niftah asli bgt

Upload: yosua-golanz

Post on 19-Jul-2015

169 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang Indonesia memiliki luas wilayah 750 juta ha dengan luas daratan sekitar 187,91 juta ha. Sebesar 70 persen dari daratan tersebut merupakan kawasan hutan. Berdasarkan data statistik Departemen Kehutanan tahun 2008 luas kawasan hutan mencapai 133.694.685,18 ha. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kawasan hutan cukup luas dan tersebar hampir di seluruh pulau. Kawasan hutan terluas terdapat di Pulau Kalimantan yaitu seluas 40,89 juta ha atau 31 persen dari total luas hutan Indonesia. Pulau Papua menempati urutan kedua dengan luas kawasan hutan sebesar 40,54 juta ha dan urutan ketiga ditempati oleh Pulau Sumatera dengan luas sebesar 27,63 juta ha, sedangkan pulau lainnya memiliki luas kawasan hutan kurang dari 15 persen dari total luas hutan Indonesia (Tabel 1).

Hutan memiliki banyak fungsi antara lain fungsi lingkungan, fungsi estetika, fungsi pelestarian plasma nutfah, serta fungsi ekonomi. Peran hutan dalam fungsi lingkungan, khususnya sebagai daerah resapan dan tangkapan air dapat mencegah kekeringan, banjir, serta tanah longsor. Selain itu, tanaman1|Page

khususnya pepohonan yang terdapat di hutan juga berfungsi sebagai penyerap emisi karbondioksida (CO2), sehingga dapat meredam pemanasan global. Jika dilihat dari fungsi estetika, hutan membentuk pemandangan yang indah, sehingga dapat dijadikan daerah wisata alam. Dalam pelestarian plasma nutfah, hutan berfungsi sebagai pelestari flora maupun fauna jenis tertentu yang memungkinkan dapat dikembangkan di luar kawasan hutan. Sedangkan fungsi hutan jika ditinjau dari sisi ekonomi, hutan turut serta pula memberikan kontribusi terhadap perekonomian. Peran hutan dalam perekonomian dapat dilihat dari kecenderungan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor kehutanan. Produk Domestik Bruto (PDB) sektor kehutanan pada tahun 2000 hingga 2007 cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan perubahan sebesar Rp 7.456 milyar atau 33,04 persen dari PDB tahun sebelumnya (Tabel 2)

Kontribusi hasil hutan terhadap Produk Domestik Bruto berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu. Adapun hasil hutan kayu meliputi kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan produksi kayu olahan lainnya, seperti wood working, block board, veneer, particle board, chipwood, pulp, moulding, dan dowel. Sedangkan hasil hutan non kayu meliputi rotan (rotan bulat), gondorukem,2|Page

terpentin, minyak kayu putih, damar, sagu, dan kopal. Perkembangan produksi hasil hutan kayu dan non kayu di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.

Pada tabel diatas, terlihat bahwa antara tahun 2003 hingga 2007 produksi hasil hutan kayu cenderung mengalami fluktuasi. Namun, produksi terbanyak tetap berasal dari kayu bulat, dengan produksi terbesar dicapai pada tahun 2005. Sedangkan produksi hasil hutan non kayu, antara tahun 2003 hingga 2007 cenderung mengalami penurunan, kecuali produksi minyak kayu putih saja yang mengalami peningkatan di tahun 2007 (Tabel 4).

3|Page

Pembangunan ekonomi Indonesia tidak terlepas pula dari peran sektor kehutanan dalam menghasilkan devisa. Pengusahaan sektor kehutanan salah satunya dilakukan dengan pengembangan industri hasil hutan berupa kayu. Pengembangan industri hasil hutan berupa kayu ini didorong oleh upaya pencapaian tujuan pembangunan ekonomi, diantaranya adalah penciptaan lapangan kerja, peningkatan nilai tambah serta peningkatan penerimaan devisa melalui ekspor. Berdasarkan data devisa ekspor hasil hutan, dapat dilihat bahwa kayu olahan memberikan kontribusi devisa yang lebih besar dibandingkan dengan kayu bulat dan kayu gergajian (Tabel 5). Hal tersebut dikarenakan devisa yang berasal dari kayu olahan merupakan penjumlahan dari jenis kayu olahan, seperti wood working, block board, veneer, particle board, chipwood, pulp, moulding, dan dowel. Selain itu, salah satu penyebab penurunan devisa ekspor kayu bulat adalah mulai diberlakukannya pelarangan ekspor kayu bulat (log), akibat maraknya kegiatan penyelundupan kayu bulat ke luar negeri (illegal logging). Oleh karena itu, pengembangan pengusahaan kayu olahan dirasa dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan devisa negara.

4|Page

Pengembangan industri kayu olahan terus dilakukan mengingat kontribusinya yang cukup besar dalam perekonomian negara, namun perkembangannya mengalami hambatan pada beberapa tahun terakhir karena ketersediaan kayu yang semakin menipis. Penipisan ketersediaan kayu tersebut disebabkan oleh adanya gap yang cukup besar antara kebutuhan dengan 5 kemampuan pemenuhannya. Selain itu, kebakaran hutan dan penebangan hutan secara liar (illegal logging) juga menjadi faktor penyebab penipisan ketersediaan kayu. Kebutuhan terhadap kayu relatif besar, namun dihadapkan dengan ketersediaan kayu yang semakin menipis. Hal ini dapat dilihat dari jatah potensi tebangan kayu. Jatah potensi tebangan pada tahun 2008 sebesar 9,1 m3, sedangkan kebutuhan bahan baku industri primer hasil hutan kayu mencapai 36.268.586,25 m3 (Statistik Direktorat Jendral Bina Produksi Kehutanan 2008). Porsi hutan tebang yang diberikan ini masih jauh dari kebutuhannya. Kebijakan pembatasan penebangan ini, mengurangi ketersediaan bahan baku kayu untuk industri kayu olahan karena sebagian besar industri kayu olahan menggunakan jenis kayu tersebut. Menurut informasi dari ASMINDO (2008), permintaan kayu jati di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 7.000.000 meter kubik, namun penawaran yang dapat dipenuhi hanya sebesar 700.000 meter kubik saja, sehingga terjadi kekurangan penawaran sekitar 90 persen. Kendala lain yang dihadapi dalam pemenuhan bahan baku kayu jati adalah umur tanam yang relatif lama. Semakin lama tanaman jati di tanam, maka kualitasnya dipercaya semakin baik.5|Page

Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan pemenuhan permintaan kayu jati, dilakukan pengembangan teknologi untuk memperpendek usia tanam jati menjadi 5-20 tahun. Tanaman ini di beri nama Jati Unggul Nusantara (JUN). Jati Unggul Nusantara adalah hasil kloning dari Jati Plus Perhutani (JPP) yang telah diseleksi selama 70 tahun oleh Perum Perhutani. JUN dibiakkan secara vegetatif dengan stek pucuk dari pohon/klon unggul dari Perum Perhutani yang bersertifikat dengan metode bioteknologi mutakhir (UBH-KPWN 2009). Meskipun JUN dapat di panen pada tahun ke lima, namun kualitas yang dihasilkan hampir sama dengan tanaman jati konvensional yang berusia 15 tahun, yaitu memiliki kelas awet III-V, kelas kuat III, dan persentase teras 26-27 (UBHKPWN 2009). Oleh karena itu, banyak pengusaha yang mulai tertarik membudidayakan JUN. Salah satu lembaga yang tertarik membudidayakan JUN adalah Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN).

6|Page

BAB II TINJAUAN PUSTAKAPenelitian ini berjudul Analisis Kelayakan Usaha Jati Unggul Nusantara dengan Pola Bagi Hasil. Di dalam penelitian ini, digunakan empat penelitian terdahulu sebagai bahan acuan. Penelitian terdahulu menjadi referensi bagi penulis dalam melaksanakan penelitian. Adapun penelitian terdahulu yang dijadikan referensi antara lain: (1) Monitoring Serangan Hyblaea puera Cramer pada Tanaman Jati Unggul Nusantara di UBH-KPWN Desa Ciruteun Ilir Kecamatan Cibungbulang oleh Aggarawati (2009), (2) Studi Kelayakan Investasi Usaha Jati Emas (Kasus di PT. Bukaka Teknik Utama Tbk, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat) oleh Seto (2004), (3) Analisis Kelayakan Finansial Produksi Bibit Jati (Tectona grandis L.f.) dengan Metode Kultur Jaringan pada PT. Dafa Teknoagro Mandiri, Ciampea, Bogor oleh Abdurrohman (2005) dan (4) Analisis Kelayakan Usaha dan Kontribusi Pengelolaan Hutan Rakyat Koperasi Hutan Jaya Lestari, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara oleh Setyadi (2009) A. Penelitian Terdahulu Anggarawati (2009) menganalisis mengenai serangan H. puera pada tanaman jati unggul nusantara di UBH-KPWN. Peneliti menyatakan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase, intensitas dan pengaruh serangan H. puera pada pertumbuhan tanaman jati. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan pengamatan di lapangan (observasi lapang) untuk mengukur tinggi dan keliling pohon yang terserang H. puera. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa serangan H. puera tidak mempengaruhi pertumbuhan tinggi dan keliling batang, sehingga bila hama ini menyerang tanaman JUN, maka serangannya tidak mempengaruhi pertumbuhan tinggi dan keliling batang JUN. Studi Kelayakan Investasi Usaha Jati Emas pada PT Bukaka Teknik Utama oleh Seto (2004) menganalisis tingkat kelayakan

7|Page

investasi usahatani jati emas jika dilakukan pada lahan sempit, yaitu dua hektar dengan total populasi 4000 bibit. Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat bahwa usaha ini layak untuk dikembangkan. Hasil analisis aspek finansial menunjukkan NPV untuk usahatani jati emas lahan sempit sebesar Rp 900.011.970, IRR sebesar 13,42 persen, Net B/C sebesar 1,97 dan PBP selama 14 tahun 4 bulan. Sedangkan analisissensitivitas yang dianalisis yaitu pada penurunan harga jual output sebesar 20 persen, peningkatan biaya yang dikeluarkan sebesar 20 persen dan perubahan tingkat suku bunga menjadi 10 dan 13 persen. Hampir semua asumsi perubahan menunjukkan usaha ini tetap layak dilaksanakan. Namun, usaha ini menjadi tidak layak pada asumsi keempat (peningkatan biaya 20 persen yang diiringi pula penuurunan harga jual 20 persen dan suku bunga 10 pesen), asumsi kelima (peningkatan biaya 20 persen yang namun harga jual tetap dan suku bunga 13 pesen), dan asumsi keenam (peningkatan biaya 20 persen yang diiringi pula penuurunan harga jual 20 persen dan suku bunga 13 pesen). Abdurrohman (2005) menganalisis kelayakan finansial produksi bibit jati dengan metode kultur jaringan pada PT. Dafa Teknoagro Mandiri, Bogor. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menganalisis tingkat kelayakan finansial usaha produksi bibit jati dan menganalisis tingkat kepekaan kelayakan finansial usaha produksi bibit jati. Berdasarkan kriteria kelayakan finansial yang diamati, usaha ini dapat dikatakan layak, dimana NPV bernilai positif sebesar Rp 301.751.403,00, IRR lebih besar dari tingkat diskonto (14 persen) yaitu sebesar 23,8967 persen, Net B/C lebih besar dari satu yaitu 1,695 dan waktu pengembalian pada periode 5 tahun 4 bulan. Hasil analisis sensitivitas usaha ini sangat peka terhadap perubahan harga output. Berdasarkan dua skenario yaitu dengan kenaikan biaya produksi sebesar 20 persen dan penurunan harga output sebesar 28,57 persen, hanya pada skenario pertama investasi layak secara finansial dilaksanakan, sedangkan pada skenario kedua tidak layak secara financial dilaksanakan. Hasil analisis dengan menggunakan switching value menunjukkan bahwa perubahan yang dapat ditolerir sehingga proyek masih dikatakan layak ketika8|Page

