obstructive sleep apnea
DESCRIPTION
Referat Obstructive Sleep Apnea Pembimbing: dr. Liliek Andriani, Sp.THT-KL Oleh: Danang Tri Nurcahyo dan Ramada Sherin Zulfani KSM ILMU THT RSU HAJI SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2021TRANSCRIPT
REFERAT
Obstructive Sleep Apnea
Pembimbing:
dr. Liliek Andriani, Sp.THT-KL
Oleh:
Danang Tri Nurcahyo (202110401011065)
Ramada Sherin Zulfani (202110401011030)
KSM THT-KL
RSU HAJI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2021
i
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Obstructive Sleep Apnea
Referat dengan judul “Obstructive Sleep Apnea” telah diperiksa dan disetujui
sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
Dokter Muda di bagian Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala Leher (THT-
KL) RSU Haji Surabaya.
Surabaya, 13 Desember 2021
Pembimbing
dr. Liliek Andriani, Sp. THT-KL
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis mampu menyelesaikan
referat yang berjudul “Obstructive Sleep Apnea”. Sholawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari zaman yang gelap gulita menuju zaman yang terang menderang
seperti saat ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak, rekan sejawat, dan terutama dr. Liliek Andriani, Sp. THT-KL yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing, sehingga referat ini dapat terselesaikan
dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat membuka diri terhadap kritik dan
saran yang membangun. Akhir kata, semoga referat ini dapat memberikan manfaat
bagi seluruh pembaca yang membutuhkannya.
Surabaya, 13 Desember 2021
Penulis
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Definisi 3
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Etiologi 4
2.4 Patofisiologi 4
2.5 Klasifikasi 7
2.6 Penegakan Diagnosis 7
2.7 Tatalaksana 11
2.8 Komplikasi 13
2.9 Prognosis 14
BAB 3 KESIMPULAN 15
DAFTAR PUSTAKA 16
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sleep apnea adalah timbulnya episode abnormal pada frekuensi nafas
yang berhubungan dengan penyempitan saluran nafas atas pada keadaan tidur yang
dapat berupa henti nafas (apnea) atau menurunnya ventilasi (hipopnea). Sleep
apnea ditandai oleh terhentinya aliran udara di hidung dan mulut pada saat tidur dan
lamanya lebih dari 10 detik, terjadi berulang kali, dapat mencapai 20-60 kali per
jam, dan disertai dengan penurunan saturasi oksigen lebih dari 4%. Ada tiga
tipe apnea/hipopnea yaitu tipe obstruktif (Obstructive Sleep Apnea/OSA) ialah
penghentian airan udara namun usaha napas tetap ada , tipe sentral (Cental
Sleep Apnea/CSA) ialah penghentian aliran udara dan usaha napas secara
bersamaan dan tipe campuran (Mixed Sleep Apnea/MSA) yang merupakan
campuran dari keduanya (Olszewska, 2012).
OSA merupakan salah satu bentuk gangguan nafas terkait tidur yang paling
sering terjadi. Diperkirakan bahwa lebih dari 12 juta orang dewasa di Amerika
mengalami OSA lebih sering terjadi pada laki-laki dengan perbandingan sekitar
24% pria dan 9% persen wanita atau sekitar 1 dari 25 pria paruh baya yang
menderita OSA, dan untuk 1 dari 50 wanita paruh baya. OSA adalah penyempitan
berulang tenggorokan saat tidur baik sebagian atau seluruhnya yang
menghambat aliran udara. Penyumbatan ini bisa menyebabkan masalah
pernapasan, atau bahkan dapat terjadi henti napas untuk 10 sampai 20 detik atau
lebih, dan berberapa kali setiap malam, juga terdapat gejala mendengkur
(snoring), rasa mengantuk di siang hari, tidur yang tidak lelap, sakit kepala
pada pagi hari, gangguan emosi dan mental (Olszewska, 2012).
