oseanologi dan limnologi di indonesia · pdf filelembaga ilmu pengetahuan indonesia (lipi) ......

130
ISSN 0125 – 9830 OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA Volume 36, Nomor 2, April 2010 PUSAT PENELITIAN OSEANOGRAFI PUSAT PENELITIAN LIMNOLOGI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA JAKARTA – BOGOR

Upload: duongthu

Post on 03-Feb-2018

267 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

ISSN 0125 – 9830

OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGIDI

INDONESIA

Volume 36, Nomor 2, April 2010

PUSAT PENELITIAN OSEANOGRAFIPUSAT PENELITIAN LIMNOLOGI

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIAJAKARTA – BOGOR

Page 2: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA(OLDI)

Diterbitkan oleh : PUSAT PENELITIAN OSEANOGRAFI DANPUSAT PENELITIAN LIMNOLOGILEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)

Pemimpin Redaksi : Prof. Dr. Sri JuwanaRedaksi Pelaksana : Prof. Drs. Ruyitno, M.Sc.Anggota Redaksi : 1. Ir. Sulastri

2. Dr. Ir. Dede Irving Hartoto3. Dra. Tjutju Susana4. Dr. Hagi Yulia Sugeha, S.Pi. M.Sc.

Sekretaris Redaksi : 1. Siti Sulanjari (Pusat Penelitian Oseanografi LIPI)2. Dian Oktaviyani, A.Md. (Pusat Penelitian Limnologi LIPI) Email: [email protected].

Alamat Redaksi : Pusat Penelitian Oseanografi LIPIJl. Pasir Putih I, Ancol Timur,Jakarta, Indonesia.Telepon: 021-64713850; Fax: 021-64711948

Nomor Akreditasi : 189/AU1/P2MBI/08/2009

Mitra Bestari : 1. Prof. Dr. Asikin Djamali2. Dr. Anugerah Nontji3. Prof. Dr. Endi Setia Kartamihardja, M.Sc.4. Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc.

Catatan untuk penulis naskah:1. Bidang: Tulisan-tulisan yang dapat dimuat dalam Oseanologi dan Limnologi di

Indonesia adalah yang bersangkutan dengan kegiatan penelitian perairan laut dan perairan darat di Indonesia.

2. Tipe manuskrip: Hasil-hasil penelitian, dan hasil-hasil survey, tinjauan kritis, resensi buku, atau komunikasi singkat (short notes), mengenai perairan Indonesia meliputi: oseanografi, limnologi, biologi perairan, produktivitas perairan, pencemaran perairan, dan masalah-masalah lain yang terkait (relevan).

3. Bahasa manuskrip: Semua naskah harus ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang jelas. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia menggunakan (Ejaan Yang Disempurnakan) atau dalam bahasa Inggris (Ejaan menurut Oxford Dictionary).

4. Hasil cetak: Setiap penulis akan menerima satu terbitan.5. Hak cipta: Hak cipta makalah yang diterbitkan pada jurnal ini diserahkan kepada

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.6. Persyaratan teknis manuskrip: Dewan Redaksi hanya akan memproses secara

keredaksian bila manuskrip yang diterima sudah memenuhi persyaratan teknis seperti yang disajikan pada Petunjuk Penulisan Manuskrip.

7. Lain-lain: Oseanologi dan Limnologi di Indonesia menerima sumbangan naskah dari penulis di luar Puslit Oseanografi dan Puslit Limnologi dengan ketentuan isinya memenuhi kriteria standard OLDI.

Page 3: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PETUNJUK PENULISAN MANUSKRIP

1. Manuskrip: Seluruh bagian naskah diketik rapi dengan jarak spasi ganda pada kertas putih (A4, 80 gram). Setiap halaman diberi nomor. File harus ditulis dengan program Microsoft Word, font 12, tipe huruf Times New Roman. Manuskrip hasil penelitian dan tinjauan pustaka maksimum 25 halaman, minimum 10 halaman. Sedangkan jumlah halaman maksimum untuk komunikasi singkat adalah 10 halaman. Tata urutan manuskrip adalah sebagai berikut: halaman judul harus mencakup judul makalah (maksimum 15 kata), nama penulis, alamat institusional, teks (pendahuluan, material dan metode, hasil, pembahasan, atau hasil dan pembahasan, kesimpulan, persantunan, daftar pustaka). Penulis harus menyerahkan 4 (empat) berkas hasil cetak naskah dan diwajibkan menyerahkan teks tersebut dalam bentuk file elektronik.

2. Abstrak: Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan masing-masing tidak boleh lebih dari 250 kata dan diletakkan dibagian depan tulisan. Judul tulisan agar juga dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Abstrak disertai dengan kata kunci. Sedangkan abstract disertai dengan key words.

3. Gambar: Ukuran gambar agar tidak melebihi ukuran lebar 13 cm dan panjang 20 cm. Notasi gambar agar dibuat cukup besar sehingga masih dapat dibaca dengan jelas setelah gambar dicetak. Gambar dibuat dengan rapi di atas kertas kalkir atau kertas putih dengan tinta cina (Indian Ink). Teks gambar diketik terpisah, dan harus dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, di atas lembaran kertas tersendiri. Gambar agar disampaikan dalam keadaan tidak tergulung atau terlipatatau telah diatur di dalam soft ware.

4. Foto: Foto hendaknya tajam cukup kontras, dicetak di atas kertas licin (glossy) atau diberikan soft warenya dan disusun rapi dengan nomor urut. Teks foto diketik di atas kertas tersendiri dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

5. Tabel: Judul Tabel diketik dengan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dan diberi nomor urut dengan angka Arab. Isi tabel diketik dalam bahasa Inggris untuk naskah yang berbahasa Indonesia. Sedangkan naskah yang berbahasa Inggris, judul dan isi tabel dalam bahasa Inggris.

6. Sitasi: Sitasi (citation) ditulis sebagai contoh berikut: SERENE (1952), (SERENE 1952), (SERENE & MOOSA 1971), (SERENE et al. 1974), (SERENE 1962; ROMIMOHTARTO 1967). SERENE dalam MOOSA (1972).

7. Daftar Pustaka: Hanya pustaka yang dikutip perlu dimasukkan dalam Daftar Pustaka, dengan disusun menurut abjad (nama keluarga) dan tahun penerbitan seperti contoh berikut:

Buku:MUELIER-DOMBOIS, D. and H. ELLENBERG 1974. Aims and methods of

vegetation ecology. John Wiley & Sons Inc. New York : 547 pp.Journal:

ROCHFORD, D.J. 1969. Seasonal variations in the Indian Ocean along 110 E.I. Hydrological structure of the upper 500 m. Austr. J. Mar. Freshwat. Res. 4

(20): 1-50. Kumpulan Naskah atau prosiding: SYRETT, P.J. 1962. Nitrogen assimilation. In: R.A. LEWIN (ed.) Physiology

and Biochemistry of Algae, Academic Press, New York: 171-188.

Page 4: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

ISSN 0125 – 9830

OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA

Volume 36, Nomor 2, Agustus 2010

DAFTAR ISI Halaman

1. IIN INAYAT AL HAKIM : Macrobenthic community at Jakarta Bay, North Java Waters..................................................................... 131-146

2. INDARTO HAPPY SUPRIYADI : Pemetaan padang lamun di perairan Teluk Toli-Toli dan Pulau Sekitarnya, Sulawesi Barat ….. 147-164

3. SURATNO DAN BAYU PRAYUDHA : Distribusi temporal karbon anorganik di perairan gugus Pulau Pari…………………… 165-180

4. SUHARTATI MUHAMMAD NATSIR : Foraminifera bentik sebagai indikator kondisi lingkungan terumbu karang perairan Pulau Kotok Besar dan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu.............. 181-192

5. MUHAMMAD DJEN MARASABESSY : Sumberdaya ikan di daerah padang lamun Pulau-Pulau Derawan, Kalimantan Timur..... 193-210

6. ANNA ELISEBA WILDAMINA MANUPUTTY : Sebaran karang lunak, marga Sinularia May, 1898 (Octocorallia, Alcyonacea) di Pulau-Pulau Derawan, Kalimantan Timur............... 211-225

7. UCU YANU ARBI dan INDRA BAYU VIMONO : Hubungan parasitisme antara siput Thyca crystallina dan bintang laut biru Linckia laevigata di perairan Ternate, Maluku Utara……………..

227-242

8. ABDUL WAHAB RADJAB, ABRAHAM SEMUEL KHOUW, JACOBUS WILSON MOSSE dan PRULLEY ANNETTE UNEPUTTY : Pengaruh pemberian pakan terhadap pertumbuhan dan reproduksi bulubabi (Trineustes gratilla L) di laboratorium......................................................................................

243-258

Page 5: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(2): 131-145 ISSN 0125 – 9830

MACROBENTHIC COMMUNITY AT JAKARTA BAY,NORTH JAVA WATERS

by

IIN INAYAT AL HAKIMResearch Center for Oceanography – Indonesian Institute of Sciences

Received 4 January 2010, Accepted 14 July 2010

ABSTRACT

Jakarta Bay an area where many activities occur such as support domestic and international sea transportation also as an outlet of domestic and industrial wastes that decreases the water and sediment quality as habitat of macrobenthic fauna. Population condition and distribution pattern were investigated in Jakarta Bay. The aims of this study was to observe the diversity and taxa composition of macrobenthic fauna community at Jakarta Bay. Quantitative samples were collected using Smith McIntyre Grab with covering area of 0.05 m², the samples were screened using sieves of 0.5 mm mesh size. Water depth in the sampling areas range from 1 m to 12 m and characterized by muddy, muddy sand and sandy mud sediment. A total of 109 species were identified, belonging of four major taxa, i.e. Polychaeta, Crustacea, Mollusca, Echinodermata and seven minor phyla. The density of macrobenthic fauna was less in the western part (5,767 individuals/m² comprising of 33 species), than increased in the centre part (42,427 individuals/m² of 85 species) and striking density was in eastern part of the bay (459,100 individuals/m² of 48 species). Polychaeta even though was high in the total species, but low in density. In the other hand, those fact contradicted with Mollusca that had high density, but low in the number of species. The striking number of Mollusca initiated by high abundance of population of Alveinus sp. (Bivalvia) at Jakarta Bay. An additional predominant species in Jakarta Bay were Polychaeta and Crustacea with high total density during the sampling namely, Jassa sp. (Crustacea) and Polychaeta such as Minuspio sp., Polydora cf pigidialis, Poecilochaetus johnsoni, Paraprionospio pinnata, Polydora sp.3, Phylochaetopterus sp.1 and Sigambra cf bassi. In particular high densities of macrobenthic fauna at Jakarta Bay were located at stations adjacent to the mainland area nearby to the estuary to the amount of Small River around the bay. These stations are ecologically important because as source of nutrient for macrobenthic fauna is delivered predominantly passing through the rivers.

Key words : Jakarta Bay, macrobenthic community, spatial distribution.

Page 6: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

AL HAKIM

132

ABSTRAK

KOMUNITAS MAKROBENTIK DI TELUK JAKARTA, PANTAI UTARA JAWA. Teluk Jakarta merupakan perairan yang mempunyai banyak aktifitas baik transportasi lokal maupun internasional, perairan ini juga menerima limbah domestik dan limbah industri yang menurunkan kualitas perairan maupun kualitas sedimen sebagai habitat makrobentos. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keragaman dan komposisi taxa makrobentik fauna di Teluk Jakarta. Kondisi dan pola distribusi populasi makrobentik fauna telah dipelajari di perairan Teluk Jakarta. Sampel dikoleksi secara kuantitatif dengan Smith McIntyre Grab dengan area bukaan 0,05 m². Sampel sedimen disaring memakai air laut dengan saringan berdiameter mata saring 0,5 mm dan difiksasi dengan formalin 10%. Lokasi sampling di perairan Teluk Jakarta mempunyai kedalaman dari 1 m sampai 12 m dan tekstur sedimen dicirikan oleh lumpur, lumpur berpasir dan pasir berlumpur. Jumlah spesies makrobentik fauna di Teluk Jakarta adalah 109 spesies yang terdiri dari empat taxa utama yaitu Polychaeta, Krustacea, Moluska, Ekinodermata dan tujuh filum minor. Densitas fauna makrobentik rendah di bagian barat (5,767 individual/m², terdiri 33 spesies), dan naik di bagian tengah (42,427 individual/m², terdiri 85 spesies) kemudian menjadi tinggi di bagian timur teluk (459,100 individual/m², terdiri 48 species). Walaupun Polychaeta mempunyai jumlah spesies tinggi tetapi densitasnya rendah. Berlainan dengan Moluska yang mempunyai densitas tingi tetapi jumlah spesiesnya rendah. Jumlah yang mencolok dari Moluska dicirikan oleh tingginya populasi Alveinus sp. (Bivalvia), spesies ini berukuran kecil dari 2 mm hingga 7 mm. Spesies predominan lainnya adalah beberapa spesies Polychaeta dan krustasea. Spesies predominan Krustasea dicirikan oleh Jassa sp. dan spesies predominan Polychaeta yaitu: Minuspio sp., Polydora cf pigidialis, Poecilochaetus johnsoni, Paraprionospiopinnata, Polydora sp.3, Phylochaetopterus sp.1 and, Sigambra cf bassi. Tingginya densitas populasi makrobentik fauna khususnya terdapat pada stasiun yang terletak didekat daratan dan didekat estuaria sungai sungai kecil yang bermuara ke Teluk Jakarta. Beberapa stasiun tersebut mempunyai fungsi ekologi yang penting karena merupakan sumber masuknya nutrien ke dalam perairan sebagai sumber makanan organik bagi makrobentik fauna. Tetapi disisi lain kondisi ini membuat kesehatan lingkungan kurang baik.

Kata kunci : Teluk Jakarta, komunitas makrobentik, distribusi spatial.

Page 7: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MACROBENTHIC COMMUNITY AT JAKARTA BAY

133

INTRODUCTION

The bathymetry of Jakarta Bay that has been described by SUYARSO (1995 a & b), shows that the western part is relatively shallower than in the eastern part. Not less than 13 rivers discharge their freshwater into Jakarta Bay. Four big rivers, including Cisadane at the western part, Ciliwung in the central part and Citarum and Bekasi Rivers in the eastern part flow to the bay and it is not surprising that the sedimentation at the bay is very active.

Jakarta bay is an area where many activities occur such as a fishing ground for local fisher, support domestic and international sea transportation with Tanjung Priuk as the main harbor and also as an outlet of domestic and industrial wastes that decreases the water quality. Such pollutants are accumulated in the sediment at the estuary and surrounding area of Jakarta Bay. Hydro-dynamical condition at the bay brings the river discharge move seawardly and extended to the Seribu Islands (Kepulauan Seribu) in the north (SUYARSO 1995a).

The coastal area of Jakarta Bay also has been transformed into human settlement and industrial facilities causing the disappearance of the natural beaches. The ongoing reclamation of the bay will automatically remove all the benthic fauna that is at present relatively significant and will drive the demersal fishes away. In the last three decades human interference in altering the natural condition of Jakarta is very intense.

During 1987-1993 a number of studies on macrobenthic community studies have been carried out in Jakarta Bay (KASTORO 1994). The condition of the macrobenthic community of Jakarta Bay changed drastically as shown also in the work of ASWANDY et al. (1991). Some species that have striking number in Jakarta Bay in 1987 were Paraprionospio pinnata and Polydora sp. (Polychaeta), Alveinus sp.(Mollusca), Jassa sp., Photis sp., Ampelisca sp., Apseudeus chilkensis, Erictonius sp. andByblis sp.(Amphipoda, Crustacea) (KASTORO et al. 1991; ASWANDY et al.1991 and AL-HAKIM 1994). There are some organisms that survive in the polluted region, and can even attain extremely high densities in such environment. These species may act as pollution indicators species (REISH 1979). The eutrophication of inshore waters has become one of the serious environmental problems in various countries. Inflow of organic waste and inorganic nutrients (N, P) discharge to estuarine and inshore waters can cause outbreaks of harmful phytoplankton (red tide) in the pelagic system. Accumulation of particulate organic matter that facilitates microbial decomposition in the bottom water layers reduced oxygen resulting in the deterioration of the benthic environment and fauna (KIKUCHI 1987). Jakarta Bay is of eutrophic waters an example ADNAN (1984) and PRASENO (1995) reported blooming of some species fitoplankton. AFDAL & RIYONO (2008) reported eutrofication on July 2003 base on horizontal distribution of chlorophyll-a content at surface layer in Jakarta Bay, with average value of chlorofil-a 31,37 mg.m3 and ranges from 7,44 to 119,00 mg.m3.

Macrobenthic fauna are commonly being used in applied environmental research to monitor and evaluate ecological condition at the bottom environments. BORJA et al. (2000) evaluate soft bottom benthos of European estuarine and coastal

Page 8: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

AL HAKIM

134

environment by using macrobenthos for biotic index base on feeding behaviors. The aims of this study is to observe the diversity and taxa composition of macrobenthic fauna community at Jakarta Bay.

MATERIAL AND METHODS

The study was conducted at Jakarta Bay in June 2003 (east monsoon). Based on the bathymetry, sampling sites were grouped into three sub areas at Jakarta Bay within station code tj = Teluk Jakarta: a. western part (9 stations: tj1,2,3,4,5,6,7,8,and 30), b. Central part (8 stations : tj 9,10,11,12,13,14,15,16 and 29) and c. eastern part (9 stations: tj 17,18,19,20,22,21,23,24,25,26,27 and 28) that is shown in Figure 1.

Figure1. Map of Jakarta Bay showing sampling sites of macrobenthic fauna.

The depth of sampling sites ranged from 1 m to 12 m. The slope at Western part was relatively shallower than Eastern part (SUYARSO 1995 a & b) and the bottom sediment was characterized by muddy, muddy sand and sandy mud having brownish, black and grayish color.

Page 9: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MACROBENTHIC COMMUNITY AT JAKARTA BAY

135

Samples were collected using Smith McIntyre Grab bottom sampler with an opening of 0.05 m². The grab was operated on board of a fishing boat. Three replicates at each station were sampled to assess the patchiness of macrobenthic fauna. Samples were screened on board using sieves of 0.5 mm mesh size, and immediately transferred into plastic bottles of 1 liter volume and preserved in 10% formaldehyde diluted with seawaters.

The samples were sorted out in the laboratory that then divided into four groups of taxa and identified to the species level, then transferred into 70% ethanol for preservation and kept at the Laboratory of Macrobenthic Fauna - RCO – LIPI (Research Centre for Oceanography – Indonesian Institute of Sciences), Jakarta.

Data analyses included Shannon-Wiener and the Heip evenness index calculated using log2 values measure. Species abundance was transformed by square root, fauna assemblages were initially elucidated by cluster analysis using Bray Curtis similarity coefficient with group average fusion adopted the Plymouth Routines in Multivariate Ecological Research /PRIMER version 5 (WARWICK 1993; CLARKE & GORLEY 2001; CLARKE & WARWICK 2001).

RESULTS

A total of 76.093 individuals of macrobenthic fauna belonging to 55 families were identified. (Table 1 and Appendix 1). The numerous macrobenthic fauna were predominantly infauna and several epifauna. Infauna were dominated by Bivalvia (Mollusca), Polychaeta and Crustacea, while epifauna consisted of Echinoderms and several Crustacea. Among the infauna, mollusc was the most common on the coarse sediment and deposit feeder and tube dweller polychaetes occupied the soft sediment.

Polychaeta was found to be the highest number of family followed by Crustacea, Mollusca and Echinodermata (Table 1). Polychaeta was represented by Spionidae (13 species), Ampharetidae (5 species), Nereidae (5 species), Capitellidae (4 species), Pilargidae (4 species) and Polynoidae (4 species), Mollusc is represented by Tellinidae (4 species), and decapods crustaceans was represented Portunidae (4 species) which is shown in Appendix 1.

The density of macrobenthic fauna was less in the western part (5.767 individuals/m², 33 species), than increase in the central part (42.427 individuals/m², 85 species) and highest density was found in eastern part of the bay (459.100 individuals/m², 48 species) (Figur 2). Although the smaller individual number in the central part was smaller than that of the eastern part but it has higher number of species.

In general, Polychaeta has the highest in the total species (70 species, 64%) although characterized by low density (23.120 individuals/m², 4.56%). In the other hand, Mollusca has the highest in density (472.620 individuals/m², 93.17%) but low in the number of species (15 species, 13.64%), characterized by striking number of individual of Alveinus sp. at central and eastern part of the bay.

Page 10: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

AL HAKIM

136

Table 1. Percentage of total families, species and individual of macrobenthic fauna atJakarta Bay.

Figure 2. Species and individual composition of macrobenthic community at Jakarta Bay.

TaxaTotal

familiesPercentage

(%)Total

speciesPercentage

(%)Total

individualPercentage

(%)Polychaeta 27 49% 70 64.54 3468 4.56Mollusca 8 15% 15 13.64 70893 93.17Crustacea 9 16% 12 10.91 1566 2.06Echinodermata 3 5% 4 3.64 49 0.06Minor Phylla 8 15% 8 7.27 117 0.15

 Total 55 100% 109 100% 76093 100%

Total individual/0.15m²Total speciesTotal families

Page 11: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MACROBENTHIC COMMUNITY AT JAKARTA BAY

137

Table 2. Population Ranked of macrobenthic fauna at Jakarta Bay.

Ranked population Percentages Western part Centre part Eastern part

Rare, < 1 individual s/grab 12% tj 1, tj 3 tj 14 -

Frequent, 2-10 individual s/grab 27% tj 2, tj 5, tj 30 tj 5 tj 17, tj 24, tj 28

Common, 11-100 individual s/grab 30.50% tj 4, tj 6, tj 7, tj 8

tj 29 tj 18, tj 25, tj 27

Abundance, > 100 individual s/grab 30.50% - tj 9, tj 10, tj 11,tj 12, tj 13, tj 16

tj 21, tj 22, tj 23

Echinoderm was only sparse at western and eastern parts of the bay, and quitefrequent at the central part with sandy bottom substrate, Crustacea showed similar pattern with Echinoderm. Polychaeta on the other hand, was present in all stations during the study, ranging from a few individuals to very abundant. Species number of Mollusc was higher at central part with smaller individual numbers, contrast to those at eastern part, which showed small species numbers but high individual numbers (Figure 2).

The data of population rank of macrobenthic fauna at each station showed fewer species at the western part. Abundant species occurred at central part (St. tj9, 10, 11, 12, 16) and at the eastern part (tj21, 22 and 23). The less number of individuals were observed in three stations, tj1, tj3 and tj14. The maximum individual number of mollusc was due to the abundance of population of Alveinus sp. (Bivalvia) in stations tj9 (10.134 individuals/m²) at the central part of the bay and tj21 (135467 individuals/m²) and tj22 (315567 individuals/m²) at the eastern part. (Table 2).

Species diversity (H) and Pielou evenness (J) ranged from 0.035 to 3.526, and evenness index ranges from 0.009 to 0.830. In general, species diversity and species evenness values was the lowest at stations close to the mainland, than increase at stations in the coastal area, where the bottom consisted of soft mud and sand. In the other hand, species richness of Margalef ranged from 0.62 to 5.30 with great variety. The fluctuation of species richness values gradually increase from station close to the mainland in the direction of the coastal area (Figure 3 and Table 2).

Cluster at the western part of the bay was characterized by two sub unit assemblages, then joining within stations tj30 and tj1. Sub unit assemblage A consisted of stations tj3, tj5 and tj2, with low abundance of Minuspio sp. and Paraprionospio pinnata. These stations were not abundantly occupied by macrobenthic community and low species number. Sub unit assemblage B consisted of stations tj 6,7,4 and 8, characterized by high number of individuals of Minuspio sp., Polydora pigidialis, Spiochaetopterus sp., Hesione sp., Polydora sp.1 and Poecilochaetus cf johnsoni.

Page 12: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

AL HAKIM

138

Figure 3. Species diversity indices of macrobenthic fauna at Jakarta Bay. Note : e = eastern part , w = western part, c = centre part of the stations.

Figure 4. Clusters in benthic community of Jakarta Bay, showed assemblages at each location.

0

1

2

3

4

5

6

21 22 23 4 15 5 3 2 28 29 8 1 24 17 10 9 6 30 7 11 16 18 12 25 27

e e e w c w w w e c w w e e c c w w w c c e c e e

Stations

Val

ues

H'(log2)

d (Richness)

J' (Ev ennes)

Page 13: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MACROBENTHIC COMMUNITY AT JAKARTA BAY

139

Appendix 1 showed population not less than 85 species and high number of individuals lived in several stations of the central part. Cluster of stations consisted of two sub unit assemblages, A and B. Sub units assemblage A and B were predominated by the same species, their differences were characterized by gradation of total individuals. Indvidual abundance at sub unit A (tj 11 and 16) was lower than sub unit B (tj 10 and 12) respectively. Abundance at stations tj 9, 29, 15 and 14 gradually decreased. The species with highest individual count characterizing the sub unit assemblage A were Alveinus sp., Minuspio sp., Poechilochaetus johnsoni, and Polydora pigidialis. The main species characterized sub unit assemblage B were Alveinus sp., Jassa sp., Minuspio sp., Polydora pigidialis and Paraprionospio pinnata. Based on the distribution abundance and species domination of these stations, cluster at the western part formed one community (Figure 4).

Community of macrobenthic fauna at the eastern part was dominated by Alveinus sp., in which sand or sand with shelly sand predominated the substratum. This species mutual habitat with Pulliella sp., Paraprionospio pinnata, Sigambra sp. and Cirratulus sp. Cluster analysis resulted three assemblages with clear separation. Assemblage A consisted of stations tj 21, 22 and 23 were dominated by Alveinus sp. followed by Pulliella sp., Paraprionospio pinnata, Polydora heterochaeta, Cirratulussp., Sigambra bassi and Minuspio sp. Only small clam, Alveinus sp., had striking abundance at this assemblage. Assemblage B that consisted of stations tj 25, 27 and 18. was predominantly occupied by Poecilochaetus johnsoni, Paraprionospio pinnata, Alveinus sp. and Mactra sp. The abundance in assemblage B was low compared to assemblage A. Assemblage C consisted of stations tj 17, 24 and 28, the top species of having number of individuals at assemblage C were Phyllochaetopterus sp.1, Polydorasp.1 and Alveinus sp. Abundance at assemblage A was the highest.

DISCUSSION

The rare species were important in the aspects of faunistics biodiversity and species richness for adjacent area of Jakarta Bay. The dynamic nature of the sediment transport areas in comparison with the relatively stable depositional areas is a major factor governing their faunal composition (WARWICK & DAVIES 1977).

KASTORO et al. (1991) found high population of Alveinus sp. that was recorded only in the estuaries of Jakarta Bay. This small clam is an estuarine inhabitant and is not found offshore around Seribu Islands. SONGSANJINDA et al. (2006) reports that factor controlling the composition and abundance of living organisms is difficult to define because the elements cycle of the ecosystem is very complicated with all these living things. The roles of each group of living organism are different. Equally, it was the case of the macrobenthic fauna population condition of Jakarta Bay. The high ranges of organic content in several locations did not coincided with high population of macrobenthic that may naturally depend on the organic matters for their food. According

Page 14: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

AL HAKIM

140

to SANDERS & HESLER (1969) organic carbon in the sediment is not good index to estimate the available food in the sediment. The presence of layers carbon associated with turbidity current deposits indicates that organics have been moved, they are never made available to any organism. That was seen at the eastern part of Jakarta Bay, that had low dissolved oxygen (3.69 ml/l), but high number of Alveinus sp. The average of dissolved oxygen at both western part (3.94 ml/L) and central part (4.07 ml/L) of the bay was higher than eastern part (3.69 ml/L) (MOCHTAR 2003) but no striking individual species was found.

Species abundance at all stations was sparse, characterized mostly by low number of individuals of each species. Patchy habitats is the nature of the distribution macrobenthic fauna caused sparse population. With the exception of a few stations having striking number of Alveinus sp. and other minor predominant species. The predominant species were only a few, namely Jassa sp., Minuspio sp., Polydora cf. pigidialis, Poecilochaetus johnsoni, Paraprionospio pinnata, Polydora sp.3, Phylochaetopterus sp.1 and Sigambra cf bassi. Stations at the central and eastern parts of Jakarta Bay with abundant species were located close to the mainland in which pollutant from domestic and industrial wastes has been accumulated. These stations were ecologically important as a resource of organic carbon nutrient for macrobenthic fauna that was predominantly loading through the river. Beside, condition of bottom topography also important for larval recruitment.

Consideration of qualitative data normally confirmed the view that the deeper coastal with muddy sand had the highest species richness value than muddier stations. The condition of diversity indices at three locations has variable values. According to the experiences of JOHNSON et al. (2006) species diversity rises when many species are present in comparable abundances and falls when a few species are present in numbers far greater than the other species. The difference in diversity between the study area simply reflects a greater number of species enjoying comparable success and thus comprising more similar proportion of the community.

KASTORO et al. (1991) and ASWANDY et al. (1991) in their study show higher species diversity than the result of this present study. There is, of course, no purpose why high total number of species should be considered to represent population distribution. The true range of a number species can only be determined by wide range of sampling area. The present study area was located around the bay and their study area was located from Jakarta Bay to the offshore around Seribu Islands. We might postulate that generally the rare species and striking species depend on settling biota than originally because of supply of nutrient from the river around Jakarta Bay.

ACKNOWLEDGEMENTS

This research was funded by RC Oceanography – LIPI Jakarta, through the project “Research on Environmental Condition at Jakarta Bay waters, 2003”, with Dra

Page 15: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MACROBENTHIC COMMUNITY AT JAKARTA BAY

141

Hamidah Radjak as the principal investigator. The specimen in this study identified by macrobenthic fauna group, Dr. Aznam Aziz (Echinodermata), Drs. Indra Aswandy (Crustacea, Amphipoda), Ir Hendrik Cappenberg (Mollusca) and the author working for Polychaeta. The author are very much grateful to Dr. Mohammad Kasim Moosa and Pradina Purwati MSc for reading and criticizing the manuscript.

REFERENCES

ADNAN, Q. 1984. Distribution of dinoflagellate in Jakarta Bay, Taman Jaya (Banten) and Benoa Bay (Bali). A report of an incident of fish poisoning at Eastern Nusa Tenggara. In: A.W. WHITE, M. ANRAKU & K.K. HOOI (eds). Toxic Red Tides and Shelfish Toxicity in Southeast Asia. S. E. Asian Fisheries development Centre & International Development Research: 25-27.

AFDAL dan S.H. RIYONO 2008. Sebaran klorofil-a dan hubungannya dengan eutrofikasi di perairan Teluk Jakarta. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia34(3): 333-351.

AL-HAKIM, I.I. 1994. Komposisi spesies dan pola pengelompokkan Polychaeta pada tiga lokasi pengamatan di Teluk Jakarta, serta catatan tentang Paraprionospio pinnata. Dalam: HUTAGALUNG H. (ed.). Prosiding Seminar Pemantauan Pencemaran Laut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta: 120 -129.

ASWANDY, I., W.W. KASTORO, A. AZIZ, I. I. Al-HAKIM and MUJIONO 1991. Distribution, abundance and species composition of macrobenthos in Seribu Island Jakarta, Indonesia. In: ALCALA A.C. ; C.L. MING; R. MICLAT;W.W. KASTORO; M. FORTES; G. WOOI-KHOON; A. SASEKUMAR; R. BINNA; S. TRIDECH (eds). Proceedings of the Regional Symposium on Living Resources in Coastal Areas. Coastal Resources, Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand: 183-206.

CLARKE, K. R. and R. N. GORLEY 2001. Primer v.5: user manual/ tutorial.Plymouth: PRIMER-E. 165 pp. Primer-E Ltd. Plymouth Marine Laboratory, UK: 175pp.

CLARKE K. R. and R.M. WARWICK 2001. Change in marine communities: An approach to statistical analysis and interpretation. 2 nd edition. 175 pp. Primer-E Ltd. Plymouth Marine Laboratory, UK.

Page 16: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

AL HAKIM

142

BORJA, A.; J. FRANCO and V. PEREZ 2000. A Marine biotic index to establish the ecological quality of soft-bottom benthos within European estuarine and coastal environments. Marine Pollution Bulletin 40(12): 1100-1114 .

JOHNSON, T.B. ; J. NISHIKAWA and M. TERAZAKI 2006. Community structure and vertical distribution of chaetognaths in the Celebes and Sulu Seas. Coastal Marine Science 30 (1): 360-372.

KASTORO, W.W. 1994. Status of soft bottom benthic communities of Indonesian waters. Third Asean Australian Symposium on Living Coastal Resources: 200-218.

KASTORO, WW; A. AZIZ; I. ASWANDY; I. I. AL-HAKIM 1991. The macrobenthic community of Seribu Islands, Jakarta Indonesia. In: ALCALA A.C. ; C.L. MING; R. MICLAT; W.W. KASTORO; M. FORTES; G. WOOI-KHOON;A. SASEKUMAR; R. BINNA; S. TRIDECH (eds). Proceedings of the Regional Symposium on Living Resources in Coastal areas: 223-244.

KIKUCHI, T. 1987. Some aspects of the ecological niche and interspesific relationship in marine benthic communities. Physiol. Ecol. Japan 24: 29-55.

MOCHTAR, M. 2003. Laporan akhir, penelitian ekosistem perairan Teluk Jakarta.Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta.

PRASENO, D.P. 1995. Notes on mass mortality of fish in the Jakarta Bay and shrimp in braekish water ponds of Kamal, Jakarta. “ASEAN Criteria and Monitoring: Advances in Marine Environmental Management and Human Health protection”. Proceedings of the ASEAN Canada Midterm Technical Review Conference on Marine Science (24-28 October 1994), Singapore: 348-350.

REISH, D.J. 1979. Bristle worm (Annelida: Polychaeta). Pollution ecology of estuarine invertebrates: 77-125.

SANDERS H. L. and R. R. HESSLER 1969. The ecology of the deep-sea benthos. Science 163: 1419-1424.

SONGSANJINDA, P.; T. YAMAMOTO; K. FUKAMI and T. KAEWTAWEE 2006. Importance of controlling community structure of living organisms in intensive shrimp culture ponds. Coastal Marine Science 30(1): 91-99.

SUYARSO 1995a. Lingkungan fisik pantai dan dasar perairan Teluk Jakarta. Dalam: SUYARSO (editor). Atlas Oseanografi Teluk Jakarta. Lembaga Ilmu

Page 17: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MACROBENTHIC COMMUNITY AT JAKARTA BAY

143

Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta: 21-27.

SUYARSO 1995b. Data dan analisis data oseanologi Teluk Jakarta. Dalam: SUYARSO (editor). Atlas Oseanologi Teluk Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta :3-12.

WARWICK, R. M. 1993. Environmental impact studies on marine communities: pragmatical considerations. Australian Journal of Ecology 18: 63-80.

WARWICK, R.M. and J.R. DAVIES 1977. The distribution of sublittoral macrofauna communities in the Bristol Channel in relation to the substrate. Estuarine and Coastal Marine Sience 5: 267-288.