biaya produksi variabel naik sebesar 59,80293 persen dan harga output turun sebesar 20,1824 persen. Setyadi (2009) menganalisis kelayakan usaha dan kontribusi pengelolaan hutan rakyat koperasi hutan jaya lestari, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan usaha pada pengelolaan hutan rakyat di Konawe Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan rakyat di Kabupaten Konawe Selatan pada periode pembenahan ini strata I impas, sedangkan strata II dan III tidak layak diusahakan secara finansial. Nilai NPV masing-masing strata sebesar Rp 27.501,00; Rp 4.231.546,00 dan Rp 9.254.448,00. Nilai BCR sebesar 1,00; 0,78 dan 0,67. Sedangkan nilai IRR berturut-turut 17,94 persen; 12,37 persen dan 10,00 persen. Status hutan pada strata I,II dan III dapat menjadi layak jika ada kenaikan harga kayu masingmasing 10 persen, 30 persen, dan 50 persen. Apabila diusahakan selama daur pertama pembenahan, hutan tersebut menjadi layak dengan nilai NPV berturutturut Rp 7.704.499,00; RP 4.485.191,00 dan RP 3.241.314,00. Nilai BCR masingmasing strata yaitu 1,59; 1,24 dan 1,11. Sedangkan IRR masing-masing strata sebesar 25,08 persen; 20,77 persen dan 19,23 persen. Pola kemitraan antara KHJL dengan petani termasuk kemitraan jangka panjang, namun hutan rakyat merupakan pekerjaan tambahan atau dikatakan pekerjaan waktu luang saja bagi petani. B. Perbandingan Penelitian ini dengan Penelitian Terdahulu Penelitian Anggarawati pada tahun 2009 memiliki kesamaan dalam hal lokasi, namun berbeda dalam topik penelitian. Penelitian Anggarawati memberikan gambaran kepada penulis mengenai keadaan usaha yang penulis teliti. Selain itu, memberikan informasi terkait dengan hama yang menyerang pada tanaman jati. Berdasarkan penelitian Anggarawati, disimpulkan bahwa hama H. puera tidak mempengaruhi pertumbuhan tinggi dan keliling jati, sehingga keberadaan hama tersebut tidak terlalu mengganggu pelaksanaan usaha. Penelitian Seto memiliki kesamaan dalam hal topik penelitian dan jenis komoditas, namun berbeda lokasi dan sistem manajemen. Jenis komoditas yang diteliti adalah Jati Emas. Jati Emas merupakan salah satu nama dagang jati unggul, dimana jati emas ini dikembangkan oleh Thailand9|Page

sejak beberapa tahun yang lalu. Baik Jati Emas maupun Jati Unggul Nusantara (JUN), keduanya merupakan jenis jati unggul yang dapat dipanen pada umur yang lebih pendek dibandingkan dengan jati konvensional, namun tetap menghasilkan kualitas yang sama baik dengan jati konvensional. Dalam hal teknik budidaya, Jati Emas dan JUN tidak terlalu berbeda, keduanya sama-sama membutuhkan perawatan yang intensif. dilihat dari sistem manajemen, penelitian yang dilaksanakan ini menggunakan sistem bagi hasil sedangkan penelitian Seto pada tahun 2004 menggunakan sistem manajemen pada umumnya (konvensional). Selain itu, penelitian yang penulis lakukan mendasarkan perhitungan dengan system manajemen pohon (trees management) sedangkan penelitian yang dilakukan Seto menggunakan perhitungan luas lahan. Penelitian Seto dilakukan pada lahan sempit yaitu dua hektar dengan total populasi 4000 bibit. Penelitian Seto ingin melihat sejauh mana kelayakan usaha budidaya tanaman jati jika dilakukan pada lahan sempit, padahal pada umumnya usaha budidaya tanaman kehutanan biasanya dilakukan pada lahan yang luas.Penelitian Abdurrahman (2005) memiliki kesamaan topik, sedangkan lokasi, jenis komoditas dan sistem manajemen yang diteliti berbeda. Penelitian Abdurrahman bertujuan melihat kelayakan finansial produksi bibit jati. Bibit jati merupakan input dalam usaha budidaya jati, sehingga menjadi suatu hal yang penting untuk diketahui sejauh mana kelayakan usaha bibit jati ini. Berdasarkan penelitian Abdurrahman, dapat terlihat bahwa usaha ini sensitif terhadap perubahan biaya produksi. Bila harga input untuk produksi bibit mengalami kenaikan, maka hal tersebut berpotensi menyebabkan kenaikan harga jual bibit. Kenaikan harga jual bibit ini tentu akan berpengaruh terhadap kelayakan usaha budidaya jati. Oleh karena itu, studi literatur terhadap penelitian yang dilakukan Abdurrahman dibutuhkan untuk membantu menganalisis dalam penelitian usaha jati unggul nusantara ini. Penelitian ini dan penelitian yang dilakukan oleh Setyadi pada tahun 2009 memiliki kemiripan dalam hal topik dan sistem kemitraan yang dilakukan, namun lokasi penelitian berbeda. Sistem kemitraan yang dilakukan yaitu bekerjasama dengan petani. Hal tersebut sama halnya10 | P a g e

dengan kemitraan yang dilakukan dalam penelitian JUN ini, dimana salah satunya juga bekerja sama dengan petani. Pada analisis yang dilakukan oleh Setyadi, terlihat bahwa pola kemitraan antara KHJL dengan petani termasuk kemitraan jangka panjang, namun hutan rakyat merupakan pekerjaan tambahan atau dikatakan pekerjaan waktu luang saja bagi petani, sehingga petani dapat melakukan aktifitas yang lainnya. Pada penelitian baik secara finansial maupun non finansial. Jika dilihat dari aspek pasar,masih terdapat gap antara permintaan dan penawaran, sehingga keberadaan usaha ini diharapkan dapat berkontribusi dalam menyediakan kebutuhan jati. Jika dilihat secara teknis, usaha budidaya jati yang dilakukan KHJL hampir sama dengan teknik budidaya pertanian pada umumnya. C. Hasil Analisis Berdasarkan Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil analisis dari penelitian-penelitian terdahulu diperoleh hipotesis sementara bahwa jika dilihat dari aspek pasar, usaha budidaya jati dinilai layak, karena pasar untuk jati masih terbuka lebar. Saat ini, permintaan jati masih belum dapat terpenuhi seluruhnya oleh penawaran yang ada, sehingga terdapat gap antara permintaan dan penawaran yang cukup besar. Jika dilihat dari teknik budidaya, tanaman jati merupakan tanaman yang dapat tumbuh secara alami, sehingga teknik budidaya yang dilakukan relative sederhana. Peralatan yang digunakan merupakan peralatan budidaya pertanian pada umumnya. Berdasarkan penelitian Setyadi, diperoleh pula kesimpulan bahwa petani yang melaksanakan budidaya tanaman hutan, dalam hal ini tanaman jati tidak menghabiskan seluruh waktunya untuk melaksanakan budidaya tanaman ini. Disela-sela waktu kosong, petani dapat melakukan aktifitas lainnya. Jika dilihat dari aspek manajemen, usaha yang dilakukan dengan pola bagi hasil dirasa akan lebih aman bagi pihak-pihak terkait karena didasarkan atas kondisi aktual (riil) serta keadilan dalam pembagian keuntungan dan risiko kerugian. Sedangkan dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, dengan keberadaan usaha JUN ini dapat menyerap tenaga kerja sehingga dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain itu juga turut11 | P a g e

berkontribusi dalam kelestarian lingkungan. Berdasarkan hasil analisis finansial pada penelitian terdahulu dengan kriteria-kriteria yang digunakan seperti NPV, IRR, Payback Period, dan Net B/C terlihat bahwa usaha budidaya jati layak secara finansial. Secara finansial, usaha ini sensitif terhadap perubahan biaya produksi dan perubahan harga output.

BAB III KOMODITAS

12 | P a g e

A. Tanaman Jati (Tectona grandis L.F)

Tanaman jati pada mulanya merupakan tanaman hutan yang tidak sengaja ditanam dan tumbuh liar di dalam hutan bersama jenis tanaman lain. Di alam, tanaman jati tumbuh sebagai tanaman campuran, serta tumbuh di daerah yang mempunyai perbedaan musim basah dan kering yang jelas (Tini 2002). Menurut Sumarna (2008) tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Tectona grandis Linn. f. Nama tectona berasal dari bahasa Portugis (tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki kualitas tinggi. Tanaman jati merupakan tanaman tropika dan subtropika yang sejak abad ke sembilan dikenal sebagai pohon yang memiliki kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Di Indonesia, jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memiliki kelas awet tinggi yang tahan terhadap gangguan rayap serta jamur, bahkan tanaman ini dapat bertahan hingga 500 tahun. Sumarna (2008) mengemukakan bahwa kondisi kelas kuat dan kelas awet yang tinggi menyebabkan kayu jati hingga saat ini banyak dibutuhkan dalam industri properti, selain itu dengan profil yang ditujukkan oleh garis lingkar tumbuh yang unik dan bernilai artistik tinggi, jati dibutuhkan para seniman pahat dan pengrajin industri furniture untuk dijadikan berbagai bentuk barang jadi, misalnya mebel dan berbagai jenis barang kerajinan rumah tangga. Selain itu juga digunakan sebagai bahan untuk bak pada angkutan truk, tiang, balok, gelagar, jembatan, maupun bantalan kereta api. Tanaman jati juga memiliki daya tahan terhadap bahan kimia maka secara teknis kayu jati dapat digunakan sebagai wadah bagi berbagai jenis produk industri kimia. Menurut Sumarna (2008) tanaman jati tergolong pula sebagai tanaman berkhasiat obat. Bunga jati dapat digunakan sebagai obat bronchitis, billiousness, dan obat untuk melancarkan serta membersihkan kantung kencing. Bagian buah atau benihnya dapat digunakan sebagai bahan obat diuretik. Adapun ekstrak daunnya dapat menghambat kinerja bakteri tuberkolosa. Selain berfungsi sebagai bahan obat, daun jati dapat digunakan sebagai bahan pewarna kain. Tidak hanya bagian tanaman saja yang berguna, limbah produksi berupa cabang dan serbuk gergaji pun dapat diproses menjadi briket arang yang memiliki kalori tinggi .13 | P a g e

B. Daerah Penyebaran Jati (Tectona grandis L.F)

Jati merupakan tanaman asli di sebagian besar jazirah India, Myanmar, Thailand bagian barat, Indo Cina, sebagian Jawa, serta beberapa pulau kecil lainnya di Indonesia, seperti Muna (Sulawesi Tenggara). Jika dilihat dari persebarannya di Asia, tanaman jati tersebar di sebelah Utara pada 2505 Lintang Utara sampai di Burma, sedangkan di sebelah Selatan sampai 90 Lintang Selatan yaitu pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Namun, demikian antara 100 Lintang Utara dan beberapa derajat Lintang Selatan tidak terdapat tanaman jatinya. Penyebaran tanaman jati di Asia Tenggara terdapat di Burma, India, Thailand dan Vietnam, sedangkan di Indonesia selain terdapat di Jawa, terdapat pula di pulau Buton, pulau Muna, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Lampung. Penanaman jati di luar daerah sentra jati sangat memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini disebabkan banyak daerah yang memiliki kondisi tanah dan iklim yang cocok untuk tanaman jati. Penduduk Indonesia sudah mengenal tanaman jati ini sejak lama. Perkembangan tanaman jati di Indonesia dalam sejarahnya dikaitkan dengan perkembangan peradaban budaya masyarakat dan pemerintahan kerajaan Hindu. Di Indonesia, jati mengalami proses naturalisasi di Pulau Jawa dan berkembang sampai ke Kangean, Muna (Sulawesi Tenggara), Sumba, dan Bali. Selanjutnya jati menyebar ke beberapa pulau lainnya. Namun, pada umumnya tanaman jati di Indonesia yang paling luas dikembangkan adalah di Pulau Jawa. Pada masa penjajahan Belanda perkebunan jati secara besarbesaran dilakukan di sebagian besar wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Tini 2002). C. Sifat Botanis Tanaman Jati Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-45 m. Berdaun besar, yang luruh di musim kemarau. Sumarna (2008) mengemukakan bahwa dalam klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai berikut:

14 | P a g e

Tanaman jati banyak tumbuh di tanah datar dan berbukit rendah dengan ketinggian kurang lebih 700 meter di atas permukaan laut (dpl). Di atas ketinggian tersebut, pohon jati jarang ditemukan. Meskipun demikian, dilaporkan bahwa di Myanmar jati dapat tumbuh dan ditemukan pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Bahkan di India pohon jati ditemukan di daerah dengan ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut (Tini 2002). Jati di daerah subur dan iklim yang sesuai dapat mencapai ketinggian 45 meter dengan tinggi batang bebas cabang 15-20 meter dan mempunyai diameter sampai 220 cm. Bila tumbuh di daerah yang subur bentuk batangnya dapat bulat lurus akan tetapi bila tumbuh di tempat yang tidak subur bentuk batangnya kurus melengkung dan penampangnya tidak merata.

