p 3282093

9

Click here to load reader

Upload: lukman-abdurrachman

Post on 28-Dec-2015

27 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: p 3282093

54 Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009

Sumber pangan spesifik lokal Papuaseperti ubi jalar, talas, gembili, sagu,

dan jawawut telah dibudidayakan olehmasyarakat asli Papua secara turun-temurun. Komoditas tersebut telah men-jadi sumber bahan makanan utama bagimasyarakat Papua. Husain (2004) me-nyatakan, pangan lokal adalah panganyang diproduksi setempat (suatu wilayah/daerah tertentu) untuk tujuan ekonomidan atau konsumsi. Dengan demikian,pangan lokal Papua adalah pangan yangdiproduksi di Papua dengan tujuan eko-nomi atau produksi.

Kondisi agroekosistem Papua sangatmendukung pengembangan komoditas

pertanian, terutama komoditas panganspesifik lokal. Namun, pengembangankomoditas tersebut tidak merata di dataranPapua, kecuali ubi jalar yang dapat dijum-pai di berbagai wilayah, baik pada dataranrendah maupun dataran tinggi, terutamapada wilayah pegunungan tengah.

Selain ubi jalar, sagu juga merupakanbahan makanan pokok bagi masyarakatPapua, terutama yang berdomisili didataran rendah atau di pesisir pantai ataudanau. Sagu tumbuh baik pada daerahrawa, meskipun dapat pula tumbuh di dae-rah kering. Papua merupakan salah satuwilayah yang memiliki hutan sagu terluasdi Indonesia. Widjono et al. (2000) mene-

mukan 61 aksesi sagu melalui survei yangdilakukan di daerah Jayapura, Manok-wari, Sorong, dan Merauke. Jumlah aksesitersebut masih memungkinkan bertambahkarena survei baru dilakukan di sebagianwilayah potensial sagu di Papua.

Sumber pangan alternatif yang be-ragam di Papua, mulai dari umbi-umbian,serealia, buah-buahan, dan bahkan tanam-an obat dapat menyediakan pangan yangcukup bagi masyarakat setempat sehinggaterhindar dari kekurangan gizi (malnutri-tion) atau kelaparan. Namun, sosialisasipemanfaatan sumber pangan alternatiftersebut belum dilakukan secara bijak danberkelanjutan. Selain itu, masyarakat mulai

PEMANFAATAN KOMODITAS PANGAN LOKALSEBAGAI SUMBER PANGAN ALTERNATIF DI PAPUA

A. Wahid Rauf dan Martina Sri Lestari

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, Jalan Yahim Sentani, Kotak Pos 256 Sentani, Jayapura 99352,Telp. (0967) 592179, Faks. (0967) 591235, E-mail: [email protected]

Diajukan: 12 Juni 2008; Diterima: 23 Maret 2009

ABSTRAK

Provinsi Papua merupakan salah satu daerah yang memiliki keragaman sumber daya hayati yang cukup tinggi,termasuk tanaman sumber pangan lokal. Sumber pangan lokal Papua yang memiliki potensi untuk dimanfaatkansebagai sumber karbohidrat adalah ubi jalar, talas, sagu, gembili, dan jawawut. Pangan lokal tersebut telah banyakdimanfaatkan oleh masyarakat Papua. Masyarakat yang berdomisili di daerah pegunungan umumnya mengonsumsiubi jalar, talas, dan gembili, sedangkan yang tinggal di pantai memanfaatkan sagu sebagai pangan pokok. Beberapajenis ubi jalar, talas, dan sagu telah beradaptasi dengan baik dan dikonsumsi masyarakat Papua secara turun-temurun. Dengan demikian, komoditas tersebut perlu dikembangkan sebagai sumber pangan utama bagi masyarakatsehingga mengurangi ketergantungan pada pangan yang berasal dari beras. Selain digunakan sebagai sumberpangan utama dan untuk upacara adat, komoditas pangan lokal Papua juga telah dikembangkan menjadi produkolahan seperti kue kering yang dikelola dalam skala industri rumah tangga. Tulisan ini membahas pemanfaatanpangan lokal Papua sebagai sumber pangan alternatif yang diharapkan dapat menjadi sumber pangan untukmendukung ketahanan pangan pada tingkat regional maupun nasional.

Kata kunci: Pangan lokal, sagu, umbi-umbian, jawawut, Papua

ABSTRACT

Utilization of local food as alternative food sources in Papua

Papua Province has a potential biodiversity including local food sources. Local food in Papua that has been usedas main sources of carbohydrate for the local people are sago, millet, and root crops (sweet potato, taro, and yam).Root crops are mostly cultivated and consumed by local people in the lowland to highland area, while the peoplestaying at beach area generally consume sago as a primary food. Some kinds of sweet potato, taro, and sago wereadapted and consumed by local people for generation. In this case, those commodities must be developing asprimary food sources for local community and also as substitute for rice. Besides utilized as primary food andimportant materials for ceremonial customs by local people, local foods has also been initiated for developingproduct diversification by home industry. This article discussed utilization of local food of Papua as an alternativefood source, with main emphasize on root crops and sago, to support regional and national food security.

Keywords: Local food, sago, root crops, millet, Papua

Page 2: p 3282093

Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009 55

bergantung pada sumber pangan beraskarena selain enak juga mudah diperoleh.Hal tersebut merupakan salah satu dam-pak kebijakan pemerintah yang hanyaterfokus pada terjaminnya ketersediaanberas. Kebijakan tersebut tanpa disadaritelah mengubah menu karbohidrat masya-rakat dari nonberas ke beras, terutamapada daerah yang secara tradisional me-ngonsumsi pangan bukan beras, sepertikawasan timur Indonesia (Budi 2003).Pada waktu tertentu, terutama di daerahterpencil, untuk memperoleh beras sangatsulit karena terbatasnya sarana transpor-tasi. Pada kondisi yang demikian, peman-faatan pangan lokal sangat diperlukansebagai salah satu penyangga ketahananpangan pada tingkat rumah tangga.