Page 18: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

AL HAKIM

144

Lampiran 1. Daftar distribusi spesies pada tiga lokasi di Teluk Jakarta, Juni 2003

No family name No Species name West Centre East Total individu Frequency1 Chrysopetallidae 1 Bhawania cf goodei - 1 - 1 12 Dorvilleidae 2 Dorvillea sp - - 1 1 13 Phyllodocidae 3 Eulalia sp - 1 - 1 14 Glyceridae 4 Glycera sp.3 - 1 - 1 15 Hesionidae 5 Gyptis sp. - - 1 1 16 Polynoidae 6 Harmothoe sp. - 1 - 1 17 Onuphidae 7 Hyalinoecia sp. - 1 - 1 18 Polynoidae 8 Lepidonotus sp.1 - 1 - 1 19 Polynoidae 9 Lepidonotus sp.2 - 1 - 1 1

10 Eunicidae 10 Marphysa mosambica - 1 - 1 111 Opheliidae 11 Ophelina sp. - - 1 1 112 Paraonidae 12 Paraonis sp. 1 - - 1 113 Terebellidae 13 Pista sp. - 1 - 1 114 Polynoidae 14 Polynoe sp. - 1 - 1 115 Spionidae 15 Prionospio ehlersi - 1 - 1 116 Spionidae 16 Prionospio saldanha - 1 - 1 117 Spionidae 17 Prionospio sp. 1 - - 1 118 Spionidae 18 Prionospio stenstrupi - - 1 1 119 Dorvilleidae 19 Protodorvillea sp - 1 - 1 120 Orbiidae 20 Scoloplos sp. - 1 - 1 121 Pilargidae 21 Sigambra cf tentaculata 1 - - 1 122 Amphinomidae 22 Amphinome sp. 2 - - 2 123 Chrysopetallidae 23 Bhawania sp. 2 - - 2 124 Nereidae 24 Perinereis sp. - 2 - 2 125 Spionidae 25 Prionospio sexoculata - 2 - 2 126 Onuphidae 26 Diopatra sp.2 - 3 - 3 127 Capitellidae 27 Mediomastus sp. - 3 - 3 128 Syllidae 28 Syllis sp. - 3 - 3 129 Nereidae 29 Ceratonereis sp. 4 - 4 130 Ampharetidae 30 Melinna sp. - 4 - 4 131 Capitellidae 31 Notomastus sp. - 4 - 4 132 Syllidae 32 Odontosyllis cf undecimdonta - 4 - 4 133 Nereidae 33 Platynereis sp. - 5 - 5 134 Syllidae 34 Opistosyllis sp. - 7 - 7 135 Nereidae 35 Namalycastis sp. - 8 - 8 136 Ampharetidae 36 Phyllocomus sp. - 9 - 9 137 Terebellidae 37 Thelepus sp. - 11 - 11 138 Cirratulidae 38 Tharyx sp. - 31 - 31 139 Spionidae 39 Polydora cf heterocaeta - - 34 34 140 Ampharetidae 40 Isolda sp. - 49 - 49 141 Chaetopteridae 41 Spiochaetopterus sp. 57 - - 57 142 Sigalionidae 42 Sigalion sp. 1 1 - 2 243 Cossuridae 43 Cossura sp. - 1 2 3 244 Glyceridae 44 Glycera sp.2 - 1 2 3 245 Nereidae 45 Leonnates sp. - 3 2 5 246 Capitellidae 46 Heteromastus sp. - 6 1 7 247 Magelonidae 47 Magelona cf phyllisae - 5 2 7 248 Chaetopteridae 48 Phyllochaetopterus sp 2. - 2 8 10 249 Glyceridae 49 Glycera sp.1 - 2 11 13 250 Pilargidae 50 Sigambra sp. 10 5 - 15 251 Spionidae 51 Boccardia sp. 14 2 - 16 252 Spionidae 52 Polydora sp 3. 4 - 15 19 253 Spionidae 53 Polydora sp 2. - 13 10 23 254 Magelonidae 54 Magelona cf longicornis - 10 14 24 255 Pilargidae 55 Sigambra cf setosa - 22 17 39 256 Amphinomidae 56 Hipponoa sp. 7 2 1 10 357 Onuphidae 57 Diopatra sp.1 1 9 2 12 358 Scalibregmatidae 58 Scalibregma sp. 4 2 7 13 359 Nephtyidae 59 Aglaophamus 1 50 5 56 360 Cirratulidae 60 Ciratulus sp. 1 32 32 65 361 Nephtyidae 61 Nephtys sp. 4 51 11 66 362 Hesionidae 62 Hesione sp. 54 25 9 88 363 Capitellidae 63 Pulliella sp. 4 12 81 97 364 Pilargidae 64 Sigambra cf bassi 4 64 46 114 365 Chaetopteridae 65 Phyllochaetopterus sp 1. 8 79 35 122 366 Spionidae 66 Polydora sp 1. 47 89 18 154 367 Spionidae 67 Paraprionospio pinnata 20 190 67 277 368 Poecilochaetidae 68 Poecilochaetus johnsoni 38 316 56 410 369 Spionidae 69 Polydora cf pigidialis 114 305 4 423 370 Spionidae 70 Minuspio sp. 449 625 36 1110 3

Appendix 1. List species and distribution at three location at Jakarta Bay, June 2003.

Page 19: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MACROBENTHIC COMMUNITY AT JAKARTA BAY

145

No Family name No Species name West Centre East Total Frequency71 Lucinidae 1 Anodontia sp. 1 - - 1 172 Mactidae 2 Mactra sp. - 1 - 1 173 Scaphander 3 Scaphander sp. - 1 - 1 174 Veneridae 4 Lioconcha sp. - - 2 2 175 Tellinidae 5 Tellina sp. 2 - 2 - 2 176 Arcidae 6 Anadara antiquata - 3 - 3 177 Tellinidae 7 Tellina sp. 1 - - 3 3 178 Tellinidae 8 Tellina sp. 4 - 3 - 3 179 Undidentified 9 Bivalvia Juvenile - 6 - 6 180 Arcidae 10 Barbatia decussata - 8 - 8 181 Tellinidae 11 Tellina sp. 3 - 6 2 8 282 Veneridae 12 Gafrarium tumidum - 14 - 14 283 Mytillidae 13 Brachidontes sp. - 15 - 15 284 Mactidae 14 Mactra sp. - - 22 22 285 Kaliellidae 15 Alveinus sp. - 2539 68264 70803 2

Total 1 2598 68293 70892No Family name No Species name West Centre East Total Frequency86 Portunidae 1 Larvae decapod 1 - - 1 187 Alpheidae 2 Alpheus sp. - 1 - 1 188 Portunidae 3 Charybdis sp. - 1 - 1 189 Anthuridae 4 Cyathura sp. - 1 - 1 190 Penaeidae 5 Metapenaeus sp. - - 1 1 191 Portunidae 6 Portunus pelagicus - 1 - 1 192 Portunidae 7 Portunus trilobatus - - 1 1 193 Xanthidae 8 Pilumnus sp. - 3 - 3 194 Palaeminidae 9 Pontonides sp. - 4 - 4 195 Caprellidae 10 Caprella sp. - 18 - 18 196 Squillidae 11 Oratosquilla repa 1 1 - 2 297 Ischyroceridae 12 Jassa sp. 5 1527 - 1532 2

Total 7 1557 2 1566No Family name No Species name West Centre East Total Frequency98 Ophiactidae 1 Opiiactis sp. 2 - - 2 199 Ophiuroidae 2 Amphiura sp. - 2 1 3 2

100 Ophiuroidae 3 Amphioplus sp. - 16 3 19 2101 Holothuroidae 4 Holothuria sp. - 15 10 25 2

Total 2 33 14 49No Family name No Species name West Centre East Total Frequency102 Sipunculidae 1 Sipunculidae - 1 - 1 1103 Tunicata 2 Tunicata - - 1 1 1104 Turbellaria 3 Turbellaria - - 1 1 1105 Bryozoa 4 Bryozoa 5 - - 5 1106 Cnidaria 5 Cnidaria - 9 - 9 1107 Brachiopoda 6 Brachiopoda - - 10 10 1108 Nematoda 7 Nematoda - 78 4 82 2109 Nemertina 8 Nemertina 2 4 2 8 3

Total 2 66 18 117

mol=molluscacru=crustaceaech=echinodermatamp=minor phylla

Note:pol=polychaeta

Page 20: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(2): 147-164 ISSN 0125 – 9830

PEMETAAN PADANG LAMUN DI PERAIRAN TELUK TOLI-TOLI DAN PULAU SEKITARNYA,

SULAWESI BARAT

oleh

INDARTO HAPPY SUPRIYADIPusat Penelitian Oseanografi – LIPI

Received 31 December 2009, Accepted 14 July 2010

ABSTRAK

Ekosistem padang lamun mempunyai fungsi dan manfaat ekologi bagi suatu perairan dan nilai ekonomi sumberdaya yang tinggi bagi masyarakat pesisir. Informasi data padang lamun di perairan Teluk Toli-Toli dan pulau-pulau kecil sekitarnya seperti Pulau Latungan, Pulau Kabetan dan Pulau Pangalisan masih jarang didiskusikan oleh para peneliti. Tujuan penelitian ini adalah memetakan informasi secara spasial sebaran lamun, persentase tutupan dan kondisi lamun dengan menggunakan data citra satelit. Dengan menggunakan program ArcGIS 9.2 dan ENVI 4.3 dilakukan análisis tumpang tindih dan interpretasi sebaran padang lamun. Uji lapangan dilakukan pada frame kuadrat 0,5m x 0,5m. Data rinci yang dikumpulkan antara lain persentase tutupan dan jenis lamun. Identifikasi jenis dan persentase lamun dilakukan dengan mengikuti stándar ‘monitoring kesehatan lamun’. Metode skoring/bobot digunakan untuk mengestimasikan kondisi lamun. Hasil penelitian diketahui bahwa ada delapan jenis lamun di perairan Tanjung Keko sampai Tanjung Dede dan perairan Pulau Kabetan serta tujuh jenis di perairan Teluk Toli-Toli. Presentase tutupan lamun tertinggi terdapat di perairan Teluk Toli-Toli (68,6 %), sedangkan Pulau Kabitan (67,1 %) dan Tanjung Keko sampai Tanjung Dede (46,4 %). Kondisi lamun pada umumnya tergolong “sedang”. Kondisi “bagus” ditemukan di sekitar Tanjung Keko, Tanjung Dede dan sisi selatan perairan Teluk Toli-Toli bagian dalam.

Kata kunci : Ekosistem padang lamun, kondisi lamun, pemetaan dan citra satelit.

Page 21: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUPRIYADI

148

ABSTRACT

SEAGRASS MAPPING AT TOLI-TOLI BAY WATERS AND SURROUNDING ISLANDS, WEST SULAWESI. Seagrass ecosystem have significant ecological function and high economical value for coastal community. The spatial data on seagrass conditions in Toli-Toli Bay waters, Latungan, Kabetan and Pangalisan Islands are rarely discussed by the researchers. The purpose of this study was to map seagrass, coverage and seagrass condition using satellite image. ArcGIS 9.2 and ENVI 4.3 programs were used to overlay thematics map and interpretation of seagrass distribution. The ground truth and more detail information were carried out within the quadrat frame 0,5 m x 0,5 m. More detail data such as percentage of cover and species were collected. Percentage of cover and species of seagrass identities were based on standard of ‘seagrass-health monitoring’. The scoring method was used to estímate the quality of ‘seagrass condition’. The results showed that there are eight species of seagrass founded in Tanjung Keko to Tanjung Dede and Kabetan Island waters and seven species in Toli-Toli Bay. The highestpercentage coverage found at Toli-Toli Bays (68,6 %), whereas in Kabetan Island and Tanjung Keko to Tanjung Dede were (67,1 %) and (46,4 %) respectively. Based on the result of seagrass condition analyses showed that they are generally in moderate condition. Seagrass-bed in the good condition were found in the Tanjung Keko, Tanjung Dede and in the inner Toli-Toli Bay of southern waters.

Key words : Seagrass ecosystem, seagrass condition, mapping and satelliteimage.

PENDAHULUAN

Teknologi satelit penginderaan jauh (Remote Sensing) mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi dan memantau sumberdaya alam dan lingkungan wilayah pesisir. Sumberdaya alam dan lingkungan yang dimaksud diantaranya ekosistem lamun, mangrove, karang, ekosistem pantai, muara sungai (estuary) dan juga perubahan pola tataguna lahan wilayah pesisir.

Penggunaan teknologi Remote Sensing untuk studi pemetaan padang lamun, mangrove dan karang mempunyai banyak kelebihan, jika dibandingkan dengan cara konvensional menggunakan metode survey ’in situ’, yang secara spasial hanya dapat mencakup wilayah sempit (HOCZKOVICH & ATKINSON

Page 22: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PEMETAAN PADANG LAMUN

149

2003). Teknologi Remote Sensing memiliki kelebihan yakni: Mampu merekam data dan informasi secara luas, berulang dan lebih terinci mendeteksi perubahan ekosistem (MUMBY et al. 2004), memiliki banyak saluran/kanal/band, sehingga dapat digunakan untuk menganalisis berbagai pemanfaatan khusus sumberdaya, dapat menjangkau daerah yang sulit didatangi manusia/kapal (KUTSER et al. 2003), data diperoleh dalam bentuk/format digital, sehingga mudah dianalisis menggunakan komputer dan harga dari informasi yang didapat relatif lebih murah (MUMBY et al. 1999).

Data digital citra satelit saat ini telah berkembang dengan pesat, dengan banyak pilihan data yang ditawarkan mulai dari resolusi spasial tinggi sampai rendah antara lain Quickbird (0,6 m), ALOS (Advanced Land Observing Satellite) (10 m), ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) (15 m) dan Landsat (Land Satellite) (30 m).

Penelitian mengenai pemetaan dan monitoring ekosistem perairan dangkal (karang, mangrove dan lamun) telah banyak dilakukan dengan menggunakan data citra satelit (McKENZIE et al. 2001, YAMAMURO et al. 2004, LUCZKOVICH et al. 1993, ZAINAL et al. 1993). Namun di Indonesia, khususnya pemetaan padang lamun menggunakan data citra satelit masih jarang dilakukan, baru beberapa lokasi yang pernah dilakukan misalnya pemetaan lamun di pesisir timur Pulau Bintan, Kepulauan Riau (KURIANDEWA & SUPRIYADI 2006); Teluk Kotania dan Pelitajaya, Seram Barat, Maluku (SUPRIYADI 2009); Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur (SUPRIYADI & KURIANDEWA 2008); Lembeh-Bitung, Sulawesi Utara (SUPRIYADI 2008); Kema, Minahasa Utara; Pulau Mapur, Kepulauan Riau; Tual, Maluku Tenggara dan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (DKP dan P2O 2008 & 2009 unpublisheddata).

Komunitas lamun merupakan komponen kunci dalam ekosistem pesisir di seluruh dunia (HUTOMO & PERISTIWADI 1990). Selain nilai secara hakiki tersebut, lamun sebagai penyedia makanan, sebagai tempat berlindung beberapa jenis ikan dan krustase komersial penting (GRAY et al. 1996). Namun keberadaan komunitas lamun hampir di setiap pesisir bervariasi, hal ini diduga karena perbedaan karakteristik lingkungan perairan pantainya.

Penggunaan data citra satelit untuk mendeteksi keberadaan lamun di masa lalu dan saat ini, pada jenis lamun yang berbeda dapat di interpretasi dengan menggunakan data citra satelit melalui kenampakan dari perbedaan warna (tone) dan tekstur substrat (LARKUM & WEST 1990). Pemetaan ekosistem perairan dangkal dengan menggunakan penginderaan jarak jauh (Remote Sensing) dapat memberikan manfaat yang besar dalam rencana pengelolaan ekosistem pantai. Kombinasi antara Sistem Informasi Geografi (SIG) dan metode skoring (pembobotan) dari komponen ekosistem lamun seperti jumlah jenis, persentase tutupan lamun dan biota asosiasinya akan sangat bermanfaat di dalam memetakan kesehatan ekosistem lamun, sumberdaya hayati laut dan rencana dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu.

Page 23: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUPRIYADI

150

Perairan Teluk Toli-Toli dan sekitarnya yang mempunyai potensi ekosistem perairan dangkal yang tinggi diantaranya padang lamun. Namun informasi secara spasial sebaran padang lamun masih belum cukup tersedia. Oleh karena itu, penelitian pendahuluan pemetaan padang lamun di Teluk Toli-Toli menjadi penting segera untuk dilakukan.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan waktuKegiatan pemetaan ekosistem padang lamun telah dilakukan di perairan

Teluk Toli-Toli dan pulau kecil sekitarnya (Pulau Kabetan), Sulawesi Barat pada bulan Mei 2009. Penelitian ini merupakan kerjasama antara Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam ‘Ekspedisi Biodiversitas Selat Makasar”. Lokasi kegiatan pemetaan ekosistem padang lamun dimulai dari Tanjung Kekoh sampai pesisir selatan Teluk Toli-Toli, sisi Timur Pulau Latungan dan perairan dangkal Pulau Kabetan.

Pengambilan data Jumlah stasiun pengamatan lamun dirancang sebanyak 21 stasiun, yang

tersebar merata di seluruh rataan terumbu di peraian dangkal Teluk Toli-Toli, Pulau Latungan dan Pulau Kabetan. Teknik penentuan stasiun penelitian dengan menggunakan teknik purposive sampling yang sebelumnya telah dilakukan klasifikasi tak teracu (unsupervised clasification) misalnya pasir, lamun, terumbu dan karang. Identifikasi jumlah jenis, jenis dominan, tutupan lamun, substrat dasar dan biota asosiasinya (algae) dilakukan dengan menggunakan frame ukuran 0,5 x 0,5 meter dan snorkling pada area 15 meter x 15 meter sesuai resolusi spasial dari data citra satelit ASTER yang digunakan. Dalam identifikasi jenis dan tutupan lamun mengikuti standar monitoring kesehatan lamun (McKENZIE 2003). Posisi titik sampling (Lintang dan Bujur) ditentukan dengan menggunakan GPS (Global Position System) yang telah disesuaikan dengan datum WGS84.

Analisis dataCitra Satelit

Data citra satelit yang digunakan dalam penelitian pemetaan lamun dan interpretasi lamun di Teluk Toli-Toli yaitu ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and reflection Radiometer) hasil rekaman tahun 2004 dengan resolusi spasial 15 meter, sedangkan di perairan sekitar Pulau Kabetan menggunakan data citra satelit LANDSAT (Land Satellite) rekaman tahun 2000 resolusi spasial 30 meter. Hasil interpretasi selanjutnya digunakan untuk

Page 24: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PEMETAAN PADANG LAMUN

151

memetakan ekosistem lamun (McKENZIE et al. 2001). Untuk keperluan analisis obyek dasar perairan seperti lamun pada rataan terumbu digunakan kanal band 1, band 2 dan band 3. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak ArcGIS dan ENVI 4.3 yang ada di Laboratorium Remote Sensing, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Interpretasi citra dengan melakukan digitasi garis pantai, aliran sungai, pasir, rataan terumbu dan lamun. Analisis tumpang susun (overlay) untuk mendapatkan peta tematik baru dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG).Skoring

Untuk penilaian kondisi/kesehatan suatu ekosistem lamun secara kuantitatif dapat dilakukan dengan cara skoring, cara ini juga diterapkan untuk penentuan calon lokasi konservasi perairan (DKP 2008 unpublished). Metode ini relatif mudah dalam menilai kondisi/kesehatan suatu ekosistem. Teknik skoringyaitu dengan memberikan nilai/bobot tertentu pada komponen ekosistem lamun seperti jumlah jenis, persentase tutupan dan jumlah jenis algae dengan skor 7, 5, 3 dan 1. Skor ini mencerminkan nilai setiap komponen ekosistem lamun. Total skor kemudian diklasifikasikan menjadi empat peringkat yaitu kondisi lamun‘sangat baik’, ‘baik’, ‘sedang’ dan ’jelek’. Secara rinci tabel skoring dan klasifikasi peringkat kesehatan lamun disajikan pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Pembobotan beberapa komponen ekosistem lamun.Table 1. Scoring of components of seagrass ecosystem.

No. Components Range of species number

Score

1. Number of seagrass species <= 2 3-4 5-6>=7

1357

2. Number of algae species 1-6 7-12 13-18 19-24

1357

3. Seagrass coverage (%) 5-2526-5051-7576-100

1357

Page 25: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUPRIYADI

152

Tabel 2. Klasifikasi kondisi ekosistem lamun.Table 2. Classification of seagrass ecosystem condition.

Range of Seagrass condition≥ 16 (very good)

12-15 (good)8-11 (medium)≤ 7 (worst)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Topografi wilayah pesisir Teluk Toli-Toli Wilayah pesisir Teluk Toli-Toli sebagian dicirikan dengan topografi

berbukit dan dataran rendah. Terdapat dataran rendah yang relatif luas dan diapit oleh perbukitan serta aliran sungai yang membelah dataran rendah Toli-Toli, menjadi pusat pembangunan dan pengembangan Kota Toli-Toli. Dataran rendah lainnya yang luas terdapat di wilayah utara Tanjung Dede sampai Tanjung Keko dan di bagian selatan pesisir Teluk Toli-Toli (Gambar 1).

Gambar 1. Kondisi topografi wilayah pesisir Toli-Toli.Figure 1. The topography of Toli-Toli coastal area condition.

Page 26: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PEMETAAN PADANG LAMUN

153

Bermuaranya beberapa sungai besar dan anak sungai kecil di perairan Teluk Toli-Toli menyebabkan kondisi perairannya relatif keruh dan dangkal. Morfologi perairan pantainya landai dan lebih dicirikan dengan tipe-tipe pantai mangrove, pantai lumpur-berpasir dan pantai muara (estuary). Pada topografi yang berbukit, yaitu di sekitar Tanjung Dede, morfologi pantainya dicirikan dengan tipe pantai bertebing (cliff) yang umumnya mempunyai lebar rataan terumbu (reef-flat) sempit dan berbatasan dengan perairan dalam.

Keberagaman morfologi perairan, topografi wilayah, aliran sungai sebagai sumber material dapat membentuk pola sebaran dan karakteristik habitat pertumbuhan ekosistem yang berbeda beda. Karakteristik sebaran lamun di perairan daratan besar tentu akan berbeda dengan sebaran lamun yang berada di pulau-pulau di lepas pantai (off-shore).

Sebaran lamun Teluk Toli-Toli

Sebaran lamun yang berada di Teluk Toli-Toli cukup berbeda dengan sebaran lamun di sebelah utara perairan Tanjung Dede. Hal menarik dari sebaran lamun di perairan Teluk Toli-Toli yaitu rata-rata persentase tutupan lamun 68,6 % lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi di perairan Tanjung Kekoh sampai Tanjung Dede dan Pulau Kabetan yang masing-masing yaitu 46,4 % dan 67,1 % serta tertinggi jika dibandingkan dengan 14 lokasi penelitian lainnya (Tabel 3). Kondisi pertumbuhan lamun di Teluk Toli-Toli berada pada lingkungan perairan dengan kedalaman 1,2 meter sampai 2,2 meter.

Jumlah jenis yang ditemukan ada tujuh jenis yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Halodule pinifolia,Cymodocea serrulata dan Cymodocea rotundata. Tujuh jenis ini relatif sedikit, jika dibandingkan dengan lokasi di perairan Tanjung Dede sampai Tanjung Kekoh dan Pulau Kabetan yang masing-masing yaitu delapan jenis. Jumlah tujuh jenis ini sama jumlahnya yang ditemukan di Teluk Kotania, Seram Bagian Barat (SUPRIYADI 2009). Sebaran jumlah jenis lamun di setiap stasiun di peraian Teluk Toli-Toli umumnya sekitar tiga-empat jenis, sedangkan jumlah antara enam-tujuh jenis berada di sisi selatan Teluk Toil-Toli. Relatif sedikitnya keragaman jenis lamun di perairan Teluk Toli-Toli dan tidak ditemukannya salah satu jenis Syringodium isoetifolium, secara ekologis dapat diduga karena kondisi lingkungan perairan yang keruh dan banyaknya aktifitas masyarakat di sekitar pelabuhan Teluk Toli-Toli. Menurut ENGEMEN et al. (2008) tingginya lalu lalang perahu dapat berdampak negatif terhadap keberadaan padang lamun, sedangkan BARBER et al. (1985) dampak perubahan suhu di suatu perairan dapat berpengaruh terhadap produktifitas Thalassia testudium dan Syringodium filiforme. Lebih lanjut dikatakan bahwa ancaman yang paling besar bagi keberadaan padang lamun yaitu faktor lingkungan seperti limbah berasal dari aktifitas manusia. Sedimentasi dan sedimen terlarut juga merupakan penyebab

Page 27: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUPRIYADI

154

terjadinya kekeruhan, sehingga berdampak besar terhadap keberadaan padang lamun (DUARTE et al. 2008).

Jenis lamun yang mendominasi perairan Teluk Toli-Toli bersifat monospesifik yaitu Enhalus acoroides. Jenis ini menurut (KURIANDEWA komunikasi pribadi) dapat tumbuh di berbagai tipe sedimen mulai dari lanau sampai pasir-kasar dan lumpur sampai pecahan karang (ISMAIL 1993) serta lumpur sampai lumpur-berpasir (PHAM et al. 2006). Berdasarkan habitat pertumbuhannya berada di lingkungan dengan substrat berlumpur (muddy) diduga aliran sungai besar yang bermuara di Teluk Toli-Toli merupakan suplai lumpur yang ada di perairan teluk tersebut.

Berdasarkan hasil interpretasi data citra ASTER diketahui bahwa luas lamun mulai dari Tanjung Kekoh sampai Tanjung Dede dan perairan Teluk Toli-Toli sekitar 266,73 ha. Sebaran padang lamun yang luas cenderung berada di perairan Tanjung Kekoh sampai Tanjung Dede, jika dibandingkan sebaran lamun di perairan Teluk Toli-Toli yang bersifat parsial (Gambar 2). Hasil perhitungan luas ini hanya mencerminkan luasan pada batas area penelitian saja.

Gambar 2. Sebaran padang lamun di perairan Teluk Toli-Toli, Mei 2009.Figure 2. Seagrass distribution in Toli-Toli Bay waters, May 2009.

Page 28: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PEMETAAN PADANG LAMUN

155

Tanjung Keko-Tanjung Dede Morfologi perairan dangkal (shallow-water) di sepanjang pantai Tanjung

Kekoh sampai Tanjung Dede lebih dicirikan dengan rataan terumbu (reef-flat) sempit, substrat didominasi pasir sampai pecahan karang, kedalaman berkisar antara 0,3 meter sampai 1,5 meter dan bertipe pantai curam (cliff) terutama sekitar Tanjung Dede dan pantai berpasir. Pada perairan dengan karakteristik seperti ini ditemukan ada delapan jenis lamun antara lain Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Halodule pinifolia, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium. Jumlah ini sama yang ditemukan di Selat Lembeh, Bitung-Sulawesi Utara dan perairan timur Pulau Sanger, Sulawesi Utara (Tabel 1). Menurut SHORT et al. (2007) ada 14 jenis ditemukan di wilayah Tropis. Di Indonesia terdapat 12 jenis lamun dari 7 genus di Indonesia (KURIANDEWA et al. 2004), dengan ditemukan jenis lamun Halophila sulawesii (KUO 2007), sehingga jumlah jenis di Indonesia menjadi 13 jenis. Menurut KUANG (2006) 60 jenis lamun di dunia jenis lamun paling banyak ditemukan yaitu di wilayah Indo-Pasifik. Dari delapan jenis, jenis yang sering ditemukan antara lain Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides dan Halophila ovalis.

Gambar 3. Sebaran persentase tutupan lamun di perairan Teluk Toli-Toli, Mei 2009.

Figure 3. Percentage cover of seagrass in Toli-Toli Bay waters, May 2009.

Page 29: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUPRIYADI

156

Persentase tutupan lamun di perairan Tanjung Dede sampai Tanjung Kekoh rata-rata 46,4 % relatif sama dengan yang ada di perairan Lembeh, Bitung yaitu sekitar 47,4 %. Namun relatif tinggi, jika dibandingkan dengan Nusa Dua-Denpasar, Bali dan Pulau Derawan, Kepulauan Derawan yang masing-masing yaitu 23,4 % dan 26,7 % (Tabel 3). Tutupan lamun dengan persentase tinggi ≥75 % hanya terdapat di Tanjung Keko dan di sisi selatan perairan Teluk Toil-Toli (Gambar 3).

Pulau Kabetan Pulau Kabetan dan Pulau Pangalisan terletak jauh dari daratan besar

Pulau Sulawesi dan pengaruh sedimen terlarut dari aliran sungai. Kondisi perairannya jernih dan dalam, karena berbatasan langsung dengan laut lepas. Kedalaman perairan pada rataan terumbu berkisar antara 0,3 meter sampai 1,5 meter. Sebaran lamun dan jumlah keragaman jenisnya hampir merata di seluruh perairan rataan terumbu Pulau Kabetan yaitu rata-rata enam jenis di setiap stasiunnya. Jumlah ini lebih banyak, jika dibandingkan dengan pulau kecil lainnya seperti Pulau Uhuitir dan Pulau Ngaf, Maluku Tenggara yaitu lima jenis (DKP dan P2O 2009, unpublished) serta Pulau Derawan sekitar tiga sampai empat jenis per stasiun (SUPRIYADI & KURIANDEWA 2008). Hasil analisis citra Landsat diketahui luas lamun seluruh Pulau Kabitan dan pulau kecil sekitarnya yaitu 733,1 ha (Gambar 4).

Gambar 4. Sebaran padang lamun di Pulau Kabitan, Mei 2009.Figure 4. Seagrass distribution in Kabetan Island, May 2009.

Page 30: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PEMETAAN PADANG LAMUN

157

Pulau Kabitan yang secara geografis berada di perairan lepas pantai, mempunyai morfologi perairan pantai landai sampai terjal dan berbatasan dengan perairan dalam. Pulau Kabitan merupakan salah satu lokasi yang kurang mendapatkan tekanan dari aktifitas masyarakat dan pembangunan, sehingga keberadaan padang lamun di Pulau Kabitan relatif labih baik dibandingkan dengan perairan Teluk Toli-Toli. Menurut NAKAMURA (2009) dan HOSSAIN (2005) penyebab kerusakan dan hilangnya padang lamun hampir di seluruh dunia terutama disebabkan oleh dampak aktifitas manusia (Anthropogenic impact) yaitu meningkatnya jumlah penduduk di pesisir pantai.

Tabel 3. Hasil observasi jumlah jenis dan rata-rata tutupan lamun di beberapa lokasi di perairan Indonesia.

Table 3. The resulf of number of species and average of coverage at several locations of Indonesia waters.

No. Locations Number of species

Coverage (%)

Source

1. Bintan Timur, Riau Archipelago 10 46,0 Kuriandewa & Supriyadi (2006)

2. Nusa Dua, Denpasar-Bali 9 23,4 DKP & P2O-LIPI (2007 unpublished data)

4. Rote Island, South east Maluku 9 48,0 DKP & P2O-LIPI (2009 unpublished data)

5. Sebesi Island, Lampung 9 - Supriyadi (2007 unpublished data)

6. Tual, South east Maluku 9 48,3 DKP & P2O-LIPI (2009 unpublished data)

7. Kema, North Sulawesi 9 50,9 DKP &P2O- LIPI (2008 unpublished data)

8. Alor, Nusa Tenggara Timur 9 - DKP (2008 unpublished data)

9. Lembeh Strait, Bitung 8 47,4 Supriyadi (2008)10. Sanger Island, North Sulawesi 8 51,9 Supriyadi (2009

unpublished data)11. Pari Island, Seribu Archipelgo 7 - Yusril (2007 unpublished

data)12. Kotania, Western Part Seram 7 64,0 Supriyadi (2009)13. Tobelo Archipelago, North Maluku 6 - DKP (2008 unpublished

data)14. Derawan Archipelago, East

Kalimantan6 26,7 Supriyadi & Kuriandewa

(2008)

Hasil identifikasi jenis lamun menunjukkan adanya delapan jenis lamun antara lain Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis, Halodule pinifolia dan Cymodocea serrulata. Jenis yang selalu mendominasi di perairan

Page 31: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUPRIYADI

158

Pulau Kabitan yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides dan Halophila ovalis. Tiga jenis yang dominan ini lebih banyak dibandingkan dengan lokasi di perairan Tanjung Kekoh-Tanjung Dede hanya dua jenis yaitu Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides, sedangkan di perairan Teluk Toli-Toli hanya jenis Enhalus acoroides. Dua jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides menurut (KISWARA dan KURIANDEWA komunikasi pribadi) selalu ditemukan di perairan Indonesia. Tutupan lamun di Pulau Kabetan (67,1 %) tidak jauh berbeda dengan perairan Teluk Toli-Toli (68,57 %), persentase tutupan ini tertinggi dibandingkan dengan persentase tutupan lamun di beberapa lokasi penelitian lainnya (Tabel 3).

Kondisi Lamun Untuk mengetahui kondisi atau kesehatan lamun secara umum di suatu

perairan diantaranya dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran beberapa komponen padang lamun. Kandungan biomasa, komposisi jenis dan persentase tutupan (KURIANDEWA kumunikasi pribadi), kepadatan jenis dan kualitas habitatnya (BJORK et al. 1999), luas area serta asosiasi flora dan fauna (SHORT et al. 2004). Pada penelitian pendahuluan ini tidak semua data tersebut tersedia, hanya data yang ada seperti jumlah jenis dan tutupan lamun serta algae yang dapat digunakan dalam menilai kondisi lamun di perairan Teluk Toli-Toli.

Gambar 5. Kondisi padang lamun di perairan Teluk Toli-Toli, Mei 2009.Figure 5. Seagrass condition in Toli-Toli Bay waters, May 2009.

Page 32: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PEMETAAN PADANG LAMUN

159

Tabel 4. Skor jumlah jenis, tutupan, alga dan klasifikasi kondisi lamun di sekitar Teluk Toli-Toli, Mei 2009.

Table 4. Number of species, percentage of coverage, algae score and seagrass condition classification at Toli-Toli Bay, May 2009.

St. N E Number of species

Score Covarage Score Algae Score Total Seagrass Condition

1 1,05257 120,80431 1 1 30 3 2 1 5 Worst

2 1,03154 120,80791 3 3 60 5 5 1 9 Medium

3 1,02889 120,80300 7 7 80 7 3 1 15 Good

4 1,03013 120,79189 4 3 85 7 4 1 11 Medium

5 1,03117 120,78671 3 3 85 7 3 1 11 Medium

6 1,04258 120,77695 3 3 70 5 4 1 9 Medium

7 1,04464 120,77726 6 5 70 5 3 1 11 Medium

8 1,05279 120,79609 6 5 75 5 8 3 13 Good

9 1,05809 120,79577 4 3 20 1 6 1 5 Worst

10 1,06522 120,79623 6 5 15 1 5 1 7 Medium

11 1,09299 120,79185 7 7 30 3 3 1 11 Medium

12 1,10656 120,77788 4 3 30 3 3 1 7 Medium

13 1,10542 120,78215 8 7 80 7 4 1 15 Good

14 1,04008 120,65527 6 5 75 5 3 1 11 Medium

15 1,04204 120,65947 6 5 80 7 6 1 13 Good

16 1,04711 120,66384 5 5 45 3 3 1 9 Medium

17 1,03877 120,66633 6 5 80 7 4 1 13 Good

18 1,02854 120,66547 6 5 35 3 2 1 9 Medium

19 1,01933 120,66838 6 5 70 5 4 1 11 Medium

20 1,01544 120,67499 7 7 85 7 5 1 15 Good

21 1,01460 120,67461 6 5 75 5 6 1 11 Medium

Hasil analisis pembobotan (Tabel 4) diketahui bahwa seluruh wilayah perairan Teluk Toli-Toli, Tanjung Kekoh sampai Tanjung Dede dan perairan Pulau Kabetan, umumnya memiliki kondisi lamun yang dapat dikatagorikan ‘jelek’ (9,5 %), ‘sedang’ (61,9 %) dan ‘bagus’ (28,6 %). Kategori bagus dengan pengertian bahwa keanekaragaman jenis, persentase tutupan dan keanekaragaman algae relatif masih tinggi. Kondisi lamun bagus dapat ditemukan di lokasi sekitar Tanjung Keko, Tanjung Dede dan sisi selatan bagian dalam Teluk Toli-Toli. Pada umumnya kondisi lamun di seluruh lokasi dapat dikatagorikan kedalam kondisi lamun sedang (Gambar 5). Peta kondisi lamun di perairan Teluk Toli-Toli dan pulau kecil sekitarnya dapat digunakan sebagai dokumen status dan pengujian terhadap perubahan padang lamun dalam jangka panjang terutama perubahan luas, keragaman dan sebaran jenisnya.