D. Fenotipe Jati di Indonesia Penampilan jati di Indonesia khususnya di pulau Jawa, relatif seragam bahkan sangat serupa satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, dalam15 | P a g e

kenyataannya atau dalam prakteknya sehari-hari, orang-orang membedakan bentuk jati berdasarkan fenotipenya yang menunjukkan adanya perbedaan morfologi bentuk pohon, batang dan sifat kayunya. Perbedaan penampilan jati tersebut masih menjadi bahan kajian apakah karena perbedaan varietas, ras lahan, serangan penyakit atau kemampuan beradaptasi yang berbeda antar individu pohonnya. Hal ini disebabkan dalam satu populasi ditemukan beberapa penampilan yang beragam. Berdasarkan sifat-sifat kayu dan bentuk pohonnya, jenis-jenis jati dibedakan sebagai berikut (Hardjodarsono diacu dalam Tini 2002):1. Jati lengo atau jati malam, kayunya keras dan berat. Jika diraba terasa halus

seperti minyak. 2. Jati sungu hitam, kayunya padat dan berat. 3. Jati werut, kayunya keras dan seratnya berombak. 4. Jati doreng, kayunya berlorang hitam.5. Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena banyak mengandung

kapur. 6. Jati kembang, kayunya memiliki pola seperti kembang. Sedangkan penggolongan berdasarkan penampakan bentuk batang, tanaman jati dibedakan menjadi:\ 1. Jati tipe belimbing 2. Jati tipe knobel 3. Jati tipe boleng 4. Jati tipe mulus Dalam keseharian, tanaman jati yang terdapat di Indonesia dibedakan dengan sebutan jati Muna, jati Jawa, jati Thailand atau nama daerah (negara) asalnya. Penamaan ini lebih didasarkan pada daerah tempat tumbuhnya. Selain itu mulai populer pula jenis jati genjah atau jati unggul.

E. Jati Unggul

16 | P a g e

Jati unggul merupakan bibit unggul hasil dari perbanyakan kultur jaringan yang dikembangkan pertama kali dalam laboraturium, dimana tanaman induknya berasal dari Myanmar. Jati unggul sudah sejak tahun 1980 ditanam secara luas di Myanmar dan Thailand. Klonal unggul ini memiliki keunggulan genetik sama dengan induknya dan waktu panen relatif cepat yaitu antara 15-20 tahun. Jati unggul memiliki beberapa keunggulan seperti sangat baik ditanam dengan sistem tumpangsari, baik dengan tanaman perkebunan maupun pertanian. Tumpang sari yang dapat dilakukan dengan tanaman perkebunan antara lain terhadap tanaman karet, kakao, kopi, dan kelapa. Selain itu, jati ungul dapat ditumpangsarikan tanaman palawija dengan jagung, kedelai, kacang tanah, cabai, dan ubi kayu. Bibit jati unggul dapat tumbuh dimana saja dengan catatan, lahan tidak tergenang air, PH tidak asam (6,0-7.5), tanah lempung berpasir, ketinggian tidak dari 400 meter dpl, dan curah hujan 1000-2.500 mm/tahun dengan temperatur 22-38 derajat celcius (Wuryan 2008). Beberapa trade mark jati unggul telah diketahui dan banyak ditanam oleh pengebun jati di Indonesia. Menurut Sumarna (2008), jenis jati unggul yang informasinya telah tersebar luas di masyarakat antara lain: a. Jati Unggul b. Jati Super c. Jati Emas d. Jati Biotropika F. Jati Unggul Nusantara (JUN) Jati Unggul Nusantara adalah hasil kloning dari Jati Plus Perhutani (JPP) yang telah diseleksi selama 70 tahun oleh Perum Perhutani. JUN dibiakkan secara vegetatif dengan stek pucuk dari pohon/klon unggul dari Perum Perhutani yang bersertifikat dengan metode bioteknologi mutakhir (Wuryan 2008). Bibit JUN dihasilkan dari proses pengembangan genetik dari bibit-bibit jati terbaik seluruh Indonesia (PT. Setyamitra Bhaktipersada 2008). Proses penelitian dan pengembangan genetik dari bibit JUN ini memerlukan waktu lebih dari tujuh

17 | P a g e

tahun. Pohon jati unggul dibuatkan kloningnya agar menghasilkan bibit jati unggul yang memiliki sifat seperti induknya. Perlakuan tambahan juga diterapkan untuk menghasilkan akar tunjang majemuk, cepat tumbuh, kokoh dan seragam. JUN memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah memiliki perakaran tunjang majemuk, cepat besar, kokoh, sehingga tidak mudah roboh dan memiliki daya serap yang tinggi terhadap nutrisi. Keunggulan lainnya adalah masa panen yang relatif singkat 520 tahun namun tetap menghasilkan kayu berkualitas. Hasil kayu yang dapat diharapkan minimal mencapai 200 m3 per hektar, berbatang lurus seperti pinsil (10 meter tanpa cabang). 1. Karakteristik Jati Unggul Nusantara Jati Unggul Nusantara dapat tumbuh dengan baik pada lahan yang memiliki ketinggian sampai 400 meter dpl, drainase yang baik, PH tanah 6.07.5 dan bukan merupakan lahan yang becek atau tergenang. Penggunaan teknologi induksi perakaran, dihasilkan akar tunjang majemuk dan akar serabut, sehingga JUN menyerap banyak zat hara. Hal inilah yang menyebabkan JUN tumbuh cepat dan kokoh. Jika dibandingkan dengan bibit Jati biasa, JUN memiliki kecepatan tumbuh mencapai empat kali lipat (PT. Setyamitra Bhaktipersada 2008). 2. Penanaman dan Pemeliharaan Jati Unggul Nusantara Pada umumnya JUN ditanam dengan jarak 5 x 2 m (1000 pohon per hektar), ukuran lubang tanam 40 x 40 x 40 cm. Pupuk dasar yang diberikan terdiri dari pupuk kandang yang sudah matang 3 kg, pupuk kimia ZA atau NPK 200 g per lubang tanam. Bagi tanah yang asam, ditambahkan kapur pertanian sebanyak 100 g per lubang tanam. Bibit JUN ditanam tegak lurus dan ditimbun dengan tanah galian yang telah diremahkan. Penanaman dilakukan pada permulaan musim hujan. Pemupukan dilakukan setelah penyiangan dan pendangiran. Pemupukan NPK dilakukan sekali dalam satu tahun pada permulaan musim hujan dengan ketentuan: a. Umur 1 tahun : 250 g NPK per pohon18 | P a g e

b. c. d. e.

Umur 2 tahun : 400 g NPK per pohon Umur 3 tahun : 600 g NPK per pohon Umur 4 tahun : 800 g NPK per pohon Umur 5 tahun : 1000 g NPK per pohon Wiwilan segera dilakukan pada awal pertumbuhan sampai dengan

tanaman berumur 1-2 tahun. Penjarangan dilakukan untuk memberikan ruang tumbuh yang memadai bagi tanaman. Penjarangan dilakukan dilakukan tiap 5 tahun sekali dengan intensitas yang berbeda.a.

Penjarangan 1 (umur 5 tahun) untuk memperoleh tegakan tinggal sebanyak 500 pohon/ha

b. Penjarangan 2 (umur 10 tahun) untuk memperoleh tegakan tinggal

sebanyak 350 pohon/hac.

Penjarangan 3 (umur 15 tahun) untuk memperoleh tegakan tinggal sebanyak 200 pohon/ha. (Wuryan 2008)

3. Pemanenan Jati Unggul Nusantara Pemanenenan dilakukan pada umur tebang (daur) 20 tahun. Jumlah pohon yang ditebang sebanyak 200 pohon per ha dan diperkirakan dapat menghasilkan 200 m3 kayu per ha. Namun, Jati Unggul Nusantara dengan segala keunggulannya dapat dipanen dalam jangka waktu 5 tahun (Wuryan 2008). G. Studi Kelayakan Bisnis Studi kelayakan merupakan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan, apakah menerima atau menolak dari suatu ide usaha yang direncanakan. Pengertian layak dalam penelitian ini adalah kemungkinan dari ide suatu usaha yang akan dilaksanakan memberikan manfaat (benefit), baik dalam arti financial benefit maupun dalam arti social benefit. Layaknya suatu ide usaha dalam arti social benefit tidak selalu menggambarkan layak dalam arti financial benefit, hal ini tergantung dari segi penilaian yang dilakukan. Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), tahap-tahap untuk melakukan investasi usaha adalah sebagai berikut:19 | P a g e

Identifikasi dilakukan terhadap lingkungan untuk memperkirakan

Pengamatan

kesempatan dan ancaman dari usaha tersebut. Perumusan Tahap perumusan merupakan tahap untuk menerjemahkan kesempatan investasi ke dalam suatu rencana proyek yang kongkrit, dengan faktor-faktor yang penting dijelaskan secara garis besar. Penilaian Penilaian dilakukan dengan menganalisa dan menilai aspek pasar, teknik, manajemen, dan finansial. Pemilihan Pemilihan dilakukan dengan mengingat segala keterbatasan dan tujuan yang akan dicapai. Implementasi Implementasi yaitu menyelesaikan proyek tersebut dengan tetap berpegang pada anggaran. Aspek-Aspek Studi Kelayakan Studi kelayakan bisnis merupakan gambaran kegiatan usaha yangdirencanakan, sesuai dengan kondisi, potensi, serta peluang yang tersedia dari berbagai aspek. Dengan demikian dalam menyusun sebuah studi kelayakan bisnis, harus meliputi sekurang-kurangnya aspek-aspek sebagai berikut: a) Aspek pasar dan pemasaran b) Aspek teknis dan teknologis c) Aspek manajemen d) Aspek sosial ekonomi dan lingkungan e) Aspek financial

20 | P a g e

1. Aspek Non Finansial a. Aspek Pasar dan Pemasaran Pasar merupakan tempat pertemuan antara penjual dan pembeli, atau saling bertemunya antara kekuatan permintaan dan penawaran untuk membentuk suatu harga. Salah seorang ahli pemasaran, Stanton, mengemukakan pengertian lain tentang pasar, yakni merupakan kumpulan orang-orang yang mempunyai keinginan untuk puas, uang untuk belanja, dan kemauan untukmembelanjakannya. Jadi, ada tiga faktor utama yang menunjang terjadinya pasar, yaitu orang dengan segala keinginannya, daya beli, serta tingkah laku dalam pembeliannya. Pengkajian aspek pasar dan pemasaran penting untuk dilakukan karena tidak ada proyek yang berhasil tanpa adanya permintaan atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh proyek tersebut dan jika pasar yang dituju tidak jelas, prospek, bisnis ke depan pun tidak jelas, maka risiko kegagalan menjadi besar. Analisis aspek pasar dan pemasaran bertujuan untuk memahami berapa besar potensi pasar yang tersedia, berapa bagian yang dapat diraih oleh perusahaan atau usaha yang diusulkan, serta strategi pemasaran yang direncanakan untuk memperebutkan konsumen tersebut (Husnan dan Suwarsono 2000). Pada pemasaran produk barang, manajemen pemasaran akan dibagi menjadi empat kebijakan pemasaran yang biasa disebut sebagai bauran pemasaran (marketing mix). Bauran pemasaran atau 4P dalam pemasaran terdiri dari produk (product), harga (price),distribusi (place), dan promosi (promotion). Bauran pemasaran untuk produk jasa lebih luas daripada bauran pemasaran produk barang. Pada bauran pemasaran untuk jasa, baurannya dapat diperluas lagi dengan menambah tiga elemen lagi, yaitu orang (people), bukti fisik (physical evidence) dan proses jasa (process) (Kotler 1997). b. Aspek Teknis dan Teknologis Aspek teknis dan teknologi berkaitan dengan aktifitas mempelajari bagaimana secara teknis proses produksi dilaksanakan. Aspek teknis bertujuan untuk meyakini apakah secara teknis dan pilihan teknologi,21 | P a g e