Selama beberapa dekade terakhir, OSA muncul sebagai suatu faktor
penyebab potensial beberapa penyakit kardiovaskular. Kondisi ini mencakup
antara lain hipertensi, penyakit arteri koroner, infark miokard, gagal jantung
dan stroke, dan hipertensi pulmonal. Rasa mengantuk yang berlebihan pada siang
hari akibat OSA dapat menyebabkan penderita tertidur tiba-tiba sehingga
2
mengganggu pekerjaan dan dapat menimbulkan kecelakaan. Risiko kecelakaan
lalu lintas pada pengendara dengan OSA 2-7 kali lebih tinggi daripada pengendara
normal (Sankar, 2013).
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
OSA adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peristiwa kolapsnya
saluran napas bagian atas secara periodik pada saat tidur yang mengakibatkan
apnea (penghentian aliran udara selama 10 detik sehingga menyebabkan 2-4%
penurunan saturasi oksigen) dan hipopnea (penurunan aliran udara paling sedikit
30-50% penurunan saturasi oksigen ) atau keduanya dengan periode antara 10 dan
30 detik, akibat adanya sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi
secara berulang pada saat tidur selama NREM (Non Rapid Eye Movement) atau
REM (Rapid Eye Movement) sehingga menyebabkan aliran udara ke paru
menjadi terhambat dan menyebabkan pengurangan mendadak saturasi oksigen
darah dengan kadar oksigen turun sebanyak 40 persen atau lebih pada kasus
yang berat (Carlos, 2013).
2.2 Epidemiologi
OSA dapat terjadi dalam setiap kelompok umur, namun terjadi
kenaikan prevalensi antara usia pertengahan dan usia tua dengan prevalensi
meningkat setidaknya menjadi 1 dari 10 orang di antara orang yang berusia di atas
65 tahun. Tingkat prevalensi pada orang dewasa dengan OSA menujukan hasilnya
berbeda di tiap negaranya. Namun dapat diperkirakan sekitar 3 - 7 % untuk laki-
laki dewasa dan 2-5 % untuk wanita dewasa pada populasi umum (Punjabi,
2008).
Berbagai penelitian epidemiologi telah dilakukan terutama di negara
maju, mendapatkan kejadian OSA yang seringkali berhubungan dengan
berbagai penyakit seperti diabetes melitus, stroke, polycystic ovary syndrome,
congestive heart failure, dan coronary artery disease (Jamie, 2010).
4
2.3 Etiologi
Etiologi OSA adalah keadaan kompleks yang saling mempengaruhi berupa
neural, hormonal, maskular dan struktur anatomi, contohnya: kegemukan terutama
pada tubuh bagian atas dipertimbangkan sebagai resiko utama untuk terjadinya
OSA. Penambahan berat badan akan meningkatkan gejala gejala OSA
OSA yang seringkali berhubungan dengan berbagai penyakit seperti
diabetes melitus, stroke, polycystic ovary syndrome, congestive heart failure, dan
coronary artery disease (Sankar, 2013)
2.4 Patofisiologi
Ada tiga faktor yang berperan pada patofisiologi OSA. Faktor pertama
yaitu obstruksi saluran napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan
palatum ke belakang yang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring,
yang menyebabkan terhentinya aliran udara, meskipun pernapasan masih
berlangsung pada saat tidur. Sehingga timbul apnea, asfiksia sampai periode
arousal atau proses terbangun yang singkat dari tidur dan terjadi perbaikan
patensi saluran napas atas sehingga aliran udara dapat diteruskan kembali. Dengan
perbaikan asfiksia, penderita tidur kembali sampai kejadian berikutnya terulang
kembali (Sankar, 2013)
Faktor kedua adalah ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot
5
dilator faring (m. Pterigoid medial, m. Tensor veli palatini, m. genioglosus, m.
geniohiod, dan m. sternohioid) yang berfungsi menjaga keseimbangan tekanan
faring pada saat terjadinya tekanan negatif intratorakal akibat kontraksi
diafragma. Kelainan fungsi kontrol neuromuskular pada otot dilator faring berperan
terhadap kolapsnya saluran napas. Defek kontrol ventilasi di otak menyebabkan
kegagalan atau terlambatnya refleks otot dilator faring, saat pasien mengalami
periode apnea hipopnea (Welch, 2008)
Saluran napas atas kolaps jika tekanan faring negatif selama inspirasi
melebihi kekuatan stabilisasi otot dilator dan abduktor saluran napas atas. Beberapa
penderitadengan penyempitan saluran napas akibat mikrognatia, retrognatia,
hipertropi adenotosil, magroglossia atau akromegali. Reduksi ukuran orofaring
menyebabkan complaince saluran napas atas meningkat sehingga cenderung
kolaps jika ada tekanan negatif (Sankar, 2013).
