myasthenia gravis

29
I. PENDAHULUAN Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang parah. Penyakit ini merupakan penyakit neuromuscular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan. Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini bisa mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan tersedianya unit-unit perawatan pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat penyakit ini bisa dikurangi. Sindrom klinis ini ditemukan pertama kali pada tahun 1600, dan pada akhir tahun 1800 Miastenia gravis dibedakan dari kelemahan otot akibat paralisis burbar (Benny, 2008). Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita penyakit Miastenia gravis merasa lebih baik setelah minum obat efidrin yang sebenarnya obat ini ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi. Dan pada tahun 1934 seorang dokter dari Inggris bernama Mary Walker melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara Miastenia gravis dengan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisiotigmin untuk mengobati Miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan nyata dalam penyembuhan penyakit ini. Miastenia gravis banyak timbul pada usia 20 tahun, perbandingan antara wanita dan pria yang menderita penyakit ini adalah 3:1. Tingkatan usia yang kedua yang paling sering terserang

Upload: yuni-purwati

Post on 26-Sep-2015

49 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

myestenia gravis adalah naxjhsvvxxdsdhgcvnzxbcjgjcgnb vchc

TRANSCRIPT

I. PENDAHULUANMiastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang parah. Penyakit ini merupakan penyakit neuromuscular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan. Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini bisa mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan tersedianya unit-unit perawatan pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat penyakit ini bisa dikurangi. Sindrom klinis ini ditemukan pertama kali pada tahun 1600, dan pada akhir tahun 1800 Miastenia gravis dibedakan dari kelemahan otot akibat paralisis burbar (Benny, 2008).

Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita penyakit Miastenia gravis merasa lebih baik setelah minum obat efidrin yang sebenarnya obat ini ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi. Dan pada tahun 1934 seorang dokter dari Inggris bernama Mary Walker melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara Miastenia gravis dengan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisiotigmin untuk mengobati Miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan nyata dalam penyembuhan penyakit ini. Miastenia gravis banyak timbul pada usia 20 tahun, perbandingan antara wanita dan pria yang menderita penyakit ini adalah 3:1. Tingkatan usia yang kedua yang paling sering terserang penyakit ini adalah pria dewasa yang lebih tua (Benny, 2008).

Kematian dari penyakit Miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif untuk pertahanan sehingga komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan lebih baik. Penyembuhan dapat terjadi pada 10 % hingga 20 % pasien dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu dan yang paling cocok dengan jalan penyembuhan seperti ini adalah golongan wanita muda, yaitu pada usia awitan. Usia awitan dari miastenia gravis adalah 20-30 tahun untuk wanita dan 40-60 untuk pria (Bedlack & Sanders, 2005).

II. TINJAUAN PUSTAKAA. Definisi

Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit neuromuskular junction (NMJ) yang disebabkan oleh penyakit autoimun yang didapat dan ditandai dengan fluktuasi kelemahan patologis dengan remisi dan eksaserbasi pada satu atau beberapa kelompok otot, terutama disebabkan oleh adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) pada post sinaps neuromuscular junction (Bedlack & Sanders, 2005).B. Etilogi

Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang berhubungan dengan penyakit-penyakit lain seperti : tirotoksikosis, miksedema, artritis rematoid dan lupus eritematosus sistemik. Dulu di katakan bahwa IgG autoimun antibodi merangsang pelepasan thymin, suatu hormon dari kelenjar timus yang mempunyai kemampuan mengurangi jumlah asetilkolin. Sekarang dikatakan bahwa miastenia gravis disebabkan oeh kerusakan reseptor asetilkolin neuromuscular junction akibat penyakit autoimun1. Pada penyakit miastenia gravis yaitu kelemahan otot yang berbahaya telah ditemukan adanya antibodi yang menduduki reseptor acetylcholine dari motor end plate sehingga ia tidak dapat menggalakkan serabut-serabut otot skeletal. Antibodi tersebut dikenal sebagai antiacetylcholine reseptor antibodi ayng terbukti dibuat oleh kelenjar timus yang dihasilkan oleh proses imunologik. Ketepatan konsep itu telah dikonfirmasi oleh tindakan operatif menyingkirkan timus (timektomi) untuk melenyapkan penyakit miastenia gravis. Membran postsinaptik dari sinaps itu menjadi atrofik akibat reaksi imunologik, karena itu penyerapan acetylcholine sangat menurun. Lagipula jarak antar membran ujung terminal akson motoneuron dan membran motor end plate menjadi lebih panjang sehingga cholinesterase mendapat kesempatan yang lebih besar untuk menghancurkan lebih banyak acetylcholine sehingga potensial aksi postsinaptik yang dicetuskan menjadi lebih kecil. Dalam pada itu kontraksi otot skeletal pertama-tama berlalu secara normal, tetapi kontraksi-kontraksi berikutnya menjadi semakin lemah dan berakhir pada kelumpuhan total. Setelah istirahat, kontraksi otot pulih kembali untuk kemudian melemah dan lumpuh lagi. Kelemahan yang bergelombang seperti itu dikenal sebagai kelemahan miastenik. Otot-otot yang paling sering dilanda kelemahan mistenik adalah otot-otot okuler dan otot-otot penelan. Otot-otot anggota gerak dan pernafasan dapat terkena juga pada tahap lanjut miastenia gravis (Harsono, 2005).

