obstructive sleep apnea

12
BAB II ISI 2.1 Obstructive Sleep Apnea Sleep apnea didefinisikan sebagai suatu kelainan yang memiliki karakteristik berupa pernapasan abnormal berupa terhentinya napas selama tidur serta memiliki konsekuensi rasa kantuk di siang hari dan terganggunya fungsi kognitif, termasuk terganggunya ingatan. Berhentinya napas dapat dikategorikan sebagai apnea apabila berlangsung selama sekurangnya 10 detik. Keparahan sleep apnea dapat dinilai dengan indeks henti napas atau apnea- hypopnea index (AHI) dikategorikan ringan bila AHI berkisar 5-15 kali per jam, sedang bila AHI berkisar 15-29 kali per jam, dan berat apabila AHI lebih dari 30 kali per jam. Sleep apnea dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu central sleep apnea, obstructive sleep apnea, dan sleep apnea tipe campuran. Obstructive sleep apnea (OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA) merupakan bentuk umum sleep-disordered breathing (SDB) yang telah dikenal secara umum dan berhubungan dengan berbagai masalah medis serta mempunyai dampak pada angka kesakitan dan kematian sehingga menjadi beban dalam pelayanan kesehatan masyarakat.

Upload: lindiaprabhaswari

Post on 14-Sep-2015

38 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

obstructive sleep apnea

TRANSCRIPT

BAB IIISI2.1Obstructive Sleep ApneaSleep apnea didefinisikan sebagai suatu kelainan yang memiliki karakteristik berupa pernapasan abnormal berupa terhentinya napas selama tidur serta memiliki konsekuensi rasa kantuk di siang hari dan terganggunya fungsi kognitif, termasuk terganggunya ingatan. Berhentinya napas dapat dikategorikan sebagai apnea apabila berlangsung selama sekurangnya 10 detik. Keparahan sleep apnea dapat dinilai dengan indeks henti napas atau apnea-hypopnea index (AHI) dikategorikan ringan bila AHI berkisar 5-15 kali per jam, sedang bila AHI berkisar 15-29 kali per jam, dan berat apabila AHI lebih dari 30 kali per jam.Sleep apnea dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu central sleep apnea, obstructive sleep apnea, dan sleep apnea tipe campuran. Obstructive sleep apnea (OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA) merupakan bentuk umum sleep-disordered breathing (SDB) yang telah dikenal secara umum dan berhubungan dengan berbagai masalah medis serta mempunyai dampak pada angka kesakitan dan kematian sehingga menjadi beban dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Obstructive sleep apnea didefinisikan sebagai ketiadaan aliran udara meskipun terdapat usaha ventilasi yang ditandai dengan adanya kontraksi otot pernapasan (diafragma), merupakan suatu keadaan apnea (penghentian aliran udara selama 10 detik) dan hipopnea (penurunan aliran udara paling sedikit 30-50%) akibat adanya sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur selama fase non-REM atau REM sehingga menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat. Sumbatan ini menyebabkan pasien menjadi terbangun saat tidur atau terjadi peralihan ke tahap tidur yang lebih awal. Kejadian apnea terjadi selama 10-60 detik dan obstructive sleep apnea yang ekstrim dapat terjadi berulang setiap 30 detik. Akibat psikomotor pada obstructive sleep apnea adalah rasa kantuk berlebihan dan lelah pada siang hari serta kualitas tidur yang buruk karena pasien sering terbangun saat tidur.

Gambar 1. Patogenesis Obstructive Sleep ApneaOtot saluran napas atas memegang peranan penting dalam patogenesis terjadinya obstructive sleep apnea. Otot saluran napas atas dibagi menjadi tiga kelompok yaitu otot yang menyangga tulang hyoid (geniohyoid, sternohyoid), otot lidah (genioglossus), dan otot pada palatum (tensor palatini, levator palatini). Berdasarkan prinsip kerjanya, otot-otot tersebut dikelompokkan menjadi otot fasik dan otot tonik. Otot fasik bekerja saat inspirasi dan istirahat saat ekspirasi. Sebaliknya, otot tonik tidak mempunyai siklus seperti itu, otot tonik tetap konstan bekerja sepanjang respirasi. Salah satu contoh otot fasik adalah otot genioglossus.Saat inspirasi, tekanan intralumen menjadi negatif dengan tujuan untuk dapat memasukkan udara dari luar ke dalam paru. Tekanan negatif cenderung menyebabkan kolaps otot-otot saluran napas atas. Saluran napas atas kolaps jika tekanan faring negatif selama inspirasi melebihi kekuatan stabilisasi otot dilator dan abduktor saluran napas atas. Di sisi lain, tekanan negatif pula yang mengaktivasi otot fasik (genioglossus) untuk melawan kolaps sehingga jalan napas tetap terbuka. Sebaliknya ketika ekspirasi, otot fasik tidak teraktivasi.

