ndc gabriella juliani 12.70.0174

30
1 1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan pada praktikum fermentasi dalam pembuatan nata de coco untuk kloter D dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de Coco Kel Tinggi Awal Media (cm) Tinggi Ketebalan Nata (cm) % Lapisan Nata (%) 0 7 14 0 7 14 D1 2 - 0,5 0,7 - 25 35 D2 1,2 - 0,5 0,6 - 41,67 50 D3 1,3 - 0,4 0,5 - 30,77 38,46 D4 1 - 0,4 0,5 - 40 50 D5 2,5 - 0,6 0,6 - 24 24 Tabel 1 daitas menunjukkan bahwa terdapat 3 hal yang dibandingkan, yaitu tinggi awal media, tinggi ketebalan nata dan % lapisan nata. Pengamatan dilakukan dari hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-14. Pada pengamatan tinggi awal media, kelompok D5 memiliki tinggi yang paling tinggi, yaitu 2,5 cm. Pada pengamatan terhadap tinggi ketebalan nata untuk hari ke-0 semua kelompok belum memiliki ketebalan nata. Pada hari ke-7 diketahui kelompok D5 memiliki ketebalan nata yang paling tinggi, yaitu 0,6 cm. Pada pengamatan hari ke-14 yang memiliki ketebalan nata tertinggi adalah kelompok D1 yaitu dengan ketebalan 0,7 cm. Selanjutnya pengamatan terhadap % lapisan nata pada hari ke-7 dapat diketahui yang paling besar adalah kelompok D3, yaitu 41,67% kemudian pada pengamatan hari ke-14 diketahui % lapisan nata yang tertinggi adalah kelompok D2 dan D4, yaitu 50%.

Upload: james-gomez

Post on 11-Sep-2015

33 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Nata de coco merupakan suatu produk fermentasi yang menggunakan bahan baku sari kelapa. Nata de coco memiliki tekstur yang kenyal dan berwarna putih transparan.

TRANSCRIPT

1. hasil pengamatan

Hasil pengamatan pada praktikum fermentasi dalam pembuatan nata de coco untuk kloter D dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut

Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de CocoKelTinggi Awal Media (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm)% Lapisan Nata (%)

07140714

D12-0,50,7-2535

D21,2-0,50,6-41,6750

D31,3-0,40,5-30,7738,46

D41-0,40,5-4050

D52,5-0,60,6-2424

Tabel 1 daitas menunjukkan bahwa terdapat 3 hal yang dibandingkan, yaitu tinggi awal media, tinggi ketebalan nata dan % lapisan nata. Pengamatan dilakukan dari hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-14. Pada pengamatan tinggi awal media, kelompok D5 memiliki tinggi yang paling tinggi, yaitu 2,5 cm. Pada pengamatan terhadap tinggi ketebalan nata untuk hari ke-0 semua kelompok belum memiliki ketebalan nata. Pada hari ke-7 diketahui kelompok D5 memiliki ketebalan nata yang paling tinggi, yaitu 0,6 cm. Pada pengamatan hari ke-14 yang memiliki ketebalan nata tertinggi adalah kelompok D1 yaitu dengan ketebalan 0,7 cm. Selanjutnya pengamatan terhadap % lapisan nata pada hari ke-7 dapat diketahui yang paling besar adalah kelompok D3, yaitu 41,67% kemudian pada pengamatan hari ke-14 diketahui % lapisan nata yang tertinggi adalah kelompok D2 dan D4, yaitu 50%.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de CocoKelompokAromaWarnaTekstur

D1++++

D2++++++

D3+++++++

D4+++++

D5++++

Keterangan:Aroma Warna Tekstur+: sangat asam +: kuning +: tidak kenyal++ : asam ++ : putih bening ++ : agak kenyal+++: agak asam+++ : putih agak bening +++ : kenyal++++: tidak asam++++ : putih ++++ : sangat kenyal

14

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada uji sensori terhadap aroma diketahui kelompok D3 agak asam, kelompok D4 sangat asam dan kelompok lainnya asam. Untuk aspek warna, pada3

pengujian sensorinya diketahui bahwa warna yang terbentuk pada keseluruhan kelompok adalah kuning kecuali pada kelompok D3 yang memiliki warna putih bening. Pada pengamatan terhadap tekstur dapat diketahui bahwa kelompok D2 dan D4 memiliki tekstur yang kenyal. Pada kelompok D3 memiliki tekstur yang agak kenyal dan kelompok D1 dan D5 memiliki tekstur yang tidak kenyal.

