nambah ilmu tentang program dbd

16
SEKILAS TENTANG PROGRAM PEMBERANTASAN PENYAKIT DBD *) A. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) 1. Sejarah Serangan penyakit DBD pertama kali tercatat terjadi di Australia tahun 1897. Kejadian Luar Biasa (KLB) / wabah DBD yang pertama kali terkonfirmasikan terjadi di Filipina tahun 1953. Selama dua puluh tahun silam terjadi peningkatan kasus dan wilayah penyebaran yang luar biasa dan saat ini KLB DBD muncul setiap tahunnya di beberapa negara di Asia Tenggara. Virus Dengue termasuk genus flavivirus famili flaviviridae. Terdapat empat serotipe virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Semua tipe virus tersebut dapat menyebabkan KLB DBD yang mengakibatkan penyakit dan gejala yang berat dan fatal. Infeksi dari satu serotipe memberikan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tapi tidak terhadap serotipe yang lain. Virus dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes. Aedes Aegypti merupakan vektor epidemi paling utama namun spesies lain seperti Ae. Albopictus, Ae. Polynesiensis anggota dari Ae. Scutellaris complex dan Ae. Niveus juga dianggap sebagai vektor sekunder. Meski mereka merupakan host yang sangat baik untuk virus dengue biasanya mereka merupakan vektor epidemi yang kurang efisien dibanding Ae. Aegypti. Virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies dari *) Sutopo Patria Jati, 19 Januari 2009

Upload: sutopo-patriajati

Post on 08-Jun-2015

2.107 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Sekilas informasi tentang pola pemberantasan DBD di Indonesia, silahkan anda download dihttp://www.ziddu.com/download/4016444/NAMBAHILMUTENTANGPROGRAMPEMBERANTASANPENYAKITDBD.doc.html

TRANSCRIPT

Page 1: Nambah Ilmu Tentang Program DBD

SEKILAS TENTANG PROGRAM PEMBERANTASAN PENYAKIT DBD*)

A. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)

1. Sejarah

Serangan penyakit DBD pertama kali tercatat terjadi di Australia

tahun 1897. Kejadian Luar Biasa (KLB) / wabah DBD yang pertama kali

terkonfirmasikan terjadi di Filipina tahun 1953. Selama dua puluh tahun silam

terjadi peningkatan kasus dan wilayah penyebaran yang luar biasa dan saat

ini KLB DBD muncul setiap tahunnya di beberapa negara di Asia Tenggara.

Virus Dengue termasuk genus flavivirus famili flaviviridae. Terdapat

empat serotipe virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Semua tipe virus

tersebut dapat menyebabkan KLB DBD yang mengakibatkan penyakit dan

gejala yang berat dan fatal. Infeksi dari satu serotipe memberikan kekebalan

seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tapi tidak terhadap

serotipe yang lain.

Virus dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk

Aedes. Aedes Aegypti merupakan vektor epidemi paling utama namun

spesies lain seperti Ae. Albopictus, Ae. Polynesiensis anggota dari Ae.

Scutellaris complex dan Ae. Niveus juga dianggap sebagai vektor sekunder.

Meski mereka merupakan host yang sangat baik untuk virus dengue

biasanya mereka merupakan vektor epidemi yang kurang efisien dibanding

Ae. Aegypti. Virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies dari

primata rendah. Tubuh manusia merupakan urban reservoir yang utama (4)

2. Mekanisme penularan

Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue

merupakan sumber penular penyakit DBD. Virus dengue berada dalam darah

selama 4 - 7 hari mulai 1 - 2 hari sebelum demam (4) Masa inkubasi 4 - 6 hari (10)

Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam

darah akan ikut terisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus

akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk

termasuk di dalam kelenjar liurnya. Kira - kira 1 minggu setelah mengisap

darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain

*) Sutopo Patria Jati, 19 Januari 2009

Page 2: Nambah Ilmu Tentang Program DBD

(masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan akan berada dalam tubuh nyamuk

sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Ae.aegypti yang telah

mengisap virus dengue ini menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya.

Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menusuk (menggigit),

sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat

tusuknya (proboscis) agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur

inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain

3. Perjalanan Penyakit

Pada umumnya kasus DBD ditandai dengan adanya demam tinggi,

fenomena perdarahan, hepatomegali dan seringkali disertai dengan

kegagalan sirkulasi. Trombositopenia ringan atau sedang yang disertai

hemokonsentrasi merupakan petunjuk adanya perubahan patofisiologis

utama menentukan derajat penyakit DBD dan membedakannya dari Demam

Dengue yaitu adanya homeostasis yang abnormal dan kebocoran plasma

yang diperlihatkan sebagai trombositopenia dan meningkatnya hematokrit.

DBD biasanya diawali dengan meningkatnya suhu badan secara

mendadak, disertai dengan memerahnya kulit muka dan gejala klinik tidak

khas seperti tidak ada nafsu makan, muntah, nyeri kepala dan nyeri otot atau

persendian. Suhu badan tinggi biasanya berlangsung selama 2 – 7 hari

kemudian jadi normal atau sub normal. Kadang suhu mencapai 40 o C dan

dapat disertai kejang demam.

Fenomena perdarahan yang biasa dijumpai adalah uji tornoquet

positif. Daerah tusukan jarum mudah lebam dan berdarah banyak ditemui.

Mimisan dan perdarahan gusi tidak banyak ditemui, namun adanya

perdarahan saluran cerna yang ringan kadang dijumpai

Derajat penyakit DBD dikelompokkan ke dalam empat stadium yaitu:

Derajat I Demam yang disertai dengan gejala klinis tidak khas,

satu – satunya gejala perdarahan adalah hasil uji

torniquet yang positif

Derajat II Gejala yang timbul pada DBD derajat I ditambah

perdarahan spontan, biasanya dalam bentuk perdarahan

kulit dan atau lainnya

Derajat III Kegagalan sirkulasi yang ditandai denyut nadi yang

cepat dan lemah, hipotensi, sempitnya selisih tekanan

Page 3: Nambah Ilmu Tentang Program DBD

darah (20 mmHg atau kurang) ditandai dengan kulit

dingin dan lembab serta gelisah

Derajat IV Syok berat dengan tidak terabanya nadi maupun

tekanan darah

Lama dan derajat keparahan penyakit DBD beragam untuk setiap

individu. Masa penyembuhan bisa terjadi cepat dan bisa cukup panjang.

Selain itu bentuk komplikasi perdarahan seperti epistaksis, perdarahan gusi,

perdarahan saluran cerna, hematuria dan menoragia bisa menyertai DBD.

B. Nyamuk Penular DBD

Demam berdarah dengue dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti

maupun Aedes albopictus. Sampai saat ini yang paling berperan dalam

penularan penyakit ini ialah Aedes aegypti karena hidupnya di dalam rumah,

sedangkan Aedes albopictus di kebun - kebun sehingga lebih jarang kontak

dengan manusia.

1. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorphosis sempurna

yaitu : telur - jentik - kepompong - nyamuk. Stadium telur, jentik, kepompong

hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam

waktu kurang lebih 2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya

6 - 8 hari. Stadium pupa / kepompong 2 - 4 hari. Telur menjadi nyamuk

dewasa mencapai 9 - 10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2 -3

bulan.

2. Perilaku Nyamuk dewasa

Setelah lahir (keluar dari kepompong) nyamuk istirahat di kulit

kepompong untuk sementara waktu sampai sayap meregang / kaku

sehingga mampu untuk terbang. Nyamuk jantan mengisap cairan tumbuhan

atau sari bunga untuk keperluan hidupnya. Sedangkan nyamuk betina

mengisap darah. Darah manusia lebih disukai daripada darah binatang

(bersifat antrofilik). Darah (proteinnya) diperlukan untuk mematangkan telur

agar jika dibuahi oleh nyamuk jantan dapat menetas. Waktu yang diperlukan

untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap

darah sampai telur dikeluarkan antara 3 - 4 hari. Jangka waktu tersebut

Page 4: Nambah Ilmu Tentang Program DBD

disebut satu siklus gonotropik.