Saat bangun, aktivitas otot saluran napas atas lebih besar dari normal,
kemungkinan merupakan kompensasi dari penyempitan dan tahanan saluran napas
yang tinggi. Aktivitas otot yang menurun saat tidur menyebabkan kolaps saluran
napas atas sewaktu inspirasi. Reduksi fisiologis aktivitas saluran napas atas
terjadi selama tidur REM. Alkohol dan obat sedatif menyebabkan depresi
aktivitas otot saluran napas atas sehingga terjadi kolap (Sankar, 2013).
Beberapa penderita juga mengalami gejala obstruksi hidung. Tahanan
tinggi merupakan predisposisi kolaps saluran napas atas karena tekanan negatif
meningkat di faring saat inspirasi yang menyebabkan kontraksi diafragma
meningkat untuk mengatasi tahanan aliran udara di hidung. Pada orang normal,
ukuran dan panjang palatum molle, uvula dan besar lidah, saluran napas atas pada
tingkat nasofaring, orofaring dan hipofaring ukuran dan konturnya normal
(Sankar, 2013; Welch, 2008).
Faktor ketiga adalah kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai
hipofaring yang dapat menyebabkan penyempitan pada saluran napas atas.
Kelainan daerah inidapat menyebabkan tahanan yang tinggi. Tahanan ini juga
merupakan predisposisi kolapsnya saluran napas atas. Kolaps nasofaring
ditemukan pada 81% dari 64 pasien OSA dan 75% diantaranya memiliki lebih dari
satu penyempitan saluran napas atas (Sankar, 2013; Welch, 2008).
6
Obesitas juga berperan dalam penyempitan jalan napas. Berat badan
yang berlebihan pada dinding dada dan disfungsi diafragma mengganggu upaya
ventilasi saat tidur dan jaringan lemak pada leher dan lidah mempersempit diameter
saluran napas yang merupakan predisposisi terjadinya penutupan prematur saat
jaringan otot relaksasi waktu tidur (Sankar, 2013; Welch, 2008).
7
2.5 Klasifikasi OSA
Klasifikasi derajat OSA berdasarkan nilai Apnea Hypopnea Index (AHI)
yang ditetapkan oleh The American Academy of Sleep Medicine. AHI adalah
indeks yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan dari OSA berdasarkan jumlah
apnea dan hipopnea yang terjadi per jam atau dapat dirumuskan sebagai jumlah
apnea ditambah hipopnea dibagi dengan waktu total tidur. AHI dikelompokan menjadi
3 golongan :
1. Ringan (nilai AHI 5-15).
Biasanya manifestasi yang muncul berupa rasa kantuk selama kegiatan yang
memerlukan sedikit perhatian, seperti menonton TV atau membaca.
2. Sedang (nilai AHI 15-30).
Biasanya manifestasi yang muncul berupa rasa kantuk selama kegiatan yang
membutuhkan perhatian, seperti pertemuan atau presentasi.
3. Berat (nilai AHI >30)
Biasanya manifestasi yang muncul berupa rasa kantuk selama kegiatan yang
membutuhkan perhatian lebih aktif, seperti berbicara atau mengemudi (Carlos, 2013)
2.6 Penegakkan diagnosis
Diagnosis OSA ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola
tidur, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus.
Gabungan data yang akurat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat
mengarahkan kepada indikasi untuk melakukan pemeriksaan baku emas OSA.
a. Anamnesis
Gejala utama OSA adalah daytime hypersomnolence. Gejala ini tidak dapat
dinilai secara kuantitatif karena pasien sering sulit membedakan rasa mengantuk
dengan kelelahan. Hampir 30% pria dan 40% wanita dewasa dengan nilai AHI
>5x/jam mengeluh tidak segar saat bangun. Dilaporkan 25% pria dan 30% wanita
dewasa mengeluh mengalami rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari.
