digilib.uns.ac.id/analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user analisis...

121
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA YANG DIPUTUS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Putusan Nomor : 030/SKLN-IV/2006) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Raditya Gumelar Mahardika NIM. E0008068 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Upload: lycong

Post on 06-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG

(AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

ANTAR LEMBAGA NEGARA YANG DIPUTUS

OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI

(Studi Putusan Nomor : 030/SKLN-IV/2006)

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna

Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

Raditya Gumelar Mahardika

NIM. E0008068

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

Page 2: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 3: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 4: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 5: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ABSTRAK

Raditya Gumelar M, E0008068. 2012. ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA YANG DIPUTUS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Putusan Nomor : 030/SKLN-IV/2006), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Konstitusi Indonesia belum mengatur secara jelas mengenai lembaga negara apa saja yang mendapat kewenangan dari UUD 1945. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN), seiring berjalannya waktu terjadi problematika dalam proses beracaranya dimana terjadi kekosongan hukum mengenai bagaimana kedudukan hukum dari lembaga negara penunjang dalam mengajukan permohonan SKLN karena kewenangannya yang disebutkan eksplisit di UUD 1945.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam penyelesaian SKLN yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dan untuk mengetahui implikasi yuridis adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 030/SKLN-IV/2006 terhadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam SKLN.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis bahan yang digunakan meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yaitu studi dokumen dengan teknik analisis berupa metode logika deduktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan mengenai legal standing lembaga negara penunjang untuk mengajukan permohonan sebagai para pihak pada SKLN di Mahkamah Konstitusi sah-sah saja, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara . Dengan merujuk pada legitimasi Hakim Konstitusi hendaknya dilakukan penafsiran yang lebih luas dalam menentukan subjectum litis dan objectum litis pada hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Selain itu Hakim Konstitusi juga perlu melakukan interpretasi yang dibatasi sesuai dengan konteks yang tepat, yaitu bentuk pemberian kekuasaan terhadap lembaga tersebut yang harus atributif dan derivatif yang tidak mengandung hierarki. Kemudian implikasi yuridis dari Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006 adalah adanya diskriminasi terhadap kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara penunjang dalam proses hukum acara SKLN dimana Hakim Konstitusi masih menafsirkan secara sempit dan tekstual makna “lembaga negara” dalam Pasal 61 UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Kosntitusi.

Kata Kunci : Mahkamah Konstitusi, Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara, Lembaga Negara Penunjang

Page 6: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ABSTRACT

Raditya Gumelar M, E0008068. 2012. ANALYSIS OF THE LEGAL STANDING OF AN AUXILIARY STATE ORGAN) IN A DISPUTE BETWEEN AUTHORITIES OF THE STATE ORGANS WERE DISPUTE BY THE CONSTITUTIONAL COURT (Study Decision Number : 030/SKLN-IV/2006), Faculty of Law Sebelas Maret University.

Constitution Indonesia not arranged regarding state organs any kind of getting authorities of UUD 1945. One of authorities of Constitutional Court is decision of dispute between authorities of the state organs (SKLN), along the time happened problematc in course of attend legal procedure it where happened blankness of law about legal standing of auxiliary state organs in apply SKLN because its which mentioned by eksplisit in UUD 1945.

Main Purposes of this research is to know the legal standing of auxiliary state organ in dispute of settlements authority between state organs were dispute by the Constitutional Court (MK) and to know the implications of the Constitutional Court Decision Number : 030/SKLN-IV/2006 on the legal standing of the auxiliary state organ to supporting in dispute of settlements authority between state organs.

This research is normative legal research that is spatially descriptive research. This research use secondary data, where it has primary material law and secondary material law. It use library technic methodology with technic analyse in the form of deductive logic method.

The result of research showed the provision regarding the supporting legal standing of auxiliary state organs to apply a matter as a party in dispute of settlements authority between state organs at the Constitutional Court can do it just as stipulated in Article 3 Paragraph 1 Rules of MK Number 08/PMK/2006 about Guidance Attend legal procedure in a dispute between authorities of the state organs. With reference to the legitimacy of the Judge of Constitution should be conducted an wider interpretation of the determining subjectum litis and objectum litis to the event law of dispute of settlements authority between state organs. The judge also need to make an interpretation of the constitution that is bounded in accordance with the rights context, which is the form of power over the state organs must be attributive and derivative does not contain a hierarcy. And then juridicial implication of the Constitutinal Court Decision Number 030/SKLN-IV/2006 were the discrimination against legal standing from auxiliary state organ in a process dispute of settlements authority between state organs that the constitution judge had still interpretation in a narrow manner an textual meaning of “state organs” in Article 61 of Act Number 24/2003 jo. Act Number 8/2011 about Constitutional Court

Keyword : Constitutional Court, A Dispute Between Authorities Of The State Organs, Auxiliary State organs

Page 7: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

MOTTO

Man Shabara Zhafira (Siapa yang bersabar pasti beruntung)

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal

dan hanya kepadaNya lah aku kembali”

(Q.S. Hud:88)

Hidupmu adalah Perjuanganmu, Perjuanganmu adalah Suksesmu

(Penulis)

Page 8: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PERSEMBAHAN

Penulisan hukum ini penulis persembahkan untuk :

Allah SWT

Terima kasih untuk rahmat, karunia, dan hidayahMu

Bapak Widodo

Ibu Muning Hartiwi

Terima kasih untuk doa, perhatian, cinta dan kasih yang mengalir tiada henti

Ibu M. Madalina, S.H., M.Hum dan

Bapak Jatmiko Anom Husodo, S.H., M.H

Terima kasih telah membimbing dengan sabar dan pemberian ilmu yang ikhlas

hingga penulisan hukum ini selesai

Very Puspita Indriyanti

Thank’s for every your laugh, spirit and love

Semua pihak yang telah membantu penulisan hukum ini

Page 9: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahNya

sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi)

yang berjudul “ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA

PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA

KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA YANG DIPUTUS OLEH

MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Putusan Nomor : 030/SKLN-IV/2006)”

dengan baik dan tepat pada waktunya.

Penulisan hukum ini membahas mengenai kedudukan hukum bagi

lembaga negara sebagai para pihak dalam sengekta kewenangan antar lembaga

negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 24C UUD 1945

disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk memutus

sengketa kewenangan antar lembaga negara, namun definisi dari kata “sengketa

kewenangan” dan “lembaga negara” tidak dijelaskan secara rinci dalam konstitusi.

Dalam penelitian ini, dibahas mengenai lembaga negara mana saja yang dapat

bersengketa di Mahkamah Konstitusi selain itu dijelaskan bagaimana konstitusi

melihat kedudukan dari lembaga negara penunjang dalam sehingga dari

kedudukan tersebut dapat diketahui kedudukan hukum lembaga negara penunjang

dalam hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Selanjutnya juga

dibahas implikasi yuridis Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006 terhadap

eksistensi lembaga negara penunjang sebagai pihak dalam sengketa kewenangan

antar lembaga negara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ibu M.Madalina, S.H., M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu M.Madalina, S.H., M.Hum selaku Pembimbing I Penulisan Hukum

(Skripsi) yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan

Page 10: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

bimbingan, saran, kritik, dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan

penulisan hukum ini.

4. Bapak Jatmiko Anom Husodo, S.H., M.H yang telah memberikan bimbingan,

arahan, motivasi, saran, dan kritik bagi penulis dalam menyusun Penulisan

Hukum (Skripsi) ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama

menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta.

6. Segenap karyawan Fakultas Hukum UNS, yang telah memberikan

pengalaman yang berharga bagi penulis ketika menjalani masa perkuliahan

dan organisasi.

7. Kedua orang tua, Bapak Widodo dan Ibu Muning Hartiwi, Saudaraku Rizki

Widyaningrum dan Ajeng Apriliana serta keluarga di Magetan dan Jogja.

8. Segenap staf Mahkamah Konstitusi yang telah banyak memberikan ilmu dan

pengalaman yang luar biasa selama penulis melaksanakan kegiatan magang

serta teman-teman Magang, Yusuf, Trisna, Sap Wulandari, Asri Triaji, Rio S,

Ratu, Dwi dan Mas Gegana.

9. Very Puspita Indriyanti yang telah memberikan doa dan semangat bagi

Penulis

10. Sahabatku ((Unyu Kost)): Asri Triaji, Kurniawan Putra, R.Giazh, Hamdan

Rahmat, Johan Candra, Arif Satriantoro, Mas Hafidz, Mas Prastowo, Hari

Cahyadi.

11. Organisasiku BEM FH UNS dan Teman-Teman Angkatan 2008 dan KASASI

2011 terimakasih untuk segala bekal ilmu dan pengalaman yang luar biasa

yang diberikan kepada penulis.

Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada

semua pihak, baik untuk akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.

Surakarta, Mei 2012

Penulis

Page 11: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ iv ABSTRAK ...................................................................................................... v ABSTRACT ..................................................................................................... vi HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... viii KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix DAFTAR ISI ................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ……………. ...................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ ........ xvi BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................. 6

C. Tujuan Penelitian ................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian ................................................................. 8

E. Metode Penelitian ................................................................. 9

F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ...................................................................... 15

1. Tinjauan Umum mengenai Kedudukan Hukum ............... 15

a. Pengertian Kedudukan Hukum Secara Umum........... 15

b. Pengertian Kedudukan Hukum dalam

Mahkamah Kosntitusi .............................................. 16

c. Kedudukan Hukum dalam Sengketa Kewenangan

Antar Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi ...... 16

2. Tinjuan Umum mengenai Lembaga Negara ..................... 19

a. Pengertian Lembaga Negara ...................................... 19

b. Pengertian Lembaga Negara Penunjang .................... 23

3. Tinjauan Umum mengenai Sengketa Kewenangan Antar

Page 12: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Lembaga Negara (SKLN) ................................................ 27

a. Pengertian SKLN ...................................................... 27

b. Wewenang Mahkamah Kosntitusi Memutus SKLN . 30

c. Mekanisme Hukum Acara Sengketa Kewenangan

Antar Lembaga Negara Oleh Mahkamah Konstitusi . 35

4. Tinjauan Umum mengenai Mahkamah Konstitusi ............ 36

a. Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi . 36

b. Fungsi Mahkamah Konstitusi..................................... 37

B. Kerangka Pemikiran .............................................................. 38

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Lembaga Negara Penunjang

Dalam Penyelesaian Sengketa Kewenangan Antar

Lembaga Negara Oleh Mahkamah Konstitusi .......................... 40

1. Kualifikasi Kewenangan Lembaga Negara Menurut

UUD 1945 ......................................................................... 40

a. Organ Lapis Pertama atau Lembaga Tinggi Negara 48

b. Organ Lapis Kedua atau Lembaga Negara ............... 57

c. Organ Lapis Ketiga atau Lembaga Daerah .............. 61

2. Penafsiran Kedudukan Hukum Lembaga Negara

dalam Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara ..... 71

B. Implikasi Yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 Tehadap

Kedudukan Hukum Lembaga Negara Penunjang Dalam Sengketa

Kewenangan Antar Lembaga Negara ...................................... 79

1. Kedudukan Hukum Para Pihak ........................................ 79

2. Alasan Permohonan .......................................................... 83

3. Amar Putusan ................................................................... 88

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................ 102

1. Kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam

penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara

oleh Mahkamah Konstitusi ................................................ 102

Page 13: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2. Implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006

terhadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang

dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara .......... 103

B. Saran ...................................................................................... 103

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 106 LAMPIRAN

Page 14: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ketentuan Mengenai SKLN Menurut Mahkamah Konstitusi ......... 94

Tabel 2. Kedudukan Hukum Para Pihak Dalam SKLN ................................ 95

Page 15: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Kerangka Pemikiran …………………………………………………………………………. 38

Page 16: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 030/SKLN-IV/2006 tentang Sengketa antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Presiden RI qq Menteri Komunikasi dan Informasi RI

Page 17: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terdapat tiga fungsi kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori

hukum maupun politik, yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Baron

de Montesquiue mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara itu

dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya

boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri

urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian kebebasan

akan terancam. Konsepsi yang kemudian disebut dengan trias politica tersebut

tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan

bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan

salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini

menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin

saling bersentuhan dan bahkan ketiganya besifat sederajat dan saling

mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances

(Jimly Asshiddiqie, 2010: 1).

Berawal dari konsepsi diatas, Indonesia melakukan perubahan

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD 1945) yang dilaksanakan sejak tahun 1999 sampai dengan 2002.

Tuntutan perubahan atas UUD 1945 yang digulirkan tersebut didasarkan

pandangan bahwa UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances

antar cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) dan untuk menghindari

penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak melampaui wewenang (Dahlan

Thalib, 1996: 64). Selain itu, UUD 1945 tidak cukup memuat landasan bagi

kehidupan demokratis, pemberdayaan masyarakat dan penghormatan terhadap

hak asasi manusia. Aturan UUD 1945 juga banyak yang menimbulkan

multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan yang otoriter,

Page 18: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sentralistik, tertutup dan korupsi kolusi nepotisme. Tuntutan tersebut

diwujudkan dalam empat kali amandemen UUD 1945.

Setelah UUD 1945 diamandemen baik melalui perubahan pertama,

kedua, ketiga dan keempat struktur ketatanegaraan di Indonesia juga

mengalami perubahan. Amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa

lembaga demokrasi baru seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD),

Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Kemudian, pada masa reformasi,

struktur ketatanegaraan Indonesia diwarnai dengan munculnya lembaga-

lembaga atau komisi-komisi independen yang membantu, mengontrol dan

mengawasi jalannya pemerintahan, misalnya: Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi

Pemilihan Umum dan lain sebagainya. Selain itu, adanya amandemen UUD

1945 juga mengubah kedudukan MPR yang tidak lagi sebagai lembaga

tertinggi negara melainkan berubah menjadi lembaga tinggi negara yang

kedudukannya sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang lain.

MPR terdiri dari dua kamar atau bicameral yang terdiri dari DPR dan DPD,

yang kedudukannya sederajat dengan Presiden dan Mahkamah Agung,

Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Ketiga cabang kekuasaan

legislatif, eksekutif dan yudikatif tersebut sama-sama sederajat dan saling

mengontrol satu sama lain dengan prinsip checks and balances (Jimly

Asshiddiqie, 2010: 2).

Adanya perubahan kedudukan MPR menyebabkan terjadinya

perubahan pada tatanan hubungan antar lembaga negara, hubungan antar

lembaga negara tidak lagi terstruktur secara hierarkis melainkan tersusun

secara fungsional, dimana konstitusi memberikan fungsi kepada masing-

masing lembaga negara. Artinya adalah dengan perubahan tersebut akan

mempertegas dianutnya sistem pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and

balances” diantara lembaga-lembaga tinggi negara. Dengan adanya prinsip

“checks and balances” maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan

dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh

aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang

Page 19: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat

dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.

Sebuah konsepsi pembentukan lembaga negara bukan saja diartikan

sebagai lembaga masyarakat. Namun, lembaga ini dapat berada dalam ranah

legislatif, eksekutif maupun yudikatif maupun yang bersifat campuran.

Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa lembaga ini berkembang pesat

baik di tingkat nasional maupun daerah. Di tingkat pusat, ada empat tingkatan

untuk membedakannya diantaranya:

1. lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih

lanjut dalam Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan

Presiden (Perpres), dan Keputusan Presiden (Keppres);

2. lembaga yang dibentuk berdasarkan UU yang diatur dan ditentukan lebih

lanjut dengan PP, dan Keppres;

3. lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan

Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusa Presiden;

4. lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan

lebih lanjut dengan Keputusan Menteri atau keputusan pejabat dibawah

menteri.

Sedangkan lembaga yang ada di daerah, tidak disebut sebagai lembaga

negara melainkan disebut lembaga daerah, sepanjang bekerjanya dibiayai oleh

anggaran belanja negara atau daerah, dan bukan dimaksudkan sebagai

lembaga swasta atau lembaga masyarakat (Jimly Asshiddiqie, 2008: 340-350).

Secara rinci, Jimly Asshiddiqie mengidentifikasi 34 lembaga negara

yang disebut dalam UUD 1945 baik secara eksplisit maupun implisit. Diluar

lembaga yang disebut dalam UUD 1945, struktur ketatanegaraan Indonesia

juga diramaikan dengan sejumlah komisi atau lembaga yang sering disebut

sebagai lembaga independent. Lembaga independen ini sering disebut sebagai

auxiliary state organs¸atau disebut lembaga negara penunjang. Lembaga ini

ada yang disebut dalam aturan hukumnya sebagai lembaga negara, lembaga

tersebut antara lain KOMNAS HAM, KPK, KPI, KPAI, LPSK dan

Ombudsman Republik Indonesia (ORI) (Jimly Asshiddiqie, 2010: 4).

Page 20: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Dengan adanya berbagai struktur kelembagaan negara dan adanya

hubungan antar kelembagaan yang saling mengontrol dan mengimbangi

(checks and balances) tersebut diatas, tentunya memungkinkan terjadinya

sengketa antar lembaga negara, khususnya yang terkait dengan kewenangan

kosntitusional. Hubungan antara satu lembaga dengan lembaga yang lain

diikat oleh prinsip checks and balances, dimana lembaga-lembaga tersebut

diakui sederajat tetapi saling menegendalikan satu sama lain. Sebagai akibat

adanya mekanisme hubungan sederajat itu, timbul kemungkinan dalam

melaksanakan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam

menafsirkan UUD 1945. Jika timbul persengketaan terdapat semacam itu,

diperlukan organ tersendiri yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal

itu. Dalam sistem ketatanegaraan yang telah diadopsikan dalam UUD 1945,

mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui

proses peradilan tata negara, yaitu melalui lembaga yang dibentuk tersendiri

dengan nama Mahkamah Konstitusi (Jimly Asshiddiqie, 2005: 2).

Kewenangan penyelesaian sengketa tersebut, dalam praktek negara-negara

sejak abad ke-20, menurut I Dewa Gede Palguna, memang lazimnya diberikan

kepada Mahkamah Konstitusi, karena lembaga negara inilah yang memiliki

fungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution). Bahkan,

kewenangan demikian harus dianggap ada, walaupun konstitusi tidak secara

tegas menyatakannya (I Gede Dewa Palguna, 2008: 6).

Dengan demikian, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang

ditegaskan kembali dengan Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai d Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), dijelaskan bahwa kewenangan

Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945;

memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN) yang

kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai

politik; memutus perselisihan hasil pemilihan umum dan memberikan

keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah

melakukan pelanggaran hukum,atau perbuatan tercela atau tidak memenuhi

Page 21: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam UUD

1945. Mengenai persoalan SKLN telah dibuat ketentuan perundangan yang

lebih teknis dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor

08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam SKLN. Kemudian sesuai

dengan pasal 61 ayat (1) UU MK dijelaskan yang menjadi objek sengketa

adalah persengketaan mengenai kewenangan konstitusional antar lembaga

negara. Sedangkan subjek sengketa adalah seluruh lembaga negara yang

kewenangannya diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945 kecuali Mahkamah

Agung tidak dapat bersengketa.

Terkait dengan penyelesaian perkara memutus SKLN yang

kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, sejak 2003 sampai sekarang,

terdapat 12 perkara yang diterima dan telah diputus oleh Mahkamah

Kosntitusi. Hasil putusannya, 2 perkara ditolak, 6 perkara tidak dapat diterima

dan empat ditarik kembali (Sekjen & Kepaniteraan MK, 2010: 150).

Salah satu perkara SKLN yang amar putusannya tidak diterima oleh

Mahkamah Konstitusi adalah Perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006 yang

mengadili sengketa antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selaku Pemohon

dengan Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informatika selaku Termohon.

Adapun kewenangan konstitusional yang dipersengketakan adalah sengketa

kewenangan pemberian izin penyelenggaraan penyiaran dan pembuatan aturan

dalam hal penyiaran dimana perintah konstitusi yang dijabarkan melalui Pasal

33 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

mengatur izin penyelenggaraan penyiaran diberikan negara melalui KPI dan

Pemerintah melalui KPI. Akan tetapi, kewenangan konstitusional tersebut

diambil alih oleh Termohon dengan hanya menyampaikan pemberian izin

tersebut kepada Pemohon tanpa memberikan kewenangan pada Pemohon

untuk membuat kebijakan dalam hal pemberian izin penyiaran.

Dalam amar putusannya Hakim Konstitusi menyatakan permohonan

Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) dengan

pertimbangan hukum bahwa KPI sebagai Pemohon tidak memiliki kedudukan

hukum (legal standing) dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara

Page 22: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

karena KPI adalah lembaga negara yang dibentuk dan kewenangannya

diberikan oleh undang-undang bukan UUD 1945, dengan demikian KPI

bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945,

maka KPI tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing)

sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU MK. Komisi Penyiaran

Indonesia sebagai salah satu lembaga negara penunjang dalam putusan

tersebut tidak dianggap keberadaannya sehingga hal ini tidak sesuai

permohonan yang disampaikan KPI. Dimana permohonan tersebut beranjak

dari Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan

pengujian UU 32 tahun 2002 (UU Penyiaran) terhadap UUD 1945 yang dalam

putusannya menyatakan KPI diakui sebagai lembaga negara.

Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis memfokuskan pada analisis

terhadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang (auxiliary state organ)

dalam proses beracara di Mahkamah Konstitusi karena adanya kekosongan

hukum. Hal ini sangat penting dikaji, mengingat dalam peraturan perundang-

undangan tidak secara detail menjelaskan kedudukan hukum para pihak dalam

sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sehingga muncul gagasan

penulisan hukum yang berjudul, “ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM

LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN)

DALAM SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA

YANG DIPUTUS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Putusan

Nomor : 030/SKLN-IV/2006)”.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam suatu penelitian, diperlukan untuk memberi

kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang akan

ditelitinya, sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta

memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan uraian dan

latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

Page 23: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1. Bagaimanakah kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam

penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah

Konstitusi?