Pemanfaatan sumber pangan lokal diPapua masih dilakukan secara tradisional,baik dari aspek budi daya maupun penge-lolaan pascapanen. Dengan demikiandiperlukan percepatan adopsi teknologipemanfaatan sumber pangan lokal yangdiharapkan dapat menjadi salah satupenyangga ketahanan pangan di daerah.

Tulisan ini menelaah hasil-hasilpenelitian yang berkaitan dengan peman-faatan pangan lokal Papua sebagai sumberpangan alternatif. Diharapkan panganlokal dapat menjadi tumpuan atau pe-nyangga ketahanan pangan di tingkatregional maupun nasional.

KEADAAN SUMBERPANGAN LOKAL PAPUA

Berbagai sumber pangan lokal Papua, baikyang telah dibudidayakan maupun yangtumbuh liar, telah dimanfaatkan olehmasyarakat sebagai bahan pangan mau-pun pelengkap upacara adat. Tanamanpangan lokal yang dimaksud dalam tulisanini adalah tanaman yang dapat menjadisumber pangan alternatif sebagai peng-ganti atau substitusi beras. Tanamanpangan lokal yang telah dimanfaatkanmasyarakat sebagai sumber pangan secaraturun-temurun adalah umbi-umbian (ubijalar, talas, dan gembili), sagu, dan jawawut.Keragaan dan fungsi tanaman tersebutdiuraikan berikut ini.

Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)

Ubi jalar merupakan komoditas penting diPapua karena merupakan makanan pokokbagi sebagian besar penduduk di peda-

laman, terutama di daerah pegunungan,selain sebagai makanan babi. Di beberapalokasi, peran ubi jalar sangat strategis, baikdari aspek ekologi maupun sosial ekonomi.Hal ini karena peluang untuk mendapatkankomoditas substitusi ubi jalar sebagaibahan pangan relatif kecil. Selain ubi jalar,secara ekologis sangat sedikit tanamanpangan yang mampu beradaptasi dan ber-produksi dengan baik dengan teknologisederhana pada ketinggian 1.650−2.700 mdpl., seperti di kawasan lembah Baliem, Ka-bupaten Jayawijaya (Dimyati et al. 1991).

Ubi jalar dapat tumbuh pada dataranrendah maupun dataran tinggi. Namun,hasil ubi jalar di dataran rendah (< 500 mdpl.) lebih tinggi daripada di dataran tinggi(> 900 m dpl.). Suhu udara yang dingin didataran tinggi menyebabkan pertumbuh-an tanaman ubi jalar kurang optimal.

Produksi ubi jalar di Papua dari tahunke tahun cenderung menurun. Penurunantersebut antara lain disebabkan makinberkurangnya luas panen (Tabel 1).Namun, produksi tersebut masih jauh diatas tingkat konsumsi. Pada tahun 2007,produksi ubi jalar di Papua mencapai101.710 ton, sementara konsumsi totalhanya 31.125 ton dan konsumsi per kapita

38,36 g/hari. Hal ini menunjukkan bahwakebutuhan ubi jalar masyarakat Papua ter-cukupi oleh produksi lokal, dan bahkanberlebih. Kelebihan produksi tersebutmenjadi suatu tantangan untuk meman-faatkan ubi jalar menjadi aneka produkolahan yang memiliki daya saing tinggi.

Pengembangan ubi jalar khususnya diKabupaten Jayawijaya dibedakan antarauntuk bahan pangan manusia dan pakanbabi. Varietas ubi jalar untuk bahan pangandibudidayakan dengan cara khusus, sertamemiliki kadar pati tinggi dan rasa manis.Varietas dengan rasa umbi kurang enakdan kandungan seratnya tinggi, serta um-bi yang kecil atau rusak digunakan untukpakan babi (La Achmady dan Schneider1995). Terdapat puluhan bahkan ratusanjenis ubi jalar yang sesuai untuk konsumsimanusia dan dibudidayakan berdasarkankondisi agroekosistem setempat. LaAchmady dan Schneider (1993) melapor-kan ada empat cara budi daya ubi jalarberdasarkan tipe agroekosistem, yaitu wenhipere, yabu waganak, yabu enaifpipme,dan yabu lome (Tabel 2).

Wen hipere adalah sistem budi dayaubi jalar dengan cara membuat parit-paritpermanen pada daerah yang berair. Yabu

Tabel 2. Jumlah kultivar ubi jalar berdasarkan sistem budi daya danagroekosistem di Jayawijaya, Papua.

Agroekosistem Sistem budi daya Jumlah kultivar

Daerah lembah (berair/rawa) Wen Hipere 200Daerah lereng 15−25%/dataran

rendah dengan drainase jelek Yabu Waganak 50Daerah lereng yang curam (30−50%) Yabu Enaifpipme 200Daerah lereng tanpa pengolahan tanah Yabu Lome 150

Sumber: La Achmady dan Schneider (1993).

Tabel 1. Luas panen, produksi, dan hasil ubi jalar dan talas di ProvinsiPapua, 2003−−−−−2006.

Komoditas/tahunLuas panen Produksi Hasil

(ha) (t) (t/ha)

Ubi jalar2003 83.430 643.541 7,712004 33.495 345.338 10,312005 32.154 318.401 9,022006 29.167 290.423 9,95Talas2003 4.059 3.739 9,212004 1.210 1.226 10,132005 676 689 10,192006 − − −

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Papua (2007).

Page 3: p 3282093

56 Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009

masih memungkinkan bertambah karenamasih banyak daerah-daerah potensialsagu di Papua yang belum diidentifikasi.Terlepas dari perbedaan jumlah aksesisagu yang dilaporkan, di Papua ditemukanberbagai jenis sagu dengan potensi hasilyang berbeda-beda.

Penyebaran pohon sagu terbesar diPapua, baik jenis maupun luasannya, ter-dapat di Sentani, Kabupaten Jayapura.Hutan sagu umumnya tumbuh secaraalami. Namun sebagian petani mulaimenyadari pentingnya pelestarian hutansagu sehingga mereka mulai melakukankegiatan budi daya. Areal sagu di ProvinsiPapua termasuk Papua Barat yang telahdimanfaatkan baru sekitar 14.000 ha, atau0,34% dari potensi yang ada (Karto-purnomo 1996 dalam Limbongan et al.

