obat-obat baru anti malaria

7

Click here to load reader

Upload: maps

Post on 25-Jul-2015

147 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Obat antimalaria baru adalah obat yang belum terdaftar sebagai obat antimalaria, belum beredar dan belum dipakai di Indonesia. Penelitian obat antimalaria baru dilakukan karena sampai saat ini belum ada obat antimalaria yang ideal, hanya kina masih sebagai obat antimalaria penyelamat, kasus resisten yang sudah menyebar dan bertambah berat...

TRANSCRIPT

Page 1: Obat-obat Baru Anti Malaria

Obat-obat Baru Anti Malaria

Emiliana Tjitra Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Malaria adalah salah satu penyakit menular yang merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama di Indo-nesia Bagian Timur. Salah satu kendala dalam penanggulangan malaria adalah masalah pengobatan, walaupun Badan Kesehat-an Dunia (WHO) maupun Departemen Kesehatan telah mem-punyai pedoman penatalaksanaan kasus malaria.

Kesulitan dalam pengobatan diawali dari kepastian diagno-sis sedini mungkin sampai pada kegagalan pengobatan. Kega-galan pengobatan dapat disebabkan karena keterlambatan men-dapat pengobatan, ketidaktepatan regimen dan dosis obat yang

diberikan, serta resistensi Plasmodium terhadap obat anti-malaria yang sudah meluas.

Pengobatan malaria tidak hanya meliputi pengobatan kausal dengan obat antimalaria, pengobatan simptomatik atau suportif juga tidak kalah pentingnya. Hal ini disebabkan karena malaria merupakan penyakit sistemik yang dapat mengenai organ otak, paru, hati, ginjal dan sebagainya yang juga perlu diperbaiki kelainan patofisiologinya.

Obat antimal aria sudah sejak lama dikenal dan sudah banyak ditemukan tetapi sampai saat ini belum ada yang ideal. Obat antimalaria yang ideal adalah obat yang efektif terhadap semua

ABSTRAK

Salah satu kendala dalam penanggulangan malaria adalah masalah pengobatan kausal karena sampai saat ini belum ditemukan obat antimalaria yang ideal dan hanya

Di samping itu kasus Plasmodium resisten as dan bertambah berat. ju lah o timalaria sintetis telah dan bat ini dikenal sebagai antimalaria baru yang

nesia. de at artemisinin) adalah obat antimalaria

kina sebagai obat antimalaria penyelamat. terhadap obat antimalaria sudah menyebar lu

Untuk mengantisipasi hal tersebut, se m bat an

riv

sedang diuji coba pada akhir abad ini. Obat-obelum terdaftar, beredar dan dipakai di Indo

Meflokuin, halofantrin dan artesunat (baru yang bersifat skizontosida darah, dan telah diuji coba terhadap penderita malaria

mberi basil yang baik dengan efek samping falsiparum tanpa komplikasi. Obat-obat ini meringan. Angka kesembuhan, waktu bebas panas adalah 94 – 100%, 9,3 – 25 jam dan 47,1–jam dan 58,3 ± 5,2 jam untuk halofantrin; 7

dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan 59 jam untuk meflokuin; 98,4%, 22,4 ± 22,7 5%, 14,0 ± 4,6 jam dan 32,0 ± 5,9 jam untuk

artesunat. Derivat artemisinin lain yaitu artesunat dan artemether (parenteral) sedang dan akan

diuji coba untuk penderita malaria berat atau dengan komplikasi; halofantrin juga sedang diuji coba untuk malaria falsiparum dengan komplikasi tidak berat dan malaria vivaks.

Obat antimalaria baru lainnya yang juga bersifat skizontosida darah dan belum pernah diuji coba di Indonesia adalah yinghaosu, pyronaridine, piperaquine dan atova-quone.

Page 2: Obat-obat Baru Anti Malaria

jenis dan stadia parasit, menyembuhkan infeksi akut maupun laten, cara pemakaian mudah, harganya terjangkau oleh seluruh lapisan penduduk dan mudah diperoleh, efek samping ringan dan toksisitas rendah(1).

Obat antimalaria dapat dikelompokkan menurut rumus kimia dan efek atau cara kerja obat pada stadia parasit. Obat antimalaria yang ada dan telah dipakai di Indonesia adalah klorokuin, sulfadoksin/sulfalen-pirimetamin, kina dan primakuin. Di samping itu terdapat beberapa obat yang terdaftar sebagai antibiotika di Indonesia tetapi dapat juga bekerja sebagai anti-malaria yaitu golongan tetrasiklin, klindamisin dan lain-lain.

Penggunaan obat-obat yang terdaftar sebagai antimalaria sudah diatur dan dibakukan oleh Departemen Kesehatan sesuai dengan daerah dan sensitivitas Plasmodium falciparum terhadap obat-obat antimalaria. Pembatasan penggunaan obat tersebut berguna untuk menekan berkembangnya kasus resisten terhadap obat-obat antimalaria lainnya.

Penilaian sensitivitas obat hanya baru dapat dilakukan ter-hadap obat-obat yang bersifat skizontosida darah dengan tes in vitro menggunakan kit WHO dan tes in vivo sistim 7 hari untuk di lapangan atau sistim 28 hari atau lebih di klinik atau di rumah sakit(23). Walaupun telah ditemukan kasus Plasmodium vivax resisten terhadap klorokuin(4–7), tetapi umumnya penelitian di-tujukan kepada P. falciparum karena jenis Plasmodium ini yang biasanya berhubungan dengan malaria berat yang banyak me-nimbulkan kematian, semakin dominan dan telah resisten ter-hadap banyak obat antimalaria(8–10).

Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejumlah obat anti-malaria sintetis telah dan sedang diuji coba pada akhir abad ini. Obat-obat ini dikenal sebagai obat antimalaria baru yang belum terdaftar, beredar dan dipakai di Indonesia. OBAT ANTIMALARIA DI INDONESIA

1. Klorokuin Klorokuin merupakan obat antimalaria kelompok 4-amino-

kuinolin yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan gametositosida P. vivax dan P. ma-lariae. Obat ini merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan dan pencegahan semua jenis malaria yang dipakai dalam pro-gram pemberantasan malaria(1).