Page 33: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUPRIYADI

160

KESIMPULAN

Kondisi morfologi perairan pantai lokasi Tanjung Kekoh sampai Tanjung Dede dan Pulau Kabitan dicirikan dengan lebar rataan terumbu sempit, tipe pantai terjal dan berpasir berbatasan dengan perairan dalam, sedangkan Teluk Toli-Toli relatif landai dan dangkal dengan tipe pantai mangrove dan berlumpur. Keanekaragaman jenis lamun relatif tinggi (8 jenis) ditemukan di perairan Tanjung Keko sampai Tanjung Dede dan Pulau Kabetan, sedangkan di Teluk Toli-Toli hanya teridentifkasi (7 jenis). Persentase tutupan lamun relatif tinggi (68,6 %) dijumpai di perairan Teluk Toli-Toli dan Pulau Kabitan, sedangkan terendah (46,4 %) di Tanjung Keko sampai Tanjung Dede. Kondisi lamun di seluruh perairan Teluk Toli-Toli dan pulau kecil sekitarnya pada umumnya tergolong sedang. Di sekitar Tanjung Keko, Tanjung Dede dan perairan di sisi selatan bagian dalam Teluk Toli-Toli kondisinya relatif bagus.

SARAN

Informasi secara spasial tentang kondisi lamun saat ini masih jarang, khususnya di Toli-Toli, sehingga penelitian ini perlu dilanjutkan dan dikembangkan dengan menggunakan data citra satelit resolusi tinggi (misalnya data citra ALOS). Informasi ini menjadi penting terkait isu perubahan iklim global, karena padang lamun selain mempunyai fungsi dan manfaat seperti disebutkan di atas juga berperan sebagai pengikat karbon (carbon sink).

PERSANTUNAN

Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan oleh kepala P2O-LIPI sehingga penulis dapat terlibat dalam kerjasama antara Departemen dan Pendidikan Tinggi (DIKTI) dengan Pusat Penelitian Oseanografi (P2O)-LIPI Jakarta. Wujud kerjasama ini yaitu kegiatan “Ekspedisi Biodiversitas Selat Makasar” pada bulan Mei tahun 2009. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Augy S., teman-teman dari Universitas yang terlibat dan seluruh kru Kapal Riset Baruna Jaya VIII serta teman peneliti P2O - Jakarta atas kerjasamanya yang baik.

Page 34: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PEMETAAN PADANG LAMUN

161

DAFTAR PUSTAKA

BARBER, B.J and P.J. BEHRENS 1985. Effects of elevation temperature on seasonal in situ leaf productivity of Thalassia testudium Banks ex Konig and Syringodium filiforme Kutzing. Aquatic Botany 22: 61-69.

BJORK, M., J. UKU, A. WEIL, E. McLEOD and S. BEER 1999. Photosynthetic tolerances to desiccation of tropical intertidal seagrass. Marine Ecology Progress Science 191:121-126.

DUARTE, C.M. and J.P. GATTUSO 2008. Seagrass meadows. In: C. J. CLEVELAND (ed.) Encyclopedia of Earth. Washington, D.C.: Environmental Information Coalition, National Council for Science and the Environment. [First published in the Encyclopedia of Earth December 11, 2006; Last revised April 18, 2008; Retrieved May 28, 2008]. http://www.eoearth.org/article/Seagrass_meadows

ENGEMAN, R.M., J.A. DUGNESNEL, E.M. COWAN, H.T. SMITH, S.A. SHWIFF and M. KARLIN 2008. Assessing Boat damage to Seagrass Bed habitat in a Florida Park Farm a Bioeconomic prospective. Journal of Coastal Research 24(2): 527-532.

GRAY, C.A., D.J. McELLIGOTT and R.C. CHICK 1996. Intra and inter estuary differences in a assemblages of fishes associated with shallow seagrass and bare sand. Marine Freshwater Res. 47: 723-735.

HOCZKOVICH, J.J. and M.J. ATKINSON 2003. Capabilities of remote sense sensors to classify coral, algae and sand as pure and mixed spectra. Remote Sensing of Enviroment 85(2): 174-189.

HOSSAIN, M.K. 2005. An examination of seagrass monitoring protocols as applied to two New South Wales estuaries settings. Thesis Master of Philosophy. Faculty of Arts and Sciences. Australian Catholic University: 57 pp.

HUTOMO, M. and T. PERISTIWADY 1990. Diversity, abundance and diet of fish in the seagrass beds of Lombok Island, Indonesia. In: J. KUO, R.C. PHILLIPS, D.I. WALKER and H. KIRKMAN (eds.). Seagrass Biology: Proceedings of an International Workshop. University of Western Australia, Perth : 385pp.

Page 35: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUPRIYADI

162

ISMAIL N. 1993. Preliminary study of the seagrass flora of Sabah, Malaysia. Pertanika Journal Tropical Agriculture Science 16(2): 111-118.

KUANG, C.C. 2006. SOS Volunters handbook 1st edition. Available online at: www.seagrasswatch.org.

KUO, J. 2007. A New Monoecious seagrass Halophila sulawesii(Hydrocharitaceae) from Indonesia. Aquatic Botany (in press).

KURIANDEWA, T. E., W. KISWARA, M. HUTOMO and S. SOEMARDIHARDJO 2004. The seagrass of Indonesia. In: E. P. GREEN and F. T. SHORT (eds.).World Atlas of Seagrass. University of California Press: 171-182.

KURIANDEWA, T.E. and I.H. SUPRIYADI 2006. Seagrass mapping in East Bintan coastal area, Riau Archipelago, Indonesia. Coastal Marine Science 30 (1): 154-161.

KUTSER, T., A.G. DEKKER and W. SKIRVING 2003. Modeling spectral discrimination of Great Barier Reef Benthic Communities by Remote Sensing Instruments. Limnology and Oceanography 48 (1-2): 497-510.

LARKUM, A.W.D. and R.J.WEST 1990. Long-term changes of seagrass meadows in Botany Bay, Australia. Aquatic Botany 37: 55-70.

LUCZKOVICH, J.J., T.W. WAGNER, J.L. MICHALEK and R.W. STOFFLE 1993. Discrimination of coral reefs, seagrass meadows and sand bottom types from space: A Dominican Republic Case Study. Photogrammetric Enginering and Remote Sensing 59 (3), March: 385-389.

McKENZIE, L.J., M.A. FINKBEINER and H. LORLAM 2001. Methods for mapping seagrass distribution. In: F.T. SHORT and R.G. COLES (eds.)Global Seagrass Research Methods. Chapter 5: 101-121pp.

McKENZIE, L.J. 2003. Draft guideline for the rapid assessment of seagrass habitat in the western Pasific (QFS, NFC, Cairns). Marine Plant Ecology Group, QDPI, Northern Fisheries Centre, Cairn: 43 pp.

MUMBY, P. J., E.P. GREEN, A.J. EDWARD and C.D. CLARK 1999. The cost-effectiveness of Remote Sensing for tropical coastal Resources Assessment and Management. Journal of Environmental Managemen. 55 (3): 157-166.

Page 36: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PEMETAAN PADANG LAMUN

163

MUMBY, P.J., A.J. EDWARD, J.E. ARIAS-GONZAKZ, K.C. LINDERMAN, P.G. BLACKWEL, A. GALL, M.I. GORCYNSKA, A.R. HARBORNE, C.L. PESCOD, H.RENKEN, C.C.C. WABNITZ, and G. LLEWELLYN2004. Mangrove enhance the biomass of coral reefs fish management and mapping of Carbbean coral reefs. Biological Conservation 88: 155-168.

NAKAMURA, Y. 2009. Status of seagrass ecosystem in the Kuroshio region-Seagrass decline and challenges for future conservation. Kuroshio Science 391: 39-44.

PHAM, M.T., H.D.NGUYEN, X.H. NGUYEN and T.L. NGUYEN 2006. Study on the variation of seagrass population in coastal waters of khanh Hoa Province, Vietnam. Coastal Marine Science 30 (1): 167-173.

SHORT, F.T., L.J. McKENZIE, R.G. COLES and J.L. GAECKLE 2004. Seagrass Net manual for scientific monitoring of seagrass habitat-Western Pasific edition. University of New Hampshire, USA, QDPI, Northern Fisheries Centre, Australia: 71 pp.

SHORT, F.T., W.C. DENNISON, T.J.B. CARRUTHERS and M. WAYCOTT 2007. Global seagrass distribution and diversity: A bioregional model. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 350: 3-20.

SUPRIYADI, I.H. 2008. Pemetaan kondisi lamun dan bahaya ancamannya dengan menggunakan citra satelit ALOS di pesisir selatan, Bitung Manado, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 34(3): 556-459.

SUPRIYADI, I.H. 2008. Pemetaan padang lamun di perairan Indonesia: Kema-Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Laporan Penelitian. P2O-LIPI, Jakarta (unpublished).

SUPRIYADI, I.H. 2009. Pemetaan lamun dan biota asosiasi untuk identifikasi daerah perlindungan lamun di Teluk Kotania dan Pelitajaya. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 45(2): 167-183.

SUPRIYADI, I.H. 2009. Pemetaan padang lamun di perairan Indonesia: Tual-Maluku Tenggara dan Pulau Rote-Nusa Tenggara Timur. Laporan Penelitian. P2O-LIPI, Jakarta (unpublished).

Page 37: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUPRIYADI

164

SUPRIYADI, I.H. and T.E. KURIANDEWA 2008. Seagrass distribution at Small Islands: Derawan Archipelago, East Kalimantan Province, Indonesia. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 34 (1): 83-99.

YAMAMURO, M., K. NISHIMURA, K. KISHIMOTO, K. NOZAKI, K. KATO, A. NEGISHI, K. OTANI, H. SHIMIZU, T. HAYASHIBARA, M. SANO, M. TAMAKI and K. FUKUOKA 2004. Mapping tropical seagrass beds with an underwater remotely operated vehicle (ROV). Available online at: (www.shallow water mapping .staff.iaist.go.jp/m-Yamamuro/pdf%20 filed/project.pdf.

ZAINAL, A.J.M., D.H. DALBY and I.S. ROBINSON 1993. Monitoring marine ecological changes on the east coast Bahrain with landsat TM. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing 59(3): 415-421.

Page 38: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(2): 165-180 ISSN 0125 – 9830

DISTRIBUSI TEMPORAL KARBON ANORGANIKDI PERAIRAN GUGUS PULAU PARI

oleh

SURATNO DAN BAYU PRAYUDHAPusat Penelitian Oseanografi – LIPI

Received 14 December 2009, Accepted 14 July 2010

ABSTRAK

Karbon anorganik erat hubungannya dengan proses pembentukan senyawa CaCO3, yang merupakan penyusun utama terumbu karang ataupun mikroorganisme yang ada di lautan seperti foraminifera dan cocolitoporit. Selain itu juga berhubungan erat dengan proses kimia yang terjadi ketika gas karbon dioksida (CO2) terlarut dalam perairan. Penelitian karbon anorganik di perairan Pulau Pari telah dilaksanakan pada bulan Agustus dan Nopember 2008. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi dan konsentrasi karbon anorganik di perairan Pulau Pari. Untuk menentukan konsentrasi karbon anorganik menggunakan program CO2SYS dan untuk memetakan pola distribusinya menggunakan metode interpolasi dalam program ArcGIS 9.2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi karbon anorganik total (CT) pada bulan Agustus berkisar antara 1884,16 – 2344,96 µmol/kg SW dengan rata-ratanya 2145,54 µmol/kg SW, sedangkan pada bulan Nopember berkisar antara 1805,76 – 2349,54 µmol/kg SW dengan rata-rata 2141,65 µmol/kg SW. Berdasarkan distribusinya, pada bulan Agustus konsentrasi karbon anorganik total yang tinggi berada di wilayah Selatan dan Tenggara sedangkan pada bulan Nopember bergeser kesebelah Utara Pulau Pari. Terjadinya perbedaan ini diduga dipengaruhi oleh musim.

Kata kunci : Karbon anorganik, Pulau Pari, konsentrasi, distribusi temporal.

Page 39: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SURATNO & PRAYUDHA

166

ABSTRACT

TEMPORAL DISTRIBUTION OF INORGANIC CARBON IN WATERS OF PARI ISLAND GROUPS. Inorganic carbon was closely related with the formation of CaCO3 compound, which is the main constituent of coral reefs or micro-organisms that exist in the ocean such as foraminifera and cocolithophorid. It is also closely related to the chemical process that occurs when gases such as carbon dioxide (CO2) dissolved in water. The research of inorganic carbon in the waters of Pari Island has been carried out in August and November 2008. The purpose of this research is to understand the distribution and concentration of inorganic carbon in the waters of Pari Island. To determine the concentration of inorganic carbon using CO2SYS programs and to map the distribution patterns using interpolation method in the program ArcGIS 9.2. Results showed that the concentration of total inorganic carbon (CT) in August ranged from 1884.16 to 2344.96 μmol/kgSW with an average 2145.54 μmol/kgSW, whereas in November ranges from 1805.76 to 2349.54 μmol/kgSW with an average of 2141.65 μmol/kgSW. Based on its distribution, in August the total inorganic carbon concentrations are higher in South and Southeast regions, while in November shift to the North of Pari Island. The difference is thought to be influenced by the seasons.

Key words : inorganic carbon, Pari Island waters, concentration, temporal distribution.

PENDAHULUAN

Dalam air laut, hanya sekitar 1% dari total karbon dioksida (CO2) yang tetap sebagai senyawa CO2 yang dapat berubah seiring dengan perubahan dari tekanan parsial CO2 di udara, sedangkan sisanya dalam bentuk ion bikarbonat (91%) dan ion karbonat (8%) (ROYAL SOCIETY 2005). Asam karbonat dan ion karbonat biasa dirujuk sebagai karbon anorganik terlarut (Dissolved Inorganic Carbon / DIC). Proporsi relatif ketiga bentuk DIC mencerminkan pH air laut dan mengendalikan DIC dalam batas-batas relatif yang sempit. DIC ini berperan sebagai buffer pH alami yang disebut sebagai 'buffer karbonat'. Masuknya CO2 ke air laut menyebabkan ion hidrogen yang ada akan bereaksi dengan ion karbonat (CO3

2-) dan membentuk ion bikarbonat (HCO3-) dan

akhirnya akan mengurangi konsentrasi ion hidrogen (keasaman) sedemikian rupa sehingga perubahan pH akan jauh lebih kecil daripada yang dapat diharapkan (ROYAL SOCIETY 2005).

Page 40: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

DISTRIBUSI TEMPORAL KARBON ANORGANIK

167

Saat ini konsentrasi CO2 atmosfer sekitar 380 ppmv dan diperkirakan akan terus meningkat sekitar 1% tiap tahunnya selama beberapa dekade, karena berbagai sebab. Peningkatan ini mempengaruhi konsentrasi karbon anorganik yang berada di dalam lautan (HOUGHTON et al. 2001). Peningkatan jumlah CO2 terlarut dalam lautan akan menurunkan pH dan ketersediaan ion karbonat (CO3

2-) yang diikuti dengan menurunnya saturasi senyawa mineral karbonat pembentuk karang (CALDEIRA & WICKETT 2005).

Selama ini belum tersedia data tentang karbon anorganik di daerah sekitar Pulau Pari. Karbon anorganik erat hubungannya dengan proses pembentukan senyawa CaCO3 sebagai penyusun utama karang batu ataupun mikroorganisme pengguna karbon anorganik yang ada di lautan, seperti foraminifera dan cocolitoporit (JUTTERSTROM & ANDERSON 2005). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi karbon anorganik di perairan Pulau Pari. Data tentang karbon anorganik dapat berguna untuk memantau kondisi perairan Pulau Pari, baik dari segi sebaran terumbu karangnya ataupun kondisi lingkungan yang terkait dengan proses kimia karbonat.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan sampel Penelitian dilakukan pada bulan Agustus (musim Timur) dan Nopember

(musim Peralihan) 2008 di sekitar Gugus Pulau Pari yang merupakan pulau-pulau karang bagian dari Kepulauan Seribu, yang terletak antara 5°50’0” dan 5°52’25” LS, 106°34’0” dan 106°38’20” BT atau kurang lebih 35 km dari Jakarta ke arah Utara (ROCHYATUN 2002).

Sampel air laut permukaan diambil dengan menggunakan tabung Nansen pada 16 stasiun penelitian di sekitar Pulau Pari (Gambar 1). Pengukuran derajat keasaman (pH) dan suhu dilakukan dengan menggunakan elektroda pH (Metrohm 826 pH meter digital), salinitas air laut diukur dengan menggunakan refraktometer (Atago) di lokasi. Data pengukuran pH, suhu dan salinitas digunakan untuk menentukan nilai alkalinitas total (AT) dan konsentrasi karbon anorganik.

Penentuan konsentrasi karbon anorganik yang terlarut dalam airDICKSON & GOYET (1994) menyatakan bahwa konsentrasi dari

masing-masing karbon anorganik terlarut dalam air laut tidak dapat diukur secara langsung dengan menggunakan alat, namun ada empat parameter yang dapat diukur secara langsung. Parameter tersebut adalah karbon anorganik total (CT), alkalinitas total (AT), fugasitas CO2 (fCO2) dan derajat keasaman (pH). Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa dengan menggunakan dua parameter dari empat parameter yang disebut di atas (CT, AT, fCO2 dan pH) , dapat diketahui berapa konsentrasi dari masing-masing ion karbonat yang ada.

Page 41: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SURATNO & PRAYUDHA

168

Penentuan alkalinitas total (AT) sampel dihitung mengikuti metode yang dikemukakan oleh STRICKLAND & PARSON (1968). Data pH, salinitas dan suhu digunakan dalam perhitungan untuk menentukan alkalinitas total (AT). Konsentrasi karbon dioksida (CO2) terlarut, ion bikarbonat (HCO3

-) dan ion karbonat (CO3

2-) dihitung dengan menggunakan program CO2SYS (LEWIS & WALLACE 1998), menggunakan konstanta disosiasi pertama dan kedua (K1 dan K2) dari asam karbonat (MEHRBACH et al. 1973). Untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antar parameter digunakan uji korelasi Pearson dengan menggunakan software SPSS 11.5. Uji Pearson dilakukan untuk mengetahui keterkaitan antar parameter yang ada.

Gambar 1. Peta lokasi stasiun penelitian di perairan Pulau Pari.Figure 1. Location of research stations in the waters of Pari Island.

Page 42: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

DISTRIBUSI TEMPORAL KARBON ANORGANIK

169

HASIL DAN PEMBAHASAN

Alkalinitas total (AT)Alkalinitas total (AT) air laut didefinisikan sebagai penjumlahan mol

ion hidrogen yang ekuivalen dengan proton akseptor (misalnya HCO3-, CO3

2-, B(OH)4

-, HPO42-, PO4

3-, H3SiO4- HS- dan NH3) dikurangi dengan seluruh proton

donor (terdiri dari H3PO4, HSO4- dan HF (WOLF-GLADROW et al. 2007)

dalam 1 kilogram sampel air laut (DICKSON & GOYET 1994).

0,00

500,00

1000,00

1500,00

2000,00

2500,00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Station

Tota

l alk

alin

ity (µ

mol

/kgS

W)

August

November

Gambar 2. Alkalinitas total (AT) perairan Pulau Pari, 2008.Figure 2. Total alkalinity (AT) in the waters of Pari Island in August and

November 2008.

Berdasarkan Gambar 2 terlihat nilai AT bervariasi, AT bulan Agustus berkisar antara 1884,16 – 2344,96 µmol/kgSW dengan rata-rata 2145,90 µmol/kgSW, sedangkan pada bulan Nopember berkisar antara 1805,76 –2349,54 µmol/kgSW dengan rata-rata 2141,65 µmol/kgSW. Nilai AT yang didapatkan masih dalam rentang kisaran AT menurut DICKSON & GOYET (1994), yaitu dalam kisaran rentang 2000 – 2500 µmol/kgSW. Nilai yang terkecil selama penelitian didapatkan di Stasiun 2 (dua) baik bulan Agustus maupun Nopember, kemungkinan penyebabnya adalah adanya ion fosfat atau silikat, karena satu mol asam fosfat akan menyebabkan berkurangnya alkalinitas total sebesar satu ekuivalen (WOLF-GLADROW et al. 2007). Di lautan,

Page 43: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SURATNO & PRAYUDHA

170

alkalinitas total akan berubah karena adanya perubahan salinitas sebagai akibat adanya konsentrasi ion Na+, ion Cl- dan lainnya (FRIIS et al. 2003). Selain itu yang dapat mempengaruhi perubahan alkalinitas total adalah adanya proses biogeokimia seperti pengendapan kalsium karbonat atau adanya produksi partikel senyawa organik oleh mikroalga (WOLF-GLADROW et al. 2007).

Berdasarkan hal tersebut, alkalinitas total (AT) akan terpengaruh oleh adanya ion-ion fosfat (HPO4

2-, PO43- ), asam fosfat (H3PO4) dan juga ion silikat

(SiO(OH)3-).

Karbon anorganikData hasil penelitian karbon anorganik disajikan pada Gambar 3 dan 4

dengan satuan masing-masing adalah µmol/kgSW. Kisaran konsentrasi CT

selama penelitian berada di bawah kisaran yang dilaporkan oleh DICKSON & GOYET (1994) yaitu antara 1800 – 2300 µmol/kgSW. Kisaran konsentrasi CT

pada bulan Agustus antara 1509,71 – 1902,92 µmol/kgSW dengan rata-rata 1728,81 µmol/kgSW, sedangkan pada bulan Nopember antara 1266,66 –1712,74 µmol/kgSW dengan rata-rata 1561,53 µmol/kgSW nilai terendah berada pada Stasiun 2. Nilai CT bulan Agustus umumnya (rata-rata) lebih tinggi 167,27 µmol/kgSW jika dibandingkan dengan Nopember (Gambar 3), perbedaan ini disebabkan salah satunya adalah derajat keasaman (pH). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa nilai pH bulan Agustus lebih rendah dibandingkan bulan Nopember, sehingga menyebabkan nilai CT bulan Agustus lebih tinggi dibandingkan bulan Nopember. Berdasarkan uji statistika (korelasi Pearson) sesuai dengan Tabel 1 bahwa, semakin rendah pH air laut maka akan semakin tinggi nilai CT.

Sebaran karbon anorganik (CT) yang diukur pada bulan Agustus dan November memiliki pola spasial yang tidak terlalu berbeda (Gambar 3 dan Gambar 4). Karbon anorganik total tertinggi terletak di sebelah Utara Pulau Pari baik pada bulan Agustus (Stasiun 7) maupun November (Stasiun 5), ditunjukkan dengan konsentrasi tertinggi dengan warna cenderung merah.

Perbedaan maksimum CT pada bulan Agustus dan Nopember 2008 sebesar 190,18 µmol/kgSW, sedangkan perbedaan minimumnya sebesar 243,06 µmol/kgSW. Berdasarkan uji korelasi Pearson terhadap parameter yang ada (pH, AT, HCO3

-, CO32-, CO2 terlarut terhadap CT), faktor yang dominan berpengaruh

terhadap perbedaan nilai CT adalah pH. Rentang pH bulan Agustus berkisar antara 8,11 – 8,34 dengan rata-rata 8,25 sedangkan pada bulan Nopember antara 8,37 - 8,46 dengan rata-rata 8,42. Perbedaan maksimum pH sebesar 0,12 memberikan perbedaan nilai CT sebesar 190,18 µmol/kgSW sedangkan perbedaan pH minimum sebesar 0,26 memberikan perbedaan nilai CT sebesar 243,06 µmol/kgSW.

Page 44: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

DISTRIBUSI TEMPORAL KARBON ANORGANIK

171

Gambar 3. Sebaran karbon anorganik total (CT) di perairan Pulau Pari Agustus 2008.

Figure 3. Total inorganic carbon distribution in the waters of Pari Island, August 2008.

Gambar 4. Sebaran karbon anorganik total (CT) di perairan Pulau Pari, Nopember 2008.

Figure 4. Total inorganic carbon (CT) distribution in the waters of Pari Island, November 2008.

Page 45: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SURATNO & PRAYUDHA

172

0,00

200,00

400,00

600,00

800,00

1000,00

1200,00

1400,00

1600,00

1800,00

2000,00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Station

Tota

l ino

rgan

ic c

arbo

n (µ

mol

/kgS

W)

August November

Gambar 5. Karbon anorganik total (CT) di perairan Pulau Pari , 2008.Figure 5. Total inorganic carbon (CT) in the waters of Pari Island in

August and November 2008.

THOMAS & SCHNEIDER (1999) menemukan bahwa terjadi perbedaan fluktuasi yang tinggi (250 µmol/kgSW ) CT di perairan Laut Baltic. Perbedaan yang tinggi dipengaruhi oleh arus masuk dari lautan yang mempunyai salinitas rendah sepanjang musim semi dan musim panas yang berasal dari Laut Bothnian, serta Teluk Finland dan Teluk Riga yang memiliki salinitas tinggi selama musim gugur dan musim dingin yang berasal dari Laut Utara. GOYET et al (1998) menemukan adanya perbedaan karbon anorganik total di Laut Arabia (10° - 20° LU) pada permukaan laut dan pada kedalaman 1 – 30 m (zona sub permukaan). Pada posisi 10° LU CT permukaan sebesar 1.995 µmol/kgSW dan zona sub permukaan sebesar 2.150 µmol/kgSW. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perubahan musim, proses biogeokimia dan aktivitas biologi yang ada, selain itu adanya zona ephotik yang ada di kedalaman yang menyebabkan terjadinya percampuran air dari lapisan dasar ke atas dan sebaliknya (GOYETet al. 1998).

Page 46: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

DISTRIBUSI TEMPORAL KARBON ANORGANIK

173

Gambar 6. Sebaran CO32- di perairan Pulau Pari, Agustus 2008.

Figure 6. CO32- distribution in the waters of Pari Island, August 2008.

Gambar 7. Sebaran CO32- di perairan Pulau Pari, Nopember 2008.

Figure 7. CO32- distribution in the waters of Pari Island, November 2008.

Page 47: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SURATNO & PRAYUDHA

174

CO32- merupakan senyawa utama pembentuk karang batu selain ion

Ca2+, kedua senyawa tersebut akan berikatan membentuk senyawa CaCO3. Ion CO3

2- erat berhubungan dengan pH, bila pH turun maka jumlah ion CO32- juga

berkurang. Dengan adanya pengaruh CO2 yang masuk ke dalam lautan dapat menyebabkan turunnya nilai pH sehingga konsentrasi CO3

2- juga berkurang. Jika konsentrasi CO3

2- berkurang maka karang batu pembentuk ekosistem terumbu karang akan terganggu (LANGDON 2000; MARUBINI et al. 2003). Berdasarkan sebaran ion karbonat pada bulan Agustus konsentrasi yang tinggi (361,06 µmol/kgSW ) berada di Stasiun 16 sekitar Tenggara Pulau Pari, sedangkan pada bulan Nopember (436,85 µmol/kgSW) di Stasiun 5 sekitar Utara Pulau Pari (Gambar 6 dan 7).

Gambar 8. Sebaran CO2 terlarut di perairan Pulau Pari, Agustus 2008.Figure 8. Dissolved CO2 distribution in the waters of Pari Island, August

2008.

Konsentrasi CO2 terlarut maksimum di bulan Agustus sebagian besar berada di area sebelah Utara Pulau Pari sedangkan pada bulan Nopember 2008 berada di daerah Timur dan Tenggara. Adanya arus dan angin diduga menyebabkan bergeraknya massa CO2 terlarut ini. Selain faktor cuaca seperti kecepatan angin, arah angin dan curah hujan, salinitas dan pH juga mempengaruhi konsentrasi karbon dioksida terlarut (CO2 larut) (BAKKER et

Page 48: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

DISTRIBUSI TEMPORAL KARBON ANORGANIK

175

al.1996). Konsentrasi CO2 terlarut tertinggi diperoleh di Stasiun 7 letaknya tepat berada di utara Pulau Pari (Gambar 8), tingginya konsentrasi CO2 ini sesuai dengan nilai pH yang paling rendah (8,11) pada bulan Agustus, sedangkan pada bulan Nopember didapatkan di Stasiun 9 yang terletak sebelah Timur Laut sesuai dengan Gambar 9.

Gambar 9. Distribusi CO2 terlarut di perairan Pulau Pari, Nopember 2008.

Figure 9. Dissolved CO2 distribution in the waters of Pari Island, November 2008.

Keterkaitan antar parameter DIC (Dissolve Inorganic Carbon)Untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antar parameter yang ada

digunakan uji korelasi Pearson. Dengan melakukan uji korelasi Pearson ini diharapkan dapat diketahui parameter alkalinitas total (AT), pH, HCO3

-, CO32-,

CO2 terlarut dan karbon anorganik total (CT)) apa saja yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Hasil uji korelasi Pearson antar beberapa parameter yang ada dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Page 49: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SURATNO & PRAYUDHA

176

Tabel 1. Hasil uji korelasi pearson antar beberapa parameter (pH, HCO3-,

CO32-, CO2 terlarut dan Total CO2) Agustus 2008

Table 1. Pearson correlation betwen parameters (pH, HCO3-, CO3

2-, dissolved CO2 dan total CO2) in August 2008

Total alkalinity (AT) pH HCO3

- CO32-

Dissolve CO2 CT

Pearson Correlation 1 .236 .730** .662** .081 .920**

Sig. (2-tailed) .378 .001 .005 .765 .000

Total alkalinity (AT)

N 16 16 16 16 16 16Pearson Correlation .236 1 -.487 .881** -.941** -.161Sig. (2-tailed) .378 .056 .000 .000 .550

pH

N 16 16 16 16 16 16Pearson Correlation .730** -.487 1 -.028 .736** .940**

Sig. (2-tailed) .001 .056 .919 .001 .000

HCO3-

N 16 16 16 16 16 16Pearson Correlation .662** .881** -.028 1 -.690** .315Sig. (2-tailed) .005 .000 .919 .003 .235

CO32-

N 16 16 16 16 16 16Pearson Correlation .081 -.941** .736** -.690** 1 .463Sig. (2-tailed) .765 .000 .001 .003 .071

Dissolve CO2

N 16 16 16 16 16 16Pearson Correlation .920** -.161 .940** .315 .463 1Sig. (2-tailed) .000 .550 .000 .235 .071

CT

N 16 16 16 16 16 16**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Pada bulan Agustus, hasil uji korelasi Pearson menunjukkan pH mempengaruhi ion CO3

2- dan CO2 terlarut secara nyata (p< 0.05). Nilai korelasi negatif menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi CO2 terlarut maka nilai pH akan semakin kecil. BAKKER et al. (1996) menjelaskan bahwa selain salinitas, nilai pH berpengaruh secara langsung terhadap konsentrasi CO2

terlarut. Nilai positif menunjukkan semakin besar nilai pH maka akan semakin besar pula nilai konsentrai CO3

2-, sedangkan CT berkorelasi negatif dengan pH, artinya semakin pH bertambah maka konsentrasi CT akan berkurang.

Page 50: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

DISTRIBUSI TEMPORAL KARBON ANORGANIK

177

Tabel 2. Hasil uji korelasi Pearson antar beberapa parameter (pH, HCO3-,

CO32-, CO2 terlarut dan Total CO2), Nopember 2008.

Table 2. Pearson correlation between parameters (pH, HCO3-, CO3

2-, dissolved CO2 dan total CO2), November 2008.

Total Alkalinity (AT) pH HCO3

- CO32-

Dissolve CO2 CT

Pearson Correlation 1 -.067 .935** .911** .643** .984**

Sig. (2-tailed).805 .000 .000 .007 .000

Total Alkalinity (AT)

N16 16 16 16 16 16

Pearson Correlation -.067 1 -.414 .348 -.802** -.240Sig. (2-tailed)

.805 .111 .187 .000 .370

pH

N16 16 16 16 16 16

Pearson Correlation .935** -.414 1 .706** .872** .983**

Sig. (2-tailed).000 .111 .002 .000 .000

HCO3-

N16 16 16 16 16 16

Pearson Correlation .911** .348 .706** 1 .270 .824**

Sig. (2-tailed).000 .187 .002 .312 .000

CO32-

N16 16 16 16 16 16

Pearson Correlation .643** -.802** .872** .270 1 .767**

Sig. (2-tailed).007 .000 .000 .312 .001

Dissolve CO2

N16 16 16 16 16 16

Pearson Correlation .984** -.240 .983** .824** .767** 1Sig. (2-tailed)

.000 .370 .000 .000 .001

CT

N16 16 16 16 16 16

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa ada dua senyawa yang berkorelasi secara nyata dengan pH yaitu CO3

2- dan CT. Ketika pH meningkat maka CT

berkurang konsentrasinya, demikian juga sebaliknya jika pH berkurang, sehingga dapat dikatakan bahwa derajat keasaman (pH) berpengaruh terhadap jenis karbon anorganik yang ada dalam air laut (ROYAL SOCIETY 2005).

Pada bulan Nopember, hasil uji korelasi Pearson (Tabel 2) menunjukkan pH berpengaruh negatif secara nyata terhadap konsentrasi CO2 terlarut. Hasil ini sama dengan hasil pada bulan Agustus, artinya semakin besar nilai pH maka konsentrasi CO2 terlarut akan berkurang. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan total karbon anorganik berpengaruh signifikan positif terhadap nilai ion HCO3

-, ion CO32- dan

CO2 terlarut, sehingga dapat dikatakan bahwa senyawa-senyawa HCO3-, CO3

2- dan CO2 terlarut merupakan senyawa yang membentuk nilai total karbon anorganik (CT).

Page 51: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SURATNO & PRAYUDHA

178

KESIMPULAN

Distribusi karbon anorganik (HCO3-, CO3

2-, CO2 terlarut) di perairan Pulau Pari menunjukkan bahwa konsentrasi yang tinggi berada di wilayah Selatan dan Tenggara pada bulan Agustus, sedangkan pada bulan Nopember di wilayah sebelah Utara Pulau Pari. Perbedaan ini diduga disebabkan adanya musim Barat dan Musim Timur yang terjadi di perairan Pulau Pari tiap tahunnya. Penurunan pH air laut akan menyebabkan naiknya konsentrasi karbon anorganik (CT).

PERSANTUNAN

Kegiatan ini didanai oleh Proyek DIPA Pusat Penelitian Oseanografi –LIPI TA 2008. Ungkapan terima kasih yang tulus ingin saya sampaikan kepada koordinator kegiatan Bapak Dr. Zainal Arifin, Ibu Dra. Ricky Rositasari selaku koordinator lapangan kegiatan Kajian Perubahan Iklim Global Terhadap Ekosistem Pesisir.

DAFTAR PUSTAKA

BAKKER, D.C.E., H.J.W. de BAAR, and H.P.J. de WILDE 1996. Dissolved carbon dioxide in Dutch coastal waters. Marine Chemistry 55 : 247 – 263.

CALDEIRA, K., and M.E. WICKETT 2005. Ocean model predictions of chemistry changes from carbon dioxide emissions to the atmosphere and ocean. J. Geophys. Res. 110 : 1-12.

DICKSON, A., and C. GOYET 1994. DOE Handbook of methods for the analysis of the various parameters of the carbon dioxide system in sea water. Version 2.0. ORNL/CDIAC-74.

FRIIS, K., A. KORTZINGER and D.W.R. WALLACE 2003. The salinity normalization of marine inorganic carbon chemistry data, Geophys. Ress. Lett. 30 (2): 1085, doi:10.1029/2002GL015898

Page 52: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

DISTRIBUSI TEMPORAL KARBON ANORGANIK

179

GOYET C., N. METZL, F. MILLERO, G. EISCHEID, D.W. O’SULLIVAN and A. POISSON 1998. Temporal variation of the sea surface CO2 - carbonate properties in the Arabian Sea. Marine Chemistry,63: 69–79.

HOUGHTON, J.T., Y. DING, D.J. GRIGGS, M. NOGUER, P. J. VAN DER LINDEN and D. XIAOSU 2001. Climate change 2001: The scientific basis, contribution of working group I to the third assessment report of the international panel on climate change.Cambridge University Press: Cambridge, UK and New York, USA: 944pp.

JUTTERSTROM, S. and L.G. ANDERSON 2005. The saturation of calcite and aragonite in the Arctic Ocean. Marine Chemistry 94 : 101 – 110.

LANGDON, C., T. TAKAHASHI, C. SWEENEY, D. CHIPMAN, J. GODDARD, F. MARUBINI, H. ACEVES, H. BARNETT and M. J. ATKINSON 2000. Effect of calcium carbonate saturation state on the calcification rate of an experimental coral reef, Global Biogeochem. Cycles 14: 639– 654.