Tabel 3. Diskripsi varietas ubi jalar Papua Solossa, Papua Pattipi, dan Sawentar.

Karakteristik Papua Solossa Papua Pattipi Sawentar

Tipe tanaman Semi-kompak Menyebar Semi-kompakUmur panen (bulan) 6 6 6Diameter buku ruas Tipis Tipis SedangWarna dominan sulur Hampir semua ungu Hampir semua ungu HijauWarna sekunder sulur Hijau pada pucuk Hijau pada pucuk Ungu pada buku-bukuBentuk daun dewasa

Bentuk kerangka daun Bentuk tombak Bentuk hati Berbentuk hatiJumlah cuping 5 3 1Bentuk cuping pusat Agak elip Segitiga sama sisi Bergerigi

Warna helai daun dewasa Hijau, tulang daun ungu Hijau, tulang daun ungu HijauBentuk umbi Elip membulat Elip memanjang Elip membulatPanjang tangkai umbi Pendek Pendek PendekWarna kulit umbi Kuning kecoklatan Krem MerahWarna daging umbi Kuning tua Pucat KremRasa umbi Enak Enak dan manis EnakKetahanan terhadap Agak tahan hama boleng Agak tahan hama boleng Agak tahan hama boleng

hama dan penyakit dan tahan penyakit kudis dan agak tahan penyakit kudis dan agak tahan penyakit kudisAnjuran tanam Lahan sawah dan tegalan Lahan sawah dan tegalan Lahan sawah dan tegalan

daerah pegunungan ketinggian daerah pegunungan ketinggian daerah pegunungan ketinggianminimum 1.000 m dpl. minimum 1.000 m dpl. minimum 1.000 m dpl.

Rata-rata hasil di dataran tinggi (t/ha) 24 25,30 24,90Potensi hasil di dataran tinggi (t/ha) 27,50−32,50 27,50−32,50 27,50−32,50

Sumber: Yusuf et al. (2007).

Tabel 4. Kandungan nutrisi beberapa komoditas pangan alternatif, Papua.

KomoditasKadar nutrisi (%)

Air Abu Protein Lemak Karbohidrat

Ubi jalar1 7,80 2,16 2,16 0,83 86,95Sagu2 15 − 1,40 0,20 85,90Talas3 6,05 1,20 0,28 1,24 68,25Gembili4 6,44 2,87 6,11 0,89 81,40

Sumber: 1Widowati dan Damardjati (2001); 2Tarigan (2001) dalam Limbongan (2005);3Richana dan Sunarti (2004); 4Richana et al. (2000).

adalah sistem penanaman ubi jalar di lahankering. Sistem yabu terbagi atas beberapacara tanam, bergantung pada tingkatkemiringan lahan. Kedua sistem budi dayatersebut telah dipraktekkan masyarakatJayawijaya secara turun-temurun.

Kultivar ubi jalar yang ditanam dise-suaikan dengan kondisi agroekosistem.Untuk setiap agroekosistem, terdapatpuluhan bahkan ratusan kultivar yangsesuai. Kesesuaian tidak hanya berda-sarkan aspek fisik agroekosistem, tetapijuga aspek sosial budaya masyarakatsetempat. Penentuan varietas yang akanditanam berdasarkan kebutuhan pasaratau konsumen, khususnya konsumen diluar keluarga, bukan menjadi prioritas.

Keragaman jenis ubi jalar di Papuayang cukup tinggi merupakan asetberharga untuk mendapatkan varietasunggul, baik dari aspek potensi hasil,ketahanan terhadap hama/penyakitmaupun rasa. Pada tahun 2006, Depar-temen Pertanian melepas tiga varietasunggul ubi jalar dataran tinggi, yaitu PapuaSolossa, Papua Pattipi, dan Sawentar. Sifatdan keunggulan masing-masing varietastersebut disajikan pada Tabel 3.

Ubi jalar memiliki kandungan karbo-hidrat, lemak, protein, dan mineral tidakjauh berbeda dengan sumber pangan lokallainnya (Tabel 4). Hal ini menunjukkanbahwa ubi jalar layak digunakan sebagai

sumber pangan utama bagi masyarakat.Bila perlu dapat ditambahkan unsur gizilain melalui proses fortifikasi.

Sagu (Metroxylon sp.)

Sagu merupakan bahan pangan utama bagimasyarakat Papua yang tinggal di daerahpesisir. Daerah pesisir yang berair ataurawa merupakan tempat tumbuh berbagaijenis sagu. Pohon sagu di Papua tumbuhsecara alami tanpa tindakan budi daya daripenduduk setempat.

Di Papua ditemukan 20 jenis sagu dandapat dibagi ke dalam empat kelompokgenetik (Miftahorrachman et al. 1996).Sementara Widjono et al. (2000) melapor-kan terdapat 61 aksesi sagu di Papua, dan

Page 4: p 3282093

Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009 57

2005). Dengan demikian, pemanfaatansagu sebagai sumber pangan alternatifbagi penduduk maupun untuk kebutuhanindustri sangat menjanjikan.

Produksi sagu di Papua jauh lebihtinggi dibandingkan dengan kebutuhanuntuk konsumsi (Tabel 5). Hal inimenunjukkan bahwa produksi sagumencukupi kebutuhan untuk konsumsimasyarakat dan bahkan berlebih.

Salah satu wilayah pusat pertumbuhansagu alam di Papua terdapat di sekitarDanau Sentani Kabupaten Jayapura,dengan luas 4.000−5.000 ha (Saitoh et al.2008). Pada wilayah ini ditemukan bebe-rapa aksesi sagu yang memiliki produkti-vitas tinggi. Miyazaki (2004) melaporkan,beberapa aksesi sagu di Sentani meng-hasilkan pati cukup tinggi seperti Para IfarBesar, Yepha Hongsai Kleublouw, danRuruna Ifar Besar dengan produksi patimasing-masing 408,60 kg, 386,20 kg, dan340,60 kg/pohon (Tabel 6).