8
Epworth sleepiness scale (ESS) dan Standford sleepiness scale (SSS) adalah
kuisioner yang mudah dan cepat untuk menilai gejala rasa mengantuk. Skala ini
tidak berhubungan secara langsung dengan indeks skor AHI. Penyebab daytime
hypersomnolence adalah karena adanya tidur yang terputus-putus,
berhubungandengan respons saraf pusat yang berulang karena adanya gangguan
pernapasan saat tidur (Jameson, 2018).
Kuisioner EES dan SSS dapat digunakan untuk menanyakan keluhan yang
berhubungan dengan gejala OSA. ESS digunakan untuk menilai bagaimana
kebiasan tidur dan rasa mengantuk pasien dalam kegiatan sehari-hari, sedangkan
SSS untuk mengetahui seberapa mengantuknya pasien pada kegiatan tersebut.
Multiple sleeplatency testing (MSLT) adalah pemeriksaan yang bersifat objektif
untuk mengevaluasi derajat beratnya rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari.
Pemeriksa juga harus menanyakan kepada pasien tentang pengalaman terbangun
dari tidur karena tersedak, mendengkur (dapat ditanyakan pada teman tidur) dan
bangun dari tidur dengan badan terasa tidak segar (Jameson, 2018).
nilai 0 =tidak pernah mengantuk
nilai 1 = sedikit mengantuk,
nilai 2 = cukup mengantuk,
Nilai 3 = sangat mengantuk dan tertidur.
Apabila hasil skor dari kuesioner ESS ≥ 10, maka artinya pasien mengalami diurnal
hypersomnolence atau daytime sleepniness dan mengalami gangguan tidur
9
b. Pemeriksaan Fisik
Hal-hal yang harus dinilai pada pemeriksaan fisik adalah IMT, ukuran
lingkar leher, keadaan rongga hidung (deviasi septum, hipertrofi konka, polip,
adenoid), perasat Mueller (untuk menilai penyempitan veloorofaring), penilaian
Friedmantounge position (modifikasi Mallampati), bentuk palatum mole, bentuk
uvula, palatal flutter, palatal floppy, ukuran tonsil dan penyempitan peritonsil
lateral. Populasi dewasa dengan IMT >30 kg/m2 memiliki prevalensi OSA >50%.
Perlu diketahui bahwa penilaian IMT dan lingkar leher tidak memiliki predictive
abilities pada wanita. Mendengkur memiliki positive predictive value (PPV) 63%
dan negative predictivevalue (NPV) 56% pada OSA. Pemeriksaan Oksimetri pada
saat tidur malam harisebagai skrining OSA memiliki sensitivitas sebesar 31%.
Kombinasi dari semua faktor di atas dapat meningkatkan predictive abilities antara
60-70% (Kline, 2021).
Untuk memudahkan penilaian saluran napas atas, Friedman membuat
standar pemeriksaan daerah naso-velo-orofaring. Ada empat derajat Friedman
tounge position. Pasien membuka mulut tanpa mengeluarkan lidah, dilakukan
observasi: derajat I, seluruh uvula tervisualisasi; derajat II, uvula tervisualisasi
tetapi tonsil tidak terlihat; derajat III, palatum mole tervisualisasi, tetapi uvula tidak
terlihat; derajat IV, hanya palatum durum yang tervisualisasi. Pemeriksaan ini dapat
memprediksi ada tidaknya OSA.
Pemeriksaan perasat Mueller yang dilakukan saat terjaga, dapat
mencerminkan keadaan mendengkur pasien OSA saat tidur dan dapat digunakan
untuk memprediksi keberhasilan dari operasi uvulopalatopharyngealplasty (UPPP).
Caranya adalah dalam posisi duduk, dilakukan nasoendoskopi dan pasien
diinstruksikan untuk melakukan inspirasi kuat sambil menutup hidung dan mulut.
