optimalisasi peran kpai sebagai state auxiliary...
TRANSCRIPT
i
OPTIMALISASI PERAN KPAI SEBAGAI STATE AUXILIARY
ORGANS DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP
ANAK TELANTAR
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
RYAN CHANDRA ARDHYANTO
NIM : 1111048000025
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/ 2015 M
ii
iii
iv
v
OPTIMALISASI PERAN KPAI SEBAGAI STATE AUXILIARY
ORGANS DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP
ANAK TELANTAR
Nama : Ryan Chandra Ardhyanto
NIM : 1111048000025
Jurusan/Konsentrasi : Ilmu Hukum/Hukum Kelembagaan Negara
Fakultas : Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai peran dan kontribusi Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) sebagai state auxiliary organs atau lembaga negara bantu
yang ditinjau dari pelaksanaan tugas dan wewenangnya dalam perlindungan
terhadap anak telantar. Dalam penelitian ini, penulis fokus pada peran KPAI
dalam menangani anak telantar dengan mengambil beberapa contoh kasus yaitu
kasus penelantaran anak di Cibubur dan kasus penelantaran disertai kekerasan
yang mengakibatkan terbunuhnya seorang anak bernama Angeline di Bali.
Hingga saat ini, eksistensi KPAI masih sering dipertanyakan dan sering
dikesankan sebagai lembaga yang belum optimal dalam pelaksanaan tugas dan
wewenangnya, khususnya dalam perlindungan terhadap anak telantar. Sehingga,
penelitian ini ditujukan untuk mengetahui usaha-usaha apa saja yang dilakukan
oleh KPAI dalam melindungi hak-hak anak khususnya hak-hak anak telantar.
Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui sejauh mana efektivitas
KPAI sebagai state auxiliary organs pada kasus-kasus penelantaran anak.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif
sehingga sumber data diperoleh dari bahan kepustakaan yang berupa peraturan
perundang-undangan, buku, artikel, majalah dan jurnal ilmiah terkait
permasalahan yang penulis teliti. Namun selain bahan kepustakaan tersebut,
penulis juga menggunakan metode wawancara sebagai metode pendukung untuk
melengkapi data yang dibutuhkan. Pada teknik pengolahan dan analisis data,
penulis mengumpulkan seluruh bahan dari berbagai sumber, mengklasifikasikan
berdasarkan isu hukumnya, lalu menganalisis data tersebut untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian.
Setelah dilakukan penelitian dan analisis data, maka dapat disimpulkan
bahwa KPAI adalah lembaga yang diberikan tugas dan wewenang dalam ranah
pengawasan penyelenggaraan pemenuhan hak anak. Belum optimalnya kinerja
KPAI dalam perlindungan anak, khususnya dalam perlindungan terhadap anak
telantar disebabkan oleh beberapa hambatan. Beberapa hambatan tersebut
vi
diantaranya keterbatasan kewenangan yang kadang tidak sebanding dengan
ekspektasi kerja, keterbatasan anggaran, sulitnya pembentukan KPAD di daerah,
dan kurangnya perhatian pemerintah, penegak hukum dan masyarakat mengenai
perlindungan anak, khususnya perlindungan terhadap anak telantar.
Kata Kunci : Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), State Auxiliary
Organs, Anak Telantar.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq
dan hidayahnya kepada kita semua khususnya kepada penulis. Karena atas izin-
Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “OPTIMALISASI
PERAN KPAI SEBAGAI STATE AUXILIARY ORGANS DALAM
PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK TELANTAR”. Shalawat serta salam
juga penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta
para pengikutnya yang hingga sampai saat ini masih memegang teguh ajaran
beliau.
Skripsi ini merupakan hasil dari segala upaya dan kerja keras maksimal
dari penulis. Namun, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, sehingga kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis
harapkan. Dukungan dari beberapa pihak juga turut berpengaruh dalam proses
pengerjaan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan
harapan. Skripsi ini khusus penulis persembahkan kepada kedua orangtua penulis
yaitu Bapak Wagino dan Ibu Woro yang selalu memberikan motivasi serta doa
yang tiada henti bagi penulis.
Penulis juga berterimakasih sebanyak-banyaknya kepada pihak-pihak yang
telah membantu penulis dalam proses penulisan skripsi ini atas dukungan
viii
akademis maupun moril, sehingga rasa terimakasih tersebut sudah sepantasnya
penulis sampaikan kepada :
1. Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. dan Drs. Abu Thamrin, S.H.,
M.Hum. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Asroru Ni’am Sholeh, Lc, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
4. Lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang telah
memberikan kesempatan bagi penulis untuk memperoleh data dan melakukan
penelitian.
5. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Dosen dan Staf Pengajar Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan
bimbingan ilmu selama penulis berada dalam masa perkuliahan.
7. Orangtua penulis, yaitu Bapak Wagino dan Ibu Woro yang telah memberikan
kasih sayang, perhatian, doa dan banyak pengorbanan sehingga penulis
mampu berjalan dan sampai di tahap sejauh ini. Segala hasil yang penulis
peroleh khususnya skripsi dan gelar sarjana ini penulis persembahkan kepada
kedua orangtua penulis.
8. Adik penulis satu-satunya, Andika Yulyan Chandra yang selalu mampu
membuat penulis berusaha melatih kesabaran.
ix
9. Asrama United Islamic Cultural Centre of Indonesia (UICCI), khususnya
asrama cabang Sulaimaniyah, terimakasih kepada abi-abi yang telah
memberikan banyak pelajaran berharga, perhatian dan kesabaran kepada
penulis dalam menuntut ilmu. Juga kepada kawan-kawan asrama yang selama
kurang lebih 4 tahun tinggal di asrama yang sama, terimakasih atas
kenyamanan yang telah diberikan.
10. Desi Aslutiana, terimakasih atas segala motivasi, perhatian dan pengertiannya
kepada penulis.
11. Senior penulis, khususnya kepada Kak Endah, Kak Cantika dan Kak Kendri
yang telah memberikan banyak pelajaran berharga dan suasana kekeluargaan
di kampus.
12. Para Legend MCC, Novita, Avivah, Afrita, Ummu, Tommi, dan Iwan yang
selalu multi fungsi, dapat menjadi sahabat, keluarga, teman diskusi dan
mampu memberikan motivasi kepada penulis.
13. Segenap pengurus dan anggota MootCourt Community (MCC) Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan
kenyamanan, keceriaan sekaligus ilmu dan pengalaman berharga yang
bermanfaat bagi penulis.
14. Teman seperjuangan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum angkatan
2011 khususnya konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara.
15. Septi Rosemalia dan sahabat-sahabat TK yang selalu memberikan motivasi
dan doa kepada penulis.
x
Terakhir, atas segala motivasi dan doa yang telah diberikan berbagai pihak
kepada penulis, penulis berharap dan berdoa semoga Allah SWT membalas
dengan pahala yang setimpal dan dijadikan amal jariyah yang terus mengalir.
Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat dalam bidang keilmuan
khususnya ilmu hukum serta bermanfaat untuk semua pihak, khususnya bagi
pembaca dan penulis.
Jakarta, 03 Oktober 2015
Penulis
Ryan Chandra Ardhyanto
xi
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................V
KATA PENGANTAR .......................................................................................VII
DAFTAR ISI .......................................................................................................XI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...............................................9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .....................................................10
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ...........................................11
E. Kerangka Teori dan Konseptual ...................................................13
F. Metode Penelitian .........................................................................17
G. Sistematika Penulisan ...................................................................21
BAB II KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA SEBAGAI
STATE AUXILIARY ORGANS DI INDONESIA
A. Gambaran Umum Tentang State Auxiliary Organs .....................23
B. Latar Belakang Pembentukan KPAI ............................................28
C. Kedudukan KPAI dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia ......31
D. Struktur Kepengurusan KPAI ......................................................33
E. Tugas dan Wewenang KPAI ........................................................35
xii
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK TELANTAR
A. Pengertian Anak Telantar ............................................................41
B. Bentuk-Bentuk Tindakan yang Dapat Dikategorikan Penelantaran
Anak ............................................................................................47
C. Faktor Penyebab Penelantaran Anak ...........................................50
D. Dampak Tindakan Penelantaran Bagi Anak ................................52
E. Hukuman Bagi Pelaku Penelantaran Anak ..................................54
BAB IV KONTRIBUSI KPAI DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP
ANAK TELANTAR
A. Tugas dan Wewenang KPAI dalam Penanganan Anak Telantar
........................................................................................58
B. Peran KPAI pada Penanganan Kasus Penelantaran Anak (Kasus
Penelantaran Anak Cibubur dan Kasus Pembunuhan Angeline)
.....................................................................................63
C. Hambatan dan Kendala KPAI ......................................................68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ..................................................................................72
B. Saran .............................................................................................73
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah-masalah sosial di Indonesia yang kompleks dan muncul di
berbagai bidang menuntut pemerintah melalui lembaga-lembaga negara yang ada
untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Lembaga-lembaga negara yang
dimaksud adalah lembaga negara primer yaitu lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif sesuai dengan doktrin Trias Politica yang dikemukakan oleh John Locke
dan dikembangkan oleh Montesquieu.
Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga
macam kekuasaan : Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat
undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan
undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas
pelanggaran undang-undang. Trias Politica adalah suatu prinsip normatif bahwa
kekuasaan-kekuasaan (functions) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang
yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang
berkuasa.1 Doktrin ini berkembang cukup lama dan banyak diterapkan di
berbagai negara di dunia. Selain itu, bentuk kelembagaan negara seperti itu juga
menjadi model baku yang diterapkan dalam sistem ketatanegaraan di beberapa
negara.
1 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-8, (Jakarta :
PT.Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 282.
2
Saat ini, negara-negara abad ke-20, apalagi negara yang sedang
berkembang di mana kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi demikian
kompleksnya serta badan eksekutif mengatur hampir semua aspek kehidupan
masyarakat, Trias Politika dalam arti “pemisahan ke dalam tiga kekuasaan” tidak
dapat dipertahankan lagi. Dengan berkembangnya konsep mengenai Negara
Kesejahteraan (Welfare State) di mana pemerintah bertanggung jawab atas
kesejahteraan seluruh rakyat, dan karena itu harus menyelenggarakan perencanaan
perkembangan ekonomi dan sosial secara menyeluruh, maka fungsi kenegaraan
sudah jauh melebihi tiga macam fungsi yang disebut oleh Montesquieu.2
Montesquieu mengidealkan bahwa ketiga fungsi kekuasaan negara itu
harus dilembagakan masing-masing dalam tiga lembaga atau organ negara. Satu
organ hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling mencampuri
urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian maka
kebebasan akan terancam. Hanya saja konsep trias politika yang diidealkan
Montesquieu ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi
mempertahankan bahwa ketiga organ negara hanya berurusan secara ekslusif
dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini
menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak
saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling
mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances.3
2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-8, h. 286.
3 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), h. 35-36
3
Ketika ketiga cabang kekuasaan utama negara tersebut tidak dapat lagi
bekerja secara maksimal akibat tuntutan pergerakan masyarakat yang semakin
dinamis dan masalah sosial yang semakin kompleks, maka diperlukan adanya
lembaga-lembaga baru yang lebih efektif dan bebas dari intervensi politik. Hal-hal
inilah yang melatarbelakangi lahirnya state auxiliary organs di beberapa negara
termasuk di Indonesia. Pasca reformasi dan pasca amandemen Undang-Undang
Dasar 1945, bermunculan lembaga-lembaga negara yang sifatnya mandiri dan
independen (state auxiliary organs) baik yang memiliki tupoksi dalam lingkup
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, diantaranya4 :
Nama Lembaga E L Y Dasar Hukum
Komisi Yudisial X Pasal 24B UUD 1945 dan
UU No. 22 Tahun 2004
Komisi Pemberantasan Korupsi X X X UU No. 30 Tahun 2002
Komisi Penyiaran Indonesia X X UU No. 32 Tahun 2002
Komisi Kepolisian Nasional X UU No. 2 Tahun 2002
Komisi Perlindungan Anak Indonesia X X UU No. 23 Tahun 2002 dan
Keppres No. 77 Tahun 2003
Komisi Pemilihan Umum X Pasal 22E UUD 1945 dan
UU No. 12 Tahun 2003
Komisi Pengawas Persaingan Usaha X X X UU No. 5 Tahun 1999
Komisi Hukum Nasional X Keppres No. 15 Tahun 2000
4 Evy Trisulo, Konfigurasi State Auxiliary Bodies dalam Sistem Pemerintahan
Indonesia, Tesis, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2012), h. 93 (dengan perubahan seperlunya oleh
penulis)
4
Komisi Ombudsman X X UU No. 37 Tahun 2008
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia X X UU No. 39 Tahun 1999 dan
Keppres No. 48 Tahun 2001
Dewan Riset Nasional X Keppres No. 94 Tahun 1999
Dewan Gula Nasional X Keppres No. 23 Tahun 2003
Dewan Ketahanan Pangan X Keppres No. 132 Tahun
2001
Ket : (E) eksekutif, (L) legislatif, (Y) yudikatif
Istilah state auxiliary organs/states auxiliary bodies dipadankan dengan
lembaga yang melayani, lembaga penunjang, lembaga bantu, dan lembaga negara
pendukung5 atau dapat juga disebut lembaga negara sekunder. Di Indonesia,
biasanya istilah state auxiliary organs (selanjutnya disingkat SAO) merujuk
kepada Lembaga, Dewan, Badan atau Komisi. Salah satu tujuan utama
dibentuknya SAO adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang
belum mampu diselesaikan oleh lembaga-lembaga negara primer yang sudah ada.
Karena itulah kemunculan SAO di suatu negara seharusnya efektif dan merupakan
jawaban dari permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Salah satu masalah sosial yang dihadapi berbagai negara termasuk
Indonesia adalah masalah sosial anak. Berbicara mengenai anak adalah sangat
penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang. Dialah
yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup
5 Arifin Firmansyah, dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar
Lembaga Negara, (Jakarta : Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2005), h. 24.