Klorokuin dikemas dalam bentuk tablet dan suspensi untuk pemberian peroral, dan larutan untuk pemberian parenteral. Waktu paruh klorokuin adalah 1–2 bulan tetapi waktu paruh yang sebenarnya untuk pengobatan adalah 6–10 hari(11). Dosis total klorokuin untuk malaria tanpa komplikasi dan sensitif klorokuin adalah 25 mg basa/kg BB, diberikan dalam 3 hari yaitu hari 1 dan 2 masing-masing 10 mg basa/kg BB dan pada hari 3 adalah 5 mg basa/kg BB dengan dosis tunggal. Bila tidak ada kina dihidroklorida, penderita malaria dengan komplikasi atau ma-laria berat yang sensitif klorokuin dapat diberikan klorokuin 5 mg basa/kg BB dalam larutan infus 10 ml/kg BB NaCl 0.9% atau dextrosa 5%, dalam 4 jam, diulang setiap 12-24 jam sampai mencapai dosis total 25 mg basa/kg BB dalam 3 hari(1,12). Klo-rokuin juga dipakai sebagai obat antimalaria pilihan untuk profi-laksis dengan dosis 5 mg basa/kg BB/minggu, dosis tunggal(1).

Efek samping yang pernah dilaporkan adalah pusing, vertigo. diplopia, mual, muntah dan sakit perut. Hal ini yang membuat penderita minum obat tidak sesuai aturan atau menolak di sam-ping rasanya yang pahit.

Kasus P. falciparum resisten in vivo dan atau in vitro ter-hadap klorokuin sudah ditemukan di 27 propinsi Indonesia; penderita yang ditemukan di DKI Jakarta dan Bali merupakan kasus import. Angka kesembuhan yang dilaporkan sangat ber-variasi antara 10-100% dengan derajat resistensi yang beragam antara R I – R III(9≠9). Meluas dan bertambah beratnya derajat resistensi terhadap obat ini, mungkin disebabkan oleh pemakai-an yang tidak terkontrol dan penggunaan yang tidak tepat karena obat tersebut dijual bebas.

Kasus P. vivax resisten in vivo terhadap klorokuin juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti berdasarkan konsentrasi klorokuin dalam darah serum yang diukur dengan cara High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang sudah melebihi 15 ng/ml(13).

2. Sulfadoksin/Sulfalen - pirimetamin Merupakan obat antimalaria kombinasi antara golongan

sulfonamida/sulfon dengan diaminopirimidin yang bersifat skizontosida jaringan P. falciparum, skizontosida darah dan sporontosida untuk ke empat jenis plasmodium manusia. Kom-binasi obat ini digunakan secara selektif untuk pengobatan radikal malaria falsiparum di daerah-daerah dengan proporsi P. falciparum resisten terhadap klorokuin yang tinggi(1).

Sulfadoksin/sulfalen - pirimetamin (SP) dikemas dalam bentuk tablet untuk pemberian peroral; obat ini tidak diberikan untuk bayi. Waktu paruh sulfonamida adalah 180 jam, sedang-kan pirimetamin adalah 90 jam(14). Dosis yang diberikan untuk pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten klorokuin adalah sulfadoksin 25 mg/kg bb. dan pirimetamin 1,25 mg/kg bb. dosis tunggal. SP tidak dipakai untuk profilaksis(1,15). Efek samping yang pernah dilaporkan adalah sindrom Steven Johnson yang dapat berakibat fatal.

Kasus P. falciparum resisten in vivo atau in vitro terhadap sulfadoksin-pirimetamin sudah ditemukan di 9 propinsi Indo-nesia (Irja, Lampung, Jateng, Sumut, Aceh, Riau, Sulsel, DKI dan Kaltim), penderita yang ditemukan di DKI Jakarta merupa-kan kasus import. Angka kesembuhan yang dilaporkan adalah antara 92-100% dengan derajat resisten R I – R II(9). Meluasnya kasus resisten terhadap obat ini mungkin disebabkan pemakaian yang tidak terkontrol karena obat tersebut dijual bebas, mudah pemberiannya, rasanya tidak pahir; dan pemakaian antibiotika golongan sulfa yang juga meluas.

3. Kina

Kina merupakan obat antimalaria kelompok alkaloida kinkona yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan gametositosida P. vivax dan P. ma-lariae. Sampai saat ini kina merupakan satu-satunya obat anti-malaria penyelamat untuk pengobatan malaria komplikasi atau malaria berat dan juga malaria resisten multidrug(1,12).

Kina dikemas dalam bentuk tablet untuk pemberian peroral dan larutan untuk pemberian parenteral. Waktu paruh kina pada

Page 3: Obat-obat Baru Anti Malaria

orang sehat 11 jam, sedangkan pada penderita malaria tanpa komplikasi 16 jam dan pada malaria berat 18 jam(16). Dosis yang diberikan untuk penderita malaria tanpa komplikasi yang resis-ten multidrug adalah 10 mg garam/kb bb. tiap 8 jam selama 7 hari. Dosis kina setiap hari untuk bayi dihitung 10 mg garam/umur dalam bulan, dibagi dalam 3 bagian dan diberikan selama 7 hari(1,15). Di Thailand, dosis kina untuk anak-anak adalah 10 mg garam/kg bb. tiap 8 jam selama 4 hari kemudian dilanjutkan dengan dosis 15 mg garam/kg bb. tiap 8 jam selama 3 hari untuk mencapai Minimal Inhibitory Concentration (MIC)(15). Untuk penderita malaria berat atau dengan komplikasi, kina diberikan dalam larutan NaCl atau Dextrosa 5%, 10 ml/kg bb. dengan dosis awa120 mg garam atau 16,7 mg basa/kg bb. dalam 4 jam pertama, dilanjutkan dengan dosis 10 mg garam atāu 8,3 mg basa/kg bb. dalam 4 jam berikutnya dan diulang setiap 8 jam sampai pende-rita dapat menelan obat untuk kemudian diselesaikan pengobat-annya per oral sampai hari ke 7. Pemberian dosis awal (loading dose) dengan maksud lebih cepat memberi basil, tetapi tidak diberikan kepada penderita yang dalam 48 jam sebelumnya su-dah diberi kina. Dalam hal ini diberikan kina dosis 8,3 mg basal kg bb.(13–14,17). Pada pengobatan kina parenteral dapat terjadi hipoglikemi(18) dan efek samping yang paling sering ditemukan adalah tinitus.