Setelah mengisap darah nyamuk hinggap / beristirahat di dalam

atau kadang di luar rumah. Tempat hinggap yang disenagi ialah benda -

benda yang bergantung, seperti pakaian, kelambu atau tumbuhan di dekat

tempat perkembangbiakan, tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempat

ini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya. Setelah proses

pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan telurnya di

dinding tempat perkembangbiakan sedikit di atas permukaan air (2).

Kebiasaan nyamuk ae. Aegypti mengisap darah siang hari. Aktif mengisap

pada jam 08.00 - 13.00 dan 15.00 - 17.00 sehingga mempunyai 2 puncak

waktu pengisapan darah (13)

3. Tempat perkembangbiakan

Tempat perkembangbiakan utama ialah tempat penampungan air /

bejana atau genangan air yang tidak berhubungan langsung dengan tanah,

di dalam atau sekitar rumah atau tempat - tempat umum, biasanya tidak

melebihi jarak 500 meter dari rumah.

4. Variasi musiman

Pada musim hujan tempat perkembangbiakan nyamuk yang pada

waktu kemarau kosong, mulai terisi air. Telur yang belum sempat menetas

dalam tempo singkat menetas. Semakin banyak tempat penampungan air

alamiah yang terisi air hujan dan dapat dipergunakan sebagai tempat

perkembangbiakan. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah

satu faktor peningkatan penularan virus dengue

C. Program Pencegahan dan Penanggulangan DBD

Program pemberantasan DBD adalah suatu upaya terpadu yang

melibatkan berbagai instansi pemerintah maupun seluruh masyarakat di dalam

mencegah dan menanggulangi adanya kasus DBD.

Tujuan Program :

1. Tujuan jangka panjang : Membatasi penularan dan penyebaran penyakit

DBD agar tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia

2. Tujuan jangka pendek : Mengurangi angka kesakitan dan angka kematian

akibat DBD, mencegah dan menanggulangi adanya KLB DBD

Page 5: Nambah Ilmu Tentang Program DBD

Strategi Penanggulangan DBD :

1. PSN secara lintas sektoral mengikutsertakan peran serta aktif masyarakat

secara rutin dan berkesinambungan

2. Fogging massal

3. Fogging focus

4. Abatisasi selektif

5. Pemberantasan terpadu

6. Promosi kesehatan

Monitoring dan Evaluasi (14)

1. Penemuan dan Pelaporan kasus DBD

2. Pemantauan jumlah kasus DBD per minggu per desa melalui Pemantauan

Wilayah Setempat (PWS) P2DBD

3. Angka Bebas Jentik pada 100 rumah sampel > 95 %

4. Abatisasi selektif di desa endemis dan sporadis dilaksanakan 4 kali / tahun

5. PSN dengan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) 4 kali / tahun

6. Cakupan fogging focus

7. Penyelidikan Epidemiologi

8. Penerapan sistem stratifikasi desa berdasar ketentuan sbb :

Desa rawan I (Endemis) : yaitu desa yang dalam 3 tahun terakhir setiap

tahun ditemukan kasus DBD

Desa rawan II (Sporadis) : yaitu desa yang dalam 3 tahun terakhir

ditemukan kasus tetapi tidak setiap tahun berturut - turut

Desa rawan III (Potensial) : yaitu desa yang dalam 3 tahun terakhir

tidak pernah ditemukan kasus DBD tapi memiliki potensial besar dengan

melihat prosentase rumah yang memiliki jentik > = 5 %, perumahan padat

penduduk dan mempunyai hubungan transportasi yang ramai dengan

wilayah lain sehingga mempunyai resiko terjadi kasus / Kejadian Luar

Biasa (KLB)

Desa bebas : yaitu desa yang dalam 3 tahun terakhir tidak pernah

ditemukan kasus memiliki potensi kecil untuk terjadinya penularan

dengan melihat prosentase rumah yang memiliki jentik < 5 % (1)

Adapun tentang KLB / outbreak adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian

kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis dalam kurun

Page 6: Nambah Ilmu Tentang Program DBD

waktu dan daerah tertentu (15) Pedoman penyelidikan dan penanggulangan KLB

Depkes RI th 2004 menyatakan bahwa KLB DBD pada suatu wilayah dapat

ditetapkan apabila memenuhi salah satu kriteria (16)