Mekanisme kerja otot genioglossus dipengaruhi oleh tiga input saraf, yang pertama adalah refleks mekanoreseptor. Tekanan negatif pada saluran napas akan mengaktivasi mekanoreseptor yang terletak pada laring. Kemudian, menghantarkan rangsang aferen ke saraf laringeal superior. Selanjutnya, diteruskan ke motorneuron hipoglossus sehingga otot genioglossus berkontraksi membuka jalan napas. Kedua, pusat pernapasan (central respiratory pattern generator) di batang otak, yang merupakan determinan mayor dari aktivitas otot genioglosus. Pusat pernapasan teraktivasi lebih dahulu yakni sekitar 50-100 milidetik sebelum diafragma berkontraksi. Terakhir, rangsangan neuromodulator (serotonin, asetilkolin, orexin, histamin, norepinefrin) yang mempunyai efek tonik pada motorneuron hipoglossus.Ketiga mekanisme itu hanya teraktivasi saat keadaan terbangun (wakefullness stimulus). Sebaliknya saat tidur, mekanisme tersebut mengalami perubahan. Refleks tekanan negatif, misalnya, mengalami penurunan aktivasi selama fase non-REM dan REM, namun tidak mati total, akibatnya otot faring menjadi mudah kolaps. Pada seseorang yang mengalami obstructive sleep apnea, lumen saluran napasnya lebih sempit daripada orang normal. Lumen yang sempit mengakibatkan tekanan negatif yang lebih besar sehingga diperlukan tenaga yang lebih besar lagi untuk melawan efek kolaps akibat tekanan negatif itu. Namun ketika pasien obstructive sleep apnea tidur, upaya kontraksi genioglossus tidak cukup melawan tekanan negatif itu sehingga timbul obstruksi.Polysomnography merupakan tes baku emas untuk mendiagnosis sleep-disordered breathing, termasuk obstructive sleep apnea. Secara umum, tes ini dilakukan selama tidur malam hari dan dapat diulang pada malam berikutnya sesuai indikasi. Polysomnography terdiri dari pemeriksaan kontinu selama tidur dengan rekaman EEG, okulogram, elektromiogram submental dan tibial, EKG, nasooral air flow, saturasi oksigen perifer serta pergerakan dinding torakoabdominal dan abdomen. Alat ini dapat menyediakan informasi komprehensif mengenai efisiensi tidur, arsitektur tidur, arousal dan penyebabnya, kejadian gangguan nafas, perubahan saturasi oksigen, serta aritmia jantung selama periode tidur