Talas (Colocasia esculenta)

Talas merupakan makanan pokok pentingdi daerah Ayamaru dan Biak Barat.Rochani (1996) melaporkan, 64% masya-rakat Ayamaru mengonsumsi talas sebagaimakanan pokok. Meskipun masyarakat didaerah lain di Papua juga mengonsumsitalas, sifatnya hanya sebagai panganalternatif. Beberapa puluh tahun yang lalutanaman ini dominan di daerah perbatasanIndonesia-Papua Nugini (Oksibil), namunkini kedudukan talas mulai tergeser olehubi jalar (Rumawas 2004).

Produksi talas di Papua menurundrastis dari 3.739 ton pada tahun 2003menjadi 689 ton pada tahun 2005. Namun,data Badan Bimas dan Ketahanan PanganProvinsi Papua menunjukkan, pada tahun2007 produksi talas Provinsi Papuamancapai 7.014 ton dengan total konsumsi5.022 ton. Hal ini menunjukkan bahwaproduksi talas mencukupi kebutuhanuntuk konsumsi masyarakat.

Tanaman talas tersebar pada berbagaiagroekosistem, mulai dari dataran rendahsampai tinggi dan dari lahan basah sampailahan kering. Berdasarkan kesesuaianagroekosistem, dijumpai beragam kultivartalas. Genotipe talas di Papua sangatberagam dalam sifat morfologi, umur, danpotensi hasil. Pada umumnya sifat-sifat liartalas masih jelas terlihat bila dibandingkandengan jenis talas yang diusahakan diJawa (Rumawas 2004).

Rauf et al. (2008) telah melakukan ujidaya hasil 10 kultivar talas lokal padadataran rendah Yahukimo. Dari evaluasitersebut diperoleh tiga kultivar yangmemiliki daya hasil tinggi, yaitu Weak HomKuning, Nea Dea, dan Weak Hom Ungudengan hasil umbi masing-masing 7,41 t,6,74 t, dan 6,65 t/ha. Sifat dan karakter

morfologi ketiga kultivar lokal tersebutdisajikan pada Tabel 7. Beberapa kultivarberdaya hasil tinggi tersebut merupakansuatu potensi untuk mendapatkan verietasyang berdaya hasil tinggi dan memenuhipreferensi konsumen.

Pada setiap agroekosistem di Papuaditemukan beberapa jenis talas dengan

Tabel 5. Ketersediaan dan konsumsi pangan lokal di Provinsi Papua, 2007.

Produksi Konsumsi Konsumsi KetersediaanKomoditas total per kapita per kapita

(t) (t) (g/hari) (g/hari)

Ubi Jalar 101.710 31.125 38,36 120,92Sagu 283.620 38.395 47,32 296,71Talas 7.014 5.022 6,19 7,09

Sumber: Badan Bimas dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua (2007).

Tabel 6. Hasil pati beberapa aksesi sagu di Sentani, Jayapura.

Aksesi/ Umur Berat Berat kering Kadar Kadar Hasil

nama lokal tanaman batang empulur gula pati pati(tahun) (kg) (%) (%) (%) (kg)

Yepha Hongsai Ifar Besar 16−18 1.563 31,50 20,40 40,30 158,70Yepha Hongsai Kleublouw 20 1.840 49,50 7,20 53 386,20Para Ifar Besar 14−15 1.971,90 50,20 6,10 51,60 408,60Para Kleublouw 15−17 1.371 47,30 10 52,20 270,80Rondo Ariau 12 286,30 45,80 6 60 62,90Rondo Nendal 7−8 495,30 45,80 7,70 47,80 86,70Ruruna Ifar Besar 17 1.993,60 44,40 7,70 48,10 340,60Ruruna Kleublouw 20 1.714,20 39,30 13,20 43,40 233,90

Sumber: Miyazaki (2004).

Tabel 7. Beberapa sifat morfologi tiga kultivar talas lokal Papua.

Sifat morfologiNama lokal

Weak Hom Ungu Weak Hom Kuning Nea Dea

Tinggi tanaman (cm) 75 −100 50−100 50−100Jumlah stolon 1 −5 Tidak ada Tidak adaPanjang stolon (cm) 10 −15 − −Jumlah succer 1 −5 1−2 Tidak adaBentuk daun Segitiga Segitiga SegitigaPosisi daun Tegak, ujung Tegak, ujung Tegak, ujung

menghadap menghadap menghadapke bawah ke bawah ke bawah

Warna helai daun Hijau Hijau kekuningan HijauWarna persimpangan petiol Hijau Ungu KuningWarna utama tulang daun Hijau Kuning PutihPola tulang daun Bentuk Y Bentuk Y Bentuk YLapisan lilin daun Tinggi Sedang SedangPanjang kormus (cm) 10−12 8−10 8−10Warna pelepah daun Ungu Kuning kehijauan Hijau mudaBentuk kormus Kerucut Kerucut KerucutWarna daging kormus Putih keunguan Kuning PutihWarna serat daging kormus Ungu Kuning PutihTingkat serabut kormus Sedikit berserat Tidak ada Tidak adaHasil (t/ha) 6,65 7,41 6,74

Sumber: Rauf et al. (2008).

Page 5: p 3282093

58 Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009

sifat khas. Gambar 1 memperlihatkankeragaan pertumbuhan talas pada wilayahagroekosistem lahan rawa di Supiori.

Gembili (Dioscorea spp.)

Berbagai jenis gembili ditemukan di kebunpetani di Papua. Spesies yang palingbanyak adalah D. alata dan D. esculenta.Gembili biasanya ditanam dalam jumlahterbatas, meskipun penduduk sangatmenyukainya. Hal ini disebabkan keter-sediaan bibit terbatas dan umur panennyaagak lama, yaitu 7−9 bulan (Rumawas2004).

Gembili dikonsumsi dalam bentukgembili rebus atau bakar, meskipun dapatpula diolah menjadi berbagai kue ataukolak gembili. Gembili belum dikembang-kan sebagai industri rumah tangga, karenaselain produksinya terbatas, pengetahuanpetani dalam penganekaragaman produkgembili masih rendah.

