunyai ruang untuk “bertanya atau berdiskusi” mengenai jatah atau kuota yang diberikan kepadanya, baik dalam jumlah maupun karakteristik/spesifikasinya. Daerah menghitung kebutuhan pegawainya tetapi mengenai kepastian berapa jumlah yang disetujui tetap berada ditangan Pemerintah Pusat.

Secara teknis pemerintah memang sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2003 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 97 tahun 2000 tentang Formasi PNS. Secara teknis, setiap tahun BKN mengeluarkan Surat Keputusan Kepala BKN yang mengatur tentang ketentuan

-47-

pelaksanaan dalam penyusunan formasi PNS. Akan tetapi dilapangan, Tim menemukan masih banyak kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan delegasi wewenang dalam penyusunan formasi kebutuhan pegawai ini.

Temuan data dan informasi dilapangan menunjukkan bahwa tidak pernah ada kesesuaian antara pengusulan formasi dari daerah dengan kuota yang diberikan oleh Pemerintah Pusat (MenPAN). MenPAN selalu mengurangi jumlah kebutuhan formasi yang diusulkan Provinsi, Kabupaten/Kota dengan alasan keterbatasan anggaran. Menurut key informant dari kantor kementerian MenPAN, ada tiga alasan utama dalam penentuan formasi pegawai, yaitu : rasio antara jumlah penduduk dengan jumlah pegawai, luas wilayah dan kemampuan anggaran. Akan tetapi alasan keterbatasan anggaran inilah yang sering dipakai dalam menetapkan kuota formasi kebutuhan pegawai untuk masing-masing Provinsi, Kabupaten/Kota. Karena seringnya pemakaian alasan keterbatasan anggaran untuk membatasi usulan formasi kebutuhan pegawai dari daerah, key informant di Provinsi Jawa Timur menyatakan bahwa yang paling berwenang dalam menentukan formasi kebutuhan pegawai bukanlah MenPAN tetapi Departemen Keuangan. Karena departemen inilah yang menentukan besarnya anggaran yang menjadi alasan bagi MenPAN untuk menentukan kuota kebutuhan pegawai secara nasional.

Kebiasaan MenPAN dalam mengurangi usulan formasi ini nampaknya membuat pemerintah daerah menjadi “hapal” dan pada akhirnya mengambil sikap untuk tidak melakukan prosedur sebagaimana mestinya dalam menyusun formasi kebutuhan pegawai. Sebagaimana dijelaskan didepan, bahwa dalam menyusun kebutuhan formasi kebutuhan pegawai diharuskan melakukan anjab dan ABK tetapi karena pada kenyataannya usulan formasi selalu dikurangi, maka daerah tidak mau melakukan anjab dan ABK lagi. Kebanyakan daerah menggunakan ilmu kira-kira untuk menentukan formasi kebutuhan pegawainya. Alasannya, mereka sudah capek-capek melakukan anjab dan ABK, sudah menghabiskan waktu, tenaga dan dana yang banyak, tetapi pada akhirnya data yang dihasilkan tidak berguna. Karena penetapan formasi akhirnya tetap ada ditangan pemerintah pusat (MenPAN).

Contoh kasus, sebagaimana dijelaskan oleh key informant di Provinsi Kalimantan Tengah yang sudah melakukan anjab dan ABK, hasilnya adalah kebutuhan formasi pada tahun 2007 diusulkan sebanyak 1.260 formasi, yang disetujui oleh Pusat hanya 300 formasi saja. Sangat jauh dari kebutuhan nyata dan apabila tidak bisa dipenuhi maka akan berdampak tidak maksimalnya pelaksanaan tugas. Kondisi ini tentunya tidak baik bagi pengelolaan kepegawaian nasional. Formasi yang diharapkan merupakan gambaran kebutuhan nyata dari daerah tidak mampu terpotret dengan baik. Permasalahan yang ditemukan Tim di Kabupaten Mimika jauh lebih rumit. Karena keterbatasan sumber daya manusia yang ada, sangat sulit untuk mencari calon pegawai dengan tingkat pendidikan SLTA keatas. Kebanyakan masyarakat di Kabupaten Mimika hanya berpendidikan setingkat SLTP dan SLTA. Sehingga banyak formasi yang tidak bisa diisi apabila berpatokan pada

-48-

kuota dan karakteristik yang ditetapkan pemerintah. Sebagai contoh pada tahun 2007, Kabupaten Mimika mendapat formasi untuk bidang-bidang teknis seperti perikanan, teknik, pertanian dan kelautan. Formasi ini sulit dipenuhi karena sarjana yang ada sangat sedikit dan bidangnya umum, seperti hukum, ekonomi dan agama. Sehingga Pemerintah Daerah berinisiatif membuat Surat Keputusan Bupati supaya formasi tersebut bisa diisi oleh sarjana yang ada. Sebab bila dibiarkan formasi tersebut akan diisi oleh masyarakat pendatang. Sehingga surat keputusan ini juga untuk mengamankan kondisi daerah terhadap kemungkinan adanya ketidakpuasan masyarakat yang bisa memicu timbulnya konflik.

Gambaran yang diperoleh dalam pendelegasian kewenangan dalam penyusunan formasi kebutuhan pegawai terlihat menunjukkan masih “berkuasanya” pemerintah pusat. Bahkan key informant di Provinsi Bali menyatakan pernah menemui pejabat di tingkat pusat yang dengan arogan menyebutkan bahwa dialah yang paling tahu masalah penyusunan formasi, jadi daerah harus mengikuti saja. Kondisi ini menunjukkan bahwa kekuasaan atau kewenangan pusat ternyata masih sangat besar. Meskipun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 jelas disebutkan pembagian kewenangan atau urusan tersebut. Key informant berpendapat bahwa yang didelegasikan hanyalah kewenangan untuk mengusulkan saja, bukan menetapkan (meskipun didalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 jelas disebutkan mengenai kewenangan penetapan formasi PNS daerah). Artinya, konsistensi pemerintah dalam melaksanakan kebijakan atau peraturan masih belum maksimal. Karena kewenangan yang seharusnya menjadi hak daerah masih dipegang oleh pemerintah pusat.

Pendelegasian kewenangan dalam penyusunan formasi kebutuhan pegawai juga menunjukkan sistem yang masih “banci”. Apakah mau menggunakan sistem bottom up ataukah top down. Secara praktik memang dilakukan dari bawah, oleh masing-masing daerah tetapi dalam penetapannya berada di pemerintah pusat. Selain itu, pada saat daerah melakukan anjab dan ABK, dan menghasilkan usulan formasi kebutuhan pegawai, pada saat yang hampir bersamaan pemerintah mengeluarkan kuota formasi yang bisa disetujui, dan daerah menganalisa kembali kuota tersebut sesuai dengan prioritasnya. Kondisi seperti ini dirasakan menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya, dengan kata lain tidak praktis, efisien dan efektif. Selain itu, pengurangan jumlah usulan formasi kebutuhan pegawai tidak disertai dengan alasan yang jelas dan tegas sehingga menyulitkan daerah dalam mengakomodasinya. Bagaimana menyesuaikan dengan kebutuhan dan prioritasnya? Sebagai contoh, kasus yang ditemukan di Kabupaten Bangli, berdasarkan anjab dan ABK dibutuhkan tenaga dibidang akuntansi untuk mendukung pelaksanaan anggaran berbasis kinerja tetapi yang disetujui adalah tenaga guru akuntansi. Karena yang menjadi prioritas nasional adalah tenaga-tenaga fungsional termasuk didalamnya tenaga guru. Karakteristik atau kualifikasi tenaga akuntansi dengan tenaga guru akuntansi tentu berbeda karena latar belakang pendidikannya pun berbeda, meskipun sama-sama bidang akuntansi. Yang satu

-49-

profesional akuntan, sementara yang satu profesional guru. Ini adalah satu contoh permasalahan yang sering menjadi kendala dalam menindaklanjuti kuota formasi yang diberikan oleh pemerintah.

Dalam melakukan proses penyusunan formasi kebutuhan pegawai, rata-rata key informant menyatakan belum melakukan anjab dan ABK, tetapi hampir semua key informant menyatakan sudah melibatkan semua SKPD (satuan kerja perangkat daerah) yang ada di daerah. Koordinasi biasanya dilakukan oleh BKD atau Biro/Bagian Kepegawaian Daerah. Bahkan dari tingkat terkecil - kelurahan/kecamatan - diupayakan untuk dilibatkan. Bentuk pelibatan ini dalam bentuk memberikan surat edaran untuk menanyakan berapa jumlah pegawai yang dibutuhkan dan bagaimana karakteristiknya untuk kebutuhan setahun mendatang. Dasar perhitungannya bisa dikatakan cukup sederhana, yaitu berapa pegawai yang pensiun dan bagaimana tingkat beban kerjanya. Jumlah pegawai yang pensiun harus digantikan dengan pegawai baru, dan apabila dirasakan beban kerjanya berat maka perlu ditambah pegawai baru. Karakteristik yang dibutuhkan disesuaikan dengan beban kerja yang ada, misalnya pegawai dibidang tata usaha harus menguasai komputer maka dicari pegawai dengan latar belakang sekretaris atau SLTA dengan tambahan mempunyai kursus komputer, pegawai dibidang keuangan harus menguasai akuntansi maka dicari pegawai dengan latar belakang akuntansi, misalnya SMK jurusan akuntansi atau D3/S1 jurusan akuntansi.

Tapi dalam praktiknya sangat sulit untuk mengkoordinasikan semua SKPD ini. Seringkali yang terjadi adalah formasi yang diusulkan oleh SKPD mesti dianalisis kembali oleh BKD. Karena kebanyakan SKPD memberikan data yang sangat mentah, hanya mengganti jumlah pegawai yang pensiun, penambahan pegawai baru hanya didasarkan perkiraan saja, tidak melihat pada beban kerja nyata, apakah beban kerja tersebut bersifat kontinu (terus menerus) atau insidental (sewaktu-waktu) saja. Tentunya apabila beban kerja hanya bersifat insidental tidak perlu ada penambahan pegawai baru. Kondisi ini menuntut BKD untuk bekerja keras untuk menyusun formasi kebutuhan pegawai secara nyata. Apalagi kalau ujung-ujungnya usulan yang sudah dengan susah payah disusun ternyata dikurangi sehingga mesti dianalisis kembali. Biasanya untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya, pada analisis perhitungan kedua ini tidak melibatkan lagi SKPD. Dalam proses penyesuaian ini perlu dilakukan konsultasi dan koordinasi yang intensif dengan Kepala Daerah dan Sekretaris Daerah serta Biro/Bagian Organisasi untuk menentukan prioritas formasi yang diusulkan sesuai dengan kuota yang diberikan. Hasil akhir penyesuaian formasi dikonsultasikan dengan Sekretaris Daerah dan Kepala Daerah untuk penetapan akhirnya. Ini juga seringkali menimbulkan masalah di masing-masing SKPD karena apa yang diusulkan tidak sesuai dengan yang diterima. Tetapi biasanya bisa diatasi dengan penjelasan oleh BKD atau Sekretaris Daerah.

Setelah disepakati, disetujui dan ditetapkan oleh Kepala Daerah dan/atau Sekretaris Daerah maka usulan formasi kebutuhan pegawai tersebut dikirimkan ke

-50-

Pemerintah Pusat (MenPAN) dengan tembusan ke BKN. Untuk Provinsi biasanya langsung dikirim ke MenPAN, sementara untuk daerah Kabupaten/Kota ada yang langsung mengirimkannya ke MenPAN ada juga yang mengirimkan ke Provinsi (koordinasi dengan Provinsi). Ada juga Kabupaten/Kota yang mengirimkannya langsung ke MenPAN dan Provinsi dengan harapan kalau langsung ke MenPAN akan lebih cepat diproses. Ketidak-konsistenan pemerintah pusat terlihat karena semua usulan diterima dan ditindaklanjuti, baik yang berkoordinasi dengan Provinsi maupun yang tidak. Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 secara tegas disebutkan bahwa Kabupaten/Kota berwenang menetapkan formasi PNSD Kabupaten/Kota, Provinsi berwenang menetapkan formasi PNSD Provinsi dan melakukan koordinasi usulan penetapan PNSD Kabupaten/Kota. Kebijakan ini seharusnya bisa menjelaskan bagaimana prosedur pengusulan formasi kebutuhan pegawai, tetapi pada pelaksanaannya terjadi ketidak-konsistenan pemerintah dalam menindaklanjutinya.

2. Pengadaan

Setelah usulan formasi kebutuhan pegawai disetujui, maka keluarlah penetapan oleh MenPAN mengenai berapa jumlah pegawai yang bisa direkrut oleh satu daerah. Selanjutnya pemerintah daerah diwajibkan melakukan tes pengadaan pegawai. Peraturan pelaksana dalam melakukan pengadaan PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan PNS. Untuk pengaturan teknisnya, Kepala BKN mengeluarkan Surat Keputusan Kepala BKN terkait dengan pedoman pelaksanaan pengadaan PNS yang dikeluarkan setiap tahun.

Menurut key informant di daerah, delegasi kewenangan dalam pengadaan PNS sudah berjalan sebagaimana mestinya. Dalam arti sesuai dengan kebijakan yang digariskan pemerintah. Koordinasi antara instansi pusat (MenPAN dan BKN) dengan Provinsi, Kabupaten/Kota selalu dilakukan. MenPAN dan BKN bahkan selalu menurunkan Tim Asistensi ke daerah untuk memantau jalannya tes pengadaan PNS tersebut. Sementara koordinasi antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota dilakukan lebih kepada penyamaan waktu pelaksanaan tes. Hal ini untuk menghindari seorang calon/pelamar bisa ikut tes dibeberapa lokasi dalam wilayah provinsi yang sama. Sebagaimana dijelaskan key informant di Provinsi Bali, yang menyatakan bahwa koordinasi dengan Kabupaten/Kota lebih pada penyamaan waktu penyelenggaraannya saja. Dan ini harus disamakan, tidak boleh berbeda. Hal yang sama juga dilakukan oleh Provinsi Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat dan lainnya.