Pada miastena gravis ciri-ciri imunologik lebih lengkap daripada penyakit otot lainnya. Gejala tunggal utama adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan tenaga yang sembuh kembali setelah istirahat. Walaupun kelumpuhan khas itu dapat timbul pada setiap otot terutama otot-otot okuler dan saraf kranial motorik yang sering terkena juga adalah otot wajah dan otot penelan. Pembuktian etiologi auto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa glandula timus mempunyai hubungan yang erat. Pada 80% dari penderita mistenia gravis didapati glandula timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita lainnya terdapat infiltrat limfosit pada pusat germinativa di glandula timus seperti juga ditemukan pada penderita lupus eritematosus sistemik, tirotoksikosis, miksedema, penyakit Addison dan anemia hemolitik eksperimental pada tikus. Gambaran histologik otot yang terkena terdiri dari reaksi CMI. Antibodi dan faktor rheumatoid kedua-duanya ditemukan pada maworitas penderita miastenia gravis. Kombinasi dengan arthritis rheumatid, lupus, anemia pernisiosa, sarkoidosis, Hodgkin dan tiroidits sering dijumpai pada beberapa penderita miastenia gravis (Harsono, 2005).C. Anatomi dan Fisiologi

Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular. Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction (Sidharta & Mardjono, 2006).Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi. Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate). Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps (Sidharta & Mardjono, 2006).

Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik. Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu (Sidharta & Mardjono, 2006):

Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim kolin asetiltransferase

Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.

Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.

Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase

Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.

Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.D. Klasifikasi

Patofisiologi Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Bedlack & Sanders, 2005):

KelassubkelasGejala

IAdanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.

IITerdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

KelasSubkelasGejala

IIaMempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

IIbMempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

IIITerdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan tingkat sedang.

IIIaMempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.

IIIbMempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.

IVOtot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat

IVaSecara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.

IVbMempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

VPenderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

E. Patofisiologi

Kelemahan pada otot-otot pada miastenia gravis dan meningkatnya kelemahan otot pada saat melakukan kegiatan fisik adalah disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang normal waktu untuk kegiatan fisik adalah lebih lama dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan kekuatan otot atau istirahat, sebaliknya pada miastenia gravis justru waktu yang dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih lama dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan fisik (Harsono, 2005).

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miastenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik. Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis (Brenner, 2003).

F. Gambaran KlinisMiastenia gravis diduga merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuscular. Keadaan ini sering bermanisfestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Pada 90 % penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebrae kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian. Miastenia gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan laring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan pasien tak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung (Price, 2005).

Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak lagi mampu membersihkan lender dari trakea dan cabang-cabangnya. Pada kasus yang lebih lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang hingga terjadi kelemahan pada semua otot-otot ranka. Biasanya gejala Miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Namun gejala-gejala tersebut dapat menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab (Price, 2005).G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan bahwa :

30-40% dari penderita dengan miastenia gravis memperlihatkan adanya muscle binding complement fixing antibodies dalam serumnya dan 90-100% pada penderita miastenia gravis dengan timoma (Ciafaloni, 2005).

Patologi anatomi

Timus penderita memperlihatkan adanya proliferasi limfosit.

Dalam otot-otot ditemukan limforagia, yang terdiri dari lomfosit-limfosit yang mengandung zat-zat imunologik.