Tanaman gembili tersebar di beberapawilayah Papua, terutama di Merauke. SukuKanum di Merauke sebagai salah satusubsuku Marind yang mendiami TamanNasional Wasur (Paay 2004) mengonsumsigembili secara turun-temurun sebagaimakanan pokok. Namun saat musimpaceklik atau belum memasuki masa panengembili, penduduk melakukan kegiatanberburu dan sebagai pangan alternatifnyaadalah sagu dan pisang.

Sistem budi daya gembili sudah me-nyatu dengan kehidupan masyarakat sukuKanum karena mempunyai nilai budayayang tinggi, yaitu sebagai mas kawin sertapelengkap pada upacara adat. Tanpagembili, suku Kanum tidak dapat melak-sanakan pernikahan. Dengan demikian,budi daya gembili bagi suku Kanummerupakan suatu keharusan.

Tingginya perhatian masyarakat sukuKanum terhadap gembili merupakanpeluang sekaligus tantangan untuk me-ngembangkan gembili di masa mendatang.Masyarakat suku Kanum membudidaya-kan berbagai kultivar gembili, menamakankultivar gembili berdasarkan karaktermorfologi umbi (Tabel 8). Sistem budi dayabergantung pada jenis gembili yangditanam. Umumnya gembili dibudidayakandengan menggunakan tajar dari bambudengan tinggi 2,50−4 m (Gambar 2).

Untuk menjamin keberlanjutan kon-sumsi, gembili yang dipanen disimpan disuatu tempat dalam rumah kecil yang diberinama keter meng. Rumah kecil tersebut

terbuat dari bambu dan beratapkan kulitkayu bus (Melaleuca sp.) agar gembiliterhindar dari sinar matahari langsung.

Jawawut (Setaria italica sp.)

Jawawut merupakan sejenis tanamanserealia yang banyak dijumpai di Biak

Numfor, dengan nama lokal pokem ataugandum Papua. Tanaman ini meliputi limagenera, yaitu Panicum, Setaria, Echino-chloa, Pennisetum, dan Paspalum,semuanya termasuk dalam famili Paniceae.Jenis jawawut yang ditemukan di Papuatermasuk spesies Setaria italica (pokemekor macan) dan Pennicetum glaucum(pokem ekor kucing).

Gambar 1. Pertumbuhan talas pada agroekosistem rawa di Supiori, Papua.

Tabel 8. Karakter beberapa kultivar gembili yang dibudidayakan sukuKanum di Merauke, Papua.

Nama lokal Jumlah Warna Bentuk umbi Berat umbi/umbi daging umbi pohon (kg)

Nsorung Banyak Putih Bulat besar 5−6Salokon Banyak Putih Bulat agak kecil 2−3Keplan Banyak Putih Bulat lonjong, 3−4

panjang 45−50 cmThai Banyak Merah hati/ungu Bulat lonjong, 3−4

panjang 45−50 cmMbre-mbre Banyak Putih Bulat lonjong, 2−3

panjang 45−50 cmPorkot Banyak Putih Memanjang 3−4

merah hati/unguScamkan Banyak Merah hati/ungu Besar tidak beraturan 7−9Punai Banyak Putih polos Tidak beraturan ± 10Koi Sedang Putih Bulat lonjong kecil 1−2Lausiprai Banyak Ungu Bulat lonjong panjang 2−3Wana Banyak Putih Bulat agak kecil 1−2Medihjal Banyak Putih Bulat besar 2−3Ketahjal Banyak Putih Bulat besar 2−3Waingkuh Banyak Putih Bulat panjang 2−3Mbisaram Sedang Ungu Bulat kecil 1−2Keta Banyak Putih Bulat kecil 1−2Ntokre Banyak Putih Bulat lonjong panjang 2−3

Sumber: Paay (2004).

Page 6: p 3282093

Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009 59

dibandingkan dengan tanaman sumberkarbohidrat lain, seperti dapat tumbuhpada hampir semua jenis tanah termasuktanah kurang subur, tahan kekeringan,mudah dibudidayakan, umur panenpendek, dan kegunaannya beragam.

Petani umumnya menanam jawawutdengan sistem hambur benih secara lang-sung setelah lahan dibakar. Simanjuntakdan Ondikleuw (2004) melaporkan, hasiljawawut dengan cara tanam hambur benihsecara langsung tanpa pemupukan lebihrendah dibandingkan dengan cara tanampindah atau hambur benih secara larikan.

PEMANFAATAN PANGANLOKAL PAPUA

Pemanfaatan pangan lokal seperti sagudan umbi-umbian sebagai sumber panganutama di Papua sudah berlangsung secaraturun-temurun. Sagu umumnya dikonsum-si sebagai pangan utama bagi masyarakatdi daerah pesisir pantai dan danau/rawa,sedangkan umbi-umbian merupakan pa-ngan pokok bagi masyarakat daerahpegunungan. Namun demikian, secaraumum sagu dan umbi-umbian menjadimakanan pokok masyarakat Papua.

Sagu dikonsumsi sebagai menu sehari-hari dalam bentuk papeda basah maupunpapeda kering/bungkus. Papeda basahadalah gelatin sagu dan dikonsumsidengan dicampur kuah ikan dan sayuran(Gambar 4). Papeda kering/bungkusadalah gelatin sagu yang dibungkusdengan daun fotofe (nama lokal), yaitusejenis pisang-pisangan. Pembuatan pa-peda kering/bungkus biasanya dilakukanapabila penduduk hendak bepergianseperti berburu, karena lebih tahan disim-pan dibandingkan dengan papeda basah.Pemanfaatan pangan lokal Papua sebagaisumber pangan alternatif disajikan padaTabel 10.

Pembuatan gelatin sagu dilakukandengan mencampur tepung sagu denganair mendidih sambil diaduk. Perbandinganantara tepung sagu dan air mendidihadalah 1 : 2, yaitu 1 kg pati sagu ditambah-kan dengan air mendidih 2 liter. Dalamskala industri rumah tangga, terutama di

Gambar 2. Pertumbuhan gembili di Merauke, Papua.