Kasus P. falciparum resisten in vitro terhadap kina sudah ditemukan di 5 propinsi Indonesia (Jabar, Jateng, NTT, Irja dan Kaltim)(9). Kasus P. vivax resisten in vivo terhadap kina pada penderita pasca transfusi juga telah ditemukan di sebuah rumah sakit di DKI Jakarta(7). Resistensi terhadap kina dampaknya belum meluas dan berat. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya laporan atau penelitian terhadap obat ini, penggunaannya selek-tif, kurang disukai karena memerlukan waktu yang agak lama (7 hari) dan efek samping yang ditimbulkan.

4. Primakuin

Primakuin merupakan obat antimalaria kelompok 8-amino-kuinolin yang bersifat skizontosida jaringan, gametositosida dan sporontosida untuk jenis Plasmodium manusia. Obat ini digunakan bersama obat antimalaria lain yang hanya bersifat skizontosida darah untuk mendapatkan pengobatan radikal. Penggunaan pri-makuin untuk profilaksis kausal masih dalam penelitian; dalam program tidak digunakan untuk profilaksis(1).

Primakuin dikemas dalam bentuk tablet untuk pemberian peroral. Obat ini tidak diberikan pada bayi dan ibu hamil. Waktu paruhnya adalah 6 jam(19–20). Dosis pengobatan radikal malaria falsiparum adalah 0,5–0,75 mg basa/kg bb., dosis tunggal pada hari 1 pengobatan. Untuk pengobatan radikal malaria vivaks, ovale dan malariae, diberikan primakuin 0,25–0,375 mg basa/kg bb., dosis tunggal selama 5–14 hari. Efek samping yang di-laporkan adalah gangguan saluran pencernaan (mual, muntah dan sakit perut) dan sistim hemopoetik (anemi, leukopeni dan methemoglobinemi)(1,15).

Oleh karena primakuin bukan merupakan obat antimalaria yang bersifat skizontosida darah, maka sulit dan belum diketahui cara mengukur sensitivitas in vivo atau in vitro obat ini.

OBAT ANTIBIOTIKA YANG BERKHASIAT ANTI-MALARIA

1) Tetrasiklin Tetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin merupakan obat

antimalaria kelompok antibiotika tetrasiklin yang bersifat skizontosida jaringan dan skizontosida darah untuk P. falci-parum. Oleh karena kerjanya lambat dan kurang efektif, obat ini digunakan bersama obat antimalaria lain yang kerjanya cepat dan menghasilkan efek potensiasi antara lain dengan kina. Obat ini tidak dianjurkan dipakai dan juga tidak dipakai untuk profilaksis kausal dalam program(1).

Tetrasiklin yang dipakai sebagai obat antimalaria adalah bentuk kapsul untuk pemberian peroral. Obat ini tidak diberikan pada anak-anak yang berumur < 8 tahun dan pada ibu hamil karena dapat menyebabkan perubahan warna gigi dan gangguan pertumbuhan gigi dan tulang. Waktu paruh tetrasiklin adalah 8 jam. Dosis yang diberikan adalah 250 mg setiap 8 jam selama 7 hari(1,14–15).

Doksisiklin dan minosiklin dikemas dalam bentuk tablet atau kapsul untuk pemberian peroral. Waktu paruh doksisiklin adalah 18–22 jam. Dosis yang diberikan adalah 1,5–2 mg/kg bb. tiap 12 jam selama 7 hari(14,21). Penggunaan doksisiklin sebagai profilaksis kausal dengan dosis 100 mg/hari, dosis tunggal, akan diteliti di daerah P. falciparum resisten klorokuin (Irja). Efek samping yang dilaporkan adalah gangguan saluran pencernaan yaitu mual, muntah dan sakit perut(14).

Tetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin merupakan obat yang sudah lama dikenal dan dipakai sebagai antibiotika. Obat ini dipakai selektif dalam pengobatan malaria falsiparum resisten klorokuin atau multidrug dan biasanya dipakai bersama dengan kina, sehingga sulit untuk menilai sensitivitas antimalarianya.

2) Klindamisin Klindamisin merupakan antibiotika yang juga bersifat

skizontosida darah untuk P. falciparum dan juga yang resisten klorokuin(22–23). Obat ini tidak dipakai sebagai obat antimalaria dalam program.

Klindamisin dikemas dalam bentuk kapsul untuk pemberian peroral dengan dosis 5–10 mg/kg bb. tiap 12 jam selama 5 hari. Obat ini bekerja lambat, untuk itu dalam pengobatan malaria falsiparum resisten multidrug dianjurkan menggunakan kom-binasi dengan obat antimalaria lain yang bekerja cepat antara lain kina(23-24).

Klindamisin pernah diteliti pada penderita malaria falsi-parum yang in vitro resisten klorokuin di RSU Dili, Timtim pada tahun 1989. Dosis yang diberikan adalah 300 mg tiap 12 jam peroral, selama 5 hari. Angka kesembuhan yang diperoleh adalah 100% dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan adalah 2–6 hari, sedangkan efek sampingnya adalah gangguan saluran pencernaan ringan dan bersifat sementara(25).

3) Lain-lain Kloramfenikol, eritromisin, sulfametoksasol-trimetoprim

dan siprofloksasin (kuinolon) merupakan antibiotika lain yang juga bersifat ant=malaria dan bekerja lambat. Obat ini pernah di-teliti di luar negeri untuk pengobatan malaria falsiparum resisten

Page 4: Obat-obat Baru Anti Malaria

klorokuin dengan kombinasi obat antimalaria lain yang bekerja cepat yaitu kina atau amodiakuin(26–29). OBAT ANTIMALARIA BARU

1) Meflokuin Meflokuin merupakan obat antimalaria golongan 4-metanol

kuinolin yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan strain P. falciparum resisten klorokuin dan multidrue"). Obat ini sudah diteliti di Indonesia sebagai persiapan untuk mendapatkan obat alternatif dalam pengobatan malaria falsiparum resisten multidrug terutama apabila juga telah resisfen terhadap kina.