Pada pemeriksaan ini dilakukan penilaian luas saluran napas atas pada ruang
10
retropalatal dan retroglosal. Penyempitan pada ruang ini dapat terjadi
anteroposterior, laterolateral atau konsentrik.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan sleep endoscopy digunakan untuk memvisualisasikan
obstruksi jalan napas saat pasien tidur. Ada lima daerah yang perlu
diperhatikan, yaitu: palatum mole, dinding faring lateral, tonsil palatina,
tonsil lingua/dasar lidah dan epiglotis. Derajat obstruksi dibagi menjadi
empat kategori. Simple palatal snoring, suara mendengkur berasal dari
getaran palatum mole, dinding sfingter velofaring dan orofaring bagian
atas. Lateral wall collapse, penyebab obstruksi berasal dari area orofaring
dan tonsil palatina. Tounge base/epiglotis, fungsi sfingter velofaring baik,
obstruksi terdapat pada dasar lidah atau karena hipertrofi tonsil lingua.
Epiglotis mungkin memiliki kontribusi terhadap dengkuran. Multi
segmental collapse, tampak obstruksi pada beberapa tingkatan anatomi.
2. Pemeriksaan sefalometri dan foto polos saluran napas atas dapat
digunakan untuk mengevaluasi kelainan anatomi kraniofasial. Komputer
tomografi dan magneticresonance imaging (MRI) juga dapat memfasilitasi
untuk memahami hubungan antara kelainan anatomi kraniofasial dengan
gangguan pernapasan.
3. Polisomnografi (PSG) adalah pemeriksaan baku emas untuk menegakkan
diagnosis OSA. PSG merupakan uji diagnostik untuk mengevaluasi
gangguan tiduryang dilakukan pada malam hari di laboratorium tidur,
digunakan untuk membantu pemilihan terapi dan evaluasi hasil terapi. Ada
tiga sinyal utama yang dimonitor yaitu pertama, sinyal untuk
mengkonfirmasi keadaan stadium tidur seperti elektroensefalogram
(EEG), elektrookulogram (EOG) dan submental elektromiogram (EMG).
Sinyal kedua adalah sinyal yang berhubungan dengan irama jantung, yaitu
elektrokardiogram (ECG) dan sinyal ketiga yang berhubungan dengan
respirasi seperti airflow (nasal thermistor technique), oksimetri,
mendengkur, kapnografi, EMGinterkostal, balon manometri esofageal,
thoraco-abdominal effort, nasal pressuretransducer, pneumotachography
face mask dan kadar PCO2.
Karakteristik OSA pada saat dilakukan PSG adalah penurunan
saturasi oksigen berulang, sumbatan sebagian atau seluruh jalan napas atas
11
yang disertai dengan ≥ 50% penurunan amplitudo pernapasan,
peningkatan usaha pernapasan sehingga terjadi perubahan stadium tidur
menjadi lebih dangkal dan terjadi desaturasi oksigen.
Pemeriksaan dengan portable monitor (PM) dapat dilakukan di luar
laboratorium sebagai alternatif pemeriksaan PSG pada pasien yang diduga
menderita OSAS sedang hingga berat. Peralatannya bervariasi dari single
channel oxymeter hingga PSG lengkap. Pada umumnya PM mengukur
beberapa parameter seperti saturasi oksigen, sistem respirasi dan jantung,
aktivitas tidur/terjaga, tetapi sebagian besar tidak merekam EEG. PM
memiliki biosensor untuk sedikitnya mengukur aliran udara, usaha untuk
bernafas, dan oksigenasi darah. Penegakan diagnosis dan tingkatan OSAS
ditentukan dengan kriteria yang sama dengan PSG. Apabila pemeriksaan
PM pada pasien yang diduga OSAS gagal atau tidak adekuat maka harus
dilakukan pemeriksaan PSG di laboratorium (Chang, 2019).
2.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan OSA terdiri dari terapi non bedah dan terapi bedah.
Terapi non bedah
Terapi non bedah dapat dilakukan dengan modifikasi gaya hidup,
penggunaan oral appliance (OA) dan CPAP. Modifikasi gaya hidup dengan
menurunkan berat badan karena penderita OSA dengan obesitas dapat
meningkatkan volume dan fungsi saluran napas atas. Menghindari konsumsi
minuman beralkohol, obat penenang, nikotin dan kafein pada malam hari dapat
memperbaiki tonus otot saluran napas atas dan mekanisme pernapasan sentral
(Chang, 2019).