1 Angka kesakitan / kematian DBD di suatu kecamatan / desa menunjukkan

kenaikan mencolok selama 3 kali waktu observasi berturut - turut (hari /

minggu)

2 Jumlah penderita atau kematian DBD di kecamatan / desa menunjukkan

kenaikan 2 kali lipat atau lebih dalam periode waktu tertentu (hari, minggu,

bulan) dibandingkan rata - rata dalam satu tahun terakhir

3 Peningkatan Case Fatality Rate (CFR) DBD dalam waktu 1 bulan

dibandingkan CFR bulan lalu

4 Peningkatan jumlah kesakitan atau kematian DBD dalam periode waktu yang

sama dibandingkan periode tahun sebelumnya (17)

Bentuk program penanggulangan DBD antara lain :

1. Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) adalah memberantas nyamuk

dengan memberantas jentik - jentiknya di sarang tempat berkembang biak

yaitu tempat penampungan air dan barang - barang yang memungkinkan air

tergenang di rumah dan tempat umum sekurang - kurangnya seminggu

sekali. Kegiatan ini lebih lanjut berkembang dengan metode menutup,

menguras dan mengubur (3M).

PSN dimaksudkan untuk memotong daur hidup nyamuk dengan

menghilangkan telur dan jentik nyamuk sebelum siap beregenerasi (telur

nyamuk siap menetas dalam waktu 1 minggu).

Sasaran PSN adalah di daerah dengan potensi penularan tinggi

(endemis, sporadis dan daerah dengan angka bebas jentik < 95 %) tempat -

tempat yang diduga menjadi sarang nyamuk Aedes aegypti di rumah

ataupun di kantor - kantor dan tempat - tempat umum yaitu semua tempat

penampungan air, barang bekas, ember, ban, kaleng, potongan bambu,

talang air dan tempat di mana air tertampung yang tidak berhubungan

langsung dengan tanah.

PSN dengan menguras dilakukan 1 minggu sekali dilakukan di daerah

yang cukup air bersih sehingga memungkinkan untuk dikuras terutama pada

saat musim penularan DBD yaitu pada awal sampai dengan menjelang akhir

Page 7: Nambah Ilmu Tentang Program DBD

musim penghujan. Menutup tempat penampungan air, dan menimbun barang

bekas yang dapat menampung air, dan intensif saat penularan, pemeriksaan

jentik berkala adalah 3 bulan sekali.

PSN dilakukan oleh semua pihak di masyarakat. PSN 3M ini akan

efektif bila dilakukan secara serempak, rutin dan berkesinambungan dengan

melihat potensi yang ada di masyarakat.

2. Abatisasi selektif

Abatisasi adalah penaburan bubuk insektisida pembasmi jentik berupa

bahan kimia larvasida / temephos sebagai salah satu satu cara untuk

menghentikan daur perkembangbiakan nyamuk dalam penampungan air.

Abatisasi dimaksudkan untuk memutus daur hidup nyamuk / membunuh

jentik nyamuk dengan memanfaatkan efek residu pada larvasida.

Abatisasi dilakukan di daerah rawan I dan II khususnya diberikan di

wilayah yang sulit air bersih dan tidak memungkinkan untuk dikuras secara

berkala. Sedangkan untuk daerah cukup air bersih disarankan untuk

melakukan PSN 3M secara rutin dan berkesinambungan.

Efek residu larvasida selama 3 bulan sehingga dilakukan abatisasi

sebanyak 4 kali setahun. Permintaan masyarakat atas abate dilakukan

melalui Puskesmas dan hanya dapat dilayani oleh puskesmas setempat

sesuai seleksi prioritas di puskesmas.

Abatisasi selektif dilakukan berdasarkan hasil pemantauan jentik berkala

oleh kader jumantik atau untuk daerah yang termasuk dalam kategori

endemis. Dengan demikian diharapkan bahwa setiap kegiatan abatisasi

selalu didahului dengan kegiatan pemeriksaan jentik rutin.