5
bangsa pada masa mendatang.6 Anak merupakan salah satu aset pembangunan
nasional, patut dipertimbangkan dan diperhitungkan dari segi kualitas dan masa
depannya. Tanpa kualitas yang handal dan masa depan yang jelas bagi anak,
pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib bangsa akan sulit pula
dibayangkan.7
Di Indonesia sendiri walaupun sudah ada peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai anak, namun masih banyak anak yang dapat
dikategorikan ke dalam Anak Rawan. Anak Rawan sendiri pada dasarnya adalah
sebuah istilah untuk menggambarkan kelompok anak-anak yang karena situasi,
kondisi, dan tekanan-tekanan kultur maupun struktur menyebabkan mereka belum
atau tidak terpenuhi hak-haknya, dan bahkan acap kali pula dilanggar
hak-haknya.8
Beberapa kasus terhadap anak yang baru-baru ini menjadi sorotan publik
adalah kasus penelantaran dan kekerasan terhadap anak. Pada bulan Mei 2015
masyarakat dihebohkan dengan kasus penelantaran lima orang anak yang
dilakukan oleh kedua orangtuanya sendiri di perumahan Citra Grand Cibubur,
Bekasi. Lalu dilanjutkan oleh berita hilangnya seorang anak bernama Angeline
pada tanggal 16 Mei 2015 di Bali yang pada akhirnya anak tersebut ditemukan
tewas di pekarangan rumahnya sendiri pada tanggal 10 Juni 2015.
6 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung : PT Refika Aditama, 2006), h.
5.
7 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, (Bandung : PT Alumni,
2010), h. 1.
8 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010), h.4.
6
Dari pemaparan tentang kasus-kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa
kekerasan bahkan pembunuhan dimana anak menjadi korban diawali karena
ketidakpedulian dan penelantaran yang dilakukan baik oleh orangtua, masyakarat,
dan pemerintah sehingga anak yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dan
perhatian yang cukup dalam masa tumbuh kembangnya justru tidak dapat
memperoleh kebutuhan dasarnya tersebut dan hal ini dapat disebut penelantaran
anak. Penelantaran anak menjadi salah satu kasus yang dapat dikategorikan anak
rawan dan masih banyak terjadi di Indonesia, sehingga memerlukan perhatian
lebih, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Dalam Buku Pedoman Pembinaan Anak Telantar yang dikeluarkan Dinas
Sosial Provinsi Jawa Timur (2001) disebutkan bahwa yang disebut anak telantar
adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya
dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.9 Seorang anak
dikatakan telantar, bukan sekedar karena ia sudah tidak lagi memiliki salah satu
orang tua atau kedua orang tuanya. Tetapi, telantar di sini juga dalam pengertian
ketika hak-hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar, untuk memperoleh
pendidikan yang layak, dan untuk memperoleh pelayanan kesehatan memadai,
tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidakmengertian orang tua, ketidakmampuan
atau kesengajaan.10
9 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 212.
10
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 213.
7
Kasus penelantaran anak di Indonesia, termasuk kasus penelantaran yang
mengakibatkan kekerasan pada anak, tentu membutuhkan perhatian pemerintah
melalui lembaga-lembaga negaranya. Kewajiban pemeliharaan dan pemenuhan
kebutuhan dasar anak memang menjadi tanggung jawab utama orang tua, namun
apabila orang tua tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik karena faktor
kemiskinan, kelalaian atau karena gangguan psikologis, maka selanjutnya
pemerintah yang dituntut untuk mampu mengambil peran orang tua tersebut
melalui lembaga-lembaga negaranya. Bukan hanya kepolisian dan aparat penegak
hukum lain yang berwenang memberikan hukuman bagi pelaku, namun
diperlukan lembaga negara lain untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi
bagi anak sebagai korban penelantaran.
Melalui Pasal 74 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak yang berbunyi “dalam rangka meningkatkan efektivitas
penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi
Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen” serta dipertegas dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2003, maka lahirlah
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (selanjutnya disingkat KPAI).
Sebagai salah satu SAO di Indonesia yang bersifat independen, KPAI
memiliki tugas dan wewenang sebagai pengawas pemerintah dalam hal
pelaksanaan kebijakan terkait perlindungan anak. KPAI pada dasarnya adalah
lembaga negara yang independen, yang digolongkan sebagai lembaga
8
non-struktural yang memiliki fungsi menjaga akuntabilitas pemerintahan terhadap
masyarakat.11
Selain tugas dan wewenang sebagai pengawas pemerintah, kedudukan
KPAI sebagai SAO juga diharapkan mampu memberikan kontribusi lebih dalam
rangka menciptakan situasi dan kondisi yang aman bagi anak, perlindungan
terhadap hak anak serta menjamin tercapainya masa depan anak sebagai generasi
penerus bangsa. Selama ini, peran dan kontribusi KPAI dikesankan hanya terlihat
pada kasus-kasus yang mendapat sorotan publik dan sifatnya represif, bertindak
setelah adanya kejadian.
Selain itu, tugas dan wewenang KPAI masih sangat terbatas pada tingkat
pengawasan sehingga kurang dapat memenuhi ekspektasi masyarakat, khususnya
pada penanganan anak terlantar. Padahal, mengingat kedudukannya sebagai SAO
atau lembaga negara independen, KPAI harus mampu mengatasi masalah sosial
yang diamanahkan padanya secara optimal. Maka atas dasar pemikiran dan latar
belakang yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut
mengenai permasalahan tersebut untuk menjadi bahan skripsi yang berjudul
“OPTIMALISASI PERAN KPAI SEBAGAI STATE AUXILIARY ORGANS
DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK TELANTAR”.
11
Enny Rosyidah Badawi, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Sebagai Pengawas
Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Indonesia, (Jakarta : Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, 2010), h.18.
9
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga
dapat mengakibatkan ketidakjelasan maka penulis membuat pembatasan
masalah yakni, membahas peran dan kontribusi KPAI sebagai State Auxiliary
Organs yang ditinjau dari pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada
perlindungan terhadap anak telantar. Dalam penelitian ini penulis akan fokus
pada peran KPAI dalam menangani kasus-kasus penelantaran anak diantaranya
kasus penelantaran anak di Cibubur dan kasus penelantaran, kekerasan dan
pembunuhan Angeline di Bali sebagai gambaran umum terhadap kasus-kasus
penelantaran anak di Indonesia.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang kemunculannya, maka tujuan utama
pembentukan State Auxiliary Organs adalah untuk menyelesaikan
masalah-masalah sosial tertentu yang belum mampu diselesaikan oleh
lembaga negara primer yang sudah ada. Diantara sekian banyak masalah
sosial di Indonesia, masalah sosial anak khususnya anak telantar merupakan
masalah sosial yang harus segera diatasi. Maka, kemunculan KPAI sebagai
State Auxiliary Organs yang bebas dari intervensi politik diharapkan menjadi
jawaban atas permasalahan sosial anak khususnya anak telantar yang semakin
lama semakin kompleks.
10
Namun kenyataannya, tugas dan kewenangan KPAI yang diatur
melalui Pasal 76 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan KPAI terkesan tidak optimal dalam
menyelesaikan masalah sosial anak, khususnya masalah anak telantar.
Rumusan masalah di atas, penulis rangkum dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut :
a. Bagaimana usaha KPAI dalam perlindungan terhadap anak, khususnya
anak telantar?
b. Bagaimana efektivitas KPAI sebagai State Auxiliary Organs pada
penanganan kasus penelantaran anak?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan penulisan
Secara umum tujuan penulisan adalah untuk mendalami tentang
permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan
masalah. Secara khusus tujuan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai
berikut :
a. Untuk mengetahui usaha KPAI dalam perlindungan terhadap anak,
khususnya anak telantar.
b. Untuk mengetahui efektivitas KPAI sebagai State Auxiliary Organs
pada penanganan kasus penelantaran anak.
11
2. Manfaat penulisan
Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan dalam hukum kelembagaan di bidang lembaga negara
independen (state auxiliary organs), utamanya mengenai segala aspek
yang menyangkut eksistensi KPAI dalam struktur ketatanegaraan di
Indonesia. Selain itu adanya tulisan ini dapat menambah perbendaharaan
koleksi karya ilmiah dengan memberikan kontribusi bagi perkembangan
hukum kelembagaan di Indonesia.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat menjadi kerangka
acuan dan landasan bagi penulis lanjutan, dan mudah-mudahan dapat
memberikan bahan informasi dan masukan baik bagi pemerintah maupun
semua pihak yang terkait dalam rangka penyiapan dan penyempurnaan
perangkat hukum di bidang lembaga negara independen.
c. Manfaat Akademis
Penelitian ini merupakan syarat untuk meraih gelar Sarjana
Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah.
12
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan
menyertakan beberapa hasil penilitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan
kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:
Skripsi yang disusun oleh Rizky Pramustiko Putera dari Universitas
Indonesia pada tahun 2012 dengan judul Analisis Kewenangan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia dalam Struktut Ketatanegaraan Republik Indonesia.
Skripsi ini menjelaskan tentang kedudukan dan fungsi KPAI sebagai lembaga
negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia serta hubungannya dengan
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Skripsi kedua yang disusun oleh Hilman Reza dari Universitas UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 2014 dengan judul Peran Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) dalam Mengatasi Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Skripsi ini membahas mengenai peran KPAI sebagai lembaga pelindung anak
khususnya dalam hal anak sebagai pelaku atau korban kekerasan seksual. Dalam
skripsinya penulis juga mengkritisi peran KPAI yang pasif dan sering tertinggal
oleh Lembaga Swadaya Masyarakat lain dalam kasus-kasus kekerasan seksual
terhadap anak.
Buku yang ditulis Jimly Asshiddiqie dengan judul “Perkembangan dan
Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi” yang diterbitkan oleh Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI Tahun 2006. Buku tersebut
berisi tentang perkembangan lembaga negara secara universal dari waktu ke
13
waktu, konsep lembaga negara, kategorisasi lembaga negara di Indonesia ke
dalam 34 kategori dan gambaran umum tentang State Auxiliary Organs.
Sebagai perbandingan sekaligus pembeda dari contoh skripsi yang ditulis
oleh Rizky Pramustiko Putera, dalam skripsi ini penulis membahas mengenai
optimalisasi KPAI yang berarti akan membahas lebih mendalam terhadap
kedudukannya dan efektivitasnya sebagai state auxiliary organs, tugas dan
wewenangnya serta lebih fokus pada penanganannya terhadap anak telantar.
Sedangkan dibandingkan contoh skripsi kedua yang ditulis oleh Hilman
Reza yang membahas tentang peran KPAI dalam mengatasi kekerasan seksual
terhadap anak, maka penulis lebih fokus pada peran KPAI dalam mengatasi anak
telantar. Selain itu, penulis juga akan membahas mengenai hambatan dan kendala
KPAI dalam melaksnakan tugas dan fungsinya karena mengingat kedudukannya
sebagai lembaga negara independen, KPAI seharusnya mampu menjalankan tugas
dan fungsinya secara optimal.
Sebagai pembeda dengan buku yang ditulis oleh Jimly Asshiddiqie, penulis
lebih fokus pada perkembangan State Auxiliary Organs di Indonesia, khususnya
lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Hal tersebut berkaitan dengan
tugas dan wewenang KPAI pada penanganan terhadap anak telantar yang
akhirnya akan melihat seberapa jauh kontribusi KPAI sebagai salah satu State
Auxiliary Organs di Indonesia.
14
E. Kerangka Teori dan Konseptual
Dalam filsafat hukum dan kenegaraan dikenal adanya lima ajaran atau teori
yang biasa diperdebatkan dalam sejarah, yaitu kedaulatan Tuhan (Sovereignty of
God), kedaulatan raja (Sovereignty of the King), kedaulatan hukum (Sovereignty
of Law), kedaulatan rakyat (People’s Sovereignty), dan ajaran kedaulatan negara
(State’s Sovereignty). Prinsip kedaulatan rakyat selain diwujudkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, juga tercermin dalam struktur dan mekanisme
kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum
dan berfungsinya sistem demokrasi.
Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya
diorganisasikan melalui dua pilihan cara, yaitu melalui sistem pemisahan
kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution atau
division of power). Pada intinya, prinsip-prinsip pemisahan atau pembagian
kekuasaan itu dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan negara dari kemungkinan
menjadi sumber penindasan dan tindakan sewenang-wenang pada penguasa.12
Secara visual, nampaklah bahwa kekuasaan dapat dibagi dengan dua cara :
A. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya dan dalam
hal ini yang dimaksud ialah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat
pemerintahan. Carl J. Friedrich memakai istilah pembagian kekuasaan secara
teritorial (territorial division of power). Pembagian kekuasaan ini dengan
jelas dapat kita saksikan kalau kita bandingkan antara negara kesatuan,
negara federal serta konfederasi.
12
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2011), h.138.
15
B. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya secara
horizontal. Pembagian ini menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi
pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih
dikenal sebagai Trias Politica atau pembagian kekuasaan (division of
powers).13
Ketiga Undang-undang Dasar di Indonesia tidak secara eksplisit
mengatakan bahwa doktrin Trias Politika dianut, tetapi karena ketiga
Undang-undang Dasar menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, maka dapat
disimpulkan bahwa Indonesia menganut Trias Politika dalam arti pembagian
kekuasaan. Hal ini jelas dari pembagian Bab dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Misalnya Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara, Bab VII tentang Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan
legislatif dijalankan oleh Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Presiden dibantu oleh
menteri-menteri sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman.14
Namun, disebabkan karena dinamika ketatanegaraan dan adanya kebutuhan
baik karena faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya maka lembaga-lembaga
negara mengalami perkembangan. Salah satunya adalah munculnya state auxiliary
organs atau biasa disebut lembaga negara independen. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia merupakan salah satu contoh lembaga negara independen untuk
menangani masalah sosial anak khususnya anak rawan di Indonesia. Untuk
13
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h 267.
