eksistensi state auxiliary organs dalam rangka … · 2013. 9. 24. · walaupun kecil tapi paling...
TRANSCRIPT
-
EKSISTENSI STATE AUXILIARY ORGANS DALAM RANGKA
MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA
(STUDI KELEMBAGAAN TERHADAP
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI)
PENULISAN HUKUM
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
ANGGA MARTANDY PRIHANTORO
NIM. E 0006075
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
-
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
EKSISTENSI STATE AUXILIARY ORGANS DALAM RANGKA
MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA
(STUDI KELEMBAGAAN TERHADAP
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI)
Disusun oleh:
ANGGA MARTANDY PRIHANTORO
NIM. E 0006075
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skrispsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 19 April 2010
Pembimbing Utama
Aminah, S.H., M. H.
NIP. 19510513 198103 2001
Co. Pembimbing
Isharyanto, S.H., M.Hum
NIP. 19780501 200312 1002
-
iv
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
EKSISTENSI STATE AUXILIARY ORGANS DALAM RANGKA
MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA
(STUDI KELEMBAGAAN TERHADAP
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI)
Disusun oleh:
ANGGA MARTANDY PRIHANTORO
NIM. E 0006075
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada :
Hari : Senin
Tanggal : 03 Mei 2010
TIM PENGUJI
(1) Sunarno Danusastro S.H, M.H : ......................................................
NIP. 19471231 197503 1001
Ketua
(2) Isharyanto S.H, M.Hum : .....................................................
NIP. 19780501 200312 1002
Sekretaris
(3) Aminah S.H, M.H : ………………………………….
NIP. 19510513 198103 2001
Anggota
Mengetahui
Dekan,
(Moh. Jamin, S.H, M.Hum)
NIP. 19610930 198601 1001
-
v
PERNYATAAN
Nama : Angga Martandy Prihantoro
NIM : E0006075
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
EKSISTENSI STATE AUXILIARY ORGANS DALAM RANGKA
MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA (STUDI
KELEMBAGAAN TERHADAP KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI)
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan
hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi)
dan gelar yang sudah saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 19 April 2010
Yang membuat pernyataan
Angga Martandy Prihantoro
NIM. E0006075
-
vi
ABSTRAK
Angga Martandy Prihantoro, 2010. EKSISTENSI STATE AUXILIARY
ORGANS DALAM RANGKA MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI
INDONESIA (STUDI KELEMBAGAAN TERHADAP KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI). Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menjawab permasalahan
mengenai latar belakang eksistensi state auxiliary organs sebagai sebuah lembaga
negara dalam strukutur ketatanegaraan Indonesia serta untuk mengetahui
eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai salah satu state auxiliary
organs dalam rangka mewujudkan good governance di Indonesia.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif yang bersifat deskriptif.
Jenis bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum sekunder yang meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-
undangan, pendekatan konsep, pendekatan perbandingan dan pendekatan analitis.
Penarikan simpulan penelitian dilandasi oleh alur berpikir deduktif yang
berangkat dari pemahaman fakta-fakta atau teori-teori hukum umum kemudian
diteliti penerapannya atau keterkaitannya dalam fenomena-fenomena hukum yang
lebih khusus.
Hasil penelitian menunjukkan, eksistensi state auxiliary organs sebagai
sebuah lembaga negara dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dilatarbelakangi
oleh adanya ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap lembaga negara
yang telah ada dan dimaksudkan untuk menjawab tuntutan masyarakat atas
terciptanya prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, efektif,
dan efisien melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya
sekaligus sebagai kontrol publik atas kinerja penyelenggaraan pemerintahan.
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah salah satu state auxiliary organs
yang ada di Indonesia yang dibentuk berdasar Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam menjalankan
tugas pokok dan fungsinya, komisi ini bersifat independen, bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun. Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dilatarbelakangi
oleh kebutuhan untuk memberantas korupsi secara sistematis, ketika lembaga
yang memiliki fungsi dan wewenang yang sama yaitu Kepolisian dan Kejaksaan
sulit diharapkan kinerjanya. Dan dengan segala resistensi dan permasalahan yang
ada, eksitensi Komisi Pemberantasan Korupsi mulai memberikan harapan untuk
mewujudkan good governance di Indoensia.
Kata kunci: state auxiliary organs, Komisi Pemberantasan Korupsi, good
governance
-
vii
ABSTRACT
Angga Martandy Prihantoro, 2010. EKSISTENSI STATE AUXILIARY
ORGANS DALAM RANGKA MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI
INDONESIA (STUDI KELEMBAGAAN TERHADAP KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI). Law Faculty of Sebelas Maret University
Surakarta.
This study aims to examine and answer about the background of the
existence state auxiliary organs as a state institution in Indonesia and to
investigate the existence of the Corruption Eradication Commission (KPK) as one
of the state auxiliary organs in order to realize good governance in Indonesia.
This research is a kind of normative and descriptive research. The source
of research used are secondary, including primary legal materials, legal
materials and legal materials tertiary secondary. The approach used in this study
is the regulatory approach, conceptual approach, comparative approaches and
analytical approach. Drawing conclusion based on research by deductive logic
which depart from the understanding of the facts or legal theories of general and
then examined its application or its role in the phenomena of a more specific law.
The results showed, the existence of state auxiliary organs as a
constitutional structure of state institutions in Indonesia motivated by a public
distrust against the existing state institutions and are intended to address public
demands for the creation of the principles of governance that is clean, effective,
and efficiently through an accountable institution, independent, and reliable as
well as public control over the performance of governance.
Corruption Eradication Commission (KPK) is one of the state auxiliary
organs in Indonesia established under Act No. 30 of 2002 on Corruption
Eradication Commission. In performing its duties and functions, the commission
is independent, free from any influence of power. The existence of the Corruption
Eradication Commission (KPK) was motivated by the need to combat systematic
corruption, when the other institution that has the same function and authority of
the Police and the Attorney difficult to expect its performance. And with all the
resistance and the existing problems, acknowlege the Corruption Eradication
Commission began to give hope to realize good governance in Indonesia.
Keywords: state auxiliary organs, Corruption Eradication Commision (KPK),
good governance
-
viii
MOTTO
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
diantara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu
kerjakan..(Al-Mujadalah:11)”
Hati yang penuh syukur, bukan saja merupakan kebajikan yang
terbesar, melainkan merupakan pula induk segala kebajikan yang
lain..(Cicero).
Guru yang biasa-biasa memberitahu, guru yang baik menjelaskan,
guru yang lebih baik mendemonstrasikan, guru yang hebat
mengilhami..(William Arthur Ward).
Prestasi besar adalah hak yang pantas bagi orang yang punya harapan
optimis..(J. Harold Wilkins)
Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal,
tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh..(Confusius).
Tiga sifat manusia yang merusak adalah, kikir yang dituruti, hawa
nafsu yang diikuti, serta sifat mengagumi diri sendiri yang
berlebihan..(Nabi Muhammad SAW).
Kekuatan tidak lahir dari kemenengan..Perjuanganlah yang
membangun kekuatan..Jika kamu terus berjuang melewati kesulitan
dan memutuskan untuk tidak menyerah, maka itulah kekuatan yang
sesungguhnya..(Anonim)
Be positive and do your best..(Penulis)
-
ix
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan kepada:
Allah SWT atas segala nikmat, kesehatan, dan keimanan yang telah
diberikan kepada penulis;
Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan bagi seluruh umat manusia;
Ibunda penulis tercinta atas semua doa, semangat, kasih sayang, dan
ketulusan hati yang tiada henti dalam mengasuh dan membesarkan
penulis;
Simbah putri penulis atas semua doa, harapan, kasih sayang dan selalu
sabar dalam mengasuh penulis;
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta sebagai almamater
penulis, semoga semakin profesional dan bermoral ke depannya.
-
x
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, tiada Tuhan selain Engkau. Dengan mengharap
penuh keridoanNya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum yang
berjudul “Eksistensi State Auxiliary Organs Rangka Mewujudkan Good
Governance di Indonesia (Studi Kelembagaan Terhadap Komisi Pemberantasan
Korupsi)” dengan baik dan lancar. Sholawat serta salam semoga tercurah selalu
kepada Rasulullah SAW, keluarga, para sahabat, dan seluruh pengikutnya terkasih
hingga suatu hari yang telah Allah SWT janjikan.