Dosis abatisasi dengan perbandingan 1 ml (sendok makan) terhadap 100

liter air sehingga setiap keluarga sasaran abatisasi memerlukan minimal 1 ml

abate. Dengan demikian alokasi akan menjadi cukup besar dan mengingat

mahalnya abate maka biaya yang dialokasikan untuk pembelian abate juga

besar. Mengingat keterbatasan anggaran dari pemerintah maka kegiatan

abatisasi perlu dilakukan dengan selektif (seleksi prioritas ). Pertimbangan

lain upaya selektif adalah efek toksisitas bila diberikan terus - menerus dan

demi keamanan pemakaian, pemberian dosis abate harus memperhatikan

petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh produsen.

Page 8: Nambah Ilmu Tentang Program DBD

3. Fogging / Pengasapan

Fogging adalah penyemprotan menggunakan insektisida yang dilakukan

di sebagian atau seluruh wilayah desa rawan I untuk membunuh nyamuk

dewasa. dilaksanakan dalam mendukung penanggulangan penyakit DBD

dengan memutus rantai penularan secara cepat pada daerah - daerah yang

terjangkit penyakit DBD.

Dimaksudkan untuk mencegah penularan lebih lanjut dengan membunuh

nyamuk dewasa pembawa virus dengue atau populasi nyamuk penular

ditekan serendah - rendahnya.

Fogging dilakukan di desa rawan I, dengan sasaran di rumah penderita

dan sekitarnya dalam radius 200 meter. 2 siklus dengan interval kira - kira 1

minggu.

Fogging dilakukan sebelum musim penularan dan dilaksanakan oleh

pihak pemerintah dengan puskesmas sebagai pelaksana teknisnya (5)

Menurut Kepmenkes 582/1992 penggunaan fogging untuk tujuan

penyemprotan massal sebelum musim penularan hanya dilakukan dengan

pertimbangan - pertimbangan khusus dapat dipertanggungjawabkan hasilnya

dari analisis Dinas Kesehatan Kabupaten berdasarkan Penyelidikan

Epidemiologis (PE). Fogging dilaksanakan sebagai cara terakhir, jika cara

lain telah diupayakan tetapi hasilnya belum dapat memperbaiki keadaan

dengan memperhatikan efektivitas, azas kemanfaatan, efisiensi sumber

daya, minimalisasi dampak kesehatan bagi mereka yang terpapar zat kimia,

kemungkinan resistensi nyamuk, dan dampak psikososial masyarakat dalam

menghentikan penularan penyakit DBD.

4. Fogging swadaya

Daerah - daerah yang telah memenuhi syarat untuk dilakukan fogging

tetapi tidak terjangkau oleh pelaksanaan fogging karena keterbatasan

pemerintah, pilihan swadaya masyarakat bisa dilakukan. Prosedur teknis,

alat dan bahan untuk fogging swadaya sama dengan pedoman fogging

secara umum.

Tata cara fogging swadaya sbb :

a. Kelompok masyarakat yang menghendaki fogging secara swadaya,

mengorganisir kegiatan penggalangan komitmen dan dana secara

mandiri.

Page 9: Nambah Ilmu Tentang Program DBD

b. Mengajukan permintaan fogging kepada pokjanal kecamatan /

puskesmas setempat dengan surat dari kepala desa / dusun / RT

setempat. Atas dasar surat ini selanjutnya puskesmas melakukan PE di

lokasi untuk memperoleh data lengkap. Atas dasar surat dan masukan

dari puskesmas maka Pokjanal kecamatan memberikan rekomendasi

untuk mengajukan fogging ke dinas kesehatan. Persetujuan fogging

diberikan dinas kesehatan dengan pertimbangan yang sama seperti

prinsip fogging secara umum.

c. Fogging dilakukan oleh puskesmas maksimal 4 x 24 jam setelah

rekomendasi pokjanal kecamatan diberikan. Bila puskesmas

berhalangan maka fogging dilaksanakan oleh dinas kesehatan dalam

jangka waktu yang sama.

d. Koordinasi di lapangan dilakukan oleh petugas puskesmas termasuk

dalam dana swadaya (17)

Besar biaya untuk satu kali fogging swadaya adalah Rp 200.000,-

dengan rincian sebagai berikut : bahan yang digunakan di Kabupaten

Gunungkidul adalah icon 1 liter dan solar pelarut 20 liter. BBM mesin fogging

adalah bensin 10 liter. BBM kendaraan 10 – 20 liter tergantung jarak lokasi.