Meskipun pelaksanaan tes pengadaan disamakan waktunya tetapi dalam penentuan Perguruan Tinggi yang akan diajak kerjasama boleh berbeda. Pemerintah daerah diberikan kebebasan dalam menentukan Perguruan Tingginya. Tentu saja tetap harus memenuhi ketentuan yang berlaku, yaitu PTN atau PTS yang diajak

-51-

kerjasama harus sudah terakreditasi dan mempunyai kualitas bagus. PT yang diajak kerjasama biasanya adalah PT yang memang sudah biasa melakukan tes pengadaan PNS. Kerjasama ini meliputi pembuatan soal, pemeriksaan dan penentuan kelulusan, sementara pemerintah daerah bertanggung jawab dalam pelaksanaan tes dan pengumuman kelulusannya. Selain itu dalam pelaksanaannya, Tim dari Pusat (MenPAN dan BKN) selalu hadir didaerah melakukan asistensi. Ada daerah yang menggunakan PTN/PTS yang ada di wilayahnya tetapi ada juga yang menggunakan PTN/PTS dari luar daerah. Untuk daerah di pulau Jawa, perguruan tinggi yang sering diajak kerjasama adalah UI Jakarta dan UGM Jogjakarta. Selain itu ada juga beberapa daerah di luar Jawa yang menggunakan UI dan UGM, misalnya daerah di Provinsi Bali, Kabupaten Bangli menggunakan UGM untuk test psikologisnya sementara untuk test pengetahuan umum dikerjakan oleh perguruan tinggi setempat, yaitu Universitas Ganesha, sementara Kabupaten Bangli menggunakan UI Jakarta. Kota Palangkaraya dalam melakukan tes pengadaan pegawai juga bekerjasama dengan UGM Jogjakarta. Alasannya apabila menggunakan PT dari daerah, dikhawatirkan sudah overload karena hampir semua Kabupaten di Kalimantan Tengah kerjasama dengan meraka. Selain itu ada kekhawatiran, kalau dengan PT yang dekat, kemungkinan untuk terjadi KKN lebih besar. Berbeda kalau dengan UGM Jogjakarta maka kemungkinan itu kecil karena lokasinya yang jauh.

Beberapa kesulitan atau hambatan yang berhasil diidentifikasi dalam pendelegasian wewenang pengadaan PNS antara lain dalam penentuan standar tes. Sebagaimana diketahui tingkat kemampuan akademik calon diberbagai daerah yang ada di Indonesia masih berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena tingkat kualitas pendidikan yang memang masih berbeda. Selama ini, sebagaimana diketahui bahwa pendidikan di wilayah Barat Indonesia lebih maju daripada wilayah Timur Indonesia. Kondisi ini berdampak pada tingkat kemampuan akademik masyarakat yang berbeda pula. Contoh kasus di daerah Kabupaten Mimika, Papua. Disana masih sangat jarang ada penduduk dengan pendidikan sarjana, kebanyakan masih tingkat SLTP dan SLTA. Ini belum melihat pada kualitasnya, baru pada tingkat pendidikannya saja.

Dalam hal pengadaan PNS, maka soal tes tidak bisa disamakan antara wilayah Timur dengan wilayah Barat. Hal ini memang menjadi tanggung jawab PT yang diajak kerjasama dalam menyusun soal tes. Biasanya PT yang diajak kerjasama sudah memahami kemampuan akademik masyarakat setempat sehingga soal tes yang disusun disesuaikan dengan kemampuan mereka.

Permasalahan yang muncul adalah apabila ada peserta/calon dari luar daerah. Apabila mereka mempunyai kemampuan yang lebih baik maka mereka mempunyai peluang lulus yang lebih besar daripada peserta/calon dari daerah itu sendiri, dan ini dianggap mengurangi kesempatan putera daerah. Kondisi ini berdampak pada “pengkotakan” atau penolakan atau pembatasan pelamar/calon dari luar daerah yang ingin melamar PNS kesuatu daerah. Informasi ini memang tidak diperoleh langsung dari key informant tetapi mencermati bahwa salah satu

-52-

persyaratan yang harus dilampirkan adalah KTP setempat maka sudah kelihatan adanya pembatasan pelamar/calon PNS dari luar daerah.

Masing-masing PT yang diajak kerjasama dalam pelaksanaan pengadaan PNS khususnya dalam penyusunan soal tes dan pemeriksaannya biasanya mempunyai standar sendiri-sendiri. Standar ini tidak diketahui oleh pemerintah daerah yang meng-hire mereka. Pemerintah daerah biasanya sudah percaya terhadap kualitas soal yang mereka susun, dan standar yang dipakai biasanya adalah standar nasional. Meskipun dalam praktiknya, pemerintah daerah tidak tahu persis seperti apa yang dimaksud dengan standar nasional tersebut. Kewenangan dalam menyusun soal dan menentukan standar atau tingkat kesulitan soal diserahkan sepenuhnya kepada PT yang bersangkutan. Biasanya pertimbangan yang digunakan adalah bagaimana tingkat kemampuan akademik masyarakat disitu, dengan melihat tingkat lulusan SLTA, lulusan universitas atau kemampuan dari angkatan kerjanya.

Permasalahan lain adalah dalam penentuan kelulusan. Pihak PT hanya bertanggung jawab sampai pada penyusunan rangking nilai berdasarkan hasil tes yang dilakukan. Hal ini didukung dengan teknologi komputer sehingga bisa dilakukan secara cepat dan akurat. Sebagaimana dijelaskan oleh key informant di Kabupaten Kolaka yang menyatakan bahwa untuk pelaksanaan pengadaan PNS didukung dengan sistem teknologi informasi yang canggih. Ini juga untuk menghindari KKN. Sementara untuk penentuan dan penetapan lolos atau tidaknya seorang pelamar/calon menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Akan tetapi informasi yang diperoleh Tim dari key informant didaerah menyatakan bahwa tidak/belum ada pedoman dari pusat untuk penetapan ini. Ada daerah yang menetapkan nilai minimal (passing grade) untuk menentukan lolos tidaknya seorang pelamar dalam satu formasi, misalnya yang dilakukan oleh Provinsi Bali dan Provinsi Kalimantan Tengah. Sebagai contoh, satu lowongan jabatan membutuhkan formasi 5 (lima) orang dan ditetapkan nilai minimalnya adalah 7, maka pelamar/calon yang nilainya dibawah 7 otomatis gugur. Selanjutnya diambil sejumlah lima orang dari rangking pertama sampai lima, sisanya otomatis gugur. Apabila pelamar/calon yang memenuhi syarat nilai minimal 7 tidak ada 5 (lima) orang maka formasi tersebut hanya diisi yang lolos saja. Misalnya yang memenuhi syarat nilai minimal hanya 2 (dua) orang maka hanya mereka yang diloloskan. Sisa 3 (tiga) formasi yang tidak terpenuhi tetap dikosongkan dan akan diusulkan untuk formasi tahun berikutnya. Akan tetapi ada juga daerah yang tidak menetapkan nilai minimal (passing grade), seperti Provinsi Jawa Timur. Karena tidak ada passing grade maka semua pelamar/calon yang masuk ranking diloloskan sesuai formasi yang dibutuhkan.

Tidak adanya pedoman yang jelas dalam penetapan lolos tidaknya seorang pelamar/calon ini berdampak masih rentannya proses pengadaan PNS ini. Praktik KKN masih bisa terjadi dalam pengadaan PNS ini. Karena pihak ketiga (PT) sudah tidak ikut terlibat dalam penetapan lolos tidaknya seorang pelamar/calon menjadi PNS. Dari analisis Tim, belum adanya standar lolos dari pemerintah ini nampaknya

-53-

juga menjadi alasan dan memudahkan daerah dalam menyaring calon-calon dari luar daerah. Transparansi dalam penetapan lulus (lolos) PNS sangat perlu dilakukan. Misalnya dengan melakukan pengumuman secara terbuka hasil tes yang dilakukan ke masyarakat. Sehingga masyarakat tahu berapa nilai masing-masing pelamar/calon dan berada diranking berapa sehingga tidak ada protes atau komplain dari masyarakat.

3. Pengangkatan

Menurut key informant di daerah kajian, pendelegasian kewenangan dalam hal pengangkatan CPNS menjadi PNS tidak ada masalah yang mendasar. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Menurut key informant dalam hal pengangkatan kewenangan sudah sangat jelas sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian PNS dan secara lebih jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. Yaitu, di Lampiran T bidang Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian, khususnya di sub bidang Kepegawaian.

Sesuai dengan bunyi amanat peraturan-peraturan tersebut, key informant menyatakan bahwa dalam hal pendelegasian wewenang pengangkatan CPNS sudah berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini didukung dengan sudah berdirinya Kantor Regional BKN dihampir semua daerah Provinsi yang sangat membantu keperluan administrasi dalam pengangkatan CPNS. Kesulitan yang dihadapi oleh daerah pada dasarnya pada pemenuhan kelengkapan berkas-berkas administrasi. Selama CPNS mampu memenuhi persyaratan sesuai permintaan dan bisa dikumpulkan tepat waktu maka tidak ada masalah yang dihadapi dalam proses pengangkatan CPNS ini. Hal ini dinyatakan hampir semua key informant, baik yang ada di Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Bahkan key informant yang ada di Kabupaten Mimika menyatakan bahwa adanya Kantor Regional BKN sangat membantu mereka. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pembentukan Kantor Regional BKN di tingkat provinsi memang memberikan manfaat yang besar bagi daerah. Pengelolaan kepegawaian menjadi lebih baik diatur.

Hal yang sama disampaikan juga untuk pengangkatan CPNS menjadi PNS. Masalah kelengkapan berkas juga disebutkan sebagai masalah yang sering dihadapi. Sebagaimana disebutkan oleh key informant di Kabupaten Kolaka, bahwa dalam pengurusan pengangkatan ini seringkali ada kesalahan, kekurang-lengkapan berkas dan perbaikan-perbaikan berkas yang bisa dilakukan dengan berkoordinasi dengan Kantor Regional BKN. Pengurusan kelengkapan berkas ini seringkali dianggap menjadi masalah bagi daerah-daerah yang kurang/tidak berkoordinasi dengan Kantor Regional BKN. Dan apabila berlarut-larut maka NIP bisa terlambat keluar.

-54-

Tentunya ini akan merugikan pegawai. Bahkan informasi yang diperoleh dari key informant di Kabupaten Pulang Pisau menyebutkan bahwa mereka bisa menyusun jadwal secara baik untuk pengurusan NIP. Yaitu, 3 minggu setelah pengumuman kelulusan, NIP sudah mulai diurus. Dua minggu dilakukan pembetulan berkas-berkas yang masih salah atau kurang dan minggu berikutnya sudah diusulkan ke Kantor Regional BKN VII Banjarmasin. Setelah itu tinggal menunggu waktu turunnya NIP dari Kantor Regional BKN yang makan waktu tidak terlalu lama, kurang lebih sebulan atau dua bulan tergantung pada kelengkapan berkasnya. Karena ada kalanya sudah lengkap didaerah ternyata ada saja yang kurang lengkap atau ada kesalahan.

Sementara itu, key informant di Provinsi Jawa Timur menyoroti peraturan yang tumpang tindih atau mengatur substansi yang sama. Dalam hal pengangkatan pegawai ada dua Peraturan Pemerintahan yang bisa diacu, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian PNS serta Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota, khususnya di Lampiran T bidang Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian, khususnya di sub bidang Kepegawaian. Menurut key informant di Provinsi Jawa Timur, apabila mengatur substansi yang sama mengapa harus diatur dengan dua peraturan yang setingkat. Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 disebutkan bahwa daerah Provinsi menetapkan CPNS menjadi PNS dilingkungan Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota menetapkan CPNS menjadi PNS di lingkungan Kabupaten/Kota. Sementara di Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 disebutkan pejabat pembina kepegawaian daerah provinsi, kabupaten/kota menetapkan pengangkatan CPNS daerah dilingkungannya. Sementara pemahaman mengenai pejabat pembina kepegawaian sendiri didaerah masih sering rancu, apakah Kepala Daerah ataukah Sekretaris Daerah. Contoh lainnya terkait dengan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS. Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian disebutkan kewenangan dalam bidang ini didelegasikan Presiden ke pejabat pembina kepegawaian baik ditingkat pusat maupun daerah. Sementara di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan kewenangan ini didelegasikan kepada Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Kondisi ini menurut key informant menjadi rancu, mana yang harus dirujuk, sehingga dalam menggunakan rujukan mereka melihat dari aspek dominannya.

Selain itu dalam pengangkatan CPNS menjadi PNS, masalah Diklat Pra Jabatan ternyata juga menjadi masalah tersendiri. Di Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pengadaan PNS, disebutkan bahwa masa percobaan bagi CPNS adalah sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun. Rata-rata key informant di daerah yang dijadikan lokus kajian menyatakan

-55-

bahwa sebelum dua tahun para CPNS sudah diikutkan diklat Pra Jabatan dan diangkat menjadi PNS. Permasalahan yang sering terjadi adalah kurangnya dana penyelenggaraan diklat Pra Jabatan sehingga ada daerah yang terpaksa melakukan diklat dalam beberapa angkatan, atau ada yang dititipkan kedaerah lain yang menyelenggarakan. Dengan cara ini maka daerah dapat lebih menghemat biaya penyelenggaraan diklat. Cara ini sering ditempuh oleh daerah-daerah khususnya Kabupaten/Kota yang belum mempunyai sarana diklat didaerahnya.

Standard operating procedures (SOP) yang belum dipahami oleh sebagian key informant juga menjadi masalah tersendiri. Masalahnya adalah belum maksimalnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah pusat (MenPAN, BKN) dalam menyebarkan informasi mengenai prosedur dan persyaratan untuk pengangkatan CPNS maupun CPNS menjadi PNS. Memang secara substansi sudah tercantum dalam berbagai peraturan yang ada, tetapi seringkali dalam praktik atau implementasinya berbeda.

4. Pendidikan dan Pelatihan (diklat)

Secara kebijakan, diklat PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan PNS. Terkait dengan delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian, penyelenggaraan diklat ini termasuk salah satu kewenangan yang didelegasikan ke pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Pembagiannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, khususnya di Lampiran T bidang Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian, khususnya di sub bidang Kepegawaian.

Menurut key informant di daerah yang dikunjungi, pendelegasian wewenang dalam penyelenggaraan diklat sudah berjalan sebagaimana mestinya. Dan menurut info yang diperoleh Tim, penyelenggaraan diklat PNS lebih banyak dilakukan di Provinsi daripada di Kabupaten/Kota. Hal ini sebenarnya terkait dengan ketersediaan sarana dan prasarana diklat yang lebih banyak ada di Provinsi daripada di Kabupaten/Kota. Menurut key informant yang daerahnya sudah mempunyai sarana diklat dan sudah menyelenggarakannya, pendelegasian yang berjalan selama ini sudah sesuai dengan konteks otonomi daerah.