Penulisan hukum ini disusun dan diajukan guna melengkapi syarat-syarat
guna memperoleh derajat sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Banyak permasalahan dan hambatan baik
secara langsung maupun tidak langsung yang penulis alami dalam menyusun
penulisan hukum ini, akhirnya selesai juga berkat bantuan dan uluran tangan dari
berbagai pihak baik materiil maupun non-materiil. Oleh karena itu dengan
ketulusan hati dan ketulusan yang mendalam, penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum. selaku dekan Fakulktas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
2. Ibu Adriana Grahani Firdausy, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik
(PA) yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini;
3. Ibu Aminah, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus selaku pembimbing
utama skripsi penulis yang telah berjasa memberikan arahan, bantuan, dan
meluangkan waktu untuk penulis;
4. Bapak Isharyanto, S.H., M.Hum. selaku co. pembimbing skripsi penulis yang
memberikan arahan, bantuan, semangat, senyuman dan telah meluangkan
banyak waktu dan beliau merupakan inspirator penulis sehingga penulis
-
xi
mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang jasanya tidak akan pernah
penulis lupakan;
5. Bapak Djatmiko Anom H, SH yang telah mencurahkan ilmu dan pengetahuan
kepada mahasiswa termasuk juga kepada penulis, sehingga penulis pun
semakin tertarik untuk menyusun skripsi Hukum Tata Negara khususnya di
bidang kelembagaan negara;
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan jerih payah dan
penuh keihklasan mendidik dan menuangkan ilmu sehingga mampu menjadi
bekal untuk lebih memperdalam penguasaan ilmu hukum saat ini dan
nantinya;
7. Ibu dan Bapak tercinta yang tiada henti memberikan kasih sayang, doa, dan
ketulusan hati dalam membesarkan penulis, semoga Allah selalu memberi
kesehatan dan perlindungan;
8. Si Gendut, adik penulis tersayang yang sering kali membuat penulis
tersenyum karena melihat tingkah lakunya;
9. My Luv, yang mewarnai kehidupan penulis dengan ketulusan, kesetiaan,
semangat dan doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
10. Teman-teman seperjuangan penulis, Martha (thanks atas semua kisah dan
pengalaman selama ini, semoga bisa segera menyusul teman-teman yang lain),
Ratna (yang sering kali membuat kehebohan cerita dalam keseharianya,
walaupun kecil tapi paling ampuh diantara teman yang lain), Yurista (jangan
lelah untuk menunggu bang Filmon ke tanah air), Nin Yasmine (teman penulis
yang paling unik dan nyentrik), Lupik (coba buka hatimu untuk mendapat
tambatan hati sesuai dengan harapanmu), Irma (teman yang paling adem ayem
diantara teman yang lain), Megawati (yang paling tomboy dan rajin diantara
yang lain), Uplah (semoga juga dapat segera menyusul teman-teman lain
menyelesaikan skripsi);
11. Andri (teman yang sering kali membantu penulis), Andria (ayo bro segera
susul aku), Lukman (Pak Mantan Presiden BEM FH, yang selalu kelihatan
bijaksana), Wiwid (ayo Wid kita raih impian kita), Toni (ajakanmu itu baik,
-
xii
tapi bisa jadi menyesatkan), Rizky (si jangkung nan pemalu), Ita Okvita
(semoga segera mendapat tambatan hati yang tepat), Wahyu dan Kiky
(semoga kalian tetep langgeng, jangan lupa undangannya yach), Aryani (ayo,
jangan pernah menyerah terhadap semua tantangan yang ada di depanmu),
Andy Tiwi (ayo segera selesaikan kuliahnya, jangan pernah ragu melangkah
dalam kebaikan), Agus ASA (ayo Gus, segera selesaikan proposalmu), Erika
(teman yang paling polos sendiri), Ulin (perjuangan kita belum berakhir di sini
kawan), Tami (met ngalanjutin ke bidang kenotariatan yach);
12. Teman-teman magang penulis di Pengadilan Agama Karanganyar (thanks atas
kerjasamanya selama magang), Wiwin (ayo segera dapatkan judulmu, dan
lanjutkan program penggemukan badanmu), Mutmaini (seksi heboh yang
sering heboh sendiri), Deny (Si Pendiam tapi ternyata narsis juga), Arif
(jangan terlalu dingin);
13. Keluarga besar ”KSP Prinsipium” Haris, Yovi, Yuni, Aryani, dan teman-
teman lain thanks atas kebersamaannya selama ini;
14. Teman-teman Fakultas Hukum angkatan ’06 yang tidak bisa penulis sebut
satu-persatu, thanks atas kebersamaan dan kenangan bersama selama ini;
15. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari penulisan skripsi ini bukanlah karya yang sempurna,
untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman sangat
penulis harapkan. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
kita semua. Amin..
Surakarta, April 2010
Penulis
-
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………... i
HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………………….... iii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………. iv
HALAMAN PERNYATAAN .....................................................................
ABSTRAK …………………………………………………………………
v
vi
HALAMAN MOTTO ……………………………………………………. viii
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………... ix
KATA PENGANTAR ……………………………………………………. x
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… xiii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….. xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………… 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………. 4
C. Tujuan Penelitian ………………………………………...… 4
D. Manfaat Penelitian …………………………………………. 5
E. Metode Penelitian …………………………………………. 5
F. Sistematika Penulisan Hukum ……………………………… 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori …………………………………………….. 13
1. Tinjauan tentang Lembaga Negara ..... .......................... 13
2. Tinjauan tentang State Auxiliary Organs ....................... 21
3. Tinjauan tentang Komisi Pemberantasan Korupsi .........
4. Tinjauan tentang Good Governance …………………..
28
34
B. Kerangka Pemikiran ………………………………………... 40
-
xiv
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Eksistensi State Auxiliary Organs Sebagai
Lembaga Negara Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia
42
B. Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai State
Auxiliary Organs Dalam Rangka Mewujudkan Good
Governance di Indonesia ......... ............................................
50
1. Latar Belakang Eksistensi Komisi Pemberantasan
Korupsi di Indonesia …………………………………....
50
2. Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi Terkait
Dengan Good Governance di
Indonesia...........................................................................
53
3. Permasalahan Terhadap Eksistensi Komisi
Pemberantasan Korupsi Dalam Rangka Mewujudkan
Good Governance di Indonesia ....................................... 64
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………… 78
B. Saran ……………………………………………………….. 79
DAFTAR PUSTAKA
-
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Jenis Independent Regulatory Bodies ……………………………….. 24
Tabel 2: Jenis Executive Branch Agencies ……………………………………. 25
Tabel 3: Data IPK-TI Tahun 2004-2007 ……………………………………… 60
-
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran ……………………………………………… 40
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasca digulirkannya gerakan reformasi tahun 1998 dan adanya perubahan
terhadap UUD 1945, Indonesia mengalami dinamika perkembangan
ketatanegaraan yang sangat pesat. Ada dua hal pokok yang menjadi agenda
mendesak setelah adanya dua peristiwa tersebut, yaitu agenda checks and
balances system antar lembaga negara dan adanya tuntutan penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih, terutama adalah penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih dari unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Agenda check and balances system antar lembaga negara dapat terlihat
dengan adanya pergeseran supremasi, dari supremasi Majelis Permusyawaratan
Rakyat berpindah menjadi supremasi konstitusi. Sejak masa reformasi, Indonesia
tidak lagi menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga
tertinggi negara sehingga semua lembaga negara sederajat kedudukannya dalam
sistem checks and balances. Hal ini merupakan konsekuensi dari supremasi
konstitusi, di mana konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur
dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara. Dengan
demikian, perubahan UUD 1945 ini juga telah menghapus konsep superioritas
suatu lembaga negara atas lembaga-lembaga negara lainnya dari struktur
ketatanegaraan Indonesia.
Selanjutnya, tuntutan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang bersih
lahir karena rakyat sudah mengalami pengalaman buruk terhadap rezim
pemerintahan yang penuh dengan unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tuntutan
ini dijawab dengan keluarnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
No.XI/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme dan disusul dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
-
2
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan-
peraturan ini setidaknya merupakan indikasi awal komitmen pemerintah untuk
menjawab tuntutan publik pada saat itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul lembaga negara yang
sebelumnya belum kita kenal sebelumnya. Lembaga-lembaga negara tersebut
bersifat sebagai lembaga negara bantu (state auxiliary organs). Gejala tumbuh
kembangnya komisi-komisi yang bersifat sebagai lembaga bantu ini merupakan
gejala yang mendunia. Selain itu, lembaga-lembaga ini lahir karena kinerja
lembaga utama belum bekerja secara efektif dan dilatarbelakangi oleh desakan
publik dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik
(good governance). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Jimly Asshidiqie
(2006:29):
Seperti dalam perkembagan di Inggris dan di Amerika Serikat, lembaga-
lembaga atau komisi-komisi itu ada yang masih berada dalam ranah
kekuasaan eksekutif, tetapi ada pula yang bersifat independen dan berada
di luar wilayah kekuasaan eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif. Pada
umumnya, pembentukan lembaga-lembaga independen ini didorong oleh
kenyataan bahwa birokrasi di lingkungan pemerintahan dinilai tidak dapat
lagi memenuhi tuntutan kebutuhan akan pelayanan umum dengan standar
mutu yang semakin meningkat dan diharapkan semakin efisien dan efektif.