2. pembahasan

Pada pembahasan kali ini dilakukan pembahasan pada praktikum fermentasi dalam pembuatan nata de coco. Nata termasuk dalam selulosa yang memiliki bentuk padat. Karakteristik lain yang dimiliki nata, yaitu memiliki warna putih dan transparan, serta teksturnya kenyal (Anastasia & Afrianto, 2008). Berdasarka bahan bakunya, terdapat berbagai macam nata. Bahan baku yang harus dimiliki adalah komponen gula, mineral, protein dan karbohidrat yang tinggi. Bahan baku pembuatan nata dapat berasal dari air kelapa (nata de coco), sari kedelai (nata de soya), sari buah nanas (nata de pina) dan sari buah mangga (nata de mango) (Pambayun, 2002). Dalam praktikum ini dilakukan pembuatan nata de coco sehingga dengan demikian menggunakan air kelapa sebagai bahan bakunya. Air kelapa memiliki kandungan gizi yang tinggi antara lain kandungan air, protein, lemak, karbohidrat, abu. Kandungan gizi yang lain adalah asam pantotenat, asam niotinat, biotin, rioflavin, dan asam folat. Terdapat juga komponen gizi air kelapa yang lain, yaitu sukrosa, fruktosa, dekstrosa dan vitamin B kompleks dimana komponen-komponen ini dapat membantu pertumbuhan mikroorganisme dalam proses fermentasi (Palungkun, 1996).

Nata de coco merupakan salah satu jenis produk pangan yang diproduksi karena adanya proses fermentasi melalui Acetobacter xylinum dengan media substrat cair air kelapa (Santosa et al., 2012). Pada praktikum ini tahap awal yang dilakukan adalah proses pembuatan media. Tahap pertama air kelapa disaring dahulu. Proses penyaringan berfungsi agar diperoleh media yang bersih, steril dan bebas kontaminan dan kotoran agar diperoleh nata dengan hasil yang baik (Pato & Dwiloka, 1994). Proses penyaringan dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Proses penyaringan awal

Selanjutnya proses dilanjutkan dengan memasukkan gula pasir sebanyak 10% air kelapa ke dalam air kelapa yang sudah disaring. Gula pasir memiliki fungsi untuk menyediakan karbon pada karbon organik untuk Acetobacter xylinum. Hal ini dilakukan untuk dihasilkan tenunan selulosa (Awang, 1991). Pada proses fermentasi digunakan sumber karbon dari monosakarida dan disakarida (paling banyak ditemui sukrosa). Sukrosa banyak ditemui dalam bentuk gula pasir (Pambayun, 2002). Dengan demikian penggunaan gula pasir sebanyak 10% dari air kelapa pada praktikum ini berfungsi karena Acetobacter xylinum akan membentuk lapisan nata yang tebal sehingga diketahui bahwa konsentrasi 10% merupakan konsentrasi optimum untuk memproduksi nata de coco. Apabila pada proses pembuatan nata de coco gula yang digunakan kurang dari 10% maka tidak dimanfaatkan maksimal oleh Acetobacter xylinum dalam pemuatan nata de coco ini (Sunarso, 1982). Gula pasir juga memiliki fungsi untuk menentukan karakteristik nata seperti tekstur, flavor, penampakan bahkan pengawet (Hayati, 2003). Proses penambahan gula pasir dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Penambahan gula pasir

Setelah dilakukan penambahan gula pasir, proses dilanjutkan dengan melakukan pemanasan media. Proses pemanasan ini berfungsi untuk melarutkan gula dan membantu proses pembunuhan mikroorganisme kontaminan pada air kelapa. Tahap pada praktikum ini sesuai dengan teori Tortora et al. (1995) yang menyatakan bahwa air kelapa setelah disaring mengalami proses pemasakan. Proses pemasakan dilakukan hingga mendidih sehingga mikroorganisme kontaminan dapat mengalami pengurangan jumlah. Fungsi pemanasan pada prose pembuatan nata de coco ini agar gula pasir larut sebab apabila tidak terlarut secara sempurna dapat terjadi kesulitan pada penyerapan oleh Acetobacter xylinum. Proses fermentasi pada pembuatan nata menjadi tidak maksimal (tebal) apabila terjadi kejadian tersebut (Astawan & Astawan, 1991). Proses pemanasan dapat dilihat pada Gambar 3. berikut ini.