Meskipun demikian, dalam praktiknya tidak dapat dipungkiri masih ada masalah yang dihadapi. Masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan delegasi wewenang dalam penyelenggaraan diklat PNS bisa dikatakan adalah masalah klasik, yaitu masalah dana. Keterbatasan dana seringkali menjadi kendala dalam penyelenggarakan diklat PNS. Sehingga seringkali dilakukan penetapan prioritas-prioritas diklat yang hendak diselenggarakan dengan pertimbangan yang matang. Prioritas utama diklat yang diselenggarakan didaerah adalah diklat jabatan atau

-56-

diklat kepemimpinan (diklatpim). Karena diklatpim menjadi syarat untuk bisa menduduki suatu jabatan struktural tertentu. Sementara untuk diklat teknis dan fungsional masuk prioritas berikutnya. Sebagaimana dijelaskan key informant di Provinsi Sumatera Barat, diklat struktural atau sering disebut diklat penjenjangan biasanya sudah direncanakan dan dianggarkan secara baik oleh masing-masing SKPD. Sementara untuk diklat teknis fungsional masih kurang mendapat prioritas. Selain itu tingkat ketertarikan pegawai untuk berkarier di jabatan fungsional masing sangat kurang karena merasa sulit dalam pengumpulan angka kreditnya. Key informant di Kabupaten Kolaka juga menyebutkan bahwa mereka memprioritaskan diklat struktural karena terkait dengan pengisian formasi jabatan struktural dan untuk memenuhi amanat undang-undang. Selain itu yang wajib diselenggarakan adalah diklat pra jabatan karena terkait dengan persyaratan untuk pengangkatan CPNS menjadi PNS.

Masalah yang berbeda terjadi di Kabupaten Mimika, dimana ada keterbatasan pegawai baik dalam kuantitas maupun kualitas. Banyak pejabat yang belum memenuhi persyaratan administrasi terpaksa diikutkan diklat struktural karena tuntutan tugas dan tidak ada lagi pegawai yang lain. Sementara itu key informant di Provinsi Sulawesi Tenggara menyatakan bahwa adanya peraturan yang masih “abu-abu” dalam mengatur masalah diklat PNS. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan PNS, khususnya di Pasal 14 yang menyebutkan : peserta Diklatpim adalah PNS yang “akan atau telah” menduduki Jabatan Struktural. Kasus yang terjadi di Sulawesi Tenggara, pasal ini seringkali digunakan oleh Kepala Daerah terpilih untuk menempatkan orang-orang dalam Tim suksesnya menjadi pejabat struktural meskipun dari sisi persyaratan administrasi belum memenuhi syarat. Sehingga ada ungkapan setiap ada pergantian Kepala Daerah maka akan terjadi “bencana” bagi pejabat-pejabat yang tidak mendukung Kepala Daerah terpilih.

Fenomena “duk-dik” atau “dik-duk” memang menjadi masalah tersendiri di daerah. Artinya menduduki jabatan dulu baru didiklatkan atau diklat dulu baru menduduki jabatan, mana yang akan dipilih memang tidak ada yang menyalahi peraturan kalau mencermati bunyi Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tersebut. Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Bangli dalam pelaksanaan diklat struktural memilih untuk duk-dik, menduduki jabatan dulu baru diikutkan diklat karena bisa menghemat anggaran. Proses perencanaannya lebih mudah dan tidak menimbulkan kecemburuan dikalangan pegawai. Karena kalau menggunakan dik-duk, maka bagi yang sudah mengikuti diklat dan mempunyai STTPL (surat tanda tamat pendidikan dan latihan) mereka akan menuntut untuk promosi jabatan. Dampak lainnya apabila banyak yang belum dipromosi maka alumni diklatpim akan menumpuk dan bisa menimbulkan keresahan.

Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional kebanyakan dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan pihak ketiga, baik instansi pemerintah maupun swasta. Selama biaya dapat dianggarkan atau masuk dalam hitungan kemampuan

-57-

anggaran maka akan diselenggarakan, dan akan lebih bagus apabila dilakukan sharing budget. Sharing budget biasanya dilakukan oleh departemen teknis untuk melatih tenaga-tenaga fungsional yang terkait dengan pelaksanaan pekerjaannya. Misalnya Departemen Tenaga Kerja menyelenggarakan diklat tentang keselamatan kerja. Penyelenggaraan diklat teknis fungsional sebagaimana dijelaskan oleh key informant di Kabupaten Limapuluh Kota sebenarnya sangat penting. Khususnya bagi pengembangan kompetensi para pegawai yang diangkat dari tenaga honorer. Menurut key informant, tenaga honorer dengan tingkat kompetensi yang pas-pasan harus ditingkatkan dengan diklat teknis fungsional untuk mendukung tugas pekerjaannya. Jangan sampai setelah diangkat menjadi PNS, kompetensinya tetap saja sama sewaktu menjadi tenaga honorer.

Masalah lain yang menyangkut pendelegasian wewenang dalam penyelenggaraan diklat PNS adalah keterbatasan sarana dan prasarana diklat. Selain itu, belum adanya Badan Diklat di Provinsi, atau Kabupaten/Kota yang secara khusus menangani masalah diklat PNS juga menjadi masalah tersendiri. Seringkali ada Badan Diklat tetapi belum mempunyai sarana gedung yang dilengkapi kelas dan peralatan pengajaran untuk penyelenggaraan diklat. Selain itu belum adanya tenaga pengajar atau Widyaiswara (WI) juga menjadi masalah tersendiri. Hal ini sebagaimana terjadi di Kabupaten Kolaka, mereka cenderung mengirimkan pegawai mengikuti diklat diluar daerah karena secara perhitungan anggaran lebih murah. Mereka biasanya mengikuti diklat ke Kendari dan Makassar. Sementara di Bali, bagi Kabupaten/Kota yang sudah mempunyai Badan Diklat atau sudah bisa menyelenggarakan diklat sendiri, ternyata tenaga WI-nya tetap mengambil dari Provinsi karena di Kabupaten/Kota tidak ada.

Masalah klasik lain yang muncul adalah masih berbedanya persepsi pemerintah dengan dewan (DPRD) terhadap pentingnya diklat untuk meningkatkan kemampuan PNS. Pendekatan terhadap DPRD selalu dilakukan supaya terjadi persamaan persepsi dengan pemerintah, sebagaimana dilakukan oleh Kabupaten Limapuluh Kota. Pemerintah sudah menganggarkan sejumlah dana untuk menyelenggarakan diklat PNS baik diklatpim maupun diklat teknis dan fungsional, tetapi menurut dewan, dana itu hanya dianggap membuang-buang uang karena tidak begitu kelihatan hasilnya sebagaimana dalam kegiatan fisik. Perbedaan inilah yang susah untuk dicarikan solusinya karena meskipun sudah dijelaskan dengan berbagai alasan tetap saja anggaran diklat dipotong. Kondisi seperti ini yang membuat pemerintah harus hati-hati dalam menetapkan prioritas penyelenggaraan diklat. Dengan dana yang terbatas maka harus dipilih diklat yang benar-benar penting dan memberi manfaat besar dan harus bisa mempertahankan pada saat rapat anggaran dengan anggota dewan.

Permasalahan lain dalam anggaran adalah mengenai alokasi atau distribusi anggaran diklat itu sendiri. Menurut key informant di Kota Malang, saat ini anggaran untuk diklat pegawai menyebar di semua SKPD. Di BKD ada juga anggaran untuk penyelenggaraan diklat pegawai sehingga seringkali dalam

-58-

penyelenggaraan diklat dilakukan sharing anggaran dengan SKPD yang sesuai dengan jenis diklatnya. Menyebarnya anggaran ini membuat total anggaran pengembangan pegawai tidak bisa kelihatan secara jelas. Apabila dilihat per SKPD kelihatan sedikit tetapi kalau ditotal akan kelihatan besar. Kesulitan juga muncul apabila ada penyelenggaraan diklat yang lintas SKPD atau banyak melibatkan SKPD. Karena sharing anggaran akan menjadi rumit.

5. Kenaikan Pangkat dan Jabatan

Pendelegasian kewenangan dalam kenaikan pangkat PNS menurut key informant sudah berjalan sebagaimana mestinya. Terutama untuk kenaikan pangkat bagi pegawai-pegawai golongan menengah. Dimana sudah jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota khususnya di Lampiran T Bidang Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian. Di Lampiran tersebut dijelaskan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang untuk melakukan penetapan kenaikan pangkat PNSD Kabupaten/Kota menjadi golongan ruang I b sampai dengan III d, sementara Pemerintah Provinsi berwenang untuk melakukan penetapan kenaikan pangkat PNSD Provinsi menjadi golongan ruang I b sampai dengan IV b dan penetapan kenaikan pangkat PNSD Kabupaten/Kota menjadi golongan ruang IV a dan IV b, serta melakukan usulan penetapan kenaikan pangkat PNSD Provinsi/Kabupaten/Kota menjadi golongan ruang IV c, IV d, dan IV e dan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.

Sementara Pemerintah Pusat berwenang untuk melakukan penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria kenaikan pangkat, penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi golongan ruang I b sampai dengan IV b, penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi golongan ruang IV c, IV d dan IV e, koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan Departemen/LPND/Kesekretariatan lembaga dan daerah dan penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian. Penegasan terhadap ruang lingkup tugas atau kewenangan tersebut cukup membantu pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Kondisi ini menegaskan jawaban key informant bahwa tidak ada masalah dalam pelaksanaan delegasi kewenangan dalam kenaikan pangkat ini.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya tetap saja key informant menyatakan ada masalah yang harus dicarikan solusinya. Yaitu terkait dengan pengurusan kenaikan pangkat bagi PNS dengan pangkat golongan IV c, IV d dan IV e yang merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Karena penetapannya ada di tingkat pusat, pemerintah daerah merasakan sulitnya berkoordinasi dalam pengurusan administrasinya. Koordinasi antar instansi, yaitu BKD baik di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dengan instansi pusat, yaitu BKN dan Sekretariat Negara sangat sulit dikontrol. Bahkan disebutkan banyak memakan waktu, tenaga dan biaya

-59-

karena berbelitnya prosedur pengurusan yang harus dilalui. Dampaknya, surat kenaikan pangkat sering terlambat diterima oleh pegawai, seringkali bahkan pegawai sudah masuk BUP, surat kenaikan pangkat baru atau bahkan belum keluar. Ini tentu saja merugikan pegawai, khususnya bagi pegawai yang mau menggunakan kenaikan pangkat pengabdian. Karena kebanyakan PNSD dengan pangkat golongan tinggi sudah cukup berumur dan mulai masuk BUP.

Informasi yang diperoleh dari key informant menyebutkan bahwa keterlambatan pengurusan kenaikan pangkat untuk pegawai dengan pangkat golongan IV c keatas ini disebabkan karena banyaknya dokumen atau berkas yang harus ditandatangani oleh Presiden. Bisa dibayangkan kalau Presiden harus menandatangani semua surat kenaikan pangkat PNS golongan IV c keatas dari seluruh Indonesia. Harus menunggu berapa lama? Apalagi dengan melihat tugas dan pekerjaan Presiden yang begitu banyak. Kabupaten Pulang Pisau bahkan mengusulkan kenaikan pangkat ini enam bulan sebelumnya. Mereka melihat bahwa kenaikan pangkat adalah hak pegawai yang harus dilaksanakan dengan baik. Dan data/informasi mengenai hal ini bisa diketahui dan disiapkan jauh-jauh hari karena ada data base kepegawaian.

Sementara dalam kenaikan jabatan atau promosi dalam jabatan struktural, ada beberapa daerah yang menyatakan ada masalah. Permasalahan ini terkait dengan kesesuaian antara kompetensi yang dimiliki pegawai dengan tuntutan jabatannya. Ada banyak hal yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota untuk meminimalisir masalah ini. Kuncinya adalah pada komitmen Kepala Daerah untuk menjaga kesesuaian ini, karena kewenangan promosi dalam jabatan struktural ada ditangan Kepala Daerah. Gubernur Sumatera Barat menegaskan akan memberi sanksi tegas berupa pemecatan apabila ada indikasi KKN dalam proses promosi jabatan struktural ini. Baperjakat menjadi tim yang sangat penting untuk memberikan data-data pendukung dalam proses pencalonan kandidat pejabat struktural yang akan dipromosi. Bahkan seringkali dilengkapi dengan melakukan fit and proper test sebagaimana dilakukan di Kabupaten Limapuluh Kota. Bukan persyaratan administrasi, yang berupa kesesuaian pangkat/golongan dengan jabatan yang akan diduduki atau syarat diklat yang pernah diikuti, tetapi juga pada kemampuan/kompetensi dan perilaku/moralitasnya.

Dalam diskusi dengan para key informant di daerah juga terungkap bahwa saat ini posisi Sekretaris Daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian di daerah hanya sekedar amanat undang-undang saja tetapi dalam praktiknya tetap ada ditangan Kepala Daerah. Padahal sesuai bunyi penjelasan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah adalah pejabat karier tertinggi pada pemerintahan daerah. Ini artinya seharusnya Sekda-lah yang menjadi pejabat pembina kepegawaian, tetapi karena Sekda bertanggung jawab kepada Kepala Daerah maka dalam pengambilan keputusan khususnya dalam promosi jabatan seringkali Kepala Daerah lebih

-60-

berperan besar. Kondisi ini merata terjadi di hampir semua daerah yang dikunjungi, baik di Papua, Kalimantan, Bali dan sebagainya. Provinsi Sulawesi Tenggara menyatakan bahwa dalam promosi jabatan dilingkungannya masih kental nuansa KKN, aspek kompetensi belum dijadikan dasar dalam promosi jabatan struktural. Pertimbangan kompetensi seringkali dikalahkan dengan pertimbangan dan kepentingan politis.

Posisi Sekda sebagai pejabat karier tertinggi di pemerintahan daerah juga seringkali membawa masalah. Karena Sekda bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dan harus bisa bekerjasama dengan baik, seringkali apabila ada pemilihan Kepala Daerah baru, Sekda juga diganti baru. Key informant di Provinsi Jawa Timur bahkan menyebut bahwa posisi Sekda adalah jabatan yang paling kritis. Karena apabila sudah dilengserkan maka tidak ada lagi posisi yang pas untuknya. Hal ini karena pangkat/golongan jabatan Sekda yang tertinggi di daerah (khususnya di tingkat Kabupaten/kota). Hal ini tentunya harus mendapat perhatian dari pemerintah. Apalagi untuk pejabat dengan pangkat dan golongan tinggi tentunya semakin sedikit posisi yang tersedia. Apakah bisa dijadikan staff ahli? Staff ahli pun, jumlahnya juga terbatas.

Dalam promosi jabatan struktural, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya di Pasal 130, maka pengangkatan pejabat struktural eselon II ditingkat Kabupaten/Kota harus dikonsultasikan kepada Gubernur. Amanat ini masih menjadi pertanyaan bagi daerah, khususnya di Kota Palangkaraya. Apa makna dari “konsultasi” ini? Apakah Gubernur mempunyai hak untuk menolak calon yang diusulkan? Atau hanya sekedar memberi pertimbangan? Apabila pertimbangannya diterima atau ditolak, apa konsekuensinya? Dari wawancara dengan key informant di tingkat provinsi diperoleh informasi bahwa selama ini belum pernah ada penolakan oleh Gubernur. Yang diberikan adalah pertimbangan terkait dengan kesesuaian persyaratan administrasi, kesesuaian kompetensi dengan tuntutan jabatannya dan sebagainya. Biasanya, Kabupaten/Kota menyikapi itu dengan baik, selama memang pertimbangannya benar mengapa harus ditolak. Permasalahannya adalah apabila Bupati/Walikotanya mengangkat pejabat yang tidak sesuai dan sudah diberi pertimbangan tetapi tetap ngotot, tentu ini akan menjadi masalah karena menyalahi kebijakan. Jadi dalam hal ini pertimbangan yang diberikan adalah pertimbangan dari aspek kebijakan/peraturan bukan pada pertimbangan politis.