2.2Kegawatdaruratan dalam Obstructive Sleep Apnea Obstructive sleep apnea merupakan bentuk gangguan pernapasan saat tidur dengan angka prevalensi yang tinggi dan seringkali tidak terdiagnosis. Obstructive sleep apnea berhubungan dengan hipertensi, penyakit arteri koroner, stroke, penyakit vaskuler perifer, gagal jantung, dan aritmia. Terdapatnya suatu obstructive sleep apnea dapat menjadi prediktor penting terjadinya dampak kardiovaskuler yang fatal pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Peningkatan aktivitas simpatis, aktivasi penanda metabolik dan inflamasi, serta gangguan fungsi vaskuler merupakan beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan hubungan antara obstructive sleep apnea dengan penyakit kardiovaskuler. OSA dan HipertensiSebuah penelitian melaporkan bahwa pasien dengan OSA memiliki rata-rata tekanan darah lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol. Ada beberapa mekanisme pada OSA yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan tekanan darah. Pada saat terjadinya fase apnea, tidak ada aliran udara ke paru, kadar oksigen darah akan turun dan kadar CO2 darah meningkat. Pada awal periode ini, tekanan darah akan turun untuk selanjutnya naik secara signifikan sebagai akibat dari mekanisme refleks simpatis dan usaha melawan keadaan obstruksi jalan napas. Penderita OSA mengalami peningkatan aktivitas saraf simpatik sampai dua kali normal pada fase apnea/hipopnea. Repetisi dari hipoksemia dan arousal yang terjadi secara terus-menerus pada OSA diduga menjadi kunci peningkatan tekanan darah. Patofisiologi OSA juga dihubungkan dengan patogenesis kerusakan endotel dan gangguan kemampuan vasodilatasi pembuluh darah. Penelitian Wisconsin Sleep Cohort Study mendapatkan hubungan independen antara OSA dan peningkatan tekanan darah pada siang hari. Penelitian tersebut menyatakan bahwa orang dewasa dengan AHI lebih dari 15 memiliki risiko tiga kali lebih besar untuk mengalami hipertensi dalam empat tahun ke depan. Ditambahkan pula seseorang dengan AHI lebih dari 5 cenderung mengalami peningkatan tekanan darah yang signifikan.Penggunaan terapi CPAP pada pasien OSA dilaporkan dapat menurunkan aktivitas refleks saraf simpatik dan tekanan darah malam hari. Penelitian lain melaporkan penggunaan CPAP pada pasien OSA dan hipertensi, menyimpulkan bahwa terapi CPAP mampu menurunkan tekanan darah pada pasien OSA terutama yang memiliki keluhan klinis, tetapi kurang efektif pada pasien OSA yang memiliki gejala klinis minimal atau yang nonsimtomatis.OSA dan Gagal JantungPenderita gagal jantung kongesti biasanya memiliki faktor central sleep apnea atau obstructive sleep apnea. Krieger dan Caples mengutip dari Sin, menyatakan dari 450 penderita gagal jantung kongesti (CHF), 32%nya memiliki OSA. Menurut Chan seperti yang dikutip oleh Cramer et al menyatakan bahwa 50% penderita gagal jantung diastolik memiliki nilai AHI yang abnormal. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa OSA merupakan predisposisi gagal jantung yang mungkin disebabkan oleh mekanisme edema pada saluran napas atas. Gaziano et al mengutip dari Mansfield menyatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pasien dengan gagal jantung dan OSA, menemukan bahwa penggunaan CPAP pada malam hari selama tiga bulan, secara signifikan berhasil meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri. Penelitian lain yang dilakukan Hanly dan kawan-kawan seperti yang dikutip oleh Krieger dan Caples, menyatakan pasien dengan OSA tanpa gejala koroner mengalami perubahan segmen ST pada echocardiography selama kejadian gangguan pernapasan saat tidur malam hari. Pelepasan vasoaktif dan kerusakan fungsi endotelial yang disebabkan oleh OSA mengakibatkan terjadinya proses arteriosklerosis pada pembuluh darah besar termasuk pembuluh darah koroner. Hal ini diduga dapat menjelaskan hubungan antara OSA dan penyakit kardiovaskuler. Arteriosklerosis secara independen diduga menjadi faktor risiko yang dapat meningkatkan tekanan darah dan mencetuskan terjadinya berbagai bentuk penyakit kardiovaskuler.Hipoksia menurunkan hantaran oksigen yang akan meyebabkan iskemia miokard. Hipoksia juga mengganggu diastolik dan kontraksi jantung. Kombinasi hipoksia dengan usaha inspirasi dan retensi CO2 memicu fase arousal OSA yang akan menstimulasi aktifitas simpatik. Jika hal ini berlangsung terus menerus, maka akan terjadi kardiomiopati hipertrofik, hipertensi, dan gagal jantung. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang menyatakan pasien dengan gejala kardiomiopati hipertrofik dan OSA mengalami perbaikan setelah menjalani terapi OSA dengan baik. Penelitian mendapatkan nilai abnormal nokturnal oksimetri (71%) pada pasien dengan kardiomiopati hipertrofik yang berkaitan dengan OSA. Penelitian lain juga melaporkan bahwa pasien dengan kardiomiopati hipertrofik mengalami penurunan gejala dan obstruksi jalan napas setelah OSA yang ada diterapi dengan CPAP. Peningkatan aktivitas simpatis yang juga terjadi pada OSA dapat mengakibatkan gangguan hemostasis seperti takikardi, kerusakan kardiovaskuler, disfungsi endotel, dan inflamsi sistemik. Pada penderita OSA, gangguan hemostasis ini terus terjadi walaupun pasien sedang terjaga dan belum terdeteksi sebagai penderita penyakit kardiovaskuler.OSA dan Penyakit Jantung IskemikPrevalensi OSA pada penderita penyakit jantung iskemik dua kali lebih besar dibandingkan pada non penderita jantung iskemik. Sebaliknya juga ditemukan bahwa OSA mengakibatkan kejadian dan progesifitas jantung iskemik, hal ini akibat dari penurunan oksigen, asidosis, peningkatan tekanan darah, dan vasokonstriksi arteri koroner dalam waktu yang lama dan berulang hingga terjadilah kerusakan arteri koroner. Suatu penelitian cross-sectional dari Sleep Heart Health Study secara kohort menemukan bahwa OSA sebagai faktor risiko Artery Coronary Disease (CAD). Pada pasien OSA terjadi efek fisiologi akut yang merupakan predisposisi iskemik miokard selama tidur. Penelitian eksperimental, dilaporkan pasien OSA dengan CADberhubungan erat dengan peningkatan frekuensi nadi dan tekanan darah. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa cetusan iskemik diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen. Penelitian lain menunjukkan bahwa OSA menyebabkan penurunan isi sekuncup ventrikel kiri sehingga terjadi perubahan ST segmen yang sesuai dengan iskemik jantung. Segmen ST depresi lebih sering pada pasien OSA berat dan terjadi keluhan angina nokturnal. Episode iskemik berhubungan dengan desaturasi oksigen dan peningkatan frekuensi nadi dan tekanan darah yang memprovokasi keluhan angina sehingga pasien terbangun. Pasien Jantung koroner yang mempunyai OSA merupakan faktor prognostik yang buruk. Berbagai jenis aritmia jantung telah dihubungkan dengan OSA termasuk sinus pause, blok jantung, dan ventricular tachycardia. Kondisi aritmia tersebut merupakan implikasi penyebab kematian mendadak malam hari (sudden nocturnal death) pada pasien dengan OSA.