Lebih lanjut, kemunculan state auxiliary organs juga merupakan jawaban
atas kebuntuan teori trias politica Baron de Montesquie yang mengidealkan
cabang kekuasaan negara dibagi atas tiga kekuasaan yang saling terpisah secara
murni, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif ternyata tidak dapat
bekerja secara maksimal ketika dihadapkan perkembangan masyarakat yang
sangat dinamis yang menghendaki struktur organisasi negara yang lebih responsif
dengan tuntutan mereka serta lebih efektif dan efisien dalam melakukan
pelayanan publik dan mencapai tujuan pemerintahan.
Salah satu state auxiliary organs yang sangat fenomenal eksitensinya
adalah Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi ini dibentuk berdasarkan amanat
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Untuk memperkuat eksistensi dan legitimasi dalam menjalankan
-
3
tugasnya, komisi ini diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam perjalanannya, komisi ini telah mengalami resistensi yang luar
biasa dalam rangka mewujudkan good governance utamanya dalam hal
pemberantasan korupsi di Indonesia. Seiring dengan kecemerlangannya yang
mulai berhasil menjerat para koruptor di negeri ini, ternyata lembaga ini juga
memiliki beberapa masalah dan resistensi yang menghadangnya. Eksistensi
Komisi Pemberantasan Korupsi mulai mendapat reaksi keras, terutama dari pihak
yang tidak menginginkan kehadiranya. Reaksi tersebut muncul karena Komisi
Pemberantasan Korupsi yang notabene adalah state auxiliary organs, diberi
kewenangan yang luar biasa dalam hal pemberantasan korupsi. Maka tidak
mengherankan jika sebagian kalangan menyatakan bahwa komisi ini menjelma
sebagai lembaga yang super body dan memiliki kewenangan ekstrakonstitusional.
Selain itu, pengaturan kewenangan yang masih tumpang tindih,
mengakibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugasnya
sering kali bersinggungan dengan lembaga lain yang merupakan lembaga utama
negara, misal dengan kepolisian ataupun kejaksaan. Beberapa contoh sahih yang
dapat menggambarkan berbagai resistensi yang dilakukan terhadap eksistensi
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mewujudkan good governance adalah uji
materi terhadap Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ”kriminalisasi” pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi yaitu Bibit S. Riyanto dan Chandra M. Hamzah, dan
berbagai permasalahan lain yang dituding banyak pihak akan melemahkan
eksitensi Komisi Pemberantasan Korupsi sekaligus sebagai upaya pelemahan
semangat anti korupsi.
Atas dasar itulah, penulis merasa perlu untuk membahas dan meneliti
secara lebih mendalam atas berbagai fenomena tersebut dalam sebuah judul:
EKSISTENSI STATE AUXILIARY ORGANS DALAM RANGKA
MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA (STUDI
KELEMBAGAAN TERHADAP KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI).
-
4
B. Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang yang telah diuraikan, penulis dapat menyusun
rumusan masalah yang nantinya akan dikaji secara lebih mendalam dalam bab
pembahasan. Adapun rumusan masalah dalam penulisan hukum ini adalah:
1. Apakah yang melatarbelakangi eksistensi state auxiliary organs sebagai
sebuah lembaga negara dalam struktur ketatanegaraan Indonesia?
2. Bagaimana eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai state auxiliary
organs dalam rangka mewujudkan good governance di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan oleh penulis agar dapat menyajikan data
akurat sehingga dapat memberi manfaat dan mampu menyelesaikan masalah.
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mempunyai tujuan objektif dan tujuan
subjektif sebagai berikut:
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui latar belakang eksistensi state auxiliary organs sebagai
lembaga negara dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis eksistensi Komisi Pemberatasan
Korupsi sebagai state auxiliary organs dalam rangka mewujudkan good
governance di Indonesia.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis di bidang Hukum
Tata Negara khususnya mengenai eksistensi Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagai state auxiliary organs dalam rangka mewujudkan good
governance di Indonesia.
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar S1 dalam
bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
-
5
D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini
akan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca penelitian ini. Adapun manfaat
yang diharapkan penulis dapat diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain:
1. Manfaat Teoretis
a. Memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang
ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Tata Negara pada khususnya.
b. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan Hukum Tata Negara
tentang eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai state auxiliary
organs dalam rangka mewujudkan good governance di Indonesia.
c. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai acuan terhadap penelitian-
penelitian sejenis pada tahap selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan
membentuk pola pikir ilmiah, sekaligus untuk mengetahui kemapuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait langsung dengan
penelitian ini.
c. Untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang diteliti.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian akan sangat mempengaruhi perolehan data-data dalam
penelitian yang bersangkutan untuk selanjutnya dapat diolah dan dikembangkan
secara optimal sesuai dengan metode ilmiah demi tercapainya tujuan penelitian
yang dirumuskan. Adapun rincian metode penelitian yang digunakan penulis
dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka
atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
-
6
sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun
secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya
dalam masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2006:15). Masalah yang akan
diakaji dalam penelitian ini adalah eksistensi state auxiliary organs dalam
rangka mewujudkan good governance di Indonesia (studi kelembagaan
Komisi Pemberantasan Korupsi).
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang berupaya
memberikan gambaran secara lengkap dan jelas mengenai objek penelitian,
dapat berupa manusia atau gejala dan fenomena sosial tertentu. Menurut
Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan
untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas
hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori
lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto,
2006:10).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian
normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-
hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan
analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai
ilmu normatif. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, dapat digunakan
beberapa pendekatan berikut (Johnny Ibrahim, 2006:300):
1) Pendekatan Perundang-undangan (statute approach);
2) Pendekatan Konsep (conceptual approach);
3) Pendekatan Analitis (analytical approach);
4) Pendekatan Perbandingan (comparative approach);
5) Pendekatan Historis (historical approach);
6) Pendekatan Filsafat (philosophical approach);
-
7
7) Pendekatan Kasus (case approach).
Pendekatan tersebut dapat digabung, sehingga dalam suatu
penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau
lebih yang sesuai, misalnya pendekatan perundang-undangan, pendekatan
historis dan pendekatan perbandingan. Namun, dalam suatu penelitian
normatif, satu hal yang pasti adalah penggunaan pendekatan perundang-
undangan (statute approach). Dikatakan pasti karena secara logika hukum,
penelitian hukum normatif didasarkan pada penelitian yang dilakukan
terhadap bahan hukum yang ada (Johnny Ibrahim, 2006:301).
Adapun pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(conceptual approach), pendekatan perbandingan (comparative approach),
serta pendekatan analitis (analytical approach). Pendekatan perundang-
undangan secara otomatis dipilih karena kajian penelitian hukum yang
bersifat yuridis-normatif, yaitu peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dan pelaksanaan good
governance di Indonesia, antara lain Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pendekatan konsep dipilih untuk menyusun abstraksi dari
pemikiran-pemikiran atau konsep-konsep hukum universal ke dalam
batasan teritorial dan historis kenegaraan Indonesia. Pendekatan
perbandingan akan dipergunakan oleh penulis dalam rangka
membandingkan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
dengan komisi serupa di negara Singapura, Hongkong, dan India.
Selanjutnya pendekatan analitis dipakai untuk memadukan konsep-konsep
yang semula terpecah satu dengan yang lain menjadi satu kesatuan yang
padu dan utuh menurut alur berpikir yang rasional dan sistematis.
-
8
4. Sumber Penelitian Hukum
Jenis data yang digunakan dalam sebuah penelitian normatif adalah
data hukum sekunder. Menurut Soerjono Soekanto (dalam Soerjono Soekanto
dan Sri Mamudji, 1990:14), data hukum sekunder dapat terbagi atas:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan
terdiri dari:
1) Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945.
2) Peraturan Dasar:
a) Batang Tubuh UUD 1945
b) Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3) Peraturan Perundang-undangan:
a) Undang-Undang dan peraturan yang setaraf;
b) Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf;
c) Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf;
d) Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf;
e) Peraturan-peraturan Daerah;
4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti misalnya, hukum
adat;
5) Yurisprudensi;
6) Traktat.