LEWIS E. and D. WALLACE 1998. Program developed for CO2 system calculations, Department of Applied Science Brookhaven National Laboratory, New York: 1-22.

MARUBINI, F., C. FERRIER-PAGES, and J. P. CUIF 2003. Suppression of skeletal growth in scleractinian corals by decreasing ambient carbonate-ion concentration: A cross-family comparison. Proc. R. Soc. London, Ser. B 270: 179– 184.

MEHRBACH, C., C.H. CULBERSON, J.E. HAWLEY and R.M. PYTKOWICZ 1973. Measurement of the apparent dissociation constants of carbonic acid in seawater at atmospheric pressure. Limnol. Oceanogr 18: 897–907.

ROCHYATUN. E. 2002. Variasi musiman kandungan oksigen terlarut di Perairan Gugus Pulau Pari. Dalam: RUYITNO, M. MUCHTAR dan I. SUPANGAT (eds), Perairan Indonesia: Oseanografi, Biologi dan Lingkungan. P2O-LIPI Jakarta: 23 – 32.

ROYAL SOCIETY 2005. Ocean acidification due to increasing atmospheric carbon dioxide. Policy Document 12/05. The Royal Society :1 -68.

Page 53: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SURATNO & PRAYUDHA

180

STRICKLAND, J.D.H. and T.R. PARSONS 1968. A Practical handbook of seawater analysis Fish. Res. Board. Canada Bull. 167: 1 – 311.

THOMAS, H. and B. SCHNEIDER 1999. The seasonal cycle of carbon dioxide in Baltic Sea surface waters. Journal of Marine System 22: 53-67.

WOLF-GLADROW D.A., E. RICHARD, R.E. ZEEBE, C. KLAAS, A.KÖRTZINGER and A.G. DICKSON 2007. Total alkalinity: The explicit conservative expression and its application to biogeochemical processes. Marine Chemistry 106 : 287–300.

Page 54: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(2): 181-192 ISSN 0125 – 9830

FORAMINIFERA BENTIK SEBAGAI INDIKATOR KONDISI LINGKUNGAN TERUMBU KARANG PERAIRAN PULAU

KOTOK BESAR DAN PULAU NIRWANA, KEPULAUAN SERIBU

oleh

SUHARTATI MUHAMMAD NATSIRPusat Penelitian Oseanografi – LIPI

Received 10 February 2010, Accepted 14 July 2010

ABSTRAK

Kawasan Kepulauan Seribu memiliki nilai konservasi yang tinggi karena kelimpahan, keragaman jenis dan ekosistemnya yang unik dan khas. Degradasi terumbu karang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia karena menganggu keseimbangan ekosistem di sekitarnya. Penelitian foraminfera bentik ini dilakukan di sekitar Pulau Kotok Besar dan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu pada tahun 2008. Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat kelayakan lingkungan terhadap pertumbuhan terumbu karang berdasarkan komposisi foraminifera bentik yang terdapat di Pulau Kotok Besar dan Pulau Nirwana. Metode yang digunakan adalah melalui pendekatan kelimpahan foraminifera bentik dengan menghitung FORAM (Foraminifera in Reef Assessment and Monitoring) Index. Pengambilan sampel sedimen untuk memperoleh sampel foraminifera bentik dilakukan dengan menggunakan Van Veen Grab. Proses preparasi (pencucian, picking, deskripsi dan identifikasi serta sticking dan dokumentasi), observasi dan analisis terhadap sampel dilakukan di laboratorium. Secara umum, perairan di sekitar Pulau Kotok Besar sangat kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang dengan nilai FORAM Index antara 7,57 – 7,63. Foraminifera bentik yang mendominasi adalah dari marga Amphistegina, Calcarina dan Tynoporus. Pulau Nirwana lebih didominasi oleh foraminifera bentik dari marga Ammonia, Elphidium, Quinqueloculina dan Spiroloculina. Kondisi perairan Pulau Nirwana tidak layak untuk pertumbuhan terumbu karang karena nilai FORAM Index-nya rendah, hanya berkisar antara 1,57 – 1,92.

Kata kunci : Foraminifera, FORAM Index, Pulau Kotok Besar, Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu.

Page 55: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

NATSIR

182

ABSTRACT

BENTHIC FORAMINIFERA AS INDICATOR OF ENVIRONMENTAL CONDITION OF CORAL REEFS IN KOTOK BESAR AND NIRWANA ISLANDS OF SERIBU ISLANDS. Seribu Islands has precious conservation value due to their unique biodiversities. Coral reefs degradation would lead to perturbation of ecosystem balance that in the end affect human life. This study on benthic foraminifera was conducted on Kotok Besar and Nirwana Islands of Seribu Islands during 2008. The aim of the study was to recognize environmental suitability for coral reefs growth based on the benthic foraminiferal distribution by Foraminifera in Reef Assessment and Monitoring Index (FORAM Index). Sediment of the sampling sites was collected by Van Veen Grab and then later treated in laboratory to collect benthic foraminifera. The results showed that Kotok Besar Island was suitable for reefs growth due to FORAM Index of 7.57 and 7.63. The most dominant of symbiont bearing foraminifera are Amphistegina, Calcarina and Tynoporus. Whereas, the Nirwana Island was dominated by Ammonia, Elphidium, Quinqueloculina and Spiroloculina that are opportunistic foraminifera. Nirwana Island showed stressed conditions that unsuitable for reef growth as shown by the range of FORAM Index of 1.57 to 1.92.

Key words : Foraminifera, FORAM Index, Kotok Besar Island, Nirwana Island, Seribu Islands.

PENDAHULUAN

Kawasan Kepulauan Seribu memiliki nilai konservasi yang tinggi karena kelimpahan, keragaman jenis dan ekosistemnya yang unik dan khas. Pulau Kotok Besar merupakan salah satu pulau dari gugusan Pulau Seribu bagian utara, sedangkan Pulau Nirwana terletak di Kepulauan Seribu bagian selatan. Secara umum, kondisi perairan bagian selatan Pulau Seribu masih terpengaruh oleh aktifitas dari daratan (BROWN 1986; GIYANTO & SOEKARNO 1997).

Ekosistem terumbu karang memiliki fungsi sangat besar bagi berbagai biota laut sehingga harus selalu dijaga kelestariannya. Degradasi terumbu karang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia karena menganggu keseimbangan ekosistem di sekitarnya. Salah satu metode yang digunakan untuk memantau kondisi terumbu karang adalah penghitungan indeks keanekaragaman ikan dan biota lain yang berasosiasi dengan terumbu karang.

Page 56: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

FORAMINIFERA BENTIK

183

Metode sederhana yang dapat digunakan untuk memantau kondisi terumbu karang adalah melalui pendekatan foraminifera bentik di sekitar terumbu karang tersebut, yaitu dengan menghitung FORAM (Foraminifera in Reef Assessment and Monitoring) Index atau FI (HALLOCK et al. 2003). Penelitian tentang FORAM Index pada beberapa pulau di Kepulauan Seribu (Pulau Bidadari, Pulau Pramuka dan Pulau Belanda) yang telah dilakukan oleh DEWI et al. (2010) dilakukan di luar ekosistem terumbu karang didapatkan nilai FORAM Indexantara 2,53 dan 2,99.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh HALLOCK et al.(2003), foraminifera dipilih sebagai indikator lingkungan karena foraminifera tertentu memerlukan kesamaan kualitas air dengan berbagai biota pembentuk terumbu karang, dan siklus hidupnya yang cukup singkat sehingga dapat menggambarkan perubahan lingkungan yang terjadi dalam waktu cepat. Disamping itu, foraminifera merupakan organisme yang berukuran relatif kecil, jumlahnya berlimpah dan mudah dikoleksi. Hasil studi seperti ini dapat diolah secara statistik dan sangat ideal sebagai salah satu komponen suatu program pemantauan lingkungan perairan. Hal penting lainnya adalah pengambilan sampel foraminifera berpengaruh sangat kecil terhadap ekosistem terumbu karang sehingga aman untuk kelestarian terumbu karang tersebut (HALLOCK et al. 2003). Foraminifera dari jenis tertentu merupakan organisme yang hidup berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang. YAMANO et al. (2000) menyatakan bahwa 30% dari total sedimen yang terhampar di Pulau Green, Great Barrier Reef, Australia adalah foraminifera bentik sehingga organisme tersebut merupakan salah satu kontributor dalam pembentukan terumbu karang. Foraminifera yang mendominasi sedimen tersebut adalah Amphistegina, Baculogypsina dan Calcarina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelayakan lingkungan untuk pertumbuhan terumbu karang berdasarkan komposisi foraminifera bentik yang terdapat di sekitar perairan Pulau Kotok Besar dan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di sekitar Pulau Kotok Besar dan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu pada tahun 2008. Secara umum, metode yang digunakan dalam penelitian di lapangan adalah metode survey. Stasiun penelitian terletak pada bagian Utara, Timur, Selatan dan Barat dari Pulau Kotok Besar dan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu, masing-masing terdiri dari empat titik (Gambar 1). Pengukuran parameter lingkungan dilakukan secara langsung untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan dengan foraminifera bentik dan terumbu karang yang hidup di sekitar perairan tersebut. Alat yang digunakan dalam pengukuran parameter lingkungan disajikan pada Tabel 1.

Page 57: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

NATSIR

184

Tabel 1. Alat yang digunakan dalam pengukuran parameter lingkungan di sekitar Pulau Kotok Besar dan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu.

Table 1. Instruments for environmental parameters monitoring of marine waters in the Kotok Besar and Nirwana Islands of Seribu Islands.

Paramaters Unit InstrumentsDepth meter Plastimo hand held depth sounderTemperature °C Horiba portable thermometerSalinity ppt Atago RefractometerpH - Horiba pH-meterTransparancy meter Secchi disk

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel di Pulau Kotok Besar dan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu pada bagian Utara (N), Timur (E), Selatan (S) dan Barat (W).

Figure 1. Sampling sites of Kotok Besar Island and Nirwana Island of Seribu Islands in the northern side (N), eastern side (E), southern side (S) and western side (W).

Page 58: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

FORAMINIFERA BENTIK

185

Pengambilan sampel sedimen dasar laut untuk memperoleh sampel foraminifera bentik dilakukan dengan menggunakan Van Veen Grab dengan luas cakupan (8060) cm2 pada setiap pengoperasian. Pengambilan sampel juga dilakukan masing-masing empat titik pada empat stasiun tersebut (bagian Utara, Timur, Selatan dan Barat masing-masing Pulau). Sampel yang diperoleh dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label.

Preparasi sampel dilakukan berdasarkan metode KENNEDY & ZIEDLER (1976) yang terdiri dari tahapan pencucian sampel, pemisahan foraminifera dari sedimen, deskripsi dan identifikasi serta penempelan dan dokumentasi. Pencucian sampel dilakukan dengan air mengalir di atas saringan hingga bersih dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 30°C selama 2jam. Sampel yang telah kering dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label untuk analisis lebih lanjut. Tahap selanjutnya adalah pemisahan foraminifera dari sedimen yaitu menyebarkan sampel yang telah dicuci pada extraction tray di bawah mikroskop binokuler secara merata. Foraminifera yang terdapat dalam sampel tersebut diambil dan disimpan pada foraminiferal slide.

Kemudian dilakukan proses deskripsi dan identifikasi terhadap individu yang didapatkan. Individu yang telah dipisahkan diklasifikasikan berdasarkan morfologinya seperti bentuk cangkang, bentuk kamar, formasi kamar, jumlah kamar, ornamentasi cangkang, kemiringan apertura, posisi apertura dan kamar tambahan. Proses identifikasi dilakukan sampai tingkat spesies berdasarkan CHAPMAN (1902); BOLTOVSKOY & WRIGHT (1976); BUZAS & CULVER (1982). Tahap selanjutnya merupakan analisis kuantitatif untuk mendapatkan data kelimpahan. Proses penempelan dan dokumentasi dilakukan dengan meletakkan spesimen yang terpilih pada foraminiferal slide dengan posisi tampak apertura, tampak dorsal, tampak ventral dan tampak samping yang kemudian difoto di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 sampai 100.

Untuk mendapatkan nilai FORAM Index, dilakukan perhitungan dengan menggunakan formula berikut (HALLOCK et al. 2003):

FI = (10×Ps) + (Po) + (2×Ph)Keterangan:

FI = FORAM IndexPs = Ns/ T Ns = Jumlah individu yang mewakili foraminifera yang berasosiasi

dengan terumbu karang: Amphistegina, Heterostegina, Alveolinella, Borelis, Sorites, Amphisorus, Marginophora.

Po = No/TNo = Jumlah individu yang mewakili foraminifera oportunis: Ammonia,

Elphidium, beberapa marga dari Suku Trochaminidae, Lituolidae, Bolivinidae, Buliminidae.

Ph = Nh/T

Page 59: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

NATSIR

186

Nh = Jumlah individu yang mewakili foraminifera kecil lain yang heterotrofik: beberapa marga dari Miliolida, Rotaliida, Textulariida dan lain-lain.

T = Jumlah seluruh individu foraminifera yang didapatkan dari sampel yang diuji.

Interpretasi nilai FORAM Index berdasarkan HALLOCK et al. (2003):FI > 4 = lingkungan sangat kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang3 < FI < 5 = lingkungan peralihan 2 < FI < 4 = lingkungan cukup untuk pertumbuhan terumbu karang, namun

tidak cukup untuk pemulihan FI < 2 = lingkungan tidak layak untuk pertumbuhan terumbu karang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap sampel yang diperoleh dari masing-masing pulau menunjukkan bahwa terdapat perbedaan komposisi jumlah foraminifera bentik yang ditemukan. Dari seluruh foraminifera bentik yang ditemukan di Pulau Kotok Besar, sebanyak 72,80% diantaranya merupakan foraminifera bentik yang berasosiasi dengan terumbu karang terutama dari marga Amphistegina, Calcarina dan Tynoporus. Foraminifera dari kelompok oportunis dan heterotrofik, masing-masing hanya mencapai 22,05 dan 5,16% dari total individu yang ditemukan di pulau tersebut. Pada masing-masing stasiun, ketiga marga tersebut ditemukan dalam jumlah yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan marga yang termasuk dalam kelompok foraminifera oportunis maupun foraminifera lain yang heterotrofik. Rata-rata kelimpahan marga Amphisteginapada masing-masing stasiun di pulau ini mencapai 24% (Tabel 2).

Pulau Nirwana lebih didominasi oleh foraminifera bentik kelompok oportunis seperti Ammonia, Elphidium, Quinqueloculina dan Spiroloculina.Kelompok foraminifera bentik oportunis di perairan sekitar Pulau Nirwana mencapai 71,16% dari seluruh foraminifera bentik yang ditemukan. Kelompok foraminifera yang berasosiasi dengan terumbu karang dan foraminifera kecil lain yang heterotrofik masing-masing hanya mencapai 5,12 dan 22,05% dari seluruh foraminifera yang ditemukan.

Berdasarkan foraminifera bentik yang ditemukan, nilai FORAM Indexdi Pulau Kotok Besar tergolong tinggi, yaitu berkisar antara 7,57 sampai 7,63 (Tabel 2). Hal ini mengindikasikan bahwa terumbu karang di perairan sekitar pulau tersebut dalam keadaan masih baik dan sehat. HALLOCK et al. (2003) menyatakan bahwa lingkungan suatu perairan yang memiliki nilai FORAM Indexlebih dari empat tergolong sangat kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang.

Page 60: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

FORAMINIFERA BENTIK

187

Jenis foraminifera bentik yang mendominasi pada setiap stasiun pengamatan di Pulau Kotok Besar adalah marga Amphistegina, terutama Amphistegina lessonii (D’ORBIGNY). Spesies tersebut di temukan melimpah pada setiap stasiun pengamatan. RENEMA (2008) menemukan dua spesies dari marga Amphistegina di lereng terumbu (reef slope) pada pecahan karang (rubble) atau pecahan karang bercampur pasir bersama-sama dengan beberapa spesies dari marga Calcarina di Kepulauan Seribu. Beberapa spesies Calcarina yang ditemukan melimpah di paparan terumbu (reef flat) dan puncak terumbu (reef crest) atau yang berasosiasi dengan alga dan makroalga adalah Sargassum, Galaxaura dan Chelidiopsis. BARKER (1960) menemukan spesies-spesies tersebut pada kedalaman 16 m sampai 25 m di Kepulauan Admiralty, Pasifik, sedangkan GRAHAM & MILITANTE (1959) menemukan pada kedalaman 8,5 m sampai 14,5 m di Teluk Puerto Galera, Filipina.

Tabel 2. Sebaran foraminifera bentik di perairan Pulau Kotok Besar, Kepulauan Seribu yang dikelompokkan berdasarkan marga.

Table 2. Distribution of benthic foraminifera in Kotok Besar Island, Seribu Islands, classified according to genera.

Percentage of collected benthic foraminifera (%)Genera

North East South WestAcervulina 2.71 2.52 2.25 2.19Amphistegina 24.49 23.19 24.72 24.13Ammonia 11.77 13.31 12.82 13.31Calcarina 15.78 16.06 17.32 17.28Elphidium 4.47 4.15 5.51 4.41Heterostegina 4.28 4.29 4.28 3.97Marginophora 10.13 9.68 6.32 7.13Operculina 4.08 4.70 5.15 4.74Quinqueloculina 2.79 2.12 1.62 1.94Rosalina 3.22 2.61 2.76 2.63Spiroloculina 2.71 2.29 2.40 2.33Tynoporus 13.58 15.09 14.86 15.95

Total 100.00 100.00 100.00 100.00

FORAM Index 7.57 7.62 7.59 7.63

Page 61: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

NATSIR

188

Tabel 3. Sebaran foraminifera bentik di perairan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu yang dikelompokkan berdasarkan marga.

Table 3. Distribution of benthic foraminifera in Nirwana Island, Seribu Islands, classified according to genera.

Percentage of collected benthic foraminifera (%)Genera

North East South WestAcervulina 3.88 7.24 6.12 3.27Amphistegina 1.09 1.23 0.61 1.99Ammonia 18.17 18.03 16.51 13.66Calcarina 1.24 0.92 0.61 1.71Elphidium 18.17 13.41 17.74 17.92Heterostegina 0.62 0.62 1.07 1.14Marginophora 0.62 0.62 0.92 0.43Operculina 0.47 0.00 0.15 0.71Quinqueloculina 19.25 18.80 20.80 17.35Rosalina 16.61 17.87 18.20 21.19Spiroloculina 18.79 20.65 16.97 19.06Tynoporus 1.09 0.62 0.31 1.56Total 100.00 100.00 100.00 100.00

FORAM Index 1.67 1.61 1.57 1.92

Pulau Kotok Besar merupakan salah satu pulau yang terletak di bagian utara Kepulauan Seribu. Diduga kedalaman perairan di sekitar Pulau Kotok Besar yang berkisar antara 29 – 35 m cukup baik bagi kelangsungan hidup maupun proses reproduksi Amphistegina lessonii yang merupakan anggota dari Subordo Rotaliina. HALLOCK (1981) menyatakan bahwa Amphistegina lessoniidapat hidup, tumbuh dan bereproduksi dengan baik pada kedalaman lebih dari 3 m. Jenis substrat yang mendominasi pulau tersebut adalah pasir halus dan terumbu karang dengan tingkat kecerahan antara 8 – 10 m dan pH antara 7,80 –7,95 (Tabel 4). Secara umum, populasi foraminifera bentik akan cenderung berkurang pada perairan dengan tingkat kecerahan rendah (BOLTOVSKOY & WRIGHT 1976).

Berbeda dengan Pulau Kotok besar, Pulau Nirwana yang terletak di bagian Selatan Kepulauan Seribu memiliki kondisi perairan yang kurang layak untuk pertumbuhan terumbu karang. Terbukti dengan hasil perhitungan FORAM Index yang berkisar antara 1,57 – 1,92. HALLOCK et al. (2003) mengemukakan bahwa perairan yang memiliki nilai FORAM Index kurang dari dua merupakan perairan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan terumbu karang. Foraminifera

Page 62: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

FORAMINIFERA BENTIK

189

yang berasosiasi dengan terumbu karang ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit (rata-rata < 5 individu), bahkan pada beberapa stasiun tidak ditemukan. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi terumbu karang di sekitar perairan tersebut kurang baik. Sedikitnya jumlah foraminifera yang berasosiasi dengan terumbu karang ini disebabkan oleh kondisi perairan (kecerahan dan pH) pulau tersebut yang cenderung kurang sesuai untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan reproduksi foraminifera. Perairan di sekitar pulau Nirwana didominasi oleh foraminifera bentik oportunis seperti Ammonia beccarii (LINNE), Elphidium craticulatum (FITCHEL & MOLL), Quinqueloculina parkery (BRADY) dan Spiroloculina communis (BLAINVILLE).

Tingkat kecerahan di perairan Pulau Nirwana relatif lebih rendah, yaitu berkisar antara 3 – 4 m (Tabel 4). Kecerahan dapat mempengaruhi penetrasi cahaya matahari di perairan sehingga akan mempengaruhi fotosintesis dan jumlah oksigen akan berkurang. Secara umum, populasi foraminifera bentik akan berkurang di perairan dengan tingkat kecerahan yang rendah (BOLTOVSKOY & WRIGHT 1976). HALLOCK (1981) menyatakan bahwa Amphistegina lobifera hidup, tumbuh dan bereproduksi dengan baik pada perairan dangkal (kurang dari 3 meter) dengan intensitas cahaya yang tinggi. Derajat keasaman (pH) perairan Pulau Nirwana tercatat antara 7,40 – 7,95 dengan nilai tertinggi diperoleh dari perairan bagian selatan. Derajat keasaman (pH) air laut berpengaruh pada kondisi cangkang foraminifera. Perairan dengan pH asam akan melarutkan CaCO3, sehingga spesies foraminifera dengan cangkang gampingan akan hancur dan mati, namun spesies berdinding pasiran tidak akan terpengaruh pH yang rendah (BOLTOVSKOY & WRIGHT 1976).

Tabel 4. Kondisi lingkungan (faktor abiotik) di sekitar Pulau Kotok Besar dan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu.

Table 4. Environmental condition (abiotic factors) of marine waters in the environment of Kotok Besar and Nirwana Island of Seribu Islands.

IslandParamaters Unit

Kotok Besar NirwanaDepth meter 29 – 35 13 – 22

Surface 29.20 – 29.75 30.01 – 30.10Temperature

Bottom°C

29.24 – 29.74 30.01 – 30.09Surface 31.20 – 32.16 31.91 – 32.50

SalinityBottom

ppt31.20 – 32.15 31.90 – 32.50

pH - 7.80 – 7.95 7.40 – 7.95Transparency meter 8 – 10 3 – 4

Page 63: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

NATSIR

190

Sedimen di sekitar Pulau Nirwana didominasi oleh lumpur dan bahkan ditemukan endapan sampah, terutama pada bagian selatan, yang ketebalannya mencapai 20 cm. Tingkat kecerahan yang tercatat di sekitar pulau tersebut relatif rendah, yaitu berkisar antara 3 – 4 m. Perairan Kepulauan Seribu bagian selatan masih mendapat pengaruh dari daratan kota Jakarta yang merupakan tempat bermuaranya 13 sungai yang mengalir di kawasan tersebut (BROWN 1986; GIYANTO & SOEKARNO 1997). Kondisi perairan yang demikian dapat mengakibatkan penurunan nilai kecerahannya. Penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan akan terhambat oleh rendahnya tingkat kecerahan. Secara nyata kondisi tersebut dapat mempengaruhi kehidupan biota laut di bawahnya termasuk foraminifera bentik. SUHARTATI (2010) menemukan sebagian besar foraminifera di perairan Pulau Belanda terdapat di bagian utara yang mempunyai tingkat kecerahan lebih tinggi. BOLTOVSKOY & WRIGHT (1976) menyatakan bahwa kecerahan dapat mempengaruhi penetrasi cahaya matahari di perairan, sehingga akan mempengaruhi fotosintesis. Kecerahan yang rendah akan mengurangi jumlah oksigen yang akan mengakibatkan berkurangnya populasi foraminifera bentik.

Suhu merupakan faktor ekologi yang penting bagi foraminifera. Suhu dasar perairan yang tercatat selama penelitian di Pulau Nirwana dan Kotok Besar relatif stabil dengan kisaran 29,24 – 30,09 °C, demikian pula dengan suhu permukaan yang berkisar antara 29,20 – 30,10 °C (Tabel 4). Kisaran tersebut merupakan kisaran normal untuk kehidupan foraminifera. NATLAND seperti disitir oleh PRINGGOPRAWIRO (1982) menyatakan bahwa umumnya foraminifera hidup pada suhu antara 1 – 50 °C dan suhu mempengaruhi pertumbuhan cangkang, terutama pada foraminifera berdinding agglutinated.

Kisaran salinitas yang tercatat pada permukaan dan dasar perairan Pulau kotok Besar berkisar antara 31,20 – 32,16 ppt, sedangkan pada perairan Pulau Nirwana sedikit lebih tinggi, yaitu antara 31,90 – 31,50 ppt (Tabel 4). Salinitas tersebut merupakan salinitas yang normal bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan foraminifera bentik. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh BRADSHAW yang disitir oleh MURRAY (1973) yang menyatakan bahwa secara umum foraminifera bentik dapat hidup pada salinitas antara 20 – 40 ppt. Pada kisaran salinitas tersebut, Ammonia beccarii mampu membentuk satu kamar dalam satu hari, namun spesies tersebut hanya mampu membentuk satu kamar dalam waktu tiga hari pada salinitas yang lebih rendah (13 ppt). Selain itu, Ammonia beccarii tidak dapat tumbuh pada salinitas yang lebih tinggi (50 ppt). Fenomena tersebut juga terjadi pada spesies Operculina ammonoides.

Page 64: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

FORAMINIFERA BENTIK

191

KESIMPULAN

Berdasarkan perhitungan FORAM Index, perairan di sekitar Pulau Kotok Besar sangat kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang, sedangkan kondisi perairan Pulau Nirwana tidak layak untuk pertumbuhan terumbu karang. Secara umum, perairan Pulau Kotok Besar didominasi oleh foraminifera bentik yang berasosiasi dengan terumbu karang terutama dari marga Amphistegina, Calcarina dan Tynoporus. Pulau Nirwana lebih didominasi oleh foraminifera bentik dari kelompok oportunis seperti Ammonia, Elphidium, Quinqueloculinadan Spiroloculina.

PERSANTUNAN

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Wahyoe SupriHantoro dari Pusat Penelitian Geoteknologi – LIPI dan Ir. Tjuk Aziz dari Pusat Penelitian Geologi Laut yang telah banyak memberi masukan dan membimbing di lapangan pada penelitian pertama dalam rangkaiannya dengan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Subhan yang telah membantu mengetik untuk penyelesaian tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

BARKER, R.W. 1960. Taxonomic notes. Society of economic paleontologist and mineralogist. Special publication No. 9. Tulsa. Oklahoma, USA: 238 pp.

BOLTOVSKOY, E. and R. WRIGHT. 1976. Recent foraminifera. In: W. JUNK (ed.) Foraminifera. The Hague, Netherland: 515 pp.

BROWN, B.E. 1986. Human induced damage to coral reefs. Unesco Reports in Marine Science 40: 179 pp.

BUZAS, M. A. and S.J. CULVER 1982. Biogeography of modern benthic foraminifera In: B. K. SEN GUPTA (ed.) Modern Foraminifera. University of Tennessee Studies in Geology 6: 90–106.

CHAPMAN, F. 1902. The foraminifera. An introduction to the study of the Protozoa. Longmans, Green and Co, London: 354 pp.

Page 65: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

NATSIR

192

DEWI, K.T; M.N. SUHARTATI dan Y. SISWANTORO 2010. Mikrofauna (foraminifera) terumbu karang sebagai indikator perairan sekitar pulau-pulau kecil. Ilmu Kelautan. Edisi khusus 1: 162–170.

GRAHAM, J. J. and P. J. MILITANTE 1959. Recent foraminifera from the Puerto Galera area, northern Mindoro, Philippines: Stanford Univ. Pubs., Geol. Sci. 6 (2): 1–132.

GIYANTO dan SOEKARNO 1997. Perbandingan komunitas terumbu karang pada dua kedalaman dan empat zona yang berbeda di pulau-pulau Seribu, Jakarta. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 30: 33–51.

HALLOCK, P. 1981. Light dependence in Amphistegina. J. of Foraminifera Research 11 (1): 40–46.

HALLOCK, P; B.H. LIDZ; E.M. COCKEY-BURKHARD and K.B. DONNELLY 2003. Foraminifera as bioindicators in coral reef assessment and monitoring: the FORAM Index. Environmental Monitoring and Assessment 81(1–3):221–238.

KENNEDY, C. and W. ZIEDLER 1976. The preparation of oriented thin sections in micropaleontology: An improved method for revealing the internal morphology of foraminifera and other microfossils. Mycropaleontology 22 (1): 104–107.

MURRAY, J. W. 1973. Distribution and ecology of living foraminifera. Ciane Russell Co. Inc. New York: 274 pp.

PRINGGOPRAWIRO, H. 1982. Mikropaleontologi lanjut. Laboratorium Mikropaleontologi Institut Teknologi Bandung. Bandung: 4–18.

RENEMA, W. 2008. Habitat selective factors Influencing the distribution of larger benthic foraminiferal assemblages over the Kepulauan Seribu. Marine Micropaleontology 68: 286–298.

SUHARTATI, M. N. 2010. Sebaran foraminifera bentik di Pulau Belanda, Kepulauan Seribu pada musim barat. Ilmu Kelautan. Edisi khusus 2: 381–387.

YAMANO, H; T. MIYAJIMA and I. KOIKE 2000. Importance of foraminifera for the formation and maintenance of a coral sand cay: Green Island, Australia. Coral Reefs (19) : 51–58.

Page 66: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(2): 193-210 ISSN 0125 – 9830

SUMBERDAYA IKAN DI DAERAH PADANG LAMUN PULAU-PULAU DERAWAN, KALIMANTAN TIMUR

oleh

MUHAMMAD DJEN MARASABESSY Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI

Received 4 March 2010, Accepted 14 July 2010

ABSTRAK

Padang lamun (seagrass) merupakan salah satu ekosistem perairan tropis yang sangat berperan di dalam kehidupan berbagai jenis biota laut khususnya berbagai jenis ikan yang memanfaatkannya baik sebagai daerah asuhan dan perlindungan (nursery ground), dan sebagai tempat memijah (spawning ground) maupun sebagai padang penggembalaan atau tempat mencari makan (feeding ground). Perairan Pulau-pulau Derawan merupakan salah satu perairan di Indonesia yang memiliki ekosistem padang lamun dengan kondisi yang relatif masih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sumberdaya ikan yang terdapat di padang lamun di perairan Pulau-Pulau Derawan, Kalimantan Timur. Ikan-ikan yang terdapat di daerah padang lamun dikoleksi menggunakan jaring tarik (beach seine) pada enam stasiun pengamatan. Indeks Shannon dan indeks Eveness dipakai untuk menilai tingkat keanekaragaman dan kekayaan jenis ikan-ikan yang ada di daerah penelitian. Seluruh hasil tangkapan dicacah per jenis lalu ditimbang kemudian dilakukan identifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan-ikan yang berhasil dikoleksi berjumlah 1.708 ekor yang mewakili 58 jenis dari 30 suku. Lokasi Pulau Samama dan Pulau Derawan 1 merupakan lokasi yang memiliki jumlah jenis hasil tangkapan tertinggi yaitu masing-masing 21 dan 22 jenis. Sebaliknya Pulau Kakaban memiliki jumlah jenis hasil tangkapan terendah yaitu hanya empat jenis, namun bila dilihat dari jumlah individu hasil tangkapan maka lokasi Pulau Kakaban menduduki tempat tertinggi (515 ekor). Jumlah bobot basah hasil tangkapan ikan padang lamun tertinggi ditemukan di lokasi Pulau Panjang sebesar 18.254,1 gram. Jenis-jenis ikan dari suku Gerridae mendominasi jumlah hasil tangkapan di Pulau Samama, sedangkan jenis-jenis dari suku Labridae dan Lethrinidae mendominasi hasil tangkapan di Pulau Derawan. Nilai indeks keragaman (H’) yang tertinggi ditemukan pada lokasi Pulau Samama dan Pulau Derawan yaitu masing-masing 2.2230 dan 2.2171 dan terendah di lokasi Pulau Sangalaki yaitu 0.8381. Secara umum kepadatan ikan di ekosistem padang lamun ini cukup tinggi, keadaan ini ada kaitannya dengan kualitas perairan yang relatif masih alami dan belum tercemar.

Kata kunci : Ikan padang lamun, kualitas air, Pulau – Pulau Derawan,Kalimantan Timur.

Page 67: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUMBERDAYA IKAN DI DAERAH PADANG LAMUN

194

ABSTRACT

FISH RESOURCES ON SEAGRASS BEDS IN DERAWAN ISLANDS, EAST KALIMANTAN. Seagrass beds is one of the tropical aquatic ecosystem plays an important role in the lives of many marine species, particularly various fish resource that use the habitat as nursery, spawning and feeding grounds. Derawan Islands waters is one of the waters in Indonesia, which has a seagrass ecosystem that in a relatively good condition. The purpose of this study is to determine the fishery resources found in seagrass beds in the Derawan Islands waters, East Kalimantan. Fishes of the seagrass beds were collected using beach seine in the six stations. Shannon Index and Eveness Index were used to assess the level of diversity and richness of fish species. The entire catch was counted per species and weighed then identified. The results showed that the fish are successfully collected are 1708 individuals, representing 58 species from 30 families. Pulau Samama and Pulau Derawan 1 that have the highest number of species that are 21 and 22 species respectively. Conversely Pulau Kakaban has the lowest four species number, but view front the total number of individual caught this island is the highest (515 individuals). Highest total catches was found in Pulau Panjang (18254.1 grams). The species of Gerridae dominate total catches in Pulau Samama, while the species of Lethrinidae and Labridae dominated in the Pulau Derawan. The highest values of diversity index (H ') were 2.223 and 2.217 for Pulau Samama and Pulau Derawan respectively and the lowest in Pulau Sangalaki. In general, the density of fishes in seagrass beds are high, this state has something to do with the quality of the relatively unspoiled waters and has not been contaminated.

Key words : Fishes of seagrass beds, water quality, Derawan Island, East Kalimantan.

PENDAHULUAN

Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan salah satu ekosistem laut dangkal yang mempunyai peranan penting bagi kehidupan berbagai jenis biota laut di daerah tropis, serta merupakan salah satu ekosistem bahari yang paling produktif. Peranan padang lamun bagi kehidupan ikan yaitu sebagai daerah asuhan dan perlindungan (nursery ground), sebagai tempat memijah (spawning ground) dan sebagai padang penggembalaan atau tempat mencari makan (feeding ground) (KIKUCHI 1974).

Pulau-Pulau Derawan terletak di Kecamatan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Terdapat beberapa Pulau yang membentuk gugusan

Page 68: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MARASABESSY

195

Pulau-Pulau Derawan baik yang berpenghuni maupun yang tidak. Pada daerah ini dijumpai beberapa buah pulau baik yang dihuni maupun yang tidak dihuni. Beberapa pulau yang dilindungi yaitu Pulau Derawan dan Pulau Sangalaki sebagai tempat mendaratnya penyu hijau (Chelonia mydas) untuk bertelur. Disamping itu ada juga pulau yang mempunyai keunikan tersendiri yaitu Pulau Kakaban. Di pulau ini dijumpai sebuah danau air asin di tengah-tengahnya dengan berbagai biota di dalamnya terutama jenis-jenis ubur-ubur, ikan, algae dan moluska. Beberapa buah pulau seperti Pulau Kakaban, Pulau Derawan dan Pulau Sangalaki merupakan pulau wisata yang telah dikelola secara baik oleh beberapa pengusaha setempat. Namun demikian kegiatan pariwisata di daerah tersebut lambat laun akan berdampak pula terhadap kehidupan biota yang ada. Karena berbagai keunikan ekosistem yang dimiliki, Pemerintah Daerah Kalimantan Timur berupaya memperluas kawasan konservasi dari areal konservasi yang sudah ada di Pulau-Pulau Derawan.

Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk mengungkap berbagai sumberdaya laut yang ada di perairan Pulau-Pulau Derawan. Pulau-pulau Derawan mempunyai sumberdaya hayati yang tinggi antara lain, terumbu karang, mangrove dan padang lamun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis ikan yang ditemukan di peraian Pulau-pulau Derawan dan sekitarnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ikan padang lamun dilakukan di perairan Pulau-Pulau Derawan, kecamatan Berau, Kalimantan Timur (Gambar 1). Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel ikan adalah jaring tarik (beach seine) dengan ukuran panjang sayap dan kantong masing-masing 10 m dan 2 m dengan ukuran mata jaring bagian sayap sebesar 1,875 cm dan di bagian kantong sebesar 0,625 cm. Jenis ikan yang diamati diidentifikasi dengan berpedoman pada KUITER (1992) dan ALLEN (1997).

Penarikan jaring dilakukan secara tegak lurus dengan garis pantai di areal padang lamun, serta dilakukan pada saat air pasang. Hasil tangkapan tiap tarikan jaring dimasukkan kedalam kantong plastik dan diberi formalin 10 %. Di laboratorium ikan hasil tangkapan dicacah menurut jenisnya, diidentifikasi, diukur panjang totalnya (mm) dan ditimbang beratnya (gram). Sebanyak enam lokasi pengambilan sampel yang dipilih dimana masing-masing lokasi berupa Pulau yang merupakan gugusan Pulau-Pulau Derawan. Pulau-Pulau tempat dilakukannya penarikan jaring (beach seine) adalah Pulau Kababan , Pulau Samama dan Pulau Panjang yang merupakan Pulau-Pulau tidak berpenghuni serta Pulau Derawan 1 dan Pulau. Sangalaki; merupakan pulau yang berpenghuni, sedangkan Pulau Derawan 2 merupakan gosong pasir yang tidak

Page 69: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUMBERDAYA IKAN DI DAERAH PADANG LAMUN

196

berpenghuni. Untuk mengetahui struktur komunitas ikan dilakukan penghitungan dengan menggunakan beberapa indeks komunitas (ODUM 1996) sebagai berikut :Indeks Keragaman Shannon : H’ = - (pi) ln (pi), Indeks Dominasi Simpson :D = (pi)2 Indeks Kemerataan (Evenness Index) :e = H’/ln S, dengan: pi = ni/N ni adalah jumlah jenis individu “ i “ dari hasil tangkapan,N adalah jumlah total individu ( N = ni ) dan S = jumlah jenis.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian.Figure 1. Map of research location.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ikan Padang LamunHasil tangkapan ikan padang lamun pada keenam lokasi pengamatan

seluruhnya berjumlah 1.708 individu yang mewakili 58 jenis dari 30 suku, sedangkan berat total hasil tangkapan seluruhnya adalah 56.645,2 gram. Jumlah jenis hasil tangkapan yang diperoleh pada penelitian ini relatif lebih tinggi daripada perolehan JELBART et al. (2007) di padang lamun perairan temperateyaitu pada daerah estuari di Australia yang menemukan 52 jenis ikan, namun dengan jumlah individu yang relatif lebih banyak yaitu 9.350 individu. Sebaliknya jumlah jenis hasil tangkapan yang diperoleh tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil perolehan UNSWORTH et al. (2007) yang menemukan 81 jenis ikan di areal padang lamun Taman Nasional Wakatobi, Indonesia. Keanekaragaman jenis ikan tersebut diprediksi berhubungan dengan kondisi terumbu karang di sekitarnya relatif masih baik.

Page 70: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MARASABESSY

197

Tabel 1 memperlihatkan total hasil tangkapan ikan padang lamun serta nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh pada masing-masing lokasi pengamatan. Lampiran 1 menyajikan sebaran ikan padang lamun yang tertangkap dengan jaring tarik (beach seine) di 6 lokasi. Jika dilihat dari jumlah jenisnya, maka Pulau Samama dan Pulau Derawan 1 merupakan lokasi yang paling tinggi jumlah jenis ikannya yaitu masing-masing terdiri dari 22 dan 21 jenis, dengan jumlah individu hasil tangkapan yang sama pada kedua lokasi tersebut yaitu masing-masing 185 ekor.

Tingginya jumlah jenis hasil tangkapan pada kedua lokasi tersebut mengakibatkan nilai indeks keanekaragaman (H’) tertinggi dari lokasi lainnyayaitu masing-masing 2,2230 dan 2,2171. Sementara nilai indeks kemerataan (e) dan nilai indeks dominasi yang diperoleh memberikan indikasi bahwa pada kedua lokasi tersebut tidak adanya dominasi dari jenis-jenis ikan tertentu atau dengan kata lain sebarannya cukup merata (Tabel 1).

Tabel 1. Total hasil tangkapan ikan padang lamun dan Nilai Indeks Keanekaragaman pada masing-masing lokasi pengamatan di Pulau-Pulau Derawan, Kalimantan Timur.

Table 1. The total catch of fishes in the seagrass beds and its diversity index values from each locations in Derawan Islands, East Kalimantan.

TOTAL DIVERSITY INDEXLOCATION

FAMILY SPECIES INDIVIDUALS WEIGHT (gr) H’ D e

P. Kakaban 3 4 515 1,466.9 0.9023 0.5412 0.6509

P. Sangalaki 8 10 280 9,117.4 0.8381 0.5514 0.3640

P. Samama 6 22 185 16,223.0 2.2230 0.1905 0.7302

P.Derawan 1 13 21 185 5,527.3 2.2171 0.1324 0.7825

P.Derawan 2 13 14 97 6,056.5 1.7074 0.3174 0.6470

P. Panjang 14 14 446 18,254.1 1.0487 0.2557 0.3974

TOTAL 30 58 1,708 56,645.2

Page 71: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUMBERDAYA IKAN DI DAERAH PADANG LAMUN

198

Tabel 2. Jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan jaring tarik di Pulau Samama, Perairan Pulau-Pulau Derawan, Kalimantan Timur.

Table 2. Fish species of seagrass beds are caught by beach seine at Pulau Samama, Derawan Islands waters, East Kalimantan.

AVERAGE SIZE (mm)No. FAMILY / SPECIES

TL SL

SUM OF

INDIVIDU

TOTAL WEIGHT(grams)

PERCENTAGE ( % )

I. ACANTHURIDAE1. Acanthurus triostegus 143 118 8 389.6 4.32

II. BALISTIDAE2. Rhinecanthus aculeatus 243 202 9 1171.8 4.863. Balistoides veridescens 217 172 3 397.2 1.62

III. BELONIDAE4. Tylosurus crocodilus crocodilus 485 448 3 1875.0 1.62

IV. BOTHIDAE5. Bothus ovalis 165 140 2 126.4 1.08

VI. CHAETODONTIDAE6. Chaetodon vagabundus 120 102 12 915.6 6.49

VII. DASYATIDAE7. Taeniura lymna 218 5 385.0 2.70

VIII. GERRIDAE8. Gerres abreviatus 142 113 43 2193.0 23.249. G. macrosoma 165 130 65 4173.0 35.14

IX. LABRIDAE10. Cheilinus trilobatus 225 188 3 459.0 1.6211. Halichoeres scapularis 127 101 6 912.0 3.24

X. LUTJANIDAE12. Lutjanus monostigma 203 154 1 121.0 0.5413. L. decussatus 241 198 1 143.0 0.54

XI. MULLIDAE14. Parupeneus barberinus 127 96 2 25.7 1.0815. P. indicus 186 150 2 47.6 1.08

XII. NEMIPTERIDAE16. Pentapodus caninus 235 190 3 396.0 1.6217. Scolopsis lineatus 144 101 4 672.0 2.16

XIII. SCARIDAE18. Chaerodon onchorago 226 178 4 598.8 2.1619. Scarus sp 245 196 3 486.9 1.62

XIV. SERRANIDAE20. Epinephelus merra 226 181 1 152.0 0.54

XV. SIGANIDAE21. Siganus canaliculatus 243 197 3 562.0 1.62

XVI. THERAPONIDAE22. Therapon jarbua 112 78 2 20.4 1.08

Page 72: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MARASABESSY

199

Pulau Samama dan Pulau Derawan 1 merupakan lokasi yang memiliki bentangan reef flat yang cukup luas serta ditumbuhi lamun yang relatif lebih padat dibandingkan dengan lokasi-lokasi lainnya. Kedua faktor tersebut merupakan kondisi yang ideal bagi ikan-ikan di sekitarnya untuk memanfaatkan areal padang lamun sebagai tempat berlindung ataupun tempat mencari makan. Namun demikian karena Pulau Derawan merupakan pulau yang dihuni dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah, mengakibatkan areal padang lamun yang ada disekitar pulau tersebut lambat laun akan mengalami tekanan (kerusakan) sebagai akibat dari aktivitas penduduk setempat. Terdegradasinya areal padang lamun di pulau ini semakin terasa hanya dalam kurun waktu beberapa tahun sudah terlihat perbedaannya, yakni areal yang ditumbuhi padang lamun semakin sempit serta kepadatannya semakin berkurang. Sebaliknya Pulau Samama sampai kini kondisi areal padang lamunnya masih tetap terjaga. Hal ini dikarenakan pulau tersebut tidak berpenghuni serta jarang dikunjungi, sehingga tekanan akibat aktivitas manusia di lokasi ini relatif rendah.

Jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan jaring tarik (beach seine) di areal padang lamun pada lokasi Pulau Samama didominasi oleh jenis-jenis yang tergolong dalam suku Gerridae sebanyak 58,38% dari seluruh hasil tangkapan. Dua jenis ikan dari suku Gerridae yang mendominasi hasil tangkapan tersebut adalah Gerres abreviatus dan G. macrosoma, sedangkan jenis-jenis lainnya tertangkap dengan jumlah individu yang relatif lebih sedikit. Tabel 2 memperlihatkan komposisi jenis, jumlah individu dan sebaran ukuran beserta berat total ikan hasil tangkapan di daerah padang lamun lokasi Pulau Samama. Panjang baku ikan Gerres macrosoma dapat mencapai 250 mm (WEBER & BEAUFORT 1940), sedangkan yang tertangkap di perairan Pulau Samama memiliki panjang baku antara 113-130 mm. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah padang lamun di Pulau Samama dijadikan sebagai tempat mencari makan ataupun tempat berlindung bagi ikan-ikan muda.

Pada Tabel 3 di bawah ini dapat dilihat jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan beach seine di Pulau Derawan. Jenis-jenis dari suku Labridae dan Lethrinidae merupakan jenis yang dominan di lokasi tersebut. Jenis-jenis ikan dari suku Labridae lebih banyak menghabiskan waktunya berada di padang lamun dibandingkan dengan ikan-ikan lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa suku Labridae merupakan khas ikan di padang lamun. Selain itu hadirnya jenis ikan dari suku Lethrinidae dari golongan ikan konsumsi memberikan indikasi bahwa lokasi padang lamun di pulau ini merupakan tempat mencari makan ataupun sebagai tempat berlindung bagi ikan-ikan muda yang bernilai ekonomi. AZIZ et al. (2006) menemukan 22 jenis dari 14 suku ikan yang mendiami daerah padang lamun di perairan Terengganu, Malaysia. Hasil tangkapan tersebut didominasi oleh suku Tetraodontidae, Siganidae dan Leiognathidae.

Page 73: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUMBERDAYA IKAN DI DAERAH PADANG LAMUN

200

Tabel 3. Jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan jaring tarik di Pulau Derawan 1, Perairan Pulau-Pulau Derawan, Kalimantan Timur.

Table 3. Fish species of seagrass beds are caught by beach seine at Pulau Derawan 1, Derawan Islands waters, East Kalimantan.

AVERAGE SIZE (mm)No. FAMILY/SPECIES

TL SL

SUM OF

INDIVIDU

TOTAL WEIGHT(grams)

PERCENTAGE ( % )

I. BALISTIDAE1. Rhinecanthus verrucosus 245 207 12 1598.4 6.49

II. BOTHIDAE2. Bothus sp 113 99 1 15.3 0.54

III. GERRIDAE3. Gerres macrosoma 163 121 15 825.0 8.11

IV. GOBIIDAE4. Valencienea muralis 126 98 10 130.8 5.41

V. LABRIDAE5. Halichoeres sp 1 102 89 40 448.0 21.626. Halichoeres sp2 100 84 15 195.0 8.117. H. scapularis 116 98 7 106.4 3.78

VI. LETHRINIDAE8. Lethrinus nebulosus 108 94 40 432.0 21.629. L. obselatus 156 132 5 116.0 2.70

VII. LUTJANIDAE10. Lutjanus fulvilamma 186 178 2 26.4 1.0811. L. semifinalis 193 181 1 18.3 0.54

12. L. lencam 203 187 1 22.1 0.54

VIII. MULLIDAE13. Parupeneus barberinus 129 95 2 28.5 1.08

IX. NEMIPTERIDAE14. Scolopsis trilineatus 128 104 23 236.9 12.4315. Pentapodus emeryi 238 210 1 256.0 0.54

16. P. coninus 188 164 1 194.0 0.54 X. OSTRACIDAE

17. Lactoria cornuta 200 130 4 508.0 2.16

XI. POMACENTRIDAE18. Dischistodus fasciatus 185 162 2 64.0 1.08

XII. SCORPAENIDAE19. Scorpaena sp 98 82 1 18.2 0.54

XIII. SERRANIDAE20. Cephalopolis boenack 246 211 1 164.0 0.54

21. C. miniata 180 158 1 124.0 0.54

Page 74: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MARASABESSY

201

Tabel 4. Jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan jaring tarik di Pulau Panjang, Perairan Pulau-Pulau Derawan, Kalimantan Timur.

Table 4. Fish species of seagrass beds are caught by beach seine at Pulau Panjang, Derawan Islands waters, East Kalimantan.

AVERAGE SIZE (mm)No. FAMILY / SPECIES

TL SL

SUM OF

INDIVIDU

TOTAL WEIGHT(grams)

PERCENTAGE( % )

I. APOGONIDAE1. Apogon sp 64 49 103 133.9 23.90

II. ATHERINIDAE

2. Pranesus pinguis 30.5 30.0 12 25.2 2.69 III. BELONIDAE

3. Tylosurus leiura 520 478 2 1250.0 0.45

IV. CARANGIDAE

4. Caranx sexfasciatus 124 98 2 42.8 0.45

V. CYNOGLOSSIDAE

5. Cynoglossus sp 162 157 1 31.6 0.22

VI. DASYATIDAE6. Taeniura lymna 218 194 5 1386.0 1.12

VII. GERRIDAE7. Gerres macrosoma 121 98 191 8213.0 42.83

8. G. abreviatus 132 110 119 5117.0 26.68 IX. LEIOGNATHIDAE

9. Equula fasciata 152 132 1 28.2 0.22

X. LUTJANIDAE10. Lutjanus fulvilamma 182 170 1 10.6 0.22

XI. MONACANTHIDAE11. Acreichthys hajam 71 55 2 38.6 0.45

XII. POMADASYIDAE12. Scolopsis lineatus 144 101 1 168.0 0.22

XIII. SPHYRAENIDAE

13. Sphyraena jelo 280 226 6 1788.0 1.35

XIV. PARAPERCIDAE

14. Parapercis clathrata 124 102 1 21.2 0.22

Bila dilihat dari total individu dan bobot basah hasil tangkapan, maka Pulau Panjang merupakan lokasi dengan jumlah hasil tangkapan serta bobot basah yang terbesar. Sebanyak 466 ekor ikan dengan bobot basah 18.254,1 gram dari 14 jenis ikan yang tertangkap di perairan tersebut. Jenis-jenis dari suku Gerridae dan Apogonidae turut memberikan sumbangan yang besar terhadap

Page 75: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUMBERDAYA IKAN DI DAERAH PADANG LAMUN

202

jumlah hasil tangkapan di Pulau Panjang. Suku Gerridae yang tertangkap sebanyak 310 ekor dengan bobot basah 13.330 gram, merupakan 69,52 % dari total hasil tangkapan di perairan ini. Jenis Apogon sp (Apogonidae) tertangkap sebanyak 103 ekor dengan bobot basah 133.9 gram merupakan 23,90 % dari total hasil tangkapan (Tabel 4). UNSWORTH et al. (2007) menemukan jenis Atherinomorus lacunosus dan empat jenis dari suku Apogonidae dengan kepadatan yang sangat melimpah di daerah padang lamun perairan Wakatobi.

Pulau Kakaban merupakan lokasi dengan jumlah jenis hasil tangkapan yang terkecil, namun memiliki jumlah individu terbesar dibandingkan dengan hasil tangkapan pada seluruh lokasi pengamatan. Pada lokasi ini hanya empat jenis ikan yang tertangkap yang umumnya berukuran dewasa dan pemakan plankton. Hal ini berhubungan erat dengan kondisi perairan setempat serta ketersediaan pakannya di alam. Ikan-ikan yang tertangkap dengan jaring tarik di lokasi ini mendiami sisi Pulau dengan bentangan reef flat dengan substrat karang mati, sedangkan pada sisi Pulau yang berseberangan memiliki bentangan reef flat yang sempit (slope) dijumpai beberapa koloni karang hidup yang telah rusak akibat aktivitas pengeboman.

Ikan-ikan yang tertangkap dengan jaring tarik di lokasi ini diperoleh jumlah individu sebanyak 515 ekor dengan bobot 1.466,9 gram. Jenis ikan dari suku Clupeidae yakni Sardinella sp yang mendominasi hasil tangkapan (71.65 %) pada lokasi Pulau Kakaban, selanjutnya suku Atherinidae juga memberikan sumbangan terhadap hasil tangkapan sebanyak 11,16 % (Tabel 5). SYAHAILATUA (1998) yang mengamati aspek reproduksi ikan Sardinella sp di Teluk Ambon menemukan bahwa ikan ini telah mengalami matang gonad pada kisaran ukuran antara 115 – 119 mm, sedangkan individu yang ditemukan pada penelitian ini memiliki kisaran ukuran yang relatif lebih kecil. Dengan demikian hadirnya Sardinella sp di lokasi penelitian dengan jumlah populasi yang melimpah mengindikasikan bahwa daerah padang lamun di Pulau Kakaban dijadikan sebagai daerah asuhan bagi anakan jenis ikan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat KIKUCHI (1974) bahwa peranan tradisional padang lamun adalah sebagai daerah asuhan. Selain itu jenis ikan Sardinella sp merupakan jenis ikan niaga yang memiliki nilai ekonomi di pasaran, bahkan jenis ikan ini sudah diekspor ke mancanegara dalam bentuk ikan kalengan. Oleh karena itu padang lamun di daerah ini hendaknya dijaga dari berbagai aktivitas manusia yang bersifat merusak.

Page 76: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MARASABESSY

203

Tabel 5. Jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan jaring tarik di Pulau Kakaban Kecamatan Pulau-Pulau Derawan, Kalimantan Timur.

Table 5. Fish species of seagrass beds are caught by beach seine at Pulau Kakaban, Derawan Islands waters, East Kalimantan.

AVERAGE SIZE (mm)

No. FAMILY / SPECIES

TL SL

SUM OF

INDIVIDU

TOTAL WEIGHT(grams))

PERCENTAGE(%)

I. ATHERINIDAE

1. Pranesus duodecimalis 97.20 79.85 60 156.7 11.652. P. pinguis 30.5 30.0 49 102.9 9.51

II. CLUPEIDAE3. Sardinella sp 60.0 53.0 369 789.2 71.65

III. MUGILLIDAE4. Liza dussumieri 108.2 77.3 37 418.1 7.18

Tabel 6. Jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan jaring tarik di Pulau Sangalaki Kecamatan Pulau-Pulau Derawan, Kalimantan Timur. Table 6. Fish species of seagrass beds are caught by beach seine at Pulau

Sangalaki, Derawan Islands waters, East Kalimantan.

AVERAGE SIZE (mm

No. FAMILY / SPECIES

TL SL

SUM OF

INDIVIDU

TOTAL WEIGHT(grams)

PERCENTAGE(%)

I. BALISTIDAE1. Rhinecanthus verrucosus 136 111 2 189 0.712. Balistapus undulatus 198 139 1 112.8 0.36

II. BELONIDAE3. Strongylura sp 319 289 2 62.1 0.714. Tylosurus crocodilus crocodilus 346 312 1 47.3 0.36

III. BOTHIDAE5. Bothus pantherinus 128 108 2 121.4 0.71

IV. CARANGIDAE6. Caranx sexfasciatus 124 98 2 49.3 0.71

V. DIODONTIDAE7. Diodon hystrix 430 320 1 2531 0.36

VI. HEMIRHAMPHIDAE8. Hyporhamphus balinensis 214 176 195 4348.5 69.64

VII. GERRIDAE9. Gerres oyena 55 46 72 1612.8 25.71

VIII. LUTJANIDAE10. Lutjanus fulviflamma 132 98 2 223.2 0.71

Page 77: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUMBERDAYA IKAN DI DAERAH PADANG LAMUN

204

Tabel 7. Jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan jaring tarik di Gosong Pasir Derawan, Kecamatan Pulau-Pulau Derawan, Kalimantan Timur.

Table 7. Fish species of seagrass beds are caught by beach seine at Gosong Pasir Derawan, Derawan Islands waters, East Kalimantan.

AVERAGE SIZE (mm)No. FAMILY / SPECIES

TL SL

SUM OF

INDIVIDU)

TOTAL WEIGHT(grams)

PERCENTAGE(%)

I. BALISTIDAE1. Rhinecanthus aculeatus 132 102 5 431,5 5.15

II. BELONIDAE2. Tylosurus leiura 324 298 2 84.6 2.06

3. Strongylura sp 286 262 1 42.3 1.03

III. BOTHIDAE4. Bothus sp 124 101 1 47.2 1.03

IV. FISTULARIIDAE

5. Fistularia petimba 171 2 42.3 2.06

V. GERRIDAE6. Gerres macrosoma 121 98 52 2236 53.61

VI. HEMIRHAMPHIDAE7. Hyporhamphus quoyi 162 144 12 675,6 12.37

VII. LABRIDAE8. Halichoeres scapularis 124 98 7 896 2.77

VIII. OSTRACIDAE9. Lactoria cornuta 200 130 4 508 4.12

IX. PARAPERCIDAE

10. Parapercis clathrata 121 101 1 18.4 1.03

X. PLATYCEPHALIDAE

11. Platycephalus indicus 450 390 1 523.5 1.03

XII. SYNODONTIDAE12. Synodus dermatogenis 142 108 5 221 5.15

XIII. TETRAODONTIDAE

13. Arothron immaculatus 97 64 3 186,9 3.09

14. A. manilensis 102 71 2 143.2 2.06

Page 78: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MARASABESSY

205

Tabel 6 dan Tabel 7 memperlihatkan hasil tangkapan yang dilakukan di Pulau Sangalaki dan Gosong Pasir Derawan (Pulau Derawan 2). Karakteristik dasar perairan kedua lokasi ini relatif berbeda. Gosong pasir Derawan merupakan gundukan pasir seluas + 600 m2 dan tidak bervegetasi. Keberadaannya cukup labil mengikuti musim, dimana aktivitas ombak dan angin yang menentukan besarnya timbunan pasir yang membentuk gosongan menjadi sebuah pulau. Sebaliknya struktur pantai Pulau Sangalaki relatif lebih stabil karena telah terbentuk dalam waktu yang relatif lebih lama. Hal ini terlihat dari adanya tumbuhan lamun dan algae yang tumbuh dengan subur serta lokasi pantainya berdekatan dengan daerah terumbu karang.

Dari jenis-jenis ikan yang tertangkap di kedua lokasi tersebut dapat dikatakan bahwa lokasi Gosong Pasir Derawan lebih banyak dikunjungi oleh jenis-jenis ikan yang berasosiasi dengan substrat pasir berlumpur serta kondisi dasar perairan yang relatif keruh. Sebaliknya perairan pantai Pulau Sangalaki selain ikan-ikan yang hidup beradaptasi dengan perairan keruh yang hadir di lokasi ini, terdapat juga beberapa jenis ikan karang yang mencari makan di lokasi ini. Jarak antara kedua lokasi ini relatif tidak berjauhan, sehingga kecenderungan untuk hadirnya jenis ikan yang sama pada kedua lokasi tersebut dapat saja terjadi.

Jika dilihat dari sebaran ukurannya, nampak bahwa sebagian besar jenis ikan yang ditemukan tergolong ikan-ikan muda. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi padang lamun juga sebagai daerah asuhan bagi ikan-ikan yang ada di sekitarnya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh JELBART et al. (2007) yang melaporkan hasil tangkapan yang diperoleh pada daerah lamun yang berdekatan dengan areal mangrove, terdiri dari ikan-ikan yang berukuran kecil atau belum mencapai ukuran dewasa. Dengan demikian daerah padang lamun di lokasi penelitian menggunakan daerah padang lamun sebagai daerah asuhan ataupuntempat mencari makan. Penelitian in dilakukan pada siang hari, namun dapat diprediksi bahwa jumlah jenis relatif tidak berbeda jauh dengan jenis-jenis ikan yang mengunjungi padang lamun pada siang hari. HAMMERSCHLAG & SERAFY (2009) mengemukakan bahwa ikan-ikan yang mengunjungi daerah mangrove dan lamun pada malam hari relatif sedikit dan sangat berhubungan dengan musim, jenis ikan dan stadia dalam hidupnya.

KESIMPULAN

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan pada enam lokasi pengamatan maka dapat disimpulkan bahwa sumberdaya perikanan di daerah padang lamun memiliki keanekaragaman jenis ikan yang tinggi pada lokasi yang berdekatan dengan areal terumbu karang yang masih terjaga dengan baik.

Page 79: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUMBERDAYA IKAN DI DAERAH PADANG LAMUN

206

Sebaliknya pada lokasi-lokasi yang berdekatan dengan areal terumbu yang telah rusak akibat aktivitas manusia, jumlah jenis ikannya relatif sedikit namun memiliki jumlah individu yang relatif melimpah. Keadaan ini ada kaitannya dengan kualitas air laut yang relatif masih alami dan belum tercemar walaupun sebagian habitatnya telah rusak. Secara umum ikan-ikan yang hadir di daerah padang lamun lokasi penelitian tergolong ikan-ikan muda yang memanfaatkan padang lamun sebagai tempat mencari makan sekaligus berlindung dari incaran predator. Oleh karena itu perairan ini perlu dilindungi dari berbagai aktivitas manusia, agar fungsi dan peranan lamun bagi suatu ekosistem dapat berlaku secara optimal.

PERSANTUNAN

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Safar Dody dan Drs. Edward M.Si. APU atas bantuan dan partisipasinya terhadap tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

ALLEN, G. 1997. Marine fishes of tropical Australia and south-east Asia. Western Australian Museum: 292 pp.

ANONIM 2003a. Ikan hias laut Indonesia. Balai Riset Perikanan Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan.

ANONIM 2003b. Laporan akhir penelitian Kepulauan Derawan. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta.

AZIZ, A., J.S. BUJANG, M.H. ZAAKARIA, Y. SURYANA and M.A. GHAFFAR 2006. Fish communities from segrass bed of MerchangLagoon, Terengganu, Peninsular Malaysia. Coastal Marine Science 30(1): 268-275.

HAMMERSCHLAG. N. and J.E. SERAFY 2009. Nocturnal fish utilization of a subtropical mangrove ecotone. Marine Ecology : 1-11.

JELBART, J. E., P.M. ROSS and R.M. CONNOLLY 2007. Patterns of small fish distributions in seagrass beds in a temperate Australian estuary.

Page 80: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MARASABESSY

207

Journal of the Marine Biological Association of the United Kingdom. 87(5):1297-1307.

KIKUCHI, T. 1974. Japanese contribution on consumer ecology in eelgrass (Zostera marina L) beds, with special reference to trophic relationship and resources in inshore fisheries. Aquaculture 4 (2):161-167.

KUITER, R.H. 1992. Tropical Reef-Fishes of The Western Pasific. Indonesia and Adjacent Water. Gramedia Jakarta: 314 pp.

LEY, J. A. 2005. Linking fish assemblages and attributes of mangrove estuaries in tropical Australia: criteria for regional marine reserves. Marine Ecology Progress Series 305: 41-57.

MATSUSURA, K., O. K. SUMADHIHARGA and K. TSUKAMOTO 2000. Field guide to Lombok Island. Identification guide to marine organism seagrass beds of Lombok Island, Indonesia. Ocean Reserch Institute, University of Tokyo, Japan: 449pp.

ODUM E.P. 1996. Dasar-dasar Ekologi. edisi Ketiga. Terjemahan oleh Tjahyono Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. (akses internet).

SYAHAILATUA, A. 1998. Pendugaan fekunditas ikan make (Sardinella sp) dengan metoda gravimetri. Perairan Maluku dan Sekitarnya 12: 65-70.

UNSWORTH, R.K.F., E. WYLIE, D. J. SMITH and J.J. BELL 2007. Diel trophic structuring of seagrass bed fish assemblages in the Wakatobi Marine National Park, Indonesia. Estuarine, Coastal and Shelf Science 72: 81-88.

WEBER, M. and L. F. de BEAUFORT 1940. The Fishes of the Indo-Australian Archipelago. R. J. BRILL, Leiden 6 : 404 pp.

WHEELER, A., 1975. Fishes of the world. An illustrated dictionary. McMillan Publishing Co., Inc. New York: 133pp.

Page 81: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUMBERDAYA IKAN DI DAERAH PADANG LAMUN

208

Lampiran 1. Jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan jaring pantai pada enam lokasi pengamatan di padang lamun Pulau-Pulau Derawan, Kalimantan Timur.

Appendix 1. Fish species of seagrass beds are caught by beach seine at 6 Stations in Derawan Islands waters, East Kalimantan.

No. FAMILY / SPECIES 1 2 3 4 5 6

I. ACANTHURIDAE1. Acanthurus triostegus - - - + - -

II. APOGONIDAE2. Apogon sp - - - - + -

III. ATHERINIDAE3. Pranesus duodecimalis - - - - - +4. P. pinguis - - - - + +

IV. BALISTIDAE5. Balistapus undulatus - - + - - - 6. Balistoides veridescens - - - +7. Rhinecanthus aculeatus - + - + - -8. R. verrucosus + - + - - -

V. BELONIDAE9. Tylosurus leiura - + - - + -

10. T. crocodilus crocodilus - - - + - -11. Strongylura sp - + + - - -

VI. BOTHIDAE12. Bothus ovalis - - - + - -13. B. pantherinus - - + - - -14. Bothus sPulau + + - - - -

VII. CARANGIDAE15. Caranx sexfasciatus - - + - + +

VIII. CHAETODONTIDAE16. Chaetodon vagabundus - - - + - -

IX. CLUPEIDAE17. Sardinella sPulau - - - - - +

X. CYNOGLOSSIDAE18. Cynoglossus sPulau - - - - + -

XI. DIODONTIDAE19. Diodon hystrix - - + - - +

XII. FISTULARIIDAE20. Fistularia petimba - + - - - -

XIII. GERRIDAE21. Gerres abreviatus - - - + + -22. G. macrosoma + + - + + -

Page 82: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MARASABESSY

209

Continued Appendix 123. G. oyena - - + - - -

XIV. GOBIIDAE24. Valencienea muralis + - - - - -

XV. LABRIDAE25. Halichoeres scapularis + + - + - -26. Halichoeres sp 1 + - - - - -27. Halichoeres sp 2 + - - - - -28. Cheilinus trilobatus - - - + - -29. XVI. LEIOGNATHIDAE30. Equula fasciata - - - - + -

XVII. LETHRINIDAE31. Lethrinus nebulosus + - - - - -32. L. obselatus + - - - - -

XVIII. LUTJANIDAE33. Lutjanus decussatus - - - + - -34. L. fulviflamma + - + - + -35. L. lencam + - - - - -36. L. monostigma - - - + - -37. L. semifinalis + - - - - -

XIX. MONACANTHIDAE38. Acreichtys hajam - - - - + -

XX. MUGILLIDAE39. Liza dussumieri - - - - - +

XXI. MULLIDAE40. Parupeneus barberinus + - - + - -41. P. indicus - - - + - -

XXII. NEMIPTERIDAE42. Scolopsis lineatus - - - + + -43. S. trilineatus + - - - - -44. Pentapoduds emeryi + - - - - -45. P. caninus + - - + - -

XXIII. OSTRACIDAE46. Lactoria cornuta + + - - - -

XXIV. PARAPERCIDAE47. Parapercis clathrata - + - - + -

XXV. PLATYCEPHALIDAE48. Platycephalus indicus - + - - - -

XXV. POMACENTRIDAE49. Dischistodus fasciatus + - - - - -

XXVI. SCORPAENIDAE50. Scorpaena sp + - - - - -

Page 83: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SUMBERDAYA IKAN DI DAERAH PADANG LAMUN

210

Continued Appendix 1 XXVII. SERRANIDAE

51. Cephalopolis boenack + - - - - -52. C. miniata + - - - - -53. Epinephelus merra - - - + - -

XXVIII. SIGANIDAE54. Siganus canaliculatus - - - + - -

XXIX. SPHYRAENIDAE55. Sphyraena jelo - - - - + -

XXX. TETRAODONTIDAE56. Arothron immaculatus - + - - - -57. A. manilenis - + - - - -

XXX. THERAPONIDAE58. Therapon jarbua - - - + - -

Expl: 1 = Pulau Derawan 1; 2 = Pulau Derawan 2 (Gosong pasir Derawan) 3 = Pulau Sangalaki ; 4 = Pulau Samama 5 = Pulau Panjang 6 = Pulau Kakaban

Page 84: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(2): 211-225 ISSN 0125 – 9830

SEBARAN KARANG LUNAK, MARGA Sinularia May, 1898 (OCTOCORALLIA, ALCYONACEA)

DI PULAU-PULAU DERAWAN, KALIMANTAN TIMUR

oleh

ANNA ELISEBA WILDAMINA MANUPUTTYPusat Penelitian Oseanografi – LIPI

Received 4 February 2010, Accepted 14 July 2010

ABSTRAK

Perairan di pesisir Kalimantan Timur dan pulau-pulau kecil di wilayah ini merupakan pusat keanekaragaman biota laut tertinggi di perairan Indo-pasifik bagian barat. Penelitian fauna oktokoral di perairan Indonesia masih sangat sedikit. Penelitian karang lunak di perairan ini telah dilakukan pada bulan Oktober 2003 dan September 2004. Tujuan pengamatan ialah untuk melihat sebaran lokal jenis Sinularia di perairan ini. Metoda yang digunakan, dengan penyelaman menggunakan peralatan selam SCUBA, sampai pada kedalaman 25 meter. Hasil yang didapat dari 23 lokasi pengamatan, dikoleksi sebanyak 30 jenis Sinularia.

Kata kunci : Sinularia, Octocorallia, Derawan, Kalimantan Timur.

ABSTRACT

DISTRIBUTION OF THE SOFT CORAL, GENUS Sinularia MAY, 1898 (OCTOCORALLIA, ALCYONACEA) AT DERAWAN ISLANDS, EAST-KALIMANTAN. The coastal area of East Kalimantan is situated within the Indo-West Pacific center of maximum marine biodiversity. The shallow-water octocoral fauna of Indonesia is still poorly investigated. Sampling were carried out in October 2003 and September 2004 at Derawan Islands East Kalimantan. The objective of this research was to reveal species distributions and assemblages within the area. Method of collections were carried out on several small islands by SCUBA diving, involving careful examination of a variety of habitats in shallow waters as well as down to 25 m depth. In total 23 sites were surveyed. The genera Sinularia at Derawan consisted of 30 species were recorded.

Key words : Sinularia, Octocorallia, Derawan, East Kalimantan.

Page 85: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MANUPUTTY

212

PENDAHULUAN

Karang lunak termasuk dalam kelompok oktokoral (Octocorallia, Alcyonacea), yaitu jenis karang yang memiliki delapan tentakel, hidup di laut, ditemukan dari daerah tropis sampai ke daerah kutub. Kelompok ini juga ditemukan di habitat muara sungai berlumpur di daerah pasang surut, sampai ke perairan laut dalam. Hasil penelitian yang dilakukan di perairan dangkal di beberapa kepulauan di Indonesia, Filippina dan Papua Nugini, tercatat bahwa perairan ini merupakan perairan dengan kelimpahan jenis oktokoral tertinggi di dunia (FABRICIUS & ALDERSLADE 2001). Pusat keanekaragaman oktokoral merupakan perairan yang memiliki jumlah jenis tinggi pada garis lintang rendah dan makin berkurang ke arah lintang yang lebih tinggi dan ke arah luar dari batas-batas timur dan barat perairan Indo-Pasifik.