OSA dan StrokeStroke telah dikaitkan dengan OSA pada studi potong lintang maupun kasus-kontrol yang dilakukan, dan sleep apnea sangat umum ditemukan pada pasien stroke. Fluktuasi pada tekanan darah, penurunan aliran darah otak, perubahan autoregulasi serebral, disfungsi endotel, akselerasi aterogenesis, dan keadaan pro-trombosis dan pro-inflamasi merupakan beberapa mekanisme yang memiliki implikasi terhadap peningkatan risiko stroke pada pasien dengan OSA. OSA pada pasien pasca stroke dapat berkaitan dengan penurunan motivasi, gangguan kognitif, peningkatan risiko terjadinya stroke berulang, dan bahkan kematian. Hubungan yang signifikan juga ditunjukkan antara AHI dan derajat gangguan metabolik pada subtansia alba. Perubahan tersebut mungkin berkaitan dengan disfungsi neuropsikologikal dan disfungsi kognitif pada pasien OSA.Potensi rehabilitasi pasca stroke dapat mengalami perkembangan dengan terapi berupa ventilasi tekanan positif (VTP). Terapi VTP pada stroke akut dapat dimulai pada 50% pasien dengan gangguan pernapasan selama tidur tetapi secara kronis hanya bias dipertahankan pada sebagian kecil pasien saja. Di sisi lain, persentase penggunaan VTP pada pasien stroke dengan OSA menunjukkan angka yang lebih tinggi pada studi lain. Hal ini masih belum jelas apakah OSA dengan sendirinya, tidak bergantung pada faktor lain, merupakan penyebab signifikan terjadinya stroke.

Coronary artery diseaseSindrom Koroner AkutPeripheral vascular diseaseAritmia