7) Bahan hukum dari jaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku,
seperti misalnya, Kitab Undang-Undang hukum Pidana (yang
merupakan terjemahan yang secara yuridis formal bersifat tidak resmi
dari Wetboek van Strafrecht);
Lebih spesifik dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum
primer sebagai berikut.
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.XI/1998 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme;
3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
-
9
4) Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah;
5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder adalah bahan
hukum yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas peraturan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,
2005: 141). Dalam penelitian ini penulis menggunakan buku-buku, jurnal
ilmiah, koran yang relevan dengan eksistensi Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagai state auxiliary organs dalam mewujudkan good
governance di Indonesia.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Dalam hal ini penulis membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk
mencari arti kata ”lembaga” dan ”komisi”
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka. Studi dokumen atau
bahan pustaka ini penulis lakukan dengan usaha-usaha pengumpulan data
terkait dengan cara:
-
10
a) mengunjungi perpustakaan untuk mencari literatur yang relevan dengan
fokus penelitian ini yaitu tentang eksistensi Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam sebagai state auxiliary organs dalam rangka mewujudkan
good governance di Indonesia;
b) membaca, mengkaji dan mempelajari literatur, artikel majalah, dan
mencari bahan dari internet dan koran yang berkaitan erat dengan pokok
permasalahan dalam penelitian yaitu eksistensi Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagai salah satu state auxiliary organs dalam mewujudkan good
governance di Indonesia;
c) membaca dan mempelajari hasil penelitian terdahulu berupa skripsi yang
membahas tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan isu good
governance.
6. Teknik Analisis Data
Penelitian hukum ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala
yang diteliti untuk kemudian mendeskripsikan data-data yang diperoleh
selama penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan-bahan hukum yang
relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan sebagaimana
telah disinggung di atas. Mengkualitatifkan data adalah fokus utama dari
penelitian hukum ini. Dengan demikian penulis berharap untuk dapat
memberikan gambaran utuh dan menyeluruh bagi fenomena yang diteliti,
yaitu seputar permasalahan Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi
Sebagai State Auxiliary Organs Dalam Rangka Mewujudkan Good
Governance di Indonesia, dan pada akhirnya memberikan simpulan yang
solutif untuk memecahkan permasalahan yang diteliti dengan memberikan
rekomendasi seperlunya.
Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode penalaran
(logika) deduktif, yaitu hal-hal yang dirumuskan secara umum diterapkan
pada keadaan yang khusus. Dalam penelitian ini penulis mengkritisi teori-teori
ilmu hukum yang bersifat umum untuk kemudian menarik kesimpulan yang
sesuai dengan kasus faktual yang diteliti atau dianalisa, yaitu mengenai
-
11
Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai State Auxiliary Organs
Dalam Rangka Mewujudkan Good Governance di Indonesia.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum disajikan untuk memberikan gambaran
menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum hukum sebagai karya ilmiah
yang disesuaikan dengan kaidah baku penulisan suatu karya ilmiah. Adapun
penulisan hukum (skripsi) ini terdiri dari 4 bab, yaitu Pendahuluan, Tinjauan
Pustaka, Pembahasan dan Penutup. Disertakan pula Daftar Pustaka yang
dilengkapi lampiran-lampiran dengan sistematika sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis akan memberikan penjelasan secara teoritik yang bersumber
dari bahan hukum yang digunakan penulis dan doktrin ilmu hukum yang dianut
secara universal mengenai persoalan yang berkaitan dengan permasalahan yang
sedang diteliti penulis. Kerangka teori tersebut meliputi teori tentang lembaga
negara, tinjauan tentang state auxiliary organs, tinjauan tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, dan tinjauan tentang good governance. Selain itu, untuk
mempermudah pemahaman alur berpikir penulis, pada bab ini juga disertakan
kerangka pemikiran penulis dalam penelitian ini.
BAB III HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
Pada bab III penulis akan mendeskripsikan hasil penelitian atas permasalahan
yang didapatkan oleh penulis. Untuk mempermudah pemahaman pembaca
terhadap penelitian dan pembahasan dari persoalan yang diangkat oleh penulis,
maka Bab Penelitian dan Pembahasan ini dibagi menjadi:
a. Halaman yang mendeskripsikan hasil temuan yang diperoleh penulis terkait
dengan persoalan pertama, yaitu mengenai latar belakang eksistensi state
-
12
auxiliary organs sebagai lembaga negara dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia;
b. Halaman yang mendeskripsikan hasil temuan yang diperoleh penulis terkait
dengan persoalan kedua, yaitu eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagai state auxiliary organs dalam rangka mewujudkan good governance di
Indoensia.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini penulis menyimpulkan hasil penelitian dan pembahasan, serta
memberikan saran-saran sebagai sarana evaluasi terutama terhadap temuan-
temuan selama penelitian yang menurut penulis memerlukan perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
-
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Lembaga Negara
a. Pengertian Lembaga Negara
Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki
istilah tunggal dan seragam. Kata lembaga negara berasal dari serapan kata
staatsorgan dalam Bahasa Belanda atau political institutions dalam Bahasa
Inggris. Dalam Bahasa Indonesia, hal ini identik dengan kata lembaga
negara, badan negara, atau bisa juga disebut dengan organ negara. Oleh
sebab itu, istilah lembaga negara, organ negara, badan negara, ataupun alat
kelengkapan negara sering dipertukarkan satu sama lain.
Untuk memahami istilah organ atau lembaga negara secara lebih
dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the
concept of the State Organ dalam bukunya General Theory of Law and
State. Hans Kelsen menguraikan bahwa ”Whoever fulfills a function
determined by the legal order is an organ”. Siapa saja yang menjalankan
suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah
suatu organ.
Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping
organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan
oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat
menciptakan norma (norm creating) dan/atau bersifat menjalankan norma
(norm applying). Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga
menguraikan adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu
pengertian organ dalam arti materiil. Individu dikatakan organ negara hanya
apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum yang tertentu (...he
personally has a spesific legal position) (Jimly Asshidiqie, 2006:36-38).
Ciri-ciri penting organ negara dalam arti sempit ini adalah bahwa (i)
organ negara itu dipilih atau diangkat untuk menduduki jabatan atau fungsi
-
14
tertentu; (ii) fungsi itu dijalankan sebagai profesi utama atau bahkan secara
hukum bersifat eksklusif; dan (iii) karena fungsinya itu, ia berhak
mendapatkan imbalan gaji dari negara. Dengan demikian, lembaga atau
organ negara dalam arti sempit dapat dikaitkan dengan jabatan dan pejabat
(officials), yaitu jabatan umum, jabatan publik (public office) dan pejabat
umum, pejabat publik (public officials) (Jimly Asshidiqie, 2006:38).
Istilah lembaga negara itu sendiri hampir tidak dapat ditemukan
dalam berbagai konstitusi yang berlaku di Indonesia. Konstitusi RIS
menggunakan istilah ”alat-alat perlengkapan federal”. Di dalam Bab III
Konstitusi RIS disebut bahwa alat-alat perlengkapan federal RIS terdiri atas
Presiden, menteri-menteri, Senat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah
Agung Indonesia, dan Dewan Pengawas Keuangan. UUDS 1950
menggunakan istilah ”alat-alat perlengkapan negara”. Hal ini terlihat dalam
Pasal 44 UUDS 1950 yang menyebut alat-alat perlengkapan negara terdiri
atas Presiden dan Wakil Presiden, menteri-menteri, Dewan Perwakilan
Rakyat, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan.
Ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan pun tidak menyebut istilah
”lembaga negara”, sehingga menyulitkan dalam mengidentifikasi dan
memakai istilah ”lembaga negara”. Istilah yang muncul adalah ”badan”,
misal dalam Pasal 23 ayat (5) UUD 1945, ”badan” dipergunakan untuk
menyebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Demikian halnya dalama
Pasal 24 UUD 1945 menyebut ”badan” untuk ”badan kehakiman”.
Istilah lembaga negara justru muncul dan banyak dijumpai dalam
berbagai ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Istilah lembaga negara
pertama kali muncul dan diatur dalam Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. Dalam
ketetapan tersebut, terlampir skema susunan kekuasaan negara Republik
Indonesia yang menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
lembaga tertinggi negara di bawah UUD, sedangkan Presiden, Dewan
-
15
Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Dewan Pertimbangan
Agung, dan Mahkamah Agung sebagai lembaga di bawah Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Istilah lembaga negara juga dijumpai dalam Ketetapan MPRS No.
XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Ad Hoc MPRS yang
bertugas meneliti lembaga-lembaga negara, penyusunan bagan pembagian
kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara menurut sistem UUD 1945,
penyusunan rencana penjelasan pelengkap UUD 1945, dan penyusunan
perincian hak-hak asasi manusia.
Lembaga negara dijumpai kembali dalam Ketetapan MPRS No.
X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua Lembaga-lembaga Negara
Tingkat Pusat dan Daerah pada posisi dan fungsi yang diatur dalam UUD
1945. Melalui ketetapan tersebut, ditemui dua kata yang menunjuk organ-
organ penyelenggara negara, yaitu ”badan” dan ”lembaga-lembaga negara”.
Dalam menimbang poin (a) menyatakan MPRS sebagai badan yang tertinggi
dalam negara RI. Adapun Pasal 2 menyatakan semua lembaga negara
tingkat pusat dan daerah didudukan kembali pada posisi dan fungsi sesuai
dengan yang diatur dalam UUD 1945.
Melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1978 tentang Kedudukan
dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar
Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, istilah lembaga negara mulai
menemukan konsepnya, karena ketetapan tersebut membagi lembaga negara
menjadi dua kategori, yaitu lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi
negara. Lembaga tertinggi negara menurut ketetapan ini adalah Majelis
Permusyawaratan Rakyat, sedangkan lembaga tinggi negara disesuaikan
dengan urutan yang terdapat dalam UUD 1945 yaitu Presiden, Dewan
Perwakilan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung.
Ketentuan UUD 1945 hasil perubahan pun tidak mencantumkan
ketentuan hukum yang mengatur tentang definisi ”lembaga negara”,
sehingga banyak ahli hukum Indonesia yang melakukan ”ijtihad” dalam
mendefinisikan dan mengklasifikasikan konsep lembaga negara. Satu-
-
16
satunya ”petunjuk” yang diberikan UUD 1945 hasil perubahan adalah Pasal
24 C ayat (1) yang meyebut salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi
adalah mengadili dan memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Hal ini sesuai dengan pendapat Natabaya (dalam Jimly Asshidiqie,
2006:32) yang menyatakan bahwa:
penyusun UUD 1945 cenderung konsisten menggunakan istilah
badan negara, bukan lembaga negara atau organ negara. Untuk
maksud yang sama, Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat)
tahun 1949 tidak menggunakan istilah lain kecuali alat perlengkapan
negara. Sedangkan UUD 1945 setelah perubahan keempat (tahun
2002), melanjutkan kebiasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebelum masa reformasi dengan tidak konsisten menggunakan
peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan negara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”lembaga” memiliki
beberapa arti, salah satu arti yang paling relevan digunakan dalam penelitian
ini adalah badan (organisasi) yang tujuannya melakukan suatu penyelidikan
keilmuan atau melakukan suatu usaha. Kamus tersebut juga memberi contoh
frase yang menggunakan kata lembaga, yaitu “lembaga pemerintah” yang
diartikan sebagai badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif.
Apabila kata “pemerintah” diganti dengan kata “negara”, maka frase
“lembaga negara” diartikan sebagai badan-badan negara di semua
lingkungan pemerintahan negara (khususnya di lingkungan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif) (Arifin Firmansyah dkk dalam Rizky Argama,
2007:17).
Perkembangan tentang definisi lembaga negara terdapat dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 atas pengujian
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang diucapkan
pada tanggal 28 Juli 2004, yang menyatakan bahwa:
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga negara tidak
selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara yang dimaksudkan
dalam UUD yang keberadaanya atas dasar perintah konstitusi, tetapi
juga ada lembaga negara yang dibentuk atas perintah undang-undang
dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar Keputusan
Presiden.
-
17
Pertimbangan tersebut dikutip kembali pada Putusan Nomor
031/PUU-IV/2006 atas pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran yang diucapkan pada tanggal 17 April 2007.
Sebenarnya, secara sederhana istilah organ negara atau lembaga
negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga
masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Non Pemerintah
yang dalam bahasa Inggris disebut Non Government Organization atau Non
Governmental Organizations (NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja
yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai
lembaga negara (Jimly Asshiddiqie, 2006:31).
Dari berbagai pendapat tersebut, penulis berkecenderungan memiliki
persamaan pendapat dengan definisi lembaga negara menurut Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 ataupun Putusan Nomor
031/PUU-IV/2006 atas pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran dan pendapat Jimly Asshidiqie, yang pada intinya
menyatakan bahwa lembaga negara adalah lembaga yang tidak hanya
dibentuk berdasar UUD 1945, tetapi juga lembaga yang dibentuk berdasar
peraturan undang-undang dan bertujuan untuk menyelenggarakan tugas dan
fungsi pemerintahan serta bukan merupakan lembaga masyarakat.
b. Pembedaan Lembaga Negara
Ketentuan UUD 1945 menyebut secara langsung maupun tidak
langsung terdapat tiga puluh buah lembaga negara. Menurut Jimly
Asshidiqie (2006:106-118), ketiga puluh empat lembaga negara tersebut
dapat dibedakan dari dua segi, yaitu:
1) Pembedaan dari Segi Hierarkhi
Hierarkhi antar lembaga negara itu penting untuk ditentukan,
karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap orang
yang menduduki jabatan dalam lembaga negara tersebut. Untuk itu, ada
dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu (i) kriteria hierarkhi bentuk sumber
-
18
normatif yang menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya
yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara..
Dari segi hierarkhi, ketiga puluh empat lembaga negara tersebut
dapat dibedakan menjadi tiga lapis. Organ lapis pertama biasa disebut
sebagai lembaga tinggi negara, organ lapis kedua disebut dengan
lembaga negara, dan organ lapis ketiga adalah lembaga daerah. Adapun
organ konstitusi pada lapis pertama adalah:
a) Presiden dan Wakil Presiden;
b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
d) Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR);
e) Mahkamah Konstitusi (MK);
f) Mahkamah Agung (MA);dan
g) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Organ lapis kedua disebut dengan lembaga negara, ada yang
mendapatkan kewenangan dari UUD, dan ada pula yang mendapatkan
kewenangan dari undang-undang. Lembaga yang mendapatkan
kewenangan dari UUD misalnya Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara, sedangkan lembaga yang sumber kewenangannya
berasal dari undang-undang misalnya, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Kedudukan kedua jenis lembaga negara tersebut
disebandingkan satu sama lain, hanya saja, lembaga negara yang
kewenangannya berasal dari UUD lebih kuat dibandingkan lembaga
negara yang kewenangannya bersumber dari undang-undang. Lembaga
negara sebagai organ konstitusi lapis kedua itu adalah:
a) Menteri Negara;
b) Tentara Nasional Indonesia;
c) Kepolisian Negara;
d) Komisi Yudisial;
e) Komisi pemilihan umum; dan
-
19
f) Bank sentral.
Kategori ketiga adalah organ konstitusi yang termasuk kategori
lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, misalnya Komisi
Hukum Nasional yang dibentuk berdasar Keputusan Presiden. Artinya,
keberadaanya secara hukum hanya berdasar atas kebijakan Presiden
belaka (Presidential Policy) atau beleid Presiden.
Selain itu, ada pula lembaga-lembaga daerah yang diatur dalam
Bab IV UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaga-lembaga
daerah tersebut adalah:
a) Pemerintahan Daerah Provinsi;
b) Gubernur;
c) DPRD Provinsi;
d) Pemerintahan Daerah Kabupaten;
e) Bupati;
f) DPRD Kabupaten;
g) Pemerintahan Daerah Kota;
h) Walikota; dan
i) DPRD Kota.
2) Pembedaan dari Segi Fungsi
Diantara lembaga negara yang tersebut dalam UUD 1945, ada
yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary
constitusional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung
atau penunjang (auxiliary state organs). Untuk memahami perbedaan
diantara keduanya, lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibedakan
menjadi tiga ranah (domain), yaitu (i) kekuasaan eksekutif atau
pelaksana (administratur, bestuurzorg), (ii) kekuasaan legislatif dan
fungsi pengawasan, serta (iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.
Dalam cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan negara,
ada presiden dan wakil presiden yang merupakan satu kesatuan institusi
-
20
kepresidenan. Dalam cabang kekuasaan kehakiman, meskipun lembaga
pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman itu ada dua, yaitu
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi di samping
keduanya ada pula Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas
martabat, kehormatan, dan perilaku hakim. Keberadaan fungsi Komisi
Yudisial ini bersifat penunjang (auxiliary) terhadap cabang kekuasaan
kehakiman. Komisi ini bukanlah lembaga penegak hukum (the enforcer
of law), tetapi merupakan lembaga penegak etika kehakiman (the
enforcer of the rule of judicial ethics).