Masalah pengusulan dalam promosi jabatan struktural ini juga masih menyimpan masalah. Karena pemerintah Kabupaten/Kota tidak mau repot bolak-balik berkonsultasi dengan Gubernur, maka ada daerah yang mengajukan usulan konsultasi ini hanya untuk pengangkatan pertama. Padahal secara tegas dalam Pasal 130 (2) disebutkan bahwa : Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi kepada Gubernur. Akan tetapi dalam praktiknya untuk mutasi dalam jabatan eselon II Kabupaten/Kota tidak

-61-

berkonsultasi lagi. Menurut pendapat key informant di Provinsi Jawa Timur, hal ini harus dibenahi. Kalau memang harus berkonsultasi dengan Gubernur maka bukan hanya untuk pengangkatan/promosi saja tetapi juga untuk mutasi jabatan, sebagaimana diamanatkan undang-undang. Hal ini untuk menjaga kesesuaian kompetensi yang dimiliki pejabat dengan tuntutan jabatannya. Kalau dari aspek persyaratan administrasinya mungkin tidak ada masalah karena sama-sama eselon II.

Dalam kenaikan pangkat untuk pejabat-pejabat fungsional yang ada didaerah, ressponden juga menyatakan adanya suatu permasalahan. Hal ini terkait dengan keterlambatan dalam proses penilaian angka kredit oleh Tim Penilai Angka Kredit (tim PAK). Masalah lainnya adalah untuk pejabat-pejabat fungsional yang sudah mencapai jenjang pangkat IV b keatas. Kenaikan pangkatnya harus diurus diurus ditingkat pusat (ke instansi pembinanya), hal ini dirasakan memakan waktu, biaya dan tenaga yang besar sehingga banyak yang malas mengurusnya. Hal ini tentunya sangat merugikan pegawai, karena pengabdiannya tidak diakomodasi hanya disebabkan birokrasi yang berbelit. Hal ini seringkali terjadi pada guru, dimana banyak yang mempunyai pangkat tinggi dan sudah mendekati usia pensiun (kenaikan pangkat pengabdian). Sebagaimana dijelaskan oleh key informant di Jawa timur, dimana banyak guru yang mau naik pangkat ke IV c, malas ngurusnya karena harus pergi ke Jakarta. Sudah begitu keluarnya memakan waktu lama, begitu keluar surat kenaikan pangkatnya mereka sudah keburu pensiun. Sehingga kebanyakan guru di Jawa Timur mengajukan pensiun APS (atas permintaan sendiri). Hal ini tentunya merugikan pegawai karena seharusnya mereka bisa pensiun dengan pangkat lebih tinggi.

6. Perpindahan

Perpindahan atau pemindahan pegawai di era otonomi daerah ini, diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota menurut key informant teridentifikasi adanya permasalahan. Data dan informasi yang diperoleh Tim mengidentifikasi adanya isu putera daerah dalam pemindahan pegawai, bahkan dalam pengangkatan pejabat juga ada indikasi isu putera daerah. Kondisi ini berdampak pegawai yang bukan putera daerah atau pegawai pendatang dari daerah lain tidak bisa promosi dalam jabatan-jabatan strategis. Bahkan ada kecenderungan, pemindahan pegawai juga didasarkan pada asal daerah. Permasalahan lain yang teridentifikasi adalah adanya pemahaman yang berbeda-beda terhadap peraturan kepegawaian yang berlaku terkait pemindahan pegawai, juga pemindahan pegawai yang mempunyai pangkat golongan tinggi, yaitu golongan IV c keatas.

-62-

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya di Pasal 132 dijelaskan bahwa : pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah provinsi ditetapkan oleh Gubernur, sementara untuk jabatan eselon II pada pemerintah daerah kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi kepada Gubernur. Sementara di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota khususnya Lampiran T disebutkan dengan jelas mengenai kewenangan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS. Disitu dijelaskan bahwa kewenangan Kabupaten/Kota adalah melakukan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS dalam dan dari jabatan struktural eselon II di tingkat Kabupaten/Kota atau fungsional dengan jenjang setingkat. Pemerintah Provinsi berwenang untuk jabatan struktural eselon II di tingkat Provinsi atau fungsional dengan jenjang setingkat dan melakukan penetapan dan pengangkatan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota. Sementara Pemerintah Pusat berwenang untuk jabatan struktural eselon I di tingkat pusat dan daerah dan jabatan fungsional jenjang utama.

Menurut key informant, pelaksanaan pendelegasian wewenang dalam pemindahan pegawai sebagaimana saat ini perlu diperbaiki, terutama terkait dengan perpindahan pegawai antar Kabupaten/Kota, antar Provinsi serta dari Daerah ke Pusat dan sebaliknya. Perpindahan pegawai dirasakan sulit dilaksanakan karena terkait dengan pembayaran gaji pegawai. Sebagaimana diketahui, gaji pegawai melekat di DAU masing-masing daerah dan sudah dihitung untuk satu tahun berjalan. Perpindahan pegawai ditengah waktu atau setelah APBD disetujui akan sulit dilaksanakan karena gaji pegawai yang bersangkutan masih melekat didaerah asal. Apabila datanya kemudian dihapus didaerah asal, maka seringkali terjadi masalah dalam pembayarannya dikemudian hari di daerah baru. Kondisi ini tentu akan merugikan pegawai yang bersangkutan. Inilah mengapa dalam perpindahan pegawai, koordinasi antar instansi yang terlibat sangat penting. Sebagaimana dijelaskan key informant di Provinsi Kalimantan Tengah yang menyatakan perlunya koordinasi antara BKD, Bagian Keuangan dan instansi yang menerima pindahan pegawai. Koordinasi ini sangat penting supaya data di kepegawaian sesuai dengan data di keuangan.

Perpindahan pegawai sebaiknya bisa dilakukan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pegawai karena alasan pribadi. Kebanyakan pegawai mengajukan pindah karena alasan mengikuti suami/istri atau alasan keluarga lainnya. Seharusnya perpindahan pegawai bisa juga untuk melakukan pemerataan pegawai. Misalnya sebagaimana dilakukan oleh Kota Palangkaraya, mereka menyetujui perpindahan apabila memang ada permintaan dari daerah/SKPD. Kalau tidak ada permintaan (tidak lolos butuh) maka permohonan pindah tidak bisa diproses. Mereka menyatakan perlunya ada suatu prosedur yang jelas dalam tata

-63-

cara perpindahan pegawai ini. Dan prosedur ini harus dipahami dan dilaksanakan oleh semua pelaksana/pengelola kepegawaian.

Pemahaman yang berbeda terhadap peraturan dalam pendelegasian wewenang dalam pemindahan pegawai juga menjadi masalah. Ada yang memahami, pemindahan diawali dengan pengusulan secara personal ke instansi atau SKPD yang dituju. Misalnya seorang guru dari Dinas Pendidikan Kabupaten A mengajukan pindah ke Dinas Pendidikan Kabupaten B, maka dia menulis surat pengajuan langsung ke Dinas Pendidikan Kabupaten B. Tapi ada juga yang mengajukan dulu pengunduran diri dari Dinas Pendidikan Kabupaten A baru mengajukan ke Dinas Pendidikan Kabupaten B. Dan ada juga yang mengajukan surat pengajuan pindah ke BKD Kabupaten A untuk pindah ke Dinas Pendidikan Kabupaten B. Perbedaan prosedur ini tentunya akan menyulitkan pengurusan kepindahan pegawai dan berdampak merugikan pegawai yang bersangkutan. Di Kabupaten Mimika, pegawai yang ingin pindah harus mengurus sendiri keperluannya. Sementara di Kabupaten Kolaka, pengajuan pindah akan diproses apabila atas nama instansi, kalau atas nama individu akan ditolak. Kasus yang terjadi di Kota Malang seharusnya bisa menjadi contoh pelajaran yang baik. Mereka sudah menerima usul perpindahan seorang pegawai dari luar daerah, setelah diterima dan diminta mengurus administrasi ternyata belum ada ijin dari daerah asal. Dengan kata lain, daerah asal belum melepas status kepegawaiannya atau belum menyetujui usul perpindahannya. Hal ini tentunya menyulitkan. Seandainya ada prosedur yang bisa dijadikan pedoman tentu akan lebih memudahkan dalam pelaksanaannya.

Selain itu, ada daerah yang bersifat tertutup, tidak mau menerima pegawai dari daerah lain. Mereka memilih melakukan rekrutmen pegawai baru daripada menerima pegawai dari luar. Kondisi ini tentu saja menyulitkan distribusi PNS, baik secara lokal maupun nasional. Disatu sisi ada daerah yang kelebihan peagwai disisi yang lain ada yang kekurangan pegawai. Memang perlu dicermati bagaimana karakteristik pegawai yang kelebihan tersebut, apakah sesuai dengan yang dibutuhkan oleh daerah lain. Apalagi apabila pegawai yang minta pindah mempunyai pangkat dan golongan yang tinggi atau pernah menduduki jabatan tertentu. Menurut key informant kondisi ini bisa mempengaruhi daftar urut kepangkatan (DUK) atau pola karier pegawai didaerahnya. Apalagi saat ini, sistem pola karier pegawai masih didominasi dengan DUK. Maka pegawai putera daerah bisa tergeser DUK-nya oleh pegawai pindahan, ini tentu saja merugikan pegawai putera daerah. Kondisi inilah yang seringkali menjadi kendala daerah dalam menerima pindahan pegawai dari luar daerah. Untuk itu, Kota Bukittinggi bahkan menerapkan tes kompetensi sehingga tidak bisa sembarangan pindah ke Kota Bukittinggi.

Masalah yang seringkali terjadi adalah pada jabatan Sekretaris Daerah juga Kepala Dinas di Kabupaten/Kota maupun di Provinsi. Sebagaimana diketahui jabatan Sekretaris Daerah adalah jabatan karier tertinggi di daerah, sehingga apabila sudah tidak menjabat lagi susah memperoleh jabatan yang sesuai karena pangkat

-64-

dan golongannya yang tinggi. Maka kotak staff ahli Gubernur atau Bupati/Walikota menjadi kotak penyelamat. Kondisi ini juga terjadi untuk jabatan Kepala Dinas. Maka di daerah seringkali seorang Kepala Dinas dimutasi ke berbagai jabatan yang setingkat, dan seringkali tidak memperhitungkan latar belakang kompetensi yang bersangkutan. Hal ini sekedar mengakomodasi tidak adanya jabatan yang sesuai dengan pangkat golongannya. Perpindahan dan karier pegawai menjadi sempit karena terjadi pengkotakan dan ketertutupan daerah.

7. Pemberhentian

Sebagaimana permasalahan yang teridentifikasi dalam delegasi wewenang kenaikan pangkat dimana pegawai dengan pangkat golongan tinggi mengalami kesulitan, demikian pula halnya dengan pemberhentian pegawai. Menurut key informant, pegawai-pegawai dengan pangkat golongan IV c, IV d dan IV e mengalami kesulitan dalam mengurus pensiunnya. Kondisi ini terjadi karena sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota khususnya di Lampiran T Bidang Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian, khususnya di sub bidang kepegawaian sub sub bidang pemberhentian PNS, kewenangan penetapan pemberhentian pegawai dengan pangkat golongan IV c keatas ada di pemerintah pusat.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 dijelaskan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang menetapkan pemberhentian PNS Daerah Kabupaten/Kota dengan pangkat golongan III d ke bawah, sementara Pemerintah Provinsi berwenang menetapkan pemberhentian PNS Daerah Provinsi dengan pangkat golongan IV b kebawah dan PNS Daerah Kabupaten/Kota dengan pangkat golongan IV a dan IV b. Sementara Pemerintah Pusat berwenang menetapkan pemberhentian PNS Pusat dan Daerah dengan pangkat dan golongan IV c keatas dan PNS Pusat pangkat golongan IV c kebawah. Pembagian kewenangan ini tidak menimbulkan masalah bagi PNS Pusat maupun daerah selama dia berada di wilayah yang sama. Tetapi menjadi masalah ketika PNS Daerah dengan pangkat golongan tinggi (IV c keatas) karena harus mengurus sampai di tingkat pusat. Hal ini menjadi masalah karena memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Bahkan seringkali terjadi, pegawai yang bersangkutan sudah pensiun, tetapi surat keputusan pensiunnya belum turun dari pusat.

Pemberhentian bagi pegawai dengan pangkat golongan tinggi (IV c keatas) yang waktunya mepet dengan kenaikan pangkatnya juga menimbulkan masalah. Karena sebagaimana dijelaskan didepan, pengurusan administrasi untuk kenaikan pangkat dan pemberhentian pegawai dengan pangkat golongan tinggi (IV c keatas) ini ditangani di tingkat pusat sehingga memakan waktu lama. Sehingga sering terjadi sudah masuk BUP, surat kenaikan pangkat belum turun. Hal ini tentu saja

-65-

merugikan pegawai karena masuk pensiun dengan pangkat dan golongan yang setingkat lebih rendah dari yang seharusnya. Ini sebagaimana dijelaskan oleh key informant di Kota Bukittinggi yang menyatakan proses pengurusan pensiun di tingkat pusat bisa memakan waktu sampai 3-4 bulan. Sebagaimana yang terjadi di Provinsi Sulawesi Tenggara dimana ada pegawai dengan pangkat tinggi yang sudah pensiun tetapi karena SK-nya belum turun dari pusat, maka gaji masih diberikan utuh dan setelah SK turun dia mesti mengembalikan selisihnya. Tentunya ini merugikan pegawai, apalagi bagi pegawai yang sudah tidak aktif lagi. Apabila permasalahannya disebabkan karena prosedur yang bertele-tele seharusnya bisa diatasi dengan menetapkan prosedur yang lebih sederhana dan praktis. Dasar dari penandatanganan oleh presiden ini adalah sebagai penghargaan atas pengabdian pegawai yang sudah mengabdi sekian puluh tahun. Akan tetapi kalau hasilnya justru merugikan pegawai maka tentunya hal ini perlu ditinjau ulang.

Masalah yang terjadi di daerah terkait dengan pensiun adalah adanya penambahan atau perpanjangan usia pensiun. Karena alasan keterbatasan sumber daya manusia, seringkali pegawai yang menduduki jabatan tertentu dan sudah masuk usia pensiun diperpanjang BUP-nya supaya tetap bisa menjabat. Ini sebagaimana dijelaskan oleh key informant di Provinsi Kalimantan Tengah. Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 sebagaimana sudah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2008 tentang Pemberhentian PNS dijelaskan bahwa BUP PNS adalah 56 tahun dan dapat diperpanjang sampai usia 65 tahun untuk PNS yang memangku jabatan peneliti madya dan peneliti utama, perpanjangan 60 tahun untuk PNS yang memangku jabatan struktural eselon I, II, dokter, pengawas SMA, SMP, SD dan TK, perpanjangan 58 tahun untuk PNS yang memangku jabatan hakim pada mahkamah pelayaran.