Gambar 3. Proses pemasakan

Pada proses pemasakan tersebut dilakukan penambahan ammonium sulfat sebanyak 0,5%. Penambahan ammonium sulfat ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sumber organik nitrogen agar pertumbuhan mikroorganisme Acetobacter xylinum dapat mengalami fermentasi dengan baik (Awang, 1991). Selain ammonium sulfat sumber nitrogen yang dapat digunakan antara lain protein, ekstrak yeast, urea (Pambayun, 2002). Bentuk ammonium sulfat yang ditambahkan beserta proses penambahan ammonium sulfat dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4. Ammonium sulfat dan proses penambahan ammonium sulfat

Proses pembuatan nata de coco kemudian dilanjutkan dengan penamahan asam asetat glacial hingga pH 4-5. Asam asetat glacial digunakan dalam praktikum ini karena asam asetat glacial dapat menciptakan kondisi pH pada media yang optimal. Kondisi asam merupakan kondisi yang mendukung pertumbuhan Acetobacter xylinum yang dapat tumbuh pada pH 4-4,5 (Pambayun, 2002). Kemudian Anastasia & Afrianto (2008) menambahkan bahwa pH pada media untuk menghasilkan nata de coco perlu ditambahkan asam atau acidulant. Hal ini dilakukan agar pH yang diinginkan yaitu 4-5 tercapai sehingga pertumbuhan Acetobacter xylinum optimal. Proses penambahan asam asetat glacial dilakukan di ruang asam. Sebelum dan setelah proses penambahan asam asetat glacial dilakukan pengamatan pH menggunakan pHmeter. Proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Proses pengecekan pH dan penambahan asam asetat glacial

Proses pembuatan nata de coco yang terakhir adalah proses pemanasan kembali hingga gula terlarut dan kemudian disaring. Proses penyaringan ini dilakukan untuk memisahkan partikel besar yang tertinggal pada air kelapa dan merupakan proses untuk mengurangi kontaminasi serta kotoran agar fermentasi dapat berjalan baik (Pato & Dwiloka, 1994). Proses pemanasan dan penyaringan akhir dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini.

Gambar 6. Proses pemasakan dan penyaringan akhir

Langkah kerja yang dilakukan tersebut merupakan proses pembuatan media. Proses pembuatan media ini merupakan bagian yang penting karena membantu pertumbuhan bakteri nata dimana media ini menyediakan nutrisi yang dibutuhkan dalam proses pembuatan nata de coco. Bakteri yang didukung dalam praktikum ini adalah Acetobacter xylinum. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Volk & Wheeler (1993) yang menyatakan bahwa media akan menyediakan makanan untuk biakan tumbuh secara subur sehingga dengan demikian diperoleh biakan murni. Pembuatan media ini juga untuk menunjang kondisi lingkungan sehingga kelangsungan hidup mikroorganisme dengan jumlah banyak lebih terjamin. Nata de coco merupakan produk pangan yang memiliki potensi untuk sumber selulosa murni (Halib et al., 2012). Nata de coco merupakan makanan yang sangat baik dan aman untuk dikonsumsi karena membantu konttol berat badan dan pencegahan pada kanker kolon dan rektum yang mengandung kadar selulosa tinggi, kandungan lemak, rendah kalori dan tidak terdapat kolesterol di dalamnya (Mesomya et al., 2006). Nata juga memiliki serat pangan dimana komponen ini sangat baik karena tidak mengganggu lemak dan mineral yang diserap dalam tubuh dan baik untuk mereka yang sedang melakukan diet (Hernaman, 2007).

Setelah media sudah jadi, dilanjutkan proses fermentasi. Media diambil 100 ml kemudian dimasukkan dalam kotak dari bahan plastik. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.