14 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h 288.
16
memahami hal tersebut dan memahami hubungan antara konsep-konsep yang
penulis akan teliti dan bahas dalam penelitian ini, maka diperlukan suatu kerangka
konseptual sebagai berikut :
1. State Auxiliary Organs dapat disebut lembaga negara independen, komisi
independen, komisi negara independen, lembaga negara bantu, lembaga
negara yang melayani, organ sampiran negara atau lembaga negara
penunjang. Beberapa negara juga mengenal lembaga ini dengan istilah state
auxiliary bodies, administrative agencies, independent regulatory agencies,
atau state auxiliary agencies. Menurut Jimly Asshidiqie, komisi negara
independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen
dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif, namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya.15
Pembentukan lembaga-lembaga negara bantu tersebut harus memiliki
landasan pijakan yang kuat dan paradigma yang jelas. Dengan demikian,
keberadaannya dapat membawa manfaat bagi kepentingan publik umumnya
serta bagi penataan sistem ketatanegaraan pada khususnya.16
2. Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah lembaga yang bersifat
independen yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas
penyelenggaraan anak.
15
Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada : Reformasi Hukum
Ketatanegaraan, (Jakarta: Kompas, 2008), h. 266.
16 Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta
: UII Press, 2007), h. 202.
17
3. Anak Telantar adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi
kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun
sosial. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menyebutkan bahwa Anak Telantar adalah anak yang tidak terpenuhi
kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spritual, maupun sosial.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam hukum dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian
hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian normatif
merupakan penelitian dengan menggunakan data sekunder yakni data yang
diperoleh dari penelitian kepustakaan, sedangkan penelitian empiris adalah
penelitian yang dilakukan secara langsung di dalam masyarakat.17
Dalam
sebuah penelitian hukum, dapat digunakan salah satu jenis penelitian tersebut
ataupun kombinasi antara keduanya.
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Dalam
penelitian normatif yang diteliti hanya daftar pustaka atau data sekunder,
yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.18
Penelitian Hukum Normatif (yuridis normatif) adalah metode penelitian
hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder
17
Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2001), h. 14
18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penulisan Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), h. 52
18
belaka.19
Namun dalam penelitian ini penulis juga akan menggunakan
metode wawancara sebagai metode pendukung. Penulis akan mengambil
contoh kasus terkait dengan isu yang dibahas sehingga metode wawancara
sangat diperlukan sebagai metode untuk mendapatkan data lapangan dalam
penelitian ini.
Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, maka dalam penelitian
ini penulis akan menggunakan beberapa pendekatan, yaitu:20
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan perundang-undangan yang akan penulis gunakan
dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Keputusan Presiden No. 77 Tahun 2003
tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
b. Pendekatan Konsep (conceptual approach)
Pendekatan konseptual digunakan untuk memahami beberapa
konsep yaitu konsep lembaga negara independen di Indonesia khususnya
KPAI dan konsep mengenai anak telantar.
c. Pendekatan Kasus (case approach)
Pendekatan kasus penulis gunakan untuk melihat contoh-contoh
kasus yang dapat dikategorikan anak telantar berikut penanganannya.
19
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 13-14.
20
Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publising, 2007), h. 300
19
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dan data yang bersumber
dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Data sekunder merupakan
data yang dikumpulkan dalam penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan
adalah teknik untuk mencari bahan-bahan atau data-data yang bersifat
sekunder yaitu data-data yang erat hubungannya dengan bahan primer dan
dapat dipakai untuk menganalisa permasalahan.
Pada penelitian kepustakaan, sarana yang digunakan untuk
mendapatkan data adalah bahan-bahan pustaka yang terdiri dari tiga macam
bahan hukum, yaitu sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat,21
yaitu Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003
tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan
peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.
21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press,2010), h. 52.
20
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer22
, yaitu berbagai buku yang
membahas tentang lembaga negara, berbagai buku yang membahas
tentang lembaga negara independen, berbagai buku yang membahas
tentang anak, berbagai artikel dan makalah di dalam jurnal dan majalah
maupun media lainnya.
c. Bahan hukum tersier, bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari
kamus hukum, jurnal hukum, ensiklopedi hukum, dan
dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan objek penelitian
untuk diterapkan dalam penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis akan mengumpulkan data dari berbagai
sumber baik melalui bahan hukum primer, sekunder, dan tersier serta
didukung dengan penelitian lapangan berupa wawancara dan permohonan
data kasus.
4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Setelah data dari berbagai sumber terkumpul, penulis akan
mengklasifikasikan berdasarkan isu hukum yang penulis bahas sehingga data
yang diperoleh sistematis. Setelah data disusun, maka penulis akan
menganalisa data tersebut untuk menjawab permasalahan dalam penelitian
ini. Teknik yang penulis gunakan untuk menganalisis data adalah analisis
22
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 53.
21
deksriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan
menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan
kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori, asas, dan kaidah hukum
yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas
permasalahan yang dirumuskan.
5. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini berfungsi agar penelitian lebih sistematis. Penulis
akan mencoba membahas persoalan-persoalan dengan membaginya dalam
beberapa bab. Dari beberapa bab tersebut akan terbagi lagi menjadi beberapa
sub-sub bab sehingga mempermudah pemahaman mengenai penelitian ini.
Bab pertama, penulis menguraikan tentang Latar Belakang Masalah,
Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan
(Review) Kajian Terdahulu, Kerangka Teori dan Konseptual, Metodologi
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab kedua, yaitu tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagai
State Auxiliary Organs di Indonesia yang terdiri dari gambaran umum tentang
State Auxiliary Organs, latar belakang pembentukan KPAI, kedudukan KPAI
22
dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, strutur kepengurusan, serta tugas dan
wewenangnya sebagai State Auxiliary Organs.
Bab ketiga, yaitu tinjauan umum mengenai anak telantar, penulis akan
menjelaskan mengenai pengertian anak telantar, bentuk-bentuk tindakan yang
dapat dikategorikan penelantaran anak, faktor penyebab, dampak bagi anak, dan
hukuman bagi pelaku penelantaran anak.
Bab keempat, yaitu tentang kontribusi KPAI dalam perlindungan terhadap
anak telantar yang berisi tentang tugas dan wewenang KPAI secara umum pada
penanganan anak telantar, peran KPAI pada penanganan kasus penelantaran anak
diantaranya berisi mengenai uraian singkat tentang kasus penelantaran anak
Cibubur dan kasus penelantaran, kekerasan, disertai pembunuhan anak bernama
Angeline di Bali sebagai gambaran terhadap kasus-kasus penelantaran anak yang
terjadi di Indonesia. Pada bab ini dijelaskan pula mengenai hambatan KPAI dalam
memberikan perlindungan kepada anak khususnya dalam penanganan terhadap
anak telantar untuk mengetahui apakah KPAI sudah optimal dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya serta faktor-faktor yang mempengaruhi kinerjanya.
Bab kelima, yaitu penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian
dan saran-saran yang penulis uraikan sebagai solusi untuk menyelesaikan
permasalahan penelitian.
23
BAB II
KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA SEBAGAI
STATE AUXILIARY ORGANS DI INDONESIA
A. Gambaran Umum tentang State Auxiliary Organs
Dinamika ketatanegaraan di berbagai negara di dunia saat ini berkembang
cepat mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Teori Trias Politika
sebagai konsep ketatanegaraan yang banyak diterapkan oleh berbagai negara di
dunia perlahan mulai bergeser. Kekuasaan legislatif sebagai pembentuk
undang-undang, kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, dan
kekuasaan yudikatif sebagai yang mengadili atas pelanggaran undang-undang1
lambat laun mulai keluar dari fungsi asalnya.
Di Indonesia, sejak diadakannya Perubahan Pertama yang kemudian lebih
dilengkapi lagi oleh Perubahan Kedua, Ketiga, dan Keempat UUD 1945,
konstitusi negara kita meninggalkan doktrin pembagian kekuasaan dan
mengadopsi gagasan pemisahan kekuasaan dalam arti horizontal (horizontal
separation of power). Pemisahan kekuasaan itu dilakukan dengan menerapkan
prinsip check and balances di antara lembaga-lembaga konstitusional yang
sederajat yang diidealkan saling mengendalikan satu sama lain.2
Dalam
pembuatan undang-undang misalnya, bukan hanya legislatif yang bertugas untuk
1
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-8, (Jakarta :
PT.Gramedia Pustaka Utama, 2013), h.282.
2 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), h. 45
24
membuat undang-undang melainkan juga harus melibatkan eksekutif di dalam
proses pembuatannya.
Selain perkembangan atas fungsi ketiga lembaga tersebut, dinamika
ketatanegaraan yang terjadi juga mengakibatkan munculnya lembaga-lembaga
negara baru di beberapa negara yang berfungsi sebagai lembaga negara
penunjang. Lembaga-lembaga tersebut dikenal dengan nama lembaga negara
independen, komisi independen, komisi negara independen, lembaga negara
bantu, lembaga negara yang melayani, organ sampiran negara atau lembaga
negara penunjang. Lembaga-lembaga ini dapat juga disebut lembaga negara
sekunder karena berada di luar kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif
sebagai lembaga negara primer.
Di negara-negara demokrasi yang telah mapan, seperti di Amerika Serikat
dan Perancis, pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20, juga banyak bertumbuhan
lembaga-lembaga negara baru. Lembaga-lembaga baru tersebut biasa disebut
sebagai state auxiliary organs, atau auxiliary institutions sebagai lembaga negara
yang bersifat penunjang. Di antara lembaga-lembaga itu kadang-kadang ada juga
yang disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisory bodies,
atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function) antara
fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya
dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru
tersebut.3
3 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, h. 339
25
Di Amerika Serikat, kelahiran organ kekuasaan baru, yang kemudian
dikenal dengan istilah “komisi negara” atau administrative agencies,
sesungguhnya telah dimulai dengan pembentukan Interstate Commerce
Commission, yang berdiri dengan pengesahan Congress pada 1887. Kemudian
dilanjutkan pada 1914, ketika krisis ekonomi melanda dunia, Amerika Serikat
menghendaki sebuah lembaga yang secara khusus mengatur dunia bisnis, untuk
mengawasi bentuk-bentuk persaingan usaha. Maka lahirlah apa yang dinamakan
dengan Federal Trade Commission. Dalam periode berikutnya, di Amerika
Serikat bermunculan sejumlah komisi negara independen (independent
regulatory agencies). Hingga saat ini, setidaknya tercatat 30 komisi negara
independen yang dimiliki oleh Amerika Serikat.4
Sementara di negara-negara dunia ketiga, seperti Afrika Selatan, Thailand
dan Indonesia, pembentukan komisi-komisi negara, baru melembaga ketika
berlangsung proses transisi demokrasi. Afrika Selatan mungkin yang mula-mula
mengawali proyek re-demokratisasi ini, yang kemudian menjadi rujukan bagi
negara-negara dunia ketiga lainnya.5
Hingga saat ini, sudah banyak
negara-negara di dunia yang mengadopsi hal tersebut karena lembaga-lembaga
negara yang sudah ada belum cukup untuk menyelesaikan problematika
masyarakat yang semakin kompleks.
4 Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 120
5 Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, h. 122
26
Di Indonesia, pembentukan state auxiliary organs atau lembaga negara
penunjang mulai menjamur sejak runtuhnya rezim kekuasaan orde baru. Selain
karena kebutuhan akan sebuah lembaga baru yang mampu menangani
permasalahan sosial yang ada, kemunculan lembaga-lembaga ini juga dipicu oleh
trauma masyarakat terhadap pemerintahan orde baru yang bersifat sentralistik.
Maka pembentukan lembaga negara baru yang sifatnya independen dan solutif
terhadap permasalahan sosial yang ada menjadi solusi bagi negara Indonesia saat
itu.
Pembentukan lembaga-lembaga tersebut ada yang berdasarkan
Undang-undang Dasar seperti Komisi Yudisial melalui Pasal 24B UUD 1945 dan
ada yang dibentuk berdasarkan undang-undang seperti Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui UU No. 39 tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia serta ada pula yang dibentuk berdasarkan Keppres seperti Komisi
Hukum Nasional melalui Keppres No. 15 tahun 2000.
Denny Indrayana dalam bukunya yang berjudul Negara Antara Ada dan
Tiada : Reformasi Hukum Ketatanegaraan yang diterbitkan oleh Kompas Media
Nusantara memasukkan lima puluh tiga (53) lembaga negara yang dapat disebut
sebagai state auxiliary organs. Beliau membagi state auxiliary organs ke dalam
dua jenis yaitu independent regulatory bodies dan executive branch agencies.6
Jenis independent regulatory bodies mengacu pada lembaga-lembaga yang
sifatnya independen dan tidak termasuk dalam cabang kekuasaan apapun seperti
Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komisi
6
Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada : Reformasi Hukum
Ketatanegaraan, (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2008), h. 270-273
27
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Sedangkan jenis executive branch
agencies mengacu pada lembaga negara yang berada di dalam kekuasaan
eksekutif dan memiliki tupoksi untuk membantu menjalankan fungsi eksekutif
yaitu menjalankan amanat undang-undang seperti Komisi Hukum Nasional,
Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan.
Jika ditinjau secara historis, maka dapat dilihat munculnya state auxiliary
organs di beberapa negara disebabkan karena ketidakmampuan lembaga negara
primer dalam menyelesaian permasalahan yang ada. Selain itu, kebutuhan
masyarakat yang semakin kompleks tidak sebanding dengan terbatasnya
kemampuan lembaga negara primer juga menjadi faktor utama munculnya
lembaga-lembaga negara yang sifatnya penunjang. Di Indonesia, menjamurnya
lembaga-lembaga penunjang juga dikarenakan jatuhnya rezim orde baru yang
otoriter dan sentralistik sehingga phobia masyarakat terhadap pemerintahan yang
bergaya otoriter dan sentralistik menjadi salah satu faktor mengapa muncul
lembaga-lembaga penunjang yang sifatnya independen tersebut.