Sedangkan dalam fungsi pengawasan dan kekuasaan legislatif,
terdapat empat organ atau lembaga, yaitu (i) Dewan Perwakilan Rakyat,
(ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat,
dan (iv) Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam ranah legislatif, lembaga
parlemen yang utama adalah Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan
Dewan Perwakilan Daerah bersifat penunjang, dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga perpanjangan fungsi
(extension) parlemen, khususnya dalam rangka penetapan dan perubahan
konstitusi, pemberhentian dan pengisian lowongan jabatan presiden atau
wakil presiden. Namun demikian, meskipun dalam bidang legislasi
kedudukan Dewan Perwakilan Daerah itu bersifat penunjang bagi
peranan Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi dalam bidang pengawasan
yang menyangkut kepentingan daerah, Dewan Perwakilan Daerah tetap
mempunyai kedudukan yang sangat penting. Karena itu, Dewan
Perwakilan Daerah tetap dapat disebut sebagai lembaga utama (main
state organ).
Demikian pula dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
lembaga parlemen ketiga, meskipun tugas-tugas dan kepemimpinannya
tidak bersifat rutin, Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap dapat disebut
sebagai lembaga utama. Karena Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
mempunya kewenangan untuk mengubah dan menetapkan konstitusi,
Majelis Permusyawaratan Rakyat juga berwenang memberhentikan
-
21
presiden dan/atau wakil presiden, serta memilih presiden dan/atau wakli
presiden untuk mengisi lowongan dalam jabatan presiden dan/atau wakil
presiden.
Begitu pula dengan Badan Pemeriksa Keuangan, dalam
kaitannya dalam dengan bidang pengawasan terhadap kebijakan negara
dan pelaksanaan hukum, maka kedudukan dan peranan Badan Pemeriksa
Keuangan sangat penting. Karena itu, dalam konteks tertentu Badan
Pemeriksa Keuangan terkadang juga dapat disebut sebagai lembaga
negara yang juga mempunyai fungsi utama (main state organ).
Sementara itu, di cabang kekuasaan judisial, dikenal pula adanya
tiga lembaga, yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan
Komisi Yudisial. Diantara ketiga lembaga ini, hanya dua lembaga yang
menjalankan fungsi kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, sedangkan Komisi Yudisial menjalankan peran sebagai
lembaga pengawasan terhadap kinerja hakim dan pengusul
pengangkatan hakim agung. Komisi ini bersifat independen dan berada
di luar kekuasaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, oleh
karena itu komisi ini juga tidak tunduk pada pengaruh keduanya. Komisi
Yudisial juga berfungsi sebagai lembaga penunjang (auxiliary) terhadap
fungsi kehakiman yang terdapat pada Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Meskipun kekuasaan Komisi Yudisial ditentukan dalam
UUD 1945, bukan berarti lembaga ini mempunyai kedudukan yang
sederajat dengan dengan Mahkamah Agung maupun Mahkamah
Konstitusi.
2. Tinjauan tentang State Auxiliary Organs
a. Latar Belakang Munculnya State Auxiliary Organs
Salah satu wajah ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD
1945 adalah lahirnya state auxiliary organs. Layaknya jamur di musim
penghujan, state auxiliary organs ini tumbuh berkembang di berbagai
bidang kenegaraan. Tidak sedikit pembuatan undang-undang mewujudkan
-
22
state auxiliary organs. Bentuk eksperimentasi lembaga ini adalah dewan
(council), komisi (comission), komite (commitee), badan (board), atau
otorita (authority).
Ryaas Rasyid (dalam Ni’matul Huda, 2007:207) mengatakan bahwa:
Fenomena menjamurnya komisi negara memberi kesan bahwa
Indonesia berada dalam keadaan darurat karena pelbagai institusi
yang ada selama ini tidak berperan serta berjalan efektif sesuai
ketatanegaraan dan konstitusi. DPR belum mampu menjalankan
fungsi pengawasan terhadap kinerja lembaga negara yang berada di
bawah lembaga eksekutif . Di sisi lain, lembaga kuasi negara adalah
terobosan sekaligus perwujudan ketidakpercayaan rakyat dan
pimpinan negara terhadap lembaga kenegaraan yang ada.
Jawaban yang berbeda dikemukakan oleh Andi Mallarangeng.
Menurut Andi Mallarangeng, keberadaan lembaga negara kuasi adalah
jawaban alamiah proses ketatanegaraan modern terhadap struktur trias
politica. Dalam perkembangan bernegara ternyata tidak cukup hanya
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini disebabkan oleh
minimnya mekanisme akuntabilitas horizontal antarlembaga tersebut (Andi
Mallarangeng dalam Ni’matul Huda, 2007:207).
Sebagian kalangan masyarakat menilai lahirnya state auxiliary
organs yang sebagian besar berfungsi sebagai pengawas kinerja lembaga
negara merupakan bentuk ketidakpercayaan terhadap lembaga pengawas
yang telah ada, khususnya terhadap institusi penegak hukum. Selain itu,
pembentukan lembaga-lembaga independen ini didorong oleh kenyataan
bahwa birokrasi pemerintahan tidak lagi dapat memenuhi tuntutan
kebutuhan publik akan pelayanan umum dengan standar mutu yang semakin
meningkat, efektif, dan efisien.
Ni’matul Huda (2007:197) mengemukakan pendapat bahwa:
Ketidakpercayaan ini bukan saja dimonopoli oleh publik secara
umum, tetapi juga oleh para elit tingkat atas yang berada dalam
lembaga-lembaga negara yang tersedia. Ketidakpercayaan yang ada,
bisa diperkirakan berangkat dari kegagalan lembaga-lembaga negara
yang ada dalam menjalankan fungsi-fungsi dasarnya atau sebagai
akibat dari meluasnya penyimpangan fungsi lembaga-lembaga yang
ada selama kurun waktu 32 tahun Orde Baru.
-
23
Cornalis Lay (dalam Ni’matul Huda, 2007:198) menambahkan,
bahwa:
Di tingkat masyarakat umum, performance masa lalu yang buruk ini
menjadi dasar bagi penolakan luas atas lembaga-lembaga negara
yang ada. Sementara di tingkat elit, kegagalan atau penyimpangan
fungsi lembaga-lembaga negara di masa lalu telah melahirkan
kehendak yang kuat untuk menyebarkan kekuasaan lembaga-
lembaga nyang ada baik secara horizontal lewat pencipataan
lembaga-lembaga negara sampiran negara maupun secara vertikal
melalui desentralisasi.
Kelahiran state auxiliary organs ini juga merupakan refleksi
kemenanangan kekuatan non negara dalam mempenetrasi wilayah dominasi
negara yang beberapa tahun terakhir mengalami pembelengguan. Jika pada
awalnya kekuatan non negara terbatas pada perebutan ruang bagi diri sendiri
yang telah dipilah secara ketat, dalam perkembangan selanjutnya setelah
reformasi, telah memperluas hasratnya untuk menjangkau kontrol atas ranah
negara. Dengan logika seperti ini, aktor non negara yang berwujud state
auxliary organs dapat mengkonversi diri secara cepat sebagai aktor yang
dapat bertindak atas nama dan untuk kepentingan publik yang selama ini
dimonopoli oleh negara.
b. Pengertian State Auxiliary Organs
Terdapat beberapa istilah yang berkenaan dengan state auxiliary
organs. Ada yang menyebutnya sebagai komisi negara, state auxiliary
agencies, state auxiliary bodies, dan ada juga yang menyebut sebagai
lembaga negara independen. Adapun pengertian mengenai state auxiliary
organs dari beberapa pakar adalah sebagai berikut.
Asimow mengemukakan bahwa komisi negara adalah “units of
government created by statute to carry out spesific tasks in implementing the
statute. Most administrative agencies fall in the excecutive branch, but some
important agencies are independent” (Asimow dalam Denny Indrayana,
2008:264-265). Lebih lanjut, dalam bahasa Funk dan Seamon, komisi
independen itu tidak jarang mempunyai kekuasaan ”quasi legislative”,
-
24
“executive power”, dan “quasi judicial” (Frunk dan Seamon dalam Denny
Indrayana, 2008:266).