Telah ditemukan antibodi dalam darah penderita miastenia gravis yaitu acetycholine receptor basic protein antibodies. Hal ini memyebabkan timbulnya suatu reaksi auto-imunologik, atrofi dari membran post-sinaptik sehingga acetycoline reseptor pada membran post-sinaptik menjadi berkurang. Atrofi membran post-sinaptik ini pula akan menyebabkan melebarnya celah sinaptik sehingga penyeberangan acetycholine akan memrlukan waktu yang lebih banyak. Akibat penyeberangan yang lebih panjang adalah bahwa akan lebih banyak terjadi penguraian dari acetycholine oleh cholinesterase sehingga acetycholine yang sampai pada membran post-sinaptik tidaklah lagi mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi, maka timbullah gejala-gejala miastenia gravis (Brenner, 2003). Anti-asetilkolin reseptor antibodi. Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibodi. Rata-rata titer antibodi pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibodi, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut (Brenner, 2003):Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis

Osserman ClassMean antibodi TiterPercent Positive

R0.7924

I2.1755

IIA49.880

IIB57.9100

III78.5100

IV205.389

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe4Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.

Antistriated muscle (anti-SM) antibody. Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif (Linardaki et al., 2005).

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab(Linardaki et al., 2005).

Antistriational antibodies. Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis (Linardaki et al., 2005).2. Imaging

Chest x-ray (foto roentgen thorak). Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.

Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

3. Pendekatan Elektrodiagnostik

Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik (Katirji & Kaminski, 2004):

Repetitive Nerve Stimulation (RNS). Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

Single-fiber Electromyography (SFEMG). Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal5.

H. Tata Laksana

Manajemen terapeutik yang akhir-akhir ini digunakan meliputi penggunaan antikolinesterase untuk memperbaiki transimisi neuromuskuler secara sementara, menghilangkan antibodi anti-AchR dengan plasma exchange atau prosedur spesifik imunoabsorbsi, penggunaan imunosupresan spesifik atau imunomodulator untuk mengendalikan respon anti-AchR dan prosedur operatif timektomi. Saat ini belum ada terapi yang menargetkan pada defek autoimun secara selektif. Namun seiring dengan perkembangan pemahaman mengenai patogenesis miastenia grafis, pendekatan terapi teraru yang akan mengendalikan atau bahkan mengeliminasi respon anti-AchR secara spesifik mungkin saja akan ditemukan.

Obat antikolinesterase akan memperbaiki gejala MG pada hampir semua pasien, namun tidak secara keseluruhan menghilangkan gejala yang timbul. Oleh karena itu, sebagian besar membutuhkan terapi imunosupresan tambahan. Pendekatan terapeutik jangka panjang terbaru dalam inhibisi aktivitas AchE pada MG berdasarkan pengamatan NMJ baik pada pasien MG ataupun hewan coba, ditemukan bahwa terdapat peningkatan transkripsi dan perubahan pada sambungan dari AchE pre-mRNA, disertai akumulasi dari varian AchE-R yang secara normal jarang ditemukan. AchE-R merupakan monomer terlarut yang tidak memiliki sistein karboksiterminal yang dibutuhkan untuk ikatan membran. Oleh karena itu, AchE-R dapat menembus ruang sinaptik dan menghancurkan Ach sebelum mencapai membran postsinaptik, dengan demikian dapat mempengaruhi aktivasi AchR. Penelitian ini menganjurkan penggunaan dari EN101, sebuah oligonukleotida yang mampu menekan ekspresi dari AchE-R. EN101 dapat menormalisasi transmisi neuromuskuler pada hewan coba MG dengan memodulasi sintesis dari varian AchE, sehingga mempengaruhi laju hidrolisis Ach dan efikasi dari aktifasi AchR. EN101 hingga saat ini masih dalam uji coba klinis pada manusia (Brenner et al., 2003).

Terlepas dari masih banyak kekurangan dalam uji klinis, kortikosteroid merupakan agen imunosupresan yang banyak digunakan dan secara konsisten efektif. Steroid diberikan dalam dosis tinggi pada beberapa bulan dan dosis rendah untuk jangka waktu tahunan. Kadar Anti-AchR Ab menurun pada bulan pertama pemberian terapi ini. Namun penggunaan kortikosteroid juga sering menimbulkan komplikasi pada penderita MG. Oleh karena itu sedang diteliti jenis imunosupresan lain, baik sebagai steroid-sparing agent atau sebagai substitusi dari kortikosteroid itu sendiri; mengingat juga pada beberapa pasien MG ada yg berhasil diterapi tanpa harus menggunakan kortikosteroid (Bedlack & Sanders, 2005).