Dari spesies tersebut ditemukan ber-bagai warna. Menurut masyarakat BiakNumfor dalam Rumbrawer (2003), ada limajenis jawawut yang dijumpai di BiakNumfor, yaitu pokem vesyek (jawawutcokelat), pokem verik (jawawut merah),pokem vepyoper (jawawut putih), pokemvepaisem (jawawut hitam), dan pokemvenanyar (jawawut kuning). Salah satujenis jawawut yang dibudidayakan petanipada lahan kering Biak Numfor disajikanpada Gambar 3.

Bagi penduduk Biak Numfor, jawawuttelah lama dimanfaatkan sebagai bahanmakanan pokok dan komoditas adat.Rumbrawer (2003) menyatakan bahwaorang Numfor telah berabad-abad meng-gantungkan hidupnya pada budi dayajawawut sebagai pangan pokok selainumbi-umbian dan kacang hijau. Selanjut-nya dinyatakan bahwa orang Numforadalah penanam, penghasil, distributor,dan konsumen jawawut maupun kacanghijau sejak dahulu kala.

Jawawut atau gandum Papua memilikikeunggulan dibandingkan dengan jenisgandum lainnya. Jawawut mengandungkarbohidrat lebih tinggi, yakni 74,16%dibanding gandum (Triticum spp.) yaitu69% (Tabel 9). Ini menunjukkan bahwajawawut berpotensi sebagai sumber pa-ngan fungsional, terutama sebagai sumberenergi (Budi 2003).

Jawawut berpotensi untuk dikembang-kan dalam rangka memperkuat ketahananpangan sebagai sumber karbohidrat peng-ganti beras. Jawawut memiliki keunggulan Gambar 3. Pertumbuhan jawawut pada lahan kering di Biak Numfor, Papua.

Page 7: p 3282093

60 Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009

perkotaan, sagu diolah menjadi aneka kuekering (Gambar 5).

Ubi jalar dan talas dikonsumsi dengandirebus. Namun dalam upacara ritual (adatatau keagamaan), ubi jalar dikonsumsidengan cara bakar batu bersama dengandaging babi. Pengolahan ubi jalar dan talasmenjadi keripik, kue, dan tepung telahdilakukan oleh penduduk pendatang.

Pentingnya PemanfaatanPangan Lokal di Papua

Papua memiliki kondisi agroekosistemyang beragam, mulai dari dataran rendahsampai dataran tinggi dengan sumberdaya dan aksesibilitas yang beragam.Masyarakat yang tinggal pada zonaekologi pantai memiliki aksesibilitas

sumber daya dan infrastruktur yang lebihbaik dibandingkan dengan yang berdomi-sili di wilayah pegunungan.

Sumber pangan utama bagi masyarakatdi wilayah pegunungan adalah umbi-umbian. Namun, pada bulan-bulan ter-tentu saat umbi-umbian tidak berproduksioptimal, masyarakat mengkonsumsi berasdengan harga yang mahal. Untuk meng-atasi masalah tersebut, pemerintah mem-berikan bantuan beras miskin (raskin),meskipun pendistribusiannya seringmenghadapi kendala transportasi danbiaya angkutan yang mahal. Alat angkutansatu-satunya adalah pesawat udaradengan rute dan frekuensi penerbanganyang terbatas.

Ketergantungan pada beras menim-bulkan masalah baru bagi pemerintahdaerah setempat karena harus menyedia-kan dana untuk subsidi biaya transportasike wilayah-wilayah terpencil. Peran sektorswasta dalam pengadaan dan pendistri-busian bahan pangan ini sangat kurang,karena selain biaya operasional tinggi jugadaya beli masyarakat sangat rendah.Untuk menghindari masalah ini secara ber-lanjut, diperlukan upaya untuk mengem-balikan pemanfaatan sumber pangan lokal.Namun, kebijakan pemerintah dalammendukung pemanfaatan pangan lokaltersebut belum sepenuhnya dilaksanakan.

Masalah dan peluangpengembangan pangan lokal

Pengembangan sumber pangan lokal padaskala ekonomi menghadapi berbagai ken-dala, terutama pada wilayah pegunungan.Salah satu kendala tersebut adalah tidakadanya infrastruktur dan lembaga pema-saran hasil pertanian. Petani biasanyamenjual produk pertanian mereka ke pasardesa yang hanya buka 1−2 hari seminggu.Produk pertanian yang dijual antara lainadalah umbi-umbian dan sayuran. Pe-masaran hasil pertanian dalam skalaagribisnis sangat jarang dijumpai karenaproduk belum memenuhi kuantitas yanglayak dipasarkan (marketable product)selain lemahnya sarana transportasi (Lim-bongan et al. 2008).

Di balik permasalahan tersebut masihterbuka peluang untuk mengembangkankomoditas pangan lokal di Papua. Pen-duduk di wilayah pedesaan Papua memilikipartisipasi konsumsi umbi-umbian yangcukup tinggi terutama ubi jalar, yaituhampir 60% pada tahun 2005 (Mewa 2007).

Tabel 9. Perbandingan kandungan gizi gembili dan gandum.

Komposisi gizi SatuanKandungan gizi

Gembili Gandum

Kadar air % b/b 11,01 13,50Kadar abu % b/b 2,75 2Kadar lemak % b/b 2,69 2,10Kadar protein % b/b 11,36 16Kadar karbohidrat % b/b 74,16 69Serat kasar % b/b 1,36 2,90Vitamin A IU/100 g 600 16,67Vitamin B1 mg/kg 9,67 4,80Vitamin B2 mg/kg 3,17 1,60Vitamin B3 mg/kg 2,25 64Vitamin B6 mg/kg 0,24 5,56Vitamin B12 mg/kg 0,86 1Vitamin C mg/kg 6,01 −Vitamin D mg/kg 5,40 −Asam folat mg/kg 13,25 0,46Kalsium (Ca) mg/kg 40,90 0,04Besi (Fe) mg/kg 121,63 60,60Seng (Zn) mg/kg 65,30 49,70Natrium (Na) mg/kg 112 49,70Kalium (K) mg/kg 254 0,42Magnesium (Mg) mg/kg 825 −Mangan (Mn) mg/kg 54 41,60Tembaga (Cu) mg/kg 2,87 −Timbal (Pb) mg/kg <0,005 −Merkuri (Hg) µg/kg <0,001 −Arsen (As) µg/kg <0,001 −

Sumber: Winarno (2002).