Upah tenaga pengasapan 4 orang @ Rp 15.000,- Upah supervisor fogging

sebanyak 1 orang Rp 20.000,- Batu baterai dan maintenance busi,

Pencatatan, pelaporan dan koordinasi

5. Pelaksanaan fogging oleh swasta

Dalam rangka meningkatkan keterlibatan peran swasta dalam

menangulangi penyakit DBD, peran perusahaan swasta dapat melakukan

pemberantasan vektor dengan syarat :

a. Memiliki ijin operasional untuk melaksanakan fogging yang dikeluarkan

dari pihak yang berwenang

b. Sanggup mengikuti syarat yang ditetapkan oleh pemerintah daerah yaitu

Dinas Kesehatan Kab. Gunungkidul

c. Setiap pelaksanaan fogging tidak memaksa masyarakat dan berdasar

rekomendasi Pokjanal Kecamatan dan Dinkes Kab. Gunungkidul

d. Setiap perencanaan fogging disyaratkan untuk melaksanakan PE dan

mengajukan permohonan kepada Dinkes, penyuluhan dan pemeriksaan

jentik

Page 10: Nambah Ilmu Tentang Program DBD

e. Setiap selesai melaksanakan fogging memberi laporan kepada Dinkes

dengan bentuk dan format sebagaimana pada fogging di puskesmas

f. Setiap usaha swasta dalam fogging memiliki tanggung jawab atas segala

dampak negatif yang mungkin muncul sesuai dengan peraturan

perundangan yang berlaku

g. Ijin atas usaha swasta dalam pelaksanaan fogging dimungkinkan untuk

dicabut oleh Pemerintah Daerah atas dasar pertimbangan teknis oleh

Dinkes karena sesuatu hal yang merugikan masyarakat atau menyalahi

prosedur yang berlaku

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta, 1999

2. Depkes RI. Petunjuk Teknis Penemuan. Pertolongan dan Pelaporan Penderita Penyakit Demam Berdarah Dengue. Jakarta , 1992

3. Depkes RI. Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular Demam Berdarah Dengue. Jakarta, 1992

4. WHO SEARO. Terjemahan Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagie Fever. Jakarta, 2000

5. Soegeng S. Penatalaksanaan DBD pada anak. IDI, Jakarta, 2001

6. Depkes RI. Petunjuk Teknis Penyelidikan Epidemiologi (PE) Penanggulangan seperlunya dan penyemprotan massal dalam pemberantasan penyakit DBD. Jakarta, 1992

7. Indar Entjang. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Alumni, Bandung, 1999

8. Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI. Penyelenggaraan Puskesmas di Era Desentralisasi. Jakarta, 2001

9. Lumenta, Benyamin. Pelayanan Medis Tujuan Fenomena Sosial. Kanisius, Yogyakarta, 1989

10. Depkes RI. Journal of public health no 63; hal 30; Jakarta, 2000

11. ______. Data Kasus P2MPL Kab. Gunungkidul. Wonosari, 2005

12. ______. Data P2DBD Puskesmas Wonosari II. Wonosari, 2004

Page 11: Nambah Ilmu Tentang Program DBD

13. Auly Tarmali. Tesis : Penggunaan Perangkap telur guna Mengendalikan Populasi Vektor DBD. UGM, 1996

14. Depkes RI. Pemberantasan Demam Berdarah. Jakarta, 1996

15. Hoedojo. Vektor DBD dan Upaya penanggulangannya, Majalah Parasitologi Indonesia . Edisi 6; Jakarta, 1993

16. Depkes RI. Petunjuk Pelaksanaan UU Wabah. Jakarta, 1991

17. Pemkab. Gunungkidul. Surat edaran kebijakan P2DBD. 2005

18. FJ Bennet, Diagnosa Komunitas dan Program Kesehatan, Yayasan Essentia Medica, Jakarta, 1987