Azatioprin, analog purin, dapat mereduksi sintesis asam nukleat, sehingga mempengaruhi proliferasi sel B dan sel T. Obat ini digunakan sebagai imunosupresant sejak tahun 1970-an. Sebuah uji klinis menunjukan bahwa azatioprin memiliki efikasi yang setara dengan steroid-sparing agent, namun respon klinisnya cenderung lebih lama (Palace et al., 2008).

Siklofosfamid juga merupakan agen terapi efektif yang dapat diberikan secara IV ataupun oral. Lebih dari setengah pasien MG menjadi asimptomatik setelah 1 tahun pengobatan. Namun penggunaan siklofosfamid masih terbatas hanya pada pasien yang tidak memberikan perbain dengan agen imunosupresan lain, karena efek sampingnya yang tidak menyenangkan (rambut rontok, mual, muntah, penurunan nafsu makan) (Spring & Spies, 2010).

Jenis imunosupresan lain yang bersifat sebagai steroid-sparing agent ialah siklosporin. Siklosporin adalah peptida-siklik yang dapat memblok sintesis sitokin terutama IL-2, reseptor IL-2, dan protein-protein jenis lain yang terkait dengan fungsi sel CD4+. Efikasi obat ini sudah terbukti pada studi RCT skala kecil, dan sedang dalam uji coba RCT skala besar. Obat yang memiliki mekanisme kerja hampir sama dengan siklosporin ialah tacrolimus, antibiotik dari golongan macrolide. Selain sebagai antibiotik, takrolimus juga memiliki efek imunosupresan sebagai steroid sparing agent. Namun penggunaan takrolimus pada MG masih baru pada tahapan studi klinis (Ponsetti et al., 2005).

Di Amerika, penggunaan micofenolate mofetil belakangan ini meningkat pada pasien MG. Obat ini digunakan sebagai steroid sparing agent dan imunosupresan tunggal. Studi klinis menunjukan bahwa obat jenis ini memiliki toksisitas yang rendah, efek inhibisi selektif pada aktifitas sintesis guanosine nukleotid pada sel B dan T yang konsisten, sehingga efek pada sel-sel lain relatif minimal. RCT skala besar sedang dilakukan terkait manfaat penggunaan obat ini pada pasien MG (Ciafaloni, 2005).

Untuk beberapa pasien, gejala kadang tidak membaik dengan penggunaan kortikosteroid atau agen imunosupresan yang telah dijelaskan sebelumnya. Biasanya, pasien MG yang resistan dengan terapi empirik akan berhasil dengan pemberian siklofosfamide dengan atau tanpa kombinasi transplantasi sumsum tulang. Kombinasi dengan rituximab, sebuah antibodi monoklonal, juga dinilai efektif dalam penanganan resistensi terapi pada MG. Obat lain yang dapat digunakan dalam kondisi ini ialah Etanercept, sebuah reseptor TNF rekombinan yang secara kompetitif memblok aksi dari TNF-a, telah terbukti memiliiki efek steroid-sparing (Pescovitz, 2006).

Sementara itu, dalam manajemen akut pada kelemahan otot yang berat, plasmaferesis dan IVIg masih menjadi pilihan terapi. Plasmaferesi melibatkan penggantian volume plasma 1-1.5 kali dengan menggunakan salin, albumin, atau fraksi protein plasma, yang pada akhirnya dapat menurunkan level AchR Ab. Untuk terapi IVIg, isolasi imunoglobulin yang diambil dari plasma manusia melalui metodi kriopresipitasi ethanol, diberikan selama 5 hari dalam dosis 0.4gr/KgBB/hari. Mekanisme kerja IVIg sangat kompleks, melibatkan inhibisi dari sitokin, kompetisi dengan autoantibodi, inhibisi deposisi komplemen, dan keterlibatan dari reseptor Ig pada sel B serta pengenalan antigen oleh sel T. Teknik spesifik untuk menghilangkan Ab anti-Achr yang bersifat patogen dengan metode imunoadsorbsi juga sedang dalam pengembangan, yang mana target terapinya lebih spesifik (Linardaki et al., 2005).I. Penyulit