Meflokuin dikemas dalam berituk tablet dan suspensi untuk pemberian peroral. Obat ini tidak diberikan pada wanita hamil trimester I(17). Waktu paruh meflokuin adalah 3 minggu pada orang sehat dan 2 minggu pada penderita malaria(32–34). Dosis meflokuin untuk pengobatan adalah 15–29 mg/kg bb. peroral, dosis tunggal atau dibagi dalam 2 dosis tiap 12 jam(16–17,35). Untuk memperlambat terjadinya resistensi, dapat dikombinasikan dengan sulfadoksin-pirimetamin (MSP)(36). Penggunaan meflokuin untuk profilaksis akan diteliti dengan dosis awa1750 mg yaitu 250 mg/hari dosis tunggal selama 3 hari pada minggu pertama, kemudian dilanjutkan 250 mg/minggu.

Walaupun meflokuin belum pernah dipakai, pada penelitian sensitivitas P. falciparum in vivo dan atau in vitro, ditemukan kasus resisten di tiga propinsi yaitu Jawa Tengah, Irja dan Kaltim dengan derajat resisten RII–RIII(9,37). Pada pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi, meflokuin memberikan angka kesembuhan 94–100%, waktu bebas panas 9,3–25 jam dan waktu bebas parasit 47,1–59 jam(37–38). Efek samping yang di-temukan hanya mual yang bersifat ringan dan sembuh tanpa pengobatan(38).

Peneliti-peneliti di negara lain mendapatkan angka kesem-buhan yang beragam yaitu 33–100% dan waktu bebas panas yang dibutuhkan lebih lama yaitu 67–84 jam(30,39–43). Efek samping yang juga paling sering dijumpai oleh peneliti-peneliti lain adalah mual yang sembuh tanpa pengobatan(16,30).

2) Halofantrin Halofantrin merupakan obat antimalaria golongan fenantren

metanol yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan strain P. falciparum resisten multi-drug(44). Obat ini tidak digunakan untuk profilaksis dan sedang diteliti di Indonesia sebagai persiapan untuk mendapatkan obat alternatif pada pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten multidrug.

Halofantrin dikemas dalam bentuk tablet, kapsul dan sus-pensi untuk pemberian peroral. Obat ini tidak diberikan pada wanita hamil dan menyusui karena mempunyai efek foetotoksik. Waktu paruhnya adalah 1–2 hari. Dosis yang digunakan untuk pengobatan malaria tanpa komplikasi adalah 8–10 mg/kg bb. tiap 6 jam dengan dosis total 24 mg/kg bb. Untuk mencegah rekrude-sen, halofantrin dapat diberikan kembali dengan dosis sama pada hari ke 3 atau 7(44-45).

Pada uji coba klinik halofantrin di RS ITCI Balikpapan,

ditemukan 1 kasus resisten R I. Efikasi obat tersebut cukup baik dengan angka kesembuhan, waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan adalah 98,4%, 22,4 ± 2,7 jam, 58,3 ± 5,2 jam. Tidak ditemukan perbēdaan nyata efikasi antara penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi yang in vitro sensitif dan resisten klorokuin. Efek samping yang. tercatat adalah diare, .nual, palpitasi dan pusing yang bersifat ringan dan sembuh tanpa pengobatan(47).

Pada penelitian pengobatan malaria di Arso, Irja, selain halofantrin juga diberikan primakuin dosis tunggal setiap hari pada 14 hari pertama dan dilanjutkan tiap 2 hari untuk 14 hari berikutnya untuk mencegah reinfeksi dan relaps. Angka kesem-buhan untuk malaria vivaks maupun malaria falsiparum adalah 100%(48).

Peneliti-peneliti di negara lain mendapatkan angka kesem-buhan 28–100% dengan waktu bebas panas yang dibutuhkan lebih lambat yaitu 28,8 – 68,1 jam dan waktu bebas parasit lebih lambat atau lebih cepat yaitu 42,4 – 75,9 jam(43,49). Salah satu penyebab sangat beragamnya angka kesembuhan halofantrin adalah absorbsi obat tersebut yang akan meningkat bila disertai dengan makanan berlemak(50). Belum lama ini dilaporkan adanya efek samping halofantrin pada jantung (QTc memanjang dan aritmia ventrikel). Oleh sebab itu WHO menghendaki perbaikan keterangan mengenai obat ini(51).

3) Artemisinin (Qinghaosu)

Artemisinin merupakan obat antimalaria golongan ses-kuiterpen lakton yang bersifat skizontosida darah untuk P. falci-parum dan P. vivax. Obat ini merupakan basil perkembangan obat tradisional Cina untuk penderita demam yang dibuat dari ekstrak tumbuhan Artemesia annua L (qinghao) yang sudah di-pakai sejak ribuan tahun yang lalu. Karena adanya efek foeto-toksik, obat ini tidak diberikan pada wanita hamil. Dari uji klinis, obat ini sangat efektif, bekerja sangat cepat dan toksisitasnya rendah(52). Oleh sebab itu obat ini telah dan sedang diteliti untuk mempersiapkan mendapat obat antimalaria alternatif yang efektif dalam pengobatan malaria falsiparum resisten multidrug, dan malaria berat.

Kemasan obat ini tergantung dari jenis derivat artemisinin yaitu : Artesunat

Obat ini ada yang dalam bentuk tablet untuk pemberian peroral dan bentuk serbuk kering dengan pelarut NaHCO3 5% untuk pemberian parenteral (intravena atau intramuskular). Dosis oral yang dianjurkan pada pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi adalah 600 mg dalam 5 hari yaitu 100 mg tiap 12 jam pada hari 1, kemudian dilanjutkan 50 mg tiap 12 jam pada 4 hari berikutnya. Dosis parenteral yang dianjurkan pada pengobatan malaria dengan komplikasi adalah 1,2 mg/kg bb., diberikan pada 0, 4, 24 dan 48 jam (3 hari) sehingga dosis total mencapai 240–300 mg(53). Waktu paruh artesunat parenteral sangat cepat yaitu diperkirakan hanya 48 menit(16).