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Jimly Asshidiqie. Jimly
berpendapat, “komisi negara independen adalah organ negara (state organs)
yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, namun justru mempunyai fungsi
campur sari ketiganya” (Jimly Asshidiqie dalam Denny Indrayana,
2008:265-266).
Dalam kesempatan lain, Jimly Asshidiqie menamakan state auxiliary
organs sebagai self regulatory agencies atau independent supervisory
bodies, yaitu “lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix
function) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi
penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara
bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut” (Jimly Asshidiqie, 2006:8).
Di beberapa negara, state axuiliray organs ini juga menjadi organ
konstitusi, misalnya di Afrika Selatan dan Thailand. Dalam Pasal 181 ayat
(1) konstitusi Afrika Selatan, menyebutkan ada Human Rights Commisions,
Commission for the Promotion and Protection of the Rights of Cultural,
Religious and Linguistic Communities, Commision for Gender Equality, dan
Electortal Commision. Sedangkan di Thailand, Pasal 75 konstitusinya
Thailand mengatur bahwa negara wajib menyediakan anggaran bagi komisi
negara independen, seperti: Election Comission, Ombudsmen, National
Human Rights Comission, National Counter Corruption Comission, dan
State Audit Commision (Denny Indrayana, 2008:266).
c. Jenis State Auxiliary Organs di Indonesia
Kehadiran state auxiliary organs di Indonesia bak jamur di musim
penghujan. Lembaga ini terus berkembang seiring dengan konsep rekatif-
responsif yang berada dalam benak penguasa. Konsep yang demikian tidak
selalu salah, akan tetapi perlu diadakan perubahan paradigma berpikir yang
-
25
lebih komprehensif dalam pembentukan suatu lembaga negara, sehingga
menghasilkan lembaga negara yang preventif-solutif.
Merujuk pada pendapat Asimow, yang menyebut bahwa state
auxliary organs adalah “units of government created by statute to carry out
spesific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall
in the excecutive branch, but some important agencies are indepedent”,
state auxiliary organs di Indonesia dibedakan atas independent regulatory
bodies dan executive branch agencies. Berikut adalah tabel daftar
independent regulatory bodies dan executive branch agencies di Indonesia.
Tabel 1
Jenis Independent Regulatory Bodies
No Komisi Dasar Hukum
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Komisi Yudisial
Komisi Pemilihan Umum
Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia
Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan
Komisi Pengawas Persaingan
Usaha
Komisi Ombudsman Nasional
Komisi Penyiaran Indonesia
Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Komisi Perlidungan Anak
Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (sudah tidak ada)
Dewan Pers
Pasal 24 B UUD 1945 dan UU
No. 22 Tahun 2004
Pasal 22 E UUD 1945 dan UU
No. 12 Tahun 2003
Keppres No. 48 Tahun 2001
dan UU No. 39 Tahun 1999
Keppres No. 181 Tahun 1998
UU No. 5 Tahun 1999
UU No. 37 Tahun 2008
UU No. 32 Tahun 2002
UU No. 30 Tahun 2002
UU No. 23 Tahun 2002 dan
Keppres No. 77 Tahun 2003
UU No. 27 Tahun 2004
UU No. 40 Tahun 1999
-
26
12.
13.
Dewan Pendidikan
Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan
UU No. 20 Tahun 2003
Keppres No. 81 Tahun 2003
(Sumber: Denny Indrayana, 2008:270-271, dengan perubahan seperlunya
oleh penulis)
Tabel 2
Jenis Executive Branch Agencies
No Nama Lembaga Dasar Hukum
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Komisi Hukum Nasional
Komisi Kepolisian
Komisi Kejaksaan
Dewan Pembina Industri
Strategis
Dewan Riset Nasional
Dewan Buku Nasional
Dewan Maritim Indonesia
Dewan Ekonomi Nasional
Dewan Pengembangan Usaha
Nasional
Komite Nasional Keselamatan
Transportasi
Komite Antar Departemen
Bidang Kehutanan
Komite Akreditasi Nasional
Komite Penilaian Independen
Komite Olahraga Nasional
Indonesia
Komite Kebijakan Sektor
Keuangan
Keppres No. 15 Tahun 2000
UU No. 2 Tahun 2002
UU No.16 Tahun 2004 dan
Perpres No. 18 Tahun 2005
Keppres No. 40 Tahun 1999
Keppres No. 94 Tahun 1999
Keppres No. 110 Tahun 1999
Keppres No. 161 Tahun 1999
Keppres No. 144 Tahun 1999
Keppres No. 165 Tahun 1999
UU No. 41 Tahun 1999 dan
Keppres No. 105 Tahun 1999
Keppres No. 80 Tahun 2000
Keppres No. 78 Tahun 2001
Keppres No. 99 Tahun 2001
Keppres No. 72 Tahun 2001
Keppres No.89 Tahun 1999
-
27
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
Komite Standar Nasional untuk
Satuan Ukuran
Komite Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-bentuik
Pekerjaan Terburuk untuk Anak
Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan
Dewan Gula Nasional
Dewan Ketahanan Pangan
Dewan Pengembangan Kawasan
Timur Indonesia
Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah
Dewan Pertahanan Nasional
Badan Narkotika Nasional
Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana dan
Pengungsi
Badan Pengembagan Kapet
Badan Koordinasi
Pengembangan TKI
Badan Pengelola Gelora Bung
Karno
Badan Pengelola Kawasan
Kemayoran
BRR Propinsi NAD dan Kep.
Nias Sumatera Utara
Badan Sertifikasi Profesi
Badan Pengatur Jalan Tol
Badan Pendukung
Pengembangan Sistem
PP No. 102 Tahun 2000
Keppres No. 12 Tahun 2000
Keppres No. 54 Tahun 2005
Keppres No. 23 Tahun 2003
Keppres No. 132 Tahun 2001
Keppres No. 44 Tahun 2002
Keppres No. 151 Tahun 2000
UU No. 3 Tahun 2003
Keppres No. 17 Tahun 2002
Keppres No. 3 Tahun 2001 jo.
Keppres No. 111 Tahun 2001
Keppres No. 150 Tahun 2002
Keppres No. 29 Tahun 1999
Keppres No. 72 Tahun 1999
Keppres No. 73 Tahun 1999
Perpu No. 2 Tahun 2005
PP No. 23 Tahun 2004
PP No. 15 Tahun 2005
PP No. 16 Tahun 2005
-
28
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
Penyediaan Air Minum
Lembaga Koordinasi dan
Pengendalian Peningkatan
Kesejahteraan Sosial
Penyandang Cacat
Lembaga Sensor Film
Korsil Kedokteran Indonesia
Badan Pengelola Puspiptek
Badan Pengembangan
Kehidupan Bernegara
Dewan Penerbangan dan
Antarikasa Nasional
Lembaga Non Departemen (24
lembaga)
Keppres No. 83 Tahun 1999
PP No. 8 Tahun 1994
UU No. 29 Tahun 2004
Keppres No. 43 tahun 1976
Keppres No. 85 Tahun 1999
Keppres No. 132 Tahun 1998
Keppres No. 3 Tahun 2002
perubahan Keppres No. 103
Tahun 2001
(Sumber: Denny Indrayana, 2008:272-273)
3. Tinjauan tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Untuk menindaklanjuti amanat Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, pada tanggal 27
Desember 2002, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya
disebut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan salah satu gagasan awal
pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak terlepas dari performance
capaian lembaga penegak hukum yang ada. Terkait dengan hal itu, konsideran
undang-undang ini menyatakan, lembaga pemerintah yang menangani perkara
tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam
memberantas korupsi.
-
29
Berkenaan dengan hal tersebut, Saldi Isra (2009:184) berpendapat:
Karena disfungsi itu, praktik korupsi menjadi tidak terkendali yang
secara sistematis menghancurkan perekonomian nasional. Dampaknya
tidak hanya terbatas pada kehidupan ekonomi, tetapi juga berujung
pada pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat. Dengan kondisi itu, politik hukum pembentukan UU No.
30 Tahun 2002 meletakkan korupsi sebagai extraordinary crime.
Dengan kategori extraordinary crime, penegakan hukum (law
enforcement) pemberantasan korupsi juga menghendaki cara-cara yang
luar biasa, yaitu dengan membentuk KPK sebagai sebuah badan
khusus.