rencana bisnis dapat dilaksanakan secara layak atau tidak layak, baik saat pembangunan atau operasional secara rutin (Umar 2005). Beberapa pertanyaan utama yang perlu mendapatkan jawaban dari aspek teknis ini adalah:1) Lokasi proyek, yakni di mana suatu proyek akan didirikan baik

untuk pertimbangan lokasi dan lahan pabrik maupun lokasi bukan pabrik.2) Seberapa besar skala operasi atau luas produksi ditetapkan untuk

mencapai suatu tingkatan skala ekonomis.3) Kriteria pemilihan mesin dan equipment utama serta alat pembantu

mesin dan equipment.4) Bagaimana proses produksi dilakukan dan layout pabrik yang

dipilih, termasuk juga layout bangunan dan fasilitas lain.5) Apakah jenis teknologi yang diusulkan cukup tepat, termasuk

didalamnya pertimbangan variabel sosial. (Husnan dan Suwarsono 1994). Pemilihan mesin, peralatan, serta teknologi yang akan diterapkan dewasa ini hampir tidak dapat dipisahkan. Beberapa kriteria yang tidak dapat dipisahkan dalam pemilihan teknologi antara lain kesesuaian dengan bahan mentah yang dipakai, keberhasilan teknologi di tempat lain, kemampuan tenaga kerja dalam pengoperasian teknologi, dan kemampuan antisipasi terhadap teknologi lanjutan (Umar 2005). c. Aspek Manajemen Manajemen berfungsi untuk aktivitas-aktivitas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian (Umar 2005). Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), analisa manajemen operasional meliputi deskripsi pekerjaan, yang akan dilakukan, persyaratan untuk melakukan pekerjaan tersebut, serta struktur organisasi perusahaan. Aspek manajemen operasional juga perlu mengkaji mengenai legalitas atau aspek yuridis dari suatu perusahaan. Hal ini dimaksudkan untuk meyakini apakah secara

22 | P a g e

yuridis perencanaan usaha yang telah dibuat dapat dinyatakan layak atau tidak layak dihadapan pihak yang berwajib dan masyarakat. d. Aspek Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Analisis terhadap aspek sosial dan lingkungan merupakan suatu analisis yang berkenaan dengan implikasi sosial yang lebih luas dari investasi yangdiusulkan, dimana pertimbangan-pertimbangan sosial tersebut harus dipikirkan secara cermat agar dapat menentukan ketanggapan suatu usaha terhadap social yang terjadi (Gittinger 1986). Beberapa manfaat proyek terhadap kondisi social dan lingkungan antara lain perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan petani, serta dampak usaha terhadap kelestarian lingkungan. e. Aspek Finansial Aspek finansial bertujuan untuk menghitung kebutuhan dana baik kebutuhan dana untuk aktiva tetap, maupun dana untuk modal kerja. Studi aspek finansial bertujuan untuk mengetahui perkiraan pendanaan dan aliran kas usaha, sehingga dapat diketahui layak atau tidaknya rencana usaha yang dimaksud. Studi kelayakan terhadap aspek keuangan perlu menganalisis bagaimana perkiraan aliran kas akan terjadi. Pada umumnya ada beberapa metode yang biasa dipertimbangkan untuk dipakai dalam penilaian aliran kas dari suatu investasi, yaitu metode Net Present Value, Internal Rate of Return, Net Benefit Cost Ratio, Payback Period dan Break Even Point.1) Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) merupakan salah satu metode perhitungan kelayakan investasi yang banyak digunakan karena mempertimbangkan nilai waktu uang (Arifin 2008). NPV yaitu selisih antara Present Value dari investasi dengan nilai sekararng dari penerimaan-penerimaan kas bersih (aliran kas operasional maupun aliran kas terminal) di masa yang akan datang. Untuk menghitung nilai sekarang perlu ditentukan tingkat bunga yang relevan (Umar 2005).23 | P a g e

2) Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) digunakan untuk mencari tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan di masa datang, atau penerimaan kas, dengan mengeluarkan investasi awal (Umar 2005). Sedangkan menurut Arifin (2008), metode IRR dapat didefinisikan sebagai tingkat bunga yang akan menjadikan jumlah nilai sekarang dari proceed (keuntungan bersih sesudah pajak ditambah dengan depresiai) yang diharapkanakan diterima (PV of future proceeds) sama dengan jumlah sekarang dari pengeluaran modal (PV of capital outlays).3) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Ukuran berdiskonto manfaat proyek yang lainnya adalah rasio manfaat terhadap biaya (B/C Ratio). Rasio ini diperoleh bila nilai sekarang arus manfaat dibagi dengan nilai sekarang arus biaya. Dalam prakteknya, B/C Ratio jarang menggunakan manfaat dan biaya bruto, akan tetapi lebih baik membandingkan nilai sekarang manfaat neto dengan nilai sekarang dari biaya investasi ditambah biaya operasi dengan pemeliharaan. Rasio ini tidak sering digunakan di Negara Negara yang sedang berkembang, karena nilai rasio ini berubah tergantung kepada selisih arus-arus manfaat dan biaya. Namun, suatu keuntungan dari Net B/C adalah bahwa ukuran tersebut secara langsung dapat mencatat berapa besar tambahan biaya tanpa mengakibatkan proyek secara ekonomis tidak menarik (Gittinger 1986).4) Payback Period (PP)

Payback Period atau periode pengembalian investasi adalah suatu periode atau jangka waktu yang diperlukan untuk dapat menutup kembali investasi menggunakan aliran kas neto (Arifin 2008). Metode Payback Periode ini cukup sederhana sehingga mempunyai kelemahan. Kelemahan utamanya yaitu metode ini tidak memperhatikan konsep nilai waktu dari uang di samping juga tidak memeperhatikan aliran kas

24 | P a g e

masuk setelah payback. Jadi, pada umumnya metode ini digunakan sebagai pendukung metode lain yang lebih baik (Umar 2005).5) Break Even Point (BEP)

Analisis pulang pokok atau Break Even Point adalah suatu alat analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antarbeberapa variabel di dalam kegiatan perusahaan, seperti luas produksi atau tingkat produksi yang dilaksanakan, biaya yang dikelurkan, serta pendapatan yang diterima perusahaan dari kegiatannya (Umar 2005). BEP merupakan keadaan di mana penerimaan pendapatan perusahaan (Total Revenue atau TR) adalah sama dengan biaya yang ditanggungnya (Total Cost atau TC).2. Analisis Nilai Pengganti (Switching Value Analysis)

Pada saat kita menganalisis perkiraan arus kas di masa datang, kita berhadapan dengan ketidakpastian. Akibatnya, hasil perhitungan di atas kertas dapat menyimpang jauh dari kenyataannya. Ketidakpastian itu dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan suatu proyek usaha dalam beroperasi untuk menghasilkan laba bagi perusahaan. Suatu variasi pada analisis sensitifitas adalah switching value. Dalam analisis sensitivitas secara langsung kita memilih sejumlah nilai yang dengan nilai tersebut kita melakukan perubahan terhadap masalah yang dianggap penting pada analisis usaha dan kemudian kitadapat menentukan pengaruh perubahan tersebut terhadap daya tarik usaha. Sebaliknya, bila ingin menghitung switching value maka kita harus menanyakan berapa banyak elemen yang kurang baik dalan analis usaha yang akan diganti agar usaha dapat memenuhi tingkat minimum diterimanya usaha sebagaimana ditunjukkan oleh ukuran kemanfaatan proyek (Gittinger 1986). 3. Sistem Bagi Hasil Sistem bagi hasil dewasa ini mulai menjadi alternatif pilihan bagi pelaku bisnis atau usaha. Bagi hasil atau biasa dikenal dengan istilah Profit Sharing diartikan sebagai distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari25 | P a g e

suatu perusahaan (Barus 2005). Bagi hasil ini dilaksanakan berdasarkan norma norma Islam diantaranya adalah sebagai berikut: a. b. c. d. Perdagangan barang yang halal. Bersikap benar, amanah, dan jujur. Menegakkan keadilan dan mengharamkan bunga. Menegakkan toleransi dan persaudaraan (Jusmaliani 2008).

Oleh karena itu, pada sistem bagi hasil ini selain pembagian untung, juga rugi ditanggung bersama oleh kedua belah pihak. Besarnya bagi hasil juga dapat berubah-ubah, tergantung dari keuntungan yang diterima perusahaan. Namun, besarnya persentase bagi hasil sudah ditetapkan di awal. Terdapat dua jenis perhitungan bagi hasil yaitu profit/loss sharing dan revenue sharing. Pada profit/loss sharing jumlah pendapatan bagi hasil yang diterima tergantung keuntungan usaha, sedangkan pada revenue sharing penentuan bagi hasil tergantung pendapatan kotor usaha (harga jual dikalikan dengan jumlah barang yang di jual). Pada umumnya di Indonesia menerapkan sistem revenue sharing. Pola ini dapat memperkecil kerugian bagi pemilik dana. Jenis-jenis bentuk kerjasama yang menerapkan prinsip dasar bagi hasil antara lain:1)

Al-Musyarakah (Partnership, Project Financing, Participation),

adalah penanaman dana dari pemilik modal untuk mencampurkan dana atau modal pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian bagi hasil berdasarkan nisbah (proporsi) yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana berdasarkan bagian modal masing-masing.2)

Al-Mudharabah (Trust Financing, Trust Investment), adalah akad

kerjasama antara dua pihak dimana pemilik modal menyediakan modal dan pihak pengelola menyediakan tenaga pengelolaan. Keuntungan usaha dibagi berdasarkan nisbah sesuai dengan kesepakatan. Pembagian nisbah dapat menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit/loss sharing)atau metode bagi pendapatan (revenue sharing).3)

Al-Muzaraah (Harvest-Yield Profit Sharing), adalah kerja sama

pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik

26 | P a g e

lahan memberikan lahan kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dan hasil panen.4)

Al-Musaqah (Plantation Management FeeBased on Certain Portion

of Yield), adalah bentuk sederhana dari AL-Muzaraah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen. (Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Indonesia 2006) 4. Kerangka Pemikiran Operasional Kayu jati (Tectona grandis L.F) merupakan salah satu komoditas hasil hutan yang memiliki nilai ekonomis yang bernilai tinggi. Kayu Jati memiliki keunggulan baik dari sisi kualitas, keawetan serta serat yang dihasilkan. Oleh karena itu, permintaan terhadap jati tetap tinggi. Disisi lain, jati memiliki kelemahan yaitu umur tanam yang relatif lama, sehingga laju permintaan jati tidak sama dengan laju penawarannya. Oleh karena itu, beberapa upaya dilakukan agar dapat memenuhi kekurangan pasokan tersebut, salah satunya adalah pengembangan penggunaan teknik budidaya bibit unggul hasil rekayasa genetika tanaman jati. Salah satu bibit unggul yang sudah mulai dipasarkan adalah Jati Unggul Nusantara (JUN). Jati Unggul Nusantara adalah hasil kloning dari Jati Plus Perhutani (JPP) yang telah diseleksi selama 70 tahun oleh Perum Perhutani. Jati Unggul Nusantara dibiakkan secara vegetatif dengan stek pucuk dari pohon/klon unggul dari Perum Perhutani yang bersertifikat dengan metode bioteknologi mutakhir. Tanaman ini memiliki keunggulan masa panen yang relatif singkat 5-20 tahun namun tetap menghasilkan kayu dengan kualitas yang sama dengan kayu jati konvensional. Dalam rangka menunjang pengembangan usaha budidaya jati unggul nusantara, maka diperlukan sistem usaha yang dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan agar dapat memenuhi permintaan jati secara berkesinambungan. Salah satu lembaga yang melakukan usaha budidaya jati unggul secara terpadu adalah Unit Usaha Bagi Hasil Jati Unggul Nusantara KPWN (UBHKPWN). Usaha ini telah berdiri dua tahun, namun rencana usaha jangka menengah telah dipersiapkan. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam27 | P a g e

pelaksanaan usaha adalah kontinuitas. Upaya untuk menjaga kontinuitas usaha dapat dilakukan dengan menjalin kemitraan, baik kemitraan dengan pemasok input, pemasar hasil maupun lembaga penunjang. Oleh karena itu, identifikasi kemitraan antar subsistem agribisnis JUN yang dilaksanakan oleh UBH-KPWN menjadi salah satu hal yang menarik untuk di kaji. Identifikasi ini dilakukan secara deskriptif berdasarkan kondisi di lapang serta informasi melalui data sekunder. Sistem bagi hasil yang diterapkan UBH-KPWN menjadi salah satu keunikan sistem usaha yang dilaksanakan. Namun, karena usaha ini baru berjalan dua tahun, maka kelayakan dari usaha ini masih memerlukan pengkajian. Kelayakan usaha menjadi pertimbangan pemilik modal dalam memutuskan berinvestasi. Kelayakan yang dilihat tidak hanya secara finansial melainkan juga kelayakan non finansial. Aspek yang dikaji dalam aspek non finansial antara lain aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan teknologi, aspek manajemen, serta aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Bila usaha tersebut layak, maka usaha tersebut dapat terus dilaksanakan dan dikembangkan, namun bila sebaliknya, usaha tersebut membutuhkan pengefisiensian biaya.