2. Bagaimana implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 tehadap

kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa

kewenangan antar lembaga negara?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya,

maka untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya tujuan dari suatu

penelitian. Tujuan penelitian ditemukan secara deklaratif dan merupakan

pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut

(Soerjono Soekanto, 2007: 118-119). Dalam suatu penelitian dikenal ada dua

macam tujuan, yaitu tujuan obyektif dan tujuan subyektif, yang mana tujuan

obyektif merupakan tujuan yang berasal dari tujuan penelitian itu sendiri,

sedangkan yang disebut tujuan subyektif yaitu berasal dari peneliti. Tujuan

obyektif dan subyektif dalam penelitian ini antara lain :

1. Tujuan Obyektif

Tujuan obyektif merupakan tujuan penulisan dilihat dari tujuan

umum yang mendasari peneliti dalam melakukan penelitian. Tujuan

obyektif dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam

penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh

Mahkamah Konstitusi

b. Untuk mengetahui implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-

IV/2006 tehadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam

sengketa kewenangan antar lembaga negara.

Page 24: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2. Tujuan Subyektif

Tujuan subyektif merupakan tujuan penulisan dilihat dari tujuan

pribadi peneliti yang mendasari peneliti dalam melakukan penulisan.

Tujuan subyektif peneliti antara lain :

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti di bidang

Hukum Tata Negara khususnya berkaitan dengan penyelesaian sengketa

kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi

b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di

bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

c. Untuk mengasah dan menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang

telah peneliti peroleh agar dapat memberi manfaat bagi peneliti sendiri

serta memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu

pengetahuan di bidang hukum.

D. Manfaat Penelitian

Dalam suatu penelitian pasti ada manfaat yang diharapkan dapat

tercapai. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran yang

bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan

Hukum Tata Negara pada khususnya

b. Memberikan wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai

kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa

kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh Mahkamah

Konstitusi

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak

terkait, mengenai kedudukan hukum lembaga negara penunjang

Page 25: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh

Mahkamah Konstitusi

b. Untuk memberikan pemikiran alternatif yang diharapkan dapat

digunakan sebagai bahan informasi dalam kaitannya dengan

perimbangan yang menyangkut masalah.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu tulisan atau karangan mengenai

penelitian disebut ilmiah dan dipercaya kebenarannya apabila pokok-pokok

pikiran yang dikemukakan disimpulkan melalui prosedur yang sistematis

dengan menggunakan pembuktian yang meyakinkan, oleh karena itu

dilakukan dengan cara yang obyektif dan telah melalui berbagai tes dan

pengujian.

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Di dalam usaha mencari kebenaran yang ilmiah,

metode penelitian menjadi bagian yang cukup penting dalam menyusun suatu

penelitian. Suatu penelitian ilmiah dapat dipercaya kebenarannya apabila

disusun dengan menggunakan suatu metode yang tepat. Penelitian merupakan

suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang

dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten (Soerjono Soekanto,

2006: 42). Oleh karena itu penelitian merupakan sarana (ilmiah) bagi

pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus

senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya

(Soerjono Soekanto, 2007: 1).

Metode penelitian yang akan dipergunakan peneliti dalam penelitian

hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan

hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum

kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

Page 26: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut

disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan

dengan hubungannya dengan masalah yang diteliti yaitu dalam hal

kedudukan hukum lembaga negara penunjang (auxiliary state organ)

dalam perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara yang diputus

oleh Mahkamah Konstitusi (Soerjono Soekanto, 2007: 10).

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang akan dilakukan ini adalah bersifat deskriptif

yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang

seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejalanya.

Maksudnya adalah mempertegas hipotesis, agar dapat membantu di

dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun

teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1984: 10).

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu peneilitian

normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan

hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu lain untuk

kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah

karakter ilmu hukum sebagai hukum normatif. Dalam kaitannya dengan

penelitian normatif dapat digunakan sebagai berikut (Johny Ibrahim,

2005: 246):

a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)

b. Pendekatan Konsep (conceptual approach)

c. Pendekatan Perbandingan (comparative approach)

d. Pendekatan Kasus (case approach)

Pendekatan tersebut dapat digabung, sehingga dalam suatu

penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau

lebih yang sesuai. Namun dalam suatu penelitian normatif, satu hal yang

pasti adalah penggunaan pendekatan perundang-undangan (statute

approach). Dikatakan pasti karena secara logika hukum, penelitian

Page 27: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

hukum normatif didasarkan pada penelitian yang dilakukan terhadap

bahan hukum yang ada.

Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan pendekatan

perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual

approach), serta pendekatan kasus (case approach). Pendekatan

perundang-undangan secara otomatis dipilih karena kajian penelitian

hukum yang bersifat yuridis-normatif, sedangkan pendekatan konsep

dipilih untuk membantu peneliti memahami filosofi aturan hukum dari

masing-masing ahli hukum serta memahami dasar suatu konsep yang

melandasi suatu aturan hukum. Terakhir, pendekatan kasus dilakukan

dengan cara menelaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan materi

penelitian yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengkaji pertimbangan hakim

dalam memutus suatu perkara.

4. Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tersier. Menurut Peter Mahmud Marzuki,

bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas sedangkan bahan hukum sekunder berupa

semua bahan hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi

(Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141). Bahan hukum yang digunakan

dalam penelitian ini, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer terdiri dari peraturan perundang-

undangan, catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang-

undangan dan putusan hakim. Dalam penelitian ini, bahan hukum

primer yang digunakan yaitu:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.

3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Page 28: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang

Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan antarlembaga

Negara.

5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 030/SKLN-IV/2006

tentang Sengketa Kewenangan antara KPI dengan Presiden qq.

Menteri Komunikasi dan Informasi.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang secara tidak

langsung memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber

data primer. Dalam hal ini berupa buku-buku teks, kamus-kamus

hukum dan jurnal-jurnal hukum yang mendukung penulisan hukum

ini.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk

memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan

hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan

hukum ini adalah studi dokumen. Studi dokumen adalah suatu alat

pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis

dengan menggunakan content analysis (Peter Mahmud Marzuki, 2006:

21). Penulis dalam mengumpulkan bahan hukum dengan cara mencari

peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan yang berkaitan

dengan segala aspek dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara

yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi serta penelusuran buku-buku

dan jurnal nasional maupun internasional yang berkaitan dengan konsep

lembaga negara penunjang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Selanjutnya bahan hukum yang telah didapatkan dianalisis lebih lanjut

sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian.

6. Teknik Analisis

Langkah yang dilakukan setelah memperoleh bahan hukum

adalah menganalisis bahan hukum tersebut. Teknik analisis bahan hukum

Page 29: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

merupakan faktor terpenting dalam penelitian untuk menentukan kualitas

hasil penelitian yaitu dengan analisis data.

Penelitian hukum ini berusaha untuk mengerti atau memahami

gejala yang diteliti untuk kemudian mendeskripsikan data-data yang

diperoleh selama penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan hukum

yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan.

Mengkualitatifkan data adalah fokus utama dari penelitian hukum ini.

Dengan demikian penulis berharap untuk dapat memberikan gambaran

utuh dan menyeluruh bagi fenomena yang diteliti, yaitu seputar

kedudukan hukum bagi lembaga negara penunjang dalam sengketa

kewenangan antarlembaga negara yang diputus oleh Mahkamah

Konstitusi dengan menganalisis Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006.

Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode

penalaran (logika) deduktif, yaitu hal-hal yang dirumuskan secara umum

kemudian ditarik kesimpulan sesuai dengan kasus faktual yang diteliti

atau dianalisa. Dalam UUD 1945 diatur adanya penyelesaian sengketa

kewenangan antar lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya

diberikan kepada Mahkamah Konstitusi kemudian dikualifikasikan

lembaga negara apa saja yang berhak untuk mengajukan permohonan

SKLN menurut Pasal 61 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi

sehingga dalam penelitian ini dapat diindentifikasi apakah lembaga

negara yang bersifat penunjang memiliki kedudukan hukum untuk

mengajukan permohonan SKLN.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika

penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan ilmiah,

maka peneliti menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun

sistematika penulisan hukum terbagi dalam 4 (empat) bab yang tiap bab

Page 30: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan

pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan

hukum ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini, peneliti menguraikan mengenai latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,

dan sistematika penulisan hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini, peneliti menguraikan mengenai kajian pustaka dan teori dari

para ahli maupun doktrin hukum berdasarkan literatur yang berkenaan dengan

permasalahan yang diteliti serta kerangka pemikirannya. Landasan teoritik

tersebut meliputi tinjauan tentang kedudukan hukum, tinjauan tentang

lembaga negara, tinjauan tentang sengketa kewenangan antar lembaga negara,

dan tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi. Selain itu, untuk memudahkan

pemahaman alur berfikir, maka di dalam bab ini juga disertai dengan kerangka

pemikiran.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini, peneliti menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan

sebagai jawaban perumusan masalah. Terdapat dua pokok permasalahan yang

dibahas dalam bab ini, yaitu:

1. kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam penyelesaian

sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi

2. implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 tehadap kedudukan

hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar

lembaga negara

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini, peneliti menguraikan mengenai simpulan dan saran terkait

dengan permasalahan yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 31: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing)

a. Pengertian Kedudukan Hukum (Legal Standing) Secara Umum

Pengertian kedudukan hukum atau legal standing menurut Black’s

Law Dictionary adalah “ A Party’s righ to make legal claim or seek

judicial enforcement of a duty or right” (Henry Campbel, 1999: 1413).

Kemudian menurut ensiklopedi Wikipedia online pengertian legal

standing adalah “Standing or locus standi is the ability of a party to

demonstrate to the court sufficient connection to and harm from the law

or action challenged” (Admin , Legal Standing, http://www. wikipedia.

org/legal/standing, diakses pada Rabu, 8-2-2012 pukul 13.15 WIB).

Intinya adalah legal standing atau kedudukan hukum merupakan

penentu apakah seseorang yang berperkara merupakan subyek hukum

yang telah memenuhi syarat menurut undang-undang untuk mengajukan

perkara di muka pengadilan sebagaimana undang-undang tersebut

mengatur.

Dalam hukum Amerika Serikat, persyaratan legal standing

dikatakan telah terpenuhi jika dapat dikatakan bahwa Penggugat

mempunyai kepentingan nyata dan secara hukum dilindungi (Maruarar

Siahaan, 2005: 81). Yang dimaksud dengan standing atau personae standi

in judicio adalah hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan

atau permohonan didepan pengadilan (standing to sue), yaitu bahwa

pihak tersebut mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu

perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan keputusan

pengadilan (Maruarar Siahaan, 2005: 94). Dalam yurisprudensi Amerika

dikatakan bahwa tiga syarat harus dipenuhi untuk mempunyai standing to

sue, yaitu:

Page 32: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1) adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan

pemohon yang dilindungi secara hukum yang bersifat:

a) spesifikasi atau khusus, dan

b) aktual dalam satu kontroversi dan bukan hanya bersifat potensial;

2) adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara

kerugian dengan berlakunya satu undang-undang;

3) kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang diharapkan, maka

kerugian akan dihindarkan atau dipulihkan. (Maruarar Siahaan, 2005:

81).

Pesyaratan legal standing sebagaimana diatur dalam konstitusi

Amerika Serikat, berbeda dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Pengaturan tentang legal standing di Indonesia tersebar dalam berbagai

ketentuan hukum formil.

b. Pengertian Kedudukan Hukum (Legal Standing) dalam Mahkamah

Konstitusi

Tidak semua orang atau badan hukum boleh mengajukan

permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon. Adanya

kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata

maupun hukum acara tata usaha negara tidak dapat dijadikan dasar

(Maruarar Siahaan, 2005: 81). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi,

memang tidak mengatur mengenai legal standing para pemohon secara

umum. Namun pengertian dan rumusan legal standing pemohon

ditentukan berbeda berdasarkan masing-masing wewenang Mahkamah

Konstitusi. Sehingga pengertian legal standing dalam masing-masing

kewenangan berbeda tergantung dari subjek penyelesaian sengketa oleh

Mahkamah Konstitusi.

c. Kedudukan Hukum (Legal Standing) dalam Sengketa Kewenangan

Antar Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi

Dalam perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara

(SKLN), pihak-pihak yang berperkara di depan Mahkamah Konstitusi

Page 33: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu pihak Pemohon dan pihak

Termohon. Mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak Pemohon dan

pihak Termohon, Hukum Acara SKLN yang diatur dalam Peraturan

Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1) Pemohon

Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap

kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi,

diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain.

Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga negara adalah lembaga

negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan

lembaga negara yang sumbernya diperoleh dari UUD 1945 inilah

yang disebut dengan kewenangan konstitusional. Kewenangan

konstitusional lembaga negara ini dapat berupa wewenang/hak dan

tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945

(Sekjen & Kepaniteraan MK, 2010: 172).

Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi

Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa

Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara diatur, bahwa lembaga

negara yang dapat menjadi pemohon dalam perkara sengketa

kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :

a) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

b) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

c) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

d) Presiden;

e) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);

f) Pemerintahan Daerah (Pemda); atau

g) Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD

1945.

Adanya rumusan hukum tentang pengertian ‘lembaga negara

lain’ menunjukkan, bahwa kemungkinan pemohon lain di luar yang

Page 34: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

telah disebutkan di atas masih terbuka atau ada, tergantung pada

hakim konstitusi. Komisi Pemilihan Umum Pusat misalnya, dapat saja

menjadi pemohon dalam perkara SKLN, tergantung pada bagaimana

hakim menafsirkannya. Pemohon harus mempunyai kepentingan

langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Yang

dimaksud dengan kewenangan yang dipersengketakan ini adalah

kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.

2) Termohon

Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah

mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau

merugikan pemohon. Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah

Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam

Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara diatur, bahwa

lembaga negara yang dapat menjadi termohon dalam perkara sengketa

kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :

a) Dewan Perwakilan Rakyat;

b) Dewan Perwakilan Daerah;

c) Majelis Permusyawaratan Rakyat;

d) Presiden;

e) Badan Pemeriksa Keuangan;

f) Pemerintahan Daerah; atau

g) Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD

1945.

Adanya rumusan hukum tentang pengertian ‘lembaga negara

lain’ menunjukkan, bahwa kemungkinan termohon lain di luar yang

telah disebutkan di atas masih terbuka atau ada, tergantung pada

hakim. Komisi Pemilihan Umum Pusat misalnya, dapat saja menjadi

termohon dalam perkara SKLN, tergantung pada bagaimana hakim

menafsirkannya. Dalam pemeriksaan perkara, pemohon dan termohon

memiliki kedudukan yang sama (equal). Keduanya memiliki

kesempatan dan kebebasan yang sama untuk mengajukan hal-hal

Page 35: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

yang dianggapnya benar menurut hukum. Keduanya juga memiliki

hak dan kebebasan yang sama untuk mengajukan pembelaan dan

bukti-bukti yang dianggap perlu.

Dengan demikian kedudukan pemohon dan termohon

berkaitan dengan pemeriksaan perkaranya bersifat accusatoir

(R.Soesilo, 1979: 11-12). Pemohon dan/atau termohon dapat

didampingi atau diwakili oleh kuasa hukumnya berdasarkan surat

kuasa khusus untuk itu. Dalam hal pemohon dan/atau termohon

didampingi oleh selain kuasanya, pemohon dan/atau termohon harus

membuat surat keterangan yang khusus untuk itu. Surat kuasa khusus

dan surat keterangan khusus tersebut harus ditunjukkan dan

diserahkan kepada majelis Hakim dalam persidangan.

2. Tinjauan tentang Lembaga Negara

a. Pengertian Lembaga Negara

Lembaga Negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki

istilah tunggal dan seragam. Didalam kepustakaan Inggris, untuk

menyebut lembaga negara digunakan istilah political institution,

sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah staat

organen. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara,

organ negara atau badan negara (Firmansyah Arifin dkk, 2005: 29).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), kata “lembaga”

antara lain diartikan sebagai (1) “asal mula (yang akan menjadi sesuatu);

bakal”; (2) “acuan; ikatan”; (3) “badan (organisasi) yang tujuannya

melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu

penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha”. Kamus tersebut juga

memberikan contoh frasa yang menggunakan kata lembaga, yaitu lembaga

pemerintah yang diartikan “badan-badan pemerintahan dalam lingkungan

eksekutif”.

Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu negara atau yang lazim

disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk

Page 36: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

guna melaksanakan fungsi-fungsi negara (Jimly Asshiddiqie, 2010: 32).

Berdasarkan teori-teori klasik mengenai negara setidaknya terdapat

beberapa fungsi negara yang penting seperti fungsi membuat kebijakan

peraturan perundang-undangan (fungsi legislatif), fungsi melaksanakan

peraturan atau fungsi penyelenggaraan pemerintahan (fungsi eksekutif),

dan fungsi mengadili (fungsi yudikatif). Kecenderungan praktik

ketatanegaraan terkini di Indonesia oleh banyak ahli hukum tata negara

dan ahli politik dikatakan menuju sistem pemisahan kekuasaan antara

ketiga pelaksana fungsi negara tersebut.

Sebenarnya, secara sederhana istilah organ negara atau lembaga

negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta,

lembaga masyarakat atau yang biasa disebut Organisasi Non Pemerintah

yang dalam bahasa Inggris disebut Non Government Organizations

(NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai

lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Lembaga

negara ini dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif ataupun

yang bersifat campuran (Jimly Asshiddiqie, 2010: 31).

Namun, baik pada tingkat nasional maupun daerah, bentuk-bentuk

organisasi negara dan pemerintahan itu dalam perkembangan dewasa ini

berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, berdasarkan gagasan

Montesquieu yang terkenal dengan doktrin trias politica-nya, kita tidak

dapat melepaskan diri dari pengertian bahwa lembaga negara itu selalu

terkait dengan tiga cabang alat perlengkapan negara, yaitu legislatif,

eksekutif dan yudikatif. Hingga konsep lembaga negara juga selalu harus

terkait dengan pengertian ketiga cabang kekuasaan itu. (Jimly Asshiddiqie,

2010: 33).

Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga

pemerintahan, lembaga pemerintahan non departemen atau lembaga

negara saja. Ada yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU,

dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan

Presiden. Hierarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada

Page 37: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pembedaan lembaga negara

dari beberapa segi, yaitu :

1) Dari Segi Hierarki

Pembedaan lembaga negara berdasarkan hierarki itu penting

karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap

orang yang menduduki jabatan dalam lembaga negara itu. Mana yang

lebih tinggi dan mana yang lebih rendah perlu dipastikan untuk

menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan besarnya tunjangan

jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada dua kriteria yang

dapat dipakai yaitu, kriteria hierarki bentuk sumber normatif yang

menentukan kewenangannya dan kualitas fungsinya yang bersifat

utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara (Jimly

Asshiddiqie, 2010: 90).

Dari segi hierarkinya dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu:

a) Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara,

yaitu:

(1) Presiden dan Wakli Presiden;

(2) Dewan Perwakilan Rakyat

(3) Dewan Perwakilan Daerah;

(4) Majelis Permusyaratan Rakyat;

(5) Mahkamah Konstitusi;

(6) Mahkamah Agung;

(7) Badan Pemeriksa Keuangan.

b) Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, ada yang

mendapatkan kewenangannya dari UUD 1945 dan ada pula yang

mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang. Yang

mendapat kewenangan dari UUD 1945, misalnya adalah:

(1) Menteri Negara;

(2) TNI;

(3) Kepolisian Negara;

Page 38: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

(4) Komisi Yudisial;

(5) Komisi Pemilihan Umum; dan

(6) Bank Sentral

Dalam UUD 1945, Komisi Pemilihan Umum hanya

disebutkan kewenangan pokoknya, yaitu sebagai lembaga

penyelenggara pemilihan umum. Akan tetapi, nama lembaganya

apa, tidak secara tegas disebut, karena perkataan komisi pemilihan

umum tidak disebut dengan huruf besar. Hal ini tercantum dalam

ketentuan Pasal 22E ayat (5) berbunyi,”Pemilihan umum

diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat

nasional,tetap dan mandiri”. Sedangkan ayat (6)-nya berbunyi,

“Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan

undang-undang”. Oleh karena itu, dapat ditafsirkan bahwa nama

resmi organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan

ditentukan oleh Undang-Undang, Undang-Undang dapat saja

memberi nama kepada lembaga ini bukan Komisi Pemilihan

Umum, tetapi misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama

lainnya.

Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak

tercantum eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD

1945 hanya menyatakan “Negara memiliki suatu bank sentral yang

susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan

independensinya diatur dengan undang-undang”. Bahwa bank

sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama

ini, yaitu “Bank Indonesia” maka hal itu adalah urusan pembentuk

undang-undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral

itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan undang-

undang.

Kemudian lembaga negara yang dibentuk dan mendapat

kewenangan dari undang-undang, yaitu:

(1) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia;

Page 39: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

(2) Komisi Pemberantasan Korupsi;

(3) Komisi Penyiaran Indonesia;

(4) Komisi Pengawasan Persaingan Usaha;

(5) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi;

(6) Komisi Kedokteran Indonesia dan lain sebagainya.

c) Organ lapis ketiga adalah organ konstitusi yang termasuk lembaga

negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau

pembentuk peraturan dibawah Undang-Undang. Misalnya Komisi

Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk

berdasarkan Keputusan Presiden belaka. Artinya, keberadaannya

secara hukum hanya didasarkan atas kebijakan Presiden, jika

Presiden hendak membubarkannya lagi, maka tentu Presiden

berwenang untuk itu. Artinya, keberadaannya sepenuhnya

tergantung kepada kebijakan Presiden (Jimly Asshiddiqie, 2010:

93).

2) Dari Segi Fungsinya

Dalam pembedaan tersebut ada lembaga negara yang dapat

dikategorikan sebagai organ utama (primary constitutional organs),

dan ada pula yang merupakan organ penunjang (auxiliary state

organs). Untuk memahami perbedaan diantara keduanya, lembaga-

lembaga negara tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah, yaitu ranah

kekuasaan eksekutif atau pelaksana, kekuasaan legislatif atau

pengawasan serta kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.

b. Pengertian Lembaga Negara Penunjang (Auxiliary State Organ)

Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan fungsinya

tidak secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga

trias politica mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir

abad ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti

Amerika Serikat dan Perancis. Banyak istilah untuk menyebut jenis

lembaga-lembaga baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary

Page 40: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

institutions atau state auxiliary organs yang apabila diterjemahkan secara

harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara

penunjang. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah

cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak

pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi

swasta ataupun lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop

(organisasi non-pemerintah) atau NGO (non-governmental organization)

(Jimly Asshiddiqie, 2010: 103).