Dalam perkembangannya hingga saat ini, tidak selamanya kemunculan
lembaga-lembaga penunjang dianggap menjadi solusi atas seluruh permasalahan
yang ada dalam suatu negara. Banyaknya lembaga penunjang di suatu negara
bahkan dapat disebut sebagai permasalahan baru apabila tidak memiliki alasan
dan landasan hukum yang kuat. Di Inggris, lembaga penunjang yang disebut
sebagai quango’s/quasi autonomus non govermental organization berjumlah
lebih dari 500 lembaga, di Perancis berjumlah ratusan lembaga dan di Italia
28
lembaga yang biasa disebut enti pubblici berjumlah 40.000 buah.7 Bukan tidak
mungkin Indonesia juga mengalami hal yang sama dengan negara-negara
tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa lembaga negara penunjang yang dibentuk harus
dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal sebagai solusi atas
terbatasnya kemampuan dari lembaga negara primer dan hal ini tentu harus sesuai
dengan tujuan negara. Dalam tulisan Sri Sumanntri yang berjudul Lembaga
Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD
1945 yang dikutip oleh Titik Triwulan Tutik, beliau mengatakan, bahwa dalam
negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia,
presidenlah yang pertama mengetahui, lembaga macam apa yang diperlukan
untuk menangani masalah-masalah tertentu dalam mewujudkan tujuan nasional
(negara).8
B. Latar Belakang Pembentukan KPAI
Keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dalam sidang
umum PBB tahun 1989 menunjukkan bahwa pemerintah berupaya untuk
menjamin kesejahteraan anak. Diratifikasinya konvensi tersebut melalui Keppres
No. 36 Tahun 1990 menunjukkan keseriusan pemerintah saat itu. Komitmen
pemerintah tersebut dilanjutkan dengan penandatanganan Deklarasi Konferensi
Tingkat Tinggi Anak (KTT Anak) di New York 30 September 1990 serta
7 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, h. 11
8
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, h. 183
29
Deklarasi Stockholm untuk Agenda Aksi Menentang Eksploitasi Seksual
Komersial terhadap Anak pada tahun 1996.9
Hingga dibentuknya Undang-undang No. 23 tahun 2002 yang direvisi
menjadi Undang-undang No. 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
merupakan usaha sinkronasi KHA dan berbagai perjanjian internasional lain
dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pada akhirnya, kedua
Undang-undang Perlindungan Anak tersebut mengamanatkan dibentuknya
lembaga negara baru yakni Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Pasal 74 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan :
1) Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan
pemenuhan Hak Anak, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi
Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.
2) Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi
Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk
mendukung pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah salah satu state
auxiliary organs di Indonesia yang termasuk dalam jenis independent regulatory
bodies.10
Artinya, KPAI merupakan lembaga negara penunjang yang bersifat
independen di luar kekuasaan lembaga negara primer. KPAI merupakan lembaga
9 Ade Mega Suryani, Upaya Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA)
dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual, Skripsi, (Jakarta :
UIN Jakarta, 2014), h.39
10 Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada : Reformasi Hukum
Ketatanegaraan, h. 273
30
negara independen yang memiliki tugas dan wewenang dalam bidang
perlindungan hak-hak anak. Lembaga ini dibentuk karena permasalahan sosial
anak sebagai salah satu permasalahan sosial masyarakat sangat sulit untuk diatasi
sehingga diperlukan lembaga negara baru yang bersifat independen dan bebas
dari kepentingan pihak manapun untuk menjadi garda terdepan dalam
perlindungan hak-hak anak di Indonesia.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dibentuk berdasarkan
amanat UU Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-undang
tersebut disahkan oleh Sidang Paripurna DPR pada tanggal 22 September 2002
dan ditandatangani Presiden Megawati Soekarno Putri, pada tanggal 20 Oktober
2002. Setahun kemudian sesuai ketentuan Pasal 75 undang-undang tersebut,
Presiden menerbitkan Keppres No. 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan
Anak Indonesia. Diperlukan waktu sekitar 8 bulan untuk memilih dan
mengangkat Anggota KPAI seperti yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersebut.11
Dengan demikian KPAI dibentuk sekurang-kurangnya berlandaskan pada :
a. UUD 1945, pasal 27 dan 28 (hasil amandemen)
b. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
c. Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 Tentang Ratifikasi KHA PBB
d. Keputusan Presiden No. 77 tahun 2003 Tentang KPAI
11
Website resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia,
http://www.kpai.go.id/profil/, diakes pada 21 Agustus 2015
31
e. Keputusan Presiden No. 95 Tahun 2004 Tentang Pengangatan Anggota
KPAI.12
C. Kedudukan KPAI dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia
KPAI adalah lembaga negara independen yang dibentuk berdasarkan pasal
74 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Kedudukan KPAI sejajar dengan komisi-komisi negara lainnya, seperti Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),
dan Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS), Komisi Kejaksaan, Komisi
Persaingan Usaha (KPPU), dan lain-lain.
KPAI merupakan salah satu dari tiga institusi nasional pengawal dan
pengawas implementasi HAM di Indonesia (NHRI/National Human Right
Institusion) yakni KPAI, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan.13
Jadi, dapat
dikatakan bahwa kedudukan KPAI dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia
adalah sebagai lembaga pengawas pemerintah dalam hal ini adalah eksekutif
sebagai pelaksana kebijakan meskipun tidak menutup kemungkinan KPAI
memiliki kewenangan untuk mengawasi lembaga legislatif dan eksekutif serta
lembaga lain jika itu terkait dengan kepentingan anak.
12
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen untuk
Perlindungan Anak (Jakarta : KPAI, 2006), h. 15
13 Website resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia,
http://www.kpai.go.id/profil/, diakes pada 23 Agustus 2015
32
Kedudukan KPAI sebagai lembaga negara pengawas bukan sebagai
lembaga pelaksana teknis perlindungan anak dikarenakan sebenarnya Indonesia
sudah memiliki lembaga-lembaga pelaksana teknis dalam hal perlindungan anak.
Untuk pembuat kebijakan sudah ada lembaga legislatif dan eksekutif khususnya
dalam pembuatan undang-undang. Di tingkat pelaksanaan kebijakan sudah ada
lembaga eksekutif melalui Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak. Sedangkan apabila ada pelanggaran terhadap hak-hak anak
sudah ada lembaga kepolisian, lembaga kejaksaan dan lembaga peradilan guna
menangani kasus-kasus tersebut.14
Berdasarkan hal-hal di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan KPAI
menjadi penting karena lembaga-lembaga yang sudah ada tidak mampu
menjalankan fungsinya sebagai pelaksana teknis perlindungan anak. Sehingga,
atas dasar hal tersebut diperlukan lembaga negara baru yang bersifat independen
untuk mengawasi lembaga-lembaga yang ada agar lebih optimal dalam
menjalankan fungsinya masing-masing khususnya pada upaya perlindungan anak.
Kewenangan KPAI di bidang pengawasan juga ditujukan agar kewenangannya
tidak tumpang tindih dengan lembaga lain yang sudah ada sebelumnnya sehingga
sangat diharapkan KPAI mampu berperan optimal dalam menjalankan tupoksinya
agar dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan pemenuhan hak anak.
14
Wawancara penulis dengan Retno Adji Prasetiaju, Kepala Sekretariat KPAI, 20
Agustus 2015.
33
D. Struktur Kepengurusan KPAI
Sebagai salah satu state auxiliary organs yang bersifat independen di
Indonesia, KPAI memiliki struktur kepengurusan berupa komisioner yang
masing-masingnya memiliki hubungan kordinatif. Pasal 75 Undang-undang
Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan tentang struktur kepengurusan dan
keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia :
Ayat ;
(1) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri atas 1 (satu) orang
ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 7 (tujuh) orang anggota.
(2) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur
Pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan,
dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap Perlindungan
Anak.
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk masa jabatan 5 (lima)
tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja,
dan pembiayaan diatur dengan Peraturan Presiden.15
15
Pasal 75 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
34
Dalam Pasal 5 Keputusan Presiden No. 77 tahun 2003 Tentang KPAI
menyatakan bahwa Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri
dari unsur :
a. Pemerintah;
b. Tokoh agama;
c. Tokoh masyarakat;
d. Organisasi sosial;
e. Organisasi kemasyarakatan;
f. Organisasi profesi;
g. Lembaga swadaya masyarakat;
h. Dunia usaha; dan
i. Kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.16
Selanjutnya, pada Pasal 6 Keppres tersebut juga menjelaskan mengenai
mekanisme pengisian jabatan keanggotaan KPAI dipilih dan dilaksanakan sendiri
oleh para anggota KPAI. Penjelasan ini memperkuat posisi KPAI sebagai state
auxiliary organs yang bersifat independen dan bebas dari kepentingan politik
pihak manapun karena KPAI diberikan kebebasan dalam mekanisme pengisian
dan pemilihan keanggotaan. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap kinerja
KPAI agar lebih optimal dalam bekerja untuk melindungi kepentingan anak.
16
Pasal 5 Keputusan Presiden No. 77 tahun 2003 Tentang Komisi Perlindungan
Anak Indonesia
35
E. Tugas dan Wewenang KPAI
Fungsi KPAI berbeda dengan fungsi Kementrian Pemberdayaan
Perempuan (KPP) dan Perlindungan Anak (PA). Fungsi KPP dan PA adalah
membuat kebijakan di wilayah eksekutif yang mensinkronkan berbagai aspek
perlindungan anak yang dijalankan oleh seluruh perangkat pemerintah baik di
pusat maupun di daerah. Dalam hal ini, KPP dan PA juga memiliki perangkat
pemantauan dan evaluasi sendiri, termasuk untuk menjatuhkan sanksi internal
dan memberikan penghargaan. Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan
pengawasan yang dilakukan KPP dan PA memiliki makna yang berbeda dengan
yang dilakukan KPAI, dimana yang dilakukan KPP dan PA ada dalam wilayah
administratif dan dalam kerangka antar instansi sehingga lebih bersifat koordinasi
di dalam pemerintahan. Sedangkan yang dilakukan KPAI berada di luar wilayah
penyelenggara Negara dalam arti eksekutif. Meskipun KPAI adalah lembaga
negara, sifat independennya menyebabkan KPAI tidak berada dalam wilayah
koordinasi internal. KPAI bisa memberikan teguran, publikasi, rekomendasi, dan
hal-hal lain yang dianggap perlu kepada seluruh Penyelenggara Negara, namun
KPAI tidak bisa menjatuhkan sanksi internal atau administratif.
KPAI tidak menjalankan pelaksanaan teknis kegiatan perlindungan anak
seperti penyediaan pendidikan bagi anak, dan KPAI juga tidak seharusnya
menggantikan fungsi advokasi individual masyarakat yang pada prakteknya
dijalankan oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan dan non pemerintah
lainnya, namun sebagai sebuah lembaga pengawas, penyeimbang, dan
penyanding penyelenggara perlindungan anak. KPAI mempunyai kewenangan
36
untuk memberikan penanganan sementara dan segera memintakan instansi terkait
untuk menjalankan fungsinya terkait dengan masalah anak.17
Sistem ini dikenal
dengan nama Reveral System karena ada lembaga lain yang sebenarnya sudah
memiliki tupoksi sebagai eksekutor penyelesaian masalah atau kasus yang
melibatkan anak.
Berdasarkan beberapa dasar hukum pembentukan, kedudukan dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia dan latar belakang terbentuknya, KPAI
memiliki rumusan visi, misi, dan strategi sebagai berikut :
Visi :
“terwujudnya Indonesia Ramah Anak”
Misi :
Meningkatkan komitmen para pemangku kepentingan yang terkait dengan
kebijakan perlindungan anak :
1. Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat dalam perlindungan
anak;
2. Membangun sistem dan jejaring pengawasan perlindungan anak;
3. Meningkatkan jumlah dan kompetensi pengawasan perlindungan anak;
4. Meningkatkan kuantitas kualitas, dan utilitas laporan pengawasan
perlindungan anak;
5. Meningkatkan kapasitas, aksebilitas, dan kualitas layanan pengaduan
masyarakat;
6. Meningkatkan kinerja organisasi KPAI.
17 Andreas Ristanto Chang, Jurnal Skripsi Realisasi Peran Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) dalam Menangani Anak yang Menjadi Pelaku Tindak Pidana
Penganiayaan, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014
37
Strategi :
1) Penggunaan System Building Approach (SBA) sebagai basis pelaksanaan
tugas dan fungsi, yang meliputi tiga komponen sistem :
a. Sistem norma dan kebijakan, meliputi aturan dalam
perundang-undangan maupun kebijakan turunannya baik di tingkat
pusat maupun daerah;
b. Struktur dan pelayanan, meliputi bagaimana struktur organisasi,
kelembagaan dan tata laksananya, siapa saja aparatur yang bertanggung
jawab dan bagaimana kapasitasnya;
c. Proses, meliputi bagaimana prosedur, mekanisme kordinasi, dan SOP-
nya.