Dalam praktiknya, perpanjangan BUP itu tidak disertai dengan alasan yang jelas. Menurut key informant di Provinsi Kalimantan Tengah, pejabat eselon II seringkali diperpanjang BUP-nya tetapi tidak disertai alasan yang jelas. Padahal didalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2008 secara tegas disebutkan bahwa syarat perpanjangan adalah : (a) memiliki keahlian dan pengalaman yang sangat dibutuhkan organisasi, (b) memiliki kinerja yang baik, (c) memiliki moral dan integritas yang baik, dan (d) sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan oleh keterangan dokter. Alasan yang sering dipakai oleh daerah untuk memperpanjang BUP adalah karena tidak ada pejabat lain yang sesuai. Apakah benar tidak ada yang sesuai?

B. Perspektif kedepan Pendelegasian Wewenang Pengelolaan Kepegawaian di Daerah

Dalam Sub Bab ini akan dibahas harapan atau expecting condition dari para key informant terhadap pelaksanaan pendelegasian wewenang di bidang kepegawaian dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota). Existing condition

-66-

yang digambarkan di Sub Bab sebelumnya menunjukkan bahwa pelaksanaan pendelegasian wewenang di bidang kepegawaian belum sebagaimana yang diharapkan. Dalam Sub Bab ini juga diulas mengenai saran solusi yang diberikan oleh key informant terkait dengan permasalahan yang muncul.

1. Penyusunan Formasi

Permasalahan yang muncul dalam pendelegasian wewenang khususnya dalam penyusunan formasi kebutuhan pegawai bisa dikategorikan dalam beberapa masalah utama, yaitu : (1) tidak jelasnya peran dan fungsi masing-masing instansi yang terlibat, seperti MenPAN, BKN, maupun pemerintah daerah, yaitu Provinsi, Kabupaten/Kota maupun masing-masing SKPD yang ada di daerah; (2) koordinasi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya diantara instansi-instansi tersebut karena peraturan yang ada tidak jelas mengaturnya; (3) belum adanya pedoman untuk melakukan anjab dan ABK dan kurangnya sosialisasi atau bimbingan teknis mengenai substansi tersebut; (4) tidak jelasnya sistem atau prosedur penetapan formasi secara nasional (bottom up atau top down); (5) kurangnya sosialisasi dan bimbingan teknis mengenai penyusunan formasi kebutuhan pegawai yang baik dan benar.

Menurut pendapat key informant didaerah, permasalahan tersebut harus bisa dicarikan solusinya supaya pelaksanaan pendelegasian wewenang khususnya dalam penyusunan formasi kebutuhan pegawai dapat berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa solusi yang diberikan oleh key informant antara lain : Pertama, mempertegas peran dan fungsi antar instansi yang terlibat dalam penyusunan formasi kebutuhan pegawai, baik di tingkat pusat (MenPAN, BKN) maupun di tingkat daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota, SKPD). Peran dan fungsi masing-masing instansi tersebut harus ditegaskan dalam bentuk kebijakan atau peraturan yang berkekuatan hukum tetap disertai dengan ketegasan dalam implementasinya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 nampaknya belum bisa memberikan pedoman yang jelas bagi daerah dalam mengimplementasikan delegasi kewenangan penyusunan formasi kebutuhan pegawai daerah. Instansi mana yang seharusnya menetapkan kuota, instansi mana yang melakukan bimbingan teknis melakukan anjab dan ABK dan sebagainya. Kedua, adanya koordinasi yang lebih intensif antar instansi yang terlibat dalam penyusunan formasi kebutuhan pegawai tersebut sesuai peran dan fungsinya. MenPAN, BKN, DDN harus menempatkan posisinya sesuai kewenangan yang dimiliki, tidak saling tumpang tindih atau serobot.

Ketiga, penyusunan pedoman untuk melakukan anjab dan ABK diikuti dengan dilakukannya bimbingan teknis oleh instansi yang bertanggung jawab dalam penyusunan formasi pegawai kesemua instansi baik ditingkat pusat maupun daerah. Departemen Dalam Negeri pada tahun 2008 sudah mengeluarkan Surat Peraturan Mendagri Nomor 12 tahun 2008 tentang Pedoman Analisis Beban Kerja di Lingkungan DDN dan Pemerintah Daerah. Tetapi pada praktiknya masih banyak

-67-

daerah yang belum melaksanakannya. Keempat, penyusunan SOP dalam penyusunan formasi kebutuhan pegawai yang bisa dijadikan pegangan bagi semua instansi baik ditingkat pusat maupun daerah. Dengan SOP ini maka prosedur yang harus dilalui akan jelas dan tegas bagi yang tidak mengikuti maka usulan formasinya bisa tidak disetujui oleh MenPAN. SOP ini tentunya diupayakan tidak bertele-tele tetapi menganut prinsip sederhana, efisien dan efektiv sehingga bisa diikuti oleh semua instansi. Kelima, langkah terakhir adalah melakukan sosialisasi dan bimbingan teknis ke semua instansi baik di tingkat pusat maupun daerah dalam melakukan penyusunan formasi kebutuhan pegawai sehingga semua peraturan yang terkait dengan penyusunan formasi bisa dipahami, dimengerti dan bisa dilaksanakan tanpa hambatan. Dengan solusi ini diyakini pendelegasian wewenang dibidang kepegawaian khususnya dalam penyusunan formasi kebutuhan pegawai dapat dilaksanakan dengan baik dan mampu memotret kebutuhan nyata tiap unit/instansi.

Selain itu dalam penyusunan formasi kebutuhan pegawai ini perlu ditegaskan mengenai tata cara penyusunannya, apakah mau bottom up atau top down. Mengenai hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh narasumber dari Kementerian PAN dan BKN masih belum ada ketegasan dari pemerintah. Proses dilapangan menggunakan cara bottom up, karena daerah diminta menghitung secara riil berapa kebutuhan pegawainya dan apa kualifikasinya dengan melakukan anjab dan ABK. Akan tetapi disisi lain, pemerintah pusat juga menetapkan kuota untuk membatasi sekaligus dengan menetapkan kualifikasinya. Hal ini tentunya saling bertolak belakang dan tidak efisien. Sehingga sebagaimana dijelaskan didepan, banyak daerah yang tidak melakukan anjab dan ABK secara benar karena pada akhirnya akan dikurangi juga.

2. Pengadaan

Permasalahan utama yang ada dalam pendelegasian wewenang pengadaan PNS sebagaimana dijelaskan didepan menuntut adanya solusi yang tepat supaya pendelegasian wewenang dalam pengadaan PNS bisa berjalan lebih baik lagi. Menurut key informant memang tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat kemampuan penduduk di Indonesia memang berbeda-beda. Hal ini disebabkan belum meratanya fasilitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa fasilitas pendidikan di daerah-daerah terpencil masih sangat terbatas, gedung sekolah masih kurang, apalagi tenaga guru/pengajar yang berkualitas. Bahkan seringkali ditemukan satu guru mengajar semua kelas dan semua bidang studi. Kondisi ini banyak terjadi di wilayah Timur Indonesia. Gambaran sebaliknya terjadi di wilayah Barat Indonesia dimana gedung-gedung sekolah berdiri megah dilengkapi dengan fasilitas pendidikan yang lengkap, berbagai laboratorium, perpustakaan dan lain sebagainya. Lengkap dengan tenaga guru/pengajar yang profesional dan

-68-

berkualitas. Mereka hanya memegang satu bidang studi yang menjadi spesialisasinya sehingga bisa dipertanggungjawabkan kemampuannya.

Melihat kenyataan tersebut solusi yang dapat diambil dalam menentukan standar tes memang harus menyamakan standar pendidikan dulu. Apabila belum ada standar dalam pendidikan maka kesenjangan dalam kemampuan akademis tetap akan terjadi. Dan kondisi ini akan menyebabkan perbedaan standar tes masing-masing daerah tetap harus dilakukan. Apabila standar tesnya sama maka yang dibedakan adalah standar kelulusannya. Daerah yang dinilai standar kemampuan akademis penduduknya masih rendah, standar kelulusannya diturunkan. Demikian pula sebaliknya. Solusi ini dirasakan lebih fair daripada dilakukan pembedaan dalam standar tes.

Demikian pula mengenai masalah pengkotakan atau penolakan pelamar dari luar daerah. Menurut key informant ini bukan karena menutup peluang warga daerah lain atau menunjukkan isu putera daerah. Tetapi ini dilakukan sebagai antisipasi supaya pelamar tidak sekedar menjadi kutu loncat dalam mencari pekerjaan sebagai PNS. Banyak kejadian yang menunjukkan pelamar dari luar daerah melamar sebagai PNS di suatu daerah karena disitu saingannya lebih ringan sehingga kemungkinan lolos lebih besar. Setelah lolos dan diangkat menjadi PNS mereka selanjutnya mengajukan ijin pindah daerah. Kondisi seperti ini banyak terjadi di daerah Kabupaten/Kota yang ada di daerah pinggiran, setelah diterima mereka mengajukan pindah ke Provinsi atau daerah Kabupaten/Kota yang lebih dekat dengan kota tidak mau ditempatkan di pinggiran lagi. Misalnya terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah. Alasan yang sering diberikan adalah karena keluarga dan pihak pemerintah daerah tidak bisa menolak karena alasan kemanusiaan. Permasalahan inilah yang seringkali mengganggu daerah dalam melakukan pengadaan PNS. Perpindahan pegawai ini akan menyebabkan daerah yang ditinggalkan akan kehilangan pegawai yang potensial dan mesti melakukan pengadaan lagi.

Untuk mengatasi masalah tersebut, solusi yang diambil oleh pemerintah daerah adalah dengan menetapkan persyaratan KTP daerah setempat, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Ini sebenarnya sebagai satu cara untuk mengetahui apakah pelamar benar-benar masyarakat setempat atau pendatang. Jadi bukan karena untuk membatasi/melarang pelamar dari luar daerah atau adanya isu putera daerah. Seandainya ada solusi yang lebih baik dan lebih tepat tentu daerah akan menerima dengan baik sehingga bisa menyelesaikan permasalahan ini. Misalnya dengan penegasan mengenai persyaratan-persyaratan administratif untuk melamar menjadi PNS. Dengan adanya keseragaman persyaratan maka daerah akan lebih mudah mengikutinya.

Terkait dengan permasalahan tidak/belum adanya pedoman dalam menentukan standar kelulusan seseorang dalam tes pengadaan PNS juga disampaikan oleh key informant. Menurut key informant, seharusnya pemerintah pusat memberikan pedoman dalam hal ini, apakah dengan menggunakan nilai

-69-

minimal (passing grade) yang disesuaikan dengan kemampuan akademis masing-masing daerah atau semua pelamar yang masuk sesuai formasi yang dibutuhkan bisa lolos. Kondisi yang ditemukan dilapangan menunjukkan masih ada daerah yang menerapkan nilai minimal (passing grade) tetapi ada juga daerah yang menetapkan sesuai kebutuhan formasi.

Hal ini terkait juga dengan belum adanya standar lolos yang dikeluarkan oleh pemerintah. Biasanya kerjasama dengan PT hanya berhenti pada penentuan kelulusan peserta. Belum melihat pada formasi kebutuhan pada masing-masing jabatan. Pemerintah daerahlah yang berwenang menentukan, apakah semuanya diangkat untuk mengisi formasi yang ada ataukah dipilih yang mempunyai passing grade tertentu untuk jabatan tersebut. Perbedaan ini berdampak pada terjadinya perbedaan dalam tindak lanjut pengusulan formasi. Ada daerah yang kebutuhan formasinya tidak terisi dan akan diajukan tahun berikutnya tetapi dilain pihak ada juga daerah yang kebutuhan formasinya bisa terisi semua. Dengan adanya pedoman ini maka diharapkan pelaksanaan pengadaan yang pada dasarnya adalah untuk memenuhi usulan kebutuhan formasi PNS dapat dilaksanakan dengan baik sehingga kebutuhan akan pegawai yang “berkualitas” dapat dipenuhi.

3. Pengangkatan

Sebagaimana dijelaskan didepan bahwa permasalahan utama yang sering dihadapi daerah dalam melaksanakan delegasi kewenangan dalam pengangkatan CPNS maupun pengangkatan CPNS menjadi PNS adalah pada kelengkapan berkas-berkas dokumen administrasi. Menurut key informant solusi yang tepat adalah dengan selalu berkoordinasi dan berkomunikasi aktif dengan pelamar yang akan diangkat menjadi CPNS atau CPNS yang akan diangkat menjadi PNS. Koordinasi dengan unit-unit dimana CPNS bekerja menjadi sangat penting karena merekalah yang nanti harus mengeluarkan surat keterangan dan menilai kinerja para CPNS tersebut. Apakah mereka pantas dan bisa diangkat menjadi PNS. Masa orientasi selama kurang lebih dua tahun harus benar-benar menjadi masa pembentukan karakter, perilaku, moral PNS sebagai pelayan masyarakat.

Kendala lainnya adalah dalam pemahaman atau pengertian pejabat pembina kepegawaian daerah juga harus disamakan. Tujuannya supaya tidak ada keraguan atau kesalahan dalam pelaksanaan peraturan yang terkait. Apakah akan dipegang pejabat politis (Kepala Daerah) atau pejabat karier tertinggi di daerah (Sekretaris Daerah).

Sementara kendala dalam penyelenggaraan diklat Pra Jabatan, yaitu dalam penyediaan anggaran dan sarana diklat memang agak susah dicarikan solusinya. Karena sangat terkait dengan kemampuan anggaran daerah untuk menyediakan anggaran dan sarana diklat. Akan tetapi dengan pengaturan dan koordinasi yang baik, key informant menyatakan bahwa selama ini belum pernah ada keterlambatan

-70-

dalam penyelenggaraan diklat Pra Jabatan yang berdampak mundurnya pengangkatan CPNS menjadi PNS.

Selain itu dengan dibentuknya Kantor Regional BKN di hampir seluruh Provinsi memudahkan koordinasi dan kerjasama, misalnya dalam penyediaan Nomor Induk Pegawai (NIP). Selain itu nampaknya penyusunan standard operating procedures (SOP) dalam pengangkatan perlu ditegaskan kembali. Hal ini untuk menghindari adanya perbedaan pemahaman diantara pihak-pihak yang terlibat dalam pengurusannya. Dengan adanya SOP yang jelas maka pengurusan pengangkatan akan lebih mudah dan cepat dilakukan sehingga tidak merugikan pegawai.