Lembaga negara penunjang ini sekilas memang menyerupai NGO

karena berada di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi,

keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang berasal dari

publik, serta bertujuan untuk kepentingan publik, membuatnya tidak

dapat disebut sebagai NGO dalam arti sebenarnya. Sebagian ahli tetap

mengelompokkan lembaga independen semacam ini dalam lingkup

kekuasaan eksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang

menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam

kekuasaan pemerintahan. Secara teoritis, lembaga negara penunjang

bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang

pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas

negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara.

Gagasan lembaga negara penunjang sebenarnya berawal dari keinginan

negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela

untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi.

Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat

sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal.

Munculnya lembaga negara penunjang dimaksudkan pula untuk

menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi

dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang

akuntabel, independen, serta dapat dipercaya (Fariz Pradipta, Kedudukan

Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia

Pasca Amandemen UUD 1945, http://www.farizpradiptalaw.

Page 41: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

blogspot.com/kedudukan-lembaganegara-bantu-didalam.html diakses

pada Minggu, 29-01-2012 pukul 16.36 WIB).

Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara

penunjang adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi

kontemporer untuk mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan

administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan

dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga

ini menjadi dua, yaitu: (1) regulatory, yang berfungsi membuat aturan

serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat

privat; dan (2) advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau

nasihat kepada pemerintah. Jennings, sebagaimana dikutip Alder dalam

Constitutional and Administrative Law, menyebutkan lima alasan utama

yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara penunjang dalam

suatu pemerintahan, alasan-alasan itu adalah sebagai berikut (Fariz

Pradipta, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem

Ketatanegaraan Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,

http://www.farizpradiptalaw. blogspot.com/kedudukan-lembaga-negara-

bantu-didalam.html, diakses pada Minggu, 29-01-2012 pukul 16.36

WIB):

1) Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan

pelayanan yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko

campur tangan politik.

2) Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang

bersifat non-politik.

3) Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat

independen, seperti profesi di bidang kedokteran dan hukum.

4) Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang

bersifat teknis.

5) Munculnya berbagai institusi yang bersifat semi yudisial dan

berfungsi untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan

(alternative dispute resolution / alternatif penyelesaian sengketa)

Page 42: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pembentukan lembaga-lembaga negara penunjang tersebut juga

harus memiliki landasan pijak yang kuat dan paradigma yang jelas.

Dengan demikian, keberadaannya dapat membawa manfaat bagi

kepentingan publik pada umumnya serta bagi penataan sistem

ketatanegaraan pada khususnya. Ni’matul Huda, mengutip Firmansyah

Arifin,dkk. dalam Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan

Antarlembaga Negara, mengatakan bahwa aspek kuantitas lembaga-

lembaga tersebut tidak menjadi masalah asalkan keberadaan dan

pembentukannya mencerminkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Prinsip konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah gagasan yang

menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan

pemerintahan yang ada dapat dibatasi. Pembatasan tersebut dapat

diperkuat sehingga menjadi suatu mekanisme yang tetap. Dengan

demikian, pembentukan lembaga-lembaga negara penunjang

ditujukan untuk menegaskan dan memperkuat prinsip-prinsip

konstitusionalisme agar hak-hak dasar warga negara semakin terjamin

serta demokrasi dapat terjaga.

2) Prinsip checks and balances. Ketiadaan mekanisme checks and

balances dalam sistem bernegara merupakan salah satu penyebab

banyaknya penyimpangan di masa lalu. Supremasi MPR dan

dominasi kekuatan eksekutif dalam praktik pemerintahan pada masa

pra reformasi telah menghambat proses demokrasi secara sehat.

Ketiadaan mekanisme saling kontrol antarcabang kekuasaan tersebut

mengakibatkan pemerintahan yang totaliter serta munculnya praktik

penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Prinsip checks and

balances menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan

demokrasi. Pembentukan organ-organ kelembagaan negara harus

bertolak dari kerangka dasar sistem UUD Negara RI Tahun 1945

untuk menciptakan mekanisme checks and balances.

3) Prinsip integrasi. Selain harus mempunyai fungsi dan kewenangan

yang jelas, konsep kelembagaan negara juga harus membentuk suatu

Page 43: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

kesatuan yang berproses dalam melaksanakan fungsinya.

Pembentukan suatu lembaga negara tidak dapat dilakukan secara

parsial, melainkan harus dikaitkan keberadaannya dengan lembaga-

lembaga lain yang telah eksis. Proses pembentukan lembaga-lembaga

negara yang tidak integral dapat mengakibatkan tumpang-tindihnya

kewenangan antar lembaga yang ada sehingga menimbulkan

inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

4) Prinsip kemanfaatan bagi masyarakat. Pada dasarnya, pembentukan

lembaga negara ditujukan untuk memenuhi kesejahteraan warganya

serta menjamin hak-hak dasar warga negara yang diatur dalam

konstitusi. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan serta

pembentukan lembaga-lembaga politik dan hukum harus mengacu

kepada prinsip pemerintahan, yaitu harus dijalankan untuk

kepentingan umum dan kebaikan masyarakat secara keseluruhan serta

tetap memelihara hak-hak individu warga negara (Ni’matul Huda,

2005: 67).

3) Tinjauan tentang Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara (SKLN)

a. Pengertian SKLN

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum Perubahan

Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2001, belum ada aturan

mengenai mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga

negara. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberi putusan

terhadap sengketa kewenangan antar lembaga negara tersebut juga belum

ada. Karena itu, selama masa tersebut belum ada preseden dalam praktek

ketatanegaraan Indonesia mengenai penanganan sengketa kewenangan

antar lembaga negara. Barulah setelah adanya Perubahan Ketiga UUD

1945, yang mengadopsi pembentukan lembaga negara Mahkamah

Konstitusi yang salah satu kewenangannya adalah memutus sengketa

kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki mekanisme

Page 44: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

penyelesaian jika terjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara

(Jimly Assidiqie, 2005: 2). Sistem ketatanegaraan Indonesia yang

dimaksud di sini adalah seperangkat prinsip dasar dan aturan yang

mengenai susunan negara atau pemerintahan, bentuk negara atau

pemerintahan, hubungan tata kerja antar lembaga negara atau

pemerintahan dan sebagainya yang menjadi dasar pengaturan negara atau

pemerintahan di Indonesia. Dengan pengertian sistem ketatanegaraan

Indonesia yang demikian ini, maka pada hakikatnya esensi sistem

ketatanegaraan Indonesia ini adalah Hukum Tata Negara Indonesia, yang

meliputi hukum konstitusi dan konvensi ketatanegaraan (the Law of the

Constitution dan the Convention of the Constitution) (Widodo

Ekatjahana, 2008: 20).

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, hubungan antara satu

lembaga negara dengan lembaga negara yang lainnya diikat oleh prinsip

checks and balances. Dalam prinsip tersebut, lembaga-lembaga negara itu

diakui sederajat, dan saling mengimbangi satu sama lain. Penggunaan

istilah checks and balances itu sendiri, pernah dilontarkan oleh John

Adams, Presiden Amerika Serikat kedua (1735-1826), pada saat ia

mengucapkan pidatonya yang berjudul “Defense of the Constitution of

the United States” (1787). Istilah checks and balances tersebut menurut

David Wootton sebenarnya hanya merupakan salah satu teknik saja untuk

mengemukakan konsep saling kontrol dan saling mengimbangi antar

cabang kekuasaan negara. Dan istilah itu sebelumnya juga telah

digunakan oleh Whig John Toland (1701) dan Marcham Nedham (1654).

Gagasan checks and balances menurut David Wootton mengandung

pikiran, bahwa konstitusi merupakan satu sistem mekanis, yang diartikan

sebagai satu interest dalam mekanisme (Mark Tushnet, 2011: 10).

Menurut Jimly Asshiddiqie, rujukan tentang mesin politik itu, diambil

dari edisi John Dryden tentang Plutarch’s Lives, dengan mengatakan

“...the Maker of the world had when he had finished and set this great

Page 45: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

machine moving, and found everything very good and exactly to answer

to his great idea..” (Maruarar Siahaan, 2008: 69).

Sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada

hubungan yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan

kewenangan masing-masing lembaga negara timbul perbedaan dan/atau

perselisihan dalam menafsirkan amanat Undang-Undang Dasar. Jika

timbul persengketaan pendapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri

yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Dalam sistem

ketatanegaraan yang telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme

penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses

peradilan tata negara, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

dikenal dengan nama Mahkamah Konstitusi

Lembaga-lembaga negara itu dapat bersengketa, karena menurut

dalam sistem ketatanegaraan yang diadopsikan dalam ketentuan UUD

1945 sesudah Perubahan Pertama (1999), Kedua (2000), Ketiga (2001),

dan Keempat (2002), mekanisme hubungan antarlembaga negara bersifat

horisontal, tidak lagi bersifat vertikal. Jika sebelumnya kita mengenal

adanya lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara (Sri Soemantri

Martosoewignjo, 1981: 39), maka sekarang tidak ada lagi lembaga

tertinggi negara. MPR bukan lagi lembaga yang paling tinggi

kedudukannya dalam bangunan struktur ketatanegaraan Indonesia,

melainkan sederajat dengan lembaga-lembaga konstitusional lainnya,

yaitu Presiden, DPR, DPD, MK, MA dan BPK.

Kemudian pengertian dari SKLN selanjutnya dikemukakan oleh

dua Hakim Konstitusi yaitu:

1) Menurut Maruarar Siahaan, SKLN adalah sengketa yang timbul

dalam bidang hukum tata negara sebagai akibat satu lembaga negara

menjalankan kewenangan yang diberikan UUD 1945 padanya, telah

menghilangkan, merugikan atau mengganggu kewenangan lembaga

negara lainnya. Dimana sengketa (dispute) itu dapat terjadi karena

digunakannya kewenangan lembaga negara yang diperolehnya dari

Page 46: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

UUD 1945, dan kemudian dengan penggunaan kewenangan tersebut

terjadi kerugian kewenangan konstitusional lembaga negara lain

(Maruarar Siahaan, 2005: 27).

2) Kemudian menurut Maria Farida, SKLN adalah perselisihan atau

perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan

antara dua atau lebih lembaga negara. Dimana kewenangan tersebut

dapat berupa wewenang/hak dan tugas/kewajiban lembaga negara

yang diberikan oleh UUD 1945 (Firmansyah Arifin dkk, 2005: 13).

Hingga Agustus 2009, Mahkamah Konstitusi telah menerima dan

memutus kurang lebih 11 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga

Negara (SKLN). Kesebelas tersebut masing-masing diregistrasi pada

tahun 2004 sebanyak 1 perkara, 2005 sebanyak 1 perkara, 2006 sebanyak

4 perkara, 2007 sebanyak 2 perkara, dan 2008 sebanyak 3 perkara (Sekjen

& Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi , 2010: 143 ).

b. Wewenang Mahkamah Konstitusi Memutus SKLN

Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa

kewenangan lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya diberikan

oleh UUD 1945, di samping melakukan pengujian Undang-Undang

terhadap UUD 1945, pada dasarnya merupakan kewenangan

konstitusional yang dibentuk dengan tujuan untuk menegakkan ketentuan

yang terdapat dalam UUD 1945. Ini disebabkan karena dari dua hal inilah

persoalan konstitusionalitas dapat timbul. Fungsi Mahkamah Konstitusi

sebagai peradilan konstitusi tercermin dalam dua kewenangan tersebut,

yaitu: (1) kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD

1945; dan (2) kewenangan untuk memutus SKLN yang kewenangannya

bersumber dari UUD 1945 (Harjono, 2009: 140).

Apabila ditelusuri dari sejarah pembentukan kewenangan

Mahkamah Konstitusi untuk memutus SKLN sebagaimana tercantum

dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, ternyata lahir dari berbagai

pemikiran yang melatar belakanginya. Pemikiran-pemikiran tersebut

dapat ditelusuri dari sejarah bagaimana rumusan tentang kedudukan dan

Page 47: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

wewenang Mahkamah Konstitusi itu dibahas dalam persidangan-

persidangan Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR RI yang

pada saat itu sedang membahas perubahan (amendemen) UUD 1945.

Berikut ini beberapa pemikiran tersebut akan diidentifikasikan.

Pertama adalah Jimly Asshiddiqie anggota Tim Ahli Panitia Ad

Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR. Jimly Asshiddiqie pada

persidangan itu menyampaikan hasil rumusan Tim Ahli yang telah

disepakati bersama sebagai berikut :

“Jadi dengan perkataan lain Mahkamah Konstitusi itu, kami usulkan memiliki tiga kewenangan. 1) Kewenangannya adalah Hak Uji Materiil.

Mulai dari undang-undang ke bawah Hak Uji Materiil ini bersifat pasif, yang berarti dia tidak cari-cari, tergantung kalau ada kasus lalu kemudian ada gugatan itu yang harus diselesaikan. Sebab kalau dia cari cari nanti selain menjadi berat bagi konstitusi itu sendiri dan itu nanti bisa menjadi sengketa antara dirinya sendiri dengan lembaga legislatif dan lembaga pembuat peraturan, seakan-akan dia menjalankan fungsi eksekutif termasuk dalam rangka mengembangkan harmonisasi peraturan. Oleh karena itu dipertahankan sifat pasifnya.

2) Memberikan putusan atas sengketa Lembaga Tinggi Negara. Jadi antar Lembaga Tinggi Negara, antar Pemerintah Pusat dengan Daerah, antar Pemerintah Daerah dalam menjalankan peraturan perundang-undangan. Jadi bukan sengketa di luar pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tempat penyelesaian pengambilan keputusannya di MK.

3) Menjalankan kewenangan lain yang diberikan undang-undang. Opsi wewenang lain ini kami usulkan untuk

dicantumkan meskipun tidak ditegaskan di sini, ini untuk menampung kemungkinan undang-undang Pemilu mengatur berkenaan dengan penyelesaian sengketa pemilu dan sengketa pemilu itu bisa diberikan kewenangan untuk penyelesaiannya di MK tetapi itu tergantung bagaimana undang-undang nanti mengaturnya” (Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010: 305-306).

Kedua menurut Soetjipto adalah:

“Kita tahu bahwa UU kita banyak produk-produk yang dihasilkan oleh Pemerintahan Belanda dan itu juga setingkat dengan UU, oleh karena itu F-UG menganggap perlu adanya

Page 48: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

suatu Mahkamah Konstitusi yang menguji UU. Fungsinya bukan hanya untuk hak uji UU tetapi Mahkamah Konstitusi di negara lain juga mengadili persengketaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan juga mengadili persengketaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan juga mengadili persengketaan adanya pembubaran partai politik dan juga mengadili apabila terjadi persengketaan dalam pelaksanaan pemilu” (Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010: 339-340).

Apabila dicermati pandangan diatas, walaupun Soetjipto tidak

secara eksplisit mengemukakan, bahwa kewenangan MK diantaranya

adalah memutuskan sengketa lembaga negara, akan tetapi dia juga

menyebut perlunya MK diberi kewenangan untuk memutus

persengketaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.

Ketiga adalah I Dewa Gede Palguna dari Fraksi PDI Perjuangan

dalam pandangan akhir fraksinya, yang mengusulkan agar Mahkamah

Konstitusi memiliki kewenangan-kewenangan seperti dalam pandangan

fraksinya sebagai berikut:

“Pasal berikutnya, atau Pasal 29 dalam usulan kami : Ayat (1), Di dalam lingkungan Mahkamah Agung dibentuk Mahkamah Konstitusi; Ayat (2), Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk : Menguji Undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (fungsi judicial review). Memberi pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat hendak meminta persidangan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai laporan perilaku Presiden yang mengkhianati negara dan/atau merendahkan martabat Lembaga Kepresidenan. Memberikan keputusan akhir mengenai putusan pembubaran suatu partai politik. Memberikan keputusan apabila terdapat perselisihan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom. Memberikan putusan atas gugatan yang berdasarkan Undang-Undang Dasar” (Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010:340).

Pandangan Fraksi PDI Perjuangan yang disampaikan oleh I Dewa

Gede Palguna ternyata tidak jauh berbeda dengan pandangan Soetjipto

dari F-UG, yang menyatakan, bahwa salah satu kewenangan MK adalah

Page 49: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

memberikan keputusan apabila terdapat perselisihan antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah otonom.

Keempat adalah Sutjipno dari Fraksi PDI Perjuangan yang

mengusulkan dalam pandangan akhir fraksinya sebagai berikut :

“Berhubung kewenangan Mahkamah Agung adalah melakukan uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, maka di lingkungan Mahkamah Agung dibentuk Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kewenangan menguji secara materiil atas undang-undang, memberi putusan atas pertentangan antar undang-undang, memberi putusan atas persengketaan kewenangan antara Lembaga Negara, Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, serta menjalankan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang” (Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010: 343).

Pandangan Sutjipno ini lebih luas dan eksplisit dibandingkan

pandangan yang disampaikan I Dewa Gde Palguna. Sutjipno

mengusulkan, bahwa salah satu kewenangan MK adalah memberi

putusan atas persengketaan kewenangan antara Lembaga Negara,

Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.

Kelima adalah Affandi dari F-TNI/Polri. Affandi dalam pendapat

akhir fraksinya menyampaikan, bahwa :

“Pasal 24 ayat (2) Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung serta Lembaga Pengadilan yang berada di bawahnya di dalam lingkungan peradilan umum. Pasal 24a Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji materi undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, memberi putusan atas pertentangan atau persengketaan antara lembaga negara, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah, menjalankan peraturan perundang-undangan serta menjalankan kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”(Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010:348-349 ).

Masih banyak sebenarnya pandangan-pandangan yang

disampaikan oleh para tokoh politik di PAH I BP MPR RI itu berkenaan

dengan pembentukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk

Page 50: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

menyelesaikan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara di

Indonesia. Akan tetapi apabila dicermati, pandangan-pandangan tersebut,

pada dasarnya menyetujui, bahwa Mahkamah Konstitusi perlu diberi

kewenangan konstitusional untuk memutus SKLN. Dan, dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia, penyelesaian SKLN itu tidak diserahkan

kepada proses politik yang hanya didasarkan atas posisi politik lembaga

negara yang bersengketa, melainkan diserahkan kepada proses hukum

(yudisial).

Kemudian UUD 1945 hanya menetapkan sengketa kewenangan

yang diberikan oleh UUD 1945 (in de Gronwet geregeld) saja yang

diputus oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan kewenangan yang

diberikan oleh Undang-undang (in de wet geregeld) termasuk dalam

lingkup penafsiran undang-undang tidak menjadi kewenangan Mahkamah

Konstitusi. Dengan mencermati dinamika ketatanegaraan dan

perkembangan pemikiran/gagasan yang pesat di bidang Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi, serta tuntutan masyarakat terhadap penegakan

supremasi konstitusi dan perlindungan hak-hak konstitusional warga

masyarakat (burger/justiciabelen), tidak tertutup peluang ke depan akan

timbul perubahan-perubahan peraturan di bidang ini. Termasuk gagasan-

gagasan agar kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara

SKLN tidak hanya sebatas pada perkara SKLN yang sumber

kewenangannya berasal dari UUD 1945 (in de Gronwet geregeld) saja,

akan tetapi juga mencakup SKLN yang sumber kewenangannya diperoleh

dari undang-undang (in de wet geregeld).

c. Mekanisme Hukum Acara Sengketa Kewenangan Antar Lembaga

Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Hukum acara menunjuk cara bagaimana perkara diselesaikan di

muka hakim atau alat negara lain yang diberi tugas menyelesaikan

perselisihan hukum. Dengan demikian, Hukum Acara Sengketa

Kewenangan Antar Lembaga Negara (SKLN) adalah hukum yang

Page 51: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

mengatur bagaimana perkara SKLN di Mahkamah Konstitusi itu

diselesaikan.

Berdasarkan praktek, sengketa kewenangan konstitusional

lembaga negara ini dapat terjadi karena beberapa hal yaitu (Sekjen &

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010: 172) :

1) Adanya tumpang tindih (overlapping) kewenangan antara satu

lembaga negara dengan lembaga negara lainnya yang diatur dalam

konstitusi

2) Adanya kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diperoleh

dari konstitusi yang diabaikan oleh lembaga negara lainnya

3) Adanya kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diperoleh

dari konstitusi yang dijalankan oleh lembaga negara lainnya, dan

sebagainya.

Hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara paling

tidak secara formal bersumber pada ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang

Pedoman Beracara dalam SKLN.

Adapun urutan pemeriksaan SKLN di Mahkamah Konstitusi dapat

dijabarkan sebagai berikut:

1) Pengajuan Permohonan

2) Pemeriksaan Administrasi dan Registrasi

3) Penjadwalan Sidang dan Panggilan Sidang

4) Pemeriksaan Perkara, yang meliputi :

a) Pemeriksaan Pendahuluan

b) Pemeriksaan Persidangan

c) Pembuktian

d) Penarikan kembali permohonan (jika ada)

5) Rapat Permusyawaratan Hakim

Page 52: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6) Pembacaan Putusan

4) Tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi

a. Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan (2)

UUD 1945 menggariskan wewenangnya sebagai berikut:

1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan

lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang

Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan

tentang hasil pemilu.

2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau

Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Dalam melakukan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi

melakukan penafsiran terhadap UUD 1945 sebagai satu-satunya lembaga

yang mempunyai kewenangan tertinggi untuk menafsirkan UUD 1945.

Karena itu disamping berfungsi sebagai pengawal UUD 1945, Mahkamah

Konstitusi juga biasa disebut sebagai the Sole Interpreter of the

Constitution (Jimly Asshiddiqie, 2006: 14).

Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan

putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden

diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan

terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Dalam perkembangannya kewenangan Mahkamah Konstitusi

sekarang bertambah satu lagi yaitu memutus sengketa Pilkada, yang

sebelumnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Peralihan

kewenangan dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi

Page 53: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

didasarkan pada ketentuan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 236C Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 disebutkan bahwa, “Penanganan sengketa hasil

perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh

Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18

(delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan” (Bambang

S, 2009: 6).

b. Fungsi Mahkamah Konstitusi

Fungsi Mahkamah Konstitusi ada lima, yaitu (Sekjen &

Kepaniteran Mahkamah Konstitusi, 2010:24) :

1) the guardian of the constitution atau pengawal konstitusi;

2) the final interpreter of the constitution atau penafsir resmi konstitusi;

3) the guardian of the democracy atau pengawal demokrasi;

4) the protector of the citizen’s constitutional rights atau pelindung hak-

hak konstitusional warga negara, dan;

5) the protector of the human rights atau pelindung hak asasi manusia.

Kehadiran MK sesungguhnya adalah manifestasi dari kedaulatan

hukum yang dianut dalam UUD 1945 dan secara tidak langsung

merupakan pengejewantahan dari kedaulatan rakyat dan kedaulatan

Tuhan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kewenangannya sudah

seharusnya memenuhi prinsip kedaulatan hukum dengan instrumennya

adalah negara hukum Indonesia dan UUD 1945 (Anwar C, 2008: 269).

Page 54: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

B. Kerangka Pemikiran

Bagan 1. Kerangka Pemikiran

Keterangan Kerangka Pemikiran :

Kerangka pemikiran dalam bentuk skema diatas menjelaskan alur

pemikiran Penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelah dan

menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu,

kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar

lembaga Negara (SKLN) setelah adanya Putusan 030/SKLN-IV/2006.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi salah satunya adalah memutus

sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN). Kemudian, salah satu

perkara SKLN yang menarik dianalisis adalah perkara SKLN antara Komisi

Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Presiden qq. Menkominfo. Berdasarkan

permohonannya, Pemohon merupakan pihak yang menganggap kewenangan

Perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006 antara KPI sebagai Pemohon dengan

Presiden qq.Menkominfo

Pertimbangan Hukum

Putusan No. 030/SKLN-IV/2006

Pasal 61 ayat (1) UU MK

Putusan No.005/PUU-I/2003

Dasar Permohonan Kedudukan Hukum

Lembaga Negara Penunjang

Implikasi Putusan terhadap Kedudukan Hukum Lembaga Negara Penunjang

dalam SKLN

Page 55: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan atau dirugikan oleh

lembaga lain kemudian KPI sebagai salah satu lembaga negara penunjang,

sebagaimana disebutkan pada Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003 mengenai

putusan judicial review Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang

Penyiaran. Oleh karena adanya putusan tersebut, KPI mengajukan permohonan

SKLN ke Mahkamah Konstitusi.

Dengan memperhatikan pertimbangan hukum sesuai dengan Pasal 61 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang menyatakan bahwa,

“Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai

kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan” serta

ditunjang dengan adanya Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003 mengenai

bagaimana kedudukan hukum lembaga negara penunjang khususnya KPI dapat

diperjelas. Kemudian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut,

Hakim Konstitusi dalam amar putusannya tidak dapat menerima permohonan

Pemohon dikarenakan kedudukan hukum dari Pemohon tidak memenuhi syarat

sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU MK.

Berdasarkan putusan tersebut, menarik untuk dikaji mengenai bagaimana

implikasi yuridis putusan tersebut terhadap kedudukan hukum lembaga negara

penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN) yang

diputus oleh Mahkamah Konstitusi sehingga kekosongan hukum mengenai

kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam SKLN dapat terjawab.

Page 56: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA

NEGARA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI

Sebelum menginjak pada substansi pokok mengenai bagaimana

kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara penunjang sebagai pihak

dalam proses acara sengketa kewenangan antar lembaga negara di Mahkamah

Konstitusi, terlebih dahulu Penulis menguraikan beberapa analisis sebagai

berikut :

1. Kualifikasi Kewenangan Lembaga Negara Menurut UUD 1945

Memperhatikan peta lembaga negara pasca perubahan konstitusi

UUD 1945, perlu dipahami lebih jauh dan mendasar mengenai terminologi

lembaga negara. Terminologi “lembaga negara” dipahami masih

merupakan konsep yang debatable terlebih lagi makna dari “lembaga

negara” tidak tercantum secara tegas dalam peraturan perundang-undangan

di Indonesia. Terhadap hal ini setidak-tidaknya, pengertian lembaga

negara atau organ negara dapat didekati dari pandangan Hans Kelsen

mengenai The Concept of the State Organ. Menurut Hans

Kelsen,”whoever fulfills a function determined by the legal order is an

organ”, yang artinya siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang

ditentukan oleh suatu tata hukum adalah organ. Artinya, organ negara itu

tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk organik,

lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula

disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma

(normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying).

“These functions, be they of a norm-creating or of a norm-applying

character, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanction”

(Jimly Asshidiqqie, 2010: 10).

Page 57: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan

warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-

sama merupakan organ negara dalam arti luas. Demikian pula hakim yang

mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan

hukuman tersebut di lembaga pemasyarakatan, adalah juga merupakan

organ negara. Pendek kata, dalam pengertian yang luas ini, organ negara

itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu

dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan

publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat

umum (public officials). Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga

menguraikan adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit,

yaitu pengertian organ dalam arti materiil. Individu dikatakan organ

negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum yang

tertentu (...he personally has a specific legal position). Suatu transaksi

hukum perdata, misalnya, kontrak, adalah merupakan tindakan atau

perbuatan yang menciptakan hukum seperti halnya suatu putusan

pengadilan (Jimly Asshidiqqie, 2010: 12).

Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga

pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga

negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan

oleh UUD 1945, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya

dari Undang-Undang (UU), dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk

berdasarkan Keputusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukannya tentu

saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh

UUD 1945 merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk ber-

dasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk

karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat

perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian

pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan

Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.

Page 58: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua

unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah

bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah

status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm) , sedangkan functie adalah

gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Dalam naskah Un-

dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ

yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula

yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ

yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya

akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah (Cornelis Lay, 2006: 21).

Jika dikaitkan dengan hal tersebut di atas, maka dapat

dikemukakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat tidak kurang dari 34

organ yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945. Ke-34 organ atau

lembaga tersebut adalah (Jimly Asshiddiqie, 2010: 15) :

a. Majelis Permusyawaratan Rakyat diatur dalam Bab II UUD 1945 yang

juga diberi judul "Majelis permusyawaratan Rakyat". Bab II ini berisi

dua pasal, yaitu Pasal 2 yang terdiri atas tiga ayat, Pasal 3 yang juga

terdiri atas tiga ayat;

b. Presiden yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, dimulai

dari Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan

Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal;

c. Wakil Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu

pada ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan,

"Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang

Wakil Presiden";

d. Menteri dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V

UUD 1945, yaitu pada Pasal 17 ayat(1), (2), dan (3);

e. Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumpirat yang dimaksud oleh

Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri

Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai pelaksana tugas

Page 59: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam waktu yang

bersamaan dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden;

f. Menteri Dalam Negeri sebagai triumpirat bersama-sama dengan

Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 ayat (3)

UUD 1945;

g. Menteri Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri

dan Menteri Dalam Negeri ditentukan sebagai menteri triumpirat

menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara

sendiri-sendiri, karena dapat saja terjadi konflik atau sengketa

kewenangan konstitusional di antara sesama mereka, atau antara

mereka dengan menteri lain atau lembaga negara lainnya;

h. Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III

tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berbunyi, "Presiden

membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan

nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur

dalam undang-undang";

i. Duta seperti diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2);

j. Konsul seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1);

k. Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18

ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;

l. Gubemur Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal

18 ayat (4) UUD 1945;

m. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam

Pasal 18 ayat 3 UUD 1945;

n. Pemerintahan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18

ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;

o. Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yang diatur

dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;

p. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur

dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;

Page 60: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

q. Pemerintahan Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat

(2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;

r. Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam

Pasal18 ayat (4) UUD 1945;

s. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur oleh Pasal

18 ayat (3) UUD 1945;

t. Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa

seperti dimaksud oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, diatur dengan

undang-undang. Karena kedudukannya yang khusus dan

diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau

istimewa ini diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status

Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah

Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, serta

Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan mengenai

kekhususan atau keistimewaannya itu diatur dengan undang-undang.

Oleh karena itu, pemerintahan daerah yang demikian ini perlu disebut

secara tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya

diakui dan dihormati oleh negara.

u. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD

1945 yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B;

v. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang

terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 220;

w. Komisi penyelenggaran pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5)

UUD 1945 yang menentukan bahwa pemilihan umum harus

diselenggarakan oleh suatu komisi yang bersifat nasional, tetap, dan

mandiri. Nama "Komisi Pemilihan Umum" bukanlah nama yang

ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh Undang-Undang;

x. Bank sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 23D, yaitu "Negara

memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan,

tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang".

Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum

Page 61: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

menentukan nama bank sentral yang dimaksud. Memang benar, nama

bank sentral sekarang adalah Bank Indonesia. Tetapi, nama Bank

Indonesia bukan nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan

oleh undang-undang berdasarkan kenyataan yang diwarisi dari sejarah

di masa lalu.

y. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab

VIIIA dengan judul "Badan Pemeriksa Keuangan", dan terdiri atas 3

pasal, yaitu Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F (2 ayat), dan Pasal 23G (2

ayat);

z. Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX,

Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;

aa. Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga diatur keberadaannya dalam

Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945;

bb. Komisi Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945

sebagai auxiliary organs terhadap Mahkamah Agung yang diatur

dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;

cc. Tentara Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945,

yaitu dalam Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada

Pasal 30 UUD 1945;

dd. Angkatan Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;

ee. Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;

ff. Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;

gg. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga diatur

dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945;

hh. Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman seperti

kejaksaan diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud oleh

Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, "Badan-badan lain yang

fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam

undang-undang".

Jika diuraikan lebih rinci lagi, apa yang ditentukan dalam Pasal 24

ayat (3) UUD 1945 tersebut dapat pula membuka pintu bagi lembaga-

Page 62: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

lembaga negara lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman yang tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945. Pasal 24

ayat (3) UUD 1945 menentukan, "Badan-badan lain yang fungsinya

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang".

Artinya, selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi

Yudisial dan kepolisian negara yang sudah diatur dalam UUD 1945, masih

ada badan-badan lainnya yang jumlahnya lebih dari satu yang mempunyai

fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Badan-badan lain

yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan Agung yang semula dalam

rancangan Perubahan UUD 1945 tercantum sebagai salah satu lembaga

yang diusulkan diatur dalam Bab tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi

tidak mendapat kesepakatan, sehingga pengaturannya dalam UUD 1945

ditiadakan.

Namun, karena yang disebut dalam Pasal 24 ayat (3) tersebut di

atas adalah badan-badan, berarti jumlahnya lebih dari satu. Artinya, selain

Kejaksaan Agung, masih ada lagi lembaga lain yang fungsinya juga

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi

penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan. Lembaga-lembaga

dimaksud misalnya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

(Komnasham), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan

sebagainya. Lembaga-lembaga ini, seperti halnya Kejaksaan Agung,

meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, tetapi sama-

sama memiliki constitutional importance dalam sistem konstitusional

berdasarkan UUD 1945 (Jimly Asshidiqqie, 2010: 17).

Misalnya, mengenai keberadaan Komnas Hak Asasi Manusia.

Materi perlindungan konstitusional hak asasi manusia merupakan materi

utama setiap konstitusi tertulis di dunia. Untuk melindungi dan

mempromosikan hak-hak asasi manusia itu, dengan sengaja negara

membentuk satu komisi yang bernama Komnasham (Komisi Nasional Hak

Asasi Manusia). Artinya, keberadaan lembaga negara bernama Komnas

Hak Asasi Manusia itu sendiri sangat penting bagi negara demokrasi

Page 63: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

konstitusional. Karena itu, meskipun pengaturan dan pembentukannya

hanya didasarkan atas undang-undang, tidak ditentukan sendiri dalam

UUD 1945, tetapi keberadaannya sebagai lembaga negara mempunyai apa

yang disebut sebagai constitutional importance yang sama dengan

lembaga-lembaga negara lainnya yang disebutkan eksplisit dalam UUD

1945.

Sama halnya dengan keberadaan Kejaksaan Agung dan Kepolisian

Negara Republik Indonesia dalam setiap sistem negara demokrasi

konstitusional ataupun negara hukum yang demokratis. Keduanya

mempunyai derajat kepentingan (importance) yang sama. Namun, dalam

UUD 1945, yang ditentukan kewenangannya hanya kepolisian negara

yaitu dalam Pasal 30, sedangkan Kejaksaan Agung sama sekali tidak

disebut. Hal tidak disebutnya Kejaksaan Agung yang dibandingkan

dengan disebutnya kepolisian dalam UUD 1945, tidak dapat dijadikan

alasan untuk menilai bahwa kepolisian negara itu lebih penting daripada

Kejaksaan Agung. Kedua-duanya sama-sama penting atau memiliki

constitutional importance yang sama. Setiap yang mengaku menganut

prinsip demokrasi konstitusional atau negara hukum yang demokratis,

haruslah memiliki perangkat kelembagaan kepolisian negara dan

kejaksaan sebagai lembaga-lembaga penegak hukum yang efektif.

Dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat

utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang

(auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat

dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai

lembaga tinggi negara terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden, DPR,

DPD, MPR, MK, MA dan BPK. Organ lapis kedua disebut sebagai

lembaga negara saja terdiri dari lembaga negara yang dibentuk atas

constitutional urgent dan lembaga negara sampiran, sedangkan organ lapis

ketiga merupakan lembaga daerah (Jimly Asshidiqqie, 2010: 19). Memang

benar sekarang tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi dan lembaga

tertinggi negara. Namun untuk memudahkan pengertian dan kewenangan

Page 64: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

yang diberikan oleh UUD 1945 kepada lembaga-lembaga negara tersebut

dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Organ lapis pertama atau lembaga tinggi negara

1) Presiden dan Wakil Presiden

a) Presiden

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD

1945, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan

pemerintahan menurutt Undang-Undang Dasar”. Presiden

yang memegang kekuasaan pemerintahan dalam pasal ini

menunjuk kepada pengertian Presiden menurut sistem

pemerintahan presidensial. Dalam sistem pemerintahan

presidensial, tidak terdapat pembedaan atau tidak perlu

diadakan pembedaan antara Presiden selaku kedudukan kepala

negara dan Presiden selaku kepala pemerintahan. Presiden

adalah Presiden, yaitu jabatan yan memegang kekuasaan

pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar. Dalam

UUD 1945 juga tidak terdapat ketentuan yang mengatur

tentang adanya kedudukan kepala negara (head of state)

ataupun kedudukan kepala pemerintahan (head of government).

Adapun yang menjadi kewenangan dari Presiden dalam UUD

1945 yaitu :

(1) mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada

DPR (Pasal 5 ayat (1));

(2) menetapkan peraturan pemerintah (Pasal 5 ayat (2));

(3) memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,

Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10);

(4) menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian

dengan negara lain dengan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat

(1));

(5) menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12);

(6) mengangkat duta dan konsul (Pasal 13 ayat (1));

Page 65: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

(7) memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan

pertimbangan MA (Pasal 14 ayat (1));

(8) memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan

pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat (2));

(9) memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan

yang diatur dengan Undang-Undang (Pasal 15);

(10) membentuk dewan pertimbangan yang bertugas memberi

nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang

selanjutnya diatur dalam Undang-Undang (Pasal 16);

(11) mengangkat dan memberhentikan para menteri (Pasal 17

ayat (2));

(12) membahas dan melakukan persetujuan bersama dengan

DPR setiap rancangan undang-undang (Pasal 20 ayat (2));

(13) mengesahkan rancangan undang-undang yang telah

disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang (Pasal 20

ayat (4));

(14) menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti

undang-undang (Pasal 22 ayat (1));

(15) mengajukan RUU anggaran pendapatan dan belanja negara

untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan

pertimbangan DPD (Pasal 23 ayat (2));

(16) meresmikan anggota BPK yang dipilih oleh DPR dengan

memperhatikan pertimbangan DPD (Pasal 23F ayat (1));

(17) menetapkan hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial

kepada DPR (Pasal 24A ayat (3));

(18) mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial

dengan persetujuan DPR (Pasal 24B ayat (3));

(19) menetapkan sembilan orang anggota hakim konstitusi yang

diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh MA, 3 (tiga)

orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden (Pasal

24C ayat (3));

Page 66: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

b) Wakil Presiden

Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUD 1945

menegaskan, “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden

dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”, sehingga jelas wakil

presiden merupakan pembantu bagi presiden dalam melakukan

kewajiban kepresidenan. Dimana wakil presiden bertindak

mewakili presiden dalam hal presiden berhalangan untuk

menghadiri kegiatan tertentu atau melakukan sesuatu dalam

lingkungan kewajiban konstitusional presiden. Dalam berbagai

kesempatan dimana presiden tidak dapat memenuhi kewajiban

konstitusionalnya karena sesuatu alasan yang dapat dibenarkan

secara hukum, maka wakil presiden dapat bertindak sebagai

pengganti presiden. Sementara itu, dalam berbagai kesempatan

yang lain, wakil presiden juga dapat bertindak sebagai

pendamping bagi presiden dalam melakukan kewajibannya,

kemudian kedudukan wakil presiden adalah seorang pejabat

publik.

Kedudukan seorang wakil presiden juga tidak dapat

dipisahkan dengan presiden sebagai satu kesatuan pasangan

jabatan yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui

pemilihan umum. Karena itu, kedudukan wakil presiden jauh

lebih tinggi dan jauh lebih penting daripada jabatan menteri.

Meskipun dalam hal melakukan perbuatan pidana, masing-

masing presiden dan wakil presiden bertanggung jawab secara

sendiri-sendiri sebagai individu (person), tetapi dalam rangka

pertanggungjawaban politik kepada rakyat, presiden dan wakil

presiden adalah satu kesatuan jabatan.

Dengan demikian, wakil presiden mempunyai lima

kemungkinan posisi terhadap presiden, yaitu:

(1) sebagai wakil yang mewakili presiden;

Page 67: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

(2) sebagai pengganti yang menggantikan presiden;

(3) sebagai pembantu yang membantu presiden;

(4) sebagai pendamping yang mendampingi presiden;

(5) sebagai wakil presiden yang bersifat mandiri.

Dalam menjalankan kelima posisi tersebut, maka secara

konstitusional, presiden dan wakil presiden harus bertindak

sebagai satu kesatuan subjek jabatan institusional kepresidenan.

Presiden dan wakil presiden itu ada dua orang yang menduduki

satu kesatuan subjek hukum lembaga kepresidenan.

2) Dewan Perwakilan Rakyat

Mengenai kewenangan DPR menurut UUD 1945 dapat

dijelaskan sebagai berikut :

a) membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden

untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (1) dan

(2));

b) memberikan persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (1) dan (2)):

c) menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD

yang berkaitan dengan bidang tertentu dengan

mengikutsertakannya dalam pembahasan (Pasal 22D ayat (1)

dan (2));

d) memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU

yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal

22D ayat (2));

e) menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan

pertimbangan DPD (Pasal 23 ayat (2));

f) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU APBN

dan kebijakan pemerintah (Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 22D

ayat (3));

g) membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang

diajukan DPD terhadap pelaksanaan UU mengenai otonomi

Page 68: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,

hubungan pusat dan daerah, sumberdaya alam dan

h) sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,

pendidikan, dan agama (Pasal 22F ayat (1));

i) memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan

DPD (Pasal 22F ayat (1));

j) membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas

pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh

BPK (Pasal 22E ayat (2) dan (3));

k) memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan

dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial (Pasal 24B ayat

(3);

l) memberikan persetujuan calon hakim agung yang diajukan

Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh

Presiden (Pasal 24A ayat (3));

m) mengajukan 3 (tiga) orang calon anggota hakim konstitusi

kepada Presiden untuk ditetapkan (Pasal 24C ayat (3));

n) memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat

duta, menerima penempatan duta negara lain, dan dalam

pemberian amnesti dan abolisi (Pasal 13 ayat (2) dan (3) dan

Pasal 14 ayat (2));

o) memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan

perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara

lain, serta membuat perjabjian internasional lainnya yang

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan

rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau

pembentukan undang-undang (Pasal 11 ayat (2));

3) Dewan Perwakilan Daerah

Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) semula

dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur parlemen

Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR

Page 69: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dan DPD. Dengan struktur bikameral ini diharapkan proses

legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double check

yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat

secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas

(Jimly Asshidiqqie, 2005: 88). Yang satu merupakan cerminan

representasi politik di DPR, sedangkan yang lain mencerminkan

prinsip representasi territorial atau regional di DPD.

Akan tetapi, ide bikameralisme atau struktur parlemen dua

kamar itu mendapat tantangan yang keras dari kelompok

konservatif di Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR 1999-2000 yang

membahas rancangan Perubahan UUD 1945, sehingga yang

disepakati adalah rumusan yang sekarang yang tidak dapat disebut

mengenai sistem bikameral sama sekali. Dalam ketentuan UUD

1945 dewasa ini, jelas terlihat bahwa DPD tidaklah mempunyai

kewenangan penuh untuk melakukan fungsi pengawasan. Karena

itu, kedudukannya hanya bersifat penunjang atau auxiliary

terhadap fungsi DPR, sehingga DPD paling jauh hanya dapat

disebut sebagai co-legislator, daripada legislator yang sepenuhnya.

Menurut UUD 1945, kewenangan DPD adalah sebagai

berikut:

a) mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi

daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran,

dan penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, dan

sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan

pusat dan daerah (Pasal 22D ayat (1)), dan ikut membahas

RUU tersebut (Pasal 22D ayat (2));

b) memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan

RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama

(Pasal 22D ayat (2));

c) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai

otonomi daerah, UU pembentukan, pemekaran, dan

Page 70: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan

sumberdaya alam, dan sumberdaya ekonomi lainnya,

pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22D

ayat (3));

d) memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan

anggota BPK (Pasal 23F ayat (1));

e) menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK (Pasal

23E ayat (2));

Dengan demikian, jelaslah bahwa fungsi DPD itu hanyalah

sebagai co-legislator disamping DPR. Sifat tugasnya hanya

menunjang (auxiliary agency) terhadap tugas-tugas konstitusional

DPR. Dalam proses pembentukan suatu undang-undang atau

legislasi, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan

atau berperan dalam proses pengambilan keputusan sama sekali.