Pada uji coba klinik pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi di RS ITCI, Balikpapan, tablet artesunat pada awal-nya memberikan angka kesembuhan 100% (s/d hari ke 14) ke-

Page 5: Obat-obat Baru Anti Malaria

mudian menjadi 75% pada hari ke 28, dengan waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan adalah 14,0 ± 4,6 jam dan 32,0 ± 5,9 jam. Tidak ditemukan efek samping secara klinis dan laboratoris(54).

Peneliti-peneliti di Thailand dengan menggunakan dosis tablet artesunatyang sama, memberi angkakesembuhan 76–90% dengan waktu bebas panas sedikit lebih lama yaitu kurang dari 2 hari dan waktu bebas parasit hampir sama yaitu juga kurang dari 2 hari. Efek samping yang ditemukan antara lain : sakit kepala, pusing, mual, muntah, sakit perut, diare, gatal-gatal dan rambut rontok(55–58).

Uji coba pengobatan artesunat intravena 240–300 mg untuk penderita malaria berat sedang dilaksanakan di RSU Balikpapan.

Di Cina, pengobatan malaria dengan artesunat intravena 240 mg memberikan angka kesembuhan 48,7% dengan waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan adalah 14,6 – 27,0 jam dan 32,3 – 58,5 jam. Bila digunakan dosis total 480 mg untuk 7 hari, memberikan angka kesembuhan 94,4%. Efek samping yang dilaporkan hanya skin rash(59).

Demikian pula pada pengobatan malaria dengan artesunat intramuskular dosis 240 mg untuk 3 hari, 360 mg untuk 5 hari, dan 480 mg untuk 7 hari, memberikan angka kesembuhan 48%, 90,2% dan 97,5%. Waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan oleh ke 3 kelompok tersebut tidak berbeda nyata yaitu antara 19,5 – 22,4 jam dan 64,1 – 68,2 jam(59). Artemisinin

Obat ini dalam bentuk tablet (dihidroartemisinin) untuk pemberian peroral dan supositoria (artemisinin) untuk pem-berian perrektal.

Dosis total oral yang pernah diteliti pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi di Cina adalah 240 mg untuk 3 hari, 360 mg untuk 5 hari, dan 480 mg untuk 7 hari, yaitu 120 mg pada hari 1 dilanjutkan 60 mg pada hari berikutnya. Angka kesem-buhan yang diperoleh dengan dosis-dosis tersebut adalah 48%, 94% dan 98%, dan tidak ditemukan perbedaan yang nyata pada waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan. Efek samping yang dilaporkan ailalah skin rash dan penurunan jumlah retikulosit(59).

Dosis total supositoria rektal yang juga pernah diteliti untuk penderita malaria di Cina adalah 2800 mg untuk 3 hari yaitu 600 mg pada 0, 4 jam pada hari 1, kemudian dilanjutkan 2 kali 400 mg pada hari ke 2 dan 3. Angka kesembuhan yang diperoleh 54% dengan waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibu-tuhkan adalah 14,9 – 38,9 jam dan 35,2 – 52,8 jam. Efek samping yang ditemukan adalah tenesmus, sakit perut dan diare yang bersifat sementara dan sembuh tanpa memerlukan pengobatan(59). Artemether

Obat ini dalam bentuk larutan minyak, dikemas dalam bentuk kapsul untuk pemberian peroral dan dalam ampul untuk pemberian intramuskular.

Di Thailand, pengobatan malaria tanpa komplikasi dengan artemether oral dosis total 500 – 700 mg untuk 5 – 7 hari, mem-beri angka kesembuhan 74 – 98%(60).

Uji coba pengobatan malaria berat dengan artemether intra-muskular sedang dan akan dilakukan di Indonesia. Waktu paruh

artemether intramuskular adalah 12 jam(16). Dosis awal yang dianjurkan adalah 3,2 mg/kg bb./hari pada hari 1, kemudian dilanjutkan 1,6 mg/kg bb./hari pada hari berikutnya sehingga dosis total adalah 480 mg untuk 5 hari. Di Cina dengan dosis artemether seperti ini memberi angka kesembuhan 93,3% dengan waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang di-butuhkan adalah 20,6 – 29,7 jam dan 31,9 – 76,2 jam. Efek sam-ping yang ditemukan adalah demam dan penurunan jumlah retikulosit(59). Arteether

Obat ini dalam larutan (I3-etil eter) yang dikemas dalam ampul untuk pemberian intramuskular. Obat ini masih dalam penelitian(61).

Sehubungan dengan cukup tingginya angka rekrudesen, dan pengobatan tampaknya sangat tergantung dari lamanya peng-obatan selain dosis yang tepat, serta memperlambat terjadinya resisten, maka dalam pengobatan digunakan kombinasi dengan obat antimalaria lain antara lain meflokuin, sufadoksin-pirime-tamin, dan doksisiklin(60,62–64).

4) Yinghaosu Yinghaosu merupakan obat antimalaria golongan seskui-

terpen peroksid yang bersifat skizontosida darah untuk P. falci-parum terutama yang resisten klorokuin. Obat ini juga dikem-bangkan dari tanaman obat tradisional Cina yang dapat diberikan peroral atau parenteral. Dilaporkan obat ini tidak ditemukan resisten silang dengan klorokuin, meflokuin dan ginghaosu(65–66).

5) Pyronaridine Pyronaridine merupakan obat antimalaria derivat hidroksi-

anilino benso-naftridin yang mempunyai struktur sama dengan mepakrin dan amodiakuin. Obat ini bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum dan P. vivax resisten multidrug dan sudah digunakan luas di Cina sejak lebih 10 tahun yang lalu(67–68).

Pyronaridine dikemas dalam bentuk tablet dan kapsul untuk pemberian peroral, dan bentuk untuk parenteral yang lebih efektif. Waktu paruh obat ini diperkirakan 63 ± 5 jam. Dosis oral adalah 300 – 400 mg, dua kali sehari pada hari 1 dan kemudian dilanjutkan satu atau dua kali sehari dengan dosis total 1200 g. Dosis parenteral adalah 300 mg intramuskular atau intravena, dua kali sehari tiap 8 jam. Waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan oleh pekerja di Thailand dan Cina adalah 36 dan 57 jam. Efek samping yang pernah ditemukan adalah diare, sakit perut dan muntah-muntah(14,69–70). Untuk memper-lambat terjadinya resisten, pada pengobatan dikombinasikan dengan sulfadoksin-pirimetamin(70).