Perairan Derawan dengan beberapa Pulau-pulau kecil, terletak di Provinsi Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Berau. Pulau-pulau Derawan letaknya agak jauh dari daratan utama Kalimantan dan umumnya memiliki perairan yang jernih dengan terumbu karang yang berkembang baik. Beberapa pulau dengan bagian lautnya merupakan kawasan perlindungan laut yang diawasi oleh pemerintah melalui Balai Konservasi Laut, Departemen Kehutanan.

Penelitian karang lunak di perairan Indonesia masih sangat sedikit, bahkan kurang berkembang. Umumnya penelitian-penelitian yang sudah ada, dilakukan oleh pakar asing dan melalui ekspedisi-ekspedisi kelautan yang bersifat internasional maupun regional. Penelitian-penelitian tentang taksonomi karang lunak di perairan Indonesia telah dilakukan di perairan Ambon, Maluku (VERSEVELDT 1977; van OFWEGEN & VENNAM 1991, 1994; MANUPUTTY & van OFWEGEN 2007). Beberapa penelitian tentang karang lunak di Indonesia, umumnya dilakukan bersamaan dengan pengamatan karang batu, dan terbatas hanya pada aspek ekologi.

Marga Sinularia MAY, 1898 termasuk kelas Octocorallia (Alcyonaria), bangsa Alcyonacea, suku Alcyoniidae. Marga ini merupakan salah satu marga karang lunak dengan jumlah jenis terbanyak yaitu 128 jenis di perairan Indo-Pasifik (BENAYAHU et al. 1998; van OFWEGEN 2002). Anggota dari marga Sinularia memiliki bentuk koloni yang lebih bervariasi dibandingkan dengan anggota karang lunak lainnya. Bentuk pertumbuhannya bervariasi dari bentuk mengerak (encrusting) dengan lobus yang berbentuk tonjolan-tonjolan kecil atau seperti pematang, sampai ke bentuk seperti semak yang rindang (FABRICIUS & ALDERSLADE 2001; FABRICIUS & DE’ATH 2000). Polip atau binatang karang pada anggota Sinularia bersifat monomorfik atau bentuknya seragam, mempunyai delapan tentakel yang tersusun pada keping mulut yang melingkari lobang kecil yang berfungsi sebagai mulut. Koloni Sinularia berwarna coklat, krem, kuning atau hijau kecoklatan, warna polip

Page 86: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SEBARAN KARANG LUNAK, MARGA Sinularia May, 1898

213

juga mengikuti warna koloni. Warna-warna tersebut berasal dari zooxanthellaeyang hidup bersimbiosis di dalam jaringan endodermal karang lunak.

Jaringan tubuh karang lunak disokong oleh duri-duri kecil yang disebut spikula atau sklerit yang tersusun dari senyawa kalsium karbonat (FABRICIUS & ALDERSLADE 2001). Bentuk sklerit berbeda antara yang terdapat di bagian atas dan di bagian basal koloni. Demikian pula dengan yang terdapat di bagian permukaan (surface) dan di bagian dalam atau interior (Gambar 2).Marga Sinularia May, tumbuh dan ditemukan di perairan dangkal dari rataan terumbu dengan kedalaman satu meter sampai ke perairan dalam (35 meter), di semua perairan terumbu karang. Ukuran koloni bervariasi dari beberapa sentimeter sampai ke yang berdiameter lebih dari satu meter, beberapa jenis bahkan mendominasi perairan terumbu karang (FABRICIUS & ALDERSLADE 2001). Anggota marga Sinularia dapat hidup di perairan yang keruh sampai ke perairan yang jernih. Marga ini tersebar secara vertikal, dari perairan pesisir yang dangkal sampai ke kedalaman 40 meter. Juga dari perairan dangkal yang hangat di daerah teluk yang terlindung sampai ke perairan yang lebih dingin di mana masih terdapat pertumbuhan karang (FABRICIUS & ALDERSLADE 2001).

Penelitian keanekaragaman marga Sinularia di perairan Pulau-pulau Derawan telah dilakukan pada tahun 2003. Telah diketahui bahwa anggota marga Sinularia May mendominasi karang lunak perairan terumbu karang Indonesia (van OFWEGEN et al. 2003). Penelitian ini merupakan bagian dari Program Biodiversitas di perairan pantai Kalimantan Timur (daerah Berau) yang mempelajari taksonomi. Kerjasama ini antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan pemerintah Belanda melalui National Museum of Natural History-Naturalis, Leiden The Netherland. Untuk melengkapi koleksi sampel, kegiatan ini dilanjutkan pada tahun 2004 melalui Progam Kompetitif LIPI, Sensus Biota Laut di perairan Kalimantan Timur yang mempelajari ekologi. Tujuan penelitian ini ialah untuk membuktikan kebenaran posisi perairan Berau termasuk pusat keanekaragaman hayati laut maksimum (center of maximum marine biodiversity) dari perairan Indo-Pasifik bagian barat. Tujuan khusus dalam penelitian karang lunak, ialah untuk mengetahui keanekaragaman jenis dan pola sebaran marga Sinularia MAY, 1898 di lokasi pengamatan.

BAHAN DAN METODE

Pengamatan sebaran dan kondisi karang lunak marga Sinularia di perairan Pulau-pulau Derawan, Kalimantan Timur telah dilakukan pada bulan Oktober 2003 dan September 2004. Pengambilan contoh karang lunak dilakukan secara acak di 23 titik (Tabel 1).

Page 87: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MANUPUTTY

214

Tabel 1. Posisi lokasi stasiun pengambilan sampel karang lunak Sinularia,Oktober 2003 dan September 2004.

Table 1. The sites position for sampling of soft coral Sinularia, October 2003 and September 2004.

No. Site Code Latitude Longitude RemarksSite

Group

1 Ber.02 N 2.27375 E 118.22750 Derawan Isl. Mangkalasan, W-side A

2 Ber.03 N 2.28425 E 118.24694 Derawan Isl. Resort Jetty A

3 Ber.04 N 2.28427 E 118.24694 Derawan Isl. Snapper point, S-side A

4 Ber.05 N 2.15941 E 118.16972 Berau delta, Lighthouse 2 A

5 Ber.06 N 2.20236 E 118.19305 Between Lighthouse 2 & Derawan Isl. A

6 Ber.07 N 2.16308 E 118.53425 Kakaban Isl. N-side C

7 Ber.10 N 2.12544 E 118.33602 Samama Isl. B

8 Ber.11 N 2.18952 E 118.29027 Karang Pinaka, Samama Isl. NW-side B

9 Ber.15 N 2.32141 E 118.22388 Panjang Isl. W-side A

10 Ber.16 N 2.29144 E 118.59138 Maratua Isl. NE-side C

11 Ber.17 N 2.28016 E 118.60277 Maratua Isl. NE-side C

12 Ber.19 N 2.23955 E 118.09333 Tanjung Batu A

13 Ber.19a N 2.24655 E 118.09361 Tanjung Batu A

14 Ber.22 N 2.08163 E 118.40833 Sangalaki Isl. Lighthouse B

15 Ber.24 N 2.13072 E 118.33972 Samama Isl. SE-side B

16 Ber.26 N 2.11866 E 118.34222 Buliulin Samama Isl. NE-side B

17 Ber.31 N 2.42944 E 118.16361 Panjang Isl. NE-side A

18 Ber.32 N 2.41919 E 118.12277 Panjang Isl. NW-side A

19 Ber.34 N 2.29466 E 118.23138 Derawan Isl. NW-side A

20 Ber.41 N 2.31411 E 118.25047 Panjang Isl. Shark point A

21 Ber.42 N 2.30955 E 118.25444 Panjang Isl. Shark point S-side A

22 Ber.46 N 2.33777 E 118.13666 Raburabu Isl. E-side A

23 Ber.50 N 2.07925 E 118.40305 Sangalaki Isl. Lighthouse SE-side B

Legend :

A = Islands that located close to the mainland

B = Islands that located in the middle

C = Island that located faced to the open sea

Page 88: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SEBARAN KARANG LUNAK, MARGA Sinularia May, 1898

215

Pengambilan contoh dilakukan dari rataan terumbu sampai ke kedalaman 30 meter dengan bantuan peralatan selam SCUBA. Contoh karang lunak difiksasi dalam larutan etanol 70 % untuk kemudian diidentifikasi sampai ke tingkat jenis di laboratorium.

Lokasi pengamatan dibagi dalam tiga wilayah pulau-pulau yang mewakili letak geografi yang berbeda. Lokasi pertama, letaknya dekat dengan daratan utama Pulau Kalimantan dan terdiri dari Pulau Derawan, Pulau Panjang, Pulau Rabu-Rabu, Delta Berau, dan Tanjung Batu (14 titik). Lokasi kedua, adalah pulau-pulau yang letaknya ditengah dan agak jauh dari daratan Kalimantan terdiri dari Pulau Samama dan Pulau Sangalaki (enam titik). Lokasi ketiga, terdiri dari pulau-pulau yang jauh dari daratan Pulau Kalimantan, terletak ke arah laut lepas, yaitu Pulau Kakaban dan Pulau Maratua (tiga titik). Asumsi pembagian lokasi adalah dengan memperkirakan kondisi terumbu karang yang berada di pulau-pulau yang letaknya berdekatan dengan daratan Kalimantan pertumbuhan karangnya kurang baik. Pulau pulau yang terletak ditengah mempunyai pertumbuhan sedang dan makin jauh ke arah laut lepas semakin baik. Deskripsi posisi lokasi pengamatan disajikan dalam Tabel 1.

Gambar 1. Bentuk umum sklerit pada marga Sinularia. (FABRICIUS & ALDERSLADE 2001).

Figure 1. General morphology of Sinularia sclerites (FABRICIUS & ALDERSLADE 2001).

Page 89: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MANUPUTTY

216

Identifikasi jenis Sinularia dilakukan dengan memperhatikan variasi morfologi, warna dan ukuran sklerit dibawah mikroskop cahaya Leica hingga perbesaran maksimal 1000x dan SEM. Bentuk sklerit berbeda antara yang terdapat di bagian atas dan di bagian basal koloni, demikian pula dengan yang terdapat di bagian permukaan (surface) dan di bagian dalam atau interior(Gambar 1).

Data dan sampel disimpan di Pusat Penelitian Oseanografi (P2O LIPI) Jakarta dan “National Museum of Natural History-Naturalis, Leiden, The Netherlands”. Identifikasi karang lunak juga dilakukan di museum yang sama pada tahun 2006. Identifikasi sampel berdasarkan kunci dan deskripsi dari VERSEVELDT (1980), BENAYAHU (1997), dan van OFWEGEN (2002). Foto beberapa jenis Sinularia seperti Sinularia brassica May, 1898 dan Sinularia polydactyla (Ehrenberg 1834) dalam kondisi kontraksi dan retraksi sertaSinularia flexibilis (Quoy & Gaimard 1833) dan Sinularia querciformis (Pratt 1903) ditampilkan dalam Lampiran 1.

Analisis data untuk melihat pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan sebaran jenis Sinularia dilakukan dengan perangkat lunak PRIMER versi 5 (CLARKE & WARWICK 2001).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan di 23 lokasi, menunjukkan adanya 30 jenis karang lunak dari suku Alcyoniidae, marga Sinularia May. Sebaran jenis Sinularia di Pulau-pulau Derawan ditampilkan pada Tabel 2 dan sebaran lokal masing-masing jenis ditampilkan dalam bentuk peta tematik pada Gambar 2.

Sebagai catatan, jenis Dampia sp. yang ditemukan di perairan Derawan, sementara digolongkan kedalam marga Sinularia, dikarenakan bentuk koloni dan skleritnya menyerupai Sinularia. Selanjutnya akan ditinjau kembali dengan mengamati unsur DNA dari spesimennya.

Dari segi zoogeografi, Sinularia tersebar luas di perairan Afrika dan Laut Merah di belahan bumi bagian barat sampai ke Hawaii di bagian timur. Sebagai informasi, ditampilkan sebaran Sinularia di perairan Indo-Pasifik (van OFWEGEN 2002) dan dapat dilihat pada Gambar 3. Demikian pula van OFWEGEN (2002) memberikan informasi bahwa 28 jenis Sinularia di perairan Indo-Pasifik berasal dari perairan Indonesia.

Pada pengamatan selanjutnya oleh tim dari Museum Naturalis Leiden, Negeri Belanda, bekerjasama dengan beberapa peneliti P2O LIPI (tahun 2003 dan 2004), ditemukan 30 jenis Sinularia di perairan Pulau-pulau Derawan (van OFWEGEN et al. 2003). Jumlah jenis ini merupakan nilai yang cukup tinggi yang ditemukan hanya di satu lokasi perairan Derawan, Kalimantan Timur. Dengan jumlah tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perairan Pulau-pulau Derawan, Kalimantan Timur merupakan pusat maksimum keanekaragaman biota

Page 90: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SEBARAN KARANG LUNAK, MARGA Sinularia May, 1898

217

laut khususnya bagi jenis oktokoral dari marga Sinularia. Di perairan Indo-Pasifik, jumlah jenis Sinularia tertinggi (38 jenis) dicatat di perairan Laut Merah dan Pulau-Pulau Seychelles-Mauritius. Sebaliknya di perairan Great Barrier Reef Australia yang terkenal dengan terumbu karang penghalang terluas di dunia, hanya ditemukan 13 jenis Sinularia (van OFWEGEN 2002).

Tabel 2. Jenis-Jenis Sinularia di perairan Pulau-Pulau Derawan, Kalimantan Timur, Oktober 2003 dan September 2004.

Table 2. The species of Sinularia at Derawan Islands, East Kalimantan, October 2003 and September 2004.

No S p e c i e s Abrev.

A A A A A C B B A C C A A B B B A A A A A A B1 S. brassica S.bra 2 - - - 1 - - - 1 - - 3 - - - 1 1 - 1 - 1 -

2 S. capillosa S.cap 1 - - 1 - - - 1 - - - - - - - - - - - - - -

3 S. compressa S.com - - - - - - - 1 - - - - - - - - - - - - - -

4 S. conferta S.con 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

5 S.cruciata S.cru - - - - - - - - - - - 1 - - - - - - - - - -

6 S. elongata S.elo - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 -

7 S.flexibilis S.flex - - - 1 - - - - 1 - - - - - - - - - - 1 - -

8 S.gibberosa S.gib - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 1 - -

9 S.granosa S.gra - - - 1 - - - - - - - - - 1 - - - - - - - - -

10 S.hirta S.hir 1 - 1 1 - - 1 - 1 - - - - - 1 1 1 - 2 - - - -

11 S.lamellata S.lam - - - - - - - - - 1 - - - - - - - - - - - -

12 S. lochmodes S.loch - - - - - - - - - - 1 - - 1 - - - - 1 - - - -

13 S.manaarensis S.man - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 - -

14 S.macrodactyla S.mac - - - - - - - - - - - - - - - 1 - - - 1 - - -

15 S.maxima S.max - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 - - - -

16 S.ornata S.orn - - - - - - - - - - - - - - - - 1 - - - - - -

17 S.pavida S.pav - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 - -

18 S.polydactyla S.pol - - - - - - - - 1 - - - - - - 1 1 - - - - - -

19 S.ramosa S.ram - - - - - - - - - - - 1 - 1 - - - - - - - -

20 S.robusta S.rob - - - - 1 - - - - - - - - - - - - - - - - -

21 S.rotundata S.rot - - - - - - 1 - 1 - - - - - - - - - - - - -

22 S.sandensis S.san - - - - 1 - - - - - - 1 - - - - - - - - 1 -

23 S.scabra S.sca - - - - - - 1 - - - - - - - - - 1 - - - - - -

24 S.slieringsi S.slie - - - - - - - - - - - - - - - 1 - - - 1 - - 1

25 S.triaena S.tri - - - - - - - - - 1 - - - - - - - - - - - - -

26 S.variabilis S.var - 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

27 S.venusta S.ven - - - - - 1 - - - - - - - - - 1 - - - - - - -

28 S.verseveldti S.ver - 1 - - - 1 - 1 1 1 - - 1 - - - - 1 - 1 - - -

29 Sinularia sp. Sin sp. - - - 1 - - - - - - - 1 - - - - - - - 1 - - -

30 Dampia sp. Dam - - - - 1 - - - - - - 1 - 1 - - - - - - - - -

BE

R.1

7

S t a t i o n s

BE

R.3

2

BE

R.1

0

BE

R.1

1

BE

R.1

5

BE

R.4

6

Abreviations: S.bra= S. brassica; S. cap = S. capillosa; S.com= S. compressa; S.con= S. conferta; S.cru= S.cruciata; S.elo= S.elongata; S.flex= S. flexibilis; S.gib= S. gibberosa; S. gra= S. granosa; S .hir= S. hirta; S.lam= S.lamellata; S.loch= S.lochmodes; S. man= S. manaarensis; S.mac= S. macrodactyla; S. max= S. maxima; S. orn= S. ornata; S. pav= S. pavida; S.pol= S. polydactyla; S. ram= S. ramosa; S. rob= S. robusta; S. rot= S. rotundata; S. san= S. sandensis; S. sca= S. scabra; S.slie= S. slieringsi; S. tri= S. triaena; S. var= S. variabilis; S. ven= S. venusta; S. ver= S. verseveldti; Sin sp.= Sinularia sp. ; Dam= Dampia sp.

BE

R.0

2

BE

R.0

3

BE

R.0

4

BE

R.0

5

BE

R.5

0

BE

R.0

7

BE

R.2

4

BE

R.2

6

BE

R.3

1

BE

R.1

6

BE

R.1

9a

BE

R 2

2

BE

R.1

9

BE

R.3

4

BE

R.4

1

BE

R.4

2

BE

R.0

6

Page 91: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MANUPUTTY

218

Gambar 2. Peta sebaran jenis Sinularia di perairan Pulau-pulau Derawan, Kalimantan Timur (2003, 2004). Figure 2. Map of Sinularia species at Derawan Islands , East Kalimantan

(2003, 2004).

Legend : S. bra = S. brassica; S. cap = S. capillosa; S. com = S. compressa; S .con = S. conferta; S. cru = S. cruciata; S. elo = S. elongata; S. flex = S. flexibilis; S. gib = S. gibberosa; S. gra = S. granosa; S. hir = S. hirta; S. lam = S. lamellata; S. loch = S. lochmodes; S. man = S. manaarensis; S. mac = S. macrodactyla; S. max = S. maxima; S. orn = S. ornata; S. pav = S. pavida; S. pol = S. polydactyla; S. ram = S. ramosa; S. rob = S. robusta; S. rot = S. rotundata; S. san = S. sandensis; S. sca = S. scabra; S. slie = S. slieringsi; S. tri = S. triaena; S. var = S. variabilis; S. ven = S. venusta; S. ver = S. verseveldti; Sin. sp. = Sinularia sp.; Dam.= Dampia sp.

Page 92: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SEBARAN KARANG LUNAK, MARGA Sinularia May, 1898

219

Dari Gambar 2, dicatat tiga jenis Sinularia yang sebarannya hampir merata di lokasi-lokasi pengamatan yaitu : S. brassica, S. hirta dan S. verseveldti. Ketiga jenis ini lebih dominan di lokasi pulau-pulau atau gosong dekat daratan Kalimantan yang perairannya keruh karena berdekatan dengan muara Sungai Berau yang secara alami mempunyai sedimentasi tinggi. Karang lunak dapat bertoleransi dengan perairan yang keruh atau dasar yang sedikit berlumpur di daerah terumbu karang.

Gambar 3. Wilayah dan jumlah jenis Sinularia di perairan Indo-Pasifik (van OFWEGEN 2002).Figure 3. Areas in the Indo-Pacific and their number of recorded species of Sinularia (van OFWEGEN 2002).

Legend: AS-Andaman Sea; CL-Chagos-Laccadive Plateau;CS-COOK Is.+Society Is.;Ea- ; EA-Eastern Africa;Ea- Easter Is.;EC East Caroline; FT-Fiji+Tonga Is.; GB-Great Barrier Reef; GP-Galapagos+Cocos Is.+Gulf of Panama; Ha-Hawaii Is.; IA-Indonesia; IS-SE India+Srilanka; Ja-Japan; Li-Line Is.; Ma-Madagascar; MB-Mariana+Bonin Is.; Me-Mexico; MG-Marshall+Gilbert Is.; NS-New Guinea+Solomon Is.; PG-Persian Gulf; Ph-Philippines; RS-Red Sea; SC-South China Sea; SM-Seichelles+Mauritius Plateau; SP-Samoa+Phoenix Is.; TA-Tuamoto Arch+Marquesas; Tw-Taiwan; VN-anuatu+ New Caledonia; WA-Western Australia; WC-West Carolines.

Page 93: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MANUPUTTY

220

Jenis S. brassica, biasanya hidup di perairan yang agak keruh atau gelap karena kurang cahaya matahari seperti di dalam gua-gua atau di balik bongkahan karang yang besar (boulder). Umumnya jenis-jenis yang hidup pada kondisi perairan seperti ini, memiliki bentuk pertumbuhan koloni yang pipih dan melebar berbentuk seperti semak atau pohon. Hal ini merupakan salah satu strategi agar dapat memaksimalkan upaya menyerap cahaya matahari untuk proses fotositesis (DINESEN 1983, FABRICIUS & DE’ATH 2001) atau membentuk rumpun koloni yang lebat, bila koloninya berbentuk seperti semak atau pohon.

Sebagai contoh yang lain adalah jenis S. polydactyla. Jenis ini hidup baik di perairan yang agak berlumpur dan keruh maupun di perairan yang jernih dan ditemukan sampai kedalaman 20 meter.

Di perairan yang jernih batas kedalaman untuk pertumbuhan beberapa jenis oktokoral yang mengandung alga uniseluler (zooxanthellae) dalam jaringan tubuhnya, terutama anggota dari marga Sinularia, ialah sampai ke kedalaman 40 meter. Sementara jenis yang tidak mengandung zooxanthellae, batas hidupnya hanya sampai ke kedalaman 25 meter (FABRICIUS & ALDERSLADE 2001).

Pada lereng terumbu yang terjal maupun dinding tebing yang vertikal, penetrasi cahaya matahari sangat rendah, dan beberapa jenis Sinularia dapat bertoleransi dengan baik pada kondisi seperti ini. Habitat seperti ini ditemukan di Pulau Maratua dan Pulau Kakaban. Jenis–jenis yang hidup di habitat seperti di atas ialah S. flexibilis dan S. querciformis (Lampiran 1). Jenis S. querciformisselalu tumbuh di kedalaman 25 meter bahkan lebih, sedangkan S. flexibilis juga ditemukan tumbuh dari kedalaman 5 - 25 meter, terutama di perairan Indonesia bagian timur (MANUPUTTY & OFWEGEN 2007). Jenis-jenis Sinularia yang diperoleh dari perairan Derawan kali ini umumnya diambil dari kedalaman 5 –30 meter.

Hasil pengamatan kondisi terumbu karang dengan metode ”RRRI” (Rapid Reef Resources Inventory) yang mengelilingi pulau-pulau Kakaban dan Maratua, dicatat kondisi karang batu maupun karang lunaknya cukup baik (MANUPUTTY et al. 2004). Walaupun jumlah stasiun pada pengamatan Sinularia kali ini di kedua pulau tersebut di atas sangat sedikit (tiga stasiun) tetapi jika dibandingkan dengan jumlah stasiun di pulau-pulau Derawan dan sekitarnya, dicatat ada enam jenis Sinularia yaitu S. venusta dan S. verseveldtidi Pulau Kakaban, dan S. verseveldti, S. triaena, S. lochmodes dan S. lamellatadi Pulau Maratua. Dengan jumlah stasiun yang sedikit, belum dapat dibuktikan bahwa asumsi makin jauh dari daratan utama pertumbuhan karang lunak makin baik. Untuk itu perlu dilakukan pengamatan yang lebih rinci dengan jumlah stasiun yang seimbang, untuk membuktikan kebenaran asumsi tersebut.

Page 94: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SEBARAN KARANG LUNAK, MARGA Sinularia May, 1898

221

Gambar 4. Dendrogram hasil analisa klaster di 30 lokasi, berdasarkan pada matriks similaritas dari sebaran jenis.

Figure 4. Cluster analysis dendrogram of the 30 sites based on the species distribution similarity matrix.

Analisis similaritas berdasarkan indeks Bray-Curtis (Bray-Curtis Similarity), menghasilkan dendrogram pengelompokan stasiun seperti tampak pada Gambar 4. Berdasarkan gambar ini ada lima kelompok stasiun yang mencirikan kemiripan keberadaan masing masing jenis pada tingkat kemiripan di atas atau sama dengan 50 % (≥ 50 %) . Pada tingkat kemiripan 50 % ada lima stasiun yang kemiripannya dicirikan oleh adanya jenis S. brassica, dan dua stasiun yang kemiripannya dicirikan oleh jenis S. lochmodes. Pada tingkat kemiripan 50% dicirikan oleh jenis S. lochmodes (Tabel 3). Kemudian pada tingkat kemiripan 57,1 % ada empat stasiun yang dicirikan oleh jenis S. verseveldti. Pada tingkat kemiripan 67,7 % ada dua stasiun yang kemiripannya dicirikan oleh S. verseveldti dan tiga stasiun yang dicirikan oleh jenis Sinularia hirta. Terakhir tingkat kemiripan tertinggi (100 %), dicirikan oleh jenis tunggalpada stasiun BER 04 dan BER 24. Di kedua stasiun ini hanya ditemukan satu jenis yaitu S. hirta.

Menurut van OFWEGEN (2008), jenis-jenis yang berperan dalam pengelompokan di atas, merupakan jenis yang sudah lama dikenal pada abad ke 19 dan 20 yaitu S. brassica May, 1898, S. hirta (Pratt,1903) S. lochmodesKolonko, 1926, serta S. verseveldti van Ofwegen, 1996. Jenis-jenis tersebut merupakan jenis yang umum ditemukan di perairan Indonesia, sehingga bukan merupakan jenis yang baru. Pada awal abad ke 21, telah dimulai penelitian

Page 95: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MANUPUTTY

222

biodiversitas karang lunak di beberapa perairan tropis di dunia termasuk perairan Indonesia. Juga telah dilakukan peninjauan kembali dan merevisi jenis-jenis yang sudah ada terutama dari marga Sinularia berdasarkan hubungan filogenetik (phylogenetic relationships) antar sesama jenis Sinularia (van OFWEGEN 2008). Tidak tertutup kemungkinan, bahwa di antara jenis-jenis Sinularia yang sudah ada, akan berubah nama dan menjadi jenis baru (van OFWEGEN 2008).

Tabel 3. Tingkat kemiripan kelompok stasiun dan jenis Sinulariaberdasarkan berdasarkan pada matriks similaritas dari sebaran jenis.

Table 3. Grouping of sampling sites and Sinularia species based on the species distribution similarity matrix.

SimilarGroup of Site Species Indicator

BER46; BER06; BER1950 BER15; BER26

BER17; BER34 Sinularia lochmodes

57.1 BER32; BER07; BER03; Sinularia verseveldti

67.7 BER03; BER19a Sinularia verseveldtiBER 10; BER 04, BER24 Sinularia hirta

100 BER 04, BER24 Sinularia hirta

Similarity (%)

Sinularia brassica

KESIMPULAN

Kurang dan tidak seragamnya jumlah stasiun pengamatan belum dapat membuktikan bahwa asumsi makin jauh dari daratan utama pertumbuhan karang lunak makin baik. Jenis-jenis Sinularia yang dikumpulkan dari perairan Pulau-pulau Derawan merupakan jenis yang umum ditemukan di perairan Indonesia, sehingga bukan merupakan jenis yang baru. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, dan dengan ditemukannya cara baru untuk mengidentifikasi jenis berdasarkan hubungan filogenetik antar jenis, kemungkinan akan didapatkan jenis yang baru, dari nama-nama lama yang ada.

Page 96: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SEBARAN KARANG LUNAK, MARGA Sinularia May, 1898

223

PERSANTUNAN

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. L.P. van Ofwegen, Curator Coelenterata pada “National Museum of Natural History-Naturalis”, Leiden, The Netherlands, atas kerjasama dan bimbingannya, selama di lapangan maupun di laboratorium di Leiden. Demikian pula kepada tim biodiversitas ekosistem terumbu karang, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Juga kepada tim redaksi yang telah melakukan koreksi untuk penyempurnaan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

BENAYAHU, Y. 1997. A review of three alcyonacean families (Octocorallia) from Guam. Micronesia 30 : 207-244, pls 1-3.

BENAYAHU, Y., L.P.van OFWEGEN and P. ALDERSLADE 1998. A case study of variation in two nominal species of Sinularia (Coelenterata: Octocorallia), S. brassica May,1898 and S. dura (Pratt 1903), with a proposal for their synonymy. Zool. Verh. 323 : 277-309.

CLARKE, K.R. and R.M. WARWICK 2001. Changes in marine communities: an approach to statistical analysis and interpretation. Plymouth, Natural Environmental Research Council Bourne Press : 169 pp.

DINESEN, Z. 1983. Patterns in the distribution of soft corals across the central Great Barrier Reef. Coral Reefs 1 : 229-236.

FABRICIUS, K. and and G. DE’ATH 2000. Soft Coral Atlas of the Great barrier reef, Australian Institute of Marine Science, http://www.aims.gov.au/softcoral.atlas : 57 pp.

FABRICIUS, K. and and G. DE’ATH 2001. Biodiversity on the Great Barrier Reef : large scale patterns and turbidity-related local loss of soft coral taxa. In : WOLANSKI, E (ed) Oceanographic Processes Of Coral Reefs: Physical And Biological Links In The Great Barrier Reef. CRC Press, London: 365 pp

FABRICIUS, K. and P. ALDERSLADE 2001. Soft Corals and Sea Fans. A comprehensive guide to the tropical shallow-water genera of the

Page 97: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

MANUPUTTY

224

Central-West Pacific, the indian Ocean and the Red sea. AIMS Publisher, Townville : 264 pp.

MANUPUTTY, A.E.W., M.H. AZKAB, WINARDI, E. KUSMANTO, H.A.W. CAPPENBERG, R.M. SIRINGORINGO, dan M. ABRAR 2004. Biodiversitas ekosistem terumbu karang dan ekosistem lamun di perairan Kalimantan Timur. Laporan Akhir. Program Kompetitif Pengembangan IPTEK LIPI, Sub Program Sensus Biota Laut. Puslit Oseanografi LIPI: 116 hal.

MANUPUTTY, A.E.W. and L.P. van OFWEGEN 2007. The genus Sinularia (Octocorallia: Alcyonacea) from Ambon and Seram (Mollucas, Indonesia). Zool. Med. 81 : 11 – 40.

Van OFWEGEN, L.P. 2002. Status of knowledge of the Indo-Pacific soft coral genus Sinularia May, 1898 (Anthozoa : Octocorallia). Proc. of the 9th Int. Coral Reef Symp (1) :167 – 171.

Van OFWEGEN, L.P. 2008. The genus Sinularia (Octocorallia: Alcyonacea) from Bremer and West Woody islands (Gulf of Carpentaria, Australia). Zool. Med. 82 : 131 – 165.

Van OFWEGEN, L.P. and J. VENNAM 1991. Notes on Octocorallia from the Laccadives (SW India). Zool. Med. 65 : 143 – 154.

Van OFWEGEN, L.P. and J. VENNAM 1994. Results of the Rumphius Biohistorical Expedition to Ambon (1990) Part 3. The Alcyoniidae (Octocorallia: Alcyonacea). Zool. Med. 68 : 135 – 158.

Van OFWEGEN, L.P., A.E.W. MANUPUTTY and YOSEPHINE TUTI 2003. Biodiversity of the coastal zone of NE Kalimantan (Berau region). In : B.W. HOEKSEMA (ed.). Preliminary Results Of A Field Survey Performed By An Indonesian-Dutch Research Team. National Museum of Natural History – Naturalis, PO Box 9517, 2300 RA Leiden, The Netherlands: 11-12.

VERSEVELDT, J. 1977. On two Sinularia species (Octocorallia : Alcyonacea) from the Mollucas. Zool. Med. 50 : 303 – 307, pls. 1 – 2.

VERSEVELDT, J. 1980. A revision of the genus Sinularia May (Octocorallia, Alcyonacea. Zool. Verhand. 179 : 1 – 128, figs. 1 – 68, pls. 1 -38.

Page 98: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

SEBARAN KARANG LUNAK, MARGA Sinularia May, 1898

225

Lampiran 1 (Appendix 1).

Sinularia brassica May, 1898 (cup shape) Sinularia brassica May, 1898 (lobate)

Sinularia polydactyla (Ehrenberg, 1834), contracted Sinularia polydactyla (Ehrenberg, 1834), retracted

Sinularia flexibilis (Quoy & Gaimard,1833) Sinularia querciformis (Pratt, 1903)

Page 99: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(2): 227-242 ISSN 0125 – 9830

HUBUNGAN PARASITISME ANTARA SIPUT Thyca crystallina DAN BINTANG LAUT BIRU Linckia laevigata DI

PERAIRAN TERNATE, MALUKU UTARA

oleh

UCU YANU ARBI 1) dan INDRA BAYU VIMONO2)

UPT Loka Konservasi Biota Laut Bitung – LIPI1)

Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI2)

Received 5 July 2010, Accepted 14 July 2010

ABSTRAK

Di dalam ekosistem terumbu karang terjadi hubungan simbiosis, baik yang bersifat mutualisme, komensalisme, maupun parasitisme. Penelitian mengenai hubungan parasitisme antara dua jenis biota laut belum banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian hubungan parasitisme antara siput Thyca crystallina dan bintang laut biru Linckia laevigata telah dilakukan di perairan Ternate pada bulan Oktober sampai November 2009. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan parasitisme antara Thyca crystallina sebagai parasit dan Linckia laevigata sebagai inangnya. Penelitian dilakukan pada 41 lokasi dengan metode koleksi bebas pada ekosistem terumbu karang menggunakan bantuan perlengkapan selam SCUBA. Pengukuran struktur populasi siput parasit dan inangnya dihitung dengan pendekatan morfometri dan diuji dengan menggunakan program SPSS®. Berhasil dikumpulkan sebanyak 172 individu Thyca crystallina yang menginfeksi 60 individu Linckia laevigata atau sebanyak 91,67% bintang laut biru terinfeksi oleh siput parasit. Penelitian menunjukkan bahwa jumlah parasit dan ukuran maksimal parasit tidak dipengaruhi oleh ukuran tubuh inang.

Kata kunci : Thyca crystallina, Linckia laevigata, Perairan Ternate, Maluku Utara.

Page 100: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

ARBI & VIMONO

228

ABSTRACT

PARASITISM RELATION BETWEEN Thica crystallina ANDLinckia levigata IN TERNATE WATERS, NORT MALUKU. In coral reefs ecosystem, symbiosis between marine animals occurs in many ways: mutualism, commensalism, and also parasitism. Research and information of parasitism of marine animals in Indonesia was still limited. Parasitism research of Thyca crystallina and Linckia laevigata (blue sea star) was conducted in Ternate waters from October to November 2009. This research was conducted in purpose of determine the parasitism between Thyca crystallina as the parasite and Linckia laevigata as the host. Free sampling was done in 41 locations by SCUBA. Population structure was measured based on morphometric approaches. 172 Thyca cristallina was found as the parasite in 60 Linckia laevigata. It was found that 91.67% of blue sea stars were infected by parasite. There was no significant influence from host size to parasite number and parasite size.

Key words : Thyca crystallina, Linckia laevigata, Ternate waters, North Moluccas.