4. Pendidikan dan Pelatihan

Berbagai masalah yang dihadapi oleh pemerintah daerah khususnya dalam penyelenggaraan diklat PNS memang klasik, karena masalah keterbatasan anggaran. Keterbatasan anggaran hanya bisa diatasi dengan melakukan penambahan anggaran. Tetapi ini menjadi solusi yang mustahil, sulit dilakukan kalau anggaran nasional pun juga terbatas. Apalagi kalau belum ada persamaan persepsi antara pemerintah dan dewan dalam melihat arti penting diklat sebagai cara untuk meningkatkan kemampuan PNS. Tidak dipandang sebagai kegiatan yang membuang-buang uang. Memang dampak dari penyelenggaraan diklat berupa peningkatan kemampuan PNS dalam melaksanakan tugas tidak akan bisa langsung terlihat begitu selesai mengikuti diklat.

Dan apabila masalah keterbatasan anggaran memang tidak bisa diatasi, maka solusi terbaik adalah dengan menentukan prioritas terhadap diklat-diklat yang akan diselenggarakan. Saat ini menurut key informant, solusi yang dilakukan untuk mengatasi keterbatasan anggaran adalah dengan memprioritaskan diklatpim terlebih dahulu daripada diklat teknis dan fungsional. Selain itu juga dengan meningkatkan kerjasama dengan berbagai instansi/lembaga yang bisa memberikan bantuan teknis untuk pengembangan kemampuan PNS. Baik instansi pemerintah, departemen teknis maupun lembaga swasta, LSM atau lainnya yang bisa diajak sharing budget dalam rangka penyelenggaraan diklat PNS.

Prioritas penyelenggaraan pada diklatpim bukannya lantas tidak mementingkan diklat teknis dan diklat fungsional. Menurut key informant pilihan ini dilakukan karena diklatpim mempunyai dampak hukum yang lebih besar daripada diklat teknis dan diklat fungsional. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural, khususnya di Pasal 7 disebutkan bahwa bagi PNS yang diangkat menjadi pejabat struktural dan belum mengikuti diklatpim sesuai jenjang jabatannya maka

-71-

12 (dua belas bulan) setelah menjabat harus mengikuti diklatpin dimaksud. Pasal ini tegas menyatakan bahwa PNS yang diangkat dalam jabatan struktural harus sudah mengikuti diklatpim. Meskipun tidak disebutkan dengan jelas apa sanksinya jika melanggar tetapi ini sudah bisa menjadi dasar bagi pemerintah untuk lebih memprioritaskan diklatpim daripada diklat teknis dan diklat fungsional.

Sementara untuk mengatasi masalah belum adanya Badan Diklat atau sarana diklat maka pemerintah daerah bisa melakukan kerjasama atau berkoordinasi dengan pemerintah daerah lain yang sudah bisa menyelenggarakan diklat. Cara ini dianggap lebih efektif dan efisien, apalagi melihat beban kerja atau program penyelenggaraan diklat yang tidak terlalu besar maka kalau membangun sarana diklat sendiri sepertinya akan mubazir. Akan tetapi apabila memang beban kerja penyelenggaraan diklat memang besar maka key informant menyarankan untuk membagi beban itu ke daerah Kabupaten/Kota. Tentunya dengan memberikan bantuan penyediaan gedung diklat dan sarana prasarananya. Termasuk didalamnya juga tenaga pengajar atau widyaiswara. Sehingga penyelenggaraan diklat PNS tidak terfokus di Provinsi saja tetapi di daerah Kabupaten/Kota yang potensial bisa juga menyelenggarakan diklat.

5. Kenaikan Pangkat

Permasalahan utama dalam kenaikan pangkat PNS sebagaimana dijelaskan didepan adalah pada pengurusan administrasi bagi PNS yang berpangkat golongan tinggi, yaitu IV c keatas. Karena kenaikan pangkat untuk PNS dengan pangkat golongan IV c keatas ini ada ditangan Pemerintah Pusat dan ditandatangani oleh Presiden. Karena tingkat kesibukan Presiden yang tinggi, maka seringkali daerah harus menyiapkan berkas-berkasnya jauh-jauh hari. Minimal enam bulan sebelumnya berkas harus sudah dikirimkan ke Pusat. Selain itu peran aktif dari BKD baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk selalu menanyakan perkembangannya juga memegang peran penting. Bukan hanya melalui telepon, bahkan kalau perlu didatangi langsung ke BKN atau Sekretariat Negara. Kondisi ini tentu saja mempunyai dampak pada biaya tinggi. Selain menyita waktu dan tenaga juga.

Untuk mengatasi masalah tersebut, key informant menyarankan untuk mendelegasikan saja kewenangan itu kepada Kantor Regional BKN yang ada. Memang penandatanganan oleh Presiden menjadi suatu apresiasi yang sangat besar untuk pengabdian PNS sehingga mencapai pangkat dan golongan tinggi. Akan tetapi kalau dampaknya justeru menghambat kenaikan pangkatnya, maka harus dicari solusi terbaiknya. Pendelegasian kewenangan ini tentunya tidak mengurangi nilai apresiasinya, apabila dengan pendelegasian tersebut justeru membuat kenaikan pangkat PNS menjadi tepat waktu.

Apabila memang tetap ditangan pusat (BKN, Sekretariat Negara) maka nampaknya harus disusun sistem prosedur (SOP) yang jelas. Tentunya mencakup

-72-

mengenai apa berkas yang dibutuhkan, berapa waktu yang dibutuhkan atau lainnya. Dengan prosedur yang jelas tentunya akan mempermudah pengurusan, penyiapan berkas dan bisa memberi kepastian bagi pegawai. Saat ini, pemerintah daerah berupaya menyiapkan berkas minimal enam bulan sebelumnya. Dan untuk mendukungnya, koordinasi perlu dibangun oleh semua instansi yang terlibat dalam pengurusannya.

6. Perpindahan

Permasalahan delegasi kewenangan dalam perpindahan pegawai terlihat sangat sulit karena terkait dengan persepsi terhadap otonomi daerah itu sendiri. Kalau otonomi dipahami sebagai kewenangan mengatur rumah tangga sendiri dan dalam kaitannya dengan perpindahan pegawai memberi dampak tertutupnya daerah terhadap masuknya pegawai dari daerah lain maka kondisi ini menuntut penyelesaian yang bersifat lebih konstruktif. Konstruktif karena mesti merubah paradigma daerah terhadap makna otonomi daerah. Maka dalam mencari solusi terhadap permasalahan yang muncul dalam delegasi kewenangan pemindahan pegawai, key informant menyebutkan perlunya menyamakan persepsi masing-masing daerah terhadap makna otonomi. Kalau perpindahan atau mutasi pegawai bisa mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat tentunya harus bisa diterima. Kalau yang pindah atau masuk adalah pegawai yang mempunyai potensi untuk mengembangkan daerah maka tentunya tidak ada masalah.

Koordinasi antar daerah sangat diperlukan dalam melakukan pemindahan pegawai supaya tidak merugikan pegawai. Pemahaman yang sama terhadap peraturan yang terkait dengan pemindahan pegawai juga harus dimiliki oleh semua daerah. Untuk ini perlu peran yang besar dari instansi pusat untuk memberikan bimbingan, pencerahan dan sosialisasi kepada daerah.

Perpindahan pegawai juga perlu kecermatan, tidak semua pengajuan usulan pindah bisa ditindaklanjuti. Alasan yang mendasarinya harus jelas dan tegas, bukan sekedar mengejar jabatan. Maka banyak daerah yang menetapkan persyaratan bisa menerima perpindahan pegawai dengan perjanjian tidak akan menuntut jabatan dan posisi atau kualifikasinya harus sesuai dengan yang dibutuhkan oleh daerah. Kalau memang sudah tidak membutuhkan tenaga administrasi maka pegawai dengan kualifikasi tenaga administrasi tidak diterima.

Keterbukaan masing-masing daerah juga perlu ditegaskan. Kalau memang kekurangan pegawai dan daerah lain kelebihan dan mengajukan pindah maka seharusnya bisa diterima. Bukan malah dengan merekrut pegawai baru. Hal ini terkait erat dengan penyusunan formasi kebutuhan pegawai. Kalau perlu sebelum melakukan penyusunan formasi kebutuhan pegawai dilakukan sosialisasi ke daerah lain, apabila di daerah lain ada yang mau mengisi formasi yang dibutuhkan bisa saja

-73-

mengisinya. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa rekrutmen PNS bukan untuk sekedar mengatasi pengangguran di daerah tetapi harus benar-benar didasarkan pada kebutuhan nyata. Selain itu harus didasarkan pada kompetensi dan profesionalisme, kalau ada pegawai (PNS) dari daerah lain yang mengajukan pindah dan kualifikasinya sesuai dengan kebutuhan maka bisa dipertimbangkan.

Untuk pegawai dengan pangkat golongan tinggi, misalnya Sekretaris Daerah atau Kepala Dinas perlu dibuka kesempatan untuk berkarier di luar daerah. Mutasi antar daerah harus dibuka luas, sehingga mobilitas pegawai lebih terbuka. Selain itu dengan pola mutasi yang terbuka ini akan memudahkan terjadinya transfer agent of change. Pegawai-pegawai yang mempunyai potensi bagus harus mau dimutasi ke daerah lain untuk membangun daerah lain. Pola karier PNS perlu diatur kembali, tidak didasarkan lagi pada DUK tetapi pada kompetensi yang dimiliki pegawai. Sehingga masuknya pegawai baru dari daerah lain tidak berpengaruh pada karier pegawai lainnya. Persaingan untuk meniti karier ditentukan oleh kemampuan dan profesionalisme yang dimiliki pegawai, bukan pada isu putera daerah dan kedekatan pada pimpinan.

Terkait dengan perpindahan pegawai dengan gaji, key informant menyarankan perlunya ditinjau ulang mengenai DAU. Perlukah komponen gaji pegawai masuk kedalam pos DAU dalam APBD. Sebagaimana diketahui, APBD dihitung pertahun anggaran, sementara perpindahan pegawai sangat fleksibel. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan koordinasi antar daerah yang terlibat. Daerah asal harus menanggung gaji pegawai sampai perhitungan anggaran tahun berikutnya sehingga pegawai tetap menerima haknya tanpa terganggu proses perpindahannya. Ada harapan, sistem penggajian diatur oleh pusat sehingga tidak terkait dengan APBD lagi. Sehingga sistem gaji berlaku nasional, dimanapun pegawai berada, apakah dia PNS Pusat atau PNS Daerah tidak terganggu. Yang diatur oleh daerah adalah tunjangan yang diberikan oleh masing-masing daerah.

7. Pemberhentian

Permasalahan yang teridentifikasi terkait pendelegasian wewenang dalam pemberhentian sebagaimana dijelaskan didepan hampir sama dengan pendelegasian wewenang dalam kenaikan pangkat, yaitu terhadap pegawai dengan pangkat golongan tinggi (IV c keatas). Melihat prosedur yang harus dilalui dalam pengurusan pensiun yang memakan waktu, biaya dan tenaga besar karena harus diurus di tingkat pusat, maka key informant menyarankan untuk mendelegasikan kewenangan pemerintah pusat tersebut kepada BKN melalui Kantor Regionalnya yang sudah ada di hampir semua Provinsi di Indonesia. Dengan pendelegasian ini diharapkan prosedur yang harus dilalui untuk mengurus pensiun menjadi lebih efektif dan efisien.

Seandainya tetap ada ditingkat pemerintah pusat maka harus ada standar prosedur yang jelas, yang mencakup persyaratan maupun waktu pengurusannya.

-74-

Dengan kejelasan ini, maka pegawai bisa menyiapkan berkas dan mengajukannya jauh-jauh hari sehingga tidak mengganggu kariernya. Karena bagaimanapun, pensiun dengan penetapan dari pusat dan tanda tangan Presiden atau pejabat tinggi di Pusat merupakan apresiasi dan penghargaan yang tiada taranya bagi PNS yang sudah mengabdi sekian puluh tahun dan mencapai puncak kariernya. Koordinasi antar instansi juga sangat diperlukan baik di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi maupun di Pusat sendiri.

Sementara untuk masalah perpanjangan BUP, harus ada kejelasan secara kebijakan/peraturan. Memang secara peraturan sudah ada yang mengatur, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2008 tentang Pensiun PNS. Dalam peraturan tersebut jelas disebut mengenai pegawai yang bisa diperpanjang BUP-nya lengkap dengan persyaratannya. Akan tetapi dalam praktiknya sering digunakan alasan diluar yang disebutkan dalam peraturan. Seharusnya pemerintah memberikan pedoman yang lebih lengkap sehingga bisa menjadi acuan yang jelas bagi daerah. Hal ini dengan melihat kebutuhan daerah yang berbeda-beda, masalah keterbatasan sumber daya aparatur didaerah menjadi masalah yang serius. Khususnya untuk pegawai yang menduduki jabatan-jabatan struktural dan mempunyai pangkat golongan tinggi, serta mempunyai kemampuan/kompetensi yang khusus. Kalau tidak ada pegawai yang sesuai dengan yang dibutuhkan maka mau-tidak-mau tetap harus diperpanjang. Ini tentunya terkait dengan pola karier atau kaderisasi pegawai. Kalau proses kaderisasi dan pengembangan pegawai berjalan bagus tentunya akan tidak ada muncul masalah.

8. Perspektif kedepan Pendelegasian Kewenangan dalam Pengelolaan Kepegawaian

Setelah mengulas satu persatu, tahap pertahap permasalahan dan solusi yang disampaikan para key informant serta analisis yang dilakukan dengan melihat aspek teoritis maupun kebijakan yang terkait, dapat diketahui bahwa permasalahan pendelegasian wewenang dalam sistem manajemen PNS di Indonesia terkait pada substansi maupun implementasinya. Terkait substansi karena kebijakan/peraturan yang dijadikan pedoman masih mengandung masalah, yaitu ada tumpang tindih dengan peraturan lain dan tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. Terkait dengan implementasi karena ada pejabat pengelola kepegawaian yang belum memahami substansi peraturan sehingga implementasinya salah, karena kurangnya sosialisasi oleh instansi yang berwenang berdampak pemahaman para pejabat pengelola kepegawaian berbeda. Untuk mengatasinya perlu solusi yang tepat sehingga dapat meningkatkan efektivitas pendelegasian wewenang dalam pengelolaan kepegawaian.

Dalam sub bab ini akan disampaikan secara ringkas rumusan sistem manajemen/pengelolaan PNS yang sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah sehingga mampu meningkatkan efektivitas pengelolaan kepegawaian di Indonesia.

-75-

Ulasan ini memberikan masukan-masukan untuk perbaikan sistem pengelolaan PNS yang ada saat ini, baik dari aspek substansi maupun implementasinya. Berikut disampaikan ulasan dimaksud.