Padahal, persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD lebih

berat daripada persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPR.

Artinya, kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak

diimbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya sebagai

wakil rakyat daerah (regional representatives).

4) Majelis Permusyawaratan Rakyat

Mengenai kewenangan MPR menurut UUD 1945 dapat

dijelaskan sebagai berikut :

a) mengubah dan menetapkan UUD 1945 (Pasal 3 ayat (1));

b) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat (2));

c) memutus usul DPR berdasarkan putusan MKRI untuk

memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya (Pasal 7A dan Pasal 7B ayat (7));

d) melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden

mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat

melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya (Pasal 8

ayat (1));

Page 71: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

e) memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden

apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa

jabatannya paling lambat dalam waktu enam puluh hari (Pasal

8 ayat (2));

f) memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya

mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan

kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan dari

dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang

diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang

pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara

terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum

sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya (Pasal 8 ayat

(3));

5) Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar

konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana

mestinya atau biasa disebut sebagai the guardian of the

constitution. Adapun kewenangannya yang diatur oleh UUD 1945,

yaitu :

a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

(Pasal 24C ayat (1));

b) memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara

(Pasal 24C ayat (1));

c) memutus pembubaran partai politik (Pasal 24C ayat (1));

d) memutus perselisihan hasil pemilu (Pasal 24C ayat (1));

e) memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945 (Pasal

24C ayat (2))

Dalam melakukan fungsi peradilan dalam keempat bidang

kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan

penafsiran terhadap UUD 1945 sebagai satu-satunya lembaga yang

Page 72: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

mempunyai kewenangan tertinggi untuk menafsirkan UUD 1945.

Karena itu, disamping sebagai pengawal konstitusi, MK juga biasa

disebut sebagai the Sole Interpreter of the Constitution. Jika

dibandingkan dengan sesama lembaga tinggi negara lainnya, MK

mempunyai posisi yang unik (Jimly Asshidiqqie, 2010: 27).

Dimana MPR yang menetapkan UUD 1945, sedangkan MK yang

mengawalnya. DPR yang membentuk UU, tetapi MK yang

membatalkannya jika terbukti bertentangan dengan UUD 1945.

MA mengadili semua perkara pelanggaran hukum dibawah UUD

1945, sedangkan MK mengadili perkara pelanggaran UUD 1945.

Jika DPR ingin mengajukan tuntutan pemberhentian terhadap

presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya, maka

sebelum diajukan ke MPR untuk diambil putusan, tuntutan tersebut

diajukan lebih dulu untuk pembuktiannya secara hukum. Semua

lembaga-lembaga negara tersebut saling berselisih pendapat atau

bersengketa dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya

satu sama lain, maka yang memutus final dan mengikat

persengketaan itu adalah Mahkamah Konstitusi.

6) Mahkamah Agung (MA)

Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menurut UUD

1945 sebagai berikut :

a) melakukan kekuasaan kehakiman (Pasal 24 ayat (2));

b) mengadili pada tingkat kasasi (Pasal 24A ayat (2);

c) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-

undang terhadap undang-undang (Pasal 24A ayat (1));

d) mengajukan 3 (tiga) orang calon hakim konstitusi untuk

ditetapkan sebagai hakim konstitusi oleh Presiden (Pasal 24C

ayat (3));

e) wewenang lain yang diberikan oleh UU (Pasal 24A ayat (1));

Page 73: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Badan Pemeriksa Keuangan mempunyai kewenangan

menurut UUD 1945 sebagai berikut:

a) memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan

negara (Pasal 23E ayat (1));

b) menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan negara kepada DPR,

DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya (Pasal 23E

ayat (2);

Dalam kedudukannya sebagai lembaga tinggi negara dan

kewenangannya yang besar, fungsi BPK pada pokoknya terdiri atas

tiga bidang, yaitu fungsi operatif, fungsi justisi, dan fungsi

advisory. Bentuk pelaksanaan ketiga fungsi itu adalah fungsi

operatif berupa pemeriksaan, pengawasan, dan penyelidikan atas

penguasaan, pengurusan dan pengelolaan kekayaan negara,

kemudian fungsi justisi berupa kewenangan menuntut

perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhadap bendaharawan

dan pegawai negeri bukan bendahara yang karena perbuatannya

melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang menimbulkan

kerugian keuangan dan kekayaan negara, dan fungsi advisory yaitu

memberikan pertimbangan kepada pemerintah terkait pengurusan

dan pengelolaan keuangan negara.

b. Organ lapis kedua atau lembaga negara

Dalam organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja.

Ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD 1945, dan ada pula

yang mendapatkan kewenangannya dari undang-undang. Yang

mendapatkan kewenangan dari UUD 1945, misalnya, adalah Komisi

Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara;

sedangkan lembaga yang sumber kewenangannya adalah undang-

undang, misalnya, adalah Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia,

dan sebagainya. Kedudukan kedua jenis lembaga negara tersebut dapat

Page 74: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

disebandingkan satu sama lain. Hanya saja, kedudukannya meskipun

tidak lebih tinggi, tetapi jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan

secara eksplisit dalam undang-undang, sehingga tidak dapat ditiadakan

atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan undang-undang.

Lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusi lapis kedua itu

adalah :

1) Menteri Negara

Meskipun secara kontekstual menteri adalah pembantu

presiden, namun menteri bukanlah orang atau pejabat

sembarangan. Karena itu, untuk dipilih menjadi menteri hendaklah

sungguh-sungguh diperimbangkan bahwa ia akan dapat diharapkan

bekerja sebagai pemimpin pemerintahan eksekutif di bidang-

bidangnya masing-masing secara efektif untuk melayani kebutuhan

masyarakat akan pemerintahan yang baik. Sistem pemerintahan

presidensiil yang dibangun hendaklah didasarkan atas pemikiran

bahwa presiden berhak untuk mengangkat dan memberhentikan

menteri negara untuk mendukung efektifitas kinerja

pemerintahannya guna melayani sebanyak-banyaknya kepentingan

rakyat. Penyusunan kabinet tidak boleh didasarkan atas logika

sistem parlementer yang dibangun atas dasar koalisi antar partai-

partai politik pendukung presiden dan wakil presiden. Dengan

demikian, seseorang dipilih dan diangkat oleh presiden untuk

menduduki jabatan menteri harus didasarkan atas kriteria

kecakapannya bekerja, bukan karena pertimbangan jasa politiknya

maupun imbalan terhadap dukungan kelompok atau partai politik

terhadap presiden.

Artinya jabatan menteri negara menurut ketentuan Pasal 17

UUD 1945 haruslah diisi berdasarkan merit system. Itulah

konsekuensi dari pilihan sistem presidensial yang dianut oleh UUD

1945, dengan demikian kekuasaan para menteri negara benar-benar

bersifat meritokratis sehingga dalam memimpin kementerian yang

Page 75: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

menjadi bidang tugasnya, para menteri itu dapat pula diharapkan

bekerja menurut standar-standar yang bersifat meritokratis juga.

2) Tentara Nasional Indonesia

Menurut Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, TNI memiliki

kewenangan untuk mempertahankan, melindungi dan memelihara

keutuhan dan kedaulatan negara.

3) Dewan Pertimbangan Presiden

Dewan pertimbangan presiden ini diadakan sebagai

pengganti Dewan Pertimbangan Agung yang ada sebelumnya

menurut UUD 1945 sebelum amandemen. Adapun kewenangan

dari Dewan Pertimbangan Presiden terdapat pada Pasal 16 UUD

1945 yang menyatakan, “Presiden membentuk suatu dewan

pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan

pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam

undang-undang”.

4) Kepolisian Negara Republik Indonesia

Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai

kewenangan yang diatur Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yaitu

menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas

melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan

hukum (Pasal 30 ayat (4))

5) Komisi Yudisial

Komisi Yudisial mempunyai kewenangan menurut UUD

1945 sebagai berikut :

a) mengusulkan pengangkatan calon hakim agung kepada DPR

untuk mendapat persetujuan (Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B

ayat (1));

b) kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan

kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal

24B ayat (1)).

Page 76: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6) Komisi Pemilihan Umum

Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan

mandiri dengan kewenangan, yaitu menyelenggarakan pemilu

untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan

Wakil Presiden secara langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur

dan adil setiap lima tahun sekali (Pasal 22E ayat (5), ayat (1) dan

ayat (2)).

7) Bank Sentral

Untuk Bank Sentral kewenangannya diatur oleh undang-undang

yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank

Indonesia.

Dari keenam lembaga negara tersebut di atas, yang secara tegas

ditentukan nama dan kewenangannya dalam UUD 1945 adalah

Menteri Negara, Tentara Nasional lndonesia, Kepolisian Negara, dan

Komisi Yudisial. Komisi Pemilihan Umum hanya disebutkan

kewenangan pokoknya, yaitu sebagai lembaga penyelenggara

pemilihan umum. Akan tetapi, nama lembaganya apa, tidak secara

tegas disebut, karena perkataan komisi pemilihan umum tidak disebut

dengan huruf besar (Jimly Asshidiqqie, 2010: 34).

Ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 berbunyi, "Pemilihan

umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang

bersifat nasional, tetap, dan mandiri". Sedangkan ayat (6)-nya

berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur

dengan undang-undang". Karena itu, dapat ditafsirkan bahwa nama

resmi organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan

ditentukan oleh undang-undang. Undang-undang dapat saja memberi

nama kepada lembaga ini bukan Komisi Pemilihan Umum, tetapi

misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama lainnya.

Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak

tercantum eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945

hanya menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang

Page 77: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan

independensinya diatur dengan undang-undang". Bahwa bank sentral

itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu

"Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk undang-

undang yang akan menentukannya dalam undang-undang. Demikian

pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut,

akan diatur dengan undang-undang.

Dengan demikian derajat protokoler kelompok organ konstitusi

pada lapis kedua tersebut di atas jelas berbeda dari kelompok organ

konstitusi lapis pertama. Organ lapis kedua ini dapat disejajarkan

dengan posisi lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan

undang-undang, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

(KOMNAS HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi

Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha

(KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Konsil

Kedokteran Indonesia, dan lain-lain sebagainya yang dalam sistem

ketatanegaraan bersifat sampiran (auxiliary).

c. Organ lapis ketiga atau lembaga daerah

Diatur dalam Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah,

dalam ketentuan tersebut diatur adanya beberapa organ jabatan yang

dapat disebut sebagai organ daerah atau lembaga daerah yang

merupakan lembaga negara yang terdapat di daerah. Lembaga-lembaga

daerah itu adalah sebagai berikut :

1) Pemerintahan Daerah Provinsi

Didaerah provinsi, harus dibedakan adanya tiga subjek

hukum penyandang kewenangan konstitusional berdasarkan UUD

1945. Ketiganya adalah Pemerintahan Daerah Provinsi, Gubernur

Kepala Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi. Dalam

konstitusi khususnya Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, jelas disebutkan

Page 78: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

adanya institusi pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas

jabatan gubernur dan institusi DPRD Provinsi.

Adapun kewenangan dari pemerintahan daerah provinsi

tercantum dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945

menentukan,”Pemerintahan daerah,….mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan”. Pada ayat (5)-nya menentukan, “Pemerintahan

daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai

urusan pemerintahan pusat”. Selanjutnya, dalam Pasal 18 ayat (6)

ditentukan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan

daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan”.

2) Gubernur

Gubernur menurut Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah

kepala pemerintah daerah provinsi. Menurut ketentuan ini, sebagai

kepala pemerintah daerah provinsi, gubernur dipilih secara

demokratis sebagaimana dijabarkan pada Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam pasal 18 ayat

(3) UUD 1945 juga disebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi,

daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan

umum”. Artinya, disetiap pemerintahan daerah provinsi terdapat

DPRD yang bersama-sama dengan Gubernur merupakan satu

kesatuan pengertian pemerintah daerah.

Secara selintas gubernur dan DPRD Provinsi disebut

sebagai dua lembaga konstitusional yang berbeda dan dapat

dipisahkan. Gubernur adalah kepala pemerintahan daerah provinsi,

sedangkan DPRD adalah lembaga pemerintahan daerah yang

berfungsi sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah yang

mempunyai fungsi legislatif, fungsi pengawasan dan fungsi

Page 79: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

anggaran. Baik jabatan Gubernur maupun DPRD Provinsi disebut

eksplisit dalam Pasal 18 UUD 1945. Penyebutan kedua jabatan

tersebut mirip penyebutan Bank Sentral dalam Pasal 23D UUD

1945, dimana dalam Pasal 18 ayat (7) menyatakan,”Susunan dan

tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam

undang-undang”. Pasal 18 ayat (1) menyatakan, “Negara

Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi

dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-

tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan

daerah, yang diatur dengan undang-undang”.

Artinya, kedudukan dan kewenangan baik gubernur

maupun DPRD Provinsi sama sekali tidak diatur dalam UUD 1945.

Kewenangan kedua organ tersebut masih akan diatur lebih lanjut

oleh Undang-Undang. Yang justru diatur kewenangannya dalam

UUD 1945 adalah Pemerintahan Daerah Provinsi sebagai satu

kesatuan konsep gabungan antara gubernur dan DPRD Provinsi.

3) DPRD Provinsi

DPRD Provinsi pada dasarnya mempunyai fungsi legislatif,

namun dengan fungsinya tersebut tidak dapat dikatakan sebagai

satu-satunya lembaga pembentuk peraturan daerah. Sudah

seharusnya fungsi legislatif yang utama tetap berada ditangan

kepala daerah, sedangkan fungsi legislatif yang ada pada DPRD

hanya dapat disebut sebagai fungsi legislatif yang bersifat sekunder

atau auxiliary. Hal ini berkaitan dengan adanya Pasal 18 ayat (6)

UUD 1945 yang menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak

menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk

melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Sehingga peran

yang ideal untuk DPRD itu sebenarnya lebih merupakan peran

lembaga control daripada lembaga legislatif dalam arti penuh

(Jimly Asshidiqqie, 2005: 178).

Page 80: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Sebagai lembaga kontrol, DPRD dapat menyatakan setuju

atau tidak setuju atas setiap ide penuangan suatu kebijakan publik

menjadi peraturan daerah yang mengikat secara umum. Jika DPRD

menganggap ada sesuatu yang penting diatur tetapi pemerintah

daerah lalai, DPRD dapat mengambil inisiatif untuk mengajukan

peraturan daerah yang dianggap penting itu, tetapi kata akhirnya

tetap ada pada kepala daerah.

4) Pemerintah Daerah Kabupaten

Sama seperti pemerintah daerah provinsi, ditiap kabupaten

ada tiga subjek hukum penyandang kewenangan konstitusional

berdasarkan UUD 1945, yaitu Pemerintah Daerah Kabupaten,

Bupati dan DPRD Kabupaten. Dalam UUD 1945, jelas disebutkan

adanya institusi pemerintah kabupaten yang terdiri dari jabatan

bupati dan DPRD Kabupaten. Kewenangan pemerintah kabupaten

diatur dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6) UUD 1945.

5) Bupati

Kewenangan konstitusional Bupati diatur lebih lanjut

dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya Pasal

25.

6) DPRD Kabupaten

Sama halnya dengan pemerintah daerah provinsi, DPRD

kabupaten bersama-sama Bupati merupakan satu kesatuan

pengertian pemerintahan daerah kabupaten sebagaimana diatur

dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.

7) Pemerintah Daerah Kota

Sama halnya dengan pemerintah daerah provinsi maupun

kabupaten, pemerintah kota terdapat tiga subjek hukum

penyandang kewenangan konstitusional berdasarkan UUD 1945,

yaitu Pemerintah Daerah Kota, Walikota dan DPRD Kota. Dalam

UUD 1945, jelas disebutkan adanya institusi pemerintah kota yang

terdiri dari jabatan walikota dan DPRD Kota. Kewenangan

Page 81: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

pemerintah kota diatur dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5) dan ayat

(6) UUD 1945.

8) Walikota

Walikota adalah kepala pemerintahan daerah kota.

Kewenangannya diatur lebih lanjut diatur pada Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 khususnya Pasal 25.

9) DPRD Kota

Sama halnya dengan pemerintah daerah provinsi dan

kabupaten, DPRD kota bersama-sama Walikota merupakan satu

kesatuan pengertian pemerintahan daerah kota sebagaimana diatur

dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.

Di samping itu, dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD

1945, disebut pula adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau istimewa. Bentuk satuan pemerintahan daerah

yang bersifat khusus atau istimewa itu, dinyatakan diakui dan

dihormati keberadaannya secara tegas oleh UUD 1945, sehingga

eksistensinya sangat kuat secara konstitusional. Oleh sebab itu, dapat

atau tidak dapat, keberadaan unit atau satuan pemerintahan daerah

yang bersifat khusus atau istimewa itu harus pula dipahami sebagai

bagian dari pengertian lembaga daerah dalam arti yang lebih luas.

Dengan demikian, lembaga daerah dalam pengertian di atas dapat

dikatakan berjumlah sepuluh organ atau lembaga.

Kemudian diantara lembaga-lembaga negara yang disebutkan

dalam UUD 1945 tersebut, ada yang dapat dikategorikan sebagai organ

utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang

merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs).

Untuk memahami perbedaan di antara keduanya, lembaga-lembaga negara

tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah (domain) (i) kekuasaan

eksekutif atau pelaksana; (ii) kekuasaan legislatif dan fungsi pengawasan;

(iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.

Page 82: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Dalam cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan negara ada

Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan satu kesatuan institusi

kepresidenan. Dalam bidang kekuasaan kehakiman, meskipun lembaga

pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman itu ada dua, yaitu Mahkamah

Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi di samping keduanya ada pula

Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan

perilaku hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang

(auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman (Jimly Asshidiqqie,

2010: 106). Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum (the

enforcer of the rule of law), tetapi merupakan lembaga penegak etika

kehakiman (the enforcer of the rule of judicial ethics). Sedangkan dalam

fungsi pengawasan dan kekuasaan legislatif, terdapat empat organ atau

lembaga, yaitu (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan

Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan (iv) Badan Pemeriksa

Keuangan.

Sementara itu, di cabang kekuasaan judisial, dikenal adanya tiga

lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi

Yudisial. Yang menjalankan fungsi kehakiman hanya dua, yaitu

Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung. Tetapi, dalam rangka

pengawasan terhadap kinerja hakim dan sebagai lembaga pengusul

pengangkatan hakim agung, dibentuk lembaga tersendiri yang bemama

Komisi Yudisial. Komisi ini bersifat independen dan berada di luar

kekuasaan Mahkamah Konstitusi ataupun Mahkamah Agung, dan karena

itu kedudukannya bersifat independen dan tidak tunduk kepada pengaruh

keduanya. Akan tetapi, fungsinya tetap bersifat penunjang (auxiliary)

terhadap fungsi kehakiman yang terdapat pada Mahkamah Konstitusi dan

Mahkamah Agung. Meskipun Komisi Yudisial ditentukan kekuasaannya

dalam UUD 1945, tidak berarti Komisi Yudisial mempunyai kedudukan

yang sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Sebagai perbandingan, Kejaksaan Agung tidak ditentukan

kewenangannya dalam UUD 1945, sedangkan Kepolisian Negara

Page 83: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ditentukan dalam Pasal 30 UUD 1945. Akan tetapi, pencantuman

ketentuan tentang kewenangan Kepolisian itu dalam UUD 1945 tidak

dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Kepolisian lebih tinggi

kedudukannya daripada Kejaksaan Agung. Dalam setiap negara hukum

yang demokratis, lembaga kepolisian dan kejaksaan sama-sama memiliki

constitutional importance yang serupa sebagai lembaga penegak hukum.

Di pihak lain, pencantuman ketentuan mengenai Kepolisian Negara itu

dalam UUD 1945, juga tidak dapat ditafsirkan seakan menjadikan lembaga

Kepolisian Negara itu menjadi lembaga konstitusional yang sederajat

kedudukannya dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, seperti

Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, DPR, DPD, dan lain

sebagainya. Artinya, hal disebut atau tidaknya atau ditentukan tidaknya

kekuasaan sesuatu lembaga dalam undang-undang dasar tidak serta merta

menentukan hirarki kedudukan lembaga negara yang bersangkutan dalam

struktur ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.

Dengan demikian, dari segi keutamaan kedudukan dan fungsinya,

lembaga tinggi negara yang dapat dikatakan bersifat pokok atau utama

adalah (i) Presiden; (ii) Dewan Perwakilan Rakyat; (iii) Dewan Perwakilan

Daerah; (iv) Majelis Permusyawaratan Rakyat; (v) Mahkamah Konstitusi;

(vi) Mahkamah Agung; dan (vii) Badan Pemeriksa Keuangan. Sedangkan

lembaga-lembaga negara yang lainnya bersifat menunjang atau auxiliary

belaka. Oleh karena itu, seyogyanya tata urutan protokoler ketujuh

lembaga negara tersebut dapat disusun berdasarkan sifat-sifat keutamaan

fungsi dan kedudukannya masing-masing sebagaimana diuraikan tersebut.

Oleh sebab itu, seperti hubungan antara KY dengan MA, maka

faktor fungsi keutamaan atau fungsi penunjang menjadi penentu yang

pokok. Meskipun posisinya bersifat independen terhadap MA, tetapi KY

tetap tidak dipandang sederajat sebagai lembaga tinggi negara. Kedudukan

protokolemya tetap berbeda dengan MA. Demikian juga Komisi Pengawas

Kejaksaan dan Komisi Kepolisian tetap tidak dapat disederajatkan secara

struktural dengan organisasi POLRI dan Kejaksaan Agung, meskipun

Page 84: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

komisi-komisi pengawas itu bersifat independen dan atas dasar itu

kedudukannya secara fungsional dipandang sederajat. Yang dapat disebut

sebagai lembaga tinggi negara yang utama tetaplah lembaga-lembaga

tinggi negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan utama

negara, yaitu legislative, executive, dan judiciary.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga negara

seperti Komisi Yudisial, TNI, POLRI, Menteri Negara, Dewan

Pertimbangan Presiden, dan lain-lain, meskipun sama-sama ditentukan

kewenangannya dalam UUD 1945 seperti Presiden/Wapres, DPR, MPR,

MK, dan MA, tetapi dari segi fungsinya lembaga-lembaga tersebut bersifat

auxiliary atau memang berada dalam satu ranah cabang kekuasaan.