Gambar 7. Penuangan media ke dalam kotak plastik

Setelah media dimasukkan dalam kotak plastik, proses fermentasi dilanjutkan dengan menambahkan biang nata (starter) sebanyak 10% dari media tersebut. Prose ini dilakukan secara aseptis di ruang laf. Banyaknya starter yang digunakan memiliki kesesuaian dengan teori yang diungkapkan oleh Pato & Dwiloka (1994). Beliau menyatakan bahwa jumlah starter ideal untuk memproduksi nata sebanyak 4-10%. Apabila jumlah starter tidak sesuai (terlalu sedikit atau terlalu banyak) dapat terbentuk nata dengan karakteristik yang tidak sesuai dengan standar yang ada. Pendapat lain yang menguatkan teori ini adalah teori yang diungkapkan oleh Misgiyarta (2007). Beliau menyatakan bahwa substrat air kelapa untuk memproduksi nata de coco diinokulasi dengan starter dengan jumlah 10% (v/v). Dalam proses produksi nata de coco, sukrosa yang digunakan konsentrasinya 10% (Jagannath et al., 2008). Proses penambahan kultur dapat dilihat pada Gambar 8 berikut ini.

Gambar 8. Penambahan starter

Setelah diberi tambahan starter, dilakukan penggojogan sehingga larutan menjadi homogen. Kemudian dilakukan penutupan wadah menggunakan kertas coklat. Penutupan dilakukan menggunakan kertas coklat karena Acetobacter xylinum termasuk bakteri aerob sehingga membutuhkan oksigen dalam proses pertumbuhannya. Oleh karena itu, tidak digunakan tutup dari wadah yang rapat. Selain itu untuk mengurangi adanya resiko untuk terjadi kontaminasi yang berasal dari lingkungan sekitar sehingga diperoleh nata dengan karakteristik baik (Pambayun, 2002).

Gambar 9. Penutupan wadah dengan kertas coklat

Selanjutnya dilakukan proses inkubasi selama 2 minggu pada suhu ruang dan tidak terpapar cahaya. Pada masa inkubasi wadah yang berisi produk tidak boleh tergoyang. Hal ini bertujuan agar lapisan nata tidak terpisah pada saat terbentuk nantinya. Acetobacter xylinum membutuhkan suhu ruang agar diperoleh pertumbuhan yang optimal. Apabila dilakukan inkubasi pada suhu lebih dari 40C Acetobacter xylinum mati. Demikian pula bila suhu inkubasi terlalu rendah, karena pertumbuhannya sangat terhambat (Pambayun, 2002). Untuk memperoleh ketebalan nata yang optimum, fermentasi dapat dilakukan dalam rentang waktu 10-14 hari pada suhu ruang, yaitu sekitar 28-32C (Rahayu et al., 1993). Dengan demikian cara kerja yang dilakukan pada praktikum ini sesuai dengan teori yang ada.

Selanjutnya dilakukan proses pengamatan dimana pengamaatan dilakukan sejak terbentuk lapisan pada cairan permukaan, pada hari ke-7 dan ke-14. Pada praktikum ini dilakukan pengamatan terhadap persentase kenaikan pada ketebalan nata dimana dilakukan perhitung menggunakan formulasi:

Setelah proses inkubasi berakhir, dilakukan uji sensori terhadap warna, tekstur dan aroma dan pengamatan terhadap ketebalan lapisan nata.

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara ketebalan pada pengamatan hari ke-7 dan ke-14. Dapat diketahui dari seluruh hasil pengamatan bahwa lapisan tersebut memiliki peningkatan pada kelompok D1-D4 sedangkan kelompok D5 tidak mengalami peningkatan. Hal ini terjadi akibat waktu inkubasi atau fermentasi yang semakin lama dan menyebabkan nata yang dihasilkan memiliki ketebalan yang bertambah dan persentasenya meningkat. Pembentukan lapisan pada permukaan substrat akan tampak dan semakin terlihat kompak setelah waktu inkubasi berkisar antara 36-48 jam. Pada proses ini tidak boleh terjadi gangguan karena dapat menyebabkan lapisan tenggelam. Menurut teori yang diungkapkan oleh Anastasia & Afrianto (2008) beliau menambahkan bahwa pemecahan gula pada media menjadi selulosa merupakan lapisan nata yang mengalami peningkatan. Ketidaksesuaian hasil pengamatan pada kelompok D5 yang tidak mengalami peningkatan ini dapat disebabkan oleh kandungan gula dalam media yang telah diuraikan semuanya oleh Acetobacter xylinum pada hari ke-14 menghasilkan ketebalan nata yang tidak mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena kandungan gula, pH da suhu akan sangat menentukan karakteristik dari nata de coco yang akan terbentuk. Sehingga meskipun terjadi kesamaan media yang digunakan namun bentuk wadah memiliki perbedaan sehingga mempengaruhi perbedaan pada tinggi media. Nata de coco yang dibuat pada wadah dengan permukaan luas dan dangkal akan menghasilkan ketebalan yang tinggi sebab jika wadah sempit maka luas permukaannya menyulitkan persediaan oksigen. Dengan demikian diperoleh produk dengan ketebalan rendah (Mashudi, 1993). Mekanisme dari pembuatan nata yang baik yaitu glukosa (glukokinase) diuraikan menjadi glukosa-6-fosfat (Fosfoglukomutase). Kemudian glukosa-6-fosfat dipecah menjadi glukosa-1-fosfat (UDP-Glukosa Pirosfosforilase) dan UDP-Glukosa (Hamad et al., 2011)