Dalam tahapan penentuan formasi kebutuhan pegawai, delegasi kewenangan yang diberikan dirasakan masih belum diikuti dengan ketegasan dalam hal kebijakan dan instansi yang terkait. Peraturan terkait pelaksanaan anjab dan ABK meskipun sudah ada tetapi kurang disosialisasikan dengan baik. Dampaknya adalah banyak daerah yang belum mampu melakukan anjab dan ABK sehingga banyak yang melewatkannya. Hal ini juga perlu penegasan terkait dengan peran, wewenang, tugas pokok dan fungsi instansi-instansi yang terkait dalam penetapan formasi kebutuhan pegawai. SOP (standard operating procedures) dalam penyusunan formasi kebutuhan pegawai juga perlu disusun sehingga ada keseragaman di setiap daerah terhadap tahapan penyusunannya. Bagi daerah yang tidak mengikuti tahapan tersebut maka ada sanksi - usulannya tidak disetujui. Persetujuan terhadap usulan dan penetapannya juga harus dipertegas, menggunakan sistem “top down ataukah bottom up”. Dengan penegasan ini maka akan diperoleh kesesuaian antara kebutuhan nyata di daerah dengan prioritas nasional. Koordinasi yang terus menerus dan penyampaian informasi secara jelas terhadap berbagai hal terkait dengan penyusunan formasi pegawai akan sangat dibutuhkan. Sosialisasi dan asistensi terhadap pemahaman dan pelaksanaan peraturan kebijakan harus terus dilakukan oleh pemerintah kepada pemerintah daerah untuk mendukung delegasi kewenangan dalam penyusunan formasi pegawai.

Delegasi kewenangan dalam pengadaan pegawai yang perlu diperkuat adalah adanya pedoman terkait standar tes, standar lulus dan standar lolos. Standar tes terkait dengan bagaimana tingkat kompetensi masyarakat didaerah, apakah mempunyai tingkat yang sama (secara nasional) ataukah bersifat regional (provinsi/ kabupaten/kota). Penetapan standar tes ini harus ditegaskan dan dipahami dengan baik oleh PT yang diajak kerjasama dalam proses pengadaan pegawai. Supaya calon pegawai yang akan direkrut mempunyai kualitas yang standar. Demikian juga dengan penetapan standar lulusnya, apakah perlu dibuat nilai minimal (passing grade) untuk bisa menjadi seorang PNS. Apakah passing grade ini berlaku nasional? Berlaku regional? Atau berlaku untuk masing-masing jabatan? Tujuannya supaya calon pegawai yang terjaring mempunyai kompetensi yang sesuai dengan harapan. Sampai tahap ini, pihak PT yang berwenang, sementara untuk menentukan lolos tidaknya seorang pelamar dalam satu jabatan merupakan kewenangan daerah. Supaya tidak keluar jalur maka kewenangan dalam menetapkan standar lolos ini juga perlu ditegaskan supaya tidak memberi peluang terjadinya KKN. Meskipun seorang pelamar memenuhi nilai minimal (passing grade) belum tentu bisa lolos, karena banyaknya saingan atau peminat dalam satu jabatan. Inilah yang harus ditetapkan, kriteria untuk lolos. Dengan adanya kejelasan terhadap standar tes, standar lulus dan standar lolos maka peluang untuk terjadinya KKN akan

-76-

diminimalisir dan kualitas atau kompetensi calon PNS dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam tahapan pengadaan ini juga perlu ditegaskan mengenai persyaratan administrasi untuk melamar menjadi PNS. Karena ada indikasi terjadinya penutupan, penolakan atau pembatasan calon dari luar daerah. Pemerintah harus tegas menindak daerah-daerah yang menetapkan adanya syarat KTP daerah setempat. Pelamaran untuk menjadi PNS seharusnya bersifat nasional, terbuka bagi semua masyarakat, tidak ada pengkotakan. Peserta bebas melamar untuk menjadi PNS di daerah mana saja. Pembatasan bisa dilakukan dengan koordinasi waktu pelaksanaan pengadaannya, sehingga setiap pelamar hanya bisa melamar dan mengikuti satu tes saja di satu daerah. Memang ada kemungkinan daerah-daerah favorit yang akan diserbu pelamar tetapi ini juga membawa konsekuensi persaingan akan semakin ketat. Sementara di daerah yang bukan favorit akan sepi pelamar. Tetapi dengan adanya standar tes, standar lulus dan standar lolos yang sama kondisi ini bisa diminimalisir dan dapat dikelola dengan lebih baik.

Sementara itu dalam pendelegasian wewenang di bidang pengangkatan, baik pengangkatan CPNS maupun CPNS menjadi PNS perlu adanya kejelasan dalam persyaratan. Termasuk didalamnya adalah SOP (standard operating procedures) dalam pengangkatan pegawai. Permasalahan yang perlu ketegasan adalah siapa pihak yang bertanggung jawab dalam pengangkatan pegawai. Dalam peraturan seringkali disebut pejabat pembina kepegawaian tetapi kadang hanya disebut daerah saja (provinsi, kabupaten/kota). Perbedaan ini mengundang masalah yang cukup serius di daerah karena pemahamannya sangat berbeda. Kalau yang dimaksud adalah pejabat pembina kepegawaian maka identik dengan Sekretaris Daerah sementara kalau yang disebut adalah daerah maka identik dengan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Perbedaan pengertian ini sangat berarti karena kalau sekda maka beliau adalah pejabat karier tertinggi didaerah sementara kalau kepala daerah maka beliau adalah pejabat politis. Kondisi ini mempunyai konsekuensi dalam aspek kebijakan dan perlu penegasan supaya pendelegasian dibidang ini bisa berjalan sebagaimana mestinya. Peran Kantor Regional BKN dalam pendelegasian ini sangat signifikan. Kontribusinya dalam memberikan kemudahan pengurusan oleh pemerintah daerah sangat besar.

Pendelegasian wewenang dalam pendidikan dan pelatihan perlu didukung dengan pendelegasian sarana prasarana pendukungnya. Anggaran, sarana pengajaran, widyaiswara, gedung, modul/bahan ajar dan sebagainya harus didelegasikan kedaerah. Kalau hanya sekedar delegasi kewenangan saja, bisa diibaratkan diberikan pistol tapi tidak diberikan pelurunya. Dalam pendelegasian kewenangan ini juga perlu dilakukan perubahan mindset dari para anggota dewan yang sering memandang diklat sebagai kegiatan yang membuang-buang uang saja bukan investasi untuk mengembangkan kompetensi pegawai. Inilah yang membawa dampak seringkali alokasi anggaran untuk penyelenggaraan diklat dipotong oleh anggota dewan. Konsekuensi keterbatasan anggaran inilah yang membuat prioritas

-77-

penyelenggaraan diklat lebih banyak ke diklat struktural atau diklatpim belum ke diklat teknis fungsional. Kondisi ini tentunya harus diubah supaya kompetensi pegawai meningkat bukan hanya sekedar mengikuti diklat untuk memenuhi syarat jabatan tetapi diarahkan untuk peningkatan profesionalisme dan kompetensi pegawai.

Dimasa mendatang delegasi kewenangan di bidang kenaikan pangkat dan pensiun pegawai perlu perubahan besar. Hal ini terkait dengan kenaikan pangkat pegawai dan pensiun pegawai untuk mereka yang mempunyai pangkat dan golongan tinggi (IV c keatas) yang harus diurus di tingkat pusat. Apakah perlu dilakukan perluasan delegasi kepada Kantor Regional BKN atau tetap ditangan Pemerintah Pusat tetapi dilakukan penyederhanaan sistem atau prosedurnya. Penetapan pengurusan oleh pemerintah pusat didasari keinginan adanya penghargaan atau apresiasi tinggi terhadap pengabdian pegawai, tetapi disisi yang lain justeru menimbulkan masalah karena pengurusannya yang diluar kontrol. Pilihan yang diambil, apakah mau didelegasikan kepada Kantor Regional atau tetap di tangan Pusat membawa konsekuensi yang sama. Diharapkan tetap ada apresiasi tetapi juga tidak menghambat/merugikan pegawai. Khususnya bagi pegawai yang menggunakan kenaikan pangkat pengabdian dan mendekati BUP. Kecepatan dalam pengurusan kenaikan pangkat dan pensiun akan menguntungkan pegawai karena bisa pensiun dengan pangkat yang seharusnya. Kejelasan SOP (standard operating procedures) sangat diperlukan dalam pengurusan kenaikan pangkat dan pensiun ini. Dalam pendelegasian kewenangan di bidang pensiun pegawai juga perlu penegasan terhadap ketentuan perpanjangan BUP. Sanksi tegas harus diterapkan bagi daerah yang semena-mena menambah BUP.

Pendelegasian kewenangan dalam perpindahan pegawai ternyata membawa konsekuensi meningkatnya isu putera daerah. Daerah menutup diri bagi masuknya pegawai-pegawai dari luar daerah. Perpindahan pegawai antar daerah menjadi terhambat karena pemerintah daerah bersifat menutup diri. Dalam hal ini perlu dikembangkan konsep “open management for PNS”. Pengelolaan kepegawaian harus bersifat terbuka, tidak terkotak-kotak di provinsi, kabupaten atau kota tetapi dikelola secara nasional. Dengan konsep ini maka pegawai bisa berkarier di semua daerah, di semua tingkat baik di provinsi, kabupaten maupun kota. Hal ini juga untuk mengatasi masalah pegawai yang mempunyai pangkat, golongan dan jabatan tinggi. Sehingga jabatan sekda di kabupaten/kota bukan lagi menjadi jabatan mentok karena beliau bisa berkarier ditingkat provinsi atau pusat dengan pangkat golongan yang sesuai. Konsep open management for PNS ini sekaligus bisa sebagai penyebaran agent of change ke daerah-daerah yang terbelakang. Pejabat/pegawai yang mempunyai kompetensi bagus bisa pindah dan mengembangkan daerah lain sehingga bisa lebih maju. Konsep open management for PNS ini akan memecahkan belenggu pola karier mentok yang selama ini terjadi di daerah.

Dengan rumusan delegasi wewenang dalam pengelolaan kepegawaian sebagaimana dijelaskan didepan, diharapkan bisa berjalan seiring dan sejalan

-78-

dengan kebijakan otonomi daerah. Konsep pengelolaan kepegawaian yang terintegrasi sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat diwujudkan. Sehingga meskipun ada delegasi kewenangan tetapi norma, aturan dan prosedur tetap sama disemua daerah.

-79-

BBaabb VV PPeennuuttuupp

etelah melakukan analisis terhadap data dan informasi yang ditemukan dilapangan sebagaimana dijelaskan di Bab IV, ada beberapa kesimpulan dan saran yang diberikan oleh Tim. Kesimpulan yang diberikan ini pada dasarnya adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan

didepan. Berikut disajikan kesimpulan dan saran yang diberikan Tim.

A. Kesimpulan

Dalam pelaksanaan delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian di daerah Tim mengidentifikasi adanya overlapping peraturan. Ada beberapa kebijakan yang terkait dengan masalah delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian, yaitu Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 mengatur mengenai pengelolaan kepegawaian (PNS) secara umum sementara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih spesifik mengatur mengenai PNS Daerah. Kedua undang-undang ini dengan berbagai turunan peraturan pelaksanaannya seringkali membingungkan daerah, mana yang harus dijadikan dasar kebijakan dalam pengelolaan kepegawaian. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 identik dengan BKN sementara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 identik dengan Departemen Dalam Negeri.

Demikian pula halnya dengan kelembagaan pengelola kepegawaian, Tim mengidentifikasi adanya overlapping kewenangan, khususnya antara Kantor Kementerian PAN, BKN dan DDN. Kebijakan yang dikeluarkan oleh ketiga instansi ini seringkali membingungkan pengelola kepegawaian di daerah. Tidak ada ketegasan dan kejelasan instansi mana yang berwenang pada tataran kebijakan dan implementasi. Tidak ada ketegasan dan kejelasan instansi mana yang berwenang mengawal, membantu atau memberikan sanksi pada pelaksanaan delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian. Koordinasi di tingkat pemerintah pusat nampaknya belum bisa dijalankan dengan baik.

Selanjutnya secara substansi Tim memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Tahap perencanaan formasi kebutuhan pegawai, belum mencerminkan kebutuhan

nyata didaerah karena tidak didukung dengan pelaksanaan anjab dan ABK. Delegasi kewenangan yang diberikan kepada daerah belum dirasakan manfaatnya karena penetapan tetap ditangan Pemerintah Pusat. Delegasi kewenangan dalam tahap perencanaan formasi nampaknya harus didukung dengan asistensi Pemerintah Pusat.

-80-

2. Tahap pengadaan pegawai, delegasi kewenangan yang diberikan belum dibarengi dengan pedoman yang lengkap terkait dengan standar tes, standar lulus dan standar lolos. Kondisi ini membuka peluang adanya praktik KKN. Delegasi kewenangan dalam tahap pengadaan memberi peluang untuk akomodasi putera daerah menjadi PNS tetapi dilain pihak menutup pintu terhadap upaya penjaringan calon pegawai yang profesional apabila tidak diikuti dengan adanya kejelasan standar tes, standar lulus dan standar lolos.

3. Tahap pengangkatan pegawai, tidak teridentifikasi adanya permasalahan. Hal ini didukung dengan dibentuknya Kantor Regional BKN di beberapa Provinsi yang sangat membantu daerah dalam pengangkatan pegawai, khususnya pengangkatan CPNS maupun CPNS menjadi PNS. Permasalahan yang muncul pada kelengkapan berkas saja. Artinya pembentukan Kantor Regional BKN mampu memberikan dampak signifikan dalam upaya perbaikan efektivitas pengelolaan kepegawaian.

4. Tahap pendidikan dan pelatihan pegawai, tidak teridentifikasi adanya permasalahan. Masalah yang muncul terkait dengan keterbatasan anggaran sehingga prioritas penyelenggaraan diklat lebih pada diklat penjenjangan/diklat struktural, sementara diklat teknis/fungsional belum menjadi prioritas. Selain penyelenggaraan diklat lebih banyak di pusat dan Provinsi karena adanya keterbatasan sarana prasarana diklat. Delegasi kewenangan dalam tahap diklat nampaknya perlu disertai dukungan lainnya, seperti sarana prasarana penyelenggaraan diklat.

5. Tahap kenaikan pangkat dan jabatan, permasalahan yang teridentifikasi adalah untuk pegawai dengan pangkat golongan tinggi (IV c keatas) yang pengurusannya harus ke tingkat pusat. Pengurusan ini ternyata membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang lumayan besar yang seringkali membuat tidak efektif dan efisien. Dasar penetapan oleh pemerintah pusat yang awalnya adalah sebagai bentuk apresiasi/penghargaan atas pengabdian pegawai, tetapi ternyata justeru membuat frustasi pegawai.