2) Penguatan kapasitas kelembagaan dan SDM yang profesional, kredibel dan
terstruktur, sehingga diharapkan tugas dan fungsi KPAI dapat berlangsung
dengan efektif dan efisien;
3) Penguatan kesadaran masyarakat untuk mendorong tersedianya sarana dan
prasarana pendukung yang memberikan kemudahan akses terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak di semua sektor;
4) Perspektif dan pendekatan yang holistik, komprehensif dan bukan parsial
dalam merespon masalah atau kasus, karena masalah atau kasus anak tidak
pernah berdiri sendiri namun selalu beririsan dengan berbagai aspek
kehidupan yang kompleks;
5) Diseminasi konsep Indonesia Ramah Anak (IRA) pada berbagai pemangku
kewajiban dan penyelenggara perlindungan anak yang meniscayakan adanya
38
child right mainstreaming dalam segala aspek dan level pembangunan secara
berkelanjutan;
6) Penguatan mekanisme sistem rujukan (reveral system) dalam penerimaan
pengaduan. Hal ini dipandang penting untuk memantapkan proses
penanganan masalah perlindungan anak yang bersumber dari pengaduan
masyarakat;
7) Kemitraan strategis dengan pemerintah dan civil society dalam setiap bidang
kerja dan isu agar setiap permasalahan bisa mendapatkan rekomendasi dan
solusinya yang tepat, serta terpantau perkembangannya.18
Selanjutnya, melalui Pasal 76 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa tugas Komisi Perlindungan Anak yaitu :
a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan
Hak Anak;
b. Memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang
penyelenggaraan Perlindungan Anak.
c. Mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlindungan Anak;
d. Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan Masyarakat mengenai
pelanggaran Hak Anak;
e. Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak;
f. Melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk Masyarakat di bidang
Perlindungan Anak; dan
18 Website resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia,
http://www.kpai.go.id/profil/, diakes pada 23 Agustus 2015
39
g. Memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan
pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.19
Untuk mencapai visi dan misi, menunjang pelaksanaan tugas,
kewenangan, serta fungsi KPAI agar optimal, maka beberapa usaha yang
dilakukan KPAI diantaranya sebagai berikut :
Sosialisasi
Sosialisasi peraturan perundang-undangan merupakan salah satu tugas dan
fungsi (tupoksi) Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Metode sosialiasi yang
digunakan bervariasi yakni sosialisasi media massa baik cetak dan elektronik,
sosialisasi melalui brosur, pamplet, buku, spanduk, baliho dan media cetak
lainnya, serta sosialisasi melaui forum tatap buka, baik seminar, workshop dan
FGD.
Penerapan metode sosialisasi tersebut didasarkan atas analisis sasaran,
kebutuhan dan kepentingan, bila sasaran yang diinginkan adalah masyarakat
publik secara umum maka metode sosialisasi yang digunakan adalah media
massa baik cetak maupun elektronik dan media cetak, berupa buku, brosur,
pamplet, baliho, spanduk dan lain-lain. Namun bila sasaran sosialisasi adalah
audiens khusus seperti anak, orang tua ataupun masyarakat maka Komisi
Perlindungan Anak Indonesia melakukan sosialisasi melalui metode tatap muka.
19
Pasal 76 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
40
Kemitraan
Kemitraan adalah salah satu strategi yang digunakan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia dalam melaksanakan tugas dan fungsinya (tupoksi). Kemitraan
bertujuan untuk membangun jejaring perlindungan anak, baik untuk kepentingan
promotif, proventif, kuratif dan rehabilitative. Luasnya demografi wilayah
Indonesia membutuhkan sistem jejaring perlindungan anak yang massif dan
terkoordinir, agar pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak berjalan
efektif dan efisien.20
20
KPAI, Laporan Kinerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia 2010-2013, h. 193
41
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK TELANTAR
A. Pengertian Anak Telantar
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Bunyi Pasal
34 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi acuan dan pedoman bagi
negara dalam hal ini pemerintah melalui lembaga-lembaganya untuk menjamin
bahwa anak telantar harus dipelihara dan dijamin kelangsungan hidupnya serta
masa depannya. Selain kewajiban untuk melakukan perintah Undang-Undang
Dasar tersebut, kesadaran untuk memelihara dan menjamin kelangsungan hidup
serta masa depan anak memang harus dimiliki oleh seluruh elemen bangsa.
Secara umum, anak diartikan sebagai keturunan yang dilahirkan, juga
bisa diartikan sebagai manusia yang belum dewasa atau masih kecil.1 Sedangkan
menurut Undang-undang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.2
Undang-undang Kesejahteraan Anak juga memberikan definisi tentang anak, yaitu
seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum
pernah kawin.3
1 M. B. Ali dan T. Deli, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Bandung : Penabur
Ilmu, 2009), h. 32
2 Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
3 Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
42
Perbedaan batasan umur anak dalam berbagai ketentuan
perundang-undangan di Indonesia tersebut sering menimbulkan kerancuan untuk
mengetahui siapa saja yang dapat disebut sebagai anak. Menurut Konvensi Hak
Anak, anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun
kecuali, berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan
telah dicapai lebih cepat.4 Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa
batasan umur anak secara umum adalah dibawah delapan belas tahun namun
sekaligus mengakui bahwa setiap negara memiliki ketentuan masing-masing
mengenai batasan umur anak. Indonesia pun bahkan memiliki batasan umur yang
berbeda dalam berbagai peraturan perundang-undangannya tentang batas
kedewasaan seseorang.
Kata telantar mengandung arti tak terurus atau tak terpelihara.5
Sedangkan kata penelantaran sebagai kata kerja berasal dari kata lantar yang
berarti tidak terpelihara, terbengkalai, tidak terurus.6 Maka dari beberapa rumusan
tersebut dapat disimpulkan bahwa anak telantar adalah seseorang yang secara
umum berusia dibawah delapan belas tahun atau ditentukan lain menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan karena suatu sebab tidak
diberikan pemeliharaan yang layak, tidak terurus, dan terbengkalai sehingga
hak-hak dasarnya tidak terpenuhi.
4 Pasal 1 Konvensi Hak Anak
5 M. B. Ali dan T. Deli, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, h. 467
6 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,
1976), h. 564
43
Menurut Undang-undang Perlindungan Anak, anak terlantar adalah anak
yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual,
maupun sosial.7 Sedangkan menurut Kementrian Sosial, anak telantar adalah
seorang anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun,
meliputi anak yang mengalami perlakuan salah dan ditelantarkan oleh orang
tua/keluarga atau anak kehilangan hak asuh dari orang tua/keluarga.
Kriteria :
a. Berasal dari keluarga fakir miskin;
b. Anak yang dilalaikan oleh orang tuanya; dan
c. Anak yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.8
Anak telantar sesungguhnya adalah anak-anak yang termasuk kategori
anak rawan atau anak-anak membutuhkan perlindungan khusus (children in need
of special protection). Dalam Buku Pedoman Pembinaan Anak Telantar yang
dikeluarkan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur (2001) disebutkan bahwa yang
disebut anak telantar adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi
kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.9
7 Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
8 Lampiran Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 tahun 2012 Tentang
Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi
dan Sumber Kesejahteraan Sosial
9 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010), h.212.
44
Seorang anak dikatakan telantar, bukan sekedar karena ia sudah tidak lagi
memiliki salah satu orang tua atau kedua orang tuanya. Tetapi, telantar di sini juga
dalam pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar, untuk
memperoleh pendidikan yang layak, dan untuk memperoleh pelayanan kesehatan
memadai, tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidakmengertian orang tua,
ketidakmampuan atau kesengajaan. Seorang anak yang kelahirannya tidak
dikehendaki, misalnya, mereka umumnya sangat rawan untuk ditelantarkan dan
bahkan diperlakukan salah (child abuse). Pada tingkat ekstrem, perilaku
penelantaran anak bisa berupa tindakan orang tua membuang anaknya, entah itu di
hutan, di selokan, di tempat sampah, dan sebagainya baik ingin menutupi aib atau
karena ketidaksiapan orang tua untuk melahirkan dan memelihara anaknya secara
wajar.10
Bukan hanya dalam hukum positif, melainkan dalam hukum Islam juga
diatur tentang hak-hak anak. Walaupun tidak dijelaskan secara mendetail
mengenai anak telantar, namun konsep perlindungan terhadap hak-hak anak juga
disebutkan dalam Al-Quran. Dalam Islam, perlindungan terhadap hak anak adalah
salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan khususnya oleh kedua orangtua
karena anak merupakan titipan Allah SWT yang dapat menjadi penyenang hati
bagi kedua orangtuanya. Hal ini terdapat dalam Surah Al-Furqon ayat 74,
10
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h.213.
45
Artinya : "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan
kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi
orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Furqon: 74)
Selain itu, anak merupakan amanah yang dititipkan oleh Allah SWT
kepada kedua orangtua, hal ini terdapat dalam Surah Al-Anfal ayat 27,
Artinya : ”Wahai orang-orang yang beriman,janganlah kalian mengkhianati
(amanat) Allah dan Amanat Rasul,dan janganlah kalian mengkhianati
amanat-amanat yang diamanatkan kepada kalian,sedangkan kamu mengetahui”.
(Q.S.al-Anfal/8:27)
Selanjutnya, kewajiban pemeliharaan anak sebagaimana dijelaskan dalam
Surah At-Tahrim ayat 6,
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai ( perintah )
Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan”, (Q.S. A-Tahrim/66: 6)
46
Ditegaskan pula bahwa anak merupakan bagian dari cobaan yang harus
dilalui kedua orangtua. Jika orangtua berhasil memelihara anak dengan baik maka
tentu pahala besar yang akan diperoleh, namun sebaliknya, jika anak tidak
dipelihara dengan baik dan ditelantarkan, maka dosa yang akan diperoleh
sebagaimana yang disebutkan dalam Surah Al-Anfal ayat 28,
Artinya :”Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan dan sesungguhnya disisi Allahlah pahala yang besar.”(QS.al-Anfal ayat
28).
Maka berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa baik dalam
hukum positif maupun dalam hukum Islam tindakan yang mengakibatkan anak
menjadi telantar sehingga tidak terpenuhi hak-hak dan kebutuhan dasarnya
merupakan tindakan yang dilarang. Anak adalah amanah yang diberikan kepada
kedua orangtua sehingga harus dipelihara dan dipenuhi kebutuhan dasarnya
dengan baik. Namun, selain peran orangtua, dibutuhkan pula peran pemerintah
dan masyarakat untuk mendukung serta menjamin terpenuhinya hak-hak dan
kebutuhan dasar anak.
47
B. Bentuk-Bentuk Tindakan yang Dapat Dikategorikan Penelantaran Anak
Anak sebagai seseorang yang masih dapat dikatakan rentan baik karena
faktor psikologis yang belum matang atau karena fisiknya yang lemah sangat
membutuhkan bantuan dari orang dewasa disekitarnya untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya. Namun, sangat disayangkan sering pula orang dewasa yang
diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dasar anak agar dapat tumbuh dan
berkembang malah melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai sehingga
menyebabkan anak menjadi telantar.
Pengertian penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang
tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak,
misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan
pendidikan dan kesehatan yang layak.11
Banyak kasus kekerasan terhadap anak
diawali dari tindakan penelantaran terhadap anak, sehingga penting untuk
mengenali tindakan-tindakan apa saja yang tergolong tindakan penelantaran
terhadap anak agar kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang sering muncul
sebagai tindak lanjut dari tindakan penelantaran dapat diantisipasi.
Bentuk penelantaran anak pada umumnya dilakukan dengan cara
membiarkan dalam situasi gizi buruk, kurang gizi, tidak mendapatkan perawatan
kesehatan yang memadai, memaksa anak menjadi pengemis atau pengamen, anak
jalanan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga (PRT), pemulung dan jenis
pekerjaan lain yang membahayakan pertumbuhan dan perkembangan anak.12
11
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, (Bandung : Nuansa, 2006), h. 37
12 Abu Hurairah, Kekerasan Terhadap Anak, h. 55
48
Penelantaran anak termasuk penyiksaan secara pasif, yaitu segala keadaan
perhatian yang tidak memadai, baik fisik, emosi maupun sosial. Penelantaran anak
adalah di mana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan
kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk
menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional
(kegagalan utnuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan
(kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), atau medis (kegagalan untuk
mengobati anak atau membawa anak ke dokter).13
Orang dewasa yang dimaksud
diantaranya orang tua sebagai pemegang tanggung jawab utama dan pertama
terhadap anak, lingkungan sekitar dan termasuk juga pemerintah melalui
lembaga-lembaga negaranya.
Sedangkan menurut undang-undang, yang termasuk tindakan penelantaran
yaitu :
a. Tindakan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan anak secara
wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial (Pasal 1 butir 6
Undang-undang Perlindungan Anak).
b. Tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk
memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya (Pasal 13
ayat (1) huruf c Undang-undang Perlindungan Anak).
c. Tindakan yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
13
Dewi Hapriyanti, Jurnal Ilmah, Penelantaran Anak oleh Orang Tua Ditinjau Dari
KUHP dan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindunga Anak, Universitas
Mataram, 2013, h. 3.
49
kepada orang tersebut (Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
d. Tindakan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut (Pasal 9 ayat
(2) Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Selain bentuk-bentuk tindakan di atas, ciri-ciri yang menandai seorang
anak dikategorikan telantar adalah: pertama, mereka biasanya berusia 5-18 tahun,
dan merupakan anak yatim, piatu, atau anak yatim piatu. Kedua, anak yang
telantar acap kali adalah anak yang lahir dari hubungan seks di luar nikah dan
kemudian mereka tidak ada yang mengurus karena orang tuanya tidak siap secara
psikologis maupun ekonomi untuk memelihara anak yang dilahirkannya. Ketiga,
anak yang kelahirannya tidak direncanakan atau tidak diinginkan oleh kedua
orang tuanya atau keluarga besarnya, sehingga rawan diperlakukan salah.