Pasien dengan OSA ringan hingga sedang yang tidak dapat menggunakan
CPAP atau yang tidak berhasil dengan CPAP dapat menggunakan OA. Alat ini
mereposisi anatomi saluran napas bagian atas guna mencegah obstruksi dengan
melebarkan saluran udara, menstabilkan rahang atas ke depan, serta melebarkan
palatum mole dan lidah. OA terdiri dari Mandibular Advancement Device (MAD)
yang mendorong rahang bawah ke depan bawah untuk menjaga saluran napas tetap
terbuka dan Tongue Retaining Device (TRD) yang menahan lidah pada posisinya
agar saluran napas tetap terbuka. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah
12
rasa nyeri pada malam hari, bibir kering, rasa tidak nyaman pada gigi. Pada
pemakaian jangka panjang dapat terjadi perubahan posisi gigi atau rahang yang
bersifat permanen. Kontraindikasi pemakaian OA adalah artritis sendi rahang,
keadaan gigi yang buruk, sumbatan hidung, motivasi pasien yang kurang, stenosis
faring. Penggunaan OA memberikan perbaikan AHI yang signifikan, desaturasi
oksigen minimal, arousal index minimal, sedikit efek samping, penerimaan pasien
yang baik dan kenyamanan setelah pemakaian selama 6 bulan (Kryger, 2021).
Oral appliance
Penggunaan CPAP adalah terapi non-bedah OSA yang dianggap paling
efektif untuk menurunkan gejala mendengkur, apnea-hipopnea dan daytime
hypersomnolence.The American College of Chest Physicians merekomendasikan
CPAP pada pasiendengan AHI >30 dan juga pasien dengan AHI 5–30 yang
disertai gejala. Kelemahan CPAP adalah adanya rasa tidak nyaman pada saat
penggunaannya, adanya rasa claustrophobia, sakit kepala, rinitis, iritasi wajah dan
hidung serta aerofagia.
Tujuan terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki volume dan
bentuk saluran napas atas. Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan baik.
Indikasi ; pembedahan OSA adalah AHI ≥ 20, saturasi O2 <90%, tekanan
esofagus di bawah - 10 cmH2O, adanya gangguan kardiovaskuler (seperti aritmia
dan hipertensi), gejala neuropsikiatri, gagal dengan terapi nonbedah dan adanya
kelainan anatomi yang menyebabkan obstruksi jalan napas. Tidak ada satu teknik
yang benar-benar baik untuk OSA (Kryger, 2021).
Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP) merupakan salah satu teknik operasi
dengan melakukan eksisi pada margo inferior palatum mole termasuk uvula dan
tonsil. Menurut penelitian metaanalisis yang pernah dilakukan, dinyatakan UPPP
secara signifikan dapat menurunkan AHI dan meningkatkan saturasi oksigen.
13
UPPP kurang efektif pada pasien usia lanjut dan IMT yang tinggi.
Genioglosus advancement dapat memperbaiki obstruksi retroglosal.
Teknik ini dilakukan pada pasien dengan AHI >30 yang disebabkan oleh obstruksi
pada dasar lidah. Keberhasilan teknik ini dalam memperbaiki AHI dan saturasi
oksigen mencapai angka 66-85% (Kline, 2021).
Teknik maksila-mandibular osteotomi dapat dilakukan pada pasien yang
tidak mengalami kemajuan pasca-UPPP dan genioglosus advancement setelah
dievaluasi selama enam bulan dengan PSG. Teknik ini mempunyai angka
keberhasilan 97-100% dalam menurunkan AHI dan meningkatkan saturasi
oksigen darah.
Muskulus genioglosus, geniohioid dan konstriktor faringeal media
berinsersi pada os hioid. Obstruksi yang terjadi pada hipofaring dapat diperbaiki
dengan teknik operasi miotomi hioid dengan suspensi.