Gambar 4. Papeda basah dengan lauknya (a) dan papeda kering/bungkus (b).

Page 8: p 3282093

Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009 61

ningkatkan produktivitasnya secara ber-kelanjutan dan ramah lingkungan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kondisi agroekosistem Papua sangatmendukung bagi pengembangan komo-ditas pangan lokal sebagai sumber pa-ngan alternatif maupun pangan utama bagipenduduk yang tinggal di perkotaanmaupun di pedesaan atau pegunungan.Potensi penggunaan pangan lokal sepertisagu, umbi-umbian, dan jawawut sebagaibahan pangan utama bagi pendudukPapua masih terbuka, karena partisipasi

konsumsi pangan lokal, khususnya umbi-umbian cukup tinggi.

Untuk mempercepat pemanfaatanpangan lokal sebagai pangan pokok sertamengurangi ketergantungan pada beras,diperlukan langkah-langkah konkret daripemerintah daerah, antara lain: 1) dukung-an sarana dan prasarana transportasiserta pemasaran hasil pertanian, 2)dukungan inovasi teknologi budi dayadan pengelolaan panen dan pascapanen,3) pembentukan jaringan pemasaranmelalui penumbuhan pola kemitraanantara pengusaha dan petani serta pro-mosi atau pameran produk pangan lokal,4) menumbuhkan industri rumah tanggapengolahan aneka kue sagu dan umbi-umbian, dan 5) dari aspek pemberdayaanmasyarakat, diperlukan bantuan permo-dalan dan pelatihan bagi petani gunameningkatkan pemanfaatan pangan lokalberorientasi agribisnis.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Bimas dan Ketahanan Pangan ProvinsiPapua. 2007. Neraca Bahan MakananProvinsi Papua. Badan Bimas dan KetahananPangan Provinsi Papua, Jayapura.

Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2007.Papua dalam Angka 2007. Badan PusatStatistik Provinsi Papua, Jayapura.

Budi, I.M. 2003. Pemanfaatan gandum Papua(pokem) sebagai sumber pangan alternatifuntuk menunjang ketahanan pangan masya-

Tabel 10. Pemanfaatan pangan lokal sebagai sumber pangan alternatif di Papua.

Pangan lokalPemanfaatan pangan lokal

SumberKonsumsi sehari-hari Industri rumah tangga Upacara adat

Ubi jalar Ubi rebus Keripik ubi Bakar batu pada upacara adat terutama Lestari et al. (2000)Ubi bakar Tepung ubi di JayawijayaUbi goreng Donat ubi

Sagu Papeda basah Kue kering Pada setiap acara adat mutlak harus Louw (2005)Papeda kering Cake sagu ada papeda basah maupun kering/bungkus,Sagu bakar Sagu mutiara terutama di Sentani Jayapura

Puding pandan saguTalas Talas rebus Keripik talas Pada umumnya setiap acara adat di Papua Rauf et al. (2008)

Talas bakar talas disajikan dalam bentuk talas rebus

Gembili Gembili rebus − Mas kawin bagi suku Kanum di Merauke Ondikleuw et al. (2008)Gembili bakar Paay (2004)Gembili goreng

Jawawut Nasi/bubur jawawut − Jawawut dipercaya sebagai warisan leluhur Rumbrawer (2003)Kue jawawut bagi masyarakat Biak Numfor, sehingga

kelestariannya tetap terjaga

Dengan demikian, masih ada harapanuntuk mengembalikan pangan lokalsebagai pangan pokok bagi masyarakatPapua, sehingga ketergantungan padabantuan pangan beras dapat dikurangi.Meningkatnya kebutuhan konsumsipangan lokal akan mendorong terciptanyausaha tani berbasis pangan lokal.

Dari aspek sosial dan budaya, pe-ngembangan tanaman pangan lokal sagu,umbi-umbian, dan jawawut dapat dilaku-kan karena komoditas tersebut telahmenyatu dengan masyarakat, baik sebagaibahan pangan maupun komoditas adat.Namun, pengembangannya memerlukansentuhan inovasi teknologi guna me-

Gambar 5. Aneka produk olahan sagu dan umbi-umbian di Jayapura.

Page 9: p 3282093

62 Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009

rakat Papua. hlm. 121−127. Dalam Y.P.Karafir, H. Manutubun, Soenarto, Y.Abdullah, B. Nugroho, dan M.J. Tokede (Ed.).Prosiding Lokakarya Nasional Pendaya-gunaan Pangan Spesifik Lokal Papua. KerjaSama Universitas Papua dengan PemerintahProvinsi Papua.

Dimyati, A., K. Suradisastra, A. Taher, M.Wisnugroho, D.D. Tarigan, dan A. Sudrajat.1991. Sumbangan Pemikiran PembangunanPertanian di Irian Jaya. Badan Penelitiandan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Husain. 2004. Konsep dasar potensi pengem-bangan pangan spesifik lokal di ProvinsiPapua. hlm. 33−42. Dalam. Y.P. Karafir,H. Manutubun, Soenarto, Y. Abdullah, B.Nugroho, dan M.J. Tokede (Ed.). ProsidingLokakarya Nasional Pendayagunaan PanganSpesifik Lokal Papua. Kerja Sama Universi-tas Papua dengan Pemerintah ProvinsiPapua.

La Achmady and J. Schneider. 1993. Sweet potatogermplasm in Jayawijaya division of IrianJaya diversity, problems, and pathways forconservation. Workshop on Farm Conserva-tion, 6−8 December, International PotatoCenter-ESEAP-Central Research Institutefor Food Crops, Bogor-Indonesia.

La Achmady and J. Schneider. 1995. Tuber Cropsin Irian Jaya: Diversity and the need forconservation. In J. Schneider (Ed.). Pro-ceedings Indigenous Knowledge in Conser-vation of Crop Genetic Resources. Inter-national Potato Center-ESEAP-CentralResearch Institute for Food Crops, Bogor-Indonesia.