Pada uji sensori aroma diketahui bahwa kelompok D3 memiliki aroma yang agak asam, kelompok D4 memiliki aroma yang sangat asam dan kelompok lainnya memiliki aroma yang asam. Arom asam ini menunjukkan bahwa nata memiliki pH yang lebih asam dibandingkan nata yang tidak beraroma asam. Dengan demikian fermentasi telah berlangsung (Astawan & Astawan, 1991). Selain itu aroma asam terbentuk akibat adanya penambahan asam asetat glasial sehingga aroma asam masih terasa (Anastasia & Afrianto, 2008). Selain itu, Acetobacter xylinum mampu mengubah gula menjadi selulosa dan asam asetat oleh karena itu timbul aroma yang asam. Namun seharusnya nata tidak beraroma asam (Halib et al., 2012). Selain itu uji sensori ini dilakukan tanpa adanya perlakuan pencucian sehingga aroma asam masih sangat terhirup. Untuk menghilangkan aroma asam tersebut dapat dilakukan pencucian hingga beberapa kali ulangan dan dilakukan perebusan mengunakan gula hingga mendidih (Arsatmodjo, 1996).

Pada uji sensori terhadap warna dapat diketahui bahwa hampir keseluruhan kelompok memiliki warna kuning, kecuali kelompok D3 yang memiliki warna putih bening. Warna kuning ini terjadi akibat glukosa yang banyak digunakan dalam proses mengakibatkan adanya reaksi browning. Reaksi browning terjadi akibat proses pemanasan sambil ditambahkan gula. Dengan demikian diperoleh nata yang memiliki warna semakin gelap (Mashudi, 1993). Namun, warna kuning tidak sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Santosa et al. (2012) yang menyatakan bahwa nata de coco memiliki bentuk yang padat, kuat, kokoh dan berwarna putih.

Uji sensori yang terakhir adalah pada aspek tekstur. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa kelompok D2 dan D4 memiliki tekstur kenyal, kelompok D3 kenyal dan kelompok D1 dan D5 memiliki tekstur tidak kenyal. Tingkat kekenyalan pada nata dipengaruhi dan mengalami perubahan pada saat perebusan dengan gula sehingga menjadi cepat putus dan kekenyalannya menurun (tidak begitu kenyal). Hal ini dapat terjadi karena pada proses perebusan, air dan gula memasuki selulosa sehingga strukturnya lebih longgar dan mudah putus (Astawan & Astawan, 1991). Kekenyalan yang dimiliki nata ditentukan oleh komponen serat atau disebut selulosa. Semakin banyak selulosanya, nata akan meningkat kekenyalan dan ketebalannya. Semakin tebal selulosa, air yang menuju rongga selulosa semakin banyak sehingga kekenyalan semakin tinggi dan kekenyalan berbanding lurus pada ketebalan (Arsatmodjo, 1996 dan Anastasia & Afrianto, 2008).