Keempat, meski kemiskinan bukan satu-satunya penyebab anak ditelantarkan dan
tidak selalu pula keluarga miskin akan menelantarkan anaknya. Tetapi,
bagaimanapun harus diakui bahwa tekanan kemiskinan dan kerentanan ekonomi
keluarga akan menyebabkan kemampuan mereka memberikan fasilitas dan
memenuhi hak anaknya menjadi sangat terbatas. Kelima, anak yang berasal dari
keluarga yang broken home, korban perceraian orang tuanya, anak yang hidup di
tengah kondisi keluarga yang bermasalah, pemabuk, kasar, korban PHK, terlibat
narkotika, dan sebagainya.14
14
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 216
50
C. Faktor Penyebab Penelantaran Anak
Kasus-kasus penelantaran anak yang sering terjadi membutuhkan
penanganan yang tepat agar pelaku penelantaran mendapatkan hukuman yang
pantas dan anak sebagai korban penelantaran dapat direhabilitasi. Namun selain
itu, tentu penting pula untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan
terjadinya kasus penelantaran anak agar kasus-kasus serupa tidak terulang dan
hak-hak serta kebutuhan dasar anak dapat terjamin dengan baik. Banyaknya faktor
yang menyebabkan anak menjadi telantar membuat tindakan penelantaran sebagai
salah satu masalah sosial anak cukup sulit untuk diselesaikan.
Dalam buku Abu Huraerah disebutkan bahwa ketelantaran anak secara
umum dibagi dalam dua kelompok, yaitu :
1. Ketelantaran yang disebabkan kondisi keluarga yang miskin, tetapi hubungan
sosial dalam keluarga normal.
2. Ketelantaran yang disebabkan kesengajaan, gangguan jiwa dan atau
ketidakmengertian keluarga/orang tua, atau hubungan dalam keluarga tidak
normal.15
Harus diakui selama ini masih ada budaya dalam masyarakat yang kurang
menguntungkan terhadap anak. Meski tak ada data resmi mengenai budaya mana
saja yang merugikan anak, tetapi sejumlah studi telah membuktikan bahwa di
sekitar kita masih banyak dijumpai praktik-praktik budaya yang merugikan anak,
baik merugikan secara fisik maupun emosional. Ada ketentuan yang terlazim
dalam masyarakat kita, misalnya dalam praktik pengasuhan anak, pembiasaan
15
Abu Hurairah, Kekerasan Terhadap Anak, h. 56
51
bekerja sejak kecil kepada anak dan masih banyak praktik-praktik lain yang
merugikan anak yang “berlindung” atas nama adat-budaya.16
Sementara itu, dalam buku yang berjudul “Masalah Sosial Anak” yang
ditulis oleh Bagong Suyanto, Lestari Basoeki (1999) mengemukakan bahwa di
luar faktor budaya, beberapa faktor penyebab lain mengapa banyak terjadi
penganiayaan anak dan penelantaran anak di antaranya adalah: pertama, orang tua
yang dahulu dibesarkan dengan kekerasan cenderung meneruskan pendidikan
tersebut kepada anak-anaknya. Kedua, kehidupan yang penuh stres seperti terlalu
padat kemiskinan, sering berkaitan dengan tingkah laku agresif, dan menyebabkan
terjadinya penganiayaan fisik terhadap anak. Ketiga, isolasi sosial, tidak adanya
dukungan yang cukup dari lingkungan sekitar, tekanan sosial akibat situasi krisis
ekonomi, tidak bekerja dan masalah perumahan akan meningkatkan kerentanan
keluarga yang akhirnya akan terjadi penganiayaan dan penelantaran anak.17
Berbagai faktor-faktor penyebab penelantaran anak di atas lebih sering
saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Dari berbagai kasus-kasus
penelantaran anak yang terjadi sangat jarang ditemukan hanya ada satu faktor
yang berdiri sendiri hingga memicu munculnya tindakan penelantaran terhadap
anak. Oleh sebab itu penanganan terhadap faktor penyebab penelantaran anak
harus dilakukan secara bersinergi dan menyeluruh agar tindakan penelantaran
dapat diminimalisir atau bahkan dicegah.
16
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 31.
17 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 32.
52
D. Dampak Tindakan Penelantaran Bagi Anak
Dari segi penampakan fisik, perlakuan, dan ancaman yang dihadapi
anak-anak yang terlantar barangkali memang tidak sedramatis ketika kita
mendengar atau menyaksikan anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan,
seperti anak perempuan korban perkosaan atau anak-anak yang menjadi korban
tindak kekerasan: terluka fisik, atau bahkan dirinya dianiaya hingga tewas. Tetapi,
dari segi sosial dan psikologis, ancaman yang dihadapi anak-anak telantar
sesungguhnya tidak kalah berbahaya. Di tingkat individu, anak-anak yang sejak
dini terbiasa ditelantarkan, maka jangan heran jika mereka kemudian tumbuh
inferior, rendah diri, atau sebaliknya menjadi agresif dan nakal untuk menarik
perhatian orang-orang di sekitarnya. Bahkan, tidak mustahil anak-anak yang
ditelantarkan, kemudian terlibat dalam tindak kriminal karena salah asuhan dan
pergaulan.18
Selama ini, berbagai kasus telah membuktikan bahwa terjadinya child
abuse (penganiayaan anak) sering disertai dengan child neglect (penelantaran
anak). Baik child abuse maupun child neglect dapat memberikan dampak pada
kesehatan fisik dan mental anak.19
Beberapa kasus yang akhir-akhir ini terjadi
seperti kasus kekerasan dan pembunuhan Angeline di Bali juga membuktikan
bahwa tindakan penelantaran anak sangat berkaitan dan berpotensi meningkat
menjadi kasus kekerasan terhadap anak.
18
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 217.
19 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 99.
53
Pada anak-anak yang mengalami penelantaran dapat terjadi kegagalan
dalam tumbuh kembangnya, malnutrisi, anak-anak ini kemungkinan fisiknya
kecil, kelaparan, terjadi infeksi kronis, hygienenya kurang, hormon pertumbuhan
turun. Apabila kegagalan tumbuh kembang anak tarafnya sangat berat maka
anak-anak akan menjadi kerdil dan apabila ini terjadi secara kronis maka anak
tidak bisa tumbuh meskipun kemudian diberi makan yang cukup. Anak-anak ini
proporsi tubuhnya normal, akan tetapi sangat kecil untuk anak seusianya. Kadang
ada dari mereka mengalami perbaikan hormon pertumbuhannya dan kemudian
mengejar ketinggalan pertumbuhan yang pernah dialaminya.20
Reaksi jangka lama dari anak-anak yang mengalami abuse dan neglect
berdasarkan hasil analisis retrospective menunjukkan bahwa apabila penelantaran
itu terjadi sejak masa awal dari kehidupan anak bisa menyebabkan kecenderungan
terjadinya depresi yang serius pada kehidupan di kemudian harinya. Anak-anak
yang dengan sengaja kurang diberi kasih sayang bisa mengalami perkembangan
struktur ego yang tidak stabil dan rentan untuk terjadinya psikosis pada kemudian
hari.21
Maka, berdasarkan uraian di atas sangat jelas bahwa dampak tindakan
penelantaran pada anak dapat mengakibatkan proses tumbuh kembang anak
terganggu baik dari aspek fisik maupun mental anak. Selain itu, tindakan
penelantaran pada anak juga cenderung akan memicu munculnya tindakan
kekerasan terhadap anak.
20
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 101
21 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 104
54
E. Hukuman Bagi Pelaku Penelantaran Anak
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan yang
dilakukan oleh setiap warga negara harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku termasuk tindakan terhadap anak. Berbagai
peraturan perundang-undangan telah mengatur mengenai tindakan apa saja yang
boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan kepada anak.
Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara rinci
mengenai tindakan terhadap anak termasuk tindakan penelantaran anak adalah
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang tersebut
berisi keterangan mengenai hak-hak anak, aturan tentang tindakan yang harus
dilakukan dan tidak boleh dilakukan terhadap anak serta hukuman terhadap
pelakunya. Selain itu, beberapa peraturan perundang-undangan lain walaupun
tidak secara langsung membahas mengenai anak, tetapi mengandung substansi
yang dapat digunakan sebagai dasar hukum bagi tindakan penelantaran anak.
Pada Pasal 304 KUHP mengatakan “Barang siapa dengan sengaja
menyebabkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, sedangkan
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
55
Dari Pasal 304 di atas unsur-unsurnya yaitu, pertama pelaku penelantaran
yaitu orang tua. Kedua, adanya kesengajaan yang menyebabkan atau membiarkan
seseorang dalam kesengsaraan seperti tidak memberi penghidupan baginya.
Ketiga, sedang ia wajb memberi kehidupan, perawatan dan pemeliharaan.22
Selanjutnya, Pasal 305 KUHP mengatakan “Barang siapa menempatkan
anak yang berumur di bawah tujuh tahun untuk ditemukan atau meninggalkan
anak itu dengan maksud untuk melepaskan diri dari padanya, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”
Unsur-unsur yang terdapat dari Pasal 305 di atas yaitu pertama, pelaku
merupakan orang tua anak yang ditelantarkan. Kedua, adanya kesengajaan
menaruh atau menempatkan anak di bawah umur tujuh tahun, dengan maksud
supaya ditemukan atau dipungut oleh orang lain agar terbebas dari pemeliharaan
anak itu.23
Hukuman lebih berat terdapat dalam Pasal 306 ayat (1) KUHP mengatakan
“jika salah satu perbuatan tersebut dalam Pasal 304 dan 305 mengakibatkan
luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun enam bulan.” Selanjutnya pada ayat (2) mengatakan “Jika
mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun.”24
22
Dewi Hapriyanti, Jurnal Ilmah, Penelantaran Anak oleh Orang Tua Ditinjau Dari
KUHP dan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindunga Anak, Universitas
Mataram, h. 4.
23 Dewi Hapriyanti, Jurnal Ilmah, Penelantaran Anak oleh Orang Tua Ditinjau Dari
KUHP dan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindunga Anak, h. 5.
24 Pasal 306 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
56
Dalam Pasal 307 KUHP terdapat pemberatan hukuman yang isinya “Jika
yang melakukan kejahatan tersebut dalam Pasal 305 ayah atau ibu anak itu, maka
pidana yang ditentukan dalam Pasal 305 dan 306 dapat ditambah dengan
sepertiga.”25
Pada Pasal 308 KUHP dikatakan secara jelas tindakan penelantaran bahwa
“Jika seorang ibu, karena takut akan diketahui orang bahwa dia telah melahirkan
anak, menempatkan anaknya itu untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan
maksud untuk melepaskan diri dari padanya, maka maksimum pidana tersebut
dalam Pasal 305 dan 306 dikurangi separuh.”26
Selain itu, dalam undang-undang lain telah diatur pula sanksi pidana bagi
penelantaran anak yaitu :
1. Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bab VIII pasal 49 yang
berbunyi :
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
2. Undang-undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Bab
25
Pasal 307 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
26 Pasal 308 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
57
XII Pasal 77 yang berbunyi : “setiap orang yang dengan sengaja melakukan
tindakan :
a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi
sosialnya; atau
b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit
atau penderitaan, baik fisik, mental maupun sosial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
3. Undang-undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 58 ayat (2) : “dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak
melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran,
perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau
pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus
dikenakan pemberatan hukuman.
58
BAB IV
KONTRIBUSI KPAI DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP
ANAK TELANTAR
A. Tugas dan Wewenang KPAI dalam Penanganan Anak Telantar
Indonesia telah meratifikasi CRC ke dalam peraturan perundang-undangan
melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Di dalam mukaddimahnya
juga CRC menegaskan, karena alasan ketidakdewasaan fisik dan mentalnya, anak
membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan
hukum yang tepat, baik sebelum maupun setelah kelahiran. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa anak adalah manusia yang membutuhkan pemajuan dan
perlindungan HAM.
Ada empat butir pengakuan masyarakat internasional atas hak-hak yang
dimiliki oleh kaum anak, yakni (1) hak terhadap kelangsungan hidup anak
(survival rights); (2) hak terhadap perlindungan (protection rights); (3) hak untuk
tumbuh kembang (development rights) (4) hak untuk berpartisipasi (participation
rights).1 Hak-hak yang telah disebutkan di atas merupakan hak dasar yang harus
dipenuhi oleh negara-negara yang berpartisipasi dan meratifikasi konvensi
internasional seperti CRC/KHA termasuk Indonesia.
1 Majda El Muhtaj, Dimensi-dimensi HAM,Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2009), h. 229
59
Melalui berbagai peraturan perundang-undangan khususnya melalui
Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pemerintah berupaya menjaga
agar hak-hak dasar anak dapat terjamin dalam masa tumbuh kembangnya. Selain
itu, Undang-undang Perlindungan Anak tersebut juga telah melahirkan lembaga
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai lembaga independen yang
berfungsi untuk meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan
pemenuhan hak anak.
KPAI sebagai lembaga negara independen diharapkan mampu secara
optimal melakukan tupoksinya agar pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak
anak terjamin. Sebagai lembaga pengawas, KPAI memang tidak memiliki tugas
dan wewenang langsung untuk melakukan kegiatan penyelenggara pemenuhan
hak anak termasuk dalam penanganan terhadap anak telantar. KPAI hanya mampu
menerima pengaduan, melakukan pengawasan, berkordinasi dengan lembaga
berwenang dan memberikan masukan, saran, serta pendapat kepada pemerintah
terkait penelantaran terhadap hak-hak anak.2
Secara teknis, KPAI dapat menerima pengaduan dari masyarakat terkait
pelanggaran terhadap hak-hak anak termasuk di dalamnya penelantaran anak.
Pengaduan dapat berupa pengaduan langsung, melalui surat, telepon atau melalui
email. Selain itu, KPAI dapat memperoleh data mengenai pelanggaran hak anak
melalui pemantauan media baik media cetak, media online, dan media elektronik.
Hasil investigasi kasus dan data dari berbagai lembaga Mitra KPAI Se-Indonesia
2 Wawancara penulis dengan Retno Adji Prasetiaju, Kepala Sekretariat KPAI, 20
Agustus 2015.