6) Piperaquine

Piperaquine merupakan obat antimalaria yang bersifat ski-zontosida darah untuk P. falciparum dan sudah digunakan luas di Cina lebih dari 10 tahun yang lalu(71).

Obat ini dikemas dalam bentuk tablet untuk pemberian peroral. Dosis total yang biasa dipakai adalah 1500 mg yaitu dosis awal 600 mg, dilanjutkan 300 mg pada 6 jam berikutnya dan 600 mg pada jam ke 24(71,72). Angka kesembuhan di Cina adalah 33,3 – 100% dengan derajat resisten R I – R 11I(72–73). Efek

Page 6: Obat-obat Baru Anti Malaria

samping yang dilaporkan adalah muntah-muntah(72). Untuk daerah yang diketahui adanya kasus resisten terhadap piperaquine, biasanya dikombinasikan dengan antimalaria lain antara lain sulfadoksin-pirimetamin(71). 7) Atovaquone

Atovaquone merupakan obat antimalaria kelompok hidroksi-naftokuinon yang bersifat skizontosida darah untuk P. falci-parum. Obat ini diharapkan dapat berguna untuk pengobatan malaria falsiparum resisten klorokuin atau multidrug karena cara kerjanya berbeda dengan obat antimalaria skizontosida darah lainnya sehingga diperkirakan tidak terjadi resisten silang de-ngan obat-obat tersebut(74).

Obat ini dikemas dalam bentuk tablet untuk pemberian per-oral. Dosis yang efektif untuk pengobatan masih dalam peneliti-an.

Di Thailand, uji coba atovaquone pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi dengan dosis 750 mg tiap 8 jam, dosis total 3 gram, atau dengan dosis yang lebih tinggi yaitu 750 mg tiap 8 jam selama 7 hari, tidak memberikan angka kesem-buhan yang memuaskan (72% dan 61%). Bila dikombinasikan dengan proguanil atau tetrasiklin akan memberikan angka ke-sembuhan 96 – 100%. Oleh sebab itu dalam pengobatan malaria falsiparum, sebaiknya atovaquone dikombinasikan dengan obat antimalaria lain yang mempunyai efek potensiasi(75). KESIMPULAN 1) Obat antimalaria baru adalah obat yang belum terdaftar sebagai obat antimalaria, belum beredar dan belum dipakai di Indonesia. 2) Penelitian obat antimalaria barn dilakukan karena sampai saat ini belum ada obat antimalaria yang ideal, hanya kina masih sebagai obat antimalaria penyelamat, kasus resisten yang sudah menyebar dan bertambah berat. 3) Setiap penelitian obat antimalaria baru umumnya bertujuan mempersiapkan obat antimalaria alternatif yang efektif untuk pengobatan malaria falsiparum resisten multidrug dan malaria berat. 4) Meflokuin, halofantrin dan tablet artesunat merupakan obat antimalaria yang telah diteliti pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi di daerah resisten klorokuin dan atau multi-drug, dan memberikan hasil yang cukup baik dengan efek sam-ping yang ringan dan sembuh tanpa pengobatan. 5) Halofantrin sedang diuji coba klinik untuk penderita malaria falsiparum dengan komplikasi tidak berat dan malaria vivaks, sedangkan artesunat intravena dan artemether intramuskular sedang dan akan diteliti pada penderita malaria berat. 6) Yinghaosu, pyronaridine, pipēraquine dan atovaquone me-rupakan obat antimalaria baru lain yang belum diteliti. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Kepala Puslit Penyakit Menular dan Panitia Simposium dan Lokakarya Malaria di Manado yang mempercaya-kan saya membicarakan makalah ini.

KEPUSTAKAAN

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pem-berantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Malaria : Pengobatan no 3, 1991.

2. World Health Organization. WHO Technical Report Series 1973; 529. 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pem-

berantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Malaria : Tes resistensi in vivo dan in vitro untuk P. falciparum no 9, 1991.

4. Schwartz IK, Lacteritz EM, Patchen LC. Letter : Chloroquine resistant Plasmodium vivax from Indonesia : New Engl J Med 1991; 324 (13) : 927.

5. Baird JK, Basri H, Purnomo dkk. Resistance to chloroquine by Plasmodium vivax in Irian Jaya, Indonesia. Am J Trop Med Hyg 1991; 44 (5) : 547–552.

6. Murphy GS, Basri H, Pumomo dkk. Vivax malaria resistant to treatment and prophylaxis with chloroquine. Lancet 1993; 341 : 96–100.

7. Tjitra E, Lukito B, Gunawan S. A case report : Transfusion vivax malaria resistant to multidrug (akan diterbitkan).

8. Arbani PR. Situasi malaria di Indonesia. Simposium QBC, FKUI, Jakarta, 28 Nopember 1991.

9. Tjitra E, Marwoto H, Sulaksono S dkk. Penelitian obat antimalaria. Bul Penelit Kes 1991; 19 (4) : 15–23.

10. Pribadi W. Drug resistance of Plasmodium falciparum in several parts of Indonesia. Simposium & Workshop on drug resistance of Plasmodium falciparum. FKUI, Jakarta, 20 Mei 1993.

11. Frisk-Holmberg M, Bergqvist Y, Termond E dkk. The single dose kinetics of chloroquine and its major metabolite desethylchloroquine in healthy subjects. Eur J Clin Pharmacol 1984; 26 : 521–530.

12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pem-berantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Malaria : Penatalaksanaan malaria berat di rumah sakit dan puskesmas no 16, 1991.

13. Patchen LC, Mount Dl, Schwartz IK, Churchill FC. Analysis of filter-paper-absorbed, finger-stick blood samples for chloroquine and its major metabolite using high-performance liquid chromatography with fluorescence detection. J Chromatogr 1983; 278 : 81–89.

14. World Health Organization. Division of Control of Tropical Diseases. Severe and complicated malaria. Transaction of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene. 2nd ed 1990, 84 (Suppl 2) : 1–65.