Lestari, M.S., Amirawaty, D. Wamaer, dan A.Soplanit. 2000. Kajian teknologi penyim-panan dan pengolahan ubi jalar di KabupatenJayawijaya. hlm. 41−49. Dalam M.Z. Kanrodan R. Hendayana (Ed.). Prosiding HasilPenelitian Sistem Usaha Tani Irian Jaya.Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,Bogor.

Limbongan, J., A. Hanafiah, dan M. Nggobe.2005. Pengembangan Sagu Papua. BalaiPengkajian Teknologi Pertanian Papua.

Limbongan, J., A.W. Rauf, dan K. Suradisastra.2008. Perkembangan pertanian ProvinsiPapua. hlm. 249−266. Dalam K. Suradisastradan E. Pasandaran (Ed.). Prosiding Loka-karya Menyoroti Dinamika PembangunanPertanian Kawasan Timur Indonesia. BadanPenelitian dan Pengembangan Pertanian,Jakarta.

Louw, J. 2005. Pengkajian sagu berwawasanagribisnis di Kabupaten Yapen. Laporan HasilPenelitian. Balai Pengkajian Teknologi Per-tanian Papua.

Mewa, A. 2007. Pengembangan kedaulatanpangan di Wilayah KTI: Perspektif me-ngembalikan pangan lokal sebagai panganpokok. Makalah pada Lokakarya Pengem-bangan Pertanian Wilayah Indonesia TimurKhususnya Wilayah-wilayah PengembanganBaru, Bogor, 19−20 Juli 2007.

Miftahorrachman, H. Novarianto, and D.Allorerung. 1996. Identification of sagospecies and rehabilitation to increaseproductivity of sago (Metroxylon spp.) inIrian Jaya. p. 179−186. In C. Jose and A.Rasyad (Eds.) Sago: The Future Source ofFood and Feed. Proceedings of the SixthInternational Sago Symposium, Pekanbaru.

Miyazaki, A. 2004. Studies on differences inphotosynthetic abilities among varieties andrelated characters in sago palm (Metroxylonsagu Rottb). Faculty of Agriculture, KochiUniversity, Japan.

Ondikleuw, M., M.S. Lestari, Sudarsono, dan A.W.Rauf. 2008. Karakterisasi, Identifikasi, dankonservasi gembili di Papua. Laporan HasilPenelitian. Balai Pengkajian TeknologiPertanian Papua.

Paay, P. 2004. Gembili ((Dioscorea spp.) panganandalan suku Kanum Kabupaten Merauke.hlm. 105−113. Dalam Y.P. Karafir, H.Manutubun, Soenarto, Y. Abdullah, B.Nugroho, dan M.J. Tokede (Ed.). ProsidingLokakarya Nasional Pendayagunaan PanganSpesifik Lokal Papua. Kerja Sama Uni-versitas Papua dengan Pemerintah ProvinsiPapua.

Rauf, A.W., M.S. Lestari, A. Kasim, dan A.Soplanit. 2008. Uji daya hasil beberapakultivar talas lokal di Yahukimo. LaporanHasil Penelitian Balai Pengkajian TeknologiPertanian Papua.

Richana, N., P. Lestari, N. Chilmijati, dan S.Widowati. 2000. Karakterisasi bahan berpati(tapioka, garut, dan sagu) dan pemanfaat-annya menjadi glukosa cair. Prosiding PATPI.

Richana, N. dan T.C. Sunarti. 2004. Karakterisasisifat fisiko-kimia umbi dan tepung pati dariumbi ganyong, suweg, ubi kelapa, dan gembili.Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian 1(1):29−37.

Rochani, A. 1996. The role of taro (Colocasiaesculenta) in the livelihood of the localpeople in the Ayamaru Subdistrict, SorongIrian Jaya Province. Proceeding of anInternational Meeting Held at the Facultyof Agriculture, Cendrawasih University,Manokwari.

Rumawas, F. 2004. Ubi-ubian sebagai salah satupangan spesifik lokal dan strategi pengem-bangannya di Provinsi Papua. hlm. 27−32.Dalam Y.P. Karafir, H. Manutubun, Soenarto,Y. Abdullah, B. Nugroho, dan M.J. Tokede(Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Pen-dayagunaan Pangan Spesifik Lokal Papua.Kerja Sama Universitas Papua denganPemerintah Provinsi Papua.

Rumbrawer, F. 2003. Pokem terigu unggul masadepan. Jurnal Antropologi Papua 2(5): 18−41.

Saitoh, K., M.H. Bintoro, I. Oh-e, F.S. Jong, J.Louw, and N. Sugiyama. 2008. Starchproductivity of sagoo palm in Indonesia.Sago Palm 16(2): 102−108.

Simanjuntak, Y. dan M. Ondikleuw. 2004. Kajiankomponen teknologi budi daya pokem diBiak Numfor. Laporan Hasil Penelitian. BalaiPengkajian Teknologi Pertanian Papua.

Widjono, A., Y. Mokay, Amisnaipa, H. Lakuy,A. Rouw, A. Resubun, dan P. Wihyawari.2000. Jenis-jenis Sagu Beberapa DaerahPapua. Pusat Penelitian Sosial EkonomiPertanian, Bogor.

Widowati, S. dan D.S. Damardjati. 2001.Menggali sumber pangan lokal. MajalahPangan. Badan Urusan Logistik, Jakarta.

Winarno, F.G. 2002. Laporan Hasil Uji (Reportof analisys). M-BRIO Food Laboratory,Bogor.

Yusuf, M., A. Setiawan, D. Peters, C. Cargill, S.Mahalaya, J. Limbongan, dan Subandi. 2007.Perbaikan efisiensi produksi ubi jalar diKabupaten Jayawijaya melalui perbaikanvarietas unggul adaptif dataran tinggi PapuaSolossa, Papua Pattipi, dan Sawentar. hlm.71−95. Dalam J. Limbongan, A.W. Rauf, A.Malik, N.E. Lewaherilla, dan E. Jamal (Ed.).Prosiding Seminar Nasional dan EksposePercepatan Inovasi Teknologi PertanianSpesifik Lokasi Mendukung KemandirianMasyarakat Kampung di Papua. Kerja SamaBBP2TP, Pemerintah Provinsi Papua,ACIAR-ESEAP-CIP.