60
juga menjadi sumber rujukan bagi KPAI untuk memperoleh data mengenai
pelanggaran hak anak.3
Data statistik kasus-kasus perlindungan anak KPAI periode tahun 2011
hingga Juli 2015 menyebutkan jumlah kasus yang termasuk kategori penelantaran
anak sebagai berikut4 :
Kasus 2011 2012 2013 2014 2015
(Juli)
Jumlah
Anak telantar (Anak PMKS) 54 39 69 84 24 270
Anak korban penelantaran
ekonomi (hak nafkah)
94 154 237 223 91 799
Anak korban kebijakan
bidang pendidikan
88 195 89 76 27 475
Anak sebagai korban kelalaian
orangtua atau lingkungan
10 10 173 158 36 387
Jumlah 246 398 568 541 178 1931
3 Wawancara Penulis tanggal 20 Agustus 2015 kepada Bidang Data dan Informasi
KPAI
4 Bidang Data Informasi dan Pengaduan, Data Statistik Kasus-Kasus Perlindungan
Anak Tahun 2011-2015 KPAI (bentuk tabel disesuaikan oleh penulis)
61
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kasus-kasus yang dapat
dikategorikan penelantaran anak sejak tahun 2011 hingga 2015 berjumlah 1931.
Jumlah yang sangat besar jika kita menyadari bahwa tindakan penelantaran anak
sebenarnya memiliki pengertian yang lebih luas dari keempat kategori di atas.
Pada dasarnya anak telantar menurut Undang-undang Perlindungan Anak adalah
anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual,
maupun sosial5 sehingga banyak kasus yang sebenarnya mengandung unsur
penelantaran terhadap anak.
Dalam kasus konflik masyarakat dan kasus anak menggunakan Napza
(narkotika, rokok, minuman keras, dsb) misalnya, sebenarnya terdapat pula unsur
adanya penelantaran terhadap anak. Namun, berdasarkan data yang penulis
peroleh, maka penulis mengkategorikan empat jenis kasus yang dapat langsung
disebut penelantaran anak.
Anak sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah
anak sebagai perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang karena
suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi
sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani,
rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar.6 Selanjutnya anak korban
penelantaran ekonomi (hak nafkah) adalah anak yang akibat tidak dinafkahi
5 Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
6 Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Sosial RI No. 8 Tahun 2012 Tentang Pedoman
Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial
62
secara layak secara ekonomi maka akan mengganggu pemenuhan terhadap hak
dasarnya.
Anak korban kebijakan di bidang pendidikan dapat berupa anak yang tidak
memperoleh hak dasarnya di bidang pendidikan akibat adanya pungli di sekolah,
penyegelan sekolah, tidak boleh ikut ujian, anak putus sekolah, dan lain
sebagainya. Sementara anak korban kelalaian orangtua atau lingkungan tentu
mengakibatkan terganggunya pemenuhan hak dasar anak karena ketidakpedulian
orangtua dan lingkungan sekitarnya.
Dari sekian banyak kasus penelantaran anak yang terjadi di Indonesia,
maka dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya di bidang pengawasan
penyelenggaraan pemenuhan hak anak, khususnya anak telantar, KPAI melakukan
kordinasi dan bersinergi dengan lembaga-lembaga lain yang terkait. KPAI dapat
berkordinasi dengan Kementrian Perberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak untuk menangani anak sebagai korban penelantaran. KPAI dapat pula
berkordinasi dengan lembaga hukum seperti kepolisian untuk melakukan tindakan
lebih lanjut kepada pelaku penelantaran. Lembaga-lembaga lain seperti
pemerintah daerah atau lembaga swadaya masyarakat yang fokus terhadap
permasalahan anak dapat pula berkordinasi dengan KPAI apabila hal tersebut
dirasa perlu.7
7 Wawancara penulis dengan Retno Adji Prasetiaju, Kepala Sekretariat KPAI, 20
Agustus 2015.
63
B. Peran KPAI pada Penanganan Kasus Penelantaran Anak (Kasus
Penelantaran Anak Cibubur dan Kasus Pembunuhan Angeline)
Dalam berbagai kajian tentang tindak pelanggaran terhadap hak anak,
kasus penelantaran anak sebenarnya masih termasuk dalam kategori child abuse.
Secara teoritis, penelantaran adalah sebuah tindakan baik disengaja maupun tidak
disengaja yang membiarkan anak tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya (sandang,
pangan, papan). Penelantaran terhadap anak tidak mengenal motivasi/intensi.
Disengaja maupun tidak, jika ada anak dibiarkan tidak memperoleh makan, tidak
mendapatkan tempat tinggal yang layak, dan pakaian yang layak untuk
melindunginya dari berbagai penyakit dan bahaya, maka insiden ini dikatakan
penelantaran dan akan dikenakan sanksi.8
Melihat realita sosial yang ada, penelantaran anak memang kurang
mendapat perhatian masyarakat dan pemerintah. Kasus penelantaran akan
mendapat sorotan apabila telah berkembang menjadi kasus kekerasaan atau
bahkan kasus pembunuhan terhadap anak. Padahal, tidak dapat dipungkiri
kasus-kasus kekerasan, eksploitasi dan bahkan pembunuhan anak selalu diawali
oleh ketidakpedulian terhadap anak. Tindakan ketidakpedulian tersebut dapat
dikategorikan penelantaran anak karena tindakan tersebut dapat menyebabkan
kebutuhan dasar anak tidak terpenuhi.
Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa menyebutkan bahwa jumlah
anak telantar di Indonesia masih banyak terjadi. Mensos merincikan, ada 4,1 juta
anak terlantar, diantaranya 5.900 anak yang jadi korban perdagangan manusia,
8 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010), h. 215
64
3.600 anak bermasalah dengan hukum, 1,2 juta balita terlantar dan 34.000 anak
jalanan.9 Dapat disimpulkan bahwa usaha-usaha pemerintah melalui peraturan
perundang-undangan serta pelaksanaannya masih belum efektif dalam
penanganan masalah anak telantar di Indonesia.
Bulan Mei 2015 muncul kasus penelantaran anak di perumahan Citra
Grand Cibubur, Bekasi. Kasus ini berawal dari informasi yang diperoleh KPAI
tentang adanya kasus penelantaran anak Cibubur pada Rabu, 13 Mei 2015 malam.
Pada hari Kamis, 14 Mei 2015 Sekjen KPAI, Erlinda berkoordinasi dengan ketua
RT setempat, Kementrian Sosial dan Dinas Sosial untuk menindaklanjuti laporan
dengan berusaha ke lokasi yaitu Perumahan Citra Gran Cluster Nusa II Blok E
nomor 37, Cibubur, Pondok Gede, Bekasi.
Kunjungan tersebut diawali niat untuk melakukan mediasi kepada pihak
keluarga korban. Namun setelah tiba di lokasi, ternyata D, salah satu putra dari
lima anak Utomo yang berusia delapan tahun ditelantarkan dengan tidak diberi
makan, pendidikan yang layak bahkan D harus tidur di pos jaga perumahan
tersebut. Mediasi yang dilakukan pun gagal karena Utomo melakukan perlawanan
dan bahkan mengancam sehingga tim harus berkoordinasi dengan aparat polsek
dan polres setempat.
9 Media Antara Jateng, 15 Mei 2015, “Mensos: Jumlah Anak Terlantar di Indonesia
Mencapai 4,1 Juta”, diakses pada 1 September 2015
65
Tim Jatanras Polda Metro Jaya harus turun langsung ke lokasi kejadian
dan akhirnya dilakukan penggeledahan.10
Utomo dan istrinya, Nurindria Sari
diamankan oleh aparat sedangkan kelima anaknya diamankan oleh tim lalu
ditempatkan di safe house. Dalam penggeladahan, selain kondisi rumah yang
tidak terurus, ditemukan pula narkoba jenis sabu-sabu di dalam rumah Utomo
Punomo dan Nurindria Sari sehingga menimbulkan spekulasi adanya pengaruh
narkoba terhadap tindakan penelantaran yang dilakukan oleh kedua pelaku.11
Pada kasus penelantaran anak di Cibubur, kontribusi KPAI sangat jelas
terlihat. Respon cepat dalam menanggapi laporan yang masuk mengenai
penelantaran anak dengan melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga yang
berwenang menunjukkan komitmen KPAI sebagai salah satu lembaga negara
yang fokus pada kepentingan anak. Tindakan selanjutnya dari KPAI adalah
pemantauan dan pengawasan terhadap penanganan kasus oleh lembaga hukum
seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan serta eksekusi putusannya. Hal ini
bertujuan agar proses penegakan hukum dilaksanakan dengan dasar supremasi
hukum yang adil.
Selain itu, atas dasar amanat Pasal 76 Undang-undang No. 35 tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak, KPAI juga berwenang melakukan mediasi untuk
menentukan kuasa asuh untuk kelima anak tersebut. Prosedur pengalihan kuasa
asuh diawali dengan dilaksanakannya rapat koordinasi antara KPAI dengan
beberapa lembaga terkait (stake holder) diantaranya Kementrian Sosial,
10
Metrotvnews.com, 15 Mei 2015, “Kronologi Kasus Orangtua „Usir‟ Anak
Terungkap”, (dengan pendeskripsian kembali oleh penulis), diakses pada 2 September 2015.
11 CNN Indonesia, 16 Mei 2015, “KPAI : Narkoba Bisa Jadi Biang Keladi
Penelantaran Anak”, diakses pada 2 September 2015.
66
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pihak kepolisian,
dan pihak rumah aman (save house). Selanjutnya, Kementrian Sosial sebagai
lembaga yang berwenang melakukan penilaian terhadap pihak keluarga baik dari
pihak ayah maupun pihak ibu sebagai calon penanggung jawab kuasa asuh.
Setelah dilakukan rapat kordinasi maka berdasarkan pertimbangan yang
mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak, maka yang berhak menerima
kuasa asuh pengganti adalah nenek korban dari pihak keluarga ayah.
Pengalihan kuasa asuh tidak memiliki batasan waktu, melainkan hingga
orangtua sebagai penanggung jawab kuasa asuh yang sebenarnya sudah mampu
menerima kembali kuasa asuhnya secara bertanggung jawab. Sedangkan
pengalihan kuasa asuh sendiri memiliki batas masa uji coba untuk menilai apakah
pihak penerima kuasa asuh pengganti mampu menerima hak kuasa asuh atau
tidak. Masa uji coba tersebut selama 3 bulan dan jika diperlukan dapat
diperpanjang selama 3 bulan.
Selama masa uji coba pihak Kementrian Sosial melakukan kunjungan
rutin, pendampingan, pelayanan, dan penguatan psikologis bagi anak. Selama
masa itu pula KPAI dalam rangka melaksanakan fungsi dan wewenangnya di
bidang pengawasan melakukan kunjungan dan komunikasi baik dengan pihak
nenek untuk melakukan pemantauan ataupun dengan pihak Kementrian Sosial
yang bersifat kordinatif.12
12
Wawancara penulis dengan Naswardi, bidang Keluarga dan Pengalihan Kuasa
KPAI, 18 September 2015.
67
Selanjutnya, pada tanggal 16 Mei 2015 dilaporkan kasus hilangnya anak
berumur delapan tahun bernama Angeline di Bali. Satu bulan berikutnya, pada
tanggal 10 Juni 2015 Angeline ditemukan tewas di pekarangan rumahnya sendiri.
Hingga saat ini, kasus tersebut masih berjalan namun telah ditentukan beberapa
tersangka diantaranya penjaga rumah dan ibu angkat Angeline. Kasus ini menjadi
sorotan publik dan menjadi berita utama di berbagai media. Seorang anak yang
seharusnya mendapat perlindungan dan kasih sayang tewas dengan kondisi yang
mengenaskan di pekarangan rumahnya sendiri.
Dalam tahap penyidikan, ditemukan indikasi kuat bahwa dalang
pembunuhan adalah orang dalam rumah Angeline. Beberapa saksi diantaranya
tetangga korban dan guru korban memberikan keterangan bahwa Angeline sering
ditelantarkan oleh ibu angkatnya selama beberapa waktu terakhir sebelum hilang
hingga akhirnya ditemukan tewas. Ciri-ciri bahwa Angeline ditelantarkan dapat
dilihat dari tubuh yang kurus, pucat, rambut kusam, pakaian tidak rapi, datang ke
sekolah telat dengan jalan kaki walau jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh
dan bahkan saksi pernah melihat Angeline memakan makanan ternak.
Pada kasus ini, KPAI menjalankan fungsi pengawasannya pada
pelaksanaan penegakan hukum baik oleh aparat kepolisian, kejaksaan dan
lembaga peradilan. Selain itu, KPAI juga melakukan penelaahan pada pangkal
kasus yaitu prosedur dan mekanisme pengangkatan anak/adopsi yang tidak sesuai
dengan hukum yang berlaku karena proses adopsi Angeline oleh ibu angkatnya
hanya berdasarkan akta notaris.13
13
Wawancara penulis dengan Naswardi, bidang Keluarga dan Pengalihan Kuasa
KPAI, 18 September 2015.
68
Baik pada kasus penelantaran anak di Cibubur, maupun pada kasus
Angeline, KPAI sebenarnya memiliki tupoksi yang sama, yaitu berwenang
memantau dan mengawasi jalannya kasus dengan tetap berkoordinasi dengan
lembaga-lembaga terkait, seperti lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
kementrian dan lembaga swadaya masyarakat seperti Komnas PA. Tupoksi KPAI
sebagai lembaga pengawas menjadi penting pada kedua kasus tersebut agar tidak
adanya lembaga-lembaga terkait dapat optimal menjalankan tugas dan
wewenangnya. Namun, banyak masyarakat tidak mengetahui hal tersebut,
sehingga kritik terhadap lembaga KPAI sering muncul.