15. World Health Organization. The Clinical Management of Acute Malaria. WHO Regional Publications, South-East Asia Series no 9, 3rd ed. WHO Regional Office for South-East Asia, New Delhi, 1990.

16. Karbwang J, White NJ. Clinical importance of antimalarial pharmaco-kinetics. Asia Pacific J Pharmacol 1988; 3 : 181–189.

17. Gilles HM. Management of severe and complicated malaria. A practical handbook. World Health Organization, Geneva, 1991.

18. White N, Warrell DA, Chantavanich P dkk. Severe hypoglycaemia and hyperinsulinaemia in falciparum malaria. N Engl J Med 1983; 309: 61-66.

19. Fletcher KA, Price Evans DA, Gilles HM dkk. Studies on the pharmaco- kinetics of primaquine. Bull WHO 1981; 59 : 407–412.

20. Mihaly GW, Ward SA, Edwards G dkk. Pharmacokinetics of primaquine in man. Studies of the absolute bioavailability and effects of dose size. Br J Clin Pharmacol 1985; 19 : 745–750.

21. Colwell EJ, Hickman RL, Intraprasert R dkk. Micocycline and tetracycline treatment of acute falciparum malaria in Thailand. Am J Trop Med Hyg 1972; 21 (2) : 144–149.

22. Geary TG, Jensen JB. Effects of antibiotics on P. falciparum in vitro. Am J Trop Med Hyg 1983; 32 (2) : 221–225.

23. Seaberg LS, Parquette AR, Gluzman IY dkk. Clindamycine activity against chloroquine resistant P. falciparum. J Infect Dis 1984; 150 (6) : 904-911.

24. Hoffman SL. Clinics in Tropical Medicine and Communicable Diseases. Malaria : Treatment of malaria. WB Saunders Co 1986; 1 (1) : 171–224.

25. Oemijati S, Pribadi W, Suprijanto S dkk. Pengobatan infeksi P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin dengan klindamisin. Seminar Parasitologi Nasional VI dan Kongres P4I V, Pandaan, Jawa Timur, 23–25 Juni 1990.

26. Ruiz – Sanchez F, Casillas J, Paredes EM dkk. Antibiotics and Chemo- therapy 1952; 2 : 51.

27. Looareesuwan S, White NJ, Benjasurat Y dkk. Intravenous amodiaquine and oral amodiaquine/erythromycin in the treatment of chloroquine-resis-tant falciparum malaria. Lancet 1985; ii : 805–808.

28. Colwell EJ, Hickman RL. Quinine-tetracycline and quinine-bactrim treat-ment of acute falciparum malaria in Thailand. Ann Trop Med Parasitol 1973; 67 : 125–132.

29. Watt G, Shank D, Edstein MD dkk. Ciprofloxacin treatment of drug- resistant falciparum malaria. J Infect Dis 1991; 164 : 602–604.

30. Harinasuta T, Bunnag D, Wemsdorfer WH. A phase II clinical trial of mefloquine in patients with chloroquine resistant falciparum malaria in

Page 7: Obat-obat Baru Anti Malaria

Thailand. Bull WHO 1983; 61 (2) : 299–305. 31. Karbwang J, White NJ. Clinical pharmacokinetics of meflowuine. Clin

Pharmacokinet 1990; 19 (4) : 264–279. 32. Desjardins RE, Pamplin CL, Von Bredow J dkk. Kinetics of a new

antimalarial, mefloquine. Clin Pharmacol Therapeut 1979; 26 : 372–379. 33. Schwartz DE, Eckert G, Hartmann D dkk. Single dose kinetics of meflo-

quine in man. Chemotherapy 1982; 28 : 70–84. 34. Karbwang J, Bunnag D, Brechkenridge AM dkk. The pharmacokinetics of

mefloquine when given alone or in combination with sulphadoxine and pyrimethamine in Thai male and femalee subjects. Et: J Clin Pharmacol 1987; 32 : 173–177.

35. Chongsuphajaisidhi T, Sabchareon A, Chantavanich P dkk. A phase III clinical trial of mefloquine in children with chlorowuine-resistant falci-parum malaria in Thailand. Bull WHO 1987; 65 (2) : 223–226.

36. Brockelman CR, Thanomsub B, Bhisutthibhand. Mefloquine suladoxine pyrimethamine (MSP) combination delays in vitro emergence of meflo-quine resistance in multiple drug resistant Plasmodium falciparum. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1989; 20 (3) : 371–378.

37. Hoffman SL, Dimpudus AJ, Campbell JR dkk. R II and R III type resistance of Plasmodium falciparum to combination of mefloquine and sulfadoxine/ pyrimethamine in Indonesia. Lancet 1985; Noc 9 : 1039–1040.

38. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W dkk. Pengobatan penderita malaria falsi-parum tanpa komplikasi dengan meflokuin di daerah resisten klorokuin. Bul Penelit Kes 1992; 20 (3) : 25–33.

39. De Souza Jose - Maria. A phase I clinical trial of mefloquine in Brazilian male subjects. Bull WHO 1983; 61 (5) : 809–814.

40. Thimasarn K, Pinichpongse S, Malikul S dkk. Phase III double blind comparative study of Fansimef® and Lariam® for the curative treatment of Plasmodium falciparum infections in Thailand. Southeast Asian J Trop Med Pbl Hlth 1990; 21 (3) : 404-411.

41. Boudreau EF, Pang LW, Dixon KE dkk. Malaria : Treatment efficacy of halofantrine (WR 171, 669) in initial field trials in Thailand. Bull WHO 1988; 66 (2) : 227–235.

42. Karbwang J dkk. Single dose mefloquine pharmacokinetics in healthy Thai subjects and Thai patients with falciparum malaria. XII th International Congress for Tropical Medicine and Malaria. Amsterdam, The Nether-lands, 18–23 September 1988.

43. Ketrangsee S, Vijaykadga S, Yamokgul P dkk. Comparative trial of the response of Plasmodium falciparum to halofantrine and mefloquine in Trat provinces, Eastern Thailand. Southeast Asian J Trop Med Pbl Hlth 1992; 23 (1) : 55–58.