28 | P a g e

29 | P a g e

BAB IV METODE PENELITIANA. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN). Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan kegiatan usaha baru berjalan dua tahun, sedangkan rencana penanaman periode pertama adalah lima tahun, dengan umur panen tanaman jati pada usia lima tahun, sehingga menarik untuk dilakukan analisis kelayakan pada usaha tersebut. Selain itu, sistem manajemen usaha yang diterapkan memiliki keunikan, yaitu pola bagi hasil dan trees management. Penelitian ini dilakukan mulai April hingga Juli 2009. Kegiatan penelitian mencakup penyusunan proposal, pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, serta penulisan laporan. B. Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat terhadap status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa. Adapun tujuan menggunakan metode deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, hubungan antar fenomena dari penelitian yang diamati. Jenis metode deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kasus. Hal ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara rinci tentang latar belakang, sifat-sifat, serta karakter-karakter yang khas dari objek yang diamati untuk menilai kelayakan pelaksanaan usaha ini. C. Jenis Data dan Sumber Data Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan pihak-pihak terkait dengan usaha JatiUnggul Nusantara, dalam hal ini direksi UBH-KPWN yang meliputi bagian30 | P a g e

pemasaran, bagian umum, bagian tanaman, serta bagian keuangan. Data primer mencakup aspek kegiatan usaha antara lain: harga jual produk yang dihasilkan, harga input, biaya investasi, biaya operasional, biaya lain-lain, sistem manajemen serta teknik budidaya jati unggul nusantara. Data sekunder merupakan kumpulan data yang telah diolah lebih lanjut, dapat diperoleh dari instansi-instansi terkait, seperti Departemen Kehutanan, BPS, situs-situs internet yang memiliki informasi yang dibutuhkan, serta literaturliteratur atau kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini seperti laporan penelitian sebelumnya, buku, majalah, dan sebagainya. D. Metode Pengumpulan Data Data dan informasi dikumpulkan untuk mendapatkan gambaran dan berbagai informasi yang berkaitan dengan lingkup penelitian. Proses pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam (depth interview) dan observasi lapang. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari pengamatan langsung dan wawancara. Wawancara awal dilakukan pada dengan pihak UBH-KPWN untuk memperoleh informasi terkait dengan usaha jati unggul nusantara. Data sekunder dapat diperoleh melalui penelusuran literatur. E. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dapat berupa jawaban secara kualitatif dan kuantitatif, sehingga analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui gambaran usaha (keragaan usaha) UBHKPWN dari aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan teknologis, aspek manajemen, aspek sosial ekonomi dan lingkungan serta aspek finansial. Analisis kuantitatif dilakukan untuk menganalisa aspek kelayakan usaha jati unggul nusantara. Pengolahan data secara kuantitatif dengan menggunakan perhitungan kriteria-kriteria investasi, yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Payback Period (PP), dan Break Even Point (BEP). Dilakukan pula analisis nilai pengganti (Switching Value) untuk melihat kepekaan UBH-KPWN dalam menghadapi kemungkinan terjadinya penurunan jumlah penjualan dan peningkatan biaya operasional.31 | P a g e

F. Analisis Kriteria Kelayakan Non Finansial 1. Analisis Aspek Pasar dan Pemasaran Analisis pada aspek pasar dan pemasaran dilakukan dengan cara deskriptif. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui potensi pasar dan bauran pemasaran yang digunakan perusahaan. Aspek pasar dikatakan layak jika potensi pasar jati unggul nusantara dinilai memadai untuk pemasaran produk, pasar input tersedia dalam jumlah yang mencukupi, dan produk yang dimiliki memiliki daya saing atau keunggulan dibanding produk serupa di pasar. 2. Analisis Aspek Teknis dan Teknologis Aspek teknis dan teknologis dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Dalam aspek teknis, beberapa hal diperhatikan yaitu pemilihan lokasi, teknik budidaya, dan teknologi yang digunakan. Aspek teknis dan teknologis dikatakan layak apabila lokasi dan tata letak memberikan kemudahan dalam pelaksanaan usaha, baik dalam mendapatkan input maupun pemasaran produk. Pemilihan teknologi sesuai dengan sumber daya yang dimiliki, baik bahan mentah maupun tenaga kerja. 3. Aspek Manajemen Analisis aspek manajemen dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Pada analisis ini dilihat bentuk usaha, struktur organisasi yang diterapkan dalam perusahaan, deskripsi pekerjaan dan sistem manajemen. Usaha dikatakan layak jika perusahaan menerapkan manajemen sesuai dengan kebutuhan perusahaan sehingga dapat membantu tercapainya tujuan perusahaan. 4. Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungan Analisis aspek sosial dan lingkungan dilakukan dengan cara deskriptif. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan usaha terhadap keadaan sosial dan lingkungan. Pelaksanaan usaha sebaiknya memperhatikan keadaan sosial seperti penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan petani serta penerimaan masyarakat terhadap pelaksanaan usaha. Sedangkan aspek lingkungan sebaiknya memperhatikan32 | P a g e

sejauh mana pengaruh pelaksanaan usaha terhadap kelestarian lingkungan serta apakah pelaksanaan usaha mencemari lingkungan. G. Analisis Kriteria Kelayakan Finansial uangpada waktu sekarang lebih besar dari pada nilai uang pada masa yang akan datang. Analisis aspek finansial dilakukan dengan bantuan alat hitung kalkulator dan komputer dengan program Microsoft Excel. Kriteria kelayakan yang akan di analisis pada penelitian ini adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Payback Period (PP) dan Break Even Point (BEP).1.

Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan : Bt I Ct t = manfaat (benefit) dari usaha pada tahun ke-t = tingkat suku bunga yang berlaku = biaya (cost) dari usaha pada tahun ke-t = umur ekonomis proyek

Kriteria penilaian: jika NPV > 0, maka usulan proyek diterima jika NPV < 0, maka usulan proyek ditolak jika NPV = 0, nilai perusahaan tetap walau usulan proyek diterima atau

ditolak (Gittinger 1986).2.

Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan:33 | P a g e

i1 i2

= Tingkat diskonto yang menyebabkan NPV positif = Tingkat diskonto yang menyebabkan NPV negatif

NPV1 = NPV yang bernilai positif NPV2 = NPV yang bernilai negative Kriteria penilaian: Jika IRR yang diperoleh ternyata lebih besar dari rate of return yang ditentukan maka investasi dapat diterima (Gittinger 1986).3.

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan : Bt I Ct T

= manfaat (benefit) dari usaha pada tahun ke-t = tingkat suku bunga yang berlaku = biaya (cost) dari usaha pada tahun ke-t = umur ekonomis proyek jika Net B/C > 0, maka usulan proyek diterima jika Net B/C < 0, maka usulan proyek ditolak jika Net B/C = 0, nilai perusahaan tetap walau usulan proyek Payback Period (PP)

Kriteria penilaian:

diterima atau ditolak (Gittinger 1986).4.

Payback period merupakan rasio antara initial cash investment dengan cash inflow-nya yang hasilnya merupakan satuan waktu. Selanjutnya nilai rasio ini akan dibandingkan dengan maximum payback period yang dapat diterima (Umar 2005). Payback Period dapat dihitung dengan rumus:

34 | P a g e

Layak tidaknya suatu investasi dilakukan dengan membandingkan periode waktu maksimum yang ditetapkan dengan hasil perhitungan. Jika hasil perhitungan menunjukkan waktu yang lebih pendek atau sama dengan waktu maksimum yang ditetapkan, investasi dinyatakan layak. Sebaliknya, jika hasil perhitungan menunjukkan waktu yang labih lama dari yang disyaratkan, investasi sebaiknya ditolak (Arifin 2008). 5. Break Even Point (BEP) Break Even Point (BEP) dapat dihitung dengan rumus:

Di mana: P FC = Harga jual per unit = Biaya tetap

AVC = Biaya variabel per satuan (Arifin 2008) H. Definisi Operasional Istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:1. Jati Unggul Nusantara (JUN) adalah hasil kloning dari Jati Plus Perhutani

(JPP) yang telah diseleksi selama 70 tahun oleh Perum Perhutani. Tanaman ini memiliki keunggulan masa panen yang relatif singkat 5 hingga 20 tahun namun tetap menghasilkan kayu dengan kualitas yang sama dengan kayu jati konvensional.35 | P a g e

2. Manajemen pohon merupakan sistem pengelolaan dengan pendekatan

batang demi batang (per batang pohon), bukan terhadap luas hamparan, sehingga perhitungan penerimaan dan pengeluaran di hitung per pohon.3. Sistem Bagi Hasil adalah pola yang dilaksanakan melalui kerjasama antara

investor, pemilik lahan, petani penggarap, perangkat desa, dan UBH-KPWN yang bertindak sebagai lembaga fisilitator dan lembaga penjamin, dengan pembagian hasil panen secara proporsional dan menguntungkan para pihak.4. Jasa Investasi merupakan satu paket (satu sistem) jasa yang ditawarkan oleh

UBH-KPWN kepada investor untuk melaksanakan budidaya JUN dengan pola bagi hasil (wali pohon).5. Pemasaran jasa investasi adalah pemasaran jasa investasi yang dilakukan

pada saat umur tanaman JUN lebih kurang empat bulan.6. Produk pohon jati siap panen yang dihasilkan UBH-KPWN merupakan

tanaman jati yang berusia lima tahun dengan diameter minimum 20 cm dan volume minimum 0,2 m3 per pohon.7. Pemasaran tanaman jati adalah pemasaran produk JUN siap panen pada saat

tanaman JUN berusia lebih kurang tiga tahun.8. Pasar JUN yang dituju adalah untuk bahan baku mebel atau furnitur dan

bahan baku kerajinan.9. Harga jual JUN adalah harga penjualan JUN per pohon pada saat di kebun,

sedangkan biaya pemanenan dan pengangkutan menjadi tanggung jawab pembeli.