Misalnya, untuk menentukan apakah KY sederajat dengan MA dan MK,

maka kriteria yang dipakai tidak hanya bahwa kewenangan KY itu seperti

halnya kewenangan MA dan MK ditentukan dalam UUD 1945. Karena,

kewenangan TNI dan POLRI juga ditentukan dalam Pasal 30 UUD 1945.

Namun, tidak dengan begitu, kedudukan struktural TNI dan POLRI dapat

disejajarkan dengan tujuh lembaga negara yang sudah diuraikan di atas.

TNI dan POLRI tetap tidak dapat disejajarkan strukturnya dengan presiden

dan wakil presiden, meskipun kewenangan TNI dan POLRI ditentukan

tegas dalam UUD 1945.

Demikian pula, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

(PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi

Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(KPK), dan sebagainya, meskipun kewenangannya dan ketentuan

mengenai kelembagaannya tidak diatur dalam UUD 1945, tetapi

kedudukannya tidak dapat dikatakan berada di bawah POLRI dan TNI

hanya karena kewenangan kedua lembaga terakhir ini diatur dalam UUD

1945. Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia sebagai bank sentral juga

tidak ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945, melainkan hanya

ditentukan oleh undang-undang. Tetapi kedudukan Kejaksaan Agung dan

Bank Indonesia tidak dapat dikatakan lebih rendah daripada TNI dan

Page 85: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

POLRI. Oleh sebab itu, sumber normatif kewenangan lembaga-lembaga

tersebut tidak otomatis menentukan status hukumnya dalam hirarkis

susunan antara lembaga negara.

Selanjutnya, apabila ditafsirkan secara moderat, maka hanya MPR,

Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK yang disebut sebagai lembaga

Negara yang memiliki kewenangan konstitusional, sehingga yang bisa

menjadi subyek sengketa setelah dikurangi MA (vide Pasal 65 UU MK)

dan MK (sebagai lembaga peradilan yang memiliki kewenangan untuk

menyelesaikan sengketa) hanyalah MPR, PRESIDEN, DPR, DPD, dan

BPK. Apabila ditafsirkan sempit, subyek hukum sengketa hanyalah DPR,

DPD, dan PRESIDEN (tafsiran dari Pasal 67 UU MK).

Menurut A. Mukhtie Fadjar, tafsir yang tepat adalah tafsir luas

minus atau tafsir moderat plus, yaitu bahwa lembaga Negara yang bisa

menjadi subyek sengketa meliputi MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK,

Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Jadi tidak termasuk

KPU, Komisi Yudisial, TNI, dan Polri, karena keempat lembaga tersebut

meskipun mempunyai kewenangan konstitusional, tetapi kurang tepat jika

menjadi subyek sengketa dengan lembaga lain dan kewenangan lebih

bersifat teknis operasional. Juga bank sentral yang kewenangannya tak

diatur dalam UUD 1945 tidak termasuk pihak dalam sengketa (Abdul

Mukhtie Fadjar, 2006: 184-191).

Terlepas dari pendapat para ahli tersebut di atas, Mahkamah

Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor

05/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2004 (tentang Kekuasaan Kehakiman) dan Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2004 (tentang Komisi Yudisial) berpendapat, bahwa ada 2 (dua)

macam lembaga negara menurut UUD 1945, yaitu lembaga-lembaga

negara utama (main state organs, principal state organs) dan lembaga-

lembaga negara pendukung/penunjang (auxiliary state organs atau

auxiliary agencies). Kriteria lembaga negara mana saja yang masuk dalam

main state organs dan mana yang hanya merupakan auxiliary state organs

Page 86: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dalam pandangan hukum Mahkamah Konstitusi hal tersebut dijelaskan.

Berikut kutipan pandangan hukum Mahkamah Konstitusi tersebut :

“Menimbang bahwa menurut Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs). Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state)… “ “Menimbang bahwa di samping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD 1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, bank sentral, komisi pemilihan umum, dewan pertimbangan presiden, dan sebagainya. Namun, pengaturan lembaga-lembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi) negara sebagai lembaga utama (main organs). Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan salah satu fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara universal dipahami. Sebagai komisi negara, sifat tugas Komisi Yudisial terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman, yaitu dalam hubungan dengan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Oleh karena itu, keberadaan komisi negara yang demikian biasa disebut sebagai “auxiliary state organs” atau “auxiliary agencies” yang menurut istilah yang dipakai oleh Soetjipno sebagai salah seorang mantan anggota PAH I BP MPR dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Mei 2006, Komisi Yudisial merupakan “supporting element” dalam sistem kekuasaan kehakiman” (vide Berita Acara Persidangan tanggal 10 Mei 2006).

Demikianlah, berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, kiranya

dapat dikemukakan bahwa pengertian dan kualifikasi lembaga negara di

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia itu ternyata bermacam-macam.

Page 87: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Para ahli ternyata juga memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang

lembaga-lembaga negara mana saja yang memperoleh kewenangan dari

UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 05/PUU-

IV/2006 menyatakan, bahwa UUD 1945 dengan jelas membedakan

cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan

judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD,

Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa

Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara

yang utama (main state organs, principal state organs).

2. Penafsiran Kedudukan Hukum Lembaga Negara dalam Sengketa

Kewenangan Antar Lembaga Negara

Kemudian terkait dengan kedudukan lembaga-lembaga negara

diatas dalam proses sengketa kewenangan antar lembaga negara terdapat

putusan Mahkamah Konstitusi yang menjelaskan apa yang dimaksud

dengan sengketa kewenangan antar lembaga negara yaitu Putusan Nomor

004/SKLN-IV/2006 yang juga diterapkan pada putusan-putusan

sesudahnya. Berdasarkan pertimbangan hukumnya untuk menentukan

apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang pertama-tama harus diperhatikan

adalah apakah ada kewenangan-kewenangan tertentu dalam UUD 1945

(objectum litis) dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-

kewenangan tersebut diberikan (subjectum litis). Frasa “sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar” juga mempunyai maksud bahwa hanya

kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 saja yang menjadi objectum

litis dari sengketa kewenangan lembaga negara oleh Mahkamah

Konstitusi.

Kemudian dalam berbagai perdebatan perubahan UUD 1945 tidak

ada penyebutan secara langsung lembaga negara apa saja yang dapat

menjadi pihak dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara. Tidak

Page 88: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ada pula pertalian penyelesaian sengketa lembaga negara dengan maksud

pembagian lembaga negara secara teoritis, seperti berdasarkan fungsinya

yang ditentukan oleh Montesqiue maupun berdasarkan kedudukannya,

sebagaimana pembagian menurut George Jellinek, yaitu lembaga negara

langsung dan lembaga negara tidak langsung, ataupun penggolongan lain

berdasarkan kedudukannya yaitu, lembaga negara utama atau lembaga

negara primer (primary constitutional organs) dan lembaga negara

penunjang (auxiliary state organ). Karenanya, Mahkamah Konstitusi

dapat melakukan berbagai penafsiran dan penemuan hukum dalam

penyelesaian sengketa tersebut (Luthfi Widagdo, 2010: 31).

Menurut Bambang Purnomo dalam buku Asas-Asas Hukum

Pidana, di dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa metode atau sistem

penafsiran yaitu (Bambang Purnomo, 2006: 56) :

a. “penafsiran gramatika (gramatische interpretatie) sebagai penafsiran yang menyandarkan dari kata-kata yang dipakai sehari-hari;

b. penafsiran logika (logische interpretatie) sebagai penafsiran yang menyandarkan pada akal/pikiran yang obyektif, yang biasanya dengan cara mencari perbandingan diantara beberapa undang-undang;

c. penafsiran sistematik (systematische interpretatie) sebagai penafsiran yang menyandarkan sistem dalam undang-undang itu, dengan menghubungkan bagian yang satu dengan bagian yang lain dari undang-undang itu;

d. penafsiran sejarah (historische interpretatie) sebagai penafsiran yang didasarkan atas sejarah pembentukannya, yang dibedakan atas:

a. rechtshistorische intepretatie, penafsiran berdasarkan sejarah pertumbuhan hukum yang diatur didalam undang-undang;

b. wethistorische intepretatie,, penafsiran berdasarkan sejarah pembentukan undang-undang untuk mengetahui apa yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang;

e. penafsiran teleoligik (teleologische interpretatie) sebagai penafsiran yang berdasarkan atas tujuan apa yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang ketika membuat undang-undang itu;

f. pemafsiran ekstensif (extensive interpretatie) sebagai penafsiran yang berdasarkan cara memperluas peraturan yang termaksud dalam suatu undang-undang;

Page 89: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

g. penafsiran analogi (analogische interpretatie) sebagai penafsiran yang berdasarkan atas jalan pikiran analogi, yaitu peraturan yang ada itu diperlakukan terhadap perbuatan yang tidak diatur tegas dalam undang-undang.”

Untuk menentukan subbjectum litis dan objectum litis perkara

sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya

diberikan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran

gramatika (gramatische intepretation). Menurut Mahkamah Konstitusi,

penempatan kata “sengketa kewenangan” sebelum kata “lembaga negara”

mempunyai arti yang sangat penting, karena hakikatnya yang dimaksud

oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah memang “sengketa

kewenangan” atau “tentang apa yang disengketakan” dan bukan tentang

“siapa yang bersengketa”. Kata “lembaga negara” dalam Pasal 24C ayat

(1) UUD 1945 haruslah terkait erat dan tidak dapat terpisahkan dengan

frasa “yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”.

Dengan dirumuskannya anak kalimat “lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, secara implisit

terkandung pengakuan bahwa terdapat “lembaga negara yang

kewenangannya bukan diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Untuk itu,

didalam menentukan subjectum litis atau objectum litis perkara sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945

ditentukan terlebih dahulu kewenangan-kewenangan yang diberikan dalam

konstitusi dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-

kewenangan tersebut diberikan.

Selanjutnya Maruarar Siahaan, dalam pendapat berbeda (dissenting

opinion) Putusan Perkara 027/SKLN-IV/2006 mengenai sengketa

kewenangan antar lembaga negara antara DPRD Provinsi Sulawesi

Tengah dengan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, beliau berpendapat

bahwa pengertian kewenangan satu lembaga negara diberikan oleh UUD

1945 tidaklah diartikan bahwa kewenangan tersebut harus secara expressis

verbis tertulis demikian. Pendapat tersebut sebenarnya telah diakomodir

Page 90: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

oleh pendapat mayoritas hakim konstitusi dalam Putusan Nomor

004/SKLN-IV/2006 mengenai SKLN antara Bupati Bekasi dengan

Presiden yang pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa tidak hanya

semata-mata penafsiran secara tekstual bunyi dari ketentuan UUD 1945

yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara tertentu, tetapi juga

ada kemungkinan kewenangan-kewenangan implisit yang terdapat dalam

suatu kewenangan pokok serta kewenangan yang diperlukan guna

menjalankan kewenangan pokok tersebut. Kewenangan-kewenangan dapat

saja dimuat dalam sebuah undang-undang, akan tetapi, menurut Maruarar,

penafsiran harus diperluas sedemikian rupa, karena perkembangan dan

dinamika permasalahan yang tidak dapat diantisipasi secara sempurna oleh

Pembuat Undang-Undang Dasar 1945.

Maruarar Siahaan dalam pendapat berbeda Putusan Perkara

27/SKLN-IV/2008 menegenai sengketa kewenangan antar lembaga negara

antara KPU Maluku Utara dengan Presiden kemudian berpendapat

perlunya tafsir tekstual dan pendekatan struktural atas Pasal 24C ayat (1)

UUD 1945 tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk “memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya

dari UUD 1945”, mengartikan seolah-olah berbunyi, “sengketa antar

lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945”.

Padahal tidak ada satu katapun dalam kalimat Pasal 24C ayat (1) UUD

1945 tersebut yang menyebut lembaga negara yang bersengketa harus

diantara lembaga negara yang setara dan disebut oleh UUD 1945. Menurut

Maruarar, tafsir yang bertentangan dengan teks Pasal 24C ayat (1) UUD

1945 seperti itulah kemudian yang dianut sehingga rumusan demikian

menjadi muatan Pasal 10 UU MK yang memberikan syarat legal standing

dengan tekanan lebih pada Pemohon. Hal tersebut diikuti pula dengan

ketat sebagaimana terlihat dalam rumusan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2)

UU MK dan PMK 08/2006, sehingga telah menyebabkan Mahkamah

Konstitusi tidak mampu memainkan perannya untuk mengawal konstitusi

Page 91: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

secara optimal dalam sengketa lembaga negara sesuai dengan yang

diamanatkan oleh UUD 1945.

Untuk menentukan kewenangan-kewenangan yang merupakan

derivasi kewenangan dari UUD 1945, perlu dipahami konsep pemberian

kekuasaan. Pada dasarnya, pemberian kekuasaan dapat dibedakan menjadi

dua macam, yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif dan

perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif.

Perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif menyebabkan

terjadinya pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang

belum ada menjadi ada kemudian kekuasaan yang timbul dengan

pembentukan secara atributif bersifat asli. Dengan kata lain pembentukan

kekuasaan yang sifatnya atributif menyebabkan adanya kekuasaan baru

(Suwoto Mulyosudarmo, 1997: 39). Dengan demikian, ciri-ciri atribusi

kekuasaan adalah pembentukan kekuasaan melahirkan kekuasaan baru dan

harus dilakukan oleh suatu badan yang pembentukannya didasarkan pada

peraturan perundang-undangan. Menurut Henk Van Marseven, jika

diperiksa secara teliti Undang-Undang Dasar Belanda, begitu pula

Undang-Undang Dasar negara lain merupakan suatu peraturan yang

tentang atribusi (reglement van attribute) (Suwoto Mulyosudarmo, 1997:

42). Suwoto Mulyosudarmo menjelaskan, bahwa Undang-Undang Dasar

sebagai reglement van attribute dipahami sebagai dasar hukum

pembentukan berbagai kekuasaan yang kemudian diberikan kepada

lembaga-lembaga negara yang pembentukannya didasarkan atas UUD

1945 pula.

Setelah memiliki kewenangan, lembaga negara (subjek hukum)

tersebut dapat melakukan pembentukan kekuasaan (atribusi) atau

melimpahkan kewenangannya kepada subjek hukum yang lain.

Pelimpahan kewenangan tersebut bersifat derivatif (afgeleid), kekuasaan

yang afgeleid adalah kekuasaan yang diturunkan atau diderivasikan

kepada pihak lain. Henk van Marseven berpendapat pelimpahan derivasi

bisa dalam bentuk delegasi dan mandat. H.D.van Wilk menjelaskan bahwa

Page 92: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ

pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, sedang mandat terjadi

ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh

organ lain atas namanya. Berbeda dengan pendefinisian tersebut F.A.M

Stroink dan J.G.Steenbek menjelaskan bahwa delegasi menyangkut

pelimpahan wewenang yang telaha ada (oleh organ yang telah

memperoleh wewenang secara atributif) kepada organ lain. Jadi delegasi

secara logis selalu didahului oleh atribusi. Salah satu syarat delegasi

adalah tidak terdapat hubungan hierarki (atasan dan bawahan), akan tetapi

menurut Henk van Marseven, atas dasar konstitusi dapat dibenarkan dalam

beberapa hal pendelegasian oleh pembuat peraturan perundang-undangan

kepada organ bawahan.

Kemudian menurut Safri Nugraha, cara memperoleh kewenangan

akan menggambarkan adanya perbedaan yang hakiki antara berbagai level

pemerintahan yang ada disuatu negara. Sebagai contoh, pelaksanaan

atribusi kewenangan memerlukan adanya pembagian level pemerintahan

yang bersifat nasional, regional dan lokal atau level pemerintahan atasan

dan pemerintahan bawahan. Selain itu, pelaksanaan delegasi membuktikan

adanya level pemerintahan yang lebih tinggi dan level pemerintahan yang

lebih rendah (Safri Nugraha, 2007: 138).

Terkait dengan pemaparan tersebut, dalam konteks Indonesia,

menurut Penulis, pembagian lembaga negara/organ negara dapat

didasarkan pada bentuk pemberian kekuasaan terhadap lembaga tersebut.

Pertama, lembaga negara yang wewenangnya diberikan secara

atribusi oleh UUD 1945, yaitu MPR, Presiden, Menteri Dalam Negeri

bersama Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai triumvirat

menurut pasal 8 ayat (3) UUD 1945, Pemerintahan daerah (provinsi,

kabupaten dan kota), DPR, DPD, BPK, MA dan Badan Peradilan

dibawahnya, MK, KY, TNI, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kedua, lembaga negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh

pembuat peraturan peundang-undangan (termasuk komisi/lembaga

Page 93: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

independen) yang tidak bertanggungjawab kepada siapapun, yaitu KPU,

BANWASLU, Bank Indonesia, KPK, Komnas HAM, Komnas Anti

Kekerasan terhadap Perempuan, KPPU, Ombudsman RI, KPI, Dewan

Pers, Dewan Pendidikan, PPATK, KPAI dan lain-lain. Ketiga, lembaga

negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh pembuat

peraturan perundang-undangan (termasuk komisi negara eksekutif) yang

bertanggungjawab kepada Presiden atau Menteri dan/atau merupakan

bagian dari eksekutif.

Menurut Penulis, lembaga negara kategori pertama dapat

berperkara di Mahkamah Konstitusi. Kemudian, lembaga negara kedua

dapat pula berperkara di Mahkamah Konstitusi, sedangkan lembaga

negara kategori ketiga tidak mempunyai subjectum litis maupun objectum

litis untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi karena telah jelas lembaga

negara kategori ketiga bersifat hierarkis dengan Presiden atau menteri

dan/atau merupakan bagian dan eksekutif.

Selanjutnya terkait dengan kedudukan hukum (legal standing)

lembaga negara penunjang yang berperkara sengketa kewenangan lembaga

negara di Mahkamah Konstitusi, Denny Indrayana berpendapat, bahwa

lembaga negara independen adalah fenomena ketatanegaraan modern yang

harus diberikan posisi konstitusional, agar lebih jelas perannya dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia masa depan. Menurutnya, Mahkamah

Konstitusi pun sebaiknya mengisi kekosongan hukum berkaitan dengan

maraknya sengketa kewenangan antar lembaga negara independen dengan

lembaga negara lainnya. Hal itu, sesuai dengan semangat bahwa

keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga

terselenggarannya pemerintahan negara yang stabil sesuai dengan

Penjelasan Umum pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi

(Denny Indrayana, 2008: 267). Penulis juga menyetujui pendapat

Maruarar Siahaan yang menyatakan bahwa perlu ada tafsiran yang

memberi perluasan untuk melihat wewenang yang sesungguhnya melekat

Page 94: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dan tersirat dalam kewenangan yang dituliskan secara tegas dalam UUD

1945, yang dapat dipandang sebagai kewenangan prinsip. Lebih lanjut

menurutnya dalam Putusan MK No. 027/SKLN-IV/2006:

“Kewenangan yang tidak secara tegas disebut dalam konstitusi tetapi merupakan hal yang perlu dan patut untuk menjalankan kewenangan konstitusional yang diberikan secara tegas, merupakan dan juga melekat sebagai kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, meskipun kemudian diuraikan secara tegas dalam undang-undang sebagai pelaksanaan UUD 1945. Pengaturan suatu materi kewenangan dalam satu undang-undang, tidaklah dengan sendirinya menyebabkan wewenang tersebut bukan wewenang konstitusional. Sebaliknya disebut satu wewenang dalam undang-undang tidak selalu berarti bahwa undang-undang tesebutlah yang menjadi sumber kewenangan dimaksud. Masalahnya adalah apakah wewenang tersebut melekat atau tidak, dan harus ada untuk melaksanakan wewenang yang diberikan secara tegas oleh UUD 1945 tersebut”.

Dengan demikian, penafsiran memang harus diperluas sedemikian

rupa dimana kewenangan lembaga negara bukan hanya yang secara

implisit disebut dalam UUD 1945 melainkan kewenangan dari lembaga

negara yang disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945 juga dapat

bersengketa dalam proses sengketa kewenangan antar lembaga negara

yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi, karena perkembangan dan

dinamika permasalahan yang tidak dapat diantisipasi secara sempurna oleh

pembuat konstitusi (UUD 1945). Akan tetapi perlu juga interpretasi

tersebut dibatasi sesuai dengan konteks yang tepat, yaitu bentuk pemberian

kekuasaan terhadap lembaga tersebut yang harus atributif dan derivatif

yang tidak mengandung hierarki.

Page 95: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

B. IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN NOMOR 030/SKLN-IV/2006

TERHADAP KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA

PENUNJANG DALAM SENGKETA KEWENANGAN ANTAR

LEMBAGA NEGARA

Bahwa dalam melihat implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi

(MK) Nomor 030/SKLN-IV/2006 mengenai sengketa kewenangan antar

lembaga negara antara Pemohon yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

dengan Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informasi selaku Termohon

terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) dari Pemohon yang

merupakan salah satu bagian dari lembaga negara penunjang yang bersifat

independen yang kewenangannya belum jelas diatur dalam UUD 1945.