Laser-assisted uvuloplasty (LAUP) adalah teknik yang mirip seperti
UPPP, namun menggunakan laser (CO2, argon). Teknik ini dapat dilakukan
dengan anastesi lokal dalam 1-3 sesi rawat jalan. LAUP tidak direkomendasikan
pada pasien yang memiliki obstruksi pada daerah tonsil, penebalan mukosa faring,
hipertrofi tonsil dan AHI >30. LAUP sudah sekarang jarang dikerjakan (Kline,
2021).
Teknik operasi lain adalah radiofrequency ablation (RA) palatum.
Indikasinya untuk pasien dengan obstruksi daerah palatum dan AHI <15. Angka
keberhasilan RA palatum dalam mengeliminasi keluhan mendengkur dan
memperbaiki nilai ESS mencapai 75%, namun tidak mengubah nilai AHI (Kryger,
2021)
2.8 Komplikasi
Konsekuensi yang didapat jika OSA tidak diobati dapat dibagi menjadi 2
kategori yaitu :
Gangguan tidur : penampilan yang buruk dalam mengerjakan pekerjaan,
menurun daya ingat jangka pendek, kecelakaan kerja dan kendaraan bermotor
(pasien OSA memiliki risiko 15 kali lebih sering mendapat kecelakaan kendaraan
bermotor dibandingkan pada populasi umumnya), kehilangan energi sepanjang
hari, sakit kepala pada pagi hari, penambahan berat badan, gangguan mood dan
14
depresi, impotensi dan penurunan hubungan seksual.
Hipertensi (pada 50% pasien OSA) yang jika OSA tetap tidak ditangani
maka kejadian hipertensi akan meningkatkan risiko untuk terjadinya serangan
jantung atau stroke), aritmia jantung, dan stres pada sistem kardiovaskular karena
OSA menyebabkan jantung dan paru bekerja lebih keras. Hipertensi yang terjadi
pada pasien yang tidak terdiagnosis ataupun tidak mendapat pengobatan OSA dapat
menjadi sulit diatasi, dan berbagai konsekuensi yang akan terjadi. Hal ini
mengharuskan pengobatan OSA yang efektif akan memperbaiki dan terkontrolnya
tekanan darah pada beberapa pasien (Kryger, 2021).
2.9 Prognosis
Berdasarkan rekomendasi Scottish Intercollegiate Guidelines Network
(SIGN) berdasarkan penelitian, pasien yang memiliki angka keberhasilan terapi
yang cukup baik adalah pasien dengan AHI ≥ 15 dan pasien dengan penurunan
saturasi oksigen sebesar 4% sebanyak >10 kali per jamnya. Perbaikan tampak dari
berkurangnya rasa mengantuk di siang hari, perbaikan cara mengemudi dengan
simulasi, kualitas hidup, tekanan darah, dan kestabilan emosi. OSAS yang tidak
diterapi dapat mengakibatkan gangguan neurokognitif, sedangkan pada pasien yang
memberikan respons baik terhadap CPAP prognosis jangka pendeknya baik.
Pengobatan 4-8 minggu memberikan status kesehatan umum yang lebih baik,
meningkatkan fungsi kognitif, mengurangi snoring dan rasa mengantuk di siang
hari. Terapi dapat secara signifikan menurunkan risiko komplikasi kardiovaskular,
terutama pada pasien dengan severe OSAS. Penurunan gejala klinis dengan
prosedur bedah tidak selalu sesuai dengan penurunan apnea, demikian pula
berkurangnya rasa mengantuk di siang hari tidak selalu berarti hilangnya OSA; oleh
sebab itu pasien harus diawasi secara periodik dengan PSG untuk memastikan
efektivitas terapi. (American Thorachic Asociety, 2021)
15
BAB 3
KESIMPULAN
OSA adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peristiwa kolapsnya
saluran napas bagian atas secara periodik pada saat tidur yang mengakibatkan
apnea (penghentian aliran udara selama 10 detik sehingga menyebabkan 2-4%
penurunan saturasi oksigen) dan hipopnea (penurunan aliran udara paling sedikit
30-50% penurunan saturasi oksigen ) atau keduanya dengan periode antara 10 dan
30 detik.