44. Smith Kline & French. Halofantrine in the treatment of multidrug resistant malaria. Parasitology Today Suppl 1989.

45. Eamsila C. Repeat course of halofantrine for the treatment of highly resistant P. falciparum malaria in Thailand. XIII th International Congress for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 – December 4, 1992.

46. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W dkk. Pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi dengan halofantrin di daerah resisten klorokuin. Bul Penelit Kes 1992; 20 (1) : 1–8.

47. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W dkk. Studi perbandingan pengobatan halofantrin antara penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi yang in vitro sensitif dengan yang resisten klorokuin. Bul Penelit Kes 1993 (akan diterbitkan).

48. Fryauff DJ, Baird JK, Basri H dkk. Primaquine adjunct to 28 day evaluation of halofantrine vs chloroquine for therapy of malaria in people remaining exposed to infection. Akan dibawakan pada Annual Meeting of the Ame-rican Society of Trop Med and Hygiene, Atlanta, Georgia, 30 October – 4 November 1993.

49. Horton RI, Paar SN. Halofantrine : an overview of efficacy and safety. Suppl Parasitology Today 1989 : 65–79.

50. Milton KA, Edwards G, Ward SA dkk. Pharmacokinetics of halofantrine in man : effects of food and dose size. Br J Clin Pharmacol 1989; 71–77.

51. Nosten F, Kuile F, Luxemburger F dkk. The cardiac effects of antimalaria treatment with halofantrine. Lancet 1993 (in press).

52. Qinghaosu Antimalaria Coordinating Research Group. Antimalaria studies in qinghaosu. China Med J 1979; 92 : 811–816.

53. Quillin pharmaceutical. Guangxi, China. A new antimalaria drug - artesu-nate.

54. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W dkk. Pengobatan artesunat pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi di daerah resisten multidrug. Seminar

Parasitologi Nasional VII dan Kongres P4I VI, Denpasar, Bali, 23 – 25 Agustus 1993.

55. Looareesuwan S, Viravan C, Vanjanonta S dkk. Randomised trial of artesunate and mefloquine alone and in sequence for acute uncomplicated falciparum malaria. Lancet 1992; 339 : 821–824.

56. Bunnag D, Viravan C, Looareesuwan S dkk. Clinical trial of artesunate and artemether on multidrug resistant falciparum malaria in Thailand. A pre-liminary report. Southeast Asian J Trop Med Pbl Hlth 1991; 22 : 380–385.

57. Bunnag D, Viravan C, Looareesuwan S dkk. Double blind randomised clinical trial of oral artesunate at once or twice daily dose in falciparum malaria. Southwast Asian J Trop Med Pbl Hlth 1991; 22 : 539–543.

58. Bunnag D, Viravan C, Looareesuwan S dkk. Double blind randomised clinical trial of two different regiments of oral artesunate in falciparum malaria. Southeast Asian J Trop Med Pbl Hlth 1991; 22 : 534–538.

59. Li GQ. Clinical trials on artemisinin and its derivates in treaytment of malaria in China. XIII th Internat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 – December 4, 1992.

60. Looareesuwan S. Overview of clinical studies on artemisinin derivates in Thailand. Artemisinin Meeting, London, 25th – 27th April, 1993.

61. Kager P. Safety, Tolerance and pharmacokinetics of arteether in man. Artemisinin Meeting, London, 25th – 27th April, 1993.

62. Tran TH, Arnold K. Artemisinin and its derivates in the treatment of falciparum malaria in Vietnam. XIII th Internat Congr for Tropical Medi-cine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 – December 4, 1992.

63. Shwe T, Win K. Clinical trials of artemether and artesunate in the treatment of falciparum malaria in Myanmar. Artemisinin Meeting, London, 25th – 27th April, 1993.

64. Li GQ, Guo XB, Fu LC dkk. Randomised comparative study of mefloquine, qinghaosu and pyrimethamine-sulfadoxine in patients with falciparum malaria. Lancet 1984; ii : 1360–1361.

65. Stohler HR, Jaquet C, Peter W. Biological characterization of novel bicyclic peroxides as potential antimalarial agents. XII th IntematCongr for Tropical Medicine and Malaria, Amsterdam, The Netherlands, 18 – 23 September, 1988.

66. Hofheinz W, Jaquet C, Masciadri R dkk. Structure activity relationship of novel bicyclic peroxide antimalarials related to Yinghaosu. Internat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Amsterdam, The Netherlands, 18 – 23 September, 1988.

67. Fus S, Bjarkman A, Wahlin B dkk. In vitro activity of chloroquine, the two enantiomers of chloroquine, desethyl chloroquine and pyronaridine against Plasmodium falciparum. Br J Clin Pharmacol 1986; 22 : 93–96.

68. Chlids GE, Hensler B, Milhous W dkk. In vitro activity of pyronaridine against field isolates and reference clones of Plasmodium falciparum. Am J of Trop Med Hyg 1988; 38 : 24–29.

69. Qiu CD, Ren DX, Liu DQ dkk. Sensitivity of P. falciparum to pyronaridine and sodium artesunate in Hainan island, China. XII th Internat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Amsterdam, The Netherlands, 18 – 23 September, 1988.

70. Chang C dkk. Studies on a new antimalarial compound pyronaridine. Trans R Soc Trop Med Hyg 1992; 86 : 7–10.

71. Cai XH and Tang X. A dozen years research in strategy for treatment of chloroquine-resistant falciparum malaria after ceasing of chloroquine use in malaria endemic areas of Hainan island, PR China. XIII th Internat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 – December 4, 1992.

72. Guo XB, Fu LC, Fu YX dkk. Randomised comparison in the treatment of falciparum malaria with dihydroartemisinin tablet and piperaquine. XIII th Internat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 – December 4, 1992.

73. Fu YJ and Jia J. A study of curative effect on several antimalarial drugs – 302 cases of falciparum malaria. XIII th Intemat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 – De-cember 4, 1992.

74. Gutteridge WE. Site and mode of action of atovaquone. XIII th Internat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand. November 29 – December 4, 1992.

75. Looareesuwan S, Hutchinson DBA, Viravan C dkk. Evaluation of Atova-quone in the treatment of uncomplicated P. falciparum malaria in Thailand. XIII th Internat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 – December 4, 1992.