C. Hambatan dan Kendala KPAI
Direvisinya Undang-undang No. 23 tahun 2002 menjadi Undang-undang
No. 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak disambut positif oleh berbagai
kalangan. Hal ini dikarenakan pemerintah, baik lembaga eksekutif maupun
yudikatif memiliki itikad baik untuk meningkatkan perlindungan terhadap anak
melalui penguatan produk hukum yaitu undang-undang.
Pada tahun 2013 sempat berkembang wacana untuk meleburkan KPAI
dalam Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak karena
KPAI dinilai lamban merespon masalah-masalah anak. Bahkan saat fit and proper
test anggota KPAI periode 2013-2016, hal-hal terkait pembubaran, kinerja serta
hambatan bagi KPAI sempat ditanyakan oleh Komisi VIII DPR RI.
69
Dr. HM. Asrorun Ni‟am Sholeh, MA yang pada saat itu menjadi wakil
ketua KPAI menanggapi bahwa terganggunya kelincahan KPAI dalam bergerak
dikarenakan basis kewenangan KPAI yang berada pada level pengawasan bukan
eksekutor. Sering ekspektasi KPAI yang tinggi terbentur pada kewenangannya
yang tidak boleh mengeksekusi atau bertindak. Selain itu, dukungan anggaran
juga menjadi salah satu sebab belum maksimalnya kinerja KPAI.14
Hal senada juga pernah dikatakan oleh Ida Fauziyah, Ketua Komisi VIII
DPR RI pada 25 April 2014. Beliau mengatakan beberapa hal yang perlu direvisi
dari Undang-undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah
menyangkut kewenangan KPAI agar tidak sekedar melakukan kordinasi. Bahkan,
pada saat itu beliau mengatakan untuk meningkatkan anggaran KPAI agar bisa
menjangkau seluruh wilayah Indonesia karena keterbatasan anggaran terkadang
menjadi hambatan bagi KPAI untuk dapat menjangkau seluruh wilayah
Indonesia.15
Namun, menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak pada tahun 2014, Linda Amalia Sari Gumelar, kewenangan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tidak bisa disamakan dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa menindak pelaku kejahatan korupsi.
Pernyataan tersebut adalah tanggapan untuk usulan dari sejumlah pengacara yang
menamakan diri sebagai “lawyer sahabat anak” yang mendorong KPAI memiliki
kedudukan hukum yang sama dengan KPK.
14
batamtoday.com, 2 Desember 2013, “Dinilai Gagal Tuntaskan Persoalan Anak
Ada Wacana KPAI Dibubarkan”, diakses pada 06 September 2015
15 Pikiran Rakyat Online, 26 April 2014, “Mendesak Revisi RUU Perlindungan
Anak”, diakses pada 6 September 2015
70
Beliau beralasan, apabila KPAI diberi kewenangan dapat menindak pelaku
kejahatan anak, dikhawatirkan tumpang tindih dengan tugas penegak hukum dan
institusi-institusi lainnya seperti kepolisian, kejaksaan, Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) yang bisa menindak langsung para pelaku
kejahatan terhadap anak.
Anggota Komisi VIII DPR, Soemintarsih Muntoro juga mengatakan,
argumentasinya bukan bisa atau tidak bisa kewenangan KPAI bisa seperti KPK.
Melainkan, kebutuhan lembaga ini didirikan jika fungsi dan kewenangannya tidak
mampu menghasilkan hasil-hasil yang signifikan, maka harus ditinjau ulang.
Beliau menambahkan, saat ini yang dibutuhkan KPAI agar kewenangannya
berjalan dengan baik adalah integrasi, koordinasi dan sosialisasi.16
Reza Indragiri, seorang akademisi dan konsultan ahli sebagai expert
judicial psychology di beberapa lembaga negara dalam salah satu tulisannya
mengatakan, bahwa masih berbedanya pemahaman tentang tupoksi Komisi
Perlindungan Anak Indonesia sebagai salah satu lembaga yang mendapat
penekanan ekstra di dalam UUPA. KPAI (bedakan dengan Komnas Perlindungan
Anak yang merupakan LSM) lebih sebagai lembaga pengawasan dan koodinator,
bukan lembaga eksekutor. Salah kaprah dalam memandang KPAI pada gilirannya
memunculkan ekspektasi-ekspektasi yang tidak proporsional, sehingga tolak ukur
keberhasilan kerja KPAI pun menjadi bias.17
16
harianterbit.com, 21 Juni 2014, “Meneg PP & PA : KPAI Tak Bisa Seperti KPK”,
diakses pada 7 September 2015
17
Kriminalitas.com, 2 Juli 2015, “Kendala Implementasi UU Perlindungan Anak”,
diakses pada 7 September 2015
71
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa
hambatan yang menjadikan kinerja KPAI tidak optimal yaitu : Pertama,
terbatasnya kewenangan KPAI yang hanya bertindak sebagai lembaga pengawas
dan pemantau pelaksanaan perlindungan anak. Kedua, terbatasnya anggaran yang
diperuntukkan bagi KPAI sementara kasus pelanggaran hak anak tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Ketiga, terkendalanya pembentukan KPAD sebagai
mitra KPAI di daerah untuk mendukung tugas KPAI ditengah permasalahan sosial
anak yang semakin kompleks. Keempat, masih minimnya perhatian pemerintah,
penegak hukum, dan masyarakat mengenai perlindungan anak.
Dalam menghadapi beberapa hambatan tersebut, beberapa langkah yang
ditempuh KPAI adalah : Pertama, dengan direvisinya Undang-undang No. 23
tahun 2002 menjadi Undang-undang No. 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak maka KPAI memiliki kewenangan untuk melakukan mediasi atas sengketa
pelanggaran hak anak. Kedua, adanya peningkatan anggaran dalam rangka
peningkatan kualitas pelaksanaan tugas dan fungsi KPAI. Ketiga, KPAI
menerbitkan pedoman pembentukan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD).
Untuk mendukung hal tersebut, KPAI mengeluarkan Surat Edaran (SE) kepada
Gubernur, Bupati, dan Walikota. Selain itu, KPAI juga memprakarsai
terlaksananya Rakornas KPAD pada 10-12 September 2015 dengan visi untuk
membentuk KPAD di berbagai daerah di Indonesia.
72
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis penulis terhadap permasalahan dalam
penelitian ini, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Usaha Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam memberikan
perlindungan terhadap anak telantar adalah dengan cara mengawasi dan
memantau pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan dasar anak,
memberikan masukan dalam rumusan kebijakan, mengumpulkan data dan
informasi mengenai pelanggaran hak anak, menerima dan melakukan
penelaahan atas pengaduan masyarakat, melakukan mediasi pelanggaran hak
anak, melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga eksekutor atau dengan
kata lain KPAI menggunakan reveral system, yaitu penanganan sementara lalu
mengalihkan ke lembaga-lembaga yang berwenang seperti kementrian, aparat
penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan, lembaga negara lain seperti
Komnas HAM atau lembaga swadaya masyarakat seperti Komnas PA.
2. Efektivitas KPAI sebagai salah satu state auxiliary organs di Indonesia masih
belum optimal. Banyak hambatan yang menyebabkan kinerja KPAI sebagai
lembaga negara penunjang masih jauh dari yang diharapkan. Beberapa
hambatan tersebut adalah pertama, terbatasnya kewenangan KPAI yang
hanya bertindak sebagai lembaga pengawas dan pemantau pelaksanaan
perlindungan anak. Kedua, terbatasnya anggaran yang diperuntukkan bagi
73
KPAI sementara kasus pelanggaran hak anak tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Ketiga, terkendalanya pembentukan KPAD sebagai mitra KPAI di
daerah untuk mendukung tugas KPAI ditengah permasalahan sosial anak yang
semakin kompleks. Keempat, masih minimnya perhatian pemerintah,
penegak hukum, dan masyarakat mengenai perlindungan anak. Beberapa
hambatan tersebut membuat KPAI hanya mampu menangani beberapa isu
anak yang besar dan kasus penelantaran anak yang sifatnya masif sehingga
KPAI sebagai state auxiliary organs belum efektif menyentuh permasalah
anak secara menyeluruh.
B. Saran
Setelah mengamati dan menganalisis tugas dan wewenang KPAI,
kedudukannya sebagai salah satu state auxiliary organs, serta kontribusinya dalam
pelaksanaan perlindungan terhadap anak telantar, ada beberapa hal penting yang
dapat dipertimbangkan KPAI dan para pengambil kebijakan, yaitu sebagai berikut :
1. Pembuatan undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai
lembaga negara khususnya tentang state auxiliary organs atau lembaga
negara penunjang agar lembaga-lembaga negara yang ada dapat
bersinergi dalam mencapai tujuan negara.
2. Menambah kewenangan, dana operasional, serta memperjelas kedudukan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) agar kinerja KPAI lebih
optimal dalam rangka pengawasan pelaksanaan perlindungan anak
khususnya dalam penanganan anak telantar.
74
3. Membentuk KPAD di berbagai daerah di Indonesia sebagai mitra KPAI
dalam rangka meningkatkan pelaksanaan perlindungan anak di daerah.
74
75
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim
Buku, Makalah, Jurnal, dan Skripsi
Ali, M. B. dan T. Deli. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Bandung : Penabur
Ilmu, 2009.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Sinar
Grafika, 2011.
________________. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2006.
Bidang Data Informasi dan Pengaduan. Data Statistik Kasus-Kasus Perlindungan
Anak Tahun 2011-2015 KPAI. 2015.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-8, Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2013.
_______________. Dasar-Dasar Ilmu Politik , Jakarta : PT.Gramedia Pustaka
Utama, 2010.
Chang, Andreas Ristanto. Jurnal Skripsi Realisasi Peran Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) dalam Menangani Anak yang Menjadi Pelaku
Tindak Pidana Penganiayaan. Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2014.
Firmansyah, Arifin dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar
Lembaga Negara, Jakarta : Konsorsium Reformasi Hukum Nasional,
2005.
Hapriyanti, Dewi. “Penelantaran Anak oleh Orang Tua Ditinjau Dari KUHP dan
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindunga Anak.”
Universitas Mataram. 2013.
Hidayat, Bunadi. Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, Bandung : PT Alumni,
2010.
Huda, Ni‟matul. Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta
: UII Press, 2007.
Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak. Bandung : Nuansa, 2006.
76
Ibrahim, Johnny. Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif. Malang :
Bayumedia Publising, 2007.
Indrayana, Denny. Negara Antara Ada dan Tiada : Reformasi Hukum
Ketatanegaraan. Jakarta: Kompas, 2008.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Lembaga Negara Independen untuk
Perlindungan Anak. Jakarta : KPAI, 2006.
KPAI. Laporan Kinerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia 2010-2013.
Muhtaj, Majda El. Dimensi-dimensi HAM,Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2009.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka, 1976.
Rosyidah Badawi, Enny. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Sebagai
Pengawas Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Indonesia, Jakarta :
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2010.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penulisan Hukum, Jakarta : UI Press, 1986.
_______________. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 2010.
Soekanto, Soerjono dan Sri mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2001.
_______________________________. Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Pers, 2001.
Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak, Bandung : PT Refika Aditama, 2006.
Suyanto, Bagong. Masalah Sosial Anak, Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010.
Trisulo, Evy. Konfigurasi State Auxiliary Bodies dalam Sistem Pemerintahan
Indonesia. Tesis. Jakarta : Universitas Indonesia, 2012.
Tutik, Titik Triwulan. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945. Jakarta : Kencana, 2011.
77
Tutik, Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo. Hukum Tata Usaha Negara dan
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta : Kencana,
2011.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Konvensi Hak Anak
Peraturan Menteri Sosial RI No. 8 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi
dan Sumber Kesejahteraan Sosial
Lampiran Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 tahun 2012 Tentang
Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
Keputusan Presiden No. 77 tahun 2003 Tentang Komisi Perlindungan Anak
Indonesia
78
Media Internet
batamtoday.com, “Dinilai Gagal Tuntaskan Persoalan Anak Ada Wacana KPAI
Dibubarkan,” artikel ini diakses pada 6 Desember 2015 dari
http://www.batamtoday.com/berita36521-Dinilai-Gagal-Tuntaskan-Persoa
lan-Anak,-Ada-Wacana-KPAI-Dibubarkan.html.
CNN Indonesia, “KPAI : Narkoba Bisa Jadi Biang Keladi Penelantaran Anak,”
artikel ini diakses pada 2 September 2015 dari
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150515213159-12-53546/kpai-n
arkoba-bisa-jadi-biang-keladi-penelantaran-anak/.
harianterbit.com, “Meneg PP & PA : KPAI Tak Bisa Seperti KPK,” artikel ini
diakses pada 7 September 2015 dari
http://harianterbit.com/hanterekonomi/read/2014/06/21/4042/29/29/Meneg
-PP-PA-KPAI-Tak-Bisa-Seperti-KPK.
Kriminalitas.com, “Kendala Implementasi UU Perlindungan Anak, artikel ini
diakses pada 7 September 2015 dari
http://kriminalitas.com/kendala-implementasi-uu-perlindungan-anak/.
Pikiran Rakyat Online, “Mendesak Revisi RUU Perlindungan Anak,” artikel ini
diakses pada 6 September 2015 dari
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2014/04/26/279242/mendesak-rev
isi-uu-perlindungan-anak.
Website resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia, artikel ini diakes pada 21
Agustus 2015 dari http://www.kpai.go.id/profil/,
Metrotvnews.com, “Kronologi Kasus Orangtua „Usir‟ Anak Terungkap,” artikel
ini diakses pada 2 September 2015 dari
http://news.metrotvnews.com/read/2015/05/15/126338/kronologi-kasus-or
angtua-usir-anak-terungkap.
Media Antara Jateng, “Mensos: Jumlah Anak Terlantar di Indonesia Mencapai
4,1 Juta,” artikel ini diakses pada 1 September 2015 dari
http://www.antarajateng.com/detail/mensos-jumlah-anak-terlantar-di-indo
nesia-mencapai-41-juta.html.