BAB V GAMBARAN UMUM USAHAA. Sejarah Pendirian UBH-KPWN

36 | P a g e

Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN) merupakan koperasi yang dibina oleh Departemen Kehutanan. Koperasi ini didirikan pada tahun 1989. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus memperbaiki kondisi lingkungan hidup, khususnya wilayah pedesaan, KPWN merancang konsep tentang pengembangan usaha budidaya jati unggul dengan pengelolaan secara intensif. Pengelolaan intensif tersebut dikembangkan melalui Pola Bagi Hasil. Pola Bagi Hasil yaitu pola yang dilaksanakan melalui kerjasama antara investor atau mitra usaha, pemilik lahan, petani penggarap, perangkat desa, dan KPWN yang bertindak sebagai lembaga fisilitator dan lembaga penjamin, dengan pembagian hasil panen secara proporsional dan menguntungkan para pihak. Pengembangan usaha budidaya jati unggul perlu didukung dengan ketersediaan sumberdaya manusia, kemampuan pendanaan, dan kemampuan pengelolaan sehingga usaha yang dikembangkan dapat menguntungkan baik dari aspek bisnis, sosial dan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, KPWN membentuk Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBHKPWN). B. Profil UBH-KPWN Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBHKPWN) merupakan salah satu unit usaha yang dimiliki oleh Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN). Unit Usaha Bagi Hasil ini dibentuk oleh dan berada di bawah KPWN untuk melaksanakan usaha yang bergerak dibidang usaha budidaya jati unggul dengan pola bagi hasil. Selain menerapkan pola bagi hasil, UBH-KPWN juga menerapkan sistem manajemen pohon (trees management) agar mempermudah perhitungan dan pengontrolan dalam pelaksanaan usaha. Kantor pusat UBH-KPWN berlokasi di Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lt. 5 R. 504-A Jakarta. UBH-KPWN dibentuk dengan Keputusan Pengurus (KPWN) No. 62/Kpts/KPWN/XII/2006 tanggal 21 Desember 2006, sebagaimana telah diperbaharui dengan keputusan Keputusan Pengurus KPWN No. 45/Kpts-KPWN/V/2007 tanggal 10 Mei 2007 dan disahkan dengan Akta Notaris Sigit Siswanto, SH. No. 12 tanggal 24 Mei 2007. Adapun visi dari UBHKPWN adalah menjadi pengelola profesional terbaik di37 | P a g e

bidang Usahatani Jati Unggul Pola Bagi Hasil. Misi UBH-KPWN adalah mewujudkan usahatani jati unggul pola bagi hasil menjadi kegiatan bisnis yang memberikan keuntungan finansial optimal kepada semua pihak terkait dan mendorong pertumbuhan social ekonomi masyarakat pedesaan serta berperan serta dalam perbaikan lingkungan hidup. Pelaksanaan usaha UBH-KPWN memiliki tujuan :a)

Mewujudkan peran serta para karyawan Departemen Kehutanan dan

masyarakat dalam mengembangkan usaha berbasis kemitraan yang berbentuk usahatani jati unggul pola bagi hasil maupun pola mandiri,b)

Terlaksanannya usaha jati unggul pola bagi hasil dalam rangka

peningkatan pendapatan KPWN dan kesejahteraan karyawan Departemen Kehutanan maupun masyarakat. C. Kegiatan Pokok UBH-KPWN Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBHKPWN) adalah suatu lembaga fasilitator yang bergerak dalam bidang pengelolaan usaha Jati Unggul Nusantara dengan pola bagi hasil. Adapun kegiatan pokok UBH-KPWN antara lain :1) Melakukan inventarisasi dan identifikasi calon lokasi dan pemilik lahan

serta petani penggarap peserta usaha budidaya JUN. 2) Merencanakan dan melaksanakan kegiatan usaha budidaya JUN.3) Melaksanakan pendampingan kepada petani penggarap peserta usaha

budidaya JUN. 4) Menarik calon investor peserta usaha budidaya JUN. 5) Mengelola dana dari investor untuk kegiatan usaha budidaya JUN. 6) Memasarkan pohon jati siap panen.7) Melaksanakan pembagian hasil sesuai dengan perjanjian yang telah

disepakati. D. Gambaran Umum Sistem Agribisnis Jati Unggul Nusantara UBHKPWN Agribisnis adalah penjumlahan total dari seluruh kegiatan yang menyangkut manufaktur dan distribusi dari sarana produksi pertanian, kegiatan yang38 | P a g e

dilakukan usahatani, serta penyimpanan, pengolahan, dan distribusi dari produk pertanian dan produk-produk lain yang dihasilkan dari produk pertanian (Krisnamurthi 2001). Berdasarkan definisi tersebut, dapat dilihat bahwa agribisnis merupakan suatu sistem yang mencakup segala kegiatan yang berhubungan dengan pengusahaan tumbuhan dan hewan (komoditas pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan) yang tidak hanya berfungsi memenuhi kebutuhan sendiri tetapi juga berorientasi pasar (bisnis) dan perolehan nilai tambah. Agribisnis merupakan konsep dari suatu sistem yang integratif yang terdiri dari beberapa subsistem. Sistem agribisnis minimal mencakup empat subsistem, yaitu subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), subsitem usahatani (down-stream agribusiness), subsistem hilir (down-stream agribusiness), dan subsistem jasa layanan pendukung (Krisnamurthi 2001). Oleh karena itu, system agribisnis Jati Unggul Nusantara (JUN) merupakan sistem terpadu yang melingkupi pelaksanaan usaha JUN yang dilaksanakan oleh UBH-KPWN. Sistem ini memberikan gambaran mengenai pelaksanaan usaha JUN mulai dari subsistem hulu hingga subsistem hilir. Sistem agribisnis JUN yang dilaksanakan oleh UBHKPWN dapat dilihat pada Gambar 2.

39 | P a g e

1)

Subsistem Agribisnis Hulu (Up-stream agribusiness)

Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness) pada sistem agribisnis JUN UBH-KPWN meliputi pengadaan bibit, pengadaan pupuk organik formula khusus, pengadaan pupuk kandang, pengadaan obat, dan pengadaan peralatan. Pihak yang terlibat dalam sub sistem pengadaan sarana produksi usahatani JUN UBH-KPWN antara lain: a) PT. Setyamitra Bhaktipersada Perjanjian kedua belah antara pihak UBH-KPWN disepakati dengan PT. bibit Setyamitra JUN yang Bhaktipersada berupa kontrak jual beli bibit JUN. Pada kontrak antara spesifikasi diperjualbelikan. Spesifikasi tersebut meliputi tinggi, jumlah daun, dan batang. Tinggi yang dipersyaratkan adalah minimum mencapai 30 cm, jumlah daun sebanyak 2 pasang, dan batang berkayu, sehat, dan bebas dari penyakit. Kontrak kerjasama dengan PT Setyamitra Bhaktipersada telah berlangsung mulai tahun 2007. PT. Setyamitra Bhaktipersada adalah sebuah lembaga yang memproduksi bibit Jati Unggul Nusantara (JUN). Bibit JUN dihasilkan dari proses pengembangan genetik dari bibit-bibit jati terbaik seluruh Indonesia. Proses penelitian dan pengembangan genetik bibit jati unggul ini memerlukan lebih dari tujuh tahun agar sempurna. Persemaian JUN mampu menghasilkan 10 juta bibit per tahun dari sebuah areal persemaian seluas 12 hektar. Menggunakan teknologi yang tepat, pohon jati unggul dibuatkan kloningnya agar menghasilkan bibit jati unggul yang sama dengan indukannya. Perlakuan tambahan juga diterapkan untuk menghasilkan perakaran tunjang majemuk sehingga bibit jati dapat tumbuh dengan cepat.

40 | P a g e

Gambar 3. Perakaran Jati Unggul Nusantara b) PT. Pancakokoh Perjanjian antara UBH-KPWN dengan PT. Pancakokoh adalah pada pengadaan pupuk organik formula khusus. c) PT. Indo Javabif Sarana Perjanjian antara UBH-KPWN dengan PT. Indo Javabif Sarana adalah pengadaan pupuk kandang. Perjanjian ini telah dilakukan pada tahun 2007 dengan nomor 04/PK/UBH-KPWN/X/2007 pada tanggal 7 November 2007. Total pengadaan pupuk kandang sebesar 1000 m3 atau setara dengan 500 ton.2)

Subsistem Usahatani (On-farm agribusiness) Subsistem usahatani dari sistem agribisnis JUN UBH-KPWN

berkaitan dengan kegiatan on-farm atau dalam hal ini adalah kegiatan budidaya JUN. Pada pelaksanaan usaha budidaya JUN, UBH-KPWN melakukan kerjasama dengan beberapa pihak. Pihak-pihak yang terlibat antara lain investor, pemilik lahan, petani penggarap, dan pemerintah desa. Unit Usaha Bagi Hasil KPWN berlaku sebagai fasilitator, dimana memiliki tanggungjawab untuk mencari lokasi tanaman, kerjasama dengan pemilik lahan, petani penggarap, dan perangkat desa, mencari investor, menempatkan tenaga pendamping untuk melakukan pendampingan kepada petani penggarap. Selain itu UBH-KPWN juga bertanggungjawab memasarkan hasil panen dengan harga yang layak dipasaran, serta

41 | P a g e

melakukan pembagian hasil panen sebagaimana yang telah di sepakati dalam perjanjian dengan pihak-pihak terkait. a) Investor Investor, menanamkan investasinya ke UBH-KPWN sebesar Rp 60.000,00 (enam puluh ribu rupiah) per pohon untuk pembiayaan selama lima tahun, dimana minimal investasi 100 pohon yaitu senilai dengan Rp 6.000.000. Bagian hasil panen yang didapat investor sebesar 40 persen dari jumlah pohon yang ditanam dari investasinya (sebesar 40 persen dari total penerimaan penjualan pohon yang diinvestasikan). b) Pemilik Lahan Kontribusi pemilik lahan adalah mengijinkan lahannya untuk ditanami JUN dengan jarak tanam 2 m x 5 m, dalam jangka waktu kerjasama enam tahun. Dengan jarak tanam tersebut, pemilik lahan masih memiliki peluang untuk menanam tanaman tumpangsari diantara tanaman JUN. Apabila pengerjaan lahan oleh orang lain (petani penggarap), maka bagian hasil dari tumpangsari masih dapat diperoleh pemilik lahan dari petani penggarap. c) Petani Penggarap Petani Penggarap memiliki peran yang penting yaitu sebagai ujung tombak dalam menentukan keberhasilan usaha budidaya JUN pada kegiatan on-farm. Kinerja petani penggarap sangat berpengaruh pada kegiatan penanaman, pemupukan secara tepat waktu dan ukuran, serta melakukan perawatan secara intensif terhadap JUN. Sebagai upaya agar para petani penggarap mempunyai kemampuan yang baik dalam mengurus tanaman JUN, maka pihak UBH-KPWN menempatkan tenaga pendamping di pedesaan. Tugas utama para tenaga pendamping adalah memberikan bimbingan, pelatihan, dan pembinaan kepada petani penggarap agar mau dan mampu melaksanakan usahatani JUN secara baik dan benar. d) Pemerintah Desa

42 | P a g e

Pemerintah desa atau perangkat desa sebagai ujung tombak pemerintahan. Pemerintah desa dilibatkan secara langsung dalam pengembangan usaha budidaya JUN Pola Bagi Hasil di wilayahnya. Pemerintah desa memiliki peranan untuk membuktikan keabsahan kepemilikan lahan yang akan ditanami JUN. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya pengakuan kepemilikan lahan oleh orang yang tidak berhak. Selain itu pemerintah desa juga berperan dalam menggerakkan masyarakat calon peserta, mengawasi jalannya kerjasama tersebut, dan turut serta mengamankan tanaman JUN dari gangguan, pencurian, kebakaran atau ganguan ternak dan manusia.3)

Subsistem Agribisnis Hilir (Down-stream agribusiness) Subsistem agribisnis hilir, salah satunya menangani pemasaran

produk. Pemasaran pohon JUN UBH-KPWN bekerjasama dengan ASMINDO (Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia). ASMINDO adalah sebuah asosiasi mebel di Indonesia yang mempunyai 2000 anggota dari kalangan industri kecil dan menengah. Dengan total ekspor sebesar 2,7 milyar dollar di tahun 2007, Asmindo merupakan konsumen terbesar kayu dari hutan rakyat di Indonesia. Asmindo memegang fungsi penting di dalam meningkatkan kapasitas para anggotanya dalam hal kualitas produk, promosi, dan pemasaran, selain juga aktif mengajak para anggotanya agar menggunakan bahan baku dari hutan rakyat yang lestari. Oleh karena itu, ASMINDO menyambut baik tawaran kerja sama dengan UBHKPWN. Peranan Asmindo dalam sistem agribisnis JUN UBH-KPWN antara lain:a) Sebagai ceruk pasar yang tetap untuk kayu bersertifikat yang

dihasilkan dari kerjasama ini. b) Melakukan promosi kepada anggotanya dan ke negara-negara konsumen. 4. Subsistem Pendukung Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) merupakan salah satu subsistem pendukung dalam sistem agribisnis JUN UBH-KPWN. Lembaga ini merupakan lembaga pengembang Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan43 | P a g e

Lestari, Sertifikasi Lacak Balak, dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem sertifikasi LEI telah digunakan untuk mensertifikasi areal hutan seluas lebih dari 1,6 juta hektar di Indonesia. Seiring dengan peningkatan persaingan produk yang berbahan baku kayu, baik di pasar domestik maupun pasar internasional, maka sertifikasi produkproduk tersebut dirasakan semakin diperlukan. Sertifikasi ini berfungsi sebagai legalisasi bahwa produk yang diperjualbelikan merupakan produk legal secara hukum (bukan illegal logging) dan sesuai dengan prosedur budidaya yang ditetapkan. Manfaat sertifikasi ini tidak hanya pada kemudahan dalam pemasaran produk, tetapi juga turut berkontribusi dalam melaksanakan usaha yang ramah lingkungan. Adapun peran LEI dalam sistem agribisnis JUN ini adalah :a) Menjamin bahan baku kayu berasal dari hutan yang dikelola secara

lestari oleh masyarakat. Pengelolaan hutan secara lestari oleh masyarakat akan meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan juga kualitas hidup masyarakat.b) Melakukan verifikasi atas kayu yang dihasilkan dari hutan yang

lestari melalui Lembaga Sertifikasi.c) Mengeluarkan pernyataan Acknowledgement untuk perusahaan

yang

bergabung

dalam

investasi

ini, telah

dimana menanam

pernyataannya pohon dan

menyebutkan

bahwa

perusahaan

berkontribusi terhadap penghijauan.