1. Krisis Kolinergik

Dapat terjadi bila kolinesterase dihambat secara berlebihan oleh obat-obat antikolinesterase. Gejala kolinergik antara lain bingung, pucat, berkeringat dan pupil miosis akan menyertai kelemahan otot yang progresif, terdapat deteriorasi yang bersifat temporer2. Suatu krisis kolinergik timbul bila terjadi over dosis dari obat-obat antikolinesterase, sehingga timbul depolarisasi blok Pada neuro-muscular junction yang pada akhirnya akan menimbulkan kelemahan pada otot. Dapat diketahui dengan anamnesa yang di peroleh yaitu bahwa penderita sedang menggunakan obat-obat antikolinesterase, gejala gangguan pernafasan timbul 15-45 menit setelah minum obat-obat antikolinesterase, setelah penderita merasa kelemahan yang bertambah pada otot dan penderita meminum obat lagi lalu keadaan semakin memburuk. Ditemukan miosis, hiperhidrosis, hipersalivasi, terasa sdingin pada badan bila diraba dan kesadaran sopor dan confused. Untuk menolong pernafasan yang cepat dan dangkal secepatnya dipasang endotrakeal tube dan diberika pula pernafasan buatan atau dipasang respirator dengan tekanan positif3. Terapi penyulit pada krisis kolinergik, obat-obat antikolinesterase dihentikan sementara dan dimulai dengan dosis yang lebih kecil bila keadaan menjadi stabil. Segera diberikan atropin 1,25 mg intravena dan diberikan 1,25 mg intramuskular setiap jam sampai keringat berhenti dan pupil midriasis lebih dari 3 mm (Harsono, 2005).2. Krisis Miastenia

Terjadi akibat terapi yang tidak adekuat dan adanya deteriorasi, terutama terjadi pada keadaan pascabedah, partus, infeksi atau dengan mempergunakan obat-obat yang memperberat keadaan miastenia. Bila ragu-ragu dapat digunakan endofronium. Terdapat perbaikan yang bersifat sempurna. Penderita miastenia gravis yang menderita krisis miastenik bila kelemahan otot-otot penderita terus meluas sampai pula mengenai otot-otot pernafasan. Keadaan demikian dapat timbul apabila penderita terlalu lelah atau mendapat penyakit infeksi lain. Suatu krisis miastenik dapat pula timbul bial seorang penderita telah diberikan obat-obat seperti kinin, luminal, diazepam, neomisin, sulfas magnesium. Penderita dengan krisis miastenik dapat diberikan prostigmin atau neostigmin 1-2 mgr (2-4 mgr) secara i.m (Harsono, 2005).

III. KESIMPULAN

1. Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.

2. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter).

3. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 3 : 1.

4. Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu; (1) Mempengaruhi transmisi neuromuskuler, (2) Mempengaruhi proses imunologik, (3) Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot.

DAFTAR PUSTAKA1. Bedlack, R.S., Sanders, D.B. 2005. Steroid treatment for myasthenia gravis: steroids have an important role.Muscle Nerve.25:117-121.2. Benny dewa. Miastenia Gravis. www.miasteniagravisneurologi.com/120708,etc Juli, 20083. Brenner, T., et al. 2003. The role of readthrough acetylcholinesterase in the pathophysiology of myasthenia gravis.FASEB J.17:214-222.

4. Ciafaloni, E. 2005. Mycophenolate mofetil and myasthenia gravis.Lupus.14(Suppl. 1):s46-s49.5. Harsono, 2005. Buku Ajar Neurologi Klinik PERDOSSI. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 327-332.6. Katirji, B., Kaminski, H.J. 2004. Electrodiagnostic approach to the patient with suspected neuromuscular junction disorder.Neurol. Clin.20:557-586, viii.

7. Ponseti, J.M., et al. 2005. Benefits of FK506 (tacrolimus) for residual, cyclosporin- and prednisone-resistant myasthenia gravis: one-year follow-up of an open-label study.Clin. Neurol. Neurosurg.107:187-190.

8. Pescovitz, M.D. 2006. Rituximab, an anti-cd20 monoclonal antibody: history and mechanism of action.Am. J. Transplant.6:859-866.

9. Price, Sylvia. 2005. Dasar Patofisiologi Klinis. EGC : Jakarta.

10. Psaridi-Linardaki, L., Trakas, N., Mamalaki, A., Tzartos, S.J. 2005. Specific immunoadsorption of the autoantibodies from myasthenic patients using the extracellular domain of the human muscle acetylcholine receptor alpha-subunit. Development of an antigen-specific therapeutic strategy.J. Neuroimmunol.159:183-191.11. Sidharta, Priguna. 2008 Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta. Penerbit Dian Rakyat. Hal. 129

12. Sidharta, Priguna. Mardjono, Mahar, 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta. Penerbit Dian Rakyat. Hal 348