PENDAHULUAN

Suatu ekosistem, khususnya ekosistem perairan, terjadi interaksi antara satu jenis organisme dengan jenis organisme lainnya (simbiosis), baik itu berupa hubungan yang bersifat mutualisme, komensalisme, maupun parasitisme (HALES 2006). Di dalam hubungan parasitisme, organisme parasit memanfaatkan organisme lainnya (inang) sebagai tempat hidup untuk melangsungkan sebagian besar siklus hidupnya. Inang seringkali merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai sumber makanan bagi parasit. Hal inilah yang kadang menjadi salah satu faktor fisiologi yang sangat penting yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, baik bagi parasit maupun inangnya (ELDER 1979). Dengan kata lain, bahwa parasit memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kondisi orgamisme lain yang dijadikan sebagai inangnya. Namun demikian, pada dasarnya organisme parasit tidak membunuh inang pada saat parasit tersebut mengambil keuntungan dari inang, bahkan walau parasit tersebut memiliki sifat pathogen (menyebabkan penyakit) (ELDER 1979; BAUMILLER & GAHN 2002).

Page 101: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

HUBUNGAN PARASITISME ANTARA SIPUT Thyca crystallina DAN BINTANG LAUT BIRU Linckia laevigata

229

Hubungan yang bersifat parasitisme antara dua organisme yang berbeda kemungkinan juga terjadi pada hampir semua filum di alam, termasuk pada moluska. Cukup banyak jenis moluska yang bersifat parasit bagi organisme lain, baik bagi organisme yang termasuk filum moluska sendiri maupun organisme dari filum yang lainnya. Ada kalanya hubungan parasitisme yang terjadi tersebut bersifat spesifik, yaitu satu jenis parasit hanya dapat hidup pada inang tertentu saja (BAUMILLER 1990; BAUMILLER & GAHN 2002). Salah satu contohnya adalah yang terjadi pada siput Thyca crystallina (Eulimidae, Gastropoda) sebagai parasit spesifik pada bintang laut biru Linckia laevigata (Ophidiasteridae, Asteroidea) (ELDER 1979; JANGOUX 1987; CRANDALL et al. 2008).

Siput parasit Thyca crystallina dapat dengan mudah ditemukan di alam, yaitu menempel pada bintang laut biru Linckia laevigata. Hampir pada seluruh bintang laut biru dapat ditemukan gastropoda parasit ini, bahkan pada satu individu bintang laut kadang terdapat lebih dari dua puluh individu parasit (KOCHZIUS et al. 2009). Thyca crystallina memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik yang dibuktikan dengan pembentukan pola warna pada tubuh moluska tersebut yang menyerupai pola warna bintang laut inangnya. Adaptasi warna tersebut membuat Thyca crystallina tersamar pada permukaan lengan bintang laut biru (ELDER 1979). Hubungan parasitisme spesifik yang sejenis antara lain Thyca callista yang merupakan parasit pada Phataria unifascialis (SALAZAR & BONILLA 1998; NEIRA & CANTERA 2005), serta Thyca nardoafrianti pada Nardoa pauciformis (GUENTHER 2007). Populasi bintang laut Phataria unifascialis sebagai inang dari parasit Thyca callista cukup melimpah di perairan Meksiko. Sedangkan di wilayah Indo-Pasifik, penelitian terhadap hubungan parasitisme Thyca crystallina maupun Thyca callista dengan inangnya belum pernah dilaporkan.

Siput parasit, famili Eulimidae secara umum, memiliki hubungan yang erat dengan berbagai jenis ekinodermata sebagai inangnya, dari yang paling sederhana (bersifat ektoparasit) sampai yang kompleks (bersifat endoparasit) (ALTNÖDER et al. 2007). WARÉN (1983) menemukan sebanyak 33 jenis dari 15 genus parasit dari famili Eulimidae berasosiasi dengan ekinodermata kelas Holothuroidea. Parasitisme pada moluska dan ekinodermata telah beberapa kali diteliti (MOHAN & JAMES 2005; CAMPOS et al. 2009). Namun penelitian tentang hubungan parasitisme antara Thyca crystallina dan Linckia laevigata di wilayah Indonesia masih sangat jarang. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap data tentang hubungan parasitisme antara Thyca crystallina dan Linckia laevigata dari beberapa lokasi di perairan Ternate, Maluku Utara.

Page 102: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

ARBI & VIMONO

230

BAHAN DAN METODA

Penelitian dilakukan di perairan Ternate dan sekitarnya, Maluku Utara pada bulan Oktober dan November 2009. Eksplorasi Linckia laevigata dilakukan pada ekosistem terumbu karang sampai kedalaman 30 meter dengan menggunakan bantuan perlengkapan selam SCUBA serta dengan snorkelingpada 41 lokasi (Gambar 1). Setiap bintang laut biru yang ditemukan selama penyelaman dan snorkeling diambil untuk dilakukan pendataan. Kemudian dilakukan perhitungan persentase jumlah bintang laut yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi oleh parasit. Selain itu juga dihitung pesentase total jumlah bintang laut yang ditemukan dengan total jumlah parasit yang menginfeksinya. Struktur populasi dari Thyca crystallina dan Linckia laevigata dihitung dengan menggunakan pendekatan morfometri, yaitu dengan cara mengukur bagian-bagian penting yang merupakan titik tumbuh dari Thyca crystallina dan Linckia laevigata tersebut. Pengukuran tidak hanya pada bintang laut yang terinfeksi parasit, tetapi pada semua bintang laut yang ditemukan selama penelitian.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di perairan Ternate, Oktober-November 2009. Lingkaran merah menunjukkan stasiun yang terdapat Linckia laevigata dan Thyca crystallina.

Figure 1. Map of observation at Ternate waters, October-November 2009. Red circle indicates that Linckia laevigata and Thyca crystallina are found in the locations.

Page 103: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

HUBUNGAN PARASITISME ANTARA SIPUT Thyca crystallina DAN BINTANG LAUT BIRU Linckia laevigata

231

Pengukuran pada Linckia laevigata meliputi panjang lengan terpanjang (R) dan jari-jari disc (r). Panjang lengan terpanjang (R) ditentukan dengan mengukur lengan yang paling panjang mulai dari ujung lengan sampai dengan titik pertemuan antar lengan. Pengukuran jari-jari disc (r) ditentukan dengan mengukur panjang antara titik pertemuan antar lengan dengan titik tengahlubang mulut. Pengukuran Thyca crystallina pengukurannya meliputi panjang cangkang (p) dan lebar cangkang (l). Panjang cangkang (p) ditentukan dengan mengukur panjang antara titik awal pertumbuhan cangkang (ujung spire) sampai dengan titik terjauh bibir luar bukaan cangkang (outer lip dari aperture). Sedangkan pengukuran lebar cangkang (l) ditentukan dengan mengukur ukuran terpanjang antara sisi kiri sampai sisi kanan cangkang. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kaliper dengan tingkat ketelitian 0,1 millimeter (mm). Bagian-bagian yang diukur ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Bagian-bagian tubuh Linkia laevigata dan Thyca crystallina yang diukur.

Figure 2. Parts of Linkia laevigata and Thuca crystallina body’s that measured.

Page 104: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

ARBI & VIMONO

232

Data yang diperoleh diuji secara statistik dengan menggunakan program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS®). Data yang diuji adalah regresi antara panjang lengan terpanjang (R) dan jari-jari disc (r) dengan jumlah parasit, rata-rata panjang cangkang parasit dan panjang maksimal parasit yang menempel. Hasil yang diperoleh dari uji statistik kemudian dibahas berdasarkan pendekatan ekologis dan sifat parasitisme antara bintang laut biru (Linckia laevigata) sebagai inang dengan siput (Thyca crystallina) sebagai parasit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi lokasi penelitianKepulauan bagian barat Pulau Halmahera, terutama wilayah pulau-pulau

kecil, pada umumnya memiliki topografi pantai miring sampai berupa dinding terjal, dan pada beberapa lokasi memiliki arus yang cukup kuat. Kondisi terumbu karang di lokasi ini tidak terlalu bagus karena pengaruh kondisi alam dan kerusakan akibat penangkapan ikan yang tidak bertanggungjawab. Dari pengamatan visual, pesentase tutupan karang batu pada penelitian ini rata-rata berkisar antara 30-40%. Faktor alamiah yang menyebabkan kerusakan karang kemungkinan karena besarnya gelombang laut pada musim-musim tertentu, biasanya pada saat musim angin barat yang terjadi sekitar bulan Februari sampai Maret. Di samping itu, adanya penangkapan ikan menggunakan bahan peledak dan bahan kimia menjadikan kerusakan semakin besar. Belum diketahui adanya perubahan kimia perairan akibat bahan pencemar mengingat sangat sedikitnya kegiatan industri yang berlangsung di wilayah ini. Bahan pencemar yang mungkin menjadi polutan berupa limbah rumah tangga dan limbah dari kegiatan transportasi perairan.

Inang (Linckia laevigata)Sistematika dari bintang laut biru ini adalah termasuk dalam Kelas

Asteroidea de Blainville, 1830, Ordo Valvatida Perrier, 1884, Famili Ophidiasteridae Verrill, 1870, Genus Linckia Nardo, 1834, Spesies Linckia laevigata (Linnaeus, 1758). Bintang laut biru Linckia laevigata memiliki warna dasar biru cerah, kadang-kadang agak kehijauan, agak merah muda, serta agak kekuningan. Warna biru ini didapatkan dari pigmen warna biru yang disebut dengan linckiacyanin dan sedikit pigmen kuning yang disebut karotenoid. Variasi warna pada Linckia laevigata tersebut diakibatkan oleh perbandingan kombinasi kedua pigmen tersebut, tapi tetap dengan warna dasar biru yang mendominasi. Variasi warna tersebut bisa saja terjadi akibat perbedaan kondisi lingkungan antar wilayah. Namun demikian, belum jelas apakah variasi warna tersebut juga mempengaruhi perilaku di antara masing-masing variasi warna.

Page 105: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

HUBUNGAN PARASITISME ANTARA SIPUT Thyca crystallina DAN BINTANG LAUT BIRU Linckia laevigata

233

Berdasarkan klasifikasi, kerabat paling dekat dari Linckia laevigata adalah Linckia multiflora, namun Linckia multiflora memiliki warna dominan merah dan memiliki ukuran tubuh lebih kecil. Seperti pada bintang laut secara umum, bintang laut biru ini kebanyakan memiliki lima buah lengan berbentuk tabung yang dapat tumbuh hingga 30-40 cm. Bintang laut biru ini memiliki sistem pertahanan diri alamiah dari predator karena kandungan bahan kimia dalam tubuhnya yang disebut saponin. Sedangkan pemangsa alamiahnya adalah keong triton Charonia tritonis.

Bintang laut biru memiliki sebaran hampir di seluruh daerah tropis wilayah Indo-Pasifik, terutama daerah-daerah yang memiliki terumbu karang dan padang lamun, dari bagian barat Samudera Hindia, Indo-Pasifik dan bagian utara Australia sampai Samoa dan Fiji (SLOAN et al. 1979; WARÉN 1980). Linckia laevigata sangat umum ditemukan di perairan dangkal sampai kedalaman 50 meter di daerah terumbu karang dan padang lamun serta bersifat nokturnal. Berdasarkan jenis makanannya, biota ini termasuk pemakan sisa-sisa organisme lain (scavenger), kemungkinan juga pemakan jamur (saprofit), bahkan juga bisa disebut sebagai pemakan mikroalga (grazer). Bintang laut biru ini memiliki kelamin yang terpisah antara jantan dan betina, dan telur hasil perkawinan sampai larva bersifat planktonik. Perkembangan larva sampai dewasa memakan waktu sekitar 28-30 hari pada kolom air, kemudian mencari substrat keras pada permukaan karang untuk berkembang menjadi individu kecil yang sudah memiliki morfologi seperti individu dewasa.

Parasit (Thyca crystallina)Berikut ini adalah sistematika dari jenis parasit Thyca crystallina yang

merupakan parasit pada bintang laut biru Linckia laevigata. Kelas Gastropoda Cuvier, 1795, Superordo Caenogastropoda Cox, 1960, Ordo Sorbeoconcha Ponder & Lindberg, 1997, Superfamily Eulimoidea Philippi, 1853, Family Limidae Philippi, 1853, Genus Thyca Adams & Adams, 1854, Jenis Thyca crystallina (Gould, 1846). Siput parasit ini menempel kuat pada permukaan luar tubuh bintang laut biru (Linckia laevigata), dan bahkan pada beberapa kasus sering terlihat adanya lubang pada bagian tubuh bintang laut tersebut yang menjadi tempat melekat bagi siput ini. Penempelan siput pada sistem radial hemal dan perihemal pada bintang laut biru adalah dengan menggunakan proboscis untuk mendapatkan sari makanan dari inang (EGLOFF et al. 1988). Penempelan pada inangnya menunjukkan perilaku yang unik, yaitu tidak berpindah-pindah tempat penempelan, melainkan pada satu tempat dari umur juvenil sampai mati. Warna cangkang siput parasit ini biru, seperti warna inangnya, kemungkinan sebagai salah satu bentuk strategi untuk penyamaran dari mangsa alaminya. Ukuran panjang cangkang rata-rata sekitar 1 cm, dan catatan ukuran paling panjang dari perairan Ternate 1, 23 cm.

Siput parasit Thyca crystallina memiliki sebaran dan habitat yang identik dengan inangnya. Sebaran hampir di seluruh daerah tropis wilayah Indo-

Page 106: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

ARBI & VIMONO

234

Pasifik, terutama daerah-daerah yang memiliki terumbu karang dan padang lamun.

Pengukuran tubuh parasit dan inangnyaSebanyak 60 individu Linckia laevigata telah dikoleksi dari 41 lokasi

(TER 1 – 41). Ternyata hanya ada lima individu saja yang tidak terdapat Thyca crystallina. Sebanyak 91,67% dari seluruh sampel Linckia laevigata terinfeksi oleh parasit Thyca crystallina (Tabel 1). Dari 60 individu Linckia laevigata yang diamati, ditemukan sebanyak 152 individu parasit Thyca crystallina. Artinya bahwa setiap individu Linckia laevigata rata-rata terinfeksi oleh 2,53 Thyca crystallina, atau jika dibulatkan, pada setiap individu bintang laut terdapat tiga siput parasit. Jika dibandingkan dengan hasil yang didapat oleh SALAZAR & BONILLA (1998) yang meneliti tentang hubungan parasitisme antara siput parasit Thyca callista dan inang bintang laut Phataria unifascialis di Teluk Meksiko, hasil ini sedikit lebih tinggi. Kedua penulis tersebut menemukan bahwa sebanyak 76,5% bintang laut terinfeksi siput parasit. Hasil yang didapatkan adalah sebesar 1,36, artinya jika dibulatkan pada setiap individu bintang laut terinfeksi oleh satu siput parasit.

Perbedaan hasil yang didapatkan dari penelitian ini dan penelitian sebelumnya kemungkinan besar disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi perairan. Selain itu, kemungkinan juga adanya perbedaan aspek ekologis, yaitu letak geografis antara Indonesia yang terletak pada daerah tropis dan Meksiko yang terletak di daerah subtropis. LAFFERTY & KURIS (1999) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor lingkungan yang mengakibatkan terganggunya hubungan parasitisme antara dua organisme di suatu perairan, yaitu kualitas air, perubahan habitat, kegiatan perikanan, serta adanya jenis organisme pendatang (introduced species). Sehingga dapat dikatakan bahwa perbedaan hasil yang didapat pada penelitian ini dengan hasil penelitian di Meksiko lebih karena adanya perbedaan pada aspek ekologis.

Jumlah parasit berpotensi mengalami peningkatan jika terjadi perubahan. Akan tetapi juga ada kecenderungan sebaliknya, jika terjadi perubahan yang kurang menguntungkan bagi parasit tersebut (LAFFERTY & KURIS 1999). Hal itu disebabkan oleh kompleksnya siklus hidup parasit yang membuatnya rentan terhadap perubahan lingkungan, apa lagi jika perubahan tersebut juga mempengaruhi inang. Konsekuensi negatif dari perubahan tersebut memungkinkan timbulnya dampak negatif bagi inang, yaitu semakin cepatnya perkembangbiakan parasit (LAFFERTY & KURIS 1999). Secara alamiah, beberapa jenis bintang laut memiliki sistem pertahanan diri dari parasit, baik secara kimiawi maupun secara fisika. Sistem pertahanan diri dengan mekanisme kimia ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan GUENTHER (2007). Pada penelitian tersebut diketahui bahwa pada permukaan tubuh bintang laut jenis Linckia laevigata, Fromia indica, Cryptasterina pentagona dan Archaster typicus terdapat persenyawaan kimia, antara lain asam hexadecanoic, kolesterol

Page 107: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

HUBUNGAN PARASITISME ANTARA SIPUT Thyca crystallina DAN BINTANG LAUT BIRU Linckia laevigata

235

dan lathosterol. Persenyawaan kimia tersebut merupakan hasil sekresi yang dikeluarkan hampir pada seluruh permukaan tubuh keempat bintang laut tersebut yang berfungsi untuk menangkal parasit agar tidak menginfeksi tubuhnya. Jika dibandingkan antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan SALAZAR & BONILLA (1998), terlihat adanya perbedaan hasil. Perbedaan hasil kemungkinan besar disebabkan karena persenyawaan kimia hasil sekresi pada permukaan tubuh Linkia laevigata dengan Phataria unifascialis berbeda. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan perbedaan tingkat kemampuan menempel dari parasit masing-masing bintang laut tersebut. Semakin banyak kandungan persenyawaan kimia yang terkandung pada permukaan tubuh bintang laut, logikanya semakin sedikit jumlah parasit yang mampu menempel, dan sebaliknya. Sehingga dapat dikatakan bahwa perbedaan hasil yang didapat lebih karena adanya perbedaan pada aspek fisiologis.

Selain itu, juga terdapat mekanisme fisika untuk menghindari serangan parasit pada ekinodermata. Berdasarkan CLARK & ROWE (1971), lapisan epidermis ekinodermata yang menyelubungi endoskeleton, terdiri dari lapisan-lapiran jaringan penghubung dan kerangka kecil dari kapur. Secara umum, bintang laut memiliki paxillae pada permukaan tubuhnya dan merupakan modifikasi dari kerangka kapur berbentuk tiang tegak yang diujungnya ditumbuhi banyak duri (CLARK & ROWE 1971). Paxillae dan duri-duri tersebut jika dilihat di bawah mikroskop memiliki struktur yang kompleks. Struktur duri-duri yang kompleks tersebut berfungsi mencegah parasit agar tidak menempel pada permukaan tubuhnya. Mekanisme fisika seperti ini lazim terjadi pada kelompok bulu babi, sedangkan pada kelompok bintang laut belum banyak dilaporkan. Kemungkinannya adalah karena ukuran duri pada permukaan bintang laut yang sangat kecil menyebabkan parasit mudah menempel. Jadi, faktor fisika tidak mempengaruhi adanya perbedaan hasil penelitian ini dan penelitian di Teluk Meksiko.

Baik mekanisme fisika maupun mekanisme kimia yang terjadi pada bintang laut tersebut juga umum terjadi pada kondisi alamiah pada berbagai jenis biota. Pada dasarnya mekanisme tersebut merupakan sebuah respon yang diberikan oleh biota tersebut sebagai salah satu bentuk adaptasi pertahanan diri dari predator maupun parasit (GUENTHER 2007). Mekanisme pertahanan diri (antifouling defence) yang umum terjadi pada ekinodermata terhadap serangan parasit maupun predator adalah menggunakan pedicellariae. Bagian tubuh ini sebenarnya merupakan alat gerak yang juga berfungsi untuk mengusir musuh (van VELDHUIZEN & OAKES 1981), menjerat mangsa yang sedang bergerak bebas (LAUERMAN 1998) dan membersihkan diri dari larva parasit yang akan menempel (CAMPBELL & RAINBOW 1977).

Page 108: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

ARBI & VIMONO

236

Tabel 1. Pengukuran Linckia laevigata dan Thyca crystallina pada masing-masing lokasi.

Table 1. Measurement of Linckia laevigata and Thyca crystallina on each station.

STA HOST SIZE(R and r in cm)

PARASITE SIZE(p and l in cm)

Ter 1 - -Ter 2 - -Ter 3 - -Ter 4 - -Ter 5 - -Ter 6 1 (14.5; 2.22) 1 (1.19; 0.92), 2 (0.24; 0.17), 3 (0.38; 0.28), 4 (0.33; 0.28), 5 (0.42;

0.32), 6 (0.44; 0.31), 7 (0.32; 0.24), 8 (0.41; 0.3), 9 (0.4; 0.28),10 (0.49; 0.41)

Ter 7 - -Ter 8 - -Ter 9 - -Ter 10 - -Ter 11 - -Ter 12 - -Ter 13 - -Ter 14 - -

2 (13; 2.26) 11 (0.47; 0.4), 12 (0.38; 0.34), 13 (0.4; 0.3), 14 (0.22; 0.2)Ter 153 (14.5; 2.1) 15 (0.34; 0.3), 16 (0.32; 0.29)4 (19.9; 2.91) 17 (0.6; 0.49)Ter 165 (13.62; 2.48) -

Ter 17 - -Ter 18 - -Ter 19 - -Ter 20 6 (11.47; 1.86) 18 (0.21; 0.17)

7 (12.4; 1.9) 19 (0.32; 0.2), 20 (0.4; 0.31), 21 (0.37; 0.32), 22 (0.3; 0.28)8 (14.64; 2.1) 23 (0.3; 0.27)9 (13.2; 2) 24 (0.38; 0.3), 25 (0.32; 0.27), 26 (0.46; 0.39)10 (21.1; 1.47) 27 (0.37; 0.28), 28 (0.46; 0.36), 29 (0.39; 0.34)11 (13.1; 2.1) 30 (0.27; 0.22), 31 (0.2; 0.18), 32 (0.24; 0.2)12 (12.5; 1.89) 33 (0.39; 0.34)13 (12.16; 2) 34 (0.12; 0.09), 35 (0.48; 0.38), 36 (0.46; 0.34), 37 (0.41; 0.34), 38

(0.41; 0.35)14 (11.88; 2.1) 39 (0.29; 0.17)15 (13.4; 2) 40 (0.49; 0.37)16 (12.8; 1.92) 41 (0.24; 0.19)17 (11.44; 1.76) 42 (0.44; 0.38), 43 (0.42; 0.38), 44 (0.23; 0.19), 45 (0.48; 0.38), 46

(0.42; 0.39), 47 (0.26; 0.19), 48 (0.31; 0.17), 49 (0.29; 0.17), 50 (0.48; 0.39)

18 (15.32; 1.71) -

Ter 21

19 (12.22; 1.34) -Ter 22 - -Ter 23 - -Ter 24 20 (8.37; 1.52) 51 (0.42; 0.33)

21 (13.04; 2.17) 52 (0.17; 0.12), 53 (0.14; 0.1); 54 (0.12; 0.09)Ter 2522 (12.47; 1.89) 55 (0.35; 0.3), 56 (0.29; 0.2), 57 (0.21; 0.16), 58 (0.11; 0.08)

Page 109: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

HUBUNGAN PARASITISME ANTARA SIPUT Thyca crystallina DAN BINTANG LAUT BIRU Linckia laevigata

237

23 (15.01; 2.12) 59 (0.35; 0.27), 60 (0.33; 0.21)24 (13.44; 1.67) 61 (0.27; 0.3), 62 (0.17; 0.12)25 (12; 1.88) 63 (0.4; 0.33), 64 (0.38; 0.33), 65 (0.35; 0.31), 66 (0.13; 0.11)26 (14.4; 2) 67 (0.5; 0.39), 68 (0.22; 0.19)27 (15.2; 1.88) 89 (0.5; 0.41)28 (12.1; 1.64) 90 (0.39; 0.3)29 (14.1; 2.2) 91 (0.21; 0.2), 92 (0.37; 0.3)30 (13.2; 1.62) 93 (0.4; 0.35), 94 (0.42; 0.31), 95 (0.28; 0.26), 96 (0.27; 0.23), 97

(0.19; 0.14), 98 (0.23; 0.17), 99 (0.18; 0.16), 100 (0.4; 0.36)31 (11.31; 1.55) 101 (0.41; 0.32)32 (14.06; 1.82) 102 (0.42; 0.19), 103 (0.46; 0.38)33 (13.89; 1.7) 104 (0.4; 0.31)34 (13.31; 1.73) 105 (0.32; 0.27), 106 (0.39; 0.33), 107 (0.4; 0.29)35 (13; 1.78) 108 (0.16; 0.1)36 (14.01; 1.67) 109 (0.4; 0.33), 110 (0.22; 0.19), 111 (0.17; 0.14), 112 (0.33; 0.24)37 (12.3; 2.01) 113 (0.28; 0.19), 114 (0.4; 0.32), 115 (0.47; 0.39), 116 (0.33; 0.29)38 (13.2; 1.8) 117 (0.32; 0.28), 118 (0.38; 0.31), 119 (0.12; 0.09)39 (16.61; 2.1) 120 (0.13; 0.08)40 (12.1; 1.75) 121 (0.37; 0.32)41 (13.51; 1.77) 122 (0.32; 0.22)42 (17.36; 2.12) 123 (0.52; 0.36), 124 (0.81; 0.64), 125 (0.89; 0.61); 126 (0.25; 0.15)43 (15.01; 1.97) 127 (0.48; 0.35), 128 (0.42; 0.39), 129 (0.38; 0.31), 130 (0.07; 0.05),

131 (0.46; 0.33), 132 (0.48; 0.42), 133 (0.45; 0.33), 134 (0.21; 0.15), 135 (0.42; 0.39), 136 (0.41; 0.36), 137 (0.46; 0.38), 138 (0.28; 0.2), 139 (0.38; 0.32), 140 (0.43; 0.35), 141 (0.49; 0.42), 142 (0.43; 0.37)

44 (7.69; 1.13) -

Ter 26

45 (10.32; 1.53) -Ter 27 - -Ter 28 - -Ter 29 - -Ter 30 - -Ter 31 46 (14.44; 2.6) 143 (0.29; 0.36), 144 (0.5; 0.47), 145 (0.46; 0.44)Ter 32 47 (16.6; 1.86) 146 (0.56; 0.5)Ter 33 - -Ter 34 - -Ter 35 48 (19.91; 2.13) 147 (0.34; 0.31), 148 (0.3; 0.28)

49 (18.14; 2.47) 149 (0.51; 0.4), 150 (0.44; 0.43), 151 (0.46; 0.4), 152 (0.48; 0.36), 153 (0.53; 0.38), 154 (0.44; 0.32), 155 (0.48; 0.4), 156 (0.51; 0.42), 157 (0.55; 0.49), 158 (0.46; 0.42)

50 (8.42; 1.12) 159 (0.41; 0.34)51 (8; 1.16) 160 (0.38; 0.33)

Ter 36

52 (7.47; 1.35) 161 (0.4; 0.33)Ter 37 - -Ter 38 53 (11.1; 1.5) 162 (0.39; 0.28)Ter 39 54 (10.59; 1.55) 163 (0.46; 0.38)Ter 40 - -Ter 41 55 (9.93; 1.67) 164 (1.23; 0.88)

56 (13.88; 1.74) 165 (0.27; 0.19), 166 (0.24; 0.21)57 (12.75; 1.84) 167 (0.34; 0.28), 168 (0.39; 0.35)58 (11.22; 1.74) 169 (0.28; 0.22)59 (10.08; 1.79) 170 (0.4; 0.33)60 (11.47; 2.06) 171 (1.08; 0.8), 172 (0.4; 0.34)

Page 110: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

ARBI & VIMONO

238

Hubungan morfologi antara Linckia laevigata dan Thyca crystallinaHubungan antara jumlah parasit dengan panjang lengan dan jari-jari

tubuh inang ditampilkan pada Tabel 2, sedangkan hubungan antara panjang cangkang parasit dengan panjang lengan dan jari-jari tubuh inang tertera pada Tabel 3. Pada kedua tabel tersebut diketahui bahwa jumlah parasit dan ukuran maksimal parasit tidak dipengaruhi oleh ukuran tubuh inang. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan parasit tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan inang yang ditempelinya. Infeksi parasit kepada inang lebih dimungkinkan terjadi secara acak, dimana Thyca crystallina menempel kepada setiap Linckia laevigata yang kebetulan ada di dekatnya. Tidak ada indikasi bahwa Thyca cristallina melakukan seleksi kepada inang, artinya bahwa siput parasit ini dapat ditemukan pada berbagai ukuran inang Linckia laevigata.

Tabel 2. Regresi ganda antara jumlah Thyca crystallina dengan panjang lengan dan panjang tubuh Linckia laevigata.

Table 2. Multiple regretion between number of Thyca crystallina and length of arm and body of Linckia laevigata.

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate1 .269(a) .072 .040 2.798

Predictors: (Constant), rr, RDependent Variable: Total Thyca

Tabel 3. Hasil Regresi ganda antara panjang maksimal cangkang Thyca crystallina dengan panjang lengan dan panjang tubuh Linckia laevigata.

Table 3. Multiple regretion between maximum length of shell of Thyca crystallina and length of arm and body of Linckia laevigata.

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate1 .059(a) .003 -.035 .16870

Predictors: (Constant), rr, RDependent Variable: maxP

Thyca crystallina menempel pada Linckia laevigata pada saat siput parasit masih dalam fase larva. Larva umumnya bersifat planktonik dan mempunyai kemampuan bergerak bebas di air sebelum akhirnya mencari tempat menempel sebagai organism bentik (bentos). Belum ada yang membuktikan tentang kemampuan larva Thyca crystallina untuk menemukan Linckia laevigata. Namun, diduga bahwa larva tersebut telah memiliki sensor spesifik

Page 111: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

HUBUNGAN PARASITISME ANTARA SIPUT Thyca crystallina DAN BINTANG LAUT BIRU Linckia laevigata

239

terhadap keberadaan inang, sehingga pada saat terdapat inang di dekatnya maka larva tersebut mendekat dan pada akhirnya menempel pada inang. Akan tetapi informasi mengenai kapan dan pada stadium apa siput parasit menempel pada inangnya masih belum banyak. Setelah menemukan inang yang cocok, larva tersebut akan berkembang menjadi juvenil hingga dewasa. Thyca crystallinamenempel dengan cara melukai bagian bawah (ventral) atau tepi lengan dari Linckia laevigata menggunakan proboscis untuk mendapatkan makanan dari tubuh inang tersebut sejak fase juvenil (EGLOFF et al. 1988), seperti yang terlihat pada Gambar 3. Jadi, Thyca crystallina menempel pada lengan Linckia laevigata sejak fase juvenil hingga mati hanya pada satu titik dan tidak pernah berpindah tempat penempelan.

Gambar 3. A) Bagian vental bintang laut biru (Linckia laevigata) yang terinfeksi siput parasit; B) Posisi siput parasit Thyca crystallinapada inangnya; C) Tempat penempelan siput parasit pada bintang laut mengakibatkan luka pada tubuhnya.

Figure 3. A) Ventral side of blue starfish (Linckia laevigata) infected by parasite snail; B) The position of the parasite snail Thyca crystallina on its host; C) Place attachment of parasite snail on starfish cause injury at the body of this body.

Page 112: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

ARBI & VIMONO

240

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa, terjadi hubungan parasitisme antara siput parasit Thyca crystallina dengan bintang laut biru Linckia laevigata di perairan Ternate, Maluku Utara. Sebanyak 91,67% Linckia laevigata telah terinfeksi oleh Thyca crystallina selama penelitian pada 41 lokasi di perairan Ternate. Hasil statistik menunjukkan bahwa jumlah dan ukuran siput parasit tidak berhubungan dengan ukuran tubuh bintang laut biru.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai proses yang terjadi sebelum pemilihan inang, terutama dari parasit sejak masih larva hingga dewasa. Selain itu juga perlu dilakukan pengukuran dampak yang ditimbulkan dari hubungan parasitisme tersebut bagi inangnya.

PERSANTUNAN

Penulis mengucapkan terima kasih kepada DR. Bert W. Hoeksema dari National Museum of Natural History Naturalis, Leiden, Belanda, serta Ibu Yosephine Tutie dan Ibu Rianta Pratiwi dari P2O-LIPI atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti Ekspedisi Widya Nusantara (E-Win) Ternate 2009. Terima kasih terutama juga kami sampaikan kepada DR. Adriaan Gittenberger dari Gittenberger Marine Research, Inventory and Strategy Solutions (GiMaRIS), Leiden, Belanda dan DR. Bert W. Hoeksema dari National Museum of Natural History Naturalis, Leiden, Belanda serta DR. David J.W. Lane dari University of Brunei, Brunei Darussalam atas masukannya selama di lapangan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Bambang S. Sudibjo dari P2O-LIPI atas penjelasan hasil analisa statistik yang diberikan kepada kami.

Page 113: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

HUBUNGAN PARASITISME ANTARA SIPUT Thyca crystallina DAN BINTANG LAUT BIRU Linckia laevigata

241

DAFTAR PUSTAKA

ALTNÖDER, A., J.M. BOHN, I.M. RÜCKERT and E. SCHWABE 2007. The presumed shelled juvenile of the parasitic gastropod Entocolax schiemenziiVoigt, 1901 and its holothurian host chiridota pisanii Ludwig, 1886. Spixiana30 (2): 187-199.

BAUMILLER, T.K. 1990. Non-predatory drilling of Mississippian Crinoids by platyceratid gastropods. Palaeontology 33 (3): 743-748.

BAUMILLER, T.K. and F.J. GAHN 2002. Fossil records of parasitism on marine invertebrates with special emphasis on the platyceratid-crinoid interaction. Palaetological Society Papers 8: 195-210.

CAMPBELL, A.C. and P.S. RAINBOW 1977. The role of pedicellariae in preventing bernacle settlement on the Sea-Urchin test. Mar. Behav. Physiol.4: 253-260.

CAMPOS, E., A.R. CAMPOS de and J.A. LEÓN-GONZÁLEZ de 2009. Diversity and Ecological Remarks of Ectocommensals and Ectoparasites (Annelida, Crustacea, Mollusca) of Echinoids (Echinoidea: Mellitidae) in the Sea of Cortez, Mexico. Parasitological Research 105: 479-487.

CLARK, A.M. and F.E.W. ROWE 1971. Monograph of shallow water Indo-West Pacific Echinoderms. British Museum (Natural History), London: 238 pp.

CRANDALL, E.D., M.E. JONES, M.M., MUÑOZ, B. AKINRONBI, M.V. ERDMANN and P.H. BARBER 2008. Comparative phylogeography of two seastars and their ectosymbionts within the Coral Triangle. Molecular Ecology 17: 5276-5290.

EGLOFF, D.A., D. SMOUSE and E. PEMBROKE 1988. Penetration of the radial hemal and perihemal system of Linckia laevigata (Asteroidea) by the proboscis of Thyca crystallina, an ectoparasitic gastropod. Veliger 30: 342-346.

ELDER H.Y. 1979. Studies on the host parasite relationship between the parasitic prosobranch Thyca crystallina and the asteroid starfish Linckia laevigata. The Zoological Society of London 187: 369-391.

GUENTHER, J. 2007. Natural antifouling defences of tropical sea stars. PhD Thesis, James Cook University, Townsville: 110 pp.

Page 114: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

ARBI & VIMONO

242

HALES, J. 2006. Discovery of a host of the Eulimid Apicalia brazieri (Angas, 1877). Australian Shell News 129: 1-8.

JANGOUX, M. 1987. Diseases of Echinodermata. II. Agents Metazoans (Mosozoa to Bryozoa). Diseases of Aquatic Organisms 2: 205-234.

KOCHZIUS, M., C. SEIDEL, J. HAUSCHILD, S. KIRCHOFF, P. MESTER, I. MEYER-QACHSMUTH, A. NURYANTO and J. TIMM 2009. Genetic population structure of the Blue Starfish Linckia laevigata and its gastropods ectoparasite Thyca crystallina. Marine Ecology Progress Series vol. 396: 211-219.

LAFFERTY, K.D. and A.M. KURIS 1999. How environmental stress affects the impacts of parasites. Limnology and Oceanograpgy 44 (3): 925-931.

LAUERMAN, L.M.L. 1998. Diet and feeding behaviour of the Deep-water Sea Star Rathbunaster californicus (Fisher) in the Monterey Submarine Canyon. Bulletin of Marine Sciences 63: 523-530.

MOHAN, M.K.R. and D.B. JAMES 2005. An incidence of parasitic infestation in Holothuria atra Jaeger. SPC Beche-de-mer Information Bulletin 22: 38-39.