6. Tahap perpindahan pegawai, dalam tahapan ini isu mengenai putera daerah masih kental. Perpindahan pegawai antar Kabupaten/Kota atau ke Provinsi dan Pusat atau sebaliknya sangat jarang atau sulit dilakukan. Ada daerah yang menutup diri terhadap masuknya pegawai dari daerah lain karena mengutamakan pegawai dari daerahnya. Kesulitan akan semakin meningkat apabila pegawai mempunyai pangkat golongan tinggi karena akan mengganggu DUK pegawai. Juga bagi pegawai yang pernah menduduki jabatan struktural tertentu karena kalau pindah pegawai tidak boleh menuntut jabatan. Permasalahan lain adalah jabatan Sekda yang merupakan jabatan karier tertinggi di daerah, apabila sudah tidak menjabat sementara BUP masih lama maka tidak ada lagi pos yang sesuai. Sehingga akhirnya seringkali ditempatkan di pos Staf Ahli.

7. Tahap pemberhentian pegawai atau pensiun, sebagaimana halnya dalam kenaikan pangkat dan jabatan, pensiun bagi pegawai dengan pangkat golongan IV c keatas diurus di tingkat pusat. Kondisi ini ternyata justeru tidak efektif dan efisien karena

-81-

makan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Masalah lebih parah apabila waktu kenaikan pangkat berdekatan dengan BUP pegawai (kenaikan pangkat pengabdian). Dampaknya banyak pegawai yang mengajukan pensiun dini (APS = atas permintaan sendiri) karena tidak mau urusan yang bertele-tele. Hal ini tentu saja merugikan pegawai karena mereka terpaksa pensiun dengan pangkat dan golongan yang lebih rendah dari yang seharusnya.

B. Saran

Mencermati gambaran sebagaimana dijelaskan didepan, maka untuk peningkatan pelaksanaan delegasi wewenang dalam pengelolaan kepegawaian didaerah, Tim memberikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Perlunya ketegasan Pemerintah Pusat dalam menerbitkan kebijakan/peraturan yang

terkait dengan delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian. Ini mencakup dari peraturan tertinggi, yaitu Undang-Undang maupun pada peraturan-peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Presiden, Surat Keputusan Menteri atau lainnya. Hal ini untuk menghindari terjadinya duplikasi dalam implementasinya di lapangan.

2. Perlunya dilakukan revisi terhadap peraturan yang terkait dengan delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian (khususnya peraturan yang sudah out of date, tidak relevan, tidak sesuai dengan kondisi sekarang, overlapping dengan peraturan lain, mengandung persepsi ganda, menimbulkan bias dan sebagainya) sehingga bisa lebih efektif dan efisien.

3. Perlunya kejelasan dan ketegasan terhadap tugas, peran dan fungsi dari instansi-instansi yang terkait dengan pendelegasian kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian. Sekaligus juga meningkatkan koordinasi diantara instansi-instansi tersebut.

4. Perlunya perluasan delegasi khususnya untuk delegasi dalam tahap kenaikan pangkat dan jabatan serta pensiun untuk pegawai dengan pangkat golongan tinggi yang ada ditangan Pemerintah Pusat kepada Kantor Regional BKN. Apabila tetap ditangan Pemerintah Pusat maka perlu disusun prosedur yang lebih singkat, sederhana atau perlu ada pembagian kewenangan yang jelas antara pusat dan daerah sehingga tercapai efisiensi dan efektivitas.

5. Perlunya kegiatan asistensi/bimbingan dan sosialisasi dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah terhadap pemahaman dan implementasi peraturan yang terkait dengan delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian.

6. Rumusan sistem manajemen PNS di Indonesia yang sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah sehingga mampu meningkatkan efektivitas pengelolaan kepegawaian di Indonesia adalah suatu sistem yang meskipun memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengelola pegawainya tetapi tetap mengacu pada pedoman norma, prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

-82-

DDaaffttaarr PPuussttaakkaa

Green, Amanda, Managing Human Resources in A Decentralized Context, East Asia Decentralizes, Making Local Government Work, World Bank, Washington DC, USA, 2005;

Irawan, Prasetya, Motik, Suryani S.F., Sakti, Sri Wahyu Krida : Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit STIA LAN Press, Jakarta, 1997;

Kaloh, J., Dr. : Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2007;

Lembaga Administrasi Negara : Efektivitas Peraturan di Bidang Kepegawaian, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, Jakarta, 2005;

Lembaga Administrasi Negara : Evaluasi Sistem Rekrutmen PNS, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, Jakarta, 2007;

Lembaga Administrasi Negara : Manajemen PNS yang Efektiv, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, Jakarta, 2005;

McKenna, Eugene and Beech, Nic : The Essence of Human Resource Management, Prentice Hall Europe, Maylands Avenue, 1995;

Thoha, Miftah, Prof. Dr. : Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008;

Moleong, Lexy, Dr., MA. : Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999;

Mondy, R. Wayne, Noe, M. Robert : Human Resource Management, Fourth Edition, Allyn and Bacon, United States of America, 1990;

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota;

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, Lampiran T tentang Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian;

Sofian Effendi, Prof. Dr. : Re-Reformasi Kepegawaian?, diunduh dari http://sofian.staff.ugm.ac.id//, Jogjakarta, 2000;

Sugiyono, Dr. : Metode Penelitian Administrasi, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2001;

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

-83-

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota

Lampiran T Bidang Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian

Sub Bidang Kepegawaian

Sub Sub Bidang Pemerintah Provinsi Kabupaten/Kota

1. Formasi PNS - Penetapan kebij formasi PNS secara nasinal setiap tahun angg.

- Penetapan persetujuan formasi PNSP di lingk Depart/LPND setiap tahun angg.

- Penetapan formasi PNSP/ Depart/LPND/Kesekret lemb dan daerah setiap tahun angg.

- Penyusunan formasi PNSD di prov setiap tahun angg.

- Penetapan formasi PNSD setiap tahun angg.

- Koord usulan penetapan formasi PNSD di kab/kota setiap tahun angg.

- Penyusunan formasi PNSD kab/kota setiap tahun angg.

- Penetapan formasi PNSD kab/kota setiap tahun angg.

- Usulan formasi PNSD di kab/kota setiap tahun angg.

2. Pengadaan PNS - Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengadaan PNS.

- Pelaks pengadaan PNSP dilingk Depart/LPND.

- Koord pelaks pengadaan PNS secara nasional.

- Pelaks pengadaan PNSD Prov.

- Usulan penetapan NIP.

- Koord pelaks pengadaan PNSD kab/kota.

- Pelaks pengadaan PNSD kab/kota.

- Usulan penetapan NIP.

3. Pengangkatan CPNS

- Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS.

- Pelaks pengangkatan CPNSP di lingk Depart/LPND/ Kesekret lemb.

- Pelaks pengangkatan CPNSP di lingk prov.

- Penempatan CPNSD prov.

- Pelaks orientasitugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lemb diklat yg telah terakreditasi.

- Penetapan kebij pengangkatan CPNSD di lingk kab/kota.

- Pelaks pengangkatan CPNSP di lingk kab/ kota.

- Pelaks orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lemb diklat yg telah terakreditasi.

4. Pengangkatan CPNS mjd PNS

- Penetapan kebij norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS mjd PNS.

- Penetapan CPNSP mjd PNSP Depart/LPND/Kesekret lemb.

- Penetapan mjd PNSP dan PNSD bagi CPNSP dan

- Penetapan CPNSD mjd PNSD di lingk prov.

- Koord pelaks pengangkatan CPNSD mjd PNSD kab/kota.

- Penetapan CPNSD mjd PNSD di lingk kab/kota.

-84-

CPNSD yang tewas atau cacat karena dinas.

5. Pendidikan & pelatihan

- Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria diklat jabatan PNS.

- Penetapan sertifikasi lemb diklat pem.

- Koord dan pelaks diklat di lingk Depart/LPND/ Kesekret lemb dan daerah.

- Penetapan kebutuhan diklat PNSD prov.

- Usulan penetapan sertifikasi lemb diklat prov.

- Koord dan pelaks diklat skala prov.

- Penetapan kebutuhan diklat PNSD kab/ kota.

- Usulan penetapan sertifikasi lemb diklat kab/kota.

- Pelaks diklat skala kab/kota.

6. Kenaikan pangkat - Penetapan kebij norma, standar, prosedur dan kriteria kenaikan pangkat.

- Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD mjd gol/ruang I/b s/d IV/b.

- Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD mjd gol/ruang IV/c, IV/d, dan IV/e.

- Koord pelaks kenaikan pangkat di lingk Depart /LPND/Kesekret lemb dan daerah.

- Penetapan kenaikan pangkat anumerta & pengabdian.

- Penetapan kenaikan pangkat PNSD prov mjd gol/ruang I/b s/d IV/b.

- Penetapan kenaikan pangkat PNSD kab/ kota mjd gol/ruang IV/a dan IV/b.

- Koord pelaks kenaikan pangkat di lingk kab/ kota.

- Usulan penetapan kenaikan pangkat PNSD prov/kab/ kota mjd gol ruang IV/c, IV/d, & IV/e & kenaikan pangkat anumerta & pengabdian.

- Penetapan kenaikan pangkat PNSD kab/kota mjd gol ruang I/b s/d III/d.

- Usulan penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.

7. Pengangkatan, pemindahan & pemberhentian dalam dan dari jabatan

- Penetapan kebij norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan, pemindahan & pemberhentian dalam dan dari jabatan.

- Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jab struktural eselon I PNSP dan PNSD dan jab fungsional jenjang utama.

- Konsultasi/koord pengangkatan sekda kab/kota

- Penetapan pengangkatan,

- Penetapan pengangkatan, pemindahan & pemberhentian PNS provinsi dalam dan dari jab struktural eselon II kebawah atau jab fungsional yg jenjangnya setingkat.

- Penetapan pengangkatan sekretaris daerah kab/kota.

- Usulan pengangkatan dan pemberhentian sekda provinsi

- Usulan konsultasi pengangkatan dan pemberhentian sekda Kab/kota

- Koord pengangkatan,

- Penetapan pengangkatan, pemindahan & pemberhentian PNS kab/kota dalam dan dari jab struktural eselon II atau jab fungsional yang jenjangnya setingkat, kecuali utk sekda kab/kota.

- usulan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kab/kota.

- Usulan konsultasi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian eselon II PNS kab/kota

-85-

pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jab struktural eselon II kebawah atau jab fungsional jenjang setingkat, PNSP Depart/LPND/Kesekret lemb.

pemindahan dalam dan dari jab struktural eselon II di lingk kab/kota.

8. Perpindahan PNS antar instansi

- Penetapan kebij norma, standar, prosedur dan kriteria perpindahan PNS antar instansi.

- Penetapan perpindahan PNS antar kab/kota dan antar prov.

- Penetapan perpindahan PNS prov/kab/kota ke Depart/ LPND atau sebaliknya.

- Penetapan perpindahan PNSP antar Depart ke LPND/kesekret lemb atau sebaliknya.

- Penetapan perpindahan PNSD antar kab/kota dalam satu prov.

- Penetapan perpindahan PNSD dari kab/kota ke prov atau sebaliknya dalam satu prov.

- Penetapan perpindahan PNSD dilingk prov

- Penetapan perpindahan PNSD kab/kota.

9. Pemberhentian sementara dari jabatan negeri

- Penetapan kebij norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian sementara dari jabatan negeri.

- Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNS yang menduduki jab struktural eselon I, jab fungsional jenjang utama, kecuali sekda prov.

- Penetapan pemberhentian sementara bagi PNSP di lingkungannya yang menduduki jab struktural eselon II ke bawah atau jab fungsional setingkat.

- Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNSD provinsi yang menduduki jab struktural eselon I kebawah dan jab struktural eselon II ke bawah dan jab fungsional yg setingkat.

- Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi semua PNSD di kab/kota.

10. Pemberhentian sementara PNS akibat tindak pidana

- Pemberhentian sementara PNS untuk gol IV/c ke atas.

- Pemberhentian sementara PNSD utk gol IV/c ke bawah.

- Pemberhentian sementara PNSD utk gol III/d ke bawah.

11. Pemberhentian PNS/CPNS

- Penetapan kebij norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian PNS/ CPNS.

- Penetapan pemberhentian PNSD provinsi gol/ruang IV/b kebawah dan pemberhentian sbg CPNSD

- Penetapan pemberhentian PNSD kab/kota gol/ruang III/d ke bawah dan pemberhentian sbg CPNSD

-86-

- Penetapan pemberhetian PNS dan PNSD gol ruang IV/c, IV/d dan IV/e.

- Penetapan pemberhentian PNS yang tewas, cacat krn dinas atau mencapai BUP gol/ruang IV/c, IV/d dan IV/e.

- Penetapan pemberhentian PNSP gol/ruang IV/b ke bawah.

prov.

- Penetapan pemberhentian PNSD kab/kota gol/ruang IV/a s/d IV/b dan pemberhentian dg hormat sbg CPNSD prov yg tidak memenuhi syarat diangkat mjd PNS.

kab/kota.

12. Pemutakhiran data PNS

- Penetapan kebij norma, standar, prosedur dan kriteria pemutakhiran data PNS.

- Penyelengg & pemeliharaan informasi kepeg.

- Koord pelaks pemutakhiran data PNS nasional.

- Pelaks pemutakhiran data PNS di prov.

- Koord pelaks pemutakhiran data PNS di kab/kota.

- Pelaks pemutakhiran data PNSD di kab/ kota.

13. Pengawasan & pengendalian

- Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengawasan dan pengendalian kepeg.

- Pengawasan dan pengendalian atas pelaks peraturan perundang-undangan di bid kepeg.

- Koord pengawasan dan pengendalian atas pelaks peraturan perundang-undangan di bid kepeg.

- Melakukan tindakan administratif atas pelanggaran pelaks peraturan perundang-undangan di bid kepeg.

- Koord dalam pelaks tindakan administratif atas pelanggaran pelaks peraturan perundang-undangan di bid kepeg.

- Penetapan sangsi terhadap pelanggaran adm kepeg di daerah.

- Pengawasan dan pengendalian atas pelaks peraturan perundang-undangan di bid kepeg skala prov.

- Koord pengawasan dan pengendalian atas pelaks peraturan perundang-undangan di bid kepeg di lingk kab/kota.

- Pengawasan dan pengendalian atas pelaks peraturan perundang-undangan di bid kepeg skala kab/kota.

14. Pembinaan & pengawasan penyelengg manaj PNS

- Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan dan pengawasan

- Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manaj PNS dilingk prov.

- Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manaj PNS dilingk kab/kota.

-87-

penyelenggaraan manaj PNS.

- Penyelenggaraan manaj PNS meliputi perenc, pengemb kualitas sumber daya PNS, adm kepeg, pengawasan dan pengendalian.

- Melakukan perumusan kesejahteraan PNS.

- Koord pembinaan dan pengawasan manaj PNSP dan PNSD skala nasional.

- Koord pembinaan dan pengawasan manaj PNSD skala prov.