BAB VI ANALISIS ASPEK NON FINANSIALA. Aspek Pasar dan Pemasaran Pengkajian aspek pasar dan pemasaran berkaitan dengan ada tidaknya potensi dan peluang pasar atas produk yang akan dipasarkan. Sementara itu kajian aspek pemasaran berkaitan dengan bagaimana penerapan strategi pemasaran44 | P a g e

dalam rangka meraih sebagian pasar potensial atau peluang pasar yang ada tersebut. Pada penelitian ini aspek pasar dan pemasaran yang akan dianalisis meliputi peluang pasar, bauran pemasaran dan pesaingPP. 1. Peluang Pasar Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan tahun 2008, realisasi Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri Primer (RPBBI) tahun 2008 sebesar 36.268.586,25 m3. Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan Kayu adalah rencana yang memuat kebutuhan bahan baku dan pasokan bahan baku yang berasal dari sumber yang sah sesuai kapasitas izin industri primer hasil hutan dan ketersediaan jaminan pasokan bahan baku untuk jangka waktu satu tahun yang merupakan sistem pengendalian pasokan bahan baku. Bahan baku industri adalah hasil hutan yang diolah atau tidak diolah dan dapat dimanfaatkan sebagai material produksi dalam industri. Disisi lain, sampai dengan bulan Desember 2008 produksi kayu bulat sebesar 31.984.443 m3, sehingga masih terdapat kekurangan pasokan kayu bulat untuk memenuhi bahan baku industri tersebut sebesar 4.284.146 m3. Permintaan terhadap kayu cenderung tidak pernah mengalami penurunan meskipun pertumbuhan ekonomi sedang mengalami penurunan. Permintaan kayu mengalami peningkatan sebanyak 13 persen hingga 17 persen per tahun (LEI 2008). Kebutuhan masyarakat terhadap kayu mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan permintaan kebutuhan papan, dimana kebutuhan papan seperti rumah dan mebel masih banyak yang bergantung pada penggunaan bahan baku kayu. Salah satu jenis kayu yang menjadi pilihan sebagai bahan baku pembuat rumah dan mebel adalah kayu jati. Beberapa kalangan masyarakat merasa bangga apabila tiang dan papan bangunan rumah serta perabotannya terbuat dari kayu jati. Selain itu, berbagai konstruksi pun terbuat dari kayu jati seperti bantalan rel kereta api, tiang jembatan, balok dan gelagar rumah, serta kusen pintu dan jendela.45 | P a g e

Pada industri kayu lapis, jati digunakan sebagai vinir muka karena memiliki serat gambar yang indah. Pada industri perkapalan, kayu jati sangat cocok dipakai untuk papan kapal yang beroperasi di daerah tropis. Kayu jati merupakan salah satu bahan baku industri perkayuan yang populer karena berbagai keunggulannya, selain kualitas dan daya tahannya yang tergolong kuat, kayu jati juga memiliki image kayu mewah sehingga dapat meningkatkan prestice pemiliknya. Jika dilihat dari kegunaan jati, maka dapat memberikan gambaran bahwa permintaan terhadap kayu jati tinggi pula. Namun hal ini tidak diimbangi oleh penawaran kayu jati. Berdasarkan data Departemen Kehutanan, pada tahun 2007 realisasi produksi kayu bulat jati sebesar 517.627 m3 dengan rincian 137.173 m3 dihasilkan di provinsi Jawa Barat dan Banten, 186.613 m3 dihasilkan di provinsi Jawa Tengah, 1.229 m3 dihasilkan di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan 191.269 m3dihasilkan di provinsi Jawa Timur.Menurut informasi dari ASMINDO (2008), permintaan kayu jati di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 7.000.000 m3 per tahun, namun penawaran hanya sebesar 700.000 m3 saja, sehingga terjadi kekurangan penawaran sekitar 90 persen. Kondisi tersebut merupakan potensi pasar bagi UBH-KPWN, sehingga produk hasil jati UBH-KPWN dapat diserap pasar. Kayu jati unggul nusantara yang dihasilkan oleh UBH-KPWN ditujukan untuk bahan baku mebel dan produk kerajinan. Oleh karena itu, kerjasama yang dijalin dengan Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) menjadi suatu peluang pasar untuk memasarkan produk JUN tersebut. Produk JUN diharapkan dapat diserap oleh anggota Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) untuk digunakan sebagai bahan baku mebel dan produk kerajinan yang dihasilkan. Walaupun permintaan dalam negeri masih belum dapat terpenuhi, namun kayu jati Indonesia juga ikut berpartisipasi di pasar dunia. Beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor kayu jati dari Indonesia antara lain Amerika, Taiwan, Hongkong, Korea, Uni Emirat Arab, dan Italia (Statistik Kehutanan 2008).

46 | P a g e

2. Bauran Pemasaran (Marketing Mix) Meliputi : Produk adalah sesuatu yang ditawarkan dan dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan konsumen. Strategi produk didefinisikan sebagai suatu strategi yang dilaksanakan oleh suatu perusahaan yang berkaitan dengan produk yang ditawarkan. Produk utama yang ditawarkan oleh UBH-KPWN berupa Produk Jasa Investasi dan Produk Pohon Jati Siap Panen. a) Produk Jasa Investasi Pola Bagi Hasil Produk jasa investasi yang ditawarkan oleh UBH-KPWN adalah dengan pola bagi hasil, dimana Investor mendapat bagian bagi hasil sebesar 40 persen. UBH-KPWN memasarkan produk jasa investasi sebagai upaya untuk membiayai pengembangan JUN. Produk jasa investasi ini dipasarkan setelah umur tanaman lebih kurang 4 bulan. Hal ini dimaksudkan agar para investor meyakini bahwa uang yang diinvestasikan kepada UBH-KPWN benar-benar digunakan untuk pengembangan JUN. Berdasarkan data UBHKPWN, hingga akhir tahun 2008 jumlah investor usaha JUN ini mencapai 442 investor yang terdiri dari investor perorangan maupun lembaga usaha. Jumlah pohon yang dibiayai mencapai 232.487 pohon JUN dengan jumlah nominal mencapai Rp 13.819.220.000,00. b) Produk Pohon Jati Siap Panen Usaha JUN yang dilaksanakan UBH-KPWN dapat dipanen pada umur lima tahun. Hal ini dikarenakan menggunakan bibit jati unggul, pemupukan dan perawatan intensif. Pada saat panen, JUN ditargetkan memiliki diameterminimum rata-rata 20 cm dan volume minimum 0,20 m3 per pohon. Pada bidang industri perkayuan, biasanya kayu jati digunakan dalam industri meubel atau furniture dan fancy plywood, sehingga ukuran kayu jati sangat berpengaruh dalam menentukan pada saat pembelian. Dahulu furniture yang47 | P a g e

dibuat dari bahan kayu jati berukuran besar dan utuh (tidak disambung), karena konsumen khawatir akan kekuatannya, namun kini para pelaku usaha dibidang furniture telah mampu mengolah kayu jati yang berdiameter 20 cm menjadi furniture dengan kekuatan dan estetika yang tetap baik. Oleh karena itu, target pertumbuhan JUN yang minimal mencapai 20 cm dalam waktu lima tahun, akan mudah terserap ke dalam pasar c) Pesaing Lingkungan eksternal suatu usaha memiliki keterkaitan yang erat dengan persaingan usaha. Pesaing merupakan pelaku usaha sejenis yang mengancam pelaksanaan usaha yang dilaksanakan. Pesaing usaha JUN UBH-KPWN merupakan usaha-usaha yang menghasilkan produk yang sejenis maupun produk subsitusinya. Usaha yang menghasilkan produk sejenis yang dimaksud adalah usaha yang menghasilkan produk pohon jati, sedangkan usaha yang menghasilkan produk subsitusi seperti usaha yang menghasilkan produk pohon jenis lainnya. Beberapa pesaing atau kompetitor yang menghasilkan produk sejenis antara lain:i.

BUMN di bidang kehutanan, yaitu Perum Perhutani yang di bawah binaan Departemen Kehutanan yang

beradaii.

menghasilkan produksi kayu jati terbesar di Indonesia. Masyarakat perorangan atau kelompok dan Badan Usaha Swasta yang mengusahakan tanaman jati dapat dikategorikan dalam dua kategori besar, yaitu masyarakat yang mengikuti program Gerhan (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Berdasarkan analisis potensi pasar usaha JUN di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan usaha ini layak untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan potensi pasar untuk jati masih tinggi dimana masih terdapat gap yang besar antara permintaan dan penawaran.

48 | P a g e

Potensi pasar untuk Jati dilihat dari sisi permintaan, penawaran, dan harga menunjukkan pasar jati masih terbuka lebar. Selain itu, jika dilihat dari keadaan pesaing, UBH-KPWN dengan kelebihan dan keunikan yang dimiliki dirasa dapat tetap bertahan dalam persaingan. B. Aspek Teknis dan Teknologis Pada umumnya usaha pada kegiatan on farm sangat tergantung dengan keadaan lingkungan, seperti kondisi lahan dan iklim. Kegiatan on farm atau budidaya tanaman memiliki karakteristik tanam yang berbeda-beda, karena itu tidak dapat dilaksanakan di sembarang tempat. Pemilihan lokasi yang sesuai dengan karakteristik tumbuh merupakan syarat utama dalam pemilihan lokasi. Begitu pula dengan usaha budidaya JUN ini. Pemilihan lokasi tanam yang sesuai dengan karakteristik tanam merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pemilihan lokasi. Sesuai dengan karakteristik tumbuhnya, maka budidaya JUN dilakukan di daerah Jawa. 1) Lokasi Pemiilihan lokasi sebaiknya mempertimbangkan beberapa hal agar dikemudian hari tidak ada kendala yang menyebabkan gagalnya pelaksanaan usaha. Dalam menentukan lokasi proyek yang strategis faktorfaktor yang harus dipertimbangkan antara lain ketersediaan bahan baku utama dan pembantu, ketersediaan tenaga kerja langsung, ketersediaan sarana transportasi, ketersediaan sarana telekomiunikasi dan kedekatan dengan pasar yang dituju. Jika usaha bergerak di bidang budidaya, kesesuaian kondisi lahan dan iklom juga menjadi pertimbangan yang penting. Lokasi yang dipilih untuk kantor pusat adalah di Jakarta yaitu di Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lt. 5 R. 504-A. Pemilihan lokasi di tersebut berdasarkan pertimbangan kemudahan akses, selain dekat dengan kantor KPWN, lokasi di Jakarta dinilai strategis untuk mengkoordinasi pihak-pihak terkait, seperti penyedia sarana produksi, pemasar, dan lembaga penunjang. Lokasi untuk melaksanakan penanaman JUN pada tahun 2007 hingga 2008 antara lain Magetan, Bogor, Purwakarta, dan Kulon Progo (Tabel 6). Pemilihan lokasi tanam didasarkan pada pertimbangan49 | P a g e

karakteristik lahan dan aksesibilitas. Lokasi yang dinilai layak sebagai lahan tanam JUN harus memiliki persyaratan-persyaratan berikut:

Bukan lahan persawahan Tidak tergenang air atau banjir atau becek setelah hujan Tidak terkena nauangan pohon atau bangunan Ketinggian lokasi maksimum 400 m dari permukaan laut. Diprioritaskan di daerah dimana terdapat tanaman jati tumbuh

dengan baik

2)

Input dan Peralatan

Pemilihan input dan peralatan merupakan hal yang harus diperhatikan. Ketepatan pemilihan input dan peralatan akan menunjang pelaksanaan usaha. Input utama dalam usaha ini adalah bibit JUN. Pengadaan bibit JUN ini bekerjasama dengan PT. Setyamitra Bhaktipersada, sehingga pasokan bibit JUN dapat terjamin. Pengadaan pupuk organik formula khusus juga telah bekerjasama dengan PT. Pancakokoh. Sedangkan input lainnya juga bekerjasama dengan pemasok, sehingga ketersediaan input dapat terjamin. Penggunaan peralatan dan teknologi pada usaha JUN ini relatif sederhana, seperti budidaya pertanian pada umumnya. Peralatan yang digunakan petani50 | P a g e

untuk budidaya JUN adalah milik petani sendiri, sedangkan pihak UBHKPWN hanya menyediakan beberapa peralatan saja untuk dipinjamkan. Rincian penggunaan peralatan dapat dilihat pada Tabel 7.