Penulis akan menguraikan masalah ini dengan mengacu pada Putusan

Nomor 030/SKLN-IV/2006. Duduk perkara mengenai sengketa kewenangan

antar lembaga negara adalah sebagai berikut:

1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para pihak

a. Pemohon : Komisi Penyiaran Indonesia

Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan kedudukan

hukum Pemohon sehingga kemudian Pemohon dapat mengajukan

permohonan sengketa kewenangan antar lembaga negara di

Mahkamah Konstitusi. Adapun dalil yang disampaikan sebagai

berikut :

1) Pemohon jelas adalah lembaga negara sebagaimana dijelaskan

dalam argumentasi dibawah ini:

Pasal 1 Angka 13 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang

Penyiaran (UU Penyiaran) mengatur:

Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara

yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang

tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini

sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran;

Page 96: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran mengatur:

KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen

mengatur hal-hal mengenai penyiaran;

Posisi lembaga negara Komisi Penyiaran Indonesia juga

telah diakui oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara

Permohonan Pengujian UU Penyiaran terhadap UUD 1945, yang

menyebutkan bahwa kelahiran KPI berhubungan dengan

kelahiran institusi-institusi demokratis dan ‘lembaga-lembaga

negara’ dalam berbagai bentuk diantaranya yang paling banyak

di Indonesia adalah dalam bentuk komisi-komisi. Dalam

pertimbangan MK disebutkan bahwa:

Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan

sebuah konsekwensi logis dari sebuah negara demokrasi modern

yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check

and balances untuk kepentingan yang lebih besar, (vide Putusan

MK Nomor 005/PUU-I/2003, halaman 21-22);

2) Dalam amar putusan yang sama Mahkamah Konstitusi

menyatakan:

Mahkamah berpendapat bahwa dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga negara tidak selalu

dimaksudkan sebagai lembaga negara yang disebutkan dalam

UUD yang keberadaannya atas dasar perintah konstitusi, tetapi

juga ada lembaga negara yang dibentuk atas perintah UU dan

bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar Keppres.

KPI yang oleh UU Penyiaran disebut lembaga negara tidak

menyalahi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, (vide

Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003, halaman 79);

3) Permasalahannya terletak pada apakah kewenangan Pemohon

diberikan oleh UUD 1945? Untuk itu perlu ditegaskan bahwa

kata “disebutkan” tidaklah sama dengan “diberikan”.

Page 97: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Karenanya, secara a contrario “tidak disebutkan” juga bukan

berarti “tidak diberikan”. Penyebutan memerlukan pencantuman

secara langsung (letterlijk), sedangkan pemberian tidak berarti

harus secara langsung tetapi dapat juga tidak secara langsung.

Artinya, tidak disebutkannya nama Komisi Penyiaran Indonesia

di dalam UUD 1945, bukan berarti tidak terdapat

kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (Pemohon) dalam

UUD 1945;

4) Pemikiran di atas menemukan korelasinya jika dipadankan

dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/SKLN-

IV/2006 yang menyebutkan bahwa “Dalam menetapkan siapa

yang dimaksud dengan lembaga negara oleh Pasal 24C Ayat (1)

UUD 1945, Mahkamah berlandaskan pada uraian di atas bahwa

kewenangan Mahkamah adalah untuk memutus sengketa

kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga untuk

menentukan apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara

sebagaimana dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, maka

yang pertama-tama harus diperhatikan adalah adanya

kewenangan-kewenangan tertentu dalam Undang-Undang

Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-

kewenangan tersebut diberikan”, (vide Putusan MK Nomor

004/SKLN-IV/2006 halaman 88);

5) Artinya, MK lebih memperhatikan ke kewenangan dan bukan ke

lembaganya. Bahkan, MK juga kemudian lebih menegaskan

bahwa “Mahkamah berpendapat bahwa pengertian kewenangan

yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar dapat ditafsirkan

tidak hanya yang tekstual saja tetapi juga termasuk didalamnya

kewenangan implisit yang terkandung dalam suatu

kewenangan pokok dan kewenangan yang diperlukan guna

menjalankan kewenangan pokok...”, (vide Putusan MK Nomor

004/SKLN-IV/2006 halaman 90-91);

Page 98: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6) Berdasarkan hal-hal di atas, Pemohon mendalilkan bahwa meski

Komisi Penyiaran Indonesia walau tidak disebutkan di dalam

UUD 1945, tetapi sesungguhnya kewenangan itu diberikan

melalui UUD 1945. Kewenangan ini merupakan derivasi dari

perintah konstitusi yang menjaminkan kemerdekaan

menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui

penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,

dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang

antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945;

7) Berkait dengan hal ini, ada beberapa Pasal UUD 1945 yang

menjadi bagian “Mengingat” dari UU Penyiaran yakni untuk

bagian formil UU Penyiaran berlandaskan pada Pasal 20 Ayat

(1), Ayat (2), dan Ayat (4), Pasal 21 Ayat (1), sedangkan untuk

bagian materiil UU Penyiaran dilandaskan Pasal 28F, Pasal

31 Ayat (1), Pasal 32, Pasal 33 Ayat (3), dan Pasal 36;

8) Karenanya Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara

di bidang penyiaran seharusnya diartikan ikut bertanggung jawab

secara penuh dalam hal pemajuan, penegakan, dan pemenuhan

hak-hak warga negara di Pasal 28F UUD 1945 yakni “Setiap

orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi

untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta

berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan

segala jenis saluran yang tersedia”, terkhusus yang melalui

penyiaran;

b. Termohon : Presiden RI qq. Menteri Komunikasi dan Informasi

Kedudukan Pemerintah dalam hal ini Menteri Komunikasi

dan Informatika sebagai lembaga negara dapat dilihat dengan

menggunakan runtutan logika-logika yuridis sebagai berikut; (a)

Page 99: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menentukan, Presiden RI memegang kekuasaan

pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar; (b) Pasal 4 Ayat (2)

menentukan, dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh

satu orang Wakil Presiden; dan (c) Pasal 17 Ayat (1) menentukan,

Presiden dibantu oleh Menteri-menteri negara; (d) Pasal 17 Ayat (2)

menentukan, Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh

Presiden; (e) Pasal 17 Ayat (3) menentukan, setiap Menteri

membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan;.

Berdasarkan ketentuan di atas, jelaslah kedudukan Presiden

qq. Menkominfo sebagai lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh UUD 1945 dan karenanya, dapat diposisikan sebagai

Termohon dalam perkara a quo.

2. Alasan Permohonan

Pokok sengketa kewenangan antar lembaga negara adalah

sengketa kewenangan konstitusional di bidang penyiaran antara Komisi

Penyiaran Indonesia dengan Presiden Republik Indonesia qq Menteri

Komunikasi dan Informasi. Adapun kewenangan konstitusional yang

dipersengketakan adalah:

a. Pemohon merupakan pihak yang menganggap kewenangan

konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau

dirugikan oleh lembaga negara yang lain [vide Pasal 3 Ayat (1)

PMK Nomor 08/PMK/2006]. Sedangkan Presiden melalui Menteri

Komunikasi dan Informatika adalah pihak Termohon yang dianggap

telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau

merugikan pemohon, (vide Pasal 3 Ayat (1) PMK Nomor

08/PMK/2006);

b. Kewenangan konstitusional yang dipersengketakan adalah: (1)

sengketa kewenangan pemberian izin penyelenggaraan

penyiaran dan (2) pembuatan aturan dalam hal penyiaran;

Page 100: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

c. Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara independen

ikut bertanggung jawab secara penuh dalam hal pemajuan,

penegakan, dan pemenuhan hak-hak warga negara di Pasal 28F UUD

1945 yakni “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan

memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan

lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,

memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi

dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”, terkhusus

yang melalui penyiaran;

d. Pada kenyataannya, ke dua hal yang menjadi kewenangan Pemohon

tersebut di atas justru diambil alih oleh Termohon;

Terkait dengan kewenangan Pemohon dalam memberikan izin

penyelenggaraan penyiaran, Pemohon memaparkan argumentasi sebagai

berikut :

a. Dalam Undang-Undang Penyiaran yakni Pasal 1 Ayat (14),

mengatur: Izin Penyelenggaraan Penyiaran adalah hak yang

diberikan oleh negara kepada lembaga penyiaran untuk

menyelenggarakan penyiaran;

Kemudian dalam Pasal 33 Ayat (4) dan (5) UU Penyiaran mengatur:

Ayat (4) : Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran

diberikan oleh negara setelah memperoleh: (a) masukan dan hasil

evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI; (b)

rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI; (c)

hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus

untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan (d) izin alokasi dan

penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul

KPI;

Ayat (5) : Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud

dalam Ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan

penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI;

Page 101: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

b. Akan tetapi, kewenangan konstitusional ini diambil alih oleh

Termohon dengan hanya menyampaikan pemberian izin tersebut

kepada Pemohon (Lembaga Penyiaran). Pelanggaran kewenangan

konstitusional Pemohon ini dilakukan oleh Termohon dengan Surat

Nomor 271/DJSKDI/KOMINFO/10/2006 yang berisi penyampaian

pemberian izin (dalam hal ini penyesuaian izin) kepada Pemohon,

Artinya, Termohon secara tegas telah melangkahi kewenangan

konstitusional Pemohon. Apalagi, sesungguhnya perintah konstitusi

yang dijabarkan melalui Pasal 33 Ayat (5) UU Penyiaran mengatur

izin penyelenggaraan penyiaran diberikan “Negara melalui KPI”

dan bukan “Pemerintah melalui KPI”;

c. Bahkan, Termohon sama sekali tidak ingin menghadiri berbagai

rapat bersama dengan Pemohon dalam menyusun kebijakan

mengenai pemberian izin ini. Hal ini dilakukan beberapa kali dan

hanya mendapatkan tanggapan melalui surat misalnya Nomor

347/M.KOMINFO/9/2006 yang berisi tanggapan yuridis

ketidakhadiran Termohon. Termohon berdalih dasar tindakannya

adalah Peraturan Pemerintah (PP). Padahal PP sama sekali tidak

boleh berlawanan dengan ketentuan konstitusi yang dijabarkan oleh

UU Penyiaran yang memberikan porsi peran kepada Pemohon secara

lebih besar (untuk hal ini, KPI juga telah mengajukan uji materiil

beberapa PP ke Mahkamah Agung);

Terkait dengan kewenangan Pemohon dalam membentuk

peraturan mengenai penyiaran Pemohon memaparkan argumentasi yaitu

Di dalam UU Penyiaran, telah tergambar wilayah kewenangan KPI

dalam menjalankan perintah konstitusi untuk menjaga hak-hak warga

negara yang terkandung pada Pasal 28F UUD 1945. Komisi Penyiaran

Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang independen di wilayah

penyiaran seharusnya memiliki kewenangan membentuk peraturan

mengenai penyiaran. Dalam Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran secara tegas

mengatur, ”KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen

Page 102: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

mengatur hal-hal mengenai penyiaran”. Di dalam UU Penyiaran

ditegaskan pula KPI mengatur mengenai lembaga penyiaran publik

(Pasal 14 Ayat (10)); Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran

lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun

jasa penyiaran televisi (Pasal 18 Ayat (3)); Ketentuan mengenai

pembatasan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta

(Pasal 18 Ayat (4)). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan

persyaratan izin lembaga penyiaran berlangganan (Pasal 29 Ayat (2));

Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kegiatan peliputan lembaga

penyiaran asing disusun oleh KPI bersama Pemerintah (Pasal 30 Ayat

(3)); Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana dasar teknik penyiaran

dan persyaratan teknis perangkat penyiaran (Pasal 32 Ayat (2));

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan

penyelenggaraan penyiaran (Pasal 33 Ayat (8)); Ketentuan lebih lanjut

mengenai tata cara dan pemberian sanksi administratif (Pasal 55 Ayat

(3)); Ketentuan alasan khusus dari ketentuan peralihan lembaga

penyiaran (Pasal 60 Ayat (3)). Kemudian Pemohon menyadari, Pasal 62

Ayat (1) dan (2) UU Penyiaran semula memberikan kewenangan-

kewenangan dimiliki oleh KPI bersama dengan Pemerintah, namun oleh

Putusan MK Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara

Permohonan Pengujian UU Penyiaran terhadap UUD 1945 telah

membatalkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas khususnya yang

berkaitan dengan anak kalimat, “KPI bersama...” dengan melalui pintu

Pasal 62 Ayat (1) dan (2) UU Penyiaran.

Meskipun Pemohon telah sangat memahami alasan MK dalam

Putusannya Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 yang menjelaskan bahwa

KPI tidak boleh mempunyai kewenangan yang tergabung antara

eksekutif dan legislatif, namun Putusan MK juga mengakui bahwa

“Mahkamah berpendapat bahwa sebagai lembaga negara yang

independen, seyogianya KPI juga diberi kewenangan untuk membuat

regulasi sendiri atas hal-hal yang sebagaimana diatur dalam Pasal 7

Page 103: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dan 8 UU Penyiaran”, (vide Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003,

halaman 80). Itu artinya, kewenangan pengaturan di bidang penyiaran

harus dikembalikan menjadi kewenangan konstitusional Pemohon dan

tidak dapat lagi dilakukan oleh Termohon, sebagaimana secara tegas

diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran. Bahwasanya Pemohonlah

yang mempunyai kewenangan konstitusional bidang penyiaran

ditegaskan lagi melalui Pasal 1 Angka 13, Pasal 6 Ayat (4) dan Pasal 7

Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Penyiaran. Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2002 tentang Penyiaran harus dilihat sebagai memberikan

kewenangan konstitusional, karena sebagaimana dijelaskan di atas,

undang-undang tersebut lahir dan berpijak pada Pasal 28F UUD 1945.

Selanjunya melalui ketiga hal utama tersebut yang menjadi

pokok permohonan Pemohon adalah sebagai berikut:

a. Menyatakan kewenangan pemberian izin penyelenggaraan penyiaran

bukanlah merupakan kewenangan Termohon;

b. Menyatakan kewenangan pemberian izin penyelenggaraan penyiaran

merupakan milik negara yang diberikan melalui Pemohon;

c. Menyatakan kewenangan pembuatan regulasi di bidang penyiaran

bukan merupakan kewenangan Termohon karena telah ada lembaga

negara independen yang dibentuk untuk menyelenggarakan tugas

negara di bidang penyiaran, yaitu Pemohon;

d. Menyatakan bahwa kewenangan penyusunan regulasi di bidang

penyiaran haruslah dilaksanakan oleh lembaga negara independen

yang dibentuk untuk menyelenggarakan tugas negara di bidang

penyiaran, yaitu Pemohon;

Kemudian dalam keterangan berikutnya Termohon memberikan

tanggapan terhadap argumentasi Pemohon yang pokoknya sebagai

berikut:

a. bahwa tidak terdapat cukup alasan yang menunjukkan adanya

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh UUD 1945 in casu di bidang penyiaran, sebagaimana

Page 104: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dimaksudkan dalam Pasal 61 UU MK, karena tidak terbukti adanya

kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Pemohon yang

bersumber dari UUD 1945 yang dipersengketakan dengan

Termohon;

b. bahwa terkait dengan kewenangan regulasi di bidang penyiaran

seharusnya dikembalikan pada ketentuan Pasal 7 Ayat (2) UU

Penyiaran, yang menyatakan, “KPI sebagai lembaga negara yang

bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran”, akan

tetapi dalam pemahaman bahwa kewenangan mengatur yang

demikian melalui Peraturan KPI adalah dalam kerangka pelaksanaan

Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksanaan UU Penyiaran;

c. bahwa sifat independen KPI sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat

(2), tidak bisa dilepaskan dari kewenangan KPI berdasarkan Pasal 8

Ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d UU Penyiaran.

3. Amar Putusan

Dalam Perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006 yang diucapkan

dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari ini Selasa tanggal

17 April 2007, yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, Jimly

Asshiddiqie sebagai Ketua merangkap Anggota, H. Achmad Roestandi,

Maruarar Siahaan, H.M. Laica Marzuki, H.A.S. Natabaya, H. Abdul

Mukthie Fadjar, H. Harjono, I Dewa Gede Palguna, dan Soedarsono,

masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Triyono Edy

Budhiarto sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Pemohon,

Termohon atau yang mewakili, dan Pihak Terkait Tidak Langsung

Indonesia Media Law and Policy Centre. Dalam amar putusannya

Hakim memberikan putusan:

a. Mengingat Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316

Page 105: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

b. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet

ontvankelijk verklaard);

Dalam memberikan putusan tersebut Hakim Konstitusi memiliki

pertimbangan hukum dalam menyelesaikan sengketa kewenangan dalam

bidang penyiaran yang diajukan oleh Pemohon, yaitu sebagai berikut:

a. Menimbang bahwa di dalam Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006

tanggal 12 Juli 2006, Mahkamah telah menentukan objectum litis

dan subjectum litis mengenai kewenangan yang dipersengketakan

dan lembaga negara yang mempunyai kepentingan langsung

terhadap kewenangan yang dipersengketakan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 61 Ayat (1) UU

MK, sebagai berikut:

1) kewenangan yang dipersengketakan haruslah kewenangan yang

diberikan oleh UUD 1945;

2) lembaga negara dimaksud adalah lembaga negara yang

mempersengketakan kewenangannya yang diberikan oleh UUD

1945;

b. Menimbang bahwa dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah

untuk mengadili dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, Mahkamah telah

menyatakan pendiriannya, sejak Putusan Mahkamah Nomor

004/SKLN-IV/2006; Dalam pertimbangan hukum Putusan

Mahkamah tersebut antara lain,

“Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu permohonan sengketa kewenangan lembaga negara harus mempertimbangkan adanya hubungan yang erat antara kewenangan dan lembaga yang melaksanakan kewenangan tersebut. Sehingga, dalam menetapkan apakah Mahkamah berwenang untuk memeriksa permohonan sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah harus mengaitkan secara langsung pokok yang disengketakan (objectum litis) dengan kedudukan lembaga negara yang mengajukan permohonan, yaitu apakah kepada lembaga negara tersebut kewenangan itu diberikan, sehingga dengan demikian masalah kewenangan dimaksud terkait erat dengan legal

Page 106: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

standing Pemohon yang akan menentukan berwenang atau tidaknya Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ..... Penempatan kata ‘sengketa kewenangan’ sebelum kata ‘lembaga negara’ mempunyai arti yang sangat penting, karena hakikatnya yang dimaksud oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 adalah memang ‘sengketa kewenangan’ atau tentang ‘apa yang disengketakan’ dan bukan tentang ‘siapa yang bersengketa’. Pengertiannya akan menjadi lain apabila perumusan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 itu berbunyi, ‘... sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar’. Dalam rumusan yang disebut terakhir, hal yang merupakan pokok persoalan adalah pihak yang bersengketa, yaitu lembaga negara, dan tidak menjadi penting tentang objek sengketanya. Sehingga apabila demikian rumusannya, maka konsekuensinya Mahkamah Konstitusi akan menjadi forum penyelesai sengketa lembaga negara tanpa mempertimbangkan materi yang dipersengketakan oleh lembaga negara, dan hal demikian menurut Mahkamah bukanlah maksud dari Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Karena, apabila dirumuskan “... sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, Mahkamah Konstitusi akan berwenang untuk memutus sengketa apa pun yang tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan persoalan konstitusionalitas kewenangan lembaga negara, sepanjang yang bersengketa adalah lembaga negara .....”. Menimbang bahwa kata ‘lembaga negara’ terdapat dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, sehingga Mahkamah harus menetapkan lembaga negara mana yang dimaksud oleh Pasal 24C Ayat (1) tersebut. Dalam menetapkan siapa yang dimaksud dengan lembaga negara oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berlandaskan pada uraian di atas bahwa kewenangan Mahkamah adalah untuk memutus sengketa kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga untuk menentukan apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, maka yang pertama-tama harus diperhatikan adalah adanya kewenangan tertentu dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut diberikan. Karena kewenangan sifatnya terbatas dan untuk sesuatu hal yang tertentu, maka sifat kelembagaan negara tidaklah dapat ditentukan secara umum, tetapi terkait dengan kewenangan yang diberikan atau dengan kata lain sebuah lembaga yang disebut dengan nama apapun berkedudukan sebagai lembaga negara menurut pengertian Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945

Page 107: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

apabila lembaga tersebut mempermasalahkan atau dipermasalahkan kewenangannya yang diberikan oleh UUD 1945 ..... Menimbang bahwa rumusan ‘sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar’ mempunyai maksud bahwa hanya kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 saja yang menjadi objectum litis dari sengketa dan Mahkamah mempunyai wewenang untuk memutus sengketa yang demikian. Ketentuan yang menjadi dasar kewenangan Mahkamah tersebut sekaligus membatasi kewenangan Mahkamah, yang artinya apabila ada sengketa kewenangan yang tidak mempunyai objectum litis ‘kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar’, maka Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian itulah yang dimaksud oleh UUD 1945. Sengketa kewenangan yang kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang tidaklah menjadi kewenangan Mahkamah.”

c. Menimbang bahwa dilihat dari subjectum litis dalam permohonan

ini, Pemohon adalah KPI dan Termohon adalah Presiden qq. Menteri

Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan ketentuan yang tercantum

dalam Pasal 4 Ayat (1), Pasal (5), dan Pasal (7) UUD 1945, Presiden

qq. Menteri Komunikasi dan Informatika adalah lembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Oleh karena itu,

Termohon merupakan subjectum litis dalam perkara a quo.

Sementara itu, UUD 1945 tidak menyebut, apalagi memberikan

kewenangan konstitusional kepada KPI. Dengan demikian,

keberadaan KPI bukanlah merupakan lembaga negara sebagaimana

dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 61 Ayat (1)

UU MK; Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang

menyatakan, kewenangan konstitusional Pemohon mengalir secara

derivative dari Pasal 28F UUD 1945, Mahkamah berpendapat

sebagai berikut:

Bahwa Pasal 28F UUD 1945, berbunyi, “Setiap orang berhak

untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak

untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan

Page 108: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran

yang tersedia”;

Pasal 28F UUD 1945 tersebut, mengatur tentang hak setiap

orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan bukan

mengatur hak dan/atau kewenangan lembaga negara, apalagi

memberikan kewenangan kepada lembaga negara yang berkaitan

dengan penyiaran;

d. Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa KPI adalah

lembaga negara yang dibentuk dan kewenangannya diberikan oleh

undang-undang bukan oleh Undang-Undang Dasar. Dengan

demikian, karena KPI bukanlah lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, maka KPI tidak

memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana

ditentukan Pasal 61 Ayat (1) UUMK untuk mengajukan permohonan

a quo;

e. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,

Mahkamah berpendapat bahwa KPI sebagai Pemohon tidak memiliki

kedudukan hukum (legal standing) sehingga permohonan Pemohon

harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard),

dan oleh karenanya Pokok Permohonan tidak perlu dipertimbangkan

lebih lanjut.