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan sebuah lembaga negara
yang melaksanakan tugas dan wewenagnya bersifat independen bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun. Pembentukan lembaga ini dilatarbelakangi
kebutuhan untuk melakukan pemberantasan korupsi secara sistematis,
mengingat tindak pidana korupsi telah digolongkan sebagai salah satu
kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Jauh sebelum komisi ini lahir, telah ada beberapa komisi atau tim yang
mendahuluinya, yaitu:
a) Tim Pemberantas Korupsi yang dibentuk berdasar Keppres Nomor 228
tahun 1967;
b) Tim Komisi Empat yang dibentuk berdasar Keppres Nomor 12 Tahun
1970, yang kemudian di tahun yang sama diusung nama baru yaitu Komite
Anti Korupsi;
c) Tim Operasi Ketertiban (Opstib) yang dibentuk berdasar Inpres Nomor 9
Tahun 1977;
d) Tim Pemberantas Korupsi yang dibentuk lagi pada tahun 1982 meski
Keppres yang mengatur tugas dan kewenanagan tim ini tidak pernah
diterbitkan;
e) Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara yang dibentuk
berdasar Keppres Nomor 127 tahun 1999;
f) Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk
berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2000.
-
30
Lazimnya sebuah lembaga, komisi ini pun memiliki visi dan misi
kelembagaan.Visi Komisi Pemberantasan Korupsi adalah ”Mewujudkan
Indonesia yang Bebas Korupsi”. Visi tersebut merupakan visi yang cukup
sederhana namun mengandung penegertian yang mendalam. Visi ini
menunjukan suatu tekad kuat dari Komisi Pemeberantasan Korupsi untuk
segera dapat menuntaskan segala permaslahan yang menyangkut korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Pemberantasan korupsi memerlukan waktu yang tidak
sedikit mengingat masalah korupsi ini tidak akan dapat ditangani secara
instan, namun diperlukan suatu penanganan yang komprehensif dan
sistematis.
Selanjutnya, misi dari Komisi Pemberantasan Korupsi adalah
”Penggerak Perubahan Untuk Mewujudkan Bangsa yang Antikorupsi”.
Dengan misi tersebut diharapkan nantinya komisi ini dapat menjadi sebuah
lembaga yang mampu membudayakan antikorupsi di masyarakat, pemerintah,
dan swasta di Indonesia. Komisi sadar, tanpa adanya partisipasi komponen
masyarakat, pemerintah, dan swasta secara koMajelis Permusyawaratan
Rakyatehensif, upaya pemberantasan korupsi akan kandas di tengah jalan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 tahun
2002, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan
Korupsi berasaskan pada:
a) kepastian hukum;
b) keterbukaan;
c) akuntabilitas;
d) kepentingan umum; dan
e) proporsionalitas.
Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002,
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki tugas sebagai berikut.
a) koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
b) supervisi terhadap instansi yang berewenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
-
31
c) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi;
d) melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana koruspi; dan
e) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Lebih lanjut, sesuai dengan ketentuan Pasal 7 undang-undang ini,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a) mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi;
b) menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
c) meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
kepada instansi yang terkait;
d) melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e) meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas unsur pemerintah
dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh
masyarakat tehadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap
melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Untuk dapat diangkat sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi, seseorang harus memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Pasal 29
undang-undang ini, yaitu:
a) warga negara Republik Indonesia;
b) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c) sehat jasmani dan rohani;
d) berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan
pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang
hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan;
-
32
e) berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi
tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan;
f) tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g) cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi
yang baik;
h) tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
i) melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi
anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;
j) tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi; dan
k) mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas lima orang yang
merangkap sebagai anggota yang kesemuanya adalah pejabat negara, selain itu
kepemimpinan di lembaga ini bersifat kolegial. Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama empat tahun dan dapat
dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam hal terjadi
kekosongan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden mengajukan
calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun struktur
organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi adalah:
a) Pimpinan, yang terdiri dari seorang ketua merangkap anggota dan empat
orang wakil ketua merangkap anggota;
b) Penasihat yang terdiri dari empat orang;
c) Deputi Bidang Pencegahan, yang terdiri dari:
(1) Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara;
(2) Direktorat Gratifikasi;
(3) Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan
(4) Direktorat Penelitian dan Pengembangan.
d) Deputi Bidang Penindakan, yang terdiri dari:
(1) Direktorat Penyelidikan;
-
33
(2) Direktorat penyidikan; dan
(3) Direktorat Penuntutan.
e) Deputi Bidang Informasi dan Data, yang terdiri dari:
(1) Direktorat Pengolahan Informasi dan Data; dan
(2) Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi; dan
(3) Direktorat Monitoring.
f) Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, yang
terdiri dari:
(1) Direktorat Pengawasan Internal; dan
(2) Direktorat Pengaduan Masyarakat.
g) Sekretariat Jenderal, yang terdiri dari:
(1) Biro Perencanaan dan Keuangan;
(2) Biro Umum; dan
(3) Biro Sumberdaya Manusia.
Lebih lanjut, terdapat bebarapa larangan bagi pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi, tim penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, dan
para pegawai di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi. Larangan
tersebut diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, yaitu:
a) larangan mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan
tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana
korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan
apapun;
b) larangan menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya
mempunyai hubungan sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau
ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota Komisi Pemberantasan
Korupsi yang bersangkutan;
c) larangan menjabat komisaris atau direksi suatu jabatan perseroan,
organisasi yayasan, pengawas, atau pengurus koperasi, dan jabatan profesi
lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut.
-
34
4. Tinjauan tentang Good Governance
a. Pengertian dan Asas-Asas Good Governance
Konsep good governance ini sudah lama berkembang, bermula
dari adanya rasa takut (fear) sebagian masyarakat terhadap freies ermessen
yang memberikan wewenang kepada pejabat negara atau adminstrasi
untuk bertindak sendiri di luar peraturan perundang-undangan.
Kewenangan yang diberikan ini dikhawatirkan akan menimbulkan
kerugian bagi masyarakat sehingga muncullah yang dinamakan prinsip
umum pemerintahan yang baik atau the general principle of good
administration.
Istilah kepemerintahan atau dalam Bahasa Inggris “governance”
adalah “the act, fact, manner of governing” yang berarti tindakan, fakta,
pola, dan kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Kooiman
seperti yang dikutip Sedarmayanti governance lebih merupakan
“…serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan
masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan
masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan
tersebut” (Sedarmayanti, 2004:2).
Cagin dalam buku Syakrani dan Syahriani mengemukakan, konsep
governance merujuk pada institusi, proses, dan tradisi yang menentukan
bagaimana kekuasaan diselenggarakan, keputusan dibuat, dan suara warga
“didengar” (Governance refers to the institutions, processes and traditions
which define how power is exercised, how decisions are made, and how
citizens have their say). Lebih lanjut, definisi standar konsep governance
merujuk pada formulasi Bank Dunia yang mengemukakan, “governance
as the manner in which power is exercised in management of a country’s
economic and social resources for development” (Syakrani dan Syahriani,
2009:121).
United Nations Development Program (UNDP) dalam dokumen
kebijakanya yang berjudul ”Governance For Sustainable Human
Development”, (1997), mendefinisikan kepemerintahan (governance)
-
35
sebagai berikut: ”Governance is the exercise of economic, political, and
administrative authority to manage a coutry’s affair at all levels and
means by which states promote social cohesion, integration, and ensure
the well being of their population”. (Kepemimpinan adalah pelaksanaan
kewenangan atau kekuasaan di bidang ekonomi, politik dan administratif
untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan
merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya
kondisi kesejahteraan integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat)
(Sedarmayanti, 2004:3).
Good governance merupakan isu sentral yang paling mengemuka
dalam pengelolaan administrasi publik belakangan ini. Pola lama
penyelenggaraan pemerintahan kini sudah tidak sesuai lagi dengan
dinamika masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, sudah
sewajarnya bila hal ini direspons oleh pemerintah dengan melakukan
perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintah
yang baik. Lebih lanjut, terselenggaranya good governance merupakan
prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai
tujuan dan cita-cita bangsa dan negara.
Hal ini sesuai dengan pendapat dari Rogers W’O Okot-Uma
(2000:1) yang mengatakan bahwa:
Good Governance is a concept that has recently come into regular
use in political science, public administration and, more
particularly, development management. It appears alongside such
concepts and terms as democracy, civil society, popular
participation, human rights and social and sustainable
development. In the last decade, it has been closely associated with
public sector reform.
Lebih lanjut, Saladin Al Jurf (1999:1) menambahkan:
The market-friendly approach to development in the 1990s has
coincided with a movement to promote "good governance" in
nations throughout the world. Governments cannot engage in good
governance - i.e., good management of the country – without
promoting "transparency". This usually means managing
government institutions according to clear and accessible rules (i)
that make government officials and agencies accountable to the
-
36
country's citizens and (ii) that