3. kesimpulan

Nata de coco menggunakan bahan baku sari kelapa dalam proses fermentasinya. Nata de coco memiliki rasa manis, bentuk padat, tekstur kenyal, dan warna putih transparan. Air kelapa merupakan salah satu substrat yang tepat untuk Acetobacter xylinum. Air kelapa mengandung air karbohidrat, protein, mineral, vitamin, dan nutrisi lainnya. Acetobacter xylinum dapat menghasilkan jaringan selulosa yang menebal (nata) saat difermentasi. Gula pasir berfungsi sebagai sumber karbon untuk Acetobacater xylinum. Ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen bagi Acetobacter xylinum. Asam asetat glasial berfungsi untuk mencapai pH optimum bagi bakteri penghasil nata. Fermentasi nata de coco dilakukan secara aerob. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang karena Acetobacter xylinum dapat tumbuh dan berkembang maksimal pada suhu ruang. Banyaknya selulosa akan meningkatkan ketebalan dan kekenyalan pada nata. Penambahan gula pada proses pembuatan nata dapat menyebabkan warna nata menjadi kuning akibat terjadinya browning akibat interaksi gula yang dipanaskan. Semakin lama proses fermentasi lapisan nata semakin tebal. Nata yang baik seharusnya tidak beraroma asam. Produksi selulosa dan asam asetat pada proses fermentasi nata de coco dapat mempengaruhi karakteristik nata. Wadah yang digunakan akan mempengaruhi ketebalan nata yang dihasilkan.

Semarang, 6 Juli 2015PraktikanAsisten Dosen Wulan Apriliana Nies Mayangsari

Gabriella Juliani

12.70.017413

4. daftar pustaka

Anastasia, N. dan Afrianto, E. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.

Arsatmodjo, E. (1996). Formulasi Pembuatan Nata de Pina. IPB. Bogor.[Skripsi]

Astawan, M. dan M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Awang, S.A. (1991). Kelapa: Kajian SosialEkonomi. Aditya Media. Yogyakarta.

Czaja, W., D. Romanovicz, and R. M. Brown, Jr. (2004). Structural Investigations Of Microbial Cellulose Produced In Stationary And Agitated Culture. Cellulose 11: 403-411.

Halib, N.; Mohd, C.I.M.A. and Ishak, A. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana Journal 41(2)(2012): 205211

Hamad, A.; Andriyani, N.A.; Wibisono, H. dan Sutopo, H. (2011). Pengaruh Penambahan Sumber Karbon Terhadap Kondisi Fisik Nata De Coco. Jurnal Teknik Kimia Vol 12 (2): 74-77.

Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

Hernaman, I.; Kamil, K.A.; Mayasari, N. dan Salim, M.A. (2007). Dampak Nata De Coco dalam Ransum Mencit (Mus muculus) Terhadap Metabolism Lemak dan Penyerapan Mineral. Jurnal Peternakan Universitas Padjadjaran Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati.

Jagannath, Kalaiselvan S. S, Manjunatha P. S, Raju A. S. Bawa. (2008). The Effect of pH, Sucrose and Ammonium Sulphate Concentrations on the Production of Bacterial Cellulose (Nata-De-Coco) by Acetobacter xylinum.World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:2593 2599.

Mashudi. (1993). Mempelajari Pengaruh Penambahan Amonium Sulfat dan Waktu Penundaan Bahan Baku Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan dan Struktur Gel Nata de coco. Jurusan Teknologi Pandan dan Gizi, Fateta. IPB. Bogor.[ Skripsi]

Mesomya, W.; Varapat, P.; Surat, K.; Preeya, L.; Yaovadee, C.; Duangchan, H.; Pramote, T. and Plernchai, T. (2006). Effects of Health Food from Cereal and Nata De Coco on Serum Lipids in Human. Journal Science Technology 28(Suppl. 1): 23-28.

Misgiyarta. (2007). Teknologi Pembuatan Nata de Coco. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.

Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

Pato, U. dan Dwiloka, B. (1994). Proses dan Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 77.

Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan Cahyanto, M.N. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Santosa, B.; Ahmad, K.; and Domingus, T. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Makingof Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE) Vol. 1:6-11.

Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. UGM. Yogyakarta.[ Skripsi]

Tortora, G.J., Funke, R. and Case, C.L. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Volk, W.A. and M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar. Erlangga. Jakarta.

5. lampiran5.1. PerhitunganRumus:

Kelompok D1H0 H7 H14

Kelompok D2H0 H7 H14

Kelompok D3H0 H7 H14

Kelompok D4H0 H7 H14

Kelompok D5H0 H7 H14 5.2. Laporan Sementara5.3. Hasil Viper5.4. Abstrak Jurnal