Sebelum menginjak substansi permasalahan mengenai implikasi

yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 terhadap kedudukan hukum

lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga

negara, terlebih dahulu perlu ditekankan mengenai hal yang berkaitan

dengan legal standing bahwa lembaga negara yang dapat terlibat atau

terkait dalam sengketa kewenangan konstitusional tidak terbatas hanya

pada lembaga-lembaga negara dalam pengertian yang lazim selama ini

dipahami. Namun masalahnya adalah bagaimanakah apabila

kewenangan lembaga negara dimaksud tidak secara eksplisit ditentukan

dalam UUD 1945, melainkan hanya disebut secara implisit, apakah hal

Page 109: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

tersebut dapat ditafsirkan pula sebagai kewenangan konstitusional.

Meskipun kesahihan legal standing pemohon nantinya akan diuji

terlebih dahulu dalam sidang pemeriksaan oleh majelis hakim konstitusi,

namun kajian secara mendalam mengenai hal ini sangat diperlukan

untuk membantu memberikan kejelasan awal bagi semua pihak dalam

konteks sengketa kewenangan antar lembaga negara ini.

Berdasarkan pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dan pasal 10 ayat (1) huruf b UU No. 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 12 ayat (1) huruf

b UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu

kewenangan Mahkamah Konstiusi mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD

1945. Selanjutnya ketentuan Pasal 61 UU No. 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa:

a. Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan

oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang

dipersengketakan.

b. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya

tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan

kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas

lembaga negara yang menjadi termohon.

Ketentuan di atas dipertegas dan diatur lebih lanjut dalam

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman

Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga

Negara, yang ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Page 110: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Tabel 1

Ketentuan Mengenai SKLN Menurut Mahkamah Konstitusi

NO POSISI TAFSIR 1 Subjectum Litis

(Pemohon atau Termohon) Pasal 2 ayat (1) Lembaga Negara yang dapat menjadi Pemohon atau Termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, adalah: a. Dewan Perwakilan Rakyat b. Dewan Perwakilan Daerah c. Majelis Permusyawaratan Rakyat d. Presiden. e. Badan Pemeriksa Keuangan f. Pemerintah Daerah atau g. Lembaga Negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

2

Objectum Litis (Obyek sengketa)

Pasal 2 ayat (2) Kewenangan yang dipersengketakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.

Sumber : Peraturan No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam

SKLN

Frasa “kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945” sebagaimana dimaksud oleh

pasal 61 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

mengandung makna “kewenangan atribusi”, yaitu kewenangan yang

diciptakan dan diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, dan bukan kewenangan yang diciptakan dan

diberikan oleh peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 7 UU No. 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan).

Kemudian berdasarkan Pasal 61 UU MK, dalam sengketa kewenangan

Page 111: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 harus

dipenuhi syarat-syarat kedudukan hukum sebagai berikut:

Tabel 2

Kedudukan Hukum Para Pihak dalam SKLN

NO KEDUDUKAN HUKUM SYARAT-SYARAT

1 Para pihak yang bersengketa (subjectum litis

Pemohon dan Termohon, kedua-duanya harus merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945

2 Kewenangan yang dipersengketakan (objectum litis)

merupakan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945

3 Pemohon (syarat khusus)

Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 yang dipersengketakan

Sumber: Pasal 61 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Untuk memahami lembaga negara, tidak dapat ditafsirkan secara

sempit sebagaimana pendapat Montesquieu dengan doktrin trias

politica-nya yang mengatakan bahwa lembaga negara adalah institusi

kenegaraan yang menjalankan salah satu cabang kekuasaan negara, yang

mencakup lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam teori,

lembaga-lembaga yang ada dalam suatu negara dikenal dengan alat

perlengkapan negara (die staatsorgane).

Selanjutnya, alat perlengkapan negara didefinisikan sebagai hal

yang menentukan atau membantuk kehendak ataupun kemauan negara

(staatswill) serta ditugaskan oleh hukum dasar untuk melaksanakannya.

Dengan kata lain, alat perlengkapan negara dibentuk untuk

melaksanakan fungsi negara dan biasanya kedudukan dan

kewenangannya diatur dalam UUD 1945.

Page 112: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Kemudian menginjak ke substansi permasalahan, dengan adanya

Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 yang amar putusannya menyatakan

permohonan Pemohon tidak diterima, dimana Mahkamah Konstitusi

berpendapat bahwa KPI sebagai Pemohon tidak memiliki kedudukan

hukum (legal standing) sehingga permohonan Pemohon harus

dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Putusan

ini berimplikasi adanya suatu diskriminasi terhadap kedudukan hukum

lembaga negara penunjang untuk bersengketa di Mahkamah Konstitusi

apabila kewenangan dari lembaga tersebut diambil, dikurangi, dihalangi,

diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain

sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1) PMK Nomor

08/PMK/2006. Dalam sengketa ini KPI yang memilki kewenangan

dalam pembuatan perpanjangan izin penyiaran dan pembuatan regulasi

bidang penyiaran, kewenangan-kewenangan tersebut diambil oleh

Pemerintah dalam hal ini Menteri Kominfo. Artinya, Pemerintah secara

tegas telah melangkahi kewenangan konstitusional KPI. Apalagi,

sesungguhnya perintah konstitusi yang dijabarkan melalui Pasal 33 Ayat

(5) UU Penyiaran mengatur izin penyelenggaraan penyiaran diberikan

“Negara melalui KPI” dan bukan “Pemerintah melalui KPI”.

Dengan demikian Putusan yang dibuat oleh Mahkamah

Konstitusi hendaknya tidak hanya menafsirkan keberadaan lembaga

negara yang bersifat penunjang dalam penafsiran tekstual. Menurut

Penulis perluasan makna mutlak diperlukan, beranjak dari ketentuan

Pasal 2 ayat (1) PMK Nomor 08 Tahun 2006 yang telah menentukan dan

memberikan tafsir lebih luas mengenai lembaga negara. Adapun

ketentuan Pasal 2 ayat (1) PMK Nomor 08 Tahun 2006 menyatakan,

“Lembaga Negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah: a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); b. . . . dst. g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945”.

Page 113: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Dengan dirumuskannya ”Lembaga negara lain yang

kewenangannya diberikan oleh UUD 1945” sebagai subjek dalam

sengketa kewenangan lembaga negara, ini menunjukkan bahwa subjek

sengketa kewenangan lembaga negara dimaksud tidak terbatas hanya

pada DPR, DPD, MPR, Presiden, BPK, dan Pemerintah daerah.

Kemudian perluasan makna lembaga negara telah pula diteguhkan dalam

Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006 bertanggal 12 Juli 2006 yang

menyatakan,

”Dalam menentukan isi dan batas kewenangan yang menjadi objectum litis suatu sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah tidak hanya semata-mata menafsirkan secara tekstual bunyi dari ketentuan UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara tertentu, tetapi juga melihat kemungkinan adanya kewenangan-kewenangan implisit yang terdapat dalam suatu kewenangan pokok serta kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) guna menjalankan kewenangan pokok tertentu tersebut. Kewenangan-kewenangan tersebut dapat saja dimuat dalam sebuah undang-undang”.

Sehingga dari perluasan makna yang didasari dari Putusan MK

Nomor 004/SKLN-IV/2006 tersebut, penggolongan kategori lembaga

negara tidak hanya semata-mata didasarkan kepada kewenangan yang

bersifat nasional, melainkan juga harus melihat apakah lembaga

dimaksud melaksanakan fungsi penyelenggara pemerintahan

sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Ukuran untuk menentukan

apakah lembaga dimaksud termasuk lembaga negara atau bukan, tidak

hanya berdasarkan kepada kedudukan struktural lembaga yang

bersangkutan dalam UUD 1945 dan bukan pula nama resminya,

melainkan harus juga melihat kepada fungsi dari lembaga negara itu

dalam UUD 1945.

Kemudian untuk kedepannya Mahkamah Konstitusi hendaknya

mengisi kekosongan hukum dengan membuat sebuah penafsiran yang

pasti mengenai kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara

penunjang dalam hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga

Page 114: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

negara di Mahkamah Konstitusi. Dimana dalam menentukan subbjectum

litis dan objectum litis perkara sengketa kewenangan antar lembaga

negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, Mahkamah

Konstitusi yang biasanya melakukan penafsiran secara gramatika

(gramatische intepretatie,) harus segera dirombak ke penafsiran yang

lebih luas dan moderat.

Dalam penafsirannya Mahkamah Konstitusi berpendapat,

penempatan kata “sengketa kewenangan” sebelum kata “lembaga

negara” mempunyai arti yang sangat penting, karena hakikatnya yang

dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah memang “sengketa

kewenangan” atau “tentang apa yang disengketakan” dan bukan tentang

“siapa yang bersengketa”. Kata “lembaga negara” dalam Pasal 24C ayat

(1) UUD 1945 haruslah terkait erat dan tidak dapat terpisahkan dengan

frasa “yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”.

Dengan dirumuskannya anak kalimat “lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, secara implisit

terkandung pengakuan bahwa terdapat “lembaga negara yang

kewenangannya bukan diberikan oleh Undang-Undang Dasar” (Luthfi

Widagdo, 2010: 43). Untuk itu, didalam menentukan subjectum litis atau

objectum litis perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara yang

kewenangannya diberikan UUD 1945 ditentukan terlebih dahulu

kewenangan-kewenangan yang diberikan dalam Undang-Undang Dasar

dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan

tersebut diberikan.

Namum argumentasi hukum dari Mahkamah Konstitusi tersebut

disanggah oleh Maruarar Siahaan, dalam pendapat berbeda (dissenting

opinion) pada Putusan Nomor 027/SKLN-IV/2006. Beliau berpendapat

bahwa pengertian kewenangan satu lembaga negara diberikan oleh UUD

1945 tidaklah diartikan bahwa kewenangan tersebut harus secara

expressis verbis tertulis demikian. Pendapat tersebut sebenarnya telah

diakomodir oleh pendapat mayoritas hakim konstitusi dalam Putusan

Page 115: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Nomor 004/SKLN-IV/2006 mengenai sengketa kewenangan antar

lembaga negara (SKLN) antara Bupati Bekasi dengan Presiden yang

pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa,

“tidak hanya semata-mata penafsiran secara tekstual bunyi dari ketentuan UUD yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara tertentu, tetapi juga ada kemungkinan kewenangan-kewenangan implisit yang terdapat dalam suatu kewenangan pokok serta kewenangan yang diperlukan guna menjalankan kewenangan pokok tersebut”.

Kewenangan-kewenangan dapat saja dimuat dalam sebuah

undang-undang akan tetapi, menurut Maruarar, penafsiran harus

diperluas sedemikian rupa, karena perkembangan dan dinamika

permasalahan yang tidak dapat diantisipasi secara sempurna oleh

pembuat konstitusi (UUD 1945). Kemudian dalam dissenting opinion-

nya yang lain pada Putusan Perkara 27/SKLN-IV/2008 mengenai SKLN

antara KPU Maluku Utara dengan Presiden kemudian beliau

berpendapat perlunya tafsir tekstual dan pendekatan struktural atas Pasal

24C ayat (1) UUD 1945 tentang kewenangan Mahkamah untuk

“memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh

kewenangannya dari UUD 1945”, mengartikan seolah-olah berbunyi,

“sengketa antar lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari

UUD 1945”. Padahal tidak ada satu katapun dalam kalimat Pasal 24C

ayat (1) UUD 1945 tersebut yang menyebut lembaga negara yang

bersengketa harus diantara lembaga negara yang setara dan disebiut oleh

UUD 1945. Menurut Maruarar, tafsir yang bertentangan dengan teks

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 seperti itulah kemudian yang dianut

sehingga rumusan demikian menjadi muatan Pasal 10 UU MK yang

memberikan syarat legal standing dengan tekanan lebih pada Pemohon.

Hal tersebut diikuti pula dengan ketat sebagaimana terlihat dalam

rumusan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU MK dan PMK 08/2006,

sehingga telah menyebabkan Mahkamah tidak mampu memainkan

perannya untuk mengawal konstitusi secara optimal dalam sengketa

Page 116: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

lembaga negara sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945 (

Maruarar Siahaan, 2005: 46).

Menurut Penulis, argumentasi hukum inilah yang menjadi dasar

keabasahan dari lembaga negara negara penunjang untuk menjadi pihak

khususnya sebagai Pemohon apabila kewenangan konstitusionalnya

“dizalimi” oleh lembaga lain, sehingga kedepannya lembaga tersebut

dapat mengajukan permohonan sengketa kewenangan antar lembaga

negara untuk berpekara di Mahkamah Konstitusi dengan legitimasi yang

kuat berupa penafsiran yang lebih luas mengenai makna “sengketa

kewenangan lembaga negara” yang tercantum dalam Pasal 24C ayat (1)

UUD 1945.

Terkait dengan implikasi dari Putusan Nomor 030/SKLN-

IV/2006 harusnya Hakim Konstitusi mempertimbangkan keberadaan

lembaga negara penunjang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

sehingga putusan mengenai sengketa kewenangan antara KPI dengan

Presiden RI qq Menkominfo RI dapat dirasa adil dan progresif. Dengan

amar putusan yang tidak menerima permohonan Pemohon (niet

ontvankelijk verklaard) tersebut berimplikasi secara langsung maupun

tidak langsung terhadap keseganan dari lembaga negara penunjang untuk

beracara sengketa kewenangan antar lembaga negara di Mahkamah

Konstitusi, jikalau kewenangan yang dimiliknya diambil oleh lembaga

negara lain, keseganan tersebut dikarenakan tidak adanya pengakuan

legal standing dari lembaga negara penunjang dalam hukum acara

SKLN.

Kedudukan lembaga negara penunjang dalam sistem

ketatanegaraan sangat penting di Indonesia, karena masyarakat

membutuhkan suatu lembaga negara yang akuntabel, independen dalam

memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat teknis. Ketidakefektifan

dari pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan yang dilaksanakan oleh

lembaga negara yang sudah ada menjadi penyebab utama menjamurnya

pembentukan lembaga negara penunjang di Indonesia karena lembaga

Page 117: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ini melaksanakan wewenang diluar kekuasaan eksekutif, legislatif dan

yudikatif serta keberadaannya yang bersifat mengawasi pelaksaanaan

pemerintahan.

Dalam kasus antara KPI dengan Pemerintah dalam hal ini

Menteri Komunikasi dan Informasi, upaya KPI untuk mengajukan

permohonan SKLN ke Mahkamah Konstitusi dalam hal persengketaan

kewenangan pemeberian izin dan pembuatan regulasi di bidang

penyiaran merupakan bentuk penegakan prinsip-prinsip demokrasi di

Indonesia. KPI mempunyai kekhawatiran jika kewenangan yang

diberikan UU Penyiaran kepada KPI untuk melaksanakan wewenang di

bidang penyiaran diambil alih oleh Pemerintah akan mengembalikan

fungsi penyiaran ke zaman Orde Baru kembali seperti pembentukan

Departemen Penerangan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk

membatasi penyiaran. Kemudian kekhawatiran yang lainnya adalah

penyiaran akan dibatasi dan kebebasan untuk berekspresi serta

berpendapat menjadi terbatas akibat penguasaan Pemerintah yang

notabene dalam pelaksaanan wewenangnya banyak terdapat kepentingan

serta dikhawatirkan otorterisme lahir kembali di Indonesia. Adanya UU

Penyiaran adalah untuk menjaga dan menghindari adanya otoriterisme

Pemerrintah dalam bidang penyiaran serta pemberian kewenangan

kepada KPI dalam bidang penyiaran adalah wujud penegakan niali-nilai

demokrasi karena seyogyanya KPI merupakan lembaga negara yang

dibentuk secara khusus untuk bidang penyiaran yang dalam

melaksanakan wewenangnya mengutamakan sifat yang independen,

akuntabel dan transaparan serta bebas dari kepentingan politik.

Sehingga adanya kesempatan bagi lembaga negara penunjang

untuk berperkara SKLN di Mahkamah Konstitusi merupakan bentuk

implementasi semangat demokrasi dimana keberadaan Mahkamah

Konstitusi bukan hanya sebagai pengawal konstitusi (guard constitution)

melainkan ikut terlibat dalam menjaga terselenggarannya pemerintahan

negara yang stabil dan perwujudan good governance di Indonesia.

Page 118: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab sebelumnya mengenai analisis yuridis

kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara penunjang dalam sengketa

kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dapat

diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Dengan adanya perkembangan ketatanegaraan modern, mengakibatkan

munculnya lembaga-lembaga negara baru diluar lembaga-lembaga eksekutif,

legislatif dan yudikatif (trias politica) yang sifatnya penunjang. Dimana

lembaga negara penunjang tersebut disebutkan secara eksplisit dalam UUD

1945 dan pengaturan kewenangannya tidak disebutkan secara jelas dalam

UUD 1945, seperti KPU, Bank Sentral dan Dewan Pertimbangan Presiden.

Munculnya lembaga negara penunjang juga berpotensi menghadirkan konflik

baru dalam hal kewenangan dengan lembaga negara lain yang telah ada.

Namun, terdapat multitafsir dan kekosongan hukum mengenai pengaturan

mengenai subjectum litis dan objectum litis dalam hukum acara sengketa

kewenangan antar lembaga negara. Kemudian setelah dianalisis, ketentuan

mengenai legal standing lembaga negara penunjang untuk mengajukan

permohonan pada perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara

(SKLN) di Mahkamah Konstitusi sah-sah saja apabila kewenangan

konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan

oleh lembaga negara yang lain sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1)

PMK Nomor 08/PMK/2006. Dengan merujuk legitimasi Hakim Konstitusi

hendaknya dilakukan penafsiran yang lebih luas dalam menentukan subjectum

litis dan objectum litis dalam hukum acara SKLN selain melalui penafsiran

Hakim Konstitusi juga perlu melakukan interpretasi yang dibatasi sesuai

dengan konteks yang tepat, yaitu bentuk pemberian kekuasaan terhadap

Page 119: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

lembaga tersebut yang harus atributif dan derivatif yang tidak mengandung

hierarki.

2. Mengenai implikasi yuridis dari Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006

mengenai sengketa kewenangan antar lembaga negara antara Pemohon yaitu

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Termohon yaitu Presiden qq.

Menteri Komunikasi dan Informasi yang tidak menerima permohonan

Pemohon. Mengakibatkan kedudukan hukum (legal standing) lembaga

negara penunjang dalam hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga

negara terdiskriminasi dimana Hakim Konstitusi masih menafsirkan secara

sempit dan tekstual makna “lembaga negara” dalam Pasal 61 Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Mahkamah Konstitusi, kemudian didalam menentukan subjectum litis atau

objectum litis perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan UUD 1945, ditentukan terlebih dahulu

kewenangan-kewenangan yang diberikan dalam Undang-Undang Dasar dan

baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut

diberikan. Sehingga ukuran untuk menentukan apakah lembaga dimaksud

termasuk lembaga negara atau bukan, tidak hanya berdasarkan kepada

kedudukan struktural lembaga yang bersangkutan dalam UUD 1945 dan

bukan pula nama resminya, melainkan harus juga melihat kepada fungsi dari

lembaga negara itu dalam UUD 1945.

B. Saran

Dari seluruh uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya

Penulis dapat memberikan saran sebagai berikut :

1. Mengingat semakin banyaknya lembaga negara penunjang yang

berimplikasi pada potensi sengketa kewenangan kelembagaan negara,

maka diperlukan perumusan langkah ideal dalam penataan sistem hukum

nasional. Penataan dimaksud adalah upaya menyelaraskan, menyerasikan,

menyesuaikan, menyeimbangkan dan konsistensi unsur-unsur sistem

Page 120: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

hukum dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum, sehingga

tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain dalam kerangka

sistem hukum nasional. Dalam rangka menata sistem hukum nasional

secara menyeluruh dan terintegrasi demikian itu, dilakukan dengan

meletakkan pola pikir penataan sistem hukum nasional yang dijiwai

Pancasila dan bersumber pada UUD 1945 dan Perubahan UUD 1945.

Dengan demikian, upaya penataan sistem hukum nasional merupakan

“conditio sine qua non” bagi terjaminnya kepastian hukum, ketertiban

hukum, penegakan hukum dan perlindungan hukum yang berintikan

keadilan dan kebenaran. Penataan dilakukan dengan mengacu pada potensi

masalah dalam penyelesaian sengketa kelembagaan negara, sehingga

penataan kelembagaan negara dalam rangka sistem hukum Indonesia pada

hakekatnya ialah mencari sistem hukum yang sesuai dan mampu menjadi

wadah dari ide-ide ataupun gagasan-gagasan yang mendasari hasrat

bernegara menuju masyarakat yang diidam-idamkan.

2. Untuk kedepannya Mahkamah Konstitusi hendaknya mengisi kekosongan

hukum dengan membuat sebuah penafsiran yang pasti mengenai

kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara penunjang dalam

hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara di Mahkamah

Konstitusi. Penafsiran tidak hanya tekstual dan gramatikal dimana

pengertian kewenangan suatu lembaga negara yang diberikan oleh UUD

1945 tidaklah diartikan bahwa kewenangan tersebut harus secara expressis

verbis tertulis melainkan memperluas penafsiran secara moderat baik

menggunakan penafsiran ekstensif, sitematik, logika maupun analogi dan

seterusnya. Sehingga lembaga negara penunjang yang kewenangan

konstitusionalnya diambil oleh lembaga negara lain dapat mengajukan

permohonan untuk berpekara di Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai

dengan semangat bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi bukan hanya

sebagai pengawal konstitusi melainkan sekaligus juga untuk menjaga

terselenggarannya pemerintahan negara yang stabil sesuai dengan

Page 121: digilib.uns.ac.id/Analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Penjelasan Umum pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi.

3. Perlu adanya perbaikan atau revisi terhadap Peraturan Mahkamah

Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 mengenai Hukum Acara sengketa

kewenangan antar lembaga negara karena legitimasi yuridis pengaturan

sengketa kewenangan antar lembaga negara belum mempunyai dasar yang

jelas dan banyak menimbulkan multitafsir di kalangan ahli hukum dalam

menentukan legal standing dan dalam sengketa kewenangan antar

lembaga negara di Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya perbaikan

peraturan, diharapkan kekosongan hukum dan multitafsir terhadap

kewenangan lembaga negara dapat diminimalisir permasalahannya.