NEIRA, R.O. and J.R.K. CANTERA 2005. Composición taxonómica y distribución de las asociaciones de equinodermos en los ecosistemas litorales del Pacifico Colombiano. Rev. Biol. Trop. 53 (3): 195-206.

SALAZAR, A. and H.R. BONILLA 1998. Parasitismo de Thyca callista(Gastropoda: Capulidae) sobre Phataria unifascialis (Asteroidea: Ophidiasteridae) en el Golfo de California, México. Rev. Biol. Trop vol. 46: 833-836.

SLOAN, N.A., A.M. CLARCK and J.D. TAYLOR 1979. The Echinoderms of aldabra and their habitats. Bull. Br. Mus. (Nat. Hist) 37: 81-128.

VELDHUIZEN, H.D. van and V.J. OAKES 1981. Behavioural responses of 7 Species of Asteroids to the Asteroid predator Solaster dawsoni. Oecologia 48: 214-220.

WARÉN, A. 1980. Revision of the Genera Thyca, Stilifer, Scalenostoma, Mucronalia and chineulima (Mollusca, Prosobranchia, Eulimidae). Zool. Scr.9: 187-210.

WARÉN, A. 1983. A Generic Revision of te Family Eulimidae (Gastropoda, Prosobranchia). Journal of Molluscan Studies 13: 1-96.

Page 115: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(2): 243-258 ISSN 0125 – 9830

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI BULUBABI

(Tripneustes gratilla L) DI LABORATORIUM

oleh

ABDUL WAHAB RADJAB1), ABRAHAM SEMUEL KHOUW2), JACOBUS WILSON MOSSE3) dan PRULLEY ANNETTE

UNEPUTTY4)

UPT Balai Konservasi Biota Laut Ambon - LIPI1)

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan – UNPATTI2),3),4)

Received 5 January, Accepted 14 July 2010

ABSTRAK

Salah satu masalah utama dalam budidaya biota laut di laboratorium adalah pakan, termasuk juga dalam budidaya bulu babi. Penelitian pengaruh pemberian pakan terhadap pertumbuhan dan reproduksi bulu babi (Tripneustes gratilla L) di laboratorium budidaya UPT Balai Konservasi Biota Laut Ambon -LIPI, telah dilaksanakan pada bulan Desember 2006 sampai November 2007. Tujuan penelitian ini ialah untuk mempelajari pengaruh pemberian pakan terhadap pertumbuhan dan reproduksi bulu babi (Tripneustes gratilla L). Metoda yang digunakan untuk mengetahui pertumbuhannya dilakukan dengan cara mengukur diameter/panjang cangkang menggunakan vernier caliper dan menimbang berat totalnya menggunakan timbangan triple beam balance, sedangkan untuk mengetahui tingkat kematangan alat reproduksinya, menggunakan metode teknik jaringan padat. Hasil penelitian menunjukkan pemberian persentasi pakan sebesar 20%, berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan diameter cangkang dibandingkan dengan perlakuan persentase pemberian pakan yang lain. Ukuran cangkang ternyata tidak terlalu berpengaruh pada tingkatan/fase gonade bulu babi (Tripneustes gratilla L)persentase pakanyang .

Kata kunci : Pengaruh pakan, pertumbuhan, reproduksi, bulubabi.

Page 116: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

RADJAB, KHOUW, MOSSE & UNEPUTTY

244

ABSTRACT

INFLUENCE FEED GIFT TO GROWTH AND REPRODUCTION OF SEAURCHIN Tripneustes gratilla AT LABORATORY. One main problem during culture biota in the laboratory is a feed, include of the seaurchin. Research effect on feed given to the growth and reproduction of seaurchin (Tripneustes gratilla L). was conducted at culture laboratory LIPI Ambon at December 2006 to November 2007. The propose of the research was to know effect of the feed given to the growth and reproduction of sea urchin (Tripneustes gratilla L). Method used for growth measure using vernier caliper and total weigh measure using triple beam balance. Stage of maturity gonade made of preparat gonade applies solid net work technique. The research indicated that treatment of giving of feed percentage (20 %) influential very real to increase of cochlea diameter compared to treatment of other feed percentage. Cochlea measure is not to gives influence at fase gonad seaurchin.

Key words : Influence, feed, growth, reproduction, seaurchin.

PENDAHULUAN

Bulubabi merupakan kelompok hewan lunak bercangkang yang termasuk dalam filum Echinodermata, dan tidak memiliki tulang belakang (Avertebrata). Bulubabi dari kelas Echinoidea yang hidup di dunia diperkirakan sebanyak kurang lebih 800 jenis yang terbagi atas dua subkelas yaitu Perischoechinoidea dan Echinoidea (AZIZ 1987). Kelas Echinoidea ini dikenal sebagai kelas yang mempunyai nilai ekonomis. Di beberapa negara antara lain Jepang dan Amerika, kelas ini telah dimanfaatkan sebagai salah satu produk makanan.

Penelitian tentang berbagai aspek bulubabi dari kelas Echinoidea ini telah banyak dilakukan, diantaranya aspek bioekologi (DARSONO 1987; AZIZ1987), aspek reproduksi (ITOH 1992), pertumbuhan dan reproduksi di alam (RADJAB 1997); percobaan pemberian pakan menggunakan lamun, sebaran dan kepadatan oleh (RADJAB 2000). Namun penelitian di laboratorium, bulubabi jenis Tripneustes gratilla sesungguhnya belum banyak dilakukan terutama dari aspek biologi seperti pertumbuhan, makanan, kematangan gonad dan lain-lain. Di sisi lain, jenis bulubabi ini belum dikelola secara optimal

Page 117: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI BULUBABI (Tripneustes gratilla L) DI LABORATORIUM

245

padahal mempunyai prospek yang cukup baik bila dikembangkan melalui usaha budidaya.

Telur bulubabi sebagai produk perikanan telah menjadi komoditi penting di beberapa negara tertentu seperti Jepang, Canada, Amerika, dan lain-lain (FUJI1967; BERNARD 1977; KATO & SCHROETER, dalam DARSONO & SUKARNO 1993). Telur bulubabi telah lama dimanfaatkan sebagai makanan tambahan oleh nelayan terutama masyarakat yang bermukim di pesisir. Sebagai contoh, di daerah Nusa Dua, Bali pernah diproduksi telur bulubabi dan diekspor sebanyak ±1,1 ton yang sebanding dengan US $ 2.900 (ANINOMOUS 1985). Pengambilan bulubabi di daerah ini oleh nelayan setempat berlangsung secara kontinu dan dalam jumlah yang cukup banyak.

Pengambilan bulubabi di alam terus dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek kelestariannya, sehingga ada kecenderungan populasi bulubabi tersebut menurun secara drastis dari tahun ke tahun. Hal ini berkaitan dengan tingkat kepadatan populasi untuk organisme yang mendiami daerah tropis, yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah. Penurunan stok bulubabi di alam akan semakin cepat jika tingkat eksploitasinya lebih sering dilakukan, karena penambahan individu baru (recruitment) dari populasi tersebut tidak sebanding dengan hasil tangkapan. Diperkirakan tingkat eksploitasi sumberdaya tersebut di alam telah melebihi batas yang diperbolehkan (over exploitation). Oleh karena itu, informasi menyangkut aspek pertumbuhan dan reproduksi dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya dimaksud perlu mendapat perhatian.

Beberapa penelitian terdahulu tentang pertumbuhan dan reproduksi di alam berkaitan dengan musim pemijahan yang difokuskan pada pengamatan secara histologi tingkat kematangan gonad - TKG telah dilakukan oleh RADJAB(1997). Namun penelitian ini belum sampai pada kesimpulan bagaimana hubungan antara makanan yang dikonsumsi berpengaruh terhadap pertumbuhan dan reproduksi.

Pengetahuan tentang aspek biologi dan reproduksi bulubabi umumnya penting karena dengan mengetahui beberapa aspek antara lain pertumbuhan dan reproduksi maka dapat diketahui pula perkembangannya. Perlakuan pengaruh pemberian pakan terhadap pertumbuhan dan reproduksi dapat dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh pemberian pakan terhadap pertumbuhan dan tingkat kematangan gonad bulubabi T. gratilla.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di laboratorium budidaya UPT Balai Konservasi Biota Laut - LIPI Ambon dari bulan Desember 2006 sampai dengan November

Page 118: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

RADJAB, KHOUW, MOSSE & UNEPUTTY

246

2007. Waktu penelitian disesuaikan dengan sampel bulubabi yang diperoleh dari alam, yakni dari Desa Hative Besar, Pulau Ambon yang ukuran cangkangnya berada pada kisaran diameter 37,70 – 58,51 mm. Kisaran ukuran ini mengindikasikan bahwa bulubabi masih berusia muda dan diduga berada pada fase-fase permulaan proses reproduksi (RADJAB 1997). Lokasi pengambilan sampel dan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi pengambilan induk dan penelitianFigure 1. Removal mother sampling and research site.

Perlakuan yang dilakukan dalam penelitian ialah dengan menggunakan 6 akuarium berukuran 128 liter dengan masing-masing akuarium berisi 8 individu dengan rincian perlakuan sebagai berikut :

Akuarium no. 1. diisi 8 individu dan diberi makan lamun sebanyak 10 gr/ind/hari, Akuarium no. 2. diisi 8 individu dan diberi makan lamun sebanyak 10 gr/ind/hari Akuarium no. 3. diisi 8 individu dan diberi makan lamun sebanyak 20 gr/ind/hariAkuarium no. 4. diisi 8 individu dan diberi makan lamun sebanyak 20 gr/ind/hariAkuarium no. 5. diisi 8 individu dan diberi makan lamun sebanyak 30 gr/ind/hariAkuarium no. 6. diisi 8 individu dan diberi makan lamun sebanyak 30 gr/ind/hari

Page 119: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI BULUBABI (Tripneustes gratilla L) DI LABORATORIUM

247

A B C

D E

Gambar 2. (A) Penimbangan lamun, (B). Rumpun lamun, (C). Pengukuran diameter, (D). Pengukuran tinggi, dan (E). Penimbangan berat total.

Figure 2. (A). Seagrass weighing, (B). Seagrass clump, (C). Diameter measuring, (D). Hight measuring, and (E). Total weighing.

Pengamatan untuk keperluan pengukuran diameter, tinggi dan berat dilakukan secara acak setiap dua minggu. Pemeliharaan bulubabi dilakukan di dalam akuarium yang sudah dibersihkan dan diberi air dengan volume sekitar ¾ dari volume akuarium. Pada bagian dasar akuarium-akuarium tersebut diberi pasir agar dapat menyerupai habitat aslinya di alam. Pemberian pakan yang berupa lamun marga Enhalus dibersihkan terlebih dulu dari kotoran-kotoran yang terbawa saat pengambilan di alam, dilakukan setiap 2 hari sekali bersamaan dengan penggantian air sebanyak ¾ dari volume air yang ada. Lamun ditimbang berdasarkan berat total tubuh bulubabi yang disesuaikan dengan setiap perlakuan (Gambar 2A). Lamun secara utuh diikat membentuk rumpun dan diberi pemberat pada bagian dekat akar agar menyerupai habitat aslinya (Gambar 2B). Hal ini dilakukan agar bulubabi mudah beradaptasi dengan lingkungan aslinya dalam mencari makan. Sebelum dilakukan pemberian pakan pada awal penelitian, individu-individu bulubabi dipuasakan selama 24 jam dengan tujuan agar pada awal pemberian pakan seluruh lambung individu bulubabi dalam

Page 120: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

RADJAB, KHOUW, MOSSE & UNEPUTTY

248

keadaan kosong, kemudian baru dilakukan pemberian pakan sesuai perlakuan. Pengukuran diameter cangkang dilakukan dengan menggunakan vernier caliperyakni dengan cara mengukur bagian luar cangkang pada setiap sisi (Gambar 2C), sedangkan pengukuran tinggi dilakukan dengan cara menempatkan sisi caliper pada bagian bawah dan atas cangkang bulubabi (Gambar 2D). Penimbangan berat total tubuh dilakukan dengan timbangan “Triple Beam Balance” (merek OHAUS) yakni dengan meletakkan bulubabi di atas piringan (Gambar 2E).

Untuk mengetahui tingkat perkembangan gonad, maka diambil satu individu secara acak dari setiap akuarium. Bulubabi kemudian dibelah secara simetris untuk diambil gonadnya dengan menggunakan pisau. Gonad ditimbang total berat basahnya dengan menggunakan timbangan digital (merek OHAUS) dan diamati secara visual di bawah mikroskop listrik (merek NIKON) dengan pembesaran 10 kali.

Gonad yang diperoleh dicatat warna dan tekstur serta ditimbang beratnya, kemudian difiksasi dalam larutan formalin 4 % untuk keperluan pembuatan preparat. Pengamatan mikroskopis gonad dilakukan untuk mengetahui jenis kelamin dan tingkat perkembangan gametogenesisnya. Secara umum kategori tingkatan perkembangan gonad terbagi atas tujuh tingkatan, yaitu: (A) = fase pemulihan (recovery), (B) = fase tumbuh (growth), (C) = fase matang awal (preliminary mature), (D) = fase matang (mature), (E) = fase pijah (spawning) dan (F) = fase pasca pijah (post spawning), (G) = fase resapan (absorption). Data ukuran gonad diperoleh dari pengukuran mikrometri terhadap diameter gonad, sedangkan morfologi dan warna gonad dapat ditentukan berdasarkan analisis mikroskopis.

Pembuatan preparat gonad menggunakan teknik jaringan padat (solid tissue technique) yang mengacu pada metode FUJI (1967), SUNTORO (1983) dan LUNA (1960), yang telah dimodifikasi dan dioptimasi.

Untuk mengumpulkan data morfometri, bulubabi diambil dari seluruh akuarium perlakuan. Data morfometri yang diperlukan meliputi diameter ambitus (D) dalam mm, tinggi cangkang (T) dalam mm dan berat total per individu (W) dalam gr.

Sebelum dilakukan analisa sidik ragam, data diuji kenormalannya dengan mempergunakan Uji Bartlett (SOKAL & ROHLF 1995). Jika data tidak normal (heterogeneus), maka dilakukan transformasi (logX + 1). Selanjutnya data pertumbuhan (pertambahan diameter dan berat) dianalisa dengan mempergunakan Rancangan Acak Lengkap (One-way ANOVA).

Jika hasil analisa sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan diantara perlakuan konsentrasi pemberian pakan terhadap pertumbuhan, maka dilanjutkan dengan uji lanjutan (Post Hoc test) yakni uji beda nyata terkecil (Mean Significant Difference - MSD).

Analisa data pertumbuhan dilakukan mengacu pada kurva pertumbuhan von Bertalanffy (PAULY 1984) dengan formula sebagai berikut:

01 ttkt eSS

dengan bentuk linear tt SbaS 1

Page 121: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI BULUBABI (Tripneustes gratilla L) DI LABORATORIUM

249

dengan K = -ln (b) dan S∞ = a/(1-b) dan SSSKtt t /ln*/10

dimana t adalah waktu (2 minggu), K adalah laju pertumbuhan, St adalah ukuran diameter pada waktu t, S∞ adalah panjang asymtot, dan t0 adalah umur pada panjang pertama lahir (panjang 0).

Analisa hubungan diameter - berat dilakukan terhadap diameter dan berat yang diperoleh setiap dua minggu untuk mengetahui pola pertumbuhan bulubabi T. gratilla yang diberi konsentrasi pakan yang berbeda. Parameter dari analisis ini adalah: (1) intercept a, (2) koefisien b, (3) persamaan regresi dan korelasi, dan (4) kesalahan baku (Standar Error - SE) dan 95 % tingkat kepercayaan (Confidence Level).

Uji kesamaan kemiringan garis regresi. Uji ini digunakan untuk melihat perbedaan nilai b pada setiap perlakukan sehingga dapat diketahui perlakuan mana dengan kecepatan pertumbuhan yang tertinggi (SOKAL & ROHLF 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi ukuran Bulubabi T. gratilla Distribusi frekuensi ukuran diameter cangkang memperlihatkan pola

pergeseran nilai yang berubah-ubah sesuai waktu, hal ini menunjukkan adanya penambahan ukuran di setiap waktu pengamatan. Bulubabi T. gratilla yang diukur juga mencakup individu berukuran kecil (lebih kecil dari 40 mm) untuk mengetahui perbedaan fase-fase kematangan gonad. Sementara untuk tujuan eksploitasi, apabila bulubabi ingin dipanen harus berukuran diatas 53 mm. Hal ini berkaitan dengan tingkat kematangan gonad bulubabi, karena pada ukuran yang kecil gonad bulubabi masih berada pada fase matang awal (preliminary mature). Pada fase ini gonad masih bertekstur lunak dan berlendir sehingga tidak baik sebagai produk perikanan (BERNARD 1977).

Diameter cangkang Hasil analisa sidik ragam perlakuan pemberian persentase pakan

terhadap pertumbuhan (penambahan diameter cangkang) terlihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pengaruh pemberian persentase pakan terhadap pertambahan diameter cangkang (Fhit < P). Hal ini mengindikasikan bahwa persentase pakan yang diberikan sebagai perlakuan pada bulubabi memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan (penambahan diameter cangkang).

Hasil uji lanjutan beda nyata terkecil (MSD test) terhadap analisa perbedaan pemberian persentase pakan (ANOVA) menunjukkan bahwa perlakuan pemberian persentase pakan (pakan 20 %) berpengaruh sangat nyata

Page 122: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

RADJAB, KHOUW, MOSSE & UNEPUTTY

250

terhadap pertambahan diameter cangkang dibandingkan dengan perlakuan persentase pakan lainnya (23,2425 > MSD).

Berat total tubuh Hasil analisa sidik ragam perlakuan pemberian persentase pakan

terhadap pertumbuhan (penambahan berat) terlihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pengaruh pemberian persentase pakan terhadap pertambahan berat (Fhit < P). Hal ini mengindikasikan bahwa persentase pakan yang diberikan sebagai perlakuan pada bulubabi memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan (penambahan berat total tubuh).

Hasil uji lanjutan beda nyata terkecil (MSD test) terhadap analisa perbedaan pemberian persentase pakan (ANOVA) menunjukkan bahwa perlakuan pemberian persentase pakan (pakan 20 %) berpengaruh sangat nyata terhadap penambahan berat dibandingkan dengan perlakuan persentase pakan lainnya (67,7758 > MSD).

Dari hasil analisis ANOVA dan MSD tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa pemberian persentase pakan 20 % memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan bulubabi T. gratilla. Hal yang sama didapatkan oleh RADJAB (2000) yang melakukan penelitian tentang pemberian pakan lamun muda dan lamun tua terhadap pertumbuhan, dimana diperoleh hasil bahwa bulubabi dengan ukuran cangkang antara 7,19 - 8,21 mm, tinggi antara 4,66 - 4,96 mm dan berat tubuh antara 160,79 - 161,77 gr, dapat mengkonsumsi lamun sebanyak 20,93 % dari berat total tubuhnya.

Pertumbuhan bulubabi T. gratillaHasil analisa pertumbuhan bulubabi T. gratilla menurut von Bertalanffy

yang dilakukan terhadap data diameter cangkang dari ke enam perlakuan pemberian persentase pakan menunjukkan bahwa laju pertumbuhan rata-rata bulubabi T. gratilla berkisar antara K = 0,02 - 0,12 (K tertinggi pada perlakuan B konsentrasi 10 %), diameter asymptot berkisar antara D∞ = 69,64 - 98,30 mm dan umur maksimum sebesar Amax = 3,5 - 12,44 tahun (dengan D∞ dan Amax

tertinggi pada perlakuan C konsentrasi 20 %). Hal ini senada dengan pendapat FRIESE (1973) yang menyatakan

bahwa berbagai jenis bulubabi dapat hidup (life span) dan mempunyai umur antara 4 sampai 8 tahun. Pertambahan diameter rata-rata (0,48 mm/minggu) dan pertambahan berat rata-rata (0,11 gr/minggu) tidak berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh RADJAB (1997) bahwa pertumbuhan bulubabi T. gratilla yang memakan lamun secara langsung di alam diperoleh pertambahan diameter rata-rata harian adalah 0,35 mm/minggu dan pertambahan berat rata-rata harian adalah sebesar 0,07 gr/minggu. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengaruh jumlah makanan yang dimakan oleh bulubabi yang hidup di akuarium lebih terkontrol.

Page 123: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI BULUBABI (Tripneustes gratilla L) DI LABORATORIUM

251

Hubungan diameter cangkang dan berat bulubabi T. gratillaPersamaan regresi yang diperoleh dari hasil perhitungan hubungan

antara diameter cangkang dan berat total bulubabi disajikan pada Gambar 3. Hasil analisa hubungan antara diameter cangkang dan berat total

bulubabi untuk masing-masing akuarium disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hubungan diameter cangkang dan berat total bulubabi.Table 1. Relationship eggshell diameter and total weight seaurchin.

No. Weight (W) Diamater (D) Regression (R2)1. 0.0003 3.0523 0.91472. 0.0003 3.0505 0.91283. 0.0017 2.6313 0.94124. 0.0001 3.2905 0.98925. 0.0009 2.8014 0.99416. 0.0005 2.9793 0.9880

Dilihat dari nilai R2 yang diperoleh, maka dapat dikatakan bahwa antara diameter cangkang dan berat total tubuh bulubabi terdapat hubungan yang sangat erat, sedangkan nilai b menunjukkan bahwa pertumbuhan bulubabi bersifat allometrik. yang berarti pertambahan diameter cangkang tidak secepat pertambahan berat. Nilai b yang lebih besar dari 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan bulubabi bersifat allometrik positif, sedangkan nilai b yang lebih kecil dari 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan bulubabi bersifat allometrik negatif. Hal ini didukung oleh hasil pengamatan pertambahan berat bulubabi yang menunjukkan bahwa pertumbuhan rata-rata berat tubuh per satuan waktu lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan rata-rata diameter cangkang. Hasil penelitian tentang pertumbuhan dan reproduksi bulubabi T. gratilla di perairan Tamedan, Maluku Tenggara juga menemukan hal yang sama (RADJAB 1997).

Page 124: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

RADJAB, KHOUW, MOSSE & UNEPUTTY

252

Ber

at t

otal (

gr)

Ber

at t

otal (

gr)

Ber

at t

otal (

gr)

Diamater cangkang (mm)

Diamater cangkang (mm) Diamater cangkang (mm)

Diamater cangkang (mm) Diamater cangkang (mm)

Gambar 3. Persamaan regresi hubungan antara diameter dan berat total bulubabi T. gratilla. A-F = perlakuan persentase pakan.

Figure 3. Regression with relation between diameter and total weight seaurchin T. gratilla. A-F = the influence concentrate eaten.

FE

DC

A B

Diamater cangkang (mm)

Page 125: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI BULUBABI (Tripneustes gratilla L) DI LABORATORIUM

253

Analisa KovarianHasil analisa kovarian terhadap keenam persamaan regresi di atas

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (F = 11,26 < P) terhadap keenam persamaan regresi hubungan antara diameter dan berat total bulubabi T. gratilla. Hal ini mengindikasikan bahwa hasil analisa kovarian sesuai dengan hasil analisa sidik ragam yang menunjukkan adanya pengaruh pemberian persentase pakan terhadap pertumbuhan bulubabi T. gratilla.

Reproduksi bulubabiPada penelitian ini dijumpai fase matang gonad pada ukuran cangkang

yang bervariasi. Hal ini menandakan bahwa ukuran cangkang tidak terlalu memberikan pengaruh pada tingkatan/fase gonad bulubabi, karena populasi bulubabi ini dapat memijah sepanjang tahun. Sebagai contoh pada ukuran diameter 61,9 mm, tinggi 40,0 mm dan berat 86 gr dan diameter 58,8 mm, tinggi 40,4 mm dan berat 75 gr diperoleh fase istirahat pada kedua individu tersebut (Gambar 4). Sebaliknya pada ukuran diameter 61,3 mm, tinggi 42,7 mm dan berat 70 gr dan diameter 57,8 mm, tinggi 38,4 mm dan berat 74 gr diperoleh gonad fase yang sama pula yaitu fase matang (Gambar 5).

Pemijahan pada populasi bulubabi dapat terjadi sepanjang tahun dengan puncaknya pada bulan Juli (53,33 %), Nopember (46,67 %) dan Januari (53,34 %) (DARSONO 1987). Pada penelitian reproduksi di alam disebutkan bahwa perbedaan persentase fase matang dan fase memijah secara statistik tidak nyata. Pada tingkat populasi bulubabi T. gratilla memiliki fase matang dan fase memijah pada setiap bulan pengamatan, namun pada bulan Agustus dan September dijumpai fase matang yang cukup tinggi dan terjadi peningkatan persentase fase pijah yang cukup besar (RADJAB 1997). Pada umumnya invertebrata di daerah tropik memijah sepanjang tahun (PEARSE, 1970). Hasil analisis berat total individu bulubabi T. gratilla antara 25 gr - 89 gr terhadap persentase berat total gonad maka terlihat bahwa adanya variasi ukuran berat gonad yang berkisar antara 0,203 gr - 1,925 gr yang setara dengan 0,003 % -0,042 % dari berat total tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa berat total gonad yang dikandung bulubabi masih tergolong ringan, yakni dibawah 0,05 % dari berat total tubuh.

Secara makroskopis gonad memberikan kenampakan warna dan teksturnya. Warna gonad bervariasi dari coklat gelap, kehijauan, kuning jeruk (orange), kuning tua, kuning muda dan transparan (bening). Variasi warna ini berkaitan dengan jenis kelamin dan tingkat perkembangan/gametogenesis (PEARSE 1970). Tekstur gonad bervariasi dari padat dan berbutir sampai lunak dan berlendir. Kondisi gonad matang (mature) memberikan kenampakan tekstur lunak yang berlendir. Hubungan tekstur gonad dengan tingkat gametogenesis juga diterangkan oleh BERNARD (1977). Tekstur padat (kompak) terjadi pada gonad fase pemulihan (recovery) dan kondisinya menurun (melunak) sepanjang proses pematangan gamet.

Page 126: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

RADJAB, KHOUW, MOSSE & UNEPUTTY

254

D = 61,9 mm D = 58,8 mmT = 40,4 mm T = 40,0 mmW = 75 gr W = 86 gr

Gambar 4. Perbedaan ukuran cangkang dengan fase gonad istirahat.Figure 4. Measurement difference eggshell with rest gonadal phase.

D = 61,3 mm D = 57,8 mmT = 38,4 mm T = 42,7 mmW = 74 gr W = 70 gr

Gambar 5. Perbedaan ukuran cangkang dengan tingkat kematangan gonad. po = vitelogenik awal membran telur ; do = pengerutan membran telur ; ct = jaringan penghubung ; eo = membrane telur awal ; yg = kuning telur ; fs = pengerutan folikel ; db =sisa, ampas.

Figure 5. Measurement difference eggshell with gonad mature phase. Po = previtellogenic oocytes; do = degerated oocytes; ct = connective tissue; eo = early vitellogenic oocytes; yg = yolk granules; fs = follicle shrunk; db = debris.

do

eo

po

fs

gap

yg

dbeo

ct

Page 127: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI BULUBABI (Tripneustes gratilla L) DI LABORATORIUM

255

Gonad bulubabi terdiri atas lima lobi, tersusun secara radial pada interambulakral dan masing-masing lobus gonad bermuara pada gonophore di lempeng genital pada sistem apikal. Secara makroskopis tidak terlihat perbedaan antara testis (gonad jantan) dan ovari (gonad betina). Kondisi umum gonad seluruh contoh bervariasi. Variasi warna gonad meliputi warna kuning muda, kuning,coklat dan coklat kehitam-hitaman, yang nampaknya tidak berkaitan dengan jenis kelamin. Tekstur gonad tiap individu juga berbeda-beda seperti ada yang padat berbutir, lunak, lunak berlendir. Tekstur gonad nampaknya berkaitan dengan tingkat kematangan gonad (TKG). Hasil pengamatan histologi memberikan gambaran bahwa tekstur gonad muda dan gonad yang sudah matang memiliki perbedaan. Gonad muda yang sudah matang (mature) cenderung lunak berlendir, namun gonad yang telah matang siap pijah tampak lebih padat.

Komposisi seimbang antara jantan dan betina tersebut menegaskan sifat dioceous bulubabi seperti yang dikemukakan oleh BERNARD (1977). Beberapa kasus hermaproditisme pada bulubabi pernah dilaporkan oleh beberapa ahli, namun hal ini jarang terjadi dan merupakan kelainan (MOORE 1932; BOOLOOTIAN & MOORE dalam DARSONO 1987). Meskipun bulubabi bersifat dioceous, tidak terlihat kenampakan dimorfisme kelaminnya secara visual. Dalam kaitan ini, TAHARA et al. (1985) dan TAHARA & OKADAdalam DARSONO (1987) pernah mencoba melihat dimorfisme kelamin beberapa jenis bulubabi berdasarkan perbedaan bentuk papilla genetalia, namun secara praktis masih sulit diterapkan.

Fungsi logistikAnalisis ini dilakukan untuk mencari ukuran minimum populasi

bulubabi pertama kali matang gonad (size first maturity). Hasil pengamatan gonad, memperlihatkan bahwa fase matang (D) selalu dijumpai pada setiap pengamatan bahkan dalam komposisi yang relatif menonjol. Hal ini menunjukkan bahwa populasi bulubabi ditemukan dalam kondisi yang matang (mature). Berdasarkan hasil analisis data diperoleh nilai rata-rata diameter yang terkecil adalah 48,11 mm dan nilai diameter terbesar adalah 59,92 mm. Nilai rata-rata tersebut diperoleh beberapa individu yang mempunyai nilai diameter yang lebih kecil dari 40,00 mm. Data fungsi logistik dari bulubabi T. gratilla dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan grafik fungsi logistik menunjukkan bahwa pada ukuran diameter minimum memberikan indikasi bahwa beberapa individu bulubabi masih dalam keadaan matang awal (Gambar 6).

Suatu hal yang menarik yaitu bahwa individu dengan diameter lebih kecil dari 40 mm ternyata mempunyai gonad yang belum berkembang. Bentuknya sangat tipis, transparan (bening), dan beratnya kurang dari 1 gr. Kondisi ini dijumpai pada hampir semua perlakuan. Untuk tujuan eksploitasi, panenan pada ukuran 40,00 mm harus dihindari sebab pada ukuran demikian masih dalam keadaan matang awal. Gonad yang demikian tidak dikehendaki

Page 128: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

RADJAB, KHOUW, MOSSE & UNEPUTTY

256

sebagai produk perikanan (BERNARD 1977). Individu-individu lain yang berdiameter lebih dari 40 mm, gonadnya tampak jelas dan bervariasi ketebalannya dengan kisaran berat 1,0 – 1,6 gr.

Tabel 1. Data logistik bulubabi T. Gratilla.Table 1. Logistic data seaurchin T. Gratilla.

No Diameteraverage (mm)

∑ Individual

∑ Individualmature

Proportionmature (%)

ln ((1-p)/p)

1. 48.11 4 1 0.25 0.006693 2. 49.19 4 1 0.25 0.017986 3. 50.39 4 3 0.75 0.047425 4. 52.89 4 2 0.50 0.119202 5. 53.72 4 2 0.50 0.268940 6. 53.02 4 3 0.75 0.500000 7. 54.23 4 3 0.75 0.731060 8. 56.73 4 2 0.50 0.880798 9. 57.30 4 3 0.75 0.95257510. 58.70 3 3 1.00 0.98201411. 59.47 3 3 1.00 0.99330712. 59.92 3 3 1.00 0.997527

Gambar 6. Grafik fungsi logistic.Figure 6 . Logistic function graphic.

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

48.1149.1950.3952.8953.7253.0254.2356.7357.3 58.7 59.4759.92Diameter bulu babi (mm)

Proportional

Lm

Page 129: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI BULUBABI (Tripneustes gratilla L) DI LABORATORIUM

257

Berdasarkan pengamatan ini maka ukuran diameter 40 mm diduga merupakan ukuran tingkat kematangan gonad awal dari bulubabi T. gratilla. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan di alam, daerah Nusa dua, Bali yang dijumpai tingkat kematangan gonad (TKG) awal dari jenis yang sama pada ukuran 40 mm (DARSONO & SUKARNO 1993).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa perlakuan pemberian pakan lamun sebanyak 20 % dari berat total tubuh memberikan hasil pertumbuhan bulubabi T. gratilla yang lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan pemberian pakan 10 % dan 30 %. Pola pertumbuhan bulubabi T. gratilla bersifat allometrik yang berarti pertumbuhan diameter tidak secepat pertumbuhan berat. Ukuran cangkang tidak terlalu memberikan pengaruh pada tingkatan/fase gonad bulubabi, karena populasi bulubabi ini dapat memijah sepanjang tahun.

PERSANTUNAN

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Saudara Wahyu Purbiantoro, SP., Achmad Soamole, Dominggus Polnaya, Wempy Barends, Chairil Polhaupessy, Haryanto, Samsu dan Rahman yang telah membantu penelitian ini mulai dari pengambilan sampel di lapangan sampai dengan pengamatan di laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

ANINOMOUS 1985. Data Statistik Dinas Perikanan DATI. I, Bali : 1-10.

AZIZ, A. 1987. Makanan dan cara makan berbagai jenis bulubabi. Oseana. XII (4): 91 - 100.

BERNARD, F. R. 1977. Fishery and reproductive cycle of the Red Sea Urchin Strongilocentrotus fransciscanus in Britis Columbia. J. Fish Res. Board Canada 34 : 604 – 610.

Page 130: OSEANOLOGI DAN LIMNOLOGI DI INDONESIA · PDF fileLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI) ... resensi buku, atau komunikasi singkat ... seperti contoh berikut: Buku:

RADJAB, KHOUW, MOSSE & UNEPUTTY

258

DARSONO, P. 1987. Gonad bulubabi. Oseana XI (4): 151 - 162.

DARSONO, P. dan SUKARNO 1993. Beberapa aspek biologi bulubabi Tripneustes gratilla (Linnaeus) di Nusa Dua, Bali. Osenologi di Indonesia 26 : 13 – 25.

FRIESE, U.E. 1973. Marine invertebrates. T.F.H. Publications, Inc. Ltd.: 226 -234.

FUJI, A. 1967. Studi on the biology of the sea urchin I. Superficial and histological gonadal changes in gametogenic process of two sea urchin, Strongylocentrotus nudus and S. intermedius. Bull. Fac. Fish. Hokkaido univ. 11 (1) : 1 - 11.

ITOH, Y. 1992. Environmental condition desirable for the growth of early pluteus larvae of tree sea urchin species. Oceanis 18 (1) : 19 - 27.

LUNA, L.G. 1960. Manual of histologic staining methods of the armed forces institute of pathology. Mc. Graw Hill, Inc. : 1 - 62.

PAULY, D. 1984. Length-converted catch curves: a powerful tool for fisheries research in the tropics: 17-19.

PEARSE, J. S. 1970. Reproductive periodicities of Indo-Pasific invertebrates in the Gulf of Zuez, III. The echinoid Diadema setosum (Leske). Bull. Mar. Sci. 20 (3 ): 697 -720.

RADJAB, A.W. 1997. Pertumbuhan dan reproduksi bulubabi Tripneustes gratilla di perairan Tamedan, Maluku Tenggara. Prosiding Seminar Nasional LIPI - UNHAS ke 1. Ambon, Maret 1998 : 149 - 156.

RADJAB, A.W. 2000. Percobaan pemberian makan daun lamun pada bulubabi Tripneustes gratilla di laboratorium. Prosiding Seminar Biologi XVI dalam rangka Kongres Nasional Biologi XII. Vol. 2. Perhimpunan Biologi Indonesia Cabang Bandung. Kampus Institut Teknologi Bandung, 26 - 27 Juli 2000 : 19 - 22.

SOKAL, R. R. and F.J. ROHLF 1995. Biometry. The Principles and Practice of Statistics in Biology Research. Second edition. State University of New York at Stony Brook : 837 pp.

SUNTORO, S.H. 1983. Metode Pewarnaan. Penerbit Bhatara Karya Aksara -Jakarta : 1 - 76.