Penyebabnya adalah karena adanya sumbatan total atau sebagian jalan
napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur selama NREM (Non Rapid
Eye Movement) atau REM (Rapid Eye Movement) sehingga menyebabkan aliran
udara ke paru menjadi terhambat dan menyebabkan pengurangan mendadak
saturasi oksigen darah dengan kadar oksigen turun sebanyak 40 persen atau
lebih pada kasus yang berat. Patofisiologi: 1) oklusi orofaring dan nasofaring,
2)kegagalan dan terlambatnya reflek otot dilator faring , 3) Kelainan kraniofasial.
Diagnosis OSA dapat ditegakkan melalui anamnesis mengenai pola tidur,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus.
Penatalaksanaan OSApun dibagi menjadi terapi non-bedah dan terapi bedah.
Terapi paling baik saat ini yaitu terapi menggunakan CPAP. Prognosis obstructive
sleep apnea (OSA) yang mendapat terapi continuous positive pressure (CPAP)
lebih baik dibandingkan yang tidak.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. A,Carlos. Edgardo, Nigro. Rhodius, E. Effect of The Definition of Hypopnea On
Apnea On Apnea/ Hypopnea Index. 2013. Medicina – Volume 63
2. American Lung Association State of Lung Disease in Diverse Communities.
2010. Obstructive Sleep Apnea or Sleep-Disordered Breathing
3. American Academy of Sleep Medicine. Obstruktif Sleep Apnea.
4. AskMayoExpert. Oral appliances for obstructive sleep apnea. Mayo Clinic; 2019.
5. Chang HP, et al. Obstructive sleep apnea treatment in adults. Kaohsiung Journal of
Medical Sciences. 2019; doi:10.1002/kjm2.12130.
6. Jameson JL, et al., eds. Sleep apnea. In: Harrison's Principles of Internal Medicine.
20th ed. McGraw-Hill; 2018. https://accessmedicine.mhmedical.com. Accessed
March 15, 2021.
7. Kline LR. Clinical presentation and diagnosis of obstructive sleep apnea in adults.
https://www.uptodate.com/contents/search. Accessed March 15, 2021.
8. Kryger MH, et al. Management of obstructive sleep apnea in adults.
https://www.uptodate.com/contents/search. Accessed March 15, 2021.
9. Lam, Jamie C.M. Sharma , S.K. Lam , Bing. Obstructive sleep apnoea:
Definitions, epidemiology & natura history. 2010. Indian J Med Res 131.
10. National Heart, Lung and Blood Institute. Sleep Apnea: What is Sleep Apnea?
May2009.
11. Olszewska E, dkk. Selected Surgical Management in Snoring and Obstructive Sleep
Apnea Patients. Medical Science Monitor. 2012; 18(1),13-18.
12. Punjabi NM. The epidemiology of adult obstructive sleep apnea. Proc Am ThoracSoc
2008; 5 : 136-43.
17
13. Sankar V, Zapanta PE, Meyers AD. Physiologic Approach in Snoring and Obstructive
Sleep Apnea. 2013 Nov 11.
14. Sleep apnea. National Heart, Lung, and Blood Institute.
https://www.nhlbi.nih.gov/health-topics/sleep-apnea. Accessed March 15, 2021.
15. University of Maryland Medical Center. Obstructive Sleep Apnea. 2013
September.
16. Welch KC, Goldberg AN. Sleep disorders. In: Lalwani AK, editor. Current
diagnosis & treatment, otolaryngology head and neck Surgery. 2nd ed. New
York: McGraw-Hill Companies LANGE; 2008. p.535-47
17. What is obstructive sleep apnea? American Thoracic Society.
https://www.thoracic.org/search.php?cx=007982365765420951334%3A7u3jtkdzuq
u&cof=FORID%3A10&ie=UTF-
8&q=sleep+apnea&sa=&siteurl=www.thoracic.org%2F&ref=medlineplus.gov%2F
&ss=2396j659698j11. Accessed March 15, 2021.
18. White DP. Pathogenesis of Obstructive and Central Sleep Apnea. American
Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 2005;172: 1363-70
19. White DP. The Pathogenesis of Obstructive Sleep Apnea: Advances in Past 100
Years. American Journal of Respiratory Cell and Molecular Biology. 2016; 34: 1