3)

Teknik Budidaya Pada dasarnya tanaman jati merupakan tanaman yang dapat tumbuh

dengan alami. Hal tersebut dikarenakan jati tergolong tanaman yang memiliki daya tahan tinggi. Namun, tanpa adanya penanganan yang baik, tanaman jati akan tumbuh dalam waktu yang lama. Apabila ingin menghasilkan jati dengan umur panen yang relatif singkat maka dibutuhkan bibit khusus dan perawatan yang baik. Berdasarkan informasi dari UBHKPWN, teknik budidaya JUN diawali dengan persiapan, baik persiapan lahan, persiapan pupuk dasar, juga persiapan bibit. Setelah itu dapat dilaksanakan proses penanaman. Perawatan dan penyiraman tanaman dilaksanakan secara intensif agar tanaman dapat tumbuh sesuai dengan yang diharapkan. Pemanenan dilaksanakan saat umur tanaman lima tahun, yaitu pada saat tanaman JUN mencapai volume 0,2 meter kubik. Berdasarkan hasil analisis aspek teknis meliputi lokasi, input, teknik budidaya, dan lay out, usaha JUN ini tergolong layak. Pemilihan lokasi tanam sudah tepat sesuai dengan pertimbangan karakteristik tanam JUN. Jenis input telah sesuai dengan kebutuhan budidaya JUN dan pengadaannya51 | P a g e

telah bekerja sama dengan pihak supplier. Teknik budidaya JUN dan jarak penanaman telah disesuaikan dengan literatur.

C. Aspek Manajemen Studi aspek manajemen adalah untuk mengetahui apakah pembangunandan implementasi usaha dapat direncanakan, dilaksanakan dan dikendalikan, sehinga rencana usaha dapat dinyatakan layak atau sebaliknya (Umar 2005). Aspek manajemen terkait dengan aktivitas-aktivitas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian. Pada pelaksanaan usaha JUN oleh UBH-KPWN, fungsi manajemen telah diterapkan dengan cukup baik. Perencanaan (planning) berhubungan dengan perkiraan-perkiraan di masa depan dan target yang harus dicapai di masa depan. Oleh karena kemampuan sumber daya yang tersedia terbatas, maka perencanaan memerlukan perhitungan52 | P a g e

yang matang agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan pertimbangan kemampuan manajemen, UBH-KPWN membuat perencanaan jangka menengah. Perencanaan ini dibuat untuk lima tahun dimana ditargetkan sebanyak 2000.000 pohon JUN dapat ditanam. Rencana penanaman JUN dalam lima tahun dapat dilihat pada Tabel 9. Selain jumlah pohon yang ditanam, perencanaan juga dilakukan terhadap ukuran standar minimal saat panen. Ukuran standar yang harus dicapai antara lain diameter minimal sebesar 20 cm dan tinggi bebas cabang 6,5 m, sehingga volume per batang sebesar 0,2 m3.

1)

Sistem Manajemen Usaha JUN UBH-KPWN Pelaksanaan usaha JUN menitikberatkan pada sistem manajemen yang

tergolong berbeda yaitu manajemen pohon (trees management) dan pola bagi hasil. Penerapan sistem tersebut diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan usaha, selain itu juga diharapkan dapat memberikan keuntungan yang adil bagi masing-masing pihak.2)

Manajemen Pohon (Trees Management) Manajemen pohon merupakan sistem pengelolaan dengan pendekatan

batang demi batang (per batang pohon), bukan terhadap luas hamparan. Mayoritas usaha bidang budidaya tanaman hutan masih menerapkan manajemen yang berbasis luas hamparan, sedangkan UBH-KPWN mencoba dengan sistem yang berbeda yaitu manajemen pohon (per batang). Pelaksanaan manajemen pohon memberikan beberapa keuntungan antara lain dapat mempermudah pelaksanaan usaha, karena tenaga kerja (petani53 | P a g e

penggarap) dapat lebih fokus dalam mengurus pohon yang menjadi kewajibannya. Selain itu, manajemen pohon mempermudah dalam perhitungan penerimaan, penjualan dan biaya yang dikeluarkan, baik biaya perawatan, biaya pengamanan maupun upah tenaga kerja. 3) Sistem Bagi Hasil Sistem atau Pola Bagi Hasil yang diterapkan UBH-KPWN yaitu pola yang dilaksanakan melalui kerjasama antara investor, pemilik lahan, petani penggarap, perangkat desa, dan UBH-KPWN yang bertindak sebagai lembaga fisilitator dan lembaga penjamin, dengan pembagian hasil panen secara proporsional dan menguntungkan para pihak. Penetapan bagian hasil pihak-pihak yang terlibat dalam budidaya JUN didasarkan atas hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Berdasarkan bagan tersebut dapat diuraikan bahwa:a) Unit Usaha Bagi Hasil KPWN berperan melaksanakan pengelolaan

usaha JUN dengan memanfaatkan dana dari investor, lahan milik54 | P a g e

perorangan, lahan desa, maupun lahan badan usaha, serta tenaga kerja petani penggarap yang terlibat dalam usaha JUN. Imbal jasa atas peranannya tersebut, UBH-KPWN akan mendapat bagian hasil panen sebanyak 15 persen dari jumlah pohon yang ditanam, tetapi apabila ada tanaman JUN yang mati atau hilang maka bagian hasil panen tersebut dikurangi 0,3 bagian dari jumlah yang mati atau hilang.b) Investor berperan sebagai pihak yang menanamkan modal untuk

digunakan pelaksanaan usaha. Dana tersebut digunakan untuk biaya pengadaan bibit, pupuk, obat-obatan, peralatan, upah petani, dan biaya manajemen. Imbal jasa atas peranannya tersebut, investor akan mendapat bagian hasil panen sebanyak 40 persen dari jumlah pohon yang ditanam. Bila terjadi kehilangan atau kematian pohon, investir tidak menanggung risiko.c) Pemilik lahan berperan untuk menyediakan lahan yang akan

ditanami JUN. Hubungan pemilik lahan dan UBH-KPWN bukan sewa menyewa, melainkan kerja sama, sehingga atas peranannya menyediakan lahan, pemilik lahan akan mendapat bagian hasil panen sebanyak 10 persen dari jumlah pohon yang ditanam dan tidak menanggung risiko bila ada yang mati atau hilang.d) Petani

Penggarap berperan dalam melaksanakan pengolahan

lahan,penanaman, pemeliharaan, dan pengamanan tanaman JUN. Imbal jasa yang akan diperoleh oleh petani penggarap disamping mendapat upah juga mendapat bagian hasil panen sebesar 25 persen dari jumlah pohon yang ditanam, tetapi apabila ada yang mati atau hilang maka bagian hasil panen tersebut di kurangi sebanyak 0,5 bagian dari jumlah yang mati atau hilang.e) Perangkat desa berperan memberikan dukungan dan bantuan dalam

rangka memastikan keabsahan kepemilikan lahan, melaksanakan sosialisasi dan menggerakkan masyarakat untuk menjadi peserta usaha JUN, membantu melaksanakan pengawasan lapangan dan55 | P a g e

pengamanan. Imbal jasa atas peranannya tersebut, pemerintah desa akan mendapat bagian sahil panen untuk pembangunan desa sebesar 10 persen dari jumlah pohon yang ditanam, tetapi apabila ada yang mati atau hilang maka bagian hasil panen tersebut dikurangi sebanyak 0,2 bagian dari jumlah yang mati atau hilang. Bagian hasil panen masing-masing pihak dikaitkan dengan tingkat kematian atau kehilangan dapat dilihat pada Tabel 13.

Berdasarkan hasil analisis aspek manajemen meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan, usaha ini tergolong layak. Hal ini dapat dilihat pula dari pemilihan bentuk usaha, struktur organisasi, dan system manajemen usaha. Bentuk usaha yang dipilih, sejauh ini dirasa masih sesuai dengan pelaksanaan usaha, dengan menjadi unit usaha KPWN, usaha JUN mendapat cukup banyak bantuan, khususnya dalam hal jaringan (link) dan informasi. Pada usaha ini sudah ada pembagian kerja yang jelas. Selain itu, penerapan pola bagi hasil dan manajemen pohon menjadi pembeda dan daya tarik usaha ini. D. Aspek Hukum 1. Dasar Hukum

Dasar hukum pelaksanaan usaha ini antara lain:56 | P a g e

a) Akta Pendirian KPWN Nomor : 8295 tahun 1989b) Akta Pembentukan Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan

Wanabakti Nusantara No 2 tanggal 24 Mei 2007c)

Keputusan Pengurus KPWN No.62/Kpts/KPWN-XII/2006 tanggal

21Desember 2006 No. 45/Kpts-KPWN/V/2007 tanggal 10 Mei 2007d) Keputusan Ketua KPWN No.82/Kpts-KPWN/XII/2007 tanggal 10

Desember 2007 Tentang Penunjukan dan Pengangkatan Direktur Utama Unit UBH-KPWN Periode tahun 2007 2012 . 2. Visi, Misi dan Tujuan UBH-KPWN Adapun visi dari UBH-KPWN adalah Menjadi pengelola professional terbaik di bidang Usahatani Jati Unggul Pola Bagi Hasil. Misi UBH-KPWN adalah mewujudkan usahatani jati unggul pola bagi hasil menjadi kegiatan bisnis yang memberikan keuntungan finansial optimal kepada semua pihak terkait dan mendorong pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat pedesaan sertaberperan serta dalam perbaikan lingkungan hidup. Pelaksanaan usaha UBH-KPWN memiliki tujuan (a) Mewujudkan peran serta para karyawan Departemen Kehutanan dan masyarakat dalam mengembangkan usaha berbasis kemitraan yang berbentuk usahatani jati unggul pola bagi hasil maupun pola mandiri, (b) Terlaksanannya Usahatani Jati Unggul Pola Bagi Hasil (UJU-PBH) dalam rangka peningkatan pendapatan KPWN dan kesejahteraan Karyawan Departemen Kehutanan maupun masyarakat. E. Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungan Pelaksanaan usaha seharusnya memperhatikan kepentingan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial ekonomi. Pelaksanaan usaha yang baik adalah pelaksanaan usaha yang berwawasan lingkungan dan pelaksanaan usaha memberikan pengaruh yang positif terhadap57 | P a g e

masyarakat sekitar. Pelaksanaan usaha JUN UBH-KPWN memberikan manfaat sosial ekonomi dan lingkungan yaitu memberikan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan pembangunan pedesaan, memperkokoh hubungan sosial kemasyarakatan dan perbaikan kondisi lingkungan.